kinetika ferra.docx

Upload: james-gomez

Post on 14-Jan-2016

245 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KINETIKA FERMENTASI DI DALAM PRODUKSI MINUMAN VINEGAR

LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI FERMENTASI

Disusun oleh:Nama : Ferra Aprilia K.NIM : 12.70.0009Kelompok B2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIANUNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG

2015

Acara II

1. HASIL PENGAMATAN

1.1.Tabel Hasil PengamatanHasil pengamatan kinetika fermentasi di dalam produksi minuman vinegar yang terbuat dari sari buah apel dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kinetika Fermentasi Dalam Produksi Minuman Vinegar Sari Buah ApelKelPerlakuanWaktu MO tiap petakRata-rata/ MO tiap petakRata-rata/ MO tiap ccODpHTotal Asam (mg/ml)

1234

B1Sari apel + S. cereviceaeN056886,752,7 1070,24163,1916,32

N244047465146,0018,4 1070,67333,1415,36

N484342465045,2518,1 1071,09313,2615,36

N7211096858894,7537,9 1071,39223,3413,44

N961428342324,759,9 1070,55413,4013,44

B2Sari apel + S. cereviceaeN0201715915,256,1 1070,25953,1916,32

N244428215035,7514,3 1071,51543,1516,32

N484046464644,5017,8 1071,14323,2716,32

N724046626553,2521,3 1071,41373,3114,40

N962932141723,009,2 1070,43123,3713,44

B3Sari apel + S. cereviceaeN063243,751,5 1070,21803,1716,32

N246957565258,5023,4 1070,78143,1416,32

N483235464038,2515,3 1071,17463,2515,36

N7210191878591,0036,4 1071,42913,3114,01

N963633313531,2512,5 1070,33583,3513,44

B4Sari apel + S. cereviceaeN079798,003,2 1070,21303,1916,32

N246160515356,2522,5 1070,98963,1616,32

N482833263129,5011,8 1071,21503,2516,32

N726567646765,7526,3 1071,64613,3114,40

N96104185,752,3 1070,42973,3614,40

B5Sari apel + S. cereviceaeN081841611,504,6 1070,32583,1816,32

N245043514747,7519,1 1070,79773,1716,32

N485759585757,7523,1 1071,37303,2415,36

N726067707768,5027,4 1071,45243,2814,40

N968759718375,0030,0 1071,16593,3114,40

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa pengamatan dilakukan untuk mengetahui rata-rata mikroorganisme tiap petak, rata-rata mikroorganisme tiap cc, nilai OD, pH, dan total asam. Rata-rata mikroorganisme tiap petak pada kelompok B5 tiap harinya mengalami peningkatan, sedangkan pada kelompok B1, B2, B3, dan B4 diperoleh hasil yang fluktuatif. Apabila rata-rata mikroorganisme tiap petak meningkat maka rata-rata mikroorganisme tiap cc juga meningkat karena keduanya saling berkaitan. Demikian pula sebaliknya jika hasil yang diperoleh menurun maka rata-rata mikroorganisme tiap cc juga menurun. Untuk nilai OD juga mengikuti kenaikan maupun penurunan rata-rata jumlah mikroorganisme yang diperoleh. Nilai OD yang diperoleh fluktuatif pada kelompok B2. Pada kelompok B1, B3, B4, dan B5 semakin lama waktu fermentasi, nilai OD semakin meningkat namun pada N96 mengalami penurunan. Untuk nilai pH, terjadi penurunan pH di hari N24 pada semua kelompok namun terus mengalami peningkatan pada N48, N72, dan N96. Total asam yang diperoleh pada semua kelompok mengalami penurunan dibandingkan dengan N0.

21

20

1.2.Grafik Hasil Pengamatan1.2.1.Hubungan OD dengan WaktuGrafik hasil pengamatan hubungan antara OD dengan waktu dapat dilihat pada Grafik 1.

Grafik 1. Hubungan OD dengan Waktu

Berdasarkan Grafik 1 dapat dilihat hubungan antara nilai OD dengan waktu. Semakin lama waktu fermentasi (N0 hingga N72) nilai OD yang diperoleh semakin meningkat pada kelompok B1, B3, B4, dan B5. Namun pada N96 nilai OD menurun untuk semua kelompok. Kelompok B2 hasil yang diperoleh fluktuatif, pada N24 meningkat lalu menurun pada N48. Meningkat lagi pada N72 sebelum akhirnya menurun pada N96.

1.2.2.Hubungan Jumlah Sel dengan WaktuGrafik hasil pengamatan hubungan antara jumlah sel dengan waktu dapat dilihat pada Grafik 2.

Grafik 2. Hubungan Jumlah Sel dengan Waktu

Berdasarkan Grafik 2 dapat dilihat hubungan antara jumlah sel mikroorganisme dengan waktu. Terbentuk suatu pola dimana pada kelompok B1, B2, B3, dan B4 pada N24 mengalami peningkatan kemudian menurun pada N48, meningkat lagi pada N72 dan menurun pada N96. Namun hasil yang berbeda diperoleh kelompok B5 dimana semakin lama waktu fermentasi maka jumlah sel mikroorganisme semakin meningkat pula. Hubungan antara waktu fermentasi dan jumlah sel berbanding lurus pada kelompok B5.

1.2.3.Hubungan Jumlah Sel dengan pHGrafik hasil pengamatan hubungan antara jumlah sel dengan pH dapat dilihat pada Grafik 3.

Grafik 3. Hubungan Jumlah Sel dengan pH

Berdasarkan Grafik 3 dapat dilihat hubungan antara jumlah sel mikroorganisme dengan pH. Pada Grafik 3 menunjukkan fluktuasi jumlah sel mikroorganisme pada semua kelompok. Sedangkan pH tidak dipengaruhi oleh jumlah sel mikroorganisme yang fluktuatif. Hal ini dilihat dari kelompok B1, B3, dan B4 dimana jumlah selnya mengalami peningkatan dan penurunan yang sama dibandingkan dengan kelompok B2 dan B5 dimana jumlah selnya mengalami peningkatan lalu menurun pada N96. Nilai pH keseluruhan kelompok memiliki pola yang sama.

1.2.4.Hubungan Jumlah Sel dengan ODGrafik hasil pengamatan hubungan antara jumlah sel dengan OD dapat dilihat pada Grafik 4.

Grafik 4. Hubungan Jumlah Sel dengan OD

Berdasarkan Grafik 4 dapat dilihat hubungan antara jumlah sel mikroorganisme dengan nilai OD. Pola yang dihasilkan tidak jelas karena hasil yang diperoleh sangat fluktuatif. Namun secara keseluruhan, jumlah sel yang ditemukan berbanding lurus dengan nilai OD yang diperoleh. Hal ini dikarenakan jumlah sel yang semakin banyak akan menyebabkan nilai OD meningkat karena kekeruhan yang dihasilkan. Sebaliknya, apabila jumlah selnya sedikit maka nilai OD menurun.

1.2.5.Hubungan Jumlah Sel dengan Total AsamGrafik hasil pengamatan hubungan antara jumlah sel dengan total asam dapat dilihat pada Grafik 5.

Grafik 5. Hubungan Jumlah Sel dengan Total Asam

Berdasarkan Grafik 5 dapat dilihat hubungan antara jumlah sel mikroorganisme dengan total asam. Jumlah sel mikroorganisme tidak mempengaruhi total asam dikarenakan total asam tidak meningkat apabila jumlah selnya meningkat. Sebaliknya, justru total asam yang diperoleh akan menurun dari hari ke hari maupun konstan hasilnya. Hal ini dapat dilihat pada Grafik 5, dimana pola yang dihasilnya tegak lurus dan menurun. Pada grafik tidak menunjukkan adanya peningkatan total asam walaupun jumlah selnya meningkat.

2. PEMBAHASAN

Hidayat et al., (2006) mengatakan bahwa proses fermentasi merupakan suatu proses metabolisme suatu mikroorganisme untuk mendapatkan energi dengan cara mengubah komponen gula menjadi glukosa dan fruktosa. Fardiaz (1992) menambahkan bahwa dalam proses fermentasi pada bahan pangan, pertumbuhan mikroorganisme justru didukung supaya dapat mengubah komponen-komponen atau senyawa-senyawa yang terdapat dalam bahan pangan tersebut agar menjadi suatu produk yang diinginkan. Definisi fermentasi menurut Bailey & Ollis (1987) adalah perubahan struktur kimia dari suatu bahan organik dengan cara memanfaatkan agen-agen biologis misalnya enzim sebagai biokatalis dan melibatkan mikroorganisme yang menghasilkan enzim tersebut. Oleh karena itu, tujuan fermentasi itu sendiri menurut Fellows (1990) adalah untuk mengubah tekstur produk akhir, sebagai pengawet yang dapat memperpanjang umur simpan bahan pangan, serta dapat memberikan flavor atau aroma khas pada produk. Sedangkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil fermentasi menurut Winarno et al. (1980) antara lain jenis bahan pangan yang digunakan untuk proses fermentasi (substrat), jenis dan jumlah mikroorganisme yang digunakan, serta proses metabolisme mikroorganisme tersebut.

Pada praktikum ini fermentasi yang dilakukan menggunakan sari buah apel malang untuk menghasilkan cider. Ranganna (1978) menjelaskan bahwa cider adalah minuman yang dihasilkan dari fermentasi sari buah atau bahan lainnya yang mengandung pati, baik dengan penambahan gula maupun tanpa penambahan gula. Buah atau bahan pangan yang digunakan harus memiliki kandungan alkohol yang tidak begitu tinggi. Proses fermentasi ini dilakukan oleh sel yeast atau sering disebut dengan khamir. Langkah-langkah proses pembuatan cider apel pada praktikum ini yaitu mula-mula apel malang dihancurkan dengan menggunakan juicer. Tujuan dilakukannya proses ini adalah untuk memperoleh sari apel yang akan digunakan untuk pembuatan cider. Proses penghancuran tersebut sudah sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Ikhsan (1997) bahwa proses penghancuran dilakukan dengan tujuan untuk mengeluarkan gula yang terkandung dalam buah apel. Setelah proses penghancuran, apel yang sudah dihancurkan tersebut disaring dengan menggunakan kain saring untuk diperoleh 1,5 liter sari buah apel. Proses penyaringan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Proses penyaringan sari apel

Setelah itu, masing-masing kelompok mendapat 250 ml sari apel dan dimasukkan ke dalam botol masing-masing. Botol yang digunakan ditutup dengan plastik dan diberi karet.

Gambar 2. Sari apel dimasukkan ke botol

Gambar 3. Botol ditutup plastik dan diberi karet

Lalu botol yang berisi sari apel tersebut disterilisasi selama 1 jam. Winarno (1994) mengatakan bahwa tujuan dari sterilisasi adalah untuk membunuh semua mikroorganisme yang terdapat dalam sari apel tersebut. Perlakuan ini dilakukan karena apabila tidak steril akan mengakibatkan terjadinya kontaminasi oleh mikroorganisme pencemar yang tumbuh sehingga dapat mengganggu proses fermentasi.

Gambar 4. Proses sterilisasi

Kemudian sari apel yang sudah disterilisasi didinginkan dalam baskom yang berisi air hingga suam-suam kuku. Menurut Hadiwiyoto (1983), tujuan dilakukannya hal ini adalah agar mencapai suhu optimal untuk pertumbuhan kultur starter yang akan digunakan. Apabila penambahan kultur dilakukan pada kondisi panas maka dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan mikroorganisme dan bahkan mati. Setelah dirasa sudah tidak panas, kultur Saccharomyces cereviceae ditambahkan secara aseptis di dalam laminar air flow. Sebanyak 30 ml kultur yeast ditambahkan ke dalam botol dan ditutup lagi menggunakan plastik yang diberi karet. Penggunaan Saccharomyces cereviceae ini sesuai dengan teori Ranganna (1978) yang mengatakan bahwa pembuatan cider dilakukan dengan menggunakan sel yeast atau khamir. Gaman & Sherrington (1994) juga mengatakan bahwa penambahan Saccharomyces cereviceae dilakukan dengan tujuan untuk membantu berlangsungnya proses fermentasi. S. cereviceae akan memecah (mendegradasi) substrat yang ada.

Proses penambahan kultur ini harus dilakukan secara aseptis, tujuannya untuk menghindari kontaminasi dari mikroorganisme dari lingkungan sekitar yang tidak diinginkan. Penutupan botol dengan plastik dan diberi karet juga bertujuan mencegah terjadinya kontaminasi terutama ketika proses inkubasi dan shaker yang akan dilakukan pada tahapan berikutnya. Sesuai dengan pendapat Rahman (1992), labu yang diletakkan pada shaker harus ditutup rapat agar udara dari luar tidak dapat masuk dan sterilitas media dapat terjaga. Dwidjoseputro (1994) juga mengatakan bahwa teknik aseptis digunakan untuk mencegah tercemarnya biakan dan mencegah infeksi yang berasal dari bakteri maupun mikroorganisme lainnya yang merugikan.

Setelah itu, sari apel yang telah diinokulasi diambil sebanyak 25 ml menggunakan pipet volume dan dimasukkan ke dalam beaker glass. Pengambilan ini dilakukan secara aseptis di dalam laminar air flow. Setelah diperoleh 25 ml, diambil 10 ml untuk pengukuran total asam dengan titrasi dan 3 ml untuk pengukuran Optical Density dengan spektrofotometer. Sisanya untuk pengukuran jumlah mikroba menggunakan haemocytometer dan pengukuran pH menggunakan pH meter. Selanjutnya, sari apel yang tersisa diinkubasi sambil digoyang di shaker inkubator. Penggoyangan botol yang berisi sari apel tersebut dilakukan pada suhu 25oC 30oC yaitu suhu ruang selama 5 hari. Setiap 24 jam, sari apel diambil 25 ml untuk dianalisa kembali. Hal ini dilakukan selama 5 hari yaitu hari ke-0 (N0), hari ke-1 (N24), hari ke-2 (N48), hari ke-3 (N72), dan hari ke-4 (N96).

Gambar 5. Pengambilan sampel di laminar air flow

Menurut Gaman & Sherrington (1994), tujuan dari proses inkubasi antara lain untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan sel khamir atau yeast, mencegah kontaminasi dari mikroorganisme lain, serta menjaga supaya kondisi tetap anaerob. Pentingnya menjaga kondisi anaerob karena fermentasi alkohol dapat berlangsung hanya dalam kondisi anaerob. Stanburry & Whittaker (1984) mengatakan bahwa proses penggoyangan selama inkubasi ini bertujuan untuk mengecilkan gelembung udara sehingga terjadi peningkatan daerah transfer oksigen. Tidak hanya itu, tujuan lainnya dari perlakuan ini adalah untuk mengurangi terjadinya difusi. Kecepatan putarannya perlu diperhatikan karena dapat menyebabkan media bergerak sehingga terjadi aerasi. Proses aerasi perlu diatur supaya kondisi lingkungan yang terbentuk stabil. Menurut Said (1987), shaker inkubator digunakan sebagai media aerasi untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan agitasi yang menjamin tercapainya keseragaman suspensi dari sel mikroba pada media nutrien. Oleh karena hal itu Winarno et al. (1980) menegaskan bahwa pertumbuhan Saccharomyces cereviceae akan optimal karena oksigen yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan khamir terpenuhi dengan adanya proses penggoyangan.

Gambar 6. Proses inkubasi di shaker incubator

2.1.Analisa2.1.1.Pengukuran Total AsamAnalisa total asam dilakukan dengan metode titrasi. Pertama-tama 10 ml sampel diambil dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Kemudian ditambah dengan indikator PP sebanyak 2 tetes untuk selanjutnya dititrasi dengan menggunakan NaOH 0,1 N hingga terbentuk warna merah muda. Menurut teori Chang (1991) indikator yang digunakan dalam praktikum ini sudah sesuai dengan teorinya bahwa ketika titran yang digunakan adalah NaOH maka indikatornya adalah PP. Menurut Petrucci & Suminar (1987), indikator PP yang digunakan untuk titrasi dengan basa (NaOH) akan menimbulkan warna merah muda. Namun titrasi dengan asam/netral tidak akan menimbulkan warna. Perhitungan total asam dilakukan dengan menggunakan rumus:

Total asam

Gambar 7. Hasil titrasi kloter B

2.1.2.Pengukuran Optical DensityPengukuran Optical Density (OD) dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer. Menurut Sastrohamidjojo (1991), prinsip pengukuran spektrofotometer adalah mengukur intensitas cahaya yang diteruskan melewati suatu medium (cairan atau suspensi) dalam cuvet. Cahaya yang melewati suatu suspensi akan tersebar sebagian dan diteruskan sebagian. Panjang gelombang harus diperhatikan dan disesuaikan dengan kemampuan zat yang diuji untuk mengabsorbsi energi radiasi pada panjang gelombang yang digunakan. Panjang gelombang yang digunakan pada praktikum ini adalah 660 nm. Panjang gelombang yang digunakan sudah sesuai dengan teori Sevda & Rodrigues (2011) yang mengatakan bahwa bahwa pengukuran OD untuk yeast jenis Saccharomyces cereviceae menggunakan panjang gelombang 660 nm. Wilford (1987) menjelaskan bahwa absorbansi adalah nilai konstan dari intensitas penyerapan. Hal yang mempengaruhi nilai absorbasi tersebut adalah konsentrasi, tebal media, dan intensitas penyinaran. Fox (1991) menambahkan bahwa metode absorbansi dipengaruhi oleh kejernihan larutan. Apabila suatu larutan sangat pekat dan keruh, maka nilai absorbansinya akan semakin tinggi. Jomdecha & Prateepasen (2006) juga mengungkapkan bahwa optical density kultur yeast merupakan suatu pengukuran terhadap jumlah sel yeast yang ada di kultur cair. Sedangkan nilai OD adalah banyaknya sinar yang dapat diteruskan oleh kultur cair tersebut.

Gambar 8. Pengukuran OD menggunakan spektrofotometer

2.1.3.Pengukuran Jumlah MikrobaAnalisa selanjutnya adalah pengukuran jumlah mikroba. Pengukuran jumlah mikroba ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kepadatan yeast dari hari ke-0 hingga hari ke-4. Pengukuran jumlah mikroba ini dilakukan dengan menggunakan alat haemocytometer. Menurut Hadioetomo (1993), haemocytometer adalah ruang hitung yang terdiri atas petak-petak yang berukuran kecil untuk menghitung jumlah sel di bawah mikroskop. Cara pengukuran jumlah mikroba menggunakan haemocytometer dilakukan dengan cara meneteskan sampel pada plat yang terdapat pada haemocytometer dan kemudian ditutup dengan kaca preparat. Namun sebelumnya haemocytometer dan kaca preparat disemprot menggunakan alkohol agar tetap steril. Setelah itu, haemocytometer diamati di bawah mikroskop. Menurut Chen & Pei (2011), alat haemocytometer terdiri dari 4 kotak besar yang dibatasi dengan 3 garis di setiap sisinya dan di setiap kotak terdapat 16 kotak kecil yang dibatasi dengan 1 garis. Haemocytometer digunakan untuk membantu dalam perhitungan biomassa dalam cairan. Haemocytometer digunakan karena tingkat ketelitiannya yang sangat tinggi sehingga kedalaman dan lebar garis dapat diketahui dengan pasti. Jumlah sel yang terdapat dalam 4 kotak besar tersebut yang dihitung. Pada praktikum ini dilakukan 4 kali ulangan dengan mencari 4 kotak dalam sekali pengujian. Perhitungan jumlah mikroba dalam 1 kotak dilakukan dengan menggunakan handcounter. Berikut adalah gambar yang terlihat dari haemocytometer ketika dilihat melalui mikroskop.

1234

Gambar 9. Kotak pada haemocytometer

Gambar 10. Pengukuran jumlah mikroba menggunakan haemocytometer

Gambar 11. Hasil pengamatan pada N0, N24, N48, N72, dan N96

2.1.4.Pengukuran pHAnalisa yang terakhir adalah pengukuran pH dengan menggunakan pH meter. Menurut Juwilda (2000), pH meter adalah sebuah alat elektronik yang digunakan untuk mengukur tingkat keasaman suatu cairan. Prinsip dari pH meter yaitu menggunakan probe yang dicelupkan ke dalam sampel. Probe terhubung dengan meteran elektronik yang akan mengukur dan kemudian menampilkan angka dimana angka tersebut adalah pH dari sampel yang diuji. Pada praktikum ini, pengukuran pH yang dilakukan sudah sesuai dengan teori di atas dimana pertama-tama probe dicelupkan ke dalam sampel yang sudah disiapkan kemudian ditunggu beberapa waktu hingga angka yang muncul konstan dan tidak berubah lagi. Angka yang tertera dicatat sebagai nilai pH dari sampel tersebut.

Gambar 12. Pengukuran pH

2.2.Hasil Pengamatan2.2.1.Hubungan OD dengan WaktuFardiaz (1992) mengatakan bahwa jumlah sel yeast akan meningkat seiring dengan lamanya waktu fermentasi hingga mencapai waktu tertentu dan akan mengalami penurunan ketika memasuki fase kematian. Pengukuran kepadatan sel yeast dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer dimana menerapkan prinsip Hukum Lambert-Beer. Prinsipnya mencakup rasio intensitas cahaya yang diteruskan (I) dengan intensitas cahaya mula-mula (I0) yang disebut dengan persen transmitansi (%T) yang dimana berbanding terbalik dengan nilai absorbansi (OD).

Pada hasil pengukuran OD tersebut, hampir semua kelompok menunjukkan bahwa nilai OD meningkat seiring lamanya waktu fermentasi dan mencapai nilai OD tertinggi pada inkubasi selama 72 jam. Setelah 72 jam, nilai OD mulai menurun dan semakin menurun secara signifikan pada beberapa kelompok. Menurut Triwahyuni et al. (2012), yeast akan mengalami fase eksponensial dalam waktu 24-48 jam. Selama fase eksponensial berlangsung, populasi yeast akan semakin bertambah dan terjadi pertunasan dalam tingkat tinggi. Lalu yeast akan mengalami fase stasioner setelah melebihi 48 jam ditandai dengan berhentinya pertunasan yeast dan laju produksi alkohol mulai berkurang. Hal ini terjadi karena nutrisi yang digunakan yeast sebagai substrat selama proses fermentasi hampir habis sehingga lama kelamaan yeast akan mati. Maka dapat disimpulkan jumlah sel yeast akan meningkat selama fase eksponensial (24-28 jam), mencapai kestabilan jumlah selama fase stasioner (72 jam), dan memasuki fase kematian sehingga jumlah selnya menurun (96 jam).

Hasil yang diperoleh dalam praktikum ini tidak sesuai dengan teori Fardiaz (1992). Menurut Sudarmadji & Suhardi (2000), ketidaksesuaian hasil yang diperoleh dengan teori yang ada dapat disebabkan karena beberapa faktor yaitu penggunaan kuvet yang kurang bersih, penempatan kuvet pada spektrofotometer yang kurang tepat, dan adanya gelembung dalam larutan. Ketidaksesuaian ini juga dapat disebabkan pada saat pengambilan sampel, ada kelompok yang hanya mengambil filtratnya saja ada yang mengambil endapannya juga dimana endapan tersebut yang mengandung yeast. Sehingga kekeruhan yang diperoleh tidak merata. Rahman (1992) menambahkan bahwa semakin banyak jumlah sel mikroorganisme dalam suspensi, maka semakin keruh kenampakan suspensi tersebut. Semakin keruh suspensi maka semakin tinggi pula nilai OD yang dihasilkan. Clark (2007) juga mengungkapkan bahwa nilai OD berbanding lurus dengan konsentrasi sel (jumlah sel). Jadi nilai OD sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan lama waktu inkubasi.

2.2.2.Hubungan Jumlah Sel dengan WaktuMenurut Elevri & Surya (2006), yeast bisa saja memiliki fase log yang singkat dikarenakan media pertumbuhan awal dibuat sama dengan media fermentasi. Menurut Thontowi et al. (2007), proses fermentasi dapat dihentikan setelah 84 jam inkubasi karena yeast Saccharomyces cereviceae telah memasuki fase kematian. Hubungan antara jumlah sel mikroorganisme dengan waktu yaitu laju pertumbuhan spesifik mikroorganisme akan semakin menurun ketika waktu fermentasi semakin panjang. Penurunan laju pertumbuhan ini disebabkan oleh berkurangnya nutrisi penting di dalam media yang digunakan mikroorganisme untuk proses metabolismenya. Menurut Sevda & Rodrigues (2011), semakin banyaknya konversi gula menjadi alkohol juga dapat menyebabkan laju pertumbuhan spesifik mikroorganisme menjadi menurun. Hal ini dikarenakan semakin banyak alkohol yang dihasilkan dari konversi gula tersebut, akan menjadi racun bagi yeast itu sendiri sehingga menyebabkan kematian. Jumlah alkohol meningkat 6-8% saat peningkatan jumlah sel terjadi. Maka dari hasil yang diperoleh, hanya kelompok B2 yang sesuai dengan teori yang ada. Sedangkan kelompok lainnya kurang sesuai dengan teori. Waktu inkubasi tidak berbanding lurus dengan jumlah sel. Jumlah sel dipengaruhi oleh ketersediaan nutrien.

2.2.3.Hubungan Jumlah Sel dengan pHMenurut Susanto & Bagus (2011), nilai pH akan semakin menurun seiring semakin lamanya waktu fermentasi. Perubahan pH yang terjadi pada sari apel dapat disebabkan oleh aktivitas sel yeast yang menghasilkan asam-asam organik seperti asam malat, asam sitrat, asam asetat, asam butirat, asam tartarat, dan asam propionat sebagai hasil samping selain memproduksi etanol. Kwartiningsih & Nuning (2005) menjelaskan bahwa fermentasi vinegar terdiri dari dua tahapan antara lain fermentasi pembentukan alkohol dimana pada tahap ini melibatkan Saccharomyces cereviceae dan fermentasi pembentukan asam asetat dan air dimana pada tahap ini melibatkan Acetobacter aceti. Berdasarkan hasil pengamatan, pada semua kelompok tidak ada yang sesuai dengan teori tersebut. Hasil yang diperoleh pada N24 justru pH meningkat dan mulai menurun lagi pada N48. Caturryanti et al. (2008) menambahkan bahwa nilai pH pada akhir fermentasi berkaitan dengan jumlah produksi asam asetat. Semakin besar produksi asam asetat yang dihasilkan maka semakin menurun nilai pHnya. Gula sebagai nutrisi yeast akan diubah menjadi etanol yang digunakan sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan sel. Ketidaksesuaian antara hasil yang diperoleh dengan teori yang ada dapat disebabkan karena tidak dilakukannya fermentasi tahap kedua yang melibatkan Acetobacter aceti. Sehingga hanya berlangsung produksi alkohol oleh Saccharomyces cereviceae dan belum berlangsungnya produksi asam asetat.

2.2.4.Hubungan Jumlah Sel dengan ODBerdasarkan penjelasan sebelumnya, nilai OD menunjukkan tingkat kekeruhan suatu larutan. Menurut Laily et al. (2004), kekeruhan pada cider apel menunjukkan pertumbuhan yeast. Tingkat jumlah sel berbanding lurus dengan nilai OD dimana semakin banyak jumlah sel mikroorganisme maka semakin keruh larutan tersebut sehingga semakin tinggi nilai OD yang dihasilkan. Nilai OD meningkat pada fase log atau eksponensial dikarenakan jumlah sel yang meningkat oleh adanya penggandaan jumlah sel. Pada fase stasioner nilai OD akan stabil dan menurun pada fase kematian. Menurut Mahreni & Sri (2011), fase pertumbuhan sel dibagi menjadi 4 yaitu fase lag (pertumbuhan awal), fase log dimana pertumbuhan mikroorganisme akan sangat cepat sehingga jumlah mikroorganisme akan meningkat dan meningkatkan nilai OD, fase yang ketiga adalah fase stationer dimana pertumbuhannya akan melambat sehingga nilai OD yang diperoleh juga menurun, dan yang terakhir adalah fase kematian.

Berdasarkan teori tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai OD akan menurun pada N96. Hal ini dijumpai pada hasil pengamatan dimana pada semua kelompok nilai OD yang diperoleh pada N96 menurun. Sebagian besar sudah sesuai dengan teori yang ada, namun ada beberapa kelompok yang kurang sesuai dengan teori. Menurut Pomeranz & Meloan (1994), ketidaksesuaian ini dapat disebabkan karena kesalahan dalam penggunaan spektrofotometer seperti kuvet yang digunakan tergores atau kotor, ukuran kuvet yang digunakan tidak sama, penempatan kuvet yang tidak tepat, terdapat gelembung dalam larutan, dan penggunaan panjang gelombang yang tidak sesuai. Faktor lainnya seperti ketidaksamaan dalam mengambil sampel juga dapat menimbulkan hasil yang berbeda-beda tiap kelompok.

2.2.5.Hubungan Jumlah Sel dengan Total AsamBerdasarkan teori yang diungkapkan oleh Susanto & Bagus (2011) bahwa nilai pH akan semakin menurun seiring dengan semakin lamanya waktu fermentasi. Hal ini terjadi karena asam asetat yang terbentuk melalui konversi etanol oleh bakteri Acetobacter aceti (Kwartiningsih & Nuning, 2005). Dengan demikian dapat diketahui bahwa total asam tidak dipengaruhi jumlah sel yang dihasilkan namun dipengaruhi oleh waktu inkubasi dan adanya fermentasi tahap kedua. Hardiningsih et al. (2006) mengatakan bahwa apabila nilai pH menurun maka total asam akan meningkat. Namun pada hasil yang diperoleh kurang sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Hardiningsih et al. (2006). Total asam tidak mengalami kenaikan walaupun pHnya menurun. Justru pH yang diperoleh semakin meningkat karena produksi alkohol oleh yeast yang mana diketahui bahwa alkohol merupakan basa. Oleh karena itu pHnya semakin meningkat. Pengukuran total asam yang kurang sesuai dari teori ini dapat disebabkan karena kesalahan praktikan dalam menentukan titik akhir titrasi (TAT) karena keterbatasan indera penglihatan seseorang.

3. KESIMPULAN

Pengukuran total asam dilakukan dengan metode titrasi. Indikator yang digunakan adalah indikator PP dan titran yang digunakan adalah NaOH. Pengukuran Optical Density (OD) menggunakan spektrofotometer. Panjang gelombang yang digunakan adalah 660 nm. Prinsip pengukuran spektrofotometer adalah mengukur intensitas cahaya yang diteruskan melewati suatu medium (cairan atau suspensi) dalam cuvet. Pengukuran jumlah mikroba menggunakan haemocytometer. Cara pengukuran jumlah mikroba menggunakan haemocytometer dilakukan dengan cara meneteskan sampel pada plat yang terdapat pada haemocytometer dan kemudian ditutup dengan kaca preparat kemudian jumlah sel dalam 4 kotak besar dihitung. Pengukuran pH menggunakan pH meter. Prinsip dari pH meter yaitu menggunakan probe yang dicelupkan ke dalam sampel yang terhubung dengan meteran elektronik yang akan mengukur dan kemudian menampilkan angka dimana angka tersebut adalah pH dari sampel yang diuji. Jumlah sel yeast akan meningkat seiring dengan lamanya waktu fermentasi hingga mencapai waktu tertentu dan akan mengalami penurunan ketika memasuki fase kematian. Semakin banyak jumlah sel maka semakin keruh kenampakan suspensi, semakin keruh suspensi maka semakin tinggi nilai OD. Hubungan antara jumlah sel mikroorganisme dengan waktu yaitu laju pertumbuhan spesifik mikroorganisme akan semakin menurun ketika waktu fermentasi semakin panjang. Nilai pH akan semakin menurun seiring semakin lamanya waktu fermentasi. Semakin besar produksi asam asetat yang dihasilkan maka semakin menurun nilai pH. Jumlah sel berbanding lurus dengan nilai OD dimana semakin banyak jumlah sel mikroorganisme maka semakin keruh larutan tersebut sehingga semakin tinggi nilai OD yang dihasilkan. Total asam tidak dipengaruhi jumlah sel yang dihasilkan namun dipengaruhi oleh waktu inkubasi dan adanya fermentasi tahap kedua. Kesalahan dalam penggunaan spektrofotometer seperti kuvet yang digunakan tergores atau kotor, ukuran kuvet yang digunakan tidak sama, penempatan kuvet yang tidak tepat, terdapat gelembung dalam larutan, dan penggunaan panjang gelombang yang tidak sesuai.

Semarang, 29 Juni 2015Praktikan,Asisten Dosen,- Bernardus Daniel- Metta Meliani- Chaterine Meilani

Ferra Aprilia K.12.70.0009

4. DAFTAR PUSTAKA

Bailey, J. E. & Ollis, D. F. (1987). Biochemical Enginering Fundamentals. Mc Graw-Hill Kogakusha Ltd, Tokyo.

Caturryanti, D., Luwihana, S. & Sri T. (2008). Pengaruh Varietas Apel dan Campuran Bakteri Asam Asetat Terhadap Proses Fermentasi Cider. Agritech, Vol. 28.

Chang, R. (1991). Chemistry. MC Graw Hill. USA.

Chen, Y. W. & Pei, J. C. 2011. Automatic Cell Counting for Hemocytometers through Image Processing. World Academy of Science, Engineering and Technology.

Clark, J. (2007). Hukum Beer-Lambert. http://www.chem-is-try.org/materikimia/in strumen_analisis/spektrum_serapan_ultraviolet-tampak__uv vis_/hukum_beer_lambert/. Diakses tanggal 4 Juli 2013.

Dwijoseputro, D. (1994). Dasar-dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.

Elevri, P. A. & Surya R. P. (2006). Produksi Etanol Menggunakan Saccharomyces cerevisiae yang Diamobilisasi dengan Agar Batang. Akta Kimia Indonesia 1(2) : 105-114.

Fardiaz, S. (1992). Mikroorganisme Pangan 1. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Fellows, P. (1990). Food Processing Technology Principles and Practice. Ellis Hawood. New York.

Fox, P. F. (1991). Food Enzymologi Vol 1. Elsevier Applied Sciences. London.

Gaman, P. M. & K. B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Hadiwiyoto, S. (1983). Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Penerbit Liberty. Yogyakarta.

Hidayat, N., Masdiana C. Padaga & Sri Suhartini. (2006). Mikrobiologi Industri. Yogyakarta : ANDI.

Ikhsan, M. B. (1997). Pengaruh Media Starter dan Cara Penambahan Gula Terhadap Kualitas Anggur Pisang Klutuk. Stiper Farming. Semarang.

Jomdecha, C. & Prateepasen, A. (2006). The Research of Low-Ultrasonic Energy Affects to Yeast Growth in Fermentation Process. Asia-Pacific Conference on NDT, 5th 10th Nov 2006, Auckland, New Zealand.

Juwilda. (2000). Pendidikan Biologi. Literatur. Trustees of Dartmouth College.

Hadioetomo, R. S. (1993). Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek. PT Gramedia Pustaka. Jakarta.

Hardiningsih, R; Rostiati N. R. N. & Titin Y. (2006). Isolasi dan Uji Resistensi Beberapa Isolat Lactobacillus Pada pH Rendah. Biodiversitas 7(1) : 15-17.

Kwartiningsih, E. & Ln. Nuning S.M. (2005). Fermentasi Sari Buah Nanas Menjadi Vinegar. Ekuilibrium 4(1) : 8-12.

Laily, N., Atariansah, D. Nuraini, S. Istini, I. Susanti & L. Hartono. (2004). Kinetika Fermentasi Produksi Selulosa Bakteri oleh Acetobacter pasterianum pada Kultur Kocok.

Mahreni & Sri S. (2011). Kinetika Pertumbuhan Sel Sacharomyces cerevisiae dalam Media Tepung Kulit Pisang. Seminar Rekayasa Kimia dan Proses. ISSN:1411-4216.

Petrucci, R. H. & Suminar. (1987). Kimia Dasar Jilid 2. Jakarta:Erlangga.

Pomeranz, Y. & C.E. Meloan. (1987). Food Analysis: Theory and Practise. Von Nostrand Reinhold Company. New York.

Rahman, A. (1992). Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan. Jakarta.

Ranganna. (1978). Analysis of Fruit and Vegetable Product. The AVI Publ. Co. Inc.

Said, E. G. (1987). Bioindustri: Penerapan Teknologi Fermentasi. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta.

Sastrohamidjojo. (1991). Spektroskopi Edisi Kedua. Liberty. Yogyakarta.Sevda, S. B. & Rodrigues L. (2011). Fermentative Behavior of Saccharomyces Strains During Guava (Psidium Guajava L) Must Fermentation and Optimization of Guava Wine Production. Journal Food Processing and Technology 2(4) : 1-9.

Stanburry, P. F. & Whittaker. (1984). Principles of Fermentation Technology. Pergamon Press. New York.

Susanto, W. H. & Bagus R. S. (2011). Pengaruh Varietas Apel (Malus sylvestris) dan Lama Fermentasi Oleh Khamir Saccharomyces cerevisiae Sebagai Perlakuan Pra-pengolahan Terhadap Karakteristik Sirup. Jurnal Teknologi Pertanian 2(3):135-142.

Wilford, L. (1987). Chemistry For First Examinations. Blackie. London.

Sudarmadji S. & B.H. Suhardi.(2000). Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta.

Thontowi, A; Kusmiati; Sukma N. (2007). Produksi Glukan Saccharomyces cerevisiae dalam Media dengan Sumber Nitrogen Berbeda pada Air-Lift Fermentor. Biodiversitas 8(4) : 253-256.

Triwahyuni, E.; N. Ariani; H. Hendarsyah; T. Idiyanti. (2012). The Effect Of Dry Yeast Saccharomyces cereviceae Concentration On Fermentation Process For Bioethanol Production From Palm Oil Empty Fruit Bunches. Proceeding ofICSEEA 31 34.

Winarno, F. G. ; S. Fardiaz & D. Fardiaz. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarno, F.G. (1994). Sterilisasi komersial produk pangan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan5.1.1.Perhitungan Total AsamRumus :Total asam = =...mg/ml

Kelompok B1Total asam N0= = 16,32 mg/ml

Total asam N24= = 15,36 mg/ml

Total asam N48= = 15,36 mg/ml

Total asam N72= = 13,44 mg/ml

Total asam N96= = 13,44 mg/ml

Kelompok B2Total asam N0= = 16,32 mg/ml

Total asam N24= = 16,32 mg/ml

Total asam N48= = 16,32 mg/ml

Total asam N72= = 14,40 mg/ml

Total asam N96= = 13,44 mg/ml

Kelompok B3Total asam N0= = 16,32 mg/ml

Total asam N24= = 16,32 mg/ml

Total asam N48= = 15,36 mg/ml

Total asam N72= = 14,01 mg/ml

Total asam N96= = 13,44 mg/ml

Kelompok B4Total asam N0= = 16,32 mg/ml

Total asam N24= = 16,32 mg/ml

Total asam N48= = 16,32 mg/ml

Total asam N72= = 14,40 mg/ml

Total asam N96= = 14,40 mg/ml

Kelompok B5Total asam N0= = 16,32 mg/ml

Total asam N24= = 15,36 mg/ml

Total asam N48= = 15,36 mg/mlTotal asam N72= = 13,44 mg/ml

Total asam N96= = 13,44 mg/ml

5.1.2.Perhitungan jumlah sel/ccRumus : Jumlah sel/cc = x rata-rata jumlah MO tiap petakVolume petak= 0,05 mm x 0,05 mm x 0,1 mm= 0,00025 mm3= 2,5 x 10-7

Kelompok B1Jumlah sel/cc N0= x 6,75 = 2,7 x 107

Jumlah sel/cc N24= x 46 = 18,4 x 107

Jumlah sel/cc N48= x 45,25 = 18,1 x 107

Jumlah sel/cc N72= x 94,75 = 37,9 x 107

Jumlah sel/cc N96= x 24,75 = 9,9 x 107

Kelompok B2Jumlah sel/cc N0= x 15,25 = 6,1 x 107

Jumlah sel/cc N24= x 35,75 = 14,3 x 107

Jumlah sel/cc N48= x 44,50 = 17,8 x 107

Jumlah sel/cc N72= x 53,25 = 21,3 x 107

Jumlah sel/cc N96= x 23,00 = 9,2 x 107

Kelompok B3Jumlah sel/cc N0= x 3,75 = 1,5 x 107

Jumlah sel/cc N24= x 58,5 = 23,4 x 107

Jumlah sel/cc N48= x 38,25 = 15,3 x 107

Jumlah sel/cc N72= x 91,00 = 36,4 x 107

Jumlah sel/cc N96= x 31,25 = 12,5 x 107

Kelompok B4Jumlah sel/cc N0= x 8 = 3,2 x 10-7

Jumlah sel/cc N24= x 56,25 = 22,5 x 10-7

Jumlah sel/cc N48= x 29,5 = 11,8 x 10-7

Jumlah sel/cc N72= x 65,75 = 26,3 x 10-7

Jumlah sel/cc N96= x 5,75 = 2,3 x 10-7

Kelompok B5Jumlah sel/cc N0= x 11,5 = 4,6 x 107

Jumlah sel/cc N24= x 47,75 = 19,1 x 107

Jumlah sel/cc N48= x 57,75 = 23,1 x 107

Jumlah sel/cc N72= x 68,50 = 27,4 x 107

Jumlah sel/cc N96 = x 75,00 = 30,0 x 107

5.2. Laporan Sementara

5.3. Jurnal