laporan kinetika

34
LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA FISIKA PERCOBAAN IX PENENTUAN PERSAMAAN LAJU (KINETIKA KIMIA) NAMA : SYADZA FIRDAUSIAH NIM : H 311 08 276 KELOMPOK : VII (TUJUH) HARI/TANGGAL PERC. : SENIN/1 MARET 2010 ASISTEN : TIUR MAULI

Upload: syadza-firdausiah

Post on 23-Jun-2015

1.845 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN Kinetika

LAPORAN PRAKTIKUMKIMIA FISIKA

PERCOBAAN IX

PENENTUAN PERSAMAAN LAJU

(KINETIKA KIMIA)

NAMA : SYADZA FIRDAUSIAH

NIM : H 311 08 276

KELOMPOK : VII (TUJUH)

HARI/TANGGAL PERC. : SENIN/1 MARET 2010

ASISTEN : TIUR MAULI

LABORATORIUM KIMIA FISIKAJURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGEAHUAN ALAMUNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR2010

Page 2: LAPORAN Kinetika

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bagi banyak ahli falsafah Yunani, tidak mungkin memiliki suatu pengetahuan

tentang sesuatu yang dalam proses menjadi sesuatu yang lain. Dimana perubahan yang

terjadi tidaklah tampak nyata. Perubahan yang terjadi ini yang disebut sebagai suatu

reaksi kimia, dan kemudian dipelajari oleh banyak ahli kimia di dunia.

Reaksi kimia ditentukan oleh tinjauan termodinamika dan kinetika.

Termodinamika memberi informasi kearah mana reaksi atau perubahan kimia secara

spontan dapat berlangsung. Sedangkan kinetika membahas permasalahan laju reaksi

dan mekanisme reaksi. Laju reaksi adalah perubahan jumlah pereaksi dan hasil reaksi

per satuan waktu. Karena reaksi berlangsung kearah pembentukan hasil, maka laju

reaksi tak lain dari pengurangan jumlah pereaksi per satuan waktu, atau pertambahan

jumlah hasil reaksi persatuan waktu.

Salah satu faktor pada persamaan laju reaksi itu kecuali suhu, keadaan zat,

katalisator, dan kepekatan pereaksi adalah tingkat reaksi atau orde reaksi. Tingkat

reaksi ini ditentukan dari hasil percobaan yang menyatakan hubungan antara laju

reaksi dengan kepekatan pereaksi tersebut masing-masing. Metode yang umum

digunakan adalah melakukan pengubahan konsentrasi awal pereaksi, dimana pada

pelacakan tingkat reaksi suatu pereaksi, maka pereaksi-pereaksi yang lain dibuat

konstan.

Untuk mengamati kesesuaian antara teori dengan aplikasi hasil percobaan

dilaboratorium, serta menjadikan teori yang dimaksud lebih aplikatif dan mudah

Page 3: LAPORAN Kinetika

dipahami, dilakukanlah percobaan penentuan hukum laju reaksi dari ionisasi aseton

dalam air yang terkatalisis oleh suatu asam.

1.2 Maksud dan Tujuan Percobaan

1.2.1 Maksud Percobaan

Untuk mengetahui dan mempelajari metode penentuan hukum laju reaksi

dengan metode kinetika kimia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.2.2 Tujuan Percobaan

Menentukan hukum laju reaksi iodinasi aseton dalam larutan air yang

terkatalisis oleh asam.

1.3 Prinsip Percobaan

Penitaran larutan iod dalam larutan asam dengan Na2S2O3 dan indikator amilum

hingga larutan berubah warna dari biru menjadi tidak berwarna, dengan pengambilan

cuplikan dalam selang waktu tertentu sehingga dapat ditentukan berapa jumlah iod

yang tidak terikat oleh aseton yang akan bereaksi dengan Na2S2O3 kemudian

menentukan konsentrasi zat penyusun cuplikan berdasarkan volume Na2S2O3 yang

digunakan untuk menentukan konstanta kecepatan reaksi dengan orde reaksi.

1.4 Manfaat Percobaan

Penentuan persamaan laju reaksi iodinasi bermanfaat untuk mengetahui sifat

dari reaksi tersebut, dan hal-hal yang mempengaruhi kecepatan suatu reaksi, sehingga

dapat meramalkan dan menentukan kondisi reaksi yang tepat untuk suatu reaksi.

Dengan demikian, kita dapat mengendalikan suatu reaksi, baik menghambat maupun

mempercepatnya, dengan mengatur kondisinya dan jumlah pereaksinya.

BAB II

Page 4: LAPORAN Kinetika

TINJAUAN PUSTAKA

The rate of a reaction is defined as the change in concentration of any of its

reactants or products per unit time. There are 5 factors that affect the rate of a reaction

(Goldberg, 2005):

1. The nature of the reactants. Carbon tetrachloride (CCl4) does not burn in oxygen,

but methane (CH4) burns very well indeed. In fact, CCl4 used to be used in fire

extinguishers, while CH4 is the major component of natural gas. This factor is least

controllable by the chemist, and so is of least interest here.

2. Temperature. In general, the higher the temperature of a system, the faster the

chemical reaction will proceed. A rough rule of thumb is that a 10 ◦C rise in

temperature will approximately double the rate of a reaction.

3. The presence of a catalyst. A catalyst is a substance that can accelerate (or slow

down) a chemical reaction without undergoing a permanent change in its own

composition. For example, the decomposition of KClO3 by heat is accelerated by

the presence of a small quantity of MnO2. After the reaction, the KClO3 has been

changed to KCl and O2, but the MnO2 is still MnO2.

4. The concentration of the reactants. In general, the higher the concentration of the

reactants, the faster the reaction.

5. The pressure of gaseous reactants. In general, the higher the pressure of gaseous

reactants, the faster the reaction. This factor is merely a corollary of factor 4, since

the higher pressure is in effect a higher concentration

Page 5: LAPORAN Kinetika

Laju reaksi didefinisikan sebagai perubahan konsentrasi suatu reaktan atau

produk tiap satuan waktu. Terdapat 5 faktor yang mempengaruhi laju reaksi

(Goldberg, 2005):

1. Sifat dasar reaktan. Karbon tetraklorida (CCl4) tidak terbakar dalam oksigen, tapi

metana (CH4) terbakar dengan baik. Faktanya, CCl4 digunakan dalam alat pemadam

api, sementara CH4 adalah komponen utama dari gas alam. Faktor ini paling tidak

dapat dikontrol oleh ahli kimia, sehingga mendapat perhatian.

2. Temperatur. Umumnya, semakin tinggi temperatur sistem, semakin cepat reaksi

kimia berlangsung. Rumus dasar untuk hal ini ialah bahwa tiap kenaikan suhu 10oC

akan menaikkan dua kali lipat kecepatan reaksi.

3. Penambahan katalis. Katalis adalah suatu zat yang dapat mempercepat (atau

memperlambat) suatu reaksi kimia tanpa mengalami perubahan permanen pada

komposisinya. Contohnya, dekomposisi KClO3 dengan panas yang dipercepat oleh

penambahan sejumlah MnO2. Setelah reaksi, KClO3 telah diubah menjadi KCl dan

O2, tapi MnO2 tetap dalam bentuk MnO2.

4. Konsentrasi reeaktan. Umumnya, semakin tinggi konsentrasi reaktan, semakin cepat

reaksinya.

5. Tekanan reaktan gas. Umumnya, semakin tinggi tekanan reaktan gas, reaksi akan

semakin cepat. Faktor ini sebagai akibat dari faktor 4, sebab semakin tinggi

tekanan, maka konsentrasinya akan semakin tinggi.

Untuk beberapa reaksi, laju reaksi dapat dinyatakan dengan persamaan

matematik yang dikenal sebagai hukum laju atau persamaan laju. Perhatikan reaksi

hipotetik,

aA + bB + … → gG + hH + …

di mana a, b, … merupakan koefisien reaksi. Laju reaksi dapat dinyatakan sebagai laju

Page 6: LAPORAN Kinetika

= k[A]m[B]n..

Dalam rumusan tersebut, lambang [A], [B] merupakan konsentrasi molar. Pangkat m,

n,… merupakan angka-angka bulat yang kecil, walaupun dalam beberapa kasus dapat

berupa pecahan ataupun negatif. Penting untuk diingat bahwa tidak ada hubungan

antara pangkat m, n… dengan koefisien reaksi a, b,…. Bila dalam beberapa kasus

keduanya identik (m = a, atau n = b), hal itu hanya suatu kebetulan, dan tidak dapat

diharapkan. Pangkat-pangkat dalam persamaan laju dinamakan orde reaksi. Total

jumlah pangkat m + n + … merupakan orde reaksi total. Faktor k disebut tetapan laju.

Faktor tersebut merupakan sifat khas dari suatu reaksi, dan hanya tergantung pada

suhu. Laju reaksi biasa dinyatakan dalam satuan mol per liter per satuan waktu,

misalnya, mol L-1 det-1 atau mol L-1 men-1. Satuan k tergantung dari orde reaksi

(Petrucci, 1999).

Consider a general reaction,

We describe the rate of the reaction in terms of the rate of disappearance of one of the

reactants or the rate of appearance of the product,

The stoichiometry of the reaction tells us that in time interval ∆t, ∆[B] = 3 ∆[A], ∆[C]

= - 2 ∆[A]; furthermore, ∆[A] and ∆[B] are negative, ∆[C] is positive. Thus we must

include an appropriate sign and stoichiometric coefficient in expressing the rate of the

reaction:

Page 7: LAPORAN Kinetika

It is most common to express rates in terms of molar concentrations of species, even

for gas-phase reactions. The usual units of a reaction rate are mol L -1s-1 (Rosernberg,

2000).

Suatu reaksi umum,

A + 3B → 2C

Kita menjelaskan kecepatan reaksi ini sebagai kecepatan berkurangnya reaktan atau

bertambahnya produk.

Stoikiometri dari reaksi menginformasikan bahwa interval ∆t, ∆[B] = 3 ∆[A], ∆[C] = -

2 ∆[A]; Dimana, ∆[A] dan ∆[B] bernilai negatif, ∆[C] positif. Dengan demikian, kita

harus memasukkan tanda yang tepat dan koefisien stoikiometri dalam pengungkapan

kecepatan reaksi :

Laju : −∆ ¿¿

Ini adalah pengungkapan yang kebanyakan digunakan pada konsentrasi molar suatu

spesies, pun untuk reaksi fase gas. Satuan laju reaksi ialah mol L -1 s-1 (Rosernberg,

2000).

Tahap penentu laju ialah tahap paling lambat dalam reaksi kimia yang

melibatkan sejumlah langkah. Dalam reaksi seperti ini, sering kali ada satu tahap yang

sangat lambat dibandingkan tahap lainnya, sehingga laju tahap lambat ini menentukan

laju reaksi keseluruhan (Dainthith, 1994).

Merubah konsentrasi dari suatu zat di dalam suatu reaksi biasanya merubah

juga laju reaksi. Persamaan laju menggambarkan perubahaan ini secara matematis.

Ada beberapa cara untuk mengukur laju dari suatu reaksi. Sebagai contoh, jika gas

dilepaskan dalam suatu reaksi, kita dapat mengukurnya dengan menghitung volume

Page 8: LAPORAN Kinetika

gas yang dilepaskan per menit pada waktu tertentu selama reaksi berlangsung.

Bagaimanapun, untuk lebih formal dan matematis dalam menentukan laju suatu reaksi,

laju biasanya diukur dengan melihat berapa cepat konsentrasi suatu reaktan berkurang

pada waktu tertentu. Sebagai contoh, andaikan kita memiliki suatu reaksi antara dua

senyawa A dan B. Misalkan setidaknya salah satu mereka merupakan zat yang bisa

diukur konsentrasinya-misalnya, larutan atau dalam bentuk gas.

Untuk reaksi ini kita dapat mengukur laju reaksi dengan menyelidiki berapa cepat

konsentrasi, katakan A, berkurang per detik. Kita mendapatkan, sebagai contoh, pada

awal reaksi, konsentrasi berkurang dengan laju 0.0040 mol dm-3 s-1. Hal ini berarti tiap

detik konsentrasi A berkurang 0.0040 mol per desimeter kubik. Laju ini akan

meningkat seiring reaksi dari A berlangsung (Clark, 2004).

Reaksi antara aseton dan iod dalam larutan air :

CH3-CO-CH3 + I2 → CH3-CO-CH2I

Berjalan lambat tanpa katalis. Dalam suasana asam reaksi ini berlangsung dengan

cepat dan hukum laju reaksinya dapat dinyatakan sebagai :

−d[ I2 ¿¿dt

=¿k[aseton]a[I2]b[H+]c

Dengan menggunakan aseton dan assam dalam jumlah berlebih, persamaan di atas

dapat diubah menjadi :

−d[ I2 ¿¿dt

=¿k’[I2]b

Dengan k’ = k[aseton]a[H+]c

Reaksi ini dapat dimonitor dengan cara menentukan konsentrasi I2 sebagai fungsi

terhadap waktu. Dari data ini ditentukan nilai b, yaitu orde reaksi terhadap iod. Orde

Page 9: LAPORAN Kinetika

reaksi terhadap aseton dan asam dapat ditentukan dengan cara mengubah konsentrasi

awal kedua zat tersebut (Taba dkk., 2010).

BAB III

METODE PERCOBAAN

3.1 Bahan

Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah aseton p.a., larutan iod 0,1

M, larutan Na2S2O3 0,01 M, larutan asam sulfat 1 M, larutan CH3COONa 10%, larutan

amilum 1%, akuades, tissue roll, aluminium foil.

3.2 Alat

Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah labu erlenmeyer 300 ml, labu

erlenmeyer 100 ml, pipet volume 5 ml, pipet volume 10 ml, pipet volume 25 ml, gelas

piala 200 ml, labu ukur 250 ml, stopwatch, botol semprot, magnetik stirrer, dan barr,

kertas saring, batang pengaduk, bulb, pipet tetes, statif, klem, buret 50 ml..

3.3 Prosedur Kerja

A. Dimasukkan 25 ml aseton dan 10 ml H2SO4 1 M ke dalam labu ukur 250 ml dan

diencerkan hingga tanda batas. Larutan ini dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer

300 ml bertutup dan diaduk dengan magnetik stirrer. Dipipet 25 ml larutan iod ke

dalam larutan tersebut, sementara stopwatch dijalankan. Segera setelah reaksi,

diambil 25 ml larutan, dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 100 ml yang

berisi 10 ml CH3COONa dan 1 ml amilum, kemudian dititrasi dengan larutan

Na2S2O3 0,01 M hingga titik akhir (tidak berwarna). Cuplikan berikutnya diambil

dalam selang waktu 4 menit sebanyak lima kali.

Page 10: LAPORAN Kinetika

B. Diulangi percobaan A dengan diambil 10 ml aseton. Cuplikan-cuplikan diambil

setiap 10 menit sebanyak 6 kali.

C. Diulangi percobaan A dengan diambil 5 ml H2SO4. Cuplikan-cuplikan diambil

setiap 10 menit sebanyak 5 kali.

Page 11: LAPORAN Kinetika

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

Percobaan Titrasi Waktu (s)Volume Na2S2O3 0,01

M (ml)A 1

2345

0240480720960

10,69,89,08,057,45

B 1234567

060012001800240030003600

11,010,58,88,06,96,65,0

C 12345

0600120018002400

11,110,7

97,76,4

Ket : A : 25 ml aseton, 10 ml H2SO4 diambil setiap 4 menit

B : 10 ml aseton, 10 ml H2SO4 diambil setiap 10 menit

C : 25 ml aseton, 5 ml H2SO4 diambil setiap 10 menit

4.2 Reaksi

1. Reaksi Iodinasi aseton

CH3-CO-CH3 + H+ → CH3-C(OH)-CH3 + H2O

CH3-C(OH)-CH3 → CH3-C(OH)=CH2 + H+

CH3-C(OH)=CH2 + I2 → CH3-C(OH)(I)-CH2I

CH3-C(OH)(I)-CH2I → CH3-CO-CH2I + HI

2. Reaksi iodometri

Page 12: LAPORAN Kinetika

2Na2S2O3 + I2 → Na2S4O6 + 2NaI

4.3 Perhitungan

4.3.1 Perhitungan mmol I2

mmol I2 2 mmol Na2S2O3

mmol Na2S2O3 = volume Na2S2O3 x M Na2S2O3

mmol I2 = ½ mmol Na2S2O3

1. Percobaan A

1) mmol Na2S2O3 = ½ x 10,6 ml x 0,01 M = 0,0530 mmol

2) mmol Na2S2O3 = ½ x 9,8 ml x 0,01 M = 0,0490 mmol

3) mmol Na2S2O3 = ½ x 9,0 ml x 0,01 M = 0,0450 mmol

4) mmol Na2S2O3 = ½ x 8,05 ml x 0,01 M = 0,0403 mmol

5) mmol Na2S2O3 = ½ x 7,45 ml x 0,01 M = 0,0373 mmol

2. Percobaan B

1) mmol Na2S2O3 = ½ x 11 ml x 0,01 M = 0,0550 mmol

2) mmol Na2S2O3 = ½ x 10,5 ml x 0,01 M = 0,0525 mmol

3) mmol Na2S2O3 = ½ x 8,8 ml x 0,01 M = 0,0440 mmol

4) mmol Na2S2O3 = ½ x 8,0 ml x 0,01 M = 0,0400 mmol

5) mmol Na2S2O3 = ½ x 6,9 ml x 0,01 M = 0,0345 mmol

6) mmol Na2S2O3 = ½ x 6,6 ml x 0,01 M = 0,0330 mmol

7) mmol Na2S2O3 = ½ x 5,0 ml x 0,01 M = 0,0250 mmol

3. Percobaan C

1) mmol Na2S2O3 = ½ x 11,1 ml x 0,01 M = 0,0555 mmol

2) mmol Na2S2O3 = ½ x 10,7 ml x 0,01 M = 0,0535 mmol

3) mmol Na2S2O3 = ½ x 9,0 ml x 0,01 M = 0,0450 mmol

Page 13: LAPORAN Kinetika

4) mmol Na2S2O3 = ½ x 7,7 ml x 0,01 M = 0,0385 mmol

5) mmol Na2S2O3 = ½ x 6,4 ml x 0,01 M = 0,0320 mmol

4.3.2 Perhitungan konsentrasi I2

[I2] = mmol I2

V total

Volume total = V CH3COONa + V amilum + V cuplikan + V Na2S2O3

= 10 ml + 1 ml + 25 ml + V Na2S2O3

= 36 ml + V Na2S2O3

1. Percobaan A

1) [I2]1 = mmol I2

V total =

0,0530(36+10,6 )

=1,1373 . 10−3

2) [I2]2 = mmol I2

V total =

0,0490(36+9,8 )

=1,0699 . 10−3

3) [I2]3 = mmol I2

V total =

0,0450(36+9,0 )

=1 .10−3

4) [I2]4 = mmol I2

V total =

0,0403(36+8,05 )

=9,1487 .10−4

5) [I2]5 = mmol I2

V total =

0,0373(36+7,45 )

=8,5846 . 10−4

2. Percobaan B

1) [I2]1 = mmol I2

V total =

0,0550(36+11,0 )

=1,1702. 10−3

2) [I2]2 = mmol I2

V total =

0,0525(36+10,5 )

=1,1290 . 10−3

3) [I2]3 = mmol I2

V total =

0,0440(36+8,8 )

=9,8214 .10−4

4) [I2]4 = mmol I2

V total =

0,0400(36+8,0 )

=9,0909. 10−4

Page 14: LAPORAN Kinetika

5) [I2]5 = mmol I2

V total =

0,0345(36+6,9 )

=8,0419 . 10−4

6) [I2]6 = mmol I2

V total =

0,0330(36+6,6 )

=7,7465 . 10−4

7) [I2]7 = mmol I2

V total =

0,0250(36+5,0 )

=6,0976 . 10−4

3. Percobaan C

1) [I2]1 = mmol I2

V total =

0,0555(36+11,1)

=1,1783 . 10−3

2) [I2]2 = mmol I2

V total =

0,0535(36+10,7 )

=1,1456 . 10−3

3) [I2]3 = mmol I2

V total =

0,0450(36+9,0 )

=1 .10−3

4) [I2]4 = mmol I2

V total =

0,0385(36+7,7 )

=8,8101 . 10−4

5) [I2]5 = mmol I2

V total =

0,0320(36+6,4 )

=7,5472. 10−4

4.3.3 Kecepatan Reaksi

v ¿−d [I2]

dt

1. Percobaan A

1) v1 = −[I2]2−[I2]1

t 2−t1

=−1,0699. 10−3−1,1373.10−3

240−0=¿ 2,8083.10-7 M/s

2) v2 = −[I2]3−[I2]1

t 3−t 1

=−1.10−3−1,1373.10−3

480−0=¿ 2,8604.10-7 M/s

3) v3 = −[I2]4−[I2]1

t 4−t 1

=−9,1487. 10−4−1,1373. 10−3

720−0=¿ 3,0893.10-7 M/s

4) v4 = −[I2]5−[I2]1

t 5−t 1

=−8,5846.10−4−1,1373. 10−3

960−0=¿ 2,9046.10-7 M/s

Page 15: LAPORAN Kinetika

2. Percobaan B

1) v1 = −[I2]2−[I2]1

t 2−t1

=−1,1290. 10−3−1,1702.10−3

600−0=¿ 6,8667.10-8 M/s

2) v2 = −[I2]3−[I2]1

t 3−t 1

=−9,8214.10−4−1,1702. 10−3

1200−0=¿ 1,5672.10-7 M/s

3) v3 = −[I2]4−[I2]1

t 4−t 1

=−9,0909. 10−4−1,1702. 10−3

1800−0=¿ 1,4506.10-7 M/s

4) v4 = −[I2]5−[I2]1

t 5−t 1

=−8,0419.10−4−1,1702. 10−3

2400−0=¿ 1,5250.10-7 M/s

5) v5 = −[I2]6−[I2]1

t 6−t 1

=−7,7465. 10−4−1,1702. 10−3

3000−0=¿ 1,3185.10-7 M/s

6) v6 = −[I2]7−[I2]1

t 7−t 1

=−6,0976.10−4−1,1702. 10−3

3600−0=¿ 1,5568.10-7 M/s

3. Percobaan C

1) v1 = −[I2]2−[I2]1

t 2−t1

=−1,1456. 10−3−1,1783.10−3

600−0=¿ 5,45.10-8 M/s

2) v2 = −[I2]3−[I2]1

t 3−t 1

=−1.10−3−1,1783.10−3

1200−0=¿ 1,4858.10-7 M/s

3) v3 = −[I2]4−[I2]1

t 4−t 1

=−8,8101. 10−4−1,1783.10−3

1800−0=¿ 1,6516.10-7 M/s

4) v4 = −[I2]5−[I2]1

t 5−t 1

=−7,5472. 10−4−1,1783. 10−3

2400−0=¿ 1,7649.10-7 M/s

4.3.4 Penentuan Hukum Kecepatan Reaksi

1. Untuk Percobaan A

[I2] Log [I2] V (M/s) Log v Log vreg

1,0699.10-3

1.10-3

-2,9707

-3

2,8083.10-7

2,8604.10-7

-6,5516

-6,5436

-6,5478

-6,5403

Page 16: LAPORAN Kinetika

9,1487.10-4

8,5846.10-4

-3,0386

-3,0663

3,0893.10-7

2,9046.10-7

-6,5101

-6,5369

-6,5304

-6,5233

y = -0,2565x - 7,3098

V = k’[I2]b

Log V = log k’ + b log [I2]

Log k’ = -7,3098

k1’ = 4,9 . 10-8

b = -0,2565

2. Untuk Percobaan B

[I2] Log [I2] V (M/s) Log v Log vreg

1,1290.10-3

9,8214.10-4

9,0909.10-4

8,0419.10-4

-2,9469

-4,9912

-3,0414

-3,0947

6,8667.10-8

1,5672.10-7

1,4506.10-7

1,5250.10-7

-7,1633

-6,8049

-6,8385

-6,8167

-6,9146

-6,7815

-6,9084

-6,9049

Page 17: LAPORAN Kinetika

7,7465.10-4

6,0976.10-4

-3,1107

-3,2147

1,3185.10-7

1,5568.10-7

-6,8799

-6,8078

-6,9039

-6,8971

y = -0,0651x - 7,1064

V = k’[I2]b

Log V = log k’ + b log [I2]

Log k’ = - 7,1064

k2’ = 7,8271.10-8

b = -0,0651

k1'

k2' =k [aseton1 ]a

[H ¿¿+¿1]c

k [ aseton2 ]a[H ¿¿+¿2]c¿¿

¿¿

4,9 .10−8

7,8271.10−8 =( 2510 )

a

0,6260 = (2,5)a

a = -0,5112

Page 18: LAPORAN Kinetika

3. Untuk Percobaan C

[I2] Log [I2] V (M/s) Log v Log vreg

1,1456.10-3

1.10-3

8,8101.10-4

7,5472.10-4

-2,9409

-3

-3,0550

-3,1222

5,45.10-8

1,4858.10-7

1,6516.10-7

1,7649.10-7

-7,2636

-6,8280

-6,7821

-6,7533

-7,1371

-6,9835

-6,8405

-6,6658

y = -2,5995x - 14,782

V = k’[I2]b

Log V = log k’ + b log [I2]

Log k’ = - 14,782

k3’ = 1,6519.10-15

b = -2,5995

k1'

k3' =k [aseton1 ]a

[H ¿¿+¿1]c

k [aseton3 ]a[H ¿¿+¿3]c¿¿

¿¿

4,9 . 10−8

1,6519.10−15=(105 )

c

2,9663.107 = (2)c

c = 24,8222

Page 19: LAPORAN Kinetika

4.4 Pembahasan

Pada percobaan ini, dilakukan reaksi iodinasi aseton dalam larutan air yang

terkatalisis dengan asam. Proses pada percobaan ini dimulai dengan mencampur aseton

dengan larutan asam sulfat dan air. Dalam hal ini asam sulfat bertindak sebagai katalis

yang mempercepat ionisasi aseton dengan memberikan ion H+ ke dalam larutan karena

reaksi antara iod dan aseton dalam air berjalan lambat. Larutan tersebut kemudian

ditambahkan dengan sejumlah iod, serta menjalankan stopwatch. Setelah itu dengan

segera sebagian larutan diambil dan dimasukkan ke dalam larutan yang terdiri dari

campuran natrium asetat dan amilum. Adapun natrium asetat berfungsi untuk

memastikan reaksi berjalan sempurna, sedangkan amilum digunakan sebagai indikator

untuk menunjukkan titik akhir titrasi. Larutan ini berwarna ungu sebab terbentuk

kompleks iod dengan amilum. Selanjutnya larutan dititrasi dengan natrium tiosulfat

untuk mengetahui konsentrasi iod diawal reaksi.

Cuplikan-cuplikan selanjutnya diambil dalam selang waktu 4 menit sejak

pertama kali penambahan iod ke dalam larutan aseton. Konsentrasi iod didalam larutan

sejalan dengan bertambahnya waktu akan terus mengecil, yang ditandai dengan

berkurangnya volume natrium tiosulfat yang digunakan untuk menitrasi cuplikan. Oleh

karenanya hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa selang waktu tersebut memiliki

hubungan berbanding terbalik dengan volume natrium tiosulfat. Sementara larutan

yang terdiri dari campuran aseton dan iod, sejalan dengan bertambahnya waktu akan

mengalami perubahan warna yang semakin bening. Hal ini dikarenakan iod yang

memberikan warna pada larutan diawal, konsentrasinya semakin berkurang sejalan

dengan berlangsungnya proses reaksi dengan aseton.

Dengan mengetahui volume natrium tiosulfat untuk titrasi, maka dapat dihitung

konsentrasi iod dalam larutan melalui persamaan reaksi yang terjadi. Konsentrasi iod

Page 20: LAPORAN Kinetika

yang diperoleh sebagai fungsi terhadap waktu digunakan untuk menentukan hukum

laju reaksi dengan variabel tetapan laju (k) dan orde reaksi yang dapat ditentukan.

Selain menentukan orde reaksi terhadap berkurangnya iod untuk menentukan

hukum laju reaksi, pada percobaan ini juga ditentukan orde reaksi terhadap

berkurangnya aseton dan pengaruh katalis asam terhadap laju reaksi. Hal inilah yang

coba diuraikan pada percobaan B dan C. Dimana pada percobaan B dan C pengerjaan

yang dilakukan hampir sama, namun pada percobaan B volume aseton yang digunakan

lebih kecil dari yang digunakan sebelumnya. Sedangkan untuk percobaan C, karena

pengaruh asam sebagai katalis yang akan diamati, maka volume asam sulfat yang

digunakan dibuat lebih kecil dari sebelumnya. Metode ini dikenal metode laju awal.

Dari hasil grafik yang diperoleh pada percobaan A, B, dan C terlihat bahwa

saat konsentrasi iod besar dalam larutan maka laju reaksi ionisasi aseton juga semakin

besar. Hal ini mengindikasikan untuk mempercepat laju reaksi dapat dilakukan dengan

memperbesar konsentrasi reaktan, dalam hal ini iod dan aseton.

Pada percobaan A diperoleh nilai tetapan laju reaksi (k’) 4,9.10-8 dan b sebagai

kemiringan -0,2565. Percobaan B diperoleh nilai tetapan laju reaksi (k’) 7,8271.10-8

dan a sebesar -0,5112. Pada percobaan C diperoleh nilai tetapan laju reaksi (k’)

1,6519.10-15 dan c sebesar 24,8222. Sehingga, persamaan laju reaksinya dapat

dituliskan sebagai V = k[aseton]-0,5112[I2]-0,2565[H+]24,8222.

Persamaan laju yang diperoleh memiliki kejanggalan, dimana orde reaksi untuk

aseton dan I2 bernilai negatif, yang berarti bersifat menurunkan laju reaksi dengan

penambahan konsentrasi. Hal ini tidak sesuai dengan teori, dimana penambahan

konsentrasi pereaksi seharusnya dapat meningkatkan laju reaksi. Kesalahan ini dapat

disebabkan adanya ketidaktelitian pada percobaan, baik dalam menghitung waktu,

memindahkan cairan, menitrasi, maupun dalam pembacaan skala pada buret.

Page 21: LAPORAN Kinetika

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa hukum

laju reaksi iodinasi aseton dalam air yang terkatalis oleh asam ialah

V = k[aseton]-0,5112[I2]-0,2565[H+]24,8222.

5.2 Saran

Saran pada percobaan ini yaitu sebaiknya pada percobaan berikutnya asisten

lebih proaktif lagi dalam menjelaskan tujuan dan perhitungan dari percobaan ini, agar

praktikan lebih baik dalam memahami percobaan ini.

Page 22: LAPORAN Kinetika

DAFTAR PUSTAKA

Clark, J., 2004, Order Reaksi dan Persamaan Laju Reaksi, (online) (http://www.chem-is-try.org/artikel-kimia/order-reaksi-dan-persamaan-laju-reaksi/) diakses pada tanggal 23 Maret 2010.

Daintith, J., 1994, Kamus Lengkap Kimia, Erlangga, Jakarta.

Goldberg, D. E., 2005, Theory and Problems of Beginning Chemistry 3rd ed., McGraw Hill Inc., New York.

Petrucci, R. H., 1999, Kimia Dasar, Erlangga, Jakarta.

Rosernberg, J. L., 2000, College Chemistry, McGraw Hill Inc., New York.

Taba, P., Fauziah, St., dan Zakir, M., 2010, Penuntun Praktikum Kimia Fisika, Laboratorium Kimia Fisika Jurusan Kimia FMIPA UH, Makassar.

Page 23: LAPORAN Kinetika

LEMBAR PENGESAHAN

Page 24: LAPORAN Kinetika

Makassar, 5 April 2010

Asisten Praktikan

Tiur Mauli Syadza Firdausiah