kinerja pembangunan pertanian: evaluasi … · evaluasi 2004–2014 dan implikasinya ... peran...

43
Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 145 Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN: EVALUASI 2004–2014 DAN IMPLIKASINYA Adi Setiyanto dan Bambang Irawan PENDAHULUAN Pembangunan pertanian periode 2000-2004, merupakan pembangunan yang menstabilisasi pemerintahan, pemulihan masa krisis dan melakukan transisi dari era orde baru ke era pasca reformasi. Pembangunan pertanian dilaksanakan dengan memfokuskan pada upaya mengatasi dampak krisis, melalui implementasi Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis sebagai Grand Strategy pembangunan pertanian. Dalam menghadapi krisis tahun 1997-1999, sektor pertanian telah menunjukkan kemampuannya menjadi penyelamat pertumbuhan ekonomi. Pada masa krisis, sektor pertanian terbukti lebih tangguh bertahan dan mampu pulih lebih cepat dibanding sektor-sektor lain, sehingga berperan sebagai penyangga pembangunan nasional. Peran tersebut terutama dalam penyediaan kebutuhan pangan pokok, perolehan devisa, penyedia lapangan kerja, dan penanggulangan kemiskinan. Sektor pertanian juga menjadi andalan dalam mengembangkan kegiatan ekonomi perdesaan melalui pengembangan usaha berbasis pertanian. Dengan pertumbuhan yang terus positif secara konsisten, sektor pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Pada periode 2000-2004 pembangunan pertanian telah menunjukkan perkembangan yang signifikan. Pada periode tersebut sektor pertanian juga telah menunjukkan pertumbuhan dan kontribusi yang cukup besar dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Pada periode tersebut, sektor pertanian dinilai telah mampu : (1) melepaskan diri dari ancaman keterpurukan yang berkepanjangan, (2) terlepas dari ancaman kontraksi atau pertumbuhan negatif berkelanjutan dan melepaskan diri dari perangkap pertumbuhan ekonomi rendah, dan (3) telah berada pada fase percepatan pertumbuhan menuju pertumbuhan berkelanjutan. Keberhasilan tersebut merupakan modal dasar bagi pembangunan pertanian pada periode berikutnya. Dalam masa pemerintahan yang semakin stabil, maka periode pembangunan pertanian 2004–2014 merupakan periode mempertahankan momentum pertumbuhan tersebut dan meningkatkan keberhasilan dibanding periode sebelumnya. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan kapital; penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bioenergi; penyerap tenaga kerja; sumber devisa negara; sumber pendapatan; serta pelestarian lingkungan melalui praktek usahatani yang ramah lingkungan. Berbagai peran strategis pertanian dimaksud sejalan dengan tujuan pembangunan

Upload: phamnhu

Post on 03-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 145

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN: EVALUASI 2004–2014 DAN IMPLIKASINYA

Adi Setiyanto dan Bambang Irawan

PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian periode 2000-2004, merupakan pembangunan yang menstabilisasi pemerintahan, pemulihan masa krisis dan melakukan transisi dari era orde baru ke era pasca reformasi. Pembangunan pertanian dilaksanakan dengan memfokuskan pada upaya mengatasi dampak krisis, melalui implementasi Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis sebagai Grand Strategy pembangunan pertanian. Dalam menghadapi krisis tahun 1997-1999, sektor pertanian telah menunjukkan kemampuannya menjadi penyelamat pertumbuhan ekonomi. �Pada masa krisis, sektor pertanian terbukti lebih tangguh bertahan dan mampu pulih lebih cepat dibanding sektor-sektor lain, sehingga berperan sebagai penyangga pembangunan nasional. Peran tersebut terutama dalam penyediaan kebutuhan pangan pokok, perolehan devisa, penyedia lapangan kerja, dan penanggulangan kemiskinan. Sektor pertanian juga menjadi andalan dalam mengembangkan kegiatan ekonomi perdesaan melalui pengembangan usaha berbasis pertanian. Dengan pertumbuhan yang terus positif secara konsisten, sektor pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional.

Pada periode 2000-2004 pembangunan pertanian telah menunjukkan perkembangan yang signifikan. Pada periode tersebut sektor pertanian juga telah menunjukkan pertumbuhan dan kontribusi yang cukup besar dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Pada periode tersebut, sektor pertanian dinilai telah mampu : (1) melepaskan diri dari ancaman keterpurukan yang berkepanjangan, (2) terlepas dari ancaman kontraksi atau pertumbuhan negatif berkelanjutan dan melepaskan diri dari perangkap pertumbuhan ekonomi rendah, dan (3) telah berada pada fase percepatan pertumbuhan menuju pertumbuhan berkelanjutan. Keberhasilan tersebut merupakan modal dasar bagi pembangunan pertanian pada periode berikutnya.���

Dalam masa pemerintahan yang semakin stabil, maka periode pembangunan pertanian 2004–2014 merupakan periode mempertahankan momentum pertumbuhan tersebut dan meningkatkan keberhasilan dibanding periode sebelumnya. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan kapital; penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bioenergi; penyerap tenaga kerja; sumber devisa negara; sumber pendapatan; serta pelestarian lingkungan melalui praktek usahatani yang ramah lingkungan. Berbagai peran strategis pertanian dimaksud sejalan dengan tujuan pembangunan

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian146

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

perekonomian nasional yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, mempercepat pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, menyediakan lapangan kerja, serta memelihara keseimbangan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Pembangunan pertanian periode 2004-2014 dihadapkan kepada masalah-masalah kesejahteraan petani, kemiskinan, pengangguran, ancaman terhadap ketahanan pangan, infrastruktur pertanian yang kurang mendapat perhatian, investasi pertanian relatif rendah, stagnasi terobosan teknologi, akses pasar yang masih lemah dan lainnya.� � Hal tersebut muncul akibat adanya berbagai perubahan dan perkembangan lingkungan domestik maupun internasional yang sangat dinamis serta persoalan mendasar sektor pertanian seperti meningkatnya jumlah penduduk, tekanan globalisasi dan liberalisasi pasar, pesatnya kemajuan teknologi dan informasi, makin terbatasnya sumber daya lahan, air dan energi, perubahan iklim global, perkembangan dinamis sosial budaya masyarakat, kecilnya luas kepemilikan lahan, terbatasnya kemampuan sistem perbenihan dan perbibitan nasional, terbatasnya akses petani terhadap permodalan, lemahnya kapasitas kelembagaan petani dan penyuluh, masih rawannya ketahanan pangan dan energi, masih rendahnya nilai tukar petani dan kurang harmonisnya koordinasi kerja antar sektor terkait pembangunan pertanian.

Berdasarkan Buku Rencana Strategis Pembangunan Pertanian (Renstra Kementan) Tahun 2005-2009 dan 2010–2014, pembangunan pertanian menghadapi banyak tantangan, antara lain bagaimana memenuhi kebutuhan pangan serta keseimbangan gizi keluarga, memperbaiki dan membangun infrastruktur lahan dan air serta perbenihan dan perbibitan, meningkatkan produktivitas dan nilai tambah produk pertanian, membuka akses pembiayaan pertanian dengan suku bunga rendah bagi petani/peternak kecil, memperkokoh kelembagaan usaha ekonomi produktif di perdesaan, menciptakan sistem penyuluhan pertanian yang efektif, membudayakan penggunaan pupuk kimiawi dan organik secara berimbang untuk memperbaiki dan meningkatkan kesuburan tanah, mengupayakan adaptasi terhadap perubahan iklim dan pelestarian lingkungan hidup, menciptakan kebijakan harga (pricing policies) yang proporsional untuk produk-produk pertanian khusus, mengupayakan pencapaian Millenium Development Goals (MDG's) yang mencakup angka kemiskinan, pengangguran, dan rawan pangan, memperkuat kemampuan untuk bersaing di pasar global, mengatasi pelemahan pertumbuhan ekonomi akibat krisis global, serta memperbaiki citra petani dan pertanian agar kembali diminati generasi penerus. Pembangunan Pertanian 2005 –2014 memiliki prioritas pelaksanaan pada pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing, penanggulangan pengangguran dan kemiskinan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat petani.

Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, maka dengan berakhirnya periode pembangunan tahap ke-1 (2005-2009) dan tahap ke-2 (2010-2014) Indonesia sedang memasuki tahap ke-3 (2015-2019) sebagai kelanjutan dari RPJMN tahap sebelumnya. Berdasarkan RPJPN tersebut, RPJMN tahap ke-3 difokuskan untuk memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam yang

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 147

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas dan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sebagai bagian yang tidak terpisahkan daripentahapan RPJPN (2005-2025). Dengan berakhirnya tahapan pembangunan sebelumnya dan untuk mempersiapkan tahapan berikutnya maka diperlukan evaluasi kinerja pembangunan pertanian dan implikasinya bagi pembangunan tahapan berikutnya. Pembangunan pertanian merupakan proses dari sebuah upaya yang dilakukan secara berkesimbungunan, sehingga hasil-hasil yang dicapai pada periode sebelumnya menjadi landasan dan modal dasar bagi pembangunan pertanian pada periode berikutnya. Tulisan ini membahas evaluasi kinerja pembangunan pertanian periode 2005–2014 dan implikasinya bagi pembangunan pertanian periode selanjutnya.

PROGRAM TERKAIT PEMBANGUNAN PERTANIAN 2004-2014

Walaupun disadari bahwa disamping program dalam lingkup Kementerian Pertanian masih ada program pembangunan diluar lingkup Kementerian pertanian yang juga erat kaitannya dengan pembangunan pertanian namun fokus utama pembahasan menyangkut program dalam lingkup Kementerian Pertanian.

Periode 2004 - 2009

Pada periode ini, pembangunan pertanian memiliki agenda terkait dengan Revitalisasi Pertanian. Dalan RPJMN 2005–2009, agenda pembangunan ekonomi yang yang terkait dengan pembangunan pertanian, diantaranya yaitu: (1) revitalisasi pertanian, (2) peningkatan investasi dan ekspor non-migas, (3) pemantapan stabilisasi ekonomi makro, (4) penanggulangan kemiskinan, (5) pembangunan perdesaan, dan (6) perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Revitalisasi pertanian antara lain diarahkan untuk meningkatkan: (1) kemampuan produksi beras dalam negeri sebesar 90-95 persen dari kebutuhan, (2) diversifikasi produksi dan konsumsi pangan, (3) ketersediaan pangan asal ternak, (4) nilai tambah dan daya saing produk pertanian, dan (5) produksi dan ekspor komoditas pertanian. Program Pembangunan Pertanian Tahun 2005-2009, dirumuskan dalam tiga program, yaitu: (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan, (2) Program Pengembangan Agribisnis, dan (3) Program Peningkatan Kesejahteraan Petani.

Peningkatan Ketahanan Pangan

Program Peningkatan Ketahanan Pangan ditujukan untuk tercapainya ketersediaan pangan yang cukup dan beragam pada tingkat nasional, regional dan rumah tangga, dan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan. Pangan dalam arti luas mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan. Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya pangan dengan

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian148

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

ketersediaan yang cukup, tersedia setiap saat di semua daerah, mudah diperoleh rumah tangga, aman dikonsumsi dengan harga yang terjangkau. Ketahanan pangan mencakup komponen: (1) ketersediaan pangan, (2) distribusi dan konsumsi pangan, (3) penerimaan oleh masyarakat, (4) diversifikasi pangan, dan (5) keamanan pangan.�

Pengembangan Agribisnis

Program Pengembangan Agribisnis dimaksudkan untuk memfasilitasi berkembangnya usaha pertanian agar produktif dan efisien menghasilkan berbagai produk pertanian yang memiliki nilai tambah dan daya saing yang tinggi baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, maka arah yang perlu ditempuh adalah memperluas cakupan kegiatan ekonomi produktif petani serta peningkatan efisiensi dan berdaya saing. Perluasan kegiatan ekonomi yang memungkinkan dilakukan adalah: (1) peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan perbaikan kualitas, dan (2) mendorong kegiatan usahatani secara terpadu mencakup beberapa komoditas (sistem integrasi tanaman-ternak atau sistem integrasi tanaman-ternak-ikan). Peningkatan efisiensi dan daya saing dilakukan dengan pendekatan agribisnis yang mencakup agribisnis hulu, kegiatan usahatani, agribisnis hilir dan jasa penunjang. Berdasarkan komoditas, pengembangan agribisnis mencakup komoditas-komoditas unggulan lingkup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan maupun peternakan.

Peningkatan Kesejahteraan Petani

Program Peningkatan Kesejahteraan Petani bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani melalui pemberdayaan petani, pengembangan kelembagaan dan peningkatan akses petani, terhadap sumber daya usaha pertanian. Kesejahteraan petani merupakan muara dari upaya-upaya pembangunan yang dilakukan. Oleh karenanya, segala upaya yang dilakukan dalam pembangunan pertanian selayaknya didorong untuk mewujudkan kesejahteraan petani; disamping tujuan-tujuan lainnya. Kesejahteraan meliputi dimensi yang luas, namun untuk lebih menyederhanakan persoalan, definisi kesejahteraan dalam tulisan ini dibatasi pada kesejahteraan ekonomi atau lebih spesifik lagi pendapatan rumah tangga. Sesuai dengan Renstra Kementan 2005-2009, Program Peningkatan Kesejahteraan Petani bertujuan untuk memfasilitasi peningkatan pendapatan petani melalui pemberdayaan, peningkatan akses terhadap sumber daya usaha pertanian, pengembangan kelembagaan, dan perlindungan terhadap petani. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah: (1) meningkatnya kapasitas dan posisi tawar petani, (2) semakin kokohnya kelembagaan petani, (3) meningkatnya akses petani terhadap sumber daya produktif, dan (4) meningkatnya pendapatan petani.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 149

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

Periode 2010 - 2014

Sejalan dengan RPJMN, revitalisasi pertanian menjadi agenda dalam pembangunan pertanian periode 2010-2014, dan oleh Kementerian Pertanian dikembangkan menjadi strategi pembangunan pertanian yang ditempuh difokuskan pada penanganan tujuh aspek dasar yang disebut TUJUH GEMA REVITALISASI1, yaitu: (1) revitalisasi lahan, (2) revitalisasi perbenihan dan perbibitan, (3) revitalisasi infrastruktur dan sarana, (4) revitalisasi sumber daya manusia, (5) revitalisasi pembiayaan petani, (6) revitalisasi kelembagaan petani, dan (7) revitalisasi teknologi dan industri hilir.Tujuan dan sasaran pembangunan pertanian nasional 2010-2014 akan diwujudkan melalui pencapaian 4 (empat) target utama yaitu: (1) pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, (2) peningkatan diversifikasi pangan, (3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, serta (4) peningkatan kesejahteraan petani. Dalam rangka peningkatan produksi pertanian pada periode lima tahun ke depan (2010-2014), Kementerian Pertanian akan lebih fokus pada peningkatan 39 komoditas unggulan nasional. Komoditas unggulan nasional tersebut terdiri dari 7 komoditas tanaman pangan, 10 komoditas hortikultura, 15 komoditas perkebunan, dan 7 komoditas peternakan.

PEMBIAYAAN PROGRAM TERKAIT PEMBANGUNAN PERTANIAN

Anggaran Kementerian Pertanian

Selama ini, investasi publik dilaksanakan oleh pemerintah dengan berbagai alasan, antara lain biaya investasi yang cukup besar sehingga di luar jangkauan para petani atau swasta menengah, kegiatan produktif tertentu cukup strategis sehingga memerlukan campur tangan pemerintah, dan adanya keperluan membangun prasarana publik yang memang seyogyanya disiapkan pemerintah. Keseluruhan investasi pemerintah pada prinsipnya untuk menciptakan situasi kondusif bagi pengembangan agribisnis dan memberikan insentif kepada para petani dan pengusaha untuk melaksanakan kegiatan pembangunan pertanian. Besarnya investasi pertanian yang dilaksanakan oleh pemerintah dapat ditera dari besarnya APBN dan APBD pertanian dan subsektor lainnya yang terkait, seperti pembangunan irigasi, pengembangan SDM, dan lain-lain.

Tabel 1 memuat rata-rata alokasi anggaran Kementerian Pertanian tahun 2004– 2014. Tampak bahwa Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian memperoleh alokasi anggaran rata-rata diatas Rp. 1 triliun.

1 Penjabaran dan rincian mengenai upaya-upaya yang dilakukan berkaitan dengan Tujuh Gema

Revitalisasi secara lengkap dapat dilihat pada Renstra Kementan Tahun 2010 -2014

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian150

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

Pengalokasian anggaran menurut kabupaten/kota� (di luar alokasi anggaran untuk UPT Pusat di daerah, UPTD Provinsi, UPTD Kabupaten/Kota dan dana alokasi TP Provinsi) menunjukkan bahwa alokasi anggaran cenderung di sebar ke seluruh Kabupaten/Kota. Berdasarkan hasil identifikasi anggaran tahun 2007–2012, menunjukkan bahwa anggaran disebar secara merata ke 492 dari 497 kabupaten/kota dengan jumlah yang bervariasi, dimana terdapat kecenderungan bahwa alokasi pembangunan tidak memiliki fokus pada lokasi tertentu. Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata kabupaten/kota yang memiliki anggaran di atas Rp. 1 Miliar adalah kabupaten/kota di bawah Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Perkebunan dan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian.

Tabel 1. Rata-Rata Anggaran Kementerian Pertanian Menurut Unit Eselon I, 2004 - 2014.

No Eselon I Nilai anggaran (Rp M/Tahun)

Proporsi anggaran

(%)

Rata-rata peningkatan (%/tahun)

1 Sekretariat Jenderal 922,58 8,56 39,16 2 Inspektorat Jenderal 54,28 0,50 14,34 3 Ditjen Tanaman Pangan 1.810,33 16,80 41,78 4 Ditjen Perkebunan 980,87 9,10 48,58 5 Ditjen Peternakan 1.183,20 10,98 25,09

6 Ditjen Pengolahan & Pemasaran Hasil Pertanian 400,47 3,72 69,26

7 Ditjen Pengelolaan Lahan Dan Air (PSP) 2.048,33 19,01 150,33 8 Ditjen Hortikultura 416,14 3,86 13,43 9 Badan Litbang Pertanian 1.013,04 9,40 13,53 10 Badan Pengembangan Sdm Pertanian 981,83 9,11 15,85 11 Badan Ketahanan Pangan 516,20 4,79 11,11 12 Badan Karantina Pertanian 447,96 4,16 18,16 TOTAL 10.775,23 100,00 21,21

Sumber : Biro Perencanaan (2014) �

Tabel 2. Alokasi Anggaran Kementerian Pertanian Per Kabupaten/Kota Menurut Unit Eselon I, Rata-rata 2007–2012.

No Unit Eselon I Anggaran per Kabupaten/

Kota (Rp. Miliar)

Jumlah Kabupaten/Kota lokasi program/

kegiatan

Total anggaran

(Rp. Miliar)

1 Tanaman Pangan 1,57 462 725,52 2 Hortikultura 0,36 311 111,39 3 Perkebunan 1,10 365 402,88 4 Peternakan 0,34 424 145,87 5 Prasarana Pertanian 3,02 463 1.397,33 6 PPHP 0,50 428 212,11 7 Badan Ketahanan Pangan 0,71 417 295,49 8 Pengembangan SDM 0,48 475 229,20

Jumlah 8,08 492 3975,90

Sumber : Biro Perencanaan (2012) Catatan : Nilai anggaran diluar UPT Pusat Di Daerah, UPTD Provinsi, UPTD Kabupaten/Kota.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 151

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

Anggaran Pembangunan Pertanian dan Pedesaan2

Anggaran pembangunan pertanian dan perdesaan memiliki potensi dan bersumber serta tersebar pada banyak kementerian maupun lembaga. Sebagai gambaran, dapat dilihat dari hasil kajian Pasaribu et al., (2007), dimana anggaran pembangunan pertanian tidak hanya dialokasikan di Kementerian Pertanian, tetapi juga terdapat di berbagai departemen dan instansi pemerintah lainnya. Pada tahun 2007, misalnya, total angaran pembangunan pertanian adalah sebesar Rp 23,2 triliun (Tabel 3). Anggaran paling besar (Rp 8,8 triliun) dikelola oleh Kementerian Pertanian. Sedangkan anggaran kedua terbesar (Rp 7,6 triliun) dialokasikan untuk Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil, dan ESDM. Selanjutnya pengelola anggaran pembangunan pertanian adalah Kementerian Dalam Negeri (Rp 1,2 triliun), Kementerian Kesehatan (Rp 0,99 triliun), Depnakertrans (Rp 0,93 triliun). Selebihnya anggaran dikelola oleh Kementerian maupun instansi lainnya yang jika dijumlah maka nilainya relatif signifikan. Rata-rata nilai anggaran pembangunan pertanian selama periode tahun 2002-2007 adalah Rp 17,6 triliun dengan rata-rata anggaran terbesar (Rp 6,8 triliun) dikelola oleh Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil, dan ESDM.

Tabel 3. Anggaran Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Berdasarkan Jenis/Kategori Layanan, Rata-rata 2002 – 2007.

No Kategori Nilai anggaran (Rp. Miliar)

Pertumbuhan (%/thn)

Porsi anggaran

(%)

Pertumbuhan (%/thn)

1 Penelitian dan Pengembangan 235,63 24,04 1,30 9,13 2 Pengendalian Hama dan Penyakit 14,39 30,58 0,08 14,76 3 Pelatihan dan Pengembangan SDM 186,50 24,81 1,03 9,94

4 Bimbingan, Penyuluhan dan Penyebaran Informasi 481,71 14,28 2,75 0,10

5 Inspeksi, Standarisasidan Pengawasan 19,22 15,29 0,11 1,28

6 Promosi danFasilitasi Pemasaran dan Perdagangan 170,07 13,27 0,97 -0,59

7 Sarana, Prasarana dan Infrastruktur 1.854,32 14,71 10,50 1,03

8 Permodalan dan Bantuan Pemberdayaan 1.495,78 13,56 8,51 -0,18

Jumlah (1 s/d 8) 4.457,62 14,82 25,24 0,98 9 Lainnya 13.104,92 13,45 74,76 -0,30 10 Jumlah (1 s/d 9) 17.562,54 13,77 100,00 0,00 11 Departemen Pertanian 4.955,25 27,77 27,09 12,51 12 Luar Departemen Pertanian 12.607,30 8,74 72,91 -4,50

Sumber: Depkeu (2007) dalam Pasaribu et al., (2007)

2 Tulisan menggunakan nama kementerian dan lembaga yang masih menggunakan nomenklatur lama.

Sekalipun demikian secara substansi tidak mengalami perubahan, karena perubahan hanya dari sisi Departemen menjadi Kementerian untuk beberapa lembaga yang sebelum tahun 2009 menggunakan nomenklatur nama departemen dan menjadi kementerian setelah 2009.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian152

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

Selama periode tersebut rata-rata Departemen Pertanian mengelola jumlah anggaran terbesar kedua (Rp 4,96 triliun). Sejak tahun 2002 hingga 2006 nilai anggaran Departemen Pertanian selalu di bawah Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil, dan ESDM. Departemen Kesehatan, BKKBN dan Badan POM selama periode 2002-2007 mengalami pertumbuhan anggaran pertanian tertinggi, yakni 29,26 persen per tahun. Pertumbuhan tertinggi berikutnya adalah Departemen Pertanian (27,77%/tahun), Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (12,39%/tahun) dan Departemen Perhubungan, PU, Kimpraswil dan ESDL (11,58%). Pertumbuhan anggaran terendah dialami oleh BKPM, BSN, BPN (-1,09%/tahun), Departemen Dalam Negeri (0,01%/tahun), dan Kementrian Koperasi dan UKM (3,00%/tahun).

Selama periode 2002-2007, rata-rata anggaran pertanian yang terbesar adalah untuk sarana dan prasarana (infrastruktur), yaitu 10,5 persen dan yang kedua adalah bantuan permodalan sebesar 8,5 persen (Tabel 3). Urutan berikutnya adalah penyuluhan (2,7%), penelitian dan pengembangan (1,6%), dan pendidikan dan latihan (1,3%). Selama ini pembangunan infrastruktur pertanian selalu menempati urutan tertinggi dalam alokasi anggaran tetapi akhir-akhir ini infrastruktur pertanian tidak bisa beroperasi optimal. Misalnya, banyak saluran irigasi sekunder maupun tersier yang tidak berfungsi dengan baik. Hal ini merupakan indikasi anggaran yang dialokasikan mungkin tidak dikelola secara efisien.

Pembiayaan pertanian menempati urutan nilai anggaran kedua tetapi dikelola oleh berbagai departemen/instansi yang di lapangan bisa tumpang tindih sehingga tidak efektif hasilnya. Sedangkan alokasi anggaran penelitian dan pengembangan yang relatif kecil (kurang dari 2%) tampaknya akan sulit diharapkan untuk dihasilkannya penemuan-penemuan yang relatif unggul dan dinamis. Lebih jauh lagi, anggaran per jenis layanan tersebut bukan hanya yang secara teknis dialokasikan untuk kegiatan tersebut tetapi termasuk biaya administrasi.

Anggaran Belanja Pembangunan Daerah

Berdasarkan hasil identifikasi terhadap 497 kabupaten/kota pada periode 2007–2012, diperoleh gambaran bahwa rata-rata anggaran belanja pembangunan pertanian daerah kabupaten/kota tahun 2007 – 2012 adalah Rp. 19,46 Miliar atau 2,46 persen dari total belanja daerah (Rp. 791,90 Miliar) dan mengalami peningkatan hanya 1,93 persen jauh di bawah rata-rata belanja daerah yang mencapai 9,40 persen per tahun. Sekalipun pertanian menempati urutan kelima terbesar belanja daerah, namun alokasi anggaran sangat kecil jika dibandingkan kontribusi pertanian terhadap PDRB rata-rata yang mencapai 34,12 persen dan rata-rata penyerapan tenaga kerja pertanian yang mencapai 49,48 persen.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 153

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

KINERJA PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN 2004-2014

Produksi Komoditas Pertanian

Tabel 4 memberikan gambaran mengenai perkembangan sasaran, realisasi dan persentase realisasi produksi dibanding sasaran untuk komoditas utama tanaman pangan. Tampak bahwa rata-rata realisasi produksi dibanding sasaran komoditas padi mencapai 98,50 persen dan menunjukkan penurunan rata-rata 0,10 persen per tahun pada periode 2005–2014. Sementara itu pada komoditas jagung rata-rata realiasi produksi terhadap sasaran 88,41 persen dan menurun rata-rata 3,73 persen per tahun. Pada komoditas kedele realisasi produksi hanya mencapai rata-rata 60,82 persen dan menurunan rata-rata 10,73 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi produksi komoditas tanaman pangan utama pembangunan pertanian menunjukkan kinerja yang semakin menurun pada periode 2005–2014. Ketiga komoditas ini merupakan komoditas yang menjadi program utama pembangunan pertanian periode 2005 – 2014.

Berbeda dengan komoditas tanaman pangan utama, pada komoditas sayuran menunjukkan kinerja yang relatif lebih baik. Sekalipun rata-rata realisasi produksi masih di bawah target, kecuali cabe (Tabel 4), pada komoditas sayuran utama terjadi kecenderungan kinerja yang semakin meningkat. Pada komoditas Kentang rata-rata realisasi produksi dibanding sasaran mencapai 97,45 persen dan meningkat rata-rata 1,72 persen per tahun. Pada komoditas cabe rata-rata realisasi 107,45 persen dibanding sasaran dan menunjukkan peningkatan 5,93 persen per tahun. Sementara itu pada komoditas bawang merah rata-rata realisasi mencapai 99,54 persen dan meningkat rata-rata 4,76 persen.

Kecuali pada komoditas mangga, komoditas buah-buahan utama menunjukkan

kinerja yang semakin menurun pada periode 2005 – 2014 (Tabel 4). Realisasi produksi pisang menunjukkan rata-rata pencapaian 100,47 persen dibandingkan sasaran, namun persentasenya menunjukkan penurunan 1,40 persen per tahun. Pada komoditas mangga, rata-rata realisasi produksi mencapai 90,29 persen dibanding sasaran dan menunjukkan rata-rata peningkatan 4,13 persen per tahun. Pada komoditas jeruk, sekalipun rata-rata realisasi produksi dibanding sasaran mencapai 99,70 persen, namun terjadi penurunan persentase realisasi dibanding sasaran rata-rata 6,41 persen. Seperti halnya pada komoditas tanaman pangan utama, komoditas utama hortikultura menunjukkan kinerja pembangunan pertanian yang semakin menurun, kecuali pada komoditas tertentu.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian154

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

Tabel 4. Sasaran dan Realisasi Produksi Komoditas Utama, Rata-rata 2005-2014.

Variabel

Padi Jagung Kedele

Sasaran (juta ton)

Realisasi (juta ton)

Persen (%)

Sasaran (juta ton)

Realisasi

(juta ton)

Persen (%)

Sasaran (juta ton)

Realisasi (juta ton)

Persen (%)

Rata-rata 64,84 63,63 98,2 19,45 16,62 88,4 1,54 0,82 60,8 Pertumbuhan (%/th) 3,61 3,51 -0,10 10,46 6,32 -3,73 16,56 2,24 -10,73

Kentang Cabai Bawang merah Rata-rata 1,11 1,08 97,4 1,21 1,30 107,4 0,93 0,93 99,5 Pertumbuhan (%/th) 0,67 2,38 1,72 1,83 7,90 5,93 2,13 6,03 4,76

Pisang Mangga Jeruk Rata-rata 6,01 5,97 100,2 2,21 2,00 90,3 2,45 2,15 99,7 Pertumbuhan (%/th) 5,21 3,71 -1,40 5,66 10,32 4,13 9,82 0,90 -6,41

Kelapa sawit Karet Kakao Rata-rata 20,32 21,56 108,3 2,44 2,81 115,7 1,01 0,77 85,4 Pertumbuhan (%/th) 9,38 8,03 -0,65 4,19 4,29 0,15 11,44 1,19 -8,79

Kopi Kelapa Gula Rata-rata 0,77 0,68 88,8 3,33 3,19 95,9 3,19 2,50 82,8 Pertumbuhan (%/th) 0,14 1,27 1,88 0,30 0,59 0,29 9,32 2,82 -5,92

Daging sapi Daging babi Daging kambing/domba Rata-rata 0,446 0,443 99,4 0,220 0,219 99,9 0,156 0,123 78,7 Pertumbuhan (%/th) 3,84 4,72 0,97 2,96 2,03 -0,86 0,63 -2,16 -2,59

Sumber : Renstra 2005 – 2009, Renstra 2010 -2014 dan BPS 2014 (diolah), data realiasi tahun 2014 merupakan angka perkiraan.

Pada komoditas perkebunan utama yaitu kelapa sawit, karet, kakao, kopi, kelapa dan gula menunjukkan penurunan kinerja pembangunan pertanian periode 2005–2009 terutama komoditas kakao dan gula (Tabel 4). Pada komoditas lainnya sekalipun persentase realisasi produksi masih di bawah sasaran menunjukkan peningkatan rata-rata realisasi produksi dibanding sasaran. Dari enam komoditas utama perkebunan dua komoditas menunjukkan rata-rata realisasi di atas sasaran produksi yaitu kelapa sawit dan karet, sementara itu komoditas kopi dan kelapa menujukkan realisasi produksi masih dibawah sasaran, namun menunjukkan rata-rata peningkatan realisasi dibanding sasaran produksi. Justru pada komoditas Kakao dan Tebu (Gula) yang merupakan komoditas program utama yaitu Gernas Kakao dan Swasembada Gula menunjukan rata-rata realisasi produksi dibawah sasaran yaitu 85,35 persen dan menurun rata-rata 8,79 persen untuk kakao, dan rata-rata 85,38 persen dan rata-rata menurun 5,92 persen. Sama seperti pada tanaman pangan dan hortikultura, kinerja pembangunan pertanian periode 2005–2014 menunjukkan kinerja yang semakin menurun.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 155

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

Pada komoditas utama peternakan yaitu daging sapi, daging babi dan daging kambing dan domba, serta susu juga menunjukkan kecenderungan penurunan realisasi produksi dibanding sasaran kecuali daging sapi yang menunjukkan rata-rata realisasi hampir mencapai 100 persen dan meningkat 0,97 persen per tahun. Sekalipun juga mencapai rata-rata realisasi produksi hampir mencapai 100 persen pada daging babi menunjukkan rata-rata realisasi dibanding sasaran produksi menurun 0,86 persen. Pada daging kambing dan domba rata-rata relasisasi dibanding sasaran adalah 78,69 persen dan menurun rata-rata 2,59 persen per tahun. Pada komoditas susu rata-rata realisasi produksi dibanding sasaran adalah 81,54 persen dan menurun 0,05 persen. Seperti pada komoditas utama subsektor lainnya, subsektor peternakan juga menunjukkan kinerja pembangunan pertanian yang cenderung menurun pada periode 2005 – 2014.

Pertumbuhan PDB

Tabel 5 memberikan gambaran sasaran dan realisasi pertumbuhan PDB Pertanian periode 2005 – 2014 berdasarkan harga konstan 2000. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa realisasi pertumbuhan PDB pertanian rata-rata lebih rendah dari sasaran pertumbuhan sektor pertanian yang diteapkan. Dalam periode 2005 – 2014, PDB pertanian diharapkan tumbuh rata-rata 3,49 persen pertanian, sedangkan pertumbuhan rata-rata PDB pertanian periode tersebut hanya 3,34 persen pertanian. PDB subsektor tanaman pangan dan hortikultura rata-rata tumbuh 3,17 per tahun juga lebih rendah dari sasaran yaitu 3,26 persen per tahun. Hal yang sama juga terjadi pada PDB subsektor perkebunan dan peternakan, dimana realisasi pertumbuhan PDB juga lebih rendah dari sasaran periode 2005 – 2014.

Tabel 5. Sasaran dan Realisasi Pertumbuhan PDB Pertanian 2005 – 2014 Menurut Sub Sektor Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 (%).

Tahun

Sasaran (%) Realisasi (%) Pangan & Hortikul

tura

Perkebun-

an

Peternak- an

Pertani- an

Pangan& Hortikul-

tura

Perkebun-

an

Peternak- an

Pertani-

an 2005 2,89 6,01 4,11 2,97 2,60 2,48 2,13 2,50 2006 2,98 6,19 4,28 3,17 2,98 3,79 3,35 3,20 2007 3,18 6,36 4,45 3,37 3,35 4,55 2,36 3,43 2008 3,14 6,32 4,42 3,37 6,06 3,67 3,52 5,16 2009 3,50 6,49 4,58 3,58 4,97 1,73 3,45 4,08 2010 3,33 4,01 4,30 3,62 1,64 3,49 4,27 2,42 2011 3,31 3,99 4,28 3,61 1,75 4,47 4,78 2,78 2012 3,39 4,08 4,36 3,69 2,95 5,08 4,82 3,69 2013 3,47 4,16 4,44 3,77 1,93 4,93 4,76 3,01 2014 3,45 4,14 4,42 3,75 3,50 3,42 3,15 3,08

Rata-rata 3,26 5,18 4,36 3,49 3,17 3,76 3,66 3,34

Sumber : Renstra Kementan 2005 – 2009, Renstra Kementan 2010 – 2014, BPS 2014 (diolah)dan data realisasi tahun 2014 merupakan perkiraan dari Pusdatin Kementan 2014.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian156

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

Rata-rata pertumbuhan PDB pertanian mencapai 95,98 persen dari sasaran, dimana pada periode 2010–2014 relatif lebih rendah jika dibandingkan kondisi periode 2005-2009 (Tabel 6). Kondisi yang relatif sama terjadi pada subsektor tanaman pangan dan hortikultura, sedangkan pada subsektor perkebunan dan peternakan menunjukkan hal yang berbeda. PDB subsektor ini memiliki rata-rata pertumbuhan 78,34 persen dan 83,81 persen dengan kondisi rata-rata realisasi pertumbuhan ekonomi dibanding sasaran pada 2010-2014 relatif lebih tinggi jika dibandingkan 2005–2009.

Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian

Tabel 7 menunjukkan realisasi penyerapan tenaga kerja pertanian dibandingkan sasarannya pada periode 2005–2014. Pada periode tersebut sasaran penyerapan tenaga kerja pertanian diharapkan mencapai 43,65 juta orang per tahun dengan pertumbuhan 1,06 persen per tahun. Realisasi rata-rata periode 2005–2014 adalah 38,61 juta orang perkembangan menurun rata-rata 1,55 persen per tahun. Rata-rata realisasi penyerapan tenaga kerja pertanian dibandingkan sasaran adalah 88,64 persen per tahun dengan penurunan rata-rata 2,56 persen per tahun.

Tabel 6. Realisasi Dibanding Sasaran Pertumbuhan PDB Pertanian Menurut Sub Sektor Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 (%).

Tahun Pangan& Hortikultura Perkebunan Peternakan Pertanian

2005 90,12 41,26 51,82 84,18 2006 100,00 61,23 78,27 100,95 2007 105,51 71,54 53,03 101,78 2008 192,99 58,07 79,64 153,12 2009 142,00 26,66 75,33 113,97 2010 49,25 87,03 99,30 66,85 2011 52,87 112,03 111,68 77,01 2012 87,02 124,51 110,55 100,00 2013 55,48 118,51 107,21 79,84 2014 101,45 82,61 71,27 82,13

Rata-rata 97,67 78,34 83,81 95,98

Sumber : Renstra Kementan 2005 – 2009, Renstra Kementan 2010 – 2014, BPS 2014 (diolah) dan data realisasi tahun 2014 merupakan perkiraan dari Pusdatin Kementan 2014.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 157

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

Tabel 7. Realisasi Dibanding Sasaran Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian ( Juta Orang)

Tahun Sasaran Realisasi Realisasi dibanding Sasaran (%)

2005 41,27 41,31 100,09 2006 41,86 40,14 95,89 2007 42,61 41,21 96,70 2008 43,60 41,33 94,80 2009 44,54 38,61 86,68 2010 43,71 38,69 88,51 2011 44,11 36,54 82,84 2012 44,52 36,43 81,83 2013 44.,94 36,05 80,22 2014 45,36 35,77 78,85

Rata-rata 43,65 38,61 88,64 R (%/Thn) 1,06 -1,55 -2,56

Sumber : Renstra Kementan 2005 – 2009, Renstra Kementan 2010 – 2014, BPS 2014 (diolah) dan data realisasi tahun 2014 merupakan perkiraan dari Pusdatin Kementan 2014

KINERJA PRODUKSI DIBANDING ANGGARAN

Subsektor Tanaman Pangan

Dalam periode 2004 – 2014, kinerja produksi dibanding anggaran sub sektor tanaman pangan menunjukkan penurunan rata-rata 9,39 persen (Gambar 1). Pada tahun 2004–2009, indek peningkatan produksi dibanding peningkatan anggaran sub sektor tanaman pangan menurun rata-rata -9,50 persen per tahun dan pada periode berikutnya yaitu 2009–2014 menurun rata-rata 16,37 persen per tahun.

Kinerja menurut komoditas utama yaitu padi, jagung dan kedele juga menunjukkan kecenderungan beragam. Komoditas padi menunjukkan penurunan 13,58 persen per tahun pada periode 2004 – 2009, penurunan 13,31 persen per tahun pada periode 2009 – 2014, dan rata-rata menurun 13,35 persen pada periode 2004 – 2014 (Gambar 2). Pada komoditas jagung yang semula menunjukkan peningkatan kinerja produksi dibanding anggaran rata-rata 0,16 persen pada periode 2004 – 2009, menunjukkan penurunan tajam rata-rata 17,61 persen pada periode 2009 – 2014. Gambar 3 menunjukkan rata-rata penurunan kinerja produksi dibanding anggaran pada periode 2004 – 2014 sekitar 8,73 persen per tahun. Sementara itu, pada komoditas kedele (Gambar 4) menunjukkan penurunan kinerja produksi dibanding anggaran rata-rata 6,44 persen per tahun pada periode 2004 – 2009, pada periode 2009-2014 menunjukkan penurunan yang lebih besar yaitu rata-rata 19,29 persen per tahun dan rata-rata menurun 12,86 persen pada periode 2004 – 2014.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian158

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

Gambar 1. Kinerja produksi tanaman pangan dibanding anggaran subsektor tanaman pangan (dalam %).

Gambar 2. Kinerja produksi padi dibanding anggaran (dalam %)

Gambar 3. Kinerja produksi jagung dibanding anggaran (dalam %)

0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

500,00

600,00

700,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Produksi Dibanding Anggaran

Produksi

Anggaran

Produksi Dibanding Anggaran

0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

500,00

600,00

700,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Produksi

Anggaran

Produksi Dibanding Anggaran

Trend Produksi Dibanding Anggaran

0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

500,00

600,00

700,00

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Produksi

Anggaran

Produksi Dibanding Anggaran

Trend Produksi Dibanding Anggaran

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 159

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

Sumber : Renstra Kementan 2005 – 2009, Renstra Kementan 2010 – 2014, Direktorat Jenderal Tanaman

Pangan dan BPS 2014 (diolah) dan data realisasi tahun 2014 merupakan perkiraan dari Pusdatin Kementan 2014.

Gambar 4. Kinerja produksi kedele dibanding anggaran (dalam %)

Subsektor Hortikultura

Seperti pada subsektor tanaman pangan, pada subsektor hortikultura juga menunjukkan penurunan kinerja. Dalam periode 2004–2014, kinerja produksi hortikultura dibanding anggaran subsektor hortikultura menunjukkan penurunan rata-rata 7,59 persen per tahun. Pada tahun 2004–2009, indek peningkatan produksi hortikultura dibanding peningkatan anggaran sub sektor hortikultura menurun rata-rata 1,85 persen per tahun dan pada periode berikutnya yaitu 2009 – 2014 menurun rata-rata 13,32 persen per tahun (Gambar 5).

Kinerja berdasarkan komoditas menunjukkan penurunan pada periode 2009–2014 dibanding 2004–2009, baik untuk komoditas sayur-sayuran maupun buah-buahan. Pada komoditas kentang (Gambar 6) pada periode 2004-2009 kinerja peningkatan kentang dibanding anggaran kentang menurun rata-rata 2,52 persen per tahun. Sedangkan pada periode 2009–2014 menunjukkan penurunan rata-rata 7,81 persen per tahun. Pada periode 2004–2014 menunjukkan rata-rata penurunan 5,17 persen per tahun. Pada komoditas cabe (Gambar 7), terjadi peningkatan kinerja pada periode 2004–2009 sebesar rata-rata 0,30 persen per tahun, sedangkan pada periode 2009–2014 menunjukkan penurunan 7,12 persen per tahun. Rata-rata penurunan kinerja pada periode 2004–2014 adalah 3,41 persen per tahun. Pada komoditas bawang merah (Gambar 8) kinerja pada periode 2004–2009 meningkat rata-rata 0,01 persen per tahun, namun menunjukkan penurunan rata-rata 8,09 persen per tahun pada periode 2009–2014. Pada periode 2004–2014 pada komoditas bawang merah menunjukkan penurunan kinerja rata-rata 4,04 persen per tahun.

Pada komoditas pisang, kinerja produksi dibanding anggaran menunjukkan penurunan rata-rata 2,83 persen per tahun pada periode 2004–2009 dan semakin menurun pada periode 2009–2014 yaitu 11,88 persen. Pada periode 2004–2014 menujukkan penurunan rata-rata 7,36 persen per tahun (Gambar 9). Pada komoditas

0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

500,00

600,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Produksi Dibanding Anggaran

Produksi

Anggaran

Trend Produksi Dibanding Anggaran

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian160

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

mangga, kinerja produksi dibanding anggaran menunjukkan penurunan rata-rata 0,48 persen per tahun pada periode 2004–2009 dan penurunan rata-rata 11,48 persen per tahun pada periode 2009–2014. Selama periode 2004–2014, kinerja produksi mangga dibanding anggaran menurun rata-rata 5,83 persen per tahun (Gambar 10). Dibandingkan pisang dan mangga, jeruk menunjukkan penurunan kinerja produksi dibanding anggaran yang lebih besar. Kinerja produksi dibanding anggaran pada komoditas jeruk menurun rata-rata 6,52 persen pada periode 2004–2009 dan menurun 15,80 persen per tahun pada periode 2009–2014. Pada periode 2014–2014, kinerja produksi jeruk dibanding anggaran menurun rata-rata 11,16 persen per tahun (Gambar 11).

Gambar 5. Kinerja produksi hortikultura dibanding anggaran subsektor hortikultura (dalam %).

Gambar 6. Kinerja produksi kentang dibanding anggaran (dalam %) GamGGamGGGGGGGamGGGamGamGGamGamGamGamGambbbbbabarbarbarbarbarbarbarbarbar 6666666666666 6.. KiKiKiKinKinKinKinKinKinKinKinKinKin jjje jerjerjerjerjerjerjerjerjerja pa pa pa pa pa pa pa pa pa p ddddodrodrodrodrodrodrodrodrodrod kkkkksuksuksuksuksuksuksuksuksuks ki ki ki ki ki ki ki ki ki ki ki ki ki k tttententententententententententangangangangangangangangangang ddidididididididididididi dibbbbbanbanbanbanbanbanbanbanbanbanddidididindindindindindindindindinding ag ag ag ag ag ag ag ag ag anggnggnggnggnggnggnggnggnggngga aaraaraaraaraaraaraaraaraara ((((n (n (n (n (n (n (n (n (n (n (d ld ld ld ldaldaldaldaldaldaldaldaldaldalamamamamamamamamamam %)%)%)%)%)%)%)%)%)%)%)%)%)%)

0,00

50,00

100,00

150,00

200,00

250,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Produksi Dibanding Anggaran

Produksi

Anggaran

Trend Produksi DibandingAnggaran

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 161

0,00

50,00

100,00

150,00

200,00

250,00

300,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 7. Kinerja Produksi Cabe Dibanding Anggaran (Dalam %)

Produksi Dibanding Anggaran

Produksi

Anggaran

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

0,00

50,00

100,00

150,00

200,00

250,00

300,00

20042005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 8. Kinerja Produksi Bawang Merah Terhadap Anggaran (Dalam %)

Produksi DibandingAnggaranProduksi

Anggaran

0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

20042005200620072008200920102011201220132014

Gambar 9. Kinerja Produksi Pisang Dibanding Anggaran (Dalam %)

Produksi Dibanding Anggaran

Produksi

Anggaran

0,00

200,00

400,00

20042005200620072008200920102011201220132014

Gambar 10. Kinerja Produksi Mangga Dibanding Anggaran (Dalam %)

Produksi Dibanding Anggaran

Produksi

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian162

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

Sumber : Renstra Kementan 2005 – 2009, Renstra Kementan 2010 – 2014, Direktorat Jenderal Hortikultura

dan BPS 2014 (diolah) dan data realisasi tahun 2014 merupakan perkiraan dari Pusdatin Kementan 2014.

Subsektor Perkebunan

Seperti pada subsektor tanaman pangan dan hortikultura, penurunan kinerja juga terjadi pada subsektor perkebunan, namun menunjukkan kecenderungan yang semakin baik. Dalam periode 2004 – 2014, kinerja produksi dibanding anggaran subsektor perkebunan menunjukkan penurunan rata-rata 9,57 persen per tahun (Gambar 12). Pada tahun 2004 – 2009, kinerja produksi dibanding anggaran subsektor ini menurun 13,80 persen per tahun dan pada periode berikutnya yaitu 2009 – 2014 menurun rata-rata 9,59 persen per tahun.

Perkembangan kinerja produksi dibanding anggaran subsektor perkebunan menunjukkan bahwa hanya komoditas kelapa sawit yang menunjukkan peningkatan kinerja. Pada komoditas lain yaitu karet, kakao, kopi, gula dan kelapa menunjukkan kinerja penurunan kinerja. Pada komoditas kelapa sawit (Gambar 13) kinerja produksi dibanding anggaran komoditas kelapa sawit meningkat rata-rata 0,71 persen per tahun pada periode 2004 – 2009 dan menurun rata-rata 0,22 persen per tahun pada periode 2009 – 2014. Pada periode 2004-2014 menunjukkan peningkatan rata-rata 0,24 persen per tahun. Pada komoditas karet, kinerja produksi dibanding

0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

500,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 11. Kinerja Produksi Jeruk Dibanding Anggaran (Dalam %)

Produksi Dibanding Anggaran

Produksi

Anggaran

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 163

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

anggaran pada periode 2004 – 2009 menurun rata-rata 6,64 persen per tahun, dan menurun rata-rata 2,41 persen per tahun pada periode 2009 – 2014. Pada periode 2004 – 2014 kinerja produksi karet dibanding anggaran menurun rata-rata 4,52 persen per tahun (Gambar 14). Kinerja karet menempati urutan kedua terbaik setelah kelapa sawit.

Penurunan kinerja komoditas kakao adalah yang tertinggi diantara komoditas lainnya. Pada periode 2004-2009, kinerja produksi kakao menurun rata-rata 10,40 persen per tahun, dan menurun rata-rata 8,43 persen per tahun pada periode 2009-2014. Pada periode 2004 – 2014, kinerja produksi kakao menurun rata-rata 9,42 persen per tahun (Gambar 15). Pada Gambar 16 dapat dilihat bahwa kinerja produksi kopi dibanding anggaran menunjukkan penurunan rata-rata 7,94 persen per tahun pada periode 2004 – 2009, penurunan rata-rata 6,16 persen per tahun, data rata-rata 7,05 persen per tahun pada periode 2004 – 2014. Pad perioe 2004 – 2009, kinerja produksi gula dibanding anggaran menunjukkan penurunan rata-rata 7,86 persen per tahun, rata-rata menurun 6,29 persen per tahun pada periode 2009 – 2014 dan menurun rata-rata 7,07 persen per tahun pada periode 2004 – 2019 (Gambar 17).

0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

500,00

600,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 12. Kinerja Produksi Perkebunan Dibanding Alokasi Anggaran Subsektor Perkebunan (Dalam %)

Produksi Dibanding Anggaran

Produksi

Anggaran

0,00

50,00

100,00

150,00

200,00

250,00

300,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 13. Kinerja Produksi Kelapa Sawit Dibanding Anggaran (Dalam %)

Produksi Dibanding Anggaran

Produksi

Anggaran

Trend Produksi DibandingAnggaran

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian164

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

Penurunan kinerja gula adalah yang tertinggi setelah kakao. Sementara itu pada komoditas kelapa (Gambar 18) memiliki kinerja produksi dibanding anggaran menurun rata-rata 6,95 persen pada periode 2004 – 2009, menurun rata-rata 5,18 persen per tahun dan menurun rata-rata 6,06 persen per tahun pada periode 2004 – 2014. Kinerja kelapa menempati urutan ketiga terbaik setelah komoditas kelapa sawit dan karet. Kinerja produksi menurut komoditas perkebunan menunjukkan bahwa semakin tinggi anggaran diberikan semakin rendah kinerjanya (terjadi pada kakao dan gula) dan semakin didominasi swasta semakin baik kinerjanya (terjadi pada kelapa sawit).

0,00

50,00

100,00

150,00

200,00

250,00

300,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 14. Kinerja Produksi Karet Dibanding Anggaran (Dalam %)

Produksi Dibanding Anggaran

Produksi

Anggaran

Trend Produksi DibandingAnggaran

0,00

50,00

100,00

150,00

200,00

250,00

300,00

350,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 15. Kinerja Produksi Kakao Dibanding Anggaran (Dalam %)

Produksi Dibanding Anggaran

Produksi

Anggaran

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 165

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

Sumber : Renstra Kementan 2005 – 2009, Renstra Kementan 2010 – 2014, Direktorat

Jenderal Perkebunan dan BPS 2014 (diolah) dan data realisasi tahun 2014 merupakan perkiraan dari Pusdatin Kementan 2014.

0,00

50,00

100,00

150,00

200,00

250,00

300,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 16. Kinerja Produksi Kopi Dibanding Anggaran (Dalam %)

Produksi Dibanding Anggaran

Produksi

Anggaran

Trend Produksi DibandingAnggaran

0,00

50,00

100,00

150,00

200,00

250,00

300,00

350,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 17. Kinerja Produksi Gula Dibanding Anggaran (Dalam %)

Produksi Dibanding Anggaran

Produksi

Anggaran

Poly. (Produksi DibandingAnggaran)

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian166

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

Sumber : Renstra Kementan 2005 – 2009, Renstra Kementan 2010 – 2014, Direktorat Jenderal Perkebunan

dan BPS 2014 (diolah) dan data realisasi tahun 2014 merupakan perkiraan dari Pusdatin Kementan 2014.

Subsektor Peternakan

Seperti pada subsektor tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, pada sub sektor peternakan juga mengalami penurunan kinerja. Pada periode 2004 – 2009, kinerja produksi subsektor peternakan dibanding anggaran menurun rata-rata 11,73 persen per tahun, menurun rata-rata 15,90 persen per tahun pada periode 2009 – 2014 dan menurun rata-rata 13,81 persen pada periode 2004 – 2014 (Gambar 19). Kinerja menurut komoditas menunjukkan produksi daging sapi yang menyerap anggaran paling besar menunjukkan penurunan yang paling besar kedua setelah kambing/domba, sama seperti pada komoditas padi, kakao dan gula. Kinerja produksi daging sapi dibanding anggaran menurun rata-rata 9,45 persen per tahun pada periode 2004 – 2009, menurun rata-rata 6,81 persen per tahun pada periode 2009 – 2014 dan menurun rata-rata 8,13 persen pada periode 2004 – 2014 (Gambar 20).

Kinerja produksi dibanding anggaran pada daging babi menunjukkan penurunan rata-rata 6,45 persen pada periode 2004 – 2009, penurunan rata-rata 8,23 persen per tahun pada periode 2009 – 2014 dan rata-rata menurun 7,34 persen pada periode 2004 – 2014 (Gambar 21). Kinerja produksi daging kambing/domba menunjukkan penurunan tertinggi pada subsektor peternakan. Pada periode 2004 – 2009, kinerja produksi daging kambing/domba menurun rata-rata 8,87 persen per tahun, menurun rata-rata 8,05 persen per tahun pada periode 2009 – 2014 dan menurun rata-rata 8,46 persen per tahun pada periode 2004 – 2014 (Gambar 22). Kinerja produksi susu dibanding anggaran menurun rata-rata 6,16 persen pada periode 2004 – 2009, menurun rata-rata 5,90 persen per tahun pada periode 2009 -2014 dan pada periode 2004-2014 menurun rata-rata 6,03 persen pada periode 2004 – 2014 (Gambar 23). Kinerja produksi telur juga menunjukkan penurunan. Pada periode 2004-2009 kinerja produksi telur menurun rata-rata 7,44 persen per tahun, menurun rata-rata 7,11 persen pada periode 2009 – 2014 dan menurun rata-rata 7,27 persen pada periode 2004 – 2014 (Gambar 24).

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 167

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

0,00100,00200,00300,00400,00500,00600,00700,00800,00900,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 19. Kinerja Produksi Peternakan Dibanding Anggaran Subsektor Peternakan (Dalam %)

Produksi Dibanding Anggaran

Produksi

Anggaran

0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

500,00

600,00

700,00

800,00

900,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 20. Kinerja Produksi Daging Sapi Dibanding Anggaran (Dalam %)

Produksi Dibanding Anggaran

Produksi

Anggaran

Trend Produksi DibandingAnggaran

0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

500,00

600,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 21. Kinerja Produksi Daging Babi Dibanding Anggaran (Dalam %)

Produksi Dibanding Anggaran

Produksi

Anggaran

Trend Produksi DibandingAnggaran

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian168

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

Sumber : Renstra Kementan 2005 – 2009, Renstra Kementan 2010 – 2014, Direktorat Jenderal

Perkebunan, Direktorat Jenderal Peternakan dan BPS 2014 (diolah) dan data realisasi tahun 2014 merupakan perkiraan dari Pusdatin Kementan 2014.

0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

500,00

600,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 22. Kinerja Produksi Daging Kambing/Domba Dibanding Anggaran (Dalam %)

Produksi Dibanding Anggaran

Produksi

Anggaran

Trend Produksi DibandingAnggaran

0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

500,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 23. Kinerja Produksi Susu Dibanding Anggaran (Dalam %)

Produksi Dibanding Anggaran

Produksi

Anggaran

Trend Produksi DibandingAnggaran

0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

500,00

600,00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Gambar 24. Kinerja Produksi Telur Dibanding Anggaran (Dalam %)

Produksi Dibanding Anggaran

Produksi

Anggaran

Trend Produksi DibandingAnggaran

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 169

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

PDB Pertanian

Indek PDB pertanian menunjukkan peningkatan rata-rata 29,68 persen pada periode 2004-2009, meningkat rata-rata 32,56 persen pada periode 2009-2014 dan rata-rata 31,12 persen per tahun pada periode 2004 – 2014. Sementara itu indek anggaran meningkat rata-rata 35,67 persen per tahun pada periode 2004 – 2009, meningkat 32,03 per tahun pada periode 2009-2014 dan rata-rata meningkat 33,85 persen per tahun pada periode 2004 – 2014. Indek PDB dan anggaran pada masing-masing subsektor juga menunjukkan peningkatan seperti terinci pada Tabel 8.

Bukti bahwa kinerja pembangunan pertanian semakin menurun selain ditunjukkan oleh kinerja produksi dibanding anggaran, juga ditunjukkan oleh penurunan indek PDB dibanding anggaran pertanian. Berdasarkan Tabel 9, kinerja PDB tanaman pangan dan hortikultura yang mengalami peningkatan rata-rata 15,00 persen per tahun pada periode 2004 – 2009 menjadi menurun rata-rata 16,90 persen per tahun pada periode 2009 – 2014, dan pada periode 2004 – 2014 menurun rata-rata 0,95 persen per tahun. Kinerja yang lebih baik ditunjukkan oleh sub sektor perkebunan, dimana pada periode 2004 – 2009 mengalami penurunan indek PDB dibanding anggaran rata-rata 7,60 persen menjadi meningkat rata-rata 5,31 persen per tahun sekalipun pada periode 2004 – 2014 masih menunjukkan rata-rata penurunan rata-rata 1,15 persen per tahun. Seperti pada sub sektor tanaman pangan dan hortikultura, indek PDB dibanding anggaran pada sub sektor peternakan menunjukkan kondisi yang semakin menurun. Pada periode 2004 – 2009, sub sektor ini memiliki peningkatan rata-rata 3,07 persen per tahun, namun demikian pada periode 2009 – 2014 menunjukkan penurunan rata-rata 7,45 persen per tahun. Pada

Tabel 8. Perkembangan Indeks PDB dan Indeks Anggaran Pertanian Menurut Sub Sektor, Tahun 2004-

2014.

Tahun Indeks PDB Indeks Anggaran

����������� ������ �� ������� ������ ��� ��������� ���������

��� ������ �� ������� ������ ��� ���������

2004 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 2005 109,53 113,71 108,78 110,22 130,05 116,17 117,68 114,07 2006 129,47 127,75 125,69 128,53 119,42 115,03 188,66 178,13 2007 160,12 164,54 150,92 159,52 230,98 98,39 173,41 249,11 2008 211,28 213,50 204,94 210,70 154,73 113,29 238,78 235,39 2009 253,20 224,41 258,11 248,40 144,69 361,87 223,74 278,34 2010 291,36 274,12 293,77 288,40 138,97 115,39 297,27 227,81 2011 320,11 309,70 318,20 317,79 391,72 501,88 725,97 498,86 2012 346,91 321,88 359,52 344,05 578,34 370,99 803,53 534,07 2013 375,60 353,10 406,46 376,14 448,71 450,48 724,44 505,04 2014 344,02 352,53 405,82 411,18 380,27 398,17 519,53 438,47 Pertumbuhan (%/th) 2004-2009 30,64 24,88 31,62 29,68 8,94 52,37 24,75 35,67 2009-2014 18,16 25,62 29,54 32,56 47,12 7,26 59,16 32,03 2004-2014 24,40 25,25 30,58 31,12 28,03 29,82 41,95 33,85

Sumber : Biro Perencanaan dan BPS 2014 (diolah) dan data PDB tahun 2014 merupakan perkiraan Pusdatin.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian170

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

Tabel 9. Perkembangan Indeks PDB Dibanding Indeks Anggaran Pertanian Menurut Sub Sektor, Tahun 2004 – 2014.

Tahun Indeks PDB dibanding Indeks Anggaran

Pangan& Hortikultura Perkebunan Peternakan Pertanian

2004 100,00 100,00 100,00 100,00 2005 84,22 97,88 92,44 96,62 2006 108,41 111,05 66,62 72,16 2007 69,32 167,24 87,03 64,03 2008 136,55 188,45 85,83 89,51 2009 174,99 62,01 115,36 89,24 2010 209,66 237,55 98,82 126,59 2011 81,72 61,71 43,83 63,70 2012 59,98 86,76 44,74 64,42 2013 83,71 78,38 56,11 74,48 2014 90,47 88,54 78,11 93,78 Pertumbuhan (%/thn) 2004-2009 15,00 -7,60 3,07 -2,15 2009-2014 -16,90 5,31 -7,45 0,91 2004-2014 -0,95 -1,15 -2,19 -0,62

Sumber : Biro Perencanaan dan BPS 2014 (diolah) dan data PDB tahun 2014 merupakan perkiraan Pusdatin. periode 2004 – 2014, indek PDB dibanding anggaran pada sub sektor peternakan menurun rata-rata 2,19 persen per tahun. Namun demikian, sekalipun terjadi penurunan pada periode 2004 – 2009 rata-rata sebesar 2,15 persen per tahun, pada periode 2009 – 2014 meningkat rata-rata 0,91 persen per tahun dan rata-rata periode 2004 – 2010 menurun 0,62 persen per tahun.

Tenaga Kerja Pertanian

Pada Tabel 10 diberikan gambaran bahwa pertambahan anggaran pertanian juga belum mampu sepenuhnya mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja ke arah yang positif. Pada kondisi alamiah dimana penyerapan tenaga kerja pertanian tetap harus menurun, peningkatan anggaran belum mampu mendorong pertambahan penyerapan tenaga pertanian sebesar peningkatan anggaran. Pada periode 2004 – 2009, indek penyerapan tenaga kerja dibanding anggaran pertanian menurun rata-rata 13,17 persen per tahun, dan juga mengalami penurunan pada periode 2009 – 2014 dengan nilai rata-rata 2,81 persen per tahun. Dalam periode 2004 – 2014, indeks penyerapan tenaga kerja pertanian dibanding anggaran pertanian menurun rata-rata 7,99 persen per tahun.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 171

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

Tabel 10. Indeks Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian Dibanding Indek Anggaran Pertanian Tahun 2004 - 2014

Tahun Indeks TK Pertanian

Indeks Angaran Pertanian

Indeks TK Dibanding Anggaran

2004 100,00 100,00 100,00 2005 101,72 114,07 89,18 2006 98,83 178,13 55,48 2007 101,47 249,11 40,73 2008 101,78 235,39 43,24 2009 95,08 278,34 34,16 2010 95,27 227,81 41,82 2011 89,98 498,86 18,04 2012 89,71 534,07 16,80 2013 88,77 505,04 17,58 2014 88,08 438,47 20,09 Pertumbuhan (%/thn) 2004-2009 -0,98 35,67 -13,17 2009-2014 -1,40 32,03 -2,81 2004-2014 -1,19 33,85 -7,99

Sumber : Biro Perencanaan dan BPS 2014 (diolah) dan data tenaga kerja tahun 2014 merupakan perkiraan Pusdatin

PENYEBAB TURUNNYA KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN IMPLIKASINYA

Penyebab Turunnya Kinerja Pembangunan Pertanian

Berdasarkan hasil analisis kinerja pembangunan pertanian diperoleh gambaran bahwa : (1) pencapaian realisasi relatif dekat dengan target atau sasaran yang ingin dicapai dan tingkat realisasi dibanding sasaran secara umum menunjukkan penurunan selama tahun 2004-2014, dan (2) penurunan kinerja semakin nampak jelas ketika pencapaian kinerja tersebut dikaitkan dengan besarnya nilai anggaran yang digunakan. Berdasarkan acuan kriteria-kriteria keberhasilan perencanaan dan operasionalisasi program pembangunan, kinerja pembangunan pertanian yang semakin menurun pada periode tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor sebagai berikut.

Kurangnya dukungan data dan informasi statistik yang reliable dan relevan.

Perencanaan membutuhkan data dukung dan informasi statistik yang memadai. Perencanaan yang baik membutuhkan adanya analisis yang menyeluruh tentang potensi sumber daya yang dimiliki beserta permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan potensi tersebut. Analisis seperti ini penting untuk memahami sumber

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian172

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

daya yang potensial untuk mendukung pembangunan pertanian, misalnya sumber daya alam, sumber daya manusia dan modal yang tersedia baik secara nasional dan daerah. Analisis data tersebut sangat diperlukan untuk dijadikan landasan dalam menentukan arah dan kebijakan prioritas pembangunan serta menetapkan target-target yang disusun untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Kurangnya dukungan dan analisis data serta informasi statistik yang memadai ditunjukkan oleh bukti bahwa data dukung yang tersedia hanya dijadikan dasar untuk menarik dana dan bukan dianalisis untuk penyusunan perencanaan dan penetapan target atau sasaran yang ingin dicapai baik berupa output, outcome maupun impact dari perencanaan dan implementasinya. Hasil penelusuran sekitar 13.000 lebih E-Proposal yang merupakan proposal kegiatan yang diusulkan oleh Pemerintah Daerah menunjukkan bahwa proposal kegiatan yang diajukan tidak didasarkan atas data dan analisis data dukung yang memadai serta terlepas dari dokumen perencanaan pembangunan pertanian di tingkat pusat dan daerah. Keterkaitan antara perencanaan di tingkat pusat dan daerah hanya terjadi pada fokus komoditas yang diajukan dan tidak ada keterkaitan antara besaran target yang ingin dicapai pada masing-masing komoditas dan keterkaitan antara besaran target yang ingin dicapai pada tingkat pusat atau nasional dan daerah untuk masing-masing komoditas.

Tujuan dan sasaran kurang realistis dan sesuai kondisi spesifik wilayah.

Perencanaan harus memuat dan menggambarkan secara baik mengenai rencana yang akan dilakukan dan menetapkan pula tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Berbagai sasaran dan tujuan tersebut hendaknya realistis dan disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat. Prinsip realistis dan kesesuaian dengan kondisi wilayah menyebabkan tujuan dan sasaran program yang akan dilaksanakan harus ditetapkan berdasarkan metode analisis tertentu dengan menggunakan data statistik yang memadai. Akan tetapi analisis tersebut sejauh ini belum dilakukan dengan baik sehingga tujuan dan sasaran program di lingkup Kementan kurang realistis.

Hal tersebut diatas misalnya dapat disimak pada pelaksanaan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) yang mencapai luasan lebih dari 4 juta hektar dengan paket program yang relatif sama pada seluruh wilayah dan kurang memperhatikan kondisi spesifik lokasi. Atau dapat juga disimak pada target pengadaan ternak sapi dalam Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) yang jumlahnya mendekati jumlah ternak sapi yang dipotong setiap tahunnya yang artinya peningkatan populasi ternak sapi hanya mengandalkan peningkatan populasi di dalam negeri. Bantuan dan pengadaan ternak sapi juga tidak selalu dilakukan pada lokasi atau wilayah yang terbiasa melakukan usaha budidaya sapi potong sehingga bantuan pengadaan ternak sapi yang bertujuan untuk meningkatkan populasi sapi tidak menimbulkan dampak yang signifikan dan kecenderungan pengurasan populasi sapi tetap terjadi3. Contoh lainnya adalah pada program Gerakan Nasional (Gernas) kakao,

3 Dibuktikan dengan sensus hasil ternak dimana hasil pendataan tahun berikutnya jumlahnya langsung

menurun.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 173

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

dimana penggunaan teknologi sambung samping kurang realistis karena membutuhkan keahlian khusus dan program inipun disebar ke seluruh wilayah baik pada lokasi yang petaninya sudah ahli maupun yang belum ahli menerapkan teknologi tersebut. Begitu pula penetapan target surplus produksi beras sebesar 10 juta ton dan pencapaian swasembada kedele serta gula tidak realistis karena tidak didukung dengan upaya perluasan areal baru sementara perluasan areal justru menjadi kunci peningkatan produksi ketiga komoditas tersebut. Upaya pencapaian surplus produksi dan swasembada tersebut lebih difokuskan melalui program peningkatan produktivitas pada wilayah-wilayah eksisting yang umumnya memiliki kecenderungan levelling off dalam hal produktivitas, sehingga peningkatan produksi secara signifikan hanya mungkin dapat diraih apabila dilakukan perluasan areal tanam4.

Lemahnya organisasi perencana

Perencana pembangunan pertanian adalah aparatur pemerintah yang melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan pada bidang perencanaan pembangunan pertanian. Para perencana pembangunan pertanian ini seyogyanya adalah mereka yang memiliki pemahaman dan kapasitas yang mumpuni dalam tataran makro ekonomi atau sosial ekonomi pertanian, pengetahuan teknis pertanian, kepemimpinan dan kemampuan manajerial, sehingga dapat mengintegrasikan dan mengarahkan segenap potensi sumber daya dalam mendukung pencapaian tugas pokok, fungsi, sasaran, visi dan misi organisasi. Seperti diketahui dalam semua dokumen pembangunan pertanian sasaran, visi, misi organisasi dan target atau sasaran yang ingin dicapai yang merupakan target sukses Kementerian Pertanian adalah sarat dengan muatan makro ekonomi atau sosial ekonomi pertanian dan melampaui batas-batas substansi teknis. Oleh karena itu kematangan para perencana pembangunan sangat dibutuhkan, karena perencanaan adalah sebuah fungsi yang bersifat generik, sehingga: (1) aktivitas perencanaan berada di dalam semua sektor, bidang dan satuan kerja pemerintahan di Pusat dan Daerah, dan (2) pelaksanaannya dapat melampaui batas-batas subtansi yang dapat dipahami sebagai suatu bentuk perencanaan lintas bidang (integrated planning).

Sebagai fungsi yang bersifat generik, perencanaan adalah suatu langkah proses penyusunan serangkaian tindakan (rasional) yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan (yang diinginkan)5. Dengan demikian, perencana dituntut memiliki pola berpikir dan tindakan yang berorientasi jauh ke depan dengan menggunakan metoda dan sistematika yang rasional (melalui penetapan urutan pilihan yang memperhitungkan ketersediaan sumber daya), sehingga dalam menjalankan fungsinya perencana harus menggunakan jenis dan metode yang tergantung pada tingkat dan substansi satuan kerjanya, mulai dari tingkat strategis/kebijakan, tingkat

4 Untuk komoditas padi dapat dibaca pada hasil penelitian Sumaryanto et al (2013) dan pada akhirnya semua target

yang ditetapkan di awal pada akhirnya direvisi kembali baik pada Renstra 2010 – 2014 maupun Program Pencapaian Swasembada Gula

5 Pengertian Perencanaan Pembangun dapat dibaca secara lebih komprehensif pada Undang Undang No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian174

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

taktis/manajerial, sampai tingkat teknis/detail atau mulai dari tingkat pusat hingga tingkat lokalita.

Di samping itu prasyarat untuk menjadi perencana yang baik seharusnya didukung dengan kemampuan untuk: (1) melaksanakan seluruh proses atau siklus perencanaan (mulai dari identifikasi masalah, pengumpulan data/informasi, analisis permasalahan, kendala, tantangan, perumusan kebijakan, perumusan program kegiatan, pelaksanaan, pemantauan hingga evaluasinya), (2) bersikap aktif, kreatif, inovatif, komunikatif, antisipatif dan memiliki sikap sense of crisis, (3) memiliki kemampuan untuk memandu dan mendorong ke arah problem solving dan perumusan kebijakan secara tepat. Berdasarkan peran, tanggung jawab dan kedudukannya sebagai perencana pemerintah maka perencana yang memimpin suatu bidang satuan kerja pemerintah dengan kemampuan leadership dan manajerial yang lebih baik dari aparat yang tidak pernah memiliki pengalaman menjalani tugas-tugas perencanaan (soft skill).

Tuntutan reformasi di bidang pemerintahan dan pembangunan telah berdampak pada adanya pergeseran paradigma dalam penyelenggaraan administrasi publik. Hal ini berimplikasi pada luasnya ruang lingkup kegiatan perencanaan, sehingga sulit untuk membatasi ruang gerak seorang perencana hanya pada salah satu aspek saja, seperti formulasi kebijakan dasar/strategis, penyusunan program-program taktis, penyiapan kegiatan jangka pendek, perencanaan operasional rutin instansi dan atau hanya berperan dalam pelaksanaan koordinasi, fasilitasi dan mediasi saja. Hal ini berimplikasi pula bahwa seorang perencana selain harus didukung dengan scientific skill juga harus didukung pula dengan managerial skill. Sebagai salah satu fungsi manajemen, perencanaan memiliki peran yang sangat strategis. Ungkapan yang sudah sangat populer menyatakan bahwa bila perencanaannya benar, maka separuh keberhasilan sudah dapat diharapkan. Dengan demikian untuk dapat benar-benar menjadi penentu separuh keberhasilan tersebut, fungsi perencanaan harus dapat berperan dalam: (1) menghubungkan antara pengetahuan dengan action planning, (2) mengantisipasi timbulnya masalah di masa depan melalui rangkaian/urutan tindakan masa kini, (3) menemukan solusi persoalan masa kini dengan pandangan jauh ke depan dan (4) memfungsikan proses pembelajaran sosial (parcipatory planning) yang terkait dengan produk perencanaan publik.

Uraian diatas mengungkapkan bahwa banyak persyaratan kapasitas dan kapabilitas yang harus dipenuhi oleh para perencana. Lemahnya organisasi perencana antara lain ditunjukkan oleh tidak terpenuhinya berbagai persyaratan tersebut oleh para perencana di bidang pertanian. Untuk pertama kalinya dalam sejarah pengisian pejabat perencanaan baik dipusat dan didaerah tidak diisi oleh berbagai hal yang sesuai dengan karakteristik perencana dan perencanaan seperti uraian di atas.

Lemahnya sinkronisasi

Meskipun target dan sasaran yang ingin dicapai disusun bersama-sama antara pusat dan daerah dan sebagai konsekuensi dari bagian wilayah nasional, dan target daerah merupakan turunan dari target nasional. Namun demikian, nampaknya target

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 175

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

dari renstra daerah terlepas dari target nasional dan perencanaan daerah bukan bagian dari perencanaan nasional karena keputusan akhir sarat intervensi dari pihak di luar lembaga teknis perencanaan (Badan Perencanaan Pembangunan). Sekalipun terdapat mekanisme sinkronisasi perencanaan pusat dan daerah, dokumen perencanaan “bukan merupakan dokumen yang sakral” yang bernilai strategis untuk memandu pencapaian target pembangunan yang ingin dicapai, akan tetapi lebih merupakan dokumen yang menunjukkan bahwa “tugas pokok dan fungsi” para perencana dan aparat pelaksana pembangunan sudah selesai dilaksanakan.

Lemahnya Monitoring dan Evaluasi

Dalam periode 2004 – 2014, monitoring dan evaluasi belum atau tidak dapat digunakan secara baik untuk memperbaiki kinerja operasional pembangunan namun sebatas pelaksanaan pembangunan membutuhkan kegiatan itu. Kurangnya upaya untuk melakukan perbaikan operasional dan kinerja pembangunan menyebabkan kegiatan monitoring dan evaluasi bukan merupakan instrumen yang digunakan semestinya. Akibatnya ketika diharapkan target yang ingin dicapai mendekati realisasi, maka target yang diturunkan dengan tidak melakukan upaya perbaikan pada tataran operasional dari perencanaan pembangunan tersebut.

Dalam periode 2004 – 2014 target atau sasaran yang ingin dicapai yang tertuang dalam Rencana Strategis Pembangunan Pertanian6 direvisi dengan menurunkan target tersebut ketika diperkirakan target yang ingin dicapai dalam pembangunan pertanian pada tahun atau periode tertentu tidak dapat dicapai. Dalam konteks ini seharusnya evaluasi yang dilakukan untuk memperbaiki kinerja organisasi dan manajemen opersional kegiatan pembangunan apabila hasilnya kurang baik, maka dilakukan perbaikan untuk mengatasi masalah-masalah dan kendala-kendala yang dihadapi dalam operasional atau implementasi dari perencanaan pembangunan, dan bukan merevisi dengan menurunkan target yang ingin dicapai.

Lemahnya Penetapan Sasaran, Prioritas Pencapaian Tujuan dan Waktu

Penetapan sasaran seharusnya dilakukan berdasarkan prioritas pencapaian tujuan pembangunan dan waktu. Akan tetapi sistem desentralisasi menyebabkan penetapan sasaran dan waktu di tingkat daerah dan di tingkat pusat dapat berbeda-beda akibat pemilihan kepala daerah yang tidak seragam antara pusat dan daerah. Perbedaan waktu pemilihan kepala daerah dan pergantian kepala daerah menyebabkan terjadinya pergeseran tujuan dan sasaran yang sebelumnya telah disepakati oleh pemerintah pusat dan daerah. Karena target nasional pada dasarnya merupakan akumulasi dari target provinsi dan kabupaten/kota, maka akibat terjadinya perubahan sasaran di daerah maka pencapaian target nasional akan terganggu.

6 Dilakukan lebih dari satu kali revisi terhadap Rencana Strategis Pembangunan Pertanian ketika diketahui

dari hasil laporan realisasi tidak akan dapat mencapai target yang diinginkan.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian176

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

Dalam kerangka implementasi otonomi daerah perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tidak selalu harus dilaksanakan secara bottom up, tetapi dapat pula dilaksanakan secara top down, atau kombinasi dari keduanya. Dalam rangka sinkronisasi antara pembangunan di tingkat pusat dan daerah maka Pemerintah pusat perlu melakukan pengendalian perencanaan dan implementasinya di tingkat daerah karena target pembangunan adalah nasional yang artinya meliputi seluruh daerah.

Lemahnya Mobilisasi Sumber Daya yang Memadai

Penetapan prioritas dan tujuan akan membawa konsekuensi berupa mobilisasi sumber daya yang memadai pada lokasi-lokasi yang diprioritaskan. Dalam perencanaan ditetapkan adanya pembiayaan oleh pemerintah sebagai dasar mobilisasi sumber daya yang tersedia. Sumber dana dari dalam negeri dapat dari pemerintah, swasta dan masyarakat. Secara umum semuanya tertuang dalam rencana pembiayaan pembangunan yang akan dilaksanakan, dimana dalam skala nasional, yang perlu diperhatikan dalam hal pembiayaan pembangunan ini adalah jangan sampai mengakibatkan efek inflasioner dan tekanan pada neraca pembayaran dan ketergantungan pada pihak tertentu karena menciptakan defisit anggaran pembiyaan pembangunan yang terlalu tinggi. Sementara itu, pada tingkat daerah sumber dan alokasi pembiayaan harus tepat. Sumber daya pembangunan dari pemerintah pada akhirnya harus terjadi dan fokus pada sektor-sektor yang tidak mampu dibiayai oleh swasta dan rumah tangga atau masyarakat. Ketika Kementerian Pertanian menggulirkan dananya yang sebagian besar dalam bentuk Bantuan Sosial, maka kegiatan pembangunan tidak berorientasi kepada pembangunan infrastruktur, kelembagaan dan prasarana serta sarana yang mampu mengungkit pertumbuhan yang ingin dicapai. Pada akhirnya program pembangunan pertanian merupakan jaring pengaman sosial yang seharusnya menjadi tanggungjawab Kementerian Sosial, karena merupakan dana sosial dan bukan merupakan dana untuk melakukan pembangunan untuk mendorong pertumbuhan dan produktivitas sektor pertanian. Kondisi ini menunjukkan bahwa selama ini mobilisasi sumber daya pembangunan yang memadai lemah.

Tidak Adanya Keseimbangan dalam Perencanaan dan Implementasi

Di samping adanya prioritas pada tujuan yang ingin dicapai, kegiatan dan lokasinya, perencanaan dan implementasi pembangunan perlu memperhatikan keseimbangan dalam perencanaan dan implementasi. Suatu perencanaan hendaknya mampu menjamin keseimbangan rencana kebutuhan anggaran sumber daya lainnya dengan penggunaannya. Keseimbangan ini penting untuk menghindarkan kelangkaan maupun surplus anggaran atau sumber daya lainnya pada periode perencanaan. Perencanaan juga harus memperhatikan keseimbangan antara biaya dan output, outcome dan impact yang dihasilkan dari pembangunan. Ketika ditetapkan bahwa target surplus 10 juta ton beras akan dicapai, apakah dari prinsip keseimbangan ini sudah dikaji secara mendalam dengan metode analisis yang tepat dan data dan informasi statistik yang relevan dan reliable? Apakah memang kapasitas sumber daya dan dana yang dibutuhkan tersedia secara memadai sehingga seimbang antara

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 177

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

sumber daya dan dana yang akan digunakan? Apakah ketersediaan sumber daya dan dana tersebut dapat dimobilisasi dengan dengan baik hingga ketersediaannya di tingkat lokasi memadai? Mendalami dokumen dan instrumen perencanaan pembangunan pertanian serta hasil implementasinya dapat diperoleh lima fenomena yaitu: (1) adanya penetapan sasaran yang tinggi karena dituntut oleh program revitalisasi pertanian atau sejumlah ambisi tertentu yang ternyata tidak mampu diikuti oleh kapasitas pendanaan, sumber dana dan sumber daya manusia, (2) penetapan target yang rendah pada implementasi kegiatan karena takut dinilai kinerjanya tidak baik, yang terjadi pada hampir seluruh provinsi dan kabupaten/kota yang memberikan konsekuensi tidak ada link and macth antara target nasional dan daerah, (3) lemahnya hubungan komitmen pusat dan daerah, karena keinginan pimpinan daerah untuk mengatur dirinya sendiri dan banyaknya kejadian penggunaan anggaran menimbulkan urusan dengan pihak kepolisian dan kejaksaan, (4) tidak ada sinkronisasi dan keterpaduan antar Eselon I di Pusat, dan (5) ketidak pastian lokasi karena sarat dengan intervensi, pemerataan dan aspirasi lembaga legislatif. Pada akhirnya perencanaan tidak memiliki keseimbangan dan keserasian antara perencanaan dan implementasi.

Administrasi yang dibangun tidak ekonomis dan sistem administrasi yang dikembangkan tidak efisien�

Pembangunan pertanian maupun ekonomi pada umumnya membutuhkan dukungan administrasi ekonomis dan sistem administrasi yang efisien. Adiminstrasi yang ekonomis didasarkan pada pertimbangan bahwa masyakarat harus merasa yakin bahwa setiap rupiah yang mereka bayarkan kepada pemerintah melalui pajak dan pinjaman dipergunakan sebagaimana mestinya bagi kesejahteraan dan pembangunan mereka, dan tidak dihambur-hamburkan dan atau dikorupsi. Setiap usaha pembangunan yang dituangkan dalam perencanaan yang pada akhirya diimplementasikan harus dibuat berdampak ekonomis dalam administrasi, dari sisi kelembagaan pengembangan, yaitu pada bagian-bagian departemen dan pemerintahan. Dalam sebuah lembaga tertentu terlalu banyak unit departemen, pusat-pusat atau bagian-bagian dan jabatan struktural menunjukkan bahwa lembaga dan para pegawainya tidak mampu bekerja secara fungsional, melakukan koordinasi, sinkronisasi dan sinergi dalam melaksanakan kegiatan pembangunan dengan baik.

Sistem adminstrasi pembangunan yang menggunakan banyak program dan juga banyak satuan kerja juga tidak baik. Keduanya akan berdampak tidak ekonomis karena meningkatkan biaya manajemen dan administrasi, sementara biaya operasional pembangunan terkurangi karena tingginya biaya tersebut. Organisasi, tata kerja dan kelembagaan yang ramping, serta memiliki kemampuan tinggi untuk melakukan koordinasi, sinkronisasi dan sinergi dalam melaksanakan kegiatan pembangunan, secara berfungsi secara efektif dan efisien mencerminkan sistem administrasi yang ekonomis. Ketika program pembangunan pertanian ditetapkan dari empat menjadi dua belas dengan tidak adanya kemauan para pejabat lingkup Eselon I untuk berkolaborasi pada lokasi-lokasi prioritas dan masing-masing secara terus-menerus mempertahan jalur hubungan mereka ke seluruh daerah atau kabupaten/kota

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian178

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

sehingga program dan kegiatan yang memberikan konsekuensi pendanaan disebar merata, maka pembangunan pertanian periode 2004-2014 sudah pasti tidak ekonomis. Keberhasilan perencanaan di beberapa negara seperti di Jerman, Uni Sovyet, Jepang, Korea Selatan, Singapura, China dan Taiwan misalnya, adalah sangat terkait dengan tatanan administrasi yang ketat, efisien dan ditangani oleh para perencana dan administrator yang sangat terlatih dan disiplin. Dalam membuat suatu rencana, teknik dan teknologi merupakan bagian dari kebijaksanaan, namun rahasia keberhasilan perencanaan lebih banyak terletak pada sistem politik atau pengambilan keputusan yang bijaksana dan administrasi pemerintahan yang baik. Tanpa pesyaratan administrasi yang seperti itu, perencanaan pembangunan tidak akan berhasil dengan baik.

Perencanaan dan implementasi tidak didasarkan atas kebijakan pembangunan yang tepat�

Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah harus menetapkan kebijaksanaan pembangunan yang tepat demi berhasilnya rencana pembangunan dan untuk menghindari kesulitan yang mungkin timbul dalam proses pelaksanaannya. Perumusan kebijakan yang tepat juga membutuhkan suatu metode analisis tertentu yang dilakukan secara tepat. Kebijakan dirumuskan atas dasar kebutuhan dan bukan keinginan. Ketepatan dalam menganalisis kebutuhan dan mendalami permasalahan, menganalis alternanatif solusi dan strategi kebijakan. Kebijakan yang tepat umumnya tidak datang serta merta, akan tetapi melalui pengkajian yang mendalam dan umumnya dilakukan dengan proses dialogis sehingga ketika kebijakan pembangunan tersebut diputuskan dan diterapkan mendapatkan respon yang baik dan dukungan dari masyarakat. Pemerintah Pusat dan Daerah seharusnya tidak mengambil keputusan-keputusan penting secara tergesa-gesa tanpa lebih dahulu, sebelum dianalisis, dikaji, diuji dan dipertimbangkan secara matang oleh para teknokrat dan tim ahli yang berada dalam komisi perencanaan atau ditugaskan dalam menyusun perencanaan, memberikan masukkan kebijakan dan mendampingi dalam implementasi.

Dasar pendidikan pembangunan dan perencanaan yang lemah

Dasar pendidikan dan pengalaman yang kuat dan kematangan serta kepemimpinan (leaderships) menjadi penting ketika adminstrasi yang bersih dan efisien serta rumusan kebijakan yang tepat demi keberhasilan pembangunan pertanian akan dilaksanakan. Administrasi yang bersih dan efisien memerlukan dasar pendidikan yang kuat, pengalaman yang memadai dan kepemimpinan yang memotivasi serta kerjasama pada semua pihak yang terkait. Perencanaan akan berhasil apabila standar moral dan etika masyarakat diperhatikan. Seseorang tak dapat mengharapkan adanya administrasi yang ekonomis dan berdaya-guna kalau masyarakat tidak mempunyai nilai etika dan moral yang tinggi. Hal ini tidak mungkin dapat dicapai tanpa membangun lebih dulu dasar pendidikan yang kuat yang mengajarkan pengetahuan akademis maupun teknis secara berimbang. Tanpa menciptakan manusia yang jujur dan berdaya-guna di dalamnya, tidak akan mungkin menyusun perencanaan ekonomi dalam skala besar dan berhasil mencapai target yang ditetapkan. Berdasarkan hal

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 179

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

inilah kenapa AT Mosher menyimpulkan bahwa diantara syarat pokok dan pelancar pembangunan pertanian adalah perencanaan nasional dan pendidikan bagi pembangunan.

Perencanaan dan implementasi tidak didasarkan atas teori kebutuhan konsumsi yang tepat�

Salah satu syarat penting dalam perencanaan pembangunan moderen adalah bahwa perencanaan tersebut harus dilandasi oleh teori pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dalam pembangunan ekonomi mengenali secara mendalam mengenai kebutuhan yang sesuai untuk masyarakat sangatlah penting. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan harus dilaksanakan secara spesifik wilayah dan lokasi karena keberagaman karakteristik dan tingkat perkembangan setiap wilayah berbeda-beda. Pada pembangunan makro ekonomi, Galbraith (1962) menyatakan bahwa negara sedang berkembang tidak harus demokratis dan perhatian pertama harus diberikan kepada barang yang ada di dalam peringkat pola pendapatan yang dapat dibeli oleh keluarga tertentu atau daya beli masyarakat. Implikasi dari hal ini adalah bahwa perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tidak harus selalu dilaksanakan secara bottom up, dan dapat dilaksanakan secara top down, dengan otoritas pada tingkat tertentu dan dapat dilaksanakan kombinasi keduanya dalam kondisi implementasi otonomi daerah. Pemerintah pusat dapat melakukan kendali perencanaan pembangunan dan implementasinya dalam pembangunan ekonomi daerah. Bagi negara berkembang, di atas segalanya, perhatian utama harus ditekankan pada penyediaan pangan, sandang, energi dan papan, yang diproduksi secara berdayaguna dan berlimpah, karena kesemua itu merupakan keperluan paling mendasar. Kemandirian dan kedaulatan ekonomi menjadi penting dan di samping itu, perhatian juga diutamakan pada ketersediaan produksi tersebut secara berkelanjutan serta kelancaran transportasi dan distribusi antar daerah. Berdasarkan hal inilah kenapa AT Mosher menyimpulkan bahwa diantara syarat pokok dan pelancar pembangunan pertanian adalah pasar dan transportasi atau pengangkutan hasil produksi yang lancar.

Pada contoh lain adalah pada pembangunan alat mekanisasi yang kecil didukung oleh pelatihan manajemen, ketrampilan teknis dan kelembagaan operasional serta menyediakannya hingga ke lokasi sesuai kebutuhan di negara berpendapatan rendah adalah lebih penting dibandingkan dengan traktor besar sekalipun harganya relatif murah atau dibantu dengan pengadaan dan subsidi dari pemerintah. Sistem penerangan listrik yang murah untuk daerah pedesaan adalah lebih baik ketimbang sistem kapasitas tinggi yang menggunakan peralatan yang tak dapat dioperasikan masyarakat. Sistem inovasi dan invensi menjadi penting untuk memenuhi dinamika kebutuhan masyarakat, dimana operasional kebijakan pengembangan didasarkan pada karakteristik dan tingkat perkembangan masyarakat dan tidak menganggap semua lokasi sama.

Pemerintah harus bijaksana untuk tidak senantiasa mengambil langkah impor atau memenuhi kebutuhan barang dari luar negeri sekalipun dengan alasan stabilitas, karena kebijakan ini akan melemahkan kemampuan produsen dalam negeri dan lebih

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian180

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

berpihak kepada konsumen jika dibandingkan produsen. Dalam teori pemenuhan kebutuhan atau konsumsi sangat perlu diperhatikan peningkatan kapasitas dan kemampuan para produsen dalam negeri dengan tanpa meninggalkan kemampuan daya beli. Pertumbuhan dititik beratkan untuk diciptakan pada hasil pertumbuhan sektor produktif dan bukan sektor konsumtif seperti yang saat ini terjadi.

Dukungan masyarakat dinilai kuat namun bias orientasi

Pada hakekatnya penyusunan perencanaan adalah merupakan proses yang dialogis. Dalam unsur perencanaan yang nantinya akan diimplementasikan terdapat: (1) proses top down dan bottom up, (2) proses partisipasi dan perencanaan pengerahan sumber daya, dan (3) dukungan penuh masyarakat yang merupakan subyek sekaligus obyek pembangunan. Dukungan masyarakat merupakan faktor penting bagi keberhasilan suatu perencanaan di dalam suatu negara yang demokratis dan memerlukan dukungan luas dari masyarakat. Perencanaan pembangunan harus memenuhi kepentingan umum di atas kepentingan golongan, tetapi pada saat yang sama, perencanaan tersebut harus memperoleh persetujuan semua golongan. Pembangunan pada dasarnya adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Semangat rakyat adalah kekuatan dinamis yang memungkinkan segalanya dapat dilaksanakan, sehingga perencanaan pembangunan harus didasarkan atas kebutuhan masyarakat luas, bukan memenuhi keinginan, kepentingan dan ambisi dari pihak-pihak tertentu. Perencanaan pembangunan dilakukan dengan pendekatan partisipatif dan implementasinya mengundang partisipasi semua pihak, dan menjadi milik bersama seluruh komponen bangsa.

Suatu perencanaan membutuhkan persetujuan wakil-wakil rakyat secara nasional, dan demikian pula pada rencana pada tingkat provinsi, kabupaten/kota hingga pada tataran implementasi di tingkat lokasi. Akan tetapi persetujuan dari para wakil rakyat cenderung menimbulkan bias lokasi, bias tujuan, bias prioritas dan bias sasaran. Bias lokasi ditunjukkan oleh intervensi yang memprioritaskan daerah pemilihan. Daerah pemilihan tidak dipilih dan dianalisis bahkan direncanakan sebagai lokasi pembangunan pertanian untuk mendorong pertumbuhan produksi dan sasaran pembangunan pertanian lainnya. Bias tujuan muncul karena daerah pemilihan yang dijadikan lokasi bukan daerah prioritas pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian dari lokasi untuk mendorong pertumbuhan berubah menjadi program balas budi yang sarat bantuan sosial. Bias prioritas muncul akibat perubahan lokasi pembangunan pertanian memiliki prioritas pertumbuhan menjadi prioritas jaring pengaman sosial dan sumber perolehan suara. Bias sasaran muncul karena semula sasaran pembangunan pertanian memiliki target tertentu pada lokasi tertentu dan petani tertentu menjadi hilang karena intervensi. Dana pembangunan pertanian yang semula adalah untuk mencapai sasaran pertumbuhan menjadi dana pemerataan tanpa memikirkan pertumbuhan dan produktivitas.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 181

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

Implikasi

Berdasarkan hasil analisis mengenai penurunan kinerja dan penyebabnya pada periode 2004 – 2015 dapat disimpulkan bahwa pembangunan pertanian ke depan membutuhkan perubahan pendekatan yang mampu mengatasi berbagai kelemahan dalam proses perencanaan dan implementasinya. Dengan demikian penyelenggaran pembangunan pertanian ke depan seharusnya dilaksanakan sesuai dengan rambu-rambu penyelenggaraan tata pemerintahan (terutama disiplin kewenangan, urusan dan pembiayaan) serta tata kelola dan tata penyelenggaraan yang baik, serta jauh dari kolusi, korupsi dan nepotisme. Sifat komoditas pertanian yang memiliki ketergantungan pada alam, gestation period dan karakteristik khusus pertanian lainnya mengharuskan perubahan perencanaan dan implementasinya, dengan menyesuaikan sifat komoditas pertanian yang multi musim, multi periode dan lokasi yang jauh dari perkotaan. Sifat-sifat ini mengharuskan adanya reformasi perencanaan dan penganggaran serta reorientasi arah pembangunan nasional mensyaratkan untuk mulai dilaksanakannya program yang memiliki kerangka perencanaan pembiayaan berkerangka jangka menengah atau multiyears, berorientasi outcome dan impact, berbasis kinerja dan berdimensi kewilayahan.

Perencanaan pengembangan kawasan pertanian merupakan suatu bentuk penelitian dan atau pengkajian yang dilakukan secara sistematis dari berbagai aspek atau faktor-faktor tertentu yang terkait dengan pengembangan pertanian. Analisis perencanaan pengembangan pertanian merupakan tahap awal dari serangkaian proses dan kegiatan pembangunan yang akan menentukan keberhasilan pembangunan pertanian pada lokasi yang dipilih. Pembangunan pertanian ke depan harus memiliki perubahan dari pengembangan sentra menjadi pendekatan kawasan sebagai implementasi dari pentingnya dimensi kewilayahan. Agar keuntungan komparatif dan kompetitif dapat dieksploitasi dan dapat dikembangkan secara optimal, maka karakteristik wilayah yang khas baik dari aspek geografis, sosial ekonomi budaya dan demografis, maupun agroekologis harus menjadi dasar pertimbangan dalam perencanaan pengembangan wilayah. Unsur keterpaduan mengarahkan bahwa pada akhirnya dalam pengembangan wilayah membutuhkan pengaturan ruang secara terpadu melalui proses pemanfaatan sumber daya alam secara sinergi dengan pengembangan sumber daya manusia, prasarana dan sarana, kelembagaan, teknologi dan lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan.

Pemerintah menghadapi masalah keterbatasan anggaran dalam peningkatan produksi pertanian, sehingga sangat diperlukan fokus dan meningkatkan efisiensi dalam pembangunan. Pengembangan komoditas unggulan berbasis kawasan merupakan salah satu upaya peningkatan efisiensi dalam penggunaan anggaran pembangunan pertanian. Hal ini didasari atas beberapa hasil studi mengenai daya saing yang menunjukkan bahwa unit-unit usaha dan komoditas yang berada dalam suatu kesatuan wilayah atau kawasan memiliki tingkat pertumbuhan, efisiensi dan daya saing lebih tinggi jika dibandingkan yang berada di luar kawasan dan terpencar-pencar (Blakely, 2002; Bregman, 2003; JICA, 2003; Solvell, et al.,2003). Dengan demikian pembangunan pertanian ke depan perlu diarahkan dan diupayakan untuk

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian182

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

dilaksanakan dalam bentuk kawasan. Implementasi pendekatan pembangunan dalam bentuk kawasan membutuhkan sistem dan pola untuk menjamin keberlanjutan implementasi pengembangannya. Berkaitan dengan upaya untuk mengatasi berbagai kelemahan yang telah diuraikan maka perubahan harus dimulai dari penyusunan rencana pembangunan(Setianto, 2011).

Penyusunan rencana pengembangan kawasan pertanian merupakan tahap awal dari serangkaian proses dan kegiatan pembangunan pada kawasan pertanian, dan mencakup serangkaian proses sebagai berikut : (1) penentuan komoditas prioritas, (2) penentuan lokasi kawasan pada kabupaten/kota, (3) penyusunan master plan pengembangan kawasan pertanian, (4) penyusunan rencana aksi pengembangan kawasan pertanian, (5) sinkronisasi rencana pengembangan kawasan pertanian lingkup provinsi, dan (6) sinkronisasi rencana pengembangan kawasan lingkup Eselon I atau Kementerian Pertanian.

Pendekatan kawasan bukan merupakan pendekatan yang sama sekali baru dalam pembangunan pertanian. Sejarah membuktikan bahwa keberhasilan pembangunan masa lalu baik dalam mencapai swasembada pangan (beras), pengembangan peternakan dan perkebunan dilakukan dengan pendekatan kawasan. Mengingat pendekatan ini bukan barang baru maka dalam penentuan komoditas prioritas dan lokasi dilakukan dua pola dasar pengembangan kawasan pertanian yang dimaksudkan adalah sebagai berikut : pertama, pola pengembangan kawasan yang sudah ada (existing). Pola ini ditujukan bagi kawasan pertanian yang sudah ada dan berkembang, untuk memperluas skala produksi, serta melengkapi/memperkuat simpul-simpul agribisnis yang belum berfungsi optimal. Luasan kawasan dapat bertambah sesuai dengan daya dukung. Kawasan yang telah mandiri diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi daerah sekitarnya. Kedua, pola pengembangan kawasan karu. Pola ini ditujukan untuk kawasan komoditas unggulan pada wilayah baru/potensial yang belum dikembangkan. Ada dua pendekatan pengembangan kawasan, yaitu: (1) memperluas skala dan mengadakan kegiatan yang belum terlaksana sehingga mencapai kondisi sistem agribisnis dalam pengembangan komoditas secara utuh, dan (2) membangun kawasan baru di kawasan potensial secara bertahap hingga mencapai skala minimum kawasan.

Setiap kawasan yang akan dikembangkan harus memiliki masterplan dan rencana aksi untuk menghindari intervensi lokasi dan ditetapkan sejak awal melalui Keputusan Menteri Pertanian sebagai lokasi kawasan pertanian nasional. Gubernur menindaklanjuti penetapan Menteri Pertanian untuk lokasi kawasan pertanian di wilayah provinsi yang menjadi tanggung jawabnya dan disesuaikan kebijakan daerah tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan kebijakan lainnya. Selanjutnya Bupati/Walikota menindaklanjuti penetapan Gubernur untuk lokasi kawasan pertanian di wilayahnya dan disesuaikan dengan kebijakan daerah tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota dan kebijakan lainnya. Ditingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/kota perlu dibentuk tim teknis yang merupakan komisi perencanaan.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 183

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

Pengembangan kawasan pertanian bukanlah hal yang baru. Belajar dari pengalaman sejarah dan tingkat keberhasilan yang dicapai, implementasi pengembangan kawasan akan mudah dilaksanakan apabila dilakukan secara bertahap dengan pentahapan sebagai berikut: (1) fase start-up; (2) fase pilot atau percontohan; dan (3) fase diffusi atau perluasan dan pengembangan.

Pada fase start-up hal-hal yang perlu dilakukan adalah: (1) survai kawasan melalui studi pustaka dan sekunder dan penelitian lapangan (desk study dan location research), (2) menetapkan prioritas lokasi, luasan dan skala kawasan yang akan dikembangkan, (3) melakukan analisis dan diagnosis kawasan secara detil menuangkannya dalam bentuk masterplan dalam jangka menengah dan rencana kegiatan aksi tahunan, dan (4) mempersiapkan tim kerja untuk melakukan mobilisasi sumber daya dan sumber dana, kolaborasi antar seluruh stakeholder, mengurus perijinan, memasyarakatkan, menginisiasi organisasi dan melakukan implementasi kawasan. Pada fase pilot hal-hal yang perlu dilakukan adalah: (1) pengorganisasian dalam pengembangan kawasan dengan prioritas komoditas, luasan dan skala terpilih, (2) peningkatan kapasitas pengelolaan (capability building), (3) pelatihan untuk fasilitator (pemandu lapangan, penyuluhan, bimbingan, asistensi, fasilitasi, advokasi, dan lain-lain), (4) Implementasi pilot model atau model percontohan, dan (5) mempersiapkan perluasan dan pengembangan kawasan yang lain. Adapun pada fase diffusi hal-hal yang perlu dilakukan adalah: (1) verifikasi dan konsolidasi kelompok kawasan skala pilot untuk diimplementasikan pada lokasi pengembangan dan kawasan lain, (2) pengembangan dan pengorganisasian kelompok kawasan kedua dan seterusnya, dan (3) pengorganisasian untuk penyelenggaraan kawasan yang lainnya dalam jangkauan dan luasan yang lebih besar.

PENUTUP

Adanya kerangka implementasi sebagai implikasi dari hasil evaluasi kinerja pembangunan pertanian 2004 - 2015 memberikan gambaran bahwa pembangunan pertanian membutuhkan evaluasi pada periode pembangunan sebelumnya untuk memberikan arah pembangunan pertanian pada periode berikutnya. Sistem perencanaan pembangunan pertanian perlu dirumuskan dalam jangka panjang dan selanjutnya diterjemahkan dalam jangka menengah dan selanjutnya dioperasionalkan dalam jangka pendek. Sistem perencanaan dan operasional pembangunan pertanian perlu direncanakan secara sistematis dan berkesinambungan untuk mencapai keberhasilannya.

Masalah paling mendasar dan sangat penting dalam pelaksanaan kegiatan suatu organisasi antar instansi adalah sulitnya melakukan koordinasi. Konsep dan aturan pembentukan suatu organisasi biasanya cukup lengkap dan menyeluruh. Semua anggota biasanya juga menerima dan mengakui keputusan yang diambil untuk menegaskan konsep dan aturan dimaksud. Namun, pada waktu pelaksanaan kegiatan, seringkali langkah-langkah yang harus diambil tidak dapat terlaksana karena

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian184

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

kurangnya koordinasi. Oleh karena itu, kata kuncinya adalah koordinasi dan sinergi antar pemangku kepentingan (stakeholders) tercakup. Jika disadari bahwa koordinasi dan sinergi memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan kegiatan organisasi, maka setiap anggota harus memahami dampaknya dan berusaha sekuat tenaga menghindari kebuntuan koordinasi dan sinergi ini demi keberhasilan pelaksanaan kegiatan pengembangan komoditas strategis berbasis kawasan.

DAFTAR PUSTAKA

Alihamsyah, T., D.S. Damardjati, U.S. Nugraha, R. Hendayana, E. Jamal, I N. Widiarta, Sunihardi, dan U. G. Kartasasmita. 2011. Evaluasi Program dan Kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu. Laporan Akhir. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2011. Laporan Kajian Strategis Kebijakan Subsidi Pertanian yang Efektif, Efisien dan Berkeadilan. Bappenas. Jakarta.

Blakely, E.J. 2002. Planning Local Economic Development. Sage Publication. London.

Bregman EM, Feses EJ. 2003. Industrial and Regional Cluster Concept and Competitive Applications. The Web Book of Regional Science.

Boettke, Peter J. (ed.). 1994. The Collapse of Development Planning. New York University Press, New York.

Caesarion, R. 2011. Efektifitas Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Terhadap Kinerja Usaha Kecil di Kabupaten Lampung Selatan. Tesis.Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Cakra Hasta Konsultan, PT. 2009. Studi Evaluasi Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman dan Sumber daya Terpadu (SL-PTT). PT. Cakra Hasta Konsultan, Jakarta.

Chen, S. K. 2000. The Estabilishment of Evaluation and Indices System for Chinese Sustainable Development World Environment I.

Commission on Sustainable Development. 2001. Indicators of Sustainable Development: Framework and Methodology. Commission on Sustainable Development. Background Paper No. 3. New York; Division for Sustainable Development.

Conyers, D. and P. Hills. 1984. An Introduction to Planning in the Third World. John Wiley and Sons, New York.

Dalay-Clayton, B. and S. Bass. 2002. Sustainable Development Strategies, A Resource Book. Organization For Economic Co-operation and Development, United Nation Development Programme. Earthscan Publications Ltd, London.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 185

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

FAO. 1976. A Framework of land Evaluation. FAO Soil Bulletin No. 6, Rome.

Galbraith, J.K., 1962. Economic Development. Havard University Press.Havard.

Gallopin, G. 2003.A System Approach to Sustainability and Sustainable Development.Sustainable Development and Human Settlements Division. Nacions Unidas. Santiago, Chile.

Hakim, L., JR. Hidayat, M. Muhsin, dan UG.Kartasasmita. 2010. Laporan Akhir Tahun: Analisis Efektifitas Bantuan Benih dan Bantuan Pupuk pada Program SL-PTT. Puslitbang Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Harris, J. 2000. Basic Principle of Sustainable Development. Global Development AndEnvironment Institute.Working Paper 00-04. Tufts University Medford MA 02155, USA. 1-26p.

Jamal, E. 2009. Telaahan Penggunaan Pendekatan Sekolah Lapang dalam Pengeloaan Tanaman Terpadu (PTT Padi): Kasus di Kabupaten Blitar dan Kediri, Jawa Timur. Analisis Kebijakan Pertanian (AKP), 7 (4): 337-349. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Jhingan, M.L., 1983. The Economics of Development and Planning. Vicas Publishing House, 16th Edition.New Delhi.

Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. PT. Pustaka CIDESINDO, Jakarta.

Kementerian Pertanian. 2012. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.

_________________________________. 2010. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010 – 2014. Kementerian Pertanian, Republik Indonesia. Jakarta.

_________________. 2010. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/10 /2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian; Kementerian Pertanian, Republik Indonesia Jakarta.

_________. 2009 – 2014. Laporan Akuntibalitas Kinerja Institusi Pemerintah (LAKIP) Series 2008 – 2013. Kementerian Pertanian, Republik Indonesia Jakarta.

________. 2004. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2004 – 2009. Kementerian Pertanian, Republik Indonesia. Jakarta.

___________________________. 2014. Strategi Induk Pembangunan Pertanian 2015-2045: Pertanian - Bioindustri Berkelanjutan Solusi Pembangunan Indonesia Masa Depan. Kementerian Pertanian, Republik Indonesia. Jakarta.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian186

Kinerja Pembangunan Pertanian: Evaluasi 2004–2014 Dan Implikasinya

Lewis, W.A., 1966. Development Planning: The Essentials of Economic Policy. Harper & Row., New York

Mosher, A.T. 1966. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Syarat-Syarat Pokok Pembangunan Pertanian. Penyadur S. Krisnandi dan B. Samad. CV YasagunaJakarta.

Munasinghe, M. 1993. Environmental Economic and Sustainable Development.The International Bank for Reconstruction and Development/THE WORLD BANK. Washington, D.C. 20433, U.S.A.

Notohadikusumo, T. 2005. Implikasi Etika Dalam Kebijakan Pembangunan Kawasan. Jurnal Forum Perencanaan Pembangunan. Edisi Khusus, Januari 2005.

OECD. 1995. Planning for Sustainable Development: Country Experiences.Organization for Economic Cooperation and Development, Paris.

Panayotou, T. 1994.Economy and Ecology in Sustainable Development.Editor: SPES. SPES Foundation dan PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Pasaribu, S. M., E. Jamal, S. Wahyudi, J. Sinuraya, N. K. Agustin, Y. Supriyatna, Saptana, Supadi, Y. Marisa, B. Prasetio, Sugiarto dan M.Iqbal. 2011. Penentuan Desa Calon Lokasi PUAP 2011 Dan Evaluasi Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Pasaribu, Sahat M., Bambang Sayaka, Jefferson Situmorang, Wahyuning K. Sejati, Adi Setiyanto dan Juni Hestina. 2007. Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian. Laporan Penelitian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Pitcher, T.J., and M.D. Power, 2000. Fish Figures: Quantifying the Ethical Status of Canadian Fisheries, East and West. In H. Coward., R. Omer., and T.Pitcher. Just Fish: Ethics

Rosegrant, M.W., X. Cai and S.A. Cline.2002. World Water and Food to 2025 Dealing with Scarcity, IFRI. Washington DC, P 38-40.

Rostow, W.W., 1977. Economics for a Developing World: An Introduction to Principles, Problems and Policies for Development, first published. Longman, London.

Rusastra, IW, W. Sudana, Sumarno, Z. Zaini, K. Kariyasa, Baehaki dan Sarlan. 2011. Evaluasi Kebijakan dan Politik Anggaran SL-PTT Tanaman Pangan. Puslitbang Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian, Bogor.

Sadoulet, E. and A. de Janvry. 1995. Quantitative Development Policy Analysis. The Johns Hopkins University Press, London.

Sen, A. 1999. Democracy as a Universal Value. Journal of Democracy, Vol. 10/3, p. 3-17.

Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 187

Manajemen dan Kinerja Pembangunan Pertanian

Setiyanto, A., R. S. Rivai, J. Situmorang, M. Azis, Y.S. Saputra dan J. Triyono. 2012. Kajian Pengembangan Komoditas Strategis Berbasis Kawasan. Laporan Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Setiyanto, A. 2010. Konsepsi Model Pembangunan Ekonomi Wilayah Daerah Perbatasan Perbatasan Negara. Rountable Discussion. Lembaga Pertahanan Nasional 4 Desember 2010. Lembaga Pertahanan Nasional. Jakarta.

_________. 2011. Konsep Klaster. Aplikasi Pada Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Komoditas Unggulan Dalam Rangka Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Pertemuan Penyusunan Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Pertanian, Bogor, 18 – 21 Mei 2011. Biro Perencanaan, Sekretariat Jenderal. Kementrian Pertanian. Jakarta.

________. 2011a. Bahan Penyusunan Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Pertanian : Bab II dan Bab III. Biro Perencanaan, Sekretariat Jenderal. Kementrian Pertanian. Jakarta.

Siamwalla, A. 1993. Rural Credit and Rural Poverty. Dalam Quibria, M.G. (Ed). Rural Poverty in Asia: Priority, Issues and Policy Options. Oxford University Press. Hongkong. P.287-259.

Smith, C. S., and G. T. Mc Donald. 1998. Accessing The Sustainability of Agriculture at The Planning Stage. Journal of Environmental Management 52.

Sumaryanto, Adi Setiyanto, M. Suryadi, B. Hutabarat, Y. Supriyatna, A. Askin, Irsal Las, 2013. Dampak Makro Perubahan Iklim Terhadap Sektor Pangan Indonesia. Laporan Penelitian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Solvell, O, Lindqvist, G and Ketels, C. 2003. The Cluster Initiative Greenbook. Ivory Tower AB. Stockholm. www.cluster-research.org

Thorbecke, E.and T.V.D Pluijm. 1993. Rural Indonesia: Socioeconomic Development in a Changing Environment. IFAD.New York University Press. New York.

Waterston, A. 1979. Development Planning: Lessons of Experience. Johns Hopkins University Press, Baltimore