intelegensi dan implikasinya dalam pendidikan
DESCRIPTION
INTELEGENSI DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKANTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pencapaian seseorang dalam kehidupannya sering kali dihubungkan
dengan tingkat pendidikan yang dimiliki. Ketika seseorang memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi mereka akan lebih diakui dari pada yang tidak
berpendidikan.Akan tetapi, didalam pengakuan dari pendidikan yang seseorang
miliki, hal tersebut masih dibedakan lagi sejauh mana keberhasilan dari
pendidikan yang telah mereka tempuh. Sejauh mana hasil yang mereka capai
dan kemampuan apa saja yang telah mereka kuasai.
Hasil pendidikan seseorang ini sering dikatakan sebagai pandai atau
tidaknya seseorang tersebut. Sedangkan pandai tersebut sering dihubungkan
dengan otak seseorang. Otak disini bukanlah tentang kuantitas otak tersebut,
akan tetapi tentang kualitas yang ada didalam otak.
Kualitas otak seseorang bisa dikaitkan dengan intelegensi atau tingkat
kecerdasan seseorang. Seperti halnya bahwa individu itu memilIki karakteristik
yang berbeda antara yang satu dan lainnya, intelegensi antara orang yang satu
dan lainnya pun tidaklah sama, sekali pun mereka adalah kembar identik.
Intelegnsi ini adalah sesuatu yang unik dan rumit.
Kebanyakan orang beranggapan bahwa jika seseorang tidak memiliki
intelegensi yang tinggi maka tidak akan berhasil, dan dari pemikiran tersebut
banyak orang tua yang resah. Hampir bisa dikatakan jika semua orang tua
menginginkan anak yang memiliki kecerdasan yang tinggi sehingga ia akan
mampu memilki kesuksesan.
Inteligensi itu sendiri ialah kemampuan yang dibawa sejak lahir, yang
memungkinkan seorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu.Dari pernyataan
tersebut masih terdapat hal yang tidak bisa dipahami dengan mudah. Hubungan
antara intelegensi dan pencapaian seseorang tidak bisa hanya dengan definisi
tersebut.
Untuk itu, dalam rangka memenuhi tugas akhir mata kuliah Psikologi
Pendidikan, maka pada makalah ini akan dibahas tentang “Hubungan Antara
Intelegensi dan Tingkat Pencapaian Prestasi Siswa”.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas, masalah yang dibahas dalam
makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan intelegensi?
2. Bagaimana suatu perilaku bisa dikatakan intelegen?
3. Aktivitas apa yang terjadi pada tingkat Intelektual yang tinggi?
4. Bagaimana hubungan antara kapasitas dan intelegensi?
5. Teori-teori apa saja yang dapat menjelaskan tentang intelegensi?
6. Apa saja pembagian intelegensi?
7. Bagaimana implikasi antara intelegnsi dan pendidikan?
8. Apa itu tes intelegensi?
9. Apa saja kegunaan dari tes intelegensi?
C. Tujuan Pembahasan
Sesuai dengan masalah di atas, penulisan makalah ini dimaksudkan
untuk menginformasikan dan menjelaskan hubungan intelegensi dengan
tingkat pencapaian prestasi siswa. Secara khusus, makalah ini berusaha
menginformasikan dan menjelaskan
1. Apa yang dimaksud dengan intelegensi,
2. Bagaimana suatu perilaku bisa dikatakan intelegen,
3. Aktivitas apa yang terjadi pada tingkat Intelektual yang tinggi,
4. Bagaimana hubungan antara kapasitas dan intelegensi,
5. Teori-teori apa saja yang dapat menjelaskan tentang intelegensi,
6. Apa saja pembagian intelegensi,
7. Bagaimana implikasi antara intelegnsi dan pendidikan,
8. Apa itu tes intelegensi,
9. Apa saja kegunaan dari tes intelegensi,
10. Apa itu prestasi belajar,
11. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, dan
12. Bagaimana kaitan antara intelegensi dan prestasi belajar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Intelegensi
Inteligensi ialah kemampuan yang dibawa sejak lahir,yang
memungkinkan seorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu.
William Stern mengemukakan batasan sebagai berikut : Inteligensi
ialah kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru,dengan
menggunakan alat-alat berfikir yang sesuai dengan tujuannya.
William stern berpendapat bahwa inteligensi sebagian besar
tergantung dengan dasar dan turunan.Pendidikan atau lingkungan tidak
begitu berpengaruh kepada inteligensi seseorang.Prof.Waterink seorang
Mahaguru Amsterdam,menyatakan bahwa menurut penyelidikannya belum
dapat dibuktikan bahwa inteligensi dapat diperbaiki atau dilatih. Belajar
berfikir hanya diartikannya bahwa banyaknya pengetahuan bertambah akan
tetapi tidak berarti bahwa kekuatan berpikir bertambah baik.
Dalam pada itu pendapat-pendapat baru membuktikan bahwa
inteligensi pada anak-anak yang lemah pikiran dapat juga dididik dengan
cara yang lebih tepat.Juga kenyataan membuktikan bahwa daya pikir anak-
anak yang telah mendapat didikan dari sekolah,menunjukkan sifat-sifat yang
lebih baik daripada anak yang tidak bersekolah.
Dari batasan yang dikemukakan di atas,dapat kita ketahui bahwa :
1. Inteligensi itu ialah faktor total. Berbagai macam daya jiwa erat
bersangkutan di dalamnya(ingatan,fantasi,perasaan,perhatian,minat,dan
sebagainya turut mempengaruhi inteligensi seseorang).
2. Kita hanya dapat mengetahui inteligensi, dari tingkah laku atau
perbutannya yang tampak.Intelegensi hanya dapat kitaketahui dengan cara
tidak langsung melalui “kelakuan inteligensinya”.
3. Bagi suatu perbuatan inteligensi bukan hanya kemampuan yang dibawa
sejak lahir saja yang pentng.Faktor-faktor lingkungan dan pendidikan pun
memegang peranan.
4. Bahwa manusia itu dalam kehidupannya senantiasa dapat menentukan
tujuan-tujuan yang baru,dapat memikirkan dan menggunakan cara-cara
untuk mewujudkan dan mencapai tujuan itu.
B. Tingkah Laku yang Intelegen
Sudah jelas agaknya sekarang bahwa beberapa aspek dari tingkah laku
manusia tidak dapat dikatakn intelegen. Kalau demikian apakah tanda-tanda
dari tingkah laku yang intelegen? Oleh karena itu istilah intelegen itu dapat
melingkupi berbagai aktivitas maka telah timbulah kekusutan yang besar juga
dalampenggunaan kata-kata intelegensi, intelek, pemikir (reasioning), berpikir
(thinking), rasional dan ketrampilan (skliled).
1. Intelegensi sebagai suatu konsep
Intelegensi bukan substansi. Sebenarnya banyak kekusutan yang akan
dapat kita hindari apabila kita mengerti, bahwa intelegensi adalah suatu kata
yang menyetak suatu konsep, dan bukan data yang menyatakan suatu substansi
benda, atau suatu kekuatan. Apakah konsep itu? Konsep adalah penegrtian
umum yang diabstraksikan dari pengertian-pengertian khusus yang terdapat
dalam situasi-situasi khusus. Misalnya bila seseorang bermain dengan jujur
maka kita akan berkata bahwa ia seorang pemain yang jujur. Dan apabila orang
tadi membayar segala hutangnya, dia akan dikatakan jujur pula. Apabila ia
tidak pernah menjiplak dalam ujian-ujian atau ulangan-ulangan, diapun jujur
pula. Dan apabila ia seorang saksi yang selalu memberikan keterangan yang
benar, dan tidak berbohong, dia dikatakan seorang saksi yang jujur dan begitu
sebaliknya.
Dari semua keadaan tadi dan dari keadaan-keadaan lain yang serupa
dengan keadaan-keadaan diatas tadi dapatlah sekarang mengabstraksikan satu
kualitas penting yang terdapat dalam segala keadaan yang telah kita bicarakan
tadi. Dan kemudian untuk mudahnya dalam bahasa, kualitas yang kita dapati
dalam segala keadaan yang kita namakan kejujuran, ini adalah suatu pengertian
umum. Sudah jelas kiranya, bahwa kejujuran bukan suatu benda, kekuatan,
atau subtansi. Dan bukan pula suatu ciri yang harus selalu ada atau tidak ada
pada seseorang. Dengan perkataan lain, seorang mungkin jujur dalam suatu
tindakannya, sedangkan dalam tindakannya yang lain ia tidak jujur.
Begitulah pula soalnya dengan intelegensi. Seseorang mungkin
memperlihatkan intelegensi dalam suatu perbuatan yang memerlukan
intelegensi, dan tidak demikian halnya dalam perbuatan yang lain. Kalau
seorang petani dapat mengerjakan sawahnya dengan baik, akan kita katakan
bahwa ia adalah seorang petani yang intelegen. Apabila seseorang dalam
pergaulannya dengan orang lain selalu memperlihatkan kecakapan bergaul
yang tinggi, akan kita katakan, bahwa ia adalah orang yang intelegen dalam
soal-soal sosial. Orang lain yang cekatan dalam soal-soal mekanis kita katakan
orang yang yang mempunyai intelegensi mekanis. Dan apabila ia pandai pula
dalam ilmu pasti yang tinggi, akan kita katakan, bahwa ia mempunyai
intelegensi abstrak.
Dan begitulah seterusnya. Dari keadaan-keadaan semacam ini dapatlah
kita sekarang menarik suatu pengertian umum yang terdapat dalam segala
keadaan tadi, dan kita namakan pengertian umum tadi intelegansi. Jelas
kiranya, bahwa intelegensipun bukanlah suatu substansi, suatu benda, suatu
daya, suatu kekuatan ataupun suatu ciri. Jadi apakah intelegensi itu?
Intelegensi adalah kebaikan dari perbuatan sebagai yang ternyata dalam
suatu aktivitas yang efesien. Dan karena perbuatan-perbuatan yang kita
namakan baik itu dapat terjadi dalam berbagai tingkat kebaikan, maka
intelgensi kita pun dalam beberapa tingkat pula. Bilamanakah suatu aktivitas
itu dapat kita namakan efesien? Baiklah kita ketahui lebih dahulu, bahwa
aktivitas disini harus kita fahamkan dalam arti luas, yang dapat meliputi segala
macam bentuk perbuatan atau sambutan baik psikis maupun fisik. Suatu
aktivitas dapat kita katakan efesien apabila aktivitas tadi dilakukan dengan
cepat, mudah serta adekwat. Faktor kecepatan yaitu dalam menyambut suatu
perangsang, tidak dapat diabaikan dalam mengira-ngira intelegensi seseorang.
Kemudian melakukan suatu perbuatan yang dalam psikologi lazim disebut
fasilitas harus kita anggap sebagai faktor intelegesi yang penting pula. Anak
yang pandai akan dapat melakukan pekerjaannya dengan kecepatan serta
fasilitas yang tinggi, yaitu ia akan dapat melakukannya dengan mudah.
Sebaliknya anak yang bodoh akan lebih lambat dan menjumpai kesukaran yang
lebih besar dalam melakukan pekerjannya, dikatakan dengan cara lain, anak
yang bodoh akan melakukan pekerjaannya dengan kecepatan serta fasilitas
yang rendah atau kecil.
Faktor intelegensi yang ketiga ialah keadekwatan atau tingkat
kelengkapan kesesuaian atau kecukupan dari suatu aktivtas. Jadi apabila kita
katakan bahwa seorang anak lebih intelegen dari anak yang lain, dengan ini
kita mengatakan bahwa anak pertama tadi dapat menyelesaiakn pekerjaanya
dengan kecepatan, fasilitas, dan keadekwatan yang lebih besar atau lebih tinggi
dari anak yang kedua. Jadi tidak sekali-kali ucapan kita tadi berarti bahwa anak
yang kita katakan lebih panda tadi memiliki suatu ciri, kekuatan, atau daya
tertentu, yang merupakan suatu substansi tersendiri. Untuk mudahnya kita
pergunakan kemudian kata intelegensi dan segala bentuk jabarannya kalau kita
membicarakan kebaikan psikologis umum seseorang yang terdapat pada
berbagai tingkat perkembangan psikisnya.
2. Bentuk rendah dan bentuk tinggi dari tingkah laku yang intelegen.
Dalam usaha kita untuk membedakan bentuk-bentuk tingkah laku
haruslah kita akui, bahwa sangat sukar untuk mengadakan klasifikasi yang
tegas dan jelas batas-batasnya. Untuk tujuan kita sekarang ini perbedaan antara
tingkat rendah dan tingkat tinggi dari perbuatan intelektual akan kita adakan
berdasarkan jenis persoalan yang disnggung dan jauh dekatnya letak perbuatan
itu sebelum bentuk-bentuk tingkah laku yang tinggi dicapai, dan bentuk-bentuk
tinggi tidak pernah akan terlepas sama sekali dari bentuk-bentuk rendah, dan
akan memerlukan sebagai pangkalan atau landasan. Meskipun demikian
dengan memepergunakan simbol-simbol (matematis atau verbal) dapatlah
dilakukan operasi-operasi psikis dalam bentuk-bentuk yang umum dan tidak
bersifat khusus sama sekali, tetapi cocok untuk setiap kejadian khusus.
3. Aktivitas pada tingkat intelektual rendah
Pada tingkat intelektual yang rendah, dapat meiliputi hampir seluruh
kegiatan manusia dan binatang di atas reaksi-reaksi dasar yang sederhana,
persoalan yang disinggung aktivitas selalu bersifat konkrit, misalnya seekor
kera mungkin sanggup menyusun tiga buah peti menjadi suatu landasan untuk
mencapai makanan, tetapi situasi semacam ini hanya mengenal objek-objek
dan hubungan-hubungan yang langsung dapat ditangkap oleh alat-alat darinya.
Apa yang dilakukan oleh kera tadi ialah mempergunakan alat-alat dalam situasi
yang langsung serta perseptual dengan jalan mengubah susunan lingkungan
sensoris. Ini hanya soal apa dan bagaimana semata-mata.
Tingkah laku yang serupa itu akan dapat dilihat pula pada seseorang
anak yang sedang berusaha untuk memperoleh kembali bolanya yang
tersangkut pada dahan-dahan sebatang pohon, mungkin ia akan melihat
disekelilingnya dan mencari salah satu untuk memperoleh kembai bolanya tadi.
Mungkin pula ia akan melempar bolanya tadi dengan sebuah benda. Situasi-
situasi ini hanya dapat melahirkan tingkah laku dari golongan rendah dalam
suatu situasi sensoris.
Cara lain untuk melukiskan aktivitas psikis yang rendah ialah dengan
menggemabrkan aktivitas semacam itu sebagai aktivitas yang bertujuan
menemukan, apakah yang harus dilakukan dalam suatu situasi. Untuk
menemukan jawaban terhadap pertanyaan ini dapat kita coba cara ini atau cara
itu, dan kemudian kita perhatikan hasilnya. Kalau hasil percobaan-percobaan
tadi tidak memuaskan kita cobalah sesuatu yang lain lagi.
Murid-murid yang mendapatkan pelajaran berhitung dengan cara yang
kurang benar mungkin sekali akan beusaha untuk menyelesaikan soal-soal
berhitung dengan cara yang dilukiskan diatas tadi. Memecahkan masalah
bukan hanya terdiri dari perbuatan memeriksa, apakah yang harus dilakukan
untuk mendapatkan jawaban. Dan bukan pula hanya terdiri dari perbuatan
menemukan cara menyelesaikan masalah itu. Agar dapat dikatakan rasional
seseorang harus memahami mengapa operasi-operasi tertentu berdasarkan
prinsip-prinsip matematis harus dilakukan.
Tingkah laku intelektual diperlukan pula untuk mengikuti peraturan-
peraturan dan perskripsi-perskripsi atau untuk mempergunakan formula-
formula. Tetapi dalam praktek biasanya orang melakukan perbuatan-perbuatan
ini pada tingkat yang rendah, yang hanya menyinggung pertanyaan : Apakah
yang akan saya lakukan selanjutnya? Calon-calon guru tidak boleh berharap
bahwa mereka disekolah-sekolah guru akan menemukan segala sesuatu yang
harus diperbuat dalam setiap situasi kelas yang akan mereka jumpai kelak.
Sedangkan dalam soal-soal kecekatanpun diperlukan pengetahuan yang jauh
lebih dalam dan lebih luas daripadapengetahuan tentang apa dan bagaimana.
Termasuk kedalam golongan aktivitas-aktivitas psikis yang rendah ialah
kecekatan-kecekatan sederhana, bentuk-bentuk tertentu dari tingkah laku
emosional, mengingat-ingat, pengalaman sensoris, persepsi, pembentukan
kebiasaan , aktivitas bahasa sederhanadan memperoleh penegtahuan melalui
asosiasi-asosiasi buatan. Dalam usaha seperti ini hanya dibutuhkan prosedur
atau pemahaman yang tidak terlampau banyak.
C. Aktifitas Pada Tingkat Intelektual yang Tinggi
Aktivitas pada tingkat rasional timbul pada situasi-situasi yang
mengandung proses-proses konseptual, dan khayal konstruktif. Disini
persoalan bersifat tak langsung dan abstrak. Disini diperlukan ide-ide dan
pengertian-pengertian dengan mempergunakan bermacam-macam simbolisme.
Pada tingkat ini tingkah laku bersifat intelegensi dan rasional. Tingkah laku
semacam ini menyinggung soal mengapa dan berlangsung menurut prinsip-
prinsip tertentu.
Tingkah laku semacam ini ditandai oleh penggunaan simbolisme, dan
oleh letak yang jauh dari daerah pengalaman yang lansung. Kita tak dapat
sadari atau amati jarak dunia ke bulan, tetapi jarak ini telah dihitung dengan
mempergunakan sistem bilangan serta ketentuan-ketentuan dari ilmu pasti
tinggi. Begitu pula dipergunakan kosep-konsep seperti segitiga, derajat dan
bahasa yang simbolis. Seorang anak dengan segera menguasai bahasa yang
sederhana sebagai alat untuk menyatakan keinginan-keinginannya. Tetapi
untuk menguasai bahasa sampai kepada tingkat yang memungkinkan
organisasi serta integrasi dari pemikiran konstruktif pada tingkat rasioanl
diperlukan pengalaman bertahun-tahun. Bintang tidak mungkin bertindak pada
tingkat ini, mungkin karena mereka tidak sanggup mempergunakan alat-alat
intelektual yng diperlukan pada tingkat rasional.
Alat-alat intelektual seperti konsep-konsep matematis dan simbolis ini
memungkinkan kita, manusia mengambil langkah-langkah yang langsung
membentuk semacam kesadaran kedua, suatu hal yang merupakan kesukaran
yang tak teratasi oleh binatang. Binatang barangkali hanya dapat mengenal
kejadian sebagai efek-efek atau perubahan-perubahan, tetapi mereka tak dapat
menangkap kejadian-kejadian itu sebagai peristiwa-peristiwa yang saling
diperhubungkan oleh hubungan-hubungan sebab-akibat. Unsur waktu pun
dapat merupakan faktor yang sangat penting dalam perbedaan antara tingkah
laku manusia dengan binatang, barangkali lebih penting dari pada yang tidak
sadar. Binatang itu pada umumnya berkecenderungan untuk hidup dalam
waktu sekarang saja dan tidak sanggup memecahkan masalah-masalah baik
yang terjadi dalam masa yanglampau, maupun dalam masa yang akan datang.
Disini sekali lagi kita menghadapi masalah-masalah yang terletak dalam daerah
konsep dan keabstrakan.
1. Soal type-type
Setengah orang dapat menerima anggapan yang mengatakan bahwa ada
bermacam-macam type integensi. Salah satu klasifikasi yan populer ialah
klasifikasi yang menerima adanya tiga type intelegensi, ialah intelegensisosial,
intelegensi mekanis dan integensi abtrak.
Sudah jelas bahwa seseorang dalam salah satu lapangan yang kita
sebutkan diatas tadi mungkin memperlihatakan kebaikan perbuatan yang lebih
tinggi daripada dalam lapangan yang lain. Kesukaran yang dihadapi oleh
klasifikasi rupanya terletak dalam praduga, bahwa hereditas hanya
memeberikan kapasitas yang tinggi dan kompetensi untuk bertindak dalam
salah satu lapangan seluruhnya. Dalam pada itu jelaslah kiranya bahwa fungsi-
fungsi psikis yang tinggi saling berkolerasi. Hal ini berarti bahwa seseorang
yang memperlihatkan intelegensi sosial yang tinggi dapat pula memiliki
intelegensi yang tinggi dalam lapangan keabstrakan, asal ia cukup besar
mintanya untuk hal-hal yang abstrak itu. Perkataan-perkataan sosial, mekanis,
dan abstrak istilah-istilah yang harus bersifat eksklusif, yaitu istilah-istilah
yang harus tidak mempunyai hubungan sama sekali.
Sudah pasti bahwa ada orang-orang yang dapat dikatakan mempunyai
intelegensi paling sedikit dalam dua lapangan, dan bahkan mungkin pula dalam
seluruh tiga lapangan.
Daripada mementingkan type-type, lebih baik kiranya kalau kita
mengarahkan perhatian kita kembali kepada klasifikasi kita, dan menjelakan
sekali lagi bahwa tiap orang yang dapat dikatakan normal atau diatas normal
mungkin pula dalam salah satu dari ketiga lapangan tadi hanya sanggup
bertindak pada tingkatan yang rendah saja, hal ini bergantung kepada batas-
batas kesedihannya untuk melakukan latihan bagi tindakan-tindakan itu. Kita
semua memiliki potensialitas-potensialitas laten yang jauh lebih banyak
jumlahnya daripada yang dapat kita harapkan akanberkembang. Hanya dalam
waktu-waktu yang sangat menekan, krisis, atau waktu-waktu yang mendesak
kita betul-betul mengerahkan kapasitas kita untuk mempergunakan proses-
proses intelektual kita yang tinggi.
D. Kapasitas dan Intelegensi
Dalam pembicaran–pembicaran kita yang sudah lalu, sudah disarankan
dengan jelas bahwa intelegensi akan terjadi dengan melalui perhubungan atau
perkembangan yang cukup baik. Dalam pada itu tak boleh kita lupakan pula
bahwa manusia memang mewarisi kapasitas untuk menjadi intelegan, yang
batasannya pada tiap-tiap orang berbeda. Warisan memberikan kapasitas
pendidikan (termasuk disini lingkungan) memperkembangkan kapasitas itu
yang diwarisi. Maka dikatakanlah bahwa seseorang menjadi manusia yang
intelegen, suatu perkataan yang terutama berarti mengetahui, tahu bagimana,
atau memahami. Banyaklah kekusutan yang dapat dihindari kalau para siswa
mau mempergunakan kata-kata seperti intelegensi, kapasitas dan abilitas
dengan tepat dan perbedaan-perbedaan yang cukup jelas.
Kenyataan bahwa seseorang karena warisan memilki suatu kapasitas
tidak berarti bahwa orang tadi pasti akan dapat melaksanakan kapasitasnya tadi
dalam suatu kecakapan yang aktual. Sebaliknya seorang dengan kapasitas yang
terbatas mungkin dapat mempergunakan kapasitasnya tadi sedemikian hingga
dalam perbuatan yang nyata ia melebihi orang lain yang mungkin memiliki
kapasitas yang tinggi. Hal ini dapat kita lukiskan dengan gambar dibawah ini :
Kolom seluruhnya menggambarkan kapasitas,
sedangakan bagian berwarna biru menunjukan
kecakapan sebenarnya tercapai.
A B
Murid B mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada murid A,
dapat kita lihat dari perbadaan tinggi kolom. Tetapi A memiliki kecakapan
sebenarnya yang lebih tinggi daripada B, dapat kita lihat dari kolom berwarna
biru. Ini disebabkan karena A mengalami perkembangan yang lebih baik
daripada B. Jadi hasil terakhir ialah bahwa tingkah laku A lebih baik daripada
tingkah laku B. Jadi jelas agaknya bahwa kita dapat membuat salah besar
dalam usaha kita mengetahui kapasitas dasar seseorang yang perkembangan
intelektualnya oleh salah satu sebab telah terganggu. Kesalahan semacam ini
banyak dilakukan orang dalam pengira-ngiraan perkembangan yang dipercepat
(accelerated) atau diperlambat (retarted) dan pada umumnya terjadi terhadap
anak-anak yang lingkungan keluarganya lebih tinggi atau lebih rendah dari
keluarga biasa.Pembicaraan selanjutnya mengenai soal ini akan terdapat dalam
hubungan lain.
1. Manisfestasi dari intelegensi yang tinggi
Masalah yang kita hadapi disini adalah mengetahui cara-cara
memanisfestasi atau pernyataan intelegensi seseorang. Judul bagian ini
sebetulnya dapat pula disebut “faktor-faktor intelegensi” atau “unsusr-unsur
dasar intelegansi”. Keberatan-keberatan terhadap istilah-istilah semacam ini
ialah bahwa istilah tadi dapat menimbulkan anggapan seolah-olah kehidupan
fisis terdiri dari kesatuan-kesatuan psikis yang berdiri sendiri-sendiri yaitu
yang satu terlepas dari yang lain. Dalam ilmu hitung kita dapat menguraikan
faktor 24 atas faktor 6 dan 4, yang masing-masing mempunyai eksistensi dan
arti dalam hubungannya dengan suatu sistem bilangan.
Meskipun mengetahui unsur-unsur intelegensi adalah suatu hal yang
sangat menarik, namun rasanya tidak akan kita mampu membuat analisa
faktor-faktor seperti dalam ilmu hitung. Ada juga beberapa usaha dalam hal ini
yang banyak sedikitnya dapat kita katakan berhasil, seperti yang akan kita
ketahui kelak, tetapi usaha-usaha itu semata-mata dilakukan untuk kepentingan
analisa. Kalaupun kita dapat mengetahui faktor-faktor intelegensi itu maka kita
pun dapat mengetahui faktor-faktor tadi dan dapat memberikan kepada kita
gambaran yang benar mengenai kehidupan psikis seperlunya. Dengan mudah
kita akan dapat mengetahui unsur-unsur kimia dari protoplasma. Kalau
demikian dengan jalan apakah kita dapat mengamati tingkah laku yang
intelegen? Untuk mudahnya berbagai manisfestasi dari intelegensi yang akan
dibicarakan dalam halaman-halaman berikut , dapat dianggap sebagai unsur ,
dengan catatan bahwa yang kita maksudkan ialah kegiatan-kegiatan atau
kesatuan-kesatuan yang terpisah-pisah dari seseorang .
2. Fasilitas dalam penggunaan bilangan
Bilangan-bilangan yang biasa kita gunakan termasuk dalam suatu
sistem, yang lazim disebut sistem bilangan Hindu-Arab. Rupanya sistem
bilangan ini telah disusun sebagai alat intelektual dalam perdagangan,
perusahaan komersial, dan dalam kerjasama sosial pada umumnya. Sebuah
bilangan bukanlah suatu fakta yang konkrit, bilangan adalah suatu abstraksi.
Suatu bilangan tidak mempunyai eksistensi yang berdiri sendiri seluruhnya.
Bilangan 7 misalnya, tidak mempunyai arti sama sekali dipisahkan dari
posisinya dalam sistem bilangan.
Rupanya telah terdapat suatu persetujuan umum bahwa fasilitas dalam
bilangan, atau suatu kelancaran mempergunakan konsep kuantitas, adalah suatu
manisfestasi dari intelegensi yang tinggi.
Sistem bilangan kita adalah suatu sistem desimal, didalam sistem ini
bilangan mendapat nilai tempat (placevalues). Bilangan 0 adalah pemegang
tempat (placeholder). Bilangan-bilangan mempunyai nilai numerik
(numericalvalue) yang tetap, yang akan berganda sepuluh kali apabila
mendapat angka 0 dibelakangnya. Operasi-operasi yang sederhana seperti
penambahan, pengalian, dan pembagian sebenarnya hanyalah penyusunan
kembali dari bilangan-bilangan pada sistem bilangan.
Fasilitas dalam soal bilangan berarti penguasaan yang sempurna dari
sitem bilangan itu sebagai suatu sistem, kecepatan dalam mengatur bilangan-
bilangan dalam perhitungan , penghalusan dari konsep-konsep bilangan,
pembedaan antara bilangan-bilangan ordinal dan numeral, dan bentuk-bentuk
khayal tertentu yang berhubungan dengan teori bilangan. Orang-orang dengan
intelegensi rendah akan menjumpai kesukaran-kesukaran dalam melakuakn
kegiatan semacam ini.
3. Efesiensi dalam bahasa
Abilitas verbal, atau fasilitas dalam penggunaan kata-kata, adalah suatu
petunjuk yang jelas bagi adanya intelegensi. Selama tahun-tahun sekolah
perkembangan psikis berjalan sejajar dengan perkembangan bahasa. Abailitas
ini dapat dilihat dalam hal-hal seperti pembendaharaan kata-kata, pembedaan
kata-kata lawan, abilitas mengisi kalimat-kalimat yang tidak lengkap dengan
kata-kata yang tepat,menyelesaikan cerita, penafsiran (interpretasi) pepatah-
pepatah, membentuk analogi-analogi, mengetahui humor dalam karangan-
karangan dan mengikuti petunjuk-petunjuk (instruksi) tertulis. Aktivitas-
aktivitas ini lebih tinggi tingkatannya dari apa yang diperlukan dalam
percakapan yang sederhana, yang semata-mata hanya memeperbincangkan
objek-objek dan kegiatan-kegiatan. Apabila dalam suatu percakapan harus
dipergunakan konsep-konsep yang tinggi, bahasa kiasan dan hubungan-
hubungan yang kompleks, orang yang kurang pandai akan mendapat kesukaran
yang besar untuk mengikuti percakapan semacam ini.
Pada masa dewasa barangkali tanda yang paling meyakinkan dari
adanya intelegensi ialah abilitas mengorganisasi ide-ide dalam suatu jalan
pikiran yang tetap dan berurutan secara terautur dalam mempertahankan suatu
pendapat atau pandangan. Suatu contoh mengenai hal ini adalah perbuatan
berdebat. Suatu pendapat atau usul dipertahankan atau ditolak dan bukti-bukti
pun dikumpulkan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Tingkah
laku semacam ini menghendaki efisiensi bahasa yang setinggi-tingginya oleh
karena kata-katalah yang harus kita pergunakan untuk merumuskan konsep-
konsep itu.
4. Kecepatan dalam pengamatan
Unsur waktu harus selalu diperhatikan dalam setiap analisa intelegensi.
Kecepatan perseptual adalah kecepatan yang dipergunakan untuk
memahami atau menyadari sesuatu objek, situasi atau suatu hubungan. Karena
pengamatan disusun melalui pengalaman dan pelajaran, maka pada dasarnya
adalah mungkin untuk memepercepat memilih dari kata-kata seperti bal ,bel,
bal, bal satu kata yang berbeda dari kata-kata yang lain adalah suatu tes untuk
mengetahui kesiapan belajar membaca (redaing readiness) pada anak-anak
yang akan masuk sekolah dasar. Yang penting pula bagi pekerjaan membaca
yang baik ialah pengamatan yang cepat dari kata-kata dan ungkapan-
ungkapan . Contoh-contoh lain mengenai pengamatan ialah pembedaan
bermacam-macam berat, jarak, bentuk, atau susunan, dan nada-nada musik.
Sudah jelas agaknya, bahwa dalam kehidupan praktis kita abilitas ini penting,
karena kecepatan itu harus kita pergunakan dalam memperhatikan sinyal,
mengenali tanda-tanda lalu lintas dan mengira-ngira jarak dan kecepatan kalau
kita sedang mengemudikan mobil.
5. Fasilitas dalam mengingat-ingat
Fasilitas dalam mengingat-ingat biasanya terdiri dari abilitas
mengingat-ingat nama, bilangan, kata-kata, dan ide-ide. Harus kita perhatikan
bahwa jumlah isi ingatan yang dapat diingat-ingat bergantung pada efesiensi
aktivitas belajar mula-mula. Bahwa kita sering mendapat kesukaran dalam
mengingat-ingat kembali nama-nama tertentu, hal ini disebabkan karena kita
mula-mula tidak mempelajari nama-nama tertentu itu dengan baik. Dan hal
inipun berlaku pula terhadap isi-isi ingatan yang lain.
Tetapi sebenarnya fisilitas-fasilitas dalam mengingat-ingat tidak hanya
terdiri dari apa yang telah disarankan diatas. Mengapakah saksi-saksi dari suatu
kejahatan sering memberikan cerita yang berbeda-beda? Apakah ingatan
mereka lemah. Apakah mereka dahulu tidak mengamati kejadian itu dengan
baik-baik? Ataukah mereka barangkali tidak sanggup menangkap kejadian itu
seluruhnya? Suatu test ingatan yang telah terbukti kebaikannya terdiri dari
suatu cerita yang dibacakan oleh pen-test dan disusul oleh pertanyan-
pertanyaan yang harus dijawab oleh murid. Murid yang bodoh tidak akan dapat
memberi fakta –fakta yang terpenting dari cerita-cerita itu, atau mungkin hanya
akan dapat memahami bagian-bagian tertentu saja dari cerita itu secara
terpisah-pisah. Anak yang terpandai akan mempunyai gambaran yang jelas dari
cerita itu dan akan dapat menangkap cerita itu seluruhnya. Dan kemudian
sebagian besar dari pekerjaan ingatan yang harus dilakukannya mengenai cerita
tadi ialah merekonstruksikan detail-detail dari pola umum yang telah disusunya
secara logis ketika cerita dibacakan kepadanya. Jadi jelaslah kiranya bahwa
fasilitas dalam mengingat-ingat kadang-kadang lebih daripada pengingatan
kembali secara verbal saja.
Kalau dipergunakan bahan-bahan yang tidak mempunyai arti sama
sekali tentu saja persoalanya menjadi agak berlainan. Dalam hal ini diperlukan
pengamatan yang harus dilakukan berulang-ulang untuk membentuk asosiasi-
asosiasi buatan mengenai kesatuan-kesatuan tertentu dari bahan yang harus
diingat-ingat tadi, kalau suatu asosiasi logis dapat dibentuk, atau kalau
bahannya dapat diorganisisasikan menjadi beberapa pola yang berarti akan
terdapatlah kemungkinan yang lebih besar, bahwa bahan tadi akan dapat
diingat-ingat secara efektif. Apabila hal semacam ini tidak dapat dilakukan,
maka dapatlah disangsikan bahwa pekerjaan mengingat-ingat bahan-bahan
yang tidak berarti tadi akan memerlukan suatu tingkah laku pada tingkat yang
tinggi dengan kata-kata lain suatu test yang menghendaki tindakan pada tingkat
rendah semacam ini tidak akan dapat dipergunakan untuk membedakan
seorang moron atau lemah ingatan yang pandai.
6. Fasilitas dalam memahami hubungan-hubungan
Suatu ciri dari intelegensi yang tinggi ialah abilitas untuk menangkap
hubungan antara unsur-unsur dalam suatu situasi, atau hubungan antara suatu
situasi dengan situasi yang lain. Manisfestasi intelegensi ini mempunyai
hubungan analogis yang sangat erat dengan apa yang dinamakan tilikan
(insight). Orang-oramg yang memiliki tilikan tidak dilahirkan dengan abilitas
istimewa itu. Orang yang bertilikan adalah orang yang dengan cepat dapat
mengetahui aspek-aspek penting dari suatu situasi dalam hubungan logis, dan
abilitas ini dapat diperkembangkan dalam setiap lapangan kegiatan, tilikan
bukanlah suatu ciri istimewa yang khusus hanya dapat dipergunakan dalam
suatu lapangan tertentu saja.
Abilitas ini untuk menangkap hubungan-hubungan menghendaki
sesuatu yang dapat disebut suatu daerah perseptual yang luas. Jadi diperlukan
pemahaman terhadap situasi seluruhnya. Dalam suatu masalah tertulis, kondisi-
kondisi dan bahan yang bermacam-macam tidak saja harus dipahami, tetapi
juga harus diintregasikan untuk mendapatkan kesatuan arti. Suatu bagian dari
masalah mungkin tidak akan mempunyai arti sama sekali kalau tidak
dihubungkan dengan bagian masalah yang lain dan dengan masalah
seluruhnya.
Aspek lain abilitas menangkap hubungan-hubungan ini ialah hasil dari
pemahaman terhadap hubungan-hubungan dalam rangkaian fakta-fakta atau
keadaan-keadaan khusus. Sesuatu dalam setiap keadaan khusus berhubungan
secara logis dengan sesuatu dalam keadaan-keadaan khusus yang lain, dan
semua keadaan menunjukkan akan adanya suatu kebenaran umum. Jadi induksi
adalah penyusunan generalisasi atau penarikan kesimpulan fakta-fakta. Atau
induksi itu tidak lain daripada penemuan dari hubungan-hubungan yang tetap
dan terdapat diantara fakta-fakta. Bila hubungun semacam ini akhirnya diakui
kebenarannya dan dirumuskan kedalam suatu persamaan matematis maka kita
peroleh suatu hukum alam (natural law).
E. Khayal
Dalam hubungan ini tidak diperbincangkan kesan-kesan ingatan yang
sederhana, seperti mengingat-ingat bagaimana rupa seseorang, bagaimana
perasaan kita pada kejadian tertentu, atau bagaimana bunyi sebuah bom yang
sangat kuat. Khayal semacam ini tidak menyinggung operasi-operasi
intelektual yang tinggi tingkatannya dan oleh karenanya tidak dapat dianggap
sebagai suatu ciri pembedaan terhadap tingkah laku rasioanal. Khayal semacam
ini tidak lain daripada reproduksi dari kesan-kesan yang dialami sebelumnya,
dan pada dasarnya sama dengan ingatan verbal.
Bentuk-bentuk khayal tertentu yang sangat berguna dalam pendidikan
menunjukkan akan adanya intelegensi yang tinggi. Beberapa contoh dari
khayal semacam ini ialah pengamatan ruang, orientasi temporal dan khayal
konstruktif. Dalam ilmu bumi, astronomi dan aspek-aspek tertentu dari ilmu
pasti adalah sangat penting untuk melakukan pengamatan ruang dan
pengamatan hubungan ruang. Dalam sejarah dimana kerap kali timbuk
hubungan-hubungan sebab-akibat, sangat dibutuhkan khayal temporal. Dalam
pekerjaan para seniman, arsitek, penemu, jenderal angkatan perang, insinyur,
dan produser film sangat dibutuhkan adanya suatu khayal konstruktif, atau
pembuatan suatu rancangan, suatu pola kerja, atau suatu alat yang belum
pernah ada sebelumnya.
Aktivitas semacam ini adalah suatu manipulasi psikis yang termasuk
kedalam daerah intelegensi tingkat tinggi.
F. Teori-Teori Intelegensi
1. Tekanan pada kuantitas
Setengah orang beranggapan bahwa intelegensi adalah semacam
kumpulan atau jumlah aljabar dari berbagai-usaha belajar tertentu. Yakni
kumpulan atau jumlah dari sambutan-sambutan tertentu atau respon-respo
tertentu yang dapat dilakukan oleh seseorang. Teori ini menggunakan praduga,
bahwa pada setiap aktivitas belajar akan terbentuk suatu hubungan perangsang
sambutan (stimulus response bond) dalam urat syaraf, dan bahwa kumpulan
dari hubungan-hubungan inilah yang menentukan intelegensi seseorang.
Seorang yang bodoh sekali misalnya, yang lazim pula disebut moron, mungkin
hanya memiliki 15.000 hubungan semacam ini, sedangkan seorang yang genius
mungkin 100.000 dari hubungan-hubungan ini. Teori semacam ini
menganggap intelegensi sebagai sesuatu yang semata-mata bersifat kualitatif.
Hal ini berarti, bahwa satu-satunya perbedaan tingkah laku manusia dengan
tingkah laku binatang, atau antara tingkah laku seorang genius dengan tingkah
laku seorang moron,adalah perbedaan jumh atau perbedaan kuantitas.
Dengan mengikuti pandangan semacam ini, E.L. Thorndike
merumuskan teorinya tentang soal transfer dalam belajar sebagai transfer dari
“unsur-unsur yang identik”. Kalau sebuah hubungan terbentuk dalam suatu
aktivitas belajar, maka dalam situasi yang sama sifatnya, yang menghendaki
suatu kesatuan tingkah laku dengan hubungan stimulus respon yang sama,
maka hubungan yang lama dipergunakan dan usaha belajar yang baru itu akan
menjadi lebih mudah.
Dalam setiap teori tentang intelgensi, yang bersifat kuantitatif rupanya
tidak terdapat pengertian semacam abilitas umum, kecuali apabila istilah ini
ditafsirkan sebagai kumpulan atau jumlah dari unsur-unsur tingkah laku yang
sangat spesifik yang dinyatakan oleh hubungan-hubungan stimulus respon.
Dalam rangka teori semcam ini perbedaan antara manusia dengan binatang
terletak dalam jumlah hasil-hasil usaha belajar yang mereka lakukan. Apabila
terdapat juga perbadaan kualitatif, maka perbedaan semacam ini rupanya hanya
timbul apabila suatu superioritas kwantitatif tertentu telah tercapai.
2. Tekanan pada kualitas
Sangat bertentangan dengan teori yang bersifat kuantitatif tadi ialah
yang menganggap intelegensi yang tinggi sebagai order atau golongan lain dari
pada tingkah laku-tingkah laku rendah. Teori ini mementingkan sifat umum
dari aktivitas belajar yang spesifik dan terisolir. Intelegensi adalah sesuatu
yang bersifat kualitatif, dan bukan kumpulan atau kuantitas dari aktivitas-
aktivitas belajar.
Pandangan umum semacam ini dipelopori oleh Charles II Juud. Dia
berpendapat bahwa manusia,berkat cerebrumnya yang sangat adaptebel itu,
sanggup melakuakn penyesuaian-penyesuaian tingkah laku yang sangat berarti,
sedangkan binatang, oleh karena susunan urat syarafnya jauh kurang plastis,
hanya sanggup melakukan penyesuaian-penyesuaian struktural pada tingkat
yang rendah. Lebih lanjut ia menerangkan bahwa manusia dapat mencapai
kemjuan struktural, kerena ia berhasil menemukan alat-alat intelektual untuk
menyelenggarakan kerjasama sosial. Antara lain disebutnya bahasa yang
simbolis, manulis, membaca dan memeprgunakan bilangan.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa manusia sanggup melakukan
tingkah laku yang secara kualitatif berbeda dari tingkah laku yang dilakukan
binatang pada taraf yang lebih rendah, oleh karena binatang tidak sanggup
mempergunakan simbolisme abstrak untuk menyelesaikan masalah-masalah
atas dasar rasional. Perbedaan ini mungkin pula pada keadaan tertentu
dikatakan kuantitatif, tetapi ciri-ciri pokok yang membadakan bersifat
kuantitatif. Dalam rangka teori semacam ini orang berpendapat bahwa otak
manusia secara kualitatif berbeda dari oatk binatang, meskipun pendapat ini
belum lagi diterima oleh semua golongan. Soal lain yang juga masih
diperbincangkan ialah dapat tidaknya binatang dibebani tanggung jawab moral,
atau dapat dan tidaknya binatang mengenali nilai-nilai yang tinggi. Rupanya
hingga sekarang masih belum cukup terdapat bukti-bukti yang jelas untuk
menyelesaikan masalah ini.
3. Teori tentang daya-daya (kemampuan)
Teori yang sangat terkenal dalam abad ke-18 dan ke-19 ialah teori yang
menganggap initelegensi sebagai soal melatih atau mempertajam berbagai
“daya” yang diduga ada pada diri manusia.
Manusia dianggap memiliki kira-kira tiga puluh “daya-daya” khusus
atau lebih seperti ingatan, perhatian, dan khayalan. Diduga pula pada waktu itu,
bahwa setiap daya dapat dialtih dan diatur hanya dengan mengadakan latihan-
latihan, tanpa memperhatikan bahan latihan (subjct matter) yang dipergunakan.
Misalnya latihan dalam mengingat-ingat kata-kata Latin akan menyebabkan
orang yang melakukan latihan-latihan itu lebih efisien,tidak hanya dalam
mengingat-ingat kata-kata Latin tadi, tetapi juga dalam pekerjaan mengingat-
ingat, termasuk pula mengingat-ingat nama dan wajah.
Eksperimen yang lebih modern memperlihatkan ketidakbenaran
pengertian tentang daya ini. Teori ini mengandung kecederungan untuk
memecah-mecah jiwa, kecenderungan semacam ini mengandung implikasi
bahwa suatu daya dapat dipergunakan pada suatu ketika, sedangkan daya-daya
yang lain tidak dipergunakan, seolah-olah merupakan alat-alat yang disimpan
dalam peti alat-alat saja.
“Kemauan” rupanya diangap sebagai suatu daya ampuh (super faculty)
yang dapat digerakkan terlepas dari pengaruh-pengaruh keadaan-keadaan yang
ada di lingkungannya. Sememnjak Herbart dalam tahun-tahun pertama
disekitar tahun 1830 menentang psikologi daya ini terlihat adanya keyakian
yang makin kuat diantara para ahli psikologi bahwa kehidupan jiwa senantiasa
berfungsi sebagai suatu kesatuan keseluruhan. Pada setiap perbuatan
intelektual seluruh fungsi-fungsi individual turut bekerja.
Setengah orang menyarankan bahwa usaha kearah “analisis fakor-
faktor” yang banyak dilakukan pada waktu akhir-akhir ini pada dasarnya tidak
lain adri usaha menghidupkan kembali psikologi daya ingat itu, dengan
memprgunakan selimut baru, atau dengan mempergunakan istialh-istilah yang
baru. Barangkali para pendukung teori analisis faktor pada hakekatnya lebih
memikirkan soal manisfestasi intelegensi daripada soal daya dar jiwa.
4. Teori dwi faktor dari Spearman
Seorang ahli psikologi bangsa Inggris yang bernama Charles Spearman
mentest secara teliti sejumlah individu,dengan mempergunakan tes-tes yang
disusun untuk mengetahui abilitas seseorang dalam soal ilmu pasti,
kesusastraan, mengenal kembali bermacam-macam bentuk dan sebagainya.
Dalam mengolah hasil-hasil eksperimennya itu, Spearman mempergunakan
prosedur statistik. Dalam rumusnya yang mula-mula Spearman melukiskan dua
faktor dari intelegensi, yang pertama faktor umum (general), sedangakn yang
kedua disebut faktor khusus (special). Faktor-faktor general dan special
bersama-sama membentuk keseluruhan aktivitas seseorang , atau menentukan
bakat sebagai yang terlihat pada seseorang. Faktor general ialah
pemebendaharaan umum seseorang mengenai energi jiwa atau cerebral. Jika
suatu perbuatan tertentu dilakukan, seperti memperbedakan nada-nada
misalnya maka efesiensi perbuatan ini bergantung kepada faktor diatas tadi,
yaitu energi psikis umum dan abilias khusus untuk memperbedakan nada-nada
itu.
Teori Spearman tentang kedua faktor general dan spesific itu secara
kasar dapat dijelaskan dengan menggunakan skema seperti dibawah ini :
X A
A
s A
Y A
Ilustrasi hubungan general dan spesific terhadap aptitude
total dari teori dwi-faktor Spearman
GS2
S1
S1G
S2
Ilustarsi ini hanya untuk menggambarkan bakat dua orang murid X dan
Y. persegi panjang dengan garis utuh menggambarkan faktor umum, dan
persegi panjang dengan garis putus-putus menggambarkan faktor khusus. Dari
ksema ini terlihat bahwa X dan Y memilki faktor general dan spesifik berbeda-
beda, tetapi G+S2 pada X sama dengan G+S2 pada Y.
Meskipun Y memiliki faktor G yang lebih besar dari pada X, tetapi
karena Y memiliki S2 yang lenih kecil dari pada X, maka bakatnya tidak lebih
besar dari pada X. perhatiakn juga bahwa Y memilii S1 yang lebih kecil dari
pada X, tetapi keseluruhan bakatnya lebih besar dari pada bakat X, karena
faktor G pada Y lebih besar dari pada faktor G pada X.
Walaupun tidak dapat disangkal bahwa teori ini mengandung kesukran-
kesukaran, namun teori ni banyak sedikitnya dapat menerangkan keadaan
mengapa seorang murid memperlihatkan bakat yang sangat besar untuk suatu
mata pelajaran, sedangkan bakatnya untuk mata pelajaran yang lain lagi
nampak sangat kecil. Suatu abilitas khusus yang sagat besar akan diimbangi
oleh G yang kecil, dan sebaliknya suatu G yang besar akan merupakan
kompensasi terhadap S yang rendah. Orang yang memilki faktor G yang tinggi
atau besar dapat diharapkan akan mencapai prestasi-prestasi yang baik dalam
seluruhmata pelajaran. Hal ini memeperlihatkan kepada kita pentingnya faktor
umum terhadap intelegensi.
5. Analisis faktor-faktor
Teknik-teknik statistik yang disusun oleh Spearman telah dipergunakan
sangat luas dalam usaha-usaha lebih lanjut untuk mengisolir faktor-faktor dari
intelegensi. Masalah mengenai faktor-faktor intelegensi ini masih tetap
merupakan masalah yang menimbulkan kontroversi. Analisa dwi faktor dari
Spearman untuk beberapa tahun lamanya merupakan satu-satunya analisa yang
dikenal. Penyelididkan-penyelidikan yang dilakukan kemudian oleh beberapa
orang lain dengan menggunakan teknik Spearman yang telah diubah
seperlunya ditujukan kepada peengisolir abilitas-abilitas manusia yang dapat
diduga batas-batasnnya. Karl J. Holzingen telah memeperluas teori dwi faktor
dari Spearman ini dengan mengembangkan faktor kelompok (group factors),
seperti abilitas verbal, dan ia menamakan teorinya ini Metode bi-factors. L.L.
Thurstone telah pula melakukan suatu pekerjaan yang amat penting dalam
mengadakan suatu studi yang disebutnya multiple factors anaysis. Ia
menamakan faktor itu abilitas-abilitas primair (primary abilities), dan ia
beranggapan bahwa pengertian faktor umum tidak diperlukan. Kita tentu akan
mengetahui pula bahwa faktor-faktor yang kita bicarakan samapi saat ini
banyak sedikitnya mengandung persamaan kuno tentang daya-daya dari jiwa
kita. Kaalu daya-daya psikis yang kuno itu hanyaa dibeda-bedakan oleh
observasi-observasi biasa saja, maka para pendukung teori analisa faktor
memepergunakan teknik-teknik statistik yang tinggi tarafnya dalam studi
mereka mengenai korelasi-korelasi yang ditemukan antara tes-tes.
Dalam banyak hal daftar faktor-faktor yang diisolasikan oleh Holzinger
dan Thusstone serupa meskipun fakotr-faktor itu memperoleh nama-nama yang
berlainan. Daftar-daftar itu ialah sebagai berikut :
Holzinger Thurstone
1. Umum
2. Matematis-mekanis
3. Verbalitas
4. Faktor ruang
5. Ingatan
6. Kecepatan psikis
7. Deduksi
8. Kecepatan motoris
1. Fasilitas dengan bilangan
2. Kelancaran kata-kata
3. Pengamatan ruang
4. Ingatan untuk kata-kata,
nama-nama dan bilangan-
bilangan
5. Kecepatan pengamatan
6. Pemikiran verbal
7. Induksi
Kesukaran terbesar dengan faktor-faktor ini ialah, bahwa sering
terdapat kecenderungan unutk menganggap abilitas-abilitas ini sebagai sesuatu
yang terlepas dari keseluruhan kehidupan psikis yang komplek. Faktor-faktor
itu tidak boleh dianggap sebagi satuan-satuan atau bagian-bagian yang terlepas
dari aktivitas psikis. Yang sudah pasti ialah bahwa penyusun-penyusun daftar
faktor-faktor itu tidak menginginkan mereka ditafsirkan secara demikian.
Seperti telah disarankan diatas, barangkali faktor-faktor itu harus dianggap
sebagai manisfestasi-manisfestasi tingkah laku yang intelegen dari organisme.
Jadi faktor-faktor itu bukanlah bagian dari organisme melainkan hanya aspek-
aspek yang diamati dari tingkah laku yang integen.
9. “Atribut-atribut” intelegensi dari Stoddart
Dalam analisa yang sangat menarik dan mengerakan pikiran Stoddart
memeperbincangkan tujuh atribut yang dimasukkan dalam definisinya tentang
integensi. Ketujuh atribut tadi ialah :
1. Keseukaran
2. Kekomplekan
3. Keabstrakan
4. Kehematan
5. Penyesuaian dengan tujuan
6. Pemahaman terhadap nilai-nilai sosial
7. Keoriginilan
Penggunaan kata atribut ini agak memebingungkan. Misalnya
“kesukaran-kesukaran” adakah atribut ini untuk seseorang atau untuk suatu
tugas? Apakah “kekomplekan” sejenis dengan “kesesuaian”, sehingga kedua
atribut ini dapat dikatakan homogen. Mual-mula Stoddard mendefinisikan
intelegensi sebagai suatu “abilitas” untuk melakukan sesuatu, tetapi kemudian
memeperingatkan kita harus menggunakan bentuk kata intelegensi untuk
menandai suatu tingkah laku dari apa mempergunakan bentuk kata
“intelegensi” sebagai suatu substantif. Peringatan ini rupanya memang perlu
diberikan, karena sebenranya intelegensi bukanlah suatu substantif.
Dengan tepat sekali Stoddard mempertahankan keharusan adanya
kesatuan atau totalitas untuk segenap atribut ini. Seorang moronmungkin
mencapai prestasi yang tinggi dalam salah satu atribut ini, seperti atribut
mengingat bilangan yang panjang misalnya. Selanjutnya Stoddard
menegmukakan dengan jelas bahwa tingkah laku yang intlegen bukanlah
bukanlah hanya kesibukan untuk mengumpulakn fakta-fakta atau bahan-bahan
penegnalan saja, melainkan lebih dari pada itu. Dalam tingkah laku yang
intelegen seluruh energi selalu dipusatkan ke arah tujuan atau senantiasa “lekat
pada persoalan”. Pembicaraan Stoddard tentang hal ini dibatasi pda
pembicaraan mengenai tingkah laku manusia saja, karena tingkah laku bntang
rupanya tidak menunjukkan ketujuh atribut tadi.
G. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi
1. Faktor Bawaan
Dimana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir. Batas
kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam memecahkan masalah, antara
lain ditentukan oleh faktor bawaan. Oleh karena itu, di dalam satu kelas dapat
dijumpai anak yang bodoh, agak pintar. Dan pintar sekali, meskipun mereka
menerima pelajaran dan pelatihan yang sama.
2. Faktor Minat dan Pembawaan yang Khas
Dimana minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan
merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan
atau motif yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia
luar,sehingga apa yang diminati oleh manusia dapat memberikan dorongan
untuk berbuat lebih giat dan lebih baik.
3. Faktor Pembentukan
Dimana pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang
mempengaruhi perkembangan intelegensi. Di sini dapat dibedakan antara
pembentukan yang direncanakan, seperti dilakukan di sekolah atau
pembentukan yang tidak direncanakan, misalnya pengaruh alam sekitarnya.
4. Faktor Kematangan
Dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan
perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik mauapun psikis, dapat
dikatakan telah matang, jika ia telah tumbuh atau berkembang hingga
mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing.
Oleh karena itu, tidak diherankan bila anak anak belum mampu
mengerjakan atau memecahkan soal soal matematika di kelas empat sekolah
dasar, karena soal soal itu masih terlampau sukar bagi anak. Organ tubuhnya
dan fungsi jiwanya masih belum matang untuk menyelesaikan soal tersebut dan
kematangan berhubungan erat dengan faktor umur.
5. Faktor Kebebasan
Hal ini berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam
memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping kebebasan memilih metode,
juga bebas dalam memilih masalah yang sesuai dengan kebutuhannya.
Kelima faktor diatas saling mempengaruhi dan saling terkait satu dengan
yang lainnya. Jadi, untuk menentukan kecerdasan seseorang, tidak dapat hanya
berpedoman atau berpatokan kepada salah satu faktor saja.
H. Pemabagian Intelegensi
Intelegensi atau kecerdasan diartikan dalam berbagai dimensi oleh para
ahli. Donald Stener, seorang Psikolog menyebut intelegensi sebagai suatu
kemampuan untuk menerapkan pegetahuan yang sudah ada untuk memecahkan
berbagai masalah. Tingkat intelegensi dapat diukur dengan kecepatan
memecahkan masalah-masalah tersebut.
Intelegensi secara umum dapat juga diartikan sebagai suatu tingkat
kemampuan dan kecepatan otak mengolah suatu bentuk tugas atau
keterampilan tertentu. Kemampuan dan kecepatan kerja otak ini disebut juga
dengan efektifitas kerja otak. Potensi intelegensi atau kecerdasan ada beberapa
macam yang dapat didentifikasikan menjadi beberapa kelompok besar yaitu;
1. Intelegensi Verbal-Linguistik
Merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan bahasa dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan membaca dan menulis.
2. Intelegensi Logical-Matematik
Merupakan kecerdasan dalam hal berfikir ilmiah, berhubungan dengan
angka-angka dan simbol, serta kemampuan menghubungkan potongan
informasi yang terpisah.
3. Intelegensi Visual Spasial
Merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan seni visual seperti
melukis, menggambar dan memahat. Selain itu juga kemampuan navigasi,
peta, arsitek dan kemampuan membayangkan objek-objek dari sudut
pandang yang berbeda.
4. Intelegensi Kinestetik Tubuh
Merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan
menggunakan tubuh untuk mengekspresikan perasaan atau disebut juga
dengan bahasa tubuh (body language). Kecerdasan ini berhubungan
dengan berbagai keterampilan seperti menari, olah raga serta keterampilan
mengendarai kendaraan.
5. Intelegensi Ritme Musikal
Merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan mengenali
pola irama, nada dan peta terhadap bunyi-bunyian.
6. Intelegensi Intra-Personal
Kecerdasan yang berfokus pada pengetahuan diri, berhubungan dengan
refleksi, kesadaran dan kontrol emosi, intuisi dan kesadaran rohani. Orang
yang mempunyai kecerdasan intra-personal tinggi biaasanya adalah para
pemikir (filsuf), psikiater, penganut ilmu kebatinan dan penasehat rohani.
7. Intelegensi Interpersonal
Kecerdasan yang berhubungan dengan keterampilan dan kemampuan
individu untuk bekerjasama, kemampuan berkomunikasi baik secara
verbal maupun non-verbal. Seseorang dengan tingkat kecerdasan
Intrapersonal yang tinggi biasanya mampu membaca suasana hati,
perangai, motivasi dan tujuan yang ada pada orang lain. Pribadi dengan
Potensi Intelegensi Interpersonal yang tinggi biasanya mempunyai rasa
empati yang tinggi.
8. Intelegensi Emosional
Kecerdasan yang meliputi kekuatan emosional dan kecakapan sosial.
Sekelompok kemampuan mental yang membantu seseorang mengenali dan
memahami perasaan orang lain yang menuntun kepada kemampuan untuk
mengatur perasaan-perasaan diri sendiri.
Sedangkan Prof. Horward Gardner menyatakan bahwa terdapat delapan
kecerdasan yang berbeda untuk menjelaskan potensi manusia yang lebih luas
pada anak-anak dan orang dewasa. Kecerdasan-kecerdasan ini adalah :
1. Kecerdasan linguistik
Kecerdasan linguistik adalah kemampuan untuk menggunakan kata-
kata secara efektif, baik secara lisan maupun tulisan.Kecerdasan ini
mencakup kepekaan terhadap artikata,urutan kata,suara,ritme dan intonasi
dari kata yang di ucapkan. Termasuk kemampuan untuk mengerti kekuatan
kata dalam mengubah kondisi pikirandan menyampaikan informasi
2. Kecerdasan logic metematik
Kecerdasan logic matematik ialah kemampuan seseorang dalam
memecahkan masalah.Ia mampu memikirkan dan menyusun solusi dengan
urutan yang logis. Ia suka angka, urutan, logika, dan keteraturan. Ia
mengerti pola hubungan, ia mampu melakukan proses berfikir induktif dan
deduktif. Proses berfikir deduktif adalah cara berfikir dari hal-hal yang besar
kehal-hal yang kecil dan induktif sebaliknya.
3. Kecerdasan visual dan spacial
Kecerdasan visual dan special adalah kemampuan untuk melihat dan
mengamati dunia visual dan spasial secara kuat.Visual artinya gambar
sedangkan spasial yaitu hal-hal yang berkanaan dengan ruang atau
tempat.Kecerdasan ini melibatkan kesadaran akan warna, garis, bentuk,
ukuran, dan juga hubungan antara elemen-elemen tersebut. Kecerdasan ini
juga melibatkan kemampuan untuk melihat objek dari berbagai sudut
pandang.
4. Kecerdasan musik
Kecerdasan musik adalah kemampuan untuk menikmati,
mengamati, membedakan, mengarang, membentuk, dan mengekspresikan
bentuk-bentuk music.Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap
ritme ,melodi, dan timbre dari music didengar. Musik mempunyai pengaruh
yang sangat besar terhadap perkembangan kemampuan matematika dan
ilmu sains dalam diri seseorang.
5. Kecerdasan interpersonal
Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk mengamati dan
mengerti maksud, motivasi, dan perasaan orang lain. Peka terhadap ekspresi
wajah,suara dan gerakan tubuh orang lain dan ia mampu memberikan
respon secara efektif dalam berkomunikasi. Kecerdasan ini juga mampu
untuk masuk ke dalam diri orang lain, mengerti dunia orang lain, mengerti
pandangan, sikap orang lain dan umumnya dapat memimpin kelompok.
6. Kecerdasan intrapersonal
Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan yang berhubungan
dengan kesadaran dan pengetahuan tentang diri sendiri.Dapat memahami
kekutan dan kelemahan diri sendiri.Mampu memotivasi dirinya sendiri dan
melakukan disiplin diri.Orang yang memiliki kecerdasan ini sangat
menghargai nilai etika dan moral.
7. Kecerdasan kinestetik
Kecerdasan kinestetik adalah kemampuan dalam mengunakan tubuh
kita secara terampil untuk mengungkapkan ide, pemikiran dan
perasaan.Kecerdasan ini juga meliputi keterampilan fisik dalam bidang
koordinasi, keseimbangan, daya tahan, kekuatan, kelentukan dan kecepatan.
8. Kecerdasan naturalis
Kecerdasan naturalis adalah kemampuan untuk mengenali,
membedakan, mengungkapkan dan membuat kategori terhadap apa yang di
jumpai di alam maupun di lingkungan. Intinya adalah kemampuan manusia
untuk mengenali tanaman, hewan, dan bagian lain dari alam semesta.
I. Implikasi-implikasi untuk pendidikan
Suatu hal yang harus kita akui adalah bahwa intelegensi bukanlah suatu
sifat atau ciri yang selalu dimiliki oleh seseorang. Kalau seorang bermata biru,
maka birunya itu selalu dipergunakannya baik dalam membaca, menulis,
ataupun dalam membuat sebua meja. Tetapi tidak dapat diperlihatkan bahwa
bila seseorang intelegen dalam suatu hal atau mata pelajaran sekolah, ia akan
sama integennya dalam soal-soal lain. Karena sutu tingkah laku yang intelegen
selalu dicapai sesuai denagn pola hereditas atau kualitas gen-gen seseorang,
maka tidak benarlah guru menduga bahwa seorang murid pasti mempunyai
mentalitas yang rendah, semata-mata karena ia tidak menegtahui hal-hal
tertentu. Tidak mengetahui hal-hal tertentu tidak sama dengan bodoh.
1. Tekanan pada kualitas-kualitas umum
Pelajaran-pelajaran kelas atau pelajaran-pelajaran rombingan
mengandung batas-batas yang serius. Anak-anak yang sebaya umurnya
memang memiliki suatu yang sama, setidak-tidaknya ada suatu yang dapat
dipelajari bersama-sama oleh semuanya yang mengunjungi sekolah. Dalam
suatu rombongan selalu ada beberapa orang yang bodoh dan ada pula beberapa
orang yang sangat pandai. Mengusahakan untuk mengajar semua anak dalam
suatu kelas bersama-sama,berarti bahwa guru harus meletakkan tekanan-
tekanan yang sangat besar atas sesuatu dasar umum yang dapat diketahui oleh
guru. Kalau misalnya setengah anak-anak itu mempunyai bakat untukmusik,
sedangkan yang setangahnya lagi tidak mempunyai bakat untuk musik sama
sekali, maka kemungkinan selalu ada bahwa pelajaran musik akan diabaikan
sama sekali, dan bahwa hanya akan selalu diajarkan sesuatu yang dapat
dipelajari oleh semua anak. Memang ini adalah jalan yang termudah untuk
seorang guru yang terlalu berat bebannya untuk mengajarnya. Dan memang
telah pula dikemukakan orang bahwa sekolah-sekolah di Amerika perlu
disesali, karena terlampau banyak mementingkan kualitas umum itu dalam
usahanya untuk memberikan pendidikan kepada seluruh rakyat. Jawaban yang
biasa bdiberikan terhadap penjelasan semacam ini ialah, demokratis, harus
mempunyai sebai dasar suatu lapisan penduduk yang berpengetahuan dan
intelegen terhadap hal-hal yang menyinggung kepentingan umum, bahkan
apabila ada fungsi-fungsi psikis tertentu pada taraf yang tinggi harus dilakukan
oleh suatu minoritas, maka setidak-yidaknya seluruh penduduk harus mampu
melakukannya pada tingkat intelektual yang kebih rendah yang menghendaki
pengetahuan yang berguna, kecakapan-kecakapan praktis, dan terutama
pengetahuan dan penerangan tentang kebiasaan sosial dan susila.
2. Pembentukan rombingan-rombongan yang homogen
Suatu hal yang telah lama menjadi persoalan ialah apakah untuk
kepentingan pengajaran anak-anak harus dibagi-bagi menjadi beberapa
rombongan atas dasar abilitas-abilitas umum tertentu. Barangkali persoalan ini
lebih merupakan soal filsafat daripada soal psikologi, jadi persoalan ini
sebenarnya semata-mata adalah soal tujuan atau nilai. Kalau sekolah ini
mementingkan dan mengajar keintelektualan yang abstrak semata-mata, maka
untuk tujuan semacam ini baiklah kalau para murid yang sangat cerdas
digolongkan menjadi suatu rombongan yang homogen. Tetapi kalau yang
diinginkan sekolah ialah pembentukan keseluruhan kepribadian, yang akan
berguna untuk suatu masyarakat yang demokratis, maka pembentukan
rombongan seperti di atas tadi dapat merugikan para cerdik pandai itu sendiri,
dan merugikan pula seluruh masyarakat. Sebenarnya rombongan yang
homogen hanya ada dalam khayal saja. Meskipun kita berusaha untuk
membentuk suatu golongan anak-anak yang cerdik pandai dengan cara yang
sangat teliti, maka biasanya akan terbukti, bahwa diantara para murid-murid
yang terpilih itupun akan dapat perbedaan-perbedaan yang luas mengenai
beberapa aspek dari intelektualitas abstark pun mereka akan memperlihatkan
variasi-variasi yang luas pula. Hal ini berarti bahwa pada dasrnya tidalah
mungkin untuk menentukan sifat, kekuatan atau abilitas umum yang kemudian
dapat dijadikan dasar untuk membentuk rombongan-rombongan yang
homogen. Diantara para mahasiswa pada oerguruan tinggi pada umunya
terdapat perbedaan yang laus mengenai suatu ciri yang dapat diukur. Perbedaan
ini diantara para tamatan universitas dengan gelar Ph.D., bahkan di antara gelar
Ph.D dari satu jurusan, terdapat homogenitas yang lebih kecil daripada
homogenitas yang ada diantara mahasiswa tahun pertama.
J. Membantu Anak yang Kurang
Salah satu kepercayaan yang dipertahankan orang lain, bahwa anak
yang bodoh harus lebih didorong dari pada anak yang pandai. Bahkan ada pula
kemungkian orang, bahwa anak yang pandai tidak boleh didorong-dorong
karena tindakan semacam ini akan dapat melukai jiwa para anak yang pandai
itu tadi praduga yang dipergunakan dalam pendapat semacam ini ialah, bahwa
kalau tindakan mendorong-dorong tadi dilakukan terhadap anak yang kurang
panadai, hal ini tidak akan melukai jiwa mereka. Kita dapat berfikir, apakah ini
bukan cara berpikir seorang montir yang berpikir tentang perbedaan
memeprcepat jalan sebuah mobil kecil dengan empat silinder dengan
mempercepat jalan sebuah mobil dengan daya kuda yang tinggi, yang
bersilinder dua belas misalnya. Kesukaran ini sebetulnya terletak dalam tujuan
sekolah. Ripa-rupanya sampai sekrang ini terlalu banyak orang yang
memperhatikan soal intelektualitas tinggi, dan mengabaikan aspek-aspek
belajar yang lain, yang tidak kurangpentingnya bagi masyarakat.
Kalau kita mau memperlihatan soal ini dengan seksama, barang kalai
akan dapat kita akui pentingnya mendorong anak-anak yang apnadi dalam
berbagai “sifat” yang biasanya sangat tidak mereka kuasai. Kerapkali terjadi,
bahwa anak bodoh ditolong, bhakan digiring oleh gurunya dan orang tuanya
sedemikian, sehingga mereka tidak memperoleh kesempatan sama sekali untuk
mempergunakan kapasitas-kapasitas yang sebenarnya betul-betul mereka
miliki. Dalam keadaan semacam ini promosi mendahului hasil belajar yang
sebenarnya dan mereka akan banyak mengalami kekecewaan bila mereka harus
belajar seorang diri saja.
1. Intelegensi dan kenaikan kelas
Soal artikulasi secara vertikal adalah suatu masalah yang terus menerus
berlangsung. Apakah murid ini atau murid itu akan dinaikkan ke kelas yang
lebih tinggi, ataukah barangkali lebih baik unutk menahan mereka pada kelas
yang lama? Haruskah perguruan tinggi dijadikan pedoman dalam menentukan
pola pengajaran yang akan diberikan pada sekolah menengah? Sekali lagi
kesukaran yang kiat jumpai disini terletak kepada banyaknya tekanan, yang
kita berikan kepada perbuatan yang semta-mata bersifat intelektual abstrak.
Tinggal kelas atau ditolak oleh suatu perguruan tinggi bukan hanya soal
akademis semata, ini munkin sekali mengandung implikasi-implikasi sosial,
politik, dan bahkan juga implikasi-implikasi moril. Orang tua yang melihat
anaknya jatuh dalam suatu tujuan akan merasa hina, dan mungkin pula hal ini
akan mereka anggap sebagai penguranga terhadap harkat sosial mereka.
Karena pertimbangan-pertimbangan semacam ini banyak sekali diberikan
dispensasi-dispensasi istimewa untuk menaikkan kelas atau meluluskan
seorang murid dalam suatu ujian,. Bahkan pula murid-murid yang berhasil juag
memasuki perguruan tinggi berkat “pestasi-prestasi” semacam ini. Nilai sosial
dan ekonomis yang mereka peroleh dari perguruan tinggi samapi batas tertentu
dapat merupakan kompensasi terhadap mentalitas mereka yang rendah dan
dapat pula membantu kelangsungan hidup mereka.
Namun hasil murninya ialah, bahwa kehadiran mereka di perguruan
tinggi semata-mata hanya memperlebar pintu-pintu perguruan tinggi itu, baik
pintu-pintu di depannya, maupun pintu-pintu dibelakangnya.
Disekolah rakyat barangkali saja kriteria yang terbaik untuk kenaikan
kelas ialah, umur kronologis dari anak-anak, oleh karena sekolah ini tidak
mungkin melakukan sesuatu yang jauh melebihi segala sesuatu yang mutlak
dibutuhkan oleh setiap orang untuk kehidupan demokratis. Sekolah ini benar-
benar sekolah untuk rakyat. Menggolongkan ank menurut umurnya yang akan
mempermudah rancangan pengajaran terhadap rombongan. Pada sekolah
menengah dan perguruan tinggi, lapangan pengajaran lebih luas, dan disini
pengajaran tidak disesuaikan kepada kapasitas-kapasitas dan batas-batas
kemampuan para siswa. Pada umunya para pemimpin dari perguruan tinggi
mulai mengakui bahwa adalah suatu tindakan yang kurang bijaksana bila pada
tingkat sekolah menengah telah ditentukan pola pengajaran yang pasti sebagai
persiapan untuk pengajaran pada perguruan tinggi kelak. Kunci yang dapat
membuka pintu ke suatu sukses lebih dalam lagi letaknya daripada soal
persiapan pengajaran tadi. Kunci kearah sukses ini, menyinggung pula soal
cita-cita, ambisi, kebiasaan, kecakapan umum untuk menyesuaikan diri, secara
singkat, seluruh kepribadian harus dipertimbangkan. Tiaklah cukup bila
seorang peljara hanya pandai dalam ilmu pasti dan pengetahuan saja, lebih
penting daripada itu, iapun harus cukup pandai dalam hal-hal menegnai
abilitas, kebutuhan-kebutuhan, dan batas-batas kemampuannya sendiri.
K. Definisi Tes Intelegensi
Apabila anda sebagai psikolog ingin menguji perbendaharaan kata pada
anak-anak,ketelitian seorang akuntan, ataukoordinasi tangan danmata bagi
pilot,maka anda tentu akanmenguji kinerja (performance) mereka dengan tes
psikologi, masing-masing adalah tesrangkaian kata, tes penjumlahan
matematika, dan tes motorik. Masing-masing tes tersebutdapat dibagi-bagi lagi
menjadi beberapa sub tes. Lalu apa yang dimaksud dengan tespsikologi?
Tes psikologi pada dasamya adalah sampel perilaku yang diambil pada
suatu saattertentu. Tes seringkali dibedakanmenjadi tes prestasi dan tes bakat.
Tes prestasi digunakanuntuk mengukur ketrampilan yang telah
dicapai/dipelajari danmenunjukkan apa yang dapatdilakukan sesorang pada
saat ini, sedangakn tes bakat adalah untuk memprediksi apa yangdapat
dilakukan seseorang apabila dilatih. Perbedaan ini akhimya tidak dianggap
sebagaiperbedaan, melainkan dianggap sebagai begian dari suatu kesatuan
(Atkinson dkk., 1993).
Suatu tes psikologi dalam mengukur sampel perilaku harus memiliki
sifat standar danobjektif. Standardisasi berhubungan dengan keseragaman tes
dalam hal administrasi danskoring, sementara objektivitas berhubungan dengan
standardisasi, terutama dalam haladministrasi, skoring, dan interpr~asi skor
yang hams tidak bergantung kepada penilaiansubjektif dari pengujinya
(Anastasi, 1988). Keseragarnan tes beserta validitas dan reliabilitasnya akan
dibahas dalam sub bab terakhir dalam babini.
Intelegensi atau kecerdasan sering diasosiasikan dengan kecerdikan,
kemengertian,kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk menguasai
sesuatu, kemampuan untukmenyesuaikan diri dengan situasi atau lingkungan
tetentu, dan sebagainya. Lalu apa pengertianintelegensi itu?
Pada tahun 1982, Sternberg dkk. merancang suatu studi untuk
menemukan keberagamanorang-orang di dalam mendefinisikan intelegensi.
Subjek penelitiannya adalah duakelompokyang berbeda, yaitu orang awam dan
para ahli psikologi yang secara khusus mengkajimengenai intelegensi. Pada
kedua kelompok tersebut, para peneliti memberikan daftarbeberapa orang
dengan beberapa karakteristik tertentu dan kemudian diminta untuk
menilaikeragaman kemampuan yang didasarkan kepadakarakteristik tersebut.
Hasilnya menunjukkanbahwa pada kebanyakan orang awammengira bahwa
intelegensi adalah kemampuan untukmemecahkan masalah secara praktis,
kemampuan verbal, dan kompetensi sosial. Kemampuanuntuk memecahkan
masalah secara praktis termasuk di dalamnya penggunaan
logika,menghubungkan ide-ide, dan pandangan kepada masalah secara
keseluruhan. Kemampuanverbal meliputi penggunaan dan pemahaman bahasa
secara lisan dan tulisan dengan carayang baik. Kompetensi sosiallebih
menekankan kepada interaksi yang baik dengan oranglain, yaitu tentang
pemikiran yang terbuka pada perbedaan jenis manusia dan menunjukkanminat
dalam topik-topik yang beragam. Sementara itu para pakar psikologi
menyebutkanbahwa intelegensi dapat diperoleh dari intelegensi verbal,
kemampuan dalam memecahkanmasalah, dan intelegensi praktis. Ini berarti
terdapat hubungan yang dekat dengan pendapatorang awam. Perbedaan
pemikiran utama di antara dua kelompok tersebut adalah satupenekanan,
dimana awam menekankan kompetensi sosial, semen tara para pakar
tidakmempertimbangkan hal tersebut sebagai hal yang esensial dalam
intelegensi. Di lain pihak,para pakar mempertimbangkan motivasi sebagai
faktor yang penting, dimana motivasi initidak terlihat di daftar yang diberikan
oleh orang awam (Morris, 1990).
Banyak ahli yang berbeda pendapat dalam mendefinisikan apa itu
intelegensi. Sepertimisalnya pada pertentangan antara kubu Spearman dan
kubu Thurstone/Guilford, yangkemudian dikenal dengan dua buah teori
mengenai lumpers (gumpalan) dan splitters(pecahan) (Mayr dalam Morris,
1990). Spearman berpendapat bahwa intelegensi adalahkemampuan urn urn
untuk berpikir dan mempertimbangkan. Sementara Thurstone
melihatkecerdasan sebagai suatu rangkaian kemampuan yang terpisah.
Thurstone meyakinibahwa kemampuan seperti numerik, ingatan, dan kefasihan
berbicara, secara bersama-samaakan membentuk perilaku pandai. Bahkan
Guilford lebih tegas mengatakan bahwakecerdasanterbentuk dari 120 faktor
yang berbeda-beda. Perdebatan seperti ini masih tetap aktual sampaikini.
J.P. Guilford (dalam Morris, 1990) membedakan tiga macam
kemampuan mental dasar,yaitu: operation (tindakan berpikir), contents (istilah-
istilah dari hal-hal yang kita pikirkan,seperti kata-kata atau simbol-simbol), dan
product (ide-ide yang dapat kita hasilkan).
Menurut Morgan dkk. (1984) setiap teori tentang intelegensi di atas
tentunya akanmembawa pengaruh pada perbedaan cara dalam pengukuran
untuk memperkirakan
Kemampuan mental seseorang. Sebagai contoh, teori Faktor G akan
menyarankan bahwaskor tunggal akan dapat mewakili intelegensi secara
adekuat. Sementara ahli-ahli lain yangmenyarankan perbedaan perangkat dari
faktor-faktor memisahkannya ke dalam subtes-subtes. Kita kenaI dua buah tes
intelegensi individual yang terbaik yaitu Binet danWechsler.
L. Beberapa Sifat Tes Intelegensi
Menurut Atkinson dkk. (1993) intelegensi oleh beberapa pakar psikologi
dipandangsebagaikapasitasumumuntukmemahamidanmenalarsesuatuyangkem
udiandiejawantahkanke dalamberbagai cara.AsumsiBinet adalahmeski suatu
tes intelegensi terdiri dari berbagaimacam butir soal (yang mengukur
kemampuan seperti rentang ingatan, berhitung, dan kosakata) seperti
dalamtesBinet, akantetapi anakyang cerdas akancenderung mendapatkan
skoryang lebih tinggi dari pada anak yang bodoh. Dengan demikian, Binet dan
Simon laluberasumsi bahwa tugas yang berbeda-beda tersebut menggali
kecakapan atau kemampuandasar. Dalam intelegensi kecakapan tersebut jika
mengalami perubahan dan kekuranganakan mempengaruhi kehidupan
praktis.Kecakapan ini berupa daya timbang, akal sehat, citarasa praktis,
inisiatif, dan kecakapan untuk menyesuaikan diri terhadap
situasi.Menimbangdengan baik, memahami dengan baik, menalar dengan
baik, kesemua- nya itu merupakankegiatan intelegensi yang sangat penting.
Beberapa Contoh Item-item dalam Skala Intelegensi Stanford-Binet.
USIA TUGAS
2 Menyebut bagian-bagian tubuh: Kepada anakditunjukkan
sebuahkertas yang besar dan diminta untuk menunjukkan
berbagai bagian tubuh.
3 Ketrampilan visual motorik: Kepada anak ditunjukkan
sebuah jembatanyang disusun dari tiga balok dandiminta
untuk membangunjembatan seperti itu; Dapat meniru
sebuah lingkaran.
4 Analogi yang berlawanan: Mengisi titik-titik dengan kata
yangtepat jika ditanya:"Saudara laki-Iakiseorangpria adalah ;
Saudaraperempuan adalah seorang ; Siang hari terang,
malam hari.........
Penalaran: Menjawab dengan tepatjika ditanya:
"Mengapa kita memerlukan rumah?"
"Mengapa kita memerlukan buku?"
5 Perbendaharaan kata: mendefinisikan kata seperti: bola, topi,
dan tungku. Ketrampilan visual motorik:Dapat meniru
gambar sebuah persegi empat.
6 Konsep angka: Dapat memberikan 9 buah balok kepada
penguji jika diminta melakukannya.
8 Ingatan tentang cerita:Mendengarkan sebuahceritadan
menjawab pertanyaan tentang cerita tersebut.
14 Kesimpulan: Penguji melipat sehelai kertas beberapa kali,
menggunting sudutnya setiap kali melipat.
Subjek ditanya tentang cara menetapkanjumlah lubang yang
akan terjadi bila kertas itu dibentangkan.
Dewasa
(diatas 15 th)
Perbedaan: Dapat menjelaskan perbedaan antara
"kesengsaraan dan kemiskinan";
"watak ke dan reputasi"
Ingatan tentang angka yang dibalik: Dapat mengulang
enam angka secara mundur (dalam susuna terbalik) setelah
dibaca keras oleh penguji.
Sumber : Atikson dkk. (1993)
David Wechsler (dalam Atkinson dkk., 1993) meski dengan tes intelegensi
denganberagam skala, juga meyakini bahwa intelegensi merupakan himpunan
kapasitas untukbertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan
berhubungan dengan lingkungansecara efektif.
Beberapa Contoh Item-item dalam WISC
(Wechsler Intelligence Scale for Children)
TES URAIAN
Skala verbal
InformationCompre
hension
Arithmetic
Digit Span
(Deret angka)
Vocabulary
Skala performance
Digit symbol
Picture
Pertanyaan-pertanyaan tentang infonnasi yang umum:
misalnya, "Satu kilogram sarna dengan berapa pon?"
Mengukur infonnasi praktis dankemampuan untuk
mengevaluasi pengalaman masa lampau; misalnya,
Mengapa kita perlu menabung?"
Soal-soal verbal yang mengukur penalaran aritmetika
Similarities. Menanyakan kesamaan objek atau konsep
tertentu (misalnya: telur & benih); mengukur pemikiran
abstrak.
Serangkaian angka yang disajikan secara auditoris
misalnya 7-5-6-3-8) diulang dari depan atau dari belakang;
mengukur perhatian dan ingatan luar kepala
Mengukur pengetahuan kita
Tugas pengkodean yang diberi batas waktu dimana
angka diasosiasikan dengan berbagaimacam bentuktanda;
mengukur kemampuan belajar menulis.
Bagian yang hilang dari gambar yang completation tidak
lengkap hams dicari dan disebutkan; mengukur
kemampuan untuk memahami dan menganalisis
Block design
Picture
Object
pola.
Susunan yang tergambar hams ditim dengan menggunakan
balok; mengukur kemampuan untuk memahami dan
menganalisis pola.
Serangkaian gambar hams disusun arrangement menjadi
cerita yang hidup dengan urutan ke kanan; mengukur
pemahaman tentang situasi sosial.
Potongan-potongan kayu hams disatukan assembly untuk
membentuk suatu bendayang
sempurna;mengukurkemampuanyangberkaitandenganhubu
ngan bagian-keseluruhan.
Sumber : Atikson dkk. (1993)
Beberapasifat intelegensidi atasadalahsifat-
sifatyangbersifatteknisdalamhubungannyadengan penyusunan tes intelegensi.
Beberapa sifat lain dari tes intelegensi dan hasilpengukurannya antara lain
adalah sebagai berikut:
a. Tes individual dan tes klasikal;
b. Hubungan antara intelegensi dengan kreativitas;
c. Bebas budaya dan penggunaan pada anak khusus.
1. Tes Individual dan Tes KIasikal
Pada bagian terdahuludikatakan bahwatesBinetdan tesWechsler adalah
teskemampuanindividual, karena kedua tes tersebut dilaksanakan pada satu
individu oleh seorang pengujiyang dilatih secara khusus. Sementara itu
kitajuga mengenal tes kemampuan klasikal, yangdapat dilakukan terhadap
sejumlah orang dengan satu orang penguji, serta biasanya dalambentuk tertulis.
Tes kemampuan yang bersifat klasikal tersebut berfungsijika sejumlah
orangharus segera dievaluasi, sementara hanya terdapat sedikit orang penguji.
Salah satu bentuktes klasikal adalah SPM (Standard Proggresive Matrices).
2. Hubungan Antara Intelegensi Dengan Kreativitas
Menurut Atkinson dkk. (1993) tes intelegensi umum (seperti Binet dan
Wechsler)ternyata berkorelasi cukup tinggi dengan prestasi belajar di sekolah,
serta berkorelasi yanglebih rendah dengan prestasi intelektual di kemudian hari
(bila dibandingkan prestasibelajar). Akan tetapi tes intelegensi tidak
dapatmengukur aspekpenting dari intelegensi yaitupemikiran kreativitas atau
pemikiran orisional.
Dalam suatu pemecahan masalah umumnya meliputi dua fase yaitu
mencari beberapaalternatif dan kemudian memilih salah satu alternatif tersebut
yang tampaknya dianggappaling tepat. Fase yang pertama dapat diasumsikan
sebagai pemikiran divergen, dimanapemikiran individu menyebar pada
sejumlah alur yang berbeda. Sedangkan yang keduadiasumsikan
sebagaipemikiran konvergen,dimanapengetahuandan aturan
logikadigunakanuntuk memperkecil kemungkinan guna memperoleh
kemungkinan pemecahan masalahyang tepat.
Sebagian besar tes intelegensi menekankan kepada pemikiran
konvergen, yangmenyajikan masalah yang memiliki jawaban tepat yang
dirumuskan dengan baik. Tes-tesintelegensi tradisional tersebutumumnya
tidakdapatmenggalikemampuan berpikirdivergenpada subjek yang dikenai tes.
Dua pertanyaan mendasar yang kemudian muncul: apakah kemampuan
yang diukurmelalui tes kreativitas berbeda dengan tes yang diukur melalui tes
intelegensi umum?Apakah skor pada tes intelegensi tersebut dapat
memprediksi prestasi kreatif dalamkehidupan sehari-hari?
MenurutAtkinson dkk. (1993) kemamapuanyang akandigalimelalui tes
intelegensi dantes kreativitas tampaknya akan selalu tumpang tindih. Untuk
suatu populasi, tes intelegensicenderung berkorelasi positif dengan skor pada
tes kreativitas; dimana orang yang memilikiIQ di atas rata-rata
cenderungmencapai skordi atas rata-ratapada tes kreativitas. Akan tetapipada
tahap intelegensi tertentu (IQ sekitar 120), terdapat korelasi yang rendah antara
skorintelegensi dengan skorkreativitas.Beberapaindividu yangmemiliki
skoryang sangat tinggipada tes intelegensi akan memperoleh skor yang rendah
pada tes kreativitas. Sedangkanindividu yangmemiliki intelegensi sedikit di
atas rata-rata akanmemperoleh skoryang tinggipada tes kreativitas. Sehingga
dapat dikatakan bahwa pada distribusi bagian atas, kreativitastidak tergantung
pada intelegensi.
Lalu apakah hasHtes kreativitas dapat diprediksi sebagai alat untuk
melihat kreativitasdalam kehidupan sehari-hari?
Menurut Kogan danPankove (dalamAtkinsondkk., 1993)kita hanya
dapat berspekulasitentang apakah tes kreativitas dapatmemprediksi prestasi
kreatif yang sebenamya. Beberapapenelitian jangka panjang telah dilakukan,
yang hasilnya tidak menggembirakan. Salahsatunya menyimpulkan bahwa
terdapat korelasi yang rendah antara skor berpikir divergendengan kecakapan
ekstrakurikuler yang membutuhkan bakat dalam hal kepemimpinan,drama,
seni, atau ilmu pengetahuan pada siswa-siswa sekolah lanjutan.
Agaknya untuk memperoleh prestasi kreatif, dibutuhkan keduanya baik
kreativitasuntuk berpikir divergen maupun intelegensi untuk berpikir
konvergen. Para peneliti yangmelakukan penelitian terhadap para ilmuwan dan
seniman menyimpulkan bahwa faktorkepribadian seperti kebebasan
berpendapat,motifberprestasi, inisiatif, dan adanya toleransiterhadap
ambiguitas (kemenduaan), merupakan syarat penting bagi prestasi kreatif,
yangkesemuanya itu tidak dapat diukur melalui tes kreativitas (Atkinson dkk.,
1993).
Beberapa Contoh Item-item dalam Tes Kreativitas
1. Penggunaan yang tidak biasa (Guilford, 1954)
Sebutkansebanyak mungkin penggunaan:
a. tusukgigi
b. batubara
c. penjepit kertas
2. Akibat(Guilford, 1954)
Bayangkan semua hal yang mungkin terjadi bila tiba-tibahukum nasional
danhukum daerah dihapuskan
3. Asosiasi jauh (Mednik, 1962)
Carilahkatakeempatyang dapatdiasosiasikan dengan setiap kata dari
ketigakatadi bawah ini:
a. tikus- biru -pondok
b. keluar - anjing- kucing
c. roda -listrik- tinggi
d. heran – garis- ulang tahun
4. Asosiasi kata (Getzels dal1Jackson, 1962)
Tuli§kan sebanyakmllngkip makna setiap kata.di bawah ini:
a. itik
b. saku
c. bubungan
d. adil
Sumber: Atkinson dkk.(1993)
3. Bebas Budaya dan Penggunaan Pada Anak Khusus
Menurut Atkinson dkk. (1993) penampilan seseorang dalam suatu tes
amat tergantungpada kebudayaan mana seseorang itu dibesarkan.Hal ini akan
nyata benar terutama pada tesverbal yang membutuhkan pemahaman bahasa
tertentu.
Suatu tes umumnya memang dirancang untuk mengukur intelegensi
pada orang yang berada di dalam kebudayaan dimana tes tersebut dirancang.
Suatu tes yang bebas budaya (culturefair) dikembangkan dengan cara
meminimalkan penggunaan bahasa, ketrampilan,dan nilai-nilai yang berbeda-
beda dari kebudayaan satu dengan yang lain. Suatu contoh darites bebas
budaya adalah Good enough-Harris Drawing Test. Dalam tes ini subjek
diminta menggambar manusia semampunya (semaksimal yang dia dapat).
Gambar manusia tersebut diskor dari proporsi, ketepatannya, dan
kelengkapannya yang kesemuanya itu dapat diwakili dari bagian tubuh, detil
pakaian, dan sebagainya. Bukannya diskor dari bakat artistiknya(Morris, 1990).
Contoh lain dari tesbebas budaya adalah StandardProgressiveMatrices,
yang berisikan 60 rancangan. Subjek diminta untuk memilih dari 6 sampai 8
pilihan jawaban dari setiap pertanyaan.
Cattel (dalam Morris, 1990) mengembangkan Culture Fair Intelligence
Test (CFIT), yangberusaha mengkombinasikan beberapa pertanyaan
pemahaman verb pengetahuan yang bebasbudaya. Dengan membandingkan
skor-skor dalam dua macam pertanyaan, maka faktorbudaya dapat
dikesampingkan.Anak yang tuli akan membutuhkan waktu lebih lama untuk
mempelajari kata-kata dari padaanak normal. Para imigran atau tenaga kerja
asing yang berprofesi sebagai pengacara atau insinyur tentu akan
membutuhkan waktu yang lama dalam mempelajari bahasa Indonesia.Bayi di
bawah tiga tahun tentu akan mengalami kesulitan dalam menjawab beberapa
pertanyaan verbal. Lalu muncul pertanyaan: bagaimana kita mengukur dengan
tes intelegensi terhadap orang-orang seperti itu?
Cara yangdigunakan adalah dengan meminimalkan penggunaan kata-
kata, yaitu dengan performace test atau tes kinerja, yang merupakan tes non-
verbal. Salah satu contoh tes kinerja yang pertama kali dikembangkan adalah
pada tahun 1866 adalah Seguin FormBoard,yang merupakan suatu puzzle yang
dipakai pada anak-anak yang mengalami retardasi mental.Tes kinerja lainnya
yang terkenal adalah PorteusMaze, yangberupa jaringan jalan yang rumit dan
memiliki tingkat kesulitan yang bertingkat (Morris, 1990).
Bagi anak-anak yang masih kecil, salah satu tes yang paling efektif
digunakan adalah Bayley Scales of Infant Development. Skala Bayley
digunakan untuk mengevaluasi perkembangan kemampuan anak dari umur 2
bulan hingga 1,5 tahun. Skala-skalanya meliputi persepsi, memori, komunikai
verbal, dan beberapa skala motorik seperti duduk,berdiri, berjalan, dan
ketangkasan. Skala Bayley ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi tanda-
tanda awal dari kerusakan sensorisdan neurologis, gangguan emosional, dan
kesulitan beradaptasi dengan lingkungan fisik (Morris, 1990).
M. Syarat-syarat Tes Yang Baik
Sebuah tes dapat dikatakan baik apabila skornya dapat dikatakan sudah
sahih (valid) dan andal (reliable).
1. Keandalan (Validitas)
Validitas berasal dari kata validity yang berarti sejauh mana ketepatan
dan kecermatan suatu tes dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes dapat
dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila tes tersebut menjalankan
fungsi ukurnya, yang sesuai dengan maksud dikenakannya tes tersebut. Suatu
tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan diadakannya
pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas yang rendah.
Sisi lain dari konsep validitas adalah kecermatan pengukuran. Suatu tes
yang validitasnya tinggi bukan saja akan rnenjalankan fungsi ukurnya dengan
tepat, akan tetapi harus juga rnemiliki kecermatan tinggi (Azwar, 1989).
Estirnasi validitas suatu pengukuran pada urnurnnya dinyatakan secara
ernpiris oleh suatu koefisien yang kernudian disebut koefisien validitas.
Koefisien ini dinyatakan oleh korelasi antara distribusi skor tes yang
bersangkutan dengan distribusi suatu skor suatukriteria. Kriteria ini dapat
berupa skor tes lainyang rnerniliki fungsi yangsarna,dan dapat pula berupa
ukuran-ukuran yang lain yang relevan (Azwar, 1989).
Apabila suatu tes diberi sirnbol X dan skor kriteria diberi sirnbol Y,
rnaka koefisiensikorelasi antara tes dan kriteria rnerupakan suatu koefisien
validitas dengan sirnbol 'XY(Azwar, 1989).
2. Keterandalan (Reliabilitas)
Reliabilitas berasal dari kata reliability, yang berasal dari kata rely
(dipercaya) danability (kernarnpuan). Suatu tes dapat dikatakan reliabel
apabila rnerniliki reliabilitas yangtinggi.
Reliabilitas seringkali rnerniliki beragarn istilah lain seperti
keterpercayaan, keterandalan,keajegan, konsistensi, kestabilan, dan
sebagainya yang kesernuanya itu rnengacu kepadakonsep reliabilitas yang
berarti sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Artinyahasil ukur
yang dapat dipercaya apabila dalarn beberapa kali pengukuran terhadap
kelornpoksubjek yang sarna akan diperoleh hasil yang relatif sarna,jikalau
aspek yangdiukur dalarn dirisubjek rnernang belurn berubah. Pengertian
relatif tersebut rnenunjukkan bahwa terdapattoleransi terhadap perbedaan-
perbedaan kecil di antara hasil pengukuran. Apabila perbedaanhasil
pengukuran tersebut besar dari waktu ke waktu, rnaka tes tersebut tidak dapat
dipercayaatau tidak reliabel (Azwar, 1989).
Untuk rnengukur reliabilitas dapat dilakukan dengan perolehan dua
nilai dari orang yangsarna pada tes yang sarna, yakni dengan cara
rnengulanginya atau dengan rnernberikan duabentuk tes yang berbeda tetapi
setara. Jika setiap individu dapat rnencapai skor yang kuranglebih sarna pada
kedua pengukuran tersebut, rnaka berari bahwa tes tersebut reliabel.
Meskisuatu tes dapat dikatakan reliabel, beberapa perbedaan dapat rnuncul di
antara kedua karenaadanya perbedaan peluang dan kesalahan pengukuran.
Oleh karena itu, dibutuhkan pengukuranstatistik mengenai tingkat hubungan
di antara seperangkat pasangan skor. Tingkat hubungantersebut ditetapkan
dengan koefisien korelasi (Atkinson dkk., 1993).
Menurut Azwar (1989) koefisien korelasi dilambangkan dengan huruf r.
Apabila skorpada tes pertarna diberi larnbang X dan skor yang kedua
(paralelnya) diberi larnbang X' , rnakakoefisien korelasi antara keduanya
diberi larnbang rxx" dirnana sirnbol ini kemudiandigunakan sebagai sirnbol
koefisien reliabilitas.
Secara teoritis, besarnya koefisien reliabilitas berkisar dari 0 sarnpai I.
Akan tetapi padakenyataannya koefisien korelasi sebesar 1 tidak akan pernah
dijurnpai. Di sarnping itu,rneskipun koefisien korelasi dapat saja positif (+)
rnaupun negatif (-), akan tetapi halreliabilitas koefisien yang besarnya kurang
dari 0 tidak ada, karena interpretasi reliabilitasselalu rnengacu kepada
koefisien yang positif (Azwar, ] 989).
Apabila koefisien reliabilitas sebesar rxx.=l, berarti adanya konsistensi
yang sempurnapada alat ukur yang bersangkutan.Konsistensi sempurna ini
tidak akanpernah terjadi, karenadalam pengukuran psikologis, manusia
merupakan sumber error yang potensial (Azwar,1989).
Selain validitas dan reliabilitas, suatu tes yang baik juga harus
memenuhi syaratkeseragaman prosedur tes. Untuk menghindari pengaruh
variabel yang mengganggu,maka suatu tes harus seragam di dalam prosedur.
Keseragaman tersebut meliputi: instruksi,batas waktu (speed test atau power
test), dan cara skoring. Dalam instruksi misalnya,penjelasan yang diberikan
olehpengujimengenai carapenyajianmateri tes seyogyanya harusbersifat
standar dari waktu ke waktu (Atkinson dkk., 1993).
Akan tetapi tidak semua variabel yangmengganggu dapat kita
kendalikan dengan baik,seperti misalnya penampilan umum (ekspresi wajah,
nada suara, pakaian, dan sebagainya),jenis kelamin dan suku bangsa penguji
juga akan mempengaruhi hasil tes subjek (Atkinsondkk., 1993) . Apabila
seorang anak perempuan dari Jawa Tengah mengerjakan tes denganhasil
buruk ketika diuji oleh seorang penguji pria dari Batak, harus
dipertimbangkan pulabahwa kecemasan dan motivasi anak tersebut mungkin
akan berbeda apabila diuji olehpenguji perempuan dari Jawa.
N. Penggunaan Tes-Tes Intelegensi
Pada dasarnya tes-tes intelegensi memang berguna. Beberapa
penggunaan praktis yang sekarang telah diakui yaitu pertama-tama tes psikis
dapat digunakan untuk turut menentukan emasakan anak-anak menerima
pelajaran sekolah. Anak yang berumur 6 tahun biasanya memperlihatkan
variasi yang sangat luas mengenai umur mereka. Beberapa diantara mereka
mungkin psikis harus berumur 3 atau 4 tahun, sedangkan sebagian besar dari
mereka mempunyai umur psikis antara 5,5 dan 6,5 tahun. Anak-anak yang
terdapat pada golongan umur psikis yang rendah belum siap untuk
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan di kelas satu, meskipun
mereka kronologis telah berumur 6 tahun. Mereka yang terdapat dalam
golongan umur psikis yang tinggi barangkali telah dapat melakukan pekerjaan
kelas satu ini pada umur 4 atau 5 tahun.
Penggunaan kedua dari test psikis ini adalah untuk mengadakan
klasifikasi kedalam golongan-golongan menurut abilitas mereak yang
dilakukan untuk kepentingan pelajaran. Klasifikasi ini dapat dilakukan dalam
setiap kelas. Namun perlu diperhatikan, bahwa kriteria ini tidak boleh
merupakan faktor satu-satunya dalam mengadakan klasifikasi ini, faktor-
faktor lainpun tak kurang pula pentingnya, atau mungkin juga minat serta
usahanya. Tetapi kalau faktor-faktor lain dapat dianggap sama, seorang anak
dengan IQ sebesar 150 dapat menjelaskan pelajaran untuk enam kelas dalam
6 tahun. Apakah bijaksana untuk menyelesaikan pelajaran 6 tahun dalam 4
tahun adalah pertanyaan yang lain lagi.
Penggunaan ketiga adalah diagnosis murid. Kalau seorang murid tak
berhasil mencapai kemajuan yang normal, maka test psikis dapat
dipergunakan untuk menentukan macam kesukaran apa yang dihadapi anak
itu. Kalau seorang anak, yang terlambat kemajuannya mencapai score yang
tinggi pada suatu test intelegensi, maka mungkin bbahwa cara mengajar yang
kurang baik, atau faktor psikologis lain seperti sikap atau minat, atau
mungkin pula dasar appersesif yang tidak cukup. Faktor-faktor lian yang
terganggu dan faktor-faktor sosial tertentu seperti kehidupan keluatga tidak
terlalu menyenangkan. Dalam memberikan test psikis kepada seorang anak
yang terlambat, misalnya kepada seorang murid yang menemui kesukaran-
kesukaran dalam pelajaran membaca, haruslah dipergunakan suatu test tanpa
bahasa nonverbal. Kalau anak tadi tidak dapat membaca, pasti ia akan
mendapat score yang rendah pada suatu test yang mempergunakan instruksi-
instruksi secara tertulis. Kalau kemudian didapati kapasitas psikis yang
rendah, maka kelambatan itu untuk sebagian telah diterangkan, tetapi
kemungkinan tetap besar, bahwa faktor-faktor lainpun menyebabkan
kelambatan itu.
Keempt, tes psikis itu dapat dipergunakan dalam memberikan
bimbingan pendidikan untuk menentukan jabatan. IQ seseorang merupakan
faktor yang penting dalam meilih jabatan. Kalau seseorang mempunyai
kapasitas psikis biasa atau rata-rata saja, janganlah ia menginginkan jabatan
yang memerlukan kapasitas psikisnya tinggi. Penetrasi yang dalam yang
dikehendaki oleh jabatn-jabatan yang tinggi serta jabatan-jabatan yang
sosialisasi terlalu berat bagi orang-orang dengan IQ yang biasa. Bimbingan
dalam pendidikan, atau setiap macam bimbingan biasanya diperlukan dalam
setiap krisis. Makain rendah IQ seseorang, barangkali makin banyak orng itu
memerlukan bimbinga untuk mengatasi masa-masa krisisnya.
Penggunaan yang kelima dari test intelagensi ialah untuk menolong
studi mengenai pelanggaran-pelanggaran kalau seseorang pemuda
memperlihatkan kecenderungan untuk melakukan tingkah-tingkah yang
bersifat nonsusila dan kriminal, maka timbullah sial tangung jawab moral.
Apakah pemuda tadi cukup intelegensi untuk dimintai tanggung jawab moral
bagi segala tindakannya atau tidak. Jawaban dari hal tersebut mungkin
bersifat menetukan terhadap penuntutan perlakuannya yang harus diterima
oleh pemuda tadi.
Penggunaan keenam ialah untuk meramalkan sukses yang mungkin
dicapai oleh seorang anak di perguruan tinggi, atau dalam suatu lapangan
aktivitas yang lain. Korelasi yang terdapat antara score pada tes intelegensi
dengan sukses dalam suatu lapangan memberikan dasar untuk meramalkan
kemungkinan sukses dalam batas tertentu.
Tentu saja daam hal ini diperlukan ketentuan-ketentuan, bahwa faktor
lain akan tetap konstan. Korelasi semacam ini tidak pernah terlalu tinggi,
bergerak antara kira-kira 0,4 sampai 0,6. Tetapi korelasi itu selamanya positif
dan cukup berarti.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari materi yang telah dibahas sebelumnya, kita bisa menyimpulkan bahwa:
1. Inteligensi itu ialah faktor total. Berbagai macam daya jiwa erat
bersangkutan di dalamnya (ingatan, fantasi, perasaan, perhatian, minat,
dan sebagainya turut mempengaruhi intelegensi seseorang). Intelegensi
tidak bisa dianggap sebagai suatu substansi, suatu sifat, atau suatu daya.
2. Tingkah laku manusia dikatan intelegen berdasarkan kesanggupannya
untuk melakukan tugasnya dengan cepat, mudah, serta memadai.
3. Suatu tingkah laku yang intelegn, dapat tinggi dan dapat pula rendah
tingkatannya.
4. Intelegensi berbeda dari kapasitas. Manusia tidak dapat intelegen berkat
hereditas saja. Manusia hanya mewarisikin kapasitas untuk menjadi
intelegen, pada yang seorang dengan batas yang cukup tinggi, sedangkan
pada yang lain dengan batas yang rendah.
5. Intelegensi pada tingkat tinggi dapat diketahui dari manifestasi-
manisfestasi berikut :
a. Fasilitas dalam mempergunakan bilangan-bilangan
b. Efesiensi dalam penggunaan bahasa
c. Kecepatan dalam pengamatan
d. Fasilitas dalam mengingat-ingat
e. Khayal
6. Telah banyak teori tentang intelegensi teori tentag intelegensi yang
dikemukakan orang. Ada yang meletakkan tekanan pada kualitas, dan
persesuaian pendapat mengenai persoalan, apakah intelegensi terdiri atas
satu faktor atau atas lebih dari satu faktor. Tiap teori berguna samapi
tingkat tertentu, yaitu bahwa teori itu dapat menerangkan tingkah laku
yang dapat dianggap intelegen.
7. Tujuan-tujuan itu setiap konsep tentang intelegensi harus kita periksa
dalam hubungannya dengan implikasi dalam pendidikan:
a. Filsafat yang dianut oleh sekolah harus menentukan apakah
pendidikan yang diberikan oleh sekolah tadi diperuntukkan bagi
seluruh masyarakat atau apakah intelektualitas yang akan memperoleh
pengakuan dan penghargaan tertinggi.
b. Selama manusia masih berbeda tidak mungkin dibentuk rombingan
yang mutlak homogen.
c. Mendorong anak yang kurang pandai dan menilai kemajuan
berdasarkan intelengensi abstraknya.
8. Intelegensi dibagi menjadi beberapa jenis, secara garis besar menjadi IQ,
EQ, dan SQ.
9. Intelegensi seseorang dapat diketahui dengan cara menggunakan tes
intelegnsi yang hasil dari tes tersebut tidaklah bersifat mutlak.
10. Tes-tes intelegensi digunakan untuk berbagai tujuan, yaitu :
a. Untuk menggolongkan murid disuatu kelas berdasakan kemampuan
belajar,
b. Menentukan siap dan tidaknya anak untuk bersekolah,
c. Mengadakan diagnosis kesukaran-kesukaran belajar,
d. Dipergunakan untuk kepentingan bimbingan,
e. Studi mengenai pelanggaran-pelangaran, dan
f. Mengetahui kecenderungan sukses yang mungkin dicapai oleh
seseorang.
DAFTAR RUJUKAN
Alim, Baitul Muhammad.2010.Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi,(Online),(http://www.psikologizone.com/faktor-yang-mempengaruhi-intelegensi/06511548). diakses tanggal 6 Desember 2011.
Dryden,Gordon dkk.2003.Revolusi cara Belajar.alih bahasa oleh Word++ Translation service. Bandung : Kaifa.
Gunadarma.____.Bab 6 Tes Intelegensi,(Online), (http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/psikologi_umum2/bab6_tes_intelegensi.pdf). diakses tanngal 14 Desember 2011.
Whiterington, H.Carl. 1982. Psikologi Pendidikan.alih bahasa oleh M. Buchori M.ED. Bandung : Jemmars.
Yunita, Riny.2009.Kenali Potensi Intelegensi Anda,(Online),(http://rinyyunita.wordpress.com/2009/01/16/potensi-intelegensi/). diakses 6 Desember 2011