kindangen - tinjauan hak cipta sebagai hak kebendaan
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menyebutkan bahwa, “Segala badan negara
dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum ada yang baru menurut UUD
ini. Ini berarti bahwa peraturan yang ada yang berasal dari masa sebelum proklamasi masih
tetap diberlakukan. Setelah mengalami masa waktu yang panjang, secara berangsur-angsur
isi dari kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan peraturan perundang-undangan lainnya
itu dinyatakan dicabut.
Demikian halnya dengan peraturan lain yang dimuat di luar KUHPerdata seperti
Auteurswet Stb. No. 600 Tahun 1912 dinyatakan tidak berlaku setelah keluarnya UU No. 6
Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 1987,
sebagaimana juga telah diubah dengan UU No.12 Tahun 1997, dan terakhir diubah dengan
UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Hak Kekayaan Intelektual itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang
bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja ratio. Hasil dari pekerjaan ratio manusia yang
menalar. Hasil kerja itu berupa benda immateril, benda tidak berwujud. Misalnya karya
cipta lagu. Untuk menciptakan alunan nada (irama) diperlukan pekerjaan otak.1
Benda dalam kerangka hukum perdata diklasifikasikan ke dalam berbagai kategori salah
satu di antara kategori itu adalah pengelompokan benda ke dalam klasifikasi benda
berwujud dan benda tidak berwujud. Hal ini dapat dilihat batasan benda yang dikemukakan
dalam pasal 499 KUH Perdata, yang berbunyi: menurut paham undang-undang yang
dimaksud dengan benda ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh
hak milik.
Benda immateril atau benda tidak berwujud yang berupa hak itu dapatlah kita contohkan
seperti hak tagih, hak atas bunga uang, hak sewa, hak guna bangunan, hak guna usaha hak
atas benda berupa jaminan, hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights) dan
lain sebagainya. Hak milik immateril termasuk ke dalam hak-hak yang disebut pasal 499
1 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Rajagrafindo, Jakarta, 2003, hal. 9.
1
KUH Perdata. Karena itu hak milik immateril itu sendiri dapat menjadi obyek dari suatu
hak benda. Hak benda adalah hak absolut atas sesuatu benda berwujud, tetapi ada hak
absolut yang obyeknya bukan benda berwujud. Itulah yang disebut dengan nama Hak Atas
Kekayaan Intelektual (intellectual property rights).2
Kata ‘hak milik’ (hak atas kekayaan) atau ‘property’ yang digunakan dalam istilah tersebut
diatas, sungguh menyesatkan, menurut Mrs. Noor Mout-Bouwman. Karena kata harta
benda/property mengisyaratkan adanya suatu benda nyata. Padahal Hak Atas Kekayaan
Intelektual itu tidak ada sama sekali menampilkan benda nyata. Ia bukanlah benda materil.
Ia merupakan hasil kegiatan berdaya cipta pikiran manusia yang diungkapkan ke dunia luar
dalam suatu bentuk, baik materil maupun immateril. Bukan bentuk penjelmaan yang
dilindungi akan tetapi daya cipta itu sendiri. Daya cipta dapat berwujud dalam bidang seni,
industri dan ilmu pengetahuan atau paduan dari ketiga-tiganya.3
Konsekuensi lebih lanjut dari batasan Hak Atas Kekayaan Intelektual ini adalah
terpisahnya antara Hak Atas Kekayaan Intelektual itu sendiri dengan hasil material yang
menjadi bentuk jelmaannya (benda berwujud). Sebagai contoh, Hak Cipta dalam ilmu
pengetahuan (berupa Hak Atas Kekayaan Intelektual) dan hasil material yang menjadi
bentuk jelmaannya adalah buku, begitu pula temuan (invensi) dalam bidang Paten (bagian
Hak Atas Kekayaan Intelektual), dan hasil benda materi yang menjadi bentuk jelmaan
adalah minyak pelumas, misalnya. Jadi yang dilindungi dalam kerangka Hak Atas
Kekayaan Intelektual adalah haknya, bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan dari hak
tersebut dilindungi oleh hukum benda dalam kategori benda materil (benda berwujud).4
B. PERUMUSAN MASALAH
Melihat begitu kompleksnya permasalahan yang berkaitan dengan hak cipta, maka penulis hanya
memilih salah satunya yakni Hak Cipta (Copy Rights), lebih khusus meninjau tentang hak
cipta itu sebagai hak kebendaan, dengan rumusan judul: Suatu Tinjauan Tentang Hak Cipta
Sebagai Hak Kebendaan.
C. TUJUAN PENULISAN
2 Mahadi, Hak Milik Immaterial, BPHN, Jakarta, 1985, hal. 5-6.3 Bouwman-Noor Mout, Perlindungan Hak Cipta Intelektual: Suatu Rintangan atau Dukungan Terhadap Perkembangan
Industri, Makalah pada Seminar di Fakultas Hukum USU, Medan, 10 Januari 1989.4 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Rajagrafindo, Jakarta, 2003, hal. 13
2
Adapun yang menjadi tujuan penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hak cipta;
2. Untuk mengetahui mengapa hak cipta disebut sebagai hak kebendaan; dan
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hak cipta sebagai kekayaan materil.
D. METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif
adalah suatu metode yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada pada waktu sekarang,
dan pelaksanaannya tidak hanya sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi
analisa dan intepretasi data itu.
Data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder atau data ayang diperoleh dari
hasil penelitian normative. Data-data yang terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif untuk
datang pada kesimpulan yang jelas dan tepat.
3
BAB II
HAK CIPTA SEBAGAI HAK KEBENDAAN
A. Pengertian Hak Cipta
Undang-Undang Hak Cipta yang berlaku sekarang di Indonesia adalah UU No. 19 Tahun
2002, Lemabaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 85. Sebelumnya, berawal dari UU No. 6
Tahun 1982 yang menggantikan Auteurswet 1912. Jadi dapat dilihat UU Hak Cipta dimulai
pada Auteurswet 1912.
Melihat konsideran UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, dapat dicermati bahwa:
Undang-undang ini dikeluarkan dalam rangka merealisasikan amanah GBHN (tahun 1978)
khususnya pembangunan di bidang hukum yang dimaksudkan untuk mendorong dan
melindungi pencipta dan hasil karya ciptaannya. Dengan demikian diharapkan
penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni dan sastra dapat dilindungi
secara juridis, yang pada gilirannya dapat mempercepat proses pertumbuhan kecerdasan
kehidupan bangsa.5
Menurut Auteurswet 1912 dalam pasal 1 menyebutkan, “Hak Cipta adalah hak tunggal dari
pencipta, atau hak dari yang mendapat hak tersebut atas hasil ciptaannya dalam lapangan
kesusastraan, pengetahuan dan kesenian, untuk mengumumkan dan memperbanyak dengan
mengingat pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang”. 6 Kemudian
Universal Copyrights Convention dalam pasal V menyatakan sebagai berikut: “Hak Cipta
meliputi hak tunggal si pencipta untuk membuat, menerbitkan dan memberi kuasa untuk
membuat terjemahan dari karya yang dilindungi perjanjian ini”.7
Dalam Auteurswet 1912 maupun Universal Copyrights Convention menggunakan istilah
‘hak tunggal’ sedangkan UHC Indonesia menggunakan istilah ‘hak khusus’ bagi pencipta.
Jika dilihat penjelasan pasal 2 UHC Indonesia yang dimaksud dengan hak eksklusif dari
pencipta ialah tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut kecuali dengan
izin pencipta.
5 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Rajagrafindo, Jakarta, 2003, hal. 56.6 BPHN, Seminar Hak Cipta, Binacipta, Bandung 1976, hal. 44.7 BPHN, Seminar Hak Cipta, Binacipta, Bandung 1976, hal. 45.
4
Menurut Hutauruk, dalam bukunya Peraturan Hak Cipta Nasional (Erlangga,1982)
menyatakan ada dua unsur penting yang terkandung dari rumusan pengertian Hak Cipta
yang termuat dalam ketentuan UHC Indonesia, yaitu:
1. Hak yang dapat dipindahkan, dialihkan kepada pihak lain.
2. Hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun dan dengan jalan apapun tidak dapat
ditinggalkan daripadanya (mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya,
mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan
atau integritas ceritannya).8
Hak yang dapat dipindahkan atau dialihkan itu sekaligus merupakan bukti nyata bahwa hak
cipta itu merupakan hak kebendaan. Dalam terminology UHC Indonesia, pengalihan itu
dapat berupa izin (lisensi) kepada pihak ketiga. Misalnya untuk karya film dan program
computer, pencipta atau penerima hak (produser) berhak untuk memberi izin atau
melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk
kepentingan yang bersifat komersial. Selanjutnya mengenai moral right, ini adalah
merupakan kekhususan yang tidak ditemukan pada hak manapun di dunia ini.9
Di bagian akhir redaksi UHC Indonesia pasal 2 disebutkan bahwa dalam penggunaan hak
tersebut diberikan ketentuan harus sesuai dan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
menurut peratutan perundang-undangan yang berlaku. Setiap sisi dari hak berpadanan
dengan itu terdapat kewajiban. Hukum berperan menyeimbangkannya. Abus de droit atau
misbruik van Rechts adalah pelanggaran hak atau penyalahgunaan yang menyebabkan
orang lain dirampas haknya. Kasus cerobong asap yang diputus Pengadilan Tinggi Colmar
di Perancis Tanggal 2 Mei 1855 adalah contoh klasik tentang penyalahgunaan hak.10
Sekalipun kita berhak atas sesuatu, tetapi penggunaannya tidak boleh mengganggu
kepentingan orang lain apalagi menyebabkan orang lain itu menderita kerugian.
Sedangkan pengertian hak cipta sesuai UU No. 19 Tahun 2002 pasal 1 angka 1, disebutkan:
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.11
8 M. Hutauruk, Peraturan Hak Cipta Nasional, Erlangga, Jakarta, 1982, hal. 11.9 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Rajagrafindo, Jakarta, 2003, hal. 60.10 Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT. Penerbit Universitas, Tanpa Tempat, 1965, hal. 233.11 Undang-Undang Perlindungan HAKI, Indonesia Legal Publishing, Jakarta, 2004, hal. 138.
5
B. Hak Cipta Sebagai Hak Kebendaan
Sebelum mengkaji lebih jauh tentang keberadaan hak cipta sebagai hak kebendaan, maka
terlebih dahulu akan diuraikan apa sebenarnya yang dimaksud dengan hak kebendaan.
Dalam bahasa Belanda hak kebendaan ini disebut zakelijk reght. Prof. Sri Soedewi
Masjchoen Sofwan, dalam bukunya Hukum Perdata: Hukum Benda, memberikan rumusan
tentang hak kebendaan, yakni: “hak mutlak atas suatu benda dimana hak itu memberikan
kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga”.12
Rumusan bahwa hak kebendaan itu adalah hak mutlak yang juga berarti nisbi atau
biasanya disebut juga persoonlijk atau hak perorangan. Hak yang disebutkan terakhir ini
hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu, tidak terhadap semua orang seperti
pada hak kebendaan.
Ada beberapa ciri yang membedakan hak kebendaan dengan hak relatif atau hak
perorangan, yaitu:
1. Merupakan hak yang mutlak, dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.
2. Mempunyai Zaaksgevolg atau droit de suite (hak yang mengikuti). Artinya hak itu terus
mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun juga) benda itu berada.
Hak itu terus saja mengikuti orang yang mempunyainya.
3. Sistem yang dianut dalam hak kebendaan dimana terhadap yang lebih dahulu terjadi
mempunyai kedudukan dan tingkat yang lebih tinggi dari pada yang terjadi kemudian.
Misalnya seorang eigenar menghipotikkan tanahnya, kemudian tanah itu diberikan
kepada orang lain dengan hak memungut hasil, maka disini hak hipotik itu masih ada
pada tanah yang dibebani hak memungut hasil itu. Dan mempunyai derajat dan tingkat
yang lebih tinggi dari pada hak memungut hasil yang baru terjadi kemudian.
4. Mempunyai sifat droit de preference (hak yang didahulukan).
5. Adanya apa yang dinamakan gugat kebendaan.
6. Kemungkinan untuk dapat menggunakan hak kebendaan itu dapat secara sepenuhnya
dilakukan.13
12 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 24.13 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 25-27.
6
Menurut Prof. Mariam Darus Badrulzaman, mengenai hak kebendaan ini dibaginya atas
dua bagian, yakni: “hak kebendaan sempurna dan hak kebendaan yang terbatas. Hak
Kebendaan yang sempurna adalah hak kebendaan yang memberikan kenikmatan yang
sempurna (penuh) bagi si pemilik. Selanjutnya untuk hak yang demikian dinamakannya
hak kepemilikan. Sedangkan hak kebendaan terbatas adalah hak yang memberikan
kenikmatan yang tidak penuh atas suatu benda, jika dibandingkan dengan hak milik.
Artinya hak kebendaan terbatas itu tidak penuh atau kurang sempurnanya jika
dibandingkan dengan hak milik”. 14
Bila dikaitkan dengan Hak Cipta, dapatlah dikatakan Hak Cipta itu sebagai hak kebendaan.
Pandangan ini dapat disimpulkan dari rumusan pasal 1 UHC Indonesia yang mengatakan
bahwa Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan
tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa Hak Cipta itu hanya dapat dimiliki oleh pencipta atau
si penerima hak. Hanya namanya yang disebut sebagai pemegang hak khususlah yang
boleh menggunakan Hak Cipta dan ia dilindungi dalam penggunaan haknya terhadap
subyek lain yang mengganggu atau yang menggunakannya tidak dengan cara yang
diperkenankan oleh aturan hukum.
Kemudian jika kita lihat rumusan tentang ketentuan pidana, disini ada rumusan mengenai
ancaman pidana terhadap pelanggaran Hak Cipta, suatu bukti bahwa hak itu dapat
dipertahankan terhadap siapa saja yang mencoba untuk mengganggu keberadaannya.
Pidana yang diancam ialah penjara dan denda. Tindak pidana ini juga digolongkan dalam
tindak pidana kejahatan dan masuk dalam kategori delik biasa. Kesemuanya ini
memberikan kesan pertanda adanya hak absolut. Sifat absolut ini lebih jelas lagi jika kita
lihat rumusan pasal-pasal tentang pemindahan Hak Cipta, pendaftarannya dan yang
berhubungan dengan penyelesaian sengketa menurut UHC Indonesia. Dalam kaitan dengan
hal ini, menurut pandangan Prof. Mahadi, bahwa Hak Cipta memberikan hak untuk
menyita benda yang diumumkan bertentangan dengan Hak Cipta serta perbanyakan yang
tidak diperbolehkan, dengan cara dan dengan memperhatikan ketentuan yang ditetapkan
untuk penyitaan benda bergerak baik untuk menuntut penyerahan benda tersebut menjadi
miliknya ataupun untuk menuntut suatu benda itu untuk dimusnahkan atau dirusak
14 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, BPHN, Alumni Bandung, 1983, hal. 43.
7
sehingga tidak dapat dipakai lagi. Hak Cipta tersebut juga memberikan hak yang sama
untuk penyitaan dan penuntutan terhadap jumlah uang tanda masuk yang dipungut untuk
menghadiri ceramah, pertunjukan atau pameran yang melanggar Hak Cipta.
Pandangan ini jelas menunjukkan bahwa Hak Cipta itu termasuk dalam ruang lingkup hak
kebendaan. Sebab disamping mempunyai sifat mutlak juga hadirnya sifat droit de suite.
Sifat droit de suite itupun tidak hilang dalam hal Hak Cipta itu dibajak di luar negeri,
dimana negara si pencipta atau si pemegang hak tidak turut dalam Konvensi Internasional.
Hal ini disebabkan karena menurut Mahadi, sifat droit de suite itu tidak hilang disebabkan
adanya ketentuan tentang perjanjian Internasional, oleh karena perjanjian internasional itu
gunanya untuk melindungi, jadi kalau tidak menjadi anggota Konvensi Internasional,
negara lain tidak wajib melindungi. Ini telah menjadi kebiasaan Internasional.
Tidak dilindunginya Hak Cipta di luar negeri bukanlah berarti hilangnya sifat droit de suite,
tetapi pencipta atau si pemegang hak, undang-undang tidak memberikan jaminan terhadap
pelaggaran haknya yang mungkin akan terjadi di negara-negara yang tidak menjadi anggota
konvensi. Justru kesulitan yang dihadapi pencipta adalah dalam hak penuntutan haknya.
C. Hak Cipta Sebagai Hak Kekayaan Immateril
Yang dimaksud dengan hak kekayaan immateril adalah suatu hak kekayaan yang obyek
haknya adalah benda tidak berwujud (benda tidak bertubuh). Dalam hal ini banyak dapat
dijadikan obyek hak kekayaan yang termasuk dalam cakupan benda tidak bertubuh.
Misalnya, hak tagihan, hak yang ditimbulkan dari penerbitan surat-surat berharga, hak sewa
dan lain-lain sebagainya. Hak kekayaan immateril dapat dirumuskan bahwa, semua benda
yang tidak dapat dilihat, atau diraba dan dapat dijadikan obyek hak kekayaan adalah
merupakan hak kekayaan imateril.
Jika kita hendak memastikan tempat atau kedudukan hak cipta itu sebagai hak kekayaan
immaterial maka kita lihat dulu rumusan pasal 499 KUH Perdata. Pasal ini secara implisit
dan menunjukkan bahwa hak cipta itu dapat digolongkan sebagai benda yang dimaksudkan
oleh pasal tersebut.
8
Pasal 499 KUH Perdata memberikan batasan tentang rumusan benda, ialah tiap-tiap barang
dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai menjadi obyek kekayaan (property) atau hak milik.
Rumusan ini menempatkan Hak Cipta sebagai hak yang merupakan bagian dari benda Hak
Cipta menurut rumusan ini dapat dijadikan obyek hak milik, oleh karena itu ia memenuhi
kriteria pasal 499 KUH Perdata. Si pemegang Hak Cipta dapat menguasai Hak Cipta
sebagai hak milik.
Sebagaiamana telah dikemukakan pada Bab Pendahuluan bahwa Intellectual Property
Rights dibagi atas dua bagian, yaitu: Hak Cipta (copy rights) dan Hak milik industri
(industrial property rights)
Sedangkan hak kekayaan perindustrian itu terdiri dari beberapa bagian lagi, yakni:
1. Patent (Paten)
2. Utility Models (Model dan Rancang Bangun)
3. Industrial Design (Desain Industrial)
4. Trade Secrets (Rahasia Dagang)
5. Trade Marks (Merek Dagang)
6. Service Marks (Merek Jasa)
7. Trade Names or Commercial Names (nama Dagang atau Nama Niaga)
8. Appelation of Origin (Sebutan asal Barang)
9. Indications of Origin ( Indikasi asal Barang)
10. Unfair Competition Protection (Perlindungan Persainagan Curang)
11. New Varieties of Plants Protection (Perlindungan Varietas Baru Tanaman)
12. Integrated Circuits (Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu).
UHC Indonesia sendiri, membedakan antara Hak Cipta dengan hak atas kekayaan
perindustrian. Dalam UHC Indonesia dikatakan bahwa, istilah ciptaan diberi arti sebagai
hasil setiap karya pencipta dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam
lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka menurut Simorangkir: Hak merek, paten dan oktroi
yang termasuk dalam Industrial property rights, tidak tergolong dalam hak cipta.15
15 J.C.T. Simorangkir, Undang-Undang Hak Cipta 1982, Jakarta, 1982, hal. 139.
9
Rumusan pasal 12 UHC Indonesia, dapat kita turunkan sebagai berikut:
(1) Dalam Undang-Undang ini yang dilindungi adalah ciptaan dalam
bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang mencakup:
a. buku, program komputer, pamflet, susunan perwajahan (lay out) karya tulis
yang diterbitkan dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama dan drama musikal, tari koreografi, pewayangan dan pantomim;
f. seni rupa dalam segala bentuk sepertiseni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi
seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database dan karya lainnya dari hasil
pengalihwujudan.
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai
ciptaan tersendiri, dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas ciptaan asli.
(3) Dalam perlindungan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) termasuk juga semua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah
merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil
karya itu.
Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa yang dilindungi oleh undang-undang hak cipta
adalah yang termasuk dalam karya ilmu pengetahuan, kesenian, kesusastraan. Sedangkan
yang termasuk dalam cakupan hak kekayaan perindustrian tidak termasuk dalam rumusan
pasal tersebut diatas, meskipun yang disebut terakhir ini juga merupakan hak kekayaan
immateril.
Satu hal yang perlu dicermati bahwa yang dilindungi dalam Hak Cipta ini adalah haknya,
bukan benda yang merupakan perwujudan dari hak tersebut. Jadi, bukan buku, bukan
10
patung, bukan lukisan, tetapi hak untuk menerbitkan, atau memperbanyak atau
mengumumkan buku, patung atau lukisan tersebut. Buku, patung, kain batik, kepingan
VCD, program komputer yang terekam dalam kepingan CD Room, dilindungi sebagai hak
atas benda berwujud, benda materil yang dalam terminologi pasal 499 KUH Perdata
dirumuskan sebagai ‘barang’. Dengan demikian semakin jelas bahwa benda yang
dilindungi dalam Hak Cipta ini adalah benda immateril (benda tidak berwujud) yaitu dalam
bentuk hak.16
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
16 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 55.
11
A. KESIMPULAN
1. Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan
atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Hak cipta sebagai hak kebendaan yang mempunyai ciri-ciri: Dapat dipertahankan
terhadap siapapun juga, mempunyai Zaaksgevolg atau droit de suite (hak yang
mengikuti). Artinya hak itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan
siapapun juga) benda itu berada. Hak itu terus saja mengikuti orang yang
mempunyainya, adanya apa yang dinamakan gugat kebendaan dan kemungkinan untuk
dapat menggunakan hak kebendaan itu dapat secara sepenuhnya dilakukan.
3. Hak cipta adalah hak kekayaan immateril dimana yang menjadi obyek haknya adalah
benda tidak berwujud (benda tidak bertubuh) yakni semua benda yang tidak dapat
dilihat, atau diraba dan dapat dijadikan obyek hak kekayaan adalah merupakan hak
kekayaan imateril
B. SARAN
Berdasarkan uraian mengenai Hak cipta sebagai hak kebendaan, maka penulis memberika
saran sebagai berikut: bahwa oleh karean hak cipta merupakan hak yang dapat dimiliki,
dapat menjadi objek pemilikan atau hak milik, maka syarat-syarat penggunaan maupun
cara pengalihan hak harus dilakukan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan agar tidak
ada pihak yang merasa dirugikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Rajagrafindo, Jakarta, 2003.
12
2. Mahadi, Hak Milik Immaterial, BPHN, Jakarta, 1985.
3. Bouwman-Noor Mout, Perlindungan Hak Cipta Intelektual: Suatu Rintangan atau
Dukungan Terhadap Perkembangan Industri, Makalah pada Seminar di Fakultas Hukum
USU, Medan, 10 Januari 1989.
4. BPHN, Seminar Hak Cipta, Binacipta, Bandung 1976.
5. M. Hutauruk, Peraturan Hak Cipta Nasional, Erlangga, Jakarta, 1982.
6. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT. Penerbit Universitas, Tanpa Tempat,
1965.
7. Undang-Undang Perlindungan HAKI, Indonesia Legal Publishing, Jakarta, 2004.
8. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta,
1981.
9. Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, BPHN, Alumni
Bandung, 1983.
10. J.C.T. Simorangkir, Undang-Undang Hak Cipta 1982, Jakarta, 1982.
13