kewenangan lppom mui dalam penentuan sertifikasi...

139
KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI HALAL PASCA BERLAKU NYA UU NO. 33 TAHUN 2014 Oleh: M. ADE SEPTIAWAN PUTRA NIM : 1110043200010 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM (PH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013/2014 M - 1435/1436 H

Upload: others

Post on 23-Oct-2019

29 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN

SERTIFIKASI HALAL PASCA BERLAKU NYA

UU NO. 33 TAHUN 2014

Oleh:

M. ADE SEPTIAWAN PUTRA

NIM : 1110043200010

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM (PH)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013/2014 M - 1435/1436 H

Page 2: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah
Page 3: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah
Page 4: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah
Page 5: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

iv

ABSTRAK

M.Ade Septiawan putra , NIM (1110043200010). “Kewenangan LPPOM MUI

Dalam Penentuan Sertifikasi Halal Pasca Berlaku nya UU No.33 Tahun

2014 “. Konsentrasi Perbandingan Hukum, Program Studi Perbandingan Madzhab

dan Hukum , Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2015.

Skripsi ini menjelaskan mengenai perubahan wewenang Majelis Ulama

Indonesia (MUI) dalam penetapan jaminan produk halal dan Prospek kedepan

dalam penentuan sertifikasi halal setelah lahir dan berlakunya Undang-Undang

No.33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui wewenang LPPOM dalam penetapan produk halal pasca berlakunya

UU No.33 Tahun 2014.

Metode Penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah

menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu metode penelitian hukum

terhadap aturan hukum yang tertulis, dimana perundangan yang menjadi objek

penelitian dan sumber data primer dalam penelitian yang dilakukan yang

kemudian dianalisis oleh penulis.

Berdasakan hasil penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa

terdapat perubahan wewenang LPPOM MUI sebelum dan sesudah berlakunya UU

No.33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Sebelum berlakunya Undang-

Undang No.33 Tahun 2014 atau selama 23 tahun semenjak berdirinya LPPOM

MUI, LPPOM MUI berwenang penuh atas penetapan sertifikasi halal namun

pasca lahir dan berlakunya Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan

Produk Halal LPPOM MUI tidak lagi memiliki hak penuh atas pengeluaran dan

penetapan sertifikasi jaminan produk halal, melainkan hanya sebagai mitra. Tidak

bisa dipungkiri ,bahwa kebutuhan sertifikasi halal atau label halal sangat

dibutuhkan di Indonesia ,terlebih masyarakat awam dan khususnya masyarakat

muslim di Indonesia .karena dengan tersedia nya produk makanan halal,

setidaknya konsumen,khususnya konsumen muslim tidak lagi khawatir akan

adanya campuran bahan bahan yang mengandung zat berbahaya yang dilarang

baik secara hukum negara maupun agama .

Kata kunci : Kewenangan, LPPOM MUI, sertifikasi halal, UU No.33 Tahun

2014

Pembimbing : Dr.H.Ahmad Mukri Aji, MA

Datar Pustaka : Tahun 1987 s/d Tahun 2011

Page 6: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penyusun panjatkan

kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, inayah dan taufiknya

sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas akhir dalam menempuh studi di

Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita

Nabi Muhammad SAW, yang berhasil menyampaikan risalahnya kepada umat

manusia di seluruh dunia, pendobrak revolusi akbar dalam peradaban sosial

kehidupan kita yang kita harapkan syafaatnya kelak di akhirat.

Selanjutnya dalam proses penyusunan skripsi ini, penyusun tidak berdiri

sendiri. Dalam arti, penyusunan banyak mendapatkan kontribusi dari pihak-pihak

lain. Untuk itu, penyusun menghaturkan ribuan terima kasih kepada:

1. Allah SWT dan Rasul Nya yang selalu memberikan nikmat dan hidayah-

Nya kepada seluruh hamba nya, serta menjadi tauladan bagi ummat Nya.

2. Kepada orang tua penulis, ayahanda Abu Hasan dan ibunda Suryani

beserta kedua adik ku tercinta (A,Chandrika Jaya Kusuma dan Intan

Kesuma Ayu), Abang, saudara, serta semua keluarga besar penulis Di

lampung, terima kasih atas do’a, dukungan serta motivasi nya baik secara

moril maupun materil. dengan do’a yang kalian panjatkan akhirnya

penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik.

Page 7: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

vi

3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.si Selaku pembimbing Akademik

yang selalu memberikan inspirasi dan motivasi penuh kepada penulis,

sehingga penulis mampu menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik.

4. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar ,MA Selaku dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Dr. Khamami Zada ,MA dan ibu Siti Hana MA ,Selaku Kepala

Jurusan Dan sekretaris jurusan Pebandingan Madzhab dan Hukum yang

telah membantu banyak hal kepada penulis.

6. Bapak Dr.H.Ahmad Mukri Aji ,MA Selaku dosen pembimbing dalam

penyusunan skripsi ini, yang telah memberikan banyak masukan dan

arahan kepada penulis. serta ikhlas meluangkan waktunya untuk

membimbing serta memberikan arahan dan masukan yang bersifat

membangun kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. semoga apa

yang telah diberikan dapat bermanfaat dan mendapat ganjaran dari allah

swt,amin ya rabbal alamin.

7. Pimpinan , Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah

dan Hukum Unuversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk mengadakan studi

kepustakaan.

8. Para dosen Fakultas Syaria’ah dan Hukum, para Guru. Asatidz dan

asatidzah yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, namun tidak

mengurangi rasa hormat penulis kepada antum semua selaku pendidik

Page 8: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

vii

kami. yang telah mendidik penulis baik secara langsung atau tidak,

terimakasih telah membantu pemahaman penulis selama study.

9. Kepada pihak Lembaga Pengkajian Pangan Obat Obatan dan Kosmetika

Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) atau Majelis Ulama Indonesia

(MUI) pusat beserta stafnya dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dan

Dewan Perwakilan Rakyat( MPR & DPR ) yg telah meluangkan waktu

dan mengizinkan, serta memberi kemudahan penulis untuk melakukan

Penelitian dalam Tugas Akhir ini .

10. Kanda Asep sholahuddin selaku senior saya di fakultas syari’ah dan

hukum sekaligus Ketua umum HMI cabang CIPUTAT periode 2013/2014,

Kanda Ridho Akmal Nasution Direktur LKBHMI cabang CIPUTAT

Periode 2010/2011,yg selalu menjadi inspirasi untuk penulis pribadi atas

kepribadian mereka berdua. Terima kasih kanda , telah mengajarkan saya

arti kekeluargaan, pengorbanan, perjuangan dan solidaritas yang tinggi

terhadap sesama .

11. Kakanda Humaedullah Irpan ,kakanda Ismail Fadilah (imung) ,kanda

Abiyuddin S.H ,kanda irpan pasaribu, kanda Ahmad Masyhud (Dimas)

direktur LKBHMI Periode 2015 ,kanda Fariz Abdurrahman, kanda

Muhammad Roies, kanda A.Zaki Al Fajri Nas ,kanda Kevin Dea Putra

,kanda Husnul Qari,yunda Sena Siti Arafiah S.sy ,Alan Novandi ,Abdul

Gopur ,Lisanul Fikri ,Muhammad irfan ,Asmu’I S.sy ,Taslim Aditiya

,A.Chaesal Regia, serta kawan kawan seperjuagan lainnya ,yg tidak bisa

saya sebutkan satu persatu ,namun tidak mengurangi rasa hormat saya

Page 9: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

viii

kepada kawan kawan semuanya . terimakasih kawan kawan ,Kebersamaan

dan perjuangan kita selama ini akan menjadi SEJARAH yang tak ternilai

Harga nya .

12. Kawan-kawan dan Adik-adik Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

Khususnya Komisariat Fakultas Syari’ah dan Hukum,dan umum nya HMI

se-CABANG CIPUTAT, pengurus Badan Pengelola Latihan (BPL) HMI

Cabang Ciputat ,kanda Muhammad Adam ,kanda Aco ,kanda Wawan ,

kanda bryan, kanda Fikri Abdillah, kanda Andri, yang selalu membuat

penulis menjadi bersemangat dalam segala hal, dari kalian saya belajar

militansi dan solidaritas yang tinggi terhadap organisasi dan sesama.

Semoga Kita dipertemukan kembali dilain waktu dan kesempatan . Salam

INSTRUKTUR .

13. Kepada Puakhi Himpunan Mahasiswa Lampung (HML) tangerang

Selatan ,abang juned ,abang dayat, abang uchal ,abang indra hadi ,Saudara

Abdurrahman (bhe’el) selaku Ketua umum periode 2013/2014,adinda

Rahmat Ramdhani, (ketua umum HML terpilih 2015) Muhammad Afif

,Glamora lionda ,Pakuan ,Meiriza ,Rahmalia, Redno, Azriyani,

Nursolehah ,Lely , Syifa Conita, hanny , Zekha, Ilham Harsya ,suhendra ,

Zakia Nisa ,Libom, ipul, Radi , Merina Tri Okta ,Ecil , Mar’atu Sholehah

,Brilliant Al Tamin Al Deri,ibnu Nugraha Aris ,ryan dan puakhi yang lain

nya yg tidak bisa penulis sebutkan satu persatu .terimakasih telah memberi

semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. dari kalian saya

belajar arti persaudaraan .Semoga Allah SWT mengizinkan semua mimpi-

Page 10: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

ix

mimpi kita menjadi nyata puakhi, dan semoga kita dipertemukan kembali

di mana tempat dan suasananya yang berbeda . amien yaa rabbal ‘alamin .

14. Kepada kawan kawan HMI,PMII ,IMM ,GMNI beserta Organ ekstra dan

organ intra kampus UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ,

terimakasih telah menjadi warna dalam dunia kampus di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, perbedaan bukan lah kendala untuk kita menjadi

Organisatoris sejati . dari perbedaan kita bisa bertukar fikiran dan

argument, Terimakasih telah memberi pelajaran kepada penulis pribadi

tentang apa itu DEMOKRASI . semoga kita dapat berjumpa kembali di

lain kesempatan dan waktu .

15. Kepada kawan-kawan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan

Hukum (BEM-FSH) diaz islami noor (presiden dema FSH periode

2015),dan Humaidi (Selaku wakil dema FSH periode 2015), Ketua HMPS

,fawwazul haqqie, ella lazim,Avicenna, Nurul Rizkillah pomalingo,

Muhammad Yusuf, Rhomi Prayoga , Kamilina khidmati ,budiarti

,budiman, adik adik Ilmu Hukum ,PMH ,SJS ,SAS,dan MUAMALAT

Angkatan 2014 ,yg selalu ada saat penulis membutuhkan sesuatu ,

terimakasih kawan kawan. Pertemanan kita tidak sampai disini . semoga

kita berjumpa dilain waktu dan tempat yang berbeda .

16. Terimakasih kepada Annisa fauziah yg selalu memberi semangat kepada

penulis dalam penulisan skripsi ini .

17. Semua teman-teman Perbandingan Hukum angkatan 2010, laka ramadhan

Mubarok,Ramdhani, ilyas , wiwin ,dayat, Aidz , fanny , ramdhani dan

Page 11: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah
Page 12: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ......................................................................................

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. i

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii

ABSTRAK ...................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR .................................................................................... v

DAFTAR ISI ................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................ 5

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ........................................... 6

D. Metode Penelitian................................................................................. 7

E. Review Studi Terdahulu ....................................................................... 12

BAB II PENGERTIAN HALAL DALAM ISLAM

A. Halal dan Haram dalam Islam .............................................................. 15

B. Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk Perlindungan Ummat Islam ............ 25

C. Penentuan Kehalalan dalam Hukum Islam .......................................... 33

BAB III PROFILE LEMBAGA

A. Sejarah LPPOM MUI ........................................................................... 35

B. Tugas dan Fungsi LPPOM MUI .......................................................... 42

C. Sistem dan Prosedur Sertifikasi Halal MUI ........................................ 46

D. Kewenangan Penentuan Jaminan Produk Halal ................................... 48

Page 13: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

xii

BAB IV LEMBAGA SERTIFIKASI HALAL PASCA UU NO. 33/ 2014

A. Lembaga Sertifikasi Halal dalam UU No.33 tahun 2014 .................... 53

B. Kewenangan dan Kedudukan LPPOM MUI Pasca UU No. 33 Tahun

2014 ...................................................................................................... 68

C. Prospek Sertifikasi Halal di Indonesia ................................................. 73

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 82

B. Saran .................................................................................................... 83

DAFTAR PUSATAKA .................................................................................. 84

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 14: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan, manusia membutuhkan makanan sehari-harinya.

Mereka membutuhkan makanan untuk kebutuhan dan kesehatan jasmani serta

rohaninya. Sejak dahulu ummat dan bangsa-bangsa ini berbeda-beda dalam

persoalan makanan dan minuman ,apa yang boleh dan apa yang tidak

boleh.1Dalam memilih makanan yang baik, hendaknya sebagai ummat muslim

memilih makanan yang sehat menurut Islam. Dalam ajaran islam banyak

peraturan yang berkaitan dengan “makanan”, dari mulai mengatur makanan

yang halal dan haram, etika makanan, sampai mengatur idealitas dan kuantitas

di dalam perut. Salah satu peraturan yang terpenting adalah larangan

menkonsumsi makanan atau minuman yang haram. Mengonsumsi yang haram

atau belum diketahui kehalalannya akan berakibat serius, baik di dunia

maupun di akhirat kelak. Sebagaimana hadis yang artinya,” setiap daging yang

tumbuh yang diperoleh dari kejahatan (jalan haram), makan neraka lebih layak

baginya.” (HR. Imam Ahmad)2

Seruan Allah kepada umat manusia agar menkonsumsi makananan

yang halal lagi baik dan menyehatkan tidak lain adalah demi tercapainya

kemaslahatan bagi umat manusia itu sendiri dalam Al Qur’an dituliskan:

1.Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram (Jakarta: Rabbani Pers,2002), h.45

2 Ahmad bin Hambal, Kitab Musnad Ahmad, Muassasah Qurthubah, Kairo, Jilid: 3 hal.

399, No hadits : 15319

Page 15: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

2

يا أيها الناس كلوا مما في األرض حالال طيبا وال تتبعوا خطوات الشيطان إنه لكم عدو مبين

(البقرة سورة : : ٨٦١( ٢

Artinya : ”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa

yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-

langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh

yang nyata bagimu.”(QS Al-Baqarah: 2 :168).

Hikmah dibalik perintah itu adalah agar agama, jiwa, akal serta

keturunan dan harta dapat terjaga dan terpelihara dengan baik. Dengan

terjaganya kemaslahatan tersebut seorang mukallaf diharapkan akan sanggup

menjalankan tugasnya sebagai khalifah dimuka bumi ini dan akan

memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dewasa ini, isu tentang produk makanan dan minuman yang

diharamkan dan berbahaya sedang mendapatkan perhatian masyarakat.

Produk-produk makanan instan, makanan cepat saji, restoran sampai jajanan

pasar merupakan hal yang rawan dicemari oleh jenis makanan yang tidak halal

baik dari segi bahan, maupun prosesnya.3 Tuntutan konsumen akan produk

halal belakangan memang semakin kritis, mereka tidak sekedar menuntut

produk yang higienis dan terjamin kandungan gizinya, tetapi bagi yang

muslim, salah satu yang menjadi konsen mereka adalah juga kehalalannya dan

label halal pun menjadi ketentuan ,makanan tersebut dapat dikonsumsi atau

tidak.

3Diana Candra Dewi, Rahasia Dibalik Makanan Haram (Malang: UIN-Malang,2007), h. iii

Page 16: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

3

Melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Agama RI Nomor 518 tanggal

30 November 2001 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan

Halal, pemerintah kembali berusaha menerapkan labelisasi halal pada produk

makanan dan minuman. Keputusan tersebut disusul dengan SK 519 Tahun

2001 yang menunjuk Majelis Ulama Indonesia (MUI)4 sebagai lembaga

pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal dan dikemas untuk

diperdagangkan. Selain itu, melalui SK Nomor 525 Tahun 2001, Menteri

Agama juga menunjuk peran percetakan Uang Republik Indonesia (PERURI)

untuk mencetak label halal yang nantinya akan diberikan kepada produk yang

dinyatakan halal oleh MUI.5

Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan

suatu produk sesuai dengan syariat Islam.6 Sertifikat halal ini merupakan

syarat untuk mencantumkan label halal sehingga suatu produk layak untuk

dikonsumsi oleh konsumen muslim . Pelaku usaha harus memenuhi syarat

tertentu dan melewati serangkaian proses yang telah ditetapkan oleh MUI

untuk memperoleh sertifikat halal. Setelah memperoleh sertifikat halal,

pelaku usaha memperoleh label halal dari MUI untuk kemudian dicantumkan

pada label produknya. Sertifikat halal ini hanya berlaku untuk jangka waktu

tertentu dan pelaku usaha harus melakukan perpanjangan untuk memperoleh

sertifikasi kehalalan produknya kembali.

4 Selanjutnya penulis menggunakan singkatan MUI untuk menyebutkan Majelis Ulama

Indonesia 5 Diana Candra Dewi, Rahasia Dibalik Makanan Haram (Malang: UIN-Malang,2007), h.iii

6 Wiku Adi sasmito Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam Labeling Obat

dan Makanan” dalam Studi Kasus: Analisis Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia, 2008, hlm. 14.

Page 17: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

4

Dalam proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh MUI dalam

menentukan makanan mana yang dapat dan tidaknya di konsumsi, maka

makanan tersebut harus memenuhi syarat kehalalanya. Selain itu juga dalam

sertifikasi halal ini MUI menerapkan tarif untuk setiap makanan yang akan

diberikan sertifikat halal. Biaya tarif yang diterapkan oleh MUI dalam setiap

sertifikasi produk berkisar antara 3/4 juta rupiah. Biaya ini dirasakan cukup

mahal untuk dikeluarkan terutama bagi kalangan menengah ke bawah.

Predikat halal yang pada dasarnya merupakan ketentuan hukum islam

yang memiliki tujuan untuk melindungi dan menjaga kemaslahatan umat dari

perbuatan diluar hukum Islam. Namun sayang nya hal tersebut telah dijadikan

peluang untuk meraih keuntungan dengan dijadikannya sebagai objek bisnis.

Oleh karena itu kewenangan MUI ini telah menjadi bahan perbincangan yang

serius di Parlemen.

Peraturan Perundang Undangan di Indonesia menjamin Setiap

konsumen berhak untuk memperoleh informasi tentang segala sesuatu yang

berhubungan dengan suatu produk. Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal

4 butir c UU Perlindungan Konsumen; bahwa konsumen berhak atas informasi

yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau

jasa. Hak atas informasi ini sangat penting karena jika informasi yang

diberikan kepada konsumen tentang suatu produk tidak memadai, maka dapat

Page 18: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

5

merupakan salah satu bentuk cacat produk, yakni disebut dengan cacat

instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai7.

Untuk itu penulis ingin memaparkan dalam skripsi ini tentang undang

undang sertifikasi halal yang sudah di sahkan oleh pemerintah, UU No.33

tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), kesesuaian ndengan

hukum Islam, Serta Kewenangan lembaga penjamin produk halal menurut

ketentuan Undang Undang No. 33 tahun 2014.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis ingin meneliti dan

membahasnya dalam skripsi yang berjudul: “KEWENANGAN LPPOM

MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI HALAL PASCA

BERLAKU NYA UU NO. 33 TAHUN 2014’’

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Untuk menghindari terlalu luasnya pembahasan dalam skripsi ini,

penulis hanya memokuskan pada masalah Undang-Undang Sertifikasi halal

yang sudah di sahkan di DPR RI pada tahun 2014 dalam kajian hukum islam

dan kewenangan LPPOM MUI dalam UU No. 33 Tahun 2014.serta Prospek

sertifikasi halal di Indonesia.

Oleh karena itu rumusan masalah yang dikaji dalam perumusan

masalah penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Kewenangan LPPOM MUI pasca Undang-Undang No. 33

Tahun 2014 ?

2. Bagaimana Prospek Sertifikasi halal di Indonesia ?

7Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet ke-7, Edisi ke-1,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 41.

Page 19: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

6

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan penelitian ini, adalah sebagai berikut:

a. Untuk mendeskripsikan halal dan haram dalam pandangan agama

islam.

b. Untuk menjelaskan kewenangan LPPOM MUI dalam Undang-

Undang No. 33 tahun 2014.

c. Untuk mengetahui bagaimana prospek sertifikasi halal di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Penulis berharap penulisan skripsi ini dapat memberi manfaat

sebagai berikut:

a. Bagi penulis yaitu untuk menambah wawasan sekaligus

pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan produk halal.

b. Secara praktis yaitu untuk mengetahui batasan-batasan

pengkonsumsian yang benar dan halal untuk menambah keyakinan

kepada konsumen terutama terhadap umat Islam dalam mengonsumsi

sesuatu.

c. Secara teoritis untuk mengetahui kewenangan LPPOM MUI dalam

Undang Undang No.33 tahun 2014.

d. Bagi akademisi, yaitu upaya menambah khazanah pengetahuan bidang

hukum Islam, khususnya yang berkenaan dengan lembaga penjamin

produk halal .

Page 20: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

7

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini adalah metode-metode yang dapat mempermudah dalam penelitian

yaitu sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan Penelitian Hukum Normatif Tertulis,Metode

Penelitian Hukum Normatif Tertulis adalah metode penelitian hukum

terhadap aturan hukum yang tertulis. Pada penelitian hukum Normatif,

peraturan perundangan yang menjadi objek penelitian menjadi sumber data

primer dalam penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian hukum tertulis

yang dilakukan peneliti adalah melakukan pengumpulan bahan-bahan baik

yang terpublikasi atau tidak yang berkenaan dengan bahan hukum positif

yang dikaji dengan terkumpulnya bahan-bahan tersebut maka akan mudah

melakukan sistematisasi dan analisis selanjutnya.

Bahan pustaka lain yang merupakan berhubungan dengan tema

walaupun menjadi dasar yang dalam ilmu hukum digolongkan sebagai

data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang

sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi ,buku-buku harian, buku-

buku, UU JPH, SK kemenag, LPPOM MUI, UU Perlindungan Konsumen,

buku buku yang berkenaan tentang halal dalam islam, Risalah Sidang,

sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah.

adapun data sekunder, sebagai berikut:

1. Surat Kabar .

Page 21: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

8

2. Opini yang Berhubungan Tentang Halal / JPH di indonesia

3. LPPOM MUI

Dengan adanya data sekunder tersebut ,seorang peneliti tidak perlu

melakukan penilaian sendiri.

Metode penelitian Hukum Normatif dapat berupa :

a. Sinkronisasi Hukum

Penelitian normatif memiliki 2 (dua) bentuk ,yaitu horizontal dan

Vertikal. Dalam kedua bentuk penelitian tersebut, penelitian

sinkronisasi hukum meneliti bagaimana hukum positif tertulis yang

ada dalam peraturan perundangan yang ada di Indonesia sesuai.

Hal itu dapat ditinjau secara vertical, yakni apakah perundang-

undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak

saling bertentangan, apabila ia dilihat dari segi hirarki perundang-

undangan tersebut. Mengenai penelitian ini, dapat di pergunakan

sebagai titik tolak tata urutan peraturan perundangan Republik

Indonesia:

Page 22: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

9

Bagan No. 01Tentang Dasar Hukum

Hirarki peraturan perundangan yang ada di Indonesia

sebagaimana yang termaktub dalam UU No.12 Tahun 2012, Pasal 7

ayat 1. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan tersebut

adalah sesuai dengan hirarki. Dengan kata lain tidak boleh ada

pertentangan dari bawah .inti kajian pada sinkronisasi vertical ada

pada taraf peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan peraturan

perundangan di atasnya, misalnya UU dengan UUD 1945. Hal ini

sesuai dengan sistem konstitusi Indonesia yang menjelaskan bahwa

peraturan perundang-undangan yang tertinggi menjadi dasar dan

sumber bagi semua peraturan perundangan yang ada dibawahnya .

Berbeda dengan sinkronisasi Horizontal, dimana yang dikaji

adalah perundang-undangan yang setingkat dengan tingkatan

peraturan perundangan. Dengan kata lain penelitian sinkronisasi

horizontal, yang ditinjau adalah perundang-undangan yang sederajat

yang mengatur bidang yang sama atau bidang yang bersentuhan.

UU DASAR TAHUN 1945

UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU)

Peraturan Daerah Propinsi

Peraturan Daerah Kabupaten/kota

Peraturan pemerintah desa

Page 23: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

10

misalnya, antara UU perlindungan konsumen dan jaminan produk

halal.

b. Perbandingan Hukum

Kemajemukan hukum yang ada di Indonesia dimana ada Hukum

islam , Hukum Adat ,dan tentunya hukum positif . hal ini Sangat

menarik untuk dikaji dengan metode perbandingan hukum menjadi

suatu alternatif kajian.Kajian perbandingan hukum ini dapat dilakukan

terhadap sistem hukum yang mencakup 3 unsur pokok8

1. Struktur hukum yang mencakup lembaga-lembaga Hukum

2. Substansi hukum yang mencakup perangkat kaidah prilaku

3. Budaya hukum yang mencakup ,bagaimana hukum itu diperlakukan .

Dengan melihat pokok system hukum tersebut maka penelitian

perbandingan hukum tidak hanya dilakukan secara normatif belaka.

Karena membutuhkan kajian sosial lain untuk memahami mengapa

perbedaan itu terjadi dan dampak yang di akibatkan.9

2. Sumber Data Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis memperoleh data penelitian dari

berbagai sumber, sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu sumber penelitian yang diperoleh

secara langsung dari sumber asli. Sumber bahan hukum primer dapat

8 Fahmi Muhammad Ahmadi,M.Si, Dr.jaenal Aripin, M.Ag Metode Penelitian Hukum,

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet ke-1, Jakarta tahun.2010 9 Fahmi Muhammad Ahmadi,M.Si, Dr.jaenal Aripin, M.Ag Metode Penelitian Hukum,

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet ke-1, Jakarta tahun. 2010 hal. 38-41

Page 24: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

11

berupa opini subjek (orang) secara individu atau kelompok, hasil

observasi atau kegiatan dan hasil pengujian. Dalam hal ini peneliti

mengambil sumber hukum primer melalui:

1). Pedoman sertifikasi halal MUI

2). Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk

Halal

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari

bahan kepustakaan.10

Bahan hukum terdiri atas buku-buku

(textbooks), jurnal-jurnal hukum dan hasil-hasil simposium yang

berkaitan dengan topik penelitian ini.11

Perundang-undangan yang

berlaku di Indonesia UU Perlindungan Konsumen .

c. Bahan Hukum Terster

Bahan hukum terster adalah bahan hukum yang memberikan

petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.12

3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian

Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

menggunakan studi pustaka (Library Research) yaitu penulis melakukan

10

Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),

h. 94 11

Amirudin, H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2004) , h.30 12

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Noormatif (Malang : Bayu

Media Publishing, 2008), h.294

Page 25: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

12

pengumpulan data dengan cara menelusuri buku-buku dan literatur-

literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

4. Pengolahan dan Analisa Data

a. Metode Induktif yaitu suatu cara menganalisa yang bertitik tolak dari

data yang bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat

umum.

b. Metode deduktif, yaitu logika yang bertitik tolak dari pengetahuan

yang bersifat umum, kemudian dijadikan titik tolak yang menilai suatu

fakta yang bersifat khusus atau konkrit.

5. Teknik Penulisan

Penulisan skripsi ini berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah

diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Jakarta 2012.

E. Riview Study Terdahulu

No Identitas Subtansi Perbedaan

1. Mahwiyah,

Konsentrasi

Perbankan Syariah

Fakultas Syariah

dan Hukum. 2010.

“Pengaruh

Labelisasi Halal

Terhadap Terhadap

Keputusan

Pembelian

Konsumen.”

Skripsi ini membahas

bagaimana persepsi

atau pandangan

masyarakat (konsumen)

terhadap label halal

pada suatu prodak

makanan dan juga

membahas mengenai

pengaruh label halal

terhadap keputusan

konsumen (dosen

Fakultas Syariah dan

Hukum) dalam

membeli produk

makanan.

Perbedaan dengan

penelitian yang penulis

lakukan, penulisn

membahas mengenai

bagaimana prosedur dan

persyaratan sertifikasi

halal oleh MUI dan

bagaimana kesesuaian

sertifikasi halal MUI

dengan ketentuan pada

Maqasid Syariah.

Page 26: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

13

2.

Hasyim As’ari,

Konsentrasi

Perbandingan

Mahzab Fikih

Fakultas Syariah

dan Hukum. 2011.

“Kriteria Sertifikasi

Makanan Halal

Dalam Perspektif

Ibn Hazm dan

MUI.”

Skripsi ini membahas

mengenai kriteria atau

persyaratan dalam

pemberian halal oleh

MUI dan kriteria halal

menurut pendapat ibn

Hazm.

Perbedaan dengan

penelitian yang penulis

lakukan, penulisn

membahas mengenai

bagaimana prosedur dan

persyaratan sertifikasi

halal oleh MUI dan

bagaimana kesesuaian

sertifikasi halal MUI

dengan ketentuan pada

Maqasid Syariah.

3. Zuriah binti

Semoni,

Konsentrasi

Jinayah Siyasah

Fakultas Syariah

dan Hukum.2013.

”Implementasi

Aturan Produk

Halal di Malaysia

Berdasarkan Akta

730 Perihal

Dagangan 2011”

Skripsi ini membahas

mengenai peranan

Jakim di Malaysia dan

Bagaimana Pelaksanaan

dan Penerapan Akta

730 Perihal Dagangan

2011.

Perbedaan dengan

penelitian yang penulis

lakukan, penulisan

membahas mengenai

bagaimana prosedur dan

persyaratan sertifikasi

halal oleh MUI dan

bagaimana kesesuaian

sertifikasi halal MUI

dengan ketentuan pada

Maqasid Syariah.

F. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah, maka penulisan

skripsi ini disusun dalam lima bab, setiap bab terdiri dari sub-sub bab sebagai

berikut: BAB I Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah,

pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode

penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penulisan.

BAB II Dasar hukum diantaranya membahas Halal dan haram dalam

Islam. Sertifikasi halal sebagai bentuk perlindungan umat Islam. Penentuan

Kehalalan dalam hukum Islam.

BAB III Tinjauan umum mengenai Sejarah LPPOM MUI, Tugas dan

Fungsi LPPOM MUI. Kewenangan penentuan jaminan produk halal.

Page 27: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

14

BAB IV lembaga sertifikasi pasca Undang-Undang No. 33 Tahun

2014: Lembaga Sertifikasi Halal dalam UU No. 33 Tahun 2014, Kewenangan

dan Kedudukan LPPOM MUI Pasca UU No 33 Tahun 2014, Prospek

Sertifikasi Halal Di Indonesia, Lembaga Sertifikasi Halal dalam Undang

Undang No. 33 tahun 2014, kewenangan dan kedudukan LPPOM MUI Pasca

Undang Undang No. 33 Tahun 2014.

BAB V Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

Page 28: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

15

BAB II

PENGERTIAN HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM

A. Halal Dan Haram Dalam Islam

Halal adalah sesuatu yang (diperkenankan) atau boleh dikonsumsi, yang

terlepas dari ikatan larangan, dan dizinkan oleh pembuat syari‟ah untuk

dilakukan.1 Halal juga diartikan sesuatu yang jika digunakan tidak mengakibatkan

mendapat siksa (dosa).2 Sedangkan, haram adalah sesuatu yang dilarang oleh

pembuat syari‟at dengan larangan yang pasti, dimana orang yang melanggarnya

akan dikenai hukuman di akhirat, dan ada kalanya dikenai hukuman juga di

dunia.3

Hukum Islam mencakup berbagai dimensi abstrak dan dimensi konkret.

Dalam wujud memola yang bersifat ajeg dikalangan orang Islam sebagai upaya

untuk melaksanakan Titah Allah dan Rasulnya itu lebih konkret lagi, dalam wujud

prilaku manusia (amaliah), baik individual maupun kolektif, hukum Islam juga

mencakup substansi yang terinternalisasi ke dalam berbagai pranata sosial.

Dimensi dan substansi hukum Islam itu dapat disilang yang kemudian disebut

hukum islam dan pranata sosial 4 .

Terdapat catatan berkenaan dengan pengidentifikasian hukum Islam

dengan fiqh, atau sebaliknya. Hal itu mengundang berbagai komentar, bahkan

kecaman, terutama dari kalangan sarjana hukum yang memiliki kepedulian

1 Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram (Jakarta: Rabbani Pers, 2002), h.13

2 Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas Jakarta, 2011) Cet. Ke-

3. h. 313 3 Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram(Jakarta: Rabbani Pers, 2002), h.13

4 Cik Hasan Bisri, Pilar Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada 2004), h.38

Page 29: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

16

terhadap perkembangan hukum Islam di Indonesia. Sebagai contoh seperti

dikemukakan Mohammad Daud dan Yahya Harahap, ketika membahas tentang

beberapa masalah hukum Islam, yang berkenaan dengan diundangkan dan

berlakunya Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,5

menyatakan, bahwa manakala membicarakan hukum Islam, apakah yang

dimaksud syari‟at Islam itu adalah fiqih Islam?. Syari‟at Islam adalah hukum

islam yang berlaku abadi sepanjang masa. Sedangkan fiqh adalah perumusan

konkret syari‟at Islam untuk diterapkan pada suatu kasus tertentu pada tempat dan

suatu masa. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan.

Hal yang serupa dikemukakan oleh Harahap, ketika menyampaikan

informasi tentang latar belakang penyusunan dan perumusan hukum Islam (KHI),

yang menyatakan adanya kerancuan pemahaman dan penghayatan masyarakat

Islam Indonesia selama ini. Kerancuan itu tidak terbatas pada masyarakat awam

tetapi meliputi kalangan ulama dan lingkungan pendidikan serta perguruan–

perguruan tinggi Islam. Mereka selalu mengindentikan “fiqih” dengan “syariah”

atau “hukum Islam”. Pengindentikan fiqih dengan hukum Islam telah melahirkan

kekeliruan penerapan yang sangat keterlaluan. Dalam menghadapi penyelesaian

kasus-kasus perkara di lingkungan peradilan agama, para hakim menoleh pada

kitab – kitab fiqih.6 Rujukan utama mereka pada kitab-kitab fiqih ulama mazhab.

7

5 Dapat dibaca tulisan Muhammad Daud Ali 1990 : 28 , dalam buku Cik hasan bisri, Pilar-

Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : PT. Raja grafindo persada 2004) 6 Cik hasan bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : PT. Raja

grafindo persada 2004), h.39 7 Tulisan M. Yahya Harahap, Cara lengkap, dapat dibaca dalam Cik Hasan Bisri

(Penyunting), Komplikasi Hukum Islam Tentang Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum

Nasional, Logos Wacana Ilmu, 1999, hal 21-97

Page 30: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

17

Catatan kedua, berkenan dengan fiqih sebagai salah satu dimensi hukum

Islam dan sebagai Ilmu hukum. Secara umum fiqh didefinisikan sebagai ilmu

tentang hukum syara‟ yang bersifat amaliah yang diperoleh melalui dalil – dalil

yang rinci 8 Namun juga diartikan sebagai kumpulan hukum tentang hal yang

bersifat praktis yang digali dari dalil yang rinci9, sebagaimana dikemukakan oleh

„Abd Wahab Kallaf. Apabila fiqih didefinisikan sebagai ilmu, maka dinyatakan

secara deskriptif. Bahwa Ia merupakan wacana intelektual dengan menggunakan

cara berfikir tertentu, tentang penataan kehidupan manusia. Apabila

diindentifikasi sebagai hukum merupakan kumpulan hukum, atau sebagai salah

satu dimensi hukum Islam. Yakni produk pemikiran fuqoha yang dijadikan salah

satu dalam penataan kehidupan manusia .10

Menurut Asaf Fyzee, syariah dapat diartikan kedalam bahasa inggris

sebagai canon law of Islam, keseluruhan perintah Allah. Perintah itu dinamakan

hukm (jamaknya ahkam). Sedangkan fiqih atau ilmu hukum Islam adalah

pengetahuan tentang hak-hak dan kewajiban seseorang seagaimana diketahui

dalam Al-Qur‟an dan sunah, atau yang disimpulkan dari keduanya, atau tentang

apa yang telah disepakati oleh kaum cerdik pandai. Sementara itu menurut „Abd

Al-„Ati, hukum Islam mempunyai fungsi ganda, yaitu fungsi syariah dan fungsi

fiqih. Syariah merupakan fungsi kelembagan yang diperintahkan Allah untuk

dipatuhi sepenuhnya, atau saripati petunjuk Allah untuk perseorangan dalam

8 Al-ilmu bil ahkam assyar‟iyah al-amaliyyah al-mukhtasabu minn adillatiha al tafshiliyah

9 al majmu‟atu al- akhkami assyariyati al-amaliyyati al-mustafaadatu min adillatiha

atafshiliyah 10

Dapat dibaca Tulisan Mohammad Daud Ali dan Yahya Harahap ,dalam buku Cik hasan

bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : PT. Raja grafindo persada

2004)

Page 31: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

18

mengatur hubunganya dengan Allah, sesama manusia dan dengan semua mahluk

didunia ini. Sedangkan fiqih produk daya pikir manusia, fiqih merupakan usaha

manusia yang dengan daya intelektualnya mencoba menafsirkan penerapan

prinsip-prinsip syariah secara sistematis.

Berkenaan dengan hal itu, maka fiqih merupakan produk daya nalar

fuqaha, yang di deduksi dari sumber yang autentik kemudan dijadikan patokan

kehidupan yang dikembangkan secara berkelanjutan dalam rentang waktu yang

sangat panjang. Ia disosialisasikan dan memberikan makna Islami terhadap

pranata sosial yang tersedia atau, bahkan, menjadi cikal bakal pranata sosial yang

baru. Produk pemikiran para fuqaha ini sangat besar pengaruhnya di kalangan

umat Islam sehingga terdapat kecendrungan dikalangan mereka bahwa fiqih

indentik dengan hukum Islam dan dapat ditemukan dalam berbagai kitab fiqih dari

berbagai aliran mazhab.11

Dalam tradisi pemikiran fuqaha, pemilahan fiqih memilki dasar yang kuat

dan jelas. Pada awal perumusannya, fiqih mencakup 4 bidang yakni,

Rubu‟ibadah, rubu‟ munakahah, rubu‟ muamalah, dan rubu‟ jinayah. Ia

kemudian dikembangkan kebidang lain, diantaranya fiqih siyasah dan fiqih

qadha‟. Selanjutnya fiqih dijadikan salah satu sasaran pengkajian dalam “pohon

ilmu” agama Islam, dalam lingkungan sekolah, madrasah, pesantren, dan unit

penyelenggara pengkajian Islam diluar penyelenggaraan pendidikan. Bahkan

dalam lingkungan perguruan tinggi agama islam, khususnya pada lingkungan

Fakultas Syariah, fiqih menjadi salah satu bidang keahlian yang dikembangkan

11

Tulisan M. Yahya Harahap, Cara lengkap, dapat dibaca dalam Cik Hasan Bisri

(Penyunting), Komplikasi Hukum Islam Tentang Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum

Nasional, Logos Wacana Ilmu, 1999, hal 21-97

Page 32: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

19

dalam beberapa program studi (Akhwal Syaksiyyah, Muamalah, Jinayah dan

Siyasah,serta perbandingan mazhab dan hukum).

Berkenaan dengan kedua catatan di atas diharapkan kedudukan dan posisi

masing-masing menjadi jelas. Dimensi dan subtansi hukum Islam, bagaikan

bentuk dan isi. Gabungan keduanya dipandang sebagai aspek statis hukum Islam.

Sedangkan aspek dinamisnya terlihat dalam proses pemikiran dan interaksi

pengguna hukum Islam dalam kehidupan masyarakat yang amat luas dan rumit,

terutama dalam sistem masyarakat bangsa, baik dalam perspektif masa lalu dan

masa kini maupun prospeknya pada masa datang.

Hukum Islam berpangkal dari keyakinan dan penerimaan terhadap sumber

ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al-Qur‟an dan kitab-kitab hadist.

Kedua sumber itu kemudian dijadikan patokan dalam menata hubungan antar

hubungan sesama manusia dan antar manusia dan mahluk lainnya.

Hukum, sebagai unsur normatif dalam penataan kehidupan, dalam

bentuk dan jenis apapun, berkenaan dengan pengaturan dan kekuasaan.

Sedangkan kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi atau

mengarahkan manusia untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan sesuai

dengan kehendak (perintah atau larangan) yang berkuasa. Berkenaan dengan hal

itu, kekuasaan melekat pada Tuhan, melekat pada manusia dan melekat pada

organisasi masyarakat yaitu negara. Hal itu menunjukan bahwa kekuasaan itu

bervariasi baik graduasinya maupun kawasannya. Oleh karena itu, daya atur,

daya ikat dan daya paksa hukum dalam penataan kehidupan manusia tergantung

pada graduasi kekuasaan yang memproduknya. Ada hukum yang memiliki daya

Page 33: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

20

atur dan daya ikat yang longgar dan adapula yang kuat. Disamping itu ada yang

memiliki daya paksa walaupun dalam batas-batas tertentu.

Prinsip dan fungsi hukum Islam dan Hubungannya dengan keyakinan dan

kekuasaan, pada penjelasan diatas, menjukan bahwa hukum, dalam hal ini hukum

Islam, dibangun atas prinsip tawhid „l-lah. dengan prinsip itu, ia memiliki

beberapa fungsi. Pertama fungsi transformasi keyakinan terhadap kekuasaan (al-

qudrah) dan kehendak (al-iradah) Allah dan Rasulnya kedalam nilai-nilai etik dan

moral yang dijadikan rujukan perilaku manusia, baik secara individual maupun

secara kolektif.

Prinsip itu menjadi dasar dan landasan dalam rumusan kaidah hukum

yang mnegatur tentang apa yang harus dilakukan (al-„awamir) dan apa yang

dilarang dan mesti ditinggalkan (al-nawahi) oleh manusia. Kedua, fungsi

mengatur berbagai kehidupan manusia yang diinternalisasikan kedalam pranata

sosial yang tersedia, atau menjadi cikal bakal pranata sosial baru. Ketiga, fungsi

mengikat manakala melakukan transaksi (al-„uqud) diantara manusia, baik antara

individu (al akhwal al syakhshiyyah), maupun antar individu dengan masyarakat

termasuk yang berkenaan dengan hak-hak kebendaan (al-madaniyah), dengan

berpatokan dengan hukum. Keempat, fungsi memaksa manakala ditetapkan oleh

kekuasaan kolektif yang memiliki kelengkapan alat, dalam hal ini penyelenggara

dan aparatur negara, seperti badan peradilan (al- qadha‟).

Berkenaan dengan graduasi dan kawasan hukum Islam dapat dipilah

menjadi beberapa dimensi. Ia merupakan wujud hukum yang relatif konkret,

dibandingkan dengan nilai dan kaidah, dan berhubungan dengan yang

Page 34: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

21

memproduknya. Dimensi-dimensi hukum Islam itu adalah: syari‟ah, ilmu, fiqh,

fatwa, nizham, qanun, idarah, qadha, dan adat.12

1. Dimensi syariah

Berdasarkan prinsip dan fungsi di atas, sumber hukum (mashadir al ahkam

atau al-adillah al-syari‟ah) yakni ayat-ayat Al-Qur‟an (kalam Ilahi) mencakup

ayat akidah dan ayat hukum kemudian diimplementasikan dalam sunah rasulullah

(yang didokumentasikan dalam berbagai kitab hadist), dipahami sebagai hukum

Islam. Ia dideduksi dari kedua sumber itu, dengan dasar pandangan bahwa Allah

dan Rosulnya memilki kekuasaan dan bentuk mengatur kehidupan manusia (Al-

Syar‟i) dalam berbagai aspeknya.

Hukum yang didasarkan pada kedua sumber itu dikenal sebagai syari‟ah.

Ia merupakan dimensi hukum Islam yang utama, yang menjadi sumber dalam

pembentukan dan pengembangan hukum Islam dimensi lainnya, dan menjadi

patokan dalam mengarahkan dan memberi makna terhadap berbagai pranata

sosial. Ia bersifat universal dan abadi, memilki daya atur dan daya ikat terhadap

orang-orang yang beriman dan ia menjadi rujukan serta tolak ukur bagi dan

terhadap hukum Islam dalam dimensi lainnya.

2. Dimensi Ilmu

Upaya untuk mengeluarkan hukum (istinbath al-ahkam) dari kedua

sumber diatas, disusun berbagai perangkat dengan menggunakan cara berpikir

tertentu, terutama cara berpikir logis. Dengan mengacu kepada kedua sumber

hukum diatas, disusun dan metode dan alat memahami ayat dan hadis hukum.

12

Sebagai Bahan Perbandingan: menurut Sunayati Hartono (1997: 246-247). Terdapat arti

tentang hukum yakni: 1.Peristiwa hukum, 2.Kaidah Hukum 3.Pranata Hukum 4.Lembaga Hukum

5.Badan hukum 6.Keputusan Hukum (Pengadilan) 7.Petugas hukum 8.Profesi hukum.

Page 35: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

22

Oleh karena itu, dikenal hukum Islam dalam dimensi pengetahuan ilmiah (al-„ilm)

postulat yang digunakan bahwa ulama yang menyusun dan merumuskannya,

memiliki kekuasaan (baca: otoritas atau kompetensi) ilmiah di bidang hukum

Islam.

Oleh karena dimensi hukum Islam sangat lentur, maka daya atur dan daya

ikat amat longgar. Hukum Islam dalam dimensi pengetahuan ilmiah memiliki

unsur-unsur subtansi, informasi dan metode sebagai penyangga utamanya. Ia

menjadi bagian sistem keilmuan yang bersifat universal dan otonom, tanpa terikat

oleh sistem sosial manapun. Ia seolah-olah anti struktur, dan hanya menjadi

konvensi dikalangan komunitas ilmiah (ulama). Termasuk dalam dimensi ini,

falsafah hukum, ilmu ushul fiqh,13

ilmu fiqh dan tarikh tasyri‟ yang belakangan

ini dapat diindentikan dengan apa yang disebut sebagai sejarah sosial hukum

islam.

3. Dimensi Fiqh

Salah satu hukum islam yang dikenal di masyarakat, baik umat Islam

maupun komunitas ilmiah adalah fiqh. Ia merupakan produk penalaran fuqaha

yang dideduksi dari sumber (ayat Al-Qur‟an dan teks hadis) yang otentik. Produk

pemikiran mereka didokumentasikan dalam berbagai kitab fiqih yang disusun

secara tematik dan mencakup berbagai bidang kehidupan. Mulai dari thaharah

sampai jihad. Ia dapat diidentifikasi sebagai kumpulan hukum yang bersifat

praktis (amaliah atau terapan).

13

Mahdi Fadhl„i-Lah(1987:5) mengindentikan ilmu ushul fiqh dengan ilmu mantiq syar‟I

dengan mengadaptasi ilmu mantiq Aristoteles.

Page 36: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

23

Sementara itu, menurut al-„Asymawi, fiqih memiliki beberapa

karakteristik. Pertama, selalu disajikan sebagai suatu yang unik, yang tidak dapat

dibandingkan dengan kebudayan-kebudayan lain. Tetapi sebetulnya fiqih sangat

dipengaruhi oleh hukum yurisprudensi Romawi-Bizantium.

Kedua, mula-mula fiqih berkembang secara kasuistis, tanpa rencana dan

sistem, karena itu tidak mempunyai teori tentang hukum, politik atau ekonomi

selain yang dikembangkan oleh imam syafi‟i. Ketiga, fiqih kurang memberi

kebebasan kepada fuqaha karena situasi-situasi politik sepanjang sejarah Islam.

Keempat, ada kekurangan indenpendensi ijtihad, disebabkan oleh banyak faktor

luar. Keadaan ini memaksa fuqaha untuk tidak mencari pendapat baru tetapi

mencari hilah. Kelima, pembaruan hanya terbatas pada pemilihan terhadap

pendapat-pendapat dalam berbagai mazhab, pandangan yang mengindentikkan

fiqih dengan hukum Islam.

Pandangan yang mengindentikan fiqih dengan hukum Islam, sebagaiman

dikemukakan di atas, ditunjang oleh beberapa hal:

a) Berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadis yang terantum secara eksplisit dan otentik.

b) Tersusun secara tematik. Mencakup unsur hukum taklifi dan hukum wadh‟i.

c) Mencakup berbagai bidang kehidupan manusia, disertai dengan kaifah

masing-masing dalam berbagai hal pararel dengan pertumbuhan dan

perkembangan pranata sosial.

Page 37: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

24

d) Bersifat praktis („amaliyah) sehingga mudah diterapkan dalam kehidupan

sehari-hari. Fiqh dijadikan rujukan dalam menghadapi maslah hukum yang

memerlukan pemecahan segera.14

e) Terdokumentasi dalam kitab-kitab fiqih, yang tersebar pada berbagai mazhab.

f) Diajarkan dalam berbagai lingkungan.

4. Dimensi Fatwa

Dimensi lain dari hukum Islam itu adalah fatwa ulama (al ifta). Ia

merupakan respon ulama atas pertanyaan yang diajukan. Salah satu ciri fatwa

adalah kasuistis dan parsial. Berkenaan dengan hal itu, fatwa tidak memiliki daya

ikat bagi penataan kehidupan manusia, termasuk bagi pemohon fatwa itu sendiri,

hanya mengikat secara moral. Namun demikian, kebutuhan terhadap fatwa

semakin meningkat berkenaan dengan munculnya berbagai masalah dalam

kehidupan masyarakat.

Fatwa-fatwa MUI misalnya, merupakan respon ulama terhadap

perkembangan pranata-pranata sosial di Indonesia, berkenaan dengan perubahan

sosial yang dirancang secara nasional 15

. Penelitian tentang fatwa Muhamadiyyah

dan Nadlatul Ulama dapat disimak dalam tulisan Rifyal Ka‟bah16

. Sedangkan

penelitian tentang fatwa Persatuan Islam dalam tulisan Dede Rosyada17

.

Disamping itu dikenal berbagai himpunan dan pembahasan tentang fatwa,

diantaranya dihimpun dalam Muhimmat al-Nafais fi Bayan As‟ilat Al hadits.18

14

Yusuf Qhardawi ,Halal dan Haram , cetakan 1995 15

Lihat tulisanMuhammad Atho Mudzhar. 1993:83-84 16

Lihat Tulisan Rifyal Ka‟bah 1999 17

Lihat tulisan Dede Rosyada (1999) 18

Lihat tulisan Nico Kaptein : 1997

Page 38: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

25

Dewasa ini, ketika produk industri makanan, minuman, dan kosmetika

dilakukan secara besar-besaran dan bervariasi, serta dipromosikan secara gencar,

MUI bekerja sama dengan Kementrian Kesehatan RI dan didukung oleh kalangan

perguruan tinggi, melakukan pengujian terhadap produk industri itu. Dalam

bidang pangan, makanan dan minuman kemudian didirikan sebuah Lembaga yang

menangani hal tersebut, yaitu Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan

Kosmetika (LPPOM). Dalam proses tersebut dilakukan kerjasama oleh MUI,

pemerintah, dan pengusaha atau pelaku usaha (produsen). Berdasarkan hasil

pengujian itu dikeluarkan fatwa ulama tentang kehalalan produk, yang kemudian

disertifikasi halal bagi produk itu. Fatwa yang dikeluarkan hanya memiliki daya

atur setelah dilegalisasi oleh MUI dalam kedudukannya sebagai satuan

administrasi Islam.

5. Dimensi Nizham

Dimensi lainnya adalah tatanan atau sistem hukum (al-nizham). Ia

merupakan suatu kompleks hukum Islam yang tumbuh dan bekembang didalam

kehidupan masyarakat. Mencakup materi hukum, bagaimana penerapan hukum,

institusi dan badan penyelenggara penerapan hukum, dan sarana penunjang dalam

penerapannya.

B. Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk Perlindungan Umat Islam

Menurut ajaran Islam, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu tidak

dapat didasarkan hanya pada asumsi atau rasa suka atau rasa tidak suka. Sebab,

tindakan demikian dipandang sebagai tindakan membuat-buat hukum atau

Page 39: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

26

tahakkum dan perbuatan dusta atas nama Allah yang sangat dilarang Agama.

Perhatikan firman Allah berikut:

) ٣٣ :٧ :االعزاف (

Artinya:“Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang

nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar

hak manusia tanpa alasan yang benar (mengharamkan,)

mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak

menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan

terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S al a‟raf: 7 :33)

Imam ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin mas‟ud bahwa rasulullah saw

,bersabda

و نب احداحب اهلل فهذ نك حزو انفىاحش يب ظهز ينهب ويب بط نب احد اغيز ي

ويسهى) اهلل (رواه نبخبر دح ي انيو ان

Artinya : “Tiada Yang lebih cemburu dari pada allah .oleh karena itu ,dia

mengharamkan perbuatan yang keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi.

dan tiada yang lebih menyukai pujian selain allah .” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits ini dikemukakan dalam shahihain. Pembicaraan ihwal perkara yang

berkaitan dengan aneka perbuatan keji , baik yang tampak maupun yang

tersembunyi telah dikemukakan dalam surat al an‟am ayat 151. Firman Allah

Ta‟ala “perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar .”Al-

itsm berarti aneka kesalahan yang berkaitan dengan si pelaku itu sendiri. Al-

Baghyu berarti menzalimi manusia tanpa alasan yang benar.

Firman Allah Ta‟ala “Mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah

tidak menurunkan hujjah untuk itu ” yakni kamu menetapkan sekutu baginya

Page 40: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

27

dalam menyembahnya” dan mengada adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu

ketahui” berupa perbuatan mengada ada dan dusta seperti menetapkan anak

kepada Nya dan hal lain yang tidak kamu ketahui. Ayat ini seperti ”maka jauhilah

berhala berhala yang najis itu.”19

Dalam Firman-Nya yang lain secara tegas melarang tahakkum (penetapan

hukum tanpa didasari argument, dalil) ini dapat dipahami dari ayat berikut:

(٦٦١: ٦١ : اننحم)

Artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut

oleh lidahmu secara Dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk

mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-

orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah

beruntung.(Q.S an nahl: 16 :116)

Allah ta‟ala memerintahkan kepada hamba hamba nya agar memakan

rezekinya yang halal lagi baik dan mensyukurinya. Selanjutnya Allah Ta‟ala

menerangkan makanan yang diharamkan kepada mereka karena membahayakan

mereka, baik bahaya yang menyangkut agama maupun dunia. Makanan yang

diharamkan itu diantara nya bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembeih

dengan menyebut nama selain Allah.

Kemudian Allah melarang hambanya untuk menghalalkan dan

mengharamkan makanan hanya berdasarkan penjelasan mereka semata dan

mengharamkan nama nama yang mereka istilahkan sendiri, seperti bahirah,

19

Muhammad Nasib ar-Rifa‟I “Taisir Al-Aliyyul Qadir Li Ikhishari Tafsir Ibnu Katsir,jilid

2”(Gema Insani Press, 1999)h.356-357

Page 41: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

28

sa‟ibah, washilah dan haam yang mereka ciptakan pada masa jahiliah. Maka

Allah berfirman “ dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut

sebut oleh lidahmu secara dusta „ini halal ini haram‟ , untuk mengada adakan

kebohongan terhadap Allah .” termasuk dalam kategori ini maka apa yang mereka

ciptakan sebagai bid‟ah dengan Menghalalkan yang haram dan Mengharamkan

yang halal20

.

Atas dasar itu penentuan halal haram hanyalah hak Prerogatif Allah. Dengan

kata lain, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu termasuk bidang pangan,

harus didasarkan pada Al-Qur‟an, sunnah dan kaidah-kaidah hukum.Dari sini

timbul pertanyaan, dapatkah setiap orang mengetahui mana pangan yang halal dan

mana pangan yang haram dengan hanya mencukupkan diri merujuk pada Al-

Qur‟an dan Sunnah?. Jika pada saat ini kehalalan pangan merupakan suatu

persoalan yang rumit, karena jenis dan bahan pangan yang halal dan mudah

dikenali, serta cara pemerosesannya pun bermacam-macam.

Produk-produk pangan olahan, dengan menggunakan bahan dan peralatan

yang canggih, kiranya dapat dikategorikan kedalam kelompok pangan yang tidak

mudah diyakini kehalalannya. Apalagi jika produk tersebut berasal dari negeri

yang penduduknya mayoritas non-muslim, sekalipun bahan bakunya berupa bahan

suci atau tercampur, menggunakan atau bersentuhan dengan bahan-bahan yang

tidak suci atau tercampur dengan bahan haram.

Dari paparan diatas kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak

setiap orang (muslim) akan dengan mudah dapat mengetahuinya secara pasti halal

20

Muhammad Nasib ar-Rifa‟I “Taisir Al-Aliyyul Qadir Li Ikhishari Tafsir Ibnu Katsir”,

jilid 2”(Gema Insani Press, 1999)h.1073-1074

Page 42: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

29

tidaknya suatu produk pangan, obat-obatan maupun kosmetika. Karena untuk

mengetahui hal tersebut diperlukan pengetahuan yang cukup memadai tentang

pedoman atau kaidah-kaidah syariah Islam, itulah kiranya apa yang jauh-jauh hari

telah disinyalir oleh Nabi SAW, dalam sebuah hadist popular :

انحالل بي و انحزاو بي

Artinya: “Halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas.

Hadis ini menunjukan bahwa segala sesuatu itu ada yang sudah jelas

kehalalannya dan ada pula yang sudah jelas keharamkannya. Disamping itu,

dalam hadis tersebut disebutkan juga cukup banyak hal yang samar-samar

(syubhat) status hukumnya, apakah ia halal ataukah haram, tidak diketahui oleh

banyak orang. Bagi umat Islam, hal tersebut yakni hal atau pangan kategori

syubhat, tidak dipandang sebagai persoalan yang mendapat perhatian besar dan

serius.

Oleh karena tidak setiap orang dapat dengan mudah mengetahui kehalalan

atau keharaman suatu pangan sebagiamana dikemukakan diatas, maka peranan

ulama sebagai kelompok orang yang dipandang memiliki pengetahuan memadai

tentang hal tersebut sangat diperlukan untuk memberikan penjelasan (fatwa)

kepada masyarakat luas mengenai status hukum pangan tersebut.

Fatwa produk halal adalah fatwa yang ditetapkan oleh komisi fatwa MUI

mengenai produk pangan, minuman, obat-obatan dan kosmetika. Fatwa tersebut

ditetapkan setelah dilakukan serangkaian pembahasan dalam rapat komisi fatwa

yang didahului dengan laporan hasil auditing oleh LPPOM. jika rapat memandang

bahwa produk dimaksud tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, baik dari

Page 43: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

30

aspek bahan maupun dalam proses produksinya. Setelah akan ditetapkan

kehalalannya, serta dibuat satu keputusan fatwa untuk produk-produk yang

diputuskan dalam rapat secara tertulis. Selanjutya, untuk setiap produk dari suatu

produsen dibuatlah satu sertifikat yang disebut dengan sertifikat halal.

Sertifikat halal ini berlaku untuk jangka waktu dua tahun dengan syarat

produk tersebut tetap memenuhi standar atau kriteria sebagaimana dilaporkan

pada saat rapat komisi fatwa. Setelah dua tahun, atau jika ada perubahan bahan,

produk bersangkutan harus diproses kembali untuk memperoleh setifikat baru.

Hal ini demi terciptanya kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi suatu

produk makanan minuman dan obat obatan. Semua peraturan yang ada untuk

kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk.

Sebagaimana dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada Bab III

pasal 4 ayat (a). bahwa pengkonsumsi makanan, minuman dan obat-obatan

mempunyai hak dilindungi, memiliki hak kenyamanan dalam mengkonsumsi

suatu produk, khususnya masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama islam.

Oleh sebab itu, bagaimana sinergisitas antara pemerintah dan Majelis Ulama

Indonesia (MUI) dapat berjalan beriringan untuk mengontrol pelaku usaha yang

ada di Indonesia.

Telaah atas perlindungan konsumen muslim atas produk barang dan jasa

menjadi sangat penting setidaknya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

Pertama, bahwa konsumen Indonesia mayoritas merupakan konsumen beragama

Islam yang sudah selayaknya mendapatkan perlindungan atas segala jenis produk

barang dan dan jasa yang sesuai dengan kaidah-kaidah dalam hukum Islam.

Page 44: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

31

Berdasarkan hal tersebut, maka konsumen muslim harus mendapatkan

perlindungan atas kualitas mutu barang dan jasa serta tingkat kehalalan suatu

barang dan jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Kedua, bahwa Pemerintah

Indonesia sudah harus melakukan upaya aktif untuk melindungi konsumen-

konsumen yang mayoritas beragama Islam. Perlindungan konsumen merupakan

hak warga negara yang pada sisi lain merupakan kewajiban negara untuk

melindungi warga negaranya khususnya atas produk yang halal dan baik.

Perintah Allah untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan baik telah

terdapat dalam Al-Qur‟an Surah Al-Baqarah (2) ayat 168:

ين ب عبىام خبطبىات م الشيطان م إ نهبم لكبمم عدبوم ام والم تت مام ف يم األرض م حالالم طي يام أيهام الناسبم كبلبىام

قرةب :٢ :م م ٨٦١(م ( سبىرةبم ال

Artinya: “Wahai manusia makanlah dari makanan yang halal dan baik yang

terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah

syetan. Sungguh setan itu adalah musuh yang nyata bagimu”( QS Al-

Baqarah : 2 : 168)

Berdasarkan ayat tersebut di atas, maka terdapat garis hukum, yaitu:

Pertama, bahwa perintah ditujukan bagi manusia, tidak saja kaum muslim. Kedua,

bahwa manusia diwajibkan memakan makanan yang halal dan baik. Ketiga,

bahwa mengikuti langkah-langkah setan yang merupakan musuh utama manusia.

Konsep makanan berdasarkan ayat itu tidak sekedar halal, baik dari cara

memperolehnya, mengolahnya, hingga menyajikannya. Tetapi makanan juga

harus baik, baik secara fisik yang diharapkan tidak mengganggu kesehatan yang

mengkonsumsinya. Hal menarik adalah bahwa konsep makanan juga terkait

dengan nilai ketuhanan, bahwa ketika kita menolak memakan-makanan yang halal

dan baik, maka Allah menganggap telah mengikuti jejak langkah setan, padahal

Page 45: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

32

setan adalah musuh nyata manusia. Allah menyatakan tentang kehalalan pangan

tertuang dalam Al-Qura‟n Surah Al Maidah (5) ayat: 3.

( :ب ( ٥:٣ :ئدة ان

Artinya :

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging

hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul,

yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat

kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih

untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak

panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada

hari ini[397] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)

agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah

kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan

telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi

agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa

sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang”.(Q.S Al-Maidah :5 : 3)

Berdasarkan ayat tersebut maka dapat kita klasifikasikan atas segi fisik

hewan, meliputi: bangkai, darah, dan daging babi. Serta klasifikasi atas cara atau

proses, meliputi: hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, hewan yang

tercekik, hewan dipukul, hewan yang jatuh, hewan yang ditanduk dan hewan yang

diterkam binatang buas. Tujuan pelaksanaan konsumsi yang harus diperhatikan,

yaitu dilarangnya mengkonsumsi pangan yang ditujukan untuk berhala. Secara

Page 46: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

33

fisik hewan: bangkai, darah, dan daging babi merupakan zat yang secara tegas

diharamkan. Zat pangan yang halal akan menjadi haram jika proses serta tujuan

konsumsi tidak sesuai dengan norma hukum yang tertuang dalam Surah Al-

Maidah ayat 3 tersebut.

Menarik untuk dikaji secara mendalam adalah berkaitan pula dengan

peranan negara untuk melindungi masyarakat muslim dalam kaitan dengan hak-

hak konsumen. Undang-undang Perlindungan Konsumen di Indonesia masih

belum menyentuh permasalahan ini, mengingat fokus masih terbatas pada sisi

fisik barang serta jasa dan masih belum menyentuh pada kehalalan. Tingkat

kehalalan rupanya diatur oleh lembaga tersendiri yaitu LPPOM MUI padahal

sesungguhnya ini merupakan hal yang harus terintegrasi. Konsumen Muslim yang

sangat besar di Indonesia seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah

membentuk sebuah lembaga perlindungan konsumen muslim.21

C. Penentuan Kehalalan Dalam Hukum Islam

Islam menetapkan bahwa asal segala sesuatu dan kemanfaatan yang

diciptakan Allah adalah halal, dan tidak ada yang haram kecuali apa yang telah

disebutkan oleh nash yang shahih dan tegas dari pembuat syari‟at yang

mengharamkannya. Apabila tidak terdapat penunjukan-Nya kepada yang haram

maka tetaplah sesuatu itu pada hukum asalnya, yaitu mubah

االصم ف االبب حت ) (22

Di dalam menetapkan prinsip bahwa pada asalnya segala sesuatu yang

bermanfaat itu mubah. Allah sama sekali tidak menciptakan segala sesuatu ini dan

21

http://uai.ac.id/2011/04/13/opini-ilmiah-hukum/ , jum‟at ,6 maret 2015 jam . 11.58 22

02 : الحالوالحرام في االسالم يوسوف القرضاوي

Page 47: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

34

menundukkannya untuk kepentingan manusia dan memberikannya sebagai nikmat

bagi mereka, kemudian mengharamkan semuanya buat mereka. Bagaimana

mungkin Dia menciptakannya untuk mereka, menundukannya buat mereka, dan

memberi mereka nikmat dengannya, lantas semuanya diharamkan-Nya?,

Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja karena suatu sebab

dan hikmah tertentu sebagaimana yang termaktub dalam al qur‟an dan sunnah .

Dengan demikian wilayah haram dalam Syari‟at Islam sangat sempit,

sedang wilayah halal sangat luas. Hal itu disebabkan nash-nash yang secara

shahih dan tegas mengharamkan itu jumlahnya amat sedikit, sedangkan mengenai

sesuatu yang tidak terdapat nash yang menghalalkan atau mengharamkannya

berarti tetap pada hukum asalnya yaitu mubah, dan termasuk dalam wilayah yang

dimaafkan Allah. Diriwatkan pula oleh Salman Al-Farisi: Rasulullah SAW

ditanya tentang mentega, keju, dan keledai liar, lalu beliau menjawab:

: ع انس و انجب يو وسهىزس: سئم رسىل اهلل صه اهلل عهوع سهب انف

فهىيب عفب نكىبو ويب سك عنو وانفزاء فقبل : وانحالل يب احم اهلل ف كتب23

“Yang halal ialah apa yang dihalalkan oleh Allah didalam kitab-Nya, dan

yang haram adalah apa yang diharamkan Allah di dalam kitab-Nya,

sedang apa yang didiamkan oleh-Nya berarti di maafkan untukmu.” Rasulullah memberi jawaban secara parsial terhadap para penanya ini,

melainkan dijawab dengan kaidah yang dapat mereka jadikan rujukan untuk

mengetahui halal dan haram. Keharaman dpat diketahui dengan nash, Al-Qur‟an

dan Hadits.

23

02-02الحالوالحرام في االسالم يوسوف القرضاوي :

Page 48: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

35

BAB III

PROFILE LEMBAGA

A. Sejarah LPPOM MUI

1. Sejarah MUI

MUIadalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan

cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah

umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama

Indonesia berdiri, pada Tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26

Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama,

cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Antara lain

meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10

orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu,

NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar,

GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam,

AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan

tokoh perorangan.1

Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk

membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama, zuama dan

cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI”,

yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut

Musyawarah Nasional Ulama I.

1 http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html, Rabu, 11 maret 2015, 21.50

Page 49: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

36

Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah

berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi

bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang

peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Ulama Indonesia menyadari

sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris tugas-tugas para Nabi, maka mereka

terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah

MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penjajahan dan

perjuangan kemerdekaan. Disisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan

global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat

menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat,

serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan

aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan

umat manusia.

Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam

pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi

politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber

pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Akibatnya umat Islam dapat terjebak

dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu

kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi

kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan

silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat

Islam.2

2 http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html, Rabu, 11 maret 2015, 21.50

Page 50: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

37

Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun MUlI sebagai wadah

musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk

memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan

kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah swt memberikan

nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada

Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah

Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan

dan kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama, pemerintah dan

penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan

pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi,

lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan

tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan

konsultasi dan informasi secara timbal balik.

Dalam khittah pengabdian MUI telah dirumuskan lima fungsi dan peran

utamanya yaitu:

1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)

2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)

3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)

4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid

5. Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar

MUI bertujuan untuk terwujudnya masyarakat yang berkualitas (khaira

ummah), dan negara yang aman, damai, adil dan makmur rohaniah dan jasmaniah

yang diridhai Allah Swt (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Untuk

Page 51: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

38

mencapai tujuannya, MUI melaksanakan berbagai usaha, antara lain memberikan

bimbingan dan tuntunan kepada umat, merumuskan kebijakan dakwah Islam,

memberikan nasehat dan fatwa, serta merumuskan pola hubungan keumatan, dan

menjadi penghubung antara ulama dan umara.

Sampai saat ini MUI mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah

nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan

Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan

kini KH. M. Sahal Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga

telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang

terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.3

Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan

cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, MUI

adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, MUI tidak berbeda dengan organisasi-

organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki

keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini

ditampilkan dalam kemandirian, dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh

kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran,

sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi. Keterkaitan dengan

organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, MUI tidak

bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra struktur yang

membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut. MUI harus

3 http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html, diakses Rabu, 11 maret 2015,

21.50

Page 52: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

39

memosisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan

keragaman umat Islam.

MUI, sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama

dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam.

Kemandirian MUI tidak berarti menghalanginya untuk menjalin hubungan dan

kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri,

Terbinanya kerjasama yang dijalin atas dasar saling menghargai posisi masing-

masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi MUI. Hubungan dan

kerjasama itu menunjukkan kesadaran MUI, bahwa organisasi ini hidup dalam

tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan menjadi bagian utuh dari

tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan bekerjasama antar komponen

bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa.4

2. Sejarah LPPOM MUI

a. LPPOM MUI, Pelopor Standar Halal & Pendiri Dewan Pangan Halal Dunia

Dalam sejarahnya, LPPOM MUI yang kini memasuki usia ke-23, mencatat

sejumlah prestasi yang membanggakan. Dalam negeri, kiprah pelayanan LPPOM

MUI semakin meningkat. Sejak tahun 2005 hingga Desember 2011, LPPOM MUI

telah mengeluarkan sedikitnya 5896 sertifikat halal, dengan jumlah produk

mencapai 97.794 item dari 3561 perusahaan. Angka tersebut tentu akan

meningkat jika ditambah dengan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPPOM

MUI daerah yang kini tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Sebagai negara dengan

jumlah penduduk muslim mencapai 200 juta jiwa, Indonesia sudah seharusnya

4 http://mui.or.id/sekilas-mui, selasa, 17 maret 2015, 18.57

Page 53: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

40

melakukan langkah-langkah proaktif dalam mengoptimalkan posisi Indonesia

sebagai pasar sekaligus penyedia produk halal bagi konsumen. Berkaitan dengan

itu, pada 24 Juni 2011, Menteri Koordinator Perekonomian Republik Indonesia,

Dr. Ir. M. Hatta Rajasa telah mendeklarasikan Indonesia sebagai Pusat Halal

Dunia. Deklarasi tersebut sejalan dengan berbagai langkah yang dilakukan oleh

LPPOM MUI, antara lain dengan mendesain dan menyusun Sistem Sertifikasi

Halal (SH) dan Sistem Jaminan Halal (SJH) yang telah diadposi lembaga-lembaga

sertifikasi halal luar negeri. LPPOM MUI adalah pelopor dalam Sertifikasi Halal

dan Sistem Jaminan Halal secara internasional.

Diadopsinya standar halal Indonesia oleh lembaga luar negeri tentu sangat

menguntungkan Indonesia, baik bagi konsumen maupun produsen. Sebab,

konsumen terlindungi dari produk-produk yang tidak dijamin kehalalannya.

Selain itu, dengan standar yang telah diakui bersama, kalangan pelaku bisnis juga

memperoleh kepastian tentang persyaratan halal yang harus mereka penuhi

sebelum memasarkan produk mereka.

Sejarah perkembangan sertifikasi halal di Indonesia tak luput dari

merebaknya kasus lemak babi pada tahun 1988. Kasus yang berasal dari temuan

peneliti dari Universitas Brawijaya, Malang itu tidak hanya menghebohkan umat

Islam, tapi juga berpotensi meruntuhkan perekonomian nasional karena tingkat

konsumsi masyarakat terhadap produk pangan olahan menurun drastis.5

Menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi masyarakat, maka MUI

pada 6 Januari 1989 mendirikan LPPOM MUI sebagai bagian dari upaya untuk

5 http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/go_to_section/2/31/page/1, Selasa, 17

Maret 2015, 19.44

Page 54: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

41

memberikan ketenteraman batin umat, terutama dalam mengkonsumsi pangan,

obat-obatan dan kosmetika. Sejak kehadirannya hingga kini, LPPOM MUI telah

berulang kali mengadakan seminar, diskusi dengan para pakar, termasuk pakar

ilmu syari’ah, dan kunjungan-kunjungan yang bersifat studi perbandingan serta

muzakarah. Semua dikerjakan agar proses dan standar Sistem Sertifikasi Halal

dan Sistem Jaminan Halal yang terus dikembangkan oleh LPPOM MUI senantiasa

sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kaidah agama.

Berkaitan dengan itu, MUI telah meneguhkan sikap bahwa konsumen

muslim Indonesia sebagai penduduk mayoritas harus dilindungi hak-haknya

dalam memperoleh kepastian tentang kehalalan produk pangan, minuman, obat

obatan, kosmetika, produk rekayasa genetik, dan barang gunaan lain, atau yang

sering disebut produk halal yang beredar di Indonesia.

Oleh karena itu, keberadaan ketentuan undang-undang yang mengatur

produk halal merupakan sebuah tuntutan yang tidak bisa dielakkan lagi. Sebab

undang-undang tersebut diperlukan untuk menjamin kepastian penegakan hukum

bagi para pelanggarnya. Inilah esensi negara hukum yang sesungguhnya, yang

menjunjung tinggi hak-hak warga negaranya atas prinsip keadilan (fairness).

Untuk membangkitkan kesadaran masyarakat dalam mengkonsumsi produk

halal, LPPOM MUI merancang program sosialisasi dan informasi publik antara

lain melalui seminar, workshop, kunjungan ke produsen halal, penerbitan majalah,

pengelolaan media informasi online serta penyelenggaraan pameran produk halal

Indonesia Halal Expo (INDHEX) yang digelar secara rutin setiap tahun.

Page 55: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

42

Selain itu, demi meningkatkan pelayanan pelanggan, LPPOM MUI

membangun Management Information System (MIS), yang memudahkan

masyarakat, khususnya para pelaku usaha yang hendak mengajukan sertifikasi

halal bisa melakukannya secara online melalui situs www.halalmui.org. Berbagai

langkah dan kebijakan LPPOM MUI di bidang sertifikasi halal dimaksudkan

untuk terus meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam memperoleh

produk halal. Oleh karena itu adanya sebuah undang-undang yang menjamin

tersedianya produk halal bagi konsumen muslim di Indonesia menjadi sebuah

keharusan agar implementasi Sertifikasi Halal semakin diperkuat oleh payung

hukum yang jelas.6

Seiring dengan perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat yang

semakin tinggi, tantangan yang dihadapi oleh MUI dan LPPOM MUI juga

semakin besar. Salah satunya menyangkut keberadaan Undang-Undang Jaminan

Produk Halal (UU NO.33 Tahun 2014 tentang JPH) yang di godok dan disahkan

oleh DPR-RI Pada tahun 2014. Dari paparan diatas, jelas bahwa undang undang

jaminan produk halal (UU No.33 Tahun 2014) sebagai payung hukum. Agar

masyarakat Indonesia terhindar dari bahaya produk produk yang mengandung zat-

zat berbahaya, dan terhindar dari oknum pelaku usaha yang ingin meraup untung

sebanyak banyak nya tanpa mengeluarkan biaya yang besar.

B. Tugas dan Fungsi LPPOM MUI

Dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara di era reformasi,

muncul indikasi adanya keinginan kuat untuk membangun suatu masyarakat

6 http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/go_to_section/2/31/page/1, Selasa, 17

Maret 2015, 19.44

Page 56: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

43

yang adil, sejahtera, demokratis dan berakhlak mulia. Menyikapi fenomena

tersebut, MUI mempunyai obsesi menempatkan dirinya pada posisi berperan aktif

dalam membangun masyarakat baru. Peran aktif MUI yang dimaksud adalah

peran sertanya dalam melaksanakan visi dan misinya, yaitu :

1. Visi

Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan

kenegaraan yang baik, memperoleh ridho dan ampunan Allah SWT menuju

masyarakat berkualitas demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin

dalam wadah NKRI sebagai manifestasi dari rahmat bagi seluruh alam .

2. Misi

Mengerahkan kepemimpinan dan kelembagaan Islam secara efektif,

sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanam dan

memupuk akidah Islamiyah, serta menjalankan syari’at Islamiyah ,dan

menjadikan ulama sebagai panutan dalam mengembangkan akhlak karimah,

agar terwujud masyarakat yang berkualita 7

Untuk merealisasikan peran ini MUI memerlukan program-

program riil yang dalam pelaksanaannya diharapkan dapat menggerakkan

kepemimpinan dan kelembagaan ormas Islam yang berada di Indonesia agar

dinamis dan efektif, di mana MUI akan menempatkan diri sebagai motifator,

dinamisator, katalisator dan akan menjadi lembaga penegak Amar ma’ruf Nahi

Munkar serta menjadi panutan dalam mengembangkan akhlak Mulia.

7 Himpunan Keputusan Musyawarah Daerah VII Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa

Tengah, Semarang: Majelis Ulama Indonesia, 2006, hal.117

Page 57: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

44

Salah satu program yang dilaksanakan oleh MUI dalam bidang Penetapan

Fatwa dan Nasehat Hukum Islam adalah mengoptimalkan LP POM.8 LP POM

MUI merupakan sebuah lembaga yang dibentuk oleh MUI dengan tugas

menjalankan fungsi MUI untuk melindungi konsumen muslim dalam

mengkonsumsi makanan, minuman, obat-obatan maupun kosmetika9 penggunaan

berbagai jenis bahan bagi pengolahan pangan, obat-obatan dan kosmetika

yang dipergunakan oleh masyarakat, khususnya umat Islam agar terjamin halal.10

Lembaga ini beranggotakan para ahli di bidang pangan, kimia, biokimia,

teknologi dan lain-lain.

Dalam menjalankan fungsinya, LPPOM melakukan pengkajian dan

pemeriksaan dari tinjauan sains terhadap produk yang akan disertifikasi. Jika

berdasarkan pendekatan sains telah didapatkan kejelasan maka hasil pengkajian

dan pemeriksaan tersebut dibawa ke Komisi Fatwa untuk dibahas dari tinjauan

syari’ah. Pertemuan antara sains dan syari’ah inilah yang menjadi dasar

penetapan oleh Komisi Fatwa, yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk

sertifikat halal oleh MUI.11

Komisi Fatwa MUI baik pusat atau Daerah. Fatwa memberikan jawaban

atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk

umum. Keputusan Fatwa adalah fatwa MUI tentang suatu masalah

8 Himpunan Keputusan Musyawarah Daerah VII Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa

Tengah, Semarang: Majelis Ulama Indonesia, 2006, hal.29 9 Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, Panduan Umum Sistem

Jaminan Halal LP POM MUI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2008, h. 9-10. 10

Lukmanul Hakim, “Sertifikasi Halal MUI Sebagai Upaya Jaminan Produk Halal”

dalam Ichwan Sam, et. al., Ijma’ Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se- Indonesia III

Tahun 2009, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet. ke-1, 2009, h. 279-280 11

. Lukmanul Hakim, “Sertifikasi Halal MUI Sebagai Upaya Jaminan Produk Halal”

dalam Ichwan Sam, et. al., Ijma’ Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se- Indonesia III

Tahun 2009, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet. ke-1, 2009, h. 279-280

Page 58: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

45

keagamaan yang disetujui oleh anggota Komisi dalam rapat.12

Komisi Fatwa

MUI adalah salah satu komisi dalam MUI yang bertugas memberikan nasehat

hukum Islam dan ijtihad untuk menghasilkan suatu hukum terhadap persoalan-

persoalan yang sedang dihadapi umat Islam. Kenggotaan komisi fatwa mewakili

seluruh organisasi Islam yang ada di Indonesia.13

Adapun kewenangan dan wilayah k o m i s i fatwa MUI Adalah sebagai

berikut :

a. Menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan secara umum,

terutama masalah hukum (fiqh) dan masalah akidah yang menyangkut

kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam.

b. Menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan seperti

tersebut pada nomor 1 yang menyangkut umat Islam Indonesia secara

nasional atau masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga

dapat meluas ke daerah lain.

c. Terhadap masalah yang telah ada keputusan fatwa MUI, MUI Daerah hanya

berhak melaksanaannya.

d. MUI Daerah boleh menetapkan fatwa yang berbeda setelah berkonsultasi

dengan MUI Pusat.

e. Dalam hal belum ada keputusan fatwa MUI, MUI Daerah berwenang

menetapkan fatwa.

12

Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan

Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, Jakarta: Departemen Agama RI.,2003, hal.

59. 13

Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, loc. cit.

Page 59: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

46

f. Khusus mengenai masalah-masalah yang musykil dan sensitif,

sebelum menetapkan fatwa, MUI Daerah diharapkan terlebih dahulu

melakukan konsultasi dengan MUI.14

Komisi Fatwa bertugas mengkaji dan memberikan keputusan hukum

terhadap persoalan yang tidak secara (nyata) terdapat dalam Al-Quran maupun

Sunnah. Lembaga fatwa ini merupakan lembaga yang independen yang terdiri

dari para ahli ilmu dan merupakan kelompok yang berkompeten yang memiliki

otoritas yang memadai untuk memberikan keputusan-keputusan ilmiah15

.

C. Sistem dan Prosedur Sertifikasi Halal MUI

Sertifikat halal bertujuan untuk memberikan kepastian kehalalan suatu

produk sehingga dapat menenterampkan batin yang mengkonsumsinya.16

Produk

halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syari’at

Islam, yaitu :

1. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.

2. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan yang

berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan lain sebagainya.

3. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut

tatacara syari’at Islam.

14

Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan

Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, op. cit., hal. 64. 15

Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Modul Pelatihan Auditor Internal

Halal,Jakarta: Departemen Agama RI. 2003, hal.56-57 16

Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Sertifikasi Halal, Jakarta: Departemen

Agama RI, 2003, hal.1

Page 60: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

47

4. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan dan

transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi. Jika pernah

digunakan untuk babi barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus

dibersihkan dengan tatacara yang diatur dalam syari’at Islam.

5. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.17

Dengan kata lain produk halal adalah produk pangan, obat,

kosmetika dan produk lain yang tidak mengandung unsur atau barang

haram atau dilarang untuk dikonsumsi, digunakan atau dipakai umat Islam baik

yang menyangkut bahan baku, bahan tambahan, bahan bantu dan bahan

penolong lainnya termasuk bahan produksi yang diolah melalui proses

rekayasa genetika dan iradiasi yang pengolahannya dilakukan sesuai

dengan syariat Islam18

.

Proses, prosedur dan mekanisme penetapan fatwa produk halal pada

prinsipnya sama dengan penetapan fatwa pada umumnya. Hanya saja, rapat

penetapan fatwa dilakukan bersama antara Komisi Fatwa dengan LP POM yang

sebelumnya terlebih dahulu melakukan penelitian dan audit ke pabrik

(perusahaan) yang telah mengajukan permohonan seretifikasi halal. Hasil

audit setelah dibahas di LP POM dituangkan dalam “Laporan Hasil Auditing”

yang selanjutnya dibawa ke dalam rapat Komisi Fatwa.19

17

Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Sertifikasi Halal, Jakarta: Departemen

Agama RI, 2003, hal.2 18

Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal

Jakarta: Departemen Agama RI, 2003, h. 131 19

Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan

Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, op. cit., h. 33-34

Page 61: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

48

Setelah ditetapkan kehalalanya dalam rapat, dibuat keputusan fatwa untuk

produk-produk yang diputuskan dalam rapat secara tertulis sebagaimana

keputusan fatwa pada umumnya. Selanjutnya dikeluarkan “Sertifikat Halal”.

Pemegang sertifikat halal MUI bertanggung jawab untuk memelihara kehalalan

produk yang diproduksinya dan sertifikat halal tersebut tidak dapat dipindah

tangankan. Sertifikat halal yang sudah berakhir masa berlakunya termasuk

fotokopinya tidak boleh digunakan atau dipasang untuk maksud-maksud

tertentu.20

D. Kewenangan Penentuan Jaminan Produk Halal

1. Proses Sertifikasi halal

Sebelum mencantumkan label halal suatu produk, produsen harus

mengajukan sertifikat halal bagi produknya. Dalam mengajukan sertifikat halal,

produsen terlebih dahulu diisyaratkan mempersiapkan Sistem Jaminan Halal

seperti diuraikan dibawah ini:

a. Sistem Jaminan Halal harus didokumentasikan secara jelas dan rinci serta

merupakan kebijakan dari manajemen perusahaan.

b. Dalam sistem pelaksanaannya, sistem jaminan halal ini diuraikan dalam

bentuk panduan halal yang memberikan uraian sistem manajemen halal yang

dijalankan prudosen, serta berfungsi sebagai rujukan tetap dalam

melaksanakan dan memelihara kehalalan produk tersebut.

20

Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Sertifikasi Halal, op. cit., h. 2.

Page 62: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

49

c. Produsen menjabarkan panduan halal secara tekhnis dalam bentuk prosedur

baku pelaksanaan untuk mengawasi setiap proses yang kritis agar kehalalan

produknya tetap terjamin.

d. Baik panduan halal maupun prosedur baku pelaksanaan yang disiapkan harus

disosialisasikan dan diuji coba pada lingkungan produsen. Sehingga seluruh

jajaran manajemen dari tingkat direksi sampai karyawan memahami betul

bagaimana cara memproduksi produk yang halal dan baik.

e. Sistem jaminan halal dalam pelaksanaannya dimonitor dan dievaluasi oleh

sistem audit halal internal yang ditetapkan oleh perusahaan.

f. Koordinasi pelaksanaan sistem jaminan halal dilaksanakan oleh Tim Auditor

Halal Internal yang mewakili seluruh bagian terkait dengan produksi halal

yang ditetapkan oleh perusahaan. Koordinator Audiit Halal Internal harus

beragama Islam.

g. Penjelasan Rinci Sistem Jaminan Halal dapat merujuk pada Buku Panduan

Sistem Jaminan Halal, yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI.

Setelah proses Sistem Jaminan Halal yang diajukan produsen disetujui,

maka produsen dapat menjalankan Prosedur Sertifikasi Halal sebagai berikut:

1. Setiap produsen mendaftarkan seluruh produknya yang diproduksi dalam satu

lokasi dan mendaftarkan seluruh pabrik dengan lokasi yang berbeda yang

menghasilkan produk dengan merek yang sama.

2. Setiap produsen yang mengajukan sertifikasi halal bagi produknya, harus

mengisi formulir yang telah disediakan. Formulir tersebut berisi informasi

Page 63: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

50

tentang data perusahaan, jenis dan nama produk serta bahan-bahan yang

digunakan dengan melampirkan:

a. Spesifikasi dan sertifikasi bahan baku, bahan pembantu dan bahan

penolong serta bagan alur proses.

b. Sertifikat halal atau Surat Keterangan Halal dari MUI dari daerah

(Produk Lokal) atau sertifikat halal dari lembaga Islam yang diakui oleh

MUI (produk Impor) untuk bahan yang berasal dari hewan dan turunan

c. Sistem jaminan halal yang diuraikan dalam panduan halal beserta

prosedur baku pelaksanaanya.

d. Tim Auditor LPPOM MUI melakukan pemeriksaan/ audit ke lokasi

produsen setelah formulir beserta lampiran-lampirannya dikembalikan ke

LPPOM MUI dan diperiksa kelengkapannya.

e. Hasil pemeriksaan audit dan hasil pemeriksaan laboratorium dievaluasi

dalam Rapat Tenaga Ahli LPPOM MUI. Jika telah memenuhi

persyaratan maka dibuat laporan hasil audit untuk diajukan kepada siding

Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya.

f. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika

dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan.

g. Sertifikat Halal dikeluarkan oleh MUI setelah ditetapkan status

kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI.

h. Perusahaan yang produknya telah mendapatkan sertifikat halal, harus

mengangkat Auditor Halal Internal sebagai bagian dari sistem jaminan

halal. Jika kemudian ada perbahan dalam penggunaan bahan baku, bahan

Page 64: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

51

tambahan dan bahan penolong pada proses produksinya, Auditor Halal

internal diwajibkan segera melaporkan untuk mendapatkan

“ketidakberatan penggunaannya”. Bila ada perusahaan terkait produk

halal hasil dikonsultasikan dengan LPPOM MUI oleh Auditor Halal

Internal.

Tim Auditor LPPOM MUI akan melakukan pemeriksaan/ audit ke lokasi

produsen untuk memastikan apakah semua bahan yang digunakan dalam proses

pembuatan produk memenuhi syarat yang sesuai syariah. Adapun Tata Cara

auditnya adalah sebagai berikut:

1. Surat resmi akan dikirim oleh LPPOM ke perusahaan yang akan diperiksa,

yang memuat jadwal audit pemeriksaan audit dan persyaratan administrasi

lainnya.

2. LPPOM MUI menerbitkan Surat Perintah.

3. Pada waktu yang telah ditentukan oleh Tim Auditor yang telah dilengkapi

dengan surat tugas dan indentitas diri, akan melakukan pemeriksaan atau

(auditing) ke perusahaan yang mengajukan permohonan sertifikat halal.

4. Pemeriksaan (Audit) produk halal mencakup:

a. Manajemen produsen dalam menjamin kehalalan produk.

b. Observasi lapangan dan pengambilan contoh hanya untuk bahan yang

dicuriga mengandung babi atau turunannya, yang mengandung alkohol

dan yang dianggap perlu.

Dengan demikian, LPPOM MUI sudah memiliki sistem dan kinerja

operasi nya sendiri. Hanya saja LPPOM MUI hanya butuh pengakuan dari

Page 65: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

52

Pemerintah terkait labelisasi halal ini. Dengan kata lain LPPOM membutuhkan

payung hukum, agar pemberlakuan sertifikasi halal dapat diterapkan menyeluruh.

2.Bagan Proses Sertifikasi Halal

21Bagan Proses sertifikasi halal dalam bentuk diagram alir :

Untuk menjamin kehalalan suatu produk yang telah mendapat sertifikat

halal, selain menunjuk Auditor Internal di setiap perusahaan yang bertugas

mengawasi kehalalan produknya, MUI menetapkan dan menekankan bahwa jika

sewaktu-waktu ternyata diketahui produk-produk tersebut mengandung unsur-

unsur barang haram, MUI berhak mencabut sertifikat halal produk

bersangkutan.22

21

Data di ambil dari LPPOM MUI atau MUI JAKARTA 22

Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan

Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, Op. Cit., Hal.53-54

Persyaratanterpenuhi?

Persyaratanterpenuhi?

Pendaftaran / Penyerahan Dokumen Sertifikasi HalalPendaftaran / Penyerahan Dokumen Sertifikasi Halal

PembiayaanPembiayaan Pemeriksaan Kecukupan DokumenPemeriksaan Kecukupan Dokumen

AuditAudit

Rapat AuditorRapat Auditor

Rapat Komisi FatwaRapat Komisi Fatwa

Penerbitan Sertifikat HalalPenerbitan Sertifikat Halal

Analisis LabAnalisis Lab

Dapatdiaudit ?

Dapatdiaudit ?

PerluAnalisis

Lab?

PerluAnalisis

Lab?

Persyaratanterpenuhi ?(Status SJH

A/B)

Persyaratanterpenuhi ?(Status SJH

A/B)

Mengandungbahan

haram?

Mengandungbahan

haram?

Lunas?Lunas?

Tidak dapatdisertifikasi

Tidak dapatdisertifikasi

Tidak

Ya

Ya

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Ya

Tidak

Perusahaan

LP POM MUI

Persiapan Sistem Jaminan HalalPersiapan Sistem Jaminan Halal

Tidak

Pre Audit Memorandum

Pre Audit Memorandum

Audit Memorandum

Audit Memorandum

Penyerahan DokumenSertifikasi Halal

Penyerahan DokumenSertifikasi Halal

Produk berbasis daging

Page 66: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

53

BAB IV

LEMBAGA SERTIFIKASI HALAL PASCA UU NO 33 TAHUN 2014

A. Lembaga sertifikasi halal dalam UU No.33 Tahun 2014

Tanggal 25 September 2014 menjadi hari bersejarah bagi Indonesia dengan

disahkannya UU Jaminan Produk Halal.UU ini digagas sejak UU Pangan Nomor

7 Tahun 1996 dan sampai UU Pangan yang baru, UU No 18/2012, keluar belum

juga terselesaikan. Beragam kontroversi muncul meski telah "diketok palu" oleh

DPR. Padahal, jaminan halal sangat penting bagi umat Muslim sebagai bagian

dari keamanan pangan rohani.

Pada pembukaan UU ini, dalam Paragraf a, disebutkan , "UUD 1945

mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan

kepercayaannya itu". Esensinya adalah jaminan kemerdekaan memeluk agama

masing-masing, termasuk penyediaan pangan sesuai dengan agama dan

kepercayaannya.

UU Pangan No 8/2012 menyebutkan dalam Pasal 1 Ayat (5), "Keamanan

pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari

kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,

merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan

dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk

dikonsumsi".

Page 67: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

54

Pasal 69 (g) menyebutkan, "Penyelenggaraan keamanan pangan dilakukan

melalui jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan". Demikian juga Pasal 101

Ayat (1) menyebutkan, "Setiap orang yang menyatakan dalam label bahwa

pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan

bertanggung jawab atas kebenarannya". Inilah asas sukarela halal: yang

menyatakan halal wajib mengajukan sertifikasi halal. Hal ini sesuai dengan

kelaziman internasional yang diatur dalam General Guidelines for Use of the

Term "Halal" Codex Alimentarius Commission (CAC/GL 24-1997) bahwa

penggunaan label halal merupakan klaim dan apabila produsen klaim produknya

halal, harus memenuhi ketentuan sesuai dengan hukum Islam.

Namun, dalam UU JPH Pasal 4 disebutkan, "Produk yang masuk, beredar,

dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal". Hal ini

merupakan ketentuan wajib halal, yang bertentangan dengan paragraf pembukaan

UU Pangan serta kelaziman internasional di atas. Juga Indonesia menjadi satu-

satunya negara yang menerapkan wajib halal. Pasal 4 ini juga tidak sinkron

dengan pasal lain, seperti Pasal 26 (1) yang berbunyi "Pelaku usaha yang

memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan

dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal".

Dalam Pasal 1.1, definisi "Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait

dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi,

produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau

dimanfaatkan masyarakat". Jelas bahwa semua produk wajib halal tidak terbatas

hanya produk konsumsi. Ini tidak konsisten dengan Pasal 17-20 tentang bahan,

Page 68: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

55

yang tersirat bahwa halal hanya untuk produk konsumsi yang dikemas (obat,

makanan, dan minuman). Padahal, makanan dan minuman bukan hanya yang

kemasan; ada pangan segar, olahan rumah tangga, olahan siap saji yang juga

diedarkan dan diperdagangkan.

Penyelenggaraan JPH menjadi wewenang pemerintah cq Kementerian

Agama, sesuai dengan Pasal 5 (3), "Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH

dibentuk BPJPH (Badan Penyelenggara JPH) yang berkedudukan di bawah dan

bertanggung jawab kepada menteri". Selanjutnya, salah satu kewenangan BPJPH

adalah melakukan akreditasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), yang

dalam Pasal 10c dikerjasamakan dengan MUI. Ini jelas bertentangan dengan UU

Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian (SPK) yang baru disahkan DPR, 26

Agustus 2014, yaitu Pasal 9(2), "Tugas dan tanggung jawab di bidang akreditasi

LPK (Lembaga Penilaian Kesesuaian) dilaksanakan oleh KAN (Komite

Akreditasi Nasional), di mana KAN berkedudukan di bawah dan bertanggung

jawab kepada presiden melalui Kepala Badan Standardisasi Nasional" (catatan:

LPH adalah salah satu bentuk LPK).

Mengubah tatanan UU JPH ini akan mengubah tatanan akreditasi standar

nasional sekaligus menyalahi good governance: penyelenggara sertifikasi

sekaligus berfungsi sebagai pelaksana akreditasi dan dikhawatirkan fungsi kontrol

rancu. Seharusnya pemerintah berfungsi sebagai regulator saja serta fokus sebagai

pengawas. Fungsi sertifikasi bisa dijalankan lembaga kredibel seperti saat ini:

LPPOM MUI. Fungsi akreditasi dilaksanakan KAN sesuai dengan UU SPK dan

jika halal dianggap lex specialis, bisa dikoordinasikan kepakarannya dengan MUI.

Page 69: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

56

Dengan demikian, fungsi kontrol dan harmonisasi regulasi bisa berjalan dengan

baik.

Saat ini pengajuan sertifikasi ke LPPOM MUI selaku LPH dan setelah fatwa

MUI, sertifikat juga dikeluarkan LPPOM MUI. Namun, dalam UU JPH,

pengajuan ke BPJPH, kemudian BPJPH menetapkan LPH. Selanjutnya LPH

melakukan pemeriksaan dan melaporkan ke BPJPH dan BPJPH menyerahkan ke

MUI untuk mendapat keputusan penetapan halal produk (fatwa). Fatwa

diserahkan kembali ke BPJPH untuk diterbitkan sertifikat halal. Penambahan

rantai proses menambah waktu, tenaga, dan biaya. Ujung-ujungnya beban

konsumen tambah, daya saing produk Indonesia turun. Pasal 37 menyebutkan

BPJPH menetapkan bentuk "label Halal" yang berlaku nasional.

Saat ini LPPOM MUI telah melakukan terobosan dengan Sertifikasi Halal

Online (CEROL SS23000), tetapi belum bisa memuaskan semua pemohon.

Tenaga auditor seluruh Indonesia yang 737 orang (LPPOM MUI, 2014) hanya

mampu melayani 1.270 perusahaan selama Januari-Juli 2014. Angka

ini sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya melayani

832 perusahaan. Padahal, jumlah industri makanan dan minuman 6.190

perusahaan menengah-besar serta 1.054.398 kecil dan mikro (BPS, 2013), belum

termasuk yang tak terdaftar. Perbandingan angka ini menggambarkan bahwa

masih banyak yang harus disiapkan dalam menerapkan jaminan halal bagi semua.

Sertifikat dan label hanya sebagian kecil dari Sistem Jaminan Halal. Hal

terpenting yang ada dalam proses produksi sehari-hari adalah tanggung jawab

yang melibatkan semua pelaku internal dan eksternal, pengawasan oleh penyelia

Page 70: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

57

yang profesional, serta penerapan hukum oleh pemerintah selaku agen regulasi.

Juga tantangan terbesar adalah membangun sistem beserta kelengkapan sarana

dan prasarana, serta penegakan hukum yang berkeadilan tak diskriminatif.

UU JPH perlu disempurnakan agar tak jadi kendala dalam menjamin

kehalalan produk yang didambakan umat Muslim, terjangkau, dan tidak

menjadikan Indonesia terkucil dari dunia global yang kian menurunkan daya saing

Indonesia. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 kian dekat. Mari bersiap diri.

Mitra kita adalah pasar global, bukan pihak yang bertikai di dalam negeri dan

menyulitkan diri sendiri. Pada dasarnya setiap manusia ingin mengkonsumsi

produk-produk makanan dan minuman yang sehat dan bermanfaat untuk

kesehatan. Mengonsumsi produk halal merupakan hak asasi ummat Islam sebagai

ibadah dan penerapan syari’ah.1

Dalam hal ini Indonesia melalui MUI telah memenuhi kewajibannya dalam

menjamin penyediaan produk halal bagi umat Islam sejak tahun 1989, MUI

mengeluarkan fatwa tentang sertifikasi halal, dalam rangka untuk melindungi

masyarakat Indonesia, khususnya ummat Islam agar terhindar dari produk

makanan dan minuman yang mengandung bahan-bahan yang haram. Hal ini juga

tidak luput dari pada perlindungan Konsumen dalam mengkonsumsi produk

makanan dan minuman. Pada Undang-Undang No.88 Tahun 1999 pasal 4 tentang

hak dan kewajiban konsumen telah dijelaskan :

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa; Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta

1 http://doa-bagirajatega.blogspot.com/2014/10/kontroversi-uu-jaminan-produk-halal.html ,

DI unduh pada senin 9 juni 2015

Page 71: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

58

mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan

kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

c. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

d. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

e. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

f. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

g. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya;

h. Hak hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan

lainnya.2

Dalam pasal ini sudah jelas dipaparkan bahwa konsumen memiliki hak-hak

dan kewajiban nya.perlindungan konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk

sangat penting, sebab menyangkut baik atau tidak produk tersebut untuk di

konsumsi bagi manusia.

Indonesia telah memiliki teknologi pemindai kemasan produk halal. regulasi

halal hendaknya tidak merusak tatanan jaminan produk halal yang sudah ada di

2 UU No.88 Tahun 1998 Pasal 4, Tentang Perlindungan Konsumen.

Page 72: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

59

Indonesia. sejak tahun 1989 telah membangun sistem yang diterima secara sains

maupun syari’ah dan menjadi rujukan lembaga sertifikasi halal dunia. Peran MUI

dalam masalah pangan adalah melakukan sertifikasi halal, meliputi penetapan

standar, pemeriksaan, penetapan fatwa, dan penerbitan sertifikasi halal. Pada

tahun 2014 telah disahkannya Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang

Jaminan Produk Halal (JPH) tepatnya pada tanggal 25 September 2014 di

sahkannya UU NO.33 Tahun 2014 Oleh pemerintah dan DPR RI, lahirnya

Undang-Undang tersebut adalah sebagai payung hukum bagi MUI yang

diharapkan dapat menjadi pegangan dan untuk melindungi umat terhadap

ketersediaan produk halal. namun demikian masih belum bisa menyerap aspirasi

ulama dan umat islam Indonesia.

Sebelum terbentuknya undang undang, masa berlaku sertifikasi halal adalah

2 tahun setelah dikeluarkan atau diterbitkan sertifikat halal. Sedangkan Dalam

Undang Undang No.33 tahun 2014 bagian ke tujuh pasal 42 yang berbunyi

“sertifikasi halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan Oleh BPJPH

Kecuali terdapat Perubahan Komposisi bahan ”. Hal ini artinya telah terjadi

perubahan dalam segi perpanjangan (umur) sertifikat. Perpanjangan ini bersifat

wajib bagi pelaku usaha, termasuk didalam nya apabila terdapat perubahan

maupun penambahan pengurangan bahan dalam produk .

Pemberitaan di Majalah Tempo, mengenai pengakuan lembaga sertifikasi

halal luar negeri yang sebagian besar atau secara keseluruhan mengandung

ketidaksesuaian tersebut dapat menimbulkan kegaduhan di masyarakat dan dapat

memicu ekses yang lebih besar dalam memelihara ketentraman batin umat Islam,

Page 73: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

60

khususnya terhadap produk halal. Oleh karena itu, Dewan Pimpinan MUI perlu

menyampaikan sikap mengenai proses sertifikasi halal dan pengakuan lembaga

sertifikasi halal luar negeri sebagai berikut:

1. Proses Sertifikasi Halal dan Labelisasi Halal yang selama ini dijalankan

merupakan sistem mulai pendaftaran melalui online CEROL SS-23000,

proses preaudit, audit, dan pasca audit.

a. Tahapan proses sertifikasi halal.

Pendaftaran melalui online CEROL SS-23000. Mekanisme pendaftaran

dengan sistem elektronik ini dilakukan secara lebih efisien dan

meningkatkan akurasi data.

Proses Pre Audit, meneliti kelengkapan dokumen bahan dan sistem jaminan

halal perusahaan.

Proses Audit dengan melihat langsung proses produksi. Audit ke lokasi

produksi dilakukan oleh auditor LPPOM untuk melihat langsung mengenai

bahan (bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong) dan proses

produksi.

Proses Pasca Audit. Hasil audit dilaporkan dalam Rapat Auditor yang

terdiri dari tenaga ahli untuk memutuskan dari sisi keilmuan. Selanjutnya

laporan auditor yang sudah memperoleh pertimbangan ilmiah dan disusun

berdasarkan temuan lapangan dilaporkan dalam rapat Komisi Fatwa MUI

untuk ditetapkan status kehalalan suatu produk dari aspek pertimbangan

syariah.

Page 74: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

61

Dari tahapan yang diatur di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa,

proses sertifikasi halal yang ada sudah memenuhi kriteria pembuatan sekrtifikasi

halal, hanya saja harus di sediakan juga bagi pelaku usaha menengah ke bawah

yang jarang, atau bahkan tidak pernah sekalipun menyentuh dunia maya.

b. Pembiayaan sertifikasi halal

Biaya sertifikasi halal dilakukan melalui akad biaya yang mencakup biaya

pendaftaran, administrasi audit, honor auditor, rapat auditor dan rapat komisi

fatwa, serta penerbitan sertifikat halal. Pembiayaan sertifikasi halal ditetapkan

berdasarkan suatu pedoman yang sudah sangat jelas, sehingga tidak

dimungkinkan adanya pembiayaan lain yang tidak jelas (invisibility

cost). Pembiayaan sertifikat halal didasarkan pada banyaknya produk, bahan

dan fasilitas produksi yang akan disertifikasi. Pembiayaan dikenakan sekali saat

pendaftaran, MUI tidak mengenakan biaya bulanan berdasarkan kuota produk

yang diperdagangkan.

Persoalan pembiayaan adalah masalah krusial yang jika tidak seimbang

akan menjadi konflik, menurut penulis ada baiknya jika pembiayaan tidak

disesuaikan dengan banyaknya produk yang akan di produksi, akan tetapi

mencakup biaya pendaftaran, administrasi audit, honor auditor, rapat auditor dan

rapat komisi fatwa saja.

c. Penerbitan Sertifikat halal

Sertifikat halal diterbitkan berdasarkan penetapan status kehalalan produk

dalam sidang Komisi Fatwa MUI. Masa berlaku sertifikat halal tersebut selama

2 (dua) tahun. Permasalahan penerbitan sertifikasi halal, ini juga harus menjadi

Page 75: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

62

pertimbangan bagi para auditor dan MUI dalam sidang komisi fatwa, khusus nya

permasalahan umur sertifikasi halal. Artinya masa berlaku juga harus

disesuaikan dengan pemasaran produk yang akan di produksi, karena tidak ada

yang bisa menjamin akan banyaknya konsumen yang memakai produk tersebut.

d. Pencantuman logo halal atau ijin labelisasi halal

Pencantuman logo halal pada kemasan adalah wewenang Badan POM RI.

Badan POM RI akan menerbitkan ijin labelisasi halal bagi perusahaan

berdasarkan penerbitan Sertifikat Halal MUI.

Berdasarkan hal ini, bagaimana apa bila ada pemalsuan Logo oleh pelaku

usaha, pemerintah harus mencantumkan larangan dalam pemalsuan logo, dan

menindak pelaku usaha yang memalsukan logo berupa sanksi pidana.

2. Proses Pengakuan Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri. MUI melakukan

kerjasama dengan lembaga sertifikasi halal luar negeri (LSHLN). Adapun

Tahapan proses pengakuan Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri oleh MUI

dilakukan sebagai berikut :

a. Kriteria Pengakuan

MUI menetapkan 7 (tujuh) kriteria sebagai prasyarat yang harus dipenuhi

oleh LSHLN yang ingin diakui oleh MUI. Pengakuan MUI terhadap LSHLN

dilakukan berdasarkan permohonan dari LSHLN yang bersangkutan.

b. Pemenuhan Data Kuesioner pengakuan

Data pemenuhan 7 kriteria sebagai LSHLN yang dituangkan ke dalam

kuesioner LPPOM MUI menitik beratkan pada kemampuan menerapkan

standar dan prosedur sertifikasi halal LSHLN. Untuk dipelajari dan dikaji

Page 76: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

63

mendalam, Hasil kajian dan verifikasi data oleh LPPOM MUI selanjutnya

disampaikan kepada MUI. Kemudian dewan pimpinan MUI akan melakukan

audit lapangan secara langsung.audit lapangan ini bertujuan untuk

menetapkan status kelayakan LSHLN apakah sesuai dengan pedoman MUI

atau tidak.

c. Kunjungan pegakuan

Kunjungan lapangan sebagai bentuk audit yang dilakukan oleh MUI juga

bertujuan untuk membuktikan keberadaan LSHLN. Selain itu akan diverifikasi

tentang kebenaran prosedur dan standar yang tertulis dalam data yang dikirim

ke MUI. Audit ini dilakukan oleh suatu tim yang ditunjuk oleh dewan

pimpinan MUI yang terdiri dari beberapa pakar dalam bidang sains dan

syariah.

d. Penetapan status pengakuan

Setelah itu auditor melakukan kunjungan lapangan ke LSHLN, maka tim

auditor yang mengajukan permohonan akan menetapkan status kesesuaian dan

pemenuhan berdasarkan ketentuan MUI. Andaikata hasil audit lapangan sesuai

dengan data yang diberikan, maka akan diterbitkan surat yang berisi

pengakuan lembaga sertifikasi halal tersebut. Adapun kategori kategori

pengakuan MUI terhadap LSHLN. LSHLN Difokuskan pada tiga hal, yaitu;

pemotongan (slaughtering), industri pengolahan dan flavor.

e. Masa Evaluasi pengakuan

Setelah pengakuan LSHLN diberikan, MUI akan melakukan review atas

pengakuan LSHLN setiap dua tahun sekali, sebagaimana yang tertulis dalam

Page 77: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

64

pedoman sertifikasi pengakuan MUI terhadap LSHLN hanya dalam proses

sertifikasi halal untuk bahan baku yang digunakan pada produk akhir saja.

Pemberlakuan sertifikat tersebut hanya untuk produk yang diproduksi di

wilayah negara dimana LSHLN tersebut berada. Misalnya LSHLN di

Australia, hanya berlaku di daerah Australia saja, dan tidak berlaku untuk di

luar negara tersebut. Sedangkan Pembiayaan pengakuan Lembaga Sertifikat

Halal Luar Negeri, Penerbitan sertifikat pengakuan LSHLN diberikan secara

gratis. Mengapa gratis ? Dalam proses pengakuan lembaga sertifikasi halal

luar negeri (LSHLN), lembaga tersebut hanya memberikan biaya pengganti

transport, yang meliputi; tiket, pembuatan visa, serta transportasi lokal di

Indonesia, Viskal. Sedangkan honor auditor dari MUI, besarannya sesuai

dengan kebijakan LSHLN masing masing. Sesuai kewenangan, atas dasar itu

ketika Decree MUI diterbitkan tanpa dikenai biaya apapun ke MUI ,tetapi

hsnya biaya ke audit saja. Hal ini bisa saja terjadi manipulasi atau transaksi

suap. Dengan ketentuan ini bisa saja terjadi tindak pidana korupsi, Jika tidak

ada nya pemantauan atau pengawasan, seperti kasus suap menyuap.

Sistem Monitoring pada Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri

Monitoring yang telah diakui MUI dilakukan dengan cara memastikan keabsahan

(otentisitas) sertifikat halal yang diterbitkan. Komunikasi aktif antara MUI dan

LSHLN dilakukan untuk menelusuri, apakah ada hal-hal yang tidak

Page 78: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

65

sesuai dengan standar dan prosedur MUI dan LPPOM MUI, pertemuan tahunan

dilakukan untuk melakukan koordinasi antara MUI dan LSHLN.3

Setelah ada UU JPH kewenangan MUI “dibatasi”, dimana penyelenggara

jaminan produk halal bukan lagi MUI, melainkan BPJPH (Pemerintah RI) untuk

itu BPJPH bekerja sama dengan kementrian dan /atau lembaga terkait atau LPH,

baik itu MUI, atau Ormas lain nya. Pasal 7 UU JPH, bahwa dalam pasal tersebut

Menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud

dalam pasal 6, BPJPH Bekerja sama dengan : 1.Kementrian dan /atau lembaga

terkait 2. LPH dan 3. MUI” secara jelas bahwa fungsi dan peran MUI yang

selama ini dilakukan telah di ambil alih oleh BPJPH. Kewenangan BPJPH

tertuang dalam pasal 6 yang menyatakan bahwa “Dalam penyelenggaraan JPH

,BPJPH berwenang : a. merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH

b.menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH c. menerbitkan dan

mencabut sertifikasi halal dan label halal pada produk d. melakukan registrasi

sertifikasi halal pada produk luar negeri e. melakukan sosialisasi, edukasi, dan

publikasi produk halal f. melakukan akreditasi terhadap LPH g. melakukan

registrasi Auditor Halal h. melakukan pengawasan terhadap JPH i.melakukan

pembinaan auditor halal; dan j.melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan

luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.”

Dalam pasal 10 dijelaskan kembali ,bahwa “ (1)kerjasama BPJPH dengan

MUI sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf c dilakukan dalam bentuk : a.

sertifikasi auditor halal b. penetapan kehalalan produk ;dan c.akreditasi LPH. (2)

3 http://mui.or.id/mui/homepage/berita/berita-singkat/pernyataan-sikap-majelis-ulama-

indonesia-tentang-sertifikasi-halal-dan-pengakuan-lembaga-sertifikasi-halal-luar-negeri.html, di

unduh, kamis 30 april 2015 ,10.24

Page 79: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

66

penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

dikeluarkan MUI dalam bentuk keputusan penetapan halal produk.”

Sudah jelas di paparkan dalam pasal 6 bahwa yang berwenang menerbitkan

dan mencabut sertifikat halal pada produk adalah BPJPH. BPJPH kemudian yang

menjalin kerjasama dengan instansi terkait dan atau lembaga terkait lain (MUI).

Dalam pasal 7 dan 10 dijelaskan bahwa keterlibatan MUI hanya sebatas mitra,

kerja sama antara BPJPH dan MUI. MUI hanya mengeluarkan fatwa setelah

memeriksa kandungan pada produk tersebut, dan selanjutnya penerbitan sertifikat

halal dikeluarkan oleh BPJPH.

Pemberlakuan UU JPH sebagaimana termaktub dalam Pasal 61 “LPH yg

sudah ada sebelum undang undang ini berlaku diakui sebagai LPH dan wajib

menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 13 paling lama 2 (dua) tahun

terhitung sejak BPJPH Dibentuk”. Dengan kata lain, pada tahun 2016 seluruh

LPH yang ada di Indonesia, baik MUI atau Ormas lainnya wajib menaati UU

JPH.

Dalam hal auditor yang telah ada, Pasal 62 menyatakan bahwa “auditor

halal yang sudah ada sebelum undang-undang ini berlaku diakui sebagai auditor

halal dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 15 paling lama 2

(dua) tahun terhitung sejak undang-undang ini di undangkan”. Status Hukum

Auditor Halal yang telah ada tetap di Akui keberadaannya dan selanjutnya dibina

Oleh BPJPH.

Pembentukan BPJPH tidak saat UU ini disahkan namun menunggu 3 tahun

kemudian ,yaitu pada tahun 2017. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 64

Page 80: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

67

“pembentukan BPJPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) harus

dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak undang-undang ini di

undangkan.4

Dalam penjelasan pasal di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga

pemeriksa halal (LPH) yg sudah ada, masih tetap berjalan dan di akui

kedudukannya sebagai lembaga pemeriksa halal, dengan ketentuan memenuhi

syarat yang tertera dalam UU tersebut. LPH yang sudah ada harus memiliki

persyaratan sebagaimana yang tertera dalam pasal 13 UU No.33 Tahun 2014.

Penyelenggara UU tersebut adalah pemerintah sebagai eksekutor atau

pelaksana Undang Undang. Hal tersebut tertulis pada Pasal 5 ayat 1, 2 dan 3 UU

No.33 Tahun 2014 yang berbunyi: Pasal 5 ayat (1) “Pemerintah Bertanggung

Jawab dalam Penyelenggaraan JPH”. Pemerintah, dalam hal ini kementrian agama

yang bertanggung jawab pebuh atas pelaksanaan sertifikasi halal. Sebagaimana

yang termaktub dalam Pasal 5 ayat (2) “Penyelenggaraan JPH Sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri“. Pasal 5 ayat (3) “Untuk

Melaksanakan Penyelenggaraan JPH Sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dibentuk BPJPH Yang Berkedudukan dibawah dan Bertanggung jawab Kepada

Menteri”. Pasal ini menjelaskan bahwa, pemerintah yang bertanggung jawab atas

terselenggaranya JPH, dalam hal ini pemerintahan disini adalah kementrian

agama, sebagaimana dicantumkan pada ayat (2), dan dipertegas dalam ayat (3)

bahwa untuk terbentuknya BPJPH berkedudukan atas tanggung jawab di bawah

Kementrian Agama.

4 Undang-Undang No.33 Tahun 2014, Pasal 61, 62, 64.

Page 81: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

68

Dari paparan diatas, secara jelas menyatakan, bahwa sertifikasi halal yang

masih berjalan saat ini masih berlaku. Sertifikasi halal masih berjalan

sebagaimana mestinya, dibentuknya BPJPH Sebagai lembaga dibawah tanggung

jawab Kementrian Agama. Jika dalam batas waktu 3 tahun sampai dengan tahun

2017 pemerintah belum membentuk lembaga yang dimaksud, maka kewenangan

sertifikasi halal yang sudah ada masih tetap berjalan sebagaimana adanya.

B. Kewenangan dan Kedudukan LPPOM MUI Pasca Undang Undang No. 33

Tahun 2014

Dalam pembentukan Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan

Produk Halal ini, banyak terjadi perdebatan. Proses yang sangat panjang seperti

yang diberitakan di media massa, karena menyangkut kehidupan masyarakat

Indonesia yang notabene mayoritas muslim bahwa masalah pemberian sertifikasi

halal menuai banyak sorotan. UU Jaminan Produk Halal yang diusulkan atas

inisiatif DPR sejak 2006 belum juga diselesaikan pembahasannya hingga akhir

masa tugas periode 2009-2014. Hingga akhirnya disahkan oleh presiden pada

Tahun 2014 yang lalu.

LPPOM MUI sebagai lembaga non pemerintah yang selama ni menangani

setifikasi halal, atau bisa dikatakan sebagai penjamin kehalalan suatu produk.

Harus beradabtasi Pasca lahirnya UU No.33 Tahun 2014, dalam Undang-Undang

No.33 Tahun 2014 Pasal 1 ayat 6 yg berbunyi “Badan Penyelenggara Jaminan

Produk Halal yang Selanjutnya disingkat BPJPH Adalah Badan yang dibentuk

oleh Pemerintah untuk Menyelenggarakan JPH”. Dalam pasal di atas, telah jelas

dipaparkan, bahwa badan penyelenggara Jaminan Produk Halal disini dibentuk

Page 82: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

69

oleh pemerintah, pemerintah yang membentuk team work untuk pengesahan

sertifikasi halal.

Dalam pasal lain, tentang ketentuan jaminan produk halal. Dalam penjelasan

Bab II mengenai penyelenggara jaminan produk halal, pada Pasal 5 ayat (1)

dijelaskan bahwa “Pemerintah Bertanggung Jawab dalam Menyelenggarakan

JPH”. Dalam hal ini dipertegas oleh Pasal 5 ayat (2) yg berbunyi

“Penyelenggaraan JPH Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh

Pemerintah”. Artinya, penyelenggaraan jaminan produk halal dilakukan oleh

pemerintah, dalam hal ini adalah kementrian agama.

Jika melihat penjelasan dari pasal diatas Huruf (a-J) sudah jelas bahwa

dalam pelaksanaan nya, perumusan dan penetapan Jaminan Produk Halal (JPH)

dikerjakan oleh pemerintah, walaupun dalam Hal ini BPJPH belum terbentuk,

karena tugas, fungsi dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan

pemerintah.5

Pada ayat selanjutnya pun demikian, penetapan norma, standar, prosedur,

dan kriteria Jaminan produk halal, menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan

label halal pada produk, melakukan registrasi sertifikasi halal pada produk luar

negeri, melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal, melakukan

akreditasi terhadap Lembaga Produk Halal, melakukan registrasi auditor halal,

melakukan pengawasan terhadap JPH, melakukan pembinaan Auditor Halal dan

melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang

penyelenggaraan JPH, dalam hal ini semua keterangan yang ada pada Pasal 6 UU

5 UU No.33 Tahun 2014 Bab II, Pasal 5 ayat (5)

Page 83: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

70

No.33 Tahun 2014 tentang kewenangan BPJPH, menegaskan kewenangan BPJPH

dalam mengurus sertifikasi halal, yang dalam hal ini belum ditentukan oleh

pemerintah.

Didalam pasal 6 tentan wewenang Badan penyelenggara jaminan produk

halal sebagaimana termaktub “Dalam Penyelenggaraan JPH, BPJPH Berwenang:

a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH

b. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH

c. Menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk

d. Melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri

e. Melakukan sosialisasi, edukasi dan publikasi produk halal

f. Melakukan akreditasi terhadap LPH

g. Melakukan registrasi auditor Halal

h. Melakukan pengawasan terhadap JPH

i. Melakukan pembinaan Auditor Halal dan

j. Melakukan Kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang

penyelenggaraan JPH”.

Selanjutnya dalam Pasal 7 UU No.33 Tahun 2014 dijelaskan bahwa dalam

melaksanakan tugas dan wewenang yang tercantum pada Pasal 6 UU No.33

Tahun 2014, BPJPH bekerja sama dengan :

a. Kementrian dan/ atau lembaga terkait ;

b. LPH ;dan

c. MUI

Page 84: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

71

Kerja sama BPJPH dengan kementrian dan/atau lembaga terkait

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf (a) dilakukan sesuai dengan tugas dan

fungsi kementrian dan/ atau lembaga terkait. Pada pasal selanjutnya, kerja sama

BPJPH dengan LPH sebagai mana dimaksud dalam Pasal 7 huruf (b) dilakukan

pemeriksaan dan/ atau pengujian produk. Kerja sama BPJPH dengan MUI

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf (c) dilakukan dalam bentuk :

a. Sertifikasi Auditor Halal;

b. Penetapan kehalalan produk dan

c. Akreditasi LPH

Penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (b)

dikeluarkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk. Ketentuan

lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8,

pasal 9 dan Pasal 10 diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.6

LPH yang dijelaskan pasal 12 Undang Undang jaminan produk halal “(1)

pemerintah dan/atau masyarakat dapat mendirikan LPH (2) LPH sebagaimana

dimaksud pada ayat 1 mempunyai kesempatan yang sama dalam membantu

BPJPH Melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk ”. Pada

pasal ini secara terang dijelaskan bahwa ,lembaga pemeriksa halal (LPH) dapat

didirikan oleh Masyarakat ,guna membantu kinerja BPJPH dalam pelaksanaan

jaminan Produk halal. Undang undang ini membatasi ruang gerak MUI yang

selama ini berjalan, disisi lain memberikan ruang untuk masyarakat dalam

membantu pemerintah . peran serta masyarakat dalam JPH ini adalah perwujudan

6 UU No.33 Tahun 2014, Pasal 7,8,9,10.

Page 85: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

72

dari demokrasi yang telah dijalankan . selain itu, peran serta masyarakat

menegakkan nilai utama dari menjadikan negara ini bagian dari good governence.

Lembaga penjamin halal dapat didirikan oleh siapapun dengan memenuhi kriteria

yang tertera dalam pasal 13 UU JPH. pertama , harus memiliki kantor sendiri dan

perlengkapan yang menunjang kinerja BPJPH. kedua memiliki akreditasi dari

BPJPH ketiga memiliki auditor halal paling sedikit 3 orang dan ke empat

memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang

memiliki laboratorium .

Selain itu, LPH Harus diajukan oleh lembaga keagamaan islam berbadan

hukum, melihat kasus di indonesia tentunya banyak ormas yang berbadan hukum

seperti NU dan MUHAMMADIYAH, maka ormas tersebut dapat mendirikan

LPH sebagaimana yang dimandatkan dalam undang undang, agar tidak terjadinya

bentrok antara ormas satu dengan ormas lainnya.

Dengan penjelasan dalam pasal ini, bahwa MUI tidak sepenuhnya sebagai

lembaga pemeriksa halal sebagaimana sebelum undang undang ini ada.

Selanjutnya, tergantung kepada produsen makanan akan mengajukan pemeriksaan

kehalalan produk ke lembaga manapun yang telah sejalan dengan undang undang

tersebut. Ini berarti produsen bebas menentukan pilihannya.

Dengan berdirinya banyak lembaga pemeriksa halal (LPH) dalam UU No.33

Tahun 2014, maka dengan ini akan terjadinya kompetisi yang sehat antar

lembaga. dengan adanya persaingan ini maka perlu adanya pengendalian mutu

atau kualitas oleh pemerintah terhadap Kinerja dan Sumber Daya Manusia LPH.

Page 86: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

73

Dengan demikian proses sertifikasi halal berjalan dengan baik dan lancar ,serta

terbentuk nya pemerintahan yang transparan

C. PROSPEK SERTIFIKASI HALAL DI INDONESIA

Indonesia dikenal sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim,

juga bervariasi. Terlepas dari ranah yang ada tuntutan akan produkhalal selalu

meningkat, seiring meningkatnya agama. Untuk itu Sertifikasi halal sudah

berjalan sampai saat sekarang ini. Dengan demikian sertifikasi halal sangat

diperlukan, guna memperjelas dan memberi info produk makanan dan minuman

yang di konsumsi tidak mengandung zat-zat yang berbahaya dan dilarang dalam

agama.

Sertifikasi halal yang ada selama ini berjalan dengan baik semakin di

kukuhkan dalam undang undang No.33 tahun 2014. Hadirnya UU No.33 Tahun

2014 ini, merupakan sebuah aturan yang cukup mendesak, dan memberikan

keuntungan bukan hanya untuk melindungi umat Islam saja, tetapi juga

melindungi konsumen Non-Muslim. Selain itu di beberapa agama selain islam

babi juga turut diharamkan untuk di konsumsi. Dengan tujuan utama lainnya

adalah barang yang tersedia di pasaran telah memenuhi standar kebaikan dan

kesehatan konsumsi.

Dalam ekonomi dalam negeri Undang-Undang JPH ini dapat meminimalisir

keluar masuknya produk-produk impor dari luar Indonesia pada tahun ini dan

seterusnya. Hal ini tentunya menggiatkan pasar dlam negeri yang sempat tergerus

oleh produk luar negeri. Semakin tingginya permintaan pasar dalam negeri

tentunya akan meningkatkan ekonomi dalam negeri. Tentunya ini dengan syarat

Page 87: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

74

adanya sinergi antara penyelenggara dan mitra (LPH) satu sama lain, Sehingga

produk-produk pangan dan minuman impor dapat di selidiki kelayakan untuk

dikonsumsi di Indonesia.

Saat ini permintaan akan produk-produk halal secara global terus

mengalami peningkatan. Untuk Pasar Asia Tenggara, ekspor produk halal

mencapai 100 juta dollar. Jumlah ini mengalami peningkatan 100% dibandingkan

tahun sebelumnya, yang hanya mencapai 50 juta dolar. Sementara volume

perdagangan produk halal dunia mencapai angka 200 miliar dolar. Data lain

menyebutkan bahwa industri produk halal mencapai 547 milyar dolar, dan dalam

waktu dekat mencapai 1 triliyun dollar7 Contoh Di Filipina yang merespon dari

peningkatan permintaan produk-produk bersertifikat halal telah mendorong

perusahaan untuk melakukan sertifikasi produknya. Saat ini sekitar 50 perusahaan

telah mendapatkan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh Dewan Dakwah Islam

Filipina (IDCP). Jumlah ini terus mengalami peningkatan, dan saat ini jumlah

makanan yang telah disertifikasi halal mencapai 450 jenis. Selain Filipina, negara

minoritas Muslim yang saat ini tengah mempersiapkan diri untuk menjadi

produsen produk halal adalah Thailand. Negara ini juga menyiapkan wilayahnya

untuk menjadi sentra produk halal dunia. Selandia Baru, sebagai negara yang

terkenal akan pengekspor daging keberbagai penjuru dunia, telah menggiatkan

sertifikasi halal sejak lama. Hampir 80 persen dari perusahaan daging yang ada di

Selandia Baru sudah mendapat sertifikasi halal. Hal ini karena tujuan ekspornya

7 www.republika.com di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48

Page 88: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

75

sebagian besar adalah Timur Tengah. Bahkan saat ini tengah membidik pasar Asia

Tenggara, dimana jumlah-jumlah penduduk muslim yang mayoritas.

Malaysia adalah salah satu negara yang cukup serius dalam

mengembangkan produk-produk halal didunia. Beberapa usaha yang dilakukan

dalam mengambangkan produk halal ini antara lain pendirian Halal Industry

Development Corporation (HDC) dan pembangunan zona industri halal. Bahkan

halal menjadi standard global bagi semua produk dan jasa8. Usaha Pemerintah

Malaysia lainnya adalah dengan membuat portal internet sebagai mediasi dalam

perdagangan produk-produk halal dan sertifikasi halal di seluruh dunia. Hal lain

yang dilakukan adalah dengan membangun infrastruktur berteknologi tinggi.

Untuk membangun infrstruktur ini, pemerintah Malaysia melakukan kerjasama

dengan sejumlah pihak seperti perbankan, industri TI, ataupun sejumlah

Universitas. Salah satu bentuk kerjasama yang telah dilakukan adalah dengan

Microsoft Corporation, CIMB Islamic bank, Universitas Culalongkorn-Thailand

dan Al Islami Foods perusahaan makanan yang berkedudukan di Dubai.

Sejumlah produsen besar dunia saat ini telah melirik Malaysia sebagai

tempat untuk berinvestasi produk halal. Salah satunya adalah Perusahaan Nestle.

Nestle adalah salah satu perusahaan MNC pertama yang telah berinvestasi

diMalaysia pada bulan September 20069. Selain Nestle, sejumlah perusahaan juga

berniat untuk melakukan hal yang sama. Pertimbangannya sangat jelas, dengan

memproduksi makanan halal di Malaysia, mereka dapat melakukan ekspansi pasar

ke Timur Tengah yang saat ini merupakan tujuan utama dari pasar produk halal.

8 www.eramuslim.com di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48

9 www.halaljournal.com di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48

Page 89: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

76

Tiga Alasan Utama mengapa Produk Halal diminati, Mengapa permintaan

akan produk halal meningkat? Setidaknya, fenomena ini bisa dijelaskan dengan 3

hal. Faktor pertama, aspek halal dan thoyyib merupakan salah satu aspek yang

diperhatikan bagi umat Islam dalam mengkonsumsi.

1. Halal disini tidak saja dilihat dari zat yang dikonsumsi namun juga halal

dalam perolehannya. Dalam hal ini uang yang digunakan untuk

mendapatkan barang atau jasa itu pun harus halal, misalkan hasil dari

kerja yang halal, bukan mencuri, bukan uang atas riba dan bukan pula

uang hasil dari korupsi.

2. Selain memperhatikan masalah kehalalan, dalam mengkonsumsi ummat

Islam juga harus memperhatikan masalah toyyib. Toyyib merupakan

bahasa arab yang jika di Indonesia berarti baik. Baik dalam hal ini bagi

yang mengkonsumsi juga dampaknya bagi lingkungan sekitar. Misalkan

es, ini merupakan suatu yang halal, namun bagi orang yang sakit bisa jadi

es ini bukan sesuatu yang thoyyib, karena tidak baik untuk kesehatan

kita. Dalam lingkup yang lebih besar, thoyyib tidak hanya mencakup

kebaikan bagi individu namun juga mencakup kebaikan yang lebih besar.

Misalkan ketika suatu barang diproduksi menimbulkan dampak yang

lebih besar untuk kerusakan lingkungan, maka barang tersebut bukan

termasuk yang thoyyib.

Faktor kedua yang meningkatkan permintaan produk halal adalah

meningkatnya preferensi masyarakat Non-Muslim untuk mengonsumsi produk-

produk berlabel halal. Fenomena ini terlihat di Filiphina, negara dengan penduduk

Page 90: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

77

Muslim minoritas (hanya 10 persen dari total penduduk sebanyak 84 juta jiwa).

Fenomena ini juga terjadi di Prancis dan negara-negara Eropa lainnya. Preferensi

akan produk-produk halal ini salah satunya terkait dengan masalah kualitas yang

lebih terjamin dan hiegienitas produk-produk halal10

.

Faktor ketiga, yang menyebabkan meningkatnya produk-produk halal

ini tidak terlepas dari meningkatnya harga minyak dunia. Beberapa saat lalu

harga minyak dunia mencapai 82 $ dollar per barelnya. Suatu harga yang belum

pernah dicapai sebelumnya. Meningkatnya harga minyak dunia ini, berarti

meningkat pula pendapatan masyarakat Timur Tengah yang secara tidak langsung

akan meningkatkan daya beli dan konsumsi masyarakat mereka. Hal ini

mendorong negara-negara pengekspor makanan ke Timur Tengah sangat giat

dalam melakukan sertifikasi halal sebagai upaya peningkatan kualitas produknya.

Termasuk salah satunya New Zealand, negara pengekspor daging terbesar di

dunia.

Bagaimana Peluang pasar bagi Indonesia?, Indonesia merupakan negara

dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Dengan melihat pasar ini,

tentunya sertifikasi halal merupakan suatu hal yang niscaya. Karena

memproduksi, dan mendistribusikan produk-produk halal berarti melindungi

konsumen yang mayoritasnya Muslim.

Potensi pasar ini sudah menjadi perhatian banyak negara. Sehingga jika

Indonesia tidak jeli dalam melihat peluang ini, maka pasar produk halal di dalam

negeri akan dimasuki oleh produk-produk halal dari luar negeri. Sehingga untuk

10

www.muallaf.com di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48

Page 91: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

78

bisa menjadi eksportir produk halal dunia, dan untuk menjadi raja di negeri

sendiri, maka yang harus dilakukan adalah sertifikasi produk halal.

Diharapkan sertifikasi tidak hanya dilakukan untuk perusahaan-perusahaan

yang berskala besar namun juga usaha menengah dan kecil bahkan kalau bisa

untuk usaha-usaha rumah tangga. Mahalnya biaya dalam proses sertifikasi halal,

menjadi peluang khusus bagi bank syariah. Karena sebagaimana diketahui bahwa

bank syariah hanya memberikan pembiayaan untuk usaha-usaha yang halal, dan

tidak untuk yang haram (misalkan pabrik minuman keras, dll). Dengan sertifikasi

halal ini, bisa mengajukan pinjaman ke bank syariah sehingga bank syariah yang

saat ini cenderung over likuiditas karena sulit untuk mencari nasabah juga jadi

dapat menyalurkan pembiayaannya.

Upaya ini telah dilakukan oleh bank-bank syariah di Malaysia, yang salah

satunya adalah CIMB Islamic Bank Bhd yang memberikan pembiayaan untuk

sertifikasi produk, dan membangun infrastruktur untuk proses sertifikasi halal.

Bahkan mereka juga melengkapinya dengan sejumlah kebijakan seperti biaya

yang lebih murah dibandingkan dengan perbankan konvensional, membuka

jaringan kantor cabang yang lebih banyak sehingga mudah diakses masyarakat.

Bank Islam ini juga memfasilitasi bagi sejumlah usaha kecil untuk masuk dalam

suatu pasar11

.

Untuk usaha-usaha mikro, usaha yang dilakukan antara lain dengan

mencantumkan komposisi bahan baku dari produk-produknya secara transparan.

Sehingga dengan demikian masyarakat dapat melihat apakah produknya halal dan

11

www.republika.co.id , di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48

Page 92: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

79

baik untuk dikonsumsi atau tidak. Produk-produk dari industri rumah tangga ini

minimal dapat memenuhi pasar produk halal di dalam negeri. Sedangkan untuk

usaha yang lebih besar dapat meluaskan pangsa pasarnya sampai kepada pasar

luar negeri.12

Bersamaan dengan Undang-Undang No.33 Tahun 2014 , BPJPH harus

bekerja sama dengan ormas islam yang ada di Indonesia, agar dapat

berkesinambungan untuk menjalani amanat rakyat dan ummat. Terkait dengan

kehalalan suatu produk. pemerintah juga harus melihat peluang bisnis dunia, yang

mana negara lain pun mengadopsi sertifikasi halal dari Indonesia. Kendali ini

harus tetap berjalan, karena pelopor keberadaan sertifikasi halal adalah Indonesia.

Harapan masyarakat Indonesia agar pemerintah dapat menjalankan amanah

Undang-Undang No.33 Tahun 2014 dengan ekstra kerja keras. memperbanyak

SDM dalam masing masing bidang keilmuan terkait dengan keahlian masing

masing bidang.

Selanjutnya, indonesia sebagai negeri yang mayoritas penduduknya

beragama Islam membutuhkan sistem akreditasi dan sertifikasi produk halal

sebagai bentuk perlindungan kepada masyarakat. hal itu untuk mendukung

tumbuhnya produk halal di dunia, sistem tersebut harus dapat diterima secara

internasional dengan akreditasi internasional. Oleh karenanya, pemerintah

Republik Indonesia meluncurkan Skema Akreditasi dan Sertifikasi Halal.

12

Komunitas Peduli Halal, alalcare.blogspot.com/2011/07/produk-halal-perkembangan-

prospek-dan.htm, di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48

Page 93: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

80

Peluncuran dilaksanakan pada acara Tasyakur Milad LPPOM MUI ke-26 di

Jakarta, Selasa (13/01/2015)13

.

Kepala BSN Bambang Prasetya dalam kesempatan tersebut mengatakan,

BSN yang telah menetapkan lebih dari 8000 Standar Nasional Indonesia (SNI),

dan KAN yang saat ini telah mengakreditasi lebih dari 1200 laboratorium,

lembaga sertifikasi, dan lembaga inspeksi di seluruh wilayah tanah air, dan telah

mendapatkan pengakuan internasional dari seluruh dunia, telah bekerja sama

dengan berbagai pihak terkait, khususnya bersama dengan LPPOM MUI dalam

mengembangkan Standar Nasional persyaratan Halal dan skema akreditasi untuk

lembaga pemeriksa halal. Skema Akreditasi dan Sertifikasi Halal ini, lanjut Prof.

Bambang, telah disusun dengan melibatkan pihak-pihak terkait dan mensinergikan

peran setiap pihak sesuai dengan tanggung-jawab, kewenangan, tugas dan

fungsinya masing-masing untuk secara bersama-sama mewujudkan Sistem

Jaminan Produk Halal yang terpercaya.

Bagan Standar Nasional Persyaratan Halal dan Skema Akreditasi LPH

13

http://www.kan.or.id/?p=3399&lang=id ,di unduh pada ,20 april 2015 ,11.57

Page 94: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

81

Prof. Bambang yang juga Ketua KAN menambahkan, di awal tahun 2015

ini, khususnya setelah penetapan Undang-Undang No, 33 tahun 2014 tentang

Jaminan Produk Halal, dan beberapa saat sebelumnya Undang-Undang No. 20

tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, KAN akan memulai

pengoperasian Skema Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal sebagai langkah awal

dari realisasi sistem Jaminan Produk Halal di Indonesia.

Sistem ini, kata Prof. Bambang, tentu saja masih jauh dari sempurna dan

memerlukan masukan dari seluruh pihak agar ke depan sistem ini dapat mencapai

tujuannya secara efektif untuk menjamin kehalalan produk bagi muslim di

Indonesia, dan sekaligus mampu menjalankan fungsinya untuk meningkatkan

daya saing produk halal dari Indonesia dalam pasar global, dan menjaga

kedaulatan Bangsa Indonesia.14

14

http://www.kan.or.id/?p=3399&lang=id ,di unduh pada ,20 april 2015 ,11.57

Page 95: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

82

BAB V

PENUTUP

Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan yang telah ditulis dalam

penulisan sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat ditarik oleh penulis adalah

sebagai berikut:

A. Kesimpulan

1. Sesuai dengan undang undang No.33 Tahun 2014 tentang jaminan Produk

Halal bahwa kewenangan LPPOM MUI adalah sebagai LPH (Lembaga

Pemeriska Halal) dan mitra. Penjelasan selanjutnya dalam pasal 10, bahwa

kerja sama BPJPH dengan MUI /LPPOM MUI dilakukan dalam bentuk :

sertifikasi auditor Halal, penetapan kehalalan produk dan akreditasi LPH

(Lembaga Pemeriksa Halal). Dan penetapan kehalalan produk dikeluarkan

dalam bentuk keputusan penetapan halal produk. Dengan adanya

wewenang LPPOM MUI/ MUI dalam undang undang no.33 tahun 2014

sebagai mitra . Sebelum ada implementasi pada 2019, Majelis Ulama

Indonesia (MUI) dengan LPPOM-nya masih akan bertanggung jawab

sebagai penyelenggara jaminan halal dimasyarakat.

2. Dengan ada nya Undang Undang No.33 tahun 2014 JPH maka peluang

untuk turut serta berparsitifasi dalam penanganan sertifikasi halal terbuka

bagi ormas islam yang berbadan hukum .dengan ini akan terwujud

perlindungan konsumen muslim di Indonesia terkait dengan kehalalan

sebuah produk .

Page 96: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

83

3. Saran

1. Dengan disahkannya UU dan hadirnya BP JPH, penulis secara pribadi

berharap perdebatan dan polemik lembaga terkait sertifikasi halal pun

dapat terselesaikan. Dengan demikian, tuduhan terkait penyalah

gunaan kewenangan sertifikasi ini pun dapat diselesaikan dan tidak

menyebabkan fitnah. MUI dan pemerintah (Kemenag) serta aparat

keamanan harus mampu mengawal implementasi UU No.33 tahun

2014 ini. Proses yang transparan pun menjadi keharusan agar tidak

kembali memunculkan tuduhan dan fitnah bagi instansi yang

berwenang, dan perlu juga dibentuknya yayasan konsumen muslim .

2. Diharapkan UU ini dapat mewajibkan para produsen mendapatkan

sertifikasi halal.Konsekuensi dari hal itu dalam implementasinya,

pemerintah atau BP JPH perlu menekankan pada pembukaan akses

sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk mendapatkan sertifikasi halal.

Pembukaan akses ini, menurut penulis , penting agar aturan ini seolah

tidak merugikan para produsen kelas menengah kebawah yang minim

informasi. UU ini harus dapat mengakomodir segala kepentingan,

tidak hanya bagi umat Islam Indonesia, tapi juga seluruh konsumen di

Tanah Air, dan Efek kemanfaatannya pun harus segera terlihat.

3. Dalam penyusunan skripsi ini mungkin ada banyak hal yang belum

sepenuhnya terselesaikan dengan baik, mengingat keterbatasan ruang

dan waktu. untuk itu, diharapkan untuk penelitian selanjutnya yang

serupa dihrapkan dapat menjadi lebih baik lagi.

Page 97: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

84

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi Muhammad Fahmi, M.Si, Dr. Aripin Jaenal, M.Ag, Metode Penelitian

Hukum, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, cet Ke-1, Desember

2010.

AL-Qur‟an Al Karim (ayat dan Tarjamah)

Amin Ma‟ruf, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas Jakarta, 2011)

Cet. Ke-3. h.313

Ar-Rifa‟I Nasib Muhammad “TAISIR AL-ALIYYUL QADIR LI IKHTISHARI

TAFSIR IBNU KATSIR,jilid 2”(Gema Insani Press, 1999

Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan

Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Modul Pelatihan

Auditor Internal Halal,Jakarta: Departemen Agama RI. 2003

Bisri hasan Cik , Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2004)

Danim Sudarman, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia,2002)

Gabriel Amin Silalahi, Metode Penelitian Studi Kasus, (Sidoarjo : CV

Mitra Media, 2003)

Dewi Candra Diana, Rahasia dibalik Makanan Haram, (Malang: UIN-

Malang,2007), Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram, (Jakarta: Rabbani

Pers, 2002)

Fadhl „I-Lah Mahdi (1987:5) Mengindentikan Ilmu Ushul Fiqh dengan Ilmu

Mantiq Syar‟i dengan Mengadaptasi Ilmu Mantiq Aristoteles.

Hakim Lukmanul ,“Sertifikasi Halal MUI Sebagai Upaya Jaminan Produk

Halal” dalam Ichwan Sam, et. al., Ijma’ Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama

Komisi Fatwa Se- Indonesia III Tahun 2009, Jakarta: Majelis Ulama

Indonesia, Cet. ke-1, 2009

Hambal bin Ahmad, Kitab Musnad Ahmad, Muassasah Qurthubah, Kairo, Jilid :

3

Himpunan Keputusan Musyawarah Daerah VII Majelis Ulama Indonesia Propinsi

Jawa Tengah, Semarang: Majelis Ulama Indonesia, 2006,

Ibrahim Johnny, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Noormatif, (Malang :

Bayu Media Publishing, 2008), h.2

Page 98: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

85

Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, Panduan Umum Sistem

Jaminan Halal LP POM MUI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2008

Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, loc. Cit

Miru Ahmad & Yodo Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet. ke-7, edisi

ke-1, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011

Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam

dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, op. cit

Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam

dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, Jakarta:

Departemen Agama RI., 2003

Qaradhawi Yusuf, Halal dan Haram (Jakarta: Rabbani Pers,2002

Sugono Bambang, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2003)

Sasmito Adi Wiku, “Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam

Labeling Obat dan Makanan” dalam Studi Kasus: Analisis Kebijakan

Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008,

Tulisan Harahap yahya M, Cara lengkap, dapat dibaca dalam Cik Hasan Bisri

(Penyunting), Kompilasi Hukum Islam Tentang Peradilan Agama Dalam

Sistem Hukum Nasional, Logos Wacana Ilmu, 1999 a,

Zainal Asikin ,Amirudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2004) ,

الحالوالحرام في االسالم يوسوف القرضاوي

WEBSITE

http://alalcare.blogspot.com/2011/07/produk-halal-perkembangan-prospek-

dan.html

http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profilmui.html

http://mui.or.id/sekilas-mui

http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/go_to_section/2/31/page/11

Page 100: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

SALINAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 33 TAHUN 2014

TENTANG

JAMINAN PRODUK HALAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya

itu;

b. bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk

beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara

berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan

tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan

digunakan masyarakat;

c. bahwa produk yang beredar di masyarakat belum

semua terjamin kehalalannya;

d. bahwa pengaturan mengenai kehalalan suatu produk

pada saat ini belum menjamin kepastian hukum dan

perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-

undangan;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf

d perlu membentuk Undang-Undang tentang Jaminan

Produk Halal;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), Pasal 28J, dan

Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

Dengan . . .

Page 101: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 2 -

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait

dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk

kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik,

serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau

dimanfaatkan oleh masyarakat.

2. Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan

halal sesuai dengan syariat Islam.

3. Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH

adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin

kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan,

pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.

4. Bahan adalah unsur yang digunakan untuk

membuat atau menghasilkan Produk.

5. Jaminan Produk Halal yang selanjutnya

disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap

kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan

Sertifikat Halal.

6. Badan . . .

Page 102: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 3 -

6. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang

selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang

dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan

JPH.

7. Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya

disingkat MUI adalah wadah musyawarah para

ulama, zuama, dan cendekiawan muslim.

8. Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat

LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan

pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan

Produk.

9. Auditor Halal adalah orang yang memiliki

kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan

Produk.

10. Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu

Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan

fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.

11. Label Halal adalah tanda kehalalan suatu Produk.

12. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau

badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan

badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan

usaha di wilayah Indonesia.

13. Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab

terhadap PPH.

14. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan

hukum.

15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan

urusan pemerintahan di bidang agama.

Pasal 2 . . .

Page 103: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 4 -

Pasal 2

Penyelenggaraan JPH berasaskan:

a. pelindungan;

b. keadilan;

c. kepastian hukum;

d. akuntabilitas dan transparansi;

e. efektivitas dan efisiensi; dan

f. profesionalitas.

Pasal 3

Penyelenggaraan JPH bertujuan:

a. memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan,

dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi

masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan

Produk; dan

b. meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha

untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.

Pasal 4

Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di

wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

BAB II

PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 5

(1) Pemerintah bertanggung jawab dalam

menyelenggarakan JPH.

(2) Penyelenggaraan . . .

Page 104: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 5 -

(2) Penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.

(3) Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk

BPJPH yang berkedudukan di bawah dan

bertanggung jawab kepada Menteri.

(4) Dalam hal diperlukan, BPJPH dapat membentuk

perwakilan di daerah.

(5) Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan

organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden.

Bagian Kedua

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal

Pasal 6

Dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang:

a. merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;

b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria

JPH;

c. menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan

Label Halal pada Produk;

d. melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk

luar negeri;

e. melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi

Produk Halal;

f. melakukan akreditasi terhadap LPH;

g. melakukan registrasi Auditor Halal;

h. melakukan pengawasan terhadap JPH;

i. melakukan pembinaan Auditor Halal; dan

j. melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan

luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.

Pasal 7 . . .

Page 105: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 6 -

Pasal 7

Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6, BPJPH bekerja sama dengan:

a. kementerian dan/atau lembaga terkait;

b. LPH; dan

c. MUI.

Pasal 8

Kerja sama BPJPH dengan kementerian dan/atau

lembaga terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7

huruf a dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi

kementerian dan/atau lembaga terkait.

Pasal 9

Kerja sama BPJPH dengan LPH sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 huruf b dilakukan untuk pemeriksaan

dan/atau pengujian Produk.

Pasal 10

(1) Kerja sama BPJPH dengan MUI sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dalam

bentuk:

a. sertifikasi Auditor Halal;

b. penetapan kehalalan Produk; dan

c. akreditasi LPH.

(2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf b dikeluarkan MUI dalam bentuk

Keputusan Penetapan Halal Produk.

Pasal 11 . . .

Page 106: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 7 -

Pasal 11

Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,

dan Pasal 10 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

Pemerintah.

Bagian Ketiga

Lembaga Pemeriksa Halal

Pasal 12

(1) Pemerintah dan/atau masyarakat dapat mendirikan

LPH.

(2) LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

mempunyai kesempatan yang sama dalam

membantu BPJPH melakukan pemeriksaan

dan/atau pengujian kehalalan Produk.

Pasal 13

(1) Untuk mendirikan LPH sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 12, harus dipenuhi persyaratan:

a. memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;

b. memiliki akreditasi dari BPJPH;

c. memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga)

orang; dan

d. memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja

sama dengan lembaga lain yang memiliki

laboratorium.

(2) Dalam hal LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

didirikan oleh masyarakat, LPH harus diajukan oleh

lembaga keagamaan Islam berbadan hukum.

Pasal 14 . . .

Page 107: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 8 -

Pasal 14

(1) Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal

13 huruf c diangkat dan diberhentikan oleh LPH.

(2) Pengangkatan Auditor Halal oleh LPH sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi

persyaratan:

a. warga negara Indonesia;

b. beragama Islam;

c. berpendidikan paling rendah sarjana strata 1

(satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik

industri, biologi, atau farmasi;

d. memahami dan memiliki wawasan luas

mengenai kehalalan produk menurut syariat

Islam;

e. mendahulukan kepentingan umat di atas

kepentingan pribadi dan/atau golongan; dan

f. memperoleh sertifikat dari MUI.

Pasal 15

Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14

bertugas:

a. memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;

b. memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk;

c. memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;

d. meneliti lokasi Produk;

e. meneliti peralatan, ruang produksi, dan

penyimpanan;

f. memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;

g. memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan

h. melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian

kepada LPH.

Pasal 16

Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH diatur dalam

Peraturan Pemerintah.

BAB III . . .

Page 108: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 9 -

BAB III

BAHAN DAN PROSES PRODUK HALAL

Bagian Kesatu

Bahan

Pasal 17

(1) Bahan yang digunakan dalam PPH terdiri atas

bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan

bahan penolong.

(2) Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal

dari:

a. hewan;

b. tumbuhan;

c. mikroba; atau

d. bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi,

proses biologi, atau proses rekayasa genetik.

(3) Bahan yang berasal dari hewan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf a pada dasarnya halal,

kecuali yang diharamkan menurut syariat.

Pasal 18

(1) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3)

meliputi:

a. bangkai;

b. darah;

c. babi; dan/atau

d. hewan yang disembelih tidak sesuai dengan

syariat.

(2) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan

selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI.

Pasal 19 . . .

Page 109: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 10 -

Pasal 19

(1) Hewan yang digunakan sebagai bahan Produk wajib

disembelih sesuai dengan syariat dan memenuhi

kaidah kesejahteraan hewan serta kesehatan

masyarakat veteriner.

(2) Tuntunan penyembelihan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Pasal 20

(1) Bahan yang berasal dari tumbuhan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b pada

dasarnya halal, kecuali yang memabukkan dan/atau

membahayakan kesehatan bagi orang yang

mengonsumsinya.

(2) Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang

dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi,

atau proses rekayasa genetik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan huruf

d diharamkan jika proses pertumbuhan dan/atau

pembuatannya tercampur, terkandung, dan/atau

terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan.

(3) Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri

berdasarkan fatwa MUI.

Bagian Kedua

Proses Produk Halal

Pasal 21

(1) Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan

dengan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan,

pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk

tidak halal.

(2) Lokasi . . .

Page 110: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 11 -

(2) Lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) wajib:

a. dijaga kebersihan dan higienitasnya;

b. bebas dari najis; dan

c. bebas dari Bahan tidak halal.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lokasi, tempat, dan

alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 22

(1) Pelaku Usaha yang tidak memisahkan lokasi,

tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi

administratif berupa:

a. peringatan tertulis; atau

b. denda administratif.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

pengenaan sanksi administratif diatur dalam

Peraturan Menteri.

BAB IV

PELAKU USAHA

Pasal 23

Pelaku Usaha berhak memperoleh:

a. informasi, edukasi, dan sosialisasi mengenai sistem

JPH;

b. pembinaan dalam memproduksi Produk Halal; dan

c. pelayanan untuk mendapatkan Sertifikat Halal

secara cepat, efisien, biaya terjangkau, dan tidak

diskriminatif.

Pasal 24 . . .

Page 111: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 12 -

Pasal 24

Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat

Halal wajib:

a. memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;

b. memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan,

pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara

Produk Halal dan tidak halal;

c. memiliki Penyelia Halal; dan

d. melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada

BPJPH.

Pasal 25

Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal

wajib:

a. mencantumkan Label Halal terhadap Produk yang

telah mendapat Sertifikat Halal;

b. menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh

Sertifikat Halal;

c. memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat

pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara

Produk Halal dan tidak halal;

d. memperbarui Sertifikat Halal jika masa berlaku

Sertifikat Halal berakhir; dan

e. melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada

BPJPH.

Pasal 26

(1) Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan

yang berasal dari Bahan yang diharamkan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20

dikecualikan dari mengajukan permohonan

Sertifikat Halal.

(2) Pelaku . . .

Page 112: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 13 -

(2) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada

Produk.

Pasal 27

(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai

sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda administratif; atau

c. pencabutan Sertifikat Halal.

(2) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2)

dikenai sanksi administratif berupa:

a. teguran lisan;

b. peringatan tertulis; atau

c. denda administratif.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

pengenaan sanksi administratif diatur dalam

Peraturan Menteri.

Pasal 28

(1) Penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal

24 huruf c bertugas:

a. mengawasi PPH di perusahaan;

b. menentukan tindakan perbaikan dan

pencegahan;

c. mengoordinasikan PPH; dan

d. mendampingi Auditor Halal LPH pada saat

pemeriksaan.

(2) Penyelia Halal harus memenuhi persyaratan:

a. beragama Islam; dan

b. memiliki wawasan luas dan memahami syariat

tentang kehalalan.

(3) Penyelia . . .

Page 113: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 14 -

(3) Penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan

dan dilaporkan kepada BPJPH.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal

diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB V

TATA CARA MEMPEROLEH SERTIFIKAT HALAL

Bagian Kesatu

Pengajuan Permohonan

Pasal 29

(1) Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku

Usaha secara tertulis kepada BPJPH.

(2) Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi

dengan dokumen:

a. data Pelaku Usaha;

b. nama dan jenis Produk;

c. daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan

d. proses pengolahan Produk.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

pengajuan permohonan Sertifikat Halal diatur

dalam Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Penetapan Lembaga Pemeriksa Halal

Pasal 30

(1) BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan

pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.

(2) Penetapan . . .

Page 114: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 15 -

(2) Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima)

hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)

dinyatakan lengkap.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

penetapan LPH diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga

Pemeriksaan dan Pengujian

Pasal 31

(1) Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)

dilakukan oleh Auditor Halal.

(2) Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi

usaha pada saat proses produksi.

(3) Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) terdapat Bahan yang

diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian

di laboratorium.

(4) Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha

wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal.

Pasal 32

(1) LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau

pengujian kehalalan Produk kepada BPJPH.

(2) BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau

pengujian kehalalan Produk kepada MUI untuk

memperoleh penetapan kehalalan Produk.

Bagian . . .

Page 115: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 16 -

Bagian Keempat

Penetapan Kehalalan Produk

Pasal 33

(1) Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI.

(2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal.

(3) Sidang Fatwa Halal MUI sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) mengikutsertakan pakar, unsur

kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait.

(4) Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) memutuskan kehalalan Produk paling lama

30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil

pemeriksaan dan/atau pengujian Produk dari

BPJPH.

(5) Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana

dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh MUI.

(6) Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana

dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada BPJPH

untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.

Bagian Kelima

Penerbitan Sertifikat Halal

Pasal 34

(1) Dalam hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menetapkan halal

pada Produk yang dimohonkan Pelaku Usaha,

BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal.

(2) Dalam hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menyatakan

Produk tidak halal, BPJPH mengembalikan

permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha

disertai dengan alasan.

Pasal 35 . . .

Page 116: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 17 -

Pasal 35

Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34

ayat (1) diterbitkan oleh BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari

kerja terhitung sejak keputusan kehalalan Produk

diterima dari MUI.

Pasal 36

Penerbitan Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 35 wajib dipublikasikan oleh BPJPH.

Bagian Keenam

Label Halal

Pasal 37

BPJPH menetapkan bentuk Label Halal yang berlaku

nasional.

Pasal 38

Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal

wajib mencantumkan Label Halal pada:

a. kemasan Produk;

b. bagian tertentu dari Produk; dan/atau

c. tempat tertentu pada Produk.

Pasal 39

Pencantuman Label Halal sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 38 harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak

mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.

Pasal 40

Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dalam

Peraturan Menteri.

Pasal 41 . . .

Page 117: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 18 -

Pasal 41

(1) Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak

sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 38 dan Pasal 39 dikenai sanksi

administratif berupa:

a. teguran lisan;

b. peringatan tertulis; atau

c. pencabutan Sertifikat Halal.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi

administratif diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Ketujuh

Pembaruan Sertifikat Halal

Pasal 42

(1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun

sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat

perubahan komposisi Bahan.

(2) Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku

Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat

Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa

berlaku Sertifikat Halal berakhir.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaruan

Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 43

Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses

JPH wajib menjaga kerahasiaan formula yang tercantum

dalam informasi yang diserahkan oleh Pelaku Usaha.

Bagian . . .

Page 118: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 19 -

Bagian Kedelapan

Pembiayaan

Pasal 44

(1) Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku

Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat

Halal.

(2) Dalam hal Pelaku Usaha merupakan usaha mikro

dan kecil, biaya Sertifikasi Halal dapat difasilitasi

oleh pihak lain.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya sertifikasi

halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 45

(1) BPJPH dalam mengelola keuangan menggunakan

pengelolaan keuangan badan layanan umum.

(2) Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan BPJPH

diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB VI

KERJA SAMA INTERNASIONAL

Pasal 46

(1) Pemerintah dapat melakukan kerja sama

internasional dalam bidang JPH sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kerja sama internasional dalam bidang JPH

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

berbentuk pengembangan JPH, penilaian

kesesuaian, dan/atau pengakuan Sertifikat Halal.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama JPH

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan

atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Pasal 47 . . .

Page 119: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 20 -

Pasal 47

(1) Produk Halal luar negeri yang diimpor ke Indonesia

berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang ini.

(2) Produk Halal, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

tidak perlu diajukan permohonan Sertifikat Halalnya

sepanjang Sertifikat Halal diterbitkan oleh lembaga

halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama

saling pengakuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 46 ayat (2).

(3) Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

wajib diregistrasi oleh BPJPH sebelum Produk

diedarkan di Indonesia.

(4) Ketentuan mengenai tata cara registrasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam

Peraturan Pemerintah.

Pasal 48

(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3)

dikenai sanksi administratif berupa penarikan

barang dari peredaran.

(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi

administratif diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB VII

PENGAWASAN

Pasal 49

BPJPH melakukan pengawasan terhadap JPH.

Pasal 50 . . .

Page 120: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 21 -

Pasal 50

Pengawasan JPH dilakukan terhadap:

a. LPH;

b. masa berlaku Sertifikat Halal;

c. kehalalan Produk;

d. pencantuman Label Halal;

e. pencantuman keterangan tidak halal;

f. pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembelihan,

pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara

Produk Halal dan tidak halal;

g. keberadaan Penyelia Halal; dan/atau

h. kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.

Pasal 51

(1) BPJPH dan kementerian dan/atau lembaga terkait

yang memiliki kewenangan pengawasan JPH dapat

melakukan pengawasan secara sendiri-sendiri atau

bersama-sama.

(2) Pengawasan JPH dengan kementerian dan/atau

lembaga terkait sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 52

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur

dalam Peraturan Pemerintah.

BAB . . .

Page 121: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 22 -

BAB VIII

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 53

(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam

penyelenggaraan JPH.

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat berupa:

a. melakukan sosialisasi mengenai JPH; dan

b. mengawasi Produk dan Produk Halal yang

beredar.

(3) Peran serta masyarakat berupa pengawasan Produk

dan Produk Halal yang beredar sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf b berbentuk

pengaduan atau pelaporan ke BPJPH.

Pasal 54

BPJPH dapat memberikan penghargaan kepada

masyarakat yang berperan serta dalam penyelenggaraan

JPH.

Pasal 55

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta

masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dalam

Peraturan Menteri.

BAB IX

KETENTUAN PIDANA

Pasal 56

Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk

yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana

denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar

rupiah).

Pasal 57 . . .

Page 122: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 23 -

Pasal 57

Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses

JPH yang tidak menjaga kerahasiaan formula yang

tercantum dalam informasi yang diserahkan Pelaku

Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dipidana

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau

pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua

miliar rupiah).

BAB X

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 58

Sertifikat Halal yang telah ditetapkan oleh MUI sebelum

Undang-Undang ini berlaku dinyatakan tetap berlaku

sampai jangka waktu Sertifikat Halal tersebut berakhir.

Pasal 59`

Sebelum BPJPH dibentuk, pengajuan permohonan atau

perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan

tata cara memperoleh Sertifikat Halal yang berlaku

sebelum Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 60

MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi

Halal sampai dengan BPJPH dibentuk.

Pasal 61

LPH yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini

berlaku diakui sebagai LPH dan wajib menyesuaikan

dengan ketentuan dalam Pasal 13 paling lama 2 (dua)

tahun terhitung sejak BPJPH dibentuk.

Pasal 62 . . .

Page 123: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 24 -

Pasal 62

Auditor halal yang sudah ada sebelum Undang-Undang

ini berlaku diakui sebagai Auditor Halal dan wajib

menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 14 dan

Pasal 15 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak

Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 63

Penyelia Halal perusahaan yang sudah ada sebelum

Undang-Undang ini berlaku diakui sebagai Penyelia Halal

dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal

28 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-

Undang ini diundangkan.

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 64

BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun

terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 65

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus

ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak

Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 66 . . .

Page 124: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 25 -

Pasal 66

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua

Peraturan Perundang-undangan yang mengatur

mengenai JPH dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang

tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-

Undang ini.

Pasal 67

(1) Kewajiban bersertifikat halal bagi Produk yang

beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku

5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini

diundangkan.

(2) Sebelum kewajiban bersertifikat halal sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) berlaku, jenis Produk yang

bersertifikat halal diatur secara bertahap.

(3) Ketentuan mengenai jenis Produk yang bersertifikat

halal secara bertahap sebagaimana diatur pada ayat

(2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 68

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal

diundangkan.

Agar . . .

Page 125: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 26 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan

pengundangan Undang-Undang ini dengan

penempatannya dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 17 Oktober 2014

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 17 Oktober 2014

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 295

Page 126: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 33 TAHUN 2014

TENTANG

JAMINAN PRODUK HALAL

I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan

menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan

pelindungan dan jaminan tentang kehalalan Produk yang

dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Jaminan mengenai Produk

Halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas pelindungan,

keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi,

efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Oleh karena itu,

jaminan penyelenggaraan Produk Halal bertujuan memberikan

kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan

Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan

menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi

Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.

Tujuan tersebut menjadi penting mengingat kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan

kosmetik berkembang sangat pesat. Hal itu berpengaruh secara

nyata pada pergeseran pengolahan dan pemanfaatan bahan baku

untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta Produk

lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi

pengolahan . . .

Page 127: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 2 -

pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu

pengetahuan. Pengolahan produk dengan memanfaatkan kemajuan

ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan percampuran

antara yang halal dan yang haram baik disengaja maupun tidak

disengaja. Oleh karena itu, untuk mengetahui kehalalan dan

kesucian suatu Produk, diperlukan suatu kajian khusus yang

membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti pengetahuan di

bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi,

dan pemahaman tentang syariat.

Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya banyak Produk yang

beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya.

Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang

memiliki keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal belum

memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat

muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai JPH perlu diatur

dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup

Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan

makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk

biologi, dan produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang

dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Pokok-pokok pengaturan dalam Undang-Undang ini antara

lain adalah sebagai berikut.

1. Untuk menjamin ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan

produk yang dinyatakan halal, baik bahan yang berasal dari

bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba, maupun bahan yang

dihasilkan melalui proses kimiawai, proses biologi, atau proses

rekayasa genetik. Di samping itu, ditentukan pula PPH yang

merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan

Produk yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan,

penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan

penyajian Produk.

2. Undang . . .

Page 128: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 3 -

2. Undang-Undang ini mengatur hak dan kewajiban Pelaku Usaha

dengan memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang

memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang

diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas

keterangan tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian

tertentu dari Produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah

terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

Produk.

3. Dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah

bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH yang

pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH. Dalam menjalankan

wewenangnya, BPJH bekerja sama dengan kementerian

dan/atau lembaga terkait, MUI, dan LPH.

4. Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan

permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH.

Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan

dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk

dilakukan oleh LPH. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi

dari BPJH yang bekerjasama dengan MUI. Penetapan kehalalan

Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI

dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang

ditandatangani oleh MUI. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal

berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI

tersebut.

5. Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang

mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Dalam rangka

memperlancar pelaksanaan penyelenggaraan JPH, Undang-

Undang ini memberikan peran bagi pihak lain seperti Pemerintah

melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah

daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah,

perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan

komunitas untuk memfasilitasi biaya sertifikasi halal bagi pelaku

usaha mikro dan kecil.

6. Dalam . . .

Page 129: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 4 -

6. Dalam rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan JPH,

BPJPH melakukan pengawasan terhadap LPH; masa berlaku

Sertifikat Halal; kehalalan Produk; pencantuman Label Halal;

pencantuman keterangan tidak halal; pemisahan lokasi, tempat

dan alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan,

pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal

dan tidak halal; keberadaan Penyelia Halal; dan/atau kegiatan

lain yang berkaitan dengan JPH.

7. Untuk menjamin penegakan hukum terhadap pelanggaran

Undang-Undang ini, ditetapkan sanksi administratif dan sanksi

pidana.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Huruf a

Yang dimaksud dengan asas “pelindungan” adalah bahwa

dalam menyelenggarakan JPH bertujuan melindungi

masyarakat muslim.

Huruf b

Yang dimaksud dengan asas “keadilan” adalah bahwa dalam

penyelenggaraan JPH harus mencerminkan keadilan secara

proporsional bagi setiap warga negara.

Huruf c

Yang dimaksud dengan asas “kepastian hukum” adalah

bahwa penyelenggaraan JPH bertujuan memberikan

kepastian hukum mengenai kehalalan suatu Produk yang

dibuktikan dengan Sertifikat Halal.

Huruf d . . .

Page 130: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 5 -

Huruf d

Yang dimaksud dengan asas “akuntabilitas dan

transparansi” adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir

dari kegiatan penyelenggaraan JPH harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai

pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Huruf e

Yang dimaksud dengan asas “efektivitas dan efisiensi” adalah

bahwa penyelenggaraan JPH dilakukan dengan berorientasi

pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna serta

meminimalisasi penggunaan sumber daya yang dilakukan

dengan cara cepat, sederhana, dan biaya ringan atau

terjangkau.

Huruf f

Yang dimaksud dengan asas “profesionalitas” adalah bahwa

penyelenggaraan JPH dilakukan dengan mengutamakan

keahlian yang berdasarkan kompetensi dan kode etik.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7 . . .

Page 131: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 6 -

Pasal 7

Huruf a

Kementerian dan/atau lembaga terkait antara lain

kementerian dan/atau lembaga yang menyelenggarakan

urusan pemerintahan di bidang perindustrian, perdagangan,

kesehatan, pertanian, standardisasi dan akreditasi, koperasi

dan usaha mikro, kecil dan menengah, serta pengawasan

obat dan makanan.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Pasal 8

Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian

misalnya dalam hal pengaturan serta pembinaan dan pengawasan

industri terkait dengan bahan baku dan bahan tambahan pangan

yang digunakan untuk menghasilkan Produk Halal.

Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan

misalnya dalam pembinaan kepada Pelaku Usaha dan

masyarakat, pengawasan Produk Halal yang beredar di pasar,

serta perluasan akses pasar.

Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan

misalnya dalam hal penetapan cara produksi serta cara distribusi

obat, termasuk vaksin, obat tradisional, kosmetik, alat kesehatan,

perbekalan kesehatan rumah tangga, makanan, dan minuman.

Bentuk . . .

Page 132: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 7 -

Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian

misalnya dalam hal penetapan persyaratan rumah potong

hewan/unggas dan unit potong hewan/unggas, pedoman

pemotongan hewan/unggas dan penanganan daging hewan serta

hasil ikutannya, pedoman sertifikasi kontrol veteriner pada unit

usaha pangan asal hewan, dan sistem jaminan mutu dan

keamanan pangan hasil pertanian.

Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang standardisasi

dan akreditasi misalnya dalam hal persyaratan untuk

pemeriksaan, pengujian, auditor, lembaga pemeriksa, dan

lembaga sertifikasi dalam sistem JPH sesuai dengan standar yang

ditetapkan.

Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi,

usaha mikro, kecil, dan menengah misalnya dalam hal

menyiapkan Pelaku Usaha mikro dan kecil dalam sosialisasi dan

pendampingan sertifikasi kehalalan Produk.

Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan

obat dan makanan misalnya dalam hal pengawasan produk

pangan, obat, dan kosmetik dalam dan luar negeri yang

diregistrasi dan disertifikasi halal.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12 . . .

Page 133: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 8 -

Pasal 12

Ayat (1)

LPH yang didirikan pemerintah antara lain LPH yang

didirikan oleh kementerian dan/atau lembaga atau LPH yang

didirikan oleh perguruan tinggi negeri.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21 . . .

Page 134: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 9 -

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “keterangan tidak halal” adalah

pernyataan tidak halal yang merupakan bagian tidak

terpisahkan dari Produk. Keterangan dapat berupa gambar,

tanda, dan/atau tulisan.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29 . . .

Page 135: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 10 -

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39 . . .

Page 136: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 11 -

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Kriteria “usaha mikro dan kecil” didasarkan pada ketentuan

peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang usaha

mikro dan kecil.

Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain Pemerintah

melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah

daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah,

perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi,

dan komunitas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 45 . . .

Page 137: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 12 -

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b . . .

Page 138: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 13 -

Huruf b

Pengawasan Produk dan Produk Halal yang beredar

antara lain pengawasan terhadap masa berlaku

Sertifikat Halal, pencantuman Label Halal atau

keterangan tidak halal, serta penyajian antara Produk

Halal dan tidak halal.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61 . . .

Page 139: KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30479/1/M. ADE... · Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah

- 14 -

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5604