kewenangan lppom mui dalam penentuan sertifikasi...
TRANSCRIPT
KEWENANGAN LPPOM MUI DALAM PENENTUAN
SERTIFIKASI HALAL PASCA BERLAKU NYA
UU NO. 33 TAHUN 2014
Oleh:
M. ADE SEPTIAWAN PUTRA
NIM : 1110043200010
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM (PH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013/2014 M - 1435/1436 H
iv
ABSTRAK
M.Ade Septiawan putra , NIM (1110043200010). “Kewenangan LPPOM MUI
Dalam Penentuan Sertifikasi Halal Pasca Berlaku nya UU No.33 Tahun
2014 “. Konsentrasi Perbandingan Hukum, Program Studi Perbandingan Madzhab
dan Hukum , Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015.
Skripsi ini menjelaskan mengenai perubahan wewenang Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam penetapan jaminan produk halal dan Prospek kedepan
dalam penentuan sertifikasi halal setelah lahir dan berlakunya Undang-Undang
No.33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui wewenang LPPOM dalam penetapan produk halal pasca berlakunya
UU No.33 Tahun 2014.
Metode Penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu metode penelitian hukum
terhadap aturan hukum yang tertulis, dimana perundangan yang menjadi objek
penelitian dan sumber data primer dalam penelitian yang dilakukan yang
kemudian dianalisis oleh penulis.
Berdasakan hasil penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa
terdapat perubahan wewenang LPPOM MUI sebelum dan sesudah berlakunya UU
No.33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Sebelum berlakunya Undang-
Undang No.33 Tahun 2014 atau selama 23 tahun semenjak berdirinya LPPOM
MUI, LPPOM MUI berwenang penuh atas penetapan sertifikasi halal namun
pasca lahir dan berlakunya Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal LPPOM MUI tidak lagi memiliki hak penuh atas pengeluaran dan
penetapan sertifikasi jaminan produk halal, melainkan hanya sebagai mitra. Tidak
bisa dipungkiri ,bahwa kebutuhan sertifikasi halal atau label halal sangat
dibutuhkan di Indonesia ,terlebih masyarakat awam dan khususnya masyarakat
muslim di Indonesia .karena dengan tersedia nya produk makanan halal,
setidaknya konsumen,khususnya konsumen muslim tidak lagi khawatir akan
adanya campuran bahan bahan yang mengandung zat berbahaya yang dilarang
baik secara hukum negara maupun agama .
Kata kunci : Kewenangan, LPPOM MUI, sertifikasi halal, UU No.33 Tahun
2014
Pembimbing : Dr.H.Ahmad Mukri Aji, MA
Datar Pustaka : Tahun 1987 s/d Tahun 2011
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penyusun panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, inayah dan taufiknya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas akhir dalam menempuh studi di
Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW, yang berhasil menyampaikan risalahnya kepada umat
manusia di seluruh dunia, pendobrak revolusi akbar dalam peradaban sosial
kehidupan kita yang kita harapkan syafaatnya kelak di akhirat.
Selanjutnya dalam proses penyusunan skripsi ini, penyusun tidak berdiri
sendiri. Dalam arti, penyusunan banyak mendapatkan kontribusi dari pihak-pihak
lain. Untuk itu, penyusun menghaturkan ribuan terima kasih kepada:
1. Allah SWT dan Rasul Nya yang selalu memberikan nikmat dan hidayah-
Nya kepada seluruh hamba nya, serta menjadi tauladan bagi ummat Nya.
2. Kepada orang tua penulis, ayahanda Abu Hasan dan ibunda Suryani
beserta kedua adik ku tercinta (A,Chandrika Jaya Kusuma dan Intan
Kesuma Ayu), Abang, saudara, serta semua keluarga besar penulis Di
lampung, terima kasih atas do’a, dukungan serta motivasi nya baik secara
moril maupun materil. dengan do’a yang kalian panjatkan akhirnya
penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik.
vi
3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.si Selaku pembimbing Akademik
yang selalu memberikan inspirasi dan motivasi penuh kepada penulis,
sehingga penulis mampu menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik.
4. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar ,MA Selaku dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Dr. Khamami Zada ,MA dan ibu Siti Hana MA ,Selaku Kepala
Jurusan Dan sekretaris jurusan Pebandingan Madzhab dan Hukum yang
telah membantu banyak hal kepada penulis.
6. Bapak Dr.H.Ahmad Mukri Aji ,MA Selaku dosen pembimbing dalam
penyusunan skripsi ini, yang telah memberikan banyak masukan dan
arahan kepada penulis. serta ikhlas meluangkan waktunya untuk
membimbing serta memberikan arahan dan masukan yang bersifat
membangun kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. semoga apa
yang telah diberikan dapat bermanfaat dan mendapat ganjaran dari allah
swt,amin ya rabbal alamin.
7. Pimpinan , Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah
dan Hukum Unuversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk mengadakan studi
kepustakaan.
8. Para dosen Fakultas Syaria’ah dan Hukum, para Guru. Asatidz dan
asatidzah yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, namun tidak
mengurangi rasa hormat penulis kepada antum semua selaku pendidik
vii
kami. yang telah mendidik penulis baik secara langsung atau tidak,
terimakasih telah membantu pemahaman penulis selama study.
9. Kepada pihak Lembaga Pengkajian Pangan Obat Obatan dan Kosmetika
Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) atau Majelis Ulama Indonesia
(MUI) pusat beserta stafnya dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dan
Dewan Perwakilan Rakyat( MPR & DPR ) yg telah meluangkan waktu
dan mengizinkan, serta memberi kemudahan penulis untuk melakukan
Penelitian dalam Tugas Akhir ini .
10. Kanda Asep sholahuddin selaku senior saya di fakultas syari’ah dan
hukum sekaligus Ketua umum HMI cabang CIPUTAT periode 2013/2014,
Kanda Ridho Akmal Nasution Direktur LKBHMI cabang CIPUTAT
Periode 2010/2011,yg selalu menjadi inspirasi untuk penulis pribadi atas
kepribadian mereka berdua. Terima kasih kanda , telah mengajarkan saya
arti kekeluargaan, pengorbanan, perjuangan dan solidaritas yang tinggi
terhadap sesama .
11. Kakanda Humaedullah Irpan ,kakanda Ismail Fadilah (imung) ,kanda
Abiyuddin S.H ,kanda irpan pasaribu, kanda Ahmad Masyhud (Dimas)
direktur LKBHMI Periode 2015 ,kanda Fariz Abdurrahman, kanda
Muhammad Roies, kanda A.Zaki Al Fajri Nas ,kanda Kevin Dea Putra
,kanda Husnul Qari,yunda Sena Siti Arafiah S.sy ,Alan Novandi ,Abdul
Gopur ,Lisanul Fikri ,Muhammad irfan ,Asmu’I S.sy ,Taslim Aditiya
,A.Chaesal Regia, serta kawan kawan seperjuagan lainnya ,yg tidak bisa
saya sebutkan satu persatu ,namun tidak mengurangi rasa hormat saya
viii
kepada kawan kawan semuanya . terimakasih kawan kawan ,Kebersamaan
dan perjuangan kita selama ini akan menjadi SEJARAH yang tak ternilai
Harga nya .
12. Kawan-kawan dan Adik-adik Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Khususnya Komisariat Fakultas Syari’ah dan Hukum,dan umum nya HMI
se-CABANG CIPUTAT, pengurus Badan Pengelola Latihan (BPL) HMI
Cabang Ciputat ,kanda Muhammad Adam ,kanda Aco ,kanda Wawan ,
kanda bryan, kanda Fikri Abdillah, kanda Andri, yang selalu membuat
penulis menjadi bersemangat dalam segala hal, dari kalian saya belajar
militansi dan solidaritas yang tinggi terhadap organisasi dan sesama.
Semoga Kita dipertemukan kembali dilain waktu dan kesempatan . Salam
INSTRUKTUR .
13. Kepada Puakhi Himpunan Mahasiswa Lampung (HML) tangerang
Selatan ,abang juned ,abang dayat, abang uchal ,abang indra hadi ,Saudara
Abdurrahman (bhe’el) selaku Ketua umum periode 2013/2014,adinda
Rahmat Ramdhani, (ketua umum HML terpilih 2015) Muhammad Afif
,Glamora lionda ,Pakuan ,Meiriza ,Rahmalia, Redno, Azriyani,
Nursolehah ,Lely , Syifa Conita, hanny , Zekha, Ilham Harsya ,suhendra ,
Zakia Nisa ,Libom, ipul, Radi , Merina Tri Okta ,Ecil , Mar’atu Sholehah
,Brilliant Al Tamin Al Deri,ibnu Nugraha Aris ,ryan dan puakhi yang lain
nya yg tidak bisa penulis sebutkan satu persatu .terimakasih telah memberi
semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. dari kalian saya
belajar arti persaudaraan .Semoga Allah SWT mengizinkan semua mimpi-
ix
mimpi kita menjadi nyata puakhi, dan semoga kita dipertemukan kembali
di mana tempat dan suasananya yang berbeda . amien yaa rabbal ‘alamin .
14. Kepada kawan kawan HMI,PMII ,IMM ,GMNI beserta Organ ekstra dan
organ intra kampus UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA ,
terimakasih telah menjadi warna dalam dunia kampus di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, perbedaan bukan lah kendala untuk kita menjadi
Organisatoris sejati . dari perbedaan kita bisa bertukar fikiran dan
argument, Terimakasih telah memberi pelajaran kepada penulis pribadi
tentang apa itu DEMOKRASI . semoga kita dapat berjumpa kembali di
lain kesempatan dan waktu .
15. Kepada kawan-kawan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan
Hukum (BEM-FSH) diaz islami noor (presiden dema FSH periode
2015),dan Humaidi (Selaku wakil dema FSH periode 2015), Ketua HMPS
,fawwazul haqqie, ella lazim,Avicenna, Nurul Rizkillah pomalingo,
Muhammad Yusuf, Rhomi Prayoga , Kamilina khidmati ,budiarti
,budiman, adik adik Ilmu Hukum ,PMH ,SJS ,SAS,dan MUAMALAT
Angkatan 2014 ,yg selalu ada saat penulis membutuhkan sesuatu ,
terimakasih kawan kawan. Pertemanan kita tidak sampai disini . semoga
kita berjumpa dilain waktu dan tempat yang berbeda .
16. Terimakasih kepada Annisa fauziah yg selalu memberi semangat kepada
penulis dalam penulisan skripsi ini .
17. Semua teman-teman Perbandingan Hukum angkatan 2010, laka ramadhan
Mubarok,Ramdhani, ilyas , wiwin ,dayat, Aidz , fanny , ramdhani dan
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ............................................................ 5
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ........................................... 6
D. Metode Penelitian................................................................................. 7
E. Review Studi Terdahulu ....................................................................... 12
BAB II PENGERTIAN HALAL DALAM ISLAM
A. Halal dan Haram dalam Islam .............................................................. 15
B. Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk Perlindungan Ummat Islam ............ 25
C. Penentuan Kehalalan dalam Hukum Islam .......................................... 33
BAB III PROFILE LEMBAGA
A. Sejarah LPPOM MUI ........................................................................... 35
B. Tugas dan Fungsi LPPOM MUI .......................................................... 42
C. Sistem dan Prosedur Sertifikasi Halal MUI ........................................ 46
D. Kewenangan Penentuan Jaminan Produk Halal ................................... 48
xii
BAB IV LEMBAGA SERTIFIKASI HALAL PASCA UU NO. 33/ 2014
A. Lembaga Sertifikasi Halal dalam UU No.33 tahun 2014 .................... 53
B. Kewenangan dan Kedudukan LPPOM MUI Pasca UU No. 33 Tahun
2014 ...................................................................................................... 68
C. Prospek Sertifikasi Halal di Indonesia ................................................. 73
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 82
B. Saran .................................................................................................... 83
DAFTAR PUSATAKA .................................................................................. 84
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan, manusia membutuhkan makanan sehari-harinya.
Mereka membutuhkan makanan untuk kebutuhan dan kesehatan jasmani serta
rohaninya. Sejak dahulu ummat dan bangsa-bangsa ini berbeda-beda dalam
persoalan makanan dan minuman ,apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh.1Dalam memilih makanan yang baik, hendaknya sebagai ummat muslim
memilih makanan yang sehat menurut Islam. Dalam ajaran islam banyak
peraturan yang berkaitan dengan “makanan”, dari mulai mengatur makanan
yang halal dan haram, etika makanan, sampai mengatur idealitas dan kuantitas
di dalam perut. Salah satu peraturan yang terpenting adalah larangan
menkonsumsi makanan atau minuman yang haram. Mengonsumsi yang haram
atau belum diketahui kehalalannya akan berakibat serius, baik di dunia
maupun di akhirat kelak. Sebagaimana hadis yang artinya,” setiap daging yang
tumbuh yang diperoleh dari kejahatan (jalan haram), makan neraka lebih layak
baginya.” (HR. Imam Ahmad)2
Seruan Allah kepada umat manusia agar menkonsumsi makananan
yang halal lagi baik dan menyehatkan tidak lain adalah demi tercapainya
kemaslahatan bagi umat manusia itu sendiri dalam Al Qur’an dituliskan:
1.Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram (Jakarta: Rabbani Pers,2002), h.45
2 Ahmad bin Hambal, Kitab Musnad Ahmad, Muassasah Qurthubah, Kairo, Jilid: 3 hal.
399, No hadits : 15319
2
يا أيها الناس كلوا مما في األرض حالال طيبا وال تتبعوا خطوات الشيطان إنه لكم عدو مبين
(البقرة سورة : : ٨٦١( ٢
Artinya : ”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-
langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagimu.”(QS Al-Baqarah: 2 :168).
Hikmah dibalik perintah itu adalah agar agama, jiwa, akal serta
keturunan dan harta dapat terjaga dan terpelihara dengan baik. Dengan
terjaganya kemaslahatan tersebut seorang mukallaf diharapkan akan sanggup
menjalankan tugasnya sebagai khalifah dimuka bumi ini dan akan
memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dewasa ini, isu tentang produk makanan dan minuman yang
diharamkan dan berbahaya sedang mendapatkan perhatian masyarakat.
Produk-produk makanan instan, makanan cepat saji, restoran sampai jajanan
pasar merupakan hal yang rawan dicemari oleh jenis makanan yang tidak halal
baik dari segi bahan, maupun prosesnya.3 Tuntutan konsumen akan produk
halal belakangan memang semakin kritis, mereka tidak sekedar menuntut
produk yang higienis dan terjamin kandungan gizinya, tetapi bagi yang
muslim, salah satu yang menjadi konsen mereka adalah juga kehalalannya dan
label halal pun menjadi ketentuan ,makanan tersebut dapat dikonsumsi atau
tidak.
3Diana Candra Dewi, Rahasia Dibalik Makanan Haram (Malang: UIN-Malang,2007), h. iii
3
Melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Agama RI Nomor 518 tanggal
30 November 2001 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan
Halal, pemerintah kembali berusaha menerapkan labelisasi halal pada produk
makanan dan minuman. Keputusan tersebut disusul dengan SK 519 Tahun
2001 yang menunjuk Majelis Ulama Indonesia (MUI)4 sebagai lembaga
pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal dan dikemas untuk
diperdagangkan. Selain itu, melalui SK Nomor 525 Tahun 2001, Menteri
Agama juga menunjuk peran percetakan Uang Republik Indonesia (PERURI)
untuk mencetak label halal yang nantinya akan diberikan kepada produk yang
dinyatakan halal oleh MUI.5
Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan
suatu produk sesuai dengan syariat Islam.6 Sertifikat halal ini merupakan
syarat untuk mencantumkan label halal sehingga suatu produk layak untuk
dikonsumsi oleh konsumen muslim . Pelaku usaha harus memenuhi syarat
tertentu dan melewati serangkaian proses yang telah ditetapkan oleh MUI
untuk memperoleh sertifikat halal. Setelah memperoleh sertifikat halal,
pelaku usaha memperoleh label halal dari MUI untuk kemudian dicantumkan
pada label produknya. Sertifikat halal ini hanya berlaku untuk jangka waktu
tertentu dan pelaku usaha harus melakukan perpanjangan untuk memperoleh
sertifikasi kehalalan produknya kembali.
4 Selanjutnya penulis menggunakan singkatan MUI untuk menyebutkan Majelis Ulama
Indonesia 5 Diana Candra Dewi, Rahasia Dibalik Makanan Haram (Malang: UIN-Malang,2007), h.iii
6 Wiku Adi sasmito Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam Labeling Obat
dan Makanan” dalam Studi Kasus: Analisis Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia, 2008, hlm. 14.
4
Dalam proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh MUI dalam
menentukan makanan mana yang dapat dan tidaknya di konsumsi, maka
makanan tersebut harus memenuhi syarat kehalalanya. Selain itu juga dalam
sertifikasi halal ini MUI menerapkan tarif untuk setiap makanan yang akan
diberikan sertifikat halal. Biaya tarif yang diterapkan oleh MUI dalam setiap
sertifikasi produk berkisar antara 3/4 juta rupiah. Biaya ini dirasakan cukup
mahal untuk dikeluarkan terutama bagi kalangan menengah ke bawah.
Predikat halal yang pada dasarnya merupakan ketentuan hukum islam
yang memiliki tujuan untuk melindungi dan menjaga kemaslahatan umat dari
perbuatan diluar hukum Islam. Namun sayang nya hal tersebut telah dijadikan
peluang untuk meraih keuntungan dengan dijadikannya sebagai objek bisnis.
Oleh karena itu kewenangan MUI ini telah menjadi bahan perbincangan yang
serius di Parlemen.
Peraturan Perundang Undangan di Indonesia menjamin Setiap
konsumen berhak untuk memperoleh informasi tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan suatu produk. Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal
4 butir c UU Perlindungan Konsumen; bahwa konsumen berhak atas informasi
yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau
jasa. Hak atas informasi ini sangat penting karena jika informasi yang
diberikan kepada konsumen tentang suatu produk tidak memadai, maka dapat
5
merupakan salah satu bentuk cacat produk, yakni disebut dengan cacat
instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai7.
Untuk itu penulis ingin memaparkan dalam skripsi ini tentang undang
undang sertifikasi halal yang sudah di sahkan oleh pemerintah, UU No.33
tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), kesesuaian ndengan
hukum Islam, Serta Kewenangan lembaga penjamin produk halal menurut
ketentuan Undang Undang No. 33 tahun 2014.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis ingin meneliti dan
membahasnya dalam skripsi yang berjudul: “KEWENANGAN LPPOM
MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI HALAL PASCA
BERLAKU NYA UU NO. 33 TAHUN 2014’’
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Untuk menghindari terlalu luasnya pembahasan dalam skripsi ini,
penulis hanya memokuskan pada masalah Undang-Undang Sertifikasi halal
yang sudah di sahkan di DPR RI pada tahun 2014 dalam kajian hukum islam
dan kewenangan LPPOM MUI dalam UU No. 33 Tahun 2014.serta Prospek
sertifikasi halal di Indonesia.
Oleh karena itu rumusan masalah yang dikaji dalam perumusan
masalah penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Kewenangan LPPOM MUI pasca Undang-Undang No. 33
Tahun 2014 ?
2. Bagaimana Prospek Sertifikasi halal di Indonesia ?
7Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet ke-7, Edisi ke-1,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 41.
6
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan penelitian ini, adalah sebagai berikut:
a. Untuk mendeskripsikan halal dan haram dalam pandangan agama
islam.
b. Untuk menjelaskan kewenangan LPPOM MUI dalam Undang-
Undang No. 33 tahun 2014.
c. Untuk mengetahui bagaimana prospek sertifikasi halal di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Penulis berharap penulisan skripsi ini dapat memberi manfaat
sebagai berikut:
a. Bagi penulis yaitu untuk menambah wawasan sekaligus
pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan produk halal.
b. Secara praktis yaitu untuk mengetahui batasan-batasan
pengkonsumsian yang benar dan halal untuk menambah keyakinan
kepada konsumen terutama terhadap umat Islam dalam mengonsumsi
sesuatu.
c. Secara teoritis untuk mengetahui kewenangan LPPOM MUI dalam
Undang Undang No.33 tahun 2014.
d. Bagi akademisi, yaitu upaya menambah khazanah pengetahuan bidang
hukum Islam, khususnya yang berkenaan dengan lembaga penjamin
produk halal .
7
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini adalah metode-metode yang dapat mempermudah dalam penelitian
yaitu sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Hukum Normatif Tertulis,Metode
Penelitian Hukum Normatif Tertulis adalah metode penelitian hukum
terhadap aturan hukum yang tertulis. Pada penelitian hukum Normatif,
peraturan perundangan yang menjadi objek penelitian menjadi sumber data
primer dalam penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian hukum tertulis
yang dilakukan peneliti adalah melakukan pengumpulan bahan-bahan baik
yang terpublikasi atau tidak yang berkenaan dengan bahan hukum positif
yang dikaji dengan terkumpulnya bahan-bahan tersebut maka akan mudah
melakukan sistematisasi dan analisis selanjutnya.
Bahan pustaka lain yang merupakan berhubungan dengan tema
walaupun menjadi dasar yang dalam ilmu hukum digolongkan sebagai
data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang
sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi ,buku-buku harian, buku-
buku, UU JPH, SK kemenag, LPPOM MUI, UU Perlindungan Konsumen,
buku buku yang berkenaan tentang halal dalam islam, Risalah Sidang,
sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah.
adapun data sekunder, sebagai berikut:
1. Surat Kabar .
8
2. Opini yang Berhubungan Tentang Halal / JPH di indonesia
3. LPPOM MUI
Dengan adanya data sekunder tersebut ,seorang peneliti tidak perlu
melakukan penilaian sendiri.
Metode penelitian Hukum Normatif dapat berupa :
a. Sinkronisasi Hukum
Penelitian normatif memiliki 2 (dua) bentuk ,yaitu horizontal dan
Vertikal. Dalam kedua bentuk penelitian tersebut, penelitian
sinkronisasi hukum meneliti bagaimana hukum positif tertulis yang
ada dalam peraturan perundangan yang ada di Indonesia sesuai.
Hal itu dapat ditinjau secara vertical, yakni apakah perundang-
undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak
saling bertentangan, apabila ia dilihat dari segi hirarki perundang-
undangan tersebut. Mengenai penelitian ini, dapat di pergunakan
sebagai titik tolak tata urutan peraturan perundangan Republik
Indonesia:
9
Bagan No. 01Tentang Dasar Hukum
Hirarki peraturan perundangan yang ada di Indonesia
sebagaimana yang termaktub dalam UU No.12 Tahun 2012, Pasal 7
ayat 1. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan tersebut
adalah sesuai dengan hirarki. Dengan kata lain tidak boleh ada
pertentangan dari bawah .inti kajian pada sinkronisasi vertical ada
pada taraf peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan peraturan
perundangan di atasnya, misalnya UU dengan UUD 1945. Hal ini
sesuai dengan sistem konstitusi Indonesia yang menjelaskan bahwa
peraturan perundang-undangan yang tertinggi menjadi dasar dan
sumber bagi semua peraturan perundangan yang ada dibawahnya .
Berbeda dengan sinkronisasi Horizontal, dimana yang dikaji
adalah perundang-undangan yang setingkat dengan tingkatan
peraturan perundangan. Dengan kata lain penelitian sinkronisasi
horizontal, yang ditinjau adalah perundang-undangan yang sederajat
yang mengatur bidang yang sama atau bidang yang bersentuhan.
UU DASAR TAHUN 1945
UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU)
Peraturan Daerah Propinsi
Peraturan Daerah Kabupaten/kota
Peraturan pemerintah desa
10
misalnya, antara UU perlindungan konsumen dan jaminan produk
halal.
b. Perbandingan Hukum
Kemajemukan hukum yang ada di Indonesia dimana ada Hukum
islam , Hukum Adat ,dan tentunya hukum positif . hal ini Sangat
menarik untuk dikaji dengan metode perbandingan hukum menjadi
suatu alternatif kajian.Kajian perbandingan hukum ini dapat dilakukan
terhadap sistem hukum yang mencakup 3 unsur pokok8
1. Struktur hukum yang mencakup lembaga-lembaga Hukum
2. Substansi hukum yang mencakup perangkat kaidah prilaku
3. Budaya hukum yang mencakup ,bagaimana hukum itu diperlakukan .
Dengan melihat pokok system hukum tersebut maka penelitian
perbandingan hukum tidak hanya dilakukan secara normatif belaka.
Karena membutuhkan kajian sosial lain untuk memahami mengapa
perbedaan itu terjadi dan dampak yang di akibatkan.9
2. Sumber Data Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis memperoleh data penelitian dari
berbagai sumber, sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu sumber penelitian yang diperoleh
secara langsung dari sumber asli. Sumber bahan hukum primer dapat
8 Fahmi Muhammad Ahmadi,M.Si, Dr.jaenal Aripin, M.Ag Metode Penelitian Hukum,
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet ke-1, Jakarta tahun.2010 9 Fahmi Muhammad Ahmadi,M.Si, Dr.jaenal Aripin, M.Ag Metode Penelitian Hukum,
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet ke-1, Jakarta tahun. 2010 hal. 38-41
11
berupa opini subjek (orang) secara individu atau kelompok, hasil
observasi atau kegiatan dan hasil pengujian. Dalam hal ini peneliti
mengambil sumber hukum primer melalui:
1). Pedoman sertifikasi halal MUI
2). Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari
bahan kepustakaan.10
Bahan hukum terdiri atas buku-buku
(textbooks), jurnal-jurnal hukum dan hasil-hasil simposium yang
berkaitan dengan topik penelitian ini.11
Perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia UU Perlindungan Konsumen .
c. Bahan Hukum Terster
Bahan hukum terster adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.12
3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian
Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
menggunakan studi pustaka (Library Research) yaitu penulis melakukan
10
Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),
h. 94 11
Amirudin, H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004) , h.30 12
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Noormatif (Malang : Bayu
Media Publishing, 2008), h.294
12
pengumpulan data dengan cara menelusuri buku-buku dan literatur-
literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
4. Pengolahan dan Analisa Data
a. Metode Induktif yaitu suatu cara menganalisa yang bertitik tolak dari
data yang bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat
umum.
b. Metode deduktif, yaitu logika yang bertitik tolak dari pengetahuan
yang bersifat umum, kemudian dijadikan titik tolak yang menilai suatu
fakta yang bersifat khusus atau konkrit.
5. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah
diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Jakarta 2012.
E. Riview Study Terdahulu
No Identitas Subtansi Perbedaan
1. Mahwiyah,
Konsentrasi
Perbankan Syariah
Fakultas Syariah
dan Hukum. 2010.
“Pengaruh
Labelisasi Halal
Terhadap Terhadap
Keputusan
Pembelian
Konsumen.”
Skripsi ini membahas
bagaimana persepsi
atau pandangan
masyarakat (konsumen)
terhadap label halal
pada suatu prodak
makanan dan juga
membahas mengenai
pengaruh label halal
terhadap keputusan
konsumen (dosen
Fakultas Syariah dan
Hukum) dalam
membeli produk
makanan.
Perbedaan dengan
penelitian yang penulis
lakukan, penulisn
membahas mengenai
bagaimana prosedur dan
persyaratan sertifikasi
halal oleh MUI dan
bagaimana kesesuaian
sertifikasi halal MUI
dengan ketentuan pada
Maqasid Syariah.
13
2.
Hasyim As’ari,
Konsentrasi
Perbandingan
Mahzab Fikih
Fakultas Syariah
dan Hukum. 2011.
“Kriteria Sertifikasi
Makanan Halal
Dalam Perspektif
Ibn Hazm dan
MUI.”
Skripsi ini membahas
mengenai kriteria atau
persyaratan dalam
pemberian halal oleh
MUI dan kriteria halal
menurut pendapat ibn
Hazm.
Perbedaan dengan
penelitian yang penulis
lakukan, penulisn
membahas mengenai
bagaimana prosedur dan
persyaratan sertifikasi
halal oleh MUI dan
bagaimana kesesuaian
sertifikasi halal MUI
dengan ketentuan pada
Maqasid Syariah.
3. Zuriah binti
Semoni,
Konsentrasi
Jinayah Siyasah
Fakultas Syariah
dan Hukum.2013.
”Implementasi
Aturan Produk
Halal di Malaysia
Berdasarkan Akta
730 Perihal
Dagangan 2011”
Skripsi ini membahas
mengenai peranan
Jakim di Malaysia dan
Bagaimana Pelaksanaan
dan Penerapan Akta
730 Perihal Dagangan
2011.
Perbedaan dengan
penelitian yang penulis
lakukan, penulisan
membahas mengenai
bagaimana prosedur dan
persyaratan sertifikasi
halal oleh MUI dan
bagaimana kesesuaian
sertifikasi halal MUI
dengan ketentuan pada
Maqasid Syariah.
F. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah, maka penulisan
skripsi ini disusun dalam lima bab, setiap bab terdiri dari sub-sub bab sebagai
berikut: BAB I Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah,
pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode
penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penulisan.
BAB II Dasar hukum diantaranya membahas Halal dan haram dalam
Islam. Sertifikasi halal sebagai bentuk perlindungan umat Islam. Penentuan
Kehalalan dalam hukum Islam.
BAB III Tinjauan umum mengenai Sejarah LPPOM MUI, Tugas dan
Fungsi LPPOM MUI. Kewenangan penentuan jaminan produk halal.
14
BAB IV lembaga sertifikasi pasca Undang-Undang No. 33 Tahun
2014: Lembaga Sertifikasi Halal dalam UU No. 33 Tahun 2014, Kewenangan
dan Kedudukan LPPOM MUI Pasca UU No 33 Tahun 2014, Prospek
Sertifikasi Halal Di Indonesia, Lembaga Sertifikasi Halal dalam Undang
Undang No. 33 tahun 2014, kewenangan dan kedudukan LPPOM MUI Pasca
Undang Undang No. 33 Tahun 2014.
BAB V Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
15
BAB II
PENGERTIAN HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM
A. Halal Dan Haram Dalam Islam
Halal adalah sesuatu yang (diperkenankan) atau boleh dikonsumsi, yang
terlepas dari ikatan larangan, dan dizinkan oleh pembuat syari‟ah untuk
dilakukan.1 Halal juga diartikan sesuatu yang jika digunakan tidak mengakibatkan
mendapat siksa (dosa).2 Sedangkan, haram adalah sesuatu yang dilarang oleh
pembuat syari‟at dengan larangan yang pasti, dimana orang yang melanggarnya
akan dikenai hukuman di akhirat, dan ada kalanya dikenai hukuman juga di
dunia.3
Hukum Islam mencakup berbagai dimensi abstrak dan dimensi konkret.
Dalam wujud memola yang bersifat ajeg dikalangan orang Islam sebagai upaya
untuk melaksanakan Titah Allah dan Rasulnya itu lebih konkret lagi, dalam wujud
prilaku manusia (amaliah), baik individual maupun kolektif, hukum Islam juga
mencakup substansi yang terinternalisasi ke dalam berbagai pranata sosial.
Dimensi dan substansi hukum Islam itu dapat disilang yang kemudian disebut
hukum islam dan pranata sosial 4 .
Terdapat catatan berkenaan dengan pengidentifikasian hukum Islam
dengan fiqh, atau sebaliknya. Hal itu mengundang berbagai komentar, bahkan
kecaman, terutama dari kalangan sarjana hukum yang memiliki kepedulian
1 Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram (Jakarta: Rabbani Pers, 2002), h.13
2 Ma‟ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas Jakarta, 2011) Cet. Ke-
3. h. 313 3 Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram(Jakarta: Rabbani Pers, 2002), h.13
4 Cik Hasan Bisri, Pilar Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada 2004), h.38
16
terhadap perkembangan hukum Islam di Indonesia. Sebagai contoh seperti
dikemukakan Mohammad Daud dan Yahya Harahap, ketika membahas tentang
beberapa masalah hukum Islam, yang berkenaan dengan diundangkan dan
berlakunya Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,5
menyatakan, bahwa manakala membicarakan hukum Islam, apakah yang
dimaksud syari‟at Islam itu adalah fiqih Islam?. Syari‟at Islam adalah hukum
islam yang berlaku abadi sepanjang masa. Sedangkan fiqh adalah perumusan
konkret syari‟at Islam untuk diterapkan pada suatu kasus tertentu pada tempat dan
suatu masa. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan.
Hal yang serupa dikemukakan oleh Harahap, ketika menyampaikan
informasi tentang latar belakang penyusunan dan perumusan hukum Islam (KHI),
yang menyatakan adanya kerancuan pemahaman dan penghayatan masyarakat
Islam Indonesia selama ini. Kerancuan itu tidak terbatas pada masyarakat awam
tetapi meliputi kalangan ulama dan lingkungan pendidikan serta perguruan–
perguruan tinggi Islam. Mereka selalu mengindentikan “fiqih” dengan “syariah”
atau “hukum Islam”. Pengindentikan fiqih dengan hukum Islam telah melahirkan
kekeliruan penerapan yang sangat keterlaluan. Dalam menghadapi penyelesaian
kasus-kasus perkara di lingkungan peradilan agama, para hakim menoleh pada
kitab – kitab fiqih.6 Rujukan utama mereka pada kitab-kitab fiqih ulama mazhab.
7
5 Dapat dibaca tulisan Muhammad Daud Ali 1990 : 28 , dalam buku Cik hasan bisri, Pilar-
Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : PT. Raja grafindo persada 2004) 6 Cik hasan bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : PT. Raja
grafindo persada 2004), h.39 7 Tulisan M. Yahya Harahap, Cara lengkap, dapat dibaca dalam Cik Hasan Bisri
(Penyunting), Komplikasi Hukum Islam Tentang Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum
Nasional, Logos Wacana Ilmu, 1999, hal 21-97
17
Catatan kedua, berkenan dengan fiqih sebagai salah satu dimensi hukum
Islam dan sebagai Ilmu hukum. Secara umum fiqh didefinisikan sebagai ilmu
tentang hukum syara‟ yang bersifat amaliah yang diperoleh melalui dalil – dalil
yang rinci 8 Namun juga diartikan sebagai kumpulan hukum tentang hal yang
bersifat praktis yang digali dari dalil yang rinci9, sebagaimana dikemukakan oleh
„Abd Wahab Kallaf. Apabila fiqih didefinisikan sebagai ilmu, maka dinyatakan
secara deskriptif. Bahwa Ia merupakan wacana intelektual dengan menggunakan
cara berfikir tertentu, tentang penataan kehidupan manusia. Apabila
diindentifikasi sebagai hukum merupakan kumpulan hukum, atau sebagai salah
satu dimensi hukum Islam. Yakni produk pemikiran fuqoha yang dijadikan salah
satu dalam penataan kehidupan manusia .10
Menurut Asaf Fyzee, syariah dapat diartikan kedalam bahasa inggris
sebagai canon law of Islam, keseluruhan perintah Allah. Perintah itu dinamakan
hukm (jamaknya ahkam). Sedangkan fiqih atau ilmu hukum Islam adalah
pengetahuan tentang hak-hak dan kewajiban seseorang seagaimana diketahui
dalam Al-Qur‟an dan sunah, atau yang disimpulkan dari keduanya, atau tentang
apa yang telah disepakati oleh kaum cerdik pandai. Sementara itu menurut „Abd
Al-„Ati, hukum Islam mempunyai fungsi ganda, yaitu fungsi syariah dan fungsi
fiqih. Syariah merupakan fungsi kelembagan yang diperintahkan Allah untuk
dipatuhi sepenuhnya, atau saripati petunjuk Allah untuk perseorangan dalam
8 Al-ilmu bil ahkam assyar‟iyah al-amaliyyah al-mukhtasabu minn adillatiha al tafshiliyah
9 al majmu‟atu al- akhkami assyariyati al-amaliyyati al-mustafaadatu min adillatiha
atafshiliyah 10
Dapat dibaca Tulisan Mohammad Daud Ali dan Yahya Harahap ,dalam buku Cik hasan
bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : PT. Raja grafindo persada
2004)
18
mengatur hubunganya dengan Allah, sesama manusia dan dengan semua mahluk
didunia ini. Sedangkan fiqih produk daya pikir manusia, fiqih merupakan usaha
manusia yang dengan daya intelektualnya mencoba menafsirkan penerapan
prinsip-prinsip syariah secara sistematis.
Berkenaan dengan hal itu, maka fiqih merupakan produk daya nalar
fuqaha, yang di deduksi dari sumber yang autentik kemudan dijadikan patokan
kehidupan yang dikembangkan secara berkelanjutan dalam rentang waktu yang
sangat panjang. Ia disosialisasikan dan memberikan makna Islami terhadap
pranata sosial yang tersedia atau, bahkan, menjadi cikal bakal pranata sosial yang
baru. Produk pemikiran para fuqaha ini sangat besar pengaruhnya di kalangan
umat Islam sehingga terdapat kecendrungan dikalangan mereka bahwa fiqih
indentik dengan hukum Islam dan dapat ditemukan dalam berbagai kitab fiqih dari
berbagai aliran mazhab.11
Dalam tradisi pemikiran fuqaha, pemilahan fiqih memilki dasar yang kuat
dan jelas. Pada awal perumusannya, fiqih mencakup 4 bidang yakni,
Rubu‟ibadah, rubu‟ munakahah, rubu‟ muamalah, dan rubu‟ jinayah. Ia
kemudian dikembangkan kebidang lain, diantaranya fiqih siyasah dan fiqih
qadha‟. Selanjutnya fiqih dijadikan salah satu sasaran pengkajian dalam “pohon
ilmu” agama Islam, dalam lingkungan sekolah, madrasah, pesantren, dan unit
penyelenggara pengkajian Islam diluar penyelenggaraan pendidikan. Bahkan
dalam lingkungan perguruan tinggi agama islam, khususnya pada lingkungan
Fakultas Syariah, fiqih menjadi salah satu bidang keahlian yang dikembangkan
11
Tulisan M. Yahya Harahap, Cara lengkap, dapat dibaca dalam Cik Hasan Bisri
(Penyunting), Komplikasi Hukum Islam Tentang Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum
Nasional, Logos Wacana Ilmu, 1999, hal 21-97
19
dalam beberapa program studi (Akhwal Syaksiyyah, Muamalah, Jinayah dan
Siyasah,serta perbandingan mazhab dan hukum).
Berkenaan dengan kedua catatan di atas diharapkan kedudukan dan posisi
masing-masing menjadi jelas. Dimensi dan subtansi hukum Islam, bagaikan
bentuk dan isi. Gabungan keduanya dipandang sebagai aspek statis hukum Islam.
Sedangkan aspek dinamisnya terlihat dalam proses pemikiran dan interaksi
pengguna hukum Islam dalam kehidupan masyarakat yang amat luas dan rumit,
terutama dalam sistem masyarakat bangsa, baik dalam perspektif masa lalu dan
masa kini maupun prospeknya pada masa datang.
Hukum Islam berpangkal dari keyakinan dan penerimaan terhadap sumber
ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al-Qur‟an dan kitab-kitab hadist.
Kedua sumber itu kemudian dijadikan patokan dalam menata hubungan antar
hubungan sesama manusia dan antar manusia dan mahluk lainnya.
Hukum, sebagai unsur normatif dalam penataan kehidupan, dalam
bentuk dan jenis apapun, berkenaan dengan pengaturan dan kekuasaan.
Sedangkan kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi atau
mengarahkan manusia untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan sesuai
dengan kehendak (perintah atau larangan) yang berkuasa. Berkenaan dengan hal
itu, kekuasaan melekat pada Tuhan, melekat pada manusia dan melekat pada
organisasi masyarakat yaitu negara. Hal itu menunjukan bahwa kekuasaan itu
bervariasi baik graduasinya maupun kawasannya. Oleh karena itu, daya atur,
daya ikat dan daya paksa hukum dalam penataan kehidupan manusia tergantung
pada graduasi kekuasaan yang memproduknya. Ada hukum yang memiliki daya
20
atur dan daya ikat yang longgar dan adapula yang kuat. Disamping itu ada yang
memiliki daya paksa walaupun dalam batas-batas tertentu.
Prinsip dan fungsi hukum Islam dan Hubungannya dengan keyakinan dan
kekuasaan, pada penjelasan diatas, menjukan bahwa hukum, dalam hal ini hukum
Islam, dibangun atas prinsip tawhid „l-lah. dengan prinsip itu, ia memiliki
beberapa fungsi. Pertama fungsi transformasi keyakinan terhadap kekuasaan (al-
qudrah) dan kehendak (al-iradah) Allah dan Rasulnya kedalam nilai-nilai etik dan
moral yang dijadikan rujukan perilaku manusia, baik secara individual maupun
secara kolektif.
Prinsip itu menjadi dasar dan landasan dalam rumusan kaidah hukum
yang mnegatur tentang apa yang harus dilakukan (al-„awamir) dan apa yang
dilarang dan mesti ditinggalkan (al-nawahi) oleh manusia. Kedua, fungsi
mengatur berbagai kehidupan manusia yang diinternalisasikan kedalam pranata
sosial yang tersedia, atau menjadi cikal bakal pranata sosial baru. Ketiga, fungsi
mengikat manakala melakukan transaksi (al-„uqud) diantara manusia, baik antara
individu (al akhwal al syakhshiyyah), maupun antar individu dengan masyarakat
termasuk yang berkenaan dengan hak-hak kebendaan (al-madaniyah), dengan
berpatokan dengan hukum. Keempat, fungsi memaksa manakala ditetapkan oleh
kekuasaan kolektif yang memiliki kelengkapan alat, dalam hal ini penyelenggara
dan aparatur negara, seperti badan peradilan (al- qadha‟).
Berkenaan dengan graduasi dan kawasan hukum Islam dapat dipilah
menjadi beberapa dimensi. Ia merupakan wujud hukum yang relatif konkret,
dibandingkan dengan nilai dan kaidah, dan berhubungan dengan yang
21
memproduknya. Dimensi-dimensi hukum Islam itu adalah: syari‟ah, ilmu, fiqh,
fatwa, nizham, qanun, idarah, qadha, dan adat.12
1. Dimensi syariah
Berdasarkan prinsip dan fungsi di atas, sumber hukum (mashadir al ahkam
atau al-adillah al-syari‟ah) yakni ayat-ayat Al-Qur‟an (kalam Ilahi) mencakup
ayat akidah dan ayat hukum kemudian diimplementasikan dalam sunah rasulullah
(yang didokumentasikan dalam berbagai kitab hadist), dipahami sebagai hukum
Islam. Ia dideduksi dari kedua sumber itu, dengan dasar pandangan bahwa Allah
dan Rosulnya memilki kekuasaan dan bentuk mengatur kehidupan manusia (Al-
Syar‟i) dalam berbagai aspeknya.
Hukum yang didasarkan pada kedua sumber itu dikenal sebagai syari‟ah.
Ia merupakan dimensi hukum Islam yang utama, yang menjadi sumber dalam
pembentukan dan pengembangan hukum Islam dimensi lainnya, dan menjadi
patokan dalam mengarahkan dan memberi makna terhadap berbagai pranata
sosial. Ia bersifat universal dan abadi, memilki daya atur dan daya ikat terhadap
orang-orang yang beriman dan ia menjadi rujukan serta tolak ukur bagi dan
terhadap hukum Islam dalam dimensi lainnya.
2. Dimensi Ilmu
Upaya untuk mengeluarkan hukum (istinbath al-ahkam) dari kedua
sumber diatas, disusun berbagai perangkat dengan menggunakan cara berpikir
tertentu, terutama cara berpikir logis. Dengan mengacu kepada kedua sumber
hukum diatas, disusun dan metode dan alat memahami ayat dan hadis hukum.
12
Sebagai Bahan Perbandingan: menurut Sunayati Hartono (1997: 246-247). Terdapat arti
tentang hukum yakni: 1.Peristiwa hukum, 2.Kaidah Hukum 3.Pranata Hukum 4.Lembaga Hukum
5.Badan hukum 6.Keputusan Hukum (Pengadilan) 7.Petugas hukum 8.Profesi hukum.
22
Oleh karena itu, dikenal hukum Islam dalam dimensi pengetahuan ilmiah (al-„ilm)
postulat yang digunakan bahwa ulama yang menyusun dan merumuskannya,
memiliki kekuasaan (baca: otoritas atau kompetensi) ilmiah di bidang hukum
Islam.
Oleh karena dimensi hukum Islam sangat lentur, maka daya atur dan daya
ikat amat longgar. Hukum Islam dalam dimensi pengetahuan ilmiah memiliki
unsur-unsur subtansi, informasi dan metode sebagai penyangga utamanya. Ia
menjadi bagian sistem keilmuan yang bersifat universal dan otonom, tanpa terikat
oleh sistem sosial manapun. Ia seolah-olah anti struktur, dan hanya menjadi
konvensi dikalangan komunitas ilmiah (ulama). Termasuk dalam dimensi ini,
falsafah hukum, ilmu ushul fiqh,13
ilmu fiqh dan tarikh tasyri‟ yang belakangan
ini dapat diindentikan dengan apa yang disebut sebagai sejarah sosial hukum
islam.
3. Dimensi Fiqh
Salah satu hukum islam yang dikenal di masyarakat, baik umat Islam
maupun komunitas ilmiah adalah fiqh. Ia merupakan produk penalaran fuqaha
yang dideduksi dari sumber (ayat Al-Qur‟an dan teks hadis) yang otentik. Produk
pemikiran mereka didokumentasikan dalam berbagai kitab fiqih yang disusun
secara tematik dan mencakup berbagai bidang kehidupan. Mulai dari thaharah
sampai jihad. Ia dapat diidentifikasi sebagai kumpulan hukum yang bersifat
praktis (amaliah atau terapan).
13
Mahdi Fadhl„i-Lah(1987:5) mengindentikan ilmu ushul fiqh dengan ilmu mantiq syar‟I
dengan mengadaptasi ilmu mantiq Aristoteles.
23
Sementara itu, menurut al-„Asymawi, fiqih memiliki beberapa
karakteristik. Pertama, selalu disajikan sebagai suatu yang unik, yang tidak dapat
dibandingkan dengan kebudayan-kebudayan lain. Tetapi sebetulnya fiqih sangat
dipengaruhi oleh hukum yurisprudensi Romawi-Bizantium.
Kedua, mula-mula fiqih berkembang secara kasuistis, tanpa rencana dan
sistem, karena itu tidak mempunyai teori tentang hukum, politik atau ekonomi
selain yang dikembangkan oleh imam syafi‟i. Ketiga, fiqih kurang memberi
kebebasan kepada fuqaha karena situasi-situasi politik sepanjang sejarah Islam.
Keempat, ada kekurangan indenpendensi ijtihad, disebabkan oleh banyak faktor
luar. Keadaan ini memaksa fuqaha untuk tidak mencari pendapat baru tetapi
mencari hilah. Kelima, pembaruan hanya terbatas pada pemilihan terhadap
pendapat-pendapat dalam berbagai mazhab, pandangan yang mengindentikkan
fiqih dengan hukum Islam.
Pandangan yang mengindentikan fiqih dengan hukum Islam, sebagaiman
dikemukakan di atas, ditunjang oleh beberapa hal:
a) Berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadis yang terantum secara eksplisit dan otentik.
b) Tersusun secara tematik. Mencakup unsur hukum taklifi dan hukum wadh‟i.
c) Mencakup berbagai bidang kehidupan manusia, disertai dengan kaifah
masing-masing dalam berbagai hal pararel dengan pertumbuhan dan
perkembangan pranata sosial.
24
d) Bersifat praktis („amaliyah) sehingga mudah diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Fiqh dijadikan rujukan dalam menghadapi maslah hukum yang
memerlukan pemecahan segera.14
e) Terdokumentasi dalam kitab-kitab fiqih, yang tersebar pada berbagai mazhab.
f) Diajarkan dalam berbagai lingkungan.
4. Dimensi Fatwa
Dimensi lain dari hukum Islam itu adalah fatwa ulama (al ifta). Ia
merupakan respon ulama atas pertanyaan yang diajukan. Salah satu ciri fatwa
adalah kasuistis dan parsial. Berkenaan dengan hal itu, fatwa tidak memiliki daya
ikat bagi penataan kehidupan manusia, termasuk bagi pemohon fatwa itu sendiri,
hanya mengikat secara moral. Namun demikian, kebutuhan terhadap fatwa
semakin meningkat berkenaan dengan munculnya berbagai masalah dalam
kehidupan masyarakat.
Fatwa-fatwa MUI misalnya, merupakan respon ulama terhadap
perkembangan pranata-pranata sosial di Indonesia, berkenaan dengan perubahan
sosial yang dirancang secara nasional 15
. Penelitian tentang fatwa Muhamadiyyah
dan Nadlatul Ulama dapat disimak dalam tulisan Rifyal Ka‟bah16
. Sedangkan
penelitian tentang fatwa Persatuan Islam dalam tulisan Dede Rosyada17
.
Disamping itu dikenal berbagai himpunan dan pembahasan tentang fatwa,
diantaranya dihimpun dalam Muhimmat al-Nafais fi Bayan As‟ilat Al hadits.18
14
Yusuf Qhardawi ,Halal dan Haram , cetakan 1995 15
Lihat tulisanMuhammad Atho Mudzhar. 1993:83-84 16
Lihat Tulisan Rifyal Ka‟bah 1999 17
Lihat tulisan Dede Rosyada (1999) 18
Lihat tulisan Nico Kaptein : 1997
25
Dewasa ini, ketika produk industri makanan, minuman, dan kosmetika
dilakukan secara besar-besaran dan bervariasi, serta dipromosikan secara gencar,
MUI bekerja sama dengan Kementrian Kesehatan RI dan didukung oleh kalangan
perguruan tinggi, melakukan pengujian terhadap produk industri itu. Dalam
bidang pangan, makanan dan minuman kemudian didirikan sebuah Lembaga yang
menangani hal tersebut, yaitu Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan
Kosmetika (LPPOM). Dalam proses tersebut dilakukan kerjasama oleh MUI,
pemerintah, dan pengusaha atau pelaku usaha (produsen). Berdasarkan hasil
pengujian itu dikeluarkan fatwa ulama tentang kehalalan produk, yang kemudian
disertifikasi halal bagi produk itu. Fatwa yang dikeluarkan hanya memiliki daya
atur setelah dilegalisasi oleh MUI dalam kedudukannya sebagai satuan
administrasi Islam.
5. Dimensi Nizham
Dimensi lainnya adalah tatanan atau sistem hukum (al-nizham). Ia
merupakan suatu kompleks hukum Islam yang tumbuh dan bekembang didalam
kehidupan masyarakat. Mencakup materi hukum, bagaimana penerapan hukum,
institusi dan badan penyelenggara penerapan hukum, dan sarana penunjang dalam
penerapannya.
B. Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk Perlindungan Umat Islam
Menurut ajaran Islam, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu tidak
dapat didasarkan hanya pada asumsi atau rasa suka atau rasa tidak suka. Sebab,
tindakan demikian dipandang sebagai tindakan membuat-buat hukum atau
26
tahakkum dan perbuatan dusta atas nama Allah yang sangat dilarang Agama.
Perhatikan firman Allah berikut:
) ٣٣ :٧ :االعزاف (
Artinya:“Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar (mengharamkan,)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S al a‟raf: 7 :33)
Imam ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin mas‟ud bahwa rasulullah saw
,bersabda
و نب احداحب اهلل فهذ نك حزو انفىاحش يب ظهز ينهب ويب بط نب احد اغيز ي
ويسهى) اهلل (رواه نبخبر دح ي انيو ان
Artinya : “Tiada Yang lebih cemburu dari pada allah .oleh karena itu ,dia
mengharamkan perbuatan yang keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
dan tiada yang lebih menyukai pujian selain allah .” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits ini dikemukakan dalam shahihain. Pembicaraan ihwal perkara yang
berkaitan dengan aneka perbuatan keji , baik yang tampak maupun yang
tersembunyi telah dikemukakan dalam surat al an‟am ayat 151. Firman Allah
Ta‟ala “perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar .”Al-
itsm berarti aneka kesalahan yang berkaitan dengan si pelaku itu sendiri. Al-
Baghyu berarti menzalimi manusia tanpa alasan yang benar.
Firman Allah Ta‟ala “Mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah
tidak menurunkan hujjah untuk itu ” yakni kamu menetapkan sekutu baginya
27
dalam menyembahnya” dan mengada adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui” berupa perbuatan mengada ada dan dusta seperti menetapkan anak
kepada Nya dan hal lain yang tidak kamu ketahui. Ayat ini seperti ”maka jauhilah
berhala berhala yang najis itu.”19
Dalam Firman-Nya yang lain secara tegas melarang tahakkum (penetapan
hukum tanpa didasari argument, dalil) ini dapat dipahami dari ayat berikut:
(٦٦١: ٦١ : اننحم)
Artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut
oleh lidahmu secara Dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-
orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah
beruntung.(Q.S an nahl: 16 :116)
Allah ta‟ala memerintahkan kepada hamba hamba nya agar memakan
rezekinya yang halal lagi baik dan mensyukurinya. Selanjutnya Allah Ta‟ala
menerangkan makanan yang diharamkan kepada mereka karena membahayakan
mereka, baik bahaya yang menyangkut agama maupun dunia. Makanan yang
diharamkan itu diantara nya bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembeih
dengan menyebut nama selain Allah.
Kemudian Allah melarang hambanya untuk menghalalkan dan
mengharamkan makanan hanya berdasarkan penjelasan mereka semata dan
mengharamkan nama nama yang mereka istilahkan sendiri, seperti bahirah,
19
Muhammad Nasib ar-Rifa‟I “Taisir Al-Aliyyul Qadir Li Ikhishari Tafsir Ibnu Katsir,jilid
2”(Gema Insani Press, 1999)h.356-357
28
sa‟ibah, washilah dan haam yang mereka ciptakan pada masa jahiliah. Maka
Allah berfirman “ dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut
sebut oleh lidahmu secara dusta „ini halal ini haram‟ , untuk mengada adakan
kebohongan terhadap Allah .” termasuk dalam kategori ini maka apa yang mereka
ciptakan sebagai bid‟ah dengan Menghalalkan yang haram dan Mengharamkan
yang halal20
.
Atas dasar itu penentuan halal haram hanyalah hak Prerogatif Allah. Dengan
kata lain, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu termasuk bidang pangan,
harus didasarkan pada Al-Qur‟an, sunnah dan kaidah-kaidah hukum.Dari sini
timbul pertanyaan, dapatkah setiap orang mengetahui mana pangan yang halal dan
mana pangan yang haram dengan hanya mencukupkan diri merujuk pada Al-
Qur‟an dan Sunnah?. Jika pada saat ini kehalalan pangan merupakan suatu
persoalan yang rumit, karena jenis dan bahan pangan yang halal dan mudah
dikenali, serta cara pemerosesannya pun bermacam-macam.
Produk-produk pangan olahan, dengan menggunakan bahan dan peralatan
yang canggih, kiranya dapat dikategorikan kedalam kelompok pangan yang tidak
mudah diyakini kehalalannya. Apalagi jika produk tersebut berasal dari negeri
yang penduduknya mayoritas non-muslim, sekalipun bahan bakunya berupa bahan
suci atau tercampur, menggunakan atau bersentuhan dengan bahan-bahan yang
tidak suci atau tercampur dengan bahan haram.
Dari paparan diatas kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak
setiap orang (muslim) akan dengan mudah dapat mengetahuinya secara pasti halal
20
Muhammad Nasib ar-Rifa‟I “Taisir Al-Aliyyul Qadir Li Ikhishari Tafsir Ibnu Katsir”,
jilid 2”(Gema Insani Press, 1999)h.1073-1074
29
tidaknya suatu produk pangan, obat-obatan maupun kosmetika. Karena untuk
mengetahui hal tersebut diperlukan pengetahuan yang cukup memadai tentang
pedoman atau kaidah-kaidah syariah Islam, itulah kiranya apa yang jauh-jauh hari
telah disinyalir oleh Nabi SAW, dalam sebuah hadist popular :
انحالل بي و انحزاو بي
Artinya: “Halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas.
Hadis ini menunjukan bahwa segala sesuatu itu ada yang sudah jelas
kehalalannya dan ada pula yang sudah jelas keharamkannya. Disamping itu,
dalam hadis tersebut disebutkan juga cukup banyak hal yang samar-samar
(syubhat) status hukumnya, apakah ia halal ataukah haram, tidak diketahui oleh
banyak orang. Bagi umat Islam, hal tersebut yakni hal atau pangan kategori
syubhat, tidak dipandang sebagai persoalan yang mendapat perhatian besar dan
serius.
Oleh karena tidak setiap orang dapat dengan mudah mengetahui kehalalan
atau keharaman suatu pangan sebagiamana dikemukakan diatas, maka peranan
ulama sebagai kelompok orang yang dipandang memiliki pengetahuan memadai
tentang hal tersebut sangat diperlukan untuk memberikan penjelasan (fatwa)
kepada masyarakat luas mengenai status hukum pangan tersebut.
Fatwa produk halal adalah fatwa yang ditetapkan oleh komisi fatwa MUI
mengenai produk pangan, minuman, obat-obatan dan kosmetika. Fatwa tersebut
ditetapkan setelah dilakukan serangkaian pembahasan dalam rapat komisi fatwa
yang didahului dengan laporan hasil auditing oleh LPPOM. jika rapat memandang
bahwa produk dimaksud tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, baik dari
30
aspek bahan maupun dalam proses produksinya. Setelah akan ditetapkan
kehalalannya, serta dibuat satu keputusan fatwa untuk produk-produk yang
diputuskan dalam rapat secara tertulis. Selanjutya, untuk setiap produk dari suatu
produsen dibuatlah satu sertifikat yang disebut dengan sertifikat halal.
Sertifikat halal ini berlaku untuk jangka waktu dua tahun dengan syarat
produk tersebut tetap memenuhi standar atau kriteria sebagaimana dilaporkan
pada saat rapat komisi fatwa. Setelah dua tahun, atau jika ada perubahan bahan,
produk bersangkutan harus diproses kembali untuk memperoleh setifikat baru.
Hal ini demi terciptanya kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi suatu
produk makanan minuman dan obat obatan. Semua peraturan yang ada untuk
kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk.
Sebagaimana dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada Bab III
pasal 4 ayat (a). bahwa pengkonsumsi makanan, minuman dan obat-obatan
mempunyai hak dilindungi, memiliki hak kenyamanan dalam mengkonsumsi
suatu produk, khususnya masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama islam.
Oleh sebab itu, bagaimana sinergisitas antara pemerintah dan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dapat berjalan beriringan untuk mengontrol pelaku usaha yang
ada di Indonesia.
Telaah atas perlindungan konsumen muslim atas produk barang dan jasa
menjadi sangat penting setidaknya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
Pertama, bahwa konsumen Indonesia mayoritas merupakan konsumen beragama
Islam yang sudah selayaknya mendapatkan perlindungan atas segala jenis produk
barang dan dan jasa yang sesuai dengan kaidah-kaidah dalam hukum Islam.
31
Berdasarkan hal tersebut, maka konsumen muslim harus mendapatkan
perlindungan atas kualitas mutu barang dan jasa serta tingkat kehalalan suatu
barang dan jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Kedua, bahwa Pemerintah
Indonesia sudah harus melakukan upaya aktif untuk melindungi konsumen-
konsumen yang mayoritas beragama Islam. Perlindungan konsumen merupakan
hak warga negara yang pada sisi lain merupakan kewajiban negara untuk
melindungi warga negaranya khususnya atas produk yang halal dan baik.
Perintah Allah untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan baik telah
terdapat dalam Al-Qur‟an Surah Al-Baqarah (2) ayat 168:
ين ب عبىام خبطبىات م الشيطان م إ نهبم لكبمم عدبوم ام والم تت مام ف يم األرض م حالالم طي يام أيهام الناسبم كبلبىام
قرةب :٢ :م م ٨٦١(م ( سبىرةبم ال
Artinya: “Wahai manusia makanlah dari makanan yang halal dan baik yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syetan. Sungguh setan itu adalah musuh yang nyata bagimu”( QS Al-
Baqarah : 2 : 168)
Berdasarkan ayat tersebut di atas, maka terdapat garis hukum, yaitu:
Pertama, bahwa perintah ditujukan bagi manusia, tidak saja kaum muslim. Kedua,
bahwa manusia diwajibkan memakan makanan yang halal dan baik. Ketiga,
bahwa mengikuti langkah-langkah setan yang merupakan musuh utama manusia.
Konsep makanan berdasarkan ayat itu tidak sekedar halal, baik dari cara
memperolehnya, mengolahnya, hingga menyajikannya. Tetapi makanan juga
harus baik, baik secara fisik yang diharapkan tidak mengganggu kesehatan yang
mengkonsumsinya. Hal menarik adalah bahwa konsep makanan juga terkait
dengan nilai ketuhanan, bahwa ketika kita menolak memakan-makanan yang halal
dan baik, maka Allah menganggap telah mengikuti jejak langkah setan, padahal
32
setan adalah musuh nyata manusia. Allah menyatakan tentang kehalalan pangan
tertuang dalam Al-Qura‟n Surah Al Maidah (5) ayat: 3.
( :ب ( ٥:٣ :ئدة ان
Artinya :
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul,
yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat
kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih
untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak
panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada
hari ini[397] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah
kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi
agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa
sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.(Q.S Al-Maidah :5 : 3)
Berdasarkan ayat tersebut maka dapat kita klasifikasikan atas segi fisik
hewan, meliputi: bangkai, darah, dan daging babi. Serta klasifikasi atas cara atau
proses, meliputi: hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, hewan yang
tercekik, hewan dipukul, hewan yang jatuh, hewan yang ditanduk dan hewan yang
diterkam binatang buas. Tujuan pelaksanaan konsumsi yang harus diperhatikan,
yaitu dilarangnya mengkonsumsi pangan yang ditujukan untuk berhala. Secara
33
fisik hewan: bangkai, darah, dan daging babi merupakan zat yang secara tegas
diharamkan. Zat pangan yang halal akan menjadi haram jika proses serta tujuan
konsumsi tidak sesuai dengan norma hukum yang tertuang dalam Surah Al-
Maidah ayat 3 tersebut.
Menarik untuk dikaji secara mendalam adalah berkaitan pula dengan
peranan negara untuk melindungi masyarakat muslim dalam kaitan dengan hak-
hak konsumen. Undang-undang Perlindungan Konsumen di Indonesia masih
belum menyentuh permasalahan ini, mengingat fokus masih terbatas pada sisi
fisik barang serta jasa dan masih belum menyentuh pada kehalalan. Tingkat
kehalalan rupanya diatur oleh lembaga tersendiri yaitu LPPOM MUI padahal
sesungguhnya ini merupakan hal yang harus terintegrasi. Konsumen Muslim yang
sangat besar di Indonesia seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah
membentuk sebuah lembaga perlindungan konsumen muslim.21
C. Penentuan Kehalalan Dalam Hukum Islam
Islam menetapkan bahwa asal segala sesuatu dan kemanfaatan yang
diciptakan Allah adalah halal, dan tidak ada yang haram kecuali apa yang telah
disebutkan oleh nash yang shahih dan tegas dari pembuat syari‟at yang
mengharamkannya. Apabila tidak terdapat penunjukan-Nya kepada yang haram
maka tetaplah sesuatu itu pada hukum asalnya, yaitu mubah
االصم ف االبب حت ) (22
Di dalam menetapkan prinsip bahwa pada asalnya segala sesuatu yang
bermanfaat itu mubah. Allah sama sekali tidak menciptakan segala sesuatu ini dan
21
http://uai.ac.id/2011/04/13/opini-ilmiah-hukum/ , jum‟at ,6 maret 2015 jam . 11.58 22
02 : الحالوالحرام في االسالم يوسوف القرضاوي
34
menundukkannya untuk kepentingan manusia dan memberikannya sebagai nikmat
bagi mereka, kemudian mengharamkan semuanya buat mereka. Bagaimana
mungkin Dia menciptakannya untuk mereka, menundukannya buat mereka, dan
memberi mereka nikmat dengannya, lantas semuanya diharamkan-Nya?,
Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja karena suatu sebab
dan hikmah tertentu sebagaimana yang termaktub dalam al qur‟an dan sunnah .
Dengan demikian wilayah haram dalam Syari‟at Islam sangat sempit,
sedang wilayah halal sangat luas. Hal itu disebabkan nash-nash yang secara
shahih dan tegas mengharamkan itu jumlahnya amat sedikit, sedangkan mengenai
sesuatu yang tidak terdapat nash yang menghalalkan atau mengharamkannya
berarti tetap pada hukum asalnya yaitu mubah, dan termasuk dalam wilayah yang
dimaafkan Allah. Diriwatkan pula oleh Salman Al-Farisi: Rasulullah SAW
ditanya tentang mentega, keju, dan keledai liar, lalu beliau menjawab:
: ع انس و انجب يو وسهىزس: سئم رسىل اهلل صه اهلل عهوع سهب انف
فهىيب عفب نكىبو ويب سك عنو وانفزاء فقبل : وانحالل يب احم اهلل ف كتب23
“Yang halal ialah apa yang dihalalkan oleh Allah didalam kitab-Nya, dan
yang haram adalah apa yang diharamkan Allah di dalam kitab-Nya,
sedang apa yang didiamkan oleh-Nya berarti di maafkan untukmu.” Rasulullah memberi jawaban secara parsial terhadap para penanya ini,
melainkan dijawab dengan kaidah yang dapat mereka jadikan rujukan untuk
mengetahui halal dan haram. Keharaman dpat diketahui dengan nash, Al-Qur‟an
dan Hadits.
23
02-02الحالوالحرام في االسالم يوسوف القرضاوي :
35
BAB III
PROFILE LEMBAGA
A. Sejarah LPPOM MUI
1. Sejarah MUI
MUIadalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan
cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah
umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama
Indonesia berdiri, pada Tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26
Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama,
cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Antara lain
meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10
orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu,
NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar,
GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam,
AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan
tokoh perorangan.1
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk
membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama, zuama dan
cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI”,
yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut
Musyawarah Nasional Ulama I.
1 http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html, Rabu, 11 maret 2015, 21.50
36
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah
berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi
bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang
peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Ulama Indonesia menyadari
sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris tugas-tugas para Nabi, maka mereka
terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah
MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penjajahan dan
perjuangan kemerdekaan. Disisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan
global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat
menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat,
serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan
aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan
umat manusia.
Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam
pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi
politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber
pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Akibatnya umat Islam dapat terjebak
dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu
kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi
kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan
silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat
Islam.2
2 http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html, Rabu, 11 maret 2015, 21.50
37
Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun MUlI sebagai wadah
musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk
memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan
kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah swt memberikan
nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada
Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah
Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan
dan kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama, pemerintah dan
penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan
pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi,
lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan
tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan
konsultasi dan informasi secara timbal balik.
Dalam khittah pengabdian MUI telah dirumuskan lima fungsi dan peran
utamanya yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar
MUI bertujuan untuk terwujudnya masyarakat yang berkualitas (khaira
ummah), dan negara yang aman, damai, adil dan makmur rohaniah dan jasmaniah
yang diridhai Allah Swt (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Untuk
38
mencapai tujuannya, MUI melaksanakan berbagai usaha, antara lain memberikan
bimbingan dan tuntunan kepada umat, merumuskan kebijakan dakwah Islam,
memberikan nasehat dan fatwa, serta merumuskan pola hubungan keumatan, dan
menjadi penghubung antara ulama dan umara.
Sampai saat ini MUI mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah
nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan
Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan
kini KH. M. Sahal Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga
telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang
terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.3
Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan
cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, MUI
adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, MUI tidak berbeda dengan organisasi-
organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki
keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini
ditampilkan dalam kemandirian, dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh
kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran,
sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi. Keterkaitan dengan
organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, MUI tidak
bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra struktur yang
membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut. MUI harus
3 http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html, diakses Rabu, 11 maret 2015,
21.50
39
memosisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan
keragaman umat Islam.
MUI, sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama
dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam.
Kemandirian MUI tidak berarti menghalanginya untuk menjalin hubungan dan
kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri,
Terbinanya kerjasama yang dijalin atas dasar saling menghargai posisi masing-
masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi MUI. Hubungan dan
kerjasama itu menunjukkan kesadaran MUI, bahwa organisasi ini hidup dalam
tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan menjadi bagian utuh dari
tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan bekerjasama antar komponen
bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa.4
2. Sejarah LPPOM MUI
a. LPPOM MUI, Pelopor Standar Halal & Pendiri Dewan Pangan Halal Dunia
Dalam sejarahnya, LPPOM MUI yang kini memasuki usia ke-23, mencatat
sejumlah prestasi yang membanggakan. Dalam negeri, kiprah pelayanan LPPOM
MUI semakin meningkat. Sejak tahun 2005 hingga Desember 2011, LPPOM MUI
telah mengeluarkan sedikitnya 5896 sertifikat halal, dengan jumlah produk
mencapai 97.794 item dari 3561 perusahaan. Angka tersebut tentu akan
meningkat jika ditambah dengan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPPOM
MUI daerah yang kini tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Sebagai negara dengan
jumlah penduduk muslim mencapai 200 juta jiwa, Indonesia sudah seharusnya
4 http://mui.or.id/sekilas-mui, selasa, 17 maret 2015, 18.57
40
melakukan langkah-langkah proaktif dalam mengoptimalkan posisi Indonesia
sebagai pasar sekaligus penyedia produk halal bagi konsumen. Berkaitan dengan
itu, pada 24 Juni 2011, Menteri Koordinator Perekonomian Republik Indonesia,
Dr. Ir. M. Hatta Rajasa telah mendeklarasikan Indonesia sebagai Pusat Halal
Dunia. Deklarasi tersebut sejalan dengan berbagai langkah yang dilakukan oleh
LPPOM MUI, antara lain dengan mendesain dan menyusun Sistem Sertifikasi
Halal (SH) dan Sistem Jaminan Halal (SJH) yang telah diadposi lembaga-lembaga
sertifikasi halal luar negeri. LPPOM MUI adalah pelopor dalam Sertifikasi Halal
dan Sistem Jaminan Halal secara internasional.
Diadopsinya standar halal Indonesia oleh lembaga luar negeri tentu sangat
menguntungkan Indonesia, baik bagi konsumen maupun produsen. Sebab,
konsumen terlindungi dari produk-produk yang tidak dijamin kehalalannya.
Selain itu, dengan standar yang telah diakui bersama, kalangan pelaku bisnis juga
memperoleh kepastian tentang persyaratan halal yang harus mereka penuhi
sebelum memasarkan produk mereka.
Sejarah perkembangan sertifikasi halal di Indonesia tak luput dari
merebaknya kasus lemak babi pada tahun 1988. Kasus yang berasal dari temuan
peneliti dari Universitas Brawijaya, Malang itu tidak hanya menghebohkan umat
Islam, tapi juga berpotensi meruntuhkan perekonomian nasional karena tingkat
konsumsi masyarakat terhadap produk pangan olahan menurun drastis.5
Menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi masyarakat, maka MUI
pada 6 Januari 1989 mendirikan LPPOM MUI sebagai bagian dari upaya untuk
5 http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/go_to_section/2/31/page/1, Selasa, 17
Maret 2015, 19.44
41
memberikan ketenteraman batin umat, terutama dalam mengkonsumsi pangan,
obat-obatan dan kosmetika. Sejak kehadirannya hingga kini, LPPOM MUI telah
berulang kali mengadakan seminar, diskusi dengan para pakar, termasuk pakar
ilmu syari’ah, dan kunjungan-kunjungan yang bersifat studi perbandingan serta
muzakarah. Semua dikerjakan agar proses dan standar Sistem Sertifikasi Halal
dan Sistem Jaminan Halal yang terus dikembangkan oleh LPPOM MUI senantiasa
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kaidah agama.
Berkaitan dengan itu, MUI telah meneguhkan sikap bahwa konsumen
muslim Indonesia sebagai penduduk mayoritas harus dilindungi hak-haknya
dalam memperoleh kepastian tentang kehalalan produk pangan, minuman, obat
obatan, kosmetika, produk rekayasa genetik, dan barang gunaan lain, atau yang
sering disebut produk halal yang beredar di Indonesia.
Oleh karena itu, keberadaan ketentuan undang-undang yang mengatur
produk halal merupakan sebuah tuntutan yang tidak bisa dielakkan lagi. Sebab
undang-undang tersebut diperlukan untuk menjamin kepastian penegakan hukum
bagi para pelanggarnya. Inilah esensi negara hukum yang sesungguhnya, yang
menjunjung tinggi hak-hak warga negaranya atas prinsip keadilan (fairness).
Untuk membangkitkan kesadaran masyarakat dalam mengkonsumsi produk
halal, LPPOM MUI merancang program sosialisasi dan informasi publik antara
lain melalui seminar, workshop, kunjungan ke produsen halal, penerbitan majalah,
pengelolaan media informasi online serta penyelenggaraan pameran produk halal
Indonesia Halal Expo (INDHEX) yang digelar secara rutin setiap tahun.
42
Selain itu, demi meningkatkan pelayanan pelanggan, LPPOM MUI
membangun Management Information System (MIS), yang memudahkan
masyarakat, khususnya para pelaku usaha yang hendak mengajukan sertifikasi
halal bisa melakukannya secara online melalui situs www.halalmui.org. Berbagai
langkah dan kebijakan LPPOM MUI di bidang sertifikasi halal dimaksudkan
untuk terus meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam memperoleh
produk halal. Oleh karena itu adanya sebuah undang-undang yang menjamin
tersedianya produk halal bagi konsumen muslim di Indonesia menjadi sebuah
keharusan agar implementasi Sertifikasi Halal semakin diperkuat oleh payung
hukum yang jelas.6
Seiring dengan perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat yang
semakin tinggi, tantangan yang dihadapi oleh MUI dan LPPOM MUI juga
semakin besar. Salah satunya menyangkut keberadaan Undang-Undang Jaminan
Produk Halal (UU NO.33 Tahun 2014 tentang JPH) yang di godok dan disahkan
oleh DPR-RI Pada tahun 2014. Dari paparan diatas, jelas bahwa undang undang
jaminan produk halal (UU No.33 Tahun 2014) sebagai payung hukum. Agar
masyarakat Indonesia terhindar dari bahaya produk produk yang mengandung zat-
zat berbahaya, dan terhindar dari oknum pelaku usaha yang ingin meraup untung
sebanyak banyak nya tanpa mengeluarkan biaya yang besar.
B. Tugas dan Fungsi LPPOM MUI
Dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara di era reformasi,
muncul indikasi adanya keinginan kuat untuk membangun suatu masyarakat
6 http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/go_to_section/2/31/page/1, Selasa, 17
Maret 2015, 19.44
43
yang adil, sejahtera, demokratis dan berakhlak mulia. Menyikapi fenomena
tersebut, MUI mempunyai obsesi menempatkan dirinya pada posisi berperan aktif
dalam membangun masyarakat baru. Peran aktif MUI yang dimaksud adalah
peran sertanya dalam melaksanakan visi dan misinya, yaitu :
1. Visi
Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan
kenegaraan yang baik, memperoleh ridho dan ampunan Allah SWT menuju
masyarakat berkualitas demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin
dalam wadah NKRI sebagai manifestasi dari rahmat bagi seluruh alam .
2. Misi
Mengerahkan kepemimpinan dan kelembagaan Islam secara efektif,
sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanam dan
memupuk akidah Islamiyah, serta menjalankan syari’at Islamiyah ,dan
menjadikan ulama sebagai panutan dalam mengembangkan akhlak karimah,
agar terwujud masyarakat yang berkualita 7
Untuk merealisasikan peran ini MUI memerlukan program-
program riil yang dalam pelaksanaannya diharapkan dapat menggerakkan
kepemimpinan dan kelembagaan ormas Islam yang berada di Indonesia agar
dinamis dan efektif, di mana MUI akan menempatkan diri sebagai motifator,
dinamisator, katalisator dan akan menjadi lembaga penegak Amar ma’ruf Nahi
Munkar serta menjadi panutan dalam mengembangkan akhlak Mulia.
7 Himpunan Keputusan Musyawarah Daerah VII Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa
Tengah, Semarang: Majelis Ulama Indonesia, 2006, hal.117
44
Salah satu program yang dilaksanakan oleh MUI dalam bidang Penetapan
Fatwa dan Nasehat Hukum Islam adalah mengoptimalkan LP POM.8 LP POM
MUI merupakan sebuah lembaga yang dibentuk oleh MUI dengan tugas
menjalankan fungsi MUI untuk melindungi konsumen muslim dalam
mengkonsumsi makanan, minuman, obat-obatan maupun kosmetika9 penggunaan
berbagai jenis bahan bagi pengolahan pangan, obat-obatan dan kosmetika
yang dipergunakan oleh masyarakat, khususnya umat Islam agar terjamin halal.10
Lembaga ini beranggotakan para ahli di bidang pangan, kimia, biokimia,
teknologi dan lain-lain.
Dalam menjalankan fungsinya, LPPOM melakukan pengkajian dan
pemeriksaan dari tinjauan sains terhadap produk yang akan disertifikasi. Jika
berdasarkan pendekatan sains telah didapatkan kejelasan maka hasil pengkajian
dan pemeriksaan tersebut dibawa ke Komisi Fatwa untuk dibahas dari tinjauan
syari’ah. Pertemuan antara sains dan syari’ah inilah yang menjadi dasar
penetapan oleh Komisi Fatwa, yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk
sertifikat halal oleh MUI.11
Komisi Fatwa MUI baik pusat atau Daerah. Fatwa memberikan jawaban
atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk
umum. Keputusan Fatwa adalah fatwa MUI tentang suatu masalah
8 Himpunan Keputusan Musyawarah Daerah VII Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa
Tengah, Semarang: Majelis Ulama Indonesia, 2006, hal.29 9 Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, Panduan Umum Sistem
Jaminan Halal LP POM MUI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2008, h. 9-10. 10
Lukmanul Hakim, “Sertifikasi Halal MUI Sebagai Upaya Jaminan Produk Halal”
dalam Ichwan Sam, et. al., Ijma’ Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se- Indonesia III
Tahun 2009, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet. ke-1, 2009, h. 279-280 11
. Lukmanul Hakim, “Sertifikasi Halal MUI Sebagai Upaya Jaminan Produk Halal”
dalam Ichwan Sam, et. al., Ijma’ Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se- Indonesia III
Tahun 2009, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet. ke-1, 2009, h. 279-280
45
keagamaan yang disetujui oleh anggota Komisi dalam rapat.12
Komisi Fatwa
MUI adalah salah satu komisi dalam MUI yang bertugas memberikan nasehat
hukum Islam dan ijtihad untuk menghasilkan suatu hukum terhadap persoalan-
persoalan yang sedang dihadapi umat Islam. Kenggotaan komisi fatwa mewakili
seluruh organisasi Islam yang ada di Indonesia.13
Adapun kewenangan dan wilayah k o m i s i fatwa MUI Adalah sebagai
berikut :
a. Menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan secara umum,
terutama masalah hukum (fiqh) dan masalah akidah yang menyangkut
kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam.
b. Menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan seperti
tersebut pada nomor 1 yang menyangkut umat Islam Indonesia secara
nasional atau masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga
dapat meluas ke daerah lain.
c. Terhadap masalah yang telah ada keputusan fatwa MUI, MUI Daerah hanya
berhak melaksanaannya.
d. MUI Daerah boleh menetapkan fatwa yang berbeda setelah berkonsultasi
dengan MUI Pusat.
e. Dalam hal belum ada keputusan fatwa MUI, MUI Daerah berwenang
menetapkan fatwa.
12
Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, Jakarta: Departemen Agama RI.,2003, hal.
59. 13
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, loc. cit.
46
f. Khusus mengenai masalah-masalah yang musykil dan sensitif,
sebelum menetapkan fatwa, MUI Daerah diharapkan terlebih dahulu
melakukan konsultasi dengan MUI.14
Komisi Fatwa bertugas mengkaji dan memberikan keputusan hukum
terhadap persoalan yang tidak secara (nyata) terdapat dalam Al-Quran maupun
Sunnah. Lembaga fatwa ini merupakan lembaga yang independen yang terdiri
dari para ahli ilmu dan merupakan kelompok yang berkompeten yang memiliki
otoritas yang memadai untuk memberikan keputusan-keputusan ilmiah15
.
C. Sistem dan Prosedur Sertifikasi Halal MUI
Sertifikat halal bertujuan untuk memberikan kepastian kehalalan suatu
produk sehingga dapat menenterampkan batin yang mengkonsumsinya.16
Produk
halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai dengan syari’at
Islam, yaitu :
1. Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
2. Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan yang
berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan lain sebagainya.
3. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut
tatacara syari’at Islam.
14
Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, op. cit., hal. 64. 15
Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Modul Pelatihan Auditor Internal
Halal,Jakarta: Departemen Agama RI. 2003, hal.56-57 16
Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Sertifikasi Halal, Jakarta: Departemen
Agama RI, 2003, hal.1
47
4. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan dan
transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi. Jika pernah
digunakan untuk babi barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu harus
dibersihkan dengan tatacara yang diatur dalam syari’at Islam.
5. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.17
Dengan kata lain produk halal adalah produk pangan, obat,
kosmetika dan produk lain yang tidak mengandung unsur atau barang
haram atau dilarang untuk dikonsumsi, digunakan atau dipakai umat Islam baik
yang menyangkut bahan baku, bahan tambahan, bahan bantu dan bahan
penolong lainnya termasuk bahan produksi yang diolah melalui proses
rekayasa genetika dan iradiasi yang pengolahannya dilakukan sesuai
dengan syariat Islam18
.
Proses, prosedur dan mekanisme penetapan fatwa produk halal pada
prinsipnya sama dengan penetapan fatwa pada umumnya. Hanya saja, rapat
penetapan fatwa dilakukan bersama antara Komisi Fatwa dengan LP POM yang
sebelumnya terlebih dahulu melakukan penelitian dan audit ke pabrik
(perusahaan) yang telah mengajukan permohonan seretifikasi halal. Hasil
audit setelah dibahas di LP POM dituangkan dalam “Laporan Hasil Auditing”
yang selanjutnya dibawa ke dalam rapat Komisi Fatwa.19
17
Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Sertifikasi Halal, Jakarta: Departemen
Agama RI, 2003, hal.2 18
Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal
Jakarta: Departemen Agama RI, 2003, h. 131 19
Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, op. cit., h. 33-34
48
Setelah ditetapkan kehalalanya dalam rapat, dibuat keputusan fatwa untuk
produk-produk yang diputuskan dalam rapat secara tertulis sebagaimana
keputusan fatwa pada umumnya. Selanjutnya dikeluarkan “Sertifikat Halal”.
Pemegang sertifikat halal MUI bertanggung jawab untuk memelihara kehalalan
produk yang diproduksinya dan sertifikat halal tersebut tidak dapat dipindah
tangankan. Sertifikat halal yang sudah berakhir masa berlakunya termasuk
fotokopinya tidak boleh digunakan atau dipasang untuk maksud-maksud
tertentu.20
D. Kewenangan Penentuan Jaminan Produk Halal
1. Proses Sertifikasi halal
Sebelum mencantumkan label halal suatu produk, produsen harus
mengajukan sertifikat halal bagi produknya. Dalam mengajukan sertifikat halal,
produsen terlebih dahulu diisyaratkan mempersiapkan Sistem Jaminan Halal
seperti diuraikan dibawah ini:
a. Sistem Jaminan Halal harus didokumentasikan secara jelas dan rinci serta
merupakan kebijakan dari manajemen perusahaan.
b. Dalam sistem pelaksanaannya, sistem jaminan halal ini diuraikan dalam
bentuk panduan halal yang memberikan uraian sistem manajemen halal yang
dijalankan prudosen, serta berfungsi sebagai rujukan tetap dalam
melaksanakan dan memelihara kehalalan produk tersebut.
20
Bagian Proyek Sarana Dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Dan Penyelenggaraan Haji, Panduan Sertifikasi Halal, op. cit., h. 2.
49
c. Produsen menjabarkan panduan halal secara tekhnis dalam bentuk prosedur
baku pelaksanaan untuk mengawasi setiap proses yang kritis agar kehalalan
produknya tetap terjamin.
d. Baik panduan halal maupun prosedur baku pelaksanaan yang disiapkan harus
disosialisasikan dan diuji coba pada lingkungan produsen. Sehingga seluruh
jajaran manajemen dari tingkat direksi sampai karyawan memahami betul
bagaimana cara memproduksi produk yang halal dan baik.
e. Sistem jaminan halal dalam pelaksanaannya dimonitor dan dievaluasi oleh
sistem audit halal internal yang ditetapkan oleh perusahaan.
f. Koordinasi pelaksanaan sistem jaminan halal dilaksanakan oleh Tim Auditor
Halal Internal yang mewakili seluruh bagian terkait dengan produksi halal
yang ditetapkan oleh perusahaan. Koordinator Audiit Halal Internal harus
beragama Islam.
g. Penjelasan Rinci Sistem Jaminan Halal dapat merujuk pada Buku Panduan
Sistem Jaminan Halal, yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI.
Setelah proses Sistem Jaminan Halal yang diajukan produsen disetujui,
maka produsen dapat menjalankan Prosedur Sertifikasi Halal sebagai berikut:
1. Setiap produsen mendaftarkan seluruh produknya yang diproduksi dalam satu
lokasi dan mendaftarkan seluruh pabrik dengan lokasi yang berbeda yang
menghasilkan produk dengan merek yang sama.
2. Setiap produsen yang mengajukan sertifikasi halal bagi produknya, harus
mengisi formulir yang telah disediakan. Formulir tersebut berisi informasi
50
tentang data perusahaan, jenis dan nama produk serta bahan-bahan yang
digunakan dengan melampirkan:
a. Spesifikasi dan sertifikasi bahan baku, bahan pembantu dan bahan
penolong serta bagan alur proses.
b. Sertifikat halal atau Surat Keterangan Halal dari MUI dari daerah
(Produk Lokal) atau sertifikat halal dari lembaga Islam yang diakui oleh
MUI (produk Impor) untuk bahan yang berasal dari hewan dan turunan
c. Sistem jaminan halal yang diuraikan dalam panduan halal beserta
prosedur baku pelaksanaanya.
d. Tim Auditor LPPOM MUI melakukan pemeriksaan/ audit ke lokasi
produsen setelah formulir beserta lampiran-lampirannya dikembalikan ke
LPPOM MUI dan diperiksa kelengkapannya.
e. Hasil pemeriksaan audit dan hasil pemeriksaan laboratorium dievaluasi
dalam Rapat Tenaga Ahli LPPOM MUI. Jika telah memenuhi
persyaratan maka dibuat laporan hasil audit untuk diajukan kepada siding
Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya.
f. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika
dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan.
g. Sertifikat Halal dikeluarkan oleh MUI setelah ditetapkan status
kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI.
h. Perusahaan yang produknya telah mendapatkan sertifikat halal, harus
mengangkat Auditor Halal Internal sebagai bagian dari sistem jaminan
halal. Jika kemudian ada perbahan dalam penggunaan bahan baku, bahan
51
tambahan dan bahan penolong pada proses produksinya, Auditor Halal
internal diwajibkan segera melaporkan untuk mendapatkan
“ketidakberatan penggunaannya”. Bila ada perusahaan terkait produk
halal hasil dikonsultasikan dengan LPPOM MUI oleh Auditor Halal
Internal.
Tim Auditor LPPOM MUI akan melakukan pemeriksaan/ audit ke lokasi
produsen untuk memastikan apakah semua bahan yang digunakan dalam proses
pembuatan produk memenuhi syarat yang sesuai syariah. Adapun Tata Cara
auditnya adalah sebagai berikut:
1. Surat resmi akan dikirim oleh LPPOM ke perusahaan yang akan diperiksa,
yang memuat jadwal audit pemeriksaan audit dan persyaratan administrasi
lainnya.
2. LPPOM MUI menerbitkan Surat Perintah.
3. Pada waktu yang telah ditentukan oleh Tim Auditor yang telah dilengkapi
dengan surat tugas dan indentitas diri, akan melakukan pemeriksaan atau
(auditing) ke perusahaan yang mengajukan permohonan sertifikat halal.
4. Pemeriksaan (Audit) produk halal mencakup:
a. Manajemen produsen dalam menjamin kehalalan produk.
b. Observasi lapangan dan pengambilan contoh hanya untuk bahan yang
dicuriga mengandung babi atau turunannya, yang mengandung alkohol
dan yang dianggap perlu.
Dengan demikian, LPPOM MUI sudah memiliki sistem dan kinerja
operasi nya sendiri. Hanya saja LPPOM MUI hanya butuh pengakuan dari
52
Pemerintah terkait labelisasi halal ini. Dengan kata lain LPPOM membutuhkan
payung hukum, agar pemberlakuan sertifikasi halal dapat diterapkan menyeluruh.
2.Bagan Proses Sertifikasi Halal
21Bagan Proses sertifikasi halal dalam bentuk diagram alir :
Untuk menjamin kehalalan suatu produk yang telah mendapat sertifikat
halal, selain menunjuk Auditor Internal di setiap perusahaan yang bertugas
mengawasi kehalalan produknya, MUI menetapkan dan menekankan bahwa jika
sewaktu-waktu ternyata diketahui produk-produk tersebut mengandung unsur-
unsur barang haram, MUI berhak mencabut sertifikat halal produk
bersangkutan.22
21
Data di ambil dari LPPOM MUI atau MUI JAKARTA 22
Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, Op. Cit., Hal.53-54
Persyaratanterpenuhi?
Persyaratanterpenuhi?
Pendaftaran / Penyerahan Dokumen Sertifikasi HalalPendaftaran / Penyerahan Dokumen Sertifikasi Halal
PembiayaanPembiayaan Pemeriksaan Kecukupan DokumenPemeriksaan Kecukupan Dokumen
AuditAudit
Rapat AuditorRapat Auditor
Rapat Komisi FatwaRapat Komisi Fatwa
Penerbitan Sertifikat HalalPenerbitan Sertifikat Halal
Analisis LabAnalisis Lab
Dapatdiaudit ?
Dapatdiaudit ?
PerluAnalisis
Lab?
PerluAnalisis
Lab?
Persyaratanterpenuhi ?(Status SJH
A/B)
Persyaratanterpenuhi ?(Status SJH
A/B)
Mengandungbahan
haram?
Mengandungbahan
haram?
Lunas?Lunas?
Tidak dapatdisertifikasi
Tidak dapatdisertifikasi
Tidak
Ya
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Ya
Tidak
Perusahaan
LP POM MUI
Persiapan Sistem Jaminan HalalPersiapan Sistem Jaminan Halal
Tidak
Pre Audit Memorandum
Pre Audit Memorandum
Audit Memorandum
Audit Memorandum
Penyerahan DokumenSertifikasi Halal
Penyerahan DokumenSertifikasi Halal
Produk berbasis daging
53
BAB IV
LEMBAGA SERTIFIKASI HALAL PASCA UU NO 33 TAHUN 2014
A. Lembaga sertifikasi halal dalam UU No.33 Tahun 2014
Tanggal 25 September 2014 menjadi hari bersejarah bagi Indonesia dengan
disahkannya UU Jaminan Produk Halal.UU ini digagas sejak UU Pangan Nomor
7 Tahun 1996 dan sampai UU Pangan yang baru, UU No 18/2012, keluar belum
juga terselesaikan. Beragam kontroversi muncul meski telah "diketok palu" oleh
DPR. Padahal, jaminan halal sangat penting bagi umat Muslim sebagai bagian
dari keamanan pangan rohani.
Pada pembukaan UU ini, dalam Paragraf a, disebutkan , "UUD 1945
mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu". Esensinya adalah jaminan kemerdekaan memeluk agama
masing-masing, termasuk penyediaan pangan sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
UU Pangan No 8/2012 menyebutkan dalam Pasal 1 Ayat (5), "Keamanan
pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari
kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan
dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk
dikonsumsi".
54
Pasal 69 (g) menyebutkan, "Penyelenggaraan keamanan pangan dilakukan
melalui jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan". Demikian juga Pasal 101
Ayat (1) menyebutkan, "Setiap orang yang menyatakan dalam label bahwa
pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan
bertanggung jawab atas kebenarannya". Inilah asas sukarela halal: yang
menyatakan halal wajib mengajukan sertifikasi halal. Hal ini sesuai dengan
kelaziman internasional yang diatur dalam General Guidelines for Use of the
Term "Halal" Codex Alimentarius Commission (CAC/GL 24-1997) bahwa
penggunaan label halal merupakan klaim dan apabila produsen klaim produknya
halal, harus memenuhi ketentuan sesuai dengan hukum Islam.
Namun, dalam UU JPH Pasal 4 disebutkan, "Produk yang masuk, beredar,
dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal". Hal ini
merupakan ketentuan wajib halal, yang bertentangan dengan paragraf pembukaan
UU Pangan serta kelaziman internasional di atas. Juga Indonesia menjadi satu-
satunya negara yang menerapkan wajib halal. Pasal 4 ini juga tidak sinkron
dengan pasal lain, seperti Pasal 26 (1) yang berbunyi "Pelaku usaha yang
memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan
dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal".
Dalam Pasal 1.1, definisi "Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait
dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi,
produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau
dimanfaatkan masyarakat". Jelas bahwa semua produk wajib halal tidak terbatas
hanya produk konsumsi. Ini tidak konsisten dengan Pasal 17-20 tentang bahan,
55
yang tersirat bahwa halal hanya untuk produk konsumsi yang dikemas (obat,
makanan, dan minuman). Padahal, makanan dan minuman bukan hanya yang
kemasan; ada pangan segar, olahan rumah tangga, olahan siap saji yang juga
diedarkan dan diperdagangkan.
Penyelenggaraan JPH menjadi wewenang pemerintah cq Kementerian
Agama, sesuai dengan Pasal 5 (3), "Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH
dibentuk BPJPH (Badan Penyelenggara JPH) yang berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab kepada menteri". Selanjutnya, salah satu kewenangan BPJPH
adalah melakukan akreditasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), yang
dalam Pasal 10c dikerjasamakan dengan MUI. Ini jelas bertentangan dengan UU
Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian (SPK) yang baru disahkan DPR, 26
Agustus 2014, yaitu Pasal 9(2), "Tugas dan tanggung jawab di bidang akreditasi
LPK (Lembaga Penilaian Kesesuaian) dilaksanakan oleh KAN (Komite
Akreditasi Nasional), di mana KAN berkedudukan di bawah dan bertanggung
jawab kepada presiden melalui Kepala Badan Standardisasi Nasional" (catatan:
LPH adalah salah satu bentuk LPK).
Mengubah tatanan UU JPH ini akan mengubah tatanan akreditasi standar
nasional sekaligus menyalahi good governance: penyelenggara sertifikasi
sekaligus berfungsi sebagai pelaksana akreditasi dan dikhawatirkan fungsi kontrol
rancu. Seharusnya pemerintah berfungsi sebagai regulator saja serta fokus sebagai
pengawas. Fungsi sertifikasi bisa dijalankan lembaga kredibel seperti saat ini:
LPPOM MUI. Fungsi akreditasi dilaksanakan KAN sesuai dengan UU SPK dan
jika halal dianggap lex specialis, bisa dikoordinasikan kepakarannya dengan MUI.
56
Dengan demikian, fungsi kontrol dan harmonisasi regulasi bisa berjalan dengan
baik.
Saat ini pengajuan sertifikasi ke LPPOM MUI selaku LPH dan setelah fatwa
MUI, sertifikat juga dikeluarkan LPPOM MUI. Namun, dalam UU JPH,
pengajuan ke BPJPH, kemudian BPJPH menetapkan LPH. Selanjutnya LPH
melakukan pemeriksaan dan melaporkan ke BPJPH dan BPJPH menyerahkan ke
MUI untuk mendapat keputusan penetapan halal produk (fatwa). Fatwa
diserahkan kembali ke BPJPH untuk diterbitkan sertifikat halal. Penambahan
rantai proses menambah waktu, tenaga, dan biaya. Ujung-ujungnya beban
konsumen tambah, daya saing produk Indonesia turun. Pasal 37 menyebutkan
BPJPH menetapkan bentuk "label Halal" yang berlaku nasional.
Saat ini LPPOM MUI telah melakukan terobosan dengan Sertifikasi Halal
Online (CEROL SS23000), tetapi belum bisa memuaskan semua pemohon.
Tenaga auditor seluruh Indonesia yang 737 orang (LPPOM MUI, 2014) hanya
mampu melayani 1.270 perusahaan selama Januari-Juli 2014. Angka
ini sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 2013 yang hanya melayani
832 perusahaan. Padahal, jumlah industri makanan dan minuman 6.190
perusahaan menengah-besar serta 1.054.398 kecil dan mikro (BPS, 2013), belum
termasuk yang tak terdaftar. Perbandingan angka ini menggambarkan bahwa
masih banyak yang harus disiapkan dalam menerapkan jaminan halal bagi semua.
Sertifikat dan label hanya sebagian kecil dari Sistem Jaminan Halal. Hal
terpenting yang ada dalam proses produksi sehari-hari adalah tanggung jawab
yang melibatkan semua pelaku internal dan eksternal, pengawasan oleh penyelia
57
yang profesional, serta penerapan hukum oleh pemerintah selaku agen regulasi.
Juga tantangan terbesar adalah membangun sistem beserta kelengkapan sarana
dan prasarana, serta penegakan hukum yang berkeadilan tak diskriminatif.
UU JPH perlu disempurnakan agar tak jadi kendala dalam menjamin
kehalalan produk yang didambakan umat Muslim, terjangkau, dan tidak
menjadikan Indonesia terkucil dari dunia global yang kian menurunkan daya saing
Indonesia. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 kian dekat. Mari bersiap diri.
Mitra kita adalah pasar global, bukan pihak yang bertikai di dalam negeri dan
menyulitkan diri sendiri. Pada dasarnya setiap manusia ingin mengkonsumsi
produk-produk makanan dan minuman yang sehat dan bermanfaat untuk
kesehatan. Mengonsumsi produk halal merupakan hak asasi ummat Islam sebagai
ibadah dan penerapan syari’ah.1
Dalam hal ini Indonesia melalui MUI telah memenuhi kewajibannya dalam
menjamin penyediaan produk halal bagi umat Islam sejak tahun 1989, MUI
mengeluarkan fatwa tentang sertifikasi halal, dalam rangka untuk melindungi
masyarakat Indonesia, khususnya ummat Islam agar terhindar dari produk
makanan dan minuman yang mengandung bahan-bahan yang haram. Hal ini juga
tidak luput dari pada perlindungan Konsumen dalam mengkonsumsi produk
makanan dan minuman. Pada Undang-Undang No.88 Tahun 1999 pasal 4 tentang
hak dan kewajiban konsumen telah dijelaskan :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa; Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta
1 http://doa-bagirajatega.blogspot.com/2014/10/kontroversi-uu-jaminan-produk-halal.html ,
DI unduh pada senin 9 juni 2015
58
mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
c. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
d. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
e. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
f. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
g. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
h. Hak hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan
lainnya.2
Dalam pasal ini sudah jelas dipaparkan bahwa konsumen memiliki hak-hak
dan kewajiban nya.perlindungan konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk
sangat penting, sebab menyangkut baik atau tidak produk tersebut untuk di
konsumsi bagi manusia.
Indonesia telah memiliki teknologi pemindai kemasan produk halal. regulasi
halal hendaknya tidak merusak tatanan jaminan produk halal yang sudah ada di
2 UU No.88 Tahun 1998 Pasal 4, Tentang Perlindungan Konsumen.
59
Indonesia. sejak tahun 1989 telah membangun sistem yang diterima secara sains
maupun syari’ah dan menjadi rujukan lembaga sertifikasi halal dunia. Peran MUI
dalam masalah pangan adalah melakukan sertifikasi halal, meliputi penetapan
standar, pemeriksaan, penetapan fatwa, dan penerbitan sertifikasi halal. Pada
tahun 2014 telah disahkannya Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal (JPH) tepatnya pada tanggal 25 September 2014 di
sahkannya UU NO.33 Tahun 2014 Oleh pemerintah dan DPR RI, lahirnya
Undang-Undang tersebut adalah sebagai payung hukum bagi MUI yang
diharapkan dapat menjadi pegangan dan untuk melindungi umat terhadap
ketersediaan produk halal. namun demikian masih belum bisa menyerap aspirasi
ulama dan umat islam Indonesia.
Sebelum terbentuknya undang undang, masa berlaku sertifikasi halal adalah
2 tahun setelah dikeluarkan atau diterbitkan sertifikat halal. Sedangkan Dalam
Undang Undang No.33 tahun 2014 bagian ke tujuh pasal 42 yang berbunyi
“sertifikasi halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan Oleh BPJPH
Kecuali terdapat Perubahan Komposisi bahan ”. Hal ini artinya telah terjadi
perubahan dalam segi perpanjangan (umur) sertifikat. Perpanjangan ini bersifat
wajib bagi pelaku usaha, termasuk didalam nya apabila terdapat perubahan
maupun penambahan pengurangan bahan dalam produk .
Pemberitaan di Majalah Tempo, mengenai pengakuan lembaga sertifikasi
halal luar negeri yang sebagian besar atau secara keseluruhan mengandung
ketidaksesuaian tersebut dapat menimbulkan kegaduhan di masyarakat dan dapat
memicu ekses yang lebih besar dalam memelihara ketentraman batin umat Islam,
60
khususnya terhadap produk halal. Oleh karena itu, Dewan Pimpinan MUI perlu
menyampaikan sikap mengenai proses sertifikasi halal dan pengakuan lembaga
sertifikasi halal luar negeri sebagai berikut:
1. Proses Sertifikasi Halal dan Labelisasi Halal yang selama ini dijalankan
merupakan sistem mulai pendaftaran melalui online CEROL SS-23000,
proses preaudit, audit, dan pasca audit.
a. Tahapan proses sertifikasi halal.
Pendaftaran melalui online CEROL SS-23000. Mekanisme pendaftaran
dengan sistem elektronik ini dilakukan secara lebih efisien dan
meningkatkan akurasi data.
Proses Pre Audit, meneliti kelengkapan dokumen bahan dan sistem jaminan
halal perusahaan.
Proses Audit dengan melihat langsung proses produksi. Audit ke lokasi
produksi dilakukan oleh auditor LPPOM untuk melihat langsung mengenai
bahan (bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong) dan proses
produksi.
Proses Pasca Audit. Hasil audit dilaporkan dalam Rapat Auditor yang
terdiri dari tenaga ahli untuk memutuskan dari sisi keilmuan. Selanjutnya
laporan auditor yang sudah memperoleh pertimbangan ilmiah dan disusun
berdasarkan temuan lapangan dilaporkan dalam rapat Komisi Fatwa MUI
untuk ditetapkan status kehalalan suatu produk dari aspek pertimbangan
syariah.
61
Dari tahapan yang diatur di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa,
proses sertifikasi halal yang ada sudah memenuhi kriteria pembuatan sekrtifikasi
halal, hanya saja harus di sediakan juga bagi pelaku usaha menengah ke bawah
yang jarang, atau bahkan tidak pernah sekalipun menyentuh dunia maya.
b. Pembiayaan sertifikasi halal
Biaya sertifikasi halal dilakukan melalui akad biaya yang mencakup biaya
pendaftaran, administrasi audit, honor auditor, rapat auditor dan rapat komisi
fatwa, serta penerbitan sertifikat halal. Pembiayaan sertifikasi halal ditetapkan
berdasarkan suatu pedoman yang sudah sangat jelas, sehingga tidak
dimungkinkan adanya pembiayaan lain yang tidak jelas (invisibility
cost). Pembiayaan sertifikat halal didasarkan pada banyaknya produk, bahan
dan fasilitas produksi yang akan disertifikasi. Pembiayaan dikenakan sekali saat
pendaftaran, MUI tidak mengenakan biaya bulanan berdasarkan kuota produk
yang diperdagangkan.
Persoalan pembiayaan adalah masalah krusial yang jika tidak seimbang
akan menjadi konflik, menurut penulis ada baiknya jika pembiayaan tidak
disesuaikan dengan banyaknya produk yang akan di produksi, akan tetapi
mencakup biaya pendaftaran, administrasi audit, honor auditor, rapat auditor dan
rapat komisi fatwa saja.
c. Penerbitan Sertifikat halal
Sertifikat halal diterbitkan berdasarkan penetapan status kehalalan produk
dalam sidang Komisi Fatwa MUI. Masa berlaku sertifikat halal tersebut selama
2 (dua) tahun. Permasalahan penerbitan sertifikasi halal, ini juga harus menjadi
62
pertimbangan bagi para auditor dan MUI dalam sidang komisi fatwa, khusus nya
permasalahan umur sertifikasi halal. Artinya masa berlaku juga harus
disesuaikan dengan pemasaran produk yang akan di produksi, karena tidak ada
yang bisa menjamin akan banyaknya konsumen yang memakai produk tersebut.
d. Pencantuman logo halal atau ijin labelisasi halal
Pencantuman logo halal pada kemasan adalah wewenang Badan POM RI.
Badan POM RI akan menerbitkan ijin labelisasi halal bagi perusahaan
berdasarkan penerbitan Sertifikat Halal MUI.
Berdasarkan hal ini, bagaimana apa bila ada pemalsuan Logo oleh pelaku
usaha, pemerintah harus mencantumkan larangan dalam pemalsuan logo, dan
menindak pelaku usaha yang memalsukan logo berupa sanksi pidana.
2. Proses Pengakuan Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri. MUI melakukan
kerjasama dengan lembaga sertifikasi halal luar negeri (LSHLN). Adapun
Tahapan proses pengakuan Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri oleh MUI
dilakukan sebagai berikut :
a. Kriteria Pengakuan
MUI menetapkan 7 (tujuh) kriteria sebagai prasyarat yang harus dipenuhi
oleh LSHLN yang ingin diakui oleh MUI. Pengakuan MUI terhadap LSHLN
dilakukan berdasarkan permohonan dari LSHLN yang bersangkutan.
b. Pemenuhan Data Kuesioner pengakuan
Data pemenuhan 7 kriteria sebagai LSHLN yang dituangkan ke dalam
kuesioner LPPOM MUI menitik beratkan pada kemampuan menerapkan
standar dan prosedur sertifikasi halal LSHLN. Untuk dipelajari dan dikaji
63
mendalam, Hasil kajian dan verifikasi data oleh LPPOM MUI selanjutnya
disampaikan kepada MUI. Kemudian dewan pimpinan MUI akan melakukan
audit lapangan secara langsung.audit lapangan ini bertujuan untuk
menetapkan status kelayakan LSHLN apakah sesuai dengan pedoman MUI
atau tidak.
c. Kunjungan pegakuan
Kunjungan lapangan sebagai bentuk audit yang dilakukan oleh MUI juga
bertujuan untuk membuktikan keberadaan LSHLN. Selain itu akan diverifikasi
tentang kebenaran prosedur dan standar yang tertulis dalam data yang dikirim
ke MUI. Audit ini dilakukan oleh suatu tim yang ditunjuk oleh dewan
pimpinan MUI yang terdiri dari beberapa pakar dalam bidang sains dan
syariah.
d. Penetapan status pengakuan
Setelah itu auditor melakukan kunjungan lapangan ke LSHLN, maka tim
auditor yang mengajukan permohonan akan menetapkan status kesesuaian dan
pemenuhan berdasarkan ketentuan MUI. Andaikata hasil audit lapangan sesuai
dengan data yang diberikan, maka akan diterbitkan surat yang berisi
pengakuan lembaga sertifikasi halal tersebut. Adapun kategori kategori
pengakuan MUI terhadap LSHLN. LSHLN Difokuskan pada tiga hal, yaitu;
pemotongan (slaughtering), industri pengolahan dan flavor.
e. Masa Evaluasi pengakuan
Setelah pengakuan LSHLN diberikan, MUI akan melakukan review atas
pengakuan LSHLN setiap dua tahun sekali, sebagaimana yang tertulis dalam
64
pedoman sertifikasi pengakuan MUI terhadap LSHLN hanya dalam proses
sertifikasi halal untuk bahan baku yang digunakan pada produk akhir saja.
Pemberlakuan sertifikat tersebut hanya untuk produk yang diproduksi di
wilayah negara dimana LSHLN tersebut berada. Misalnya LSHLN di
Australia, hanya berlaku di daerah Australia saja, dan tidak berlaku untuk di
luar negara tersebut. Sedangkan Pembiayaan pengakuan Lembaga Sertifikat
Halal Luar Negeri, Penerbitan sertifikat pengakuan LSHLN diberikan secara
gratis. Mengapa gratis ? Dalam proses pengakuan lembaga sertifikasi halal
luar negeri (LSHLN), lembaga tersebut hanya memberikan biaya pengganti
transport, yang meliputi; tiket, pembuatan visa, serta transportasi lokal di
Indonesia, Viskal. Sedangkan honor auditor dari MUI, besarannya sesuai
dengan kebijakan LSHLN masing masing. Sesuai kewenangan, atas dasar itu
ketika Decree MUI diterbitkan tanpa dikenai biaya apapun ke MUI ,tetapi
hsnya biaya ke audit saja. Hal ini bisa saja terjadi manipulasi atau transaksi
suap. Dengan ketentuan ini bisa saja terjadi tindak pidana korupsi, Jika tidak
ada nya pemantauan atau pengawasan, seperti kasus suap menyuap.
Sistem Monitoring pada Lembaga Sertifikat Halal Luar Negeri
Monitoring yang telah diakui MUI dilakukan dengan cara memastikan keabsahan
(otentisitas) sertifikat halal yang diterbitkan. Komunikasi aktif antara MUI dan
LSHLN dilakukan untuk menelusuri, apakah ada hal-hal yang tidak
65
sesuai dengan standar dan prosedur MUI dan LPPOM MUI, pertemuan tahunan
dilakukan untuk melakukan koordinasi antara MUI dan LSHLN.3
Setelah ada UU JPH kewenangan MUI “dibatasi”, dimana penyelenggara
jaminan produk halal bukan lagi MUI, melainkan BPJPH (Pemerintah RI) untuk
itu BPJPH bekerja sama dengan kementrian dan /atau lembaga terkait atau LPH,
baik itu MUI, atau Ormas lain nya. Pasal 7 UU JPH, bahwa dalam pasal tersebut
Menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam pasal 6, BPJPH Bekerja sama dengan : 1.Kementrian dan /atau lembaga
terkait 2. LPH dan 3. MUI” secara jelas bahwa fungsi dan peran MUI yang
selama ini dilakukan telah di ambil alih oleh BPJPH. Kewenangan BPJPH
tertuang dalam pasal 6 yang menyatakan bahwa “Dalam penyelenggaraan JPH
,BPJPH berwenang : a. merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH
b.menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH c. menerbitkan dan
mencabut sertifikasi halal dan label halal pada produk d. melakukan registrasi
sertifikasi halal pada produk luar negeri e. melakukan sosialisasi, edukasi, dan
publikasi produk halal f. melakukan akreditasi terhadap LPH g. melakukan
registrasi Auditor Halal h. melakukan pengawasan terhadap JPH i.melakukan
pembinaan auditor halal; dan j.melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan
luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.”
Dalam pasal 10 dijelaskan kembali ,bahwa “ (1)kerjasama BPJPH dengan
MUI sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf c dilakukan dalam bentuk : a.
sertifikasi auditor halal b. penetapan kehalalan produk ;dan c.akreditasi LPH. (2)
3 http://mui.or.id/mui/homepage/berita/berita-singkat/pernyataan-sikap-majelis-ulama-
indonesia-tentang-sertifikasi-halal-dan-pengakuan-lembaga-sertifikasi-halal-luar-negeri.html, di
unduh, kamis 30 april 2015 ,10.24
66
penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dikeluarkan MUI dalam bentuk keputusan penetapan halal produk.”
Sudah jelas di paparkan dalam pasal 6 bahwa yang berwenang menerbitkan
dan mencabut sertifikat halal pada produk adalah BPJPH. BPJPH kemudian yang
menjalin kerjasama dengan instansi terkait dan atau lembaga terkait lain (MUI).
Dalam pasal 7 dan 10 dijelaskan bahwa keterlibatan MUI hanya sebatas mitra,
kerja sama antara BPJPH dan MUI. MUI hanya mengeluarkan fatwa setelah
memeriksa kandungan pada produk tersebut, dan selanjutnya penerbitan sertifikat
halal dikeluarkan oleh BPJPH.
Pemberlakuan UU JPH sebagaimana termaktub dalam Pasal 61 “LPH yg
sudah ada sebelum undang undang ini berlaku diakui sebagai LPH dan wajib
menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 13 paling lama 2 (dua) tahun
terhitung sejak BPJPH Dibentuk”. Dengan kata lain, pada tahun 2016 seluruh
LPH yang ada di Indonesia, baik MUI atau Ormas lainnya wajib menaati UU
JPH.
Dalam hal auditor yang telah ada, Pasal 62 menyatakan bahwa “auditor
halal yang sudah ada sebelum undang-undang ini berlaku diakui sebagai auditor
halal dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 15 paling lama 2
(dua) tahun terhitung sejak undang-undang ini di undangkan”. Status Hukum
Auditor Halal yang telah ada tetap di Akui keberadaannya dan selanjutnya dibina
Oleh BPJPH.
Pembentukan BPJPH tidak saat UU ini disahkan namun menunggu 3 tahun
kemudian ,yaitu pada tahun 2017. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 64
67
“pembentukan BPJPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) harus
dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak undang-undang ini di
undangkan.4
Dalam penjelasan pasal di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga
pemeriksa halal (LPH) yg sudah ada, masih tetap berjalan dan di akui
kedudukannya sebagai lembaga pemeriksa halal, dengan ketentuan memenuhi
syarat yang tertera dalam UU tersebut. LPH yang sudah ada harus memiliki
persyaratan sebagaimana yang tertera dalam pasal 13 UU No.33 Tahun 2014.
Penyelenggara UU tersebut adalah pemerintah sebagai eksekutor atau
pelaksana Undang Undang. Hal tersebut tertulis pada Pasal 5 ayat 1, 2 dan 3 UU
No.33 Tahun 2014 yang berbunyi: Pasal 5 ayat (1) “Pemerintah Bertanggung
Jawab dalam Penyelenggaraan JPH”. Pemerintah, dalam hal ini kementrian agama
yang bertanggung jawab pebuh atas pelaksanaan sertifikasi halal. Sebagaimana
yang termaktub dalam Pasal 5 ayat (2) “Penyelenggaraan JPH Sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri“. Pasal 5 ayat (3) “Untuk
Melaksanakan Penyelenggaraan JPH Sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibentuk BPJPH Yang Berkedudukan dibawah dan Bertanggung jawab Kepada
Menteri”. Pasal ini menjelaskan bahwa, pemerintah yang bertanggung jawab atas
terselenggaranya JPH, dalam hal ini pemerintahan disini adalah kementrian
agama, sebagaimana dicantumkan pada ayat (2), dan dipertegas dalam ayat (3)
bahwa untuk terbentuknya BPJPH berkedudukan atas tanggung jawab di bawah
Kementrian Agama.
4 Undang-Undang No.33 Tahun 2014, Pasal 61, 62, 64.
68
Dari paparan diatas, secara jelas menyatakan, bahwa sertifikasi halal yang
masih berjalan saat ini masih berlaku. Sertifikasi halal masih berjalan
sebagaimana mestinya, dibentuknya BPJPH Sebagai lembaga dibawah tanggung
jawab Kementrian Agama. Jika dalam batas waktu 3 tahun sampai dengan tahun
2017 pemerintah belum membentuk lembaga yang dimaksud, maka kewenangan
sertifikasi halal yang sudah ada masih tetap berjalan sebagaimana adanya.
B. Kewenangan dan Kedudukan LPPOM MUI Pasca Undang Undang No. 33
Tahun 2014
Dalam pembentukan Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan
Produk Halal ini, banyak terjadi perdebatan. Proses yang sangat panjang seperti
yang diberitakan di media massa, karena menyangkut kehidupan masyarakat
Indonesia yang notabene mayoritas muslim bahwa masalah pemberian sertifikasi
halal menuai banyak sorotan. UU Jaminan Produk Halal yang diusulkan atas
inisiatif DPR sejak 2006 belum juga diselesaikan pembahasannya hingga akhir
masa tugas periode 2009-2014. Hingga akhirnya disahkan oleh presiden pada
Tahun 2014 yang lalu.
LPPOM MUI sebagai lembaga non pemerintah yang selama ni menangani
setifikasi halal, atau bisa dikatakan sebagai penjamin kehalalan suatu produk.
Harus beradabtasi Pasca lahirnya UU No.33 Tahun 2014, dalam Undang-Undang
No.33 Tahun 2014 Pasal 1 ayat 6 yg berbunyi “Badan Penyelenggara Jaminan
Produk Halal yang Selanjutnya disingkat BPJPH Adalah Badan yang dibentuk
oleh Pemerintah untuk Menyelenggarakan JPH”. Dalam pasal di atas, telah jelas
dipaparkan, bahwa badan penyelenggara Jaminan Produk Halal disini dibentuk
69
oleh pemerintah, pemerintah yang membentuk team work untuk pengesahan
sertifikasi halal.
Dalam pasal lain, tentang ketentuan jaminan produk halal. Dalam penjelasan
Bab II mengenai penyelenggara jaminan produk halal, pada Pasal 5 ayat (1)
dijelaskan bahwa “Pemerintah Bertanggung Jawab dalam Menyelenggarakan
JPH”. Dalam hal ini dipertegas oleh Pasal 5 ayat (2) yg berbunyi
“Penyelenggaraan JPH Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Pemerintah”. Artinya, penyelenggaraan jaminan produk halal dilakukan oleh
pemerintah, dalam hal ini adalah kementrian agama.
Jika melihat penjelasan dari pasal diatas Huruf (a-J) sudah jelas bahwa
dalam pelaksanaan nya, perumusan dan penetapan Jaminan Produk Halal (JPH)
dikerjakan oleh pemerintah, walaupun dalam Hal ini BPJPH belum terbentuk,
karena tugas, fungsi dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan
pemerintah.5
Pada ayat selanjutnya pun demikian, penetapan norma, standar, prosedur,
dan kriteria Jaminan produk halal, menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan
label halal pada produk, melakukan registrasi sertifikasi halal pada produk luar
negeri, melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal, melakukan
akreditasi terhadap Lembaga Produk Halal, melakukan registrasi auditor halal,
melakukan pengawasan terhadap JPH, melakukan pembinaan Auditor Halal dan
melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang
penyelenggaraan JPH, dalam hal ini semua keterangan yang ada pada Pasal 6 UU
5 UU No.33 Tahun 2014 Bab II, Pasal 5 ayat (5)
70
No.33 Tahun 2014 tentang kewenangan BPJPH, menegaskan kewenangan BPJPH
dalam mengurus sertifikasi halal, yang dalam hal ini belum ditentukan oleh
pemerintah.
Didalam pasal 6 tentan wewenang Badan penyelenggara jaminan produk
halal sebagaimana termaktub “Dalam Penyelenggaraan JPH, BPJPH Berwenang:
a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH
b. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH
c. Menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk
d. Melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri
e. Melakukan sosialisasi, edukasi dan publikasi produk halal
f. Melakukan akreditasi terhadap LPH
g. Melakukan registrasi auditor Halal
h. Melakukan pengawasan terhadap JPH
i. Melakukan pembinaan Auditor Halal dan
j. Melakukan Kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang
penyelenggaraan JPH”.
Selanjutnya dalam Pasal 7 UU No.33 Tahun 2014 dijelaskan bahwa dalam
melaksanakan tugas dan wewenang yang tercantum pada Pasal 6 UU No.33
Tahun 2014, BPJPH bekerja sama dengan :
a. Kementrian dan/ atau lembaga terkait ;
b. LPH ;dan
c. MUI
71
Kerja sama BPJPH dengan kementrian dan/atau lembaga terkait
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf (a) dilakukan sesuai dengan tugas dan
fungsi kementrian dan/ atau lembaga terkait. Pada pasal selanjutnya, kerja sama
BPJPH dengan LPH sebagai mana dimaksud dalam Pasal 7 huruf (b) dilakukan
pemeriksaan dan/ atau pengujian produk. Kerja sama BPJPH dengan MUI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf (c) dilakukan dalam bentuk :
a. Sertifikasi Auditor Halal;
b. Penetapan kehalalan produk dan
c. Akreditasi LPH
Penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (b)
dikeluarkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk. Ketentuan
lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8,
pasal 9 dan Pasal 10 diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah.6
LPH yang dijelaskan pasal 12 Undang Undang jaminan produk halal “(1)
pemerintah dan/atau masyarakat dapat mendirikan LPH (2) LPH sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 mempunyai kesempatan yang sama dalam membantu
BPJPH Melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk ”. Pada
pasal ini secara terang dijelaskan bahwa ,lembaga pemeriksa halal (LPH) dapat
didirikan oleh Masyarakat ,guna membantu kinerja BPJPH dalam pelaksanaan
jaminan Produk halal. Undang undang ini membatasi ruang gerak MUI yang
selama ini berjalan, disisi lain memberikan ruang untuk masyarakat dalam
membantu pemerintah . peran serta masyarakat dalam JPH ini adalah perwujudan
6 UU No.33 Tahun 2014, Pasal 7,8,9,10.
72
dari demokrasi yang telah dijalankan . selain itu, peran serta masyarakat
menegakkan nilai utama dari menjadikan negara ini bagian dari good governence.
Lembaga penjamin halal dapat didirikan oleh siapapun dengan memenuhi kriteria
yang tertera dalam pasal 13 UU JPH. pertama , harus memiliki kantor sendiri dan
perlengkapan yang menunjang kinerja BPJPH. kedua memiliki akreditasi dari
BPJPH ketiga memiliki auditor halal paling sedikit 3 orang dan ke empat
memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang
memiliki laboratorium .
Selain itu, LPH Harus diajukan oleh lembaga keagamaan islam berbadan
hukum, melihat kasus di indonesia tentunya banyak ormas yang berbadan hukum
seperti NU dan MUHAMMADIYAH, maka ormas tersebut dapat mendirikan
LPH sebagaimana yang dimandatkan dalam undang undang, agar tidak terjadinya
bentrok antara ormas satu dengan ormas lainnya.
Dengan penjelasan dalam pasal ini, bahwa MUI tidak sepenuhnya sebagai
lembaga pemeriksa halal sebagaimana sebelum undang undang ini ada.
Selanjutnya, tergantung kepada produsen makanan akan mengajukan pemeriksaan
kehalalan produk ke lembaga manapun yang telah sejalan dengan undang undang
tersebut. Ini berarti produsen bebas menentukan pilihannya.
Dengan berdirinya banyak lembaga pemeriksa halal (LPH) dalam UU No.33
Tahun 2014, maka dengan ini akan terjadinya kompetisi yang sehat antar
lembaga. dengan adanya persaingan ini maka perlu adanya pengendalian mutu
atau kualitas oleh pemerintah terhadap Kinerja dan Sumber Daya Manusia LPH.
73
Dengan demikian proses sertifikasi halal berjalan dengan baik dan lancar ,serta
terbentuk nya pemerintahan yang transparan
C. PROSPEK SERTIFIKASI HALAL DI INDONESIA
Indonesia dikenal sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim,
juga bervariasi. Terlepas dari ranah yang ada tuntutan akan produkhalal selalu
meningkat, seiring meningkatnya agama. Untuk itu Sertifikasi halal sudah
berjalan sampai saat sekarang ini. Dengan demikian sertifikasi halal sangat
diperlukan, guna memperjelas dan memberi info produk makanan dan minuman
yang di konsumsi tidak mengandung zat-zat yang berbahaya dan dilarang dalam
agama.
Sertifikasi halal yang ada selama ini berjalan dengan baik semakin di
kukuhkan dalam undang undang No.33 tahun 2014. Hadirnya UU No.33 Tahun
2014 ini, merupakan sebuah aturan yang cukup mendesak, dan memberikan
keuntungan bukan hanya untuk melindungi umat Islam saja, tetapi juga
melindungi konsumen Non-Muslim. Selain itu di beberapa agama selain islam
babi juga turut diharamkan untuk di konsumsi. Dengan tujuan utama lainnya
adalah barang yang tersedia di pasaran telah memenuhi standar kebaikan dan
kesehatan konsumsi.
Dalam ekonomi dalam negeri Undang-Undang JPH ini dapat meminimalisir
keluar masuknya produk-produk impor dari luar Indonesia pada tahun ini dan
seterusnya. Hal ini tentunya menggiatkan pasar dlam negeri yang sempat tergerus
oleh produk luar negeri. Semakin tingginya permintaan pasar dalam negeri
tentunya akan meningkatkan ekonomi dalam negeri. Tentunya ini dengan syarat
74
adanya sinergi antara penyelenggara dan mitra (LPH) satu sama lain, Sehingga
produk-produk pangan dan minuman impor dapat di selidiki kelayakan untuk
dikonsumsi di Indonesia.
Saat ini permintaan akan produk-produk halal secara global terus
mengalami peningkatan. Untuk Pasar Asia Tenggara, ekspor produk halal
mencapai 100 juta dollar. Jumlah ini mengalami peningkatan 100% dibandingkan
tahun sebelumnya, yang hanya mencapai 50 juta dolar. Sementara volume
perdagangan produk halal dunia mencapai angka 200 miliar dolar. Data lain
menyebutkan bahwa industri produk halal mencapai 547 milyar dolar, dan dalam
waktu dekat mencapai 1 triliyun dollar7 Contoh Di Filipina yang merespon dari
peningkatan permintaan produk-produk bersertifikat halal telah mendorong
perusahaan untuk melakukan sertifikasi produknya. Saat ini sekitar 50 perusahaan
telah mendapatkan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh Dewan Dakwah Islam
Filipina (IDCP). Jumlah ini terus mengalami peningkatan, dan saat ini jumlah
makanan yang telah disertifikasi halal mencapai 450 jenis. Selain Filipina, negara
minoritas Muslim yang saat ini tengah mempersiapkan diri untuk menjadi
produsen produk halal adalah Thailand. Negara ini juga menyiapkan wilayahnya
untuk menjadi sentra produk halal dunia. Selandia Baru, sebagai negara yang
terkenal akan pengekspor daging keberbagai penjuru dunia, telah menggiatkan
sertifikasi halal sejak lama. Hampir 80 persen dari perusahaan daging yang ada di
Selandia Baru sudah mendapat sertifikasi halal. Hal ini karena tujuan ekspornya
7 www.republika.com di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48
75
sebagian besar adalah Timur Tengah. Bahkan saat ini tengah membidik pasar Asia
Tenggara, dimana jumlah-jumlah penduduk muslim yang mayoritas.
Malaysia adalah salah satu negara yang cukup serius dalam
mengembangkan produk-produk halal didunia. Beberapa usaha yang dilakukan
dalam mengambangkan produk halal ini antara lain pendirian Halal Industry
Development Corporation (HDC) dan pembangunan zona industri halal. Bahkan
halal menjadi standard global bagi semua produk dan jasa8. Usaha Pemerintah
Malaysia lainnya adalah dengan membuat portal internet sebagai mediasi dalam
perdagangan produk-produk halal dan sertifikasi halal di seluruh dunia. Hal lain
yang dilakukan adalah dengan membangun infrastruktur berteknologi tinggi.
Untuk membangun infrstruktur ini, pemerintah Malaysia melakukan kerjasama
dengan sejumlah pihak seperti perbankan, industri TI, ataupun sejumlah
Universitas. Salah satu bentuk kerjasama yang telah dilakukan adalah dengan
Microsoft Corporation, CIMB Islamic bank, Universitas Culalongkorn-Thailand
dan Al Islami Foods perusahaan makanan yang berkedudukan di Dubai.
Sejumlah produsen besar dunia saat ini telah melirik Malaysia sebagai
tempat untuk berinvestasi produk halal. Salah satunya adalah Perusahaan Nestle.
Nestle adalah salah satu perusahaan MNC pertama yang telah berinvestasi
diMalaysia pada bulan September 20069. Selain Nestle, sejumlah perusahaan juga
berniat untuk melakukan hal yang sama. Pertimbangannya sangat jelas, dengan
memproduksi makanan halal di Malaysia, mereka dapat melakukan ekspansi pasar
ke Timur Tengah yang saat ini merupakan tujuan utama dari pasar produk halal.
8 www.eramuslim.com di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48
9 www.halaljournal.com di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48
76
Tiga Alasan Utama mengapa Produk Halal diminati, Mengapa permintaan
akan produk halal meningkat? Setidaknya, fenomena ini bisa dijelaskan dengan 3
hal. Faktor pertama, aspek halal dan thoyyib merupakan salah satu aspek yang
diperhatikan bagi umat Islam dalam mengkonsumsi.
1. Halal disini tidak saja dilihat dari zat yang dikonsumsi namun juga halal
dalam perolehannya. Dalam hal ini uang yang digunakan untuk
mendapatkan barang atau jasa itu pun harus halal, misalkan hasil dari
kerja yang halal, bukan mencuri, bukan uang atas riba dan bukan pula
uang hasil dari korupsi.
2. Selain memperhatikan masalah kehalalan, dalam mengkonsumsi ummat
Islam juga harus memperhatikan masalah toyyib. Toyyib merupakan
bahasa arab yang jika di Indonesia berarti baik. Baik dalam hal ini bagi
yang mengkonsumsi juga dampaknya bagi lingkungan sekitar. Misalkan
es, ini merupakan suatu yang halal, namun bagi orang yang sakit bisa jadi
es ini bukan sesuatu yang thoyyib, karena tidak baik untuk kesehatan
kita. Dalam lingkup yang lebih besar, thoyyib tidak hanya mencakup
kebaikan bagi individu namun juga mencakup kebaikan yang lebih besar.
Misalkan ketika suatu barang diproduksi menimbulkan dampak yang
lebih besar untuk kerusakan lingkungan, maka barang tersebut bukan
termasuk yang thoyyib.
Faktor kedua yang meningkatkan permintaan produk halal adalah
meningkatnya preferensi masyarakat Non-Muslim untuk mengonsumsi produk-
produk berlabel halal. Fenomena ini terlihat di Filiphina, negara dengan penduduk
77
Muslim minoritas (hanya 10 persen dari total penduduk sebanyak 84 juta jiwa).
Fenomena ini juga terjadi di Prancis dan negara-negara Eropa lainnya. Preferensi
akan produk-produk halal ini salah satunya terkait dengan masalah kualitas yang
lebih terjamin dan hiegienitas produk-produk halal10
.
Faktor ketiga, yang menyebabkan meningkatnya produk-produk halal
ini tidak terlepas dari meningkatnya harga minyak dunia. Beberapa saat lalu
harga minyak dunia mencapai 82 $ dollar per barelnya. Suatu harga yang belum
pernah dicapai sebelumnya. Meningkatnya harga minyak dunia ini, berarti
meningkat pula pendapatan masyarakat Timur Tengah yang secara tidak langsung
akan meningkatkan daya beli dan konsumsi masyarakat mereka. Hal ini
mendorong negara-negara pengekspor makanan ke Timur Tengah sangat giat
dalam melakukan sertifikasi halal sebagai upaya peningkatan kualitas produknya.
Termasuk salah satunya New Zealand, negara pengekspor daging terbesar di
dunia.
Bagaimana Peluang pasar bagi Indonesia?, Indonesia merupakan negara
dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Dengan melihat pasar ini,
tentunya sertifikasi halal merupakan suatu hal yang niscaya. Karena
memproduksi, dan mendistribusikan produk-produk halal berarti melindungi
konsumen yang mayoritasnya Muslim.
Potensi pasar ini sudah menjadi perhatian banyak negara. Sehingga jika
Indonesia tidak jeli dalam melihat peluang ini, maka pasar produk halal di dalam
negeri akan dimasuki oleh produk-produk halal dari luar negeri. Sehingga untuk
10
www.muallaf.com di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48
78
bisa menjadi eksportir produk halal dunia, dan untuk menjadi raja di negeri
sendiri, maka yang harus dilakukan adalah sertifikasi produk halal.
Diharapkan sertifikasi tidak hanya dilakukan untuk perusahaan-perusahaan
yang berskala besar namun juga usaha menengah dan kecil bahkan kalau bisa
untuk usaha-usaha rumah tangga. Mahalnya biaya dalam proses sertifikasi halal,
menjadi peluang khusus bagi bank syariah. Karena sebagaimana diketahui bahwa
bank syariah hanya memberikan pembiayaan untuk usaha-usaha yang halal, dan
tidak untuk yang haram (misalkan pabrik minuman keras, dll). Dengan sertifikasi
halal ini, bisa mengajukan pinjaman ke bank syariah sehingga bank syariah yang
saat ini cenderung over likuiditas karena sulit untuk mencari nasabah juga jadi
dapat menyalurkan pembiayaannya.
Upaya ini telah dilakukan oleh bank-bank syariah di Malaysia, yang salah
satunya adalah CIMB Islamic Bank Bhd yang memberikan pembiayaan untuk
sertifikasi produk, dan membangun infrastruktur untuk proses sertifikasi halal.
Bahkan mereka juga melengkapinya dengan sejumlah kebijakan seperti biaya
yang lebih murah dibandingkan dengan perbankan konvensional, membuka
jaringan kantor cabang yang lebih banyak sehingga mudah diakses masyarakat.
Bank Islam ini juga memfasilitasi bagi sejumlah usaha kecil untuk masuk dalam
suatu pasar11
.
Untuk usaha-usaha mikro, usaha yang dilakukan antara lain dengan
mencantumkan komposisi bahan baku dari produk-produknya secara transparan.
Sehingga dengan demikian masyarakat dapat melihat apakah produknya halal dan
11
www.republika.co.id , di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48
79
baik untuk dikonsumsi atau tidak. Produk-produk dari industri rumah tangga ini
minimal dapat memenuhi pasar produk halal di dalam negeri. Sedangkan untuk
usaha yang lebih besar dapat meluaskan pangsa pasarnya sampai kepada pasar
luar negeri.12
Bersamaan dengan Undang-Undang No.33 Tahun 2014 , BPJPH harus
bekerja sama dengan ormas islam yang ada di Indonesia, agar dapat
berkesinambungan untuk menjalani amanat rakyat dan ummat. Terkait dengan
kehalalan suatu produk. pemerintah juga harus melihat peluang bisnis dunia, yang
mana negara lain pun mengadopsi sertifikasi halal dari Indonesia. Kendali ini
harus tetap berjalan, karena pelopor keberadaan sertifikasi halal adalah Indonesia.
Harapan masyarakat Indonesia agar pemerintah dapat menjalankan amanah
Undang-Undang No.33 Tahun 2014 dengan ekstra kerja keras. memperbanyak
SDM dalam masing masing bidang keilmuan terkait dengan keahlian masing
masing bidang.
Selanjutnya, indonesia sebagai negeri yang mayoritas penduduknya
beragama Islam membutuhkan sistem akreditasi dan sertifikasi produk halal
sebagai bentuk perlindungan kepada masyarakat. hal itu untuk mendukung
tumbuhnya produk halal di dunia, sistem tersebut harus dapat diterima secara
internasional dengan akreditasi internasional. Oleh karenanya, pemerintah
Republik Indonesia meluncurkan Skema Akreditasi dan Sertifikasi Halal.
12
Komunitas Peduli Halal, alalcare.blogspot.com/2011/07/produk-halal-perkembangan-
prospek-dan.htm, di unduh pada Senin, 23 Maret 2014, 09.48
80
Peluncuran dilaksanakan pada acara Tasyakur Milad LPPOM MUI ke-26 di
Jakarta, Selasa (13/01/2015)13
.
Kepala BSN Bambang Prasetya dalam kesempatan tersebut mengatakan,
BSN yang telah menetapkan lebih dari 8000 Standar Nasional Indonesia (SNI),
dan KAN yang saat ini telah mengakreditasi lebih dari 1200 laboratorium,
lembaga sertifikasi, dan lembaga inspeksi di seluruh wilayah tanah air, dan telah
mendapatkan pengakuan internasional dari seluruh dunia, telah bekerja sama
dengan berbagai pihak terkait, khususnya bersama dengan LPPOM MUI dalam
mengembangkan Standar Nasional persyaratan Halal dan skema akreditasi untuk
lembaga pemeriksa halal. Skema Akreditasi dan Sertifikasi Halal ini, lanjut Prof.
Bambang, telah disusun dengan melibatkan pihak-pihak terkait dan mensinergikan
peran setiap pihak sesuai dengan tanggung-jawab, kewenangan, tugas dan
fungsinya masing-masing untuk secara bersama-sama mewujudkan Sistem
Jaminan Produk Halal yang terpercaya.
Bagan Standar Nasional Persyaratan Halal dan Skema Akreditasi LPH
13
http://www.kan.or.id/?p=3399&lang=id ,di unduh pada ,20 april 2015 ,11.57
81
Prof. Bambang yang juga Ketua KAN menambahkan, di awal tahun 2015
ini, khususnya setelah penetapan Undang-Undang No, 33 tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal, dan beberapa saat sebelumnya Undang-Undang No. 20
tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, KAN akan memulai
pengoperasian Skema Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal sebagai langkah awal
dari realisasi sistem Jaminan Produk Halal di Indonesia.
Sistem ini, kata Prof. Bambang, tentu saja masih jauh dari sempurna dan
memerlukan masukan dari seluruh pihak agar ke depan sistem ini dapat mencapai
tujuannya secara efektif untuk menjamin kehalalan produk bagi muslim di
Indonesia, dan sekaligus mampu menjalankan fungsinya untuk meningkatkan
daya saing produk halal dari Indonesia dalam pasar global, dan menjaga
kedaulatan Bangsa Indonesia.14
14
http://www.kan.or.id/?p=3399&lang=id ,di unduh pada ,20 april 2015 ,11.57
82
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan yang telah ditulis dalam
penulisan sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat ditarik oleh penulis adalah
sebagai berikut:
A. Kesimpulan
1. Sesuai dengan undang undang No.33 Tahun 2014 tentang jaminan Produk
Halal bahwa kewenangan LPPOM MUI adalah sebagai LPH (Lembaga
Pemeriska Halal) dan mitra. Penjelasan selanjutnya dalam pasal 10, bahwa
kerja sama BPJPH dengan MUI /LPPOM MUI dilakukan dalam bentuk :
sertifikasi auditor Halal, penetapan kehalalan produk dan akreditasi LPH
(Lembaga Pemeriksa Halal). Dan penetapan kehalalan produk dikeluarkan
dalam bentuk keputusan penetapan halal produk. Dengan adanya
wewenang LPPOM MUI/ MUI dalam undang undang no.33 tahun 2014
sebagai mitra . Sebelum ada implementasi pada 2019, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dengan LPPOM-nya masih akan bertanggung jawab
sebagai penyelenggara jaminan halal dimasyarakat.
2. Dengan ada nya Undang Undang No.33 tahun 2014 JPH maka peluang
untuk turut serta berparsitifasi dalam penanganan sertifikasi halal terbuka
bagi ormas islam yang berbadan hukum .dengan ini akan terwujud
perlindungan konsumen muslim di Indonesia terkait dengan kehalalan
sebuah produk .
83
3. Saran
1. Dengan disahkannya UU dan hadirnya BP JPH, penulis secara pribadi
berharap perdebatan dan polemik lembaga terkait sertifikasi halal pun
dapat terselesaikan. Dengan demikian, tuduhan terkait penyalah
gunaan kewenangan sertifikasi ini pun dapat diselesaikan dan tidak
menyebabkan fitnah. MUI dan pemerintah (Kemenag) serta aparat
keamanan harus mampu mengawal implementasi UU No.33 tahun
2014 ini. Proses yang transparan pun menjadi keharusan agar tidak
kembali memunculkan tuduhan dan fitnah bagi instansi yang
berwenang, dan perlu juga dibentuknya yayasan konsumen muslim .
2. Diharapkan UU ini dapat mewajibkan para produsen mendapatkan
sertifikasi halal.Konsekuensi dari hal itu dalam implementasinya,
pemerintah atau BP JPH perlu menekankan pada pembukaan akses
sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk mendapatkan sertifikasi halal.
Pembukaan akses ini, menurut penulis , penting agar aturan ini seolah
tidak merugikan para produsen kelas menengah kebawah yang minim
informasi. UU ini harus dapat mengakomodir segala kepentingan,
tidak hanya bagi umat Islam Indonesia, tapi juga seluruh konsumen di
Tanah Air, dan Efek kemanfaatannya pun harus segera terlihat.
3. Dalam penyusunan skripsi ini mungkin ada banyak hal yang belum
sepenuhnya terselesaikan dengan baik, mengingat keterbatasan ruang
dan waktu. untuk itu, diharapkan untuk penelitian selanjutnya yang
serupa dihrapkan dapat menjadi lebih baik lagi.
84
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi Muhammad Fahmi, M.Si, Dr. Aripin Jaenal, M.Ag, Metode Penelitian
Hukum, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, cet Ke-1, Desember
2010.
AL-Qur‟an Al Karim (ayat dan Tarjamah)
Amin Ma‟ruf, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas Jakarta, 2011)
Cet. Ke-3. h.313
Ar-Rifa‟I Nasib Muhammad “TAISIR AL-ALIYYUL QADIR LI IKHTISHARI
TAFSIR IBNU KATSIR,jilid 2”(Gema Insani Press, 1999
Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Modul Pelatihan
Auditor Internal Halal,Jakarta: Departemen Agama RI. 2003
Bisri hasan Cik , Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004)
Danim Sudarman, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia,2002)
Gabriel Amin Silalahi, Metode Penelitian Studi Kasus, (Sidoarjo : CV
Mitra Media, 2003)
Dewi Candra Diana, Rahasia dibalik Makanan Haram, (Malang: UIN-
Malang,2007), Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram, (Jakarta: Rabbani
Pers, 2002)
Fadhl „I-Lah Mahdi (1987:5) Mengindentikan Ilmu Ushul Fiqh dengan Ilmu
Mantiq Syar‟i dengan Mengadaptasi Ilmu Mantiq Aristoteles.
Hakim Lukmanul ,“Sertifikasi Halal MUI Sebagai Upaya Jaminan Produk
Halal” dalam Ichwan Sam, et. al., Ijma’ Ulama Keputusan Ijtima’ Ulama
Komisi Fatwa Se- Indonesia III Tahun 2009, Jakarta: Majelis Ulama
Indonesia, Cet. ke-1, 2009
Hambal bin Ahmad, Kitab Musnad Ahmad, Muassasah Qurthubah, Kairo, Jilid :
3
Himpunan Keputusan Musyawarah Daerah VII Majelis Ulama Indonesia Propinsi
Jawa Tengah, Semarang: Majelis Ulama Indonesia, 2006,
Ibrahim Johnny, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Noormatif, (Malang :
Bayu Media Publishing, 2008), h.2
85
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, Panduan Umum Sistem
Jaminan Halal LP POM MUI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2008
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, loc. Cit
Miru Ahmad & Yodo Sutarman, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet. ke-7, edisi
ke-1, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011
Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, op. cit
Proyek Pembinaan Pangan Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Fatwa Produk Halal, Jakarta:
Departemen Agama RI., 2003
Qaradhawi Yusuf, Halal dan Haram (Jakarta: Rabbani Pers,2002
Sugono Bambang, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003)
Sasmito Adi Wiku, “Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam
Labeling Obat dan Makanan” dalam Studi Kasus: Analisis Kebijakan
Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008,
Tulisan Harahap yahya M, Cara lengkap, dapat dibaca dalam Cik Hasan Bisri
(Penyunting), Kompilasi Hukum Islam Tentang Peradilan Agama Dalam
Sistem Hukum Nasional, Logos Wacana Ilmu, 1999 a,
Zainal Asikin ,Amirudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004) ,
الحالوالحرام في االسالم يوسوف القرضاوي
WEBSITE
http://alalcare.blogspot.com/2011/07/produk-halal-perkembangan-prospek-
dan.html
http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profilmui.html
http://mui.or.id/sekilas-mui
http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/go_to_section/2/31/page/11
86
http://uai.ac.id/2011/04/13/opini-ilmiah-hukum/
http://mui.or.id/mui/homepage/berita/berita-singkat/pernyataan-sikap-majelis-
ulama-indonesia-tentang-sertifikasi-halal-dan-pengakuan-lembaga-sertifikasi-
halal-luar-negeri.html
http://www.kan.or.id/?p=3399&lang=id
http://doa-bagirajatega.blogspot.com/2014/10/kontroversi-uu-jaminan-produk-
halal.html
SALINAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2014
TENTANG
JAMINAN PRODUK HALAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya
itu;
b. bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk
beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara
berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan
tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan
digunakan masyarakat;
c. bahwa produk yang beredar di masyarakat belum
semua terjamin kehalalannya;
d. bahwa pengaturan mengenai kehalalan suatu produk
pada saat ini belum menjamin kepastian hukum dan
perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-
undangan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d perlu membentuk Undang-Undang tentang Jaminan
Produk Halal;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), Pasal 28J, dan
Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Dengan . . .
- 2 -
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait
dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk
kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik,
serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau
dimanfaatkan oleh masyarakat.
2. Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan
halal sesuai dengan syariat Islam.
3. Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH
adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin
kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan,
pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.
4. Bahan adalah unsur yang digunakan untuk
membuat atau menghasilkan Produk.
5. Jaminan Produk Halal yang selanjutnya
disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap
kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan
Sertifikat Halal.
6. Badan . . .
- 3 -
6. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang
selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang
dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan
JPH.
7. Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya
disingkat MUI adalah wadah musyawarah para
ulama, zuama, dan cendekiawan muslim.
8. Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat
LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan
pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan
Produk.
9. Auditor Halal adalah orang yang memiliki
kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan
Produk.
10. Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu
Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan
fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI.
11. Label Halal adalah tanda kehalalan suatu Produk.
12. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau
badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan
badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan
usaha di wilayah Indonesia.
13. Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab
terhadap PPH.
14. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan
hukum.
15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang agama.
Pasal 2 . . .
- 4 -
Pasal 2
Penyelenggaraan JPH berasaskan:
a. pelindungan;
b. keadilan;
c. kepastian hukum;
d. akuntabilitas dan transparansi;
e. efektivitas dan efisiensi; dan
f. profesionalitas.
Pasal 3
Penyelenggaraan JPH bertujuan:
a. memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan,
dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi
masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan
Produk; dan
b. meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha
untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.
Pasal 4
Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di
wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
BAB II
PENYELENGGARA JAMINAN PRODUK HALAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1) Pemerintah bertanggung jawab dalam
menyelenggarakan JPH.
(2) Penyelenggaraan . . .
- 5 -
(2) Penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
(3) Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk
BPJPH yang berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab kepada Menteri.
(4) Dalam hal diperlukan, BPJPH dapat membentuk
perwakilan di daerah.
(5) Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan
organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Kedua
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
Pasal 6
Dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang:
a. merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
JPH;
c. menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan
Label Halal pada Produk;
d. melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk
luar negeri;
e. melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi
Produk Halal;
f. melakukan akreditasi terhadap LPH;
g. melakukan registrasi Auditor Halal;
h. melakukan pengawasan terhadap JPH;
i. melakukan pembinaan Auditor Halal; dan
j. melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan
luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.
Pasal 7 . . .
- 6 -
Pasal 7
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, BPJPH bekerja sama dengan:
a. kementerian dan/atau lembaga terkait;
b. LPH; dan
c. MUI.
Pasal 8
Kerja sama BPJPH dengan kementerian dan/atau
lembaga terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf a dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi
kementerian dan/atau lembaga terkait.
Pasal 9
Kerja sama BPJPH dengan LPH sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf b dilakukan untuk pemeriksaan
dan/atau pengujian Produk.
Pasal 10
(1) Kerja sama BPJPH dengan MUI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dalam
bentuk:
a. sertifikasi Auditor Halal;
b. penetapan kehalalan Produk; dan
c. akreditasi LPH.
(2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dikeluarkan MUI dalam bentuk
Keputusan Penetapan Halal Produk.
Pasal 11 . . .
- 7 -
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
dan Pasal 10 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Ketiga
Lembaga Pemeriksa Halal
Pasal 12
(1) Pemerintah dan/atau masyarakat dapat mendirikan
LPH.
(2) LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai kesempatan yang sama dalam
membantu BPJPH melakukan pemeriksaan
dan/atau pengujian kehalalan Produk.
Pasal 13
(1) Untuk mendirikan LPH sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12, harus dipenuhi persyaratan:
a. memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya;
b. memiliki akreditasi dari BPJPH;
c. memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga)
orang; dan
d. memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja
sama dengan lembaga lain yang memiliki
laboratorium.
(2) Dalam hal LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didirikan oleh masyarakat, LPH harus diajukan oleh
lembaga keagamaan Islam berbadan hukum.
Pasal 14 . . .
- 8 -
Pasal 14
(1) Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 huruf c diangkat dan diberhentikan oleh LPH.
(2) Pengangkatan Auditor Halal oleh LPH sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. berpendidikan paling rendah sarjana strata 1
(satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik
industri, biologi, atau farmasi;
d. memahami dan memiliki wawasan luas
mengenai kehalalan produk menurut syariat
Islam;
e. mendahulukan kepentingan umat di atas
kepentingan pribadi dan/atau golongan; dan
f. memperoleh sertifikat dari MUI.
Pasal 15
Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
bertugas:
a. memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan;
b. memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk;
c. memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan;
d. meneliti lokasi Produk;
e. meneliti peralatan, ruang produksi, dan
penyimpanan;
f. memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk;
g. memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan
h. melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian
kepada LPH.
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB III . . .
- 9 -
BAB III
BAHAN DAN PROSES PRODUK HALAL
Bagian Kesatu
Bahan
Pasal 17
(1) Bahan yang digunakan dalam PPH terdiri atas
bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan
bahan penolong.
(2) Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal
dari:
a. hewan;
b. tumbuhan;
c. mikroba; atau
d. bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi,
proses biologi, atau proses rekayasa genetik.
(3) Bahan yang berasal dari hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a pada dasarnya halal,
kecuali yang diharamkan menurut syariat.
Pasal 18
(1) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3)
meliputi:
a. bangkai;
b. darah;
c. babi; dan/atau
d. hewan yang disembelih tidak sesuai dengan
syariat.
(2) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI.
Pasal 19 . . .
- 10 -
Pasal 19
(1) Hewan yang digunakan sebagai bahan Produk wajib
disembelih sesuai dengan syariat dan memenuhi
kaidah kesejahteraan hewan serta kesehatan
masyarakat veteriner.
(2) Tuntunan penyembelihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
(1) Bahan yang berasal dari tumbuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b pada
dasarnya halal, kecuali yang memabukkan dan/atau
membahayakan kesehatan bagi orang yang
mengonsumsinya.
(2) Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang
dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi,
atau proses rekayasa genetik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan huruf
d diharamkan jika proses pertumbuhan dan/atau
pembuatannya tercampur, terkandung, dan/atau
terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan.
(3) Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri
berdasarkan fatwa MUI.
Bagian Kedua
Proses Produk Halal
Pasal 21
(1) Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan
dengan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan,
pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk
tidak halal.
(2) Lokasi . . .
- 11 -
(2) Lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib:
a. dijaga kebersihan dan higienitasnya;
b. bebas dari najis; dan
c. bebas dari Bahan tidak halal.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lokasi, tempat, dan
alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Pelaku Usaha yang tidak memisahkan lokasi,
tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis; atau
b. denda administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi administratif diatur dalam
Peraturan Menteri.
BAB IV
PELAKU USAHA
Pasal 23
Pelaku Usaha berhak memperoleh:
a. informasi, edukasi, dan sosialisasi mengenai sistem
JPH;
b. pembinaan dalam memproduksi Produk Halal; dan
c. pelayanan untuk mendapatkan Sertifikat Halal
secara cepat, efisien, biaya terjangkau, dan tidak
diskriminatif.
Pasal 24 . . .
- 12 -
Pasal 24
Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat
Halal wajib:
a. memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;
b. memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan,
pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara
Produk Halal dan tidak halal;
c. memiliki Penyelia Halal; dan
d. melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada
BPJPH.
Pasal 25
Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal
wajib:
a. mencantumkan Label Halal terhadap Produk yang
telah mendapat Sertifikat Halal;
b. menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh
Sertifikat Halal;
c. memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat
pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara
Produk Halal dan tidak halal;
d. memperbarui Sertifikat Halal jika masa berlaku
Sertifikat Halal berakhir; dan
e. melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada
BPJPH.
Pasal 26
(1) Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan
yang berasal dari Bahan yang diharamkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20
dikecualikan dari mengajukan permohonan
Sertifikat Halal.
(2) Pelaku . . .
- 13 -
(2) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada
Produk.
Pasal 27
(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai
sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif; atau
c. pencabutan Sertifikat Halal.
(2) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2)
dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis; atau
c. denda administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi administratif diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 28
(1) Penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 huruf c bertugas:
a. mengawasi PPH di perusahaan;
b. menentukan tindakan perbaikan dan
pencegahan;
c. mengoordinasikan PPH; dan
d. mendampingi Auditor Halal LPH pada saat
pemeriksaan.
(2) Penyelia Halal harus memenuhi persyaratan:
a. beragama Islam; dan
b. memiliki wawasan luas dan memahami syariat
tentang kehalalan.
(3) Penyelia . . .
- 14 -
(3) Penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan
dan dilaporkan kepada BPJPH.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal
diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB V
TATA CARA MEMPEROLEH SERTIFIKAT HALAL
Bagian Kesatu
Pengajuan Permohonan
Pasal 29
(1) Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku
Usaha secara tertulis kepada BPJPH.
(2) Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi
dengan dokumen:
a. data Pelaku Usaha;
b. nama dan jenis Produk;
c. daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan
d. proses pengolahan Produk.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengajuan permohonan Sertifikat Halal diatur
dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Penetapan Lembaga Pemeriksa Halal
Pasal 30
(1) BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan
pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.
(2) Penetapan . . .
- 15 -
(2) Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima)
hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2)
dinyatakan lengkap.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penetapan LPH diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan dan Pengujian
Pasal 31
(1) Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1)
dilakukan oleh Auditor Halal.
(2) Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi
usaha pada saat proses produksi.
(3) Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdapat Bahan yang
diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian
di laboratorium.
(4) Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha
wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal.
Pasal 32
(1) LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau
pengujian kehalalan Produk kepada BPJPH.
(2) BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau
pengujian kehalalan Produk kepada MUI untuk
memperoleh penetapan kehalalan Produk.
Bagian . . .
- 16 -
Bagian Keempat
Penetapan Kehalalan Produk
Pasal 33
(1) Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI.
(2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal.
(3) Sidang Fatwa Halal MUI sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mengikutsertakan pakar, unsur
kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait.
(4) Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) memutuskan kehalalan Produk paling lama
30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil
pemeriksaan dan/atau pengujian Produk dari
BPJPH.
(5) Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh MUI.
(6) Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada BPJPH
untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.
Bagian Kelima
Penerbitan Sertifikat Halal
Pasal 34
(1) Dalam hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menetapkan halal
pada Produk yang dimohonkan Pelaku Usaha,
BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal.
(2) Dalam hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menyatakan
Produk tidak halal, BPJPH mengembalikan
permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha
disertai dengan alasan.
Pasal 35 . . .
- 17 -
Pasal 35
Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (1) diterbitkan oleh BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari
kerja terhitung sejak keputusan kehalalan Produk
diterima dari MUI.
Pasal 36
Penerbitan Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 wajib dipublikasikan oleh BPJPH.
Bagian Keenam
Label Halal
Pasal 37
BPJPH menetapkan bentuk Label Halal yang berlaku
nasional.
Pasal 38
Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal
wajib mencantumkan Label Halal pada:
a. kemasan Produk;
b. bagian tertentu dari Produk; dan/atau
c. tempat tertentu pada Produk.
Pasal 39
Pencantuman Label Halal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak
mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal 41 . . .
- 18 -
Pasal 41
(1) Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 dan Pasal 39 dikenai sanksi
administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis; atau
c. pencabutan Sertifikat Halal.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Pembaruan Sertifikat Halal
Pasal 42
(1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun
sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat
perubahan komposisi Bahan.
(2) Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku
Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat
Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa
berlaku Sertifikat Halal berakhir.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaruan
Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 43
Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses
JPH wajib menjaga kerahasiaan formula yang tercantum
dalam informasi yang diserahkan oleh Pelaku Usaha.
Bagian . . .
- 19 -
Bagian Kedelapan
Pembiayaan
Pasal 44
(1) Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku
Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat
Halal.
(2) Dalam hal Pelaku Usaha merupakan usaha mikro
dan kecil, biaya Sertifikasi Halal dapat difasilitasi
oleh pihak lain.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya sertifikasi
halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 45
(1) BPJPH dalam mengelola keuangan menggunakan
pengelolaan keuangan badan layanan umum.
(2) Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan BPJPH
diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VI
KERJA SAMA INTERNASIONAL
Pasal 46
(1) Pemerintah dapat melakukan kerja sama
internasional dalam bidang JPH sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kerja sama internasional dalam bidang JPH
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berbentuk pengembangan JPH, penilaian
kesesuaian, dan/atau pengakuan Sertifikat Halal.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama JPH
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 47 . . .
- 20 -
Pasal 47
(1) Produk Halal luar negeri yang diimpor ke Indonesia
berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.
(2) Produk Halal, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak perlu diajukan permohonan Sertifikat Halalnya
sepanjang Sertifikat Halal diterbitkan oleh lembaga
halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama
saling pengakuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (2).
(3) Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib diregistrasi oleh BPJPH sebelum Produk
diedarkan di Indonesia.
(4) Ketentuan mengenai tata cara registrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3)
dikenai sanksi administratif berupa penarikan
barang dari peredaran.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 49
BPJPH melakukan pengawasan terhadap JPH.
Pasal 50 . . .
- 21 -
Pasal 50
Pengawasan JPH dilakukan terhadap:
a. LPH;
b. masa berlaku Sertifikat Halal;
c. kehalalan Produk;
d. pencantuman Label Halal;
e. pencantuman keterangan tidak halal;
f. pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembelihan,
pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara
Produk Halal dan tidak halal;
g. keberadaan Penyelia Halal; dan/atau
h. kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.
Pasal 51
(1) BPJPH dan kementerian dan/atau lembaga terkait
yang memiliki kewenangan pengawasan JPH dapat
melakukan pengawasan secara sendiri-sendiri atau
bersama-sama.
(2) Pengawasan JPH dengan kementerian dan/atau
lembaga terkait sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
BAB . . .
- 22 -
BAB VIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 53
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam
penyelenggaraan JPH.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berupa:
a. melakukan sosialisasi mengenai JPH; dan
b. mengawasi Produk dan Produk Halal yang
beredar.
(3) Peran serta masyarakat berupa pengawasan Produk
dan Produk Halal yang beredar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b berbentuk
pengaduan atau pelaporan ke BPJPH.
Pasal 54
BPJPH dapat memberikan penghargaan kepada
masyarakat yang berperan serta dalam penyelenggaraan
JPH.
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta
masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dalam
Peraturan Menteri.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 56
Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk
yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
Pasal 57 . . .
- 23 -
Pasal 57
Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses
JPH yang tidak menjaga kerahasiaan formula yang
tercantum dalam informasi yang diserahkan Pelaku
Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 58
Sertifikat Halal yang telah ditetapkan oleh MUI sebelum
Undang-Undang ini berlaku dinyatakan tetap berlaku
sampai jangka waktu Sertifikat Halal tersebut berakhir.
Pasal 59`
Sebelum BPJPH dibentuk, pengajuan permohonan atau
perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan
tata cara memperoleh Sertifikat Halal yang berlaku
sebelum Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 60
MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi
Halal sampai dengan BPJPH dibentuk.
Pasal 61
LPH yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini
berlaku diakui sebagai LPH dan wajib menyesuaikan
dengan ketentuan dalam Pasal 13 paling lama 2 (dua)
tahun terhitung sejak BPJPH dibentuk.
Pasal 62 . . .
- 24 -
Pasal 62
Auditor halal yang sudah ada sebelum Undang-Undang
ini berlaku diakui sebagai Auditor Halal dan wajib
menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 14 dan
Pasal 15 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 63
Penyelia Halal perusahaan yang sudah ada sebelum
Undang-Undang ini berlaku diakui sebagai Penyelia Halal
dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal
28 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-
Undang ini diundangkan.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 64
BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 65
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 66 . . .
- 25 -
Pasal 66
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
Peraturan Perundang-undangan yang mengatur
mengenai JPH dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.
Pasal 67
(1) Kewajiban bersertifikat halal bagi Produk yang
beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku
5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan.
(2) Sebelum kewajiban bersertifikat halal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku, jenis Produk yang
bersertifikat halal diatur secara bertahap.
(3) Ketentuan mengenai jenis Produk yang bersertifikat
halal secara bertahap sebagaimana diatur pada ayat
(2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 68
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
- 26 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 295
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2014
TENTANG
JAMINAN PRODUK HALAL
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan
menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan
pelindungan dan jaminan tentang kehalalan Produk yang
dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Jaminan mengenai Produk
Halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas pelindungan,
keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi,
efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Oleh karena itu,
jaminan penyelenggaraan Produk Halal bertujuan memberikan
kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan
Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan
menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi
Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.
Tujuan tersebut menjadi penting mengingat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan
kosmetik berkembang sangat pesat. Hal itu berpengaruh secara
nyata pada pergeseran pengolahan dan pemanfaatan bahan baku
untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta Produk
lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi
pengolahan . . .
- 2 -
pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu
pengetahuan. Pengolahan produk dengan memanfaatkan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan percampuran
antara yang halal dan yang haram baik disengaja maupun tidak
disengaja. Oleh karena itu, untuk mengetahui kehalalan dan
kesucian suatu Produk, diperlukan suatu kajian khusus yang
membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti pengetahuan di
bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi,
dan pemahaman tentang syariat.
Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya banyak Produk yang
beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya.
Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang
memiliki keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal belum
memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat
muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai JPH perlu diatur
dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup
Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan
makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk
biologi, dan produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang
dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Pokok-pokok pengaturan dalam Undang-Undang ini antara
lain adalah sebagai berikut.
1. Untuk menjamin ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan
produk yang dinyatakan halal, baik bahan yang berasal dari
bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba, maupun bahan yang
dihasilkan melalui proses kimiawai, proses biologi, atau proses
rekayasa genetik. Di samping itu, ditentukan pula PPH yang
merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan
Produk yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan
penyajian Produk.
2. Undang . . .
- 3 -
2. Undang-Undang ini mengatur hak dan kewajiban Pelaku Usaha
dengan memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang
memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang
diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas
keterangan tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian
tertentu dari Produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah
terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Produk.
3. Dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah
bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH yang
pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH. Dalam menjalankan
wewenangnya, BPJH bekerja sama dengan kementerian
dan/atau lembaga terkait, MUI, dan LPH.
4. Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan
permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH.
Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan
dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk
dilakukan oleh LPH. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi
dari BPJH yang bekerjasama dengan MUI. Penetapan kehalalan
Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI
dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang
ditandatangani oleh MUI. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal
berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI
tersebut.
5. Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang
mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Dalam rangka
memperlancar pelaksanaan penyelenggaraan JPH, Undang-
Undang ini memberikan peran bagi pihak lain seperti Pemerintah
melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah
daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah,
perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan
komunitas untuk memfasilitasi biaya sertifikasi halal bagi pelaku
usaha mikro dan kecil.
6. Dalam . . .
- 4 -
6. Dalam rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan JPH,
BPJPH melakukan pengawasan terhadap LPH; masa berlaku
Sertifikat Halal; kehalalan Produk; pencantuman Label Halal;
pencantuman keterangan tidak halal; pemisahan lokasi, tempat
dan alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal
dan tidak halal; keberadaan Penyelia Halal; dan/atau kegiatan
lain yang berkaitan dengan JPH.
7. Untuk menjamin penegakan hukum terhadap pelanggaran
Undang-Undang ini, ditetapkan sanksi administratif dan sanksi
pidana.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan asas “pelindungan” adalah bahwa
dalam menyelenggarakan JPH bertujuan melindungi
masyarakat muslim.
Huruf b
Yang dimaksud dengan asas “keadilan” adalah bahwa dalam
penyelenggaraan JPH harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara.
Huruf c
Yang dimaksud dengan asas “kepastian hukum” adalah
bahwa penyelenggaraan JPH bertujuan memberikan
kepastian hukum mengenai kehalalan suatu Produk yang
dibuktikan dengan Sertifikat Halal.
Huruf d . . .
- 5 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas “akuntabilitas dan
transparansi” adalah bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari kegiatan penyelenggaraan JPH harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas “efektivitas dan efisiensi” adalah
bahwa penyelenggaraan JPH dilakukan dengan berorientasi
pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna serta
meminimalisasi penggunaan sumber daya yang dilakukan
dengan cara cepat, sederhana, dan biaya ringan atau
terjangkau.
Huruf f
Yang dimaksud dengan asas “profesionalitas” adalah bahwa
penyelenggaraan JPH dilakukan dengan mengutamakan
keahlian yang berdasarkan kompetensi dan kode etik.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7 . . .
- 6 -
Pasal 7
Huruf a
Kementerian dan/atau lembaga terkait antara lain
kementerian dan/atau lembaga yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang perindustrian, perdagangan,
kesehatan, pertanian, standardisasi dan akreditasi, koperasi
dan usaha mikro, kecil dan menengah, serta pengawasan
obat dan makanan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 8
Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian
misalnya dalam hal pengaturan serta pembinaan dan pengawasan
industri terkait dengan bahan baku dan bahan tambahan pangan
yang digunakan untuk menghasilkan Produk Halal.
Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan
misalnya dalam pembinaan kepada Pelaku Usaha dan
masyarakat, pengawasan Produk Halal yang beredar di pasar,
serta perluasan akses pasar.
Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan
misalnya dalam hal penetapan cara produksi serta cara distribusi
obat, termasuk vaksin, obat tradisional, kosmetik, alat kesehatan,
perbekalan kesehatan rumah tangga, makanan, dan minuman.
Bentuk . . .
- 7 -
Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian
misalnya dalam hal penetapan persyaratan rumah potong
hewan/unggas dan unit potong hewan/unggas, pedoman
pemotongan hewan/unggas dan penanganan daging hewan serta
hasil ikutannya, pedoman sertifikasi kontrol veteriner pada unit
usaha pangan asal hewan, dan sistem jaminan mutu dan
keamanan pangan hasil pertanian.
Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang standardisasi
dan akreditasi misalnya dalam hal persyaratan untuk
pemeriksaan, pengujian, auditor, lembaga pemeriksa, dan
lembaga sertifikasi dalam sistem JPH sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi,
usaha mikro, kecil, dan menengah misalnya dalam hal
menyiapkan Pelaku Usaha mikro dan kecil dalam sosialisasi dan
pendampingan sertifikasi kehalalan Produk.
Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan
obat dan makanan misalnya dalam hal pengawasan produk
pangan, obat, dan kosmetik dalam dan luar negeri yang
diregistrasi dan disertifikasi halal.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12 . . .
- 8 -
Pasal 12
Ayat (1)
LPH yang didirikan pemerintah antara lain LPH yang
didirikan oleh kementerian dan/atau lembaga atau LPH yang
didirikan oleh perguruan tinggi negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21 . . .
- 9 -
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keterangan tidak halal” adalah
pernyataan tidak halal yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Produk. Keterangan dapat berupa gambar,
tanda, dan/atau tulisan.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29 . . .
- 10 -
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39 . . .
- 11 -
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kriteria “usaha mikro dan kecil” didasarkan pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang usaha
mikro dan kecil.
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain Pemerintah
melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah
daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah,
perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi,
dan komunitas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 45 . . .
- 12 -
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 13 -
Huruf b
Pengawasan Produk dan Produk Halal yang beredar
antara lain pengawasan terhadap masa berlaku
Sertifikat Halal, pencantuman Label Halal atau
keterangan tidak halal, serta penyajian antara Produk
Halal dan tidak halal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61 . . .
- 14 -
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5604