keterkaitan antara birokrasi dengan politik telah berlangsung sejak awal abad 20

Upload: star-man

Post on 06-Apr-2018

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/3/2019 Keterkaitan Antara Birokrasi Dengan Politik Telah Berlangsung Sejak Awal Abad 20

    1/6

    A. Latar Belakang

    Keterkaitan antara birokrasi dengan politik telah berlangsung sejak awal abad 20-

    an. Pemikiran yang lebih dominan pada periode 1900-1927 lebih mengarah kepada

    dikotomi politik dengan administrasi negara. Pelopor dari pemikiran-pemikiran itu di

    antaranya adalah Frank Goodnow, Leonard White dan Wodrow Wilson, Leonard White

    bahkan secara tegas menyatakan, politik seharusnya tidak boleh ikut campur tangan

    dalam proses administrasi negara (Ali Mufiz: 1986).

    Mereka berusaha membedakan fungsi politik dengan fungsi administrasi negara.

    Fungsi politik, adalah pembuatan policy (kebijakan) atau ekspresi dari kemauan negara,

    sedangkan fungsi administrasi negara adalah pelaksanaan policy tersebut. Baru pada

    tahun 1980-an, upaya untuk mengaitkan politik dengan administrasi mulai menguat.

    Sampai sekarang pun, ternyata perbincangan itu belum selesai. Dalam konteks

    Indonesia, pembicaraan seputar politisasi birokrasi masih sangat menarik, terutama

    karena praktek penyelenggaraan pemerintahan negara di Indonesia masih sangat kental

    dengan nuansa politik.

    Praktek paling vulgar terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada saat itu,

    birokrasi diposisikan sebagai salah satu instrumen untuk memobilisasi massa dengan

    didesakkannya monoloyalitas kepada pegawai negeri (birokrat). Bahkan birokrasi pada

    masa Orde Baru dianggap sebagai salah satu soko guru kekuasaan Soeharto bersama-

    sama dengan ABRI dan Golkar. Dalam setiap pemilihan umum, pegawai negeri dan

    keluarganya tidak sekadar diharuskan untuk memilih Golkar, melainkan juga diharuskan

  • 8/3/2019 Keterkaitan Antara Birokrasi Dengan Politik Telah Berlangsung Sejak Awal Abad 20

    2/6

    untuk menggalang dukungan dari masyarakat di wilayahnya masing-masing. Cara ini

    memang sangat efektif untuk menjaga kelanggengan kekuasaan Orde Baru.

    Di akhir kekuasaan Orde Baru, politisasi birokrasi dikritik habis-habisan oleh

    gerakan proreformasi. Birokrasi berusaha untuk dikembalikan pada fungsi dan perannya

    sebagai pelayan masyarakat. Ide ini sejalan dengan pemikiran sarjana-sarjana

    administrasi Barat yang berusaha melakukan reinventing government pada awal 1990-an.

    Salah satu gagasan penting dalam reinventing government adalah bagaimana agar public

    service menjadi orientasi utama dari birokrasi pemerintahan.

    Upaya untuk menghentikan terjadinya politisasi birokrasi itu ternyata tidak

    mudah. Dengan berlakunya undang-undang otonomi daerah di era reformasi ini, politisasi

    birokrasi tidak hanya tetap terjadi, tetapi juga muncul politisasi birokrasi dengan varian

    yang baru. Kalau politisasi birokrasi di era Orde Baru terjadi secara sentralized dalam

    skala nasional di bawah kendali langsung Presiden Soeharto, di era otonomi daerah ini

    fokus politisasi birokrasi bergeser di kabupaten/ kota. Sedangkan pengendali dari

    politisasi birokrasi di era otonomi daerah adalah bupati atau walikota di daerahnya

    masing-masing, sehingga partai politik yang mendapatkan keuntungan dari praktek

    politisasi birokrasi ini juga beragam, tergantung dari latar belakang politik bupati/ wali

    kota.

    Tetapi satu hal yang harus dicatat adalah bahwa politisasi birokrasi tidak terjadi di

    semua pemerintah kabupaten /kota. Hal ini berarti bahwa terjadinya politisasi birokrasi

    tergantung pada good will dari bupati/wali kota di daerahnya masing-masing. Perangkat

    pemerintahan di tingkat pusat tidak lagi mampu melakukan penetrasi terhadap pegawai

  • 8/3/2019 Keterkaitan Antara Birokrasi Dengan Politik Telah Berlangsung Sejak Awal Abad 20

    3/6

    negeri di tingkat kabupaten/ kota, karena kewenangan untuk mengelola pegawai negeri

    sipil sudah dilimpahkan kepada bupati/ wali kota.

    Bupati /wali kota mampu menjadi pengendali dari politisasi birokrasi karena di

    era otonomi daerah ini bupati /wali kota mempunyai seperangkat kewenangan yang dapat

    membuat pegawai negeri sipil mau tidak mau harus tunduk kepada bupati/ wali kota,

    kecuali bersedia menanggung risiko terhambat kariernya di birokrasi.

    Kewenangan itu antara lain dalam hal penentuan pejabat eselon, kewenangan

    bupati/wali kota dalam membuat SK pengangkatan PNS dan kewenangan dalam

    membuat SK kenaikan pangkat bagi PNS.

    Dalam hal kewenangan ini terdapat permasalah pengangkatan PNS juga mendapat

    suatu perhatian penting dikarenakan seorang kepala daerah mepunyai kepentingan

    tertentu terhadap pegawai, dimana seorang pegawai juga seorang masyarakat yang

    mempunyai hak suara

    Tetapi bukankah di era reformasi ini telah terjadi pergeseran kekuasaan dari tangan

    eksekutif ke tangan legislatif yang pada akhirnya menimbulkan terjadinya legislatif

    heavy? Di mana peran lembaga legislatif di kabupaten/ kota terhadap terjadinya politisasi

    birokrasi?

    Memang kalau melihat kewenangan lembaga legislatif dan eksekutif, seharusnya

    politisasi birokrasi hanya terjadi pada kabupaten/ kota yang dikuasai secara mayoritas

    (lebih dari 50 %) oleh salah satu partai dan bupati / waliko tanya berasal dari partai

    mayoritas tersebut. Karena kalau kondisinya semacam itu, kepentingan politik antara

  • 8/3/2019 Keterkaitan Antara Birokrasi Dengan Politik Telah Berlangsung Sejak Awal Abad 20

    4/6

    eksekutif dengan legislatif akan sejalan sehingga lembaga legislatif akan selalu

    mendukung langkah-langkah politik yang dilakukan oleh bupati/ wali kota yang

    menguntungkan partai pemegang suara mayoritas.

    Sedangkan kalau bupati/ wali kota tidak didukung oleh suara mayoritas di DPRD, maka

    akan sangat mudah digoyang oleh legislatif, bahkan tidak mustahil terjadi upaya

    pelengseran bupati oleh DPRD. Kalau kondisinya seperti ini, tentunya bupati/ wali kota

    tidak akan berani melakukan politisasi birokrasi untuk kepentingan partainya, karena

    akan menjadi musuh bersama seluruh partai politik di daerah tersebut.

    Tetapi ternyata yang terjadi tidak demikian, dalam era otonomi daerah, pada euforia

    legislative heavy ini, lembaga legislatif tetap tidak mampu menghentikan terjadinya

    mobilisasi aparatur pemerintah daerah untuk mendukung salah satu partai tertentu. Di

    Jawa Tengah misalnya, tidak ada partai politik yang menguasai legislatif secara

    mayoritas di 35 kabupaten/ kota, tetapi politisasi birokrasi tetap terjadi.

    Faktor yang paling mungkin menjadi penyebab dari terjadinya politisasi birokrasi secara

    leluasa oleh bupati/wali kota tanpa adanya perlawanan dari lembaga legislatif yang

    partainya dirugikan adalah karena anggota Dewan tersebut telah membuat kesepakatan-

    kesepakatan yang saling menguntungkan dengan bupati/ wali kota di daerah tersebut.

    Dari deal itu, tentunya anggota Dewan tersebut akan mendapatkan kompensasi material

    yang tidak sedikit. Kompensasi material itu yang dapat membuat seorang anggota Dewan

    tidak merasa dirugikan oleh terjadinya politisasi birokrasi, karena memang yang

    dirugikan hanya partainya.

  • 8/3/2019 Keterkaitan Antara Birokrasi Dengan Politik Telah Berlangsung Sejak Awal Abad 20

    5/6

    Kalau begini, berarti anggota DPRD kabupaten/ kota tidak dapat diharapkan untuk

    menghentikan terjadinya politisasi birokrasi. Pihak yang seharusnya berperan aktif

    setelah wakil partai yang duduk di lembaga legislatif tidak dapat diharapkan, tentunya

    adalah pimpinan partai politik di level yang lebih tinggi (baik di tingkat provinsi, maupun

    di tingkat pusat). Institusi partai di tingkat provinsi maupun di tingkat pusat ini dapat

    berperan dalam menghentikan terjadinya politisasi birokrasi dengan memberikan sanksi

    secara tegas kepada anggota legislatif dari partai tersebut yang terbukti membiarkan

    terjadinya politisasi birokrasi di daerah tersebut. Terlebih kepada wakil rakyat dari partai

    itu yang terbukti mendapatkan kompensasi material dari bupati/wali kota.

    Partai harus tegas, tidak saja karena perilaku anggota Dewan tersebut merugikan partai,

    tetapi lebih dari itu, perilaku anggota Dewan yang membiarkan terjadinya politisasi

    birokrasi dengan menerima kompensasi material memperlihatkan anggota Dewan

    tersebut lebih mengutamakan kepentingan pribadinya dari pada kepentingan partai.

    Perilaku semacam ini tidak boleh dibiarkan. Sudah seharusnya anggota DPRD

    kabupaten/ kota yang terbukti membiarkan terjadinya politisasi birokrasi di -recall dan

    diberhentikan secara tidak hormat dari keanggotaan partai. Dengan ancaman sanksi tegas

    semacam ini tentunya akan membuat anggota Dewan dan suatu partai tidak berani "main

    mata" dengan bupati/ wali kota.

    Di tengah berbagai hambatan prosedural yang secara tidak langsung menjadi pelindung

    bupati/ wali kota dalam melakukan berbagai penyalahgunaan kekuasaan, terobosan ini

    merupakan satu-satunya cara yang paling mungkin dilakukan untuk menggugah kemauan

  • 8/3/2019 Keterkaitan Antara Birokrasi Dengan Politik Telah Berlangsung Sejak Awal Abad 20

    6/6

    dan meningkatkan nyali anggota Dewan dalam mengingatkan bupati/ wali kota sehingga

    peluang terjadinya politisasi birokrasi dapat diminimalisir.

    Partai politik tidak perlu merasa kesulitan dalam menghadirkan bukti ataupun saksi.

    Pimpinan partai dapat menggunakan informasi dari masyarakat, media, kader partai atau

    dari mana pun sebagai dasar untuk memanggil dan meminta keterangan lebih lanjut

    kepada anggota DPRD kabupaten/ kota. Hal ini tidak sulit karena indikasi dan praktek

    terjadinya politisasi birokrasi sangat mudah dilihat karena selalu melibatkan banyak

    orang dan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat