keterkaitan antara birokrasi dengan politik telah berlangsung sejak awal abad 20
TRANSCRIPT
-
8/3/2019 Keterkaitan Antara Birokrasi Dengan Politik Telah Berlangsung Sejak Awal Abad 20
1/6
A. Latar Belakang
Keterkaitan antara birokrasi dengan politik telah berlangsung sejak awal abad 20-
an. Pemikiran yang lebih dominan pada periode 1900-1927 lebih mengarah kepada
dikotomi politik dengan administrasi negara. Pelopor dari pemikiran-pemikiran itu di
antaranya adalah Frank Goodnow, Leonard White dan Wodrow Wilson, Leonard White
bahkan secara tegas menyatakan, politik seharusnya tidak boleh ikut campur tangan
dalam proses administrasi negara (Ali Mufiz: 1986).
Mereka berusaha membedakan fungsi politik dengan fungsi administrasi negara.
Fungsi politik, adalah pembuatan policy (kebijakan) atau ekspresi dari kemauan negara,
sedangkan fungsi administrasi negara adalah pelaksanaan policy tersebut. Baru pada
tahun 1980-an, upaya untuk mengaitkan politik dengan administrasi mulai menguat.
Sampai sekarang pun, ternyata perbincangan itu belum selesai. Dalam konteks
Indonesia, pembicaraan seputar politisasi birokrasi masih sangat menarik, terutama
karena praktek penyelenggaraan pemerintahan negara di Indonesia masih sangat kental
dengan nuansa politik.
Praktek paling vulgar terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada saat itu,
birokrasi diposisikan sebagai salah satu instrumen untuk memobilisasi massa dengan
didesakkannya monoloyalitas kepada pegawai negeri (birokrat). Bahkan birokrasi pada
masa Orde Baru dianggap sebagai salah satu soko guru kekuasaan Soeharto bersama-
sama dengan ABRI dan Golkar. Dalam setiap pemilihan umum, pegawai negeri dan
keluarganya tidak sekadar diharuskan untuk memilih Golkar, melainkan juga diharuskan
-
8/3/2019 Keterkaitan Antara Birokrasi Dengan Politik Telah Berlangsung Sejak Awal Abad 20
2/6
untuk menggalang dukungan dari masyarakat di wilayahnya masing-masing. Cara ini
memang sangat efektif untuk menjaga kelanggengan kekuasaan Orde Baru.
Di akhir kekuasaan Orde Baru, politisasi birokrasi dikritik habis-habisan oleh
gerakan proreformasi. Birokrasi berusaha untuk dikembalikan pada fungsi dan perannya
sebagai pelayan masyarakat. Ide ini sejalan dengan pemikiran sarjana-sarjana
administrasi Barat yang berusaha melakukan reinventing government pada awal 1990-an.
Salah satu gagasan penting dalam reinventing government adalah bagaimana agar public
service menjadi orientasi utama dari birokrasi pemerintahan.
Upaya untuk menghentikan terjadinya politisasi birokrasi itu ternyata tidak
mudah. Dengan berlakunya undang-undang otonomi daerah di era reformasi ini, politisasi
birokrasi tidak hanya tetap terjadi, tetapi juga muncul politisasi birokrasi dengan varian
yang baru. Kalau politisasi birokrasi di era Orde Baru terjadi secara sentralized dalam
skala nasional di bawah kendali langsung Presiden Soeharto, di era otonomi daerah ini
fokus politisasi birokrasi bergeser di kabupaten/ kota. Sedangkan pengendali dari
politisasi birokrasi di era otonomi daerah adalah bupati atau walikota di daerahnya
masing-masing, sehingga partai politik yang mendapatkan keuntungan dari praktek
politisasi birokrasi ini juga beragam, tergantung dari latar belakang politik bupati/ wali
kota.
Tetapi satu hal yang harus dicatat adalah bahwa politisasi birokrasi tidak terjadi di
semua pemerintah kabupaten /kota. Hal ini berarti bahwa terjadinya politisasi birokrasi
tergantung pada good will dari bupati/wali kota di daerahnya masing-masing. Perangkat
pemerintahan di tingkat pusat tidak lagi mampu melakukan penetrasi terhadap pegawai
-
8/3/2019 Keterkaitan Antara Birokrasi Dengan Politik Telah Berlangsung Sejak Awal Abad 20
3/6
negeri di tingkat kabupaten/ kota, karena kewenangan untuk mengelola pegawai negeri
sipil sudah dilimpahkan kepada bupati/ wali kota.
Bupati /wali kota mampu menjadi pengendali dari politisasi birokrasi karena di
era otonomi daerah ini bupati /wali kota mempunyai seperangkat kewenangan yang dapat
membuat pegawai negeri sipil mau tidak mau harus tunduk kepada bupati/ wali kota,
kecuali bersedia menanggung risiko terhambat kariernya di birokrasi.
Kewenangan itu antara lain dalam hal penentuan pejabat eselon, kewenangan
bupati/wali kota dalam membuat SK pengangkatan PNS dan kewenangan dalam
membuat SK kenaikan pangkat bagi PNS.
Dalam hal kewenangan ini terdapat permasalah pengangkatan PNS juga mendapat
suatu perhatian penting dikarenakan seorang kepala daerah mepunyai kepentingan
tertentu terhadap pegawai, dimana seorang pegawai juga seorang masyarakat yang
mempunyai hak suara
Tetapi bukankah di era reformasi ini telah terjadi pergeseran kekuasaan dari tangan
eksekutif ke tangan legislatif yang pada akhirnya menimbulkan terjadinya legislatif
heavy? Di mana peran lembaga legislatif di kabupaten/ kota terhadap terjadinya politisasi
birokrasi?
Memang kalau melihat kewenangan lembaga legislatif dan eksekutif, seharusnya
politisasi birokrasi hanya terjadi pada kabupaten/ kota yang dikuasai secara mayoritas
(lebih dari 50 %) oleh salah satu partai dan bupati / waliko tanya berasal dari partai
mayoritas tersebut. Karena kalau kondisinya semacam itu, kepentingan politik antara
-
8/3/2019 Keterkaitan Antara Birokrasi Dengan Politik Telah Berlangsung Sejak Awal Abad 20
4/6
eksekutif dengan legislatif akan sejalan sehingga lembaga legislatif akan selalu
mendukung langkah-langkah politik yang dilakukan oleh bupati/ wali kota yang
menguntungkan partai pemegang suara mayoritas.
Sedangkan kalau bupati/ wali kota tidak didukung oleh suara mayoritas di DPRD, maka
akan sangat mudah digoyang oleh legislatif, bahkan tidak mustahil terjadi upaya
pelengseran bupati oleh DPRD. Kalau kondisinya seperti ini, tentunya bupati/ wali kota
tidak akan berani melakukan politisasi birokrasi untuk kepentingan partainya, karena
akan menjadi musuh bersama seluruh partai politik di daerah tersebut.
Tetapi ternyata yang terjadi tidak demikian, dalam era otonomi daerah, pada euforia
legislative heavy ini, lembaga legislatif tetap tidak mampu menghentikan terjadinya
mobilisasi aparatur pemerintah daerah untuk mendukung salah satu partai tertentu. Di
Jawa Tengah misalnya, tidak ada partai politik yang menguasai legislatif secara
mayoritas di 35 kabupaten/ kota, tetapi politisasi birokrasi tetap terjadi.
Faktor yang paling mungkin menjadi penyebab dari terjadinya politisasi birokrasi secara
leluasa oleh bupati/wali kota tanpa adanya perlawanan dari lembaga legislatif yang
partainya dirugikan adalah karena anggota Dewan tersebut telah membuat kesepakatan-
kesepakatan yang saling menguntungkan dengan bupati/ wali kota di daerah tersebut.
Dari deal itu, tentunya anggota Dewan tersebut akan mendapatkan kompensasi material
yang tidak sedikit. Kompensasi material itu yang dapat membuat seorang anggota Dewan
tidak merasa dirugikan oleh terjadinya politisasi birokrasi, karena memang yang
dirugikan hanya partainya.
-
8/3/2019 Keterkaitan Antara Birokrasi Dengan Politik Telah Berlangsung Sejak Awal Abad 20
5/6
Kalau begini, berarti anggota DPRD kabupaten/ kota tidak dapat diharapkan untuk
menghentikan terjadinya politisasi birokrasi. Pihak yang seharusnya berperan aktif
setelah wakil partai yang duduk di lembaga legislatif tidak dapat diharapkan, tentunya
adalah pimpinan partai politik di level yang lebih tinggi (baik di tingkat provinsi, maupun
di tingkat pusat). Institusi partai di tingkat provinsi maupun di tingkat pusat ini dapat
berperan dalam menghentikan terjadinya politisasi birokrasi dengan memberikan sanksi
secara tegas kepada anggota legislatif dari partai tersebut yang terbukti membiarkan
terjadinya politisasi birokrasi di daerah tersebut. Terlebih kepada wakil rakyat dari partai
itu yang terbukti mendapatkan kompensasi material dari bupati/wali kota.
Partai harus tegas, tidak saja karena perilaku anggota Dewan tersebut merugikan partai,
tetapi lebih dari itu, perilaku anggota Dewan yang membiarkan terjadinya politisasi
birokrasi dengan menerima kompensasi material memperlihatkan anggota Dewan
tersebut lebih mengutamakan kepentingan pribadinya dari pada kepentingan partai.
Perilaku semacam ini tidak boleh dibiarkan. Sudah seharusnya anggota DPRD
kabupaten/ kota yang terbukti membiarkan terjadinya politisasi birokrasi di -recall dan
diberhentikan secara tidak hormat dari keanggotaan partai. Dengan ancaman sanksi tegas
semacam ini tentunya akan membuat anggota Dewan dan suatu partai tidak berani "main
mata" dengan bupati/ wali kota.
Di tengah berbagai hambatan prosedural yang secara tidak langsung menjadi pelindung
bupati/ wali kota dalam melakukan berbagai penyalahgunaan kekuasaan, terobosan ini
merupakan satu-satunya cara yang paling mungkin dilakukan untuk menggugah kemauan
-
8/3/2019 Keterkaitan Antara Birokrasi Dengan Politik Telah Berlangsung Sejak Awal Abad 20
6/6
dan meningkatkan nyali anggota Dewan dalam mengingatkan bupati/ wali kota sehingga
peluang terjadinya politisasi birokrasi dapat diminimalisir.
Partai politik tidak perlu merasa kesulitan dalam menghadirkan bukti ataupun saksi.
Pimpinan partai dapat menggunakan informasi dari masyarakat, media, kader partai atau
dari mana pun sebagai dasar untuk memanggil dan meminta keterangan lebih lanjut
kepada anggota DPRD kabupaten/ kota. Hal ini tidak sulit karena indikasi dan praktek
terjadinya politisasi birokrasi sangat mudah dilihat karena selalu melibatkan banyak
orang dan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat