ketergantungan petani tembakau terhadap … · tembakau memerlukan biaya yang tidak sedikit,...
TRANSCRIPT
KETERGANTUNGAN PETANI TEMBAKAU TERHADAP
SISTEM KEMITRAAN PERUSAHAAN DI DESA BANSARI,
TEMANGGUNG
ALFIANA RACHMAWATI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ketergantungan Petani
Terhadap Sistem Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Alfiana Rachmwati
NIM I34090006
ABSTRAK
ALFIANA RACHMAWATI. Ketergantungan Petani Tembakau terhadap Sistem
Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggun. Dibimbing oleh HERU
PURWANDARI.
Kemitraan adalah kerjasama yang dilakukan oleh petani tembakau dan
pabrik rokok. Sosialisasi adalah salah satu bagian dari sistem kemitraan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa hubungan kemitraan menimbulkan
ketergantungan petani terhadap pihak mitra. Ketergantungan tersebut membuat
petani sulit mengakses sumberdaya teknologi, finansial, dan pasar. Pada akhirnya,
petani tembakau memilih tidak bermitra dan bekerjasama dengan tengkulak. Saat
ini, petani lebih mudah mengakses kebutuhan produksi tembakau. Selain itu,
petani juga memiliki posisi tawar yang lebih tinggi saat tidak bermitra dengan
pabrik rokok.
Kata kunci: Kemitraan, Ketergantungan, Sosialisasi, Tingkat Akses
ABSTRACT
ALFIANA RACHMAWATI. Dependency Of Tobacco Farmers in Company
Partnership System in Bansari Village, Temanggung. Supervised by HERU
PURWANDARI.
Partnership system is a collaboration by tobacco farmers and cigarette factory.
Socialization is one of part in partnership system. The result showed that
partnership system can raise the dependence of farmers on the partner. That
dependence will make it difficult for farmers to access technological, financial,
and market resources. Finally, the farmers choose to not partnering and make a
collaboration with middleman. Currently, the farmers get easier to access tobacco
production needs. In addition, the farmers also have higher bargaining position
when not partnered with cigarette factory
Keywords: Access Level, Dependency, Partnership, Socialization
KETERGANTUNGAN PETANI TEMBAKAU TERHADAP
SISTEM KEMITRAAN PERUSAHAAN DI DESA BANSARI,
TEMANGGUNG
ALFIANA RACHMAWATI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Ketergantungan Petani Tembakau Terhadap Sistem Kemitraan
Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung, Jawa Tengah
Nama : Alfiana Rachmawati
NIM : I34090006
Disetujui oleh
Heru Purwandari, SP, M.Si
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi : Ketergantungan Petani Tembakau Terhadap Sistem Kemitraan Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung, Jawa Tengah
Nama : Alfiana Rachmawati NIM : 134090006
Disetujui oleh
Hem Purwandari, SP, M.Si Pembimbing
Tanggal Lulus: 2 7 DEC 2013
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini ialah
ketergantungan, dengan judul Ketergantungan Petani Terhadap Sistem Kemitraan
Perusahaan di Desa Bansari, Temanggung. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi
syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih dan rasa hormat yang mendalam penulis ucapkan kepada Ibu
Heru Purwandari selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak
masukan, dukungan, dan selalu sabar membimbing penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini. Terima kasih mendalam juga penulis sampaikan untuk Bapak Rilus A.
Kinseng selaku dosen penguji utama, dan Ibu Anna Fatchiya selaku dosen penguji
akademik, yang telah memberi masukan selama proses ujian skripsi. Terima kasih
untuk Bapak Zainal selaku Kepala Desa Bansari, Bapak Rofi’i selaku Kepala
Dusun Banaran dan seluruh warga Dusun Banaran, Bansari yang telah membantu
dan menerima penulis dengan sangat baik selama proses pengambilan data lapang.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga tercinta, ayahanda Alwi
Romadlon, ibunda Afifah Nurhayati, Adik Alfian Hamam Akbar yang telah
memberikan doa, kasih sayang, serta dukungan yang besar kepada penulis. Tidak
lupa kepada teman satu bimbingan, Firda Emiria Utami dan Yanitha Rahmasari
yang telah banyak membantu, memberikan kritik dan saran untuk menyelesaikan
skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh teman-teman
di SKPM 46, BEM KM IPB 2013 “Kreasi Untuk Negeri”, dan KOMINFO BEM
KM IPB 2013 yang telah bersedia menjadi teman berdiskusi dan bertukar opini
serta pemberi semangat dengan sukarela. Akhir kata semoga karya ilmiah ini
dapat bermanfaat bagi banyak pihak yang telah membacanya.
Bogor, Januari 2014
Alfiana Rachmawati
NIM I34090006
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
PENDEKATAN TEORITIS 5
Pola-Pola Kemitraan 5
Sosialisasi, Pembinaan dan Pengembangan 6
Analisis Stakeholder dan Pola Hubungan yang Terbentuk 7
Posisi Petani dalam Kemitraan 9
Mekanisme Ketergantungan 10
Kerangka Pemikiran 12
Hipotesis Penelitian 12
Definisi Konseptual 13
Definisi Operasional 13
METODE PENELITIAN 15
Pendekatan Penelitian 15
Lokasi dan Waktu 15
Penentuan Responden dan Informan Penelitian 16
Teknik Pengolahan dan Analisis Data 16
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 17
Kondisi Geografis dan Infrastruktur Desa 17
Kependudukan Desa Bansari 18
Tingkat Akses Petani terhadap Teknologi, Finansial, dan Pasar 22
MEKANISME HUBUNGAN KEMITRAAN DAN POSISI PETANI DALAM
KEMITRAAN 27
Stakeholder dan Peran yang dilakukan 27
Penerimaan terhadap Sosialisasi 28
Tingkat Akses Petani 29
Hubungan Penerimaan Sosialisasi dan Tingkat Akses Petani 31
Hubungan Tingkat Ketergantungan dan Tingkat Akses Petani 33
KETERGANTUNGAN PETANI PADA TEMBAKAU 37
Sosialisasi, Akses, dan Ketergantungan 37
Kemitraan, Ketergantungan, dan Perubahan pada Petani Tembakau 38
Ketergantungan Petani pada Tembakau 40
SIMPULAN DAN SARAN 43
Simpulan 43
Saran 43
DAFTAR PUSTAKA 45
LAMPIRAN 47
RIWAYAT HIDUP 55
x
DAFTAR TABEL
1 Perbedaan Pola Hubungan Kemitraan Daerah 9
2 Penggunaan lahan Desa Bansari 17
3 Jumlah penduduk menurut kelompok umur tahun 2012 18
4 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan tahun 2012 18
5 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian 19
6 Jumlah dan persentase hubungan mitra petani tembakau Desa Bansari 20
7 Perbedaan 18 responden saat bermitra dan tidak bermitra 21
8 Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial, dan
pasar tahun 2011 22
9 Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial, dan
pasar tahun 2012 22
10 Jumlah dan persentase petani dalam menyiapkan modal 24
11 Jumlah dan persentase responden menurut penerimaan terhadap sosialisasi 28
12 Jumlah dan persentase penerimaan jenis sosialisasi oleh responden, Desa
Bansari 28
13 Jumlah dan persentase tingkat akses petani Desa Bansari 29
14 Perbedaan tingkat akses 18 responden di tahun 2011 dan 2012 30
15 Hubungan penerimaan sosialisasi dan tingkat akses petani 31
16 Hubungan tingkat ketergantungan petani dan tingkat akses 33
17 Perbedaan petani bermitra dan tidak bermitra 37
18 Perbedaan kondisi ketergantungan 18 responden saat bermitra (2011) dan
tidak bermitra (2012) 39
19 Jadwal Penelitian tahun 2013 48
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran 12
2 Rantai pemasaran tembakau 35
3 Masa tanam lahan Desa Bansari 40
4 Ketergantungan pada tembakau 41
DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Temanggung, Jawa Tengah 47
2 Jadwal Penelitian 48
3 Data Responden 49
4 Kuesioner 50
5 Dokumentasi 54
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Fenomena ketergantungan dalam sejarah ekonomi Indonesia dapat ditelusuri
dari kondisi perkebunan. Sejak kemunculannya pada masa kolonial, karakteristik
perkebunan tampak khas karena disamping memiliki ciri struktur internal negara
yang terkait dengan produksi dan tenaga kerja, juga terlibat dengan dunia luar dan
terintegrasi dengan sistem ekonomi dunia (Purwandari 2011). Perkebunan sebagai
salah satu sub-sektor pertanian, memainkan peranan penting bagi penerimaan
devisa negara yaitu dengan meningkatkan pendapatan petani perkebunan rakyat,
meningkatkan ekspor dan devisa negara, memperluas tenaga kerja, serta
optimalisasi pemanfaatan sumberdaya tanpa meninggalkan usaha-usaha
pelestariannya (Heriyanto 2000). Sari (2008) menambahkan bahwa salah satu
diantara komoditi perkebunan yang mempunyai peran penting tersebut adalah
tembakau.
Menurut data FAO (2002) dalam Widiyanto (2009) secara internasional,
Indonesia adalah salah satu dari sepuluh negara terbesar produsen daun tembakau.
Kontribusi Indonesia sekitar 15.000 ton daun tembakau atau 2,3% suplai dunia.
Selain itu, industri tembakau juga mampu menyediakan lapangan kerja, baik
secara langsung maupun tidak langsung bagi sekitar 6,4 juta orang meliputi 2,3
juta petani tembakau, 1,9 juta petani cengkeh, serta 900.000 orang yang bekerja di
sektor lembaga keuangan, percetakan, dan transportasi (Mukani dan Murdiyati
(2003) dalam Mamat (2006).
Industri tembakau memang dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi
petani. Tetapi, Hafsah (2003) dalam Latifah (2010) mengatakan bahwa budidaya
tembakau memerlukan biaya yang tidak sedikit, ditambah cposisi petani yang
kerap kali lemah baik dalam hal manajemen, profesionalisme, akses terhadap
permodalan, teknologi dan jaringan pemasaran. Oleh karena itu, diperlukan peran
serta pengusaha besar (pemilik modal) untuk membantu mengembangkan
usahatani petani kecil dalam bentuk kemitraan.
Kemitraan yang terjalin haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada.
Hal ini dijabarkan dalam UU No.18 tahun 2004 pasal 22, yaitu perusahaan
perkebunan melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling
menghargai, saling bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling
ketergantungan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar perkebunan.
Kemitraan usaha perkebunan polanya dapat berupa kerja sama penyediaan sarana
produksi, kerja sama produksi, pengelolaan dan pemasaran, transportasi,
operasional, kepemilikan saham, dan jasa pendukung lainnya. Penjabaran lain
juga dijelaskan dalam UU No.9 Tahun 1995 bahwa kemitraan adalah kerja sama
usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai
pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan
memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling
menguntungkan. Dalam kerjasama tersebut tersirat adanya satu bentuk
pembinaan dan pengembangan dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil
atau koperasi (Hakim 2004).
2
Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Temanggung, Jawa Tengah adalah salah
satu desa dengan penduduk yang setiap tahunnya selalu menanam tembakau.
Hubungan kemitraan dengan perusahaan juga pernah dialami oleh petani
tembakau di desa ini, salah satunya pada tahun 2011 bersama PT. Djarum. Pola
kemitraan yang terjalin adalah hubungan produksi, dimana petani hanya menjual
hasil panen tembakau kepada pabrik. Harga jual daun tembakau pun sudah
ditentukan pabrik. Sedangkan, semua kebutuhan selama proses produksi disiapkan
secara mandiri oleh petani sesuai dengan ketentuan yang diinginkan mitra.
Kemitraan yang terjalin antara petani dengan perusahaan bergantung pada
bagaimana perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Tetapi, kemitraan yang
terjadi selama ini masih terkesan menempatkan petani dalam posisi yang lemah.
Dimana petani hanya melakukan kegiatan produksi saja sesuai standar yang
diinginkan oleh perusahaan sehingga petani tidak dapat mengelola sendiri
kegiatan usahataninya (Susrusa dan Zulkifli 2009). Bachriadi (1995)
menambahkan dalam model contract farmingnya ada hubungan produksi yang
mengikat petani untuk menyediakan/menjual sejumlah hasil pertaniannya dalam
batasan-batasan tertentu (harga, mutu, dan jumlah). Pada banyak kasus, petani
tidak dapat terlibat di pasar bebas untuk kelebihan komoditi yang dimiliki, karena
akses tersebut tidak mereka miliki.
Tetapi keadaan ini tidak terjadi pada petani Garut. Kertawati (2008)
menjelaskan bahwa pola kemitraan yang terjadi di Garut adalah keterikatan
perjanjian modal dengan pabrik. Petani yang terikat perjanjian modal memilih
sistem ini dengan alasan sudah saling mengenal lama sehingga tumbuh
kepercayaan, lokasinya pun lebih dekat, dan adanya keterikatan modal. Walaupun
kondisi seperti ini membuat petani tidak dapat menjual bebas hasil produksinya
kepada pembeli lain. Penentuan harga pun juga ditentukan oleh pembeli (PT
Djarum). Berbeda dengan petani yang tidak terikat dengan modal, petani memilih
jalur ini karena dapat melakukan tawar menawar harga dengan pedagang
pengumpul, sehingga harga yang diperoleh berdasarkan kesepakatan dan dapat
menjual tembakaunya kepada pembeli manapun. Penentuan harga jual ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara petani dan pembeli. Selama proses
pelaksanaannya, banyak petani yang lebih memilih bermitra karena pola saluran
tataniaga yang pendek dan sudah ada jaminan penjualan tembakau.
Para petani mencoba untuk tetap bertahan dalam kondisi dan situasi ini,
karena pilihan untuk keluar mengharuskan diri untuk berhadapan dengan
sejumlah kepentingan ekonomi, sosial, dan politik yang lebih besar dari sekedar
usaha produksi. Apabila melihat kepentingan setiap aktor yang terlibat dalam
proses kemitraan, tampak bahwa posisi petani seperti terjepit dalam kondisi yang
bergantung dengan setiap pemberian bantuan dari pihak mitra. Hal ini dapat
dikarenakan dominasi pihak mitra dalam keterlibatan proses pengembangan usaha
produksi petani tembakau. Bachriadi (1995) melanjutkan, secara psikologis pun
sulit bagi petani untuk membebaskan diri dari struktur ini, kecuali jika ingin
kembali ke kesulitan-kesulitan masa lalu. Akibatnya tentu saja posisi tawar
menawar petani sangat rendah di hadapan pemberi kontrak. Oleh karena itu,
diciptakanlah sistem-sistem yang membuat petani terus menerus tergantung secara
teknologi, finansial dan pasar terhadap pihak mitra. Hal ini menimbulkan
pertanyaan sejauh mana kemitraan berpengaruh terhadap ketergantungan
petani tembakau pada pilihan produksi dan hubungan yang terbentuk.
3
Perumusan Masalah
Pola pengembangan tembakau yang kerap kali ditemui adalah menjalin
kemitraan dengan pihak yang dianggap menguntungkan. Berbagai jenis pola
kemitraan banyak berkembang di setiap daerah dengan ciri khas masing-masing.
Setiap pola juga melibatkan berbagai macam pihak yang dapat membantu
mencapai hasil maksimal. Oleh karena itu, timbul pertanyaan bagaimana
mekanisme kemitraan terbentuk dan siapa saja stakeholder yang terlibat? Tanpa bantuan pihak mitra, petani sulit untuk masuk dan menembus pasar
global. Faktor pembinaan, teknologi, finansial, dan akses pasar diduga menjadi
alasan terciptanya pola kemitraan pada usaha produksi tembakau. Berbagai jenis
bantuan dari mitra kerap kali diterima petani walau jumlahnya tidak banyak.
Tetapi, dengan bantuan yang diterima, umumnya petani akan bergantung pada
pihak mitra, karena penjualan dan harga jual biasanya sudah ditentukan oleh
mitra. Melihat kondisi ini, timbul pertanyaan bagaimana posisi petani dalam
hubungan kemitraan? Pada saat petani sudah bermitra, akan sulit bagi petani untuk keluar dari
lingkaran kemitraan. Lingkaran ini biasanya dibuat dan dikondisikan oleh pihak
mitra agar proses produksi dapat dikontrol dengan baik. Tetapi, saat kemitraan ini
sudah berakhir masa kontrak dan tidak lagi diperpanjang, maka petani harus
menyiapkan segala kebutuhan produksi tembakau secara mandiri. Hal ini menjadi
menarik dengan timbulnya pertanyaan bagaimana perubahan yang terjadi pada
petani ketika tidak lagi bermitra?
Tujuan Penelitian
Merujuk pada perumusan masalah yang ada, tujuan dari pelaksanaan
penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui pembentukan mekanisme kemitraan dan stakeholder yang
terlibat
2. Mengetahui posisi petani dalam hubungan kemitraan
3. Menganalisis perubahan yang terjadi pada petani ketika tidak lagi bermitra
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai
kalangan, diantaranya:
1. Peneliti dan civitas akademika, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
tambahan pengetahuan mengenai sejauh mana ketergantungan petani
tembakau terhadap sistem kemitraan yang ada.
2. Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terutama
masyarakat sekitar untuk mengetahui ketergantungan petani tembakau
terhadap sistem kemitraan yang ada.
3. Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman untuk
membuat regulasi mengenai pertanian terutama penanaman tembakau.
PENDEKATAN TEORITIS
Pola-Pola Kemitraan
Kemitraan menjadi salah satu solusi dalam pelaksanaan pengembangan
usaha pertanian. Sebagai wujud dari keterkaitan usaha dalam rangka
merealisasikan kemitraan, maka diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai
dengan sifat dan tujuan usaha yang dimitrakan sesuai dengan UU No. 9 Tahun
1995. Pola ini dapat membantu perusahaan maupun petani dalam melakukan
kerjasama kemitraan. Pola yang dimaksud, diantaranya:
1. Pola Inti Plasma
Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (a) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun
1995, yang dimaksud dengan “pola inti plasma adalah hubungan kemitraan
antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang
didalamnya Usaha Menengah atau Usaha Besar bertindak sebagai inti dan
Usaha Kecil selaku plasma, perusahaan ini melaksanakan pembinaan mulai
dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis, sampai dengan
pemasaran hasil produksi.”
2. Pola Subkontrak
Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (b) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun
1995 bahwa “pola subkontrak adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil
dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha Kecil
memproduksi komponen yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau Usaha
Besar sebagai bagian dari produksinya.” Selanjutnya menurut Soewito (1992)
dalam Hakim (2004), pola subkontraktor adalah suatu sistem yang
menggambarkan hubungan antara usaha besar dengan usaha kecil atau
menengah, dimana usaha besar sebagai perusahaan induk (parent firma)
meminta kepada usaha kecil atau menengah selaku subkontraktor untuk
mengerjakan seluruh atau sebagian pekerjaan (komponen) dengan tanggung
penuh pada perusahaan induk. Dapat pula dikatakan bahwa dalam pola
subkontrak, usaha kecil memproduksi barang dan atau jasa yang merupakan
komponen atau bagian produksi usaha menengah atau usaha besar. Oleh
karena itu, maka melalui kemitraan ini usaha menengah dan atau usaha besar
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada usaha kecil untuk
membeli bahan baku yang diperlukan secara berkesinambungan dengan harga
yang wajar.
3. Pola Dagang Umum
Menurut penjelasan Pasal 27 huruf (c) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun
1995, “pola dagang umum adalah hubungan kemitraan antara Usaha Kecil
dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar, yang di dalamnya Usaha
Menengah atau Usaha Besar memasarkan hasil produksi Usaha Kecil atau
Usaha Kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh Usaha Menengah atau
Usaha Besar mitranya”. Dengan demikian maka dalam pola dagang umum,
usaha menengah atau usaha besar memasarkan produk atau menerima
pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang
diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar mitranya.
6
4. Pola Keagenan
Berdasarkan penjelasan Pasal 27 huruf (e) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun
1995 “pola keagenan adalah hubungan kemitraan, yang di dalamnya Usaha
Kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa Usaha Menengah
atau Usaha Besar mitranya”. Dalam pola keagenan, usaha menengah dan atau
usaha besar dalam memasarkan barang dan jasa produknya memberi hak
keagenan hanya kepada usaha kecil. Dalam hal ini usaha menengah atau
usaha besar memberikan keagenan barang dan jasa lainnya kepada usaha
kecil yang mampu melaksanakannya.
5. Pola Waralaba
Menurut Penjelasan Pasal 27 Huruf (d) Undang-Undang Nomor. 9 Tahun
1995 “pola waralaba adalah hubungan kemitraan, yang di dalamnya pemberi
waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran
distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan
bimbingan manajemen”. Berdasarkan pada ketentuan seperti tersebut di atas,
dalam pola waralaba, pemberi waralaba memberikan hak untuk menggunakan
hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri usaha kepada penerima
waralaba.
Sosialisasi, Pembinaan dan Pengembangan
Menurut UU No.9 Tahun 1995, kemitraan adalah kerja sama usaha antara
usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan
dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan
memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling
menguntungkan. Dari definisi kemitraan sebagaimana tersebut di atas, mengandung
makna sebagai tanggung jawab moral pengusaha menengah/besar untuk membimbing
dan membina pengusaha kecil mitranya agar mampu mengembangkan usahanya
sehingga mampu menjadi mitra yang handal untuk menarik keuntungan dan
kesejahteraan bersama. Bobo (2003) dalam Hakim (2004) menyatakan bahwa
tujuan utama kemitraan adalah untuk mengembangkan pembangunan yang
mandiri dan berkelanjutan (Self-Propelling Growth Scheme) dengan landasan dan
struktur perekonomian yang kukuh dan berkeadilan dengan ekonomi rakyat
sebagai tulang punggung utamanya.
Dalam kerjasama tersebut tersirat adanya satu pembinaan dan
pengembangan. Hakim (2004) kembali menjelaskan bahwa yang membedakan
hubungan kemitraan dengan hubungan dagang biasa oleh pengusaha kecil dengan
pengusaha besar adalah adanya bentuk pembinaan dari pengusaha besar terhadap
pengusaha kecil atau koperasi yang tidak ditemukan pada hubungan dagang biasa.
Bentuk pembinaan dalam kemitraan antara lain pembinaan didalam mengakses
modal yang lebih besar, manajemen usaha, peningkatan Sumber Daya Manusia
(SDM), manajemen produksi, mutu produksi serta pembinaan didalam
pengembangan aspek institusi kelembagaan dan fasilitas alokasi serta investasi.
Menurut penjelasan UU No. 9 Tahun 2005 pasal 14 juga menjabarkan dalam
hubungan kemitraan, pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melakukan
pembinaan dan pengembangan usaha kecil dalam bidang pemasaran, sumber daya
manusia, teknologi, produksi dan pengolahan. Oleh karena itu, pembinaan dan
pengembangan skill petani tembakau menjadi salah satu bagian dari proses
7
kemitraan yang dilakukan dengan pihak mitra. Pembinaan ini dapat dilakukan
dengan cara melakukan proses sosialisasi berbagai faktor yang diperlukan dalam
pengembangan produksi tanam tembakau.
Analisis Stakeholder dan Pola Hubungan yang Terbentuk
Crosby (1992) dalam Iqbal (2007) mengatakan bahwa secara garis besar,
pemangku kepentingan dapat dibedakan atas tiga kelompok, yaitu:
1. Pemangku kepentingan utama, yakni yang menerima dampak positif atau
negatif (di luar kerelaan) dari suatu kegiatan.
2. Pemangku kepentingan penunjang, adalah yang menjadi perantara dalam
membantu proses penyampaian kegiatan. Mereka dapat digolongkan atas pihak
penyandang dana, pelaksana, pengawas, dan organisasi advokasi seperti
organisasi pemerintahan, LSM, dan pihak swasta. Dalam beberapa kegiatan,
pemangku kepentingan penunjang dapat merupakan perorangan atau kelompok
kunci yang memiliki kepentingan baik formal maupun informal.
3. Pemangku kepentingan kunci, yakni yang berpengaruh kuat atau penting
terkait dengan masalah, kebutuhan, dan perhatian terhadap kelancaran
kegiatan.
Stakeholder atau pemangku kepentingan menjadi pihak yang berperan
dalam pelaksanaan pemasaran tembakau petani yang sudah dipanen. Menurut
Iqbal (2007) dalam konteks sektor pertanian, secara organisasi pemangku
kepentingan dapat dikategorikan dalam lingkup yang lebih luas, yakni
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), sektor swasta, dan komunitas.
Secara perorangan atau kelompok, pemangku kepentingan mencakup aparat
pemerintah (lingkup nasional hingga lokal), peneliti, penyuluh, petani (kontak
tani, pemilik, penggarap, buruh tani), pedagang (sarana produksi dan hasil
pertanian), penyedia jasa (alsintan dan transportasi), dan pihak pihak terkait
lainnya. Sedangkan dalam sistem perdagangan tembakau, menurut Fathorrahman
dan Nasikun (2004) terdapat empat kelompok, yaitu tauke, juragan, bandol, dan
petani. Sistem perdagangan yang melibatkan kelompok tersebut cenderung
menampakkan hubungan superioritas struktural.
Pola kemitraan perdagangan tembakau dapat menjadi salah satu cara
merangkai stakeholder yang terlibat didalamnya. Menurut UU No.9 Tahun 1995,
kemitraan adalah kerja sama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah
atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha
menengah atau usaha besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan,
saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Harjono dalam Fadloli (2005)
dalam Rochmatika (2006) menambahkan bahwa kemitraan diciptakan karena
pihak pertama memerlukan sumber-sumber yang dimiliki pihak lain meliputi
modal, tanah, tenaga kerja, akses terhadap teknologi baru, kapasitas pengolahan
dan outlet untuk pemasaran hasil produksi.
Pola kemitraan ini dijelaskan oleh Santoso (2001) bahwa di Madura terdapat
dua sistem perdagangan tembakau, yaitu sistem perdagangan tembakau pasaran,
dan sistem perdagangan tembakau melalui juragan dan bandol. Sistem
perdagangan tembakau pasaran adalah cara penjualan tembakau pada hari
pasaran yaitu Minggu, Selasa dan Jumat dimana petani membawa hasil panen
tembakaunya untuk dijual di pasar. Sistem perdagangan tembakau yang kedua
8
melalui juragan dan bandol. Juragan adalah orang yang dipercaya oleh pabrik
rokok untuk membeli tembakau. Juragan ini biasanya dibantu oleh bandol yang
bertugas untuk mendapatkan tembakau dari para petani.
Sebagai upaya untuk mewujudkan kemitraan usaha yang mampu
memberdayakan ekonomi rakyat sangat dibutuhkan adanya kejelasan peran
masing-masing pihak yang terlibat dalam kemitraan tersebut. Rochmatika (2006)
menjelaskan dalam tulisannya bahwa peran pengusaha besar dalam bermitra yaitu
melaksanakan pembinaan dan pengembangan kepada pengusaha kecil dalam hal
(a) meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pengusaha kecil seperti pelatihan,
permagangan, dan keterampilan teknis produksi, (b) menyusun rencana usaha
dengan pengusaha mitra untuk disepakati bersama, (c) bertindak sebagai
penyandang dana atau penjamin kredit, (d) memberikan pelayanan dan
penyediaan sarana produksi untuk keperluan usaha, (e) menjamin pembelian hasil
produksi pengusaha mitra sesuai kesepakatan, (f) promosi hasil produksi untuk
mendapatkan pasar yang baik, dan (g) pengembangan teknologi yang mendukung
pengembangan usaha dan keberhasilan kemitraan.
Berbeda dengan kemitraan di Kabupaten Pamekasan daerah tegalan dan
sawah yang dilakukan bersama pabrik rokok Gudang Garam. Pihak pabrik
menyediakan input seperti pupuk, bibit, pestisida dan pembinaan untuk petani.
Akan tetapi, jumlah petani yang terlibat dengan kemitraan ini sedikit karena
jumlah tenaga kerja yang banyak dapat mengurangi inefisiensi produksi
tembakau. Jika dibandingkan dengan jumlah petani yang bermitra, petani
tembakau swadaya di daerah tegalan dan sawah jumlahnya jauh lebih besar hanya
dengan mengandalkan tenaga kerja dari dalam keluarga. Hal ini disebabkan
karena tenaga kerja yang tidak memiliki lahan sebagian besar bermigrasi keluar
daerah (Fauziah et al. 2010).
Lain halnya dengan hasil yang ditunjukkan Kertawati (2008) bahwa di
Kabupaten Garut mengkategorikan tataniaga tembakau atas keterikatan modal
kepada pembeli. Garut memiliki dua macam saluran tataniaga tembakau yaitu
petani yang tidak terikat perjanjian modal dan petani yang terikat perjanjian
modal. Petani yang terikat perjanjian modal adalah petani yang terikat ketentuan
menjual hasil produksinya hanya pada pembeli tertentu saja. Biasanya petani
menjual langsung kepada bandar/supplier dan kemudian langsung dikirim ke
pabrik rokok (dalam saluran ini PT Djarum). Berbeda dengan petani yang tidak
terikat dengan modal, petani dapat melakukan tawar menawar harga dengan
pedagang pengumpul, sehingga harga yang diperoleh berdasarkan kesepakatan
dan dapat menjual tembakaunya kepada pembeli manapun.
Uraian diatas menunjukkan bahwa terjadi pola hubungan antara stakeholder
yang terlibat. Merujuk pada berbagai sumber, stakeholder yang terlibat dalam
perdagangan tembakau adalah pabrik rokok/pembeli, juragan, bandol/bandar, lalu
petani sebagai pihak penyedia tembakau. Pola hubungan yang terbentuk antar
stakeholder ini terlihat dari pola kemitraan yang terjadi pada masing-masing
daerah. Akan tetapi tidak semua petani melibatkan diri dalam proses kemitraan
yang ditawarkan oleh pabrik rokok dengan alasan dapat menjualnya kepada
siapapun.
9
Tabel 1 Perbedaan Pola Hubungan Kemitraan Daerah
Daerah Stakeholder Kategori Proses Mitra Proses Non-mitra
Madura Pabrik rokok,
juragan,
bandol, petani
Pemasaran Melalui bandol
juragan
pabrik rokok
Penjualan
dilakukan secara
langsung di pasar
Pameka
san
Petani dan
pabrik rokok
Tenaga
kerja
Bekerjasama
dengan PT
Gudang Garam
Swadaya keluarga
Garut Petani dan
pembeli
Pendanaan Petani terikat
perjanjian modal
Petani tidak terikat
perjanjian modal
Posisi Petani dalam Kemitraan
Petani tembakau sebagai pihak yang menjalankan proses produksi tentunya
menjadi ujung tombak bagi industri besar rokok. Bachriadi (1995) memberikan
beberapa prasyarat agar petani dapat tetap berkembang (berkembang dalam
ketergantungan) dalam sistem ini, yaitu:
a. Stabilnya harga jual olahan pihak inti di pasar eksternal yang nilainya relatif
lebih tinggi dibanding biaya produksi minimal yang telah ditetapkan pihak
inti.
b. Tersedianya manajemen usaha bagi pihak inti.
c. Ada transfer teknologi dari pihak inti kepada petani yang berlangsung dengan
lancar dan berkesinambungan
d. Tersedianya modal usaha yang cukup untuk petani memulai usaha
produktifnya
Seluruh prasyarat tersebut pada akhirnya memang jatuh pada pihak inti,
karena pada jalinan hubungan produksi ini mereka lebih dominan. Sifat dominan
itulah yang menempatkan petani pada posisi pasif di dalam kerangka hubungan
produksi. Kepasifan petani ini dapat terlihat melalui hubungan kemitraan yang
terjalin dengan perusahaan rokok. Susrusa dan Zulkifli (2009) mencantumkan
sebuah pendapat yang menyatakan bahwa kemitraan yang terjadi selama ini masih
terkesan menempatkan petani dalam kondisi yang sangat lemah. Dimana petani
diharuskan untuk melaksanakan kegiatan usahatani sesuai analisa yang dibuat
perusahaan, sehingga petani tidak dapat bertindak sebagai manajer dalam
usahataninya melainkan hanya sebagai buruh tani yang memperoleh upah (bukan
keuntungan). Kesan ini muncul karena kegiatan usahatani dilakukan oleh petani
mitra, sedangkan evaluasi kinerja kemitraan hanya dilakukan pihak perusahaan
terhadap petani mitra. Selain itu masih ada kesepakatan-kesepakatan dalam
kemitraan yang dilaksanakan perusahaan mitra belum sesuai dengan harapan.
Sebagai contoh pelayanan dan fasilitas yang diberikan perusahaan dalam
kemitraan dinilai belum optimal, sehingga petani hanya merasa cukup puas
selama proses kemitraan yang berlangsung.
Tetapi keadaan ini tidak terjadi pada petani Garut. Kertawati (2008)
menjelaskan bahwa pola kemitraan yang terjadi di Garut adalah keterikatan
perjanjian modal dengan pabrik. Petani yang terikat perjanjian modal memilih
sistem ini dengan alasan sudah saling mengenal lama sehingga tumbuh
kepercayaan, lokasinya pun lebih dekat, dan adanya keterikatan modal. Walaupun
kondisi seperti ini membuat petani tidak dapat menjual bebas hasil produksinya
10
kepada pembeli lain. Penentuan harga pun juga ditentukan oleh pembeli (PT
Djarum) dan petani tidak memiliki kekuatan dalam menentukan harga. Berbeda
dengan petani yang tidak terikat dengan modal, petani memilih jalur ini karena
dapat melakukan tawar menawar harga dengan pedagang pengumpul, sehingga
harga yang diperoleh berdasarkan kesepakatan dan dapat menjual tembakaunya
kepada pembeli manapun. Penentuan harga jual ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara petani dan pembeli. Selama proses pelaksanaannya, banyak
petani yang lebih memilih bermitra karena pola saluran tataniaga yang pendek dan
sudah ada jaminan penjualan tembakau.
Kepasifan petani yang lain dalam hubungan kemitraan adalah organisasi
petani atau kelompok tani. Bachriadi (1995) mengatakan bahwa salah satu
mekanisme yang diupayakan dalam penerapan contract farming adalah
pengontrolan organisasi petani plasma. Petani plasma selalu diatur untuk
berorganisasi hanya dalam batas-batas yang telah ditetapkan pihak inti.
Pembatasan-pembatasan dalam organisasi petani selain untuk meredam keresahan
petani juga diperlukan perusahaan untuk mempermudah operasionalisasi
pengelolaan hubungan produksi. Pihak inti bersinggungan langsung dengan petani
pada saat penyuluhan, penimbangan hasil, atau pengukuran mutu/nilai hasil
produksi petani. Bahkan dalam penyuluhan pun pihak inti hanya memberikannya
kepada ketua-ketua kelompok tani saja. Dengan kata lain model pengorganisasian
petani lebih ditujukan untuk menunjang proses hubungan produksi antara pihak
inti dan plasma dalam perspektif kepentingan pihak inti.
Uraian diatas menunjukkan bahwa posisi petani dalam mekanisme
kemitraan ini sebenarnya kurang diuntungkan. Petani cenderung pasif dalam
setiap pengambilan keputusan produksinya. Penentuan harga dan evaluasi
kemitraan pun hanya dilakukan oleh pabrik rokok. Bachriadi (1995)
menambahkan bahwa dampak hubungan ketergantungan dalam contract farming
cenderung negatif untuk pihak plasma, karena cenderung eksploitatif dan
merampas hak berusaha dari plasma sepenuhnya, sehingga perkembangan sosial
mereka pun terhambat. Pihak plasma yang dimaksud dalam hal ini adalah petani
tembakau.
Mekanisme Ketergantungan
Purwandari (2011) mengatakan bahwa terkait dengan konteks hubungan
ekonomi Indonesia dengan negara maju, pencapaian pertumbuhan sub-sektor
perkebunan dilakukan dengan cara meningkatkan permodalan, bahan baku dan
sistem produksi, serta sistem pemasaran. Dari perkembangannya, terlihat bahwa
perkebunan menjadi sektor yang penting dalam menopang perekonomian
Indonesia. Namun sayangnya, perkebunan memberi peluang bagi terciptanya
ketergantungan negara produsen terhadap negara maju.
Secara mikro, peluang terciptanya ketergantungan ini ditunjukkan dengan
hubungan produksi antar pihak-pihak yang bermitra. Bachriadi (1995)
menjelaskan bahwa, bagi petani hubungan produksi memang memberikan satu
kesempatan dan ruang untuk berkembang. Namun, perkembangan yang dapat
dinikmati ini bersifat bergantung. Artinya, petani memasuki satu kondisi dimana
perkembangan tersebut sangat ditentukan oleh pihak lain, baik arah, orientasi,
bentuk, maupun watak. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan
11
proses sosialisasi yang diberikan oleh pihak mitra kepada petani tembakau.
Sosialisasi yang diberikan ini pada akhirnya akan mengikat petani dalam
memperoleh dan memilih faktor penentu proses produksi yang dibutuhkan selama
penanaman tembakau.
Kembali Bachriadi (1995) menjelaskan bahwa mengikat petani dalam
situasi ketergantungan finansial dan teknologi bisa dianggap sebagai satu
mekanisme yang mereka ciptakan untuk mengontrol proses produksi.
Pengontrolan proses produksi ini sangat penting untuk mencapai hasil yang sesuai
dengan keinginan mereka. Sebagai bentuk pengontrolan proses produksi, pihak
inti merencanakan menyediakan seluruh paket teknologi dan pembiayaannya.
Proses pengontrolan produksi ini dapat terlihat melalui pola kemitraan Di
Kabupaten Bojonegoro dimana PT Gudang Garam sebagai perusahaan yang
melakukan kemitraan dengan petani tembakau dapat memberikan suplai barang
produksi yang dibutuhkan petani. Latifah (2010) menjabarkannya dengan
pemberian pinjaman modal yang diberikan tepat waktu dan tidak terlambat sesuai
dengan kebutuhan petani. Selain itu, PT Gudang Garam juga menyiapkan
pengadaan saprodi, seperti benih, pupuk, pestisida, dan teknologi yang digunakan.
Penyediaan berbagai sumberdaya ini dilakukan sebagai salah satu cara
untuk menimbulkan perasaan tergantung petani. Kotter (2001) mengungkapkan
metode yang kerap kali digunakan oleh para manajer untuk menciptakan rasa
ketergantungan orang lain. Hal ini dilakukan dengan cara manajer
mengidentifikasi serta menjamin (jika perlu) beraneka sumberdaya yang
dibutuhkan orang lain untuk melakukan pekerjaannya, sumberdaya yang tidak
dimilikinya, serta sumberdaya yang tidak tersedia dimana-mana. Menurut Latifah
(2010) masalah modal awal, fluktasi harga, sarana produksi, harga jual hasil
produksi, persaingan antar petani tembakau besar dan kecil, minimnya teknologi
dan kesulitan akan akses pasar yang lebih luas dalam menyalurkan hasil panen
tembakaunya adalah permasalahan sumberdaya yang sulit dijangkau oleh petani.
Kertawati (2008) juga menjelaskan kesulitan akses sumberdaya ini menjadi
alasan petani untuk melakukan kemitraan bersama dengan perusahaan rokok
besar. Petani Garut yang terikat modal dapat menjual langsung kepada
bandar/supplier dan langsung dikirim ke pabrik rokok. Cara penjualan ini dipilih
sebagian besar petani karena petani telah meminjam modal untuk kegiatan
usahataninya kepada pembeli dan hasil yang diperoleh diserahkan kepada
pedagang tersebut sesuai dengan modal yang telah dipinjamnya dulu.
Bandar/supplier dalam saluran ini menentukan harga berdasarkan informasi dari
pabrik rokok. Dalam kondisi demikian petani tidak dapat menjual bebas kepada
pembeli lain.
Ketergantungan petani terhadap finansial dan teknologi juga dapat
memberikan manfaat sesuai harapan jika pelaksanaan kemitraan berjalan
semestinya. Santoso (2011) memberikan contoh bahwa Intensifikasi Tembakau
Rakyat (ITR) Non-program ternyata memiliki program paling efektif. Selain
produktivitasnya paling tinggi dibanding ITR lainnya yang dicapai karena pihak
petani dan pabrik rokok bekerjasama secara timbal-balik dan saling
menguntungkan.
12
Kerangka Pemikiran
Menurut beberapa sumber rujukan, pola kemitraan adalah salah satu cara
pengembangan usaha produksi tembakau. Hubungan kemitraan ini melibatkan
berbagai stakeholder dengan kesepakatan yang dibuat bersama. Salah satu
diantaranya pembinaan dalam bentuk sosialisasi terkait pembudidayaan dan
pilihan penggunaan faktor produksi yang diinginkan mitra. Proses inilah yang
pada akhirnya mempengaruhi tingkat akses petani terhadap faktor-faktor produksi
tembakau. Penyedia sarana produksi, pengambil keputusan, perolehan modal,
pasar penjualan tembakau, penentu harga jual, dan peluang terbukanya pasar
alternatif menjadi hal yang diduga menentukan tingkat akses petani.
Ketergantungan petani baru akan terlihat setelah kemitraan berjalan cukup lama.
Secara sederhana dapat dijelaskan melalui Gambar kerangka analisis berikut:
Keterangan:
: hubungan
: dianalisis secara kuantitatif
: dianalisis secara kualitatif
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka penelitian yang telah dibuat, maka hipotesis pada
penelitian ini adalah:
1. Penerimaan sosialisasi (bagian dalam kemitraan) petani tembakau
mempengaruhi tingkat akses petani terhadap sumber lain (teknologi,
finansial, dan pasar)
2. Tingkat akses petani (teknologi, finansial, dan pasar) mempengaruhi tingkat
ketergantungan petani
Tingkat akses
petani Alur penjualan
tembakau
Tingkat
ketergantungan
Pasar
alternatif
Teknologi
1. Penyediaan
sarana produksi
2. Pengambil
keputusan
Finansial
1. Modal
2. Penentuan
harga jual
Sosialisasi
Kemitraan 1. Tipe Kemitraan
2. Hubungan dengan
stakeholder lain
3. Posisi petani
13
Definisi Konseptual
Sejumlah definisi konseptual yang menjadi pegangan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Tipe kemitraan adalah pihak yang melakukan kemitraan/kerjasama dengan
petani tembakau. Tipe kemitraan ini dibagi dalam dua pihak yaitu bermitra
dengan pabrik rokok atau dengan tengkulak
2. Hubungan dengan stakeholder lain adalah hubungan yang dijalin oleh pihak
yang bermitra kepada pihak lain yang berkaitan dengan pembudidayaan
tembakau
3. Posisi petani adalah keadaan yang terjadi pada petani selama proses
kemitraan
4. Alur penjualan tembakau adalah proses distribusi hasil panen tembakau dari
petani hingga pihak mitra.
Definisi Operasional
Pengukuran variabel yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada
perumusan penjabaran masing-masing variabel tersebut secara operasional, yaitu:
1. Sosialisasi adalah keadaan dimana petani menerima informasi dari pihak
mitra yang terkait dengan pembudidayaan tembakau. Sosialisasi yang
diberikan berkaitan dengan bibit, pupuk, obat, pestisida, alat teknologi, pasar,
harga, dan pendanaan. Jumlah nilai dari dua variabel ini akan diakumulasikan
dengan interpretasi nilai sebagai berikut:
- Nilai: 1 = tidak; 2 = ya
- Skor 9-13 = penerimaan sosialisasi rendah
- Skor 14-18 = penerimaan sosialisasi tinggi
2. Tingkat akses petani adalah kondisi dimana petani berusaha mencari dan
memperoleh sumberdaya yang dibutuhkan selama proses produksi. Tingkat
akses ini akan diukur melalui tiga variabel yang dijabarkan sebagai berikut:
a. Teknologi
Penyediaan sarana produksi adalah adanya kebutuhan alat dan bahan
untuk proses produksi tembakau. Penyediaan ini menggolongkan setiap
kebutuhan dapat terpenuhi dengan baik dengan melihat jenis alat dan
bahan yang disediakan, yaitu bibit, pupuk organik, pupuk kimia,
pestisida, obat dan teknologi.
Pengambil keputusan adalah langkah yang diambil oleh para aktor
kemitraan dalam setiap proses pengolahan dan pengelolaan produksi
tembakau yang akan dilihat dalam hal pemilihan bibit, pupuk, pestisida,
obat, teknologi, dan penentuan pasar penjualan.
Jumlah nilai dari dua variabel ini akan diakumulasikan dengan
interpretasi nilai sebagai berikut:
- Nilai: 1 = tidak; 2 = ya
- Skor 11-16 = tingkat akses rendah
- Skor 17-22 = tingkat akses tinggi
14
b. Finansial
Modal adalah biaya atau dana yang digunakan oleh petani tembakau
terhadap seluruh pembayaran kebutuhan proses produksi tembakau.
Penentu harga adalah ketetapan harga yang digunakan oleh para aktor
dalam memberikan harga jual hasil produksi tembakau.
Jumlah nilai dari dua variabel ini akan diakumulasikan dengan
interpretasi sebagai berikut:
- Nilai: 1 = tidak; 2 = ya
- Skor 7-10 = tingkat akses rendah
- Skor 11-14 = tingkat akses tinggi
c. Pasar
Pasar alternatif adalah peluang terciptanya proses pemasaran yang lebih
luas oleh pihak petani terhadap hasil produksi berlebih.
Jumlah nilai dari variabel ini akan diakumulasikan dengan interpretasi
sebagai berikut:
- Nilai: 1 = tidak; 2 = ya
- Skor 5-7 = tingkat akses rendah
- Skor 8-10 = tingkat akses tinggi
Tingkat ketergantungan petani terhadap tingkat akses petani akan diukur dan
dinilai berdasarkan nilai akumulasi variabel tingkat akses yang dibagi atas
dua kategori, yaitu:
a. Tinggi: apabila akumulasi tiga variabel memiliki dominasi nilai tingkat
akses rendah
b. Rendah: apabila akumulasi tiga variabel memiliki dominasi nilai tingkat
akses tinggi
METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang didukung dengan data
kualitatif. Hal ini dilakukan sebagai upaya memperkaya data dan lebih memahami
fenomena sosial yang diteliti dengan menambahkan informasi kualitatif pada data
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif ini dilakukan dengan menggunakan instrumen
terstruktur (kuesioner) dan wawancara sampel penelitian yang telah ditentukan
untuk mengetahui tingkat akses dan ketergantungan petani tembakau. Selain itu,
perolehan data diinterpretasikan lebih mendalam menggunakan pendekatan
kualitatif dengan metode studi kasus yang bersifat deskriptif. Metode ini
digunakan untuk mengetahui tipe kemitraan yang terbentuk dan alur penjualan
tembakau. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam dan
pengamatan langsung di lokasi penelitian untuk menggali informasi lebih dalam
dari pihak informan dan responden.
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Desa Bansari, Kecamatan Bansari, Kabupaten
Temanggung, Jawa Tengah (Lampiran 1). Pemilihan lokasi tersebut dilakukan
secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Bansari merupakan
salah satu sentra penghasil tembakau terbaik di Kabupaten Temanggung. Desa
yang berada di wilayah Gunung Sindoro ini, seluruh penduduknya
bermatapencaharian sebagai petani tembakau. Hubungan kemitraan petani
dilakukan bersama pabrik rokok Djarum sepanjang tahun 2011. Kemitraan ini
hanya melibatkan petani yang menjadi anggota kelompok tani. Petani yang
terlibat wajib menanam tembakau sesuai kesepakatan. Keadaan ini menimbulkan
ketergantungan petani terhadap mitra, dan mengalami berbagai kesulitan dalam
hal akses terhadap teknologi, finansial, dan pasar. Sedangkan pada tahun 2012,
seluruh petani Desa Bansari tidak lagi bermitra dengan pabrik rokok. Hal ini
dikarenakan petani lebih memiliki kebebasan akses terhadap teknologi, finansial,
dan pasar. Melihat dua keadaan yang berbeda inilah, peneliti memilih Desa
Bansari sebagai lokasi dalam penelitian ini.
Penelitian dilaksanakan dalam waktu tujuh bulan. Waktu penelitian lapang
dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2013. Hal ini dikarenakan pada bulan
tersebut adalah rentang waktu dimulainya masa tanam tembakau. Selama
pengambilan data berlangsung, peneliti tinggal bersama objek penelitian di
lapangan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan agar
peneliti dapat mengetahui lokasi penelitian dengan baik dan juga terciptanya
hubungan sosial yang dekat dengan objek penelitian. Kegiatan penelitian lainnya
meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan,
penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Jadwal
pelaksanaan penelitian terdapat pada Lampiran 2.
16
Penentuan Responden dan Informan Penelitian
Terdapat dua subyek dalam penelitian ini, yaitu responden dan informan.
Populasi yang dipilih adalah seluruh petani di Desa Bansari, Kecamatan Bansari,
Temanggung, Jawa Tengah. Kerangka sampling yang diambil adalah seluruh
petani tembakau Desa Bansari. Responden penelitian ini adalah petani tembakau
Desa Bansari (Lampiran 3). Unit analisis dari penelitian ini adalah individu.
Peneliti memilih Dusun Banaran, Desa Bansari secara cluster dan responden
secara sensus. Keadaan ini dilihat dari populasi penduduk yang bekerja sebagai
petani tembakau murni. Selain itu, pemerintah Desa Bansari tidak memiliki data
tertulis terkait nama penduduk yang bekerja sebagai petani dan petani tembakau
khususnya. Pemerintah desa juga tidak memiliki data terkait dengan proses
kemitraan yang terjadi di tahun 2011 bersama pabrik rokok Djarum. Pendataan
petani tembakau oleh pihak desa baru dilaksanakan saat peneliti berada dilapang
yang dilakukan oleh masing-masing kepala dusun. Dusun Banaran sengaja
dipilihkan oleh pemerintah desa karena sudah mulai melakukan pendataan. Oleh
karena itu, sebanyak 65 orang petani tembakau Dusun Banaran yang sudah
terdaftar kemudian dipilih seluruhnya sebagai responden dalam penelitian ini.
Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja
(purposive). Informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memahami
perkembangan tembakau di Desa Bansari. Oleh karena itu, peneliti memilih
perangkat dan sesepuh desa. Informan ini diperlukan sebagai pemberi informasi
atau data tambahan terkait dengan penelitian yang tidak dapat diperoleh melalui
kuesioner.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang pengumpulannya dilakukan sendiri oleh
peneliti. Artinya, data tersebut diperoleh dari pengamatan langsung peneliti, yakni
hasil wawancara dengan responden/informan dan hasil pengukuran peneliti
sendiri. Data primer berupa data kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dari
responden dilakukan melalui teknik wawancara dengan alat bantu kuesioner yang
telah dipersiapkan. Sedangkan pengumpulan data dari informan dilakukan dengan
wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara. Data sekunder sebagai
data pendukung diperoleh melalui studi literatur, informasi dari internet, dokumen
yang berhubungan dengan tembakau, data potensi desa, serta berbagai dokumen
dan pustaka lainnya yang dapat menunjang penelitian.
Data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner diolah dengan menggunakan
bantuan perangkat lunak Microsoft Excel 2007. Data yang diperoleh dianalisis
dengan menggunakan teknik tabel frekuensi dan tabulasi silang. Selain itu,
dilakukan pula analisis data secara kualitatif sebagai pendukung hasil penelitian
dengan mengutip hasil wawancara mendalam. Analisis ini dilakukan kepada
responden atau informan yang disampaikan secara deskriptif guna mempertajam
hasil penelitian. Hasil analisis data kuantitatif dan kualitatif kemudian
disinergikan sehingga dapat saling melengkapi kebutuhan penelitian.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografis dan Infrastruktur Desa
Desa Bansari terletak di Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung, Jawa
Tengah dengan luas wilayah 302.4 Ha. Desa Bansari memiliki sembilan dusun
(Dusun Sawit, Dusun Tambahrejo, Dusun Srimulyo, Dusun Tegalsari, Dusun
Banaran, Dusun Bangunsari, Dusun Pringapus, dan Dusun Malatan) dengan 10
Rukun Warga (RW) dan 32 Rukun Tetangga (RT). Letak desa ini berada di lereng
Gunung Sindoro sebelah timur dengan ketinggian 1200 meter di atas permukaan
laut (dpl). Batas-batas wilayah Desa Bansari adalah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Candisari
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Gentingsari
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Mranggen Tengah
4. Sebelah Barat berbatasan dengan tanah Perhutani
Lahan seluas 302.4 Ha ini dibagi menjadi beberapa bagian penggunaan lahan
seperti pada Tabel 3.
Tabel 2 Penggunaan lahan Desa Bansari
No Penggunaan lahan Luas lahan (Ha) Persentase (%)
1 Pemukiman 30.50 10.08
2 Bangunan fisik 0.06 0.01
3 Tanah sawah 24.50 8.10
4 Tanah tegalan 247.40 81.81
Total 302.40 100
*Sumber: Profil Desa Bansari tahun 2012
Berdasarkan data pada Tabel 2, mayoritas tanah Desa Bansari, yang terdiri
dari sekitar 8% tanah sawah dan sekitar 82% tanah tegalan, digunakan sebagai
lahan pertanian. Lokasi desa ini cukup dekat dengan lereng Gunung Sindoro,
karena itu sebagian besar tanahnya adalah tanah tegalan. Tekstur tanah ini
cenderung lebih kering dibandingkan dengan tanah sawah karena lokasinya yang
berada di lereng atas Gunung Sindoro. Sedangkan, tanah sawah berada di bawah
lereng Gunung Sindoro atau di sekitar pemukiman penduduk. Saat masa tanam
tembakau tiba, maka semua tanah sawah dan tegalan hanya menanam tembakau.
Periode tanam hingga panen tembakau dimulai pada bulan Mei sampai dengan
September. Jika periode tanam tembakau selesai, maka tanah sawah Desa Bansari
biasa ditanami tanaman pokok seperti padi, jagung, kacang panjang, dan kol
putih. Sedangkan pada tanah tegalan hanya akan ditanami cabai merah dan
bawang merah. Periode tanam ini berlangsung pada bulan Oktober hingga Maret.
Sarana dan prasarana umum yang terdapat di Desa Bansari meliputi sarana
pemerintahan, sekolah, pemukiman, dan tempat peribadatan. Sebagian besar
masyarakat Desa Bansari sudah memiliki bangunan rumah atau pemukiman yang
sangat layak huni dan permanen. Alat transportasi yang digunakan oleh
masyarakat sekitar antara lain kendaraan bermotor roda dua, motor roda empat
(mobil), dan pick-up terbuka. Prasarana transportasi darat seperti jalan raya pun
sudah cukup baik dengan jalan-jalan yang menghubungkan antar dusun di Desa
Bansari. Sarana lain yang terdapat di Desa Bansari meliputi 1 buah kantor desa, 1
18
buah balai pertemuan, 1 buah kantor LPMD, 1 buah kantor PKK, 2 buah gedung
kesenian dan 4 gardu pos kamling. Sarana pendidikan terdapat 1 buah Taman
Kanak-kanak (TK), dan 2 buah Sekolah Dasar (SD). Sarana kesehatan desa
terdapat 1 buah posyandu, dan 1 buah puskesmas. Sementara itu, untuk sarana
peribadatan di Desa Bansari terdapat 7 buah masjid, 6 buah mushola, dan 1 buah
gereja.
Kependudukan Desa Bansari
Jumlah penduduk Desa Bansari pada tahun 2012 sebanyak 4 888 jiwa
dengan rincian berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki sebanyak 2 490 jiwa dan
perempuan sebanyak 2 398 jiwa. Berdasarkan kepercayaan, sebagian besar
penduduk beragama Islam dengan jumlah 4 525 jiwa, Kristen sebanyak 361 jiwa,
dan Budha sebanyak 2 jiwa.
Tabel 3 Jumlah penduduk menurut kelompok umur tahun 2012
No Kelompok umur
(tahun)
Laki-laki
(jiwa)
Perempuan
(jiwa)
Jumlah
(jiwa)
1 00 – 09 245 237 482
2 10 – 19 432 421 453
3 20 – 29 591 563 1154
4 30 – 39 572 558 1130
5 40 – 49 317 304 621
6 50 – 59 254 248 502
7 >60 79 67 146
Total 2 490 2 398 4 888
*Sumber: Profil Desa Bansari tahun 2012
Data pada Tabel 3 terlihat bahwa jumlah penduduk terbanyak berada pada
kisaran usia 20-39 tahun dengan jumlah total 2 284 jiwa jika dibandingkan dengan
jumlah penduduk usia lainnya. Berdasarkan sumber yang diperoleh dari Kepala
Desa Bansari, penduduk dengan usia 30-50 tahun adalah pekerja aktif. Tetapi
sebagian besar petani tembakau berada pada kisaran usia 40-60 tahun. Sedangkan
kisaran usia yang lain masih berada dalam jenjang pendidikan SD hingga SLTA
dan pensiunan. Kependudukan Desa Bansari berdasarkan tingkat pendidikan dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan tahun 2012
No Tingkat pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%)
1 Universitas/Akademi 110 2.30
2 SLTA/Sederajat 702 14.30
3 SLTP/Sederajat 927 19.00
4 Sekolah Dasar (SD) 2 491 51.00
5 Belum Tamat SD 558 11.40
6 Tidak Sekolah 100 2.00
Total 4 888 100
*Sumber: Profil Desa Bansari tahun 2012
19
Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Desa
Bansari belum memenuhi program wajib belajar 9 tahun karena sebanyak 2 491
penduduk desa hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar
(SD). Penduduk lebih memilih bekerja sebagai petani tembakau jika dibandingkan
harus menyelesaikan jenjang pendidikannya. Keadaan ini dipengaruhi oleh tidak
adanya sarana pendidikan lanjutan dan lokasi sekolah yang jauh dari desa. Warga
yang tergolong dalam kategori ini berada pada kisaran usia 40-59 tahun.
Pekerjaan yang ditekuni masyarakat Desa Bansari cukup beragam dengan
pembagian jenis mata pencaharian seperti pada Tabel 5.
Tabel 5 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian
No Mata pencaharian Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
1 Petani 720 41.9
2 Buruh tani 874 51.0
3 Buruh bangunan 51 2.9
4 Pedagang 45 2.6
5 Jasa angkutan 15 0.8
6 PNS 11 0.6
7 Pensiunan 4 0.2
Total 1 720 100
*Sumber: Profil Desa Bansari tahun 2012
Berdasarkan data pada Tabel 5, jumlah penduduk yang bekerja sebagai
buruh tani lebih banyak dibandingkan penduduk yang bekerja sebagai petani.
Sebagian besar petani Desa Bansari biasanya sudah memiliki lahan sawah sendiri
yang dikelola secara mandiri dengan melibatkan beberapa buruh tani. Pekerjaan
sebagai petani atau buruh tani bukanlah satu individu petani yang mewakili dalam
satu keluarga, melainkan dalam satu keluarga bisa saja terdapat tiga atau lebih
individu yang berprofesi sama. Menurut keterangan kepala desa setempat,
keadaan ini menyebabkan tidak dapat dipastikannya jumlah keluarga yang bekerja
sebagai petani maupun buruh tani.
Jika dikaitkan dengan data pada Tabel 4, menurut Kepala Desa Bansari,
warga yang bekerja sebagai petani sebagian besar adalah tamatan SLTA,
sedangkan yang bekerja sebagai buruh tani adalah warga dengan sebagian besar
tamatan tingkat SLTP dan Sekolah Dasar (SD). Penduduk yang bekerja sebagai
PNS dan seorang pensiunan biasanya tamatan universitas dan bekerja sebagai
tenaga pengajar di sekolah maupun tenaga perawat di sarana kesehatan desa.
Sedangkan penduduk yang bekerja sebagai buruh bangunan dan jasa angkutan
adalah tamatan Sekolah Dasar (SD). Penduduk yang bekerja sebagai pedagang
membuka kios warung di masing-masing teras rumahnya dan tidak terpatok pada
kisaran tamatan tingkat pendidikan, karena berdagang adalah pekerjaan
sampingan yang dapat dilakukan oleh anggota keluarga lain yang tidak bekerja.
Pada akhirnya kepala desa mengatakan bahwa sebenarnya setiap penduduk dapat
memiliki pekerjaan lebih dari satu. Bekerja sebagai petani atau buruh tani hanya
dilakukan pada pagi hari pukul 05.00 sampai 07.00 dan sore hari pukul 15.00
sampai 17.00, sehingga penduduk dapat melakukan pekerjaan lain diluar sebagai
petani.
20
Mitra Petani Tembakau
Kemitraan di Desa Bansari dilakukan bersama pabrik rokok Djarum. Akan
tetapi kemitraan ini hanya berlangsung di sepanjang tahun 2011. Kontrak yang
diberikan oleh pihak Djarum berlaku untuk satu tahun saja. Petani yang tidak
bermitra, hanya melakukan kerjasama dengan tengkulak. Setelah masa kontrak
selesai, petani memutuskan untuk tidak melanjutkan kemitraan, karena dianggap
hanya menguntungkan pihak Djarum. Sejak tahun 2012 hingga saat ini petani
hanya melakukan hubungan kerjasama dengan tengkulak. Mereka berperan
sebagai pihak yang membeli hasil panen petani. Tengkulak juga kepanjangan
tangan dari setiap pabrik rokok yang beroperasi di Temanggung. Hubungan
kemitraan yang terjadi pada tahun 2011 terlihat seperti pada Tabel 6.
Tabel 6 Jumlah dan persentase hubungan mitra petani tembakau Desa Bansari
Pihak mitra 2011 2012
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
Pabrik Rokok 18 28 0 0
Tengkulak 47 72 65 100
Total 65 100 65 100
Berdasarkan data pada Tabel 6, pada tahun 2011 sebanyak 18 responden
melakukan kemitraan dengan pabrik rokok. Responden yang bermitra dengan
pabrik rokok adalah perwakilan anggota dari setiap kelompok tani di Desa
Bansari. Pada tahun tersebut, pihak pabrik hanya ingin melakukan hubungan
kemitraan dengan kelompok tani yang ada di Desa Bansari. Sedangkan, 47
responden yang tidak bermitra bukan anggota dari kelompok tani dan hanya
bekerjasama dengan tengkulak sebagai pihak pembeli hasil panen.
“...waktu itu pernah ada kemitraan mbak, dari djarum. Tahun 2011
dan itu cuma setahun, setelah itu gak ada. Tapi, lebih enak sendiri sih,
daripada sama pabrik, hasilnya sama aja...” (Wyt, 48 tahun)
Keuntungan saat kemitraan ini berjalan sebagian besar adalah milik pabrik
rokok. Keuntungan ini berupa harga yang dipatok oleh pabrik untuk membeli
daun tembakau petani, cenderung lebih rendah dibandingkan harga pasaran pada
umumnya. Selain itu, pihak mitra hanya memberikan sosialisasi dan pengontrolan
rutin terhadap daun tembakau yang ditanam petani. Pihak mitra juga hanya
memberikan sedikit bantuan saprotan kepada petani. Tidak ada alokasi
peminjaman dana dari pihak pabrik rokok. Keadaan ini dianggap merugikan
petani, karena petani tidak memperoleh keuntungan dari harga yang dipatok
pabrik. Selain itu, petani juga harus melengkapi kekurangan saprotan sesuai yang
dibutuhkan pabrik secara mandiri dan menjual hasil panen hanya kepada pihak
mitra saja.
Berbeda hubungan kemitraan yang terjadi pada tahun 2012. Seluruh petani
memilih untuk tidak melanjutkan kemitraan dengan pabrik rokok dan hanya
bekerjasama dengan tengkulak. Sama halnya dengan 47 petani yang ditunjukkan
pada Tabel 6 yang memilih bermitra dengan tengkulak. Hubungan kemitraan ini
hanya sebatas hubungan kerja sama jual beli daun tembakau petani. Setiap
21
tengkulak dapat dikatakan sebagai tangan kanan dari masing-masing pabrik rokok
yang beroperasi di Temanggung. Peran tengkulak hanya sebagai pihak yang
membeli daun tembakau ketika musim panen. Bekerjasama dengan tengkulak
dirasa tidak menyulitkan akses petani. Petani dapat dengan mudah memilih sarana
produksi yang dibutuhkan, mencari dan menggunakan modal yang akan
dikeluarkan. Selain itu, petani juga dapat melakukan penjualan kepada tengkulak
manapun dengan proses tawar menawar harga yang sudah disepakati sebelumnya.
Jika pada tahun tersebut terjadi perubahan harga, baik tengkulak maupun petani
sudah mengetahui keadaan ini terlebih dahulu. Cara yang dilakukan adalah
dengan melihat kondisi cuaca dan curah hujan saat masa tanam. Selain itu, bentuk,
rasa, dan aroma daun tembakau ketika sudah dirajang juga menjadi salah satu
penentu harga jual beli tembakau. Menurut penuturan responden, dibutuhkan
pengalaman bertahun-tahun untuk mengetahui dengan mudah mutu dan kualitas
daun tembakau yang baik. Oleh karena itu, banyak penduduk yang menjadi petani
tembakau berkisar antara usia 40-59 tahun.
Merujuk pada Tabel 6, terdapat 18 responden yang terikat kontrak dengan
kemitraan di tahun 2011. Ketika kontrak ini habis pada tahun 2012, 18 responden
tersebut tidak lagi melanjutkan kemitraan dan memilih untuk bekerjasama dengan
tengkulak, sama halnya dengan 47 responden yang memang tidak bermitra.
Terdapat perbedaan kondisi saat 18 responden bermitra dengan pabrik rokok dan
saat tidak lagi melanjutkan kemitraan. Perbedaan ini dilihat dari perolehan
fasilitas yang diterima petani. Secara sederhana perbedaan tersebut digambarkan
pada Tabel 7
Tabel 7 Perbedaan 18 responden saat bermitra dan tidak bermitra
Perbedaan Mitra (2011) Tidak mitra (2012)
Mendapat sosialisasi ×
Bantuan alat teknologi × ×
Bebas mencari saprotan ×
Jaminan pinjaman modal dari
mitra × ×
Bebas menentukan harga jual ×
Bebas memilih pasar ×
Melihat perbedaan pada Tabel 7 sesuai penuturan responden, alasan tidak
lagi meneruskan kemitraan karena perolehan seluruh fasilitas selama produksi
tembakau sulit didapat. Kemitraan ini menyulitkan petani untuk mencari saprotan
yang diperlukan, karena jenis yang digunakan harganya lebih mahal dan sulit
dicari disekitar wilayah Bansari. Jika saprotan yang diperlukan harganya lebih
mahal, secara tidak langsung modal yang diperlukan pun juga jauh lebih besar.
Tetapi, tidak ada jaminan pinjaman modal dari mitra, sehingga petani harus
mencari kelebihan modal yang diperlukan secara mandiri. Sosialisasi memang
diterima oleh petani, tapi menurut responden, sosialisasi yang diberikan hanyalah
menjelaskan apa saja yang harus dilakukan petani sesuai dengan keinginan mitra.
Kesulitan lainnya adalah saat menentukan harga dan memilih pasar jual yang
sejak awal memang sudah ditentukan oleh mitra. Besar harga jual kualitas
tembakau sudah ditentukan mitra, sehingga petani tidak dapat melakukan
penawaran lebih tinggi. Pasar penjualan tembakau pun juga sudah ditentukan
22
hanya kepada mitra saja. Petani tidak diizinkan untuk menjual hasil panen kepada
pihak lain atau pasar umum. Berbeda dengan kondisi saat 18 responden tidak lagi
bermitra. Petani memilih untuk bekerjasama dengan tengkulak. Sosialisasi dan
jaminan pinjaman modal dari mitra memang tidak diterima. Tetapi petani lebih
mudah dalam mencari dan memperoleh saprotan sesuai dengan modal yang
dimiliki. Selain itu, petani juga dapat melakukan penawaran saat menentukan
harga jual bersama tengkulak. Pasar penjualan petani pun lebih bebas karena
petani dapat menjual kepada tengkulak manapun. Alat teknologi yang digunakan
petani juga masih sama saat bermitra ataupun tidak bermitra, karena alat berat
yang dibutuhkan petani hanya alat perajang yang biasanya masing-masing petani
sudah memilikinya lebih dari 7 tahun.
Tingkat Akses Petani terhadap Teknologi, Finansial, dan Pasar
Kemampuan akses petani terhadap finansial, teknologi, dan pasar diperlukan
oleh petani selama penanaman tembakau. Akses ini akan memudahkan petani
untuk memperoleh dan memenuhi sarana yang dibutuhkan. Akan tetapi,
kemudahan akses petani pada tahun 2011 berbeda dengan akses petani pada tahun
2012. Perbedaan kemampuan akses petani tembakau Desa Bansari dapat terlihat
pada Tabel 8 dan Tabel 9.
Tabel 8 Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial,
dan pasar tahun 2011
Tingkat
akses
Teknologi Finansial Pasar
Jumlah Persentase
(%) Jumlah
Persentase
(%) Jumlah
Persentase
(%)
Rendah 18 28 0 0 18 28
Tinggi 47 72 65 100 47 72
Total 65 100 65 100 65 100
Tabel 9 Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap teknologi, finansial,
dan pasar tahun 2012
Tingkat
akses
Teknologi Finansial Pasar
Jumlah Persentase
(%) Jumlah
Persentase
(%) Jumlah
Persentase
(%)
Rendah 0 0 0 0 0 0
Tinggi 65 100 65 100 65 100
Total 65 100 65 100 65 100
Berdasarkan data pada Tabel 8, petani mengalami kesulitan akses terhadap
teknologi dan pasar. Hal ini dikarenakan hubungan kemitraan yang mengikat 18
responden dengan pabrik rokok pada tahun 2011. Akses terhadap teknologi
berkaitan dengan ketersediaan kebutuhan produksi, seperti bibit, pupuk, obat,
pestisida, alat perajang, dan alat penyemprot. Pihak mitra sudah menentukan jenis
bibit, pupuk, obat dan pestisida yang harus digunakan petani. Sedangkan
penggunaan alat perajang dan alat penyemprot tidak menyulitkan, karena setiap
petani sudah memiliki alat tersebut. Selain itu, pihak pabrik hanya memberikan
23
bantuan pupuk sebanyak 15 persen dari yang dibutuhkan petani. Keadaan ini
membuat petani harus menyiapkan seluruh kekurangan bahan dengan jenis yang
sesuai. Menurut responden, jenis bahan yang digunakan oleh pihak pabrik cukup
sulit dicari dan memiliki harga yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga
yang biasa dikeluarkan petani.
Sama halnya dengan kesulitan akses petani terhadap pasar. Responden tidak
dapat memasarkan secara bebas hasil panen tembakau kepada pihak manapun,
karena petani sudah dikontrak untuk menjualnya kepada pihak mitra. Akan tetapi,
seluruh responden mampu mengakses finansial sesuai dengan jumlah yang
diperlukan. Pada tahun 2011, hubungan kemitraan bersama pabrik tidak
memberikan jaminan pinjaman modal awal, sehingga petani harus mencari
sejumlah modal yang harus disiapkan. Selain itu, modal yang disiapkan lebih
besar karena kebutuhan yang diperlukan juga lebih mahal dibanding yang biasa
digunakan. Penentuan harga jual dilakukan oleh pihak mitra, sehingga petani tidak
dapat melakukan proses tawar-menawar. Proses ini terjadi ketika masa panen tiba,
perwakilan pihak mitra akan mengambil hasil panen ke setiap rumah petani mitra
dan memberikan harga sesuai dengan kualitas daun yang dihasilkan. Petani tidak
diizinkan untuk menawar harga yang lebih tinggi dari harga yang sudah
ditentukan. Ketentuan ini sudah ada dalam perjanjian yang telah disepakati.
Walaupun petani tidak dapat menawar harga jual tembakau, keadaan ini tidak
menyulitkan petani jika dibandingkan dengan menyiapkan modal yang lebih
besar.
Berbeda dengan 47 responden lainnya yang tidak bermitra dengan pabrik
rokok. Mereka memiliki kemudahan pilihan akses lain terhadap teknologi,
finansial dan pasar. Hal serupa juga terjadi pada 18 responden yang tidak
melanjutkan kemitraan di tahun 2012 (Tabel 9). Perbedaan ini terlihat ketika
petani lebih mudah menyiapkan semua kebutuhan produksi, tanpa harus terikat
oleh ketentuan yang dibentuk oleh mitra. Pada akhirnya kebutuhan akan
teknologi, finansial, dan pasar dapat ditentukan oleh masing-masing petani
berbekal relasi yang dimiliki. Hanya ketika masa penjualan tembakau, petani
bergantung kepada tengkulak sebagai pihak pembeli. Tidak dapat dipungkiri,
selain karena tengkulak merupakan kepanjangantangan pabrik rokok, tembakau
adalah bahan utama pembuat rokok di Indonesia. Selanjutnya, petani dapat
memilih menjual hasil panennya kepada tengkulak yang dapat memberikan harga
tinggi. Selain itu, petani juga dapat memilih lebih dari satu tengkulak untuk
menjual hasil panen yang dimiliki. Pada setiap tahunnya petani dapat merubah
pilihan tengkulak yang akan membeli hasil panen. Menurut keterangan yang
diperoleh, biasanya bukan petani yang mencari tengkulak, melainkan tengkulak
yang mencari petani dengan kualitas daun tembakau terbaik. Jika tengkulak sudah
menemukan petani dengan kualitas daun yang terbaik. Tengkulak cenderung tidak
akan berpindah kepada petani lain dan siap memberikan harga tinggi atas hasil
panen tersebut.
Kebutuhan akan teknologi dalam hal penyediaan sarana produksi (bibit,
pupuk, obat-obatan, pestisida, alat) dan pengambilan keputusan dilakukan secara
mandiri oleh setiap responden. Ketersediaan bibit biasa disiapkan sendiri oleh
petani dengan cara membuatnya. Bibit yang sudah dibuat ini kemudian disimpan
untuk ditanam pada masa tanam berikutnya. Bibit ini dikenal dengan nama bibit
tembakau mloko yang dibuat dari tunas biji tembakau yang sedang ditanam. Oleh
24
karena itu, petani tidak ada yang membeli bibit di warung ataupun toko pertanian.
Penyediaan sarana produksi lainnya seperti pupuk, obat, dan pestisida disiapkan
oleh petani dengan memesan kepada distributor. Pemesanan biasa dilakukan
dalam jumlah besar dengan menggunakan bantuan mobil pick-up terbuka. Selain
itu, penyediaan alat teknologi pun juga dilakukan secara mandiri, karena yang
dibutuhkan hanya mesin alat perajang dan alat penyemprot. Kedua alat ini
biasanya sudah dimiliki petani bertahun-tahun dengan sedikit perbaikan.
“...disini mah gak susah mbak kalo nyiapin bibit, pupuk, obat, sama
alat. Semua bisa disiapin sendiri. Bibit kan tinggal buat, terus pupuk
sama obat kan tinggal mesen, kalo alat juga udah punya sendiri-
sendiri. Jadi gak kerepotan...” (Pwt, 49 tahun)
Kebutuhan akan finansial, baik dalam hal penyediaan modal dan
menentukan harga jual juga dilakukan secara mandiri oleh petani. Responden
mengaku tidak mengalami kesulitan selama menyiapkan modal awal untuk
membeli kebutuhan tanam tembakau. Seluruh modal diperoleh dengan cara yang
berbeda, baik meminjam kepada pihak lain atau menggunakan dana pribadi,
seperti yang terlihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Jumlah dan persentase petani dalam menyiapkan modal
Sumber modal Petani tembakau
Jumlah Persentase (%)
Dana Pribadi 39 60
Pinjam Koperasi 15 23
Bank 11 17
Total 65 100
Pada Tabel 10 terlihat bahwa 39 responden menyiapkan modal dengan
menggunakan dana pribadi. Dana ini dikumpulkan oleh responden dari
keuntungan yang diperoleh saat masa panen sebelumnya. Responden yang
menyiapkan modal produksi menggunakan dana pribadi adalah 18 responden
yang bermitra di tahun 2011 dan 21 sisanya adalah responden yang tidak bermitra
di tahun yang sama. Kemudian, sebanyak 15 dan 11 responden lainnya meminjam
kepada pihak lain dengan masing-masing meminjam pada koperasi dan bank.
Ketiga cara perolehan modal ini dipergunakan petani untuk membeli pupuk, obat,
dan pestisida. Merujuk pada Tabel 8 dan 9, tingkat akses petani terhadap finansial
tidak mengalami kesulitan, karena petani dapat dengan mudah mencari dan
memperoleh modal awal yang diperlukan. Bagi petani yang melakukan kemitraan,
dalam kontrak memang tidak mendapatkan pinjaman dana sebagai modal awal.
Begitupun dengan petani yang tidak bermitra atau hanya bekerjasama dengan
tengkulak juga harus mencari modal awal secara mandiri. Hal ini dikarenakan
tengkulak hanya sebagai pihak yang membeli tembakau. Proses melakukan
pinjaman kepada koperasi dan bank tidak menyulitkan petani untuk memperoleh
modal. Petani yang melakukan pinjaman ke koperasi atau bank cukup memenuhi
persyaratan yang diminta oleh masing-masing instansi. Menurut penjelasan
responden, nominal limit yang dapat diambil oleh petani yang meminjam ke
koperasi biasanya sebesar Rp25 000 000. Petani yang sudah memperoleh dana ini,
25
dapat mengajukan kembali pinjaman kedua dan selanjutnya dengan jumlah
nominal maksimal Rp15 000 000. Sedangkan responden lainnya mengatakan
bahwa jumlah limit nominal dana usaha yang dapat dipinjam melalui bank
biasanya sebesar Rp50 000 000. Sistem pengembalian pinjaman tersebut baru
dilakukan setelah masa panen dan penjualan tembakau.
“...kalo modal, ya nyiapin sendiri, pake duit sendiri. Tapi, kalo lagi
gak ada duit, baru pinjem sama bank atau koperasi. Mudah kok,
ngembaliinnya juga nanti, nek wes panen...” (Frl, 40 tahun)
“...pinjem sama koperasi itu gampang, cuma isi kertas kasih copyan
KTP sama KK, terus matur njaluke piro, dapet duite. Biasane niku, 20
sampe 25 yuto lah pas pinjem pisanan. Kalo kurang, ya pinjem lagi
aja...”(Hsm, 55 tahun)
Selain modal, menentukan harga jual juga dapat dilakukan petani dengan
tengkulak. Selama proses menentukan harga, responden dapat melakukan proses
tawar menawar. Harga yang ditawarkan pun beragam dan disesuaikan dengan
kualitas daun tembakau. Harga daun tembakau bisa mengalami perubahan yang
tidak dapat diprediksikan sesuai kualitas daun. Kondisi kualitas daun tembakau
bergantung pada curah hujan dan cuaca selama proses penanaman, panen, hingga
pengeringan. Menurut kepala Dusun Banaran, salah satu ciri daun tembakau yang
memiliki kualitas baik dapat dilihat dari proses pengeringan setelah daun dirajang.
Daun tembakau kualitas baik dan bagus memiliki tekstur yang kasar dan kaku,
aroma tembakau juga menyengat dan langsung kering setelah satu hari dijemur di
bawah sinar matahari. Daun juga tidak sulit untuk dipisahkan satu sama lain. Jenis
daun yang seperti ini biasanya memiliki harga tinggi dengan kisaran Rp150 000
per kg sampai Rp200 000 per kg. Berbeda dengan kualitas daun yang kurang baik.
Teksturnya lembut dan sedikit masih basah, aroma tembakau dari daun jenis ini
juga tidak menyengat. Hal ini dikarenakan daun tembakau yang tidak langsung
kering setelah dijemur selama satu hari di bawah sinar matahari. Daun ini
biasanya diberi harga yang jauh lebih rendah, berkisar antara Rp50 000 per kg
sampai Rp90 000 per kg.
Proses tawar menawar harga terjadi saat tengkulak mendatangi rumah petani
dan melihat kualitas daun yang dihasilkan. Pada saat yang sama, tengkulak akan
menawarkan harga terlebih dahulu kepada petani, kemudian petani yang juga
sudah mengetahui kualitas daunnya dapat melakukan penawaran dengan harga
yang lebih tinggi. Selanjutnya tawar menawar akan berlangsung, dan setelah
sepakat, tengkulak akan membayar petani setelah mengantarkan daun kering
tersebut ke rumah tengkulak.
MEKANISME HUBUNGAN KEMITRAAN DAN POSISI
PETANI DALAM KEMITRAAN
Stakeholder dan Peran yang dilakukan
Keberadaan pihak-pihak pemangku kepentingan (stakeholder) menjadi
salah satu komponen yang sangat diperlukan dalam suatu hubungan kerjasama.
Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui pembagian tugas dan jenis pekerjaan yang
harus dilakukan. Berbeda lokasi maka berbeda pula pihak-pihak yang terlibat
dalam pola kemitraan. Beberapa rujukan menyebutkan di Madura terdapat dua
sistem perdagangan tembakau, dimana petani dapat menjualnya langsung ke pasar
atau melibatkan juragan dan bandol. Lain halnya dengan di Pamekasan dan Garut
yang hanya melibatkan petani dan pembeli (pabrik rokok) dalam proses
kemitraannya. Hubungan yang terbentuk antar stakeholder ini terlihat dari pola
kemitraan yang terjadi pada masing-masing daerah.
Petani tembakau, pabrik rokok, kepala desa, dan kepala dusun adalah
stakeholder yang terlibat dalam hubungan kemitraan di Desa Bansari. Proses awal
kemitraan ini terjalin dengan pengajuan kerjasama oleh pabrik rokok melalui
kepala desa. Pengajuan kemitraan ini hanya untuk perwakilan anggota setiap
kelompok tani yang ada di Desa Bansari. Selanjutnya kepala desa melakukan
proses diskusi bersama seluruh kepala dusun mengenai penawaran tersebut.
Selanjutnya, kepala dusun mengumpulkan perwakilan anggota kelompok tani
yang dianggap mampu mengikuti program ini. Setelah itu, setiap perwakilan
anggota kelompok tani akan dikumpulkan kemudian diberi penjelasan lebih
lanjut. Jika seluruh pihak setuju, maka kepala desa dapat memutuskan kemitraan
dari pabrik rokok dapat berjalan di wilayah tersebut atau tidak.
Pemberian pembinaan (sosialisasi) mulai dilakukan pada awal pertemuan
mitra dengan petani. Sebagai pihak mitra, pabrik rokok akan memberikan
sosialisasi mengenai penggunaan bibit, pupuk, obat, dan pestisida yang harus
digunakan petani. Selain itu, mitra juga memberikan sedikit bantuan pupuk
sebagai bentuk tanggung jawab yang sudah ada dalam kesepakatan. Keadaan ini
membuat petani harus melengkapi kebutuhan lainnya secara mandiri. Selain itu,
pengontrolan juga dilakukan secara berkala dengan memperhatikan kebersihan,
cacat daun, dan perkiraan kualitas daun. Saat panen tiba, petani tidak perlu
menjual hasil tembakau karena pihak pabrik langsung mengambil seluruh hasil
panen. Harga daun tembakau sudah ditentukan sesuai kualitasnya. Disinilah posisi
yang dianggap merugikan petani, karena petani tidak dapat menentukan harga
lebih tinggi lagi dari harga yang ditetapkan.
Berbeda dengan petani yang tidak melakukan kemitraan. Stakeholder yang
terlibat hanya petani dan tengkulak saja. Petani dapat menentukan pilihan jenis
modal dan saprotan yang akan digunakan, seperti bibit, pupuk, obat, dan pestisida.
Bibit yang diperlukan petani dapat dengan mudah dibuat secara mandiri. Selain
itu, cara memperoleh pupuk, obat, dan pestisida pun dapat disesuaikan dengan
relasi yang dimiliki oleh masing-masing petani. Perawatan kesehatan dan
kebersihan kebun juga dapat disesuaikan dengan pilihan waktu petani. Peran
tengkulak hanya sebagai pihak yang membeli hasil panen tembakau. Tengkulak
maupun petani dapat sama-sama menentukan harga yang diinginkan. Petani dapat
menawar harga yang lebih tinggi jika kualitas daun tembakau lebih baik.
28
Penerimaan terhadap Sosialisasi
Sosialisasi adalah keadaan dimana petani menerima informasi dari pihak
mitra terkait dengan pembudidayaan tembakau. Penerimaan sosialisasi ini
dikelompokkan pada penerimaan terhadap bibit, pupuk, obat-obatan, pestisida,
alat teknologi, perubahan harga alat teknologi, perubahan harga tembakau,
pemilihan daun tembakau, potensi pasar alternatif, dan potensi pemberi modal.
Penerimaan sosialisasi ini juga mengalami perbedaan ketika petani melakukan
kemitraan tahun 2011 dan saat petani tidak lagi bermitra tahun 2012
Tabel 11 Jumlah dan persentase responden menurut penerimaan terhadap
sosialisasi
Penerimaan
sosialisasi
2011 2012
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
Rendah 47 72 65 100
Tinggi 18 28 0 0
Total 65 100 65 100
Pada tahun 2011, penerimaan sosialisasi 18 responden tergolong tinggi,
karena petani tergabung dalam hubungan kemitraan dengan pabrik rokok.
Sosialisasi diberikan pihak mitra kepada petani yang bermitra dan pemberian
sosialisasi terbatas pada beberapa hal saja, yaitu bibit, pupuk, obat, dan pestisida.
Menurut penuturan responden, sosialisasi yang diberikan mitra hanya terjadi dua
kali selama kerjasama berjalan. Proses ini hanya diberikan pada awal pertemuan
dan saat akan tiba masa panen. Selain itu, pemberian sosialisasi ini dimaksudkan
agar petani menanam sesuai dengan yang diinginkan mitra. penjabaran aspek yang
disosialisasikan oleh mitra seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12.
Tabel 12 Jumlah dan persentase penerimaan jenis sosialisasi oleh responden,
Desa Bansari
Jenis
Sosialisasi
Menerima Tidak Menerima
2011 2012 2011 2012
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Bibit 18 28 0 0 47 72 65 100
Pupuk 18 28 0 0 47 72 65 100
Obat 18 28 0 0 47 72 65 100
Pestisida 18 28 0 0 47 72 65 100
Teknologi 0 0 0 0 65 100 65 100
Alternatif
modal 0 0 0 0 65 100 65 100
Harga alat 0 0 0 0 65 100 65 100
Harga
tembakau 0 0 0 0 65 100 65 100
Pasar
alternatif 0 0 0 0 65 100 65 100
29
Pemberian sosialisasi kepada 18 responden terbatas pada kebutuhan petani
akan bibit, pupuk, pestisida, dan obat-obatan. Hanya bantuan berupa pupuk yang
diberikan oleh pihak mitra kepada petani. Bantuan ini tidak diberikan dalam
jumlah yang besar, hanya 15 persen dari kebutuhan tanam tembakau, sisanya
petani harus mencari dan menyesuaikan dengan jenis dari bantuan yang diberikan
mitra. Sedangkan, pada aspek teknologi, alternatif modal, harga alat, harga
tembakau, dan alternatif pasar tidak termasuk dalam sosialisasi.
Berbeda dengan 47 responden yang tidak bergabung dengan kemitraan dan
18 responden yang memutuskan tidak lagi bermitra pada tahun 2012. Responden
tidak menerima sosialisasi dari pihak manapun sehingga penerimaan
sosialisasinya tergolong rendah. Menurut responden, walau tidak menerima
sosialisasi, petani dapat memilih jenis bibit, pupuk, obat, dan pestisida yang ingin
digunakan. Jenis yang digunakan petani memang memiliki kualitas sedikit lebih
rendah dibandingkan dengan jenis yang digunakan oleh petani mitra. Petani yang
tidak bermitra, memilih hanya bekerjasama dengan tengkulak sebagai pihak yang
membeli hasil panen petani. Selama proses kerjasama dengan tengkulak, tidak
terjadi proses pemberian sosialisasi secara formal dari pihak tengkulak. Hanya
pertukaran informasi mengenai perubahan harga jual tembakau selama proses
kesepakatan jual beli. Sebelumnya, masing-masing pihak sudah mengetahui
perubahan harga jual dilihat dari cuaca dan curah hujan serta tampilan daun
tembakau yang sudah dirajang. Sehingga kesepakatan harga dapat tercapai dengan
mudah tanpa harus merugikan pihak manapun.
Perbedaan penerimaan sosialisasi responden terlihat dari 18 responden yang
bermitra di tahun 2011 dan tidak lagi bermitra di tahun 2012. Responden ini
adalah petani yang terikat kemitraan dengan pabrik rokok Djarum. Petani
menerima sosialisasi di tahun 2011 dari pihak mitra secara formal. Sedangkan di
tahun 2012, responden tidak menerima sosialisasi secara formal dari tengkulak,
tetapi hanya terjadi pertukaran informasi secara informal antara petani dengan
tengkulak.
Tingkat Akses Petani
Tingkat akses petani adalah kondisi dimana petani berusaha mencari dan
memperoleh sumberdaya yang dibutuhkan selama proses produksi. Tingkat akses
ini dibagi dalam tiga kategori, yaitu akses terhadap teknologi, finansial, dan pasar.
Kemudahan petani dalam mengakses faktor produksi akan mempengaruhi
ketersediaan bahan yang baik selama tanam tembakau seperti yang terlihat pada
Tabel 13.
Tabel 13 Jumlah dan persentase tingkat akses petani Desa Bansari
Tingkat akses
Petani
2011 2012
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)
Rendah 18 28 0 0
Tinggi 47 72 65 100
Total 65 100 65 100
30
Pada tahun 2011, sebanyak 18 responden memiliki kemampuan akses
rendah dan responden tersebut bermitra dengan pabrik rokok Djarum. Pemenuhan
terhadap akses berkaitan dengan pihak mitra, terutama dalam hal teknologi dan
pasar. Akses petani pada teknologi yang dipenuhi oleh pihak mitra hanya sedikit
bantuan pupuk. Sedangkan sisa kebutuhan lain yang belum terpenuhi harus
dipenuhi secara mandiri oleh petani karena tidak terdapat dalan perjanjian. Akses
petani pada pasar juga ditentukan oleh pihak mitra. Penjualan hasil tembakau
hanya boleh dilakukan dengan pihak mitra. Sedangkan akses terhadap modal tidak
diberikan oleh pihak mitra, sehingga petani harus mencari mandiri. Berbeda
dengan penentuan harga jual tembakau yang memang sudah ditentukan oleh pihak
mitra dan petani tidak dapat melakukan penawaran lebih tinggi. Menurut
responden yang bermitra, keadaan ini sebenarnya merugikan petani, tetapi karena
keanggotaan sebagai kelompok tani dan sebagai bentuk menjalin hubungan
kerjasama yang baik dengan pabrik, maka responden sepakat untuk bermitra
dengan pabrik rokok.
Keadaan yang berbeda terjadi pada 47 responden yang tidak bergabung
dengan kemitraan pada tahun 2011 dan 65 responden di tahun 2012 yang
memutuskan tidak bergabung dengan kemitraan, termasuk 18 responden
diantaranya yang memilih tidak melanjutkan hubungan kemitraan. Keduanya
memiliki kemampuan akses yang tinggi. Tengkulak adalah pihak yang diajak
kerjasama oleh petani yang tidak bermitra. Petani dapat dengan bebas memilih
setiap jenis akses kebutuhan yang diperlukan dalam menanam tembakau. Akses
dalam teknologi, pasar, dan finansial dapat dicari dan diperoleh secara mandiri
oleh responden. Kebutuhan dalam hal teknologi bisa diperoleh dari relasi masing-
masing petani. Kemudian, kebutuhan akan pasar dapat dilakukan dengan bantuan
tengkulak. Penjualan tembakau biasa dilakukan petani bersama tengkulak.
Selanjutnya, kebutuhan finansial, baik cara memperoleh modal maupun harga jual
tembakau dapat dilakukan secara mandiri oleh petani. Modal yang dibutuhkan
dapat diperoleh melalui dana pribadi yang sudah disiapkan oleh petani atau
melakukan pinjaman kepada bank atau koperasi. Harga jual tembakau tidak
ditentukan oleh pihak tengkulak, melainkan terjadi proses tawar-menawar antara
petani dan tengkulak. Pertukaran informasi kerap terjadi antara petani dan
tengkulak mengenai perubahan harga, sehingga petani berani menawar harga
lebih tinggi jika kualitas daun tembakau yang dimiliki lebih baik.
Perbedaan kemampuan akses petani dapat terlihat dari 18 responden yang
bermitra di tahun 2011 dan tidak melanjutkan kemitraan di tahun 2012. Perbedaan
tersebut terlihat pada Tabel 14
Tabel 14 Perbedaan tingkat akses 18 responden di tahun 2011 dan 2012
Perbedaan Mitra (2011) Tidak mitra (2012)
Mudah akses teknologi ×
Mudah akses saprotan ×
Mudah akses modal ×
Mudah menentukan harga jual ×
Mudah menentukan pasar ×
Perbedaan akses petani lebih mudah saat tidak bermitra jika dibandingkan
saat bermitra. Kemitraan yang terjalin membuat petani harus mengakses
31
kebutuhan akan teknologi, finansial dan pasar sesuai dengan perjanjian yang
sudah ditentukan. Teknologi (bibit, pupuk, obat, dan pestisida) yang digunakan
harus sesuai dengan jenis yang ada dalam kontrak. Kesulitannya karena jenis yang
dipakai sulit diperoleh dan harganya pun lebih mahal dibanding dengan jenis yang
biasa dipakai petani. Kemudian kesulitan dalam akses finansial ini dilihat dari
kesiapan jumlah modal dan harga jual. Jika kebutuhan teknologi sulit untuk
diakses, maka modal yang disiapkan pun juga harus lebih besar dibandingkan
modal sebelumnya. Selain itu, harga jual daun tembakau petani juga sudah
ditentukan oleh mitra sejak awal kemitraan, sehingga petani sulit menawar dengan
harga yang lebih tinggi. Kesulitan petani dalam mengakses pasar karena tidak
tersedianya pasar alternatif untuk menjual hasil panen, karena seluruh hasil panen
harus dijual kepada mitra.
Petani mengalami banyak kesulitan saat bermitra, karena seluruh proses
akses terpusat hanya di pihak mitra. Petani sulit untuk mengakses sumber lain
(teknologi, finansial dan pasar) di luar pihak mitra. Berbanding terbalik saat 18
responden memutuskan tidak lagi melanjutkan kemitraan. Kemampuan akses
petani jauh lebih mudah dan bebas karena biasanya petani sudah memiliki relasi
yang baik. Petani juga bisa mengakses sumberdaya lain yang dianggap
menguntungkan dan mempermudah petani selama proses produksi tembakau.
Akses terhadap teknologi, finansial dan pasar bisa dilakukan petani bersama
berbagai pihak. Keuntungan penjualan tembakau yang didapat petani juga jauh
lebih besar saat tidak bermitra jika dibandingkan saat bermitra. Oleh karena itu,
petani memilih tidak lagi melakukan kemitraan agar lebih mudah mengakses
kebutuhan selama proses produksi.
Hubungan Penerimaan Sosialisasi dan Tingkat Akses Petani
Pemberian sosialisasi oleh pihak mitra dapat mempengaruhi kemudahan tingkat
akses petani terhadap kebutuhan faktor produksi.
Tabel 15 Hubungan penerimaan sosialisasi dan tingkat akses petani
Penerimaan
Sosialisasi
Tingkat Akses
2011 2012
Tinggi Rendah Tinggi Rendah
f % f % f % f %
Rendah 47 100 0 0 65 100 0 0
Tinggi 0 0 18 100 0 0 0 0
Jumlah 47 100 18 100 65 100 0 0
Berdasarkan perhitungan pada tabulasi silang Tabel 15, menunjukkan
bahwa ada hubungan yang berbanding terbalik antara penerimaan sosialisasi
dengan tingkat akses petani. Penerimaan sosialisasi yang rendah menunjukkan
tingkat akses yang tinggi. Keadaan ini dikarenakan 47 responden tidak melakukan
hubungan kemitraan dengan pabrik rokok. Kondisi ini serupa pada tahun 2012
yang tidak ada lagi kemitraan dengan pihak pabrik, termasuk 18 responden yang
mulanya bermitra pada tahun 2011 memutuskan tidak lagi bermitra pada tahun
2012. Petani yang tidak bermitra memang tidak mendapatkan sosialisasi, karena
sosialisasi hanya untuk petani mitra saja. Sosialisasi ini diberlakukan sebagai
32
bentuk pemenuhan kebutuhan kualitas tembakau yang diinginkan oleh pihak
mitra. Jika dikaitkan dengan tingkat akses yang tinggi, petani yang tidak bermitra
menuturkan bahwa mereka tidak menemui kesulitan untuk pemenuhan kebutuhan
pada teknologi, finansial, dan pasar. Bahkan petani dapat dengan mudah
memperoleh kebutuhan tersebut dari pihak manapun. Lain halnya dengan 18
responden yang bermitra di tahun 2011. Selama proses sosialisasi diberikan,
petani diminta untuk memproduksi tembakau sesuai dengan kriteria yang
diinginkan pabrik. Bantuan yang sedikit dari pihak mitra pun dianggap tidak
cukup membantu petani saat masa tanam, karena petani harus menanam tembakau
sesuai perjanjian dan memenuhi kekurangan kebutuhan lain secara mandiri.
“...mending gak dapet sosialisasi aja mbak. Bingung saya malahan
kalo ngikut tuh, beda sama kenyataan. Ada kok yang ikut dulu, tapi
gak pernah dipake, gak sesuai soale sama keadaan sawah. Lagian
kalo dapet sosialisasi gitu kan cuma yang aktif aja. Kalo yang gak
dapet malah bisa kemana-mana, bebas dadine mbak...” (Smn, 55
tahun)
Menurut pengakuan 18 responden, mereka yang mengikuti kemitraan pasti
akan mendapatkan sosialisasi, dan yang paling sulit dilepas adalah penggunaan
jenis kebutuhan produksi, pemasaran dan harga saat panen tembakau. Petani yang
bermitra dan mendapatkan sosialisasi, secara jelas terikat kontrak dengan pabrik
rokok. Pemasaran hasil panen tembakau tentu tidak sebebas petani yang tidak
bermitra. Petani yang bermitra akan menjual hasil tembakaunya kepada pihak
mitra saja dan tidak diizinkan untuk dijual kepada pihak lain. Jumlah dan kriteria
pencapaian panen pun juga ditentukan oleh pihak mitra. Sedangkan, petani yang
tidak bermitra, hanya akan melakukan hubungan kerjasama dengan tengkulak
saja. Tengkulak tidak berperan dalam pemberian sosialisasi, pemenuhan
kebutuhan produksi, dan penentu harga jual. Peran tengkulak hanya sebagai
pembeli hasil daun tembakau milik petani. Penjualan hasil panen ke tengkulak
dapat dilakukan kepada lebih dari satu tengkulak.
Pada penentuan harga jual tembakau, petani yang tidak bermitra dapat
melakukan proses tawar menawar dan ikut serta menentukan harga bersama
tengkulak. Hal ini tidak berlaku bagi mereka yang mengikuti kemitraan bersama
pabrik rokok. Petani tidak dapat menentukan harga jual tembakau yang sudah
ditanam. Semua harga ditentukan oleh pihak pabrik sesuai dengan kualitas daun
yang dihasilkan. Selain itu, petani juga tidak diizinkan untuk menjual kepada
pihak lain selain pabrik mitra. Jika kualitas hasil panen tidak sesuai dengan
perjanjian, maka harga yang diberikan pun akan sangat rendah dibandingkan
harga normal. Keadaan ini tentu membuat petani mengalami kerugian dan
kesulitan dalam mengakses pasar maupun harga yang dibutuhkan.
Kebutuhan pada teknologi dan finansial dari segi modal tidak menjadi
masalah bagi petani yang tidak bermitra. Semua kebutuhan teknologi dapat
dipesan melalui distributor, dan modal dapat disiapkan dengan cara dari masing-
masing petani. Sedangkan petani yang melakukan kemitraan dengan pabrik rokok,
sebagian kebutuhan pada teknologi dibantu oleh pihak mitra, selanjutnya petani
mencari sesuai jenis yang diminta oleh mitra. Bantuan yang diterima ini tidak
diberikan secara cuma-cuma, melainkan petani harus membayar sesuai dengan
33
harga yang ada di pasaran. Selain itu modal awal yang diperlukan seluruhnya
disiapkan oleh petani. Jadi dalam hubungan kemitraan dan suasana sosialisasi
yang dibentuk merupakan salah satu cara penciptaan kondisi menanam tembakau
sesuai dengan yang diinginkan oleh pabrik rokok.
Melihat uraian diatas, hubungan penerimaan sosialisasi berbanding terbalik
dengan tingkat akses petani. Hal ini dikarenakan, sebanyak 18 petani yang
menerima sosialisasi terikat kontrak kemitraan dengan pabrik rokok pada tahun
2011. Hubungan kemitraan yang terbentuk menghambat kemudahan akses petani
dalam pemenuhan kebutuhan pada teknologi, finansial dan pasar, karena semua
harus disesuaikan dengan kriteria pabrik. Sedangkan, 47 petani lainnya memang
tidak menerima sosialisasi karena tidak bermitra dengan pabrik, sehingga tidak
mengalami kesulitan akses pada teknologi, finansial dan pasar. Sejak tahun 2012
hingga saat ini, petani lebih memilih bekerja mandiri, tidak bermitra dan hanya
bekerjasama dengan tengkulak sebagai pihak pembeli hasil panen, sehingga
kemampuan akses mereka tetap berjalan dengan baik.
Perbedaan hubungan penerimaan sosialisasi dan tingkat akses petani dapat
terlihat pada 18 responden saat bermitra (2011) dan tidak lagi bermitra (2012).
Pada tahun 2011, responden menerima sosialisasi dari mitra, karena
keterlibatannya dalam kemitraan. Tetapi kemampuan akses petani lebih sulit,
karena keharusan petani untuk menyesuaikan faktor produksi sesuai yang
tercantum dalam kontrak. Keadaan yang berbeda terlihat ketika 18 responden ini
tidak lagi melanjutkan kemitraan di tahun 2012. Petani lebih mudah mengakses
faktor produksi yang diinginkan sesuai dengan kemampuan, walaupun tidak
menerima sosialisasi dari pihak manapun secara formal.
Hubungan Tingkat Ketergantungan dan Tingkat Akses Petani
Tingkat ketergantungan petani terhadap kemitraan ini akan diukur dan
dinilai berdasarkan nilai akumulasi variabel tingkat akses petani. Ketergantungan
terhadap mitra akan terlihat dari tinggi atau rendahnya kemampuan akses petani
terhadap kebutuhan penanaman tembakau.
Tabel 16 Hubungan tingkat ketergantungan petani dan tingkat akses
Tingkat
Akses
Ketergantungan
2011 2012
Rendah Tinggi Rendah Tinggi
f % f % f % f %
Tinggi 47 100 0 0 65 100 0 0
Rendah 0 0 18 100 0 0 0 0
Jumlah 47 100 18 100 65 100 0 0
Berdasarkan data pada Tabel 16 menunjukkan bahwa tingkat akses petani
berbanding terbalik dengan tingkat ketergantungan petani. Akses petani yang
rendah menunjukkan ketergantungan yang tinggi terhadap mitra. Hal ini
dikarenakan sebanyak 18 responden terikat kontrak kemitraan dengan pabrik
rokok pada tahun 2011. Ketergantungan petani tersebut dalam hal akses terhadap
teknologi dan pasar. Sedangkan akses terhadap finansial hanya terkait dengan
penentuan harga jual yang sudah ditetapkan oleh pabrik. Petani mitra harus
34
menanam tembakau sesuai yang diinginkan pabrik. Dimulai dari jenis bibit,
pupuk, obat dan pestisida yang harus digunakan selama masa tanam. Hal ini
dianggap menyulitkan bagi petani, karena tidak dapat menggunakan jenis yang
biasa dipakai. Responden menuturkan, jenis yang diminta pabrik diperoleh dari
luar wilayah Kecamatan Bansari dengan harga yang lebih mahal. Sama halnya
dengan akses pemasaran petani mitra yang terbatas hanya kepada pabrik mitra.
Penentuan harga jual oleh pabrik juga tidak sesuai dengan yang sudah petani
lakukan. Petani juga tidak dapat melakukan penawaran lebih tinggi atas hasil
panen tembakaunya. Inilah alasan petani mitra cenderung sulit dalam mengakses
kebutuhan secara bebas dan mandiri, karena bergantung pada pihak mitra yang
menginginkan kriteria tertentu pada tembakau yang dibutuhkan. Sebagai
pelaksana kemitraan, petani hanya dapat melakukan sesuai kesepakatan dalam
kemitraan.
Lain pihak dengan 47 responden yang memiliki ketergantungan rendah
dengan kemampuan akses tinggi. Mereka adalah petani yang tidak bermitra
dengan pabrik rokok. Akses terhadap teknologi, finansial, dan pasar dapat
dilakukan dengan mudah karena responden bebas menentukan setiap kebutuhan.
Akan tetapi dalam hal penjualan hasil, petani membutuhkan tengkulak sebagai
pihak yang akan membeli daun tembakau milik petani. Ketika petani tidak dapat
menjualnya kepada tengkulak, maka akan dijual di pasar dengan harga yang lebih
murah. Biasanya, tembakau yang dijual di pasar adalah daun tembakau yang
memiliki kualitas lebih buruk dibandingkan dengan daun yang sudah terjual pada
tengkulak.
“...wah yo mending gak bermitra to mbak. Kalo bermitra ya gitu,
kabeh kudu nganut pabrik, tergantung pabrike piye. Soale kalo ikut
kemitraan, mau ngapa-ngapain itu susah, mau jual gak bebas, regane
yo ora penak, udah gitu semuanya disiapin sendiri.” (Sbd, 51 tahun)
Pada tahun 2012 seluruh petani memiliki tingkat akses tinggi. Hal ini karena
18 responden petani yang mulanya bermitra memutuskan tidak melanjutkan
kemitraan dan hanya bekerjasama dengan tengkulak. Sedangkan, 47 responden
lainnya tetap bekerjasama dengan tengkulak. Ketergantungan petani pun rendah
dan dapat dengan bebas mengakses kebutuhan produksi tanpa harus terikat
dengan pihak manapun. Secara mandiri, petani dapat menentukan pihak-pihak
mana saja yang dapat bekerjasama dengan prinsip saling menguntungkan. Modal
yang diperlukan petani juga dapat disiapkan secara mandiri. Menurut responden
yang bermitra, sama saja petani mitra dan tidak bermitra, karena untuk
mempersiapkan modal awal memang harus dicari sendiri. Responden menjelaskan
bahwa akses penjualan yang dimiliki oleh setiap petani berbeda-beda, bergantung
pada relasi yang dimiliki, tetapi memiliki alur yang sama. Semua petani menjual
kepada setiap tengkulak yang datang kerumah, lalu terjadi proses tawar menawar
harga. Biasanya, pada proses ini terjadi pertukaran informasi mengenai
pembudidayaan tembakau yang berkembang di daerah lain. Setelah tercapai
kesepakatan, petani mengantarkan tembakaunya ke tempat tengkulak tersebut.
Pembeda akses penjualan pada setiap petani adalah jumlah dan pihak tengkulak
yang diajak bekerjasama. Secara ringkas alur penjualan tembakau seperti pada
Gambar 2.
35
terjadi proses tawar menawar dan pembelian
mengantarkan tembakau sesuai kesepakatan
Gambar 2 Rantai pemasaran tembakau
Kemampuan akses petani dirasa tidak sulit ketika harus mencari bahan dan
alat untuk menanam tembakau. Semua dapat diperoleh dari distributor langganan
masing-masing petani. Biasanya petani melakukan pemesanan dalam jumlah
besar, karena lahan yang akan digunakan juga besar. Menurut responden banyak
yang menjadi distributor untuk kebutuhan semacam ini, tetapi berada di luar
wilayah Desa Bansari. Petani tembakau Desa Bansari menggunakan pupuk
kandang, ZA, dan fertila sebagai pupuk yang aman untuk tembakau. Sedangkan
pestisida dan obat hanya untuk mengusir hama saja. Pada saat masa tanam
tembakau berlangsung, seluruh lahan pertanian beralih fungsi untuk menanam
tembakau. Setiap satu kali masa tanam, petani dapat menghasilkan 40 sampai 45
keranjang isi tembakau dengan masing-masing keranjang berkapasitas 35 sampai
40 kg. Jadi dalam satu kali masa tanam, petani dapat mengumpulkan sekitar 1 400
sampai 1 800 kg daun tembakau.
Selain penjualan, penentuan harga jual tembakau pun juga tidak
menyulitkan petani. Proses tawar menawar terjadi secara alami antara petani
dengan tengkulak. Pada umumnya, tengkulak akan membeli dalam jumlah banyak
pada petani dengan kualitas daun yang baik. Bagi petani, selama cuaca
mendukung maka tidak akan merusak kualitas daun tembakau. Kondisi cuaca
yang dibutuhkan petani adalah cuaca yang kering dengan curah hujan yang jarang.
Kualitas daun tembakau di Desa Bansari terkenal selalu bagus dan baik, oleh
karena itu petani dapat mematok harga tinggi untuk setiap penjualan tembakau
mereka. Harga yang biasa ditawarkan dalam 1 kg tembakau berkisar antara
Rp150 000 sampai Rp200 000. Jika kita jumlahkan dengan hasil yang diperoleh
petani, maka dalam satu kali masa tanam petani dapat mengumpulkan hasil
keuntungan berkisar antara Rp210 000 000 sampai Rp360 000 000. Ini adalah
perhitungan yang diperoleh petani jika tidak melakukan kemitraan.
Berbeda dengan petani yang melakukan kemitraan, dalam satu kali masa
tanam petani hanya dapat mengumpulkan keuntungan sebesar Rp112 000 000
sampai Rp180 000 000. Asumsi yang digunakan adalah, panen daun tembakau
berkisar antara 1 400 sampai 1 800 kg dengan harga dalam 1 kg daun tembakau
yang diberikan pihak mitra berkisar antara Rp80 000 sampai Rp100 000.
Perbedaan keuntungan inilah yang menyebabkan petani Bansari saat ini memilih
tidak bermitra dengan pabrik rokok.
Perbedaan kondisi ketergantungan dan akses petani dapat dilihat dari 18
responden yang mulanya bermitra (2011) kemudian memutuskan tidak bermitra
(2012). Saat bermitra, akses petani sulit karena harus menyesuaikan dengan
kontrak kemitraan, sehingga ketergantungan petani terhadap mitra pun tinggi.
Berbeda ketika petani tidak lagi melanjutkan kemitraan. Petani dapat dengan
Petani Tembakau Tengkulak
36
mudah mengakses seluruh kebutuhan produksi sesuai keinginan maisng-masing.
Ketergantungan petani pun rendah, karena petani tidak lagi terlibat hubungan
kemitraan dengan siapapun. Petani dapat dengan mudah menentukan sumberdaya
pengganti ketika sumberdaya yang biasa digunakan tidak dapat dipakai. Namun,
ketika bermitra, mau tidak mau petani harus mencari dan menyesuaikan dengan
sumberdaya yang diinginkan oleh mitra. Sampai saat ini petani lebih memilih
tidak lagi bermitra, karena selain mempermudah akses kebutuhan produksi, petani
juga tidak perlu bergantung dengan pihak manapun. Selain itu, keuntungan hasil
penjualan tembakau juga lebih menjanjikan untuk kesejahteraan hidup petani
tembakau saat tidak bermitra.
KETERGANTUNGAN PETANI PADA TEMBAKAU
Sosialisasi, Akses, dan Ketergantungan
Kemampuan akses petani pada sarana produksi menjadi salah satu hal yang
dapat melihat ketergantungan petani terhadap komoditas tertentu. Akses yang
dimiliki oleh petani dapat dipengaruhi oleh penerimaan sosialisasi yang
dibutuhkan. Sosialisasi ini dapat menambah wawasan pengetahuan bagi pihak
yang mendapatkannya. Jika melihat hasil yang ditunjukkan pada Tabel 13 – 14,
terjadi hubungan yang berbanding lurus antara penerimaan sosialisasi dengan
tingkat ketergantungan. Sedangkan keduanya berbanding terbalik dengan tingkat
akses.
Sebanyak 18 responden menunjukkan penerimaan sosialisasi dan tingkat
ketergantungan yang tinggi sedangkan kemampuan tingkat akses yang dimiliki
rendah. Keadaan ini merujuk kepada petani yang bermitra dengan pabrik rokok
Djarum. Hubungan antara penerimaan sosialisasi dan tingkat ketergantungan pada
petani yang bermitra adalah sosialisasi diberikan oleh pihak mitra. Selama
pemberian sosialisasi, pihak mitra meminta petani untuk menanam tembakau
sesuai keinginan pabrik. Kondisi ini menyebabkan ketergantungan petani tinggi
terhadap mitra. Jika petani tidak dapat memenuhi kebutuhan mitra dari segi
kualitas hasil tembakau, maka daun tembakau akan diberi harga rendah dari harga
normal. Ini menyebabkan petani mengalami posisi yang sulit, karena keuntungan
yang didapat juga akan semakin berkurang. Kemudian, tingkat akses petani yang
rendah ini terbatasi oleh hubungan kontrak petani dengan mitra, sehingga petani
tidak bebas menentukan pilihan dalam hal pemenuhan saprotan, teknologi,
finansial, dan pemasaran.
Sebaliknya, sebanyak 47 responden menunjukkan penerimaan sosialisasi
dan tingkat ketergantungan yang rendah. Kategori ini merujuk pada petani yang
tidak bermitra. Pada saat yang sama petani mitra mendapat sosialisasi, sedangkan
petani yang tidak bermitra tentu tidak mendapatkan sosialiasi. Kondisi ini sama
seperti pada tahun 2012, dimana 18 petani yang bermitra memilih tidak
melanjutkan kemitraan dengan pabrik rokok dan 47 responden lainnya tetap tidak
bermitra. Tetapi, petani memiliki kemampuan akses yang tinggi, karena bebas
menentukan pilihan pemenuhan kebutuhan saprotan, teknologi, finansial, dan cara
pemasaran yang diinginkan. Keadaan ini tentu membuat ketergantungan petani
yang tidak bermitra rendah karena tidak terikat kontrak dengan siapapun dan
bebas memilih. Secara sederhana perbedaan antara petani yang bermitra dan tidak
bermitra digambarkan pada Tabel 15
Tabel 17 Perbedaan petani bermitra dan tidak bermitra
Petani bermitra Petani tidak bermitra
Menerima sosialisasi × Bergantung pada pihak mitra × Kemampuan akses tinggi ×
38
Kemitraan, Ketergantungan, dan Perubahan pada Petani Tembakau
Kemitraan tembakau di Desa Bansari dilakukan bersama pabrik rokok
Djarum. Hubungan ini melibatkan petani yang tergabung dalam keanggotaan
kelompok tani. Melalui kepala desa dan kepala dusun, petani yang bergabung
dalam kelompok tani akan diajak berdiskusi dengan pihak pabrik. Pengakuan
beberapa responden yang bermitra, saat proses diskusi pihak pabrik akan
menceritakan keuntungan yang diperoleh melalui kemitraan ini. Keuntungan
tersebut berkaitan dengan bibit, hasil panen, relasi, dan penggunaan saprotan.
Bibit yang digunakan dalam hubungan kemitraan ini adalah bibit Tembakau
Temanggung. Ini adalah bibit unggul yang memang dibuat dengan bantuan
teknologi canggih, sehingga memiliki kualitas dan harga bibit yang jauh lebih
mahal daripada bibit mloko yang dibuat secara manual oleh petani. Memperoleh
bibit ini biasanya berada di pusat Kota Temanggung.
Keuntungan selanjutnya adalah penggunaan saprotan yang lebih unggul
dibandingkan dengan yang biasa digunakan petani. Responden mengatakan
bahwa pupuk, obat, dan pestisida yang digunakan oleh mitra lebih banyak
mengandung zat kimia. Awalnya petani tidak yakin karena biasa menggunakan
jenis yang alami dengan sedikit zat kimia, tetapi pihak mitra terus berusaha
meyakinkan bahwa saprotan yang digunakan tetap aman untuk tanah dan
tembakau. Kemitraan ini juga dirasa dapat menguntungkan petani dari segi relasi
yang tercipta. Pihak mitra mengatakan kepada petani bahwa melalui hubungan ini,
jika nantinya kontrak kerjasama habis dan petani tetap dapat menghasilkan
kualitas daun yang terbaik, maka tidak menutup kemungkinan hasil panennya
akan dibeli oleh pabrik dengan harga tinggi. Selain itu, pihak mitra juga memberi
keyakinan kepada petani kalau hasil daun tembakau yang ditanam memiliki
kualitas yang jauh lebih baik. Tak lupa, pihak pabrik juga akan memberikan
sosialisasi lanjutan mengenai keuntungan-keuntungan lainnya dan kemudahan
yang dapat diperoleh petani. Setelah proses diskusi berlangsung, salah seorang
responden mengatakan bahwa petani yang hadir menyetujui untuk bergabung
dengan kemitraan ini. Keputusan diambil secara mufakat bersama kepala desa dan
kepala dusun setempat.
Persetujuan didapat, perjanjian diterima, dan kemitraan berjalan
sebagaimana mestinya dengan 18 petani sebagai pelaksana kemitraan yang harus
menanam tembakau sesuai kriteria yang diminta pabrik. Setelah kemitraan mulai
berjalan, kriteria yang diminta oleh pabrik dinilai memberatkan karena petani
harus mencari sampai ke pusat Kota Temanggung untuk memenuhi keperluan
tersebut. Tak jarang petani juga harus keluar kota Temanggung untuk
mendapatkan pupuk dan obat yang sesuai. Selama perjalanannya petani
beranggapan bahwa kerjasama kemitraan ini hanya akan menguntungkan pihak
pabrik saja. Petani tidak dapat terlepas dari hubungan kemitraan ini, karena ikatan
kontrak yang sudah disepakati. Penetapan kriteria dan persyaratan yang harus
dilakukan petani membuat petani mengalami ketergantungan dengan pihak mitra.
Secara umum, responden mengatakan bahwa kemitraan ini sulit untuk dilanjutkan
karena petani tidak memiliki kebebasan memilih dan menentukan secara mandiri.
Pada akhir tahun 2011 saat kontrak kerja berakhir, petani yang bermitra
memutuskan untuk tidak melanjutkan dan memilih kembali kerjasama dengan
tengkulak saja.
39
Perbedaan hubungan kerjasama antara pabrik rokok dan tengkulak terletak
pada dua hal, yaitu perjanjian dan kemampuan akses petani. Bekerjasama dengan
pabrik dikatakan sebagai kemitraan karena memiliki bukti perjanjian yang sah.
Perjanjian tersebut mengatur hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh petani
mitra dan pabrik mitra, berikut dengan keuntungan dan sanksi jika melanggar.
Akan tetapi, kemampuan akses petani sulit karena petani tidak bisa menjadi
mandiri dan harus bergantung pada kesepakatan yang ada. Berbeda dengan
kerjasama petani dan tengkulak. Tidak ada perjanjian yang dilakukan oleh kedua
belah pihak. Petani bebas memilih dan menentukan seluruh faktor produksi dan
pemasaran yang dianggap baik dan menguntungkan. Kebebasan inilah yang
memudahkan akses petani dalam segala kebutuhan selama masa tanam, panen,
dan penjualan tembakau. Sampai saat ini, Desa Bansari tidak lagi menjalankan
proses kemitraan dengan pihak manapun karena petani setempat sudah memiliki
pengalaman dan pengetahuan yang mumpuni tentang usaha produksi tembakau.
Perbedaan lainnya dapat dilihat dari 18 responden yang mulanya bermitra
(2011) kemudian tidak lagi melanjutkan kemitraan (2012). Seperti yang sudah
dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, 18 responden ini mengaku lebih nyaman
melakukan proses produksi tanpa adanya hubungan kemitraan. Kembali, secara
sederhana perbedaan ini dijelaskan melalui Tabel 18
Tabel 18 Perbedaan kondisi ketergantungan 18 responden saat bermitra (2011)
dan tidak bermitra (2012)
Perbedaan Mitra (2011) Tidak mitra (2012)
Menerima sosialisasi ×
Mudah akses saprotan ×
Mudah akses teknologi ×
Mudah akses modal ×
Mudah akses pasar jual ×
Jaminan pinjaman modal dari
mitra × ×
Mudah menentukan harga jual ×
Ketergantungan pada mitra ×
Berdasarkan perbedaan pada Tabel 18, terlihat alasan petani memilih tidak
lagi melanjutkan kemitraan. Jika melihat dari sisi petani, di tahun 2011, petani
hanya memperoleh sosialisasi dari mitra dan bergantung pada pabrik rokok.
Petani juga memperoleh kesulitan saat mengakses seluruh kebutuhan produksi,
karena harus menyesuaikan dengan kriteria yang diinginkan mitra dalam kontrak
kemitraan. Selain itu, tidak ada jaminan pinjaman modal dari mitra, sehingga
petani harus mencari sendiri modal tambahan yang diperlukan untuk memenuhi
kriteria kebutuhan produksi saat bermitra. Kondisi yang berbeda terjadi saat 18
petani tidak lagi melanjutkan kemitraan. Sosialisasi memang tidak diterima petani
dari pihak manapun, tetapi tidak membuat petani kekurangan informasi mengenai
tembakau. Pertukaran informasi kerap kali dilakukan petani bersama tengkulak,
terutama mengenai perubahan harga jual tembakau di daerah lain. Petani juga
tidak merasakan kesulitan saat mengakses kebutuhan produksi, karena dapat
menyesuaikan dengan jenis yang biasa digunakan saat tidak bermitra. Oleh karena
itu, petani memilih tidak lagi melanjutkan kemitraan.
40
Ketergantungan Petani pada Tembakau
Bagi petani Desa Bansari, menanam tembakau adalah pekerjaan utama jika
dibandingkan dengan menanam tanaman lain. Biasanya petani akan menanam
bawang merah, cabai, kacang panjang, jagung dan kol putih sebagai tanaman
sampingan selain tembakau. Seluruh responden mengatakan bahwa proses
penanaman dan perawatan tembakau jauh lebih mudah dilakukan. Cara
penanaman tembakau sama seperti komoditas lainnya menggunakan tanah yang
sudah digemburkan. Selanjutnya adalah perawatan tembakau yang tidak
menyulitkan petani. Jika komoditas lain harus rutin diberi irigasi, pemupukan,
pemberian obat dan pestisida antara 3 sampai 7 hari sekali, maka tembakau hanya
perlu waktu 14 hari sekali untuk kembali diberi nutrisi. Perawatan tembakau juga
tidak sulit karena petani hanya 3 hari sekali berkunjung ke ladang setelah masa
tanam, sedangkan komoditas lain memerlukan waktu setiap hari untuk
memastikan tanaman tetap sehat.
Tembakau dapat ditanam di tanah sawah dan tanah tegalan. Tanah sawah
memiliki tekstur tanah yang lebih basah dibandingkan tanah tegalan. Biasanya
tanah sawah ditanami tanaman sejenis padi, jagung, kacang panjang, kol, dan
tebu. Tembakau dapat ditanam di tanah sawah, tetapi hasil daun tembakau yang
diperoleh memiliki kualitas yang jauh lebih buruk dibandingkan. Tembakau yang
ditanam di tanah sawah, memiliki tampilan yang tidak terlalu kering, aroma
tembakau kurang menyengat, dan tekstur yang lebih lembut. Tanah tegalan
memiliki struktur tanah yang lebih kering. Selain itu, wilayah yang memiliki
tanah tegalan merupakan wilayah berdataran tinggi dengan udara dingin, tetapi
tidak kurang sinar matahari. Menurut pengalaman responden, inilah wilayah yang
paling baik untuk menanam tembakau dengan hasil yang baik pula. Waktu yang
baik untuk menanam tembakau di Desa Bansari saat memasuki bulan Mei dan
akan panen pada bulan Agustus. Hal ini dikarenakan, pada bulan Mei merupakan
waktu pergantian musim hujan menuju musim kemarau. Curah hujan mulai
sedikit dengan temperatur udara yang masih lebih dingin dibandingkan saat
kemarau. Memasuki bulan Juni dan seterusnya, suhu udara kemarau dan terik
matahari dibutuhkan tembakau agar daun tidak terlalu basah. Terbukti dengan
metode ini hasil panen petani tembakau Desa Bansari memiliki kualitas baik
dengan harga yang tinggi. Masa tanam dibulan yang lain diisi dengan tanaman
sejenis padi, jagung dan sayuran. Tembakau ditanam saat bulan Mei hingga
Agustus, lalu pada bulan September hingga November tanah tegalan akan ditanam
bawang merah dan tanah sawah ditanam padi. Selanjutnya pada bulan Desember
hingga April akan ditanam padi, kol putih, dan kacang pada tanah sawah,
sedangkan tanah tegalan ditanami jagung dan cabai. Secara sederhana masa tanam
tembakau dan komoditi lain, digambarkan seperti Gambar 3.
Bulan tanam
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Padi, jagung, kol putih,
cabai, kacang panjang Tembakau Padi, bawang merah
Gambar 3 Masa tanam lahan Desa Bansari
41
Kondisi tanah yang menguntungkan dan perawatan yang mudah dilakukan
menjadi salah satu alasan petani tetap menanam tembakau. Selain itu, keuntungan
yang diperoleh petani pun jauh lebih besar menanam tembakau dibandingkan
tanaman lain. Kepala Dusun Banaran mengatakan bahwa tembakau tetaplah
tanaman yang juga bisa merugi, ditandai dengan menurunnya harga tembakau.
Akan tetapi, kerugian ini tetap memberikan keuntungan yang lebih banyak
dibandingkan tanaman lain. Jika selama 2 tahun harga pasaran tembakau turun,
maka pada tahun tanam berikutnya keuntungan yang diperoleh dapat menutupi
kerugian 2 tahun sebelumnya. Keuntungan yang diperoleh petani digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan tak jarang yang membuka usaha
sampingan diluar Desa Bansari. Jika untung yang diperoleh masih berlebih, maka
akan digunakan sebagai modal untuk membeli bibit tanaman lain. Jika
digambarkan, maka ketergantungan terhadap tembakau seperti yang terlihat pada
Gambar
Pabrik rokok Petani Tembakau
Gambar 4 Ketergantungan pada tembakau
Secara history, komoditas ini sudah ditanam sejak lama oleh penduduk desa.
Mayoritas responden mulai menanam tembakau sejak tahun 1975 secara mandiri.
Kepala Desa Bansari menceritakan bahwa tembakau ini sudah berada di
Temanggung sejak jaman penjajahan. Tembakau yang saat itu juga diproduksi dan
digunakan untuk bahan membuat cigar para petinggi penjajah. Potensi wilayah
penanaman tembakau ini ditemukan oleh pihak penjajah. Selanjutnya, tembakau
masih menjadi bahan utama pembuatan rokok, yang terus dikonsumsi oleh
masyarakat. Selain itu, tembakau juga salah satu pemasok devisa negara yang
besar. Sampai saat ini, pabrik rokok masih membutuhkan suplai tembakau yang
diproduksi oleh petani. Pada akhirnya sulit bagi petani tembakau untuk berpindah
kepada komoditas lain. Jika melihat pada Gambar 4, terlihat bahwa tembakau
yang sebenarnya membuat pihak-pihak seperti petani dan pabrik rokok
bergantung. Penanaman tembakau sudah dilakukan secara turun menurun dan
mampu memberikan jaminan keuntungan ekonomi yang lebih baik. Tembakau
memang tidak dapat dihilangkan dari Temanggung dengan mudah dan sudah
menjadi ciri khas setempat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil dari penelitian ini menunjukkan:
1. Mekanisme kemitraan di Desa Bansari terbentuk atas pengajuan kerjasama
oleh PT Djarum melalui kepala desa di tahun 2011. Petani yang dilibatkan
dalam kemitraan ini adalah perwakilan anggota kelompok tani di Dusun
Banaran sebanyak 18 orang. Pihak lain yang terlibat selama proses kemitraan
ini adalah PT Djarum, kepala desa, kepala dusun, dan petani. Sedangkan pada
tahun 2012, 18 petani memutuskan tidak lagi melanjutkan kemitraan dan
memilih hanya bekerjasama dengan tengkulak saja.
2. Posisi petani dalam hubungan kemitraan yang terjalin dengan pabrik rokok di
tahun 2011, cenderung menyulitkan petani. Hal ini dikarenakan petani harus
memproduksi tembakau sesuai dengan kesepakatan dan keinginan mitra. Selain
itu, petani juga sulit mengakses faktor produksi yang dibutuhkan. Jika, hasil
daun tembakau tidak sesuai dengan kesepakatan, maka petani merugi karena
daun akan dibayar jauh lebih rendah dibandingkan harga saat petani tidak
bermitra. Oleh karena itu, pada tahun 2012, petani memilih tidak lagi bermitra
dan hanya bekerjasama dengan tengkulak karena petani dapat dengan mudah
menentukan faktor produksi tanpa harus terikat. Kemampuan akses petani juga
lebih mudah, karena petani dapat memilih pihak manapun sesuai dengan relasi
yang dimiliki.
3. Kemitraan di Desa Bansari berakhir pada akhir tahun 2011 dan petani sudah
memilih tidak lagi melanjutkan kemitraan di tahun 2012. Bagi petani,
perubahan kemampuan akses faktor produksi yang lebih mudah terjadi ketika
tidak bermitra. Perubahan ini juga merubah perolehan keuntungan hasil panen
daun tembakau yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan saat bermitra. Selain
itu, ketergantungan petani terhadap pabrik pun berkurang karena petani hanya
bekerjasama dengan tengkulak saat menjual hasil panen. Walaupun petani
tidak memperoleh sosialisasi secara formal, tetapi pertukaran informasi dengan
tengkulak sudah cukup mewakili kebutuhan petani mengenai pembudidayaan
tembakau.
Saran
Melihat hasil penelitian yang telah dilakukan, akan lebih baik jika petani
tembakau di daerah lainnya tidak melakukan kemitraan jika pola kemitraan yang
ditawarkan seperti di Desa Bansari. Hal ini dimaksudkan agar petani dapat dengan
mudah untuk mengembangkan usaha tembakaunya secara mandiri dan sesuai
kebutuhan serta kemampuan petani. Pihak-pihak lainnya, seperti pemerintah
kabupaten dan propinsi, dapat melihat setiap aset sumber daya yang
menguntungkan pada setiap wilayah, sehingga dapat dimaksimalkan
kebermanfaatannya seperti di Desa Bansari.
DAFTAR PUSTAKA
Bachriadi D. 1995. Ketergantungan Petani dan Penetrasi Kapitalis: Lima Kasus
Intensifikasi Pertanian dengan Pola Contract Farming. Bandung [ID]:
Yayasan Akatiga. 190 hal.
Fathorrahman, Nasikun J. 2004. Sistem Perdagangan Tembakau di Sumenep
Madura: Mengungkap Ketidakberdayaan Petani Terhadap Pedagang
Tembakau. Sosiosains. 17(02): 247-255. [internet]. [dikutip tanggal 19
Januari 2013]. Dapat diunduh dari:
http://madib.blog.unair.ac.id/files/2011/11/pemberdayaan-ekonomi-
masyarakat-madura.pdf
Fauziah E, Hartoyo S, Kusnadi N, Kuntjoro SU. 2010. Analisa Produktivitas
Usahatani Tembakau di Kabupaten Pamekasan. Organisasi dan Manajemen.
06(02): 119-131. [internet]. [diunduh 19 November 2012]. Dapat diunduh
dari: http://lppm.ut.ac.id/JOM/JOM VOL 6 No 2 Sept 2010 PDF/03 JOM
Elys_Analisis Produktivitas Usahatani Tembakau di Kabupaten
Pamekasan_irul.pdf
Hakim AR. 2004. Pola Hubungan Hukum Pada Program Kemitraan Usahatani
Tembakau di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat. [tesis]. Semarang [ID]:
Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro. [internet]. [diunduh 30
Juni 2013]. Dapat diunduh dari:
http://www.damandiri.or.id/detail.php?id=289
Heriyanto A. 2000. Analisis Pendapatan Usahatani dan Efisiensi Produksi
Tembakau Madura Program Intensifikasi Tembakau Rakyat. [skripsi].
Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 105 hal.
Mamat H.S. 2006. Analisis Mutu, Produktivitas, Keberlanjutan dan Arahan
Pengembangan Usaha Tani Tembakau di Kabupaten Temanggung, Jawa
Tengah. [disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 93 hal.
Iqbal M. 2007. Analisis Peran Pemangku Kepentingan Dan Implementasinya
Dalam Pembangunan Pertanian. Litbang Pertanian. 26(3). [internet].
[diunduh 21 Februari 2013]. Dapat diunduh dari:
http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3263071.pdf
Kertawati SH. 2008. Analisis Sistem Tataniaga Tembakau Mole (Desa Ciburial,
Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat). [skripsi]. Bogor [ID]:
Institut Pertanian Bogor. 89 hal.
Kotter JP. 2001. Kekuasaan, Ketergantungan, dan Manajemen Efektif. (Alih
bahasa oleh Mulyadi JA). Dalam: Mahanani N, editor. What Leaders Really
Do, Kepemimpinan dan Perubahan. Jakarta [ID]: Erlangga. Hal 81.
Latifah HN. 2010. Sikap Petani Tembakau Terhadap Program Kemitraan PT.
Gudang Garam di Kecamatan Sugihwaras, Kabupaten Bojonegoro.
[skripsi]. [internet]. [diunduh tanggal 13 Desember 2012]. Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Dapat diunduh dari:
http://eprints.uns.ac.id/269/1/161532508201003171.pdf
Purwandari H. 2011. Sistem Ekonomi Perkebunan: Persistensi Ketergantungan
Negara Dunia Ketiga. Agrisep. 10(01): 63-79
Rochmatika RL. 2006. Kajian Kepuasan Petani Tebu Rakyat Terhadap
Pelaksanaan Kemitraan Pabrik Gula XYZ. [skripsi]. [internet]. [dikutip
46
tanggal 20 Januari 2013]. Institut Pertanian Bogor. Dapat diunduh dari:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/1285/A06rlr.pdf
Santoso T. 2001. Tata Niaga Tembakau di Madura. Manajemen dan
Kewirausahaan. 03(02): 96-105. [internet]. [diunduh tanggal 29 November
2012]. Dapat diunduh dari:
http://cpanel.petra.ac.id/ejournal/index.php/man/article/viewFile/15612/156
04
Sari DM. 2008. Peramalan Harga dan Produksi Tembakau di Indonesia. [skripsi].
Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 86 hal
Susrusa KB, Zulkifli. 2009. Efektivitas Kemitraan Pada Usahatani Tembakau
Virginia di Kabupaten Lombok Timur. Sosial Ekonomi Pertanian dan
Agribisnis. 09(01): 73-80. [internet]. [diunduh tanggal 28 Desember 2012].
Dapat diunduh dari: http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/91097380.pdf
[UU] Undang-undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1995 Tentang Usaha
Kecil
Widiyanto. 2009. Strategi Nafkah Rumah Tangga Petani Tembakau di Lereng
Gunung Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari
Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung). [tesis]. Bogor [ID]: Institut
Pertanian Bogor. 137 hal
48
Lampiran 2 Jadwal Penelitian
Tabel 19 Jadwal Penelitian tahun 2013
Kegiatan Feb Maret April Mei Juni Juli Agustus
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusuna
n proposal
skripsi
Kolokium
Pengambil
an data
lapangan
Pengolah
an dan
analisis
data
Penulisan
draft
skripsi
Sidang
skripsi
Perbaikan
laporan
penelitian
49
Lampiran 3 Data Responden
Data Penduduk Dusun Banaran,
Desa Bansari – Bermitra
No. Nama RT/RW
1 Ihsaudin 1 / 5
2 Tuwaryo 1 / 5
3 Parwito 1 / 5
4 Juwahno 1 / 5
5 Sunarlan 1 / 5
6 Suheru 1 / 5
7 H. Ramin 1 / 5
8 B. Rohyati 2 / 5
9 Tauhid 2 / 5
10 Slamet T 3 / 5
11 Sumono 3 / 5
12 Slamet K 3 / 5
13 Purloto 3 / 5
14 Tuwari 3 / 5
15 Mukayat 3 / 5
16 Tumari K 3 / 5
17 Sukarjo T 3 / 5
18 Sukarjo S 3 / 5
Data Penduduk Dusun Banaran,
Desa Bansari – Tidak Bermitra
No. Nama RT/RW
1 B. Pawit 1 / 5
2 Dedi 1 / 5
3 Purwadi 1 / 5
4 Sukiman 1 / 5
5 Sutarno 1 / 5
6 Santoso 1 / 5
7 Slamet AR 1 / 5
8 Fahrul Rozi 1 / 5
9 Taufik 1 / 5
10 Wahmin 1 / 5
11 Suratman 1 / 5
12 Senen 1 / 5
13 B. Tugi 1 / 5
14 Kadar 1 / 5
15 Wasto 1 / 5
16 Munir 2 / 5
17 Wagito 2 / 5
18 Sidiq 2 / 5
19 Susanto 2 / 5
20 H. Wiyanto 2 / 5
21 Hasim 2 / 5
22 B.H. Mujini 2 / 5
23 Suwarno 2 / 5
24 H. Akrom 2 / 5
25 Purwanto 3 / 5
26 Sumono 3 / 5
27 Solihin 3 / 5
28 Mudiyan 3 / 5
29 Pujiono 3 / 5
30 Purwo 3 / 5
31 Ngatano 3 / 5
32 Muhradin 3 / 5
33 B. Sami 3 / 5
34 Sugiyanto 3 / 5
35 B. Sopiyah 3 / 5
36 Sugito 3 / 5
37 Sarno 3 / 5
38 Kabul 3 / 5
39 Tujiu 3 / 5
40 Subadi 3 / 5
41 Partugi 3 / 5
42 Pariyanto 3 / 5
43 Sukadar 3 / 5
44 Tumari 3 / 5
45 Juwalno 3 / 5
46 Suparlan 3 / 5
47 Nurutomo 3 / 5
50
Lampiran 4 Kuesioner
TINGKAT KETERGANTUNGAN PETANI TEMBAKAU TERHADAP SISTEM
KEMITRAAN DI DESA BANSARI, TEMANGGUNG, JAWA TENGAH
I. IDENTITAS INDIVIDU
1. Nama :......................................................................................................
2. Usia :........................ tahun
3. No. HP :......................................................................................................
4. Pekerjaan:..........................................................................................
5. Alamat : .....................................................................................................
II. PENGALAMAN BEKERJA
1. Lama bekerja Bapak/Ibu sebagai petani tembakau? ...............tahun
2. Pendapatan terbesar Bapak/Ibu selama bertani tembakau? Rp.......................
3. Ada kemitraan di desa ini? Ya/Tidak
4. Apakah Bapak/Ibu ikut kemitraan? Ya/Tidak
5. Kalau ya, sudah berapa lama ikut kemitraan? ...................tahun
6. Dengan siapa Bapak/Ibu menjalin kemitraan?
a. Pabrik rokok b. Tengkulak
III. SOSIALISASI
Siapakah yang sering memberikan sosialisasi kepada Bapak/Ibu?
a. Pabrik rokok
b. Tengkulak
c. Aparat desa
No Pernyataan Ya Tidak
1. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi penggunaan bibit
yang digunakan untuk ditanam di Temanggung
2. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi penggunaan
pupuk yang baik untuk tembakau Temanggung
3. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi penggunaan
obat-obatan yang baik untuk tembakau Temanggung
4. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi penggunaan
pestisida yang baik untuk mengusir hama
5. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi penggunaan
alat/teknologi untuk menanam tembakau Temanggung
6. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi perubahan harga
beli setiap sarana produksi
7. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi perubahan harga
jual tembakau di setiap tahunnya
8. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi pihak-pihak
yang dapat memberikan pinjaman dana untuk modal awal
9. Bapak/Ibu pernah mendapatkan sosialisasi pasar-pasar
alternatif untuk menjual sisa hasil panen tembakau
Diisi oleh peneliti
Nomor Responden:
Hari/tanggal wawancara : /
51
IV. TEKNOLOGI
Aspek teknologi diukur dari penyediaan sarana produksi dan pengambil keputusan
Penyediaan Sarana Produksi
Berikan tanda ceklis (√) pada kolom yang dianggap sesuai
No Pernyataan Ya Tidak
1. Bapak/Ibu membuat sendiri bibit setiap mulai menanam
tembakau
2. Bapak/Ibu membeli sendiri pupuk saat menanam
tembakau
3. Bapak/Ibu membeli sendiri obat-obatan selama
menanam tembakau
4. Bapak/Ibu membeli sendiri pestisida selama menanam
tembakau
5. Bapak/Ibu membeli sendiri alat penyemprot selama
menanam tembakau
6. Selama ini Bapak/Ibu mudah mencari sendiri semua
sarana produksi tembakau
Kemana Bapak/Ibu mencari sarana produksi tersebut:
.......................................
Pengambil Keputusan
Berikan tanda ceklis (√) pada kolom yang dianggap sesuai
7. Bapak/Ibu memilih sendiri jenis bibit yang akan ditanam
8. Bapak/Ibu memilih sendiri jenis pupuk yang akan
digunakan
9. Bapak/Ibu memilih sendiri pestisida yang akan
digunakan
10. Bapak/Ibu memilih sendiri obat yang akan digunakan
11. Bapak/Ibu memilih sendiri alat penyemprot yang akan
digunakan
V. FINANSIAL
Aspek finansial akan diukur dari modal dan penentu harga jual
Modal
Berikan tanda ceklis (√) pada kolom yang dianggap sesuai
No Pernyataan Ya Tidak
1. Bapak/Ibu menyiapkan sendiri modal awal untuk
menanam tembakau
2. Bapak/Ibu mudah mencari modal untuk menanam
tembakau
3. Bapak/Ibu meminjam dana dari pihak lain sebagai modal
awal dan bukan pada tengkulak/pabrik rokok
Jika “ya”, darimana sumber dana yang Bapak/Ibu punya:
a. Bank
b. Koperasi
c. Dana pribadi
Penentu Harga Jual
Berikan tanda ceklis (√) pada kolom yang dianggap sesuai
No Pernyataan Ya Tidak
4. Bapak/Ibu dapat menentukan harga jual tembakau
52
5. Bapak/Ibu ikut serta dalam tawar-menawar harga
tembakau
6. Bapak/Ibu dapat mematok harta tinggi setiap penjualan
tembakau
7. Bapak/Ibu dapat memilih alternatif pembeli yang
menawarkan harga paling tinggi
VI. PASAR
Aspek pasar diukur dari pasar alternatif
Pasar Alternatif
Berikan tanda ceklis (√) pada kolom yang dianggap sesuai
No Pernyataan Ya Tidak
1. Bapak/Ibu dapat menjual hasil panen tembakau kepada
pabrik rokok/tengkulak manapun
2. Bapak/Ibu dapat menjual sisa hasil panen kepada pabrik
rokok/tengkulak yang berbeda
3. Bapak/Ibu tidak membutuhkan waktu yang singkat
untuk menjual hasil panen kepada pabrik
rokok/tengkulak
4. Bapak/Ibu mudah menjual hasil panen/sisa hasil panen
tembakau ke pasar lain
5. Bapak/Ibu sering menemui hambatan saat menjual hasil
panen/sisa hasil panen tembakau ke pasar lain
Hambatan apa yang sering dihadapi Bapak/Ibu ingin
menjual ke tempat lain:
a. Terikat kontrak dengan mitra
b. Akses jalan sulit
c. Tranportasi tidak ada
d. Informasi terbatas
Panduan Pertanyaan Mendalam
1. Responden
Pertanyaan Umum:
a. Bapak/Ibu kenapa mau menanam tembakau?
b. Lebih sulit mana Bapak/Ibu menanam tembakau dibanding menanam tanaman
lain?
c. Bagaimana menurut Bapak/Ibu kualitas tembakau temanggung saat ini?
d. Kalau bicara soal keuntungan, lebih untung tembakau atau tanaman lain?
Pertanyaan Khusus: e. Mengenai kemitraan, menurut Bapak/Ibu sudah berapa lama kemitraan di desa ini
ada?
f. Alasan Bapak/Ibu ikut/tidak ikut kemitraan kenapa?
g. Lebih baik mana ? Ikut/tidak ikut kemitraan? Kenapa?
h. Sebenarnya apa yang Bapak/Ibu peroleh dari kemitraan ini?
i. Sepengetahuan Bapak/Ibu, seberapa sering mendapatkan sosialisasi mengenai
sarana produksi tembakau?
j. Menurut Bapak/Ibu, siapa saja pihak yang berperan dalam penanaman tembakau
selain pabrik rokok/tengkulak? Apa saja yang dilakukan?
k. Seberapa sering pihak-pihak tersebut datang ke lahan petani?
l. Selama Bapak/Ibu ikut kemitraan, penghasilan semakin baik atau buruk?
53
m. Sebelum tanam tembakau, siapa yang menyediakan sarana produksi tembakau?
n. Darimana Bapak/Ibu mendapatkan pasokan sarana produksi?
o. Kalau pasokan dari mitra, seberapa banyak mitra menyediakan sarana produksi?
p. Sarana produksi lebih baik dari mitra atau disediakan sendiri?
q. Berapa kisaran modal yang Bapak/Ibu butuhkan untuk tanam tembakau?
r. Pernah atau tidak mitra memberi pinjaman modal awal? Jika pernah kapan dan
berapa banyak?
s. Kalau tidak pernah, Bapak/Ibu cari modal kemana?
t. Menurut Bapak/Ibu, berapa kisaran harga tembakau tahun ini? Tahun kemarin
berapa?
u. Kalau dilihat dari tahun-tahun sebelumnya, kenapa harga tembakau tahun ini
tinggi/rendah?
v. Kenapa Bapak/Ibu tidak dapat ikut serta menawar harga tembakau?
w. Bagaimana alur penjualan tembakau yang biasa Bapak/Ibu lakukan? Kemana
dulu?
x. Perlu waktu berapa lama Bapak/Ibu menjual tembakau?
y. Apakah Bapak/Ibu dapat menjual dengan bebas hasil panen tembakau?
z. Bapak/Ibu pernah menjual ke pasar mana saja untuk hasil/sisa hasil penen
tembakau?
aa. Dalam kondisi seperti ini, kenapa Bapak/Ibu tetap menanam tembakau?
bb. Adakah keinginan Bapak/Ibu untuk menanam komoditas lain? Apa ?
2. Informan
Pertanyaan Umum:
a. Kenapa tembakau bisa masuk ke desa ini?
b. Jenis tembakau apa yang digunakan?
c. Sudah berapa lama tembakau ditanam oleh petani di Temanggung?
d. Menurut Bapak/Ibu sejak kapan kemitraan masuk ke daerah ini?
e. Kenapa sistem kemitraan saat itu berkembang?
Pertanyaan Khusus::
f. Berapa jumlah petani yang ikut dalam hubungan kemitraan ini?
g. Sekarang berapa banyak petani yang tetap melakukan hubungan kemitraan?
h. Saat ini sulit atau tidak untuk tetap menerapkan sistem kemitraan ini?
i. Apa saja kendala yang biasa terjadi selama sistem kemitraan ini berjalan?
j. Apa saja yang biasanya diberikan mitra kepada petani?
k. Pernah ada sosialisasi tidak terkait sarana produksi tembakau ke petani? Seberapa
sering dan siapa yang memberikan sosialisasi?
l. Saat ini petani lebih banyak akses sarana produksi dan modal ke mitra atau sudah
mandiri?
m. Bagaimana kondisi pasar tembakau di desa ini?
n. Kemana saja biasanya mayoritas tembakau disetorkan oleh petani?
o. Jika ada tengkulak, apa peran tengkulak?
p. Bagaimana persaingan penjualan hasil tembakau dari setiap petani/desa?
q. Adakah pihak lain yang turut berperan dalam penanaman tembakau? Siapa saja?
r. Apa yang dilakukan pihak tersebut? Bentuk bantuan? Seberapa sering?
s. Melihat hasil penjualan tembakau selama ini, tembakau memberikan pengaruh
yang baik atau tidak bagi kehidupan petani? Seberapa besar?
t. Menurut Bapak/Ibu, kenapa petani masih terus bertanam tembakau?
u. Adakah keinginan bertanam komoditas lain? Apa?
54
Lampiran 5 Dokumentasi
Daun tembakau usia 3 hari Daun tembakau yang sudah dirajang
Hamparan tanaman tembakau Daun tembakau yang baik dan siap panen
Daun tembakau usia 3 minggu
55
RIWAYAT HIDUP
Alfiana Rachmawati dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 Juni 1991. Penulis
merupakan anak pertama dari dua bersaudara yang terlahir dari pasangan Alwi
Romadlon dan Afifah Nurhayati. Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-
Kanak Islam Al-Barkah pada tahun 1996-1997, kemudian melanjutkan di Sekolah
Dasar Negeri Kelapa Gading Barat 01 Pagi pada tahun 1997-2003, Sekolah
Menengah Pertama Negeri 30 Jakarta pada tahun 2003-2006, dan Sekolah Menengah
Atas Negeri 72 Jakarta pada tahun 2006-2009. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan
studinya di Institut Pertanian Bogor melalui Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) di
Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat (SKPM).
Selama di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif mengikuti berbagai kegiatan
kepanitiaan dalam beberapa event diantaranya Gebyar Nusantara 2010, Masa
Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia tahun 2011, dan Masa Perkenalan Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat tahun 2011. Selain itu, penulis
juga pernah aktif sebagai penyiar di Radio Agri FM sejak tahun 2010-2012. Penulis
juga tergabung dalam organisasi BEM KM IPB di Kementerian Pendidikan sebagai
staff tahun 2010-2011, Kementerian Komunikasi dan Informasi sebagai staff tahun
2011-2012, dan Kementerian Komunikasi dan Informasi sebagai Sekretaris
Kementerian tahun 2012-2013.