keterangan sahnya hasil hutan (skshh), …puspijak.org/uploads/info/naskah-tulisan skshh di kaltim -...
TRANSCRIPT
1
KAJIAN MEKANISME PERMOHONAN PENERBITAN SURAT KETERANGAN SAHNYA HASIL HUTAN (SKSHH),
(KASUS DI PROPINSI KALIMANTAN TIMUR)
Oleh : Epi Syahadat
Ringkasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sejauhmana mekanisme atau alur pelaksanaan permohonan penerbitan SKSHH di tingkat Propinsi, Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), Dinas Kehutanan Kabupaten, dan permohonan penerbitan menurut versi pemegang IUPHHK di Propinsi Kalimantan Timur. Apakah mekanisme atau alur pelaksanaan permohonan penerbitan SKSHH tersebut, telah sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2005, Pasal 20 ?. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme atau alur pelaksanaan permohonan penerbitan SKSHH di Propinsi Kalimantan Timur, pada dasarnya sudah berjalan sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/2005, Pasal 20. walaupun masih terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya, seperti siapa yang dituju dalam surat permohonan penerbitan SKSHH, dan pemeriksaan administrasi. Akan tetapi perbedaan tersebut tidak menjadikan permasalahan yang serius, karena pada dasarnya, unit kerja yang berwenang dalam menerbiktan SKSHH untuk melindungi hak-hak negara seperti PSDH & DR, dan meminimalkan perdagangan kayu atau peredaran SKSHH yang ilegal. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No P.18/2005, SKSHH diterbitkan oleh P2SKSHH, atas SKSHH yang telah diterbitkan, kemudian diketahui dan disahkan oleh pejabat struktural (eselon III) pada Dinas Kabupaten/Kota yang menangani masalah kehutanan setempat. Pengesahan SKSHH oleh pejabat eselon III ini di nilai kurang efektif, karena hanya akan memperpanjang rantai birokrasi dalam pengurusan penerbitan SKSHH, akan tetapi hal tersebut harus dilakukan, karena ini merupakan suatu alat kontrol yang dilakukan pemerintah pusat/daerah terhadap pejabat P2SKSHH, yang dikhawatirkan adanya penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab pejabat P2SKSHH, mengingat pejabat P2SKSHH berada jauh dari ibukota Kabupaten/Kota. SKSHH bukan merupakan ukuran, bahwa kayu atau hasil hutan yang diangkut tersebut legal atau tidak, karena banyak faktor yang mengindikasikan bahwa kayu yang diangkut dari satu daerah ke daerah lain itu kayu legal, diantaranya adalah tanda bukti pembayaran PSDH dan DR, daftar hasil hutan (DHH), laporan hasil cruising (LHC), laporan hasil produksi (LHP), laporan mutasi kayu bulat (LMKB) dan masih banyak lagi persyaratan untuk menentukan bahwa kayu itu legal atau tidak, yang terpenting dan perlu diketahui dalam pengangkutan kayu, adalah mengenai kronologis kayu. Kata kunci : Penatausahaan hasil hutan, pengesahan, mekanisme, kronologis
kayu
2
I. PENDAHULUAN
Peraturan Pemerintah No 34 tahun 2002 menetapkan bahwa dalam rangka
melindungi hak-hak negara atas hasil hutan dan menjaga kelestarian hutan maka
dilakukan pengendalian peredaran dan pemasaran hasil hutan melalui
penatausahaan hasil hutan (Anonim, 2002). Penatausahaan hasil hutan
dimaksudkan untuk memberikan pedoman kepada semua pihak yang melakukan
usaha atau kegiatan di bidang kehutanan, sehingga penatausahaan berjalan
dengan tertib dan lancar agar kelestarian hutan, pendapatan negara dan
pemanfaatan hasil hutan yang optimal dapat dicapai. Obyek penatausahaan hasil
hutan adalah semua jenis hasil hutan yang berasal dari hutan negara (hutan alam
dan hutan tanaman), hutan rakyat, hasil hutan olahan dari industri primer hasil
hutan dan industri pengolahan kayu lanjutan (wood working) serta hasil hutan
lelang (Anonim 2003).
Kayu bulat dan olahan merupakan hasil hutan yang produksi dan
peredarannya paling banyak diatur dalam penatausahaan kayu (hasil hutan).
Kebijakan penatausahaan kayu telah sering mengalami perubahan dan
penyempurnaan karena tidak efektif mengendalikan produksi kayu dan
mencegah peredaran kayu ilegal. Sebelum tahun 1990, penatausahaan kayu
dilaksanakan secara official assessment. Dalam sistem ini, petugas kehutanan
terlibat intensif dalam kegiatan perusahaan. Petugas kehutanan terlibat dalam
pengecekan dan pengesahan Laporan Hasil Cruising (LHC), pengukuran dan
pengesahan Laporan Hasil Produksi (LHP) kayu bulat, penerbitan dokumen dan
pemantauan pemuatan kayu bulat yang akan diedarkan. Selama peredarannya,
dilakukan pemantauan fisik dan dokumen angkutan kayu bulat di setiap Pos
Angkutan Kayu (PAK). Di industri, pemantauan dilakukan terhadap fisik dan
dokumen kayu bulat, serta fisik dan dokumen produksi dan peredaran kayu
olahan (Anonim, 1985). Keterlibatan petugas kehutanan yang intensif tersebut
dianggap menghambat kelancaran produksi dan peredaran kayu bulat karena
petugas kehutanan sering terlambat melaksanakan tugasnya.
Pada tahun 1990, sistem penatausahaan kayu dengan official assessment
diganti dengan sistem penatausahaan kayu self assessment (Anonim, 1990).
3
Dalam sistem ini, keterlibatan petugas kehutanan dalam kegiatan perusahaan
terbatas. Penerbitan dokumen angkutan kayu dilakukan oleh petugas perusahaan,
pemantauan produksi dan peredaran kayu difokuskan pada pemantauan
kelengkapan dokumen, dan pemeriksaan fisik dan dokumen kayu selama
peredarannya ditiadakan. Kegiatan pemeriksaan fisik terhadap produksi dan
peredaran kayu hanya dilakukan pada saat pengesahan LHP dan setelah kayu
sampai di industri. Sistem penatausahaan kayu ini dapat memperlancar produksi
dan peredaran kayu tetapi tidak efektif mengendalikan produksi kayu dan
mencegah peredaran kayu ilegal.
Penerbitan dokumen angkutan kayu oleh perusahaan dan terbatasnya
pemeriksaan fisik kayu yang diproduksi dan diedarkan dimanfaatkan berbagai
pihak untuk mengedarkan kayu ilegal. Hal ini terlihat dari banyaknya kayu ilegal
yang diedarkan tanpa dokumen, dengan menggunakan dokumen palsu, dan
dengan dokumen yang dimanipulasi (fisik kayu tidak sesuai dengan isi
dokumen).
Pada tahun 1999, sistem penatausahaan kayu kembali dilakukan secara
official assessment sesuai dengan Keputusan Menhut No.316 tahun 1999
(Anonim, 1999). Pada dasarnya, sistem penatausahaan kayu official assessment
ini sama dengan sistem penatausahaan kayu official assessment yang berlaku
sebelum tahun 1990 di mana penerbitan dokumen angkutan kayu dilakukan oleh
petugas kehutanan. Perbedaannya adalah bahwa pada sistem official assessment
yang lama, pemeriksaan fisik kayu dilakukan lebih intensif tetapi koordinasi
pemantauan antara daerah asal kayu dengan daerah tujuan kayu tidak dilakukan.
Dokumen-dokumen penatausahaan kayu yang digunakan pada sistem
official assessment tersebut adalah sama dengan yang digunakan pada sistem self
assessment yang berlaku sebelumnya sehingga kegiatan penatausahaan kayu
dalam banyak hal mempunyai kesamaan. Perbedaan utamanya adalah bahwa
penerbitan dokumen angkutan kayu dilakukan oleh petugas kehutanan.
Pada taun 2003, sesuai dengan SK Menhut No. 126 tahun 2003, dilakukan
penyempurnaan kebijakan penatausahaan kayu agar sesuai dengan kebijakan
otonomi daerah (Anonim, 2003). Dalam penatausahaan kayu yang baru ini,
4
kegiatan pemantauan pada dasarnya tidak mengalami perubahan, kecuali instansi
yang menanganinya sebagian berubah. Setelah Kanwil dihapus, koordinasi
pemantauan, misalnya, ditangani oleh Dinas Propinsi.
Pada tahun 2005, Penatausahaan Hasil Hutan disempurnakan dengan
diterbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2005.
Penyempurnaan ketiga atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 126/KPTS-
II/2003. tentang Penatausahaan Hasil Hutan, yang mana dalam Peraturan
Menteri Kehutanan tersebut ada beberapa pasal yang dirubah diantaranya,
adalah : Pasal 18 dan Pasal 20, yaitu mengenai Surat Keterangan Sah Hasil
Hutan (SKSHH). Pada ketentuan pasal 18 ayat (1), mengatakan bahwa Setiap
badan usaha, perorangan dan pemegang ijin industri hasil hutan yang akan
mengangkut hasil hutan, wajib mengajukan permohonan penerbitan SKSHH
kepada P2SKSHH dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten / Kota
(Anonim, 2005). Sedangkan Pasal 20 adalah mengatur tatacara penerbitan
SKSHH baik untuk kayu bulat (KB), kayu bakau (KBK), hasil hutan bukan kayu
(HHBK), dan kayu olahan (KO) (Anonim.2005).
Permasalahan yang mungkin timbul dalam penatausahaan kayu di era
otonomi daerah, adalah sebagai berikut. : 1) Kebijakan penatausahaan kayu
tersebut belum memiliki petunjuk teknis pelaksanaan sehingga pelaksanaan
penatausahaan kayu antar daerah dapat berbeda. 2) Daerah tujuan kayu tidak
memperoleh bagian PSDH-DR dari kayu yang diproduksi daerah lain sehingga
tidak ada insentif untuk memantau kayu ilegal yang masuk ke wilayahnya. Hal
ini dapat menyebabkan koordinasi pemantauan antara daerah asal kayu dan
daerah tujuan kayu tidak berjalan dan menurunkan efektifitas pemantauan
produksi dan peredaran kayu (Triyono P. 2001). Diperkirakan salah satu
penyebab maraknya produksi dan peredaran kayu ilegal yang terjadi saat ini
adalah lemahnya koordinasi pemantauan tersebut disamping adanya perbedaan
biaya yang dikeluarkan antara kayu resmi dan kayu ilegal dan kurangnya
kepastian hukum (Triyono P. 2000).
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka tulisan ini bertujuan untuk
mengkaji mekanisme atau alur permohonan penerbitan SKSHH sesuai dengan
5
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18 tahun 2005 tentang Penyempurnaan
ketiga atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 126/KPTS-II/2003, tentang
Penatausahaan Hasil Hutan Pasal 18 dan Pasal 20. Daerah yang menjadi lokasi
pengkajian adalah Propinsi Kalimantan Timur, karena pada Propinsi tersebut
telah merebak isu bahwa untuk pengurusan permohonan penerbitan SKSHH
harus melalui banyak meja (22 meja), (Anonim, 2005).
Berdasarkan hal tersebut di atas maka dipandang perlu untuk melakukan
kajian penatausahan kayu khususnya mengenai mekanisme atau alur
permohonan penerbitan SKSHH. Fokus kajian adalah bagaimana kemampuan
pejabat/instansi kehutanan dalam melaksanakan kegiatan penatausahaan kayu,
mekanisme atau alur tatausaha kayu apabila disederhanakan tanpa mengurangi
akurasinya ?, apa kendalanya apabila alur yang ada dilaksanakan ?, bagaimana
impact nya ?. Selain daripada itu juga dilakukan review terhadap kebijakan
penatausahaan kayu. Hasil kajian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
masukan bagi penyempurnaan penatausahaan kayu.
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui mekanisme atau alur permohonan penerbitan dan
pendistribusian SKSHH di tingkat Propinsi, Unit Pelaksana Teknis Daerah
(UPTD), dan Dinas Kehutanan Kabupaten di Propinsi Kalimantan Timur.
2. Membandingkan mekanisme atau alur permohonan penerbitan SKSHH
menurut versi Pemegang IUPHHK dengan Dinas Kehutanan Kabupaten di
Propinsi Kalimantan Timur.
Sasaran dari kajian penatausahaan kayu ini, adalah efektivitas
penatausahaan hasil hutan khususnya mekanisme atau alur permohonan
penerbitan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH).
Luarannya adalah rekomendasi perbaikan kebijakan permohonan
penerbitan SKSHH kepada Departemen Kehutanan Cq Direktorat Jenderal Bina
Produksi Kehutanan.
6
II. Metode Penelitian
A. Kerangka pemikiran
Efektifitas penatausahaan hasil hutan (PUHH) khususnya mengenai
mekanisme atau alur permohonan penerbitan SKSHH diharapkan dapat
melindungi hak-hak negara atas hasil hutan seperti PSDH – DR dan kelestarian
hutan, selain daripada itu diharapkan dapat mengendalikan peredaran kayu
ilegal yang dipengaruhi oleh kebijakan dan implementasi penatausahaan hasil
hutan yang dilakukan oleh pejabat/instansi kehutanan dan non kehutanan yang
mendapat tugas dan kewenangan untuk memantau kegiatan yang dilakukan oleh
badan usaha yang bergerak di bidang pemungutan kayu dan pengolahan kayu.
Tugas dan kewenangan untuk memantau kegiatan tersebut dilakukan oleh
pejabat/instansi yang mempunyai kedudukan di Jakarta sampai pejabat/instansi
yang mempunyai kedudukan di lapangan. Apabila digambarkan kerangka
pemikiran tersebut, adalah sebagai berikut :
PUHH
Peraturan Kebijakan
Intansi
SK 126/2003, Permenhut P.18/2005
Intrumen Pelaksanaan
PUHH
Pelaku Kegiatan PUHH
Implementasi Pelaksanaan
PUHH
Efektifitas PUHH
o Terjaganya Hak-hak negara o Terpeliharanya Kelestarian Hutan o Pengendalian Illegal Loging
Pejabat Pengesah
IUPHHK IPK
7
B. Pengumpulan data
Data primer dikumpulkan melalui pengamatan dan wawancara dengan
pejabat kehutanan dan badan usaha yang melakukan kegiatan penatausahaan
kayu, sedangkan data sekunder dikumpulkan dari kantor kehutanan, kantor
perusahaan dan intansi terkait lainnya. Data primer yang dikumpulkan, yaitu
:pelaksanaan penatausahaan kayu, kesenjangan pelaksanaan dan uraian tugas,
pengeluaran perusahaan untuk pengurusan, pengesahan dan penerbitan dokumen
Data sekunder yang dikumpulkan yaitu rekapitulasi penerbitan SKSHH, Berita
Acara Serah Terima Blanko SKSHH, Register Penerbitan Dokumen, peraturan
penatausahaan kayu, penggunaan dan pendistribusian dokumen angkutan kayu,
C. Metode Analisis
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu analis deskriptif,
dimana :
1. Untuk mengetahui sejauhmana mekanisme atau alur pelaksanaan
permohonan pendistribusian penerbitan SKSHH, di tingkat Propinsi (dalam
hal ini Dinas Kehutanan setempat sebagai koordinator pendistribusian
blanko SKSHH), Unit Pelaksanaan Teknis Daerah (UPTD) peredaran hasil
hutan (sebagai Unit Kerja yang menerbitkan SKSHH), dan Dinas Kehutanan
Kabupaten (sebagai Unit Kerja yang menerbitkan SKSHH di tinkat
Kabupaten) apakah sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.18/2005 Pasal 20 ?, yaitu dengan cara membandingkan mekanisme
atau alur yang telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Kehutanan tersebut
dengan realisasi pelaksanaan di daerah. Mekanisme dibandingkan
berdasarkan alur yang di acu dari Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.18/2005 dan yang terjadi dilapangan
2. Untuk mengetahui sejauhmana mekanisme atau alur permohonan penerbitan
SKSHH di Kabupaten Kutai Timur menurut versi pemohon SKSHH, apakah
mekanisme permohonan penerbitan SKSHH tersebut sudah sesuai dengan
Peraturan Menteri Kehutanan No P. 18/2005, atau tidak ?, yaitu dengan cara
membandingkan mekanisme atau alur menurut versi pemohon SKSHH
8
dalam hal ini adalah Pemegang IUPHHK atau IPK (lihat gambar 5) dengan
mekanisme berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.18/2005 (lihat
gambar 1), kemudian dibandingkan dengan mekanisme atau alur yang sudah
berjalan di dinas Kehutanan setempat (lihat gambar 4, di bawah).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Administrasi Pengangkutan Hasil Hutan
Pengangkutan hasil hutan khususnya kayu dibedakan antara
pengangkutan dalam hutan, pengangkutan dari hutan ke luar hutan, dan
pengangkutan di luar hutan. Pengangkutan hasil hutan lebih banyak
mendapat perhatian administrasi dalam Penatausahaan Hasil Hutan terutama
angkutan yang di luar hutan. Pengangkutan dari hutan ke TPN boleh
dikatakan tidak diatur, baru setelah dari TPK yang pada umumnya berada di
luar hutan baru mendapat perhatian atau pengaturan yang sangat ketat
terutama dengan penggunaan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
(SKSHH). Hal ini sangat mengundang kepada masyarakat untuk mendapat
hasil hutan yang sah hanya melalui SKSHH tanpa memperhatikan proses
atau kronologis dari hasil hutan tersebut. Maka terjadilah seperti yang
terjadi selama ini, yaitu penjualan blanko SKSHH secara ilegal. Seharusnya
sahnya hasil hutan harus dibuktikan dari asal usul hasil hutan yang sah atau
yang telah disetujui pemanenannya dalam RKT yang telah disahkan
berdasarkan hasil pengamatan petugas yang berwewenang, yaitu Petugas
Pengesah LHP (P2LHP). Petugas ini yang sebaiknya memberi pengesahan
kebenaran asal kayu pada kayu yang akan diangkut dari hutan dengan
memberikan tandatangan pada Daftar Hasil Hutan (DHH). Oleh karena itu
DHH yang telah diketahui kebenarannya oleh P2LHP digunakan sebagai
alat yang membuktikan bahwa hasil hutan berasal dari areal RKT yang telah
disahkan. DHH cukup dibuat oleh petugas perusahaan, tetapi kebenarannya
harus diketahui oleh petugas kehutanan (P2LHP), DHH yang telah disahkan
oleh P2LHP sebagai dokumen resmi dalam pengangkutan hasil hutan.
Dengan cara ini pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana untuk
pencetakan blanko SKSHH yang cukup mahal harganya
9
Setelah kayu sampai ditempat penimbunan maka DHH yang
menyertai kayu diserahkan pada P3KB. Selanjutnya P3KB memeriksa
kebenaran yang ada dalam DHH dengan mengadakan pemeriksaan data
yang ada dalam DHH dengan pengukuran fisik. Pemeriksaan fisik 100 %
bila jumlah batang kayu sampai dengan 100 batang, lebih dari 100 batang
maka pemeriksaan 100 % juga dilakukan terhadap jumlah dan jenis kayu,
tapi pengukuran hanya dilakukan terhadap 10 % sampel minimum 100
batang. Bila dari pengecekan tersebut tidak ada perbedaan sesuai dengan
standar pengecekan maka DHH dimatikan dan kayu ditumpuk di tempat
penimbunan kayu (TPK).
Dalam rangka pengangkutan kayu dari TPK ke TPK industri atau
pelabuhan maka petugas perusahaan membuat DHH baru dari DHH lama
sebagai bukti bahwa kayu tersebut dari tebangan yang sah. DHH yang baru
disahkan oleh P3KB yang ditugaskan pada TPK tersebut.
Kalimantan Timur merupakan salah satu propinsi yang cukup banyak
mengeluarkan permohonan penerbitan SKSHH, hal ini terjadi, karena di
propinsi tersebut pemegang IUPHHK/IPK yang aktif masih cukup banyak.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Propinsi, rata-rata
pendistribusian blanko SKSHH perbulan pada tahun 2003 dan 2004, adalah
sebanyak 1.067 lembar dan 1.078 lembar. Pada Tabel 1 di bawah dapat di
lihat rekapitulasi pendistribusian, penerbitan blanko SKSHH lingkup Dinas
Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur dalam tahun 2003 dan 2004.
Tabel 1 Rekapitulasi Penerbitan Blanko SKSHH Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur Tahun 2003 Dan 2004.
. No Uraian Jumlah Penerbitan
SKSHH Tahun 2004 (Lembar)
Jumlah Penerbitan SKSHH Tahun 2003
(Lembar)
Kenaikan (Peurunan) Th. 2004 terhadap
Th.2003
(%) Kenaikan
(Penurunan)
Penerbitan SKSHH Oleh : 1 UPTD Peredaran Hasil Hutan - Balikpapan 1.501 1.252 249 19,89 - Samarinda 6.577 5.800 777 13,40 - Tarakan 445 605 (160) (26,25) Jumlah 1 8.532 7.657 875 11,43 2 UPTD KPH - Berau 434 466 (32) (6,87) - Bulungan 320 417 (97) (23,26)
10
- Malinau 82 174 (92) (52,87) - Nunukan 220 332 (112) (33,73) - Pasir 437 363 74 20,39 Jumlah 2 1.493 1.752 (259) (14,78) 3 Dinas Kehutanan Kabupaten - Kutai Kartanegara 1.218 1.092 126 11,54 - Kutai Barat 815 1.630 (815) (50) - Kutai Timur 885 669 216 32,29 Jumlah 3 2.918 3.391 (473) (13,95) Jumlah 1 + 2 + 3 12.943 12.800 143 1,12 Rata-rata perbulan 1.078 1.067 11,92 0,09
Sumber : Dinas Kehutanan Kalimantan Timur, 2005
Apabila di lihat pada Tabel 1 di atas, rata-rata kenaikan penerbitan
SKSHH di propinsi Kalimantan Timur sebanyak 11,92 lembar dibulatkan
menjadi 12 lembar, persentase rata-rata perbulan sebesar 0,09 %. Adapun
jumlah penerbitan SKSHH yang terbanyak di UPTD Peredaran Hasil
Hutan sebanyak 875 lembar, atau 11,43 %. Kemungkinan peningkatan
permohonan penerbitan SKSHH tersebut disebabkan oleh banyaknya
pengangkutan hasil hutan dengan menggunakan kendaraan darat (truk)
yang berukuran sedang dan kecil. Apabila kita lihat pada SK Menteri
Kehutanan Nomor 126 Pasal 16, ayat (8) yang mengatakan bahwa SKSHH,
DPP, dan FA-BBS/FA-Bakau hanya berlaku untuk1 (satu) kali
pengangkutan dari 1 (satu) pemilik, 1 (satu) jenis komoditas hasil hutan,
dan untuk 1 (satu) alat angkut dengan 1 (satu) tujuan pengangkutan, jadi
berdasarkan keterangan tersebut di atas jelas bahwa betapa pentingnya
dokumen pengangkutan hasil hutan tersebut.
Seperti yang tertulis pada pendahuluan, bahwa permasalahan yang
mungkin timbul dalam penatausahaan hasil hutan (kayu) di era otonomi
daerah adalah perbedaan dalam pelaksanaan penatausahaan hasil hutan
(kayu), karena belum adanya petunjuk teknis pelaksanaan yang baku yang
dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan, di dalam era otonomi daerah hal
demikian mungkin saja terjadi, karena setiap daerah mempunyai program
kerja, target kerja yang berbeda satu sama lainnya, tergantung dengan
kepentingan dan kebutuhan di daerahnya masing-masing.
Dasar hukum penatausahaan hasil hutan khususnya permohonan
penerbitan SKSHH adalah Surat Keputusan Menteri Kehutanan No
126/Kpts-II/2003 yang kemudian disempurnakan, menjadi Peraturan
11
Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2005 Pasal 18 dan Pasal 20,
akan tetapi di dalam realisasi pelaksanaannya di lapangan masih terdapat
perbedaan implementasi antara satu unit kerja dengan unit kerja yang lain,
walaupun perbedaan tersebut tidak terlalu menyimpang dari ketentuan yang
ada, artinya secara substansi pelaksanaan mekanisme atau alur permohonan
penerbitan SKSHH telah sesuai dengan mekanisme atau alur yang tertera
dalam Peraturan Menteri Kehutanan tersebut di atas.
B. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 18/Menhut-II/2005
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/2005, Pasal 18, ayat (1)
mengatakan setiap badan usaha, perorangan, dan pemegang ijin industri
hasil hutan (IHH) yang akan mengangkut hasil hutan, wajib mengajukan
permohonan penerbitan SKSHH kepada P2SKSHH dengan tembusan
kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Apabila dilihat dari bunyi pasal
tersebut, jelas menyatakan bahwa setiap pengangkutan hasil hutan kayu
dari TPK/TPn di hutan ke tempat lain, wajib menggunakan dokumen.
Adapun sebagai dasar untuk penerbitan dokumen angkutan, adalah pemilik
hasil hutan wajib mengajukan permohonan kepada Pejabat yang berwenang
menerbitkan dokumen angkutan.
Menurut SK Menteri Kehutanan Nomor 126/Kpts-II/2003, tentang
Penatausahaan Hasil Hutan, pada Pasal 16, ayat (7), dinyatakan bahwa
dokumen angkutan yang sah, adalah :
a. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), adalah dokumen
resmi yang diterbitkan pejabat berwenang yang digunakan dalam
pengangkutan, penguasaan dan pemilikan hasil hutan, sebagai alat
buktiatas legalitas hasil hutan.
b. Daftar Pengangkutan Pengganti (DPP), adalah dokumen angkutan
sementara pengganti SKSHH yang melengkapi bersama-sama
pengangkutan hasil hutan dari pelabuhan umum ke industri atau
konsumen dalam Kabupaten/Kota
c. Faktur Angkutan Bahan Baku Serpih / Faktur Angkutan Kayu Bakau
(FA-BBS/FA Bakau.), adalah dokumen angkutan sementara yang
12
digunakan untuk pengangkutan kayu bahan baku serpih selain Kayu
Bulat ke industri pulp.
Selanjutnya pada ayat (8) SKSHH, DPP, dan FA-BBS/FA Bakau hanya
berlaku untuk 1 (satu) kali pengangkutan dari 1 (satu) pemilik, 1 (satu)
jenis komoditas hasil hutan, dan untuk 1 (satu) alat angkut dengan 1 (satu)
tujuan pengangkutan. Berdasarkan keterangan di atas, maka SKSHH
merupakan dokumen angkutan hasil hutan yang wajib dimiliki dalam setiap
pengangkutan hasil hutan dari satu tempat ke tempat lain.
Untuk mengetahui mekanisme, alur atau tata cara penerbitan SKSHH
untuk kayu bulat (KB), kayu olahan (KO), hasil hutan bukan kayu
(HHBK), FA-BBS/FA Bakau, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.18/2005, di atur pada Pasal 20. Secara umum bahwa P2SKSHH
selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja setelah menerima surat permohonan
penerbitan SKSHH, wajib melakukan pemeriksaan administrasi dan fisik,
selanjutnya P2SKSHH sebelum melakukan pemeriksaan fisik, terlebih
dahulu wajib meneliti daftar hasil hutan (DHH) yag diajukan untuk
memastikan bahwa hasil hutan dalam DHH tersebut berasal dari LHP yang
telah disahkan oleh P2LHP, atau berasal dari SKSHH asal yang telah
dilakukan pemeriksaan kebenarannya oleh P3KB, kemudian mengecek
Laporan Mutasi Hasil Hutan (LMHH)/posisi persediaan pada saat
pengajuan permohonan penerbitan SKSHH.
Berdasarkan hasil BAP pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
administrasi, apabila tidak ada masalah, P2SKSHH segera menandatangani
DHH dan menerbitkan SKSHH yang dilakukan di lokasi dimana hasil
hutan tersebut diangkut. Atas SKSHH yang diterbitkan, selanjutnya
disampaikan kepada Pejabat yang membidangi kehutanan di wilayah kerja
P2SKSHH tersebut untuk diketahui dan disetujui. Adapun pejabat yang
membidangi kehutanan dimaksud adalah Pejabat Struktural yang
menduduki jabatan paling rendah eselon III pada Dinas Kabupaten/Kota
yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota, penetapan tanggal mulai
berlaku SKSHH di isi sesuai dengan tanggal pada saat persetujuan
penerbitan SKSHH. Setelah SKSHH ditandatangani untuk disetujui,
13
P2SKSHH menyerahkan dokumen SKSHH lembar ke 1 dan lembar ke 2
kepada yang berhak atau pemohon disertai Berita Acara Serah Terima
(lihat gambar 1 di bawah) .
Dalam hal alat angkut tidak dapat merapat ke tempat pemuatan/TPK,
sehingga proses pemuatan hasil hutan ke alat angkutnya dilakukan secara
bertahap dan atau memerlukan lebih dari 1 (satu) hari, maka proses
pemuatan tersebut dapat dilakukan setelah BAP pemeriksaan fisik
ditandatangani oleh P2SKSHH, sehingga BAP dan DHH tersebut
merupakan bukti proses pemuatan dan berfungsi sebagai alat bukti
keabsahan hasil hutan yang di angkut menuju tempat pemuatan, sebelum
SKSHH diterbitkan.
Gambar 1 : Mekanisme atau Alur Permohonan Penerbitan SKSHH Berdasarkan Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.18/2005.
C. Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur (Koordinator pendistribusian
blanko SKSHH).
Mekanisme atau alur permohonan permintaan blanko SKSHH yang
dilakukan oleh UPTD dan Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota kepada Dinas
Kehutanan Propinsi, adalah sebagai berikut :
PEMOHON
P2SKSHH PEJABAT
STRUKTURAL DINAS
KEHUTANAN
PEMERIKSAAN - ADMINISTRASI / FISIK - MENERBITKAN
SKSHH. - MENANDATANGANI
DHH.
14
Gambar 2 : Mekanisme atau Alur Permohonan Penerbitan SKSHH Di Dinas Kehutanan
Propinsi Kalimantan Timur
Permohonan penerbitan SKSHH di Dinas Kehutanan Propinsi
Kalimantan Timur (lihat gambar 2 di atas), mekanisme atau alur
permohonan SKSHH tersebut sangat berbeda dengan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.18/2005, karena Dinas Kehutanan Propinsi hanya
berperan sebagai institusi pemerintah yang mengkoordinir pendistribusian
blanko SKSHH di Kalimantan Timur. Apabila kita lihat pada gambar
mekanisme yang ada, pemohon dalam hal ini adalah UPTD PHH, UPTD
KPH, dan Dinas Kehutanan Kabupaten, mengajukan permohonan
permintaan blanko SKSHH kepada Dinas Kehutanan Propinsi, adapun
persyaratan yang harus dilengkapi dalam meminta blanko tersebut adalah
Register Penerbitan Dokumen SKSHH dan Surat Kuasa (apabila
diperlukan). Register penerbitan dokumen SKSHH adalah bukti penerbitan
SKSHH yang telah dikeluarkan oleh UPTD PHH, UPTD KPH, dan Dinas
Kehutanan Kabupaten kepada pemohon SKSHH (pemegang
IUPHHK/IPK/HHI).
Surat permohonan tersebut diajukan langsung ke Kepala Dinas
Kehutanan tingkat propinsi, akan tetapi yang memproses surat permohonan
tersebut adalah Kepala Sub Bidang Pengolah Peredaran Hasil Hutan. Bila
PEMOHON
TATA USAHA
KA SUB BID PENGOLAH
PEREDARAN
KA BID PEREDARAN
HH
KEPALA DINAS KEHUTANAN
PROPINSI
15
semua persyaratan telah lengkap maka surat permohonan tersebut
disampaikan kepada Kepala Bidang Peredaran Hasil Hutan dan kemudian
diteruskan ke Kepala Dinas Kehutanan untuk diminta persetujuan jumlah
blanko SKSHH yang disetujui untuk diberikan atau didistribusikan kepada
para pemohon, selanjutnya Kepala Dinas memberikan disposisi kepada Ka
Bid Peredaran Hasil Hutan untuk ditindaklanjuti. Di dalam disposisi
tersebut tertera jumlah blanko SKSHH yang disetujui untuk masing-masing
pemohon SKSHH, dan disposisi tersebut disampaikan kembali ke Ka Sub
Bidang Pengolah Peredaran Hasil Hutan untuk dibuatkan BAP Serah
Terima SKSHH yang ditandatangani oleh Ka Bid Peredaran Hasil Hutann
dan diketahui oleh Kepala Dinas Kehutanan.
D. UPTD Peredaran Hasil Hutan Samarinda.
Mekanisme atau alur permohonan penerbitan SKSHH di UPTD
Peredaran Hasil Hutan Samarinda (lihat gambar 3), pemohon mengajukan
surat permohonan penerbitan SKSHH yang ditujukan kepada Kepala
UPTD, bukan ditujukan pada P2SKSHH, kemudian surat permohonan
tersebut diteruskan ke Kasi Bimbingan Teknis untuk dipelajari, setelah
dilakukan pemeriksaan secara administrasi, lalu dilakukan pemeriksaan
secara fisik, apabila tidak ada masalah mengenai persyaratan yang harus
dipenuhi, SKSHH diterbitkan. Adapun yang menerbitkan SKSHH adalah
Kasi Peredaran Hasil Hutan. Setelah SKSHH tersebut diterbitkan kemudian
diserahkan ke Pejabat Struktural untuk disetujui dan disahkan.
Secara prinsip permohonan penerbitan SKSHH di UPTD Peredaran
Hasil Hutan Samarinda telah sesuai dengan mekanisme atau tatacara yang
diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/2005,
perbedaannya adalah bagian atau orang yang menangani permohonan
penerbitan SKSHH tersebut berbeda, misalnya kalau dalam Permenhut
Nomor P.18/2005, yang menerbitkan SKSHH adalah P2SKSHH akan
tetapi di UPTD Peredaran Hasil Hutan Samarinda yang menerbitkan
SKSHH adalah Kasi Peredaran Hasil Hutan. Ini mungkin saja terjadi,
karena seorang yang menjabat sebagai Kasi Peredaran Hasil Hutan juga
16
merangkap sebagai P2SKSHH, dan ini dimungkinkan karena kebijakan
institusi tersebut semuanya berada pada Kepala UPTD.
Gambar 3 : Mekanisme atau Alur Permohonan Penerbitan SKSHH Di UPTD Peredaran Hasil Hutan Samarinda. (Sumber : UPTD Peredaran Hasil Hutan Samarinda, 2005)
Keterangan :
(*) Permohonan penerbitan SKSHH, melampirkan :
� Identitas pemohon
� Bukti-bukti kepemilikan hasil hutan yang sah / lembar ke 2 SKSHH
asal.
� LMHH (LMKB, LMKO, LMHHBK).
� Bukti Iuran PSDH dan DR.
� DHH sesuai dengan rencana yang dikirim.
(**) Penelitian Administrasi, adalah sebagai berikut :
� Kelengkapan berkas pemohon
� Kebenaran pengisian DHH
� Stock / Persediaan LMNN / SKSHH asal
PEMOHON (*) KA SUB TATA USAHA
KEPALA UPTD
KASI BINTEK (**)
P2SKSHH (***)
KASI PEREDARAN
HH (****)
17
� Pemeriksaan SPT untuk pemeriksaan fisik kepada petugas yang
berkualifikasi penguji, minimal 2 orang disesuaikan dengan
kebutuhan
(***) Pemeriksaan Fisik, ialah :
� Melakukan pemeriksaan jenis dan ukuran terhadap hasil hutan yang
akan dikirim dengan mengambil sampel secara acak dan harus
mewakili setiap sortimen dan jenis.
� Membuat BAP hasil pemeriksaan fisik.
(****) Penerbitan SKSHH :
� Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Fisik P2SKSHH
menerbitkan SKSHH dan menandatangani DHH.
� Setelah penerbitan SKSHH, P2SKSHH menyerahkan dokumen
kepada yang berhak / pemohon disertai dengan Berita Acara Serah
Terima dokumen.
E. Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Timur
Pada gambar 4 di bawah mekanisme atau alur permohonan
penerbitan SKSHH di Dinas Kehutanan Kutai Timur, adalah sebagai
berikut, surat permohonan penerbitan SKSHH ditujukan kepada P2SKSHH
dan tembusannya Kepada Kepala Dinas Kehutanan setempat. Tetapi yang
paling berperan dalam pemrosesan permohonan tersebut adalah Kepala
Dinas Kehutanan, dimana P2SKSHH hanya melaksanakan tugas sesuai
dengan SPT yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan, yaitu melakukan
pemeriksaan fisik, menandatangani DHH, dan menerbitkan SKSHH.
Sedangkan untuk pemeriksaan administrasi dilakukan oleh pejabat yang
ada di Dinas Kehutanan, seperti Kepala Sub Dinas Peredaran, Kasi
Pengujian Hasil Hutan, dan Kasi Peredaran Hasil Hutan.
18
Gambar 4 : Mekanisme atau Alur Permohonan Penerbitan SKSHH Di Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Timur. (Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Timur, 2005)
Penjelasan :
1. Pemohon SKSHH mengajukan surat permohonan yang ditujukan kepada
Pejabat Penerbit SKSHH dan tembusan disampaikan kepada Kepala
Dinas Kehutanan Kabupaten.
2. Kepala Dinas Kehutanan meneruskan kepada Kepala Sub Dinas
Peredaran Hasil Hutan.
SURAT PEMOHON (1)
KEPALA DINAS KEHUTANAN
(2)
PEJABAT PENERBIT SKSHH (7)
KA SUB DIN PEREDARAN HASIL HUTAN
(3)
KASI PENGUJIAN HASIL HUTAN
(4)
KASI PEREDARAN HASIL HUTAN
(5)
PEJABAT STRUKTURAL (Diketahui & Disetujui)
(6)
PENERBIT SKSHH (8)
PEMOHON
19
3. Kepala Sub Dinas Peredaran Hasil Hutan membuat Surat Perintah Tugas
(SPT), disampaikan kepada P2SKSHH, P2LHP, P3KB, dan Pengukur
Penguji.
4. Surat permohonan disampaikan kepada Kasi Pengujian Hasil Hutan
untuk melakukan :
� Chek Target SK IPK/RKT.
� Chek BA Stok Opname.
� LHP.
� Risalah Lelang.
� LMKB/Laporan Bulanan.
5. Setelah diperiksa oleh Kasi Pengujian Hasil Hutan, surat tersebut
disampaikan kepada Kasi Peredaran Hasil Hutan untuk melakukan
pemeriksaan :
� SPP PSDH & DR
� Bukti Setor / Bank setor.
� Chek Target SK RPBBI.
� LMKO / Laporan Bulanan.
� SP Kebenaran Tujuan SKSHH.
� Rencana Pengangkutan.
� Pengarsipan / Pelaporan.
6. Setelah selesai melakukan pemeriksaan Administrasi da Fisik (Laporan
Pemeriksaan Fisik disampaikan oleh P2SKSHH), Pejabat Struktural
mengetahui dan menyetujui untuk memberikan SKSHH kepada
pemohon.
7. Pejabat Penerbit SKSHH melakukan :
� Memberikan Daftar Hasil Hutan (DHH), LHP-KB yang disahkan
oleh P2LHP/P3KB.
� Memeriksa LMKB / Stok akhir.
� Memeriksa Fisik KB.
� Menandatangani DHH.
� Menerbitkan SKSHH.
20
8. Penerbit SKSHH membuat BAP Serah Terima (Register), kemudian
disampaikan kepada pemohon.
F. Pemegang IUPHHK
Adapun pengurusan permohonan penerbitan SKSHH menurut versi
pemohon SKSHH (lihat gambar 5), yaitu pemegang IUPHHK/IPK yang
ada di Kabupaten Kutai Timur, menuturkan bahwa surat permohonan
ditujukan kepada Kepala Dinas Kehutanan, kemudian Kepala Dinas
Kehutanan memberikan disposisi untuk dibuatkan Surat Perintah Tugas
(SPT) yang ditujukan kepada P2SKSHH untuk melakukan
pengecekan/pemeriksaan fisik hasil hutan (KB/KO/HHI). SPT tersebut
diserahkan kepada pemohon SKSHH, dan pemohon SKSHH langsung
menghubungi P2SKSHH. Setelah melakukan pemeriksaan fisik P2SKSHH
membuat BAP pemeriksaan fisik dan menandatangani DHH, selanjutnya
BAP Pemeriksaan Fisik tersebut diserahkan kepada Kepala Sub Dinas
Peredaran Hasil Hutan dan stafnya untuk menindaklanjuti permohonan
tersebut yaitu memeriksa Administrasi. Berdasarkan kelengkapan
administrasi dan BAP pemeriksaan fisik, SKSHH diterbitkan dan diketahui
oleh pejabat struktural dengan mencantumkan tanggal persetujuan
penerbitan SKSHH, kemudian setelah diketahui dan disetujui SKSHH
diserahkan ke pemohon disertai dengan BAP serah terima SKSHH.
Mekanisme atau alur permohonan penerbitan SKSHH berdasarkan
versi pemohon dalam hal ini pemegang IUPHHK di Kabupaten Kutai
Timur, Kalimantan Timur, adalah sebagai berikut :
21
Gambar 5 : Mekanisme atau Alur Permohonan Penerbitan SKSHH Berdasarkan Versi
Pemohon SKSHH. (Sumber : Group PT. Segara Timber, 2005 ) Penjelasan :
1. Pemohon SKSHH mengajukan surat permohonan melalui Kepala Sub
Bagian Tata Usaha, ditujukan kepada Kepala Dinas Kehutanan
Kabupaten.
2. Kepala Dinas Kehutanan memberikan disposisi untuk dibuatkan Surat
Perintah Tugas (SPT) yang ditujukan kepada P2SKSHH untuk
melakukan pengecekan Fisik KB/KO/HHI milik pemohon SKSHH.
SPT tersebut diserahkan kepada pemohon SKSHH, dan pemohon
SURAT PEMOHON (1)
KEPALA DINAS KEHUTANAN
(2)
PEJABAT PENERBIT SKSHH (3)
KA SUB DIN PEREDARAN HASIL HUTAN
(4)
KASI PENGUJIAN HASIL HUTAN
(5)
KASI PEREDARAN HASIL HUTAN
(6)
PEJABAT STRUKTURAL (Diketahui & Disetujui)
(8)
PENERBIT SKSHH (7)
PEMOHON
22
menghubungi P2SKSHH untuk melaksanakan tugas sebagaimana yang
tercantum dalam SPT tersebut.
3. Setelah melakukan pemeriksaan, P2SKSHH membuat BAP
Pemeriksaan Fisik, dan setelah P2SKSHH menandatangani DHH, maka
BAP tersebut diserahkan kepada Kepala Sub Dinas Peredaran Hasil
Hutan, untuk di tindak lanjuti.
4. Kepala Sub Dinas Peredaran Hasil Hutan menindak lanjuti permohonan
tersebut disertai dengan BAP pemeriksaan fisik dari P2SKSHH untuk
memeriksa Administrasi, pelaksanaan pemeriksaan tersebut dilakukan
oleh Kepala Seksi Pengujian Hasil Hutan.
5. Kasi Pengujian Hasil Hutan memeriksa semua berkas kelengkapan
Administrasi, seperti :
� Cek Target SK IPK/RKT.
� Cek BA Stok Opname.
� LHP.
� Risalah Lelang.
� LMKB/Laporan Bulanan.
Setelah dilakukan pemeriksaan seperti yang tersebut di atas maka surat
permohonan dilanjutkan kepada Kasi Peredaran Hasil Hutan.
6. Kasi Peredaran Hasil Hutan melakukan pemeriksaan, seperti :
� SPP PSDH & DR.
� Bukti Setor/Bank Setor.
� Cek Target SK RPBBI.
� LMKO/Laporan Bulanan.
� SP Kebenaran Tujuan SKSHH.
� Rencana Pengangkutan.
� Pengarsipan/Pelaporan.
Setelah melaksanakan pemeriksaan terhadap kelengkapan Administrasi
maupun BAP Pemeriksaan Fisik KB/KO/HHI, SKSHH diterbitkan dan
diserahkan kepada Pejabat Struktural untuk Diketahui dan Disetujui,
dengan mencantumkan tanggal persetujuan penerbitan SKSHH.
23
7. Berdasarkan kelengkapan Administrasi maupun BAP Pemeriksaan
Fisik KB/KO/HHI, SKSHH diterbitkan dan diserahkan kepada Pejabat
Struktural untuk Diketahui dan Disetujui, dengan mencantumkan
tanggal persetujuan penerbitan SKSHH.
8. Pejabat Struktural menandatangani, mengetahui dan menyetujui
penerbitan SKSHH tersebut, SKSHH yang sudah diketahui dan
disetujui dikembalikan kepada penerbit SKSHH untuk disampaikan
kepada pemohon dilengkapi dengan BAP Serah Terima SKSHH dan
Register.
Kalau kita bandingkan antara mekanisme permohonan penerbitan
SKSHH yang berjalan di Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Timur dengan
keterangan yang diberikan oleh pemohon SKSHH (pemegang IUPHHK),
memang pada dasarnya alur atau mekanisme permohonan penerbitan SKSHH
tersebut sama dan sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.18/2005, akan tetapi apabila kita perhatikan lebih seksama ternyata terdapat
perbedaan dalam pelaksanaannya, yaitu pada :
� Pengiriman surat permohonan penerbitan SKSHH, menurut Dinas
Kehutanan surat permohonan ditujukan kepada P2SKSHH dan
tembusan kepada Kepala Dinas Kehutanan setempat, akan tetapi
menurut pemohon SKSHH surat ditujukan langsung ke kepala Dinas
Kehutanan, sedangkan untuk P2SKSHH berdasarkan SPT yang
dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan. Di dalam Permenhut Nomor
P.18/2005, tertulis bahwa surat pemohon ditujukan kepada P2SKSHH
dan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Dari hasil
keterangan yang diperoleh memang ada perbedaan mengenai
mekanisme atau alur permohonan penerbitan SKSHH tersebut, akan
tetapi pada prinsipnya adalah sama, yaitu untuk melindungi hak-hak
negara seperti PSDH & DR, serta mencegah terjadinya perdagangan
kayu atau peredaran SKSHH yang tidak benar.
� Pemeriksaan Administrasi, menurut Permenhut Nomor P.18/2005,
P2SKSHH wajib memeriksa administrasi dan fisik, akan tetapi pada
kenyataannya di lapangan menurut keterangan yang diberikan pemohon
24
SKSHH (pemegang IUPHHK) dan mekanisme atau alur yang berjalan
di Dinas Kehutanan Kutai Timur, pemeriksaan administrasi dilakukan
oleh Kepala Sub Dinas Peredaran Hasil Hutan dan stafnya, bukan
dilakukan oleh P2SKSHH.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Mekanisme atau alur pelaksanaan permohonan penerbitan SKSHH di
Propinsi Kalimantan Timur, pada dasarnya sudah berjalan sesuai
dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/2005, Pasal 18 dan
Pasal 20. walaupun masih terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya,
seperti siapa yang dituju dalam surat permohonan penerbitan SKSHH,
dan pemeriksaan administrasi. Akan tetapi perbedaan tersebut tidak
menjadikan permasalahan yang serius, karena pada prinsipnya /
dasarnya, institusi/unit kerja yang berwenang dalam menerbiktan
SKSHH ingin melindungi hak-hak negara seperti PSDH & DR, dan
menekan terjadinya perdagangan kayu atau peredaran SKSHH yang
ilegal.
2. Pengesahaan SKSHH oleh pejabat struktural (eselon III) kurang
efektif, karena ini hanya memperpanjang rantai birokrasi dalam
penerbitan SKSHH dan dikhawatirkan adanya penyalahgunaan
wewenang dan tanggung jawab petugas P2SKSHH, mengingat lokasi
Pejabat Struktural Eselon III dengan P2SKSHH cukup jauh.
3. SKSHH tidak dapat dikatakan sebagai ukuran bahwa kayu itu legal
atau tidak, banyak faktor yang menyatakan bahwa kayu yang diangkut
dari satu daerah ke daerah lain itu kayu legal, diantaranya adalah
pembayaran PSDH dan DR, DHH, LHC, LHP, LMKB dan masih
banyak lagi persyaratan untuk menentukan bahwa kayu itu legal atau
tidak, yang terpenting dan perlu diketahui dalam pengangkutan kayu,
adalah mengenai Kronologis Kayu.
25
4. Terdapat perbedaan persepsi antara pemohon (IUPHHK) dengan Dinas
Kehutanan Kabupaten Kutai Timur, yaitu pada saat mengajukan surat
permohonan penerbitan SKSHH. Menurut pemohon ditujukan kepada
Kepala Dinas Kehutanan, sedangkan P2SKSHH melaksanakan
tugasnya berdasarkan SPT yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas
Kehutanan setempat. Sedangkan menurut Dinas Kehutanan setempat
permohonan penerbitan SKSHH ditujukan kepada P2SKSHH dan
tembusan kepada Kepala Dinas Kehutanan.
5. Penyerdahanaan dilakukan dalam pengangkutan hasil hutan.
Dokumen terpenting yang menyertai kayu, ketika kayu tersebut di
angkut sebenarnya adalah Daftar Hasil Hutan (DHH) yang telah
disahkan oleh P2LHP bukan SKSHH, karena dalam DHH data kayu
yang di angkut secara rinci tercatat (asal usul kayu, jumlah
kubikasinya, ukuran perbatangnya, jenis kayunya, dan lain
sebagainya), sedangkan SKSHH hanya merupakan rekapitulasi data
kayu yang diambil dari DHH.
B. Saran
1. Penatausahaan hasil hutan masih perlu untuk disempurnakan dalam
rangka perbaikan pelayanan publik terhadap pengelolaan hutan agar
pengelolaan hutan dapat lebih efisien dan efektif.
2. Untuk pengangkutan hasil hutan tidak perlu menggunakan SKSHH
yang memerlukan biaya pembuatan dan pengurusan yang cukup besar,
akan tetapi cukup dengan DHH yang dibuat oleh perusahaan dan
disahkan atau diketahui oleh petugas kehutanan yang ditugaskan untuk
tugas tersebut, misalnya di TPN oleh P2LHP sedangkan di TPK/
LOGPOND/TPKI pelabuhan oleh P3KB
3. Agar terjadi saling mengawasi, maka KPHP / P2LHP merupakan
petugas Dinas Kabupaten, P3KB di TPK hutan / logpond merupakan
26
petugas Dinas Propinsi, dan P3KB di Industri dan pelabuhan petugas
dari Departemen.
Daftar Pustaka
APHI.2005, Alur Proses Permohonan Surat Keterangan Sah Hasil Hutan,
Samarinda, 2005. Anonim. 1985. Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No.521/Kpts/IV-
Tib/1985 Tentang Petunjuk Teknis Tata Usaha Kayu. Departemen Kehutanan, Jakarta.
______. 1990. Keputusan Menteri Kehutanan No.402/Kpts-IV/1990 Tentang Tata
Usaha Kayu. Departement Kehutanan, Jakarta. ______. 1999. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 316/Kpts-
II/1999 Tentang Tata Usaha Hasil Hutan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.
______. 2003. Keputusan Menteri Kehutanan No.126/Kpts-II/2003 Tentang
Penatausahaan Hasil Hutan. Departemen Kehutanan, Jakarta. ______. 2002. Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Dinas Kehutanan. 2004, Rekapitulasi Pendistribusian, Penerbitan Blanko SKSHH
Lingkup Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Timur, Samarinda. Sianturi A, Syahadat E, Bangsawan I. 2005. Kajian Kebijakan Penatausahaan
Hasil Hutan. Laporan Penelitian. Puslitbang Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan, Bogor
Triyono P. 2001. Sistem Pemantauan Produksi dan Peredaran Kayu di Era
Otonomi Daerah. Info Sosial Ekonomi Vol. 2 No. 1. Puslitbang Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan, Bogor.