ketentuan penggunaan bahan baku lokal...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
KETENTUAN PENGGUNAAN BAHAN BAKU LOKAL TERHADAP WARALABA ASING DILIHAT DARI PRINSIP
PERDAGANGAN WTO DAN UNDANG-UNDANG PERSAINGAN USAHA INDONESIA
TESIS
CAROLINASARI
1106030473
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM JAKARTA
JANUARI 2013
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
KETENTUAN PENGGUNAAN BAHAN BAKU LOKAL TERHADAP WARALABA ASING DILIHAT DARI PRINSIP
PERDAGANGAN WTO DAN UNDANG-UNDANG PERSAINGAN USAHA INDONESIA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum
CAROLINASARI
1106030473
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM JAKARTA
JANUARI 2013
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua
sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya
nyatakan dengan benar
Nama : Carolinasari
NPM : 1106030473
Tanda Tangan
:
Tanggal
:
21 Januari 2013
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh :
Nama : Carolinasari
NPM : 1106030473
Program Studi : Ilmu Hukum (Magister Hukum Ekonomi)
Judul Tesis : Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Terhadap Waralaba Asing Dilihat Dari Prinsip Perdagangan WTO Dan Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Kurnia Toha S.H., LL.M., Ph.d
Penguji : Dr. Freddy Harris S.H., LL.M.
Penguji : Teddy Anggoro S.H., M.H.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 21 Januari 2013
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
iv
KATA PENGANTAR
Puji, hormat, dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, oleh karena kemurahan dan
karunia-Nya telah memampukan Penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Penulisan
tesis yang berjudul “Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Terhadap Waralaba
Asing Dilihat Dari Prinsip Perdagangan WTO Dan Undang-Undang Persaingan
Usaha Indonesia” ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saya
menyadari bahwa tanpa bantuan berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada
penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh
karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Rossa Agustina S.H., M.H. selaku Ketua Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia;
2. Kurnia Toha S.H., LL.M., P.hd sebagai pembimbing penulis yang telah
banyak membantu serta memberikan masukan dalam penyelesaian tesis ini.
“Terima kasih Pak atas waktu dan perhatian yang sudah disediakan untuk
membimbing Penulis di sela-sela kesibukan bapak.”;
3. Dr. Freddy Harris S.H., LL.M. dan Teddy Anggoro S.H., M.H. selaku dosen
penguji yang telah memberikan masukan yang berharga untuk
penyempurnaan tesis ini;
4. Prof. Dr. Rosa Agustina S.H., M.H., Dr. Nurul Elmiyah, S.H., M.H. dan Heru
Susetyo S.H., LL.M., M.Si., sebagai Pembimbing Akademik Penulis;
5. Orang tua, adik-adik, dan keluarga besar saya yang telah memberikan
dorongan semangat dan doa buat penulis;
6. Ibu Nurlaila Nur Muhammad (Direktur Bina Usaha Perdagangan Kementerian
Perdagangan) yang telah meluangkan waktunya untuk wawancara dengan
penulis dan telah banyak membantu dalam usaha memperoleh data yang
penulis perlukan;
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
v
7. Bapak Anang Sukandar (Ketua Asosiasi Franchise Indonesia) yang telah
membantu dalam usaha memperoleh data yang penulis perlukan;
8. Lalu Mulyono sebagai seseorang yang berarti bagi penulis. Terima kasih
untuk dorongan semangat, doa, kasih sayang serta bantuannya selama ini
mulai dari awal kuliah sampai sekarang. Kamu selalu akan menjadi semangat
buat aku! U’r my best partner in my life, nduti;
9. Sahabat-sahabat penulis: Denis, Tysa, Iin Karoline, Miranda-Dini (di Bali),
Jekman yang membantu penulis dalam memberikan ide-ide, semangat dan
doa dalam proses penyusunan tesis ini. Kalian yang terbaik!;
10. Teman-teman satu kelas penulis: Acha, Ika, Galuh, Mba Fara, Fajar, Bagas,
Haryanto, Mas Adi , Bang Hamal, Bang Salman, Mba Rita, Tessa, Uli, Pakde
Didy, Akira, Icha Raja, Icha Nurul, Sisca, dan seluruh teman-teman di
Pascasarjana FHUI, hukum ekonomi reguler angkatan 2011. So thankful
knowing u all guys, hopefully our friendship langgeng terus yah;
11. Seluruh Staff Sekretariat Pascasarjana FHUI yang senantiasa membantu.
12. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, yang telah
memberikan dukungan dan bantuan dalam penyelesaian tesis ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yesus Kristus berkenan membalas kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini dapat membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.
Jakarta , 21 Januari 2013
Carolinasari
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
vi
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Carolinasari
NPM : 1106030473
Program Studi : Ilmu Hukum (Magister Hukum Ekonomi)
Departemen : Hukum
Fakultas : Hukum
Jenis karya : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
“Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Terhadap Waralaba Asing Dilihat Dari Prinsip Perdagangan WTO Dan Undang-Undang Persaingan Usaha
Indonesia”
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Januari 2013
Yang menyatakan
(Carolinasari)
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
vii
ABSTRAK
Nama : Carolinasari
Program Studi : Ilmu Hukum (Magister Hukum Ekonomi)
Judul : Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Terhadap Waralaba Asing Dilihat Dari Prinsip Perdagangan WTO Dan Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia
Fenomena globalisasi yang terjadi saat ini mengakibatkan berkembang pesatnya perdagangan dunia, salah satunya yaitu waralaba (franchise). Indonesia sendiri mempunyai potensi yang baik untuk pengembangan bisnis waralaba. Pesatnya arus masuk waralaba asing ke Indonesia disebabkan oleh pasar Indonesia yang sangat kondusif bagi perkembangan usaha waralaba asing. Namun ternyata berkembangnya waralaba asing di Indonesia memberikan dampak negatif yaitu dapat memperlebar kesenjangan ekonomi antara usaha besar, usaha menengah dan usaha kecil. Dalam rangka mendorong peningkatan waralaba ke arah membangun kemitraan dengan pengusaha kecil dan menengah dalam bentuk penerima waralaba atau pemasok bahan baku termasuk peningkatan penggunaan produksi dalam negeri, maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dengan diikuti munculnya Permendag no. 53/2012 Tentang Penyelenggaraan Waralaba. Dalam pelaksanaannya Permendag no. 53/2012 banyak menemui kendala, salah satu pasal yang dianggap melahirkan kontroversi yaitu adanya ketentuan penggunaan bahan baku 80% harus berasal dari produk dalam negeri yang dirasa sangat merugikan para waralaba asing. Akan tetapi di dalam merumuskan ketentuan penggunaan bahan baku tersebut, Pemerintah (sebagai negara peratifikasi Perjanjian WTO) tidak melanggar Prinsip Perdagangan WTO yaitu Special and Differential to Developing Nations dan mengacu pada tujuan pembentukan Keputusan Komisi No. 57/2009 tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 Terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba dan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah agar dapat menjamin kesempatan berusaha bagi seluruh pelaku usaha, mewujudkan iklim usaha yang kondusif sebagaimana dijamin dalam UU Persaingan Usaha Indonesia.
Kata Kunci: Waralaba, Penggunaan Bahan Baku, Prinsip Perdagangan WTO, Undang-Undang Persaingan Usaha
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
viii
ABSTRACT
Name : Carolinasari
Study Program : Magister of Law
Title : Local Content Usage Regulation To Foreign Franchise Be Looked From WTO Trading Principal and Indonesia Business Competitive Laws
Globalization phenomenon is occurred today make the rapid development of world trading, one of them is franchise. Indonesia have good potency in order to develop the franchise business. The fast growth of foreign franchise in Indonesia because Indonesia market is very conducive for the development of foreign franchise business. But in the fact the development of foreign franchise in Indonesia give negative effect namely can make the wide of economics gap between big business, middle and small business. In order to support the increasing of franchise to the direction of building the partnership with small and medium business in form of the receiver of franchise or the supplier of material included the increasing of local production usage, so the government release the Regulation of Government Number 42/2007 about the franchise by followed about the releasing Permendag Number 53/2012 about the implementation of franchise. In its implementation Permendag number 53/2012 there are so many problem founded, one of some article that be estimated make the controversy namely there is the regulation of material usage about 80% must come from local product that be felt make lost absolutely for the foreign franchise. Meanwhile in making the formula of such local content usage regulation, government (as the country of WTO agreement ratification) do not abuse WTO trading principle namely special and differential to Developing Nations and refer to the purpose of establishment Commission decree Number 57/2009 about the exception of application of Laws Number 5/2009 for the micro, middle and small business in order that can insurance the opportunity of business for all the doer of business, to realize the climate of business which is conducive as be guaranteed in the laws if Indonesia business competitiveness .
Keyword: Franchise, material usage, WTO Trading Principle, Business competitiveness laws
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ...............................................................................iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........................ vi
ABSTRAK (BAHASA INDONESIA) ............................................................. vii
ABSTRAK (BAHASA INGGRIS) ................................................................. viii
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2. Pokok Permasalahan................................................................................. 7 1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 7 1.4. Manfaat Penelitian.................................................................................... 7 1.5. Kerangka Teori ........................................................................................ 8 1.6. Kerangka Konsepsional .......................................................................... 13 1.7. Metode Penelitian ................................................................................... 16 1.8. Sistematika Penulisan ............................................................................. 20
2. KETENTUAN PENGGUNAAN BAHAN BAKU LOKAL DILIHAT DARI PRINSIP PERDAGANGAN WTO 2.1. Prinsip Perdagangan World Trade Organization (WTO)........................ 22 2.1.1. Sejarah Terbentuknya GATT/WTO ................................................. 22 2.1.2. Tujuan Terbentuknya WTO ............................................................. 24 2.1.3. Prinsip Perdagangan WTO .............................................................. 25 2.1.4. Waiver Dan Pembatasan Darurat Terhadap Impor ........................... 32 2.1.5. Penerapan Prinsip-Prinsip Dasar WTO Terhadap Kepentingan Nasional
Negara Berkembang .............................................................................. 33 2.1.6. Implementasi Kesepakatan WTO dalam Hukum Nasional Indonesia 39 2.2. Waralaba ................................................................................................ 43
2.2.1. Sejarah Waralaba ........................................................................... 43 2.2.2. Pengertian Waralaba ...................................................................... 48 2.2.3. Jenis-jenis Waralaba ...................................................................... 54
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
x
2.2.4. Waralaba Sebagai Bentuk Perjanjian .............................................. 57 2.2.4.1. Perjanjian Waralaba .................................................................. 57 2.2.4.2. Asas-asas Perjanjian Waralaba .................................................. 66 2.2.5. Perbedaan Pemberian Waralaba Dan
Lisensi…………………………………………………… ………. 70
2.2.6. Perkembangan Waralaba Di Indonesia ........................................... 72 2.2.7. Pengaturan Waralaba Di Indonesia ................................................ 74
2.3. Implementasi Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Dilihat dari Prinsip Perdagangan WTO ................................................................................. 81
3. KETENTUAN PENGGUNAAN BAHAN BAKU LOKAL DILIHAT DARI UNDANG-UNDANG PERSAINGAN USAHA INDONESIA 3.1. Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia ......................................... 86 3.1.1. Persaingan dan Dunia Usaha. ......................................................... 86
3.1.2. Latar Belakang Hukum Persaingan Usaha Indonesia ...................... 87 3.1.3. Asas dan Tujuan UU Persaingan Usaha Indonesia ......................... 88 3.1.4. Butir-butir Cakupan Pengaturan UU Persaingan Usaha Indonesia .. 90 3.1.5. Pengecualian Dalam UU Persaingan Usaha Indonesia.................... 91
3.2. Hubungan Waralaba Dengan UU Persaingan Usaha Indonesia ............... 92 3.2.1. Pengecualian Penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia Terhadap
Perjanjian Berkaitan Dengan Waralaba ................................................... 96 3.3. Implementasi Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Dilihat Dari
Ketentuan UU Persaingan Usaha Indonesia .......................................... 105
4. PENUTUP 4.1. Kesimpulan .......................................................................................... 108 4.2. Saran .................................................................................................... 110
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 111
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Pertumbuhan Waralaba Asing dan Lokal di Indonesia Pada Tahun 2011-2012 ............................................................................................ 4
Tabel 2.1 Ketentuan Baru Dalam Pengelolaan Waralaba .................................... 80
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Globalisasi yang terjadi saat ini mengakibatkan berkembang pesatnya
perdagangan dunia. Perdagangan adalah sektor jasa yang menunjang kegiatan
ekonomi antar anggota masyarakat dan antar bangsa. Karena itu, bagi Indonesia
dengan ekonominya yang bersifat terbuka, perdagangan sangat vital bagi upaya untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan, meningkatkan
pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan pemerataan
pembangunan serta memelihara kemantapan stabilitas nasional.
Perdagangan tersebut dilakukan melewati batas-batas negara, baik yang hanya
meliputi lingkup regional maupun yang telah meliputi lingkup internasional. Salah
satu cara perdagangan dunia yang berkembang dengan pesat adalah waralaba
(franchise).
Waralaba merupakan salah satu cara pengembangan usaha. Warren J. Keegen
dalam bukunya Global Marketing Management mengatakan bahwa para pengusaha
yang bermaksud mengembangkan usahanya secara internasional dapat melakukan
beberapa macam pilihan cara, dari yang paling sederhana hingga yang paling
kompleks, diantaranya dengan melakukan pewaralabaan (franchising).1
Sistem waralaba di Amerika Serikat pertama kali dimulai pada tahun 1851.
Pada saat itu, di Amerika Serikat timbul apa yang dinamakan sistem waralaba
Amerika generasi pertama, yang disebut sebagai straight product franchising
(waralaba produksi murni). Pada mulanya sistem ini berupa pemberian lisensi bagi
penggunaan nama pada industri minuman (Coca-Cola), kemudian berkembang
1 Gunawan Widjaja, Waralaba, cet. 2, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 1.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
2
sebagai sistem pemasaran pada industri mobil (General-Motors).2 Seiring berjalannya
waktu, waralaba berkembang pesat di Amerika Serikat sehingga para pengusaha
waralaba melakukan ekspansi untuk memperluas usaha waralabanya ke beberapa
negara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an dengan munculnya
dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi atau menjadi agen tunggal
pemilik merek.3 Waralaba di Indonesia semakin berkembang ketika masuknya
waralaba asing pada tahun 80-90an, seperti KFC, McDonald’s, Burger King dan
Sushi Tei. Perusahaan-perusahaan waralaba lokal pun mulai muncul pada masa itu,
salah satunya adalah Es Teler 77. Pesatnya pertumbuhan penjualan waralaba
disebabkan oleh faktor popularitas franchisor. Hal ini tercermin dari kemampuannya
untuk menawarkan suatu bidang usaha yang probabilitas keberhasilannya tinggi.
Waralaba merupakan salah satu sistem pemasaran yang secara tepat dan
menguntungkan untuk mengembangkan usaha baik bagi konsumen di dalam negeri
maupun konsumen di luar negeri. Indonesia sendiri mempunyai potensi yang baik
untuk pengembangan bisnis waralaba. Hal ini dilihat dari kondisi di Indonesia,
banyak bidang usaha yang menunjukkan adanya potensi pasar yang besar dan
berkembang.
Pesatnya arus masuk waralaba asing ke Indonesia disebabkan oleh pasar
Indonesia yang sangat kondusif bagi perkembangan usaha waralaba asing dan
dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup tinggi, stabilitas
politik serta tumbuh kembangnya kelompok kelas menengah di kota-kota besar yang
merupakan konsumen potensial dalam bisnis waralaba dikarenakan mereka biasanya
lebih menyukai produk dari merek terkenal yang berasal dari luar negeri karena
dianggap lebih berkualitas dan lebih bergengsi.
Pertumbuhan waralaba yang berkembang pesat adalah di bidang makanan.
Bahkan pertumbuhan bisnis waralaba di bidang makanan ini akan tetap meningkat
tajam dikarenakan kebutuhan primer manusia yang tidak terlepas dari makanan dan
2 Adrian Sutedi, Hukum Waralaba, cet. 1 (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hal. 1. 3Ibid., hal. 19.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
3
minuman. Peningkatan akan usaha di bidang makanan ini juga sangat ditunjang oleh
pola hidup masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar.
Waralaba makanan yang berasal dari dalam negeri diantaranya adalah Es Teler
77, Bakmi Naga, dan Roti Buana, sedangkan yang berasal dari luar negeri
diantaranya adalah Kentucky Fried Chicken, McDonald’s, Sushi Tei, dan Pizza Hut.
Waralaba minuman yang berasal dari dalam negeri diantaranya adalah Bakoel Koffie,
sedangkan yang berasal dari luar negeri diantaranya adalah Starbucks dan coffee
bean.
Sebelum krisis moneter tahun 1997, pemain waralaba di Indonesia umumnya
adalah waralaba asing. Dalam pengoperasiannya di Indonesia, waralaba asing seperti
McDonald’s, Sushi Tei, Kentucky Fried Chicken, Bread Talk, dan Starbucks,
menjual master franchise.Master franchise ini berhak untuk mengelola sendiri atau
menjual kembali kepada franchisee (penerima waralaba) pada suatu teritori (cakupan
area) tertentu, tergantung pada kesepakatan.4
Sekarang ini perkembangan waralaba di Indonesia terus mengalami peningkatan
terutama pada waralaba lokal, tidak hanya dilihat dari jumlah pelaku waralaba yang
semakin bertambah, tetapi juga munculnya merek waralaba baru.
Berdasarkan database Asosiasi Franchise Indonesia5 (AFI), pertumbuhan
waralaba asing dan lokal di Indonesia pada tahun 2011-2012 adalah sebagai berikut:
Tahun Jumlah Walaba
Asing
Jumlah Waralaba
& Business
Opportunity (BO)
Lokal
Total
4Ibid., hal. 20. 5 Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) didirikan pada tanggal 22 November 1991 dengan
bantuan International Labour Organization (ILO) dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. AFI merupakan mitra pemerintah dalam pembinaan dan pengembangan dunia usaha waralaba.Anggota AFI terdiri dari pemberi waralaba dan penerima waralaba.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
4
2011 300 1.500 1.800
2012 320 1.700 2.020
Tabel 1.1 Sumber: Majalah Info Franchise, Edisi Oktober 2012, hal. 20.
Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa persentase pertumbuhan bisnis
waralaba dan BO lokal dari tahun 2011-2012 mengalami peningkatan 11,7%
sedangkan persentase peningkatan waralaba asing di Indonesia pada tahun 2011-2012
mengalami peningkatan sebanyak 6,25%. Total peningkatan waralaba dalam negeri
maupun asing pada tahun 2011-2012 mengalami peningkatan sebesar 10,9%.6
Tumbuhnya waralaba asing di Indonesia secara positif akan membangkitkan
gairah perekonomian serta memacu pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun di
sisi lain terdapat cukup masalah yang berarti, yakni keberadaan waralaba asing hanya
memenuhi kebutuhan pasar untuk golongan menengah ke atas, dimana pengusaha
yang mengelolanya pun harus harus dari golongan pengusaha menengah ke atas. Hal
ini pada akhirnya akan memperlebar kesenjangan ekonomi antara usaha besar, usaha
menengah dan usaha kecil.
Kehadiran dari waralaba asing ini harus benar-benar mendapat perhatian yang
serius agar keberadaannya memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia,
namun selain itu, membantu dan mengembangkan kedudukan dari golongan usaha
kecil dan menengah. Dengan kata lain, usaha kecil di Indonesia harus merasakan
manfaat dari hadirnya waralaba asing tersebut.
Pelaksanaan waralaba pada mulanya hanya didasarkan pada Buku Ketiga Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan. Seiring dengan perkembangan
pelaksanaan waralaba di Indonesia, maka dalam rangka menciptakan tertib usaha
dengan cara waralaba serta perlindungan terhadap konsumen, dipandang perlu
menetapkan ketentuan tentang Waralaba yang diatur secara khusus dengan
ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 pada tanggal 18 Juni
1997 yang kemudian pada tahun 2007 dicabut dan diganti dengan Peraturan
6 Majalah Info Franchise, Permendag No. 53/2012 Harus Dipatuhi, Edisi Oktober 2012, hal.
20.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
5
Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (yang selanjutnya disebut PP
Waralaba). Lahirnya PP Waralaba ini dilandasi upaya pemerintah meningkatkan
pembinaan usaha waralaba di seluruh Indonesia sehingga perlu mendorong
pengusaha nasional, terutama pengusaha kecil dan menengah untuk tumbuh sebagai
franchisor nasional yang andal dan mempunyai daya saing di dalam negeri dan luar
negeri khususnya dalam rangka memasarkan produk dalam negeri.7
Adanya Peraturan Pemerintah ini, kemudian diikuti dengan munculnya
peraturan perundang-undangan guna melengkapi peraturan pemerintah tersebut.
Salah satu peraturan perundang-undangan tersebut yaitu Peraturan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang
Penyelenggaraan Waralaba yang kemudian disebut Permendag No. 31/2008.
Pelaksanaan Permendag No. 31/2008 ada dibawah pengawasan Kementrian
Perindustrian dan Perdagangan, selama 4 tahun berjalan Permendag No. 31/2008
tersebut akhirnya dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Waralaba selanjutnya disebut Permendag No. 53/2012.
Alasan yang melatarbelakangi pemerintah mengganti Permendag No. 31/2008
karena peraturan tersebut belum dapat mendorong peningkatan waralaba ke arah
membangun kemitraan dengan pengusaha kecil dan menengah dalam bentuk
penerima waralaba atau pemasok bahan baku termasuk peningkatan penggunaan
produksi dalam negeri.8
Tujuan ditetapkannya Permendag No. 53/2012 yang menggantikan permendag
31/2008 adalah untuk mengoptimalkan penyelenggaraan waralaba terutama di daerah,
meningkatkan kemitraan antara pemberi waralaba dengan pengusaha kecil dan
menegah serta peningkatan penggunaan produk dalam negeri. Menurut Kementerian
Perdagangan RI, titik tekan revisi permendag ini bukan pada waralaba asing, tetapi
upaya untuk meningkatkan kemitraan usaha antara pemberi waralaba dengan
pengusaha kecil dan menengah serta peningkatan produk dalam negeri.
7 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 33. 8 Majalah Info Franchise, op.cit, hal. 21.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
6
Akan tetapi pada awal ditetapkannya Permendag No. 53/2012 ini sungguh
mengagetkan para pelaku industri waralaba dan pengamat usaha waralaba. Para
pelaku industri waralaba di Indonesia khawatir dengan adanya peraturan baru tersebut
justru malah mencederai industri waralaba yang belakangan sudah mulai membaik.
Para pengamat waralaba menilai pasal-pasal yang terdapat pada Permendag no.
53/2012 akan banyak menemui kendala dalam penerapan pelaksanaannya. Salah satu
pasal yang dianggap melahirkan kontroversi yaitu adanya peraturan kewajiban para
pelaku usaha menggunakan bahan baku 80% harus berasal dari produk dalam negeri
yang tercantum pada Pasal 19 ayat 1 Permendag No. 53/2012. Pasal mengenai aturan
untuk menggunakan 80% produk lokal terasa tidak masuk akal bagi usaha waralaba
merek asing terutama di bidang makanan dan fashion. Sebagian waralaba asing di
bidang makanan yang ada di Indonesia, dalam proses produksi sehari-harinya hampir
sebagian besar bahan baku produknya berasal dari luar negeri yang khusus di impor.
Hal ini dikarenakan untuk menjaga kualitas dan ciri khas dari waralaba asing tersebut.
Aturan tersebut dapat membuat waralaba asing akan kurang antusias datang ke
Indonesia. Waralaba asing yang ingin bekerja sama dengan franchisee (penerima
waralaba) di Indonesia akan ragu-ragu dan menghitung jumlah produk lokal yang
bisa diserap terlebih dahulu. Perlu diingat, bahwa hadirnya waralaba asing telah
memberikan alih informasi, pengetahuan dan teknologi bagi pengusaha Indonesia.
Waralaba asing telah membuat para pekerja Indonesia menjadi lebih profesional
karena pelatihan-pelatihan yang didapatkannya. Waralaba asing juga telah
memberikan berbagai inspirasi bagi berkembangnya kewirausahaan di Indonesia.
Selain daripada itu, seharusnya Pemerintah sebelum membuat Permendag No.
53/2012 ini terutama Pasal 19 hendaknya melihat ketentuan mengenai Prinsip
Perdagangan WTO mengingat bahwa Indonesia termasuk negara peratifikasi
Perjanjian WTO pada tanggal 15 April 1994 yang kemudian disahkan dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 dan juga melihat ketentuan dalam pasal-pasal
yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (yang selanjutnya disebut UU
Persaingan Usaha Indonesia) yang berkaitan dengan waralaba.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
7
Walaupun bagi para pihak di industri waralaba masih banyak yang belum dapat
menerima Permendag No. 53/2012 ini, akan tetapi pemerintah mengharapkan agar
para pelaku usaha waralaba baik lokal maupun asing dapat mematuhi Permendag No.
53/2012 dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka mendorong penulis untuk memilih
topik waralaba, khususnya Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Pada
Waralaba Asing Dilihat Dari Prinsip Perdagangan WTO Dan Undang-Undang
Persaingan Usaha Indonesia.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka
pokok permasalahan yang hendak diajukan dalam penulisan ini adalah:
1. Bagaimana ketentuan penggunaan bahan baku lokal dilihat dari Prinsip
Perdagangan WTO?
2. Bagaimana ketentuan penggunaan bahan baku lokal dilihat dari UU Persaingan
Usaha Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka
tujuan penulisan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah untuk menganalisis:
1. Ketentuan penggunaan bahan baku lokal (Pasal 19 Permendag No. 53/2012)
dilihat dari Prinsip Perdagangan WTO.
2. Ketentuan penggunaan bahan baku lokal (Pasal 19 Permendag No. 53/2012)
dilihat dari UU Persaingan Usaha Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka
manfaat penulisan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah untuk:
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
8
1. Memberikan data mengenai Ketentuan penggunaan bahan baku lokal (Pasal 19
Permendag No. 53/2012) dilihat dari Prinsip Perdagangan WTO.
2. Memberikan data mengenai Ketentuan penggunaan bahan baku lokal (Pasal 19
Permendag No. 53/2012) dilihat dari UU Persaingan Usaha Indonesia.
1.5 Kerangka Teori
Dalam pembuatan perjanjian pada waralaba tetap memakai ketentuan yang
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut
KUHPerdata) pada buku III tentang Perikatan yang didalamnya timbul dari
perjanjian.
Pengertian perjanjian menurut rumusan pasal 1313 KUHPerdata, didefinisikan
sebagai berikut :
“Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih”.
Jika kita perhatikan, rumusan yang diberikan dalam pasal 1313 KUHPerdata
tersebut tersirat bahwa sesungguhnya dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau
prestasi dari satu atau lebih orang kepada satu atau lebih orang lainnya, yang berhak
atas prestasi tersebut.
Pengertian tersebut mirip dengan apa yang dikemukakan oleh R. Subekti,
yaitu “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal.”9 Menurut Abdulkadir Muhammad, Perjanjian adalah “suatu persetujuan dengan
mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal
dalam lapangan harta kekayaan.”10
Setiap perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi
para pembuatnya, rumusan ini terdapat dalam pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yang
dipertegas lagi dalam pasal 1338 ayat 2 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
9 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1987), hal. 1.
10 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 78.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
9
perjanjian yang disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh
salah satu pihak dalam perjanjian tanpa adanya persetujuan dari lawan pihaknya
dalam perjanjian atau dalam hal-hal dimana oleh undang-undang dinyatakan cukup
adanya alasan untuk itu.
Secara hukum, waralaba berarti persetujuan legal atas pemberian hak atau
keistimewaan untuk menawarkan suatu produk/ jasa dari pemilik (pewaralaba)
kepada pihak lain (terwaralaba) yang diatur dalam suatu permainan tertentu. Dalam
PP Waralaba Pasal 1 angka 1 dan Permendag No. 53/2012 Pasal 1 angka 1
menyatakan:
“Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.
Sedangkan menurut Peraturan Menteri perdagangan No.
12/MDAG/PER/3/2006 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda
Pendaftaran Usaha Waralaba, Pasal 1 Ayat 1 menyatakan:
”Waralaba (Franchise) adalah perikatan antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/ atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba.”
David J. Kaufmann, mendefinisikan franchise sebagai berikut:11
“Franchising is a system of marketing and distribution whereby a small independent businessman (the franchise) is granted –in return for a fee- the right to market the goods and services of another (the franchisor) in
11Juajir Sumardi, Aspek-aspek Hukum Franchise Dan Perusahaan Transnasional, (Bandung:
PT.Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 14.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
10
accordance with the established standards and practice of the franchisor, and with its assistance.” “Kaufmann melihat franchise sebagai suatu bentuk atau sistem pemasaran dan pendistribusian di mana suatu bisnis berskala kecil dan independen yang disebut sebagai “Franchisee” dijamin untuk mempunyai hak memasarkan barang dan jasa dari pihak lain yang disebut sebagai “Franchisor” sesuai yang ditentukan, serta pihak franchisee akan membayar fee sedangkan pihak franchisor akan memberikan bantuannya.”12
Pengertian waralaba menurut Adrian Sutendi sebagai berikut:13
“Waralaba merupakan bentuk kerja sama di mana franchisor memberikan izin atau haknya kepada franchisee untuk menggunakan hak intelektualnya, seperti nama, merek dagang, produk/jasa, dan sistem operasi usahanya dalam jangka waktu tertentu. Sebagai timbal balik, franchisee membayar jumlah tertentu serta mengikuti sistem yang ditetapkan franchisor.” “Waralaba juga dapat dikatakan sistem keterkaitan usaha vertical antara pemilik paten yang menciptakan paket teknologi bisnis (franchisor) dengan penerima hak pengelolaan operasional bisnis (franchisee).”
Para pihak dalam suatu perjanjian waralaba biasanya dapat dibagi menjadi
dua, yaitu Pemberi Waralaba (franchisor) dan Penerima Waralaba (franchisee).
Pengertian dari franchisor itu sendiri adalah pihak yang memiliki sistem atau cara
dalam berbisnis, sedangkan franchisee adalah pihak yang membeli waralaba atau
sistem dari franchisor sehingga memiliki hak untuk menjalankan bisnis dengan cara
yang dikembangkan oleh franchisor.14
Pemberi Waralaba maupun Penerima Waralaba dapat berasal dari lokal
(Indonesia) maupun asing. Dengan demikian dilihat dari pihaknya, waralaba dapat
12Franchise dapat dianggap sebagai bentuk perpaduan antara bisnis berskala besar dan berskala kecil dimana franchisor dapat memperoleh sumber-sumber baru dari perluasan modal, pendistribusian pasar baru, dan pihak penjaja produknya, sementara franchisee memperoleh produk, keahlian, stabilitas dan kecerdasan pemahaman tentang pemasaran yang dimiliki franchisor sebagai perusahaan yang telah maju dan besar.
13 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 48. 14Ibid.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
11
dilakukan antara pihak lokal dengan pihak lokal maupun pihak asing dengan pihak
lokal.
Waralaba berdasarkan asal dan wilayah operasi pemasarannya dibagi menjadi
dua, yaitu waralaba lokal dan waralaba internasional. Waralaba lokal adalah waralaba
yang lahir di Indonesia baik yang beroperasi di Indonesia maupun di mancanegara,
sedangkan waralaba internasional adalah waralaba yang berasal dari luar Indonesia
dan beroperasi di Indonesia.15
Beberapa objek pengaturan perjanjian franchise meliputi hal-hal berikut ini:
1. “Nama Dagang atau Merek Dagang. 2. Rahasia Dagang. 3. Jasa Pelatihan. 4. Bantuan-bantuan teknis operasional. 5. Pembelian bahan-bahan dan peralatan. 6. Pengawasan kualitas produk. 7. Biaya franchise. 8. Jangka waktu. 9. Pengalihan franchise. 10. Pemutusan perjanjian. 11. Perjanjian untuk tidak berkompetisi dengan franchisor.”16
Berkaitan dengan penggunaan bahan bahan baku, peralatan usaha serta
penjualan barang dagangan diatur di dalam Pasal 19 Permendag No. 53/2012 yang
berisi:
“(1) Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba wajib menggunakan bahan baku, peralatan usaha serta menjual barang dagangan paling sedikit 80% barang dan/atau jasa produksi dalam negeri.
(2) Dalam hal tertentu, Menteri dapat memberikan izin penggunaan bahan baku, peralatan usaha serta menjual barang dan/atau jasa produksi dalam negeri kurang dari 80% setelah mempertimbangkan rekomendasi Tim Penilai.”
15 P. Lindawaty S. Sewu, Franchise: Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum dan
Ekonomi, cet. 1, (Bandung: CV Utomo, 2004), hal. 17. 16 Dr. H. Moch. Basarah, S.H., M.H. & H. M. Faiz Mufidin, S.H., M.H., Bisnis Franchise dan
Aspek-aspek Hukumnya, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 54.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
12
Sebelum merumuskan pengaturan Pasal 19 Permendag No. 53/2012 ini
seharusnya Pemerintah melihat dan mengacu pada Ketentuan Prinsip Dasar WTO,
yaitu:17
1. “Prinsip Most-Favoured-Nation (MFN) 2. Prinsip National Treatment 3. Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif 4. Prinsip Perlindungan melalui Tarif 5. Prinsip Resiprositas 6. Perlakuan Khusus Bagi Negara yang sedang Berkembang.”
Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi
terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on
Establishing The World Trade Organization/WTO (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia) yang membawa konsekuensi baik eksternal maupun
internal. Indonesia harus mematuhi seluruh hasil kesepakatan dalam forum WTO. Hal
ini sesuai dengan prinsip pacta sunt servanda yang mensyaratkan bahwa kesepakatan
atau kontrak yang telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
(dengan iktikad baik).
Konsekuensi internal Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan
perandung-undangan nasional dengan ketentuan hasil kesepakatan WTO. Artinya
dalam melakukan harmonisasi, Indonesia harus tetap memikirkan kepentingan
nasional namun tidak melanggar rambu-rambu ketentuan WTO.18
Dalam memberlakukan ketentuan hukum internasional ke dalam hukum
nasional dikenal ada dua doktrin yaitu Doktrin Inkorporasi dan Doktrin
Transformasi. Doktrin inkorporasi berarti perjanjian internasional yang telah
diratifikasi langsung menjadi bagian dari hukum nasional (law of the land).
17 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2006), hal. 108.
18 Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), hal. 13.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
13
Sedangkan arti dari doktrin transformasi yaitu ketentuan hukum internasional
(perjanjian internasional) baru menjadi bagian dari hukum nasional apabila sudah
ditransformasikan ke dalam peraturan perundang-undangan nasional.19 Akan tetapi
dalam prakteknya selama ini, Indonesia tidak menganut salah satu doktrin secara
tegas.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang anggota WTO sehingga
penerapan prinsip preferensi atau Generalized System of Preferences (GSP) bagi
negara berkembang juga diperoleh oleh Indonesia.
Selain melihat dari ketentuan Prinsip Dasar WTO, Pemerintah Indonesia
dalam merumuskan Pasal 19 Permendag No. 53/2012 juga harus melihat ketentuan
pada UU Persaingan Usaha Indonesia yang berkaitan mengenai perjanjian yang
berkaitan dengan waralaba yaitu Pasal 50 huruf b serta Keputusan Komisi No.
57/2009 mengenai pedoman pelaksanaan ketentuan pasal 50 huruf b tentang
pengecualian penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia terhadap perjanjian yang
berkaitan dengan waralaba.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Penulis dalam penulisan ini hendak
menulis mengenai ketentuan penggunaan bahan baku lokal pada waralaba asing
dilihat dari prinsip perdagangan WTO dan Undang-Undang Persaingan Usaha
Indonesia.
1.6 Kerangka Konsepsional
Kerangka konsepsional yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Perjanjian adalah:
“Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap
satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun
tidak tertulis.”20
19 Asianto Sinambela, Perkembangan Perundingan DDA Di World Trade Organization,
(Bandung: FH Universitas Padjajaran, 2006), hal. 4. 20 Indonesia, Undang-Undang Republik IndonesiaTentang Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU Nomor 5 Tahun 1999, Ps. 1 huruf g.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
14
2. Waralaba adalah:
“Hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap
sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau
jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh
pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.”21
3. Pemberi Waralaba adalah:
“Orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk
memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada
Penerima Waralaba.”22
4. Penerima Waralaba adalah:
“Orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi
Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki
Pemberi Waralaba.”23
5. Pemberi Waralaba Lanjutan adalah:
“Penerima Waralaba yang diberi hak oleh Pemberi Waralaba untuk menunjuk
Penerima Waralaba Lanjutan.”24
6. Penerima Waralaba Lanjutan adalah:
“Orang perseorangan atau badan usaha yang menerima hak dari Pemberi
Waralaba Lanjutan untuk memanfaatkan dan/ atau menggunakan Waralaba.”25
21 Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Tentang Penyelenggaraan
Waralaba, PERMENDAG Nomor: 53/M-DAG/PER/8/2012, Ps. 1 angka 1. 22Ibid., Ps. 1 angka 2. 23Ibid., Ps. 1 angka 3. 24Ibid., Ps. 1 angka 4.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
15
7. Prospektus Penawaran Waralaba adalah:
“Keterangan tertulis dari Pemberi Waralaba yang paling sedikit menjelaskan
tentang identitas, legalitas, sejarah kegiatan, struktur organisasi, keuangan,
jumlah tempat usaha, daftar Penerima Waralaba, hak dan kewajiban Pemberi dan
Penerima Waralaba.”26
8. Perjanjian Waralaba adalah:
“Perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba.”27
9. Menteri adalah:
“Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Perdagangan.”28
10. Penerima Waralaba Utama (Master Franchisee) adalah:
“Penerima Waralaba yang melaksanakan hak membuat Perjanjian Waralaba
Lanjutan yang diperoleh dari Pemberi Waralaba dan berbentuk Perusahaan
Nasional.”29
11. Dunia usaha adalah:
“Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar yang
melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia dan berdomisili di Indonesia.”30
25Ibid., Ps. 1 angka 5. 26Ibid., Ps. 1 angka 6. 27Ibid., Ps. 1 angka 7. 28Ibid., Ps. 1 angka 11. 29Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Tentang Ketentuan dan
Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba, PERMENDAG No. 12/M-DAG/PER/3/2006, Ps. 1 angka 4.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
16
12. Kemitraan adalah:
“Kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas
dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan
menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
dengan Usaha Besar.”31
13. Barang adalah:
“Setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun
tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.”32
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Tipe penelitian hukum yang akan dilakukan adalah penelitian deskriptif yang
bersifat yuridis-normatif (doctrinal research) melalui penelitian kepustakaan.
Penelitian ini ingin memberikan gambaran mengenai ketentuan penggunaan bahan
baku lokal pada waralaba asing dilihat dari prinsip perdagangan WTO dan Undang-
Undang Persaingan Usaha Indonesia.
Tipe penelitian yang digunakan yaitu penelitian doctrinal, yakni penelitian
yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam
praktek hukum berdasarkan doktrin hukum yang terlepas dari berbagai kontradiksi,
perbedaan pendapat, ke-ambiguan, dan irasionalitas, termasuk cabang dari faktor
eksternal hukum lainnya seperti faktor kebijakan dan politik.
30 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan
Menengah, UU Nomor 20 Tahun 2008, Ps. 1 angka 5. 31Ibid., Ps. 1 angka 13. 32 Indonesia, Undang-Undang Republik IndonesiaTentang Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, op.cit., Ps. 1 huruf p.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
17
1.7.2 Pendekatan Masalah
Berdasarkan tipe penelitian yuridis-normatif sebagaimana diatas, maka
pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach) yang didukung oleh pendekatan konsep (conceptual approach) dan
pendekatan perbandingan (comparative approach).
Pendekatan perundang-undangan dilakukan karena penelitian ini
menggunakan landasan teori yaitu Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang
Waralaba, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 53/M-
DAG/PER/8/2012 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Waralaba, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat dan Agreement on Establishing The World Trade Organization.
Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep pengunaan
bahan baku lokal pada waralaba asing di Indonesia dalam tatanan hukum
internasional dan hukum persaingan usaha Indonesia, sehingga diharapkan terjadi
penormaan dalam aturan hukum yang tidak lagi memungkinkan adanya pemahaman
yang ambigu dan kabur. Sedangkan pendekatan perbandingan dalam penelitian ini
bertujuan untuk membandingkan salah satu lembaga hukum (legal institutions) dari
sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum (yang kurang lebih sama dari sistem
hukum) yang lain.33 Menurut Sunaryati Hartono, kegunaan perbandingan hukum
dalam penelitian akan menghasilkan pemahaman bahwa:34
1. “Kebutuhan-kebutuhan yang universal (sama) akan menimbulkan cara-cara pengaturan yang sama pula, dan
2. Kebutuhan-kebutuhan khusus berdasarkan perbedaan suasana dan sejarah itu menimbulkan cara-cara yang berbeda pula.”
33Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. 3, (Malang:
Bayumendia Publishing, 2007), hal. 313.
34 Sunaryati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 1-2.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
18
Hal ini berarti bahwa perbandingan ilmu hukum dalam penelitian ini berfungsi
sebagai ilmu bantu terhadap dogmatik hukum, dalam arti ia mempertimbangkan
pengaturan dan penyelesaian-penyelesaian tertentu dari tatanan hukum lain dan
menilai keadukuatan mereka untuk hukum sendiri.
1.7.3 Bahan Hukum
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan merupakan data sekunder yang
meliputi:
a) Sistem atau bahan hukum primer
Bahan hukum primer ini diperoleh dari berbagai peraturan perundang-
undangan, yurisprudensi, putusan pengadilan, dan konvensi internasional yang
mengatur dan terkait dengan penggunaan bahan bakulokal dalam usaha waralaba
asing di Indonesia, seperti:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2. Undang-Undang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara No.
3817);
3. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara No.4866);
4. Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2007 (Lembaran Negara No. 90 Tahun
2007, Tambahan Lembaran Negara No. 4742);
5. Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 53 / M – DAG / PER / 8 / 2012
Tentang Penyelenggaraan Waralaba;
6. Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor
57/KPPU/Kep/III/2009 Tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50
huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian Yang
Berkaitan Dengan Waralaba.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
19
7. Agreement on Establishing The World Trade Organization (WTO).
b) Sistem atau bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder ini merupakan bahan-bahan yang memberikan
informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan tentang penggunaan
bahan baku lokal pada waralaba asing di Indonesia, seperti Rancangan Undang-
Undang, buku yang ditulis para ahli hukum, berbagai jurnal hukum serta karya
ilmiah.
c) Sistem atau bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier ini meliputi bahan-bahan yang menjelaskan bahan primer
dan bahan sekunder, seperti Black’s Law Dictionary dan ensiklopedia.
1.7.4 Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
sebagaimana tersebut diatas dikumpulkan untuk kemudian diinventarisasi,
diklarifikasi dan disesuaikan dengan permasalahan mengenai penggunaan bahan baku
lokal pada waralaba asing dilihat dari prinsip perdagangan WTO dan Undang-
Undang Persaingan Usaha Indonesia. Setelah memperoleh bahan baku yang
berhubungan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini, selanjutnya dilakukan
pemaparan, sistematisasi dan analisis terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk
menginterpretasikan hukum yang berlaku.
1.7.5 Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan analisis
kualitatif yang didukung oleh data kuantitatif secara terbatas. Analisis data dalam
penelitian ini akan menggunakan cara sistematisasi atau membuat klasifikasi terhadap
bahan-bahan hukum tertulis untuk kemudian dilakukan analisa dan konstruksi secara
deduktif yang membentuk legal reasoning dari kaidah atau prinsip hukum yang ada,
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
20
yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi.
Selain itu, bagan hukum yang ada dianalisis untuk melihat argumentasi
implementasi penggunaan bahan baku lokal pada waralaba asing dilihat dari prinsip
perdagangan WTO dan Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia sehingga dapat
membantu sebagai dasar acuan dan pertimbangan hukum yang berguna dalam
praktek hukum di Indonesia secara tepat.
1.8 Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan ini dilakukan ke dalam empat bagian bab yang
saling berkaitan satu dengan lainnya, yang akan diuraikan sebagai berikut:
Pada bab 1, Pendahuluan, akan memberikan pandangan umum tentang
penulisan ini, dimana akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, pokok
permasalahan, tujuan penelitian, kerangka teori, kerangka konsepsional, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab 2, Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Dilihat Dari Prinsip
Perdagangan WTO, akan dibahas mengenai tinjauan umum mengenai sejarah
terbentuknya GATT/WTO, tujuan terbentuknya WTO, prinsip perdagangan WTO,
penerapan prinsip-prinsip dasar WTO terhadap kepentingan nasional negara
berkembang serta implementasi kesepakatan WTO dalam hukum nasional Indonesia.
Penulis juga menjabarkan tinjauan umum mengenai waralaba seperti sejarah
waralaba, pengertian waralaba, jenis-jenis waralaba, waralaba sebagai bentuk
perjanjian yang didalamnya menjelaskan mengenai pengertian waralaba dan asas-asas
dan prinsip perjanjian waralaba, perbedaan pemberian waralaba dengan lisensi,
perkembangan waralaba di Indonesia, pengaturan waralaba di Indonesia serta
menjelaskan mengenai Permendag No. 53/2012 dan implementasi ketentuan Pasal 19
tersebut dilihat dari prinsip perdagangan WTO.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
21
Bab 3, Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Dilihat Dari Undang-
Undang Persaingan Usaha Indonesia, Penulis mencoba menjabarkan mengenai
tinjauan umum Persaingan dan Dunia Usaha serta mengenai latar belakang hukum
persaingan usaha Indonesia yang di dalamnya membahas mengenai asas-asas dan
tujuan Undang-Undang Persaingan Usaha, butir-butir cakupan pengaturan UU
Persaingan Usaha Indonesia secara garis besar, pengecualian dalam UU Persaingan
Usaha Indonesia. Penulis juga membahas mengenai hubungan antara waralaba
dengan UU Persaingan Usaha Indonesia terutama berkaitan dengan pengecualian
penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia terhadap perjanjian berkaitan dengan
waralaba serta implementasi ketentuan Pasal 19 Permendag No. 53/2012 dilihat dari
ketentuan UU Persaingan Usaha Indonesia.
Bab 4, Penutup, terdiri dari dua sub bab, yaitu kesimpulan penulis
berdasarkan pokok permasalahan dan analisis data serta saran-saran bagi pihak-pihak
terkait.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
22
BAB 2
KETENTUAN PENGGUNAAN BAHAN BAKU LOKAL DILIHAT DARI
PRINSIP PERDAGANGAN WTO
2.1 Prinsip Perdagangan World Trade Organization (WTO)
2.1.1 Sejarah Terbentuknya GATT/WTO
Hubungan-hubungan perdagangan internasional antar negara sudah ada sejak
lama. Hubungan-hubungan ini sudah ada sejak adanya negara-negara dalam arti
negara kebangsaan, yaitu bentuk-bentuk awal negara dalam arti modern. Perjuangan
negara-negara ini untuk memperoleh kemandirian dan pengawasan (kontrol) terhadap
ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini untuk mengadakan
hubungan-hubungan perdagangan yang mapan dengan negara-negara lainnya.
Sejarah membuktikan bahwa perdagangan internasional memegang peranan
sangat menentukan dalam menciptakan kemakmuran seluruh bangsa, tetapi di pihak
lain perdagangan dan investasi internasional itu juga dapat menyengsarakan bangsa
sehingga akhimya menjadi negeri jajahan. Oleh sebab itu kita perlu bertindak sangat
hati-hati. Di bidang perdagangan internasional, saling ketergantungan tidak dapat
dihindarkan lagi pada saat ini, apalagi dalam abad ke 21.
Salah satu sumber hukum yang penting dalam hukum perdagangan
internasional adalah Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (General
Agreement on Tariff and Trade atau GATT). Muatan yang terdapat di dalamnya tidak
saja penting dalam mengatur kebijakan perdagangan antar negara, tetapi juga dalam
taraf tertentu aturannya menyangkut pula aturan perdagangan antar pengusaha.
GATT dibentuk pada Oktober tahun 1947. “GATT was in fact a part of the
charter of havana drafted in 1947. The charter of havana had great ambitions: it was
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
23
intended to establish a worldwide regulation for trade and to found an International
trade organization to this end.”35
Lahirnya World Trade Organization (WTO) membawa dua perubahan yang
cukup penting bagi GATT. Pertama, WTO mengambil alih GATT dan
menjadikannya salah satu lampiran aturan WTO. Kedua, prinsip-prinsip GATT
menjadi kerangka aturan bagi bidang-bidang baru dalam perjanjian WTO, khususnya
Perjanjian mengenai Jasa (GATS), Penanaman Modal (TRIMs), dan juga dalam
perjanjian mengenai Perdagangan yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual
(TRIPS).36
Meskipun GATT sebagai organisasi tidak ada lagi, Persetujuan GATT 1947
dan versi barunya yang dikenal dengan GATT 1994 masih berlaku dan merupakan
bagian dari seluruh persetujuan yang ada di WTO. WTO secara resmi berdiri pada
tanggal 1 Januari 1995.37
Sejak masih berbentuk GATT sampai menjadi WTO, peraturan-peraturan
perdagangan dibentuk melalui serangkaian putaran perundingan. Putaran perundingan
terakhir dan terbesar GATT adalah Putaran Uruguay yang berlangsung dari 1986
sampai 1994 dan akhirnya menghasilkan pembentukan WTO.38
Perundingan di GATT dan WTO dilandasi prinsip memperoleh keuntungan
bersama (asas resiprositas). Asas resiprositas adalah ketika suatu negara mencari
perbaikan akses di pasar negara lain (seperti penurunan tarif), negara tersebut harus
bersedia juga untuk memberikan konsensi (seperti pengurangan tarif) yang dianggap
menguntungkan atau memiliki nilai yang sama dengan konsensi yang diminta oleh
negara mitra dagangnya tersebut. Prinsip lainnya dalam perundingan WTO adalah
35 Hans Van Houtte, The Law of International Trade, (London: Sweet & Maxwell, 1995), hal. 51-52.
36 Huala Adolf, op.cit., hal. 97. 37 Asianto Sinambela, op.cit., hal. 1. 38Ibid.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
24
prinsip single undertaking, yaitu setiap putaran perundingan hanya dapat diselesaikan
jika seluruh aspeknya disetujui secara bersama.39
Putaran perundingan WTO telah sampai pada Putaran Doha yang berawal dari
Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IV di Doha, Qatar, tahun 2001.KTM Doha
menghasilkan suatu Program Kerja Doha yang disebut dengan Doha Development
Agenda (DDA), program ini menekankan pentingnya pembangunan dalam
perundingan perdagangan dan prinsip Perlakuan Khusus dan Berbeda (Special and
Differential Treatment - SDT) bagi negara-negara berkembang.
World Trade Organization (WTO) sebagai sebuah organisasi perdagangan
internasional diharapkan dapat menjembatani semua kepentingan negara di dunia
dalam sektor perdagangan melalui ketentuan-ketentuan yang disetujui bersama. WTO
ditujukan untuk menghasilkan kondisi-kondisi yang bersifat timbal balik dan saling
menguntungkan sehingga semua negara dapat menarik manfaatnya. Melalui WTO,
diluncurkan suatu model perdagangan dimana kegiatan perdagangan antar negara
diharapkan dapat berjalan dengan lancar. Pada prinsipnya World Trade Organization
(WTO) merupakan suatu sarana untuk mendorong terjadinya suatu perdagangan
bebas yang tertib dan adil di dunia ini.
Indonesia sebagai salah satu negara pendiri WTO telah meratifikasi
Persetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994.
2.1.2 Tujuan Terbentuknya WTO
Kepentingan Indonesia dalam perundingan perdagangan di WTO berkaitan
erat dengan tujuan dibentuknya WTO itu sendiri. WTO didirikan negara anggotanya
dengan maksud dan tujuan bersama sebagaiman dicantumkan sebagai berikut:
“Bahwa hubungan-hubungan perdagangan dan kegiatan ekonomi negara-negara anggota harus dilaksanakan dengan maksud untuk meningkatkan standar hidup, menjamin lapangan kerja sepenuhnya, peningkatan penghasilan
39 Ibid.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
25
nyata, memperluas produksi dan perdagangan barang dan jasa, dengan penggunaan optimal sumber-sumber daya dunia sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Juga mengusahakan perlindungan lingkungan hidup dan meningkatkan cara-cara pelaksanaannya dengan cara-cara yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing negara yang berada pada tingkat pembangunan ekonomi yang berbeda. Dalam mengejar tujuan-tujuan ini diakui adanya suatu kebutuhan akan langkah-langkah positif untuk menjamin agar supaya negara berkembang, teristimewa yang paling terbelakang, mendapat bagian dari pertumbuhan perdagangan internasional sesuai dengan kebutuhan pembangunan ekonominya.”40 Untuk mencapai tujuan-tujuan ini diadakanlah suatu pengaturan yang saling
menguntungkan yang diarahkan pada pengurangan tarif secara substansial dan juga
hambatan-hambatan non-tarif terhadap perdagangan, dan untuk menghilangkan
perlakuan diskriminatif dalam hubungan perdagangan internasional.
Kepentingan Indonesia yang diperjuangkan dalam setiap perundingan
perdagangan di WTO pada intinya adalah terbukanya akses pasar bagi ekspor produk-
produk barang dan jasa unggulan Indonesia, terselesaikannya masalah-masalah
implementasi persetujuan-persetujuan WTO yang selama ini dirasakan cukup berat
bagi negara berkembang, penguatan diberlakukannya prinsip-prinsip SDT bagi
negara berkembang agar dapat berkompetisi secara sehat dalam perdagangan global,
serta terlaksananya bantuan teknis yang “demand oriented” untuk meningkatkan
kapasitas negara berkembang.41
2.1.3 Prinsip perdagangan WTO
Untuk mencapai tujuan-tujuannya, GATT/WTO berpedoman pada enam
prinsip utama. Prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Prinsip Most Favoured Nation
40 Dr. Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT Dan WTO Aspek-aspek Hukum
dan Non Hukum, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), hal. 88. 41Asianto Sinambela, op.cit., hal. 1
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
26
Prinsip Most Favoured Nation (MFN) ini termuat dalam Pasal I GATT.
Prinsip ini menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas
dasar non diskrimintatif. Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk
memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan
kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya.42
Prinsip ini mensyaratkan semua komitmen yang dibuat atau ditandatangani
dalam rangka GATT/WTO harus diperlakukan secara sama kepada semua negara
anggota WTO (asas non diskriminasi) tanpa syarat. Misalnya suatu negara tidak
diperkenankan untuk menerapkan tingkat tarif yang berbeda kepada suatu negara
dibandingkan dengan negara lainnya.
“The rule must be applied “unconditionally”. This means, for instance, that a state can invoke most favoured treatment without granting in turn some advantage. In other words, the rule is not based on reciprocity.”43
Dengan berdasarkan prinsip MFN, negara-negara anggota tidak dapat begitu
saja mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif impor yang
diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dari
mitra dagang negara anggota lainnya.
Prinsip ini diberlakukan tanpa memandang struktur sosial-politik dan
ekonomi negara anggota. Itulah sebabnya mengapa prinsip ini dapat berkelanjutan
sepanjang sejarahnya dan sangat banyak digunakan. MFN memberikan kesamaan
landasan bagi negara maju dan negara berkembang, negara industri maupun agraris,
dan dalam batas-batas tertentu antara sistem ekonomi bebas dan ekonomi terpimpin.44
Inti dari prinsip ini adalah pemberian sesuatu kemanfaatan (advantage),
keberpihakan (favour), hak istimewa (privilege) atau kekebalan (immunity) yang
42 Huala Adolf, op.cit., hal. 108. 43Hans Van Houtte, op.cit., hal. 59
44 Dr. Hata, op.cit., hal. 55.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
27
diberikan oleh suatu negara anggota kepada warga dari satu negara anggota lain harus
diberikan juga immediately dan unconditionally kepada warga negara dari negara
anggota yang lain.45
Perlakuan yang sama harus dijalankan dengan segera dan tanpa syarat
(immediately and unconditionally) terhadap produk yang berasal atau yang diajukan
kepada semua negara GATT. Oleh karena itu, suatu negara tidak diperbolehkan
memberikan perlakuan istimewa kepada negara lainnya atau melakukan tindakan
diskriminasi terhadapnya. Semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan
semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan.
Masyarakat internasional mengakui prinsip perlakuan MFN ini merupakan
prinsip penting dalam sistem ekonomi internasional.46 Namun dalam pelaksanaannya
prinsip ini mendapat pengecualian-pengecualiannya, khususnya menyangkut
kepentingan negara sedang berkembang. Salah satu pengecualian yang dimaksud
yang menyangkut mengenai masalah yang Penulis angkat yaitu berkaitan dengan
pemberian prefensi tarif oleh negara-negara maju kepada produk impor dari negara
yang sedang berkembang atau negara-negara yang kurang beruntung (least
developed) melalui fasilitas Generalized System of Preference (sistem preferensi
umum).47
Pengecualian lainnya adalah ketentuan ‘pengamanan’ (safeguard rules) yang
mengakui bahwa suatu pemerintah, apabila tidak mempunyai upaya lain, dapat
melindungi atau memproteksi untuk sementara waktu industri dalam negerinya.
Pengaturan safeguard ini diatur dalam Pasal XIX dan hanya dapat dipakai dalam
keadaan-keadaan tertentu saja.48 Suatu negara anggota dapat membatasi suatu konsesi
45 Prof. Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Bandung: PT
Alumni, 2005), hal. 25. 46 Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2005), hal. 34. 47 Huala adolf, Hukum Perdagangan Internasional,op.cit., hal. 110. 48Ibid., hal. 111.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
28
tarif pada produk-produk yang diimpor dalam suatu jumlah yang meningkat dan yang
menyebabkan kerusakan serius (serious injury) terhadap produsen dalam negeri.
2. Prinsip National Treatment
Prinsip National Treatment terdapat dalam Pasal III GATT. Menurut Prinsip
ini, produk dari suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan
sama seperti halnya produk dalam negeri.49
“Competition laws, their enforcement and their administration would not discriminate, de facto or de jure, between domestic and foreign firms goods, services, or investments.”50
Prinsip ini sifatnya berlaku luas, berlaku terhadap semua macam pajak dan
pungutan-pungutan lainnya. Prinsip ini berlaku juga terhadap perundang-undangan,
pengaturan, dan persyaratan-persyaratan (hukum) yang mempengaruhi penjualan,
pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk-produk di pasar dalam
negeri.
Prinsip ini mensyaratkan bahwa suatu negara tidak diperkenankan untuk
memperlakukan secara diskriminasi antara produk impor dengan produk dalam negeri
(produk yang sama) dengan tujuan untuk melakukan proteksi. Jenis-jenis tindakan
yang dilarang berdasarkan ketentuan ini antara lain, pungutan dalam negeri, undang-
undang, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan, penawaran
penjualan, pembelian, transportasi, distribusi atau penggunaan produk, pengaturan
tentang jumlah yang mensyaratkan campuran, penggunaan produk-produk dalam
negeri. Negara anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama atas barang-
barang impor dan lokal paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik.
Prinsip national treatment dan prinsip MFN merupakan prinsip sentral
dibandingkan dengan prinsip-prinsip lainnya dalam GATT/WTO. Perjanjian WTO
49Ibid. 50 Kevin C. Kennedy, Competition Law And The World Trade Organisation: The Limits Of
Multilateralism, (London: Sweet & Maxwell, 2001), hal. 274.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
29
memperbolehkan suatu negara untuk meminta pembebasan dari penerapan kewajiban
MFN ini yang mencakup upaya-upaya tertentu (specific measures) yang pada
mulanya tidak dapat menawarkan perlakuan demikian.
Oleh karena itu, ketika suatu negara meminta pembebasan kewajiban MFN,
permintaan tersebut akan ditinjau setiap lima tahun. Pembebasan dari penerapan
kewajiban MFN ini hanya boleh dilakukan untuk jangka waktu 10 tahun.51
Prinsip national treatment atau perlakuan nasional ini pada umumnya
merupakan hasil dari negosiasi atau perundingan di antara negara-negara anggota.
3. Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif
Yang menjadi ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi kuantitatif
yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT.52 Restriksi terhadap ekspor atau
impor dalam bentuk apapun dilarang (Pasal IX) karena hal tersebut dapat
mengganggu praktek perdagangan yang normal.
Dalam pelaksanaannya, prinsip ini dapat dilakukan dalam hal:
“Pertama, untuk mencegah terkurasnya produk-produk esensial di negara pengekspor; kedua, untuk melindungi pasar dalam negeri khususnya yang menyangkut produk pertanian dan perikanan; ketiga, untuk mengamankan, berdasarkan escape clause (Pasal XIX), meningkatnya impor yang berlebihan (increase of imports) di dalam negeri sebagai upaya untuk melindungi diri, misalnya, terancamnya produksi dalam negeri; keempat, untuk melindungi negara pembayaran (luar negerinya) (Pasal XII).”53 Pengecualian mengenai escape clause dalam Pasal XIX mengatur mengenai
pembatasan sementara atas impor yang menyebabkan kerugian serius bagi industri
dalam negeri. Jika suatu negara anggota GATT bermaksud membatasi impor atas
suatu produk berdasarkan Pasal XIX harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
51Ibid., hal. 112. 52Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Masalah-masalah Hukum Dalam Perdagangan
Internasional, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 18. 53 Huala adolf, Hukum Perdagangan Internasional,op.cit., hal. 113.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
30
a. “Terdapat perkembangan yang tidak wajar dalam impor produksi yang bersangkutan.
b. Produk tersebut diimpor dalam jumlah yang semakin meningkat. c. Kuantitas impor yang semakin meningkat tersebut dapat mengganggu
produsen barang serupa di dalam negeri.”54
Prinsip Restriksi tidak dapat diterapkan selain untuk melindungi neraca
pembayaran dan secara progresif harus dikurangi, bahkan harus dihilangkan apabila
tidak dibutuhkan kembali. Akan tetapi terdapat pengecualian pada negara-negara
berkembang, negara tersebut dapat memberlakukan restriksi kuantitatif untuk
mencegah terkurasnya devisa mereka yang disebabkan oleh adanya permintaan untuk
impor yang diperlukan bagi pembayaran atau karena negara-negara berkembang
tersebut sedang mendirikan atau memperluas produksi dalam negerinya.
Menurut Pasal XIII, restriksi kuantitatif ini, meskipun diperbolehkan, tidak
boleh diterapkan secara diskriminatif.55
4. Prinsip Perlindungan Melalui Tarif
Prinsip ini diatur dalam pasal XI dan mensyaratkan bahwa perlindungan atas
industri dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif.
GATT hanya memperbolehkan tindakan proteksi terhadap industri domestik
melalui tarif (menaikkan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melalui upaya-upaya
perdagangan lainnya (nontariff commercial measures).56
Perlindungan melalui tarif tersebut menunjukkan dengan jelas tingkat
perlindungan yang diberikan dan masih memungkinkan adanya kompetisi yang
sehat.57
54 Dr. Hata, op.cit., hal. 65. 55Huala Adolf dan A. Chandrawulan, op.cit.,hal. 19. 56 Huala adolf,Hukum Perdagangan Internasional,op.cit., hal. 114. 57Huala Adolf dan A. Chandrawulan, loc.cit.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
31
Negara-negara GATT pada umumnya menggunakan prinsip ini untuk
melindungi industri dalam negerinya dan juga untuk menarik pemasukan bagi negara
yang bersangkutan. Penerapan tarif tersebut tidak boleh bersifat diskriminatif.
Penerapan tarif juga tunduk pada komitmen tarifnya kepada GATT/WTO. Komitmen
tarif adalah tingkat tarif dari suatu negara terhadap produk tertentu dan bersifat
mengikat negara tersebut.
“Suatu negara yang telah menyatakan komitmennya atas suatu tarif tidak dapat semena-mena menaikkan tingkat tarif yang telah ia sepakati, kecuali diikuti dengan negosiasi mengenai pemberian mengenai kompensasi dengan mitra-mitra dagangnya (Pasal XXVII).”58
GATT juga mensyaratkan kepada negara-negara anggotanya untuk
menerapkan prinsip transparansi yang menjadi kunci bagi prasyarat perdagangan
yang pasti (predictable). Keterbukaan atau transparansi hukum atau perundang-
undangan nasional dan praktik perdagangan suatu negara menjadi syarat dalam
prinsip transparansi ini.
5. Prinsip Resiprositas
Prinsip ini terdapat pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan-
perundingan tarif yang didasarkan atas dasar timbal-balik dan saling menguntungkan
kedua belah pihak.59
6. Perlakuan Khusus Bagi Negara Berkembang (Special dan Differential
Treatment for developing countries – S&D)
Untuk meningkatkan partisipasi negara-negara berkembang dalam
perundingan perdagangan internasional, S&D ditetapkan menjadi salah satu prinsip
58 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional,op.cit., hal. 115. 59Huala Adolf dan A. Chandrawulan, loc.cit.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
32
GATT/WTO. Sehingga semua persetujuan WTO memiliki ketentuan yang mengatur
perlakuan khusus dan berbeda bagi negara berkembang. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan kemudahan-kemudahan bagi negara-negara berkembang anggota WTO
untuk melaksanakan persetujuan WTO.
Oleh karena diantara negara-negara anggota GATT, masih banyak negara
yang sedang berkembang dimana negara-negara tersebut masih berada dalam tahap
awal pembangunan ekonominya, maka untuk membantu pembangunan mereka, pada
tahun 1965, suatu bagian baru yaitu Part IV, ditambahkan ke dalam GATT.60
Bagian IV ini mengakui kebutuhan negara sedang berkembang untuk
menikmati akses pasar yang lebih menguntungkan dan tidak memperbolehkan
negara-negara maju membuat rintangan-rintangan baru terhadap ekspor negara-
negara sedang berkembang. Negara-negara industri juga akan menerima bahwa
mereka tidak akan meminta balasan dalam perundingan penurunan ataupun
penghilangan tarif dan rintangan-rintangan lain terhadap perdagangan negara-negara
sedang berkembang.
Pada Putaran Tokyo 1979, negara-negara sepakat dan mengeluarkan putusan
yaitu mengakui bahwa negara sedang berkembang adalah pelaku (bentuk hukum)
yang permanen dalam sistem perdagangan dunia sehingga harus diberi perlakuan
yang lebih menguntungkan dan partisipasi yang lebih besar dalam perdagangan
dunia.
Pengakuan ini merupakan dasar hukum bagi negara industri dalam
memberikan GSP (sistem preferensi umum) kepada negara-negara sedang
berkembang.61
2.1.4 Waiver dan Pembatasan Darurat Terhadap Impor
GATT mengijinkan diadakannya perkecualian dalam bentuk waiver dan
langkah darurat lainnya. Perkecualian dalam bentuk waiver misalnya suatu negara
60Ibid., hal. 21. 61Ibid.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
33
dalam melaksanakan kebijakan bidang pertaniannya sebenarnya melanggar GATT,
tetapi karena telah ditetapkan sebelum adanya GATT, maka kebijakan tersebut
memperoleh waiver (pelepasan tuntutan).
“Waivers are common in the GATT; for instance, a waiver allowed the European Coal and Steel Community to be considered as a customs union, although it did not satisfy all conditions of Article XXIV.”62
Dalam kasus tertentu suatu negara dapat menghadapi suasana darurat yang
memerlukan penanganan dengan mengambil langkah proteksi karena industri dalam
negerinya menghadapi masalah (Pasal XIX).63 Pasal XIX mengizinkan suatu negara
untuk mengambil langkah protektif tersebut. Tetapi pasal XIX menyatakan bahwa
langkah protektif tersebut adalah langkah darurat yang bersifat sementara.
Perkecualian tersebut dikenal sebagai safeguards.
Dengan syarat yang ditentukan secara khusus, suatu negara anggota GATT
dapat menerapkan suatu restriksi dalam impornya atau mencabut konsesi tarif yang
telah diberikan kepada negara lain untuk produk-produk yang telah mengalami
peningkatan impor yang sedemikian besar sehingga menimbulkan kesulitan yang
berat untuk industri dalam negeri negara-negara yang bersangkutan.
2.1.5 Penerapan Prinsip-Prinsip Dasar WTO Terhadap Kepentingan Nasional Negara Berkembang
Sebagai hakikat dari sistem liberalisme adalah kebebasan dalam berkegiatan
ekonomi berupa produksi, konsumsi maupun perdagangan dengan merebut pasar
tanpa campur tangan pihak manapun. Segala bentuk kejadian perekonomian terjadi
karena mekanisme pasar berupa penawaran dan permintaan. Sebagaimana suatu
62 Hans Van Houtte, op.cit., hal. 87.
63 Nursalam Sianipar, Aspek Hukum Peran Serta Pemerintah Dalam Mengantisipasi Pasar
Bebas, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2001), hal. 44.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
34
pertarungan, free fight liberalism yang diusung dalam era globalisasi belakangan ini
menjadi semakin sadis. Persaingan antara multinasional corporation raksasa dengan
usaha kecil dan menengah tentu saja bukan persaingan yang adil. Juga persaingan
antara negara maju dengan negara berkembang bahkan negara terbelakang juga
dipaksakan untuk bertarung bebas. Dapat ditebak, pihak yang lemah pasti akan kalah
dan dipastikan mati dalam pertarungan. Oleh karena itu, GATT/WTO menjadi
semacam wasit atau juri pertandingan dalam free fight liberalism tingkat global.
Slogan TINA (There Is No Alternative) dimana suatu keharusan berlaku
diantara negara-negara yang melakukan perdagangan internasional untuk tunduk dan
patuh terhadap aturan-aturan GATT/WTO. Konsekuensi yang diperoleh ketika suatu
negara yang melanggar kesepakatan GATT/WTO akan sangat berpengaruh dan
merugikan negara itu sendiri, karena akan seperti dikucilkan dari pergaulan
perdagangan global.
Kebijakan-kebijakan nasional negara juga tunduk dan patuh terhadap
kesepakatan GATT/WTO sehingga kepentingan nasional yang berusaha melindungi
industri nasional maupun peningkatan kesejahteraan rakyat menjadi hal yang
dinomorduakan dibandingkan dengan kepentingan perdagangan bebas yang dinikmati
oleh eksportir-eksportir asing.
Walaupun GATT/WTO masih memaklumi dan memaafkan negara-negara
berkembang untuk menerapkan pemberlakuan kesepakatan WTO dengan memberi
waktu yang lebih panjang untuk mempersiapkan infrastruktur dan suprastruktur.
Yang pada akhirnya mewajibkan seluruh anggota WTO untuk berada dalam
semangat free fight liberalism tanpa terkecuali. Sehingga globalisasi merupakan suatu
kepastian bagi seluruh negara di dunia dan hanya menunggu waktu saja untuk terjadi.
Dengan adanya prinsip non-diskriminasi maka perusahaan dari negara
berkembang akan mengalami kesulitan dalam bersaing dengan negara maju yang
lebih maju tingkat teknologinya. Akan tetapi, negara-negara berkembang rentan akan
kerugian akibat perdagangan internasional yang hanya memiliki motif akumulasi laba
belaka. Banjirnya komoditas produksi asing dalam pasar lokal akan membuat pelaku
ekonomi lokal terpukul dengan penurunan harga dan trend konsumsi pasar yang akan
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
35
membuat permintaan produk lokal menurun bahkan mati di pasar dalam negeri.
Negara-negara berkembang sangat rentan akan suatu injury dalam
perekonomian nasional karena berbagai sebab, salah satunya adalah minimnya
fasilitas yang disediakan negara pada pelaku ekonomi nasional dan penguasaan
teknologi serta sumberdaya manusia yang kalah jauh tertinggal dengan negara-negara
maju. Apalagi negara-negara berkembang merupakan pasar yang harus
mengkonsumsi produk-produk asing buatan negara-negara maju yang mengalami
overproduction, sehingga pasar domestik akan terus dipaksa membeli komoditas
asing. Jika suatu negara mengalami peningkatan impor yang signifikan dan tiba-tiba
serta mengancam perekonomian nasional maka ini disebut sebagai injury. Jika
terkena injury maka suatu negara berhak melakukan tindakan safeguards dengan
pembatasan impor untuk melindungi perekonomian nasional. Tindakan safeguards
ini pada hakikatnya merupakan penyimpangan terhadap prinsip free fight liberalism,
namun terpaksa harus dilakukan demi keberlangsungan perekonomian nasional
khususnya kepada negara-negara berkembang yang rentan terhadap injury semacam
itu.
Oleh karena itu, WTO melakukan suatu perlakuan khusus terhadap negara-
negara berkembang sesuai salah satu prinsip yaitu Special and Differential to
Developing Nations (yang selanjutnya disebut S&D) yang dapat mengecualikan suatu
negara (berkembang) untuk dimaafkan bila terpaksa melanggar kesepakatan WTO.
S&D merupakan instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan (a means of
development) dan instrumen untuk menggapai keadilan (a means of justice) bagi
negara sedang berkembang dalam perdagangan internasional di bawah payung
WTO.64
Pemberian perlakuan khusus bagi negara berkembang ini disebut dengan prinsip
preferensi. Prinsip mengenai preferensi bagi negara berkembang adalah prinsip yang
64 Nandang Sutrisno. Eksistensi Ketentuan Khusus Bagi Negara Berkembang Dalam
Perjanjian World Trade Organization.<http://www.scribd.com/doc/39308488/Eksistensi-Ketentuan-Khusus-Bagi-Negara-Berkembang-Dalam-Perjanjian-World-Trade-Organization>. Diakses pada tanggal 8 Desember 2012 pukul 00.25 WIB.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
36
mensyaratkan perlunya suatu kelonggaran-kelonggaran atas aturan-aturan hukum
tertentu bagi negaranegara berkembang. Artinya negara-negara ini perlu mendapat
perlakuan khusus manakala negara-negara maju berhubungan dengan mereka. Dasar
teori dari sistem preferensi ini adalah bahwa negara-negara harus diperbolehkan
untuk menyimpang dari kewajiban-kewajiban MFN untuk memperbolehkan mereka
guna mengurangi tarifnya pada impor-impor barang manakala barang-barang tersebut
berasal dari negara-negara berkembang. Menurut mereka, hal tersebut akan
memberikan negara-negara berkembang suatu keuntungan kompetitif dalam
masyarakat industri yang menjadi sasaran ekspor.65
Perwujudan era perdagangan bebas global (global free trade), pada satu sisi,
telah menjadi obsesi bagi sebagian negara, terutama negara-negara industri atau maju.
Sebaliknya, bagi sebagian negara lainnya, terutama negara-negara yang keadaan
ekonominya lemah, perdagangan bebas menjadi ancaman yang serius yang dapat
semakin melemahkan keadaan dan kemampuan ekonominya. Namun demikian, mau
tidak mau, cepat atau lambat, kelompok negara yang terakhir ini harus ikut dalam
proses perdagangan bebas tersebut.
Pada dasarnya negara maju mengakui bahwa negara berkembang perlu
mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan peranannya dalam perdagangan dunia.
Prinsip special and differential treatment ini untuk mendorong negara berkembang
ikut proaktif berpartisipasi dalam berbagai perundingan perdagangan internasional.
Semua persetujuan WTO memiliki ketentuan mengatur perlakuan khusus bagi
negara-negara berkembang yang bertujuan untuk memberikan kemudahan-
kemudahan bagi negara-negara berkembang anggota WTO.
Pemberian perlakuan khusus oleh WTO kepada negara-negara berkembang
tersebut bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada negara berkembang untuk
meningkatkan pembangunannya. Pemberian perlakuan khusus tersebut bertujuan
untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antara kedua negara.
65Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, op. cit., hal. 41.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
37
Penerapan prinsip preferensi bagi negara berkembang pada WTO
dikelompokkan atas 6 kelompok yang tercantum dalam setiap perjanjianWTO.
Penerapan prinsip tersebut, yaitu:
1. Kelompok pertama adalah S&D yang ditujukan untuk meningkatkan peluang
perdagangan bagi negara berkembang. S&D berdasarkan kelompok ini
digolongkan ke dalam the Enabling Clause. Maksud dari theenabling clause
menyatakan bahwa negara maju dapat memberikan preferensi tarif terhadap
produk-produk yang berasal dari negara berkembang menurut the Generalized
System of Preferences (GSP).66
Program GSP ini merupakan suatu program pengurangan bea tarif
masuktermasuk terhadap produk negara berkembang ke dalam negara
maju.Program GSP ini diberikan oleh negara maju kepada negara
berkembangtanpa adanya pelakuan yang sama dari negara berkembang.
2. Kelompok kedua adalah S&D yang dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan-kepentingan negara berkembang. Pada the Agreement on the
Aplication of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) yang mewajibkan
negara-negara anggota WTO untuk mempertimbangkan kepentingan-
kepentingan khusus negara-negara berkembang, terutama dalam mempersiapkan
dan menerapkan the Agreement on the Applicationof Sanitary and Phytosanitary
Measures (SPS).67
66Lihat pasal 1 dan 2 (a) GATT Contracting Parties Decision of November 28, 1979 on
Differential and More Favourable Treatment, Reciprocity and Fuller Participation of Developing Countries, GATT, 26th Supp. BISD 203 (1980) (selanjutnya disebut Enabling Clause): 1. “1. Notwithstanding the provisions of Article I of the General Agreement, contracting parties may
accord differential and more favourable treatment to developing countries1, without according such treatment to other contracting parties.
2. The provisions of paragraph 1 apply to the following: (a) Preferential tariff treatment accorded by developed contracting parties to products originating
in developing countries in accordance with the Generalized System of Preferences”
67Article 10 (1) the Agreement on the Aplication of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS): “members are to take into account the special needs of developing country members, and in particular of the least-developed countries, in the preparation and application of sanitary or phytosanitary measures”.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
38
3. Kelompok ketiga adalah S&D yang memberikan fleksibilitas kepada negara
berkembang. Pada perjanjian pertanian (the Agreement onAgriculture (AA)
memberikan presentase de inimis untuk memperhitungkan jumlah keseluruhan
subsidi domestik yang berjalan sebesar 10 persen, lebih tinggi daripada yang
diberikan kepada negaranegara maju, yaitu 5 persen.68
4. Kelompok keempat, yaitu S&D dalam bentuk pemberian masa transisi yang
lebih panjang kepada negara berkembang. Pada Perjanjian tentang Trade-Related
Investment Measures (TRIMs), memberikan masa transisi kepada negara maju
selama 2 tahun dan waktu yang lebih lama bagi negara berkembang dan negara
terbelakang. Negara berkembang pada umumnya 5 tahun dan kepada negara-
negara terbelakang atau leastdevelopedcountries (LCDs) selama 7 tahun.69
5. Kelompok kelima, yaitu S&D berupa teknis kepada negara berkembang untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan teknis, finansial, dan sumber daya dalam
melaksanakan perjanjian-perjanjian WTO. Pada Perjanjian tentang Trade
Related Aspects of Intelelectual Property Rights (TRIPs), mewajibkan negara-
negara maju untuk memberikan bantuan-bantuan teknis dan finansial kepada
negara berkembang dan negara-negara terbelakang dalam rangka membantu
memfasilitasi negara-negara tersebut dalam mengimplementasikan perjanjian
TRIPs secara penuh.70
6. Kelompok keenam, yaitu S&D yang khusus diperuntukkan bagi negara-negara
terbelakang. Pada dalam Perjanjian Prosedur Lisensi Impor atau Import
Licensing Procedures (ILP) menyatakan bahwa dalam mengalokasikan lisensi,
pertimbangan khusus harus diberikan kepada importir-importir yang mengimpor
68Lihat Article 6 (4) the Agreement on Agriculture (AA). 69Article 5 (2) Trade-Related Investment Measures (TRIMs): “developing country members
will have five years to eliminate all GATT inconsistent TRIMs and developed country member will have two years. Least-developed country memberswill have a seven-years transitional period”.
70Article 67 Trade Related Aspects of Intelelectual Property Rights (TRIPs):” developed
country members are to provide, on request and on mutually agreed terms and conditions, technical and finansial cooperation in favour of developing and least-developed country members”.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
39
produk-produk yang berasal dari negara berkembang, khususnya dari negara-
negara terbelakang.71
Negara-negara yang memberikan fasilitas GSP kepada negara berkembang
antara lain, Australia, Austria, Canada, Pasaran Bersama Eropa, Jepang, New
Zealand, Sweden, Swiss, Norwegia, Finlandia dan Amerika Serikat.72
Barang-barang yang terkena tarif GSP ini yaitu barang-barang kulit diolah dan
setengah diolah (manufaktur), karet dan hasil-hasil karet, kayu berbentuk kasar dan
bentuk semi manufaktur, kertas, benang, pakaian dan aksesoris pakaian, gelas, batu-
batu berharga, metal dan produk-produknya, besi dan baja, tembaga, nekel, timah,
aluminium berbentuk semi manufacture, plastik, minyak untuk parfum, mesin listrik
dan bukan listrik, alat-alat make-up, handbag, perabot rumah tangga, mainan anak.73
2.1.6 Implementasi Kesepakatan WTO dalam Hukum Nasional Indonesia
Pemerintah Indonesia ikut serta dalam proses perundingan dan
penandatanganan Agreement Establishing the World Trade Organization beserta
seluruh Annex-nya (1,2,3) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Agreement
tersebut. Akan tetapi, Indonesia baru menjadi anggota secara resmi dalam Agreement
pembentukan WTO tersebut setelah meratifikasinya dengan Undang-Undang No. 7
Tahun 1994 tertanggal 2 November 1994.
Dengan diratifikasinya suatu perjanjian internasional oleh pemerintah, berarti
negara tersebut wajib untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan perjanjian
internasional yang diikutinya. Setiap negara anggota tidak boleh menggunakan
ketentuan hukum nasionalnya sebagai dasar pembenaran kelalaian dalam
71Article 3 (5) (j) Import Licensing Procedures (ILP):” in allocating licences among
importers, members should give consideration to those importers importing products originating in developing country memebrs and, in particular, in least-developed countries”.
72 Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum Perdagangan Internasional (GATT & GSP),
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 190.
73Ibid.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
40
melaksanakan ketentuan perjanjian internasional dan juga harus memberlakukan
perjanjian internasional tersebut di seluruh wilayah negaranya.74
Suatu negara yang telah menyatakan menjadi peserta dalam suatu perjanjian
internasional, maka berarti negara tersebut telah menundukkan dirinya terhadap
hukum internasional, dan hal ini dikenal dengan supremasi hukum internasional
terhadap hukum nasional. Indonesia di dalam praktek hubungan-hubungan
internasionalnya, mengakui supremasi hukum internasional sehingga Indonesia selalu
berusaha mentaati hukum internasional, terutama perjanjian-perjanjian internasional
yang telah diratifikasinya dan selalu menyesuaikan peraturan perundang-undangan
nasionalnya dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional.
Dalam memberlakukan ketentuan hukum internasioanl ke dalam hukum
nasional dikenal ada dua doktrin yaitu doktrin inkorporasi dan doktrin transformasi.
Doktrin inkorporasi yaitu suatu perjanjian internasional yang telah diratifikasi
langsung menjadi bagian dari hukum nasional (law of the land), doktrin ini dianut
oleh Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, Belanda, Spanyol, dan beberapa
negara kontinental lainnya.75 Sedangkan doktrin tranformasi adalah ketentuan hukum
internasional (perjanjian internasional) baru menjadi bagian dari hukum nasional
apabila sudah ditransformasikan ke dalam peraturan perundang-undangan nasional.76
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 tidak mengatur apakah
Indonesia menganut doktrin inkorporasi atau doktrin transformasi sehingga dalam
prakteknya, Indonesia tidak menganut salah satu doktrin secara tegas. Sepanjang
hukum atau perjanjian internasional menyangkut mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan keterikatan negara atau badan-badan negara secara langsung, maka hukum
atau perjanjian internasional tersebut berlaku langsung setelah diratifikasi (self
excecuting).
74 Asianto Sinambela, op.cit., Implementasi Kesepakatan WTO Dalam Hukum Nasional, hal.
2. 75Ibid., hal. 3.
76Ibid., hal. 4.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
41
Oleh karena Indonesia dalam prakteknya menganut baik doktrin inkorporasi
maupun doktrin transformasi, maka implementasi kesepakatan WTO tersebut dibagi
ke dalam dua hal yaitu keterikatan secara eksternal dan secara internal. Maksud dari
keterikatan secara eksternal yaitu Indonesia sebagai negara terikat langsung (self
excecuting) oleh ketentuan-ketentuan Perjanjian WTO tanpa harus dibuat peraturan
perundang-undangan nasional untuk mengimplementasikannya, jadi dalam hal ini
Indonesia menerapkan doktrin inkorporasi seperti misalnya menyangkut ketentuan-
ketentuan tentang kebijakan tarif, kebijakan fiskal, pelaksanaan prinsip-prinsip
perdagangan multilateral (most favoured nation, national treatment, transparency),
kebijakan dalam penanaman modal asing (Agreement on Related Investment
Measures – TRIMs), kebijakan dalam perdagangan jasa (General Agreement on
Trade and Services – GATS), kebijakan HAKI (Agreement on Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights – TRIPs), penyelesaian sengketa, dan
sebagainya.77
Sedangkan keterikatan secara internal, dimaksudkan bahwa agar ketentuan-
ketentuan Perjanjian WTO dapat diimplementasikan dalam lingkungan domestik agar
mengikat warga negara secara individual atau badan hukum swasta, maka ketentuan
WTO tersebut harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional,
sehingga diperlukan adanya transformasi Perjanjian WTO ke dalam hukum
nasional.78 Sesuai dengan doktrin ini, Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization dalam Penjelasan
Umum paragraf 6 menyatakan: “Untuk itu konsekuensi yang antara lain perlu
ditindak lanjuti adalah kebutuhan untuk menyempurnakan atau mempersiapkan
peraturan perundangan yang diperlukan.
Sebagai pelaksanaan dari keharusan transformasi ketentuan WTO ke dalam
peraturan perundang-undangan nasional Indonesia, kini telah dibuat beberapa
peraturan perundang-undangan yaitu peraturan perundang-undangan di bidang
penanaman modal, peraturan perundang-undangan di bidang hak milik intelektual
77Ibid., hal 5-6. 78Ibid., hal 9.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
42
(misalnya hak cipta, paten, merek, desain industri, rahasia dagang), peraturan di
bidang perdagangan, industri dan jasa (misalnya tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tentang Perlindungan Konsumen, tentang
Perbankan, tentang Ketenagakerjaan, dan sebagainya).
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih dirasakan terlalu berat
untuk mengimplementasikan Perjanjian WTO tersebut karena posisi Indonesia dalam
berbagai sektor masih lemah. Sebagai negara berkembang, Indonesia banyak
memerlukan kebutuhan akan barang dan jasa yang harus didatangkan dari luar negeri,
sebaliknya Indonesia juga harus menjual produk-produk dalam negerinya agar dapat
memperoleh devisa untuk membayar kebutuhan tadi. Tidak ada satu negara pun di
dunia yang bisa hidup tanpa ketergantungan dengan negara lain (self supporting).
Salah satu cara untuk menghadapi arus globalisasi khususnya WTO adalah
dengan mempersiapkan sebaik-baiknya perangkat peraturan perundang-undangan
nasional di berbagai bidang yang mengimplementasikan ketentuan-ketentuan
Perjanjian WTO tersebut di lingkungan wilayah domestik, sehingga terdapat
kepastian hukum dan rasa keadilan di masyarakat. Diharapkan hukum menjadi sarana
bagi perkembangan masyarakat yang cenderung makin terbuka dan kompetitif.
Pesatnya perkembangan perdagangan bebas di Indonesia dapat dilihat dari
masuknya investor asing ke Indonesia dengan cara menanamkan modalnya melalui
bisnis waralaba. Para pengusaha melakukan berbagai cara untuk mengembangkan
usahanya secara internasional, salah satu caranya yaitu dengan melalui franchise.
Menurut Frank Bradley, dalam bukunya yang berjudul International
Marketing Strategy, menyatakan sebagai berikut:
“Franchising is a form of marketing and distribution in which the franchisor grants an individual or small company, the franchisee, the right to do business in a prescribed manner over a certain period of time, in a specified place.”79
79 Frank Bradley, International Marketing Strategy, (London: Prentice Hall, 1991), hal. 328.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
43
Pemberian waralaba (franchising) merupakan salah satu cara perusahaan untuk
berekspansi secara internasional tanpa menanamkan investasi modal yang besar.
Selain itu juga merupakan suatu bentuk pemberian lisensi dimana sebuah induk
perusahaan (franchisor) memberikan kepada entitas independen lainnya (franchisee)
hak memutar roda bisnis dalam suatu cara yang ditentukan.
Waralaba merupakan salah satu sistem pemasaran yang secara tepat dan
menguntungkan untuk mengembangkan usaha baik bagi konsumen di dalam negeri
maupun konsumen di luar negeri.Indonesia sendiri mempunyai potensi yang baik
untuk pengembangan bisnis waralaba. Hal ini dilihat dari kondisi di Indonesia,
banyak bidang usaha yang menunjukkan adanya potensi pasar yang besar dan
berkembang.
2.2 Waralaba
2.2.1 Sejarah Waralaba
Konsep waralaba atau franchise muncul sejak 200 tahun sebelum Masehi. Saat
itu, seorang pengusaha Cina memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk
mendistribusikan produk makanan dengan merek tertentu.80 Namun, sebenarnya
waralaba dengan pengertian yang kita kenal saat ini berasal dari Amerika Serikat.
Sistem waralaba di Amerika Serikat pertama kali dimulai pada tahun 1851.
Pada saat itu, di Amerika Serikat timbul apa yang dinamakan sistem waralaba
Amerika generasi pertama, yang disebut sebagai straight product franchising
(waralaba produksi murni). Pada mulanya sistem ini berupa pemberian lisensi bagi
penggunaan nama pada industri minuman (Coca-Cola), kemudian berkembang
sebagai sistem pemasaran pada industri mobil (General-Motors).81
Setelah Perang Dunia II, di Amerika Serikat berkembang sistem waralaba
generasi kedua, yang disebut entire business franchising. Dalam sistem ini, ikatan
80 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 1. 81Ibid.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
44
perjanjian tidak lagi hanya mengenai aspek produksi, tetapi meliputi seluruh aspek
pengoperasian perusahaan waralaba.82 Pemberi waralaba (franchisor) membawa satu
paket prestasi kepada penerima waralaba (franchisee) berupa bentuk atau dekorasi
tempat usaha, konsep kebijakan perusahaan, dan sistem manajemen perusahaan.
Franchisor mengarahkan dan “meleburkan” para franchisee ke dalam suatu sistem
yang telah franchisor tetapkan. Generasi ini memperkenalkan sistem franchising
yang menawarkan strategi bisnis dengan menggunakan hak dan keistimewaan milik
franchisor, diuntungkan dari reputasi franchisor, mengurangi resiko memulai usaha
baru dan keuntungan membeli barang dagangan dalam jumlah besar, “Wimpy”,
jaringan restoran hamburger, merupakan bisnis format franchise pertama di Inggris.
Colonel Harlan Sander’s, penemu dan pendiri “Kentucky Fried Chicken”, mendirikan
outlet franchisee pertama di Amerika Serikat pada tahun 1950.83
Di Amerika Serikat, franchise mengalami booming pada tahun 60-70an setelah
berakhirnya Perang Dunia ke-2. Pada saat itu, banyak terjadi praktek penipuan bisnis
yang mengaku sebagai franchise, salah satunya dengan cara menjual sistem bisnis
franchise yang ternyata belum teruji keberhasilannya di lapangan. Selain itu,
franchisor pun lebih fokus untuk menjual franchise milik mereka dibandingkan
membangung dan menyempurnakan sistem bisnis franchisenya. Banyak investor
baru yang gagal oleh modus seperti ini, hal ini menjadi salah satu pendorong
terbentuknya IFA (International Franchise Association) pada tahun 1960.84 Hal ini
menjadi generasi ketiga franchising.
Salah satu tujuan didirikannya IFA adalah untuk menciptakan iklim industri
bisnis franchise yang dapat dipercaya, oleh karenanya IFA menciptakan kode etik
franchise sebagai pedoman bagi anggota-anggotanya. Walau begitu, kode etik
82Ibid., hal. 2. 83Tim Internasional Franchise Business Management, Franchise Manual: Panduan Franchise
Terlengkap & Pertama Di Indonesia, (Jakarta: Internasional Franchise Business Management, 2007), hal. 5.
84Sejarah Awal Mula Waralaba. <http://wirausaha.net/membangun-bisnis/3017-sejarah-awal-
mula-waralaba.html>. Diakses pada tanggal 5 Januari 2013 pukul 20.27 WIB.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
45
franchise masih perlu didukung oleh perangkat hukum agar dapat memastikan tiap-
tiap pihak dalam industri ini terlindungi. Pada tahun 1978, Federal Trade
Commission (FTC) mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap franchisor yang
akan memberikan penawaran peluang waralaba kepada publik untuk memiliki UFOC
(Uniform Franchise Offering Circular). UFOC adalah dokumen yang berisi informasi
lengkap mengenai peluang bisnis franchise yang ditawarkan, seperti: sejarah bisnis,
pengelola, hal yang berkaitan dengan hukum, prakiraan investasi, deskripsi konsep
bisnis, dan salinan dari perjanjian franchise. Selain itu daftar nama, alamat dan nomor
telepon dari pemilik franchise adalah informasi yang diwajibkan. UFOC bertujuan
untuk menyampaikan informasi yang cukup mengenai perusahaan untuk membantu
calon franchisee dalam mengambil keputusan.85
Di Tahun 1980-an, franchising sebagai strategi pengembangan bisnis menjadi
semakin sempurna. Franchising dijadikan bagian integral dari strategi perdagangan
internasional pemerintah federal Amerika Serikat. Secara alamiah, kemudian terjadi
pengerucutan pengelompokkan usaha. Kelompok generasi pertama, kedua, dan ketiga
yang berkembang pada tahun 1970-an mengelompokkan menjadi satu menjadi
Product-and-trade-name franchising, yaitu: Product-and-trade-name franchising dan
Business-format franchising.86
Pada awalnya istilah franchise tidak dikenal dalam kepustakaan Hukum
Indonesia, hal ini dapat dimaklumi karena memang lembaga franchise ini sejak awal
tidak terdapat dalam budaya atau tradisi bisnis masyarakat Indonesia. Namun karena
pengaruh globalisasi yang melanda di berbagai bidang, maka franchise ini kemudian.
masuk ke dalam tatanan budaya dan tatanan hukum masyarakat Indonesia.87
Istilah franchise ini selanjutnya menjadi istilah yang akrab dengan masyarakat,
khususnya masyarakat bisnis Indonesia dan menarik perhatian banyak pihak untuk
85Sejarah Perkembangan Bisnis Franchise/Waralaba. <http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/11/sejarah-perkembangan-bisnis-franchisewaralaba/>. Diakses pada tanggal 5 Januari 2013 pukul 20.32 WIB.
86Tim Internasional Franchise Business Management, op.cit., hal. 7. 87 Tengku Keizerina Devi Azwar, Perlindungan Hukum Dalam Franchise, 2005, hal. 1-2.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
46
mendalaminya kemudian istilah franchise dicoba di Indonesiakan dengan istilah
‘waralaba’ yang diperkenalkan pertama kali oleh Lembaga Pendidikan dan
Pengembangan Manajemen (LPPM) sebagai padanan istilah franchise. Waralaba
berasal dari kata wara (lebih atau istimewa) dan laba (untung), maka waralaba berarti
usaha yang memberikan laba lebih / istimewa.88
Di Indonesia, waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an dengan munculnya
dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi atau menjadi agen tunggal
pemilik merek.89 Waralaba di Indonesia semakin berkembang ketika masuknya
waralaba asing pada tahun 80-90an. KFC, McDonald’s, Burger King, dan Wendys
adalah sebagian waralaba asing yang masuk ke Indonesia pada awal-awal
berkembangnya waralaba di Indonesia. Perusahaan-perusahaan waralaba lokal pun
mulai bertumbuhan pada masa itu, salah satunya ialah Es Teler 77.
Pertumbuhan bisnis waralaba yang tumbuh subur di Indonesia, pada prinsipnya
tidak lepas dari peran serta dari merek-merek waralaba lokal. Perkembangan
waralaba lokal yang semakin pesat, bisa dilihat dari masih sangat terbukanya peluang
usaha ini untuk mewaralabakan perusahaan-perusahaan tradisional yang telah
mempunyai merek dagang dan sistem yang stabil.
Merek-merek lokal ini diarahkan pemerintah untuk bernaung di bawah AFI
(Asosiasi Franchise Indonesia) yang merupakan asosiasi resmi yang diakui oleh
pemerintah dalam bidang waralaba. Asosiasi ini merupakan anggota dari IFA
(International Franchise Association) yang adalah organisasi franchise skala
internasional. AFI didirikan pada tanggal 22 November 1991 dengan bantuan dari
ILO (International Labour Organization) dan Pemerintah Indonesia.90 Asosiasi ini
salah satunya bertujuan untuk mengembangkan franchise dalam rangka penciptaan
distribusi nasional, kesempatan kerja, dan pengembangan usaha kecil menengah
88 Ibid., hal. 2.
89Yohanes Heidy Purnama. Epidemi Tren Konsep Bisnis Waralaba. <http://salamfranchise.com/2008/03/01/epidemi-tren-konsep-bisnis-waralaba/>. Diakses pada tanggal 5 januari 2013 pukul 21.59 WIB.
90 Adrian Sutedi, op.cit, hal. 20.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
47
(UKM). Setelah itu dibentuk Franchise Resource Center (FRC) yang merupakan
wadah yang menangani pemberdayaan usaha-usaha menjadi franchise,
memasyarakatkan dan menyosialisasikan sistem itu serta mendorong pertumbuhan
franchise lokal, lembaga ini berada di bawah Departemen Perdagangan.91
Keberadaan waralaba (franchise) bagi pemerintah Indonesia sangat membantu
terutama untuk membuka lapangan kerja baru secara instan dan memicu
perekonomian daerah. Karena adanya peluang bagi waralaba lokal untuk
meningkatkan peranannya dalam bisnis waralaba, pemerintah perlu mengambil
langkah-langkah kebijakan bagi tumbuh kembangnya bisnis waralaba lokal. Hal ini
dapat dilakukan melalui penumbuhan pengusaha-pengusaha baru serta
memberdayakan UKM dan koperasi dalam bisnis waralaba baik sebagai franchisee,
franchisor maupun sebagai pemasok barang dan jasa.
Walaupun sistem franchise berkembang pesat di Indonesia, tetapi sebelum
tahun 1997 belum ada dasar hukum yang khusus mengatur franchise itu sendiri. Pada
saat itu di Indonesia berlaku tiga undang-undang yang menjadi dasar pemberian
perlindungan hukum kepada hak milik intelektual perusahaan, yaitu Undang-Undang
Paten, Undang-Undang Hak Cipta, dan Undang-Undang Merek. Dengan adanya
Undang-Undang Paten memungkinkan franchisor memperoleh perlindungan hukum
terhadap kemungkinan adanya usaha peniruan. Sedangkan Undang-Undang Merek
menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum
kepada perusahaan yang mendaftarkan mereknya terhadap kemungkinan peniruan,
pemalsuan, ataupun penggunaan secara ilegal atas merek dagangnya. Lalu, pada
tahun 1997 akhirnya dibuat Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 Tentang
Waralaba, yang kemudian diganti oleh Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007
Tentang Waralaba. Peraturan tersebut memberikan kepastian usaha dan kepastian
hukum bagi mereka yang menjalankan usaha waralaba.92
91 Deden Setiawan, Franchise Guide Series: Kiat Memilih Usaha Dengan Biaya Kecil Untung
Besar 2, (Jakarta: Dian Rakyat, 2007), hal. 8. 92 Adrian Sutedi, Op.cit.., hal. 22.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
48
Adanya Peraturan Pemerintah ini, kemudian diikuti dengan munculnya
peraturan perundang-undangan guna melengkapi peraturan pemerintah tersebut.
Salah satu peraturan perundang-undangan tersebut yaitu Permendag No. 31/2008.
Penyelenggaraan Permendag No. 31/2008 ada dibawah pengawasan Kementrian
Perindustrian dan Perdagangan, selama 4 tahun berjalan Permendag No. 31/2008
tersebut akhirnya dicabut dan diganti dengan Permendag No. 53/2012 Tentang
Penyelenggaraan Waralaba.
2.2.2 Pengertian Waralaba
Pengertian Franchise berasal dari bahasa Perancis affranchir yang berarti
to free yang artinya membebaskan. Dengan istilah franchise di dalamnya terkandung
makna, bahwa seseorang memberikan kebebasan dari ikatan yang menghalangi
kepada orang untuk menggunakan atau membuat atau menjual sesuatu.93 Dalam
bidang bisnis franchise berarti kebebasan yang diperoleh seorang wirausaha untuk
menjalankan sendiri suatu usaha tertentu di wilayah tertentu.94
Franchise ini merupakan suatu metode untuk melakukan bisnis, yaitu suatu
metode untuk memasarkan produk atau jasa ke masyarakat. Selanjutnya disebutkan
pula bahwa franchise dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pemasaran atau
distribusi barang dan jasa, di mana sebuah perusahaan induk (franchisor)
memberikan kepada individu atau perusahaan lain yang berskala kecil dan menengah
(franchisee), hak-hak istimewa untuk melaksanakan suatu sistem usaha tertentu
dengan cara yang sudah ditentukan, selama waktu tertentu, di suatu tempat tertentu.95
93 Ridwan Khairandy, Perjanjian Franchise Sebagai Sarana Alih Teknologi, (Pusat Studi
Hukum UII Yogyakarta bekerjasama dengan yayasan Klinik Haki Jakarta, 2000), hal. 133. 94 Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2003), hal. 56. 95 Ibid, hal. 57.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
49
Franchising menurut Asosiasi Franchise Indonesia adalah:
“Franchising menurut hakekatnya adalah strategi pemasaran para pengusaha “mirip” dengan strategi-strategi lain seperti retailing, multilevel marketing, direct selling, dan sebagainya yang semuanya bertujuan untuk memperlebar jangkauan usaha untuk meningkatkan pangsa pasar dan penjualan. Waralaba menjadi alternative yang lebih disukai karena sistem ini membuat usaha berkembang lebih cepat dengan dana yang lebih murah dan membentuk jaringan usaha yang lebih kuat.”96
Dari segi bisnis dewasa ini, istilah franchise dipahami sebagai suatu bentuk
kegiatan pemasaran dan distribusi. Di dalamnya sebuah perusahaan besar
memberikan hak istimewa atau privilege untuk menjalankan bisnis secara tertentu
dalam waktu dan tempat tertentu kepada individu atau perusahaan yang relatif lebih
kecil. Franchise merupakan salah satu bentuk metode produksi dan distribusi barang
atau jasa kepada konsumen dengan suatu standard dan sistem eksploitasi tertentu.
Pengertian standar dan eksploitasi tersebut meliputi kesamaan dan penggunaan nama
perusahaan, merek, serta sistem produksi, tata cara pengemasan, penyajian dan
pengedarannya.97
Menurut Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu, menterjemahkan
pengertian franchise dari Black’s Law Dictionary sebagai berikut:98
1. “Franchise adalah hak istimewa untuk melakukan hal-hal tertentu yang
diberikan oleh pemerintah pada individu atau perusahaan yang terbentuk badan hukum, dan (hak tersebut) tidak dimiliki oleh penduduk pada umumnya. Contoh hak yang diberikan untuk melakukan jasa layanan televisi kabel.
2. Franchise adalah hak istimewa untuk menggunakan nama atau untuk menjual produk/jasa layanan. Hak itu diberikan oleh pengusaha pabrik atu penyedia pada penjual eceran untuk menggunakan berbagai produk
96 Asosiasi Franchise Indonesia, Direktori Franchise Indonesia, Edisi III, 2007, hal. 9. 97 Ridwan Khairandy, op. cit. hal. 134. 98 Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern,
(Bandung : Refika Aditama, 2004), hal.116.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
50
dan nama dengan berdasarkan syarat-syarat yang telah disetujui bersama (dalam hubungan yang saling menguntungkan).
3. Franchise adalah lisensi dari pemilik merek dagang atau nama dagang yang mengijinkan orang lain untuk menjual produk atau jasa layanan di bawah nama atau merek tersebut.”
Franchise merupakan sistem usaha yang memiliki ciri khas tertentu berupa
jenis produk dan bentuk yang diusahakan, identitas perusahaan (logo, desain, merek
bahkan termasuk pakaian dan penampilan karyawan perusahaan), rencana pemasaran
dan bantuan operasional.99
V. Winarto lebih menekankan waralaba sebagai hubungan kemitraan antara
pengusaha yang usahanya sudah mapan dan sukses dengan pengusaha yang relatif
baru atau lemah dalam usaha tersebut dengan tujuan saling menguntungkan,
khususnya dalam bidang usaha menyediakan produk dan jasa langsung kepada
konsumen.100
Di dalam kamus ekonomi bisnis perbankan mengartikan bahwa franchise
adalah “suatu hak tunggal yang diberikan kepada perorangan atau suatu organisasi,
oleh suatu pihak lain, baik perorangan atau organisasi (perusahaan, pemerintah dan
sebagainya) untuk menjalankan suatu wewenang khususnya menyangkut perbuatan
dan atau penjualan di wilayah tertentu.101
Sedangkan Martin Mendelsohn mengartikan franchise sebagai pemberian
sebuah lisensi kepada pihak lain, lisensi tersebut memberikan hak kepada franchisee
untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang franchisor, dan untuk
menggunakan keseluruhan paket yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan
99 Rooseno Harjowidigno, Perspektif Pengaturan Perjanjian Franchise, Makalah Pertemuan
Ilmiah tentang Usaha Franchise dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi, (Jakarta : BPHN, 14-16 Desember 1993), hal. 1.
100 V. Winarto, Pengembangan Waralaba (Franchising) di Indonesia Aspek Hukum dan Non
Hukum, dalam Juajir Sumardi, Aspek-aspek Hukum tentang Franchise dan Perusahaan Transnasional, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1995), hal.19.
101 T. Guritno, Kamus Ekonomi Bisnis Perbankan, Cetakan I, (Yogyakarta : Gajah Mada
University Press, 1992), hal. 24.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
51
untuk membuat seseorang yang sebelumnya belum terlatih dalam menjalankan bisnis
dan untuk menjalankan dengan bantuan terus menerus atas dasar-dasar yang telah
ditentukan sebelumnya.102
Martin D. Fern, melihat franchise dari aspek/unsurnya, yang mensyaratkan
adanya 4 (empat) unsur, yaitu:103
a. “pemberian hak untuk berusaha dalam bisnis tertentu; b. lisensi untuk menggunakan tanda pengenal usaha, biasanya suatu
merek dagang atau merek jasa, yang akan menjadi ciri pengenal dari bisnis franchisee;
c. lisensi untuk menggunakan rencana pemasaran dan bantuan yang luas oleh franchisor kepada franchisee; dan
d. pembayaran oleh franchisee kepada franchisor berupa sesuatu yang bernilai bagi franchisor selain dari harga borongan bonafide atas barang yang terjual.”
Semua pengertian yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa
franchise pada dasarnya mengandung elemen-elemen pokok sebagai berikut:
a. Franchisor yaitu pihak pemilik/produsen dari barang atau jasa yang telah
memiliki merek tertentu serta memberikan atau melisensikan hak eksklusif
tertentu untuk pemasaran dari barang atau jasa itu.
b. Franchisee yaitu pihak yang menerima hak ekslusif itu dari franchisor.
c. Adanya penyerahan hak-hak secara eksklusif (dalam praktek meliputi berbagai
macam hak milik intelektual/hak milik perindustrian) dari franchisor kepada
franchisee.
d. Adanya penetapan wilayah tertentu, franchise area di mana franchisee diberikan
hak untuk beroperasi di wilayah tertentu. Contoh: hanya diperbolehkan untuk
beroperasi di Pulau Jawa.
e. Adanya imbal - prestasi dari franchisee kepada franchisor yang berupa Initial Fee
dan Royalties serta biaya-biaya lain yang disepakati oleh kedua belah pihak.
102 Martin Mendelsohn, Franchising: Petunjuk Praktis bagi Franchisor dan Franchisee,
(Jakarta : PT. Pustaka Binaman Perssindo, 1997), hal. 4. 103 Juajir Sumardi, op.cit., hal. 18.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
52
f. Adanya standar mutu yang ditetapkan oleh franchisor bagi franchisee, serta
supervisi secara berkala dalam rangka mempertahankan mutu.
g. Adanya pelatihan awal, pelatihan yang berkesinambungan, yang diselenggarakan
oleh franchisor guna peningkatan ketrampilan.
Dari sudut pandang ekonomi, franchise adalah hak yang diberikan secara
khusus kepada seseorang atau kelompok, untuk memproduksi atau merakit, menjual,
memasarkan suatu produk atau jasa. Sedangkan dari sudut pandang hukum,
franchise adalah perjanjian legal antara dua pihak dalam bekerja sama memproduksi,
merakit, menjual, memasarkan suatu produk barang dan jasa.
Secara hukum, waralaba berarti persetujuan legal atas pemberian hak atau
keistimewaan untuk menawarkan suatu produk/ jasa dari pemilik (pewaralaba)
kepada pihak lain (terwaralaba) yang diatur dalam suatu permainan tertentu. Dalam
PP Waralaba Pasal 1 angka 1 dan Permendag No. 53/2012 Pasal 1 angka 1
menyatakan:
“Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.
Sementara itu Munir Fuady menyatakan bahwa franchise atau sering
disebut juga dengan istilah waralaba adalah suatu cara melakukan kerjasama di
bidang bisnis antara 2 (dua) atau lebih perusahaan, di mana 1 (satu) pihak akan
bertindak sebagai franchisor dan pihak yang lain sebagai franchisee, di mana di
dalamnya diatur bahwa pihak-pihak franchisor sebagai pemilik suatu merek dari
know-how terkenal, memberikan hak kepada franchisee untuk melakukan kegiatan
bisnis dari/atas suatu produk barang atau jasa, berdasar dan sesuai rencana komersil
yang telah dipersiapkan, diuji keberhasilannya dan diperbaharui dari waktu ke waktu,
baik atas dasar hubungan yang eksklusif ataupun noneksklusif, dan sebaliknya suatu
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
53
imbalan tertentu akan dibayarkan kepada franchisor sehubungan dengan hal
tersebut.104
Menurut Munir Fuady, bahwa waralaba mempunyai karakteristik
yuridis/dasar sebagai berikut:105
1. “Unsur Dasar
Ada 3 (tiga) unsur dasar yang harus selalu dipunyai, yaitu : a. pihak yang mempunyai bisnis franchise disebut sebagai franchisor. b. pihak yang mejalankan bisnis franchise yang disebut sebagai
franchisee. c. adanya bisnis franchise itu sendiri.
2. Produk Bisnisnya Unik 3. Konsep Bisnis Total
Penekanan pada bidang pemasaran dengan konsep P4 yakni Product, Price, Place serta Promotion.
4. Franchise Memakai/Menjual Produk 5. Franchisor Menerima Fee dan Royalty 6. Adanya pelatihan manajemen dan skill khusus 7. Pendaftaran Merek Dagang, Paten atau Hak Cipta 8. Bantuan Pendanaan dari Pihak Franchisor 9. Pembelian Produk Langsung dari Franchisor 10. Bantuan Promosi dan Periklanan dari Franchisor 11. Pelayanan pemilihan Lokasi oleh Franchisor 12. Daerah Pemasaran yang Ekslusif 13. Pengendalian / Penyeragaman Mutu”
Sejalan dengan hal ini, franchise atau waralaba dalam Black’s Law
Dictionary diartikan sebagai: 106
“A special privilege granted or sold, such as to use a name or to sell products or service. In its simple terms, a franchise is a license from owner of trademark or trade name permitting another to sell a product or service under that name or mark. More broadly stated, a franchise has evolved into an elaborate agreement under which the franchisee undertakes to
104 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal.
339. 105 Ibid., hal. 341-345. 106 Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary 6 th ed, St Paul MN : West publishing,
Co, 1990.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
54
conduct a business or sell a product or service in accordance with methods and procedures prescribed by the Franchisor, and the Franchisor under takes to assist the franchisee through advertising, promotion and other advisory services.”
Rumusan tersebut di atas, bahwa waralaba ternyata tidak juga mengandung
unsur-unsur sebagaimana yang diberikan pada lisensi, hanya saja dalam pengertian
waralaba tersebut dalam Blacks’Law Dictionary, waralaba menekankan pada
pemberian hak untuk menjual produk berupa barang atau jasa dengan memanfaatkan
merek dagang franchisor (pemberi waralaba) dimana pihak franchise (penerima
waralaba) berkewajiban untuk mengikuti metode dan tata cara atau prosedur yang
telah ditetapkan oleh pemberi waralaba. Dalam kaitannya dengan pemberian izin dan
kewajiban pemenuhan standar dari pemberi waralaba, artinya akan memberikan
bantuan pemasaran, promosi maupun bantuan teknis lainnya agar penerima waralaba
dapat menjalankan usahanya dengan baik.
2.2.3 Jenis-Jenis Waralaba
Menurut International Franchise Association (IFA) berkedudukan di
Washington DC, merupakan organisasi Franchise International yang beranggotakan
negara-negara di dunia, ada empat jenis franchise yang mendasar yang biasa
digunakan di Amerika Serikat, yaitu:107
1. “Product Franchise
Produsen menggunakan produk franchise untuk mengatur bagaimana cara pedagang eceran menjual produk yang dihasilkan oleh produsen. Produsen memberikan hak kepada pemilik toko untuk mendistribusikan barang-barang milik pabrik dan mengijinkan pemilik toko untuk menggunakan nama dan merek dagang pabrik. Pemilik toko harus membayar biaya atau
107 Perusahaan Waralaba (Franchise): Definisi, Jenis/bentuk dan Keunggulan dan Kelemahan sistem Franchise. <http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/09/perusahaan-waralaba-franchise-definisi.html>. diakses pada tanggal 6 Januari 2013 pukul 17.39 WIB.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
55
membeli persediaan minimum sebagai timbal balik dari hak-hak ini. Contohnya, toko ban yang menjual produk dari franchisor, menggunakan nama dagang, serta metode pemasaran yang ditetapkan oleh franchisor.
2. Manufacturing Franchises Jenis franchise ini memberikan hak pada suatu badan usaha untuk membuat suatu produk dan menjualnya pada masyarakat, dengan menggunakan merek dagang dan merek franchisor. Jenis franchise ini seringkali ditemukan dalam industri makanan dan minuman.
3. Business Oportunity Ventures Bentuk ini secara khusus mengharuskan pemilik bisnis untuk membeli dan mendistribusikan produk-produk dari suatu perusahaan tertentu. Perusahaan harus menyediakan pelanggan atau rekening bagi pemilik bisnis, dan sebagai timbal baliknya pemilik bisnis harus membayarkan suatu biaya atau prestasi sebagai kompensasinya. Contohnya, pengusahaan mesin-mesin penjualan otomatis atau distributorship.
4. Business Format Franchising Ini merupakan bentuk franchising yang paling populer di dalam praktek. Melalui pendekatan ini, perusahaan menyediakan suatu metode yang telah terbukti untuk mengoperasikan bisnis bagi pemilik bisnis dengan menggunakan nama dan merek dagang dari perusahaan. Umumnya perusahaan menyediakan sejumlah bantuan tertentu bagi pemilik bisnis membayar sejumlah biaya atau royalti. Kadang-kadang, perusahaan juga mengaharuskan pemilik bisnis untuk membeli persediaan dari perusahaan.”
Akan tetapi pada umumnya sekarang ini, ada dua jenis waralaba yang
berkembang menurut Stephen Fox yaitu, waralaba Produk dan Merek
dagang/Product and Trade-name Franchise dan waralaba Format Bisnis/Business
Format Franchise.108
1. Waralaba Produk dan Merek Dagang
Waralaba produk dan merek dagang (product and trade-name franchise)
merupakan bentuk waralaba yang paling sederhana. Dalam waralaba produk dan
merek dagang, pemberi waralaba memberikan hak kepada penerima waralaba untuk
menjual produk yang dikembangkan oleh pemberi waralaba yang disertai izin untuk
108 Stephen Fox, Membeli dan Menjual Bisnis Franchise, Seri Bisnis Baron, (Jakarta: Elex
Media Komputindo, 1993), hal. 217
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
56
menggunakan merek dagang milik pemberi waralaba.109 Atas pemberian izin
penggunaan merek dagang tersebut biasanya pemberi waralaba memperoleh royalty
di muka, dan selanjutnya pemberi waralaba memperoleh keuntungan (royalty
berjalan) melalui produk yang diwaralabakan kepada penerima waralaba.110 Pada
waralaba ini, penerima waralaba (franchisee) sama sekali tidak terlibat dalam produk
dan hanya menjual produk pemberi waralaba (franchisor).
2. Waralaba Format Bisnis
Martin Mendelsohn mendefinisikan waralaba format bisnis sebagai:
“Pemberian sebuah lisensi oleh seseorang (pemberi waralaba) kepada pihak lain (penerima waralaba), lisensi tersebut memberi hak kepada penerima waralaba untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang/nama dagang pemberi waralaba, dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus-menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya.”111
Dalam bentuk ini, seorang pemegang waralaba (franchisor) memperoleh hak
untuk memasarkan dan menjual produk atau pelayanan dalam suatu wilayah atau
lokasi yang spesifik, dengan menggunakan standar operasional atau pemasaran. Akan
terlihat bahwa waralaba format bisnis merupakan hubungan yang menyeluruh dan
terus-menerus dimana konsep-konsep awal selalu terus dikembangkan.
Berdasarkan usaha yang berhak dimiliki franchisee, ada beberapa format
waralaba, yaitu sebagai berikut:112
109 Gunawan Widjaja, op.cit., hal. 13. 110 Moch. Basarah, op.cit., hal. 49. 111 Martin Mendelsohn, How to Franchise Your Business, London: Franchise World
Magazine (Diterjemahkan oleh Arif Suyoko, Fauzi Bustami & Hari Wahyudi, Franchising: Petunjuk Praktis bagi Franchisor dan Franchisee, Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo), hal. 4.
112 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 19.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
57
1. “Single Unit Franchise Format ini adalah format yang paling sederhana dan paling banyak digunakan karena kemudahannya. Franchisor memberikan hak kepada franchisee untuk menjalankan usaha atas nama usahanya serta dengan panduan prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya. Franchisee hanya diperkenankan untuk menjalankan usahanya pada sebuah cabang atau unit yang telah disepakati.
2. Area Franchise Pada format ini, franchisee memperoleh hak untuk menjalankan usahanya dalam sebuah wilayah tertentu, misalkan pada sebuah provinsi atau kota, dengan jumlah unit usaha/cabang yang lebih dari satu.
3. Master Franchise Format master franchise memberikan hak kepada franchisee untuk menjalankan usahanya di sebuah wilayah atau sebuah negara dan bukan hanya membuka usaha. Franchisee dapat menjual lisensi kepada sub-franchisee dengan ketentuan yang telah disepakati.”
Pada waralaba format bisnis ini, franchisor disamping menerima biaya dari
franchisee, akan menerima uang melalui royalty berlanjut atas penggunaan nama atau
merek dagang beserta sistem bisnisnya, yang dijalankan oleh franchisee.113
2.2.4 Waralaba Sebagai Bentuk Perjanjian
2.2.4.1 Perjanjian Waralaba
Dalam waralaba, dasar hukum dari penyelenggaraannya adalah perjanjian
antara kedua belah pihak. Undang-undang menentukan bahwa perjanjian yang sah
berkekuatan sebagai undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-
persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali, selain kesepakatan kedua belah pihak atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.114 Karena itu pula
113 Moch. Basarah, op.cit., hal. 50. 114 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Alumni, 2005), hal. 27.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
58
suatu perjanjian waralaba yang dibuat oleh para pihak yaitu franchisor dan franchisee
berlaku sebagai undang-undang pula bagi mereka. Undang-undang (KUHPerdata)
tidak menempatkan perjanjian waralaba sebagai suatu perjanjian bernama secara
langsung, seperti jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya.
Dalam pembuatan perjanjian pada franchise (waralaba) di Indonesia tetap
memakai ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUHPerdata) pada buku III tentang Perikatan yang didalamnya
timbul dari perjanjian.
Pengertian perjanjian menurut rumusan pasal 1313 KUHPerdata, didefinisikan
sebagai berikut :
“Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih”.
Jika kita perhatikan, rumusan yang diberikan dalam pasal 1313 KUHPerdata
tersebut tersirat bahwa sesungguhnya dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau
prestasi dari satu atau lebih orang kepada satu atau lebih orang lainnya, yang berhak
atas prestasi tersebut.
Pengertian tersebut mirip dengan apa yang dikemukakan oleh R. Subekti, yaitu
“suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”115
Menurut Abdulkadir Muhammad, Perjanjian adalah “suatu persetujuan dengan mana
dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam
lapangan harta kekayaan.”116
Setiap perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi
para pembuatnya, rumusan ini terdapat dalam pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yang
dipertegas lagi dalam pasal 1338 ayat 2 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
perjanjian yang disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh
115 R. Subekti, loc.cit.
116 Abdulkadir Muhammad, loc.cit.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
59
salah satu pihak dalam perjanjian tanpa adanya persetujuan dari lawan pihaknya
dalam perjanjian atau dalam hal-hal dimana oleh undang-undang dinyatakan cukup
adanya alasan untuk itu.
Perjanjian waralaba memuat kumpulan persyaratan, ketentuan, dan komitmen
yang dibuat dan dikehendaki oleh franchisor bagi para franchisee-nya. Di dalam
perjanjian waralab tercantum ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban
franchisee, persyaratan lokasi, ketentuan pelatihan, biaya-biaya yang harus
dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor, ketentuan yang berkaitan dengan lama
perjanjian waralaba dan perpanjangannya, serta ketentuan lain yang mengatur
hubungan antara franchisor dengan franchisee.
“Franchise agreement adalah kontrak antara pemberi waralaba dan penerima waralaba. Perjanjian tersebut memberikan detil yang penting tentang hubungan antara penerima waralaba drngan pemberi waralaba. Hal-hal dalam perjanjian mencakup seperti biaya, persyaratan, kewajiban kedua belah pihak, kondisi-kondisi yang menentukan penghentian waralaba dan keterbatasan waralaba. Perjanjian tersebut merupakan dokumen pemberi waralaba karena dipersiapkan oleh pemberi waralaba dan mencantumkan apa yang diinginkan pemberi waralaba.”117
Perjanjian waralaba harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:118
1. “Kesepakatan kerja sama waralaba tertuang dalam perjanjian waralaba yang disahkan secara hukum.
2. Kesepakatan kerja sama ini menjelaskan secara rinci semua hak, kewajiban, dan tugas dari franchisor dan franchisee.
3. Masing-masing pihak yang bersepakat sangat dianjurkan, bahkan untuk beberapa negara dijadikan syarat, mendapatkan nasihat dari ahli hukum yang kompeten untuk memahami isi dari perjanjian tersebut dan dengan waktu yang dianggap cukup untuk memahaminya.”
117 Iman Sjahputera Tunggal, Franchising Konsep & Kasus, (Harvarindo, 2004), hal. 55. 118 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 81.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
60
Di dalam suatu perjanjian waralaba harus memiliki tiga prinsip, yaitu harus
jujur dan jelas, tiap pasal dalam perjanjian harus adil, serta isi dari perjanjian dapat
dipaksakan berdasarkan hukum. Di dalam perjanjian waralaba ini, hukum yang
berlaku dapat ditentukan oleh para pihak sendiri atau berdasarkan asas-asas umum
berlaku pada perjanjian internasional.
Prinsip yang dapat dijadikan pedoman untuk menyetujui sebuah perjanjian
franchise, yakni:119
“Any provision in any contract can be negotiated and change with the mutual
agreement of the involved parties.”
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa setiap ketentuan dalam setiap
perjanjian dapat dinegosiasikan agar menguntungkan pihak-pihak yang terlibat. Sikap
yang sebaiknya dimiliki oleh para pihak sebelum penandatanganan perjanjian yakni:
“Discuss with them (attorney and accountant) is provisions and the obligations its places on you to perform certain functions, and determine areas for negotiation in which you can make changes to your benefit.” 120
Maksudnya adalah para pihak harus memikirkan dengan cermat dan seksama
(termasuk konsultasi dengan pengacara dan akuntan), mengenai isi dari ketentuaan
serta kewajiban yang tercantum dalam perjanjian sehingga ketika penandatanganan
dilakukan, pihak-pihak telah memiliki persiapan dan pemahaman yang jelas akan nisi
dari perjanjian serta akibat yang ditimbulkan dari perjanjian franchise tersebut.
Secara garis besar, pada umumnya perjanjian waralaba memuat sebagai
berikut:121
119 Bryce Webster, The Insider’s Guide to Franchising, (Amerika: American Management
Association, 1991), hal. 95. 120 Ibid. 121 Adrian Sutedi, op.cit, hal. 82.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
61
1. “Hak yang diberikan oleh franchisor pada franchisee. Hak yang diberikan meliputi antara lain penggunaan metode atau resep yang khusus, penggunaan merek dan atau nama dagang, jangka waktu hak tersebut dan perpanjangannya, serta wilayah kegiatan dan hak yang lain sehubungan dengan pembelian kebutuhan operasi bila ada.
2. Kewajiban dari franchisee sebagai imbalan atas hak yang diterima dan kegiatan yang dilakukan oleh franchisor pada saat franchisee memulai usaha, maupun selama menjadi anggota dari sistem waralaba.
3. Hal yang berkaitan dengan kasus penjualan hak franchisee kepada pihak lain. Bila franchisee tidak ingin meneruskan sendiri usaha tersebut dan ingin menjualnya kepada pihak lain, maka suatu tata cara perlu disepakati sebelumnya.
4. Hal yang berkaitan dengan pengakhiran perjanjian kerja sama dari masing-masing pihak.”
Hal-hal yang terkandung di dalam suatu franchise (waralaba) mencakup
bagian-bagian tertentu, salah satunya Perjanjian timbal balik merupakan Perjanjian
yang di dalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak dan
berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik.122 Royalty fee
yang merupakan uang yang didapat franchisor karena franchisee menggunakan
merek dagang milik franchisor ini dilindungi oleh Undang-Undang dan menurut
ketentuan Undang-Undang yang berlaku merek tersebut dimiliki oleh pemegang
haknya.123
Waralaba merupakan suatu perjanjian sehingga terdapat hal-hal yang
disepakati di dalam perjanjian tersebut sekaligus merupakan objek hukumnya. Objek
hukum tersebut bagi para pihak merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
dapat dituntut atau harus dilaksanakan oleh para pihak sebagai subjek perjanjian.
Beberapa objek pengaturan perjanjian waralaba meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Nama Dagang atau Merek Dagang
122 Gema. Pengertian Kontrak. <http://gemaisgery.blogspot.com/2010/06/pengertian-
kontrak.html>. Diakses pada tanggal 6 Januari 2013 pukul 22.34 WIB. 123 Ekotama Suryono, Jurus Jitu Memilih Bisnis Franchise, (Yogyakarta: Citra Media, 2010),
hal. 81-82.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
62
Nama dagang atau merek dagang dapat dikatakan jantung dari perjanjian
waralaba. Di Amerika dalam Federal Trade Commission ditentukan bahwa
pencantuman merek dagang atau nama dagang pada dokumen penawaran franchisor
kepada franchisee merupakan syarat mutlak.124
Dalam kaitannya dengan pemakaian nama dan merek dagang, beberapa
kesepakatan yang menyangkut batas-batas hak dan kewajiban akan ditentukan para
pihak, di antaranya penjaminan franchisor tentang keabsahan pemilikan nama dan
merek dagangnya, penentuan wilayah penggunaan nama dan merek dagang oleh
franchisee, penentuan hak eksklusif pemakaian nama dan merek dagang kepada
franchisee diwilayah yang telah ditentukan, pemberian izin kepada franchisee untuk
men-subfranchise-kan kepada pihak ketiga guna mengoperasikan bisnis sejenis di
wilayah kewenangan franchisee dengan bimbingan dan di bawah kendali franchisee,
serta pemberian kewenangan kepada franchisee atau bahkwan kewajiban untuk
mempertahankan nama dan merek dagang milik franchisor dari gangguan pihak
ketiga.125
2. Rahasia Dagang (Trade Secret)
Trade secret bukan merupakan hak milik mutlak yang mendapat perlindungan
khusus sebagaimana paten, merek dagang, ataupun hak cipta. Oleh karena itu,
perlindungan yang paling efektif dapat diperoleh dari perjanjian yang dibuat para
pihak. Di beberapa negara tertentu hak-hak ini dilindungi oleh unfair competition
law, the law of fiduciare, atau hukum pidana.126
124 Stephen Fox, op.cit., hal. 239. 125 Moch. Basarah, op.cit., hal. 54-55. 126 Di Indonesia, trade secret mendapatkan perlindungan berdasarkan Pasal 1365
KUHPerdata.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
63
3. Jasa Pelatihan
Jasa pelatihan merupakan objek franchise yang sangat penting bagi franchisor
dan franchisee. Merupakan kewajiban dari franchisor untuk memberikan jasa
pelatihan kepada franchisee di dalam mengawali usahanya. Jasa pelatihan dapat
diberikan kepada franchisee sendiri ataupun semua jajaran manajemennya.127
4. Pembelian Bahan-Bahan dan Peralatan
Standarisasi produk merupakan salah satu ciri dari bisnis waralaba, bahkan
sering kali termasuk penentuan kualitas bahan-bahan dan perlengkapan penjualan.
Sering kali franchisor turut menentukan tempat pembelian dari bahan-bahan yang
akan digunakan (franchisor menentukan pemasok), sehingga pemasok tersebut
memberikan komisi kepada franchisor.
Dalam Federal Trade Commission, hal ini diantisipasi dengan ketentuan yang
mengharuskan franchisor meberikan penjelasan tentang komisi tersebut kepada
franchisee sebelum perjanjian waralaba ditandatangani.128 Akan tetapi, di Amerika
hal tersebut dapat dianggap sebagai tindakan product restriction yang tidak sah
menurut antitrust law sebab akan berakibat adanya pembatasan terhadap produk-
produk pemasok pada pasar bebas.129
Kaitannya dengan pembelian bahan-bahan dan peralatan, yang harus
diperhatikan para pihak adalah jangan sampai perjanjian yang dibuat mencantumkan
tie in clause (perjanjian terlarang dalam antitrust law) yang akan memberatkan
franchisee. Unsur-unsur tersebut dapat berwujud tindakan-tindakan:130
a. “Franchisor mewajibkan franchisee untuk membeli peralatan-peralatan
yang tidak substansial bagi produk-produk yang franchise-nya diberikan kepada franchisee.
127 Moch. Basarah, op,cit., hal. 57. 128 Stephen Fox, op.cit., hal. 243. 129 Moch. Basarah, op,cit., hal. 59. 130 Ibid., hal 60.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
64
b. Franchisor memaksakan franchisee untuk menyewa lokasi outlet dari franchisor.
c. Franchisor menunjuk pemasok tertentuk yang akan memasok kebutuhan-kebutuhan franchisee.”
Selain itu didalam proses pembelian bahan baku atau peralatan lain tersebut,
harus memperhatikan hukum yang berlaku apakah syarat pembelian yang dimonopoli
oleh franchisor atau perusahaan yang ditunjuk franchisor tidak menyimpang dari
hukum yang berlaku. Sebagai contoh: dalam perjanjian waralaba internasional
disepakati bahwa bahan baku harus diimpor dari negara franchisor, sedangkan
hukum negara franchisee berada mengatur bahwa untuk bahan baku tertentu tidak
diperbolehkan diimpor dari luar negeri.
5. Pengawasan Kualitas Produk
Pengawasan kualitas produk merupakan hak dari franchisor terutama
berkaitan dengan standarisasi produk-produk yang menggunakaan nama dan merek
dagangnya. Pengawasan atas kualitas produk juga ditentukan oleh partisipasi
franchisee dan sanksi-sanksi apakah yang akan diberlakukan kepada franchisee yang
tidak menjaga kualitas produknya.
6. Biaya Waralaba (Franchise fee)
Biaya waralaba merupakan objek perjanjian karena biaya ini pada dasarnya
merupakan kontraprestasi dari franchisee kepada franchisor sehubungan penerimaan
hak-haknya dari franchisor. 131
Yang dimaksud Franchise fee adalah biaya pembelian hak waralaba yang
dikeluarkan oleh pembeli waralaba (franchisee) setelah dinyatakan memenuhi
persyaratan sebagai franchisee sesuai kriteria franchisor. Umumnya franchise fee
dibayarkan hanya satu kali saja dan akan dikembalikan oleh franchisor kepada
131 Ibid., hal. 61.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
65
franchisee dalam bentuk fasilitas pelatihan awal, dan dukungan set up awal dari outlet
pertama yang akan dibuka oleh franchisee.132
Franchisee dalam hal ini menerima hak untuk berdagang di bawah nama dan
sistem yang sama, pelatihan, serta berbagai keuntungan lainnya. Sama halnya dengan
memulai bisnis secara mandiri, franchisee bertanggung jawab untuk semua biaya
yang muncul guna memulai usaha ini tetapi kemungkinan mengeluarkan uang lebih
rendah karena kekuatan jaringan yang dimiliki oleh franchisor.
Terdapat beberapa jenis pembayaran yang yang menjadi kewajiban dari
franchisee kepada franchisor, yaitu:133
a. “Initial or joining fee merupakan biaya yang dibayarkan franchisee pada
saat pertama kali menutup perjanjian dengan franchisor. Pembayaran ini tidak dapat ditarik kembali oleh franchisee karena sudah dianggap sebagai biaya pendaftaran dalam jaringan bisnis waralaba. Initial fee dibayarkan sekaligus untuk seluruh jangka waktu selama berlangsungnya perjanjian waralaba.
b. Continuing fee merupakan biaya yang dikeluarkan franchisee kepada franchisor secara periodik. Biasanya besarnya biaya ini didasarkan pada omzet penjualan franchisee.
c. Royalty merupakan imbalan atas pemakaian merek dagang atau jasa, logo, hak cipta, dan sebagainya yang merupakan milik dari franchisor.
d. Biaya lain yang dibutuhkan selain biaya di atas, antara lain: biaya latihan dan biaya marketing sebagai konsekuensi persyaratan kegiatan pemasaran yang harus dikelola oleh franchisee.”
7. Jangka Waktu Perjanjian
Perjanjian waralaba dibuat untuk jangka waktu tertentu. Hubungan waralaba
ini merupakan hubungan bisnis yang memerlukan waktu yang cukup untuk dapat
mencapai hasil yang memadai.
132 S. Muharam, Istilah – Istilah Dalam Waralaba,
<https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:BEqxLfB8hC8J:directory.umm.ac.id/Data%2520Elmu/doc/YAHUDI.doc+&hl=en&pid=bl&srcid=ADGEESgwSwG07VgelFz7CrBM--CgARufjXlSIa1dFAaJ13U06OXICBMtVPFmE6Do4OOuwhx0R_grweK7TA5bzfDXLbCx21OY_OF0a3FobZ424l6eqctJYNBMrUxbshaIIkuT-GKQkisk&sig=AHIEtbSJLqc6KSh6RjGszdd6-DNc9FVAmA>, diakses pada tanggal 6 Januari pukul 22.40 WIB
133 Moch. Basarah, op.cit., hal 61.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
66
Pada umumnya untuk jangka waktu 5, 10, atau 15 tahun dengan tiap-tiap lima
tahun opsi perpanjangan.134 Tetapi saat dimulainya perjanjian dan jangka waktu
perjanjian yang pertama, biasanya lima tahun diperkirakan cukup bagi franchisee
untuk mengembalikan investasinya dan memperoleh keuntungan. Dalam hal ini,
boleh juga mengikuti jangka waktu leasing apabila franchisee menyewa tempat
usahanya dari pihak franchisor.135
8. Pemutusan Perjanjian
Ketentuan ini mengatur mengenai kapan putusnya suatu perjanjian atau
bagaimana jika salah satu pihak atau kedua belah pihak ingin memutuskan perjanjian,
dan akibat dari putusnya perjanjian tersebut.
Di dalam perjanjian waralaba, menyediakan mekanisme pemutusan perjanjian
apabila franchisor ingkar janji ataupun franchisee melakukan pelanggaran. Tetapi
dapat pula terjadi secara otomatis, misalnya: karena kebangkrutan, penyitaan harta
benda, atau berakhirnya masa perjanjian.136
Selain hal-hal yang telah penulis uraikan di atas, masih ada hal-hal lain yang
dapat merupakan objek pengaturan perjanjian waralaba, diantaranya menyangkut
pelaksanaan perjanjian, seperti penggunaan arbitrase atau pengadilan (choice of
court) bagi sengketa-sengketa yang timbul (dispute resolution), pilhan hukum (choice
of law), dan beban atas biaya-biaya pengacara.
2.2.4.2 Asas-Asas Perjanjian Waralaba
“Franchisor dan franchisee dalam mengatur hubungannya seringkali diwujudkan dalam suatu perjanjian tertentu. Perjanjian dalam hukum Indonesia tunduk pada pengaturan buku III KUHPerdata, demikian pula
134 Ibid., hal. 62 135 Juajir Sumardi, op.cit., hal. 52. 136 Ibid., hal. 53
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
67
dengan hukum yang mengatur kerja sama antara franchisor dengan para franchisee-nya. Ada sejumlah asas-asas hukum penting yang terdapat di dalam hukum perjanjian pada umumnya.”137
Oleh sebab itu, perjanjian waralaba hendaknya didasarkan pula pada:
1. Asas Kebebasan berkontrak
Bahwa kebebasan berkontrak adalah salah satu asas dari Hukum Perjanjian
dan ia tidak berdiri sendiri, maknanya hanya dapat ditentukan setelah memahami
posisinya dalam kaitan yang terpadu dengan asas-asas Hukum Perjanjian yang lain,
yang secara menyeluruh asas-asas ini merupakan pilar, tiang, pondasi dari Hukum
Perjanjian.138 Asas kebebasan berkontrak mendukung kedudukan yang seimbang
diantara para Pihak, sehingga sebuah Perjanjian akan bersifat stabil dan memberikan
keuntungan bagi kedua Pihak.139
Asas kebebasan berkontrak, menyebutkan bahwa terikat pada Perjanjian yang
harus dipenuhi secara moral, secara Hukum karena berada dalam suatu masyarakat
yang beradab dan maju. Masyarakat seperti ini terdapat kebebasan untuk
berpartisipasi dalam lalu lintas yuridis-ekonomi, untuk itu diperlukan suatu prinsip
yaitu adanya kebebasan berkontrak yang merupakan suatu bagian dari hak-hak dan
kebebasan manusia.140 KUHPerdata memberikan hak kepada para pihak untuk
membuat dan melakukan kesepakatan apa saja dengan siapa saja, selama mereka
memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata
tersebut.141 Setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi para pembuatnya.
137 P. Lindawaty S. Sewu, op.cit., hal. 82. 138 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 2005), hal. 40. 139 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan,
Alumni, Bandung, 1993. 140 Johanes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak
dalam Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: CV. Utama, 2003), hal. 27. 141 Gunawan Widjaja, op.cit., hal. 82.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
68
2. Asas Konsensualitas
Kesepakatan mereka yang mengikat diri adalah esensial dari Hukum
Perjanjian. Asas ini dinamakan Asas konsensualisme yang menentukan adanya
Perjanjian. Asas konsensualisme yang terdapat didalam Pasal 1320 KUHPerdata
mengandung arti kemauan para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk
saling mengikat diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu
dipenuhi atas kepercayaan merupakan nilai etis yang bersumber pada moral. Pacta
sunt servanda (janji itu mengikat) dan menyebutkan promisorum impledorum
obligantion (kita harus memenuhi janji kita).142 Menurut asas ini, perjanjian sudah
dianggap ada saat tercapainya kesepakatan tentang hal-hal yang diperjanjikan.
3. Asas Itikad Baik
Perjanjian yang telah disepakati bersama harus dilaksanakan dengan itikad
baik. Pelaksanaan perjanjian waralaba merupakan suatu rangkain proses timbale balik
antara franchisor dengan franchisee. Selain itu, perjanjian ini sering kali dilaksanakan
dalam jangka waktu yang cukup panjang. Oleh karena itu, kedua belah pihak harus
menjunjung tinggi asas ini sehingga baik hak dan kewajiban dari para pihak dapat
terpenuhi dengan baik.
4. Asas Kerahasiaan
Asas ini pada dasarnya mewajibkan kepada para pihak, baik franchisor dan
franchisee, untuk menjaga kerahasiaan data maupun ketentuan-ketentuan yang
dianggap rahasia, misalnya masalah trade secret (rahasia dagang), resep makanan
atau minuman, dan hal-hal lain. Asas kerahasiaan ini merupakan hal yang esensial
dalam suatu perjanjian waralaba, karena pada dasarnya bisnis dengan sistem waralaba
sangat mengandalkan ciri khas dari suatu produk barang atau jasa.
142 Mariam Darus Badrulzaman, lo.cit.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
69
5. Asas Persamaan Hukum
Asas ini menempatkan para pihak didalam persamaan derajat, tidak ada
perbedaan walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan
lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan
mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia
ciptaan tuhan.143
Dengan adanya tujuan dari waralaba sehingga peran yang penting didalam
menjalankan hak dan kewajiban dari franchisor maupun franchisee maka Perjanjian
waralaba harus secara tepat menggambarkan janji-janji yang dibuat dan harus adil,
serta pada saat yang bersamaan menjamin bahwa ada kontrak yang cukup melindungi
integritas sistem.144
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007, Perjanjian waralaba
harus dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia, hal tersebut sesuai dengan Pasal
4 ayat (1). Perjanjian waralaba tidak perlu dibuat dalam bentuk akta notaris, para
pihak dapat membuat sendiri di bawah tangan dengan mengikuti ketentuan
KUHPerdata.
Di dalam suatu perjanjian waralaba masih sering terjadi penyimpangan-
penyimpangan yang menimbulkan wanprestasi. Wanprestasi terjadi ketika salah satu
pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana tertera didalam perjanjian
waralaba. Adanya wanprestasi dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.
Terhadap kerugian yang ditimbulkan dalam pelaksanaan perjanjian waralaba ini
berlaku perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan, yaitu pihak yang dirugikan
berhak menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyebabkan kerugian.145
143 Ibid. 144 Darmawan Budi Suseno, Sukses Usaha Waralaba, (Yogyakarta: Cakrawala, 2007), hal 23. 145 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 91.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
70
Bentuk-bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian
waralaba, yaitu wanprestasi dari pihak franchisee dapat berbentuk tidak membayar
biaya waralaba tepat pada waktunya, melakukan hal-hal yang dilarang dilakukan
franchisee, melakukan pelayanan yang tidak sesuai dengan sistem waralaba dan lain-
lain. Wanprestasi dari Pihak franchisor dapat berbentuk tidak memberikan fasilitas
sehingga sistem waralaba tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya, tidak mau
membantu franchisee dalam kesulitan yang dihadapi ketika melakukan usaha
waralaba dan lain-lain.146
Dengan penjelasan atas hal-hal di atas maka persyaratan yang terdapat di
dalam waralaba dapat dipenuhi dan dilaksanakan sesuai aturan-aturan yang berlaku
sehingga pihak-pihak yang melaksanakan waralaba dapat menjalankan usahanya
dengan baik.
2.2.5 Perbedaan Pemberian Waralaba Dan Lisensi
Pengertian waralaba selalu diartikan berbeda dengan lisensi. Padahal, intinya
hampir sama. Dalam praktik lisensi (licensing) diartikan lebih sempit, yakni
perusahaan atau seseorang (licencor) yang memberi hak kepada pihak tertentu
(licensee) untuk memakai merek atau hak cipta atau paten (Hak Kekayaan
Intelektual) untuk memproduksi atau menyalurkan produk atau jasa pihak licencor.
Imbalannya licensee membayar fee.147 Lisensi merupakan ijin yang diberikan kepada
pihak lain untuk memproduksi dan memasarkan produk atau jasa tertentu. Pihak
pemberi lisensi (licensor) hanya berkewajiban mengawasi mutu produk atau jasa
yang dijual oleh penerima lisensi (licensee).148
146 Ibid. 147Iman Sjahputra, Franchise: Perikatan HaKI yang Diperluas.
<http://www.haki.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1104523729>. Diakses pada tanggal 7 Januari 2013 pukul 14.06 WIB.
148 Deden Setiawan, op. cit, hal. 8.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
71
Terdapat beberapa kesamaan antara perjanjian lisensi dengan perjanjian
waralaba yaitu:
a. “Yang dipasarkan adalah produk-produk dengan merek dagang milik licensor atau pemberi waralaba.
b. Melalui perjanjian lisensi atau waralaba, terjadi alih teknologi atau know-how dari licensor atau pemberi waralaba kepada licensee atau penerima waralaba.
c. Hak atas merek dan hak paten atas know-how, tetap dimiliki oleh licensor atau pemberi waralaba.”149
Dalam perjanjian waralaba ada beberapa ketentuan yang menonjol yang dapat
membedakan waralaba dengan lisensi. Di dalam perjanjian waralaba, adanya lisensi
merek dagang atau merek jasa diikuti oleh kewenangan pemilik merek melakukan
kontrol guna menjamin kualitas barang atau jasa yang dilisensikan itu. Pemilik merek
juga mempunyai kewenangan melakukan kontrol atas bisnis yang bersangkutan yang
tidak bertalian dengan persyaratan kualitas yang disebutkan di atas.150 Dalam
perjanjian waralaba, pemberian lisensi selalu diikuti pelayanan (service) dalam
bidang teknik (technical assistance), pelatihan (training), perdagangan dan
manajemen.151
Perbedaan antara kedua sistem ini terletak pada tanggung jawab masing-
masing pihak, dimana pada sistem waralaba kedua belah pihak terikat dalam sebuah
kontrak kemitraan yang diikuti dengan kewajiban dan tanggung jawab masing-
masing pihak. Dalam konteks itu, franchisor bertanggung jawab untuk memberikan
seluruh informasi, mulai dari proses produksi, sistem manajemen dan keuangan dari
produk atau jasa yang diwaralabakan sepanjang kontrak masih berlaku. Di samping
itu, perlu diketahui sejak awal oleh pihak franchisee bahwa bisnis waralaba harus
dijalankan sendiri oleh orang yang bersangkutan. Artinya pihak franchisee tidak
149 Iman Sjahputera Tunggal, op.cit., hal. 51. 150 Ridwan Khairandy, op. cit. hal. 135. 151 Ibid., hal. 136.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
72
boleh bersikap pasif dengan cara memberikan atau menjual lagi hak bisnis itu kepada
orang lain.152
Dalam hal pemberian lisensi, pihak pemberi lisensi tidak mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab atas bisnis yang dijalankan oleh pihak penerima
lisensi. Pemberi lisensi hanya berkepentingan pada perhitungan royalti atau
pembagian keuntungan dari volume atau omzet penjualan setiap waktu. Selain itu
pemberi lisensi tidak tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan bimbingan
atau pelatihan kepada penerima lisensi.153
2.2.6 Perkembangan Waralaba di Indonesia
Di Indonesia, waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an dengan munculnya
dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi atau menjadi agen tunggal
pemilik merek.154 Waralaba di Indonesia semakin berkembang ketika masuknya
waralaba asing pada tahun 80-90an seperti KFC, McDonald’s, Burger King, dan
Wendys.155 Perusahaan-perusahaan waralaba lokal mulai muncul pada masa itu, salah
satunya ialah Es Teler 77.
Indonesia memiliki potensi yang baik untuk pengembangan bisnis dengan
menggunakan sistem waralaba. Dilihat dari kondisi di Indonesia, banyak bidang
usaha yang menunjukkan adanya potensi pasar yang besar dan berkembang. Dari
penelitian yang dilakukan oleh LPPM (Lembaga Penelitian untuk Pengembangan
Masyarakat) dan Departemen Perdagangan pada tahun 1993, diperoleh data bahwa
terdapat 20 bidang usaha yang potensial untuk di-franchise-kan.156 Beberapa
diantaranya adalah: makanan dan minuman, usaha ritel, jasa konsultasi untuk
152 Deden Setiawan, op. cit. hlm. 9 153 Ibid.
154Yohanes Heidy Purnama, loc.cit.
155 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 19. 156 P. Lindawaty S. Sewu, op.cit., hal 67.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
73
keperluan bisnis, jasa pemeliharaan, jasa broker rumah, jasa pemeliharaan kesehatan
badan, jasa pendidikan non-formal, jasa salon, jasa binatu, dan sebagainya.
Hingga Maret tahun 1996, pertumbuhan bisnis waralaba dalam bidang
makanan masih menduduki peringkat pertama, dan masih terus akan mengalami
peningkatan yang tajam.157 Tetapi apabila diamati, pertumbuhan bisnis waralaba
antara lokal (domestik) dan asing tidak menunjukkan keseimbangan. Dimana
pertumbuhan waralaba masih kalah jumlahnya dibandingkan dengan waralaba asing
yang banyak masuk ke Indonesia, dan mendominasi bisnis waralaba pada umumnya
di pasar domestik Indonesia.
Meskipun franchisor asing mendominasi sebagian besar pasar domestik, tidak
tertutup kemungkinan bagi waralaba lokal untuk mengembangkan usahanya agar
dapat menyaingi para pesaingnya. Karena pada bisnis waralaba yang menjadi
kekuatan ialah pada keunikan produk yang ditawarkan kepada calon pembeli. Oleh
karena itu, para pengusaha yang ingin mengembangkan usahanya melalui sistem
waralaba ini harus berusaha kreatif untuk menciptkan keunikan produk tersendiri.
Para pengusaha waralaba khususnya waralaba lokal, harus mencoba memperluas
usahanya ke pasar luar negeri untuk makin melebarkan usahanya hingga pasar
internasional.
Berdasarkan database Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), pertumbuhan
waralaba lokal pada tahun 2012-2012 meningkat dibandingkan waralaba asing.
Persentase pertumbuhan bisnis waralaba dan Business Opportunity (BO) lokal dari
tahun 2011-2012 mengalami peningkatan 11,7% sedangkan persentase peningkatan
waralaba asing di Indonesia pada tahun 2011-2012 mengalami peningkatan sebanyak
6,25%. Total peningkatan waralaba dalam negeri maupun asing pada tahun 2011-
2012 mengalami peningkatan sebesar 10,9%.158
157 Ibid., hal. 78 158 Majalah Info Franchise, loc.cit.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
74
2.2.7 Pengaturan Waralaba di Indonesia
Sebelum munculnya perangkat hukum yang mengatur waralaba di Indonesia,
menurut Prof. Sudargo Gautama, perlindungan tetap bisa dilakukan melalui kontrak
waralaba yang dibuat oleh pihak-pihak yang terlibat. Hal tersebut sesuai dengan
KUHPerdata yang secara tegas mengakui bahwa perjanjian yang disepakati oleh
beberapa pihak, mengikat mereka sebagai hukum.159
Peraturan perundang-undangan yang memiliki hubungaan dengan waralaba
adalah sebagai berikut: Pasal 1338 KUHPerdata dan Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal
1338 KUHPerdata menganut sistem terbuka, maksudnya setiap orang atau badan
Hukum diberikan kebebasan untuk menentukan perjanjian baik yang sudah dikenal
didalam KUHPerdata. Di samping itu, yang menjadi dasar hukum dalam
pengembangan waralaba di Indonesia adalah Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1320
KUHPerdata mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, yaitu kesepakatan kedua
belah pihak, cakap untuk melakukan perbuatan hukum, adanya objek tertentu dan
adanya klausa yang halal.
Pada tahun 1997 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang
Waralaba (yang selanjutnya disebut PP No.16/1997). Adanya peraturan tersebut
memberikan kepastian usaha dan kepastian hukum bagi dunia usaha yang
menjalankan waralaba. Peraturan Pemerintah tersebut diperkuat dengan Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata cara
Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba. PP No.16/1997 diganti oleh Peraturan
Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (yang selanjutnya disebut PP No.
42/2007).
A. Pengaturan Waralaba Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997
tentang Waralaba.
Peraturan pemerintah ini dilahirkan untuk mengembangkan kegiatan waralaba
sebagai upaya mempeluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha serta sebagai
159 Sudargo Gautama, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, (Bandung: PT. Alumni, 1985), hal. 9.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
75
upaya untuk meningkatkan pelaksanaan alih teknologi. Peraturan tersebut juga dibuat
dalam upaya memberikan kepastian usaha dan kepastian hukum bagi dunia usaha
yang menjalankan waralaba, terutama dalam upaya pengaturan, pembinaan, dan
pengembangan waralaba.160
Adapun rumusan waralaba yang berkaitan dengan PP No. 16/1997 dapat
diuraikan sebagai berikut:161
a. Waralaba adalah suatu perikatan. Rumusan tersebut menyatakan waralaba tunduk
kepada ketentuan umum mengenai perikatan yang terdapat dalam KUHPerdata
(BW).
b. Waralaba melibatkan hak untuk memanfaatkan dan menggunakan HaKI atau
penemuan atau ciri khas usaha. Adapun hak atas kekayaan intelektual meliputi
merek, nama dagang, logo, desain, hak cipta, rahasia dagang serta paten.
Sedangkan penemuan atau ciri khas usaha, misalnya sistem manajemen serta cara
penjualan atau penataan atau ciri distribusi yang merupakan karakteristik khusus
dari pemiliknya.
c. Waralaba diberikan dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan dan/atau
penjualan barang/jasa. Ketentuan ini mensyaratkan bahwa waralaba tidaklah
diberikan dengan cuma-cuma. Pemberian waralaba senantiasa dikaitkan dengan
imbalan/kompensasi yang diminta oleh pemberi waralaba dari penerima waralaba.
B. Pengaturan Waralaba Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007
juncto Peraturan Menteri Perdagangan No. 31/M-DAG/PER/8/2008.
Lahirnya PP ini dilandasi oleh kehendak pemerintah meningkatkan
pembinaan usaha waralaba di seluruh Indonesia sehingga perlu mendorong
160 Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. 161 M. Muctar Rivai, Pengaturan Waralaba di Indonesia: Perspektif Hukum Bisnis, (Jurnal
Liquidity: Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2012, hal. 161.), < http://www.liquidity.stiead.ac.id/blog/2012/10/12/pengaturan-waralaba-di-indonesia-perspektif-hukum-bisnis/>, diakses pada tanggal 7 Januari 2012 pukul 18.32 WIB
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
76
pengusaha nasional, terutama UKM tumbuh sebagai usaha waralaba nasional yang
andal dan mempunyai daya saing dalam negeri dan luar negeri, khususnya dalam
memasarkan produk dalam negeri.162
Pemerintah memandang perlu mengetahui legalitas dan bonafiditas
franchisor, baik franchisor dalam negeri maupun dari luar negeri guna menciptakan
transformasi informasi usaha yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh usaha
nasional dalam memasarkan barang dan/atau jasa melalui bisnis waralaba. Di
samping itu pemerintah perlu menyusun data waralaba, baik jumlah maupun jenis
yang diwaralabakan.163
Dalam PP ini menyebutkan pengertian waralaba adalah: “hak khusus yang
dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri
khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan / atau jasa yang telah terbukti
berhasil dan dapat dimanfaatkan dan / atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan
perjanjian waralaba.”
Sesuai definisi diatas, maka berdasarkan Pasal 3 PP juncto Pasal 2 ayat (1)
tersebut, dapat dikatakan bisnis waralaba jika memenuhi persyaratan:
1. Bisnis itu memiliki ciri khas usaha;
2. Terbukti telah memiliki keuntungan
3. Memiliki standar atas pelayanan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang
dibuat secara tertulis;
4. Mudah diajarkan dan diaplikasikan;
5. Adanya dukungan yang berkesinambungan;
6. Hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar.
Berdasarkan definisi waralaba diatas dapat disimpulkan bahwa waralaba
merupakan salah satu bentuk kemitraan yang memiliki resiko rendah serta
menguntungkan bagi para pihak. Konsep kemitraan yang terkandung dalam PP No.
42/2007 ini tidak bisa dilepaskan dengan apa yang telah diatur dalam PP No. 4 Tahun
162 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 33 163 M. Muctar Rivai, op.cit., hal. 161-162.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
77
1997 tentang Kemitraan dimana disebutkan bahwa “Kemitraan” adalah kerjasama
antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan Usaha Besar disertai dengan
pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan usaha Besar dengan
memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling menguntungkan dan saling
memperkuat.164
Perkembangan usaha waralaba di Indonesia saat ini dan di masa mendatang
mempunyai prospek yang baik dan semakin pesat kemajuannya, karena dapat
menjanjikan manfaat mikro bagi para pemberi waralaba maupun penerima waralaba
sendiri, dan manfaat makro bagi konsumen yang mendapatkan jaminan produk
bermutu, serta membuka kesempatan berusaha dan lapangan kerja baru bagi angkatan
kerja Indonesia sekaligus dapat memperluas akses pasar bagi barang dan/atau jasa
produksi dalam negeri.165
Pengembangan waralaba tersebut dapat mendorong berkembangnya
spesialisasi dan modernisasi usaha tradisional, menumbuhkan kreatifitas dalam
mengembangkan inovasi berusaha sehingga membuka akses pasar yang lebih luas
bagi produk barang dan jasa Indonesia. Oleh karena itu, usaha waralaba dapat
dijadikan sebagai salah satu contoh bagi UKM baik sebagai mitra usaha maupun
dalam rangka penyediaan pasokan barang yang diperlukan oleh usaha waralaba itu
sendiri.166
C. Pengaturan Waralaba Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Waralaba.
Dalam rangka untuk mengoptimalkan penyelenggaraan waralaba, yang
bertujuan meningkatkan kegiatan usaha melalui waralaba, kemitraan usaha antara
164 Panduan Kebijakan Waralaba dan MLM, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perdagangan
Dalam Negeri, 2012), hal. 2. 165 Ibid., hal. 3. 166 Ibid., hal. 4.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
78
pemberi waralaba dengan pengusaha kecil dan menengah serta peningkatan produk
dalam negeri maka Pemerintah melalui Menteri Perdagangan Republik Indonesia
menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 53/M-
DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba (Permendag No. 53/2012)
pada tanggal 28 Agustus 2012 sebagai pengganti dari Permendag No.31/2008.
Alasan yang melatarbelakangi pemerintah merevisi Permendag yang lama
yaitu Permendag No.31/2008 karena Permendag ini dianggap belum dapat
mendorong peningkatan usaha waralaba ke arah membangun kemitraan dengan
pengusaha kecil dan menengah dalam bentuk penerima waralaba atau pemasok bahan
baku termasuk peningkatan penggunaan produksi dalam negeri. Selain itu, alasan lain
yang melatarbelakangi revisi Permendag No.31/2008 adalah sulitnya memetakan
usaha waralaba karena pelaksanaan pendaftaran di daerah tidak berjalan sebagaimana
mestinya dan sulit mengidentifikasi bidang usaha yang memiliki gerai waralaba atau
tidak.167
Pemerintah berharap dengan adanya revisi ini bertujuan untuk
mengoptimalkan pelaksanaan pendaftaran waralaba di daerah, meningkatkan
pembinaan dan pengawasan usaha waralaba oleh pemerintah melalui pemberian
identitas khusus yaitu logo waralaba yang wajib dilekatkan pada gerai waralaba,
meningkatkan kegiatan usaha melalui waralaba dan kemitraan usaha antara pemberi
waralaba dengan pengusaha kecil dan menengah, serta peningkatan produk dalam
negeri.168
Akan tetapi pada kenyataannya Permendag No. 53/2012 yang mengatur
tentang waralaba yang baru diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan mengalami
berbagai kontroversial terutama dari para pelaku industri waralaba. Menurut para
pelaku industri waralaba, Ketentuan dalam Permendag No. 53/2012 tentang
Penyelenggaraan Waralaba banyak yang tidak jelas, kontroversial, dan berpotensi
menimbulkan persoalan bahkan dapat mengancam perkembangan industri waralaba
lokal. Walaupun peraturan baru ini banyak menuai kritikan dari berbagai kalangan
167 Majalah Info Franchise, loc.cit. 168 Ibid.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
79
pengusaha, pemerintah sangat berharap para pelaku usaha waralaba baik asing
maupun asing dapat mematuhi Permendag No. 53/2012 dengan sebaik-baiknya.
Ketentuan baru dalam pengelolaan waralaba:169
ATURAN YANG POSITIF
ATURAN KONTROVERSIAL
No Permendag No. 53/2012
Permendag No. 31/2008 No Permendag No.
53/2012
Permendag No. 31/2008
1
Pemberi waralaba, baik dari dalam maupun luar negeri, serta penerima waralaba dari luar negeri harus mendaftar ke Direktorat Bina Usaha Perdagangan Kementerian Perdagangan. (Pasal 10)
Hanya pemberi waralaba dari luar negeri dan pemberi waralaba lanjutan dari luar negeri yang wajib mendaftar ke Kementerian Perdagangan. (Pasal 14)
1
Pemberi waralaba tidak dapat menunjuk penerima waralaba yang memiliki hubungan pengendalian dengan pemberi waralaba, baik langsung maupun tidak langsung. (Pasal 7)
Tidak mengatur
2
Dijanjikan, kalau dokumen sudah lengkap, STPW paling lama 2 (dua) hari kerja selesai.
Dijanjikan, kalau dokumen sudah lengkap, 2 (tiga) hari kerja selesai. (Pasal 18)
2
Kalau perjanjian diputus secara sepihak oleh pemberi waralaba sebelum masa berlaku berakhir, pemberi waralaba tidak dapat menunjuk penerima waralaba yang baru untuk wilayah yang sama, sebelum tercapai
Pemberi waralaba boleh menunjuk penerima waralaba baru di wilayah yang sama setelah lewat 6 bulan setelah pemutusan
169 Sofyan Nur Hidayat & Amal Ihsan Hadian, Aturan baru ancam industri waralaba lokal, <http://industri.kontan.co.id/news/aturan-baru-ancam-industri-waralaba-lokal>, diakses pada tanggal 7 Januari pukul 20.00 WIB.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
80
kesepakatan dalam perselisihan itu atau sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
perjanjian waralaba. (Pasal 6)
(Pasal 14) (Pasal 8)
3
Penerima waralaba dari dalam negeri serta penerima waralaba lanjutan dari dalam dan luar negeri mendaftar ke kantor dinas perdagangan provinsi, kabupaten/kota. (Pasal 10)
Selain pemberi waralaba dari luar negeri dan pemberi waralaba lanjutan dari luar negeri, mendaftar ke kantor dinas perdagangan. (Pasal 14)
3
Untuk mendapat STPW, harus mendapat rekomendasi persetujuan Tim Penilai. (Pasal 15)
Tidak mengatur
4
Pemberi dan penerima waralaba wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menjalankan kegiatan usahanya antara lain peraturan perlindungan kon-sumen, kesehatan, pendidikan, lingkungan, tata ruang, tenaga kerja, dan hak atas kekayaan intelektual. (Pasal 6)
Tidak Mengatur
4
Pemberi dan penerima waralaba wajib menggunakan bahan baku, peralatan, dan menjual barang dagangan minimal 80% dari barang dan jasa produksi dalam negeri. Penilaian ketentuan ini akan dilakukan Tim Penilai.
Tidak mengatur
5
Pemberi dan penerima waralaba yang telah memiliki STPW wajib menggunakan logo waralaba yang akan diatur lebih lanjut.
Tidak mengatur (Pasal 19)
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
81
(Pasal 18)
5
Pemberi waralaba dan penerima waralaba hanya dapat melaksana-kan usaha sesuai izin usaha. Boleh saja menjual barang pendukung usaha utama, tapi maksimal hanya 10% dari total jenis barang yang dijual. Pengawasan akan dilakukan Tim Pengawas Ditjen Perdagangan Dalam Negeri. (Pasal 21)
Tidak mengatur
Tabel 2.1 Sumber: KONTAN MINGGUAN 48 XVI 2012, Laporan Utama
Dari berbagai ketentuan dalam Permendag No. 53/2012 yang tidak jelas dan
mengandung kontroversial yang terdapat dalam tabel di atas, Penulis hanya
menjelaskan mengenai pelaksanaan Pasal 19 mengenai pengaturan untuk
menggunakan 80% produk lokal yang tentunya akan kurang masuk akal bagi usaha
waralaba asing, dikaitkan dengan Prinsip Perdagangan WTO dan Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat.
2.3 Implementasi Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Dilihat dari
Prinsip Perdagangan WTO
Melalui Permendag No. 53/2012 ini, pemerintah memberikan kesempatan
kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan masyarakat lokal yang
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
82
berkeinginan untuk terjun dalam bisnis waralaba yang sama. Sedangkan waralaba
besar diarahkan agar bisa bersaing dengan waralaba yang sudah mapan atau company
owned unit termasuk kepemilikan asing. Peraturan ini tidak hanya berlaku bagi
pemilik waralaba dari luar negeri, melainkan juga berlaku bagi pengusaha dan
investor lokal yang memiliki gerai waralaba.
Pemerintah melalui peraturan ini ingin mendorong peningkatan produksi dan
konsumsi dalam negeri, sesuai bunyi Pasal 19 Permendag No. 53/2012:
(1)“Pemberi waralaba dan Penerima waralaba wajib menggunakan bahan baku, peralatan usaha serta menjual barang dagangan paling sedikit 80% barang dan/atau jasa produksi dalam negeri.
(2) Dalam hal tertentu, Menteri dapat memberikan izin penggunaan bahan baku, peralatan usaha serta menjual barang dan/atau jasa produksi dalam negeri kurang dari 80% setelah mempertimbangkan rekomendasi Tim Penilai.”
Akan tetapi dalam pelaksanaannya (implementasinya), ketentuan dalam Pasal
19 ini menuai berbagai kontra dari beberapa pelaku usaha. Ketentuan ini dapat
mempersulit beberapa pelaku usaha yang mengandalkan produknya dari luar negeri,
seperti toko-toko baju dan tas atau ritel fashion tersebut harus tutup karena seluruh
produknya diimport dari luar negeri. Tidak hanya itu saja, waralaba asing lain yang
ingin bekerja sama dengan franchisee (penerima waralaba) di Indonesia juga akan
ragu-ragu dan menghitung jumlah produk lokal yang dapat diserap terlebih dahulu.
Para pelaku usaha melihat adanya keraguan pemerintah terkait ketentuan
Pasal 19 ayat (1) mengenai penggunaan 80% bahan baku lokal, karena pada akhirnya
pemerintah membuat exit strategy berupa izin khusus Menteri Perdagangan apabila
terdapat waralaba yang tidak mampu mencapai batasan itu yang terdapat pada
ketentuan Pasal 19 ayat (2). Pemerintah di dalam membuat ketentuan Pasal 19 ini
terkesan tidak konsisten sehingga di dalam pelaksanaanya banyak menuai pro dan
kontra.
Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan Ibu Nurlaila Nur Muhammad
selaku Direktur Bina Usaha Perdagangan Kementerian Perdagangan mengenai
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
83
keraguan pemerintah di dalam membuat ketentuan Pasal 19 ini, Beliau
mengatakan:170
“Pemerintah menyadari bahwa Pemerintah tidak dapat memaksakan semua perusahaan waralaba di Indonesia untuk menggunakan produk Indonesia. Bila perusahaan waralaba tersebut dapat menggunakan 80% produk Indonesia, maka dia wajib untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) ini. Tetapi apabila waralaba tersebut tidak dapat menggunakan 80% produk Indonesia seperti waralaba di bidang fashion, maka pemerintah tidak dapat memaksakan untuk memenuhi ketentuan Pasal 19 ayat (1), mereka bisa mendapatkan pengecualian seperti yang tertera dalam Pasal 19 ayat (2) dengan tentu saja melihat pertimbangan-pertimbangan dari Tim Penilai.
Bu Nurlaila juga mengatakan bahwa untuk saat ini pembentukan Tim Penilai masih diproses, akan tetapi unsur-unsur dari Tim Penilai tersebut sudah pasti terdiri dari Government sebagai pembuat kebijakan, stake holder karena mereka yang mengetahui liku-liku perdagangan secara teknis, dan beberapa konsultan yang mengerti mengenai hal ini. Tim penilai adalah pihak-pihak yang dapat dipercaya bisa memberikan pandangan seobyektif mungkin. Pertimbangan-pertimbangan yang diberikan pun tidak bisa ditentukan secara keseluruhan, Tim Penilai harus melihat case by case terlebih dahulu sehingga Pemerintah tidak dapat menentukan kriteria tertentu mengenai pertimbangan-pertimbangan yang nantinya akan digunakan oleh Tim Penilai.”
Jika dilihat dari hasil wawancara diatas, maka titik tekan revisi permendag ini
bukan pada waralaba asing, tetapi upaya untuk meningkatkan kemitraan usaha antara
pemberi waralaba dengan pengusaha kecil dan menengah serta peningkatan
penggunaan produk dalam negeri. Dalam penyusunan Permendag No. 53/2012 ini,
pemerintah menganut asas non diskriminatif sehingga pengaturan mengenai waralaba
berlaku sama antara pengusaha waralaba asing dan lokal.
Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi
terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on
Establishing The World Trade Organization/WTO (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia) yang membawa konsekuensi baik eksternal maupun
170 Hasil wawancara dengan Ibu Nurlaila Nur Muhammad selaku Direktur Bina Usaha
Perdagangan Kementerian Perdagangan pada tanggal 30 Oktober 2012 pukul 16.00 WIB
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
84
internal. Indonesia harus mematuhi seluruh hasil kesepakatan dalam forum WTO. Hal
ini sesuai dengan prinsip pacta sunt servanda yang mensyaratkan bahwa kesepakatan
atau kontrak yang telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
(dengan iktikad baik).
Dalam era perdagangan bebas dan era globalisasi, setiap pembuat kebijakan di
bidang perdagangan internasional, demikian juga para pelaksana di lapangan, dituntut
untuk memiliki wawasan internasional. Dalam praktik, hal ini berarti penguasaan
instrumen-instrumen hukum internasional yang terkait dengan perumusan kebijakan
dan pelaksanaan kegiatan di lapangan.171
Konsekuensi internal Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan
perandung-undangan nasional dengan ketentuan hasil kesepakatan WTO. Artinya
dalam melakukan harmonisasi, Indonesia harus tetap memikirkan kepentingan
nasional namun tidak melanggar rambu-rambu ketentuan WTO.172
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia di dalam merumuskan Permendag No.
53/2012 ini juga melihat dari Prinsip-prinsip Perdagangan WTO, seperti: Prinsip
Most Favoured Nation dan Prinsip National Treatment yang mensyaratkan bahwa
suatu negara tidak diperkenankan untuk memperlakukan secara diskriminasi antara
produk impor dengan produk dalam negeri (produk yang sama). Setiap negara
anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama atas barang-barang impor dan
lokal paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik. Apabila dilihat
dari penjelasan diatas tersebut maka isi dari Pasal 19 Permendag No. 53/2012 yang
dibuat oleh Pemerintah Indonesia melanggar dari ketentuan prinsip perdagangan
WTO karena adanya pembatasan produk impor yang masuk ke Indonesia.
Akan tetapi, WTO melakukan suatu perlakuan khusus terhadap negara-negara
berkembang sesuai salah satu prinsip yaitu Special and Differential to Developing
Nations (S&D) yang dapat mengecualikan suatu negara (berkembang) untuk
171 Syahmin AK., Hukum Dagang Internasional, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007),
hal. 94. 172 Muhammad Sood, lo.cit.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
85
dimaafkan bila terpaksa melanggar kesepakatan WTO. S&D merupakan instrumen
untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan (a means of development) dan instrumen
untuk menggapai keadilan (a means of justice) bagi negara sedang berkembang dalam
perdagangan internasional di bawah payung WTO.173
Pemberian perlakuan khusus bagi negara berkembang ini disebut dengan
prinsip preferensi. Prinsip mengenai preferensi bagi negara berkembang adalah
prinsip yang mensyaratkan perlunya suatu kelonggaran-kelonggaran atas aturan-
aturan hukum tertentu bagi negara-negara berkembang. Dasar teori dari sistem
preferensi ini adalah bahwa negara-negara harus diperbolehkan untuk menyimpang
dari kewajiban-kewajiban MFN untuk memperbolehkan mereka guna mengurangi
tarifnya pada impor-impor barang manakala barang-barang tersebut berasal dari
negara-negara berkembang. Pemberian perlakuan khusus oleh WTO kepada negara-
negara berkembang tersebut juga bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada
negara berkembang untuk meningkatkan pembangunannya.
Indonesia sebagai negara berkembang dapat menerapkan prinsip preferensi
tersebut sehingga Pemerintah di dalam merumuskan Pasal 19 Permendag No.
53/2012 ini tidak melanggar dari ketentuan prinsip perdagangan Perjanjian WTO,
karena tujuan sebenarnya Permendag No. 53/2012 ini untuk meningkatkan
penggunaan produk dalam negeri sehingga mampu bersaing dengan produk dari luar
negeri.
173 Nandang Sutrisno, loc.cit.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
86
BAB 3
KETENTUAN PENGGUNAAN BAHAN BAKU LOKAL DILIHAT DARI
UNDANG-UNDANG PERSAINGAN USAHA INDONESIA
3.1 Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia
3.1.1 Persaingan dan Dunia Usaha
Bagi dunia usaha persaingan harus dipandang sebagai hal yang positif. Dalam
teori ilmu ekonomi persaingan yang sempurna (perfect competition) adalah suatu
kondisi pasar (market) yang ideal. Ada empat asumsi yang melandasi agar terjadi
persaingan yang sempurna pada suatu pasar tertentu yaitu:174
“Pertama, pelaku usaha tidak dapat menentukan secara sepihak harga atas produk atau jasa.Adapun yang menentukan harga adalah pasar berdasarkan ekuilibrium permintaan dan penawaran (supply and demand). Dengan demikian pelaku usaha dalam persaingan sempurna tidak bertindak sebagai price maker melainkan ia hanya bertindak sebagai price taker. Kedua, barang atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha adalah betul-betul sama (product homogeneity). Selanjutnya, pelaku usaha mempunyai kebebasan untuk masuk ataupun keluar dari pasar (perfect mobility of resources). Terakhir, konsumen dan pelaku usaha memiliki informasi yang sempurna (perfect information) tentang berbagai hal, diantaranya kesukaan (preferences), tingkat pendapatan (income levels), biaya dan teknologi yang digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa.”
Akan tetapi dalam kenyataannya, sangat sulit ditemukan pasar persaingan
sempurna tersebut, karena yang kerap kali terjadi yaitu persaingan yang tidak
sempurna (imperfect competition).
Persaingan dapat membawa aspek positif yaitu memberikan keuntungan
kepada para pelaku usaha dan kepada konsumen. Dengan adanya persaingan, pelaku
usaha akan saling berlomba untuk terus memperbaiki produk ataupun jasa yang
174 Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi Dan Hukum Internasional, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), hal. 58.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
87
dihasilkan untuk konsumen sehingga persaingan akan berdampak pada semakin
efisiennya pelaku usaha dalam menghasilkan produk atau jasanya dan konsumen
diuntungkan dengan adanya persaingan ini karena mereka mempunyai banyak pilihan
dalam membeli produk atau jasa tertentu dengan harga yang murah dan kualitas yang
baik.
Akan tetapi persaingan juga memiliki aspek negatif yaitu apabila persaingan
dilakukan oleh pelaku ekonomi yang tidak jujur dan bertentangan dengan
kepentingan publik. Pelaku usaha tersebut akan menempuh praktek-praktek curang
(unfair competition) karena persaingan dianggap sebagai kesempatan untuk
menyingkirkan pesaing dengan cara apapun.
Jadi dapat disimpulkan secara garis besar, persaingan merupakan kondisi ideal
yang memiliki banyak aspek positif. Meskipun demikian, persaingan hanya akan bisa
menjalankan fungsinya dengan baik apabila persaingan itu terjadi sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi persaingan curang yang justru merugikan.
3.1.2 Latar Belakang Hukum Persaingan Usaha Indonesia
Pada tanggal 5 Maret 1999 untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia
mengundangkan hukum persaingan usahanya yang komprehensif. Hukum persaingan
usaha Indonesia secara formal termuat di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya
disebut “UU Persaingan Usaha Indonesia”) yang dipublikasikan melalui Lembaran
Negara RI Tahun 1999 No. 33.175
Secara historis, kemunculan undang-undang ini tidak dapat terlepas dari peran
IMF (International Monetary Fund) yaitu setelah ditandatanganinya Letter of Intent
(Lol) antara Pemerintah RI dengan IMF pada tanggal 29 Juli 1998.176 Dalam Lol
tersebut ditentukan bahwa Pemerintah akan menyampaikan RUU Antimonopoli
kepada DPR untuk mendapat pembahasan selambat-lambatnya pada bulan Desember
175 Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 71. 176 Hikmahanto Juwana, op.cit., hal. 63.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
88
1998. Dalam proses pembentukan UU Persaingan usaha Indonesia yang
mempersiapkan rancangan UU adalah DPR dan DPR kemudian menggunakan hak
inisiatifnya untuk mengajukan rancangan UU sehingga rancangan UU yang
disepakati oleh Pemerintah dan DPR adalah rancangan UU yang telah dipersiapkan
oleh DPR tersebut yang digunakan, bukan rancangan yang telah dipersiapkan oleh
Pemerintah dalam hal ini Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
UU Persaingan Usaha Indonesia ini terdiri atas 11 bab dan 53 pasal.
Meskipun telah diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999 namun keberlakuannya baru
akan mulai 1 (satu) tahun setelah diundangkan yaitu pada tanggal 5 maret 2000 dan
para pelaku usaha diberi kesempatan enam bulan sejak berlakunya UU untuk
menyesuaikan diri dengan ketentuan yang diatur dalam UU Persaingan Usaha
Indonesia.177
3.1.3 Asas dan Tujuan UU Persaingan Usaha Indonesia
Tujuan pembentukan UU Persaingan Usaha Indonesia secara tegas tercantum
di dalam Pasal 3 dan secara implisit terdapat di bagian konsiderans.
Pada bagian konsiderans dapat ditarik tiga tujuan umum yang hendak dicapai
dengan penyusunan UU Persaingan Usaha Indonesia ini, yaitu:178
“Pertama, di dalam konsiderans tercantum tujuan yang sangat umum dan klise bahwa UU Persaingan usaha Indonesia ditujukan untuk mengarahkan pembangunan ekonomi kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, konsiderans juga menyebutkan bahwa UU Persaingan Usaha Indonesia disusun untuk mewujudkan demokrasi ekonomi yang menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara yang ikut serta dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa dalam iklim usaha yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya mekanisme ekonomi pasar secara wajar. Ketiga, secara tersirat juga dinyatakan bahwa UU Persaingan Usaha
177Ibid., hal. 64. 178 Arie Siswanto, op.cit., hal. 75.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
89
Indonesia dimaksudkan untuk mencegah pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu.”
Secara lebih tegas, tujuan UU Persaingan Usaha Indonesia dicantumkan dalam pasal
3 adalah untuk:
a. “Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil;
c. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.”
Eksistensi UU Persaingan Usaha Indonesia adalah untuk memastikan bahwa
sistem ekonomi yang berdasarkan persaingan usaha, dapat memotivasi para pelaku
usaha untuk menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang berkualitas dan harga
yang terjangkau oleh konsumen dengan memanfaatkan sumber-sumber produksi yang
seminimal mungkin.179
Mengenai asas UU Persaingan Usaha Indonesia secara tegas dicantumkan
dalam Pasal 2. Menurut pasal tersebut, asas kegiatan usaha di Indonesia adalah
“demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan
pelaku usaha dan kepentingan umum.” Perekonomian nasional yang diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi menentukan bahwa masyarakat harus memegang
peranan aktif dalam kegiatan pembangunan.
Salah satu wujud dari pelaksanaan demokrasi ekonomi yang mengandung
prinsip keadilan, kebersamaan, dan berkeadilan, adalah perlindungan yang diberikan
oleh UU Persaingan Usaha Indonesia bagi pelaku usaha kecil. Perlindungan hukum
179 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2008), hal. 15.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
90
tersebut tentu saja dapat memberi peluang bagi pelaku usaha kecil untuk dapat
memajukan dan mengembangkan kegiatan usaha yang dilakukannya.180
Demokrasi ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap
warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang
dan/atau jasa, dalam iklim yang sehat, efektif, dan efisien, sehingga mendorong
pertumbuhan ekonomi pasar yang wajar dan tidak menimbulkan adanya pemusatan
kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan
yang telah dilaksanakan oleh negara terhadap perjanjian-perjanjian internasional.
3.1.4 Butir-butir Cakupan Pengaturan UU Persaingan Usaha Indonesia
Hukum Anti Monopoli akan mengatur mengenai praktik ataupun segala bentuk kondisi yang menghalangi berlangsungnya kompetisi yang wajar di pasar, yaitu:
a. “Persengkongkolan atau praktik usaha yang bersifat restriktif; b. Praktik-praktik usaha yang tidak wajar yang merugikan konsumen; c. Merger dan posisi dominan di pasar; d. Perangkapan jabatan di berbagai perusahaan (interlocking directorate); e. Penyalahgunaan posisi dominan di pasar (dominant market position); f. Pengaturan tentang pengecualian-pengecualian; g. Badan pengawas yang independen; h. Penalti (yang menyangkut penegakan hukum, bidang spesialisasi terhadap
bantuan hukum).” 181
Isi UU Persaingan Usaha Indonesia sesuai dengan standar internasional, yaitu
sebagai berikut:182
a. “Melarang perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 4, 7 s.d. 9, Pasal 10 s.d. 14, 22, 23)
180Ibid., hal. 72. 181 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 31-32. 182Ibid., hal. 32.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
91
b. Mengizinkan sampai ke tingkat tertentu penetapan harga konsumen, perjanjian eksklusif serta perjanjian lisensi (Pasal 5, 6, 15 dan Pasal 50 huruf b)
c. Melarang penggabungan atau peleburan badan usaha, yang menyebabkan terjadinya posisi dominan di pasar atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 26 s.d. 29)
d. Melarang tindakan merugikan konsumen, pemasok atau penerima barang dengan cara menyalagunakan posisi dominan di pasar (Pasal 17 dan 18)
e. Melarang menghalangi pesaing dengan tindakan-tindakan diskriminasi baik melalui harga, syarat-syarat perdagangan atau penolakan melakukan hubungan usaha (Pasal 7, 8, 16, 19, s.d. 21)”
Tugas lembaga pengontrol persaingan usaha akan diserahkan kepada Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (Pasal 30 s.d. 37). Peraturan mengenai prosedur
memenuhi tuntutan yang disyaratkan negara hukum (Pasal 38 s.d. 49). Terdapat juga
berbagai kegiatan dan perjanjian yang dikecualikan dari ketentuan UU Persaingan
Usaha Indonesia ini (Pasal 50).
3.1.5 Pengecualian Dalam UU Persaingan Usaha Indonesia
Dalam UU Persaingan Usaha Indonesia, tidak semua perjanjian, kegiatan dan
posisi dominan dilarang. Terdapat beberapa perjanjian, kegiatan dan posisi dominan
tertentu dianggap sebagai pengecualian meskipun hal tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya monopoli.183
Adapun yang merupakan pengecualian menurut Pasal 50 UU Persaingan
Usaha Indonesia adalah:
a. Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi,
paten, merk dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik
terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
183 Binoto Nadapdap, Hukum Acara Persaingan Usaha, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009), hal. 13.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
92
c. Perjanjian penetapan standart teknis produk barang dan atau jasa yang tidak
mengekang dan atau menghalangi persaingan;
d. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk
memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada
harga yang telah diperjanjikan;
e. Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standart hidup
masyarakat luas;
f. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia;
g. Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak
mengganggu kebutuhan dan atau pasokan dalam negeri;
h. Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;184
i. Kegiatan usaha operasi yang secara khusus melayani anggotanya.
Menurut ketentuan Pasal 51 UU Persaingan Usaha Indonesia bahwa monopoli
dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan memproduksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang
dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah.
3.2 Hubungan Waralaba Dengan UU Persaingan Usaha Indonesia
Perkembangan jenis usaha dalam bentuk waralaba di Indonesia telah
mengalami kemajuan yang pesat di berbagai bidang dan tidak dapat dihindari seiring
dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat di era globalisasi. Terkait dengan
perkembangan jenis usaha dan bentuk waralaba yang pesat tersebut, Pemerintah
menyadari perlu untuk memberi ruang gerak bagi perkembangan waralaba agar
184Mengenai usaha kecil diatur dalam Undang – Undang No. 9 tahun 1995.Menurut undang-
undang ini, usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
93
masyarakat dapat ikut berperan aktif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara
kondusif. Oleh karena itu, di dalam UU Persaingan Usaha Indonesia memberikan
pengecualian untuk tidak memberlakukan ketentuan-ketentuan yang dilarang dalam
UU tersebut yang berkaitan dengan perjanjian waralaba sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 50 huruf b.
Pengertian Perjanjian dalam kaitannya dengan UU Persaingan Usaha
Indonesia harus tetap mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang
tersebut, yang berbunyi sebagai berikut:
“Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun baik tertulis maupun tidak tertulis.”
Selain mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 7 tersebut, untuk membuat
perjanjian juga harus tetap memperhatikan asas-asas perjanjian yang diatur dalam
Pasal 1320 dan 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Mengenai pengertian waralaba yang berkaitan dengan UU Persaingan Usaha
ini juga secara yuridis mengacu pada definisi waralaba sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 angka 1 PP No. 42/2007 tentang Waralaba, yaitu:
“Hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.”
Dari definisi waralaba tersebut unsur-unsur yang tercakup adalah:
a. “terdapat hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan
usaha; b. terdapat sistem bisnis dengan ciri khas dalam rangka memasarkan barang
dan/atau jasa dan sistem tesebut telah terbukti berhasil; dan
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
94
c. sistem bisnis tersebut dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain (penerima waralaba) berdasarkan perjanjian.”185
Definisi mengenai “badan usaha” tidak disyaratkan harus berbentuk badan
hukum, apalagi badan hukum Indonesia.
Ada beberapa alasan waralaba dikecualikan dari jangkauan UU Persaingan
Usaha Indonesia, yaitu:
“Pertama, bisnis waralaba termasuk ke dalam golongan usaha kecil dan menengah. Kedua, waralaba merupakan suatu sistem pemasaran yang vertical dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri-ciri yang yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan/atau penjualan barang dan/atau jasa.”186
Artinya, franchisor bersedia mengalihkan konsep perusahaannya kepada
franchisee selama perjanjian berlangsung, dan sebaliknya franchisee berkewajiban
untuk membayar franchise fee maupun royalti kepada franchisor atas hak waralaba
yang diberikan kepadanya.
Hal-hal yang berkaitan dengan waralaba tidak mutlak dikecualikan dari
jangkauan UU Persaingan Usaha Indonesia, karena yang dikecualikan adalah sistem
waralabanya, sedangkan tindakan pelaku usaha waralaba tidak dikecualikan. Jadi
apabila pelaku usaha waralaba melakukan persaingan usaha tidak sehat, maka ia
dapat terkena UU Persaingan Usaha Indonesia.
Dalam perjanjian waralaba, pemberi waralaba biasanya menetapkan berbagai
persyaratan kepada penerima waralaba yang dimaksudkan untuk menjaga ciri khas
usaha, standar pelayanan, dan barang dan/atau jasa yang dipasarkan. Persyaratan
tersebut biasanya untuk menjaga HAKI dan konsep waralaba itu sendiri sehingga
185 Indonesia, Keputusan Komisi Persaingan usaha Repunlik Indonesia Tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba, KEPUTUSAN KOMISI NO. 57/2009, hal. 6. 186 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 148-149.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
95
dapat dikecualikan dari penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia. Namun
demikian, dalam praktek berbagai persyaratan perjanjian waralaba sering memuat
klausula yang dapat juga menghambat atau memberikan batasan kepada penerima
waralaba dalam menjalankan usahanya, sehingga berpotensi menimbulkan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Oleh karena itu, agar tidak terjadi penyalahgunaan ketentuan tersebut, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kemudian mengeluarkan Keputusan Komisi No.
57/2009 tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 Terhadap Perjanjian
yang Berkaitan dengan Waralaba dan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun
1999 Terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba.
Dalam menerapkan ketentuan Pasal 50 huruf b yang berupa pengecualian UU
Persaingan Usaha Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan perjanjian waralaba,
KPPU dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya mempergunakan pertimbangan
sebagai berikut:187
1. “Kriteria waralaba sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PP No. 42/2007 tentang Waralaba;
2. Kriteria perjanjian waralaba dan pendaftarannya sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 10 dan Pasal 11 PP No. 42/2007 tentang waralaba terpenuhi;
3. Pembuatan perjanjian harus tetap mengacu ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Persaingan Usaha Indonesia, Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata;
4. Perjanjian waralaba merupakan bentuk kemitraan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 huruf c jo Pasal 29, Pasal 35 dan Pasal 36 ayat (1) UU No. 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
5. Isi perjanjian waralaba tidak berpotensi melanggar prinsip larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;
6. Beberapa contoh kriteria perjanjian waralaba yang berpotensi melanggar prinsip larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, sehingga ketentuan Pasal 50 huruf b tidak dapat diterapkan.”
187 M. Muctar Rivai, op.cit., hal. 165.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
96
3.2.1 Pengecualian Penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia Terhadap
Perjanjian Berkaitan Dengan Waralaba
Suatu usaha waralaba adalah suatu sistem pemasaran yang vertikal, yakni
pemberi waralaba bersedia menyerahkan semua sistem usaha waralabanya kepada
penerima waralaba, maka perjanjian waralaba mencakup juga perjanjian lisensi yang
merupakan salah satu jenis dari Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI).
UU Persaingan Usaha Indonesia memberikan pengecualian untuk tidak
memberlakukan ketentuannya terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba
yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf b, termasuk yang dikecualikan yaitu
perjanjian yang berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual antara lain
mengenai lisensi.
Namun dalam prakteknya ternyata terdapat perjanjian yang terkait dengan
waralaba yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat. Keadaan yang demikian tentunya tidak termasuk dalam kategori
yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 50 huruf b. Menyadari bahwa terdapat
kemungkinan ada perjanjian yang berkaitan dengan waralaba yang dapat
menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, maka penerapan
ketentuan pengecualian dalam Pasal 50 huruf b UU Persaingan Usaha Indonesia,
perlu diterapkan secara hati-hati dan bijaksana sehingga tidak menyimpang dari
tujuan pembentukan UU Persaingan Usaha Indonesia yang terdapat dalam ketentuan
Pasal 3, antara lain untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif. Dengan demikian,
perjanjian yang dikecualikan adalah perjanjian yang mengatur sistem waralaba dan
pengalihan hak lisensi dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba.
Sedangkan mengenai perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat walaupun berkaitan dengan waralaba
tidak termasuk yang dikecualikan.
Oleh karena itu, jika dalam perjanjian yang berkaitan dengan waralaba
terdapat unsur yang ternyata dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, maka ketentuan UU Persaingan Usaha Indonesia tetap
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
97
dapat diterapkan terhadap pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut.
Penerapan ketentuan UU Persaingan Usaha Indonesia tersebut pada prinsipnya
sejalan dengan ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008
tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang menentukan bahwa:
“Dalam melaksanakan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 para
pihak mempunyai kedudukan hukum yang setara dan terhadap mereka berlaku
hukum Indonesia.”188
Pasal 26 antara lain mengatur kemitraan dengan pola waralaba (Pasal 26 huruf
c). Selanjutnya yang dimaksud dengan “berlaku hukum Indonesia” di bidang
pengaturan usaha tentunya adalah UU Persaingan Usaha Indonesia.
Untuk tidak keliru dalam menerapkan ketentuan Pasal 50 huruf b Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999, Komisi menetapkan Keputusan tentang Pedoman
Pelaksanaan Pasal 50 huruf b tentang Pengecualian Penerapan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.189
1. Prinsip Penerapan Persaingan Usaha Dalam Perjanjian Waralaba.
Prinsip penerapan persaingan usaha terhadap perjanjian waralaba selalu
diarahkan untuk mencapai tujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Persaingan
Usaha Indonesia, yaitu untuk meningkatkan efisiensi ekonomi sebagai upaya
meningkatkan kesejahteraan rakyat, menjamin kesempatan berusaha yang sama bagi
seluruh pelaku usaha, mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat dan menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Berdasarkan Pasal 50 huruf b perjanjian yang terkait dengan waralaba
termasuk salah satu yang dikecualikan dari penerapan UU Persaingan Usaha
188 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah, UU Nomor 20 Tahun 2008, Ps. 36.
189 Indonesia, op.cit, KEPUTUSAN KOMISI NO. 57/2009, hal. 3.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
98
Indonesia. Prinsip pengecualian terhadap perjanjian yang terkait dengan waralaba
berangkat dari asas bahwa pada dasarnya ketentuan dalam perjanjian waralaba yang
merupakan hal yang esensial untuk menjaga identitas bersama dan reputasi jaringan
waralaba, atau untuk menjaga kerahasiaan HaKI yang terkandung dalam konsep
waralaba dapat dikenakan pengecualian berdasarkan Pasal 50 huruf b.
Berdasarkan prinsip tersebut maka dalam perjanjian waralaba diperbolehkan
memuat ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban-kewajiban bagi penerima
waralaba dalam rangka menjamin konsep waralaba dan HaKI yang dimiliki oleh
pemberi waralaba. Ketentuan tersebut misalnya antara lain adalah kewajiban untuk
menggunakan metode usaha yang ditetapkan oleh pemberi waralaba, mengikuti
standar perlengkapan dan penyajian yang ditentukan pemberi waralaba, tidak
merubah lokasi waralaba tanpa sepengetahuan pemberi waralaba, dan tidak
membocorkan HAKI yang terkait dengan waralaba kepada pihak ketiga, bahkan
setelah berakhirnya masa berlakunya perjanjian waralaba.
Namun demikian perlu disadari bahwa dalam perjanjian waralaba dapat pula
mengandung ketentuan yang dapat berpotensi menghambat persaingan, seperti
penetapan harga jual, pembatasan pasokan, keharusan untuk membeli produk lain
yang tidak terkait dengan waralaba dari pemberi waralaba, pembagian wilayah, dan
larangan untuk melakukan kegiatan usaha yang sama setelah berakhirnya perjanjian
waralaba.
Ketentuan yang demikian berpotensi bertentangan dengan pencapaian tujuan
UU Persaingan Usaha Indonesia yang menginginkan adanya efisiensi dan kesempatan
berusaha yang sama bagi seluruh pelaku usaha. Oleh karena itu, perjanjian waralaba
yang memuat ketentuan yang menghambat persaingan tidak termasuk dalam
pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b dan Komisi akan
melakukan penilaian lebih lanjut mengenai dampak dari hambatan persaingan
tersebut terhadap efisiensi ekonomi.
Ketentuan mengenai pembatasan wilayah yang biasa terdapat dalam
perjanjian waralaba untuk mengatur sistem jaringan waralaba biasanya termasuk
dalam kategori yang dikecualikan. Pemberi waralaba pada dasarnya dapat mengatur
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
99
wilayah eksklusif bagi penerima waralaba, dalam hal demikian maka pengecualian
dapat diberikan terhadap ketentuan yang bertujuan untuk membatasi kegiatan
pemberi waralaba di dalam wilayah yang telah diperjanjikan dan kegiatan penerima
waralaba diluar wilayah yang diperjanjikan. Namun demikian, pengecualian tidak
dapat diberikan apabila hambatan berupa pembatasan wilayah tersebut mengarah
pada perlindungan wilayah secara absolut.190
Dalam hal pemberi waralaba dan penerima waralaba, baik secara langsung
maupun tidak langsung menghalangi konsumen untuk mendapatkan barang dan/atau
jasa dengan alasan tempat kediaman konsumen diluar wilayah waralaba yang telah
ditetapkan dalam perjanjian dan membagi pasar maka hal tersebut tidak termasuk
dalam kategori pengecualian. Pengecualian terutama tidak dapat diterapkan apabila
pembatasan wilayah mengakibatkan membatasi persaingan pada pasar bersangkutan
sehingga berdampak pada efisiensi ekonomi.
Ketentuan mengenai kewajiban pasokan dalam perjanjian waralaba biasanya
dimaksudkan untuk menjaga standar kualitas produk waralaba. Jaminan adanya
standar minimum kualitas produk sangat penting dalam usaha waralaba agar tidak
merusak identitas dari konsep waralaba itu sendiri. Untuk itu pemberi waralaba
biasanya mewajibkan penerima waralaba untuk memasoknya dari pemberi waralaba
atau pihak tertentu produk yang menjadi esensi dari konsep waralaba, dimana
khususnya terkait dengan HaKI yang telah dipatenkan yang menjadi bagian utama
dari konsep waralaba. Namun demikian perlu dipahami bahwa perjanjian pasokan
yang demikian juga dapat menghambat persaingan karena membatasi pelaku usaha
lain untuk dapat ikut memasok kepada penerima waralaba.
Untuk itu maka ketentuan yang demikian, apabila tidak terkait dengan HaKI
produk yang menjadi esensi dari konsep waralaba, tidak dikecualikan dari penerapan
UU Persaingan Usaha Indonesia.
Perjanjian waralaba memuat pula ketentuan yang mewajibkan penerima
waralaba untuk membeli beberapa jenis barang dari pemberi waralaba dalam rangka
menjaga standar kualitas dari konsep waralaba pada dasarnya tidak melanggar prinsip 190 Ibid., hal. 16.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
100
persaingan usaha. Namun demikian, kewajiban yang demikian dapat pula
menghalangi produk substitusi dan menghambat persaingan. Untuk itu maka
kewajiban untuk membeli barang lain yang tidak terkait dengan konsep waralaba,
yang dapat menciptakan hambatan masuk (entry barrier) bagi pelaku usaha lain tidak
dapat kenakan pengecualian terhadap penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia.191
Ketentuan yang melarang penerima waralaba untuk melakukan kegiatan usaha
yang sama yang dapat bersaing dengan jaringan usaha waralaba dapat dikenakan
ketentuan pengecualian berdasarkan Pasal 50 huruf b. Larangan tersebut
dimaksudkan untuk perlindungan HaKI pemilik waralaba dan menjaga identitas dan
reputasi jaringan waralaba, khususnya bila pemberi waralaba telah melakukan
transfer know how (yang diterimanya), baik berupa pengetahuan, pengalaman dan
keahlian, serta kemampuan (skill) teknis kepada penerima waralaba. Namun demikian
perlu disadari bahwa hambatan untuk melakukan kegiatan usaha yang sama tersebut
dalam jangka waktu panjang justru akan mempengaruhi persaingan dan berdampak
negatif pada efisiensi ekonomi. Untuk itu maka ketentuan hambatan setelah
berakhirnya perjanjian waralaba dalam waktu yang terlalu panjang tidak termasuk
dalam pengecualian penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia.
Untuk menetapkan jangka waktu yang tidak melanggar persaingan usaha
maka KPPU diharapkan memperhatikan berbagai pertimbangan, antara lain teknologi
dari waralaba dan investasi yang telah dikeluarkan. Apabila teknologi waralaba sudah
merupakan domain publik dan investasi yang dikeluarkan tidak besar, maka jangka
waktu untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama biasanya adalah 1 (satu)
tahun.
2. Penerapan Ketentuan Pasal 50 huruf b Terkait Dengan Perjanjian Waralaba.
Dalam menerapkan ketentuan Pasal 50 huruf b, khususnya perjanjian yang
berkaitan dengan waralaba, KPPU harus mempertimbangkan dengan bijaksana agar
tidak melanggar hakikat tujuan dibentuknya UU Persaingan Usaha Indonesia.
Adapun pertimbangan yang perlu diperhatikan antara lain: 191 Ibid., hal. 17.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
101
Kriteria waralaba sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba harus terpenuhi:192
1. Kriteria perjanjian waralaba dan pendaftarannya sebagaimana diatur dalam Pasal
4, Pasal 5, Pasal 10, Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007
tentang Waralaba harus terpenuhi;
2. Pembuatan perjanjian harus tetap mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 7
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 jo. Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata;
3. Perjanjian waralaba merupakan bentuk kemitraan sebagaimana diatur dalam
Pasal 26 huruf c jo. Pasal 29, Pasal 35, dan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dan
4. Isi Perjanjian Waralaba tidak berpotensi melanggar prinsip Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
5. Beberapa contoh kriteria perjanjian waralaba yang berpotensi melanggar prinsip
larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sehingga ketentuan
Pasal 50 huruf b tidak dapat diterapkan:
a. Penetapan harga jual (Resale Price Maintenance).193
Pemberi waralaba membuat perjanjian dengan penerima waralaba
yang memuat penetapan harga jual yang harus diikuti oleh penerima waralaba.
Penerima waralaba sebagai pelaku usaha mandiri pada dasarnya memiliki
kebebasan untuk menetapkan harga jual barang dan/atau jasa yang didapatnya
dari pemberi waralaba. Dari perspektif persaingan usaha, penetapan harga jual
dalam waralaba dilarang karena akan menghilangkan persaingan harga antara
penerima waralaba. Hal tersebut menimbulkan harga yang seragam di antara
penerima waralaba dan akibatnya konsumen dihadapkan pada harga yang
seragam pula. Penetapan harga yang demikian tidak dikecualikan dari
penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia.
192Ibid., hal. 18. 193Ibid., hal. 19.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
102
Namun demikian, untuk menjaga nilai ekonomis dari usaha waralaba,
maka pemberi waralaba diperbolehkan membuat rekomendasi harga jual
kepada penerima waralaba, sepanjang harga jual tersebut tidak mengikat
penerima waralaba.
b. Persyaratan untuk membeli pasokan barang dan/atau jasa hanya dari Pemberi
Waralaba atau pihak lain yang ditunjuk oleh Pemberi Waralaba.194
Perjanjian Waralaba memuat persyaratan yang mengharuskan
penerima waralaba untuk membeli barang atau jasa yang menjadi bagian dari
konsep waralaba hanya dari pemberi waralaba atau pihak lain yang ditunjuk
oleh pemberi waralaba. Persyaratan tersebut dapat dikecualikan sepanjang
dilakukan untuk mempertahankan identitas dan reputasi dari waralaba yang
biasanya dimaksudkan untuk menjaga konsep waralaba yang telah diciptakan
oleh pemberi waralaba.
Meskipun demikian, pemberi waralaba tidak boleh melarang penerima
waralaba untuk membeli pasokan barang dan/atau jasa dari pihak lain
sepanjang barang dan atau jasa tersebut memenuhi standar kualitas yang
disyaratkan oleh pemberi waralaba. Penetapan pembelian pasokan hanya dari
pemberi waralaba atau pihak tertentu dapat menimbulkan hambatan bagi
pelaku usaha lain yang mampu menyediakan pasokan dengan kualitas yang
sama. Untuk itu pemberi waralaba tidak diperbolehkan menetapkan secara
mutlak akses pembelian atau pasokan yang diperlukan oleh penerima
waralaba sepanjang hal itu tidak menggangu konsep usaha waralaba.
c. Persyaratan untuk membeli barang dan/jasa lain dari pemberi waralaba.195
Pemberi waralaba mengharuskan penerima waralaba untuk bersedia
membeli barang atau jasa lain dari Pemberi waralaba a (tie-in). Perjanjian
194Ibid.
195Ibid., hal. 20.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
103
waralaba yang memuat kewajiban kepada penerima waralaba untuk membeli
produk lain dari pemberi waralaba tidak dipandang sebagai pelanggaran
persaingan usaha, sepanjang hal tersebut dimaksudkan untuk
mempertahankan identitas dan reputasi waralaba. Kewajiban untuk membeli
produk lain yang bukan menjadi bagian dari paket waralaba tidak
dikecualikan dari penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia.
d. Pembatasan wilayah.196
Pemberi waralaba melakukan pembatasan wilayah dengan cara
menetapkan wilayah tertentu kepada penerima waralaba. Dalam perjanjian
waralaba biasanya memuat klausul tentang wilayah usaha. Klausul tersebut
dimaksudkan untuk membentuk sistem jaringan waralaba. Dalam hal
demikian, maka pengaturan wilayah usaha tidak dipandang sebagai
pelanggaran persaingan usaha, sehingga dapat dikecualikan. Namun
demikian, pembatasan wilayah yang tidak dilakukan dalam rangka
membentuk sistem jaringan waralaba melainkan untuk membatasi pasar dan
konsumen tidak dikecualikan dari penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia.
e. Persyaratan untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama selama jangka
waktu tertentu setelah berakhirnya perjanjian waralaba.197
Pemberi waralaba mensyaratkan agar penerima waralaba tidak
melakukan kegiatan usaha yang sama dengan usaha waralaba selama jangka
waktu tertentu setelah berakhirnya perjanjian waralaba.
Syarat tersebut dapat dikecualikan dari UU Persaingan Usaha
Indonesia sepanjang dimaksudkan untuk melindungi dan/atau berkaitan
dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pemberi waralaba atau untuk
menjaga identitas dan reputasi usaha waralaba. Namun demikian, persyaratan
196Ibid. 197Ibid., hal 20-21.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
104
tersebut dalam jangka waktu panjang dapat berakibat pada terhambatnya
persaingan dan kemajuan teknologi.
Oleh karena itu, persyaratan untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama
dengan usaha waralaba dalam jangka waktu yang lama tidak dikecualikan dari
penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia. Dalam hal mempertimbangkan
lamanya jangka waktu yang dipandang berpotensi melanggar UU Persaingan
Usaha Indonesia, KPPU memperhatikan berbagai hal diantaranya adalah
teknologi produk waralaba, biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan
produk waralaba, sifat produk waralaba (apakah sudah menjadi public domain
atau tidak).
Pengecualian yang diatur dalam Pasal 50 huruf b, tidak dapat diterapkan
secara mutlak mengingat tidak tertutup kemungkinan terjadi pembuatan suatu
perjanjian yang berkaitan dengan waralaba tetapi dalam perjanjian tersebut memuat
suatu klausula yang berpotensi terjadinya monopoli atau persaingan usaha yang tidak
sehat.
Pengecualian yang diatur dalam Pasal 50 huruf b, dapat diterapkan sepanjang
memenuhi kriteria waralaba sebagaimana diatur dalam Pasal 26 huruf c, Pasal 29,
Pasal 35, dan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.
Ketentuan Pasal 50 huruf b tidak dapat diterapkan secara mutlak dengan
pertimbangan agar tujuan pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang tersebut, tidak menjadi sia-sia.
Oleh karena itu, perilaku pelaku usaha yang terkait dengan waralaba yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat tidak
dikecualikan dari ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf b.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
105
3.3 Implementasi Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Dilihat Dari
Ketentuan UU Persaingan Usaha Indonesia
Selain melihat dari ketentuan prinsip-prinsip perdagangan WTO, di dalam
merumuskan Permendag No. 53/2012, Pemerintah juga mengacu pada UU
Persaingan Usaha Indonesia, terutama mengenai isi dari Pasal 19. Pemerintah
berharap agar usaha waralaba di Indonesia memperhatikan perkembangan sosial dan
ekonomi dalam rangka pengembangan usaha kecil dan menengah.
Pasal 19 Permendag No. 53/2012 menyatakan:
(1)“Pemberi waralaba dan Penerima waralaba wajib menggunakan bahan baku, peralatan usaha serta menjual barang dagangan paling sedikit 80% barang dan/atau jasa produksi dalam negeri.
(2) Dalam hal tertentu, Menteri dapat memberikan izin penggunaan bahan baku, peralatan usaha serta menjual barang dan/atau jasa produksi dalam negeri kurang dari 80% setelah mempertimbangkan rekomendasi Tim Penilai.”
Isi dari pasal 19 tersebut terutama dalam ayat (1) sudah sesuai dengan salah
satu tujuan pembentukan Keputusan Komisi No. 57/2009 yaitu untuk meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat serta mewujudkan iklim usaha yang kondusif sehingga
menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar,
pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
Pemerintah di dalam merumuskan Permendag No. 53/2012 juga melihat dari
tujuan pembentukan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah yaitu meningkatkan kedudukan, peran, dan potensi Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan
peningkatan pendapatan rakyat, penciptaan lapangan kerja, dan pengentasan
kemiskinan.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
106
Di dalam Pasal 26 huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah disebutkan bahwa kemitraan dilaksanakan
dengan salah satu pola yaitu waralaba. Dan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, terkait dengan waralaba
menentukan sebagai berikut:
(1) “Usaha Besar yang memperluas usahanya dengan cara waralaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, memberikan kesempatan dan mendahulukan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang memiliki kemampuan.
(2) Pemberi waralaba dan penerima waralaba mengutamakan penggunaan barang dan/atau bahan hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang disediakan dan/atau dijual berdasarkan perjanjian waralaba.
(3) Pemberi waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada penerima waralaba secara berkesinambungan.”
Ketentuan mengenai penggunaan produksi dalam negeri disamping diatur
dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 juga diatur dalam
Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang
menegaskan bahwa:
(1) “Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba mengutamakan penggunaan
barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan/atau jasa yang ditetapkan secara tertulis oleh Pemberi Waralaba.
(2) Pemberi Waralaba harus bekerjasama dengan pengusaha kecil dan menengah di daerah setempat sebagai Penerima Waralaba atau pemasok barang dan/atau jasa sepanjang memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba.”
Dengan demikian, Pemerintah di dalam merumuskan Pasal 19 Permendag No.
53/2012 ini tidak melanggar dari ketentuan yang terdapat di dalam UU Persaingan
Usaha Indonesia dan dalam rangka pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah dan penggunaan produksi dalam negeri, maka penerapan Pasal 19
permendag No. 53/2012 ini harus tetap mengacu pada ketentuan Pasal 50 huruf b UU
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
107
Persaingan Usaha Indonesia, khususnya tentang pengecualian terhadap perjanjian
yang berkaitan dengan waralaba, dan harus memperhatikan prinsip larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, agar dapat menjamin kesempatan
berusaha bagi seluruh pelaku usaha, mewujudkan iklim usaha yang kondusif
sebagaimana dijamin dalam UU Persaingan Usaha Indonesia.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
108
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan:
Berdasarkan uraian-uraian mengenai Ketentuan Pasal 19 Permendag No. 53/2012
dilihat dari Prinsip Perdagangan WTO pada bab 2 dan Ketentuan Pasal 19 Permendag
No. 53/2012 dilihat dari UU Persaingan Usaha Indonesia pada bab 3, maka dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pemerintah melalui Menteri Perdagangan Republik Indonesia menerbitkan
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 53/M
DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba (Permendag No. 53/2012)
sebagai pengganti dari Permendag No.31/2008 dalam rangka untuk
mengoptimalkan penyelenggaraan waralaba, yang bertujuan meningkatkan
kegiatan usaha melalui waralaba, kemitraan usaha antara pemberi waralaba
dengan pengusaha kecil dan menengah serta peningkatan produk dalam negeri.
Namun pada kenyataannya, Permendag No. 53/2012 yang baru diterbitkan ini
mengalami berbagai kritikan terutama dari para pelaku industri waralaba karena
banyak ketentuan dalam permendag tersebut dianggap tidak jelas, kontroversial,
dan berpotensi menimbulkan persoalan bahkan dapat mengancam perkembangan
industri waralaba lokal terutama mengenai isi Pasal 19. Ketentuan dalam Pasal
19 ini dianggap dapat mempersulit beberapa pelaku usaha yang mengandalkan
produknya dari luar negeri dan membuat waralaba asing kurang antusias datang
ke Indonesia.
Indonesia sebagai negara peratifikasi Perjanjian WTO, maka di dalam
merumuskan Permendag No. 53/2012 ini juga melihat dari prinsip-prinsip
Perdagangan WTO, salah satunya yaitu Special and Differential to Developing
Nations. Pemberian perlakuan khusus bagi negara berkembang ini disebut
dengan prinsip preferensi. Dasar teori dari sistem preferensi ini adalah bahwa
negara-negara harus diperbolehkan untuk menyimpang dari kewajiban-
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
109
kewajiban most favoured nation untuk memperbolehkan mereka guna
mengurangi tarifnya pada impor-impor barang manakala barang-barang tersebut
berasal dari negara-negara berkembang. Oleh karena itu, Pemerintah di dalam
merumuskan Pasal 19 Permendag No. 53/2012 ini tidak melanggar dari
ketentuan prinsip perdagangan Perjanjian WTO dan karena tujuan sebenarnya
Permendag No. 53/2012 ini untuk meningkatkan penggunaan produk dalam
negeri sehingga mampu bersaing dengan produk dari luar negeri.
2. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, diadakan pengecualian untuk
berlakunya ketentuan Undang-Undang tersebut terhadap perjanjian yang
berkaitan dengan waralaba, yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf b.
Akan tetapi, hal-hal yang berkaitan dengan waralaba tidak mutlak dikecualikan
dari jangkauan UU Persaingan Usaha Indonesia, karena yang dikecualikan
adalah sistem waralabanya, sedangkan tindakan pelaku usaha waralaba tidak
dikecualikan. Jadi apabila pelaku usaha waralaba melakukan persaingan usaha
tidak sehat, maka ia dapat terkena UU Persaingan Usaha Indonesia. Mengenai
hal itu, KPPU mengeluarkan Keputusan Komisi No. 57/2009 tentang
Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 Terhadap Perjanjian yang
Berkaitan dengan Waralaba dan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengecualian Penerapan UU No. 5
Tahun 1999 Terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba.
Selain melihat dari ketentuan prinsip-prinsip perdagangan WTO, di dalam
merumuskan Permendag No. 53/2012, Pemerintah juga mengacu pada tujuan
pembentukan Keputusan Komisi No. 57/2009 dan UU No. 20 Tahun 2008
tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, terutama mengenai isi dari Pasal 19
ayat (1) berkaitan penggunaan bahan baku, peralatan usaha serta menjual barang
dagangan paling sedikit 80% barang dan/atau jasa produksi dalam negeri.
Ketentuan mengenai penggunaan produksi dalam negeri disamping diatur dalam
Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 juga diatur dalam
Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
110
Pemerintah di dalam merumuskan Pasal 19 Permendag No. 53/2012 ini tidak
melanggar dari ketentuan yang terdapat di dalam UU Persaingan Usaha
Indonesia dan dalam rangka pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
dan penggunaan produksi dalam negeri, maka penerapan Pasal 19 permendag
No. 53/2012 ini harus tetap mengacu pada Keputusan Komisi No. 57/2009 agar
dapat menjamin kesempatan berusaha bagi seluruh pelaku usaha, mewujudkan
iklim usaha yang kondusif sebagaimana dijamin dalam UU Persaingan Usaha
Indonesia.
4.2 Saran:
Adapun beberapa saran yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai berikut:
1. Dengan dikeluarkannya Permendag No. 53/2012 ini bertujuan untuk melindungi
waralaba lokal dan meningkatkan kemitraan usaha antara pemberi waralaba
dengan pengusaha kecil dan menengah serta peningkatan produk dalam negeri.
Namun dalam prakteknya masih banyak pelaku usaha waralaba yang tidak atau
kurang memahami mengenai isi dalam Permendag No. 53/2012 dengan baik.
Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah mensosialisasikan regulasi atau aturan
tersebut agar semua pihak yang terkait dalam bisnis waralaba dapat memahami
isi dari permendag tersebut dengan baik. Mengenai ketentuan dalam Pasal 19
yang mewajibkan para pelaku waralaba menggunakan bahan baku 80%,
diharapkan pemerintah dapat menyiapkan pasokan bahan baku lokal yang baik
dan berkualitas bagi masyarakat dengan salah satu cara memberikan fasilitas
yang memadai bagi para pemasok kecil seperti peternak dan petani.
2. Diharapkan juga pemerintah membuat suatu undang-undang khusus yang
mengatur secara tegas mengenai waralaba agar para pelaku usaha waralaba dapat
mengetahui dengan jelas mengenai hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan
dalam bisnis waralaba.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
111
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Adolf, Huala. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
__________. Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
__________ & A. Chandrawulan. Masalah-masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994.
AK, Syahmin. Hukum Dagang Internasional. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: PT. Alumni, 2005.
_______________________. KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan. Bandung: PT. Alumni, 1993.
Basarah, Dr. H. Moch. & H. M. Faiz Mufidin. Bisnis Franchise dan Aspek-aspek Hukumnya. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008.
Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary 6th ed. St Paul MN: West publishing, Co, 1990.
Bradley, Frank. International Marketing Strategy. London: Prentice Hall, 1991.
Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri. Panduan Kebijakan Waralaba dan MLM. Jakarta: Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, 2012.
Franchise, Majalah Info. Edisi Oktober 2012.
Fox, Stephen. Membeli dan Menjual Bisnis Franchise, Seri Bisnis Baron. Jakarta: Elex Media Komputindo, 1993.
Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005.
Gautama, Sudargo. Segi-Segi Hukum Perdagangan Internasional (GATT & GSP). Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994.
_____________. Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional. Bandung: PT. Alumni, 1985.
Guritno, T. Kamus Ekonomi Bisnis Perbankan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1992.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
112
Harjowidigno, Rooseno. Perspektif Pengaturan Perjanjian Franchise. Makalah Pertemuan Ilmiah tentang Usaha Franchise dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi. Jakarta : BPHN, 14-16 Desember 1993.
Hartono, Sunaryati. Kapita Selekta Perbandingan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.
Hata, Dr. Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT Dan WTO Aspek-aspek Hukum dan Non Hukum. Bandung: PT Refika Aditama, 2006.
Hermansyah. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2008.
Houtte, Hans Van. The Law of International Trade. London: Sweet & Maxwell, 1995.
Ibrahim, Johny. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumendia Publishing, 2007.
Ibrahim, Johanes. Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank, Bandung: CV. Utama, 2003.
____________ & Lindawati Sewu. Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern. Bandung : Refika Aditama, 2004.
Indonesia, Asosiasi Franchise. Direktori Franchise Indonesia. Edisi III, 2007.
Juwana, Hikmahanto. Hukum Ekonomi Dan Hukum Internasional. Jakarta: Lentera Hati, 2001.
Kennedy, Kevin C. Competition Law And The World Trade Organisation: The Limits Of Multilateralism. London: Sweet & Maxwell, 2001.
Khairandy, Ridwan. Perjanjian Franchise Sebagai Sarana Alih Teknologi. Pusat Studi Hukum UII Yogyakarta bekerjasama dengan yayasan Klinik Haki Jakarta, 2000.
Margono, Suyud. Hukum Anti Monopoli. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Mendelsohn, Martin. Franchising: Petunjuk Praktis bagi Franchisor dan Franchisee. Jakarta : PT. Pustaka Binaman Perssindo, 1997.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1990.
Nadapdap, Binoto. Hukum Acara Persaingan Usaha. Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009.
Purba, Prof. Achmad Zen Umar. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Bandung: PT Alumni, 2005.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
113
Setiawan, Deden. Franchise Guide Series: Kiat Memilih Usaha Dengan Biaya Kecil Untung Besar 2. Jakarta: Dian Rakyat, 2007.
Sewu, P. Lindawaty S. Franchise: Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum dan Ekonomi, Bandung: CV Utomo, 2004.
Sianipar, Nursalam. Aspek Hukum Peran Serta Pemerintah Dalam Mengantisipasi Pasar Bebas. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2001.
Simatupang, Richard Burton. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003.
Sinambela, Asianto. Perkembangan Perundingan DDA Di World Trade Organization. Bandung: FH Universitas Padjajaran, 2006.
Siswanto, Arie. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
Sood, Muhammad. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011.
Subekti, R. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1987.
Sumardi, Juajir. Aspek-aspek Hukum Franchise Dan Perusahaan Transnasional. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1995.
Suryono, Ekotama. Jurus Jitu Memilih Bisnis Franchise. Yogyakarta: Citra Media, 2010.
Suseno, Darmawan Budi. Sukses Usaha Waralaba. Yogyakarta: Cakrawala, 2007.
Sutedi, Adrian. Hukum Waralaba. Bogor: Ghalia Indonesia, 2008.
Tim Internasional Franchise Business Management. Franchise Manual: Panduan Franchise Terlengkap & Pertama Di Indonesia. Jakarta: Internasional Franchise Business Management, 2007.
Tunggal, Iman Sjahputera. Franchising Konsep & Kasus. Harvarindo, 2004.
Webster, Bryce. The Insider’s Guide to Franchising. Amerika: American Management Association, 1991.
Widjaja, Gunawan. Waralaba. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
B. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
114
________. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
________. Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, LN No.33 Tahun 1999, TLN No.3817.
________. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah, UU Nomor 20 Tahun 2008, LN No. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866.
________. Peraturan Pemerintah Tentang Waralaba, PP No. 42 Tahun 2007, LN No. 90 Tahun 2007, TLN No. 4742.
________. Peraturan Menteri Perdagangan Tentang Penyelenggaraan Waralaba, Permendag No. 53/M–DAG/PER/8/2012.
________. Peraturan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Tentang Pedoman Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 Terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba, Perkom No. 6 Tahun 2009.
________. Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian Yang Berkaitan Dengan Waralaba, Kepkom No. 57/KPPU/Kep/III/2009.
C. Internet Azwar, Tengku Keizerina Devi. “Perlindungan Hukum Dalam Franchise”,
http://repository.usu.ac.id/browse?type=author&value=Tengku+Keizerina+Devi+Azwar, diunduh 6 Januari 2013.
Gema, “Pengertian Kontrak”, http://gemaisgery.blogspot.com/2010/06/pengertian-kontrak.html, Diunduh 6 Januari 2013.
Muharam, S. “Istilah-Istilah Dalam Waralaba”, https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:BEqxLfB8hC8J:directory.umm.ac.id/Data%2520Elmu/doc/YAHUDI.doc+&hl=en&pid=bl&srcid=ADGEESgwSwG07VgelFz7CrBM--CgARufjXlSIa1dFAaJ13U06OXICBMtVPFmE6Do4OOuwhx0R_grweK7TA5bzfDXLbCx21OY_OF0a3FobZ424l6eqctJYNBMrUxbshaIIkuT-GKQkisk&sig=AHIEtbSJLqc6KSh6RjGszdd6-DNc9FVAmA, diunduh 6 Januari 2013.
“Perusahaan Waralaba (Franchise): Definisi, Jenis/bentuk dan Keunggulan dan Kelemahan sistem Franchise”, http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/09/perusahaan-waralaba-franchise-definisi.html, diunduh 6 Januari 2013.
Purnama, Yohanes Heidy. “Epidemi Tren Konsep Bisnis Waralaba”, http://salamfranchise.com/2008/03/01/epidemi-tren-konsep-bisnis-waralaba/, diunduh 5 januari 2013.
Rivai, M. Muctar. “Pengaturan Waralaba di Indonesia: Perspektif Hukum Bisnis”, (Jurnal Liquidity: Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2012, hal. 161.),
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013
115
http://www.liquidity.stiead.ac.id/blog/2012/10/12/pengaturan-waralaba-di-indonesia-perspektif-hukum-bisnis/, diunduh 7 Januari 2012.
“Sejarah Awal Mula Waralaba”, http://wirausaha.net/membangun-bisnis/3017-sejarah-awal-mula-waralaba.html, diunduh 5 Januari 2013.
“Sejarah Perkembangan Bisnis Franchise/Waralaba”, http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/11/sejarah-perkembangan-bisnis-franchisewaralaba/, diunduh 5 Januari 2013.
Sjahputra, Iman. “Franchise: Perikatan HaKI yang Diperluas”, http://www.haki.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1104523729, diunduh 7 Januari 2013.
Sutrisno, Nandang. “Eksistensi Ketentuan Khusus Bagi Negara Berkembang Dalam Perjanjian World Trade Organization”, http://www.scribd.com/doc/39308488/Eksistensi-Ketentuan-Khusus-Bagi-Negara-Berkembang-Dalam-Perjanjian-World-Trade-Organization, diunduh 8 Desember 2012.
Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013