ketentuan penggunaan bahan baku lokal...

127
UNIVERSITAS INDONESIA KETENTUAN PENGGUNAAN BAHAN BAKU LOKAL TERHADAP WARALABA ASING DILIHAT DARI PRINSIP PERDAGANGAN WTO DAN UNDANG-UNDANG PERSAINGAN USAHA INDONESIA TESIS CAROLINASARI 1106030473 PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM JAKARTA JANUARI 2013 Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

Upload: phungdat

Post on 07-Apr-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

UNIVERSITAS INDONESIA

KETENTUAN PENGGUNAAN BAHAN BAKU LOKAL TERHADAP WARALABA ASING DILIHAT DARI PRINSIP

PERDAGANGAN WTO DAN UNDANG-UNDANG PERSAINGAN USAHA INDONESIA

TESIS

CAROLINASARI

1106030473

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM JAKARTA

JANUARI 2013

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

UNIVERSITAS INDONESIA

KETENTUAN PENGGUNAAN BAHAN BAKU LOKAL TERHADAP WARALABA ASING DILIHAT DARI PRINSIP

PERDAGANGAN WTO DAN UNDANG-UNDANG PERSAINGAN USAHA INDONESIA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum

CAROLINASARI

1106030473

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM JAKARTA

JANUARI 2013

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua

sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya

nyatakan dengan benar

Nama : Carolinasari

NPM : 1106030473

Tanda Tangan

:

Tanggal

:

21 Januari 2013

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh :

Nama : Carolinasari

NPM : 1106030473

Program Studi : Ilmu Hukum (Magister Hukum Ekonomi)

Judul Tesis : Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Terhadap Waralaba Asing Dilihat Dari Prinsip Perdagangan WTO Dan Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Kurnia Toha S.H., LL.M., Ph.d

Penguji : Dr. Freddy Harris S.H., LL.M.

Penguji : Teddy Anggoro S.H., M.H.

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 21 Januari 2013

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

iv

KATA PENGANTAR

Puji, hormat, dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, oleh karena kemurahan dan

karunia-Nya telah memampukan Penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Penulisan

tesis yang berjudul “Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Terhadap Waralaba

Asing Dilihat Dari Prinsip Perdagangan WTO Dan Undang-Undang Persaingan

Usaha Indonesia” ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

mencapai gelar Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saya

menyadari bahwa tanpa bantuan berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada

penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh

karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Rossa Agustina S.H., M.H. selaku Ketua Program Pascasarjana

Fakultas Hukum Universitas Indonesia;

2. Kurnia Toha S.H., LL.M., P.hd sebagai pembimbing penulis yang telah

banyak membantu serta memberikan masukan dalam penyelesaian tesis ini.

“Terima kasih Pak atas waktu dan perhatian yang sudah disediakan untuk

membimbing Penulis di sela-sela kesibukan bapak.”;

3. Dr. Freddy Harris S.H., LL.M. dan Teddy Anggoro S.H., M.H. selaku dosen

penguji yang telah memberikan masukan yang berharga untuk

penyempurnaan tesis ini;

4. Prof. Dr. Rosa Agustina S.H., M.H., Dr. Nurul Elmiyah, S.H., M.H. dan Heru

Susetyo S.H., LL.M., M.Si., sebagai Pembimbing Akademik Penulis;

5. Orang tua, adik-adik, dan keluarga besar saya yang telah memberikan

dorongan semangat dan doa buat penulis;

6. Ibu Nurlaila Nur Muhammad (Direktur Bina Usaha Perdagangan Kementerian

Perdagangan) yang telah meluangkan waktunya untuk wawancara dengan

penulis dan telah banyak membantu dalam usaha memperoleh data yang

penulis perlukan;

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

v

7. Bapak Anang Sukandar (Ketua Asosiasi Franchise Indonesia) yang telah

membantu dalam usaha memperoleh data yang penulis perlukan;

8. Lalu Mulyono sebagai seseorang yang berarti bagi penulis. Terima kasih

untuk dorongan semangat, doa, kasih sayang serta bantuannya selama ini

mulai dari awal kuliah sampai sekarang. Kamu selalu akan menjadi semangat

buat aku! U’r my best partner in my life, nduti;

9. Sahabat-sahabat penulis: Denis, Tysa, Iin Karoline, Miranda-Dini (di Bali),

Jekman yang membantu penulis dalam memberikan ide-ide, semangat dan

doa dalam proses penyusunan tesis ini. Kalian yang terbaik!;

10. Teman-teman satu kelas penulis: Acha, Ika, Galuh, Mba Fara, Fajar, Bagas,

Haryanto, Mas Adi , Bang Hamal, Bang Salman, Mba Rita, Tessa, Uli, Pakde

Didy, Akira, Icha Raja, Icha Nurul, Sisca, dan seluruh teman-teman di

Pascasarjana FHUI, hukum ekonomi reguler angkatan 2011. So thankful

knowing u all guys, hopefully our friendship langgeng terus yah;

11. Seluruh Staff Sekretariat Pascasarjana FHUI yang senantiasa membantu.

12. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, yang telah

memberikan dukungan dan bantuan dalam penyelesaian tesis ini.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yesus Kristus berkenan membalas kebaikan

semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini dapat membawa manfaat bagi

pengembangan ilmu.

Jakarta , 21 Januari 2013

Carolinasari

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

vi

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Carolinasari

NPM : 1106030473

Program Studi : Ilmu Hukum (Magister Hukum Ekonomi)

Departemen : Hukum

Fakultas : Hukum

Jenis karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

“Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Terhadap Waralaba Asing Dilihat Dari Prinsip Perdagangan WTO Dan Undang-Undang Persaingan Usaha

Indonesia”

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada tanggal : 21 Januari 2013

Yang menyatakan

(Carolinasari)

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

vii

ABSTRAK

Nama : Carolinasari

Program Studi : Ilmu Hukum (Magister Hukum Ekonomi)

Judul : Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Terhadap Waralaba Asing Dilihat Dari Prinsip Perdagangan WTO Dan Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia

Fenomena globalisasi yang terjadi saat ini mengakibatkan berkembang pesatnya perdagangan dunia, salah satunya yaitu waralaba (franchise). Indonesia sendiri mempunyai potensi yang baik untuk pengembangan bisnis waralaba. Pesatnya arus masuk waralaba asing ke Indonesia disebabkan oleh pasar Indonesia yang sangat kondusif bagi perkembangan usaha waralaba asing. Namun ternyata berkembangnya waralaba asing di Indonesia memberikan dampak negatif yaitu dapat memperlebar kesenjangan ekonomi antara usaha besar, usaha menengah dan usaha kecil. Dalam rangka mendorong peningkatan waralaba ke arah membangun kemitraan dengan pengusaha kecil dan menengah dalam bentuk penerima waralaba atau pemasok bahan baku termasuk peningkatan penggunaan produksi dalam negeri, maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dengan diikuti munculnya Permendag no. 53/2012 Tentang Penyelenggaraan Waralaba. Dalam pelaksanaannya Permendag no. 53/2012 banyak menemui kendala, salah satu pasal yang dianggap melahirkan kontroversi yaitu adanya ketentuan penggunaan bahan baku 80% harus berasal dari produk dalam negeri yang dirasa sangat merugikan para waralaba asing. Akan tetapi di dalam merumuskan ketentuan penggunaan bahan baku tersebut, Pemerintah (sebagai negara peratifikasi Perjanjian WTO) tidak melanggar Prinsip Perdagangan WTO yaitu Special and Differential to Developing Nations dan mengacu pada tujuan pembentukan Keputusan Komisi No. 57/2009 tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 Terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba dan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah agar dapat menjamin kesempatan berusaha bagi seluruh pelaku usaha, mewujudkan iklim usaha yang kondusif sebagaimana dijamin dalam UU Persaingan Usaha Indonesia.

Kata Kunci: Waralaba, Penggunaan Bahan Baku, Prinsip Perdagangan WTO, Undang-Undang Persaingan Usaha

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

viii

ABSTRACT

Name : Carolinasari

Study Program : Magister of Law

Title : Local Content Usage Regulation To Foreign Franchise Be Looked From WTO Trading Principal and Indonesia Business Competitive Laws

Globalization phenomenon is occurred today make the rapid development of world trading, one of them is franchise. Indonesia have good potency in order to develop the franchise business. The fast growth of foreign franchise in Indonesia because Indonesia market is very conducive for the development of foreign franchise business. But in the fact the development of foreign franchise in Indonesia give negative effect namely can make the wide of economics gap between big business, middle and small business. In order to support the increasing of franchise to the direction of building the partnership with small and medium business in form of the receiver of franchise or the supplier of material included the increasing of local production usage, so the government release the Regulation of Government Number 42/2007 about the franchise by followed about the releasing Permendag Number 53/2012 about the implementation of franchise. In its implementation Permendag number 53/2012 there are so many problem founded, one of some article that be estimated make the controversy namely there is the regulation of material usage about 80% must come from local product that be felt make lost absolutely for the foreign franchise. Meanwhile in making the formula of such local content usage regulation, government (as the country of WTO agreement ratification) do not abuse WTO trading principle namely special and differential to Developing Nations and refer to the purpose of establishment Commission decree Number 57/2009 about the exception of application of Laws Number 5/2009 for the micro, middle and small business in order that can insurance the opportunity of business for all the doer of business, to realize the climate of business which is conducive as be guaranteed in the laws if Indonesia business competitiveness .

Keyword: Franchise, material usage, WTO Trading Principle, Business competitiveness laws

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN ...............................................................................iii

KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........................ vi

ABSTRAK (BAHASA INDONESIA) ............................................................. vii

ABSTRAK (BAHASA INGGRIS) ................................................................. viii

DAFTAR ISI .................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2. Pokok Permasalahan................................................................................. 7 1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 7 1.4. Manfaat Penelitian.................................................................................... 7 1.5. Kerangka Teori ........................................................................................ 8 1.6. Kerangka Konsepsional .......................................................................... 13 1.7. Metode Penelitian ................................................................................... 16 1.8. Sistematika Penulisan ............................................................................. 20

2. KETENTUAN PENGGUNAAN BAHAN BAKU LOKAL DILIHAT DARI PRINSIP PERDAGANGAN WTO 2.1. Prinsip Perdagangan World Trade Organization (WTO)........................ 22 2.1.1. Sejarah Terbentuknya GATT/WTO ................................................. 22 2.1.2. Tujuan Terbentuknya WTO ............................................................. 24 2.1.3. Prinsip Perdagangan WTO .............................................................. 25 2.1.4. Waiver Dan Pembatasan Darurat Terhadap Impor ........................... 32 2.1.5. Penerapan Prinsip-Prinsip Dasar WTO Terhadap Kepentingan Nasional

Negara Berkembang .............................................................................. 33 2.1.6. Implementasi Kesepakatan WTO dalam Hukum Nasional Indonesia 39 2.2. Waralaba ................................................................................................ 43

2.2.1. Sejarah Waralaba ........................................................................... 43 2.2.2. Pengertian Waralaba ...................................................................... 48 2.2.3. Jenis-jenis Waralaba ...................................................................... 54

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

x

2.2.4. Waralaba Sebagai Bentuk Perjanjian .............................................. 57 2.2.4.1. Perjanjian Waralaba .................................................................. 57 2.2.4.2. Asas-asas Perjanjian Waralaba .................................................. 66 2.2.5. Perbedaan Pemberian Waralaba Dan

Lisensi…………………………………………………… ………. 70

2.2.6. Perkembangan Waralaba Di Indonesia ........................................... 72 2.2.7. Pengaturan Waralaba Di Indonesia ................................................ 74

2.3. Implementasi Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Dilihat dari Prinsip Perdagangan WTO ................................................................................. 81

3. KETENTUAN PENGGUNAAN BAHAN BAKU LOKAL DILIHAT DARI UNDANG-UNDANG PERSAINGAN USAHA INDONESIA 3.1. Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia ......................................... 86 3.1.1. Persaingan dan Dunia Usaha. ......................................................... 86

3.1.2. Latar Belakang Hukum Persaingan Usaha Indonesia ...................... 87 3.1.3. Asas dan Tujuan UU Persaingan Usaha Indonesia ......................... 88 3.1.4. Butir-butir Cakupan Pengaturan UU Persaingan Usaha Indonesia .. 90 3.1.5. Pengecualian Dalam UU Persaingan Usaha Indonesia.................... 91

3.2. Hubungan Waralaba Dengan UU Persaingan Usaha Indonesia ............... 92 3.2.1. Pengecualian Penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia Terhadap

Perjanjian Berkaitan Dengan Waralaba ................................................... 96 3.3. Implementasi Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Dilihat Dari

Ketentuan UU Persaingan Usaha Indonesia .......................................... 105

4. PENUTUP 4.1. Kesimpulan .......................................................................................... 108 4.2. Saran .................................................................................................... 110

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 111

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Pertumbuhan Waralaba Asing dan Lokal di Indonesia Pada Tahun 2011-2012 ............................................................................................ 4

Tabel 2.1 Ketentuan Baru Dalam Pengelolaan Waralaba .................................... 80

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Globalisasi yang terjadi saat ini mengakibatkan berkembang pesatnya

perdagangan dunia. Perdagangan adalah sektor jasa yang menunjang kegiatan

ekonomi antar anggota masyarakat dan antar bangsa. Karena itu, bagi Indonesia

dengan ekonominya yang bersifat terbuka, perdagangan sangat vital bagi upaya untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan, meningkatkan

pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan pemerataan

pembangunan serta memelihara kemantapan stabilitas nasional.

Perdagangan tersebut dilakukan melewati batas-batas negara, baik yang hanya

meliputi lingkup regional maupun yang telah meliputi lingkup internasional. Salah

satu cara perdagangan dunia yang berkembang dengan pesat adalah waralaba

(franchise).

Waralaba merupakan salah satu cara pengembangan usaha. Warren J. Keegen

dalam bukunya Global Marketing Management mengatakan bahwa para pengusaha

yang bermaksud mengembangkan usahanya secara internasional dapat melakukan

beberapa macam pilihan cara, dari yang paling sederhana hingga yang paling

kompleks, diantaranya dengan melakukan pewaralabaan (franchising).1

Sistem waralaba di Amerika Serikat pertama kali dimulai pada tahun 1851.

Pada saat itu, di Amerika Serikat timbul apa yang dinamakan sistem waralaba

Amerika generasi pertama, yang disebut sebagai straight product franchising

(waralaba produksi murni). Pada mulanya sistem ini berupa pemberian lisensi bagi

penggunaan nama pada industri minuman (Coca-Cola), kemudian berkembang

1 Gunawan Widjaja, Waralaba, cet. 2, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 1.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

2

sebagai sistem pemasaran pada industri mobil (General-Motors).2 Seiring berjalannya

waktu, waralaba berkembang pesat di Amerika Serikat sehingga para pengusaha

waralaba melakukan ekspansi untuk memperluas usaha waralabanya ke beberapa

negara, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an dengan munculnya

dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi atau menjadi agen tunggal

pemilik merek.3 Waralaba di Indonesia semakin berkembang ketika masuknya

waralaba asing pada tahun 80-90an, seperti KFC, McDonald’s, Burger King dan

Sushi Tei. Perusahaan-perusahaan waralaba lokal pun mulai muncul pada masa itu,

salah satunya adalah Es Teler 77. Pesatnya pertumbuhan penjualan waralaba

disebabkan oleh faktor popularitas franchisor. Hal ini tercermin dari kemampuannya

untuk menawarkan suatu bidang usaha yang probabilitas keberhasilannya tinggi.

Waralaba merupakan salah satu sistem pemasaran yang secara tepat dan

menguntungkan untuk mengembangkan usaha baik bagi konsumen di dalam negeri

maupun konsumen di luar negeri. Indonesia sendiri mempunyai potensi yang baik

untuk pengembangan bisnis waralaba. Hal ini dilihat dari kondisi di Indonesia,

banyak bidang usaha yang menunjukkan adanya potensi pasar yang besar dan

berkembang.

Pesatnya arus masuk waralaba asing ke Indonesia disebabkan oleh pasar

Indonesia yang sangat kondusif bagi perkembangan usaha waralaba asing dan

dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup tinggi, stabilitas

politik serta tumbuh kembangnya kelompok kelas menengah di kota-kota besar yang

merupakan konsumen potensial dalam bisnis waralaba dikarenakan mereka biasanya

lebih menyukai produk dari merek terkenal yang berasal dari luar negeri karena

dianggap lebih berkualitas dan lebih bergengsi.

Pertumbuhan waralaba yang berkembang pesat adalah di bidang makanan.

Bahkan pertumbuhan bisnis waralaba di bidang makanan ini akan tetap meningkat

tajam dikarenakan kebutuhan primer manusia yang tidak terlepas dari makanan dan

2 Adrian Sutedi, Hukum Waralaba, cet. 1 (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hal. 1. 3Ibid., hal. 19.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

3

minuman. Peningkatan akan usaha di bidang makanan ini juga sangat ditunjang oleh

pola hidup masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar.

Waralaba makanan yang berasal dari dalam negeri diantaranya adalah Es Teler

77, Bakmi Naga, dan Roti Buana, sedangkan yang berasal dari luar negeri

diantaranya adalah Kentucky Fried Chicken, McDonald’s, Sushi Tei, dan Pizza Hut.

Waralaba minuman yang berasal dari dalam negeri diantaranya adalah Bakoel Koffie,

sedangkan yang berasal dari luar negeri diantaranya adalah Starbucks dan coffee

bean.

Sebelum krisis moneter tahun 1997, pemain waralaba di Indonesia umumnya

adalah waralaba asing. Dalam pengoperasiannya di Indonesia, waralaba asing seperti

McDonald’s, Sushi Tei, Kentucky Fried Chicken, Bread Talk, dan Starbucks,

menjual master franchise.Master franchise ini berhak untuk mengelola sendiri atau

menjual kembali kepada franchisee (penerima waralaba) pada suatu teritori (cakupan

area) tertentu, tergantung pada kesepakatan.4

Sekarang ini perkembangan waralaba di Indonesia terus mengalami peningkatan

terutama pada waralaba lokal, tidak hanya dilihat dari jumlah pelaku waralaba yang

semakin bertambah, tetapi juga munculnya merek waralaba baru.

Berdasarkan database Asosiasi Franchise Indonesia5 (AFI), pertumbuhan

waralaba asing dan lokal di Indonesia pada tahun 2011-2012 adalah sebagai berikut:

Tahun Jumlah Walaba

Asing

Jumlah Waralaba

& Business

Opportunity (BO)

Lokal

Total

4Ibid., hal. 20. 5 Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) didirikan pada tanggal 22 November 1991 dengan

bantuan International Labour Organization (ILO) dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. AFI merupakan mitra pemerintah dalam pembinaan dan pengembangan dunia usaha waralaba.Anggota AFI terdiri dari pemberi waralaba dan penerima waralaba.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

4

2011 300 1.500 1.800

2012 320 1.700 2.020

Tabel 1.1 Sumber: Majalah Info Franchise, Edisi Oktober 2012, hal. 20.

Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa persentase pertumbuhan bisnis

waralaba dan BO lokal dari tahun 2011-2012 mengalami peningkatan 11,7%

sedangkan persentase peningkatan waralaba asing di Indonesia pada tahun 2011-2012

mengalami peningkatan sebanyak 6,25%. Total peningkatan waralaba dalam negeri

maupun asing pada tahun 2011-2012 mengalami peningkatan sebesar 10,9%.6

Tumbuhnya waralaba asing di Indonesia secara positif akan membangkitkan

gairah perekonomian serta memacu pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun di

sisi lain terdapat cukup masalah yang berarti, yakni keberadaan waralaba asing hanya

memenuhi kebutuhan pasar untuk golongan menengah ke atas, dimana pengusaha

yang mengelolanya pun harus harus dari golongan pengusaha menengah ke atas. Hal

ini pada akhirnya akan memperlebar kesenjangan ekonomi antara usaha besar, usaha

menengah dan usaha kecil.

Kehadiran dari waralaba asing ini harus benar-benar mendapat perhatian yang

serius agar keberadaannya memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia,

namun selain itu, membantu dan mengembangkan kedudukan dari golongan usaha

kecil dan menengah. Dengan kata lain, usaha kecil di Indonesia harus merasakan

manfaat dari hadirnya waralaba asing tersebut.

Pelaksanaan waralaba pada mulanya hanya didasarkan pada Buku Ketiga Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan. Seiring dengan perkembangan

pelaksanaan waralaba di Indonesia, maka dalam rangka menciptakan tertib usaha

dengan cara waralaba serta perlindungan terhadap konsumen, dipandang perlu

menetapkan ketentuan tentang Waralaba yang diatur secara khusus dengan

ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 pada tanggal 18 Juni

1997 yang kemudian pada tahun 2007 dicabut dan diganti dengan Peraturan

6 Majalah Info Franchise, Permendag No. 53/2012 Harus Dipatuhi, Edisi Oktober 2012, hal.

20.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

5

Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (yang selanjutnya disebut PP

Waralaba). Lahirnya PP Waralaba ini dilandasi upaya pemerintah meningkatkan

pembinaan usaha waralaba di seluruh Indonesia sehingga perlu mendorong

pengusaha nasional, terutama pengusaha kecil dan menengah untuk tumbuh sebagai

franchisor nasional yang andal dan mempunyai daya saing di dalam negeri dan luar

negeri khususnya dalam rangka memasarkan produk dalam negeri.7

Adanya Peraturan Pemerintah ini, kemudian diikuti dengan munculnya

peraturan perundang-undangan guna melengkapi peraturan pemerintah tersebut.

Salah satu peraturan perundang-undangan tersebut yaitu Peraturan Menteri

Perindustrian dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang

Penyelenggaraan Waralaba yang kemudian disebut Permendag No. 31/2008.

Pelaksanaan Permendag No. 31/2008 ada dibawah pengawasan Kementrian

Perindustrian dan Perdagangan, selama 4 tahun berjalan Permendag No. 31/2008

tersebut akhirnya dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Perdagangan

Republik Indonesia Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012 Tahun 2012 Tentang

Penyelenggaraan Waralaba selanjutnya disebut Permendag No. 53/2012.

Alasan yang melatarbelakangi pemerintah mengganti Permendag No. 31/2008

karena peraturan tersebut belum dapat mendorong peningkatan waralaba ke arah

membangun kemitraan dengan pengusaha kecil dan menengah dalam bentuk

penerima waralaba atau pemasok bahan baku termasuk peningkatan penggunaan

produksi dalam negeri.8

Tujuan ditetapkannya Permendag No. 53/2012 yang menggantikan permendag

31/2008 adalah untuk mengoptimalkan penyelenggaraan waralaba terutama di daerah,

meningkatkan kemitraan antara pemberi waralaba dengan pengusaha kecil dan

menegah serta peningkatan penggunaan produk dalam negeri. Menurut Kementerian

Perdagangan RI, titik tekan revisi permendag ini bukan pada waralaba asing, tetapi

upaya untuk meningkatkan kemitraan usaha antara pemberi waralaba dengan

pengusaha kecil dan menengah serta peningkatan produk dalam negeri.

7 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 33. 8 Majalah Info Franchise, op.cit, hal. 21.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

6

Akan tetapi pada awal ditetapkannya Permendag No. 53/2012 ini sungguh

mengagetkan para pelaku industri waralaba dan pengamat usaha waralaba. Para

pelaku industri waralaba di Indonesia khawatir dengan adanya peraturan baru tersebut

justru malah mencederai industri waralaba yang belakangan sudah mulai membaik.

Para pengamat waralaba menilai pasal-pasal yang terdapat pada Permendag no.

53/2012 akan banyak menemui kendala dalam penerapan pelaksanaannya. Salah satu

pasal yang dianggap melahirkan kontroversi yaitu adanya peraturan kewajiban para

pelaku usaha menggunakan bahan baku 80% harus berasal dari produk dalam negeri

yang tercantum pada Pasal 19 ayat 1 Permendag No. 53/2012. Pasal mengenai aturan

untuk menggunakan 80% produk lokal terasa tidak masuk akal bagi usaha waralaba

merek asing terutama di bidang makanan dan fashion. Sebagian waralaba asing di

bidang makanan yang ada di Indonesia, dalam proses produksi sehari-harinya hampir

sebagian besar bahan baku produknya berasal dari luar negeri yang khusus di impor.

Hal ini dikarenakan untuk menjaga kualitas dan ciri khas dari waralaba asing tersebut.

Aturan tersebut dapat membuat waralaba asing akan kurang antusias datang ke

Indonesia. Waralaba asing yang ingin bekerja sama dengan franchisee (penerima

waralaba) di Indonesia akan ragu-ragu dan menghitung jumlah produk lokal yang

bisa diserap terlebih dahulu. Perlu diingat, bahwa hadirnya waralaba asing telah

memberikan alih informasi, pengetahuan dan teknologi bagi pengusaha Indonesia.

Waralaba asing telah membuat para pekerja Indonesia menjadi lebih profesional

karena pelatihan-pelatihan yang didapatkannya. Waralaba asing juga telah

memberikan berbagai inspirasi bagi berkembangnya kewirausahaan di Indonesia.

Selain daripada itu, seharusnya Pemerintah sebelum membuat Permendag No.

53/2012 ini terutama Pasal 19 hendaknya melihat ketentuan mengenai Prinsip

Perdagangan WTO mengingat bahwa Indonesia termasuk negara peratifikasi

Perjanjian WTO pada tanggal 15 April 1994 yang kemudian disahkan dengan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 dan juga melihat ketentuan dalam pasal-pasal

yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (yang selanjutnya disebut UU

Persaingan Usaha Indonesia) yang berkaitan dengan waralaba.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

7

Walaupun bagi para pihak di industri waralaba masih banyak yang belum dapat

menerima Permendag No. 53/2012 ini, akan tetapi pemerintah mengharapkan agar

para pelaku usaha waralaba baik lokal maupun asing dapat mematuhi Permendag No.

53/2012 dengan sebaik-baiknya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka mendorong penulis untuk memilih

topik waralaba, khususnya Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Pada

Waralaba Asing Dilihat Dari Prinsip Perdagangan WTO Dan Undang-Undang

Persaingan Usaha Indonesia.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka

pokok permasalahan yang hendak diajukan dalam penulisan ini adalah:

1. Bagaimana ketentuan penggunaan bahan baku lokal dilihat dari Prinsip

Perdagangan WTO?

2. Bagaimana ketentuan penggunaan bahan baku lokal dilihat dari UU Persaingan

Usaha Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka

tujuan penulisan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah untuk menganalisis:

1. Ketentuan penggunaan bahan baku lokal (Pasal 19 Permendag No. 53/2012)

dilihat dari Prinsip Perdagangan WTO.

2. Ketentuan penggunaan bahan baku lokal (Pasal 19 Permendag No. 53/2012)

dilihat dari UU Persaingan Usaha Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka

manfaat penulisan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah untuk:

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

8

1. Memberikan data mengenai Ketentuan penggunaan bahan baku lokal (Pasal 19

Permendag No. 53/2012) dilihat dari Prinsip Perdagangan WTO.

2. Memberikan data mengenai Ketentuan penggunaan bahan baku lokal (Pasal 19

Permendag No. 53/2012) dilihat dari UU Persaingan Usaha Indonesia.

1.5 Kerangka Teori

Dalam pembuatan perjanjian pada waralaba tetap memakai ketentuan yang

diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut

KUHPerdata) pada buku III tentang Perikatan yang didalamnya timbul dari

perjanjian.

Pengertian perjanjian menurut rumusan pasal 1313 KUHPerdata, didefinisikan

sebagai berikut :

“Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

satu orang lain atau lebih”.

Jika kita perhatikan, rumusan yang diberikan dalam pasal 1313 KUHPerdata

tersebut tersirat bahwa sesungguhnya dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau

prestasi dari satu atau lebih orang kepada satu atau lebih orang lainnya, yang berhak

atas prestasi tersebut.

Pengertian tersebut mirip dengan apa yang dikemukakan oleh R. Subekti,

yaitu “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada

orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu

hal.”9 Menurut Abdulkadir Muhammad, Perjanjian adalah “suatu persetujuan dengan

mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal

dalam lapangan harta kekayaan.”10

Setiap perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi

para pembuatnya, rumusan ini terdapat dalam pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yang

dipertegas lagi dalam pasal 1338 ayat 2 KUHPerdata yang menyatakan bahwa

9 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1987), hal. 1.

10 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 78.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

9

perjanjian yang disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh

salah satu pihak dalam perjanjian tanpa adanya persetujuan dari lawan pihaknya

dalam perjanjian atau dalam hal-hal dimana oleh undang-undang dinyatakan cukup

adanya alasan untuk itu.

Secara hukum, waralaba berarti persetujuan legal atas pemberian hak atau

keistimewaan untuk menawarkan suatu produk/ jasa dari pemilik (pewaralaba)

kepada pihak lain (terwaralaba) yang diatur dalam suatu permainan tertentu. Dalam

PP Waralaba Pasal 1 angka 1 dan Permendag No. 53/2012 Pasal 1 angka 1

menyatakan:

“Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.

Sedangkan menurut Peraturan Menteri perdagangan No.

12/MDAG/PER/3/2006 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda

Pendaftaran Usaha Waralaba, Pasal 1 Ayat 1 menyatakan:

”Waralaba (Franchise) adalah perikatan antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan/ atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba.”

David J. Kaufmann, mendefinisikan franchise sebagai berikut:11

“Franchising is a system of marketing and distribution whereby a small independent businessman (the franchise) is granted –in return for a fee- the right to market the goods and services of another (the franchisor) in

11Juajir Sumardi, Aspek-aspek Hukum Franchise Dan Perusahaan Transnasional, (Bandung:

PT.Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 14.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

10

accordance with the established standards and practice of the franchisor, and with its assistance.” “Kaufmann melihat franchise sebagai suatu bentuk atau sistem pemasaran dan pendistribusian di mana suatu bisnis berskala kecil dan independen yang disebut sebagai “Franchisee” dijamin untuk mempunyai hak memasarkan barang dan jasa dari pihak lain yang disebut sebagai “Franchisor” sesuai yang ditentukan, serta pihak franchisee akan membayar fee sedangkan pihak franchisor akan memberikan bantuannya.”12

Pengertian waralaba menurut Adrian Sutendi sebagai berikut:13

“Waralaba merupakan bentuk kerja sama di mana franchisor memberikan izin atau haknya kepada franchisee untuk menggunakan hak intelektualnya, seperti nama, merek dagang, produk/jasa, dan sistem operasi usahanya dalam jangka waktu tertentu. Sebagai timbal balik, franchisee membayar jumlah tertentu serta mengikuti sistem yang ditetapkan franchisor.” “Waralaba juga dapat dikatakan sistem keterkaitan usaha vertical antara pemilik paten yang menciptakan paket teknologi bisnis (franchisor) dengan penerima hak pengelolaan operasional bisnis (franchisee).”

Para pihak dalam suatu perjanjian waralaba biasanya dapat dibagi menjadi

dua, yaitu Pemberi Waralaba (franchisor) dan Penerima Waralaba (franchisee).

Pengertian dari franchisor itu sendiri adalah pihak yang memiliki sistem atau cara

dalam berbisnis, sedangkan franchisee adalah pihak yang membeli waralaba atau

sistem dari franchisor sehingga memiliki hak untuk menjalankan bisnis dengan cara

yang dikembangkan oleh franchisor.14

Pemberi Waralaba maupun Penerima Waralaba dapat berasal dari lokal

(Indonesia) maupun asing. Dengan demikian dilihat dari pihaknya, waralaba dapat

12Franchise dapat dianggap sebagai bentuk perpaduan antara bisnis berskala besar dan berskala kecil dimana franchisor dapat memperoleh sumber-sumber baru dari perluasan modal, pendistribusian pasar baru, dan pihak penjaja produknya, sementara franchisee memperoleh produk, keahlian, stabilitas dan kecerdasan pemahaman tentang pemasaran yang dimiliki franchisor sebagai perusahaan yang telah maju dan besar.

13 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 48. 14Ibid.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

11

dilakukan antara pihak lokal dengan pihak lokal maupun pihak asing dengan pihak

lokal.

Waralaba berdasarkan asal dan wilayah operasi pemasarannya dibagi menjadi

dua, yaitu waralaba lokal dan waralaba internasional. Waralaba lokal adalah waralaba

yang lahir di Indonesia baik yang beroperasi di Indonesia maupun di mancanegara,

sedangkan waralaba internasional adalah waralaba yang berasal dari luar Indonesia

dan beroperasi di Indonesia.15

Beberapa objek pengaturan perjanjian franchise meliputi hal-hal berikut ini:

1. “Nama Dagang atau Merek Dagang. 2. Rahasia Dagang. 3. Jasa Pelatihan. 4. Bantuan-bantuan teknis operasional. 5. Pembelian bahan-bahan dan peralatan. 6. Pengawasan kualitas produk. 7. Biaya franchise. 8. Jangka waktu. 9. Pengalihan franchise. 10. Pemutusan perjanjian. 11. Perjanjian untuk tidak berkompetisi dengan franchisor.”16

Berkaitan dengan penggunaan bahan bahan baku, peralatan usaha serta

penjualan barang dagangan diatur di dalam Pasal 19 Permendag No. 53/2012 yang

berisi:

“(1) Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba wajib menggunakan bahan baku, peralatan usaha serta menjual barang dagangan paling sedikit 80% barang dan/atau jasa produksi dalam negeri.

(2) Dalam hal tertentu, Menteri dapat memberikan izin penggunaan bahan baku, peralatan usaha serta menjual barang dan/atau jasa produksi dalam negeri kurang dari 80% setelah mempertimbangkan rekomendasi Tim Penilai.”

15 P. Lindawaty S. Sewu, Franchise: Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum dan

Ekonomi, cet. 1, (Bandung: CV Utomo, 2004), hal. 17. 16 Dr. H. Moch. Basarah, S.H., M.H. & H. M. Faiz Mufidin, S.H., M.H., Bisnis Franchise dan

Aspek-aspek Hukumnya, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 54.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

12

Sebelum merumuskan pengaturan Pasal 19 Permendag No. 53/2012 ini

seharusnya Pemerintah melihat dan mengacu pada Ketentuan Prinsip Dasar WTO,

yaitu:17

1. “Prinsip Most-Favoured-Nation (MFN) 2. Prinsip National Treatment 3. Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif 4. Prinsip Perlindungan melalui Tarif 5. Prinsip Resiprositas 6. Perlakuan Khusus Bagi Negara yang sedang Berkembang.”

Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi

terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on

Establishing The World Trade Organization/WTO (Persetujuan Pembentukan

Organisasi Perdagangan Dunia) yang membawa konsekuensi baik eksternal maupun

internal. Indonesia harus mematuhi seluruh hasil kesepakatan dalam forum WTO. Hal

ini sesuai dengan prinsip pacta sunt servanda yang mensyaratkan bahwa kesepakatan

atau kontrak yang telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya

(dengan iktikad baik).

Konsekuensi internal Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan

perandung-undangan nasional dengan ketentuan hasil kesepakatan WTO. Artinya

dalam melakukan harmonisasi, Indonesia harus tetap memikirkan kepentingan

nasional namun tidak melanggar rambu-rambu ketentuan WTO.18

Dalam memberlakukan ketentuan hukum internasional ke dalam hukum

nasional dikenal ada dua doktrin yaitu Doktrin Inkorporasi dan Doktrin

Transformasi. Doktrin inkorporasi berarti perjanjian internasional yang telah

diratifikasi langsung menjadi bagian dari hukum nasional (law of the land).

17 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,

2006), hal. 108.

18 Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), hal. 13.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

13

Sedangkan arti dari doktrin transformasi yaitu ketentuan hukum internasional

(perjanjian internasional) baru menjadi bagian dari hukum nasional apabila sudah

ditransformasikan ke dalam peraturan perundang-undangan nasional.19 Akan tetapi

dalam prakteknya selama ini, Indonesia tidak menganut salah satu doktrin secara

tegas.

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang anggota WTO sehingga

penerapan prinsip preferensi atau Generalized System of Preferences (GSP) bagi

negara berkembang juga diperoleh oleh Indonesia.

Selain melihat dari ketentuan Prinsip Dasar WTO, Pemerintah Indonesia

dalam merumuskan Pasal 19 Permendag No. 53/2012 juga harus melihat ketentuan

pada UU Persaingan Usaha Indonesia yang berkaitan mengenai perjanjian yang

berkaitan dengan waralaba yaitu Pasal 50 huruf b serta Keputusan Komisi No.

57/2009 mengenai pedoman pelaksanaan ketentuan pasal 50 huruf b tentang

pengecualian penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia terhadap perjanjian yang

berkaitan dengan waralaba.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Penulis dalam penulisan ini hendak

menulis mengenai ketentuan penggunaan bahan baku lokal pada waralaba asing

dilihat dari prinsip perdagangan WTO dan Undang-Undang Persaingan Usaha

Indonesia.

1.6 Kerangka Konsepsional

Kerangka konsepsional yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Perjanjian adalah:

“Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap

satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun

tidak tertulis.”20

19 Asianto Sinambela, Perkembangan Perundingan DDA Di World Trade Organization,

(Bandung: FH Universitas Padjajaran, 2006), hal. 4. 20 Indonesia, Undang-Undang Republik IndonesiaTentang Larangan Praktek Monopoli Dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU Nomor 5 Tahun 1999, Ps. 1 huruf g.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

14

2. Waralaba adalah:

“Hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap

sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau

jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh

pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.”21

3. Pemberi Waralaba adalah:

“Orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk

memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada

Penerima Waralaba.”22

4. Penerima Waralaba adalah:

“Orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi

Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki

Pemberi Waralaba.”23

5. Pemberi Waralaba Lanjutan adalah:

“Penerima Waralaba yang diberi hak oleh Pemberi Waralaba untuk menunjuk

Penerima Waralaba Lanjutan.”24

6. Penerima Waralaba Lanjutan adalah:

“Orang perseorangan atau badan usaha yang menerima hak dari Pemberi

Waralaba Lanjutan untuk memanfaatkan dan/ atau menggunakan Waralaba.”25

21 Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Tentang Penyelenggaraan

Waralaba, PERMENDAG Nomor: 53/M-DAG/PER/8/2012, Ps. 1 angka 1. 22Ibid., Ps. 1 angka 2. 23Ibid., Ps. 1 angka 3. 24Ibid., Ps. 1 angka 4.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

15

7. Prospektus Penawaran Waralaba adalah:

“Keterangan tertulis dari Pemberi Waralaba yang paling sedikit menjelaskan

tentang identitas, legalitas, sejarah kegiatan, struktur organisasi, keuangan,

jumlah tempat usaha, daftar Penerima Waralaba, hak dan kewajiban Pemberi dan

Penerima Waralaba.”26

8. Perjanjian Waralaba adalah:

“Perjanjian tertulis antara Pemberi Waralaba dengan Penerima Waralaba.”27

9. Menteri adalah:

“Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang

Perdagangan.”28

10. Penerima Waralaba Utama (Master Franchisee) adalah:

“Penerima Waralaba yang melaksanakan hak membuat Perjanjian Waralaba

Lanjutan yang diperoleh dari Pemberi Waralaba dan berbentuk Perusahaan

Nasional.”29

11. Dunia usaha adalah:

“Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar yang

melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia dan berdomisili di Indonesia.”30

25Ibid., Ps. 1 angka 5. 26Ibid., Ps. 1 angka 6. 27Ibid., Ps. 1 angka 7. 28Ibid., Ps. 1 angka 11. 29Indonesia, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Tentang Ketentuan dan

Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba, PERMENDAG No. 12/M-DAG/PER/3/2006, Ps. 1 angka 4.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

16

12. Kemitraan adalah:

“Kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas

dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan

menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

dengan Usaha Besar.”31

13. Barang adalah:

“Setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun

tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau

dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.”32

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Tipe penelitian hukum yang akan dilakukan adalah penelitian deskriptif yang

bersifat yuridis-normatif (doctrinal research) melalui penelitian kepustakaan.

Penelitian ini ingin memberikan gambaran mengenai ketentuan penggunaan bahan

baku lokal pada waralaba asing dilihat dari prinsip perdagangan WTO dan Undang-

Undang Persaingan Usaha Indonesia.

Tipe penelitian yang digunakan yaitu penelitian doctrinal, yakni penelitian

yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam

praktek hukum berdasarkan doktrin hukum yang terlepas dari berbagai kontradiksi,

perbedaan pendapat, ke-ambiguan, dan irasionalitas, termasuk cabang dari faktor

eksternal hukum lainnya seperti faktor kebijakan dan politik.

30 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan

Menengah, UU Nomor 20 Tahun 2008, Ps. 1 angka 5. 31Ibid., Ps. 1 angka 13. 32 Indonesia, Undang-Undang Republik IndonesiaTentang Larangan Praktek Monopoli Dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat, op.cit., Ps. 1 huruf p.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

17

1.7.2 Pendekatan Masalah

Berdasarkan tipe penelitian yuridis-normatif sebagaimana diatas, maka

pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute

approach) yang didukung oleh pendekatan konsep (conceptual approach) dan

pendekatan perbandingan (comparative approach).

Pendekatan perundang-undangan dilakukan karena penelitian ini

menggunakan landasan teori yaitu Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang

Waralaba, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 53/M-

DAG/PER/8/2012 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Waralaba, Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat dan Agreement on Establishing The World Trade Organization.

Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep pengunaan

bahan baku lokal pada waralaba asing di Indonesia dalam tatanan hukum

internasional dan hukum persaingan usaha Indonesia, sehingga diharapkan terjadi

penormaan dalam aturan hukum yang tidak lagi memungkinkan adanya pemahaman

yang ambigu dan kabur. Sedangkan pendekatan perbandingan dalam penelitian ini

bertujuan untuk membandingkan salah satu lembaga hukum (legal institutions) dari

sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum (yang kurang lebih sama dari sistem

hukum) yang lain.33 Menurut Sunaryati Hartono, kegunaan perbandingan hukum

dalam penelitian akan menghasilkan pemahaman bahwa:34

1. “Kebutuhan-kebutuhan yang universal (sama) akan menimbulkan cara-cara pengaturan yang sama pula, dan

2. Kebutuhan-kebutuhan khusus berdasarkan perbedaan suasana dan sejarah itu menimbulkan cara-cara yang berbeda pula.”

33Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet. 3, (Malang:

Bayumendia Publishing, 2007), hal. 313.

34 Sunaryati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 1-2.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

18

Hal ini berarti bahwa perbandingan ilmu hukum dalam penelitian ini berfungsi

sebagai ilmu bantu terhadap dogmatik hukum, dalam arti ia mempertimbangkan

pengaturan dan penyelesaian-penyelesaian tertentu dari tatanan hukum lain dan

menilai keadukuatan mereka untuk hukum sendiri.

1.7.3 Bahan Hukum

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan merupakan data sekunder yang

meliputi:

a) Sistem atau bahan hukum primer

Bahan hukum primer ini diperoleh dari berbagai peraturan perundang-

undangan, yurisprudensi, putusan pengadilan, dan konvensi internasional yang

mengatur dan terkait dengan penggunaan bahan bakulokal dalam usaha waralaba

asing di Indonesia, seperti:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2. Undang-Undang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara No.

3817);

3. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93,

Tambahan Lembaran Negara No.4866);

4. Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2007 (Lembaran Negara No. 90 Tahun

2007, Tambahan Lembaran Negara No. 4742);

5. Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 53 / M – DAG / PER / 8 / 2012

Tentang Penyelenggaraan Waralaba;

6. Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor

57/KPPU/Kep/III/2009 Tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50

huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian Yang

Berkaitan Dengan Waralaba.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

19

7. Agreement on Establishing The World Trade Organization (WTO).

b) Sistem atau bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder ini merupakan bahan-bahan yang memberikan

informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan tentang penggunaan

bahan baku lokal pada waralaba asing di Indonesia, seperti Rancangan Undang-

Undang, buku yang ditulis para ahli hukum, berbagai jurnal hukum serta karya

ilmiah.

c) Sistem atau bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier ini meliputi bahan-bahan yang menjelaskan bahan primer

dan bahan sekunder, seperti Black’s Law Dictionary dan ensiklopedia.

1.7.4 Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier

sebagaimana tersebut diatas dikumpulkan untuk kemudian diinventarisasi,

diklarifikasi dan disesuaikan dengan permasalahan mengenai penggunaan bahan baku

lokal pada waralaba asing dilihat dari prinsip perdagangan WTO dan Undang-

Undang Persaingan Usaha Indonesia. Setelah memperoleh bahan baku yang

berhubungan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini, selanjutnya dilakukan

pemaparan, sistematisasi dan analisis terhadap bahan-bahan hukum tersebut untuk

menginterpretasikan hukum yang berlaku.

1.7.5 Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan analisis

kualitatif yang didukung oleh data kuantitatif secara terbatas. Analisis data dalam

penelitian ini akan menggunakan cara sistematisasi atau membuat klasifikasi terhadap

bahan-bahan hukum tertulis untuk kemudian dilakukan analisa dan konstruksi secara

deduktif yang membentuk legal reasoning dari kaidah atau prinsip hukum yang ada,

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

20

yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap

permasalahan konkret yang dihadapi.

Selain itu, bagan hukum yang ada dianalisis untuk melihat argumentasi

implementasi penggunaan bahan baku lokal pada waralaba asing dilihat dari prinsip

perdagangan WTO dan Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia sehingga dapat

membantu sebagai dasar acuan dan pertimbangan hukum yang berguna dalam

praktek hukum di Indonesia secara tepat.

1.8 Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penulisan ini dilakukan ke dalam empat bagian bab yang

saling berkaitan satu dengan lainnya, yang akan diuraikan sebagai berikut:

Pada bab 1, Pendahuluan, akan memberikan pandangan umum tentang

penulisan ini, dimana akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, pokok

permasalahan, tujuan penelitian, kerangka teori, kerangka konsepsional, metode

penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab 2, Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Dilihat Dari Prinsip

Perdagangan WTO, akan dibahas mengenai tinjauan umum mengenai sejarah

terbentuknya GATT/WTO, tujuan terbentuknya WTO, prinsip perdagangan WTO,

penerapan prinsip-prinsip dasar WTO terhadap kepentingan nasional negara

berkembang serta implementasi kesepakatan WTO dalam hukum nasional Indonesia.

Penulis juga menjabarkan tinjauan umum mengenai waralaba seperti sejarah

waralaba, pengertian waralaba, jenis-jenis waralaba, waralaba sebagai bentuk

perjanjian yang didalamnya menjelaskan mengenai pengertian waralaba dan asas-asas

dan prinsip perjanjian waralaba, perbedaan pemberian waralaba dengan lisensi,

perkembangan waralaba di Indonesia, pengaturan waralaba di Indonesia serta

menjelaskan mengenai Permendag No. 53/2012 dan implementasi ketentuan Pasal 19

tersebut dilihat dari prinsip perdagangan WTO.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

21

Bab 3, Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Dilihat Dari Undang-

Undang Persaingan Usaha Indonesia, Penulis mencoba menjabarkan mengenai

tinjauan umum Persaingan dan Dunia Usaha serta mengenai latar belakang hukum

persaingan usaha Indonesia yang di dalamnya membahas mengenai asas-asas dan

tujuan Undang-Undang Persaingan Usaha, butir-butir cakupan pengaturan UU

Persaingan Usaha Indonesia secara garis besar, pengecualian dalam UU Persaingan

Usaha Indonesia. Penulis juga membahas mengenai hubungan antara waralaba

dengan UU Persaingan Usaha Indonesia terutama berkaitan dengan pengecualian

penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia terhadap perjanjian berkaitan dengan

waralaba serta implementasi ketentuan Pasal 19 Permendag No. 53/2012 dilihat dari

ketentuan UU Persaingan Usaha Indonesia.

Bab 4, Penutup, terdiri dari dua sub bab, yaitu kesimpulan penulis

berdasarkan pokok permasalahan dan analisis data serta saran-saran bagi pihak-pihak

terkait.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

22

BAB 2

KETENTUAN PENGGUNAAN BAHAN BAKU LOKAL DILIHAT DARI

PRINSIP PERDAGANGAN WTO

2.1 Prinsip Perdagangan World Trade Organization (WTO)

2.1.1 Sejarah Terbentuknya GATT/WTO

Hubungan-hubungan perdagangan internasional antar negara sudah ada sejak

lama. Hubungan-hubungan ini sudah ada sejak adanya negara-negara dalam arti

negara kebangsaan, yaitu bentuk-bentuk awal negara dalam arti modern. Perjuangan

negara-negara ini untuk memperoleh kemandirian dan pengawasan (kontrol) terhadap

ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini untuk mengadakan

hubungan-hubungan perdagangan yang mapan dengan negara-negara lainnya.

Sejarah membuktikan bahwa perdagangan internasional memegang peranan

sangat menentukan dalam menciptakan kemakmuran seluruh bangsa, tetapi di pihak

lain perdagangan dan investasi internasional itu juga dapat menyengsarakan bangsa

sehingga akhimya menjadi negeri jajahan. Oleh sebab itu kita perlu bertindak sangat

hati-hati. Di bidang perdagangan internasional, saling ketergantungan tidak dapat

dihindarkan lagi pada saat ini, apalagi dalam abad ke 21.

Salah satu sumber hukum yang penting dalam hukum perdagangan

internasional adalah Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (General

Agreement on Tariff and Trade atau GATT). Muatan yang terdapat di dalamnya tidak

saja penting dalam mengatur kebijakan perdagangan antar negara, tetapi juga dalam

taraf tertentu aturannya menyangkut pula aturan perdagangan antar pengusaha.

GATT dibentuk pada Oktober tahun 1947. “GATT was in fact a part of the

charter of havana drafted in 1947. The charter of havana had great ambitions: it was

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

23

intended to establish a worldwide regulation for trade and to found an International

trade organization to this end.”35

Lahirnya World Trade Organization (WTO) membawa dua perubahan yang

cukup penting bagi GATT. Pertama, WTO mengambil alih GATT dan

menjadikannya salah satu lampiran aturan WTO. Kedua, prinsip-prinsip GATT

menjadi kerangka aturan bagi bidang-bidang baru dalam perjanjian WTO, khususnya

Perjanjian mengenai Jasa (GATS), Penanaman Modal (TRIMs), dan juga dalam

perjanjian mengenai Perdagangan yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual

(TRIPS).36

Meskipun GATT sebagai organisasi tidak ada lagi, Persetujuan GATT 1947

dan versi barunya yang dikenal dengan GATT 1994 masih berlaku dan merupakan

bagian dari seluruh persetujuan yang ada di WTO. WTO secara resmi berdiri pada

tanggal 1 Januari 1995.37

Sejak masih berbentuk GATT sampai menjadi WTO, peraturan-peraturan

perdagangan dibentuk melalui serangkaian putaran perundingan. Putaran perundingan

terakhir dan terbesar GATT adalah Putaran Uruguay yang berlangsung dari 1986

sampai 1994 dan akhirnya menghasilkan pembentukan WTO.38

Perundingan di GATT dan WTO dilandasi prinsip memperoleh keuntungan

bersama (asas resiprositas). Asas resiprositas adalah ketika suatu negara mencari

perbaikan akses di pasar negara lain (seperti penurunan tarif), negara tersebut harus

bersedia juga untuk memberikan konsensi (seperti pengurangan tarif) yang dianggap

menguntungkan atau memiliki nilai yang sama dengan konsensi yang diminta oleh

negara mitra dagangnya tersebut. Prinsip lainnya dalam perundingan WTO adalah

35 Hans Van Houtte, The Law of International Trade, (London: Sweet & Maxwell, 1995), hal. 51-52.

36 Huala Adolf, op.cit., hal. 97. 37 Asianto Sinambela, op.cit., hal. 1. 38Ibid.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

24

prinsip single undertaking, yaitu setiap putaran perundingan hanya dapat diselesaikan

jika seluruh aspeknya disetujui secara bersama.39

Putaran perundingan WTO telah sampai pada Putaran Doha yang berawal dari

Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IV di Doha, Qatar, tahun 2001.KTM Doha

menghasilkan suatu Program Kerja Doha yang disebut dengan Doha Development

Agenda (DDA), program ini menekankan pentingnya pembangunan dalam

perundingan perdagangan dan prinsip Perlakuan Khusus dan Berbeda (Special and

Differential Treatment - SDT) bagi negara-negara berkembang.

World Trade Organization (WTO) sebagai sebuah organisasi perdagangan

internasional diharapkan dapat menjembatani semua kepentingan negara di dunia

dalam sektor perdagangan melalui ketentuan-ketentuan yang disetujui bersama. WTO

ditujukan untuk menghasilkan kondisi-kondisi yang bersifat timbal balik dan saling

menguntungkan sehingga semua negara dapat menarik manfaatnya. Melalui WTO,

diluncurkan suatu model perdagangan dimana kegiatan perdagangan antar negara

diharapkan dapat berjalan dengan lancar. Pada prinsipnya World Trade Organization

(WTO) merupakan suatu sarana untuk mendorong terjadinya suatu perdagangan

bebas yang tertib dan adil di dunia ini.

Indonesia sebagai salah satu negara pendiri WTO telah meratifikasi

Persetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994.

2.1.2 Tujuan Terbentuknya WTO

Kepentingan Indonesia dalam perundingan perdagangan di WTO berkaitan

erat dengan tujuan dibentuknya WTO itu sendiri. WTO didirikan negara anggotanya

dengan maksud dan tujuan bersama sebagaiman dicantumkan sebagai berikut:

“Bahwa hubungan-hubungan perdagangan dan kegiatan ekonomi negara-negara anggota harus dilaksanakan dengan maksud untuk meningkatkan standar hidup, menjamin lapangan kerja sepenuhnya, peningkatan penghasilan

39 Ibid.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

25

nyata, memperluas produksi dan perdagangan barang dan jasa, dengan penggunaan optimal sumber-sumber daya dunia sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Juga mengusahakan perlindungan lingkungan hidup dan meningkatkan cara-cara pelaksanaannya dengan cara-cara yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing negara yang berada pada tingkat pembangunan ekonomi yang berbeda. Dalam mengejar tujuan-tujuan ini diakui adanya suatu kebutuhan akan langkah-langkah positif untuk menjamin agar supaya negara berkembang, teristimewa yang paling terbelakang, mendapat bagian dari pertumbuhan perdagangan internasional sesuai dengan kebutuhan pembangunan ekonominya.”40 Untuk mencapai tujuan-tujuan ini diadakanlah suatu pengaturan yang saling

menguntungkan yang diarahkan pada pengurangan tarif secara substansial dan juga

hambatan-hambatan non-tarif terhadap perdagangan, dan untuk menghilangkan

perlakuan diskriminatif dalam hubungan perdagangan internasional.

Kepentingan Indonesia yang diperjuangkan dalam setiap perundingan

perdagangan di WTO pada intinya adalah terbukanya akses pasar bagi ekspor produk-

produk barang dan jasa unggulan Indonesia, terselesaikannya masalah-masalah

implementasi persetujuan-persetujuan WTO yang selama ini dirasakan cukup berat

bagi negara berkembang, penguatan diberlakukannya prinsip-prinsip SDT bagi

negara berkembang agar dapat berkompetisi secara sehat dalam perdagangan global,

serta terlaksananya bantuan teknis yang “demand oriented” untuk meningkatkan

kapasitas negara berkembang.41

2.1.3 Prinsip perdagangan WTO

Untuk mencapai tujuan-tujuannya, GATT/WTO berpedoman pada enam

prinsip utama. Prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Prinsip Most Favoured Nation

40 Dr. Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT Dan WTO Aspek-aspek Hukum

dan Non Hukum, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), hal. 88. 41Asianto Sinambela, op.cit., hal. 1

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

26

Prinsip Most Favoured Nation (MFN) ini termuat dalam Pasal I GATT.

Prinsip ini menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas

dasar non diskrimintatif. Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk

memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan

kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya.42

Prinsip ini mensyaratkan semua komitmen yang dibuat atau ditandatangani

dalam rangka GATT/WTO harus diperlakukan secara sama kepada semua negara

anggota WTO (asas non diskriminasi) tanpa syarat. Misalnya suatu negara tidak

diperkenankan untuk menerapkan tingkat tarif yang berbeda kepada suatu negara

dibandingkan dengan negara lainnya.

“The rule must be applied “unconditionally”. This means, for instance, that a state can invoke most favoured treatment without granting in turn some advantage. In other words, the rule is not based on reciprocity.”43

Dengan berdasarkan prinsip MFN, negara-negara anggota tidak dapat begitu

saja mendiskriminasikan mitra-mitra dagangnya. Keinginan tarif impor yang

diberikan pada produk suatu negara harus diberikan pula kepada produk impor dari

mitra dagang negara anggota lainnya.

Prinsip ini diberlakukan tanpa memandang struktur sosial-politik dan

ekonomi negara anggota. Itulah sebabnya mengapa prinsip ini dapat berkelanjutan

sepanjang sejarahnya dan sangat banyak digunakan. MFN memberikan kesamaan

landasan bagi negara maju dan negara berkembang, negara industri maupun agraris,

dan dalam batas-batas tertentu antara sistem ekonomi bebas dan ekonomi terpimpin.44

Inti dari prinsip ini adalah pemberian sesuatu kemanfaatan (advantage),

keberpihakan (favour), hak istimewa (privilege) atau kekebalan (immunity) yang

42 Huala Adolf, op.cit., hal. 108. 43Hans Van Houtte, op.cit., hal. 59

44 Dr. Hata, op.cit., hal. 55.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

27

diberikan oleh suatu negara anggota kepada warga dari satu negara anggota lain harus

diberikan juga immediately dan unconditionally kepada warga negara dari negara

anggota yang lain.45

Perlakuan yang sama harus dijalankan dengan segera dan tanpa syarat

(immediately and unconditionally) terhadap produk yang berasal atau yang diajukan

kepada semua negara GATT. Oleh karena itu, suatu negara tidak diperbolehkan

memberikan perlakuan istimewa kepada negara lainnya atau melakukan tindakan

diskriminasi terhadapnya. Semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan

semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan.

Masyarakat internasional mengakui prinsip perlakuan MFN ini merupakan

prinsip penting dalam sistem ekonomi internasional.46 Namun dalam pelaksanaannya

prinsip ini mendapat pengecualian-pengecualiannya, khususnya menyangkut

kepentingan negara sedang berkembang. Salah satu pengecualian yang dimaksud

yang menyangkut mengenai masalah yang Penulis angkat yaitu berkaitan dengan

pemberian prefensi tarif oleh negara-negara maju kepada produk impor dari negara

yang sedang berkembang atau negara-negara yang kurang beruntung (least

developed) melalui fasilitas Generalized System of Preference (sistem preferensi

umum).47

Pengecualian lainnya adalah ketentuan ‘pengamanan’ (safeguard rules) yang

mengakui bahwa suatu pemerintah, apabila tidak mempunyai upaya lain, dapat

melindungi atau memproteksi untuk sementara waktu industri dalam negerinya.

Pengaturan safeguard ini diatur dalam Pasal XIX dan hanya dapat dipakai dalam

keadaan-keadaan tertentu saja.48 Suatu negara anggota dapat membatasi suatu konsesi

45 Prof. Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Bandung: PT

Alumni, 2005), hal. 25. 46 Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2005), hal. 34. 47 Huala adolf, Hukum Perdagangan Internasional,op.cit., hal. 110. 48Ibid., hal. 111.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

28

tarif pada produk-produk yang diimpor dalam suatu jumlah yang meningkat dan yang

menyebabkan kerusakan serius (serious injury) terhadap produsen dalam negeri.

2. Prinsip National Treatment

Prinsip National Treatment terdapat dalam Pasal III GATT. Menurut Prinsip

ini, produk dari suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan

sama seperti halnya produk dalam negeri.49

“Competition laws, their enforcement and their administration would not discriminate, de facto or de jure, between domestic and foreign firms goods, services, or investments.”50

Prinsip ini sifatnya berlaku luas, berlaku terhadap semua macam pajak dan

pungutan-pungutan lainnya. Prinsip ini berlaku juga terhadap perundang-undangan,

pengaturan, dan persyaratan-persyaratan (hukum) yang mempengaruhi penjualan,

pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk-produk di pasar dalam

negeri.

Prinsip ini mensyaratkan bahwa suatu negara tidak diperkenankan untuk

memperlakukan secara diskriminasi antara produk impor dengan produk dalam negeri

(produk yang sama) dengan tujuan untuk melakukan proteksi. Jenis-jenis tindakan

yang dilarang berdasarkan ketentuan ini antara lain, pungutan dalam negeri, undang-

undang, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan, penawaran

penjualan, pembelian, transportasi, distribusi atau penggunaan produk, pengaturan

tentang jumlah yang mensyaratkan campuran, penggunaan produk-produk dalam

negeri. Negara anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama atas barang-

barang impor dan lokal paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik.

Prinsip national treatment dan prinsip MFN merupakan prinsip sentral

dibandingkan dengan prinsip-prinsip lainnya dalam GATT/WTO. Perjanjian WTO

49Ibid. 50 Kevin C. Kennedy, Competition Law And The World Trade Organisation: The Limits Of

Multilateralism, (London: Sweet & Maxwell, 2001), hal. 274.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

29

memperbolehkan suatu negara untuk meminta pembebasan dari penerapan kewajiban

MFN ini yang mencakup upaya-upaya tertentu (specific measures) yang pada

mulanya tidak dapat menawarkan perlakuan demikian.

Oleh karena itu, ketika suatu negara meminta pembebasan kewajiban MFN,

permintaan tersebut akan ditinjau setiap lima tahun. Pembebasan dari penerapan

kewajiban MFN ini hanya boleh dilakukan untuk jangka waktu 10 tahun.51

Prinsip national treatment atau perlakuan nasional ini pada umumnya

merupakan hasil dari negosiasi atau perundingan di antara negara-negara anggota.

3. Prinsip Larangan Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif

Yang menjadi ketentuan dasar GATT adalah larangan restriksi kuantitatif

yang merupakan rintangan terbesar terhadap GATT.52 Restriksi terhadap ekspor atau

impor dalam bentuk apapun dilarang (Pasal IX) karena hal tersebut dapat

mengganggu praktek perdagangan yang normal.

Dalam pelaksanaannya, prinsip ini dapat dilakukan dalam hal:

“Pertama, untuk mencegah terkurasnya produk-produk esensial di negara pengekspor; kedua, untuk melindungi pasar dalam negeri khususnya yang menyangkut produk pertanian dan perikanan; ketiga, untuk mengamankan, berdasarkan escape clause (Pasal XIX), meningkatnya impor yang berlebihan (increase of imports) di dalam negeri sebagai upaya untuk melindungi diri, misalnya, terancamnya produksi dalam negeri; keempat, untuk melindungi negara pembayaran (luar negerinya) (Pasal XII).”53 Pengecualian mengenai escape clause dalam Pasal XIX mengatur mengenai

pembatasan sementara atas impor yang menyebabkan kerugian serius bagi industri

dalam negeri. Jika suatu negara anggota GATT bermaksud membatasi impor atas

suatu produk berdasarkan Pasal XIX harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

51Ibid., hal. 112. 52Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Masalah-masalah Hukum Dalam Perdagangan

Internasional, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 18. 53 Huala adolf, Hukum Perdagangan Internasional,op.cit., hal. 113.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

30

a. “Terdapat perkembangan yang tidak wajar dalam impor produksi yang bersangkutan.

b. Produk tersebut diimpor dalam jumlah yang semakin meningkat. c. Kuantitas impor yang semakin meningkat tersebut dapat mengganggu

produsen barang serupa di dalam negeri.”54

Prinsip Restriksi tidak dapat diterapkan selain untuk melindungi neraca

pembayaran dan secara progresif harus dikurangi, bahkan harus dihilangkan apabila

tidak dibutuhkan kembali. Akan tetapi terdapat pengecualian pada negara-negara

berkembang, negara tersebut dapat memberlakukan restriksi kuantitatif untuk

mencegah terkurasnya devisa mereka yang disebabkan oleh adanya permintaan untuk

impor yang diperlukan bagi pembayaran atau karena negara-negara berkembang

tersebut sedang mendirikan atau memperluas produksi dalam negerinya.

Menurut Pasal XIII, restriksi kuantitatif ini, meskipun diperbolehkan, tidak

boleh diterapkan secara diskriminatif.55

4. Prinsip Perlindungan Melalui Tarif

Prinsip ini diatur dalam pasal XI dan mensyaratkan bahwa perlindungan atas

industri dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif.

GATT hanya memperbolehkan tindakan proteksi terhadap industri domestik

melalui tarif (menaikkan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melalui upaya-upaya

perdagangan lainnya (nontariff commercial measures).56

Perlindungan melalui tarif tersebut menunjukkan dengan jelas tingkat

perlindungan yang diberikan dan masih memungkinkan adanya kompetisi yang

sehat.57

54 Dr. Hata, op.cit., hal. 65. 55Huala Adolf dan A. Chandrawulan, op.cit.,hal. 19. 56 Huala adolf,Hukum Perdagangan Internasional,op.cit., hal. 114. 57Huala Adolf dan A. Chandrawulan, loc.cit.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

31

Negara-negara GATT pada umumnya menggunakan prinsip ini untuk

melindungi industri dalam negerinya dan juga untuk menarik pemasukan bagi negara

yang bersangkutan. Penerapan tarif tersebut tidak boleh bersifat diskriminatif.

Penerapan tarif juga tunduk pada komitmen tarifnya kepada GATT/WTO. Komitmen

tarif adalah tingkat tarif dari suatu negara terhadap produk tertentu dan bersifat

mengikat negara tersebut.

“Suatu negara yang telah menyatakan komitmennya atas suatu tarif tidak dapat semena-mena menaikkan tingkat tarif yang telah ia sepakati, kecuali diikuti dengan negosiasi mengenai pemberian mengenai kompensasi dengan mitra-mitra dagangnya (Pasal XXVII).”58

GATT juga mensyaratkan kepada negara-negara anggotanya untuk

menerapkan prinsip transparansi yang menjadi kunci bagi prasyarat perdagangan

yang pasti (predictable). Keterbukaan atau transparansi hukum atau perundang-

undangan nasional dan praktik perdagangan suatu negara menjadi syarat dalam

prinsip transparansi ini.

5. Prinsip Resiprositas

Prinsip ini terdapat pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan-

perundingan tarif yang didasarkan atas dasar timbal-balik dan saling menguntungkan

kedua belah pihak.59

6. Perlakuan Khusus Bagi Negara Berkembang (Special dan Differential

Treatment for developing countries – S&D)

Untuk meningkatkan partisipasi negara-negara berkembang dalam

perundingan perdagangan internasional, S&D ditetapkan menjadi salah satu prinsip

58 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional,op.cit., hal. 115. 59Huala Adolf dan A. Chandrawulan, loc.cit.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

32

GATT/WTO. Sehingga semua persetujuan WTO memiliki ketentuan yang mengatur

perlakuan khusus dan berbeda bagi negara berkembang. Hal ini dimaksudkan untuk

memberikan kemudahan-kemudahan bagi negara-negara berkembang anggota WTO

untuk melaksanakan persetujuan WTO.

Oleh karena diantara negara-negara anggota GATT, masih banyak negara

yang sedang berkembang dimana negara-negara tersebut masih berada dalam tahap

awal pembangunan ekonominya, maka untuk membantu pembangunan mereka, pada

tahun 1965, suatu bagian baru yaitu Part IV, ditambahkan ke dalam GATT.60

Bagian IV ini mengakui kebutuhan negara sedang berkembang untuk

menikmati akses pasar yang lebih menguntungkan dan tidak memperbolehkan

negara-negara maju membuat rintangan-rintangan baru terhadap ekspor negara-

negara sedang berkembang. Negara-negara industri juga akan menerima bahwa

mereka tidak akan meminta balasan dalam perundingan penurunan ataupun

penghilangan tarif dan rintangan-rintangan lain terhadap perdagangan negara-negara

sedang berkembang.

Pada Putaran Tokyo 1979, negara-negara sepakat dan mengeluarkan putusan

yaitu mengakui bahwa negara sedang berkembang adalah pelaku (bentuk hukum)

yang permanen dalam sistem perdagangan dunia sehingga harus diberi perlakuan

yang lebih menguntungkan dan partisipasi yang lebih besar dalam perdagangan

dunia.

Pengakuan ini merupakan dasar hukum bagi negara industri dalam

memberikan GSP (sistem preferensi umum) kepada negara-negara sedang

berkembang.61

2.1.4 Waiver dan Pembatasan Darurat Terhadap Impor

GATT mengijinkan diadakannya perkecualian dalam bentuk waiver dan

langkah darurat lainnya. Perkecualian dalam bentuk waiver misalnya suatu negara

60Ibid., hal. 21. 61Ibid.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

33

dalam melaksanakan kebijakan bidang pertaniannya sebenarnya melanggar GATT,

tetapi karena telah ditetapkan sebelum adanya GATT, maka kebijakan tersebut

memperoleh waiver (pelepasan tuntutan).

“Waivers are common in the GATT; for instance, a waiver allowed the European Coal and Steel Community to be considered as a customs union, although it did not satisfy all conditions of Article XXIV.”62

Dalam kasus tertentu suatu negara dapat menghadapi suasana darurat yang

memerlukan penanganan dengan mengambil langkah proteksi karena industri dalam

negerinya menghadapi masalah (Pasal XIX).63 Pasal XIX mengizinkan suatu negara

untuk mengambil langkah protektif tersebut. Tetapi pasal XIX menyatakan bahwa

langkah protektif tersebut adalah langkah darurat yang bersifat sementara.

Perkecualian tersebut dikenal sebagai safeguards.

Dengan syarat yang ditentukan secara khusus, suatu negara anggota GATT

dapat menerapkan suatu restriksi dalam impornya atau mencabut konsesi tarif yang

telah diberikan kepada negara lain untuk produk-produk yang telah mengalami

peningkatan impor yang sedemikian besar sehingga menimbulkan kesulitan yang

berat untuk industri dalam negeri negara-negara yang bersangkutan.

2.1.5 Penerapan Prinsip-Prinsip Dasar WTO Terhadap Kepentingan Nasional Negara Berkembang

Sebagai hakikat dari sistem liberalisme adalah kebebasan dalam berkegiatan

ekonomi berupa produksi, konsumsi maupun perdagangan dengan merebut pasar

tanpa campur tangan pihak manapun. Segala bentuk kejadian perekonomian terjadi

karena mekanisme pasar berupa penawaran dan permintaan. Sebagaimana suatu

62 Hans Van Houtte, op.cit., hal. 87.

63 Nursalam Sianipar, Aspek Hukum Peran Serta Pemerintah Dalam Mengantisipasi Pasar

Bebas, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2001), hal. 44.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

34

pertarungan, free fight liberalism yang diusung dalam era globalisasi belakangan ini

menjadi semakin sadis. Persaingan antara multinasional corporation raksasa dengan

usaha kecil dan menengah tentu saja bukan persaingan yang adil. Juga persaingan

antara negara maju dengan negara berkembang bahkan negara terbelakang juga

dipaksakan untuk bertarung bebas. Dapat ditebak, pihak yang lemah pasti akan kalah

dan dipastikan mati dalam pertarungan. Oleh karena itu, GATT/WTO menjadi

semacam wasit atau juri pertandingan dalam free fight liberalism tingkat global.

Slogan TINA (There Is No Alternative) dimana suatu keharusan berlaku

diantara negara-negara yang melakukan perdagangan internasional untuk tunduk dan

patuh terhadap aturan-aturan GATT/WTO. Konsekuensi yang diperoleh ketika suatu

negara yang melanggar kesepakatan GATT/WTO akan sangat berpengaruh dan

merugikan negara itu sendiri, karena akan seperti dikucilkan dari pergaulan

perdagangan global.

Kebijakan-kebijakan nasional negara juga tunduk dan patuh terhadap

kesepakatan GATT/WTO sehingga kepentingan nasional yang berusaha melindungi

industri nasional maupun peningkatan kesejahteraan rakyat menjadi hal yang

dinomorduakan dibandingkan dengan kepentingan perdagangan bebas yang dinikmati

oleh eksportir-eksportir asing.

Walaupun GATT/WTO masih memaklumi dan memaafkan negara-negara

berkembang untuk menerapkan pemberlakuan kesepakatan WTO dengan memberi

waktu yang lebih panjang untuk mempersiapkan infrastruktur dan suprastruktur.

Yang pada akhirnya mewajibkan seluruh anggota WTO untuk berada dalam

semangat free fight liberalism tanpa terkecuali. Sehingga globalisasi merupakan suatu

kepastian bagi seluruh negara di dunia dan hanya menunggu waktu saja untuk terjadi.

Dengan adanya prinsip non-diskriminasi maka perusahaan dari negara

berkembang akan mengalami kesulitan dalam bersaing dengan negara maju yang

lebih maju tingkat teknologinya. Akan tetapi, negara-negara berkembang rentan akan

kerugian akibat perdagangan internasional yang hanya memiliki motif akumulasi laba

belaka. Banjirnya komoditas produksi asing dalam pasar lokal akan membuat pelaku

ekonomi lokal terpukul dengan penurunan harga dan trend konsumsi pasar yang akan

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

35

membuat permintaan produk lokal menurun bahkan mati di pasar dalam negeri.

Negara-negara berkembang sangat rentan akan suatu injury dalam

perekonomian nasional karena berbagai sebab, salah satunya adalah minimnya

fasilitas yang disediakan negara pada pelaku ekonomi nasional dan penguasaan

teknologi serta sumberdaya manusia yang kalah jauh tertinggal dengan negara-negara

maju. Apalagi negara-negara berkembang merupakan pasar yang harus

mengkonsumsi produk-produk asing buatan negara-negara maju yang mengalami

overproduction, sehingga pasar domestik akan terus dipaksa membeli komoditas

asing. Jika suatu negara mengalami peningkatan impor yang signifikan dan tiba-tiba

serta mengancam perekonomian nasional maka ini disebut sebagai injury. Jika

terkena injury maka suatu negara berhak melakukan tindakan safeguards dengan

pembatasan impor untuk melindungi perekonomian nasional. Tindakan safeguards

ini pada hakikatnya merupakan penyimpangan terhadap prinsip free fight liberalism,

namun terpaksa harus dilakukan demi keberlangsungan perekonomian nasional

khususnya kepada negara-negara berkembang yang rentan terhadap injury semacam

itu.

Oleh karena itu, WTO melakukan suatu perlakuan khusus terhadap negara-

negara berkembang sesuai salah satu prinsip yaitu Special and Differential to

Developing Nations (yang selanjutnya disebut S&D) yang dapat mengecualikan suatu

negara (berkembang) untuk dimaafkan bila terpaksa melanggar kesepakatan WTO.

S&D merupakan instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan (a means of

development) dan instrumen untuk menggapai keadilan (a means of justice) bagi

negara sedang berkembang dalam perdagangan internasional di bawah payung

WTO.64

Pemberian perlakuan khusus bagi negara berkembang ini disebut dengan prinsip

preferensi. Prinsip mengenai preferensi bagi negara berkembang adalah prinsip yang

64 Nandang Sutrisno. Eksistensi Ketentuan Khusus Bagi Negara Berkembang Dalam

Perjanjian World Trade Organization.<http://www.scribd.com/doc/39308488/Eksistensi-Ketentuan-Khusus-Bagi-Negara-Berkembang-Dalam-Perjanjian-World-Trade-Organization>. Diakses pada tanggal 8 Desember 2012 pukul 00.25 WIB.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

36

mensyaratkan perlunya suatu kelonggaran-kelonggaran atas aturan-aturan hukum

tertentu bagi negaranegara berkembang. Artinya negara-negara ini perlu mendapat

perlakuan khusus manakala negara-negara maju berhubungan dengan mereka. Dasar

teori dari sistem preferensi ini adalah bahwa negara-negara harus diperbolehkan

untuk menyimpang dari kewajiban-kewajiban MFN untuk memperbolehkan mereka

guna mengurangi tarifnya pada impor-impor barang manakala barang-barang tersebut

berasal dari negara-negara berkembang. Menurut mereka, hal tersebut akan

memberikan negara-negara berkembang suatu keuntungan kompetitif dalam

masyarakat industri yang menjadi sasaran ekspor.65

Perwujudan era perdagangan bebas global (global free trade), pada satu sisi,

telah menjadi obsesi bagi sebagian negara, terutama negara-negara industri atau maju.

Sebaliknya, bagi sebagian negara lainnya, terutama negara-negara yang keadaan

ekonominya lemah, perdagangan bebas menjadi ancaman yang serius yang dapat

semakin melemahkan keadaan dan kemampuan ekonominya. Namun demikian, mau

tidak mau, cepat atau lambat, kelompok negara yang terakhir ini harus ikut dalam

proses perdagangan bebas tersebut.

Pada dasarnya negara maju mengakui bahwa negara berkembang perlu

mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan peranannya dalam perdagangan dunia.

Prinsip special and differential treatment ini untuk mendorong negara berkembang

ikut proaktif berpartisipasi dalam berbagai perundingan perdagangan internasional.

Semua persetujuan WTO memiliki ketentuan mengatur perlakuan khusus bagi

negara-negara berkembang yang bertujuan untuk memberikan kemudahan-

kemudahan bagi negara-negara berkembang anggota WTO.

Pemberian perlakuan khusus oleh WTO kepada negara-negara berkembang

tersebut bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada negara berkembang untuk

meningkatkan pembangunannya. Pemberian perlakuan khusus tersebut bertujuan

untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antara kedua negara.

65Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, op. cit., hal. 41.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

37

Penerapan prinsip preferensi bagi negara berkembang pada WTO

dikelompokkan atas 6 kelompok yang tercantum dalam setiap perjanjianWTO.

Penerapan prinsip tersebut, yaitu:

1. Kelompok pertama adalah S&D yang ditujukan untuk meningkatkan peluang

perdagangan bagi negara berkembang. S&D berdasarkan kelompok ini

digolongkan ke dalam the Enabling Clause. Maksud dari theenabling clause

menyatakan bahwa negara maju dapat memberikan preferensi tarif terhadap

produk-produk yang berasal dari negara berkembang menurut the Generalized

System of Preferences (GSP).66

Program GSP ini merupakan suatu program pengurangan bea tarif

masuktermasuk terhadap produk negara berkembang ke dalam negara

maju.Program GSP ini diberikan oleh negara maju kepada negara

berkembangtanpa adanya pelakuan yang sama dari negara berkembang.

2. Kelompok kedua adalah S&D yang dimaksudkan untuk melindungi

kepentingan-kepentingan negara berkembang. Pada the Agreement on the

Aplication of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) yang mewajibkan

negara-negara anggota WTO untuk mempertimbangkan kepentingan-

kepentingan khusus negara-negara berkembang, terutama dalam mempersiapkan

dan menerapkan the Agreement on the Applicationof Sanitary and Phytosanitary

Measures (SPS).67

66Lihat pasal 1 dan 2 (a) GATT Contracting Parties Decision of November 28, 1979 on

Differential and More Favourable Treatment, Reciprocity and Fuller Participation of Developing Countries, GATT, 26th Supp. BISD 203 (1980) (selanjutnya disebut Enabling Clause): 1. “1. Notwithstanding the provisions of Article I of the General Agreement, contracting parties may

accord differential and more favourable treatment to developing countries1, without according such treatment to other contracting parties.

2. The provisions of paragraph 1 apply to the following: (a) Preferential tariff treatment accorded by developed contracting parties to products originating

in developing countries in accordance with the Generalized System of Preferences”

67Article 10 (1) the Agreement on the Aplication of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS): “members are to take into account the special needs of developing country members, and in particular of the least-developed countries, in the preparation and application of sanitary or phytosanitary measures”.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

38

3. Kelompok ketiga adalah S&D yang memberikan fleksibilitas kepada negara

berkembang. Pada perjanjian pertanian (the Agreement onAgriculture (AA)

memberikan presentase de inimis untuk memperhitungkan jumlah keseluruhan

subsidi domestik yang berjalan sebesar 10 persen, lebih tinggi daripada yang

diberikan kepada negaranegara maju, yaitu 5 persen.68

4. Kelompok keempat, yaitu S&D dalam bentuk pemberian masa transisi yang

lebih panjang kepada negara berkembang. Pada Perjanjian tentang Trade-Related

Investment Measures (TRIMs), memberikan masa transisi kepada negara maju

selama 2 tahun dan waktu yang lebih lama bagi negara berkembang dan negara

terbelakang. Negara berkembang pada umumnya 5 tahun dan kepada negara-

negara terbelakang atau leastdevelopedcountries (LCDs) selama 7 tahun.69

5. Kelompok kelima, yaitu S&D berupa teknis kepada negara berkembang untuk

mengatasi kesulitan-kesulitan teknis, finansial, dan sumber daya dalam

melaksanakan perjanjian-perjanjian WTO. Pada Perjanjian tentang Trade

Related Aspects of Intelelectual Property Rights (TRIPs), mewajibkan negara-

negara maju untuk memberikan bantuan-bantuan teknis dan finansial kepada

negara berkembang dan negara-negara terbelakang dalam rangka membantu

memfasilitasi negara-negara tersebut dalam mengimplementasikan perjanjian

TRIPs secara penuh.70

6. Kelompok keenam, yaitu S&D yang khusus diperuntukkan bagi negara-negara

terbelakang. Pada dalam Perjanjian Prosedur Lisensi Impor atau Import

Licensing Procedures (ILP) menyatakan bahwa dalam mengalokasikan lisensi,

pertimbangan khusus harus diberikan kepada importir-importir yang mengimpor

68Lihat Article 6 (4) the Agreement on Agriculture (AA). 69Article 5 (2) Trade-Related Investment Measures (TRIMs): “developing country members

will have five years to eliminate all GATT inconsistent TRIMs and developed country member will have two years. Least-developed country memberswill have a seven-years transitional period”.

70Article 67 Trade Related Aspects of Intelelectual Property Rights (TRIPs):” developed

country members are to provide, on request and on mutually agreed terms and conditions, technical and finansial cooperation in favour of developing and least-developed country members”.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

39

produk-produk yang berasal dari negara berkembang, khususnya dari negara-

negara terbelakang.71

Negara-negara yang memberikan fasilitas GSP kepada negara berkembang

antara lain, Australia, Austria, Canada, Pasaran Bersama Eropa, Jepang, New

Zealand, Sweden, Swiss, Norwegia, Finlandia dan Amerika Serikat.72

Barang-barang yang terkena tarif GSP ini yaitu barang-barang kulit diolah dan

setengah diolah (manufaktur), karet dan hasil-hasil karet, kayu berbentuk kasar dan

bentuk semi manufaktur, kertas, benang, pakaian dan aksesoris pakaian, gelas, batu-

batu berharga, metal dan produk-produknya, besi dan baja, tembaga, nekel, timah,

aluminium berbentuk semi manufacture, plastik, minyak untuk parfum, mesin listrik

dan bukan listrik, alat-alat make-up, handbag, perabot rumah tangga, mainan anak.73

2.1.6 Implementasi Kesepakatan WTO dalam Hukum Nasional Indonesia

Pemerintah Indonesia ikut serta dalam proses perundingan dan

penandatanganan Agreement Establishing the World Trade Organization beserta

seluruh Annex-nya (1,2,3) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Agreement

tersebut. Akan tetapi, Indonesia baru menjadi anggota secara resmi dalam Agreement

pembentukan WTO tersebut setelah meratifikasinya dengan Undang-Undang No. 7

Tahun 1994 tertanggal 2 November 1994.

Dengan diratifikasinya suatu perjanjian internasional oleh pemerintah, berarti

negara tersebut wajib untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan perjanjian

internasional yang diikutinya. Setiap negara anggota tidak boleh menggunakan

ketentuan hukum nasionalnya sebagai dasar pembenaran kelalaian dalam

71Article 3 (5) (j) Import Licensing Procedures (ILP):” in allocating licences among

importers, members should give consideration to those importers importing products originating in developing country memebrs and, in particular, in least-developed countries”.

72 Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum Perdagangan Internasional (GATT & GSP),

(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 190.

73Ibid.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

40

melaksanakan ketentuan perjanjian internasional dan juga harus memberlakukan

perjanjian internasional tersebut di seluruh wilayah negaranya.74

Suatu negara yang telah menyatakan menjadi peserta dalam suatu perjanjian

internasional, maka berarti negara tersebut telah menundukkan dirinya terhadap

hukum internasional, dan hal ini dikenal dengan supremasi hukum internasional

terhadap hukum nasional. Indonesia di dalam praktek hubungan-hubungan

internasionalnya, mengakui supremasi hukum internasional sehingga Indonesia selalu

berusaha mentaati hukum internasional, terutama perjanjian-perjanjian internasional

yang telah diratifikasinya dan selalu menyesuaikan peraturan perundang-undangan

nasionalnya dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional.

Dalam memberlakukan ketentuan hukum internasioanl ke dalam hukum

nasional dikenal ada dua doktrin yaitu doktrin inkorporasi dan doktrin transformasi.

Doktrin inkorporasi yaitu suatu perjanjian internasional yang telah diratifikasi

langsung menjadi bagian dari hukum nasional (law of the land), doktrin ini dianut

oleh Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, Belanda, Spanyol, dan beberapa

negara kontinental lainnya.75 Sedangkan doktrin tranformasi adalah ketentuan hukum

internasional (perjanjian internasional) baru menjadi bagian dari hukum nasional

apabila sudah ditransformasikan ke dalam peraturan perundang-undangan nasional.76

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 tidak mengatur apakah

Indonesia menganut doktrin inkorporasi atau doktrin transformasi sehingga dalam

prakteknya, Indonesia tidak menganut salah satu doktrin secara tegas. Sepanjang

hukum atau perjanjian internasional menyangkut mengenai hal-hal yang berkaitan

dengan keterikatan negara atau badan-badan negara secara langsung, maka hukum

atau perjanjian internasional tersebut berlaku langsung setelah diratifikasi (self

excecuting).

74 Asianto Sinambela, op.cit., Implementasi Kesepakatan WTO Dalam Hukum Nasional, hal.

2. 75Ibid., hal. 3.

76Ibid., hal. 4.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

41

Oleh karena Indonesia dalam prakteknya menganut baik doktrin inkorporasi

maupun doktrin transformasi, maka implementasi kesepakatan WTO tersebut dibagi

ke dalam dua hal yaitu keterikatan secara eksternal dan secara internal. Maksud dari

keterikatan secara eksternal yaitu Indonesia sebagai negara terikat langsung (self

excecuting) oleh ketentuan-ketentuan Perjanjian WTO tanpa harus dibuat peraturan

perundang-undangan nasional untuk mengimplementasikannya, jadi dalam hal ini

Indonesia menerapkan doktrin inkorporasi seperti misalnya menyangkut ketentuan-

ketentuan tentang kebijakan tarif, kebijakan fiskal, pelaksanaan prinsip-prinsip

perdagangan multilateral (most favoured nation, national treatment, transparency),

kebijakan dalam penanaman modal asing (Agreement on Related Investment

Measures – TRIMs), kebijakan dalam perdagangan jasa (General Agreement on

Trade and Services – GATS), kebijakan HAKI (Agreement on Trade Related

Aspects of Intellectual Property Rights – TRIPs), penyelesaian sengketa, dan

sebagainya.77

Sedangkan keterikatan secara internal, dimaksudkan bahwa agar ketentuan-

ketentuan Perjanjian WTO dapat diimplementasikan dalam lingkungan domestik agar

mengikat warga negara secara individual atau badan hukum swasta, maka ketentuan

WTO tersebut harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan nasional,

sehingga diperlukan adanya transformasi Perjanjian WTO ke dalam hukum

nasional.78 Sesuai dengan doktrin ini, Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang

Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization dalam Penjelasan

Umum paragraf 6 menyatakan: “Untuk itu konsekuensi yang antara lain perlu

ditindak lanjuti adalah kebutuhan untuk menyempurnakan atau mempersiapkan

peraturan perundangan yang diperlukan.

Sebagai pelaksanaan dari keharusan transformasi ketentuan WTO ke dalam

peraturan perundang-undangan nasional Indonesia, kini telah dibuat beberapa

peraturan perundang-undangan yaitu peraturan perundang-undangan di bidang

penanaman modal, peraturan perundang-undangan di bidang hak milik intelektual

77Ibid., hal 5-6. 78Ibid., hal 9.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

42

(misalnya hak cipta, paten, merek, desain industri, rahasia dagang), peraturan di

bidang perdagangan, industri dan jasa (misalnya tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tentang Perlindungan Konsumen, tentang

Perbankan, tentang Ketenagakerjaan, dan sebagainya).

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang masih dirasakan terlalu berat

untuk mengimplementasikan Perjanjian WTO tersebut karena posisi Indonesia dalam

berbagai sektor masih lemah. Sebagai negara berkembang, Indonesia banyak

memerlukan kebutuhan akan barang dan jasa yang harus didatangkan dari luar negeri,

sebaliknya Indonesia juga harus menjual produk-produk dalam negerinya agar dapat

memperoleh devisa untuk membayar kebutuhan tadi. Tidak ada satu negara pun di

dunia yang bisa hidup tanpa ketergantungan dengan negara lain (self supporting).

Salah satu cara untuk menghadapi arus globalisasi khususnya WTO adalah

dengan mempersiapkan sebaik-baiknya perangkat peraturan perundang-undangan

nasional di berbagai bidang yang mengimplementasikan ketentuan-ketentuan

Perjanjian WTO tersebut di lingkungan wilayah domestik, sehingga terdapat

kepastian hukum dan rasa keadilan di masyarakat. Diharapkan hukum menjadi sarana

bagi perkembangan masyarakat yang cenderung makin terbuka dan kompetitif.

Pesatnya perkembangan perdagangan bebas di Indonesia dapat dilihat dari

masuknya investor asing ke Indonesia dengan cara menanamkan modalnya melalui

bisnis waralaba. Para pengusaha melakukan berbagai cara untuk mengembangkan

usahanya secara internasional, salah satu caranya yaitu dengan melalui franchise.

Menurut Frank Bradley, dalam bukunya yang berjudul International

Marketing Strategy, menyatakan sebagai berikut:

“Franchising is a form of marketing and distribution in which the franchisor grants an individual or small company, the franchisee, the right to do business in a prescribed manner over a certain period of time, in a specified place.”79

79 Frank Bradley, International Marketing Strategy, (London: Prentice Hall, 1991), hal. 328.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

43

Pemberian waralaba (franchising) merupakan salah satu cara perusahaan untuk

berekspansi secara internasional tanpa menanamkan investasi modal yang besar.

Selain itu juga merupakan suatu bentuk pemberian lisensi dimana sebuah induk

perusahaan (franchisor) memberikan kepada entitas independen lainnya (franchisee)

hak memutar roda bisnis dalam suatu cara yang ditentukan.

Waralaba merupakan salah satu sistem pemasaran yang secara tepat dan

menguntungkan untuk mengembangkan usaha baik bagi konsumen di dalam negeri

maupun konsumen di luar negeri.Indonesia sendiri mempunyai potensi yang baik

untuk pengembangan bisnis waralaba. Hal ini dilihat dari kondisi di Indonesia,

banyak bidang usaha yang menunjukkan adanya potensi pasar yang besar dan

berkembang.

2.2 Waralaba

2.2.1 Sejarah Waralaba

Konsep waralaba atau franchise muncul sejak 200 tahun sebelum Masehi. Saat

itu, seorang pengusaha Cina memperkenalkan konsep rangkaian toko untuk

mendistribusikan produk makanan dengan merek tertentu.80 Namun, sebenarnya

waralaba dengan pengertian yang kita kenal saat ini berasal dari Amerika Serikat.

Sistem waralaba di Amerika Serikat pertama kali dimulai pada tahun 1851.

Pada saat itu, di Amerika Serikat timbul apa yang dinamakan sistem waralaba

Amerika generasi pertama, yang disebut sebagai straight product franchising

(waralaba produksi murni). Pada mulanya sistem ini berupa pemberian lisensi bagi

penggunaan nama pada industri minuman (Coca-Cola), kemudian berkembang

sebagai sistem pemasaran pada industri mobil (General-Motors).81

Setelah Perang Dunia II, di Amerika Serikat berkembang sistem waralaba

generasi kedua, yang disebut entire business franchising. Dalam sistem ini, ikatan

80 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 1. 81Ibid.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

44

perjanjian tidak lagi hanya mengenai aspek produksi, tetapi meliputi seluruh aspek

pengoperasian perusahaan waralaba.82 Pemberi waralaba (franchisor) membawa satu

paket prestasi kepada penerima waralaba (franchisee) berupa bentuk atau dekorasi

tempat usaha, konsep kebijakan perusahaan, dan sistem manajemen perusahaan.

Franchisor mengarahkan dan “meleburkan” para franchisee ke dalam suatu sistem

yang telah franchisor tetapkan. Generasi ini memperkenalkan sistem franchising

yang menawarkan strategi bisnis dengan menggunakan hak dan keistimewaan milik

franchisor, diuntungkan dari reputasi franchisor, mengurangi resiko memulai usaha

baru dan keuntungan membeli barang dagangan dalam jumlah besar, “Wimpy”,

jaringan restoran hamburger, merupakan bisnis format franchise pertama di Inggris.

Colonel Harlan Sander’s, penemu dan pendiri “Kentucky Fried Chicken”, mendirikan

outlet franchisee pertama di Amerika Serikat pada tahun 1950.83

Di Amerika Serikat, franchise mengalami booming pada tahun 60-70an setelah

berakhirnya Perang Dunia ke-2. Pada saat itu, banyak terjadi praktek penipuan bisnis

yang mengaku sebagai franchise, salah satunya dengan cara menjual sistem bisnis

franchise yang ternyata belum teruji keberhasilannya di lapangan. Selain itu,

franchisor pun lebih fokus untuk menjual franchise milik mereka dibandingkan

membangung dan menyempurnakan sistem bisnis franchisenya. Banyak investor

baru yang gagal oleh modus seperti ini, hal ini menjadi salah satu pendorong

terbentuknya IFA (International Franchise Association) pada tahun 1960.84 Hal ini

menjadi generasi ketiga franchising.

Salah satu tujuan didirikannya IFA adalah untuk menciptakan iklim industri

bisnis franchise yang dapat dipercaya, oleh karenanya IFA menciptakan kode etik

franchise sebagai pedoman bagi anggota-anggotanya. Walau begitu, kode etik

82Ibid., hal. 2. 83Tim Internasional Franchise Business Management, Franchise Manual: Panduan Franchise

Terlengkap & Pertama Di Indonesia, (Jakarta: Internasional Franchise Business Management, 2007), hal. 5.

84Sejarah Awal Mula Waralaba. <http://wirausaha.net/membangun-bisnis/3017-sejarah-awal-

mula-waralaba.html>. Diakses pada tanggal 5 Januari 2013 pukul 20.27 WIB.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

45

franchise masih perlu didukung oleh perangkat hukum agar dapat memastikan tiap-

tiap pihak dalam industri ini terlindungi. Pada tahun 1978, Federal Trade

Commission (FTC) mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap franchisor yang

akan memberikan penawaran peluang waralaba kepada publik untuk memiliki UFOC

(Uniform Franchise Offering Circular). UFOC adalah dokumen yang berisi informasi

lengkap mengenai peluang bisnis franchise yang ditawarkan, seperti: sejarah bisnis,

pengelola, hal yang berkaitan dengan hukum, prakiraan investasi, deskripsi konsep

bisnis, dan salinan dari perjanjian franchise. Selain itu daftar nama, alamat dan nomor

telepon dari pemilik franchise adalah informasi yang diwajibkan. UFOC bertujuan

untuk menyampaikan informasi yang cukup mengenai perusahaan untuk membantu

calon franchisee dalam mengambil keputusan.85

Di Tahun 1980-an, franchising sebagai strategi pengembangan bisnis menjadi

semakin sempurna. Franchising dijadikan bagian integral dari strategi perdagangan

internasional pemerintah federal Amerika Serikat. Secara alamiah, kemudian terjadi

pengerucutan pengelompokkan usaha. Kelompok generasi pertama, kedua, dan ketiga

yang berkembang pada tahun 1970-an mengelompokkan menjadi satu menjadi

Product-and-trade-name franchising, yaitu: Product-and-trade-name franchising dan

Business-format franchising.86

Pada awalnya istilah franchise tidak dikenal dalam kepustakaan Hukum

Indonesia, hal ini dapat dimaklumi karena memang lembaga franchise ini sejak awal

tidak terdapat dalam budaya atau tradisi bisnis masyarakat Indonesia. Namun karena

pengaruh globalisasi yang melanda di berbagai bidang, maka franchise ini kemudian.

masuk ke dalam tatanan budaya dan tatanan hukum masyarakat Indonesia.87

Istilah franchise ini selanjutnya menjadi istilah yang akrab dengan masyarakat,

khususnya masyarakat bisnis Indonesia dan menarik perhatian banyak pihak untuk

85Sejarah Perkembangan Bisnis Franchise/Waralaba. <http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/11/sejarah-perkembangan-bisnis-franchisewaralaba/>. Diakses pada tanggal 5 Januari 2013 pukul 20.32 WIB.

86Tim Internasional Franchise Business Management, op.cit., hal. 7. 87 Tengku Keizerina Devi Azwar, Perlindungan Hukum Dalam Franchise, 2005, hal. 1-2.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

46

mendalaminya kemudian istilah franchise dicoba di Indonesiakan dengan istilah

‘waralaba’ yang diperkenalkan pertama kali oleh Lembaga Pendidikan dan

Pengembangan Manajemen (LPPM) sebagai padanan istilah franchise. Waralaba

berasal dari kata wara (lebih atau istimewa) dan laba (untung), maka waralaba berarti

usaha yang memberikan laba lebih / istimewa.88

Di Indonesia, waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an dengan munculnya

dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi atau menjadi agen tunggal

pemilik merek.89 Waralaba di Indonesia semakin berkembang ketika masuknya

waralaba asing pada tahun 80-90an. KFC, McDonald’s, Burger King, dan Wendys

adalah sebagian waralaba asing yang masuk ke Indonesia pada awal-awal

berkembangnya waralaba di Indonesia. Perusahaan-perusahaan waralaba lokal pun

mulai bertumbuhan pada masa itu, salah satunya ialah Es Teler 77.

Pertumbuhan bisnis waralaba yang tumbuh subur di Indonesia, pada prinsipnya

tidak lepas dari peran serta dari merek-merek waralaba lokal. Perkembangan

waralaba lokal yang semakin pesat, bisa dilihat dari masih sangat terbukanya peluang

usaha ini untuk mewaralabakan perusahaan-perusahaan tradisional yang telah

mempunyai merek dagang dan sistem yang stabil.

Merek-merek lokal ini diarahkan pemerintah untuk bernaung di bawah AFI

(Asosiasi Franchise Indonesia) yang merupakan asosiasi resmi yang diakui oleh

pemerintah dalam bidang waralaba. Asosiasi ini merupakan anggota dari IFA

(International Franchise Association) yang adalah organisasi franchise skala

internasional. AFI didirikan pada tanggal 22 November 1991 dengan bantuan dari

ILO (International Labour Organization) dan Pemerintah Indonesia.90 Asosiasi ini

salah satunya bertujuan untuk mengembangkan franchise dalam rangka penciptaan

distribusi nasional, kesempatan kerja, dan pengembangan usaha kecil menengah

88 Ibid., hal. 2.

89Yohanes Heidy Purnama. Epidemi Tren Konsep Bisnis Waralaba. <http://salamfranchise.com/2008/03/01/epidemi-tren-konsep-bisnis-waralaba/>. Diakses pada tanggal 5 januari 2013 pukul 21.59 WIB.

90 Adrian Sutedi, op.cit, hal. 20.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

47

(UKM). Setelah itu dibentuk Franchise Resource Center (FRC) yang merupakan

wadah yang menangani pemberdayaan usaha-usaha menjadi franchise,

memasyarakatkan dan menyosialisasikan sistem itu serta mendorong pertumbuhan

franchise lokal, lembaga ini berada di bawah Departemen Perdagangan.91

Keberadaan waralaba (franchise) bagi pemerintah Indonesia sangat membantu

terutama untuk membuka lapangan kerja baru secara instan dan memicu

perekonomian daerah. Karena adanya peluang bagi waralaba lokal untuk

meningkatkan peranannya dalam bisnis waralaba, pemerintah perlu mengambil

langkah-langkah kebijakan bagi tumbuh kembangnya bisnis waralaba lokal. Hal ini

dapat dilakukan melalui penumbuhan pengusaha-pengusaha baru serta

memberdayakan UKM dan koperasi dalam bisnis waralaba baik sebagai franchisee,

franchisor maupun sebagai pemasok barang dan jasa.

Walaupun sistem franchise berkembang pesat di Indonesia, tetapi sebelum

tahun 1997 belum ada dasar hukum yang khusus mengatur franchise itu sendiri. Pada

saat itu di Indonesia berlaku tiga undang-undang yang menjadi dasar pemberian

perlindungan hukum kepada hak milik intelektual perusahaan, yaitu Undang-Undang

Paten, Undang-Undang Hak Cipta, dan Undang-Undang Merek. Dengan adanya

Undang-Undang Paten memungkinkan franchisor memperoleh perlindungan hukum

terhadap kemungkinan adanya usaha peniruan. Sedangkan Undang-Undang Merek

menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk memberikan perlindungan hukum

kepada perusahaan yang mendaftarkan mereknya terhadap kemungkinan peniruan,

pemalsuan, ataupun penggunaan secara ilegal atas merek dagangnya. Lalu, pada

tahun 1997 akhirnya dibuat Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 Tentang

Waralaba, yang kemudian diganti oleh Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007

Tentang Waralaba. Peraturan tersebut memberikan kepastian usaha dan kepastian

hukum bagi mereka yang menjalankan usaha waralaba.92

91 Deden Setiawan, Franchise Guide Series: Kiat Memilih Usaha Dengan Biaya Kecil Untung

Besar 2, (Jakarta: Dian Rakyat, 2007), hal. 8. 92 Adrian Sutedi, Op.cit.., hal. 22.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

48

Adanya Peraturan Pemerintah ini, kemudian diikuti dengan munculnya

peraturan perundang-undangan guna melengkapi peraturan pemerintah tersebut.

Salah satu peraturan perundang-undangan tersebut yaitu Permendag No. 31/2008.

Penyelenggaraan Permendag No. 31/2008 ada dibawah pengawasan Kementrian

Perindustrian dan Perdagangan, selama 4 tahun berjalan Permendag No. 31/2008

tersebut akhirnya dicabut dan diganti dengan Permendag No. 53/2012 Tentang

Penyelenggaraan Waralaba.

2.2.2 Pengertian Waralaba

Pengertian Franchise berasal dari bahasa Perancis affranchir yang berarti

to free yang artinya membebaskan. Dengan istilah franchise di dalamnya terkandung

makna, bahwa seseorang memberikan kebebasan dari ikatan yang menghalangi

kepada orang untuk menggunakan atau membuat atau menjual sesuatu.93 Dalam

bidang bisnis franchise berarti kebebasan yang diperoleh seorang wirausaha untuk

menjalankan sendiri suatu usaha tertentu di wilayah tertentu.94

Franchise ini merupakan suatu metode untuk melakukan bisnis, yaitu suatu

metode untuk memasarkan produk atau jasa ke masyarakat. Selanjutnya disebutkan

pula bahwa franchise dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pemasaran atau

distribusi barang dan jasa, di mana sebuah perusahaan induk (franchisor)

memberikan kepada individu atau perusahaan lain yang berskala kecil dan menengah

(franchisee), hak-hak istimewa untuk melaksanakan suatu sistem usaha tertentu

dengan cara yang sudah ditentukan, selama waktu tertentu, di suatu tempat tertentu.95

93 Ridwan Khairandy, Perjanjian Franchise Sebagai Sarana Alih Teknologi, (Pusat Studi

Hukum UII Yogyakarta bekerjasama dengan yayasan Klinik Haki Jakarta, 2000), hal. 133. 94 Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,

2003), hal. 56. 95 Ibid, hal. 57.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

49

Franchising menurut Asosiasi Franchise Indonesia adalah:

“Franchising menurut hakekatnya adalah strategi pemasaran para pengusaha “mirip” dengan strategi-strategi lain seperti retailing, multilevel marketing, direct selling, dan sebagainya yang semuanya bertujuan untuk memperlebar jangkauan usaha untuk meningkatkan pangsa pasar dan penjualan. Waralaba menjadi alternative yang lebih disukai karena sistem ini membuat usaha berkembang lebih cepat dengan dana yang lebih murah dan membentuk jaringan usaha yang lebih kuat.”96

Dari segi bisnis dewasa ini, istilah franchise dipahami sebagai suatu bentuk

kegiatan pemasaran dan distribusi. Di dalamnya sebuah perusahaan besar

memberikan hak istimewa atau privilege untuk menjalankan bisnis secara tertentu

dalam waktu dan tempat tertentu kepada individu atau perusahaan yang relatif lebih

kecil. Franchise merupakan salah satu bentuk metode produksi dan distribusi barang

atau jasa kepada konsumen dengan suatu standard dan sistem eksploitasi tertentu.

Pengertian standar dan eksploitasi tersebut meliputi kesamaan dan penggunaan nama

perusahaan, merek, serta sistem produksi, tata cara pengemasan, penyajian dan

pengedarannya.97

Menurut Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu, menterjemahkan

pengertian franchise dari Black’s Law Dictionary sebagai berikut:98

1. “Franchise adalah hak istimewa untuk melakukan hal-hal tertentu yang

diberikan oleh pemerintah pada individu atau perusahaan yang terbentuk badan hukum, dan (hak tersebut) tidak dimiliki oleh penduduk pada umumnya. Contoh hak yang diberikan untuk melakukan jasa layanan televisi kabel.

2. Franchise adalah hak istimewa untuk menggunakan nama atau untuk menjual produk/jasa layanan. Hak itu diberikan oleh pengusaha pabrik atu penyedia pada penjual eceran untuk menggunakan berbagai produk

96 Asosiasi Franchise Indonesia, Direktori Franchise Indonesia, Edisi III, 2007, hal. 9. 97 Ridwan Khairandy, op. cit. hal. 134. 98 Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern,

(Bandung : Refika Aditama, 2004), hal.116.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

50

dan nama dengan berdasarkan syarat-syarat yang telah disetujui bersama (dalam hubungan yang saling menguntungkan).

3. Franchise adalah lisensi dari pemilik merek dagang atau nama dagang yang mengijinkan orang lain untuk menjual produk atau jasa layanan di bawah nama atau merek tersebut.”

Franchise merupakan sistem usaha yang memiliki ciri khas tertentu berupa

jenis produk dan bentuk yang diusahakan, identitas perusahaan (logo, desain, merek

bahkan termasuk pakaian dan penampilan karyawan perusahaan), rencana pemasaran

dan bantuan operasional.99

V. Winarto lebih menekankan waralaba sebagai hubungan kemitraan antara

pengusaha yang usahanya sudah mapan dan sukses dengan pengusaha yang relatif

baru atau lemah dalam usaha tersebut dengan tujuan saling menguntungkan,

khususnya dalam bidang usaha menyediakan produk dan jasa langsung kepada

konsumen.100

Di dalam kamus ekonomi bisnis perbankan mengartikan bahwa franchise

adalah “suatu hak tunggal yang diberikan kepada perorangan atau suatu organisasi,

oleh suatu pihak lain, baik perorangan atau organisasi (perusahaan, pemerintah dan

sebagainya) untuk menjalankan suatu wewenang khususnya menyangkut perbuatan

dan atau penjualan di wilayah tertentu.101

Sedangkan Martin Mendelsohn mengartikan franchise sebagai pemberian

sebuah lisensi kepada pihak lain, lisensi tersebut memberikan hak kepada franchisee

untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang franchisor, dan untuk

menggunakan keseluruhan paket yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan

99 Rooseno Harjowidigno, Perspektif Pengaturan Perjanjian Franchise, Makalah Pertemuan

Ilmiah tentang Usaha Franchise dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi, (Jakarta : BPHN, 14-16 Desember 1993), hal. 1.

100 V. Winarto, Pengembangan Waralaba (Franchising) di Indonesia Aspek Hukum dan Non

Hukum, dalam Juajir Sumardi, Aspek-aspek Hukum tentang Franchise dan Perusahaan Transnasional, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1995), hal.19.

101 T. Guritno, Kamus Ekonomi Bisnis Perbankan, Cetakan I, (Yogyakarta : Gajah Mada

University Press, 1992), hal. 24.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

51

untuk membuat seseorang yang sebelumnya belum terlatih dalam menjalankan bisnis

dan untuk menjalankan dengan bantuan terus menerus atas dasar-dasar yang telah

ditentukan sebelumnya.102

Martin D. Fern, melihat franchise dari aspek/unsurnya, yang mensyaratkan

adanya 4 (empat) unsur, yaitu:103

a. “pemberian hak untuk berusaha dalam bisnis tertentu; b. lisensi untuk menggunakan tanda pengenal usaha, biasanya suatu

merek dagang atau merek jasa, yang akan menjadi ciri pengenal dari bisnis franchisee;

c. lisensi untuk menggunakan rencana pemasaran dan bantuan yang luas oleh franchisor kepada franchisee; dan

d. pembayaran oleh franchisee kepada franchisor berupa sesuatu yang bernilai bagi franchisor selain dari harga borongan bonafide atas barang yang terjual.”

Semua pengertian yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa

franchise pada dasarnya mengandung elemen-elemen pokok sebagai berikut:

a. Franchisor yaitu pihak pemilik/produsen dari barang atau jasa yang telah

memiliki merek tertentu serta memberikan atau melisensikan hak eksklusif

tertentu untuk pemasaran dari barang atau jasa itu.

b. Franchisee yaitu pihak yang menerima hak ekslusif itu dari franchisor.

c. Adanya penyerahan hak-hak secara eksklusif (dalam praktek meliputi berbagai

macam hak milik intelektual/hak milik perindustrian) dari franchisor kepada

franchisee.

d. Adanya penetapan wilayah tertentu, franchise area di mana franchisee diberikan

hak untuk beroperasi di wilayah tertentu. Contoh: hanya diperbolehkan untuk

beroperasi di Pulau Jawa.

e. Adanya imbal - prestasi dari franchisee kepada franchisor yang berupa Initial Fee

dan Royalties serta biaya-biaya lain yang disepakati oleh kedua belah pihak.

102 Martin Mendelsohn, Franchising: Petunjuk Praktis bagi Franchisor dan Franchisee,

(Jakarta : PT. Pustaka Binaman Perssindo, 1997), hal. 4. 103 Juajir Sumardi, op.cit., hal. 18.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

52

f. Adanya standar mutu yang ditetapkan oleh franchisor bagi franchisee, serta

supervisi secara berkala dalam rangka mempertahankan mutu.

g. Adanya pelatihan awal, pelatihan yang berkesinambungan, yang diselenggarakan

oleh franchisor guna peningkatan ketrampilan.

Dari sudut pandang ekonomi, franchise adalah hak yang diberikan secara

khusus kepada seseorang atau kelompok, untuk memproduksi atau merakit, menjual,

memasarkan suatu produk atau jasa. Sedangkan dari sudut pandang hukum,

franchise adalah perjanjian legal antara dua pihak dalam bekerja sama memproduksi,

merakit, menjual, memasarkan suatu produk barang dan jasa.

Secara hukum, waralaba berarti persetujuan legal atas pemberian hak atau

keistimewaan untuk menawarkan suatu produk/ jasa dari pemilik (pewaralaba)

kepada pihak lain (terwaralaba) yang diatur dalam suatu permainan tertentu. Dalam

PP Waralaba Pasal 1 angka 1 dan Permendag No. 53/2012 Pasal 1 angka 1

menyatakan:

“Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.

Sementara itu Munir Fuady menyatakan bahwa franchise atau sering

disebut juga dengan istilah waralaba adalah suatu cara melakukan kerjasama di

bidang bisnis antara 2 (dua) atau lebih perusahaan, di mana 1 (satu) pihak akan

bertindak sebagai franchisor dan pihak yang lain sebagai franchisee, di mana di

dalamnya diatur bahwa pihak-pihak franchisor sebagai pemilik suatu merek dari

know-how terkenal, memberikan hak kepada franchisee untuk melakukan kegiatan

bisnis dari/atas suatu produk barang atau jasa, berdasar dan sesuai rencana komersil

yang telah dipersiapkan, diuji keberhasilannya dan diperbaharui dari waktu ke waktu,

baik atas dasar hubungan yang eksklusif ataupun noneksklusif, dan sebaliknya suatu

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

53

imbalan tertentu akan dibayarkan kepada franchisor sehubungan dengan hal

tersebut.104

Menurut Munir Fuady, bahwa waralaba mempunyai karakteristik

yuridis/dasar sebagai berikut:105

1. “Unsur Dasar

Ada 3 (tiga) unsur dasar yang harus selalu dipunyai, yaitu : a. pihak yang mempunyai bisnis franchise disebut sebagai franchisor. b. pihak yang mejalankan bisnis franchise yang disebut sebagai

franchisee. c. adanya bisnis franchise itu sendiri.

2. Produk Bisnisnya Unik 3. Konsep Bisnis Total

Penekanan pada bidang pemasaran dengan konsep P4 yakni Product, Price, Place serta Promotion.

4. Franchise Memakai/Menjual Produk 5. Franchisor Menerima Fee dan Royalty 6. Adanya pelatihan manajemen dan skill khusus 7. Pendaftaran Merek Dagang, Paten atau Hak Cipta 8. Bantuan Pendanaan dari Pihak Franchisor 9. Pembelian Produk Langsung dari Franchisor 10. Bantuan Promosi dan Periklanan dari Franchisor 11. Pelayanan pemilihan Lokasi oleh Franchisor 12. Daerah Pemasaran yang Ekslusif 13. Pengendalian / Penyeragaman Mutu”

Sejalan dengan hal ini, franchise atau waralaba dalam Black’s Law

Dictionary diartikan sebagai: 106

“A special privilege granted or sold, such as to use a name or to sell products or service. In its simple terms, a franchise is a license from owner of trademark or trade name permitting another to sell a product or service under that name or mark. More broadly stated, a franchise has evolved into an elaborate agreement under which the franchisee undertakes to

104 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal.

339. 105 Ibid., hal. 341-345. 106 Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary 6 th ed, St Paul MN : West publishing,

Co, 1990.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

54

conduct a business or sell a product or service in accordance with methods and procedures prescribed by the Franchisor, and the Franchisor under takes to assist the franchisee through advertising, promotion and other advisory services.”

Rumusan tersebut di atas, bahwa waralaba ternyata tidak juga mengandung

unsur-unsur sebagaimana yang diberikan pada lisensi, hanya saja dalam pengertian

waralaba tersebut dalam Blacks’Law Dictionary, waralaba menekankan pada

pemberian hak untuk menjual produk berupa barang atau jasa dengan memanfaatkan

merek dagang franchisor (pemberi waralaba) dimana pihak franchise (penerima

waralaba) berkewajiban untuk mengikuti metode dan tata cara atau prosedur yang

telah ditetapkan oleh pemberi waralaba. Dalam kaitannya dengan pemberian izin dan

kewajiban pemenuhan standar dari pemberi waralaba, artinya akan memberikan

bantuan pemasaran, promosi maupun bantuan teknis lainnya agar penerima waralaba

dapat menjalankan usahanya dengan baik.

2.2.3 Jenis-Jenis Waralaba

Menurut International Franchise Association (IFA) berkedudukan di

Washington DC, merupakan organisasi Franchise International yang beranggotakan

negara-negara di dunia, ada empat jenis franchise yang mendasar yang biasa

digunakan di Amerika Serikat, yaitu:107

1. “Product Franchise

Produsen menggunakan produk franchise untuk mengatur bagaimana cara pedagang eceran menjual produk yang dihasilkan oleh produsen. Produsen memberikan hak kepada pemilik toko untuk mendistribusikan barang-barang milik pabrik dan mengijinkan pemilik toko untuk menggunakan nama dan merek dagang pabrik. Pemilik toko harus membayar biaya atau

107 Perusahaan Waralaba (Franchise): Definisi, Jenis/bentuk dan Keunggulan dan Kelemahan sistem Franchise. <http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/09/perusahaan-waralaba-franchise-definisi.html>. diakses pada tanggal 6 Januari 2013 pukul 17.39 WIB.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

55

membeli persediaan minimum sebagai timbal balik dari hak-hak ini. Contohnya, toko ban yang menjual produk dari franchisor, menggunakan nama dagang, serta metode pemasaran yang ditetapkan oleh franchisor.

2. Manufacturing Franchises Jenis franchise ini memberikan hak pada suatu badan usaha untuk membuat suatu produk dan menjualnya pada masyarakat, dengan menggunakan merek dagang dan merek franchisor. Jenis franchise ini seringkali ditemukan dalam industri makanan dan minuman.

3. Business Oportunity Ventures Bentuk ini secara khusus mengharuskan pemilik bisnis untuk membeli dan mendistribusikan produk-produk dari suatu perusahaan tertentu. Perusahaan harus menyediakan pelanggan atau rekening bagi pemilik bisnis, dan sebagai timbal baliknya pemilik bisnis harus membayarkan suatu biaya atau prestasi sebagai kompensasinya. Contohnya, pengusahaan mesin-mesin penjualan otomatis atau distributorship.

4. Business Format Franchising Ini merupakan bentuk franchising yang paling populer di dalam praktek. Melalui pendekatan ini, perusahaan menyediakan suatu metode yang telah terbukti untuk mengoperasikan bisnis bagi pemilik bisnis dengan menggunakan nama dan merek dagang dari perusahaan. Umumnya perusahaan menyediakan sejumlah bantuan tertentu bagi pemilik bisnis membayar sejumlah biaya atau royalti. Kadang-kadang, perusahaan juga mengaharuskan pemilik bisnis untuk membeli persediaan dari perusahaan.”

Akan tetapi pada umumnya sekarang ini, ada dua jenis waralaba yang

berkembang menurut Stephen Fox yaitu, waralaba Produk dan Merek

dagang/Product and Trade-name Franchise dan waralaba Format Bisnis/Business

Format Franchise.108

1. Waralaba Produk dan Merek Dagang

Waralaba produk dan merek dagang (product and trade-name franchise)

merupakan bentuk waralaba yang paling sederhana. Dalam waralaba produk dan

merek dagang, pemberi waralaba memberikan hak kepada penerima waralaba untuk

menjual produk yang dikembangkan oleh pemberi waralaba yang disertai izin untuk

108 Stephen Fox, Membeli dan Menjual Bisnis Franchise, Seri Bisnis Baron, (Jakarta: Elex

Media Komputindo, 1993), hal. 217

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

56

menggunakan merek dagang milik pemberi waralaba.109 Atas pemberian izin

penggunaan merek dagang tersebut biasanya pemberi waralaba memperoleh royalty

di muka, dan selanjutnya pemberi waralaba memperoleh keuntungan (royalty

berjalan) melalui produk yang diwaralabakan kepada penerima waralaba.110 Pada

waralaba ini, penerima waralaba (franchisee) sama sekali tidak terlibat dalam produk

dan hanya menjual produk pemberi waralaba (franchisor).

2. Waralaba Format Bisnis

Martin Mendelsohn mendefinisikan waralaba format bisnis sebagai:

“Pemberian sebuah lisensi oleh seseorang (pemberi waralaba) kepada pihak lain (penerima waralaba), lisensi tersebut memberi hak kepada penerima waralaba untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang/nama dagang pemberi waralaba, dan untuk menggunakan keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seorang yang sebelumnya belum terlatih dalam bisnis dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus-menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya.”111

Dalam bentuk ini, seorang pemegang waralaba (franchisor) memperoleh hak

untuk memasarkan dan menjual produk atau pelayanan dalam suatu wilayah atau

lokasi yang spesifik, dengan menggunakan standar operasional atau pemasaran. Akan

terlihat bahwa waralaba format bisnis merupakan hubungan yang menyeluruh dan

terus-menerus dimana konsep-konsep awal selalu terus dikembangkan.

Berdasarkan usaha yang berhak dimiliki franchisee, ada beberapa format

waralaba, yaitu sebagai berikut:112

109 Gunawan Widjaja, op.cit., hal. 13. 110 Moch. Basarah, op.cit., hal. 49. 111 Martin Mendelsohn, How to Franchise Your Business, London: Franchise World

Magazine (Diterjemahkan oleh Arif Suyoko, Fauzi Bustami & Hari Wahyudi, Franchising: Petunjuk Praktis bagi Franchisor dan Franchisee, Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo), hal. 4.

112 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 19.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

57

1. “Single Unit Franchise Format ini adalah format yang paling sederhana dan paling banyak digunakan karena kemudahannya. Franchisor memberikan hak kepada franchisee untuk menjalankan usaha atas nama usahanya serta dengan panduan prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya. Franchisee hanya diperkenankan untuk menjalankan usahanya pada sebuah cabang atau unit yang telah disepakati.

2. Area Franchise Pada format ini, franchisee memperoleh hak untuk menjalankan usahanya dalam sebuah wilayah tertentu, misalkan pada sebuah provinsi atau kota, dengan jumlah unit usaha/cabang yang lebih dari satu.

3. Master Franchise Format master franchise memberikan hak kepada franchisee untuk menjalankan usahanya di sebuah wilayah atau sebuah negara dan bukan hanya membuka usaha. Franchisee dapat menjual lisensi kepada sub-franchisee dengan ketentuan yang telah disepakati.”

Pada waralaba format bisnis ini, franchisor disamping menerima biaya dari

franchisee, akan menerima uang melalui royalty berlanjut atas penggunaan nama atau

merek dagang beserta sistem bisnisnya, yang dijalankan oleh franchisee.113

2.2.4 Waralaba Sebagai Bentuk Perjanjian

2.2.4.1 Perjanjian Waralaba

Dalam waralaba, dasar hukum dari penyelenggaraannya adalah perjanjian

antara kedua belah pihak. Undang-undang menentukan bahwa perjanjian yang sah

berkekuatan sebagai undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-

persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali, selain kesepakatan kedua belah pihak atau

karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.114 Karena itu pula

113 Moch. Basarah, op.cit., hal. 50. 114 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Alumni, 2005), hal. 27.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

58

suatu perjanjian waralaba yang dibuat oleh para pihak yaitu franchisor dan franchisee

berlaku sebagai undang-undang pula bagi mereka. Undang-undang (KUHPerdata)

tidak menempatkan perjanjian waralaba sebagai suatu perjanjian bernama secara

langsung, seperti jual beli, sewa-menyewa dan sebagainya.

Dalam pembuatan perjanjian pada franchise (waralaba) di Indonesia tetap

memakai ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(selanjutnya disebut KUHPerdata) pada buku III tentang Perikatan yang didalamnya

timbul dari perjanjian.

Pengertian perjanjian menurut rumusan pasal 1313 KUHPerdata, didefinisikan

sebagai berikut :

“Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

satu orang lain atau lebih”.

Jika kita perhatikan, rumusan yang diberikan dalam pasal 1313 KUHPerdata

tersebut tersirat bahwa sesungguhnya dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau

prestasi dari satu atau lebih orang kepada satu atau lebih orang lainnya, yang berhak

atas prestasi tersebut.

Pengertian tersebut mirip dengan apa yang dikemukakan oleh R. Subekti, yaitu

“suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain

atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”115

Menurut Abdulkadir Muhammad, Perjanjian adalah “suatu persetujuan dengan mana

dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam

lapangan harta kekayaan.”116

Setiap perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi

para pembuatnya, rumusan ini terdapat dalam pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, yang

dipertegas lagi dalam pasal 1338 ayat 2 KUHPerdata yang menyatakan bahwa

perjanjian yang disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh

115 R. Subekti, loc.cit.

116 Abdulkadir Muhammad, loc.cit.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

59

salah satu pihak dalam perjanjian tanpa adanya persetujuan dari lawan pihaknya

dalam perjanjian atau dalam hal-hal dimana oleh undang-undang dinyatakan cukup

adanya alasan untuk itu.

Perjanjian waralaba memuat kumpulan persyaratan, ketentuan, dan komitmen

yang dibuat dan dikehendaki oleh franchisor bagi para franchisee-nya. Di dalam

perjanjian waralab tercantum ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban

franchisee, persyaratan lokasi, ketentuan pelatihan, biaya-biaya yang harus

dibayarkan oleh franchisee kepada franchisor, ketentuan yang berkaitan dengan lama

perjanjian waralaba dan perpanjangannya, serta ketentuan lain yang mengatur

hubungan antara franchisor dengan franchisee.

“Franchise agreement adalah kontrak antara pemberi waralaba dan penerima waralaba. Perjanjian tersebut memberikan detil yang penting tentang hubungan antara penerima waralaba drngan pemberi waralaba. Hal-hal dalam perjanjian mencakup seperti biaya, persyaratan, kewajiban kedua belah pihak, kondisi-kondisi yang menentukan penghentian waralaba dan keterbatasan waralaba. Perjanjian tersebut merupakan dokumen pemberi waralaba karena dipersiapkan oleh pemberi waralaba dan mencantumkan apa yang diinginkan pemberi waralaba.”117

Perjanjian waralaba harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:118

1. “Kesepakatan kerja sama waralaba tertuang dalam perjanjian waralaba yang disahkan secara hukum.

2. Kesepakatan kerja sama ini menjelaskan secara rinci semua hak, kewajiban, dan tugas dari franchisor dan franchisee.

3. Masing-masing pihak yang bersepakat sangat dianjurkan, bahkan untuk beberapa negara dijadikan syarat, mendapatkan nasihat dari ahli hukum yang kompeten untuk memahami isi dari perjanjian tersebut dan dengan waktu yang dianggap cukup untuk memahaminya.”

117 Iman Sjahputera Tunggal, Franchising Konsep & Kasus, (Harvarindo, 2004), hal. 55. 118 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 81.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

60

Di dalam suatu perjanjian waralaba harus memiliki tiga prinsip, yaitu harus

jujur dan jelas, tiap pasal dalam perjanjian harus adil, serta isi dari perjanjian dapat

dipaksakan berdasarkan hukum. Di dalam perjanjian waralaba ini, hukum yang

berlaku dapat ditentukan oleh para pihak sendiri atau berdasarkan asas-asas umum

berlaku pada perjanjian internasional.

Prinsip yang dapat dijadikan pedoman untuk menyetujui sebuah perjanjian

franchise, yakni:119

“Any provision in any contract can be negotiated and change with the mutual

agreement of the involved parties.”

Seperti yang dikemukakan di atas bahwa setiap ketentuan dalam setiap

perjanjian dapat dinegosiasikan agar menguntungkan pihak-pihak yang terlibat. Sikap

yang sebaiknya dimiliki oleh para pihak sebelum penandatanganan perjanjian yakni:

“Discuss with them (attorney and accountant) is provisions and the obligations its places on you to perform certain functions, and determine areas for negotiation in which you can make changes to your benefit.” 120

Maksudnya adalah para pihak harus memikirkan dengan cermat dan seksama

(termasuk konsultasi dengan pengacara dan akuntan), mengenai isi dari ketentuaan

serta kewajiban yang tercantum dalam perjanjian sehingga ketika penandatanganan

dilakukan, pihak-pihak telah memiliki persiapan dan pemahaman yang jelas akan nisi

dari perjanjian serta akibat yang ditimbulkan dari perjanjian franchise tersebut.

Secara garis besar, pada umumnya perjanjian waralaba memuat sebagai

berikut:121

119 Bryce Webster, The Insider’s Guide to Franchising, (Amerika: American Management

Association, 1991), hal. 95. 120 Ibid. 121 Adrian Sutedi, op.cit, hal. 82.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

61

1. “Hak yang diberikan oleh franchisor pada franchisee. Hak yang diberikan meliputi antara lain penggunaan metode atau resep yang khusus, penggunaan merek dan atau nama dagang, jangka waktu hak tersebut dan perpanjangannya, serta wilayah kegiatan dan hak yang lain sehubungan dengan pembelian kebutuhan operasi bila ada.

2. Kewajiban dari franchisee sebagai imbalan atas hak yang diterima dan kegiatan yang dilakukan oleh franchisor pada saat franchisee memulai usaha, maupun selama menjadi anggota dari sistem waralaba.

3. Hal yang berkaitan dengan kasus penjualan hak franchisee kepada pihak lain. Bila franchisee tidak ingin meneruskan sendiri usaha tersebut dan ingin menjualnya kepada pihak lain, maka suatu tata cara perlu disepakati sebelumnya.

4. Hal yang berkaitan dengan pengakhiran perjanjian kerja sama dari masing-masing pihak.”

Hal-hal yang terkandung di dalam suatu franchise (waralaba) mencakup

bagian-bagian tertentu, salah satunya Perjanjian timbal balik merupakan Perjanjian

yang di dalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak dan

berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik.122 Royalty fee

yang merupakan uang yang didapat franchisor karena franchisee menggunakan

merek dagang milik franchisor ini dilindungi oleh Undang-Undang dan menurut

ketentuan Undang-Undang yang berlaku merek tersebut dimiliki oleh pemegang

haknya.123

Waralaba merupakan suatu perjanjian sehingga terdapat hal-hal yang

disepakati di dalam perjanjian tersebut sekaligus merupakan objek hukumnya. Objek

hukum tersebut bagi para pihak merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang

dapat dituntut atau harus dilaksanakan oleh para pihak sebagai subjek perjanjian.

Beberapa objek pengaturan perjanjian waralaba meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Nama Dagang atau Merek Dagang

122 Gema. Pengertian Kontrak. <http://gemaisgery.blogspot.com/2010/06/pengertian-

kontrak.html>. Diakses pada tanggal 6 Januari 2013 pukul 22.34 WIB. 123 Ekotama Suryono, Jurus Jitu Memilih Bisnis Franchise, (Yogyakarta: Citra Media, 2010),

hal. 81-82.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

62

Nama dagang atau merek dagang dapat dikatakan jantung dari perjanjian

waralaba. Di Amerika dalam Federal Trade Commission ditentukan bahwa

pencantuman merek dagang atau nama dagang pada dokumen penawaran franchisor

kepada franchisee merupakan syarat mutlak.124

Dalam kaitannya dengan pemakaian nama dan merek dagang, beberapa

kesepakatan yang menyangkut batas-batas hak dan kewajiban akan ditentukan para

pihak, di antaranya penjaminan franchisor tentang keabsahan pemilikan nama dan

merek dagangnya, penentuan wilayah penggunaan nama dan merek dagang oleh

franchisee, penentuan hak eksklusif pemakaian nama dan merek dagang kepada

franchisee diwilayah yang telah ditentukan, pemberian izin kepada franchisee untuk

men-subfranchise-kan kepada pihak ketiga guna mengoperasikan bisnis sejenis di

wilayah kewenangan franchisee dengan bimbingan dan di bawah kendali franchisee,

serta pemberian kewenangan kepada franchisee atau bahkwan kewajiban untuk

mempertahankan nama dan merek dagang milik franchisor dari gangguan pihak

ketiga.125

2. Rahasia Dagang (Trade Secret)

Trade secret bukan merupakan hak milik mutlak yang mendapat perlindungan

khusus sebagaimana paten, merek dagang, ataupun hak cipta. Oleh karena itu,

perlindungan yang paling efektif dapat diperoleh dari perjanjian yang dibuat para

pihak. Di beberapa negara tertentu hak-hak ini dilindungi oleh unfair competition

law, the law of fiduciare, atau hukum pidana.126

124 Stephen Fox, op.cit., hal. 239. 125 Moch. Basarah, op.cit., hal. 54-55. 126 Di Indonesia, trade secret mendapatkan perlindungan berdasarkan Pasal 1365

KUHPerdata.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

63

3. Jasa Pelatihan

Jasa pelatihan merupakan objek franchise yang sangat penting bagi franchisor

dan franchisee. Merupakan kewajiban dari franchisor untuk memberikan jasa

pelatihan kepada franchisee di dalam mengawali usahanya. Jasa pelatihan dapat

diberikan kepada franchisee sendiri ataupun semua jajaran manajemennya.127

4. Pembelian Bahan-Bahan dan Peralatan

Standarisasi produk merupakan salah satu ciri dari bisnis waralaba, bahkan

sering kali termasuk penentuan kualitas bahan-bahan dan perlengkapan penjualan.

Sering kali franchisor turut menentukan tempat pembelian dari bahan-bahan yang

akan digunakan (franchisor menentukan pemasok), sehingga pemasok tersebut

memberikan komisi kepada franchisor.

Dalam Federal Trade Commission, hal ini diantisipasi dengan ketentuan yang

mengharuskan franchisor meberikan penjelasan tentang komisi tersebut kepada

franchisee sebelum perjanjian waralaba ditandatangani.128 Akan tetapi, di Amerika

hal tersebut dapat dianggap sebagai tindakan product restriction yang tidak sah

menurut antitrust law sebab akan berakibat adanya pembatasan terhadap produk-

produk pemasok pada pasar bebas.129

Kaitannya dengan pembelian bahan-bahan dan peralatan, yang harus

diperhatikan para pihak adalah jangan sampai perjanjian yang dibuat mencantumkan

tie in clause (perjanjian terlarang dalam antitrust law) yang akan memberatkan

franchisee. Unsur-unsur tersebut dapat berwujud tindakan-tindakan:130

a. “Franchisor mewajibkan franchisee untuk membeli peralatan-peralatan

yang tidak substansial bagi produk-produk yang franchise-nya diberikan kepada franchisee.

127 Moch. Basarah, op,cit., hal. 57. 128 Stephen Fox, op.cit., hal. 243. 129 Moch. Basarah, op,cit., hal. 59. 130 Ibid., hal 60.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

64

b. Franchisor memaksakan franchisee untuk menyewa lokasi outlet dari franchisor.

c. Franchisor menunjuk pemasok tertentuk yang akan memasok kebutuhan-kebutuhan franchisee.”

Selain itu didalam proses pembelian bahan baku atau peralatan lain tersebut,

harus memperhatikan hukum yang berlaku apakah syarat pembelian yang dimonopoli

oleh franchisor atau perusahaan yang ditunjuk franchisor tidak menyimpang dari

hukum yang berlaku. Sebagai contoh: dalam perjanjian waralaba internasional

disepakati bahwa bahan baku harus diimpor dari negara franchisor, sedangkan

hukum negara franchisee berada mengatur bahwa untuk bahan baku tertentu tidak

diperbolehkan diimpor dari luar negeri.

5. Pengawasan Kualitas Produk

Pengawasan kualitas produk merupakan hak dari franchisor terutama

berkaitan dengan standarisasi produk-produk yang menggunakaan nama dan merek

dagangnya. Pengawasan atas kualitas produk juga ditentukan oleh partisipasi

franchisee dan sanksi-sanksi apakah yang akan diberlakukan kepada franchisee yang

tidak menjaga kualitas produknya.

6. Biaya Waralaba (Franchise fee)

Biaya waralaba merupakan objek perjanjian karena biaya ini pada dasarnya

merupakan kontraprestasi dari franchisee kepada franchisor sehubungan penerimaan

hak-haknya dari franchisor. 131

Yang dimaksud Franchise fee adalah biaya pembelian hak waralaba yang

dikeluarkan oleh pembeli waralaba (franchisee) setelah dinyatakan memenuhi

persyaratan sebagai franchisee sesuai kriteria franchisor. Umumnya franchise fee

dibayarkan hanya satu kali saja dan akan dikembalikan oleh franchisor kepada

131 Ibid., hal. 61.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

65

franchisee dalam bentuk fasilitas pelatihan awal, dan dukungan set up awal dari outlet

pertama yang akan dibuka oleh franchisee.132

Franchisee dalam hal ini menerima hak untuk berdagang di bawah nama dan

sistem yang sama, pelatihan, serta berbagai keuntungan lainnya. Sama halnya dengan

memulai bisnis secara mandiri, franchisee bertanggung jawab untuk semua biaya

yang muncul guna memulai usaha ini tetapi kemungkinan mengeluarkan uang lebih

rendah karena kekuatan jaringan yang dimiliki oleh franchisor.

Terdapat beberapa jenis pembayaran yang yang menjadi kewajiban dari

franchisee kepada franchisor, yaitu:133

a. “Initial or joining fee merupakan biaya yang dibayarkan franchisee pada

saat pertama kali menutup perjanjian dengan franchisor. Pembayaran ini tidak dapat ditarik kembali oleh franchisee karena sudah dianggap sebagai biaya pendaftaran dalam jaringan bisnis waralaba. Initial fee dibayarkan sekaligus untuk seluruh jangka waktu selama berlangsungnya perjanjian waralaba.

b. Continuing fee merupakan biaya yang dikeluarkan franchisee kepada franchisor secara periodik. Biasanya besarnya biaya ini didasarkan pada omzet penjualan franchisee.

c. Royalty merupakan imbalan atas pemakaian merek dagang atau jasa, logo, hak cipta, dan sebagainya yang merupakan milik dari franchisor.

d. Biaya lain yang dibutuhkan selain biaya di atas, antara lain: biaya latihan dan biaya marketing sebagai konsekuensi persyaratan kegiatan pemasaran yang harus dikelola oleh franchisee.”

7. Jangka Waktu Perjanjian

Perjanjian waralaba dibuat untuk jangka waktu tertentu. Hubungan waralaba

ini merupakan hubungan bisnis yang memerlukan waktu yang cukup untuk dapat

mencapai hasil yang memadai.

132 S. Muharam, Istilah – Istilah Dalam Waralaba,

<https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:BEqxLfB8hC8J:directory.umm.ac.id/Data%2520Elmu/doc/YAHUDI.doc+&hl=en&pid=bl&srcid=ADGEESgwSwG07VgelFz7CrBM--CgARufjXlSIa1dFAaJ13U06OXICBMtVPFmE6Do4OOuwhx0R_grweK7TA5bzfDXLbCx21OY_OF0a3FobZ424l6eqctJYNBMrUxbshaIIkuT-GKQkisk&sig=AHIEtbSJLqc6KSh6RjGszdd6-DNc9FVAmA>, diakses pada tanggal 6 Januari pukul 22.40 WIB

133 Moch. Basarah, op.cit., hal 61.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

66

Pada umumnya untuk jangka waktu 5, 10, atau 15 tahun dengan tiap-tiap lima

tahun opsi perpanjangan.134 Tetapi saat dimulainya perjanjian dan jangka waktu

perjanjian yang pertama, biasanya lima tahun diperkirakan cukup bagi franchisee

untuk mengembalikan investasinya dan memperoleh keuntungan. Dalam hal ini,

boleh juga mengikuti jangka waktu leasing apabila franchisee menyewa tempat

usahanya dari pihak franchisor.135

8. Pemutusan Perjanjian

Ketentuan ini mengatur mengenai kapan putusnya suatu perjanjian atau

bagaimana jika salah satu pihak atau kedua belah pihak ingin memutuskan perjanjian,

dan akibat dari putusnya perjanjian tersebut.

Di dalam perjanjian waralaba, menyediakan mekanisme pemutusan perjanjian

apabila franchisor ingkar janji ataupun franchisee melakukan pelanggaran. Tetapi

dapat pula terjadi secara otomatis, misalnya: karena kebangkrutan, penyitaan harta

benda, atau berakhirnya masa perjanjian.136

Selain hal-hal yang telah penulis uraikan di atas, masih ada hal-hal lain yang

dapat merupakan objek pengaturan perjanjian waralaba, diantaranya menyangkut

pelaksanaan perjanjian, seperti penggunaan arbitrase atau pengadilan (choice of

court) bagi sengketa-sengketa yang timbul (dispute resolution), pilhan hukum (choice

of law), dan beban atas biaya-biaya pengacara.

2.2.4.2 Asas-Asas Perjanjian Waralaba

“Franchisor dan franchisee dalam mengatur hubungannya seringkali diwujudkan dalam suatu perjanjian tertentu. Perjanjian dalam hukum Indonesia tunduk pada pengaturan buku III KUHPerdata, demikian pula

134 Ibid., hal. 62 135 Juajir Sumardi, op.cit., hal. 52. 136 Ibid., hal. 53

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

67

dengan hukum yang mengatur kerja sama antara franchisor dengan para franchisee-nya. Ada sejumlah asas-asas hukum penting yang terdapat di dalam hukum perjanjian pada umumnya.”137

Oleh sebab itu, perjanjian waralaba hendaknya didasarkan pula pada:

1. Asas Kebebasan berkontrak

Bahwa kebebasan berkontrak adalah salah satu asas dari Hukum Perjanjian

dan ia tidak berdiri sendiri, maknanya hanya dapat ditentukan setelah memahami

posisinya dalam kaitan yang terpadu dengan asas-asas Hukum Perjanjian yang lain,

yang secara menyeluruh asas-asas ini merupakan pilar, tiang, pondasi dari Hukum

Perjanjian.138 Asas kebebasan berkontrak mendukung kedudukan yang seimbang

diantara para Pihak, sehingga sebuah Perjanjian akan bersifat stabil dan memberikan

keuntungan bagi kedua Pihak.139

Asas kebebasan berkontrak, menyebutkan bahwa terikat pada Perjanjian yang

harus dipenuhi secara moral, secara Hukum karena berada dalam suatu masyarakat

yang beradab dan maju. Masyarakat seperti ini terdapat kebebasan untuk

berpartisipasi dalam lalu lintas yuridis-ekonomi, untuk itu diperlukan suatu prinsip

yaitu adanya kebebasan berkontrak yang merupakan suatu bagian dari hak-hak dan

kebebasan manusia.140 KUHPerdata memberikan hak kepada para pihak untuk

membuat dan melakukan kesepakatan apa saja dengan siapa saja, selama mereka

memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata

tersebut.141 Setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi para pembuatnya.

137 P. Lindawaty S. Sewu, op.cit., hal. 82. 138 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 2005), hal. 40. 139 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan,

Alumni, Bandung, 1993. 140 Johanes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak

dalam Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: CV. Utama, 2003), hal. 27. 141 Gunawan Widjaja, op.cit., hal. 82.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

68

2. Asas Konsensualitas

Kesepakatan mereka yang mengikat diri adalah esensial dari Hukum

Perjanjian. Asas ini dinamakan Asas konsensualisme yang menentukan adanya

Perjanjian. Asas konsensualisme yang terdapat didalam Pasal 1320 KUHPerdata

mengandung arti kemauan para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk

saling mengikat diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu

dipenuhi atas kepercayaan merupakan nilai etis yang bersumber pada moral. Pacta

sunt servanda (janji itu mengikat) dan menyebutkan promisorum impledorum

obligantion (kita harus memenuhi janji kita).142 Menurut asas ini, perjanjian sudah

dianggap ada saat tercapainya kesepakatan tentang hal-hal yang diperjanjikan.

3. Asas Itikad Baik

Perjanjian yang telah disepakati bersama harus dilaksanakan dengan itikad

baik. Pelaksanaan perjanjian waralaba merupakan suatu rangkain proses timbale balik

antara franchisor dengan franchisee. Selain itu, perjanjian ini sering kali dilaksanakan

dalam jangka waktu yang cukup panjang. Oleh karena itu, kedua belah pihak harus

menjunjung tinggi asas ini sehingga baik hak dan kewajiban dari para pihak dapat

terpenuhi dengan baik.

4. Asas Kerahasiaan

Asas ini pada dasarnya mewajibkan kepada para pihak, baik franchisor dan

franchisee, untuk menjaga kerahasiaan data maupun ketentuan-ketentuan yang

dianggap rahasia, misalnya masalah trade secret (rahasia dagang), resep makanan

atau minuman, dan hal-hal lain. Asas kerahasiaan ini merupakan hal yang esensial

dalam suatu perjanjian waralaba, karena pada dasarnya bisnis dengan sistem waralaba

sangat mengandalkan ciri khas dari suatu produk barang atau jasa.

142 Mariam Darus Badrulzaman, lo.cit.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

69

5. Asas Persamaan Hukum

Asas ini menempatkan para pihak didalam persamaan derajat, tidak ada

perbedaan walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan

lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan

mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia

ciptaan tuhan.143

Dengan adanya tujuan dari waralaba sehingga peran yang penting didalam

menjalankan hak dan kewajiban dari franchisor maupun franchisee maka Perjanjian

waralaba harus secara tepat menggambarkan janji-janji yang dibuat dan harus adil,

serta pada saat yang bersamaan menjamin bahwa ada kontrak yang cukup melindungi

integritas sistem.144

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007, Perjanjian waralaba

harus dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia, hal tersebut sesuai dengan Pasal

4 ayat (1). Perjanjian waralaba tidak perlu dibuat dalam bentuk akta notaris, para

pihak dapat membuat sendiri di bawah tangan dengan mengikuti ketentuan

KUHPerdata.

Di dalam suatu perjanjian waralaba masih sering terjadi penyimpangan-

penyimpangan yang menimbulkan wanprestasi. Wanprestasi terjadi ketika salah satu

pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana tertera didalam perjanjian

waralaba. Adanya wanprestasi dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.

Terhadap kerugian yang ditimbulkan dalam pelaksanaan perjanjian waralaba ini

berlaku perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan, yaitu pihak yang dirugikan

berhak menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyebabkan kerugian.145

143 Ibid. 144 Darmawan Budi Suseno, Sukses Usaha Waralaba, (Yogyakarta: Cakrawala, 2007), hal 23. 145 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 91.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

70

Bentuk-bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian

waralaba, yaitu wanprestasi dari pihak franchisee dapat berbentuk tidak membayar

biaya waralaba tepat pada waktunya, melakukan hal-hal yang dilarang dilakukan

franchisee, melakukan pelayanan yang tidak sesuai dengan sistem waralaba dan lain-

lain. Wanprestasi dari Pihak franchisor dapat berbentuk tidak memberikan fasilitas

sehingga sistem waralaba tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya, tidak mau

membantu franchisee dalam kesulitan yang dihadapi ketika melakukan usaha

waralaba dan lain-lain.146

Dengan penjelasan atas hal-hal di atas maka persyaratan yang terdapat di

dalam waralaba dapat dipenuhi dan dilaksanakan sesuai aturan-aturan yang berlaku

sehingga pihak-pihak yang melaksanakan waralaba dapat menjalankan usahanya

dengan baik.

2.2.5 Perbedaan Pemberian Waralaba Dan Lisensi

Pengertian waralaba selalu diartikan berbeda dengan lisensi. Padahal, intinya

hampir sama. Dalam praktik lisensi (licensing) diartikan lebih sempit, yakni

perusahaan atau seseorang (licencor) yang memberi hak kepada pihak tertentu

(licensee) untuk memakai merek atau hak cipta atau paten (Hak Kekayaan

Intelektual) untuk memproduksi atau menyalurkan produk atau jasa pihak licencor.

Imbalannya licensee membayar fee.147 Lisensi merupakan ijin yang diberikan kepada

pihak lain untuk memproduksi dan memasarkan produk atau jasa tertentu. Pihak

pemberi lisensi (licensor) hanya berkewajiban mengawasi mutu produk atau jasa

yang dijual oleh penerima lisensi (licensee).148

146 Ibid. 147Iman Sjahputra, Franchise: Perikatan HaKI yang Diperluas.

<http://www.haki.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1104523729>. Diakses pada tanggal 7 Januari 2013 pukul 14.06 WIB.

148 Deden Setiawan, op. cit, hal. 8.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

71

Terdapat beberapa kesamaan antara perjanjian lisensi dengan perjanjian

waralaba yaitu:

a. “Yang dipasarkan adalah produk-produk dengan merek dagang milik licensor atau pemberi waralaba.

b. Melalui perjanjian lisensi atau waralaba, terjadi alih teknologi atau know-how dari licensor atau pemberi waralaba kepada licensee atau penerima waralaba.

c. Hak atas merek dan hak paten atas know-how, tetap dimiliki oleh licensor atau pemberi waralaba.”149

Dalam perjanjian waralaba ada beberapa ketentuan yang menonjol yang dapat

membedakan waralaba dengan lisensi. Di dalam perjanjian waralaba, adanya lisensi

merek dagang atau merek jasa diikuti oleh kewenangan pemilik merek melakukan

kontrol guna menjamin kualitas barang atau jasa yang dilisensikan itu. Pemilik merek

juga mempunyai kewenangan melakukan kontrol atas bisnis yang bersangkutan yang

tidak bertalian dengan persyaratan kualitas yang disebutkan di atas.150 Dalam

perjanjian waralaba, pemberian lisensi selalu diikuti pelayanan (service) dalam

bidang teknik (technical assistance), pelatihan (training), perdagangan dan

manajemen.151

Perbedaan antara kedua sistem ini terletak pada tanggung jawab masing-

masing pihak, dimana pada sistem waralaba kedua belah pihak terikat dalam sebuah

kontrak kemitraan yang diikuti dengan kewajiban dan tanggung jawab masing-

masing pihak. Dalam konteks itu, franchisor bertanggung jawab untuk memberikan

seluruh informasi, mulai dari proses produksi, sistem manajemen dan keuangan dari

produk atau jasa yang diwaralabakan sepanjang kontrak masih berlaku. Di samping

itu, perlu diketahui sejak awal oleh pihak franchisee bahwa bisnis waralaba harus

dijalankan sendiri oleh orang yang bersangkutan. Artinya pihak franchisee tidak

149 Iman Sjahputera Tunggal, op.cit., hal. 51. 150 Ridwan Khairandy, op. cit. hal. 135. 151 Ibid., hal. 136.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

72

boleh bersikap pasif dengan cara memberikan atau menjual lagi hak bisnis itu kepada

orang lain.152

Dalam hal pemberian lisensi, pihak pemberi lisensi tidak mempunyai

kewajiban dan tanggung jawab atas bisnis yang dijalankan oleh pihak penerima

lisensi. Pemberi lisensi hanya berkepentingan pada perhitungan royalti atau

pembagian keuntungan dari volume atau omzet penjualan setiap waktu. Selain itu

pemberi lisensi tidak tidak mempunyai tanggung jawab untuk melakukan bimbingan

atau pelatihan kepada penerima lisensi.153

2.2.6 Perkembangan Waralaba di Indonesia

Di Indonesia, waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an dengan munculnya

dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi atau menjadi agen tunggal

pemilik merek.154 Waralaba di Indonesia semakin berkembang ketika masuknya

waralaba asing pada tahun 80-90an seperti KFC, McDonald’s, Burger King, dan

Wendys.155 Perusahaan-perusahaan waralaba lokal mulai muncul pada masa itu, salah

satunya ialah Es Teler 77.

Indonesia memiliki potensi yang baik untuk pengembangan bisnis dengan

menggunakan sistem waralaba. Dilihat dari kondisi di Indonesia, banyak bidang

usaha yang menunjukkan adanya potensi pasar yang besar dan berkembang. Dari

penelitian yang dilakukan oleh LPPM (Lembaga Penelitian untuk Pengembangan

Masyarakat) dan Departemen Perdagangan pada tahun 1993, diperoleh data bahwa

terdapat 20 bidang usaha yang potensial untuk di-franchise-kan.156 Beberapa

diantaranya adalah: makanan dan minuman, usaha ritel, jasa konsultasi untuk

152 Deden Setiawan, op. cit. hlm. 9 153 Ibid.

154Yohanes Heidy Purnama, loc.cit.

155 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 19. 156 P. Lindawaty S. Sewu, op.cit., hal 67.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

73

keperluan bisnis, jasa pemeliharaan, jasa broker rumah, jasa pemeliharaan kesehatan

badan, jasa pendidikan non-formal, jasa salon, jasa binatu, dan sebagainya.

Hingga Maret tahun 1996, pertumbuhan bisnis waralaba dalam bidang

makanan masih menduduki peringkat pertama, dan masih terus akan mengalami

peningkatan yang tajam.157 Tetapi apabila diamati, pertumbuhan bisnis waralaba

antara lokal (domestik) dan asing tidak menunjukkan keseimbangan. Dimana

pertumbuhan waralaba masih kalah jumlahnya dibandingkan dengan waralaba asing

yang banyak masuk ke Indonesia, dan mendominasi bisnis waralaba pada umumnya

di pasar domestik Indonesia.

Meskipun franchisor asing mendominasi sebagian besar pasar domestik, tidak

tertutup kemungkinan bagi waralaba lokal untuk mengembangkan usahanya agar

dapat menyaingi para pesaingnya. Karena pada bisnis waralaba yang menjadi

kekuatan ialah pada keunikan produk yang ditawarkan kepada calon pembeli. Oleh

karena itu, para pengusaha yang ingin mengembangkan usahanya melalui sistem

waralaba ini harus berusaha kreatif untuk menciptkan keunikan produk tersendiri.

Para pengusaha waralaba khususnya waralaba lokal, harus mencoba memperluas

usahanya ke pasar luar negeri untuk makin melebarkan usahanya hingga pasar

internasional.

Berdasarkan database Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), pertumbuhan

waralaba lokal pada tahun 2012-2012 meningkat dibandingkan waralaba asing.

Persentase pertumbuhan bisnis waralaba dan Business Opportunity (BO) lokal dari

tahun 2011-2012 mengalami peningkatan 11,7% sedangkan persentase peningkatan

waralaba asing di Indonesia pada tahun 2011-2012 mengalami peningkatan sebanyak

6,25%. Total peningkatan waralaba dalam negeri maupun asing pada tahun 2011-

2012 mengalami peningkatan sebesar 10,9%.158

157 Ibid., hal. 78 158 Majalah Info Franchise, loc.cit.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

74

2.2.7 Pengaturan Waralaba di Indonesia

Sebelum munculnya perangkat hukum yang mengatur waralaba di Indonesia,

menurut Prof. Sudargo Gautama, perlindungan tetap bisa dilakukan melalui kontrak

waralaba yang dibuat oleh pihak-pihak yang terlibat. Hal tersebut sesuai dengan

KUHPerdata yang secara tegas mengakui bahwa perjanjian yang disepakati oleh

beberapa pihak, mengikat mereka sebagai hukum.159

Peraturan perundang-undangan yang memiliki hubungaan dengan waralaba

adalah sebagai berikut: Pasal 1338 KUHPerdata dan Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal

1338 KUHPerdata menganut sistem terbuka, maksudnya setiap orang atau badan

Hukum diberikan kebebasan untuk menentukan perjanjian baik yang sudah dikenal

didalam KUHPerdata. Di samping itu, yang menjadi dasar hukum dalam

pengembangan waralaba di Indonesia adalah Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1320

KUHPerdata mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, yaitu kesepakatan kedua

belah pihak, cakap untuk melakukan perbuatan hukum, adanya objek tertentu dan

adanya klausa yang halal.

Pada tahun 1997 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang

Waralaba (yang selanjutnya disebut PP No.16/1997). Adanya peraturan tersebut

memberikan kepastian usaha dan kepastian hukum bagi dunia usaha yang

menjalankan waralaba. Peraturan Pemerintah tersebut diperkuat dengan Peraturan

Menteri Perdagangan Nomor 12/M-DAG/Per/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata cara

Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba. PP No.16/1997 diganti oleh Peraturan

Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (yang selanjutnya disebut PP No.

42/2007).

A. Pengaturan Waralaba Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997

tentang Waralaba.

Peraturan pemerintah ini dilahirkan untuk mengembangkan kegiatan waralaba

sebagai upaya mempeluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha serta sebagai

159 Sudargo Gautama, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, (Bandung: PT. Alumni, 1985), hal. 9.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

75

upaya untuk meningkatkan pelaksanaan alih teknologi. Peraturan tersebut juga dibuat

dalam upaya memberikan kepastian usaha dan kepastian hukum bagi dunia usaha

yang menjalankan waralaba, terutama dalam upaya pengaturan, pembinaan, dan

pengembangan waralaba.160

Adapun rumusan waralaba yang berkaitan dengan PP No. 16/1997 dapat

diuraikan sebagai berikut:161

a. Waralaba adalah suatu perikatan. Rumusan tersebut menyatakan waralaba tunduk

kepada ketentuan umum mengenai perikatan yang terdapat dalam KUHPerdata

(BW).

b. Waralaba melibatkan hak untuk memanfaatkan dan menggunakan HaKI atau

penemuan atau ciri khas usaha. Adapun hak atas kekayaan intelektual meliputi

merek, nama dagang, logo, desain, hak cipta, rahasia dagang serta paten.

Sedangkan penemuan atau ciri khas usaha, misalnya sistem manajemen serta cara

penjualan atau penataan atau ciri distribusi yang merupakan karakteristik khusus

dari pemiliknya.

c. Waralaba diberikan dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan dan/atau

penjualan barang/jasa. Ketentuan ini mensyaratkan bahwa waralaba tidaklah

diberikan dengan cuma-cuma. Pemberian waralaba senantiasa dikaitkan dengan

imbalan/kompensasi yang diminta oleh pemberi waralaba dari penerima waralaba.

B. Pengaturan Waralaba Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007

juncto Peraturan Menteri Perdagangan No. 31/M-DAG/PER/8/2008.

Lahirnya PP ini dilandasi oleh kehendak pemerintah meningkatkan

pembinaan usaha waralaba di seluruh Indonesia sehingga perlu mendorong

160 Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. 161 M. Muctar Rivai, Pengaturan Waralaba di Indonesia: Perspektif Hukum Bisnis, (Jurnal

Liquidity: Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2012, hal. 161.), < http://www.liquidity.stiead.ac.id/blog/2012/10/12/pengaturan-waralaba-di-indonesia-perspektif-hukum-bisnis/>, diakses pada tanggal 7 Januari 2012 pukul 18.32 WIB

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

76

pengusaha nasional, terutama UKM tumbuh sebagai usaha waralaba nasional yang

andal dan mempunyai daya saing dalam negeri dan luar negeri, khususnya dalam

memasarkan produk dalam negeri.162

Pemerintah memandang perlu mengetahui legalitas dan bonafiditas

franchisor, baik franchisor dalam negeri maupun dari luar negeri guna menciptakan

transformasi informasi usaha yang dapat dimanfaatkan secara optimal oleh usaha

nasional dalam memasarkan barang dan/atau jasa melalui bisnis waralaba. Di

samping itu pemerintah perlu menyusun data waralaba, baik jumlah maupun jenis

yang diwaralabakan.163

Dalam PP ini menyebutkan pengertian waralaba adalah: “hak khusus yang

dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri

khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan / atau jasa yang telah terbukti

berhasil dan dapat dimanfaatkan dan / atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan

perjanjian waralaba.”

Sesuai definisi diatas, maka berdasarkan Pasal 3 PP juncto Pasal 2 ayat (1)

tersebut, dapat dikatakan bisnis waralaba jika memenuhi persyaratan:

1. Bisnis itu memiliki ciri khas usaha;

2. Terbukti telah memiliki keuntungan

3. Memiliki standar atas pelayanan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang

dibuat secara tertulis;

4. Mudah diajarkan dan diaplikasikan;

5. Adanya dukungan yang berkesinambungan;

6. Hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar.

Berdasarkan definisi waralaba diatas dapat disimpulkan bahwa waralaba

merupakan salah satu bentuk kemitraan yang memiliki resiko rendah serta

menguntungkan bagi para pihak. Konsep kemitraan yang terkandung dalam PP No.

42/2007 ini tidak bisa dilepaskan dengan apa yang telah diatur dalam PP No. 4 Tahun

162 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 33 163 M. Muctar Rivai, op.cit., hal. 161-162.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

77

1997 tentang Kemitraan dimana disebutkan bahwa “Kemitraan” adalah kerjasama

antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah dan Usaha Besar disertai dengan

pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah dan usaha Besar dengan

memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling menguntungkan dan saling

memperkuat.164

Perkembangan usaha waralaba di Indonesia saat ini dan di masa mendatang

mempunyai prospek yang baik dan semakin pesat kemajuannya, karena dapat

menjanjikan manfaat mikro bagi para pemberi waralaba maupun penerima waralaba

sendiri, dan manfaat makro bagi konsumen yang mendapatkan jaminan produk

bermutu, serta membuka kesempatan berusaha dan lapangan kerja baru bagi angkatan

kerja Indonesia sekaligus dapat memperluas akses pasar bagi barang dan/atau jasa

produksi dalam negeri.165

Pengembangan waralaba tersebut dapat mendorong berkembangnya

spesialisasi dan modernisasi usaha tradisional, menumbuhkan kreatifitas dalam

mengembangkan inovasi berusaha sehingga membuka akses pasar yang lebih luas

bagi produk barang dan jasa Indonesia. Oleh karena itu, usaha waralaba dapat

dijadikan sebagai salah satu contoh bagi UKM baik sebagai mitra usaha maupun

dalam rangka penyediaan pasokan barang yang diperlukan oleh usaha waralaba itu

sendiri.166

C. Pengaturan Waralaba Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik

Indonesia Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan

Waralaba.

Dalam rangka untuk mengoptimalkan penyelenggaraan waralaba, yang

bertujuan meningkatkan kegiatan usaha melalui waralaba, kemitraan usaha antara

164 Panduan Kebijakan Waralaba dan MLM, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perdagangan

Dalam Negeri, 2012), hal. 2. 165 Ibid., hal. 3. 166 Ibid., hal. 4.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

78

pemberi waralaba dengan pengusaha kecil dan menengah serta peningkatan produk

dalam negeri maka Pemerintah melalui Menteri Perdagangan Republik Indonesia

menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 53/M-

DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba (Permendag No. 53/2012)

pada tanggal 28 Agustus 2012 sebagai pengganti dari Permendag No.31/2008.

Alasan yang melatarbelakangi pemerintah merevisi Permendag yang lama

yaitu Permendag No.31/2008 karena Permendag ini dianggap belum dapat

mendorong peningkatan usaha waralaba ke arah membangun kemitraan dengan

pengusaha kecil dan menengah dalam bentuk penerima waralaba atau pemasok bahan

baku termasuk peningkatan penggunaan produksi dalam negeri. Selain itu, alasan lain

yang melatarbelakangi revisi Permendag No.31/2008 adalah sulitnya memetakan

usaha waralaba karena pelaksanaan pendaftaran di daerah tidak berjalan sebagaimana

mestinya dan sulit mengidentifikasi bidang usaha yang memiliki gerai waralaba atau

tidak.167

Pemerintah berharap dengan adanya revisi ini bertujuan untuk

mengoptimalkan pelaksanaan pendaftaran waralaba di daerah, meningkatkan

pembinaan dan pengawasan usaha waralaba oleh pemerintah melalui pemberian

identitas khusus yaitu logo waralaba yang wajib dilekatkan pada gerai waralaba,

meningkatkan kegiatan usaha melalui waralaba dan kemitraan usaha antara pemberi

waralaba dengan pengusaha kecil dan menengah, serta peningkatan produk dalam

negeri.168

Akan tetapi pada kenyataannya Permendag No. 53/2012 yang mengatur

tentang waralaba yang baru diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan mengalami

berbagai kontroversial terutama dari para pelaku industri waralaba. Menurut para

pelaku industri waralaba, Ketentuan dalam Permendag No. 53/2012 tentang

Penyelenggaraan Waralaba banyak yang tidak jelas, kontroversial, dan berpotensi

menimbulkan persoalan bahkan dapat mengancam perkembangan industri waralaba

lokal. Walaupun peraturan baru ini banyak menuai kritikan dari berbagai kalangan

167 Majalah Info Franchise, loc.cit. 168 Ibid.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

79

pengusaha, pemerintah sangat berharap para pelaku usaha waralaba baik asing

maupun asing dapat mematuhi Permendag No. 53/2012 dengan sebaik-baiknya.

Ketentuan baru dalam pengelolaan waralaba:169

ATURAN YANG POSITIF

ATURAN KONTROVERSIAL

No Permendag No. 53/2012

Permendag No. 31/2008 No Permendag No.

53/2012

Permendag No. 31/2008

1

Pemberi waralaba, baik dari dalam maupun luar negeri, serta penerima waralaba dari luar negeri harus mendaftar ke Direktorat Bina Usaha Perdagangan Kementerian Perdagangan. (Pasal 10)

Hanya pemberi waralaba dari luar negeri dan pemberi waralaba lanjutan dari luar negeri yang wajib mendaftar ke Kementerian Perdagangan. (Pasal 14)

1

Pemberi waralaba tidak dapat menunjuk penerima waralaba yang memiliki hubungan pengendalian dengan pemberi waralaba, baik langsung maupun tidak langsung. (Pasal 7)

Tidak mengatur

2

Dijanjikan, kalau dokumen sudah lengkap, STPW paling lama 2 (dua) hari kerja selesai.

Dijanjikan, kalau dokumen sudah lengkap, 2 (tiga) hari kerja selesai. (Pasal 18)

2

Kalau perjanjian diputus secara sepihak oleh pemberi waralaba sebelum masa berlaku berakhir, pemberi waralaba tidak dapat menunjuk penerima waralaba yang baru untuk wilayah yang sama, sebelum tercapai

Pemberi waralaba boleh menunjuk penerima waralaba baru di wilayah yang sama setelah lewat 6 bulan setelah pemutusan

169 Sofyan Nur Hidayat & Amal Ihsan Hadian, Aturan baru ancam industri waralaba lokal, <http://industri.kontan.co.id/news/aturan-baru-ancam-industri-waralaba-lokal>, diakses pada tanggal 7 Januari pukul 20.00 WIB.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

80

kesepakatan dalam perselisihan itu atau sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

perjanjian waralaba. (Pasal 6)

(Pasal 14) (Pasal 8)

3

Penerima waralaba dari dalam negeri serta penerima waralaba lanjutan dari dalam dan luar negeri mendaftar ke kantor dinas perdagangan provinsi, kabupaten/kota. (Pasal 10)

Selain pemberi waralaba dari luar negeri dan pemberi waralaba lanjutan dari luar negeri, mendaftar ke kantor dinas perdagangan. (Pasal 14)

3

Untuk mendapat STPW, harus mendapat rekomendasi persetujuan Tim Penilai. (Pasal 15)

Tidak mengatur

4

Pemberi dan penerima waralaba wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam menjalankan kegiatan usahanya antara lain peraturan perlindungan kon-sumen, kesehatan, pendidikan, lingkungan, tata ruang, tenaga kerja, dan hak atas kekayaan intelektual. (Pasal 6)

Tidak Mengatur

4

Pemberi dan penerima waralaba wajib menggunakan bahan baku, peralatan, dan menjual barang dagangan minimal 80% dari barang dan jasa produksi dalam negeri. Penilaian ketentuan ini akan dilakukan Tim Penilai.

Tidak mengatur

5

Pemberi dan penerima waralaba yang telah memiliki STPW wajib menggunakan logo waralaba yang akan diatur lebih lanjut.

Tidak mengatur (Pasal 19)

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

81

(Pasal 18)

5

Pemberi waralaba dan penerima waralaba hanya dapat melaksana-kan usaha sesuai izin usaha. Boleh saja menjual barang pendukung usaha utama, tapi maksimal hanya 10% dari total jenis barang yang dijual. Pengawasan akan dilakukan Tim Pengawas Ditjen Perdagangan Dalam Negeri. (Pasal 21)

Tidak mengatur

Tabel 2.1 Sumber: KONTAN MINGGUAN 48 XVI 2012, Laporan Utama

Dari berbagai ketentuan dalam Permendag No. 53/2012 yang tidak jelas dan

mengandung kontroversial yang terdapat dalam tabel di atas, Penulis hanya

menjelaskan mengenai pelaksanaan Pasal 19 mengenai pengaturan untuk

menggunakan 80% produk lokal yang tentunya akan kurang masuk akal bagi usaha

waralaba asing, dikaitkan dengan Prinsip Perdagangan WTO dan Undang-Undang

No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat.

2.3 Implementasi Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Dilihat dari

Prinsip Perdagangan WTO

Melalui Permendag No. 53/2012 ini, pemerintah memberikan kesempatan

kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan masyarakat lokal yang

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

82

berkeinginan untuk terjun dalam bisnis waralaba yang sama. Sedangkan waralaba

besar diarahkan agar bisa bersaing dengan waralaba yang sudah mapan atau company

owned unit termasuk kepemilikan asing. Peraturan ini tidak hanya berlaku bagi

pemilik waralaba dari luar negeri, melainkan juga berlaku bagi pengusaha dan

investor lokal yang memiliki gerai waralaba.

Pemerintah melalui peraturan ini ingin mendorong peningkatan produksi dan

konsumsi dalam negeri, sesuai bunyi Pasal 19 Permendag No. 53/2012:

(1)“Pemberi waralaba dan Penerima waralaba wajib menggunakan bahan baku, peralatan usaha serta menjual barang dagangan paling sedikit 80% barang dan/atau jasa produksi dalam negeri.

(2) Dalam hal tertentu, Menteri dapat memberikan izin penggunaan bahan baku, peralatan usaha serta menjual barang dan/atau jasa produksi dalam negeri kurang dari 80% setelah mempertimbangkan rekomendasi Tim Penilai.”

Akan tetapi dalam pelaksanaannya (implementasinya), ketentuan dalam Pasal

19 ini menuai berbagai kontra dari beberapa pelaku usaha. Ketentuan ini dapat

mempersulit beberapa pelaku usaha yang mengandalkan produknya dari luar negeri,

seperti toko-toko baju dan tas atau ritel fashion tersebut harus tutup karena seluruh

produknya diimport dari luar negeri. Tidak hanya itu saja, waralaba asing lain yang

ingin bekerja sama dengan franchisee (penerima waralaba) di Indonesia juga akan

ragu-ragu dan menghitung jumlah produk lokal yang dapat diserap terlebih dahulu.

Para pelaku usaha melihat adanya keraguan pemerintah terkait ketentuan

Pasal 19 ayat (1) mengenai penggunaan 80% bahan baku lokal, karena pada akhirnya

pemerintah membuat exit strategy berupa izin khusus Menteri Perdagangan apabila

terdapat waralaba yang tidak mampu mencapai batasan itu yang terdapat pada

ketentuan Pasal 19 ayat (2). Pemerintah di dalam membuat ketentuan Pasal 19 ini

terkesan tidak konsisten sehingga di dalam pelaksanaanya banyak menuai pro dan

kontra.

Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan Ibu Nurlaila Nur Muhammad

selaku Direktur Bina Usaha Perdagangan Kementerian Perdagangan mengenai

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

83

keraguan pemerintah di dalam membuat ketentuan Pasal 19 ini, Beliau

mengatakan:170

“Pemerintah menyadari bahwa Pemerintah tidak dapat memaksakan semua perusahaan waralaba di Indonesia untuk menggunakan produk Indonesia. Bila perusahaan waralaba tersebut dapat menggunakan 80% produk Indonesia, maka dia wajib untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) ini. Tetapi apabila waralaba tersebut tidak dapat menggunakan 80% produk Indonesia seperti waralaba di bidang fashion, maka pemerintah tidak dapat memaksakan untuk memenuhi ketentuan Pasal 19 ayat (1), mereka bisa mendapatkan pengecualian seperti yang tertera dalam Pasal 19 ayat (2) dengan tentu saja melihat pertimbangan-pertimbangan dari Tim Penilai.

Bu Nurlaila juga mengatakan bahwa untuk saat ini pembentukan Tim Penilai masih diproses, akan tetapi unsur-unsur dari Tim Penilai tersebut sudah pasti terdiri dari Government sebagai pembuat kebijakan, stake holder karena mereka yang mengetahui liku-liku perdagangan secara teknis, dan beberapa konsultan yang mengerti mengenai hal ini. Tim penilai adalah pihak-pihak yang dapat dipercaya bisa memberikan pandangan seobyektif mungkin. Pertimbangan-pertimbangan yang diberikan pun tidak bisa ditentukan secara keseluruhan, Tim Penilai harus melihat case by case terlebih dahulu sehingga Pemerintah tidak dapat menentukan kriteria tertentu mengenai pertimbangan-pertimbangan yang nantinya akan digunakan oleh Tim Penilai.”

Jika dilihat dari hasil wawancara diatas, maka titik tekan revisi permendag ini

bukan pada waralaba asing, tetapi upaya untuk meningkatkan kemitraan usaha antara

pemberi waralaba dengan pengusaha kecil dan menengah serta peningkatan

penggunaan produk dalam negeri. Dalam penyusunan Permendag No. 53/2012 ini,

pemerintah menganut asas non diskriminatif sehingga pengaturan mengenai waralaba

berlaku sama antara pengusaha waralaba asing dan lokal.

Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi

terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on

Establishing The World Trade Organization/WTO (Persetujuan Pembentukan

Organisasi Perdagangan Dunia) yang membawa konsekuensi baik eksternal maupun

170 Hasil wawancara dengan Ibu Nurlaila Nur Muhammad selaku Direktur Bina Usaha

Perdagangan Kementerian Perdagangan pada tanggal 30 Oktober 2012 pukul 16.00 WIB

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

84

internal. Indonesia harus mematuhi seluruh hasil kesepakatan dalam forum WTO. Hal

ini sesuai dengan prinsip pacta sunt servanda yang mensyaratkan bahwa kesepakatan

atau kontrak yang telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya

(dengan iktikad baik).

Dalam era perdagangan bebas dan era globalisasi, setiap pembuat kebijakan di

bidang perdagangan internasional, demikian juga para pelaksana di lapangan, dituntut

untuk memiliki wawasan internasional. Dalam praktik, hal ini berarti penguasaan

instrumen-instrumen hukum internasional yang terkait dengan perumusan kebijakan

dan pelaksanaan kegiatan di lapangan.171

Konsekuensi internal Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan

perandung-undangan nasional dengan ketentuan hasil kesepakatan WTO. Artinya

dalam melakukan harmonisasi, Indonesia harus tetap memikirkan kepentingan

nasional namun tidak melanggar rambu-rambu ketentuan WTO.172

Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia di dalam merumuskan Permendag No.

53/2012 ini juga melihat dari Prinsip-prinsip Perdagangan WTO, seperti: Prinsip

Most Favoured Nation dan Prinsip National Treatment yang mensyaratkan bahwa

suatu negara tidak diperkenankan untuk memperlakukan secara diskriminasi antara

produk impor dengan produk dalam negeri (produk yang sama). Setiap negara

anggota diwajibkan untuk memberikan perlakuan sama atas barang-barang impor dan

lokal paling tidak setelah barang impor memasuki pasar domestik. Apabila dilihat

dari penjelasan diatas tersebut maka isi dari Pasal 19 Permendag No. 53/2012 yang

dibuat oleh Pemerintah Indonesia melanggar dari ketentuan prinsip perdagangan

WTO karena adanya pembatasan produk impor yang masuk ke Indonesia.

Akan tetapi, WTO melakukan suatu perlakuan khusus terhadap negara-negara

berkembang sesuai salah satu prinsip yaitu Special and Differential to Developing

Nations (S&D) yang dapat mengecualikan suatu negara (berkembang) untuk

171 Syahmin AK., Hukum Dagang Internasional, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007),

hal. 94. 172 Muhammad Sood, lo.cit.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

85

dimaafkan bila terpaksa melanggar kesepakatan WTO. S&D merupakan instrumen

untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan (a means of development) dan instrumen

untuk menggapai keadilan (a means of justice) bagi negara sedang berkembang dalam

perdagangan internasional di bawah payung WTO.173

Pemberian perlakuan khusus bagi negara berkembang ini disebut dengan

prinsip preferensi. Prinsip mengenai preferensi bagi negara berkembang adalah

prinsip yang mensyaratkan perlunya suatu kelonggaran-kelonggaran atas aturan-

aturan hukum tertentu bagi negara-negara berkembang. Dasar teori dari sistem

preferensi ini adalah bahwa negara-negara harus diperbolehkan untuk menyimpang

dari kewajiban-kewajiban MFN untuk memperbolehkan mereka guna mengurangi

tarifnya pada impor-impor barang manakala barang-barang tersebut berasal dari

negara-negara berkembang. Pemberian perlakuan khusus oleh WTO kepada negara-

negara berkembang tersebut juga bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada

negara berkembang untuk meningkatkan pembangunannya.

Indonesia sebagai negara berkembang dapat menerapkan prinsip preferensi

tersebut sehingga Pemerintah di dalam merumuskan Pasal 19 Permendag No.

53/2012 ini tidak melanggar dari ketentuan prinsip perdagangan Perjanjian WTO,

karena tujuan sebenarnya Permendag No. 53/2012 ini untuk meningkatkan

penggunaan produk dalam negeri sehingga mampu bersaing dengan produk dari luar

negeri.

173 Nandang Sutrisno, loc.cit.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

86

BAB 3

KETENTUAN PENGGUNAAN BAHAN BAKU LOKAL DILIHAT DARI

UNDANG-UNDANG PERSAINGAN USAHA INDONESIA

3.1 Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia

3.1.1 Persaingan dan Dunia Usaha

Bagi dunia usaha persaingan harus dipandang sebagai hal yang positif. Dalam

teori ilmu ekonomi persaingan yang sempurna (perfect competition) adalah suatu

kondisi pasar (market) yang ideal. Ada empat asumsi yang melandasi agar terjadi

persaingan yang sempurna pada suatu pasar tertentu yaitu:174

“Pertama, pelaku usaha tidak dapat menentukan secara sepihak harga atas produk atau jasa.Adapun yang menentukan harga adalah pasar berdasarkan ekuilibrium permintaan dan penawaran (supply and demand). Dengan demikian pelaku usaha dalam persaingan sempurna tidak bertindak sebagai price maker melainkan ia hanya bertindak sebagai price taker. Kedua, barang atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha adalah betul-betul sama (product homogeneity). Selanjutnya, pelaku usaha mempunyai kebebasan untuk masuk ataupun keluar dari pasar (perfect mobility of resources). Terakhir, konsumen dan pelaku usaha memiliki informasi yang sempurna (perfect information) tentang berbagai hal, diantaranya kesukaan (preferences), tingkat pendapatan (income levels), biaya dan teknologi yang digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa.”

Akan tetapi dalam kenyataannya, sangat sulit ditemukan pasar persaingan

sempurna tersebut, karena yang kerap kali terjadi yaitu persaingan yang tidak

sempurna (imperfect competition).

Persaingan dapat membawa aspek positif yaitu memberikan keuntungan

kepada para pelaku usaha dan kepada konsumen. Dengan adanya persaingan, pelaku

usaha akan saling berlomba untuk terus memperbaiki produk ataupun jasa yang

174 Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi Dan Hukum Internasional, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), hal. 58.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

87

dihasilkan untuk konsumen sehingga persaingan akan berdampak pada semakin

efisiennya pelaku usaha dalam menghasilkan produk atau jasanya dan konsumen

diuntungkan dengan adanya persaingan ini karena mereka mempunyai banyak pilihan

dalam membeli produk atau jasa tertentu dengan harga yang murah dan kualitas yang

baik.

Akan tetapi persaingan juga memiliki aspek negatif yaitu apabila persaingan

dilakukan oleh pelaku ekonomi yang tidak jujur dan bertentangan dengan

kepentingan publik. Pelaku usaha tersebut akan menempuh praktek-praktek curang

(unfair competition) karena persaingan dianggap sebagai kesempatan untuk

menyingkirkan pesaing dengan cara apapun.

Jadi dapat disimpulkan secara garis besar, persaingan merupakan kondisi ideal

yang memiliki banyak aspek positif. Meskipun demikian, persaingan hanya akan bisa

menjalankan fungsinya dengan baik apabila persaingan itu terjadi sedemikian rupa

sehingga tidak terjadi persaingan curang yang justru merugikan.

3.1.2 Latar Belakang Hukum Persaingan Usaha Indonesia

Pada tanggal 5 Maret 1999 untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia

mengundangkan hukum persaingan usahanya yang komprehensif. Hukum persaingan

usaha Indonesia secara formal termuat di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya

disebut “UU Persaingan Usaha Indonesia”) yang dipublikasikan melalui Lembaran

Negara RI Tahun 1999 No. 33.175

Secara historis, kemunculan undang-undang ini tidak dapat terlepas dari peran

IMF (International Monetary Fund) yaitu setelah ditandatanganinya Letter of Intent

(Lol) antara Pemerintah RI dengan IMF pada tanggal 29 Juli 1998.176 Dalam Lol

tersebut ditentukan bahwa Pemerintah akan menyampaikan RUU Antimonopoli

kepada DPR untuk mendapat pembahasan selambat-lambatnya pada bulan Desember

175 Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 71. 176 Hikmahanto Juwana, op.cit., hal. 63.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

88

1998. Dalam proses pembentukan UU Persaingan usaha Indonesia yang

mempersiapkan rancangan UU adalah DPR dan DPR kemudian menggunakan hak

inisiatifnya untuk mengajukan rancangan UU sehingga rancangan UU yang

disepakati oleh Pemerintah dan DPR adalah rancangan UU yang telah dipersiapkan

oleh DPR tersebut yang digunakan, bukan rancangan yang telah dipersiapkan oleh

Pemerintah dalam hal ini Departemen Perindustrian dan Perdagangan.

UU Persaingan Usaha Indonesia ini terdiri atas 11 bab dan 53 pasal.

Meskipun telah diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999 namun keberlakuannya baru

akan mulai 1 (satu) tahun setelah diundangkan yaitu pada tanggal 5 maret 2000 dan

para pelaku usaha diberi kesempatan enam bulan sejak berlakunya UU untuk

menyesuaikan diri dengan ketentuan yang diatur dalam UU Persaingan Usaha

Indonesia.177

3.1.3 Asas dan Tujuan UU Persaingan Usaha Indonesia

Tujuan pembentukan UU Persaingan Usaha Indonesia secara tegas tercantum

di dalam Pasal 3 dan secara implisit terdapat di bagian konsiderans.

Pada bagian konsiderans dapat ditarik tiga tujuan umum yang hendak dicapai

dengan penyusunan UU Persaingan Usaha Indonesia ini, yaitu:178

“Pertama, di dalam konsiderans tercantum tujuan yang sangat umum dan klise bahwa UU Persaingan usaha Indonesia ditujukan untuk mengarahkan pembangunan ekonomi kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kedua, konsiderans juga menyebutkan bahwa UU Persaingan Usaha Indonesia disusun untuk mewujudkan demokrasi ekonomi yang menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara yang ikut serta dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa dalam iklim usaha yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya mekanisme ekonomi pasar secara wajar. Ketiga, secara tersirat juga dinyatakan bahwa UU Persaingan Usaha

177Ibid., hal. 64. 178 Arie Siswanto, op.cit., hal. 75.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

89

Indonesia dimaksudkan untuk mencegah pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu.”

Secara lebih tegas, tujuan UU Persaingan Usaha Indonesia dicantumkan dalam pasal

3 adalah untuk:

a. “Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil;

c. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan

d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.”

Eksistensi UU Persaingan Usaha Indonesia adalah untuk memastikan bahwa

sistem ekonomi yang berdasarkan persaingan usaha, dapat memotivasi para pelaku

usaha untuk menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang berkualitas dan harga

yang terjangkau oleh konsumen dengan memanfaatkan sumber-sumber produksi yang

seminimal mungkin.179

Mengenai asas UU Persaingan Usaha Indonesia secara tegas dicantumkan

dalam Pasal 2. Menurut pasal tersebut, asas kegiatan usaha di Indonesia adalah

“demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan

pelaku usaha dan kepentingan umum.” Perekonomian nasional yang diselenggarakan

berdasar atas demokrasi ekonomi menentukan bahwa masyarakat harus memegang

peranan aktif dalam kegiatan pembangunan.

Salah satu wujud dari pelaksanaan demokrasi ekonomi yang mengandung

prinsip keadilan, kebersamaan, dan berkeadilan, adalah perlindungan yang diberikan

oleh UU Persaingan Usaha Indonesia bagi pelaku usaha kecil. Perlindungan hukum

179 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (Jakarta: Prenada

Media Group, 2008), hal. 15.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

90

tersebut tentu saja dapat memberi peluang bagi pelaku usaha kecil untuk dapat

memajukan dan mengembangkan kegiatan usaha yang dilakukannya.180

Demokrasi ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap

warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang

dan/atau jasa, dalam iklim yang sehat, efektif, dan efisien, sehingga mendorong

pertumbuhan ekonomi pasar yang wajar dan tidak menimbulkan adanya pemusatan

kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan

yang telah dilaksanakan oleh negara terhadap perjanjian-perjanjian internasional.

3.1.4 Butir-butir Cakupan Pengaturan UU Persaingan Usaha Indonesia

Hukum Anti Monopoli akan mengatur mengenai praktik ataupun segala bentuk kondisi yang menghalangi berlangsungnya kompetisi yang wajar di pasar, yaitu:

a. “Persengkongkolan atau praktik usaha yang bersifat restriktif; b. Praktik-praktik usaha yang tidak wajar yang merugikan konsumen; c. Merger dan posisi dominan di pasar; d. Perangkapan jabatan di berbagai perusahaan (interlocking directorate); e. Penyalahgunaan posisi dominan di pasar (dominant market position); f. Pengaturan tentang pengecualian-pengecualian; g. Badan pengawas yang independen; h. Penalti (yang menyangkut penegakan hukum, bidang spesialisasi terhadap

bantuan hukum).” 181

Isi UU Persaingan Usaha Indonesia sesuai dengan standar internasional, yaitu

sebagai berikut:182

a. “Melarang perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 4, 7 s.d. 9, Pasal 10 s.d. 14, 22, 23)

180Ibid., hal. 72. 181 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 31-32. 182Ibid., hal. 32.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

91

b. Mengizinkan sampai ke tingkat tertentu penetapan harga konsumen, perjanjian eksklusif serta perjanjian lisensi (Pasal 5, 6, 15 dan Pasal 50 huruf b)

c. Melarang penggabungan atau peleburan badan usaha, yang menyebabkan terjadinya posisi dominan di pasar atau persaingan usaha tidak sehat (Pasal 26 s.d. 29)

d. Melarang tindakan merugikan konsumen, pemasok atau penerima barang dengan cara menyalagunakan posisi dominan di pasar (Pasal 17 dan 18)

e. Melarang menghalangi pesaing dengan tindakan-tindakan diskriminasi baik melalui harga, syarat-syarat perdagangan atau penolakan melakukan hubungan usaha (Pasal 7, 8, 16, 19, s.d. 21)”

Tugas lembaga pengontrol persaingan usaha akan diserahkan kepada Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (Pasal 30 s.d. 37). Peraturan mengenai prosedur

memenuhi tuntutan yang disyaratkan negara hukum (Pasal 38 s.d. 49). Terdapat juga

berbagai kegiatan dan perjanjian yang dikecualikan dari ketentuan UU Persaingan

Usaha Indonesia ini (Pasal 50).

3.1.5 Pengecualian Dalam UU Persaingan Usaha Indonesia

Dalam UU Persaingan Usaha Indonesia, tidak semua perjanjian, kegiatan dan

posisi dominan dilarang. Terdapat beberapa perjanjian, kegiatan dan posisi dominan

tertentu dianggap sebagai pengecualian meskipun hal tersebut dapat mengakibatkan

terjadinya monopoli.183

Adapun yang merupakan pengecualian menurut Pasal 50 UU Persaingan

Usaha Indonesia adalah:

a. Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

b. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi,

paten, merk dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik

terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;

183 Binoto Nadapdap, Hukum Acara Persaingan Usaha, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009), hal. 13.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

92

c. Perjanjian penetapan standart teknis produk barang dan atau jasa yang tidak

mengekang dan atau menghalangi persaingan;

d. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk

memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada

harga yang telah diperjanjikan;

e. Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standart hidup

masyarakat luas;

f. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia;

g. Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak

mengganggu kebutuhan dan atau pasokan dalam negeri;

h. Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;184

i. Kegiatan usaha operasi yang secara khusus melayani anggotanya.

Menurut ketentuan Pasal 51 UU Persaingan Usaha Indonesia bahwa monopoli

dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan memproduksi dan atau

pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta

cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan

diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang

dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah.

3.2 Hubungan Waralaba Dengan UU Persaingan Usaha Indonesia

Perkembangan jenis usaha dalam bentuk waralaba di Indonesia telah

mengalami kemajuan yang pesat di berbagai bidang dan tidak dapat dihindari seiring

dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat di era globalisasi. Terkait dengan

perkembangan jenis usaha dan bentuk waralaba yang pesat tersebut, Pemerintah

menyadari perlu untuk memberi ruang gerak bagi perkembangan waralaba agar

184Mengenai usaha kecil diatur dalam Undang – Undang No. 9 tahun 1995.Menurut undang-

undang ini, usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

93

masyarakat dapat ikut berperan aktif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara

kondusif. Oleh karena itu, di dalam UU Persaingan Usaha Indonesia memberikan

pengecualian untuk tidak memberlakukan ketentuan-ketentuan yang dilarang dalam

UU tersebut yang berkaitan dengan perjanjian waralaba sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 50 huruf b.

Pengertian Perjanjian dalam kaitannya dengan UU Persaingan Usaha

Indonesia harus tetap mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang

tersebut, yang berbunyi sebagai berikut:

“Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun baik tertulis maupun tidak tertulis.”

Selain mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 7 tersebut, untuk membuat

perjanjian juga harus tetap memperhatikan asas-asas perjanjian yang diatur dalam

Pasal 1320 dan 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Mengenai pengertian waralaba yang berkaitan dengan UU Persaingan Usaha

ini juga secara yuridis mengacu pada definisi waralaba sebagaimana diatur dalam

Pasal 1 angka 1 PP No. 42/2007 tentang Waralaba, yaitu:

“Hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.”

Dari definisi waralaba tersebut unsur-unsur yang tercakup adalah:

a. “terdapat hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan

usaha; b. terdapat sistem bisnis dengan ciri khas dalam rangka memasarkan barang

dan/atau jasa dan sistem tesebut telah terbukti berhasil; dan

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

94

c. sistem bisnis tersebut dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain (penerima waralaba) berdasarkan perjanjian.”185

Definisi mengenai “badan usaha” tidak disyaratkan harus berbentuk badan

hukum, apalagi badan hukum Indonesia.

Ada beberapa alasan waralaba dikecualikan dari jangkauan UU Persaingan

Usaha Indonesia, yaitu:

“Pertama, bisnis waralaba termasuk ke dalam golongan usaha kecil dan menengah. Kedua, waralaba merupakan suatu sistem pemasaran yang vertical dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri-ciri yang yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan/atau penjualan barang dan/atau jasa.”186

Artinya, franchisor bersedia mengalihkan konsep perusahaannya kepada

franchisee selama perjanjian berlangsung, dan sebaliknya franchisee berkewajiban

untuk membayar franchise fee maupun royalti kepada franchisor atas hak waralaba

yang diberikan kepadanya.

Hal-hal yang berkaitan dengan waralaba tidak mutlak dikecualikan dari

jangkauan UU Persaingan Usaha Indonesia, karena yang dikecualikan adalah sistem

waralabanya, sedangkan tindakan pelaku usaha waralaba tidak dikecualikan. Jadi

apabila pelaku usaha waralaba melakukan persaingan usaha tidak sehat, maka ia

dapat terkena UU Persaingan Usaha Indonesia.

Dalam perjanjian waralaba, pemberi waralaba biasanya menetapkan berbagai

persyaratan kepada penerima waralaba yang dimaksudkan untuk menjaga ciri khas

usaha, standar pelayanan, dan barang dan/atau jasa yang dipasarkan. Persyaratan

tersebut biasanya untuk menjaga HAKI dan konsep waralaba itu sendiri sehingga

185 Indonesia, Keputusan Komisi Persaingan usaha Repunlik Indonesia Tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba, KEPUTUSAN KOMISI NO. 57/2009, hal. 6. 186 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 148-149.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

95

dapat dikecualikan dari penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia. Namun

demikian, dalam praktek berbagai persyaratan perjanjian waralaba sering memuat

klausula yang dapat juga menghambat atau memberikan batasan kepada penerima

waralaba dalam menjalankan usahanya, sehingga berpotensi menimbulkan praktek

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Oleh karena itu, agar tidak terjadi penyalahgunaan ketentuan tersebut, Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kemudian mengeluarkan Keputusan Komisi No.

57/2009 tentang Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 Terhadap Perjanjian

yang Berkaitan dengan Waralaba dan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun

1999 Terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba.

Dalam menerapkan ketentuan Pasal 50 huruf b yang berupa pengecualian UU

Persaingan Usaha Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan perjanjian waralaba,

KPPU dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya mempergunakan pertimbangan

sebagai berikut:187

1. “Kriteria waralaba sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PP No. 42/2007 tentang Waralaba;

2. Kriteria perjanjian waralaba dan pendaftarannya sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 10 dan Pasal 11 PP No. 42/2007 tentang waralaba terpenuhi;

3. Pembuatan perjanjian harus tetap mengacu ketentuan Pasal 1 angka 7 UU Persaingan Usaha Indonesia, Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata;

4. Perjanjian waralaba merupakan bentuk kemitraan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 huruf c jo Pasal 29, Pasal 35 dan Pasal 36 ayat (1) UU No. 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;

5. Isi perjanjian waralaba tidak berpotensi melanggar prinsip larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat;

6. Beberapa contoh kriteria perjanjian waralaba yang berpotensi melanggar prinsip larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, sehingga ketentuan Pasal 50 huruf b tidak dapat diterapkan.”

187 M. Muctar Rivai, op.cit., hal. 165.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

96

3.2.1 Pengecualian Penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia Terhadap

Perjanjian Berkaitan Dengan Waralaba

Suatu usaha waralaba adalah suatu sistem pemasaran yang vertikal, yakni

pemberi waralaba bersedia menyerahkan semua sistem usaha waralabanya kepada

penerima waralaba, maka perjanjian waralaba mencakup juga perjanjian lisensi yang

merupakan salah satu jenis dari Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI).

UU Persaingan Usaha Indonesia memberikan pengecualian untuk tidak

memberlakukan ketentuannya terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba

yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf b, termasuk yang dikecualikan yaitu

perjanjian yang berkaitan dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual antara lain

mengenai lisensi.

Namun dalam prakteknya ternyata terdapat perjanjian yang terkait dengan

waralaba yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan

usaha tidak sehat. Keadaan yang demikian tentunya tidak termasuk dalam kategori

yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 50 huruf b. Menyadari bahwa terdapat

kemungkinan ada perjanjian yang berkaitan dengan waralaba yang dapat

menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, maka penerapan

ketentuan pengecualian dalam Pasal 50 huruf b UU Persaingan Usaha Indonesia,

perlu diterapkan secara hati-hati dan bijaksana sehingga tidak menyimpang dari

tujuan pembentukan UU Persaingan Usaha Indonesia yang terdapat dalam ketentuan

Pasal 3, antara lain untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif. Dengan demikian,

perjanjian yang dikecualikan adalah perjanjian yang mengatur sistem waralaba dan

pengalihan hak lisensi dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba.

Sedangkan mengenai perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat walaupun berkaitan dengan waralaba

tidak termasuk yang dikecualikan.

Oleh karena itu, jika dalam perjanjian yang berkaitan dengan waralaba

terdapat unsur yang ternyata dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat, maka ketentuan UU Persaingan Usaha Indonesia tetap

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

97

dapat diterapkan terhadap pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut.

Penerapan ketentuan UU Persaingan Usaha Indonesia tersebut pada prinsipnya

sejalan dengan ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008

tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang menentukan bahwa:

“Dalam melaksanakan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 para

pihak mempunyai kedudukan hukum yang setara dan terhadap mereka berlaku

hukum Indonesia.”188

Pasal 26 antara lain mengatur kemitraan dengan pola waralaba (Pasal 26 huruf

c). Selanjutnya yang dimaksud dengan “berlaku hukum Indonesia” di bidang

pengaturan usaha tentunya adalah UU Persaingan Usaha Indonesia.

Untuk tidak keliru dalam menerapkan ketentuan Pasal 50 huruf b Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999, Komisi menetapkan Keputusan tentang Pedoman

Pelaksanaan Pasal 50 huruf b tentang Pengecualian Penerapan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.189

1. Prinsip Penerapan Persaingan Usaha Dalam Perjanjian Waralaba.

Prinsip penerapan persaingan usaha terhadap perjanjian waralaba selalu

diarahkan untuk mencapai tujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Persaingan

Usaha Indonesia, yaitu untuk meningkatkan efisiensi ekonomi sebagai upaya

meningkatkan kesejahteraan rakyat, menjamin kesempatan berusaha yang sama bagi

seluruh pelaku usaha, mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak

sehat dan menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Berdasarkan Pasal 50 huruf b perjanjian yang terkait dengan waralaba

termasuk salah satu yang dikecualikan dari penerapan UU Persaingan Usaha

188 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah, UU Nomor 20 Tahun 2008, Ps. 36.

189 Indonesia, op.cit, KEPUTUSAN KOMISI NO. 57/2009, hal. 3.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

98

Indonesia. Prinsip pengecualian terhadap perjanjian yang terkait dengan waralaba

berangkat dari asas bahwa pada dasarnya ketentuan dalam perjanjian waralaba yang

merupakan hal yang esensial untuk menjaga identitas bersama dan reputasi jaringan

waralaba, atau untuk menjaga kerahasiaan HaKI yang terkandung dalam konsep

waralaba dapat dikenakan pengecualian berdasarkan Pasal 50 huruf b.

Berdasarkan prinsip tersebut maka dalam perjanjian waralaba diperbolehkan

memuat ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban-kewajiban bagi penerima

waralaba dalam rangka menjamin konsep waralaba dan HaKI yang dimiliki oleh

pemberi waralaba. Ketentuan tersebut misalnya antara lain adalah kewajiban untuk

menggunakan metode usaha yang ditetapkan oleh pemberi waralaba, mengikuti

standar perlengkapan dan penyajian yang ditentukan pemberi waralaba, tidak

merubah lokasi waralaba tanpa sepengetahuan pemberi waralaba, dan tidak

membocorkan HAKI yang terkait dengan waralaba kepada pihak ketiga, bahkan

setelah berakhirnya masa berlakunya perjanjian waralaba.

Namun demikian perlu disadari bahwa dalam perjanjian waralaba dapat pula

mengandung ketentuan yang dapat berpotensi menghambat persaingan, seperti

penetapan harga jual, pembatasan pasokan, keharusan untuk membeli produk lain

yang tidak terkait dengan waralaba dari pemberi waralaba, pembagian wilayah, dan

larangan untuk melakukan kegiatan usaha yang sama setelah berakhirnya perjanjian

waralaba.

Ketentuan yang demikian berpotensi bertentangan dengan pencapaian tujuan

UU Persaingan Usaha Indonesia yang menginginkan adanya efisiensi dan kesempatan

berusaha yang sama bagi seluruh pelaku usaha. Oleh karena itu, perjanjian waralaba

yang memuat ketentuan yang menghambat persaingan tidak termasuk dalam

pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b dan Komisi akan

melakukan penilaian lebih lanjut mengenai dampak dari hambatan persaingan

tersebut terhadap efisiensi ekonomi.

Ketentuan mengenai pembatasan wilayah yang biasa terdapat dalam

perjanjian waralaba untuk mengatur sistem jaringan waralaba biasanya termasuk

dalam kategori yang dikecualikan. Pemberi waralaba pada dasarnya dapat mengatur

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

99

wilayah eksklusif bagi penerima waralaba, dalam hal demikian maka pengecualian

dapat diberikan terhadap ketentuan yang bertujuan untuk membatasi kegiatan

pemberi waralaba di dalam wilayah yang telah diperjanjikan dan kegiatan penerima

waralaba diluar wilayah yang diperjanjikan. Namun demikian, pengecualian tidak

dapat diberikan apabila hambatan berupa pembatasan wilayah tersebut mengarah

pada perlindungan wilayah secara absolut.190

Dalam hal pemberi waralaba dan penerima waralaba, baik secara langsung

maupun tidak langsung menghalangi konsumen untuk mendapatkan barang dan/atau

jasa dengan alasan tempat kediaman konsumen diluar wilayah waralaba yang telah

ditetapkan dalam perjanjian dan membagi pasar maka hal tersebut tidak termasuk

dalam kategori pengecualian. Pengecualian terutama tidak dapat diterapkan apabila

pembatasan wilayah mengakibatkan membatasi persaingan pada pasar bersangkutan

sehingga berdampak pada efisiensi ekonomi.

Ketentuan mengenai kewajiban pasokan dalam perjanjian waralaba biasanya

dimaksudkan untuk menjaga standar kualitas produk waralaba. Jaminan adanya

standar minimum kualitas produk sangat penting dalam usaha waralaba agar tidak

merusak identitas dari konsep waralaba itu sendiri. Untuk itu pemberi waralaba

biasanya mewajibkan penerima waralaba untuk memasoknya dari pemberi waralaba

atau pihak tertentu produk yang menjadi esensi dari konsep waralaba, dimana

khususnya terkait dengan HaKI yang telah dipatenkan yang menjadi bagian utama

dari konsep waralaba. Namun demikian perlu dipahami bahwa perjanjian pasokan

yang demikian juga dapat menghambat persaingan karena membatasi pelaku usaha

lain untuk dapat ikut memasok kepada penerima waralaba.

Untuk itu maka ketentuan yang demikian, apabila tidak terkait dengan HaKI

produk yang menjadi esensi dari konsep waralaba, tidak dikecualikan dari penerapan

UU Persaingan Usaha Indonesia.

Perjanjian waralaba memuat pula ketentuan yang mewajibkan penerima

waralaba untuk membeli beberapa jenis barang dari pemberi waralaba dalam rangka

menjaga standar kualitas dari konsep waralaba pada dasarnya tidak melanggar prinsip 190 Ibid., hal. 16.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

100

persaingan usaha. Namun demikian, kewajiban yang demikian dapat pula

menghalangi produk substitusi dan menghambat persaingan. Untuk itu maka

kewajiban untuk membeli barang lain yang tidak terkait dengan konsep waralaba,

yang dapat menciptakan hambatan masuk (entry barrier) bagi pelaku usaha lain tidak

dapat kenakan pengecualian terhadap penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia.191

Ketentuan yang melarang penerima waralaba untuk melakukan kegiatan usaha

yang sama yang dapat bersaing dengan jaringan usaha waralaba dapat dikenakan

ketentuan pengecualian berdasarkan Pasal 50 huruf b. Larangan tersebut

dimaksudkan untuk perlindungan HaKI pemilik waralaba dan menjaga identitas dan

reputasi jaringan waralaba, khususnya bila pemberi waralaba telah melakukan

transfer know how (yang diterimanya), baik berupa pengetahuan, pengalaman dan

keahlian, serta kemampuan (skill) teknis kepada penerima waralaba. Namun demikian

perlu disadari bahwa hambatan untuk melakukan kegiatan usaha yang sama tersebut

dalam jangka waktu panjang justru akan mempengaruhi persaingan dan berdampak

negatif pada efisiensi ekonomi. Untuk itu maka ketentuan hambatan setelah

berakhirnya perjanjian waralaba dalam waktu yang terlalu panjang tidak termasuk

dalam pengecualian penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia.

Untuk menetapkan jangka waktu yang tidak melanggar persaingan usaha

maka KPPU diharapkan memperhatikan berbagai pertimbangan, antara lain teknologi

dari waralaba dan investasi yang telah dikeluarkan. Apabila teknologi waralaba sudah

merupakan domain publik dan investasi yang dikeluarkan tidak besar, maka jangka

waktu untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama biasanya adalah 1 (satu)

tahun.

2. Penerapan Ketentuan Pasal 50 huruf b Terkait Dengan Perjanjian Waralaba.

Dalam menerapkan ketentuan Pasal 50 huruf b, khususnya perjanjian yang

berkaitan dengan waralaba, KPPU harus mempertimbangkan dengan bijaksana agar

tidak melanggar hakikat tujuan dibentuknya UU Persaingan Usaha Indonesia.

Adapun pertimbangan yang perlu diperhatikan antara lain: 191 Ibid., hal. 17.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

101

Kriteria waralaba sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah

Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba harus terpenuhi:192

1. Kriteria perjanjian waralaba dan pendaftarannya sebagaimana diatur dalam Pasal

4, Pasal 5, Pasal 10, Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007

tentang Waralaba harus terpenuhi;

2. Pembuatan perjanjian harus tetap mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 7

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 jo. Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata;

3. Perjanjian waralaba merupakan bentuk kemitraan sebagaimana diatur dalam

Pasal 26 huruf c jo. Pasal 29, Pasal 35, dan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dan

4. Isi Perjanjian Waralaba tidak berpotensi melanggar prinsip Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

5. Beberapa contoh kriteria perjanjian waralaba yang berpotensi melanggar prinsip

larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sehingga ketentuan

Pasal 50 huruf b tidak dapat diterapkan:

a. Penetapan harga jual (Resale Price Maintenance).193

Pemberi waralaba membuat perjanjian dengan penerima waralaba

yang memuat penetapan harga jual yang harus diikuti oleh penerima waralaba.

Penerima waralaba sebagai pelaku usaha mandiri pada dasarnya memiliki

kebebasan untuk menetapkan harga jual barang dan/atau jasa yang didapatnya

dari pemberi waralaba. Dari perspektif persaingan usaha, penetapan harga jual

dalam waralaba dilarang karena akan menghilangkan persaingan harga antara

penerima waralaba. Hal tersebut menimbulkan harga yang seragam di antara

penerima waralaba dan akibatnya konsumen dihadapkan pada harga yang

seragam pula. Penetapan harga yang demikian tidak dikecualikan dari

penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia.

192Ibid., hal. 18. 193Ibid., hal. 19.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

102

Namun demikian, untuk menjaga nilai ekonomis dari usaha waralaba,

maka pemberi waralaba diperbolehkan membuat rekomendasi harga jual

kepada penerima waralaba, sepanjang harga jual tersebut tidak mengikat

penerima waralaba.

b. Persyaratan untuk membeli pasokan barang dan/atau jasa hanya dari Pemberi

Waralaba atau pihak lain yang ditunjuk oleh Pemberi Waralaba.194

Perjanjian Waralaba memuat persyaratan yang mengharuskan

penerima waralaba untuk membeli barang atau jasa yang menjadi bagian dari

konsep waralaba hanya dari pemberi waralaba atau pihak lain yang ditunjuk

oleh pemberi waralaba. Persyaratan tersebut dapat dikecualikan sepanjang

dilakukan untuk mempertahankan identitas dan reputasi dari waralaba yang

biasanya dimaksudkan untuk menjaga konsep waralaba yang telah diciptakan

oleh pemberi waralaba.

Meskipun demikian, pemberi waralaba tidak boleh melarang penerima

waralaba untuk membeli pasokan barang dan/atau jasa dari pihak lain

sepanjang barang dan atau jasa tersebut memenuhi standar kualitas yang

disyaratkan oleh pemberi waralaba. Penetapan pembelian pasokan hanya dari

pemberi waralaba atau pihak tertentu dapat menimbulkan hambatan bagi

pelaku usaha lain yang mampu menyediakan pasokan dengan kualitas yang

sama. Untuk itu pemberi waralaba tidak diperbolehkan menetapkan secara

mutlak akses pembelian atau pasokan yang diperlukan oleh penerima

waralaba sepanjang hal itu tidak menggangu konsep usaha waralaba.

c. Persyaratan untuk membeli barang dan/jasa lain dari pemberi waralaba.195

Pemberi waralaba mengharuskan penerima waralaba untuk bersedia

membeli barang atau jasa lain dari Pemberi waralaba a (tie-in). Perjanjian

194Ibid.

195Ibid., hal. 20.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

103

waralaba yang memuat kewajiban kepada penerima waralaba untuk membeli

produk lain dari pemberi waralaba tidak dipandang sebagai pelanggaran

persaingan usaha, sepanjang hal tersebut dimaksudkan untuk

mempertahankan identitas dan reputasi waralaba. Kewajiban untuk membeli

produk lain yang bukan menjadi bagian dari paket waralaba tidak

dikecualikan dari penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia.

d. Pembatasan wilayah.196

Pemberi waralaba melakukan pembatasan wilayah dengan cara

menetapkan wilayah tertentu kepada penerima waralaba. Dalam perjanjian

waralaba biasanya memuat klausul tentang wilayah usaha. Klausul tersebut

dimaksudkan untuk membentuk sistem jaringan waralaba. Dalam hal

demikian, maka pengaturan wilayah usaha tidak dipandang sebagai

pelanggaran persaingan usaha, sehingga dapat dikecualikan. Namun

demikian, pembatasan wilayah yang tidak dilakukan dalam rangka

membentuk sistem jaringan waralaba melainkan untuk membatasi pasar dan

konsumen tidak dikecualikan dari penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia.

e. Persyaratan untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama selama jangka

waktu tertentu setelah berakhirnya perjanjian waralaba.197

Pemberi waralaba mensyaratkan agar penerima waralaba tidak

melakukan kegiatan usaha yang sama dengan usaha waralaba selama jangka

waktu tertentu setelah berakhirnya perjanjian waralaba.

Syarat tersebut dapat dikecualikan dari UU Persaingan Usaha

Indonesia sepanjang dimaksudkan untuk melindungi dan/atau berkaitan

dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pemberi waralaba atau untuk

menjaga identitas dan reputasi usaha waralaba. Namun demikian, persyaratan

196Ibid. 197Ibid., hal 20-21.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

104

tersebut dalam jangka waktu panjang dapat berakibat pada terhambatnya

persaingan dan kemajuan teknologi.

Oleh karena itu, persyaratan untuk tidak melakukan kegiatan usaha yang sama

dengan usaha waralaba dalam jangka waktu yang lama tidak dikecualikan dari

penerapan UU Persaingan Usaha Indonesia. Dalam hal mempertimbangkan

lamanya jangka waktu yang dipandang berpotensi melanggar UU Persaingan

Usaha Indonesia, KPPU memperhatikan berbagai hal diantaranya adalah

teknologi produk waralaba, biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan

produk waralaba, sifat produk waralaba (apakah sudah menjadi public domain

atau tidak).

Pengecualian yang diatur dalam Pasal 50 huruf b, tidak dapat diterapkan

secara mutlak mengingat tidak tertutup kemungkinan terjadi pembuatan suatu

perjanjian yang berkaitan dengan waralaba tetapi dalam perjanjian tersebut memuat

suatu klausula yang berpotensi terjadinya monopoli atau persaingan usaha yang tidak

sehat.

Pengecualian yang diatur dalam Pasal 50 huruf b, dapat diterapkan sepanjang

memenuhi kriteria waralaba sebagaimana diatur dalam Pasal 26 huruf c, Pasal 29,

Pasal 35, dan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.

Ketentuan Pasal 50 huruf b tidak dapat diterapkan secara mutlak dengan

pertimbangan agar tujuan pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang tersebut, tidak menjadi sia-sia.

Oleh karena itu, perilaku pelaku usaha yang terkait dengan waralaba yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat tidak

dikecualikan dari ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf b.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

105

3.3 Implementasi Ketentuan Penggunaan Bahan Baku Lokal Dilihat Dari

Ketentuan UU Persaingan Usaha Indonesia

Selain melihat dari ketentuan prinsip-prinsip perdagangan WTO, di dalam

merumuskan Permendag No. 53/2012, Pemerintah juga mengacu pada UU

Persaingan Usaha Indonesia, terutama mengenai isi dari Pasal 19. Pemerintah

berharap agar usaha waralaba di Indonesia memperhatikan perkembangan sosial dan

ekonomi dalam rangka pengembangan usaha kecil dan menengah.

Pasal 19 Permendag No. 53/2012 menyatakan:

(1)“Pemberi waralaba dan Penerima waralaba wajib menggunakan bahan baku, peralatan usaha serta menjual barang dagangan paling sedikit 80% barang dan/atau jasa produksi dalam negeri.

(2) Dalam hal tertentu, Menteri dapat memberikan izin penggunaan bahan baku, peralatan usaha serta menjual barang dan/atau jasa produksi dalam negeri kurang dari 80% setelah mempertimbangkan rekomendasi Tim Penilai.”

Isi dari pasal 19 tersebut terutama dalam ayat (1) sudah sesuai dengan salah

satu tujuan pembentukan Keputusan Komisi No. 57/2009 yaitu untuk meningkatkan

efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyat serta mewujudkan iklim usaha yang kondusif sehingga

menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar,

pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.

Pemerintah di dalam merumuskan Permendag No. 53/2012 juga melihat dari

tujuan pembentukan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah yaitu meningkatkan kedudukan, peran, dan potensi Usaha Mikro, Kecil,

dan Menengah dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan

peningkatan pendapatan rakyat, penciptaan lapangan kerja, dan pengentasan

kemiskinan.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

106

Di dalam Pasal 26 huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah disebutkan bahwa kemitraan dilaksanakan

dengan salah satu pola yaitu waralaba. Dan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, terkait dengan waralaba

menentukan sebagai berikut:

(1) “Usaha Besar yang memperluas usahanya dengan cara waralaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, memberikan kesempatan dan mendahulukan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang memiliki kemampuan.

(2) Pemberi waralaba dan penerima waralaba mengutamakan penggunaan barang dan/atau bahan hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang disediakan dan/atau dijual berdasarkan perjanjian waralaba.

(3) Pemberi waralaba wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan kepada penerima waralaba secara berkesinambungan.”

Ketentuan mengenai penggunaan produksi dalam negeri disamping diatur

dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 juga diatur dalam

Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba yang

menegaskan bahwa:

(1) “Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba mengutamakan penggunaan

barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan/atau jasa yang ditetapkan secara tertulis oleh Pemberi Waralaba.

(2) Pemberi Waralaba harus bekerjasama dengan pengusaha kecil dan menengah di daerah setempat sebagai Penerima Waralaba atau pemasok barang dan/atau jasa sepanjang memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba.”

Dengan demikian, Pemerintah di dalam merumuskan Pasal 19 Permendag No.

53/2012 ini tidak melanggar dari ketentuan yang terdapat di dalam UU Persaingan

Usaha Indonesia dan dalam rangka pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan

Menengah dan penggunaan produksi dalam negeri, maka penerapan Pasal 19

permendag No. 53/2012 ini harus tetap mengacu pada ketentuan Pasal 50 huruf b UU

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

107

Persaingan Usaha Indonesia, khususnya tentang pengecualian terhadap perjanjian

yang berkaitan dengan waralaba, dan harus memperhatikan prinsip larangan praktek

monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, agar dapat menjamin kesempatan

berusaha bagi seluruh pelaku usaha, mewujudkan iklim usaha yang kondusif

sebagaimana dijamin dalam UU Persaingan Usaha Indonesia.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

108

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan:

Berdasarkan uraian-uraian mengenai Ketentuan Pasal 19 Permendag No. 53/2012

dilihat dari Prinsip Perdagangan WTO pada bab 2 dan Ketentuan Pasal 19 Permendag

No. 53/2012 dilihat dari UU Persaingan Usaha Indonesia pada bab 3, maka dapat

disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Pemerintah melalui Menteri Perdagangan Republik Indonesia menerbitkan

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 53/M

DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba (Permendag No. 53/2012)

sebagai pengganti dari Permendag No.31/2008 dalam rangka untuk

mengoptimalkan penyelenggaraan waralaba, yang bertujuan meningkatkan

kegiatan usaha melalui waralaba, kemitraan usaha antara pemberi waralaba

dengan pengusaha kecil dan menengah serta peningkatan produk dalam negeri.

Namun pada kenyataannya, Permendag No. 53/2012 yang baru diterbitkan ini

mengalami berbagai kritikan terutama dari para pelaku industri waralaba karena

banyak ketentuan dalam permendag tersebut dianggap tidak jelas, kontroversial,

dan berpotensi menimbulkan persoalan bahkan dapat mengancam perkembangan

industri waralaba lokal terutama mengenai isi Pasal 19. Ketentuan dalam Pasal

19 ini dianggap dapat mempersulit beberapa pelaku usaha yang mengandalkan

produknya dari luar negeri dan membuat waralaba asing kurang antusias datang

ke Indonesia.

Indonesia sebagai negara peratifikasi Perjanjian WTO, maka di dalam

merumuskan Permendag No. 53/2012 ini juga melihat dari prinsip-prinsip

Perdagangan WTO, salah satunya yaitu Special and Differential to Developing

Nations. Pemberian perlakuan khusus bagi negara berkembang ini disebut

dengan prinsip preferensi. Dasar teori dari sistem preferensi ini adalah bahwa

negara-negara harus diperbolehkan untuk menyimpang dari kewajiban-

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

109

kewajiban most favoured nation untuk memperbolehkan mereka guna

mengurangi tarifnya pada impor-impor barang manakala barang-barang tersebut

berasal dari negara-negara berkembang. Oleh karena itu, Pemerintah di dalam

merumuskan Pasal 19 Permendag No. 53/2012 ini tidak melanggar dari

ketentuan prinsip perdagangan Perjanjian WTO dan karena tujuan sebenarnya

Permendag No. 53/2012 ini untuk meningkatkan penggunaan produk dalam

negeri sehingga mampu bersaing dengan produk dari luar negeri.

2. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, diadakan pengecualian untuk

berlakunya ketentuan Undang-Undang tersebut terhadap perjanjian yang

berkaitan dengan waralaba, yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf b.

Akan tetapi, hal-hal yang berkaitan dengan waralaba tidak mutlak dikecualikan

dari jangkauan UU Persaingan Usaha Indonesia, karena yang dikecualikan

adalah sistem waralabanya, sedangkan tindakan pelaku usaha waralaba tidak

dikecualikan. Jadi apabila pelaku usaha waralaba melakukan persaingan usaha

tidak sehat, maka ia dapat terkena UU Persaingan Usaha Indonesia. Mengenai

hal itu, KPPU mengeluarkan Keputusan Komisi No. 57/2009 tentang

Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 Terhadap Perjanjian yang

Berkaitan dengan Waralaba dan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengecualian Penerapan UU No. 5

Tahun 1999 Terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba.

Selain melihat dari ketentuan prinsip-prinsip perdagangan WTO, di dalam

merumuskan Permendag No. 53/2012, Pemerintah juga mengacu pada tujuan

pembentukan Keputusan Komisi No. 57/2009 dan UU No. 20 Tahun 2008

tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, terutama mengenai isi dari Pasal 19

ayat (1) berkaitan penggunaan bahan baku, peralatan usaha serta menjual barang

dagangan paling sedikit 80% barang dan/atau jasa produksi dalam negeri.

Ketentuan mengenai penggunaan produksi dalam negeri disamping diatur dalam

Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 juga diatur dalam

Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

110

Pemerintah di dalam merumuskan Pasal 19 Permendag No. 53/2012 ini tidak

melanggar dari ketentuan yang terdapat di dalam UU Persaingan Usaha

Indonesia dan dalam rangka pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

dan penggunaan produksi dalam negeri, maka penerapan Pasal 19 permendag

No. 53/2012 ini harus tetap mengacu pada Keputusan Komisi No. 57/2009 agar

dapat menjamin kesempatan berusaha bagi seluruh pelaku usaha, mewujudkan

iklim usaha yang kondusif sebagaimana dijamin dalam UU Persaingan Usaha

Indonesia.

4.2 Saran:

Adapun beberapa saran yang dapat penulis kemukakan adalah sebagai berikut:

1. Dengan dikeluarkannya Permendag No. 53/2012 ini bertujuan untuk melindungi

waralaba lokal dan meningkatkan kemitraan usaha antara pemberi waralaba

dengan pengusaha kecil dan menengah serta peningkatan produk dalam negeri.

Namun dalam prakteknya masih banyak pelaku usaha waralaba yang tidak atau

kurang memahami mengenai isi dalam Permendag No. 53/2012 dengan baik.

Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah mensosialisasikan regulasi atau aturan

tersebut agar semua pihak yang terkait dalam bisnis waralaba dapat memahami

isi dari permendag tersebut dengan baik. Mengenai ketentuan dalam Pasal 19

yang mewajibkan para pelaku waralaba menggunakan bahan baku 80%,

diharapkan pemerintah dapat menyiapkan pasokan bahan baku lokal yang baik

dan berkualitas bagi masyarakat dengan salah satu cara memberikan fasilitas

yang memadai bagi para pemasok kecil seperti peternak dan petani.

2. Diharapkan juga pemerintah membuat suatu undang-undang khusus yang

mengatur secara tegas mengenai waralaba agar para pelaku usaha waralaba dapat

mengetahui dengan jelas mengenai hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan

dalam bisnis waralaba.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

111

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adolf, Huala. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.

__________. Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.

__________ & A. Chandrawulan. Masalah-masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994.

AK, Syahmin. Hukum Dagang Internasional. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.

Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: PT. Alumni, 2005.

_______________________. KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan. Bandung: PT. Alumni, 1993.

Basarah, Dr. H. Moch. & H. M. Faiz Mufidin. Bisnis Franchise dan Aspek-aspek Hukumnya. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008.

Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary 6th ed. St Paul MN: West publishing, Co, 1990.

Bradley, Frank. International Marketing Strategy. London: Prentice Hall, 1991.

Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri. Panduan Kebijakan Waralaba dan MLM. Jakarta: Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, 2012.

Franchise, Majalah Info. Edisi Oktober 2012.

Fox, Stephen. Membeli dan Menjual Bisnis Franchise, Seri Bisnis Baron. Jakarta: Elex Media Komputindo, 1993.

Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005.

Gautama, Sudargo. Segi-Segi Hukum Perdagangan Internasional (GATT & GSP). Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994.

_____________. Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional. Bandung: PT. Alumni, 1985.

Guritno, T. Kamus Ekonomi Bisnis Perbankan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1992.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

112

Harjowidigno, Rooseno. Perspektif Pengaturan Perjanjian Franchise. Makalah Pertemuan Ilmiah tentang Usaha Franchise dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi. Jakarta : BPHN, 14-16 Desember 1993.

Hartono, Sunaryati. Kapita Selekta Perbandingan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.

Hata, Dr. Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT Dan WTO Aspek-aspek Hukum dan Non Hukum. Bandung: PT Refika Aditama, 2006.

Hermansyah. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2008.

Houtte, Hans Van. The Law of International Trade. London: Sweet & Maxwell, 1995.

Ibrahim, Johny. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumendia Publishing, 2007.

Ibrahim, Johanes. Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank, Bandung: CV. Utama, 2003.

____________ & Lindawati Sewu. Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern. Bandung : Refika Aditama, 2004.

Indonesia, Asosiasi Franchise. Direktori Franchise Indonesia. Edisi III, 2007.

Juwana, Hikmahanto. Hukum Ekonomi Dan Hukum Internasional. Jakarta: Lentera Hati, 2001.

Kennedy, Kevin C. Competition Law And The World Trade Organisation: The Limits Of Multilateralism. London: Sweet & Maxwell, 2001.

Khairandy, Ridwan. Perjanjian Franchise Sebagai Sarana Alih Teknologi. Pusat Studi Hukum UII Yogyakarta bekerjasama dengan yayasan Klinik Haki Jakarta, 2000.

Margono, Suyud. Hukum Anti Monopoli. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Mendelsohn, Martin. Franchising: Petunjuk Praktis bagi Franchisor dan Franchisee. Jakarta : PT. Pustaka Binaman Perssindo, 1997.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1990.

Nadapdap, Binoto. Hukum Acara Persaingan Usaha. Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009.

Purba, Prof. Achmad Zen Umar. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Bandung: PT Alumni, 2005.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

113

Setiawan, Deden. Franchise Guide Series: Kiat Memilih Usaha Dengan Biaya Kecil Untung Besar 2. Jakarta: Dian Rakyat, 2007.

Sewu, P. Lindawaty S. Franchise: Pola Bisnis Spektakuler dalam Perspektif Hukum dan Ekonomi, Bandung: CV Utomo, 2004.

Sianipar, Nursalam. Aspek Hukum Peran Serta Pemerintah Dalam Mengantisipasi Pasar Bebas. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2001.

Simatupang, Richard Burton. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003.

Sinambela, Asianto. Perkembangan Perundingan DDA Di World Trade Organization. Bandung: FH Universitas Padjajaran, 2006.

Siswanto, Arie. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.

Sood, Muhammad. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011.

Subekti, R. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 1987.

Sumardi, Juajir. Aspek-aspek Hukum Franchise Dan Perusahaan Transnasional. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1995.

Suryono, Ekotama. Jurus Jitu Memilih Bisnis Franchise. Yogyakarta: Citra Media, 2010.

Suseno, Darmawan Budi. Sukses Usaha Waralaba. Yogyakarta: Cakrawala, 2007.

Sutedi, Adrian. Hukum Waralaba. Bogor: Ghalia Indonesia, 2008.

Tim Internasional Franchise Business Management. Franchise Manual: Panduan Franchise Terlengkap & Pertama Di Indonesia. Jakarta: Internasional Franchise Business Management, 2007.

Tunggal, Iman Sjahputera. Franchising Konsep & Kasus. Harvarindo, 2004.

Webster, Bryce. The Insider’s Guide to Franchising. Amerika: American Management Association, 1991.

Widjaja, Gunawan. Waralaba. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.

B. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

114

________. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

________. Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, LN No.33 Tahun 1999, TLN No.3817.

________. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah, UU Nomor 20 Tahun 2008, LN No. 93 Tahun 2008, TLN No. 4866.

________. Peraturan Pemerintah Tentang Waralaba, PP No. 42 Tahun 2007, LN No. 90 Tahun 2007, TLN No. 4742.

________. Peraturan Menteri Perdagangan Tentang Penyelenggaraan Waralaba, Permendag No. 53/M–DAG/PER/8/2012.

________. Peraturan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Tentang Pedoman Pengecualian Penerapan UU No. 5 Tahun 1999 Terhadap Perjanjian yang Berkaitan dengan Waralaba, Perkom No. 6 Tahun 2009.

________. Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian Yang Berkaitan Dengan Waralaba, Kepkom No. 57/KPPU/Kep/III/2009.

C. Internet Azwar, Tengku Keizerina Devi. “Perlindungan Hukum Dalam Franchise”,

http://repository.usu.ac.id/browse?type=author&value=Tengku+Keizerina+Devi+Azwar, diunduh 6 Januari 2013.

Gema, “Pengertian Kontrak”, http://gemaisgery.blogspot.com/2010/06/pengertian-kontrak.html, Diunduh 6 Januari 2013.

Muharam, S. “Istilah-Istilah Dalam Waralaba”, https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:BEqxLfB8hC8J:directory.umm.ac.id/Data%2520Elmu/doc/YAHUDI.doc+&hl=en&pid=bl&srcid=ADGEESgwSwG07VgelFz7CrBM--CgARufjXlSIa1dFAaJ13U06OXICBMtVPFmE6Do4OOuwhx0R_grweK7TA5bzfDXLbCx21OY_OF0a3FobZ424l6eqctJYNBMrUxbshaIIkuT-GKQkisk&sig=AHIEtbSJLqc6KSh6RjGszdd6-DNc9FVAmA, diunduh 6 Januari 2013.

“Perusahaan Waralaba (Franchise): Definisi, Jenis/bentuk dan Keunggulan dan Kelemahan sistem Franchise”, http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/09/perusahaan-waralaba-franchise-definisi.html, diunduh 6 Januari 2013.

Purnama, Yohanes Heidy. “Epidemi Tren Konsep Bisnis Waralaba”, http://salamfranchise.com/2008/03/01/epidemi-tren-konsep-bisnis-waralaba/, diunduh 5 januari 2013.

Rivai, M. Muctar. “Pengaturan Waralaba di Indonesia: Perspektif Hukum Bisnis”, (Jurnal Liquidity: Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2012, hal. 161.),

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013

115

http://www.liquidity.stiead.ac.id/blog/2012/10/12/pengaturan-waralaba-di-indonesia-perspektif-hukum-bisnis/, diunduh 7 Januari 2012.

“Sejarah Awal Mula Waralaba”, http://wirausaha.net/membangun-bisnis/3017-sejarah-awal-mula-waralaba.html, diunduh 5 Januari 2013.

“Sejarah Perkembangan Bisnis Franchise/Waralaba”, http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/11/sejarah-perkembangan-bisnis-franchisewaralaba/, diunduh 5 Januari 2013.

Sjahputra, Iman. “Franchise: Perikatan HaKI yang Diperluas”, http://www.haki.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1104523729, diunduh 7 Januari 2013.

Sutrisno, Nandang. “Eksistensi Ketentuan Khusus Bagi Negara Berkembang Dalam Perjanjian World Trade Organization”, http://www.scribd.com/doc/39308488/Eksistensi-Ketentuan-Khusus-Bagi-Negara-Berkembang-Dalam-Perjanjian-World-Trade-Organization, diunduh 8 Desember 2012.

Ketentuan penggunaan..., Carolinasari, FH UI, 2013