kern ikterus
DESCRIPTION
refaratTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Ikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang ditandai dengan athetoid cerebral
palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi. Pada
beberapa bayi baru lahir, hati memproduksi pigmen kuning yang disebut bilirubin yang berlebihan,
sehingga mengakibatkan kulit dan sklera mata berubah warna menjadi kuning. Keadaan ini disebut
dengan ikterus. Beberapa bayi, keadaan ini bisa hilang sendiri, tetapi pada beberapa bayi lainnya bila
tidak ditangani dengan cepat dan benar maka bisa menyebabkan kadar bilirubin menjadi sangat tinggi
yang bersifat toksik dan dapat merusak otak. Bayi baru lahir dengan ikterus yang tidak ditangani secara
medis bisa saja mengalami kern ikterus, tetapi bukan berarti setiap bayi kuning akan menghadapi
masalah ini. Bila timbul ikterus, dapat diterapi dengan fototerapi, tetapi bila tidak berhasil maka dapat
dilakukan transfusi tukar (exchange transfusion). Beberapa tanda kern ikterus yaitu; kulit bayi yang
sangat kuning bahkan oranye, tidur yang berkepanjangan bahkan sulit untuk dibangunkan, menyusui
sangat kurang, serta kelemahan umum. Pada kasus kern ikterus ini, pencegahan lebih baik daripada
pengobatan, terlebih bila bayi sudah mencapai tingkat kerusakan otak yang hebat sehingga menjadikan
prognosis kern ikterus buruk.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kern ikterus adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya bilirubin
indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak.
2.2. Insidensi
Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang penyakit
hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dL, akan mengalami kern ikterus.
Insidensi pada otopsi bayi prematur dengan hiperbilirubinemia adalah 2-16 %. Perkiraan frekuensi klinis
tidak dapat dipercaya karena luasnya spektrum manifestasi penyakit2, 7, 9. Di Amerika Serikat, 8-10 %
dari semua bayi sehat tetap dapat terjadi hiperbilirubinemia berat yang selanjutnya mengalami kern
ikterus. Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan meningkatnya kasus kern ikterus, yaitu: - Para
orang tua tidak mengetahui tanda-tanda ikterus sehingga mereka tidak segera menghubungi dokter. -
Banyaknya bayi baru lahir yang segera meninggalkan Rumah Sakit, padahal kadar bilirubin darah belum
mencapai puncaknya (48-72 jam setelah kelahiran), ditambah dengan tidak kontrol kembali dalam
jangka waktu satu minggu kemudian. - Dokter yang hanya mengandalkan penglihatan dalam menilai
derajat kuningnya kulit akibat ikterus yang mana rentan terhadap kesalahan terutama pada kasus yang
berat dan tidak adanya informasi kepada para orang tua untuk memperhatikan kualitas kuningnya kulit
pada bayi mereka. - Beberapa bayi baru lahir pulang dari Rumah Sakit dalam kondisi pemeriksaan kadar
bilirubin yang belum selesai.
2.3. Klasifikasi
Stadium 1 Refleks moro jelek, hipotoni, letargi, poor feeding, vomitus, high pitched cry, kejang.
Stadium 2 Opistotonus, panas, rigiditas, occulogyric crises, mata cenderung deviasi ke atas.
Stadium 3 Spastisitas menurun, pada usia sekitar 1 minggu.
Stadium 4 Gejala sisa lanjut; spastisitas, atetosis, tuli parsial/komplit, retardasi mental, paralisis
bola mata ke atas, displasia mental.
2.4. Etiologi
Penyebab kern ikterus adalah dikarenakan kadar bilirubin yang sangat tinggi yang dapat
mencapai tingkat toksik sehingga merusak sel-sel otak. Kadar bilirubin yang tinggi merupakan
kelanjutan dari ikterus neonatorum yang disebabkan oleh: Ikterus fisiologis: - Peningkatan jumlah
bilirubin yang masuk ke dalam sel hepar. - Defek pengambilan bilirubin plasma. - Defek konjugasi
bilirubin. - Ekskresi bilirubin menurun. Ikterus patologis: - Anemia hemolitik: isoimunisasi, defek
eritrosit, penyakit hemolitik bawaan, sekunder dari infeksi, dan mikroangiopati. - Ekstravasasi darah:
hematoma, ptekie, perdarahan paru, otak, retroperitoneal dan sefalhematom. - Polisitemia. -
Sirkulasi enterohepatik berlebihan: obstruksi usus, stenosis pilorus, ileus mekonium, ileus paralitik,
dan penyakit hirschprung. - Berkurangnya uptake bilirubin oleh hepar: gangguan transportasi
bilirubin, obstruksi aliran empedu. Patogenesis Patogenesis kern ikterus bersifat multi faktorial dan
melibatkan interaksi antara kadar bilirubin yang tidak terjonjugasi, ikatan albumin dan kadar
bilirubin yang tak terikat/bebas, menembusnya ke sawar darah otak, dan kerentanan neurologik
terhadap jejas. Permeabilitas sawar darah otak dapat dipengaruhi oleh penyakit, asfiksia, dan
maturasi otak. Pada setiap bayi, nilai persis kadar bilirubin yang dapat bereaksi indirek atau kadar
bilirubin bebas dalam darah yang kalau dilebihi akan bersifat toksik, tidak dapat diramalkan, tetapi
kern ikterus jarang terjadi pada bayi cukup bulan yang sehat dan pada bayi tanpa adanya hemolisis,
yaitu bila kadar serum berada di bawah 25 mg/dL. Pada bayi yang mendapat ASI, kern ikterus dapat
terjadi bila kadar bilirubin melebihi 30 mg/dL, meskipun batasannya luas yaitu antara 21-50 mg/dL.
Onset terjadi dalam minggu pertama kehidupan, tetapi dapat terjadi terlambat hingga minggu ke-2
bahkan minggu ke-3. Lamanya waktu pemajanan yang diperlukan untuk menimbulkan pengaruh
toksik juga belum diketahui. Bayi yang kurang matur lebih rentan terhadap kern ikterus. Resiko
pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum menjadi
bertambah dengan adanya faktor-faktor yang mengurangi retensi bilirubin dalam sirkulasi, yaitu
hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya pada albumin karena ikatan
kompetitif obat-obatan seperti sulfisoksazol dan moksalaktam, asidosis, kenaikan sekunder asam
lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan, atau hipotermia) atau oleh faktor-faktor yang
meningkatkan permeabilitas sawar darah otak atau membran sel saraf terhadap bilirubin, atau
kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya seperti asfiksia, prematuritas, hiperosmolalitas, dan
infeksi2. Permukaan otak biasanya berwarna kuning pucat. Pada pemotongan, daerah-daerah
tertentu secara khas berwarna kuning akibat bilirubin tak terkonjugasi, terutama pada korpus
subtalamikus, hipokampus dan daerah olfaktorius yang berdekatan, korpus striata, talamus, globus
palidus, putamen, klivus inferior, nukleus serebelum, dan nukleus saraf kranial. Daerah yang tak
berfigmen juga dapat cedera. Hilangnya neuron, gliosis reaktif dan atrofi sistem serabut yang
terlibat ditemukan pada penyakit yang lebih lanjut. Pola jejas dihubungkan dengan perkembangan
sistem enzim oksidatif pada berbagai daerah otak dan bertumpang-tindih dengan yang terdapat
pada cedera otak hipoksik. Bukti yang mendukung hipotesis bahwa bilirubin mengganggu
penggunaan oksigen oleh jaringan otak, mungkin dengan menimbulkan jejas pada membran sel;
jejas hipoksia yang telah terjadi sebelumnya meningkatkan kerentanan sel otak terhadap jejas.
Pewarnaan bilirubin yang jelas tanpa hiperbilirubinemia atau perubahan mikroskopik yang spesifik
kern ikterus mungkin tidak merupakan kesatuan yang sama..
2.5. Kriteria Diagnosis
Secara umum, ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian,
Pgangguan penglihatan, dan mental retardasi. Tanda-tanda dan gejala-gejala kern ikterus biasanya
muncul 2-5 hari sesudah lahir pada bayi cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi
prematur, tetapi hiperbilirubinemia dapat menyebabkan sindroma setiap saat selama masa
neonatus. Tanda-tanda awal bisa tidak terlihat jelas dan tidak dapat dibedakan dengan sepsis,
asfiksia, hipoglikemia, pendarahan intrakranial dan penyakit sistemik akut lainnya pada bayi
neonatus. Lesu, nafsu makan jelek dan hilangnya refleks Moro merupakan tanda-tanda awal yang
lazim. Selanjutnya, bayi dapat tampak sangat sakit, tidak berdaya disertai refleks tendo yang
menjadi negatif dan kegawatan pernapasan. Opistotonus, dengan fontanela yang mencembung,
muka dan tungkai berkedut, dan tangisan melengking bernada tinggi dapat menyertai. Pada kasus
yang lanjut terjadi konvulsi dan spasme, kekakuan pada bayi dengan lengan yang terekstensi dan
berotasi ke dalam serta tangannya menggenggam. Rigaditas jarang terjadi pada stadium lanjut2.
Banyak bayi yang menjelek ke tanda-tanda neurologis berat ini meninggal; yang bertahan hidup
biasanya mengalami cedera berat tetapi agaknya dapat sembuh dan 2-3 bulan kemudian timbul
beberapa kelainan. Selanjutnya, pada usia 1 tahun opistotonus, rigiditas otot, gerakan yang tidak
teratur dan konvulsi cenderung kambuh. Pada tahun ke-2 opistotonus dan kejang mereda, tetapi
gerakan-gerakan yang tidak teratur dan tidak disadari, rigiditas otot atau pada beberapa bayi,
hipotonia bertambah secara teratur. Pada umur 3 tahun sering tampak sindrom neurologis yang
lengkap terdiri atas koreotetosis dengan spasme otot involunter, tanda-tanda ekstrapira-midal,
kejang defisiensi mental, wicara disartrik, kehilangan pendengaran terhadap frekuensi tinggi,
strabismus dan gerakan mata ke atas tidak sempurna. Tanda-tanda piramidal, hipotonia, atau
ataksia terjadi beberapa bayi. Pada bayi yang terkenanya ringan sindrom ini hanya dapat ditandai
melalui inkoordonasi neoromuskular ringan sampai sedang, ketilian parsial, atau “disfungsi otak
minimal” yang terjadi sendiri atau bersamaan, masalah ini mungkin tidak tampak sampai anak
masuk sekolah
2.6. Diagnosis Banding
Sepsis Merupakan sindroma klinis yang ditandai gejala sistemik dan disertai bakteriemia.
Kriteria diagnosis meliputi gejala klinis berupa gangguan keadan umum (tampak tidak sehat,
tidak mau minum, suhu badan labil), saluran cerna, pernapasan, kardiovaskuler, Susunan Saraf
Pusat, hematologik dan kulit. Dari hasil laboratorium didapatkan anemia, leukopenia,
netropenia absolut, trombositopenia, peningkatan Laju Endap Darah dan C- Reactive Protein.
Asfiksia Merupakan keadaan yang ditandai oleh gejala-gejala akibat hipoksia yang progresif,
akumulasi CO2, dan asidosis.
Hipoglikemia Merupakan keadaan yang terdapat pada bayi kurang bulan dan berat badan lahir
rendah, mempunyai kadar glukosa darah <> Kriteria diagnosis ditandai dengan atau tanpa
gejala; letargi/apati, tremor, apnea, sianosis, kejang, koma, menangis lemah atau high pitched
cry, poor feeding.
2.7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan kadar bilirubin. Bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan yang masih akan
timbul akibat toksisitas kadar bilirubin yang sangat tinggi. - Pemeriksaan fungsi otak: EEG Bertujuan
untuk mengetahui sejauh mana kerusakan otak yang telah terjadi.
2.8. Pengobatan
Transfusi Tukar Jika ada tanda-tanda kern ikterus, transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi jika
ada tanda-tanda kern ikterus selama evaluasi atau pengobatan, pada kadar bilirubin berapapun, maka
transfusi tukar darurat harus dilakukan. Pengobatan yang diterima secara luas ini (transfusi tukar) harus
diulangi sesering yang diperlukan untuk mempertahankan kadar bilirubin indirek dalam serum di bawah
kadar yang tercatat pada tabel. Ada berbagai faktor yang dapat mengubah kriteria ini ke arah yang
sebaliknya, namun bergantung pada individu penderita. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberi
kesan kern ikterus merupakan indikasi untuk melakukan transfusi tukar pada kadar bilirubin serum
berapapun. Bayi cukup bulan yang sehat dengan ikterus fisiologis atau akibat ASI, dapat mentoleransi
kadar bilirubin sedikit lebih tinggi dari 25 mg/dL tanpa tampak sakit, sedangkan bayi prematur yang sakit
dapat mengalami ikterus pada kadar bilirubin yang sangat rendah. Kadar yang mendekati perkiraan kritis
pada setiap bayi dapat merupakan indikasi untuk transfusi tukar semasa usia 1 atau 2 hari ketika
kenaikan yang lebih lanjut diantisipasi, tetapi bukan pada hari ke-4 pada bayi cukup bulan atau pada hari
ke-7 pada bayi prematur, ketika penurunan yang terjadi segera bisa diantisipasi saat mekanisme
konjugasi hati menjadi lebih efektif.
2.9. Prognosis
Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 74 % atau lebih bayi-
bayi yang demikian meninggal, dan 80 % yang bertahan hidup menderita koreoatetosis bilateral dengan
spasme otot involunter. Retardasi mental, ketulian, dan kuadriplegia spastis lazim terjadi. Bayi yang
beresiko harus menjalani skrining pendengaran.
2.10. Pencegahan
- Segera menurunkan kadar bilirubin indirek.
- Penanganan bayi ikterus; fototerapi, kemoterapi, transfusi tukar.
Bayi dengan kadar bilirubin tinggi diobati dengan menggunakan fototerapi, bahkan dengan
transfusi tukar. Kini terdapat obat baru yaitu Stanate yang dalam ujicoba terbukti dapat memblokade
produksi bilirubin sehingga dapat mencegah kern ikterus, hingga sekarang obat ini masih terus
dikembangkan.
Tanpa memandang etiologi, tujuan terapi adalah mencegah kadar yang memungkinkan
terjadinya neurotoksikosis, dianjurkan agar fototerapi, dan jika tidak berhasil, transfusi tukar dilakukan
untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin total dalam serum di bawah kadar yang ditunjukkan
pada tabel 1 (untuk preterm) dan tabel 2 (untuk bayi cukup bulan). Pada setiap bayi, resiko jejas
bilirubin terhadap sistem saraf pusat harus dipertimbangkan dengan resiko yang ditimbulkan oleh
pengobatan. Belum ada persetujuan yang umum mengenai kriteria untuk memulai fototerapi. Karena
fototerapi mungkin memerlukan 6-12 jam untuk mempunyai pengaruh yang dapat diukur, maka
fototerapi ini harus dimulai saat kadar bilirubun masih berada di bawah kadar yang diindikasi untuk
transfusi darah. Bila teridentifikasi, penyebab dasar dasar ikterus harus diobati, misalnya antibiotik
untuk septikemia. Faktor-faktor fisiologis yag menambah resiko cedera neurologis harus diobati juga
(misalnya koreksi terhadap asidosis).
Fototerapi biasanya dimulai pada 50-70 % dari kadar maksimum bilirubin indirek. Jika nilai
sangat melebihi kadar ini, jika fototerapi tidak berhasil mengurangi kadar bilirubin maksimum, atau jika
ada tanda-tanda kern ikterus, transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi jika ada tanda-tanda kern ikterus
selama evaluasi atau pengobatan, pada kadar bilirubin berapapun, maka transfusi tukar darurat harus
dilakukan.
- Melakukan pemeriksaan kadar bilirubin pada semua bayi baru lahir sebelum meninggalkan Rumah Sakit.
- Kontrol bayi baru lahir ke dokter dalam jangka waktu 24-48 jam setelah meninggalkan Rumah Sakit.
- Meningkatkan pengetahuan orang tua tentang ikterus