kerjaan masrur

Upload: gama-muazzam

Post on 13-Oct-2015

42 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

(1) Badri Yatim, Historiografi Islam,(Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal 230-231Melihat ilmu perkembangan sejarah dalam Islam pada masa klasik dan pertengahan secara keseluruhan akan nampak beberapa keistimewaan yang membedakan mereka dari penulis sejarah di negeri-negeri lain pada masa yang sama, yaitu :a. Sebagian besar sejarawan muslim pada masa klasik bukan pegawai istana/pemerintahan. Mereka menulis sejarah karena mereka senang pada ilmu itu. Kalaupun ada sebagian mereka yang menjadi pejabat atau pegawai pemerintah, sebagian besar mereka menulis apa yang mereka mau, tanpa menunggu pemerintah. Oleh karena itu mereka bebas mengeluarkan pendapat. Kebanyakan para sejarawan ini adalah juga ulama-ulama fiqih dan hadis.b. Keistimewaan kedua dalam proses penyelesaian berita berita tentang agama Islam khususnya. Kebenaran itu karena (a) mereka tidak mengambil atau meriwayatkan berita itu kecuali dari orang orang yang dapat dipercaya (al-udul al-siqah), dalam hal ini mereka menggunakan kritik yang digunakan ulama hadits, dan riwayat-riwayat yang banyak bersandar kepada ingatan itu memang menyebab-kannya mempunyai kekurangan tertentu . orang bisa saja bersifat lupa. Akan tetapi, hal itu sebenarnya jarang terjadi. Kalaupun terjadi, hal itu segera dapat diketahui melalui riwayat-riwayat dengan jalur yang lain; (b) karena penemuan mereka tentang kalender yang sempurna; mereka sampai-sampai memberi penanggalan pada suatu peristiwa dengan hari, bulan, dan tahun.[footnoteRef:1] [1: Badri Yatim, Historiografi Islam,(Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal 230]

c. Penulisan sejarah dengan segala bentuknya berjalan dengan cara yang sudah diketahui oleh sejarawan muslim. Bahasanya adalah bahasa Arab yang mudah, sederhana dan jelas. Peristiwanya digambarkan dengan terang dan hidup.d. Sesuai dengan perkembangan dan peradaban Islam, penulis sejarah dalam Islam mengalami perkembangan, baik corak penulisannya, metode penelitian dan kritiknya maupun dalam tema-temanya.

Semua karya-karya sejarawan muslim masa klasik itu, sekarang menjadi rujukan yang sangat berharga bagi sejarawan-sejarawan dewasa ini. Tanpa melalui karya-karya mereka itu, tidak seorang pun sejarawan yang mampu mengungkap masa silam Islam.[footnoteRef:2] [2: Badri Yatim, Historiografi Islam,(Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal 231.]

(2) Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Dari Klasik Hingga Modern, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004),Kondisi politik Dunia Islam di Timur maupun Barat pada masa yang dalam babakan sejarah biasa disebut zaman pertengahan ini begitu buruk, memprihatinkan, bahkan sangat lemah. Hal ini tidak lain adalah karena Dunia Islam pada masa ini adalah tidak lebih dari negeri-negeri kecil yang diperintah para penguasa dari kalangan budak non-Arab. Pada waktu itu kekhalifahan tinggal istilah dan nama belaka karena secara efektif kepemimpinan umat dijalankan komunitas non-Arab dan kaum budak berpengaruh yang dapat menjatuhakan atau mengangkat siapa pun yang mereka kehendaki.[footnoteRef:3] [3: Yusri Abdul Ghani Abdullah, Historiografi Dari Klasik Hingga Modern, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hal 188. ]

Peristiwa serupa juga terjadi ketika sebagian pemuka Mamluk Burji juga di bawah kepemimpinan Karji, pemimpin kaum Mamalik saat itu besekongkol menyingkirkan Sultan Hisamuddin Lajin. Mereka sukses melaksanakan rencana jahat itu dan berhasil membunuh sultan ketika ia melakukan sholat Isya di istananya. ( Lihat: Tarikh Ibn Iyas, Juz I, hal. 29). Demikian pula yang terjadi pada tahun 743 H ketika rakyat menurunkan Sultan Ahmad Ibn Al-Malik Al-Nashir akibat tuduhan yang tak jelas. Mereka melantik saudaranya Al-Malik Al-Shalih Ismail bin Al-Malik Al-Nashir sebagai sultan (Ibn Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, Juz XIV, hal. 202).[footnoteRef:4] [4: Ibid hal 190]

Terjadi kekeringan dan kelaparan di berbagai wilayah Islam. Mesir mengalami bencana yang sangat parah sehingga banyak penduduk yang mati akibat kelaparan. Harga kebutuhan pokok melambung tinggi akibat minimnya hasil pertanian karena area persawahan dilanda kekeringan. Kondisi ini pada akhirnya menyulut pertikaian dan peperangan dimana-mana.Di antara bukti kebobrokan kondisi sosial masa ini adalah bencana kelaparan yang menimpa Mesir pada tahun 695 H. Akibatnya, harga barang-barang di wilayah Islam lainnya, seperti Syam, Makkah dan Madinah meroket. Konon harga sekerat daging pada waktu itudapat mencapai tujuh dirham. Seekor anak ayam dijual seharga 15 dirham, dan telur dijual seharga empat dirham. Bahkan banyak penduduk yang mengkonsumsi anjing, biawak, dan kadal akibat parahnya keadaaan. Seekor ajning dijual seharga lima dirham.[footnoteRef:5] [5: Ibid hal 193.]

Di samping itu, pertikaian antarmazhab dan aliran teologi juga semakin meruncing sehingga memunculkan berbagai kekacauan dan perpecahan di beberapa wilayah Islam. Di antara pertikaian antar mazhab yang mengakibatkan pergolakan dan kekacauna adalah pertiakian antara mazhab Ahlus Sunnah dan Rafidhah pada tahun 655 H. Pertikaian ini dimenangkan oleh Ahlus Sunnah sehingga bertambahlah kebencian kaum Rafidhah terhadap kaum Ahlus Sunnah. Wazir Ibn Al-Alqami yang menganut mazhab Rafidhah menekan kaum Muslim Ahlus SunnahI dan meminta Hulagu Khan, pemimpin Tartar menyerang wilayah Islam. Permintaan ini dipenuhi Hulagu Khan yang berhasil menduduki Baghdad, menjatuhkan khalifah dan menghapus sistem kekhalifahan, dan membantai penduduk tanpa pandang bulu sehingga kota itu banjir darah.[footnoteRef:6] [6: Ibid hal.195.]

Demikian pula pertikaian yang terjadi antara Ibn Taimiyyah Al-Harani dengan para qadhi masa itu. Mereka mengadukan beliau kepada sultan atas tuduhan telah menyimpang dari ijma para ulama karena menulis Al-Aqidah Al-Wasithiyah memenuhi permintaan seorang ulama agar ia menjelaskan aqidah Ahlus Sunnah. Atas pengaduan ini sultan mengadakan tiga kali persidangan guna mengadili beliau dan menjebloskannya ke penjara. Pertikaian antarulama lainnya ialah mengenai Imam Tahuddin Al-Subki. Mereka terbelah menjadi dua kelompok dan meminta sultan untuk mendamaiakan mereka. Namun pertikaian semakin memanas hingga sultan mengatakan: dahulu ketika kami (para penguasa) bertikai, maka kami meminta pandangan kaum ulama. Namun sekarang para ulama bertikai dan meminta penyelesaian kepada kami.[footnoteRef:7] [7: Ibid ]

Telah kami kemukakan bahwa kondisi politik dan sosial Dunia Islam begitu terpuruk sehingga kita pun tidak dapat berharap banyak bahwa kondisi intelektual dan pemikiran di masa kritis ini mengalami kemajuan atau menghasilkan karya-karya ilmiah penting. Masa ini diwarnai oleh berbagai pemberontakan dan konflik politik. Kaum Muslim tidak memiliki fasilitas dan sumber daya yang memungkinkan mereka terlibat gerakan intelektual dan pemikiran.Akibatnya jumlah karya ilmiah semakin sedikit dan pemikiran umat pun bertambah sempit. Mereka lebih senang bertaklid terhadap karya-karya ulama terdahulu daripada berijtihad sendiri. Di bidang teologi mereka bertaklid penuh kepada pemikiran Imam Abu Al-Hasan Al-Asyari dan bidang furu (fiqh) mereka bertaklid kepada pandangan empat imam mazhab. Para ulama lebih suka membuat kompilasi karya-karya ulama terdahulu atau membuat ulasan-ulasan singkat (syarh) dalam disiplin ilmu tertentu tanpa dibarengi inovasi maupun pemikiran baru yang orisinil.[footnoteRef:8] [8: Ibid hal 197.]

Demikianlah, kondisi intelektual masa kritis ini diwarnai oleh gerakan kompilasi dan kelangkaan inovasi serta kreativitas sehingga para ulama dan eksponen pendukungnya hanya menelaah berbagai karya yang sudah ada, sekedar untuk mencari pemikiran yang sesuai dengan mazhab mereka. Metode semacam ini lebih tepat disebut sebagai eklektisme terhadap pemikiran para ulama.[footnoteRef:9] [9: ibid]

Namun, kelangkaan kreativitas intelektual atau stagnasi pemikiran ini belum sampai tingkatan yang tidak dapat diharapkan lagi untuk bisa bangkitatau kehilangan sama sekali para ulama berkesadaran yang terdapat disetiap masa. Pada masa ini masih terdapat beberapa ulama yang dipengaruhi metode pemikiran Al-Ghazali, keterikatan pada teologi Asyariyah, dan penentangan terhadap filsafat yang menghasilkan karya-karya besar guna menopang mazhab mereka. Hanya saja karya mereka sebatas kompilasi pemikiran-pemikiran sebelumnyadan sekedar mendukung mazhab tertentu pada inovasi pemikiran yang segar. Pada masa ini juga terdapat beberapa ulama bidang kebahasaan, sejarah dan muhaddistin yang menulis beberapa karya penting yang dikutip beberapa generasi berikutnya. Kebangkitan ilmiah yang digagas Al-Ghazali pada abad ke-5 H tidak menghentikan kemunculan para ulama terkemuka untuk kembali mengangkat dan meneruskan gerakan itu baik diwilayah Islam bagian Timur maupun Barat.[footnoteRef:10] [10: Ibid hal. 198.]

(3) Franz Rosental, Etika Kesarjanaan Muslim, (Bandung : Mizan, 1999)Ketidakpercayaan terhadap catatan tertulis juga menjelaskan, paling tidak sebagian, adanya pengutamaan yang nyata terhadap pengajaran secara lisan dibanding pengetahuan yang diperoleh dari buku. Dalam hal ini juga terdapat banyak literatur yang relevan. Cukulah jika kita merujuk kepada pembahasan tentang masalah itu oleh Ibn Buthlan dan Ibn Ridhwan, dua orang dokter dari abad kesebelas. Secara kebetulan Ibn Ridhwan sendiri belajar secara mandiri dan memperoleh banyak pengetahuan, namun sepanjang hidupnya tidak memperoleh penilaian yang layak mengenai apa-apa yang telah dicapainya. Ini dapat membenarkan pendapat umum kaum Muslim menyangkut nilai komparatif pengajaran oleh guru dan pendidikan secara otodidak.[footnoteRef:11] [11: Franz Rosental, Etika Kesarjanaan Muslim, (Bandung : Mizan, 1999) hal. 21.]

Akan tetapi, disamping semua penghormatan nyata terhadap pengetahuan hapalan, peradaban Muslim, sebagaimana setiap peradaban tinggi, adalah sebuah peradaban tulis. Telah ditunjukkan bahwa penyebaran bentuk tertulis puisi Arab kuno bukannya tak dikenal, meskipun puisi dan juga tradisi-tradisi keagamaan, dipandang sebagian besar bergantung pada penyampaian secara lisan. Pada abad kesembilan secara terus terang diakui bahwa semua cabang literatur mengandalkan pelestariannya pada tulisan. Menurut Al-Jahiz sang pecinta buku yang besar itu, pengetahuan adalah apa yang dapat ditulis diatas kertas. Karyanya,Kitab Al-Hayawan, berisi anekdot berikut : Aku menghadiri kuliah seorang ulama dan mencatat sebagian dari apa yang dikatakannya. Melihat apa yang kulakukan, dia berkata : catatlah segala sesuatu yang engkau dengar dikelas. Ruang yang hitam lebih baik baginya daripada ruang yang putih.[footnoteRef:12] [12: Ibid hal 22]

(4) Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002Adalah Islam yang memberikan kesadaran sejarah kepada kaum Muslim baik melaui Al-Quran dengan banyak ayat yang mengandung dimensi historis dan quasi historis maupun melalui Nabi Muhammad sendiri sebagai figur historis.( Lihat, G.E. von Grunebaum, 1971 : 37ff; F.Rosenthal, 1968 : 18f; M. Fathi Ustman, 1988: lllff; M. Shamil Al-Alyani Al-Silmi, 1986 : 7-19).[footnoteRef:13] [13: Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal 19.]

Materi hadist yang luar biasa banyaknya merupakan tambang informasi bagi tulisan sejarah Islam di masa awal, seperti maghazi (razia atau serangan militer), sirah (biografi), asma al-rijal ( biografi perawi hadist), dan semacamnya. Tulisan sejarah semacam ini dalam perkembangannnya lebih lanjut mendorong munculnya penulisan sejarah universal dan lokal. Pada saat yang sama, metode isnad dalam periwayatan hadist, dan penggunaan metode kronologis dalam karya biografis juga mempengaruhi metode historiografi awal Islam. Berikut kita akan membahas tiga jenis historiografi awal tersebut lengkap dengan metode eksposisi mereka.[footnoteRef:14] [14: Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002) hal 29]

Tetapi maghazi merupakan merupakan studi paling awal tentang sejarah kehidupan Nabi, yang dilakukan beberapa sahabat terkemuka.[footnoteRef:15] [15: Ibid hal 29]

Karya Al-Zuhri tentang sirah sampai ke tangan kita hanya dalam bentuk bagian yang ditemukan terutama didalam karya Ibn Ishaq, al Waqidi, Al-Thabari, Al-Baladzuri, dan Ibn Sayyid Al-nas. Format sirahnya, kurang lebih, mulai dengan pemberian informasi tentang masa pra-Islam sejauh relevan dengan kehidupan Nabi Muhammad.[footnoteRef:16] [16: Ibid hal 34.]

Literatur hadist menghasilkan tidak hanya Maghazi dan sirah Nabi, tetapi juga biografi para sahabat, tabiun dan tabii al-tabiin. Biografi semacam ini secara umum dikenal sebagai asma al-rijal --- yang secara harfiah berarti nama-nama para tokoh. Jenis literatur ini berasal dan berkembang dalam hubungan dengan isnad hadist, tegasnya atas tingkat keterpecayaan(reliabilitas) isnad dan perawi.[footnoteRef:17] [17: Ibid hal 41]

(5) Franz Rosenthal, A History Of Muslim Historiography, (Leiden: E.J. Brill, 1986).At present , the pendulum is swinging back in this field as it does in other fields of literary criticism. There is a marked tendenci toward a more cautious approach which, unfortunetely and more frequently than one might wish, assumes the appearance of undisguised credulity. The fact is that truth and falsehood are so ingenuously interwoven in Muslim antiquarian and early religious literature that no general rule can tell what is genuine and what is not. Every single statement or literary document has to be judged by itself. An element of subjectivism will enter each judgment, but no fear or subjectivism, however justified, must dull our critical faculties.[footnoteRef:18] [18: Franz Rosenthal, A History Of Muslim Historiography, (Leiden: E.J. Brill, 1986). Hal 18.]

(6) Hugh Kennedy, The Great Arab Conquest, (Jakarta : Pustaka Alvabet, 2008),Pada abad kesepuluh, seluruh disiplin akademik telah berkembang, menghasilkan kamus biografi yang luas dimana seseorang bisa mencari perincian tentang semua individu dalam mata rantai riwayat itu untuk memeriksa kredibilitas mereka.[footnoteRef:19] [19: Hugh Kennedy, The Great Arab Conquest, (Jakarta : Pustaka Alvabet, 2008), hal.20]

Para pembaca modern akan segera mencatat , ada sejumlah masalah yang jelas terlihat dalam proses ini karena ia memberikan beberapa cara untuk memastikan keandalan material itu, masalah yang sangat disadari oleh banyak orang ketika itu. Jelas ada sekumpulan materi yang dikarang karang saja tentang berbagai peristiwa dalam sirkulasi itu, tetapi para penyunting abad kesembilan dan kesepuluh juga memiliki semacam masalah yang kami hadapi untuk mendapatkan kebenaran dari hal-hal yang dibuat-buat.[footnoteRef:20] [20: Ibid]

Kita lanjut dengan rehabilitasi sumber berbahasa Arab. Banyak dari sumber ini dapat dilacak kembali ke pengumpulannya dipertengahan abad kedelapan, seperti Saif bin Umar. Saif hidup di Kuffah , Irak dan wafat pada 786. Di luar itu kami tidak mengetahui apapun tentang kehidupannya, tetapi ia adalah sumber sejarah yang paling penting tentang penaklukan awal. Para ahli sejarah zaman pertengahan dan modern telah mencurigai, ia mengarang-ngarang sebagian dari penjelasannya, tetapi para cendekiawan baru-baru ini mengungkapkan, ia lebih dapat dipercaya ketimbang yang dibayangkan penulis sebelumnya. Ia tentu saja bertanggung jawab dalam pengumpulan dan penyuntingan sejumlah besar penjelasan yang paling terang tentang penaklukan awal. Saif menulis sedikit lebih dari seabad setelah penaklukan awal dan boleh jadi sebagian pelaku penaklukan masih tetap hidup ketika Saif masih kanak-kanak.[footnoteRef:21] [21: Ibid hal 27-28]

Lebih jauh lagi, penaklukan berikutnya di Spanyol dan Asia Tengah masih terus berlangsung ketika ia masih hidup. Saif hidup di masa yang dekat dengan Penaklukan Muslim daripada kedekatan Gregory dari Tours dengan masa Merovingian awal atau Bede dengan konversi Anglo Saxons. Kedua sumber itu selalu dirujuk oleh para ahli sejarah dalam merekonstruksi peristiwa tersebut.[footnoteRef:22] [22: ]

Sumber berbahasa Arab secara ekslusif menaruh minat pada perilaku orang-orang Muslim. Orang kafir yang berbicara dalam sebagian sejarah hanyalah para kaisar Byzantium dan jenderal Persia yang pemikirannya menjadi pengantar bagi kekalahan mereka yang tak terhindarkan. [footnoteRef:23] [23: Ibid hal 35]

Orang luar yang membaca karya Tabari, History of the Prophet and Kings misalnya, akan sedikit memiliki gagasan bahwa mayoritas penduduk daratan yang diperintah oleh khalifah di abad kedelapan dan kesembilan itu bukanlah Muslim, kurang paham akan kepedulian mereka serta efek yang diberikan oleh kedatangan bangsa Arab pada mereka. Asalkan mereka membayar uang yang telah disepakati , dan tidak secara aktif bermusuhan dengan rezim baru dalam cara apa pun, maka perilaku mereka dapat dan memang, sepenuhnya diabaikan dalam narasi tentang kaum elite yang berkuasa. Sumber tertulis begitu luas, tetapi penuh masalah. Dapatkah kita melengkapinya dengan beralih pada arkeologi? Apakah pasti testimoni yang tidak emosional tentang sisa materi yang bisu dapat memberi kami penjelasan yang lebih berimbang daripada kish yang terlalu melelahkan ini? Sejauh tertentu hal ini adalah benar, tetapi arkeologi, sebagaimana catatan tertulis memiliki keterbatasannya dan begitu juga agendanya.[footnoteRef:24] [24: Ibid hal 36]

(7) Franz Rosental, Etika Kesarjanaan Muslim, (Bandung : Mizan, 1999)Sebelum ditemukannya mesin cetak, para sarjana dan penulis terpaksa merujuk pada karya-karya lain dengan cara mengutip teks lengkap, atau versi singkatnya, dari penggalan yang dirujuk. Tidak ada cara lain yang memuaskan untuk mengenalkan pembaca dengan materi sumber yang digunakan. Dalam situasi dan kondisi biasa, juga tidak ada cara yang memuaskan untuk merujuk ke belakang ataupun kedepan dalam karya sendiri. Cara bertele-tele yang disebabkan oleh tidak adanya cara singkat untuk merujuk serta besarnya tuntutan terhadap ruang yang tersedia dalam buku oleh kutipan harfiah menimbulkan dampak yang merugikan terhadap perkembangan kedarjanaan Muslim. Dengan sia-sia para pengarang disepanjang waktu mengingatkan diri mereka sendiri (dan juga pembaca mereka)bahwa mereka harus ringkas, bahwa berbicara panjang panjang itu membosankan, dan bahwa makin ringkas karya yang ditulis, makin baik. Jumlah materi yang harus dipertimbangkan meningkat dari abad ke abad. Satu-satunya cara untuk melestarikan semua materi berharga yang patut diselamatkan adalah menggabungkannya ke dalam karya baru secara in extenso. Dengan demikian, ruang yang tertinggal untuk menyuguhkan bahan yang baru dan orisinal berkurang secara tetap, dan pertumbuhan penelitian yang mandiri pun terlambat.[footnoteRef:25] [25: ) Franz Rosental, Etika Kesarjanaan Muslim, (Bandung : Mizan, 1999) hal 92. Diterjemahkan oleh Ahsin Mohamad.]

Dalam kondisi ini adalah aneh bahwa pertimbangan keagamaan telah mempengaruhi Al-Khatib sehingga dia sedikit mengubah pengaturan alfabetis tersebut. untuk menghormati Nabi, semua tokoh yang bernama Muhammad disebutkan sebelum tokoh-tokoh yang lain. Gangguan lain terhadap urutan alfabetis ini lebih sulit diterangkan. Karena sarjana hadis yang tertua dan paling terkemuka yang tinggal di Baghdad adalah pengarang kitab Sirah, yaitu Muhammad bin Ishaq bin Yasar, maka dia dan tokoh-tokoh lain yang bernama Muhammad bin Ishaq mendahului semua tokohlain yang bernama Muhammad.[footnoteRef:26] [26: Ibid hal 94.]

(7) Zainab al-Khundhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun.(Bandung : Pustaka,1995Mengenai aspek metoda historis, kaum muslimin mengharuskan adanya kebenaran dan ketelitian dalam mentrasmisikan data-data historis yang sedapat mungkin harus diambil dari sumber-sumber pertama atau penyaksi mata. Perhatian mereka lebih terarah untuk menekankan keshahihan jalinan isnad . Sedang metode yang mereka pergunakan, seperti dikemukakan Abd al-Raziq al-Makki, adalah metoda tadil dan tajrih. Metoda ini bertujuan untuk meneliti kejujuran dan kebenaran penutur hadist. Penelitian-penelitian yang dilakukan para ilmuwan Muslim mengenai metoda historis seperti ini sangat luas sekali. Sehingga informasi mengenai masalah ini membentuk semacam ensiklopedia yang dapat dijadikan sebagai sumber rujukan untuk mengikhtisarkan sebagian prinsip-prinsip yang membantu dalam menilai setiap hadist. Dari prinsip-prinsip itulah tersusun Ilmu Musthalah Hadist seperti telah dikemukakan, Ibn Khaldun juga menggunakan metoda yang demikian itu, namun metoda tersebut bukanlah metoda utama baginya. Metoda utama baginya adalah pengkajian berita-berita sejarah dengan mempergunakan hukum-hukum yang mengendalikan alam dan juga mengendalikan masyarakat.[footnoteRef:27] [27: Zainab al-Khundhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun.(Bandung : Pustaka,1995) hal 59]

Jadi, bilamana antara berita-berita sejarah dan hukum-hukum tersebut terdapat keseiringan, maka berita-berita itu dianggap benar. Sebaliknya bilamana antara berita-berita dan hukum-hukum tadi bertentangan, maka berita itu ia tolak, meski rangkaian para penuturnya dapat diterima. Dalam al-Muqaddimah terdapat berbagai contoh penolakan Ibn Khaldun terhadap sebagian berita, karena berita tersebut bertentangan dengan hukum alam. Misalnya pendirian Kota Iskandariah, atau hukum-hukum sosial, seperti kisah Nabi Musa as dan tentara Banu Israil. Dengan demikian Ibn Khaldun tidak terpengaruh oleh para ilmuwan sebelumnya sementara ia sedang menyusun ilmu barunya. Sedangkan kajian filosof Muslim, seperti Ibn sina, al-Farabi, dan Ibn Rusyd, pada dasarnya tertuju pada ilmu-ilmu alam, metafisika,dan ilmu-ilmu agama, dan tidak mengkaji masalah kemasyarakatan, perkembangannya, dan hukum-hukumnya seperti halnya yang dilakukan Ibn Khaldun.Ibn Khaldun, dalam menyusun ilmu barunya, tidak menimbanya dari para ilmuwan Muslim sebelumnya atau sezamannya. Hal ini karena ketika itu kebudayaan Arab-Islam telah memasuki fase kemunduran, dan pemikiran sangat diwarnai dengan corak keagamaan tanpa konsistensi terhadap metoda ilmiah.[footnoteRef:28] [28: Ibid hal 60]

(8) Ahmadie Thoha, Muqaddimah Ibn Khaldun,(Jakarta : Pustaka Firdaus, 2009Pembicaraan panjang lebar menyebutkan kesalahan-kesalahan diatas, hampir membuat kita jauh dari tujuan penulisan buku ini. Banyak orang yang berkompeten, dan sejarawan sejarawan ahli, tergelincir dalam pembicaraan dan pendapatan semacam ini, dan mereka meletakkannya kedalam pemikiran mereka. Beberapa orang yang lemah pikiran, dan tidak kritis, mempelajari semuanya ini dari mereka, dan demikian pula orang-orang yang berkompeten dan sejarawan-sejarawan ahli tersebut menerima mereka tanpa penyelidikan kritis. Semua cerita ganjil itu pun merambat pelan, masuk kedalam tulisan sejarah mereka. Sebagai akibatnya historiografi menjadi tak berarti dan salah. Orang-orang yang mempelajarinya bingung. Historiografi pun dianggap sebagai bidang yang dipelajari rakyat secara umum.Oleh karena itu, kini, sarjana yang terjun kelapangan ini membutuhkan pengetahuan tentang prinsip-prinsip politik, watak segala yang ada, perbedaan bangsa-bangsa tempat-tempat dan periode-periode dalam hubungannya dengan sistem kehidupan (way of life), nilai-nilai akhlak, kebiasaan, sekte-sekte, mazhab-mazhab, dan segala ihwal lainnya. Selanjutnya, dia perlu memiliki pengetahuan bandingan tentang situasi-situasi dan kondisi-kondisi mendatang dalam semua aspek ini.Dia harus membandingkan kesamaan-kesamaan, atau membedakan keadaan-keadaan, kini dan masa lampau. Dia harus mengetahui sebab timbulnya kesamaan dalam beberapa situasi, dan sebab timbulnya perbedaan dalam situasi lainnya. Dia harus mengetahui perbedaan sumber dan awal timbulnya negara-negara, milah-milah (kelompok agama), sebagaimana dia harus mengetahui perbedaan sumber dan permulaan timbulnya alasan dan dorongan yang membuat semua itu terbentuk.Dia harus mengetahui keadaan dan sejarah orang-orang yang mendukungnya. Sasarannya tidak lain adalah untuk melengkapi pengetahuan tentang sebab terjadinya masing-masing peristiwa, dan untuk saling mengenal asal masing-masing peristiwa. Selanjutnya dia harus mengecek berita yang dinukilkan dengan prinsip-prinsip dasar yang telah diketahui. Apabila ia memenuhi syarat-syaratnya, maka ia benar. Dan sebaliknya, apabila tidak, berita itu ditolak.[footnoteRef:29] [29: Ahmadie Thoha, Muqaddimah Ibn Khaldun,(Jakarta : Pustaka Firdaus, 2009) hal. 45]

Hanya karena alasan ini, historiografi dianggap tinggi nilainya oleh orang-orang terdahulu, sehingga at-Thabari, al-Bukhari, dan sebelumnya Ibn Ishaq serta para sarjana muslim lainnya, memilih terjun ke bidang ini. Banyak sarjana yang lalai terhadap rahasia historiografi, sehingga pengkajiannya lemah. Orang awam dan para sarjana yang tidak memiliki dasar pengetahuan, menganggapnya sebagai materi tak berarti untuk dipelajari dan sejarah yang perlu diketahui, untuk menyelidiki dan hidup dari belas kasihannya. Maka binatang binatang yang kesasar masuk kedalam kawanan domba, isi bercampur dengan kulit, yang benar berbaur dengan yang dusta.[footnoteRef:30] [30: Ibid hal 46.]

(9) Poespoprodjo,Subjektivitas dalam Historiografi (Bandung : Remadja Karya, 1987),Di Italia, Nicolo di Barnardo Machiavelli (1469-1527) dan Francesco Guicciardini mulai membebaskan sejarah dari ikatan teologis. Usaha ini meningkat pada abad XVIII manakal Francios Mario Aronet de Voltaire (1694-1778) lewat karyanya iEssai sur les Moeurs, charles De secondat Montesquieu (1689-1755) lewat karyanya LEsprit des Lois, melawan tradisi Aurelius Augustinus, yakni tradisi interpretasi sejarah secara teologis yang berlanjut dalam karya Jaques Benigne Bossuet (1627-1704) yang berjudul Discours sur LHistoire Universelle.Kesibukan penulisan sejarah yang berkisar pada kehidupan militer, dinasti, diplomasi ditingalkan. Tekanan diarahkan pada faktor-faktor kultural dan intelektual, dan perhatian ditumpahkan pada kehidupan rakyat jelata, pada adat-istiadat dan cara mereka, juga pada pengaruh kondisi-kondisi materiil seperti iklim, yang besar pengaruhnya bagi perkembangan suatu masyarakat atau bangsa dan bagi perkembangan adat-istiadat dan sistem hukumnya.Dengan cara yang belum modern Ibn Khaldun dengan teori iklimnya, juga pernah mengusahakan historiografi semacam. Namun usaha melepaskan sejarah dari teologi bukan pertama-tama berdasarkan motivasi mengilmiahkan sejarah, tetapi untuk mendapatkan ajaran-ajaran moral yang bebas dari implikasi ajaran-ajaran teologis. Persoalan metode penyelidikan sejarah secara formal tidak menjadi urusan mereka.[footnoteRef:31] [31: Poespoprodjo,Subjektivitas dalam Historiografi (Bandung : Remadja Karya, 1987), hal 15-16]

Dalam tahap analitis ada kemungkinan kita mencapai pengetahuan objektif karena sumber-sumber sejarah yang kita peroleh merupakan obyek, artinya mempunyai eksistensi merdeka di luar pemikiran manusia. sumber-sumber semacam itu misalnya saja adalah bangunan, mata uang, dls. Tetapi sebagian besar sumber sejarah berasal dari kesaksian manusia dan karenanya tak memiliki realitas obyektif, melainkan hanya merupakan simbol daripada hal-hal yang pernah nyata pada masa lampau.dengan perkataan lain, fakta sejarah yang tersebut belakangan berexistensi hanya dalam pikiran pengamatan atau pikiran sejarawan, dan karenanya disebut subyektif.[footnoteRef:32] [32: Ibid hal 24]

Disamping posisinya tersebut diatas yang de facto menganut paham naturalisme filsafat atau empirisme atau scientisme atau positivisme yang membawa akibat kurang memberi tempat pada subyektivitas secara semestinya, Nugroho juga mengambil posisi seorang idealisme. Beliau de facto berpendapat bahwa sejarawan tidak menangkap objek, yakni hal-hal yang pernah nyata pada masa lampau, tetapi hanya menangkap idea dari hal-hal yang pernah nyata pada masa lampau.Idea terdapat dalam diri kita, jadi sesuatu yang subjektif. Meskipun Nugroho Notosusanto segera menambahkan tidak berarti bahwa pengetahuan subjektif ini lalu mulutnya lebih rendah daripada pengetahuan objektif.[footnoteRef:33] [33: Ibid hal 26]

Istilah sejarah-serba-subjek memperlihatkan kecenderungan pandangan subjektivistik. Sedjarah sebagai ilmu dan sedjarah sebagai tjeritera adalah adalah tjiptaan manusia dan bukan sesuatu jang timbul atau terjadi diluar usaha manusia( seperti gunung meletus, air bah, angin taufan). Manusia sebagai subjek atau pemegang peranan membuat ilmu dan tjeritera : ilmu sedjarah dan tjeritera sedjarah disebut sedjarah serba subjek : artinya buatan manusia.[footnoteRef:34] [34: Ibid hal 37.]

(10) Muhammad Abed al-Jabiri,Formasi Nalar Arab(Yogyakarta: IRCisoD, 2003), Untuk menjawab pertanyaan ini kami terbantu oleh pembedaan yang dibuat Lalande antara nalar pembentuk atau aktif (al-aql al-muqawwim au al-fail, dalam istilah Perancisnya La raison Constituante) dengan nalar terbentuk atau dominan (al-aql al-muqawam au as-said, dalam bahasa Perancisnya La raison Constitue). Yang pertama adalah aktifitas kognitif yang dilakukan pikiran ketika mengkaji dan menelaah serta membentuk konsep dan merumuskan prinsip-prinsip dasar. Dengan kata lain, nalar aktif adalah naluri yang dengannya manusia mampu menarik asas-asas umum dan niscaya, berdasarkan pemahamannya terhadap hubungan antara segala sesuatu. Di seluruh manusia nalar ini sama. Sedang nalar kedua, nalar dominan, adalah sejumlah asas dan kaidah yang kita jadikan pegangan dalam berargumentasi (istidlal). Nalar ini berada antara satu periode dengan periode lainnya, bahkan antara satu orang dengan orang lain. menurut Lalande nalar ini bersifat terbentuk dan berubah sekalipun dalam batas-batas tertentu. Ia eksis dalam periode tertentu dan bersifat temporal. Jika kami membicarakannya dengan kata tunggal al-aql, kita mesti memahaminya sebagai nalar seperti dalam peradaban kita dan yang ada saat ini. Dengan kata lain ia adalah sistem kaidah yang dibakukan dan diterima dalam era sejarah tertentu, dan yang selama era itu memperoleh nilai mutlak.[footnoteRef:35] [35: Muhammad Abed al-Jabiri,Formasi Nalar Arab(Yogyakarta: IRCisoD, 2003), hal 32.]

Al-dzahabi menuturkan pada tahun 143 H para UlamaIslam mulai membukukan hadist, fiqh dan tafsir. Ibn Juraih menulis buku di Mekkah, Imam Malik menulis al-Muwaththa di Madinah, Auzai di Syam, Ibn Abi Urabah dan Hamad in Salmah dan lainnya di Basrah, Muamar di Yaman, Sufyan Sauri di Kuffah. Ibn Ishaq juga menulis buku dan Abu Hanifah menulis dalam bidang fiqh. Setelah itu, Hasym dan Lais, Ibn Luhaiah, Ibn Mubarak, Abu Yusuf dan Ibn Wahab. Pada masa itu berlangsung kodifikasi dan klasifikasi ilmu. Disamping itu buku-buku tentang bahasa Arab dan sejarah juga dikodifikasikan. Dan sebelum era ini, orang-orang berbicara berdasar hafalan atau mempelajarinya dari catatan-catatan yang tidak teratur.[footnoteRef:36] [36: Ibid hal.102]

Di sini kita menemukan teks yang sangat penting berkenaan dengan obyek kajian kita. Dari apa yang dituturkan Al-Dzahabi tersebut, dalam kesempatan ini kami perlu kemukakan beberapa hal berikut :1. Teks tersebut menetapkan tahun 143 H sebagai sejarah awal mula dilakukan kodifikasi dalam Islam. Sejarah ini bisa kita terima dengan menambah atau menguranginya beberapa tahun, jika istilah kodifikasi (tadwin) kita pahami sebagai proses yang luas yang berlangsung atas prakarsa negara, diawali dari era al-Mansur pada masa Abbasiyah yang memegang kepemimpinan antara tahun 136 hingga 158 H, dan yang membentuk kehidupan pemikiran dan sosial Arab Islam selama kira-kira satu abad atau lebih. Era itu kemudian disebut sebagai era kodifikasi (ashr tadwin). Adapun jika kita memahami kodifikasi sekedar sebagai bentuk pencatatan dan penulisan sebagian persoalan dalam bentuk catatan-catatan tertentu, fenomena demikian itu telah berlangsung jauh-jauh sebelumnya, pada era Nabi dan Khulafa. Namun jelas ada perbedaan besar antara aktifitas individual dan aktifitas masif, dimana berkenaan dengan masa lalu, kekinian dan masa depannya masyarakat bergantung kepadanya.2. Teks itu juga menetapkan tempat-tempat atau kota-kota dimana proses kodifikasi itu mula-mula dilakukan yaitu Mekkah, Madinah, Syam, Basrah,Kuffah dan Yaman. Ini adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang memiliki catatan dan hafalan tentang tradisi Islm (al-maurus al-islam) yang mulai becabang-cabang dan membesar. Tradisi ini terdiri dari pengetahuan, teks dan penafsiran serta penjelasan yang tidak tertata dan tidak terklasifikasi. Proses kodifikasi pada dasarnya dimaksudkan untuk menyaring kumpulan pengetahuan ini. Mengklasifikasinya dan kemudian berlanjut hingga merambah bidang hadist, tafsir, fiqh, bahasa dan sejarah.3. Teks itu juga menunjukkan proses transmisi ilmu dan pengetahuan berlangsung pada masa sebelumnya. Di sana dijelaskan bahwa manusia sebelum era ini berbicara berdasarkan hafalan dan mempelajari ilmu dari catatan-catatan yang tidak tertata yakni dari catatan-catatan yang tidak mengikuti standart yang digunakan dalam menyusun buku pada umumnya semisal adanya satu pokok bahasan, pembagian kedalam bab-bab dan seterusnya.Informasi ini sangat penting bagi sejarawan ilmu Arab Islam. Ia menetapkan sejarah awal mula pembakuan ilmu-ilmu Arab Islam, pusat-pusat ilmiah pertama yang menjadi tempat proses pembakuan itu, dan materi yang menjadi objek ilmu tersebut. hanya saja seorang pengkaji epistemologis, yang memanfaatkan banyak hal dari informasi tersebut akan mengalihkan perhatiannya kepada apa yang ia anggap lebih penting baginya, yaitu kepada ungkapan kodifikasi ilmu dan klasifikasinya (tadwin al-ilm wa tabwibihi) yang terdapat dalam teks tersebut. Kita akan mengkaji lebih jauh muatan istilah ini.[footnoteRef:37] [37: Ibid hal 103]

kodifikasi dan klasifikasi ilmu bukan berarti memproduksi ilmu. Kodifikasi ilmu berarti ilmu itu sebelumnya telah ada sedang peran orang yang mengkodifikasi atau ilmuan sebatas menemukan, mengumpulkan dan mengklasifikasikan. Meskipun yang dimaksud istilah ilmu pada waktu itu adalah hadist dan yang terkait dengannya semisal tafsir dan fiqh, namun cakupan ilmu ini juga meliputi ilmu-ilmu bantu asli, semisal ilmu bahasa. Dengan kata lain, ilmu digunakan berlawanan dengan akal. Yang dimaksud ilmu adalah ilmu yang ditransmisikan (marwiyatI) baik berupa hadist, tafsir, atau ilmu-ilmu agama lainnya. Karena itulah dalam istilah diatas, kodifikasi bebarengan dengan klasifikasi sebab pada dasarnya masalahnya berkaitan upaya menghimpun warisan pemikiran Arab Islam dan mengklasifikasikannya kedalam berbagai cabang yang kemudian masing-masing menjadi disiplin ilmu, yang independen atau mendekati independen.[footnoteRef:38] [38: Ibid hal 104]

Pada bab dua dari buku ini (bagian 2), ketika kami menempatkan sebagian batasan-batasan awal terhadap objek kajian kami, di sana kami menemukan bahwa sejarah kebudayaan Arab saat ini tidak lebih dari pengulangan dan daur ulang terhadap sejarah yang telah ditulis oleh nenek moyang kita dan senantiasa tunduk dibawah concern dan kemungkinan yang mengarahkan dan menentukan pandangan-pandangan mereka, dan menjadikan sejarah yang mereka tinggalkan untuk kita menjadi sejarah perpecahan , biografi dan opini dalam setiap disiplin. Secara umum bisa dikatakan, sejarah perselisihan pendapat dan bukan sejarah bangunan pemikiran. Model sejarah kultural yang kita warisi dari para pendahulu kita, dan yang mungkin memiliki justifikasi dalam tingkat epistemik dan ideologisnya sendiri, adalah sejarah yang sekarang masih terus direproduksi. Dan kebanyakan dari proses reproduksi ini dilakukan dengan cara mengambil sebagian dari sini dan sebagian lain dari sana dan menyusun kutipan ini dalam bab-bab dengan membagi-bagi kelompok, biografi dan opini, dan di sana dikuasai oleh sikap ekletik yang seringkali mencapai tingkatan hingga membelokkan muatan asli kutipan itu, muatan epistemik dan ideologisnya. Dengan demikian, pemikiran tercabut dari konteksnya dan terlepas dari kerangkanya, disebabkan ambisinya untuk menghasilkan pencerahan dan otentitas dan keunggulan historis atau untuk menampakkan corak ketimuran dan kecenderungan materialis... dan concern kontemporer lainya yang kedahsyatan arusnya tidak jarang menyebabkan hilangnya keterikatan dengan pandangan ilmiah-objektif terhadap segala sesuatu.[footnoteRef:39] [39: Ibid hal 546.]

Demikianlah sebagai ganti klasifikasi ilmu dan pengetahuan dalam kebudayaaan Arab Islam kepada ilmu naqliyah dan aqliyah atau kepada ilmu agama, bahasa, atau kepada ilmu Arab dan non Aran(ajm) yakni klasifikasi yang masih terus mendominasi, sebagai ganti dari cara pandang yang menempatkan fiqh, nahwu dan balaghah sebagai ilmu independenyang saling terpisah satu sama lain, yang objek dan metodenya berdiri sendiri, atau yang menempatkan ilmu teologi dan filsafat sebagai dua ilmu yang berdampingan dan saling melengkapi, dan juga sebagai ganti dari pandangan yang memasukkan tasawuf kedalam ilmu-ilmu keagamaan dan kimia ke dalam ilmu rasional disamping ilmu matimatika dan ilmu alam...sebagai ganti dari seluruh pandangan tersebut yang tidak lain hanya mendasarkan kepada fenomena eksternal (yang mengingatkan kita kepada para pendahulu ketika mengklasifikasi binatang, berdasar fenomena eksternalnya, kepada binatang air, darat dan udara) dengan meneliti dasar-dasar epistemologis untuk memproduksipengetahuan dalam kebudayaan Arab. Membawa kita kepada klasifikasi baru yang tidak memberi perhatian kecuali kepada sruktur internal pengetahuan yakni mekanisme dan sarana serta konsep-konsep dasarnya; sebuah klasifikasi yang membuka horison yang sama selaki baru-dari segi kedalaman dan kesuburannya seperti horison yang dibuka oleh ilmu biologi kontemporer berkenaan dengan klasifikasi binatang hewan bertulang belakang (vertebrata) dan hewan yang tidak bertulang belakang (averbrata). Dengan begitu, ilmu dan seluruh model pengetahuan dalam kebudayaan Arab Islam bisa diklasifikasi menjadi tiga : ilmu-ilmu bayan yang terdiri dari nahwu,fiqh, teologi dan balaghah yang didasarkan pada satu sistem pengetahuan yang berpegang kepada analogi dunia transenden dengan dunia inderawi (qiyas al-ghaib ala al-syahid) sebagai metode untuk menghasilkan pegetahuan dan kemudian kami sebut dengan rasionalitas agama Arab dimana aplikasi dasarnya sangat terikat dengan bahasa Arab, sebagai cara pandang dan orientasi. Kedua ilmu-ilmu irfan yang terdiri dari tasawuf dan pemikiran syiah, filsafat ismaliyah, tafsir Al-quran esoterik, filsafat iluminatif, kimia, farmasi, botani, astrologis, sihir, jimat dan ilmu astrologi dan lainnya, yang didasarkan kepada sistem pengetahuan yang dilandaskan kepada al-kasyf wa al-wishal dan dan saling menarik dan saling tolak (tajadzhub wa tadafu) sebagai metodenya, dan kemudian kami sebut irrasionalitas yang rasional yakni yang terkait dengan akal dan bukan dengan agama dan ini dirintis oleh Hermetisme sebagai cara pandang dan orientasinya. Terakhir, ilmu-ilmu burhan yang terdiri dari logika, matimatika dan ilmu alam (dengan berbagai cabangnya) dan ilmu ketuhanan bahkan metafisika, yang didasarkan kepada satu sistem pengetahuan yang didasarkan kepada pengalaman empiris dan penarikan kesimpulan secara rasional sebagai metodenya, dan kemudian kami sebut dengan rasionalitas yang rasional yakni pengetahuan rasional yang didasarkan kepada premis-premis rasional sebagai cara pandang dan orientasi.[footnoteRef:40] [40: Ibid hal 548.]

(11) Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, (Yogyakarta : LKIS Pelangi Aksara, 2007). Dalam pertarungan ini, semenjak rasul meninggal , muncul dua kecenderungan : kecenderungan pertama menemukan landasan dan titik toloknya dalam Quraisy Arab dan teks agama: Al-Quaran, as-Sunnah, dan beberapa sahabat. Kecenderungan kedua menemukan landasan dan titik tolaknya dalam Islam sendiri dan dalam manusia muslim sebagai manusia.Kelompok pertama membangun teori yang menegaskan ketaatan kepada pemimpin serta keharusan tetap berada dalam kelompok dan mayoritas. Sementara para pendukung aliran kedua membangun satu pandangan bahwa pemimpin harus diawasi, keharusan memegang kebenaran dan melawan pemimpin apabila menyimpang dari kebenaran dan keadilan. Perpecahan secara konseptual ini memunculkan secara diametris perpecahan ekonomi-politik : satu sisi, para elit (kelompok Quraisy dan sekutunya ), dan pada sisi yang lain, kelompok jembel, budak, para pemberontak suku dan kelompok kulit hitam, seperti yang dilabelkan oleh kelompok Quraisy yang dominan terhadap mereka. Sepanjang tiga abad pertama hijriah, dominasi berada di tangan kelompok Quraisy dan sekutunya. Oleh karena itu, dominasi juga berada pada peradaban kelompok ini dan secara khusus, perspektif agama disepanjang abad-abad tersebut juga menjadi milik kelompok ini.[footnoteRef:41] [41: Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, (Yogyakarta : LKIS Pelangi Aksara, 2007). Hal 2.]

Apabila gerakan rasionalisme, secara umum, memiliki peran lain didalam mencanangkan konsep baru mengenai sejarah berdasarkan prinsip interpretasi yang diciptakan dan dikembangkan oleh gerakan tersebut maka sejarah, menurut pandangan salafiyah, hanyalah muatan temporal bagi agama. Agama merupakan tuan bagi bumi, dan sejarah merupakan manifestasi-manifestasi dari kekuasaan tuan tersebut. oleh karena agama tidak dipahami dari sudut kemajuan dan kemunduran, tetapi dari sudut kesempurnaan yang tidak mengalami perubahan maka sejarah Arab tidak dipahami dari sudut kemajuan atau kemunduran. Sistem-sistem yang bermunculan tak satu pun diantaranya yang menampilkan dirinya atas dasar bahwa ia jauh lebih progresif daripada pendahulunya. Sebaliknya, ia menampilkan dirinya atas dasar bahwa ia jauh lebih berpegang pada agama; dalam arti sangat dekat dengan asal. Dengan demikian, sejarah bukan kemajuan, melainkan upaya mewujudkan praktik-praktik duniawi yang sudah ada sesuai dengan prinsip-prinsip agama. Ketika format sosial atau politik mulai merapuh, hal itu tidak berati bahwa ia menua karena ia telah menghabiskan segala potensinya, tetapi karena ia menyimpang dari alur agama yang murni. Oleh karena itu, format sosial atau politik yang menggantikannya tidak berarti jauh lebih maju daripadanya, dalam pengertian bahwa yang menggantikan telah menemukan ,umpamanya, kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat, tetapi nilainya terletak pada sejauh mana ia telah menghidupkan alur agama yang asli. Dengan demikian, agama merupakan ranah bagi kemajuan, tidak ada kemajuan diluar agama. Atas dasar ini, sejarah bukan merupakan perubahan yang mengarah pada yang lebih utama, atau kemajuan menuju yang lebih sempurna. Akan tetapi, sejarah merupakan semacam periode-periode yang senantiasa berulang-ulang.[footnoteRef:42] [42: Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, (Yogyakarta : LKIS Pelangi Aksara, 2007). Hal 89-90 ]

(12) Leo, Agung, Sejarah Intelektual, ( Yogyakarta: Ombak,Dengan demikian, masalah kesadaran sangat penting peranannya sebagai faktor penggerak atau pencipta fakta-fakta sejarah lainnya, umpamanya, revolusi, perang, pemberontakan, gerakan, dan lain sebaginya. Dipandang dengan perspektif itu sangatlah esensial untuk mengkaji mentifact dalam segala bentuknya, terutama perkembangannya, yang kesemuanya itu menjadi obyek studi sejarah mentalis, intelektual, atau ide-ide.[footnoteRef:43] [43: Leo, Agung, Sejarah Intelektual, ( Yogyakarta: Ombak, 2013), hal 208.]

Aspek yang sangat menarik bagi sejarah intelektual ialah dialektik yang terjadi antara ideologi dan penghayatan oleh penganutnya. Kekuatan-kekuatan sosial apakah yang menciptakan ketegangan antara ideologi dan praktiknya? Sehubungan dengan hal itu, sangatlah menarik untuk melacak hubungan (korelasi) yang ada antara ide atau alam pikiran dengan lokasi sosial pendukungnya. Seberapa jauh formasi ide atau ideologi, ditentukan atau dipengaruhi oleh faktor sosiologis pada aktor atau pelaku yang memilikinya.[footnoteRef:44] [44: Leo, Agung, Sejarah Intelektual, ( Yogyakarta: Ombak, 2013), hal 211-212.]

Dalam membentangkan sejarah ide-ide secara kontekstual kita menghindari gambaran yang lancung seolah-olah ide itu mempunyai pertumbuhan tersendiri, sambung-menyambung tanpa mengindah schakel-nya (penyambungnya). Dengan setiap kali menunjukkan alasan sosio-kulturalnya atau lingkungan historisnya akan lebih tampak kait mengaitnya atau proses timbal-balik yang terjadi antara kehidupan nyata dan ide-ide. Lagi pula, peoses pelembagaan ide atau ideologi dalam masyarakat membuat sejarah lebih hidup, penuh darah daging; jadi tidak hanya terdiri atas syaraf-syaraf atau otak belaka. Dengan demikian, sekaligus dihindari idealisme seperti yang diajarkan Hegel yang mengajarkan bahwa realitas dunia ini beserta sejarah manusia hanya pengejawantahan dari ide-ide belaka. Sebaliknya materialisme ala Marx juga dapat dicegah dengan pembuktian bahwa memang dalam pertumbuhannya sering ide atau ideologi berkembang secara otonom, tidak terlalu ditentukan oleh kondisi material.[footnoteRef:45] [45: Ibid hal 213-214]