kerangka penelitian-2

25
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fraktur pelvis merupakan cedera yang dapat terjadi dengan intensitas rendah berupa gejala nyeri sampai cedera intensitas tinggi berupa kematian sebelum tiba di rumah sakit. 1,2 Insidens fraktur rongga pelvis mencapai 23 kasus per 100.000 orang dengan insidens 10 kasus per 100.000 orang untuk masing-masing cedera dengan intensitas rendah maupun tinggi pada populasi warga Australia. 1 Fraktur pelvis dengan intensitas cedera yang tinggi umumnya menyebabkan disrupsi rongga pelvis dan harus dipertimbangkan sebagai suatu kasus politrauma. 1,2,3 Peningkatan morbiditas pada fraktur pelvis disebabkan cedera saraf dan cedera organ visera (kandung kemih, uretra, serta usus halus). Sedangkan penyebab utama mortalitas pada fraktur pelvis disebabkan fraktur pelvis yang tidak stabil disertai pergeseran dengan arah vertikal, yang dapat menyebabkan syok perdarahan karena cedera pembuluh darah besar. 2,4,5 Insidens perdarahan pembuluh darah arteri pada kasus fraktur pelvis mencapai 1,3 kasus per 100.000 orang per tahun. Balogh dkk. melakukan studi kohort terhadap fraktur rongga pelvis selama 1 tahun dan ditemukan angka mortalitas mencapai 23%

Upload: oryza-satria

Post on 31-Dec-2015

22 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: kerangka penelitian-2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fraktur pelvis merupakan cedera yang dapat terjadi dengan intensitas rendah berupa gejala nyeri

sampai cedera intensitas tinggi berupa kematian sebelum tiba di rumah sakit.1,2 Insidens fraktur

rongga pelvis mencapai 23 kasus per 100.000 orang dengan insidens 10 kasus per 100.000 orang

untuk masing-masing cedera dengan intensitas rendah maupun tinggi pada populasi warga Australia.1

Fraktur pelvis dengan intensitas cedera yang tinggi umumnya menyebabkan disrupsi rongga pelvis

dan harus dipertimbangkan sebagai suatu kasus politrauma.1,2,3

Peningkatan morbiditas pada fraktur pelvis disebabkan cedera saraf dan cedera organ visera (kandung

kemih, uretra, serta usus halus). Sedangkan penyebab utama mortalitas pada fraktur pelvis disebabkan

fraktur pelvis yang tidak stabil disertai pergeseran dengan arah vertikal, yang dapat menyebabkan

syok perdarahan karena cedera pembuluh darah besar.2,4,5 Insidens perdarahan pembuluh darah arteri

pada kasus fraktur pelvis mencapai 1,3 kasus per 100.000 orang per tahun. Balogh dkk. melakukan

studi kohort terhadap fraktur rongga pelvis selama 1 tahun dan ditemukan angka mortalitas mencapai

23% dimana 60% diantaranya disebabkan kematian sebelum tiba di rumah sakit.1 Sedangkan studi

lain menunjukkan rata-rata rasio odds 2,0 yang menunjukkan hubungan yang bermakna antara fraktur

pelvis dengan mortalitas pada 63.000 pasien trauma pada dua pusat trauma di Amerika.6

Penatalaksanaan fraktur pelvis umumnya disesuaikan dengan klasifikasi yang digunakan dengan

mempertimbangkan stabilitas pelvis, arah kekuatan cedera, dan pathoanatomi.7,8 Terapi definitif

berupa tirah baring dan pengobatan simtomatis dapat diberikan pada kasus yang hanya dengan cedera

stabilitas parsial, sedangkan external fixator diberikan pada pasien politrauma untuk menghentikan

gerakan rotasi serta mengurangi rasa nyeri. Fraktur pelvis dengan pergeseran fragmen fraktur pada

symphisis pubis dapat dilakukan fiksasi interna sisi anterior, sedangkan reduksi terbuka dengan

Page 2: kerangka penelitian-2

fiksasi interna daerah posterior sebaiknya dilakukan pada pasien dengan deformitas rotasi interna

yang berat dimana rotasi eksterna panggul tidak dapat mengembalikan posisinya.9,10

Manajemen yang tepat untuk fraktur pelvis yang parsial unstable (disrupsi inkomplit arkus posterior),

pada kelompok cedera kompresi lateral disertai cedera anterior dan posterior ipsilateral arkus

posterior (klasifikasi AO B2-1), masih menimbulkan perdebatan diantara dokter orthopaedi.11 Variasi

pemilihan terapi untuk fraktur pelvis yang parsial unstable (klasifikasi Young and Burgess kompresi

anteroposterior/APC II, kompresi lateral/LC II dan III) dinyatakan oleh Furey dkk. dimana pilihan

terapi yang paling banyak tidak melebihi 50% kasus.11 Berbagai kombinasi teknik fiksasi untuk

fraktur parsial unstable masih dikembangkan. Penentuan teknik fiksasi mana yang terbaik antara

fiksasi anterior sendiri, fiksasi anterior dan posterior, maupun fiksasi dengan plat ganda (anterior)

pada fraktur pelvis yang parsial unstable belum disepakati. Studi biomekanik pada fraktur pelvis Tile

B menunjukkan hasil optimal dengan kombinasi fiksasi anterior dan posterior, akan tetapi tidak

ditemukan perbedaan bermakna antara penggunaan teknik fiksasi dengan plat atau screw sakroiliak.12

Hal serupa juga dinyatakan Dujardin dimana lebih sedikit pergeseran pada sendi sakroiliak dengan

penggunaan teknik fiksasi anterior dan posterior dan mempunyai kekuatan yang menyerupai pelvis

normal.13 Sedangkan Van Den Bosch tidak menemukan perbedaan bermakna pada stabilitas pelvis

dengan penambahan fiksasi posterior dengan iliosacral screw pada fraktur pelvis Tile B.14 Hasil studi

kohort selama 13 tahun terhadap lesi pelvis open book juga menyatakan keluaran yang lebih buruk

dalam kategori bentuk fisik, nyeri, dan keluaran fungsional dengan penambahan fiksasi screw

sakroiliak. Akan tetapi Van Loon tetap menyarankan penambahan fiksasi screw sakroiliak pada lesi

pelvis eksternal rotasi disertai pergeseran inferior hemipelvis ipsilateral karena dapat mengakibatkan

instabilitas residual setelah stabilisasi symphisis.15

Kegagalan reduksi terbuka dan fiksasi interna pada diastasis symphisis pubis akibat trauma cukup

banyak ditemukan oleh Putnis dkk. Lima belas pasien (30,6%) mengalami pergeseran plat anterior

atau screw dimana terjadi kelonggaran pada screw pada 10 pasien sedangkan sisanya mengalami

kerusakan. Fiksasi anterior sendiri (7 pasien) merupakan penyebab terbanyak kegagalan terapi diikuti

oleh fiksasi anterior dengan fiksasi sakroiliak unilateral (6 pasien) dan bilateral (2 pasien). Kegagalan

reduksi tidak ditemukan pada fiksasi anterior yang menggunakan dua plat. Operasi perbaikan

Page 3: kerangka penelitian-2

dilakukan pada kasus dengan kegagalan reduksi disertai diastasis rekuren yang terjadi pada fiksasi

anterior sendiri. Penilaian klinis terhadap stabilitas posterior yang kurang tepat menjadi penyebab

kegagalan reduksi walaupun sudah dibantu dengan pemeriksaan x-ray dan CT scan. Hal ini biasanya

terjadi bila kerusakan ligamen pelvis dapat menyebabkan mikroinstabilitas yang sulit dideteksi

penunjang radiologi. Operasi memperbaiki reduksi tidak diperlukan walaupun ditemukan tanda

pergeseran bahan metal fiksasi anterior yang ditemukan pada pemeriksaan radiologi.16 Penggunaan

kombinasi fiksasi plat anterior dan screw sakroiliak perkutaneus pada cedera pelvis parsial unstable

memperlihatkan reduksi dan keluaran fungsional yang sangat baik pada semua kasus, dan hanya

ditemukan satu kasus komplikasi infeksi yang dalam.17 Sedangkan penggunaan fiksasi posterior saja

dengan screw sakroiliak memberikan hasil yang baik dengan angka nonunion kurang dari 6% pada

cedera pelvis posterior18 dan 8% pada cedera pelvis yang tidak stabil secara rotasional serta

komplikasi yang rendah. Malposisi screw (4%) merupakan salah satu penyebab nonunion.18

Penambahan stabilisasi anterior diperlukan bila terjadi dislokasi sekunder.19

Uji biomekanik terhadap berbagai jenis pilihan fiksasi untuk fraktur pelvis parsial unstable sangat

diperlukan karena belum adanya jenis fiksasi yang lebih superior dilihat dari keluaran hasil dan

komplikasi yang terjadi. Dengan melakukan uji biomekanik pada kelompok fraktur pelvis parsial

unstable ini diharapkan diperoleh data yang objektif mengenai perbandingan kekuatan berbagai jenis

fiksasi interna yang nantinya dapat diperoleh formasi fiksasi interna yang terbaik secara biomekanik.

Hasil studi ini diharapkan juga dapat menjadi dasar pertimbangan manajemen fraktur pelvis parsial

unstable.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan diatas maka dapat dirumuskan masalah

sebagai berikut:

Apakah terdapat perbedaan kekuatan mekanik terhadap gaya axial antara fiksasi anterior

dengan fiksasi anterior dan posterior pada fraktur pelvis yang stabil parsial (cedera kompresi lateral)

disertai cedera anterior dan posterior ipsilateral arkus posterior (klasifikasi AO B2-1).

Page 4: kerangka penelitian-2

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan kekuatan mekanik antara fiksasi anterior dengan fiksasi anterior

dan posterior rongga pelvis terhadap stabilitas pelvis pada model fraktur pelvis klasifikasi AO B2-1.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui kekuatan mekanik fiksasi anterior pada model fraktur pelvis B2-1 terhadap

gaya aksial

2. Untuk mengetahui kekuatan mekanik fiksasi anterior dan posterior pada model fraktur pelvis

B2-1 terhadap gaya aksial

3. Untuk mengetahui perbedaan kekuatan mekanik antara fiksasi anterior dengan fiksasi anterior

dan posterior pada model fraktur pelvis B2-1 terhadap gaya aksial

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat memberikan data tentang perbedaan kekuatan mekanik fiksasi

anterior dengan fiksasi anterior dan posterior terhadap gaya aksial pada model fraktur pelvis

klasifikasi AO B2-1

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu dasar dalam penelitian tentang

analisa biomekanis fiksasi interna fraktur pelvis dengan stabilitas parsial (klasifikasi AO B2-1) dan

dapat menjadi dasar pemilihan terapi operatif fraktur pelvis yang stabil parsial.

1.5 Hipotesis

Terdapat perbedaan kekuatan mekanik terhadap gaya aksial antara fiksasi anterior dengan

fiksasi anterior dan posterior pada model fraktur pelvis yang stabil parsial (klasifikasi AO B2-1).

Page 5: kerangka penelitian-2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi dan Klasifikasi

Fraktur pelvis merupakan cedera rongga pelvis berupa fraktur tulang pelvis porotik sampai dengan

intensias cedera ringan sampai disrupsi rongga pelvis akibat cedera dengan intensitas berat.1,3,20,21

Mortalitas, yang disebabkan perdarahan, cedera kepala, sepsis, atau gagal organ, merupakan

komplikasi yang tidak jarang ditemukan pada cedera pelvis intensitas berat. Pasien yang bertahan

hidup menghadapi berbagai masalah berupa gangguan kesehatan mental, nyeri kronik, pelvic

obliquity, diskrepansi panjang tungkai atau rotasi, abnormalitas gait, disfungsi seksual dan urologi.21

Stabilitas pelvis dipengaruhi sekitar 40 % oleh struktur anterior (symphisis pubis dan ramus pubis)

dan kira-kira 60 % oleh struktur posterior (kelompok sendi sakroiliak posteriorterapi serta dasar

rongga pelvis.3,9

Klasifikasi fraktur pelvis yang diterima oleh kelompok Association of Orthosynthesis(AO) pada tahun

1988 didasarkan konsep stabilitas pelvis, arah gaya cedera, dan pathonatomi. Klasifikasi AO (Tabel 1)

cukup komprehensif dan dapat digunakan sebagai panduan terapi.7,8 Pelvis yang stabil adalah pelvis

yang mampu menerima kekuatan fisiologis tanpa disertai deformitas.3 Tipe fraktur pada klasifikasi ini

ditentukan oleh stabilitas struktur posterior pelvis. Pada studi ini yang diteliti adalah fraktur pelvis

stabil parsial (disrupsi inkomplit struktur posterior) dengan cedera kompresi lateral (anterior dan

posterior ipsilateral) atau tipe B2-1. Klasifikasi fraktur pelvis yang umum digunakan adalah

klasifikasi Young dan Burgess yang didasari gambaran x-ray pelvis anteroposterior, mekanisme

cedera, dan tingkat keparahan fraktur.22

Epidemiologi

Kejadian fraktur pelvis rata-rata 3% dari keseluruhan cedera musculoskeletal dengan angka mortalitas

10 sampai 16%.23 Fraktur pelvis dengan cedera intensitas tinggi lebih sering terjadi pada laki-laki, usia

muda, angka Injury Severity Score (ISS) lebih tinggi, dan tekanan darah lebih rendah dibandingkan

cedera intensitas ringan.4,23

Page 6: kerangka penelitian-2

Tabel 1. Klasifikasi AO

Classification of Pelvic-Ring Lesions

Type A: Stable (posterior arch intact)

A1:Avulsion injury

A2: Iliac-wing or anterior-arch fracture due to a direct blow

A3: Transverse sacrococcygeal fracture

Type B: Partially stable (incomplete disruption of posterior arch)

B1: Open-book injury (external rotation)

B2: Lateral-compression injury (internal rotation)

B2-1: Ipsilateral anterior and posterior injuries

B2-2: Contralateral (bucket-handle) injuries

B3: Bilateral

Type C: Unstable (complete disruption of posterior arch)

C1: Unilateral

C1-1: Iliac fracture

C1-2: Sacroiliac fracture-dislocation

C1-3: Sacral fracture

C2: Bilateral, with one side type B, one side type C

C3: Bilateral

Mekanisme Cedera

Mekanisme cedera fraktur pelvis tergantung dari intensitas cedera, yaitu intensitas rendah dan tinggi.

Cedera intensitas rendah biasanya terjadi pada pasien osteoporosis usia lanjut berupa jatuh dari

ketinggian kurang dari 1 meter, sedangkan pada intensitas tinggi berupa kecelakaan lalu lintas (motor,

mobil, atau pejalan kaki yang tertabrak kendaraan bermotor), jatuh dari ketinggian, dan cedera

crush.1,21 Cedera pelvis dengan rotasi internal biasanya diakibatkan gaya kompresi lateral pada sisi

lateral pelvis akibat kecelakaan atau jatuh. Cedera ini menyebabkan fraktur ramus pubis dan kompresi

anterior pada sisi anterior sacrum (bila struktur posterior pelvis/ sendi sakroiliak intak). Robekan

ligamen sakroiliak dapat terjadi bila tulang sacrum lebih kuat daripada ligament sakroiliak posterior,

akan tetapi dasar pelvis masih intak dan mengakibatkan stabilitas parsial pelvis. Rotasi internal yang

Page 7: kerangka penelitian-2

lebih berat dapat terjadi akan tetapi kompresi tulang sakrum yang terjadi sangat hebat sehingga

memungkinkan rotasi lebih hebat tidak terjadi pada beberapa kasus.3 Tulang pada ramus pubis dapat

saling tumpang tindih bila cedera sisi anterior langsung mengenai symphisis. Cedera sisi lateral pelvis

merupakan faktor risiko utama morbiditas dan mortalitas fraktur pelvis.3 Fraktur pelvis yang disertai

cedera organ viseral dan jaringan lunak disebabkan oleh gaya sangat besar yang mampu menyebabkan

disrupsi rongga pelvis.24

Diagnosis

Kondisi fraktur pelvis biasanya dapat dengan mudah dikenali dari riwayat cedera dan pemeriksaan

fisik yang baik. Mekanisme cedera sangat diperlukan sebagai petunjuk tipe fraktur pelvis.4,11

Pemeriksaan fisik fraktur pelvis sesuai pemeriksaan kasus trauma pada umumnya yang dimulai

dengan primary survey, sedangkan pemeriksaan pelvis berupa pemendekan salah satu tungkai disertai

rotasi eksterna, gap symphysis, dan instabilitas (kompresi anteroposterior, lateral, dan gaya aksial)

dilakukan pada secondary survey. Pemeriksaan organ lainnya (colok dubur, perdarahan vagina)

diperlukan untuk menyingkirkan cedera ikutan organ lain.9,21

Pemeriksaan x-ray pelvis anteroposterior umum dikerjakan pada kasus trauma, dan bila ternyata

ditemukan fraktur pelvis maka ditambahkan pemeriksaan x-ray inlet dan outlet. Pemeriksaan x-ray

inlet memperlihatkan kondisi rongga pelvis dan pergeseran anteroposterior tulang pelvis dengan sudut

optimal caudal tilt 21⁰ sedangkan x-ray outlet pada sudut optimal 63⁰ memperlihatkan kondisi dan

fraktur tulang sakrum, fraktur iliac wing posterior dan ramus pubis, pelebaran sendi sakroiliak, dan

pergeseran hemipelvis.25 CT scan pelvis sangat diperlukan untuk melihat kondisi anatomis pelvis

lebih jelas terutama struktur posterior dan mulai dipikirkan sebagai prosedur standar untuk

manajemen fraktur pelvis.9

Manajemen

Penatalaksanaan fraktur pelvis dibagi menjadi manajemen inisial, yang umumnya dilakukan pada

kasus yang mengancam jiwa, dan fiksasi definitif untuk mencegah deformitas dan mengurangi

komplikasi.11,21 Fraktur pelvis stabil parsial dengan rotasi internal akibat cedera kompresi ipsilateral

Page 8: kerangka penelitian-2

(klasifikasi AO B2-1) tidak memungkinkan terjadinya pergeseran tulang pelvis ke arah posterior atau

vertikal sehingga umumnya tidak mengancam jiwa dan tidak memerlukan manajemen inisial. Tirah

baring dan pemberian terapi simtomatis dapat diberikan pada kasus ini, sedangkan eksternal fiksasi

hanya diberikan pada kasus politrauma untuk menghentikan gerakan rotasi dan mengurangi nyeri.11

Studi yang dilakukan Osterhoff memperlihatkan fiksasi posterior sendiri memberikan teknik

stabilisasi yang cukup berhasil dengan angka komplikasi atau nonunion yang rendah.26 Akan tetapi

manajemen fraktur pelvis pada kelompok ini masih kontroversial diantara ahli bedah sendiri. Terapi

operatif mempunyai keuntungan berupa waktu imobilisasi yang lebih cepat dan mengurangi waktu

untuk pemulihan.27

Fiksasi definitif biasanya tidak dilakukan pada saat kejadian kecuali pada kasus fraktur pelvis terbuka

dan dilakukan operasi lain. Deformitas, yang dikoreksi dengan fiksasi definitif, biasanya terjadi akibat

beban yang dialami fraktur pelvis yang tidak stabil atau pada disrupsi ligamen. Pasien dengan pola

fraktur tilt atau diastasis symphisis, yang dapat mengakibatkan dispareuni pada perempuan, dapat

dilakukan fiksasi anterior dengan menggunakan plat symphisis atau plat yang lebih panjang bila juga

didapatkan fraktur ramus pubis.11,27 Bila pasien mempunyai symphisis yang terkunci maka reduksi

tertutup harus dilakukan terlebih dahulu. Pengunaan screw dengan panduan pencitraan dapat juga

dilakukan bila setelah reduksi tertutup diperoleh fraktur pelvis dengan pergeseran minimal. Fraktur

pelvis dengan deformitas rotasi interna sangat hebat yang tidak dapat dikoreksi dengan rotasi eksterna

normal panggul maka sebaiknya dilakukan reduksi terbuka dan fiksasi interna, walaupun jarang

terjadi.11,21

Reduksi tertutup dengan fiksasi satu atau dua buah screw perkutaneus dilakukan pada disrupsi

ligamen sakroiliak dengan mengarahkan screw dari posterior ke anterior menyeberangi sendi

sakroiliak untuk mencapai garis midline sakrum tanpa membahayakan struktur didepannya. Tension

band plate posterior dapat digunakan bila kondisi jaringan lunak memungkinkan sebagai alternatif

penggunaan screw perkutaneus bilateral. Selain itu dengan insisi ilioinguinal (lateral window) dapat

juga dipergunakan satu atau dua buah plat di sisi anterior menyeberangi sendi sakroiliak.21,27

Manajemen fraktur sacrum pada fraktur pelvis yang disertai fraktur sacrum, mempunyai kesamaan

bila posisi fraktur masih acceptable, namun screw dengan panjang yang sesuai seharusnya diletakkan

Page 9: kerangka penelitian-2

dengan posisi perpendikular terhadap garis fraktur. Tindakan operasi harus dilakukan oleh ahli bedah

yang mempunyai keahlian yang baik dan berpengalaman karena resiko cedera saraf yang besar.11,21

Uji biomekanik pada pelvis

Stabilitas pelvis memegang peranan penting untuk penentuan manajemen fraktur pelvis karena

terdapat derajat stabilitas pelvis yang sangat bervariasi. Selain dipengaruhi oleh komponen tulang,

stabilitas pelvis juga sangat ditunjang jaringan lunak. Studi biomekanik menunjukkan bahwa

kelompok sacroiliac posterior atau biasa dikenal tension band posterior pelvis lebih berperan dalam

menjaga stabilitas pelvis dibanding struktur anterior.28,29

Page 10: kerangka penelitian-2

Kerangka Teori

Hal yang diteliti/ Kerangka Konsep

Tulang Pelvis

Fraktur Pelvis

Trauma (ringan – berat)

Tipe A. Pelvis Stabil

Klasifikasi AO

Klasifikasi Young dan Burgess

Klasifikasi TIle

Tipe B. Pelvis Stabil Parsial Tipe B. Pelvis Tidak Stabil

B1: Open-book injury (external rotation)B2: Lateral-compression injury (internal rotation) B2-1: Ipsilateral anterior and posterior injuries B2-2: Contralateral (bucket-handle) injuriesB3: Bilateral

Fraktur Pelvis Tipe B2-1

Manajemen Inisial Fiksasi Definitif

Life saving

Binder Fiksasi interna

Fraktur terbuka

Angiografi

Fiksasi Interna Fiksasi Eksterna

Disrupsi anteriorDisrupsi Inkomplit

Arkus Posterior

Plat symphisis Collumn Screw

Iliosacral Screw

Tension Band Plate

Stabilitas PelvisKekuatan Mekanik Tulang

Kekuatan Mekanik Ligamen

Pergeseran Vertikal

Pergeseran anteroposterior

Page 11: kerangka penelitian-2

BAB III

METODOLOGI

3.1. Subjek Penelitian

3.1.1. Kriteria Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah model tulang pelvis buatan (Synbone®) dengan simulasi fraktur

pelvis stabil parsial (klasifikasi AO B2-1) yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

Kriteria inklusi :

Model tulang pelvis buatan dengan perlakuan ruptur symphysis dan sacrum

Berat model tulang pelvis yang digunakan adalah 0,43 kg, lebar 305 mm, tinggi 160 mm

Kriteria eksklusi :

Model tulang pelvis yang sudah mengalami fraktur atau rusak.

3.1.2. Perhitungan Besar Sampel

Penelitian ini menggunakan 4 kelompok perlakuan sehingga estimasi besar sampel adalah 5

sampel untuk masing-masing perlakuan dan kontrol sehat yang dihitung dengan menggunakan rumus

Federer :

( n-1) ( t-1) > 15

Keterangan rumus:

n = jumlah sampel untuk setiap perlakuan

t = jumlah perlakuan yang diberikan pada masing-masing kelompok

Maka didapatkan besar sampel minimal masing-masing kelompok adalah:

5n > 20 n > 4 n = 5

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah studi eksperimental dengan model tulang pelvis

buatan dengan ruptur symphisis dan sacrum (Synbone®).

Page 12: kerangka penelitian-2

3.2.2. Tempat Penelitian

Penelitian untuk uji kekuatan mekanik dilakukan di Laboratorium Sentra Teknologi Polimer

PUSPITEK Serpong, Banten.

3.2.3. Waktu Penelitian

Waktu penelitian berlangsung antara Februari sampai April 2013

3.3. Variabel Peneltian

Variabel terikat adalah kekuatan mekanik tulang pelvis (rongga pelvis) yang diukur dengan

terjadinya pergeseran 2 mm atau 2⁰ sendi sacroiliac setelah perlakuan gaya aksial

Variabel bebas adalah penelitian ini adalah fiksasi interna anterior atau fiksasi anterior dan

posterior terhadap fraktur pelvis klasifikasi AO B2-1

3.4. Definisi Operasional

Gaya aksial adalah gaya yang bekerja sejajar dengan sumbu tulang

Fraktur adalah diskontinuitas jaringan tulang, lempeng epiphysis, dan atau jaringan sendi

tulang rawan

Fraktur pelvis klasifikasi AO B2-1 adalah fraktur pelvis yang stabil parsial (dengan

disrupsi inkomplit arkus posterior), pada kelompok cedera kompresi lateral disertai

cedera anterior dan posterior ipsilateral arkus posterior

Kekuatan mekanik adalah ketahanan tulang pelvis terhadap gaya aksial yang diberikan

pada lempeng vertebrae sacrum (S1) yang ditandai dengan pergeseran sendi sacroilianc 2

mm atau 2⁰ pada axis anteroposterior dan kraniokaudal.

3.5. Prosedur Penelitian

Dilakukan pemisahan model pelvis untuk kontrol dan kelompok uji.

Page 13: kerangka penelitian-2

Disrupsi symphisis pubis dan disrupsi inkomplit arkus posterior ipsilateral dilakukan

sebelum pengujian biomekanik dimulai pada model pelvis yang dimasukkan dalam

kelompok uji

Pemasangan fiksasi interna dilakukan pada setiap kelompok uji:

o Kelompok I : Satu plat sympihisis pubis dan satu screw iliosakral (posterior)

o Kelompok II : Dua plat symphisis

o Kelompok III : Dua plat symphisis dan satu plat anterior sendi ilio sacral

o Kelompok IV : Satu plat symphisis dan dua screw iliosakral S1

o Kelompok V : Satu plat symphisis dan dua screw masing-masing satu di S1 dan S2

Dilakukan pemasangan 6 sensor (rangkaian linear voltage-displacement transducers

/LVDT) untuk mendeteksi pergeseran sendi anterior (symphisis pubis) dan posterior

(sacroiliac) rongga pelvis.

Tulang yang telah dilakukan fiksasi dibawa ke laboratorium teknologi Biomekanik

Universitas Indonesia atau PUSPITEK, Serpong, Banten

Uji kekuatan mekanik dilakukan dengan menggunakan alat pengukur kekuatan material

yang berada di Laboratorium Teknik Biomekanik Universitas Indonesia) atau

PUSPITEK Serpong, Banten

Uji kekuatan mekanik dilakukan pada model pelvis kontrol dan kelompok uji dengan

memberikan gaya aksial pada lempeng vertebra os sacrum (S1), Uji kekuatan mekanik

ini menggunakan alat merk Schenk-Trebe tipe RME 100 buatan Jerman dengan pencatat

Yokogawa X-Y recorder tipe 3023 melalui amplifier KWS tipe 3073 buatan Jepang.

Gaya aksial diberikan pada kelompok kontrol dan kelompok uji secara kontinu sehingga

terjadi pergeseran sendi sakroiliak pada axis anteroposterior dan kraniokaudal, yang

ditunjukkan oleh grafik X-Y pencatat Yokogawa.

3.6. Analisis Statistik

Page 14: kerangka penelitian-2

Hasil penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan program SPSS (Statistic Program

for Social Science) versi 16.0. Uji parametrik anova atau alternatifnya akan digunakan untuk

melakukan analisis hubungan antara variabel independen dan dependen.

3.7. Penyajian Data

Data pada penelitian ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik

3.8. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian yang dapat dikenali saat ini adalah penggunaan model tulang pelvis

yang meniadakan keterlibatan ligamen pada rongga pelvis untuk uji kekuatan mekanik sehingga

kurang menggambarkan keadaan rongga pelvis yang sesungguhnya.

Page 15: kerangka penelitian-2

DAFTAR PUSTAKA

1. Balogh Z, King KL, Mackay P, McDougall D, Mackenzie S, Evans JA, dkk. The

Epidemiology of Pelvic Ring Fractures: A Population-Based Study. J Orthop Trauma.

2007; 63, 1066-72

2. van Vugt AB, van Kampen A. An unstable pelvic ring. The killing

fracture. J Bone Joint Surg Br. 2006;88,427-33

3. Tile M. Acute Pelvic Fractures: Causation and Classification. J Am Acad Orthop Surg.

1996;4,143-51

4. Schmal H, Markmiller M, Mehlhorn AT, Sudkamp NP. Epidemiology and

outcome of complex pelvic injury. Acta Orthop Belg. 2005;71:41– 47

5. Smith W, Williams A, Agudelo J. Early predictors of mortality in hemodynamically

unstable pelvic fractures. J Orthop Trauma. 2007; 21(1): 31-37

6. Sathy AK, Starr AJ, Smith WR, Elliott A, Agudelo J, dkk. The Effect of Pelvic Fracture

on Mortality After Trauma: An Analysis of 63,000 Trauma Patients. J Bone Joint

Surg Br. 2009;91,2803-10

7. Tile M. Pelvic Ring Fractures: Should they be fixed? J Bone Joint Surg Br.

1988;70.1-12

8. Isler B, Ganz R: Classification of pelvic ring injuries. Injury. 1996; 27(suppl 1): S-A5.

9. Tile M. Acute Pelvic Fractures: Principles of Management. J Am Acad Orthop Surg.

1996;4,152-61

10. Sagi HC. Pelvic Ring Fractures. Dalam: Bucholtz, Robert W. Rockwood and Green’s

Fractures in Adults. 7th ed. Philadelphia, PA; Lippincott Williams and Wilkins;

2010:1416-500.

11. Furey AJ, O’Toole R, Nascone JW, Copeland CE, Turen C, Sciadini MF. Surgeon

Variability in the Treatment of Pelvic Ring Injuries. Orthopedics. 2010;33,

OrthoSuperSite.com/view.aspx?rID=70283

12. Simonian PT, Routt Jr ML, Harrington RM, Tencer AF. Internal fixation of the unstable

anterior pelvic ring: a biomechanical comparison of standard plating techniques and the

retrograde medullary superior pubic ramus screw. J Orthop Trauma. 2007; 21(1): 31-7

13. Van den Bosch EW, van Zwienen CM, Hoek van Dijke GA, Snijders CJ, van Vugt AB.

Sacroiliac screw fixation for Tile B fractures. J Trauma. 2003;55(5): 962 -5

Page 16: kerangka penelitian-2

14. Van Loon P, Kuhn S, Hofmann A, Hessmann MH, Rommens PM. Radiological analysis,

operative management and functional outcome of open book pelvic lesions: A 13-year

cohort study. Injury. 2011;42: 1012 - 9

15. Dujardin FH,Roussignol X, Hossenbaccus M, Thomine JM. Experimental study of the

sacroiliac joint micromotion in pelvic disruption. J Orthop Trauma. 2002; 16(2):99-103

16. Putnis SE, Pearce R, Wali UJ, Bircher MD, Rickman MS. Open reduction and internal

fixation of a traumatic diastasis of the pubic symphisis, one year radiological and

functional outcomes. J Bone Joint Surg Br.2010;93-B.78-84

17. Adams JE, Davis GG, Alexander CB. Pelvic trauma in rapidly fatal motor vehicle

accidents. J Orthop Trauma. 2003; 17:406-10

18. Osterhoff G, Ossendorf C, Wanner GA, Simmen HP, Werner CML. Percutaneous

iliosacral screw fixation in S1 and S2 for posterior pelvic ring injuries: technique and

perioperative complications. Arch Orthop Trauma Surg. 2011;131:809-13

19. Osterhoff G, Ossendorf C, Wanner GA, Simmen HP, Werner CML. Posterior screw

fixation in rotationally unstable pelvic ring injuries. Injury. 2011;42,992-6

20. Guthrie HC, Owens RW, Bircher MD. Fractures of the pelvis. J Bone Joint Surg

Br.2010;92-B.1481-8

21. Burgess AR, Eastridge BJ, Young JW. Pelvic ring disruptions: effective classification

system and treatment protocols. J Trauma. 1990;30,848-56

22. Grotz MRW, Allami MK, Harwood P, Pape HC, Krettek C, dkk. Open pelvic fractures:

epidemiology, current concepts of management and outcome. Injury. 2005;36,1-13

23. McCormack R, Strauss EJ, Alwattar BJ, Tejwani NC.Diagnosis and management of

pelvic fractures. Bulletin of the NYU Hospital for Joint Diseases. 2010; 68(4), 281-91

24. Ricci WM, Mamczak C, Tynan M, Streubel P, Gardner M. Pelvic Inlet and Outlet

radiographs redefined. J Bone Joint Surg. 2010;92.1947-53

25. Osterhoff G, Ossendorf C, Wanner GA, Seimmen HP, Werner CML. Posterior screw

fixation in rotationally unstable pelvic ring injuries. Injury. 2011;42,992-6

26. Grubor P, Milicevic S, Biscevic M, Taniga R. Selection of treatment method for pelvic

ring fracture. Med arh. 2001;65(5), 278-82

27. Vrahas M, Hearn TC, Diangelo D, dkk. Ligamentous contributions to pelvic stability.

Orthopedics. 1995; 22-36

28. Hearn TC. Biomechanics, Dalam: Fractures of the Pelvis and Acetabulum, 2nd ed.

Baltimore: Williams and Wilkins; 199; 21, 88-90

Page 17: kerangka penelitian-2