kerangka penelitian-2
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fraktur pelvis merupakan cedera yang dapat terjadi dengan intensitas rendah berupa gejala nyeri
sampai cedera intensitas tinggi berupa kematian sebelum tiba di rumah sakit.1,2 Insidens fraktur
rongga pelvis mencapai 23 kasus per 100.000 orang dengan insidens 10 kasus per 100.000 orang
untuk masing-masing cedera dengan intensitas rendah maupun tinggi pada populasi warga Australia.1
Fraktur pelvis dengan intensitas cedera yang tinggi umumnya menyebabkan disrupsi rongga pelvis
dan harus dipertimbangkan sebagai suatu kasus politrauma.1,2,3
Peningkatan morbiditas pada fraktur pelvis disebabkan cedera saraf dan cedera organ visera (kandung
kemih, uretra, serta usus halus). Sedangkan penyebab utama mortalitas pada fraktur pelvis disebabkan
fraktur pelvis yang tidak stabil disertai pergeseran dengan arah vertikal, yang dapat menyebabkan
syok perdarahan karena cedera pembuluh darah besar.2,4,5 Insidens perdarahan pembuluh darah arteri
pada kasus fraktur pelvis mencapai 1,3 kasus per 100.000 orang per tahun. Balogh dkk. melakukan
studi kohort terhadap fraktur rongga pelvis selama 1 tahun dan ditemukan angka mortalitas mencapai
23% dimana 60% diantaranya disebabkan kematian sebelum tiba di rumah sakit.1 Sedangkan studi
lain menunjukkan rata-rata rasio odds 2,0 yang menunjukkan hubungan yang bermakna antara fraktur
pelvis dengan mortalitas pada 63.000 pasien trauma pada dua pusat trauma di Amerika.6
Penatalaksanaan fraktur pelvis umumnya disesuaikan dengan klasifikasi yang digunakan dengan
mempertimbangkan stabilitas pelvis, arah kekuatan cedera, dan pathoanatomi.7,8 Terapi definitif
berupa tirah baring dan pengobatan simtomatis dapat diberikan pada kasus yang hanya dengan cedera
stabilitas parsial, sedangkan external fixator diberikan pada pasien politrauma untuk menghentikan
gerakan rotasi serta mengurangi rasa nyeri. Fraktur pelvis dengan pergeseran fragmen fraktur pada
symphisis pubis dapat dilakukan fiksasi interna sisi anterior, sedangkan reduksi terbuka dengan
fiksasi interna daerah posterior sebaiknya dilakukan pada pasien dengan deformitas rotasi interna
yang berat dimana rotasi eksterna panggul tidak dapat mengembalikan posisinya.9,10
Manajemen yang tepat untuk fraktur pelvis yang parsial unstable (disrupsi inkomplit arkus posterior),
pada kelompok cedera kompresi lateral disertai cedera anterior dan posterior ipsilateral arkus
posterior (klasifikasi AO B2-1), masih menimbulkan perdebatan diantara dokter orthopaedi.11 Variasi
pemilihan terapi untuk fraktur pelvis yang parsial unstable (klasifikasi Young and Burgess kompresi
anteroposterior/APC II, kompresi lateral/LC II dan III) dinyatakan oleh Furey dkk. dimana pilihan
terapi yang paling banyak tidak melebihi 50% kasus.11 Berbagai kombinasi teknik fiksasi untuk
fraktur parsial unstable masih dikembangkan. Penentuan teknik fiksasi mana yang terbaik antara
fiksasi anterior sendiri, fiksasi anterior dan posterior, maupun fiksasi dengan plat ganda (anterior)
pada fraktur pelvis yang parsial unstable belum disepakati. Studi biomekanik pada fraktur pelvis Tile
B menunjukkan hasil optimal dengan kombinasi fiksasi anterior dan posterior, akan tetapi tidak
ditemukan perbedaan bermakna antara penggunaan teknik fiksasi dengan plat atau screw sakroiliak.12
Hal serupa juga dinyatakan Dujardin dimana lebih sedikit pergeseran pada sendi sakroiliak dengan
penggunaan teknik fiksasi anterior dan posterior dan mempunyai kekuatan yang menyerupai pelvis
normal.13 Sedangkan Van Den Bosch tidak menemukan perbedaan bermakna pada stabilitas pelvis
dengan penambahan fiksasi posterior dengan iliosacral screw pada fraktur pelvis Tile B.14 Hasil studi
kohort selama 13 tahun terhadap lesi pelvis open book juga menyatakan keluaran yang lebih buruk
dalam kategori bentuk fisik, nyeri, dan keluaran fungsional dengan penambahan fiksasi screw
sakroiliak. Akan tetapi Van Loon tetap menyarankan penambahan fiksasi screw sakroiliak pada lesi
pelvis eksternal rotasi disertai pergeseran inferior hemipelvis ipsilateral karena dapat mengakibatkan
instabilitas residual setelah stabilisasi symphisis.15
Kegagalan reduksi terbuka dan fiksasi interna pada diastasis symphisis pubis akibat trauma cukup
banyak ditemukan oleh Putnis dkk. Lima belas pasien (30,6%) mengalami pergeseran plat anterior
atau screw dimana terjadi kelonggaran pada screw pada 10 pasien sedangkan sisanya mengalami
kerusakan. Fiksasi anterior sendiri (7 pasien) merupakan penyebab terbanyak kegagalan terapi diikuti
oleh fiksasi anterior dengan fiksasi sakroiliak unilateral (6 pasien) dan bilateral (2 pasien). Kegagalan
reduksi tidak ditemukan pada fiksasi anterior yang menggunakan dua plat. Operasi perbaikan
dilakukan pada kasus dengan kegagalan reduksi disertai diastasis rekuren yang terjadi pada fiksasi
anterior sendiri. Penilaian klinis terhadap stabilitas posterior yang kurang tepat menjadi penyebab
kegagalan reduksi walaupun sudah dibantu dengan pemeriksaan x-ray dan CT scan. Hal ini biasanya
terjadi bila kerusakan ligamen pelvis dapat menyebabkan mikroinstabilitas yang sulit dideteksi
penunjang radiologi. Operasi memperbaiki reduksi tidak diperlukan walaupun ditemukan tanda
pergeseran bahan metal fiksasi anterior yang ditemukan pada pemeriksaan radiologi.16 Penggunaan
kombinasi fiksasi plat anterior dan screw sakroiliak perkutaneus pada cedera pelvis parsial unstable
memperlihatkan reduksi dan keluaran fungsional yang sangat baik pada semua kasus, dan hanya
ditemukan satu kasus komplikasi infeksi yang dalam.17 Sedangkan penggunaan fiksasi posterior saja
dengan screw sakroiliak memberikan hasil yang baik dengan angka nonunion kurang dari 6% pada
cedera pelvis posterior18 dan 8% pada cedera pelvis yang tidak stabil secara rotasional serta
komplikasi yang rendah. Malposisi screw (4%) merupakan salah satu penyebab nonunion.18
Penambahan stabilisasi anterior diperlukan bila terjadi dislokasi sekunder.19
Uji biomekanik terhadap berbagai jenis pilihan fiksasi untuk fraktur pelvis parsial unstable sangat
diperlukan karena belum adanya jenis fiksasi yang lebih superior dilihat dari keluaran hasil dan
komplikasi yang terjadi. Dengan melakukan uji biomekanik pada kelompok fraktur pelvis parsial
unstable ini diharapkan diperoleh data yang objektif mengenai perbandingan kekuatan berbagai jenis
fiksasi interna yang nantinya dapat diperoleh formasi fiksasi interna yang terbaik secara biomekanik.
Hasil studi ini diharapkan juga dapat menjadi dasar pertimbangan manajemen fraktur pelvis parsial
unstable.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan diatas maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
Apakah terdapat perbedaan kekuatan mekanik terhadap gaya axial antara fiksasi anterior
dengan fiksasi anterior dan posterior pada fraktur pelvis yang stabil parsial (cedera kompresi lateral)
disertai cedera anterior dan posterior ipsilateral arkus posterior (klasifikasi AO B2-1).
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbedaan kekuatan mekanik antara fiksasi anterior dengan fiksasi anterior
dan posterior rongga pelvis terhadap stabilitas pelvis pada model fraktur pelvis klasifikasi AO B2-1.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui kekuatan mekanik fiksasi anterior pada model fraktur pelvis B2-1 terhadap
gaya aksial
2. Untuk mengetahui kekuatan mekanik fiksasi anterior dan posterior pada model fraktur pelvis
B2-1 terhadap gaya aksial
3. Untuk mengetahui perbedaan kekuatan mekanik antara fiksasi anterior dengan fiksasi anterior
dan posterior pada model fraktur pelvis B2-1 terhadap gaya aksial
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat memberikan data tentang perbedaan kekuatan mekanik fiksasi
anterior dengan fiksasi anterior dan posterior terhadap gaya aksial pada model fraktur pelvis
klasifikasi AO B2-1
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu dasar dalam penelitian tentang
analisa biomekanis fiksasi interna fraktur pelvis dengan stabilitas parsial (klasifikasi AO B2-1) dan
dapat menjadi dasar pemilihan terapi operatif fraktur pelvis yang stabil parsial.
1.5 Hipotesis
Terdapat perbedaan kekuatan mekanik terhadap gaya aksial antara fiksasi anterior dengan
fiksasi anterior dan posterior pada model fraktur pelvis yang stabil parsial (klasifikasi AO B2-1).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi dan Klasifikasi
Fraktur pelvis merupakan cedera rongga pelvis berupa fraktur tulang pelvis porotik sampai dengan
intensias cedera ringan sampai disrupsi rongga pelvis akibat cedera dengan intensitas berat.1,3,20,21
Mortalitas, yang disebabkan perdarahan, cedera kepala, sepsis, atau gagal organ, merupakan
komplikasi yang tidak jarang ditemukan pada cedera pelvis intensitas berat. Pasien yang bertahan
hidup menghadapi berbagai masalah berupa gangguan kesehatan mental, nyeri kronik, pelvic
obliquity, diskrepansi panjang tungkai atau rotasi, abnormalitas gait, disfungsi seksual dan urologi.21
Stabilitas pelvis dipengaruhi sekitar 40 % oleh struktur anterior (symphisis pubis dan ramus pubis)
dan kira-kira 60 % oleh struktur posterior (kelompok sendi sakroiliak posteriorterapi serta dasar
rongga pelvis.3,9
Klasifikasi fraktur pelvis yang diterima oleh kelompok Association of Orthosynthesis(AO) pada tahun
1988 didasarkan konsep stabilitas pelvis, arah gaya cedera, dan pathonatomi. Klasifikasi AO (Tabel 1)
cukup komprehensif dan dapat digunakan sebagai panduan terapi.7,8 Pelvis yang stabil adalah pelvis
yang mampu menerima kekuatan fisiologis tanpa disertai deformitas.3 Tipe fraktur pada klasifikasi ini
ditentukan oleh stabilitas struktur posterior pelvis. Pada studi ini yang diteliti adalah fraktur pelvis
stabil parsial (disrupsi inkomplit struktur posterior) dengan cedera kompresi lateral (anterior dan
posterior ipsilateral) atau tipe B2-1. Klasifikasi fraktur pelvis yang umum digunakan adalah
klasifikasi Young dan Burgess yang didasari gambaran x-ray pelvis anteroposterior, mekanisme
cedera, dan tingkat keparahan fraktur.22
Epidemiologi
Kejadian fraktur pelvis rata-rata 3% dari keseluruhan cedera musculoskeletal dengan angka mortalitas
10 sampai 16%.23 Fraktur pelvis dengan cedera intensitas tinggi lebih sering terjadi pada laki-laki, usia
muda, angka Injury Severity Score (ISS) lebih tinggi, dan tekanan darah lebih rendah dibandingkan
cedera intensitas ringan.4,23
Tabel 1. Klasifikasi AO
Classification of Pelvic-Ring Lesions
Type A: Stable (posterior arch intact)
A1:Avulsion injury
A2: Iliac-wing or anterior-arch fracture due to a direct blow
A3: Transverse sacrococcygeal fracture
Type B: Partially stable (incomplete disruption of posterior arch)
B1: Open-book injury (external rotation)
B2: Lateral-compression injury (internal rotation)
B2-1: Ipsilateral anterior and posterior injuries
B2-2: Contralateral (bucket-handle) injuries
B3: Bilateral
Type C: Unstable (complete disruption of posterior arch)
C1: Unilateral
C1-1: Iliac fracture
C1-2: Sacroiliac fracture-dislocation
C1-3: Sacral fracture
C2: Bilateral, with one side type B, one side type C
C3: Bilateral
Mekanisme Cedera
Mekanisme cedera fraktur pelvis tergantung dari intensitas cedera, yaitu intensitas rendah dan tinggi.
Cedera intensitas rendah biasanya terjadi pada pasien osteoporosis usia lanjut berupa jatuh dari
ketinggian kurang dari 1 meter, sedangkan pada intensitas tinggi berupa kecelakaan lalu lintas (motor,
mobil, atau pejalan kaki yang tertabrak kendaraan bermotor), jatuh dari ketinggian, dan cedera
crush.1,21 Cedera pelvis dengan rotasi internal biasanya diakibatkan gaya kompresi lateral pada sisi
lateral pelvis akibat kecelakaan atau jatuh. Cedera ini menyebabkan fraktur ramus pubis dan kompresi
anterior pada sisi anterior sacrum (bila struktur posterior pelvis/ sendi sakroiliak intak). Robekan
ligamen sakroiliak dapat terjadi bila tulang sacrum lebih kuat daripada ligament sakroiliak posterior,
akan tetapi dasar pelvis masih intak dan mengakibatkan stabilitas parsial pelvis. Rotasi internal yang
lebih berat dapat terjadi akan tetapi kompresi tulang sakrum yang terjadi sangat hebat sehingga
memungkinkan rotasi lebih hebat tidak terjadi pada beberapa kasus.3 Tulang pada ramus pubis dapat
saling tumpang tindih bila cedera sisi anterior langsung mengenai symphisis. Cedera sisi lateral pelvis
merupakan faktor risiko utama morbiditas dan mortalitas fraktur pelvis.3 Fraktur pelvis yang disertai
cedera organ viseral dan jaringan lunak disebabkan oleh gaya sangat besar yang mampu menyebabkan
disrupsi rongga pelvis.24
Diagnosis
Kondisi fraktur pelvis biasanya dapat dengan mudah dikenali dari riwayat cedera dan pemeriksaan
fisik yang baik. Mekanisme cedera sangat diperlukan sebagai petunjuk tipe fraktur pelvis.4,11
Pemeriksaan fisik fraktur pelvis sesuai pemeriksaan kasus trauma pada umumnya yang dimulai
dengan primary survey, sedangkan pemeriksaan pelvis berupa pemendekan salah satu tungkai disertai
rotasi eksterna, gap symphysis, dan instabilitas (kompresi anteroposterior, lateral, dan gaya aksial)
dilakukan pada secondary survey. Pemeriksaan organ lainnya (colok dubur, perdarahan vagina)
diperlukan untuk menyingkirkan cedera ikutan organ lain.9,21
Pemeriksaan x-ray pelvis anteroposterior umum dikerjakan pada kasus trauma, dan bila ternyata
ditemukan fraktur pelvis maka ditambahkan pemeriksaan x-ray inlet dan outlet. Pemeriksaan x-ray
inlet memperlihatkan kondisi rongga pelvis dan pergeseran anteroposterior tulang pelvis dengan sudut
optimal caudal tilt 21⁰ sedangkan x-ray outlet pada sudut optimal 63⁰ memperlihatkan kondisi dan
fraktur tulang sakrum, fraktur iliac wing posterior dan ramus pubis, pelebaran sendi sakroiliak, dan
pergeseran hemipelvis.25 CT scan pelvis sangat diperlukan untuk melihat kondisi anatomis pelvis
lebih jelas terutama struktur posterior dan mulai dipikirkan sebagai prosedur standar untuk
manajemen fraktur pelvis.9
Manajemen
Penatalaksanaan fraktur pelvis dibagi menjadi manajemen inisial, yang umumnya dilakukan pada
kasus yang mengancam jiwa, dan fiksasi definitif untuk mencegah deformitas dan mengurangi
komplikasi.11,21 Fraktur pelvis stabil parsial dengan rotasi internal akibat cedera kompresi ipsilateral
(klasifikasi AO B2-1) tidak memungkinkan terjadinya pergeseran tulang pelvis ke arah posterior atau
vertikal sehingga umumnya tidak mengancam jiwa dan tidak memerlukan manajemen inisial. Tirah
baring dan pemberian terapi simtomatis dapat diberikan pada kasus ini, sedangkan eksternal fiksasi
hanya diberikan pada kasus politrauma untuk menghentikan gerakan rotasi dan mengurangi nyeri.11
Studi yang dilakukan Osterhoff memperlihatkan fiksasi posterior sendiri memberikan teknik
stabilisasi yang cukup berhasil dengan angka komplikasi atau nonunion yang rendah.26 Akan tetapi
manajemen fraktur pelvis pada kelompok ini masih kontroversial diantara ahli bedah sendiri. Terapi
operatif mempunyai keuntungan berupa waktu imobilisasi yang lebih cepat dan mengurangi waktu
untuk pemulihan.27
Fiksasi definitif biasanya tidak dilakukan pada saat kejadian kecuali pada kasus fraktur pelvis terbuka
dan dilakukan operasi lain. Deformitas, yang dikoreksi dengan fiksasi definitif, biasanya terjadi akibat
beban yang dialami fraktur pelvis yang tidak stabil atau pada disrupsi ligamen. Pasien dengan pola
fraktur tilt atau diastasis symphisis, yang dapat mengakibatkan dispareuni pada perempuan, dapat
dilakukan fiksasi anterior dengan menggunakan plat symphisis atau plat yang lebih panjang bila juga
didapatkan fraktur ramus pubis.11,27 Bila pasien mempunyai symphisis yang terkunci maka reduksi
tertutup harus dilakukan terlebih dahulu. Pengunaan screw dengan panduan pencitraan dapat juga
dilakukan bila setelah reduksi tertutup diperoleh fraktur pelvis dengan pergeseran minimal. Fraktur
pelvis dengan deformitas rotasi interna sangat hebat yang tidak dapat dikoreksi dengan rotasi eksterna
normal panggul maka sebaiknya dilakukan reduksi terbuka dan fiksasi interna, walaupun jarang
terjadi.11,21
Reduksi tertutup dengan fiksasi satu atau dua buah screw perkutaneus dilakukan pada disrupsi
ligamen sakroiliak dengan mengarahkan screw dari posterior ke anterior menyeberangi sendi
sakroiliak untuk mencapai garis midline sakrum tanpa membahayakan struktur didepannya. Tension
band plate posterior dapat digunakan bila kondisi jaringan lunak memungkinkan sebagai alternatif
penggunaan screw perkutaneus bilateral. Selain itu dengan insisi ilioinguinal (lateral window) dapat
juga dipergunakan satu atau dua buah plat di sisi anterior menyeberangi sendi sakroiliak.21,27
Manajemen fraktur sacrum pada fraktur pelvis yang disertai fraktur sacrum, mempunyai kesamaan
bila posisi fraktur masih acceptable, namun screw dengan panjang yang sesuai seharusnya diletakkan
dengan posisi perpendikular terhadap garis fraktur. Tindakan operasi harus dilakukan oleh ahli bedah
yang mempunyai keahlian yang baik dan berpengalaman karena resiko cedera saraf yang besar.11,21
Uji biomekanik pada pelvis
Stabilitas pelvis memegang peranan penting untuk penentuan manajemen fraktur pelvis karena
terdapat derajat stabilitas pelvis yang sangat bervariasi. Selain dipengaruhi oleh komponen tulang,
stabilitas pelvis juga sangat ditunjang jaringan lunak. Studi biomekanik menunjukkan bahwa
kelompok sacroiliac posterior atau biasa dikenal tension band posterior pelvis lebih berperan dalam
menjaga stabilitas pelvis dibanding struktur anterior.28,29
Kerangka Teori
Hal yang diteliti/ Kerangka Konsep
Tulang Pelvis
Fraktur Pelvis
Trauma (ringan – berat)
Tipe A. Pelvis Stabil
Klasifikasi AO
Klasifikasi Young dan Burgess
Klasifikasi TIle
Tipe B. Pelvis Stabil Parsial Tipe B. Pelvis Tidak Stabil
B1: Open-book injury (external rotation)B2: Lateral-compression injury (internal rotation) B2-1: Ipsilateral anterior and posterior injuries B2-2: Contralateral (bucket-handle) injuriesB3: Bilateral
Fraktur Pelvis Tipe B2-1
Manajemen Inisial Fiksasi Definitif
Life saving
Binder Fiksasi interna
Fraktur terbuka
Angiografi
Fiksasi Interna Fiksasi Eksterna
Disrupsi anteriorDisrupsi Inkomplit
Arkus Posterior
Plat symphisis Collumn Screw
Iliosacral Screw
Tension Band Plate
Stabilitas PelvisKekuatan Mekanik Tulang
Kekuatan Mekanik Ligamen
Pergeseran Vertikal
Pergeseran anteroposterior
BAB III
METODOLOGI
3.1. Subjek Penelitian
3.1.1. Kriteria Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah model tulang pelvis buatan (Synbone®) dengan simulasi fraktur
pelvis stabil parsial (klasifikasi AO B2-1) yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
Kriteria inklusi :
Model tulang pelvis buatan dengan perlakuan ruptur symphysis dan sacrum
Berat model tulang pelvis yang digunakan adalah 0,43 kg, lebar 305 mm, tinggi 160 mm
Kriteria eksklusi :
Model tulang pelvis yang sudah mengalami fraktur atau rusak.
3.1.2. Perhitungan Besar Sampel
Penelitian ini menggunakan 4 kelompok perlakuan sehingga estimasi besar sampel adalah 5
sampel untuk masing-masing perlakuan dan kontrol sehat yang dihitung dengan menggunakan rumus
Federer :
( n-1) ( t-1) > 15
Keterangan rumus:
n = jumlah sampel untuk setiap perlakuan
t = jumlah perlakuan yang diberikan pada masing-masing kelompok
Maka didapatkan besar sampel minimal masing-masing kelompok adalah:
5n > 20 n > 4 n = 5
3.2 Metode Penelitian
3.2.1 Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah studi eksperimental dengan model tulang pelvis
buatan dengan ruptur symphisis dan sacrum (Synbone®).
3.2.2. Tempat Penelitian
Penelitian untuk uji kekuatan mekanik dilakukan di Laboratorium Sentra Teknologi Polimer
PUSPITEK Serpong, Banten.
3.2.3. Waktu Penelitian
Waktu penelitian berlangsung antara Februari sampai April 2013
3.3. Variabel Peneltian
Variabel terikat adalah kekuatan mekanik tulang pelvis (rongga pelvis) yang diukur dengan
terjadinya pergeseran 2 mm atau 2⁰ sendi sacroiliac setelah perlakuan gaya aksial
Variabel bebas adalah penelitian ini adalah fiksasi interna anterior atau fiksasi anterior dan
posterior terhadap fraktur pelvis klasifikasi AO B2-1
3.4. Definisi Operasional
Gaya aksial adalah gaya yang bekerja sejajar dengan sumbu tulang
Fraktur adalah diskontinuitas jaringan tulang, lempeng epiphysis, dan atau jaringan sendi
tulang rawan
Fraktur pelvis klasifikasi AO B2-1 adalah fraktur pelvis yang stabil parsial (dengan
disrupsi inkomplit arkus posterior), pada kelompok cedera kompresi lateral disertai
cedera anterior dan posterior ipsilateral arkus posterior
Kekuatan mekanik adalah ketahanan tulang pelvis terhadap gaya aksial yang diberikan
pada lempeng vertebrae sacrum (S1) yang ditandai dengan pergeseran sendi sacroilianc 2
mm atau 2⁰ pada axis anteroposterior dan kraniokaudal.
3.5. Prosedur Penelitian
Dilakukan pemisahan model pelvis untuk kontrol dan kelompok uji.
Disrupsi symphisis pubis dan disrupsi inkomplit arkus posterior ipsilateral dilakukan
sebelum pengujian biomekanik dimulai pada model pelvis yang dimasukkan dalam
kelompok uji
Pemasangan fiksasi interna dilakukan pada setiap kelompok uji:
o Kelompok I : Satu plat sympihisis pubis dan satu screw iliosakral (posterior)
o Kelompok II : Dua plat symphisis
o Kelompok III : Dua plat symphisis dan satu plat anterior sendi ilio sacral
o Kelompok IV : Satu plat symphisis dan dua screw iliosakral S1
o Kelompok V : Satu plat symphisis dan dua screw masing-masing satu di S1 dan S2
Dilakukan pemasangan 6 sensor (rangkaian linear voltage-displacement transducers
/LVDT) untuk mendeteksi pergeseran sendi anterior (symphisis pubis) dan posterior
(sacroiliac) rongga pelvis.
Tulang yang telah dilakukan fiksasi dibawa ke laboratorium teknologi Biomekanik
Universitas Indonesia atau PUSPITEK, Serpong, Banten
Uji kekuatan mekanik dilakukan dengan menggunakan alat pengukur kekuatan material
yang berada di Laboratorium Teknik Biomekanik Universitas Indonesia) atau
PUSPITEK Serpong, Banten
Uji kekuatan mekanik dilakukan pada model pelvis kontrol dan kelompok uji dengan
memberikan gaya aksial pada lempeng vertebra os sacrum (S1), Uji kekuatan mekanik
ini menggunakan alat merk Schenk-Trebe tipe RME 100 buatan Jerman dengan pencatat
Yokogawa X-Y recorder tipe 3023 melalui amplifier KWS tipe 3073 buatan Jepang.
Gaya aksial diberikan pada kelompok kontrol dan kelompok uji secara kontinu sehingga
terjadi pergeseran sendi sakroiliak pada axis anteroposterior dan kraniokaudal, yang
ditunjukkan oleh grafik X-Y pencatat Yokogawa.
3.6. Analisis Statistik
Hasil penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan program SPSS (Statistic Program
for Social Science) versi 16.0. Uji parametrik anova atau alternatifnya akan digunakan untuk
melakukan analisis hubungan antara variabel independen dan dependen.
3.7. Penyajian Data
Data pada penelitian ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik
3.8. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian yang dapat dikenali saat ini adalah penggunaan model tulang pelvis
yang meniadakan keterlibatan ligamen pada rongga pelvis untuk uji kekuatan mekanik sehingga
kurang menggambarkan keadaan rongga pelvis yang sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Balogh Z, King KL, Mackay P, McDougall D, Mackenzie S, Evans JA, dkk. The
Epidemiology of Pelvic Ring Fractures: A Population-Based Study. J Orthop Trauma.
2007; 63, 1066-72
2. van Vugt AB, van Kampen A. An unstable pelvic ring. The killing
fracture. J Bone Joint Surg Br. 2006;88,427-33
3. Tile M. Acute Pelvic Fractures: Causation and Classification. J Am Acad Orthop Surg.
1996;4,143-51
4. Schmal H, Markmiller M, Mehlhorn AT, Sudkamp NP. Epidemiology and
outcome of complex pelvic injury. Acta Orthop Belg. 2005;71:41– 47
5. Smith W, Williams A, Agudelo J. Early predictors of mortality in hemodynamically
unstable pelvic fractures. J Orthop Trauma. 2007; 21(1): 31-37
6. Sathy AK, Starr AJ, Smith WR, Elliott A, Agudelo J, dkk. The Effect of Pelvic Fracture
on Mortality After Trauma: An Analysis of 63,000 Trauma Patients. J Bone Joint
Surg Br. 2009;91,2803-10
7. Tile M. Pelvic Ring Fractures: Should they be fixed? J Bone Joint Surg Br.
1988;70.1-12
8. Isler B, Ganz R: Classification of pelvic ring injuries. Injury. 1996; 27(suppl 1): S-A5.
9. Tile M. Acute Pelvic Fractures: Principles of Management. J Am Acad Orthop Surg.
1996;4,152-61
10. Sagi HC. Pelvic Ring Fractures. Dalam: Bucholtz, Robert W. Rockwood and Green’s
Fractures in Adults. 7th ed. Philadelphia, PA; Lippincott Williams and Wilkins;
2010:1416-500.
11. Furey AJ, O’Toole R, Nascone JW, Copeland CE, Turen C, Sciadini MF. Surgeon
Variability in the Treatment of Pelvic Ring Injuries. Orthopedics. 2010;33,
OrthoSuperSite.com/view.aspx?rID=70283
12. Simonian PT, Routt Jr ML, Harrington RM, Tencer AF. Internal fixation of the unstable
anterior pelvic ring: a biomechanical comparison of standard plating techniques and the
retrograde medullary superior pubic ramus screw. J Orthop Trauma. 2007; 21(1): 31-7
13. Van den Bosch EW, van Zwienen CM, Hoek van Dijke GA, Snijders CJ, van Vugt AB.
Sacroiliac screw fixation for Tile B fractures. J Trauma. 2003;55(5): 962 -5
14. Van Loon P, Kuhn S, Hofmann A, Hessmann MH, Rommens PM. Radiological analysis,
operative management and functional outcome of open book pelvic lesions: A 13-year
cohort study. Injury. 2011;42: 1012 - 9
15. Dujardin FH,Roussignol X, Hossenbaccus M, Thomine JM. Experimental study of the
sacroiliac joint micromotion in pelvic disruption. J Orthop Trauma. 2002; 16(2):99-103
16. Putnis SE, Pearce R, Wali UJ, Bircher MD, Rickman MS. Open reduction and internal
fixation of a traumatic diastasis of the pubic symphisis, one year radiological and
functional outcomes. J Bone Joint Surg Br.2010;93-B.78-84
17. Adams JE, Davis GG, Alexander CB. Pelvic trauma in rapidly fatal motor vehicle
accidents. J Orthop Trauma. 2003; 17:406-10
18. Osterhoff G, Ossendorf C, Wanner GA, Simmen HP, Werner CML. Percutaneous
iliosacral screw fixation in S1 and S2 for posterior pelvic ring injuries: technique and
perioperative complications. Arch Orthop Trauma Surg. 2011;131:809-13
19. Osterhoff G, Ossendorf C, Wanner GA, Simmen HP, Werner CML. Posterior screw
fixation in rotationally unstable pelvic ring injuries. Injury. 2011;42,992-6
20. Guthrie HC, Owens RW, Bircher MD. Fractures of the pelvis. J Bone Joint Surg
Br.2010;92-B.1481-8
21. Burgess AR, Eastridge BJ, Young JW. Pelvic ring disruptions: effective classification
system and treatment protocols. J Trauma. 1990;30,848-56
22. Grotz MRW, Allami MK, Harwood P, Pape HC, Krettek C, dkk. Open pelvic fractures:
epidemiology, current concepts of management and outcome. Injury. 2005;36,1-13
23. McCormack R, Strauss EJ, Alwattar BJ, Tejwani NC.Diagnosis and management of
pelvic fractures. Bulletin of the NYU Hospital for Joint Diseases. 2010; 68(4), 281-91
24. Ricci WM, Mamczak C, Tynan M, Streubel P, Gardner M. Pelvic Inlet and Outlet
radiographs redefined. J Bone Joint Surg. 2010;92.1947-53
25. Osterhoff G, Ossendorf C, Wanner GA, Seimmen HP, Werner CML. Posterior screw
fixation in rotationally unstable pelvic ring injuries. Injury. 2011;42,992-6
26. Grubor P, Milicevic S, Biscevic M, Taniga R. Selection of treatment method for pelvic
ring fracture. Med arh. 2001;65(5), 278-82
27. Vrahas M, Hearn TC, Diangelo D, dkk. Ligamentous contributions to pelvic stability.
Orthopedics. 1995; 22-36
28. Hearn TC. Biomechanics, Dalam: Fractures of the Pelvis and Acetabulum, 2nd ed.
Baltimore: Williams and Wilkins; 199; 21, 88-90