keputusan dewan perwakilan daerah republik indonesia nomor 76

14
DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76/DPD RI/IV/2012-2013 TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PENYELESAIAN KASUS TUNJANGAN KOMUNIKASI INTENSIF PIMPINAN DAN ANGGOTA DPRD DAN DANA OPERASIONAL PIMPINAN DPRD PERIODE TAHUN 2004-2009 JAKARTA 2013

Upload: dotu

Post on 13-Jan-2017

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIANOMOR 76/DPD RI/IV/2012-2013

TENTANGHASIL PENGAWASAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

ATASPENYELESAIAN KASUS TUNJANGAN KOMUNIKASI

INTENSIF PIMPINAN DAN ANGGOTA DPRD DAN DANA OPERASIONAL

PIMPINAN DPRD PERIODE TAHUN 2004-2009

JAKARTA2013

555

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSANDEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIANOMOR 76/DPD RI/IV/2012-2013

TENTANGHASIL PENGAWASAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

ATASPENYELESAIAN KASUS TUNJANGAN KOMUNIKASI INTENSIF

PIMPINAN DAN ANGGOTA DPRD DAN DANA OPERASIONAL PIMPINAN DPRD PERIODE TAHUN 2004-2009

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESADEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa guna mencapai tujuan negara sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu ada pengawasan terhadap hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara demi terwujudnya akuntabilitas pengelolaan keuangan negara dalam rangka turut mewujudkan tata kepemerintahan yang baik;

c. bahwa dalam pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia masih terdapat kendala terkait pengembalian tunjangan komunikasi intensif Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta dana operasional Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah periode 2004-2009 hampir di seluruh daerah;

d. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;

e. bahwa Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Panitia Akuntabiltas Publik telah membahas dan merumuskan hasil pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas penyelesaian kasus tunjangan komunikasi intensif Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan dana operasional Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah periode tahun 2004-2009;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas penyelesaian kasus

556

tunjangan komunikasi intensif Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan dana operasional Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah periode tahun 2004-2009;

Mengingat : 1. Pasal 22C dan Pasal 22D Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5423);

4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Tertib;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-15Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Masa Sidang IV Tahun Sidang 2011-2012 tanggal 8 Juli 2013MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ATAS PENYELESAIAN KASUS TUNJANGAN KOMUNIKASI INTENSIF PIMPINAN DAN ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DAN DANA OPERASIONAL PIMPINAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PERIODE TAHUN 2004-2009;

PERTAMA : Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Penindakan Lanjutan Rekomendasi BPK Tahun 2012-2013;

KEDUA : Hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA, disusun dalam naskah lampiran yang tidak terpisahkan dari Keputusan ini.

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

PIMPINAN

Ketua,

H. IRMAN GUSMAN, S.E., M.B.A.

Wakil Ketua,

G.K.R. HEMAS

Wakil Ketua,

Dr. LAODE IDA

557

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

LAMPIRANKEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

NOMOR 76/DPD RI/IV/2012-2013TENTANG

HASIL PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

ATASPENYELESAIAN KASUS TUNJANGAN KOMUNIKASI INTENSIF

PIMPINAN DAN ANGGOTA DPRD DAN DANA OPERASIONAL PIMPINAN DPRD

PERIODE TAHUN 2004-2009

BAB IPENDAHULUAN

A. UMUMTugas dan kewenangan DPD yang utama adalah mengajukan usul dan ikut

membahas RUU terkait kepentingan daerah, melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang tertentu serta memberikan pertimbangan bagi penyusunan RUU APBN dan mengawasi pelaksanaannya.

Terkait dengan APBN dan pelaksanaannya, DPD RI memiliki dua Alat Kelengkapan yaitu Komite IV yang bertugas melaksanakan fungsi pemberian pertimbangan terhadap RUU APBN serta Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) yang bertugas melaksanakan fungsi pengawasan atas pelaksanaan APBN khususnya melakukan penelaahan dan menindaklanjuti temuan BPK yang berindikasi kerugian negara. Lebih lanjut, PAP dibentuk dalam rangka ikut mendorong penerapan tata kelola pemerintah yang bertanggungjawab, ikut mewujudkan pemerintahan yang bersih dan kepemerintahan yang baik.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, PAP DPD RI melakukan tindakan korektif terhadap kasus-kasus yang merugikan keuangan negara, baik berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK maupun berdasarkan aspirasi masyarakat dan daerah. Untuk itu PAP menyelenggarakan serangkaian rapat kerja dengan pemerintah daerah sehingga mendapati temuan dan rekomendasi yang berulang yakni terkait pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) pimpinan dan anggota DPRD serta Dana Operasional Pimpinan DPRD (DOP) periode 2004-2009 hampir di seluruh daerah.

Atas temuan dan rekomendasi BPK yang tindak lanjutnya berlarut-larut dan berulang terkait dana TKI dan DOP tersebut, PAP menindaklanjuti dengan menggelar rapat kerja dengan berbagai pihak untuk mencari solusi yang konprehensif dan permanen atas permasalahan tersebut.

B. DASAR HUKUM1. Pasal 22C dan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 tentang Dewan Perwakilan Daerah.2. Pasal 224 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR,

DPD, dan DPRD yang berbunyi: “dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama”.

3. Pasal 224 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang berbunyi: “menyampaikan hasil pengawasan atas

558

pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti”.

4. Pasal 233 huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang berbunyi: “menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat”.

5. Pasal 240 ayat (4) huruf a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang berbunyi: “melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang bidang tertentu”.

6. Pasal 259 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang berbunyi: “DPD menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) huruf f kepada DPR sebagai bahan pertimbangan”.

7. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

8. Pasal 107 ayat (1) huruf a dan b Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib, yang berbunyi: “Panitia Akuntabilitas Publik mempunyai tugas melakukan penelaahan dan menindaklanjuti temuan BPK yang berindikasi kerugian negara secara melawan hukum; serta menampung dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat terkait dugaan korupsi dan maladministrasi daalam pelayanan publik”.

9. Pasal 107 ayat (2) huruf e Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib, yang berbunyi: “Panitia Akuntabilitas Publik dapat menyampaikan saran/pendapat kepada instansi terkait sebagai tindak lanjut hasil penelaahan terhadap temuan dan laporan/pengaduan yang mengandung indikasi tindak pidana korupsi/ maladministrasi terkait dengan kepentingan masyarakat/daerah”.

10. Pasal 161 ayat (2) Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2012 tentang Tata Tertib, yang berbunyi: “Terhadap hasil pemeriksaan keuangan Negara, DPD menugasi Komite IV dan Panitia Akuntabilitas Publik”.

C. MAKSUD DAN TUJUAN Dalam rangka pelaksanaan tugas DPD RI pada Tahun Sidang 2012-2013, maka DPD

RI telah menentukan program-program kerja dan target capaian yang dialokasikan dalam 4 (empat) masa sidang melalui masing-masing alat kelengkapan. Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan sesuai amanat konstitusi, pengawasan kelembagaan yang dilakukan melalui Panitia Akuntabilitas Publik adalah menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK terkait dengan temuan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berindikasi kerugian negara pada entitas terperiksa.

Pada Masa Sidang IV Tahun Sidang 2012-2013 ini DPD RI melakukan pengawasan terkait tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK yang berindikasi kerugian negara. Adapun fokus persoalan yang menjadi titik berat dalam pengawasan temuan hasil pemeriksaan BPK tersebut, adalah mencari solusi kepastian penyelesaian kasus tunjangan komunikasi intensif pimpinan dan anggota DPRD dan dana operasional Pimpinan DPRD periode tahun 2004-2009.

Dengan demikian, maka maksud dan tujuan dari dilaksanakannya pengawasan terkait tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK ini adalah untuk menjamin akuntabilitas pengelolaan keuangan negara dalam rangka turut mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.

D. KELUARAN DAN TINDAK LANJUTKegiatan-kegiatan dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan sebagaimana

dimaksud akan menghasilkan keluaran berupa Laporan Hasil Pengawasan DPD RI atas kepastian penyelesaian kasus tunjangan komunikasi intensif Pimpinan dan Anggota DPRD dan dana operasional Pimpinan DPRD tahun 2006 bagi Pimpinan dan Anggota DPRD periode tahun 2004-2009.

Untuk mempermudah pemahaman dan efektivitas hasil pengawasan, maka output dari pengawasan tersebut dibuat dalam laporan terpisah.

Hasil Pengawasan ini disampaikan dalam Sidang Paripurna DPD RI ke-15 pada Masa Sidang IV Tahun Sidang 2012-2013 pada tanggal 8 Juli 2013 guna disahkan menjadi produk pengawasan DPD RI. Hasil Pengawasan selanjutnya disampaikan kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, DPRD, lembaga penegak hukum dan instansi terkait guna ditindaklanjuti sesuai mekanisme dan ketentuan undang-undang yang berlaku.

559

BAB IIPELAKSANAAN PENGAWASAN ATAS PENYELESAIAN KASUS TUNJANGAN

KOMUNIKASI INTENSIF PIMPINAN DAN ANGGOTA DPRD DAN DANA OPERASIONAL PIMPINAN DPRD PERIODE TAHUN 2004-2009

A. OBJEK KEGIATAN PENGAWASANPelaksanaan fungsi pengawasan DPD RI diarahkan pada obyek pengawasan

terhadap kepastian penyelesaian kasus tunjangan komunikasi intensif Pimpinan dan Anggota DPRD dan dana operasional Pimpinan DPRD periode tahun 2004-2009.

1. Objek Pengawasan Sesuai dengan tugas dan kewenangan, DPD melakukan fungsi pengawasannya

terhadap kepastian penyelesaian kasus tunjangan komunikasi intensif Pimpinan dan Anggota DPRD dan dana operasional Pimpinan DPRD tahun 2006 bagi Pimpinan dan Anggota DPRD periode tahun 2004-2009. Hal ini sejalan dengan adanya temuan dan rekomendasi asil pemeriksaan BPK terkait pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) pimpinan dan anggota DPRD serta Dana Operasional Pimpinan DPRD (DOP) periode 2004-2009 hampir di seluruh daerah yang tindak lanjutnya selalu berulang dan berlarut-larut tanpa kepastian hukum. Padahal seharusnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku (PP Nomor 21 Tahun 2007 dan dijabarkan lebih lanjut dalam Permendagri Nomor 21 Tahun 2007) pengembalian TKI dan DOP DPRD 2004-2009 diselesaikan pada tahun 2009 (satu bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota/pimpinan DPRD periode 2004-2009). Temuan dan rekomendasi serta pengembaliannya tersebut menginspirasi PAP DPD RI untuk melakukan pembahasan mendalam guna memahami akar persoalan dan mencari solusi yang strategis.

2. Pengawasan Atas Kepastian Penyelesaian Kasus Tunjangan Komunikasi Intensif Pimpinan dan Anggota DPRD dan Dana Operasional Pimpinan DPRD Periode Tahun 2004-2009

DPD RI senantiasa merespon setiap temuan dan rekomendasi BPK maupun aspirasi yang berkembang, satu di antaranya adalah terkait dengan pembayaran Tunjangan Komunikasi Intensif Pimpinan dan Anggota DPRD dan Dana Operasional Pimpinan DPRD tahun 2006 kepada Pimpinan dan Anggota DPRD periode tahun 2004-2009 yang kemudian harus dikembalikan, mencari akar permasalahanya guna mencari langkah-langkah tindak lanjut sesuai dengan koridor konstitusi dan kewenangan yang dimiliki DPD RI.

Tunjangan Komunikasi Intensif Pimpinan dan Anggota DPRD dan Dana Operasional Pimpinan DPRD tahun 2006 yang dibayarkan kepada Pimpinan dan Anggota DPRD periode tahun 2004-2009 selain merupakan temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPD RI juga merupakan salah satu aspirasi yang berkembang di daerah yang didapatkan anggota DPD RI, baik ketika melaksanakan kegiatan di daerah maupun ketika melaksanakan kunjungan kerja ke daerah, yang ternyata proses pengembalian tunggakan TKI dan DOP sebagaimana diperintahkan PP Nomor 21 Tahun 2007 dan dipertegas dengan Permendagri Nomor 21 Tahun 2007 tidak berjalan lancar dan mengundang polemik dalam spektrum yang luas. Kalangan DPRD yang telah menerima TKI dan DOP tahun 2006 juga menyikapi beragam terkait kewajiban pengembaliannya. Ada yang mematuhi dan langsung mengembalikan penuh, ada yang mematuhinya dengan cara mengangsur, namun tidak sedikit yang tidak/belum mengembalikan karena berbagai alasan. Faktanya sampai dengan tenggat yang ditentukan oleh PP maupun Permendagri, yaitu 1(satu) bulan sebelum berakhirnya masa bakti DPRD 2004-2009 proses pengembalian tagihan TKI dan DOP tidak selesai.

B. METODE DAN INSTRUMEN PENGAWASANSebagaimana diatur dalam Peraturan DPD RI No. 6 Tahun 2012 tentang pedoman

pelaksanaan pengawasan DPD RI mengatur bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dilakukan melalui rangkaian kegiatan: menyusun agenda pengawasan, menginventarisasi dan mengindentifikasi permasalahan, melakukan pengumpulan data/verifikasi dan pembahasan terhadap aspirasi masyarakat, melakukan klarifikasi dengan pejabat yang bersangkutan dengan hasil pengawasan yang selanjutnya disusun menjadi sebuah Hasil Pengawasan.

Dalam rangka penyusunan Hasil Pengawasan atas penyimpangan dalam pemberian ijin usaha pertambangan, maka PAP DPD RI telah menggunakan metode dan instrumen melalui penyerapan aspirasi masyarakat, rapat konsultasi dengan BPK, rapat dengar pendapat serta FGD dengan pakar dan ahli.

C. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN KEGIATANGuna mencapai target dan sasaran yang dimaksud dalam pengawasan ini, maka

dilakukan berbagai kegiatan yang pada prinsipnya guna menginventasisasi seluruh aspirasi

560

masyarakat, serta pandangan dari berbagai pakar/ahli. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut, berdasarkan tempat dan waktu pelaksanaan sebagai berikut:

Inventarisasi materi, yang disarikan dari kegiatan-kegiatan:1. Penyerapan aspirasi masyarakat, meliputi:

a. Penyerapan aspirasi masyarakat oleh Anggota PAP DPD RI di masing-masing provinsi selama periode Masa Sidang III dan IV Tahun Sidang 2012 - 2013;

b. Penyerapan aspirasi masyarakat melalui kegiatan Kunjungan Kerja PAP DPD RI ke beberapa provinsi.

2. Pertemuan Konsultasi pada tanggal 23 Oktober 2012 bersama BPK RI.3. Rapat dengan pendapat Umum (RDPU) PAP DPD RI dengan Direktur Fokus Parlemen

dan Akademisi tanggal 31 Januari 2013. dan 4. Rapat dengar pendapat pada tanggal 13 Februari 2013 dengan Kementerian Dalam

Negeri, Kementerian Keuangan, Kejaksaan Agung dan Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI).

5. Lokakarya dengan narasumber dari Kementerian Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan RI Topik bahasan Aspek Kerugian Negara dari Alternatif Solusi Penyelesaian Kasus TKI dan DOP, Kejaksaan Agung RI Topik bahasan Aspek Yuridis dan Legalitas dari Alternatif Solusi Penyelesaian Kasus TKI dan DOP, Kementerian Dalam Negeri dan Ketua Asosiasi DPRD Seluruh Indonesia Topik Bahasan Menemukan Solusi Penyelesaian Kasus TKI dan DOP Berdasarkan Pilihan Alternatif diselengarakan pada tanggal 31 Mei 2013.

561

BAB IIITEMUAN DALAM PELAKSANAAN PENGAWASAN ATAS KEPASTIAN PENYELESAIAN KASUS TUNJANGAN KOMUNIKASI INTENSIF PIMPINAN DAN ANGGOTA DPRD DAN

DANA OPERASIONAL PIMPINAN DPRD PERIODE TAHUN 2004-2009

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 mengharuskan pimpinan dan anggota DPRD mengembalikan dana TKI pimpinan dan anggota DPRD serta dana operasional pimpinan DPRD dengan batas waktu yang jelas, yakni paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa bakti sebagai anggota DPRD periode 2004 sampai dengan tahun 2009. Hal ini dipertegas dan dijabarkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2007 tertanggal 30 April 2007 Tentang Pengelompokan Kemampuan Keuangan Daerah, Penganggaran Dan Pertanggungjawaban Penggunaan Belanja Penunjang Operasional Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Serta Tata Cara Pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif Dan Dana Operasional, dengan ketentuan sebagai berikut. 1) Pasal 14 Ayat (1) Pimpinan dan Anggota DPRD yang telah menerima TKI dan Pimpinan

DPRD yang telah menerima DOP sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 37 Tahun 2006 dan belum mengembalikan seluruhnya, harus menyetorkan kembali ke Kas Umum Daerah melalui Sekretaris DPRD paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa bakti sebagai anggota DPRD periode tahun 2004 sampai dengan tahun 2009.

2) Pasal 14 Ayat (4) yang menyatakan bahwa “Penganggaran dana pengembalian TKI dan DOP anggota DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan pada jenis pendapatan “Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah, obyek pendapatan dari pengembalian, rincian obyek pendapatan dari pengembalian Pajak Penghasilan Pasal 21.”

3) Pasal 16 Ayat (3) Pengembalian TKI dan DOP anggota DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhitung mulai tanggal 1 April 2007.

4) Pasal 17 Ayat (1) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah disetor ke Kas Negara oleh masing-masing Pimpinan dan Anggota DPRD menjadi piutang daerah yang harus dikembalikan ke Kas Umum Daerah.

5) Pasal 17 Ayat (2) Cara pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui konpensasi pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam rangka mendorong upaya pengembalian tunggakan TKI dan DOP, Menteri Dalam Negeri mengirimkan surat kepada Gubernur seluruh Indonesia melalui Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 700/08/SJ tertanggal 5 Januari 2009 perihal Tunggakan Pengembalian TKI dan DOP Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang isinya menyatakan bahwa sehubungan dengan tunggakan pengembalian TKI dan DOP Anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota periode masa bakti Tahun 2004 s.d. 2009, diminta kepada Gubernur untuk mengambil langkah-langkah sebagai berikut :1) Menugaskan Inspektur Provinsi melakukan koordinasi dengan Kepala Badan/Biro Keuangan

dan Sekretaiat DPRD untuk segera mengupayakan pengembalian tunggakan TKI dan DOP ke Kas Umum Daerah, Pimpinan dan Anggota DPRD periode Tahun 2004 s/d 2009 termasuk tunggakan keuangan lainnya;

2) Sesuai ketentuan Pasal 219 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, agar Gubernur melaporkan kepada Menteri Dalam Negeri, Kabupaten/Kota yang pertama menyelesaikan tunggakan tersebut pada angka 1 (satu) di atas sebagai bahan pemberian penghargaan (reward) bagi daerah-daerah dimaksud;

3) Apabila sampai batas waktu yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2007, Pimpinan dan Anggota DPRD terkait yang belum juga melunasi penyelesaiannya, dilimpahkan kepada Aparat Penegak Hukum;

Namun surat Mendagri tersebut dianulir dengan Surat Mendagri Nomor 555/3032/SJ perihal Pengembalian Tunjangan Komunikasi Intensif (TKI) dan Biaya Penunjang Operasional (BPO) tertanggal 18 Agustus 2009. Pada butir tiga, dinyatakan bahwa pelimpahan kepada aparat hukum bagi anggota DPRD yang tidak melunasi penyelesainnya sesuai batas waktu yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2007 dan Peraturan Mendagri Nomor 21 Tahun 2007, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Keputusan Mendagri tersebut menjawab permohonan uji materil yang diajukan oleh Petrus Bolisno Keraf bersama rekan-rekannya melalui Kuasa Hukum Petrus Bala Pattyono SH, MH terhadap PP 21 Tahun 2007. Sejumlah alasan dikemukan Mendagri dalam surat tersebut yang ditujukan kepada Gubernur, Bupati/Walikota se Indonesia, bahwa Departemen Dalam Negeri sedang melakukan mapping terhadap pengembalian TKI dan BPOP anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu, bahwa permohonan pembebasan atau perpanjangan waktu pengembalian TKI dan BPOP DPRD provinsi/kabupaten/kota, harus melalui Perubahan PP Nomor 21 Tahun 2007, yang saat ini sedang dikaji dengan memperhatikan berbagai aspek terkait.

Pada prakteknya, proses pengembalian tunggakan TKI dan DOP sebagaimana diperintahkan PP Nomor 21 Tahun 2007 dan dipertegas dengan Permendagri Nomor 21 Tahun

562

2007 tidak berjalan lancar dan mengundang polemik dalam spektrum yang luas. Kalangan DPRD yang telah menerima TKI dan DOP juga menyikapi beragam kewajiban pengembalian tersebut. Ada yang mematuhi dan langsung mengembalikan penuh, ada yang mematuhinya dengan cara mengangsur, namun tidak sedikit yang tidak/belum mengembalikan karena berbagai alasan. Faktanya sampai dengan tenggat yang ditentukan oleh PP maupun Permendagri, yaitu 1 bulan sebelum berakhirnya masa bakti DPRD 2004-2009 proses pengembalian tunggakan TKI dan DOP tidak selesai.

Berdasarkan temuan dari hasil audit BPK Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IPHS) Semester I 2008-Semester II 2009, jumlah dana TKI dan DOP yang belum dikembalikan berjumlah Rp208,8 miliar dan dari hasil pemeriksaan BPK Semester I-II 2009 sebesar Rp179,8 miliar. Berdasarkan data perkembangan pengembalian TKI dan DO Pimpinan dan Anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota seluruh Indonesia dari Kementerian Dalam Negeri per-Mei 2013, posisi pengembalian TKI dan DOP sebagai berikut: 1) DPRD Provinsi, dari 1.358 orang anggota DPRD Provinsi seluruh Indonesia yang telah

menerima pembayaran TKI dan DO sebanyak 718 orang (52,49%) sudah mengembalikan seluruhnya (lunas); 459 orang (33,55%) dalam proses pengembalian secara angsuran; dan 191 orang (13,96%) belum mengembalikan sama sekali.

2) DPRD Kabupaten/Kota, dari 6.144 orang anggota DPRD Kabupaten/Kota seluruh Indonesia yang telah menerima pembayaran TKI dan DOP, sebanyak 2.851 orang (46,40%) sudah mengembalikan secara lunas; 2.221 orang (36,15%) dalam proses pengembalian secara angsuran; dan 1.072 orang (17,45%) belum mengembalikan sama sekali.

Berdasakan evaluasi PAP DPD RI kendala dalam pengembalian tunggakan TKI dan DOP mencakup beberapa hal sebagai berikut.

Pertama, pihak-pihak terkait khususnya kalangan DPRD masih mempertanyakan konsistensi aturan TKI dan DOP. Kalangan DPRD masih ada yang menafsirkan bahwa pembayaran TKI dan DOP tahun 2006 sah karena mengikuti ketentuan yang berlaku saat itu yaitu PP Nomor 37 Tahun 2006. Mereka enggan mengembalikan karena uang tersebut telah terpakai sesuai peruntukannya.

Persoalan konsistensi aturan selanjutnya menyangkut pengembalian TKI dan DOP berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 2007 dan Permendagri Nomor 21 Tahun 2007. Meski telah tegas disebutkan batas akhir pengembalian, akan tetapi tidak ada konsekuensi dan/atau sanksi hukum atas pelanggaran tenggat pengembalian. Hal ini diperkeruh dengan adanya dua surat Mendagri, dimana surat pertama bernomor 700/08/SJ menegaskan bahwa “apabila sampai batas waktu yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2007, Pimpinan dan Anggota DPRD terkait yang belum juga melunasi penyelesaiannya, dilimpahkan kepada Aparat Penegak Hukum.” Namun surat kedua Mendagri bernomor 555/3032/SJ justru membatalkan poin tersebut. Dalam surat terakhir Kemendagri juga menyiratkan sedang melakukan kajian atas berbagai aspek kemungkinan permohonan pembebasan atau perpanjangan waktu pengembalian TKI dan BPOP DPRD provinsi/kabupaten/kota dengan PP yang baru (revisi). Hal ini menimbulkan permasalahan menyangkut kepastian hukum pengembalian tunggakan TKI dan DOP.

Kedua, berdasarkan penelaahan lanjutan terhadap hasil pemeriksan BPK atas LKPD dan kunjungan kerja pengawasan ke daerah terkait tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan BPK oleh entitas pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota khususnya pengembalian TKI dan DOP Anggota DPRD tahun 2006, PAP menemukan hal-hal sebagai berikut. 1) Temuan dan rekomendasi BPK terkait pengembalian kelebihan pembayaran TKI dan DOP

tahun 2006 ternyata tidak terdapat pada semua entitas pemerintah daerah, padahal pembayaran TKI dan DOP berdasarkan PP Nomor 37 Tahun 2006 berlaku untuk seluruh entitas pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Akibatnya, terdapat beberapa entitas pemerintah daerah yang tidak mengungkapkan dan melaksanakan kewajiban penganggaran dan pengembalian TKI dan DOP tahun 2006 sesuai dengan ketentuan perubahan PP Nomor 21 Tahun 2007 dan Permendagi Nomor 21 Tahun 2007. Hal ini dapat menimbulkan kesan tebang pilih ketika masalah tersebut berakibat hukum karena anggota DPRD masa bakti 2004-2009 tidak dapat mengembalikan ke kas daerah sampai dengan ketentuan batas waktu yang telah diatur dalam peraturan perundangan.

2) Tidak semua entitas pemerintah daerah menganggarkan dalam APBD dan menyajikan akun terkait pengembalian TKI dan DOP tahun 2006, baik sebagai piutang daerah yang harus dikembalikan ke kas umum daerah maupun sebagai “lain-lain pendapatan asli daerah yang sah” dalam laporan keuangan pemerintah daerahnya. Hal ini menunjukkan tidak ada akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah. Teranggarkan dalam APBD dan tersajikan dalam laporan keuangan ternyata hanya ketika BPK mempermasalahkan sebagai temuan pemeriksaan.

3) Tidak semua entitas pemerintah daerah membayarkan TKI dan DOP tahun 2006. Terdapat 8 dari 33 provinsi dan 67 dari 483 kabupaten/kota seluruh Indonesia yang ternyata tidak membayarkan TKI dan DOP tahun 2006 kepada Pimpinan dan Anggota DPRD periode tahun 2004 – 2009 dan dari 483 kabupaten/kota.

563

4) Tidak semua anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota mau atau bersedia menerima pembayaran TKI dan DOP tahun 2006 meskipun pemerintah daerah tersebut telah mengangarkan dan melakukan pembayarn bagi anggota DPRD lainnya.

5) Terdapat pengembalian TKI dan DOP tahun 2006 yang tidak disetorkan ke kas daerah seluruhnya melainkan ditahan oleh Sekertaris DPRD yang bersangkutan. Akibatnya, pengembalian sisa kewajiban yang belum disetor tidak lagi menjadi beban masing-masing anggota DPRD melainkan menjadi beban Sekertaris DPRD.

6) Terdapat beberapa daerah yang tidak melaksanakan PP No. 21 Tahun 2007 dengan tidak mengharuskan pengembalian TKI dan DOP tahun 2006, terutama entitas pemerintah daerah yang tidak teridentifikasi menjadi temuan hasil pemeriksaan BPK atas LKPD.

7) Terdapat pembebanan pengembalian TKI dan DOP tahun 2006 yang dibebankan kepada APBD. Akibatnya, menjadi beban ganda bagi pemerintah daerah, pertama tidak menerima pengembalian TKI dan DOP tahun 2006 ke kas daerah dan malahan kedua menambah beban pengembalian menjadi beban pemerintah daerah.

8) Anggota DPRD periode 2004-2009 yang menjabat kembali pada periode 2009-2014 kira-kira 20%.

9) Terdapat Anggota DPRD periode 2004-2009 yang dilaporkan telah meninggal dunia.

564

BAB IVREKOMENDASI

DPD RI perlu mencarikan solusi atas kepastian penyelesaian pengembalian TKI Anggota dan Pimpinan DPRD dan DO Pimpinan DPRD periode tahun 2004 – 2009 yang paling menguntungkan dengan memperhatikan berbagai kepentingan pihak-pihak terkait. Beberapa alternatif penyelesaian sebagai dasar kebijakan yang direkomendasikan oleh DPD RI adalah sebagai berikut. 1) Alternatif Satu

Dilakukan tindakan yang tegas dan pasti melalui upaya hukum yang mengikat dan eksekutorial. Namun sebelumnya diberikan tenggat waktu kembali untuk proses pengembalian dana TKI dan DOP dalam jangka waktu yang cukup dan/atau memadai. Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan tersebut belum melunasi maka akan dilakukan tindakan tegas melalui upaya hukum sehingga memiliki kepastian. Dasar yang dirujuk untuk memberlakukan alternatif ini adalah adanya perintah imperatif di dalam PP Nomor 21 Tahun 2007 dimana secara subtantif, diakui maupun tidak, adanya kebijakan yang dinilai bertentangan dengan “rasa keadilan dan kepatutan umum” sehingga menimbulkan reaksi dan kritik dari kalangan masyarakat luas.

Secara teoritis, upaya ini diyakini dapat memberi kepastian secara formalitas pengembalian tunggakan TKI dan DOP. Namun demikian, dalam prakteknya akan sulit memaksa pengembalian tersebut karena kultur solidaritas di masyarakat kita. Selain itu, sebagian besar anggota DPRD periode 2004-2009 tidak lagi menjadi anggota DPRD, bahkan sebagian ada yang sudah meninggal atau tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengembalikan karena alasan ekonomi.

Dalam perspektif kebijakan dan problematikanya yang telah diulas di awal, alternatif ini dapat diperdebatkan dengan argumentasi kritis bahwa dana TKI dan DOP sejatinya merupakan hak (pimpinan dan anggota DPRD) yang diberikan oleh Pemerintah melalui PP Nomor 37 Tahun 2006. Timbulnya penolakan banyak pihak terhadap PP tersebut, terutama terkait rapelan dana TKI dan DOP, tidak bisa serta merta kesalahan dibebankan kepada pimpinan dan anggota DPRD yang telah menerima hak tersebut, dengan adanya PP Nomor 21 Tahun 2007 yang secara imperatif mewajibkan pimpinan dan anggota DPRD yang sudah terlanjur menerima rapelan untuk mengembalikan TKI dan DOP yang diterimanya. Dalam hal ini berlaku prinsip (hukum) manakala ada peraturan yang memberikan suatu hak, yang kemudian muncul aturan baru, prinsip yang berlaku adalah prinsip yang menguntungkan penerima hak. Sehingga dalam hal ini pimpinan dan anggota DPRD perlu mendapatkan perlindungan hukum.

Pemaksaan dan penerapan sanksi pada kasus ini dapat dianggap sebagai perbuatan sewenang-wenang terhadap penerima hak karena sejatinya pimpinan dan anggota DPRD hanya melaksanakan perintah PP Nomor 37 Tahun 2006. Jika di kemudian hari terdapat kesalahan dalam pembuatan aturan seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah sebagai pembuat aturan, bukan kesalahan penerima hak. Dengan demikian pengembalian rapelan dana TKI dan DOP tidak bisa dipaksakan. Namun demikian, pengembalian masih dimungkinkan dilakukan dengan kesadaran moral (sukarela) masing-masing pimpinan dan anggota DPRD untuk mengakhiri polemik yang berkepanjangan.

Sementara itu, jika dana rapelan TKI dan DOP tersebut harus dikembalikan, sebagian pakar menyatakan bahwa sekiranya para pimpinan dan anggota DPRD mengabaikan PP Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 29A yang mewajibkan pengembalian rapelan dana TKI dan DOP hal tersebut dinilai bukan sebagai penyalahgunaan wewenang. Hal ini mengingat dana TKI dan DOP diserahkan berdasarkan PP 37 Tahun 2006, dengan demikian berakhirlah sifat publik dari dana tersebut beralih status menjadi sesuatu yang bersifat pribadi (privat). Oleh karena itu tidak dikembalikannya uang tersebut sesuai ketentuan Pasal 29A PP Nomor 21 Tahun 2007 menjadi “utang” bagi pimpinan dan anggota DPRD dan menjadi “piutang” bagi negara. Upaya pengembalian harus melalui mekanisme keperdataan (bukan pidana), dan tidak dapat dipandang sebagai “kerugian keuangan negara” melainkan sebagai “piutang negara.”

2) Alternatif DuaDilakukan penghapusan. Hal ini merupakan salah satu opsi dengan pertimbangan

berbagai aspek yang komprehensif termasuk menimbang polemik di awal keluarnya PP Nomor 37 Tahun 2006 yang menjadi dasar legalitas pembayaran TKI dan DOP DPRD tahun 2006. Opsi ini diyakini juga akan memberikan kepastian atas kasus ini.

Argumentasi penguat dari alternatif ini adalah argumentasi yang sudah dipaparkan pada perdebatan atas alternatif pertama di atas. Pimpinan dan anggota DPRD pada saat menerima dana TKI dan DOP adalah dalam posisi menerima hak yang diperintahkan oleh PP Nomor 37 Tahun 2006. Kesalahan atas peraturan di kemudian hari harus menjadi tanggung jawab Pemerintah sebagai pembuat kebijakan/peraturan. Sekali lagi ditegaskan berlakunya prinsip (hukum) manakala ada peraturan yang memberikan suatu hak, yang

565

kemudian muncul aturan baru, prinsip yang berlaku adalah prinsip yang menguntungkan penerima hak. Sehingga dalam hal ini pimpinan dan anggota DPRD perlu mendapatkan perlindungan hukum. Upaya-upaya untuk memaksa pengembalian hak yang sudah diterima, apalagi disertai sanksi hukum, sejatinya dapat dinyatakan sebagai kesewenang-wenangan sehingga memungkinkan untuk bisa dilakukan perlawanan melalui upaya hukum gugatan ke pengadilan.

Sisi negatif dari opsi ini adalah hal ini dapat dipersepsi menjadi semacam ‘perlawanan’ atas protes dan kritik masyarakat luas sebagaimana protes di awal pemberlakukan PP Nomor 37 Tahun 2006. Bukan tidak mungkin upaya penghapusan akan mendapatkan respon negatif dan dinilai menciderai rasa keadilan dan kepatutan masyarakat.

Resiko lainnya, menyangkut pimpinan dan anggota DPRD 2004-2009 yang sudah mengembalikan dana tersebut, jika opsi ini diambil, maka mereka akan menuntut pengembalian demi rasa keadilan. Akhirnya, negara justru harus mengeluarkan dana untuk memenuhi kewajiban pengembalian tersebut, yang jumlahnya mencapai puluhan hingga ratusan milyar rupiah. Hal ini semakin menegaskan proses perencanaan kebijakan yang tidak matang sehingga menimbulkan masalah yang berkepanjangan.

Meski terdapat pendapat bahwa untuk anggota dan pimpinan DPRD yang menerima dana TKI-DOP sepanjang telah mengembalikan sebagaimana perintah PP 21/2007 harus dimaknai sebagai pengembalian secara sukarela yang menekankan sikap moral terhadap suatu kebijakan atau protes masyarakat. Sementara yang tidak/belum mengembalikan tidak dapat dilakukan upaya paksa untuk mengembalikan karena yang bersangkutan menerima dan mempergunakan dan TKI-DOP secara sah berdasarkan kebijakan/peraturan yang sah. Artinya jikapun ada kebijakan penghapusan dimungkinkan bagi yang telah menyetorkan pengembalian dana ke kas daerah tidak dapat ditarik kembali karena hal itu dimaknai sebagai pengembalian secara sukarela.

Mengingat polemik kasus ini lebih disebabkan karena problem (ambiguitas dan inkonsistensi) kebijakan maka opsi penghapusan menjadi alternatif yang menguat. Opsi ini ditempuh dengan kebijakan atau keputusan pemerintah menghapus akun piutang daerah yang harus ditagih pada kas daerah. Selanjutnya, untuk mengantisipasi polemik bagi pimpinan dan anggota DPRD yang telah mengembalikan rapelan dana TKI-DOP, maka harus dibuka ruang bagi yang bersangkutan untuk mengajukan permintaan kembali jika yang bersangkutan mengembalikan bukan atas dasar sukarela. Dan untuk itu pemerintah daerah harus menganggarkan dananya dari APBD.

Semua opsi atau alternatif yang dikemukakan di atas membawa konsekuensi diskusi tentang siapa seharusnya yang mengambil tanggung jawab penyelesaian permasalahan TKI dan DOP. Apakah tanggung jawab tersebut menjadi beban individu anggota DPRD periode 2004-2009 atau menjadi beban tanggung jawab pengambil kebijakan karena permasalahan ini berawal dari kebijakan dan bergulir dengan kebijakan-kebijakan berikutnya.

DPD RI sesuai kewenangan yang dimiliki berusaha menyajikan berbagai alternatif dalam rangka menemukan solusi komprehensif dan permanan atas permasalahan pengembalian rapelan dana TKI dan DOP DPRD periode 2004-2009. Alternatif solusi dalam naskah kebijakan ini merupakan hasil kajian mendalam dengan melibatkan stakeholder kebijakan dan sejumlah pihak terkait yang berkompeten.

Merujuk pada alternatif solusi yang telah dikemukakan, DPD RI cenderung memilih alternatif dua yaitu penghapusan. Alternatif ini direkomendasikan karena secara prinsip kasus terjadi karena problem kebijakan bukan persoalan hukum, sehingga perspektif yang tepat digunakan adalah perspektif institusional (kelembagaan) pembuat kebijakan, bukan sebagai kasus individual. Oleh karena itu tidak tepat menimpakan beban kesalahan kepada individu (pimpinan dan anggota DPRD) sebagai objek kebijakan.

Mengingat polemik terjadi karena kebijakan Pemerintah, maka DPD RI menyerahkan penyelesaikan kasus ini kepada Pemerintah dengan menghapuskan tagihan piutang atas rapelan dana TKI-DOP yang menjadi beban bagi pimpinan dan anggota DPRD periode 2004-2009. Selanjutnya, Pemerintah meminta kepada seluruh pemerintah daerah (pemda), baik provinsi maupun kabupaten/kota, untuk menghapus piutang daerah yang harus ditagih dari akun kas daerah. Bahkan meminta pemda untuk menyediakan dana untuk pengembalian dana TKI-DOP yang sudah tertagih (dikembalikan) jika ada permintaan dari pimpinan dan anggota DPRD yang bersangkutan. Sejalan dengan kebijakan tersebut, meminta kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar tidak mencantumkan lagi kasus ini sebagai temuan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK.

Namun demikian, apabila Pemerintah memandang perlu mengambil keputusan politik dengan melibatkan lembaga-lembaga negara terkait dalam rangka menyelesaikan kasus ini, maka DPD siap mendukung dan memfasilitasinya. DPD berharap besar agar kasus ini tidak berlarut-larut dan menghabiskan energi karena masih banyak persoalan-persoalan bangsa lainnya yang harus diselesaikan. DPD juga berharap bahwa kasus ini dapat dijadikan pelajaran yang berharga bagi proses pembuatan kebijakan khususnya yang menyangkut kepentingan daerah.

566

BAB VPENUTUP

Demikian Hasil Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atas Permasalahan kepastian penyelesaian kasus tunjangan komunikasi intensif Pimpinan dan Anggota DPRD dan dana operasional Pimpinan DPRD periode tahun 2004-2009.

Hasil pengawasan ini disahkan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia ke-15 dan selanjutnya disampaikan kepada, Pemerintah Pusat/daerah dan lembaga/instansi terkait untuk ditindaklanjuti sesuai mekanisme dan ketentuan perundang-undangan.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada Bangsa dan Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di JakartaPada tanggal 8 Juli 2013

DEWAN PERWAKILAN DAERAHREPUBLIK INDONESIA

PIMPINANKetua,

H. IRMAN GUSMAN, SE., MBA.

Wakil Ketua,

GKR. HEMAS

Wakil Ketua,

Dr. LA ODE IDA