kepuasan kerja dan tenaga pengajar

24
Makalah Manajemen Pembelajaran Sains Disusun Oleh : Lia Safitri Manik (409321036) Miftahul Husnah (409321037) Sri Ulina Brutu (409321053) Ulina Marito Sinaga (409321059) Pendidikan Fisika Ekstensi 2009

Upload: mifta-tanjoeng

Post on 26-May-2015

3.425 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kepuasan kerja dan tenaga pengajar

Makalah Manajemen Pembelajaran Sains

Disusun Oleh :

Lia Safitri Manik (409321036)

Miftahul Husnah (409321037)

Sri Ulina Brutu (409321053)

Ulina Marito Sinaga (409321059)

Pendidikan Fisika Ekstensi 2009

Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan

Alam

UNIMED

Page 2: Kepuasan kerja dan tenaga pengajar

2013

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat

dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas di mata kuliah Manajemen pembelajaran

sains. Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah

Manajemen pembelajaran sains dan pengetahuan yang luas untuk kami para mahasiswa/i mata

kuliah tersebut.

Ucapan terimakasih penulis ucapakan kepada Bapak dosen yang bersangkutan

dibidang mata kuliah Manajemen pembelajaran sains yang telah menuntun kami dalam

mengerjakan makalah ini. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada teman – teman yang

telah ikut serta membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari makalah kami ini tidak lah sempurna, oleh karena itu kami

membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari Bapak Dosen dan teman-teman untuk

kesempurnaan makalah ini.

Hormat Kami

Kelompok 8

Pend. Fisika Ekstensi 2009

Page 3: Kepuasan kerja dan tenaga pengajar

Daftar Isi

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

Bab I 1

Pendahuluan 1

Bab II 3

A. Komitmen 3

B. Kepuasan Kerja 8

Daftar Pustaka 13

Page 4: Kepuasan kerja dan tenaga pengajar

BAB I

Pendahuluan

Keberadaan staf pengajar atau guru memberikan pengaruh yang besar dalam

pencapaian tujuan pendidikan. Agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik maka

diperlukan komitmen organisasional yang tinggi dari tiap elemen yang terkait terutama staf

pengajar.

Komitmen organisasi yang tinggi sangat diperlukan dalam sebuah organisasi, karena

terciptanya komitmen yang tinggi akan mempengaruhi situasi kerja yang profesional.

Berbicara mengenai komitmen organisasi tidak bisa dilepaskan dari sebuah istilah loyalitas

yang sering mengikuti kata komitmen. Pemahaman demikian membuat istilah loyalitas dan

komitmen mengandung makna yang confuse.

Loyalitas disini secara sempit diartikan sebagai seberapa lama seorang karyawan

bekerja dalam suatu organisasi atau sejauh mana mereka tunduk pada perintah atasan tanpa

melihat kualitas kontribusi terhadap organisasi. Muncul suatu fenomena di Indonesia bahwa

seorang karyawan akan dinilai loyal, bilamana tunduk pada atasan walaupun bukan dalam

konteks hubungan kerja. (Alwi, 2001).

Kesediaan staf pengajar untuk tetap hadir, aktif dan bertahan di lingkungan sekolah

dapat dikarenakan kepuasan yang dirasakannya terhadap pekerjaan dan organisasinya. Hal ini

sesuai dengan pen-dapat Juliandi (2004) bahwa tujuan organisasi dapat dicapai melalui

tingginya komitmen organisasional yang dipenga-ruhi oleh kepuasan kerja. Kepuasan kerja

yang dirasakan seseorang diperoleh dari kondisi kerja yang kondusif, hubungan dengan rekan

kerja yang baik serta imbalan yang sesuai dengan jerih payah yang sudah dilakukan. Dapat

dikatakan bahwa kepuasan kerja merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan

kinerja dan komitmen seseorang.

Karyawan yang termotivasi dalam bekerja adalah karyawan yang memiliki tingkat

kepuasan yang tinggi dalam pekerjaannya. Perusahaan harus memperhatikan kepuasan kerja

karyawan karena hal ini akan mendorong kinerja dan loyalitas yang tinggi. Kepuasan kerja

karyawan akan mencegah kepindahan, menguatkan motivasi, dan meningkatkan kontribusi

karyawan, serta menghindari stres pemicu konflik di kantor maupun di rumah. Pada akhirnya,

karyawan yang puas dalam pekerjaannya akan menguntungkan perusahaan dan juga keluarga

dari karyawan yang puas.

Page 5: Kepuasan kerja dan tenaga pengajar

Kepuasan kerja guru ditandai dengan munculnya rasa puas dan terselesaikannya

tugastugas yang menjadi tanggung jawab guru tersebut secara tepat waktu, disamping itu

munculnya dedikasi, kegairahan, kerajinan, ketekunan, inisitif dan kreativitas kerja yang

tinggi dalam bekerja. Kepuasan kerja guru menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan,

apabila guru merasakan kepuasan dalam dalam bekerja, maka akan tercipta suasana yang

penuh kebersamaan, memiliki tanggung jawab yang sama, iklim komunikasi yang baik dan

juga semangat kerja yang tinggi sehingga tujuan organisasi atau sekolah dapat tercapai secara

maksimal. Tetapi sebaliknya apabila guru tidak merasa puas, maka akan tercipta suasana yang

kaku, membosankan, dan semangat tim yang rendah.

Banyak usaha yang telah dilaksanakan untuk meningkatkan kepuasan kerja guru.

Diantaranya adalah dengan melengkapi dan menyiapkan berbagai sarana dan prasarana yang

diperlukan guru dalam mengajar, memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan,

pelatihan dan penataran, mempermudah usulan kenaikan pangkat, serta secara bertahap

pemerintah pusat dan daerah telah memberikan peningkatan kesejahteraan seperti gaji ke 13,

dan tunjangan kesejahteraan dari pemerintah daerah dan lain sebagainya. Namun, usaha yang

sudah dilaksanakan tampaknya belum memperlihatkan hasil yang memuaskan.

BAB II

Page 6: Kepuasan kerja dan tenaga pengajar

Kepuasan Kerja Dan Komitmen Tenaga Pengajar

Menurut Stephen P. Robbins mengatakan bahwa keterlibatan pekerjaaan yang

tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seseorang individu, sementara komitmen

organisasional yang tinggi berarti memihak organisasi yang merekrut individu tersebut.

Dalam organisasi sekolah guru merupakan tenaga profesional yang berhadapan langsung

dengan siswa, maka guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik mampu menjalankan

kebijakan-kebijakan dengan tujuan-tujuan tertentu dan mempunyai komimen yang kuat

terhadap sekolah tempat dia bekerja.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa kajian penelitian yang luas dalam ilmu psikologi

dan manajemen adalah tentang konsep dan peranan komitmen organisasional (organizational

commitment). Konstruk ini dikaitkan pada pentingnya kinerja yang dihasilkan dan

perputarannya (Hom and Griffeth, 1995). Ketika konstruk komitmen organisasional banyak

diperhatikan dalam literatur psikologi dan manajemen, maka hal ini juga menjadi penting

dalam bidang yang menyangkut teknologi dan pengembangannya, sehingga pihak manajemen

di bidang ini mulai memfokuskan perhatiannya pada konstruk komitmen organisasional ini.

Steers dan Salancik (1991) walaupun tidak secara tegas mengatakan bahwa 

komitmen berpengaruh terhadap kepuasan   kerja, namun dalam situasi hubungan pekerja dan

organisasi yang begitu kompleks beberapa aspek kepuasan kerja dapat dipenuhi melalui

manifestasi komitmen terhadap organisasi. Model  hubungan sebab akibat komitmen

organisasi yang bersifat lingkaran umpan balik,pada situasi tertentu dapat menjelaskan

hubungan antara komitmen organisasi dan kepuasan kerja.

A. Komitmen

Pada dasarnya definisi atau pengertian komitmen telah banyak dikemukakan para

ahli. Komitmen merupakan “ikatan psikologis” dengan sebuah organisasi (Gruen cs. 2000

dalam Bansal et.al 2004). Komitmen juga merupakan sikap yang menuntun atau menengahi

respon nyata seseorang atau niat perilaku seseorang terhadap suatu benda (Ajzen dan Fishbein

1970 dalam Bansal et.al 2004). Bansal, Irving dan Taylor (2004)

mendefenisikan komitmen sebagai kekuatan yang mengikat seseorang pada suatu tindakan

yang memiliki relevansi dengan satu atau lebih sasaran. Buchanan (1997)

menyebutkankomitmen menyangkut tiga sikap yaitu rasa pengidentifikasian dengan tujuan

Page 7: Kepuasan kerja dan tenaga pengajar

organisasi, rasa keterlibatan dan rasa kesetiaan kepada organisasi. Sementara Robbins (2001)

menyebutkan komitmen adalah tingkatan di mana seseorang mengidentifikasikan diri dengan

organisasi dan tujuantujuannyua dan berkeinginan untuk memelihara keanggotaannya dalam

organisasi.

Penelitian dari Baron dan Greenberg (1990) menyatakan bahwa komitmen memiliki

arti penerimaan yang kuat individu terhadap tujuan dan nilainilai perusahaan, di mana

individu akan berusaha dan berkarya serta memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bertahan di

perusahaan tersebut.

Park (dalam Ahmad dan Rajak, 2007) menjelaskan, komitmen guru merupakan

kekuatan bathin yang datang dari dalam hati seorang guru dan kekuatan dari luar itu sendiri

tentang tugasnya yang dapat memberi pengaruh besar terhadap sikap guru berupa tanggung

jawab dan responsive (inavotif) terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.

1. Dimensi Komitmen

Meyer dan Allen (1991) merumuskan tiga dimensi komitmen dalam berorganisasi,

yaitu: affective, continuance, dan normative. Ketiga hal ini lebih tepat dinyatakan sebagai

komponen atau dimensi dari komitmen berorganisasi, daripada jenis-jenis komitmen

berorganisasi. Hal ini disebabkan hubungan anggota organisasi dengan organisasi

mencerminkan perbedaan derajat ketiga dimensi tersebut.

Komitmen afektif (Affective commitment) 

Affective commitment berkaitan dengan hubungan emosional anggota terhadap

organisasinya, identifikasi dengan organisasi, dan keterlibatan anggota dengan kegiatan di

organisasi. Anggota organisasi dengan affective commitment yang tinggi akan terus menjadi

anggota dalam organisasi karena memang memiliki keinginan untuk itu (Allen & Meyer,

1997).

Komitmen kontinyu (Continuance commitment) 

Continuance commitment berkaitan dengan kesadaran anggota organisasi akan

mengalami kerugian jika meninggalkan organisasi. Anggota organisasi dengan continuance

commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena mereka

memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut (Allen & Meyer, 1997).

Komitmen normatif (Normative commitment) 

Normative commitment menggambarkan perasaan keterikatan untuk terus berada

dalam organisasi. Anggota organisasi dengan normative commitment yang tinggi akan terus

menjadi anggota dalam organisasi karena merasa dirinya harus berada dalam organisasi

tersebut (Allen & Meyer, 1997).

Page 8: Kepuasan kerja dan tenaga pengajar

Cut Zurnali (2010) mendefinisikan masing-masing dimensi komitmen organisasional

tersebut sebagai berikut:

a) Komitmen afektif (affective commitment) adalah perasaaan cinta pada organisasi yang

memunculkan kemauan untuk tetap tinggal dan membina hubungan sosial serta

menghargai nilai hubungan dengan organisasi dikarenakan telah menjadi anggota

organisasi.

b) Komitmen kontinyu (continuance commitment) adalah perasaan berat untuk

meninggalkan organisasi dikarenakan kebutuhan untuk bertahan dengan pertimbangan

biaya apabila meninggalkan organisasi dan penghargaan yang berkenaan dengan

partisipasi di dalam organisasi.

c) Komitmen normatif (normative commitment) adalah perasaan yang mengharuskan

untuk bertahan dalam organisasi dikarenakan kewajiban dan tanggung jawab terhadap

organisasi yang didasari atas pertimbangan norma, nilai dan keyakinan karyawan.

2. Pembentukan Komitmen

Komitmen dalam berorganisasi dapat terbentuk karena adanya beberapa faktor, baik

dari organisasi, maupun dari individu sendiri. Dalam perkembangannya affective

commitment, continuance commitment, dan normative commitment , masing-masing

memiliki pola perkembangan tersendiri (Allen & Meyer, 1997).

- Proses terbentuknya Affective commitment 

Ada beberapa penelitian mengenai antecedents dari affective commitment.

Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan tiga kategori besar. Ketiga kategori tersebut yaitu :

Karakterisitik Organisasi. Karakteristik organisasi yang mempengaruhi perkembangan

affective commitment adalah sistem desentralisasi (bateman & Strasser, 1984; Morris &

Steers, 1980), adanya kebijakan organisasi yang adil, dan cara menyampaikan kebijakan

organisasi kepada individu (Allen & Meyer, 1997). Dalam penelitian ini karakteristik

organisasi gereja yang dilihat adalah aliran gereja yang digunakan, bagaimana praktek

kelompok sel dalam gereja tersebut dan bagaimana kedudukan kelompok sel sebagai strategi

gereja.

Karakteristik Individu. Ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa gender

mempengaruhi affective commitment, namun ada pula yang menyatakan tidak demikian

(Aven, Parker, & McEvoy; Mathieu &Zajac dalam Allen & Meyer, 1997). Selain itu usia juga

mempengaruhi proses terbentuknya affective commitment, meskipun tergantung dari

beberapa kondisi individu sendiri (Allen & Meyer, 1993), organizational tenure (Cohen;

Page 9: Kepuasan kerja dan tenaga pengajar

Mathieu & Zajac dalam Allen & Meyer, 1997), status pernikahan, tingkat pendidikan,

kebutuhan untuk berprestasi, etos kerja, dan persepsi individu mengenai kompetensinya

(Allen & Meyer, 1997)

Pengalaman Kerja. Pengalaman kerja individu yang mempengaruhi proses

terbentuknya affective commitment antara lain Job scope, yaitu beberapa karakteristik yang

menunjukkan kepuasan dan motivasi individu (Hackman & Oldham, 1980 dalam Allen &

Meyer, 1997). Hal ini mencakup tantangan dalam pekerjaan, tingkat otonomi individu, dan

variasi kemampuan yang digunakan individu. Selain itu peran individu dalam organisasi

tersebut (Mathieu & Zajac, 1990 dalam Allen & Meyer, 1997) dan hubungannya dengan

atasan. Pengalaman berorganisasi individu didapatkan dari pelayanan yang dilakukannya

dalam gereja tersebut dan juga interaksinya dengan anggota gereja lain seperti pemimpinnya.

- Proses terbentuknya Continuance commitment 

Continuance commitment dapat berkembang karena adanya berbagai tindakan atau

kejadian yang dapat meningkatkan kerugian jika meninggalkan organisasi. Beberapa tindakan

atau kejadian ini dapat dibagi ke dalam dua variable, yaitu investasi dan alternatif. Selain itu

proses pertimbangan juga dapat mempengaruhi individu (Allen & Meyer, 1997).

Investasi termasuk sesuatu yang berharga, termasuk waktu, usaha ataupun uang, yang

harus individu lepaskan jika meninggalkan organisasi. Sedangkan alternatif adalah

kemungkinan untuk masuk ke organisasi lain. Proses pertimbangan adalah saat di mana

individu mencapai kesadaran akan investasi dan alternatif, dan bagaimana dampaknya bagi

mereka sendiri (Allen & Meyer, 1997).

Investasi dan alternatif yang dialami individu dalam organisasi gereja berbeda dengan

organisasi lain. Investasi dan alternatif yang terjadi lebih terkait dengan kegiatan-kegiatan

khas gereja dibandingkan keuntungan materi atau kedudukan yang bisa didapat dari

organisasi profit biasa.

- Proses terbentuknya Normative commitment 

Wiener (Allen & Meyer, 1997) menyatakan normative commitment terhadap

organisasi dapat berkembang dari sejumlah tekanan yang dirasakan individu selama proses

sosialisasi (dari keluarga atau budaya) dan selama sosialisasi saat individu baru masuk ke

dalam organisasi. Selain itu normative commitment juga berkembang karena organisasi

memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi individu yang tidak dapat dibalas kembali

(Allen & Meyer; Scholl dalam Allen & Meyer, 1997). Faktor lainnya adalah adanya kontrak

Page 10: Kepuasan kerja dan tenaga pengajar

psikologis antara anggota dengan organisasinya (Argyris; Rousseau; Schein dalam Allen &

Meyer, 1997). Kontrak psikologis adalah kepercayaan dari masing-masing pihak bahwa

masing-masing akan timbal balik memberi.

3. Meningkatkan Komitmen Guru Dan Karyawan

Secara umum tujuan sekolah adalah memberi bekal pengetahuan, keterampilan, nialai-

nilai dan sikap kepada peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi dan

bekal hidup di masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut semua komponen yang ada di

sekolah harus dikelola sedemikian rupa sehingga semua berfungsi secara

optimal. Karyawan/pegawai merupakan salah satu komponen penting, bahkan paling penting

di sekolah karena semua komponen lain hanya dapat digerakkan oleh guru/karyawan.

Dalam perspektif manajemen sumber daya manusia, guru/karyawan atau orang-orang

yang bekerja di sekolah merupakan salah satu elemen kunci yang penting untuk meraih

kesuksesan dalam mencapai tujuan. Karena itu, pengelolaan sumber daya manusia bagi

sekolah yang ingin unggul dibanding sekolah-sekolah lain merupakan bagian penting dari

praktik-praktik manajemen strategik sekolah. Salah satu upaya yang dapat ditempuh dalam

rangka memberdayakan sumber daya manusia ini adalah dengan memberikan motivasi

kepada para karyawan agar mereka dapat bekerja secara optimal.

Dari aspek guru, proses pembelajaran dapat berjalan dengan efektivitas tinggi apabila

proses ini diawali dengan  perbaikan kinerja guru dalam menangani pembelajaran-

pembelajaran yang inovatif. Guru merupakan faktor kunci dalam proses pendidikan umumnya

dan proses pembelajaran khususnya. Apa pun kurikulum dan sarana yang dimiiki sekolah,

pada akhirnya gurulah yang menggunakan dalam proses pendidikan. Kemampuan kerja guru

yang ditunjang dengan komitmen kerjanya yang tinggi akan muncul dalam ujud kinerja guru

yang baik, yaitu guru yang mampu membimbing siswa dalam belajar dan meningkatkan hasil

belajar siswanya. Sehingga apa pun kemampuan kerja guru, kalau komitmen kerjanya rendah,

kineja profesionalnya juga akan rendah.

Kompetensi dan komitmen merupakan kombinasi yang membentuk sinergi tinggi

apabila didukung oleh kebijakan manajemen yang memberi peluang yang kompetitif bagi

setiap individu dalam organisasi untuk berprestasi dan memperoleh kompensasi yang

seimbang atas prestasi yang mereka capai.

Salah asatu cara untuk meningkatkan komitmen guru / karyawan adalah dengan cara

pendekatan personal oleh pemimpin/ kepala sekolah “Pendekatan Personal (Personal

Approach)” adalah suatu strategi pendekatan yang bersifat orang per orang. Pendekatan

Page 11: Kepuasan kerja dan tenaga pengajar

dilakukan oleh pemimpin terhadap guru-guru yang kinerjanya rendah secara perorangan

dengan tujuan guru yang di minta meningkatkan kinerja tidak merasa dipaksa atau diperintah,

tetapi merasa adanya perhatian dari pimpinnan sehingga akan timbul kesadaran secara pribadi

untuk melakukan apa yang menjadi tuntutan organisasi. Hal ini perlu di pahami oleh

pimpinan bahwa manusia sebagai SDM memiliki criteria dan karakter yang berbeda-beda.

“Pimpinan/Kepala” Sekolah adalah guru yang karena mempunyai criteria tertentu

maka oleh pemerintah di beri tugas tambahan untuk memimpin rekan-rekan dalam suatu

sekolah tanpa menghilangkan tugas pokoknya sebagai guru.

B.Kepuasan Kerja

Salah satu sumber daya yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan di SMA

adalah guru. Unsur ini merupakan key person dalam proses pembelajaran khususnya dan

umumnya dalam pencapaian tujuan pendidikan. Keberhasilan guru dalam mencapai tujuan

pembelajaran terkait dengan permasalahan yang dihadapi guru, salah satunya adalah faktor

kepuasan kerja. Kepuasan kerja guru perlu mendapatkan perhatian yang serius dari

pihakpihak terkait karena faktor ini sangat erat hubungannya dengan pencapaian tujuan dan

kelancaran aktivitas pembelajaran. Guru yang merasa puas dalam bekerja akan bekerja

dengan baik, karena kepuasan kerja itu memungkinkan timbulnya kegairahan, ketekunan,

kerajinan, inisiatif dan kreativitas kerja. Hal ini pada akhirnya akan menghasilkan kualitasdan

produktivitas kerja yang tinggi.

Kepuasan kerja guru ditandai dengan munculnya rasa puas dan terselesaikannya tugas-

tugas yang menjadi tanggung jawab guru tersebut secara tepat waktu, disamping itu

munculnya dedikasi, kegairahan, kerajinan, ketekunan, inisitif dan kreativitas kerja yang

tinggi dalam bekerja. Kepuasan kerja guru menjadi salah satu faktor yang harus diperhatikan,

apabila guru merasakan kepuasan dalam dalam bekerja, maka akan tercipta suasana yang

penuh kebersamaan, memiliki tanggung jawab yang sama, iklim komunikasi yang baik dan

juga semangat kerja yang tinggi sehingga tujuan organisasi atau sekolah dapat tercapai secara

maksimal. Tetapi sebaliknya apabila guru tidak merasa puas, maka akan tercipta suasana yang

kaku, membosankan, dan semangat tim yang rendah.

1. Pengertian Kepuasan Kerja

Pada dasarnya kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual karena setiap

individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan nilai-nilai yang

Page 12: Kepuasan kerja dan tenaga pengajar

berlaku dalam diri setiap individu. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang sesuai

dengan keinginan individu, maka semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan.

Kepuasan kerja merupakan sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai

pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja.

Kepuasan kerja dapat dinikmati dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi dalam dan

luar pekerjaan. Kepuasan dalam pekerjaan adalah kepusasan kerja yang dinikmati dalam

pekerjaan dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan, dan

suasana lingkungan kerja yang baik. Guru yang lebih suka menikmati kepuasan kerja dalam

pekerjaan akan lebih mengutamakan pekerjaannya daripada balas jasa walaupun balas jasa itu

penting.

Secara sederhana, definisi kepuasan kerja merupakan kepuasan yang dirasakan

seorang pekerja secara individual melalui perbandingan antara input yang digunakan dan

hasil yang diperoleh apakah sesuai dengan yang diharapkan. Robbins and Judge (2009)

mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan positive tentang pekerjaan  sebagai hasil

evaluasi karakter-karakter pekerjaan tersebut.

Senada dengan itu, Noe, et. all (2006) mendefinisikan kepuasan kerja  sebagai

perasaan yang menyenangkan sebagai hasil dari persepsi  bahwa pekerjaannya  memenuhi

nilai-nilai pekerjaan yang penting . Selanjutnya Kinicki and Kreitner (2005) mendefinisikan

kepuasan kerja sebagai respon sikap atau emosi terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang. 

Definisi ini memberi arti bahwa kepuasan kerja bukan suatu konsep tunggal. Lebih dari itu

seseorang dapat secara relative dipuaskan  dengan satu aspek pekerjaannya dan dibuat tidak

puas dengan satu atau  berbagai aspek . Dalam pandangan yang hampir sama, Nelson  and

Quick (2006) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu kondisi emosional yang positif

dan menyenangkan  sebagai hasil dari  penilaian pekerjan atau pengalaman pekerjaan

seseorang . 

2. Dimensi Kepuasan Kerja

Celluci dan De Vries (1978) dalam Fuad Mas’ud(2004) merumuskan dimensi-dimensi

kepuasan kerja dalam 5 dimensi sebagai berikut:

a) Kepuasan dengan gaji.

b) Kepuasan dengan promosi.

c) Kepuasan dengan rekan kerja.

d) Kepuasan dengan penyelia.

Page 13: Kepuasan kerja dan tenaga pengajar

e) Kepuasan dengan pekerjaan itu sendiri.

3. Meningkatkan Kepuasan Kerja Guru Dan Karyawan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan. Menurut Gilmer ada beberapa hal

yang mempengaruhi kepuasan kinerja:

a. Kesempatan untuk maju

b. Keamanan kerja

c. Gaji

d. Perusahaan dan manajemen

e. Faktor intrinsik dan pekerjaan

f. Kondisi kerja

g. Aspek social dalam pekerjaan

h. Komunikasi dan

i. Fasilitas

Sedangkan Heidjrachman dan Husnan juga mengemukakan hal yang hampir sama,

bahwa beberapa faktor di bawah ini adalah kebutuhan dan keinginan pegawai:

a. gaji yang baik

b. pekerjaan yang aman

c. rekan sekerja yang kompak

d. penghargaan terhadap pekerjaan

e. pekerjaan yang berarti

f. kesempatan untuk maju

g. pimpinan yang adil dan bijaksana

h. pengarahan dan perintah yang wajar

i. organisasi atau tempat kerja yang dihargai oleh masyarakat

Menurut Loeke (dalam Sule, 2002: 211), kepuasan atau ketidakpuasan guru dan

karyawan tergantung pada perbedaan antara apa yang diharapkan. Apabila yang didapat guru

dan karyawan lebih rendah daripada yang diharapkan akan menyebabkan guru dan karyawan

tidak puas. Begitu juga sebaliknya, apabila yang didapat guru dan karyawan lebih tinggi dari

pada yang diharapkan, secara otomatis akan meningkatkan kepuasan kerja guru dan

karyawan. Disamping itu ada beberapa hal yang mesti dijadikan pondasi bagi setiap

manajemen untuk bisa menciptakan kinerja yang maksimal diantaranya :

a. Pimpinan harus mengetahui betul bagaimana teknik pengerjaan

b. Pimpinan harus mengetahui betul bagaimana kendala-kendala yang dihadapi

Page 14: Kepuasan kerja dan tenaga pengajar

b. Pimpinan harus turun langsung kelapangan,tujuannya agar menciptakan hubungan

baik antar manajemen dengan guru dan karyawan

c. Pimpinan harus bisa memahami bagaimana tingkat kesulitan dari setiap proses

d. Pimpinan harus bisa menemukan teknik agar produktivitas bisa berjalan dengan

e. Baik

Ada pun juga sikap yang harus diambil dalam setiap manajemen Johan, R. (2002) :

a. Siap

b. Siaga

b. Cepat

c. Tanggap

d. Laksanakan

Itulah yang bisa meningkatkan bagaimana efektifitas waktu yang akan ditempuh

dalam satu hari bekerja sehingga meningkatkan mutu efisiensi waktu dalam bekerja dan

manajemen harus bisa menciptakan metode bekerja dengan baik dan bawahan merasa nyaman

dalam metode yang ditemukan tersebut.Tidak dapat dipungkiri jika salah saja metode pada

pihak manajemen maka akan berdampak pada kinerja bawahan sehingga bawahan akan trus

selalu mengikuti metode yang telah diberikan oleh atasan. Suryabrata, S. (2002)

Jika suatu atasan menginginkan produktivitas meningkat maka pikah manajemen terkait mesti

melakukan adanya perombakan sistem metode kerja, guru dan karyawan akan puas dalam

bekerja tanpa adanya tekanan yang berdampak pada pisikologis bagi guru dan karyawan. Hal

demikian akan terjalin hubungan antara manajemen dengan guru dan karyawan.

Ramlan Ruvendi ( 2005: 17) menyebutkan bahwa indikator kepuasan atau

ketidakpuasan kerja pegawai dapat diperlihatkan oleh beberapa aspek diantaranya : 1) jumlah

kehadiran pegawai atau jumlah kemangkiran, 2) perasaan senang atau tidak senang dalam

melaksanakan pekerjaan, 3) perasaan adil atau tidak adil dalam menerima imbalan, 4) suka

atau tidak suka dengan jabatan yang dipegangnya, 5) sikap menolak pekerjaan atau menerima

dengan penuh tanggung jawab, 6) tingkat motivasi para pegawai yang tercermin dalam

perilaku pekerjaan, 7). reaksi positif atau negatif terhadap kebijakan organisasi, dan 8) unjuk

rasa atau perilaku destruktif lainnya.

Menurut Kreitner dan Kinicki (2005) terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi

timbulnya kepuasan  yaitu:

1) Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan). 

Model ini mengajukan bahwa kepuasan ditentukan  tingkatan karakteristik pekerjaan

yang  memungkinkan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.

Page 15: Kepuasan kerja dan tenaga pengajar

2) Discrepancies (perbedaan). 

Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan.

Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh

individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar daripada apa yang diterima, orang akan

tidak puas. Sebaliknya  diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat

diatas harapan.

3) Value attainment (pencapaian nilai). 

Gagasan value attainment adalah bahwa kepuasan merupakan hasil dari persepsi

pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting.

4) Equity (keadilan). 

Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil

individu diperlakukan di tempat kerja. Kepuasan merupakan hasil dari persepsi orang bahwa

perbandingan antara hasil kerja dan inputnya relatif lebih menguntungkan dibandingkan

dengan perbandingan antara keluaran dan masukkan pekerjaan lainnya.

5) Dispositional/genetic components (komponen genetik).  

Beberapa rekan kerja atau teman tampak puas terhadap variasi lingkungan kerja,

sedangkan lainnya kelihatan tidak puas. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa

kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Model

menyiratkan perbedaan individu hanya mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan

kerja seperti halnya karakteristik lingkungan pekerjaan.

Daftar Pustaka

Asfiati, 2000. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Kepala sekolah Kantor

Departemen Agama Kabupaten Tapanuli. Tesis, Padang: PPS UNP Padang.

Aditya, Risky. 2011, Kepuasan Kerja Guru: Studi Deskriptif Pada Guru SLB Kota

Medan,Medan: USU Press.

Page 16: Kepuasan kerja dan tenaga pengajar

Cut Zurnali, 2010, "Learning Organization, Competency, Organizational Commitment, dan

Customer Orientation : Knowledge Worker - Kerangka Riset Manajemen Sumberdaya

Manusia di Masa Depan", Penerbit Unpad Press, Bandung

Fraser, T.M. 1992. Stres dan kepuasan kerja (Terjemahan Mulyana, L.) Jakarta: Pustaka

Binaa Pressendo.

Robbins,  S.P., and T.A., Judge, 2009, Organizational Behavior, Pearson Prentice Hall,

United State Of America, New York, hal. 113

http://chanatha.wordpress.com/2010/01/04/kepuasan-kerja/

http://id.shvoong.com/business-management/management/2190790-pengertian-komitmen/

#ixzz2LrYjJFs1