kepnda syal'iahdan hukum untuk mcmenuhi persyaratan guna...
TRANSCRIPT
PEMBAGIAN WARISAN MASYARAKAT BADUY DESA KANEKES KECAMATANLEUWIDAMAR KABUPATEN LEBAK PROVINSr BANTEN
SKRIPSI
Difljukml kepnda Fakultas Syal'iah dan Hukumuntuk Mcmenuhi Persyara tan Guna Mempcroleh
Oel81' Sa1'jaunHukum (S,H)
Oleh:Ridwan Abdillah
NIM. 1112044100009
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 BJ2016 M
PEMBAGIAN WARISAN MASYARAKAT BADUY DESA KANEKESKECAMATAN LEUWIDAMAR KABUPATEN LEBAK PROVINSI
BANTEN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukumuntuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Ridwan AbdillahNIM: 1112044100009
Dibawah Bimbingan
Drs. SirrH Wafa, MANIP:19600318 199103 1001
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H12017 M
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul "PEMBAGIAN WARISAN MASYARAKATBADUY DESA KANEKES KECAMATAN LEUWIDAMAR KABUPATENLEBAK PROVINSI BANTEN" telah diajukan dalam sidang munaqasyah FakultasSyariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Islam Universitas Islam NegeriSyarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 Januari 2017. Skripsi ini telah diterimasebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-I)pada Program Studi Hukum Keluarga.
Jakarta, 09 Januari 2017MengesahkanDekan,
1. Ketua
2. Sekretaris
3. Pembimbing
4. Penguji I
5. Penguji II
: Dr. H. Abdul Halim ( .NIP. 19670608 1994031005
: Arip Purgon, M.A ( ..
NIP. 197904272003121002 ~ ..., t
.<?#J .-- 'X~': Drs. Sirril Wafa, MA (. ~
NIP.19600318 1991031001I'~ ItI
: HJ.Hotnidah Nasution, MA (.......... . )
:::p~:~i:a: 9~:3 2 002 ( :..:..,J!..~~!~ )NIP .1969061 02003122~~:.->-· - _ ·
11
LEMBARPERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skirpsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Univesitas Islam
Negeri (DIN) SyarifHidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain , maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (DIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 09 Januari 2017
RIDWAN ABDILLAHNIM . 1113044100009
111
ABSTRAK
RIDWAN ABDILLAH, NIM 1112044100009, PEMBAGIANWARISAN MASYARAKAT BADDY DESA KANEKES KECAMATANLEUWIDAMAR KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN, KosentrasiPeradilan Agama, Program Studi Ahwal AI-Syakhiyyah, Fakultas Syariah danHukum, Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah Jakarta, 2016 M/ 1347 H. x+ 75.
Tujuan dari penelitian ini adalah : untuk mengetahui kedudukan laki-lakidan perempuan dalam pembagian waris dan untuk mengetahui dasar hukum yangdigunakan dalam pembagian waris di Masyarakat Adat Baduy. Metode yangdigunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan menggunakanpendekatan studi kasus. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalahwawancara dan studi kepustakaan. Sumber datadiperoleh dari hasil wawancaradan buku-buku, jurnal, karya tulis ilmiah. Dan kemudian data-data yang adadianalisis.
Hasil dari pengamatan penulis Pembagian warisan dalam masyarakatBaduy Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten bahwakedudukan laki - laki & perempuan disamaratakan , dan tidak mengenal istilah(2:1) dua banding satu antara laki - laki dan perempuan. Dan dasar hukum yangdigunakan masyarakat Baduy Dalam adalah aturan adat yang tidak tertulis dalamPikukuli akan tetapi dilaksanakan secara turun temurun sejak zaman dahulu.Adapun perbedaan mendasar antara hukum kewarisan masyarakat Baduy danhukum kewarisan islam itu terletak pada Pikukuh yang menjadi dasar aturan aturan pembagian warisan yang tidak tertulis yang mana dalam hukum kewarisanislam sudah jelas berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.Dan disamping itu jugaada kesamaan antara hukum kewarisan masyarakat Baduy dan juga hukumkewarisan islam bahwa yang menjadi ahli waris ialah keturunan dari orang yangmeninggal dan warisan hanya dapat dibagikan setelah meninggalnya pewaris.Akan tetapi masyarakat Baduy tidak membagikan harta warisan ke garisketurunan ke atas. .
Kata kunci
Pembimbing
DaftarPustaka
: Warisan Baduy Provinsi Banten
: Drs. Sirril Wafa, M.Ag
: Tahun 1975 s.dTahun 2015
IV
KATA PENGANTAR
~j3' ~j3' ~, ~
Alhamdulillahirabbil 'alamin. tiada untaian kata yang pantas diucapkan
melainkan ucapan kalimat puja puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta
alamo Karena rahmat dan karunianya penulis bisa menyelesaikan skripsi yang
berjudul "Pembagian Warisan Masyarakat Baduy Desa Kanekes Kecamatan
Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten" Sholawat berlantunkan
salam semoga tercurahkan kepada manusia pengubah zaman yakni baginda Nabi
Besar Muhammad SAW . Tak lupa juga kepada para Sahabat, Tabiin, dan kita
selaku Umatnya.
Berkat rahmat dan kasih sayang yang diberikan Allah SWT, penulis
mendapatkan kemampuan untuk bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi
ini tidak akan bisa selesai tanpa adanya bantuan, bimbingan, arahan, dukungann,
dan kontribusi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
ingin mengucapkan banyak-banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi
tingginya kepada :
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. , Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Saepuddin lahar, M.A. , Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN SyarifHidayatullah Jakart, beserta Wakil Dekan I, II, dan III.
3. Dr. H. Abdul Halim, M.A. , Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam
dan Arip Purkon, S.HI, M.A. , Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga
Islam.
v
4. Dr. Azizah. MA, selaku dosen pembimbing akademik yang banyak
memberi motivasi kepada penulis.
5. Drs. Sirril Wafa, MA, dosen pembimbing skripsi yang telah sabar dan
banyak membantu serta membimbing penulis dari awal hingga akhir
dalam menye1esaikan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen dan karyawan di lingkunan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN SyarifHidayatullah Jakarta.
7. Pimpinan Perpustakaan Umum, Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum dan Perpustakaan Pascasarjana beserta staff UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan layanan berupa buku-buku
selama penulis menempuh jenjang S1 ini.
8. KH. Bahruddin, S.Ag ( Abi Kyai ) sebagai Pimpinan Pondok Pesantren
Daar El-Hikam, yang telah memberi banyak nasehat serta bimbingan dan
mendidik penulis sclama masa studi di Pondok Pesantren tercinta.
9. Paling istimewa kepada kedua orang tua, Ayahanda Nasan, S,pd, M.Si dan
Ibunda Yuliyanah tercinta. Terimakasih atas segala pengorbanan dan do'a
kepada p~nulis, serta dukungan moril , materil, dan juga tenaga sehingga
penulis dapat mcnyelesaikan penulisan skripsi ini sampai menyelesaikan
studi SI di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .
Serta Adik-Adik dari penulis Arif Abdillah dan Suci Fadilah yang selalu
memberikan do'a dan semangat kepada penulis .
VI
memberikan kontribusi, arahan, bantuan, do'a, dan bimbingannya atas
terselesaikannya penulisan skripsi ini. Semoga ilmu yang penulis dapatkan
dijadikan ilmu yang bermanfaat dan berkah . Dan semoga kita semua selalu dalam
bimbingan, Rahmat, dan Hidayah Allah SWT. Amin Ya Robbal Alamin.
Ciputat, 09 Januari 2017Hormat saya,
Ridwan AbdillahPenulis
V11l
DAFfARISI£TUJUAN PEMBIMBING i
. \ IBAR PENGESAHAN ii
. \ tB.-\R PERNYATAAN ; iii
.:::> ' r R.A.K .iv
- \ .\ PENGANTAR v\ F f R lSI ix
. \ B I :
\B II :
\ B III :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah l
B. Pembatasan Masalah 6
C. Rumusan Masalah 6
D. Tujuan dan Manfaat 6
E. Metode Penelitian 7
F. Studi Review Terdahulu 9
G. Sistematika Penulisan 10
KETENTUAN HUKUM WARIS ISLAM DAN HUKUM WA RIS ADAT
A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam 12
B. Faktor Terjadinya Kewarisan 15
C. Dasar Hukum Waris 19
D. Macam - Macam Ahli Waris 24
E. Asas - asas Hukum Kewarisan Islam .27
F. Hukum Kewarisan Adat. 28
G. Sifat Hukum Waris Adat 31
H. Sistem Kekeluargaan dan Hukum Adat Waris 32
I. Proses Pembagian Harta Warisan 34
PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN MASYARAKAT BADUY DESA
KENEKES KECAMATAN LEUWIDAMAR KAB UPAT EN LEBAK
PROVINSI BANTEN
IX
A. Profil Desa Kanekes Kabupaten Lebak
1. Gambaran Umum Desa 35
2. Adat Istiadat 41
B. Profil Masyarakat Desa Kanekes, Kabupaten Lebak
1. Pendidikan 41
2. Agama 42
C. Praktek Pembagian Waris Masyarakat Baduy Kanekes
Kabupaten Lebak
1. Ahli Wari s 48
2. Praktek Pembagian Waris 50
\8 IV:
.\ 8 V :
ANALISIS PEMBAGIAN WARISAN MASYARAKAT BADUY DESA
KENEKES KECAMATAN LEUWIDAMAR KABUPATEN LEBAK
PROVINSI BANTEN
A. Kedudukan Laki-Iaki dan Perempuan dalam Pemb agian Warisan
Masyarakat Baduy 53
B. Pros es Pembagian Harta Warisan Berdasarkan Adat Masyarakat
Baduy 54
C. Analisis Penulis mengenai Pembagian Wari san Masyarakat
Baduy 57
PENUTUP
A. Kesimpulan 69
B. Saran 70
).\ Fl'AR PUSTAKA 72
x
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah Negara yang kaya akan budaya adat, termasuk dalam hal
pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris diantaranya, waris
menurut hukum BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Masing – masing hukum
tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan yang lainnya.
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimana saja
di dunia ini, namun corak suatu Negara Islam dan kehidupan masyarakat di
Negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum waris di daerah itu.
Pengaruh itu adalah pengaruh terbatas yang tidak dapat melampaui garis pokok
dari ketentuan hukum kewarisan Islam tersebut. Namun, pengaruh tadi dapat
terjadi pada bagian – bagian yang berasal dari ijtihad atau pendapat ahli – ahli
Hukum Islam sendiri.1
Adapun corak hukum kewarisan adat yang dimaksud diatas adalah
serangkaian peraturan yang mengatur penerusan dan pengoperan harta
peninggalan atau harta warisan dari suatu generasi ke generasi lain, baik yang
berkaitan dengan harta benda maupun yang berkaitan dengan hak – hak
kebendaan (materi dan nonmateri).2
Hukum kewarisan adat adalah hukum adat yang memuat garis – garis
ketentuan tentang sistem dan azas - azas hukum kewarisan, tentang harta warisan,
1 Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Cet, Ke-8 (Jakarta: Sinar Grafika,
2004), h.1.
2 Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008). h.2.
2
pewaris, dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan
penguasaan dan pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris.
Masyarakat adat Indonesia mempunyai hukum adat waris masing – masing,
dimana biasanya hukum adat mereka dipengaruhi oleh system kekeluargaan dan
system kewarisan yang mereka anut serta menganggap hukum waris adat lebih
bisa memberikan keadilan bagi ahli waris. Hukum adat pada masing – masing
daerah, seperti hukum adat di jawa berbeda dengan hukum adat di Batak, begitu
juga dengan yang lainnya.
Di masyarakat Batak dan di Bali dengan sifat kebapakan dari
kekeluargaannya, mempunyai anggapan kuat bahwa secara jujur seakan – akan
seorang istri dibeli oleh keluarga seorang suami, maka istri almarhum suaminya
juga dianggap sebagai harta warisan, yang akan jatuh kepada ahli waris dari
suaminya, yang menyebabkan istri dari almarhum akan menjadi istri dari saudara
laki – laki almarhum suaminya (Leviraats huwwlijken).
Seandainya pernikahan dengan saudara laki – laki dari suaminya tidak
terlaksanakan, maka sifat – sifat kebapakan dari keluarganya akan terhapuskan.
Sebagaimana kita ketahui sistem kebapakan yang ada di masyarakat Batak
dan Bali diatas yang mana sistem tersebut memiliki perbedaan dengan adat yang
ada di Lampung, di daerah ini istri dari almarhum tetap menjadi bagian dari
keluarga suami, dengan itikad supaya istri dari almarhum ini tidak akan
terbengkalai hidupnya dan akan tetap menikmati barang yang ditinggalkan dari
suaminya yang meninggal dunia.3
3 Oemarsalim, Dasar – dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 32
3
Dalam masalah sistem kewarisan, di Indonesia dapat dijumpai tiga macam
sistem kewarisan. Pertama adalah sistem kewarisan kolektif, yaitu dimana para
ahli waris dapat mewarisi harta peninggalan secara bersama – sama, mewarisi
harta yang tidak dapat di bagi - bagi atau dimiliki (harta pusaka) hanya dapat
dipakai atau hak pakai (Minangkabau). Kedua, sistem kewarisan individual, yaitu
harta peninggalan dapat di bagi – bagikan kepada ahli waris dengan mewarisi
secara perorangan seperti dalam masyarakat di jawa. Ketiga, adalah sistem
kewarisan Mayorat atau Perorat, yaitu mewariskan seluruh harta peninggalan atau
sebagian besar jatuh pada salah satu anak saja seperti di lampung. Perbedaan
sistem waris ini dilatarbelakangi oleh bentuk masyarakat yang ada.4
Dengan demikian, hukum waris itu memuat ketentuan – ketentuan yang
mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada para
ahli warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta tersebut dapat berlaku sejak
pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. Bentuk peralihannya
dapat dengan cara penunjukan, penyerahan kekuasaan, atau penyerahan
kepemilikan atas benda oleh pewaris kepada ahli warisnya.
Hukum waris suatu golongan masyarakat sangat dipengaruhi oleh bentuk
kekerabatan dari masyarakat itu sendiri, setiap kekerabatan atau kekeluargaan
memiliki sistem hukum waris sendiri – sendiri. Secara teoritis sistem kekerabatan
di Indonesia dapat dibedakan antara tiga corak, yaitu sistem patrilineal, sistem
matrilineal, dan sistem parental atau bilateral. Sistem keturunan ini berpengaruh
4 Ikhwan Lubis, Pelaksanaan Waris Bagi Rata Menurut Penuturan Pemuka Masyarkat Desa
Hutanopan Dalam Perspektif Hukum Islam, (Skripsi S1 Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 2.
4
dan sekaligus membedakan masalah hukum kewarisan, disamping itu juga antara
sistem kekerabatan yang satu dengan yang lain dalam hal perkawinan.5
Salah satu kekayaan budaya di Indonesia adalah masyatakat Suku Baduy,
dengan Agama Sunda Wiwitan sebagai pedoman yang dianutnya, Agama Sunda
Wiwitan masih tetap hidup lestari dan damai di tengah – tengah hutan tua lebat,
hulu sungai dan puncak gunung kendeng banten selatan. Sunda Wiwitan adalah
agama masyarakat Baduy yang menghormati roh Karuhun, nenek moyang .6
Dalam masyarakat Baduy terdapat pola atau sistem kekerabatan tersendiri.
Sistem kekerabatan pada kedudukan nama terletak sebagai seorang keturunan para
Batara. Hubungan kekerabatan bisa dilihat dari tiga sisi yaitu pertama, Kampung
Tangtu, kedua, Kampung Panamping. Ketiga, Pajaroan. Dalam hal itu seluruh
masyarakat Baduy menyatakan bahwa seluruh wilayah desa Baduy adalah
“Tangtu Teulu Jaro Tujuh” yang memiliki arti seluruh penduduk di wilayah
Kanekes Baduy merupakan satu kerabat yang berasal dari satu nenek moyang.
Pandangan hidup umat sunda Wiwitan berpedoman pada Pikukuh, aturan adat
mutlak. Pikukuh adalah aturan dan cara bagaimana seharusnya (wajibnya)
melakukan perjalanan hidup sesuai dengan amanat Karuhun, nenek moyang.
Berbeda dengan umat muslim, yang mana pedoman dan aturan dalam
menjalankan hidup itu mengacu pada Al-Quran dan As-Sunnah, yang mana hal ini
berarti bahwa sumber – sumber hukum selain Al-Quran tidak boleh menyalahi apa
yang telah ditetapkan Al- Quran.
5 Absyar Surwansyah, Tesis, Suatu Kajian Tentang Hukum Waris Adat Masyarakat Bangko
Jambi, Universitas Diponegoro Semarang, h. 3.
6 Maskur Wahid, Jurnal, Sunda Wiwitan Baduy, Agama Penjaga Alam Lindung Desa Kanekes
Banten. IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten. h. 2.
5
Ketentuan – ketentuan Syari’at yang ditunjuk oleh nash – nash yang sharih,
termasuk didalamnya masalah pembagian warisan, selama tidak ada dalil (nash)
lain yang menunjukkan ketidakwajibannya, merupakan suatu keharusan yang
patut dilaksanakan oleh seluruh umat Islam.7
Masyarakat Suku Baduy mempunyai cara tersendiri dalam menyelesaikan
hubungan hukum yang ditimbulkan yang berkaitan dengan harta peninggalan
seorang yang telah meninggal dunia dengan anggota keluarga dan keturunan yang
ditinggalkan.
Dalam menyelesaikan segala masalah dalam adat Baduy masih murni
mengikuti aturan Pikukuh yang ada. Tidak ada intervensi dari lembaga Negara
manapun termasuk dalam pembagian warisan bagi masyarakat Baduy. Sperti
dalam perkawinan adat Baduy yang mana tidak dilaksanakan di hadapan pegawai
pencatat nikah, akan tetapi perkawinan dilaksanakan dihadapan Puun yaitu tetuah
adat yang menjadi panutan dan pemimpin di Balai Adat yang memimpin segala
penyelesaian masalah.
Dengan demikian dari paparan di atas terjadi perbedaan pendapat
dikalangan masyarakat, ketika terjadinya kematian di masyarakat Baduy,
bagaimana pembagian harta warisan yang dilakukan sesuai dengan aturan adat
Baduy tersebut. Dan bagaimana kedudukan para ahli waris tersebut dimata
hukum. Dan apakah ada kaitan atau kesamaan sistem pembagian waris di adat
Baduy dengan Hukum Islam.
7 Suparman Usman dan Yufuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Jakarta :
Gaya media Pratama, 1997, h.15.
6
B. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dan agar penelitian ini lebih akurat
dan terarah sehingga tidak menimbulkan masalah baru serta meluas maka penulis
membatasi pembahasan ini pada masalah praktek pembagian warisan di
masyarakat Suku Baduy di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten
Lebak Provinsi Banten.
C. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah, dibuat dalam bentuk pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan laki-laki dan perempuan dalam pembagian waris di
Masyarakat Baduy Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak
Provinsi Banten dan apa dasar hukum pembagian waris tersebut?
2. Apa perbedaan dan persamaan mendasar antara hukum kewarisan Masyarakat
Baduy Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten
dengan hukum kewarisan Islam yang berlaku?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui kedudukan laki-laki dan perempuan dalam pembagian waris dan
untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan dalam pembagian waris
masyarakat Baduy di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak
Provinsi Banten.
7
2. Mengetahui perbedaan mendasar antara hukum kewarisan masyarakat Baduy
Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten dengan
Hukum Kewarisan Islam.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Kita dapat mengetahui pengembangan wawasan mengenai masalah waris,
terutama pembagian harta warisan menurut adat suku Baduy.
2. Kita dapat mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap pembagian warisan di
adat Suku Baduy desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar.
E. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Berdasarkan pada tujuan penelitian, jenis penelitian ini merupakan
penelitian eksploratif, maka cara yang dilakukan adalah penelitian yang bersifat
penelitian lapangan (field research) yaitu upaya untuk mengungkapkan secara
faktual “pembagian harta warisan menurut adat masyarakat Baduy Desa Kanekes
Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten”.
2. Jenis data penelitian
a. Data Primer
Adapun data primer dalam penelitian ini adalah pelaku/ahli waris dari
wawancara dari para sumber yang dirasa berkompeten dan ahli dalam
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
8
b. Data Sekunder : Buku-buku, Journal, artikel dan sebagainya yang berkaitan dan
ada korelasi serta relevansinya dengan permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini.
3. Teknik pengumpulan data
a. Observasi
Dengan observasi ini,penulis mengadakan pengamatan langsung terhadap
objek penelitian yaitu tentang pembagian warisan berdasarkan adat masyarakat
Baduy Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi
Banten.. Pengamatan yang dilakukan difokuskan pada berbagai peristiwa yang
relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan.
b. Wawancara
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik wawancara. Teknik
wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara
mendalam. Wawancara mendalam (in-depth interview)8 adalah proses keterangan
untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab dengan para Tokoh Adat
Masyarakat Baduy dan Kepala Desa Kanekes sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai.
c. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan (Library Research) yaitu metode yang digunakan untuk
mengumpulkan serta menganalisa data yang diperolah dari literatur-literatur yang
berkenaan dengan permasalahan yang diangkat dalam pemelitian ini.
d. Lokasi Penelitian
8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1986).h. 231.
9
Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti Masyarakat Baduy Desa
Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Penulis
mengambil lokasi ini dikarenakan lokasi tersebut merupakan salah satu lokasi
yang unik dan belum diketahui sistem pembagian warisnya.
e. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini mengacu
kepada “Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
F. Studi Review Terdahulu
Sebelum penentuan judul bahasan dalam skripsi ini, penulis melakukan
review kajian terdahulu yang berkaitan dengan judul yang penulis bahas. Review
kajian terdahulu yang berkaitan dengan penulis diantaranya :
1. Skripsi Asep Saefullah NIM 103044128108 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, judul skripsi : “Analisa perbandingan hukum
kewarisan adat sunda dengan hukum kewarisan Islam”. Skripsi ini membahas
bagaimana eksistensi hukum kewarisan adat sunda dan hukum kewarisan Islam
dalam praktiknya di masyarakat di desa Cibingbin Kecamatan Cibingbin
Kabupaten Kuningan Jawa Barat.
2. Skripsi Moh. Ikhwan Mufti NIM 107044201799, judul skripsi : “Kesetaraan
pembagian waris dalam adat Bawean Gresik Jawa Timur”. Skripsi ini membahas
dasar hukum pembagian waris adat Bawean di Gresik Jawa T imur dan bagaimana
kedudukan para ahli waris dalam adat Bawean Gresik Jawa Timur.
10
3. Skripsi Andri Widiyanto Alfaqih NIM 10350067 Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, judul skripsi : “Tinjauan Hukum Islam terhadap pembagian
harta waris di Dusun Wonokasihan Desa Sojokerto Kecamatan Leksono
Kabupaten Wonosobo”. Skripsi ini membahas tentang bagaimana tinjauan
Hukum Islam terhadap praktik pembagian harta warisan yang dilaksanakan oleh
masyarakat Dusun Wonokasihan.
Perbedaan dengan skripsi yang penulis teliti adalah dalam penelitian ini
penulis meniliti tentang latar belakang pembagian warisan di Suku Baduy dalam
dan Baduy luar Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi
banten, dan bagaimana proses pembagian warisan pada masyarakat Baduy dalam
dan Baduy luar. Serta bagaimana dasar hukum dalam pembagian warisnya.
G. Sistematika Penulisan
Agar dalam penulisan skripsi ini menjadi terarah dan tidak mengambang,
penulis membuat sistematika penulisan yang disusun per bab. Dalam skripsi ini
terdiri dari lima bab, dan setiap bab memiliki subbab yang menjadi penjelasan dari
masing-masing bab tersebut. Skripsi ini diakhiri dengan kesimpulan hasil
penelitian dan saran bagi para pembaca. Adapun sistematika penulisan tersebut
ialah sebagai berikut :
Bab pertama menyajikan tentang pendahuluan yang merupakan suatu
pengantar umum pada tulisan berikutnya yang meliputi : latar belakang,
pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian,
review studi terdahulu, dan sistematika penulisan.
11
Bab kedua adalah tinjauan umum tentang hukum Kewarisan Islam, bab ini
menguraikan tentang pengertian Hukum Waris Islam, dasar Hukum Waris Islam,
harta, rukun dan syarat pembagian warisan, sebab-sebab mendapatkan harta
warisan dan tentang macam-macam ahli waris beserta metode pembagian waris.
Uraian kewarisan Islam diletakkan dalam bab dua dimaksud untuk dijadikan dasar
analisis perbandingan dan tinjauan terhadap pembagian warisan secara
kekeluargaan yang disajikan dalam bab empat.
Bab ketiga merupakan pembahasan mengenai praktek pembagian warisan
di masyarakat Baduy dalam dan Baduy luar, bab ini menguraikan tentang Profil
Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar, Profil Masyarakat Baduy Dalam dan
Baduy Luar, dan praktek pembagian waris masyarakat Baduy Dalam dan Baduy
Luar.
Bab keempat adalah analisa penulis terhadap praktek pembagian warisan
masyarakat Baduy Dalam dan Baduy Luar Desa Kanekes Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak yang meliputi kedudukan laki-laki dan perempuan
pada prakteknya dan dasar hukum yang digunakan dan perbedaan mendasar
hukum kewarisan Baduy Dalam dan Baduy Luar dengan Hukum Kewarisan
Islam.
Bab kelima merupakan bab penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-
saran.
12
BAB II
KETENTUAN – KETENTUAN HUKUM WARIS
A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam
Dalam beberapa literature Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan
Hukum Kewarisan Islam, seperti Fiqh Mawaris, ilmu Faraidh, dan hukum
kewarisan. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan arah yang
dijadikan titik utama dalam pembahasan.
Fiqh mawaris adalah kata yang berasal dari bahasa arab fiqh dan mawaris.
Untuk mengetahui maksud dan pembahasannya lebih lanjut, sebaiknya
terlebih dahulu kita mengetahui tentang pengertian fiqh mawaris itu.
Fiqh menurut bahasa berarti mengetahui, memahami, yakni mengetahui
sesuatu atau memahami sesuatu sebagai hasil usaha mempergunakan pikiran yang
sungguh – sungguh.9
Prof. Daud Ali Memberikan pemahaman, bahwa fiqh adalah memahami dan
mengetahui wahyu ( Alquran dan Alhadis ) dengan menggunakan penalaran akal
metode tertentu, sehingga diketahui ketentuan hukumnya dengan dalil secara
rinci. Sebagaimana dijelaskan dalam surah At-Taubah ayat 122.
هوا ف تفق نهم طائفة لل فرقة ملين فلول نفر من كل ... ٱلل
9 Moh. Muhibbin & Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan
hukum Positif Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). h. 5.
13
... mengapa tidak pergi dari tiap – tiap golongan diantara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama…
Menurut istilah ulama, fiqh ialah suatu ilmu yang menerangkan segala hukum
syara’ yang berhubungan dengan amaliyah, dipetik dari dalil – dalilnya yang rinci
(tafsili). Maka dia melengkapi hukum – hukum yang dipahami para mujtahid
dengan jalan ijtihad dan hukum yang tidak diperlukan ijtihad, seperti hukum yang
dinashkan dalam Alquran, Assunnah, dan masalah ijmak.
Dari pengrtian diatas, dapat disimpulkan bahwa fiqh itu sebagai ilmu
Sedangkan kata mawaris diambil dari bahasa Arab, Mawaris bentuk jamak dari
.yang berati harta peninggalan yang diwarisi oleh ahli warisnya (miiraats) ميراث10
Dalam hal kematian (meninggalnya) seseorang, pada prinsipnya, segala
kewajiban perorangannya tidak beralih kepada pihak lain. Adapun yang
menyangkut harta kekayaan dari yang meninggal tersebut beralih kepada pihak
lain yang masih hidup, yaitu kepada orang - orang yang telah ditetapkan sebagai
pihak penerimanya.11
Proses peralihan harta kekayaan dari yang meninggal kepada yang masih
hidup inilah yang diatur oleh Hukum Waris / Ilmu Faraidh.12
Perbedaan pendapat dikalangan ulama mujtahid dalam menginterpretasikan
ayat – ayat faraidh bukan hanya disebabkan tidak adanya petunjuk penyelesaian
10
Moh. Muhibbin & Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan
hukum Positif Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). h. 7 11
Suparman Usman & Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta: Radar Jaya Jakarta, 2002). h. 13. 12
Suparman Usman & Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
h.13.
14
dalam al- Quran, tetapi juga dikarenakan adanya lafaz dalam ayat faraidh yang
mungkin menimbulkan keraguan dalam mengartikannya. Usaha memecahkan
keraguan tersebut pada akhirnya menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan
para mujtahid.13
Adapun beberapa perbedaan para mujtahid di bawah ini adalah sebagai berikut
a. Muhammad al – Syarbini mendefinisikan ilmu faraidh sebagai berikut :
الفقه المتعلق باإلرث و معرفة الحساب الموصل إلى معرفة ذلك
.ومعرفة قدر الواجب من التركة لكل ذى حق
Ilmu fiqh yang berkaitan dengan pewarisan, pengetahuan tentang cara
perhitungan yang dapat menyelesaikan pewarisan tersebut, dan pengetahuan
tentang bagian – bagian yang wajib dari harta peninggalan bagi setiap pemilik
hak waris (ahli waris).14
b. Muhammad Muhyidin Abdul Hamid mendefinisikan sebagai berikut :
العلم الموصل إلى معرفة قدر ما يجب بكل ذي حق من التركة
Ilmu yang membahas tentang kadar ( bagian ) dari harta peninggalan bagi
setiap orang yang berhak menerimanya ( ahli waris).
c. Rifa’i Arif mendefinisikan sebagai berikut :
لورثة و النصيب المقدر لهم و طريقة قواعد و أصول تعرف بها ا
التركة لمستحقها
Kaidah – kaidah dan pokok – pokok yang membahas tentang para ahli waris,
bagian – bagian yang telah ditentukan bagi mereka (ahli waris), dan cara
membagikan harta peninggalan kepada orang (ahli waris ) yang berhak
menerimanya.
13
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004). h. 38. 14
Suparman Usman & Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta: Radar Jaya Jakarta, 2002). h. 14.
15
Dari definisi – definisi diatas, dapatlah dipahami bahwa ilmu faraidh atau fiqh
mawaris adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal pemindahan harta
peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik
mengenai harta yang ditinggalkannya, orang – orang yang berhak menerima harta
peninggalan tersebut, bagian masing – masing ahli waris, maupun cara
penyelesaian pembagian harta peninggalan itu.15
B. Faktor Terjadinya Kewarisan
1. Hubungan Perkawinan.
Hubungan perkawinan adalah suami - istri saling mewarisi karena mereka
telah melakukan Aqad perkawinan secara sah. Dengan demikian, suami dapat
menjadi ahli waris dari istrinya. Demikian pula sebaliknya, istri dapat menjadi ahli
waris dari suaminya.
Dalam surah al – Nisa, 4 : 12 disebutkan :
( ۲۱: سورة النساء ) ....و لكم نصف ما ترك أزواجكم
Dan bagimu ( suami – suami ) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri – istrimu…
15
Suparman Usman & Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta: Radar Jaya Jakarta, 2002). h. 15
16
2. Hubungan Nasab
Untuk menyatakan adanya hubungan nasab dari komponen yang disodorkan
oleh Alquran, maka dalam hukum kewarisan dikenal dengan tiga macam
kekerabatan nasab , yakni :
a. Keluarga garis lurus ke bawah, yakni anak dan cucu.
b. Keluarga garis lurus ke atas, yakni ayah dan ibu.
c. Keluarga garis ke samping, yakni keluarga yang sama – sama mempunyai
hubungan nasab yang terdekat. Misalnya, saudara sekandung atau seayah
seibu.
3. Hubungan Memerdekakan Budak
Yang dimaksud dengan hubungan wala adalah seseorang menjadi ahli waris
karena ia telah memerdekakan budaknya. Jadi apabila seseorang telah
dimerdekakan oleh tuannya, maka ketika ia wafat, ahli warisnya adalah bekas
tuannya itu.
Jadi dapat ditegaskan bahwa hubungan wala menjadi salah satu sebab
terjadinya kewarisan karena Alquran menganut prinsip persaudaraan.
Persaudaraan dibutuhkan dalam semua bidang kehidupan, termasuk dalam hal
kewarisan berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Ahzab, 33 : 6 yang
menyatakan bahwa saling mewarisi antara sesama ummat Islam adalah perbuatan
terpuji.16
16
Ali Parman, Kewarisan Dalam Al- Quran, suatu kajian hukum dengan pendekatan
tafsir tematik, Cet-1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 70.
17
Untuk terjadinya pewarisan, diperlukan tiga rukun (unsur), yaitu sebagaimana
ditulis oleh Sayyid Sabiq :
وهو الذي ينتمى إلى الميت بسبب من أسباب الميراث: الوارث . ۲
و هو الميت حقيقة أو حكما مثل المفقود الذي حكم : المورث . ۱
بموته
و هو المال أو الحق المنقول , يسمى تركة أو ميراثاو : الموروث .۳
من المورث إلى الوارث
1. Ahli waris, yaitu orang yang dihubungkan kepada si mati dengan salah
satu sebab – sebab pewarisan;
2. Pewaris, yaitu si mati, baik mati haqiqi maupun hukmi, seperti orang
hilang, yang oleh hakin dinyatakan telah meninggal dunia;
3. Warisan, dinamakan juga dengan tirkah atau mirats, yaitu harta atau hak
yang berpindah dari sipewaris kepada ahli waris.
Ketiga rukun diatas berkaitan antara satu dengan yang lainnya ketiganya harus
ada dalam setiap pewarisan. Dengan kata lain pewarisan tidak mungkin terjadi
manakala salah satu diantara ketiga unsur diatas tidak ada.
Sebagaimana rukun pewarisan, syarat pewarisan pun ada tiga, yaitu:
موت المورث حقيقة أو موته حكما كأن يحكم القاضي بموت .۲
المفقود
لوارث بعد موت المورث و لو حكما كالحملحياة ا.۱
اال يوجد مانع من موانع اإلرث.۳
1. Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum seperti
keputusan hakim atas kematian orang yang mafqud (hilang)….
2. Hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris, walaupun secara hukum
seperti anak dalam kandungan…
3. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang – penghalang
pewarisan.17
17
Suparman Usman & Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta: Radar Jaya Jakarta), 2002. h. 24.
18
Dengan adanya syarat pertama diatas, maka segala harta dan hak seseorang
tidak boleh dibagikan, kecuali orang tersebut benar – benar telah meninggal dunia
atau hakim memutuskan kematiannya, seperti orang yang menghilang misalnya.
Apabila hakim telah memutuskan kematian orang tersebut, dengan bukti – bukti
yang kuat, maka saat itu barulah harta peninggalannya dapat dibagikan diantara
ahli warisnya.
Dengan syarat kedua, maka kelayakan seseorang sebagai ahli waris dapat
terjamin, sebab ahli warislah yang akan menerima perpindahan harta peninggalan
orang yang meninggal dunia, dan hal itu tidak mungkin terjadi manakala ahli
waris tersebut telah meninggal terlebih dahulu dan atau meninggal bersama –
sama dengan pewarisnya.
Dengan syarat ketiga, diharapkan, para ahli waris berupaya untuk tidak
melakukan hal – hal yang sekiranya dapat menolaknya untuk menerima harta
peninggalan si pewaris.
Faktor – faktor penghalang warisan yang sudah disepakati ulama syariat yaitu
jika salah satu hal tersebut ada, maka ia dapat menghalangi seseorang
mendapatkan warisan, meskipun semua syarat dan sebab pewarisan sudah
terpenuhi, ada tiga faktor.
Pertama, perbudakan. Kedua, pembunuhan, yaitu ahli waris membunuh
pewarisnya. Ketiga, perbedaan agama.18
18
Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Panduan Waris Empat Madzhab, Cet – Pertama,
(Jakarta: Pustaka Al – Kautsar), 2006. h. 47.
19
C. Dasar Hukum Waris
Sumber – sumber hukum ilmu faraidh adalah Al-Quran, as-Sunnah Nabi
SAW. dan ijmak para ulama. Ijtihad atau qiyas di dalam ilmu faraidh tidak
mempunyai ruang gerak, kecuali jika ia sudah menjadi ijmak para ulama.19
Sedangkan dasar dan sumber utama dari Hukum Islam sebagai hukum agama
(Islam) adalah nash atau teks yang terdapat dalam Al-Quran dan sunnah Nabi
yang secara langsung mengatur kewarisan tersebut antar lain sebagai berikut :
1. Ayat- ayat Al-Quran
ا ا ترك الوالدين واألقربون و للنساء نصيب مم للرجال نصيب مم
ا قل منه أو كثر نصيبا مفروضا ) ۷: النساء )ترك الوالدان واألقربون مم
Bagi orang laki – laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu – bapak
dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak dan bagian pula dari harta
peninggalan ibu – bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah di tetapkan.(QS. An-Nissa ayat 7).
Ketentuan dalam ayat diatas, merupakan landasan utama yang menunjukan,
bahwa dalam Islam baik laki – laki maupun perempuan sama – sama mempunyai
hak waris dan sekaligus merupakan pengakuan Islam, bahwa perempuan
merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban. Tidak demikian
halnya pada masa jahiliyah, dimana wanita dipandang sebagai objek bagaikan
benda biasa yang dapat diwariskan.
19
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris,(Jakarta: Cet –
Pertama, Sebayan Abadi Publishing, 2004). h. 12
20
Sebagai pertanda yang lebih nyata, bahwa Islam mengakui wanita sebagai
subjek hukum, dalam keadaan tertentu mempunyai hak waris, sedikit ataupun
banyak yang telah dijelaskan dalam beberapa ayat Al-Quran.
QS. An-Nisaa ayat 8 :
ٱلقسمة حض إوذا ولوا
ىمى و ٱلقربى أ ك و ٱلت زقوهمف ي ٱلمسى نه وقولوا ٱر ملا وفا عر ٨لهم قولا م
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat ( kerabat yang tidak
mempunyai hak warisan dari harta benda pusaka), anak yatim dan orang miskin
maka berilah mereka dari harta itu ( pemberian sekadarnya itu tidak boleh lebih
dari sepertiga harta warisan atau sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik.
QS. An-Nisaa ayat 11 :
يوصيكم ٱلل كر مثل حظل ىدكم لذل ول
ن ف أ نثييساءا فوق ٱل فإن كن ن
ىحدةا فلها ٱثنتي إون كنت و لصف فلهن ثلثا ما ترك ىحد ٱل و لكل بويه
ول
نهما دس مل ا تر ٱلس ۥإن كن ل ك مم م يكن ل ورثه ۥول فإن ل بوا ۥ ول و
ه أ ه مل
ۥ فإن كن ل ٱثللث فل ه مل
فل دس إخوة و ٱلس
أ ة يوص بها من بعد وصي
ي
ون أ بناؤكم ل تدر
ءاباؤكم وأ ن هم دين ا فريضةا مل قرب لكم نفعا
ه أ ٱلل إن ا كن علي ٱلل ١١ما حكيما
Allah mensyariatkan bagimu tentang ( pembagian pusaka untuk ) anak –
anakmu. Yaitu bagian seorang laki – laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan ( karena kewajiban laki – laki lebih berat dapi perempuan, seperti
kewajiban membayar maskawin dan member nafkah); dan jika anak itu semuanya
21
perempuan lebih dari dua ( dua atau lebih atau sesuai dengan apa yang
diamalkan oleh Nabi) maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separuh harta. Dan untuk dua orang ibu – bapak, bagi masing – masingnya
seper-enam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai
anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu
– bapaknya ( saja ) maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu
memiliki beberapa saudara maka ibunya mendapat seperenam. ( pembagain –
pembagian tersebut diatas )sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. ( tentang ) orang tuamu dan anak – anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat ( banyak ) manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui
lagi maha bijaksana.
QS. An-nisaa ayat 12 :
ىجك زو
هن ول فإن كن لهن ول ۞ولكم نصف ما ترك أ م يكن ل م إن لبع فلكم و دينن ولهن ٱلر
أ يوصي بها ة ا تركن من بعد وصي بع مم ا ٱلر مم
م يكن لكم ول ا تركتمن ٱثلمن فإن كن لكم ول فلهن تركتم إن ل مم و
ىلة أ رث كل رجل يو ن و دين إون ك
أ ة توصون بها ن بعد وصي مل ة
ۥ ول ٱمرأ
نهما ىحد مل وخت فلكل
و أ
خ أ
دس أ ٱلس
أ ىلك فهم كث فإن كنوا من ذ
كء ف ن ٱثللثن ش ةا مل وصي و دين غي مضارل
أ ة يوصى بها ه من بعد وصي ٱلل و ١٢عليم حليم ٱلل
Dan bagimu ( suami – suami ) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
istri – istrimua. Jiak mereka tidak mempunyai anak. Jika istri – istrimu itu
mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau ( dan ) sudah
dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak maka
istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau ( dan ) sesudah dibayar hutang –
hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki – laki maupun perempuan yang tidak
meniggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki – laki ( seibu saja ) atau seorang saudara perempuan ( seibu saja )
22
maka baigan masing – masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Teteapi jika saudara – saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat ( kepada ahli
waris ). ( Allah menetapkan yang demikian itu sebagai ) syariat yang benar –
benar dari Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha penyayang.
QS, An-nisaa ayat 176 :
قل يستفتونك ن يفتيكم ف ٱلل ىلة إن ٱلكل ۥ ول ول ۥهلك ليس ل ٱمرؤاها ول فإن كنتا م يكن ل إن ل خت فلها نصف ما ترك وهو يرثها
ٱثنتي أ
ا ترك ٱثللثان فلهما مم ثل حظل كر م خوةا رلجالا ونساءا فلذل إ إون كنوا نثيي
ٱل يبيل ه و ٱلل ن تضلوا
لكم أ ء عليم ٱلل ش
١٧٦بكلل
Mereka meminta fatwa kepadamu ( tentang kalalah ). Katakanlah : Allah
member fatwa kepadamu tentang kalalah ( yaitu ) : jika seseorang meninggal
dunia, dia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki – laki mempusakai ( sleuruh harta saudara perempuan ),
jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang,
maka bagi keduanya duapertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. Dan jika mereka ( ahli waris itu terdiri atas ) saudara – saudara laki
– laki dan perempuan maka bagian seorang saudara laki – laki sebanyak bagian
dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan ( hukum ini ) kepadamu,
supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Hadis Nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang kewarisan
adalah sebegai berikut.
a. Hadis Nabi dari Abdullah ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari :
23
: عن إبن عباس رضى هللا عنه عن النبي صلى هللا عليه و سلم قال
(البخاري رواه ) ألحقوا الفرائض بأهلها فما بقي فهو ألولى رجل ذكر 20
Berikanlah faraidh ( bagian yang ditentukan ) itu kepada yang berhak dan
selebihnya berikanlah kepada laki – laki.
b. Hadis Nabi menurut Usamah bin Zaid menurut riwayat Tarmidzi :
عن أسامة بن زيد رضي هللا عنهما أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال
(رواه الترمذي ) ال يرث المسلم الكافر و ال الكافر المسلم 21
Dari Usamah bin Zaid bahwa Nabi SAW bersabda : seorang muslim tidak
mewarisi harta orang non muslim dan orang non muslim pun tidak dapat
mewarisi harta orang muslim.
Hadis Nabi dari ibnu ‘Amr Al-Huseini menurut riwayat At-Tirmidzi :
عن عمرو بن مسلم عن طاوس عن عائشة قالوا قال رسول هللا صلى هللا
(رواه الترمذي ) عليه وسلم الخال وارث من ال ورث له 22
Dari ‘Amr bin Muslim dari Thawus, dari aisyah yang berkata : bersabda
Rasulullah SAW. “ saudara laki –laki ibu menjadi ahli waris bagi yang tidak ada
ahli warisnya”.
Meskipun Al-Quran dan Al- Hadis sudah memberikan ketentuan
terperinci mengenai pembagain harta warisan, dalam beberapa hal masih
diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal – hal yang tidak ditentukan dalam
20
Muhammad Bin Isma’il Al – Bukhori, Shahih Bukhari, (Mesir: Daarul ‘Aalamiyyah,
Cetakan Pertama, 2014) Jilid Ke-4. BAB Faraidh. h. 5. 21
Imam Abu Hasan Al-Muslim, Shahih Muslim, (Mesir: Maktabah Mishri, Cetakan
Pertama, 2007) Jilid Ke – 1.h. 801 22
Muhammad Bin Isma’il Al-Shan’ani, Subulussalaam, (Bairut: Daarul Fikr, 1991)
Cetakan Ke – 1, Juz 3.h. 193.
24
Al-Quran maupun Al-Hadis. Misalnya mengenai bagian warisan banci (waria),
diberikan kepada siapa harta warisan yang tidak habis terbagi, bagian ibu apabila
hanya bersama – sama dengan ayah dan suami atau istri dan sebagainya.
D. Macam – Macam Ahli Waris
Secara umum, ahli waris dapat dikelompokkan kepada dua kelompok, yaitu :
ahli waris sababiyah dan ahli waris Nasabiyah.
1. Ahli waris sababiyah ialah orang yang berhak mendapatkan bagian harta
warisan, karena adanya sebab, yaitu adanya akad perkawinan, sehingga
antara suami dan istri mempunyai hubungan saling mewarisi.
2. Ahli waris Nasabiyah ialah orang yang berhak memperoleh harta warisan
karena ada hubungan nasab (hubungan darah / keturunan).23
a. Furu’ al – mayyit yaitu hubungan nasab menurut garis lurus keturunan
ke bawah.
b. usul al – mayyit ialah ahli waris yang merupakan asal keturunan dari
orang yang mewariskan, atau hubungan nasab garis keturunan keatas.
c. Al-Hawasyi, yang dimaksud dengan al-hawasyi ialah, hubungan
nasab dari arah menyamping.
Dengan melihat kepada apa yang secara dzahir disebutkan dalam al-Quran dan
ditambahkan oleh Nabi terlihat ada enam furudh dan ahli waris yang
23
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan (suatu analisis komparatif pemikiran
mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam), Cetakan Ke – 1,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2012). h. 99.
25
menerimanya disebut dzaul furudh. Mereka adalah sebagaimana dirinci dibawah
ini :
1. Furudh 1 / 2. Ahli waris yang memperoleh furudh ini adalah :
• Anak perempuan bila ia hanya sendiri saja;
• Saudara perempuan bila ( kandung atau seayah ) ia hanya seorang saja;
• Suami, bila pewaris tidak ada meninggalkan anak.
2. Furudh 1 / 4. Ahli waris yang menerima furudh 1/ 4 ini adalah:
• Suami, bila pewaris ( istri ) meninggalkan anak;
• Istri, bila si pewaris (suami ) tidak meninggalkan anak.
3. Furudh 1 / 8. Ahli waris yang menerima furudh ini adalah :
• Istri, bila pewaris meninggalkan anak.
4. Furudh 1 / 6. Ahli waris yang berhak menerima furudh ini adalah :
• Ayah, bila pewaris meninggalkan anak;
• Kakek, bila pewaris tidak meninggalkan anak;
• Ibu, bila pewaris meninggalkan anak;
• Ibu, bila pewaris meninggalkan beberapa saudara;
• Nenek, bila pewaris tidak meninggalkan ibu;
• Seorang saudara seibu laki – laki atau perempuan.
5. Furudh 1 / 3. Ahli waris yang memperoleh furudh 1/ 3 ini adalah :
• Ibu, bila ia mewarisi bersama ayah dan pewaris tidak meninggalkan anak
atau saudara;
• Saudar seibu laki – laki atau perempuan, bila terdapat lebih dari
seseorang.
26
6. Furudh 2/ 3. Ahli waris yang menerima furudh 2/ 3 ini adalah :
• Anak perempuan bila ia lebih dari dua orang;
• Saudara perempuan kandung atau seayah, bila ia dua orang atau lebih.24
Dilihat dari bagian yang diterima, berhak atau tidaknya mereka menerima
warisan, ahli waris dibedakan menjadi tiga :
a. Ahli waris ashab al – furud yaitu ahli wariss yang telah ditentukan bagain
– bagiannyan seperti 1 / 2, 1 / 3, dan lain – lain.
b. Ahli waris ashab al – ‘ashabah yaitu ahli waris yang ketentuan bagiannya
adalah menerima sisa setelah diberikan kepada ashab al – furudh, seperti
anak laki – laki, ayah, paman, dan lain sebagainya.
c. Ahli waris dzawil arham yaitu orang yang sebenarnya mempunyai
hubungan darah dengan si pewaris, namun dalam ketentuan nash tidak
diberi bagian, maka mereka tidak berhak menerima bagian. Kecuali
apabila ahli waris yang termasuk ashab al – furud dan ashab al – ‘ashabah
tidak ada.25
Dari segi hubungan jauh dekatnya kekerabatan, ahli waris dapat dibedakan
menjadi :
1. Ahli waris hajib yaitu ahli waris yang dekat hubungan kekerabatannya
menghalangi hak waris ahli waris yang jauh hubungannya. Contohnya,
anak laki – laki menjadi penghalang bagi saudara perempuan.
24
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Kencana, 2004). h. 44.
25
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003),
h. 384.
27
2. Ahli waris mahjub yaitu ahli waris yang jauh hubungan kekerabatannya,
dan terhalang untuk mewarisi.26
Prinsipnya, ahli waris yang menghalangi (hajib) adalah mereka yang lebih
dekat hubungan kekerabatannya, sedangkan ahli waris yang terhijab (mahjub)
adalah mereka yang jauh hubungan kekerabatannya.
Adapun ahli waris sababiyah , terdiri dari duda (suami) atau janda (istri).
Ahli waris sababiyah, yang dalam kitab – kitab fiqh atau buku – buku hukum
kewarisan Islam umumnya dimasukkan adalah orang yang memerdekakan hamba
sahaya. Kompilasi Hukum Islam tidak memasukannya dalam salah satu pasal –
pasalnya, pertimbangannya, perbudakan tidak dikenal dalam system hukum di
Indonesia, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan keadilan. Ini sejalan
dengan Islam yang menganjurkan bahwa perbudakan harus dihapuskan.27
E. Asas – asas Hukum Kewarisan Islam
Kalau sumber Hukum Islam (Al-Quran dan Al-Hadis) dan Kompilasi Hukum
Islam diperhatikan, maka dapat disalurkan dan diuraikan 5 (lima) asas hukum
kewarisan Islam.
1. Asas Ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti
bahwa pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli
warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa
digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya.
26
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 385. 27
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 388.
28
2. Asas Bilateral yang berarti seseorang menerima hak atau bagian warisan
dari kedua belah pihak dari kekerabatan keturunan laki – laki dan dari
kerabat keturunan perempuan.
3. Asas Individual dalam hukum kewarisan Islam berarti harta warisan dapat
dibagi – bagi kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan.
4. Asas Keadilan Berimbang yang berarti keseimbangan antara hak yang
diperoleh dengan keperluan dan kegunaan dalam melaksanakan
kewajiban.
5. Asas Akibat Kematian yang berarti kewarisan ada kalau ada yang
meninggal dunia, kewarisan ada sebagai akibat dari meninggalnya
seseorang.28
F. Hukum Kewarisan Adat
Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari
bahasa arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan perngertian bahwa di
dalam hukum waris adat tidak semata – mata hanya menguraikan tentang waris
dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas hukum waris adat adalah hukum adat
yang memuat garis – garis ketentuan tentang sistem dan asas – asas hukum waris,
tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu di
alihkan penguasaan dan pemillikannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum
waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu
28
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007).h.
125.
29
generasi kepada keturunannya. Dalam hal ini perhatikan bagaimana pendapat para
ahli hukum adat dimasa lampau tentang hukum waris adat.
TEER HAAR Menyatakan :
“… het adaterfrecht de rechtsregelen, welke betrekking hebben op het
boeiende, eeuwige process van doorgeven e overgaan van het materiele en
immateriele vermogen van generatie.”29
“… hukum waris adat adalah aturan – aturan hukum yang mengenai cara
bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang
berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi.”
SOEPOMO menyatakan :
“ hukum adat waris membuat peraturan – peraturan yang mengatur
proses meneruskan serta mengoperkan barang – barang harta benda dan barang
– barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan
manusia (generatie) kepada turunannya.”30
Dengan demikian hukum waris itu memuat ketentuan – ketentuan yang
mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak
berwujud) dari pewaris kepada para ahli waris nya. Cara penerusan dan peralihan
harta kekayaan itu dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris
meninggal dunia. Jadi bukanlah sebagaimana dikemukakan WIRJONO,
29
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (PT Citra Aditya Bakti, Bandung : 2003), h.
7. 30
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat,, h. 8.
30
“… pengertian “warisan” ialah, bahwa warisan itu adalah soal apakah
dan bagaimanakah pelbagai hak – hak dan kewajiban – kewajiban tentang
kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang
lain yang masih hidup.”31
Jadi warisan menurut Wirjono adalah cara penyelesaian hubungan hukum
dalam masyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari
wafatnya seorang manusia, dimana manusia yang wafat itu meninggalkan harta
kekayaan. Perhatikan istilah warisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan
diartikan bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akibat dari kematian
seorang, sedangkan kami mengartikan warisan itu adalah bendanya dan
penyelesaian harta benda seseorang kepada ahli warisnya dapat dilaksanakan
sebelum ia wafat.
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat – sifat tersendiri yang
khas Indonesia. Yang berbeda dari Hukum Islam maupun hukum barat. Sebab
perbedaannya terletak dari latar belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang
berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika. Latar
belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong
menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian dalam hidup.
Bangsa Indonesia murni alam fikirannya berazas kekeluargaan dimana
kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari sifat – sifat kebendaan
dan mementingkan diri sendiri. Jika pada belakangan ini nampak sudah banyak
31
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003). h.
8.
31
kecenderungan adanya keluarga – keluarga yang mementingkan kebendaan
dengan merusak kerukunan hidup kekerabatan atau ketetanggaan maka hal itu
merupakan suatu krisis akhlak, antara lain disebabkan pengaruh kebudayaan asing
yang menjajah alam fikiran bangsa Indonesia.
G. Sifat Hukum Waris Adat
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang
dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat
terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli warisnya. Harta
warisan adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan, dan uang penjualan itu lalu
dibagi – bagikan kepada para ahli waris menurut ketentuan yang berlaku
sebagaimana didalam Hukum Waris Islam atau hukum waris barat.
Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi – bagikan
penguasaan dan pemilikannya kepada para ahli waris dan ada yang dapat
dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para ahli waris, ia tidak
boleh dimiliki secara perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati.
Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat digadai jika keadaan sangat
mendesak berdasarkan persetujuan para tua – tua adat dan para anggota kerabat
bersangkutan. Bahkan jika harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan
(dijual) oleh ahli waris kepada orang lain harus dimintakan pedapat diantara para
32
anggota kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggaan dalam kerukunan
kekerabatan.32
H. Sistem Kekeluargaan dan Hukum Adat Waris
Seperti telah dikemukakan bahwa hukum waris merupakan salah satu
bagian dari sistem kekeluargaan yang terdapat di Indonesia. Oleh karena itu,
pokok pangkal uraian tentang hukum waris adat bertitik tolak dari bentuk
masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sistem
keturunan. Setiap sistem keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia
memiliki kekhususan dalam hukum warisnya yang satu sama lain berbeda – beda,
yaitu :
1. Sistem patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis
keturunan pihak nenek moyang laki – laki.
2. Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis
keturunan pihak nenek moyang perempuan.
3. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem yang menarik garis
keturunan dari dua sisi baik dari pihiak ayah maupun dari pihak ibu.
Didalam sistem ini kedudukan anak laki – laki dan perempuan dalam
hukum waris sama dan sejajar.
Dari ketiga sistem keturunan diatas, mungkin masih ada variasi yang lain
yang merupakan perpaduan dari ketiga sistem tersebut, misalnya sistem patrilineal
beralih – alih (alternerend) dan sistem unilateral berganda (dubbel unilateral)
32
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), h.
10.
33
namun tentu saja masing – masing sistem memiliki ciri khas tersendiri yang
berbeda dengan sistem yang lainnya.
Disamping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap
pengaturan hukum adat waris terutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian
harta peninggalan yang diwariskan, hukum adat waris mengenal tiga sistem
kewarisan, yaitu :
(1) Sistem kewarisan individual yaitu sistem kewarisan yang menentukan
bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan, misalnya di : Jawa,
batak, Sulawesi, dan lain – lain.
(2) Sistem kewarisan kolektif, yaitu sistem yang menentukan bahwa para
ahli waris mewaris harta peninggalan secara bersama – sama (kolektif)
sebab harta peninggalan yang diwarisi itu tidak dapat dibagi – bagi
pemiliknya kepada masing – masing ahli waris.
(3) Sistem kewarisan mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan
bahwa harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak.33
Secara teoritis di Indonesia sesungguhnya dikenal banyak ragam sistem
kekeluargaan didalam masyarakat. Akan tetapi secara umum yang dikenal sangat
menonjol dalam peraturan hukum adat ada tiga corak, yaitu : (1) sistem
patrilineal, dengan contoh yang sangat umum yakni Tanah Batak; (2) sistem
matrilineal, dengan contoh daerah Minangkabau, dan (3) sistem parental, yang
dikenal luas yakni Jawa.
33
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,
(Bandung: PT Refika Aditama 2014), h, 43.
34
I. Proses Pembagian Harta Warisan
1. Sebelum Pewaris Wafat
Dikala pewaris masih hidup adakalanya pewaris telah melakukan penerusan
atau pengalihan kedudukan atau jabatan adat. Hak dan kewajiban dan harta
kekayaan kepada ahli waris, terutama kepada anak laki – laki tertua menurut garis
kebapak-an, kepada anak perempuan tertua menurut garis ke-ibuan, kepada anak
tertua lelaki atau anak tertua perempuan menurut garis ke-ibu-bapak-an.34
2. Sesudah Pewaris Wafat
Apabila seorang wafat dengan meninggalkan harta kekayaan maka harta
kekayaan itu akan dibagikan kepada para ahli waris. Dengan demikian setelah
pewaris wafat terhadap harta warisan yang tidak dibagi atau ditangguhkan
pembagiannya itu ada kemungkinan dikuasai janda, anak, anggota keluarga
lainnya atau oleh tua – tua adat kekerabatan. Barang siapa menjadi penguasa atas
harta warisan berarti bertanggung jawab untuk menyelesaikan segala sanngkut
paut hutang piutang pewaris ketika hidupnya dan pengurusan para ahli waris yang
ditinggalkan guna kelangsungan hidup para ahli waris.35
34
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (PT Citra Aditya Bakti, Bandung : 2003), h.
95. 35
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, h. 100.
35
BAB III
PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN MASYARAKAT BADUY DESA
KANEKES KECAMATAN LEUWIDAMAR KABUPATEN LEBAK
PROVINSI BANTEN
A. Profil Desa Kanekes Kabupaten Lebak
1. Gambaran Umum Desa
Perkampungan masyarakat Baduy berada pada ketinggian 800 sampai
1200 meter, diatas permukaan laut. Keadaan suhunya mencapai 20° sampai 22° C,
keadaan tanahnya selalu basah disamping lembab dan berlumut. Daerah yang
dijadikan hunian berada di celah bukit, lereng tabing dan lembah yang ditumbuhi
dengan pohonan besar. Disekeliling alam lingkungan merupakan padang lalang
dan semak belukar yang hidup dengan suburnya. Perkampungan dibangun secara
berkelompok dengan jarak dari satu kampung dengan yang lain puluhan
kilometer, dan dihubungkan dengan jalan setapak.
Batas kawasan sebelah utara Desa Cibungur dan Desa Cisimeut yang
berada di Kecamatan Leuwidamar Sebelah Barat desa Karangcomcong dan Desa
Sobang, Kecamatan Cipanas. Sebelah selatan Desa Cigemblong Kecamatan
Bayah. Sebelah timur Desa Karangnunggal Kecamatan Bojongmanik. Gunung
Bulangil merupakan benteng yang menjadi batas bagian timur Kanekes dan
Karangnunggal. Gunugn Kenjur, Handarusa, Ho’e dan Pamuntuan menjadi
benteng di bagian barat yang membujur dari utara ke selatan. Gunung Kendeng,
Sangresik, Pareang, Beusi, membentengi bagian selatan Kampung Cikeusik,
36
Sedang Kiara Damar, Godogan, Bukit Keru yang menjadi tapal batas dengan
Cisimeut.36
Desa Kanekes adalah nama sebuah desa di provinsi jawa barat yang
terletak di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Lokasinya di hulu sungai
Ciujung pada sisi utara pegunungan Kendeng di kawasan Banten Selatan.
Menurut gambaran umum nama Kanekes berawal dari nama sungai Cikanekes
yang mengalir didaerah tersebut. Dalam tradisi Sunda, nama tempat yang diambil
dari nama sungai, biasanya memakai CI seperti Cianjur dan Cirebon. Dalam
kasus kanekes mungkin dulu pernah ada kampung yang bernama demikian, lalu
sungai yang mengalir didekatnya dinamakan Cikanekes.
Rendahnya kedudukan tradisional kelompok Baduy dalam pandangan
orang Kanekes dan dihubungkannya nama Baduy dengan Baduwi itulah yang
menyebabkan masyarakat Kanekes membenci panggilan “Baduy” yang
dilontarkan kepada mereka, padahal kelompok Kanekes sendiri merupakan
mayoritas dan menjadi masyarakat inti di daerahnya. Berdasarkan hal tersebut dan
kenyataan bahwa Kanekes dijadikan nama resmi untuk desa mereka, dalam
tulisan ini digunakan nama “Kanekes”.37
36
Djoewisno MS. Potret Kehidupan Masyarakat Baduy, (Banten: Cipta Pratama, 1987),
h. 94. 37
Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes,
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Javanologi, 1984/1985), h.2.
37
Posisi Etnik Masyarakat Kanekes
Secara etnik jelas sekali orang Kanekes adalah orang Sunda. Bukan saja
mereka sendiri mengaku sunda, tetapi ditandai pula agama mereka dengan
“Agama Sunda Wiwitan”. Dalam lubuk hati mereka tertanam perasaan “lebih
asli” atau “lebih sunda” dibandingkan dengan orang sunda diluar Kanekes yang
telah beralih agama sebagai penganut agama Islam.38
Penglapisan Masyarakat
Penglapisan masyarakat (stratifikasi sosial) di Kenekes sudah cukup jelas.
Penglapisan ini pada asasnya tidak berdasarkan keturunan melainkan berdasarkan
status wilayah kemandalaan kanekes. Mandala kanekes terbagi atas tiga wilayah
pemukiman yaitu : wilayah Tangtu, wilayah Panamping dan wilayah Dangka. Dua
yang pertama terdapat di Desa Kanekes sedangkan yang ke tiga terdapat
diluarnya. Secara berturut – turut ke tiga wilayah tersebut mempunyai kadar
kemandalaan yang berbeda dan makin “encer”.39
Wilayah tangtu memiliki kadar kemandalaan penuh yang berarti segala
tuntutan hidup di mandala harus diikuti seluruhnya oleh para penghuni disana. Di
wilayah Panamping kadar kemandalaan itu agak longgar dan wilayah dangka jauh
lebih longgar lagi.
38
Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes,
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Javanologi, 1984/1985), h.9. 39
Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Javanologi, 1984/1985), h.10.
38
a. Masyarakat Tangtu
Di Kanekes terdapat tiga buah (Kampung) Tangtu yaitu : Cibeo atau
Tangtu Parahiyang, Cikartawana atau Tangtu Kadu Kujang dan Cikeusik atau
Tangtu Pada Ageung. Ketiga kampung ini disebut Telu Tangtu (Tiga Tangtu).
Istilah Tangtu menurut orang Kanekes sendiri berarti pasti (tentu) karena Tangtu-
lah yang menjadi inti kehidupan masyarakat Kanekes.
Karena kampung tangtu dipagari kampung panamping, orang luar sering
menyebutnya “Baduy jero” (Baduy Dalam). Penduduk tangtu yang disebut kaum
daleum (kelompok dalam) atau “urang kajeroan” (orang pedalaman).
b. Masyarakat Panamping
Diluar tangtu terdapat kampung Panamping (Baduy Luar). Nama itu
berasal dari kata temping yang menurut orang Kanekes berarti “buang”
(pembuangan). Maksudnya tempat itu dijadikan tempat bagi orang tangtu yang
dibuang atau dikeluarkan karena melanggar adat. Sebenarnya kata temping berarti
sisi atau pinggir, dan panamping berarti daerah pinggiran (daerah luar). Menurut
kenyataannya daerah ini memang dijadikan tempat pembuangan orang tangtu. 40
c. Masyarakat Dangka
Masyarakat dangka adalah warga Kanekes yang berada di luar wilayah
Kanekes. Kata dangka sebenarnya searti dengan rangka yang berarti tempat
40
Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes,
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Javanologi, 1984/1985), h.12.
39
tinggal atau daerah pemukiman. Namun dalam mitologi dangka adalah nama
pemukiman kaum raksasa dibawah tanah. Dalam bahasa sunda dialek bogor
dangka berarti kotor (pakaian). Masyarakat Kanekes pun menggunakan arti
tersebut karena menurut kepercayaannya daerah Dangka dijadikan “tempat
pembuangan” warga Kanekes yang melakukan pelanggaran adat.41
d. Perubahan Status
Perubahan status antara warga Tangtu, Panamping dan Dangka dapat
terjadi dibawah kondisi tertentu. Pertama karena permintaan sendiri yang hanya
berlaku untuk perubahan turun. Bila seorang Tangtu ingin menjadi orang
Panamping atau orang Panamping ingin menjadi orang Dangka, ia harus “menta
suka” kepada puun. Bila diizinkan, setelah lewat upacara “panyapuan” barulah
perpindahan itu dapat dilaksanakan. Yang demikian itu disebut dengan istilah
“undur rahayu” (mengundurkan diri secara baik – baik).
Tatanan Pemerintahan
Pemerintahan tradisional di Kenekes bercorak kapuunan karena puun
menjadi pemimpin tertinggi. Dalam hal ini pemerintahan Kanekes mirip semacam
“triumvirat” karena puun yang tiga orang itu selain berkuasa di wilayah
kapuunannya masing- masing juga memegang sepertiga fungsi untuk kesatuan
kanekes.
41
Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes,
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Javanologi, 1984/1985), h.13.
40
Lembaga Kapuunan
Lembaga Kapuunan dahulu merupakan lembaga tunggal untuk seluruh
wilayah Kanekes yang berstatus mandala. Pemerintah Hindia Belanda kemudian
memasukan lembaga desa untuk urusan umum.42
Lembaga Pemerintahan Desa Kanekes
Pimpinan Desa Kanekes disebut Jaro Pamarentah. Bahulu disebut Jaro
Governemen. Seperti lurah di desa lainnya ia berada dibawah Camat. Namun
dalam urusan adat ia tunduk kepada Puun yang tiga. Berbeda dengan Kepala Desa
lainnya, calon Jaro Kanekes terlebih dahulu harus mendapat retu Puun, baru
kemudian diajukan kepada Bupati (melalui Camat) untuk dikukuhkan sebagai
kepala Desa.43
Masyarakat Baduy dalam melaksanakan tatanan masyarakat,
menggunakan dua sistem, sistem pemerintah ditangani Kepala Desa Kanekes,
sistem pemerintahan menggunakan Struktur Hukum Adat. Struktur budaya
hukum Hukum Adat, dimana pu’un sebagai pimpinan tertinggi pemerintahannya
juga menjadi pimpinan keagamaan. Wewenang dan pengaruh sangat patuh,
kepercayaan itu dipikul dengan penuh tanggung jawab kepada masyarakatnya,
sehingga dijadikan panutan.
42
Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes,
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Javanologi, 1984/1985), h. 18. 43
Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes, h.
21.
41
2. Adat Istiadat
Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh kepada
seluruh ketentuan maupun aturan – aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un
(Kepala Adat) mereka. Kepatuhan kepada ketentuan – ketentuan tersebut menjadi
pegangan mutlak untuk menjalani kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh
keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan masyarakat Baduy luar maupun Baduy
dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak aturan yang diterapkan
sang Pu’un.
Dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh
Kepala Adat disana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang
amat damai dan sejahtera. Di masyarakat Baduy, tidak ada orang kaya, namun
tidak ada orang miskin. Kehidupan mereka pada hakekatnya sama seperti
layaknya kehidupan masyarakat lainnya. Hanya saja yang membedakannya adalah
begitu banyak aturan tradisional yang terkesan kolot yang harus mereka patuhi.
B. PROFIL MASYARAKAT DESA KANEKES
1. Pendidikan
Masyarakat Baduy tidak mengenal sistem pendidikan atau sekolah formal.
Adat melarang warganya untuk bersekolah. Mereka berpendapat bila orang Baduy
bersekolah akan bertambah pintar, dan orang pintar hanya akan merusak alam
sehingga akan merubah semua aturan yang telah ditetapkan oleh Karuhun.
Walaupun tidak berpendidikan formal, masyarakat Baduy ada yang mengenal
baca tulis dan berhitung. Mereka belajar dari orang luar yang datang ke dalam
42
lingkungannya. Beberapa anak – anak Baduy telah dapat menulis namanya sendiri
dengan bahasa latin, yang mereka tulis dengan arang pada kayu – kayu di
rumahnya. Dalam hal hitung menghitung, mereka sudah paham terutama dalam
hal perhitungan uang untuk jual beli. Pendidikan yang diperoleh oleh masyarakat
Baduy lebih banyak dilakukan melalui ajaran – ajaran yang disampaikan oleh
orang tuanya, terutama tentang Buyut Karuhun (Larangan Karuhun) tentang
bagaimana memanfaatkan alam lingkungannya.44
Meskipun demikian ada satu desa di wilayah Baduy yang sudah mulai
terbuka dengan pendidikan formal yaitu di kampung Cicakal Girang dan bagi
anak – anak yang ingin melanjutkan sekolahnya ke tingkat SLTA (Sekolah
Lanjutan Tingkat Akhir) atau sederajat dengan SMA dan Madrasah Aliyah harus
masuk ke sekolah yang ada diluar Baduy Cicakal Girang,. Meskipun sudah ada
sarana pendidikan formal yang dapat dijangkau masyarakat Baduy, tetap tidak ada
respon sedikitpun dari masyarakat Baduy selain masyarakat Cicakal Girang.
2. Agama
Nama Sunda Wiwitan yang berarti “sunda mula – mula” adalah
merupakan penyebutan untuk nama identitas agama orang Baduy. Penamaan ini
muncul untuk menggambarkan bagaimana keyakinan itu adalah yang paling awal
44
Gunggung Senoaji, Masyarakat Baduy, Hutan, dan Lingkungan, J. Manusia dan
Lingkungan, (Vol. 17, No.2, Juli 2010) h.121
43
dari masyarakat Sunda. Dalam literatur Sunda kuno, Sunda Wiwitan merupakan
perubahan nama dari agama yang dianut oleh Wangsa Pajajaran.45
Jika dilihat dari sejarahnya, penamaan agama Baduy menjadi sunda
wiwitan bermula pada ritual pemujaan mereka yang disimbolkan dengan Arca
Domas sebagai leluhur mereka. Menurut mereka, dasar religi masyarakat Baduy
dalam ajaran Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang bersifat monoteis,
penghormatan terhadap roh nenek moyang, dan kepercayaan kepada satu
kekuasaan yakni Sanghyang Keresa (Yang Maha Kuasa) yang disebut juga
dengan Batara tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (penguasa alam). Dan
Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung
(Buana Atas). Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditunjukan kepada
Pikukuh untuk mensejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia ramai).
Jika dilihat secara sederhana, kepercayaan orang Baduy tersebut cukup
dekat dengan Islam. Bahkan penyebutan kata “Slam” hampir mirip dengan kata
“Islam”. Kesamaan lainnya juga terlihat dari kepercayaan orang Baduy yang
hanya mempercayai satu Tuhan yang mereka sebut Gusti nu Maha Agung, Gusti
nu Maha Suci atau Sang Hyang Tunggal, namun dalam hal kenabian mereka
hanya percaya kepada Nabi Adam. Menurut salah seorang tokoh adat Baduy
mengatakan bahwa “Nabi Adam adalah junjungan orang Baduy, kami berasal dari
Nabi Adam”.46
45
Kiki Muhammad Hakiki, Identitas Agama Orang Baduy, (Al-Adyan/Vol.VI, No1/Jan-
Jun/2011), h. 95. 46
Kiki Muhammad Hakiki, Identitas Agama Orang Baduy, h.96.
44
Dalam kepercayaan Agama Slam Sunda Wiwitan tidak dikenal adanya
perintah sholat sebagaimana yang diwajibkan oleh agama Islam. Orang Baduy
pun tidak memiliki kitab suci layaknya agama – agama lain, bagi masyarakat
Baduy, pengenalan dan pemahaman Agama Slam Sunda Wiwitan cukup
dikenalkan hanya dengan lisan, penuturan, dan percontohan.47
Inti kepercayaan tersebut dapat ditunjukan dengan adanya kepercayaan
akan pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang disampaikan para leluhurnya untuk
selalu dianut dan dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari – hari masyarakat
Baduy. Warisan pikukuh nenek moyang ini-lah yang dijadikan “sabda suci” dan
panutan hidup orang Baduy sampai kini. Isi terpenting dari konsep pikukuh
(kepatuhan) masyarakat Baduy adalah konsep ketentuan “tanpa perubahan
apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin. Hal ini bisa dilihat dari ajaran
pikukuh :
“buyut nu dititipkeun ka puun
Negara satelung puluh telu
Bangsawan sawidak lima
Pancer salawe nagara
Gunung teu meunang dilebur
Lebak teu meunang dirusak
Larangan teu meunang dirempak
Buyut teu meunang dirobah
Lojor teu meunang dipotong
Pendek teu meunang disambung
Nu lain kudu dilainkeun
Lu ulah kudu diulahkeun
Nu enya kudu dienyakeun
Artinya:
“buyut yang dititipkan kepada puun
47
Asep Kurnia, Saatnya Baduy Bicara, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 139.
45
Negara tiga puluh tiga
Sungai enam puluh lima
Pusat dua puluh lima
Gunung tidak boleh dihancurkan
Lembah tiak boleh dirusak
Larangan tidak boleh dilanggar
Buyut tidak boleh diubah
Panjang tidak boleh dipotong
Pendek tidak boleh disambung
Yang bukan harus ditiadakan
Yang lain harus dilainkan
Yang benar harus dibenarkan”48
Kesakralan nilai ajaran yang dimiliki agama orang Baduy mambuat
mereka secara berhati – hati dan patuh dalam menjalankan berbagai pikukuh adat
dalam kehidupan sehari – hari.
Masyarakat Baduy juga mengenal akan sebutan syahadat, masyarakat
Baduy juga disunat. Masyarakat Baduy juga percaya dengan adanya hidup, sakit,
mati dan nasib yang semua itu berada pada yang maha pencipta, disebutnya oleh
orang Baduy Batara Tunggal yang tidak bisa dilihat dengan mata, tapi bisa diraba
dengan hati, maha tau segala yang bergerak dan berusik di alam semesta ini.
Pangeran murka yang Kuasa Pencipta Jagat Raya yang tidak ada duanya. Bila
manusia sudah sampai kepada ajalnya, ruh akan kembali kepada Sanghiyang
Batara Tunggal, dan percaya adanya kekuatan yang mengatur gerak dan usik si
jagat raya ini, yang selalu mengayomi semua ciptaannya.49
48
Kiki Muhammad Hakiki, Identitas Agama Orang Baduy, (Al-Adyan/Vol.VI, No1/Jan-
Jun/2011), h. 98. 49
Djoewisno MS. Potret Kehidupan Masyarakat Baduy, (Banten: Cipta Pratama, 1987),
h. 28.
46
Kedekatan agama orang Baduy dengan Islam semakin terasa dan terlihat
dari syahadat yang mereka gunakan. Dalam kepercayaan adat Baduy, ada dua
macam jenis syahadat; syahadat Baduy Dalam dan Syahadat Baduy Luar.50
Syahadat Baduy Dalam;
“asyhadu syahadat sunda (asyhadu syahadat Sunda
Jaman Allah ngan sorangan Allah hanya Satu
Kaduana Gusti Rosul kedua para Rasul
Ka tilu Nabi Muhammad ketiga Nabi Muhammad
Ka opat umat Muhammad keempat umat Mumahhad
Nu cicing dibumi angaricing yang tinggal didunia ramai
Nu calik dialam kaueung yang duduk dialam takut
Ngacacang di alam mokaha menjelajah dialam nafsu
Salamet umat Muhammad selamat umat Muhammad
Syahadat Baduy Luar;
“asyhadu Alla ilaah illallaah wa asyhadu anna Muhammad da rasulullah
isun netepkeun ku ati, yen taya deui Allah didunya ieu, iwal ti Pangeran Gusti
Allah, jeung taya deui iwal ti Nabi Muhammad utusan Allah”.
Artinya:
asyhadu Allaa ilaah illallaah wa asyhadu anna Muhammad da rasulullaah
aku menetapkan dalam hati, bahwa tiada tuhan didunia ini selain Pangeran Gusti
Allah dan tiada lagi selain Nabi Muhammad utusan Allah.
50
Maskur Wahid, Jurnal, Sunda Wiwitan Baduy, Agama Penjaga Alam Lindung Desa
Kanekes Banten.( IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten), h.34.
47
Dalam penggunaannya, syahadat Baduy dalam atau disebut juga syahadat
Sunda Wiwitan disampaikan kepada puun sebagai ungkapan janji ikrar akan
kesetiaan kepada aturan adat Baduy. Atau sebagaimana umat Islam ketika mereka
berikrar memeluk agama Islam. Sedangkan syahadat Baduy luar digunakan oleh
orang Baduy ketika mereka hendak melangsungkan pernikahan menurut tata cara
Islam.51
Jika diperhatikan redaksi kedua syahadat diatas, jelas terlihat bahwa orang
Baduy sendiri mengakui Allah sebagai tuhan mereka. Lalu mengapa tata cara
ibadah orang Baduy berbeda dengan umat Islam pada umumnya?. Menurut
penganut agama sunda wiwitan, dikatakan bahwa “kami mah ngan kabagean
syahadatna wungkul, hente kabagean sholat”. Artinya bahwa mereka hanya
memperooleh syahadatnya saja, sedangkan rukun – rukun Islam lainnya termasuk
didalamnya berbagai jenis ibadah ritual dalam agama Islam tidak pernah
diperoleh.
Dengan demikian, identitas sunda wiwitan adalah Agama sikretis. Religi
ini memberikan pandangan hidup kepada umatnya supaya hidup sederhana dan
menerima apa adanya, hanya untuk dapat bekerja di ladang, menanam padi,
dengan damai dan sejahtera dan menciptakan agama ini tetap lestari secara turun
temurun dengan penganut yang semakin bertambah.52
Adapun satu kampung yang berada dikawasan Baduy, Desa kanekes yang
dikenal dengan Baduy Muslim yang secara total sudah memeluk agama Islam
51
Kiki Muhammad Hakiki, Identitas Agama Orang Baduy, (Al-Adyan/Vol.VI, No1/Jan-
Jun/2011), h. 99. 52
Maskur Wahid, Jurnal, Sunda Wiwitan Baduy, Agama Penjaga Alam Lindung Desa
Kanekes Banten,(IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten), h.14.
48
yaitu kampung Cicakal Girang. Didalam kampung ini sudah terdapat tempat
ibadah umat muslim yaitu sebuah mushola (tempat shalat) yang biasa digunakan
masyarakat kampung Cicakal Girang untuk melaksanakan ibadah berjamaah, dan
juga di kampung Cicakal Girang inilah didirikannya Sekolah Dasar dan Sekolah
Menengah Pertama yang bebasis Agama Islam.
Dan sistem tata hukum yang berlaku di kawasan Baduy muslim ini sudah
mandiri dan tidak mengikuti aturan adat Baduy yang memeluk keyakinan Sunda
Wiwitan, seperti larangan untuk menggunakan elektronik dan hal – hal yang ada
sangkut pautnya dengan modernisasi. Meskipun demikian, masih ada tekanan dan
intervensi masyarakat Baduy Dalam terhadap keadaan Baduy Muslim yang sudah
mulai berkembang dalam sistem tata hukum dan kehidupannya, yang mana
masyarakat Baduy Dalam masih belum menerima keadaan Baduy muslim yang
dianggap terlalu terbuka dengan dunia luar yang dianggapnya dapat merusak alam
yang dititipkan kepada mereka.
C. Praktek Pembagian Warisan Masyarakat Baduy
1. Ahli waris
Dalam pembagian harta waris berdasarkan adat masyarakat Baduy tidak
hanya satu sistem pembagian, tergantung masyarakat daerah atau kampung mana
yang melaksanakan pembagian warisan. Dikarenakan dalam masyarakat Baduy
ada satu desa yang menganut agama Islam secara kaffah, yang mana dalam
pembagian waris tersebut sudah mulai tersentuh dengan norma dan aturan
pembagian waris menurut Islam meski belum secara keseluruhan merujuk pada
ilmu faraidh yang selama ini digunakan oleh masyarakat muslim pada umumnya.
49
Berbeda dengan masyarakat Baduy dalam, yang mana dalam pembagian
sistem warisnya menggunakan hukum waris tersendiri. Yang mana dalam
pembagian warisnya sangat dipengaruhi dengan sistem kekerabatan yang berlaku.
Sistem kekerabatan masyarakat Kanekes sama dengan kekerabatan
masyarakat Sunda lainnya yang dijalin secara parental. Hubungan kekerabatan ini
tidak dipengaruhi oleh status kewarganegaraan. Orang Tangtu, orang Panamping,
dan orang Dangka yang mempunyai hubungan darah tetap menjadi kerabat.
Perbedaan status hanya mempengaruhi kemungkinan perkawinan diantara
mereka. Seorang cucu puun yang tinggal di Panamping atau Dangka tetap akan
diakui sebagai cucunya walaupun ia kehilangan hak untuk mewarisi jabatan
kakeknya, karena jabatan puun hanya boleh dipegang oleh orang Tangtu.53
Dalam sistem kekerabatan Kanekes, hubungan lineal (keturunan langsung ke
atas atau ke bawah), hubungan kolateral (sejajar atau menyamping) dan hubungan
affinal (terjadi karena perkawinan) berlaku sistem dan istilah yang sama seperti
yang digunakan oleh masyarakat sunda di luar Kanekes. Kalau ada perbedaan
istilah justru terjadi dengan istilah yang digunakan di daerah Banten.
Secara umum dapatlah dikemukakan bahwa dalam penggunaan istilah
kekerabatan lineal terdapat pergeseran istilah dalam bahasa sunda yang sekarang
dibandingkan dengan Bahasa Sunda kuno. Urutan keturunan sesudah ego dalam
kropak 630 dan 632 adalah : anak – indung – umpi – cicip – muning – Santana –
anggasantana – pratisantana – putuh wakas (putus jejak).54
53
Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes,
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Javanologi, 1984/1985), h.65. 54Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan Masyarakat Kanekes, h.66.
50
Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang menjadi ahli waris
dalam hukum waris adat masyarakat Baduy adalah sama dengan kewarisan yang
berlaku secara umum. Akan tetapi masyarakat Baduy tidak membagikan harta
warisan ke garis keturunan ke atas (ayah, ibu dan kakek). dan dapat disimpulkan
bahwa yang mendapat hak waris dalam masyarakat Baduy adalah : anak laki –
laki, anak perempuan, dan terus garis keturunan ke bawah.
2. Praktek Pembagian Waris
Dalam praktek pembagian warisan masyarakat Baduy, hampir sama
dengan pembagian warisan pada umumnya. Harta warisan dibagikan setelah
pewaris meninggal dunia dan setelah jenazah pewaris selesai dimakamkan oleh
keluarga dan para tetua adat setempat.
Dalam pembagian harta warisan dibagikan dengan dihadiri oleh para
anggota keluarga yang terdiri dari istri atau suami, anak, saudara laki – laki dan
saudara perempuan. Akan tetapi meskipun dalam pembagian harta warisan
dihadiri oleh para saudara, dalam pembagian harta warisan hanya dibagikan
kepada keturunan saja atau anak. Dan tidak dibagikan kepada suami ataupun istri
yang ditinggalkan. Dan dalam masyarakat Baduy pun dikenal dengan istilah ahli
waris pengganti yang dapat menggantikan orang tuanya yang lebih dulu
meninggal dari kakek nya yang memiliki harta warisan. Karena memang di
Indonesia Dalam hukum adat mengenal prinsip ahli waris pengganti. Yang mana
seorang anak dapat bertindak sebagai ahli waris pengganti dari ayahnya. Begitu
51
juga ada kesamaan dalam hal cucu yang tidak mendapat bagian bila adanya anak
laki – laki yang menjadi penghalang.55
Dalam pembagian warisan masyarakat Baduy dikenal juga istilah batalnya
warisan, yang mana batalnya atau dihapuskannya hak waris ini disebabkan dengan
keluarnya anggota keluarga dari tanah Baduy, seperti masyarakat Baduy yang
keluar ke kota dan menetap menjadi orang kota maka secara otomatis hak
warisnya terputus, begitu juga masyarakat Baduy yang keluar dan menjadi
penghuni Baduy muslim dan masuk Islam maka hak warisnya juga teruputus
secara langsung.
Apabila ahli waris dari yang meninggal sudah tidak ada semua atau
dengan kata lain tidak ada ahli warisnya maka harta warisan yang berupa rumah,
alat2 rumah tangga, lumbung padi, tanah serta lainnya akan dijual, dan uang hasil
penjualannya akan digunakan untuk kepentingan bersama dalam memenuhi
kebutuhan kampung. Misalnya membeli bambu untuk saluran air dan juga
pembangunan jembatan.56
Pembagian warisan dipimpin atau diatur oleh saudara si mayyit yaitu
mamang (paman). Dan bilamana tidak ada ahli waris maka mamang (paman) yang
mengatur warisan disini tetap tidak mendapat bagian, akan tetapi ia yang
bertanggung jawab atas harta warisan yang harus dijual. Dan memanfaatkannya
untuk kepentingan bersama.57
55
Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan
Kewarisan Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (BW), Cet Ke – 2, (Jakarta: Sinar
Grafika. 2000), h.123. 56
Wawancara pribadi dengan Jaro Saija, Kanekes, Leuwidamar, 28 Juli 2016. 57
Wawancara pribadi dengan Yardi (Toko Masyarakat Cibeo Baduy Dalam ) Kanekes,
Leuwidamar, 28 Juli 2016.
52
Dalam masyarakat Baduy sudah ada pengangkatan anak yang mana
masyarakat Baduy menyebutnya Anak Pulung (anak angkat), dan anak angkat ini
derajatnya sama dengan anak kandung lainnya. Yang mana mendapatkan hak
waris yang sama..
Perihal penentuan hubungan kewalian, sama seperti pada umumnya yang
mana hubungan kewalian dan hubungan nasab diperoleh dengan melalui
perkawinan, dan adapun hal lain yang menjadikan hubungan kekerabatan yang
dapat dijadikan ahli waris itu adalah pengangkatan anak atau dengan kata lain
“anak pulung” seperti yang sudah dijelaskan diatas.58
Dan mengenai ‘Ashobah, tidak ada satupun masyarakat Baduy yang
mengenal sistem ‘Ashobah. Karena setiap harta warisan harus dibagikan habis
kepada anak dan keturunan saja, masyarakat Baduy tidak mengenal yang namanya
bagian – bagian yang enam macam yang biasa dikenal dengan furudh al-
muqoddaroh yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, 1/6, yang mana bagian – bagian tersebut
adalah bagian yang sudah ditentukan untuk para ahli waris yang ditinggalkan.59
Berdarkan hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat Baduy luar
maupun Baduy dalam, tidak ada sumber atau acuan yang menjadi undang –
undang atau aturan tetap dalam pembagian warisan. Akan tetapi di daerah Baduy
Muslim sudah mengenal dan menggunakan istilah Musyawarah yang mana hal
tersebut mereka kenal dengan sebutan Mashlahat.
58
Wawancara pribad dengan KH. Asid, yang biasa dipanggil Haji Rosid ( Tokoh Agama
di Kampung Cicakal Girang ) Kanekes, Leuwidamar, 22 Agustus 2016 . 59
Wawancara pribad dengan KH. Asid, yang biasa dipanggil Haji Rosid ( Tokoh Agama
di Kampung Cicakal Girang ) Kanekes, Leuwidamar, 22 Agustus 2016 .
53
BAB IV
ANALISIS PEMBAGIAN WARISAN MASYARAKAT BADUY DESA
KANEKES KECAMATAN LEUWIDAMAR KABUPATEN LEBAK
PROVINSI BANTEN
A. Kedudukan Laki – laki dan Perempuan Dalam Pembagian Warisan
Pembagian harta warisan pada masyarakat Baduy di dasari dengan
pembagian warisan yang mengacu pada aturan adat tersendiri, yang mana
kedudukan laki – laki dan perempuan setara atau seimbang. Dan bagian – bagian
dari ahli waris laki – laki maupun perempuan disamaratakan. Hal ini dilakukan
dengan dasar hukum adat yang turun – temurun dianut dalam pembagian harta
warisannya.60
Namun bila terjadi sengketa dalam pembagian harta warisan, maka
harta warisan ditahan dan harus diselesaikan secara kekeluargaan dengan
mengundang atau memanggil Jaro untuk menjadi pemimpin dalam penyelesaian
masalah pembagian warisan tersebut.61
Adapun alasan dibagikannya warisan dengan sistem sama rata ini di dasari
dengan aturan adat turun temurun yang tidak tertulis. Dan tidak ada sedikitpun
intervensi dari Negara maupun ajaran Islam yang menjadi acuan dan pengaruh
dalam proses pembagian warisan masyarakat Baduy. Meski ada salah satu
60
Wawancara pribadi dengan Yardi (Tokoh masyarakat Cibeo Baduy Dalam ) Kanekes,
Leuwidamar, 28 Juli 2016 . 61
Wawancara pribad dengan Jaro Saija (Kepala Desa Kanekes yang menjabat sebagai
Jaro ) Kanekes, Leuwidamar, 06 Agustus 2016 .
54
kampung dalam Wilayah Baduy yaitu kampung Cicakal Girang yang mana dalam
Masyarakat Cicakal Girang ini sudah ada interaksi yang sangat kuat dari Islam
dalam pembagian harta warisannya dan dalam pelaksanaan perkawinan yang
dilalui melalui jalur KUA.62
Dalam pembagian warisan masyarakat Baduy diselesaikan dengan
cara kekeluargaan. Yang mana kedudukan seorang laki – laki dan perempuan
disamaratakan. Karena kesetaraan tersebut terjadi karena dalam masyarakat
Baduy tidak dikenal istilah 2 banding 1 dalam pembagian warisan. Dengan alasan
laki – laki dan perempuan sama – sama agar tidak terjadi sengketa atau
pertengkaran antara ahli waris. Dan mereka berpendapat bahwa yang disebut adil
itu adalah samarata.
B. Proses Pembagian Harta Warisan Berdasarkan Adat Masyarakat Baduy
Sebelum harta peninggalan (harta warisan) dibagikan kepada para ahli
waris, sama hal nya dengan Islam dan pembagian warisan pada umumnya, yang
mana “wadag” si meninggal harus di urus hingga selesai seperti dimandikan, dan
di pakaikan pakaian dan kemudian dikubur. Kuburannya pun biasa saja tanpa
diberi nisan dan diratakan saja dengan tanah hanya sekelilingnya ditanami pohon
hanjuang merah.63
62
Wawancara pribad dengan KH. Asid, yang biasa dipanggil Haji Rosid ( Tokoh Agama
di Kampung Cicakal Girang ) Kanekes, Leuwidamar, 22 Agustus 2016 . 63
Djoewisno MS. Potret Kehidupan Masyarakat Baduy,(Banten: Cipta Pratama ,1987. h.
162.
55
Ada beberapa proses yang harus dilalui hingga harta warisan dapat
dibagikan. Diantaranya adalah selamatan yang dilakukan pada hari ke – 1, ke – 3,
dank ke – 7, namanya selamatan kematian, setelah itu tidak ada selamatan lagi.64
Di Baduy Dalam dikenal istilah “Huma Serang” yang merupakan tanah
yang berada di bawah pengawasan adat penanganannya tanggung jawab “Girang
Serat”65
. Mulai dibuka menjadi ladang sampai dipetik hasilnya. Dibuatnya Huma
Serang diputuskan dalam musyawarah adat, bertujuan menunjang kebutuhan yang
bersifat umum, seperti biaya membangun jembatan, jalan – jalan penghubungn
antar kampung, balai adat dan kegiatan – kegiatan upacara keagamaan sebagai
penunjang kesejahteraannya. Orang – orang yang sudah lanjut usia, para janda,
anak yatim, serta masyarkat yang membutuhkan pada saat musim paceklik. Ini
yang dinamakan “Lumbung Kesejahteraan” sebagai pondasi tegaknya ketahanan
lingkungan, yang tidak pernah rapuh digoyah berbagai pengaruh yang
menghempas dari luar, pendapatan masyarakat tetap utuh, bahkan kalau kurang
malah dibantu dengan Cuma – Cuma, sebagai bayaran tahun mendatang hanya
kerja bakti menggarap. Sampai kepada benih yang untuk ditanam juga harus dari
Huma Serang tidak boleh mengganggu benih padi dari ladang lain.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam Masyarakat “Baduy Dalam” tanah
yang ada adalah milik adat. Dan bagi mereka yang melangsungkan pernikahan
akan dibuatkan satu buah rumah dan satu buah lumbung padi untuk menjalani
kehidupan bersama keluarga. Meskipun begitu tetap ketika ada yang meninggal
64
Djoewisno MS. (Potret Kehidupan Masyarakat Baduy), Cipta Pratama, Banten: 1987.
h. 163. 65
Sekretaris Baduy dalam yang berada dibawah naungan Pu’un.
56
maka tetap ada harta benda yang dijadikan warisan, seperti uang, alat – alat dapur,
benda – benda pusaka, hewan peliharaan dan rumah dengan lumbung padinya.66
Berbeda dengan kasus pembagian warisan di Kampung Cicakal Girang,
yang mana dalam wilayahnya sudah memiliki interaksi sangat erat dengan agama
Islam. Yang sudah jelas dibuktikan bahwa di kampung Cicakal Girang ini sudah
ada tempat ibadah umat muslim yaitu berupa masjid dan adanya sekolah yang
berbasis agama.
Sama hal nya seperti Baduy dalam, setiap anggota keluarga yang menikah
akan dibuatkan rumah untuk dijadikan tempat tinggal bersama pasanganya. Dan
yang menjadi perbedaan ialah, dalam Masyarakat Baduy Muslim tanah tidak lagi
dimiliki oleh adat bersama, akan tetapi tanah dimiliki perorangan dan dapat
diwariskan kepada keturunannya. Berbeda dengan Baduy Dalam yang mana
seluruh tanah yang ada di kawasan Baduy Dalam adalah tanah milik adat yang
tidak dapat di wariskan kepada siapapun, dan tanah yang digunakan untuk
pembangunan rumah dan tempat tinggal serta lumbung ditentukan oleh sekretaris
adat dan puun.
Dan bahkan dikalangan Baduy, ada istilah “Anak Pulung” atau anak
angkat bisa mendapat bagian lebih besar dibandingkan dengan anak – anak
kandung lainnya. Yang mana hal itu bisa terjadi karena wasiat yang disampaikan
oleh si meningal dunia dan hal – hal yang menjadi petimbangan keluarga seperti
anak angkat yang lebih banyak mengurus kehidupan orang tua nya dibandingkan
66
Wawancara Pribadi dengan Jaro Saija ( Kepala Desa Kanekes yang menjabat sebagai
Jaro ), Kanekes, leuwidamar, 06 Agustus 2016.
57
dengan anak – anak kandung ketika orang tuanya sakit hingga ia meninggal dunia.
Dan keadaan anak angkat yang kemapanannya jauh dibawah anak kandung
sehingga anak angkat ini diutamakan dalam pembagian warisan.67
C. Pembagian Warisan Masyarakat Baduy
Dalam masyarakat Baduy Desa Kanekes, terdapat beberapa cara dan
sistem dalam pembagian warisan, yaitu dengan hukum kewarisan adat yang
sangat kental dengan ketentuan – ketentuan yang sudah turun temurun
dilaksanakan, dan pembagian harta warisan yang mengutamakan kemashlahatan
dalam kekeluargaan atau dengan cara kesepakatan musyawarah yang
dilaksanakan didalam keluarga. Dan sistem tersebut digunakan tergantung pada
setiap kampung dan wilayahnya. Secara garis besar, Baduy Dalam yang menganut
pembagian warisan sama rata, dan Baduy Luar juga dengan prinsip sama rata, dan
Baduy Muslim yang dalam pembagian warisannya menganut prinsip Maslahat
yang mana maslahat yang dimaksudkan adalah pembagian warisan yang
dilakukan dengan cara musyawarah dalam keluarga yang dipimpin oleh para
saudara dan terkadang di bimbing oleh tokoh agama setempat.
Terciptanya hukum kewarisan dalam masyarakat Baduy sudah tentu
dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan dan keadaan lingkungan, serta budaya
hukum yang menjadi faktor utama dalam penentuan hukum di dalam lingkungan
masyarakat Baduy itu sendiri. Seperti di Baduy Dalam yang mana tanah tidak
dimiliki oleh perorangan atau individual, akan tetapi tanah secara keseluruhan
67
Wawancara Pribadi dengan KH. Rosid, yang biasa dipanggil H. Acid ( Tokoh Agama
Kampung Cicakal Girang/ Baduy Muslim) Kanekes Leuwidamar, 22 Agustus 2016.
58
adalah milik bersama dan tidak dapat dibagi – bagikan kepada siapapun secara
individu.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mana telah tertera dalam
pasal 183 yang berbunyi “para ahli waris dapat bersepakat melakukan
perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing – masing menyadari
bagiannya”, dari pasal tersebut dalam pembagian warisan ada kemungkinan dapat
ditempuh dengan jalan perdamaian atau dengan jalan persetujuan semua pihak
yang bersangkutan dengan harta warisan yang ditinggalkan. Yaitu dengan tidak
mengacu pada ketentuan faraidh bahwa laki – laki dengn perempuan mendapatkan
bagian dua berbanding satu (2:1) seperti yang dijelaskan pada pasal 176 KHI
adalah bahwa pembagian warisan tidak sebagaimana sesuai dengan aturan dua
berbanding satu. Karena pasal 176 KHI berbunyi “anak perempuan bila hanya
seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama
– sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabil anak perempuan bersama –
sama dengan anak laki – laki, maka bagian anak laki – laki adalah dua
berbanding satu dengan anak perempuan.”.68
Jelaslah bahwa ketentuan hukum kewarisan yang digunakan di wilayah
Baduy sangatlah unik dan beragam yang mana dalam Baduy Muslim memang
tidak menggunakan sistem pembagian warisan secara faraidh akan tetapi mereka
sudah mengenal dengan adanya sistem pembagian warisan dengan cara
musyawarah yang dimaknai dengan kemaslahatan dengan para ahli waris untuk
menemukan persetujuan bersama dalam pembagian harta warisan.
68
Kompilasi Hukum Islam. Cetakan Ke-V, (Bandung: Citra Umbara, 2014), h. 377
59
Sedangkan Dalam Masyarakat Baduy yang masih berpegang teguh pada
Agama Sunda Wiwitan yang mana pedoman aturan dalam kehidupannya tidak
berdasarkan Al-Quran, mereka membagikan harta warisan sama rata tidak
berbanding antara laki – laki dan perempuan dengan alasan bahwa adil yang
sesungguhnya ialah tidak berat sebelah atau dengan kata lain adalah warisan harus
dibagi rata.69
Dasar hukum yang digunakan masyarakat Baduy dalam pembagian harta
warisan terbagi menjadi dau, yaitu berdasarkan hukum adat (Pikukuh) yang tidak
tertulis atau terkodifikasi oleh sistem adat dan pembagian warisan yang didasari
oleh Hukum Islam yang didasari oleh Al-Quran yang mana dianut oleh
masyarakat Baduy Muslim yaitu masyarakat yang berada di kampung Cicakal
Girang.
Perihal anak angkat atau yang dikenal dengan istilah “anak pulung”
dikalangan masyarakat Baduy Muslim itu mendapatkan posisi setara dengan anak
– anak kandung. Sudah barang tentu dalam pembagian harta warisannya pun
sesuai dengan ketentuan yang menyetarakan statusnya tersebut.
Apabila terjadi suatu pelanggaran hukum, maka petugas hukum (Kepala
Adat, dan sebagainya) mengambil tindakan kongkrit (reaksi adat) guna
membetulkan hukum yang dilanggar tersebut dan juga terhadap tindakan –
69
Wawancara Pribadi dengan Jaro Sami, Cikeusik, Kanekes Leuwidamar, 14 Juli 2016.
60
tindakan ilegal lain, mungkin pelanggaran hukum itu sedemikian rupa sifatnya,
sehingga perlu diambil tindakan untuk memulihkan hukum yang dilanggar,70
Bila kita melihat dari kacamata Islam, yang mana masyarakat Baduy
Muslim ini sudah secara menyeluruh memeluk Agama Islam secara total, maka
secara otomatis yang berlaku dan melekat pada keseharian dan kehidupan dalam
tatanan masyarakatnya adalah Hukum Islam.
Menurut ulama fikih Islam, dasar pewarisan dalam Islam adalah pertalian
darah (al-qarabah), hubungan perkawinan (al-mushaharah), dan memerdekakan
hamba sahaya (wala’). 71
Pewarisan berdasarkan hubungan kekerabatan ini dijelaskan firman Allah
SWT dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 7 dan surat Al-Anfal ayat 75.
ترك لللرلجال ا م ان نصيب مل ىل قربون و ٱلوا ترك وللنلس ٱل م مل اء نصيب
ان ىل قربون و ٱلوا ٱل وضا فر ا م و كث نصيبا
ا قل منه أ ٧مم
“ Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah
ditetapkan.”
ين ولوا وٱل
ئك منكم وأ ول معكم فأ ىهدوا وج وا من بعد وهاجر ءامنوا
رحام ىب ٱل ولى ببعض ف كت
بعضهم أ إن ٱلل ء عليم ٱلل ش
٧٥بكلل
“ Dan orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian berhijrah
serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga).
orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
70
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Adat, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2007),h.176. 71
Musthofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Cet – 1, (Jakarta:
Kencana, 2008), h. 128.
61
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Sedangakan pewarisan berdasarkan hubungan perkawinan sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 12 :
ن لهن ول هن ول فإن ك م يكن ل ىجكم إن ل زو
ما ترك أ ۞ولكم نصف بع فلكم و دينن ولهن ٱلر
أ ة يوصي بها ا تركن من بعد وصي بع مم ا ٱلر مم
ا تركتمن ٱثلمن فإن كن لكم ول فلهن ن لم يكن لكم ول تركتم إ مم و
ىلة أ رث كل و دين إون كن رجل يو
أ ة توصون بها ن بعد وصي مل ة
ۥ ول ٱمرأ
نهما ىحد مل وخت فلكل
و أ
خ أ
دس ٱلأ س
أ ىلك فهم كث فإن كنوا من ذ
كء ف ن ٱثللثن ش مل ةا وصي و دين غي مضارل
أ ة يوصى بها ه من بعد وصي ٱلل و ١٢عليم حليم ٱلل
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu
mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka
para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.
jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-
saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.”
Bila kita tinjau dari segi hukum adat, terdapat (istilah) yang menunjukan
mengenai keinginan perlakuan harta milik seseorang setelah orang tersebut
62
meninggal dunia. Cara pertama dikenal dengan hibah wasiat yang merupakan
pengaruh dari Hukum Islam. Yang mana dalam perbuatan pemilik memiliki
tujuan agar bagian tertentu dari harta kekayaannya diperuntukkan bagi salah
seorang ahli warisnya sejak saat pewaris yang bersangkutan meninggal kelak.
Pada suatu kesempatan, dihadapan para ahli waris, sipemilik menyebutkan harta
tertentu yang disediakan untuk anak tertentu pula.72
Kompilasi Hukum Islam menetukan kewajiban orang tua angkat untuk
memberikan wasiat wajibah kepada anak angkatnya untuk kemashlahatan anak
angkat sebagaimana orang tua angkat telah dibebani tanggung jawab untuk
mengurus segala kebutuhannya. Kendati secara dalil naqli tidak ditemukan secara
eksplisit, tetapi hal itu dapat dikaitkan dengan firman Allah antara lain dalam Al-
Quran surat Al-Maidah ayat 106 :
ها ي
أ ين ي حدكم ٱل
ىدة بينكم إذا حض أ شه حي ٱلموت ءامنوا ة ٱلوصيبتم ف ٱثنان نتم ض
و ءاخران من غيكم إن أ
نكم أ رض ذوا عدل مل
ٱل
صيبة ىبتكم م ص من بعد نهماتبسو ٱلموتن فأ ة لوى ٱلص فيقسمان ب إن ٱلل
ٱرتبتم ىدة ثم ۦل نشتي به ا ولو كن ذا قربى ول نكتم شه نا ا ٱلل إذا ا إنمن ١٠٦ ٱألثمي ل
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi
kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan
oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama
dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa
bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk
bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu
72
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat Di Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011). h. 64.
63
ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah Ini harga
yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan
tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya kami kalau
demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa".
Sedangkan mengenai ketentuan besar wasiat sebanyak – banyaknya 1/3
(sepertiga) dari harta warisan sesuai dengan Hadis Riwayat Al-Bukhari dari Saad
bin Abi Waqqas :
“Aku menderita sakit kemudian Nabi SAW menguunjuki dan aku tanyakan
:” wahai Rasulullah SAW. Berdoalan tuan kepada Allah semoga Dia tidak
menolakku.” Beliau bersabda :”semoga Allah meninggikan derajatmu, dan
manusia lain akan memperoleh manfaat dari kamu”. Aku bertanya : “aku ingin
mewasiatkan hartaku separuh, namun aku ada seorang anak perempuan.” Beliau
menjawab; separuh itu banyak.” Aku bertanya (lagi) : “sepertiga?” Beliau
menjawab :”Sepertiga, sepertiga adalah banyak atau besar.”Beliau bersabda : “
Orang – orang berwasiat sepertiga, dan yang demikian itu boleh bagi
mereka.”(Muttafaq ‘Alaih).
Meskipun demikian, wasiat itu pada hakekatnya akan lebih baik dan utama
serta lebih patut apabila jumlah wasiat dikurang dari sepertiga harta peninggalan,
karena Nabi Muhammad SAW senang wasiat dengan kurang dari sepertiga.73
Dalam menguraikan prinsip – prinsip hukum waris berdasarkan Hukum
Islam, satu – satunya sumber tertinggi dalam kaitan ini adalah Al-Quran dan
73
Sidik Tono, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan, (Jakarta:
Kementerian Agama Republik Indonesia, DIrektorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat
Pendidikan Tinggi Islam, 2012), h.90.
64
sebagai pelengkap yang menjabarkannya adalah Sunnah Rasul beserta hasil –
hasil ijtihad atau upaya para ahli Hukum Islam terkemuka.74
Hazairin dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran
mengemukakan bahwa “sistem kewarisan Islam adalah sistem individual
bilateral”. Dikatakan demikian, atas dasar ayat – ayat kewarisan dalam Al-Quran
antara lain seperti yang tercantum masing – masing di dalam surat An-Nisa (QS.
IV) ayat 7, 8, 11, 12, 33 dam ayat 176 serta setelah sistem kewarisan atau sistem
hukum waris menurut Al-Quran yang individual bilateral itu dibandingkan dengan
sistem hukum waris individual bilateral dalam masyarakat yang bilateral.75
Bila kita melihat lewat kacamata sejarah berlakunya Hukum Islam di
Indonesia dapat dilihat dari beberapa periode, pertama, periode penerimaan
Hukum Islam sepenuhnya, disebut dengan teori receptie in comlexu. Sedangkan
periode penerimaan Hukum Islam oleh hukum adat, disebut dengan teori
receptie,76
lalu dilanjutkan dengan munculya teori reseptio a contratio yang
mengemukakan bahwa hukum adat baru bisa di teriman oleh bila tidak
bertentangan dengan Hukum Islam, yang mana teori reseptio a contrario ini
dikemukakan oleh Hazairin.
Hukum adat bagi masyarakat berfungsi sebagai neraca yang dapat
menimbang kadar baik atau buruk, salah atau benar, patut atau tidak patut, pantas
atau tidak pantas atau suatu perbuatan atau peristiwa dalam masyarakat sehingga
74
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan
BW.(Bandung: PT Refika Aditama, 2014), h.11. 75
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, h.15. 76
Said Agil Husin Al-Munawwar, Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial, (Jakarta:
Penamadani, 2004), h.11.
65
eksistensi hukum adat lebih sebagai pedoman untuk menegakkan dan menjamin
terpeliharanya etika kesopanan, tata tertib, moral, dan nilai adat dalam kehidupan
masyarakat.
Ini berarti bahwa hukum adat dengan sejumlah aturannya yang tidak tertulis,
pada hakikatnya di dalamnya sudah diatur dan disepakati bagaimana seseorang
bertindak, berperilaku baik dalam lingkungan sosial masyarakatnya.77
Begitu juga dalam masyarakat Baduy yang mana dalam sistem pembagian
warisannya tidak ada aturan hukum yang tertulis meskipun ada aturan adat
tertulis yang biasa disebut Pikukuh. Akan tetapi Pikukuh hanya mengatur
kehidupan sosial dan bermasyarakat dalam menjaga alam lingkungan serta aturan
dalam kehidupan sehari – hari.
Kalau diperhatikan dari fakta yang ditemukan dari hasil penelitian
pembagian warisan masyarakat Baduy, baik data mengenai kesadaran masyarakat
dalam pelaksanaan hukum kewarisan yang telah diperoleh dari hasil wawancara
dan observasi langsung ke lapangan, maka telah ditemukan keragaman hukum
kewarisan yang berlaku dalam lingkungan masyarakat Baduy Desa Kanekes
Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten, yaitu ada masyarakat
yang menggunakan hukum adat sebagai acuan dalam pembagian warisan adan ada
juga masyarakat yang menggunakan Hukum Islam sebagai dasar pembagian
warisannya meski tidak secara seluruhnya menggunakan sistem yang biasa
dikenal dengan sebutan faraidh.
77
A. Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat Dahulu, Kini, Dan Akan Datang, (Jakarta:
Kencana, 2014), h. 88.
66
Terjadinya keragaman pembagian harta warisan yang dilaksanakan oleh
masyarakat Baduy disebabkan karena kultur budaya dan keyakinan masyarakat
terhadap hukum adat yang memiliki strata dalam kepatuhan serta ketaatan
masyarakat terhadap hukum adat tersebut. Seperti Baduy Muslim yang sudah
mulai terbuka dan berinteraksi kuat dengan aturan – aturan syariat Islam dalam
kehidupan sehari – hari dan dalam pelaksanaan pembagian warisan yang mana di
dasari prinsip musyawarah bersama para anggota keluarga yang dianggap sebagai
mashlahat bagi mereka, yang mana sudah melangkah dari ketentuan – ketentuan
adat masyarakat Baduy.
Tejadinya keragaman tersebut, jika diamati oleh penulis dari hasil data yang
diperoleh, dengan terjadinya keragaman pembagian warisan dimasyarakat Baduy,
telah tejadinya tatanan hukum adat tersendiri bagi kehidupan masyarakat Baduy
tersebut, disamping itu ada perilaku hukum kewarisan yang tidak sesuai dengan
aturan yang semestinya dijalani oleh masyarakat Baduy Muslim. Akan tetapi bila
dianalisis secara sosiologis itu merupakan hal yang wajar terjadi dikalangan
masyarakat adat. Karena dalam masyarakat adat memiliki sistem tata hukum
tersendiri yang tidak bisa di intervensi oleh siapapun dan tidak mungkin dalam
penerimaan dan interaksi hukum terhadap masyarakat didalamnya bisa langsung
menerima dan mengadopsi hukum dari luar secara total, sudah barang tentu hal
tersebut terjadi karena didasari oleh beberapa faktor keadaan lingkungan. Karena
Masyarakat Baduy Dalam masih belum bisa menerima keadaan masyarakat
Baduy Muslim yang terlalu terbuka terhadap perkembangan yang masuk dari
dunia luar.
67
Hazairin memberikan suatu uraian yang relatif panjang mengenai
masyarkat hukum adat, sebagai berikut :
“masyarakat- masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa, marga di
Sumatera Selatan, nagari di Minangkabau, kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi
Selatan, adalah kesatuan – kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai
kelengkapan – kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai
kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan
hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya…”78
Begitu juga sama halnya dengan apa yang terjadi pada tatanan masyarakat
Baduy, yang mana masyarakat Baduy memiliki kelengkapan sistem hukum yang
merupakan suatu bukti bahwa sistem hukum dalam masyarakat Baduy mampu
berdiri sendiri karena telah memiliki kesatuan hukum dan aturan adat yang mana
dalam hukum adat tersebut didasari oleh prinsip kebersamaan yang sangat erat
antara masyarakat Baduy.
Selain itu perkembangan Hukum Islam yang terjadi di kawasan masyarakat
Baduy Muslim murni terjadi karena adanya faktor tuntutan adat yang memang
membutuhkan adanya suatu penghubung antara masyarakat Baduy yang akan
keluar dengan cara dikeluarkan atau dengan cara mengeluarkan diri sendiri atau
meninggalkan wilayah Baduy. Seperti halnya perkawinan yang ingin dilaksanakan
dengan masyarakat luar Baduy yang mana hal itu sudah barang tentu membuat
status warga tersebut harus berubah menjadi penghuni Baduy Luar ( panamping)
78
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003),
h.93.
68
ataupun Baduy Dangka yang sudah secara garis besar tidak terlalu berpegang erat
pada aturan – aturan adat Pikukuh ataupun suatu budaya Sunda Wiwitan.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesmipulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan penulis pada beberapa bab
sebelumnya, pada akhirnya dalam karya tulis ini penulis dapat mengambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Pembagian warisan dalam masyarakat Baduy Desa Kanekes Kecamatan
Leuwidamar Kabupaten Lebak Banten menggunakan prinsip keadilan
yang diartikan bahwa kedudukan anak laki – laki dan anak perempuan
disamaratakan, dan tidak mengenal istilah (2:1) dua banding satu antara
anak laki – laki dan anak perempuan. Dan dasar hukum yang digunakan
masyarakat Baduy Dalam adalah aturan adat yang tidak tertulis dalam
Pikukuh akan tetapi dilaksanakan secara turun temurun sejak zaman nenek
moyang berdasarkan keadilan.
Begitu juga dengan masyarakat Cicakal Girang yaitu masyarakat
Baduy Muslim yang dalam pembagian warisannya juga tidak
menggunakan istilah (2:1) dua banding satu antara anak laki – laki dan
anak perempuan meskipun dalam masayarakat Baduy Muslim ini sudah
memeluk agama Islam secara total. Pada masyarakat Baduy Muslim,
dalam pelaksanaan pembagian warisan, yang menjadi dasar hukumnya
adalah kemaslahatan yang dilaksanakan dengan musyawarah dalam
70
keluarga untuk mendapat kesepakatan antara anak laki – laki dan anak
perempuan.
2. Adapun perbedaan mendasar antara hukum kewarisan masyarakat Baduy
dan hukum kewarisan Islam itu terletak pada Pikukuh yang menjadi dasar
aturan – aturan pembagian warisan yang tidak tertulis yang mana dalam
hukum kewarisan Islam sudah jelas berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah
yang mana sudah memuat secara lengkap bagian – bagian para ahli waris.
Dan disamping itu juga ada kesamaan antara hukum kewarisan masyarakat
Baduy dan juga hukum kewarisan Islam bahwa yang menjadi ahli waris
ialah keturunan dari orang yang meninggal dan warisan hanya dapat
dibagikan setelah meninggalnya pewaris. Akan tetapi masyarakat Baduy
tidak membagikan harta warisan ke garis keturunan ke atas sperti ayah, ibu
dan kakek. Dan yang mendapat hak waris hanyalah keturunan yaitu anak
laki-laki dan anak perempuan, dan terus kepada garis keturunan ke bawah.
B. Saran
Hukum kewarisan adalah suatu hal yang sangat pokok dalam kehidupan
berkeluarga dikalangan umat muslim maupun umat yang ber-Agama non-muslim.
Dalam Islam sendiri waris sudah diatur sangat sistematis dalam Al-Quran,
berbeda dengan hukum adat yang mana dalam mengatur hukum kewarisan tidak
didasari dengan firman Allah SWT. Akan tetapi didasari dengan sistem
kekeluargaan yang berlaku di masing – masing adat. Dari hasil penelitian yang
dilakukan dapat disimpulkan beberapa saran yang dapat diuraikan sebagai berikut
:
71
1. Para pembesar adat hendaknya memberikan pengetahuan perihal waris
yang adil atau mensosialisasikan bagaimana pembagian warisan yang
adil dalam sistem tata kehidupan di dalam masyarakat.
2. Pebagian harta warisan hendaknya dibagikan dengan kesepakatan dan
mufakat antara wahli waris agar tidak terjadi percekcokan.
3. Dikalangan Baduy Muslim meskipun membagikan harta warisan
dengan sistem kemaslahatan musyawarah mufakat, hendaknya bagi
umat muslim diberitahukan terlebih dahulu bagian – bagian yang
sudah tertera dalam Al-Quran, setelah para ahli waris mengetahui
bagian – bagian mereka menurut aturan Al-Quran dan kemudian para
ahli waris menghendaki, maka barulah diperbolehkan menerapkan
pembagian warisan dengan sistem musyawarah.
4. Hendaknya para pejabat dan pihak yang memiliki kepentingan di
bidang kewarisan harus melakukan sosialisasi pengenalan hukum
kepada seluruh masyarakat Baduy, karena secara tidak langsung
masyarakat Baduy adalah bagian dari tatanan masyarakat hukum di
Indonesia.
5. Dalam menetapkan Undang – Undang Hukum Kewarisan Nasional
Indonesia sebaiknya Pemerintah dengan DPR menetapkan berlakunya
hukum kewarisan Islam untuk Warga Negara Indonesia yang
beragama Islam menurut ajaran kewarisan bilateral berdasarkan Al-
Quran dan Hadis.
72
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid, Muhammad Muhyiddin, Panduan Waris Empat Madzhab, Cet. Ke-
1, Jakarta : Al – Kautsar, 2009.
Absyar Surwansyah. Tesis, Suatu Kajian Tentang Hukum Waris Adat Masyarakat
Bangko Jambi, Universitas Diponegoro Semarang. 2005.
Ali, Zainuddin, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika,
2008.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cetakan ke- 2, ( Jakarta: Sinar
Grafika, 2007 ).
Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Hibah Dan Wasiat Di Indonesia,
Cetakan Pertama, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2011).
Danasasmita, Saleh. Djatisunda, Anis, Kehidupan Masyarakat Kanekes,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (
Javanologi ) 1984/1985
Gunggung Senoaji, Masyarakat Baduy, Hutan, dan Lingkungan, J. Manusia dan
Lingkungan, Vol. 17, No.2, Juli 2010: 113 – 123.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Cetakan Ke-VII, Bandung : PT Citra
Aditya Bakti, 2003.
Hadikusuma , Hilman, Antropolgi Hukum Indonesia, Cetakan Ke-3, ( Bandung:
PT Alumni, 2010).
Hakiki, Muhammad, Kiki, Identitas Agama Orang Baduy, (Al-Adyan/Vol.VI,
No1/Jan-Jun/2011).
Ja’far, Moh, Polemik Hukum Waris (Perdebatan Antara Prof. Dr. Hazairin dan
Ahlus Sunnah). Cetakan Ke-1, (Jakarta: Kecana Mas Publishing House,
2007).h. 49.
Kuncoro, Wahyu, N.M, Waris Permasalahan Dan Solusinya, Cetakan Ke – 1,
Jakarta : Raih Asa Sukses, 2015.
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Al – Azhar Mesir, Hukum Waris, Cetakan
Pertama, (Jakarta : Senayan Abadi Publishing, 2004).
73
Kurnia, Asep, Saatnya Baduy Bicara, (Jakarta : Bumi Aksara, 2011)
Musthofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Ed – 1, Cet Ke –
1, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2008)
MS, Djoewisno, Potret Kehidupan Masyarakat Baduy, Cet, Pertama ( Banten:
Cipta Pratama ADV, pt, 1987).
Munawwar Al-, Said Agil Husin, Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial, Cetakan ke
– 1 (Jakarta : Penamadani, 2004).
Nasution, Amin Husein. Hukum Kewarisan (suatu analisis komparatif pemikiran
mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, Cet, Ke – 1 ( Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2012).
Oemarsalim. Dasar – Dasar Hukum Waris di Indonesia, Cet Ke - 4 (Jakarta :
Rineka Cipta. 2006).
Parman, Ali, Kewarisan Dalam Al-Quran ( suatu kajian hukum dengan
pendekatan tafsir tematik ), Cetakan Pertama, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1995.
Pide, Mustari, Suriaman, A, Hukum Adat Dahulu, Kini, Dan Akan Datang,
Cetakan Ke-1, (Jakarta : Prenada Media Group. 2014).
Rafiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia, Cet – 6, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003.
Ramulyo, Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan
Kewarisan Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (BW), Cet
Ke – 2, Jakarta : Sinar Grafika. 2000.
Rusyd, Ibn, Bidayah Al-Mujtahid, ( Mesir: Daarul Hariri, 2004)
Sayarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam, Edisi Pertama, Jakarta: Kencana,
2004.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ke – 3, (Jakarta : Penerbit
Universitas Indonesia (UI Press), 1986).
________________, Hukum Adat Indonesia, Ed. 1. Cet Ke-6, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2003).
Sudiyat, Iman, Hukum Adat Sketsa Adat, Cetakan Ke-5 (Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 2007).
74
Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam , Adat, dan
BW, Cetakan ke-empat, ( Bandung : PT Refika Aditama, 2014 ).
_________________, Hukum Waris Indonesia (dalam perspektif Islam, adat, dan
budaya), Cetakan Keempat, Bandung : PT Refika Aditama, 2014.
Thalib, Sayuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Cet, Ke – 8 (Jakarta : Sinar
Grafika, 2004).
Tono, Sidik, Kedudukan Wasiat Dalam Sistem Pembagian Harta Peninggalan,
(Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia, DIrektorat Jenderal
Pendidikan Islam, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012).
Usman Suparman dan Somawinata Yusuf. Fiqh Mawaris = Hukum Kewarisan
Islam. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1997.
Wahid, Maskur, Jurnal, Sunda Wiwitan Baduy, Agama Penjaga Alam Lindung
Desa Kanekes Banten. IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten
SKRIPSI
Lubis, Ikhwan, “Pelaksanaan Waris Bagi Rata Menurut Peraturan Pemuka
Masyarakat Desa Hutanopan Dalam Perspektif Hukum Islam,” Skripsi S1
Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2013.
DATA WAWANCARA
Wawancara Pribadi dengan Jaro Saija, ( Kepala Desa Kanekes ) Desa Kanekes,
Leuwidamar
Wawancara Pribadi dengan Jaro Sami, ( Jaro Cikeusik ) Cikeusik, Kanekes
Leuwidamar
Wawancara Pribadi dengan KH. Abdul Rasyid, ( Tokoh Masyarakat Baduy
Muslim) Cicakal Girang, Kanekes Leuwidamar
Wawancara Pribadi dengan Narwan, ( Tokoh Masyarakat ) Cibeo, Kanekes
Leuwidamar
Wawancara Pribadi dengan Yardi, ( Tokoh Masyarkat ) Cibeo, Kanekes
Leuwidamar
75
Wawancara pribadi dengan Ubad ( Tokoh Masyarkat ) Cikeusik, Kanekes
Luwidamar