bab ii pembagian harta waris dalam hukum islam dan …repository.radenfatah.ac.id/7017/2/skripsi bab...

18
BAB II PEMBAGIAN HARTA WARIS DALAM HUKUM ISLAM DAN ADAT MINANGKABAU A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam Hukum waris dalam Islam adalah aturan yang mengatur mengenai perpindahan hak kebendaan atau harta dari orang yang meninggal dunia (pewaris) kepada ahli warisnya dengan bagian masing-masing yang tidak sama tergantung kepada status kedekatan hubungan hukum antara pewaris dengan ahli warisnya. Hal ini senada dengan pendapat Zainuddin Ali yang mendefinisikan Hukum Kewarisan Adalah 1 . Aturan yang mengatur pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hal ini berarti menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, porsi bagian masing-masing ahli waris, menentukan harta peninggalan dan harta warisan bagi orang yang meninggal dimaksud. Lebih lanjut menurut Soepomo dikutip Eman Suparman mendefinisikan hukum waris secara umum itu memuat aturan-aturan yang mengatur proses meneruskan serta peralihan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tak berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya 2 . B. Objek Harta Waris Menurut Hukum Islam dan Adat Minangkabau 1. Harta Waris Menurut Hukum Islam Harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris. Dilihat dari segi jenjangnya harta itu dapat dibagi menjadi tiga macam 3 : a. Harta Kekayaan adalah semua harta yang dimiliki orang secara pribadi dan atau secara bersama-sama pada waktu orang itu masih hidup. Pengertian harta dapat berbentuk benda (baik bergerak maupun tidak bergerak) dan dapat 1 Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 33. 2 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Peresfektif Islam, Adat, dan BW, (Bandung: Rafika Aditama), hlm. 2. 3 Abdul Ghofur Ansori, Op.Cit., hlm. 88.

Upload: others

Post on 03-Feb-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    PEMBAGIAN HARTA WARIS DALAM HUKUM ISLAM

    DAN ADAT MINANGKABAU

    A. Pengertian Hukum Kewarisan Islam

    Hukum waris dalam Islam adalah aturan yang mengatur mengenai perpindahan

    hak kebendaan atau harta dari orang yang meninggal dunia (pewaris) kepada ahli

    warisnya dengan bagian masing-masing yang tidak sama tergantung kepada status

    kedekatan hubungan hukum antara pewaris dengan ahli warisnya. Hal ini senada

    dengan pendapat Zainuddin Ali yang mendefinisikan Hukum Kewarisan Adalah1.

    Aturan yang mengatur pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia

    kepada ahli warisnya. Hal ini berarti menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli

    waris, porsi bagian masing-masing ahli waris, menentukan harta peninggalan dan

    harta warisan bagi orang yang meninggal dimaksud.

    Lebih lanjut menurut Soepomo dikutip Eman Suparman mendefinisikan

    hukum waris secara umum itu memuat aturan-aturan yang mengatur proses

    meneruskan serta peralihan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tak

    berwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya2.

    B. Objek Harta Waris Menurut Hukum Islam dan Adat Minangkabau

    1. Harta Waris Menurut Hukum Islam

    Harta warisan adalah benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal

    dunia yang menjadi hak ahli waris. Dilihat dari segi jenjangnya harta itu dapat

    dibagi menjadi tiga macam3:

    a. Harta Kekayaan adalah semua harta yang dimiliki orang secara pribadi dan

    atau secara bersama-sama pada waktu orang itu masih hidup. Pengertian harta

    dapat berbentuk benda (baik bergerak maupun tidak bergerak) dan dapat

    1 Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,

    2009), hlm. 33.

    2 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Peresfektif Islam, Adat, dan BW,

    (Bandung: Rafika Aditama), hlm. 2. 3 Abdul Ghofur Ansori, Op.Cit., hlm. 88.

  • berupa hak-hak yang mempunyai nilai kebendaan atau hak yang mengikuti

    bendanya.

    b. Harta pribadi seperti harta yang diperoleh sebelum mati dan sebelum

    melangsungkan pernikahan, harta bawaan, harta warisan, harta hibah dan harta

    sebagai hadiah pernikahan. Sedangkan harta yang dimiliki bersama seperti

    harta gono-gini atau guna-kaya, harta pusaka dan sebagainya.

    c. Harta peninggalan adalah harta kekayaan yang telah ditinggalkan pewaris.

    Kekayaan itü menjadi milik pewaris sebelum diadakan tindakan pemurnian.

    Jenis bendanya ialah harta benda (baik bergerak maupun tidak) dan hak-hak

    yang mempunyai nilai kebendaan atau hak yang mengikuti bendanya. Dengan

    demikian harta kekayaan milik bersama (harta pusaka atau harta bawaan) tidak

    dapat di masukkan ke dalam harta peninggalan.

    2. Harta Waris Adat Minangkabau

    Harta peninggalan di Minangkabau secara umum dibedakan menjadi 2 (dua)

    yaitu harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Terhadap kedua macam harta

    inilah yang nantinya akan ditentuan siapa saja ahli warisnya4.

    Harta pusaka tinggi adalah tanah garapan nenek moyang yang diwarskan

    secara turun temurun dari niniek (nenek moyang) ke mamak dan dari mamak turun

    ke kemenakan dalam kaum tersebut. Harta yang digolongkan ke dalam harta pusaka

    tinggi apabila telah diwariskan turun temnurun.Bentuk harta pusaka tinggi adalah

    segala kekayaan materil dan harta benda yang bagi masyrakat Minagkabau sangat

    berkaitan dengan hutan tanah yang merupakan jaminan hidup5.

    Harta pusaka tinggi merupakan harta keluarga yang dimiliki oleh sebuah kaum.

    Sebagai individu anggota kaum tersebut bukanlah yang mempunyai harta itu,

    melainkan kaum mempunyai hak memakai saja. Harta ini diperuntukkan bukan

    untuk individu tetapi untuk kepentingan bersama dan tentunya untuk digunakan

    anggota-anggota kaum yang keadaan ekonominya rendah6.

    4Chairul Anwar, Op.Cit. hlm. 93.

    5 Hasil wawancara dengan Datuk Tandilangik di ruang tamu pada tanggal 4 Juli

    2019 Pukul 15.00. 6Hasil wawancara dengan Datuk Tandilangik di ruang tamu pada tanggal 4 Juli

    2019 pukul 15.00

  • Meskipun mamak kepala waris sebagai kepala satu kaum adalah yang

    berkewajiban mengurus dan mengawasi pembagian dan pemegang harta pusaka

    tinggi, namun mamak bukanlah pemegang kekuasaan tertinggi. Kekuasaan tertinggi

    berada di dalam rapat kaum yang beranggotakan seluruh ahli waris baik laki-laki

    mupun perempuan yang sudah akhil baligh dan menetap di kampung.7

    Sedangkan harta pusaka rendah merupakan harta yang masih dapat dijelaskan

    dengan mudah asal usulnya oleh ahli waris, dan pemakaiannya lebih bebas daripada

    pusaka tinggi. Harta pusaka rendah merupakan hasil pencaharian seseorang dan

    diwariskan menurut hukum Islam. Harta pusaka rendah merupakan hasil

    pencaharian seseorang dan diwariskan menurut hukum Islam. Yang termasuk dalam

    harta pusaka rendah adalah:

    a. Harta Pencaharian

    Adalah segala harta benda yang diperoleh dengan usaha sendiri, atau di dapat

    melalui hibah atau dengan cara lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan harta

    pusaka tinggi. Harta pencaharian ini terbagi dua yaitu:

    1) Tembilang besi yaitu harta tanah yang diperoleh melalui hasil teruko

    artinya membuka sawah baru dari tanah mati, misalnya membuat atau

    membuka sawah baru dari tanah ulayat kaum. Tanah dari perbuatan

    menaruka itu adalah hak orang yang menaruka yang dapat dimanfaatkan

    oleh keluarganya.

    2) Tembilang emas (pencaharian) yaitu tanah yang diperoleh dengan cara

    membeli atau memegang gadai (pegang gadai) yang uang untuk

    memegang gadai atau membeli tersebut adalah hasil dengan usaha sendiri.

    Bila seseorang menebus harta kaum yang tergadai dengan uang hasil

    usahnya itu sendiri maka harta tersebut tetap miliknya sampai kaum

    menebus kembali kepadanya.

    b. Harta Suarang

    Adalah harta yang benar-benar diperoleh dari usaha bersama-sama suami dan

    istri. Timbulnya harta suarang ini setelah adanya bentuk perkawinan semendo bebas

    7 Wawancara dengan Dt. Indo Maradjo, Tanggal 4 Juli 2019.

  • yaitu seelah terjadi kehidupan bersama antara suami dan istri. Kriteria bersama-

    sama adalah benar-benar istri dan suami melakukan suatu usaha bersama. Apabila

    istri hanya tinggal dirumah dan melakukan pekerjaan rumah, maka tidak termasuk

    dalam krateria usaha bersama. Hingga harta yang diperoleh bukanlah harta suarang.

    c. Harta Serikat.

    Adalah harta yang diperoleh dengan cara berserikat dengan orang lain. Bentuk

    perserikatannya dapat berupa modal bersama atau yang satu pihak mengeluarkan

    modal dan yang pihak lain mengeluarkan jasa.

    C. Sumber Hukum Kewarisan Islam

    Ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah waris terdapat di dalam Al-quran

    dan Al-hadist8. Adalah sebagai berikut :

    a. QS. An-Nisa [4]: 7-9

    ۡۡلَ اِن َوٱ لَۡوٲِِلَ

    ا تََرَك ٱ مَّ َِّسآِء هَِصُب ٌ۬ ّمِ ۡۡلَۡقَربُوَن َولِلً

    اِن َوٱ لَۡوٲِِلَ

    ا تََرَك ٱ مَّ ِّلّرَِجاِل هَِصُب ٌ۬ ّمِ َُ ٱَۡو ل ا قَ َّ ِمٌۡ ا َۚلُثَ ۡقَربُوَن ِممَّ ُروً۬اٌ۬ ۡۡ ا مَّ لُۡقۡرََبٰ ٧ هَِصًَ۬اٌ۬

    لِۡقۡسَمَة ُٱْولُوْا ٱ

    َذا َحََضَ ٱ

    ِ( َوا

    ۡعُروفاٌ۬ا َُ َوقُولُوْا لَُِۡم قَۡولاٌ۬ مَّ ٌۡ ۡرُزقُوُُه ّمِ ـٰڪنُِي فَٱ لَۡمَس

    ـَٰمٰى َوٱ ََتَ لۡ

    َّةاٌ۬ ًِ۬عَ ٨َوٱ ِِۡم ُذّرًِ ِۡ ٍَن لَۡو تََرُلوْا ِمۡن َخلۡ ِ َّلَّ

    ََۡخَش ٱ ا ( َولۡ َسِدًدا

    ََُقولُوْا قَۡولاٌ۬ َ َولۡ َّللَّ ۡم فَلََۡتَُّقوْا ٱ ۡاا َخافُوْا عَلَۡۡيِ (٩ـٰ

    Artinya :

    7. Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan

    kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta

    peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut

    bahagian yang telah ditetapkan.

    8. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang

    miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah

    kepada mereka Perkataan yang baik.

    9. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya

    meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka

    khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka

    bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan

    yang benar.

    8 Otje Salman, Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung: Pt Refika

    Aditama.2010), hlm.3.

  • b. QS. An-Nisa [4]: 11-12

    ـِٰدُڪمۡ َ ُ ِِفٓ ٱَۡول َّللَّ ۡۡلُهََُنَۡيِ ًُۖوِصَُُكُ ٱ

    َلِر ِمُۡۡ َح ِِّّ ٱ ۡيََنَۡيِ فَلَُِنَّ ُۡلََُا َما تََركَ ۚ ِلَّذَّ

    ََۡ ٱ ن ُلنَّ ِوَسآءاٌ۬ فَۡو

    َِد ً۬اٌ۬ فَلََِا ۖ فَا ِِ ۡۡ َوٲ َ ه ََ ن

    ِليِّۡصُف َوا

    ٌَُُۡما ۚٱ د ٌ۬ ّمِ ِِ ِّ َوٲ ُُ َِ ِل َوِۡلَبََوًۡ

    َن ََلُ ۥ َوَِل ٌ۬ ََ ن ِا تََرَك ا ُدُس ِممَّ لسُّ

    ُُ ۚٱ لَُّلُ

    َِ ٱ ّمِ ُ ِِ ٍُ فَ ۥ َٱبََوا َُ ُ ۥ َوَِل ٌ۬ َوَوِرَۡ ُُن َلَّ َّۡم ٍَ ن ل

    ُِدُس ۚ فَا لسُّ

    َِ ٱ ّمِ ُ ِِ َو ً۬ ٌ۬ فَ ۡۡ

    ِۥ ا َن ََلُ ََ ن

    ِۡ ِۗصََّة ٌ۬ ًُوِِص ِبَُآ َٱۡو َدٍۡن ِمن بَۡعِد وَ ۚ فَا ُُ ُُ ٓ ََ َءا

    ا عاٌ۬ ۡۡ َ ُۡم َٱۡقَرُب لَُُكۡ ه ۡ َل تَۡدُروَن َٱُّيُّ ُُ ُُ ٓ ِ َۚوَٱبۡيَا َّللَّ َن ٱ ةاٌ۬ ّمِ ََ اٌ۬ا ۗ فَرًِ ًُِم اا َح َن عَِلًم ََ َ َّللَّ

    نَّ ٱُِ ١١ ا َِّ ُُن ل َ َّۡم ٍ ِن ل

    ن َڪاَن ۚنَّ َوَِل ٌ۬ ( ۞ َولَڪُۡم ِهۡصُف َما تََرَك َٱۡزَوٲُجڪُۡم اِ فَا

    ا تََرۡڪنَ بُُع ِممَّ لرُّ َآ َٱۡو َدٍۡن ٌ۬ ۚلَُِنَّ َوَِل ٌ۬ فَلَڪُُم ٱ ِِ َُُّكۡ َوَِل ٌ۬ ۚ ِمن بَۡعِد َوِصََّة ٌ۬ ًُوِصنَي َّۡم ًَڪُن ل ن ل

    ِۡ ا ُُ ا تََرۡل بُُع ِممَّ لرُّ

    لَُُّمُن ِممَّ ۚ َولَُِنَّ ٱ

    ن َڪاَن لَڪُۡم َوَِل ٌ۬ فَلَُِنَّ ٱ

    ِا فَا

    ُُ َآ َٱۡو َدٍۡن ٌ۬ ۚتََرۡڪ ِِ ن بَۡعِد َوِصََّة ٌ۬ تُوُصوَن ُدُس ۗ ّمِ لسُّ َُما ٱ ۡۡ د ٌ۬ ّمِ ِِ ِّ َوٲ ُُ ۡ ٌ۬ فَِل ۡۡ ٌ َٱۡو ٱُ ۥ َٱ ۡمَرَٱ ً۬ ٌ۬ َوََلُ

    ا ٱَِو ٱ ََ ـٰ َ ُُ َڪل َن َرُج ٌ۬ ًُوَر ََ ن

    ِن َڪاهُٓوْا َٱۡڪَثَ ِمن ۚ َوا

    ِ فَا

    ل ُِ َذٲِِلَ فَُِۡم ُُشََڪآُء ِِف ٱ آّر ٌ۬ َُّۚلُ ََ َ ُم ۡۡ ِ ۚ ِمن بَۡعِد َوِصََّة ٌ۬ ًُوَِصٰ ِبَُآ َٱۡو َدٍۡن ََ َّللَّ

    َن ٱ ِلم ٌ۬ ۗ َوِصََّةاٌ۬ ّمِ َِ ُ عَِلم َّللَّ

    (١١ َوٱ

    Artinya :

    11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-

    anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua

    orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari

    dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak

    perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk

    dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang

    ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang

    meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja),

    Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai

    beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-

    pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)

    sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,

    kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)

    manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah

    Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

    12. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh

    isteri- isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu

    mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang

    ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)

    seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang

    kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai

    anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu

    tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah

  • dibayar hutang- hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun

    perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,

    tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara

    perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara

    itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,

    Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat

    yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi

    mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)

    syari'at yang benar- benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha

    Penyantun.

    c. QS. An-Nisa [4]: 176

    ََِ ـٰ لََۡكَ ِۡۡتَڪُۡم ِِف ٱ ُ ً ُ َّللَّ

    تُوهََك قُِ ٱ ۡۡ تَ ۡ ٌ۬ فَلََِا ِهۡصُف َما تَرَ ٌَۚس ۡ ۡۡ ۥ ُٱ ََ ََلُ ۥ َوَِل ٌ۬ َوََلُ َ لَُۡ ََ َُ ْا ُ ۡمُر

    ِن ٱَِا َوَِل ٌ۬ ۚكَ ا َِّ ُُن ل َ َّۡم ٍ ِن ل

    َآ ا ُُ َو ٍَِر ُُ ا ۚ َو ُّلََُاِن ِممَّ لَ ۡيََنَۡيِ فَلََُِما ٱ

    ۡهَتَا ٱ ََ ن

    ِ فَا

    ۡۡلُهََُنَۡيِ ۚتََركَ َلِر ِمُۡۡ َح ِِّّ ٱ َووَِسآءاٌ۬ فَِلَّذَّ

    َو ً۬اٌ۬ ّرَِجالاٌ۬ ِۡۡهُٓوْا ا ََ ن

    ُِّواْ ۗ َوا ل َِ ُ لَڪُۡم ٱَن تَ َّللَّ

    ُ ٱ ء عَِلُم ۗ ًًَُ۬نّيِ ِّ ََشۡ ُُ ُ ِب َّللَّ

    (١٧١َوٱ

    Artinya :

    176. Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah

    memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal

    dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,

    Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang

    ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta

    saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara

    perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang

    ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri

    dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara

    laki- laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah

    menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah

    Maha mengetahui segala sesuatu.

    d. QS. Al-Ahzab [33]: 6

    ُِۡسُِمۡ ٌِنَي ِمۡن َٱه لُۡمۡؤِم ليَِِّبُّ َٱۡوََلٰ ِبٱ

    ـٰتُُُمۡ ۖٱ َِ ۥ ُٱمَّ َُ ُُۡم َٱۡوََلٰ ِبًَ۬ۡع ٍ۬ ٌ۬ ۗ َوَٱۡزَوٲُج َُ اِم بَۡع َِ ۡۡلَۡر

    ۡعُروفاٌ۬ا َوٱُْولُوْا ٱ ُُك مَّ

    ََِآٮ ٓ َٱۡوِل ََلٰ ِ

    َعلُٓوْا ا ۡۡ ٓ ٱَن تَ لَِّـِٰجرٍَِن ا لُۡمَِ

    ٌِنَي َوٱ لُۡمۡؤِم

    ِ ِمَن ٱ َّللَّ

    ـِٰب ٱ ِِۚف ِڪتَ

    ا ـِٰب َمۡسُطوراٌ۬ لۡڪِتَ (١َڪاَن َذٲِِلَ ِِف ٱ

    Artinya :

  • 6. Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri

    mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. dan orang-orang

    yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-

    mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-

    orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-

    saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab

    (Allah).

    Sedangkan sumber hukum waris yang berasal dari Hadits, diantaranya:

    a) Harta yang Ditinggalkan Orang Mati untuk Ahli Warisnya9.

    َٔ :ىلرتلكدًيوفَالفٕاحندُ ٔاُو ترك ِلًيو وفٕاء صىل والا، ِدًَٔابَرٍىر ً۬رً۬اللِعيو،أ - 4411 ىرسولللِصلىاللِعلَووسمل َهَٔوتىبامرجالملتوِف،علَواِلٍن،فُس

    َٕل : أان ٔاوَل بلمٔومٌني من ٔاُۡس م ، مفن تويف مٌٕاملٔومٌني لك هلمسلمني : صلوا عىل صٕا حبُك فلام فتح هللا علَو امۡتوح ،

    َِلٍن(5لتٕاب امُٕۡاةل:93َٕأوٍ،ومٌرتلإملفلورًٔتو ٔاۡرجوامبخٕاًرۡي :فرتلدًيٕافعلىَُ

    Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa pernah ada orang mati yang

    meninggalkan utang dibawa kepada Rasulullah Saw. Beliau pun bertanya,

    “Apakah dia meninggalkan harta untuk membayar utangnya?” Bila ternyata

    jenazah tersebut meninggalkan harta untuk membayar utangnya, beliau mau

    menyalatinya. Jika tidak, beliau berkata kepada kaum muslimin, “Shalatilah

    saudara kalian ini!”

    Ketika Allah membukakan banyak kemenangan diberbagai negeri, beliau

    bersabda, “Aku lebih berhak (mengurus urusan) orang-orang beriman

    daripada diri mereka sendiri, maka siapa yang meninggal dunia dari kalangan

    kaum mukminin lalu meninggalkan utang, akulah yang wajib membayarnya

    dan siapa yang meninggalkan harta maka harta itu untuk ahli warisnya.”(H.R.

    Bukhari, Kitab: “Tanggungan” (39), Bab: Utang (5)).

    9 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu'lu Wal Marjan, Edisi Ketiga

    (Jakarta: Ummul Qur'an, 2013), hlm. 771.

  • b) Memberikan Bagian Kepada Pemiliknya10.

    َ قَاَل : -1401 َِ َوَسملَّ َْ َ ُ عَل ِ َصىلَّ اَّللَّ ، َعْن اليَِّبِّ َرُسوُل اَّللَّ َُ ًُ ابِْن َعًَّ۬اس َرِِضَ هللُا َعْي دَّ ِلَِا ، فََما بَِقَي فََُِو ِۡلَْوََل َرُج َذَلر َِ ُْ ََۡرائِ ٍَ۬ ِبٱَ َٱلِْحقُوا الْ

    ۡااثموِلمٌٔابَوؤامو( 5لتٕاَمۡراً ٍ۬ٔ:َ 55 ٔاۡر جو امبخٕا ر ي يف : مب

    Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan dari Nabi صلعم, yang bersabda : “Berikanlah

    bagian fara‟idh (warisan yang telah ditetapkan kepada yang berhak. Adapun

    sisanya, maka untuk pewaris lelaki yang paling dekat (nasabnya).”(H.R.

    Bukhari, kitab : (85), Bab: Warisan untuk anak dari bapak dan ibunya (5)).

    Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim atau sering disebut dengan istilah

    muttafaq „alaih:

    ِلَِا ، فََما بَِقَي فََُِو ِۡلَْوََل رَ ُْ ََۡرائ ٍَِ۬ ِبٱَ َ الْ َِ َوَسملَّ َْ َ ُ عَل ِ َصىلَّ اَّللَّ ُج َذَلر متۡ علَو(قَاَل اليَِّبِّ َرُسوُل اَّللَّ

    Nabi Saw. bersabda: “Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang

    yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama

    (dekat kekerabatannya).” (Muttafaq „alaih).

    D. Sebab-Sebab Mendapatkan Hak Waris

    Dalam hukum Islam, sebab-sebab untuk dapat menerima warisan ada tiga,

    yaitu: Hubungan kekerabatan (al-qarabah), Hubungan perkawinan atau semenda

    (al-musaharah), Hubungan karena sebab memerdekakan budak atau hamba sahaya

    (al-wala')11

    . Namun untuk sebab karena memerdekakan budak sudah tidak berlaku

    Iagi untuk sekarang, karena praktik perbudakan ini hanya ada pada masa Rasulullah

    SAW.

    1. Hubungan Kekerabatan (al-qarabah).

    Di antara sebab beralihnya harta seseorang yang telah mati kepada yang masih

    hidup adalah adanya hubungan kekerabatan antara keduanya. Adapun hubungan

    kekerabatan ditentukan oleh adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat

    adanya kelahiran12

    .

    Jika seorang anak lahir dari seorang ibu, maka ibu mempunyai hubungan

    kerabat dengan anak yang dilahirkan. Hal ini tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun

    10Ibid., hlm. 772-773.

    11

    Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Rajawali Pres, 2012), hlm. 41.

    12

    Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana), hlm. 179.

  • karena setiap anak yang lahir dari rahim ibunya sehingga berlaku hubungan

    kekerabatan secara alamiah antara seorang anak dengan seorang ibu yang

    melahirkannya. Sebaliknya, bila diketahui hubungan antara ibu dengan anaknya

    maka dicari pula hubungan dengan laki-laki yang menyebabkan si ibu melahirkan.

    Jika dapat dibuktikan secara hukum melalui perkawinan yang sah penyebab si ibu

    melahirkan, maka hubungan kekerabatan berlaku pula antara si anak yang lahir

    dengan si ayah yang menyebabkan kelahirannya13

    .

    Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayah ditentukan Oleh adanya akad

    nikah yang sah antara ibu dengan ayah (penyebab si ibu hamil dan melahirkan)14

    .

    Dengan mengetahui hubungan kekerabatan antara ibu dengan anaknya dan

    hubungan kekerabatan antara anak dengan ayahnya, dapat pula diketahui hubungan

    kekerabatan ke atas, yaitu kepada ayah atau ibu dan seterusnya, ke bawah, kepada

    anak dan seterusnya, dan hubungan kekerabatan ke samping, kepada saudara

    beserta keturunannya. Dari hubungan kekerabatan yang demikian, dapat juga

    diketahui struktur kekerabatan yang tergolong ahli waris bila seorang meninggal

    dunia dan meninggalkan harta warisan15

    .

    2. Hubungan Perkawinan (al-musharah)

    Hubungan atau pernikahan dijadikan sebagai penyebab hak adanya perkawinan,

    hal ini dipetik dan Qur'an surah An-Nisa' (4) : 12, yang intinya menjelaskan tentang

    hak saling mewarisi antara orang yang terlibat dalam tali pernikahan yaitu suami-

    istri16

    .

    Syarat suami-istri saling mewarisi di samping keduanya telah melakukan akad

    nikah secara sah menurut syariat. Juga antara suami-istri yang berakad nikah itu

    belum terjadi perceraian ketika salah seorang dari keduanya meninggal dunia17

    .

    3. Memerdekakan Budak Atau Hamba Sahaya (al-Wala')

    13 Caulson dalam Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:

    Sinar Grafika, 2009), hlm. 111.

    14

    Ibid.

    15

    Amir syarifuddin dalam Ibid., hlm. 112.

    16

    Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Eksistensi dan

    Adaptabilitas, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), hlm. 37.

    17

    Ibid.

  • Al-wala' adalah hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan budak

    atau hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong menolong. Untuk yang terahir ini

    agaknya jarang dilakukan malahan tidak sama sekali. Adapun al-wala' yang

    pertama disebut dengan wala ' al-ataqah atau ushubah sababiyah, dan yang kedua

    disebut dengan wala' al-muwalah, yaitu wala' yang timbul akibat kesediaan orang

    untuk tolong menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian perwalian18

    .

    Adapun bagian orang yang memerdekakan budak atau hamba sahaya adalah 1/6

    dari harta peninggalan. Jika kemudian ada pertanyaan apakah sekarang masih ada

    hamba sahaya, maka jawabannya adalah bahwa hapusnya perbudakan merupakan

    salah satu keberhasilan misi Islam. Karena memang imbalan warisan kepada al-

    mufiq atau al-mu 'ttqah salah satu tujuannya adalah untuk memberikan motivasi

    kepada siapa saja yang mampu, agar membantu dan mengembalikan hak-hak hamba

    menjadi orang yang merdeka19

    .

    E. Sebab-Sebab Hilangnya Hak Kewarisan Dalam Islam

    Memperoleh hak waris tidak cukup hanya karena adanya penyebab kewarisan,

    tetapi pada seseorang itu juga harus tidak ada penyebab yang dapat menghalanginya

    untuk menerima warisan. Karena itu orang yang dilihat dari aspek penyebab-

    penyebab kewarisan sudah memenuhi syarat untuk menerima warisan, tetapi jika ia

    dalam keadaan dan atau melakukan sesuatu yang menyebabkan dia tersingkir

    sebagai ahli waris20

    . Dalam hukum Islam secara umum faktor penghalang hak waris

    terdapat beberapa sebab yaitu21

    :

    a. Ahli waris yang membunuh pewaris, tidak berhak mendapatkan warisan

    dari keluarga yang dibunuhnya.

    b. Ahli waris yang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya

    yang beragama Islam, demikian pula sebaliknya.

    c. Orang kafir tidak berhak menerima warisan dari keluarga yang beragama

    Islam.

    18 Fatchur Rahman dalam Ahmad Rofiq, Fiqh Muwaris, Op. Cit., hlm. 45.

    19

    Ibid.

    20

    Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit., hlm.39.

    21

    Eman Suparman, Op. Cit., hlm.2.

  • F. Rukun dan Syarat Kewarisan Dalam Islam

    Jika dianalisis syarat-syarat adanya pelaksanaan hukum kewarisan Islam akan

    ditemukan tiga syarat yaitu yang pertama, kepastian meninggalnya orang yang

    memiliki harta, kedua, kepastian hidupnya ahli waris ketika pewaris meninggal

    dunia, ketiga, diketahui sebab-sebab status masing-masing ahli waris. Kepastian

    meninggalnya seseorang yang memiliki harta dan kepastian hidupnya ahli waris

    pada saat meninggalnya pewaris menunjukkan bahwa perpindahan hak atas harta

    dalam kewarisan tergantung seluruhnya pada saat yang pasti. Oleh karena itu

    meninggalnya pemilik harta dan hidupnya ahli waris merupakan pedoman unutuk

    menetapkan peristiwa pelaksanaan hukum kewarisan Islam, Penetapan pemilik

    harta meninggal dan ahli waris hidup sebagai syarat mutlak menentukan terjadinya

    kewarisan dalam hukum Islam22

    .

    Secara lebih luas ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian

    warisan. Syarat-syarat tersebut mengikuti rukun, dan sebagian berdiri sendiri23

    .

    Adapun rukun pembagian warisan ada tiga yaitu:

    1. Pewaris (al-mawarrits)

    Yaitu orang yang mewariskan harta bendanya, syaratnya al-muwarrits benar-

    benar telah meninggal secara hakiki, secara yuridis, atau berdasarkan

    perkiraan24

    .

    2. Ahli Waris (al-warits)

    Ahli waris adalah orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan

    baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan (semenda), atau

    akibat memerdekakan hamba. Syaratnya, pada saat meninggalnya pewaris,

    ahli waris benar-benar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam pengertian ini

    adalah yang masih berada dalam kandungan. Meskipun masih berupa janin,

    22 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Op. Cit., hlm. 113.

    23

    Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Op. Cit., hlm. 28.

    24

    Ibid.

  • apabila dapat dipastikan hidup, melalui gerakan kontraksi atau cara lainnya,

    maka bagi si janin tersebut berhak mendapatkan warisan25

    . Syarat yang

    lainnya adalah ahli waris tersebut tidak memiliki sebab terhalang untuk

    mendapatkan hak wans seperti yang sudah di bahas di atas dalam sebab-

    sebab terhalangnya mendapatkan hak kewarisan.

    3. Harta Warisan (al-mauruts)

    Harta warisan menurut hukum Islam ialah segala sesuatu yang ditinggalkan

    oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya. Dalam

    pengertian ini dapat dibedakan antara harta warisan dan harta peninggalan.

    Harta peninggalan adalah semua yang ditinggalkan oleh si mayit atau dalam

    arti apa-apa yang ada pada seorang saat kematiannya, sedangkan harta warisan

    adalah harta peninggalan yang secara hukum syariat berhak diterima oleh ahli

    warisnya26

    . Disebut sebagai harta warisan adalah harta peninggalan pewaris

    yang dengan syarat sudah dikeluarkan untuk biaya selama pewaris sakit,

    pengurusan jenazah, pembayaran hutang, serta wasiat pewaris.

    G. Ahli Waris dan Bagian-Bagiannya Menurut Hukum Islam

    Golongan besarnya hak yang akan diterima oleh para ahli waris, maka ahli

    waris di dalam hukum waris Islam dibagi ke dalam tiga golongan, yaitu:

    1. Ashabul furudh, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tertentu,

    yaitu 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3.

    2. Ashabah, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tidak tertentu,

    tetapi mendapatkan ushubah (sisa) dari ashabul furudh atau mendapatkan

    semuanya jika tidak ada ashabul furudh.

    3. Dzawil arham, yaitu golongan kerabat yang tidak termasuk golongan

    pertama dan kedua27

    .

    25 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Op. Cit., hlm. 29.

    26

    Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm. 215. 27

    R. Otje Salman dan Mustofa Haffas,. Hukum Waris Islam (Bandung: Refika

    Aditama, 2010), hlm. 51.

  • Selanjutnya akan dijelaskan secara rinci dari ketiga golongan ahli waris di

    atas, yaitu sebagai berikut:

    1. Ashabul furudh

    Secara umum, ashabul furudh dapat dikelompokan ke dalam dua

    kelompok, yaitu ashabul furudh sababiyyah dan ashabul furudh nasabiyyah.

    a. Ashabul Furudh Sababiyyah ialah orang berhak mendapat bagian

    harta warisan, karena adanya sebab, yaitu adanya akad perkawinan,

    sehingga antara suami dan istri mempunyai hubungan saling

    mewarisi.

    b. Ashabul Furudh Nasabiyyah ialah orang berhak menperoleh harta

    warisan, karena adanya hubungan nasab (hubungan darah/keturunan).

    Ahli waris nasabiyyah ini dapat dibedakan kepada 3 jenis, yaitu: furu‟

    al-mayyit, usul al-mayyit dan al-hawasyi28

    . Furu‟al-mayyit yaitu

    hubungan nasab menurut garis lurus keturunan ke bawah. Yang

    termasuk ke dalam furu‟al-mayyit ini ialah:

    1) Anak perempuan dari anak laki-laki

    2) Cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah

    keturunan laki-laki

    Usul al-mayyit yaitu ahli waris yang merupakan asal keturunan dari orang

    yang mewariskan, atau hubungan nasab garis keturunan ke atas. Mereka ini

    adalah:

    a) Ayah

    b) Ibu

    c) Ayah dari ayah (kakek) dan seterusnya ke atas

    d) Ibu dari ayah atau ibu dari ibu (nenek dari pihak ayah atau nenek dari

    pihak ibu)

    Al-Hawasyi ialah hubungan nasab dari arah menyamping, dan mereka

    terdiri dari:

    28 Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan (Jakarta: PT. Raja Grafinda Persada,

    2012), hlm. 99.

  • a) Saudara perempuan sekandung.

    b) Saudara perempuan seayah.

    c) Saudara laki-laki seibu.

    d) Saudara perempuan seibu29.

    2. Ashabah

    Para ahli fara‟id membedakan ashabah ke dalam tiga macam, yaitu ashabah bi

    nafsih, ashabah bi al-ghair, dan ashabah ma‟a al-ghair. Di bawah ini akan

    dijelaskan dari ketiga macam ashabah di atas, yaitu

    a. Ashabah bi nafsih, yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri

    berhak menerima bagian ashabah. Ahli waris kelompok ini semuanya

    laki- laki, kecuali mu‟tiqah (orang perempuan yang memerdekakan

    hamba sahaya).

    1. Anak laki-laki,

    2. Cucu laki-laki dari garis anak laki-laki dan seterusnya ke bawah,

    3. Bapak,

    4. Kakek (dari garis bapak),

    5. Saudara laki-laki Sekandung,

    6. Saudara laki-laki seayah,

    7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung,

    8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak,

    9. Paman (saudara bapak) sekandung,

    10. Paman (saudara bapak) sebapak,

    11. Anak laki-laki paman sekandung,

    12. Anak laki-laki paman sebapak, dan

    13. Mu‟tiq atau mu‟tiqah (laki-laki atau perempuan yang memerdekakan

    hamba sahaya)

    b. Ashabah bi al-ghair, yaitu seseorang yang sebenarnya bukan ashabah

    karena ia adalah perempuan, namun karena bersama saudara laki-lakinya

    29 Ibid. hlm. 100-101.

  • maka ia menjadi ashabah30

    .

    Ahli waris penerima ashabah bilghair tersebut adalah:

    1. Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki,

    2. Cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis

    laki-laki,

    3. Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung,

    4. Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah.

    c. Ashabah ma‟aal-ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena

    bersama dengan ahli waris lain yang tidak menerima sisa (ahli waris yang

    mendapatkan bagian tertentu). Ahli waris yang menerima bagian ashabah

    ma‟aal-ghair, ialah:

    1. Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan

    anak perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki (seorang atau

    lebih).

    2. Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) bersama dengan

    anak perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki (seorang atau

    lebih)31

    .

    3. Dzawil arham

    Dalam pembahasan fiqh mawaris, terminologi dzawil arham digunakan

    untuk menunjuk ahli waris yang tidak termasuk ke dalam ahli waris ashab al-

    furudl dan ashabah. Oleh karena itu, menurut ketentuan al-Qur‟an, mereka itu

    tidak berhak menerima bagian warisan sepanjang ahli waris ashab al-furudl dan

    ashabah ada32

    .

    Adapun bagian pasti yang telah ditentukan dalam al-Qur‟an ada enam, yaitu

    seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, dan seperenam33

    .

    Yang mendapat bagian setengah (1/2) harta:

    30 Amir Syarifuddin, Op. Cit, hlm. 244.

    31

    Ahmad Rofiq, Op. Cit, hlm. 74-75.

    32

    Ahmad Rofiq, Op. Cit, hlm. 78. 33

    Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i (Edisi Pertama)( Jakarta: Almahira, 2012),

    hlm. 91.

  • 1) Anak perempuan, apabila sendirian (anak tunggal) dan tidak ada anak laki-

    laki (alias saudara kandung),

    2) Cucu perempuan pancar dari anak laki-laki, apabila sendirian serta tidak

    adanya anak perempuan atau ahli waris anak laki-laki,

    3) Saudara perempuan sekandung, dalam situasi dan sendirian serta tidak ada

    anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki,

    4) Saudara perempuan sebapak, dalam situasi kalalah dan sendirian serta tidak

    adanya anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki, dan saudara

    perempuan kandung,

    5) Suami apabila istri tidak punya anak.

    Yang mendapat bagian seperempat (1/4) harta:

    1) Suami apabila ada ahli waris anak dari istri,

    2) Istri bila tidak ada anak atau cucu34.

    Ketentuan hukum pembagian warisan untuk suami dan istri yang

    mendapatkan bagian seperempat ini, telah dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran

    surat an-Nisa‟ [4]: 12.

    Yang mendapat bagian seperdelapan (1/8) harta, yaitu istri bila ada anak atau

    cucu.

    Yang mendapat bagian dua pertiga (2/3) harta apabila

    tidak ada anak laki-laki

    1) Dua orang anak perempuan atau lebih,

    2) Dua orang atau lebih cucu perempuan pancar anak laki-laki,

    3) Dua orang atau lebih saudara perempuan sekandung, dan

    4) Dua orang atau lebih saudara perempuan sebapak.

    Yang mendapat bagian sepertiga (1/3) harta

    1) Ibu apabila tidak ada anak laki-laki dan saudara laki tidak lebih dari satu.

    2) Dua orang atau lebih saudara perempuan seibu apabla tidak ada anak

    laki dan tidak ada bapak/kakek dari pihak laki-laki.

    34 Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam. (Bandung: Sinar Baru Algensindo. 2015), hlm.

    355-361.

  • Yang mendapat bagian seperenam (1/6) harta

    1) Ibu apabila ada anak laki-laki atau saudara laki yang lebih dari satu.,

    2) Bapak apabila ada ahli waris anak,

    3) Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak) apabila tidak ada ibu,

    4) Cucu perempuan pancar anak laki-laki apabila bersamaan dengan anak

    perempuan yang mendapatkan bagian 1/2 serta tidak adanya cucu laki-

    laki dari anak laki,

    5) Kakek (bapak dari bapak) apabila ada anak dan tidak ada ayah,

    6) Seorang saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan apabila

    tidak ada salah satunya serta tidak adanya anak atau bapak/kakek dari

    pihak laki-laki, dan

    7) Satu orang atau lebih saudara perempuan sebapak apabila bersamaan

    dengan saudara perempuan kandung yang mendapat bagian 1/2 serta

    tidak adanya saudara laki sebapak35

    .

    Dalam pembagian warisan apabila terdapat ahli waris yang bersama-sama,

    seperti anak perempuan dan anak laki-laki. Maka menurut prinsip dalam Islam

    telah dijelaskan oleh Allah SWT. “Bagi seorang laki-laki mendapat bagian sama

    dengan bagian dua orang perempuan”. (QS. An-Nisa‟ [4]: 11).

    Karenanya, untuk menjaga keseimbangan antara beban yang dipikulkan di

    pundak kaum laki-laki dan beban yang dipikulkan di pundak kaum wanita, maka

    ditetapkanlah bahwa kaum laki-laki diberi bagian warisan 2 (dua) kali lipat

    bagian kaum wanita. Persamaan yang adil adalah persamaan yang sesuai dengan

    kadar kebutuhan masing-masing pihak36

    .

    H. Ahli Waris Menurut Adat Minangkabau

    Menurut adat dengan sistem kewarisan kolektif matirilinial, yang menjadi

    ahli waris terhadap harta pusaka tinggi adalah kemenakan. Ada bermacam

    macam kemenakan dalam adat Minangkabau yaitu :

    35

    Ibid. hlm. 355-361. 36

    Muhammad Ustman Al-Khasyt, Kitab Fikih Wanita 4 Mazhab Untuk Seluruh

    Muslimah. (Jakarta: Niaga Swadaya. 2014), hlm. 282.

  • 1) Kemenakana bertali darah, yaitu kemenakan kandung Iazimnya disebut

    kemenakan dibawah dagu.

    2) Kemenakan bertali adat, adalah kemenakan sepesukuan tapi tidak se kaum

    dan tidak bertali darah, yang bernaung di bawah penghulu suku. Sering juga

    di sebut kemenakan dibawah dada.

    3) Kemenakan bertali budi, adalah seseorang yang datang dari tempat atau

    daerah lain yang diterima menjadi kemenakan dari penghulu suku. Sering

    juga di sebut kemenakan dibawah perut.

    4) Kemenakan bertali emas, adalah kemenakan yang diperoleh dengan jalan

    memberikan sejumalah uang (emas) kepada keluarga yang melepaskan

    "kemenakan" tersebut. Seringnya disebut kemenakan di bawah perut.

    Yang menjadi ahli waris terhadap harta pusaka tinggi adalah kemenakan

    bertali darah (kemenakan kandung). Namun bila kemenakan bertali darah tidak ada

    atau punah, maka yang mejadi ahli waris adalah kemanakan bertali adat. Demikian

    seterusnya sesuai dengan asas keutamaan.

    Dalam kelompok kemenakan bertali darah terdapat tingkatan-tingkatan sebagai

    berikut:

    1) Waris yang setampok (selebar telapak tangan) yaitu kemenakan kandung

    yang merupakan anak-anak dari perempuan yang seibu dengan mamak

    kepala waris.

    2) Waris yang sejengkal yaitu dunsanak ibu (saudara ibu) adalah anak anak

    dari perempuan yang ibu dari perempuan itu dengan ibu dari mamak kepala

    waris adalah se ibu.

    3) Waris yang sehasta yaitu dunsanak nenek adalah anak-anak dari perempuan

    yang dari perempuan itu dengan nenek dari mamak kepala waris adalah

    senenek.

    4) Waris yang sedepa adalah kemenakan dunsanak moyang yaitu anak dari

    perempuan dimana nenek dari perempuan itu dengan nenek adalah senenek.