kepentingan ekonomi dan pelanggaran tata ruang

22
KEPENTINGAN EKONOMI DAN PELANGGARAN TATA RUANG Oleh Nugroho SBM Sewaktu penulis pertama kali masuk kuliah di program pasca sarjana perencanaan wilayah dan kota (planologi) di Insitut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Ir Tommy Firman salah seorang pengajar menyatakan bahwa program harus menerima lebih banyak mahasiswa dari disiplin ilmu ekonomi. Alasannya supaya para perencana kota mengenal lebih dalam ilmu ekonomi. Dia menjelaskan bahwa para perencana kota yang kebanyakan dari disiplin ilmu arsitektur gagal membuat rencana kota yang ditaati dalam pelaksanaannya. Kebanyakan rencana kota yang dibuat oleh para arsitek, masih menurut Tommy Firman, kalah oleh kepentingan dan dinamika ekonomi. Banyak penggunaan lahan untuk perkantoran atau ruang terbuka hijau yang akhirnya berubah menjadi kawasan bisnis. Pernyataan Dr. Ir Tommy Firman (sekarang sudah guru besar) yang penulis kutip di depan sangat relevan dengan keresahan dan pernyataan Imam Mardjuki (Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Semarang) menanggapi disahkannya Perda Nomor 19 tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang 2011-2030 Menurut Mardjuki setelah disahkannya RTRW Kota Semarang 2011-2030 tersebut hendaknya jangan ada lagi ijin-ijin pembangunan yang berseberangan dengan RTRW tersebut (SM, 3/6 /11). Masih menurut Mardjuki lagi, selama ini RTRW kerap dilanggar. Ia mencontohkan 2 (dua) pelanggaran terhadap RTRW yang lama (Perda Nomor 5 Tahun 2004 Tentang RTRW Kota Semarang 2000 – 2010). Pertama, kawasan jalan Pemuda dalam RTRW ditetapkan sebagai kawasan untuk pemerintahan. Terbukti sekarang sudah menjadi kawasan perbelanjaan dan juga banyak hotel berbintang berdiri di sana. Kedua, di kawasan jalan Pemuda juga diperbolehkan untuk perguruan tinggi dengan konsentrasi pada disiplin ilmu teknologi informasi, kini sudah tumbuh perguruan tinggi dengan bebagai disiplin ilmu atau tidak lagi hanya yang berkonsentrasi pada teknologi informasi. Sebenarnya, pelanggaran tata ruang wilayah kota Semarang terjadi juga jauh sebelum RTRW Kota Semarang 2000-2010 seperti yang disebut oleh Mardjuki.Sebagian besar masyarakat kota Semarang tahu dalam RTRW Kota Semarang sebelum RTRW 2000-2010, kawasan Simpang Lima misalnya diperuntukkan untuk perkantoran, olahraga dan keagamaan. Tetapi sekarang kawasan tersebut sudah berubah menjadi kawasan bisnis.

Upload: sukardi-ardi

Post on 28-Sep-2015

76 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ekonomi Wilayah

TRANSCRIPT

KEPENTINGAN EKONOMI DAN PELANGGARAN TATA RUANGOleh Nugroho SBM

Sewaktu penulis pertama kali masuk kuliah di program pasca sarjana perencanaan wilayah dan kota (planologi) di Insitut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Ir Tommy Firman salah seorang pengajar menyatakan bahwa program harus menerima lebih banyak mahasiswa dari disiplin ilmu ekonomi. Alasannya supaya para perencana kota mengenal lebih dalam ilmu ekonomi. Dia menjelaskan bahwa para perencana kota yang kebanyakan dari disiplin ilmu arsitektur gagal membuat rencana kota yang ditaati dalam pelaksanaannya. Kebanyakan rencana kota yang dibuat oleh para arsitek, masih menurut Tommy Firman, kalah oleh kepentingan dan dinamika ekonomi. Banyak penggunaan lahan untuk perkantoran atau ruang terbuka hijau yang akhirnya berubah menjadi kawasan bisnis.Pernyataan Dr. Ir Tommy Firman (sekarang sudah guru besar) yang penulis kutip di depan sangat relevan dengan keresahan dan pernyataan Imam Mardjuki (Ketua Fraksi PKS DPRD Kota Semarang) menanggapi disahkannya Perda Nomor 19 tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang 2011-2030 Menurut Mardjuki setelah disahkannya RTRW Kota Semarang 2011-2030 tersebut hendaknya jangan ada lagi ijin-ijin pembangunan yang berseberangan dengan RTRW tersebut (SM, 3/6 /11).Masih menurut Mardjuki lagi, selama ini RTRW kerap dilanggar. Ia mencontohkan 2 (dua) pelanggaran terhadap RTRW yang lama (Perda Nomor 5 Tahun 2004 Tentang RTRW Kota Semarang 2000 2010). Pertama, kawasan jalan Pemuda dalam RTRW ditetapkan sebagai kawasan untuk pemerintahan. Terbukti sekarang sudah menjadi kawasan perbelanjaan dan juga banyak hotel berbintang berdiri di sana. Kedua, di kawasan jalan Pemuda juga diperbolehkan untuk perguruan tinggi dengan konsentrasi pada disiplin ilmu teknologi informasi, kini sudah tumbuh perguruan tinggi dengan bebagai disiplin ilmu atau tidak lagi hanya yang berkonsentrasi pada teknologi informasi.Sebenarnya, pelanggaran tata ruang wilayah kota Semarang terjadi juga jauh sebelum RTRW Kota Semarang 2000-2010 seperti yang disebut oleh Mardjuki.Sebagian besar masyarakat kota Semarang tahu dalam RTRW Kota Semarang sebelum RTRW 2000-2010, kawasan Simpang Lima misalnya diperuntukkan untuk perkantoran, olahraga dan keagamaan. Tetapi sekarang kawasan tersebut sudah berubah menjadi kawasan bisnis.

Penyebab dan SolusinyaMelihat kecenderungan pelanggaran tata ruang di Kota Semarang, lalu timbul pertanyaan apa penyebabnya? Pertama, penulis setuju dengan pernyataan Dr. Ir Tommy Firman bahwa kebanyakan rencana tata ruang kota tidak disusun dengan mengakomodasikan kegiatan ekonomi masyarakat yang memang sangat dinamis. Kasus perubahan drastis kawasan Simpang Lima dari kawasan perkantoran, olahraga dan keagamaan menjadi kawasan bisnis karena kurangnya pemahaman bahwa lokasi di pusat kota sangat diinginkan oleh kegiatan ekonomi atau bisnis Hal tersebut terjadi karena penyusunan rencana kota kurang melibatkan para ahli ekonomi secara intens.Selama ini peran ahli ekonomi dalam perencanaan kota hanya sebagai tempelan belaka. Akibatnya aspek analisis ekonomi kurang mendapat tempat yang menonjol. Urusan perencanaan kota dianggap urusan teknis para sarjana teknik (insinyur). Tetapi memang keterlibatan para ahli ekonomi dalam penyusunan rencana kota seringkali juga terkendala masalah data. Sebagaimana diketahui, di Indonesia makin sempit wilayah maka makin tidak ada data. Sebagai contoh data dasar seperti pendapatan masyarakat; pada tingkat nasional ada data pendapatan nasional; pada tingkat daerah ada data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tingkat provinsi dan kabupaten atau kota. Tetapi pada tingkat kecamatan data semacam itu tidak ada. Untuk mengatasinya para ahli ekonomi dan konsultan yang menyewanya harus berani melakukan survei lapangan langsung. Memang biayanya mahal, tetapi ada pepatah mengatakan Data untuk perencanaan memang mahal tetapi lebih mahal perencanaan tanpa data (mengingat dampak negatib yang akan terjadi).Sebab kedua mengapa rencana kota termasuk rencana kota Semarang tidak ditaati dalam pelaksanannya adalah justru rencana kota itu terlalu kaku serta berjangka panjang di satu sisi dan di sisi lain kegiatan ekonomi dan bisnis sangat dinamis di sisi yang lain. Secara praktek di negara-negara di dunia, dikenal ada 2 (dua) macam rencana kota. Pertama, dikenal dengan nama Master Plan yang diterapkan di Amerika Serikat. Bentuk Master Plan ini biasanya berupa zonasi (pembagian ruang) yang kaku. Wilayah atau ruang yang sudah diplot untuk perumahan tidak boleh diubah menjadi perkantoran. Banyak ahli mengatakan bahwa Master Plan ini hanya cocok untuk kawasan yang baru (kota-kota baru). Kelemahan dari Master Plan adalah karena sifatnya yang kaku maka dalam jangka panjang tidak bisa mengakomodasikan dinamika aktivitas ekonomi dan bisnis masyarakat serta kurang realistik karena banyak aktivitas yang bisa dilakukan bersamaan tanpa saling menganggu. Meskipun begitu, Amerika Serikat dan beberapa negara masih memakai bentuk Master Plan ini untuk rencana kotanya.Karena kelemahan rencana kota berbentuk Master Plan inilah kemudian lahir bentuk alternatifnya yang dikenal dengan Structural Plan. Bentuk ini banyak dipakai di negara-negara Eropa. Dalam bentuk ini, rencana kota hanya memuat garis-garis besar kegiatan utama yang diperbolehkan di beberapa wilayah dalam rencana kota. Kegiatan lain diperbolehkan berlokasi di situ asalkan tidak bertentangan. Contohnya: suatu kawasan yang ditentukan untuk kawasan perumahan masih diperbolehkan adanya perkantoran dan kegiatan jasa tetapi tertutup untuk kegiatan industri. Maka seberapa jauh RTRW Kota Semarang tahun 2011-2030 ditaati bisa dievaluasi dari seberapa luwes RTRW tersebut.

SangsiSebab ketiga dari tidak ditaatinya RTRW Kota termasuk Kota Semarang adalah tiadanya sangsi hukum bagi yang melanggarnya. Tetapi itu dulu. Sekarang dengan Undang-undang yang baru yaitu Undang-undang Nomer 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang akan ada sangsi bagi siapapun (termasuk pemerintah) yang melanggar penggunaan lahan dan bangunan yang sudah ditetapkan di RTRW Kota. Ada 3 bentuk sangsi yaitu sangsi adiministrasi (termuat di Pasal 62 sampai 64), sangsi perdata (Pasal 66, 67, dan 75) dan sangsi pidana (Pasal 69 sampai 74).Sangsi administratif meliputi peringatan tertulis, denda administratif sampai penutupan kegiatan dan pembongkaran bangunan. Sedangkan sangsi perdata antara lain memberi ganti rugi setelah diputuskan oleh pengadilan Dan sangsi pidana berupa hukuman kurungan minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun penjara serta denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 1 miliar. Sangsi tersebut sekali lagi bisa dikenakan kepada masyarakat maupun pejabat pemerintah sebagai personal dan pemerintah sebagai lembaga. Maka kalau ingin RTRW Kota Semarang tahun 2011-2030 yang sudah diperdakan menjadi Perda Nomor 19 tahun 2011 ditaati, penerapan sangsi yang sudah diatur secara jelas dalam UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang harus diterapkan secara tegas tanpa pandang bulu.

Land Grabbingdan Mafia RuangDalam penyelenggaraan penataan ruang, transparansi dan akuntabilitas merupakan dua asas utama yang paling mendasar. Olehnya asas ini harus terjadi di seluruh proses. Karena pada keduanya jejaring kepentingan para pihak bersinggungan dan bermitra; pengawasan tugas dan kewenangan pemerintah sebagai penyelenggara penataan ruang dipahami. Jika keduanya tidak terpenuhi, maka penyelenggaraan penataan ruang dapat memakan hak dan kepentingan para pihak, dan berpotensi terjadi penyelewengan kekuasaan oleh oknum aparatur pemerintah.Proses penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Integritas penyelenggara penata ruang sangat utamakan. Kemudian kejelasan keberpihakannya kepada masyarakat dan kepentingan daerahnya. Dibutuhkan kapasitas sistim pemerintahan yang dinamis, bersih, dan taat hukum; Aparatur pemerintah harus memiliki mentalitas bertanggungjawab, profesional dan kemauan baik berbuat adil.Apapun alasan penolakannya, dalam penyusunan tata ruang, praktik-praktikland grabbingdan mafia ruang marak terjadi. Intensitas kasus dan keberhasilannya terus beranjak naik. Terutama di tingkat daerah daerah yang menganut sistim pemerintahan otonomi khusus. Lebih khusus lagi daerah-daerah otonomi baru hasil pemekaran wilayah.Motifland grabbingadalah penguasaan ruang untuk kepentingan industrialisasi dan mempengaruhi arah kebijakan ekonomi suatu negara atau daerah. Sehingga land grabbingbukan issu nasional, tapi internasional. Dimana kepentingan banyak korporasi multi-nasional dan trans-nasional bersekutu merebut ruang dengan memanfaatkan tangan banyak korporasi nasional.Kasus ini memberikan pesan, bahwaland grabbingdibangun menggunakan struktur politik ruang dan tidak murni ekonomi. Atau persekutuan antara kepentingan ekonomi politik dunia dengan kepentingan ekonomi oknum pemerintah di elit birokrasi. Instrumennya adalah sertifikasi legal formal yang diterbitkan atas nama instansi pemerintah.Instrumen pendukungnya. Lazimnya, kepentingan korporasi global selalu bersekutu dengan kepentingan korporasi nasional. Kemudian memperkuat perlindungan wilayah konsesinya dengan menggandeng kekuatan militer. Pada ranah ini ekonomisasi aparatur militer untuk pengamanan wilayah konsesi dan sumberdaya di dalamnya terjadi sistimatis.Apakahland grabbingmenguntungkan industri dan korporasi global? Jelas menguntungkan! Tanpaland grabbing, peluang mereka mengelola sumberdaya alam di suatu negara menjadi panjang dan rumit. Tanpaland grabbing, mereka tidak bisa menguasai ruang berskala besar dan mengendalikan hasil pemanfaatannya. Apalagi lembaga keuangan dan perbankan menyetujui penggunaan surat ijin konsesi sertifikat tanah-lahan dan sertifikasi potensi cadangan terbukti sebagai agunan pinjaman modal.Pada situasi bagaimana Land Grabbingdan Mafia Ruangberpotensi terjadi dalam penyusunan RTRW? Ada lima situasi yang menjadi faktor penariknya.Pertama, lemahnya instrumen hukum dan penegakan hukum di bidang agraria dan tata ruang;Kedua, semangat penataan ruang berorientasi eksploitasi sumberdaya alam ekstraktif;Ketiga, rencana penataan ruang berorientasi pertumbuhan ekonomi fisik dan infrastruktur;Keempat, tidak transparan dan tidak akuntabel penyelenggaraan tatan ruang; danKelima, lemahnya profesionalitas dan buruknya integritas penyelenggara penataan ruang.Land grabbing atau perampasan lahan/tanah terjadi pada ruang yang kondisi faktualnya tidak ada permukiman warga. Ruang yang tidak atau belum memiliki bukti hak dalam bentuk sertifikat dari instansi pemerintah. Tak sedikit juga terjadi pada wilayah-wilayah permukiman masyarakat yang jauh dari kota. Tanah-lahan demikian biasanya terkategorikan tidak dimanfaatkan dan tidak berpemilik, olehnya negara berhak menguasai.Ciri-ciri ruang yang berpotensi menjadi sasaranland grabbing. Ruang yang kaya sumberdaya alam dan bernilai strategis secara tata letak. Juga tanah dan lahan pusat pertemuan jalur akses sumberdaya alam dan transportasi pemasaran hasilnya.Pendekatanland grabbing. Memanfaatkan kelemahan hukum dan tidak adanya pengawasan aturan yang kuat. Atau menggunakan perantaraan kepentingan nasional di sektor migas pertambangan, perkebunan, air tawar, dan pangan. Pintu masuknya adalah kepentingan pribadi aparatur pemerintah yang korup dan tidak memihak kepentingan rakyat banyak.Menurut Franco,dkk(2013) dalam Irendra Radjawali (2014),land grabbingsebenarnya terjadi karena ada kontrol kepemilikan. Yaitu kepemilikan kekuatan untuk mengontrol lahan dan sumberdaya alam lainnya seperti air dan mineral dalam kawasan hutan. Selain itu di dalamnya mengontrol manfaat atas penggunaannya. Sasaranland grabbingadalah ruang darat kekayaan darat.Siapa aktor utama pelakuland grabbing atauland grabbers? Telah banyak kasus membuktikan bahwa elit pemerintah (Eksekutif) pelakunya. Elit pemeritah bersekongkol dengan elit politik (Legislatif) dalam menyusun tata peraturan formal. Keduanya merampas tanah-lahan rakyat menggunakan instrumen hukum formal. Kemudian memberikannya kepada investor-korporasi. Dengan cara apa mereka merampas? Dengan memberikan kemudahan ijin lahan konsesi, ijin usahabodong,dan keringanan fiskal. Penataan ruang diatur sedemikian rupa dalam RTRW agar memudahkan lebih banyak masuk kepentingan investor-korporasi.Land grabbingdalam penataan ruang terbukti menyengsarakan dan merugikan rakyat. Merugikan keuangan negara dan mengancam keamanan wilayah negara secara geo-politik. Bertentangan dengan hukum dan sangat tidak adil. Apalagi bila penyelenggaraan penataan ruang sejak awal tidak transparan, tidak melibatkan masyarakat, dan tidak memperhatikan aspek sosio-kultural masyarakat di suatu wilayah.Di banyak daerah, rencana penataan ruang selalu disembunyikan dari masyarakat. Apalagi yang namanya masyarakat adat di kampung, mereka tidak pernah diberitahu dan dilibatkan. Bisa kita temukan penetapan kawasan lindung dan kawasan budidaya secara sepihak oleh pemerintah. Mekanisme komunikasi dengan cara sosialisasi dan konsultasi publik, selalu menempatkan masyarakat adat di pinggiran aras utama.Menyangkut partisipasi dan transparansi dengan pola kemitraan. Dua aspek ini selalu terabaikan dalam penyusunan RTRW provinsi dan kota. Partisipasi dengan pola kemitraan, hanya dilakukan dengan pihak-pihak tertentu. Seperti akademisi dan perguruan tinggi, lembaga donor dan perbankan, pemilik modal dan investor/perusahaan, politisi dan partai politik, dan lembaga swadaya masyarakat. Sedangkan warga dan masyarakat adat sebagai pihak yang akan terkena dampak penataan ruang dikecualikan.Setelah RTRW ditetapkan dan diberlakukan, masyarakat adat akan terusir dari tanah adatnya, karena ruang hidupnya telah terkena penetapan fungsi baru. Mereka ditangkap dan diadili bila memanfaatkan sumberdaya alam di wilayah adatnya yang telah berubah wilayah peruntukan. Terjadi penyempitan dan perusakan ruang hidupnya, dan penetapan sepihak kawasan lindung dan budidaya yang melanggar hak-haknya.Praktikland grabbingjamak ditemui di kawasan lindung dengan status hukum hutan lindung, Cagar Alam, Suaka Margasatwa,dll.Alih fungsi kawasan hutan yang penetapannya dilakukan sepihak oleh Menteri Kehutanan. Di kawasan budidaya, banyak juga terjadi kasus pengusiran masyarakat adat dari tanahnya. Sektor migas dan tambang, kehutanan, perkebunan monokultur, danreal estateyang dijumpai paling banyak terjadi praktikland grabbing.Masih menurut Franco,land grabbing tidak hanya untuk kepentingan bersifat nyata, tapi juga virtual. Selain memanfaatkan lahan sesuai fungsi bio-fisiknya, ada kepentingan investor yang lebih besarnya. Yaitu menjadikan sertifikat lahan dan ijin konsesi sebagai agunan memperoleh pinjaman modal dari bank. Juga untuk spekulasi peningkatan nilai tanah dalam pasar modal.Secara institusi, pemerintah selalu tertipu karena tak mampu menerka kepentingan investasi atas ruang. Kepentingan virtual luput dari perhatiannya. Perhatian dan kemampuannya terbatas dan lemah.Padahal kepentingan virtual investor memiliki daya rusak besar dan mengancam kedaulatan negara. Sebab kepentingan ini berjejaring dan saling menguatkan secara mendunia.Mafia ruang atau permufakatan jahat dalam merencanakan tata ruang. Praktik ini menjadi salah satu akar masalah kerugian negara. Terutama dalam hal perijinan, pemberian dan penetapan luas dan waktu pengelolaan suatu wilayah konsesi, keringanan pajak ruang/tanah, pemulihan daya dukung ruang, dan pengamanan ruang. Pada kasus ini, korupsi pertambahan nilai dari pemanfaatan ruang dan sumberdayanya marak terjadi. Pelakunya adalah elit-elit pemerintah.Seperti korupsi yang terjadi di rantai hulu dan hilir migas dan pertambangan. Juga di sektor kehutanan dan perkebunan monokultur. Semua kebocoran penerimaan negara dari sektor sumberdaya alam asalnya terjadi akibat praktik mafia ruang.Seluruh hasil pemanfaatan ruang dan potensinya yang harus masuk ke kas negara digunakan untuk sebesarnya kesejahteraan rakyat, berpindah masuk ke kantong elit pemerintah. Tentunya sebagai upeti investor atas kebaikan hati mereka melayani kepentingan investor-korporasi dalam RTRW.Ada tiga modus mafia ruang.Pertama, menyesuaikan RTRW mengikuti ijin-ijin konsesi yang telah diberikan sebelumnya;Kedua,menyusun RTRW mengikuti dinamika iklim investasi skala besar; danKetiga, melakukan alih fungsi dan peruntukan kawasan dalam RTRW dengan mengeluarkan/menerbitkan ijinbodong.Modus pertama dan kedua dilatarbelakangi dua faktor: 1). Informasi berkaitan dengan penyelenggaraan penataan ruang tidak dapat diakses oleh masyarakat atau tidak diberi tahu, 2). Perencanaan dan proses pembangunan perusahaan (investasi) hanya diketahui oleh golongan elit pemerintah.Modus ketiga mudah ditemukan pada perubahan status hutan (secara sepihak) menjadi lahan dengan status penggunaan lain. Atau pemberian ijin (secara sepihak) untuk pertambangan dan pertambangan terbuka di kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung; pemberian ijin pertambangan di kawasan hutan produksi, dan ijin perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan.Bukan rahasia, penyusunan RTRW di banyak daerah dijadikan pintu masuk kepentingan ekonomi pihak tertentu. RTRW dijadikan sebagai alat resmi perampasan tanah-lahan milik masyarakat atas nama pembangunan.Tujuan utama penetapan kawasan dalam penataan ruang, fungsi lindung dan budidaya, menjadi terabaikan. Karena tidak digunakan sebagaimana tujuan strategisnya: menjamin kemampuan dan kelangsungan layanan alam, dan membangun produktifitas rakyat. Keadilan dan kepastian hukum dalam penataan ruang, tidak melindungi kepentingan dan menjamin hak rakyat atas ruang hidupnya. Tapi untuk kepentingan investasi dan industri.Akhirnya, mari kita bangun paradigma pikir baru dalam penataan ruang di Papua Barat. Bahwa penataan ruang harus mengakui dan melindungi hak setiap warga negara, mengakui dan melindungi hak kultural dan aktifitas hidup masyarakat adat Papua di dalam ruang hidupnya. Dan menjadikan RTRW sebagai bangunan Keadilan Ruang bagi kehidupan manusia, kehidupan lain, dan lingkungan hidup.

Berdasarkan pertemuan Konsultasi Publik tanggal 6 November 2013 di Bogor yang diselenggarakan oleh Dirjen Planologi KEMENHUT-RI, dimana Usulan RTRWP Provinsi Papua Barat dan Rekomendasi Tim Terpadu (TIMDU), Tentang Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan. Dimana pada wilayah Pegunungan Arfak secara khusus di Daerah Minyambouw terdapat Usulan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan yang diusulkan dari Hutan Lindung (HL) menjadi Areal Penggunaan Lain (APL).Hal ini jelas dapat mengancam keberadaan masyarakat adat yang selama ini hidup dengan sistem adat istiadat seperti igya ser hanjob(berdiri menjaga batas). Selain itu perubahan peruntukan dan fungsi kawasan yang diusulkan akan mengancam hilangnya habitat jenis satwa endemic 110 jenis mamalia, 320 jenis burung, 350 jenis kupu-kupu dan tumbuhan endemik lainnya. Adapun di daerah tersebut telah ada pengelolaan Ekowisata Pengamatan burung oleh masyarakat adat dan rencana pengelolaan hutan adat. TIMDU pun memberi kesempatan kepada masyarakat adat untuk memberikan masukan terkait usulan revisi Tata Ruang Wilayah Provinsi Papua Barat tersebut. Untuk itulah pada tanggal 7-8 Februari 2014, Dialog Kebijakan RTRWP pun digelar di Manokwari oleh kerjasama LSM diantaranya Yayasan Paradisea, JASOIL Tanah Papua, Yayasan PUSAKA, Perkumpulan Mnukwar atas dukungan RFN dan CLUA.Dalam kasus kebijakan Revisi RTRWP Provinsi Papua Barat, diketahui Pemerintah Prov. Papua Barat mengusulkan revisi RTRWP dengan perubahan kawasan hutan seluas 1.836.327 hektar, terdiri dari: perubahan peruntukkan seluas 952.683 hektar dan perubahan fungsi seluas 874.914 hektar dan perubahan APL (Areal Penggunaan Lain) menjadi kawasan hutan seluas 8.730 hektar. Sedangkan Tim Terpadu (TIMDU) yang melakukan penelitian atas usulan revisi tersebut merekomendasikan perubahan peruntukkan menjadi APL seluas 263.045 ha, perubahan fungsi seluas 334.071 ha dan perubahan APL menjadi kawasan hutan seluas 813 ha. Sehingga luas kawasan hutan di Provinsi Papua Barat dari seluas 10.257.693 ha menjadi 9.995.461 ha.Sangat sulit dan sedikit saja data informasi yang spesifik diperoleh tentang dasar-dasar maupun kajian terhadap usulan perubahan fungsi dan peruntukkan kawasan hutan maupun rekomendasi TIMDU Revisi RTRWP Papua Barat. Beberapa data informasi yang disajikan menunjukkan rencahnya partisipasi masyarakat dan kurangnya pengetahuan pemerintah dan TIMDU tentang keberadaan masyarakat adat dan ruang di Papua, misalnya usulan perubahan meng-APL-kan kawasan hutan pada beberapa kampung di Distrik Manyambo, Kabupaten Pegunungan Arfak, untuk perluasan pembangunan jalan. Padahal usulan ini dapat mengancam kerusakan fungsi hutan, mengganggu habitat hewan endemic burung pintar dan membatasi masyarakat Arfak yang sangat tergantung hidupnya dari hutan setempat.Atas dasar itulah TIMDU dari Dirjen Planologi Kemenhut-RI menolak penetapannya di tingkat pusat karena beberapa alasan mendasar, termasuk proses penyusunan usulan revisi RTRWP yang tidak melibatkan bahkan mempertimbangkan ruang masyarakat adat di dalam tata ruang provinsi. Kesempatan pun terbuka bagi komunitas masyarakat adat untuk menyampaikan masukan atau usulan termasuk menolak alih-fungsi kawasan hutan ke APL di sekitar kawasan dimana mereka berada. Untuk itulah komunitas masyarakat adat di Pegunungan Arfak menyampaikan beberapa point rekomendasi kepada pihak TIMDU dari Dirjen Planologi Kemenhut-RI pada saat Dialog Kebijakan tentang Visi dan Misi RTRWP Papua Barat di Manokwari, tanggal 7-8 Februari 2014.Zeth Wonggor, pegiat ecowisata di Pegunungan Arfak menyatakan bahwa pihaknya mendukung hasil kajian Timdu terkait pembatalan usulan perubahan peruntukan dari HL ke APL di daerah Wariori dengan rencana pembangunan infrastruktur jalan sangat tidak efektif dari segi demografi dan topografi. Selain itu sangat tidak efisien juga dari sisi anggaran karena akan memakan biaya pembuatan dan perawatan yang besar. Jalan prafi-miyambouw-catubou telah ada sehingga tidak perlu dibuatkan lagi jalan baru dari wariori ke testega. Jika ingin menjangkau daerah-daerah tersebut tinggal melanjutkan jalan yang telah ada saja.Selanjutnya, Hans Mandacan yang juga seorang pemandu wisatawan alam di Pegunungan Arfak menerangkan bahwa komunitas adat di kampung halamannya sudah lama menikmati hasil dari ecowisata, sehingga pihaknya sangat mendukung hasil kajian Timdu terkait pembatalan usulan perubahan peruntukan dari HL ke APL di daerah Mubrani, Kebar tidak sesuai dari segi topografi yang berat contohnya daerah gunung pasir. Seharusnya wilayah tersebut tetap dipertahankan bukannya dialihfungsikan sebagai APL. Dari segi demografi pun tidak ditemukan wilayah pemukiman di sepanjang jalan yang dimaksud.Sebagai LSM pendamping masyarakat adat pengelola ecowisata di Pegungan Arfak, Esau Yaung, direktur Yayasan Paradisea Manokwari pun menyatakan sikap menolak APL mulai dari wilayah kampung Duabei hingga kampung Nimbiau (distrik Minyambouw). Jika dilihat dari segi demografi tidaklah mempengaruhi kondisi kawasan hutan di sepanjang jalan dari prafi hingga ke Miyambouw. Untuk itu APL tersebut perlu ditinjau kembali. Hal ini diperkuat dengan melihat topografi yang berat di daerah tersebut (dari kampung Duabei hingga Minyambouw). Kalaupun tetap harus dijadikan APL, tidak harus dijadikan APL yang luas. Selain itu juga, ini akan memperngaruhi sirklus hidrologi beberapa DAS (daerah Aliran sungai) yang ada di sekitar APL tersebut (sungai prafi, sungai meni, sungai atai, dll), salah satunya akan mempengaruhi rencana pengembangan PLTA karena akan mempengaruhi debit air. Selain itu daerah sektar jalan di distrik Minyambouw merupakan kawasan ekowisata Burung Pintar dan Kupu-Kupu sayap burung yang sedang di kembangkan oleh masyarakat lokal sebagai daerah pariwisata sehingga jika di alih fungsikan menjadi APL akan berpengaruh pada habitat burung pintar maupun kupu-kupu sayap burung tersebut.Pegunungan Arfak terletak sebelah Barat Kota Manokwari dan berdasarkan SK Menteri Pertanian No.820/Kpts/Um/II/1982 Pegunungan Arfak ditetapkan sebagai kawasan konservasi dengan luasan 45.000 Ha dengan status Cagar Alam. Kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak merupakan suatu kawasan hutan yang bergunung-gunung dan bukit seluas 68.325 hektar. Masyarakat asli yang tinggal di kawasan Pegunungan Arfak terdiri dari 3 suku besar, yaituHatam, MouledanSoughbdimana ketiga suku ini sangat tergantungan kepada hutan karena hutan memberikan semua yang dibutuhkan oleh mereka. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas masyarakat mulai dari bercocok tanam, berburu maupun meramu. Dari ketergantungan tersebut sehingga hutan dianggap sebagai ibu bagi masyarakat Arfak.Konsep pengelolaan sumberdaya hutan sesuai kearifan local masyarakat adat pun sudah lama dikembangkan sesuai adat kebiasaan masyarakat adat di Pegunungan Arfak yang dikenal dengan sebutanigya ser hanjobyang mengandung artiberdiri menjaga batas.Terdapat aturan adat atau kearifan lokal yang digunakan secara turun temurun yang terbukti mampu mempertahankan fungsi kawasan hutan demi kelangsungan kehidupan masyarakat Arfak. Kearifan lokal tersebut dikenal dengan istilahIgya ser hanjob(dalam bahasa Hatam/Moule ) atauMastogow hanjob(dalam bahasa Soughb).Igyadalam bahasa hatam berarti berdiri,serartinya menjaga danhanjobberarti batas.Secara harfiahIgya serhanjobmengandung makna berdiri menjaga batas namun batas disini bukan hanya bermakna sebagai suatu kawasan, namun secara luas bermakna mencakup segala aspek kehidupan masyarakat Arfak. KonteksIgyaser hanjobmeliputi tiga kawasan diantaranya:Bahamti,Nimahamti dan Susti.Bahamti:Kawasan ini merupakan kawasan inti atau hutan primer yang belum mengalami campur tangan manusia. Ciri-ciri kawasan ini terdapat pohon-pohon besar sampai vegetasi lumut. Menurut aturan adat, terdapat larangan terhadap kegiatan pemanfaatan kawasan ini antara lain berkebun, berburu dan meramu. Demikian halnya dengan pengambilan kayu sangat dilarang. Pengambilan kulit kayu untuk dinding rumah diperbolehkan apabila di kawasan lain tidak ditemui lagi. Namun semua tergantung ijin dariandigpoy(Kepala Suku). Bagi masyarakat Arfak kawasan bahamti merupakan kawasan terlarang. Pelanggaran terhadap aturan ini dikenai sanksi berupa denda dan sanksi moral. Denda yang dibayarkan berupa uang, ternak dan tenaga. Sedangkan sanksi moral berupa pengucilan oleh masyarakat.Nimahamti:Kawasan ini bercirikan hutan yang sangat lembab dan banyak lumut yang tumbuh. Wilayah ini tidak dapat dijadikan kebun karena secara geografis sulit dijangkau dan suhunya dingin. Kondisi ini menyebabkan tidak semua tanaman dapat tumbuh subur. Namun demikian kawasannimahamtiadalah kawasan pemanfaatan terbatas dan berfungsi sebagai kawasan penyangga. Masyarakat diperbolehkan memanfaatkan dan mengelola kawasan ini untuk berburu dan meramu. Masyarakat diperbolehkan mengambil hasil hutan didaerah ini seperti kulit kayu, tali rotan dan daun daunan. Bahan-bahan tersebut merupakan bahan untuk membuat rumah kaki seribu. Kulit kayu digunakan untuk dinding rumah, tali rotan digunakan untuk pengikat tiang rumah, serta daun-daunan untuk atap rumah. Masyarakat juga diperbolehkan untuk berburu dan mengambil bahan obat tradisional. Tetapi kegiatan pemanfaatan hasil hutan tetap terbatas dan tergantung ijin dariAndigpoy. Pelanggaran terhadap aturan aturan tersebut memperoleh sanksi yang diputuskan olehNekei(Hakim) melalui sidang adat.Susti:Kawasan ini merupakan kawasan pemanfaatan dan pengelolaan bebas.Sustibercirikan hutan sekunder, yaitu hutan yang sebelumnya sudah pernah dibuka untukmembuat kebun namun sudah ditinggalkan dan sudah tumbuh pohon yang menjadihutan kembali. Seluruh anggota masyarakat Arfak bebas memanfaatkan kawasan sustiuntuk kehidupannya. Pemanfaatan kawasan ini meliputi pemukiman,kebun/berladang dan kegiatan lain yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhansehari-hari seperti berburu, meramu dan pengambilan kayu bakar. Kegiatan berburuumumnya tidak dilakukan pada kawasan ini, karena dekat dengan pemukiman,sehingga hewan buruan jarang ditemui, kecuali babi hutan yang datang untukmengganggu tanaman di kebun. Kegiatan meramu umumnya dilakukan oleh ibu-ibudan anak-anak. Bahan-bahan yang diramu antara lain paku-pakuan, jamur dan obat obatan.Pemanfaatan kawasan ini tidak memerlukan ijin khusus dariAndigpoykarena pemilikan lahan dikuasai oleh klen atau keret.Soal potensi alamnya, jangan ditanya lagi. Zeth Wonggor sang pemandu wisata burung dalam Dialog Kebijakan tentang RTRWP Papua Barat di Manokwari, pihaknya menjelaskan bahwa Kawasan Pegunungan Arfak memiliki potensi keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna. Menurut jenis tanamannya, Cagar Alam Pegunungan Arfak merupakan tipe hutan heterogen. Jenis fauna yang ada di sini terdiri dari 110 jenis mamalia, termasuk marsupial, kuskus pohon, oposum, kuskus ekor kait, kanguru pohon, bandikut, tikus berkantong, landak moncong panjang, dan 320 jenis burung, diantaranya burung bower (Amblyornis innocartus), cenderawasih (Paradisea spp), kakatua dan nuri juga terdapat jenis burung endemik Arfak, yaituAstrapia nigradanParotia sefilata. Terdapat pula 350 jenis kupu-kupu.Hans Mandacan pun menambahkan bahwa Pegunungan Arfak sendiri merupakan pusat penyebaran kupu-kupu jenis sayap burung endemik Arfak, diantaranya terdapat jenis-jenis yang dilindungi yaituOrnithoptera rothschildi,Ornithoptera paradisecrysanthemum, Ornithoptera paradisea arfakensis, Ornithoptera goliath samson, Ornithopteratithonus misresiana, Ornithoptera priamus poseidon, Troides oblongomaculatus. Jenis flora yang tumbuh antara lain kayu besi (Intsia bijuga), kayu susu (Astoniasp), kayu binuang, kayu matoa (Pometiasp), kayu nyatoh (Palaquiumsp), pinang (Areca cateccu), sirih,Macarangasp, buah merah (Pandanus conoideus). Jenis flora tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bahan perumahan, peralatan berkebun, peralatan berburu, peralatan rumah tangga, obat-obatan serta untuk dikonsumsi. Flora dan fauna yang terdapat di wilayah ini memiliki nama daerah (lokal) yang berbeda menurut bahasanya. Jenis flora tersebut juga telah dibudidayakan seperti tanaman gedi (Abelmochus manihot), sayur lilin, keladi (Celocasiasp), petatas (Ipomoea batatas), daun gatal (Laporteaspp) maupun tanaman buah-buahan seperti pisang, jeruk, rambutan, durian, mangga, pepaya, jambu air, jambu biji, alpukat, serta sayur-sayuran seperti kangkung, bayam, kacang panjang, sawi, ketimun, cabai dan tomat.Pada kawasan Pegunungan Arfak juga terdapat sumbersumber mata air yang membentuk sungaisungai yang mengalir di daratan Prafi. Sungaisungai tersebut antara lain ; S. Prafi, S.Utai, S.Meni, dan S.Masni. Keberadaan sungaisungai ini sangat membantu aktivitas masyarakat yang berada di dataran Prafi dan Masni. Sebagai contoh, aliran sungai Prafi selain dimanfaatkan untuk mengairi areal persawahan, digunakan juga sebagai pembangkit tenaga listrik. Tidak hanya itu saja, masih banyak hal yang justru mendasari penolakan komunitas masyarakat adat atas perubahan fungsi kawasan hutan sesuai usulan revisi RTRWP Papua Barat. Kalau sampai kawasan hutan di Pegunungan Arfak dialih-fungsikan ke APL, maka kita tidak tahu ke depan akan dilakukan pekerjaan apa di situ. Suatu saat bisa menjadi bencana besar bagi masyarakat yang bermukim di atas ketinggian daerah gunung, di lembah hingga pantai di mana sungai-sungai itu bermuara. Sekarang saja banjir sudah menjadi ancaman serius di daerah-daerah muara kali seperti dataran Prafi, Masni dan Sidey di kabupaten Manokwari, apalagi masa yang akan datang? Pasti jauh lebih parah, tetapi itu baru saja Perkebunan Sawit milik PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN.II) Prafi dan PT. Medco Papua Hijau Selaras (MPHS) yang bikin contoh. *** Koordinator JASOIL Tanah Papua 1. Pembiaran Atas Pelanggaran Regulasi Teory Vs Fakta Oleh: Raflis Forest Governace Integrity Transparency International Indonesia (TI-I) Lokal Unit Riau 2.Indikasi KorupsiCorruption = Discretion + Monopoly - Accountability1. Discretion (Pembiaran atas pelanggaran) terhadap : UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau Kecil UU No 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup2. Monopoly3. Accountability Proses Perizinan: Proses penyusunan amdal yang tidak transparan (Dokumen Tidak Bisa diakses Publik) Peta Lampiran SK Perizinan tidak didistribusikan terhadap publik Tidak ada proses persetujuan (FPIC) terhadap masyarakat penerima dampak sebelum perizinan diberikan, serta tidak diberitahunya masyarakat setelah izin dikeluarkan untuk menyampaikan mekanisme keberatan di PTUN 3.Contoh Diskresi Regulasi Aktor Rencana Tata Ruang Wilayah KabupatenDinas Kehutanan Kabupaten Rencana Tata Ruang Bupati Wilayah Provinsi Rencana Tata Ruang Dinas Kehutanan Provinsi Wilayah Nasional Gubernur Pencadangan Lahan Untuk HTIDirjen Planologi Kehutanan Tata Guna Hutan Komisi Amdal Pusat Kesepakatan Mentri Kehutanan Kawasan Bergambut/ Lindung Gambut 4. Rencana pola ruang wilayah nasional digambarkan dalam peta denganTerhadap Pola Ruang tingkat ketelitian 1:1.000.000 sebagaimana tercantum dalam Wilayah Nasional Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini (Pasal 50 ayat 2) Strategi Kebijakan Pengelolaan Kawasan Lindung Nasional mewujudkan kawasan berfungsi lindung dalam satu wilayah pulau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemnya (Pasal 7 ayat 2 huruf b) Strategi Pengembangan Kawasan Budidaya adalah dengan mengembangkan kegiatan budidaya yang dapat mempertahankan keberadaan pulau-pulau kecil. (Pasal 8 Ayat 3 huruf e) 5.Praktek Korup Yang Mungkin TerjadiA. Terhadap Zonasi Kawasan Hutan 1. Melegalkan Pelanggaran Perizinan melalui mekanisme Revisi Rencana Tata Ruang dengan memutihkan pelanggaran terhadap rencana tata ruang sebelumnya. 2. Menciptakan ketidak pastian fungsi kawasan hutan antar berbagai tingkatan rencana tata ruang (RTRWN-RTRWP-RTRWK) maupun rencana sektoralB. Terhadap Proses Perizinan 1. Memberikan izin pada zonasi kawasan hutan yang tidak sesuai ketentuan. 2. Manipulasi data kawasan hutanC. Terhadap Riset 1. Manipulasi metodologi, data dan dan analisis untuk melegalkan pelanggaran yang dilakukan 2. Membayar konsultan/researcher untuk meneliti sesuai dengan output yang diinginkan 6.Hubungan Antara Perencanaan Kehutanan dengan Rencana Tata Ruang PP No 26/2008 Tahapan Perencanaan Kehutanan Kriteria Peta Pola RuangKawasan Wilayah Nasional Peta Pola Ruang Peta Fungsi Wilayah Pulau Kawasan Hutan Peta Pola Ruang Wilayah Provinsi Peta Pola Ruang Wilayah Kabupaten 7.Penyimpangan (Perencanaan Kehutanan)Inventarisasi Kawasan Hutan Belum dilaksanakan Tingkat Wilayah dan DAS Masih Menggunakan Kepmen 173/1986 Penunjukan Fungsi sebagai dasar hukum Kawasan Hutan Bisa berubah setiap saat sesuai kepentingan (TGHK update) Penetapan Fungsi Belum dilaksanakan Kawasan Hutan Perubahan Fungsi Dibentuk Tim Terpadu Departemen Kehutanan Kawasan Hutan Untuk melakukan paduserasi RTRWP dengan TGHK 8.(Penyusunan Rencana Tata Ruang) 1. Data Pendukung Tidak Lengkap 2. Tidak ada buku data dan analisis 3. Disusun Berdasarkan Perizinan Eksisting Penyusunan Draft 4. Kriteria kawasan banyak yang tidak sesuai dengan PP 47 tahun oleh Konsultan 1997 5. PP 10 tahun 2000 tentang tingkat ketelitian peta tidak dipatuhi Muncul Skenario Hijau 2050 Pembahasan 1. Kriteria disesuaikan dengan PP 47 tahun 1997 di BKPRD 2. Kawasan lindung yang sudah terlanjur diberikan izin akan dihijaukan kembali pada tahun 2050 Pembahasan Tidak Ada Perubahan Substansi Peta di DPRD Tim Tepadu Departemen Kehutanan Intervensi Departemen Kehutanan Persetujuan DPR TerhadapPerubahan Fungsi Kawasan Hutan 9.Situasi Penyusunan Draft RTRWP RiauLampiran VII PP 26 Gap Tahun 2008 Peta TGHK/ Penunjukan/Penetapan Fungsi Kawasan Hutan Intervensi ? Gap Perda No 10 Draft RTRWP Tahun 1994 Riau Gap 10.Gap21% Sesuai 79% RTRWN Draft RTRWP Kawasan Kawasan Lindung Budidaya Kawasan 1,477,000 ha 397,800 ha Lindung (22.68%) (4.44%) Kawasan 2,030,000 ha 5,047,000 Ha Budidaya (16.50%) (56.38%) 11.FungsiGap20% Sesuai 80% RTRWP Kawasan Kawasan Lindung Budidaya Kawasan 66,510 Ha 64,200 HaRTRWK Lindung (5.36%) (5.17%) Kawasan 179,900 Ha 930,300 Ha Budidaya (14.50%) (74.97%) 12.SesuaiGap 48%52% RTRWN Kawasan Kawasan Lindung Budidaya Kawasan 89,956 Ha 576,800 RTRWK Lindung (6.95%) (44.54%) Kawasan 44,650 583,500 Ha Budidaya (3.45%) (45.06% 13.Konflik Ruang (Hak Atas Tanah)1. Tidak dilaksanakannya Mandat UU 41 tentang kehutanan tentang pengukuhan kawasan hutan.2. Izin diberikan pada Kawasan Hutan Yang belum mempunyai Kepastian Hukum. http://raflis.wordpress.com/2011/02/02/desa-mengkirau/ 14.Dampak Bencana (HipotesaTenggelamnya Pulau) Penurunan relatif daratan terhadap permukaan laut sekitar 7 sampai 8 cm/tahun. Beda elevasi antara darat dan laut rata rata 5 meter Perkiraan waktu pulau tenggelam 60 - 70 tahun. http://raflis.wordpress.com/2010/12/20/hipotesa-awal-tenggelamnya-sebuah-pulau/ 15.Subsidence 16.Subsidence 17.Beberapa data Tentang Pulau Padang 18.Map Army 1945 Peta Map Army Peta Bakosurtanal 19.Bakosurtanal 1975 20.Rencana Tata Ruang WilayahNo Rencana Alokasi LuasKabupaten Pemanfaatan Ruang (ha) %1 Kawasan Suaka Kawasan Hutan Hutan Produksi Alam HP/LGb Margasatwa 4985 1 Produksi Tetap 35940 26.64 3.70% %2 Kawasan Penyangga SM ada lindung gambut Basah (didalamnya 2978 2 Pertanian Lahan yang harus 3950 (Budidaya Padi Sawah) didelineasi terlebih dahulu melalui penelitian 2.21% 2.93%3 Kawasan Lindung 21980 3 Pertanian Lahan Basah 13460 Lapangan Gambut 16.29% (Budidaya Sagu) 9.98%4 Kawasan Lindung 9071 4 Pertanian Lahan Kering 4332 Berhutan Bakau 6.72% 3.21%5 Kawasan Sempadan 818 5 Perkebunan Rakyat 21640 16.04 Pantai 0.61% % 6 Perkebunan Swasta 10947 8.12% 7 Pertambangan 2566 1.90% 8 Pemukiman Perkotaan 371 0.28% 9 Pemukiman Perdesaan 1853 1.37% Luas Kawasan Lindung Luas Kawasan Budidaya 70.47 39832 29.53% 95059 % 21.Perda No 19Tahun 2004 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bengkalis 22.Perda No 10 tahun 1994Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau 23.PP 26 Tahun 2008Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 24.Kepmen 173 ahun 1986 Tentang TGHK 25.Pencadangan HTI 26.Peta Tata Batas Kawasan HUtan 27.Draft Rencana Tata Ruang Riau 28.Kawasan Bergambut Peraturan Perundangan 1. Kepres 32 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Pasal 10 Kriteria kawasan bergambut adalah tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa. 2. PP 47 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Pasal 33 ayat 2 Kriteria kawasan lindung untuk kawasan bergambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b yaitu kawasan tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa. Kawasan Lindung gambut dalam Draft RTRWP 2001-2015 seluas 511.162,3 Ha Kawasan Bergambut lebih dari 3 m yang sudah diberikan izin HTI seluas 864.325 ha dan 230.624 ha izin Bupati Terjadi Pelanggaran Terhadap Kepres 32 1990 dan PP 47 1997, 29.Semoga Kabupaten Kepulauan Meranti dibentuk Tidak Untuk Ditenggelamkan Karena Salah Urus Terima kasih Asia Pasific- Forestry Governance Integrity Programme www.ti.or.id / www.transparency.org

Pesisir merupakan kawasan strategis yang rawan terhadap bencana. Untuk itu, dalam penataan ruangnya, perlu menjalin sinergi dari berbagai macam aspek, tegas Direktur Pembinaan Penataan Ruang Wilayah II Bahal Edison Naiborhu pada seminar yang bertemakan Kawasan Pesisir dalam Perspektif Tata Ruang Kota. Acara ini diselenggarakan dalam rangka kegiatan menyebarluaskan informasi peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang, bekerjasama dengan Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) Universitas Hasanuddin (UNHAS), bertempat di Auditorium Prof. Dr. A. Amiruddin UNHAS, Makassar. (29/10)

Kawasan pesisir memiliki karakter yang spesifik dan harus dijaga dengan baik. Salah satu caranya yaitu dengan perencanaan zonasi yang didasarkan pada karakteristik dari masing-masing daerah tempat kawasan tersebut berada. Semakin berkembangnya suatu pesisir perkotaan, maka akan semakin banyak jenis kegiatan di area pesisirnya. Oleh karena itu, jika pembangunannya tidak didasari rencana tata ruang yang baik, kota tersebut akan semakin bergerak menjadi kota metropolitan dengan permasalahan perkotaan yang semakin tidak terkendali.

Pada kesempatan kali ini, hadir juga sebagai narasumber yaitu Endra Saleh Atmawidjaja selaku Kasubdit Kebijakan dan Strategi Perkotaan yang dalam paparannya menyampaikan bahwa kawasan pesisir sebagai salah satu pusat kegiatan ekonomi masyarakat yang dinamis, dapat mengalami urbanisasi dengan kecepatan yang tidak seimbang dengan kemampuan pemerintah dalam mengembangkan kota. Hal ini dapat memberikan peluang terjadinya kekumuhan pada kawasan pusat dan pesisir perkotaan.

Endra menambahkan, nilai-nilai natural kawasan pesisir di Indonesia mulai hilang disebabkan salah satunya oleh kurangnya penataan taman, yang merupakan salah satu wujud pengendalian penataan ruang di kawasan pesisir untuk melindungi nilai-nilai ekologi pesisir perkotaan. Maka dari itu, diperlukan pembinaan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan cara memberikan bimbingan mengenai strategi pengembangan penataan ruang kota di kawasan pesisir. Selain itu, dibutuhkan pula perhatian dan pengawasan oleh masyarakat kota itu sendiri.

Turut hadir sebagai pembicara dalam seminar kali ini, yaitu Ir. Sigit P.D. Rahardjo, MSP selaku Kasubdit Tata Ruang Laut Nasional dan Perairan Yurisdiksi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Fidaan H. Azuz, S.HUT, MT, MA selaku perwakilan dari Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan, Guru Besar Ilmu Tanah UNHAS Prof. Dr. Ir. Sumbangan O. Baja, serta Guru Besar Arsitektur UNHAS Prof. Dr. Ir. Slamet Trisutomo, MS. Seminar ini merupakan pelaksanaan terakhir dari rangkaian kegiatan penyebarluasan informasi peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang di tahun 2013. Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari Bappeda kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan, akademisi yang terdiri atas dosen dan mahasiswa UNHAS dan perguruan tinggi lainnya di Makassar, serta perwakilan dari organisasi masyarakat di Makassar.(dea/nik)

Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 adalah momentum bersejarah bagi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Puncaknya, pada tahun 1982, negara-negara di dunia melalui UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) mengakui keberadaan Indonesia sebagai negara kepulauan.Selang 55 tahun kemudian, bahkan pasca reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2, tak ada perubahan berarti di perkampungan nelayan tradisional. Pengelolaan sumber daya ikan di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) masih meninggalkan kemiskinan struktural kepada nelayan tradisional. BBM jenis solar dinaikkan harganya: dari Rp4.300 menjadi Rp4.500 melalui Perpres Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu. Padahal, sekitar 60-70 persen dari kebutuhan melaut adalah untuk membeli BBM. Kenaikan ini jelas memengaruhi kualitas hidup keluarga nelayan. Pasalnya, mereka harus menambah ongkos produksi dengan penghasilan yang tak memadai. Apalagi kelangkaan dan penyimpangan BBM masih menjadi persoalan utama bagi pelaku perikanan tradisional.Laut yang dideklarasikan sebagai medium penghubung, pemersatu dan sekaligus penyejahtera rakyat berhenti sebatas penghias dinding dan kalah tenar ketimbang iklan: INDUSTRIALISASI PERIKANAN. Bagaimana prakteknya di lapangan? Mari kita tengok!Pengakuan internasional atas kedaulatan Indonesia tidak diikuti dengan upaya memaksimalkan peran negara untuk menyejahterakan nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, terlebih mereka yang tersebar di 92 pulau-pulau terdepan Indonesia. Bahkan lebih parah lagi, pemerintah bersama DPR RI justru mengeluarkan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang bertolak belakang dengan pesan Deklarasi Djuanda 1957: laut harus berperan sebagai pemersatu bangsa. Bentuknya berupa reklamasi pantai, konservasi laut untuk kepentingan pariwisata bahari, penambangan pasir hingga konversi hutan mangrove menjadi kebun sawit yang berujung pada kriminalisasi nelayan.Berkat perjuangan panjang nelayan tradisional di Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 16 Juni 2011 lalu, seluruh pasal berkenaan dengan HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) dibatalkan dan diputuskan bertentangan dengan UUD 1945. Meski demikian, di kampung-kampung nelayan masih banyak dijumpai praktek perampasan wilayah tangkap tradisional nelayan.Bersamaan dengan itu, angka pencurian ikan di perairan Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun (lihat Tabel 1). FAO (2001) memperkirakan kerugian yang diterima oleh Indonesia akibat praktek pencurian ikan mencapai Rp30 triliun, terdiri dari potensi ikan yang hilang.KIARA (2010) memperkirakan pemerintah gagal memperoleh sedikitnya Rp50 triliun dari Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen (kini Kementerian) Kelautan dan Perikanan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku Pada Departemen Kelautan dan Perikanan, Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan adalah penerimaan dari: a. Pungutan perikanan; b. Jasa pelabuhan perikanan; c. Jasa pengembangan dan pengujian mutu hasil perikanan; d. Jasa pengembangan penangkapan ikan; e. Jasa budidaya perikanan; f. Jasa karantina ikan; g. Jasa pendidikan dan pelatihan; dan h. Jasa penyewaan fasilitas.Tabel 1. Angka Pencurian Ikan di Perairan IndonesiaNoTahunJumlah

12001155 kasus

22002210 kasus

32003522 kasus

42004200 kasus

52005174 kasus

62006216 kasus

72007184 kasus

82008243 kasus

92009203 kasus

102010183 kasus

112011104 kasus

122012 (hingga Agustus)75 kasus

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (2012) diolah dari Kelautan dan Perikanan dalam Angka 2011 (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2011) dan pelbagai sumber.Ironisnya, aparatur pemerintah justru ikut terlibat dalam upaya pelemahan penegakan hukum terhadap praktek pencurian ikan, di antaranya terjadi di Natuna, Kepulauan Riau. Tak hanya itu, aparat pemerintah justru ikut menghalang-halangi upaya pembuktian terjadinya tindak pidana perikanan di pengadilan perikanan yang tersebar di Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Dalam konteks ini, Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tidak melaksanakan mandat UU Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan.Melindungi nelayan?Meski telah diterbitkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan, upaya untuk memberikan jaminan kesejahteraan, kepastian, dan perlindungan hukum bagi nelayan masih jauh panggang dari api. KIARA (2012) mencatat sedikitnya di 11 kabupaten/kota nelayan tradisional dibiarkan berhadap-hadapan dengan praktek pelanggaran Pasal 35 huruf (i) UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yakni melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.Hal lainnya, keinginan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk membuka ruang selebar-lebarnya kepada pekerja asing pada kapal ikan berbendera Indonesia hingga 70 persen dalam kurun waktu tiga tahun jelas bertabrakan dengan upaya negara untuk mengawasi sumber daya kelautan dan perikanan Republik Indonesia dari tindak pidana perikanan. Terlebih temuan BPK pada 2010 menyebutkan adanya pelanggaran KKP yang membiarkan pekerja asing mendominasi kapal-kapal ikan yang beroperasi di perairan Republik Indonesia. Jumlahnya mencapai 80 persen lebih dari total anak buah kapal (ABK), Penerapan peraturan penggunaan tenaga kerja asing pada kapal perikanan oleh Ditjen Perikanan Tangkap belum diimplementasikan secara optimal mengakibatkan Berkurangnua kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia.Tidak hanya itu, Pasal 35A UU No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan tegas mengatur, bahwa kapal perikanan berbendera Indonesia yang menangkap ikan di wilayah Indonesia wajib menggunakan nakhoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia.Selain itu, untuk kapal perikanan berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib menggunakan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70 persen dari jumlah anak buah kapal. Pada prakteknya, KIARA (Juli 2012) masih mendapati kapal berbendera Indonesia diawaki 99 persen ABK asing. Belum lagi praktek pendaratan ikan di tengah laut (transhipment) yang menimbulkan kerugian negara.Penutup: Laut untuk Kesejahteraan NelayanBerkenaan dengan peringatan Hari Nusantara 2012, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) bersama dengan nelayan dan perempuan nelayan yang tergabung di dalam Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), dan Front Kebangkitan Nelayan Petani (FKPN) Serang mendesak kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk:1. Menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak konstitusional nelayan sebagai warga negara sebagaimana tercantum di dalam UUD 1945 dan hak-hak khusus mereka seperti ditegaskan kembali oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Nomor 27 Tahun 2007 terhadap UUD 1945 secara konsisten dan konsekuen;2. Mengevaluasi kebijakan sektoral lintas kementerian yang bertolak belakang dengan amanah Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan sebagai upaya untuk memberikan jaminan kesejahteraan, kepastian, dan perlindungan hukum bagi nelayan;3. Mengakui hak-hak perempuan nelayan dalam aktivitas perikanan tradisional ke dalam kebijakan nasional; dan4. Menyegerakan pembahasan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan sebagai amanah UUD 1945.