pelanggaran kedoktern

Upload: diana-atmadja

Post on 07-Jan-2016

249 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

blok 27

TRANSCRIPT

Bentuk Pelanggaran di Kedokteran Ditinjau dari Segi Etika, Disiplin Medik dan HukumDiana Atmaja102012047**mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaAlamat: Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510E-mail: [email protected]

I. PendahuluanEtik adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari moralitas. Etik harus dibedakan dengan sains yang mempelajari moralitas, yaitu etik deskriptif. Etik deskriptif mempelajari pengaturan empiris tentang moralitas atau menjelaskan pandangan moral yang saat itu berlaku tentang issue-issue tertentu. Hubungan antara dokter dan pasien adalah hubungan yang berdasarkan kepercayaan. Pasien harus merasa bebas dan aman mengungkapkan segala keluhan baik fisik maupun mental bahkan rahasia pribadinya kepada dokter. Pasien harus percaya bahwa dokter tidak akan menceritakan persoalan pribadinya kepada orang lain. Pasien menganggap bahwa dokter yang lebih mengetahui tentang penyakitnya dan pasrah saja akan apa yang akan dilakukan dokter terhadapnya. Di dalam dunia ini, kita sering menemukan masalah dalam menentukan apakah perbuatan yang kita lakukan itu baik atau buruk, benar atau salah. Apabila kita melakukan sesuatu yang dianggap salah oleh masyarakat, seringkali tindakan kita tersebut dikatakan tidak etis atau tidak sesuai dengan etika. Di dalam dunia profesi, tentunya sangat dibutuhkan etika itu. Di dalam dunia kedokteran kita mengenal istilah etika kedokteran

II. Pembahasan Hubungan Dokter-PasienJenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etik profesi kedokteran, sebagai konsenkuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberian batasan atas atau rambu-rambu hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip-prinsip moral profesi, yaitu autonomi (menghormati hak-hak pasien), beneficence (berorientasi kepada kebaikan pasien), non maleficence (tidak mencelakakan atau memperburuk keadaan pasien), dan justice (meniadakan diskriminasi) yang disebut sebagai prinsip utama; veracity (kebenaran = truthfull information), fidelity (kesetiaan) privacy, dan confidentiality (menjaga kerahasiaan) sebagai prinsip turunannya.

Komunikasi dokter pasien yang baik Petunjuk Praktek Kedokteran yang baik komunikasi yang baik antara dokter pasien terkait hak untuk mendapatkan informasi meliputi :1. Mendengarkan keluhan, menggali informasi dan menghormati pandangan serta kepercayaan pasien berkaitan dengan keluhannya.2. Memberikan informasi yang diminta atau diperlukan tentang kondisi, diagnosis, terapi dan prognosis pasien, serta rencana perawatannya dengan cara yang bijak dan bahasan yang dimengerti pasien. Termasuk informasi tentang tujuan pengobatan, pilihan obat yang diberikan, cara pemberian serta pengaturan dosis obat, dan kemungkinan efek samping obat yang mungkin terjadi.3. Memberikan informasi tentang pasien serta tindakan kedokteran yang dilakukan, kepada keluarganya, setelah mendapat persetujuan pasien.4. Jika seorang pasien mengalami kejadian yang tidak diharapkan selama dalam perawatan dokter, dokter ysb atau penanggung jawab pelayanan kedokteran harus menjelaskan keadaan yang terjadi akibat jangka pendek atau panjang dan renacana tindakan kedokteran yang akan dilakukan secara jujur dan lengkap serta memberikan empati. 5. Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan, harus mendapat persetujuan psien karena pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan dan penolakan tindakan medis adalah pasien yang bersangkutan.

Aspek Etika Kedokteran Beauchamp dan Childress[footnoteRef:1] menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules dibawahnya. Ke -4 kaidah dasar moral tersebut adalah : [1: Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TW. Bioetik dan hukum kedokteran. Jakarta. Erlangga; 2007. h. 31-2]

1. Prinsip otonomiDalam semua proses pengambilan keputusan, dianggap bahwa keputusan yang dibuat setelah mendapatkan penjelasan itu dibuat secara sukarela dan berdasarkan pemikiran rasional. Di dalam dunia kedokteran, dokter menghargai otonomi pasien berarti bahwa si pasien atau klien mempunyai kemampuan untuk berlaku atau bertindak secara sadar dan intensional, dengan pengertian penuh, dan tanpa pengaruh-pengaruh yang bisa menghilangkan kebebasannya.2. Prinsip beneficenceKewajiban petugas kesehatan untuk memberikan kemaslahatan, kebaikan, kegunaan, benefit bagi pasien, dan juga untuk mengambil langkah positip mencegah dan menghilangkan kecederaan dari pasien.3. Prinsip non-maleficenceDi dalam prinsip ini, dokter tidak boleh secara sengaja menyebabkan perburukan atau cedera pada pasien, baik akibat tindakan (commission) atau tidak dilakukannya tindakan (omission). Dalam bahasa sehari-hari: Akan dianggap lalai apabila seseorang memaparkan risiko atau cedera yang tidak layak (unreasonable) kepada orang lain. Standar perawatan yang meminimalkan risiko cedera atau perburukan merupakan hal yang diinginkan masyarakat secara common sense.4. Prinsip justiceKeadilan di dalam pelayanan dan riset kesehatan digambarkan sebagai kesamaan hak bagi pasien-pasien dengan kondisi yang sama. Di dalam informed consent, penjelasan bagi pasien harus diberikan sampai dengan pengobatan yang mungkin saja tidak terjangkau atau tidak dilindungi pihak asuransinya. Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)Pasal 8 : Profesionalisme Seorang dokter wajib, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan secara berkompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.[footnoteRef:2] [2: Pengurus Besar IDI. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta ; 2012. h.31]

Cakupan pasal :1. Seorang dokter yang akan menjalankan praktek wajib memiliki kompetensi dan kewenangan sesuai ketentuan yang berlaku sebagai prasyarat sekaligus kesinambungan profesionalisme. 2. Setiap dokter seharusnya menyadari bahwa penyimpangan etika sudah dimulai sejak dirinya menjadi dokter bermasalah. Setiap dokter bermasalah wajib memahami bahwa kekurangan tanggungjawab dirinya berpeluang menjadi konflik etikolegal dnegan teman sejawat sesame professional di fasilitas pelayanan kesehatan.

Pasal 19 : Pindah Pengobatan Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur yang etis.

Cakupan pasal:1. Setiap dokter dalam rangka menarik pasien, wajib untuk tidak membuat renggang situasi dan kondisi hubungan dokter-pasien dari sejawatnya tersebut. 2. Setiap dokter wajib, apabila indikasi medis pasien memerlukan, berkomunikasi dengan teman sejawat yang terlibat merawat pasien yang sama, dengan cara harus saling menghormati kerahasiaan pasien dan bertukar infomrasi sebata hanya pada informasi yang benar-benar seperlunya. 3. Setiap dokter wajib mengingatkan sejawat yang terlihat tengah abai terhadap pasiennya, tanpa keinginan untuk mengambil alih perawatan pasien tersebut. 4. Setiap dokter wajib menghormati pengetahuan pasien yang ia peroleh sebelumnya secara aktif dari sumber terbuka public, termasuk internet, buku popular, dan informasi public lainnya. Bila terdapat kekeliruan pemahaman, dokter dengan sabar, arif dan ahti-hati wajib meluruskannya. 5. Pemberitahuan mengenai pengalihan pasien (karena suatu sebab baik atas kehendak pasien maupun kehendak dokter) dapat diinormasikan/ ditulis dalam rekam medic pasien, atau melalui teknologi informasi telepin, fax, email, dll). 6. Dalam menghormati hak-hak pasien sebagai bagian dari Hak Azasi Manusia, dokter wajib memberi kesempatan pasien untuk second opinion, apabila ada alasan tertentu atau keluhan sakit belum berkurang dan penjelasan dari dokter pertama dianggap kurang memadai, dengan risiko pasien akan pindah rawat ke dokter kedua, tidak melanggar etik atau merebut pasien, sejauh hal tersebut urni kehendak pasien.

Aspek Disiplin KedokteranBentuk Pelanggaran Disiplin Kedokteran :[footnoteRef:3] [3: Haryani S. Sengketa medik: alternatif penyelesaian antara dokter dengan pasien. Jakarta: Diadit Media; 2005.h.10.]

1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompetenDalam menjalankan asuhan klinis kepada pasien, tenaga medik harus bekerja dalam batas-batas kompetensinya, baik dalam penegakkan diagnosis maupun dalam penatalaksanaan pasien1. Tidak merujuk pasien kepada tenaga medik lain yang memiliki kompetensi sesuai.1. Dalam menangani penyakit atau kondisi pasien diluar kompetensinya (karena keterbatasan pengetahuan, ketrampilan ataupun peralatan yang tersedia), maka dokter atau dokter gigi wajib menawarkan kepada pasien untuk dirujuk atau dikonsultasikan kepada dokter atau dokter gigi lain atau sarana pelayanan kesehatan lain yang lebih sesuai.1. Upaya perujukan tidak dilakukan pada keadaan-keadaan antara lain : Sifat sakit pasien tidak memungkinkan untuk dirujuk Keberadaan tenaga medik lain dan atau sarana kesehatan yang lebih tepat sulit dijangkau Atas kehendak pasien1. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut.1. Dokter atau dokter gigi dapat mendelegasikan tindakan atau prosedur kedokteran tertentu kepada tenaga kesehatan tertentu yang sesuai dengan ruang lingkup ketrampilan mereka. 1. Dokter harus yakin bahwa tenaga kesehatan yang menerima pendelegasian memiliki kompetensi untuk itu.1. Dokter tetap bertanggung jawab atas penatalaksanaan pasien tersebut.1. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau tidak memberitahukan penggantian tersebut;1. Bila dokter berhalangan menjalankan praktik kedokteran, maka dapat menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti yang memiliki kompetensi sama dan memiliki SIP.1. Dalam kondisi keterbatasan tenaga dokter/dokter gigi dalam bidang tertentu sehingga tidak memungkinkan tersedianya dokter/dokter gigi pengganti yang memiliki kompetensi yang sama, maka dapat disediakan dokter/dokter gigi pengganti lainnya.1. SIP dokter atau dokter gigi pengganti tidak harus SIP di tempat yang harus digantikan.1. Ketidakhadiran dokter bersangkutan dan kehadiran dokter atau dokter gigi pengganti pada saat dokter berhalangan praktik, harus diinformasikan kepada pasien.1. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien;1. Dalam melaksanakan praktik, tenaga medik yang mengalami gangguan kesehatan fisik atau mental tertentu dapat dinyatakan tidak kompeten (unfit to practice) karena dapat membahayakan pasien. 1. Dokter bersangkutan baru dapat dibenarkan untuk kembali melakukan praktik kedokteran/kedokteran gigi bilamana kesehatan fisik maupun mentalnya telah pulih untuk praktik (fit to practice).1. Pernyatakan layak atau tidak layak untuk melaksanakan praktik kedokteran dilakukan oleh komite kesehatan yang dibentuk KKI. (diskusi dan usulan utk KKI)1. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien.Dokter atau dokter gigi wajib melakukan penatalaksanaan pasien dengan teliti, tepat, hati-hati, etis dan penuh kepedulian dalam hal-hal sebagai berikut:1. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan mental, bilamana perlu pemeriksaan penunjang diagnostik1. Penilaian riwayat penyakit, gejala dan tanda-tanda pada kondisi pasien. 1. Tindakan dan pengobatan secara professional1. Tindakan yang tepat dan cepat terhadap keadaan yang memerlukan intervensi kedokteran.1. Kesiapan untuk berkonsultasi pada sejawat yang sesuai, bilamana diperlukan1. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien1. Dokter atau dokter gigi melakukan pemeriksaan atau pemberian terapi, ditujukan hanya untuk kebutuhan medik pasien.1. Pemeriksaan atau pemberian terapi yang berlebihan, dapat membebani pasien dari segi biaya maupun kenyamanan dan bahkan dapat menimbulkan bahaya bagi pasien.1. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran1. Pasien mempunyai hak atas informasi tentang kesehatannya (the right to information), dan oleh karenanya, dokter wajib memberikan informasi dengan bahasa yang dipahami oleh pasien atau penterjemahnya, kecuali bila informasi tersebut dapat membahayakan kesehatan pasien. 1. Informasi yang berkaitan dengan tindakan medik yang akan dilakukan meliputi: diagnosis medik, tata cara tindakan medik, tujuan tindakan medik, alternatif tindakan medik lain, risiko tindakan medik, komplikasi yang mungkin terjadi serta prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.1. Pasien juga berhak memperoleh informasi tentang biaya pelayanan kesehatan yang akan dijalaninya. 1. Keluarga pasien berhak memperoleh informasi tentang sebab-sebab terjadinya kematian pasien, kecuali atas kehendak pasien1. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat atau wali atau pengampunya. 1. Setelah menerima informasi yang cukup dari dokter dan memahami maknanya (well informed) sehingga pasien dapat mengambil keputusan bagi dirinya sendiri (the right to self determination) untuk menyetujui (consent) atau menolak (refuse) tindakan medik yang akan dilakukan dokter kepadanya.1. Setiap tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien, mensyaratkan persetujuan (otorisasi) dari pasien yang bersangkutan. Dalam kondisi dimana pasien tidak dapat memberikan persetujuan secara pribadi (dibawah umur atau keadaan fisik/mental tidak memungkinkan), maka persetujuan dapat diberikan oleh keluarga terdekat (suami/istri, bapak/ibu, anak atau saudara kandung) atau wali atau pengampunya (proxy).1. Persetujuan tindakan medik (informed consent) dapat dinyatakan secara tertulis atau lisan, termasuk dengan menggunakan bahasa tubuh. Setiap tindakan medik yang mempunyai risiko tinggi mensyaratkan persetujuan tertulis.1. Dalam kondisi dimana pasien tidak memberikan persetujuan dan tidak memiliki pendamping, maka dengan tujuan untuk penyelamatan atau mencegah kecacatan pasien yang berada dalam keadaan darurat, tindakan medik dapat dilakukan tanpa persetujuan pasien. 1. Dalam hal tindakan medik yang menyangkut kesehatan reproduksi persetujuan harus dari pihak suami/istri.1. Dalam hal tindakan medik yang menyangkut kepentingan publik (antara lain imunisasi massal, wabah dan lain-lain) tidak diperlukan persetujuan medis.1. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi. 1. Dalam melaksanakan praktik kedokteran, tenaga medik wajib membuat rekam medik secara benar dan lengkap serta menyimpan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.1. Dalam hal dokter berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, maka penyimpanan rekam medik merupakan tanggung jawab sarana pelayanan kesehatan yang bersangkutan1. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan etika profesi1. Penghentian (terminasi) kehamilan hanya dapat dilakukan atas indikasi medik yang mengharuskan tindakan tersebut. 1. Penentuan tindakan penghentian kehamilan pada pasien tertentu yang mengorbankan nyawa janinnya, dilakukan oleh setidaknya dua orang dokter.1. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri dan atau keluarganya, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan etika profesi. 1. Setiap dokter tidak dibenarkan melakukan perbuatan yang bertujuan mengakhiri kehidupan manusia, karena selain bertentangan dengan sumpah kedokteran dan atau etika kedokteran dan atau tujuan profesi kedokteran, juga bertentangan dengan aturan hukum pidana.1. Pada kondisi sakit mencapai keadaan terminal, dimana upaya kedokteran kepada pasien merupakan kesia-siaan (futile) menurut state of the art (SOTA) ilmu kedokteran, maka dengan persetujuan pasien dan atau keluarga dekatnya, dokter dapat menghentikan pengobatan, akan tetapi tetap memberikan perawatan (ordinary care). Dalam keadaan tersebut, dokter dianjurkan untuk berkonsultasi dengan sejawatnya atau komite etik rumah sakit bersangkutan.1. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau ketrampilan atau teknologi yang belum diterima atau diluar tatacara praktik kedokteran yang layak.1. Dalam rangka menjaga keselamatan pasien, setiap dokter dan dokter gigi wajib menggunakan pengetahuan, ketrampilan dan tata cara praktik kedokteran yang telah diterima oleh profesi kedokteran. 1. Setiap pengetahuan, ketrampilan dan tata cara baru harus melalui penelitian / uji klinik tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.1. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan manusia sebagai subjek penelitian tanpa persetujuan etik (ethical clearance).Dalam praktik kedokteran dimungkinkan untuk menggunakan pasien atau klien sebagai subjek penelitian asal mendapat ethical clearance dari komisi etik penelitian.1. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.1. Menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan adalah kewajiban yang mendasar bagi setiap manusia, khususnya bagi dokter atau dokter gigi di sarana pelayanan kesehatan. 1. Kewajiban tersebut dapat diabaikan apabila membahayakan dirinya atau apabila telah ada individu lain yang mau dan mampu melakukannya atau karena ada ketentuan lain yang telah diatur oleh sarana pelayanan kesehatan tertentu.1. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi.1. Tugas profesional medik adalah melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasien secara tuntas.1. Beberapa alasan yang dibenarkan bagi dokter untuk menolak atau mengakhiri pelayanan kepada pasiennya (memutuskan hubungan dokter pasien) : Pasien melakukan intimidasi terhadap dokter/dokter gigi Pasien melakukan kekerasan terhadap dokter/dokter gigi Pasien berperilaku merusak hubungan saling percaya tanpa alasan.Dalam hal diatas dokter wajib memberitahukan secara lisan atau tertulis kepada pasiennya dan menjamin kelangsungan pengobatan pasien dengan cara merujuk dan menyertakan keterangan medisnya. 1. Dokter tidak boleh melakukan penolakan atau memutuskan hubungan dokter pasien terapeutik semata-mata karena keluhan pasien (complaint), alasan finansial, suku, ras, jender, politik, agama dan kepercayaan.1. Membuka rahasia kedokteran sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi.1. Dokter atau dokter gigi wajib menjaga rahasia pasiennya. Bila dipandang perlu untuk menyampaikan informasi tanpa persetujuan pasien atau keluarga, maka dokter tersebut harus mempunyai alasan pembenaran. 1. Alasan pembenaran yang dimaksud adalah: Permintaan Majelis Pemeriksa MKDKI Permintaan Majelis Hakim Sidang Pengadilan; dan Sesuai dengan peraturan perundang-undangan1. Membuat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut.1. Profesional medik harus jujur dan dapat dipercaya dalam memberikan keterangan medik baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.1. Tenaga medik tidak dibenarkan membuat atau memberikan keterangan palsu.1. Dalam hal membuat keterangan medik berbentuk tulisan (hardcopy), dokter wajib membaca secara teliti setiap dokumen yang akan ditanda tangani, agar tidak terjadi kesalahan penjelasan yang dapat menyesatkan.1. Turut serta di dalam perbuatan yang termasuk ke dalam tindakan penyiksaan (torture) atau eksekusi hukuman mati.Prinsip tugas mulia seorang profesional medik adalah memelihara kesehatan fisik, mental dan sosial penerima jasa pelayanan kesehatan. Oleh karenanya, seorang profesional medik tidak dibenarkan turut serta dalam pelaksanaan tindakan yang bertentangan dengan tugas tersebut termasuk tindakan penyiksaan atau pelaksanaan hukuman mati.1. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan etika profesi.Dokter dibenarkan memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya sepanjang sesuai dengan indikasi medis dan peraturan perundang-undangan.1. Melakukan pelecehan seksual atau tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan terhadap pasien; Penjelasan: Seorang profesional medik tidak boleh menggunakan hubungan personal (seperti hubungan seks atau emosional) yang merusak hubungan dokter pasien.1. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya. Dalam melaksanakan hubungan dokter-pasien, seorang dokter/dokter gigi hanya dibenarkan menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi sesuai dengan kemampuan, kewenangan dan ketentuan perundang-undangan. Penggunaan gelar dan sebutan lain yang tidak sesuai, dinilai dapat menyesatkan masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan.1. Menerima imbalan sebagai hasil dari rujukan atau permintaan pemeriksaan atau pemberian resep obat/ alat kesehatan.Dalam melakukan rujukan (pasien, laboratorium, teknologi) kepada dokter lain/ sarana penunjang lain, atau pembuatan resep/ pemberian obat, seorang dokter/dokter gigi hanya dibenarkan bekerja untuk kepentingan pasien. Oleh karenanya, dokter tidak dibenarkan meminta atau menerima imbalan jasa diluar ketentuan etika profesi yang dapat mempengaruhi indepedensi dokter (kick-back atau fee-splitting).1. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/ pelayanan yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang bertentangan dengan etika profesi.Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan medik, membutuhkan informasi tentang kemampuan/pelayanan seorang dokter/dokter gigi untuk kepentingan pengobatan dan rujukan. Oleh karenanya, profesional medik hanya dibenarkan memberikan informasi yang memenuhi ketentuan umum yakni: sah, patut, jujur, akurat dan dapat dipercaya.1. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif lainnya. Penggunaan narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif lainnya (NAPZA) dapat menurunkan kemampuan seorang dokter/dokter gigi sehingga berpotensi membahayakan pengguna pelayanan medik.1. Berpraktik dengan menggunakan STR atau SIP dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah. Seorang dokter/dokter gigi yang diduga memiliki STR dan atau SIP dengan menggunakan persyaratan yang tidak sah dapat diajukan ke MKDKI. Apabila terbukti pelanggaran tersebut maka STR akan dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia.1. Ketidak jujuran dalam bertransaksi dengan pasien dalam memberikan pelayanan medik.Dokter/dokter gigi harus jujur meminta imbalan jasa sesuai dengan tindakan yang dilakukan.1. Dikenai hukuman pidana yang telah berkekuatan tetap atas perbuatan pidana yang berkaitan dengan keluhuran/martabat profesi kedokteran atau disiplin profesi atau etika profesi.MKDKI dapat memperoleh informasi dari instansi resmi maupun dari media massa. Berdasarkan hal tersebut KKI secara aktif meminta amar keputusan.

MKDKI ( Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia)MKDKI merupakanlembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang dalam menjalankan tugasnya bersifat independen

Tujuan penegakan disiplinadalah :1. Memberikan perlindungan kepada pasien.2. Menjaga mutu dokter / dokter gigi.3. Menjaga kehormatan profesi kedokteran / kedokteran gigi.MKDKI adalahlembaga yang berwenang untuk :1. Menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi.2. Menetapkan sanksi disiplin.Tugas MKDKI : 1. Menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan; dan 2. Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi (sesuai dengan Pasal 4)Anggota MKDKIterdiri dari dokter, dokter gigi, dan sarjana hukum.

Aspek Hukum Kedokteran Dalam sejarahnya, informed consent berakar pada banyak disiplin ilmu pengetahuan, termasuk dalam ilmu kesehatan atau kedokteran, ilmu hukum, ilmu perilaku sosial, dan ilmu filsafat moral/etika. Belakangan ini, bidang ilmu yang sangat berpengaruh dalam hal informed consent adalah ilmu hukum dan ilmu filsafat moral atau filsafat etika. Kedua disiplin ilmu ini, keduanya dengan metoda dan objektifnya tersendiri, mempunyai fungsi sosial dan intelektual yang berbeda.Hukum memfokuskan diri terutama pada konteks klinis, tidak pada riset. Dalam kacamata hukum, dokter mempunyai kewajiban untuk pertama memberi informasi kepada pasiennya dan kedua untuk mendapatkan izinnya. Apabila seorang pasien cedera akibat dokter lalai dengan tidak memberikan informasi yang lengkap mengenai suatu pengobatan atau tindakan, maka pasien dapat menerima kompensasi finansial dari si dokter karena telah menyebabkan cedera tersebut. Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi.Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah kesalahan berat (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya.Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.Dari segi filsafat etika, informed consent terutama menyangkut pilihan secara otonomi dari pasien dan subyek penelitian. Secara sederhana kita bisa menyingkat kedua pendekatan ini sebagai berikut: Pendekatan hukum datang dari teori pragmatis. Pasien mempunyai hak untuk memberi izin atau menolak, akan tetapi fokusnya adalah pada dokter, yang mempunyai kewajiban dan mempunyai risiko membayar ganti rugi apabila tidak melaksanakan kewajibannya. Pendekatan filsafat moral atau etika datang dari prinsip menghargai otonomi, dan fokusnya adalah pada pasien atau subyek, yang mempunyai hak untuk membuat pilihan secara otonomi.

Informed Consent[footnoteRef:4] [4: Chang, William. Bioetika sebuahpengantar. Yogyakarta : Kanisius, 2009.h. 13-16.]

Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi informed consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya. Dalam memberikan pelayanan kesehatan, petugas medis harus terlebih dahulu memberikaninformed consent kepada pasien. Informed consentberasal dari hak legal dan etis individu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri. Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah kewajiban untuk menghormati hak pasien, memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan, dan kewajiban untuk meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.

Ruang Lingkup Informed Consent[footnoteRef:5] [5: J. Guwandi. Informed consent. Jakarta : FKUI, 2004.h. 135-7]

Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien. Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan inkonklusif.Hak-hak pasien dalam pemberianinform consent adalah: Hak atas informasi Informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan medik apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan biaya pengobatan. Hak atas persetujuan (consent)Consentmerupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg diberikan tanpa paksaan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan yang ia berikan ,dimana orang tersebut secara hukum mampu memberikanconsent. Kriteriaconsentyang syah yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang betanggung jawab, hanya ada salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi beberapa elemen penting, penjelasan tentang kondisi, prosedur dan konsekuensinya.Dalam Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2009 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien atau keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus menjelaskan beberapa hal, yaitu :a. Diagnosisb. Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan (purhate of medical procedure)c. Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical procedure)d. Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadie. Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko-risikonya (alternative medical procedure and risk)f. Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukanKetiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter, khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang umum diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara dengan kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed consent tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan tersebut lebih tinggi.

Kelalaian Medik Dalam beberapa tahun terakhir kasus penuntutan terhadap dokter atas dugaan adanya kelalaian medis ataupun malparktek medis tercatat meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Malpraktek Medis Blacks Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai professional misconduct or unreasonable lack of skill atau failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all thecircumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with thw result of the injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon themDari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian, ataupun suatu kekurangan-mahiran/ ketidak-kompeten ang tidak beralasan. Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administrasitif, serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesenagajaan yang merugikan pasien, fraud, penahanan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi illegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, leterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji/diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinnya, sengaja melanggar standar, dll.

Pengertian dan syarat kelalaian medik Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memlii kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama.Pengertian istilah kelalaian medic tersirat dari pegertian malpraktek medis menurut World Medical Association (WMA), yaitu : medical malpractice involves the physicians failure to conform to the standard of the care for the treatment of the patients condition, or lack of the skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.WMA mengatakan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek. Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawfulatauimproper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper). Misfeasanceberarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentukerror(mistakes, slips and lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada kelalaian harus memenuhi ke-empat unsur kelalaian dalam hukum - khususnya adanya kerugian, sedangkan errortidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent erroryang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. III. Kesimpulan Setiap tenaga kesehatan mempunyai kode etik dalam pelaksanaan tugasnya. Setiap pelanggaran etik yang dilakukan dapat dikenakan sanksi berupa tuntutan. Dan dalam setiap tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan baik perawat, bidan maupun dokter harus mencari tahu terlebih dahulu permasalahan yang terjadi sehingga kita sebagai tenaga kesehatan tidak gegabah dalam melakukan tindakan yang akan di lakukan sehingga tidak membuat kesalahan.Pada kasus ini, diperlukan keahlian dan pengetahuan kita dalam memberitahukan hasil dari pemeriksaan. Karena hak pasien yang pertama adalah hak atas informasi. Dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 53 dengan jelas dikatakan bahwa hak pasien adalah hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik atas dasar informasi (informedconsent). Sehingga dapat disimpulkan pada kasus ini dr.P melanggar etika dan hukum kedokteran.

IV. Daftar Pustaka1. Chang, William. Bioetika sebuahpengantar. Yogyakarta : Kanisius, 2009.h. 13-162. J. Guwandi. Informed consent. Jakarta : FKUI, 2004.h. 135-73. Haryani S. Sengketa medik: alternatif penyelesaian antara dokter dengan pasien. Jakarta: Diadit Media; 2005.h.10.4. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TW. Bioetik dan hukum kedokteran. Jakarta. Erlangga; 2007. h. 31-25. Pengurus Besar IDI. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta ; 2012. h.316. Jacobalis,Samsi. Perkembangan ilmu kedokteran, etika medis, dan Bioetika. Jakarta : Sagung Seto, 2005. Hal 228, 238-40. 7. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2008 .h.160-1.

1