kepastian regulasi meminimalisasi panic buying
TRANSCRIPT
KEPASTIAN REGULASI MEMINIMALISASI PANIC BUYING BBM BERSUBSIDI
Oleh: Candra Fajri Ananda
Gegap gempita pesta demokrasi yang penuh dengan dinamika politik telah selesai
dengan menghasilkan anggota DPR/DPRD dan Presiden-wakil presiden yang baru periode 2014-
2019. Tahun 2014 yang diwarnai dengan pergolakan politik menjadi salah satu pendorong
investor cenderung wait and see untuk bergerak ekspansif. Dampaknya, perekonomin nasional
kurang bergeliat sehingga terjadi pelemahan pertumbuhan ekonomi dan capairnnya dibawah
target asumsi APBN 2014. Salah satu konsekuensi dari tidak terpenuhinya asumsi pertumbuhan
ekonomi adalah meningkatnya defisit APBN yang diperkirakan melebihi 3%. Defisit APBN yang
membengkak disebabkan beban subsidi BBM dan energi (listrik PLN). Konsumsi BBM bersubsidi
yang tinggi sebagai akibat dari peningkatan kendaraan bermotor yang terus meningkat dan
disisi lain kebijakan mobil murah kurang berjalan sebagaimana yang diharapkan. Kondisi ini
diperparah dengan peningkatan kurs dollar yang di atas asumsi APBN 2014 (Rp.10.500/US
dolar), dimana berdasarkan perhitungan pemerintah setiap penguatan dolar AS terhadap
rupiah Rp 100 akan membuat defisit anggaran bertambah sekitar Rp 3-4 triliun. Situasi ini
semakin memperlebar defisit APBN. Dalam konteks regulasi, defisit diatas 3% melanggar
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, dimana batas maksimal
defisit APBN adalah 3%.
Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut dan sebagai salah satu upaya menghindari
pelanggaran regulasi, maka pemerintah mengevaluasi kebijakan subsidi BBM dengan
mengurangi kuota subsidi BBM dari 48 juta kilo liter menjadi 46 juta kilo liter. Kebijakan ini
tertuang dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2014 dan diharapkan defisit APBN 2014 berkisar
2,4%. Langkah-langkah konkret yang dilakukan untuk mendukung kebijakan tersebut adalah
menghilangkan BBM bersubsidi di SPBU di wilayah Jakarta pusat dan SPBU di seluruh ruas jalan
tol serta pembatasan waktu penjualan solar bersubsidi di kawasan tertentu. Selain itu,
dilakukan juga pengurangan dan pengendalian kuota BBM bersubsidi di setiap SPBU di seluruh
wilayah Indonesia. Hal ini berdampak pada kelangkaan BBM bersubsidi di beberapa daerah dan
antrean kendaraan bermotor di SPBU untuk mendapatkan BBM bersubsidi. Kondisi ini juga
mendorong masyarakat untuk membeli BBM bersubsidi yang lebih banyak karena kekhawatiran
kelangkaan BBM di waktu yang akan datang, kondisi ini sering disebut panic buying.
Dampaknya, muncul spekulan-spekulan di tingkat pedagang eceran sehingga terjadi kenaikan
harga BBM bersubsidi yang tinggi di pedagang eceran. Panic buying ini juga menunjukkan
lemahnya sosialisasi kebijakan ini sehingga pemahaman masyarakat asymmetric dengan tujuan
dari pemberlakuan kebijakan tersebut. Efek berantai dari pengurangan dan pengendalian kuota
BBM bersubsidi akan memicu inflasi yang dampaknya ancaman kenaikan tingkat kemiskinan
dan pengangguran.
Kebijakan pengurangan BBM bersubsidi disertai dengan pengendalian distribusinya
hanyalah solusi jangka pendek agar deficit APBN tidak melebihi 3% dan kuota BBM bersubsidi
cukup sampai dengan akhir tahun 2014. Dengan beban subsidi yang semakin besar membuat
ruang fiskal semakin kecil sehingga akselarasi pembangunan sangat lamban. Oleh karena itu,
diperlukan solusi bersifat jangka panjang untuk memberikan ruang fiskal yang lebih besar bagi
pemerintah untuk mengalihkan subsidi BBM ke sektor produktif dan layanan publik yang
berkualitas. Pengalihan subsidi BBM harus mampu meningkatkan layananan dasar seperti
pendidikan dan kesehatan masyarakat yang dibingkai dalam sistem Kartu Indonesia Pintar dan
Kartu Indonesia Sehat oleh pemerintahan terpilih periode 2014-2019. Kualitas layanan dan
akses pendidikan dan kesehatan harus merata di setiap daerah khususnya bagai masyarakat
miskin, karena hal ini akan menjadi salah satu faktor utama untuk mengurangi ketimpangan
antar daerah.
Pengalihan subsidi BBM harus mampu menggerakkan sektor-sektor ekonomi produktif.
Hal ini dapat dilakukan dengan menyelesaikan program-program pembangunan infrastruktur
yang sudah terencana secara matang oleh pemerintah di era Presiden SBY. Pembangunan
infrastruktur jalan tol, double track kereta api, moda trasportasi masal harus diprioritaskan
untuk memperlancar mobilisasi faktor produksi sehingga akan mendorong akselarasi
pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Selain itu, pembangunan infrastruktur pertanian harus terus
ditingkatkan guna mendukung ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Di sisi lain,
pembangunan dan pembenahan pelabuhan-pelabuhan Indonesia menjadi sangat strategis
dalam perekonomian guna mendukung aktivitas perdagangan internasional maupun
perdagangan antar pulau. Pelabuhan-pelabuhan besar seperti Tanjung Priok dan Tanjung Perak
sudah overload sehingga menyebabkan biaya ekonomi tinggi (high cost economy) dalam
aktivitas perekonomian. Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia sangat penting dalam mewujudkan
pos maritime sebagaimana rencana kebijakan Presiden terpilih 2014-2019. Di samping itu,
pengalihan subsidi BBM harus mampu dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengeksplorasi
secara mandiri kekayaan alam khususnya energi guna menjamin kepastian pasokan energi
untuk masyakat dan sektor industri.
Dengan peningkatan kualitas masyarakat melalui pembangunan pendidikan dan
kesehatan serta pembangunan infrastruktur maka diharapkan daya saing bangsa kita akan terus
meningkat dalam menghadapi persaingan global baik ditingkat regional ASEAN maupun global.
Untuk melakukan kebijakan ini dibutuhkan “keberanian” dari pemerintah untuk membuat
regulasi yang jelas terkait pengalihan subsidi BBM. Dengan kepastian regulasi dan pengawasan
yang ketat terhadap implementasi kebijakan, maka masyarakat dan kalangan dunia usaha akan
dapat menerima kebijakan pengalihan subsidi BBM. Kepastian regulasi akan mampu
menimalisir keresahan masyarakat seperti panic buying, demonstrasi dan gejolak politik yang
berkepanjangan.