kelapa sawit dan agrowisata kab. muko-muko, bengkulu

67
PENGEMBANGAN WILAYAH KOMODITI KELAPA SAWIT DAN PEMANFAATANNYA DI BIDANG AGROWISATA KABUPATEN MUKO-MUKO TUGAS AKHIR MATA KULIAH PEMBANGUNAN WILAYAH SEMESTER PENDEK DISUSUN OLEH: ARUM NAWANG WULAN 0806453812 TIKA YULIANIDAR 0806454033 DEPARTEMEN GEOGRAFI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS INDONESIA 2010

Upload: arum-nawang-wulan

Post on 30-Jun-2015

1.373 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

PENGEMBANGAN WILAYAH KOMODITI KELAPA SAWIT DAN

PEMANFAATANNYA DI BIDANG AGROWISATA KABUPATEN

MUKO-MUKO

TUGAS AKHIR MATA KULIAH PEMBANGUNAN WILAYAH

SEMESTER PENDEK

DISUSUN OLEH:

ARUM NAWANG WULAN 0806453812

TIKA YULIANIDAR 0806454033

DEPARTEMEN GEOGRAFI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM

UNIVERSITAS INDONESIA

2010

Page 2: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kabupaten Mukomuko yang terletak di Propinsi Bengkulu, merupakan pemekaran

dari Kabupaten Bengkulu Utara. Pada awal tahun 2003, Propinsi Bengkulu bertambah tiga

kabupaten baru ditetapkan dengan UU No 3 Tahun 2003, yakni Kabupaten Bengkulu Utara

dimekarkan menjadi Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Mukomuko, sementara

Kabupaten Bengkulu Selatan menjadi Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Seluma, dan

Kabupaten Kaur. Wilayah Mukomuko meliputi lima kecamatan, yakni Lubuk Pinang, Teras

Terunjam, Pondok Suguh, Mukomuko Selatan, dan Mukomuko Utara.

Industri pengolahan menengah dan kecil memegang peranan penting dalam memacu

roda ekonomi daerah ini. Industri pengolahan tumbuh pesat di Mukomuko. Tidak hanya

industri besar dan menengah, tetapi juga industri rumah tangga. Bahkan daerah ini dikenal

sebagai salah satu pilar ekonomi rakyat mengingat banyak industri kecil, menengah dan

rumah tangga di sana.

Selain industri, sektor pertanian pegang peranan dan menempati peringkat pertama

kontribusinya terhadap PDRB. Sektor pertanian unggul dalam penyerapan tenaga kerja.

Sektor ini memberi sumbangan 50 persen atas PDRB dan menyerap sekitar 44,79 persen

angkatan kerja yang ada. Sedangkan industri pengolahan menyerap 11 persen tenaga kerja.

Daerah perkebunan yang sangat potensial terutama di Kecamatan Mukomuko Selatan,

Mukomuko Utara, Pondok Sungguh, Teras Terunjam dan Lubuk Pinang, sebagai daerah

perkebunan rakyat dan perkebunan swasta. Produksi hasil perkebunan yang dominan adalah

kelapa sawit 41.844 ton dan karet 55.965 ton terkonsentrasi di Kecamatan Mukomuko

Selatan, Pondok Suguh, dan Lubuk Pinang. Dalam hal ini hasil perkebunan kelapa sawit

merupakan komoditas utama di Kabupaten Moko-Moko yang dapat dikembangkan ke depan.

Perkebunan kelapa sawit menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan

perkebunan lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Berdasarkan ciri lokasi tumbuhnya, perkebunan kelapa sawit ini memiliki potensi

pengembangan kawasan wisata dilihat dari pendekatan aktivitas dan perilaku manusia, yang

Page 3: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

akan menjadi kawasan agrowisata. Kemungkinan akan ada aktivitas wisata berdasarkan

perilaku manusia pada wilayah perkebunan ini. Mengunjungi perkebunan kelapa sawit yang

hanya sekedar untuk berwisata alam yang berada di kawasan hutan suaka alam dan wisata ini

ataupun untuk studi banding secara langsung di wilayah perkebunan yang ada serta melihat

proses pengolahan minyak kelapa sawit dari tahap awal hingga akhir.

Kabupaten/kota di Indonesia masing-masing memiliki karakteristik fisiografi yang

satu sama lain berbeda. Disamping itu masing-masing kabupaten/kota juga memiliki

perhatian yang berbeda di dalam pengelolaan wilayah perkebunan kelapa sawit. Konsekuensi

dari perbedaan perhatian tersebut menghasilkan kebijakan dan instrumen kelembagaan yang

berbeda satua sama lain dalam mengelola wilayah perkebunannya Sistim Informasi Geografis

(SIG) sebagai sistim informasi digital berbasis spasial telah berkembang menjadi sebuah

sistim pendukung pengambilan keputusan. Teknologi SIG telah banyak dimanfaatkan oleh

pemerintah kabupaten untuk kajian kewilayahan termasuk didalamnya wilayah pesisir.

Dalam perkembangannya teknologi SIG dirancang agar semakin mudah digunakan sehingga

tekonologi ini telah menjangkau kabupaten/kota di Indonesia. Sistim Informasi Geografis

dapat diaplikasikan untuk penyusunan model berbasis spasial termasuk penyusunan model

pengelolaan perkebunan kelapa sawit beserta potensi agrowisata wilayah kabupaten Muko-

Muko, Bengkulu.

1.2 Rumusan Masalah

Pada umumnya, perkembangan perekonomian suatu wilayah dapat diketahui melalui

perkembangan PDRB dan sumbangan setiap sektor terhadap nilai PDRB tersebut. Salah satu

tambang emas Kabupaten Muko-Muko adalah perkebunan kelapa sawit. Model

pengembangan wilayah komoditi kelapa sawit dan agrowisata disusun berdasarkan

karakteristik ekosistem dan segala hal yang berkaitan. Dalam penyusunan model yang sesuai

dengan kemampuan Kabupaten Muko-Muko, diterapkan prinsip-prinsip dan aspek-aspek

yang harus dilaksanakan dalam pengembangan agrowisata agar kelestarian lansekap tetap

terjaga sebagai sebuah ekosistem yang unik dengan menggunakan dukungan informasi

spasial digital.

Dari perumusan masalah diatas, maka muncul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik ekosistem wilayah Kabupaten Muko-Muko?

Page 4: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

2. Bagaimana karakteristik ekosistem yang cocok untuk perkebunan kelapa sawit?

3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan kelapa sawit?

4. Apa prinsip yang harus dipegang dalam perencanaan agrowisata?

5. Apa aspek yang harus dilaksanakan dalam pengembangan agrowisata?

6. Apa sisi positif dan negatif suatu agrowisata terhadap penyesuaian program rekreasi

dengan suatu lansekap yang baik?

7. Bagaimana model pengembangan agrowisata yang sesuai dengan kemampuan

Kabupaten Muko-Muko?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari pembuatan tulisan ini adalah untuk mengetahui model pengembangan

wilayah komoditi kelapa sawit dan pemanfaatannya di bidang agrowisata yang sesuai dengan

konsep-konsep dan prinsip pengelolaan wilayah komoditi kelapa sawit dan agrowisata.

Page 5: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

BAB II

ISI

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Karakteristik Ekosistem Kabupaten Muko-Muko

Kabupaten Muko-Muko yang berada di Provinsi Bengkulu (2°40’54.75’’LS dan

101°20’34.48BT) ini memiliki aneka ragam ekosistem, seperti halnya ekosistem laut, pantai,

dan ekosistem darat. Pada hal ini kami membahas mengenai ekosistem darat yang terdapat di

wilayah ini. Range ketinggian pada wilayah ini sekitar 0-120 meter dari permukaan laut dan

memiliki topografi yang relatif datar. Rata-rata curah hujan di kabupaten ini adalah 1639.17

mm di tahun 2009. Di kabupaten ini sektor pertanian yang meliputi tanaman pangan,

perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan menjadi tulang punggung perekonomian.

Dari sensus yang sama diketahui penduduk yang bekerja 63.494 jiwa. Sebesar 77,8 persen

atau 49.399 jiwa menggeluti pertanian. Sisanya menggantungkan hidup di sektor industri

pengolahan, perdagangan, angkutan, jasa, dan sektor lainnya.

Page 6: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

Sebagian luas bumi Mukomuko juga diusahakan untuk perkebunan. Paling tidak di

sana terdapat 63.669 hektar lahan perkebunan rakyat yang ditanami kopi, lada, cengkeh,

karet, kayu manis, kelapa, kelapa sawit, kemiri, dan kapuk. Andalan utamanya adalah kelapa

sawit, kelapa, kopi, karet, kayu manis, dan lada.

2.1.2 Kelapa Sawit

2.1.2.1 Definisi

Kelapa sawit (Elaeis guinensis jacgs) adalah salah satu dari beberapa palma yang

menghasilkan minyak untuk tujuan komersil. Minyak sawit selain digunakan minyak

makanan margarine, dapat juga digunakan untuk industri lainnya, seperti industri sabun, lilin,

dan dalam pembuatan lembaran-lembaran timah serta industri komestik. Perkebunannya

menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan perkebunan lama dikonversi

menjadi perkebunan kelapa sawit. Keuntungan-keuntungan ini dilihat berdasarkan kebutuhan

akan minyak kelapa sawit di dalam negeri masih sangat diperlukan, harga minyak kelapa

sawit dapat memberikan jaminan usaha bagi setiap investor, serta memberikan kemudahan

dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada investor yang akan menanamkan modalnya pada

sector perkebunan sehingga secara tidak langsung pun dapat membangun perekonomian

wilayah kabupaten yang terdapat perkebunan kelapa sawit ini.

2.1.2.2 Habitat

Habitat asli dari kelapa sawit adalah daerah semak belukar. Sawit dapat tumbuh

dengan baik di daerah tropis (15° LU - 15° LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di ketinggian

0-500 m dari permukaan laut dengan kelembaban rata-rata 75% dan dengan suhu optimal

26°C. Sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan minimum1000-1500 mm/tahun, yang

terbagi merata sepanjang tahun, yaitu daerah yang tidak tergenang air saat hujan dan tidak

kekeringan saat kemarau. Pola curah hujan tahunan mempengaruhi perilaku pembungaan dan

produksi buah sawit.

2.1.2.3 Faktor yang mempengaruhi kehidupan kelapa sawit

Variabel yang diduga mempengaruhi produktivitas kelapa sawit adalah penggunaan

pupuk urea, TSP, KCL, pestisida, upah tenaga kerja, keanggotaan KUD, kredit, penyuluhan

dan kelompok tani. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari semua variabel prediktor ternyata

Page 7: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

hanya lima variabel yang secara nyata mempengaruhi tingkat produktivitas kelapa sawit di

provinsi Riau yaitu penggunaan pupuk urea, upah tenaga kerja, KUD, kredit dan penyuluhan.

Variabel kredit mempunyai pengaruh terhadap produktivitas yang paling besar, ini dapat

dilihat dari nilai efek marginal. Petani yang pernah melakukan kredit untuk usaha perkebunan

maka peluang mempunyai tingkat produktivitas rendah akan lebih kecil 13,00 persen jika

dibandingkan dengan petani yang tidak pernah melakukan kredit. Kemudian peluang

mempunyai tingkat produktivitas sedang dan tinggi akan lebih besar masing-masing 10,51

persen dan 2,48 persen jika dibandingkan dengan petani yang tidak pernah melakukan kredit.

Berikut ini adalah upaya pemeliharaan tanaman kelapa sawit selama masa

produktifnya:

a. Lakukan penyulaman untuk mengganti tanaman yang mati dengan tanaman

baru yang seumur dengan tanaman yang mati.

b. Cadangan bibit untuk penyulaman terus dipelihara sampai dengan umur 3

tahun dan selalu dipindahkan ke kantong plastik yang lebih besar.

c. Penyiangan gulma dilakukan 1bulan sekali.

d. Lakukan perawatan dan perbaikan parit drainage.

e. Anjuran pemupukan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) seperti pada table

1.

f. Sedangkan pemupukan Tanaman Menghasilkan (TM), kebutuhan pupuk

berkisar antara 400 - 1000 kg N, P, K, Mg, Bo per Ha/tahun.

g. Lakukan pemupukan 2 kali dalam satu tahun; pada awal dan akhir musim

penghujan dengan cara menyebar merata di sekitar piringan tanaman.

h. Hama-hama yang sering menyerang tanaman kelapa sawit adalah Ulat

Kantong; Metisaplama, Mahasena Coubessi dan Ulat Api; Thosea asigna,

Setora nitens, Dasna trina. Sedangkan penyakitnya busuk tandan Marasmius

sp. Hama ulat kantong dikendalikan dengan insektisida yang mengandung

bahan aktif metamidofos 200/liter atau 600 g/liter, hama ulat api dengan

insektisida yang mengandung bahan aktif permetrin 20 g/liter dan

monokrotofos 600 g/lite.

i. Potonglah daun yang sudah tua, agar penyebaran cahaya matahari lebih

merata, mempermudah penyerbukan alami, memudahkan panen dan

mengurangi penguapan.

Page 8: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

2.1.3 Agrowisata

2.1.3.1 Definisi

Agrowisata adalah salah satu bentuk pariwisata yang obyek wisata utamanya adalah

lanskap pertanian, maka dapat dikatakan bahwa agrowisata merupakan wisata yang

memanfaatkan obyek-obyek pertanian. Agrowisata juga merupakan kegiatan wisata yang

terintegrasi dengan keseluruhan sistem pertanian dan pemanfaatan obyek-obyek pertanian

sebagai obyek wisata, seperti teknologi pertanian maupun komoditi pertanian (Anonim,

1990).

Menurut Arifin (1992) agrowisata adalah salah satu bentuk kegiatan wisata yang

dilakukan di kawasan pertanian yang menyajikan suguhan pemandangan alam kawasan

pertanian (farmland view) dan aktivitas di dalamnya seperti persiapan lahan, penanaman,

pemeliharaan, pemanenan, pengolahan hasil panen sampai dalam bentuk siap dipasarkan dan

bahkan wisatawan dapat membeli produk pertanian tersebut sebagai oleh-oleh. Agrowisata

tersebut ikut melibatkan wisatawan dalam kegiatan-kegiatan pertanian. Sedangkan menurut

Nurisjah (2001), agrotourism, agrowisata, wisata agro atau wisata pertanian merupakan

penggabungan antara aktivitas wisata dan aktivitas pertanian.

Ditambahkan oleh Tirtawinata dan Fachruddin (1996) bahwa agrowisata merupakan

suatu upaya dalam rangka menciptakan produk wisata baru (diversifikasi). Kegiatan

agrowisata juga merupakan kegiatan pengembangan wisata yang berkaitan dengan kegiatan

pedesaan dan pertanian yang mampu meningkatkan nilai tambah kegiatan pertanian dan

kesejahteraan pedesaan (Haeruman, 1989 dalam Khairul, 1997).

Sutjipta (2001) mendefinisikan, agrowisata adalah sebuah sistem kegiatan yang

terpadu dan terkoordinasi untuk pengembangan pariwisata sekaligus pertanian, dalam

kaitannya dengan pelestarian lingkungan, peningkatan kesajahteraan masyarakat petani.

Agrowisata dapat dikelompokkan ke dalam wisata ekologi (eco-tourism), yaitu

kegiatan perjalanan wisata dengan tidak merusak atau mencemari alam dengan tujuan untuk

mengagumi dan menikmati keindahan alam, hewan atau tumbuhan liar di lingkungan

alaminya serta sebagai sarana pendidikan (Deptan, 2005)

Pengembangan agrowisata dapat diarahkan dalam bentuk ruangan tertutup (seperti

museum), ruangan terbuka (taman atau lansekap), atau kombinasi antara keduanya. Tampilan

agrowisata ruangan tertutup dapat berupa koleksi alat-alat pertanian yang khas dan bernilai

Page 9: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

sejarah atau naskah dan visualisasi sejarah penggunaan lahan maupun proses pengolahan

hasil pertanian. Agrowisata ruangan terbuka dapat berupa penataan lahan yang khas dan

sesuai dengan kapabilitas dan tipologi lahan untuk mendukung suatu sistem usahatani yang

efektif dan berkelanjutan. Komponen utama pengembangan agrowisata ruangan terbuka

dapat berupa flora dan fauna yang dibudidayakan maupun liar, teknologi budi daya dan

pascapanen komoditas pertanian yang khas dan bernilai sejarah, atraksi budaya pertanian

setempat, dan pemandangan alam berlatar belakang pertanian dengan kenyamanan yang

dapat dirasakan. Agrowisata ruangan terbuka dapat dilakukan dalam dua versi/pola, yaitu

alami dan buatan (http://database.deptan.go.id)

Selanjutnya agrowisata ruangan terbuka dapat dikembangkan dalam dua versi/pola,

yaitu alami dan buatan, yang dapat dirinci sebagai berikut:

a) Agrowisata Ruang Terbuka Alami

Objek agrowisata ruangan terbuka alami ini berada pada areal di mana kegiatan tersebut

dilakukan langsung oleh masyarakat petani setempat sesuai dengan kehidupan keseharian

mereka. Masyarakat melakukan kegiatannya sesuai dengan apa yang biasa mereka lakukan

tanpa ada pengaturan dari pihak lain. Untuk memberikan tambahan kenikmatan kepada

wisatawan, atraksi-atraksi spesifik yang dilakukan oleh masyarakat dapat lebih ditonjolkan,

namun tetap menjaga nilai estetika alaminya. Sementara fasilitas pendukung untuk

kenyamanan wisatawan tetap disediakan sejauh tidak bertentangan dengan kultur dan estetika

asli yang ada, seperti sarana transportasi, tempat berteduh, sanitasi, dan keamanan dari

binatang buas. Contoh agrowisata terbuka alami adalah kawasan Suku Baduy di Pandeglang

dan Suku Naga di Tasikmalaya, Jawa Barat; Suku Tengger di Jawa Timur; Bali dengan

teknologi subaknya; dan Papua dengan berbagai pola atraksi pengelolaan lahan untuk budi

daya umbi-umbian.

b) Agrowisata Ruang Terbuka Buatan

Kawasan agrowisata ruang terbuka buatan ini dapat didesain pada kawasan-kawasan yang

spesifik, namun belum dikuasai atau disentuh oleh masyarakat adat. Tata ruang peruntukan

lahan diatur sesuai dengan daya dukungnya dan komoditas pertanian yang dikembangkan

memiliki nilai jual untuk wisatawan. Demikian pula teknologi yang diterapkan diambil dari

budaya masyarakat lokal yang ada, diramu sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan

Page 10: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

produk atraksi agrowisata yang menarik. Fasilitas pendukung untuk akomodasi wisatawan

dapat disediakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern, namun tidak mengganggu

keseimbangan ekosistem yang ada. Kegiatan wisata ini dapat dikelola oleh suatu badan

usaha, sedang pelaksana atraksi parsialnya tetap dilakukan oleh petani lokal yang memiliki

teknologi yang diterapkan.

Motivasi agritourism adalah untuk menghasilkan pendapatan tambahan bagi petani.

Bagaimanapun, agritourism juga merupakan kesempatan untuk mendidik orang

banyak/masyarakat tentang pertanian dan ecosystems. Pemain kunci didalam agritourism

adalah petani, pengunjung/wisatawan, dan pemerintah atau institusi. Peran mereka bersama

dengan interaksi mereka adalah penting untuk menuju sukses dalam pengembangan

agritourism.

Keuntungan dari pengembangan agritourism bagi petani local dapat dirinci sebagai

berikut (Lobo dkk, 1999):

1. Agriturism dapat memunculkan peluang bagi petani lokal untuk meningkatkan

pendapatan dan meningkatkan taraf hidup serta kelangsungan operasi mereka;

2. Menjadi sarana yang baik untuk mendidik orang banyak/masyarakat tentang

pentingnya pertanian dan kontribusinya untuk perekoniman secara luas dan

meningkatkan mutu hidup;

3. Mengurangi arus urbanisasi ke perkotaan karena masyarakat telah mampu

mendapatkan pendapatan yang layak dari usahanya di desa (agritourism)

4. Agritourism dapat menjadi media promosi untuk produk lokal, dan membantu

perkembangan regional dalam memasarkan usaha dan menciptakan nilai tambah

dan “direct-marking” merangsang kegiatan ekonomi dan memberikan manfaat

kepada masyarakat di daerah dimana agrotourism dikembangkan.

Sedangkan manfaat Agritourism bagi pengunjung (Rilla, 1999) adalah sebagai

berikut:

a. Menjalin hubungan kekeluargaan dengan petani atau masyarakat lokal.

b. Meningkatkan kesehatan dan kesegaran tubuh

c. Beristirahat dan menghilangkan kejenuhan

d. Mendapatkan petualangan yang mengagumkan

Page 11: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

e. Mendapatkan makanan yang benar-benar alami (organic food)

f. Mendapatkan suasana yang benar-benar berbeda

g. Biaya yang murah karena agrowisata relatif lebih murah dari wisata yang

lainnya.

Pola pengelolaan agrowisata yang dikembangkan atau dibangun perlu dilakukan

dengan mengikutsertakan masyarakat setempat dalam berbagai kegiatan yang menunjang

usaha agrowisata. Dengan keikutsertaan masyarakat di dalam pengembangan agrowisata

diharapkan dapat ditumbuhkembangkan interaksi positif dalam bentuk rasa ikut memiliki

untuk menjaga eksistensi obyek.

Peran serta masyarakat dapat dilakukan melalui :

1. Masyarakat desa yang memiliki lahan di dalam kawasan yang dibangun agar tetap dapat

mengolah lahannya sehingga menunjang peningkatan hasil produk pertanian yang

menjadi daya tarik agrowisata dan di sisi lain akan mendorong rasa memiliki dan

tanggungjawab di dalam pengelolaan kawasan secara keseluruhan.

2. Melibatkan masyarakat desa setempat di dalam kegiatan perusahaan secara langsung

sebagai tenaga kerja, baik untuk pertanian maupun untuk pelayanan wisata, pemandu dan

lain-lain. Untuk itu pihak pengelola perlu melakukan langkah-langkah dan upaya utnuk

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tenaga kerja khusus yang berasal dari

masyarakat.

3. Menyediakan fasilitas dan tempat penjualan hasil pertanian, kerajinan dan cendera mata

bagi masyarakat desa di sekitar kawasan, sehingga dapat memperkenalkan khas setempat

sekaligus untuk meningkatkan penghasilan. Disamping itu, dapat pula diikutsertakan di

dalam penampilan atraksi seni dan budaya setempat untuk disajikan kepada wisatawan.

Pada hakekatnya pengembangan agrowisata mempunyai tujuan ganda termasuk

promosi produk pertanian Indonesia, meningkatkan volume penjualan, membantu

meningkatkan perolehan devisa, membantu meningkatkan pendapatan petani nelayan dan

masyarakat sekitar, disamping untuk meningkatkan jenis dan variasi produk pariwisata

Indonesia.

2.1.3.2 Prinsip-Prinsip Agrowisata

Menurut Tirtawinata dan Fachruddin (1996), prinsip yang harus dipegang dalam

sebuah perencanaan agrowisata, yaitu sebagai berikut:

Page 12: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

1. Perencanaan agrowisata sesuai dengan rencana pengembangan wilayah tempat

agrowisata itu berada

2. Perencanaan dibuat secara lengkap, tetapi sesederhana mungkin

3. Perencanaan mempertimbangkan tata lingkungan dan kondisi sosial masyarakat

sekitar

4. Perencanaan selaras dengan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumber dana

dan teknik-teknik yang ada

5. Perlu dilakukan evaluasi sesuai dengan perkembangan yang ada.

Menurut Wood, 2000 (dalam Pitana, 2002) prinsip-prinsipnya adalah sebagai berikut:

a) Menekankan serendah-rendahnya dampak negatif terhadap alam dan kebudayaan

yang dapat merusak daerah tujuan wisata.

b) Memberikan pembelajaran kepada wisatawan mengenai pentingnya suatu pelestarian.

c) Menekankan pentingnya bisnis yang bertanggung jawab yang bekerjasama dengan

unsur pemerintah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan penduduk lokal dan

memberikan manfaat pada usaha pelestarian.

d) Mengarahkan keuntungan ekonomi secara langsung untuk tujuan pelestarian,

menejemen sumberdaya alam dan kawasan yang dilindungi.

e) Memberi penekanan pada kebutuhan zone pariwisata regional dan penataan serta

pengelolaan tanam-tanaman untuk tujuan wisata di kawasan-kawasan yang ditetapkan

untuk tujuan wisata tersebut.

f) Memberikan penekanan pada kegunaan studi-studi berbasiskan lingkungan dan sosial,

dan program-program jangka panjang, untuk mengevaluasi dan menekan serendah-

rendahnya dampak pariwisata terhadap lingkungan.

g) Mendorong usaha peningkatan manfaat ekonomi untuk negara, pebisnis, dan

masyarakat lokal, terutama penduduk yang tinggal di wilayah sekitar kawasan yang

dilindungi.

h) Berusaha untuk meyakinkan bahwa perkembangan pariwisata tidak melampui batas-

batas sosial dan lingkungan yang dapat diterima seperti yang ditetapkan para peneliti

yang telah bekerjasama dengan penduduk lokal.

i) Mempercayakan pemanfaatan sumber energi, melindungi tumbuh-tumbuhan dan

binatang liar, dan menyesuaikannya dengan lingkungan alam dan budaya.

Page 13: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

2.1.3.3 Aspek-Aspek Agrowisata

Ada beberapa aspek yang perlu dilaksanakan untuk pengembangan wisata agro

menurut Situs Departemen Pertanian (2007) yaitu:

1. Aspek pengembangan sumberdaya manusia.

Sumberdaya manusia mulai dari pengelola sampai kepada masyarakat berperan

penting dalam keberhasilan pengembangan Agrowisata. Kemampuan pengelola Agrowisata

dalam menetapkan target sasaran dan menyediakan, mengemas, menyajikan paket-paket

wisata serta promosi yang terus menerus sesuai dengan potensi yang dimiliki sangat

menentukan keberhasilan dalam mendatangkan wisatawan. Dalam hal ini keberadaan/peran

pemandu wisata dinilai sangat penting. Kemampuan pemandu wisata yang memiliki

pengetahuan ilmu dan keterampilan menjual produk wisata sangat menentukan. Pengetahuan

pemandu wisata seringkali tidak hanya terbatas kepada produk dari objek wisata yang dijual

tetapi juga pengetahuan umum terutama hal-hal yang lebih mendalam berkaitan dengan

produk wisata tersebut.

Ketersediaan dan upaya penyiapan tenaga pemandu Agrowisata saat ini dinilai masih

terbatas. Pada jenjang pendidikan formal seperti pendidikan pariwisata, mata ajaran

Agrowisata dinilai belum memadai sesuai dengan potensi Agrowisata di Indonesia.

Sebaliknya pada pendidikan pertanian, mata ajaran kepariwisataan juga praktis belum

diajarkan. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut pemandu Agrowisata dapat dibina dari

pensiunan dan atau tenaga yang masih produktif dengan latar belakang pendidikan pertanian

atau pariwisata dengan tambahan kursus singkat pada bidang yang belum dikuasainya.

2. Aspek sumberdaya alam.

Sebagai bagian dari usaha pertanian, usaha Agrowisata sangat mengandalkan kondisi

sumberdaya alam dan lingkungan. Sumberdaya alam dan lingkungan tersebut mencakup

sumberdaya objek wisata yang dijual serta lingkungan sekitar termasuk masyarakat. Untuk

itu upaya mempertahankan kelestraian dan keasrian sumberdaya alam dan lingkungan yang

dijual sangat menentukan keberlanjutan usaha Agrowisata. Kondisi lingkungan masyarakat

sekitar sangat menentukan minat wisatawan untuk berkunjung. Sebaik apapun objek wisata

yang ditawarkan namun apabila berada di tengah masyarakat tidak menerima kehadirannya

akan menyulitkan dalam pemasaran objek wisata. Antara usaha Agrowisata dengan

Page 14: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan terdapat hubungan timbal balik yang saling

menguntungkan. Usaha Agrowisata berkelanjutan membutuhkan terbinanya sumberdaya

alam dan lingkungan yang lestari, sebaliknya dari usaha bisnis yang dihasilkannya dapat

diciptakan sumberdaya alam dan lingkungan yang lestari.

Usaha Agrowisata bersifat jangka panjang dan hampir tidak mungkin sebagai usaha

jangka pendek, untuk itu segala usaha perlu dilakukan dalam perspektif jangka panjang.

Sekali konsumen/wisatawan mendapatkan kesan buruknya kondisi sumberdaya wisata dan

lingkungan, dapat berdampak jangka panjang untuk mengembalikannya. Dapat dikemukakan

bahwa Agrowisata merupakan usaha agribisnis yang membutuhkan keharmonisan semua

aspek.

3. Aspek promosi, baik melalui media informasi atau dari mulut ke mulut.

Kegiatan promosi merupakan kunci dalam mendorong kegiatan Agrowisata.

Informasi dan pesan promosi dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti melalui leaflet,

booklet, pameran, cinderamata, mass media (dalam bentuk iklan atau media audiovisual),

serta penyediaan informasi pada tempat public (hotel, restoran, bandara dan lainnya). Dalam

kaitan ini kerjasama antara objek Agrowisata dengan Biro Perjalanan, Perhotelan, dan Jasa

Angkutan sangat berperan. Salah satu metoda promosi yang dinilai efektif dalam

mempromosikan objek Agrowisata adalah metoda "tasting", yaitu memberi kesempatan

kepada calon konsumen/wisatawan untuk datang dan menentukan pilihan konsumsi dan

menikmati produk tanpa pengawasan berlebihan sehingga wisatawan merasa betah. Kesan

yang dialami promosi ini akan menciptakan promosi tahap kedua dan berantai dengan

sendirinya.

4. Aspek sarana transportasi.

Kehadiran konsumen/wisatawan juga ditentukan oleh kemudahan-kemudahan yang

diciptakan, mulai dari pelayanan yang baik, kemudahan akomodasi dan transportasi sampai

kepada kesadaran masyarakat sekitarnya. Upaya menghilangkan hal-hal yang bersifat formal,

kaku dan menciptakan suasana santai serta kesan bersih dan aman merupakan aspek penting

yang perlu diciptakan.

Page 15: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

5. Aspek kelembagaan, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat

Pengembangan Agrowisata memerlukan dukungan semua pihak pemerintah, swasta

terutama pengusaha Agrowisata, lembaga yang terkait seperti perjalanan wisata, perhotelan

dan lainnya, perguruan tinggi serta masyarakat. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator

dalam mendukung berkembangnya Agrowisata dalam bentuk kemudahan perijinan dan

lainnya. Intervensi pemerintah terbatas kepada pengaturan agar tidak terjadi iklim usaha yang

saling mematikan. Untuk itu kerjasama baik antara pengusaha objek Agrowisata, maupun

antara objek Agrowisata dengan lembaga pendukung (perjalanan wisata, perhotelan dan

lainnya) sangat penting. Terobosan kegiatan bersama dalam rangka lebih mengembangkan

usaha agro diperlukan.

Sedangkan faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan suatu agrowisata

dalam kaitannya dengan atraksi yang ditawarkan sebagai objek wisata, Syamsu dkk, (2001)

mengindentifikasikan faktor-faktor tersebut sebagai berikut:

a) Kelangkaan

Jika wisatawan melakukan wisata di suatu kawasan agrowisata, wisatawan

mengharapkan suguhan hamparan perkebunan atau taman yang mengandung unsur

kelangkaan karena tanaman tersebut sangat jarang ditemukan pada saat ini.

b) Kealamiahan

Kealamaiahan atraksi agrowisata, juga akan sangat menentukan keberlanjutan dari

agrowisata yang dikembangkan. Jika objek wisata tersebut telah tercemar atau penuh dengan

kepalsuan, pastilah wisatawan akan merasa sangat tertipu dan tidak mungkin berkunjung

kembali.

c) Keunikan

Keunikan dalam hal ini adalah sesuatu yang benar-benar berbeda dengan objek wisata

yang ada. Keunikan dapat saja berupa budaya, tradisi, dan teknologi lokal dimana objek

wisata tersebut dikembangkan.

Page 16: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

d) Pelibatan Tenaga Kerja

Pengembangan Agrowisata diharapkan dapat melibatkan tenaga kerja setempat,

setidak-tidaknya meminimalkan tergusurnya masyarakat lokal akibat pengembangan objek

wisata tersebut.

e) Optimalisasi Penggunaan Lahan

Lahan-lahan pertanian atau perkebunan diharapkan dapat dimanfaatkan secara

optimal, jika objek agrowisata ini dapat berfungsi dengan baik. Tidak ditemukan lagi lahan

tidur, namun pengembangan agrowisata ini berdampak positif terhadap pengelolaan lahan,

jangan juga dieksploitasi dengan semena-mena.

f) Keadilan dan Pertimbangan Pemerataan

Pengembangan Agrowisata diharapkan dapat menggerakkan perekonomian

masyarakat secara keseluruhan, baik masyarakat petani/desa, penanam modal/investor,

regulator. Dengan melakukan koordinasi didalam pengembangan secara detail dari input-

input yang ada.

g) Penataan Kawasan

Agrowisata pada hakekatnya merupakan suatu kegiatan yang mengintegrasikan sistem

pertanian dan sistem pariwisata sehingga membentuk objek wisata yang menarik.

Sedangkan menurut Spillane, (1994) untuk dapat mengembangkan suatu kawasan

menjadi kawasan pariwisata (termasuk juga agrowisata) ada lima unsur yang harus dipenuhi

seperti dibawah ini:

a) Attractions

Dalam konteks pengembangan agrowisata, atraksi yang dimaksud adalah, hamparan

kebun/lahan pertanian, keindahan alam, keindahan taman, budaya petani tersebut serta segala

sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas pertanian tersebut.

Page 17: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

b) Facilities

Fasilitas yang diperlukan mungkin penambahan sarana umum, telekomunikasi, hotel

dan restoran pada sentra-sentra pasar.

c) Infrastructure

Infrastruktur yang dimaksud dalam bentuk Sistem pengairan, Jaringan komunikasi,

fasilitas kesehatan, terminal pengangkutan, sumber listrik dan energi, system pembuangan

kotoran/pembungan air, jalan raya dan system keamanan.

d) Transportation

Transportasi umum, Bis-Terminal, system keamanan penumpang, system Informasi

perjalanan, tenaga Kerja, kepastian tariff, peta kota/objek wisata.

e) Hospitality

Keramah-tamahan masyarakat akan menjadi cerminan keberhasilan sebuah system

pariwisata yang baik.

Sedangkan untuk pemilihan lokasi wilayah pertanian yang akan dijadikan objek

agrowisata perlu dipertimbangkan, di antaranya mempertimbangkan kemudahan mencapai

lokasi, karakteristik alam, sentra produksi pertanian, dan adanya kegiatan agroindustri.

Pemilihan lokasi juga dapat dilihat berdasarkan karakteristik alam, apakah merupakan

dataran rendah atau dataran tinggi, pantai, dan danau/waduk. Pemilihan juga dapat dilakukan

dengan melihat potensi daerah seperti sentra produksi pertanian, letak daerah yang strategis,

sejarah dan budaya ataupun pemilihan dilakukan dengan melihat potensi agroindustri suatu

wilayah (http://lampungpost.com)

Dataran rendah biasanya memiliki karakteristik iklim kering dan biasanya terdapat

padang rumput yang luas (stepa) yang cocok untuk dikembangkan usaha peternakan,

sedangkan dataran tinggi biasanya memiliki topografi yang berbukit-bukit atau berupa

kawasan pegunungan yang sambung-menyambung. Umumnya daerah pegunungan memiliki

tanah yang subur dan suhu relatif rendah, sehingga cocok bagi pertumbuhan berbagai jenis

Page 18: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

tanaman bunga dan sayuran. Untuk wilayah yang memiliki kawasan pantai yang sangat luas

dapat dimanfaatkan untuk usaha budi daya perikanan laut dan tambak atau rumput laut.

Untuk kawasan yang memiliki danau atau waduk untuk usaha teknik budi daya ikan air tawar

dengan menyediakan sarana pemancingan (http://lampungpost.com)

2.1.3.4 Dampak Agrowisata

Keuntungan ini termasuk perluasan kesempatan berusaha bagi masyarakat lokal

(diversification of local community), kesempatan investasi kesadaran akan konservasi

lingkungan. Lebih lanjut sisi positif dari pengembangan agrowisata dapat dijabarkan sebagai

berikut (Deptan, 2005):

1. Melestarikan Sumber Daya Alam

Agrowisata pada prinsipnya merupakan kegiatan industri yang mengharapkan kedatangan

konsumen secara langsung ditempat wisata yang diselenggarakan. Aset yang penting untuk

menarik kunjungan wisatawan adalah keaslian, keunikan, kenyamanan, dan keindahan alam.

Oleh sebab itu, faktor kualitas lingkungan menjadi modal penting yang harus disediakan,

terutama pada wilayah-wilayah yang dimanfaatkan untuk dijelajahi para wisatawan.

Menyadari pentingnya nilai kualitas lingkungan tersebut, masyarakat/petani setempat perlu

diajak untuk selalu menjaga keaslian, kenyamanan, dan kelestarian lingkungannya. Karena

agrowisata termasuk ke dalam wisata ekologi (eco-tourism), yaitu kegiatan perjalanan wisata

dengan tidak merusak atau mencemari alam dengan tujuan untuk mengagumi dan menikmati

keindahan alam, hewan atau tumbuhan liar di lingkungan alaminya serta sebagai sarana

pendidikan. Oleh karena itu, pengelolaannya harus mempertimbangkan hal-hal sebagai

berikut:

a) Pengaturan dasar alaminya, yang meliputi kultur atau sejarah yang menarik, keunikan

sumber daya biofisik alaminya, konservasi sumber daya alam ataupun kultur budaya

masyarakat.

b) Nilai pendidikan, yaitu interpretasi yang baik untuk program pendidikan dari areal,

termasuk lingkungan alaminya dan upaya konservasinya.

Page 19: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

c) Partisipasi masyarakat dan pemanfaatannya. Masyarakat hendaknya melindungi/menjaga

fasilitas atraksi yang digemari wisatawan, serta dapat berpartisipasi sebagai pemandu serta

penyedia akomodasi dan makanan.

d) Dorongan meningkatkan upaya konservasi. Wisata ekologi biasanya tanggap dan berperan

aktif dalam upaya melindungi area, seperti mengidentifikasi burung dan satwa liar,

memperbaiki lingkungan, serta memberikan penghargaan/falitas kepada pihak yang

membantu melingdungi lingkungan.

2. Mengkonversi Teknologi Lokal

Keunikan teknologi lokal yang merupakan hasil seleksi alam merupakan aset atraksi

agrowisata yang patut dibanggakan. Bahkan teknologi lokal ini dapat dikemas dan

ditawarkan untuk dijual kepada pihak lain. Dengan demikian, teknologi lokal yang

merupakan indigenous knowleadge itu dapat dilestarikan.

Teknologi lokal seperti Talun Kebun atau Pekarangan yang telah berkembang di

masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan salah satu contoh yang bisa ditawarkan

untuk agrowisata. Teknologi lokal ini telah terbukti cukup mampu mengendalikan kesuburan

tanah melalui pendauran hara secara vertikal. Selain dapat mengefisienkan pemanfaatan hara,

teknologi ini juga dapat memanfaatkan energi matahari dan bahan organik in situ dengan baik

sesuai dengan tingkat kebutuhan. Dengan demikian, melalui agrowisata kita dapat memahami

teknologi lokal kita sendiri, sehingga ketergantungan pada teknologi asing dapat dikurangi.

3. Meningkatkan Pendapatan Petani dan Masyarakat Sekitar

Selain memberikan nilai kenyamanan, keindahan ataupun pengetahuan, atraksi wisata

juga dapat mendatangkan pendapatan bagi petani serta masyarakat di sekitarnya. Wisatawan

yang berkunjung akan menjadi konsumen produk pertanian yang dihasilkan, sehingga

pemasaran hasil menjadi lebih efisien. Selain itu, dengan adanya kesadaran petani akan arti

petingnya kelestarian sumber daya, maka kelanggengan produksi menjadi lebih terjaga yang

pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan petani. Bagi masyarakat sekitar, dengan

banyaknya kunjungan wisatawan, mereka dapat memperoleh kesempatan berusaha dengan

menyediakan jasa dan menjual produk yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan

wisatawan.

Page 20: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

4. Atraksi wisata pertanian juga dapat menarik pihak lain untuk belajar atau magang

dalam pelaksanaan kegiatan budi daya ataupun atraksi-atraksi lainnya, sehingga dapat

menambah pendapatan petani, sekaligus sebagai wahana alih teknologi kepada pihak lain.

Hal seperti ini telah dilakukan oleh petani di Desa Cinagara, Sukabumi dengan "Karya Nyata

Training Centre". Pada kegiatan magang ini, seluruh petani dilibatkan secara langsung, baik

petani ikan, padi sawah, hortikultura, peternakan, maupun perkebunan

(http://database.deptan.go.id)

Jika Agrowisata dikembangkan dengan benar, harapan petani untuk dapat meningkat

kesejahteraannya bisa terwujud, apa saja harapan petani tersebut? Mosher (dalam Sutjipta,

2001) merinci sebagai berikut:

1. Pemasaran Hasil Pertanian: diharapkan dengan perkembangnya pariwisata hasil

pertanian dapat terserap pada sektor ini.

2. Teknologi yang dinamis: dengan berkembangnya pariwisata berkembang pula

teknologi pertanian yang ada karena tuntutan dunia pariwisata.

3. Tersedianya sarana produksi

4. Perangsang produksi pertanian, dengan berkembangnya pariwisata harga produk

pertanian diharapkan dapat dihargai cukup layak sehingga gairah petani untuk

bekerja semakin meningkat.

5. Pengangkutan, Insfrastruktur yang dibangun untuk pariwisata juga dapat

dimanfaatkan oleh sektor pertanian.

Sebaliknya, kerugian yang ditimbulkan, antara lain penurunan kualitas lingkungan,

terjadinya kesenjangan ekonomi serta perubahan sosial budaya yang negatif. Dalam

kaitannya dengan pengembangan agrowisata sebagai kerangka pengembangan masyarakat

petani pada kehidupan yang lebih baik, maka diperlukan gerakan serentak (Sutjipta, 2001)

yang berupa:

1. Menjaga kelestarian lingkungan: Pengembangan Pariwisata harus memperhatikan

kelestarian lingkungan karena jika lingkungan rusak mustahil pariwisata bisa terus

berkembang.

2. Pemanfaatan sumberdaya daya alam secara bijaksana: Sumberdaya alam yang ada

bukan untuk dinikmati oleh generasi sekarang saja tetapi untuk anak cucu kita

Page 21: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

juga, dari sinilah diharapkan kita tidak melakukan exploitasi alam dengan semena-

mena.

3. Keseimbangan antara konsumsi dan produksi: Berproduksi sesuai dengan

permintaan pasar, bukan melakukan penawaran secara berlebihan sehingga

tercipta kondisi over suplay, jika kondisi ini terjadi maka segala sesuai akan

bernilai rendah.

4. Peningkatan Sumber daya manusia: Jika sumberdaya manusia tidak cakap, maka

ada potensi dalam waktu panjang SDM yang ada akan tergusur oleh SDM global

yang lebih potensi dan kompeten, disinilah diperlukan pengembangan SDM

secara terus menerus.

5. Pemberantasan kemiskinan: Program-program yang ditawarkan oleh pemerintah

sebaiknya tidak hanya memberikan kemudahan bagi kapitalis tetapi juga

sebaiknya memperhatikan masyarakat petani yang sebagian besar tergolong

miskin bahkan melarat.

Untuk menilai dampak potensial kegiatan pariwisata, Gree dan Hunter, 1993 (dalam

Aryanto, 2003) meneliti tentang dampak negatif pada lingkungan budaya yang dibagi dalam

6 komponen lingkungan yang akan rusak/berubah, yaitu : (1) nilai dan kepercayaan, (2)

moral, (3) perilaku, (4) seni dan kerajinan, (5) hukum dan ketertiban, dan (6) sejarah.

Hartanto (1997), menambahkan daftar dampak negatif lainnya yang akan terjadi pada

Lingkungan Binaan dan Lingkungan Alam, yaitu pada: (1) flora dan fauna, (2) polusi, (3)

erosi, (4) sumber daya alam, (5) pemandangan.

2.1.3.5 Model Pengembangan Agrowisata

Bila bercermin dari kamus Oxford, kiranya dapat disebutkan bahwa model adalah

sebuah skala kecil dari sebuah kenyataan yang sesungguhnya di lapangan. Sementara itu,

Soekartawi, dkk (1986) menyebutkan bahwa model adalah suatu abstraksi dari sebuah

realitas, yang mampu menemukan berbagai variabel yang penting dan tepat dari realitas itu.

Dengan demikian, dalam pembuatan sebuah model pengembangan agrowisata, maka

diharapkan dapat dikristalkan bentuk proses pengembangan agrowisata, dengan bercermin

dari berbagai bentuk pengembangan agrowisata yang ada di Kabupaten Muko-Muko,

khususnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Dalam

pengembangan model agrowisata, haruslah dikaji berlandaskan pada tiga aspek, yakni aspek

konsep/pola pikir, aspek sosial, dan aspek artefak/kebendaan. Dalam hal ini, model

Page 22: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

pengembangan tersebut dapat diterapkan sesuai potensi Kabupaten Muko-Muko dalam

bidang agrowisata dalam bidang pertanian, perkebunan, pantai serta objek wisata alam yang

menarik lainnya.

2.2 Pembahasan

2.2.1 Pengembangan Wilayah Komoditi Kelapa Sawit

Salah satu yang menjadi motor penggerak perekonomian di luar migas adalah sektor

pertanian. Sektor ini tidak saja mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap

perekonomian tetapi juga mampu menyerap tenaga kerja yang relatif lebih besar. Menurut

data Dinas Pertanian Provinsi Bengkulu, luas lahan sawah yang mempunyai saluran irigasi

teknis seluas 22.598 ha, sawah non irigasi teknis seluas 68.232 ha dan luas lahan palawija,

hortikultura dan sayur-sayuran seluas 386.881 ha. Sedangkan, panjang saluran irigasi primer,

sekunder, dan tersier, secara keseluruhan sepanjang 583,89 km. dengan spesifikasi tersebut,

Provinsi Bengkulu berhasil memproduksi padi sebanyak 3,755 ton/ha.

Berdasarkan data Departemen Kehutanan, luas hutan seluas 920.753,50 ha dengan

hasil hutan Kayu Bulat sebanyak 29.945,10 m³ kayu gergajian sebanyak 23.151,94 m³ rotan:

177.200 batang dan damar: 312.500 batang. Sedangkan menurut data Dinas Kehutanan

Provinsi Bengkulu, tercatat luas Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam seluas

Page 23: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

444.882 ha, luas Hutan Lindung 252.042 ha, hutan produksi terbatas seluas 182.210 ha, hutan

produksi tetap seluas 34.965 ha dan Hutan Fungsi Khusus seluas 6.865 ha.

Potensi perkebunan sangat ditunjang dengan luas lahan perkebunan seluas 1.978.870

ha dengan hasil antara lain sawit sebanyak 703.335,60 ton, karet 72.248,89 ton, kopi robusta

55.461,39 ton, kopi arabika 2.466,36 ton, kakao 1.523,93 ton, kelapa dalam 5.983,21 ton,

lada 3.284,92 ton, cengkeh 64,26 ton, aren 1.862,40 ton, kayu manis 719,06 ton, pinang

465,59 ton dan kemiri 3.082,90 ton.

Data dari Departemen ESDM, Provinsi Bengkulu memiliki potensi pertambangan dan

energi diantaranya lima yang terbesar, yaitu: batu bara, emas, pasir besi, batu apung, bentonit.

Hasil produksi batu bara tercatat sebanyak 673.542.000 ton.

Potensi Perkebunan

Sub sektor perkebunan memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan

pertanian di Provinsi Bengkulu terutama sebagai penghasil devisa, penyerapan tenaga kerja

lokal dan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto. Luas lahan budidaya diluar

kawasan hutan Provinsi Bengkulu adalah 1.082.803 hektar (54,04 %). Dari luas tersebut

penggunaan lahan sawah seluas 116.818 hektar (10,79%), perkebunan seluas 790.017 hektar

(72,96%) dan penggunaan lainnya seluas 175.968 hektar (16,25%).

Potensi Lahan Perkebunan di Provinsi Bengkulu sebagaimana dideskripsikan dalam

tabel dibawah ini :

Usaha perkebunan di Provinsi Bengkulu dilaksanakan oleh Perkebunan Rakyat dan

Perusahaan Perkebunan baik perkebunan milik negara maupun milik Swasta dengan komoditi

unggulan kelapa sawit, karet, kopi, teh dan kakao, disamping komoditi perkebunan spesifik

lainnya seperti kelapa, lada, aren dan lain-lain. Komoditi perkebunan tersebut merupakan

usaha tani yang sangat mempengaruhi perekonomian kehidupan masyarakat di Bengkulu.

Page 24: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

Data tahun 2007 menunjukan bahwa perkembangan perkebunan kelapa sawit rakyat

telah mencapai luas 105.854 hektar dengan produksi 1.126.856 ton tandan buah segar (TBS),

Karet 85.904 hektar dengan produksi 84.582 ton karet kering, Kopi Robusta 106.907 hektar

dengan produksi 62.942 ton biji kering, dan Kakao 13.670 hektar dengan produksi 2.352 ton

biji kering.

Pengembangan Kebun Kelapa Sawit (Inti dan Plasma) yang diusahakan oleh

Perkebunan Besar Negara (PBN/PTPN) mencapai luas 4.746 hektar dengan produksi

51.427,60 ton TBS atau setara dengan 10.285,52 ton CPO (20%) dan Karet (inti dan plasma)

18.168 hektar dengan produksi 25.239,44 ton karet kering. Sedangkan pembangunan kebun

kelapa sawit yang diusahakan oleh Perkebunan Swasta Besar (PBS) mencapai luas 61.322

hektar dengan produksi 848.263,28 ton TBS atau setara dengan 169.652,65 ton CPO, Karet

8.371 hektar dengan produksi 12.312,79 ton karet kering, Kakao 7.122 hektar dengan

produksi 3.264,70 ton biji kering, Kopi Arabika 615 Ha produksi 137,09 ton biji kering dan

teh 950 Ha dengan produksi 1.513,88 ton daun kering.

Dalam mendukung pengembangan kelapa sawit di Provinsi Bengkulu telah dibangun

pabrik pengolahan hasil perkebunan Kelapa Sawit (CPO) sebanyak 17 pabrik dengan

kapasitas 675 ton/jam, Karet 7 pabrik kapasitas 87.960 ton/tahun, Minyak Goreng 1 pabrik

kapasitas 200 liter/jam dan Teh 1 pabrik.

Page 25: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

Ket:

TBM = Tanaman Belum Menghasilkan

TM = Tanaman Menghasilkan

TTM/TR = Tanaman Tidak Menghasikan/Tanaman Rusak

Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Bengkulu 2007

Mengembangkan Prakarsa Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di

Kabupaten Muko-Muko

Industri perkebunan kelapa sawit sangat menjanjikan pada saat ini. Krisis energi

untuk bahan dasar kehidupan manusia telah di depan mata. Energi alternatif menjadi pilihan

tepat untuk dikembangkan dalam rangka mengantisipasi ke khawatiran akan krisis dalam

sektor energi. Salah satu pengembangan sektor energi alternatif adalah pengembangan

perkebunan kelapa sawit untuk kemudian dikembangkan menjadi bahan bakar biofuel. Untuk

langkah lebih jauhnnya lagi, diharapkan akan dikembangkan biofuel dengan konsep

“sustainable energi”.

Beberapa institusi seperti Bank Dunia (World Bank) dan International Finance

Corporation (IFC) memiliki perhatian khusus di dalam mengembangkan sustainable energy

melalui bahan dasar kelapa sawit sebagai bahan dasar bagi pengembangan Biofuel. Dalam

rangka mengembangankan Biofuel ini, beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit mulai

menerapkan konsep mengenai sustainable palm oil, sehingga pasokan Biofuel juga tidak

lantas mengabaikan kondisi sosial dan lingkungan yang terdapat di sekitar perkebunan kelapa

sawit. Secara singkat, bahwa perusahaan perkebunan kelapa sawit memiliki keinginan yang

mendalam untuk menggeser pola produksinya dari pola produksi perkebunan konvensional

menjadi pola poduksi perkebunan yang lebih mengedepankan aspek sosial dan aspek

lingkungan. Terlebih lagi dengan keberadaan Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO),

perkebunan kelapa sawit berkewajiban untuk menjaga aspek lingkungan dan memperhatikan

kondisi sosial yang ada di sekitarnya. Namun, sebaiknya perkembangan perkebunan kelapa

sawit di Indonesia harus dilihat juga dari sisi sejarah keberadaannya di Indonesia dan

dibandingkan dengan kerberadaan perkebunan kelapa sawit di Malaysia. Hal ini akan lebih

mempermudah untuk memahami mengenai perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada masa

sekarang ini.

Page 26: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia

Perkebunan kelapa sawit dikembangkan di Indonesia dimulai dari Pulau Sumatra

semenjak jaman penjajahan Belanda. Pada tahun 1915 jumlah areal untuk perkebunan kelapa

sawit hanya 2, 715 hektar dan pada tahun 1939 menjadi 100.000 hektar yang dikelola oleh 66

perusahaan. Kondisi ini mengalami pembalikan ketika Indonesia mengalami penjajahan

Jepang, dimana banyak perkebunan kemudian dikonvesi untuk menanam tanaman pangan.

Setelah masa kemerdekaan, jumlah perkebunan di Indonesia semakin seiring dengan

berjalannya waktu. Diakhir tahun 1970, luasan perkebunan kelapa sawit meningkat menjadi

133.000 hektar dan pada tahun 1980-an luas perkebunan kelapa sawit menjadi 290.000

hektar. Sekarang ini, Indonesia memiliki 9 Juta hektar perkebunan kelapa sawit dan

menghasilkan 21 juta ton minyak kelapa sawit dari luasan tersebut dalam setiap tahunnya.

Namun apabila kita membandingkan dengan Malaysia sebagai Negara tetangga

Indonesia. Di Malaysia dari 4,9 juta hektar luas perkebunan kelapa sawit dapat menghasilkan

18 juta ton minyak kelapa sawit. Kondisi ini menimbulkan sebuah pertanyaan mendasar

mengenai pola pengelolaan industry perkebunan kelapa sawit di Indonesia dan di Malayasia.

Di Malaysia, perkebunan kelapa sawit sudah dapat dijadikan andalan bagi penyerapan tenaga

keja padat karya dan menunjang bagi peningkatan pendapat per kapita keluarga petani kelapa

sawit, sehingga perkebunan kelapa sawit secara ekonomi mendukung terwujudnya

keberlanjutan ekonomi (economic sustainability). Sementara itu, di Indonesia keberadaan

perkebunan kelapa sawit memang tidak setua di Malaysia, namun sudah mampu memberikan

kontribusi yang berarti bagi penyerapan tenaga kerja, meskipun masih terlalu dini untuk

disimpulkan memberikan kontribusi yang berkelanjutan karena masih berada dalam proses

menuju perkebunan kelapa sawit yang mapan, seperti layaknya di Malaysia.

Langkah Strategis Menuju Keberlanjutan

Beberapa langkah strategis yang dapat dipertimbangkan sebagai salah satu cara untuk

membangun prakarsa perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan adalah sebagai berikut:

1. Komitmen

Perusahaan perkebunan kelapa sawit harus memiliki kejelasan komitmen dalam

mengembangkan pola produksi perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, terutama dari

aspek lingkungan dan aspek sosial. Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) berisi prinsip

dan kriteria yang mencakup aspek lingkungan dan aspek sosial. Prinsip dan kriteria yang

terdapat di dalam RSPO wajib dilaksanakan oleh setiap perusahaan perkebunan kelapa sawit,

Page 27: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

sehingga perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan harus memiliki komitmen

sosial dan komitmen lingkungan.

Komitmen Sosial

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang disahkan

DPR tanggal 20 Juli 2007 menandai babak baru pengaturan CSR, yaitu keempat ayat dalam

Pasal 74 UU tersebut menetapkan kewajiban semua perusahaan dibidang sumber daya alam

untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Respon perusahaan perkebunan

kelapa sawit cukup positif di dalam menerapkan komitmen sosial sebagaimana tercantum di

dalam UU No. 40 tahun 2007, bahkan sudah tidak heran lagi perusahaan perkebunan kelapa

sawit mengembangkan Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bentuk nyata atas

kepeduliannya terhadap masyarakat di sekitar perkebunan.

Komitmen Lingkungan

Dari sisi lingkungan, keberadaan ISO 14000 dan OHSAS 18000 memberikan

kesempatan bagi perkebunan kelapa sawit di dalam mengembangkan sebuah sistem yang

komperhensif mengenai pemantauan lingkungan yang berkelanjutan.

2. Konsistensi Pelaksanaan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan

Salah satu hal yang paling utama dilakukan oleh perkebunan kelapa sawit adalah

konsistensi di dalam melaksanakan konsep keberlanjutan, baik dari aspek sosial melalui

Corporate Social Responsibility (CSR) dan aspek lingkungan melalui bagian Environment,

Health and Safety (EHS). Dengan konsistensi ini diharapkan bahwa pihak perusahaan dapat

mengurangi dampak negatif yang terjadi karena proses pembukaan lahan perkebunan kelapa

sawit maupun pada proses produksi. Selain itu, dengan konsistensi ini perusahaan

perkebunan kelapa sawit dapat memperoleh kepercayaan publik bahwa operasional

perusahaan sangat mengedepankan aspek sosial dan aspek lingkungan.

Perkembangan areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia semakin meluas. Perluasan

tersebut kerapkali menyemai kontroversi dan hubungan konfliktual antara pihak perusahaan,

pemerintah (daerah maupun pusat) dan pihak Lembaga Swadaya Masyarakat yang

berorientasi “environmentalist”. Kontestasi ini dapat diartikan bahwa masing-masing pihak

memaknai dan memiliki pandangan yang berbeda terhadap pengembangan perkebunan

kelapa sawit. Pihak perusahaan melihat bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit

sejalan dengan upaya untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, terutama

Page 28: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

masyarakat di sekitar perkebunan. Pihak pemerintah melihat bahwa pengembangan

perkebunan kelapa sawit merupakan langkah strategis yang dilakukan oleh pemerintah daerah

dalam mengundang investor untuk berinvestasi di daerahnya, sehingga diharapkan dengan

keberadaan investasi di daerahnya, maka akan secara otomatis mengdongkrak pendapatan

asli daerah. Kemudian, pihak LSM akan melihat bahwa pengembangan perkebunan kelapa

sawit berkontribusi bagi kerusakan hutan dan degradasi lingkungan.

Ketiga pihak yang saling berkotestasi ini belum menemukan kesepahaman dan

kesamaan pandangan dalam memandang pengembangan perkebunan kelapa sawit hingga

pada saat ini, terutama pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan pihak LSM. Hal

yang paling nyata yang dapat dijadikan contoh untuk hal ini adalah perseteruan yang belum

selesai antara Sinarmas dengan Green Peace. Ini menjadi contoh nyata bahwa belum adanya

upaya untuk menyamakan pemahaman mengenai perkebunan kelapa sawit.

Namun, apabila kita melihat secara lebih dalam dan lebih netral mengenai perseteruan

“yang mungkin sulit untuk berakhir” antara pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit

dengan LSM lingkungan, sebenarnya Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) hadir sebagai

sarana untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan. Keanggotaan

RSPO ini juga terdiri dari berbagai stakeholder, yaitu pemerintah, LSM, pengusaha

perkebunan kelapa sawit, sehingga RSPO dilihat dari segi keberadaannya merupakan

lembaga intermediary dan memiliki aturan yang harus dipenuhi oleh anggota RSPO dalam

rangka mengembangkan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Tentunya dengan

adanya RSPO, perkebunan kelapa sawit secara tidak langsung diharapkan dapat

mentransformasikan dirinya dari perkebunan kelapa sawit konvensional menuju perkebunan

kelapa sawit yang modern. Pengertian perkebunan kelapa sawit yang modern dalam hal ini

adalah perkebunan kelapa sawit yang memiliki perhatian penuh dalam memberikan dampak

positif bagi masyarakat di sekitarnya dengan tidak mengurangi kualitas lingkungan secara

signifikan.

Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit

Pengenalan tanaman kelapa sawit di Indonesia diawali pada tahun 1848 melalui

pengembangan tanaman koleksi di Kebun Raya Bogor dan mulai dikembangkan sebagai

tanaman penghasil minyak sawit pada tahun 1911 di Tanah Itam Ulu di Pulau Sumatra oleh

Page 29: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

maskapai Huileries de Sumatra. Sejak saat itu pengembangan perkebunan kelapa sawit terus

berlanjut, pada tahun 1915 mencapai 2.715 ha. Pada masa penjajahan Jepang perkebunan

tersebut terbengkalai dan kemudian berkembang hingga pada tahun 1957 tercatat 103 ribu ha

dengan tingkat produksi 106 ribu ton dan produktivitas sebesar 1,9 ton CPO/ha. Hingga akhir

Pelita II sebagian besar pengembangan tanaman kelapa sawit masih diimplementasikan

dalam bentuk perkebunan besar pemerintah/swasta, baru sejak awal Repelita III 1979-1980

pemerintah mulai mengembangkan usaha perkebunan rakyat melalui pola PIR (Perkebunan

Inti Rakyat) yang kemudian berkembang juga melalui pola kemitraan lainnya.

Perkembangan luas areal kebun kelapa sawit selama dua dekade terahir menunjukkan

pertumbuhan yang sangat signifikan yaitu dari 290.000 ha pada tahun 1980 menjadi

5.597.000 ha pada taun 2005 dan sekitar 8 juta ha pada tahun 2009. Hal yang menonjol

adalah perkembangan perkebunan rakyat cukup pesat yaitu sekitar 6000 ha pada tahun 1980

menjadi 1.917 .000 ha pada tahun 2005 atau tumbuh 27,1 % /tahun.

Pengembangan agribisnis kelapa sawit merupakan salah satu langkah yang diperlukan

sebagai kegiatan pembangunan sub sektor perkebunan dalam rangka revitalisasi sektor

pertanian. Perkembangan pada berbagai subsistem yang sangat pesat pada agribisnis kelapa

sawit sejak menjadi bukti pesatnya perkembangan agribisnis kelapa sawit. Dalam dokumen

rencana kelola sosial yang dibuat oleh Departemen Pertanian digambarkan prospek

pengembangan agribisnis saat ini hingga tahun 2010, dan arah pengembangan hingga tahun

2025. Masyarakat luas, khususnya petani, pengusaha, dan pemerintah dapat menggunakan

dokumen tersebut sebagai acuan. Perkebunan kelapa sawit saat ini telah berkembang tidak

hanya yang diusahakan oleh perusahaan negara, tetapi juga perkebunan rakyat dan swasta.

Pada tahun 2003, luas areal perkebunan rakyat mencapai 1.917. 000 ha (34,9%), perkebunan

negara seluas 677.000 ha (12,3%), dan perkebunan besar swasta seluas 3.003.000 ha (52,8%).

Ekspor Indonesia dan Malaysia pada tahun 2004 masing-masing 4.57 juta dan 5.6 juta.

Saat ini, pertumbuhan permintaan Crude Palm Oil (CPO)/minyak kelapa sawit mentah dunia

masih lebih tinggi dari pasokannya. Dengan kondisi ini, maka potensi pasar CPO masih

cukup tinggi dan industri nasional memiliki prospek kinerja yang cukup menjanjikan. Hingga

September 2009, ekspor CPO nasional telah mencapai 11,47 juta ton. Dengan asumsi ekspor

CPO nasional sebesar 1,2 juta sampai 1,3 juta ton per bulan, maka hingga akhir tahun ini

ekspor CPO akan mendekati angka 16 juta ton. Pada 2008 lalu ekspor CPO Indonesia

Page 30: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

mencapai 14,7 juta ton. Jadi, hingga September 2009 ekspor CPO telah tumbuh sekitar 16

persen dibanding periode yang sama tahun 2008.

Oleh karena itu, berdasarkan data dari pemertintahan setempat, kami memutuskan

untuk mengembangkan wilayah perkebunan kelapa sawit di kabupaten ini. Syarat tumbuh

optimal kelapa sawit pun dapat dijangkau wilayah ini. Selain itu, di kabupaten ini masih

terdapat kawasan hutan Taman Nasional yang dapat dibuka untuk perluasan wilayah

perkebunan kelapa sawit dan memanfaatkannya pula sebagai wilayah agrowisata dari lahan

perkebunan ini. Dampak positif yang akan diterima dari perluasan wilayah perkebunan

kelapa sawit ini dapat dirasakan secara langsung ataupun tidak langsung, misalnya dari

perluasan lahan akan membutuhkan banyak tenaga kerja, dan ketika perkebunan itu selesai

dibangun, maka akan banyak tenaga kerja yang terserap ke dalam perkebunan ini, serta

dampak langsung yang dapat dirasakan oleh pemerintah setempat adalah hasil pajak dari

wilayah perkebunan itu sendiri dan hasil pajak dari agrowisata wilayah yang dijadikan objek

wisata di kawasan ini.

Menuju Perkebunan Kelapa Sawit Kontemporer

Permintaan pasar akan Crude Palm Oil (CPO)/minyak kelapa sawit mentah dunia

yang melebihi pasokannya, terserapnya tenaga kerja produktif secara signifikan dan juga

semakin kondusifnya iklim investasi dari sisi regulasi dan politik, mendorong ekspansi

perkebunan kelapa sawit secara masif. Bahkan upaya mengkonversikan lahan sudah menjadi

kecenderungan dalam dasawarsa sepuluh tahun terakhir ini. Untuk menghindari degradasi

lingkungan secara berlebihan, RSPO yang beranggotakan berbagai pihak hadir untuk

mewujudkan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia.

Upaya untuk mewujudkan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan ini dapat

dilihat dalam 8 Prinsip di dalam RSPO, yaitu: (1) komitmen terhadap transparansi ; (2)

Memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku ; (3) Komitmen terhadap ekonomi dan

kelayakan jangka panjang ; (4) Penggunaan praktik terbaik dan tepat oleh perkebunan dan

pabrik ; (5) Tanggungjawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keanekaragaman

hayati ; (6) Tanggungjawab kepada pekerja, individu-individu dan komunitas dari kebun dan

pabrik ; (7) Pengembangan perkebunan baru secara bertanggung jawab ; (8) Komitmen

terhadap perbaikan terus menerus pada wilayah-wilayah utama aktivitas.

Page 31: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

Dari masing-masing prinsip sebagaimana yang disebutkan diatas, diturunkan kembali ke

dalam sejumlah criteria-kriteria dengan indicator serta panduan yang jelas, sehingga dapat

dilihat bahwa RSPO memiliki aturan pelaksanaan perkebunan kelapa sawit yang

berkelanjutan. Dari keberadaan RSPO sendiri memiliki implikasi berantai, yaitu:

1. Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah memperoleh sertifikasi RSPO akan

dinilai bahwa perusahaan tersebut sudah memiliki akuntabilitas terhadap aspek sosial

dan aspek lingkungan.

2. Preferensi pasar akan tergiring kepada Crude Palm Oil/minyak sawit mentah yang

“environmental friendly” dan akan memberikan keuntungan yang signifikan bagi

pihak perusahaan.

3. Kualitas lingkungan dapat dimonitoring dengan alat monitoring yang terukur dan

dapat dibuktikan secara ilmiah.

4. Keterlibatan masyarakat dalam mendukung perkebunan kelapa sawit akan

memberikan keamanan investasi sekaligus juga memberikan manfaat positif bagi

masyarakat yang bersangkutan.

Dengan demikian, perkebunan kelapa sawit pada saat ini berbeda dengan perkebunan

kelapa sawit konvensional. Dalam perkebunan kelapa sawit konvensional, eksklusifitas

menjadi ciri yang utama, dimana masyarakat dan kondisi lingkungan di sekitarnya diabaikan.

Hal ini berbeda dengan perkebunan kelapa sawit modern yang bercirikan inklusifitas.

Masyarakat dan kondisi lingkungan menjadi faktor yang cukup dominan untuk

diperhitungkan dalam beroperasinya perkebunan kelapa sawit dan disinilah RSPO

memainkan peranan yang signifikan dalam menjadikan perkebunan kelapa sawit menjadi

perkebunan yang dapat diterima oleh semua pihak.

ARC-VIEW PEMETAAN PERKEBUNAN

Peta merupakan sarana pokok yang harus dimiliki oleh setiap wilayah/daerah, atau

dalam hal ini perusahaan perkebunan, untuk memungkinkan pelaksanaan tertib

penyelenggaraan administrasi dengan baik, yang mencakup luas areal, (Blok, Afdeling,

Estate, dan lain sebagainya), disamping peta juga mampu menunjukan posisi dan letak suatu

bangunan, juga kondisinya.

Page 32: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

1. Fungsi Pemetaan

Secara umum fungsi peta dapat dikaitkan dengan berbagai macam kepentingan antara

lain: bidang pemerintahan, bidang hankam, politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain.

Dalam hal pembuatan peta yang standar sesuai dengan kebutuhan harus memperhatikan

sebagai berikut :

a) Menetapkan kebijakan tekhnis dan langkah langkah pemetaan batas

wilayah/areal yang bersebelahan.

b) Melaksanakan pemetaan sesuai metodologi pemetaan yang

standar.Menggambar peta sesuai tekhnis pemetaan

Pertimbangan utama dalam penentuan jenis peta pada umumnya antara lain :

a) Pembuatan peta dengan spesifikasi tertentu mempunyai konsekwensi pada biaya

dan waktu yang dibutuhkan, makin tinggi spesifikasi yang harus dipenuhi, maka

semakin tinggi pula biaya dan waktu yang dibutuhkan.

b) · Tingkat kebutuhan akan peta dari suatu desa dengan desa lainnya akan

berbeda tergantung dari jumlah serta jenis permasalahan yang dihadapinya.

2. Persyaratan Pemetaan

Dalam sebuah peta harus memberikan gambaran secara jelas informasi-informasi yang

dibutuhkan sesuai dengan tingkat kebutuhan user, yang secara umum harus memuat, Legenda

(Keterangan simbol dan warna) juga garis lintang dan bujur yang disebut juga garis

astronomi. Garis Astronomi ini adalah garis khayal/abstrak pada globe atau peta yang

digunakan untuk mencari letak suatu tempat dimuka bumi yang terdiri dari garis Lintang

(Paralel) dan garis Bujur (Meridien)

a. Garis Lintang (Parelel) adalah garis abstrak yang melintang yang melingkari

permukaan bumi dan membagi bumi menjadi dua bagian yaitu Utara dan Selatan.

Garis Lintang 0º disebut juga garis khatulistiwa atau equator, jarak dari garis lintang

equator/khatulistiwa ke kutub utara yaitu dari 0º - 90º LU (North) dan jarak dari

khatulistiwa ke kutub selatan yaitu dari 0º - 90º LS (South)

b. Garis Bujur, adalah garis abstrak yang membujur dari kutub utara sampai ke kutub

selatan yang menunjukan pembagian daerah waktu, garis bujur utama adalah 0º

disebut juga garis meridien utama yang melalui kota greenwich (London Inggris),

Page 33: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

jarak dari garis bujur 0º ke arah timur sejauh 180º BT (East) dan kearah barat

demikian juga sejauh 180º. Garis bujur utama ditetapkan sebagai tanda waktu utama

internasional (GMT/Greenwich Mean Time).

c. Legenda, adalah keterangan yang menunjukkan suatu tempat, waktu dan lain

sebagainya dengan menggunakan simbol-simbol tertentu yang umum serta garis garis

yang membedakan batas dan satuan warna warna untuk membedakan ketinggian dan

kedalaman tempat.

d. Mata angin, adalah penunjuk arah atau orientasi yang menunjukan empat arah utama

yaikni Utara, Selatan, Timur dan Barat, serta 12 arah antara yang lainnya, alat yang

biasa digunakan untuk penunjuk arah ini adalah compass (kompas), tetapi pada setiap

perangkat GPS kompas sudah disediakan, dalam kompass arah jarum selalu

menunjukan ke arah utara-selatan sehingga arah lainnya dapat diketahui.

e. Skala peta adalah perbandingan antara jarak di peta dengan jarak yang sebenarnya

dipermukaan bumi atau di lapangan, skala biasanya di nyatakan dengan angka atau

garis, misalnya 1 : 100.000 ini berati 1 cm di peta menunjukan jarak 100.000 cm atau

1 km di lapangan atau di pernukaan bumi (setiap 1 cm di peta di bagi 100.000 untuk

setiap km-nya)

f. Inset peta, adalah bagian dari peta yang digambarkan berupa peta kecil secara khusus

untuk membandingkan atau menggambarkan letak peta utama dalam peta

(lingkungan sekitarnya, misalnya kabupaten terhadap propinsi, areal kebun terhadap

kabupaten atau propinsi

METODOLOGI PEMETAAN

1. Penurunan/kompilasi dari Peta yang Telah Ada

Pembuatan peta diperoleh dari peta-peta yang sudah ada, misalnya Peta Topografi dan

Peta Rupa Bumi Indonesia (BAKOSURTANAL), Peta RTRWK, dan lainnya. Secara

kartografis hasil yang didapatkan berupa peta turunan. Proses pemetaannya dilakukan dengan

mengkonversi peta menjadi data digital (melalui scanning maupun digitasi). Apabila skala

maupun sumbernya berbeda maka perlu dilakukan georeferensi terlebih dahulu untuk

penyamaan format data.

Page 34: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

2. Pemetaan Alternatif

Melalui metode pengambilan data citra satelit, terutama untuk aplikasi tertentu

dengan spesifikasi khusus maka proses pemetaan dapat dilakukan dengan metode alternatif.

Dalam Pemetaan Alternatif ini metode pembuatan petanya di luar metode yang telah ada

dengan memanfaatkan tekhnologi tepat guna dengan teknik dan metoda yang disesuaikan

dengan kebutuhan.

Pada cara pemetaan ini sumber data utama yang digunakan adalah foto udara, Citra

Satelit, Ikonos, dengan skala berkisar pada skala wilayah yang akan dibuat. Peta yang

dihasilkan akan berupa peta digital sebagai peta dasar yang akan memuat berbagai macam

informasi yang dibutuhkan dan dapat di upgrade setiap saat oleh pemakai peta pada nantinya.

Metode alternatif ini bersifat sebagai pelengkap sumber data dimana ditujukan untuk

pengelolaan database, untuk itu berbagai macam informasi dalam tema-tema penataan batas

areal dapat digunakan metode peta tematik hasil turunan peta dasar yang dikompilasi dengan

sumber data dari citra satelit melalui hasil penafsirannya.

PELAKSANAAN PEMBUATAN PETA

Dalam era kemajuan tehnologi yang serba komputerisasi, pembuatan peta tidak lagi

membutuhkan waktu yang lama, biaya yang tinggi dan akurasi yang sering dipertanyakan,

dan dengan tehnologi GIS pembuatan peta dapat cepat tersaji, tingkat akurasi yang baik, dan

tingkat koreksi yang kecil. Beberapa sistem pemetaan yang mendukung program dan sistem

GIS antara lain : Autocad Maping, Arc View, Arc Info, Map Info dan lain sebagainya. Data

dari lapangan berupa data digital GPS dapat di down load langsung serta dapat di overlaykan

dengan peta peta kerja lainnya, melalui langkah-langkah dalam proses pemetaan.

1. Proses Pemetaan

a. Persiapan Data Sekunder :

1. Penyediaan bahan antara lain; peta dasar, peta kerja yang selanjutnya

dilakukan digitasi serta data citra landsat liputan terbaru yang bersumber

dari LAPAN Jakarta.

2. Pembuatan peta penafsiran RBI dan citra landsat.

Page 35: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

b. Pembuatan Peta

1. Pembuatan peta dilakukan dengan teknologi Geographic Information System (GIS)

yaitu dimulai dengan mempersiapkan peta dasar yang berbentuk digital antara lain :

2. Peta lampiran (Peta Rancangan dari Dinas dan instansi terkait) pada saat penentuan

peruntukan areal. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), merupakan peta standar yang

diterbitkan oleh BAKOSURTANAL sebagai dasar acuan pembuatan peta penggunaan

atau peta lainnya di Indonesia.

3. Peta RTRWP/RTRWK, digunakan sebagai acuan dalam menyajikan batas-batas

arahan penggunaan lahan/tanah.

4. Peta Citra Landsat (satelit) liputan terbaru terbitan Lembaga Antariksa dan

Penerbangan (LAPAN) Jakarta.

5. Data waypoint hasil pengambilan groundcheck dilapangan dengan perangkat GPS,

berupa koordinat geodetik atau UTM.

Kemudian data waypoint hasil pengambilan di lapangan di overlaykan dengan peta

dasar dan diproses secara digital untuk menghasilkan peta perpaduan (over lay) baru, dengan

memberi beberapa informasi yang diperlukan, sehingga di dalam peta tersebut sudah termuat

batas-batas beserta deskripsi berupa keterangan (legenda)

2.2.2 Pengembangan Agrowisata Kabupaten Muko-Muko

Secara umum, konsep agrowisata mengandung pengertian suatu kegiatan perjalanan

atau wisata yang dipadukan dengan aspek-aspek kegiatan pertanian. Pengertian ini mengacu

pada unsur rekreatif yang memang sudah menjadi ciri kegiatan wisata, unsur pendidikan

dalam kemasan paket wisatanya, serta unsur sosial ekonomi dalam pembangunan pertanian

dan perdesaan. Dari segi substansinya kegiatan agrowisata lebih menitikberatkan pada upaya

menampilkan kegiatan pertanian dan suasana perdesaan sebagai daya tarik utama wisatanya

tanpa mengabaikan segi kenyamanan.

Pada dasarnya, agrowisata merupakan kegiatan yang berupaya mengembangkan

sumberdaya alam suatu daerah yang memiliki potensi di bidang pertanian untuk dijadikan

kawasan wisata. Daerah perkebunan, sentra penghasil sayuran tertentu dan wilayah perdesaan

berpotensi besar menjadi objek agrowisata. Potensi yang terkandung tersebut harus dilihat

Page 36: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

dari segi lingkungan alam, letak geografis, jenis produk, atau komoditas pertanian yang

dihasilkan, serta sarana dan prasarananya (Sumarwoto, 1990).

Pengembangan agrowisata pada hakikatnya merupakan upaya terhadap pemanfaatan

potensi atraksi wisata pertanian. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) bersama antara Menteri

Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi dan Menteri Pertanian No. KM.47/PW.DOW/MPPT-89

dan No. 204/KPTS/HK/050/4/1989 agrowisata sebagai bagian dari objek wisata, diartikan

sebagai suatu bentuk kegiatan yang memanfaatkan usaha agro sebagai objek wisata dengan

tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi dan hubungan usaha di bidang

pertanian. Agrowisata diberi batasan sebagai wisata yang memanfaatkan objek-objek

pertanian (Tirtawinata dan Fachruddin,1996).

Sementara itu, ada juga pandangan yang menyebutkan bahwa agrowisata adalah

usahatani yang pemasarannya berorientasi pada kegiatan yang berhubungan dengan

pelayanan pariwisata. Misalnya usaha penggemukan sapi atau budidaya sayur-sayuran yang

pemasaran hasilnya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hotel atau restoran yang melayani

wisatawan. Di sini teknologi yang diterapkan adalah teknologi usahatani yang dapat

mencapai mutu produksi sesuai dengan permintaan hotel atau restoran. Jadi, agrowisata

merupakan salah satu bentuk kegiatan agribisnis.

Pandangan-pandangan tentang agrowisata sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada

dasarnya memberikan pengertian bahwa adanya keinginan untuk mengkaitkan antara sektor

pertanian dan sektor pariwisata. Harapannya adalah agar sektor pertanian dapat semakin

berkembang, karena mendapatkan nilai-tambah dari sentuhannya dengan sektor pariwisata.

Secara singkat mungkin dapat disebutkan bahwa agrowisata adalah suatu kegiatan yang

secara sadar ingin menempatkan sektor primer (pertanian) di kawasan sektor tersier

(pariwisata), agar perkembangan sektor primer itu dapat lebih dipercepat, dan petani

mendapatkan peningkatan pendapatan dari kegiatan pariwisata yang memanfaatkan sektor

pertanian tersebut. Dengan demikian akan dapat lebih mempercepat peningkatan

kesejahteraan masyarakat yang bekerja di sektor primer, atau sektor primer (pertanian) tidak

semakin terpinggirkan dengan perkembangan kegiatan di sektor pariwisata. Kegiatan

agrowisata dapat disebutkan sebagai kegiatan yang memihak pada rakyat miskin (Goodwin,

2000).

Pengembangan agrowisata diharapkan sesuai dengan kapabilitas, tipologi, dan fungsi

ekologis lahan sehingga akan berpengaruh langsung terhadap kelestarian sumber daya lahan

Page 37: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

dan pendapatan petani serta masyarakat sekitarnya. Kegiatan ini secara tidak langsung akan

meningkatkan persepsi positif petani serta masyarakat sekitarnya akan arti pentingnya

pelestarian sumber daya lahan pertanian. Pengembangan agrowisata pada gilirannya akan

menciptakan lapangan pekerjaan, karena usaha ini dapat menyerap tenaga kerja dari

masyarakat pedesaan, sehingga dapat menahan atau mengurangi arus urbanisasi yang

semakin meningkat saat ini. Manfaat yang dapat diperoleh dari agrowisata adalah

melestarikan sumber daya alam, melestarikan teknologi lokal, dan meningkatkan pendapatan

petani/masyarakat sekitar lokasi wisata.

Obyek agrowisata harus mencerminkan pola pertanian Indonesia baik tradisional

ataupun modern guna memberikan daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Wisatawan. Di

lokasi atau di sekitar lokasi dapat diadakan berbagai jenis atraksi/ kegiatan pariwisata sesuai

dengan potensi sumber daya pertanian dan kebudayaan setempat. Sampai saat ini, berbagai

obyek agrowisata yang potensial relatif belum banyak menarik pengunjung, antara lain

karena terbatasnya sarana dan prasarana yang tersedia serta kurangnya promosi dan

pemasaran kepada masyarakat luas baik di dalam maupun di luar negeri. Untuk itu perlu

ditempuh suatu koordinasi promosi antara pengelola dengan berbagai pihak yang

berkecimpung dalam bidang promosi dan pemasaran obyek-obyek agrowisata, baik instansi

pemerintah maupun biro-biro perjalanan wisata. Hal ini mengingat agrowisata merupakan

kegiatan yang tidak berdiri sendiri karena mempunyai lingkup yang luas dan keterkaitan

dengan tugas serta wewenang berbagai instansi terkait seperti Departemen Pertanian,

Departemen/Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, dan instansi terkait lainnya, kalangan

usaha serta masyarakat pada umumnya.

Di dalam melakukan pemasarannya perlu dilakukan pendekatan dengan berbagai

pihak yang terkait secara terkoordinasi, mulai dari tingkat perencanaan, pengembangan,

pengelolaan, pemasaran sampai dengan pengawasan dan pengendalian. Ditingkat perumusan

kebijaksanaan dan pengendalian perlu ditingkatkan peranan panitia kerja agro pusat dan

daerah sehingga pelaksanaannya sejalan dengan kebijaksanaan pengembangan sector

pertanian dan pariwisata, baik dari aspek lokasi, kawasan kegiatan, maupun penyediaan

sarana dan prasarana.

Page 38: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

Kontribusi Agrowisata Terhadap Pariwisata Dunia

Pariwisata merupakan industri dengan pertumbuhan tercepat didunia (WTO, 2000),

melibatkan 657 juta kunjungan wisata di tahun 1999 dengan US $ 455 Milyar penerimaan ke

seluruh dunia. Apabila kondisi tetap stabil, pada tahun 2010 jumlah kunjungan antar negara

ini diperkirakan meningkat mencapai 937 juta. Resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)

telah menyatakan bahwa pariwisata as a basic and desirable human activity deserving the

praise and encouragement of all peoples and governments. Perserikatan Bangsa-bangsa

telah menyetujui suatu metode pengukuran dampak ekonomi pariwisata yang disebut

Tourism Satellite Account (TSA). TSA ini merupakan satu-satunya satellite account yang

telah disetujui oleh PBB dari berbagai sektor ekonomi lainnya. Indonesia melalui Badan

Puisat Statistik dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata mulai menerapkan dan

mengembangkan TSA pada tahun 2001 yang dikenal dengan istilah Neraca Satelit

Pariwisata Nasional (NESPARNAS), dengan hasil secara garis besar diuraikan sebagai

berikut.

Bagi Indonesia perkembangan pariwisata tersebut terindikasi dari peningkatan jumlah

wisatawan mancanegara sebanyak 4.606.416 (rata-rata hari kunjungan 9.18 hari/ orang) di

tahun 1998 meningkat menjadi 5.064.217 orang dengan jumlah hari kunjungan 12.26/orang

pada tahun 2000. Besarnya devisa yang diperoleh sector pariwisata pada tahun 2000 sebesar

5.75 milyar US$.

Pada tahun 2000 sektor pariwisata memberikan kontribusi sebsesar Rp. 238,6 triliun

atau 9, 27% terhadap produk nasional dan kontribusi pariwisata mencapai 9,38% (Rp. 128,31

triliun) dari total PDB Indonesia sebesar Rp. 1.368 triliun (BPS 2001). Hal menarik yang

patut dikemukakan adalah bahwa pencapaian sebesar itu siperoleh melalui peranan investasi

kepariwisataan yang hanya mencapai 5,24% dari total investasi nasional. Sementara itu

peranan dalan penyediaan lapangan kerja mencapai 7, 36 juta orang atau 8,11 % dari total

lapangan kerja nasional sebesar 89,8 juta orang. Demikian juga dapat diungkapkan bahwa

penyediaan upah dan gaji dari sector pariwisata mencapai Rp. 40,09 triliun, 9,87% dari

penyediaan upah secara nasional sebesar Rp.406 triliun. Selain itu kontribusi pajak tak

langsung mencapai 8,29 % dari total pajak tak langsung sebesar Rp. 61 triliun

Page 39: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

Sebagai gambaran, Tabel. 1 menunjukkan jumlah kunjungan wisatawan internasional

di seluruh dunia yang dikumpulkan oleh WTO hingga hingga bulan Juni 2002. Dari Tabel. 1

tersebut, terlihat bahwa ada penurunan kunjungan wisatawan internasional yang terjadi pada

tahun 2001, terutama di: Amerika (-5,9%), Eropa (-0,6%), Timur Tengah (-3,1%)

Tabel. 1

Jumlah Kunjungan Wisatawan Internasional di Seluruh Dunia

Periode (1999-2001)

Pertumbuhan kunjungan wisatawan akan berkontribusi terhadap pertumbuhan

perekonomian suatu daerah yang menjadi destinasi pariwisata. Agrowisata tentu saja akan

memberikan kontribusi lebih luas lagi, tidak hanya pada sektor pariwisata saja namun juga

memberikan kontribusi terhdap sektor pertanian, sangat berbeda dengan model pariwisata

yang lainnya. Jika Agrowisata dapat dikembangkan lebih luas lagi di Indonesia (Indonesia

adalah negara agraris) niscaya semakin banyak juga kontribusi agrowisata dapat dirasakan

oleh masyarakat bawah “Petani”.

Page 40: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

Potensi Pengembangan Agrowisata di Kabupaten Muko-Muko

Menurut Afandhi (2005), Kebijakan umum Departemen Pertanian dalam membangun

pertanian bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan tarap hidup petani, peternak, dan

nelayan, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, menunjang pembangunan

industri serta meningkatkan ekspor. Untuk itu, usaha diversifikasi perlu dilanjutkan disertai

dengan rehabilitasi yang harus dilaksanakan secara terpadu, serasi, dan merata disesuaikan

dengan kondisi tanah, air dan iklim, dengan tetap memelihara kelestarian kemampuan sumber

daya alam dan lingkungan hidup serta memperhatikan pola kehidupan masyarakat setempat.

Sejalan dengan kebijaksanaan umum di atas, terlihat bahwa antara pariwisata dan

pertanian dapat saling mengisi dan menunjang dalam meningkatkan daya saing produk

pariwisata dan produk pertanian Indonesia dalam rangka meningkatkan perolehan devisa dari

komoditi ekspor non migas. Sebagai negara agraris, sector pertanian merupakan sector yang

dominan dan merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Upaya peningkatan dan

penganekaragaman usaha pertanian terus ditingkatkan secara intensif dan terencana, baik

yang secara tradisional maupun modern merupakan potensi kuat yang dapat dikembangkan

sebagai daya tarik yang dapat dinikmati oleh wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Potensi budidaya pertanian yang dapat dijadikan agrowisata antara lain :

1. Perkebunan

Suatu kawasan perkebunan yang ideal untuk dapat dimanfaatkan sebagai objek dan

daya tarik agrowisata adalah kawasan perkebunan yang kegiatannya merupakan kesatuan

yang utuh mulai dari pembibitan sampai dengan pengolahan hasilnya. Hal ini didasarkan

atas pertimbangan bahwa setiap kegiatan dan proses pengusahaan perkebunan dapat

dijadikan daya tarik atau atraksi yang menarik bagi wisatawan mulai dari pembibitan,

penanaman, pengolahan ataupun pengepakan hasil produksinya. Perkebunan sebagai objek

agrowisata terdiri dari perkebunan kelapa sawit, karet, teh kopi, kakao, tebu, dan lain-lain.

Pada dasarnya luas suatu perkebunan ada batasnya, namun perkekbunan yang dijadikan

sebagai objek agrowisata luasnya tidak dibatasi, dengan kata lain luasnya sesuai izin atau

persyaratan objek agrowisata yang diberikan.

Untuk menunjukkan kepada wisatawan suatu perkebunan yang baik dan benar,

seyogyanya dalam objek dilengkapi dengan unit pengolahan, laboratorium, pengepakan

hasil, sarana dan prasarana.

Page 41: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

2. Tanaman pangan dan Hortikultura

Daya tarik tanaman pangan dan hortikultura sebagai objek agrowisata antara lain

kebun bunga-bungaan, kebunbuah-buahan, kebun sayur-sayuran, kebun tanaman obat-

obatan/ jamu.

3. Peternakan

Potensi peternakan sebagai sumber daya wisata antara lain cara tradisional dalam

pemeliharaan ternak, aspek kekhasan/ keunikan pengelolaan, produksi ternak, atraksi

peternakan dan peternakan khusus seperti bekisar dan burung puyuh.

4. Perikanan

Sebagai negara kepulauan yang sebagian besar terdiri dari perairan dengan potensi

sumber daya ikan yang jenis maupun jumlahnya cukup besar, kegiatan perikanan di

Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai obyek agrowisata.

Secara garis besar kegiatan perikanan dibagi menjadi kegiatan penangkapan dan kegiatan

budidaya, dan kegiatan tersebut merupakan potensi yang dapat dikembangkan menjadi

obyek agrowisata seperti budidaya ikan air tawar, budidaya Air Payau (tambak), budidaya

laut (kerang, rumput laut, kakap merah, dan mutiara)

Pada dekade terakhir, pembangunan pariwisata di Indonesia menunjukkan

kecenderungan terus meningkat. Konsumsi jasa dalam bentuk komoditas wisata bagi

sebagian masyarakat Indonesia telah menjadi salah satu kebutuhan sebagai akibat

meningkatnya pendapatan, aspirasi dan kesejahteraannya.

Preferensi dan motivasi wisatawan berkembang secara dinamis. Kecenderungan

pemenuhan kebutuhan dalam bentuk menikmati objek-objek spesifik seperti udara yang

segar, pemandangan yang indah, pengolahan produk secara tradisional, maupun produk-

produk pertanian modern dan spesifik menunjukkan peningkatan yang pesat. Kecenderungan

ini merupakan signal tingginya permintaan akan Agrowisata dan sekaligus membuka peluang

bagi pengembangan produk-produk agribisnis baik dalam bentuk kawasan ataupun produk

pertanian yang mempunyai daya tarik spesifik.

Hamparan areal pertanaman yang luas seperti pada areal perkebunan, pertanian dan

pedesaan disamping menyajikan pemandangan dan udara yang segar, juga merupakan media

pendidikan bagi masyarakat dalam dimensi yang sangat luas, mulai dari pendidikan tentanig

kegiatan usaha dibidang masing-masing sampai kepada pendidikan tentang keharmonisan

dan kelestarian alam.

Page 42: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

Objek Agrowisata tidak hanya terbatas kepada objek dengan skala hamparan yang

luas seperti yang dimiliki oleh areal perkebunan, tetapi juga skala kecil yang karena

keunikannya dapat menjadi objek wisata yang menarik. Cara-cara bertanam tebu, acara panen

tebu, pembuatan gula pasir tebu, serta cara cara penciptaan varietas baru tebu merupakan

salah satu contoh objek yang kaya dengan muatan pendidikan. Cara pembuatan gula merah

kelapa juga merupakan salah satu contoh lain dari kegiatan yang dapat dijual kepada

wisatawan yang disamping mengandung muatan kultural dan pendidikan juga dapat menjadi

media promosi, karena dipastikan pengunjung akan tertarik untuk membeli gula merah yang

dihasilkan pengrajin. Dengan datangnya masyarakat mendatangi objek wisata juga terbuka

peluang pasar tidak hanya bagi produk dan objek Agrowisata yang bersangkutan, namun

pasar dan segala kebutuhan masyarakat.

Dengan demikian melalui Agrowisata bukan semata merupakan usaha / bisnis

dibidang jasa yang menjual jasa bagi pemenuhan konsumen akan pemandangan yang indah

dan udara yang segar, namun juga dapat berperan sebagai media promosi produk pertanian,

menjadi media pendidikan masyarakat, memberikan signal bagi peluang pengembangan

diversifikasi produk agribisnis dan berarti pula dapat menjadi kawasan pertumbuhan baru

wilayah. Dengan demikian maka Agrowisata dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan

baru daerah, sektor pertanian dan ekonomi nasional.

Potensi Agrowisata yang sangat tinggi ini belum sepenuhnya dikembangkan dan

dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu, perlu dirumuskan langkah-langkah kebijakan yang

konkrit dan operasional guna tercapainya kemantapan pengelolaan Objek Agrowisata di era

globalisasi. Sesuai dengan keunikan kekayaan spesifik lokasi yang dimiliki, setiap daerah dan

setiap objek wisata dapat menentukan sasaran dan bidang garapan pasar yang dapat dituju.

Dalam pengembangan Agrowisata dibutuhkan kerjasama sinergis diantara pelaku yang

teribat dalam pengelolaan Agrowisata, yaitu masyarakat, swasta dan pemerintah.

Perkembangan berbagai sektor ekonomi di Kabupaten Muko-Muko selama sekitar tiga

dasa warsa mengindikasikan bahwa sektor pertanian di Kabupaten Muko-Muko masih

menempati peringkat pertama kontribusinya terhadap PDRB. Sektor pertanian unggul

dalam penyerapan tenaga kerja. Data tentang berbagai sektor ekonomi di Kabupaten Muko-

Muko ditunjukkan secara lebih rinci pada tabel 1.

Page 43: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

Tabel Potensi Ekonomi Andalan Kabupaten Muko-Muko

Page 44: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu
Page 45: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

Peta Ekonomi Kabupaten Muko-Muko

Tabel diatas menunjukkan bahwa sumbangan sektor pertanian pada PDRB Kabupaten

Muko-Muko berada pada tingkat pertama, sektor ini masih menyediakan lapangan kerja yang

cukup besar bagi masyarakat. Sektor ini memberi sumbangan 50 persen atas PDRB dan

menyerap sekitar 44,79 persen angkatan kerja yang ada.

Dengan melihat tabel diatas, Kabupaten Muko-Muko berpotensi besar dalam bidang

agrowisata, yaitu dengan memanfaatkan potensi andalan Kabupaten Muko-Muko seperti

memanfaatkan hutan-hutan sebagai lahan camping, pengembangan peternakan untuk pasokan

daging ke hotel atau restoran, perkebunan kopi untuk trekking para wisatawan sambil

menikmati hamparan tetumbuhan kopi, trekking perkebunan cengkeh menyaksikan hamparan

pepohonan cengkeh milik petani-petani dengan diselingi nyiur, wisata pertanian, wisata

perhutanan dan perkebunan, wisata pengolahan hasil tanaman kopi dan objek-objek

agrowisata lain yang dapat dikembangkan di Kabupaten Muko-Muko.

Diharapkan dengan adanya pengembangan agrowisata, maka kesejahteraan masyarakat

tani di Kabupaten Muko-Muko lebih meningkat. Hal ini disebabkan karena potensi untuk

pengembangan agrowisata di Kabupaten Muko-Muko tampaknya sangat besar. Hal ini

Page 46: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

didukung oleh kenyataan bahwa potensi objek wisata alam di Kabupaten Muko-Muko cukup

besar dengan adanya potensi ekonomi andalan Kabupaten Muko-Muko yang berpotensi

sebagai objek agrowisata. Sementara itu, ada kecendrungan pula, para wisatawan lebih

menikmati suasana alami.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa hakekat dari agrowisata adalah kegiatan

yang mengkaitkan dan memanfaatkan kegiatan pertanian untuk kegiatan pariwisata dengan

tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Pada saat ini, pandangan tentang pertanian tampaknya dilihat dari dua kutub yang

berbeda. Saragih (2001) melihat sektor pertanian sebagai suatu kegiatan bisnis (agribisnis),

dan Mubyarto (l975 dan 2002) memandang kegiatan sektor pertanian sebagai way of life dari

masyarakat. Hal ini bermakna bahwa meskipun kegiatan disektor pertanian harus dipandang

sebagai kegiatan bisnis, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan di sektor pertanian

pada dasarnya masih merupakan bagian dari budaya dari kehidupan masyarakat setempat.

Karenanya, bahasan-bahasan tentang sektor pertanian dalam konteks apapun (termasuk

dalam konteks pariwisata, dalam rangka pengembangan agrowisata) haruslah masih

dipandang pertanian itu sebagai bagian dari budaya masyarakat. Selanjutnya, kalau berbicara

tentang budaya/kebudayaan sebagai suatu sistem, maka bahasan itu haruslah meliputi aspek

konsep/pola-pikir, aspek sosial, dan aspek artefak/kebendaan (Koentjaraningrat, 1993).

Dalam pembuatan sebuah model pengembangan agrowisata (di Kabupaten Muko-

Muko), maka diharapkan dapat dikristalkan bentuk proses pengembangan agrowisata, dengan

bercermin dari berbagai bentuk pengembangan agrowisata yang ada di Kabupaten Muko-

Muko, khususnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Realitas

itu telah berkembang tanpa konflik, dan dapat menjamin keberlanjutan obyek tersebut.

Perencanaan Lansekap Kawasan Wisata

Perencanaan adalah mengumpulkan dan menginterpretasikan data,

memproyeksikannya ke masa depan, mengidentifikasi masalah dan memberi pendekatan

yang beralasan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut (Knudson,1980). Menurut Gold

(1980), perencanaan adalah suatu alat yang sistematis, yang digunakan untuk menentukan

Page 47: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

saat awal suatu keadaan dan cara terbaik untuk pencapaian keadaan tersebut, dimana

perencanaan lanskap dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain:

1. Pendekatan sumberdaya, yaitu penentuan tipe-tipe serta alternatif aktivitas rekreasi

dan wisata berdasarkan pertimbangan kondisi dan situasi sumberdaya.

2. Pendekatan aktivitas, yaitu penentuan tipe dan alternatif aktivitas berdasarkan seleksi

terhadap aktivitas pada masa lalu untuk memberikan kemungkinan yang dapat

disediakan pada masa yang akan datang.

3. Pendekatan ekonomi, yaitu penentuan tipe, jumlah dan lokasi kemungkinan aktivitas

berdasarkan pertimbangan ekonomi.

4. Pendekatan perilaku, yaitu penentuan kemungkinan aktivitas berdasarkan

pertimbangan perilaku manusia.

Untuk menghasilkan suatu rencana dan rancangan areal rekreasi yang baik, ada

beberapa hal yang harus diperhatikan, dipelajari dan dianalisis. Nurisjah dan Pramukanto

(1995) menyebutkan yaitu potensi dan kendala tersedia, potensi pengunjung, kebijakan dan

peraturan yang terkait dengan sumberdaya dan penggunannya, alternatif dan dampak dari

perencanaan dan pelaksanaan ulang dilakukan dan pemantauan hasil perencanaan dan

perancangan. Nurisjah dan Pramukanto (1995) menambahkan, terdapat hal-hal penting yang

perlu diperhatikan dalam perencanaan suatu kawasan di antaranya sebagai berikut:

1. Mempelajari hubungan antara kawasan tersebut dengan lingkungan sekitar.

2. Memperhatikan keharmonisan antara daerah sekitarnya dengan kawasan yang akan

direncanakan.

3. Menjadikan sebagai objek (wisata) yang menarik.

4. Merencanakan kawasan tersebut sehingga dapat menghasilkan suatu kawasan yang

dapat menampilkan kesan masa lalunya.

Perencanaan lanskap kawasan wisata, terutama wisata alam adalah merencanakan

suatu bentuk penyesuaian program rekreasi dengan suatu lanskap untuk menjaga

kelestariannya. Program wisata alam dibuat untuk menciptakan lingkungan fisik luar atau

bentang alam yang dapat mendukung tindakan dan aktivitas rekreasi manusia yang

menunjang keinginan, kepuasan dan kenyamanannya, dimana proses perencanaan dimulai

dari pemahaman sifat dan karakter serta kebijakan manusianya dalam menggunakan tapak

untuk kawasan wisata (Knudson, 1980).

Page 48: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

Faktor Penghambat berkembangnya Agrowisata

Wisatawan yang berkunjung memiliki kecenderungan tidak sekedar menikmati

keunikan sosial budaya tetapi perhatian akan lingkungan yang semakin meningkat (Sudibya,

2002).

Pada hakekatnya setiap ekosistem dengan segala isinya (sumber daya alam fisik dan

hayatinya) merupakan atraksi wisata yang dapat dikembangkan untuk objek wisata alam.

Semakin beragam kegiatan wisata alam semakin banyak pula membutuhkan atraksi (Fandeli,

2001)

Kendala yang harus dicarikan jalan keluar bersama-sama dalam mengelola

agrowisata, di antaranya belum siapnya jaringan transportasi ke lokasi, atau belum

memadainya fasilitas di tempat tujuan. Kendala lainnya promosi dan pemasaran agrowisata

yang masih terbatas, di mana untuk memperkenalkan potensi agrowisata masih terhalang

rendahnya dana promosi dan kurangnya sarana promosi. Selain itu, kurangnya kesadaran

pengunjung akan lingkungan, koordinasi yang belum berkembang, terbatasnya kemampuan

manajerial di bidang agrowisata, dan belum adanya peraturan yang lengkap mengenai tata

cara pengusahaan agrowisata di Indonesia.

Aspek Kualitas dari Agrowisata

Indonesia memiliki sumber daya wisata yang amat kaya dengan aset alam, budaya,

flora dan fauna dengan ciri khas Asia dan Australia di setiap wilayah perairan dan pulau di

Indonesia (Gunawan, 1997). Indonesia tercatat mendapatkan ranking ke-enam pada Top

Twenty Tourism Destinations in East dan The Pasific (WTO,1999).

Dalam paradigma lama, pariwisata yang lebih mengutamakan pariwisata masal, yaitu

yang bercirikan jumlah wisatawan yang besar/berkelompok dan paket wisata yang seragam

(Faulkner B., 1997), dan sekarang telah bergerak menjadi pariwisata baru, (Baldwin dan

Brodess, 1993), yaitu wisatawan yang lebih canggih, berpengalaman dan mandiri, yang

bertujuan tinggal mencari liburan fleksibel, keragaman dan minat khusus pada lingkungan

alam dan pengalaman asli. Dalam usaha pengembangannya Indonesia wajib memperhatikan

dampak-dampak yang ditimbulkannya, sehingga yang paling tepat dikembangkan adalah

sektor ekowisata termasuk juga agrowisata sebagai pariwisata alternatif yang oleh Eadington

Page 49: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

dan Smith (1995) diartikan sebagai konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan masyarakat

yang memungkinkan adanya interaksi positif diantara para pelakunya.

Low Choy dan Heillbronn, 1996 (dalam Aryanto, 2003), merumuskan lima faktor

batasan yang mendasar dalam penentuan prinsip utama ekowisata, yaitu :

a) Lingkungan; ekowisata bertumpu pada lingkungan alam, budaya yang belum

tercemar

b) Masyarakat; ekowisata bermanfaat ekologi, social dan ekonomi pada masyarakat.

c) Pendidikan dan Pengalaman; Ekotourism harus dapat meningkatkan pemahaman

akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya pengalaman yang dimiliki

d) Berkelanjutan; Ekotourism dapat memberikan sumbangan positip bagi

keberlanjutan ekologi lingkungan baik jangka pendek maupun jangka panjang.

e) Manajemen; ekotourism harus dikelola secara baik dan menjamin sustainability

lingkungan alam, budaya yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan

sekarang maupun generasai mendatang.

Karena Agrowisata menganut falsafah dari Ekowisata, maka sangat beralasan,

agrowisata dikatakan jalan terbaik untuk mewujudkan pariwisata yang berkualitas.

Aspek Keberlanjutan Agrowisata

Pembangunan berkelanjutan pada umumnya mempunyai sasaran memberikan manfaat

bagi generasi sekarang tanpa mengurangi manfaat bagi generasi mendatang. Charles Birch

dalam Erari K,Ph (1999) membandingkan dunia sekarang ibarat kapal titanic dengan

gunung es yang terlihat sebanyak 5 pucuk yang merupakan ancaman bagi kehidupan

manusia antara lain : 1) ledakan penduduk, 2) krisis pangan 3) terkurasnya sumberdaya alam

diperbaharui 4) pengrusakan lingkungan hidup dan 5) perang. Selanjutnya disebutkan

bahwa suatu tuntutan akan perlunya masyarakat yang berkelanjutan, dan panggilan

kemanusiaan untuk bertindak sedemikian rupa agar kehidupan manusia dan mahluk hidup

lainnya menikmati hidup berkelanjutan di tengah keterbatasan dunia. Hal ini menunjukkan

walaupun dunia yang diibaratkan tersebut maka peranan masyarakat untuk memelihara

lingkungan demi kehidupan masa mendatang. Dengan demikian bahwa pariwisata

berkelanjutan harus bertitik tolak dari kepentingan dan partisipatif masyarakat untuk dapat

memenuhi kebutuhan wisatawan/pengunjung sehingga meningkatkan kesejahteraan

Page 50: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

masyarakat dengan kata lain bahwa pengelolaan sumberdaya agrowisata dilakukan

sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, social dan estetika dapat terpenuhi dengan

memelihara integritas cultural, proses ekologi yang esensial, keanekaragaman hayati dan

sistem pendukung kehidupan.

Agar agrowisata dapat berkelanjutan maka produk agrowisata yang ditampilkan

harus harmonis dengan lingkungan local spesifik. Dengan demikian masyarakat akan peduli

terhadap sumberadaya wisata karena memberikan manfaat sehingga masyarakat merasakan

kegiatan wisata sebagai suatu kesatuan dalam kehidupannya. Cernea, 1991 (dalam Lindberg

and Hawkins, 1995) mengemukakan bahwa partisipasi local memberikan banyak peluang

secara efektif dalam kegiatan pembangunan dimana hal ini berarti bahwa memberi wewenang

atau kekuasaan pada masyarakat sebagai pemeran social dan bukan subjek pasif untuk

mengelola sumberdaya membuat keputusan dan melakukan control terhadap kegiatan –

kegiatan yang mempengaruh kehidupan sesuai dengan kemampuan mereka. Adanya

kegiatan agrowisata haruslah menjamin kelestarian lingkungannya terutama yang terkait

dengan sumberdaya hayati renewable maupun non renewable sehingga dapat menjamin

peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut.

Agrowisata memungkinkan terhadap kegiatan pariwisata secara langsung memberi

akses kepada semua orang untuk melihat, mengetahui, dan menikmati pengalaman intelektual

dan budaya masyarakat lokal, dan ini yang akan menjadi ancaman berupa pengambilan

secara ilegal pengetahuan tentang sumber daya lokal. Oleh karenanya, perlu upaya

perlindungan melalui pemberdayaan masyarakat dalam hal antara lain hak untuk menolak

atas pengembangan pariwisata di daerahnya yang tidak berkelanjutan; hak akses atas

informasi baik negatif maupun positif; dan akses serta berpartisipasi dalam pembuatan

kebijakan.

Untuk mengantisipasi dampak negatif pariwisata, perlu pendekatan daya dukung

dalam pengelolaan pariwisata sesuai dengan batas-batas yang dapat diterima. Daya dukung

pariwisata dipengaruhi faktor motivasi wisatawan dan faktor lingkungan biofisik lokasi

pariwisata. Perspektif daya dukung pariwisata tidak hanya terbatas pada jumlah kunjungan,

namun juga meliputi aspek-aspek lainnya seperti kapasitas ekologi (kemampuan lingkungan

alam untuk memenuhi kebutuhan wisatawan), kapasitas fisik (kemampuan sarana dan

prasarana untuk memenuhi kebutuhan wisatawan), kapasitas sosial (kemampuan daerah

tujuan untuk menyerap pariwisata tanpa menimbulkan dampak negatif pada masyarakat

Page 51: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

lokal), dan kapasitas ekonomi (kemampuan daerah tujuan untuk menyerap usaha-usaha

komersial namun tetap mewadahi kepentingan ekonomi lokal).

Dari sisi kebutuhan pariwisata, pendidikan dan pelatihan harus dilakukan untuk

melakukan alih teknologi, menghadapi persaingan demi terwujudnya prinsip pariwisata

berkelanjutan. Keberhasilan pariwisata berkelanjutan sangat ditentukan tingkat pendidikan

masyarakat lokal. Oleh karenanya peningkatan akses dan mutu pendidikan bagi masyarakat

lokal menjadi sasaran dan tujuan yang sangat utama. (Ardiwidjaja: 2003)

Promosi merupakan kesatuan kegiatan yang meliputi: memperkenalkan,

menyosialisasikan, dan mengampanyekan. Produk diperkenalkan; peraturan disosialisasikan;

prinsip-prinsip keberlanjutan dan nilai-nilai lokal dikampanyekan. Promosi pariwisata

berkelanjutan bertujuan meningkatkan kesadaran stakeholder. Menguatkan informasi tentang

pariwisata berkelanjutan dapat meningkatkan kesadaran atas seluruh rangkaian kegiatan

pariwisata serta dampaknya terhadap lingkungan alam serta budaya. Instrumen yang dapat

digunakan antara lain melalui penerapan peraturan serta sanksi-sanksi, promosi melalui

media, pemantauan dan menyusun kode etik, serta penyebaran informasi, penelitian serta

pendidikan dan pelatihan. (Ardiwidjaja: 2003)

Secara garis besar, indikator yang dapat dijabarkan dari karakteristik berkelanjutan

antara lain adalah lingkungan. Artinya industri pariwisata harus peka terhadap kerusakan

lingkungan, misalnya pencemaran limbah, sampah yang bertumpuk, dan kerusakan

pemandangan yang diakibatkan pembalakan hutan, gedung yang letak dan arsitekturnya tidak

sesuai, serta sikap penduduk yang tidak ramah. Dengan kata lain aspek lingkungan lebih

menekankan pada kelestarian ekosistem dan biodiversitas, pengelolaan limbah, penggunaan

lahan, konservasi sumber daya air, proteksi atmosfer, dan minimalisasi kebisingan dan

gangguan visual.

Selain lingkungan, sosial budaya pun menjadi aspek yang penting diperhatikan.

Interaksi dan mobilitas masyarakat yang semakin tinggi menyebabkan persentuhan

antarbudaya yang juga semakin intensif. Pariwisata merupakan salah satu kegiatan yang

memberi kontribusi persentuhan budaya dan antaretnik serta antarbangsa. Oleh karenanya

penekanan dalam sosial budaya lebih kepada ketahanan budaya, integrasi sosial, kepuasan

penduduk lokal, keamanan dan keselamatan, kesehatan publik. Aspek terakhir adalah

ekonomi. Penekanan aspek ekonomi lebih kepada Pemerataan Usaha dan Kesempatan Kerja,

Page 52: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

Keberlanjutan Usaha, Persaingan Usaha, Keuntungan Usaha dan Pajak, Untung-Rugi

Pertukaran Internasional, Proporsi Kepemilikan Lokal, Akuntabilitas. (Ardiwidjaja: 2003)

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi tema yang kuat dan

kontroversial. Kuat karena hampir semua negara di dunia menyetujui tema ini, kontroversial

karena tema ini seolah-olah menjadi retorika belaka bagi negara- negara dunia maju.

Lawrence, 1994 (dalam Aryanto, 2003) menuliskan pembangunan berkelanjutan

hanya dapat dicapai jika dampak sosial dan dampak lingkungan seimbang dengan tujuan

ekonomi yang diharapkan. Dalam hal pariwisata, tidak adanya dampak (zero impact) sebagai

akibat dari wisatawan berupa level pencapaian minimum dari dampak negatif perlu

direncanakan. Pendekatan manajemen pariwisata berkelanjutan, sebagai bagian dari

pembangunan berkelanjutan, haruslah didasarkan pula pada prinsip- prinsip global dari

pembangunan berkelanjutan. Semua kegiatan pengaturan suatu daerah tujuan seharusnya

mempertimbangkan (merupakan) bagian dari nilai pembangunan berkelanjutan.

National Geograpic Online dalam The Global Development Research Center (2002)

mendifinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai berikut: (1) Pariwisata yang memberikan

penerangan. Wisatawan tidak hanya belajar tentang kunjungan (negara/ daerah yang

dikunjungi) tetapi juga belajar bagaimana menyokong kelangsungan karakter (negara/ daerah

yang dikunjungi) selama dalam perjalanan mereka. Sehingga masyarakat yang dikunjungi

dapat belajar (mengetahui) bahwa kebiasaan dan sesuatu yang sudah biasa dapat menarik dan

dihargai oleh wisatawan; (2) Pariwisata yang mendukung keutuhan (integritas) dari tempat

tujuan. Pengunjung memahami dan mencari usaha yang dapat menegaskan karakter tempat

tujuan wisata mengenai hal arsitektur, masakan, warisan, estetika dan ekologinya; (3)

Pariwisata yang menguntungkan masyarakat setempat. Pengusaha pariwisata melakukan

kegiatan yang terbaik untuk mempekerjakan dan melatih masyarakat lokal, membeli

persediaan-persediaan lokal, dan menggunakan jasa-jasa yang dihasilkan dari masyarakat

lokal; (4) Pariwisata yang melindungi sumber daya alam. Dalam pariwisata ini wisatawan

menyadari dan berusaha untuk meminimalisasi polusi, konsumsi energi, penggunaan air,

bahan kimia dan penerangan di malam hari; (5) Pariwisata yang menghormati budaya dan

tradisi. Wisatawan belajar dan melihat tata cara lokal termasuk menggunakan sedikit kata-

kata sopan dari bahasa lokal. Masyarakat local belajar bagaimana memperlakukan/

menghadapi harapan wisatawan yang mungkin berbeda dari harapan yang mereka punya; (6)

Pariwisata ini tidak menyalahgunakan produk. Stakeholder mengantisipasi tekanan

Page 53: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

pembangunan (pariwisata) dan mengaplikasikan batas-batas dan teknik-teknik manajemen

untuk mencegah sindrom kehancuran (loved to death) dari lokasi wisata. Stakeholder

bekerjasama untuk menjaga habitat alami dari tempat tempat warisan budaya, pemandangan

yang menarik dan budaya lokal; (7) Pariwisata ini menekankan pada kualitas, bukan kuantitas

(jumlah). Masyarakat menilai kesuksesan sector pariwisata ini tidak dari jumlah kunjungan

belaka tetapi dari lama tinggal, jumlah uang yang dibelanjakan, dan kualitas pengalaman

yang diperoleh wisatawan; (8) Pariwisata ini merupakan perjalanan yang mengesankan.

Kepuasan, kegembiraan pengunjung dibawa pulang (ke daerahnya) untuk kemudian

disampaikan kepada teman-teman dan kerabatnya, sehingga mereka tertarik untuk

memperoleh hal yang sama- hal ini secara terus menerus akan menyediakan kegiatan di

lokasi tujuan wisata.

Sedangkan Jamieson dan Noble (2000) menuliskan beberapa prinsip penting dari

pembangunan pariwisata berkelanjutan, yaitu: (1) Pariwisata tersebut mempunyai prakarsa

untuk membantu masyarakat agar dapat mempertahankan kontrol/ pengawasan terhadap

perkembangan pariwisata tersebut; (2) Pariwisata ini mampu menyediakan tenaga kerja yang

berkualitas kepada dan dari masyarakat setempat dan terdapat pertalian yang erat (yang harus

dijaga) antara usaha lokal dan pariwisata; (3) Terdapat peraturan tentang perilaku yang

disusun untuk wisatawan pada semua tingkatan (nasional, regional dan setempat) yang

didasarkan pada standar kesepakatan internasional. Pedoman tentang operasi pariwisata,

taksiran penilaian dampak pariwisata, pengawasan dari dampak komulatif pariwisata, dan

ambang batas perubahan yang dapat diterima merupakan contoh peraturan yang harus

disusun; (4) Terdapat program-program pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan serta

menjaga warisan budaya dan sumber daya alam yang ada.

Pariwisata sebagai salah satu sektor pembangunan tidak dapat dilepaskan kaitannya

dengan pembangunan berkelanjutan yang telah dicanangkan oleh pemerintah sesuai dengan

tujuan pembangunan nasional. Pariwisata yang bersifat multisektoral merupakan fenomena

yang sangat kompleks dan sulit didefinisikan secara baku untuk diterima secara universal.

Sehingga menimbulkan berbagai persepsi pemahaman terhadap pariwisata, baik sebagai

industri, sebagai aktivitas, atau sebagai sistem.

Pariwisata yang melibatkan antara lain pelaku, proses penyelenggaraan, kebijakan,

supply dan demand, politik, sosial budaya yang saling berinteraksi dengan eratnya, akan lebih

realistis bila dilihat sebagai sistem dengan berbagai subsistem yang saling berhubungan dan

Page 54: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

mempengaruhi. Dalam kerangka kesisteman tersebut, pendekatan terhadap fungsi dan peran

pelaku, dampak lingkungan, peningkatan pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat, serta

kesetaraan dalam proses penyelenggaraan menjadi semakin penting.

Kecenderungan yang berkembang dalam sektor kepariwisataan maupun

pembangunan melahirkan konsep pariwisata yang tepat dan secara aktif membantu menjaga

keberlangsungan pemanfaatan budaya dan alam secara berkelanjutan dengan memperhatikan

apa yang disebut sebagai pilar dari pariwisata berkelanjutan yaitu ekonomi masyarakat,

lingkungan dan sosial budaya. Pembangunan pariwisata berkelanjutan, dapat dikatakan

sebagai pembangunan yang mendukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga

adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat.

Untuk itu maka perlu diperhatikan bahwa faktor yang menjadi penentu keberhasilan

penyelenggaraan pariwisata berkelanjutan. Penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good

governance) yang melibatkan partisipasi aktif secara seimbang antara pemerintah, swasta,

dan masyarakat. Selanjutnya berdasarkan konteks pembangunan berkelanjutan di atas,

pariwisata berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai: pembangunan kepariwisataan yang

sesuai dengan kebutuhan wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian dan memberi

peluang bagi generasi muda untuk memanfaatkan dan mengembangkannya.

Ketiga pilar pariwisata berkelanjutan tersebut harus dijabarkan ke dalam prinsip-

prinsip operasionalisasi yang disepakati oleh para pelaku (stakeholder) dari berbagai sektor

(multisektor). Dengan harapan, kesepakatan dan kesamaan pandang tersebut dapat

mewujudkan orientasi pengembangan pembangunan kepariwisataan yang juga sama dan

terpadu. Prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan yang dimaksud adalah ”Berbasis

Masyarakat”. Tentu saja prinsip-prinsip tersebut paling kental pada agrowisata, selain secara

geografis berada di pedesaan juga secara system, langsung menyentuh lapisan masyarakat

pada level paling bawah (petani kecil) baik secara langsung maupun tidak langsung.

Prinsip ini menekankan keterlibatan masyarakat secara langsung, terhadap seluruh

kegiatan pembangunan pariwisata dari mulai perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan.

Masyarakat diletakkan sebagai faktor utama, yang memiliki kepentingan berpartisipasi secara

langsung dalam pengambilan keputusan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui

upaya konservasi serta pemanfaatan sumber daya alam dengan dilandaskan pada opsi

pemilikan sendiri sarana dan prasarana pariwisata oleh masyarakat setempat, kemitraan

Page 55: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

dengan pihak swasta dan sewa lahan atau sumber daya lainnya baik oleh masyarakat maupun

kerja sama dengan swasta.

Page 56: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam kegiatan pengembangan wilayah perkebunan kelapa sawit dan agrowisata

dilakukan pemahaman karakteristik wilayah melalui studi kompilasi data, kemudian

dilakukan kegiatan analisis data dan selanjutnya menyusun rumusan rencana disertai

penyajian peta-peta dengan cara :

a. Kegiatan Pemahaman Karakteristik Wilayah

Data Geografi yang diperlukan meliputi :

1) Karakteristik ekonomi wilayah

2) Karakteristik kependudukan/demografi

3) Data sosial kemasyarakatan

4) Karakteristik sumberdaya alam

5) Sumberdaya buatan

Data tersebut dapat diperoleh melalui survei instansional, survei lapangan, interpretasi

citra dan peta, sedangkan penyajiannya dapat berupa peta dan tabel disesuaikan dengan skala

perencanaan.

b. Kegiatan analisis wilayah (analisis data)

Setelah kegiatan inventarisasi data wilayah kami lanjutkan dengan analisis wilayah ,

kegiatan yang dapat dilakukan oleh geografi meliputi :

1. Analisis sistem perwilayahan

2. Analisis sosial kemasyarakatan

3. Analisis geografi

4. Analisis ekonomi

Page 57: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

5. Analisis fisik/daya dukung lingkungan

6. Analisis kondisi sarana dan prasarana

7. Analisis struktur dan pola masyarakat

8. Analisis potensi dan sumberdaya alam, buatan manusia

Dalam melaksanakan kegiatan analisis dapat menerapkan rumus-rumus, statistik,

analisis peta dan hasil interpretasi citra serta pengolahan data spasial dengan SIG

c. Perumusan Rencana Tata Ruang Wiayah

Kegiatan perumusan rencana tata ruang wilayah yang dilakukan meliputi :

1. Perumusan arahan pemanfaatan ruang dan masalah pembangunan

2. Perumusan konsep dan strategi pengembangan wilayah

3. Penjabaran konsep dan strategi pengembangan tata ruang wilayah

Penyajian informasi rencana tata ruang wilayah diwujudkan dalam bentuk peta-peta

hasil rumusan rencana yang diperoleh atas dasar studi kompilasi data dan analisis data

wilayah

Page 58: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

Peran dalam Pelaksanaan Tata Ruang Wilayah

1. Memberikan informasi alokasi pemanfaatan ruang yang ekonomis dan ekologik

2. Memberikan input bagi analisis kelayakan investasi

3. Memberikan arahan pola pemerataan pertumbuhan / perkembangan wilayah

4. Memberikan masukan program penanganan masalah fisik, ekonomi dan sumberdaya

manusia

5. Mengarahkan pilihan prioritas penanganan kawasan tertentu berdasarkan kepentingan

ekonomi, eksositem dan sumber alam

6. Mengatur pola pemanfaatan tata guna sumber alam, pelestarian lingkungan dan sumber

alam

7. Memberikan masukan pembangunan infrastruktur wilayah yang merata

8. Menganalisis kecenderungan perkembangan secara keruangan

9. Memberikan gambaran dampak pembangunan secara keruangan

10. Memberikan alternatif dalam pola pemanfaatan ruang yang sesuai dengan aspirasi

berbagai kepentingan

Page 59: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

LAMPIRAN

Page 60: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu
Page 61: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu
Page 62: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu
Page 63: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu
Page 64: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu
Page 65: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu
Page 66: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

SUMBER

Materi kuliah Tata Ruang dan Perencanaan Lingkungan, PROF.Dr. Suratman Woro, M.Sc.,

Universitas Gajah Mada

About Agritourism at http://www.farmstop.com/aboutagritourism.asp

Anonim. 2004. ”Potensi Agrowisata”. Pada

http://lampungpost.com/berita.php?id=2004091006350721

Ariyanto. 2003. Ekonomi Pariwisata Jakarta: Pada http://www.geocities.com/ariyanto

eks79/home.htm

Agricultural Tourism Small Farm Center and Partners Launch Agricultural Tourism Project

at http://www.sfc.ucdavis.edu/agritourism/agritour.html

Deptan, 2005. “Agrowisata Meningkatkan Pendapatan Petani” pada

http://database.deptan.go.id

Fandeli, Chafid. 2001. Dasar-dasar Manajemen Kepariwisataan Alam. (Editorial)

Yogyakarta: Liberty

Gunawan M.P. 1997. Tourism in Indonesia: Past, Present and Future. Planning Sustainable

Tourism. ITB. Bandung

Lindberg K. dan Hawkins E.D, 1995. Ekoturisme : Petunjuk Untuk Perencanaan dan

Pengelolaan. The Ecotourism Society. North Benington, Vermont

Lobo, R.E., Goldman G.E. and others. 1999. Agricultural Tourism: Agritourism Benefits

Agriculture in San Diego County, California Agriculture, University of California.

Pitana, I Gde. 2002. “Pengembangan Ekowisata di Bali”.

Spillane, James.1994. Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan prospeknya.Yogyakarta: Kanisius.

Lembar Informasi Pertanian (LIPTAN) BIP. Budidaya Kelapa Sawit, Irian Jaya: Balai

Informasi Irian Jaya. 1992.

Google Earth ©2009

http://ejournal.unud.ac.id

Page 67: Kelapa Sawit dan Agrowisata Kab. Muko-Muko, Bengkulu

http://digilib.its.ac.id/ITS-Master-3100009035126/5257

http://id.wikipedia.org/wiki/Kelapa_sawit

http://www.pustaka-deptan.go.id/agritek/ppua0150.pdf

http://sultra.tripod.com/