kelahiran batik jawa hŌkŌkai di pekalongan pada …

16
KELAHIRAN BATIK JAWA HŌKŌKAI DI PEKALONGAN PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945) Putri Fajriaty Indah Karuniasa dan Ferry Rustam Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Skripsi ini membahas tentang kelahiran batik Jawa Hōkōkai di Pekalongan pada masa pendudukan Jepang (1942- 1945). Fokus utama pada penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana batik Jawa Hōkōkai lahir di tangan pengusaha batik Pekalongan pada masa pendudukan Jepang dan hubungannya dengan organisasi Jawa Hōkōkai. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa batik Jawa Hōkōkai lahir di tangan pengusaha batik Pekalongan pada tahun 1943 dan nama batik ini muncul pada tahun 1944 sesuai dengan kelahiran organisasi bentukan Jepang yaitu Jawa Hōkōkai, sebagai organisasi yang paling dikenal masyarakat Jawa selama masa pendudukan Jepang. Birth of Jawa Hōkōkai Batik in the Period of Japanese Occupation (1942-1945) Abstract This study discussed about the birth of Jawa Hōkōkai batik in Pekalongan during the Japanese occupation (1942- 1945). The main focus of this study are to describe and analyze how the Jawa Hōkōkai batik was born in Pekalongan batik entrepreneurs’s hand during the Japanese occupation and its relationship with the Jawa Hōkōkai organization. The results of this study revealed that the Jawa Hōkōkai batik was born in Pekalongan batik entrepreneurs’s hand in 1943 and the name of this batik appeared in 1944 according to the birth of the organization established by the Japanese government, Jawa Hōkōkai, as the most known organization in Java during the Japanese occupation. Keywords: Batik, Jawa Hōkōkai, Pekalongan, Japanese Occupation Period Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Salah satu jenis sandang yang diperjualbelikan oleh masyarakat Jawa adalah batik. Batik berasal dari bahasa Sunda kuno, yaitu ambatik, yang berarti menggambar pola di atas kain. Istilah batik sendiri baru muncul pada abad ke 10-14 M, yaitu ketika kerajaan Galuh dan Pakuan- Pajajaran berdiri. Pada saat itu masyarakat Jawa Tengah masih belum mengetahui istilah batik. Namun mereka telah melakukan kegiatan serupa sejak abad 8 M. Berbeda dengan jenis sandang lainnya, batik dibuat dengan menggunakan lilin sebagai media utama untuk menggambar pola di Kelahiran Batik ..., Putri Fajriaty Indah K., FIB UI, 2016

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KELAHIRAN BATIK JAWA HŌKŌKAI DI PEKALONGAN PADA …

KELAHIRAN BATIK JAWA HŌKŌKAI DI PEKALONGAN PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)

Putri Fajriaty Indah Karuniasa dan Ferry Rustam

Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok,

16424, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak

Skripsi ini membahas tentang kelahiran batik Jawa Hōkōkai di Pekalongan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Fokus utama pada penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana batik Jawa Hōkōkai lahir di tangan pengusaha batik Pekalongan pada masa pendudukan Jepang dan hubungannya dengan organisasi Jawa Hōkōkai. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa batik Jawa Hōkōkai lahir di tangan pengusaha batik Pekalongan pada tahun 1943 dan nama batik ini muncul pada tahun 1944 sesuai dengan kelahiran organisasi bentukan Jepang yaitu Jawa Hōkōkai, sebagai organisasi yang paling dikenal masyarakat Jawa selama masa pendudukan Jepang.

Birth of Jawa Hōkōkai Batik in the Period of Japanese Occupation (1942-1945)

Abstract

This study discussed about the birth of Jawa Hōkōkai batik in Pekalongan during the Japanese occupation (1942-1945). The main focus of this study are to describe and analyze how the Jawa Hōkōkai batik was born in Pekalongan batik entrepreneurs’s hand during the Japanese occupation and its relationship with the Jawa Hōkōkai organization. The results of this study revealed that the Jawa Hōkōkai batik was born in Pekalongan batik entrepreneurs’s hand in 1943 and the name of this batik appeared in 1944 according to the birth of the organization established by the Japanese government, Jawa Hōkōkai, as the most known organization in Java during the Japanese occupation. Keywords: Batik, Jawa Hōkōkai, Pekalongan, Japanese Occupation Period Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Salah satu jenis sandang yang diperjualbelikan oleh masyarakat Jawa adalah batik. Batik

berasal dari bahasa Sunda kuno, yaitu ambatik, yang berarti menggambar pola di atas kain.

Istilah batik sendiri baru muncul pada abad ke 10-14 M, yaitu ketika kerajaan Galuh dan Pakuan-

Pajajaran berdiri. Pada saat itu masyarakat Jawa Tengah masih belum mengetahui istilah batik.

Namun mereka telah melakukan kegiatan serupa sejak abad 8 M. Berbeda dengan jenis sandang

lainnya, batik dibuat dengan menggunakan lilin sebagai media utama untuk menggambar pola di

Kelahiran Batik ..., Putri Fajriaty Indah K., FIB UI, 2016

Page 2: KELAHIRAN BATIK JAWA HŌKŌKAI DI PEKALONGAN PADA …

atas kain. Ketika pewarnaan dilakukan, bagian pola pada kain akan tetap berwarna putih karena

telah tertutup oleh lilin, sedangkan bagian yang tidak ditutupi oleh lilin akan terlihat berwarna.

Selain itu, batik juga memiliki kedudukan dan fungsi tertentu yaitu sebagai benda koleksi, benda

pakai (sandang) yang mengikuti tren, kebutuhan massal, dan sebagai identitas bangsa.

Pada masa kolonial Belanda, produksi batik mengalami pertumbuhan setelah adanya

perkembangan gaya berpakaian orang asing yang memakai kebaya dan kain panjang sebagai

pengganti gaun Eropa. Sejak awal abad 19 M, motif dan ragam hias batik tidak hanya

dikembangkan oleh pengusaha batik Cina dan Arab saja, melainkan juga orang-orang Belanda

yang tinggal di Indonesia. Motif yang dibuat oleh pengusaha batik pribumi tidak banyak

berkembang karena masyarakat pribumi hanya mengganggap batik sebagai barang kerajinan atau

barang dagangan. Oleh karena itu, pasar batik di Pekalongan saat itu lebih banyak banyak

didominasi oleh pengusaha Cina.

Setelah mendarat di Jawa pada 1 Maret 1942, Jepang bersama balatentara Dai Nippon

(大日本 ) mengambilalih pemerintahan pada 8 Maret 1942. Jepang bersama pasukannya

memerintah di setiap Karesidenan, termasuk di Karesidenan Pekalongan yang berganti nama

menjadi Pekalongan-shū. Pada akhir tahun 1942, persediaan bahan pangan dan sandang diambil

untuk kebutuhan perang, sehingga menimbulkan kelangkaan pangan dan sandang di Pekalongan.

Rakyat tidak mampu membeli kebutuhan pangan dan sandang yang sesuai, yang kemudian

diikuti kemerosotan ekonomi di Pekalongan. Melalui Dinas Pertanian Pekalongan, pemerintah

pendudukan Jepang akhirnya menganjurkan untuk menggunakan singkong, kedelai, dan beras

sebagai pengganti gandum dalam membuat roti.

Dalam memenuhi kebutuhan sandang, pemerintah pendudukan Jepang juga meminta

bantuan kepada pemerintah pusat di Tokyo untuk memasok 3 juta meter kain putih serta 5 juta

meter kasa polos antara Oktober 1942 dan Maret 1943. Namun, karena permintaan sandang

terlalu banyak dan transportasi laut yang diutamakan untuk kebutuhan perang, kemungkinan

permintaan ini tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat di Jepang. Kemudian, pemerintah

pendudukan Jepang mengeluarkan cadangan kain yang berasal dari sebagian besar pabrik-pabrik

tekstil di Tegal bekas milik Belanda, sebesar 45.720.000 meter kain kepada rakyat secara

berangsur-angsur. Penjatahan kain ini dilakukan secara ketat yaitu dengan mengutamakan

Kelahiran Batik ..., Putri Fajriaty Indah K., FIB UI, 2016

Page 3: KELAHIRAN BATIK JAWA HŌKŌKAI DI PEKALONGAN PADA …

sandang untuk pasukan pendukung pemerintah Jepang (PETA, Keibōdan, Seinendan dan Heiho)1

serta memberikan sisanya untuk rakyat dan para pengusaha batik.

Pemerintah pendudukan Jepang menumbuhkan kembali produksi batik di bawah

organisasi bentukan Jepang yaitu Jawa Hōkōkai. Organisasi ini dikepalai langsung oleh

Gunseikan (軍政監 ) 2 dan memiliki cabang di setiap daerah yang dipimpin oleh kepala

pemerintahan daerah itu sendiri. Kata ‘Hōkōkai’ pada Jawa Hōkōkai berasal dari kata ‘Hōkō

Seishin’(奉公精神)yang berarti semangat pengabdian atau semangat melayani. Namun,

organisasi ini memakai langsung kata Hōkōkai(奉公会)yang secara harfiah berarti asosiasi

pelayanan publik. Hal ini dikarenakan organisasi ini merupakan organisasi sosial-ekonomi yang

melibatkan seluruh lapisan masyarakat baik kelas atas maupun kelas bawah di pedesaan dan

perkotaan. Fungsi organisasi ini bagi pemerintah pendudukan Jepang adalah sebagai sarana

kontrol dan mobilisasi masyarakat Jawa.

Organisasi Jawa Hōkōkai memiliki suborganisasi yang merangkul organisasi-organisasi

yang telah ada sebelumnya baik yang bersifat swasta (Perhimpunan Cina Perantauan, Komite

Indo-Eropa, dsb) maupun yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang, seperti Keibōdan

(警防団), Fujinkai (婦人会), dan Keimin Bunka Shidōshō (啓民文化指導所).3 Di bawah

pengawasan organisasi Jawa Hōkōkai, pemerintah pendudukan Jepang mengatur pengerahan

buruh kerja, acara keolahragaan, dan mengumpulkan batik dari para pengusaha.

Para pengusaha batik menyalurkan batik mereka melalui koperasi yang menjadi bagian

dari Jawa Hōkōkai yaitu Kumiai (組合).4 Namun, para pengusaha batik harus mendaftarkan diri

terlebih dulu melalui badan pemerintah yaitu Kigyō Tōsei Kai (企業統制会 ). 5 Seorang

                                                                                                                                       1 PETA merupakan kumpulan tentara sukarela pembantu balatentara Jepang. Seinendan merupakan barisan pemuda yang kegiatannya bersifat semi-militer. Keibōdan adalah prajurit pembantu polisi yang mengamankan kebakara atau serangan udara. Terakhir, Heiho adalah pasukan pembantu bagian dari angkatan darat dan laut Jepang. 2Gunseikan adalah komandan tertinggi dalam pemerintah militer (Gunseikanbu) 3Keimin Bunka Shidōshō merupakan pusat pendidikan umum dan bimbingan kebudayaan yang berlokasi di pemerintahan pusat. Fujinkai adalah organisasi wanita yang memiliki kegiatan yang fokus untuk membantu perekonomian dan menggantikan peran lelaki di garis belakang. 4 Koperasi (Kumiai) diselenggarakan hampir di semua bidang perpabrikan, pertanian dan perdagangan di Jawa. Kumiai dibentuk untuk mendistribusikan produk pertanian, industri, dan perdagangan ke seluruh daerah. Misalnya, pembentukan koperasi produsen, pembuat batik, produsen barang karet, pengemudi dokar, pemiliki penggilingan beras, pedagang besar, penanam sayur, nelayan, dan pembuat bata. Salah satu barang yang didistribusikan oleh Kumiai adalah bahan sandang. 5Kigyō Tōsei Kai merupakan badan yang dibentuk pemerintah Jepang untuk mengurus perizinan pabrik-pabrik tenun, mengawasi pembagian bahan baku tekstil, serta melakukan pemeriksaan terhadap laporan penjualan pabrik-pabrik tenun yang terdaftar di Surabaya. Meskipun begitu, seluruh perusahaan tekstil yang ada di Jawa wajib mendaftarkan diri.

Kelahiran Batik ..., Putri Fajriaty Indah K., FIB UI, 2016

Page 4: KELAHIRAN BATIK JAWA HŌKŌKAI DI PEKALONGAN PADA …

pengusaha batik bernama H. Djasuli mendapat pesan dari Ketua Jawa Hōkōkai, Kromolawi, agar

mengumpulkan rakyat dan para pengusaha batik untuk menyetorkan batik kepada pemerintah

pendudukan Jepang. Setelah mendapat perintah tersebut para pengusaha batik berusaha

mengembangkan batik dengan motif yang mengikuti keinginan pemerintah pendudukan Jepang.

Kemudian batik yang dikumpulkan untuk pemerintah pendudukan Jepang ini akhirnya

dinamakan sesuai dengan nama organisasi yang membawahinya yaitu, batik Jawa Hōkōkai.

Sekitar tahun 1943, para pengusaha batik Pekalongan memproduksi batik Jawa Hōkōkai

di tengah kelangkaan tekstil. Pembuatan batik dapat memakan waktu sekitar 12 bulan, sehingga

para pengusaha menyiasatinya dengan menggunakan pola kain pagi-sore. Pada kain pagi-sore,

batik dibuat dalam sehelai kain dengan dua motif berbeda atau sama, namun dengan dua bagian

warna yang berbeda. Batik ini dapat digunakan secara bergantian yang mana bagian yang

berwarna cerah digunakan pada pagi hari, sedangkan bagian yang warnanya lebih gelap

digunakan pada sore hari. Batik ini kemudian dikenal sebagai batik Hōkōkai pagi-sore. Dilihat

dari kondisinya saat itu, pembelian batik ini jauh lebih hemat karena harganya sama dengan satu

kain batik yang memiliki satu ragam hias.

Batik Jawa Hōkōkai memiliki ragam hias gabungan antara motif kimono yang dimiliki

Jepang dan ragam hias pesisir. Motif batik Jawa Hōkōkai antara lain kupu-kupu, bunga, burung,

lereng dan kawung. Motif kupu-kupu erat kaitannya dengan gaya seni Jepang yang mendapat

pengaruh motif-motif Cina. Motif bunga pada batik Jawa Hōkōkai biasanya menggunakan bunga

sakura dan krisan (Alisyahbana, 2000: 1-3). Hal ini merujuk pada adanya kesamaan motif batik

Jawa Hōkōkai yang sesuai dengan selera pemerintah pendudukan Jepang. Batik Jawa Hōkōkai

dipenuhi motif-motif yang detail dengan menggunakan warna cerah seperti hijau muda, merah

tua dan biru (Achmad Sjafi’i, 2007 : 207). Beberapa motif batik Jawa Hōkōkai masih terus

dikembangkan sampai tahun 1945, salah satu contohnya adalah batik Hōkōkai Jawa Baru.

1.2 Studi Terdahulu

Hasil skripsi terhadap Kelahiran Batik Jawa Hōkōkai di Pekalongan-shu pada Masa

Pendudukan Jepang memiliki kesamaan dengan Skripsi yang berjudul Tekstil dan Pakaian

Wanita Pada Masa Pemerintahan Pendudukan Jepang di Jawa : Studi Tentang Mompe dan

Batik Jawa Hōkōkai 1942-1945 pada tahun 2004 yang dituliskan oleh Dona Pimawati.

Persamaan dengan studi terdahulu adalah pembuatan ragam hias batik Jawa Hōkōkai yang

Kelahiran Batik ..., Putri Fajriaty Indah K., FIB UI, 2016

Page 5: KELAHIRAN BATIK JAWA HŌKŌKAI DI PEKALONGAN PADA …

dilakukan oleh para pengusaha batik Cina dan pribumi di Pekalongan, serta adanya pengaruh

Jepang pada warna dan motif batik Jawa Hōkōkai. Hal yang membedakan penelitian ini dengan

studi terdahulu adalah penelitian ini menyertakan faktor-faktor penyebab dan waktu kelahiran

batik Jawa Hōkōkai di Pekalongan, serta hubungan antara batik Jawa Hōkōkai dan organisasi

Jawa Hōkōkai yang lahir pada masa pendudukan Jepang.

1.3 Masalah Penelitian

Masalah penelitian ini adalah kelahiran batik Jawa Hōkōkai di Pekalongan pada masa

pendudukan Jepang (1942-1945) yang dipaparkan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Apa saja penyebab kelahiran Batik Jawa Hōkōkai di Pekalongan?

2. Kapan batik Jawa Hōkōkai dilahirkan di Pekalongan?

3. Bagaimana hubungan kelahiran batik Jawa Hōkōkai dengan organisasi Jawa Hōkōkai

selama masa pendudukan Jepang (1942-1945)?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis kelahiran batik Jawa

Hōkōkai dalam situasi ekonomi masyarakat Pekalongan-shū pada masa pendudukan Jepang.

Metode Penelitian

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif.

Alat analisis yang digunakan adalah deskripsi kelahiran batik Jawa Hōkōkai di Pekalongan-shū

pada masa pendudukan Jepang berdasarkan bukti-bukti terkait situasi perekonomian di

Pekalongan-shū dari awal sampai akhir pemerintahan pendudukan Jepang.  

Pembahasan 1. Batik Pekalongan pada Masa Peralihan Kolonial Belanda ke Masa Pendudukan Jepang

Kondisi ekonomi di Karesidenan Pekalongan pada akhir masa kolonial Belanda dapat

dilihat dari status penduduknya. Apabila dilihat dari hierarki kekuasaannya, kelas atas adalah

orang-orang Eropa, kelas menengah adalah orang-orang Cina dan Arab, kemudian kelas bawah

adalah penduduk pribumi. Oleh karena itu, sektor perdagangan didominasi oleh pengusaha Cina

dan Eropa yang telah banyak menetap di Pekalongan. Selain perdagangan, perekonomian di

Kelahiran Batik ..., Putri Fajriaty Indah K., FIB UI, 2016

Page 6: KELAHIRAN BATIK JAWA HŌKŌKAI DI PEKALONGAN PADA …

Pekalongan berkisar pada bidang perkebunan dan pertanian. Lahan pertanian yang ada di Jawa

baik di utara maupun di selatan seluruhnya dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda.

Selain pertanian dan perkebunan, sumber perekonomian Karesidenan Pekalongan berasal

dari industri rumah tangga seperti membatik. Industri batik di Pekalongan pada akhir masa

kolonial didominasi oleh pengusaha Cina dan Arab. Akan tetapi, batik Pekalongan memiliki

kualitas rendah karena bahan kain yang digunakan adalah kain belacu (kain kualitas rendah).

Harga batiknya pun menjadi lebih murah di pasaran, yaitu sekitar 2/3 harga kualitas kasar

keluaran Yogyakarta. Oleh karena itu kebanyakan batik Pekalongan dijual kepada masyarakat

kelas bawah. Meskipun demikian, industri batik menjadi sumber perekonomian yang lumayan

besar karena rata-rata konsumen adalah perempuan yang menggunakan kebaya, serta usaha yang

dilakukan pengusaha Cina masih dibatasi sehingga pengusaha pribumi dapat tetap bertahan.

Menjelang akhir masa kolonial Belanda, batik yang dibuat pengusaha Eropa mengalami

penurunan dan berangsur-angsur terhenti karena resesi ekonomi. Pemerintah kolonial Hindia

Belanda menghentikan impor kain dari Eropa dan kain mori yang masih ada di pasaran menjadi

sangat sulit terjangkau karena harganya yang mahal. Di saat yang sama, batik yang telah

dipasarkan tidak laku terjual karena tidak adanya daya konsumsi. Alhasil satu persatu pengusaha

mengalami kerugian dan terpaksa menutup usaha mereka. Motif batik dongeng Eropa yaitu

Gadis Kerudung Merah menandai berakhirnya era batik Belanda yang dibuat pengusaha Eropa.

Pada akhir masa kolonial Belanda, hanya pengusaha Cina yang dapat bertahan karena

mereka tidak hanya menjalankan usaha pembatikan, melainkan juga menjadi pemasok bahan

baku batik. Sekitar tahun 1940-1941, motif batik yang beredar di Pekalongan terbatas pada motif

batik khas Cina yang terkenal sejak tahun 1930-an seperti motif batik buketan Lok-Tjan, motif

buketan Cina dan motif burung Hong. Sisanya motif batik yang berkembang berasal dari daerah

luar Pekalongan seperti motif batik Laseman (daerah Lasem), batik Trusmi (Cirebon) dan batik

klasik (Surakarta dan Yogyakarta). Pengusaha Cina lebih suka menggunakan pewarna buatan

(indigo-sol) karena harganya lebih murah, sehingga dapat harga batik dapat dijual kembali

dengan harga yang terjangkau.

Perkembangan batik Pekalongan berakhir sampai dengan kedatangan pasukan Dai

Nippon ke Jawa. Seluruh pertokoan di Karesidenan Pekalongan diamankan untuk diperiksa,

termasuk bengkel-bengkel6 batik. Para pengusaha harus mengumpulkan seluruh persediaan

                                                                                                                                       6 Bengkel adalah tempat membuat batik di bagian halaman belakang rumah.

Kelahiran Batik ..., Putri Fajriaty Indah K., FIB UI, 2016

Page 7: KELAHIRAN BATIK JAWA HŌKŌKAI DI PEKALONGAN PADA …

bahan baku batik kepada pemerintah, apabila tidak ingin mendapatkan hukuman. Para pengusaha

kelas menengah ke bawah akhirnya menutup usaha batiknya secara permanen sehingga

penjualan batik di Pekalongan terhenti.

Di awal kepemimpinannya, Jepang secara bertahap mengubah struktur pemerintahan

menjadi pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Pemerintahan pusat dipimpin oleh

Gunseikan dibantu oleh 8 departemen dan beberapa jawatan lain. Berdasarkan Osamu Seirei No.

277, pemerintah daerah dibagi menjadi 17 Shū (州, Karesidenan) dan 2 Kōchi Jimu Kyoku (侯地

事務局), serta Jakarta sebagai Tokubetsu-shi (特別市). Sedangkan aturan tentang pemerintah

daerah yang baru tercantum dalam Osamu Seirei No. 28, yang juga memuat perubahan nama

karesidenan Pekalongan menjadi Pekalongan-shū. Pekalongan-shū kemudian dibagi lagi menjadi

beberapa bagian yaitu 4 Ken (県, kabupaten), 2 Shi (市, kota), 25 Gun (郡, kewedanaan), dan 82

Son (村, kecamatan) dengan beratus-ratus Ku (区, desa).

Sesuai dengan undang-undang no. 27 dan 28, Pekalongan-shū dipimpin oleh Shūchōkan.8

Pada awal pemerintahan, pemerintah pusat masih menugaskan Bupati Raden Ario Suryo

(Kabupaten Pekalongan) sebagai Shūchōkan sekaligus sebagai Kenchō di Pekalongan. Akan

tetapi, jabatan Shūchōkan kemudian digantikan oleh orang Jepang bernama Tokonami.

Sedangkan jabatan Fuku Shūchōkan diserahkan kepada seorang Jepang bernama Toshio Ōta.

Dalam pemerintahan militer Jepang, Shūcōkan bertugas mengontrol dan mengawasi jalannya

pemerintahan di bawahnya seperti Ken, Shi, Gun, Son dan Ku. Masing-masing wilayah memiliki

sebutan pemimpinnya sendiri yaitu Kenchō untuk Ken, Shichō untuk Shi, Gunchō untuk Gun,

Sonchō untuk Son, dan Kucho untuk Ku.

Di dalam menjalani pemerintahan, Shūcōkan dibantu oleh Kanbō Chōkan (官房長官)9

yang mempunyai tiga Bu (部, Departemen) yang masing-masing dijabat oleh orang Jepang.

Departemen ini meliputi tiga bidang yaitu Naiseibu (内政部 Departemen Pemerintahan Umum),

Keizaibu (経済部, Depatemen Ekonomi), dan Keisatsubu (警察部, Departemen Kepolisian).

Shūcōkan bertugas mengawasi jalannya pemerintahan yang berada di bawahnya, serta mengurus                                                                                                                                        7 Osamu Seirei adalah perintah atau undang-undang pemerintah militer Jepang oleh Gunseikan. Osamu sendiri merupakan nama kode tentara ke-16 yang menduduki Jawa. Kōchi Jimu Kyōku merupakan daerah istimewa (keraton) yang terdiri dari Surakarta dan Yogyakarta; sebelumnya bernama Gunseibu. 8Shūchōkan adalah kepala karesidenan atau lebih dikenal dengan residen. Sedangkan Fuku Shūchōkan adalah wakil kepala residen. 9 Dalam penelitian sebelumnya, tertulis secara terbalik yaitu Chōkan Kanbō yang berarti Majelis Permusyawaratan Shū. Namun secara harfiah dapat diartikan sebagai Kepala Sekretaris Kabinet.

Kelahiran Batik ..., Putri Fajriaty Indah K., FIB UI, 2016

Page 8: KELAHIRAN BATIK JAWA HŌKŌKAI DI PEKALONGAN PADA …

masalah-masalah pendidikan, kesehatan, agama, perindustrian, ketertiban dan keamanan, serta

melakukan kebijakan-kebijakan untuk kepentingan rakyat. beberapa aturan yang menyangkut

perekonomian daerah telah tercantum dalam Osamu Seirei, Shūcōkan tetap berada di bawah

kontrol dan pengawasan Gunseikan, khususnya mengenai macam-macam biaya dan keuangan

daerah.

2. Kelahiran Batik Jawa Hōkōkai di Pekalongan pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)

Sekitar tahun 1943, Jepang memberlakukan kebijakan ekonomi yang disebut Genchi

Jikatsu (現地自活). Kebijakan ini dibuat agar pemerintah militer di wilayah pendudukan

berupaya melakukan swasembada sehingga tidak hanya mengandalkan suplai dari Jepang. Hal

ini dikarenakan posisi Jepang semakin melemah dalam perang, sehingga pemerintah militer

harus mengumpulkan kebutuhan perang yaitu cadangan logistik, mesiu, dan bahan pangan di

tempat-tempat terpilih di Jawa, salah satunya adalah Pekalongan-shū.

Pemerintah pendudukan Jepang menggunakan tenaga pangreh praja untuk mengawasi

alur perekonomian daerah seperti pengumpulan padi dan penjatahan sandang yang dinilai lebih

efektif. Kondisi peperangan yang semakin memburuk ditandai dengan langkanya bahan baku dan

kebutuhan sehari-hari yang diperlukan oleh rakyat. Melalui Shin Jawa Kensetsu Pekalongan-shū

Inkai atau Pekalongan-shū Inkai, pemerintah mengatur masalah tentang pengumpulan padi,

penambahan bahan makanan, dan penghematan pemakaian beras.

Di bidang perkebunan, pemerintah juga memberlakukan aturan menanam tanaman jarak

di Pekalongan-gun. Hal ini dilakukan karena pemerintah membutuhkan minyak jarak yang

digunakan sebagai bahan bakar pesawat terbang yang digunakan dalam perang. Selain menanam

jarak, rakyat juga diharuskan menanam kapas sebagai bahan baku sandang untuk mengatasi

kelangkaan. Pemerintah pendudukan Jepang merencanakan penanaman kapas untuk lima

tahunan pada September 1942 dengan target produksi pada tahun 1943 sebanyak 70.000 pikul

dan 1944 sebanyak 130.000 pikul. Perusahaan yang menangani pengumpulan kapas di

Pekalongan-shū adalah Mitsui Nourin. Co dan perusahaan tenun lokal.

Di daerah Tegal-ken banyak perusahaan tenun yang dikelola oleh rakyat melakukan

produksi kain yang sebagian besar adalah kain putih yang dibutuhkan oleh rakyat. Dalam rangka

mengoordinasikan dan menjaga keseragaman harga, pemerintah pendudukan Jepang

menggabungkan 26 perusahaan tenun Tegal-shi dengan nama Tegal-shi Minami Ori Kigyō

Kelahiran Batik ..., Putri Fajriaty Indah K., FIB UI, 2016

Page 9: KELAHIRAN BATIK JAWA HŌKŌKAI DI PEKALONGAN PADA …

Kumiai sebagai cabang dari Pekalongan-shū Minami Ori Rengōkai.10 Begitu pula untuk Tegal-

ken telah dibentuk pula Tegal-ken Minami Ori Kigyō Kumiai. Asosiasi ini dikepalai dan diawasi

oleh Fuku Shichō untuk Tegal-shi dan Fuku Kenchō untuk Tegal-ken. Seluruh bahan kain yang

dihasilkan pemintalan tenun setempat kemudian disetorkan dan didaftarkan pada Shūcōkan.

Seluruh bahan sandang yang dimiliki Pekalongan-shū terhitung pada Januari 1943 berjumlah

533.700 lembar kain.

Di saat yang bersamaan pendekatan terhadap rakyat pribumi dilakukan melalui

organisasi-organisasi bersifat non-militer hingga semi-militer. Pemerintah pendudukan Jepang

berusaha mengorganisasikan mereka ke dalam organisasi-organisasi seperti Seinendan,

Keibōdan, dan Fujinkai dan melatih mereka supaya dapat dipercaya dalam upaya-upaya perang

Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang juga mendirikan organisasi Gerakan 3A di Jakarta pada

29 April 1942, namun karena tidak mendapat dukungan dari rakyat pribumi organisasi ini pun

dibubarkan. Gerakan 3A digantikan dengan organisasi baru yang bernama Putera (Pusat Tenaga

Rakyat) pada bulan April 1943 dan tidak lama dibubarkan karena tidak menguntungkan

pemerintah pendudukan Jepang. Pada 8 Januari 1944, Gunseikan mengumumkan keputusan

untuk mendirikan sebuah organisasi massa baru yang mencakup pihak militer, pemerintah dan

rakyat yang disebut Jawa Hōkōkai (Himpunan Pengabdian Rakyat).

Nama Hōkōkai diambil dari konsep hōkō pada messhibōko yang berasal dari kombinasi

kata messhi dan hōkō, yaitu messhi berarti tidak mementingkan diri sendiri dan hōkō yang berarti

pengabdian terhadap penguasa.11 Jawa Hōkōkai merupakan bentuk sarana kontrol pemerintah

pendudukan Jepang dalam memberlakukan kebijakan khususnya di bidang ekonomi. Organisasi

ini bertujuan memperkuat pemerintahan dengan mendekatkan seluruh organisasi massa yang

telah ada sebelumnya untuk satu tujuan yang sama yaitu memenangkan perang bersama Jepang.

Perekrutan anggota Jawa Hōkōkai dilakukan tanpa disadari oleh rakyat yang tergabung

dalam tonarigumi (rukun tetangga) sebagai unit terendah, sehingga selama pendudukan Jepang

rakyat tidak merasakan keikutsertaan dalam organisasi Jawa Hōkōkai. Meskipun Jawa Hōkōkai

                                                                                                                                       10 Pekalongan-shū Minami Ori Rengokai adalah Pusat Perusahaan Tenun Pekalongan-shū yang bertugas memberikan pembinaan terhadap perusahaan-perusahaan di Pekalongan-shū. Badan ini juga menjadi penyalur pekerja bagi perusahaan tenun. Tegal-shi Minami Ori Kigyou Kumiai (Koperasi Perusahaan Tenun Tegal-shi) dan Tegal-ken Minami Ori Kigyou Kumiai (Koperasi Perusahaan Tenun Tegal-ken)merupakan bagian dari Pekalongan-shū Minami Ori Rengokai yang berada di bawah perlindungan Minami Ori Kigyo Rengokai. 11  Konsep hōkō merupakan konsep kewajiban dalam mengabdikan diri terhadap penguasa (Kaisar) yang digunakan di Jepang pada masa feodal dengan tujuan mendorong serta mengintensifkan mobilisasi seluruh tenaga rakyat Jepang dalam usaha berperang.

Kelahiran Batik ..., Putri Fajriaty Indah K., FIB UI, 2016

Page 10: KELAHIRAN BATIK JAWA HŌKŌKAI DI PEKALONGAN PADA …

dan tonarigumi merupakan organisasi yang terpisah, namun keduanya didirikan untuk tujuan

yang sama, yaitu sebagai sarana kontrol dan mobilisasi masyarakat. Di Pekalongan, tercatat

25.609 tonarigumi yang mencakup 496.122 rumah tangga dan 2.937.467 jiwa penduduk yang

sekaligus menjadi anggota Jawa Hōkōkai.

Jawa Hōkōkai dikepalai oleh orang Jepang sendiri yaitu Gunseikan di tingkat pusat

sebagai Sōsai, dibantu oleh Fuku Sōsai yang dijabat oleh Sōmubuchō dari Gunseikanbu.12

Sedangkan tanggung jawab kegiatan sehari-hari Jawa Hōkōkai diserahkan pada Ir. Soekarno. Di

samping mereka ada Chuō Hōkō Kaigi (Dewan Pengabdian Pusat), terdiri dari para anggota yang

mewakili cabang-cabang Hōkōkai daerah. Di daerah, Shūchōkan merangkap jabatan menjadi

ketua Hōkōkai di cabang daerah setempat. Bersamaan dengan itu tugas pengurus Hōkōkai daerah

setempat juga dilakukan oleh setiap pemimpin daerah, seperti cabang Ken diketuai oleh Kenchō,

Gun oleh Gunchō, dan Son oleh Sonchō. Sedangkan cabang Hōkōkai paling rendah yaitu

Hōkōkai desa, dikepalai oleh Kuchō dan dibantu oleh pegawai yang dipilih dari kalangan

penduduk desa yang disebut Hōkōkai Shōki (Sekretaris Hōkōkai).

Meskipun didirikan pada bulan Januari, organisasi ini baru aktif bekerja pada 1 Maret

1944 dan baru diresmikan pada 9 Maret 1944. Organisasi ini sangat mirip dengan organisasi

massa di Jepang sebelumnya, yaitu Taisei Yokusankai (Perhimpunan Bantuan Pemerintah

Kekaisaran) pada masa perang di Jepang.13 Hal ini dikarenakan organisasi ini tidak memiliki

kegiatan yang bersifat tetap dan spesifik. Organisasi ini hanya mengusahakan segala sesuatu

untuk memenangkan perang dalam menciptakan kemakmuran Asia Timur yaitu dengan

melakukan kegiatan pengerahan tenaga kerja bantuan dan pengumpulan beras serta barang

produksi. Di dalam melakukan perekrutan tenaga kerja, Jawa Hōkōkai bekerja sama dengan

Tonarigumi dan Rōmu Kyōkai (Badan Pengurus Kaum Pekerja).

Kegiatan pengumpulan beras dan barang produksi dilakukan dengan Kumiai (koperasi).

Meskipun Kumiai telah didirikan sejak tahun 1943, organisasi ini menjadi organisasi bawahan

Jawa Hōkōkai yang berada di tingkat desa, yaitu Nōgyō Kumiai yang bertugas mengumpulkan

hasil pertanian dan Haikyū Kumiai yang mendistribusikan barang-barang yang dibutuhkan rakyat.

                                                                                                                                       12Sōsai adalah Ketua dan Fuku Sōsai adalah Wakil Ketua. Sōmubuchō adalah kepala departemen urusan umum yang berada di pemerintah pusat. Gunseikanbu adalah departemen-departemen pemerintah militer pendudukan Jepang. 13Taisei Yokusankai adalah organisasi publik yang mana menjadi sarana loyalitas masyarakat terhadap rezim kekaisaran tanpa memiliki identitas atau karakter khusus. Organisasi ini bertujuan memobilisasikan masyarakat dalam perang serta menjadi pemimpin bagi seluruh organisasi yang berada di tingkat yang lebih rendah, yang mana menjadikan organisasi ini sebagai simbol peraturan resmi yang harus dipatuhi.

Kelahiran Batik ..., Putri Fajriaty Indah K., FIB UI, 2016

Page 11: KELAHIRAN BATIK JAWA HŌKŌKAI DI PEKALONGAN PADA …

Tujuan resmi pembentukan Kumiai adalah demi melindungi kepentingan ekonomi pribumi

Indonesia yang terancam oleh Cina. Orang-orang Cina tidak mendapat kepercayaan dari

pemerintah pendudukan Jepang, sehingga seluruh kegiatan yang dilakukan oleh mereka diawasi

secara ketat, khususnya di bidang perekonomian. Kumiai juga menjadi badan pemerintah yang

mengontrol secara langsung pabrik-pabrik atau wirausaha untuk dapat mendistribusikan barang

produksinya seperti barang tekstil. Ketika cadangan tekstil semakin langka, pembagian sandang

mulai tahun 1943 ditangani oleh badan terpisah yaitu Kigyō Tōsei Kai (Pengurus Pabrik Tenun).

Di awal tahun 1943, pengusaha Cina dan Arab tetap memproduksi batik-batik dengan

motif yang berkembang di daerah pesisir seperti batik buketan Cina dan batik Lasem. Sedangkan

pengusaha pribumi yang masih bertahan dan mendapatkan bantuan dari pemerintah hanya

mengandalkan motif-motif di atas yang beredar di pasaran. Harga satu lembar kain mori yang

dijual pemerintah mencapai f 0,8514, sehingga harga kain yang sudah dibatik bisa mencapai f

2,35 sampai dengan f 4,00. Apabila dibandingkan dengan harga beras saat itu (awal tahun 1943)

yang ditetapkan oleh pemerintah pendudukan Jepang sebesar f 0,08 per liternya, maka kain batik

dapat dikatakan sebagai barang mahal. Oleh karena itu, pengusaha batik pribumi membatasi

jumlah produksi untuk menghindari kerugian.

Pemerintah pendudukan Jepang memandang bahwa potensi batik juga dapat

dikembangkan oleh pengusaha-pengusaha batik pribumi. Namun, karena pembagian kain mori

masih sulit dilakukan di beberapa wilayah seperti Pekalongan-shū, pemerintah menggantinya

dengan kain belacu.15 Usaha batik rumahan hanya boleh membeli sejumlah 3-4 kain saja,

sedangkan bengkel batik boleh membeli 2-3 kodi. Persediaan kain batik di Pekalongan terhitung

sebanyak 434.000 lembar pada Februari 1943. Sebanyak 32.000 potong kain belacu yang sudah

dibatik, dibagikan di seluruh wilayah kabupaten di Pekalongan-shū.

Pada tahun 1943, seorang pengusaha batik bernama H. Djasuli mendapat pesan dari

Kromolawi, agar mengumpulkan batik yang dibuat rakyat dan para pengusaha batik untuk

disetorkan kepada pemerintah pendududukan Jepang.16 Kromolawi dengan mudah mendapat

                                                                                                                                       14 ‘f’ singkatan dari florin, merupakan lambang mata uang pada masa kolonial Belanda yaitu gulden. Harga batik yang dikemukakan dapat dikatakan mahal karena pada Januari1943, harga beras hanya sebesar f 0,07 per liter. Harga beras yang naik baru ditetapkan oleh pemerintah pendudukan Jepang pada April 1943 yaitu sebesar f 0,08. Hal ini menjadikan kain batik sebagai barang yang paling mahal saat itu. 15 Kain belacu adalah kain mori yang masih mentah (belum diputihkan) sehingga warnanya masih kekuning-kuningan. 16 Kromolawi merupakan salah seorang bawahan Toshio Ōta, Fuku Shūchōkan awal masa pendudukan di Pekalongan-shū. Ia bertanggung jawab sebagai Ketua Seksi Perdagangan Hōkōkai dan pemimpin Hōkō Suishintai

Kelahiran Batik ..., Putri Fajriaty Indah K., FIB UI, 2016

Page 12: KELAHIRAN BATIK JAWA HŌKŌKAI DI PEKALONGAN PADA …

kepercayaan pemerintah pendudukan Jepang karena menjadi ketua Putera di Pekalongan pada

saat itu. Para pengusaha batik yang mendapatkan pesanan ini kemungkinan besar tergabung

dalam koperasi pedagang yang didirikan di Pekalongan-shi yang disebut Pekalongan-shi Shōkō

Kumiai17 dan Persatuan Pengusaha Batik Bumiputera Surakarta (P.P.B.B.S).18

Apabila dilihat dari status Kromolawi yang menjabat saat itu sebagai ketua Putera cabang

Pekalongan di tahun 1943, maka dapat dikatakan bahwa pembuatan batik Jawa Hōkōkai dimulai

pada saat organisasi Putera masih berdiri. Hal ini berarti batik Jawa Hōkōkai dibuat ketika

pemerintah pendudukan Jepang menyerahkan perintah pengumpulan pengusaha batik serta

membeli batik dari mereka melalui Kromolawi. Contoh batik Jawa Hōkōkai yang lahir pada

tahun 1943 yaitu batik Jawa Hōkōkai dengan tema Sam Pek Eng Tay. Nama batik Jawa Hōkōkai

muncul tidak lama setelah Putera dibubarkan dan organisasi Jawa Hōkōkai berdiri awal tahun

1944. Para pengusaha batik menamakannya batik Jawa Hōkōkai untuk menyenangkan

pemerintah pendudukan Jepang, baik dengan penggunaan motif khas Jepang maupun penamaan

batik tersebut. Selain itu, Jawa Hōkōkai dianggap sebagai organisasi massa terbesar yang dikenal

oleh masyarakat di Jawa. Oleh karena itu, nama Jawa Hōkōkai lama kelamaan menjadi nama

batik yang terkenal di pasaran.

Menurut Kusnin Asa, ada dua macam alasan yang menyebabkan pemerintah pendudukan

Jepang tertarik pada ekonomi batik. Pertama, adanya kemiripan pola batik Pekalongan yang

dipengaruhi oleh budaya Cina yang memiliki kemiripan dengan pola sandang tradisional Jepang

yang terdapat pada kimono Jepang. Batik Jawa Hōkōkai juga memiliki kekayaaan warna yang

mendapat pengaruh Jepang. Bahkan kekayaan warna batik Cina tidak dapat menandingi batik

Jawa Hōkōkai yang memakai corak intens seperti kuning, biru-hijau (turquoise), fuchsia, ungu,

merah dan merah muda (pink).

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   (Barisan Pelopor). Seksi perdagangan Hōkōkai bertanggung jawab kepada Keizaibu. Selama pendudukan Jepang, ia merupakan orang yang paling berpengaruh di Pekalongan karena keterlibatannya di dalam propraganda Jepang yang berujung pada usahanya sebagai kaum pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. 17 Pekalongan-shi Shoko Kumiai merupakan gabungan pedagang di Pekalonga shi yang terdiri dari pedagang batik, pedagang tenun, pedagang barang kelontong, pedagang warung, para petani, para tukang, yang memiliki susunan pengurus terdiri dari Abdul Kadir Bakri (Ketua), S.P.A Djalil (Ketua Muda), Djauhari Arifien (Panelis), Achmad Madjid (Bendahara) serta pembantu-pembantu terdiri dari T.T Rifai, Hamzah dan Syukur. 18 Meskipun berpusat di Surakarta, organisasi ini mewadahi daerah-daerah penghasil batik di Jawa Tengah. Perserikatan ini mewadahi serta mendukung segala potensi pengusaha batik dalam perkembangan pola ragam hias sampai dengan pemasarannya di Jawa.

Kelahiran Batik ..., Putri Fajriaty Indah K., FIB UI, 2016

Page 13: KELAHIRAN BATIK JAWA HŌKŌKAI DI PEKALONGAN PADA …

Gambar 1. Batik Jawa Hōkōkai tema Sam Pek Eng Tay

Sumber : Ishwara, Helen., L.R. Supriyapto Yahya, Xenia Moeis. (2011). Batik Pesisir Pusaka Indonesia : Koleksi Hartono Sumarsono. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Kedua, Jepang dapat menggunakan pengusaha pribumi yang bisa membantu suksesnya

Jepang menduduki tanah air. Pengembangan batik ini tidak hanya untuk meningkatkan

perekonomian Pekalongan, namun juga membangun masyarakat Jawa Baru yang ikut berjuang

bersama pasukan Jepang dalam perang. Pemanfaatan organisasi Jawa Hōkōkai sebagai

pengumpul batik diharapkan tidak hanya dapat menggantikan kedudukan pengusaha Cina yang

dipakai Belanda pada masa kolonial, namun para pengusaha pribumi juga dapat dipakai oleh

Jepang sebagai alat mobilisasi perekonomian rakyat untuk kepentingan Jepang.

Penjatahan kain mori kepada pengusaha batik, membuat mereka berinisiatif

menggunakan pola kain panjang pagi-sore. Mereka membuat pola ragam hias batik Jawa

Hōkōkai menjadi dua bagian, setengah bagian yang berwarna lebih cerah dipakai pada pagi atau

siang hari, sedangkan setengah bagian yang berwarna lebih gelap dipakai di malam hari.

Penggunaan kain seperti ini dianggap lebih ekonomis dan efisien karena kebutuhan sandang

dapat tercukupi oleh masyarakat menengah ke bawah. Kemudian para pengusaha batik pribumi

menamakan batik pada masa ini batik Jawa Hōkōkai pagi-sore.

Pengawasan pembuatan batik dilakukan dengan cara memberdayakan beberapa lembaga

di bawah organisasi Jawa Hōkōkai. Sesuai dengan kebijakan pemerintah, pengusaha batik yang

Kelahiran Batik ..., Putri Fajriaty Indah K., FIB UI, 2016

Page 14: KELAHIRAN BATIK JAWA HŌKŌKAI DI PEKALONGAN PADA …

telah terdaftar dalam Kigyō Tōsei Kai, dapat memperoleh bahan baku batik dari pemerintah serta

memasarkan produksi batiknya. Melalui Jūyo Busshi Kōdan pemerintah membagikan kain putih,

obat-obat untuk bahan pencelup, dan sebagainya. Pangreh praja maupun Kenpeitai wajib

memastikan bahwa pengusaha batik mendapatkan surat izin menerima pembagian bahan baku

batik. Selain itu, mereka juga memeriksa kuantitas bahan baku batik yang telah digunakan serta

memeriksa produksi batik yang dihasilkan untuk diserahkan kepada Shūchōkan bagian Keizaibu.

Batik yang dikumpulkan kemudian diserahkan kepada Haikyū Kumiai atau Hōkōkai desa untuk

dijual kepada masyarakat. Dengan demikian, kebutuhan sandang secara massal dapat dipenuhi

oleh pemerintah pendudukan Jepang.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka beberapa

simpulan dapat ditarik untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai kelahiran batik Jawa

Hōkōkai di Pekalongan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Beberapa simpulan

dijabarkan sebagai berikut.

Kelahiran batik Jawa Hōkōkai disebabkan oleh dua faktor. Pertama, pemerintah

pendudukan Jepang menyukai motif dan warna batik pesisir, khususnya batik Pekalongan,

karena kemiripannya dengan motif kimono Jepang. Kedua, keberadaan pengusaha batik dapat

membantu pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya di tanah Jawa. Pemberian bantuan

berupa bahan baku batik bertujuan mendorong pengusaha batik untuk menumbuhkan kembali

usahanya yang terhenti. Tumbuhnya sektor perdagangan batik dapat memenuhi kebutuhan

sandang rakyat di tengah kelangkaan tekstil sekaligus meningkatkan perekonomian tidak hanya

di Pekalongan, namun juga di seluruh Jawa. Hal ini merupakan tujuan lanjutan pemerintah

pendudukan Jepang untuk membentuk masyarakat Jawa yang baru, yang mana masyarakat

tersebut mampu memenuhi kebutuhan mereka sendiri demi memenangkan perang bersama

Jepang.

Batik Jawa Hōkōkai di Pekalongan lahir pada tahun 1943, yaitu ketika pemerintah

pendudukan Jepang menyerahkan perintah pengumpulan pengusaha batik Pekalongan serta

membeli batik dari mereka melalui Kromolawi, selaku ketua Putera cabang Pekalongan saat itu.

Hubungan antara organisasi Jawa Hōkōkai dan batik Jawa Hōkōkai dapat dilihat dari asal

penamaan batik yang disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pengusaha batik ingin

Kelahiran Batik ..., Putri Fajriaty Indah K., FIB UI, 2016

Page 15: KELAHIRAN BATIK JAWA HŌKŌKAI DI PEKALONGAN PADA …

menyenangkan pemerintah pendudukan Jepang untuk mendapatkan kelonggaran dalam hal

penyediaan bahan baku batik. Kedua, organisasi Jawa Hōkōkai merupakan organisasi massa

terbesar selama masa pendudukan Jepang, karena membawahi seluruh organisasi baik bentukan

Jepang maupun swasta. Ketiga, keberadaan organisasi ini menjadi penanda masa pendudukan

Jepang di Indonesia, karena kegiatannya yang meliputi kontrol dan mobilisasi masyarakat.

Daftar Referensi

Surat Kabar

Asia Raya, 1942-1945

Kan Po, 1942-1945

Sinar Matahari, 1942-1945

Tjahaja, 1942-1945

Buku

Asa, Kusnin. (2014). Mozaik Batik Indonesia. Jakarta: Red & White Publishing. Elliott, Inger McCabe. (1984). Batik: Fable Cloth of Java. Clarkson N. Potter, Inc., One Park Avenue, New York 10016. Ishwara, Helen., L.R. Supriyapto Yahya, Xenia Moeis. (2011). Batik Pesisir Pusaka Indonesia : Koleksi Hartono Sumarsono. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Kodansha International. (1994). Japan: Profile of A Nation. Japan: Author. Kurasawa, Aiko. Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubaha Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945, diterj. Oleh Hermawan Sulystio. (Gramedia Widiasarana Indonesia dan Yayasan Karti Sarana : 1993) Lucas, Anton E. (1989). Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi. Jakarta: Pustaka Utama Grafitti. Poesponegoro, Marwati Joened. dan Notosusanto, Nugroho. (2008). Sejarah Nasional Indonesia VI : Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Post, Peter (Gen. Ed)., Frederick, William H., Heidebrink, Iris., dan Sato, Shigeru. (2009). The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War: Handbook of Oriental Studies.Section 3 Southeast Asia, vol. 19.Leiden: Brill; Bekerja sama dengan Netherlands Institute for War Documentation.

Kelahiran Batik ..., Putri Fajriaty Indah K., FIB UI, 2016

Page 16: KELAHIRAN BATIK JAWA HŌKŌKAI DI PEKALONGAN PADA …

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. (1978). Sejarah Daerah Jawa Tengah. Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. Sato, Shigeru. (1994). War, Nationalism, and Peasants: Java Under The Japanese Occupation 1942-1945. Allen & Unwin Pty Ltd, Australia. Shiraishi, Saya. (1998). Orang Jepang di Koloni Asia Tenggara (P. Soemitro, Penerjemah).Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Veldhuisen, Harmen. C. (1993). Batik Belanda 1840-1940: Dutch Influence in Batik From Java, History and Stories (Martinus Ader bekerjasama dengan Hiang Marahimi dan Djon Laksono, Penerjemah). Jakarta: Gaya Favorit Press. Yumioka, Katsumi. (2005). Kimono to Nihon no Iro.Tokyō: Pie Bukkusu

Karya yang Tidak Diterbitkan

Dewi Lestari, Sofiana. (1989). Pengusaha Batik Setono-Batang (1930-1942). Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, tidak diterbitkan Lutfi, Toebagus. (1984). Pekalongan-shū pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945. Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, tidak diterbitkan. Pimawati, Dona. (2004). Tekstil dan Pakaian Wanita Pada Masa Pemerintahan Pendudukan Jepang dan Jawa : Studi tentang Mompe dan Batik Jawa Hōkōkai 1942-1945.Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, tidak diterbitkan. Yuliastuti, Rini. (1984). Jawa Hokokai : Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa. Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, tidak ditebitkan.

Jurnal Daring

Sutriyanto, Kristanti PL, Veronika. (2014, Juli). Kajian Visual Batik Hokokai Pekalongan Motif Lereng, Bunga dan Kupu. Vol. 11 No. 2. 154-164. Jurusan Kriya. Fakultas Seni Rupa dan Desain. Institut Seni Indonesia Surakarta. http://jurnal.isi-ska.ac.id/index.php/ornamen/article/view/1073

Kelahiran Batik ..., Putri Fajriaty Indah K., FIB UI, 2016