kel 1 avert

Upload: hanzo-himura

Post on 12-Jul-2015

461 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Laporan Praktikum Lapang MK. Avertebrata Air

Hari/Tanggal : Sabtu / 10 Desember 2011 Asisten : Syahrul Rifai (MSP 44)

AVERTEBRATA AIR BLANAKAN KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT Disusun oleh : Kelompok 1 Dhaniyanto M (C24080053) Nianitari Saragih (C24099001) Bani Nur Arsy (C24090056) Rizham Maulidar (C24100001) Lusita Meilana (C24100003) Merry Rizky O (C24100005) Akrom Muflih (C24100006) Ria Asnita (C24100008) Theo Filius (C24100009) Rinrin Haryanti (C24100012) Siska Agustina (C24100013) Dewi Fitriawati (C24100014) Hesvi Andri S (C24100018) Inggar Kusuma (C24100089)

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PEAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Avertebrata air adalah hewan yang tidak mempunyai tulang punggung

atau ruas-ruas tulang belakang yang habitatnya diperairan.Avertebrata air dapat hidup di semua perairan baik tawar, payau dan laut.Avertebrata air yang berada di laut memiliki keanekaragaman yang sangat tinggi.Peranan avertebrata air secara ekonomis antara lain sebagai konsumsi (udang, kepiting, cumi, kerang, teripang, dan rajungan), sebagai usaha budidaya (pembudidayaan udang di tambak, tiram mutiara, dan oyster di laut), sebagai indicator biologis yaitu digunakan sebagai petunjuk tingkat pencemaran perairan misalnya cacing tubificidae, dan sebagai penduga kualitas (kesuburan perairan). Avertebrata memiliki peran penting dalam lingkungan perairan. Adanya keterkaitan kesuburan perairan serat avertebrata air dengan ekosisitem perairan seperti peranan avertebrata sebagai indikator biologis dan penduga avaertebrata juga berperan dalam sistem pertahaan ekologi karena beberapa jenisnya berfungsi sebagai penyedia pakan alami ikan dan pemangsa ika atau biota lainnya. Sehingga tidak terjadinya ledakan populasi jenis biota yang menjadi makanan bagi avertebrata tersebut. Kabupaten Subang memiliki panjang pantai 68 km, termasuk di antaranya Pantai Blanakan yang terletak di Pantai Utara Jawa Barat.Warga Blanakan mayoritasnya bermatapencaharian sebagai nelayan.Hasil tangkapannya berupa berbagai jenis ikan dan avertebrata air.Salah satu jenis avertebrata air yang menjadi hasil tangkapan nelayan Blanakan ialah cumi-cumi (Loligo sp.). Cumi-cumi merupakan salah satu jenis hasil tangkapan yang memiliki tekstur lunak sehingga harus dilakukan penanganan yang sesuai agar tidak membusuk.Jumlah cumi-cumi yang tergolong masih banyak tersedia di alam terutama di wilayah Subang, Pantai Utara Jawa. Cumi-cumi tersebut termasuk hasil laut yang banyak diminati oleh masyarakat sehingga permintaan akan cumicumi meningkat setiap tahunnya. Oleh karena itu, peningkatan jumlah permintaan yang secara pasti meningkat sehingga penangkapan lebih ditingkatkan unntuk mengeksploitasi produk tersebut yang dilakukan tanpa memperhatikan ekosisitem

lingkungan maka akan berdampak pada kerusakan fungsi biologis avertebrata tersebut di lingkungan perairan tersebut. TPI dipilih sebagai lokasi praktikan lapang karena salah satu tempat dari bagian pantai Utara yang memilki potensi besar dalam produktivitas perikanan tangkap difilum cephalopoda dari jenis cumi-cumi, sotong dan gurita. Produktivitas cephalopoda di daerah tersebut mencapai 11.164 ton pada tahun 1984, I.2 Tujuan Tujuan dilaksanakan praktikum lapang ini adalah untuk mendeskripsikan jenis-jenis biota avertebrata air yang didaratkan di TPI Mina Fajar Sidik Blanakan, Subang dan meninventarisasikan salah satu jenis biota avertebrata air berupa cumi-cumi (Nipponololigo beka).

2. Waktu dan Tempat

METODOLOGI

Praktikum ini dilaksanakan di Tempat Pelelangan Ikan Mina Fajar Sidik Blanakan-Subang, Jawa Barat pada tanggal 13 November 2011 pukul 10.00 WIB.

Gambar 1. Peta lokasi Praktikum lapang Sumber : http://www.fishbase.org/ Pengawetan pertama dilaksanakan pada hari yang sama di TPI BlanakanSubang menggunakan formalin 10%. Pengawetan kedua (penggantian formalin dengan alkohol 70%) dilakukan pada tanggal 16 November 2011 di laboratorium BIMI-2. 2.1 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah kertas label, lakban transparan, stereofoam, penggaris dan toples plastik. Sedangkan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah formalin 10% dan alkohol 70%. Kertas label digunakan untuk memberikan label pada wadah penyimpanan sebagai penanda. Kemudian lakban digunakan untuk mempererat tutup wadah penyimpanan biota agar tidak tumpah.Wadah penyimpanan biota itu sendiri adalah toples plastik.Stereofoam digunakan sebagai alas biota saat akan dilakukan pengambilan gambar, sedangkan penggaris digunakan untuk pengukuran biota

saat pengambilan gambar. Formalin 10% diberikan pada biota sebagai bahan pengawet sementara.Formalin tersebut nantinya diganti oleh alkohol 70% saat dilakukannya pengawetan kedua di laboratorium. 2.2 Prosedur Praktikum dimulai dengan mengamati jenis-jenis avertebrata yang ada di Tempat Pelelangan Ikan Blanakan-Subang.Kemudian dilakukan wawancara kepada pedagang atau nelayan setempat untuk mencari informasi mengenai harga, daerah pengangkapan, musim penangkapan, alat tangkap yang digunakan dan pemanfaatannya.Dalam hal ini, biota yang digunakan adalah cumi-cumi (Nipponololigo Beka).Biota tersebut kemudian diambil gambarnya dan diawetkan dengan memasukkannya ke dalam wadah penyimpanan.Formalin dituangkan ke dalam wadah hingga seluruh tubuh avetebrata terendam formalin 10%.Agar avetebrata air tersebut dapat lebih tahan lama dilakukan pengawetan kedua di laboratotium. Pengawetan kedua dilakukan dengan cara mengganti formalin menjadi alkohol 70%. Avertebrata yang terendam formalin dicuci terlebih dahulu dengan menggunakan air mengalir.Wadah penyimpanan dicuci dengan sabun untuk menghilangkan bekas formalin. Avertebrata dimasukkan ke dalam wadah dan kemudian direndam dengan alkohol 70% dan memberikan label pada wadah untuk dilakukan identifikasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Biota Avertebrata yang Ditemukan Biota avertebrata air yang ditemukan di Tempat Pelelangan Ikan Blanakan-Subang adalah cumi-cumi (Nipponololiga beka), simping (Amusium pleuronectes), dan gurita (Octopus sp.), Udang Windu (Penaeus monodon) Cumi-cumi (Nipponololiga beka) Klasifikasi Menurut Filum : Mollusca Kelas : Chepalopoda Subkelas : Coloidea Ordo : Teuthida Subordo : Myopsida Famili : Loliginidae Genus : Nipponololigo Spesies : Nipponololigo Beka FAO klasifikasi spesis sebagai berikut : Kingdom: Animalia

Gambar 2. Cumi-cumi (Nipponololigo Beka) Sumber : Dokumentasi pribadi Di Indonesia, cumi-cumi dikenal dengan beberapa istilah, seperti enus, nus, sotong, atau sontog bunga. Hewan laut ini umumnya ditangkap pada malam hari, dengan menggunakan lampu petromaks sebagai alat penarik.Mereka umumnya menyukai cahaya di malam hari.( Roper et all. 1984)

Cumi-cumi merupakan salah satu jenis hewan laut yang banyak diminati masyarakat, terutama penggemar seafood dan chinese food. Di pasaran, cumicumi umumnya dijual dalam dua bentuk utama, segar dan kering dan asin. Karakteristik Fisik Cumi-cumi termasuk hewan tak bertulang belakang yang tidak mempunyai tulang pada tubuhnya.Mampu bergerak lihai.Kakinya terletak di kepala disebut dengan tentakel. Panjang tentakel dapat mencapai 1,5 panjang tubuh. Tubuh terdiri atas kepala, badan dan leher.Kepala dilengkapi dengan sepasang mata dan tentakel.Tubuh lunaknya diselimuti oleh lapisan pelindung tebal yang di bawahnya air dalam jumlah besar disedot dan disemburkan oleh otot-otot yang kuat, sehingga memungkinkannya bergerak mundur. 1989). Habitat dan biologi Cumi-cumi bersifat kosmopolit, hidup berkelompok di perairan bagian atas.Hewan ini aktif berburu mangsa yang berupa ikan-ikan kecil dan crustacea pada malam hari. Bila merasa terancam mereka akan berenang mundur dengan cepat atau menyemburkan tinta berwarna hitam kecoklat-coklatan. Hewan ini banyak diperjualbelikan, selain rasanya enak cumi-cumi merupakan sumber protein hewani yang kaya akan protein.( Anonim. 1987) Distribusi Pada umumnya cumi-cumi ditemukan di daerah pantai dan dasar perairan hingga kedalaman 400m dan beberapa ditemukan di daerah payau. Cumi-cumi digolongkan hewan avertebrata laut yang termasuk pelagik, terkadang digolongkan demersal karena sering berada di dasar perairan. Cumi-cumi melakukan distribusi vertikal pada malam hari, dimana cumi-cumi bergerak kearah permukaan untuk mencari makan, sedangkan pada siang hari berada didasar perairan.Makanan utama cumi-cumi adalah crustacea hidup dan dapat berupa udang atau kepiting, dan ikan-ikan rucah (Roper et all. 1984).Sedangkanmenurut Suwignyo (1989) mengemukakan bahwa mangsa cumicumi tergantung dari masing-masing ukuran jenis cumi-cumi sehingga dalam lambungnya terdapat berbagai jenis makanan. Memiliki delapan tangan,dan dua tentakel pengisap dan tubuh relatif langsing.(Suwignyo.

Penyebaran avetebrata ini tergantung pada lokasi banyaknya makanan yang tersedia.Lingkungan hidup cumi-cumi yang ideal mempunyai suhu antara 832 dan salinitas antara 8-30 .Kelimpahan cumi-cumi disuatu perairan

ditunjang dari unsur hara yang terbawa arus (run off) dari daratan.Unsur hara tersebut dimanfaatkan oleh fitoplakton dan selanjutnya dimanfaatkan oleh juvenile ikan atau pun ikan kecil yang menjadi makanan cumi-cumi. (Suwignyo.1989). Cumi-cumi pada siang hari berada di dasar perairan dan pada malam hari berada di permukaan perairan.Migrasi pada cumi-cumi dilakukan secara bergerombol dan masing-masing individu berasosiasi dengan suhu, salinitas dan kedalaman perairan.Dengan demikian ketiga faktor tersebut berpengaruh pada keberadaan cumi-cumi. Beberapa genus cumi-cumisepertiOmmastrephid harusberadaptasisecara Migrasihariancumicumidipengaruhipulaolehkehadiranpredatordanpenyebaranmakanan. us Ommastrephid diketahui memijahdi daerah lepas Cumicumidewasapadaumumnyabermigrasikedaerahpemijahansecarabergerombol.Gen pantai,sedangkan Loligonidmemijahdidekatpantai(Inshore). Padawaktubermigrasikedaerahdekatpantaiuntukmemijah,cumicumijantandarigenusLoligotibalebihdahulupantaidaribetina. Lingkungan perairan juga berpengaruh pada penyebaran cumi-cumi, jika lingkungan tercemarcumicumi akan langsung meninggalkan perairan tersebut.( Roper et all. 1984). fisiologidanmorfologispadawaktubermigrasijarakjauh.

Gambar 3. Peta Penyebaran cumi-cumi di Indonesia Indonesia Sumber :DitjenPerikananDEPTAN (1987) Umumnya beberapa jenis alat tangkap cumi-cumi yang terdapat di perairan yaitu payang, bagan rambo, pole and line dan hand line. Semua jenis alatpenangkapan cumi-cumi tersebut memiliki konstruksi yang berbeda-beda tetapimemiliki alat bantu pemikat yang sama yaitu energi cahaya untuk menarikperhatian cumi-cumi untuk berkumpul, sebagai mana cumi-cumi memiliki sifatphototaxis yaitu tertarik pada semua jenis cahaya. (Subani. 1998/1999) Pancing cumi-cumi hand line adalah pancing yang mempunyai bentuk ataukonstruksi yang khusus yang berlainan dengan bentuk-bentuk pancing lainnya.Bentuk pancing cumi-cumi ini seperti cakar keliling dan bertingkattingkat. Pada bagian atas pancing dan demikian juga di bagian bawahnya di beri lubang (mata) yang gunanya untuk mengikatkan tali pancing. Pancing cumi-cumi ini diikat secara berantai dalam satu utas tali yang dihubungkan melalui lubang bagian atas dan bawah pancing. Pancing cumi-cumi ini biasanya digulung pada suatu gelok atau gulungan kayu yang dimodifikasi oleh nelayan sesuai kenyaman mereka pada saat menggulung, umumnya berbentuk elips atau lingkaran yang digulung atau diulur secara manual.(Subani.1998/1999). Pancing (jigs) terdiri dari badan/batang (stem) plastik yang berwarna dengan panjang sekitar 6 cm dan dilengkapi dengan dua lingkaran kait (rings of hooks) yang masing-masing berjumlah 16 kait. Warna batang pancing yang dijual dipasaran terdiri dari warna orange, biru tua, biru langit, hujau, putih, kuning dan merah. Stok cumi-cumi di Indonesia disajikan dalam tabel dibawah ini :

Tabel Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Cumi-cumi (Loligo Spp.) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total Daerah Perairan Luas (Km2) Sumber Potensi (ton/th) 7.950 5.100 8.250 12.150 57.150 6.900 32.100 10.650 14.550 17.850 18.500 24.000 (ton/th) Sumatera Barat 53.000 15.000 Jawa Selatan 34.000 10.200 Selat Malaka 55.000 16.500 Sumatera Timur 81.000 24.300 Jawa Utara 381.000 114.300 Bali NT-Timor 46.000 13.800 Kalimantan Sel/Bar 214.000 64.200 Kalimantan Timur 70.000 21.300 Sulawesi Selatan 97.000 29.100 Sulawesi Utara 119.000 35.700 Maluku 790.000 237.000 Irian 160.000 28.000 2.100.000 419.000 208.500

Gambar 4. Tabel potensi dan penyebaran sumberdaya cumi-cumi (Loligo indica) Sumber: DitjenPerikananDEPTAN (1987) Nilai Ekonomis Cumi termasuk hewan yang dapat dikonsumsi.Selain lezat, cumi-cumi kaya gizi.Ada protein, mineral dan macam-macam vitamin.Tinta cair yang dimilikinya berguna untuk memerangi tumor.Fosfor dan kalsiumnya dapat mendukung pertumbuhan juga berguna untuk mencegah osteoporosis di masa tua.Kadar lemak daging cumi-cumi termasuk ke dalam asam lemak tidak jenuh ganda yaitu omega 3 yang dapat menurunkan kandungan kolesterol dalam darah.Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hiroki University Jepang, tinta cumi-cumi dan sotong mempunyai banyak kegunaan, diantaranya dapat mengaktifkan sel darah putih untuk memerangi tumor. Mengobati kulit noda dan brlubang dengan cara dikeringkan, ditumbuk dan disaring, lalu digunakan sebagai bedak sebelum tidur.( Dyah 1991). 3.2.1 Nilai Ekologis Sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan siklus materi dalam ekosistem laut; 2) sebagai penyedia makanan bagi berbagai tingkat trofik yang lebih tinggi; 3) berperan aktif dalam meningkatkan penghancuran

bahan organik (dekomposisi aerob), terutama dalam proses biodegradasi sisa-sisa tumbuhan yang nantinya berlanjut ke proses mineralisasi oleh mikroba; sebagai bioindikator dalam menilai kondisi lingkungan laut (bioindikator pencemaran atau pengkayaan bahan organik). ( Raffaelli 2000)3.1 Simping (Amusium pleuronectes)

3.3.1 Kerajaan Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies

Klasifikasi : Animalia : Mollusca : Bivalvia : Ostreoida : Pectinidae : Amusium : Amusium pleuronectes

Menurut Darmawan,1988 klasifikasi spesis ini sebagai berikut :

Gambar 5. Simping (Amusium pleuronectes) Sumber : Dokumentasi pribadi Karakteristik Fisik Panjang maksimal kerang simping jantan adalah 10cm,sedangkan untuk kerang simping betina sebesar 8 cm. Cangkangnya tipis, lateral dikompresi, hampir bulat, terdapat penghalang antara anterior dan posterior. Kedua cangkang agak cembung, cangkang bawah sedikit lebih luas dan besar daripada cangkang atas. Telinga agak kecil, ukuran dan bentuknya subequal.Permukaan cangkang kiri dengan 2 daerah depresi yang luas dan sangat dangkal memelingkar dari

umbo ke pinggiran anteroventral dan posteroventral. Di luar dari shell dipoles dan cangkang luar hampir mulus, dengan banyak baris radial dan konsentris. Interior dari kedua cangkang dengan rusuk radial yang berbeda,jauh lebih sempit daripada celah datar dan menjadi usang di daerah umbonal. Katupnya memiliki 22 sampai 34 rusuk radial internal (biasanya 26-34 di Amusiumpleuronectes.Cangkang luar dimulai dari umbo hingga pinggiran berwarna coklat kemerahmudaan hingga coklat. Terdapat garis konsentris sebagai tanda pertumbuhan dengan garis tebal di daerah umbodan semakin tipis di bagian pinggirnya. Interior cangkang kiri keputihan,dengan rona merah muda pada pinggiran dan daerah pusat, dan dengan bercak cokelat di bagian hinge. Cangkang kanan bagian eksternal dan internal berwarna putih. (Dyah. 1991) Habitat dan Biologi Simping ialah MoluskaBivalvia dari FamiliPectinidae yang hidup di perairan laut, kosmopolitan (dapat ditemui di semua perairan bumi), simping berada didasar dengan kedalaman 10-80 m. Moluska ini terdapat di daerah beriklim tropis.( Roper et all. 1984). Distribusi Daerah distribusi kerang simping adalah daerah indo-pasifik barat. Di daerah indonesia kerang ini melimpah di sepanjang Pantai utara (pantura) terutama wilayah Brebes.

Gambar 6. Peta Penyebaran simping di Indonesia Indonesia Sumber :http://www.fishbase.org/ Nilai Ekonomis Simping dapat dikonsumsi secara segar, selain itu pemanfaatan cangkang untuk dekorasi/hiasan serta mengoptimalisasi daging menjadi beberapa olahan seperti bakso, nugget, dan breaded scallop. Dapat digunakan

sebagai pupuk dari cangkang sebagai sumber kalsium dan fospor (P) juga diaplikasikan ke tanaman jagung serta diterapkan untuk pakan bebek yang berguna memperkuat cangkang telur bebek melalui proses hidrolisis terlebih dahulu. 3.3.2 Nilai Ekologi Simping menetap didasar perairan, pediveliger berkembang dan memiiki byssus yang tebal dam kuat dan bergerak sangat lambat. Spat menggabungan diri dengan pecahan cangkang dan material padat di dasar perairan. Tingkah laku ini mungkin dilakukan untuk melindungi simping dari predator epibenthik seperti kepiting.(Culliney, 1974 in Mullen and JR. Moring 1986). Gurita (Octopus sp.) Klasifikasi Menurut Suwignyo, 1997 klasifikasi spesis ini sebagai berikut : Kerajaan Filum Kelas Subkelas Superordo Ordo Genus Spesies : Animalia : Moluska : Cephalopoda : Coleoidea : Octopodiformes : Octopoda : Octopus : Octopus sp.

Gambar 7.Gurita (Octopus sp.) Sumber : Dokumentasi pribadi Karateristik fisik Gurita memiliki delapan lengan (bukan tentakel) dengan alat penghisap berupa bulatan-bulatan cekung pada lengan yang digunakan untuk bergerak di

dasar laut dan menangkap mangsa. Lengan gurita merupakan struktur hidrostat muskuler yang hampir seluruhnya terdiri dari lapisan otot tanpa tulang atau tulang rangka luar. Tidak seperti hewan cephalopoda lainnya, sebagian besar gurita dari subordo incirrata mempunyai tubuh yang terdiri dari otot dan tanpa tulang rangka dalam.Gurita tidak memiliki cangkang sebagai pelindung di bagian luar seperti halnya Nautilus dan tidak memiliki cangkang dalam atau tulang seperti sotong dan cumi-cumi.Paruh adalah bagian terkeras dari tubuh gurita yang digunakan sebagai rahang untuk membunuh mangsa dan menggigitnya menjadi bagianbagian kecil.( Roper et all. 1984) Tubuh yang sangat fleksibel memungkinkan gurita untuk menyelipkan diri pada celah batuan yang sangat sempit di dasar laut, terutama sewaktu melarikan diri dari ikan pemangsa seperti belut laut Moray. Gurita yang kurang dikenal orang dari subordo cirrata memiliki dua buah sirip dan cangkang dalam sehingga kemampuan untuk menyelip ke dalam ruangan sempit menjadi berkurang. Gurita mempunyai masa hidup yang relatif singkat dan beberapa spesies hanya hidup selama 6 bulan. Spesies yang lebih besar seperti Gurita raksasa Pasifik Utara yang beratnya bisa mencapai 40 kg bisa hidup sampai 5 tahun di bawah kondisi lingkungan yang sesuai. Reproduksi merupakan salah satu sebab kematian, gurita jantan hanya bisa hidup beberapa bulan setelah kawin dan gurita betina mati mati tidak lama setelah bertelur. Kematian disebabkan kelalaian gurita untuk makan selama sekitar satu bulan sewaktu menjaga telur-telur yang belum menetas. Selubung bagian perut tubuh gurita disebut mantel yang terbuat dari otot dan terlihat seperti kantung. Gurita memiliki tiga buah jantung yang terdiri dari dua buah jantung untuk memompa darah ke dua buah insang dan sebuah jantung untuk memompa darah ke seluruh bagian tubuh. Darah gurita mengandung proteinHemosianin yang kaya dengan tembaga untuk mengangkut oksigen. Dibandingkan dengan Hemoglobin yang kaya dengan zat besi, Hemosianin kurang efisien dalam mengangkut oksigen. Hemosianin larut dalam plasma dan tidak diikat oleh sel darah merah sehingga darah gurita berwarna biru pucat. Gurita bernafas dengan menyedot air ke dalam

rongga mantel melalui kedua buah insang dan disemburkan keluar melalui tabung siphon. Gurita memiliki insang dengan pembagian yang sangat halus, berasal dari pertumbuhan tubuh bagian luar atau bagian dalam yang mengalami vaskulerisasi. Habitat dan biologi Hidup di terumbu karang di samudra atau di lautan yang luas.Gurita bernafas dengan menyedot air ke dalam rongga mantel melalui kedua buah insang dan disemburkan keluar melalui tabung siphon.Gurita memiliki insang dengan pembagian yang sangat halus, berasal dari pertumbuhan tubuh bagian luar atau bagian dalam yang mengalami vaskulerisasi.Gurita mempunyai sistem saraf yang sangat kompleks dengan sebagian saja yang terlokalisir di bagian otak.Dua pertiga dari sel sarafterdapat pada tali saraf yang ada di kedelapan lengan gurita.Lengan gurita bisa melakukan berbagai jenis gerakan refleks yang rumit, dipicu oleh 3 tahapan sistem saraf yang berbeda-beda. Gurita jantan bereproduksi dengan meletakkan kantong spermatofora ke dalam rongga mantel gurita betina menggunakan lengan istimewa yang disebut hectocotylus.Lengan kanan ketiga biasanya menjadi hectocotylus.Pada beberapa spesies, gurita betina bisa menjaga sperma agar tetap hidup sampai telur menjadi matang.Setelah dibuahi, gurita betina bisa bertelur hingga sekitar 200.000 butir.Jumlah telur gurita bisa berbeda-beda bergantung pada masing-masing individu, familia, genus atau spesies.Gurita betina menggantung kumpulan telur berbentuk kapsul yang membentuk untaian di langit-langit sarang. Setelah telur menetas, larva gurita untuk sementara waktu melayang bersama kawanan plankton sambil memangsa pakan berupa copepod, larva kepiting dan larva bintang laut sampai cukup besar dan berat untuk berada di dasar laut. Beberapa spesies gurita dengan habitat di laut dalam tidak perlu melewati siklus melayang bersama kawanan plankton. Periode sebagai larva merupakan saat penuh bahaya karena larva gurita mudah dimangsa pemakan plankton sewaktu menjadi bagian dari kawanan plankton.Seperti pada jenis-jenis cephalopoda yang lain, gurita dapat menghindar dari bahaya dengan cara mengeluarkan tinta. Gurita merupakan avertebrata yang memiliki sistem organ tubuh yang sudah berkembang baik,

seperti jenis kelamin yang terpisah dan tidak akan pernah berganti kelamin sepanjang hidupnya. Perbedaan antara hewan jantan dan betina pada gurita dapat diketahui dengan melihat lengan-lengannya.Pada hewan jantan didapatkan organ yang disebut hektokotil (penis) yang berfungsi memindahkan sperma ke rongga selubung betina. Distribusi Gurita dapat ditemukan di daerah tropis perairan dangkal sampai perairan dalam di region Indo-Pasific, dari Hawaii sampai pantai timur benua Afrika.Terdapat pula di daerah subtropis yaitu di bagian selatan Jepang dan New South Wales, Australia.

Gambar 9.Peta Penyebaran Gurita di Indonesia Sumber :http://www.fishbase.org/

Nilai Ekonomis Beberapa jenis gurita mempunyai nilai ekonomis penting karena dapat dimanfaatkan sebagai makanan dari laut, dapat pula dijadikan sebagai hewan peliharaan.. 3.4.1 Nilai Ekologis Beberapa jenis gurita bisa di jadikan bioindikator tingkat keragaman jenis hewan terutama yang hidup di daerah terumbu karang 3.2 Udang Windu (Penaeus monodon)

3.5.1

Klasifikasi Klasifikasi Udang Windu (Penaeus monodon) menurut Suwignyo, 1997

adalah sebagai berikut : Filum : Crustacea Kelas : Malacostraca Subkelas : Decapoda Ordo : Natantia Famili : Peneidae Genus :Penaeus Spesies :Penaeus Monodon

Gambar 10.Udang Windu (Penaeus monodon) Sumber :http://www.fishbase.gr/ 3.5.2 Karakteristik Fisik Secara morfologi tubuh Udang Windu dibedakan atas cephalothorax yang terdiri atas kepala dan dada serta bagian abdomen (perut).Pada bagian kepala terdapat sepasang mata bertangkai, sepasang antena, sepasang antenula, sepasang mandibula dan sepasang maksila. Pada bagian dada terdapat tiga pasang maksiliped dan lima pasang kaki renang (pleopod) serta sepasang uropod yang terletak di samping telson. Bagian kepala dan dada tertutup oleh sebuah kelopak kepala atau cangkang kepala yang disebut karapas dan di bagian depan kelopak kepala terdapat rostrum yang memanjang dan bergerigi. Dalam perkembangannya Udang Windu mengalami beberapa kali perubahan stadia.Dimulai dari menetasnya telur menjadi larva melalui stadia

neuplius yang terdiri atas 6 substadia zoea dan mysis masing-masing 3 substadia. Telur menetas setelah 10-12 jam, nauplius selama 2 hari, zoea selama 4-5 hari dan stadia mysis selama 3-4 hari. Stadia mysis akan berkembang menjadi post larva dan seterusnya menjadi juvenil serta akhirnya tumbuh menjadi udang dewasa. Pergantian kulit merupakan awal pertumbuhan pada Udang Windu.Setelah kulit udang yang mengandung kitin tersebut terlepas maka udang dalam keadaan lemah dan kulit baru belum mengeras.Pada saat itulah udang tumbuh.Peristiwa tersebut dibantu dengan penyerapan air dalam jumlah besar. Proses pergantian kulit (moulting) ini merupakan indikator dari pertumbuhan Udang Windu. Apabila proses pergantian kulit cepat, maka pertumbuhan akan semakin cepat pula. Selama Udang Windu berganti kulit biasanya tidak nafsu makan, udang tidak banyak bergerak dan mata terlihat pada tangkai mata udang aktif.Udang Windu merupakan hewan noktural yaitu aktif mencari makanan pada malam hari, sedangkan pada siang harinya berada di dasar laut (Tseng 1987).Sifat yang umum pada udang adalah sifat kanibal yaitu suatu sifat yang suka memangsa jenisnya sendiri.Sifat ini sering timbul pada udang yang sehat, yang tidak sedang ganti kulit dan kekurangan makanan.Udang Windu hidup normal pada kisaran temperatur air (21-32) dengan kisaran temperatur atau

optimal (28 1) . Udang Windu mengalami stres pada temperatur 20

kurang dan 32 atau lebih dan akan mengalami kematian pada temperatur 35 . (Oemarjati. 1990) 3.5.3 Habitat dan Biologi Udang bersifat demersal, yaitu hidup di dasar perairan sehingga dalam pengelolaan kualitas air perlu mempertimbangkan kondisi dasar tambak yang dibutuhkan udang; Udang bersifat nocturnal, yaitu aktif pada malam hari sehingga perairan tambak perlu disesuaikan dengan proses biologi, kimia, fisika dan ekologi yang terjadi di dalamnya terutama pada malam hari; Udang bersifat phototaksis negatif, yaitu menghindari adanya cahaya secara langsung. Sifat ini berhubungan dengan pengelolaan kecerahan air tambak yang dapat menghalangi penetrasi cahaya secara langsung; Kanibalisme, yaitu pemangsaan yang dilakukan udang terhadap udang lainnya yang lebih lemah.Sebagai usaha mengurangi terjadinya kanibalisme maka perairan tambak perlu didukung dengan ketersediaan

pakan alami yang cukup dan kondisi dasar tambak memungkinkan bagi udang yang berada dalam kondisi lemah untuk berlindung dari pemangsaan. 3.5.4 Distribusi Udang Windu dapat ditemukan di daerah perairan pantai yang berlumpur atau berpasir di region indo-pasifik, dari perairan laut antara Afrika Selatan. Terdapat pula didaerah subtropis yaitu Jepang, dan antara Pakistan Barat sampai Australia Bagian Utara.

Gambar11. Penyebaran Udang Windu di Indonesia Sumber : http://www.fishbase.org/ Udang windu dapat ditangkap dengan menggunakan Pukat harimau atau lebih dikenal dengan Cungking Trawldan pukat udang.

3.5.5

Nilai Ekonomis Udang windu dapat dikonsumsi , selain itu pemanfaatan daging menjadi beberapa olahan seperti bakso, dan nugget, bisa juga dibudidayakan

3.5.6

Nilai Ekologis Di dalam habitat alaminya udang adalah suatu biota perairan yang bersifat

omnivora tapi lebih dominan ke arah carnivora.Sifat ini menempatkan udang sebagai biota perairan yang memakan segala macam sumber makanan yang ada di perairan tersebut, tetapi mempunyai kecenderungan sebagai pemakan

hewan.Salah satu sifat mendasar yang dimiliki oleh udang adalah sifat kanibalisme yaitu memangsa udang lainnya yang sedang dalam kondisi lemah dan sebagai pemakan bangkai dari biota perairan lainnya.Di dalam perairan tambak udang mempunyai kecenderungan memilih pakan yang bersifat alami dibandingkan dengan pakan buatan, selama di dalam perairan tersebut ketersediaan pakan alami bagi udang masih mencukupi.3.3

Abalon (Haliotis asinine) Klasifikasi Klasifikasi abalone adalah sebagai berikut (Darmawan,1988dalam Cholik

3.6.1

et al., 2005). Kingdom Phylum Class Sub Class Family Genus Spesies : Animalia : Mollusca : Gastropoda : Archaeogastropoda : Haliotidae : Haliotis : Haliotis asinine

Super Family : Pleuromariaceae

Gambar 9. Abalon (Haliotis asinine) Sumber : (fishbase.org. 2011)

Abalon berasal dari bahasa Spanyol, Abuln.Ialah suatu spesies kerang-kerangan (Moluska) dari Familia Haliotidae dan Genus Haliotis.Ia dikenal pula sebagai kerang mata tujuh atau siput balik batu. 3.6.2 Karakteristik Fisik Abalone mempunyai mulut dan sungut yang terletak di bawah cangkang serta sepasang mata.Bentuk cangkang rata berbentuk telinga, tidak memiliki operculum.Bagian cangkang sebelah dalam berwarna putih mengkilap seperti perak.Bervariasinya warna cangkang abalone adalah tergantung dari jenis rumput laut yang dimakan (Darmawan, 1988 dalam Cholik et al., 2005). Ciri utama abalone memiliki satu cangkang yang terletak pada bagian atas.Pada cangkang tersebut terdapat lubang-lubang dalam jumlah yang sesuai dengan ukuran abalone, semakin besar ukuran abalone maka semakin banyak lubang yang terdapat pada cangkang. Lubang-lubang tersebut tertata rapi mulai seperti spiral dari ujung depan hingga belakang cangkang. Sebagian lubang di bagian depannya terbuka dan berfungsi untuk pernafasan, pembuangan dan reproduksi (Darmawan, 1988 dalam Cholik et al., 2005). 3.6.3 Habitat dan Biologi Moluska mendiami semua habitat di laut, mulai dari terumbu karang, padang lamun, pantai berbatu, pantai berpasir, dataran berlumpur, estuari, hutan mangrove, laut dangkal, sampai palung laut. Abalone biasa ditemukan pada daerah yang berkarang yang sekaligus dipergunakan sebagai tempat menempel.Abalone bergerak dan berpindah tempat dengan menggunakan satu organ yaitu kaki.Gerakan kaki yang sangat lambat sangat memudahkan predator untuk memangsanya (Sudradjat dalam Cholik et al., 2006). 3.6.4 Distribusi Siang hari atau suasana terang, abalone lebih cenderung bersembunyi di karangkarang dan pada suasana malam atau gelap lebih aktif melakukan gerakan berpindah tempat.Ditinjau dari segi perairan, kehidupan abalone sangat dipengaruhi oleh kualitas air.Secara umum, spesies abalone mempunyai toleransi terhadap suhu air yang berbeda-beda, contoh; H. Kamtschatkana dapat hidup dalam air yang lebih dingin sedangkan H. Asinina dapat hidup dalam air bersuhu

tinggi (300C). Parameter kualitas air yang lainnya yaitu, pH antara 7-8, Salinitas 31-32 ppt, H2S dan NH3 3 ppm (Sudradjat dalam Cholik et al., 2006).

Gambar 10 (fishbase.org. 2011) 3.6.5 Nilai Ekonomis

Abalone selain dikomsumsi, sering juga di ekspor keluar negeri secara internasional. Kegiatan budidaya untuk menghasilkan benih abalon merupakan komponen produksi yang sangat penting karena ketersediaan benih di alam yang sangat terbatas tidak dapat diandalkan untuk pengembangan budidaya maupun konsumsi. Data SEAFDEC tahun 2007 menunjukkan bahwa pasar tidak dapat memenuhi 7.000 ton permintaan dunia akan abalone.(Anonim,2011). Nilai ekonomis abalon yang tinggi memberi pengaruh prestis bagi yang mengkonsumsinya. Di luar negeri abalon bisa menjadi makanan eksotik yang harganya mahal. Salah satu restoran di Hongkong memajang produk menunya di internet bernama Abalone with Congee dijual seharga US$82 (lebih dari Rp 700.000,00). Di samping itu, cangkangnya mempunyai nilai estetika yang berpotensi untuk dikembangkan dalam berbagai bentuk kerajinan tangan. Daging abalon mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi dengan kandungan protein 71,99%, lemak 3,20%, serat 5,60%, dan abu 11,11%. (Anonim 2011)3.6.6 Nilai Ekologis

Minyak pelumas bekas mempengaruhi perkembangan embrio abalon mulai dari fase fertilisasi sampai menetas menjadi larva trokofor.Pengaruhnya berupa penurunan keberhasilan fertilisasi, kegagalan pembelahan dan pembelahan tidak normal.Terjadi penurunan jumlah embrio abalon yang mampu bertahan hidup mulai dari fase fertilisasi sampai larva trokofor sejalan dengan bertambahnya konsentrasi minyak pelumas bekas.

IV. PENUTUP Kesimpulan Avertebrata air yang didaratkan di TPI Blanakan Subang beraneka ragam. Keanekaragaman tersebut diantaranya adalah Simping, abalon, gurita, cumicumi, udang windu. Avetabrata air yang ditentukan untuk koleksi dan inventarisasikan avetebrata air adalah cumi-cumi (Nipponololigo Beka).Dan mendeskripsikan biota yang kita temukan. Saran Persedian bahan untuk pengawetan ikan sebaiknya disediakan dalam jumlah yang lebih banyak lagi.Bahan yang dimaksud adalah alkohol dan formalin. Sehingga ketika praktikan ingin mengawetkan avertebrata air tidak terbatas oleh ketersediaan bahan tersebut

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2007. Crustacea. Jakarta : Pakar Raya. [Anonim].1987. Statistik Ekspor dan Impor Hasil Perikanan.Direktorat Jendral Perikanan, Departemen Pertanian. Jakarta. [Anonim].Abalone.http://cesteraurora.blogspot.com (diakses pada tanggal 18 oktober 2011) Bahar Burhan. 2006. Panduan Praktis Memilih dan Menangani Produk Perikanan.Gramedia Media Pustaka. Jakarta. Dyah S. 1991. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta Fallu, Ric. 1991.Abalone Farming . USA : Fishing News Books [JMPPMA] Japan Marine Products P hoto Material Association. 1980.Fisheries in Japan : Abalone &Oyster. Tokyo : Uichi Noda Oemarjati,S. 1990. Taksonomi.Universitas Indonesia Press. Jakarta. RoperC.F.E. M.J. Sweeney dan C.E. Nauen. 1984. Chephalopoda of the Word. Annotated and llustrated Catalogue of Spesies of Interest of Fisheries. FAO Spesies Catalogue (125) Vol. 33: 277p Suwignyo S.1989. Avertebrata Air. Lembaga Sumberdaya Informasi, Fakultas Perikanan, IPB. Bogor. Subani W dan H.R.Barus .1998/1999. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Balai Penelitian Perikanan Laut. Afrianto Eddy., dkk , Kamus Istilah Perikanan. 1996. Kanisius , Yogyakarta