kekuatan hukum momerandum of understanding ( mou …
TRANSCRIPT
KEKUATAN HUKUM MOMERANDUM OF UNDERSTANDING ( MoU )
PADA PERJANJIAN KAWASAN PENGEMBANGAN LOT C-5 ANTARA PT.
PENGEMBANGAN PARIWISATA BALI (PERSERO ) DENGAN PT. JAYA
MAKMUR BERSAMA JAKARTA.
(Analisis Putusan MA Nomor : 1788 K/Pdt/2014 )
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Luthfi Muhammad
Nim : 1113048000019
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
PROGRAM STUDI I L M U HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438H/2017 M
iv
ABSTRAK
Luthfi Muhammad, NIM 1113048000019, KEKUATAN HUKUM
MOMERANDUM OF UNDERSTANDING ( MoU ) PADA PERJANJIAN
KAWASAN PENGEMBANGAN LOT C-5 ANTARA PT. PENGEMBANGAN
PARIWISATA BALI (PERSERO ) DENGAN PT. JAYA MAKMUR
BERSAMA JAKARTA. (Analisis Putusan MA Nomor: 1788 K/Pdt/2014), Strata
satu (S1), Kosentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Islam
Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/2017 M, ix+75+ 43 halaman
lampiran. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan Hukum Memorandum of
Understanding pada kasus sengketa antara PT. Pengembangan Bali Persero dan PT.
Makmur Jaya Bersama. Latar Belakang penelitian ini adalah berkaitan dengan
pembuatan MoU menyerupai kontrak yang diperselisihkan oleh pihak yang
membuatnya. Penelitian ini bersifat library research, mengkaji putusan Mahkamah
Agung Nomor : 1788 K/Pdt/2014 dan mengaitkan ke undang-undang yang berlaku
untuk mendukung penelitian. Metode analisis yang digunakan adalah yuridis normatif
dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach),
pendekatan kasus (case study) serta pendekatan konseptual (conceptual approach).
Dalam penelitian ini menggunakan tiga bahan hukum yakni, bahan hukum primer
terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perjanjian, putusan
Mahkamah Agung Nomor : 1788 K/Pdt/2014 dan aturan perundang-undangan lain
yang terkait. bahan hukum sekunder terdiri dari publikasi tentang hukum dalam
perjanjian meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-
komentar atas putusan pengadilan, bahan non hukum terdiri dari buku-buku
mengenai Ilmu Ekonomi, Sosiologi, transaksi bisnis atau laporan-laporan penelitian
non-hukum. Hasil penelitian menunjukan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata secara jelas menjelaskan bahwa apabila syarat sah suatu perjanjian tidak
sempurna, maka suatu perjanjian tersebut dinyatakan tidak sah.
Kata Kunci : Kekuatan hukum, Memorandum of Understanding
Pembimbing : Dra. Hafni Muchtar, S.H., M.H., MM.
Dewi Sukarti, M.A.
Sumber Rujukan dari 1984 sampai 2014
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Segala Puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia yang tidak
terhingga banyakanya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga
akhir zaman.
Dengan mengucap Alhamdullilahi Robbil „alamin penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan judul “KEKUATAN HUKUM MOMERANDUM OF
UNDERSTANDING ( MoU ) PADA PERJANJIAN KAWASAN
PENGEMBANGAN LOT C-5 ANTARA PT. PENGEMBANGAN
PARIWISATA BALI (PERSERO ) DENGAN PT. JAYA MAKMUR
BERSAMA JAKARTA (Analisis Putusan MA Nomor : 1788 K/Pdt/2014 )”.
Penelitian ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Peneliti dalam membuat penulisan ini, mengalami berbagai kesulitan,
mengingat penulisan tersebut terbilang masih baru, namun hal ini dijadikan motivasi
untuk menggapai cita-cita lebih tinggi. Terciptanya penulisan ini tidak terlepas dari
pengetahuan keilmuan peneliti dapatkan dari berbagai sumber. Oleh karena itu, dalam
vi
kesempatan ini ingin peneliti sampaikan dengan setulus hati ucapan terima kasih
kepada Yang Terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H.,M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan
Drs. Abu Tamrin, S.H.,M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan arahan serta masukan atas
penyusunan skripsi
3. Dra. Hafni Muchtar, S.H., M.H., MM. dosen Pembimbing I yang telah bersedia
menyediakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan saran dan masukan
terhadap proses penyusunan skripsi ini
4. Dewi Sukarti, M.A. Selaku dosen Pembimbing II yang telah bersedia menyediakan
waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan saran dan masukan terhadap
proses penyusunan skripsi ini
5. Kedua Orang tua yang sangat saya cintai & sayangi, Bapak Syarifudin dan Ibu Nur
Azizah yang telah mendoakan, mendoakan, mendukung, dan menjadi motivasi
untuk menyelesaikan skripsi ini, tanpa kalian saya tidak akan bisa sampai ke tahap
ini.
6. Adik penulis, Hafizul Qurro, Azka Farezi Ramadhan, dan Ahmad Adnan Muzaki
yang sangat saya sayangi dan cintai telah menjadi inspirasi Penulis untuk bisa
vii
dibanggakan dan Keluarga Besar Penulis yang selalu mendoakan agar penelitian
ini terselesaikan.
7. Sahabat-sahabat penulis, Agesa Abdullah Muksid, Edi Hernawan, Elvin Maulani
Ma’ruf, dan Abdul Rizal Asror yang telah membantu memberikan semangat
kepada penulis.
8. Teman – teman Ilmu Hukum angakatan 2013 yang telah membantu memberikan
semangat kepada penulis, semoga teman-teman dapat menyelesaikan skripsi
dengan segera.
Akhir kata, atas jasa dan bantuan semua pihak yang telah membantu & memberikan
masukan, semoga Allah memberikan balasan yang berlipat. Penulis berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademis, masyarakat serta para pembaca
kalangan umumnya.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Jakarta, 18 Juni 2017
Luthfi Muhammad
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………………….... 1
B. Identifikasi Masalah…………………………………………………………… .. 8
C. Pembatasan Dan Rumusan Masalah…………………………………………... .. 9
D. Tujuan dan Penelitian…………………………………………………………. 10
E. Tinjauan ( review ) Kajian Terdahulu…………………………………………. 11
F. Definisi Operasional…………………………………………………………... 14
G. Kerangka Konseptual………………………………………………………….. 15
H. Metode Penelitian……………………………………………………………... 17
I. Sistematika Penelitian………………………………………………………… 21
BAB II DEFINISI MOU, DAN PERJANJIAN KONTRAK
A. Memorandum of Understanding ( MoU )
1. Istilah dan Pengertian Memorandum of Understanding………………. 23
2. Tujuan dibuatnya Memorandum of Understanding…………………… 27
3. Struktur Memorandum of Understanding……………………………... 29
4. Jangka waktu berlakunya Memorandum of Understanding…………... 30
B. Perjanjian Kontrak
1. Istilah dan Pengertian Kontrak………………………………………… 30
2. Struktur Kontrak………………………………………………………. 32
BAB III KEKUATAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM
PERJANJIAN
1. Kekuatan Memorandum of Understanding menurut KUH Perdata…… 35
2. Kekuatan Memorandum of Understanding menurut Hukum
Kontrak………………………………………………………………... 42
ix
BAB IV MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1788 K/PDT.G/2014
1. Posisi Kasus……………………………………………………………. 53
2. Pertimbangan dan Interpretasi Hakim…………………………………. 56
3. Analisis Penyelesaian sengketa antara pihak PT.Pengembangan Bali
(Persero) dengan PT. Jaya Makmur Bersama pada Klausul
pelanggaran Memorandun of Understanding dalam putusan Perkara
Mahkamah Agung NOMOR : 1788
K/Pdt.G/2014………………………………………………………….. 60
BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan…………………………………………………………… 69
2. Saran ………………………………………………………………... 72
Daftar Pustaka………………………………………………………………………. 74
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kontrak merupakan bagian dalam proses transaksi bisnis, baik
transaksi bisnis dalam negeri maupun bisnis luar negeri. Fungsi perjanjian
kontrak sangatlah penting dalam menjamin bahwa seluruh hak dan kewajiban
para pihak dapat terlaksana dan dipenuhi.hukuman bagi Para pihak yang gagal
ataupun lalai melakukan kewajiban atau prestasi yang telah disanggupinya
dalam kontrak ( wanprestasi ) pelaksanaannya dijamin oleh pengadilan. Yaitu
: pengadilan akan membuat suatu putusan yang menghukum pihak yang
melakukan wanprestasi untuk mengganti kerugian dalam bentuk uang yang
meliputi : biaya yang telah dikeluarkan sehubungan dengan pelaksaan
kontrak, ganti kerugian yang dialami oleh pihak berkontrak yang dirugikan
akibat dari tindakan wanprestasi, termasuk juga bunga yang dibebankan
terhadap ganti rugi ,yang secara umum dijamin pelunasannya dari harta pihak
yang wanprestasi.1
Kontrak – kontrak yang telah diatur dalam KUH Perdata, seperti jual –
beli, tukar – menukar, sewa – menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan
barang, pinjam pakai, pinjam – meminjam, pemberian kuasa, penanggungan
1 Ricardo Simanjutak, Hukum Kontrak Teknik Perancangan Kontrak Bisnis,( Jakarta : kontan
2
utang, perjanjian untung-untungan, dan perdamaian. Diluar KUH Perdata, kini
telah berkembang kontrak baru, seperti Leasing, beli – sewa, production
sharing, joint venture,dan lain lain. Walaupun kontrak – kontrak itu telah
hidup dan berkembang dalam masyarakat, namun peraturan yang berbentuk
Undang – Undang belum ada. Yang ada hanya dalam bentuk Peraturan
Mentri. Peraturan itu hanya terbatas pada peraturan yang mengandung tentang
Leasing, sedangkan kontrak – kontrak yang lain belum mendapat pengaturan
secara khusus. Akibat dari tidak adanya kepastian hukum tentang kontrak
tersebut maka akan menimbulkan persoalan dalam dunia perdagangan,
terutama ketidakpastian bagi para pihak yang mengadakan kontrak.2
Suatu kontrak bisa dianggap sah jika memenuhi syarat-syarat sah
perjanjian yang ada dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Empat syarat sahnya perjanjian yaitu:3
1. Adanya kesepakatan antara dua belah pihak.
2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Adanya objek, dan
4. Adanya kausa yang halal.
2 Salim H.S., Hukum Kontrak : “Teori dan teknik penyusunan kontrak “, ( Jakarta : Sinar
Grafika,2006 ),h. 2.
3 Salim H.S., Hukum Kontrak : “Teori dan teknik penyusunan kontrak “, h. 33.
3
Kendatipun kini terdapat perkembangan yang sangat menggembirakan
yaitu dengan aktifnya keterlibatan Indonesia dalam pendesainan dan
penandatanganan perjanjian-perjanjian yang bersifat melindungi pelaku
bisnis, seperti GATT Anti-Dumping Code, dan beberapa konvensi
internasional penting lainnya seperti Convention of the law applicable to
international sales of goods (1995) dan penandatanganan WTO Agreement.4
Harus disadari bahwa perjanjian - perjanjian itu sebenarnya terbatas,
Transaksi - transaksi bisnis WTO dilakukan terbatas dalam kerangka WTO.
Dalam hal penyelesaian sengketa, juga ditentukan. bahwa Badan Penyelesaian
Sengketa (Disputes Settlement Body) WTO hanya berurusan dengan sengketa-
sengketa yang timbul akibat dari pelaksanaan perjanjian (WTO Agreement)
dan sama sekali tidak berkaitan dengan perjanjian yang bersifat privat yang
dibuat untuk suatu transaksi antar perusahaan. Ketentuan tersebut
menunjukkan bahwa untuk masalah-masalah yang bersifat privat, yang
berkaitan dengan transaksi bisnis internasional, tetap berlaku hukum kontrak.
Oleh karena itu, subyek bisnis, tetap mengusahakan perlindungan sendiri
melalui kontrak yang dibentuk dari akibat-akibat perilaku curang mitra
bisnisnya.5
4 Ida Bagus Wiyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Intemasional dalam Transaksi Bisnis
Intemasional, ( Bandung: Refika Aditama,1997 ), h. 39.
5 Ida Bagus Wiyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Intemasional dalam Transaksi Bisnis
Intemasional, h. 40.
4
Dalam Rumusan suatu kontrak, semakin banyak detail yang
dimasukkan dalam suatu kontrak tersebut, maka akan semakin baik pula suatu
kontrak. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam dunia bisnis terdapat
kontrak yang jumlah halamannya mencapai puluhan bahkan ratusan lembar
dengan tujuan membuat kontrak sedetail mungkin, demi membuat pihak yang
melaksanakan suatu kontrak tidak berselisih paham di kemudian hari, atau
bahkan melakukan wanprestasi. Namun, biasanya dalam skala bisnis besar,
para pebisnis tidak langsung mengadakan suatu perjanjian kontrak, tetapi
terlebih dahulu melakukan suatu kesepahaman yang dituangkan dalam bentuk
nota dan ditandatangani oleh kedua belah pihak sebelum menuju ke suatu
perjanjian kontrak. Nota Kesepakatan semacam ini sering disebut sebagai
Memorandum of understanding.
Sebelum transaksi bisnis berlangsung, biasanya terlebih dahulu
dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu proses upaya untuk
mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Dalam negosiasi inilah proses tawar
menawar berlangsung. Tahapan berikutnya pembuatan MoU. MoU
merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut
dalam bentuk tertulis. MoU penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih
lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi
kelayakan. Maksudnya sebagai studi kelayakan adalah setelah pihak-pihak
memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman awal, baru dilanjutkan
5
dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat
tingkat kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut
pandang yang diperlukan misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik,
lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan
dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau
negosiasi lanjutan.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan hukum
Indonesia tidak mengenal dan tidak mengatur tentang Memorandum of
Understanding (MoU). karna sebenarnya MoU berasal dari sistem hukum
Common Law atau Anglo saxon seperti Belanda, Perancis, dll. Sedangkan
Indonesia menganut system civil law atau Eropa Kontinental. Akan Tetapi,
Indonesia saat ini memberlakukan MoU dengan meniru (mengadopsi) apa
yang dipraktekkan secara internasional. Jadi sebenarnya dengan Indonesia
memberlakukan MoU itu telah ikut memperkaya istilah dalam kontrak bisnis
di Indonesia.
Dengan tidak diaturnya MoU di dalam hukum Indonesia dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, maka banyak menimbulkan
kesimpangsiuran dan ketidak tahuan tentang MoU itu sendiri. Dewasa ini
banyak sekali ketidaktahuan dan kebingungan terhadap status dari MoU,
sehingga sepenting apakah MoU dalam suatu kontrak bisnis, apakah MoU
termasuk dalam perjanjian, bagaimana cara membuatnya, siapa pihak yang
6
bertanggung jawab apabila terjadi suatu pengingkaran di dalam kesepakatan
semacam ini, mengingat Memorandum of Understanding hanya merupakan
suatu nota-nota kesepakatan saja.dan yang paling sering terjadi dewasa ini,
adalah perjanjian MoU yang notabene adalah nota kesepahaman namun berisi
perjanjian kontrak. Sebuah kekeliruan yang dirasa fatal dalam suatu kontrak
dalam berbisnis.
Sebagai contoh adalah kasus antara PT. Pengembangan Bali (Persero)
dengan PT. Jaya Makmur Bersama tentang Pengembangan Lot C-5 (Kantor
BTDC). PT. Pengembangan Bali bermaksud untuk mengembangan kawasan
Lot C-5 di atas lahan dengan Sertipikat Hak Pengelolaan Nomor 4/Desa
Benoa, oleh karenanya PT. Pengembangan Bali mencari investor yang
mempunyai kemampuan untuk menyelenggarakan dan mengoperasikan
kawasan Lot C-5 menjadi suatu kawasan pariwisata. Kemudian PT.
Pengembangan Bali ( Persero ) menunjuk PT. Jaya Makmur Bersama yang
merupakan suatu perseroan yang bergerak di bidang Akomodasi, Rekreasi
serta Hiburan.
PT. Pengembangan Bali dan PT. Jaya Makmur Bersama sepakat
membuat kesepahaman berupa MoU yang telah dirumuskan secara detail dan
terperinci mengenai ketentuan-ketentuannya bagi para pihak, sehingga MOU
tersebut telah dapat dipersamakan dengan perjanjian dan mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat berdasarkan KUH Perdata, karena telah
7
memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sesuai Pasal 1320 KUH Perdata.
Namun kedua pihak sepakat akan membuat suatu kontrak setelah dibuatnya
MoU. atas dasar MoU tersebut, PT. Jaya Makmur Bersama telah
mengeluarkan biaya-biaya demi terwujudnya kerjasama pengembangan
sebagaimana tertuang dalam MoU sejumlah uang sebesar
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Namun PT.
Pengembangan Bali ( Persero ) tak kunjung menerima tawaran dari PT. Jaya
Makmur Bersama untuk melakukan Kontrak. Akan tetapi, PT.
Pengembangan Bali ( Persero ) menolak secara sepihak pembuatan Kontrak,
bahkan membatalkan perjanjian. PT. Pengembangan Bali (Persero) berdalih
bahwa MoU yang dibuat adalah Nota Kesepahaman saja dan tidak memiliki
kekuatan Hukum.
Hal ini menjadi kerugian yang dialami oleh PT. Jaya Makmur
Bersama karena sudah mengeluarkan dana untuk merealisasikan apa yang
tertuang dalam MoU. Dengan alasan ini, PT. Jaya Makmur Bersama
menggugat PT. Pengembangan Bali ( Persero ) ke Pengadilan Negeri
Denpasar. Kasus ini berlanjut sampai ke tahap Kasasi di Mahkamah Agung.
Berdasarkan latar belakang inilah peneliti tertarik untuk membahas
masalah yang menyangkut informasi tentang Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding ) yang dirasa masih sedikit informasi untuk
peneliti ketahui. Demikian juga persoalan MoU (Nota Kesepakatan) yang
8
terjadi antara pihak perusahaan PT.Pengembangan Putusan pengadilan Bali
dan PT. Jaya Makmur Bersama. Peneliti ingin menganalisis lebih dalam
mengenai kasus tersebut. untuk itu, dari penjelasan dan permasalahan diatas
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “KEKUATAN
HUKUM MOMERANDUM OF UNDERSTANDING ( MoU ) PADA
PERJANJIAN KAWASAN PENGEMBANGAN LOT C-5 ANTARA PT.
PENGEMBANGAN PARIWISATA BALI (PERSERO ) DENGAN PT.
JAYA MAKMUR BERSAMA JAKARTA (Analisis Putusan MA Nomor
: 1788 K/Pdt/2014 )”.
B. Identifikasi Masalah
Dalam hal permasalahan merupakan kesenjangan antara apa yang
seharusnya dengan apa yang sebenarnya, antara apa yang diperlukan dengan
apa yang tersedia, antara harapan dengan capaian, atau singkatnya das sollen
dengan das sain.6
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun dalam hal ini masalah yang
akan di identifikasi adalah:
1. Perbedaan ketentuan Memorandum of Understanding dan Perjanjian
menurut KUH Perdata dengan putusan MA Nomor : 1788 K/Pdt/2014
6 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005), h.103.
9
2. Status hukum dari Memorandum of Understanding sebagai perjanjian
yang tidak mengikat secara hukum
3. Penyelesaian sengketa apabila salah satu Pihak melanggar klausul
Memorandum of Understanding dalam perundang-undangan di Indonesia
dan Hukum Internasional dalam putusan hakim MA.
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat pembahasan tentang MoU cukup luas, untuk lebih
terarahnya sasaran sesuai dengan judul yang telah peneliti kemukakan
diatas, peneliti memberikan pembatasan masalah pada :
a. Perbedaan Memorandum of Understanding dan Perjanjian menurut
KUH Perdata dan kontrak bisnis yang dikaitkan dengan putusan MA
Nomor : 1788 K/Pdt/2014, untuk menjawab permasalahan status
Momerandum Of understanding ( MoU ) dalam prespektif kontrak
Bisnis pada putusan,
b. Penyelesaian sengketa apabila salah satu Pihak melanggar klausul
Memorandum of Understanding dalam perundang-undangan di
Indonesia dan Hukum Internasional dalam putusan hakim MA
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang dan pembatasan masalah diatas,
maka dalam penelitian ini ada beberapa masalah yang dirumuskan dan
10
dicari penyelesaiannya secara ilmiah. Adapun masalah tersebut sebagai
berikut:
a. Bagaimana Kekuatan & Kedudukan hukum MoU ( Memorandum Of
Understanding ) menurut KUH Perdata dan kontrak bisnis ?
b. Bagaimana penyelesaian sengketa jika salah satu pihak melanggar
klausul Memorandun of Understanding dalam putusan Perkara
Mahkamah Agung Nomor : 1788 K/Pdt/2014 ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian disini ialah penelitian berkenaan dengan maksud
peneliti melakukan penelitian, terkait dengan perumusan masalah dan
judul. Peneliti mempunyai tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui
penelitian ini. Adapun tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui Kekuatan & Kedudukan hukum MoU
(Memorandum Of Understanding ) menurut KUH Perdata dan kontrak
bisnis
b. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa jika salah satu pihak
melanggar klausul Memorandun of Understanding dalam putusan
Perkara Mahkamah Agung Nomor : 1788 K/Pdt/2014.
11
2. Manfaat Penelitian
Setiap Penelitian selalu diharapkan dapat memberi manfaat
pada berbagai pihak. Adapun manfaat dari penelitian yang akan
dilakukan oleh peneliti adalah :
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran dan
perkembangan pengetahuan ilmu hukum kontrak bisnis mengenai
Nota Kesepahaman ( Memorandum of Understanding).
b. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
masukan dan perbaikan bagi para penegak hukum agar menerapkan
hukum.
E. Tinjauan ( Review ) Studi Terdahulu yang Relevan
Untuk menghindari duplikasi penelitian, peneliti melakukan penelusuran
terhadap penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini, penelitian
tersebut diantaranya:
1. Skripsi yang berjudul “ ANALISIS WANPRESTASI PERJANJIAN
BUILD OPERATE TRANSFER TERKAIT ADDENDUM
PERJANJIAN DAN AKIBAT HUKUMNYA. ( TINJAUAN
PUTUSAN PN JAKARTA PUSAT NOMOR
157/PDT.G/2010/PN.JKT.PST) ” yang disusun oleh Azhary Arsyad
12
Sulaiman Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Ilmu Hukum Tahun 2015. Pada
skripsi tersebut terdapat persamaan dengan yang akan peneliti tulis
diantaranya pada skripsi tersebut objek perjanjian sama – sama tentang
perjanjian dan kajiannya sama – sama membahas soal wanprestasi.
Hal yang membedakan antara skripsi tersebut dan Skripsi peneliti
adalah fokus permasalahan yang dibahas. Skripsi tersebut membahas
wanprestasi perjanjian Build Operate Transfer, sedangkan skripsi peneliti
membahas kedudukan MoU dari kawasan Lot C-5. Perbedaan lainnya
antara skripsi tersebut dengan skripsi peneliti adalah skripsi tersebut
berfokus pada wanprestasi Perjanjiannya, sedangkan skripsi peneliti
berfokus pada kedudukan dari MoU . Kemudian yang terakhir, yang
membedakan skripsi peneliti adalah peneliti menggunakan analisis putusan
dari Mahkamah Agung, sedangkan skripsi tersebut menggunakan analisis
putusan Pengadilan Negeri.
2. Skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
DEBITUR WANPRESTASI DALAM KREDIT TANPA AGUNAN
DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN” yang disusun oleh
Madama Taufiq, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Ilmu Hukum Tahun 2014.
13
Pada skripsi tersebut terdapat persamaan dengan yang akan peneliti tulis
diantaranya pada Skripsi tersebut objek perjanjian sama – sama tentang
Perjanjian dan kajiannya sama – sama membahas soal wanprestasi. Namun
hal yang membedakan antara skripsi tersebut dan Skripsi peneliti adalah
fokus permasalahan yang dibahas, skripsi tersebut membahas wanprestasi
dalam kredit anggunan, sedangkan skripsi peneliti membahas kedudukan
MoU dari pada kawasan Lot C-5.
Perbedaan lainnya antara skripsi tersebut dengan skripsi peneliti
adalah skripsi tersebut berfokus pada wanprestasi Perjanjiannya, sedangkan
skripsi peneliti berfokus pada kedudukan dari MoU, Kemudian yang
terakhir, yang membedakan skripsi peneliti adalah peneliti menganalisis
putusan dari Mahkamah Agung, sedangkan skripsi tersebut menganalisis
Undang Undang No 88 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
3. Buku yang berjudul “ PERANCANGAN KONTRAK DAN
MEMORANDUM OF UNDERSTANDING ( MOU ) ” yang dibuat oleh
H. Salim HS., S.H., M.S., H. Abdullah, S.H. (Notaris), Wiwiek
Wahyuningsih, S.H., M.Kn. dan diterbitkan oleh Sinar Grafika Pada Tahun
2012. Persamaan buku tersebut dengan Skripsi peneliti adalah sama – sama
membahas tentang MoU, namun hal yang membedakan Skripsi peneliti
dengan buku tersebut adalah fokus analisa. Pada buku tersebut tidak hanya
membahas MoU, tetapi juga membahas perancangan kontrak. Sedangkan
14
Penelitian Peneliti membahas sepenuhnya tentang MoU. Adapun dalam
buku ini penulis dapat mengambil teori-teori perjanjian seperti asas itikad
baik, asas personalia, dan asas kebebasan berkontrak.
F. Definisi Operasional
Agar tidak menimbulkan makna bias dari pengertian masing – masing yang
berkaitan dengan skripsi ini, maka konsepsi atau operational definition sangat
diperlukan, adapun konsepsi tersebut sebagai berikut :
a. Wanprestasi
Wanprestasi adalah apabila si berutang ( debitur ) tidak melakukan apa
yang dijanjikan akan dilakukannya, alpa, lalai, atau cedera janji. Atau juga
melanggar perjanjian, yaitu apabila melakukan atau berbuat sesuatu yang
tidak boleh dilakukannya.7
b. Nota Kesepahaman / MoU
suatu nota dimana masing-masing pihak melakukan penandatanganan MoU
sebagai suatu pedoman awal tanda adanya suatu kesepahaman diantara
para pihak.
c. Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian Sengketa adalah penyelesaian pertentangan antara dua pihak
atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu
kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi
7 Subekti, Pokok – Pokok Hukum Perdata, ( Jakarta: Intermasa,2001,), cet. 26, h. 45.
15
keduanya. Penyelesaian Sengketa yaitu berupa negosiasi, mediasi,
Konsiliasi, dan Arbitase.
d. Hukum Kontrak
Hukum kontrak adalah hukum yang mengatur tentang kaidah yang
mengatur keseluruhan hubungan hukum antara 2 pihak atau lebih. Hukum
ini didasarkan pada kata sepakat yang muncul dari 2 pihak atau lebih dalam
perjanjian.8
e. Jual – Beli
Jual beli Adalah suatu perjanjian bertimbal – balik dalam mana pihak yang
satu ( si penjual ) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang,
sedang pihak yang lainnya ( si pembeli ) berjanji untuk membayar harga
yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik
tersebut.9
G. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep
satu dengan konsep lainnya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka
konseptual ini gunanya untuk menghubungkan dan menjelaskan tentang suatu
topik yang akan dibahas. Berikut ini akan digambarkan kerangka konseptual
yang digunakan dalam penelitian ini:
8 Salim H.S.,S.H.,M.S, Hukum Kontrak : Teori dan teknik penyusunan kontrak , h. 4.
9 Subekti, Aneka Perjanjian, ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2014 ), cet.11, h. 1.
16
Perjanjian
Peraturan Perundang-undangan :
-Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
-Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang
Penyelesaian Permasalahan
oleh Hakim
Das Sein
Dalam pelaksanaannya
masih didapati sebuah Mou
yang bersubstansi Kontrak
yang dibuat oleh Kedua
belah pihak dalam
melaksanakan suatu
perjanjian.
Das Sollen
Nota
kesepahaman (memorandum of
understanding atau MoU)
adalah sebuah
dokumen legal yang
menjelaskan persetujuan antara
dua belah pihak. MoU tidak
seformal sebuah kontrak.
Memorandum Of
Understanding
Syarat Sahnya Perjanjian:
-Adanya Kesepakatan Antara Kedua
Belah Pihak
-Kecakapan untuk Melakukan Perbuatan
Hukum
-Adanya Objek
-Adanya Kuasa yang Halal
17
H. Metode Penelitian
Metode merupakan strategi utama dalam pengumpulan data – data
yang diperlukan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam
penelitian ini. Pada dasarnya sesuatu yang dicari dalam penelitian ini tidak
lain adalah “ pengetahuan ” atau lebih tepatnya “ pengetahuan yang benar ”,
dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai untuk menjawab
pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu.10
Metode penelitiaan menggunakan
suatu penelitian, mencari informasi secara terencana dan sistematis.
1. Jenis Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti
tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.11
Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum yuridis normatif. Penelitian hukum yuridis normatif adalah suatu
prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan
10 Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2012 ),
h. 27-28.
11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
cet-III 1986) h. 42.
18
logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya12
, serta suatu penelitian yang
merupakan studi dokumen.13
Dalam penelitian jenis ini hukum
dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-
undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.14
Penelitian ini mengacu pada pada putusan Mahkamah Agung sebagai
putusan yang dianalisis dan dikaitkan dengan landasan norma hukum yang
berlaku pada kasus tentang MoU ini.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan penulis dari beberapa pendekatan diatas
adalah pendekatan perundang-undangan (statutary approach) dan
Pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan perundangan-
undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
ditangani.15
12 Amirudin dan Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta : RajawaliPers,
2012 ), h.30.
13 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2010 ),h.47.
14 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), h.118.
15 Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, ( Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2011), h. 24.
19
Pendekatan perundang-undangan ini yang akan yang akan dipakai
untuk meneliti kasus antara PT. pengembangan Pariwisata Bali dan PT.
Makmur Jaya Bersama. Pendekatan konsep digunakan untuk memahami
konsep-konsep dalam penelitian mengenai kedudukan hukum MoU dalam
perkara lahan Lot C-5.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Studi pustaka (library research) yaitu dengan cara membaca buku buku
dan mempelajari literatur-literatur yang selanjutnya diolah dan
dirumuskan secara sistematis sesuai dengan masing-masing pokok
bahasannya dengan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada
peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan terkait kedudukan
hukum MoU dalam perkara perjanjian lahan Lot C-5 antara PT.
Pengembangan Pariwisata Bali dengan PT. Makmur Jaya Bersama.
Selain itu, peneliti juga menggunakan Studi dokumen, yaitu salah satu
metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis
dokumen-dokumen seperti Letter of Intent, Memorandum of
Understanding, dan Perjanjian Kontrak yang akan dikaitkan pada putusan
Mahkamah Agung mengenai kasus MoU ini.
20
4. Metode Analisa Data
Analisa bahan hukum dalam penelitian skripsi ini menggunakan
metode analisis deskriptif dimana peneliti akan menganalisis sebuah MoU
antara PT. Pengembangan Bali Persero dan PT. Makmur Jaya Bersama
dimana MoU tersebut dijadikan kontrak oleh PT. Makmur Jaya Bersama
sehingga kekuatan MoU tersebut mengikat sebagai suatu perjanjian yang
harus ditaati oleh kedua belah pihak.
5. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan sumber data primer karena dalam
penelitian ini data yang diperoleh dari Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Putusan Pengadilan. Penelitian ini juga menggunakan
Sumber data sekunder karena diperoleh dari dari hasil kepustakaan antara
lain buku, Internet, artikel, serta literatur lainnya yang berhubungan
dengan hak kekayaan intelektual.
6. Teknik Penulisan Skripsi
Teknik penelitian dan pedoman yang digunakan oleh peneliti dalam
skripsi ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulian Skripsi dan buku
“Pedoman Penelitian Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”.
21
I. Sistematika Penelitian
Untuk memudahkan alur pemahaman dan alur pemikiran yang logis
dalam penelitian ini, peneliti akan memberikan gambaran umum secara
sistematis tentang keseluruhan penelitian ini. Peneliti membagi dalam
beberapa bab, yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan menguraikan tentang latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan, manfaat, Tinjauan (Review) studi Terdahulu, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II KERANGKA TEORI
Dalam bab ini akan dibahas mengenai Pengertian
Memorandum of Understanding, tujuan dibuatnya
Memorandum of Understanding, struktur Memorandum of
Understanding, jangka waktu Memorandum of Understanding,
Istilah dan Pengertian Kontrak, struktur Kontrak.
BAB III KEKUATAN MOU DALAM PERJANJIAN
Dalam Bab ini akan membahas tentang kekuatan Hukum
Memorandum of Understanding (MoU) dalam Perjanjian
yang dinilai dari segi KUH PERDATA dan juga dari segi
Hukum Kontrak.
22
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG Nomor 1788
K/Pdt/2014
Pembahasan ini mengenai Kedudukan dan kekuatan hukum
MoU ( Memorandum Of Understanding ) pada putusan Perkara
Mahkamah Agung Nomor 1788 K/Pdt/2014, dan Penyelesaian
sengketa antara pihak PT.Pengembangan Bali ( Persero )
dengan PT. Jaya Makmur Bersama pada Klausul pelanggaran
Memorandun of Understanding yang dalam putusan Perkara
Mahkamah Agung Nomor 1788 K/Pdt/2014.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini peneliti akan membuat kesimpulan dan saran dari
analisa permasalahan yang peneliti ajukan yang berguna untuk
perbaikan di masa yang akan datang.
23
BAB II
DEFINISI MOU, DAN PERJANJIAN KONTRAK
A. Pengertian Memorandum Of Understanding
Kontrak yang disebut pula kontrak awal yang lazim disebut dengan
Memorandum of Understanding (MoU). Acapkali istilah yang digunakan adalah
Letter of Intent. Bentuk seperti ini biasanya disebut pula dengan dokumen pra-
kontrak atau precontractual document atau precontractual instrument. Bentuk
kontrak seperti ini merupakan suatu dokumen yang memuat keinginan (awal) para
pihak. Bentuk kontrak ini biasanya digunakan sebagai kontrak awal sebelum
masuk ke kontrak-kontrak turunannya yang lebih kompleks dan rinci.16
Istilah Memorandum of Understanding berasal dari dua kata, yaitu
Memorandum dan Understanding. Secara gramatikal Memorandum of
Understanding diartikan sebagai nota kesepahaman. Memorandum adalah : Dasar
untuk memulai penyusunan kontrak secara formal pada masa datang.
Understanding diartikan sebagai pernyataan persetujuan secara tidak langsung
terhadap hubungannya dengan persetujuan lain, baik secara lisan maupun tertulis.
Dari terjemahan kedua kata itu, dapat dirumuskan pengertian Memorandum of
Understanding. Memorandum of Understanding adalah dasar penyusunan kontrak
pada masa datang yang didasarkan pada hasil permufakatan para pihak, baik
16 Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional,( Bandung : PT. Refika Aditama,
2007 ), h. 106.
24
secara tertulis maupun lisan.17
Memorandum of Understanding dalam pengertian
idealnya sebenarnya merupakan suatu bentuk perjanjian ataupun kesepakatan
awal menyatakan langkah pencapaian saling pengertian antara kedua belah pihak
untuk melangkah kemudian pada penandatanganan suatu kontrak.18
Kesepakatan untuk membangun kesamaan pengertian antara pihak sebelum
masuk jauh sebelum ikatan bisnis sangat sering terjadi dalam aktivitas bisnis. Hal
tersebut sering dilatarbelakangi keinginan ataupun langkah untuk memastikan
bahwa masing-masing pihak telah saling mengenal dan memiliki kesamaan
pemahaman dalam upaya mengurangi rasio kegagalan (mitigation of Risk of
failure) dalam aktivitas bisnis yang selanjutnya akan diikat dalam suatu kontrak.
Khususnya bagi investor ataupun financier, ataupun para pelaku bisnis bermodal
kuat dan reputasi baik yang akan melakukan aktivitas bisnis di dalam, atau
apalagi diluar wilayah negaranya ataupun dengan pihak (pelaku bisnis) yang
masih baru baginya, sering akan mendahului pendatanganan Memorandum of
Understanding sebagai bagian dari negosiasi untuk menjajaki sampai sejauh
mana mitra bisnis tersebut dapat memenuhi harapannya sebelum masuk tahap ke-
penandatanganan kontrak. Hal serupa juga berlaku bagi mitra bisnisnya tersebut,
17 Salim HS, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h .46.
18 Ricardo Simanjutak, Hukum Kontrak & Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, h. 45.
25
sebagai pihak yang juga ingin mengenal lebih mendalam calon mitra bisnis asing
ataupun investor asing tersebut.19
Menurut Munir Fuady, Memorandum of Understanding di definisikan sebagai
Perjanjian pendahuluan, dalam arti nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam
perjanjian lain yang mengaturnya secara detail. Karena itu, Memorandum of
Understanding berisikan hal-hal yang pokok saja. Adapun mengenai lain-lain
aspek dari Memorandum of Understanding relatif sama dengan perjanjian-
perjanjian lain.20
Erman Rajagukguk mengartikan Memorandum of Understanding sebagai
berikut ; Dokumen yang memuat saling pengertian diantara para pihak sebelum
perjanjian dibuat. Isi dari Memorandum of Understanding harus dimasukkan ke
dalam kontrak, sehingga ia mempunyai kekuatan mengikat.21
I. Nyoman Sudana, mengartikan Memorandum of Understanding sebagai
suatu perjanjian pendahuluan, dalam arti akan diikuti perjanjian lainnya. Unsur-
unsur yang terkandung dalam ketiga definisi ini, adalah :
a. Memorandum of Understanding sebagai perjanjian pendahuluan.
b. Isi Memorandum of Understanding adalah mengenai hal-hal yang pokok.
c. Isi Memorandum of Understanding dimasukkan dalam kontrak.
19
Ricardo Simanjutak, Hukum Kontrak & Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, h. 46.
20 Salim HS, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding, h .46.
21 Salim HS, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding, h .47.
26
H. Salim mengartikan Memorandum of Understanding sebagai Nota
kesepahaman yang dibuat antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum
lainnya, baik dalam suatu negara maupun antarnegara untuk melakukan
kerjasama dalam berbagai aspek kehidupan dan jangka waktu tertentu.22
Adapun unsur yang dikandung dalam definisi Memorandum of Understanding
meliputi :
a. Para pihak yang membuat Memorandum of Understanding tersebut adalah
subyek hukum baik berupa, badan hukum publik maupun badan hukum
privat. Badan hukum publik, misalnya Negara, pemerintah provisi, kabupaten
atau kota. Adapun badan hukum privat, antara lain Perseroan Terbatas (PT),
Koperasi dan Yayasan.
b. Substansi Memorandum of Understanding adalah kerjasama dalam berbagai
aspek kehidupan.
c. Wilayah keberlakuan dari Memorandum of Understanding, bisaregional,
nasional maupun internasional.
d. Jangka waktunya tertentu.
Dari pengertian tersebut, sejak awal para pihak telah mempunyai maksud
untuk memberlakuan langkah-langkah tersebut sebagai bagian kesepakatan untuk
bernegosiasi ( agreement to negotiate ). Karena itu langkah-langkah tersebut
22 Salim HS, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding, h .47.
27
seharusnya tidak dimaksudkan untuk menciptakan akibat hukum (no intention to
create legal relation ) terhadap konsekuensi pelaksanaan kesepakatan dari MoU. 23
B. Tujuan Dibuatnya Memorandum of Understanding
Pada prinsipnya, setiap Memorandum of Understanding yang dibuat
oleh para pihak, tentunya mempunyai tujuan tertentu. Munir Fuady telah
mengemukakan tujuan dan ciri Memorandum of Understanding. Tujuan
Memorandum of Understanding adalah :24
a. Untuk menghindari kesulitan pembatalan suatu agreement nantinya, dalam
hal prospek bisnisnya belum jelas benar, dalam arti belum bisa dipastikan
apakah deal kerja sama tersebut akan ditindaklanjuti, sehingga dibuatlah
Memorandum of Understanding yang mudah dibatalkan.
b. Penandatanganan kontrak masih lama karena masih dilakukan negosiasi
yang cukup lama. Karena itu, daripada tidak ada ikatan apa-apa sebelum
ditandatangani kontrak tersebut, dibuatlah Memorandum of
Understanding yang akan berlaku sementara waktu.
c. Adanya keraguan para pihak dan masih perlu waktu untuk memikirkan
dalam hal penandatanganan suatu kontrak, sehingga untuk sementara
dibuatlah Memorandum of Understanding.
23 Ricardo Simanjutak, Hukum Kontrak & Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, h. 45.
24 Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek: Buku Keempat, ( Bandung : PT.Citra
Aditya Bakti, 2002 ), h. 91.
28
d. Memorandum of Understanding dibuat dan ditandatangani oleh pihak
eksekutif dari suatu perusahaan, sehingga untuk suatu perjanjian yang
lebih rinci harus dirancang dan dinegosiasi khusus oleh staf-staf yang
lebih rendah tetapi lebih menguasai secara teknis.
Ciri-ciri Memorandum of Understanding menurut Munir Fuady, adalah
sebagai berikut25
:
Isinya ringkas, bahkan sering sekali satu halaman saja.
Berisikan hal yang pokok saja.
Bersifat pendahuluan saja, yang akan diikuti oleh perjanjian lain yang
lebih rinci.
Mempunyai jangka waktu, misalnya satu bulan, enam bulan ataun
setahun. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ditindaklanjuti dengan
suatu perjanjian yang lebih rinci, perjanjian tersebut akan batal, kecuali
diperpanjang oleh para pihak.
Biasanya dibuat dalam bentuk perjanjian dibawah tangan.
Biasanya tidak ada kewajiban yang bersifat memaksa kepada para pihak
untuk membuat suatu perjanjian yang lebih detail setelah
penandatanganan Memorandum of Understanding.
25 Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek: Buku Keempat, h. 92.
29
William F.Jox Jr juga mengemukakan ciri dari Memorandum of
Understanding. Ia mengemukakan bahwa ada enam ciri Memorandum of
Understanding, yaitu26
:
a. Bentuk dan isinya terbatas.
b. Untuk mengikat pihak lainnnya terhadap berbagai persoalan, untuk
menemukan dan mempelajari tentang beberapa persoalan.
c. Sifatnya sementara dengan batas waktu tertentu.
d. Dapat digunakan sebagai dasar untuk mendatangkan keuntungan selama
tercapainya kesepakatan.
e. Menghindari timbulnya tanggung jawab dan ganti rugi.
f. Sebagai dasar untuk membuat perjanjian untuk kepentingan berbagai
pihak, yaitu kreditor, investor, pemerintah, pemegang saham dan lainnya.
C. Struktur Memorandum of Understanding
Memorandum of Understanding yang dibuat antara para pihak adalah
tertulis. Adapun substansi Memorandum of Understanding itu telah
ditentukan oleh kedua belah pihak. Dalam berbagai literatur tidak kita
temukan tentang struktur atau susunan dari sebuah Memorandum of
Understanding, sebelum dirumuskan tentang struktur dari MoU maka kita
harus melihat substansi MoU yang dibuat para pihak.
26 Salim HS, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding, h .53.
30
Berdasarkan substansi MoU tersebut, maka kita dapat merumuskan
struktur MoU yang terdiri dari :27
1. Titel dari Memorandum of Understanding
2. Pembukaan Memorandum of Understanding
3. Para pihak/komparisi Memorandum of Understanding
4. Isi atau substansi kesepakatan yang dibuat oleh para pihak
5. Penutup dan
6. Tanda tangan para pihak
D. Jangka Waktu Berlakunya Memorandum of Understanding
Dalam Memorandum of Understanding yang dibuat oleh para pihak telah
ditentukan jangka waktu berlakunya. Jangka waktu berlakunya Memorandum
of Understanding tergantung kesepakatan para pihak. Ada yang menetapkan
jangka waktu enam bulan dan ada juga yang menetapkan jangka waktunya
selama 1 (satu) tahun. Jangka waktu itu dapat diperpanjang.28
E. Pengertian kontrak
Subekti membedakan pengertian antara perikatan dengan perjanjian,
yakni bahwa hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah perjanjian itu
menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di samping
27 Salim HS, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding, h .58.
28
Salim HS, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding, h .61.
31
sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua
pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Suatu perikatan adalah suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak
yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang
lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu, sedangkan suatu perjanjian
adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di
mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.29
Abdul kadir Muhammad menyatakan bahwa perjanjian adalah
persetujuan dengan mana dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan dibidang harta kekayaan.
Definisi dalam arti sempit ini jelas menunjukkan telah terjadi persetujuan
antara pihak yang satu (kreditor) dan pihak yang lain (debitor), untuk
melaksanakan satu hal yang bersifat kebendaan (zakelijk) sebagai objek
perjanjian.30
Ricardo Simanjuntak menyatakan bahwa kontrak merupakan bagian
dari pengertian perjanjian. Perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan
perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat para pihak
29 Subekti, Hukum Perjanjian, ( Jakarta: Intermasa,2005 ), h. 1.
30 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, ( Bandung : Citra Aditya Bakti,2010 ) h.
290.
32
yang pelaksanaannya akan berhubungan dengan hukum kekayaan dari
masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.31
F. STRUKTUR KONTRAK
Struktur atau anatomi kontrak dalam prakteknya dijabarkan menjadi 12
item kontrak yang meliputi :
1. Judul kontrak
Memuat tentang jenis kontrak apa yang akan dibuat para pihak.
2. Pembukaan kontrak
Membuat pendahuluan sebelum masuk kedalam substansi kontrak.
Pembukaan kontrak dikenal juga sebagai premis.
3. Komparisi/preamble
Hari, tanggal, tahun pembuatan perjanjian dan data para pihak yang
melakukan perjanjian/kontrak.
4. Recital (latar belakang)
Latar belakang dari diadakannya suatu perjanjian/kontak antara para
pihak dan kedudukannya.
31 Ricardo Simanjutak, Hukum Kontrak Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, h. 32.
33
5. Definisi
Pengertian-pengertian yang ada didalam kontrak.
6. Pengaturan hak dan kewajiban (substansi kontrak)
Memuat hak dan kewajiban yang harus dipatuhi para pihak dalam
pembuatan kontrak.
7. Domisili
Tempat dibuatnya kontrak antara para pihak.
8. Keadaan memaksa (force majeur, act of god)
Memuat tentang kejadian alam seperti gempa bumi, banjir, tsunami, dll
yang dapat mengakibatkan kontrak yang tidak sesuai dengan yang
diharapkan.
9. Kelalaian dan pengakhiran kontrak
Memuat tentang bagaimana salah satu pihak jika melakukan wanprestasi.
10. Pilihan penyelesaian sengketa
Memuat jika salah satu pihak bersengketa, kemana penyelesaian sengketa
akan diarahkan. Bisa melalui pengadilan atau Badan arbitrase.
34
11. Penutup/Testimonium
Memuat pernyataan tegas kekuatan hukum dalam perjanjian/kontrak
yang dibuat oleh para pihak yang berlaku sama dan tanda tangan para
pihak.
12. Tanda tangan
Tanda tangan para pihak untuk menadakan kesepakatan kontrak yang
telah dibuat.
35
BAB III
KEKUATAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM
PERJANJIAN
A. KEKUATAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING
MENURUT KUH PERDATA
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tidak ada suatu
ketentuan yang mengatur secara khusus tentang Memorandum of
Understanding. Yang ada dalam KUH Perdata hanyalah ketentuan-
ketentuan yang berkaitan dengan kontrak seperti syarat sahnya
kontrak, asas kebebasan berkontrak, dan lain-lain.
Apabila kita menganalisis substansi Memorandum of
Understanding, tampaklah bahwa substansinya berisi kesepakatan
paran pihak untuk melakukan kerja sama dalam berbagai bidang,
seperti kerja sama dalam bidang ekonomi, agraria, kerjasama usaha
dan lainnya.
Namun mengingat bahwa suatu memorandum of understanding
merupakan suatu perjanjian pendahuluan, maka pengaturannya tunduk
kepada ketentuan tentang perikatan yang tercantum dalam Buku III
KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Buku III KUH
Perdata mengatur asas-asas dalam melakukan suatu perjanjian,
diantara sebagai berikut :
36
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Adanya kebebasan untuk sepakat tentang apa saja dan dengan
siapa saja merupakan hal yang sangat penting. Sebab itu pula, asas
kebebasan berkontrak dicakupkan sebagai bagian dari hak-hak
kebebasan manusia. Kebebasan berkontrak sangat penting, baik
bagi individu dalam konteks kemungkinan pengembangan diri
dalam kehidupan pribadi maupun dalam lalu lintas kehidupan
bermasyarakat, serta untuk menguasai atau memiliki harta
kekayaanya. Dari sudut kepentingan masyarakat, kebebasan
berkontrak merupakan sebagai suatu totalitas. Sehingga oleh
beberapa penulis dipandang sebagai hak asasi manusia
tersendiri.32
Suatu asas yang penting dalam hukum perjanjian adalah asas
kebebasan berkontrak yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat 1,
yang berbunyi setiap perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat
sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Asas
kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian.
2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun.
32 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Cet. 2 (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010), h. 31.
37
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya.
4. Menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.
2. Asas Konsensualisme
Perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak
(consensus) dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat
dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapainya tidak secara
formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka. Hukum perjanjian
dalam buku III KUH Perdata menganut asas konsensualisme.
Konsensualisme artinya perjanjian sudah mengikat para pihak yang
membuatnya, sejak detik tercapainya kata sepakat mengenai hal-hal
yang diperjanjikan.33
Dengan demikian perjanjian sudah sah dan mengikat para
pihak tanpa perlu suatu formalitas tertentu atau perbuatan tertentu.
Asas konsensualisme ini tercermin dalam perjanjian Pasal 1458
KUH Perdata tentang perjanjian jual beli. Dalam pasal tersebut jual
beli dianggap telah terjadi dan mengikat secara hukum sejak
disepakatinya barang dan harga, meskipun harga belum dibayar dan
barang belum diserahkan. Terhadap asas konsensualisme terdapat
pengecualian yaitu bagi perjanjian formil dan perjanjian riel.
33 Akhmad Budi Cahyono, Mengenal Hukum Perdata, Cet. 1 (Jakarta: CV. Gitama
Jaya, 2008) , h. 133.
38
Perjanjian formil ialah perjanjian yang disamping memenuhi syarat
kata sepakat juga harus memenuhi formalitas tertentu.
3. Asas Personalia
Menurut Pasal 1315 KUH Perdata, pada umumnya tiada
seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri. Asas
tersebut dinamakan asas personalia.34
Dalam rumusan tersebut
dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang
dibuat oleh seseorang dalam kepastiannya sebagai individu, subyek
hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya
sendiri.
Meskipun secara sederhana dikatakan bahwa ketentuan Pasal
1315 menunjuk pada asas personalia, namun lebih jauh dari itu,
ketentuan Pasal 1315 juga menunjuk pada kewenangan bertindak
dari seseorang yang membuat atau mengadakan perjanjian. Secara
spesifik ketentuan Pasal 1315 ini menunjuk pada kewenangan
bertindak secara individu pribadi sebagai subyek hukum pribadi
yang mandiri, yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas
nama dirinya sendiri.
34 Akhmad Budi Cahyono, Mengenal Hukum Perdata, h. 137.
39
4. Asas Itikad Baik
Dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata menyatakan bahwa
suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Artinya
dalam melaksanakan haknya seorang kreditur harus memperhatikan
kepentingan debitur dalam situasi tertentu. Jika kreditur menuntut
haknya pada saat yang paling sulit bagi debitur mungkin kreditur
dapat dianggap melaksanakan perjanjian tidak dengan itikad baik.
Jika dianalisa lebih jauh itikad baik ini merupakan pembatasan
dari asas kebebasan berkontrak. Dalam asas kebebasan berkontrak
para pihak diberi kebebasan untuk membuat atau menentukan isi
perjanjian. Masalahnya dalam perjanjian seringkali posisi para
pihak tidak seimbang baik dari segi ekonomi, pendidikan, sehingga
dimungkinkan perjanjian ditentukan secara sepihak oleh pihak yang
lebih kuat sementara pihak yang lain karena kelemahannya
dimanfaatkan oleh pihak yang kuat secara tidak adil.
Dalam teori klasik Hukum Perjanjian, asas itikad baik dapat
diterapkan dalam situasi di mana perjanjian sudah memenuhi syarat
hal tertentu, akibatnya ajaran ini tidak melindungi pihak yang
menderita kerugian dalam tahap pra kontrak atau tahap
perundingan, karena dalam tahap ini perjanjian belum memenuhi
syarat hal tertentu. Ditinjau dari teori Hukum Perjanjian, bahwa
40
Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata, yang seharusnya diberlakukan
bukan hanya pada saat ditandatanganinya dan dilaksanakan
perjanjian, tetapi juga pada saat sebelum ditandatanganinya
perjanjian, contohnya dalam Hukum Benda ada perkataan-
perkataan pemegang barang yang beritikad baik, pembeli barang
yang beritikad baik dan lain sebagainya, sebagai lawan dari orang-
orang yang beritikad buruk.
5. Asas Kekuatan Mengikat
Suatu kesepakatan harus dianggap sudah dipenuhi dan kita
tidak pernah mempertanyakannya kembali. Kehidupan
kemasyarakatan hanya mungkin berjalan denagn baik jika
seseorang dapat mempercayai perkataan orang lain. Ilmu
pengetahuan kiranya tidak mungkin dapat memberikan penjelasan
lebih dari itu, terkecuali jika kontrak memang mengikat karena
merupakan suatu janji serupa dengan undang-undang karena
undang-undang tersebut dipandang sebagai perintah pembuat
undang-undang. Jika kepastian terpenuhinya kesepakatan
kontraktual ditiadakan, seluruh sistem pertukaran benda dan jasa
yang ada masyarakat akan hancur.35
35
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang kenotariatan, cet. 2, h. 31.
41
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, KUH Perdata tidak mengatur
tetapi tidak melarang MoU. Logika hukumnya, KUH Perdata
memperbolehkan MoU. Kemudian, sebenarnya KUH Perdata memuat
asas-asas dan norma-norma hukum umum yang dapat dijadikan
rujukan untuk MoU melalui 5 asas tersebut.36
Menurut Sanusi dan Dahlan MoU adalah bagian dari tahapan proses
pembuatan kontrak. MoU merupakan pencatatan atau
pendokumentasian hasil negosiasi awal dalam bentuk tertulis.37
Kemudian, menurut Tim Penulis buku Keterampilan Perancangan
Kontrak, MoU adalah suatu surat yang dibuat oleh satu pihak yang
ditujukan kepada Pihak lain, yang isinya memuat kehendak untuk
mengadakan hubungan hukum. MoU merupakan kesepakatan antara
para pihak untuk berunding dalam rangka membuat perjanjian di
kemudian hari jika hal-hal belum pasti telah dapat dipastikan.38
36 Muhammad Syarifudin, Hukum Kontrak “ Memahami Kontrak dalam Prespektif Filsafat,
Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum”, ( Bandung : CV. Mandar Maju, 2012 ), h.169.
37 Sanusi Bintang dan Dahlan, Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, ( Bandung : Citra
Aditya Bakti, 2000), h. 21.
38 Tim Penulis, Keterampilan Perancangan Kontrak, ( Bandung : Laboratorium Fakultas
Hukum Universitas Parahyangan, 1997), h. 173.
42
B. KEKUATAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING dari segi
Kontrak Bisnis
Keberadaan MoU masih banyak diperdebatkan, terutama perlu
tidaknya MoU dalam hal para pihak akan membuat kontrak. Terlepas
dari perdebatan tersebut, ketika suatu kontrak akan dibuat apakah
diperlukan MoU atau tidak, hal-hal berikut perlu diperhatikan, yaitu:39
1. Hukum Kontrak Indonesia tidak mengenal MoU, apalagi
mengharuskan MoU dalam sebuah kontrak yang dibuat.
2. Seandainya dikehendaki ada MoU, maka perlu diteliti
keberadaannya hanya merupakan ikatan moral atau ikatan hukum.
Jika sebagai ikatan moral, perlu ditegaskan bahwa MoU itu adalah
semata-mata bukti bahwa para pihak berniat untuk masuk kedalam
perundingan untuk membentuk kontrak. Jika sebagai ikatan
hukum, perlu dibuat pernyataan yang tegas bahwa para pihak
saling mengikatkan diri untuk membuat kontrak secara lengkap di
kemudian hari.
3. Para pihak mungkin bermaksud untuk saling mengikatkan diri
dalam kontrak, akan tetapi ada sesuatu faktor yang belum dapat
dipastikan yang memengaruhi mereka, sehingga kontrak pun
belum kunjung dibuat. Jika ditemukan keadaan seperti itu dan
39 Muhammad Syarifudin, Hukum Kontrak “ Memahami Kontrak dalam Prespektif Filsafat,
Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum”, h.170.
43
kontrak yang dibuat akan diawali dengan MoU, maka di dalamnya
harus memuat condition atau kondisi tertentu yang harus terjadi
lebih dahulu sebelum mereka saling mengikat.
Munir Fuady mengemukakan dua pandangan yang membahas
tentang kekuatan mengikat dari Memorandum of Understanding,
yaitu:40
a. Gentlemen Agreement
Pendapat ini mengajarkan bahwa MoU hanyalah merupakan
suatu Gentlemen Agreement saja. Yaitu kekuatan mengikatnya
suatu MoU tidak sama dengan perjanjian biasa, sungguhpun MoU
dibuat dalam bentuk paling kuat seperti dengan akta notaris
sekalipun (tetapi dalam praktek jarang MoU dibuat secara
notarial). Bahkan ujung ekstrim dari pendapat golongan ini
berpendapat bahwa MoU mengikat hanya sebatas pengikatan
moral belaka, dalam arti tidak enforceable secara hukum, dan
pihak yang wanprestasi tidak dapat digugat ke pengadilan.
Sebagai ikatan moral, tentu jika dia wanprestasi, dia dianggap
tidak bermoral, dan ikut jatuh reputasinya di kalangan bisnis.
Namun yang jelas, pendapat bahwa MoU adalah hanya
Gentlement Agreement lebih bersifat factual belaka.
40 Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek “Buku Keempat”, h. 93.
44
b. Agreemen is Agreement
Ada juga pihak yang berpendapat bahwa sekali suatu
perjanjian dibuat, apapun bentuknya, lisan ataupun tertulis,
pendek atau panjang, lengkap/detail ataupun hanya diatur pokok-
pokoknya saja, tetap saja merupakan perjanjian, dan karena
mempunyai kekuatan mengikat seperti layaknya suatu perjanjian,
sehingga seluruh ketentuan pasal-pasal tentang hukum perjanjian
telah biasa diterapkan kepadanya. Menurut pendapat yang
sebenarnya lebih formal dan legalistis ini, kalau suatu perjanjian
mengatur hanya hal-hal pokok saja, maka mengikatnya pun hanya
terhadap hal-hal pokok tersebut.
Jika suatu perjanjian hanya berlaku untuk suatu jangka waktu
tertentu, maka mengikatnyapun hanya untuk jangka waktu tertentu
tersebut. Sungguhpun para pihak tidak dapat dipaksakan untuk
membuat perjanjian yang lebih rinci sebagai follow up dari MoU,
paling tidak, selama jangka waktu perjanjian itu masih
berlangsung, para pihak tidak boleh membuat perjanjian yang
sama dengan pihak lain. Ini tentu jika dengan tegas disebutkan
untuk itu dalam MoU tersebut. Pelanggaran terhadap ketentuan
ini, berarti wanprestasi sehingga dapat digugat ke pengadilan
menurut hukum yang berlaku. MoU tidak dikenal dalam system
45
hukum Konvensional Indonesia, karenanya tidak ada pengaturan
hukum tentang MoU. KUH Perdata yang merupakan dasar hukum
dari setiap perjanjian tidak pernah mengecualikan berlakunya
hukum perjanjian terhadap suatu MoU.
Hikmahanto Juwana mengemukakan pandangannya tentang
penggunaan istilah Memorandum of Understanding. Ia
mengemukakan bahwa penggunaan istilah Memorandum of
Understanding harus dibedakan dari segi teoritis dan praktis. Secara
teoritis, dokumen Memorandum of Understanding bukan merupakan
hukum yang mengikat para pihak. Agar mengikat secara hukum, harus
ditindaklanjuti dengan sebuah perjanjian. Kesepakatan dalam
Memorandum of Understanding lebih bersifat ikatan moral. Namun
secara praktis, Memorandum of Understanding disejajarkan dengan
perjanjian. Ikatan yang terjadi tidak hanya bersifat moral, tetapi juga
ikatan hukum. Titik terpenting bukan pada istilah yang digunakan,
tetapi isi atau materi dari nota kesepahaman tersebut.
MoU bukan suatu kontrak yang mengikat secara yuridikal
terhadap para pihak yang membuatnya, melainkan hanya nota
kesepahaman yang dibuat para pihak sebagai persetujuan pendahuluan
untuk membuat suatu kontrak, sehingga MoU hanya mengikat secara
etikal (moral) terhadap para pihak yang membuatnya saja.
46
Berdasarkan kesimpulan ini dapat dipahami karakteristik MoU sebagai
berikut:41
1. MoU adalah suatu tahapan atau mekanisme sebelum dibuatnya
suatu kontrak (tahap prakontraktual) yang menghasilkan suatu
persetujuan pendahuluan para pihak untuk membuat kontrak, yang
berupa pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal
dalam bentuk nota tertulis.
2. MoU proses terjadinya dan tujuan pembuatannya tidak sama
dengan proses terjadinya dan tujuan pembuatan kontrak.
Maksudnya, MoU terjadi dengan perantaran pernyataan kehendak
dari pihak-pihak yang melakukan perbuatan, yang tidak bertujuan
menimbulkan akibat hukum sebagaimana tujuan pembuatan
kontrak, melainkan hanya menegaskan adanya kesepahaman para
pihak sebagai wujud persetujuan pendahuluan untuk membuat
kontrak;
3. MoU anatominya tidak selengkap anatomi kontrak, sehingga
substansi dan isinya pun juga tidak di formulasikan sebagaimana
formulasi kontrak. Jadi, MoU tidak merefleksikan hakikat kontrak
yang sesungguhnya. Maksudnya, bentuk MoU hanya berupa nota
tertulis (dokumen yang memuat catatan-catatan penting) yang
41 Muhammad Syarifudin, Hukum Kontrak “ Memahami Kontrak dalam Prespektif Filsafat,
Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum”, ( Bandung : CV. Mandar Maju, 2012 ), h.171-172.
47
isinya diformulasikan dalam wujud pasal-pasal yang umum dan
abstrak, yang masih harus dikonkritisasi dalam pasal-pasal yang
khusus dan konkrit dalam kontrak yang akan dibuat oleh para
pihak dikemudian hari;
4. MoU memuat materi dasar atau persoalan pokok yang berfokus
pada kesepahaman para pihak untuk membuat kontrak. Oleh
karena itu, materi dasar atau persoalan pokok yang diatur dalam
MoU tidak sampai pada hak dan kewajiban khusus dan konkrit
sebagaimana dalam kontrak. Konsekuensinya, dalam MoU juga
tidak diatur bentuk,forum, dan mekanisme hukum penyelesaian
sengketa hukum jika terjadi pelanggaran terhadap materi dasar
atau persoalan pokok dalam MoU tersebut, karena memang MoU
hanya menimbulkan keterikatan etikal bukan keterikatan yuridikal.
Satu-satunya bentuk, forum dan mekanisme penyelesaian sengketa
etika diantara para pihak adalah negosiasi yang diletakan dalam
kerangka musyawarah untuk mencapai kesapahaman.
5. MoU hanya memuat norma-norma etikal yang sifatnya tidak
memaksa sebagaimana norma-norma hukum dalam kontrak. Oleh
karena itu, jika dalam jangka waktu yang ditentukan dalam MoU
para pihak tidak menindaklanjutinya dengan pembuatan kontrak,
maka kontrak tersebut akan batal dibuat, kecuali diperpanjang oleh
48
para pihak. Selain itu, juga tidak ada sanksi hukum terhadap satu
diantara dua pihak atau kedua belah pihak yang tidak
menindaklanjuti MoU, melainkan hanya ada sanksi etik saja, yaitu
dianggap tidak mempunyai etika (tidak bermoral), sehingga dapat
merusak kredibilitas mereka dalam lingkungan pergaulan
(komunikasi dan interaksi) di masyarakat, khususnya para pelaku
bisnis;
6. MoU tidak diatur secara khusus dalam aturan hukum kontrak yang
berlaku, tetapi tumbuh dan berkembang dalam praktik hukum
kontrak, mempunyai ciri-ciri yang sederhana dan tidak formal,
antara lain, jangka waktu berlakunya terbatas (lazimnya tidak lebih
dari setahun), bentuknya berupa nota tertulis dibawah tangan, dan
isinya sangat ringkas (lazimnya tidak lebih dari satu halaman).
Secara teori, Memorandum of Understanding bukanlah
merupakan kontrak karena memang masih merupakan kegiatan pra-
kontrak. Karena itu, didalamnya sengaja tidak dimasukannya unsur
“intention to create legal relation” oleh para pihak yang melakukan
kesepakatan tersebut. Dengan pengertian lain, walaupun para pihak
sepakat menandatangani kesepakatan dalam bentuk Memorandum of
Understanding, akan tetapi, apabila para pihak tetap menyetujui untuk
memasukan unsur intention to create legal relation, sebagai
49
konsekuensi hukum atas tidak dilaksanakannya kesepakatan pra-
kontrak tersebut, Maka Memorandum of Understanding yang secara
teori bukanlah kontrak, dapat berubah konsekuensinya menjadi
kontrak bagi para pihak tersebut.
Dalam praktek, keinginan untuk tetap memasukan “akibat
hukum yang mengikat” terhadap pelaksanaan kesepakatan dalam
Memorandum of Undersatanding bisa saja terjadi oleh para pihak.
Beberapa alasan yang mendasarinya: pertama, sering terjadi dalam
praktek bahwa Memorandum of Understanding digunakan oleh
pelaku-pelaku usaha kuat, ataupun pelaku usaha yang tidak serius
untuk mempermainkan calon mitra bisnisnya. Contohnya, suatu
perusahaan asing yang ingin mengajak pengusaha Joint Venture
dalam rencana investasinya di Indonesia ataupun membangun
hubungan distributorship bagi penjualan produknya di Indonesia,
sering mendahului penandatanganan Memorandum of Understanding
dengan calon mitranya di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk lebih
memaksimalkan langkah pengenalan terhadap mitra berkontraknya.
Langkah pengenalan tersebut dilakukan kedua belah pihak saling
sepakat untuk memenuhi seluruh poin-poin yang menjadi dasar
penentu untuk memastikan apakah kedua belah pihak yang sedang
bernegosiasi pada tahap para-kontrak tersebut, nantinya, akan
50
melanjutkannya pada penandatanganan kontrak sebagai suatu
hubungan hukum yang sebenarnya atau tidak. Misalnya; ketika
seorang calon investor asing ingin mengajak mitra lokalnya untuk
melakukan bisnis bersama dalam bentuk Joint Venture, maka,
normalnya, terlebih dahulu akan dilakukan langkah pengenalan untuk
lebih mendalami calon mitra bisnisnya tersebut termasuk juga untuk
menegosiasikan poin-poin penting sehubungan dengan kesepakatan
Joint Venture tersebut.
Munir Fuady berpendapat bahwa suatu MoU bisa dikatakan kontrak
atau bukan jika memenuhi syarat-syarat, yaitu antara lain mengenai:
1. Materi/ substansi dalam MoU
Mengetahui materi atau substansi apa saja yang diatur dalam pasal-
pasal MoU sangat penting, karena apakah dalam materi yang termaktub
dalam MoU tersebut terdapat unsur-unsur yang akan membuat salah satu
pihak dirugikan apabila ada salah satu materi dalam MoU tersebut yang
diingkari. Misalkan dalam MoU disebutkan mengenai kerjasama untuk
membangun suatu proyek, dimana kedua belah pihak menyetujui untuk
kerja sama dalam pembangunan proyek tersebut. Tetapi di tengah
perjalanan salah satu pihak ingin membatalkan kerja sama tersebut dengan
dalil proyek tersebut tidak berprospek bagus. Dengan adanya pembatalan
51
sepihak tersebut jelas merugikan pihak lain yang bersangkutan, karena
salah satu pihak tersebut merasa telah menyiapkan segalanya termasuk
anggaran- anggaran yang dibutuhkan. Maka dalam hal ini berdasarkan teori
mengenai wanprestasi yaitu tentang hilangnya keuntungan yang
diharapkan, dimana salah satu pihak merasa rugi dan merasa kehilangan
suatu keuntungan yang besar dari pembatalan MoU tersebut, maka MoU
yang telah dibuat tersebut dapat dikategorikan suatu kontrak atau setingkat
dengan perjanjian berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata. Dalam Teori
kepercayaan merugi (Injurious Reliance Theori) juga telah dinyatakan
dengan jelas bahwa kontrak sudah dianggap ada jika dengan kontrak yang
bersangkutan sudah menimbulkan kepercayaan bagi pihak terhadap siapa
janji itu diberikan sehingga pihak yang menerima janji tersebut karena
kepercayaannya itu akan menimbulkan kerugian jika janji itu tidak
terlaksana.42
Akan tetapi lain halnya jika dalam materi MoU tersebut hanya
mengatur mengenai ulasan-ulasan pokok saja dimana dalam pasal MoU
disebutkan bahwa kerjasama mengenai kegiatan-kegiatan yang
dilakukan antar pihak akan ditentukan dalam perjanjian pelaksanaan yang
akan ditentukan oleh masing-masing pihak. Dan jika ditentukan pula dalam
salah satu pasal lain bahwa untuk pembiayaan akan diatur pula dalam
42
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek “Buku Keempat”, h. 32.
52
perjanjian lain yang lebih detil. Apabila substansi dalam MoU mengatur
hal-hal yang demikian, maka berdasarkan asas hukum kontrak bahwa dapat
disebut kontrak apabila suatu perjanjian itu bersifat final, maka MoU
semacam ini berdasarkan asas obligator tidak bisa dikatakan suatu kontrak,
karena belum final dalam pembuatannya. 43
2. Ada tidaknya sanksi
Untuk menentukan suatu MoU itu suatu kontrak atau bukan maka harus
dilihat apakah MoU tersebut telah memuat sanksi atau tidak. Kalau dalam
MoU tidak memuat suatu sanksi yang tegas maka MoU tersebut tidak dapat
dikatakan suatu kontrak. Dan kalau hanya memuat sanksi moral maka MoU
tidak bisa dikatakan suatu kontrak berdasarkan Teori Holmes yang
menyatakan bahwa tidak ada sanksi moral dalam suatu kontrak.
43
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek “Buku Keempat”, h. 11.
53
BAB IV
MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DALAM PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1788 K/PDT.G/2014
Pembahasan mengenai putusan Mahkamah Agung berfokus pada kedudukan
Memorandum of Understanding dalam perkara ini. Kedudukan MoU akan dikaitkan
dengan KUH Perdata dan kontrak bisnis.
A. Posisi Kasus
Pada 9 Mei 2008 PT. Jaya Makmur Bersama mengikuti penawaran untuk
pengembangan pariwisata di Bali yang ditawarkan oleh PT. Pengembangan
Pariwisata Bali selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang saat ini
mengelola kawasan pariwisata Nusa Dua Bali. Pengembangan itu untuk
meningkatkan pariwisata yang berkualitas dan mempunyai nilai tambah dalam
bentuk pengembangan sarana akomodasi, recreation, and entertainment center
yang akan dibangun dan dioperasikan diatas lahan Lot C-5 dengan sertipikat
HPL No. 4/ Desa Benoa atas nama PT Pengembangan Pariwisata Bali (kantor
BTDC).
Pada 15 Agustus 2008 PT. Pengembangan Pariwisata Bali menunjuk PT. Jaya
Makmur Bersama sebagai calon investor yang diterima untuk mengembangkan
pariwisata di lahan Lot C-5 hal tersebut diberitahukan melalui surat penunjukkan
dengan Nomor 1/Timbang/PT.PPB/VIII/2008 tertanggal 15 Agustus tahun 2008.
54
Atas dasar surat penunjukan tersebut PT. Pengembangan Pariwisata Bali dengan
PT. Jaya Makmur Bersama bersepakat menandatangani kesepahaman yang
dituangkan dalam nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) dengan
nomor 88/SP/IX/2008 tertanggal 19 September 2008. Atas dasar itu, PT.
Pengembangan Pariwisata Bali (selanjutnya disebut pihak pertama) dan PT. Jaya
Makmur Bersama (selanjutnya disebut pihak kedua) wajib untuk mempersiapkan
dan menandatangani Land Utilization and Land Development (LUDA) sebagai
tindak lanjut dari nota kesepahaman dan LUDA harus dibuat berdasarkan
prinsip-prinsip yang sudah diatur dalam nota kesepahaman.
Selain itu didalam penandatanganan nota kesepahaman para pihak telah
bersepakat bahwa pihak kedua wajib menyerahkan jaminan keseriusan (guaranty
fee) dalam bentuk deposit dengan jumlah 5 % dari total kompensasi yaitu Rp.
1.500.000.000,00 (satu setengah milyar rupiah). Dijelaskan selanjutnya bahwa
nota kesepahaman ini berlaku sejak ditandatangani sampai dengan
penandatanganan LUDA. Dengan jangka waktu paling lambat adalah 31
Desember 2008 LUDA harus sudah ditandatangani. Apabila hingga tanggal 31
Desember 2008 LUDA belum ditandatangani, maka pihak pertama wajib
mengembalikan deposit guaranty fee kepada pihak kedua.
Ketika proses pembahasan, para pihak belum mencapai kesepakatan untuk
segera menyelesaikan LUDA. Hal ini terjadi karena masih terdapat perbedaan
diantara para pihak. Perbedaan tersebut terkait dengan prinsip yang terdapat
55
didalam nota kesepahaman. Prinsip yang telah disepakati dalam nota
kesepahaman tidak dapat dilaksanakan dalam LUDA. Hal tersebut terjadi karena
pihak pertama selaku Badan Usaha Milik Negara mendapatkan kebijakan dari
Menteri Negara BUMN untuk melakukan beberapa perubahan atas isi nota
kesepahaman. Kebijakan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Menteri
Negara BUMN dengan nomor S-465/MBU/2009 tertanggal 9 Juli 2009.
Atas dasar pihak pertama meminta untuk dilakukan perubahan persyaratan
dalam pembahasan LUDA sehingga prinsip yang telah ada dalam nota
kesepahaman dapat diabaikan. Perubahan yang diminta pihak pertama yaitu :
Pertama, pihak pertama meminta perubahan pada ketentuan jangka waktu
pengelolaan tanah, yakni dari 50 tahun sejak penandatanganan LUDA dibagi
dalam dua tahap yaitu tahap pertama 30 tahun sejak penyerahan lahan kosong
dan tahap kedua 20 tahun dengan perpanjangan secara otomatis. Batas waktu itu
diubah dengan jangka waktu hanya 30 tahun dan dapat diperpanjang maksimum
adalah 20 tahun.
Kedua, pihak pertama juga meminta agar jumlah kompensasi yang telah
disepakati dalam MoU dirubah menyesuaikan dengan lamanya jangka waktu
pengelolaan tanah. Karena jangka waktu yang baru berkurang menjadi 30 tahun
maka kompensasi seharusnya berkurang secara proporsional. Perubahan yang
diminta oleh pihak pertama diatas mengakibatkan tertundanya penandatanganan
56
LUDA dan telah melebihi jangka waktu penandatanganan dari paling lambat
adalah 31 Desember 2008.
Selanjutnya pihak kedua masih berupaya untuk menegosiasikan permintaan
perubahan kesepakatan didalam nota kesepahaman karena merasa telah
menyerahkan kompensasi biaya jaminan (guaranty fee) dalam bentuk deposit.
Namun tiba-tiba pihak pertama menyatakan untuk memutuskan kerjasama
dengan pihak kedua dikarenakan tidak adanya kesepakatan atas perubahan yang
diminta oleh pihak pertama. Pemutusan secara sepihak tersebut tertuang didalam
surat nomor 45/Dir/PT.PPB/X/2010 tertanggal 6 Oktober 2010.
Tindakan yang dilakukan pihak pertama diatas tidak dapat diterima oleh pihak
kedua, dan pihak kedua tetap ingin melaksanakan LUDA dengan prinsip-prinsip
dalam nota kesepahaman. Pihak kedua kemudian mengajukan gugatan di
Pengadilan Negeri Bali atas dasar wanprestasi sebagaimana diatur pada pasal
1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
B. Pertimbangan dan Interpretasi Hakim
Dalam putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor : 1788 K/Pdt/2014,
majelis hakim mengemukakan sah atau tidaknya MoU tersebut dikategorikan
sebagai sebuah perjanjian dalam perkara ini.
Majelis hakim berpendapat bahwa pernyataan dari pihak PT. Bali
Persero Persada tidak dapat dibenarkan jika dihubungkan dengan
57
pertimbangan Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Negeri Denpasar tidak
salah menerapkan hukum.
Majelis Hakim berpendapat bahwa MoU tersebut telah mengatur hak
dan kewajiban masing-masing pihak dan sesuai dengan ketentuan pasal 1338
KUH Perdata maka para pihak wajib melaksanakan isi kesepahaman dengan
itikad baik. Lagi pula mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat
penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan
dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi karena pemeriksaan tingkat kasasi
hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya
pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-
syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam
kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila pengadilan
tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
Majelis hakim menimbang, bahwa ternyata putusan Judex
Facti/Pengadilan Tinggi Denpasar dalam perkara ini tidak bertentangan
dengan hukum dan/atau Undang-Undang, maka permohonan kasasi yang
diajukan oleh para pemohon Kasasi PT. Pengembangan Pariwisata Bali
(Persero) tersebut harus ditolak.
58
Dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman , Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundangan lain yang bersangkutan,
Majelis Hakim MENGADILI :
1. Menolak permohonan kasasi dari permohonan Kasasi : 1. PT.
PENGEMBANGAN PARIWISATA BALI, 2. PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA Cq. KEMENTRIAN BADAN USAHA MILIK
NEGARA REPUBLIK INDONESIA Cq. MENTERI NEGARA BADAN
USAHA MILIK NEGARA, tersebut:
2. Menghukum Para pemohon Kasasi I dan II/Tergugat /Pembanding dan
Turut Tergugat/TurutTerbanding untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat kasasi ini sejumlah Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
Atas putusan ini, PT. PENGEMBANGAN PARIWISATA BALI dan
BADAN USAHA MILIK NEGARA REPUBLIK INDONESIA menerima
putusan Mahkamah Agung ini setelah melakukan banding di Pengadilan
Negeri Denpasar dan kasasi di Mahkamah Agung sehingga putusan ini
menjadi memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Dari putusan kasasi tersebut, Majelis Hakim mempertimbangkan putusan
tersebut dari aspek yuridis. Majelis Hakim berpendapat bahwa MoU yang
59
dibuat oleh PT. Pengembangan Bali Persero dan PT. Makmur Jaya Bersama
adalah sebagai kontrak karena memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian
dalam pasal 1320 KUH Perdata. Majelis Hakim juga berpendapat bahwa
dalam MoU tersebut sudah sesuai dengan pasal 1338 KUH Perdata mengenai
itikad baik. Hakim sebagai aplikator undang-undang, harus memahami
undang-undang dengan mencari undang-undang yang berkaitan dengan
perkara yang sedang dihadapi. Hakim harus menilai apakah undang-undang
tersebut adil, ada kemanfaatannya, atau meberikan kepastian hukum jika
ditegakkan, sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya adalah menciptakan
keadilan.44
Keadilan hukum (legal justice), adalah keadilan berdasarkan hukum dan
perundang-undangan. Dalam arti hakim hanya memutuskan perkara hanya
berdasarkan hukum positif dan peraturan perundang-undangan. Keadilan
seperti ini keadilan menurut penganut aliran legalistis positivisme. Dalam
menegakan keadilan ini hakim atau pengadilan hanya sebagai pelaksana
undang-undang belaka, hakim tidak perlu mencari sumber-sumber hukum di
luar dari hukum tertulis dan hakim hanya dipandang menerapkan undang-
undang pada perkara-perkara konkret rasional belaka. Dengan kata lain,
hakim sebagai corong atau mulut undang-undang.45
44 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh hakim dalam prespektif hukum progresif, (Jakarta:
Sinar Grafika,2011), h. 126.
45 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh hakim dalam prespektif hukum progresif, h. 127.
60
Namun, Majelis Hakim dalam perkara ini hanya condong ke aspek yuridis
dengan hanya menggunakan Undang-Undang saja, tanpa menggunakan aspek
sosiologis dengan tidak menggunakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan adanya berbagai aspek kebutuhan masyarakat yang
menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan
masyarakat. Majelis Hakim juga keliru dalam menerapkan aspek filosofis
dalam perkara tersebut dengan hanya mempertimbangkan pendapat para ahli
secara tidak mendalam.
C. Penyelesaian sengketa dalam putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor
: 1788 K/Pdt/2014
Jika suatu perbuatan hukum yang melibatkan seseorang atau lebih
kemudian mempunyai akibat hukum bagi para pihak yang membuatnya dan
mereka saling memberikan pernyataan baik itu tertulis ataupun tidak untuk
memenuhi unsur janji yang diberikan pihak yang satu kepada pihak yang lain
maka ini bisa disebut sebagai kontrak.46
Karena akibat dari pernyataan
tersebut, kedua belah pihak terikat kepada akibat hukum yang para pihak buat
sendiri. Didalam kontrak terdapat suatu kewajiban untuk melaksanakan
46 J. Satrio, Hukum Perjanjian (perjanjian pada umumnya), (Bandung : Citra Aditya
Bakti,1992) h.133.
61
prestasi. Apalagi untuk kontrak timbal balik, dimana kedua belah pihak harus
sama-sama melakukan kewajibannya.47
Setiap perjanjian juga harus menggunakan prinsip menghormati
kontrak ketika terjadi kesulitan (hardship). Yang dimaksud hardship ini
adalah apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak,
pihak tersebut bagaimanapun juga terikat dalam melaksanakan perikatannya
dengan tunduk pada ketentuan tentang kesulitan. Ketentuan ini menentukan
dua hal pokok, yaitu :48
a. Sifat mengikat dari kontrak sebagai aturan umum
b. Perubahan keadaan yang relevan dengan kontrak jangka panjang.
Akan tetapi, sebagian ahli berpendapat bahwa Memorandum of
Understanding bukanlah sebuah kontrak, hanya berupa perjanjian pra kontrak
yang tidak memiliki suatu akibat hukum jika salah satu pihak melanggar MoU
tersebut, tetapi hanya memiliki suatu akibat moral saja. Unsur yang
terkandung dalam MoU adalah MoU merupakan kesepakatan pendahuluan
dimana isi dari MoU adalah muatan-muatan pokok perjanjian yang nanti akan
dimasukkan kedalam kontrak. Mengingat MoU ini merupakan kesepakatan
47 Subekti, Hukum Perjanjian, ( Jakarta : PT. Intermasa, 1984), h. 57.
48 Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip Unidroit Sebagai sumber hukum Kontrak dan
Penyelesaian Sengketa, (Jakarta:Sinar Grafika, 2004), h.71.
62
pendahuluan, ia mempunyai batas waktu dalam pemberlakuannya dari segi
jangka waktunya.49
Pada kesepakatan antara PT. Pengembangan Pariwisata Bali (pihak
pertama) dengan PT. Jaya Makmur Bersama (pihak kedua) yang dituangkan
dalam nota kesepahaman tidak dapat dikategorikan sebagai suatu kontrak
karena tidak memiliki substansi kontrak walaupun MoU tersebut memiliki hak
dan kewajiban. Hak dan kewajiban itu hanya mengawali perjanjian yang akan
dibuat dalam mengembangkan daerah Pariwisata di Nusa Dua Bali pada
Lahan Lot C-5 milik pihak pertama. Faktanya sebelum pelaksanaan
pengembangan tersebut mereka sepakat untuk membuat Land Utilization and
Development Agreement (LUDA) sebagai kontraknya.
Nota kesepahaman tersebut mengatur ketentuan dimana batas waktu
kesepakatan berakhir pada tahun 2008, tetapi para pihak secara diam-diam
melanjutkan kesepakatannya hingga waktu yang belum ditentukan.
Pemutusan sepihak oleh pihak pertama merupakan pelanggaran dalam
kategori wanprestasi. Dimana kesepatan para pihak secara diam-diam itu
mewajibkan para pihaknya untuk memberitahukan terlebih dahulu bila ingin
menghentikan perjanjiannya. Hal yang tidak diberitahukan didalam perjanjian
secara diam-diam akan menimbulkan pelanggaran cidera janji atau
49 Salim HS, Abdullah, Wiwik, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding
(MoU), h.48.
63
wanprestasi. Karena perjanjian diam-diam merupakan perjanjian dengan
waktu tidak tertentu.
Perbedaan MoU dan Perjanjian adalah MoU belumlah
melahirkan suatu hubungan hukum karena MoU baru merupakan persetujuan
prinsip yang dituangkan secara tertulis, sehingga dapat ditarik kesimpulan,
MoU yang dituangkan secara tertulis baru menciptakan suatu awal yang
menjadi landasan penyusunan dalam melakukan hubungan hukum/perjanjian
antara para pihak dikemudian hari.50
Perbedaan lainnya adalah MoU berisi klausul yang sederhana dan
tidak rinci atau detail, diantaranya klausul maksud dan tujuan mengapa para
pihak mengadakan MoU, jangka waktu yang diperjanjikan kedua belah pihak
dalam MoU, hak dan kewajiban para pihak dalam MoU yang sederhana
seperti memberikan kesempatan kedua belah pihak untuk saling mengenal
dengan menginformasikan latar belakang masing–masing pihak atau
melakukan persiapan–persiapandalam pembuatan perjanjian yang lebih rinci,
dan pembentukan tim dalam merancang dan menyusun perjanjian kedepannya
yang lebih lengkap dan tentu saja lebih rinci.
Kesepakatan yang dituangkan pada MoU pada PT. Pengembangan
Pariwisata Bali dengan PT. Jaya Makmur Bersama adalah bukan sebuah
kontrak karena nantinya akan dibuat kontrak yang dinamakan LUDA. MoU
50
http://www.suduthukum.com/2016/11/perbedaan-memorandum-of.html, diakses pada tanggal 28 Februari pukul 12.05
64
pada kesepakatan tersebut jelaslah bukan sebuah kontrak karena dianggap
tidak berisi cukup detail mengenai perjanjian yang diatur. MoU tersebut
memang Terdapat pasal-pasal yang mengandung hak dan kewajiban yang
wajib dipatuhi oleh masing-masing pihak akan tetapi hak dan kewajiban itu
tidak lain adalah hak dan kewajiban untuk mengiringi kontrak LUDA yang
akan di buat nanti.
Disamping itu, MoU bersifat sebagai pendahuluan saja dengan
mempunyai batas waktu tertentu dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan
para pihak. Ini sesuai dengan MoU yang dibuat oleh kedua belah pihak
dimana kedua belah pihak sepakat untuk menentukan batas waktu berlakunya
MoU dan kedua belah pihak juga dapat memperpanjang jangka waktu
berlakunya.
MoU bukanlah suatu perjanjian karena substansi dari MoU sendiri
merupakan pendahuluan saja dan tidak memiliki akibat hukum apapun. Hal
ini dapat dibuktikan dengan KUH Perdata pasal 1320 tentang syarat sahnya
perjanjian. Persyaratan yang dimaksud pertama adalah adanya penawaran dan
kata penerimaan dari para pihak (meeting of minds).51
Kedua terdapat pihak
yang telah memenuhi kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Ketiga
adanya prestasi tertentu timbal balik. Keempat adanya kausa hukum yang
halal. Setiap kesepakatan yang dibuat dengan secara sah dan berdasarkan
51 Ricardo Simanjutak, Hukum Kontrak & Teknik Perancangan Kontrak Bisnis. Cet. 2, h. 150.
65
ketentuan hukum berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Dari keempat syarat tersebut, MoU tidak dapat dikatakan memenuhi
syarat pertama yaitu meeting of Minds atau adanya kata sepakat. Memang,
dalam sebuah MoU sudah tentu adanya kesepakatan para pihak, akan tetapi
para pihak bersepakat bahwa yang mereka sepakati bukanlah perjanjian,
melainkan MoU yang notabene bukan sebuah perjanjian tetapi merupakan
perjanjian pendahuluan saja.
MoU semacam inilah yang disepakati oleh PT. Pengembangan
Pariwisata Bali dengan PT. Makmur Jaya Bersama yaitu mereka bersepakat
bahwa nota kesepahaman ini bukanlah sebuah kontrak, yang jelas mereka
katakan dalam pasal 1 MoU tersebut yang berisi “ para pihak sepakat
maksud dan tujuan Nota Kesepahaman ini adalah sebagai langkah awal
dalam kerjasama pengembangan lahan Lahan C-5 seluas kurang lebih
58.000 m2 milik pihak pertama”.
Selain itu, isi dari MoU yang dibuat kedua belah pihak tidak terdapat
hak dan kewajiban secara detail yang membahas tentang apa-apa saja yang
wajib dilakukan dan apa-apa saja yang dilarang seperti kontrak pada
umumnya. Hanya terdapat serius fee yang digelontorkan oleh PT. Jaya
Makmur Bersama kepada PT. Pengembangan Bali Persero sebesar Rp.
1.500.000.000. tentunya itu bukanlah hak dan kewajiban secara detail,
66
melainkan hanya hak dan kewajiban untuk pengiring suatu perjanjian seperti
pendapat Prof.Dr. Hikmahanto Juwana,SH.MH yang akan kedua belah pihak
buat nanti. Pihak pertama bukan tidak mau memenuhi prestasinya, tetapi
berusaha untuk mengubah atau setidaknya melakukan negosiasi ulang
terhadap beberapa ketentuan dengan dasar Surat Keputusan BUMN. Sehingga
penandatanganan LUDA tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan prinsip-
prinsip nota kesepahaman.
Kemudian dari segi sanksi, MoU yang dibuat oleh para pihak bukanlah
sebuah kontrak karena isi dari MoU tersebut tidak diatur sanksi bagi pihak
yang melanggar seperti pada pembuatan kontrak pada umumnya. Biasanya
dibagian-bagian akhir suatu kontrak akan mengatur pasal tentang saksi
apabila salah satu pihak melanggar dan pasal yang mengatur penyelesaian
sengketa apabila para pihak tidak menemukan jalan keluar. Namun, di MoU
yang dibuat para pihak tersebut, tidak terdapat pasal-pasal itu.
Maka jelaslah Pada sengketa pihak PT.Pengembangan Bali (Persero)
dengan PT. Jaya Makmur Bersama yang dimana kedua belah pihak berselisih
mengenai apakah MoU merupakan perjanjian atau bukan, penulis berpendapat
MoU tersebut bukanlah suatu perjanjian karena tidak memenuhi pasal 1320
KUH Perdata dan sesuai dengan MoU yang di definisikan oleh para ahli.
Adapun mengenai putusan Majelis Hakim yang mengatakan bahwa
suatu MoU merupakan suatu perjanjian jelas adalah keliru, karena hakim
67
hanya mempertimbahkan putusannya dari aspek yuridis saja, tidak
mempertimbangkan aspek filosofis dan aspek sosiologis. Aspek filosofis
adalah aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan, sedangkan aspek
sosiologis, mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dalam
masyarakat.52
Majelis hakim juga tidak mempertimbangkan pendapat para
ahli dan tidak menafsirkan secara lebih jauh bagaimana kedudukan dari MoU
yang ditinjau dari KUH Perdata dalam hal ini pasal 1320 dan kontrak bisnis.
Kemudian, mengenai putusan hakim yang menyebutkan bahwa MoU
antara PT. Pengembangan Pariwisata Bali dengan PT. Makmur Jaya Bersama
harus dilanjutkan adalah keliru karena tidak berlandaskan hukum. Menurut
pasal 1266 dan 1267 menyebutkan “syarat batal dianggap selalu
dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala
salahb satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian
persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan
kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal
mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam perjanjian. Jika
syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa untuk,
menurut keadaan,atas permintaan si tergugat, memberikan jangka waktu
untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu
tidak boleh lebih dari satu bulan ”. “pihak terhadap siapa perikatan tidak
52 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh hakim dalam prespektif hukum progresif, h. 126.
68
dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan
memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan
menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan
bunga.”
Dari pasal 1266 dan 1267 tersebut menjelaskan tentang jika
kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak tidak terdapat dalam klausul
yang di perjanjikan, Majelis Hakim dapat leluasa memberikan putusan dengan
pertimbangan keadaan, permintaan tergugat, dan memberikan jangka waktu
untuk memenuhi kewajibannya. Padahal dalam kasus ini, pihak tergugat yaitu
PT. Pengembangan Pariwisata Bali jelas menginginkan batalnya MoU dan
tidak ingin MoU tersebut dilanjutkan.
Dengan beberapa pendapat yang sudah penulis paparkan, dapat
dikatakan bahwa Majelis Hakim kurang teliti dan detail dalam
mempertimbangkan sebuah keputusan. Majelis hakim seharusnya dapat
mempertimbangkan putusan melalui tiga aspek, yaitu aspek yuridis, filosofis,
dan sosiologis. Serta tentunya mempertimbangkan fakta-fakta dilapangan dan
juga pendapat para ahli.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang sudah peneliti lakukan didapatkan kesimpulan
dari penelitian ini sebagai berikut :
1. MoU dapat dikatakan sebuah perjanjian yang sah dan memiliki dasar
hukum jika didalamnya memuat hak dan kewajiban para pihak serta
secara jelas mengatur klausula penyelesaian jika terjadi perselisihan dan
memenuhi unsur-unsur dalam perjanjian dan akan mengikat bagi yang
menandatanganinya sehingga akan berlaku sebagai undang-undang bagi
yang melakukan perjanjian tersebut. Akan tetapi pada kasus ini, substansi
dari MoU tersebut tidak memiliki hak dan kewajiban secara detail
melainkan hanya menggiring para pihak yang akan dituangkan dalam
perjanjian. Menurut Munir Fuady, mengartikan bahwa Memorandum of
Understanding sebagai berikut ; Perjanjian pendahuluan, dalam arti
nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang
mengaturnya secara detail, karena itu, Memorandum of Understanding
berisikan hal-hal yang pokok saja. Adapun mengenai lain-lain aspek dari
Memorandum of Understanding relatif sama dengan perjanjian-perjanjian
lain. Erman Rajagukguk mengartikan Memorandum of Understanding
sebagai berikut ; Dokumen yang memuat saling pengertian diantara para
70
pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari Memorandum of Understanding
harus dimasukkan ke dalam kontrak, sehingga iamempunyai kekuatan
mengikat.
2. Memorandum of Understanding merupakan bentuk perjanjian yang dapat
dikategorikan sebagai pra kontrak atau perjanjian pendahuluan. Para ahli
sudah sepakat pada dasarnya MoU bukan merupakan suatu kontrak dan
tidak memiliki akibat hukum. Pada kasus Perusahaan PT. Pengembangan
Pariwisata Bali (Persero) dengan PT. Jaya Makmur Bersama, Majelis
Hakim menyatakan bahwa Nota Kesepahaman (Memorandum of
Understanding) antara Tergugat dengan Penggugat tentang
Pengembangan Lot C-5 (Kantor BTDC) merupakan perjanjian yang
mengikat antara Penggugat dengan Tergugat dan Turut Tergugat.
Pertimbangan Majelis Hakim tingkat pertama sampai tingkat kasasi yang
menyatakan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) No.
88/SP/IX/2008 tanggal 19 September 2008 tentang pengembangan Lot C-
5 (kantor BTDC) adalah salah karena telah keliru menafsirkan KUH
Perdata pasal 1320 tentang syarat sahnya perjanjian. Dalam poin pasal
1320 menyatakan adanya kata sepakat antara para pihak, kata sepakat ini
dimaksudkan bahwa para pihak telah sepakat membuat perjanjian dan
telah sepakat jika ada perselisihan akan diadili di pengadilan atau
arbitrase. Dalam kasus ini, kedua belah pihak bersepakat bahwa
perjanjian yang telah mereka buat adalah perjanjian awal dan bukan
71
merupakan suatu kontrak. Hal ini disampaikan dalam pasal 1 ayat 1
mereka yang berbunyi : “para pihak sepakat maksud dan tujuan Nota
Kesepahaman ini adalah sebagai langkah awal dalam kerjasama
pengembangan lahan Lahan C-5 seluas kurang lebih 58.000 m2 milik
pihak pertama”. Dari pasal tersebut jelaslah kedua belah pihak telah
bersepakat bahwa apa yang mereka sepakati bukanlah sebuah kontrak
yang mengikat, melainkan hanya perjanjian awal saja. Perkara perjanjian
PT Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) dan PT. Jaya Makmur yang
dimana kedua belah pihak berselisih mengenai apakah MoU merupakan
perjanjian atau bukan, dalam hal ini majelis hakim memutuskan bahwa
MoU tersebut merupakan suatu perjanjian dan menghukum agar MoU
tersebut dilanjutkan. Namun, penulis berpendapat Majelis Hakim tidak
mempunyai landasan hukum yang kuat mengapa MoU harus dilanjutkan.
Dari pasal 1266 dan 1267 tersebut menjelaskan tentang jika kesepakatan
yang dibuat oleh kedua belah pihak tidak terdapat dalam klausul yang di
perjanjikan, Majelis Hakim dapat leluasa memberikan putusan dengan
pertimbangan keadaan, permintaan tergugat, dan memberikan jangka
waktu untuk memenuhi kewajibannya. Padahal dalam kasus ini, pihak
tergugat yaitu PT. Pengembangan Pariwisata Bali jelas menginginkan
batalnya MoU dan tidak ingin MoU tersebut dilanjutkan.
72
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka penulis mengajukan
saran yang berguna untuk penegak hukum agar menerapkan hukum sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku:
1. Sebagaimana telah diketahui dalam pembahasan sebelumnya, MoU adalah
sebagai perjanjian awal terbuatnya suatu kontrak haruslah dibuat
sebagaimana mestinya. Tidak rinci melainkan hanya berisi hal-hal pokok
saja, dan pastinya dibuat secara ringkas dan tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikatnya. MoU pada perkara ini memanglah sebuah
MoU, tetapi jika dicermati MoU ini tidak ringkas seperti pada umumnya.
Lebih detail dan lebih serupa dengan kontrak karena adanya pasal-pasal
yang memuatnya. Seharusnya, MoU dibuat secara ringkas, jelas dan hanya
berisi hal-hal pokok saja sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Munir
Fuady. Agar tidak bermasalah di kemudian hari.
2. Awal mula Permasalahan antara PT. Pengembangan Pariwisata Bali
dengan PT. Makmur Jaya bersama adalah tidak sepakatnya biaya
kompensasi yang diberikan kepada PT. Pengembangan Pariwisata Bali
oleh PT. Makmur Jaya bersama sehingga masa berlaku MoU diundur
beberapa kali dan pada akhirnya PT. Pengembangan Pariwisata Bali
membatalkan MoU karena tidak adanya kesepakatan dalam biaya
kompensasi. Seharusnya perkara ini tidak perlu sampai ke meja
73
pengadilan. Cukup selesaikan masalah ini melalui arbitase dan mediasi.
Para pihak dapat menyelesaikan perkara ini melalui Badan Arbirase
Nasional (BANI) untuk mencari jalan tengah atau winwin solution dalam
perkara ini agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
3. Memberikan para penegak hukum dan para pebisnis untuk lebih
memahami lagi istilah-istilah dalam kontrak bisnis khususnya
Memorandum of Understanding, tentang bagaimana cara pembuatannya
bagaimana maksud dan tujuan dibuatnya, bagaimana substansinya agar
tidak keliru dalam membedakan antara Memorandum of Understanding
dan Perjanjian kontrak.
4. Mensosialisasikan penyelesaian sengketa diluar pengadilan seperti
Arbitrase, mediasi, dll untuk menyelesaikan perkara, karena dengan
menggunakan metode penyelesaian sengketa seperti ini dinilai jauh lebih
efektif dan efisien daripada melakukan penyelesaian sengketa di
pengadilan. Dengan menggunakan metode ini para pihak dapat lebih
mempersingkat waktu, memperkecil biaya, dan tentunya memberikan
jalan tengah (winwin solution) kepada para pihak agar tidak ada pihak
yang dirugikan atas perkara ini.
74
DAFTAR PUSTAKA
BUKU – BUKU :
Adolf, Huala. Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Bandung: Refika
Aditama. 2007
Ali, Zainudin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2010
Amirudin, dan Zaenal Asikin. Pengantar Metode Penelitian
Hukum. Jakarta : RajawaliPers. 2012
Bintang, Sanusi dan Dahlan. Pokok-Pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000
Budiono,Herlien. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di
Bidang Kenotariatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010
Cahyono, Akhmad Budi. Mengenal Hukum Perdata, Cet. 1, Jakarta: CV.
Gitama Jaya, 2008
Fuady, Munir. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek “Buku Keempat”,
Bandung: PT. Citra Adiyaksa Bakti. 2002
H.S,Salim. Hukum Kontrak : “Teori dan teknik penyusunan kontrak “.
Jakarta : Sinar Grafika. 2006
-------------. Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding
(MoU), Jakarta : Sinar Grafika, 2007
Kusumadara, Afifah. Kontrak Bisnis Internasional “ elemen-elemen
penting dalam penyusunan, Jakarta: Sinar Grafika. 2013
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada
Media Group. 2011
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung : Citra
Aditya Bakti. 2010
Putra,Ida Bagus Wiyasa. Aspek-aspek Hukum Perdata Intemasional
dalam Transaksi Bisnis Intemasional. Bandung : Refika Aditama.
1997
Rifai, Ahmad. Penemuan Hukum oleh hakim dalam prespektif hukum
progresif, Jakarta: Sinar Grafika. 2011
Salimin, Abdul R. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori Dan Contoh
Kasus),Jakarta : Kencana. 2010
Satrio, J. Hukum Perjanjian (perjanjian pada umumnya), Bandung : Citra
Aditya Bakti. 1992
Simanjuntak, Ricardo. Hukum Kontrak Teknik Perancangan Kontrak
Bisnis,Jakarta : kontan Pub. 2011
Soenandar, Taryana. Prinsip-Prinsip Unidroit Sebagai sumber hukum
Kontrak dan Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Sinar Grafika. 2004
Subekti. Aneka Perjanjian. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 2014
----------. Pokok – Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa. 2001
----------. Hukum Perjanjian, Jakarta : PT. Intermasa. 1984
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. 2012
75
Syarifudin, Muhammad. Hukum Kontrak “Memahami Kontrak dalam
Prespektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum”, Bandung :
CV. Mandar Maju. 2012
Tim Penulis. Keterampilan Perancangan Kontrak, Bandung:
Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Parahyangan. 1997
PERUNDANG – UNDANGAN :
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
INTERNET : http://www.suduthukum.com/2016/11/perbedaan-memorandum-of.html,
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
a Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
P
U
T
U
S
A
N
N
o
m
o
r
1
7
8
8
K
/
P
d
t
/
2
0
1
4
DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA M A H K A M
A H A G U N G
memeriksa perkara perdata dalam tingkat
kasasi telah memutuskan sebagai berikut
dalam perkara:
1 PT. PENGEMBANG
PARIWISATA
BALI, berkedudukan
di Kawasan Pariwisata
Nusa Dua Lot C-5, Po
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Box 3 Nusa Dua,
Kabupaten Badung,
Bali, diwakili oleh
Direktur Utama, Ida
Bagus Wirajaya,
dalam hal ini
memberi kuasa
kepada Erbindo
Saragih, S.H., M.H.,
Kepala Kejaksaan
Tinggi Bali, beralamat
di Jalan Kapten
Tantular Nomor 5
Renon Denpasar, dan
kuasa dengan hak
substitusi kepada
Sukamto, S.H., M.H.,
dkk., para Jaksa
Pengacara Negara
pada Kejaksaan
Tinggi Bali Denpasar,
berdasarkan Surat
Kuasa Khusus
tanggal 22 Januari
2014 dan kepada
Prof. Dr. Yusril Ihza
Mahendra, S.H.,
M.Sc., dkk., para
Advokat pada Ihza
& Ihza Law Firm,
beralamat di 88
Kasablanka Office
Tower, Tower A
Lantai 19, Kota
Kasablanka, Jalan
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Casablanka Kav. 88,
Kuningan Jakarta,
berdasarkan Surat
Kuasa Khusus tanggal
29 Januari 2014;
2 PEMERINTAH REPUBLIK
INDONESIA Cq.
KEMENTRIAN
BADAN USAHA
MILIK NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA Cq.
MENTERI
NEGARA BADAN
USAHA MILIK
NEGARA,
berkedudukan di Jalan
Medan Merdeka
Selatan Nomor 13
Jakarta Pusat, diwakili
oleh Menteri Badan
Usaha Milik Negara,
Dahlan Iskan, dalam
hal ini
memberi kuasa kepada Hambra, dkk., para Pegawai pada
Kementerian
BUMN, beralamat
di Jalan Medan
Merdeka Selatan
Nomor 13 Jakarta
Pusat, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
tanggal 10 Januari
2014;
Para Pemohon Kasasi I dan II dahulu Tergugat/Pembanding dan Turut
Tergugat/Turut Terbanding;
m
e
l
a
w
a
n
Hal. 1 dari 38 Hal. Putusan
Nomor 1788 K/Pdt/201 4
Direk2 tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
PT. JAYA MAKMUR BERSAMA, berkedudukan di Jalan Blitar
Nomor 2, Menteng, Jakarta Pusat, diwakili oleh Direktur, Eko
Purwanto, dalam hal ini memberi kuasa kepada Efendy H. Purba, S.H.,
M.H., dkk., para Advokat pada Effendy & Remy (Attorney and
Counselor At Law), beralamat di Gedung Lina 2th floor, Suite 205, Jalan
H.R. Rasuna Said Kav. B-7, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tanggal 17 Pebruari 2014;
Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang Temohon
Kasasi dahulu sebagai Penggugat/Terbanding telah menggugat sekarang para Pemohon
Kasasi I dan II dahulu sebagai Tergugat/Pembanding dan Turut Tergugat/Turut
Terbanding di muka persidangan Pengadilan Negeri Denpasar pada pokoknya atas
dalil-dalil:
1 Bahwa Penggugat adalah suatu perseroan yang bergerak di bidang Akomodasi,
Rekreasi serta Hiburan;
2 Bahwa Tergugat dikenal juga dengan nama PT Bali Tourism Development
Corporation (BTDC) merupakan suatu Badan Usaha Milik Negara yang
bertujuan sebagai penyelenggara dan pengelola atas sarana dan prasarana di
Kawasan Pariwisata Nusa Dua Bali;
3 Bahwa sesuai dengan tujuan pendiriannya, Tergugat bermaksud untuk
mengembangan kawasan Lot C-5 di atas lahan dengan Sertipikat Hak
Pengelolaan Nomor 4/Desa Benoa dan oleh karenanya Tergugat mencari
investor yang mempunyai kemampuan untuk menyelenggarakan dan
mengoperasikan kawasan Lot C-5 menjadi suatu kawasan pariwisata;
4 Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Tergugat telah menunjuk
Penggugat sebagaimana dinyatakan dalam surat dari Tergugat
Nomor 01/Timbang/PT.PPB/2008 tertanggal 15 Agustus 2008 (Bukti P-1) yang
pada pokoknya menunjuk Penggugat sebagai calon investor untuk
pengembangan kawasan Lot C-5;
5 Bahwa kemudian, Penggugat dan Tergugat pada tanggal 19 September 2008
telah menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum Of Understanding
(MoU)) (Bukti P-2), yang mana mengatur hal-hal sebagai berikut:
2
Direk3 tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
a Dalam rangka pengembangan lahan Lot C-5, maka Tergugat dan
Penggugat sepakat dan setuju untuk mempersiapkan penandatanganan
Land Utilization and Land Development Agreement (selanjutnya
disebut sebagai “LUDA”) berdasarkan prinsip-prinsip dalam MoU;
b Bahwa untuk mencapai tujuan MoU maka Tergugat dan Penggugat
sepakat untuk melakukan proses intern di masing-masing Pihak untuk
kerjasama selanjutnya. Oleh karena itu kerjasama ini tidak
diperbolehkan dialihkan/dipindah tangankan kepada Pihak Ketiga;
c Bahwa jangka waktu kesepakatan mulai sejak tanggal
penandatanganan MoU hingga ditandatanganinya LUDA dengan
batas waktu paling lambat pada 31 Desember 2008;
6 Bahwa antara Penggugat dan Tergugat tidak tercapai kesepakatan mengenai
jumlah kompensasi yang akan diterima oleh Tergugat hingga batas waktu
penandatangan MoU telah terlewati. Bahwa tidak tercapainya kesepakatan antara
Penggugat dan Tergugat adalah karena Tergugat menginginkan jumlah
kompensasi yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur
dalam MoU;
7 Bahwa Penggugat telah mengusulkan agar diadakan perpanjangan jangka waktu
MoU melalui Surat Nomor 001/SB/JMB/III/2009 tanggal 31 Maret 2009 (Bukti
P-3). Bahwa terhadap surat ini, Tergugat melalui surat Nomor 16/Dir/PT.PPB/
VI/2009 tanggal 4 Juni 2009 (Bukti P-4) telah menyatakan untuk menolak
perpanjangan jangka waktu MoU, dengan alasan konsep LUDA yang
disampaikan Tergugat sudah merupakan bentuk standar LUDA di Kawasan
Pariwisata Nusa Dua yang telah disetujui oleh Kementerian sebelum
dipergunakan dalam kerjasama dengan investor di Nusa Dua;
8 Bahwa sehubungan dengan hal ini, Turut Tergugat sebagaimana dinyatakan
dalam suratnya Nomor S-465/MBU/2009 tertanggal 9 Juli 2009 (Bukti P-5) telah
menyetujui rencana kerjasama dengan Penggugat. Hal-hal lain yang dinyatakan
pada surat tersebut antara lain:
a Pada prinsipnya Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara menyetujui
rencana Pengembangan Kantor Pusat BTDC melalui kerjasama dengan
calon mitra yaitu PT Jaya Makmur Bersama (Penggugat) (cetak tebal oleh
Penggugat);
Hal. 3 dari 38 Hal. Putusan Nomor 1788 K/Pdt/201 4
Direk4 tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
b Bahwa besaran nilai kompensasi untuk BTDC dinegosiasikan kembali
(cetak tebal oleh Penggugat) dengan mempertimbangkan kondisi pariwisata
yang semakin berkembang;
c Masa kerjasama 30 tahun dan dapat diperpanjang maksimum selama 20
tahun dengan catatan untuk perpanjangan tersebut persyaratannya harus
disepakati oleh kedua belah pihak sebagai skim kompensasi baru;
7 Bahwa dengan demikian, Turut Tergugat telah dengan tegas menyatakan (i)
telah setuju dengan rencana kerjasama antara Penggugat dengan Tergugat
dan (ii) telah setuju adanya negoisasi ulang atau dengan kata lain Turut
Tergugat telah setuju adanya perpanjangan waktu MoU, walaupun sesuai
dengan ketentuan Pasal 12 MoU, jangka waktu berakhir pada tanggal 31
Desember 2008;
8 Bahwa atas dasar itikad baik untuk mengadakan negoisasi ulang, maka
Penggugat melalui suratnya pada tanggal 27 September 2010 kembali
meminta perpanjangan waktu penandatanganan MoU (vide Bukti P-2)
kepada Tergugat. Namun, Tergugat melalui suratnya Nomor 19/Dir/
PT.PPBN/V/2010, tertanggal 10 Mei 2010 (Bukti P-6) telah menyatakan
bahwa jangka waktu MoU (vide Bukti P-2) telah berakhir;
9 Bahwa sebelumnya Turut Tergugat melalui suratnya Nomor
S-465/MBU/2009 tertanggal 9 Juli 2009 ( vide Bukti P-5) telah menyatakan
persetujuannya dalam hal perpanjangan waktu MoU. Namun, Tergugat
melaui suratnya (vide Bukti P-6) secara sepihak mengakhiri Nota
Kesepahaman (Memorandum of Understanding) (vide Bukti P-2);
10 Bahwa terhadap tindakan Tergugat yang mengakhiri secara sepihak jangka
waktu MoU (vide Bukti P-2), Turut Tergugat tidak melakukan tindakan
apapun, walaupun tindakan Tergugat telah tidak sesuai dengan surat Turut
Tergugat Nomor S-465/MBU/2009 tertanggal 9 Juli 2009 (vide Bukti P-5);
11 Bahwa tindakan Tergugat sebagaimana tersebut di atas, nyata-nyata telah
melanggar hak-hak Penggugat ;
12 Bahwa oleh karenanya tindakan Turut Tergugat yang tidak melakukan
tindakan apapun /atau membiarkan Tergugat mengakhiri MoU cukup
menjadi alasan bagi Penggugat untuk menarik Turut Tergugat sebagai pihak
dalam gugatan aquo. Hal ini sesuai dengan Putusan MA-RI Nomor 995.K/
Sip/1975, tanggal 8 Agustus 1973:
Putusan MA-RI Nomor 995.K/Sip/1975, tanggal 8 Agustus 1973:
4
Direk5 tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
“… sedangkan bagi pengajuan gugatan haruslah ada sesuatu hak yang dilanggar
oleh orang lain, untuk dapat menarik yang bersangkutan sebagai Tergugat dalam
suatu proses peradilan”;
TERGUGAT TELAH LAKUKAN WANPRESTASI
NOTA KESEPAHAMAN ADALAH SUATU PERJANJIAN YANG MENGIKAT
PARA PIHAK;
13 Bahwa dalam MoU tersebut, syarat-syarat perjanjian sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 KUH Per telah dipenuhi, antara lain adanya kecakapan
para pihak, kata sepakat, obyek perjanjian, dan sebab yang halal;
14 Bahwa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam
Pasal 1338 KUH Per telah mengatur bahwa para pihak mempunyai
kebebasan berkontrak, termasuk kebebasan menentukan bentuk kontrak.
Dengan demikian, MoU (vide Bukti P-2) yang telah memenuhi syarat sah
nya perjanjian (sebagaimana diatur pada Pasal 1320 KUH Per) merupakan
suatu perjanjian yang sah;
15 Bahwa menurut pendapat Munir Fuady, KUH Per tidak pernah
mengecualikan berlakunya Nota Kesepahaman (Mou) atas berlakunya
hukum perjanjian (Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek,
Buku Keempat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 94);
16 Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, telah jelas dan tegas dapat
disimpulkan bahwa MoU merupakan suatu perjanjian yang sah sebagaimana
diatur dalam KUH Per dan oleh karenanya menimbulkan kekuatan mengikat
bagi para pihak yang membuatnya;
PERBUATAN WANPRESTASI I TERGUGAT
17 Bahwa dalam Pasal 1 Ayat 4 MoU (vide Bukti P-2) telah diatur bahwa para
pihak akan menindaklanjuti dengan penandatanganan Luda. Bahwa
ketentuan-ketentuan dalam Luda tidak boleh menyimpangi ketentuan-
ketentuan yang telah diatur sebelumnya dalam Luda;
18 Bahwa dalam MoU (vide Bukti P-2) telah ditentukan besarnya jumlah
kompensasi yang diterima oleh Tergugat. Namun, ternyata Tergugat
mengajukan penawaran yang lebih besar dari apa yang telah diatur dalam
MoU (vide Bukti P-2);
Hal. 5 dari 38 Hal. Putusan Nomor 1788 K/Pdt/201 4
Direk6 tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
19 Bahwa perubahan jumlah/atau nilai kompensasi yang diajukan Tergugat
inilah yang menyebabkan tidak ada kesepakatan antara Penggugat dan
Tergugat untuk menandatangani Luda tersebut hingga batas waktu
penandatanganan yang telah ditentukan dalam MoU (vide Bukti P-2) tersebut
berakhir;
PERBUATAN WANPRESTASI II TERGUGAT
20 Bahwa dalam Pasal 16 MoU (vide Bukti P-2) telah diatur bahwa para pihak
tidak akan menahan persetujuannya masing-masing untuk setiap hal atau
tindakan yang memerlukan persetujuannya berdasarkan MoU ini tanpa alasan
yang wajar;
”Para Pihak sepakat bahwa para pihak tidak akan menahan persetujuannya masing-
masing untuk setiap hal atau tindakan yang memerlukan persetujuannya
berdasarkan Nota Kesepahaman ini tanpa alasan yang wajar.”
21 Bahwa sesuai dengan surat dari Turut Tergugat kepada Tergugat (vide Bukti
P-5) telah menyetujui rencana kerjasama antara Penggugat dan Tergugat.
Tidak hanya itu, Turut Tergugat juga menyetujui diadakannya negoisasi
ulang untuk membicarakan jumlah/atau nilai kompensasi. Dengan kata lain,
Turut Tergugat telah menyetujui adanya perpanjangan waktu MoU;
22 Bahwa berdasarkan uraian di atas, tidak ada alasan bagi Tergugat untuk tidak
menerima permohonan perpanjangan waktu penandatanganan LUDA yang
telah diajukan oleh Penggugat (vide Bukti P-3). Namun, nyata-nyata
Tergugat telah menolak permohonan Penggugat (vide Bukti P-4 dan P-6);
23 Bahwa dengan demikian, telah terbukti bahwa Tergugat tidak mempunyai
itikad baik dan alasan yang wajar untuk memberikan perpanjangan waktu
penandatangan Luda, dan oleh karenanya Tergugat telah melanggar Pasal 16
Nota Kesepahaman (vide Bukti P-2);
DASAR HUKUM PERBUATAN WANPRESTASI
24 Menurut Prof. Subekti, S.H., dalam bukunya “Hukum Perjanjian” cetakan
ke-19, halaman 45, yang dimaksud dengan wanprestasi adalah:
“Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam:
a Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan;
c Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
6
Direk7 tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
d Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya;”
AKIBAT WANPRESTASI
25 Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, telah jelas terbukti bahwa
Tergugat telah melakukan perbuatan wanprestasi, oleh karena tidak
melaksanakan ketentuan Pasal 1 ayat 4 dan Pasal 16 MoU (vide Bukti P-2);
26 Bahwa akibat perbuatan wanprestasi oleh Tergugat mengakibatkan
Penggugat mengalamai kerugian. Penggugat telah mengeluarkan biaya-biaya
demi terwujudnya kerjasama pengembangan sebagaimana tertuang dalam
MoU selain deposit uang sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus
juta rupiah);
27 Bahwa akan tetapi kerugian Penggugat tersebut akan dapat diminimalisir dan
tidak menjadi sia-sia apabila kerjasama ini diteruskan atau dilanjutkan
dengan memperpanjang jangka waktu MoU, sehingga memungkinkan terjadi
negosiasi lebih lanjut dari Penggugat dengan Tergugat. Dengan
memperpanjang MoU, uang yang telah diberikan Penggugat kepada Tergugat
sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) tetap menjadi
Deposit Pembayaran Kompensasi, sebagaimana diatur dalam MoU;
28 Bahwa Penggugat selaku pihak yang dirugikan akibat perbuatan wanprestasi
oleh Tergugat, menuntut agar Pengembangkan lahan Lot C-5 tetap
dilaksanakan dan diteruskan dengan penandatanganan Luda. Bahwa hal ini
sesuai dengan Pasal 1267 KUHPerdata:
”Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih memaksa pihak
yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau
menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.”;
a Bahwa untuk memastikan pelaksanaan dari putusan perkara ini sudah
sepantasnya Penggugat meminta Tergugat untuk membayar uang paksa
(dwangsom) sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) setiap hari
keterlambaran pemenuhan putusan sejak putusan ini berkekuatan hukum
tetap (in kracht van gewijsde);
TUNTUTAN PROVISI
b Bahwa sesuai Pasal 1 Angka 3 MoU, Tergugat dan Penggugat telah sepakat
bahwa kerjasama pengembangan Lahan Lot C-5 tidak diperbolehkan
dialihkan/dipindahtangankan oleh Tergugat kepada Pihak Ketiga. Berikut
Penggugat kutipkan bunyi Pasal 1 Angka 3 MoU:
Hal. 7 dari 38 Hal. Putusan Nomor 1788 K/Pdt/201 4
Direk8 tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
”Agar maksud dan tujuan tersebut di atas dapat tercapai dengan baik, maka para
pihak sepakat setelah penandatanganan nota kesepahaman akan melakukan
proses intern di masing-masing pihak untuk kerjasama selanjutnya. Oleh karena
itu kerjasama ini tidak diperbolehkan dialihkan/dipindah tangankan oleh pihak
kedua kepada pihak ketiga”;
c Bahwa untuk menghindari kerugian yang lebih besar dari Perbuatan
Wanprestasi Tergugat sebagaimana Penggugat jelaskan sebelumnya dan
untuk menghindari sia-sianya gugatan ini maka sudah sepantasnya Tergugat
diperintahkan untuk tidak boleh menawarkan atau mengikatkan diri kepada
pihak lain dalam suatu kesepakatan atau perjanjian yang bertujuan
pengelolaan atau pengembangan Lahan Lot C-5 sebagaimana yang diatur
dalam MoU hingga adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap atas
gugatan a quo;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Penggugat mohon kepada
Pengadilan Negeri Denpasar agar memberikan putusan sebagai berikut:
Provisi:
Memerintahkan Tergugat untuk tidak melakukan penawaran, kesepakatan, perjanjian,
pengalihan dan/atau pemindahtanganan kerjasama pengembangan lahan Lot C-5 kepada
Pihak ketiga atau pihak lainnya hingga adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap
atas gugatan a quo;
Primair:
1 Mengabulkan seluruh gugatan Penggugat ;
2 Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan wanprestasi;
3 Menyatakan bahwa Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara
Tergugat dengan Penggugat tentang Pengembangan Lot C-5 (Kantor BTDC)
merupakan perjanjian yang mengikat antara Penggugat dengan Tergugat dan
Turut Tergugat;
4 Menyatakan deposit uang sejumlah Rp1.500.000.000 (satu miliar lima ratus ribu
rupiah) tetap sebagai Jaminan Penawaran yang diubah menjadi Deposit
Pembayaran Kompenasasi oleh Penggugat kepada Tergugat, sebagaimana diatur
dalam Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Tergugat
dengan Penggugat tentang Pengembangan Lot C-5 (Kantor BTDC);
5 Menghukum Tergugat untuk tetap melaksanakan penandatanganan Land
Utilization and Land Development Agreement (“LUDA”) berdasarkan Nota
8
Direk9 tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Tergugat dengan
Penggugat tentang Pengembangan Lot C-5 (Kantor BTDC);
6 Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) setiap hari keterlambatan pemenuhan
Putusan ini sejak berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde);
7 Menghukum Tergugat membayar biaya perkara;
8 Menghukum Turut Tergugat untuk mematuhi putusan ini;
Subsidair:
Apabila Pengadilan Negeri Denpasar berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono);
Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut Tergugat dan Turut Tergugat
mengajukan eksepsi yang pada pokoknya sebagai berikut:
Eksepsi Tergugat:
Dalam Eksepsi:
A GUGATAN PENGGUGAT ADALAH
PREMATURE, KARENA OBYEK GUGATAN
(MEMORADUM OF UNDERSTANDING)
BUKANLAH PERJANJIAN SEBAGAI DASAR
PERBUATAN WANPRESTASI;
1 Bahwa Memorandum of Understanding (MoU) menurut Ricardo Simanjuntak,
S.H., LLM., ANZIIF., CIP., menyebutkan:
Memorandum of Understanding dalam pengertian idealnya sebenarnya
merupakan suatu bentuk perjanjian awal ataupun kesepakatan awal menyatakan
langkah pencapaian saling pengertian antara kedua belah pihak (preliminary
unserstanding of parties ) untuk melangkah kemudian pada penandatanganan
suatu kontrak;
Dari pengertian tersebut, sejak awal para pihak telah mempunyai maksud untuk
memberlakukan langkah tersebut sebagai bagian kesepakatan untuk bernegosiasi
(agreement to negotiate). Karena itu tidak dimaksudkan untuk menciptakan
akibat hukum (no intention to create legal relation) terhadap konsekuensi
pelaksanaan kesepakatan dari Memorandum of Understanding;
Dengan demikian Memorandum of Understanding bukanlah merupakan kontrak
karena masih merupakan kegiatan pra kontrak, sehingga Memorandum of
Understanding tidak mempunyai konsekuensi hukum;
Hal. 9 dari 38 Hal. Putusan Nomor 1788 K/Pdt/201 4
Direk10tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
a =(periksa Ricardo Simanjuntak, S.H., LLM., ANZIIF., CIP., Hukum Kontrak
Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Kontan Publishing, halaman 42 – 46);
2 Bahwa terjadinya wanprestasi senantiasa diawali dengan hubungan kontraktual
(characteristics of deafault is always by a contractual relationship ), demikian
pendapat Dr. Yahman, S.H., M.H., dalam bukunya yang berjudul Karakteristik
Wanprestasi & Tindak Pidana Penipuan yang lahir dari Hubungan Kontraktual,
halaman 49;
3 Bahwa pengertian yang menyebutkan Memorandum of Understanding tersebut
tidak merupakan suatu perjanjian (kontrak) sebagaimana yang Tergugat uraikan
di atas, dengan tegas dan jelas telah diketahui dan disepakati oleh Penggugat
dengan Tergugat sebagaimana diuraikan dalam Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding) antara PT. Pengembangan Pariwisata Bali
(Persero) dengan PT. Jaya Makmur tentang Pengembangan Lahan Lot C-5
(Kantor BTDC) yang ditandatangani pada hari Jumat tanggal 19 September 2008
(Bukti T-1) yang menyebutkan:
”......, para pihak sepakat untuk menandatangani Nota Kesepahaman ini sebagai
langkah awal suatu ikatan kerjasama pemanfaatan dan pengembangan lahan Lot
C-5, ....”;
Pasal 1 Maksud dan Tujuan ayat (1) :”Para pihak sepakat maksud Nota
Kesepahaman ini adalah sebagai langkah awal dalam kerjasama pengembangan
lahan Lot C-5 seluas lebih kurang 58.000 m2.....”;
4 Bahwa perjanjian materiil dalam MoU a quo tersebut adalah Land Utilization
and Land Development Agreement (“LUDA”), sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1 ayat (4) MoU yang berbunyi:
“Sehubungan dengan maksud dan tujuan kerja sama para pihak dalam rangka
pengembangan lahan Lot C-5, maka para pihak sepakat dan setuju untuk
mempersiapkan penandatanganan Land Utilization and Land Development
Agreement (“LUDA”) berdasarkan prinsip-prinsip dalam Nota Kesepahaman
ini.”;
5 Bahwa oleh karena Memorandum of Understanding masih merupakan kegiatan
pra kontrak sebagaimana pendapat Ricardo Simanjuntak, S.H., LLM., ANZIIF.,
CIP., dan jika dihubungkan dengan pendapat Dr. Yahman, S.H., M.H., maka
tindakan Tergugat untuk tidak memperpanjang MoU tidaklah merupakan
perbuatan wanprestasi;
10
Direk11tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
6 Bahwa oleh karena obyek gugatan a quo tidak merupakan perikatan atau
perjanjian (kontrak) sebagai dasar perbuatan wanprestasi sebagaimana ketentuan
Hukum Perdata, maka gugatan Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima
(Niet Ontvankelijk verklaard );
A GUGATAN PENGGUGAT ADALAH ERROR IN
PERSONA KARENA TURUT TERGUGAT
BUKANLAH PIHAK DALAM NOTA
KESEPAHAMAN ("MoU") YANG MENJADI
DASAR GUGATAN WANPRESTASI ANTARA
PENGGUGAT DENGAN TERGUGAT A QUO;
7 Bahwa fakta membuktikan, dasar gugatan Penggugat a quo adalah adanya
wanprestasi terhadap MoU fakta lain membuktikan bahwa objek gugatan a quo
adalah MoU yang hanya ditandatangani oleh Penggugat dan Tergugat, namun
demikian, Penggugat justru mengajukan Turut Tergugat sebagai pihak dalam
gugatan a quo, dimana jelas bahwa Turut Tergugat bukanlah pihak dalam MoU
yang menjadi objek gugatan a quo;
8 Bahwa oleh karena Turut Tergugat bukan pihak dalam MoU sementara itu
gugatan Penggugat adalah gugatan atas dasar wanprestasi terhadap MoU maka
gugatan Penggugat telah melanggar ketentuan Pasal 1340 ayat (1) dan (2)
KUHPerdata yang berbunyi:
"Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya"
"Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak
ketiga tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam
hal yang diatur dalam Pasal 1317";
9 Bahwa adanya gugatan yang demikian adalah Error in Persona karena
Penggugat telah menarik pihak yang tidak memiliki hubungan hukum dengan
MoU. Bahkan sudah menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI dalam
putusannya Nomor 157K/Sip/1974 tanggal 10 Juli 1975 yang menyatakan
gugatan yang salah alamat (Error in Persona) harus dinyatakan tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard);
A PENGGUGAT TIDAK MEMILIKI PERSONA
STANDI IN JUDICIO (LEGAL STANDING)
UNTUK MENGAJUKAN GUGATAN KARENA
PENGGUGAT TIDAK MEMILIKI HUBUNGAN
Hal. 11 dari 38 Hal. Putusan Nomor 1788 K/Pdt/201 4
Direk12tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
HUKUM DENGAN TURUT TERGUGAT
(EKSEPSI DISKUALIFIKASI IN PERSON);
1 Bahwa gugatan a quo adalah gugatan atas dasar wanprestasi adanya MoU.
Sementara itu fakta membuktikan bahwa para pihak dalam MoU hanyalah
Penggugat dan Tergugat. Namun demikian Penggugat justru mengajukan Turut
Tergugat sebagai pihak dalam gugatan a quo. Dari fakta-fakta tersebut jelas
membuktikan bahwa Penggugat tidak memiliki hubungan hukum dengan Turut
Tergugat. Oleh karena Penggugat tidak memiliki hubungan hukum dengan Turut
Tergugat maka dengan demikian Penggugat tidak memiliki legal standing untuk
mengajukan gugatan terhadap Turut Tergugat;
2 Bahwa sebuah gugatan dapat diajukan oleh suatu subjek hukum yang memiliki
hubungan hukum dengan pihak yang akan digugat. Dalam perkara a quo,
Penggugat tidak memiliki hubungan hukum dengan Turut Tergugat apalagi
gugatan a quo adalah atas dasar wanprestasi terhadap MoU yang hanya
ditandatangani oleh Penggugat dan Tergugat;
Bahwa Mahkamah Agung didalam putusannya Nomor 294 K/Sip/1971 tanggal 7
Juli 1971 mensyaratkan bahwa gugatan harus diajukan oleh orang yang
mempunyai hubungan hukum. Dalam perkara a quo, oleh karena Penggugat
tidak memiliki hubungan hukum dengan Turut Tergugat maka sudah seharusnya
gugatan Penggugat a quo dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk
verklaard);
Eksepsi Turut Tergugat:
I DALAM EKSEPSI :
1 Gugatan Error in Persona:
a Perlu dijelaskan kembali bahwa kedudukan Turut Tergugat dalam perkara a
quo adalah hanya sebagai Pemegang Saham yang perannya hanya
memberikan persetujuan dan bukanlah pihak yang berperan dalam
mengambil kebijakan untuk mengadakan KSO. Sehingga, dengan peranan
Menteri BUMN yang hanya sebagai pemberi persetujuan, maka yang paling
berperan dalam KSO adalah Direksi sebagai pihak yang bertanggung jawab
penuh atas pengurusan BUMN sehari-harinya (Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 5
ayat (2) Undang-Undang Nomor 19/2003);
b Bahwa dengan kedudukan Turut Tergugat hanya sebagai pemberi
persetujuan, dan yang paling berperan dalam KSO adalah Direksi sebagai
pihak yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN sehari-
12
Direk13tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
harinya, maka gugatan yang diajukan Penggugat tidak memenuhi syarat dan
dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard) serta Turut
Tergugat tidak dapat dijadikan pihak dalam perkara a quo, sehingga Turut
Tergugat harus dikeluarkan sebagai pihak dalam perkara a quo;
2 Gugatan Tidak Jelas dan Kabur (Obscuur Libel);
Gugatan yang diajukan oleh Penggugat adalah tidak jelas dan kabur, karena
Penggugat menyatakan Turut Tergugat telah terikat pada Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding) antara Tergugat dengan Penggugat tentang
Pengembangan Lot C-5 (Kantor) BTDC, yaitu melalui petitumnya pada halaman
8 (delapan) gugatan;
Petitum tersebut tidak beralasan karena Turut Tergugat bukan pihak dalam
perjanjian, sehingga tidak pernah melakukan wanprestasi dan perjanjian tersebut
tidak mengikat Turut Tergugat. Dimana hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1338
KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”;
Oleh karena itu, gugatan yang diajukan Penggugat tidak memenuhi syarat
dandinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard) serta Turut
Tergugat tidak dapat dijadikan pihak dalam perkara a quo, sehingga Turut
Tergugat harus dikeluarkan sebagai pihak dalam perkara a quo;
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Denpasar telah memberikan
Putusan Nomor 419/PDT.G/2012/PN.DPS., tanggal 12 Pebruari 2013 dengan amar
sebagai berikut:
Dalam Provisi:
Dalam Eksepsi:
• Menolak gugatan Provisi Penggugat untuk seluruhnya;
• Menolak eksepsi Tergugat dan Turut Tergugat untuk
seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara;
1 Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2 Menyatakan Tergugat telah melakukan wanprestasi;
3 Menyatakan bahwa Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding)
antara Tergugat dengan Penggugat tentang Pengembangan Lot C-5 (Kantor
BTDC) merupakan perjanjian yang mengikat antara Penggugat dengan
Tergugat dan Turut Tergugat;
Hal. 13 dari 38 Hal. Putusan Nomor 1788 K/Pdt/201 4
Direk14tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
4 Menyatakan deposit uang sejumlah Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah) tetap sebagai Jaminan Penawaran yang diubah menjadi
deposit Pembayaran Kompensasi oleh Penggugat kepada Tergugat,
sebagaimana diatur dalam Nota Kesepahaman (Memorandum of
Understanding) antara Tergugat dengan Penggugat tentang Pengembangan
Lot C-5 (Kantor BTDC);
5 Menghukum Tergugat untuk tetap melaksanakan penandatanganan Land
Utilization and Land Development Agreement (“LUDA”) berdasarkan Nota
Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Tergugat dengan
Penggugat tentang Pengembangan Lot C-5 (Kantor BTDC);
6 Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar
Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) setiap hari keterlambatan pemenuhan
putusan ini sejak berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde);
7 Menghukum Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini,
yang hingga kini diperhitungkan sebesar Rp471.000,00 (empat ratus tujuh
puluh satu ribu rupiah);
8 Menghukum Turut Tergugat untuk tunduk dan taat pada putusan ini;
Menimbang, bahwa dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat/
Pembanding putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi
Denpasar dengan Putusan Nomor 126/PDT/2013/PT.DPS., Tanggal 4 Desember 2013;
Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada Tergugat/
Pembanding dan Turut Tergugat/Turut Terbanding pada tanggal 13 Januari 2014 dan 21
Januari 2014 kemudian terhadapnya oleh Tergugat/Pembanding dan Turut Tergugat/
Turut Terbanding dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
masing-masing tanggal 29 Januari 2014 dan 10 Januari 2014 diajukan permohonan
kasasi sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Kasasi Nomor 419/Pdt.G/2012/
PN.DPS., dan Nomor 419/PDT.G/2012/PN.DPS., yang dibuat oleh Panitera Pengadilan
Negeri Denpasar permohonan tersebut diikuti dengan memori kasasi yang memuat
alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 5
Pebruari 2014 dan 14 Pebruari 2014;
Bahwa memori kasasi dari para Pemohon Kasasi I dan II/Tergugat/Pembanding
dan Turut Tergugat/Turut Terbanding tersebut telah diberitahukan kepada Penggugat
pada tanggal 17 Pebruari 2014 dan tanggal 25 Pebruari 2014;
14
Direk15tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
Kemudian Termohon Kasasi/Tergugat/Pembanding mengajukan jawaban
memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Denpasar pada tanggal
28 Pebruari 2014;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan
dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, oleh karena itu permohonan kasasi
tersebut secara formal dapat diterima ;
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi I
dan II/Tergugat/Pembanding dan Turut Tergugat/Turut Terbanding dalam memori
kasasinya tersebut pada pokoknya sebagai berikut:
Memori Kasasi Pemohon Kasasi I:
1 Bahwa Permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi semula Pembanding/
Tergugat telah sesuai dengan alasan-alasan kasasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung;
Bahwa Pasal 30 Undang-undang Mahkamah Agung mensyaratkan secara limitatif
bahwa Mahkamah Agung melakukan pemeriksaan dalam tingkat kasasi guna
menentukan:
a Tidak berwenang mengadili atau melampaui batas wewenang;
b Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan;
2 Bahwa Judex Facti (Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor 126/
PDT/2013/PT.DPS., jo Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 419/
Pdt.G/2012/PN.Dps) telah keliru menerapkan suatu peraturan hukum atau
tidak menerapkan suatu peraturan hukum sebagaimana mestinya (Pasal 30
Undang-Undang MA), yaitu sebagai berikut:
A Bahwa Pemohon Kasasi tidak sependapat dengan pertimbangan hukum Majelis
Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar yang memeriksa perkara Nomor 126/
PDT/2013/PT.DPS dalam Putusannya tertanggal 4 Desember 2013 pada
Halaman 10 alinea ke-2, yang menyatakan:
“Menimbang, bahwa inti pokok dalam perkara ini adalah mengenai Nota
Kesepahaman (Memorandum of Understanding) Nomor 88/SP/IX/2008 tanggal
19 September 2008 yang telah ditandatangani oleh Penggugat/Terbanding
Hal. 15 dari 38 Hal. Putusan Nomor 1788 K/Pdt/201 4
Direk16tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
dengan Tergugat/Pembanding apakah suatu perjanjian yang mengikat kedua
belah pihak, ataukah hanya langkah awal yang tidak mengikat antara kedua
belah pihak yang menandatanganinya”;
“Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim tingkat banding memeriksa dan
mempelajari dengan seksama berkas perkara a quo, serta salinan resmi putusan
Pengadilan Negeri Denpasar tanggal 12 Pebruari 2013 Nomor 419/Pdt.G/2012/
PN.Dps., maka Majelis Hakim tingkat banding dapat menerima dan
membenarkan uraian serta pertimbangan Majelis Hakim tingkat pertama,
karena semuanya telah dipertimbangkan dengan benar, sehingga pertimbangan
tersebut tetap dipertahankan dan diambil alih oleh Majelis Hakim tingkat
banding didalam memutus perkara ini…”;
Bahwa pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Denpasar di atas yang hanya
menyatakan membenarkan dan mengambil alih pertimbangan putusan
Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 419/Pdt.G/2012/PN.Dps., tanggal 12
Pebruari 2012 menjadi pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Denpasar,
tanpa suatu pertimbangan hukum sendiri, dan tanpa mempertimbangkan
kembali fakta-fakta hukum yang sesungguhnya terungkap di depan sidang
pengadilan, serta tidak mempertimbangkan dengan layak dan cukup keberatan-
keberatan Pembanding dalam Memori Banding dan dalam Jawaban Pemohon
Kasasi, adalah pertimbangan yang tidak berdasar hukum karena pertimbangan
putusan sangat tidak cukup atau pengambilan putusan tidak berdasar
pertimbangan yang layak menurut hukum pembuktian atau dapat dikatakan
melanggar hukum pembuktian (onvoldoende gemotiveerd) serta bertentangan
dengan SEMA Nomor 3 Tahun 1974 tanggal 23 Nopember 1974 Perihal
Putusan Yang Harus Cukup Diberi Pertimbangan/Alasan;
Bahwa SEMA Nomor 3 Tahun 1974 tanggal 23 Nopember 1974 Perihal
Putusan Yang Harus Cukup Diberi Pertimbangan/Alasan, pada pokoknya
menyatakan bahwa:
“Putusan yang tidak/kurang memberikan pertimbangan/alasan, bahkan apabila
alasan-alasan itu kurang jelas, sukar dimengerti ataupun bertentangan satu sama
lain, maka hal demikian dapat dipandang sebagai suatu kelalaian dalam acara
(Vormverzuim) yang dapat mengakibatkan batalnya Putusan Pengadilan yang
bersangkutan dalam pemeriksaan di tingkat kasasi”;
B Bahwa Pemohon Kasasi tidak sependapat dan keberatan dengan pertimbangan
hukum Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar yang memeriksa perkara
16
Direk17tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20
a Nomor 126/PDT/2013/PT.DPS., dalam Putusannya tertanggal 4 Desember
2013 pada Halaman 11 Alinea ke-2, yang menyatakan:
“…..menurut pendapat Majelis Hakim tingkat banding Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding) Nomor 88/SP/IX/2008 tanggal 19 September
2008 telah dibuat atas kesepakatan bersama antara Pembanding semula
Tergugat dengan Terbanding semula Penggugat, yang mana isi kesepakatan
tersebut telah memuat hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, dan telah
ditandatangani bersama tanpa adanya paksaan, kekhilapan maupun penipuan,
sehingga sudah memenuhi ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang
syarat sahnya suatu perjanjian maka Memorandum of Understanding (Nota
Kesepahaman) tersebut adalah suatu perjanjian, yang mana sesuai dengan asas
pacta sunt servanda yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, maka
Memorandum of Understanding tersebut berlaku mengikat dan harus ditaati
serta dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang membuatnya……”;
Bahwa pertimbangan tersebut di atas adalah keliru, tidak cermat dan tidak
berdasar. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan
pada tingkat pengadilan negeri diperoleh fakta hukum sebagai berikut:
a
Bahwa, berdasarkan keterangan ahli Prof. Dr. Ridwan Khairandy, S.H., M.H., (putusan
halaman 26) menerangkan : Bahwa ahli berpendapat apakah suatu kesepakatan tertulis
diberi judul MoU (Nota Kesepahaman) atau perjanjian yang paling penting adalah
substansi dari isi kesepakatan yang dibuatnya, apabila MoU telah mengatur hak dan
kewajiban dari masing masing pihak, isi kesepakatan tersebut adalah mengikat;
Ada beberapa hal MoU sudah merupakan perjanjian dan bersifat mengikat
yaitu:
1 Mereka langsung melaksanakan apa yang diperjanjikan dalam MoU;
2 Apabila MoU sudah jelas substansinya, maka bersifat suatu perjanjian.
Selanjutnya mencermati isi MoU tanggal 19 September 2003 yang dibuat
oleh Termohon Kasasi dengan Pemohon Kasasi (bukti P-2=T-1), Pasal 1
Maksud dan Tujuan menyebutkan:
Ayat (1):
Para pihak sepakat maksud dan tujunan Nota Kesepahaman ini adalah
sebagai langkah awal dalam kerjasama pengembangan lahan Lot C-5
seluas kurang lebih 58.000 m2 milik Pihak Pertama ;
Ayat (3):
Hal. 17 dari 38 Hal. Putusan Nomor 1788 K/Pdt/201 4
Direk18tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21
a Agar maksud dan tujuan tersebut dialas tercapai dengan baik, maka
Para Pihak sepakat setelah penandatangan Nota Kesepahaman akan
melakukan proses intern di masing-masing pihak untuk kerjasama
selanjutnya. Oleh karena itu kerjasama ini tidak diperbolehkan
dialihkan/dipindahtangankan oleh Pihak Kedua kepada pihak Ketiga;
Ayat (4)
Sehubungan dengan maksud dan tujuan kerja sama Para Pihak dalam
rangka pengembangan lahan Lot C-5, maka Para Pihak sepakat dan
setuju untuk mempersiapkan penandatanganan Land Utilization an
Land Development Agreement ("LUDA") berdasarkan prinsip-prinsip
dalam nota kesepahaman ini;
Bahwa berdasarkan keterangan Prof. Dr. Ridwan Khairandy, S.H., M.H.,
dan dihubungkan dengan bunyi Pasal 1 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4)
dalam MoU tanggal 19 September 2008 (bukti P-2 = T-1) dapat
disimpulkan bahwa setelah penandatanganan MoU tanggal 19 September
2008 tersebut Termohon Kasasi tidak langsung melaksanakan
pengembangan lahan Lot C-5 seluas kurang lebih 58.000 m2 tersebut,
karena masih ada tahapan-tahapan yang mesti dilaksanakan yaitu proses
intern di masing masing pihak untuk kerjasama selanjutnya dan
mempersiapkan penandatanganan Land Utilization and Land Development
Agreement ("LUDA");
Dengan demikian, maka obyek sengketa berupa MoU tanggal 19
September 2008 (bukti P-2 = T-1) tidak termasuk perjanjian dan tidak
bersifat mengikat, oleh karena itu pertimbangan Majelis Hakim tersebut
sudah sepatutnya dibatalkan;
b Bahwa pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar dalam
putusannya hal 38 paragraf 3 yang menyatakan MoU adalah perjanjian
karena
telah diatur hak dan kewajiban masing-masing pihak secara imperatif dan mengenai hal-
hal yang belum diatur dalam MoU akan dimusyawarahkan dan hasilnya akan dituangkan
dalam bentuk tertulis dan menjadi satu kesatuan dengan Nota Kesepahaman. MoU
tersebut telah mengatur hak dan kewajiban, dibuat memenuhi ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian, tidak ada kekhilafan (Pasal 1321
KUHPerdata) atau adanya suatu “paksaan atau penipuan” (Pasal 1324 KUHPerdata dan
Pasal 1328 KUHPerdata), maka Majelis Hakim berpendapat sependapat dengan ahli Dr.
Ridwan Khairandy, S.H., M.H., bahwa MoU dibuat tanggal 19 September 2008 yang
18
Direk19tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22
a dibuat oleh Penggugat dan Tergugat (bukti P-2 = T-1) adalah merupakan perjanjian mengikat kedua belah pihak layaknya undang-undang dan apabila dilanggar, pihak yang
melanggar dapat dinyatakan secara hukum telah melakukan wanprestasi adalah
pertimbangan yang keliru karena Majelis Hakim kuarang cermat menilai atau tidak
mempertimbangkan keterangan Prof. Dr. Ridwan Khairandy, S.H., M.H., Dan bukti
T-1=P-2 secara lengkap dan menyeluruh;
Bahwa mengenai hak dan kewajiban masalah besarnya kompensasi dari
Termohon Kasasi pada Pemohon Kasasi sebesar Rp1.500.000.000,00 yang
diatur dalam MoU (Bukti T-1=P-2) ini, secara hukum tidaklah dapat
disamakan arti dan maknanya dengan hak dan kewajiban dalam sebuah
perjanjian sesungguhnya, Hak dan kewajiban yang tersurat dalam MoU
hanya bertujuan mengikat pihak-pihak untuk bukti keseriusan sebagai
langkah awal/ pendahuluan untuk kesepakatan pengembangan Lot-5 yang
akan dituangkan dalam LUDA;
Bakwa bukti keseriusan Termohon Kasasi untuk pengembangan Lot C-5
(Kantor BTDC) tersebut telah dengan jelas dan tegas disepakati
sebagaimana bunyi Pasai 7 ayat (1) MoU yaitu:
"Dengan penandatanganan Nota Kesepahaman ini Pihak Kedua (Termohon
Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding) sepakat bahwa Jaminan Penawaran
yang diserahkan Pihak Kedua kepada Pihak Pertama (Pemohon Kasasi
dahulu Tergugat/Pembanding) sebesar Rp1.500.000.000,00 yang
merupakan jaminan keseriusan untuk mengembangkan Lot diubah menjadi
deposit pembayaran kompensasi yang diserahkan oleh Pihak Kedua kepada
Pihak Pertama,";
Selanjutnya ditegaskan kembali dengan ayat (3) Pasal 7 MoU tersebut yang
bunyinya:
"Deposit pembayaran tersebut pada ayat (1) Pasal 7 ini akan ditingkatkan
menjadi bagian dari pembayaran kompensasi tetap apabila Nota
Kesepahaman ini dilanjutkan dengan kesepakatan para pihak untuk
menandatangani LUDA, setelah Pihak Kedua ditunjuk oleh Pihak Pertama
sebagai calon mitra definitif pengembangan Lahan Lot C-5.";
Bahwa dengan bertitik tolak pada ketentuan Pasal 7 MoU tersebut, maka
dapatlah disimpulkan hak dan kewajiban mengenai pembayaran Jaminan
Penawaran oleh Termohon Kasasi kepada Pemohon Kasasi sama arti dan
maknanya dengan uang muka sebagai bukti keseriusan salah satu pihak
dengan ketentuan jangka waktu tertentu. Hal tersebutpun telah dengan jelas
Hal. 19 dari 38 Hal. Putusan Nomor 1788 K/Pdt/201 4
Direk20tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23
dan tegas disepakati oleh Para Pihak sebagaimana isi Pasal 12 MoU
tentang Jangka Waktu Kesepakatan yang menyebutkan:
"Nota Kesepahaman ini berlaku sejak ditandatangani sampai dengan
ditandatanganinya LUDA, namun dengan batas waktu paling lambat
LUDA harus telah ditandatangani pada tanggal 31 Desember 2008.
Apabila hingga tanggal 31 Desember 2008 LUDA belum ditandatangani,
maka Pihak Pertama wajib mengembalikan deposit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 Nota Kesepahaman ini kepada Pihak Kedua, kecuali Para
Pihak sepakat untuk memperpanjang Nota Kesepahaman ini.";
Bahwa oleh karena hak dan kewajiban Para Pihak (Tergugat/Pembanding
dan Penggugat/Terbanding) terhadap penyetoran Jaminan Penawaran/
deposit sebesar Rp1.500.000.000,00 adalah
merupakan uang muka sebagai bukti keseriusan sebagaimana disepakati
dalam Pasal 7 jo. Pasal 12 Nota Kesepahaman (MoU), maka secara yuridis
tidaklah dapat hak dan kewajiban tersebut dimaksudkan sebagai suatu
perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata atau Pasal 1338
KUHPerdata, akan tetapi masih bersifat kesepakatan pendahuluan (para
kontrak) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagaimana
layaknya perjanjian sebagaimana pendapat Ahli Prof. Dr. Hikmahanto
Juwana, S.H., M.H., yang menerangkan:
"Bahwa MoU biasanya memang mengatur hak dan kewajiban tapi sifatnya
hanya menggiring para pihak yang nantinya akan dituangkan dalam
perjanjian, maka dalam MoU bisa sama atau tidak sama dengan apa yang
akan diperjanjikan oleh para pihak” (Putusan hal. 28);
c Bahwa pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar
halaman 40 paragraf 3 mengenai adanya perubahan besarnya nilai
kompensasi yang telah ditetapkan oleh Penggugat/Terbanding dengan
Tergugat/Pembanding dalam MoU, sehingga tidak terlaksananya
penandatanganan LUDA adalah pertimbangan yang keliru karena tidak
mempertimbangan seluruh bukti-bukti atau fakta-fakta hukum yang
terungkap dipersidangan;
Bahwa sesuai fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan belum
terlaksananya penandatanganan LUDA oleh Tergugat/ Pembanding dengan
Penggugat/Terbanding sampai batas waktu MoU berakhir tanggal 31
Desember 2008 adalah disebabkan oleh tindakan Penggugat/Terbanding
20
Direk21tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24
a yang mengulur-ngulur waktu untuk mengkoordinasikan mengenai besarnya
nilai kompensasi yang akan dituangkan dan diperjanjikan dalam LUDA
(periksa Bukti T-3, penyampaian Draf LUDA oleh Tergugat/Pembanding
tertanggal 31 Oktober 2008, dan baru dijawab oleh Penggugat/Terbanding
dengan suratnya tertanggal 31 Maret 2009/Bukti P-3);
Bahwa adanya perubahan mengenai besarnya nilai kompensasi oleh Pemohon Kasasi
selain telah diatur dalam MoU Pasal 1 ayat (3) yang bunyinya:
"Agar maksud dan tujuan tersebut tercapai dengan baik, maka Para Pihak
sepakat setelah penandatanganan Nota Kesepahaman akan melakukan
proses intern di masing-masing Pihak untuk kerjasama selanjutnya
perubahan nilai kompensasi tersebut telah didasarkan pada ketentuan
perundang-undangan (Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara) dan dipandang dari segi ekonomis terhadap
rencana pengembangan Lot C-5 (Kantor BTDC) untuk menghindari
timbulnya kerugian atau potensi kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara”.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka pertimbangan Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Denpasar tersebut sudah sepatutnya dibatalkan;
d Bahwa pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar dengan
menyatakan Tergugat/Pembanding telah melakukan wanprestasi dengan
mengakhiri secara sepihak MoU karena tidak mendapat persetujuan dari
Turut Tergugat (Menteri BUMN) selaku Pemegang Saham sebagaimana
diuraikan dalam putusan halaman 36 adalah fakta hukum yang sangat
keliru dan bertentangan dengan alat-alat bukti yang terungkap
dipersidangan, sehingga pertimbangan tersebut sudah sepatutnya
dibatalkan;
Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan Pemohon
Kasasi tidak pernah mengakhiri MoU secara sepihak, akan tetapi fakta
yang terjadi sebenarnya adalah jangka waktu MoU yang disetujui dan
disepakati oleh Pemohon Kasasi dengan Termohon Kasasi selaku Para
Pihak tersebut telah berakhir atau berlalu sebelum LUDA (perjanjian
materiil) disepakati dan ditanda tangani oleh Para Pihak yaitu pada tanggal
31 Desember 2008 sebagaimana bunyi Pasal 12 MoU (vide bukti T-1=P-2)
yang berbunyi;
Hal. 21 dari 38 Hal. Putusan Nomor 1788 K/Pdt/201 4
Direk22tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 25
”Pasal 12 Jangka Waktu Kesepakatan:
Nota Kesepahaman ini berlaku sejak ditandatangani sampai dengan
ditandatanganinya LUDA, namun dengan batas waktu paling lambat
LUDA harus telah ditandatangani pada tanggal 31 Desember 2008.
Apabila hingga tanggal 31 Desember 2008 LUDA belum ditandatangani
maka Pihak Pertama wajib mengembalikan deposit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 Nota Kesepahaman ini kepada pihak kedua, kecuali Para
Pihak sepakat untuk memperpanjang Nota Kesepahaman ini";
Selain itu, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1263 KUHPerdata
dinyatakan (dikutip) sebagai berikut:
Suatu perikatan dengan syarat tunda adalah suatu perikatan yang
tergantung pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan belum tentu
akan terjadi, atau yang tergantung pada suatu hal yang sudah terjadi tetapi
hal itu tidak diketahui oleh kedua belah pihak. Dalam hal pertama,
perikatan tidak dapat dilaksanakan sebelum peristiwanya terjadi; dalam hal
kedua, perikatan mulai berlaku sejak terjadi;
Seandainya mengikuti pola pikir Majelis yang menyatakan MoU (Nota
Kesepahaman) tersebut adalah suatu perikatan sehingga sudah memenuhi
ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu
perjanjian dan sesuai dengan asas pacta sunt servanda, maka perikatan
tersebut masuk ke dalam jenis perikatan bersyarat sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1263 KUHPerdata di atas, dimana MoU tersebut merupakan
perikatan yang tidak dapat dilaksanakan sebelum peristiwa yang
dipersyaratkan itu terjadi, yaitu dalam kasus ini adalah persetujuan dari
Turut Tergugat;
Bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap dipersidangan dan dengan
bukti-bukti surat yang telah diajukan oleh Pemohon Kasasi (dahulu
Tergugat/Pembanding) pada Pengadilan Tingkat Pertama, Pemohon Kasasi
tidak dapat melanjutkan kerjasama dengan Termohon Kasasi, selain karena
alasan-alasan proses renegoisasi yang tidak tercapai kesepakatan dan itikad
tidak baik dari Termohon Kasasi, yang telah Pemohon Kasasi uraikan
diatas, akhirnya pun Kementerian BUMN selaku pemegang saham dari
Pemohon Kasasi mengeluarkan Surat yang ditujukan kepada Pemohon
Kasasi dengan Nomor S-543/MBU/2010 tanggal 3 September 2010 tentang
22
Direk23tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26
Pengembangan Lahan kantor BTDC (lot C-5). Yang pada intinya surat
tersebut menyatakan:
“Bahwa Menteri Negara BUMN tidak menyetujui permohonan Pemohon
Kasasi (dahulu Tergugat Konpensi/Penggugat Rekonpensi untuk
melanjutkan kerjasama pengembangan lahan kantor pusat (in casu
kerjasama dengan Termohon Kasasi I dahulu Penggugat Konpensi/
Tergugat Rekonpensi).”;
Dengan demikian maka dalam hal ini Majelis Hakim Tingkat Banding
telah keliru dan kurang cermat sehingga mengakibatkan pertimbangan
hukum dan amar putusannya pun menjadi kurang cermat sekaligus
merupakan suatu kekeliruan hukum (rechtdwaling);
e Bahwa Pemohon Kasasi tidak sependapat dan keberatan dengan
pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar yang
memeriksa perkara Nomor 126/PDT/2013/PT.DPS dalam Putusannya
tertanggal 4 Desember 2013 pada Halaman 12 Alinea ke-3, yang
menyatakan:
“Menimbang, bahwa ternyata sampai dengan akhir batas waktu
penandatanganan LUDA pada tanggal 31 Desember 2008 Para Pihak
belum berhasil menandatangani LUDA hal tersebut disebabkan karena
antara para pihak belum tercapai adanya kesepakatan tentang besarnya
kompensasi serta tidak adanya persetujuan dari Turut Tergugat selaku
pemegang saham, sehingga dengan demikian maka belum
ditandatanganinya LUDA sampai batas waktu berakhir pada tanggal 31
Desember 2008, adalah bukan kesalahan atau kelalaian pihak Penggugat,
oleh karena mengenai persetujuan dari Turut Tergugat tentang besarnya
dana kompensasi hal itu adalah urusan intern antara Tergugat dengan Turut
Tergugat, yang merupakan tanggungjawab dari pihak Tergugat, yang tidak
dapat dialihkan pertanggungjawabannya kepada pihak Penggugat.”
Bahwa Pemohon Kasasi tidak sependapat dengan pertimbangan tersebut
karena sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (1) MoU mengenai Force Majeur
dinyatakan bahwa Force Majeur dalam Nota Kesepahaman ini adalah
suatu keadaan diluar kekuasaan para pihak antara lain: gempa bumi, banjir,
epidemic, kebakaran, perang saudara, pemogokan, huru-hara dan kebijakan
pemerintah yang berdampak signifikan dan langsung pada pelaksanaan
Nota Kesepahaman ini;
Hal. 23 dari 38 Hal. Putusan Nomor 1788 K/Pdt/201 4
Direk24tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 27
a Bahwa sesuai dengan fakta hukum yang terjadi dan telah diungkapkan
dalam persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar bahwa kementerian
BUMN telah mengeluarkan kebijakan sebagaimana ditunjukkan dalam
bukti TK-16/PR-16 dan sesuai dengan ketentuan dalam MoU pun sudah
dilaksanakan pemberitahuan kepada Penggugat bahwa kebijakan tersebut
berdampak signifikan dan langsung pada pelaksanaan MoU sehingga
Tergugat tidak bisa dibebankan atas kesalahan ini;
f Bahwa Pemohon Kasasi tidak sependapat dan keberatan dengan amar
ke-3 dalam Pokok Perkara putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Denpasar Nomor 419/Pdt.G/2012/PN.Dps., yang menyatakan:
“Menyatakan bahwa Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding)
antara Tergugat dengan Penggugat tentang Pengembangan Lot C-5 (kantor
BTDC) merupakan perjanjian yang mengikat antara Penggugat dengan
Tergugat dan Turut Tergugat”;
Bahwa amar putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar dan
dikuatkan oleh Majelis Hakim Tingkat Tinggi Denpasar tersebut adalah
salah menerapkan dan melanggar hukum yang berlaku, yaitu ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 1340 ayat (1) dan ( 2) KUHPerdata, yang
berbunyi:
“Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya ”
“Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak-
pihak ketiga tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya,
selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317”;
Bahwa seluruh pihak dalam perkara ini (Majelis Hakim tingkat pertama
dan tingkat banding, Pemohon Kasasi, Termohon Kasasi dan Turut
Tergugat) mengetahui dan menyadari penuh bahwa objek sengketa dalam
perkara ini adalah Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding)
yang dibuat, disepakati dan ditandatangani hanya antara Pemohon Kasasi
selaku Pihak Pertama dan Termohon Kasasi selaku Pihak Kedua, dan tidak
serta merta Turut Tergugat (Kementerian BUMN). Namun dalam amar
putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar (in casu putusan butir
ke-3 Dalam Pokok Perkara) menyertakan Turut Tergugat sebagai pihak
yang terikat dengan objek sengketa tersebut (Memorandum of
Understanding);
24
Direk25tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28
Bahwa amar putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar tersebut
sangatlah menyesatkan bagi suatu pengetahuan hukum perjanjian atau
kontrak yang sudah ditentukan dengan teori-teori perjanjian dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Yakni suatu perjanjian
hanya berlaku bagi pihak-pihak yang membuatnya dan terikatnya para
pihak dalam perjanjian yang mereka buat berlaku sebagai undang-undang
(pacta sunt servanda) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata;
Bahwa oleh karena Turut Tergugat bukanlah pihak dalam Nota
Kesepahaman (MoU), maka haruslah ditolak petitum Penggugat yang
memohon kepada Majelis Hakim agar menyatakan Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding) antara Tergugat dengan Penggugat
tentang Pengembangan Lot C-5 (Kantor BTDC) merupakan perjanjian
yang mengikat antara Penggugat dengan Tergugat dan Turut Tergugat
(vide halaman 8 angka 3 gugatan Termohon Kasasi);
C Bahwa selebihnya Pemohon Kasasi bertetap pada dalil-dalil yang telah
disampaikan dalam Memori Banding sebelumnya (maupun Jawaban dan
Duplik pada Pemeriksaan di Pengadilan Tingkat Pertama) sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dalam Memori Kasasi ini;
Bahwa tindakan Judex Facti di atas yang dengan sengaja mengabaikan penerapan suatu
peraturan perundang-undangan jelas-jelas merupakan kekeliruan yang nyata
(rechtdwaling) sekaligus melanggar asas kepastian hukum. Selain itu, menurut hemat
Pemohon Kasasi adalah tindakan yang tidak elok dan tidak adil bilamana dalam
menegakkan hukum dengan cara melakukan pelanggaran hukum. Dengan demikian
tindakan Judex Facti di atas dapat dikategorikan Keliru atau salah dalam menerapkan
suatu peraturan hukum atau tidak menerapkan suatu peraturan hukum sebagaimana
mestinya;
Memori Kasasi Pemohon Kasasi II:
I Putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Denpasar tidak
memberikan pertimbangan yang cukup (niet voldoende
gemotiveerd) adalah kelalaian memenuhi syarat-syarat
yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan ;
1 Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar dalam pertimbangan
hukumnya pada halaman 9 sampai dengan halaman 10 menyatakan bahwa :
”Menimbang, bahwa sedangkan mengenai pertimbangan hukum Majelis Hakim
Hal. 25 dari 38 Hal. Putusan Nomor 1788 K/Pdt/201 4
Direk26tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 29
tingkat pertama yang bersifat yuridis formal (tidak menyangkut pokok perkara)
Majelis Hakim tingkat banding menilai bahwa pertimbangan Majelis Hakim
tingkat pertama yang telah menolak eksepsi Tergugat serta Turut Tergugat
dinilai sudah tepat dan benar, sehingga pertimbangan tersebut diambil alih oleh
Majelis Hakim tingkat banding didalam memutus tentang eksepsi ini ...............”,
serta dalam pertimbangan hukumnya pada halaman 10 sampai dengan halaman
11 menyatakan bahwa : ”Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim tingkat
banding memeriksa dan mempelajari dengan seksama berkas perkara a quo, serta
salinan resmi putusan Pengadilan Negeri Denpasar tanggal 12 Pebruari 2013
Nomor 419/PDT.G/2012/PN.DPS, maka Majelis Hakim tingkat banding dapat
menerima dan membenarkan uraian serta pertimbangan Majelis Hakim tingkat
pertama, karena semuanya telah dipertimbangkan dengan benar, sehingga
pertimbangan tersebut tetap dipertahankan dan diambil alih oleh Majelis Hakim
tingkat banding didalam memutus perkara ini ...........”;
2 Bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar
tersebut di atas adalah bertentangan dengan Yurisprudensi, yaitu sebagai
berikut :
a Putusan Mahkamah Agung Nomor 951 K/Sip/1973 tertanggal 9 Oktober
1975 yang menyatakan bahwa ”......Seharusnya Hakim Banding mengulang
memeriksa kembali perkara yang keseluruhannya baik mengenai fakta
maupun mengenai penerapan hukumnya.......”;
b Putusan Mahkamah Agung Nomor 9 K/Sip/1972 tertanggal 19 Agustus 1972
yang menyatakan bahwa ”......Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang isinya
hanya menyetujui dan menjadikan sebagai alasan sendiri hal-hal yang
dikemukakan pembanding dalam memori bandingnya, seperti halnya kalau
Pengadilan Tinggi keputusan Pengadilan Negeri, adalah tidak cukup......”;
c Putusan Mahkamah Agung Nomor 492 K/Sip/1970 tertanggal 16 Desember
1970 yang menyatakan bahwa ”......Putusan Pengadilan Tinggi harus
dibatalkan, karena kurang cukup pertimbangannya (onvoldoende
gemotiveerd), yaitu karena dalam putusannya itu hanya mempertimbangkan
soal mengesampingkan keberatan-keberatan yang diajukan dalam memori
banding dan tanpa memeriksa perkara itu kembali baik mengenai fakta-
faktanya maupun soal penerapan hukumnya dan terus menguatkan putusan
pengadilan negeri begitu saja.......”;
26
Direk27tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30
a 3 Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar tidak memberikan
pertimbangan hukum yang berisi analisis, argumentasi, pendapat, atau
kesimpulan hukum yang didasarkan pada hukum pembuktian sebagai landasan
memutus perkara a quo, sehingga karena putusan Majelis Hakim Pengadilan
Tinggi Denpasar tidak lengkap dan tidak seksama dalam mendeskripsikan dan
mempertimbangkan alat bukti dan nilai kekuatan pembuktian, maka putusan
Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar belum cukup pertimbangan
hukumnya (niet voldoende gemotiveerd ) sehingga putusan Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi Denpasar yang demikian bertentangan dengan Pasal 178 ayat
(1) HIR, Pasal 189 RBG dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, oleh karena itu putusan Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi Denpasar mengandung cacat, maka putusan Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi Denpasar yang demikian harus dinyatakan batal demi hukum;
4 Bahwa hal tersebut sesuai dengan Yurisprudensi, yaitu sebagai berikut :
a Putusan Mahkamah Agung Nomor 443 K/Sip/1986 yang menyatakan bahwa
”......pengabulan gugatan tanpa disertai pertimbangan yang seksama
mengenai alat bukti yang diajukan dinyatakan sebagai putusan yang tidak
cukup pertimbangan......”;
b Putusan Mahkamah Agung Nomor 2461 K/Pdt/1984 yang menyatakan
bahwa ”......putusan yang dijatuhkan tanpa disertai pertimbangan yang
seksama dan rinci mengenai fakta yang ditemukan dalam persidangan
dinyatakan sebagai putusan yang tidak cukup pertimbangan......”;
c Putusan Mahkamah Agung Nomor 672 K/Sip/1972 tertanggal 18 Oktober
1972 yang menyatakan bahwa ”.....putusan harus dibatalkan, karena tidak
cukup pertimbangan (niet voldoende gemotiveerd) mengenai alat bukti dan
nilai kekuatan pembuktian....”;
Bahwa oleh karena Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar dalam memeriksa
dan memutuskan perkara a quo tidak memberikan pertimbangan yang cukup (niet
voldoende gemotiveerd) adalah kelaiaian memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan
oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan, sehingga putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor
126/PDT/2013/ PT.DPS tanggal 4 Desember 2013 jo Putusan Pengadilan Negeri
Denpasar Nomor 419/PDT.G/2012/PN.DPS tanggal 12 Pebruari 2013, sudah
seharusnya dinyatakan batal demi hukum;
Hal. 27 dari 38 Hal. Putusan Nomor 1788 K/Pdt/201 4
Direk28tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 31
a I Putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi Denpasar salah menerapkan atau
melanggar hukum yang berlaku dan lalai memenuhi syarat-syarat yang
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan;
1 Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar dalam pertimbangan
hukumnya pada halaman 11 alinea kedua, menyatakan bahwa ”Menimbang,
bahwa menanggapi memori banding dari Pembanding ini Majelis Hakim tingkat
banding tidak sependapat dengan Pembanding, oleh karena menurut pendapat
Majelis Hakim tingkat banding Nota Kesepahaman (Memorandum of
Understanding) Nomor 88/SP/IX/2008 tanggal 19 September 2008 telah dibuat
atas kesepakatan bersama antara Pembanding semula Tergugat dengan
Terbanding semula Penggugat, yang mana isi kesepakatan tersebut telah memuat
hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, dan telah ditandatangani bersama
tanpa adanya paksaan, kekhilafan maupun penipuan, sehingga sudah memenuhi
ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian
maka Memorandum of Understanding (Nota Kesepahaman) tersebut adalah
suatu perjanjian, yang mana sesuai dengan asas pacta sunt servanda yang
terdapat dalam pasal 1338 KUHPerdata, maka Memorandum of Understanding
tersebut berlaku mengikat dan harus ditaati serta dilaksanakan oleh kedua belah
pihak yang membuatnya yaitu Pembanding semula Tergugat serta Terbanding
semula Penggugat”;
2 Bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar pada
halaman 11 alinea kedua tersebut di atas, telah keliru dan tidak cermat karena
tidak mempertimbangkan pendapat dari Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LLM,
Ph.D yang diajukan sebagai saksi ahli oleh Pemohon Kasasi I/Pembanding/
Tergugat dimuka persidangan menyatakan bahwa pada prinsipnya Nota
Kesepahaman atau sering disebut MoU berbeda dengan perikatan, karena MoU
hanya merupakan suatu ikatan moral berbeda dengan sebuah perikatan yang
merupakan suatu ikatan hukum, MoU tahapannya belum sampai pada tahapan
hukum karena MoU masih merupakan sebuah ikatan moral. MoU tidak memiliki
kekuatan hukum, berbeda dengan perjanjian yang memiliki kekuatan hukum,
jadi MoU tidak bisa menjadi dasar untuk menggugat salah satu pihak apabila
tidak melakukan prestasinya pada pihak lain karena MoU hanya sebagai ikatan
moral, maka dengan tidak dipenuhinya MoU tidak menjadikan adanya
wanprestasi, MoU tidak dapat dijadikan untuk menuntut adanya ganti rugi di
28
Direk29tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 32
pengadilan dan MoU juga tidak bisa dipakai sebagai undang-undang untuk
mengikat para pihak ;
3 Dapat kami sampaikan pula bahwa Nota Kesepahaman atau Memorandum of
Understanding (MoU) pada dasarnya tidak dikenal dalam hukum di Indonesia,
tetapi dalam prakteknya MoU sering digunakan dalam hubungan bisnis. MoU
merupakan suatu langkah awal dari salah satu pihak untuk menyatakan
maksudnya kepada pihak lainnya akan sesuatu yang ditawarkannya. MoU
memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan studi kelayakan
(feasibility study) terlebih dahulu sebelum membuat perjanjian yang lebih
terperinci dan mengikat para pihak pada nantinya. Studi kelayakan dilakukan
untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari
berbagai sudut pandang yang diperlukan, misalnya ekonomi, keuangan,
pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan
ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi
atau negosiasi lanjutan. Dengan demikian, materi dari MoU hanya memuat hal-
hal yang pokok-pokok saja dan dalam MoU ada tenggang waktu yang bersifat
sementara;
Oleh karena itu, MoU belum melahirkan suatu hubungan hukum, karena MoU
baru merupakan persetujuan prinsip yang dituangkan secara tertulis. MoU yang
dituangkan secara tertulis baru menciptakan suatu awal yang menjadi landasan
penyusunan dalam melakukan hubungan hukum/perjanjian;
Sedangkan perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana salah satu pihak
(subjek hukum) berjanji kepada pihak lainnya atau yang mana kedua belah
dimaksud saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal sebagaimana diatur
dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Suatu
perjanjian mengandung unsur sebagai berikut:
a Perbuatan.
Frasa “Perbuatan” tentang perjanjian ini lebih kepada “perbuatan hukum”
atau “tindakan hukum”. Hal tersebut dikarenakan perbuatan sebagaimana
dilakukan oleh para pihak berdasarkan perjanjian akan membawa akibat
hukum bagi para pihak yang memperjanjikan tersebut;
b Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih;
Perjanjian hakikatnya dilakukan paling sedikit oleh 2 (dua) pihak yang
saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan satu sama lain.
Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum (subjek hukum);
Hal. 29 dari 38 Hal. Putusan Nomor 1788 K/Pdt/201 4
Direk30tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 33
c Mengikatkan diri.
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu
kepada pihak yang lain. Artinya, terdapat akibat hukum yang muncul karena
kehendaknya sendiri;
Adapun suatu perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak maka
perjanjian dimaksud haruslah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 KUHPer, yang menyatakan:
a Adanya kesepakatan kedua belah pihak;
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai
hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan
mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama
mengingat dirinya orang tersebut ;
b Cakap untuk membuat perikatan;
Para pihak mampu membuat suatu perjanjian, dalam hal ini tidak
terkualifikasi sebagai pihak yang tidak cakap hukum untuk membuat
suatu perikatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPer;
Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap
sebagaimana tersebut di atas, maka perjanjian tersebut batal demi hukum
(Pasal 1446 KUHPer);
c Suatu hal tertentu;
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Dalam hal
suatu perjanjian tidak menentukan jenis objek dimaksud maka perjanjian
tersebut batal demi hukum. Sebagaimana Pasal 1332 KUHPer
menentukan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan
yang dapat menjadi objek perjanjian. Selain itu, berdasarkan Pasal 1334
KUHPer barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat
menjadi objek perjanjian kecuali jika dilarang secara tegas oleh undang-
undang;
d Suatu sebab atau causa yang halal ;
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian
dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum,
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Sebagaimana Pasal 1335
KUHPer menyatakan suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab
yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang,
tidak mempunyai kekuatan h ukum;
30
Direk31tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34
4 Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding) Nomor 88/SP/IX/2008 tanggal 19 September
2008 tentang Pengembangan Lot C-5 (kantor BTDC) yang ditandatangani oleh
Pemohon Kasasi I/Pembanding/Tergugat dan Termohon Kasasi/Terbanding/
Penggugat, bukanlah suatu perjanjian dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, karena tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 1313, Pasal
1320 dan Pasal 1338 KUHPer. Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1)
dan ayat (4) mengenai maksud dan tujuan MoU disebutkan maksud MoU adalah
sebagai langkah awal dalam kerja sama pengembangan lahan Lot C-5 yang
apabila disepakati akan dilanjutkan dengan penandatanganan perjanjian yaitu
Land Utilization and Land Development Agreement (LUDA) berdasarkan
prinsip-prinsip dalam MoU. Kemudian sesuai dengan ketentuan Pasal 12 MoU
bahwa jangka waktu MoU mulai tanggal 19 September 2008 sampai dengan
tanggal 31 Desember 2008, kecuali para pihak sepakat untuk memperpanjang
MoU. Kemudian dalam ketentuan Pasal 13 MoU disebutkan bahwa kedua belah
pihak sepakat dalam pembatalan MoU untuk melepaskan ketentuan Pasal 1266
dan 1267 KUHPer sehingga pembatalan tidak harus melalui pengadilan negeri.
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 MoU tersebut, maka pemutusan/
pembatalan MoU dapat dilakukan oleh salah satu pihak dan bukan merupakan
perbuatan wanprestasi. Kemudian di dalam MoU tersebut tidak terdapat
ketentuan mengenai pemberian sanksi bagi pihak yang tidak melaksanakan
MoU, sehingga MoU tersebut secara hukum tidak mempunyai daya eksekusi.
Mengingat MoU tersebut bukanlah suatu perjanjian, maka gugatan Termohon
Kasasi/Terbanding/Penggugat yang tidak jelas dan kabur (obscuur libel) harus
dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard );
5 Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar dalam pertimbangan
hukumnya pada halaman 12 alinea kesatu, menyatakan bahwa: ”Menimbang,
bahwa mengenai jangka waktu Nota Kesepahaman (Memorandum of
Understanding) tertanggal 19 September 2008, berlaku sejak ditandatanganinya
sampai dengan ditandatanganinya LUDA dengan batas waktu paling lambat pada
tanggal 31 Desember 2008 dan sampai dengan batas waktu Memorandum of
Understanding berakhir LUDA belum dapat ditandatangani, oleh karena belum
adanya kesepakatan mengenai perubahan dana kompensasi antara Penggugat
dengan Tergugat yang harus mendapat persetujuan dari Turut Tergugat”;
Hal. 31 dari 38 Hal. Putusan Nomor 1788 K/Pdt/201 4
Direk32tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35
6 Kemudian Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar dalam pertimbangan
hukumnya pada halaman 12 alinea kedua, menyatakan bahwa : ”Menimbang,
bahwa mengenai besarnya dana kompensasi sebenarnya telah diatur dalam pasal
5 Memorandum of Understanding yaitu sebesar Rp58.699.999.999,00 (lima
puluh delapan miliar enam ratus sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus
sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan rupiah)
yang harus dibayar oleh pihak Penggugat kepada pihak Tergugat secara bertahap
selama 5 (lima) tahun, yang akan diatur oleh para pihak melalui LUDA, dan
pembayaran kompensasi tahap pertama akan dilaksanakan pada saat
penandatanganan LUDA”;
7 Kemudian Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar dalam pertimbangan
hukumnya pada halaman 12 alinea ketiga, menyatakan bahwa : ”Menimbang,
bahwa ternyata sampai dengan batas akhir waktu penandatanganan LUDA pada
tanggal 31 Desember 2008 para pihak belum berhasil menandatangani LUDA,
hal tersebut disebabkan oleh karena antara para pihak belum adanya kesepakatan
tentang besarnya kompensasi serta tidak adanya persetujuan dari Turut Tergugat
selaku pemegang saham, sehingga dengan demikian maka belum
ditandatanganinya LUDA sampai batas waktu berakhir pada tanggal 31
Desember 2008, adalah bukan kesalahan atau kelalaian dari pihak Penggugat,
oleh karena mengenai persetujuan dari Turut Tergugat tentang besarnya dana
kompensasi hal itu adalah urusan intern antara Tergugat dengan Turut Tergugat,
yang merupakan tanggung jawab dari pihak Tergugat, yang tidak dapat dialihkan
pertanggung jawabannya kepada pihak Penggugat”;
8 Bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar pada
halaman 12 alinea kesatu, alinea kedua dan alinea ketiga tersebut di atas, telah
keliru dan tidak cermat karena Pemohon Kasasi II/Turut Terbanding/Turut
Tergugat bukanlah sebagai pihak dalam MoU, mengingat MoU hanya
ditandatangani oleh Termohon Kasasi/ Terbanding/Penggugat dan Pemohon
Kasasi I/Pembanding/Tergugat, sehingga Pemohon Kasasi II/Turut Terbanding/
Turut Tergugat tidak memiliki hubungan hukum dengan MoU tersebut. Oleh
karena itu, gugatan Termohon Kasasi/Terbanding/Penggugat yang salah alamat
(error in persona) harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk
Verklaard) sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung RI dengan Putusan Nomor
157K/Sip/1974 tanggal 10 Juli 1975. Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 5
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
32
Direk33tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36
a Usaha Milik Negara (UU BUMN) dinyatakan bahwa pengurusan BUMN
dilakukan oleh Direksi dan Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan
BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN serta mewakili BUMN baik di
dalam maupun di luar pengadilan. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan
ayat (2) UU BUMN tersebut, maka Direksi PT Pengembangan Pariwisata Bali
(Persero) yang bertindak untuk melakukan kerja sama dengan Termohon Kasasi/
Terbanding/Penggugat dalam pengembangan lahan Lot C-5 yang sebagai
langkah awalnya dituangkan dalam suatu MoU yang disepakati oleh Termohon
Kasasi/Terbanding/Penggugat dan Pemohon Kasasi I/Pembanding/Tergugat.
Bahwa dalam perkembangannya antara Termohon Kasasi/Terbanding/Penggugat
dengan Pemohon Kasasi I/Pembanding/Tergugat tidak tercapai kesepakatan
mengenai perubahan nilai kompensasi yang akan diterima oleh Pemohon Kasasi
I/Pembanding/Tergugat hingga jangka waktu penandatanganan MoU telah
terlewati. Dengan tidak tercapainya kesepakatan mengenai nilai kompensasi,
maka MoU tidak dapat diperpanjang oleh kedua belah pihak sehingga MoU batal
berdasarkan ketentuan Pasal 13 MoU. Bahwa batalnya MoU bukan karena ada
kesalahan atau kelalaian dari salah satu pihak, namun karena kedua belah pihak
tidak tercapai ketidaksepakatan mengenai perubahan nilai kompensasi dalam
rencana kerja sama pengembangan lahan Lot C-5 (kantor BTDC) sampai dengan
berakhirnya jangka waktu MoU yaitu pada tanggal 31 Desember 2008;
9 Bahwa ketentuan Pasal 12 MoU tentang Jangka Waktu Kesepakatan, berbunyi
sebagai berikut:
”Nota Kesepahaman ini berlaku sejak ditandatangani sampai dengan
ditandatanganinya LUDA, namun dengan batas waktu paling lambat LUDA
harus telah ditandatanganinya pada tanggal 31 Desember 2008. Apabila hingga
tanggal 31 Desember 2008 LUDA belum ditandatangani, maka Pihak Pertama
wajib mengembalikan deposit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Nota
Kesepahaman ini kepada Pihak Kedua, kecuali Para Pihak sepakat untuk
memperpanjang Nota Kesepahaman ini.”;
Bahwa ketentuan Pasal 12 MoU yang berbunyi:
”Nota Kesepahaman ini berlaku sejak ditandatangani sampai dengan
ditandatanganinya LUDA, namun dengan batas waktu paling lambat LUDA
harus telah ditandatanganinya pada tanggal 31 Desember 2008.” Maksud bunyi
kalimat dalam Pasal 12 MoU ini adalah batas waktu tanggal 31 Desember 2008
adalah batas akhir penandatanganan LUDA.
Hal. 33 dari 38 Hal. Putusan Nomor 1788 K/Pdt/201 4
Direk34tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 37
a Kemudian ketentuan Pasal 12 MoU yang berbunyi:
”Apabila hingga tanggal 31 Desember 2008 LUDA belum ditandatangani, maka
Pihak Pertama wajib mengembalikan deposit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 Nota Kesepahaman ini kepada Pihak Kedua.”
Maksud bunyi kalimat Pasal 12 MoU ini bahwa Pihak Kedua menyetujui
pengembalian deposit sebagaimana ketentuan Pasal 7 MoU;
Selanjutnya ketentuan Pasal 12 MoU yang berbunyi:
”kecuali para pihak sepakat untuk memperpanjang Nota Kesepahaman ini.”
Maksud bunyi kalimat Pasal 12 MoU ini bahwa perpanjangan Nota
Kesepahaman harus disepakati oleh Para Pihak, yaitu Pihak Pertama dan Pihak
Kedua;
Kesimpulan dari ketentuan Pasal 12 MoU yaitu, apabila sampai dengan tanggal
31 Desember 2008 tidak ada penandatanganan LUDA atau perpanjangan MoU,
maka Pihak Pertama wajib mengembalikan deposit kepada Pihak Kedua. Atau
Pihak Kedua menyetujui dan wajib menerima pengembalian deposit dari Pihak
Pertama;
10 Bahwa sampai dengan tanggal 31 Desember 2008 fakta hukum adanya
perpanjangan Nota Kesepahaman (Memorandum Of Understanding) tanggal 19
September 2008 tidak pernah terbukti, maka berdasarkan ketentuan Pasal 12
Nota Kesepahaman (Memorandum Of Understanding) tanggal 19 September
2008 kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pihak Pertama in casu PT.
Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) adalah mengembalikan deposit kepada
Pihak Kedua in casu PT Jaya Makmur Bersama, bukan melanjutkan
penandatanganan Land Utilization and Land Development Agreement (LUDA);
11 Bahwa dalam Nota Kesepahaman (Memorandum Of Understanding) tanggal 19
September 2008 tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa apabila timbul
masalah, maka penandatanganan Land Utilization and Land Development
Agreement (LUDA) tetap akan dilanjutkan, dengan demikian telah ternyata
Judex Facti telah salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku yaitu
melanggar ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata;
12 Bahwa demikian halnya Judex Facti dalam amar putusannya menyatakan Nota
Kesepahaman (Memorandum Of Understanding) tanggal 19 September 2008
juga mengikat Pemohon, padahal Pemohon bukan pihak dalam Nota
Kesepahaman (Memorandum Of Understanding) tanggal 19 September 2008
tersebut adalah nyata-nyata dan fakta yang tak terbantahkan Judex Facti telah
34
Direk35tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 38
a salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku yaitu Pasal 1338
KUHPerdata;
13 Bahwa rencana kerja sama pengembangan lahan Lot C-5 (kantor BTDC) antara
Pemohon Kasasi I/Pembanding/Tergugat dengan Termohon Kasasi/Terbanding/
Penggugat merupakan kewenangan dari Pemohon Kasasi I/Pembanding/
Tergugat, termasuk mengenai besarnya nilai kompensasi adalah kewenangan
dari Pemohon Kasasi I/Pembanding/ Tergugat untuk dinegosiasikan dengan
Termohon Kasasi/Terbanding/ Penggugat. Bahwa besarnya nilai kompensasi
yang disebutkan dalam Pasal 5 MoU yaitu sebesar Rp58.699.999.999,00 adalah
belum final karena harus disepakati lebih lanjut oleh kedua belah pihak dalam
perjanjian/LUDA;
14 Sehubungan dengan rencana kerja sama pengembangan lahan Lot C-5 (kantor
BTDC) tersebut, dan mengingat ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf f UU BUMN
dan Pasal 11 ayat (10) huruf g Anggaran Dasar PT Pengembangan Pariwisata
Bali (Persero) yang mengatur bahwa kerja sama BUMN harus disetujui oleh
Menteri BUMN selaku pemegang saham, maka Pemohon Kasasi I/Pembanding/
Tergugat melalui surat kepada Pemohon Kasasi II/Turut Terbanding/Turut
Tergugat Nomor 51/Dir/PT.PPB/IX/2008 tanggal 16 September 2008
menyampaikan permohonan persetujuan pengembangan lahan kantor BTDC
(Lot C-5). Kemudian Pemohon Kasasi II/Turut Terbanding/Turut Tergugat
melalui surat kepada Pemohon Kasasi I/Pembanding/Tergugat Nomor S-465/
MBU/2009 tanggal 9 Juli 2009 dengan memperhatikan surat tanggapan dari
Dewan Komisaris PT Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) Nomor S-05/
DEKOM.BTDC/V/2009 tanggal 18 Mei 2009 memberikan persetujuan prinsip
atas rencana pengembangan kantor pusat BTDC melalui kerja sama dengan
calon mitra yaitu PT Jaya Makmur Bersama sebagaimana diusulkan dalam surat
Pemohon Kasasi I/Pembanding/Tergugat tersebut, dengan catatan antara lain
sebagai berikut:
a Agar besarnya nilai kompensasi untuk BTDC dinegosiasi kembali dengan
mempertimbangkan kondisi pariwisata yang semakin berkembang sebagaimana
saran Dewan Komisaris dalam suratnya tersebut di atas;
b Masa kerjasama 30 tahun dan dapat diperpanjang maksimum selama 20 tahun
dengan catatan untuk perpanjangan tersebut persyaratannya harus disepakati oleh
kedua pihak, sebagai skim kompensasi baru;
Hal. 35 dari 38 Hal. Putusan Nomor 1788 K/Pdt/201 4
Direk36tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 39
a 15 Selanjutnya Pemohon Kasasi I/Pembanding/Tergugat menyampaikan surat
kepada Pemohon Kasasi II/Turut Terbanding/Turut Tergugat Nomor 79/Dir/
PT.PPB/XII/2009 tanggal 23 Desember 2009 dan Nomor 03/Dir/PT.PPB/I/2010
tanggal 5 Januari 2010 mengenai pengembangan lahan kantor BTDC (Lot C-5).
Kemudian Pemohon Kasasi II/Turut Terbanding/Turut Tergugat melalui surat
kepada Pemohon Kasasi I/Pembanding/Tergugat Nomor S-543/MBU/2010
tanggal 3 September 2010 menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
a Renegosiasi yang telah saudara lakukan dengan calon investor belum dapat
menghasilkan skema revenue sharing yang optimal bagi perusahaan sebagaimana
surat kami Nomor S-465/MBU/2009 tanggal 9 Juli 2009, baik terhadap besaran
nilai kompensasi maupun masa kerja sama. Selain itu, Dewan Komisaris PT
BTDC melalui surat Nomor S-05/DEKOM.BTDC/V/2009 tanggal 18 Mei 2009
juga meminta dilakukan evaluasi kembali atas ”owner estimates” pengembangan
lahan kantor pusat sesuai kondisi industri pariwisata yang semakin meningkat;
b Memperhatikan hal tersebut di atas, Pemegang Saham belum dapat menyetujui
permohonan Saudara untuk melanjutkan kerja sama pengembangan lahan kantor
pusat tersebut;
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
berpendapat:
mengenai alasan ke I dan II:
Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah memeriksa
secara saksama memori kasasi Pemohon Kasasi I tanggal 5 Pebruari 2014 dan memori
kasasi Pemohon Kasasi II tanggal 14 Pebruari 2014 memori kasasi dan jawaban memori
tanggal 27 Pebruari 2014 dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti dalam hal ini
Pengadilan Negeri Denpasar tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan
sebagai berikut:
Bahwa, telah benar terlepas dari jadwalnya, nota kesepakatan (memorandum of
understanding/MoU), dalam perkara a quo telah mengatur hak dan kewajiban masing-
masing pihak dan sesuai ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata maka para pihak wajib
melaksanakan isi kesepahaman dengan iktikad baik, lagi pula mengenai penilaian hasil
pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi karena pemeriksaan dalam
tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan penerapan hukum, adanya
pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan
36
Direk37tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan.
Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
Email : [email protected]
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 40
batalnya putusan yang bersangkutan atau bila pengadilan tidak berwenang atau
melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex
Facti/Pengadilan Tinggi Denpasar dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum
dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh para Pemohon
Kasasi PT. Pengembangan Pariwisata Bali (Persero), dk., tersebut harus ditolak;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi ditolak
dan Pemohon Kasasi ada di pihak yang kalah, maka Pemohon Kasasi dihukum untuk
membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;
Memperhatikan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan
perundangan lain yang bersangkutan;
MENGADILI:
1 Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: 1. PT. PENGEMBANG
PARIWISATA BALI, 2. PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA Cq.
KEMENTRIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA REPUBLIK
INDONESIA Cq. MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK
NEGARA, tersebut;
2 Menghukum Para Pemohon Kasasi I dan II/Tergugat/Pembanding dan Turut
Tergugat/Turut Terbanding untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi
ini sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada
hari Rabu tanggal 28 Januari 2015 oleh Syamsul Ma’arif, S.H., LLM., Ph.D., Hakim
Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr.
Nurul Elmiyah, S.H., M.H., dan Dr. H. Zahrul Rabain, S.H., M.H., Hakim-hakim
Agung sebagai anggota dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu
juga oleh Ketua Majelis dengan dihadiri para anggota tersebut dan dibantu oleh Liliek
Prisbawono Adi, S.H., M.H., Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh para pihak.
Anggota-anggota, Ketua Majelis,
Hal. 37 dari 38 Hal. Putusan Nomor 1788 K/Pdt/201 4
ttd./Dr. Nurul Elmiyah, S.H., M.H., ttd./
ttd./Dr. H. Zahrul Rabain, S.H., M.H. Syamsul Ma’arif,
S.H., LLM., Ph.D.,
P
anitera Pengganti, Biaya Kasasi: ttd./
1. Meterai ……………… Rp 6.000,00 Liliek Prisbawono
Adi, S.H., M.H.,
2. Redaksi ……………… Rp 5.000,00
3. Administrasi Kasasi … Rp489.000,00
J u m l a h … Rp500.000,00
u
n
t
u
k
S
a
l
i
n
a
n
M
A
H
K
A
M
A
H
A
G
U
N
G
R
Direk37tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
I
.
a
.
n
.
P
a
n
i
t
e
r
a
Panitera Muda Perdata
D
r
.
P
R
I
P
A
Direk37tori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id
M
B
U
D
I
T
E
G
U
H
,
S
H
.
,
M
H
.
N
i
p
.
1
9
6
1
0
3
1
3
1
9
8
8
0
3
1
0
0
3