kekuasaan mpr ri dalam uud 1945

101
KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945 PASCA REFORMASI (Tinjauan Hukum Ketatanegaraan Islam) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy) Oleh : FITRI AMALIA NIM : 102045225160 KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM PROGRAM STUDY JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429H/2008M

Upload: others

Post on 04-Nov-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

PASCA REFORMASI

(Tinjauan Hukum Ketatanegaraan Islam)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh : FITRI AMALIA

NIM : 102045225160

KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM

PROGRAM STUDY JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429H/2008M

Page 2: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945
Page 3: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945
Page 4: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk

memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar stata 1 di

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang telah saya gunakan dalam skripsi ini telah

saya cantumkan sesuai ketentuan yang telah berlaku di Universitas

Islam Negeri (UIN) Srarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya

asli saya atau merupakan jiiplakan dari karya orang lain, maka saya

bersedia menerima sanksi dari Allah SWT dan sanksi yang berlaku

di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 21 juli 2010

Fitri Amalia

Page 5: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

KATA PENGANTAR

Pujian yang tak pernah luntur syukur yang tak pernah pupus kepada Allah

SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini. Shalawat serta salam terus berlanjut untuk junjungan Nabi Muhammad SAW,

pembawa risalah Islam serta pengibar panji-panji kebenaran sehingga menjadi

pedoman dalam berbagai aspek kehidupan umatnya.

Selanjutnya dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, baik moril

maupun materiil serta dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis

menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada samua pihak

yang telah memberikan kotribusi dan khususnya kepada:

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, M A., selaku Rektor yang mendapat

amanah ilmiah dari Universitas Islam Negari Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Selaku

Dekan Fakultas Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Bapak Dr. Asmawi, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Jinayah

Siyasah, Fakultas Syari’ah Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Sri Hidayati, M.Ag. tercinta selaku sekretaris jurusan dan

pembimbing penulis yang telah membantu dan membina penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini hingga mencapai sarjana.

5. Bapak Drs Abu Thamrin, SH, M. Hum. Selaku pembimbing skrisi

penulis.

i

Page 6: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

6. Segenap pengelola perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan

perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum.

7. Yang paling utama ucapan terima kasih penulis haturkan kepada kedua

orang tua penulis; Papah H. Bisri Nasrullah dan mamah Hj. Tuti

Mutmainnah dan kedua kakak penulis; M. Ilham Bisri., S.T dan M.

Hakiki Bisri., S. Kom yang tidak pernah bosan memberikan do’a dan

kasih sayang yang tulus baik yang bersifat materil ataupun moril

terhadap karir akademis penulis serta memberikan motivasi kepada

penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Yang tercinta suami penulis; Iqbal Zamzamy dan Ananda Dhya Alina

Zahwa yang telah setia mendampingi dan membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat penulis; Julimah, Kiki GP, Lukman Hakim,

Muhammad Yusuf, Eki, Hadi, Fatur yang mempunyai peran yang

sangat berarti yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

Dengan hamparan kedua tangan disertai ketulusan, penulis mendoakan

semoga bantuan, dukungan, bimbingan dan perhatian yang telah diberikan oleh

semua pihak akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT

disertai limpahkan rahmat, hidayah serta berkah-Nya. Amin Ya Rabbal Alamin.

Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sepenuhnya dapat

menentramkan kegelisahan intelektual serta menyirami dahaga ilmiah, untuk itu

penulis sangat berlapang dada menerima masukan-masukan apalagi kritik

ii

Page 7: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

konstruktif. Semoga skripsi dihadapan anda ini dapat memberikan kontribusi

positif, memperluas wawasan keilmuan serta menambah khazanah perpustakaan.

Jakarta, Oktober 2010 Syawal 1431 H

iii

Page 8: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

DAFTAR ISI Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ....................................... 7

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................. 8

D. Metode Penelitian ...................................................................... 8

1. Jenis dan Sifat Data ............................................................... 9

2. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 10

3. Teknik Analisis Data ........................................................... 10

E. Review Study Terdahulu ........................................................ 11

F. Sistematika Pembahasan ......................................................... 13

BAB II MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEBAGAI

LEMBAGA NEGARA DALAM UUD 1945

A. Konsep Lembaga Negara dalam UUD 1945 ........................... 15

B. Konsep Lembaga Perwakilan di Negara Modern .................... 17

1. Teori Kedaulatan ................................................................. 18

2. Sistem Lembaga Perwakilan Rakyat ................................... 20

C. Tugas dan Kewenangan Lembaga MPR dalam

UUD 1945 ............................................................................... 26

BAB III LEMBAGA PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM

HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM

iv

Page 9: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

v

A. Kedaulatan Rakyat dalam Hukum Tata Negara Islam ............ 34

B. Konsep Syura dan Demokrasi dalam Hukum Tata

Negara Islam ........................................................................... 41

C. Majelis Syura sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat ............... 46

BAB IV KEKUASAAN MPR RI PADA MASA DALAM UUD 1945

PASCA REFORMASI DITINJAU DALAM HUKUM

KETATANEGARAAN ISLAM

A. Konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca

Reformasi (1999–2004) .......................................................... 51

B. Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan

Rakyat di Era Reformasi ditinjau dari Hukum

Tata Negara Islam ................................................................... 59

C. Analisa Perbandingan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia dengan Majelis

Syura dalam Hukum Ketatanegaraan Islam ........................... 68

1. Dari Segi Perkembangannya ............................................... 69

2. Dari Segi Keanggotaan ....................................................... 69

3. Dari Segi Tugas dan Peranannya. ....................................... 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................. 72

B. Saran ........................................................................................ 74

DAFTAR PUSTAKA

Page 10: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

DAFTAR ISI Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ....................................... 7

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ................................................. 8

D. Metode Penelitian ...................................................................... 9

E. Review Study Terdahulu ........................................................ 11

F. Sistematika Pembahasan ......................................................... 14

BAB II MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEBAGAI

LEMBAGA NEGARA DALAM UUD 1945

A. Konsep Lembaga Negara dalam UUD 1945 ........................... 16

B. Konsep Lembaga Perwakilan di Negara Modern .................... 18

1. Teori Kedaulatan ................................................................. 19

2. Sistem Lembaga Perwakilan Rakyat ................................... 21

C. Tugas dan Kewenangan Lembaga MPR dalam

UUD 1945 ............................................................................... 27

BAB III LEMBAGA PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM

HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM

A. Kedaulatan Rakyat dalam Hukum Tata Negara Islam ............ 35

B. Konsep Syura dan Demokrasi dalam Hukum Tata

Negara Islam ........................................................................... 42

Page 11: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

C. Majelis Syura sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat ............... 47

BAB IV KEKUASAAN MPR RI PADA MASA DALAM UUD 1945

PASCA REFORMASI DITINJAU DALAM HUKUM

KETATANEGARAAN ISLAM

A. Konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca

Reformasi (1999–2004) .......................................................... 54

B. Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan

Rakyat di Era Reformasi ditinjau dari Hukum

Tata Negara Islam ................................................................... 62

C. Analisa Perbandingan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia dengan Majelis

Syura dalam Hukum Ketatanegaraan Islam ........................... 63

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................. 76

B. Saran ........................................................................................ 78

DAFTAR PUSTAKA

Page 12: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara pada Republik Indonesia

dimulai pada tahun 1945. Pada tahun itulah berdiri negara Republik Indonesia

sebagai suatu kumpulan besar manusia, yang sehat jiwanya dan berkobar-

kobar hatinya, menimbulkan kesadaran batin yang disebut bangsa.

Persatuan Indonesia merupakan ide besar yang merupakan cita-cita

hukum dan cita-cita moral bangsa Indonesia. Persatuan Indonesia telah

menjiwai proses penetapan bentuk negara. Bentuk negara yang telah dipilih

harus memungkinkan terwujud dan terjaminnya persatuan Indonesia.

Berdirinya Negara ini tidak hanya ditandai dengan adanya proklamasi

dan berkeinginan untuk bersatu bersama, akan tetapi yang lebih penting adalah

adanya Undang-undang Dasar 1945 yang merumuskan berbagai macam

masalah kenegaraan. Atas dasar Undang-undang Dasar 1945 berbagai struktur

dan unsur negara mulai ada walaupun secara jelas pada masa itu belum ada

lembaga-lembaga yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar, namun hal

ini dapat diatasi dengan adanya Aturan tambahan dan Aturan peralihan dalam

Undang-undang Dasar 1945.1

Setelah Undang-undang Dasar 1945 berlangsung selama 4 tahun, diganti

dengan konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) pada tahun 1949,

1 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1984)

h. 17

1

Page 13: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

2

kemudian diganti lagi dengan UUDS (Undang-undang Dasar Sementara) pada

tahun 1950. Pada masa UUDS 1950 terselenggara pemilihan umum pada

tahun 1955 untuk memenuhi amanat masyarakat dalam Undang-undang

Dasar. Hasil pemilihan umum tersebut melahirkan DPR (Dewan Perwakilan

Rakyat) sebagai suatu lembaga perwakilan rakyat, dan terbentuk konstituante

yang bertugas membuat Undang-undang Dasar. Setelah bersidang selama

beberapa tahun konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno secara

sepihak. Setelah itu dimulailah periode kembali ke Undang-undang Dasar

1945 ditandai dengan Dekrit Presiden tahun 1959.

Setelah tahun 1998 maka dimulai masa reformasi yang diakibatkan oleh

berbagai krisis yang kemudian melahirkan gerakan reformasi yang

menginginkan suatu perubahan di Indonesia. Suatu zaman perubahan yang

dinamakan “reformasi”, menandai berakhirnya orde baru, dengan digantikan

dengan orde reformasi atau zaman reformasi. Pada saat itu terjadi perubahan

Undang-undang Dasar yang sangat dinantikan oleh masyarakat Indonesia.

Setelah tahun 1998 dimulai tuntutan-tuntutan akan perubahan mendasar

di Republik Indonesia. Yang terpenting adalah dua tuntutan masyarakat pada

saat itu adalah Supremasi Hukum dan Amandemen (perubahan Undang-

undang Dasar 1945).

Pada tahun 1999 terjadi perubahan I Undang-undang Dasar 1945 yang

mengatur beberapa hal penting seperti pembatasan jabatan presiden. Pada

tahun 2000 terjadi perubahan ke II Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur

Hak Asasi Manusia. Pada Perubahan I dan II terjadi beberapa perubahan yang

Page 14: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

3

mendasar dalam Undang-undang Dasar 1945. Pada perubahan Undang-

undang Dasar 1945 sampai tahun 2000 terdapat beberapa reduksi kekuasaan

lembaga eksekutif seperti dalam pembatasan kekuasaan Presiden. Dalam

banyak hal, presiden tidak lagi memegang kekuasaan legislatif dan presiden

harus memperhatikan pendapat DPR ataupun MA (Mahkamah Agung) jika

berkaitan dengan hukum.2 Sampai dengan perubahan ke II belum ada kritik

yang tajam terhadap perubahan yang terjadi terhadap Undang-undang Dasar

1945 dari mayoritas ahli hukum Tata Negara.

Setelah perubahan III terjadi perubahan mendasar terhadap Undang-

undang Dasar 1945. Secara garis besar dapat disimpulkan perubahan III

Undang-Undang Dasar 1945 meliputi :

1. Akan adanya pemilihan Presiden dan wakil Presiden langsung. Hal ini

berakibat besar terhadap tugas MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).

2. Adanya Penghapusan Utusan golongan dalam MPR dan dilembagakannya

utusan daerah menjadi DPD (Dewan Perwakilan Daerah) sehingga

komposisi MPR berubah secara total.

Setelah perubahan III Undang-undang Dasar 1945 berlaku, maka banyak

kekurangan-kekurangan yang ada dalam Undang-undang Dasar. Proses

perubahan Undang-undang Dasar 1945 menjadi salah satu sebab banyaknya

kekurangan yang terjadi karena ada beberapa hal yang belum diatur dengan

jelas sehingga menimbulkan masalah secara teknis hukum. Hal ini dikritisi

oleh sebagian besar praktisi hukum terutama Hukum Tata Negara.

2 Didit Hariadi Estiko, Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya Terhadap Pembangunan Sistem Hukum, ( Jakarta: Tim Hukum Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi Sekretaris Jenderal, 2001), h. 33

Page 15: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

4

Ketika memasuki proses perubahan IV perubahan yang kurang, coba

diperbaiki. Perubahan IV menjadi suatu keharusan yang mau tidak mau harus

ada. Karena dengan adanya pemilihan presiden langsung, maka presiden

langsung bertanggung jawab kepada pemilihnya dan tidak ada lagi tugas

membuat GBHN (Garis Besar Haluan Negara) yang dilakukan oleh MPR.

Perubahan III dan IV Undang-undang Dasar 1945 telah mengubah status

dan peran MPR. MPR berubah dari lembaga pemegang kedaulatan rakyat

yang disebutkan secara eksplisit dalam Undang-undang Dasar 1945 menjadi

lembaga negara.

Setelah adanya perubahan Undang-undang Dasar 1945 maka berakhirlah

kekuasaan MPR sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat dan berakhir

juga kedudukannya sebagai lembaga tertinggi negara dalam struktur

kelembagaan negara di Indonesia.

Hukum tata negara Indonesia menghadapi suatu masa perubahan besar

dalam tugas dan wewenang lembaga negara. Sangat penting untuk diselidiki

bagaimanakah nantinya lembaga negara melakukan tugas dan wewenangnya

dan bagaimana menjalankannya.

Sebelum Perubahan Undang-undang Dasar 1945, kedudukan MPR

adalah sebagai lembaga pemegang kedulatan rakyat. Dalam kekuasaan MPR,

seluruh aturan ketatanegaraan dirancang dan diawasi dalam menjalankan

kekuasaan ini MPR bertindak seakan tidak pernah salah karena terkait dengan

sistem ketatanegaraan, perekrutan anggota dan sistem pengambilan keputusan

MPR.

Page 16: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

5

Adapun dalam Hukum Tata Negara Islam, berbicara mengenai lembaga

perwakilan sendiri musyawarah termasuk bagian dari menjalankan

pemerintahan menurut hukum Tata Negara Islam yang merupakan suatu

perbuatan yang dibenarkan syariat, oleh karena itu segala sesuatu yang terkait

dengannya menyangkut tujuan, cara, dan sistem harus terkait dengan hukum

syar’i. karena Representasi permusyawaratan Majelis Syuraterhadap pendapat

masyarakat dibangun dengan dasar akad perwakilan masyarakat pemilih.

Musyawarah dalam Islam adalah syari’at yang dipancarkan dari akidah Islam. Taqiyudin berkata:

”Musyawarah adalah pengambilan keputusan secara mutlak, sebagai pengambilan

pendapat maka bisa ditetapkan berdasarkan dalil Al-qur’an dan Hadist. Allah berfirman, “Dan terhadap urusan mereka hendaknya dimusyawarahkan sesama mereka” (QS. As-syuro’ Ayat 38). Dari Abu Huroiroh ra telah berkata: “Aku tidak melihat seorangpun yang banyak musyawarahnya dibandingkan Rasulullah SAW terhadap sahabatnya”.3”

:Artinya

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya

dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan

musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki

yang kami berikan kepada mereka.

Adapun yang dikehendaki dari keberadaan lembaga permusyawaratan

negara atau Majelis Syuradalam Islam adalah representasi manusia, maka

keberadaaan Majelis Syuraadalah harus merepresentasikan pendapat warga

3 Alamsjah Ratu Perwiranegara, Islam dan Pembangunan Politik Indonesia, (Jakarta : CV Haji Masagung, 1987), h. 211

Page 17: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

6

negara, sebagaimana pemilihan para pemimpin kaum yang merupakan

represetasi komunitas sebagaimana yang tercermin dalam pemilihan para

pemimpin kaum Muhajirin dan Anshor, yang masing-masing adalah

separuhnya. Ini menyangkut keberadaan individu dan jamaah yang tidak

dikenal, tidak mungkin ada perwakilannya kecuali melalui pemilihan. Oleh

karena itu pemilihan anggota majelis umat adalah suatu keharusan.

Jadi, keanggotaan Majelis Syuraditentukan melalui pemilihan umum dan

bukan melalui penunjukan. Ketentuan ini berlaku karena mereka adalah wakil

dari pendapat warga Negara. Wakil tentu harus dipilih dari yang diwakilinya

dan tidak ditunjuk secara mutlak. Keanggotaan Majelis Syuraharus

mencerminkan kesetaraan dengan manusia secara individu dan kelompok

dalam pendapatnya.

Untuk mengetahui kesetaraan dalam wilayah luas dan kaum yang tidak

dikenal, tidak mungkin dapat diketahui kecuali dengan pemilihan langsung

oleh yang mewakilinya. Hal ini merujuk pada perbuatan Rasul bahwa tidak

dilakukan penunjukan berdasarkan perkiraan, kecukupan jumlah ataupun

kepribadian, melainkan pemilihannya didasarkan atas 2 (dua) asas, yaitu:

1. Bahwa para wakil itu adalah para pemimpin kelompoknya dengan

memperhatikan perkiraan jumlah kecukupannya.

2. Mereka adalah representasi dari Muhajirin dan Anshor, masing-masing

adalah separuhnya.4

4 Ibid, h. 21.

Page 18: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

7

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk memilih dan

menetapkan judul tentang “Kekuasaan MPR RI Dalam UUD 1945 Pasca

Reformasi (Tinjauan Hukum Ketatanegaraan Islam)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.

Berdasarkan atas latar belakang di atas, maka dianggap perlu untuk

diadakannya pembatasan masalah yang akan dianalisa dengan maksud agar

pembahasan skripsi ini akan lebih sistematis dan terarah. Untuk itu, masalah

yang akan diteliti adalah lembaga MPR sebagai perwakilan rakyat di

Indonesia, dibatasi dengan hal kekuasaan MPR mengenai tugas dan

wewenang MPR periode 1999 sampai dengan 2004, yaitu pada masa

reformasi dalam hal mengangkat dan memberhentikan presiden atau wakil

presiden, selanjutnya menetapkan dan merubah Undang-Undang Dasar 1945

beserta perubahan-perubahannya yang ditinjau dari lembaga permusyawaratan

rakyat dalam sistem pemerintahan Islam.

Untuk mempermudah dan memperjelas jawaban dari masalah pokoknya,

maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat di Era Reformasi?

2. Bagaimana kedudukan Majelis Syuradalam Hukum Ketatanegaraan Islam?

3. Bagaimana tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada

masa Reformasi ditinjau dari Hukum Ketatanegaraan Islam?

Page 19: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

Sedangkan yang menjadi tujuan dan manfaat penelitian ini dilakukan

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana konsep lembaga negara MPR di Era

Reformasi.

2. Untuk mengetahui kedudukan Majelis Syuradalam Hukum Ketatanegaraan

Islam.

3. Untuk mengetahui tugas dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat

pada masa Reformasi ditinjau dari Hukum Ketatanegaraan Islam.

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah:

1. Memberikan wacana solutif dalam penanganan pengambilan keputusan

dalam pengangkatan dan pemberhentian presiden dan penetapan dan

perubahan Undang-undang Dasar 1945 sebagai basis pengetahuan Hukum

mahasiswa syari’ah dan masyarakat umum yang konsen di bidang ini.

2. Menambah khazanah intelektual bagi individu atau kelompok untuk

mendapatkan akses informasi yang komprehensif tentang pangambilan

keputusan MPR RI yang sesuai untuk kesejahteraan rakyat.

3. Penambahan literatur kepustakaan.

D. Metode Penelitian.

Untuk mengumpulkan data dalam penulisan ini, penulis menggunakan

metode sebagai berikut:

Page 20: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

9

1. Jenis dan Sifat Data

Metode yang penulis gunakan pada dasarnya adalah metode

deskriptif, yang bertujuan menjelaskan secara sistematis fakta secara

cermat, yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu

individu, keadaan, gejala kelompok tertentu atau untuk menentukan suatu

frekuensi atau penyebaran suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat.

Dengan pengertian lain, data kualitatif yakni deskripsi berupa kata-kata,

ungkapan, norma atau aturan yang diteliti. Cara ini bertujuan untuk

mendeskripsikan Majelis Permusyawaratan yang ditinjau dari Hukum

ketatanegaraan Islam dan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang ada di

Indonesia. Sedangkan sifat dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian

yang bersifat deskriptif analitis yakni penelitian yang menggambarkan

data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara

mendalam. Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penlitian ini

adalah jenis kualitatif yakni berupa kata-kata, norma atau aturan-aturan

dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu berupaya mengupas dan

mencermati secara ilmiah dan kualitatif mengenai kekuasan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang ditinjau dari hukum

tata Negara islam pada masa reformasi. Sedangkan sifat dan data dalam

penelitian ini untuk menggambarkan data dan informasi di lapangan

berdasarkan fakta yang diperoleh.

Page 21: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

10

2. Teknik Pengumpulan Data

Sedangkan teknik penulisan yang digunakan dalam penyusunan

skripsi ini dengan Study Dokumentasi yaitu dengan mengumpulkan data-

data dari buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini dengan meminjam

dari perpustakaan atau membeli dan mengumpulkan artikel-artikel yang

berkaitan dengan masalah kedudukan MPR tersebut di website.

Adapun bahan pustaka yang penulis gunakan meliputi:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunya

kekuatan mengikat antara lain: Undang-Undang Dasar 1945 Naskah

Asli dan Perubahannya.

2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum primer seperti

buku-buku, artikel website, dan makalah-makalah yang berhubungan

dengan topik penulisan ini.

3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan

petunjuk terhadap bahan lainnya seperti kamus hukum dan kamus

bahasa.

3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang dipakai dalam skiripsi ini adalah teknik analisis

kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data dan kemudian diambil

deskripsi beberapa ungkapan fenomena yang diteliti. Disini penulis

berupaya mencermat dan mengumpulkan mengenai permasalaham yang

ada.

Page 22: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

11

Penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku “pedoman penulisan

skripsi” Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum tahun 2007.

E. Review Study Terdahulu.

Sejumlah penelitian dengan pembahasan mengenai kekuasaan MPR RI

telah banyak dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik ataupun secara

umum. Pembahasan bersumber dari buku-buku dan skripsi terdahulu , selain

itu beberapa makalah yang berkaitan dengan bahasan penelitian. Berikut ini

merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian

tersebut:

Pertama, karya Imam Al-Mawardi tentang “ Al-Ahkam As-Shulthaniyah;

Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam”. Didalam

buku tersebut berisi tentang kajian hukum tata negara dan kepemimpinan

menurut sudut pandang islam yang menitik beratkan kepada hal tentang Ahl

al-Hall wa al-aqd.

Kedua, karya Munawir Sjadzali tentang proses pengangkatan empat al-

Khulafa al-Rasyidin pada buku yang berjudul “ Islam dan Tata Negara:

Ajaran, Sejarah dan Pemikiran”. Yang menjelaskan proses pengangkatan

kepala negara dan metode-metodenya.

Ketiga, karya Dr. Suyuthi Pulungan, M.A. yang berjudul “ Fiqh Siyasah;

Ajaran Sejarah dan Pemikiran”. Yang didalamnya membahas tentang hukum

politik menurut Islam baik dari ajaran, sejarah dan pemikirannya.

Page 23: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

12

Keempat, buku yang berjudul “Fiqh Politik Islam” karya Farid Abdul

Khaliq”. Yang didalamnya membahas konsep politik islam yang menyangkut

tentang prinsip-prinsip yang terdapat pada lembaga perwakilan rakyat (Ahlul

Halli Wal Aqdi) dan segala kewajiban dalam bermasyarakat dan bernegara.

Kelima, buku yang berjudul “Pokok-pokok Hukum Tata Negara

Indonesia; Pasca Reformasi” karya Prof. Dr. jimly Asshiddiqie, S. H. yang

menjelaskan tentang berbagai persoalan hukum tata negara Indonesia dengan

perspektif baru setelah reformasi.

Keenam, buku karya Drs. Muhammad Iqbal yang berjudul,” Fiqh

Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam”yang membahas tentang

masalah politik dan kenegaraan dalam Islam secara komprehensif.

Ketujuh, karya Moh. Mahfud MD tentang “ Perdebatan Hukum Tata

Negara Pasca Amandemen Konstitusi”. Di dalam buku ini menjelaskan

tentang segala hal yang membahas tentang permasalahan yang terjadi pasca

amandemen Undang-undang 1945 dalam hal hukum tatanegara di Indonesia.

Kedelapan, skripsi Kholik tahun 2002 , fakultas Syariah dan Hukum

yang berjudul, “ Implementasi Syuro Pada Masa Al-Khulafaul Rasyidin dan

Relevansinya Pada Masa Kini”. Pada skripsi ini dibahas mengenai definisi

syura’, implementasi syuro pada masa Al-Khulafaul Rasyidin dan pendangan

para pemikir muslim tentang konsep syuro itu pada masa kini.

Kesembilan,skripsi yang diulis oleh Herni Lestari fakultas Syariah dan

Hukum tahun 2005, yang berjudul “Kedaulatan Rakyat Dalam Perspektif

Politik Islam dan Politik Indonesia”, didalamnya dibahas mengenai kosep

Page 24: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

13

kedaulatan rakyat dalam politik islam dan politik Indonesia melalui analisa

komparatif, selain itu menunjukan adanya sksistensi lembaga-lembaga

perwakilan sebagai pelaksana operasional kedaulatan rakyat baik di Indonesia

maupun dalam politik pemerintahan islam.

Secara umum tinjauan review pustaka di atas telah banyak membahas

tentang konsep perwakilan dari berbagai versi dan pengembangannya. Akan

tetapi, belum terdapat suatu kajian yang membahas tentang kajian tentang

eksistensi kekuasaan MPR di Indonesia yang diterapkan pada masa reformasi

yang telah banyak berubah seiring adanya beberapa perubahan Undang-

undang Dasar 1945 (Amandemen UUD 1945) yang kemudian ditinjau dengan

hukum tata negara Islam.

Atas dasar itu, penulis berinisiatif untuk meninjau lebih dalam mengenai

konsep kekuasaan MPR di Indonesia pada masa reformasi dan tinjauan

Hukum Tata Negara Islamnya.

F. Sistematika Pembahasan.

Pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab yang disusun secara

sistematis, sebagai berikut:

Bab I: Berisi pendahuluan yang terdiri dari lima pokok bahasan yaitu latar

belakang masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode

penelitian dan teknik penulisan, review studi terdahulu dan

sistematika pembahasan.

Page 25: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

14

Bab II : Berisi tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga

negara dalam UUD 1945, yang menjelaskan tentang konsep

Lembaga negara dalam UUD 1945, konsep lembaga perwakilan di

negara modern dan fungsi dan kewenangan lembaga Majelis

Permusyawaratan Rakyat dalam UUD 1945..

Bab III: Berisi tentang lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

dalam hukum ketatanegaraan islam yang menjelaskan kedaulatan

rakyat dalam hukum ketatanegaraan islam, konsep syura dan

demokrasi dalam hukum ketatanegaraan Islam dan Majelis

Syurasebagai lembaga perwakilan rakyat.

Bab IV: Dalam bab ini saya membahas kekuasaan MPR RI dalam UUD

1945 pasca Reformasi ditinjau dalam hukum ketatanegaraan Islam

yang terdiri dari; konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca

Reformasi (1999-2004), Tugas dan wewenang Majelis

Permusyawaratan Rakyat di Era Reformasi ditinjau dari Hukum

Tata Negara Islam dan analisa perbandingan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dengan Majelis

Syura dalam Hukum Ketatanegaraan Islam.

Bab V: Berisi penutup terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.

Page 26: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

15

BAB II

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEBAGAI LEMBAGA

NEGARA DALAM UUD 1945

A. Konsep Lembaga Negara dalam UUD 1945.

Berbicara mengenai lembaga negara berarti berbicara mengenai alat

kelengkapan yang ada dalam sebuah negara.

Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang

berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas dan kewenangannya diatur secara

tegas dalam UUD. Secara keseluruhan UUD 1945 sebelum perubahan

mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR sebagai tertinggi

negara, dan DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga tinggi

negara. Namun setelah perubahan, lembaga negara berdasarkan UUD adalah

MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, tanpa mengenal istilah lembaga

tinggi atau lembaga tertinggi negara.

Republik Indonesia merupakan salah satu negara kesatuan yang sangat

luas wilayahnya dan sangat besar jumlah penduduknya. Karena itu UUD 1945

yang sejak semula menganut prinsip ”semua harus terwakili”, melembagakan

ketiga prinsip perwakilan politik, perwakilan teritorial dan perwakilan

fungsional sekaligus dalam keanggotaan lembaga permusyawaratan rakyat di

MPR. Itu sebabnya maka pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang lama berbunyi :

” MPR terdiri dari anggota-anggota DPR, ditambah dengan itutusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”

15

Page 27: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

16

Ketiga metode perwakilan tersebut, yaitu perwakilan politik (political

repesentation), perwakilan teritorial (teritorial representation), atau

perwakilan daerah (regional representation), dan perwakilan fungsional

(functional representation) sama-sama tercermin dalam keanggotaan MPR RI.

Adanya lembaga MPR yang terdiri di samping DPR, tidak menyebabkan

struktur parlemen Indonesia disebut sebagai parlemen dua kamar atau

bikameral, karena MPR sendiri tidak menjalankan fungsi legislasi dalam arti

terlibat dalam proses pembentukan undang-undang. namun dikatakan sebagai

parlemen unikameral murni juga kurang tepat karena mengingat keberadaan

MPR itu sendiri merupakan lembaga tersendiri di luar dan bahkan berada di

atas DPR, karena itu sebenarnya sistem yang dianut oleh UUD 1945 sebelum

perubahan itu dapat juga disebut sebagai ”quasi monokameral’ atau semi-

unikameral.

Namun, sekarang dengan Perubahan keempat (2002), Pasal 2 ayat (1)

UUD 1945 itu diubah menjadi;

” MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”

Dalam keanggotaan MPR tidak ada lagi unsur utusan golongan

fungsional.yang ada hanya keanggotaan yang mencerminkan perwakilan

politik dan perwakilan daerah daerah.

Dari segi perkembangannya, perwakilan politik itu diwujudkan dalam

keanggotaan DPR dan perwakilan teritorial atau perwakilan daerah

diwujudkan dalam keanggotaan DPD. Untuk melestarikan ide perwakilan

fungsional, perwujudannya hanya dapat dilembagakan melalui sistem

Page 28: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

17

keanggotaan perwakilan rakyat dan DPD, misalnya, dengan memberikan jatah

tertentu, seperti kepada golongan perempuan. Ide semacam ini, dianggap

penting sebagai perlakuan khusus yang bersifat positif untuk membantu agar

kelompok tertentu dalam masyarakat yang tergolong sangat tertinggal

peranannya dalam sistem representasi politik yang bersifat formal.5

B. Konsep Lembaga Perwakilan di Negara Modern.

Untuk membahas lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia maka harus dijelaskan bagaimana konsep lembaga perwakilan

sehingga dapat mengatasnamakan rakyat.

Lembaga perwakilan atau yang lebih sering disebut representative

institution adalah lembaga yang mewakili rakyat dalam melakukan fungsi

pengawasan dan fungsi legalisasi

Konsep lembaga perwakilan tidak terlepas dari tujuan suatu Negara,

yakni mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi warga negaranya. Menurut

ilmuwan islam Ibnu Khaldun bahwa adanya organisasi kemasyarakatan

(ijtima’I wal insani) merupakan suatu keharusan. Para filosof dan ahli hukum

telah melahirkan kenyataan ini dengan perkataan mereka “manusia adalah

bersifat politis menurut tabiatnya (al insanu madaniyyun’biath-thab’i). ini

berarti ia memerlukan suatu organisasi kemasyarakatan yang menurut para

filosof dinamakan “kota”, dan itulah yang dimaksud dengan peradaban. Jadi,

5 Jimly Asshidiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah,

(Jakarta, UI Press, 1996), h.157

Page 29: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

18

di dalam pandangan ahli agamapun pembentukan suatu organisasi

kemasyarakatan untuk mengatur masyarakat merupakan suatu keharusan.

1. Teori Kedaulatan

Setelah adanya negara di zaman modern, maka merumuskan kembali

kedaulatan menjadi suatu yang sangat penting. Menurut Harold J. Laski

bahwa:

“the modern state is a sovereign state. It is, therefore, independent in the face of other communities. It may infuse its will towards them with a substance wich need not be affected by the will of any external power. It is, moreover, internally supreme over the territory that it control”. Terjemahan bebas: Negara modern adalah Negara yang mempunyai kedaulatan. Hal ini untuk independent dalam menghadapi komunitas lain. Dan akan mempengaruhi subtansi yng akan diperlukan dalam kekusaan internal adan kekuasaan eksternal. Hal ini lebih jauh meruakan kekusaan yang trtinggi atas wilayahnya.

Jelas disini dijelaskan bahwa kedaulatan sangatlah penting bagi

Negara yang independent atau merdeka dalam menjalankan kehendak

rakyat yang dipimpinnya. Sehingga kedaulatan merupakan hal yang

mempengaruhi seluruh kehidupan bernegara.

Adapun teori kedaulatan ada 5, yaitu:

b. Kedaulatan Tuhan;

Kedaulatan Tuhan adalah dimana kekuasaan tertingi ada pada

Tuhan, jadi didasarkan pada agama atau kepercayaannya.

c. Kedaulatan Raja.

Kedaulatan raja adalah kekuasaan yang tertinggi ada pada raja, hal

ini dapat digabungkan dengan teori pembenaran Negara yang

menimbulkan kekuasaan mutlak pada raja/satu penguasa.

Page 30: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

19

d. Kedaulatan Rakyat.

Menurut teori ini rakyatlah yang berdaulat dan mewakilkan ata

menyerahkan kekuasaannya kepada Negara atau pemerintah. Apabila

pemerintah melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan kehendak

rakyat maka rakyatlah yang berhak untuk mengganti pemerintah

tersebut.

e. Kedaulatan Negara.

Menurut teori ini, Negara dianggap mempunyai hak yang tidak

terbatas terhadap warga negaranya. Warga Negara dapat dikerahkan

untuk kepantingan Negara. Mereka harus taat kepada perauran Negara

tidak karena adanya suatu perjanjian namun karena kehendak Negara

tersebut.

e. Kedaulatan hukum.

Teori ini menunjukan kekuasaan tertinggi pada hukum yang

ditetapkan. Dalam hal ini dituntut adanya kesadaran hukum pada setiap

orang. Menurut teori ini, hukum adalah pernyataan penilaian yang ada

dari kesadaran hukum manusia. Dan hukum merupakan sumber

kedaulatan.

Setelah berkembangnya ide demokrasi yang telah dimulai sejak abad

ke 19 maka konsep pemerintahan demokrasi menjadi suatu isu global

dalam dunia sehingga mayoritas Negara menggunakan demokrasi sebagai

system politik pada Negara mereka.

Page 31: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

20

Berpijak pada hal tersebut maka konsep lembaga perwakilan

berkembang dan terbagi dalam berbagai system.

Adapun konsep dasar dalam lembaga perwakilan atau parlemen

adalah system demokrasi perwakilan dimana kedaulatan rakyat yang

tercantum dalam undang-undang dasar, kemudian dipecah menjadi

beberapa kekuasaan yang ada dan yang dipakai dalam teori kedaulatan

adalah kekuasaan di bidang pengawasan dan pembuatan undang-undang.

2. Sistem Lembaga Perwakilan Rakyat.

Lembaga perwakilan atau yang lebih dikenal sebagai parlemen

dibagi ke dalam berbagai sistem yaitu:

a. Sistem Satu Kamar;

Sistem satu kamar adalah sistem parlemen yang berdasar pada

satu lembaga legislatif tertinggi dalam struktur Negara. Lembaga ini

menjalankan fungsi legislatif dan pengawasan terhadap pemerintah

dan juga membuat undang-undang.

Isi aturan mengenai fungsi dan tugas parlemen unicameral ini

beragam dan bervariasi dari suatu negara ke negara lain, akan tetapi

pada pokoknya serupa secara kelambagaan fungsi legislatif tertinggi

diletakkan sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi yang dipilih

oleh rakyat.

b. Sistem dua kamar;

Adapun sistem dua kamar adalah system yang sistem

parlemennya terbagi atas dua lembaga legislatif dalam suatu struktur

Page 32: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

21

negara dan dalam menjalankan tugasnya kedua lembaga ini

mempunyai tugas-tugas tertentu.

Pada prinsipnya kedua kamar majelis dalam sistem bicameral ini

memiliki kedudukan yang sederajat. Satu sama lain tidak saling

membawahi baik secara politik maupun secara legislatif. Segala

keputusan tidak dapat ditetapkan tanpa persetujuan bersama.

c. Sistem tiga kamar (tricameral);

Sistem tiga kamar adalah siitem yang sistem parlemennya tebagi

atas tiga lembaga legislatif atau lembaga perwakilan dalam suatu

struktur negara.

Konsep lembaga perwakilan di Indonesia jika dipecah-pecah akan

terbagi kedalam beberapa periodesasi menurut Undang-Undang Dasar yang

dipakai dalam Negara Indonesia ,yaitu:6

1. UUD 1945, yang berlaku pada tahun 1945 sampai dengan tahun 1949.

2. Konstitusi RIS 1949, yang berlaku antara tahun 1949 sampai dengan

tahun 1950.

3. UUDS 1950, yang berlaku pada tahun 1950 sampai dengan 1959.

4. kembali ke UUD 1945, yang berlaku sejak dekrit presiden pada tahun

1959 sampai dengan sekarang.

Perkembangan konsep lembaga perwakilan di Indonesia dimulai sejak

tahun 1945. tidak ada ketentuan secara tegas bahwa MPR termasuk lembaga

perwakilan atau tidak.

6 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori Hukum Dan Konstitusi, (Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 1999), h.75.

Page 33: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

22

Secara filosofis MPR merupakan perwujudan seluruh rakyat di

Indonesia, dan MPR secara yuridis menurut pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang

berbunyi; ”kedaulatan ada di tangan rakyat dan menjalankan secara

sepenuhnya oleh MPR”, berarti yang merupakan penjelmaan rakyat di

Indonesia adalah MPR, sehingga lembaga MPR termasuk ke dalam penjelmaan

perwakilan rakyat sepenuhnya dan mempunyai kekuasaan di segala fungsi.

Jika dilihat dari penjelasan di atas MPR memiliki dua macam fungsi,

yaitu:

1. Fungsi Legislatif, yang lahir dari kekuasaan-kekuasaan menetapkan

Undang-undang Dasar, mengubah Undang-undang dasar dan kekuasaan

menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.

2. Fungsi non Legislatif, yang lahir melalui kekuasaaan memilih dan

mengangkat presiden dan wakil presiden.

Untuk menjamin agar majelis ini benar-benar menjadi penjelmaan seluruh

rakyat. Maka ditentukan bahwa keanggotaannya meliputi:

1. Seluruh wakil rakyat yang terpilih melalui DPR.

2. Utusan Golongan yang ada dalam masyarakat menurut ketentuan

peundang-undangan yang berlaku.

3. Utusan daerah seluruh Indonesia menurut ketentuan perundang-undangan

yang berlaku.7

Sebelum dilakukan perubahan UUD 1945 maka MPR mempunyai

kewenangan menjalankan kedaulatan rakyat yang penuh. Tidak ada suatu

7 Jimly Asshidiqie, Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah,

(Jakarta, UI Press, 1996), h.50

Page 34: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

23

lembaga negarapun di Indonesia yang diberikan kewenangan sebesar ini

sehingga MPR menjadi lembaga yang sangat kuat.

Konsep lembaga MPR sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945

harus dilihat dari apa yang diinginkan oleh para pendiri bangsa ini yang

merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 (Founding Fathers). Sebelum

Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 telah ada lembaga yang

dibentuk oleh Jepang yaitu BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia) dan merupakan badan yang menyelidiki usaha

persiapan kemerdekaan di Indonesia. Walaupun pada akhirnya BPUPKI

merumuskan Undang-Undang Dasar.

Konstitusi atau Undang-undang Dasar adalah hukum tertinggi dan

tertulis yang mengatur tentang mekanisme penyelenggaraan negara, sebagai

kumpulan aturan pembagian kekuasaan negara dan membatasi kekuasaan

pemerintah sehingga tidak sewenang-wenang.

Merumuskan rancangan konstitusi tentu merupakan pekerjaan asing bagi

mereka. Sulit mencari untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali diantara

mereka yang berpengalaman dalam merancang suatu sistem kekuasaan negara,

susunan badan-badan negara, dasar ideologi negara, hak asasi manusia

sebagaimana umumnya sebuah konstitusi. Dengan demikian, mudah diduga

para anggota BPUPKI akan terinspirasi, terpengaruh atau bahkan mengadopsi

langsung gagasan atau praktek bernegara yang pernah atau sedang berlaku dari

bangsa lain yang dirumuskan dalam konstitusinya dan tujuan legal dari

konstitusi bukan hanya suatu pemerintahan perwakilan yang terbatas tetapi

Page 35: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

24

juga yang bersifat umum dengan pelaksanaan pengadilan kebebasan individu,

seperti apa yang kita sebut pemerintahan berdasarkan hukum (hal ini

diungkapkan oleh Montesquieu ) dan para founding fathers kemudian

membuat beberapa lembaga negara yang fungsinya mengawasi lembaga negara

yang lain.

Konsep perwakilan di Indonesia sulit untuk dikategorikan sistem

perwakilan satu kamar, dua kamar ataupun tiga kamar. Apabila dicari

kemiripannya maka akan mirip dengan sistem parlemen satu kamar. Walaupun

demikian lembaga perwakilan di Indonesia haruslah dilihat sebagai suatu hal

yang khas dari sistem ketatanegaraan di Indonesia. Menurut Profesor Jimly

Asshiddiqie bahwa kategori sistem parlemen di Indonesia adalah sistem

campuran.

Kesulitan untuk mengkategorikan hal ini mungkin karena Indonesia

adalah negara yang baru ada dan konsep lembaga negara Indonesia

berdasarkan keinginan founding fathers untuk membuat hal yang berbeda

dalam struktur lembaga negara. Walaupun para pembuat Undang-undang

Dasarnya belajar ke negara lain sehingga akan ada proses peniruan dengan

negara lain.

Setelah dilakukan Perubahan Undang-undang Dasar 1945. Konsep MPR

sebagai pemegang kedaulatan rakyat yang merupakan kekuasaan tertinggi

dalam negara dihapus dengan Perubahan ke 4 Undang-Undang Dasar. MPR

tidak lagi memegang kekuasaan tertinggi dalam sistem ketatanegaraan di

Indonesia. MPR tetap tidak bisa dikategorikan sebagai lembaga legislatif

Page 36: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

25

karena MPR tidak membuat peraturan perundang-undangan. Tetapi MPR

masih bisa dikategorikan sebagai lembaga perwakilan rakyat.

Karena susunan anggota MPR yang ada dalam Undang- Undang Dasar

1945 menurut pasal 2 UUD 1945 setelah Perubahan Keempat adalah:

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.8

Jika dilihat dari komposisi anggota MPR maka MPR dapat digolongkan

sebagai lembaga parlemen dan masih ada kewenangan membuat Undang-

undang Dasar, memberhentikan presiden, maka MPR dianggap institusi

demokrasi perwakilan.

Representasi kepentingan rakyat secara nasional dalam lembaga DPR

yang dipilih melalui partai politik dalam pemilihan umum. Hal ini merupakan

suatu tuntutan negara demokratis.

Representasi Dewan Perwakilan Daerah sebagai suatu lembaga

perwakilan rakyat didaerah dipahami diantaranya karena:

1. Secara sosiologis ikatan masyarakat dengan propinsi jauh lebih kuat

dibandingkan kabupaten.

2. Secara teknis pelaksanaan juga jauh lebih mudah karena sudah ada

pembagian wilayah administratif yang jelas.

3. Pemilihan berbasis propinsi lebih representatif mewakili semua daerah

dibandingkan dengan basis kabupaten, mengingat jumlah kabupaten yang

ada di pulau jawa tidak seimbang dengan daerah diluar pulau jawa.

8 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,

(Jakarta: UI, PSHTN, 2007), h.3

Page 37: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

26

Jika demikian maka sistem parlemen di Indonesia adalah sistem

trikameral. Hal ini diungkapkan oleh Prof.Jimly Asshiddiqie pada seminar

yang dilaksanakan di Bali9. Dengan alasan bahwa unsur keanggotaan MPR

yang berubah, kewenangan tertinggi yang dicabut, diadopsinya prinsip

pemisahan kekuasaan, diadopsinya pemilihan presiden dan wakil presiden

secara langsung.

C. Tugas dan Kewenangan Lembaga MPR dalam UUD 1945.

Dalam menjelaskan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia haruslah dilihat tugas dan wewenang yang tercantum dalam

Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga pembahasan akan lebih tajam dan

mengkerucut, dan fungsi dan wewenang ini akan dibagi kedalam dua periode

Undang-Undang Dasar 1945. Periode tersebut adalah sebelum perubahan

Undang-Undang Dasar dan setelah Perubahan Undang-Undang Dasar.

1. Tugas dan Wewenang MPR RI Sebelum Perubahan UUD 1945

MPR sebagai suatu lembaga negara merupakan badan yang

merupakan pelaksana kedaulatan rakyat di Republik Indonesia sebelum

diadakan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Setelah diadakan

perubahan maka terjadilah perubahan pada Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia. MPR sebagai lembaga penjelamaan seluruh

rakyat Indonesia, dan lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara

yang sama kedudukannya dengan negara lain.

9 Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD 1945, disampaikan dalam Seminar yang dilakukan oleh BPHN dan DEPKEH dan HAM RI, Juli, 2003, h.8-9

Page 38: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

27

Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tugas dan

wewenang MPR dicantumkan dalam UUD 1945 dan juga TAP MPR.

Sedangkan setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka tidak ada

lagi pengaturan tugas dan wewenang yang diatur dalam Ketetapan MPR.

Setelah satu tahun berjalan disahkanlah undang-undang tentang susunan

dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD baru dijelaskan tugas dan

wewenang MPR.

Adapun Fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat sebelum

Perubahan UUD 1945 ada didalam pasal 3 dan pasal 6 UUD 1945 serta

pasal 3 Ketetapan MPR No. 1/MPR/ 1983, dan dinyatakan sebagai berikut:

1. menetapkan Undang Undang Dasar

2. menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara.

3. memilih (dan mengangkat) presiden dan wakil Presiden.10

Dalam tugas MPR ini dapat dipelajari bahwa tugas MPR sebagai

suatu lembaga negara meliputi tiga. Tugas ini tercantum dalam Undang-

Undang Dasar 1945. Sebagai lembaga pemegang kedaulatan Rakyat

dalam UUD 1945 maka MPR mempunyai tugas yang besar yaitu membuat

Undang-Undang Dasar. Dan tugas inilah yang pada masa sebelum

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 belum pernah dilaksanakan oleh

Majelis Permusyawatan Rakyat.

10 Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, (Bandung;

PT. Citra Aditya Bakti), h.84

Page 39: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

28

Sedangkan wewenang MPR menurut Prof Sri Soemantri bahwa jika

diteliti dalam UUD 1945 maka Undang Undang Dasar 1945 hanya

mengatur satu wewenang saja, yaitu dalam pasal 37. Dan setelah adanya

ketetapan MPR No. 1/MPR/1983 dapat kita lihat bahwa wewenang MPR

tidak hanya itu saja. Dalam pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat MPR No 1/MPR/1983 kewenangan MPR ada sembilan, yaitu11:

1. Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga

negara yang lain, termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan

Negara yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.

2. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-

putusan Majelis.

3. Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden Wakil

Presiden.

4. Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai

pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan menilai

pertanggungjawaban tersebut.

5. Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dan memberhentikan

Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/mandataris sungguh-

sungguh melanggar Haluan Negara dan/atau Undang-Undang Dasar.

6. Mengubah undang-Undang Dasar.

7. Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.

8. Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota.

11 Ibid, h. 95

Page 40: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

29

9. Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang melanggar

sumpah/janji anggota.

Ada satu kewenangan yang sudah dicantumkan dalam Undang-

Undang Dasar 1945 akan tetapi lebih sering disebut dengan kekuasaan

atau kedaulatan. Dalam pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa ”Kedaulatan

adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat”12. Kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut

Power merupakan Great Authority, atau dapat diartikan sebagai

kewenangan yang sangat besar/terbesar. Hal ini dapat dilihat dalam

beberapa Undang-Undang Dasar di negara lain seperti Cina, Venezuela

dan Amerika Serikat yang menggunakan kata power sebagai kewenangan

lembaga negaranya.

2. Tugas Dan Wewenang MPR Yang Diatur Dalam UUD Sesudah Perubahan

UUD1945.

Tugas dan wewenang Majelis Permusyaratan Rakyat tidaklah banyak

berkurang setelah perubahan UUD, akan tetapi dampaknya sangat besar

terhadap lembaga MPR. Karena Majelis Permusyawaratan Rakyat

kedudukannya sama dengan dengan lembaga negara yang lain13.

Hal yang sangat mendasar adalah dicabutnya kewenangan MPR

dalam hal melaksanakan kedaulatan rakyat dan dicabutnya tugas untuk

12 Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 13 Risalah Sidang MPR RI pada tahun 2001.

Page 41: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

30

memilih Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga Majelis

Permusyawaratan Rakyat tidaklah lagi menjadi lembaga tertinggi negara.

Dalam Perubahan UUD 1945, tugas dan wewenang Majelis

Permusyawaratan Rakyat berubah. Dengan berubahnya konsep lembaga

Majelis Permusyawaratan Rakyat maka berubah pula beberapa tugas dan

wewenangnya. Tugas MPR setelah Amandemen UUD 1945 adalah

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/ atau Wakil

Presiden (Pasal 3 ayat 2 Perubahan III UUD 1945), yakni tugas

Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal ini adalah tugas formal

atau upacara yang harus dilakukan jika telah dipilih Presiden dan

Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum. Tugas MPR ini merupakan

konsekuensi dari Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang

mewajibkan Pemilihan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden

secara langsung oleh rakyat. Melantik bukanlah wewenang dari MPR

karena jika telah dipilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan

Umum, maka kewajiban dari MPR adalah melantik Presiden dan

Wakil Presiden RI. Seharusnya dijelaskan secara tegas mengenai

kewajiban ini sehingga tidak menimbulkan beberapa interprestasi yang

menyimpang seperti jika Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak mau

melantik Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih dalam pemilihan

langsung oleh rakyat maka konsekuensinya bagaimana, apakah sah

atau tidak Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan jika tidak ada yang

mengesahkan maka Presiden dan Wakil Presiden terpilih akan cacat

Page 42: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

31

hukum karena belum dilantik oleh lembaga yang berwenang yang

diberi kekuasaan untuk melantik. Dan apakah Majelis

Permusyawaratan Rakyat melanggar Undang-Undang Dasar jika tidak

mau melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

2. Melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan

Majelis Permusyawaratan rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis

Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 (pasal I Aturan Tambahan

Perubahan ke IV UUD 1945), yakni tugas MPR melakukan peninjauan

materi dan status hukum Ketetapan MPRS dan MPR merupakan tugas

sementara yang dibebankan kepada MPR oleh Undang-Undang Dasar.

Pasal I Aturan Tambahan menyatakan bahwa MPR harus “melakukan

peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis

Permusyawaratan rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis

Permusyawaratan Rakyat tahun 200314”. Sementara disini terletak

pada kalimat akan diambil putusan pada sidang Majelis

Permusyawaratan Rakyat tahun 2003, jika telah diambil putusannya

maka tugas ini berakhir dengan sendirinya.

Dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka dapat

disimpulkan tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak dijelaskan

secara jelas. Apakah ketentuan tersebut tugas atau bukan tapi secara

14 Indonesia, Perubahan Keempat UUD 1945

Page 43: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

32

definitif, tugas adalah kewajiban atau sesuatu yang wajib dikerjakan atau

ditentukan untuk dilakukan.

Sedangkan wewenang Presiden RI dalam UUD 1945 maka bisa

disimpulkan sebagai berikut:

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan

menetapkan Undang-Undang Dasar 1945. (Pasal 3 ayat 1 Perubahan

Ke III UUD 1945.

2. Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan

Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut

UUD (Pasal 3 ayat 3 Perubahan ke III UUD 1945).

3. Memilih Presiden atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya

Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya. ( Pasal 8 ayat

3 Perubahan Keempat).15

Secara kedudukan maka MPR telah sama dengan lembaga negara

yang lain. Tidak ada lagi lembaga tertinggi Negara dan lembaga tinggi

Negara. Sehingga dalam sistem Ketatanegaraan tidak ada lagi lembaga

Negara yang lebih tinggi dari yang lain.

Menurut Dr. Maria Farida, semua lembaga negara yang

mengeluarkan produk peraturan perundang-undangan maka kedudukannya

lebih tinggi dari yang lain. Dan Majelis Permusyawaratan Rakyat

merupakan lembaga Negara yang mengeluarkan peraturan yang lebih

15 Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat

UUD Tahun 1945, disampaikan dalam Simposium Nasional yang diadakan oleh BPHN dan DEPKEH HAM , (Bali, Juli 2003), h.9

Page 44: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

33

tinggi. Sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga Negara

yang lebih tinggi dari lembaga Negara yang lain.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tetap

mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu

Undang-Undang Dasar. Hal ini berarti secara Ilmu Perundang-undangan

lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat lebih tinggi dari lembaga

Negara yang lain.

Page 45: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

34

BAB III

LEMBAGA PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HUKUM

KETATANEGARAAN ISLAM

A. Kedaulatan Rakyat Dalam Hukum Tata Negara Islam

Istilah ‘kedaulatan’ dalam Islam merujuk kepada kata “daulah” yang

berasal dari kata dasar dāla-yadūlu-daulah yang bersifat bergilir, beredar dan

berputar.16 Kelompok sosial yang menetap pada suatu wilayah tertentu dan

diorganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan

kemaslahatan mereka. Kadang-kadang muncul kata “riyāsah” dipakai juga

untuk istilah negara, tetapi kata ini (riyāsah) hanyalah turunan dari kata

“rā`is”, yang berarti ‘kepala suku’.17 Daulah dapat diartikan negara,

pemerintahan, kerajaan, atau dinasti.

Dalam Al-qur’an terdapat dua ayat yang menggunakan kata “daulah”,

misalnya dalam makna ‘pergantian’ atau giliran yang terjadi dalam kehidupan

manusia.18 Kata ini tercantum dalam surah Ali Imran [3] ayat 140 yang

berbunyi:

16 H. A. Hafidz Dasuki, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van

Hoeve, 1997), jilid. I, h. 262. 17 Qamaruddin Khan, Tentang Teori Politik Islam, alih bahasa: Taufik Adnan Amal,

(Bandung: Mizan, 1987), h. 6. 18 Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam, alih bahasa : Ihsan Ali Fauzi, (Jakarta:

Gramedia, 1994), h. 49-50.

Page 46: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

35

… Artinya: “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara

manusia (agar mereka mendapat pelajaran)…” (QS. Ali Imran/3 : 140)

Sedangkan dalam bentuk “daulatan”, kata ini muncul dalam Al-qur’an (QS. Al-Hasyr [59]: 7) dengan pengertian beredar, sesuatu yang digunakan secara bersama, pemilikan atas sesuatu yang penggunaannya dilakukan secara bergilir antar beberapa orang.19 Sebagaimana yang dijelaskan:

34

Artinya: “Apa saja harta rampasan fa’i yang diberikan Allah kepada Rasulnya

(yang berasal) dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan untuk orang-orang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu ” (QS. Al-Hasyr/59: 7)

Istilah daulah dalam ayat di atas dipakai secara figuratif untuk

melukiskan peredaran dan pergantian tangan dari kekayaan. Namun istilah

tersebut kemudian berkembang untuk menyatakan kekuasaan politik karena

kekuasaan politik selalu berpindah tangan. Maka apa yang dikatakan Ibnu al-

Muqaffa’ (w. 140 H / 757 M), “al-dunya’ duwal”, adalah bahwa dunia ini

19 Ibid.,

Page 47: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

36

penuh dengan pasang-naik dan pasang surut yang menimpa nasib seseorang.20

Hal tersebut diungkapkannya melalui sebuah tulisan yang berisi nasihat

kepada khalifah, agar mensistematisir hukum dan melakukan ijtihadnya

sendiri dengan Al-qur’an dan Sunnah. Ibnu al-Muqaffa’ barangkali adalah

orang pertama yang mendukung legislasi oleh negara.21

Berdasarkan ayat di atas, kata daulah bergeser dan digunakan sebagai

istilah politik setelah difiguratifkan untuk menandai kekuasaan negara. Selain

itu, hal ini juga dilandasi paradigma pemikiran ulama fiqh siyasah yang

merumuskan pembidangan siyasah menjadi empat, yaitu: (1) fiqh siyasah

dusturiyah, yang mencakup pembahasan masalah-masalah imamah, hak dan

kewajibannya, rakyat status dan hak-haknya, bai’at, waliyul ahdi, perwakilan,

ahl al-hal wa al-‘aqd, dan wazarah; (2) fiqh siyasah maliyah, yang meliputi

pembahasan sumber-sumber perbendaharaan negara, pajak, baitul mal, serta

fungsinya; (3) fiqh siyasah dauliyah, meliputi persoalan internasional,

teritorial, nasionalisme dalam fiqh Islam, pembagian dunia menurut hukum

fiqh Islam, dst; (4) fiqh siyasah harbiyah, yang mencakup bahasan tentang

peperangan dalam Islam, tawanan perang, harta rampasan perang, dan

perdamaian.22

Pembidangan fiqh siyasah maliyah memperlihatkan adanya hubungan

antara politik dan ekonomi. Sebagaimana diketahui bahwa politik selalu

menandai kewenangan yang dimiliki oleh negara. Negara dituntut untuk

20 Ibid., 21 Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1994),

h.149 22 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1999), Cet. Ke-IV, h. 40-41

Page 48: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

37

memenuhi segala kebutuhan dan mensejahterakan rakyat. Pemerintah dengan

segala kewenangannya bertugas mengatur pemasukan dan pengeluaran negara

serta distribusi keuangan untuk rakyat. Kiranya, pembidangan fiqh siyasah

maliyah inilah yang menjadi tolak ukur pergeseran makna.

Karena kata ‘daulah’ tidak memiliki pengertian yang seragam dalam

konteks kebahasaannya, maka Dien Syamsuddin keberatan memberikan

makna kepada kata daulah sebagai “negara” atau “kedaulatan”. Dien

menegaskan:

“Apakah konsep ‘daulah’ sebagai negara mempunyai landasan teologis dalam Al-qur’an? Al-qur’an menyebut kata ‘daulah’ (tepatnya ‘dulah’) dan bentuk kata kerjanya ‘nudawilu’ sebanyak dua kali, yaitu masing-masing di QS. Al-Hasyr/59: 7 dan QS. Ali Imran/3: 140. Baik pada ayat pertama maupun ayat kedua, kedua kata yang berhubungan dengan kata daulah menunjukkan arti ‘peredaran’ atau ‘giliran’. Oleh karena itu sulit untuk menghubungkan kedua kata itu dengan konsepsi tentang negara atau pemerintahan. Karenanya, jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah negatif: tidak terdapat dalam Al-qur’an rujukan dan sandaran jelas untuk kata daulah dalam pengertian ‘negara’ atau ‘pemerintahan’”.23

Adapun kata daulah dalam arti dinasti belum dipergunakan pada pra-

Islam, karena tidak ditemukan adanya indikasi penggunaan kata tersebut.

Sedangkan istilah kesukuan “al-banu” terus digunakan dalam Islam. Pada

masa Abbasiyah, kata daulah diartikan dengan kemenangan, giliran untuk

meneruskan kekuasaan, dan dinasti.24

Berdasarkan uraian di atas mungkin dapat menjelaskan bahwa kata

daulah tidak memiliki akar teologis dalam Al-qur’an dan konsep daulah untuk

menunjukkan pengertian negara, pemerintahan dan dinasti tidaklah secara

23 M. Dien Syamsuddin, “Sistem Kenegaraan Modern Republik dan Kekhilafahan Islam Klasik”, Makalah pada KKA Paramadina, dipresentasikan pada 16 Desember 1997.

24 Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), jilid. I, h. 262

Page 49: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

38

serta merta lahir, tapi mengalami transformasi konseptual yang panjang dalam

sejarah.

Kedaulatan selalu menandai otoritas atau pemerintahan tertinggi

berdasarkan hukum. Kedaulatan telah didefinisikan sebagai “kekuasaan

tertinggi di mana rakyat diperintah dan bahwa seseorang atau sekelompok

orang dalam suatu negara, secara politik tidak ada yang lebih tinggi.

Di kalangan para sarjana muslim terjadi perkembangan penafsiran

mengenai konsep kekuasaan ini. Pendapat pertama melihat kedaulatan dengan

penekanan pada konsep kekuasaan hukum. Sedang pendapat kedua cenderung

pada konsep Islam mengenai divine democracy (demokrasi suci). Karena itu,

Tahir Azhari, misalnya, mengatakan bahwa predikat yang tepat untuk negara

dalam Islam ialah “nomokrasi Islam”.25 Abdul A’la Maududi menggunakan

istilah divine democracy atau theo-democracy untuk menyebut negara dalam

Islam.26

Dalam QS. Al-Hadid [57] : 5, Allah Swt. berfirman:

Artinya: “Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi, dan hanya kepada Allah

segala urusan dikembalikan”. (QS. Al-Hadid/ 57:5)

25 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan UUD 1945: Kajian Perbandingan tentang

Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI-Press, 1995), Cet. ke-1, h.93

26 Abdul A’la Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (terj.), (Bandung: Mizan, 1998), Cet.ke-4, h. 160.

Page 50: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

39

Menurut Isma’il Sunny, kedaulatan yang hakiki berada pada Tuhan,

sementara otomatis rakyat adalah kepercayaan suci yang harus berada dalam

batas-batas kehendak Tuhan. Menurutnya, kedaulatan rakyat pada dasarnya

merupakan penerapan kedaulatan Tuhan oleh semua rakyat atas hamba-Nya,

dimana implementasi aturan-aturan Tuhan dalam kehidupan sosial dan politik

diimplementasikan oleh rakyat melalui para wakil mereka.27

Adapun pembatasan kedaulatan rakyat dalam Islam adalah memandang

bahwa kedaulatan rakyat sebagai sesuatu yang mutlak, karena Islam adalah

paradigma moral bagi sistem demokrasi masyarakat muslim. Oleh karenanya,

demokrasi harus dilaksanakan dalam kerangka paradigma moral ini. Segala

sesuatu yang dianggap benar oleh manusia adalah belum tentu benar di mata

Allah.28

Dalam konteks kenegaraan, pelaksanaan kedaulatan Tuhan terwujudkan

dalam bentuk pendelegasian wewenang dan kekuasaan dari Tuhan kepada

hambanya yang terpilih menjadi pemimpin. Manusia secara umum telah

diangkat sebagai khalifah di muka bumi yang berkewajiban mengatur bumi

berdasarkan ketentuan-ketentuan syar’i. Sebagaimana firman Allah dalam

penggalan surat Al-qur’an surat Al-Baqarah [2]:ayat 30 yang berbunyi:

⌧ …

Artinya: “...Sesungguhnya Aku (Allah) akan menjadikan seseorang Khalifah di

muka bumi...” (QS. Al-Baqarah/2 : 30)

27 Isma’il Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), Cet. Ke-6, h.7.

28 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), Cet. Ke-1, h. 86.

Page 51: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

40

Ayat tersebut menginformasikan tentang unsur-unsur kekhalifahan

sekaligus kewajiban sang khalifah. Unsur-unsur tersebut adalah (1) bumi atau

wilayah; (2) khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris); (3)

hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah dan hubungannya dengan

pemberi kekuasaan (Allah Swt).29

Adapun hubungan antara penguasa dan rakyat dalam Islam adalah

adanya pelimpahan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada khalifah,

yang berhubungan erat dengan legitimasi kekuasaan negara. Memang benar,

kedaulatan pembuat hukum hanya milik Allah semata, tetapi bukan berarti

Allah-lah yang mengangkat para ulama dan penguasa, lalu mereka bisa

berkuasa atas nama Tuhan. Tapi yang dimaksudkan adalah dalam penetapan

hukum semata. Sedangkan sandaran kekuasaan secara pemerintahan tetapi

kembali kepada rakyat atau umat. Perlu digaris bawahi bahwa kedaulatan

rakyat dalam Islam berbeda dengan konsep rakyat yang melahirkan sistem

yang absolut.

Bagaimanapun juga dalam Islam, seluruh kekuasaan dan otoritas adalah

milik Tuhan. Dan manusia hanya dianugerahi kekuasaan yang menjadi suatu

kepercayaan. Setiap orang yang menerima kekuasaan harus tunduk kepada

sang pemberi kekuasaan. Jadi, ketika kita berbicara tentang kedaulatan rakyat

dalam Islam berkaitan erat dengan kedaulatan Tuhan, karena merupakan

bagian integral. Kedaulatan rakyat tidak akan terwujud tanpa membatasi

29 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan

Umat, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. Ke-5. h. 424.

Page 52: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

41

kekuasaan negara dengan undang-undang (konstitusi) dan konstitusi tertinggi

berada di tangan Allah.

B. Konsep Syura dan Demokrasi Dalam Hukum Tata Negara Islam

Istilah ‘syūrā’ berasal dari kata kerja syāwara-yusyāwiru yang berarti

menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Bentuk-

bentuk lain yang berasal dari kata kerja syāwara adalah asyūra (memberi

isyarat), tasyāwara (berunding, saling bertukar pendapat, musyawarah),

syāwir (meminta pendapat dan musyawarah), dan mustasyir (meminta

pendapat orang lain).30 Kemudian kata syūrā ini diserap ke dalam bahasa

Indonesia menjadi kata musyawarah atau musyawarat yang secara semantis

bermakna menyimpulkan pendapat berdasarkan pandangan antar kelompok.31

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata musyawarah hanya diartikan

dengan perundingan atau perembukan.32

Dalam surat Ali Imran [3];ayat 159:

☺ ☺

⌧ ⌧ ⌧

30 Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994),

Cet. Ke-3, Jilid V, h. 18 31 Hafidz Dasuki, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,

1997), jilid. I, h. 1263. 32 JS. Badudu dan Sutan M. Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1996), h. 925.

Page 53: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

42

Artinya: “Maka berkat rahmat Allah, engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut

terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka urusan itu. Kemudian apabila engkau membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah maha mencintai orang yang bertawakkal” (QS. Ali Imran/3: 159)

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Tabari menafsirkan bahwa

sesungguhnya Allah Swt. menyuruh Nabi Saw. untuk bermusyawarah dengan

umatnya tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka tahu hakikat

urusan tersebut dan agar mereka mengikuti letaknya. Namun kewajiban untuk

melaksanakan musyawarah bukan hanya dibebankan kepada Nabi saja,

melainkan juga kepada tiap orang mukmin, sekalipun perintah ayat tersebut

ditujukan kepada Nabi Saw. Artinya, perintah yang terkandung dalam ayat

tersebut juga berlaku umum.33

Sebenarnya praktek musyawarah dalam pengambilan keputusan telah

dikenal dan membudaya di masyarakat Arab sebelum kenabian Muhammad

Saw, dalam menghadapi setiap persoalan yang menyangkut orang banyak,

mereka biasanya menghimpun para pemuka kabilah untuk bermusyawarah

bagi penyelesaiannya. Praktek musyawarah ini terus dilestarikan dan

dikembangkan oleh Islam dan dilaksanakan baik oleh Nabi Saw maupun para

sahabatnya.34 Namun, banyak kalangan di antaranya Munawir Syadzali

mengungkapkan bahwa pengalaman empirik demokrasi dalam Islam sangatlah

33 Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994),

Cet. Ke-3, Jilid V, h. 18 34 Ibid

Page 54: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

43

terbatas, baik itu ketika masa pemerintahan Nabi Saw ataupun masa

pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidin.35 Lalu bagaimanakah Nabi Saw

mempraktekkan demokrasi atau musyawarah (istilah dasar ketika itu lepas dari

kontroversi setuju atau tidak) dalam menjalankan roda pemerintahannya?

Sebagaimana diketahui bahwa Nabi Saw dalam memutuskan perkara

selalu berpedoman pada wahyu Allah Swt (Al-qur’an), tetapi sering pula

mendapatkan perkara-perkara yang belum ada petunjuknya dalam Al-qur’an,

sehingga beliau mengajak sahabat-sahabatnya untuk bermusyawarah. Dalam

hal ini Thaha Husein mengungkapkan sebagai berikut:

“Adapun bila beliau (Nabi Swt) bermusyawarah dengan mereka (para sahabat) dalam suatu perkara yang tidak disebutkan dalam Al-qur’an dan Nabi sendiri tidak dapat peintah langsung dari atas (Allah Swt), maka hak para sahabat untuk memberikan pendapat dan mengajukan usul di luar hal yang Nabi sendiri telah pasti akan melakukannya. Contohnya adalah ketika Nabi menempatkan (pasukan) sahabat pada suatu posisi pada saat terjadi perang Badar, kemudian al-Hubab Ibn al-Mundzir ibn al-Jamuh (seorang sahabat) bertanya: ‘Apakah ini perintah yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Engkau atau pendapat dan musyawarah?’ Nabi menjawab: ‘Ini hanyalah pendapat dan musyawarah’. Maka dia (al-Hubab) menyarankan kepada Nabi Saw posisi lain yang lebih cocok untuk kaum muslimin dan Nabi pun menerima saran itu.”36

Sejarah lainnya yang membuktikan bahwa beliau seringkali

bermusyawarah dalam suatu urusan dan memiliki makna yang sangat

signifikan adalah dalam menggagas Piagam Madinah. Piagam ini merupakan

perjanjian antara Nabi Saw, sebagai pemimpin umat Islam dengan masyarakat

Madinah yang nota bene multi etnis dan agama. Mereka sepakat untuk

35 Affan Gaffar, “Islam dan Demokrasi: Pengalaman Empirik yang Terbatas”, dalam

Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Munawir Syadzali, (Jakarta: Paramadina, 1995), Cet. Ke-1, h. 351.

36 Ibid., h. 352

Page 55: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

44

menjunjung tinggi musyawarah dalam artian menyelesaikan segala urusan di

antara mereka dengan bermusyawarah.

Begitu pula dengan masalah tawanan perang setelah terjadinya perang

Badar, Nabi Saw juga bermusyawarah dengan para sahabat. Dalam

musyawarah ini muncul dua pendapat yang saling bertentangan. Abu Bakar

berpendapat agar Nabi mengambil tebusan tunai dari mereka lalu

melepaskannya. Sedangkan Umar ibn al-Khattab berpendapat agar semua

tawanan dibunuh walau ada tali persaudaraan di antara mereka dengan para

sahabat Nabi. Nabi pun memberi kebebasan kepada para sahabat untuk

memilih salah satu di antara kedua pendapat di atas. Akhirnya, kaum

muslimin lebih memilih pendapat Abu Bakar dibandingkan pendapat Umar.37

Beberapa contoh musyawarah tersebut tampak membuktikan bahwa

Nabi Saw selalu mengajak para sahabat bermusyawarah untuk menyelesaikan

masalah-masalah sosial politik yang dihadapi dan beliau mentolerir adanya

perbedaan pendapat di antara mereka. Namun demikian, keputusan harus ada

yang menjadi kesepakatan bersama. Sedangkan mekanisme pengambilan

keputusan terkadang beliau mengikuti pendapat minoritas seperti dalam

bermusyawarah sebelum menghadapi perang Badar. Terkadang beliau juga

mengambil keputusan menurut pendapat beliau sendiri tanpa menggubris

pendapat para sahabatnya. Seperti dalam perjanjian Hudaibiyah, beliau tetap

pada keputusannya.

37 J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1999), h. 91-92.

Page 56: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

45

Dengan demikian praktek musyawarah Nabi Saw, tidak memiliki bentuk

dan sistem serta mekanisme pengambilan keputusan tertentu. Kenyataan ini

mengandung arti baik Al-qur’an maupun Sunnah Nabi Saw memberikan

kebebasan kepada umat Islam untuk menentukan bentuk dan sistem

musyawarah serta mekanismenya sesuai dengan tuntutan zaman dan

kebutuhan mereka. Yang penting dalam pelaksnan musyawarah itu

pengambilan keputusannya tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip ajaran

Islam, yaitu kebebasan, persamaan, dan keadilan. Pendapat yang dijadikan

keputusan bukan melihat kepada siapa yang mengemukakan pendapat itu,

melainkan bagaimana kualitas pendapat dan dampaknya bagi kemaslahatan

umat; bukan kemaslahatan yang bermusyawarah.38

Artinya, syura merupakan suatu sarana dan cara memberi kesempatan

kepada anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi

dalam membuat keputusan yang sifatnya mengikat, baik dalam bentuk

peraturan-peraturan hukum, maupun kebijakan politik. Setiap orang yang ikut

bermusyawarah akan berusaha menyatakan pendapat yang baik, sehingga

diperoleh pendapat yang dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi.

Dalam masyarakat modern yang ditandai dengan munculnya lembaga-

lembaga politik, pemerintah dan masyarakat, maka lembaga-lembaga ini

menjadi subjek musyawarah. Para pemimpinnya dibebani kewajiban

mengadakan musyawarah dengan melibatkan para anggotanya atau rakyat

untuk menghadapi masalah yang mereka hadapi.

38 J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1999), h. 95.

Page 57: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

46

Jadi, konsep syura pada mulanya adalah konsultasi yang tidak mengikat,

sedang model demokrasi melalu pemilihan umum dengan melibatkan semua

penduduk untuk memilih wakil-wakil mereka merupakan sesuatu yang tak

terpikirkan kala itu. Namun di sisi lain, konsep syura itu terbuka untuk

dipikirkan, yakni dapat dikembangkan penafsirannya menjadi konsep

demokrasi sekarang, sesuai dengan kebutuhan masyarakat muslim

kontemporer. Dengan kata lain, demokrasi adalah arah yang dituju ke masa

depan.

C. Majelis Syurasebagai Lembaga Perwakilan Rakyat

Secara historis, lembaga perwakilan rakyat pada massa Khulafa’ al-

Rasyidin berfungsi sebagai lembaga musyawarah untuk menentukan kebijakan

hukum dan politik. Selain itu pula berfungsi sebagai lembaga pemilihan

khalifah. Nama lembaga ini pada masa Khulafa al-Rasyidin disebut Majelis

Syura.39 Majelis Syuraberarti majlis permusyawaratan atau badan legislatif.40

Abul A’la al-Maududi menyebutnya dengan nama ahl al-hall wa al-‘aqd dan

al-Mawardi menyebutnya ahl al-ikhtiar (orang yang berhak memilih).41

Menurut Dr. Abdul Karim Zaidan, Majelis Syuraialah orang-orang yang

berkecimpung langsung dengan rakyat yang telah memberikan kepercayaan

kepada mereka. Mereka menyetujui pendapat wakil-wakil itu karena ikhlas,

39 Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: Bina Ilmu,

1995), Cet. Ke-1, h. 166 40 Kafrawi Ridwan, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994),

Cet. Ke-3, Jilid V, h. 18. 41 Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah: Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara

Islam, alih bahasa: Fadhli Bachri, (Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 3.

Page 58: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

47

konsekuen, takwa, adil, dan kecemerlangan pikiran serta kegigihan mereka di

dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya.

Inilah yang dimaksudkan oleh al-Mawardi dengan pendapatnya:

“Jika tidak ada seseorang yang mengendalikan pemerintahan, lahirlah dua golongan dari masyarakat. Yang pertama, golongan ahl al-ikhtiar untuk memilih seorang imam, dan kedua, ahl al-imamah yaitu orang-orang yang dapat diangkat menjadi kepala negara. Atas dua golongan inilah dibebani dosa, apabila mereka menunda-nunda mengangkat kepala negara.”42

Menurut Al-Mawardi ada beberapa syarat untuk mencapai

keseimbangan dalam segi politik Negara ideal menurut Islam:43

1. Agama yang hayati;

2. Penguasa yang berwibawa;

3. Keadilan yang menyeluruh;

4. Sistem Pemerintahan;

5. Imamah (Kepemimpinan);

6. Cara pemilihan atau seleksi imam.

Al-Mawardi merumuskan beberapa syarat yang harus dimiliki majelis

syura, yaitu adil dengan segala syarat-syaratnya, ilmu yang membuatnya

mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi imam (khalifah) sesuai dengan

kriteria-kriteria yang legal, dan memiliki wawasan serta sikap bijaksana.44

Dengan kualifikasi ini, diharapkan golongan Majelis Syuradapat menentukan

42 M. Hasbi Ash Shiddieqy, Islam dan Politik Bernegara, (Semarang: PT. Pustaka

Rizki Putra, 2002), Cet. Ke-1, h. 89-90. 43 Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 63. 44 Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah: Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara

Islam, alih bahasa: Fadhli Bachri, (Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 3.

Page 59: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

48

siapa yang pantas menjadi kepala negara dan mampu memegang jabatan untuk

mengelola urusan negara dan rakyat.

Dengan memperhatikan syarat-syarat di atas maka jelaslah bahwa dewan

ini bukanlah lembaga ijtihad yang dimaksudkan oleh ilmu ushul, karena

pribadi-pribadi yang menjadi anggota Majelis Syuratidak harus mempunyai

ilmu, terkecuali sekedar memungkinkan mengetahui keadaan-keadaan

masyarakat dan perkembangan-perkembangan politik yang dengan demikian

dapat memilih mana yang baik dan yang lebih maslahat dari orang-orang yang

dicalonkan untuk menjadi kepala negara. Sedang Majelis Syurayang

dimaksudkan ilmu ushul, ialah para mujtahid yang secara penuh memenuhi

syarat-syarat ijtihad.

Pemikiran ulama fiqih siyasah merumuskan istilah Majelis Syurayang

didasarkan pada sistem pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan

oleh para tokoh sahabat yang mewakili dua golongan, Anshar dan Muhajirin.

Mereka ini dianggap oleh ulama fiqih siyasah sebagai Majelis Syurayang

bertindak sebagai wakil umat. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah

keanggotaan dewan syura sehingga pengangkatan khalifah oleh mereka

dianggap sah.

Abu Bakar al-Asham berpendapat, bahwasanya imamah itu, barulah

dapat dipandang sah, apabila seluruh umatnya mengakuinya. Pendapat ini

diambil juga oleh Hisyam al-Fuathy yang mengatakan bahwasanya

Page 60: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

49

pengangkatan imamah di waktu terjadi kekacauan dan pendapat yang simpang

siur, tidak dapat dipandang sah.45

Al-Qalanisy berpendapat bahwasanya imamah itu sah dilaksanakan oleh

ulama-ulama yang berada di tempat kepala negara, tanpa disyaratkan bilangan

tertentu.46 Al-Mawardi menetapkan bahwasanya sekurang-kurangnya lima

orang yang kesemuanya melakukan akad atau dilakukan oleh salah seorang

dengan persetujuan yang empat lagi. Sedangkan para ulama Kuffah

berpendapat bahwa sekurang-kurangnya tiga orang dan salah seorang

melaksanakan pengangkatan dengan persetujuan dua orang yang lain, agar

seorang bertindak sebagai hakim dan dua orang bertindak sebagai saksi.47

Walaupun ulama-ulama Islam berbeda-beda kecenderungan

berpendapatnya, namun mereka semua menetapkan bahwa pemilihan kepala

negara, haruslah dengan mubaya’ah yang benar dan bebas, serta haruslah

pemilihan itu mendapatkan persetujuan umum di samping harus menentukan

kepala negara dengan permusyawaratan.

Majelis Syura merupakan dewan yang merupakan representasi umat..

Seperti yang dicetuskan oleh para pemikir ketatanegaraan Islam adalah terdiri

dari berbagai kelompok sosial yang memiliki profesi dan keahlian yang

berbeda. Baik dari birokrat pemerintahan maupun bukan, yang lazim disebut

pemimpin formal dan informal. Tidak setiap pemimpin dari pemuka profesi

45 Ibid. 46 Ibid., h. 93. 47 Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah: Prinsi-prinsip Penyelenggaraan Negara

Islam, alih bahasa: Fadhli Bachri, (Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 5.

Page 61: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

50

dan keahlian otomatis menjadi anggota Majelis Syura. Sebab, setiap anggota

dewan ini perlu memenuhi kualifikasi tertentu.

Hubungan antara Majelis Syura dan rakyat tampak dalam fungsi mereka

sebagai wakil rakyat dalam melaksanakan haknya untuk memilih kepala

negara. Karena mereka merupakan wakil rakyat dalam melaksanakan hak

pilihnya, maka pilihan mereka adalah pilihan rakyat itu sendiri. Tetapi

bagaimana perwakilan tersebut terjadi, apakah mereka dipilih oleh rakyat atau

ditunjuk oleh khalifah, tidak ada informasi yang menjelaskannya.

Dewan ini juga bertindak sebagai perantara antara umat dan khalifah

dalam mengkokohkan tiang-tiang hukum Islam, menerapkan keadilan,

menghidupkan ruh Islam di berbagai tempat, dan memuliakan khalifah dan

Majelis Syura dalam menjaga kemungkinan penyimpangan dari jalan Islam

yang lurus, atau bersenang-senang dengan kedudukannya.

Adapun tugas Majelis Syura adalah mempunyai hak pilih, yaitu memilih

presiden. Selain itu, menurut Rasyid Ridla, adalah menjatuhkan khalifah jika

terdapat hal yang mengharuskan dipecat. Al-Mawardi juga berpendapat, jika

kepala negara melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan agama,

rakyat dan Majelis Syura berhak menyampaikan mosi tidak percaya

kepadanya.48

Sejauh ini belum ditemukan penjelasan tentang hak lain Majelis Syura

seperti pembatasan kekuatan khalifah, mekanisme pembentukan majelis itu,

dan hak kontrol. Apalagi Majelis Syura sekalipun mereka mewakili rakyat,

48 J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1999), h. 71.

Page 62: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

51

menurut Rasyid Ridla tidak identik dengan parlemen di zaman modern yang

memiliki kekuasaan legislatif, dan berhak membatasi kekuasaan kepala negara

melalui undang-undang.49

Dengan demikian, kedudukan Majelis Syura dalam suatu negara Islam

adalah sebagai wakil dari rakyat. Rakyat mengamanatkan hak pilihnya kepada

lembaga ini untuk memilih kepala negara.

BAB IV

KEKUASAAN MPR RI PADA MASA DALAM UUD 1945 PASCA

REFORMASI DITINJAU DALAM HUKUM KETATANEGARAAN

ISLAM

A. Konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat di Era Reformasi (1999-2004).

Pada tahun 1998 telah terjadi peristiwa yang mengubah tatanan

ketatanegaraan Republik Indonesia dengan mundurnya Presiden Soeharto

menurut pasal 8 UUD 1945. Walaupun ada yang beranggapan pergantian

tersebut tidak sesuai dengan bunyi pasal 8 UUD 1945. Walaupun pada

akhirnya dianggap sah pengunduran diri tersebut.

Setelah itu terjadilah Pemilihan Umum tahun 1999 yang diikuti oleh 48

partai politik akhirnya terbentuklah anggota DPRD, DPR dan anggota MPR

baru. Dan pada Sidang Tahunan 1999 maka UUD 1945 diubah dengan

49 Ibid., h. 71-72.

Page 63: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

52

Perubahan I UUD 1945 terutama pasal mengenai masa jabatan presiden,

sehingga diharapkan tidak terjadi hal-hal yang ada dimasa lalu mengenai

jabatan Presiden RI50. Dan juga mengenai beberapa kewenangan Presiden

yang dialihkan dan dibantu oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Kemudian pada tahun 2000, Undang-Undang Dasar 1945 kembali

diubah. Perubahan Undang-Undang Dasar ini lebih menekankan pada Hak

Azasi Manusia, yang menjadi konsentrasi pembahasan untuk dimuat pada

saat itu51.

Tahun 2001 kembali terjadi perubahan Undang-Undang Dasar melalui

Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Perubahan III Undang-Undang

Dasar 1945 pun disahkan dengan menekankan pada perubahan kedaulatan

rakyat. Dalam UUD 1945 sebelum Perubahan UUD 1945 dinyatakan bahwa

kedaulatan ada ditangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat diubah menjadi kedaulatan ada ditangan rakyat dan

dijalankan oleh Undang-Undang Dasar. Perubahan ini sangatlah penting

karena, perubahan inilah yang menjadi dasar untuk mereduksi kewenangan

Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dan perubahan ini menjadi pijakan untuk

Perubahan IV UUD 1945.

51

Menurut Rosseau dalam Kontrak Sosial maka perjanjian yang dibentuk

oleh penguasa dan rakyat yang dikuasai, bertujuan untuk melindungi

kepentingan individu dalam masyarakat. Dan untuk menjaga kepentingan

50 Harun Al Rasyid, Pengisian Jabatan Presiden, (Jakarta; PT Pustaka Utama Grafiti,

1999), h.141 51 Indonesia, Perubahan II Undang-Undang Dasar 1945

Page 64: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

53

masyarakat dengan individu sehingga tidak terjadi benturan antara hak antara

individu juga dengan masyarakat52.

Perjanjian ini bertujuan juga untuk membatasi kekuasaan penguasa

dalam menjalankan tugas dan perjanjian tersebut. Dengan semakin

berkembangnya peradaban maka bentuk perjanjian sosial pun menjadi lebih

rapi.

Kemudian hal ini dikenal sebagai Konstitusi. Biasanya pelaksanaan

kedaulatan rakyat secara representatif dalam konstitusi disebut sebagai

lembaga perwakilan.

Dengan demikian sebagai Konstitusi yang baik seharusnya Undang-

Undang Dasar 1945 sesuai dengan karakteristik yang disebut diatas.

Perubahaan Undang-Undang Dasar 1945, bertujuan untuk mencapai

karakteristik perjanjian sosial antara negara dengan masyarakat. Dan

perubahan tersebut membawa dampak yang sangat besar bagi Majelis

Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga perwakilan.

Penyelenggaraan kedaulatan rakyat sebelum perubahan UUD 1945

melalui sistem MPR dengan prinsip terwakili telah menimbulkan kekuasaan

bagi presiden yang demikian besar dalam segala hal termasuk pembentukan

MPR. Periode orde lama (1959-1965), seluruh anggota MPR(S) dipilih dan

diangkat langsung oleh Presiden.

52 Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio Politik

Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, , 2002), h. 912

Page 65: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

54

Tidak jauh berbeda pula pada masa orde baru (1966-1998) dari 1000

orang jumlah anggota MPR, 600 orang dipilih dan ditentukan oleh Presiden.

Hal tersbut menunjukan bahwa pada masa-masa itu MPR seakan-akan hanya

menjadi alat untuk mempertahankan penguasa pemerintahan (presiden), yang

mana pada masa itu kewenangan untuk memilih dan mengangkat Presiden

dan/atau Wakil Presiden berada di tangan MPR. Padahal MPR itu sendiri

dipilih dan diangkat oleh Presiden sendiri, sehingga siapa yang menguasai

suara di MPR maka akan dapat mempertahankan kekuasaannya.

Pengangkatan anggota MPR dari unsur Utusan Daerah dan unsur Utusan

Golongan bagi pembentukan MPR dalam jumlah yang demikian besar juga

dapat dilihat sebagai penyimpangan konstitusional, karena secara logika dalam

hal kenyataan juga terlihat wakil yang diangkat akan patuh dan loyal kepada

pihak yang mengangkatnya53, sehingga wakil tersebut tidak lagi mengemban

kepentingan daerah atau golongan yang diwakilinya. Akibatnya adalah wakil-

wakil yang diangkat itu tidak lagi memiliki hubungan dengan yang

diwakilinya.

Namun terkait dengan hal itu, Presiden sendiri merupakan mandataris

MPR yang harus bertanggung jawab kepadanya. Berdasarkan hal tersebut

maka hubungan antara MPR dengan Presiden sangat sulit dilihat sebagai

hubungan vertikal atau horizontal, jika terlepas dari MPR sebagai Lembaga

Tertinggi Negara dan Presiden sebagai Lembaga Negara yang jelas

mempunyai hubungan vertikal. Maka idealnya seluruh anggota MPR itu

53 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Ttata Negara Pasca Amandemen Konstitusi

(Jakarta: LP3ES, 2007), h. 56.

Page 66: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

55

dipilih rakyat melalui Pemilu dan disisi lain sesuai dengan ketentuan UUD

1945, keberadaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dianggap sebagai

pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Konstruksi ini menunjukkan bahwa

MPR merupakan Majelis yang mewakili kedudukan rakyat sehingga

menjadikan lembaga tersebut sebagai sentral kekuasaan, yang mengatasi

cabang-cabang kekuasaan lainnya. Adanya satu lembaga yang berkedudukan

paling tinggi membawa konsekuensi seluruh kekuasaan lembaga-lembaga

penyelenggara negara yang berada di bawahnya harus bertanggung jawab

kepada MPR. Akibatnya konsep keseimbangan antara elemen-elemen

penyelenggara negara atau sering disebut checks and balances system antar

lembaga tinggi negara tidak dapat dijalankan.

Pada sistem MPR tersebut, juga menimbulkan kekuasaan bagi Presiden

yang demikian besar dalam pembentukan undang-undang (fungsi Legislasi)

yang seharusnya dipegang DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan pasal

5 ayat (1) naskah asli UUD 1945 yang berbunyi:

“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Berdasarkan rumusan tersebut, dapat dilihat bahwa MPR

mendistribusikan kekuasaan membentuk Undang-undang kepada Presiden,

atau setidaknya memberikan kewenangan yang lebih kepada Presiden dalam

fungsi legislasi dari pada DPR. Karena keadaan yang demikian sehingga

pengawasan dan keseimbangan antar lembaga tinggi negara sangat lemah

sekali.

Page 67: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

56

Gerakan reformasi membawa berbagai tuntutan, diantaranya adalah

Amandemen UUD 1945, penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI, penegakan

hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, serta mewujudkan kehidupan yang

demokratis. Tuntutan itu muncul karena masyarakat menginginkan perubahan

dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia untuk memuwujdkan

pemerintahan negara yang demokratis dengan menjamin hak asasi warga

negaranya.

Hasil nyata dari reformasi adalah dengan adanya perubahan UUD 1945

yang dilatar belakangi dengan adanya beberapa alasan54, yaitu:

a) Kekuasaan tertinggi di tangan MPR

b) Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden

c) Pasal-pasal yang sifatnya terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan

multi tafsir.

d) Kewenangan pada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan

Undang-undang.

e) Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum

cukup didukung ketentuan konstitusi.

Hal-hal tersebut merupakan penyebab mengapa keseimbangan dan

pengawasan terhadap lembaga penyelenggara negara dianggap sangat

kurang (checks and balances system) tidak dapat berjalan sehingga harus

dilakukan Perubahan UUD 1945 untuk mengatasi hal tersebut.

54 ibid

Page 68: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

57

Tugas dan wewenang MPR RI periode 1999 sampai dengan 2004 diatur

dalam Undang-undang Dasar 1945, yakni:

1. Melakukan Amandemen/ perubahan Undang-Undang Dasar 1945.

Dari aspek hukum sebetulnya sejak orde baru sudah ada landasan

amandemen/perubahan Undang-undang Dasar 1945. di dalam pasal 37

ayat (1) UUD 1945 dijelaskan untuk mengubah Undang0undang Dasar

1945 sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR harus hadir,

selanjutnya di dalam pasal 37 ayat (2) Undang0Undang Dasar 1945

dijelaskan : Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3

dari pada jumlah anggota yang hadir .

Dalam melakukan amandemen UUD 1945 ada 2 aspek yang hrus

diperhatikan \:

a. Aspek Hukum: artinya aturan-aturan hukum menyangkut prosedur

prubahan UUD 1945 yang diatur di dalam pasal 37 ayat 1 dan 2 UUD

1945.

b. Aspek politik : dari aspek politik tersebut dapat menentukan

perubahan Undang-undang Dasa 1945, kekuatan politik yang

menghendaki perubahan Undang-Undang dasar 1945 harus

disampaikan ke MPR RI, karena MPR RI yang berwenang

mengamandemen UUD 1945.

Amandemen UUD 1945 dilakukan berdasarkan 5 kesepakatan dasar.

Yaitu:

1. Tidak Mengubah Pembukaan UUD 1945

Page 69: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

58

2. Tetap mempertahankan Negara kesatuan Republik Indonesia

3. Mempertegas system pemerintahan presidensiil

4. Hal yang normative dimasukkan ke pasal pasal

5. Melakukan perubahan Undang-undang Dasar 1945 dengan cara

addendum.

2. Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat melantik presiden dan wakil

presiden dan hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil

Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-undang.

Kewenangan ini dilakukan jika telah terpenuhi syarat untuk

memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam UUD 1945 setelah

Perubahan. Wewenang dilakukan melalui proses yang lama dan

dilaksanakan oleh beberapa lembaga negara. Untuk memberhentikan

Presiden harus melalui pendapat Dewan Perwakilan Rakyat yang telah

meminta putusan dari Mahkamah Konstitusi (pasal 7B Perubahan UUD

1945).

MPR RI priode 1999 - 2004 dalam kewenangannya melakukan empat

kali perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan pertama

diputuskan pada sidang Umum MPR 1999 yang terdiri dari delapan pasal

yaitu pasal 5, 7, 9,13, 14, 17, 20 dan 21 yang mengatur tentang kekuasaan

pemerintahan negara dan pembatasan masa jabatan presiden serta

pemberdayaan lembaga legeslatif yaitu DPR.

Perubahan kedua diputuskan pada sidang tahunan MPR tahun 2000

terdiri dari tujuh bab 25 pasal yang mengatur tentang pengaturan pemerintah

Page 70: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

59

daerah, hak asasi manusia, wilayah negara serta pertahanan dan keamanan

negara. Perubahan ketiga diputuskan pada sidang tahunan MPR 2001 terdiri

dari 6 bab 23 pasal yang mengatur tentang pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden secara langsung oleh rakyat, Kekuasaan Kehakiman, dan

pembentukan Mahkamah Konstitusi serta pembentukan Dewan Perwakilan

Rakyat - Dewan Perwakilan Daerah.

Perubahan keempat diputuskan pada sidang tahunan MPR tahun 2002

terdiri dari 5 bab 17 pasal yang mengatur tentang komposisi keanggotaan

MPR, putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden, pengisian jabatan

presiden dan wakil presiden jika berhalangan tetap secara bersamaan,

eksistensi DPA, pendidikan dan keuangan perekonomian nasional dan

kesejahteraan sosial aturan peralihan dan aturan tambahan. Namun perubahan

tersebut mendapat pertentangan keras baik dari dalam parlemen sendiri, para

ahli maupun masyarakat.

Dalam tulisannya H. Amin Aryoso, yang menentang kewenangan MPR

RI 1999 - 2004 berpendapat bahwa MPR telah kebablasan dengan

mengabaikan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia seperti kerakyatan, kegotong

royongan, kebangsaan yang berdasarkan kekeluargaan dan sekarang

mengutamakan individualisme55. Sehingga mereka menyebutnya tidak lagi

UUD ’45 namun UUD 2002. karena menurut mereka namanya tetap undang-

55 Aryoso Amin. H/Achadi M, Krisis Konstitusi Dosa-dosa MPR RI 1999-2004 dan

Tanggung Jawab/kompetensi Kepala Negara , (Yayasan Kepada Bangsaku) h.69

Page 71: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

60

undang dasar 1945 namun isinya telah mengalami perubahan yang sangat

mendasar56.

B. Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat di Era

Reformasi ditinjau dari Hukum Tata Negara Islam.

Dalam undang-undang dasar ‘45 Indonesia menganut tiga kedaulatan

yakni kedaulatan Tuhan, kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.57 seperti

tertuang dalam pasal 1 ayat (2) menyatakan,

“Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-

undang”

Ketentuan ini mencerminkan bahwa UUD 1945 menganut keduaulatan rakyat

atau demokrasi yang berdasarkan undang-undang dasar. Sedangkan pasal 1

ayat (3) menegaskan: “Negara Indonesia adalah Negara hukum”

Namun bersamaan dengan itu gagasan kedaulatan Tuhan juga diakui

dan dianut dalam UUD 1945 yang mengakui bahwa: pertama, pembukaan

UUD 1945 mengakui bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia dapat

berhasil “Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa…” kedua, pembukaan

UUD 1945 juga mengatakan bahwa “ kemerdekaan… Negara Republik

Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa…” ketiga pasal 9 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menentukan bahwa sebelum

memangku jabatan setiap presiden dan/atau wakil presiden diharuskan

56 Jimly Asshidiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi

.(Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), h. 115 57 Ibid, h.123.

Page 72: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

61

bersumpah atau berjanji dengan menyatakan “Demi Allah”. Keempat, pasal 29

ayat (1) dan (2) menyatakan:

“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan

kepercayaannya itu”,

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Undang-undang Dasar 1945

mengakui gagasan Ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Namun

didelegasikan ke rakyat yang di atur dalam undang-undang.

Menurut Isma’il Sunny, kedaulatan yang hakiki berada pada Tuhan,

sementara otomatis rakyat adalah kepercayaan suci yang harus berada dalam

batas-batas kehendak Tuhan. Menurutnya, kedaulatan rakyat pada dasarnya

merupakan penerapan kedaulatan Tuhan oleh semua rakyat atas hamba-Nya,

dimana implementasi aturan-aturan Tuhan dalam kehidupan sosial dan politik

diimplementasikan oleh rakyat melalui para wakil mereka58

Adapun pembatasan kedaulatan rakyat dalam Islam adalah memandang

bahwa kedaulatan rakyat sebagai sesuatu yang mutlak, karena Islam adalah

paradigma moral bagi sistem demokrasi masyarakat muslim. Oleh karenanya,

demokrasi harus dilaksanakan dalam kerangka paradigma moral ini. Segala

sesuatu yang dianggap benar oleh manusia adalah belum tentu benar di mata

Allah.

58 Farid abdul kholiq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005), h.67.

Page 73: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

62

Pendelegasian otoritas Tuhan tentang masalah-masalah duniawi kepada

umat Islam, dan mereka menerima pendelegasian itu dalam kerangka

kemaslahatan umum59, dapat membantu memahami maksud ayat Al-qur’an

sebagai berikut:

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada

Nabimu) sesuatu yang, jika diterangkan kepadamu, menusahkan kamu. Tetapi

jika kamu menanyakan ketika Al-qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan

diterangkan kepadamu. Allah memaafkan apa yang sudah lalu. Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang. Sebelum kamu dulu sudah ada golongan

yang menanyakan hal-hal demikian, lalu mereka menjadi kafir.” (Q.S. al-

Maidah/5 ; 101-102)

Ayat tersebut berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada

masa hidup Rasulullah saw. Ketika untuk pertama kali umat Islam datang

kepada beliau dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai masalah yang tidak

59 Suyuti Pulungan MA, Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. (Jakarta:

Rajawali pers, 2002),h. 40

Page 74: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

63

dapat diselesaikan, memintanya untuk menjelaskan pandangan agama

mengenai masalah ini. Rasulullah lalu meminta petunjuk Allah dan memohon

agar diturunkan ayat yang akan menanggapi pertanyaan-pertanyaan dan

menjawab permintaan mereka. Al-qur’an kemudian meminta mereka agar

berhenti mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Rasulullah yang

memerlukan wahyu untuk menjawabnya.

Menyerahkan permasalahan-permasalahan kepada umat menyebabkan

mereka berkembang dan tumbuh, dan mendorong munculnya perubahan

dalam masyrakat. Mengembalikan persoalan kepada langit dan menunggu

wahyu yang akan meberikan sebuah titik pandang dalam sebuah masalah

tertentu, hanya aanmemberikan keputusan yang konstan dan stagnan, tidak

dapat membawa perkembangan dan perubahan.

Majelis permusyawaratan ataupun Lembaga legislatif sebagai

penjelmaan konsep syura di zaman modern, apakah dapat ditafsirkan sebagai

demokrasi? Masalah ini menjadi ramai untuk diperdebatkan, bahkan sudah

dimulai perdebatannya pada era pertengahan. Beberapa masalah yang

diperdebatkan adalah : 1) apakah demokrasi Barat itu cocok dengan Islam, 2)

dan apakah majlis syura (konsep modern : lembaga legislatif) sama dengan

parlemen model demokrasi Barat?, 3) apakah lembaga syura (legislatif) lebih

tepat diartikan sebagai dewan pertimbangan atau dewan penasehat bagi

seorang penguasa atau kepala negara, 4) apakah seorang penguasa dalam

pemerintahan Islam wajib memiliki suatu dewan pertimbangan, dan jika ya,

apakah dewan itu ditunjuk penguasa atau dipilih rakyat, apakah bersifat

Page 75: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

64

konsultatif saja, atau mandataris? 5) apakah partisipasi rakyat langsung dalam

proses politik, misalnya dalam pemilihan kepala negara/pemerintahan

diperbolehkan dalam konsep syura? 6) apakah anggota lembaga syura

(legislatif) harus dipilih oleh rakyat atau cukup ditunjuk penguasa? 7) Apakah

fungsi pokok lembaga syura (legislatif)? siapa yang fit and proper (layak dan

patut) menjadi anggota majlis syura, apakah ada kriteria menurut syara’?

Permasalahan di atas muncul karena beberapa faktor pertama, karena

Al-qur’an maupun as-Sunnah tidak memberikan ketentuan rinci tentang apa

bentuk kongkret syura tersebut, bagaimana proses pembentukannya dan apa

fungsi dan tugasnya. mekanisme syura masuk kategori adat bukan ibadah

murni seperti yang dikatakan ibnu khaldun yakni ”termasuk kemaslahatan

umum yang semua pengaturannya diserahkan kepada rakyat. Hal itu tidak

termasuk masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadat atau keyakinan,

tetapi termasuk dari adat” 60.

Suatu bentuk pemerintahan republik yang demokratis memang

diisyaratkan dari teladan para sahabt di masa Khulafa ar-Rasyidin, tetapi

teladan itu pun mengandung banyak variasi. Sesudah masa itu, bentuk

pemerintahan Islam ternyata adalah kerajaan, bahkan monarkhi absolute.

Kedua, adalah kenyataan, bahwa pada zaman modern sekarang ini,

bentuk dan sistem kenegaraan dan pemerintahan di negara-negara Muslim,

tidak semuanya republik demokratis. Sistem monarkhi masih ada di Arab

Saudi, Marko, Yordania, Kuwait, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

60 Farid Abdul Khalik. Fiqih Politik Islam, (Jakarta: Amzah, 2005), h.79.

Page 76: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

65

Seandainya telah terbentuk pemerintahan republik, maka konsep yang dipakai

lebih banyak diambil dari Barat. Bahkan di negara-negara republik tertentu

secara temporal terjadi praktek pemerintahan yang otoriter dan diktator.

Ketiga, Di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam,

pada umumnya berada di tangan penguasa yang mengekang demokrasi. secara

formal para penguasa di banyak negara Muslim menolak “demokrasi liberal”

atau “demokrasi Barat” yang tidak atau kurang sesuai dengan kepribadian atau

niali-niali yang dianut masyarakatnya. Demokrasi yang diterapkan adalah

demokrasi “terbatas” atau demokrasi “terpimpin” dalam satu dan lain bentuk.

Dalam situasi demikian, kebebasan mengeluarkan pendapat menjadi sangat

terbatas dan para ulama/cendekiawan cenderung membela pendangan resmi

penguasa (Rahardjo, 2002 : 450).

Menghadapi fakta-fakta historis dan fakta-fakta yang ada sekarang ini

dari Sunnah Rasul, teladan Khulafa ar-Rasyidin, timbulnya kerajaan-kerajaan

Islam, masih bertahannya pemerintahan-pemerintahan kerajaan di beberapa

kawasan Islam, juga dengan melihat kepada negara-negara kerajaan serta

situasi politik di Indonesia sendiri yang menganut system pemrintahan

demokrasi presidensil61, dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara

langsung, maka kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim cenderung

berhari-hati dalam berpendapat bahwa syura – dalam arti demokrasi populis,

adalah suatu ketentuan agama.

61 Moh. Mahfud MD. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,

(Jakarta: LP3S, 2007), h. 137.

Page 77: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

66

Musyawarah merupakan ajaran islam yang telah tersurat dalam al-Qur

an.

☺ ☺

\ Artinya:

“Sedang dalam urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara

mereka” (Q>S As Syura’ : 38)

Seorang ahli tafsir Syi’ah, Syekh Abu Ali al-Fadlal, dalam kitab

tafsirnya, Majma’ al Bayan fi Tafsir Al-qur’an, dalam menjelaskan asbab an-

nuzul Q.S. asy-Syura/42 : 38, mengatakan bahwa kaum anshar telah biasa

melakukan musyawarah, jauh sebelum zaman Islam, juga sebelum kedatangan

Rasulullah ke Madinah.62

Musyawarah, oleh para pemikir modern, dianggap sebagai doktrin

kemasyarakatan dan kenegaraan yang pokok, tidak saja karena jelas nash-nya

dalam Al-qur’an, tetapi juga karena hal ini diperkuat oleh hadist, serta

merupakan sunnah atau keteladanan Nabi.

Para pemikir politik modern mengacu kepada bentuk-bentuk

musyawarah yang telah berkembang di zaman modern, yang sudah tidak akan

ditemukan secara persis contohnya pada awal perkembangan Islam. Misalnya

munculnya lembaga legislatif (parlemen) yang belum ada pada zaman

Rasulullah sampai zaman pertengahan.

Pembentukan lembaga musyawarah, merupakan salah satu masalah yang

pelaksanaannya diserahkan Tuhan kepada manusia. Dan umat Islam sendiri

62 M. Dien Syamsuddin, Sistem Kenegaraan Modern Republik dan Kekhilafahan Islam

Klasik, Makalah pada KKA Paramadina, dipresentasikan pada 16 Desember 1997.

Page 78: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

67

punya kepentingan untuk membentuk seperti itu dalam rangka

mengakomodasi berbagai aspirasi yang muncul dari berbagai lapisan anggota

masyarakat, karena sekali lagi Tuhan telah mendelegasikan masalah-masalah

keumatan untuk diselesaikan oleh umat sendiri tanpa campur tangan dari-Nya.

Dan ini adalah prinsip kemurahan Allah atas manusia, sehingga manusia bisa

menemukan sistem yang terbaik dan sempurna untuk membangun negara dan

menjalankan pemerintahan dengan bijak.

Pemikiran ketatanegaraan Islam kontemporer terpetakan dalam tiga

kelompok utama, yang masing-masing berbeda nuansa dan variasi

pemikiran63. Pertama, dalam rangka menyusun teori politik Islam, yang

ditekankan bukanlah struktur “negara Islam”, melainkan substruktur dan

tujuannya. Sebab, struktur negara akan berbeda-beda di satu tempat dan

tempat yang lain. Ia merupakan ijtihad kaum muslimin yang dapat berubah-

ubah. Sementara itu, subkultur dan tujuannya merupakan prinsip-prinsip

umum dalam bernegara secara Islami.

Kedua, Sistem kenegaraan Islam tidak dapat disebut demokrasi, karena

dalam demokrasi yang berdaulat adalah rakyat, artinya rakyat pula yang

berkuasa untuk membuat undang-undang dan mekalsanakan undang-undang

itu. Maka al-Maududi menawarkan istilah baru yang dinamakan teo-

demokrasi yang artinya adalah kedaulatan rakyat yang terbatas. tercapai

kesepakatan bahwa demokrasi merupakan jiwa sitem pemerintahan Islam

meskipun mereka sepakat untuk menolak asumsi filosofis “demokrasi Barat”.

63 Anjar Nugroho SB “Kekuasaan Legislatif dalam Pemikiran Politik Islam” http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/07/24/-kekuasaan-legislatif-dalam-pemikiran-politik-islam/

Page 79: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

68

Ketiga, kekuasaan negara dilakukan oleh tiga lembaga atau badan

hukum ; legislatif, eksekutif dan yudikatif dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Kepala negara merangkap kepala badan eksekutif atau pemerintahan yang

bertanggungjawab kepada Allah dan kepada rakyat.

2. Keputusan Majlis Syura (legislatif) pada umumnya diambil atas dasar suara

terbanyak, dengan catatan bahwa suara terbanyak dalam Islam tidak

mencerminkan kebenaran.

3. Anggota Majlis Syura tidak dibenarkan terbagi ke dalam kelompok-

kelompok atau partai-partai.

4. Keanggotaan Majlis Syura terdiri dari warga nergara yang beragama Islam,

dewasa dan laki-laki, yang shaleh serta cukup capable dalam menafsirkan

dan menerapkan syari’at.

Jika dirangkum semua pemikiran ketatanegaraan Islam kontemporer, inti

dari semua tema dan gagasan yang dikemukakan adalah bagaimana membatasi

kekuasaan yang di tangan penguasa dan menerapkan etika-moral Islam dalam

kehidupan berpolitik secara utuh. Satu hal yang paling menonjol dalam

pemikiran mereka adalah, mutlak adanya Majelis Syura sebagai implementasi

kongkret dari perintah melakukan musyawarah yang terdapat dalam Al-

Qur’an. Majelis Syura (legislatif) mempunyai kekuasaan yang independen dan

bebas campur tangan penguasa atau kepala Negara64

64 Ibid

Page 80: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

69

C. Analisa Perbandingan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia dengan Majelis Syura dalam Hukum Ketatanegaraan Islam.

Secara jujur, harus dikatakan bahwa sebenarnya tugas Majelis

Syuradidalam negara Islam identik dengan tugas Majelis Permusyawaratan

Rakyat didalam negara sekuler, walaupun tidak secara mutlak. Seperti halnya

didalam mengangkat dan menurunkan seorang imam (pemimpin), membuat

undang-undang, mempelajari problematika umat dan mencari solusinya.

Namun demikian, ada beberapa perbedaan mendasar antara dua lembaga

tertinggi negara tersebut, sehingga banyak ulama yang menolak eksistensi

Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi didalam sebuah

negara, dengan sistem demokrasi yang banyak dianut oleh negara-negara

Islam. Adapun perbedaan sistem khilafah dengan Majelis Syura dengan sistem

Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah sebagai berikut ;

1. Dari Segi Perkembangannya

Sistem majlis Syura berkembang sejak adanya pemerintahan Islam

pertama kali pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq Adapun sistem parlemen

berkembang akibat benturan antara kekuasaan dan gereja yang terjadi di

Eropa, dan mulai menjadi sistem yang mapan setelah revolusi Perancis pada

tahun 1789M.

2. Dari Segi Keanggotaan

A. Di dalam sistem Majelis Syura, anggotanya harus seorang muslim yang

adil. Adapun dalam sistem parlemen, anggotanya tidak harus beragama

Page 81: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

70

Islam, orang Komunis/atheis pun bisa menjadi anggota, bahkan

menjadi ketua DPR/MPR , selama rakyat mendukung

B. Di dalam sistem Majelis Syura anggotanya harus seorang laki-laki.

Namun dalam sistem parlemen, perempuan dibolehkan mejadi anggota

didalamnya.

C. Anggota Majelis Syuraharus seorang yang berpengetahuan luas terhadap

ajaran Islam, sedangkan anggota Parlemen boleh dari orang yang

paling bodoh tentang masalah agama.

3. Dari Segi Tugas dan Peranannya.

Tugas Majelis Syura harus sesuai denga aturan Syariah Islamiyyah.

Mereka tidak boleh merubah aturan Allah dan Rasul-Nya yang sudah

paten dan mapan, walau seluruh anggota dan rakyat menghendaki

perubahan itu. Adapun didalam Parlemen, mereka bebas dan leluasa

menentukan sebuah hukum, undang-undang, dan bahkan merubah hukum

Allah selama hal itu disepakati seluruh anggota atau atas kehendak rakyat.

Majelis Syura dengan suasana ukhuwwah, kekeluargaan dan kerjasama

didalam kebaikan dan ketaqwaan. Keanggotaan Parlemen diwarnai rasa

Ta'ashub terhadap golongan, sektarian, dan penuh dengan persaingan yang

tidak sehat.

Kaitannya dengan istilah "DPR/MPR", atau istilah-istilah baru lainnya,

yang semuanya tidak tercantum di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau

belum pernah digunakan sebelumnya oleh para ulama-ulama tsiqoh didalam

kajian keilmuan mereka, maka hendaknya kita tinjau dahulu substansinya.

Page 82: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

71

Seandainya sesuai dengan Islam, maka istilah itu kita terima (walaupun

demikian, sebaiknya kita gunakan istilah syar'i yang sudah ada). Namun

kalau bertentangan, dengan tegas kita menolaknya.

Yang menjadi permaslahan kita sekarang, apabila 'istilah baru' tersebut

mengandung dua sisi : 'kebenaran dan kebatilan'.Dalam arti yang lebih luas,

bahwa istilah tersebut bersifat elastis, bisa ditafsirkan macam-macam,

menurut versi pengamatnya. Kalau dia seorang sekuler, maka

penafsirannyapun cenderung ke arah sekuler, sebaliknya jika pengamatnya

seorang cendikiawan muslim, maka akan diembel-embeli dengan sifat-sifat

ke-Islaman. Seperti istilah-istilah yang sedang ngetrend dan berkembang

luas di dunia Islam yaitu : Demokrasi, Theokrasi, Monarki, Sosialisme,

Kapitalisme, Nasionalisme, Parlemen, DPR/ MPR, dll yang tidak mungkin

disebut satu persatu di sini. Maka, sikap seorang muslim didalam

menghadapi Ma'rokatul Mushtholahat (Perang Istilah) hendaknya merujuk

kepada sikap dan pendapat para ulama salaf dan tsiqoh ketika mereka

menghadapai peperangan seperti ini. Kita dapatkan, mereka enggan

menggunakan istilah–istilah yang diimpor dari luar Islam tersebut, selama

substansinya belum jelas dan masih dipertentangkan oleh para ulama.

Karena hal itu akan mengakibatkan porak porandanya pemikiran seorang

muslim di dalam memahami kontek-kontek ajaran Islam yang

sesungguhnya.

Page 83: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

72

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Adapun konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

adalah lembaga perwakilan rakyat yang terdiri atas: anggota 2 lembaga

negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.

Perubahan UUD 1945 telah memberikan perubahan besar bagi Majelis

Permusyawaratan Rakyat. Karena dasar yuridis untuk menjalankan

kedaulatan rakyat telah dicabut oleh amandemen UUD 1945. Tugas dan

Page 84: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

73

wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat kemudian dijelaskan

dalam UUD 1945 dan Undang-undang tentang susunan dan kedudukan

MPR, DPR, DPD dan DPRD dan a Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia akhirnya hanya mempunyai 2 tugas yaitu “Melantik

Presiden dan Wakil Presiden (pasal 3 UUD 1945)”. Tugas yang

merupakan akibat dari ditetapkannya aturan tentang Pemilihan Presiden

dan secara langsung. Apabila telah terpilih Presiden dan Wakil Presiden

dalam Pemilihan Umum maka MPR mempunyai suatu kewajiban untuk

melantik Presiden dan Wakil Presiden. MPR setelah adanya Undang-

undang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD

mempunyai tugas untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden

apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat

melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya.

2. Dalam ketatanegaraan Islam, ada banyak penyebutan untuk majelis

syuro ini antara lain; ahlul hal wal ‘aqdi, ulil amri dan ummah,

mengingat kedudukan dan wewenangnya berbada dalam praktek dan

teori yang dijelaskan oleh para pakar hukum tata negara Islam, karena

dalam tata negara Islam tidak mengenal konsep yang baku dalam majelis

syuro ini semuanya diserahkan kesepakatan umat yang sesuai dengan

kondisi dan waktu, karena hal itu merupakan adat bukan ibadah, yang

telah dipraktekan dan disebut rinciannya dalam beragama seperti ibadah

sholat. Musyawarah memang ajaran agama dan dipraktekan oleh

pemerintahan Nabi Muhammad saw. dan Khulafa al Rasyidin, dan

Page 85: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

74

kelembagaan syuro menjadi prasyarat untuk musyawarah dengan banyak

orang dalam sekala negara, mengingat banyaknya rakyat yang

memungkinkan banyaknya silang pendapat, wilayah yang jauh satu

sama lain, dan tidak memungkinkannya rakyat berkumpul dalam satu

tempat. Kewajiban untuk menegakkan ammar ma’ruf nahi munkar. Taat

kepada ulil amri. Lembaga ini terdiri dari berbagai kelompok sosial yang

memiliki profesi dan keahlian yang berbeda. Baik dari birokrat

pemerintahan maupun bukan, yang lazim disebut pemimpin formal dan

informal.Adapun tugas majelis syuro adalah mempunyai hak pilih, yaitu

memilih presiden, memberhentikan presiden. Mekanisme pengangkatan

pemimpin dalam pemerintahan Islam juga berbeda-beda, adakalanya

dipilih oleh majelis syuro dan adakalanya melalui mandat dari pemimpin

sebelumnya.

3. MPR RI merupakan Majelis Syurayang didalamnya ada mekanisme

yang kewenangnya pada dasarnya mengubah undang-undang dengan

cara musyawarah dengan segala lapisan rakyat kemudian melantik

presiden dan wakil presiden berdasarkan hasil pemilihan umum

langsung sebagai bentuk pelaksanaan sistem presidensiil yang

didalamnya tetap menerapkan musyawarah untuk kepentingan bersama.

B. Saran

1. Pertama, Perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan tugas dan

wewenang MPR yang diatur dalam Undang-Undang Dasar dan undang-

Page 86: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

75

undang tentang susunan dan kedudukan secara jelas. Sehingga tidak

terjadi interprestasi yang dibuat oleh lembaga negara yang lain walaupun

hal itu bisa diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi. Seharusnya

Undang-Undang Dasar dan undang-undang mengaturnya dengan jelas.

MPR juga harus mampu meningkatkan peran dan tanggung jawab dalam

rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya.

2 Mengembangkan mekanisme checks and balances serta meningkatkan

kualitas kinerja para anggota MPR.

3 Lembaga MPR RI selayaknya juga mengambil sepirit dari Majelis

Syurayang dianut dalam ketatanegaraan Islam yakni kekuasaan ditangan

ummat yang telah didelegasikan oleh Allah selain cheks and balances

yang tertuang dalam amanat undang-undang. juga dapat memungkinkan

umat untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik. Tidak akan

pernah ada kekuasaan yang absolut dan mutlak di tangan penguasa sipil

di bumi, karena yang absolut dan mutlak itu hanya kekuasaan Allah di

langit.

4 MPR juga benar-benar merupakan lembaga rakyat yang bertujuan

permusywaratan untuk masalah-maslah kenegaraan dan kemasyarakatan

dan mencari solusi yang lebih memihak rakyat.

Page 87: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

76

DAFTAR PUSTAKA

BUKU Al Rasyid, Harun, Pengisian Jabatan Presiden, Grafiti, Jakarta: PT Pustaka

Utama Grafiti, 1993 __________, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: UI Press,

2002 __________, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara, UI Press, Jakarta:UI

Press, 1996. Al-Qardhawy, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al Quran Dan Sunnah, Jakarta:

Pustaka AlQautsar,1997 Arinanto, Satya, Hukum Dan Demokrasi, Jakarta: Ind Hill-Co, 1991

Page 88: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

77

Asshiddiqie, Jimly, Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah, Jakarta:UI Press, 1996

____________, Gagasan Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan

Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994

____________, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan

Keempat,Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2002 ____________, Teori Dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara,

Jakarta:Ind.Hill-Co, 1998 Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 1998 _________________, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan

Demokrasi Pancasila, Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama,1998 Busroh, Abubakar, Abudaud, Hukum Tata Negara, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1984 Burns, James; Peltason, J.W.; Cronin, Thomas, Government By The People, New

Jersey: Prentice Hall, 1989. Carter, April, Otoritas Dan Demokrasi, Jakarta: CV Rajawali,1985 De Tocqueville, Alexis, Democracy In America, New York: Washington Square

Press, 1965 Diamond, Larry, Revolusi Demokrasi Perjuangan Untuk Kebebasan Dan

Pluralisme Di Negara Sedang Berkembang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994

76

Dicey,AV, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution,

London:Mc. Millan Education LTD, 1959 Djokosutono . Ilmu Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985 Dood, Lawrence, Coalitions in Parliamentary Government, New Jersey:

Princeton University Press, 1976 Echols, John, Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 1997

Page 89: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

78

Eidelberg, Paul, The Philosopy Of The American Constitution, Toronto: Collier-Macmillan Canada, 1968

Garner, Bryan, Black’s Law Dictionary , sevent edition, St Paul, Minn:West

Group, 1999 Hasan, Ismail, Pemilihan Umum 1987, Jakarta:PT Pradnya Paramita, 1986 Hariadi, Didit, Estiko, Amandemen UUD 1945 Dan Implikasinya Terhadap

Pembangunan Sistem Hukum, Jakarta: Tim Hukum Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi Sekretaris Jendral, 2001

Hermawan, Eman, Politik Membela Yang Benar Teori Kritik Dan Nalar,

Yogyakarta: KLIK dan DKN GARDA BANGSA, 2003, Hornby, AS, Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English, London:

Oxford University Press, 1987 Huntington, Samuel, Benturan Antara Peradaban Dan Masa Depan Politik

Dunia, Yogyakarta: CV Qalam Yogyakarta, 2003 Ibrahim, Harmaily, Majelis Permjusyawaratan Rakyat Suatu Tinjauan Dari Sudut

Hukum Tata Negara, Jakarta: Sinar Bakti, 1979 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: PT. Bina Aksara ,

1984 Khaldun, Ibnu, Mukaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus,2000 Kusnardi, Mohammad, Ibrahim, Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara,

Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 1988 Kusumaatmaja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bina Cipta,

1990 Laski, Harold. A Grammmar Of Politics, London: George Allen & Unwin LTD,

1938. Manan, Bagir, Konvensi Ketatanegaraan, Bandung:Armico, 1987 __________________, Teori Dan Politik Konstitusi, Direktorat Jendral

Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2000, h. 15

Geoffrey Marshal, Parliamentary Sovereignty And The Commonwealth,Oxford:

Oxford University Press, 1957

Page 90: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

79

Meny, Yves; Knap, Andrew, Government And Politics In Western Europe, third

edition, New York:Oxford University Press,1998 Mulyono, Doto, Kekuasaan MPR Tidak Mutlak, Erlangga, Jakarta, 1985 Naning, Ramdlon, Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi Dan Mekanisme

Lembaga Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Yogyakarta: Liberty 1982

Nurtjahjo, Hendra, Perwakilan Golongan Di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi

Hukum Tata Negara UI2002. O’Donnel, Schmitter, Whitehead, Transisi Menuju Demokrasi Kasus Eropa

Selatan, Jakarta: LP3S, tanpa tahun Plato, Republik, Jakarta:Bentang, 2002 Poerwadarminta, WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai

Pustaka, 1976 Puspa, Pramadya, Yan, Kamus Hukum, Semarang:CV. Aneka Ilmu, 1977 Purbopranoto, Kuntjoro, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan Dan

Peradilan Administrasi, Bandung: Alumni, 1981 Thaib, Dahlan. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945,

Yogyakarta: Liberty, 1989 Thaib, Dahlan; Hamidi, Jazim; Huda, Ni’matul , Teori Hukum Dan Konstitusi,

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999 Ranawijaya, Usep, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1983 Rapar, J.H, Filsafat Politik Aristoteles, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1988. Redaksi Sinar Grafika, Tiga Undang-Undang Dasar: Undang-Undang Dasar

1945, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1950, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, Jakarta: Sinar Grafika, 2000

Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio

Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002

Page 91: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

80

Samsul Wahidin, MPR Dari Masa Kemasa, Jakarta: Bina Aksara, 1986 Sekretariat Jendral MPR RI, Proses Reformasi Konstitusional : Sidang Istimewa

MPR 1998, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, Cetakan 2, Jakarta, 2001

Shklar, Judith, Montesqieu Penggagas Trias Politica, Jakarta : Pustaka Utama

Grafiti,1996 Sekretariat Jendral MPR RI, Himpunan Ketetapan MPRS Dan MPR Tahun 1960

S/D 2002, Jakarta:Sekretariat Jendral MPR RI, 2002 Sjadzali, Munawir, Islam Dan Tata Negara Ajaran Sejarah Dan Pemikiran,

Jakarta: UI Press, 1993 Simorangkir, J.C.T, Hukum Dan Konstitusi Indonesia, Jakarta:CV. Masagung,

1988 Simanjuntak, Marsilam, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur Dan

Riwayatnya, Jakarta:Pustaka Utama Grafiti, 1994 Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty,1980 Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:

1986. Soekanto, Soerjono, Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:Raja Grafindo

Persada, 1995 Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar Dan

Pembentukannya. Jakarta: Kanisius, 1998 Soemantri, Sri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945.

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989 _____________, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, CV.

Rajawali, Jakarta, 1981 _____________,Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, Cet.4, Alumni,

Bandung, 1987, h.133-134 Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 2, Jakarta:PT Pradnya Paramita, 2003 _________, Filsafat Hukum Bagian 1, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2002, h.16 Solly, Lubis. Ilmu Negara, Bandung:Mandar Maju, 1989

Page 92: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

81

Sunny, Ismail, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru, 1986 ____________, Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta: Aksara Baru, 1985 Taimiyah, Ibnu, Pedoman Islam Bernegara, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989 Tambunan, ASS, MPR Perkembangan Dan Pertumbuhannya Suatu Pengamatan

Dan Analisis, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991 Tim IFES, Sistem Pemilu, Jakarta: IFES,UN, IDEA, 2001 Tim PSHK, Semua Harus Terwakili Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan

Lembaga Kepresidenan di Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Dan Kebijakan Indonesia, 2000

Tim Sekretariat Negara, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995

Varma, SP, Teori Politik Modern, Jakarta:CV Rajawali, 1990 Wahjono, Padmo, Ilmu Negara, Jakarta: Ind Hill-Co, 1996 Yamin, Muhammad, Proklamasi Dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1982 Yara, Muchyar, Pengisian Jabatan Presiden Dan Wakil Presiden Di Indonesia

Suatu Tinjauan Sejarah Hukum Tata Negara, Jakarta: PT.Nadhillah Ceria Indonesia, 1995

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Konstitusi RIS 1949

Page 93: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

82

MPR, Ketetapan MPR No 1 tahun 1983 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat

MPR, Ketetapan MPR No V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-Produk Yang

Berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara MAKALAH Ashhidiqie, Jimly, Refleksi Tentang Arah Sistem Hukum Dan Kenegaraan

Indonesia Pasca Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, 28 Maret 2003

Suny, Ismail, Implikasi Amandemen UUD 1945 Terhadap Sistem Hukum

Nasional, disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN dan DEPKEH HAM RI, Bali, Juli, 2003, h.4

SUMBER INTERNET Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

,http://www.mpr.go.id/h/tentang/index.php, diakses pada tanggal 10 Januari 2006.

Anjar nugroho SB, Kekuasaan Legislatif Dalam Pemikiran Politik Islam,

http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/07/24/kekuasaan-legislatif-dalam-pemikiran-politik-islam/

Page 94: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

1

DAFTAR PUSTAKA

BUKU Al Rasyid, Harun, Pengisian Jabatan Presiden, Grafiti, Jakarta: PT

Pustaka Utama Grafiti, 1993 __________, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945,

Jakarta: UI Press, 2002 __________, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara, UI Press,

Jakarta:UI Press, 1996. Al-Qardhawy, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al Quran Dan Sunnah,

Jakarta: Pustaka AlQautsar,1997 Arinanto, Satya, Hukum Dan Demokrasi, Jakarta: Ind Hill-Co, 1991 Asshiddiqie, Jimly, Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen

Dalam Sejarah, Jakarta:UI Press, 1996 ____________, Gagasan Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam

Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994

____________, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan

Keempat,Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2002 ____________, Teori Dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara,

Jakarta:Ind.Hill-Co, 1998 Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 1998 _________________, Demokrasi di Indonesia Demokrasi

Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama,1998

Page 95: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

2

Busroh, Abubakar, Abudaud, Hukum Tata Negara, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1984

Burns, James; Peltason, J.W.; Cronin, Thomas, Government By The

People, New Jersey: Prentice Hall, 1989. Carter, April, Otoritas Dan Demokrasi, Jakarta: CV Rajawali,1985 De Tocqueville, Alexis, Democracy In America, New York: Washington Square

Press, 1965 Diamond, Larry, Revolusi Demokrasi Perjuangan Untuk Kebebasan

Dan Pluralisme Di Negara Sedang Berkembang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994

Dicey,AV, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution,

London:Mc. Millan Education LTD, 1959 Djokosutono . Ilmu Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985 Dood, Lawrence, Coalitions in Parliamentary Government, New Jersey:

Princeton University Press, 1976 Echols, John, Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 1997 Eidelberg, Paul, The Philosopy Of The American Constitution,

Toronto: Collier-Macmillan Canada, 1968 Garner, Bryan, Black’s Law Dictionary , sevent edition, St Paul, Minn:West

Group, 1999 Hasan, Ismail, Pemilihan Umum 1987, Jakarta:PT Pradnya Paramita, 1986 Hariadi, Didit, Estiko, Amandemen UUD 1945 Dan Implikasinya Terhadap

Pembangunan Sistem Hukum, Jakarta: Tim Hukum Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi Sekretaris Jendral, 2001

Hermawan, Eman, Politik Membela Yang Benar Teori Kritik Dan Nalar,

Yogyakarta: KLIK dan DKN GARDA BANGSA, 2003,

Page 96: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

3

Hornby, AS, Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current

English, London: Oxford University Press, 1987 Huntington, Samuel, Benturan Antara Peradaban Dan Masa Depan

Politik Dunia, Yogyakarta: CV Qalam Yogyakarta, 2003 Ibrahim, Harmaily, Majelis Permjusyawaratan Rakyat Suatu Tinjauan

Dari Sudut Hukum Tata Negara, Jakarta: Sinar Bakti, 1979 Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: PT.

Bina Aksara , 1984 Khaldun, Ibnu, Mukaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus,2000 Kusnardi, Mohammad, Ibrahim, Harmaily, Pengantar Hukum Tata

Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 1988

Kusumaatmaja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Bandung:

Bina Cipta, 1990 Laski, Harold. A Grammmar Of Politics, London: George Allen &

Unwin LTD, 1938. Manan, Bagir, Konvensi Ketatanegaraan, Bandung:Armico, 1987 __________________, Teori Dan Politik Konstitusi, Direktorat Jendral

Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2000, h. 15

Geoffrey Marshal, Parliamentary Sovereignty And The Commonwealth,Oxford:

Oxford University Press, 1957 Meny, Yves; Knap, Andrew, Government And Politics In Western Europe, third

edition, New York:Oxford University Press,1998 Mulyono, Doto, Kekuasaan MPR Tidak Mutlak, Erlangga, Jakarta, 1985

Page 97: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

4

Naning, Ramdlon, Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi Dan Mekanisme Lembaga Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Yogyakarta: Liberty 1982

Nurtjahjo, Hendra, Perwakilan Golongan Di Indonesia, Jakarta: Pusat

Studi Hukum Tata Negara UI2002. O’Donnel, Schmitter, Whitehead, Transisi Menuju Demokrasi Kasus

Eropa Selatan, Jakarta: LP3S, tanpa tahun Plato, Republik, Jakarta:Bentang, 2002 Poerwadarminta, WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN

Balai Pustaka, 1976 Puspa, Pramadya, Yan, Kamus Hukum, Semarang:CV. Aneka Ilmu,

1977 Purbopranoto, Kuntjoro, Beberapa Catatan Hukum Tata

Pemerintahan Dan Peradilan Administrasi, Bandung: Alumni, 1981

Thaib, Dahlan. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD

1945, Yogyakarta: Liberty, 1989 Thaib, Dahlan; Hamidi, Jazim; Huda, Ni’matul , Teori Hukum Dan Konstitusi,

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999 Ranawijaya, Usep, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya,

Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983 Rapar, J.H, Filsafat Politik Aristoteles, Jakarta: Rajawali Grafindo

Persada, 1988. Redaksi Sinar Grafika, Tiga Undang-Undang Dasar: Undang-Undang

Dasar 1945, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1950, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, Jakarta: Sinar Grafika, 2000

Page 98: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

5

Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio

Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002

Samsul Wahidin, MPR Dari Masa Kemasa, Jakarta: Bina Aksara, 1986 Sekretariat Jendral MPR RI, Proses Reformasi Konstitusional : Sidang Istimewa

MPR 1998, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, Cetakan 2, Jakarta, 2001

Shklar, Judith, Montesqieu Penggagas Trias Politica, Jakarta : Pustaka

Utama Grafiti,1996 Sekretariat Jendral MPR RI, Himpunan Ketetapan MPRS Dan MPR Tahun 1960

S/D 2002, Jakarta:Sekretariat Jendral MPR RI, 2002 Sjadzali, Munawir, Islam Dan Tata Negara Ajaran Sejarah Dan

Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993 Simorangkir, J.C.T, Hukum Dan Konstitusi Indonesia, Jakarta:CV. Masagung,

1988 Simanjuntak, Marsilam, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur Dan

Riwayatnya, Jakarta:Pustaka Utama Grafiti, 1994 Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty,1980 Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:

1986. Soekanto, Soerjono, Mamudji, Penelitian Hukum Normatif,

Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1995 Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-

Dasar Dan Pembentukannya. Jakarta: Kanisius, 1998 Soemantri, Sri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD

1945. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989

Page 99: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

6

_____________, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, CV. Rajawali, Jakarta, 1981

_____________,Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, Cet.4, Alumni,

Bandung, 1987, h.133-134 Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 2, Jakarta:PT Pradnya Paramita, 2003 _________, Filsafat Hukum Bagian 1, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2002, h.16 Solly, Lubis. Ilmu Negara, Bandung:Mandar Maju, 1989 Sunny, Ismail, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru,

1986 ____________, Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta: Aksara Baru,

1985 Taimiyah, Ibnu, Pedoman Islam Bernegara, Jakarta: PT Bulan

Bintang, 1989 Tambunan, ASS, MPR Perkembangan Dan Pertumbuhannya Suatu Pengamatan

Dan Analisis, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991 Tim IFES, Sistem Pemilu, Jakarta: IFES,UN, IDEA, 2001 Tim PSHK, Semua Harus Terwakili Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan

Lembaga Kepresidenan di Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Dan Kebijakan Indonesia, 2000

Tim Sekretariat Negara, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-

Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995

Varma, SP, Teori Politik Modern, Jakarta:CV Rajawali, 1990 Wahjono, Padmo, Ilmu Negara, Jakarta: Ind Hill-Co, 1996

Page 100: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

7

Yamin, Muhammad, Proklamasi Dan Konstitusi Republik Indonesia,

Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982 Yara, Muchyar, Pengisian Jabatan Presiden Dan Wakil Presiden Di

Indonesia Suatu Tinjauan Sejarah Hukum Tata Negara, Jakarta: PT.Nadhillah Ceria Indonesia, 1995

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia, Konstitusi RIS 1949 MPR, Ketetapan MPR No 1 tahun 1983 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis

Permusyawaratan Rakyat MPR, Ketetapan MPR No V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-Produk Yang

Berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara MAKALAH Ashhidiqie, Jimly, Refleksi Tentang Arah Sistem Hukum Dan Kenegaraan

Indonesia Pasca Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta, 28 Maret 2003

Suny, Ismail, Implikasi Amandemen UUD 1945 Terhadap Sistem Hukum

Nasional, disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN dan DEPKEH HAM RI, Bali, Juli, 2003, h.4

SUMBER INTERNET

Page 101: KEKUASAAN MPR RI DALAM UUD 1945

8

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ,http://www.mpr.go.id/h/tentang/index.php, diakses pada tanggal 10 Januari 2006.

Anjar nugroho SB, Kekuasaan Legislatif Dalam Pemikiran Politik Islam,

http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/07/24/kekuasaan-legislatif-dalam-pemikiran-politik-islam/