kejuruan, vokasi, akademik dan profesi
DESCRIPTION
Kejuruan, Vokasi, Akademik Dan ProfesiTRANSCRIPT
MAKALAH
VOKASI DAN PROFESI
Oleh:
Ramadin KP.13.00971Richardus Riki KP.13.00974Rumi Gunawan KP.13.00979Rossalina Homer KP.13.00978
PROGRAM STUDI S 1 KEPERAWATANSEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
WIRA HUSADA YOGYAKARTA2013
Pendidikan Kejuruan
A. Pengertian Pendidikan Kejuruan
Ditinjau secara sistemik, pendidikan kejuruan pada dasarnya merupakan
subsistem dari sistem pendidikan. Terdapat banyak definisi yang diajukan
oleh para ahli tentang pendidikan kejuruan dan definisi-definisi tersebut
berkembang seirama dengan persepsi dan harapan masyarakat tentang
peran yang harus dijalankannya (Muchlas Samani, 1992:14). Evans & Edwin
(1978:24) mengemukakan bahwa : “pendidikan kejuruan merupakan bagian
dari sistem pendidikan yang mempersiapkan individu pada suatu pekerjaan
atau kelompok pekerjaan”. Sementara Harris dalam Slamet (1990:2),
menyatakan ”Pendidikan kejuruan adalah pendidikan untuk suatu pekerjaan
atau beberapa jenis pekerjaan yang disukai individu untuk kebutuhan
sosialnya”.
Menurut House Committee on Education and Labour (HCEL) dalam (Oemar H.
Malik, 1990:94) bahwa : “pendidikan kejuruan adalah suatu bentuk
pengembangan bakat, pendidikan dasar keterampilan, dan kebiasaan-
kebiasaan yang mengarah pada dunia kerja yang dipandang sebagai latihan
keterampilan”. Dari definisi tersebut terdapat satu pengertian yang bersifat
universal seperti yang dinyatakan oleh National Council for Research into
Vocational Education Amerika Serikat (NCRVE, 1981:15), yaitu bahwa
“pendidikan kejuruan merupakan subsistem pendidikan yang secara khusus
membantu peserta didik dalam mempersiapkan diri memasuki lapangan
kerja”. Dari batasan yang diajukan oleh Evans, Harris, HCEL, dan NCRVE
tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri pendidikan kejuruan dan
yang sekaligus membedakan dengan jenis pendidikan lain adalah
orientasinya pada penyiapan peserta didik untuk memasuki lapangan kerja.
Agak berbeda dengan batasan yang diberikan oleh Evans, Harris, HCEL, dan
NCRVE, Finch & Crunkilton (1984:161) menyebutkan : “pendidikan kejuruan
sebagai pendidikan yang memberikan bekal kepada peserta didik untuk
bekerja guna menopang kehidupannya (education for earning a living)”.
Selanjutnya dari definisi yang diajukan oleh Evans & Edwin, Harris, HCEL,
NCRVE maupun Finch & Crunkilton dapat disimpulkan bahwa pendidikan
kejuruan mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja pada bidang
tertentu, berarti pula mempersiapkan mereka agar dapat memperoleh
kehidupan yang layak melalui pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan
masing-masing serta norma-norma yang berlaku.
UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 21 :
Pendidikan Kejuruan merupakan jenjang pendidikan menengah yang
mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu.
B. Ciri Pembelajaran Pendidikan Kejuruan
Ciri pendidikan kejuruan yang utama adalah sebagai persiapan untuk
memasuki dunia kerja. Secara historis, menurut Evans & Edwin (1978:36)
pendidikan kejuruan sesungguhnya merupakan perkembangan dari latihan
dalam pekerjaan (on the job training) dan pola magang (apprenticeship).
Pada pola latihan dalam pekerjaan, peserta didik belajar sambil langsung
bekerja sebagai karyawan baru tanpa ada orang yang secara khusus ditunjuk
sebagai instruktur, sehingga tidak ada jaminan bahwa peserta didik akan
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. Walaupun
demikian, menurut Elliot (1983:15), pola latihan dalam pekerjaan memiliki
keunggulan karena peserta didik dapat langsung belajar pada keadaan yang
sebenarnya sehingga mendorong dia belajar secara inkuiri. Pada pola
magang terdapat seorang karyawan senior yang secara khusus ditugasi
sebagai instruktur bagi karyawan baru (peserta didik) yang sedang belajar.
Instruktur tersebut bertanggungjawab untuk membimbing dan mengajarkan
pengetahuan serta keterampilan yang sesuai dengan tugas karyawan baru
yang menjadi asuhannya. Dengan demikian pola magang relatif lebih
terprogram dan jaminan bahwa karyawan baru akan dapat memperoleh
pengetahuan dan keterampilan tertentu lebih besar dibanding pola latihan
dalam pekerjaan (Evans & Edwin, 1978:38). Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang makin canggih membawa pengaruh terhadap pola kerja
manusia. Pekerjaan menjadi kompleks dan memerlukan bekal pengetahuan
dan keterampilan yang makin tinggi, sehingga pola magang dan latihan
dalam pekerjaan kurang memadai karena tidak memberikan dasar teori dan
keterampilan sebelum peserta didik memasuki lapangan kerja sebagai
karyawan baru. Oleh karena itu kemudian berkembang bentuk sekolah dan
latihan kejuruan yang diselenggarakan oleh sekolah kejuruan bekerja sama
dengan kalangan industri, dengan tujuan memberikan bekal teori dan
keterampilan sebelum peserta didik memasuki lapangan kerja.
Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, menunjukkan bahwa
pendidikan kejuruan senantiasa berupaya melakukan penyesuaian terhadap
perkembangan zaman. Untuk lebih jelasnya, perubahan orientasi kurikulum
pendidikan kejuruan dapat ditampilkan pada tabel berikut.
Kurikulum Orientasi
1964 STM
1968 SMEA
Pendekatan kebutuhan masyarakat akan pendidikan
(social demand approach) : 1) bertujuan agar siswa
dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi sekaligus dipersiapkan untuk memasuki dunia
kerja, 2) lebih berorientasi pada isi (subject matter), 3)
dokumen kurikulum hanya berbentuk struktur program,
dan 4) bobot praktik kejuruan berkisar antara 5 – 20 %
dari keseluruhan program pendidikan.
1972 STM
Pembangun
an,
1973 SMEA
Pembina
Pendekatan kebutuhan tenaga kerja (manpower
demand approach) dilaksanakan secara terbatas, proses
mencari bentuk yang tepat untuk pendidikan teknisi
industri. Kurikulum 1964 dan 1968 masih diberlakukan
1976 Pendekatan kebutuhan tenaga kerja (untuk sekolah
yang belum memperoleh peralatan praktik), mempunyai
ciri : 1) bertujuan untuk menyiapkan siswa untuk
memasuki dunia kerja (program terminal), 2) lebih
berorientasi pada hasil, 3) lebih menekankan pada
CBSA, 4) bobot praktik kejuruan berkisar 40 – 50 % dari
keseluruhan program pendidikan, 5) Teori kejuruan
terpisah dari praktik kejuruan.
1984 Pendekatan humaniora yang memadukan ranah
kognitif, afektif, dan psikomotor; teori dan praktik
dikemas dalam satu semester; pihak industri terlibat
dalam Forum Pendidikan Kejuruan. Berorientasi pada
keterampilan proses, menyiapkan lulusan untuk bekerja
tapi diberi kebebasan untuk melanjutkan, dapat pindah
jurusan/program studi, siswa berpeluang mendapat
kredit maksimal. Teori kejuruan diintegrasikan ke dalam
praktik kejuruan dan menggunakan sistem kredit.
1994 Pendekatan kurikulum berbasis kompetensi
(competence-base curriculum), luas, kuat dan mendasar
(broad-based curriculum). Berorientasi pada kebutuhan
dunia kerja dan validasi dilakukan bersama-sama
dengan dunia kerja untuk mengetahui keterampilan
yang diperlukan (aktif). Menerapkan sistem unit
produksi dan institusi pasangan (PSG).
1999 Perubahan orientasi dari supply-driven ke
demand/market-driven, dari mata pelajaran/topik
pembelajaran ke kompetensi, dari pengukuran tingkat
hasil belajar ke pengukuran kompetensi, dari belajar
“hanya” di SMK menjadi belajar di SMK dan di industri,
dari SMK yang “berdiri sendiri” ke SMK sebagai bagian
tak terpisahkan dari Politeknik, BLK, kursus-kursus, dan
lembaga Diklat lainnya. Perubahan ke arah ini telah
dimulai.
2004 Pemenuhan permintaan pasar, rancangan pendekatan
pengembangannya dengan menerapkan : pendekatan
akademik, pendekatan kecakapan hidup (life skill),
kurikulum berbasis kompetensi (Competency Based
Curriculum), kurikulum berbasis luas dan mendasar
(Broad Based Curriculum)
C. Tujuan Pendidikan Kejuruan
Ditinjau dari tujuannya, menurut Thorogood (1982:328) pendidikan kejuruan
bertujuan untuk:
(1) Memberikan bekal keterampilan individual dan keterampilan yang laku di
masyarakat, sehingga peserta didik secara ekonomis dapat menopang
kehidupannya.
(2) Membantu peserta didik memperoleh atau mempertahankan pekerjaan
dengan jalan memberikan bekal keterampilan yang berkaitan dengan
pekerjaan yang diinginkannya.
(3) Mendorong produktivitas ekonomi secara regional maupun nasional.
(4) Mendorong terjadinya tenaga terlatih untuk menopang perkembangan
ekonomi dan industri.
(5) Mendorong dan meningkatkan kualitas masyarakat.
Agak berbeda dengan Thorogood, Evans seperti yang dikutip oleh Wenrich &
Wenrich (1974:63) menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan bertujuan untuk
:
(1) Menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh masyarakat,
(2) Meningkatkan pilihan pekerjaan yang dapat diperoleh oleh setiap
peserta didik, dan
(3) Memberikan motivasi kerja kepada peserta didik untuk menerapkan
berbagai pengetahuan yang diperolehnya.
Dari tujuan pendidikan kejuruan yang diajukan oleh Thorogood dan Evans di
atas, dapat disimpulkan bahwa di samping mengemban tugas pendidikan
secara umum, pendidikan kejuruan mengemban misi khusus, yaitu
memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik
untuk memasuki lapangan kerja dan sekaligus menghasilkan tenaga kerja
terampil yang dibutuhkan oleh masyarakat. Di samping tujuan khusus yang
diajukan oleh Thorogood dan Evans di atas, Crunkilton (1984:25)
menyebutkan bahwa: ”salah satu tujuan utama pendidikan kejuruan adalah
meningkatkan kemampuan peserta didik sehingga memperoleh kehidupan
yang lebih baik dari sebelumnya”. Menurut Miner (1974:48-56) bekal yang
dipelajari dalam pendidikan kejuruan akan merupakan bekal untuk
mengembangkan diri dalam bekerja. Dengan bekal kemampuan
mengembangkan diri tersebut diharapkan karier yang bersangkutan dapat
meningkat dan pada gilirannya kehidupan mereka akan makin baik (Karabel
& Hasley, 1977:14). Penelitian yang dilakukan Mulyani A. Nurhadi (1988) dan
Samani (1992) ternyata memperkuat pendapat Miner serta Karabel dan
Hasley tersebut.
Bagi masyarakat Indonesia misi pendidikan kejuruan, seperti diungkapkan
oleh Crunkilton tersebut, sangat penting karena pada umumnya siswa
sekolah kejuruan berasal dari masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi
rendah (Suprapto Brotosiswoyo, 1991:8), sehingga apabila sekolah kejuruan
berhasil mewujudkan misinya berarti akan membantu menaikan status sosial
ekonomi masyarakat tingkat bawah. Dengan kata lain sekolah kejuruan dapat
membantu meningkatkan mobilitas vertikal dalam masyarakat (Elliot,
1983:42).
Tujuan Khusus Dari Pendidikan Kejuruan Yaitu :
a. Menyiapkan peserta didik agar menjadi manusia produktif, maupun
bekerja mandiri, mengisi lowongan pekerjaan yang ada di dunia usaha
dan industri sebagai tenaga tingkat kerja menengah, sesuai dengan
kompetensi dalam program keahlian yang dipilihnya.
b. Menyiapkan peserta didik agar mampu memilih karir, ulet dan gigih dalam
berkompetisi, beradaptasi di lingkungan kerja, dan mengembangkan sikap
profesional dalam bidang keahlian yang diminatinya.
c. Membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni,
agar mampu mengembangkan diri di kemudian hari baik secara mandiri
maupun melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
d. Membekali peserta didik dengan kompetensi-kompetensi sesuai dengan
program keahlian yang dipilih.
D. Pengelompokan Pendidikan Kejuruan
Pendidikan kejuruan dapat dikelompokkan berdasarkan jenjang dan menurut
struktur programnya. Pengelompokan berdasarkan jenjang dapat didasarkan
atas jenjang kecanggihan keterampilan yang dipelajari atau jenjang
pendidikan formal yang berlaku (Zulbakir dan Fazil, 1988:7). Jenjang
pendidikan formal yang berlaku dikenal pendidikan kejuruan tingkat sekolah
menengah (secondary) atau sekolah menengah kejuruan (SMK) dengan
berbagai program keahlian seperti Listrik, Elektronika Manufaktur, Elektronika
Otomasi, Metals, Otomotif, Teknik Pendingin, Gambar Bangunan, Konstruksi
Baja, Tata Busana, Tata Boga, Travel and Tourism, penjualan, akuntansi,
manajemen perkantoran dan sebagainya serta tingkat di atas sekolah
menengah (post secondary) misalnya politeknik (IEES, 1986:124).
Berdasarkan struktur programnya, khususnya dalam kaitan dengan
bagaimana sekolah kejuruan mendekatkan programnya dengan dunia kerja,
Evans seperti yang dikutip oleh Hadiwiratama (1980:60-69) membagi sekolah
kejuruan menjadi lima kategori, yaitu :
(1) Program pengarahan kerja (pre vocational guidance education).
(2) Program persiapan kerja (employability preparation education).
(3) Program persiapan bidang pekerjaan secara umum (occupational
area preparation education).
(4) Program persiapan bidang kerja spesifik (occupational specific
education), dan
(5) Program pendidikan kejuruan khusus (job specific education).
Pada program pengarahan kerja, sekolah memberikan pengetahuan dasar
dan umum tentang berbagai jenis pekerjaan di masyarakat sekaligus
menumbuhkan apresiasi terhadap berbagai pekerjaan tersebut, sedangkan
pada program persiapan kerja, sekolah memberikan dasar-dasar sikap dan
keterampilan kerja, meskipun masih bersifat umum. Dengan program ini
diharapkan peserta didik mempunyai peluang yang lebih besar untuk
mendapatkan pekerjaan, meskipun tentunya masih harus melalui latihan di
dalam pekerjaan. Untuk program persiapan bidang pekerjaan secara umum,
sekolah memberikan bekal guna meningkatkan kemampuan bekerja untuk
bidang pekerjaan yang memerlukan pengetahuan, peralatan yang sejenis.
Dengan program ini diharapkan peserta didik mempunyai pilihan lapangan
pekerjaan yang lebih jelas dan lebih cepat mengikuti latihan di dalam
pekerjaan.
Program persiapan kerja yang spesifik memberikan bekal yang sudah
mengarah kepada jenis pekerjaan tertentu, meskipun belum pada suatu
perusahaan tertentu. Lebih khusus lagi adalah program pendidikan kejuruan
khusus yang sudah terarah pada pekerjaan khusus, yaitu mendidik siswa
untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh suatu perusahaan tertentu.
Perjenjangan kedekatan pendidikan kejuruan yang disebutkan oleh Evans di
atas berarti juga kesiapan lulusan dalam memasuki lapangan kerja. Makin
khusus jenis pendidikan kejuruan akan makin siap lulusannya memasuki
lapangan kerja, tetapi juga makin sempit bidang pekerjaan yang dapat
dimasuki. Walaupun demikian, kecuali untuk keperluan tertentu pendidikan
kejuruan yang khusus (job specific education) sangat sulit diterapkan di
Indonesia, mengingat jenis industri di Indonesia sangat bervariasi. Di sini
mulai timbulnya dilema antara siap pakai atau siap latih dalam pendidikan
kejuruan.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, menurut Semiawan (1991:6), yang
penting adalah kesiapan mental untuk mengembangkan dirinya serta
keterampilan dasar untuk setiap kali dapat menyesuaikan diri kembali pada
perubahan tertentu (retrain ability). Dengan bekal tersebut diharapkan
lulusan sekolah menengah kejuruan tidak hanya terpancang pada jenis
pekerjaan yang ada, tetapi juga terdorong untuk mewujudkan lapangan kerja
baru dengan mengembangkan prakarsa dan kreativitasnya secara optimal.
Sejalan dengan itu Tilaar (1991:12) menegaskan bahwa: “pendidikan formal
(sekolah kejuruan) seharusnya menghasilkan lulusan yang memiliki kualifikasi
siap latih yang kemudian diteruskan dengan program pelatihan, baik di dalam
industri atau lembaga pelatihan tertentu”.
E. Aspek Hukum Pendirian Sekolah Kejuruan
Pemberian izin operasional penyelenggaraan pendidikan formal kepada
Lembaga/Yayasan/Masyarakat.
Dasar Hukum : 1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah
3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
4. Kepmendiknas RI Nomor 060/U/2002
tentang Pedoman Pendirian Sekolah
5. Permendiknas Nomor 29 Tahun 2005
tentang Badan Akreditasi Nasional
Sekolah/Madrasah
6. Permendiknas RI Nomor 15 Tahun 2010
tentang Standar Pelayanan Minimal
Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota
Syarat Pendirian
dan
: 1. Surat Permohonan Pendirian SMP, SMA dan
SMK
Pembukaan 2. Surat Akte Pendirian Yayasan
3. Surat Akte Kepemilikan Tanah
4. Profil Sekolah
5. Data Tenaga Pendidik dan Tenaga
Kependidikan beserta Fotokopi Ijazah.
6. Tersedianya tempat Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM)
7. Tersedianya tempat pengajar
8. Tersedianya sarana dan prasarana
penunjang proses KBM
9. Adanya peserta didik yang telah melakukan
proses KBM
10
.
Denah Sekolah
Syarat
Perpanjangan
1. Surat Permohonan dari Kepala Sekolah
2. Surat Izin Operasional Penyelenggaran
Satuan Pendidikan yang lama
3. Surat Akte Pendirian Yayasan
4. Surat Akte Kepemilikan Tanah
5. Profil Sekolah
6. Data Tenaga Pendidik dan Tenaga
Kependidikan beserta Fotokopi Ijazah
Teknis
Pemrosesan
: 1. Dilakukan uji kelayakan tentang pemenuhan
Standar Pelayanan Minimal Pendidikan
2. Dikeluarkan Surat Izin Operasional Pendirian
Lembaga Pendidikan
Penandatanganan : Kepala Dinas Pendidikan
Jangka Waktu
Pemrosesan
: 1 (satu) bulan
(jika pejabat yang bersangkutan di tempat)
Jangka waktu : 4 (empat) tahun
Berlaku
Biaya : GRATIS
F. Kelebihan Dan Kekurangan Pendidikan Kejuruan
SMK dan SMA pada dasarnya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing.
Apabila melihat latar belakang keluarga yang sederhana, sebaiknya
memilih melanjutkan ke SMK sebab di SMK anda akan mendapatkan bekal
keterampilan yang bisa digunakan untuk bekerja maupun membangun
usaha sendiri artinya cepat dapat uang dan setelah lulus SMK anda mau
lanjut kuliah, maka itu bukanlah suatu masalah. Pada dasarnya lulusan
SMK orientasinya ke dunia kerja sedangkan lulusan SMA tidak ada
spesifikasi keahlian khusus seperti di SMK karna orientasinya untuk lanjut
ke universitas yang membutuhkan biaya yang lumayan besar.
Pendidikan Vokasi
A. Pengertian Pendidikan Vokasi
Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang ditujukan untuk
kepentingan praktis dimulai dari D-I, D-II, D-III, Sarjana Terapan, Magister
Terapan dan Doktor Terapan yang berfungsi mengembangkan peserta
didik agar memiliki pekerjaan keahlian terapan tertentu melalui program
vokasi dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan
vokasi merupakan pendidikan yang mengarahkan mahasiswa untuk
mengembangkan keahlian terapan, beradaptasi pada bidang pekerjaan
tertentu dan dapat menciptakan peluang kerja.
Pendidikan vokasi menganut sistem terbuka (multi-entry-exit system) dan
multimakna (berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan,
pembentukan watak, dan kepribadian, serta berbagai kecakapan hidup life
skill. Pendidikan vokasi berorientasi pada kecakapan kerja sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan serta sesuai
dengan tuntutan kebutuhan lapangan kerja. Pendidikan vokasi merupakan
pendidikan keahlian terapan yang diselenggarakan di perguruan tinggi
berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas.
Bentuk penyelenggaraan pendidikan vokasi terdiri dari Program Diploma
1, Diploma 2, Diploma 3, dan Diploma 4. Standar nasional pendidikan
vokasi dikembangkan berdasarkan standar kompetensi nasional dan/atau
internasional.
Sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tersebut memberikan wawasan dan keyakinan pendidikan tinggi harus
dikembangkan ke arah suatu sistem demi kepentingan nasional, dan hal
ini mendorong Ditjen Dikti Depdiknas merumuskan serangkaian kebijakan
pengembangan pendidikan tinggi. Untuk itu disusunlah Kerangka
Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang (KPPTJP IV 2003-2010)
yang selanjutnya disempurnakan menjadi HELTS (Higher Education Long
Term Strategy), di mana isinya berupa suatu rencana strategis
pengembangan jangka panjang yang bertujuan menempatkan sistem
pendidikan tinggi nasional, dengan segala keterbatasan yang ada pada
kedudukan paling baik di masa depan agar mampu menanggapi
tantangan yang dihadapi secara efektif. HELTS merumuskan tiga strategi
utama pengembangan pendidikan tinggi, yaitu daya saing bangsa
(nation’s competitiveness), otonomi dan desentralisasi (autonomy), dan
kesehatan organisasi (organizational health).
B. Ciri Pembelajaran Pendidikan Vokasi
Strategi pembelajaran yang diterapkan sangat tergantung dimana tempat
pendidikan berlangsung. Pada pendidikan vokasi, maka strategi dibawah
ini relevan dipakai.
1. Teori dan praktek komunikasi (presentasi dan diskusi)
2. Aplikasi teori matematika dalam kehidupan sehari-hari
3. Teori dan aplikasi computer untuk berbagai keperluan
4. Melakukan penelitian laboratorium/lapangan
5. Membuat karya ilmiah dalam bahasa Indonesia Baku
6. Teori dan praktek bahasa Inggris (reading, listening, conversation)
7. Project work dan praktek kewirausahaan
8. Praktek kejuruan di bengkel/laboratorium/lapangan
C. Tujuan Pendidikan Vokasi
Sekolah Vokasi bertujuan untuk menghasilkan lulusan Ahli Madya yang
handal yang memiliki ketrampilan dan keahlian terapan tertentu di bidang
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta menghasilkan penelitian
terapan dan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat.
D. Pengelompokan Pendidikan Vokasi
Sebagai contoh, Universitas Gadjah Mada memiliki beberapa program
studi terkait dengan sekolah vokasi yaitu :
Kelompok IPA terdiri dari :
D3 Kesehatan Hewan
D3 Pengelolaan Hutan
D3 Komputer dan Sistem Informasi
D3 Rekam Medis
D3 Elektronika dan Instrumentasi
D3 Teknik Elektro
D3 Teknik Mesin
D3 Teknik Sipil
D3 Teknik Geomatika
D3 Agroindustri
D3 SIG dan Penginderaan Jauh
D3 Metrologi dan Instrumentasi
D4 Bidan Pendidik
D4 Teknologi Jaringan
D4 Teknik Pengelolaan dan Pemeliharaan Infrastruktur Sipil
D4 Teknik Pengelolaan dan Perawatan Alat Bera
Sedangkan Kelompok IPS terdiri dari:
D3 Akuntansi
D3 Manajemen
D3 Ekonomi Terapan
D3 Kearsipan
D3 Kepariwisataan
D3 Bahasa Inggris
D3 Bahasa Perancis
D3 Bahasa Jepang
D3 Bahasa Mandarin
D3 Bahasa Korea
E. Aspek Hukum Pendirian Sekolah Vokasi
Pendidikan di Indonesia landasan hukumnya adalah : Undang-Undang R.l
No 20 Tahun 2003. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan pancasila. Berdasarkan Undang-Undang R.l No : 20
Tahun 2003 . Pasal 4, ayat (1) Pendidikan diselenggarakan secara
demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menunjang
tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, bilai kultural dan
kemajemukan bangsa. Pasal 13, ayat (1) Jalur pendidikan terdiri atas
pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi
dan memperkaya. Pasal 14 , Jenjang pendidikan formal terdiri atas
pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Pasal 15,
Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik,
profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
F. Kelebihan Dan Kekurangan Pendidikan Vokasi
Kelebihan :
1. Lulus lebih cepat dan cenderung lebih mudah (tidak perlu penelitian).
2. Punya keahlian praktis yang langsung bisa diterapkan apabila bekerja.
3. Mata kuliahnya bertujuan memberikan skill (keahlian praktis).
Kekurangan :
1. Apabila bekerja beberapa perusahaan menetapkan standar jenjang
pendidikan maksimal Sarjana (S1).
2. Dalam tingkat/golongan sangat berbeda apabila mendapatkan gaji
sesuai yang dibayarkan berdasarkan jenjang pendidikan, biasanya gaji
relatif rendah.
Pendidikan Profesi
A. Pengertian Pendidikan Profesi
Profesi adalah kata serapan dari sebuah kata dalam bahasa
Inggris “Profess”, yang dalam bahasa Yunani adalah “Επαγγελια”, yang
bermakna : “Janji untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas
khusus secara tetap/permanen”.
Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan
terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya
memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi
dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi
adalah pada bidang hukum, kedokteran, keuangan, militer,teknik
dan desainer
Jadi, Pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program
pendidikan sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki
pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Lulusan pendidikan
profesi akan mendapatkan gelar profesi.
Seseorang yang memiliki suatu profesi tertentu, disebut profesional.
Walaupun begitu, istilah profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas
yang menerima bayaran, sebagai lawan kata dari amatir. Contohnya
adalah petinju profesional menerima bayaran untuk pertandingan tinju
yang dilakukannya, sementara olahraga tinju sendiri umumnya tidak
dianggap sebagai suatu profesi.
B. Ciri Pembelajaran Pendidikan Profesi
1. Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis :
Profesional diasumsikan mempunyai pengetahuan teoretis yang
ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasar pada
pengetahuan tersebut dan bisa diterapkan dalam praktik.
2. Asosiasi professional : Profesi biasanya memiliki badan yang
diorganisasi oleh para anggotanya, yang dimaksudkan untuk
meningkatkan status para anggotanya. Organisasi profesitersebut
biasanya memiliki persyaratan khusus untuk menjadi anggotanya.
3. Pendidikan yang ekstensif : Profesi yang prestisius biasanya
memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi.
4. Ujian kompetensi : Sebelum memasuki organisasi profesional,
biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji
terutama pengetahuan teoretis.
5. Pelatihan institutional : Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan
untuk mengikuti pelatihan istitusional dimana calon profesional
mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh
organisasi. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan
profesional juga dipersyaratkan.
6. Lisensi : Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi
sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa
dipercaya.
7. Otonomi kerja : Profesional cenderung mengendalikan kerja dan
pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya intervensi dari
luar.
8. Kode etik : Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para
anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar
aturan.
9. Mengatur diri : Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya
sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh
mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang
berkualifikasi paling tinggi.
10.Layanan publik dan altruism : Diperolehnya penghasilan dari kerja
profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan
publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan
masyarakat.
11.Status dan imbalan yang tinggi : Profesi yang paling sukses akan
meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para
anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap
layanan yang mereka berikan bagi masyarakat.
C. Tujuan Pendidikan Profesi
Mempersiapkan para sarjana (S1) sebagai peserta didik untuk memiliki
pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus (Proffesional).
D. Pengelompokan Pendidikan Profesi
Sebagai contoh, setelah bergelar S.E, seseorang menempuh pendidikan
profesi Akuntan, maka dia bergelar S.E. Ak; setelah bergelar S.Med.,
seseorang menempuh pendidikan profesi dokter, maka dia mendapat
gelar dr. (dokter) dan seorang yang telah begelar profesi dokter (umum)
melanjutkan ke program pendidikan spesialis (PPDS), dia mendapat gelar
spesialis tententu, misalnya, dr. Sp.M (spesialis Mata), dr. Sp.A (spesialis
Anak), dr. SpKJ (spesialis Kesehatan Jiwa), dsb.
E. Aspek Hukum Pendirian Pendidikan Profesi
Pasal 15 UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan
bahwa pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program
sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan
dengan persyaratan keahlian khusus.
Pendidikan Akademik
A. Pengertian Pendidikan Akademik
Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan
pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu
pengetahuan tertentu. Menurut Kepmendiknas 232/U/2000: Pendidikan
akademik adalah pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasaan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian dan diselenggarakan oleh
sekolah tinggi, institut, dan universitas.
B. Tujuan Pendidikan Akademik
Tujuan didirikannya pendidikan akademik yaitu untuk menghasilkan
peserta didik yang handal di lingkungan masyarakat sesuai dengan
penguasaan disiplin ilmu pengetahuan yang telah dipelajari di perguruan
tinggi dan setelah lulus akan menghasilkan sarjana-sarjana yang
berkualitas dengan gelar S1 dan memiliki pengusaan manajemen yang
analisis dan teoritis. Serta menghasilkan lulusan agar memiliki kompetensi
dalam bidang ilmu tertentu (spesifik) agar sesuai dengan ketetapan dan
sesuai dengan jenjang pendidikan yang telah ditentukan oleh Jurusan atau
Fakultas.
C. Pengelompokan Pendidikan Akademik
Sebagai contoh, lulusan pendidikan akademik sarjana ekonomi bergelar
S.E., sarjana kedokteran mendapat gelar S.Med., sarjana teknik mendapat
gelar S.T., dan sarjana pendidikan bergelar S.Pd.; demikian juga gelar
magisternya sesuai dengan bidang atau rumpun ilmu; sedangkan gelar
pendidikan doktor sama, yakni Dr.
D. Aspek Hukum Pendirian Pendidikan Akademik
Kepmendiknas 232/U/2000 : Pendidikan akademik adalah pendidikan yang
diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan/atau kesenian dan diselenggarakan oleh sekolah tinggi, institut, dan
universitas.
E. Kelebihan Dan Kekurangan Pendidikan Akademik
Kelebihannya Meliputi :
Dapat gelar, dan bisa langsung lanjut ke taraf di atasnya (S2).
Punya kemampuan analisis (karena pernah meneliti)
Kalo dalam pekerjaan umumnya posisi lebih baik daripada D3.
Misalnya lulusan S1 jadi manajer, D3 jadi staff-nya (tapi ini juga
tergantung).
Kekurangannya Meliputi :
Minimal 4 tahun, lulus bergelar Sarjana.
Mata kuliahnya bertujuan memberi pengetahuan teoritis.
Tujuan mempunyai pengetahuan teoritis (yang nanti bisa diterapkan
dalam kerja), dan punya kemampuan analitis.
Tugas akhir berupa penelitian dan membuat skripsi.
Mengapa Perawat Dipanggil Suster?
Di Indonesia perawat rumah sakit seringkali dipanggil suster; kata ini diserap
dari bahasa Belanda zuster, karena pada awalnya banyak rumah sakit yang
didirikan oleh gereja Katolik dan disana yang menjadi perawatnya kebanyakan
adalah para biarawati/suster. Oleh sebab itulah panggilan suster sampai
sekarang ini masih lazim dipakai. Bahkan di Jerman pun para perawat disana
dapat sebutan Krankenschwester (suster rumah sakit) begitu juga di England
panggilan kehormatan bagi para perawat disana juga adalah suster. Arti SUSTER
menurut KAMUS yaitu adalah wanita yg menjadi anggota perkumpulan
kerohanian yang hidup di dl biara.
Nah, bagaimanakah asal muasal kata atau istilah “Suster” ini melekat erat
sebagai julukan perawat wanita di Indonesia? Di Indonesi,kata “suster” atau
sering dituliskan dengan “Zuster” dan disingkat dengan “Zr” berawal dari
kedatangan para misionaris Belanda ke Indonesia. Mereka kemudian
membangun gereja-gereja, terutama Gereja Katolik yang di dalamnya terdapat
pastor dan biarawati yang mengabdikan dirinya.
Banyak wanita yang merasa dirinya terpanggil untuk melakukan pekerjaan
merawat sebagai pernyataan kasih terhadap sesama yang menderita, kemudian
masuk menjadi biarawati. Pada masa dahulu, biarawati Belanda sering dipanggil
dengan sebutan “Zuster” atau saudara perempuan/wanita. Banyak biarawati
pada zaman Belanda tersebut yang bertugas rangkap sebagai perawat Rumah
Sakit, karena kebanyakan RS-RS kita zaman dahulu didirikan oleh pihak
misionaris Belanda (Padahal perawat di RS Belanda sendiri disebut dengan
“Verpleegster” bukan “Zuster” seperti di Indonesia)
Itulah yang menyebabkan mengapa sebutan “suster” sangat melekat erat pada
perawat Rumah Sakit di Indonesia, dimana penampilan perawat sampai
sekarang mirip dengan biarawati, yang kebanyakan mengenakan seragam putih-
putih dengan tutup kepala (cap) di atasnya. Meskipun saat ini telah terjadi
pergeseran bahwa seragam perawat bisa beraneka warna seprti pink, biru, hijau,
dan banyak juga wanita muslim tidak lagi memakai cap (baca; kap) tetapi
menggantinya dengan kerudung/jilbab.
Meskipun istilah perawat dan suster mempunyai makna yang sama, hanya
penggunaannya yang berbeda. Istilah “suster” lebih sering digunakan dalam
penggunaan informal, sedangkan istilah “perawat” yang berarti orang yang
merawat orang sakit, lebih digunakan dalam penggunaan formal (baku).
Sementara itu, kata/istilah “perawat” kalau dilihat dari bahasa Inggris disebut
denagn “NURSE”, asal muasalnya berasal dari kata “Nourish” yang menurut
kamus Oxford atau kamus Webster mula-mula memberi makan, jadi
mengandung fungsi keibuan. Jadi kata “nurse/nourish” tersebut mengandung
konotasi merawat dan menumbuhkan, yang memiliki pengertian mendukung,
membina, membimbing, dan melayani seperti fungsi seorang ibu. Maka ada
yang menyebutkan bahwa peran perawat adalah sebagai pengganti peran ibu
(mother surrogate). Dengan keterampilan tangannya, dengan kecerahan
wajahnya dan dengan kecerdasan otaknya, perawat/nurse memberikan
pelayanan kepada pasien dan bimbingan kepada pasien dan orang yang
membutuhkan pertolongan.
Perawat, Suster, atau Nurse saat ini haruslah mempunyai sifat dan perangai
seorang perawat, yaitu harus mempunyai kemampuan fisik, moral, dan
intelektual. Yang dimaksud dengan kemampuan fisik adalah kekuatan
jasmaniah. Berkemampuan moral berarti seorang perawat harus mempunyai
perilaku yang bersusila dan meyakinkan; sedangkan berkemampuan intelektual
mengandung pengertian bahwa seorang perawat harus memiliki pengetahuan
umum, pengamatan cermat dan kemampuan mengatur pikiran dengan cepat,
tepat, dan tangguh agar dapat memahami dan membantu pasien (Berpikir
kritis).
Karena fungsi dan peran perawat yang semakin meningkat dan dituntut
professional penuh itulah, dalam program pendidikan tinggi perawat di
Indonesia, kata “Ners” yang disingkat “Ns” sejak lahir millennium kedua dan
awal millennium ketiga, telah dibakukan menjadi suatu gelar tersendiri bagi
perawat yang telah menyelesaikan program profesi yang harus ditempuh dalam
masa kurang lebih satu tahun setelah perawat/mahasiswa menyelesaikan
program akademiknya (strata-1/sarjana keperawatan yang disingkat S. Kep).
Jadi perawat walaupun kelihatannya bersih dan selalu berpakaian putih, tetapi
kenyataannya mereka berisiko ketularan penyakit, disamping itu mereka juga
harus bersedia untuk membersihkan kotoran-kotorannya dari sang pasien yang
terkadang sering kali menjijikan, belum lagi dinas malam. Untuk pekerjaan yang
berisiko dan berat ini mereka hanya mendapatkan imbalan gaji sebagai pegawai
negeri Gol II sekitar Rp 800.000,00 dan apabila sudah bekerja puluhan tahun
baru bisa naik ke Gol III atau mendapatkan gaji diatas Rp 1.000.000,00.
Untuk gaji yang minimal ini mereka juga harus bersedia untuk dijadikan bumper,
dimana dimaki-maki oleh pasien ataupun anggota keluarganya, apabila Dokter
nya datang terlambat ataupun tidak selalu dikerjakan dengan cepat, karena
kekurangannya tenaga personel. Bahkan tidak jarang pula yang ditegur oleh
pimpinannya apabila ada pasien yang minggat karena tidak bisa/mau bayar. Jadi
yang di kambing hitamkan selalulah sang perawat.
Maka dari itu tidak bisa dipungkiri banyak sekali Dokter maupun perawat yang
telah benar-benar mengabdikan dirinya untuk menolong sesama manusia,
seperti halnya dengan kelompok perawat dari "Daughter of Charity" yang
didirikan oleh Santo Vincentius de Paul (1581-1660) bersama Santa Louise,
mereka pergi ke seluruh pelosok negara, khusus untuk menolong orang miskin
yang sakit, mereka itu sedemikian piawainya sehingga bisa mengambil alih
tugas para Dokter bedah apabila Dokter ditempat absen, mereka mengorbankan
usia muda maupun kecantikan, bahkan kesehatan mereka khusus untuk
merawat orang-orang sakit yang miskin.
Florence Nightingale (1820-1910) adalah pendiri ilmu perawatan modern, yang
telah menjadi legenda semasa hidupnya. Nama depannya, Florence merujuk
kepada kota kelahirannya, Firenze dalam bahasa Italia atau Florence dalam
bahasa Inggris. Nightingale belajar dari seorang Pdt - Theodor Fliedner (1800-
1864) di Kaiserwerth - Düsseldorf (Jerman). Mr Fliedner adalah pendiri sekolah
juru rawat pertama.
Florence Nightingale mengumpulkan perawat-perawat dari berbagai macam
aliran Kristen dan ia mengabdikan dirinya bersama dengan mereka di medan
peperangan, tanpa menghiraukan keselamatannya. Ia menjadi beken sebagai
Sang wanita dengan lampu" (The Lady with the Lamp) sementara ia mengurus
dan membalut orang yang sudah sekarat.
Dalam medan perang di Solferino pada th 1859, seorang sukarelawan dari Swiss
yang bernama Henry Dunnant (1828-1910) membantu dan merawat mereka
yang terluka dengan tanpa mengenal rasa lelah, karena ia merasa terpanggil
oleh Allah untuk melaksanakan kewajiban yang sakral ini. Padahal ia bukanlah
seorang perawat melainkan seorang banker.
Berdasarkan pengalaman Mr Dunnant di Solferino tsb, akhirnya ia berhasil
menjadi penggerak dan pendiri dari Palang Merah International yang kita kenal
sekarang ini. Bahkan karena pengabdiannya sehingga ia telah menelantarkan
pekerjaannya sebagai bankir dengan mana akhirnya ia jadi bankrut bahkan
kehilangan nama baiknya dan sempat menjadi gelandangan selama bertahun-
tahun di Paris, tetapi menjelang akhir hayatnya, ia bisa kembali ke Swiss dan
mendapatkan hadiah Nobel yang pertama kalinya diberikan.
Palang merah adalah lambang dari bendera Swiss dengan warna terbalik dan di
th 1876, Turki juga telah merobah lambang Palang Merah ini menjadi Sabit
Merah. Banyak negara di dunia ini menjadi anggota perhimpunan salah satu dari
kedua persatuan sosial ini, tetapi mayoritas adalah anggota dari Palang Merah.
Perlu diketahui bahwa tidak semua Dokter maupun perawat itu hanya money
oriented, sebab kenyataannya masih banyak sekali Dokter yang benar-benar
mau mengabdikan dirinya untuk kesehatan pasiennya, bahkan mereka sampai
dikirim ke daerah-daerah yang rawan dan terpencil di seluruh pelosok dunia
seperti mereka yang bergabung dalam organisasi Médecins Sans Frontières.
Mereka merawat para penderita HIV/AIDS maupun lepra tanpa menghiraukan
kesehatannya sendiri, bahkan mereka bekerja disitu hanya sebagai sukarelawan.
Mereka harus meninggal tempat prkatek maupun keluarga mereka selama
berbulan-bulan bahkan ada juga yang bertahun-tahun. Dan lihatlah sendiri
pengabdiannya dari Mother Theresia. Saya kira ini semuanya adalah bukti nyata
bahwa masih banyak sekali Dokter maupun perawat yang benar-benar melayani
sesama manusia karena didorong oleh rasa kasih terhadap sesama manusia.
Daftar Pustaka
http://makalahcenter.blogspot.com/2010/12/konsep-pendidikan-kejuruan.html
http://mon-devoir.blogspot.com/2012/08/pendidikan-kejuruan-pengertian-
prinsip.html
http://www.mail-archive.com/[email protected]/
msg00764.html
http://www.pdk-tebingtinggi.com/index.php/izin-pendirian-sekolah/84-izin-
pendirian-dan-pembukaan-smp-sma-dan-smk
http://sv.ugm.ac.id/
http://begundaldesa.blogspot.com/2011/07/pengertian-pendidikan-profesi-
dan.html
http://penjual-mimpi.blogspot.com/2010/02/program-pendidikan-akademik-
profesi-dan.html