kejang

17
KRITERIA KEJANG PADA NEONATUS DEFINISI Perubahan paroksimal dari fungsi neurologik (misalnya perilaku, sensorik, motorik dan fungsi autonom sistem saraf) yang terjadi pada bayi berumur 1-28 hari. EPIDEMIOLOGI - Merupakan keadaan emerjensi paling sering karena dapat menyebabkan hipoksia dan sekuele, serta dapat menjadi tanda adanya masalah tertentu - Walaupun BBL mempunyai daya tahan kerusakan otak lebih baik mempunyai efek penurunan ambang batas jangka panjang, gangguan belajar, dan daya ingat menurun - 1-5% neonatus mengalami kejang pada bulan pertama - Insidensi meningkat pada BKB (20%) sedangka BCB hanya 1,4% ETIOLOGI a. Ensefaloopati iskemik hipoksik Penyebab tersering (60-65%), biasanya terjadi dalam 12-24 jam pertama pada BKB asfiksia. Bentuk kejang subtle atau multifokal klonik serta fokal klonik. 20% kasus ini (yang disertai kejang) akan mengalami infark serebral. Manifestasi kejang terjadi pada stadium sedang-berat b. Perdarahan intrakranial Perdarahan matriks germinal atau intraventrikel penyebab tersering pada bayi prematur (45%) c. Gangguan metabolik Hipoglikemia (<45 mg/dL), hipokalsemia (<7,5 mg/dL), hiponatremia atau hipernatremia d. Infeksi e. Kernikterus/ensefalopati bilirubin f. Kejang berhubungan dengan obat Drug withdrawal jika ibu ketagihan heroin saat hamil Intoksikasi anestesi lokal pada ibu curigai pupil yang tetap berdilatasi saat dilakukan pemeriksaan g. Gangguan perkembangan otak h. Kelainan herediter (gangguan metabolisme asam amino, ketergantungan dan kekurangan piridoksin) i. Idiopatik kejang nenoatal benigna familial, kejang hari kelima PATOFISIOLOGI Depolarisasi membran yang berlebihan dapat terjadi akibat: a. Gangguan produksi energi (ATP) gangguan mekanisme pompa Na dan K. Hipoksemia dan hipoglikemia dapat menyebabkan terjadinya penurunan produksi energi b. Peningkatan eksitasi dibanding inhibisi kecepatan depolarisasi berlebihan c. Penurunan relatif inhibisi dibanding eksitasi kecepatan depolarisasi berlebihan. Bisa disebabkan oleh ketergantungan piridoksin d. Peningkatan permeabilitas Na karena kelainan membran sel disebabkan oleh hipokalsemia dan hipomagnesia Karena kebutuhan O2 dan glukosa meningkat untuk otak penumpukan asam laktat akibat metabolisme anaerobik pH arteri menurun asidosis tekanan darah sistemik meningkat dan aliran darah otak

Upload: dienda-aleasha

Post on 22-Oct-2015

24 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

tentang kejang

TRANSCRIPT

Page 1: kejang

KRITERIA KEJANG PADA NEONATUSDEFINISI Perubahan paroksimal dari fungsi neurologik (misalnya perilaku, sensorik, motorik dan fungsi autonom sistem saraf) yang terjadi pada bayi berumur 1-

28 hari.EPIDEMIOLOGI - Merupakan keadaan emerjensi paling sering karena dapat menyebabkan hipoksia dan sekuele, serta dapat menjadi tanda adanya masalah

tertentu- Walaupun BBL mempunyai daya tahan kerusakan otak lebih baik mempunyai efek penurunan ambang batas jangka panjang, gangguan

belajar, dan daya ingat menurun- 1-5% neonatus mengalami kejang pada bulan pertama- Insidensi meningkat pada BKB (20%) sedangka BCB hanya 1,4%

ETIOLOGI a. Ensefaloopati iskemik hipoksikPenyebab tersering (60-65%), biasanya terjadi dalam 12-24 jam pertama pada BKB asfiksia. Bentuk kejang subtle atau multifokal klonik serta fokal klonik. 20% kasus ini (yang disertai kejang) akan mengalami infark serebral. Manifestasi kejang terjadi pada stadium sedang-berat

b. Perdarahan intrakranialPerdarahan matriks germinal atau intraventrikel penyebab tersering pada bayi prematur (45%)

c. Gangguan metabolikHipoglikemia (<45 mg/dL), hipokalsemia (<7,5 mg/dL), hiponatremia atau hipernatremia

d. Infeksie. Kernikterus/ensefalopati bilirubinf. Kejang berhubungan dengan obat

Drug withdrawal jika ibu ketagihan heroin saat hamil Intoksikasi anestesi lokal pada ibu curigai pupil yang tetap berdilatasi saat dilakukan pemeriksaan

g. Gangguan perkembangan otakh. Kelainan herediter (gangguan metabolisme asam amino, ketergantungan dan kekurangan piridoksin)i. Idiopatik kejang nenoatal benigna familial, kejang hari kelima

PATOFISIOLOGI Depolarisasi membran yang berlebihan dapat terjadi akibat:a. Gangguan produksi energi (ATP) gangguan mekanisme pompa Na dan K. Hipoksemia dan hipoglikemia dapat menyebabkan terjadinya

penurunan produksi energib. Peningkatan eksitasi dibanding inhibisi kecepatan depolarisasi berlebihanc. Penurunan relatif inhibisi dibanding eksitasi kecepatan depolarisasi berlebihan. Bisa disebabkan oleh ketergantungan piridoksind. Peningkatan permeabilitas Na karena kelainan membran sel disebabkan oleh hipokalsemia dan hipomagnesia

Karena kebutuhan O2 dan glukosa meningkat untuk otak penumpukan asam laktat akibat metabolisme anaerobik pH arteri menurun asidosis tekanan darah sistemik meningkat dan aliran darah otak naik efek jangka panjang : perubahan struktur sel dan hubungan sinaptik

Keadaan anatomi SSP perinatal (Volpe) :a. Susunan dendrit dan remifikasi aksonal yang masih dalam proses pertumbuhanb. Sinaptogenesis belum sempurnac. Mielinisasi pada sistem eferen di kortikal belum lengkap

Keadaan fisiologis perinatal :a. Sinaps eksitatori berkembang mendahului inhibisib. Neuron kortikal dan hipokampal masih imaturc. Inhibisi kejang oleh sistem substansia nigra belum berkembang

Page 2: kejang

DIAGNOSIS ANAMNESISFaktor risiko

a. Riwayat kejang dalam keluargab. Riwayat kehamilan/prenatal

Infeksi TORCH atau infeksi lain saat hamil Preeklamsia, gawat janin Pemakaian obat golongan narkotika Imunisasi anti tetanus, rubela

c. Riwayat persalinan Asfiksia, episode hipoksik Trauma persalinan Ketuban pecah dini Anestesi lokal/blok

d. Riwayat pascanatal Infeksi BBL Ikterus neonatorum Infeksi tali pusat akibat perawatan yang kurang tepat Faktor pemicu kejang oleh suara bising atau prosedur perawatan Waktu atau awitan kejang mungkin berhubungan dengan etiologi Bentuk gerakan abnormal terjadi

Manifestasi klinisa. Subtle (50% pada kejang neonatus)

Orofasial (deviasi mata, kedipan mata, gerakan alis yang bergetar berulang-ulang, mata tiba-tiba terbuka dengan bola mata terfiksasi ke satu arah, gerakan seperti mengunyah, mengeluarkan air liur, menjulurkan lidah, gerakan pada bibir dan pergerkan ekstremitas seperti berenang, mendayung, bertinju atau bersepeda)

Episode apnea Perubahan vasomotorik peningkatan salivasi, perubahan tekanan darah

b. Tonik (biasa terjadi pada BBLR preterm) Kejang tonik parsial postur tubuh asimetris yang menetap dari badan atau ekstremitas dengan atau tanpa adanya gerakan mata

abnormal Kejang tonik umum fleksi tonik atau ekstensi leher, badan dan ekstremitas, biasanya dengan ekstensi ekstremitas bawah

c. Klonik Klonik fokal gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas pada sisi unilateral dengan atau tanpa adanya gerakan wajah gerakan

pelan dan ritmik dengan frekuensi 1-4x/detik Klonik multifokal mempunyai lebih dari 1 fokus atau migrasi terdiri dari gerakan dari satu ekstremitas yang secara acak pindah ke

ekstremitas lainnya. Kadang memberi kesan kejang umum, lebih sering dijumpai pada BCB dengan berat >2500 gram. Gambaran EEG yang khas spike-wave berurutan menyebar secara ipsilateral dari hemisfer asal gelombang tersebut

d. Mioklonik (cenderung terjadi pada kelompok otot fleksor) Fokal terdiri dari kontraksi cepat satu atau lebih otot fleksor ekstremitas atas Multifokal terdiri dari gerakan tidak sinkron dari beberapa bagian tubuh Umum Terdiri dari >1 gerakan fleksi masif dari kepala dan badan dan adanya gerakan fleksi atau ekstensi dari ekstremitas

Page 3: kejang

Sering dijumpai pada BKB maupun BCB pada saat tidur

PEMERIKSAAN FISIK1. Identifikasi manifestasi kejang yang terjadi2. Keadaan umum : lethargi atau tampak sakit. Kesadaran yang tiba-tiba menurun hipoventilasi dan apnea, kejang tonik, posisi dalam

deserebrasi, reaksi pupil negatif, kuadriparesis flaksid3. Pantau perubahan vitalsign adanya sianosis atau tidak curigai iskemia otak4. Pemeriksaan kepala untuk mencari apakah ada frkatur, depresi, moulding yang berlebihan karena trauma. Ubun-ubun besar menonjol dan

tegang (↑) TIC karena perdarah subarakhnoid5. Pemeriksaan funduskopi kelainan perdarahan retina atau subhialoid manifestasi patognomonik untuk hematoma subdural6. Pemeriksaan tali pusat

PEMERIKSAAN PENUNJANG(sama seperti pada catatan px penunjang kejang pada anak secara umum)

TATALAKSANA MANAJEMEN AWAL- Airway-Breathing-Circulation- Pasang jalur IV dan beri cairan dengan dosis rumatan- Atasi hipoglikemia jika terjadi- Beri injeksi fenobarbital 20 mg/kgBB secara iv dalam 5 menit- Jika belum terpasang, berikan injeksi fenobarbital 20 mg/kgBB dosis tunggal secara im- Jika tidak berhenti dalam 30 menit ulangi fenobarbital 10 mg/kgBB secara iv atau im ulangi sekali lagi dalam 30 menit (dosis maksimal 40

mg/kgBB/hari)- Jika masih berlanjut atau berulang injeksi fenitoin 20 mg/kgBB hanya boleh iv dan campur ke 15 ml NaCl 0,9% dengan monitor denyut

jantung

Page 4: kejang

KRITERIA MENINGITIS BAKTERIAL MENINGITIS EOSINOFILIK MENINGOENSEFALITIS VIRALDEFINISI Infeksi selaput meninges yang disebabkan oleh bakteri

patogenMeningitis yang disertai dengan temuan eosinofil ≥10 sel/mmk pada cairan serebrospinal. Penyebab tersering adalah infeksi CSS oleh parasit helmintik.

Proses inflamasi akut pada meninges dan parenkim otak dalam beberapa tingkat berbeda. Infeksi ini relatif umum disebabkan oleh beberapa agen yang berbeda. CSS pleositosis dan tidak ada mikroorganisme pada pengecatan Gram dan kultur bakterial rutin. Pada kebanyakan kasus penyakit ini self-limited, dan beberapa lainnya mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi.

EPIDEMIOLOGI Insidensi tertinggi terjadi pada bayi dengan demam tinggi dan termasuk diagnosis banding dari perubahan status mental dan disfungsi neurologis.Cara penularan biasanya melalui sekret respiratorik atau droplet

FAKTOR RISIKO:a. Kurangnya imunitas spesifik pada usia muda, risko

meningkat pada bayi atau anak usia muda dengan bakteremia tersamar oleh meningokokus dan H. influenzae tipe B. defek sistem komplemen c5-c8 berhubungan dengan infeksi meningokokus rekuren.

b. Defek properdin risiko penyakit meningokokal letal

c. Disfungsi splenik anemia sel sabit atau asplenia karena trauma, defek kongenital dan penyakit Hodgkin ↑ risiko

d. Defek limfosit T (↑) infeksi L. Monocytogenes pada CSS

e. Kebocoran CSS ke barrier mukokutan )ex: defek lempeng kribiform, kaki stapedius atau fistula telinga dalam)

f. Adanya kolonisasi bakteri patogen sebelumnyag. Ada kontak dekat dengan pasien infeksius (pada

pengasuh, daycare, barak pengungsian dll)h. Kemiskinani. Ras kulit hitamj. Jenis kelamin laki-laki

- A. cantonensis sering ditemukan di Asia Tenggara, Pasifik Selatan, Jepang, Taiwan, Mesir, dan Kuba. Infeksi didapat dari makanan yang berasal dari perairan yang masih mentah atau tidak dimasak seperti siput, udang, kepiting yang terinfeksi larva tingkat tiga.

- Infeksi Gnathostoma ditemukan di Jepang, Cina, India, Bangladesh dan Asia Tenggara, didapatkan dari daging ikan, katak, ular dan unggas mentah.

Pola epidemiologi meningoensefalitis ditentukan oleh prevalensi enterovirus sebagai penyebab utama. Infeksi dapat menyebar dari satu orang ke orang lain dengana masa inkubasi 4-6 hari. Paling sering terjadi pada musim panas dan musim gugur.

Page 5: kejang

ETIOLOGI - Pada bayi usia 0-2 bulan, bakteri penyebab meningitis biasa didapat dari flora normal maternal atau terpapar dari lingkungan Streptokokus grup B dan D, basil enterik Gram negatif, dan Listeria monocytogenes

- Pada usia 2 bulan – 12 tahun : Streptococcus grup B Streptococcus pneumoniae (pneumococcus) Neisseria meningitidis (meningococcus) Haemophilus influenzae tipe B

Paling sering terjadi pada usia <5 tahun, maka sering diberikan imunisasi. Setelah usia 2 tahun insidensi akibat patogen ini berkurang

- Pada pasien dengan defisiensi imun, bakteri di bawah ini juga dapat menimbulkan meningitis: Pseudomonas aeruginosa Staphylococcus aureus Stafilokokus koagulase-negatif Salmonella spp L. monocytogenes

Penyebab tersering adalah cacing paru Angiostrongylus cantonensis Penyebab lainnya:

Gnathostoma spinigerum (dog and cat roundworm)

Baylisascaris procyonis (raccoon roundworm) Ascaris lumbricoides (human roundworm) Trichinella spiralis Toxocara canis Toxoplasma gondii Paragonimus westermani Echinococcus granulosus Schistosoma japonicum Onchocerca volvulus T. solium.

- Enteroviruses menyebabkan terjadinya 80% kasus meningoensefalitis. Enteroviruses merupakan RNA virus yang memiliki 80 serotipe berbeda.

- Arboviruses adalah agen artrhropoda yang sering menginfeksi pada musim panas. Vektor tersering adalah nyamuk dan kutu. Ensefalitis pada kuda biasanya menjadi indikasi pertama terjadinya epidemik insipien.

- Beberapa anggota famili herpes virus HSV-1 (keterlibatan otak biasanya fokal, progresi koma dan kematian 70% tanpa terapi antiviralm parah dan sporadik) dan HSV-2 (ensefalitis parah dengan keterlibatan otak difus, sering terjadi pada neonatus yang terinfeksi saat melewati jalan lahir)

- Varicella-zoster virus (VZV) - Cytomegalovirus (CMV) bisa menjadi infeksi

kongenital atau penyakit diseminata pada penderita imunokompromais

- Epstein-Barr virus (EBV)

- Mumps dapat menyebabkan meningoensefalitis dengan kerusakan nervus VIII dan tuli sebagai sekuele

PATOFISIOLOGIEksudat meningeal terdistribusi ke sekitar vena serebral,

sinus vena, konveksitas otak dan serebelum, sulkus, fisura Sylvian, sisterna basal dan korda spinalis.

↓Ventrikulitis dengan bakteri dan sel inflamasi efusi

subdural atau terkadang empiema↓

Terdapat infiltrat inflamatorik perivaskular dan membran ependimal rusak. Perubahan parenkim dan vaskular serebral terlihat dari adanya PMN pada regio subintimal, trombosis pada vena kortikal, oklusi sinus

venosus major, arteritis nekrotik yang membuat perdarahan subarakhnoid

↓Infark serebral karena oklusi vaskuler oleh inflamasi, vasospasme dan trombosis kadang meninggalkan

sekuele↓

Inflamasi nervus spinal tanda meningeal. Inflamasi nervus kranial neuropati optikus, okulomotor, fasial

dan auditorik

Invasi dan destruksi langsung pada jaringan saraf dengan multiplikasi virus secara aktif atau respon penjamu

terhadap antigen virus↓

Demielinasi dan kerusakan vaskuler serta perivaskuler↓

Kongesti meningeal dan infiltrasi mononuklear↓

Kebocoran plasma dan limfosit nekrosis jaringan perivaskuler dengan pemecahan mielin disrupsi

neuronal↓

Neuronofagia dan proliferasi endotelial atau nekrosis↓

HSV sering menginvasi lobus temporal, arbovirus hampir keseluruhan bagian, rabies mempunyai predileksi pada

struktur basal

Page 6: kejang

Increased ICP is due to cell death (cytotoxic cerebral edema), cytokine-induced increased capillary vascular permeability (vasogenic cerebral edema), and, possibly, increased hydrostatic pressure (interstitial cerebral edema) after obstructed reabsorption of CSF in the arachnoid villus or obstruction of the flow of fluid from the ventricles. ICP often exceeds 300 mm H2O; cerebral perfusion may be further compromised if the cerebral perfusion pressure (mean arterial pressure minus ICP) is less than 50 cm H2O owing to reduced cerebral blood flow. The syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion(SIADH) may produce excessive water retention, increasing the risk of elevated ICP. (See Chapter 553.1.) Hypotonicity of brain extracellular spaces may cause cytotoxic edema after cell swelling and lysis. Tentorial, falx, or cerebellar herniation does not usually occur because the increased ICP is transmitted to the entire subarachnoid space and there is little structural displacement. Furthermore, if the fontanels are still patent, increased ICP is readily dissipated.

Hydrocephalus can occur as an acute complication of bacterial meningitis. It most often takes the form of a communicating hydrocephalus due to adhesive thickening of the arachnoid villi around the cisterns at the base of the brain. Thus, there is interference with the normal resorption of CSF. Less often, obstructive hydrocephalus develops after fibrosis and gliosis of the aqueduct of Sylvius or the foramina of Magendie and Luschka.

Raised CSF protein levels are due in part to increased vascular permeability of the blood-brain barrier and the loss of albumin-rich fluid from the capillaries and veins traversing the subdural space. Continued transudation may result in subdural effusions, usually found in the later phase of acute bacterial meningitis. Hypoglycorrhachia (reduced CSF glucose levels) is due to decreased glucose transport by the cerebral tissue.

Damage to the cerebral cortex may be due to the focal or diffuse effects of vascular occlusion (infarction, necrosis, lactic acidosis), hypoxia, bacterial invasion

Page 7: kejang

(cerebritis), toxic encephalopathy (bacterial toxins), elevated ICP, ventriculitis, and transudation (subdural effusions). These pathologic factors result in the clinical manifestations of impaired consciousness, seizures, cranial nerve deficits, motor and sensory deficits, and later psychomotor retardation.

DIAGNOSIS Clinical Manifestations.

The onset of acute meningitis has two predominant patterns. The more dramatic and, fortunately, less common presentation is sudden onset with rapidly progressive manifestations of shock, purpura, disseminated intravascular coagulation (DIC), and reduced levels of consciousness frequently resulting in death within 24 hr. More often, meningitis is preceded by several days of fever accompanied by upper respiratory tract or gastrointestinal symptoms, followed by nonspecific signs of CNS infection such as increasing lethargy and irritability.

The signs and symptoms of meningitis are related to the nonspecific findings associated with a systemic infection and to manifestations of meningeal irritation. Nonspecific findings include fever, anorexia and poor feeding, symptoms of upper respiratory tract infection, myalgias, arthralgias, tachycardia, hypotension, and various cutaneous signs, such as petechiae, purpura, or an erythematous macular rash. Meningeal irritation is manifested as nuchal rigidity, back pain, Kernig sign (flexion of the hip 90 degrees with subsequent pain with extension of the leg), and Brudzinski sign (involuntary flexion of the knees and hips after passive flexion of the neck while supine). In some children, particularly in those younger than 12-18 mo, Kernig and Brudzinski signs are not consistently present. Increased ICP is suggested by headache, emesis, bulging fontanel or diastasis (widening) of the sutures, oculomotor or abducens nerve paralysis, hypertension with bradycardia, apnea or hyperventilation, decorticate or decerebrate posturing, stupor, coma, or signs of herniation. Papilledema is uncommon in uncomplicated meningitis and should suggest a more chronic process, such as the presence of an intracranial abscess, subdural

MANIFESTASI KLINIS- Sakit pada minggu 1-3 setelah paparan, karena

cacing berpindah dari traktus GI ke CSS- Demam- Eosinofilia- Muntah- Nyeri perut- Erupsi dan gatal pada kulit- Tanda pleural- Tanda neurologis nyeri kepala, meningismus,

ataksia, kelumpuhan - Paraparesis atau inkontinensia dapat terjadi

akibat radikulitis atau mielitis

DIAGNOSIS- Adanya riwayat berpergian ke suatu tempat yang

menjadi tempat asal hidupnya patogen- Temuan laboratorium menunjukkan adanya

eosinofilia pada apus darah tepi

MANIFESTASI KLINIS

Progresi dan keparahan penyakit tergantung dari derajat keterlibatan meninges dan parenkim, yang dimana dipengaruhi oleh etiologi.

- Demam tinggi disertai konvulsi, halusinasi yang disertai pemulihan lengkap

- Sakit kepala pada bagian frontal atau keseluruhan dan hiperparestesia (pada anak yang lebih besar)

- Iritabilitas dan letargi (pada bayi) - Mual-muntah- Fotofobia- Nyeri leher, punggung, dan tungkai- Perubahan status mental saat demam

meningkat konfusi stupor dalam kombinasi gerakan aneh dan kejang

- Tanda neurologis fokal- Kehilangan kontrol usus dan kandung kemih

inkontinensia- Eksantema sesuai dengan virus penyebab- Tanda meningeal kaku kuduk

DIAGNOSIS 1. Pemeriksaan CSS2. Elektroensefalogram (EEG) aktivitas

gelombang lambat yang difus, biasanya tanpa perubahan fokal

3. CTscan/MRI pembengkakan parenkim otak4. PCR, terutama jika dicurigai adanya infeksi HSV

Page 8: kejang

empyema, or occlusion of a dural venous sinus. Focal neurologic signs usually are due to vascular occlusion. Cranial neuropathies of the ocular, oculomotor, abducens, facial, and auditory nerves also may be due to focal inflammation. Overall, about 10-20% of children with bacterial meningitis have focal neurologic signs.

Seizures (focal or generalized) due to cerebritis, infarction, or electrolyte disturbances occur in 20-30% of patients with meningitis. Seizures that occur on presentation or within the first 4 days of onset are usually of no prognostic significance. Seizures that persist after the 4th day of illness and those that are difficult to treat may be associated with a poor prognosis.

Alterations of mental status are common among patients with meningitis and may be due to increased ICP, cerebritis, or hypotension; manifestations include irritability, lethargy, stupor, obtundation, and coma. Comatose patients have a poor prognosis. Additional manifestations of meningitis include photophobia and tache cérébrale, which is elicited by stroking the skin with a blunt object and observing a raised red streak within 30-60 sec.

Hasil pemeriksaan darah rutin pada bentuk meningitis umum

Kondisi Tekanan (mmH2O) Leukosit (mm3) Protein (mg/dL) Glukosa (mg/dL) KeteranganNormal 50-80 <5 ; 75% limfosit 20-45 >50 (atau 75% glukosa

serumMeningitis bakterial akut

(↑) (100-300) 100-10.000 atau lebih, biasanya 300-2000 ; predominan PMN

100-500 (↓), biasanya <40 (atau <50% glukosa serum)

Organisme dapat terlihat pada pengecatan Gram dan kultur

Meningitis bakterial yang ditangani sebagian

Normal atau (↑) 5-10.000; mononuklear mendominasi jika sebelumnya sudah ditangani jangka waktu lama

100-500 Normal atau (↓) Organisme dapat terlihat pada pengecatan Gram. Preterapi dapat menunjukkan CSS yang steril. Antigen dapat terdeteksi pada uji aglutinasi.

Meningitis viral atau meningoensefalitis

Normal atau sedikit (↑) (80-150)

Jarang >1000 sel ; awalnya PMN kemudian

50-200 Umumnya normal, bisa (↓) <40 pada beberapa

Ensefalitis HSV ditandai dengan kejang fokal atau dengan temuan fokal pada CTscan/MRI

Page 9: kejang

didominasi mononuklear penyakit viral, khususnya parotitis (15-20% kasus)

atau EEG. Enterovirus dan HSV biasanya dapat ditemukan pada CSS dan dapat dideteksi dengan PCR.

TATALAKSANA Treatment.

INITIAL ANTIBIOTIC THERAPY.

The initial (empirical) choice of therapy for meningitis in immunocompetent infants and children is primarily determined by the antibiotic susceptibilities of S. pneumoniae. Selected antibiotics should achieve bactericidal levels in the CSF. Although there are substantial geographic differences in the frequency of resistance of S. pneumoniae to antibiotics, rates are increasing throughout the world. In the United States, 25-50% of strains of S. pneumoniae are currently resistant to penicillin; relative resistance (MIC, 0.1-1.0 ug/mL) is more common than high-level resistance (MIC ≥ 2.0 ug/mL). Resistance to cefotaxime and ceftriaxone also is evident in up to 25% of isolates. In contrast, most strains of N. meningitidis are sensitive to penicillin and cephalosporins, although rare resistant isolates have been reported. Approximately 30-40% of isolates of H. influenzae type b produce β-lactamases and therefore are resistant to ampicillin. These β-lactamase-producing strains remain sensitive to the extended-spectrum cephalosporins.

Based on the substantial rate of resistance of S. pneumoniae to β-lactam drugs recommended empirical therapy is vancomycin (60 mg/kg/24 hr, given every 6 hr) in combination with either of the third-generation cephalosporins, cefotaxime (200 mg/kg/24 hr, given every 6 hr) or ceftriaxone (100 mg/kg/24 hr administered once per day or 50 mg/kg/dose, given every 12 hr). Patients allergic to β-lactam antibiotics can be treated with chloramphenicol, 100 mg/kg/24 hr, given every 6 hr.

If L. monocytogenes infection is suspected, as in infants 1-2 mo old or patients with a T-lymphocyte deficiency, ampicillin (200 mg/kg/24 hr, given every 6 hr) should be given with ceftriaxone or cefotaxime because

Terapi bersifat suportif karena infeksi ini bersifat self-limited disease dan obat antihelmintes tidak berpengaruh banyak.

- Berikan analgesik untuk sakit kepala dan radikulitis

- Pemindahan CSS atau shunting memperingan hidrosefalus (jika ada)

- Steroid dapat mempersingkat durasi sakit kepala pada dewasa dengan infeksi ini, tidak disarankan untuk anak-anak

TERAPI

Selain infeksi HSV terapi bersifat suportifa. NSAID parasetamolb. Kodein, morfin jika sangat nyeric. Bedrest, kurangi cahaya, berisik dan jumlah

pengunjungd. Antisipasi dan persiapkan manajemen konvulsi,

edema serebral, hiperpireksia, pertukaran respirasi yang inadekuat, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

e. Pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial penempatan transduser tekanan di ruang epidural

f. Kontrol kadar gula, protein dan elektrolit

PREVENSI/PENCEGAHAN- Pemberian vaksin pada virus-virus tertentu

Page 10: kejang

cephalosporins are inactive against L. monocytogenes. Intravenous trimethoprim-sulfamethoxazole is an alternative treatment for L. monocytogenes.

DURATION OF ANTIBIOTIC THERAPY.

Therapy for uncomplicated penicillin-sensitive S. pneumoniae meningitis should be completed with a third-generation cephalosporin or intravenous penicillin (400,000 U/kg/24 hr, given every 4-6 hr) for 10-14 days. If the isolate is resistant to penicillin and the third-generation cephalosporin, therapy should be completed with vancomycin. Intravenous penicillin (400,000 U/kg/24 hr) for 5-7 days is the treatment of choice for uncomplicated N. meningitidis meningitis. Uncomplicated H. influenzae type b meningitis should be treated for a total of 7-10 days. Ampicillin should be used to complete the course of therapy if the isolate is found to be sensitive.

Patients who receive intravenous or oral antibiotics before LP and who do not have an identifiable pathogen but do have evidence of an acute bacterial infection on the basis of their CSF profile should continue to receive therapy with ceftriaxone or cefotaxime for 7-10 days. If focal signs are present or the child does not respond to treatment, a parameningeal focus may be present and a CT or MRI scan should be performed.

CORTICOSTEROIDS.

Data support the use of intravenous dexamethasone, 0.15 mg/kg/dose given every 6 hr for 2 days, in the treatment of children older than 6 wk with acute bacterial meningitis caused by H. influenzae type b.

SUPPORTIVE CARE.

Page 11: kejang

Repeated medical and neurologic assessments of patients with bacterial meningitis are essential to identify early signs of cardiovascular, CNS, and metabolic complications. Pulse rate, blood pressure, and respiratory rate should be monitored frequently. Neurologic assessment, including pupillary reflexes, level of consciousness, motor strength, cranial nerve signs, and evaluation for seizures, should be made frequently during the first 72 hr, when the risk of neurologic complications is greatest. Important laboratory studies include an assessment of blood urea nitrogen; serum sodium, chloride, potassium, and bicarbonate levels; urine output and specific gravity; complete blood and platelet counts; and, in the presence of petechiae, purpura, or abnormal bleeding, measure of coagulation function (fibrinogen, prothrombin, and partial thromboplastin times).

Patients should initially receive nothing by mouth. If a patient is judged to be normovolemic, with normal blood pressure, intravenous fluid administration should be restricted to one half to two thirds of maintenance, or 800-1,000 mL/m2/24 hr, until it can be established that increased ICP or SIADH is not present. Fluid administration may be returned to normal (1,500-1,700 mL/m2/24 hr) when serum sodium levels are normal. Fluid restriction is not appropriate in the presence of systemic hypotension because reduced blood pressure may result in reduced cerebral perfusion pressure and CNS ischemia. Therefore, shock must be treated aggressively to prevent brain and other organ dysfunction (acute tubular necrosis, adult respiratory distress syndrome). Patients with shock, a markedly elevated ICP, coma, and refractory seizures require intensive monitoring with central arterial and venous access and frequent vital signs, necessitating admission to a pediatric intensive care unit. Patients with septic shock require fluid resuscitation and therapy with vasoactive agents such as dopamine, epinephrine, and sodium nitroprusside (Chapter 163). The goal of such therapy in patients with meningitis is to avoid excessive increases in ICP without compromising blood flow and oxygen delivery to vital organs.

Neurologic complications include increased ICP with

Page 12: kejang

subsequent herniation, seizures, and an enlarging head circumference due to a subdural effusion or hydrocephalus. Signs of increased ICP should be treated emergently with endotracheal intubation and hyperventilation (to maintain the PCO2 at approximately 25 mm Hg). In addition, intravenous furosemide (Lasix, 1 mg/kg) and mannitol (0.5-1 g/kg) osmotherapy may reduce ICP (Chapter 57.7). Furosemide may reduce brain swelling by venodilation and diuresis without increasing intracranial blood volume, whereas mannitol produces an osmolar gradient between the brain and plasma, thus shifting fluid from the CNS to the plasma, with subsequent excretion during an osmotic diuresis.

Seizures are common during the course of bacterial meningitis. Immediate therapy for seizures includes intravenous diazepam (0.1-0.2 mg/kg/dose) or lorazepam (0.05 mg/kg/dose), paying careful attention to the risk of respiratory suppression. Serum glucose, calcium, and sodium levels should be monitored to rule out a metabolic etiology. After immediate management of seizures, patients should receive phenytoin (15-20 mg/kg loading dose, 5 mg/kg/24 hr maintenance) to reduce the likelihood of recurrence. Phenytoin is preferred to phenobarbital because it produces less CNS depression and permits assessment of a patient's level of consciousness. Serum phenytoin levels should be monitored to maintain them in the therapeutic range (10-20 μg/mL).

PROGNOSISKOMPLIKASI

- Kejang- Peningkatan tekanan intrakranial- Kelumpuhan nervus kranial- Stroke- Herniasi serebral atau serebelar- Trombosis sinus venosus dural - SIADH- Perikarditis- Artritis- Trombositosis- Eosinofilia- Anemia - DIC

KOMPLIKASI

Komplikasi biasa terjadi pada 10% kasus dengan penyakit berat

- Inkoordinasi motorik- Kelainan konvulsif- Tuli parsial atau total- Gangguan perilaku - Gangguan penglihatan karena korioretinopati

dan ambliopia perseptual

Page 13: kejang