kehormatan bagi yang berhak

Upload: frends-aiw

Post on 06-Jul-2015

323 views

Category:

Documents


214 download

TRANSCRIPT

BAB I AWAL SEBUAH TRAGEDI UNGKAPAN berbagai peneliti mengenai "Gerakan 30 September 1965" di Indonesia, berbeda-beda. Antonie C.A. Dake dalam bukunya "In the Spirit of the Red Banteng", mengungkapkan tragedi ini dengan banyak mengacu kepada keterlibatan PKI sebagai perencana, Bung Karno mengetahui dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai pensuplai senjata untuk persiapan apa yang disebut Angkatan ke-V, yang dituduhkan akan menjadi kekuatan bersenjata PKI. Ada 22 juta sukarelawan yang sudah mendaftarkan diri di Front Nasional, memenuhi seruan Bung Karno mobilisasi kekuatan rakyat untuk mengganyang Malaysia. Mereka inilah katanya yang akan disaring untuk dimasukkan ke dalam Angkatan ke-V. Pembentukan Federasi Malaysia dirancang oleh Perdana Menteri Inggeris, Harold McMillan, dan Perdana Menteri Malaya, Tungku Abdul Rahman, dalam perundingan di London pada bulan Oktober 1961 dan dilanjutkan bulan Juli 1962, itulah yang mengawali provokasi politik dan militer meng-contain Indonesia. Ganis Harsono, jurubicara Departemen Luar Negeri R.l. selama 8 tahun di era Sukarno, menulis dalam bukunya "Recollections of an Indonesian Diplomat in the Sukarno Era" yang diterbitkan oleh University of Queensland Press, Australia, tahun 1977 dan kemudian pada tahun 1985 diterbitkan edisi Indonesianya oleh Inti Idayu Press Jakarta dengan judul "Cakrawala Politik Era Sukarno", menulis bahwa Inggris memberitahukan kepada Indonesia mengenai rencananya membentuk Federasi Malaysia. Indonesia tidak menentang, karena dipahami bahwa ide pembentukkannya ialah untuk memberikan kemerdekaan kepada wilayah-wilayah jajahan Inggeris di Kalimantan Utara. Tetapi setelah Presiden Macapagal dari Filipina mengajukan tuntutan supaya dalam proses pemberian kemerdekaan tersebut, wilayah Sabah dikembalikan kepada Filipina, karena memang tadinya adalah wilayah kekuasaan Kasultanan Sulu di Filipina Selatan yang dicaplok oleh Inggeris ketika menjajah Kalimantan Utara, justru timbul reaksi keras dari Kuala Lumpur, yang disampaikan oleh Duta Besarnya di Manila, Zaiton Ibrahim, dengan mengatakan kepada Presiden Macapagal bahwa situasi akan menjadi gawat, apabila Filipina menuntut wilayah Sabah. Malahan Menteri Pertahanan Malaya, Najib Tun Razak, memberikan reaksi yang lebih keras lagi: "Kami siap pergi berperang mempertahankan Sabah dalam naungan Malaysia". Tadinya Sabah hanya disewa oleh Inggeris dari Sultan Sulu, Jamal Alam, yang akhirnya jatuh ke bawah penguasaan The British North Borneo Company. Waktu itu Indonesia tidak memberikan reaksi apa-apa, diam saja. Tapi pada tanggal 8 Desember 1962, setelah Azhari yang dituduh memberontak di Brunai dan memproklamasikan kemerdekaan Kalimantan Utara yang terdiri dari Brunai, Serawak dan Sabah di Manila, di tempat mana ia melarikan diri bersama teman- temannya, dan menyatakan dirinya sebagai Perdana Menteri Negara Kalimantan Utara, cepat

sekali

Tungku

Abdul

Rahman

menuding

Indonesia

sebagai

biang

keladinya.

Padahal duduk persoalannya, Azhari yang memimpin Partai Rakyat Brunai, dalam Pemilihan Umum Agustus 1962, memenangkan 54 dari 55 kursi di Dewan Distrik dan 16 dari 33 kursi di Dewan Legislatif. 1) 1) JAC Mackie, Konfrontasi, The Indonesia-Malaysia Oxford University Press, Kuala Lumpur -London, hal. 37 Dispute 1963-1966

Apa yang dilakukan oleh Azhari setelah partainya ditumpas dan dia dikejar--kejar sebagai pemberontak, ialah selalu mengadakan kontak dengan Wakil Presiden merangkap Menteri Luar Negeri Filipina, Immanuel Pelaez, dan sama sekali bukan dengan Indonesia. Ketua Umum Partai Nasional Indonesia (PNI), Ali Sastroamidjojo, memberikan reaksi menolak tudingan Tungku. Tungku pun menjadi marah oleh adanya reaksi dari Ali Sastroamidjojo dan langsung menyerang secara pribadi kepada Bung Karno dengan mengatakan: "Jangan campuri urusan Kalimantan Utara!" Serangan ini sebenarnya datang dari Inggeris, tapi Tungku yang menjadi jurubicaranya. Oleh karena itu, pada bulan April 1963, Bung Karno di hadapan Konperensi Wartawan Asia Afrika di Jakarta menjawab ancaman Tungku dengan mengatakan: "Perjuangan rakyat Serawak, Brunai dan Sabah, adalah bagian dari perjuangan negara-negara "the new emerging forces" yang membenci penghisapan manusia oleh manusia. Karena Jepang melihat bahwa proses pembentukan Federasi Malaysia sudah menjurus pada kecurigaan Indonesia sebagai proyek neokolonialisme Inggeris, maka pada tanggal 3 1 Mei sampai 1 Juni 1963, Tokyo menyediakan tempat pertemuan antara Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Tungku Abdul Rahman, untuk mengusahakan pendekatan. Tujuannya ialah untuk menghilangkan kecurigean mengenai rencana pembentukan Federasi Malaysia, yang terdiri dari Federasi Malaya sebagai induknya digabungkan dengan Singapura dan tiga wilayah lainnya di Kalimantan Utara. Pertemuan Tokyo menyepakati sebuah prinsip, yaitu tetap memelihara Semangat Perjanjian Persahabatan Indonesia- Malaya tabun 1959. Untuk merumuskan lebih lanjut hasil pertemuan Tokyo, diadakan lagi pertemuan para Menteri Luar Negeri tiga negara, yaitu: Indonesia, Malaya dan Filipina, di Manila dari tanggal 7 sampai 11 Juni 1963. Ketiga Menteri Luar Negeri itu, semuanya mempunyai jabatan rangkap, yaitu: Subandrio di samping Menteri Luar Negeri, juga Wakil Perdana Menteri I, Tun Abdul Razak, Menteri Luar Negeri dan Deputy Perdana Menteri dan Immanuel Pelaez, Menteri Luar Negeri dan sekaligus Wakil Presiden.

Dalam pertemuan Manila, Indonesia dan Filipina menyatakan tidak keberatan dibentuknya Federasi Malaysia, asal hal itu dilakukan atas dasar Hak Menentakan Nasib Sendiri bagi rakyat di wilayah- wilayah yang hendak digabungkan, dan ditentukan oleh otoritas yang bebas dan tidak berpihak, yaitu Sekretaris Jenderal PBB. Pertemuan itu juga mengembangkan pemikiran Presiden Filipina, Macapagal, yaitu pembentukan Konfederasi tiga negara serumpun Melayu yang disebut MAPHILINDO (Malaysia-Philipina-lndonesia), gagasan yang langsung ditentang oleh Amerika dan Inggeris. Ironisnya, dari Peking, Menteri Luar Negeri Chen Yi menuduh MAPHILINDO sebagai proyek Nekolim. Pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri ini, diperkuat dengan diadakannya Konperensi Tingkat Tinggi antara Perdana Menteri Tungku Abdul Rahman, Presiden Macapagal dan Presiden Sukarno yang dilangsungkan di Manila dari tanggal 31 Juli sampai 1 Agustus 1963, yang hakekatnya hanya mengesahkan hasil-hasil yang telah dicapai dalam pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri sebelumnya. Dalam perundingan tersendiri antara Presiden Sukarno dan Presiden Macapagal, disetujui apa yang dikenal dengan Doktrin Sukarno - Macapagal yang menegaskan bahwa Masalah Asia supaya diselesaikan oleh bangsa Asia sendiri. Doktrin ini dengan serta merta ditolak oleh Amerika Serikat dan Inggeris, karena dinilai dapat menggagalkan tujuan pembentukan Federasi Malaysia yang dirancang di London yang sebenarnya untuk meng-contain Indonesia. Hasil KTT Manila ternyata menggelisahkan London dan Kuala Lumpur. Dengan adanya gagasan Presiden Macapagal yang mengusulkan pembentukan Konfederasi MAPHILINDO dan doktrin Sukarno- Macapagal yang menghendaki supaya masalah Asia diselesaikan oleh bangsa Asia sendiri, maka anasir Inteligen Inggeris dan Malaysia melansir satu berita bahwa Federasi Malaysia akan dibentuk pada tanggal 31 Agustus 1963, 2) mendahului pelaksanaan Persetujuan Manila yang menghendaki supaya pembentukan itu dilakukan atas dasar Hak Penentuan Nasib Sendiri dari rakyat bersangkutan, yang akan diatur oleh Sekretaris Jenderal PBB, waktu itu U Thant. 2) Dr. Hidayat Mukmin, TNI dalam politik penyelesaian konfrontasi Indonesia - Malaysia, hal. 95. luar negeri Studi kasus

Dilansirnya berita itu, makin meyakinkan Indonesia bahwa memang ada udang di balik batu dengan pembentukan Federasi Malaysia yang dirasakan sebagai sangat tergesa-gesa. Oleh karenanya, Sekjen PBB segera mengirimkan Misi PBB ke Serawak dan Sabah untuk meneliti sejauh mana rakyat Kalimantan Utara bersedia bergabung dalam Federasi Malaysia, seperti yang dituntut oleh KTT Manila. Tapi Misi sudah distel demikian rupa, dengan ketuanya diambilkan dari Amerika yaitu Laurence Michaelmore, dibantu oleh delapan anggota yang diambilkan dari berbagai negara. Indonesia, Malaya dan Filipina menyertakan juga wakil-wakilnya sebagai peninjau.

Karena Misi sedang bekerja, maka Kuala Lumpur berusaha meredakan kemarahan Indonesia dan mengumumkan penundaan pembentukan Federasi Malaysia sampai tanggal 16 September 1963, yaitu tanggal yang diperkirakan Misi PBB sudah menyelesaikan tugasnya dengan hasil yang menguntungkan London dan Kuala Lumpur. Penundaan tanggal, dianggap oleh Indonesia sebagai proforma belaka, karena hasilnya sudah ditentukan sesuai dengan keinginan Kuala Lumpur dan London. Memang sebelum itu, Inggeris sudah mengadakan penjajagan di Kalimantan Utara dengan sebuah komisi yang diketuai oleh Lord Cobbold dan anggotanya terdiri dari: Sir Anthony Abell, Sir David Watherston, Dato Wong Po Nee dan Enche Gazali bin Sofie. Hasil penjajagan ini diumumkan dalam Report of the Commission of Inquiry North Borneo and Serawak 1962 yang menyebutkan: 1. Sepertiga penduduk Federasi Malaysia. 2. Sepertiga mereka terjamin. menyetujui menyetujui tanpa syarat, merdeka dalam

dengan

syarat

supaya

kepentingan

daerah

3. Sisa yang lain, ingin mendapatkan bergabung dalam Federasi Malaysia.

kemerdekaannya

dulu,

sebelum

Tapi ini semua adalah versi Komisi Cobbold. Sebelum itu sudah ditentukan supaya diadakan Pakta Pertahanan antara Inggeris dan Federasi Malaysia. Dengan demikian, dari segi pertahanan, Federasi Malaysia dianggap oleh Inggeris lebih sederhana, karena Federasi dapat dikelola bersama sebagai satu unit strategik. Karena Federasi berada dalam lingkungan Persemakmuran Inggeris, maka Inggeris berkewajiban tetap memberikan perlindungan militer. Ketika Malaya baru merdeka, di sana hanya ada 2000 tentara Inggeris dan Australia. Tapi setelah Federasi Malaysia dibentuk, kekuatan Militer itu cepat ditambah menjadi 50.000. 3) 3) Ibid haL 115. Strategi pertahanan ini mencemaskan Indonesia, karena perlindungan militer Inggeris yang begitu besar, merupakan ancaman serius bagi keamanan Indonesia. Apalagi dalam mempertahankan Malaysia, sudah tersiar berita bahwa Inggeris akan mendapat dukungan dari Pakta Pertahanan ANZUS (Australia - New Zealand - United States), untuk menghadapi Sukarno yang sudah lama dicap sebagai "trouble maker" di Asia, yang kegiatannya harus dicegah jangan sampai merembet mempengaruhi negara-negara Afrika dan Amerika Latin. Sebenarnya di Malaysia, Singapura dan British North Borneo (Kalimantan Utara), terdapat kekuatan-kekuatan politik yang menentang pembentukan Federasi Malaysia menurut konsep McMillan - Tungku Abdul Rahman, tapi mereka ditindas sehingga tidak bisa berbuat banyak. Kekuatan menentang pembentukan Federasi Malaysia di Malaya ialah: Front Sosialis Malaya yang terdiri dari Partai Rakyat Malaya dan Partai Buruh, serta Partai Islam

se-Malaya. Di Singapura: Barisan Sosialis, Partai Pekerja dan Partai Rakyat. Di Kalimantan Utara: Partai Rakyat Brunai dan Serawak United People's Party. Partai Rakyat Brunai sejak 1956 di bawah pimpinan Azhari, sudah mempunyai program hendak mengusir Inggeris dari Kalimantan Utara. 4) 4) Ibid hal. 115. Dan apa yang terjadi kemudian? Misi PBB yang dipimpin oleh Michaelmore, tanpa penyelidikan seksama, langsung menyatakan bahwa rakyat Kalimantan Utara (Serawak dan Sabah) menyetujui merdeka dalam Federasi Malaysia. Hasil Kerja Misi PBB ini segera disahkan oleh Sekjen PBB. Sebaliknya Indonesia, setelah mendengarkan laporan dari peninjau- peninjaunya yang menyertai penyelidikan Misi PBB, menuduh adanya kecurangan-kecurangan yang menyolok, sehingga laporan Misi PBB itu tidak bisa dianggap sah. Akibatnya, mudah dipahami. Karena Indonesia menolak hasil penyelidikan Misi PBB yang disahkan oleh Sekjen PBB, ditambah lagi tersiar berita bahwa sesudah Federasi Malaysia diresmikan pada tanggal 16 September 1963, negara federasi baru itu segera akan diterima menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, maka Jakarta langsung memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur. Oleh perkembangan yang sangat cepat, dan usaha diplomatik untuk mencoba meredamnya mengalami kegagalan, maka konfrontasi Indonesia - Malaysia tidak terhindarkan lagi. Dr. Subandrio dalam kedudukannya sebagai Wakil Panglima Besar KOTI (Komando Tertinggi Indonesia) dan Kepala Badan Pusat Inteligen (BPI), mulai menerjunkan gerilyawan di Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara, untuk memberikan tekanan kepada Kuala Lumpur supaya mau merubah sikapnya dengan mengemukakan aproach baru yang bisa mengatasi deadlock. Malaysia didirikan tanpa ikut sertanya Brunai, sedang Singapura yang tadinya. ikut bergabung, kemudian memisahkan diri dan menyatakan dirinya merdeka sendiri. Tapi tindakan Dr. Subandrio itu, justru memberikan alasan kepada Inggeris dan sekutunya Pakta ANZUS untuk bersiap - siap menyerang Indonesia, kemungkinan yang sebenarnya sudah lebih awal disinyalir oleh Bung Karno. Sebelum itu, dalam bulan Oktober 1963, Presiden Kennedy dari Amerika, mengirimkan surat kepada Presiden Sukarno yang menganggap sikap Indonesia terhadap Malaysia, menempatkannya pada posisi yang amat sulit untuk mewujudkan keinginannya membantu usaha-usaha Indonesia ke arah pembangunan dan pemulihan ekonominya. Setelah menerima surat tersebut, Presiden Sukarno langsung mengadakan pertemuan dengan 10 orang menteri seniornya, yaitu: Ir. Djuanda, Dr. Subandrio, Chaerul Saleh, Dr. J. Leimena, Sudibyo, disertai dengan menteri-menteri militer yaitu: A.H. Nasution, A. Yani, E. Martadinata, Omar Dhani dan Sucipto. Pertemuan merumuskan jawaban yang paling tepat untuk Surat Presiden Kennedy dengan sebuah kalimat yang tegas: "Go to hell with American aid". 5)

5) Ganis Harsono, Cakrawala Politik Era Sukarno, hal. 160 -161 Dengan surat Presiden Kennedy tersebut, makin menjadi jelas bahwa bukan saja Inggeris, melainkan juga Amerika ikut ambil bagian dalam merekayasa pembentukan Federasi Malaysia. Tapi cara mengelola ketegangan akibat pembentukan Federasi Malaysia, akhirnya menggiring Indonesia terjaring masuk perangkap konfrontasi militer yang sudah dipasang oleh Inggeris dan Amerika. Bung Karno segera melihat bahaya akan makin meningkatnya eskalasi konfrontasi, maka berusaha mencari upaya mengendorkannya dengan mengusulkan segera diselenggarakannya KTT 3 negara yang terkait. Upaya Bung Karno terlambat, karena segera sesudah itu, bom waktu yang sudah lama dipasang oleh persekutuan Nekolim di Indonesia, tidak bisa ditangkal lagi. Meletuslah "Gerakan 30 September 1965", yang mengundang Amerika makin terang-terangan berkiprah melaksanakan rencana menghancurkan revolusi Indonesia dan kepemimpinan Bung Karno yang dijuluki oleh Barat sebagai "Hitler Baru" seusai Perang Dunia II. Itulah lihainya Nekolim yang tidak secara dini bisa diantisipasi. Meski pun demikian, pada bulan Februari 1966 Presiden Sukarno masih menugaskan Duta Besar Keliling R.l., Supeni, pergi ke Manila membicarakan dengan Presiden Ferdinand Marcos yang sudah menggantikan Macapagal, mengenai perlunya segera diadakan KTT MAPHILINDO dan minta supaya Filipina jangan dulu memberikan pengakuan kepada Federasi Malaysia. Tujuan Bung Karno untuk segera menyelenggarakan KTT MAPHILINDO, ialah mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dan menyelesaikan dispute Sabah yang di claim oleh Filipina, atas dasar semangat MAPHILINDO. Tapi rencana Bung Karno ini, sebelum bisa dilaksanakan, sudah kedahuluan dicegat oleh keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (SUPERSEMAR), yang berakibat kekuasaan berpindah ke tangan Letnan Jenderal Soeharto sebagai pengemban SUPERSEMAR yang segera saja melakukan penahanan terhadap menteri-menteri yang penting, sehingga Presiden Sukarno kehilangan pembantu- pembantunya dan Kabinet Baru harus dibentuk bersama Pengemban SUPERSEMAR. Praktis Bung Karno sudah kehilangan kekuasaannya. Dr. Suharto, dokter pribadi Bung Karno, dalam bukunya "Saksi Sejarah" memastikan bahwa konfrontasi dengan Malaysia tidak termasuk dalam calender of event Bung Karno 6). Barangkali Komando Dwikora (konfrontasi dengan Malaysia) adalah imposed (desakan) pihak lain, mungkin musuh dalam selimut yang mengetahui psycho emosional Bung Karno. Dengan menggunakan metode psycho analisa, dilakukan berbagai tipu muslihat, yang bertujuan mempengaruhi Bung Karno dalam mengambil keputusan melakukan suatu tindakan.7) 6) Dr. 7) Ibid, hal. 189 Suharto, SaksiSejarah, hal. 135.

Setelah Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia memberikan reaksi yang sangat keras dan langsung menyatakan keluar dari keanggotaan PBB, meski pun disadari bahwa putusan ini adalah satu imbalan yang sangat mahal. Putusan ini diumumkan oleh Bung Karno pada 7 Januari 1965 dalam rapat umum Anti Pangkalan Militer Asing, di ISTORA Jakarta. Pada awal Bab ini, sudah disinggung adanya 22 juta sukarelawan yang mendaftarkan diri untuk melawan serbuan Inggeris dan sekutunya ke Indonesia, jika konfrontasi mencapai puncaknya. Tujuan seruan Bung Karno mengadakan mobilisasi kekuatan rakyat, sangat jelas yaitu untuk apa yang dirumuskan secara populer: Ganyang Malaysia!. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan tuduhan sebagai persiapan untuk pembentukan Angkatan ke V. Prosedur yang harus dipenuhi untuk pembentukan Lembaga semacam itu, bukan saja belum pernah ditempuh, bahkan dibicarakan saja dalam sidang Kabinet sebagai Lembaga kekuasaan eksekutif, DPRGR sebagai Lembaga kekuasaan Legislatif, maupun dimintakan pertimbangan dari Dewan Pertimbangan Agung, sebagai Lembaga Tinggi Negara, belum pernah. Untuk membentuk Angkatan ke-V yang begitu prinsipil, tidak mungkin dilakukan tanpa disetujui oleh ketiga Lembaga Tinggi Negara seperti yang disebutkan di atas. Gagasan Angkatan ke-V sebenarnya hanya move politik yang dilontarkan oleh Bung Karno, yang ide pokoknya bertolak dari ketentuan UUD 1945 pasal 30 tentang bela negara, dikaitkan dengan gerakan "ganyang Malaysia". Hanya pihak pers tertentu yang membesarbesarkannya dan meminta reaksi dari Menteri/ Panglima Angkatan Darat yang tentu saja menentangnya. Dengan demikian, move politik ini segera di ekspos seolah-olah Bung Karno sudah memerintahkan pembentukan Angkatan ke-V, yang kemudian dituding sebagai salah satu alasan keterlibatan Bung Karno dalam G30S/PKI. Rekayasa lain untuk mencoba membuktikan keterlibatan Bung Karno dalam G30S/PKI, ialah keterangan Brigadir Jenderal H.R. Sugandhi, (ajudan Presiden 19481962) yang memberikan pengakuan kepada Team Pemeriksa Pusat (TEPERPU) di bawah sumpah, bahwa ia telah berbicara langsung dengan ketua CC PKI, D.N. Aidit, dan sekretaris CC, Sudisman, pada tanggal 27 September 1965, di mana kedua tokoh PKI itu katanya memberitahukan kepadanya bahwa PKI akan melakukan coup d'tat atau tindakan untuk membenahi revolusi Indonesia yang dirongrong oleh "Dewan Jenderal". Rencana itu hendak dilaksanakan dalam tempo satu- duatiga hari lagi. Sugandhi diajak ikut bergabung, karena kata Aidit, rencana ini sudah diberitahukan kepada Bung Karno. Sugandhi, katanya menolak ajakan itu. Dalam pengakuannya, ia mengatakan bahwa pada tanggal 30 September 1965, yakni sesudah tiga hari pembicaraannya dengan Aidit dan Sudisman, dilaporkannyalah berita ini kepada Presiden Sukarno di Istana Merdeka. Menurut pengakuan Sugandhi, Bung Karno tidak mau percaya pada laporan itu, bahkan Bung Karno menuduhnya "PKI-phobi". Dikatakan dalam pengakuan itu, pada tanggal yang sama, ia melaporkan juga pembicaraannya dengan Aidit dan Sudisman, kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal A. Yani. Namun tidak dijelaskan bagaimarra jawaban atau perintah A. Yani sebagai reaksi atas laporan tersebut.

Menurut Sugandhi, pada tanggal 1 Oktober 1965, ia melaporkan juga kepada Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan Jenderal A.H. Nasution. Juga tidak dijelaskan apa reaksi Jenderal Nasution. Bila diteliti dengan seksama, pengakuan di bawah sumpah Brigadir Jenderal H.R. Sugandhi tersebut, terasa sangat aneh dan mengandung tanda tanya. Dia diketahui sebagai seorang prajurit pilihan sehingga diangkat menjadi Jenderal, di samping juga ia orang terhormat sebagai anggota MPRS/DPRGR. Mengapa dikatakan sangat aneh dan mengandung tanda tanya, karena pertama, menurut akal sehat, tidak mungkin seseorang, apalagi seorang ketua CC PKI dan sekretaris CC, begitu saja membicarakan suatu rencana yang kadar kerahasiaannya paling tinggi, kepada seseorang, apalagi dari jajaran pihak lawannya. Kedua, sudah begitu rapuhkah semangat Sapta Marga dan Sumpah Prajurit dalam diri seorang prajurit pilihan, sehingga suatu informasi yang kadar nilainya sangat tinggi, serta diperoleh secara langsung dari pimpinan PKI yang paling kompeten, harus disimpan sendiri selama tiga kali 24 jam baru disampaikan kepada atasannya, di mana suhu politik dalam negeri waktu itu sedang panas? Apakah ini suatu kelalaian atau suatu kesengajaan? Ketiga, makna apa yang tersirat dalam sentuhan hubungan antara Brigjen Sugandhi dengan Aidit dan Sudisman, yang masingmasing sebagai ketua CC PKI dan Sekretaris Jenderal CC? Dapat dimengerti bahwa pada tahun-tahun awal sesudah terjadinya G30S/PKI, suasana masih dalam serba emosional, sehingga pertimbangan kelayakan satu informasi kadang-kadang subyektivitasnya lebih menonjol. Apa lagi tidak dibentuk satu Komisi yang ditugaskan untuk memeriksa benar tidaknya pengakuan Sugandhi tersebut, yang akhirnya pengakuan ini digunakan untuk memvonis Sukarno terlibat G30S/PKI. Sebaliknya, Sugandhi mendapat nama baik. Sidang Istimewa MPRS 7 Maret 1967 yang anggotaanggotanya banyak dipecat dan diganti serta ditambah dengan orang-orang yang menguntungkan, termasuk pimpinan lama diganti dengan Jenderal A.H. Nasution sebagai ketua baru, itulah yang mencabut mandat Ir. Sukarno sebagai Presiden, serta melarangnya melakukan kegiatan politik. Dan apa yang terbukti kemudian? Sesudah nasi menjadi bubur, komandan Detasemen Kawal Pribadi Presiden Sukarno, Letnan kolonel polisi H. Mangil Martowidjojo, baru mengungkapkan dengan mengemukakan bukti-bukti bahwa keterangan Sugandhi di bawah sumpah itu, sepenuhnya kebohongan dan fitnah. 8) 8 ) Majalah PETA, edisi September/Oktober 1992, Jakarta, hal. 3-6. Baca juga: Soegiarso Soerojo, Siapa menabur angin akan menuai badai, hal. 236-237, yang mengutip dialog antara Sugandhi dengan Aidit-Sudisman dan dialog antara Bung Kamo dengan Sugandhi menurut versi yang diceritakan oleh Sugandhi. Memang sayang sekali Mangil tidak segera menyampaikan kebohongan Sugandhi kepada Bung Karno, padahal ia sudah mendengar "Geruchten" (desas-desus)nya, jauh sebelum Sukarno dijatuhkan oleh MPRS.

Mangil mengatakan, karena ia penasaran, maka tanggal yang disebutkan oleh Sugandhi melaporkan hasil pembicaraannya dengan Aidit dan Sudisman kepada Presiden, yaitu tanggal 30 September 1965, diperiksanya kembali buku catatan tamu Istana, apakah betul waktu itu Sugandhi datang. Ternyata tidak ada nama Sugandhi masuk Istana pada hari itu. Bukan saja Mangil yang selalu mengawal Bung Karno tidak melihat Sugandhi menemui Presiden hari itu, juga di buku catatan tamu yang harus diisi oleh setiap tamu yang masuk Istana, baik ia tamu dipanggil atau tamu yang mendadak datang, nama Sugandhi tidak ada. Di "wachtrooster" (buku jaga) yang harus diisi oleh setiap tamu sesuai dengan peraturan yang ditentukan oleh ajudan, mau pun dalam buku Detasemen Kawal Pribadi yang selalu memasukkan dalam catatan semua tamu yang masuk Istana, tidak ada nama Sugandhi pada 30 September 1965 masuk Istana. Beberapa hari sesudah meletusnya Gerakan 30 September, melalui Menteri Penerangan Ahmadi, Bung Karno berpesan supaya Sugandhi datang ke Istana Bogor, karena Bung Karno memerlukan masukan mengenai gerakan tersebut, tapi ia tidak mau datang. Bahkan berkata kepada Ahmadi supaya menyampaikan kepada Bung Karno kalau ia tidak berhasil menemuinya. Sesudah penolakan Sugandhi atas panggilan Bung Karno, pada suatu hari ia datang ke Istana Jakarta, saat Bung Karno sedang berolahraga pagi jalan kaki mengelilingi Istana diikuti oleh beberapa anggota staf Istana dan para pengawal. Sugandhi terus bergabung dengan rombongan dan dari belakang Bung Karno, ia melaporkan kehadirannya. Tapi mengetahui kedatangan Sugandhi ini, Bung Karno malah langsung memerintahkannya supaya keluar. "Deruit, deruit" perintah Bung Karno. Karena Sugandhi belum juga keluar dan masih terus mengikuti dari belakang, sekali lagi Bung Karno memerintahkannya supaya keluar. Barulah Sugandhi keluar. Kata Mangil: Rasanya koq tidak masuk akal dan tidak logis Aidit dan Sudisman sembarangan begitu saja memberitahukan rencananya yang begitu rahasia kepada orang yang tidak sepaham. Kecuali kalau Sugandhi itu memang orang PKI". Meski pun Mangil terlambat mengungkapkan fitnah terhadap Bung Karno ini, tapi ungkapan itu sama sekali tidak berkurang arti pentingnya, karena ia menambah satu bukti lagi dari sekian banyak bukti yang sudah ada, bahwa Bung Karno digulingkan melalui rakayasa yang skenarionya sudah dirancang demikian rupa. Keterangan lain yang menarik, dikemukakan oleh Prof. Peter Dale Scott, seorang diplomat Kanada, Guru Besar dan Doctor dalam ilmu politik, ketika ia diundang pada bulan Desember 1984 untuk mengemukakan makalahnya dalam sebuah forum di "University of California", Berkeley, yang dihadiri juga oleh tokoh-tokoh terkemuka antaranya terdapat bekas direktur CIA periode 1962- 1966 untuk bagian Timur Jauh, di mana ia membahas sebuah judul "The United States and the Overthrow of Sukarno, 19651967" - Amerika Serikat dan penggulingan Sukarno, 19651 967. la memulai uraiannya dengan mengatakan bahwa subjek yang akan dibahasnya, adalah subjek besar tapi menjengkelkan, karena kisah yang lengkap mengenai periode yang rumit dan kurang dimengerti ini, akan tetap berada di luar jangkauan analisis tertulis yang paling lengkap sekali pun. Banyak yang telah terjadi, tidak mungkin bisa didokumentasi, sedang catatan-catatan yang bisa diselamatkan, banyak hal yang bersifat kontroversial yang tak mungkin diverifikasi.

Namun demikian, setelah pertimbangan-pertimbangan tersebut dikemukakan, maka intisari kisah yang rumit dan bermakna ganda itu, mengenai suatu tragedi yang berdarah. Setelah mempelajari referensi-referensi yang ada, sebenarnya bersifat sederhana saja dan lebih mudah dimengerti ketimbang keterangan-keterangan akademis dari sumber-sumber Indonesia mau pun Amerika Serikat. Kesimpulan dari keterangan-keterangan mereka yang bersifat problematis itu, hanya mengatakan bahwa pada musim gugur 1965, golongan kiri di Indonesia telah menyerang pihak kanan yang menyebabkan diadakannya restorasi kekuasaan dan pembantaian golongan kiri oleh golongan tengah. Peter Dale Scott memberikan catatan betapa sukarnya melakukan analisis yang pada pokoknya hanya bersandar pada apa yang dinamakan bukti-bukti yang disajikan dalam sidang-sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB) yang bertentangan dengan studi CIA 1968, yang agak kurang bersifat khayalan. 9) 9) Termuat dalam "Pacific Affair': Summer 1985, hal. 239. Juga H. W. Brands menulis dalam "Journal of American History" bahwa waktu pengaruhnya tengah memuncak di Asia Tenggara, Amerika telah ambil bagian dalam kup yang gagal terhadap Sukarno di tahun 1958. Pemerintah Johnson tidak menyembunyi- kan kecemasannya bahwa Sukarno dapat mengantar Indonesia pada suatu posisi yang penting, sementara Amerika Serikat sendiri sedang berusaha menyelamatkan Vietnam Selatan. Maka pada waktu Amerika Serikat di tahun 1966 telah memperoleh keyakinan bahwa Soeharto telah berhasil mengesampingkan Sukarno dan menghancurkan PKI, pemerintah Amerika secara mencolok memberi selamat kepada penguasa baru, karena telah melakukan suatu tugas dengan baik sekali. Meski pun demikian, Brands mengatakan bahwa penggulingan Sukarno, tidak ada hubungannya dengan Amerika Serikat, padahal diakuinya bahwa selama beberapa bulan, pejabat-pejabat Amerika Serikat telah mendesak pihak Tentara di Indonesia supaya bertindak, tapi tidak berhasil. Pada musim panas 1965 (sebelum G30S), kelihatan Pemerintah Johnson sudah putus asa.

Selama satu dekade lebih, Sukarno dapat mengatasi beberapa tantangan, termasuk affair 17 Oktober 1952, satu kup yang tidak langsung, di mana A.H. Nasution hendak memaksa Sukarno mem- bubarkan kekuasaan Eksekutif dengan jalan membubarkan kekuatan- nya di Parlemen, untuk memberikan peluang bagi Tentara supaya bisa tampil. Sukarno berhasil menggagalkan pemberontakan di Sumatera (PRRI) yang dibantu oleh CIA dengan 300 orang tentara Amerika, Filipina dan Tiongkok Nasionalis, lengkap dengan pesawat udara transport dan Bomber B-26. 10) 10) Baca: H. W. Brands dalam "Journal of Organization of Historians, vol. 76, No. 3, Desember 1989. American History", The

Geoffrey Robinson (Boston, Massuchusetts) dalam makalahnya (1990) yang berjudul "Some Arguments Concerning U. S. Influence and Complicity in the Indonesian Coup of October 1, 1965 - Beberapa argumen mengenai keterlibatan A.S. dalam kudeta 1 Oktober 1965 di Indonesia--, mengatakan bahwa sejak dari awal, "Gerakan 30

September" itu kelihatannya seperti sebuah kup yang direncanakan untuk gagal, kudeta itu di disain sedemikian rupa sehingga mampu menyimpan sebush dalih untak mengadakan suatu pameran kekuatan dan meraih kekuasaan. Kata Geoffrey Robinson, laporan CIA yang menyatakan PKI lah penanggungjawab tunggal atas kup, adalah hal yang sukar didukung. Tapi logika argumentasi yang dikemukakannya, tidak membuang sama sekali kemungkinan adanya peran PKI. Dikatakan, baik strategi yang digunakan maupun bukti dorongan yang membawa PKI ke dalam peristiwa tersebut, semuanya menunjukkan kecenderungan bahwa keikut-sertaan PKI, tidak lebih dari sesuatu yang marginal, lebih banyak didorong oleh kesalahan informasi mengenai rencana coup d'tat "Dewan Jenderal". Dengan mengutip Mortimer, ia menyimpulkan bahwa asal-usul Gerakan 30 September hendaklah dicari dalam kegiatan kelompok perwira dissident (berpendapat lain) Divisi Diponegoro. Bukan suatu koinsidensi (kebetulan) bahwa hasil kudeta itu ialah kehancuran PKI, jatuhnya Sukarno dan tampilnya Angkaran Darat sebagai pelaku politik kunci, pembukaan kembali pintu Indonesia bagi investasi modal asing dan reorientasi politik luar negeri Indonesia persis seperti apa yang selama beberapa tahun direncanakan dalam berbagai macam skenario kebijaksanaan, berbagai prospektus politik dan berbagai laporan situasi yang disiapkan oleh National Security Council, State Department dan "country team" Kedutaan Besar Amerika di Jakarta. Kekurang-jelian PKI menilai kebenaran informasi yang diterimanya sekitar rencana coup d'etat "Dewan Jenderal" sehingga langsung mempercayainya dan bertindak mendahului, itulah yang menghantarkan partai ini ke liang kehancurannya. Argumentasi yang dikemukakan oleh Geofrey Robinson untuk mendukung kesimpulan di atas, ialah kenyataan bahwa coup d'etat tampil pada saat titik kritis polarisasi antara Angkatan Darat di satu pihak dan apa yang disebutnya aliansi Sukarno-PKI di pihak lain. Sedang faktor-faktor lain yang dimanipulasi, antaranya intervensi Amerika Serikat di Vietnam Utara dengan memulai pemboman, dukungan Amerika Serikat kepada Inggris mengenai konfrontasi Malaysia, serangan terhadap Sukarno oleh anggota-anggota Kongres dan tulisan-tulisan pers Amerika yang provokatif untuk memancing kemarahan Sukarno dan PKI agar menyerang balik. Dalam keadaan demikian, tidak banyak lagi apa yang harus dilakukan oleh Amerika, karena semuanya sudah dikerjakan dengan terjadinya polarisasi "kanan" dan "kiri" yang telah ditingkatkan oleh kedua belah pihak. Pola umum yang tampil dari studi atas periode ini, mempunyai dua dimensi yang saling berhubungan. Pertama, kegiatan agen-agen Amerika yang sengaja mengembangkan sejenis politik tertentu terhadap Indonesia yang sedang berada dalam polarisasi politik yang sudah serius. Jenis politik itu ialah merupakan tekanantekanan ekonomi dan tekanantekanan lainnya secara selektif dengan tujuan melemahkan yang "kiri" dan memperkuat yang "kanan" -- yang disebut sebagai sahabat kita". Kedua, bulan-bulan terakhir menjelang kudeta, para penasehat Amerika Serikat, sudah sampai pada titik mem- pertimbangkan pembalasan militer langsung terhadap

pemerintah Sukarno, karena cara lain dianggap sudah gagal secara essensial, termasuk perebutan kekuasaan oleh Tentara, sebuah rencana yang diharap-harap dan lama direnungkan oleh Amerika; sebagai jawaban atas ancaman "kiri" yang menghantui. Ralph McGehee, seorang pensiunan CIA, dalam hubungan ini menyarankan supaya metode yang dipakai CIA di Indonesia, yang dinilai penuh kepiawaian, dapat digunakan sebagai satu tipe atau denah untuk operasioperasi terselubung lainnya di masa yang akan datang. Secara khusus metode ini memang sudah dipraktekkan dalam kasus keterlibatan CIA menggulingkan Presiden Alende dari Chili. Terbukti dipakainya rancangan atau denah tipe Jakarta ini, mencapai hasil yang baik. 11) 11) "The CIA and the White Paper on El-Salvador", The Nation April 11, 1981, hal. 423. Dengan pengakuan-pengakuan yang diuraikan di atas, jelas menunjukkan bahwa keterlibatan Amerika Serikat dengan ClA-nya dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, dengan sasaran pokoknya menghancurkan PKI dan menggulingkan Sukarno, tidak terbantah lagi. Bagi kita di Indonesia, tentu lebih mudah memahami peristiwa itu karena ikut mengalaminya, meski pun pengalaman-pengalaman itu tidak semua bisa dikemukakan secara terbuka. Sebagai pelengkap, berbagai referensi berupa bukubuku atau tulisan-tulisan, telah diterbitkan. Misalnya, buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (Kepala Pusat Sejarah Militer AD), Soegiarso Soerojo (Seorang Intel), Memoir Jenderal Yoga Sugomo, seorang yang sangat berpengalaman di bidang Intel dan mantan kepala BAKIN serta banyak buku lainnya yang umumnya menunjuk biang keladi G30S: PKI, Bung Karno dan RRT. Tidak satu pun yang menyebutkan keterlibatan Amerika Serikat. Bahkan sudah di-release film "Pengkhiatan G30S/PKI" yang setiap tanggal 30 September ditayangkan ulang di TVRI, meski pun efeknya seperti angin ribut yang lekas berlalu. Sayangnya di Indonesia sendiri, meski pun sudah 30 tahun kejadiannya, belum pernah diselenggarakan SEMINAR yang dapat mengungkapkan peristiwa itu secara utuh dan objektif, bahkan terasa masih tabu. Sebuah analisis yang tajam dikemukakan oleh Bung Karno dalam "Pelengkap Nawaksara" yang disampaikannya kepada MPRS 10 Januari 1967, sebagai Pelengkap "Amanat Nawaksara" mengenai terjadinya G30S sebagai berikut: "Berdasarkan penyelidikanku yang seksama, menunjukkan bahwa peristiwa Gerakan 30 September itu, ditimbulkan oleh pertemuannya tiga sebab, yaitu: 1. Kebelingeran pimpinan 2. Kelihaian subversi 3. Memang adanya oknum-oknum yang tidak benar". PKI Nekolim

Ketiga sebab yang disebutkan oleh Bung Karno itu meski pun tidak diperinci, tapi dari hasil penelitian yang luas di kemudian hari, membuktikan kebenarannya. Kebelingeran pemimpin-pemipin PKI, diakui oleh tokoh-tokoh PKI sendiri, yang akan diuraikan pada bab berikut. Kelihaian subversi Nekolim, dibenarkan oleh begitu banyak pengakuan tokoh-tokoh Barat dan Amerika, dan dokumen- dokumen resmi yang terungkap mengenai keterlibatan Amerika Serikat dan CIA di Indonesia. Terakhir, dalam bulan Desember 1992 di Monash University Melburne, Australia, telah diseminarkan topik yang bertema "Indonesian Democracy 1950's and 1990's". Prof. George McT. Kahin dari Cornell University (AS), adalah salah seorang dari 300 pakar tentang Indonesia yang ambil bagian dalam Seminar itu, mengemukakan terus terang dalam makalahnya "Impact of US Policy on Indonesian Politics" (Dampak kebijaksanaan politik Amerika Serikat terhadap Indonesia), betapa jelas campur tangan pemerintah Amerika Serikat dalam soal-soal politik Indonesia, karena kekhawatiran Washington tentang kemungkinan Indonesia jatuh ke tangan komunis. Dengan mengutip catatan mantan Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Hugh S. Cumming Jr, yang tersimpan di Arsip Nasional Amerika, Prof. Kahin mengatakan bahwa Presiden Dwight Eisenhower meminta Cumming supaya waspada atas kenyataan sebuah negara seperti Indonesia yang katanya merupakan masalah besar karena tidak mempunyai tradisi memerintah sendiri, sehingga bisa jatuh ketangan komunis atau terpecah-pecah menjadi bagian lebih kecil. Dalam konteks perang dingin, Eisenhower lebih suka memilih Indonesia terpecah-pecah ketimbang jatuh ke tangan komunis. Maka setelah Cumming bertugas di Indonesia, Presiden Eisenhower memerintahkan supaya merealisasikan keinginannya meredam kemajuan komunis dengan memperhatikan dua perkembangan di lapangan. Pertama, sikap Sukarno yang dinilai lebih dekat dengan Beijing, lebih-lebih setelah mengunjungi RRT di tahun 1956, ia mengagumi dan ingin meniru kemajuan Cina dalam mem- bangun ekonominya. Kedua, PKI dalam PEMILU 1955 meraih 20,6% suara di Jawa dan malah 27,4% dalam pemilihan tingkat propinsi bulan Juli dan Agustus 1957. Perkembangan ini meningkatkan kecemasan Washington tentang kemungkinan Jawa jatuh ke tangan komunis. Malahan Kahin mengakui, masih banyak arsip Amerika Serikat mengenai keterlibatan CIA di Indonesia yang sampai sekarang masih dirahasiakan, meski pun sudah melewati batas waktu kerahasiaan 30 tahun.` Dengan premis bahwa komunis di Jawa sudah menjadi suatu mayoritas absolut, maka Badan Keamanan Nasional mendorong CIA membantu memperkuat gerakan pemberontakan di daerah- daerah. Menurut perhitungan Washington, sekiranya pemberontak kuat karena mendapat bantuan Amerika Serikat, maka bisa terjadi perang saudara dan Amerika Serikat pasti memihak kekuatan anti komunis.

Dalam makalahnya sepanjang 31 halaman itu, Kahin mengungkap- kan, CIA kemudian segera beraksi dengan menghubungi tokoh- tokoh miiiter pembangkang di daerah. Hanya dalam tempo 1 minggu, seorang agen CIA tiba di Padang untuk menyerahkan dana kepada Kolonel Simbolon sebagai bantuan bagi pasukannya yang digulingkan di Sumatera Utara. Kolonel Simbolon dan beberapa perwira staf Letnan Kolonel Ahmad Husein, komandan tentara di Sumatera Barat, diundang oleh CIA ke pangkalannya di Singapura, kemudian diikuti dengan pengiriman senjata dan dana dalam jumiah besar ke Padang. Lima bulan kemudian, Amerika Serikat memberikan alat komunikasi dan persenjataan modern kepada 8000 pemberontak di Sumatera. Bantuan itu diserahkan secara sembunyi-sembunyi dan pemberontak mengambilnya sendiri dari kapal selam yang nongkrong di lepas pantai Padang. CIA juga membawa sejumlah anak buah letnan kolonel Ahmad Husein untuk dilatih komunikasi dan penguasaan menggunakan senjata- senjata modern di berbagai fasilitas militer Amerika Serikat di Pasifik Barat. Amerika Serikat juga memberikan bantuan serupa kepada pem- berontak PERMESTA di Sulawesi. Tapi bantuan dana dan senjata Amerika Serikat kepada gerakan pemberontak di Sumatera dan Sulawesi, ternyata tidak cukup kuat untuk memaksa Sukarno dan Pemerintah Jakarta memenuhi keinginan Washington. 12) 12) Laporan wartawan "KOMPAS' Ratih Hardjono dan Rikard Bagun yang meliput jalannya Seminar diAustralia, "KOMPAS" 21 Desember 1992, Jakarta. Uraian Prof. George McT. Kahin sangat menarik para peserta seminar. Campur tangan Amerika Serikat di Indonesia tidak bisa dibantah lagi, karena yang mengemukakan tokoh Amerika sendiri dan klimaksnya ialah keterlibatan negara Uncle Sam ini dalam perencanaan dan pencetusan Gerakan 30 September 1965 yang berhasil mengguling- kan Sukarno dan menghancurkan PKI. Amerika Serikat yang menjadikan dirinya Polisi Dunia, fungsi yang seharusnya hanya menjadi milik PBB, di manamana terus mencam- puri urusan dalam negeri negara lain. Kenyataan bahwa 20 Januari 1993, hanya beberapa jam sebelum Presiden George Bush melepaskan jabatannya dan menyerahkan tongkat kepresidenan kepada penggantinya yang menang dalam Pemilihan Umum, Bill Clinton, ia masih melancarkan aktifitasnya yang terakhir, mendesak pemerintah-pemerintah di seluruh dunia supaya mendukung usaha yang dirintisnya yaitu menggulingkan Presiden Irak, Saddam Hussein, membuktikan betapa tradisi Amerika Serikat campur tangan urusan dalam negeri negara lain, makin melembaga dan tidak lagi dijalankan secara diam-diam. Pembantu Pusat Keamanan Presiden Bush, Brent Scowcraft, dengan terang-terangan mengakui bahwa Washington memang telah mendukung usaha coup d'etat terhadap Saddam Hussein.13) 13) Disiarkan oleh Kantor Berita "Reuter" dan "AFP" pada tanggal 21 Januari 1993

Apa yang dilakukan oleh Bush terhadap Saddam Hussein, itu pula yang telah dilakukan Amerika Serikat terhadap Sukarno sejak 1956 dan akhirnya sukses pada tahun 1966 BAB INSPIRASI DARI ALJAZAIR II

DUNIA dikejutkan oleh siaran Radio Aljir 19 Juni 1965 yang mengumumkan bahwa telah terjadi pengambil-alihan kekuasaan dari tangan Presiden Ben Bella oleh kolonel Houari Boumedienne, Panglima Tentara Pembebasan Aljazair. Dunia gempar, terutama negaranegara Asia-Afrika, karena ketika itu di Aljir, ibukota Aljazair, sedang disiapkan Konperensi Asia-Afrika II, dengan gedung konperensinya yang baru dan megah dibangun atas bantuan Uni Sovyet. Timbul kekhawatiran kalau-kalau penyelenggaraan konperensi akan gagal. Oleh perkembangan di Aljazair yang mendadak itu, Jakarta pun terlibat dalam kesibukan. Penentuan Konperensi AA-II diputuskan di Indonesia sewaktu Peringatan Dasawarsa Konperensi Asia-Afrika (KAA) April 1 965. Dari Duta Besar Rl di Aljir, Assa Bafagih, segera diterima laporan mengenai perkembangan politik di Aljazair. Duta Besar melaporkan bahwa perubahan pemerintahan di Aljazair, dinilainya tidak negatif bagi penyelenggaraan KAA-II. Tanggal 1 9 Juni 1 965 dinihari, Presiden Ben Bella yang sedang tidur nyenyak di Istananya, tiba-tiba diserbu sepasukan tentara bersenjata lengkap dan Presiden itu diambil dari tempat tidurnya. Gerakan militer ini hanya berlangsung 10 menit, tanpa ada perlawanan dari pasukan pengawal Istana. Sejak saat itu berakhirlah kekuasaan Ben Bella dan ia digantikan oleh kolonel Houari Boumedienne, Panglima Tentara Pembebasan Aljazair yang merencakan semua gerakan pengambilalihan kekuasaan. Suasana waktu subuh dinihari yang sepi, sebentar diramaikan oleh suara brondongan senapan mesin serta deru beberapa panser yang bergerak sepanjang jalan membawa prajurit-prajurit yang bertugas memutuskan semua kawat telepon yang ada hubungannya ke Istana. Terasa aneh, karena tidak ada perlawanan sedikit pun, baik dari pasukan Pengawal Istana mau pun pasukan lainnya. Sesudah semua terjadi, juga tidak ada perlawanan. Hal ini membuktikan bahwa semua pasukan tentara dikuasai oleh Kolonel Houari Boumedienne. Manyadari kekhawatiran negara-negara Asia-Afrika akan nasib Konperensi AA-II di Aljir, pemimpin coup dtat Kolonel Houari Boumedienne segera mengeluarkan pengumuman bahwa penyelenggaraan konperensi dijamin bisa berjalan terus sesuai dengan jadwal. Presiden Ben Bella digulingkan menurut tuduhan resminya seperti yang disiarkan oleh Radio Aljir, karena ia selalu bertindak sewenang- wenang selama masa kekuasaannya 641 hari. Ia dinilai mau kuasa sendiri, seorang diktator yang meninggalkan dasar musyawarah. Menterimenteri yang dianggap beroposisi, akan digeser dan pertama- tama hendak disingkirkan ialah Menteri Luar Negeri Bouteflika. Rencana tersebut dicegah oleh Kolonel Houari Boumedienne dengan mengemukakan pertimbangan, supaya jangan mengambil tindakan yang bisa berakibat luas, mengingat waktu itu Aljir akan menjadi tuan rumah KAA-II, di mana Menteri Luar Negeri sangat penting perannya. Pertimbangan yang diajukan oleh Boumedienne ditolak, bahkan ia diancam akan

disingkirkan juga. Tapi di luar dugaan Ben Bella, keadaan justru membalik. Komandan pasukan yang ditugaskan Ben Bella menangkap Kolonel Houari Boumedienne malah melapor kepadanya. Kemudian perwira itu ditugaskan oleh Boumedienne menangkap Ben Bella. Tentu Ben Bella tidak pernah memperhitungkan bahwa orang yang begitu dipercayainya, dengan mudah bisa berbalik haluan. Dengan berpedoman pada laporan Duta Besar Rl di Aljazair, Kabinet segerabersidang membicarakan perkembangan yang dilaporkan dan kemudian memutuskan: Rezim Kolonel Houari Boumedienne diakui. Pengakuan ini dinilai tepat, karena juga didukung oleh ber- bagai informasi lainnya yang masuk. Indonesia adalah negara kedua yang mengakui rezim Kolonel Houari Boumedienne. Yang pertama memberikan pangakuan ialah Syria dan beberapa jam sesudah pengakuan Indonesia, menyusul Republik Rakyat Tiongkok sebagai negara ketiga. Laporan yang diterima dari Duta Besar Rl di Aljazair mengatakan bahwa politik yang dianut oleh Boumedienne mengenai gerakan Asia-Afrika, pada dasarnya tidak berbeda dengan apa yang dianut oleh Ben Bella. Bagi Indonesia, soal terjadinya coup dtat, tidak terlalu merisaukan, apalagi setelah diterima laporan bahwa tidak ada keributan yang terjadi dan juga tidak ada perlawanan. Semua tenang dan terkendali, pemerintahan berjalan normal dan demontrasi yang terjadi justru mendukung Boumedienne. Kontra demontrasi, sama sekali tidak ada. Oleh karena itu, Kabinet memutuskan, delegasi Indonesia ke KAA-II, segera berangkat menuju Aljir, yang dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Rombongan bertolak dari Bandar Udara Kemayoran 23 Juni 1965 pukul 06.00 pagi dengan pesawat Garuda Convair Jet 990-A, diterbangkan oleh Kapten Pilot Sumedi. Penerbangan dari Jakarta langsung ke Dacca, yang waktu itu masih masuk wilayah Pakistan (Timur). Dari sana menuju Karachi. Ketika rombongan Bung Karno singgah di Karachi untuk mengisi bahan bakar, pejabat- pejabat tinggi Pakistan yang menyambut di airport, segera melaporkan kepada Presiden Sukarno bahwa baru saja diterima berita dari Aljir, Gedung Konperensi diledakkan dengan bom dan belum diketahui siapa pelakunya. Presiden Pakisatan Jenderal Ayyub Khan dan Menteri Luar Negeri Zulfikar Ali Buttho, waktu itu sedang ke London menghadiri konperensi negara-negara Persemakmuran. Meski pun terjadi malapetaka di Aljir, Presiden Sukarno memutuskan, perjalanan diteruskan ke Kairo. Di sana telah menunggu Presiden Gamal Abdul Nasser dari Republik Persatuan Arab (Mesir) dan Perdana Menteri Chou Enlay dari RRT. Ada pun Presiden Ayyub Khan akan dicegat di Kairo dalam perjalanannya kembali dari London, supaya ikut merundingkan dengan Presiden Sukarno, Presiden Gamal Abdul Nasser dan Perdana Menteri Chou Enlay, mengenai sikap bersama yang harus diambil menanggapi kejadian di Aljir. Tapi ternyata Presiden Ayyub Khan tidak bisa ikut dalam perundingan itu, karena ia sudah ditunggu oleh tugas yang tidak bisa ditunda di tanah airnya dan sebagai gantinya, menugaskan Menteri Luar Negeri Zulfikar Ali Buttho mewakilinya dalam pertemuan Kairo. Pertemuan Kairo yang disebut Konperensi Tingkat Tinggi Kecil, menyetujui keputusan yang telah diambil oleh beberapa delegasi yang sudah berada di Aljir (termasuk delegasi Aljazair), supaya penyelenggaraan KAA-II ditunda. KTJ kecil di Kairo memutuskan menundanya untuk kurang lebih 6 bulan dengan memutuskan juga supaya tempatnya tetap di Aljir. Setelah terjadi ledakan bom, Menteri Luar Negeri RRT, Chen Yi, yang memimpin delegasi Cina dan lengkap sudah berada di Aljir, adalah orang pertama yang mengusulkan supaya

konperensi ditunda saja, karena katanya, mereka datang ke Aljazair bukan untuk dibunuh. Persiapan akhir KAA-II sendiri sebetulnya belum begitu tuntas. Masalah mengundang atau tidak Malaysia dan Uni Sovyet, belum ada kesepakatan bulat. Indonesia menolak mengundang Malaysia karena alasan konfrontasi, sedang Cina menolak kehadiran Uni Sovyet dengan alasan bahwa meski pun Uni Sovyet mempunyai wilayah di Asia, tapi pusat pemerintahannya berada di Eropa. Jadi, Uni Sovyet tidak bisa dianggap Asia, Mesir dan India mendukung kehadiran Malaysia, sedang Aljazair sebagai tuan rumah, akan mengundang Uni Sovyet, apalagi Sovyetlah yang membangun gedung konperensi atas permintaan Aljazair. Dalam kedudukan saya sebagai Duta Besar Rl di Moskow, mengalami Lobbying yang sulit mengenai undangan kepada Uni Sovyet, karena Indonesia berat menolak usul RRT yang tidak menghendaki Uni Sovyet diundang, sebagai imbalan dukungan RRT terhadap Indonesia yang rnenolak Malaysia. Kalau KAA-II jadi diselenggarakan, Menteri Luar Negeri Indonesia Dr. Subandrio, sudah siap dengan satu pengumuman yang akan disampaikan dalam konperensi itu, yaitu bahwa Amerika dan Inggris sudah membuat satu komplot (persekongkolan) akan mengadakan serangan militer terhadap Indonesia dan mengakhiri kekuasaan Sukarno. Bukti-bukti tentang persekongkolan ini, ada di tangan Subandrio, katanya. Karena konperensi tidak jadi diadakan, Subandrio hanya memberikan interview kepada wartawan harian terbesar d Kairo Al-Ahram, mengenai rencana Amerika-lnggris tersebut. Setelah adanya putusan penundaan, Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio ditugaskan oleh Presiden Sukarno mengunjungi berbagai negara di Timur Tengah dan Afrika yang dikenal dengan sebutan Safari Berdikari untuk menjelaskan mengenai penundaan KAA-II serta berkampanye tentang akan diselenggarakannya Conference of the New Emerging Forces (CONEFO) di Jakarta, sesudah KAA-II usai. Gedung konperensinya sedang dibangun atas bantuan RRT. Presiden Sukarno sendiri setelah urusan di Kaira selesai, bersama rombongannya menuju Paris. Di sana dikumpulkannya semua Duta Besar Rl yang berada di Eropa dan Amerika Serikat, untuk mendapatkan Briefing mengenai penundaan KAA-II serta persiapan penyelenggaraan CONEFO. Dalam delegasi Indonesia yang berunsurkan NASAKOM, ikut juga ketua PKI, D. N. Aidit. Selama berada di Paris, Aidit diketahui menggunakan kesempatan mengadakan kontak dengan pimpinan Partai Komunis Perancis. Juga ia berkunjung ke kantor harian Le Humanit (organ Partai Komunis Perancis), di tempat mana ia berjumpa dengan enam orang tokoh Partai Komunis Aljazair yang melarikan diri ke Paris, karena takut ditangkap Boumedienne. Sekembalinya dari kunjungan ini, Aidit dicegat oleh wartawan A. Karim D.P., Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang ikut rombongan Presiden, menanyakan apa yang dibicarakannya dengan kameradkameradnya di Paris. Aidit menerangkan bahwa ia memberitahukan kepada enam orang tokoh Partai Komunis Aljazair yang melarikan diri ke Paris, supaya segera kembali ke negerinya dan memobilisasi massa rakyat untuk memberikan dukungan kepada Boumedienne. Tindakan yang diambil oleh Boumedienne, adalah benar dan progresif.Jika satu coup detat didukung sedikitnya 30% rakyat, maka coup yang demikian, bisa bermutasi menjadi revolusi, kata Aidit. 14} Ternyata kemudian, teori Aidit ini telah memberikan inspirasi dan merangsang terjadinya malapetaka nasional G30S/PKI, yang disebut oleh Bung Karno salah satu penyebabnya ialah

karena keblingerannya kemimpinpemimpin PKI. Aidit sejak di Paris, sudah memisahkan diri dari rombongan Bung Karno, tapi tidak memberitahukan kepada saya bahwa ia akan ke Moskow. Padalah waktu itu saya juga hadir di Paris dan ia mengetahui. 14) A. Karim DP, Safari Perdikari, Surya Prabha Jakarta, 1965. Sebelum itu, sudah juga diceritakannya kepada saya ketika kami bertemu di Paris, Juli 1965 Setelah saya tiba kembali di Moskow dari Paris, datang telegram dari Jakarta yang memerintahkan supaya Aidit dan Nyoto, segera disuruh kembali ke Indonesia. Saya terkejut, karena tidak mengetahui kalau Aidit dan Nyoto ada di Moskow. Kedutaan besar tidak menerima laporan tentang kedatangan kedua tokoh PKI itu, padahal keduanya adalah Menteri. Nyoto kemudian tiba-tiba saja muncul di rumah kediaman Duta Besar, namun tidak memberitahukan kalau Aidit juga ada di Moskow. Oleh karena itu saya berusaha menemukannya dan ternyata Aidit ada di Kremlin. Saya sampaikan kepadanya, bahwa ada telegram dari Jakarta yang memerintahkan supaya ia dan Nyoto segera kembali ke Indonesia. Mengenai kunjungan Aidit ke Kremlin, saya diberitahu oleh Duta Besar Korea di Moskow, katanya menurut informasi yang diterimanya, antara Aidit dengan orangorang Kremlin, terjadi semacam perang besar. Apa persisnya yang terjadi, tidak jelas. Hanya diperkira- kan Aidit mengemukakan teorinya tentang coup dtat yang bisa dirubah menjadi revolusi, jika didukung 30% rakyat. Teori ini bisa dipastikan ditolak oleh Kremlin, karena menurut keterangan, tidak ada dalam ajaran Marxisme, kemungkinan semacam itu. Revolusi harus selalu bersumber dari kemauan rakyat dengan dukungan syaratsyarat objektif yang ada di dalam masyarakat, bukan dipaksakan dari atas dengan satu rekayasa coup detat. Tapi ada keterangan lain bahwa kedatangan Aidit ke Moskow, untuk mengurus kasus cinta antara Nyoto dengan seorang gadis Rusia yang bekerja di Kementerian Luar Negeri Uni Sovyet. Aidit menghendaki supaya hubungan cinta itu diputuskan, mengingat Nyoto sudah mempunyai isteri. Jika diteruskan, akan merusak citra seorang komunis, apa lagi Nyoto sebagai seorang tokoh komunis Internasional, harus menjunjung tinggi moralitas. Nyoto sendiri dikenal sebagai tokoh komunis Indonesia yang orientasi ideologinya lebih condong ke Sovyet ketimbang ke RRT. Karena mayoritas pimpinan PKI condong ke RRT dan menganggap Sovyet sebagai revisionist gara-gara politik ko-eksistensinya dengan Amerika Serikat dianggap sudah terlalu jauh, maka kabarnya Nyoto sudah dipersiapkan untuk dicopot dari kedudukannya sebagai wakil ketua II, bahkan sudah dicopot dari jabatannya sebagai kepala Departemen AGITPROP (Agitasi Propaganda) dan digantikan oleh Bismark Oloan Hutapea, direktur Akademi llmu Sosial Ali Archam (AISA), yang tewas di Blitar Selatan dalam Operasi Trisula, pada tahun 1968. BAB III PUTUSAN DEWAN HARIAN POLITBIRO 30 SEPTEMBER 1965 dipilih oleh Dipa Nusantara Aidit sebagai moment yang tepat untuk menguji kebenaran teorinya yang bersumber dari keberhasilan coup dtat Boumedienne di Aljazair. Teori ini didukung oleh Syam Kamaruzzaman dan anggota-anggota Biro Ketentaraan Departemen Organisasi PKI lainnya, yang menjadi arsitek Gerakan 30 September 1965. Departemen Organisasi PKI yang membawahi Biro Kententaraan, diketuai oleh Aidit. Anggota-anggota Biro Ketentaraan ialah: Sudisman, Oloan Hutapea, Munir dan Syam sebagai ketuanya.

Dalam meniru keberhasilan Boumedienne di Aljazair, rupanya Aidit lupa mempertimbangkan bahwa Boumedienne bukanlah seorang komunis, meski pun ia dianggap progresip. Partai Komunis Aljazair sendiri tidak mempunyai peran menentukan dalam revolusi kemerdekaan Aljazair. Revolusi Kemerdekaan Aljazair dipimpin oleh satu Front Nasional. Biro Ketentaraan inilah yang kemudian dikenal sebagai Biro Khusus yang mempunyai jaringan luas dalam Angkatan Bersenjata di bawah koordinasi trio Syam, Pono dan Bono. Pembentukkannya tidak pernah diumumkan, sehingga eksistensinya pun tidak diketahui oleh organorgan PKI yang lain, apalagi anggota. Berbagai bekas tokoh PKI lepasan pulau Buru yang diwawancarai, mengatakan bahwa Biro ini ilegal. Pembentukkannya tidak pernah diputuskan dalam rapat-rapat CC PKI, yaitu badan formal dalam PKI yang menjalankan kebijaksanaan tertinggi antara 2 kongres. Bahkan adanya Biro Ketentaraan, tidak pernah dilaporkan dalam sidang-sidang CC PKI. Kedudukan Syam dalam partai sangat strategis, justru karena jabatannya sebagai ketua Biro Ketentaraan. Kata teman-temannya, dialah satu-satunya tokoh PKI yang apabila kehendaknya ditentang, dengan mudah mengeluarkan pistol dan meletakkan di meja untuk menggertak. Ada pun Syam Kamaruzzaman, menurut seorang mantan anggota CC PKI yang diwawancarai, ayahnya adalah seorang Naib (penghulu pengganti) di Tuban. Waktu pendudukan Jepang, ia masuk Sekolah Dagang di Yogyakarta dan sejak itu ia sudah belajar politik dari Djohan Syahroesyah dan Wijono (kedua-duanya kemudian menjadi tokoh Partai Sosialis Indonesia). Di awal revolusi, Syam bergabung dengan apa yang dikenal Kelompok Pathuk. di Yogya. Kelompok inilah yang memilih Soeharto (sekarang Presiden) memimpin penyerbuan tangsi Jepang di Kota Baru (Yogya) dan berhasil melucuti serdadu-serdadu Jepang dalam tangsi itu dan menawannya. Ketika terjadi perpecahan dalam tubuh Partai Sosialis (1948) antara Sutan Syahrir dengan Amir Syarifuddin, Syam memihak Amir Syarifuddin. Sesudah pemberontakan PKI di Madiun ditumpas oleh TNi, Syam bersama dua orang temannya masuk Jakarta. Di Jakarta ia ikut memimpin Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran (SBPP) di Tanjung Priok. D. N. Aidit dan Moh. Lukman, meski pun keduanya tokoh Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang berontak di Madiun, tidak tertangkap. Keduanya berusaha masuk Jakarta, tapi harus diusahakan supaya juga bersih dari tuduhan sebagai pemberontak di Madiun. Rencana ini direkayasa dengan sempurna oleh Syam, di mana Aidit dan Lukman dinaikkan kapai dari salah satu pelabuhan dan diturunkan di Tanjung Priok. Keduannya mengaku datang dari Vietnam sebagai penumpang gelap karena tidak punya paspor. Setelah mendarat di Priok, keduannya ditangkap, tapi dengan kecerdikan Syam, bisa dibebaskan. Setelah Aidit berhasil merebut jabatar, ketua PKI dari tangan tokoh-tokoh tua seperti Alimin dan Tan Ling Djie, ia tidak melupakan Syam. Syam dinaikkan kedudukannya dari SBPP, ditugaskan memimpin di SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Lalu ia dikirim ke RRT untuk mempelajari soal-soal kemiliteran. Sekembalinya dari RRT tidak diketahui persisnya kapan), ia ditempatkan oleh Aidit memimpin Komite Militer dalam organisasi PKI, menggantikan pimpinan lama, Soehadi, yang meninggal dunia. Dalam Komite Militer inilah ia berkiprah yang berakhir dengan terjadinya G30S/PKI. Pengalaman Syam dalam kemiliteran ialah dalam Lasykar Tani pada awal revolusi. Dengan pengalaman itu, ia berangkat ke RRT memperdalam soal-soal kemiliteran.

Untuk menggambarkan sampai di mana kekuasaan Biro Khusus, ada sebuah cerita yang disampaikan oleh seorang bekas anggota CC sebagai berikut: Pada suatu hari, seorang anggota CC PKI dari Jakarta,ditugaskan ke Padang untuk urusan partai. Ketika datang di kantor CDB (Comite Daerah Besar) Sumatera Barat di Padang, ia heran karena tidak bisa menemukan seorang pun fungsionaris partai yang berada di tempat. Setelah diusutnya, ketahuan bahwa semua fungsionaris partai diperintahkan supaya mengungsi, karena ada berita bahwa kantor CDB akan diserbu oleh lawan-lawan PKI. Dengan cekatan sekali, semua dokumen diamankan, bahkan mesin-mesin tulis semua dibawa pergi. Setelah ditelusuri lebih lanjut duduk persoalannya, ternyata yang memerintahkan pengungsian ialah orangorang Biro Khusus. Karena kemudian terbukti tidak ada apa-apa yang terjadi, maka yang mengungsi diperintahkan supaya kembali bekerja seperti biasa. Katanya, perintah mengungsi datang dari petugas-petugas keamanan partai (yang tidak lain dari Biro Khusus), ialah untuk menguji sampai di mana kecekatan para fungsionaris dan kader menyelamatkan partainya jika ada bahaya. Anggota CC dari Jakarta itu jadi bengong, karena tindakan tersebut sama sekali tidak di koordinasikan dengan CC di Jakarta. Inilah Biro Khusus yang dibentuk oleh Aidit dengan kekuasaan yang begitu luas. Seluruh kegiatannya terselubung dan hanya boleh berhubungan dengan ketua Aidit. Issue Dewan Jenderal sudah berbulan-buian beredar sebelum meletusnya G30S/PKI. PKI katanya mengetahui kalau Angkatan Darat sudah siap memukulnya, dengan mengeksploitasi makin buruknya kesehatan Bung Karno. PKI sudah lama menyadari bahwa Angkatan Darat makin tidak suka kepadanya dan terus berusaha menghancurkannya. Oleh karena itu PKI makin giat juga bekerja di kalangan Angkatan Darat dan Aidit membanggakan bahwa pendukungnya di Angkatan Darat kuat, sambil menunjuk hasil Pemilihan Umum 1955, pencoblos tanda gambar palu arit dalam lingkungan Angkatan Darat tercatat 25 %. Di asrama CPM Guntur, Jakarta, banyak sekali pemilih Palu-Arit, katanya. Karena rencana penghancuran PKI -menurut PKI-dirumuskan oleh sekelompok jenderal AD, maka kelompok inilah yang didesas-desuskan sebagai Dewan Jendral. Kelompok Jenderal ini pulamenurut PKIyang selalu merumuskan sikap politik Angkatan Darat yang menjadi garis menteri-rnenteri dari AD dan wakil-wakil mereka yang duduk dalam berbagai Lembaga Negara. Tapi kalau ditanya, bagaimana susunan organisasinya, mereka tidak bisa menjelaskan selain menduga-duga bahwa dewan ini dipimpin oleh Jenderal A.H. Nasution dan Jenderal A. Yani. Setelah Aidit memperkenalkan teorinya tentang kemungkinan coup detat bermutasi menjadi revolusi, maka sikapnya yang selama ini nampak loyal kepada Pemerintah dan Bung Karno, tiba-tiba saja berubah. Sudah mulai kedengaran suara-suara supaya Bung Karno dikritik. Biro Khusus yang menjelin kerjasama dengan apa yang disebut Kelompok Perwira Muda yang Maju, sepakat melaksanakan putusan Dewan Harian Politbiro, mendahului mengadakan gerakan memukul Angkatan Darat sebelum PKI dihancurkan. Gerakan ini finalnya diputuskan dalam rapat Dewan Harian Politbiro tanggal 28 September 1965, yang menurut keterangan seorang yang ikut hadir, sidang dihadiri juga oleh eriskre aris CD arisg k betulan akardi Jakarta yaitu: CDB Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Barat. Adapun anggota Politbiro ialah: Aidit, Lukman, Nyoto, Sudisman, B.O. Hutapea, Ir.

Sakirman, Nyono, Munir, Ruslan Wijayasastra dan Rewang. Ada keterangan bahwa tidak semua anggota Politbiro hadir dalam rapat penentuan itu. Menurut sebuah keterangan, dalam rapat Politbiro ini, ada beberapa peserta yang menyatakan tidak setuju dengan rencana gerakan yang disampaikan olen Aidit, tapi cara mereka menentangnya, hanya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai keraguan mereka tentang efektifnya diadakan satu gerakan mendahului. Tapi setelah Aidit menjawab dengan mengajukan alasan-alasan yang mematahkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, perdebatan tidak berkepanjangan lagi, karena segala persiapan sudah diadakan. Diantara mereka yang jelas menentang ialah Sekretaris CDB Jawa Barat dan Sekretaris CDB Kalimantan Barat. Kedua CDB itu kemudian mengeluarkan pernyataan mengenai sikap mereka yang menentang Gerakan 30 September. Menurut pleidooi anggota Polrtbiro Rewang yang ditangkap di Blitar, di muka sidang pengadilan militer yang mengadilinya, 18 Desember 1971, mengatakan bahwa dalam bulan Agustus 1965, telah dilangsungkan rapat Politbiro CC PKI yang membicarakan masalah gerakan. Dalam rapat itu tidak diambil putusan mengenai akan dibentuknya Dewan Revolusi sebagai pengganti Kabinet Dwikora. Sesudah rapat Politbiro, Aidit memanggil anggotaanggota CC PKI yang ada di Jakarta (tidak disebutkan waktunya), dalam satu pertemuan yang bersifat briefing. Dalam pertemuan itu, tidak ada diambil keputusan apa pun, apalagi keputusan mendahului mengadakan gerakan. Terdakwa mengatakan bahwa ia menyetujui kebijaksanaan mendukung sikap golongan Perwira Muda yang Maju hendak menentang kudeta segolongan Jenderal. Sesudah itu, pimpinan partai menugaskan kepada sementara anggota CC pergi ke daerahdaerah guna membantu CDB-CDB menjelaskan situasi politik dalam negeri dan sikap politik pimpinan partai menghadapi situasi itu.

Pada tanggal 30 September malam, terdakwa menerima pemberitahuan dari pimpinan atasannya mengenai akan diadakannya gerakan oleh perwira-perwira muda yang maju. Terdakwa menyangkal kalau gerakan itu diputuskan oleh Politbiro. Tapi dikatakan, pada lazimnya, pelaksanaan keputusan Politbiro dilakukan oleh Dewan Harian Politbiro atau ketua partai. Meski pun demikian, sampai terjadinya Gerakan 30 September 1965, Politbiro tidak lagi dipanggil bersidang untuk menerima laporan dari Dewan Harian dan ketua partai, mengenai pelaksanaan keputusan Politbiro menilai kebijaksanaan ketua, atau Dewan Harian Politbiro dalam melaksanakan keputusan Politbiro. Terdakwa mengakui bahwa ditinjau dari kejadian gerakan mendemisionerkan Kabinet Dwikora, memang dapat diartikan pengambil-alihan kekuasaan mengenai pemerintahan yang ada pada Presiden Sukarno. Tapi gerakan itu sendiri menyatakan tetap setia kepada Presiden Sukarno dan garis politiknya. Bahkan pada tanggal 1Oktober 1965, kata terdakwa, tokoh-tokoh gerakan berusaha beraudiensi kepada Presiden Sukarno dan mentaati segala perintahnya. Terdakwa mengatakan, ia setuju dengan Kritik Oto Kritik (KOK) Politbiro CC PKI yang mengakui bahwa pimpinan PKI telah menjalankan avonturisme di bidang ideologi, teori, politik dan organisasi, sehubungan dengan terjadinya Gerakan 30 September. Gerakan itu tidak bisa dibenarkan ditinjau dari perjuangan revolusioner, secara teknis mau er, secara teknis mau pun prinsip. Terdakwa membenarkan pernyataan Presiden Sukarno dalam Pelengkap Nawaksara bahwa Gerakan 30 September ditimbulkan oleh 3 faktor:

1. Keblingeran 2. Lihainya 3. Memang ada oknum-oknum yang tidak benar Menurut terdakwa, penilaian Bung pandangan seorang non komunis, sebagai sesuai dengan dasar-pandang dan politiknya. 15}

pemimpin-pemimpin

PKI Nekolim

Karno landasan

diberikan atas dasar untuk mengambil tindakan

Yang banyak juga dibicarakan, ialah keterlibatan RRT dalam gerakan. Tapi pembuktiannya yang konkrit tidak ada, selain dari analisa politik. Salah satu bukti yang ditunjuk. Ialah bahwa Perdana Menteri Chou Enlay sudah mengetahui kejadian di Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965 pagi dan menyampaikannya kepada wakil ketua MPRS, Ali Sastroamidjojo, yang sedang berada di Peking, sebelum sumber resmi di Jakarta mengetahui duduk persoalannya secara jelas. Sebenarnya hal ini mudah dimengerti, karena di Jakarta ada cabang Kantor Berita Xinhua yang mempunyai hubungan telex langsung Jakarta-Peking. Segala kejadian di Jakarta sudah disiarkan oleh Xinhua yang diterima secara lengkap di Peking pagi tanggal 1 Oktober itu, yang bersumber dari pimpinan Gerakan 30 September. 15) Pleidooi Rewang, dicuplik dan naskah aslinya(tulisan tangan), hal.28, 31, 32, 33 dan 34 Sepanjang yang diketahui, RRT tidak penah mengeluarkan pernyataan mendukung gerakan itu. Apa yang dilakukan oleh RRT ialah Radio Peking menyiarkan secara lengkap KOK Politbiro CC PKI dan menyatakan persetujuannya dengan KOK itu. KOK menyalahkan Gerakan 30 September dan menyatakan sebagai avonturisme di bidang ideologi, politik, teori dan organisasi. Dari analogi ini, bisa disimpulkan bahwa RRT tidak mendukung Gerakan 30 September 1965. Kesimpulan ini bisa dimengerti apabila dikaji bahwa Rl dan RRT kemudian bisa menormalisasi kembali hubungan diplomatiknya yang sejak terjadinya G30S, dibekukan. Sementera persoalan G30S sendiri di Indonesia belum ditutup. Bahkan selanjutnya RRT menyatakan tidak lagi mengakui eksistensi PKI yang di Indonesia memang sudah dinyatakan sebagai partai terlarang. Mengapa Dewan Harian Politbiro CC PKI memutuskan mendahului mengadakan gerakan? Menurut keterangan, karena mereka memanfaatkan momentum kehadiran 2 batalyon pasukan yang pro Kelompok Perwira Muda yang Maju yang didatangkan oleh KOSTRAD dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, untuk ambil bagian dalam peringatan Hari Angkatan Perang 5 Oktober 1965. Momentum semacam ini dianggap tidak akan berulang lagi, oleh karena itu kesempatan yang ada harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Tapi justru yang tidak diantisipasi, kekuatan induk yang ada di Jakarta, dianggap sudah beres begitu saja. Padahal dalam kenyataannya, kekuatan rieel yang berhasil digerakkan dari Tjakrabirawa, hanya 1 kompi, Brigade Infantri I dibawah kolonel A. Latief hanya 1 pleton, dari AURI hanya bertugas menjaga lapangan Udara Halim Perdana Kusumah, sedang 1 batalyon Infantri dari Tangerang di bawah komandan mayor Sigit, dan satu Batery Artileri Pertahanan Udara di Jakarta di bawah komandan Kapten Wahyudi, yang semula sanggup ikut bergerak, sama sekali tidak muncul. Sukarelawan yang hanya menerima latihan kemiliteran secara kilat, meski pun jumlahnya 4 batalyon bersenjata lengkap, tapi tidak bisa diandalkan. Betul di antara mereka ada 1 kompi yang sudah menerima latihan menggunakan peluncur roket yang berlaras banyak, senjata

yang mempunyai daya penghancur besar, tapi pada tanggal 2 Oktober, setelah acla perintah cease fire dari Panglima Tertinggi, semua senjata diperintahkan oleh AURI supaya dikumpull;an di gudang, termasuk roket. Tindakan ini untuk mentaati perintah Presiden/Panglima Tertinggi supaya menghindarkan pertempuran. Adapun cerita 1 juta massa PKI yang dijanjikan oleh Syam akan menguasai kota Jakarta begitu gerakan dimulai, ternyata hanya omong kosong. Juga bantuan yans diperhitungkan akan datang dari Bandung dan Cirebon, tidak terbukti. Tanggal 2 Oktober pagi, di Jakarta, praktis Gerakan 30 September sudah lumpuh. Penanggungjawab gerakan di Jakarta, dipercayakan kepada 3 orang yaitu: Nyono sebagai orang pertama Komite Daerah Besar Jakarta Raya, Sukatno ketua Pemuda Rakyat dan Cugito anggota CC PKI. Analisa tokoh-tokoh PKI setelah melihat gerakan mereka gagal, menyimpulkan bahwa Aidit sebetulnya terjebak dalam perangkap yang dipasang oleh Syam, tokoh yang misterius itu, tapi yang paling dipercayainya dalam rangka memenuhi ambisinya hendak berkuasa. Hal ini terungkap ketika Mayor (U) Soejono ditahan di RTM (Rumah Tahanan Militer) Budi Utomo (sebelum menjalani eksekusi) menceritakan kepada teman-temannya sesama tahanan bahwa pada tanggal 30 September 1965 malam, ia ditugaskan menjemput D.N. Aidit dari rumahnya dibawa ke Pangkalan Udara Halim, dimana G30S menempatkan Sentral Komandonya. Dalam perjalanan di dalam mobil, Soejono menanyakan kepada Aidit mengenai beberapa hal penting menyangkut gerakan yang disampaikan melalui Syam untuk di teruskan kepadanya. Syam membuat ketentuan bahwa persoalan yang akan disampaikan kepada Aidit, tidak boleh disampaikan langsung, melainkan harus lewat dirinya. Syamlah yang akan menyampaikan kepada Aidit. Ternyata berbagai pertimbangan militer yang harus disampaikan kepada Aidit, tidak disampaikan oleh Syam, sehingga banyak hal yang tidak bisa dikoordinasi dengan baik. Semua pertimbangan, hanya Syam sendiri yang menampung dengan akibatnya, setelah gerakan dimulai, terjadi kesimpang-siuran. Disinilah Syam menjalankan peran sesuai dengan misinya yang misterius dan ia berhasil. Bagi Angkatan Darat, sikap PKI mendahului mengadakan gerakan, malah dianggap kebetulan, karena malah dianggap kebetulan, karena sudah diperhitungkan, PKI tidak mungkin bisa menang melawan AD. Sebaliknya dengan kenekatan PKI itu, AD sudah diperhitungkan, PKI tidak mungkin bisa menang melawan AD. Sebaliknya dengan kenekatan PKI itu, AD mendapatkan alasan yang sah untuk menghancurkan PKI sampai ke akar-akarnya. Demikian analisa tokoh-tokoh PKI setelah mereka meringkuk dalam penjara. Menurut pengakuan tokoh-tokoh PKI yang pernah ditahan atau diadili tapi kemudian dikembalikan ke masyarakat, mereka tidak mempunyai rencana hendak membunuh para Jenderal. Tugas gerakan yang dikendalikan oleh Biro Khusus, hanya bertindak sebagai polisi, menangkap perwira-perwira tinggi yang dituduh anggota Dewan Jenderal, sesudah itu menyerahkannya kepada Presiden/Panglima Tertinggi untuk menentukan tindakan apa yang harus diambil terhadap mereka. Ternyata dalam pelaksanaan terjadi penyimpangan, yang diperkirakan karena akibat rencana terselubung yang memanfaatkan gerakan ini. Tadinya diharapkan supaya pengambilan para Jenderal beraelan mulus saja. Akan tetapi didalam pelaksanaan, bukan saja para Jenderal dibunuh dengan kejam atas perintah Syam, dimasukkan ke dalam sumur tua, bahkan berkelanjutan dengan mengambil tindakan politik yang memberikan warna bahwa tindakan ini betul-betul suatu tindakan coup dtat. Dewan Revolusi dibentuk untuk menjeiaskan bahwa yang terjadi adalah sebuah revolusi dan Kabinet Dwikora di-demisioner-kan, dengan

catatan boleh bekerja terus menjalankan tugas rutin yang tidak bertentangan dengan garis yang ditetapkan oleh Dewan Revolusi. Kemudian mengumumkan program utuk segera menyiapkan penyelenggaraan Pemilihan Umum dan dari hasil Pemilu, akan dibentuk Kabinet Front Nasional yang adil, di mana PKI tentu harus menjadi bagian yang penting didalamnya. Sebetulnya semua itu hanya angan-angan yang dicoba untuk dimaterialisasikan, tapi pelaksanaannya amburadul. Penyusunan Dewan Revolusi dilakukan sembarangan saja, tanpa konsultasi dengan orang-orang yang namanya dicantumkan dalam susunan Dewan. Dengan demikian, maka susunan Dewan hanya fiktif belaka, sekedar nama- namanya diumumkan lewat RRI yang waktu itu mereka kuasai, tapi tidak pernah efektif walau sejenak. Walau pun Kabinet sudah dinyatakan demisioner, tetap saja menjalankan kekuasaan eksekutifnya tanpa campur tangan Dewan Revolusi. Memang politik tidak sesederhana seperti apa yang sering dipikirkan orang naif. Untuk mendapatkan sedikit gambaran awal mengenai tanda-tanda akan terjadinya peristiwa G30S, ada baiknya kita menengok ke belakang dengan memperhatikan beberapa keterangan berikut: 1. Pada suatu hari di bulan Agustus 1965, Ny. Umi Sarjono, ketua umum GERWANI, dan anggota DPRGR, minta tolong kepada Menteri/Wakil ketua DPRGR Mursalin Daeng Mamanggung untuk menyampaikan kepada Menko/Ketua M P RS Chaerul Saleh supaya mencegah Aidit (Menko/Wakil ketua MPRS) melaksanakan satu rencana yang tidak disebut- kan apa bentuknya. Setelah pesan itu disampaikan oleh Mursalin kepada Chaerul, reaksinya tidak serius, sehingga tidak terkesan adanya sesuatu yang penting. Dikira hal itu urusan pribadi saja. 2. Dalam rangka peringatan Hari ABRI, 5 Oktober 1965, atas prakarsa Men/Pangad Letnan Jenderal A. Yani, Presiden Sukarno dimohon bersedia menerima satu pawai SEKBERGOLKAR (Sekretariat Bersama Golongan Karya). Bung Karno menjawab, bersedia saja menerima, asal panjangnya barisan lima Km. Yani menyanggupinya. Tentu saja untuk menghimpun massa SEKBERGOLKAR dalam barisan yang begitu panjang, diperlukan satu pengorganisasian yang luas. Mursalin terlibat dalam kegiatan ini, karena ia adalah seorang anggota pimpinan SEKBERGOLKAR. Lukman, wakil ketua PKI yang juga Menteri/Wakil ketua DPRGR, mendengar keterlibatan Mursalin dalam rencana itu, minta kepadanya supaya tidak usah ikut-ikut campur tangan. Tapi Mursalin menjawab bahwa keikut-sertaannya, karena statusnya sebagai anggota pimpinan SEKBERGOLKAR. 3. Ceramah Prof. Dr. Wertheim dalam satu pertemuan 23 September 1990 di Amsterdam, di mana diuraikannya bahwa ketika ia dan istrinya pada tahun 1957 mengajar sebagai Guru Besar Tamu di Bogor, ia sempat bertemu dengan Aidit dan beberapa tokoh PKI lainnya. Aidit memberitahukan kepadanya tentang kunjungannya ke RRT. Dari sumber lain Wertheim mendengar bahwa ketika Aidit di Peking dan menemui Mao Zedong, Aidit ditanya: Kapan ia akan mundur ke daerah pedesaan 16) 16) Majalah Arah Suplemen, No, 1, 1990, Amsterdam. Tentang pembicaraan Aidit dengan Mao Zedong ini, seorang bekas mahasiswa Indonesia yang pernah belajar di Peking dan berhasil menyelesaikan studinya dalam jurusan Sinologi, menceritakan bahwa rumor yang tersiar dikalangan mahasiswa Indonesia di Peking waktu itu, pertama-tama Mao Zedong menanyakan kepada Aidit, apakah ia sudah pernah mencopot dasinya dan terjun ke desa memimpin gerakan tani, mengingat Indonesia adalah negara agraris yang 80% rakyatnya terdiri dari petani?

Menurut cerita ini, Aidit merasa agak dipermalukan oleh Mao Zedong, karena ia tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan mengenai gerakan tani di Indonesia. Mungkin karena pengalaman buruk ini, maka pada tahun 1964, Aidit memimpin satu gerakan riset besarbesaran untuk meneliti gerakan tani di Jawa dengan melibatkan kurang lebih 3300 kader PKI, yaitu 3000 kader tingkat kecamatan dan desa, 250 kader tingkat propinsi dan 50 kader tingkat pusat. Proyek ini diselesaikan dalam 4 bulan, yaitu Pebruari sampai Mei 1964. Menurut perkiraan waktu itu di Jawa ada 45 juta kaum tani. Yang diriset ialah desa-desa di 124 kecamatan. Masing-masing kader melakukan riset 45 hari, kemudian menyusun kesimpulan. Aidit sendiri mengatakan bahwa ia melakukan perjalanan dengan mobil sepanjang 6000 Km selama memimpin pekerjaan riset itu. Laporan hasil risetnya, disampaikan dalam ceramahnya dihadapan para dosen, mahasiswa dan undangan Akademi llmu Politik Bachtaruddin (milik PKI) tanggal 28 Juli 1964 di Balai Prajurit Diponegoro, Jakarta. Dari hasil riset ini, kata aidit, telah bisa dipusatkan sasaran gerakan tani di seluruh tanahair melawan apa yang disebutnya 7 setan desa: tuan tanah jahat, lintah darat, tengkulak jahat, tukang ijon, penguasa jahat, kapitalis birokrat di desa dan bandit desa. Hasil riset tersebut telah memperkuat kesimpulan PKI bahwa di Indonesia terdapat 4 ciri sisasisa feodalisme, yaitu: 1. Monopoli tuan tanah atas tanah. 2. Sewa tanah dalam wujud hasil bumi. 3. Sewa tanah dalam bentuk kerja di tanah tuan tanah. 4. Utang-utang yang mencekek leher kaum tani. 17) Maka mulailah diatur supaya Barisan Tani di Indonesia (BTI) melakukan latihan revolusioner di desa, yang dikenal dengan Aksi Sepihak, untuk menguji sampai dimana militansi kaum tani yang diorganisasi oleh BTI. Di daerah Klaten, Jawa Tengah, misalnya. Yang menjadi sasaran ialah kaum tani yang sawahnya luas, melebihi 5 ha. Menurut Aidit, Undang-Undang Pokok Agraria dan UndangUndang Pokok Bagi Hasil, sesuai ketentuan Menteri Pertanian dan Agraria, tahun 1963 adalah tahun terakhir pelaksanaannya di Jawa, yaitu tanah tuan tanah dinasionalisasi dan seorang petani tidak boleh mempunyai tanah lebih dari 5 ha. Itulah alasannya mengapa Aksi Sepihak dilancarkan, karena sampai tahun 1964, ketentuan UU tersebut tidak dilaksanakan oleh Pemerintah. 17) Majalah llmu Marxis, triwulan ketiga, tahun ke-VII, No. 3 Jakarta, 1964 Tapi apa yang terjadi di Jawa Tengah, BTI melakukan Aksi Sepihak tanpa persetujuan Pemerintah. Kebetulan yang menjadi sasaran ialah petani-petani anggota PNI. Tentu saja orang-orang PNI melakukan perlawanan dan akibatnya jatuh korban. Dalam ceramah Wertheim yang disinggung di atas, ia juga mengatakan bahwa pada tahun 1964, menerima kunjungan wakil ketua PKI Nyoto di Amsterdam. Nyoto bersama tokohtokoh PKI lainnya, waktu itu sedang berada di Eropa, menghadiri satu konperensi di Helsinki. Sewaktu bertemu dengan Nyoto, kata Wertheim, ia teringat kembali pertanyaan Mao Zedong kepada Aidit Kapan akan mengundurkan diri ke daerah pedesaan?, sambil mengingatkan kepadanya bahwa situasi Indonesia sekarang, mirip dengan keadaan di Tiongkok sebelum coup dtat Generalisimo Chiang Kaisyek. Menurut Wertheirn, di Indonesia juga akan ada bahaya besar seperti di Tiongkok tahun 1927, di mana PKI akan dihancurkan. Oleh karena itu dianjurkannya dengan keras supaya golongan kiri di Indonesia mempersiap- kan diri untuk menyusun perlawanan di bawah tanah dan mundur ke pedesan. Jawaban Nyoto, menuru1 Wertheim, untuk menghancurkan PKI sekarang sudah terlambat, karena PKI sudah terlalu kuat dan juga mempunyei kekuatan di lingkungan ABRI. Wertheim mengatakan, ia tidak berhasil meyakinkan Nyoto. 18)

18) Ceramah Prof. Dr. W.F. Wertheim, seperti yang dimuat dalam rnayalahArah, Supplement, No. 1, 1990, Amsterdam. Biro Ketentaraan Departemen Organisasi PKI atau yang dikenal denganBiro Khusus bersama sekutunya Perwira Muda yang Maju, sebelum 30 September 1965, sudah berkalikali mengadakan pertemuan, tempatnya bergantiganti, di rumah kapten Wahyudi dari ARHANUD (Artileri Pertahanan Udara), di rumah kolonel Latief (komandan Brigade Infantri I KODAM V Jaya) dan rumah Syam, untuk mengkonsolidasi kekuatan sampai pada tahap persiapan akhir. Seorang komandan batalyon yang ikut dalam rapat-rapat itu dan akhirnya ditahan di Rumah Tahanan Khusus Salemba, yang kemudian berganti nama menjadi INREHAB (Instalalasi Rehabilitasi) Salemba, sudah mengemukakan keraguannya mengenai kemungkinan keberhasilan gerakan. Secara perhitungan militer, gerakan yang dipersiapkan hendak mendahului itu, tidak bisa menjamin kemenangan mutlak, karena pasukan yang hendak digerakkan, tidak konkrit, baru perhitungan di atas kertas. Diperkirakan, akan lebih banyak yang menggabung, jika gerakan sudah dimulai. Tapi Syam berkata: masa tidak percaya kepada kokuatan massa PKI yang sudah teruji militansinya, siap rnenguasai ibukota begitu gerakan dimulai. Ketika gerakan siap dimulai dengan menjadikan desa Lubang Buaya sebagai pangkalan, perwira yang ragu tadi tidak muncul dan juga tidak menyiapkan pasukannya untuk bergerak, seperti yang diputuskan dalam rapat. Ia seorang militer profesional yang merasa bertanggung jawab penuh atas nasib prajurit. Ia tidak mau mengorbankan anak buah, karena yakin persiapan tidak matang. Senada dengan apa yang diakui oleh anggota Politbiro Rewang dalam pleidooinya dimuka sidang pengadilan, sebelum semua persiapan kegiatan itu, ada sidang CC PKI yang dihadiri anggota-anggota CC yang berada di Jakarta dengan menghadirkan juga Sekretaris-Sekretaris tingkat Propinsi di Jawa, pada bulan Agustus 1965. Dalam rapat itu Aidit menguraikan situasi politik dalam negeri yang dinilainya sudah semakin kritis, karena katanya, sudah diketahui akan ada rencana coup detat Dewan Jenderal yang dini terhadap Bung Karno dan sekaligus menghancurkan PKI. Gerakan ini akan dilancar- kan oleh Dewan Jenderal, sehubungan dengan kesehatan Bung Karno yang makin buruk, yang diketahui dari laporan team dokter RRT yang merawatnya. PKI, kata Aidit, harus bersiap menghadapi bahaya itu, karena bagaimana pun, PKI pasti terancam. Mengenai gerakan, mantan ketua Mahkamah Agung Rl, Ali Said, SH., dalam ceramahnya di depan mahasiswa Akademi Hukum Militer/Perguruan Tinggi Hukum Militer Jakarta 23 Nopember 1992 mengatakan bahwa berdasarkan hasii pemeriksaan tim dokter RRT yang pernah mengobati Bung Karno, menyimpulkan bahwa apabiia datang serangan lagi, akan berakibat fatal bagi Bung Karno, yaitu lumpuh atau meninggal dunia. Berdasarkan hasil pemeriksaan tim dokter RRT ini, Aidit menyelenggarakan pertemuan berturut-turut dengan Politbironya untuk membahas: 1. Keadaan Presiden/PBR (Pemimpin Besar Revolusi) yang makin memburuk. 2. Adanya suatu Dewan Jenderal di lingkungan AD yang siap mengambil alih kekuasaan setelah Presiden tidak berdaya lagi, bahkan kemudian menginformasikan Politbironya bahwa

Dewan Jenderal akan lebih dulu bertindak sebelum Presiden wafat, dan tindakan itu akan dilancarkan sekitar Hari Angkatan Perang 5 Oktober 1965. 3. Adanya kelompok perwira progresif di lingkungan Angkatan Darat yang akan mencegah serangan/ menggagalkan upaya coup Dewan Jenderal. 4. Kepada rekan-rekannya ditanyakan oleh Aidit, bagaimana seyogianya sikap yang harus diambil PKI. Membiarkan Dewan Jenderal bergerak dulu untuk kemudian dilawan, ataukah lebih tepat apabila PKI menyerang terlebih dahulu. Aidit sendiri lebih berat meletakkan pilihannya Mendahului gerakan Dewan Jenderal. 19) 19) Berita Buana, 25 Nopember 1992, Jakarta. Ali Said, SH., tidak menjelaskan sumber keterangan butir-butir yang diuraikannya, terutama mengenai butir 2 sampai 4. Butir 1 sudah umum diketahui. Tapi menurut keterangan seorang yang hadir dalam pertemuan CC yang diperluas, dan kemudian ditahan, Aidit tidak menjelaskan apa bentuk gerakan yang akan ditempuhnya untuk menyelamatkan PKI. Ia hanya minta persetujuan sidang supaya memberikan kepercayaan kepadanya mengambil langkah-langkah yang diperlukan, permintaan mana diluluskan. Berdasarkan kepercayaan inilah, Dewan Harian Politbiro dalam sidangnya tanggal 24 September 1965, menyusun rencana hendak mendahului gerakan apa yang mereka tuduhkan sebagai rencana coup detat yang hendak dilancarkan oleh Dewan Jenderal. Dewan Harian yang dimaksud ialah para ketua Partai Kepala Sekretariat dan tentu saja ditambah dengan Syan Kamaruzzaman. Pada hari itu juga Komite Jakarta Raya mengadakan rapat yang dipimpin oleh sekretarisnya, Nyono, dihadiri oleh seluruh pimpinan Seksi Komite di seluruh Daeral Jakarta Raya, untuk membagi tugas masing-masing. Jakarta Raya dibagi dalam beberapa Sektor dan Komandan Sektor sudah diangkat begitu selesai latihan kemiliteran di Lubang Buaya. Pembagian wilayah sudah ditentukan. Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI) yang berafiliasi dengan PKI, ditugaskan menyediakan konsumsi dengan membuka dapur umum. Pada saat gerakan dimulai, nasi bungkus dengan lauk pauknya supaya disediakan untuk melayani prajurit yang bergerak. Beras dan uang lauk pauk sudah didrop. Tapi pada saat gerakan dimulai, tidak satu pun dapur umum yang berfungsi. Akibatnya, semua prajurit dari sukarelawan yang sudah menerima latihan kemiliteran di Lubang Buaya dan siap disektornya masing-masing, jac kelaparan. Ini membuktikan bahwa pengorganisasian gerakan itu tidak beres dan tidak cukup dipahami olel massa bawahan. Menurut keterangan seorang perwira Batalyon Infantri 454/Diponegoro yang ikut bergerak pada 1 Oktober 1 965 itu, uang Batalyon yang dibawa dari Semarang, terpaksa dikeluarkan membeli makanan, karena prajurit-prajurit sudah kelaparan. Begitulah gambaran betapa kacaunya pengaturan gerakan itu. Seorang mantan anggota CC PKI yang pernah ke pulau Buru, menceritakan bahwa 2 hari sebelum gerakan dicetuskan, ia sudah mendengar akan adanya gerakan. Maka ia pun segera menemui Nyono, orang pertama PKI Jakarta Raya, minta dengan sangat supaya gerakan dibatalkan. Tapi Nyono menjawab bahwa itu sudah menjadi putusan yang tidak mungkin dirubah lagi. Karena orang itu merasa dirinya mempunyai kedudukan yang penting dan seharusnya ikut menentukan dalam Partai, yeitu sebagai anggota CC, maka ia bertanya: Putusan siapa?

Karena ia sebagai anggota CC PKI tidak pernah merasa ikut merundingkan apalagi menyetujuinya. Ketika Nyono akhirnya ditangkap dalam satu operasi pembersihan di sekitar percetakan Negara Jakarta, ia diadili sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB) dan dijatuhi hukuman mati. Sebelum dieksekusi, Nyono ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) jalan Budi Utomo Jakarta dan kebetulan mantan anggota CC yang pernah memperingatkannya supaya membatalkan pelaksanaan Gerakan 30 September itu, juga ditahan di tempat yang sama. Karena ia mendengar bahwa eksekusi terhadap Nyono akan dilaksanakan besoknya, maka diperlukannya menemui Nyono dengan cara sembunyi-sembunyi, untuk menyampaikan berita sedih itu. Nyono hanya menjawab bahwa ia belum lupa nasehat temannya ini, tapi sekarang nasi sudah menjadi bubur. Risikonya adalah yang terpahit: Menghadapi regu tembak, sesuai dengan vonnis yang dijatuhkan oleh MAHMILLUB. Gerakan ini berakibat fatal bukan saja tidak mendapat dukungan rakyat, tapi juga pelaksanaannya tidak lewat perencanaan yang akurat, sehingga yang tampil ke permukaan hanyalah ketakaburan dengan menganggap bahwa gerakan pasti berhasil. Sama sekali tidak diperhitungkan kemungkinan gagal. Dengan demikian, gerakan ini secara militer sepenuhnya avonturisme, menyimpang dari teori revolusi seperti yang dimaksudkan oleh pencetusnya. Itulah sebabnya, setelah Letnan Jenderal Soeharto menumpas gerakan ini, hanya dalam tempo 5 hari seluruh kekutan inti gerakan, telah dihancurkan. PKI mundur dan hanya berusaha menolong situasi dengan mengeluarkan pernyataan seolah-olah mereka tidak terlibat dan apa yang terjadi semata-mata persoalan intern Angkatan Darat. PKI mengeluarkan seruan kepada seluruh anggota dan simpatisannya supaya mempertahankan legalitas sambil waspada. Untuk mendukung prinsip ini, PKI menyerukan kepada anggota-anggotanya supaya mendaftarkan diri di Front Nasional, satu seruan yang sebenarnya bunuh diri. Karena ternyata, semua yang datang mendaftarkan diri, tak seorang pun lagi yang bisa kembali, mereka langsung ditahan. Dalam waktu yang relatif singkat, beribu-ribu pengikut PKI sudah berada dalam tahanan dan gerakan perlawanan yang berarti, sudah tidak ada lagi. Di Yogyakarta dan Solo ada sedikit perlawanan karena D.N. Aidit berada di sana setelah diterbangkan oleh pesawat AURI dari Halim atas perintah Menteri/Panglima Angkatan Udara, Omar Dhani. BAB IV APEL LEWAT TENGAH MALAM 28 SEPTEMBER1965, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), melangsungkan resepsi penutupan kongresnya di Istana Olahraga (ISTORA) Senayan, dengan mengundang Bung Karno dan beberapa Menteri untuk memberikan amanat. Gedung yang bisa menampung 10.000 audience itu, penuh sesak oleh mahasiwa anggota CGMI dan anggotaanggota pemuda seazas. Yel-yel yang mereka teriakkan: Bubarkan HMI (Himpunan Mahasiwa Islam) yang dikenal sebagai organisasi mahasiswa yang mendukung MASYUMI, partai Islam yang sudah dibubarkan karena dituduh terlibat pemberontakkan PRRI di Sumatera Barat (1958). Itulah sebabnya CGMI menuntut pula

supaya HMI dibubarkan. Seolah- olah kongres ini diselenggarakan, terutama untuk menuntut pembubaran HMI. Biasa, kalau Bung Karno diminta memberikan amanat, selalu didahului dengan sambutan seorang atau dua orang menteri. Sebagai gongnya, barulah Bung Karno tampil. Pertama-tama tampil Menteri Penerangan Ahmadi. Tapi ternyata suaranya tenggelam dalam gemuruhnya yel-yel yang menuntut pembubaran HMI. Audience tidak sabar dan minta Ahmadi cepatcepat saja menyatakan mendukung pembubaran HMI. Karena pidatonya terus diganggu oleh gemuruh yang berlebih-lebihan, akhirnya ia hentikan setelah diam 10 menit menantikan redanya suara yang gemuruh, tapi tidak juga berhenti. Suasana terasa sekali sangat menekan. Sesuai dengan acara, tampillah pembicara berikutnya, Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena, berbicara menurut gayanya yang tidak agitatif. Ia dengan tenang dan jelas menyampaikan sikap Pemerintah berkenaan dengan tuntutan pembubaran HMI. Inilah kata-kata Dr. Leimena: Pemerintah tidak mempunyai niat untuk membubarkan HMI. HMI adalah organisasi yang nasionalistis, patriotik dan loyal kepada Pemerintah. Pemerintah banyak mendapat sokongan dari HMI dalam perjuangan melawan NEKOLIM . Mendengar pernyataan Dr. Leimena yang sangat jelas itu, meski pun diucapkan dalam gaya seorang pendeta, tapi cukup mengejutkan. Suasana di seluruh tenahair waktu itu yang diciptakan oleh PKI dan para pendukungnya, sepertinya memastikan bahwa HMI malam itu dibubarkan. Tibalah giliran Bung Karno menyampaikan amanatnya. Massa CGMI - mengharapkan Bung Karno berbicara lain. Bung Karno memulai pidatonya dengan mengatakan: Sebelum memulai pidato saya, saya ingin menyampaikan hal berikut ini. Saudara-saudara baru saja mendengar tentang kebijaksanaan Pemerintah yang disampaikan oleh Pak Leimena sebagai wakil Perdana Menteri II, mengenai kedudukan HMI. HMI tidak akan dibubarkan. Karena saudara-saudara s