kedudukan komisi yudisial dalam pengangkatan hakim agung...
TRANSCRIPT
Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung
(Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Nurdin
NIM : 1613048000085
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H / 2016 M
Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung
(Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
Nurdin
NIM : 1613048000085
Dosen Pembimbing
Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH
NIP. 196911211994031001
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H / 2016 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
ABSTRAK
Nurdin, NIM 1613048000085“ Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan
Hakim Agung (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015) ” Program
Studi Double Degree (Ilmu Hukum) Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui Pertimbangan Hakim Pada Komisi Yudisial Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dan Analisis Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 43/PUU-XII/2015 yang menyatakan bahwa frasa bersama dan Komisi
Yudisial dalam Pasal 14A ayat (2) dan (3) UU No. 49 Tahun 2009, Pasal 13A ayat (2) dan (3)
UU No. 50 Tahun 2009, dan Pasal 14A ayat (2) dan (3) UU No. 51 Tahun 2009 adalah
bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 18D ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945,
sehingga proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri hanya dilakukan oleh Mahkamah
Agung. Penelitian ini bersifat normatif, yaitu penelitian hukum yang meneliti kaidah atau aturan
hukum sebagai suatu peristiwa hukum, yang di dalam penelitian ini hanya berhenti pada lingkup
konsepsi hukum, asas hukum dan kaidah peraturan saja Pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan penelitian kepustakaan dan Analisis data hasil penelitian dilakukan secara
deskriptif kualitatif, yaitu mengumpulkan semua bahan baik bahan hukum primer maupun bahan
hukum sekunder. Adapun Penelitian Studi ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan yuridis normatif. Teknik pengumpulan data adalah studi kepustakaan. Teknik
analisis data menggunakan deskriptif analitis yang berusaha menggambarkan masalah hukum,
sistem hukum dan mengkajinya secara sistematis.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan guna menjawab rumusan
masalah Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, Adapun faktor faktornya dirumuskan dalam Pasal 24A
ayat 1, Pasal 24 B ayat 1, dan Pasal 28D Ayat 1. Mahkamah Agung menjadi satu-satunya
lembaga yang berwenang melaksanakan proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tingkat
pertama dan Komisi Yudisial sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk ikut dalam proses
seleksi pengangkatan hakim pengadilan tingkat pertama. Proses seleksi pengangkatan hakim
pengadilan tingkat pertama juga harus dilaksanakan dengan mendudukkan hakim sebagai pejabat
negara pelaku kekuasaan kehakiman, tidak sebagai PNS karena putusan ini telah memberikan
nilai khusus pada status hakim sebagai pejabat negara.
Keyword : Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 43/PUU-
XIII/2015 dan Kewenangan Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor
43/PUU-XIII/2015
Dosen Pembimbing : Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH
Daftar Pustaka : 1983 sd Tahun 2016
KATA PENGANTAR
Segala Puji bagi allah SWT yang menciptakan makhluk yang berisi,
relevan, karena kudrat iradatnya atas rahmat dengan petunjuk dan bimbingan-
Nyalah penulis telah melewati masa masa sulit dengan penuh perjuangan tetesan
keringat, basuhan air mata, serta beribu-ribu do’a. akhirnya dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan judul “Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan
Hakim Agung (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-
XIII/2015)”. Shalawat dan salam, semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda
tercinta nabi Muhammad SAW, karena beliaulah yang merubah peradaban dunia
yang berazaskan moral.
Rasa syukur saya persembahkan kepada Allah SWT atas nikmat yang tak
terhitung jumlahnya yang telah dianugerahkan kepada penulis. Salah satunya
nikmat Iman dan Islam, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari, sebagai hamba yang lemah dan penuh salah, bahwa
tugas ini selesai bukan semata-mata dari buah tangan sendiri, akan tetapi
tugas ini selesai karena adanya dorongan, motivasi, bimbingan, do’a dan
bantuan yang senantiasa mengalir dari para hamba Allah SWT baik secara
langsung atau tidak langsung, serta memberikan dukungan baik secara moril
maupun materiil. Mereka yang dengan tulus hati meluangkan waktunya dan
memberikan inspirasinya, pastinya tugas ini akan lebih berat tanpa adanya
mereka. Melalui kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis
persembahkan untaian kata terima kasih kepada yang terhormat.
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA Selaku Rektor Kampus UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
2. Dr. H. Asep Saepuddin Jahar, MA Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Beserta Para Wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH Selaku Ketua Program Studi Ilmu
Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. dan Juga
Selaku Dosen Pembimbing yang telah tulus ikhlas membantu, membimbing
dengan penuh kesabaran, sehingga penyelesaian skripsi ini berjalan baik. Drs.
Abu Thamrin, SH, M.Hum Selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. H. Yayan Sopyan, SH, MA, MH Selaku Dosen Penguji Skripsi 1 (Satu)
dan Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si Selaku Dosen Penguji Skripsi 2 (Dua), Aku
ucapkan terimakasih banyak atas arahan, masukan dan koreksi skripsinya yang
bersifat sangat membangun menuju arah perubahan yang lebih baik.
5. Kakak Mufida Selaku Pihak Pengurus Double Degree Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu senantiasa memberikan
semangat kepada saya untuk segera cepat menyelesaikan study ini
6. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum khususnya dosen jurusan
Peradilan Agama yang telah memberikan materi perkuliahan, saya mendapatkan
ilmu yang tidak ternilai ibarat berlian yaitu bernilai mahal, indah, berharaga serta
bimbingan akhlak, semua mata kuliah hingga selesai sampai skripsi ini.
7. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Serta Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan pelayanan referensi yang diperlukan.
8. Teman-Teman Prodi Double Degree Angkatan Ke 3 (Tiga) Tahun 2013 Aku
Ucapkan Kepada Indah Khoiril Bariyah, Zulisan Sidqi, Muhammad Awaludin,
Ahmad Saidi, Andi Asyraf Rahman, Muhammad Hira Hidayat, Bustomi, Badru
Tamam, Erwin Hikmatiar, Rusdi Rizki Lubis, Nurfachri, Jefri AR, Ade
Firmansyah, Muhammad Irpan,.Terimakasih atas semua yang telah kita lewati
bersama, kalian adalah Teman Teman terbaik yang aku punya.
9. Teristimewa untuk kedua orang tua penulis yang tercinta, Bapak Kandungku
Ayahanda H. Supandi dan Ibu Kandungku Ibunda Mamah HJ. Eneng Nurhayati
yang tidak henti-hentinya mendoakan dan memberikan pengorbanan yang telah
memberikan segenap kesabaran, ketulusan dan keikhlasan serta cinta dan kasih
sayang, serta dukungan baik moril maupun materil yang tiada terhitung nilainya,
serta senantiasa mendoakan dan membimbing penulis. Serta Adik Kandungku
tercinta Feni Sulsiah yang telah memberikan motivasi dan semangat kepada
penulis,dan untuk Adik Kandungku tersayang Fahrudin Terima kasih juga telah
memberikan Do’a dan support, semoga dari Allah SWT dapat balasan yang lebih
baik. Amiin
10. Narti Patner Hidupku yang selalu setia menemaniku berjuang baik dalam
keadaan susah, sedih, duka, senang, gembira, bahagia, wanita terindah ini selalu
ada untukku, selalu memberikan support yang luar biasa, seperti ibarat kata
pepatah mutiara, Hadapi segala tantangan Hidup untuk sebuah pembelajaran,
jadikan semangat yang kuat dan motivasi yang tinggi, tetap optimis. Insya Allah
dimana ada kesulitan pasti ada jalan kemudahan. Asalkan Tanamkan Niat
Keikhlasan dalam Hati Bahwa Allah SWT, dalam melaksanakan sholat lima
waktu sebagai amal ibadah dan perbuatan yang baik untuk bekal nanti di akhirat
menuju Syurga nya Allah SWT bersama dengan orang orang yang sabar dan
beriman, untuk berpuasa dan bersedekah, serta senantiasa sebagai insan yang
lemah ini selalu berusaha, berdo’a, berjuang, berikhtiar, serta hasilnya tawakal,
dan berserah diri semuanya pasrahkan kepada Allah SWT sang maha pencipta.
sang maha membolak balikan perasaan hati seorang manusia yang awalnya keras
menjadi lembut. Karena Allah SWT Sang maha kuasa atas segala kehendaknya.
KUN FAYAKUN
Dengan Segenap Ketulusan dan keikhlasan dari hati yang paling dalam
atas jasa dan bantuan semua pihak. Penulis panjatkan do’a semoga Allah SWT
memberikan balasan pahala yang berlipat ganda dan menjadikannya sebagai amal
ibadah yang tidak akan pernah berhenti mengalir pahalanya hingga akhir hayat.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis sendiri, dan umumnya bagi para pembaca, serta Allah SWT senantiasa
memberikan kemudahan bagi kita semua. Amiin
Jakarta, 21 Oktober 2016 M
20 Muharram 1438 H
Nurdin
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…. ……………………………………… 1
B. Identifikasi Masalah……………………………………………. 8
C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah………..………….. 9
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ……………………... 11
E. Study Review (Tinjauan Pustaka) Terdahulu……………………. 12
F. Metode Penelitian…..………...... ………………………………. 15
G. Sistematika Penulisan….………………………………………... 18
BAB II EKSITENSI KOMISI YUDISIAL DALAM SISTEM KETATA
NEGARAAN INDONESIA
A. Sejarah Lahirnya Komisi Yudisial………………………………. 20
B. Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Bantu (State Auxiliary
Organs)………………………………………………………………. 26
C. Teori Pemisahan Kekuasaan……………………………………… 31 33
BAB III PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG KONSTITUSIONAL
KOMISI YUDISIAL
A. Mengusulkan Pengangkatan Aakim agung kepada Dewan
Perwakilan Rakyat……………………………………………….. 38
B. Menegakkan Keluhuran Martabat serta Menjaga Perilaku P
Hakim……………………..……………………………………… 50
C. Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial………………………. 57
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTUSI NOMOR
43/PUU-XIII/2015
A. Duduk Perkara………………………………………………........ 61
B. Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi…………… 62
C. Analisis………………………………………………………….. 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………… 79
B. Saran……………………………………………………………. 82
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 83
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri,
yang mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung
kepada DPR, juga mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Yakni
Hakim Agung dan Hakim pada badan peradilan disemua lingkungan peradilan
yang berada dibawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Menurut Philipus M. Hadjon dalam memaknai kedudukan suatu
lembaga negara dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: pertama: kedudukan
diartikan sebagai suatu posisi lembaga negara dibandingkan dengan lembaga
negara lain. Kedua, kedudukan lembaga negara diartikan sebagai posisi yang
didasarkan pada fungsi utamanya.1
Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung, Komisi
Yudisial merupakan organ negara yang wewenangnya diberikan langsung
oleh UUD 1945. Pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan
Kehakiman menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 Komisi Yudisal
1 Philipus M. Hadjon, “Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD
1945”, (Surabaya: Bina Ilmu, 1996), h. 10
2
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, walaupun Komisi Yudisial tidak
memiliki kekuasaan kehakiman.
Pasal 24A ayat (3) berbunyi, “Calon Hakim Agung diusulkan
Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan
persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh
Presiden”. Selanjutnya, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan
bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim.
Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Konstitusi dalam
Perubahan UUD 1945 melahirkan lembaga baru di bidang kekuasaan
kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 24
ayat (2) UUD 1945. Keberadaan Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk
menegakkan konstitusi dalam mewujudkan negara hukum Indonesia yang
demokratis. Sesuai ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi mempunyai wewenang (a) Menguji undang-undang terhadap
UUD; (b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang Dasar; (c) Memutus
pembubaran partai politik; (d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum; dan (e) Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden
3
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan
pendapat bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan dimasukkannya Hakim Konstitusi dalam pengawasan
Komisi Yudisal menurut Undang-Undang Komisi Yudisial mengakibatkan
lumpuhnya kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam menghadapi kenyataan
timbulnya persengketaan kewenangan konstitusional antara Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial.2 Padahal Mahkamah Konstitusi merupakan
satu-satunya lembaga yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 untuk
memutuskan dengan putusan yang final dan mengikat dalam hal terjadinya
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945.
2 Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa dimasukkannya hakim konstitusi dalam
Undang- Undang Komisi Yudisial yang dibahas pada tahun 2004 mencerminkan motif di
kalangan Pembentuk undang-undang untuk menitipkan kepentingan untuk mengontrol kekuasaan
Mahkamah Konstitusi yang dianggap terlalu berkuasa, terutama setelah Mahkamah Konstitusi
mengabulkan beberapa pengujian undang-undang, seperti pengujian atas ketentuan Pasal
50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi, pengujian atas
Undang- Undang tentang Ketenagalistrikan yang dibatalkan seluruhnya, pengujian atas Undang-
Undang eks Perpu Pemberlakuan Undang-Undang tentang Anti Terorisme, ketentuan Undang-
Undang tentang Pemilu yang membatasi hak warga negara eks anggota PKI untuk ikut serta
dalam Pemilu, dan lainsebagainya. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum tata Negara Indonesia
Pasca Amandemen, h. 578-579
4
Hubungan Komisi Yudisial dengan Presiden diatur dalam UUD 1945
secara tegas menyatakan kedudukan Presiden adalah sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan negara (executive power).3 Meskipun demikian,
menurut Ismail Sunny Presiden Republik Indonesia tidak menjadi kepala
eksekutif dan pemimpin yang sebenarnya dari eksekutif seperti halnya di
Amerika Serikat.4 Ada dua alasan yang mendukung pendapat Ismail Sunny
tersebut, yaitu: pertama, dalam melaksanakan kekuasaan itu telah
ditentukan dalam undang-undang dasar. Dan kedua, dalam melaksanakan
tugasnya Presiden dibantu oleh para menteri dan para menteri inilah dalam
konteks politik melaksanakan tugas-tugas permerintahan.
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmailiy Ibrahim, ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) tersebut memberi wewenang yang
luas dan tidak terperinci kepada Presiden namun tidak berarti presiden dapat
berbuat sekehendak hatinya karena dibatasi oleh UUD 1945.5
Dalam Undang-Undang Komisi Yudisial digunakan istilah wewenang
dan tugas, tidak dijabarkan tentang fungsi Komisi Yudisial. Ada pendapat
yang mengatakan bahwa wewenang (bevoegheid) mengandung pengertian
3 Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan “Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar.” 4 Ismail Sunny, “Pergeseran Kekuasaan Eksekutif”, (Jakarta: Aksara Baru, 1986), h. 42
5 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, “Pengantar Hukum Tata Negara”, (Jakarta: Sinar
Bhakti, 1983), h. 198
5
tugas (plichten) dan hak (rechten). Menurut Bagir Manan,6 wewenang
mengandung makna kekuasaan (macht) yang ada pada organ, sedangkan tugas
dan hak ada pada pejabat organ .Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2011 tentang Komisi Yudisial menyatakan “Komisi Yudisial mempunyai
wewenang” :
a. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc di
Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan Persetujuan
b. Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku Hakim.”
c. Menetapkan kode etik dan pedoman perilaku hakim bersama sama dengan
mahkamah agung
d. Menjaga dan menegakan pelaksanaan kode etik dan pedoman perilaku
hakim
Semua aparat penegak hukum berkewajiban mewujudkan cita hukum
secara utuh, yakni keadilan, kemanfaatan menurut tujuan, dan kepastian
hukum. Diantara para penegak hukum yang lainnya posisi Hakim adalah
istimewa. Hakim adalah konkretisasi hukum dan keadilan yang abstrak,
bahkan ada yang menggambarkan Hakim sebagai wakil Tuhan di bumi untuk
menegakkan hukum dan keadilan.
6 Bagir Manan, “Menyongsong Fajar Otonomi Daerah”, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum
FH UII Yogyakarta, 2001), h. 69-70.
6
Konflik antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial ternyata bukan
hanya kali ini dan hanya dalam masalah ini saja. Sejak akhir tahun 2005
sampai paling tidak pertengahan tahun 2006, khususnya masyarakat hukum,
menyaksikan adegan konflik antara Makamah Agung dan Komisi Yudisial.
Konflik yang oleh masyarakat disayangkan ini sebenarnya bermula dari
langkah-langkah Komisi Yudisial ketika hendak menejermahkan dan
melaksanakan amanat konstitusi atas pembentukannya yang kemudian
membentur Mahkamah Agung yang struktur dan karakternya sudah begitu
kuat dan berpola. Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang baru
kemudian mendapat sorotan baik yang bersifat positif maupun negatif.7
Terjadinya perseteruan antara kedua lembaga tersebut adalah
diajukannya permohonan atau gugatan judicial review atas UU No. 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial oleh 31 Hakim Agung sebagai pribadi
pribadi. Mereka pada pokoknya meminta Mahkamah Agung membatalkan
sebagian isi Undang Undnag tersebut karena bertentangan dengan Undang
Undang Dasar Tahun 1945 yakni bagian yang menentukan bahwa Komisi
Yudisial berwenang mengawasi Hakim Agung. Para pemohon mendalilkan
bahwa Komisi Yudisial hanya berwenang mengawasi hakim dan pengertian
hakim di sana tidak mencakup Hakim Agung. Hal ini mengherankan karena
baik ditinjau dari latar belakang maupun dari sikap Mahkamah Agung sendiri
7 Mohammad Mahfud MD, “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi” (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h.110
7
sebelum lahirnya Undang Undang tersebut jelas-jelas disebutkan bahwa
Komisi Yudisial berwenang mengawasi Hakim termasuk Hakim Agung.8
Hubungan kedua institusi ini tidak seperti yang diharapkan, yakni bekerja
sama sebagai mitra (partnership).
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 juga
merupakan bentuk konflik antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial,
putusan ini banyak menimbulkan perdebatan, lenyapnya kewenangan
Komisi Yudisial dalam seleksi hakim menimbulkan banyak opini tentang
pelemahan lembaga tersebut, karena bukan hanya kali ini saja kewenangan
Komisi Yudisial dikurangi dalam menjalankan tugasnya, tugas Komis
Yudisial yang menyangkut pengawasan terhadap perilaku hakim menjadi
terpangkas dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
005/PUU-IV/2006. Namun di sisi lain, banyak juga opini yang menyatakan
mendukung putusan ini karena berkaitan dengan kemandirian badan peradilan
yang tercipta pada awal reformasi yang dicampuri oleh suatu lembaga baru
yaitu Komisi Yudisial.
8 Mohammad Mahfud MD, “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi”
h.111
8
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mencoba
membahas masalah ini dalam skripsi dengan judul “ Kedudukan Komisi
Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung” (Analisa Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015)
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang itulah penulis mengidintifikasi masalah yang ada
dalam Komisi Yudisial, dianataranya sebagai berikut :
1. Bagaimana Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung ?
2. Bagaimana Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Konstitusi ?
3. Bagaimana Hubungan Komisi Yudisial dengan Presiden ?
4. Apa Wewenang dan Tugas Komisi Yudisial ?
5. Apa yang menyebabkan terjadi konflik antara Mahkamah Agung dengan
Komisi Yudisial dengan terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
43/PUU-XIII/2015 ?
6. Apa yang menjadi Pertimbangan Hukum Pada Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dalam judicial review Undang
Undang yang diuji oleh Mahkamah Agung terkait dengan IKAHI ?
7. Faktor Apa yang memengaruhi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 43/PUU-XIII/2015 dalam seleksi pengangkatan hakim ?
9
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan dari identifikasi masalah tersebut, maka penulis merasa
sangat perlu untuk membatasi agar pokok permasalahan dalam kajian
penelitian skripsi ini tidak meluas serta menjaga kemungkinan penyimpangan
dalam penelitian skripsi ini, maka dalam penelitian ini penulis memfokuskan
dan membatasi masalah hanya dalam ruang lingkup pembahasan skripsi ini
hanya berkisar pada Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim
Agung (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015)
2. Rumusan Masalah
Komisi Yudisial bersama-sama dengan Mahkamah Agung dalam
melakukan proses seleksi pengangkatan hakim merupakan kewenangan
yang diberikan oleh pembuat Undang-Undang (lembaga legislatif) melalui
tiga undang-undang terkait dengan kekuasaan kehakiman. Di dalam
hukum konstitusi kita pembentuk Undang-Undang boleh menentukan isi
undang-undang yang dianggap penting dan baik apapun isinya, sepanjang
tidak melanggar dan bertentangan dengan UUD 1945.
Kewenangan dalam proses seleksi pengangkatan Hakim Agung
berdasarkan Undang Undang Nomor 22 tahun 2004 Amanden Perubahan
Kedua Undang Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial,
10
Undang Undang 48 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang Undang Nomor
49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum/Peradilan Negeri, Undang
Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, dan Undang
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
merupakan sebagai bentuk upaya peningkatan kapasitas dan
kesejahteraan Hakim dengan melakukan perbaikan pada integritas Hakim
dan segenap komponen peradilan yang mendukung sistem kerja Hakim,
dalam taraf tertentu diyakini akan mampu menghasilkan sebuah kultur
penegakan hukum yang bersih, jujur dan menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan, tegas dan bewibawa melalui proses seleksi pengangkatan Hakim
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung bersama-sama dengan Komisi
Yudisial.
Proses seleksi pengangkatan Hakim yang dilakukan oleh Komisi
Yudisial bersama-sama dengan Mahkamah Agung pada pengadilan negeri,
pengadilan agama dan pengadilan tata usaha negara sesungguhnya
menciptakan kepastian hukum. Melihat bahwa proses seleksi pengangkatan
Hakim Agung tidak diatur dalam UUD 1945 dan rekrutmen hakim yang
dilakukan Komisi Yudisial bersama-sama Mahkamah Agung merupakan
sebagai salah satu tujuan pembentukan sistem rekrutmen Hakim yang ideal,
dimana proses seleksi pengangkatan Hakim akan lebih transparan dan
memberikan ruang pada masyarakat untuk ikut serta mengikuti proses
11
seleksi pengangkatan Hakim, serta menimalisir terjadi kecurangan
kucarangan yang mungkin terjadi pada proses seleksi pengangkatan
hakim.
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis merumuskan beberapa masalah
sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi Pertimbangan Hukum Pada Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dalam judicial review Undang
Undang yang diuji oleh Mahkamah Agung terkait dengan IKAHI?
2. Faktor Apa yang memengaruhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
43/PUU-XIII/2015 dalam seleksi pengangkatan hakim?
D. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penilitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penelitian skripsi
ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan memahami substansi Komisi Yudisial dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015
2. Untuk mengetahui faktor faktor yang memengaruhi Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dalam seleksi pengangkatan hakim
Adapun manfaat penilitian skripsi ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu
manfaat teoritis dan manfaat praktis :
12
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan Wawasan serta memberikan suatu pemahaman dan
konstribusi dalam menanggapi masalah hukum, khususnya tentang
Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung
(Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015)
2. Manfaat Praktis
Adapun hasil penilitian skripsi diharapkan dapat memberi
masukan dan sumbangan pemikiran yang bersifat konseptual yang
berkaitan dengan Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan
Hakim Agung (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
43/PUU-XIII/2015)
E. Study Review (Tinjauan Pustaka) Terdahulu
Guna mengetahui sejauh mana masalah komisi yudisial yang pernah di
bahas dalam berbagai literatur, buku, artikel.baik yang disusun oleh
perseorangan, maka penulis melakukan pengamatan terhadap penelitian
sebelumnya.
13
NO Identitas Subtansi Pembeda
1.
Masripatunnisa “
Efektifitas Fungsi
Pengawasan Komisi
Yudisial Dalam
Mengawasi Hakim
Dan Pengaruhnya
Terhadap
Kekuasaaan
Kehakiman (UIN
Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2014)
Skripsi Ini
menjelaskan
mengenai efektifitas
fungsi pengawasan
Komisi Yudisial
secara umum serta
pengaruhnya
terhadap sistem
kekuasaan
kehakiman di
indonesia
Disini penulis
membahas Komisi
Yudisial dalam
kekuasaan
kehakiman bahwa
ada pelanggaran
kode etik, dan tidak
mendapatkan
tanggapan dari
mahkamah agung.
Merumuskan kode
etik bersama perilaku
hakim bersama
Mahkamah Agung,
Menganalisis putusan
yang sudah
berkekuatan hukum
tetap sebagai dasar
melakukan mutasi
hakim,
melakukan
pemantauan dan
pengawasan terhadap
perilaku Hakim,
menerima laporan
dari masyarakat
berkaitan dengan
pelanggaran Kode
Etik dan pedoman
perilaku Hakim.
14
melakukan
pemeriksaan bersama
Mahkamah Agung
atas dugaan
pelanggaran kode etik
hakim, apabila
ada perbedaan hasil
pemeriksaan dengan
Mahkamah Agung.
melakukan verifikasi,
klarifikasi, dan
investigasi terhadap
laporan dugaan
pelanggaran Kode
Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim secara
tertutup.
2 Amir Syamsuddin,
Integritas Penegak
Hukum (Hakim, Jaksa,
dan Pengacara) tentang
Mahkamah Agung
Versus Komisi
Yudisial, Kompas,
Jakarta, Juni 2008
Hasil penelitian
berupa buku ini
membahas tentang
Mahkamah Agung
versus Komisi
Yudisial dalam hal
kewenangan
menjalankan fungsi
pengawasan
secara yuridis maupun
akses publik dan
informasi
Adakah kerjasama
antara Mahkamah
Agung dan Komisi
Yudisial baik secara
internal maupun
eksternal, pelaksanaan
fungsi pengawasan
dan efektrifitasnya
dalam mengawasi
hakim perngaruhnya
terhadap kekuasaan
kehakiman
15
Berdasarkan Telaah Pustaka dan penulusuran data yang telah
penyusun lakukan, banyak sekali yang telah membahas tentang komisi
yudisial, tetapi dari beberapa karya ilmiah maupun lainnya, belum ada yang
mengangkat topik penelitian yang penyusun angkat. Maka peneliti merasa
penting dan perlu untuk mengangkat topik “Kedudukan Komisi Yudisial
Dalam Pengangkatan Hakim Agung (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 43/PUU-XIII/2015) ” .
F. Metode Penelitian
Dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini digunakan metode
penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan.
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi ini, adalah:
1.1 Penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum
positif.9
1.2 Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang
dilakukan dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-
buku, literatur, dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul
skripsi ini.
9 Johny Ibrahim, “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”, (Malang: Bayumedia
Pubblishing, 2008), h. 294
16
Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini antara lain :
1.3 Pendekatan perundang undangan yang didalamnya terdapat pasal
pasal yang berkaitan (statute approach) ialah pendekatan dengan
melakukan pengkajian terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam peraturan
perundang undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian
skripsi ini khususnya berkenaan dengan Komisi Yudisial.10
1.4 Pendekatan terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal ialah untuk
mengungkapkan kenyataan, sejauh mana perundang-undangan tertentu
serasi secara vertikal, atau mempunyai keserasian secara horizontal
apabila menyangkut perundang-undangan sederajat mengenai bidang yang
sama.11
2. Sumber Bahan Hukum
Dalam penyusunan skripsi ini Penulis menggunakan dua jenis sumber data,
yaitu :
2.1 Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan
perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki perundang-
undangan dengan Undang Undang Kewenangan dalam proses seleksi
pengangkatan hakim agung berdasarkan Undang Undang Nomor 22 tahun
10
Johny Ibrahim, “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”, h. 295 11
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif”,(Jakarta: Rajawali
Press, 1985),h. 85
17
2004 Amanden Perubahan Kedua Undang Undang Nomor 18 Tahun 2011
Tentang Komisi Yudisial, Undang Undang 48 Tentang Kekuasaan
Kehakiman Undang Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan
Negeri, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan
Agama, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, Adapun bahan hukum primer yang diteliti adalah
berupa bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari UUD RI 1945,
peraturan perundang-undangan maupun peraturan pelaksana yang
dianggap menunjang terhadap penulisan skripsi ini.
Dikatakan demikian karena yang menjadi dasar dalam penulisan
skripsi ini yaitu dalam melakukan proses rekruitmen terhadap Hakim
Agung hendaknya Komisi Yudisial melaksanakannya dengan prinsip
transparansi, partisipatif, objektif, dan bertanggung jawab. Dengan
demikian maka Komisi Yudisial dapat melakukan pengawasan terhadap
para Hakim-Hakim agar tidak melakukan penyimpangan.
2.2 Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan
kepustakaan.12
Adapun bahan yang diteliti adalah berupa bahan
hukum yang mengikat yang terdiri dari UUD RI 1945, peraturan
perundang-undangan maupun peraturan pelaksana yang dianggap
menunjang terhadap penulisan skripsi ini. Bahan hukum yang terdiri
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992), h. 51
18
atas buku-buku (textbook) yang ditulis para ahli hukum yang
berpengaruh (de hersendee leer), jurnal-jurnal hukum, dan hasil-hasil
simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi
ini. Bahan hukum sekunder tersebut terdiri dari buku-buku hukum,
media cetak, artikel-artikel baik dari internet maupun berupa data
digital.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi
dalam bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan
merupakan suatu masalah yang diteliti, adapun sistem penulisan skripsi ini
sebagai berikut :
Pertama dalam bab ini penulis membahas dasar-dasar pemikiran
penulis dan gambaran umum tentang tujuan tulisan ilmiah serta berisi hal-hal
yang menyangkut teknis pelaksanaan penyelesaian skripsi yang dimulai
dengan mengemukakan Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah,
Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat
Penelitian, Study Review (Tinjauan Pustaka) Terdahulu, Metode Penelitian,
dan Sistematika Penulisan.
19
Kedua dalam bab ini penulis akan membahas eksistensi Komisi
Yudisal yang berkaitan dengan Sejarah Komisi Yudisial dan Komisi Yudisial
sebagai Lembaga Negara Bantu (State Auxiliary Organs), Teori Pemisahan
Kekuasaan.
Ketiga dalam bab ini penulis berusaha menguraikan tentang
Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung Kepada Dewan Perwakilan
Rakyat, Menegakkan Kehormatan, Keluhuran Martabat dan Menjaga
Perilaku Hakim, Serta Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial.
Keempat dalam bab ini memuat analisis yang bertujuan untuk
menjelaskan Apa yang menjadi Pertimbangan Hukum Pada Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dalam judicial review
Undang Undang Nomor 18 tahun 2011 terkait dengan seleksi pengangkatan
Hakim Agung, Faktor Apa yang memengaruhi terhadap putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015
Kelima dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam bab
ini penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis
lakukan sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan dalam
bab. Uraian terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk kegiatan lebih
lanjut berkaitan dengan apa yang telah penulis kaji.
20
BAB II
EKSISTENSI KOMISI YUDISIAL DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA
A. Sejarah Lahirnya Komisi Yudisial
Undang Undang Dasar 1945 dalam perubahan ketiga yang disahkan pada
tanggal 10 November 2001 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.1 Sejalan
dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya
jaminan penyelenggaraa kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari campur tangan
kekuasaan lain untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan ketertiban,
keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman
kepada masyarakat.2
Perubahan Undang Undang Dasar 1945 yang menyangkut kelembagaan
kekuasaan kehakiman sebagaimana di atas, telah mengintroduksi suatu lembaga baru
yang kewenangannya berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu
Komisi Yudisial. Kehadiran Komisi Yudisial sebagai lembaga negara baru dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan pada kesepakatan bahwa perlu ada suatu
lembaga khusus untuk menjalankan fungsi fungsi tertentu yang berhubungan dengan
kekuasaan kehakiman.3 Keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga negara dijamin
kemandiriannya dalam UUD 1945 yaitu dalam hal mengusulkan pengangkatan hakim
1 Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan III, Bab I Tentang Bentuk dan Kedaulatan, Pasal 1 ayat (3)
2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab I Ketentuan Umum, Pasal
1 menyebutkan: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia.” 3 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Tentang
Komisi Yudisal, 2003, h. 12
21
agung sekaligus berwenang untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim.4
Berdasarkan perubahan tersebut, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan lain yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan Peradilan Agama,
lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.5
Kekuasaan kehakiman bukanlah suatu lembaga yang dapat menuntaskan segala
persoalan yang menyangkut kekuasaan kehakiman. Beberapa aspek seperti
pengangkatan, promosi, mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman terhadap
hakim merupakan persoalan di dalam kekuasaan kehakiman yang apabila tidak terkelola
dengan baik akan berpengaruh besar terhadap kinerja kekuasaan kehakiman secara
keseluruhan.6 Persoalan menjadi semakin rumit ketika menyangkut perekrutan Hakim
Agung. Hal ini dikarenakan Hakim Agung adalah jabatan yang sangat strategis
sehingga selalu mengundang intervensi pemegang kekuasaan politik (DPR dan
Presiden) dalam rangka menempatkan orang orangnya untuk dapat memperjuangkan
kepentingan kepentingannya di kemudian hari.
4 Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Paragraf 6
menyebutkan “Komisi Yudisal bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.” 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab I Ketentuan Umum.
Pasal 2 menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
dalam undang-undang ini adalah dilakukan oleh sebuah Mahkama Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer,
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. 6 Ahsin Thohari, “Komisi Yudisal & Reformasi Peradilan”, (Jakarta: Elsam, 2004), h.157
22
Sebenarnya gagasan tentang perlunya suatu lembaga khusus untuk menjalankan
fungsi fungsi tertentu yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman bukanlah hal
yang baru. Dalam pembahasan Rancangan Undang- Undang tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada tahun 1968, sempat diusulkan
pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim
(MPPH). Majelis ini berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil
keputusan terakhir mengenai saran-saran yang berkaitan dengan pengangkatan, promosi,
mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan hakim, yang diajukan
baik oleh Mahkamah Agung maupun Departemen Kehakiman. Namun dalam
perjalanannya, ide tersebut tidak berhasil dimasukkan ke dalam Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sejalan dengan hal tersebut, A. Ahsin Thohari menyimpulkan bahwa alasan
alasan utama yang menyebabkan munculnya gagasan pembentukan Komisi Yudisial,
antara lain:
1. Lemahnya monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman karena
monitoring hanya dilakukan secara internal saja
2. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antar kekuasaan Pemerintah dalam
hal ini Departemen Kehakiman dan kekuasaan kehakiman.
3. Kekuasaan kehakiman dianggap tindak mempunyai efisiensi dan efektifitas yang
memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalan
persoalan teknis menghukum
4. Rendahnya kualitas dan tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan karena
tidak diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar- benar independen
23
5. Pola rekruitmen hakim terlalu bias dengan masalah politik karena lembaga yang
mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga lembaga politik.7
Praktik peradilan yang akrab dengan mafia peradilan (judicial corruption)
merupakan alasan lain lahirnya komisi ini. Wajah kusut pengadilan dinegeri kita
merupakan sejarah gelap yang telah berlangsung lama dan tidak boleh terulang
kembali untuk masa kini dan masa yang akan datang. Kepercayaan publik yang
hilang (publicdistrust) terhadap lembaga pengadilan akibat tingginya praktik mafia
peradilan dapat ditumbuhkan lagi dengan hadirnya lembaga pengawasan yang
dapat menegakkan kehormatan dan perilaku hakim.8
Penegakan hukum di Indonesia dalam pelaksanaan mekanisme kontrolpun dirasa
masih lemah. Ada faktor faktor lain sebagai konsistensi kepatuhan terhadap hukum,
yaitu sikap para penyelenggara negara, penegak hukum, dan rakyat itu sendiri.
Ditengah situasi semacam itu pula muncul manusia yang seolah olah kebal hukum.
Padahal secara normatif, semua warga negara tanpa kecuali sama kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjungnya. Semangat
ketaatan terhadap hukum itu tidak mungkin dapat ditumbuhkan tanpa dilandasi
iman keagamaan dan kepatuhan terhadap norma norma moral yang hidup dalam
masyarakat. Iman dan moral mendorong manusia untuk patuh terhadap hukum.9
7 Ahsin Thohari, “Komisi Yudisal & Reformasi Peradilan”, (Jakarta: Elsam, 2004), h. 217-218
8 Busyro Muqoddas, Arah Kebijakan Komisi Yudisial dalam Mengawal Penegakan Hukum di
Indonesia, (Makalah) disampaikan dalam seminar Nasional di Pusat Penelitian Agama dan Perubahan Sosial
Budaya Lemlit UIN SUKA Yogyakarta, 29 Juli 2006 9 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia (Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi
Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h. 56
24
Pentingnya akuntabilitas dalam sistem kekuasaan kehakiman juga mendorong
lahirnya Komisi Yudisial ini. Kehadiran Komisi Yudisial dalam sistem kekuasaan
kehakiman karenanya bukanlah sekedar “asesoris” demokrasi atau sekedar “kegenitan”
proses pembaruan penegakan hukum. Komisi Yudisial lahir sebagai konsekuensi politik
dari adanya amandemen konstitusi yang ditujukan untuk membangun sistem checks
and balances di dalam sistem dan struktur kekuasaan kehakiman, termasuk
didalamnya pada sub sistem kekuasaan kehakiman.10
Kelahiran Komisi Yudisial juga didorong antara lain karena tidak efektifnya
pengawasan internal (fungsional) yang ada di badan-badan peradilan. Tidak efektifnya
pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) kualitas
dan integritas pengawas yang tidak memadai, (2) proses pemeriksaan disiplin yang tidak
transparan, (3) belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk
menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses), (4)
semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan
hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu
kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan
keuntungan dari kondisi yang buruk itu, dan (5) tidak terdapat kehendak yang kuat dari
pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindak lanjuti hasil pengawasan.11
Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu kekuasaan kehakiman yang
merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan
dapat diwujudkan sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman,
10
Bambang Widjoyanto, “Komisi Yudisial: Checks and Balances Dan Urgensi Kewenangan
Pengawasan”, artikel dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, 2006, h. 111 11
Mas Achmad Santosa, artikel: Menjelang Pembentukan Komisi Yudisial, dalam harian Kompas tanggal
2 Maret 2005, h.5
25
baik dari segi hukum maupun dari segi etika. Untuk itu, diperlukan institusi
pengawasan yang independen terhadap para hakim itu sendiri yaitu Komisi Yudisial
yang berkaitan dengan fungsi pengawasan eksternal terhadap kekuasaan kehakiman.
Selain itu, Menurut Jimly Asshiddiqie12
maksud dibentuknya Komisi
Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga di luar
Struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam poses pengangkatan,
penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua itu dimaksudkan
untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Dengan demikian, independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan itu memang
tidak boleh diartikan secara absolut. Salah satu rumusan penting konferensi
International Commission of Jurist menggaris bawahi bahwa; “Independence
does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner”. Oleh karena itu,
sejak awal munculnya gagasa mengubah UUD Tahun 1945 telah muncul kesadaran
bahwa sebagai pengimbang independensi dan untuk menjaga kewibawaan kekuasaan
kehakiman, perlu diadakan pengawasan eksternal yang efektif di bidang etika
kehakiman seperti beberapa negara, yaitu dengan dibentuknya Komisi Yudisial. 13
12
Jimly Asshiddiqie, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, Cet. Kesatu
(1), (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 57 13
Jimly Ashiddiqie, Bagir Manan, et. al, “Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden
Secara Langsung”, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006),
h. 24
26
B. Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Bantu (State Auxiliary Organs)
Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Bantu di Indonesia yang dirumuskan Dalam
Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 ditentukan: “Calon hakim Agung diusulkan Komisi Yudisal
kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan dan selanjutnya ditetapkan
sebagai Hakim Agung oleh Presiden.” Pasal 24B UUD 1945 menentukan pula bahwa:
1. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim
Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
2. Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang
hukum, serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
3. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
4. Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
Ketentuan tersebut kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 34 menentukan:
1. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan Hakim Agung dilakukan oleh
Komisi Yudisial yang diatur dengan Undang Undang.
2. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Hakim diatur
dalam Undang Undang.
3. Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim Agung
dan Hakim pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam Undang
Undang.
27
Berdasarkan ketentuan tersebut, terdapat dua tugas Komisi Yudisial yaitu, tugas pertama
berkenaan dengan rekruitmen Hakim Agung, dan tugas kedua berkenaan dengan
pembinaan hakim dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
dan perilaku hakim.
Ketentuan Pasal 24B UUD 1945 menyatakan bahwa Komisi Yudisial “bersifat
mandiri”. Ketentuan ini kemudian dipertegas pada Pasal 2 Undang Undang Komisi
Yudisial yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang
bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau
pengaruh kekuasaan lain.
Dari ketentuan tersebut, maka Komisi Yudisial merupakan lembaga yang mandiri
(independence). Secara etimologis istilah “mandiri” berarti keadaan dapat berdiri sendiri;
tidak bergantung kepada orang lain. Menurut Jimly Asshiddiqie, ada tiga pengertian
independensi, yaitu: 14
1. Structural Independence yaitu independensi kelembagaan dimana struktur suatu
organisasi yang dapat digambarkan dalam bagan yang sama sekali terpisah dari
organisasi lain.
2. Functional Independence yaitu dilihat dari segi jaminan pelaksanaan fungsi dan tidak
ditekankan dari struktur kelembagaannya.
3. Financial Independece yaitu dilihat dari kemandiriannya menentukan sendiri anggaran
yang dapat dijamin kemandiriannya dalam menjalankan fungsi.
14
Jimly Asshiddiqie, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi”, Cet, Kesatu
(1) , (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2007), h, 79
28
Secara struktural, dapat dikatakan bahwa kedudukan Komisi Yudisial
sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, secara
fungsional, peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap kekuasaan kehakiman.
Meskipun secara fungsional terkait dengan kekuasaan kehakiman, tetapi tidak
menjalankan fungsi kehakiman. Komisi Yudisal bukanlah lembaga penegak norma
hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of ethics). Komisi
Yudisial hanya berkaitan dengan persoalan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku
hakim, bukan dengan lembaga peradilan atau lembaga kekuasaan kehakiman secara
institusional. Keberadaannyapun sebenarnya berasal dari lingkungan internal hakim
sendiri, yaitu dari konsepsi mengenai majelis kehormatan hakim yang terdapat di
dalam dunia profesi kehakiman dan lingkungan Mahkamah Agung, artinya sebelumnya
fungsi ethical auditor ini bersifat internal. Namun untuk lebih menjamin efektifitas
kerjanya dalam rangka mengawasi perilaku hakim, maka fungsinya ditarik ke luar
menjadi eksternal auditor yang kedudukannya dibuat sederajat dengan para hakim yang
berada di lembaga yang sederajat dengan pengawasnya.
Menimbang pula bahwa Komisi Yudisial merupakan organ yang pengaturannya
ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman, dengan mana terlihat bahwa
Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 24A, Komisi Yudisial diatur dalam Pasal 24A ayat
(3) dan Pasal 24B, dan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C. Pengaturan yang
demikian sekaligus menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 Komisi Yudisial berada
dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman, meskipun bukan pelaku kekuasaan
kehakiman. Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 berbunyi, “Calon Hakim Agung diusulkan
29
Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan
dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden.
Bahwa Masyarakat yang semakin berkembang ternyata menghendaki negara
memiliki struktur organisasi yang lebih responsif terhadap tuntutan mereka. Demi
Terwujudnya efektivitas dan efisiensi baik dalam pelaksanaan pelayanan publik maupun
dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan juga menjadi harapan
masyarakat yang ditumpukan kepada negara.
Perkembangan tersebut memberikan pengaruh terhadap struktur organisasi negara,
termasuk bentuk serta fungsi lembaga lembaga negara. Sebagai jawaban atas tuntutan
perkembangan tersebut, berdirilah lembaga-lembaga negara baru yang dapat berupa
dewan (council), komisi (commission), komite (committee), badan (board), atau otorita
(authority). 15
Lahirnya lembaga lembaga negara baru tersebut, dalam pelaksanaan
fungsinya tidak secara jelas termasuk ke dalam salah satu dari tiga organ negara menurut
trias politica.
Dalam perkembangannya sebagian besar lembaga yang dibentuk tersebut adalah
lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi pembantu bukan yang berfungsi utama.
Lembaga Negara baru tersebut disebut dengan state auxiliary organ, yang dalam
bahasa Indonesia diartikan sebagai lembaga negara bantu dan merupakan lembaga
negara yang bersifat penunjang. Istilah “lembaga negara bantu” merupakan istilah
yang paling umum digunakan, meskipun ada pula yang berpendapat bahwa istilah lain
15
Jimly Asshiddiqie, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, Cet. Kesatu
(1), (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 7-8
30
seperti “lembaga negara penunjang”, “komisi negara independen” atau “lembaga negara
independen” lebih tepat untuk menyebut jenis lembaga tersebut.
Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara untuk membuat
lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur non negara,
diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara.
Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya berawal dari keinginan negara yang
sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap
kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas
horizontal. Munculnya lembaga negara bantu dimaksudkan pula untuk menjawab
tuntutan masyarakat atas terciptanya Prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap
penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat
dipercaya.
Menurut Ni’matul Huda Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar lembaga
Negara, mengatakan bahwa aspek kuantitas lembaga-lembaga tersebut tidak menjadi
masalah asalkan keberadaan dan pembentukannya mencerminkan prinsip-prinsip sebagai
berikut:.
1. Prinsip Konstitusionalisme, Konstitusionalisma adalah gagasan yang menghendaki
agar Kekuasaan para pemimpin dan badan-badan pemerintahan yang ada dapat
dibatasi. Pembatasan tersebut dapat diperkuat sehingga menjadi suatu mekanisme
yang tetap. Dengan demikian, pembentukan lembaga lembaga negara bantu ditujukan
untuk menegaskan dan memperkuat prinsip-prinsip konstitusionalisme agar hak hak
dasar warga negara semakin terjamin serta demokrasi dapat terjaga.
2. Prinsip checks and balances. Ketiadaan mekanisme checks and balances dalam
sistem bernegara merupakan salah satu penyebab banyaknya penyimpangan di masa
lalu. Supremasi MPR dan dominasi kekuatan eksekutif dalam praktik
pemerintahan pada masa prareformasi telah menghambat proses demokrasi secara
31
sehat. Ketiadaan mekanisme saling kontrol antar cabang kekuasaan tersebut
mengakibatkan pemerintahan yang totaliter serta munculnya praktik penyalahgunaan
kekuasaan atau abuse of power. Prinsip checks and balances menjadi roh bagi
pembangunan dan pengembangan demokrasi.
3. Prinsip integrasi. Selain harus mempunyai fungsi dan kewenangan yang jelas, konsep
kelembagaan negara juga harus membentuk suatu kesatuan yang berproses dalam
melaksanakan fungsinya. Pembentukan suatu lembaga negara tidak dapat dilakukan
secara parsial, melainkan harus dikaitkan keberadaannya dengan lembaga lembaga
lain yang telah eksis. Proses pembentukan lembaga lembaga negara yang tidak
integral dapat mengakibatkan tumpang-tindihnya kewenangan antar lembaga yang
ada sehingga menimbulkan inefektivitas penyelenggaraan pemerintahan.16
C. Teori Pemisahan Kekuasaan
Teori Pemisahan Kekuasaan pertama kali dikemukakan oleh John
Locke (1960) yang kemudian dikembangkan oleh Baron de Montesquieu (1689-
1755) yang lebih dikenal dengan istilah trias politica. Teori ini dilandasi oleh
pemikiran untuk mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan secara absolut di
tangan satu orang. Sebab hal tersebut sangat berpeluang bagi timbulnya
penyalahgunaan kekuasaan (misuse power). Jika kekuasaan yudikatif diletakkan
pada penguasa, maka proses peradilan berpotensi besar untuk dijadikan alat untuk
mempertahankan kepentingan penguasa. Selanjutnya, jika kekuasaan yudikatif dan
kekuasaan legislatif diletakkan pada penguasa maka akan lahir penguasa tirani.17
Adapun Ajaran Motesquieu yang lebih dikenal dengan sebutan Trias Politica,
yang menghendaki pembagian kekuasaan negara dalam tiga bidang pokok yang
16
Ni’matul Huda, “Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi”, (Yogya
karta: UII Press, 2007), h. 202 17
Sumali, “Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu)”,
(Malang: UMM Press,2003), h. 9
32
masing masing berdiri sendiri, lepas dari kekuasaan lainnya. Satu kekuasaan
mempunyai satu fungsi saja yaitu :18
1. Kekuasaan legislatif, menjalankan fungsi membentuk Undang Undang
2. Kekuasaan eksekutif, menjalankan Undang Undang Pemerintahan
3. Kekuasan yudikatif, menjalankan fungsi peradilan
Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini maka tidak ada campur tangan
antara organ organ negara terhadap operasional kekuasaan masing masing. Dengan
sistem yang demikian di dalam ajaran Trias Politica terhadap suasana checks
and balance, di mana di dalam hubungan antara lembaga-lembaga negara itu
terdapat sikap saling mengawasi, saling menguji, sehingga tidak mungkin
masing-masing lembaga negara itu melampaui batas kekuasaan yang
ditentukan. Dengan demikian terdapat hubungan kekuasaan antara lembaga-
lembaga negara tersebut.19
Menurut C.S.T Kansil, bahwa negara dapat pula diartikan sebagai suatu
organisasi manusia atau kumpulan manusia-manusia yang berada di bawah
suatu pemerintahan yang sama. Pemerintah ini sebagai alat untuk bertindak
demi kepentingan rakyat untuk mencapai tujuan organisasi negara, antara lain
kesejahteraan, pertahanan, keamanan, tata tertib, keadilan, kesehatan dan lain-lain.
Untuk dapat bertindak dengan sebaik-baiknya guna mencapai tujuan
tersebut, pemerintah mempunyai wewenang, wewenang mana dibagikan lagi
18
Kotan Y. Stefanus, “Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan, Dimensi Pendekatan Politik Hukum
Terhadap Kekuasaan Presiden Menurut UUD 1945”,(Yogyakarta: Atmajaya 1998), h. 29 19
Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1994), h.7
33
kepada alat- alat kekuasaan negara, agar tiap sektor tujuan negara dapat bersamaan
dikerjakan. Berkenaan dengan pembagian wewenang ini, maka terdapatlah suatu
pembagian tugas negara kepada alat-alat kekuasaan itu.20
Adapun pengertian pembagian kekuasaan berbeda dari pengertian pemisahan
kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan negara itu terpisah-
pisah dalam beberapa bagian, baik mengenai orangnya maupun fungsinya. Kenyataan
menunjukkan bahwa suatu pemisahan kekuasaan yang murni tidak dapat
dilaksanakan. Oleh karena itu maka pilihan Indonesia jatuh kepada istilah
pembagian kekuasaan, yang berati bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi
dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi
bahwa di antara bagian-bagian itu dimungkinkan adanya kerjasama.21
Sedangkan inti dari ajaran trias politica ialah adanya pemisahan kekuasan dalam
negara, sehingga dengan demikian penyelenggaraan pemerintahan negara tidak
berada dalam kekuasaan satu tangan. Sementara kekuasaan cenderung bersalah
guna (power tends to corrup).Pemegang kekuasaan ada kecenderungan untuk
menyalahgunakan kekuasaan, dan dalam konteks ini diperlukan adanya
pembatasan kekuasaan.22
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
terkenal dengan naskah yang singkat, apabila dikaji dengan cermat, ternyata tidak
menganut sistem pemisahaan kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari
20
C.S.T Kansil,“Hukum Tata Negara Republik Indonesia”(Jakarta: Bina Aksara,1986)
h. 88 21
Muhammad Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat
Studi Fakultas Hukum UI 1988) h.140 22
Sri Soemantri “Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia”, (Bandung: Alumni, 1992) , h. 46
34
organisasi maupun sistem pemerintahan negara. Menurut UUD 1945, antara
kekuasaan eksekutif dan legislatif tidak dipisahkan, ketentuan ini dapat dilihat
pada pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menggariskan kerjasama antara
Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dengan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam tugas perundang-undangan.23
Walapun dalam selanjutnya dalam
perubahan pertama UUD 1945, ketentuan pasal tersebut berubah menjadi ”Presiden
berhak mengajukan rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Dalam perkembangannya, tugas negara yang semakin banyak dan
kompleks mengakibatkan penerapan teori pemisahan kekuasan (separation of
power) sulit dipatuhi secara tajam. Pada zaman modern terjadi saling mengkombinasi
antara konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan konsep check
and balances. Konsep seperti ini umumnya disebut dengan istilah pembagian
kekuasaan (distribution of powers). Dalam hal ini, kekuasaan tidak dipisah (secara
tegas) tetapi hanya dibagi-bagi, sehingga memungkinkan timbulnya overlapping
kekuasaan.24
Tidak diragukan lagi bahwa teori trias politica sangat perlu diaplikasikan
dalam suatu sistem pemerintahan yang baik. Sejarah ketatanegaraan menunjukkan
penerapan teori ini (dengan berbagai variasi) dapat mengantarkan umat manusia ke
arah kehidupan yang lebih demokratis sehingga dapat menopang sendi sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara yang dapat menjamin kelangsungan kehidupan
23
Dahlan Thaib, “DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, h.8 24
Munir Fuady,“Teori Negara Hukum Modern (rechtstaat)”,(Bandung: Refika Aditama, 2009) h.105
35
manusia. Bahkan, penerapan doktrin trias politica merupakan satu satunya pilihan
bagi setiap negara yang demokratis, maju dan modern.25
Posisi Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan. Pada saat perumusan
pasal mengenai Komisi Yudisial dalam perubahan Undang Undang Dasar 1945,
muncul berbagai perdebatan konsepsi tentang posisi Komisi Yudisial dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia. Diantaranya beberapa catatan yang berkembang
dalam perdebatan yaitu sebagai berikut :
a. Kekuasaan Kehakiman sebagai kekuasaan yang independen (merdeka) untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Jadi
independensi penyelenggaraan peradilan hanya dibatasi oleh hukum dan keadilan
itu sendiri.
b. Pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka itu adalah : Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Kedua lembaga inilah sebagai representasi kekuasaan
yudikatif dalam kerangka konsep trias politica. Adapun lembaga-lembaga lain
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan Undang
Undang antara lain Polisi sebagai penyidik, kejaksaan sebagai penuntut, notaris,
advokat dan lain-lain (pasal 24 ayat (3)) UUD 1945).
c. Independesi kekuasaan kehakiman tidak dapat diganggu atau dipengaruhi oleh
kekuasaan lembaga negara lainnya dan dari pengaruh manapun (eksekutif dan
atau Legislatif). Independensi ini hanya dibatasi oleh hukum dan keadilan sendiri.
Penghormatan masyarakat terhadap lembaga yudikatif dan kewibawaanya sangat
25
Munir Fuady, “Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat)”, h., 108
36
tergantung pada ketataatan dan konsistensinya dalam menegakkan hukum dan
keadilan.
d. Dengan dasar pandangan yang demikianlah pada draft perubahan UUD tahun
2000 yaitu padal draft Pasal 25A (Lihat TAP IX/MPR/2000) menghapus
kewenangan Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
martabat dan perilaku hakim.
e. Pada perkembangan selanjutnya Komisi Yudisial diposisikan berada dalam
lingkungan kekuasaan kehakiman. Posisi seperti ini dimaksudkan agar kekuasaan
kehakiman itu tidak diganggu atau diintervensi oleh kekuasaan negara yang lain
sehingga prinsip-prinsip kebebasan peradilan (independency and impartiality)
dari lembaga peradilan. Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman
yang merdeka, akan tetapi sebagai supporting sistem dalam menegakkan
kekuasaan kehakiman yang merdeka agar kewibawaan dan kehormatan lembaga
peradilan tetap terjaga dan tidak kebablasan karena kebebasan dan
kemerdekaannya. Pengawasan oleh Komisi Yudisial adalah bentuk pengawasan
eksternal hakim yang mengimbangi pengawasan yang hanya dilakukan oleh
Dewan Kehormatan Hakim yang bersifat internal. Karena itulah anggota komisi
Yudisial disyaratkan harus mempunyai pengalaman dan pengetahuan di bidang
hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela (pasal 28B
ayat (2) UUD 1945).
f. Dalam kerangka konsep seperti ini, Komisi Yudisial dan pelaku kekuasaan
kehakiman (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) harus dapat berjalan
bersama untuk membangun kekuasaan kehakiman yang berwibawa. Komisi
37
Yudisial sebagai institusi luar hakim mengawasi dan mengawal perilaku para
hakim agar martabat dan kehormatannya tetap terjaga. Diantara institusi dalam
lingkungan kekuasaan kehakiman ini tidak dapat saling menjatuhkan atau
meminta intervensi kekuasaan lain sehingga dapat merusak independensi lembaga
peradilan.
38
BAB III
PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG
KONSTITUSIONAL KOMISI YUDISIAL
A. Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung Kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Kewajiban semua aparat penegak hukum untuk mewujudkan cita hukum secara utuh,
yakni terciptanya keadilan, kemanfaatan menurut tujuan dan kepastian hukum. Dari
keseluruhan aparat penegak hukum, hakim (termasuk Hakim Agung) memiliki
kedudukan yang istimewa.
Hakim merupakan tokoh sentral dalam proses pengadilan. Untuk itu, seorang hakim
diharapkan mampu memberikan putusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat
berdasarkan hukum. Agar dapat mewujudkannya, seorang hakim harus memiliki
kemampuan hukum (legal skill) dan pengalaman yang memadai; memiliki integritas,
moral dan karakter yang baik; mencerminkan keterwakilan dari masyarakat (baik secara
ideologis, etinis, gender, status sosial-ekonomi dan sebagainya), memiliki nalar yang
baik; memiliki visi yang luas; memiliki kemampuan berbicara dan menulis; mampu
mengakkan negara hukum dan bertindak independen dan imparsial dan memilki
kemampuan administratif yang independen.1
Untuk dapat memperoleh Hakim (Hakim Agung) yang memiliki kriteria kriteria di
atas, diperlukan suatu sistem yang baik yaitu melalui suatu sistem rekruitmen,
seleksi dan pembinaan yang baik. Sistem rekruitmen yang baik harus mengedepankan
prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, right man in right place,
1 Mahkamah Agung RI, 2003, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang
tentang Komisi Yudisial., h 28
39
obyektivitas, dan sebagainya.2 Sistem rekruitmen tersebut tidak dapat terlepas dari
siapa yang memiliki kewenangan untuk menyeleksi, mengangkat dan bagaimana
proses seleksi tersebut berlangsung.
Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berwenang mengusulkan pengangkatan
Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat berperan penting dalam terciptanya
rekruitmen Hakim Agung yang kredibel.
Sistem rekruitmen Hakim Agung memberi pengaruh langsung terhadap kualitas
dan tingkah laku Hakim Agung. Apabila sistem rekruitmen hakim agung tidak
didasarkan pada norma-norma profesionalitas maupun integritas yang bersangkutan,
maka pada akhirnya akan mengakibatkan penyimpangan dalam proses peradilan. Hal ini
akan bermuara pada lahirnya putusan hakim yang tidak memenuhi kepastian hukum dan
rasa keadilan masyarakat. Kondisi seperti ini tentu akan berakibat ketidak percayaan
masyarakat kepada institusi peradilan.
Rekruitmen Hakim Agung harus bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Misalnya,
ketika seseorang yang ingin menjadi Hakim Agung harus mengeluarkan biaya yang
besar, maka besar kemungkinan selama memangku jabatannya, Hakim Agung tersebut
berupaya mengembalikan dana yang telah dikeluarkan sekaligus untuk mencari kekayaan
dan memakmurkan diri. Selain itu, sistem rekruitmen Hakim Agung yang dilakukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat melalui proses fit and proper test harus bersih dari
kepentingan politik yang mempengaruhinya.3
2 Mahkamah Agung RI, 2003, h. 29
3 Lawren T.P. Siburian, Jurnal Era Hukum Ilmiah Ilmu Hukum, Edisi No. 3/Th.14/Mei/2007, h. 521-522
40
Apabila kondisi yang demikian tidak tercipta maka prinsip kemandirian hakim dalam
negara hukum Indonesia mustahil untuk terwujud. Sebagaimana di kemukakan
Pengangkatan Hakim Panel, bahwa independensi kekuasaan kehakiman dalam sebuah
negara salah satunya dapat dilihat dari pola rekruitmen Hakim Agung yang tidak
bersifat politis.
Sebelum perubahan Undang Undang Dasar 1945, mekanisme usulan, pencalonan
dan seleksi Hakim Agung semata-mata berada di tangan Presiden selaku kepala
negara. Melihat kenyataan demikian, Jimly Asshiddiqie4 berpendapat bahwa pencalonan
keanggotaan Hakim Agung jangan diserahkan secara eksklusif kepada satu lembaga
karena dapat mempengaruhi kemandirian kekuasaan kehakiman.
Pada era reformasi terjadi perombakan besar besaran terhadap tataran kekuasaan
pemerintahan. Hal ini disebabkan perubahan Undang Undang Dasar 1945 sebanyak
empat kali yang mengakibatkan perubahan tatanan pemerintahan berserta lembaga
lembaga negara tak terkecuali kekuasaan kehakiman khususnya menyangkut tata
cara rekruitmen atau pencalonan Hakim Agung.
Konstruksi hukum pasca perubahan Undang Undang Dasar 1945 menentukan
bahwa mekanisme pengusulan calon Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan
Rakyat merupakan wewenang yang dimiliki dan dilakukan oleh Komisi Yudisial.
4 Jimly Asshiddiqie, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, Cet. Kesatu
(1), (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 84
41
Landasan konstitusionalnya merujuk kepada Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, yang
berbunyi. “Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai
hakim agung oleh Presiden.”
Landasan pokok selanjutnya, diatur pada Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) Undang-
Undang Mahkamah Agung. Ayat (1) berbunyi: “ Hakim Agung diangkat oleh Presiden
dari calon nama yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Selanjutnya ayat (2) berbunyi: “Calon Hakim Agung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipilih Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi
Yudisial. Kemudian ayat (3) berbunyi: “Pemilihan calon hakim agung sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sidang sejak nama
calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat.”
Sebagai landasan hukum pelaksanaan pencalonan Hakim Agung diatur pada BAB III
Pasal 13 sampai dengan Pasal 20 Undang Undang Komisi Yudisial. Undang undang ini
mengatur tata cara pelaksanaan pencalonan Hakim Agung yang digariskan dalam Pasal
24A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Mahkamah
Agung. Bertitik tolak dari ketentuan perundang-undangan yang dikemukakan di atas,
proses pengangkatan Hakim Agung melibatkan lembaga Komisi Yudisal, DPR, dan
Presiden. Sehubungan dengan itu, penulis mencoba membahas lebih lanjut sejauh mana
porsi dan batas wewenang masing-masing lembaga tersebut dalam proses pengangkatan
Hakim Agung.
42
Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan bebas
dari campur tangan pengaruh kekuasaan lainnya. Komisi Yudisial melaksanakan
kewenangannya melakukan pencalonan Hakim Agung yang diperintahkan Pasal
24B ayat (1) UUD 1945. Perintah dan kewenangan mengusulkan pngangkatan hakim
agung ditegaskan kembali oleh Pasal 3 huruf a Undang-Undang Komisi Yudisial yang
berbunyi: “Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung
kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, pengusulan calon
Hakim Agung sepenuhnya diberikan kepada Komisi Yudisial. Tugas yang harus
dilaksankan Komisi Yudisial dalam rangka pengusulan pengangkatan Hakim Agung
kepada DPR, diatur dalam Pasal 14, 15 , 16, 17, 18, 19, dan 20 Undang-Undang Komisi
Yudisal.
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a dan Pasal 15 Undang- Undang
Komisi Yudisial, dalam rangka pencalonan Hakim Agung maka Komisi Yudisial
terlebih dahulu melakukan pendaftaran calon Hakim Agung. Menurut Pasal 14 ayat
(2) Undang-Undang Komisi Yudisial bahwa dalam hal terjadi peristiwa berakhir
masa jabatan seorang atau beberapa Hakim Agung, maka Mahkamah Agung
menyampaikan kepada Komisi Yudisial daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan,
hal itu harus disampaikan Mahkamah Agung kepada Komisi Yudisial dalam jangka
waktu paling lambat enam bulan sebelum berakhir masa jabatan tersebut.
Menurut ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a jo. Pasal 14 ayat (2) yang menyatakan
befungsinya kewenangan Komisi Yudisial melakukan pendaftaran calon Hakim
43
Agung setelah adanya pemberitahuan dari Mahkamah Agung tentang adanya Hakim
Agung yang akan berakhir masa jabatannya, Pemberitahuan Mahkamah Agung
tersebut harus dilakuakan paling lambat enam bulan sebelum berakhirnya masa jabatan
tersebut. Hal ini berarti bahwa selama belum ada pemberihtaun dari Mahkamah
Agung tentang lowongan jabatan Hakim Agung yang timbul sebagai akibat dari adanya
masa jabatan Hakim Agung yang akan berakhir, Komisi Yudisial tidak dapat
mengajukan pengangkatan caon Hakim Agung.
Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Komisi Yudisial, digariskan
tindak lanjut yang harus dilakukan Komisi Yudisial setelah mendapat pemberitahuan dari
Mahkamah Agung tentang adanya lowongan Hakim Agung, yaitu (a) paling lambat
dalam jangka waktu lima belas hari sejak menerima pemberitahun dari Mahkamah
Agung, Komisi Yudisial mengeluarkan pengumuman pendaftaran calon Hakim
Agung dan (b) pengumuman tersebut dilakukan selama lima belas hari berturut-turut.
Menurut penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Komisi Yudisial disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan berturut-turut dalam ketentuan ini adalah pengumuman
yang dilakukan secara terus-menerus di tempat pengumuman Komisi Yudisial dan dapat
pula diumumkan dalam media massa paling sedikit dua kali. Selanjutnya, Pasal 15 ayat
(2) mengatur siapa atau pihak mana saja yang dapat atau berhak mengajukan calon hakim
agung, antara lain: a. Mahkamah Agung, b. Pemerintah, c. Masyarakat.
Berkenaan dengan hal tersebut, sepanjang mengenai Mahkamah Agung tidak ada
masalah. Akan tetapi, mengenai Pemerintah terkandung pengertian yang kabur (vague)
44
atau mendua (ambiguity). Apakah yang dimaksudkan pasal ini adalah Presiden atau
menteri tertentu.
Berpedoman pada ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, yang melaksanakan
kekuasaan pemerintah adalah Presiden. Dalam melaksanakan pemerintahan menurut
ketentuan Pasal 17 ayat (1) UUD 1945, Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
Bertitik tolak pada ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Presiden maupun
menteri berwenang mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial. Dalam hal
menteri yang dianggap memiliki kewenangan untuk itu adalah menteri yang
berkaitan dengan dengan masalah penegakan hukum yaitu Menteri Hukum dan HAM.
Berkenaan dengan pengertian masyarakat, dapat juga menimbulkan persoalan.
Hal ini disebabkan rumusan Pasal 15 ayat (2) hanya menyebutkan kata “masyarakat”
tanpa disertai penjelasan yang lengkap tentang apakah yang dimaksud dengan
masyarakat itu. Apakah pengertian masyarakat adalah masyarakat dalam arti
individu atau perseorangan. Atau, apakah harus berbentuk kelompok Namun apabila
mengacu kepada maksud dari rumusan pasal tersebut, kata “masyarakat” mencakup
pengertian anggota masyarakat secara individual maupun sebagai kelompok. Dengan
demikian, orang perorangan dapat mencalonkan dirinya sendiri kepada Komisi Yudisial.
Jangka waktu pengajuan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial oleh
Mahkamah Agung, pemerintah maupun masyarakat sebagaimana diatur pada Pasal
15 ayat (3) Undang Undang Komisi Yudisial dilakukan dalam jangka waktu lima
belas hari sejak pengumuman pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung dikeluarkan
45
Komisi Yudisial. Apabila lewat dari jangka waktu yang tersebut, pengajuan tersebut
tidak dapat diterima.
Pengajuan Hakim Agung kepada Komisi Yudisial harus memperhatikan
persyaratan untuk dapat diangkat sebagai hakim agung sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan.5 Syarat formil dan materil diatur dalam Pasal 7 Undang-
undang Mahkamah Agung yang meliputi Hakim Agung karir dan Hakim Agung non
karir. Pada ayat (1) menentukan syarat seorang hakim agung karir, antara lain: a. Warga
Negara Indonesia, b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, c. Berijazah Sarjana
Hukum yang mempunyai keahlian dibidang hukum, d. Berusia sekurang kurangnya lima
puluh tahun, e. Sehat jasmani dan rohani; f. Berpengalaman sekurang kurangnya dua
puluh tahun menjadi hakim termasuk sekurang-sekurangnya tiga tahun menjadi hakim
tinggi.
Terhadap persyaratan di atas, menurut M. Yahya Harahap. Pembatasan usia calon
Hakim Agung yakni berusia sekurang kurangnya lima puluh tahun dianggap kurang
realistis dan kurang objektif.6 Menurutnya, pada konsep semula dalam Rancangan
Undang-Undang Komisi Yudisial adalah 45 tahun. Usulan tersebut didasarkan pada
pertimbangan dan pengalaman bahwa pada umur 45 tahun, seorang Hakim sudah matang
apabila dia cakap serta telah menduduki jenjang karier mulai dari Hakim tingkat pertama
di Pengadilan Negeri sampai ke tingkat banding di Pengadilan Tinggi. Idealnya,
perekrutan Hakim Agung didasarkan kepada gabungan antara faktor kecakapan
dengan kemampuan, bukannya mengutamakan faktor senioritas.
5 Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
6 M. Yahya Harahap, “Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali
Perkara Perdata”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 28
46
Selanjutnya pada Pasal 7 ayat (2) mengatur syarat bagi Hakim Agung non karier,
antara lain:
a. Memenuhi syarat yang disebut pada Pasal 7 ayat (1) huruf a (Warga
Negara Indonesia), huruf b (bertaqwa kepada Tuhan Yang MAha Esa), huruf
c (berusia sekurang-kurangnya lima puluh tahun), dan huruf d (sehat jasmani dan
rohani).
b. Berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum
sekurang-kurangnya 25 tahun;
c. Berijazah magister dalam bidang ilmu hukum dengan dasar Sarjana Hukum
atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum.7
d. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
Mengenai syarat administratif diatur pada Pasal 16 ayat (2) Undang-
Undang Komisi Yudisial yang menegaskan pengajuan calon Hakim Agung kepada
Komisi Yudisial harus memenuhi persyaratan administratif dengan jalan
menyerahkan sekurang-kurangnya: a. Daftar riwayat hidup, termasuk riwayat
pekerjaan, b. Ijazah asli atau yang dilegalisasi, c. Surat keterangan sehat jasmani
dan rohani dari dokter rumash sakit pemerintah, d. Daftar harta kekayaan serta
sumber penghasilan calon, e. Nomor Pokok Wajib Pajak.
7 Berdasarkan penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf c, yang dimaksud dengan “sarjana lain” dalam
ketentuan ini adalah Sarjana Syariah dan Sarjana Kepolisian
47
Setelah jangka waktu pengajuan Hakim Agung yang digariskan Pasal 15 ayat
(3) Undang-Undang Komisi Yudisial berakhir yakni lima belas hari dari tanggal
pengumuman pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung, maka menurut Pasal 14
ayat (1) huruf b Undang-Undang Komisi Yudisial, tugas selanjutnya adalah
melakukan proses seleksi dengan proses berikut: a. Komisi Yudisial mengumumkan
daftar nama calon Hakim Agung yang telah memenui syarat.8 b. Komisi
Yudisial melakukan penelitian atas informasi atau pendapat masyarakat tehadap
calon Hakim Agung. c. Menyelenggarakan seleksi kualitas dan kepribadian calon
Hakim Agung secara terbuka.9 d. Mewajibkan calon Hakim Agung menyusun
karya ilmiah yang dipertanggung jawabkan kepada dan di hadapan Komisi Yudisial.
Apabila tahapan seleksi di atas telah selesai dilaksanakan, maka tugas
selanjunya menurut kententuan Pasal 18 ayat (5) Jo. Pasal 14 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Komisi Yudisial adalah menetapkan calon Hakim Agung yang
dilakukan Komisi Yudisial paling lambat lima belas hari terhitung sejak seleksi
kualitas dan kepribadian selesai atau berakhir.
Menurut ketentuan Pasal Pasal 18 ayat (5), untuk setiap satu calon Hakim
Agung Komisi Yudisial menetapkan tiga orang calon Hakim Agung. Hal ini
bertujuan untuk memperoleh calon Hakim Agung yang ideal. Namun, apabila
jumlah tersebut tidak terpenuhi, apakah jangka waktu pencalonan diperpanjang
sampai jumlah tersebut terpenuhi Atau, apakah pencalonan dihentikan karena tidak
memenuhi jumlah tersebut sampai jangka waktu yang ditentukan berakhir.
8 Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
9 Pasal 17 ayat (3) Jo. Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
48
Apabila bertitik tolak dari pendekatan efisiensi dan urgensi yang dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Komisi Yudisial, maka dari segi
efisiensi, proses seleksi kualitas dan kepribadian dan penetapan calon Hakim Agung
harus terus dilanjutkan meskipun yang mendaftar tidak memenuhi jumlah yang
ditentukan oleh Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Komisi Yudisial. Begitu pula dari
segi urgensitas,memperpanjang pendaftaran yang digariskan Pasal 15 ayat (3)
Undang-Undang Komisi Yudisial atau mengulang pendaftaran baru berdasarkan
Pasal 15 ayat (1) Undang Undang Komisi Yudisial akan mengganggu dan
memperlambat pengisian jabatan Hakim Agung yang lowong dan hal ini akan
mengganggu pelaksanaan fungsi Mahkamah Agung.
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (5) Undang Undang Komisi Yudisial,
bahwa dalam jangka waktu lima belas hari, Komisi Yudisial harus sudah
menetapkan calon Hakim Agung dan mengusulkannya kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Tembusan usulan kepada Dewan Perwakilan Rakyat disampaikan kepada
Presiden. Tahapan ini merupakan tugas terakhir Komisi Yudisial dalam proses
pencalonan Hakim Agung.
Tugas selanjutnya proses pencalonan Hakim Agung beralih ke Dewan
Perwakilan Rakyat sesuai dengan ketentuan Pasal 19 Undang Undang Komisi
Yudisial yang menggariskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat harus menetapkan
calon Hakim Agung paling lambat dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak
diterimanya usulan calon Hakim Agung dari Komisi Yudisial. Yang dimaksud dengan
jangka waktu tiga puluh hari dalam ketentuan tersebut adalah hari persidangan
tidak termasuk masa reses. Masih dalam jangka waktu tiga puluh hari tersebut,
49
Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan calon Hakim Agung yang ditetapkan
tersebut kepada Presiden.
Pasal 19 ayat (1) Undang Undang Komisi Yudisial tidak menentukan
berapakah calon Hakim Agung yang dapat diajukan kepada Presiden. Seperti telah
diuraikan di atas, bahwa Komisi Yudisial menetapkan tiga orang calon Hakim
Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Apakah Dewan Perwakilan Rakyat
berwenang atau dapat mengurangi jumlah tersebut, Sebagai contoh, Komisi Yudisial
mengusulkan tiga orang calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial untuk mengisi
satu jabatan Hakim Agung yang lowong. Apakah Dewan Perwakilan Rakyat dapat
mengurangi menjadi dua atau satu calon saja. Atau, tetap mengajukan ketiga calon
tersebut kepada Presiden. Apabila mengacu kepada ketentuan Pasal 19 ayat (1)
Undang Undang Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat dapat saja mengajukan
satu calon saja kepada Presiden.
Namun hal ini dianggap sebagai tindakan yang bersifat fait accompli,
yakni proses pencalonan Hakim Agung telah selesai atau tuntas dimana Presiden
hanya tinggal menetapkan pengangkatan Hakim Agung saja. Terlepas dari
tindakan tersebut bersifat fait accompli, tindakan Dewan Perwakilan Rakyat yang
demikian tidak bertentangan dengan ketentua Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang
Komisi Yudisial.
Proses selanjutnya diatur dalam Pasal 19 ayat (2) yang berbunyi:
“Keputusan Presiden mengenai pengangkatan Hakim Agung ditetapkan dalam
jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak Presiden menerima nama
calon yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat”. Sebagaimana telah dijelaskan
50
dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945. Calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi
Yudisial kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan, dan selanjutnya
ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden. Begitu pula Pasal 8 ayat (1)
Undang Undang Mahkamah Agung menegaskan Hakim Agung diangkat oleh
Presiden dari nama nama yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan Demikian gambaran pelaksanaan rekruitmen Hakim Agung yang
melibatkan beberapa lembaga negara. Pendaftaran pencalonan melibatkan Komisi
Yudisial pemerintah dan Mahkamah Agung. Selanjutnya melibatkan Komisi
Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Dari keseluruhan tahapan
tersebut, diharapkan akan dapat dihasilkan Hakim Agung yang memiliki kualitas
dan kepribadian yang ideal serta memiliki integritas dan profesionalisme yang solid.
B. Menegakkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat serta Menjaga Perilaku Hakim
Selain mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, Pasal 24B UUD 1945 juga
menggariskan bahwa Komisi Yudisial “memiliki wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Secara esensial, kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim merujuk
kepada kode etik (code of ethics) dan pedoman perilaku Hakim (code of conduct)
yang menjadi panduan keutamaan bagi para Hakim baik dalam menjalankan tugas
profesinya maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan diluar kedinasan.10
10
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/104A/SK/XII /2006 tentang
Pedoman Perilaku Hakim, h.57
51
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kode etik (code of ethics)
dan pedoman perilaku Hakim (code of conduct) ditegakkan, Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, bahwa Komisi Yudisial
diberikan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Selanjutnya ketentuan ini dijabarkan dalam
Undang-Undang Komisi Yudisial sebagai bentuk pengawasan terhadap hakim.
Ketentuan tentang pengawasan ini diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 25
Undang Undang Komisi Yudisial.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Komisi Yudisial
“Hakim adalah Hakim Agung dan Hakim pada badan Peradilan di semua
lingkungan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim
Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Namun, menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006
tentang Uji Materil Undang-Undang Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi tidak
sependapat dengan rumusan Pasal 1 angka 5 tersebut. Dalam pertimbangnnya
tentang hal ini, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hakim Mahkamah
Konstitusi tidaklah termasuk dalam kategori sebagai hakim yang merupakan
objek pengawasan Komisi Yudisial.
Beberapa alasan yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengawasan Komisi
52
Yudisial sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Komisi
Yudisial adalah:
1. Dari sistematika penempatan ketentuan mengenai Komisi Yudisial
Sesudah pasal yang mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A
dan sebelum pasal yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal
24C, sudah dapat dipahami bahwa ketentuan mengenai Komisi Yudisial pada
Pasal 24B UUD 1945 itu memang tidak dimaksudkan untuk mencakup
pula objek perilaku hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C
UUD 1945. Hal ini dapat dipastikan dengan bukti risalah-risalah rapat-rapat
Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para
mantan anggota Panitia Ad Hoc tersebut dalam persidangan bahwa
perumusan ketentuan mengenai Komisi Yudisial dalam Pasal 24B
UUD 1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk mencakup
pengertian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD
1945.
2. Dalam ketentuan Undang Undang Mahkamah Konstitusi dan
Undang Undang Kekuasaan Kehakiman yang dibentuk sebelum pembentukan
Undang Undang Komisi Yudisial. Dalam Undang Undang Mahkamah
Konstitusi, untuk fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi
ditentukan adanya lembaga majelis kehormatan yang diatur secara tersendiri
dalam Pasal 23 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Demikian pula Pasal
34 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sama sekali tidak
53
menentukan bahwa hakim konstitusi menjadi objek pengawasan oleh Komisi
Yudisial.
3. Berbeda halnya dengan hakim biasa, hakim konstitusi pada dasarnya bukanlah
Hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Hakim
konstitusi hanya diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan setelah tidak
lagi menduduki jabatan hakim konstitusi, yang bersangkutan masing-masing
kembali lagi kepada status profesinya yang semula.
4. Dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para Hakim
Konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 juga tidak terdapat keterlibatan peran
Komisi Yudisial sama sekali.
5. Dengan menjadikan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan
oleh Komisi Yudisial, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara
menjadi terganggu dan terjebak ke dalam anggapan sebagai pihak yang tidak
dapat bersikap imparsial, khususnya apabila dalam praktik timbul
persengketaan kewenangan antara Komisi Yudisial dengan lembaga lain.11
Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa kewenangan
pengawasan Komisi Yudisial bukan untuk mengawasi lembaga peradilan,
melainkan untuk menjaga dan menegakkan perilaku hakim sebagai individu.
Selain itu, hubungan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial bukanlah untuk
menerapkan prinsip checks and balances karena hubungan semacam ini
hanya terkait erat dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara (separation
11
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, h. 173-176
54
of power). Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial merupakan lembaga
yang berada dalam satu kekuasaan yang sama, dalam hal ini kekuasaan
kehakiman yudikatif. Namun, Komisi Yudisial bukanlah pelaksana dari
kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial berperan dalam pengusulan calon
Hakim Agung, sedangkan fungsi pengawasan penuh tetap dipegang oleh
Mahkamah Agung. Akan tetapi, dalam melaksanakan fungsi pengawasan
terhadap perilaku hakim ini, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung harus
bekerja sama erat dalam hubungan kemitraan.
Dalam model pengawasan pelaksanaan tugas para hakim, dilakukan
melalui dua jenis pengawasan, yaitu: pertama, pengawasan internal yang
dilakukan oleh Badan Pengawas pada Mahkamah Agung. Mengacu kepada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, secara
internal Mahkamah Agung dapat membentuk Badan Pengawas di tingkat
pusat pada lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Pengawas di tingkat
daerah pada masing-masing Peradilan Tingkat Banding, yang dalam
pelaksanaan tugasnya dibawa pimpinan Ketua Muda Pengawasan
Mahkamah Agung. Kedua, pengawasan eksternal yang dilakukan oleh
komisi independen dalam hal ini dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Dalam menjalankan fungsi pengawasan hakim berdasarkan ketentuan
Pasal 22 Undang-Undang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mengawasi
perilaku Hakim dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Komisi Yudisial
menerima laporan masyarakat. Subyek terlapor adalah Hakim. Untuk
memperoleh kepastian benar tidaknya laporan, Komisi Yudisial meminta
55
keterangan dari terlapor melalui surat panggilan. Hasil keterangan dibuat
berita acara yang ditandatangani oleh terlapor dan anggota Komisi Yudisial.
Selanjutnya dilakukan analisis dan pembahasan dalam rapat pleno.
Agenda rapat pleno untuk menentukan benar tidaknya laporan masyarakat
dan apakah Hakim melanggar prinsip penting yang melekat pada jabatan
dan tugas Hakim, yaitu: kode etik dan pedoman perilaku Hakim (code of
conduct), prinsip imparsialitas dan profesionalitas hakim. Dari mekanisme
ini, tahapan pemeriksaan terhadap hakim adalah penting dan menentukan,
apakah laporan masyarakat benar atau salah.
Apabila terbukti ada unsur pelanggaran atas prinsip-prinsip di atas,
Komisi Yudisial mengajukan rekomendasi sanksi terhadap Hakim terlapor.
Rekomendasi diajukan kepada ketua Mahkamah Agung dengan tembusan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.12
Perlu diperhatikan bahwa
pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Yudisial tidak boleh mengurangi
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Dalam melaksanakan perannya sebagai pengawas hakim, Komisi
Yudisial wajib menaati norma, hukum dan ketentuan peraturan perundang-
undangan, serta menjaga kerahasian keterangan yang karena sifatnya
merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan
kedudukannya sebagai anggota Komisi Yudisial.13
12
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial 13
Pasal 22 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
56
Dalam hal pemanggilan dan meminta keterangan Hakim yang diduga
melanggar kode etik perilaku Hakim, harus didasarkan pada kode etik dan
pedoman perilaku Hakim (code of conduct) yang telah ditetapkan Kode etik
dan pedoman perilaku Hakim (code of conduct) yang konkret ini menjadi sebuah
standar atau tolak ukur dalam melaksanakan pengawasannya. Keseluruhan
tindakan pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial berujung pada pemberian
rekomendasi kepada organisasi profesi yaitu Mahkamah Agung. Berkaitan
dengan pasal pasal penjatuhan sanksi atas pelanggaran kode etik dan pedoman
perilaku Hakim dilakukan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung.
Dalam menjalankan peranannya untuk menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim, Komisi Yudisial diberikan
wewenang untuk dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung untuk
memberikan penghargaan kepada Hakim atas prestasi dan jasanya dalam rangka
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku Hakim.
Undang Undang Komisi Yudisial tidak secara eksplisit memberikan
kriteria perilaku Hakim yang bagaimanakah yang dianggap layak untuk
diusulkan memperoleh penghargaan. Akan tetapi kriteria penilaian prestasi
Hakim tidak lepas dari pedoman perilaku Hakim (code of conduct), yaitu:
berprilaku adil, berprlaku jujur, berprilaku arif dan bijaksana, bersikap
mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga
diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati dan bersikap profesional.
57
C. Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial
Untuk menjelaskan tugas dan kewenangannya. Komisi Yudisial bekerja
berdampingan dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, bahkan
dengan pemerintahan ataupun dengan lembaga perwakilan rakyat.14
Karena jika
komisi Yudisial mengambil jarak dengan pemerintah atau parlemen, Komisi
Yudisial tidak akan menjadi alat politik para politisi, baik di eksekutif maupun
legislatif, pemerintah ataupun lembaga perwakilan rakyat untuk mengawasi dan
mengintervensi kekuasaan kehakiman. Keindependenan Komisi Yudisial bukan
berarti menghilangkan sifat tanggung jawab terhadap Undang Undang. Namun
sebaliknya, Komisi Yudisial bertanggung jawab sebagaimana diamanatkan oleh
Undang Undang.
Ketentuan Bab III Pasal 13 huruf a Undang Undang Nomor 22 tahun 2004
tentang Komisi Yudisial, lembaga ini memiliki kewenangan antara lain,
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR dan menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Kemudian
dalam melaksanakan tugasnya sebgaimana tercantum dalam pasal 13 huruf b,
Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku
hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim. Selanjutnya pasal 21 disebutkan, bahwa Komisi Yudisial
untuk melaksanakan kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana
dimaksud pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul
14
A. Salman Magalatung “ Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, (Bekasi:
Gramata Publishing, 2016), h.135
58
penjatuhan sanksi terhadap Hakim Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi.15
Untuk melaksanakan wewenang sebagaimana termaktub dalam pasal 13
huruf b, Komisi Yudisial mempunyai tugas pengawasan terhadap perilaku hakim
dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku hakim. Hal tersebut diajukan kepada pimpinan Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi tidak setuju dengan pengawasan yang dilakukan
oleh Komisi Yudisial, yaitu pengawasan terhadap hakim dibawah lingkungan
mahkamah agung dan Mahkamah konstitusi Undang Undang Nomor 22 tahun
2004 tentang Komisi Yudisial. Kemudian Undang Undang Komisi Yudisial di
Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi telah menyatakan
Inskonstitusionalitas yang tertuang dalam pasal 20, 21, pasal 22, pasal 23, pasal
24, dan pasal 25 Undang Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
mengenai paying hukum wewenangan pengawasan Komisi Yudisial.
Ada dua dalam Undang Undang Nomor 22 tahun 2004 Komisi Yudisial
yang dinyatakan bertentangan dengan Mahkamah Konstitusi dalam hal
pengawasan, yaitu pertama hakim konstitusi tidak termasuk hakim yang perilaku
etikanya harus diawasi oleh Komisi Yudisial. Kedua, Komisi Yudisial tidak lagi
mempunyai wewenang pengawasan.16
15
A. Salman Magalatung “ Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, h.136 16
A. Salman Magalatung “ Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, h.137
59
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a,
Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung
b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung
c. Menetapkan calon Hakim Agung
d. Mengajukan calon hakim agung ke DPR
Dalam hal berakhir masa jabatan Hakim Agung, Mahkamah Agung
menyampaikan kepada Komisi Yudisial daftar nama Hakim Agung yang
bersangkutan, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum
berakhirnya jabatan tersebut. Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas)
hari sejak menerima pemberitahuan mengenai lowongan Hakim Agung, Komisi
Yudisial mengumumkan pendaftaran calon Hakim Agung selama 15 (lima hari)
berturut turut.17
Mahkamah Agung, Pemerintah dan Masyarakat dapat
mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial.
Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya masa
pengajuan calon, Komisi Yudisial melakukan seleksi persyaratan administrasi
calon Hakim Agung. Komisi Yudisial mengumumkan daftar nama calon Hakim
Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi dalam jangka waktu paling
lama 15 (lima belas) hari. DPR telah menetapkan calon Hakim Agung untuk
diajukan kepada Presiden dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak diterima calon. Keputusan Presiden mengenai pengangkatan
17
C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil “ Hukum Tata Negara Republik Indonesia” Cet. Pertama Edisi
Revisi 2 (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h.195
60
Hakim Agung ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari
sejak Presiden menerima nama calon yang diajukan DPR18
18
C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil “ Hukum Tata Negara Republik Indonesia” Cet. Pertama Edisi
Revisi 2, h.196
61
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 43/PUU-XIII/2015
A. Duduk Perkara
Pada tanggal 23 Maret 2015 memberi kuasa kepada: Dr. H M Fauzan, SH, MH.
Lilik Mulyadi, SH, MH. Teguh Satya Bhakti, SH, MH dalam hal ini mereka bertindak
sebagai pengurus pusat IKAHI dan atas nama pemberi kuasa beralamat di Mahkamah
Agung Jalan Merdeka Utara Nomor 9-13 Jakarta Pusat.1
Permohonan yang diterima kepada Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia pada tanggal 27 Maret 2015 dengan registrasi perkara Nomor 43/PUU-
XII/2015 Permohonan tersebut telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah
konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 29 April 2015 .2
Pemohon memohonkan kepada Mahkamah konstitusi untuk melakukan pengujian
pasal 13A ayat 2, Ayat 3 dan 14A ayat (2) Ayat (3) undang undang tentang Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara. Yang berbunyi selengkapnya
pada pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) Undang undang nomor 49 tahun 2009 Ketentuan
Ayat (2) berbumyi “Proses Seleksi Pengangkatan Hakim Pengadilan Negeri dilakukan
bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, dan Ayat 3nya berbunyi “Ketentuan
lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial. sedangkan pasal 13A ayat 2, ayat 3 undang undang nomor 50 tahun 2009
ketentuan ayat 2 berbunyi “ Proses selesksi pengangkatan Hakim Agama dilakukan
bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. dan Ayat 3 nya berbunyi
1 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, h.2
2 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, h.3
62
“Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial” dan Pasal 14A ayat 2, ayat 3 undang nomor 51 tahun 2009 ketentuan
ayat 2 berbunyi “Proses pengangkatan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dilakukan
bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial” dan ayat 3 berbunyi “ Ketentuan
lebih lanjut mengenai proses seleksi yang diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial” .
Bahwa dengan ketentuan ketentuan tersebut diatas3 telah mengurangi hak
konstitusional para pemohon khususnya dalam mengusulkan promosi/mutasi hakim yang
baik dan berprestasi, Menjaga dan mempertahankan prinsip peradilan yang bebas dan
mandiri, Membina dan meningkatkan kemampuan hakim untuk dapat menjalankan tugas
dan kewajiban memeriksa, mengadili dan memutus perkara secara baik, serta menjaga
kemerdekaan dan independensi peradilan untuk kepentingan seluruh warga negara
pencari keadilan (Justitiabelen).
B. Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
1. Kewenangan Mahkamah
Kehadiran Komisi Yudisial di Indonesia didasari pemikiran bahwa hakim
agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para Hakim merupakan figur-figur yang
sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi
Hakim Agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi dalam susunan peradilan.
Sebagai negara hukum, masalah keluhuran martabat, serta perilaku seluruh
Hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakkan
peradilan yang handal dan realisasi paham Indonesia adalah negara hukum.
3 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, h.10
63
Melalui Komisi Yudisial ini, diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang
sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan
pencapaian keadilan melalui putusan Hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran
martabat serta perilakunya.4
Berdasarkan Pasal 24B ayat 1 UUD 1945 menyebutkan Komisi Yudisial dibentuk
dengan kewenangan: 1. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. 2. Menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Untuk mengemban
dua amanat tersebut, Komisi Yudisial harus bersifat mandiri atau independen dari
pengaruh pengaruh di luarnya khususnya kekuasaan kehakiman. Dua hal yang patut
diperhatikan adalah kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia.5 Kalau melihat rumusan Pasal 24 B Perubahan Ketiga UUD 1945 Komisi
Yudisial termasuk ke dalam lembaga negara non pemerintah setingkat Presiden dan
bukan lembaga negara tambahan (state auxiliary agency), karena dua alasan sebagai
berikut :
1. Berbeda dengan komisi-komisi yang lain, kewenangan Komisi Yudisial diberikan
langsung oleh UUD 1945, yaitu Pasal 24 B
2. Berbeda dengan komisi komisi yang lain, Komisi Yudisial merupakan Bagian dari
kekuasaan kehakiman, bukan dari kekuasaan eksekutif, karena pengaturannya ada
dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdapat dalam UUD 1945.
3. Tidak dapat dipungkiri Komisi Yudisial merupakan salah satu bagian dari paket
reformasi peradilan mengingat berbagai sorotan buruk terhadap kinerja
4 Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, “Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Negara RI Tahun
1945”, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR Rl, 2003), h. 195 5 A. Ahsin Thohari.“ Komisi Yudisyal di Indonesia dan Relevansinya dengan Kekuasaan Kehakiman
yang Merdeka”,(Jakarta: Jurnal Keadilan Vol 3 No.6, Center for Law and justice studies, 2004), h. 37
64
tembaga peradilan di Indonesia, yang bukan hanya pada tingkat Mahkamah
Agung saja, tetapi juga Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, sistem
peradilan yang diamanatkan dan dikehendaki oleh konstitusi dalam melaksanakan
kekuasaan kehakiman, yang tugasnya tidak saja sekadar menegakkan hukum,
tetapi sekaligus menegakkan keadilan telah terpenuhi. Dengan sistem dan mekanisme
seperti itu, pencari keadilan telah dilindungi dalam mendapatkan hakim yang bebas
dan tidak memihak. 6
2. Kedudukan Hakim (Legal Standing) Pemohon
Memperhatikan dalil dalil permohonan Pemohon, hal yang dipersoalkan Pemohon
I adalah tentang permohonan Pemohon a quo, menurut DPR berpandangan bahwa para
Pemohon I harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar pemohon sebagai
pihak yang menganggap hak dan kewenagan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya
ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya untuk mengkonstruksikan adanya
kerugian terhadap hak dan kewengan dan konstitusionalnya sebagai dampak dari
diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji.
Berdasarkan hal tersebut.7 alasan Pemohon I telah memenuhi ketentuan pasal 51
ayat 1 huruf a undang undang mahkamah konstitusi tersebut bukanlah persoalan
konstitusionalitas karena sebagai perseorangan warga negara Indonesia tidak ada satupun
hak dan kewenangan konstitusional Pemohon I dihilangkan. Hak kewenagan
konstitusional Pemohon I dihilangkan jika proses seleksi pengangkatan Hakim
Pengadilan Negeri atau Hakim Pengadilan Agama atau Hakim Pengadilan Tata Usaha
6 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 43/PUU-XIII/2015, h.117
7 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 43/PUU-XIII/2015, h.68
65
Negara hanya dilakukan oleh komisi Yudisial. Akan tetapi, pasal pasal yang dimohonkan
judicial review tetap melindungi hak dan kewenangan konstitusional pemohon I karena
proses seleksi pengangkatan Hakim Pengadilan Agama dilakukan bersama sama oleh
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Dengan Demikian Hak Konstitusional Pemohon I justru telah dilindungi oleh
adanya pertimbangan Komisi Yudisial sebagai wujud pertimbangan atau check and
balance dalam pengambilan keputusan.
Pemohon II sebagai badan hukum privat yang sangat peduli dengan isu utama
dari permohonan a quo adalah batas konstitusional terkait pengusulan Hakim Agung dan
wewenang Komisi Yudisial untuk terlibat bersama dengan Mahkamah Agung dalam
proses seleksi Hakim pada Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha
Negara merupakan implementasi lebih lanjut dari pengaturan pasal 25 Undang Undang
Dasar 1945 yang menyatakan bahwa syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan
sebagai Hakim ditetapkan Undang Undang.8 Sehingga Mahkamah berpendapat pemohon
II memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pemohon dalam permohonan a
quo.
3. Pokok Permohonan
Bahwa pokok permohonan Pemohon II mengenai ketentuan a quo Nomor
49/2009 juncto UU Nomor 50/2009 juncto UU Nomor 51/2009 , Menurut Pemohon II
telah menimbulkan ketergantungan Mahkamah Agung kepada Komisi Yudisial dalam hal
8 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 43/PUU-XIII/2015, h.73
66
seleksi pengangkatan Hakim pada Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan
Tata Usaha Negara.9
Sehubungan dengan dalil para permohonannya pada Pemohon II Bahwa salah
satu pokok perubahan yang mendasar ialah penempatan tiga aspek organisasi,
administratif, dan finansial kekuasaan kehakiman menjadi satu atap di Mahkamah
Agung. Sebelumnya, secara administratif ada dibawah kendali Departemen Kehakiman.
Sedangkan secara teknis yudisial, berada dalam kekuasaan Mahkamah Agung. Konsep
ini lebih dikenal dengan sebutan penyatu atapan kekuasaan kehakiman (One Roof Of
Justice System).
Dengan demikian berdasarkan pertimbangan tersebut,10
pembentuk Undang
Undang mengeluarkan ide untuk membentuk lembaga pengawas eksternal yang diberi
tugas menjalankan fungsi checks and balances dalam rangka mengawasi peradilan yang
diharapkan berjalan dengan transparan, akuntabel dan imparsial, serta mengedepankan
aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Berdasarkan amanat ketentuan Pasal 24A
dan Pasal 24B UUD 1945, terbentuklah Komisi Yudisial sebagai lembaga yang bersifat
mandiri yang dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh
kekuasaan lainnya.
C. Analisis
Komisi Yudisial dibentuk atas kesepakatan bangsa, direpresentasi kan oleh MPR,
yang dituangkan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
9 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 43/PUU-XIII/2015, h.74
10 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 43/PUU-XIII/2015, h.77
67
sebagai bagian dari solusi untuk mengatasi dunia peradilan yang harus diakui dan tercatat
dengan jelas di dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia.
Komisi Yudisial bersama sama dengan Mahkamah Agung dalam melakukan
proses seleksi pengangkatan Hakim merupakan kewenangan yang diberikan oleh
pembentuk Undang Undang (lembaga legislatif) melalaui tiga Undang undang dalam
bidang terkait dengan kekuasaan kehakiman setelah memilih berbagai alternatif yang
tersedia secara konstitusional dan legal. Di dalam Hukum Konstitusi pembentuk Undang
Undang boleh menentukan Isi Undang Undang yang dianggap penting dan baik, apapun
isinya, sepanjang tidak melanggar atau bertentangan dengan Undang Undang Dasar
1945.11
Menurut Mohammad Mahfudz MD Kewenangan Komisi Yudisial dengan
Mahkamah Konstitusi dalam Undang Undang Dasar kaitannya memiliki peran penting
dalam beberapa pernyataan diantaranya:12
1. Jika ada Undang Undang atau sebagian isinya yang tidak disukai oleh
beberapa pihak, tetapi isi undang tersebut tidak melanggar atau tidak
bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945, Maka Mahkamah
Konstitusi tidak boleh membatalkannya.
2. Jika membatalkan Undang Undang atau sebagian Isinya yang sebenarnya
merupakan area opened legal policy, maka berarti Mahkamah Konstitusi
sudah masuk dan ikut campur kedalam ranah legislatif
11
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 43/PUU-XIII/2015, h.54 12
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 43/PUU-XIII/2015, h.55
68
3. Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga legislatif melainkan lembaga
yudikatif dengan kewenangan kewenangan, antara lain Konstitusionalitas
Undang Undang terhadap Undang Undang.
4. Undang Undang itu yang tidak disukai orang itu berbeda dengan Undang
Undang yang melanggar atau bertentangan dengan Undang Undang Dasar,
Undang Undang yang tidak disukai orang belum tentu bertentangan dengan
Undang Undang Dasar, adakalanya disukai atau tidak disukai itu hanya
menyangkut selera dan kepentingan.
5. Mahkamah Konstitusi hanya boleh membatalkan Undang Undang atau
sebagian isinya yang melanggar atau bertentangan dengan Undang Undang
Dasar dan tidak boleh membatalkan Undang Undang atau sebagian isinya
yang hanya tidak disukai oleh sekelompok orang padahal yang dipersoalkan
bersifat opened legal policy yang sebenarnya tujuannya baik.
6. Kalau Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang Undang atau sebagian
isinya yang bersifat opened legal policy maka bisa diartikan Mahkamah
Konstitusi sudah menabrak konstitusi dan menjelmakan dirinya bukan hanya
sebagai lembaga yudikatif melainkan sudah memposisikan dirinya sebagai
lembaga legislatif
7. Kewenangan Komisi Yudisial untuk melakukan proses seleksi Pengangkatan
Hakim bersama Mahkamah Agung merupakan ketentuan yang lahir dari
opened legal policy lembaga legislatif yang tujuannya sangat baik yakni
membangun kekuasaan kehakiman yang merdeka, kuat, profesional yang
didukung oleh Hakim Hakim yang berintegritas, jujur, bersih dan berani.
69
Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 telah
menghapuskan kewenangan Komisi Yudisial dalam proses seleksi
pengangkatan Hakim di Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan
Pengadilan Tata Usaha Negara, Proses melalui pengangkatan Hakim tingkat
pertama menjadi kewenangan Mahkamah Agung tanpa melibatkan Komisi
Yudisial.
Sedangkan dalam Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 43/PUU-
XIII/2015 bahwa para pemohon menyatakan bahwa norma a quo tersebut
bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 berkaitan dengan pasal
pasal berikut diantaranya
Pasal 24A ayat 1 “Kekuasaan Kehakiman kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”
Pasal 24B ayat 1“Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulakan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga serta menegakan kehormatan, keluhuran martabat
serta perilaku hakim” .
Pasal 28D ayat 1 “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di
depan hukum”. Dalam hal ini, Pihak Terkait memiliki beberapa dalil serta
dasar dasar permohonan dalam hal pengujian pasal a quo tidaklah
bertentangan dengan pasal 24A ayat 1, pasal 24B ayat 1, dan Pasal 28D ayat 1
Undang Undang Dasar 1945. 13
13
Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, h.85
70
Adapun Peran Komisi Yudisial memiliki amanat yang penting dalam
proses seleksi Hakim Agung diantaranya :
Peran Komisi Yudisial dalam proses seleksi Hakim Agung pada pasal 24A
ayat 1 tidak melanggar prinsip kekuasan kehakiman yang merdeka. Bahwa
proses seleksi calon Hakim tidak dapat dikatakan sebagai intervensi
terhadap kekuasan kehakiman yang merdeka karena dalam Pasal 1 angka 2
dan angka 3 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dikatakan bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
adalah pelaku kekuasaan kehakiman dalam proses seleksi serta pemilihan
Hakim Agung yang dilakukan melibatkan Komisi Yudisial dan DPR tidaklah
dipandang sebagai proses yang mencederai atau mengekang kebebasan
kemerdekaan institusional lembaga peradilan yang tercermin dalam kebebasan
para hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, seperti yang didalilkan oleh
para Pemohon.
Demikian pula dengan proses seleksi, serta pemilihan hakim konstitusi
yang dipilih dengan berdasarkan representasi dari lembaga eksekutif, legislatif,
dan yudikatif. Bahwa independensi hakim agung serta hakim konstitusi tidak
terganggu dengan mekanisme seleksi, serta pemilihan seperti yang telah
dijelaskan di atas, sehingga alasan para Pemohon yang mengatakan bahwa
pasal a quo bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
tidak beralasan menurut hukum, sehingga pihak terkait menyatakan bahwa tidak
ada pertentangan norma antara pasal a quo dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945.
71
Peran Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan Hakim yang
diatur dalam pasal a quo sudah sesuai dengan konstitusi.14
Bahwa
berdasarkan Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan bahwa
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim.
Jadi konstitusi telah memberikan wewenang yang luas kepada
Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran,
martabat, serta perilaku Hakim dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku
hakim, hal ini harus dimaknai termasuk melakukan seleksi pengangkatan hakim
agar dapat memenuhi kriteria hakim yang berkualitas, berintegritas, serta
bernurani keadilan.
Bahwa jelas peran Komisi Yudisial dalam proses seleksi
pengangkatan Hakim adalah merupakan amanat dari konstitusi, di mana Komisi
Yudisial diberikan wewenang lain dari konstitusi dalam rangka menjaga
kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku Hakim bahwa proses menjaga
kehormatan, keluhuran, martabat Hakim sangatlah memiliki hubungan yang
sangat tidak terpisahkan dari proses seleksi pengangkatan hakim. Karena proses
seleksi pengangkatan Hakim harus dipandang sebagai upaya preventif
Komisi Yudisial dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran, martabat
hakim.
14
Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, h.86
72
Bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa keterlibatan Komisi
Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan Hakim pada Pengadilan Umum,
Pengadilan Agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara seperti yang diatur dalam
pasal a quo adalah inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 24B ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945 menurut Pihak Terkait tidak mendasar dan
tidak beralasan menurut hukum. Bahwa berdasarkan penjelasan di atas, maka
Pihak Terkait menyatakan bahwa pasal a quo yang diujikan oleh para Pemohon
tidak memiliki pertentangan norma dengan konstitusi, sehingga norma yang
terdapat dalam pasal a quo tersebut sesuai dengan prinsip lex superior derogat
legi inferior.
Peran Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim agung
pada pasal 28D ayat 1 tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dalam
penerapannya.Bahwa berdasarkan ketentuan pasal a quo ditegaskan bahwa proses
seleksi pengangkatan hakim pada peradilan umum, peradilan agama,
peradilan tata usaha negara dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial melalui peraturan bersama yang dibuat oleh Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial.
Bahwa kemudian pada tahun 2010, proses seleksi pengangakatan hakim
pada peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha
negara dilakukan dengan menggunakan rekrutmen CPNS oleh Pemerintah, dalam
hal ini Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, dengan melibatkan
Mahkamah Agung tanpa melibatkan Komisi Yudisial. Namun, guna menjaga
legitimasi keberadaan calon Hakim hasil seleksi tahun 2010 tersebut, disusunlah
73
peraturan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor
01/PB/MA/IX/2012-01/PB/P.KY/09/2012 tentang Seleksi Pengangkatan Hakim
bahwa terhitung sejak dikeluarkannya peraturan bersama antara Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial tersebut, hingga saat ini proses seleksi
pengangkatan hakim pada peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan
tata usaha negara belum dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial.
Walaupun belum ada penerapan seleksi pengangkatan hakim sejak
dibuatnya peraturan bersama yang telah dibuat dan ditandatangani oleh
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, sehingga tidak beralasan jika
dikatakan tidak timbul ketidakpastian hukum terhadap norma pasal a quo
dalam penerapannya. Namun, lebih kepada ketidakpatuhan masing-masing
lembaga dalam menjalankan peraturan bersama tersebut.15
Mahkamah juga berpendapat bahwa dalam Pasal 24 Undang Undang
Dasar 1945 tidak menyebutkan secara tersurat mengenai kewenangan Mahkamah
Agung dalam proses seleksi dan pengangkatan calon Hakim dari lingkungan
Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Tata Usaha Negara, akan tetapi dalam
pasal 24 ayat 2 telah secara tegas menyatakan bahwa ketiga undang undang yang
diajukan Pemohon dalam perkara a quo berada dalam lingkungan kekuasaan
kehakiman di bawah Mahkamah Agung. Serta dihubungkan dengan peradilan
15
Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, h.87
74
“satu atap” menurut mahkamah seleksi pengangkatan calon Hakim pengadilan
tingkat pertama menjadi kewenangan Mahkamah Agung. 16
Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang lahir atas kehendak
politik yang dituangkan melalui perubahan Undang Undang Dasar 1945,
kemudian komisi Yudisial diorentasikan untuk membangun sistem checks and
balances dalam sistem kekuasaan kehakiman dan kekuasaan kehakiman yang
merdeka tidak bisa dibiarkan tanpa kontrol atau pengawasan sebagai wujud
akuntabilitas.17
Adapun faktor faktor penentu independensi peradilan sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman adalah ketersediaan infrastruktur pendukung bekerjanya
hakim yang bebas dan bermartabat. Infrastruktur pendukung dalam hal ini adalah
segenap kompenen dalam struktur dan mekanisme pengadilan yang membantu
dan mendukung hakim dalam melaksanakan tugas tugas yudisialnya.18
Menurut Lawrence M. Friedman yang menyatakan efektif tidaknya
penegakan hukum itu tergantung pada ketiga elemen sistem hukum, yakni
struktur hukum (legal structure), substansi (legal substance), dan budaya hukum
(legal culture). Struktur hukum (legal structure) adalah bagian- bagian yang
bergerak di dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan disiapkan
dalam sistem yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan.19
16
Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, h.120 17
Elza Faiz, Risalah Komisi Yudisial Cikal Bakal, Pelembagaa, dan Dinamika Wewenang,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2013), h.7 18
Mario Prakas.“Merajut Independensi Peradilan Dalam Skenario Perbaikan Kesejah
teraan Hakim”. Artikel ini diakses pada hari senin, 03 Oktober 2016 jam 09.00 dari
http://www.komisiyudisial.go.id/Makalah Tentang Independens Peradilan.pdf. 19
Lawrence M. Friedman, “American Law An Introduction Second Edition (Hukum Amerika
Sebuah Pengantar” Penerjemah Wishnu Basuki, (Jakarta: Tatanusa, 2001), h.7-9
75
Kedudukan Komisi Yudisial ditentukan oleh Undang Undang Dasar 1945
sebagai lembaga negara yang tersendiri karena dianggap sangat penting dalam
upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku
hakim. Jika hakim dihormati karena integritas dan kualitasnya maka rule of
law dapat sungguh sungguh ditegakkan sebagaimana mestinya. tegaknya rule
of law itu justru merupakan prasyarat bagi tumbuh dan berkembang
sehatnya sistem demokrasi yang hendak dibangun menurut sistem konstitusional
UUD 1945. Demokrasi tidak mungkin tumbuh dan berkembang, jika rule of law
tidak tegak dengan kehormatan ,kewibawaan ,dan keterpercayaannya.20
Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung memiliki kolerasi yang erat
terdapat pada pasal 24A ayat 3 dan Pasal 24B ayat 1 UUD NRI tahun 1945
menegaskan, bahwa calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial Kepada
DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan Hakim Agung
oleh Presiden.
Keberadaan Komisi Yudisial tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan
kehakiman. Dari ketentuan ini, bahwa jabatan hakim merupakan jabatan
kehormatan yang harus dihormati, dijaga dan ditegakkan kehormatannya oleh
suatu lembaga yang juga bersifat mandiri. Dalam hubungannya dengan
Mahkamah Agung, tugas Komisi Yudisial hanya dikaitkan dengan fungsi
20
Jimly Asshiddiqie,“Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,” Cet. Kedua
(2), (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.158
76
pengusulan pengangkatan Hakim Agung, sedangkan hakim lainnya, seperti
Hakim Mahkamah Konstitusi, tidak dikaitkan dengan Komisi Yudisial. 21
Konsep mengenai pengawasan terhadap hakim yang
lahir pasca rangkaian amandemen UUD 1945 era reformasi tidak sepenuhnya
mulus dalam tataran praktik. Hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial berjalan tidak harmonis. Mahkamah Agung berpendapat bahwa Komisi
Yudisial terlalu luas mengartikan tugasnya sebagai pengawas terhadap hakim
karena menjadikan putusan sebagai pintu masuk pengawasan. Pertikaian tersebut
berujung pada permohonan judicial review para Hakim Agung ke Mahkamah
Konstitusi dan meminta Konstitusi membatalkan pasal-pasal yang mengatur
mengenai kewenangan Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan terhadap
Hakim (dan Hakim Agung).
Namun, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015)
ini tidak diambil secara bulat. Salah satu hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna
mengajukan dissenting opinion. Ia berpendapat bahwa seharusnya Mahkamah
Konstitusi memutus ketiga pasal dengan konstitusional bersyarat. Alasannya,
keterlibatan Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung dalam proses seleksi
pengangkatan hakim di tiga lingkungan peradilan tidaklah mengganggu
administrasi, organisasi, maupun finansial pengadilan.
Lebih lanjut hakim konstitusi tersebut berpendapat bahwa sepanjang
dipahami keterlibatan Komisi Yudisial itu konteksnya adalah keterlibatan
21
A. Salman Magalatung “Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, (Bekasi:
Gramata Publishing, 2016), h.172
77
dalam memberikan pemahaman kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para
calon hakim yang telah dinyatakan lulus dalam proses seleksi calon hakim.
Menurut beliau, jika keterlibatan Komisi Yudisial dipahami demikian, sebenarnya
hal itu merupakan penafsiran sekaligus implementasi yang tepat terhadap
pengertian “wewenang lain” dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim yang diamanatkan Undang Undang
Dasar Tahun 1945 kepada Komisi Yudisial.
Penafsiran Demikian Dipandang Konstitusional disamping karena tidak
mengganggu kemerdekaan kekuasaan kehakiman (baik secara organisasi,
administrasi, maupun finansial) juga konstektual dengan tujuan utama
pembentukan Komisi Yudisial yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung.
Sayangnya buruknya hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
dalam mengimplementasikan gagasan mulia konstitusi itu, sebagaimana tampak
nyata dari fakta fakta yang terungkap dalam persidangan maupun melalui sebaran
berita di media massa, telah menyebabkan penafsiran dan implementasi yang
sungguh memberi harapan besar bukan hanya bagi tegaknya kemerdekaan
kekuasaan kehakiman tetapi juga bagi terjaganya kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim itu menjadi sirna.
Menurut I Dewa Gede Palguna, Mahkamah seharusnya memutus dan
menyatakan norma Undang Undang yang dimohonkan pengujian dalam
permohonan a quo konstitusional bersyarat (conditionally constitusional), yaitu
sepanjang prasa “bersama Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan
Hakim Pengadilan Negeri, Hakim Pengadilan Agama, dan Hakim Pengadilan
78
Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam ketiga Undang Undang a quo
dimaknai sebagai diikut sertakannya Komisi Yudisial dalam proses pemberian
materi kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para calon Hakim Pengadilan
Negeri, calon Hakim Pengadilan Agama, dan calon Hakim Pengadilan Tata Usaha
Negara dalam proses seleksi tersebut.22
22
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, h. 125-128
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang telah di sampaikan di bab sebelumnya, maka penulis
mengambil kesimpulan, diantarnya :
1. Pertimbangan Hakim Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU- XIII/2015
dalam melakukan pengujian pasal 13A ayat 2, Ayat 3 dan 14A ayat (2) Ayat (3)
undang undang nomor 49 tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Undang Undang
Nomor 50 tahun 2009 tantang Peradilan Agama, Undang Undang Nomor 51 tahun
2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan dengan ketentuan pasal
tersebut, telah mengurangi hak konstitusional para pemohon khususnya dalam
mengusulkan promosi/mutasi hakim yang baik dan berprestasi, Menjaga dan
mempertahankan prinsip peradilan yang bebas dan mandiri, Membina dan
meningkatkan kemampuan hakim untuk dapat menjalankan tugas dan kewajiban
memerikasa, mengadili dan memutus perkara secara baik, serta menjaga
kemerdekaan dan independensi peradilan untuk kepentingan seluruh warga negara
pencari keadilan (Justitiabelen).
2. Sekilas hasil putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 43/PUU-XIII/2015 mengenai
kewenangan tunggal seleksi hakim oleh Mahkamah Konstitusi memberi tanda bahwa
penundaan proses seleksi hakim yang telah terjadi selama lima tahun terakhir ini akan
segera berakhir. Tarik menarik kepentingan antara Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial memang menjadi salah satu alasan mengapa proses seleksi hakim tingkat
pertama dan banding tertunda pelaksanaannya. Namun ada tiga faktor hal yang bisa
80
dicermati pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015
yang menghapus peran Komisi Yudisial dalam seleksi hakim.
A. Pertama yaitu kegagalan Mahkamah Konstitusi untuk memaknai Konstitusi
dengan lebih luas. Mahkamah Konstitusi melalui keputusannya menyatakan
bahwa adanya kewenangan Komisi Yudisial untuk bersama Mahkamah Agung
melakukan seleksi hakim di tiga lingkup peradilan (umum, agama, dan tata
usaha) bertentangan dengan makna “wewenang lain”Komisi Yudisial dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku
hakim sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 B ayat (1) Undang Undang Dasar
1945. Mahkamah Konstitusi merasa bahwa kewenangan pemilihan hakim oleh
Komisi Yudisial hanya limitatif (terbatas) untuk hakim agung saja. Padahal
seharusnya tidak begitu. Penjagaan martabat dan keluhuran hakim itu tentu tidak
bisa tidak harus dimulai dari proses seleksi awal penerimaan hakim itu sendiri.
Begitu juga penegakan kehormatan serta perilaku hakim tentunya harus
ditegaskan sejak awal sehingga menjadi cara pandang bagi orang yang nantinya
menjadi hakim. Dan lagi ini diperkuat dengan kenyataan bahwa kewenangan
Komisi Yudisial dalam melakukan seleksi itu dilakukan bersama dengan
Mahkamah Agung, bukan wewenang tunggal sehingga tidak seharusnya dimaknai
bertentangan dengan Konstitusi.
B. Kedua, yaitu kelalaian Mahkamah Konstitusi untuk membedakan larangan
dengan norma Mahkamah Konstitusi berdasar keputusannya mengungkapkan
bahwa pembahasan mengenai norma kewenangan Komisi Yudisial untuk
melakukan seleksi atas hakim tingkat pertama dan banding dahulu sudah pernah
81
diperdebatkan dalam pembahasan perubahan Undang Undang Dasar 1945 di era
awal reformasi dahulu dan ditolak. Menurut Mahkamah Konstitusi, dengan tidak
disepakatinya suatu usulan norma itu berarti juga larangan terhadap hal itu.
Padahal itu tidaklah beralasan. Sesuatu dikatakan bertentangan dengan konstitusi
jika secara tegas melanggar norma Undang Undang Dasar ataupun prinsip umum
yang termuat di Konstitusi. Justru pembahasan yang pernah dilakukan oleh para
perumus amandemen Undang Undnag Dasar 1945 mengenai kewenangan Komisi
Yudisial melakukan seleksi hakim hingga tingkat pertama menunjukkan gagasan
mengenai peran lebih Komisi Yudisial. Maka dari itu, tentu sangat disayangkan
saat perumus undang-undang peradilan membuat policy adanya kewenangan
seleksi hakim tingkat pertama pada Komisi Yudisial yang sebenarnya tetaplah
dilakukan bersama Mahkamah Agung dipermasalahkan.
C. Ketiga, yaitu kegagapan Mahkamah Konstitusi untuk melihat hubungan ideal
antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial. Mahkamah Konstitusi
berdasar keputusannya seakan mengangguk setuju begitu saja pada argumen
pihak IKAHI yang menyatakan bahwa dengan adanya Komisi Yudisial yang turut
melakukan seleksi hakim bersama Mahkamah Agung akan mengganggu
independensi dan kemandirian peradilan. Mahkamah Konstitusi menyetujui
bahwa kemandirian hakim bisa terjamin jika seleksi hakim bebas “intervensi” dari
lembaga lain.
82
B. Saran
1. Perlunya penyusunan Undang Undang Komisi Yudisial menyebutkan secara
rinci tugas pengawasan yang dapat dilakukan Komisi Yudisial, sehingga
putusannya lebih jelas daya berlakunya semakin kuat. Dan mengatur tegas
pembedaan antara ranah perilaku, ranah teknis yudisial dan ranah administrasi.
Selain itu, diperlukan pula tanggung jawab negara melalui fungsi legislasi yang
dalam hal ini harus diperankan DPR dan Pemerintah.
2. Komisi Yudisial memegang peranan penting dalam menyeleksi hakim agung,
maka yang harus diperhatikan adalah calon hakim yang dipilih adalah hakim yang
benar benar bisa bertanggung jawab kepada provesinya sebagai hakim agung.
3. Komisi Yudisial perlu melakukan penguatan internal dalam membangun sistem
pengawasan dan penguatan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan
teknis terkait dengan pelaksanaan fungsi pengawasan.
4. Penulis mengharapkan adanya kajian lanjut dan lebih mendalam mengenai
Komisi Yudisial dalam pengawasan hakim khususnya masalah
pengangkatan, pemberhentian dan penjatuhan sanksi yang dilakukan oleh
komisi Yudisial khususnya peradilan pada hukum Islam yang benar benar
Valid dan Credible.
83
DAFTAR PUSTAKA
Arfawie, Kurde, Nukhtoh, Telaah Kritis Teori Negara Hukum Konstitusi dan Demokrasi
dalam Rangka Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah berdasarkan
UUD 1945, Pustaka Pelajar, Arto, 2005
A. Mukti, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Redefenisi Peran dan Fungsi Mahkamah Agung
untuk Membangan Indonesia Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan Kesatu (1), Konstitusi
Press, Jakarta, 2005
Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Cetakan Kesatu (1), Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,” Cetakan Kedua
(2), Sinar Grafika, Jakarta 2012
Asshiddiqie, Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Cetakan
Kesatu (1), PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta, 2007
Asshiddiqie, Jimly, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Cetakan Kesatu (1), PT. Bhuana
Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta, 2009
Chaidir, Ellydar. Negara Hukum, Demokrasi dan Konstalasi Ketatanegaraan Indonesia, Total
Media, Yogyakarta, 2007
C.S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta 1986
Dahlan Thaib, DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
1994. Jakarta, 1986.
Fuady, Munir. Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Rafika Aditama, Bandung, 2009.
Huda, Ni’Matul, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta,
2005.
Hadjon, Philipus, M, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD
1945 Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan, Cetakan Pertama, Bina Ilmu,
Surabaya, 1992.
Harahap, Yahya M, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1984.
Kusnardi, Muhammad dan Hermaily Ibrahim. Pengatar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV “Sinar
Bakti”, Jakarta Pusat, 1983.
84
Kusnardi Muhammad dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Jakarta,
1988.
Kansil, C.S.T dan Kansil S.T.Christine“Hukum Tata Negara Republik Indonesia” Cetakan
Pertama Edisi Revisi 2, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008
Latif, Abdul. Fungsi Mahkamah Konstitusi (Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi),
Total Media, Yogyakarta, 2009.
Mujahidin, Ahmad, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2007.
Mahfud MD, Moh Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta, 2007.
Mahfud MD, Moh Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit Rineke Cipta,
Jakarta, 2001.
Prodjohamidjojo, Martiman, S.H., Kekuasaan Kehakiman dan Wewenang untuk Mengadili,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.
Salman, A, Magalatung “Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945” Gramata
Publishing, Bekasi, 2016.
Satjipto Rahardjo, Komisi Yudisial untuk Hakim dan Pengadilan Progersif, Bunga Rampai
Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, Komisi Yudisial RI, Jakarta, 2006.
Sirajuddin, dan Zulkarnain, Komisi Yudisial & Eksaminasi Publik Menuju Peradilan yang Bersih
dan Berwibawa, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
Soemantri M., Sri. Prosedur dan dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit PT. Alumni,
Bandung.
Soekanto, Sorejono. Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1998.
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992.
Sumali. Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang Undang (Perpu),
UMM Press, Malang, 2003.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Suyuthi, Wildan “Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama”
dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan
Makalah Berkaitan. Mahkamah Agung RI, Jakarta 2006.
Thalib, Abdul Rasyid. Wewenang Mahkama Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya, Bandung, 2006.
Thohari, A. Ahsin, Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, Elsam, Jakarta, 2004.
85
Wahjono, Padmo. Beberapa Masalah Ketatanegaraan di Indonesia, Penerbit Rajawali, Jakarta,
1984.
Yuhana, Abdy, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Fokus
Media,Bandung, 2007.
Zaini, Abdulah. Pengantar Hukum Tata Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991.
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22
tahun 2004 tentang Komisi Yudisal.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang
Tentang Komisi Yudisal, Jakarta, 2003.
Naskah Akademik RUU tentang Komisi Yudisial yang disusun oleh Mahkamah Agung
menjadi Naskah Akademik yang digunakan DPR dalam menyusun UU Nomor 22
Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006, diucapkan
dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada Rabu,
23 Agustus 2006
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Konstitusi Republik Indonesia Nomor 43/PUU-XIII/2015
dalam proses pengangkatan Hakim Agung
Artikel
Santosa, Mas Achmad. artikel: Menjelang Pembentukan Komisi Yudisial, dalam harian
Kompas, 02 Maret 2005.
Widjoyanto, Bambang. Komisi Yudisial: Checks and Balances Dan Urgensi Kewenangan
Pengawasan, artikel dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi
Yudisial, 2006
Makalah dan Jurnal
Thohari, A. Ahsin. Mengembalikan Khittah Komisi Yudisial Sebagai Pengawas Eksternal
Hakim, dalam Jurnal Hukum Panta Rei, Vol 1, No. 3, Februari 2009
Sirajuddin, Profesi Hakim dalam Pusaran Krisis, Media Kampus, edisi Juli Desember 2007