kedudukan jaminan dalam pembiayaan

Upload: muhibbuddin-murzan

Post on 14-Jul-2015

671 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KEDUDUKAN JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH DITINJAU DARI KONSEP DL MANSKRIPSI

Diajukan Oleh:

SYAHRINA PRIHATINI Mahasiswa Fakultas Syariah Jurusan Muamalah Wal Iqtishad NIM: 120707440

FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY DARUSSALAM-BANDA ACEH 2012 M/1433 H

KEDUDUKAN JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN MUDL RABAH PADA PERBANKAN SYARIAH DITINJAU DARI KONSEP DL MAN Nama Nim Fakultas/Jurusan Tanggal Munaqasyah Lulus Dengan Nilai Tebal Skripsi Pembimbing I Pembimbing II : Syahrina Prihatini : 1207070440 : Syariah/Syariah Muamalah Wal Iqtishad : : : 64 Halaman : Hasnul Arifin Melayu, M.A : Saifuddin, S.Ag, M.Ag ABSTRAK Jaminan pembiayaan pada perbankan Syariah merupakan bagian dari prosedural yang harus dipatuhi oleh setiap nasabah yang akan mengambil pembiayaan produk tersebut. Adakalanya barang jaminan yang diserahkan oleh pihak nasabah bukan merupakan milik pribadi, melainkan milik orang lain yang dipinjamkan kepada nasabah, dengan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh bank. Landasan hukum barang jaminan pada perbankan syariah ini, diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, dan dalam fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000. Walaupun demikian, pengaturan tentang jaminan milik pihak ketiga pada perbankan syariah tetap mengacu kepada hukum positif yang mengatur hal serupa dalam permasalahan kredit pada perbankan konvensional. Masalah utama penelitian ini adalah bagaimana kedudukan barang jaminan dalam konsep dlam n, ketetapan perbankan syariah tentang pemberlakuan pengadaan barang jaminan dan analisis hukum Islam terhadap ketetapan pemberlakuan pengadaan barang jaminan pada perbankkan syariah. Metode penelitian skripsi ini deskriptif analisis yaitu suatu metode yang bertujuan membuat gambaran sistematis tentang kedudukan jaminan dalam pembiayaan pada perbankan syariah dan ketetapan hukum yang menjadi landasan pemberlakuan tersebut dalam tinjauan konsep dlam n. Hasil penelitian meunjukkan bahwa ketetapan tentang mekanisme jaminan pada perbankan syariah merujuk kepada perundang-undangan hukum positif yang telah ada, namun sebahagian dari ketetapan hukum tersebut tidak sesuai dengan konsep hukum Islam sebagaimana yang seharusnya menjadi rujukan oleh perbankkan syariah. Dapat disimpulkan bahwa prosedural barang jaminan, terutama milik pihak ketiga, yang merujuk kepada ketetapan hukum positif Indonesia, terdapat ketentuan yang merugikan pihak pemilik barang jaminan dalam posisinya sebagai penanggung pada perjanjian pembiayaan tersebut.

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah Allah SWT, sehingga penulis telah dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam atas junjungan umat, Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat Islam dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Penulisan karya ilmiah merupakan salah satu tugas mahasiswa dalam menyelesaikan studi di suatu lembaga pendidikan. Dalam memenuhi hal tersebut penulis memilih judul Kedudukan Barang Jaminan Dalam Pembiayaan Pada

Perbankan Syariah Ditinjau Dari Konsep Dlam n. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan studi di Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negri Ar-Raniry Banda Aceh. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Bapak Hasnul Arifin Melayu, M.A sebagai pembimbing I dan Bapak Saifuddin Sadan, S.Ag, M.Ag sebagai pembimbing II yang dalam kesibukannya menyempatkan diri untuk memberi bimbingan dan pengarahan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penghargaan yang tak terhingga penulis sampaikan kepada pihak Pimpinan Fakultas Syariah, Ketua jurusan SMI dan stafnya, Penasehat Akademik beserta staf Akademik Fakults Syariah IAIN Ar-Raniry yang telah banyak memberi bantuan dalam pengurusan dokumen pelengkap yang

berhubungan dengan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebanyakbanyaknya kepada semua dosen-dosen beserta asisten-asisten dosen di Fakultas Syariah yang telah membimbing dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan, dengan demikian kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan demi memperbaiki tulisan ini agar bisa bermanfaat bagi penulis sendiri serta masyarakat umum. Banda Aceh, 18 Januari 2012

Penulis

PEDOMAN TRANSLETERASI ARAB LATIN = a = b = t = ts = j = h = kh = d = dz = r = z = s = sy = sh = dl = th = zh = a = gh = f = q = k = l = m = n = w = = h = y

Untuk Madd dan Diftong = a mad (panjang) = i mad (panjang) = u mad (panjang) = aw = uw = ay = iy T marb thah ( ) ditransliterasikan kepada h tidak dengan t seperti ditulis al-siy sah, bukan al-siy sat.

Kata yang diawali dengan alif lam al ditulis dengan diawali al seperti ditulis al-siy sah, bukan as-siy sah.

DAFTAR LAMPIRANLampiran I: Surat Keputusan Pembimbing Skripsi

DAFTAR ISILEMBARAN JUDUL PENGESAHAN PEMBIBIMBING................................................................ PENGESAHAN SIDANG ............................................................................... ABSTRAK ....................................................................................................... KATA PENGANTAR ..................................................................................... TRANSLITERASI .......................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................. BAB SATU : PENDAHULUAN ..................................................................... 1.1. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1.2. Rumusan Masalah .................................................................. 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................... 1.4. Kajian Pustaka ....................................................................... 1.5. Metodologi Penelitian ............................................................ 1.6. Sistematika Pembahasan ........................................................ BAB DUA :KONSEPSI PERTANGGUNGAN DALAM KAJIA TEORI DLAM N ..................................................................................... 2.1. Pengertian Pertanggungan dalam Kajian Dlam n ................... 2.1.1. Pengertian Dlam n ....................................................... 2.1.2. Landasan Hukum Dlam n ............................................ 2.2. Rukun dan Syarat Dlam n...................................................... 2.2.1. Rukun Dlam n ............................................................. 2.2.2. Syarat Dlam n.............................................................. 2.3. Mekanisme Pertanggungan dalam Konsep Dlam n ............... 2.3.1. Pendapat Ulama tentang Mekanisme Dlam n ............... 2.3.2. Konsekuensi Hukum dalam Mekanisme Dlam n .......... BAB TIGA : ANALISIS KEDUDUKAN BARANG JAMINAN DALAM PEMBIYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH ................. 3.1. Landasan Hukum tentang Keberadaaan Jaminan dalam Perbankan Syariah .............................................................. 3.2. Ketetapan tentang Kebolehan Penggunaan Barang Jaminan Milik Pihak Ketiga dalam Perundang undangan ................ ii iii iv v vii viii ix 1 1 7 7 8 9 12

14 14 14 16 19 19 22 28 28 31

34

34 48

3.3. Analisis Keberadaan Barang Jaminan Milik Pihak Ketiga pada Pembiyaan Perbankan Syariah dalam Tinjauan Pertanggungan Konsep Dlam n ........................................... BAB EMPAT : PENUTUP ............................................................................. 4.1. KESIMPULAN ...................................................................... 4.2. SARAN ................................................................................. DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... LAMPIRAN LAMPIRAN .......................................................................... DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................

52 61 61 63 65 68 69

BAB SATU PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang Masalah Penyertaan barang jaminan merupakan salah satu syarat dari sistem prosedural pengambilan pembiayaan pada perbankan syariah yang diberlakukan hampir pada seluruh produk pembiayaan yang mereka tawarkan. Meskipun dalam konsep dasarnya pembiayaan-pembiayaan tersebut tidak dibebani adanya barang jaminan bagi pihak yang mengambil pembiayaan, namun oleh pihak perbankan ketentuan itu merupakan pertimbangan atas risiko buruk yang mungkin terjadi dalam masa peminjaman dana untuk nasabah. Di samping sebagai barang bukti kepastian bahwa nasabah debitur benar-benar menjalankan segala ketentuan yang telah disepakati bersama.1 Terkait dengan barang jaminan, adakalanya barang jaminan yang diserahkan oleh nasabah dalam suatu pembiayaan kepada pihak perbankan syariah bukan merupakan barang milik pribadi, namun barang milik orang lain yang dipinjamkan kepada nasabah untuk digunakan sebagai jaminan. Dalam hal ini dapat dicontohkan saja dengan pembiayaan mur bahah sebagai berikut; Seorang pembeli (A) mengambil pembiayaan mur bahah dengan meminjam sejumlah uang kepada sebuah bank (B) yang akan dipergunakan untuk membeli barang tertentu. Mengikuti syaratAdimarwan Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 103.1

prosedural yang berlaku, B meminta A memberikan jaminan dalam bentuk barang, maka A memberikan jaminan tersebut yang merupakan milik C dengan ketentuanketentuan yang harus dipatuhi oleh A dan C. Dalam perbankan syariah, sebagai kreditur, menerapkan kebijakan-kebijakan mengenai penyertaan jaminan milik pihak ketiga. Pihak perbankan harus mengetahui pemilik barang tersebut, melihat langsung bukti kepemilikan barang, mendapatkan persetujuan pemilik barang, dan mendapatkan persetujuan eksekusi barang berkenaan dengan wanprestasi oleh nasabah debitur yang mungkin akan terjadi. Namun, meski adanya kebijakan tersebut, secara operasionalnya tetap saja perbankan syariah mengacu kepada peraturan perudang-undangan yang telah ada, dan hal tersebut belum tentu sesuai dengan konsep hukum Islam. Adapun jaminan dalam bentuk seperti yang disebutkan di atas termasuk bagian dari jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan sendiri merupakan jaminan yang dapat diadakan antara kreditur dengan debitur, tetapi juga dapat diadakan antara kreditur dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur.2 Keberadaan jaminan dalam pembiayaan pada perbankan syariah ini telah dilegalkan hukum positif Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (23) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan juncto pasal 1 ayat (26) Undang2

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional, (Jakarta: Kecana Prenada Media Group, 2005),

hlm. 74.

Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah menyatakan bahwa: Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda yang tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada BankSyariah dan/atau Unit Usaha Syariah, guna menjamin pelunasan kewajiban nasabah penerima fasilitas.3 Dalam Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa agunan atau barang jaminan diberikan oleh nasabah debitur kepada pihak perbankan syariah untuk menjamin pihak debitur menjalankan kewajibannya dalam hal pelunasan hutang atau pemenuhan perjanjian yang telah disepakati. Di samping itu, terdapat beberapa pasal lain yang memiliki pembahasan berkaitan dengan jaminan, antara lain Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda Lain yang Berkaitan dengan Tanah, dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, serta beberapa peraturan lainnya yang tercantum dalam KUH Perdata dan KUH Dagang.4 Keseluruhan ketetapan hukum mengenai barang jaminan ini menjadi landasan teoritis tentang legalitas pemberlakuan penyertaan barang jaminan dalam pembiayaan pada perbankan syariah.

Bank Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan syariah, Juli 2008. Diakses pada tanggal 5 September 2011 dari situs: http://www.bi.go.id/ Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafido Persada, 2005), hlm. 12. Hukum Islam bukan merupakan hukum positif di Indonesia, maka hubungan hukum antara perbankan syariah dengan nasabah tunduk ada hukum perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata (Sutan Remy Sjahdeini, Perbakan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT. Utama Grafiti, 2005), hlm. 134.)4

3

Praktik pemberian jaminan yang merupakan milik pihak lain, telah diatur pula dalam KUH Perdata Pasal 1831: Penanggung tidak wajib membayar kepada kreditur kecuali debitur lalai membayar utangnya, dalam hal itu pun barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya.5 Merujuk pada Pasal 1831 KUH Perdata di atas menjelaskan bahwa meskipun seorang debitur telah memiliki pihak yang akan menanggung hutangnya pada kreditur, namun harta atas milik debitur tetap harus disita terlebih dahulu sebelum jaminan milik penanggung dieksekusi. Pembahasan barang jaminan dijelaskan dengan pengertian lebih khusus pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia: Hak Jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.6 Berdasarkan Undang-undang tersebut, dapat dilihat bahwa barang jaminan atas nama pihak lain yang diberikan oleh debitur kepada pihak bank memiliki landasan hukum yang jelas. Di samping itu, adanya kejelasan bahwa barang jaminan fidusia tetap berada dalam penguasaan pemilik barang meskipun barang tersebut

5

Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, hlm. 56.

hlm. 454.6

digunakan oleh pihak lain sebagai jaminan dalam pelunasan utang terhadap pihak kreditur. Jaminan atau penjaminan dalam fiqh muamalah lebih dikenal dengan istilah dlam n, yang sesungguhnya merupakan usaha pertanggungan yang dilakukan terhadap hutang atau beban yang berkenaan dengan permasalahan harta orang lain. Dlam n merupakan bagian dari kaf lah, karena pengertian kaf lah menurut bahasa berarti ad-dlam n (jaminan), hamalah (beban) dan zamaah (tanggungan), oleh sebab itu segala sesuatu tentang rukun dan syarat dlam n menyerupai rukun dan syarat kaf lah. Landasan hukum tentang dlam n ini sebagaimana yang terkandung dalam Al-Quran, surat Yusuf ayat 72:

.Artinya: Penyeru-penyeru itu berkata, Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku yang menjamin terhadapnya. Ayat di atas menjelaskan tentang seseorang yang menyatakan dirinya sebagai penjamin terpenuhinya janji untuk memberikan sejumlah bahan makan kepada seseorang yang mampu menemukan piala raja.7 Adapun di dalam konsep dlam n bahwa orang yang bersedia menanggung hutang atau beban orang lain, lebih dikenal dengan sebutan dl min, merupakan pihak ketiga yang terlibat dalam permasalahan antara si penghutang dan si pemberi hutang.

7

Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, cet. ke 1 (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 420.

Selain itu, permasalahan dlam n juga meliputi sahnya memberi jaminan akan keselamatan benda yang dijual, yaitu dengan menjamin pembayaran ketika barang tersebut menjadi milik selain penjual, dan sebernarnya permasalahan ini telah memasuki lingkup jual beli.8 Selain itu, terdapat beberapa syarat dan rukun-rukun tertentu dalam konsep dlam n ini, salah satunya adalah bahwa dl min wajib mengetahui jumlah hutang yang menjadi beban orang yang ditanggungnya. Apabila dh min tidak

mengetahuinya maka dalam hal ini dlam n dianggap tidak sah karena dapat memungkinkan timbulnya ghar r.9 Pemberian jaminan ini merupakan akad yang berdasarkan sikap belas kasihan, yang bertujuan untuk memberikan jasa dan menolong penerima jaminan (madlm n anhu). Dengan demikian, tidak boleh meminta bayaran atas hal itu. Disamping itu, bayaran terhadap pemberian jaminan bagaikan piutang yang mendatangkan keuntungan, karena penjamin harus menunaikan utang penerima jaminan ketika diminta untuk melunasinya. Maka jika membayarkan utang orang yang ia jamin, ia akan menagihnya dari orang yang ia jamin tersebut sebagai utang. Dengan demikian, jika ia meminta bayaran atas jaminan yang ia berikan, maka itu adalah piutang yang mendatangkan keuntungan yang wajib dijauhi. Di

8 9

Ibid

Imron Abu Amar, Fat-hul Qarib Jilid I, (Kudus: Menara Kudus), hlm. 263. Gharar adalah suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan dan tidak mengetahui barang yang diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan.

samping itu, pemberian jaminan untuk orang yang berutang adalah bentuk tolong mrenolong dan berangkat dari sikap belas kasihan, bukannya memanfaatkan dan menyulitkan orang yang membutuhkan bantuan.10 Di antara permasalahan pemberian jaminan ini adalah tanggung jawab pemberi jaminan (dl min) tidak gugur kecuali dengan gugurnya tanggung jawab penerima jaminan (madlm n anhu) terhadap utangnya, baik dengan digugurkan oleh pemberi utang maupun ia melunasinya. Karena, tanggung jawab pemberi jaminan adalah cabang dan mengikuti tanggung jawab penerima jaminan. Di samping itu karena jaminan adalah sekedar penguat, ketika permasalahan pokoknya hilang, maka penguatnya pun akan hilang.11 Yang menjadi permasalahan skripsi ini dibutuhkannya analisis tentang

kedudukan jaminan pada perbankan syariah dengan tinjuan konsep dlam n. Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, maka penulis dalam skripsi ini melakukan penelitian tentang Keberadaan Jaminan dalam Pembiayaan pada Perbankan Syariah ditinjau dari Konsep Dlam n. 1.2.Rumusan Masalah Berangkat dari permasalahan yang ada berdasarkan latar belakang dan uraian di atas, maka penulis melakukan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kedudukan barang jaminan dalam konsep dlam n?

10 11

Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, hlm. 421. Ibid. hlm. 422.

2. Bagaimana ketetapan perbankan syariah tentang pemberlakuan pengadaan barang jaminan? 3. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap ketetapan pemberlakuan pengadaan barang jaminan pada perbankan syariah? 1.3 Tujuan penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk memahami kedudukan barang jaminan dalam tinjauan konsep dlam n. 2. Untuk membahas ketetapan perbannkan sariah tentang pemberlakuan pengadaan barang jaminan. 3. Untuk mengkaji tinjauan konsep dlam n terhadap ketetapan pengadaan barang jaminan pada perbankan syariah.. 1.4.Kajian Pustaka Pembahasan mengenai jaminan pada pembiayaan pernbankan syariah, telah sering dibahas dalam bentuk karya tulis, demikian pula dalam hal barang jaminan tersebut milik pihak ketiga. Namun dari sekian banyak karya tulis yang membahas tentang jaminan, tidak banyak yang menganalisisnya dengan konsep dlam n. Terlebih lagi barang jaminan tersebut merupakan kepemilikan pihak ketiga. Terdapat beberapa karya tulis yang berkenaan dengan jaminan, meskipun tidak membahas tentang jaminan pihak ketiga dalam konsep dlam n. Beberapa karya tulis tersebut misalnya karya tulis yang dipaparkan oleh A. Nila Rezannia, tentang Analisis Pelelangan Benda Jaminan Gadai pada Pegadaian Syariah Cabang Melati,

Sleman, Jogjakarta.12 Dalam penulisan judul tersebut penulis lebih menjelaskan kedudukan barang jaminan sebagai bagian dari sistem gadai, yang karena sebabsebab tertentu barang gadaian tersebut harus dilelang dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Kemudian hasil penelitian yang dilakukan oleh Darmiati, tentang Eksekusi Agunan Produk Pembiayaan Mur bahah Bermasalah secara Langsung oleh Bank Aceh Syariah Cabang Banda Aceh.13 Di dalam penulisannya tersebut dijelaskan bahwa dalam menghadapi pembiayaan mur bahah yang bermasalah, Bank Aceh Syariah dapat mengeksekusi barang jaminan milik nasabah dengan melalui tahapantahapan tertentu. Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Burhanuddin Harahap di dalam karya ilmiahnya, tentang Status Hukum Jaminan dalam Perjanjian Pembiayaan Mudl rabah Pada Perbankan Syariah.14 Hasil penelitian ini membahas tentang bagaimana status hukum jaminan dalam pembiayaan mudl rabah baik ditinjau menurut hukum positif dan hukum Islam.

A. Nila Rezannia, Analisis Pelelangan Benda Jaminan Gadai pada Pegadaian Syariah Cabang Melati, Sleman, Jogjakarta (Tesis yang tidak dipublikasi), Jurusan Ekonomi Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Surakarta, 2006, hlm. 1. Darmiati, Eksekusi Agunan Produk Pembiayaan Murabahah Bermasalah Secara Langsung oleh Bank Aceh Syariah Cabang Banda Aceh (Skripsi yang tidak dipublikasi). Fakultas Syariah, IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 2011, hlm. 1. Burhanuddin Harahap, Status Hukum Jaminan dalam Perjanjian Pembiayaan Mudharabah Pada Perbankan Syariah (Tesis yang tidak dipublikasi). Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 1.14 13

12

Berdasarkan telaah dari beberapa karya tulis di atas karya tulis yang disebutkan terakhir yang lebih mendekati pembahasan dalam skripsi ini. Meski demikian terdapat perbedaan yang sangat signifikan yaitu, pembahasan dalam karya tulis tersebut adalah penjelasan tentang status hukum yang mengatur barang jaminan dalam pembiayaan mudl rabah pada perbankan syariah dengan menggunakan tinjauan hukum positif dan hukum Islam. Sedangkan dalam karya tulis ini, penulis mengangakat konsep dlam n sebagai tinjauan hukum Islam terhadap keberadaan barang jaminan pada perbankan syariah. 1.5.Metodologi Penelitian Pada prinsipnya dalam penulisan karya ilmiah membutuhkan data yang lengkap dan objektif serta memiliki metode tertentu sesuai dengan permasalahan yang hendak dibahas, adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut: 1.5.1. Pendekatan Penelitian Penelitian karya ilmiah ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi untuk menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia.15 Di samping itu, karya ilmiah ini juga menggunakan metode pembahasan deskriptif, yaitu pembahasan materi dengan cara menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya.

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. Ke 8 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 45.

15

Pembahasan dengan metode deskriptif ini dimaksudkan untuk mendapatkan paparan kejelasan permasalahan yang dapat ditemukan dengan adanya ketimpangan antara teori dan fakta yang terjadi seputar permasalahan jaminan pada perbankan syariah dalam tinjauan hukum Islam. Selain itu juga untuk mendapatkan gambaran dari penyelesaian masalah itu sendiri. Metode pembahasan deskriptif dilakukan dengan cara mengumpulkan teori dan fakta yang menjadi fokus permasalahan, kemudian menganalisis keduanya, dan pada akhirnya disimpulkan dalam bentuk suatu penyelesaian. Analisis sendiri merupakan proses penguraian pokok

permasalahan atas bagian-bagian, penelaahan bagian-again tersebut dan hubungan antar bagian untuk mendapatkan pengertian yang tepat dengan pemahaman secara keseluruhan.16 1.5.2. Jenis Penelitian Dilihat dari tujuan penelitian dan metode analisis data, yaitu mencari data awal tentang ketetapan hukum Islam dalam permasalahan jaminan (khususnya konsep dlam n), dan fakta tentang ketentuan jaminan dalam perbankan syariah, kemudian menganalisa keduanya sehingga muncul kesimpulan ada atau tidaknya kecocokan antara keduanya dan konsep mana yang lebih layak diterapkan dalam pembiayaan pada perbankan syariah, maka dengan itu penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif analisis.

Univesitas Sumatra Utara, Objek application. Diakses pada 5 Desember 2011 dari situs: http://repository.usu.ac.id.

16

1.5.3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan data primer berupa ketetapan perundang-undangan dan ketetapan fiqh, serta data sekunder berupa bukubuku, artikel-artikel, jurnal ilmiah dan bahan-bahan yang diambil melalui data online atau media elektronik (internet) yang berhubungan dengan jaminan. 1.5.4. Langkah Analisis Data Adapun langkah analisis data merupakan sebuah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan mengkategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab. Melalui serangkaian aktivitas tersebut, data kualitatif yang biasanya berserakan dan bisa disederhanakan untuk akhirnya bisa dipahami dengan mudah, dan mampu memberi jawaban atas permasalahan yang dibahas. Langkah analisis data ini dimulai sejak pengumpulan bahan-bahan kepustakaan, literature, artikel-artikel, jurnal ilmiah dan data online yang berhubungan dengan pembahasan tentang konsep jaminan dalam persepektif hukum Islam dan dalam ketetapan perbankan syariah. Di samping itu juga diperoleh keterangan-keterangan dari dialog dengan karyawan perbankan syariah, yang dapat dijadikan sumber penunjang dalam penulisan karya ilmiah ini. Untuk penyusunan dan penulisan, penulis berpedoman kepada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa dan Pedoman Transliterasi Arab Latin, yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh Tahun 2010. Sedangkan untuk terjemahan ayat-ayat Al-Quran dikutip dari Al-Quran dan

Terjemahnya yang diterbitkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemahan Al-Quran Departemen Agama RI Tahun 2002. 1.6. Sistematika Pembahasan Untuk memudahkan dalam memahami isi pembahasan karya tulis ini, penulis membagi pembahasannya dalam empat bab yang terdiri dari beberapa sub bab dan secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: Bab satu merupakan pendahuluan, yang berisi tentang uraian latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajia pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab dua merupakan pembahasan teori tentang konsep dlam n, yaitu pengertian dlam n, syarat dan rukun pertanggungan dalam konsep dlam n, dan ketentuan-ketentuan yang melengkapi konsepsi dasar dlam n. Bab tiga merupakan penjelasan kedudukan jaminan dalam perspektif perbankan syariah, yaitu landasan hukum keberadaan jaminan dalam pembiayaan pada perbankan syariah, ketetapan kebolehan penyertaan jaminan milik pihak ketiga, dan Analisis keberadaan jaminan pihak ketiga pada perbankan syariah dalam tinjauan pertanggungan pada konsep dlam n. Bab empat merupakan penutup dari pembahasan skripsi ini yang berisi kesimpulan dari pemaparan skripsi dan saran-saran dari penulis yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

BAB DUA KONSEPSI PERTANGGUNGAN DALAM KAJIAN TEORI DLAM N

2.1. Pengertian dan Landasan Hukum Dlam n 2.1.1. Pengertian Dlam n Kata Dlam n berasal dari kata

-

yang memiliki arti

ungkapan untuk pertanggungjawabankan sesuatu dengan sesuatu yang memiliki nilai yang sama dengan yang ditanggung.17 Secara terminologi dlam n adalah komitmen dari orang yang sah melakukan kerja sosial secara agama yang wajib atau akan wajib pada orang lain, disertai masih adanya hak penjaminan tersebut, yaitu pada sesuatu yang wajib dan akan menjadi wajib atas orang yang dijamin. Dengan demikian hak ini tidak gugur dari orang yang diberikan jaminan dengan adanya jaminan itu sendiri.18 Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa dalam konsepsi dlam n terdapat sebuah komitmen untuk menjamin kewajiban orang lain yang dilakukan oleh seseorang yang secara agama dianggap telah sah melakukan pekerjaan sosial. Di samping itu, dari pengertian tersebut juga dapat dipahami bahwa segala kewajiban

17 18

Louis Maluf, Munjid, cet. ke 42 (Beirut: D rul Musyriq, 2007), hlm. 455

Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulugh Al-Maram (terj. Thahirin Suparta, dkk), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hlm. 551.

yang berkenaan dengan permasalahan penjaminan orang yang dijamin, menjadi kewajiban atas orang yang menjamin pula. Dlam n dalam posisi yang sebenarnya merupakan bagian dari kaf lah, namun terkhususkan pada permasalahan harta. Kaf lah sendiri merupakan usaha

pertanggungan kewajiban seseorang yang dilakukan oleh orang lain dalam hal tuntutan dan hutang.19 Oleh sebab itu, dalam beberapa sumber menyebutkan bahwa penjelasan mengenai dlam n tidak selalu sama dengan pembahasan konsep kaf lah, karena konsep kaf lah sendiri juga melingkupi pertanggungan jiwa. Namun demikian, terdapat perbedaan pendapat ulama dalam hal pembedaan dlam n dan kaf lah. Mayoritas fuqaha dari Malikiyyah, Syafiiyyah, dan Hanabilah menggunakan kata dlam n dan kaf lah sebagai sinonim. Sedangkan Hanafiyyah menggunakan kata kaf lah pada sesuatu yang padanya berlaku dlam n dengan transaksi dan mencakup kaf lah jiwa, harta dan kaf lah dengan serah terima. Mereka sepakat dengan mayoritas fuqaha bahwa dlam n berlaku pada objek yang lebih umum daripada kaf lah. Di antara fuqaha ada yang mengkhususkan dlam n pada harta, dan kaf lah maksudnya adalah jaminan jiwa.20

Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah Jilid 12 (ter. Kamaluddin A. Marzuki), cet. ke 15 (Bandung: PT. Almaarif, 1987), hlm. 174. Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk, Al-Fiqh al Muyassar Qism al-Muamalat, Mausuah Fiqhiyyah Haditsah Tatanawalu Ahkam al-Fiqh al- Islami bi Uslub Wadhih li alMukhtashshin wa Ghairihim, (terj. Miftahul Khairi) cet. ke 1, (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009), hlm. 184.20

19

Di samping itu, prinsip dlam n juga hampir menyerupai prinsip hiw lah yang merupakan perpindahan hak akan suatu hutang kepada hutang lainnya.21 Meski dlam n dan hiw lah sama-sama merupakan bentuk pengalihan kewajiban seseorang kepada orang lain, namun terdapat perbedaan antara keduanya. Dlam n menanggung kewajiban pembayaran hutang seseorang dengan sukarela tanpa ada keterikatan hutang terhadap orang yang ditanggung, sedangkan hiw lah merupakan usaha

mengalihkan pembayaran hutang kepada pihak lain yang juga terlibat dalam hutang piutang yang terjadi bersama pihak yang terlibat. Untuk lebih jelas, permasalahan hiw lah dapat diilustrasikan sebagai berikut: A berhutang kepada B, dan B berhutang kepada C dengan besaran yang sama dengan hutang A kepada B. Kemudian B mengatakan kepada A untuk membayarkan hutangnya kepada C saja. Dengan demikian, kewajiban B untuk membayar hutang kepada C telah dipindahkan kepada A, dan A berkewajiban untuk membayarkan hutangnya kepada C. Dari ilustrasi di atas dapat dengan jelas terlihat perbedaan antar dlam n dan hiw lah. Meski keduanya sama-sama terlibat dalam permasalahan pertanggungan yang berkenaan dengan harta, namun terdapat perbedaan dari sumber terjadinya kewajiban penanggungan terhadap pihak yang menanggung.

Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat alMujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (terj. Imam Ghazali Said, Achmad Zaidun), (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 263.

21

Dengan demikian dapat dimengerti bahwa meskipun kaf lah, dlam n dan hiw lah berada dalam naungan suatu konsep pertanggungan yang luas, namun masing-masing materi tersebut memiliki konsep dan aturan yang mengikat. Oleh sebab itu dapat dipahami lebih jelas tentang pertanggungan dalam konsep dlam n secara khusus. 2.1.2. Landasan Hukum Dlam n Jaminan (dlam n) ini sendiri diperbolehkan dalam hukum Islam, bahkan terkadang dibutuhkan karena tuntutan kemashlahatan umat. Penjaminan merupakan salah satu bentuk tolong menolong dalam berbuat baik dan ketakwaan, karena dapat memenuhi kebutuhan seorang muslim dan menghilangkan kesulitannya.22 Dasar hukum tentang jaminan (dlam n) ini, tercantum dalam Al-Quran, sunnah dan Ijma, serta keberadaan qiyas yang sesuai. Landasan hukum jaminan yang terkandung dalam Al-Quran terdapat dalam surat Yusuf ayat 72:

.Artinya: Penyeru-penyeru itu berkata, Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya. Ayat di atas, sekali menggunakan bentuk jamak, dan di lain kali menggunakan bentuk tunggal. Misalnya kata , yang artinya penjamin adalah

Syaikh Muhammadd bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-Kamil (terj. Achmad Munir Badjeber, dkk), (Jakarta: Daru as-Sunnah Press, 2007), hlm. 902.

22

bentuk tunggal, tetapi sebelumnya, misalnya kata

yang artinya mereka menjawab

adalah bentuk jamak. Hal ini mengisyaratkan bahwa yang berbicara hanya seorang, yaitu pimpinan pengejar itu, sedang sisanya menyetujui dan mengiyakan.23 Dengan demikian dapat diketahui bahwa penjaminan tersebut dilakukan oleh satu orang. Kata-kata pada ayat di atas itu sendiri, memiliki arti dan aku

penjamin terhadapnya, menjelaskan tentang seseorang yang menjamin terpenuhinya janji untuk memberikan sejumlah bahan makanan kepada siapa saja yang mampu mengembalikan piala raja yang hilang. Maka kata-kata tersebut yang menyatakan tentang jaminan (dlam n) dan tanggung jawab (kaf lah).24 Selain ayat di atas, juga terdapat hadits yang dijadikan sumber hukum dlam n, yaitu:

" "

: " : "

" : "

: : " " ). : " " " : " 25 .(

Artinya: Dari Jabir ra, ia berkata bahwa: seorang laki-laki dari (keluarga) kami meninggal duni lalu kami memandikan dan member kafur serta mengkafaninya lalu kami mendatangi dengan membawa jenazah tersebut kepada Rasulullah saw. lalu kami katakana, shalatkanlah jenazah ini? Rasulullah saw. lalu melangkahkan kakinya lalu beliau bertanya, Apakah Ia memiliki hutang? Kami menjawab, Dia memiliki hutang dua dinar. Lalu Nabi berpaling. Maka Abu Qatadah menanggung hutang tersebut, lalu kami23 24

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 488.

Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Syeikh, Lubaabu at- Tafsir Min Ibni Katsiir (terj. M. Abdul Ghoffar), (Bogor: Pustaka Imam SyafiI, 2003), hlm. 442.25

Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram, hlm. 552.

mendatangi Rasulullah saw. kembali. Abu Qatadah berkata, Dua dinar tanggung jawab saya. Rasulullah bersabda, Apakah engkau menjaminnya dan membebaskan dua dinar dari si mayit? Abu Qatadah menjawab, Ya, lalu Rasulullah saw menshalatinya. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasai) dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim. Hadits di atas menceritakan tentang Rasulullah yang berpaling dari pada menshalatkan jenazah seseorang, karena orang tersebut diketahui memiliki hutang sebesar dua dinar. Kemudian Abu Qatadah bersedia menanggung hutang jenazah tersebut dengan berkata Dua dinar tanggung jawab saya, dan Rasulullah bersedia menshalatkan jenazah yang telah ditanggung hutangnya itu. Maka dengan adanya sighat yang diucapkan oleh Abu Qatadah tersebut, menunjukkan bahwa proses penanggungan hutang orang lain telah sah, dan secara otomatis pelunasan hutang sebesar dua dinar tersebut menjadi kewajiban atas Abu Qatadah. Surat Yusuf ayat 72 dan hadits yang disebutkan di atas, menjadi landasan hukum terhadap permasalahan pertanggungan dan jaminan. Dengan demikian, maka dapat diketahui bahwa jaminan atau pertanggungan memiliki keabsahan dalam hukum Islam. Namun perlu ditegaskan kembali bahwa dlam n hanya mencakup dalam lingkup pertanggungan harta saja. 2.2. Rukun dan Syarat dalam Konsep Dlam n Dalam konsep dasarnya, terdapat rukun dan syarat-syarat yang terkandung dalam dlam n. Sehingga sebagai sebuah konsep, dlam n memiliki aturan-aturan yang jelas dan kuat.

2.2.1 Rukun Dlam n Adapun rukun dlam n sebagaimana yang dijelaskan oleh jumhur ulama, yaitu sebagai berikut: a. Penjamin (dl min) Adanya seorang penjamin atau yang disebut dl min menjadi salah satu rukun, karena permasalahan dlam n ini melibatkan pihak ketiga yang berlaku sebagai dl min itu sendiri. Namun para ulama berbeda pendapat terhadap keberadaan dl min sebagai bagian dari rukun dlam n. Sebagaimana halnya pendapat sebahagian ulama yang mengkatagorikan dl min sebagai syarat dlam n.26 Demikian pula pendapat Imam Hanafi yang tidak memasukkan dl min kedalam rukun dlam n. Akan tetapi jumhur ulama tetap

mencantumkan dl min sebagai salah satu rukun dlam n.27 b. Orang yang dijamin hutangnya (madlm n anhu) Permasalahan dlam n ini muncul karena adanya permasalahan hutang piutang antara dua pihak, oleh sebab itu si penghutang atau orang yang dijamin hutangnya (madlm n anhu) merupakan salah satu sebab pokok terjadinya dlam n, maka keberadaan pihak ini pun menjadi bagian dari rukun dlam n. Namun, senada dengan kedudukan dl min sebagai bagian dari rukun,26

Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, dkk, Al-Fiqh al Muyassar Qism al-Muamalat, Mausuah Fiqhiyyah Haditsah Tatanawalu Ahkam al-Fiqh al- Islami bi Uslub Wadhih li alMukhtashshin wa Ghairihim, hlm. 184. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz al-Khamis (terj. Syed Ahmad Syed Hussain), (Malaysia: Dewan Bahsa dan Pustaka, 1996), hlm. 118.27

Imam Hanafi juga tidak mencantumkan madlm n anhu sebagai salah satu dari rukun dlam n, sedangkan bagi jumhur ulama madlm n anhu termasuk bagian dari rukun dlam n.28 c. Penagih yang mendapat jaminan (madlm n lahu) Madlm n lahu merupakan orang yang menerima jaminan dari pihak madlm n anhu dan dl min, maka dapat diketahui bahwa madlm n lahu juga merupakan si pemberi hutang. Oleh sebab itu, sesuai dengan penjelasan madlm n anhu, madlm n lahu juga bagian dari rukun dlam n. Ketentuan tentang madlm n lahu ini termasuk ke dalam rukun dlam n merupakan kesepakatan dari jumhur ulama, sedangkan Imam Hanafi juga tidak menetapkan madlm n lahu sebagai rukun dlam n sebagaimana madlm n anhu dan dl min.29 d. Hutang yang dijamin Jumhur Ulama berpendapat bahwa hutang yang menjadi objek transaksi antara penghutang dan pemberi hutang termasuk rukun dlam n. Namun Imam hanafi juga tidak menyertakan hutang yang menjadi inti permasalahan dalam rukun dlam n.30

28 29 30

Ibid. Ibid. Ibid.

e. Lafadz Dlam n sendiri merupakan perjanjian pertanggungan kewajiban orang lain, oleh sebab itu dibutuhkan adanya kejelasan aqad yang harus diucapkan oleh dl min. Dlam n akan sah dan terlaksana dengan dengan ungkapan; saya adalah orang yang menjamin, saya adalah orang yang menanggung, atau ungkapan senada lainnya yang menunjukkna hal tersebut.31 Di samping itu, Syaikh Taqiyudinn berkata bahwa qiyas dari mazhab Ahmad bin Hambal menjelaskan bahwa jaminan sah dengan segala yang dapat dipahami sebagai lafadz jaminan menurut adat.32 Dengan demikian, meskipun jumhur ulama menentukan rukun-rukun dlam n, namun terdapat khilaf pendapat ulama mengenai hal tersebut. Seperti yang telah disinggung di atas tentang pendapat Abu Hanifah yang tidak mencantumkan beberapa poin dari rukun dlam n, beserta Muhammad menyatakan bahwa rukun dlam n hanya terdiri atas tawaran dari penjamin dan penerimaan si berhutang. Selain itu Abu Yusuf juga mengemukakan pendapatnya bahwa rukun dlam n hanya terdiri atas tawaran dari pihak penjamin.33 2.2.2. Syarat Dlam n Di samping adanya ketetapan rukun-rukun tersebut, konsep dlam n juga dilengkapi dengan ketetapan syarat-syarat yang terdiri atas:31 32 33

Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Maram, hlm.551. Ibid, hlm. 552. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz al-Khamis, hlm. 118.

a. Syarat bagi penjamin (dl min) Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh penjamin (dlamin) sebagai berikut: 1. Baligh Seorang dl min disyaratkan harus telah dalam keadaan baligh, maka apabila yang menjadi dl min adalah anak-anak, maka usaha dlam n dianggap tidak memenuhi syarat. Keadaan baligh merupakan suatu keadaan yang menunjukkan telah sampainya seseorang pada batasan cukupnya umur untuk mulai dibebani tanggung jawab dalam urusan agama. Hal ini dapat diketahui dengan salah satu tanda yang ada, yaitu: telah berumur 15 tahun, bagi laki-laki keluar mani dan bermimpi jima, sedangkan bagi perempuan keluar haidh dan telah pantas untuk mengandung.34 Tanda-tanda baligh tersebut berdasarkan pendapat ulama Syafiiyyah, ulama Hanafiyyah, dan jumhur ulama. Namun Imam Maliki mencantumkan beberapa perbedaan dalam kriteria baligh, yaitu tumbuhnya bulu-bulu di beberapa tempat yang perlu untuk dicukur, dan berubahnya suara baik pada laki-laki maupun pada perempuan. 2. Berakal Dl min juga harus merupakan orang yang berakal, maka dlam n tidak dapat dilakukan oleh seorang yang gila, karena orang gila merupakan salah

Muhammad Firdaus, Ensiklopedia Asas Fardhu Ain, cet. Ke 2 (Malaysia: Crescent News (KL) SDN BHD, 2006), hlm. 173.

34

satu dari orang-orang yang terbebas dari pembebanan hukum syara, sebagaimana yang tercantum dalam hadits:

35

(

: ).

Artinya: Pena diangkat dari tiga orang: Dari orang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia bermimpi (baligh), dan dari irang gila hingga ia berakal. (HR. Abu Daud dan Al-Hakim yang mensahihkannya). Hadits di atas menyebutkan tentang orang-orang yang terlepas dari tuntutan hukum syara, dan salah satunya adalah orang gila yang tidak dibebankan kewajiban hingga ia sembuh dari gilanya. Hadits ini dapat pula dijadikan sebagai penguat penjelasan baligh di atas. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dlam n tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila. Namun orang tersebut akan kembali diperbolehkan melaksanakan, dlam n ketika ia sembuh dari gilanya. 3. Atas kemauan sendiri Dl min harus melakukan upaya pertanggungan hutang madlm n anhu atas dasar kemauannya sendiri, bukan karena paksaan orang lain. Hal ini dapat dilihat dari hadits yang tercantum sebagai landasan hukum dlam n di atas. Pada hadits tersebut diceritakan bahwa Abu Qatadah menanggung hutang si mayit dengan suka rela tanpa adanya paksaaan dari siapapun. Dengan

35

Abu Bakr Al-Juzairi, Minhaajul Muslim (ter. Fadhli Bahri), (Jakarta: Darul Falah, 2000),

hlm. 301.

demikian dlam n menjadi tidak sah apabila dilakukan berdasarkan paksaan orang lain. 4. Orang yang diperbolehkan membelanjakan harta Seseorang yang menjadi dl min haruslah orang yang diperbolehkan oleh syara untuk membelanjakan hartanya, bukan orang yang bodoh dan bukan pula orang yang boros yang dapat memudlaratkan dirinya sendiri ataupun orang lain. Karena dalam Islam terdapat orang-orang yang dicegah untuk membelanjakan hartanya, yaitu anak kecil, orang gila, dan orang yang menyia-nyiakan hartanya (pemboros), maka dl min disyaratkan tidak berasal dari ketiga orang ini.36 Untuk pelarangan menjadikan anak-anak sebagai dl min, juga diatur dalam syarat dl min haruslah seorang yang baligh. 5. Mengetahui jumlah atau kadar yang dijamin Disyaratkan pula bagi dl min untuk mengetahui kadar hutang yang ia tanggung, sehingga proses dlam n akan menjadi transparan dan menutup kemungkinan terjadinya penipuan terhadap dl min. Hal ini dapat dicontohkan melalui hadits yang menceritakan bahwa Abu Qatadah menanggung hutang seseorang yang telah meninggal dunia. Sebelum Abu Qatadah memutuskan untuk menanggung hutang tersebut, Abu Qatadah telah lebih dahulu mengetahui kadar hutang yang akan ditanggungnya, yaitu sebesar dua dinar. Dengan demikian syarat ini juga berguna untuk mengukur mampu atau tidaknya dl min menanggung hutang yang ada. Hal ini dimaksudkan agar36

Ibid.

kegiatan dlam n ini tidak merugikan siapapun, terlebih dl min yang bertujuan meringankan beban orang lain. Dalam penentuan syarat-syarat bagi dl min tersebut, terjadi perbedaan pendapat ulama. Ketentuan syarat di atas merupakan kesepakatan jumhur ulama, sedangkan Imam Hanafi hanya mensyaratkan seorang dl min haruslah berakal waras, baligh dan merdeka (maka tidak boleh seorang dl min itu budak kecuali mendapat izin dari tuannya).37 b. Syarat bagi orang yang dijamin (madlm n anhu) Terdapat syarat bagi orang yang dijamin (madlm n anhu), yaitu orang tersebut merupakan orang yang diperbolehkan membelanjakan hartanya dalam ketentuan hukum syara, bukan seorang yang bodoh dan bukan pula seorang yang boros sehingga dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Namun dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama, antaranya Imam Hanafi memberlakukan syarat bagi madlm n anhu sebagi orang yang dikenal baik oleh dl min, hal ini bertujuan agar penjaminan mengenai sasaran yang tepat sesuai dengan orang yang dimaksud. Di samping itu Imam Hanafi juga menambahkan syarat lain, yaitu madlm n anhu harus mampu menyerahkan barang jaminan, baik jaminan itu diserahkan oleh dirinya sendiri maupun melalui wakilnya. Oleh karena itu, berdasarkan pendapat demikian berarti jaminan atas orang yang meninggal dan tidak memiliki harta,

37

Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz al-Khamis, hlm.123.

hukumnya tidak sah, karena Ia tidak meninggalkan harta untuk membayar hutang, dan karena hutang orang yang meninggal dianggap gugur.38 Sedangkan menurut ulama Syafii, berdasarkan pendapat yang ashah, bahwa syarat harus mengenal orang yang dijamin itu tidak perlu. Hal ini diqiyaskan kepada tidak disyaratkan adanya kerelaan dari orang yang dijamin. c. Syarat bagi orang yang menerima jaminan (madlm n lahu) Adapun syarat yang ditentukan bagi orang yang menerima jaminan (madlm n lahu) atau orang yang memberikan hutang, adalah bahwa orang tersebut diketahui oleh dl min. Dengan demikian, apabila dl min menjamin seseorang (madlm n anhu) dari orang lain (madlm n lahu) yang merupakan bagian dari orang banyak, tanpa menyebutkan nama dari madlm n lahu tersebut, maka dalam hal ini dlam n dianggap tidak sah. Ulama Syafii sependapat dengan ketetapan tersebut. Namun ulama Maliki dan Hambali tidak mensyaratkan dl min mengenal atau menyebut nama madlm n lahu. 39 Menurut Abu Hanifah dan Muhammad, terdapat syarat lain bagi madlm n lahu selain yang disebutkan di atas, yaitu madlm n lahu hadir dalam majelis aqad, dan juga harus merupakan orang yang berakal.40

38 39 40

Ibid, hlm. 124. Ibid, hlm. 125. Ibid, hlm. 126.

d. Syarat bagi utang atau harta yang dijamin Adapun syarat-syarat yang ditentukan bagi objek yang dijamin adalah sebagai berikut: 1. Diketahui jumlahnya 2. Diketahui ukurannya 3. Diketahui kadarnya 4. Diketahui keadaannya 5. Diketahui waktu jatuh tempo pembayarannya. Apabila dl min tidak mengetahui tentang objek yang ditanggungnya, baik jumlahnya, ukurannya, kadarnya, maupun keadaannya, maka menurut mazhab Asy Syafii dan Ibnu Hazm, dlam n tersebut tidak sah. Berbeda halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad, mereka berpendapat bahwa jaminan tentang sesuatu yang tidak diketahui adalah sah.41 Dengan terpenuhi syarat terhadap objek yang dijamin tersebut, maka jelaslah bagi dl min akan seberapa besar usaha yang harus dilakukannya untuk menanggung utang orang lain. Sehingga dl min dapat mengukur kemampuannya dalam menanggung pembayaran hutang orang lain tersebut. Adanya ketentuan-ketentuan yang menyertai konsep dlam n berupa rukun dan syarat menjadi batas penegasan tentang komponen-komponen yang terkandung

41

Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah Jilid 12 (ter. Kamaluddin A. Marzuki), hlm. 181.

dalam dlam n itu sendiri. Oleh sebab itu, pelaksanaan dlam n tidak dapat dilakukan secara sembarangan melampaui aturan-aturan yang telah terkonsep sebelumnya. 2.3. Mekanisme Pertanggungan dalam Konsep Dlam n Terikatnya dua pihak yang terlibat dalam permasalahan hutang piutang terkadang dapat melibatkan pihak lain sebagai penjamin atau pemberi jaminan akan pelunasan pihak yang berhutang. Jaminan itu sendiri dapat berupa barang yang diberikan kepada pihak pemberi hutang, yang bertujuan sebagai pengikat janji upaya pelunasan hutang yang dilakukan oleh pihak yang berhutang. Namun permasalahannya menjadi sedikit berbeda ketika penghutang meminta kesediaan orang lain, atau orang lain tersebut menawarkan diri untuk menjamin hutangnya. Terlibatnya pihak ketiga dalam penjaminan hutang inilah yang kemudian memunculkan ketentuan-ketentuan yang terbentuk sebagai kesatuan konsep dlam n. 2.3.1. Pendapat Ulama tentang Mekanisme Dlam n Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa permasalahan dlam n hanya terjadi pada seputaran permasalahan harta. Mengenai hal ini, fuqaha sependapat bahwa apabila madlm n anhu meninggal atau bepergian, maka dl min harus membayar denda. Kemudian para ulama berselisih pendapat tentang apabila dl min dan madlm n anhu sama-sama ada di tempat dan sama-sama kaya. Menurut Imam Syafii, Abu Hanifah, para pengikut keduanya, ats-Tsauri dan al-Auzai, mengenai kondisi tersebut madlm n lahu memiliki hak untuk meminta denda pada dl min atau

pada madlm n anhu. Sedangkan menurut Imam Malik, madlm n lahu tidak boleh mengambil denda dari dl min jika madlm n anhu itu ada.42 Mengenai masa wajib berlakunya dlam n, yaitu masa tuntutan kepada dl min, ulama sependapat bahwa masa tersebut terjadi setelah tertetapnya hak atas madlm n anhu, baik berdasarkan pengakuan ataupun saksi.43 Sedangkan mengenai harta yang dapat dijadikan barang jaminan adalah harta yang tetap dalam tanggungan (dzimmah), kecuali kitabah (budak yang dijanjikan untuk merdeka) dan harta yang tidak boleh mengalami penangguhan.44 Kemudian, setelah terjadinya penjaminan, keempat imam sepakat bahwa dl min boleh meminta kembali kepada madlm n anhu sesuatu yang ia keluarkan sebagai penjaminan, apabila penjaminan itu dilakukan atas permintaan madlm n anhu. Namun terjadi perbedaan pendapat ulama mengenai hal tersebut, apabila dlam n dilakukan dengan tanpa perintah dari madlm n anhu, melainkan karena kesukarelaan dl min. Menurut Asy Safii dan Abu Hanifah, dl min tidak punya hak untuk meminta kembali kepada madlm n anhu. Namun menurut pendapat mazhab Maliki, dl min berhak meminta kembali kepada madlm n anhu. Sedangkan Ibnu Hazm berpendapat bahwa tidak ada hak bagi dl min untuk meminta kembali kepada madlm n anhu,42

Al-Faqih Abul Walid Muhammad, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (terj. Imam Ghazali Said, & Achmad Zaidun), hlm. 255.43 44

Ibid, hlm. 257. Ibid, hlm. 260.

baik dlam n itu dilakukan atas permintaan madlm n anhu maupun bukan, kecuali madlm n anhu meminta diqiradkan.45 Selain itu, Ibnu Abi Laila, Ibnu Syabramah, Abu Tsaur dan Abu Sulaiman sependapat dengan Imam Maliki.46 Dalam peramasalahan jenis madlm n anhu, juga ditemukan adanya perbedaan pendapat ulama berkenaan dengan pertanggungan terhadap orang yang telah meninggal dan mempunyai hutang tanpa meninggalkan apapun yang dapat dijadikan pelunasan hutang-hutangnya. Imam Malik dan Imam Syafii membolehkan pertanggungan terhadap hutang orang yang telah meninggal tersebut. Namun Abu Hanifah tidak membolehkannya dengan alasan bahwa tanggungan itu tidak berkaitan sama sekali dengan orang yang tidak ada, dalam hal ini telah meninggal.Sedangkan fuqaha berpendapat bahwa tanggungan ,boleh dilakukan terhadap orang yang telah meninggal, dengan merujuk kepada hadits yang telah dibahas sebelumnya.47 Berdasarkan pendapat jumhur ulama, objek yang dijamin harus dalam kemampuan dlamin. Karena apabila objek yang dijamin diluar batas kemamp[uan dlamin, maka pernjaminan tersebut tidak sah.48 Dengan demikian, meskipun permasalahan penjaminan atau pertanggungan ini merupakan permasalahan sosial,Qirad adalah memberikan modal dari seseorang kepada orang lain untuk modal usaha, sedangkan keuntungan untuk keduanya menurut perjanjian antara keduanya ketika aqad berlangsung. (H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. ke 36, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994), hlm. 299.)46 47 45

Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah 12 (ter. Kamaluddin A. Marzuki), hlm.182.

Al-Faqih Abul Walid Muhammad, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (terj. Imam Ghazali Said, & Achmad Zaidun), hlm. 260.48

Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz al-Khamis, hlm.128.

namun secara hukum, Islam tetap mempertimbangkan kemaslahatan dl min sebagai orang yang yang mengemban tanggung jawab yang sejatinya bukan bagian dari kewajibannya. 2.3.2. Konsekuensi Hukum dalam Mekanisme Dlam n Ketetapan lainnya adalah bahwa meski tanggung jawab pelunasan hutang madlm n anh telah dialihkan kepada dl min, namun bukan berarti tanggung jawab bagi madlm n anhu hilang, karena kewajiban pelunasan hutang akan tetap ada selama hutang tersebut belum dilunaskan. Maka demikian kewajiban tersebut samasama dipikul oleh madlm n anh dan dl min. Oleh karena itu bagi dl min yang telah bersedia menanggung hutang madhm n anhu, sejak perjanjian tersebut disetujui maka dl min telah sah terikat secara hukum syariah. Dalam dlam n terdapat ketentuan bahwa apabila penjaminan dilakukan bukan karena perintah daripada madlm n anhu, maka dl min tidak berhak meminta madlm n anhu untuk menunaikan kewajibannya jika dituntut oleh madlm n lahu. Oleh sebab itu, dl min tidak dapat menghindar apabila madlm n lahu telah menuntut dl min untuk memenuhi kewajiban madlm n anhu kepada dl min, sebagaimana yang telah disetujui oleh dl min sendiri. Demikian pula dl min juga tidak bisa melarang madlm n anhu apabila madlm n anhu hendak melunaskan hutangnya. Dalam hal yang demikian memungkinkan dl min tidak melakukan kewajiban apapun karena tanggung jawab pelunasan hutang tersebut telah diselesaikan oleh madlm n anhu sendiri.

Berdasarkan pendapat jumhur ulama, objek yang dijamin harus dalam kemampuan dlamin. Karena apabila objek yang dijamin diluar batas kemampuan dl min, maka penjaminan tersebut tidak sah.49 Dengan demikian, meskipun permasalahan penjaminan atau pertanggungan ini merupakan permasalahan sosial, namun secara hukum, Islam tetap mempertimbangkan kemaslahatan dl min sebagai orang yang yang mengemban tanggung jawab yang sejatinya bukan bagian dari kewajibannya. Kemudian, setelah terselesaikannya tanggung jawab dl min dan madlm n anhu kepada madlm n lahu, pihak dl min dibolehkan untuk menuntut bayaran kembali kepada madlm n anhu secara keseluruhan apabila dl min terdiri dari satu orang. Namun apabila dl min terdiri dari dua orang atau suatu kelompok, maka masing-masing orang berhak menuntut kepada madlm n anhu sebesar porsi mereka dalam proses pertanggungan hutang madlm n anhu.50 Hal ini membuktikan bahwa hukum Islam tidak menghapus hak seseorang yang telah meringankan beban dan berbuat baik kepada orang lain. Oleh sebab itu, bagi dl min tetap diberikan hak untuk meminta madlm n anhu dapat membayar kembali harta dl min yang telah dikeluarkan demi menanggung kewajiban madhm n anhu. Dengan demikian, permasalahan yang selanjutnya muncul adalah bukan lagi permasalahan hutang

49

Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu al-Juz al-Khamis, hlm.128. Ibid, hlm. 130.

50

piutang antara madlm n lahu dan madlm n anhu, akan tetapi antara mandlm n anhu dengan dl min, dan dalam hal ini dapat dibuat aqad baru antara keduanya. Dengan demikian, walaupun permasalahan dlam n tetap mengundang perbedaan pendapat dari para ulama ditinjau dari berbagai sisinya, akan tetapi yang menjadi poin terpenting adalah bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk meringankan beban dan mempermudah urusan orang lain sesuai dengan kemampuan orang yang memberi pertolongan, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dari hubungan tolong-menolong tersebut. Ketetapan mengenai perintah ini sendiri telah dicantumkan dalam Al-quran dan dijelaskan dalam hadits dengan berbagai periwayatan.

BAB TIGA ANALISIS KEDUDUKAN BARANG JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH3.1. Landasan Hukum tentang Keberadaan Jaminan dalam Perbankan Syariah Perkembangan perbankan syariah yang terus meningkat, tidak selalu diringi dengan perkembangan hukum yang mengatur tentang sistem operasional perbankan syariah itu sendiri. Selama ini, sejak kemunculan perbankan syariah di Indonesia yang dimulai dari tahun 1992 hingga sekarang, peraturan perbankan syariah masih tertuang dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, yang merupakan perubahan dari Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.51 Di luar dari pada undang-undang tersebut, segala permasalahan perbankan syariah yang berhubungan dengan peraturan hukum, masih mengacu kepada hukum positif Indonesia yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi perbankan syariah. Misalnya saja dalam permasalahan jaminan. Jaminan pada perbankan konvensional diterapkan pada produk perkreditan, sedangkan pada perbankan syariah jaminan diterapkan pada produk pembiayaan. Ketentuan permasalahan jaminan ini diatur dalam hukum positif Indonesia dengan mengangkat produk kredit. Padahal kredit dan pembiayaan memiliki perbedaan yang mendasar. Perbedaan yang sangat jelas adalah bahwa kredit menerapkan perolehan keuntungan melalui bunga,Andri Soemitra, Bank dan Kelembagaan Keuangan Syariah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), hlm. 64.51

sedangkan pembiayaan menerapkan perolehan keuntungan melalui bagi hasil.52 Meskipun pada prinsipnya antara kredit dan pembiayaan terdapat perbedaan, namun dikarenakan keterbatasan hukum yang mengatur tentang segala sesuatunya dalam perbankan syariah, maka permasalahan jaminan yang terdapat pada produk pembiayaan perbankan syariah pun ikut mengacu pada hukum jaminan yang telah ada. Oleh sebab itu, secara tidak langsung pembiayaan pada perbankan syariah disetarakan dengan kredit pada perbankan konvensional dalam pandangan hukum. Jaminan ini sendiri dimaksudkan untuk mengurangi resiko kerugian bank terhadap dana yang telah dikeluarkan oleh pihak bank tersebut, untuk pemberian hutang dalam bentuk kredit atau jaminan kepada nasabah. Dengan demikian, jaminan juga dimaksudkan untuk mengikat nasabah agar dapat melunasi kewajibannya terhadap bank. Dalam perbankan syariah sendiri, tidak semua pembiayaan dibebankan adanya barang jaminan kepada nasabahnya. Salah satu pembiayaan yang dijalankan dengan pembebanan barang jaminan adalah pembiayaan mur bahah. Yaitu pembiayaan yang diberikan oleh pihak perbankan kepada nasabah yang dipergunakan untuk pembelian barang-barang tertentu, dengan adanya penambahan keuntungan

52

Kasmir, Manajemen Perbankan, cet. ke 5 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.

73.

bagi bank dari harga jual pokok barang tersebut yang disepakati oleh kedua belah pihak.53 Umumnya jenis barang jaminan yang diserahkan kepada pihak perbankan syariah dapat berupa tanah, bangunan, kendaraan bermotor dan lain sebagainya 54. Untuk masing-masing jenis barang jaminan tersebut diberlakukan pula ketetapan hukum yang berbeda yang sesuai dengan ketetapan perundang-undangan yang telah ada. Karena permasalahan jaminan pada perbankan didasarkan pada peraturan hukum yang telah ada, maka jaminan pada perbankan syariah pun tetap merujuk kepada ketentuan hukum tersebut, sekalipun hal itu akan menyetarakan jaminan pada perbankan syariah dengan jaminan pada perbankan konvensional, seperti penjelasan yang telah disebutkan di atas. Adapun landasan-landasan hukum tentang keberadaan jaminan dalam perbankan syariah adalah sebagai berikut: 3.1.1. Undang-Undang No.21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Pengaturan undang-undang perbankan syariah yang mencantumkan tentang jaminan dalam produk pembiayaan yang ditawarkan oleh perbankan syariah itu sendiri, hanya terdapat pada Pasal 1 ayat (23) Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang berbunyi: Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda yang tidak bergerak yang diserahkan olehWawancara dengan Muazzin (karyawan bagian pembiayaan BMI) tanggal 3 Januari 2011 di Bank Muamalat Indonesia cabang Banda Aceh.54 53

Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 113.

pemilik agunan kepada Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah, guna menjamin pelunasan kewajiban nasabah penerima fasilitas.55 Dalam undang-undang tersebut dijelaskan tentang jenis barang jaminan yang dapat diberikan oleh nasabah kepada pihak perbankan syariah. Selain itu dijelaskan pula bahwa pengadaan barang jaminan itu dimaksudkan untuk menjamin agar nasabah menjalankan kewajibannya dalam mengembalikan dana yang telah dipinjamkan oleh pihak perbankan syariah, juga memenuhi kewajiban-kewajiban lainnya sebagaimana yang telah disepakati. Di samping itu, terdapat ketetapan undang-undang mengenai esekusi barang jaminan yang tercantum dalam Pasal 12 A ayat (1) Undang -Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 12 Tahun 1997 Tentang Perbankan juncto Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008: Bank umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya. Peraturan hukum di atas menjelaskan bahwa barang agunan dapat dibeli oleh bank dengan persetujuan nasabah dan dengan cara-cara tertentu yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan, dikarenakan nasabah debitur tidak menjalankan kewajibannya terhadap pihak perbankan. Namun demikian, agunan yang telah dibeli tersebut tidak dapat dimiliki oleh bank. Bank harus mencairkan

Bank Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan syariah, Juli 2008. Diakses pada tanggal 5 September 2011 dari situs: http://www.bi.go.id/

55

ataupun menjual agunan tersebut secepatnya, dalam kurun waktu paling lambat satu tahun.56 Ketentuan di atas agak berbeda dengan azas yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan mengenai hukum jaminan yang melarang kreditur meminta suatu janji untuk memiliki benda jaminan. Menurut ketentuan hukum jaminan, yang dilarang adalah jika kreditur secara serta-merta memiliki benda jaminan. Namun demikian, tentu saja tidak mudah untuk menjual barang jaminan dalam waktu satu tahun. Jika benda dijual secara obral, maka pada akhirnya pihak debitur dan bank akan mengalami kerugian.57 Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengertian jaminan dan aturan eksekusi barang jaminan yang diletakkan pada perbankan syariah, sebagai fasilitas pendukung pengambilan pembiayaan, secara garis besar telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Akan tetapi, ketetapan hukum tersebut hanya merupakan peraturan secara umum yang membahas tentang permasalahan jaminan. 3.1.2. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Untuk barang jaminan berupa tanah atau bangunan yang memiliki kaitan dengan tanah, dipergunakan peraturan hukum yang tercantum pada Undang-UndangSuharnoko, Hukum perjanjian: Teori dan Analisis Kasus, cet. ke 4 (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hlm.30.57 56

Ibid.

No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Ketentuan hukum ini khusus menjelaskan tentang permasalahan yang berkaitan derngan tanah atau benda-benda yang berada di atasnya dan berkaitan langsung dengan tanah. Undang-Undang No.4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta BendaBenda yang Berkaitan Dengan Tanah ini, di dalamnya terkandung hak tanggungan yang bersifat accessoir, yaitu hanya dapat diberikan apabila telah terjadi hubungan hutang piutang yang pelunasannya akan dijamin olehnya. Hubungan hutang piutang ini timbul dari perjanjian pokok yang dapat berupa perjanjian khusus mengenai pemberian pinjaman (perjanjian pinjam meminjam, perjanjian kredit, perjanjian hutang piutang, atau nama lain yang membuat janji salah satu pihak meminjamkan uang kepada pihak lain yang bejanji untuk mengembalikan hutangnya dikemudian hari), atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan hutang piutang (keadaan salah satu pihak berkewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada pihak lain), misalnya perjanjian jual beli.58 Dengan kata lain, hak tanggungan baru akan ada apabila telah terjadi hutang piutang yang pelunasan hutang tersebut dijamin dengan benda yang terkait hak tanggungan. Ketentuan yang tercantum dalam undang-undang inilah yang kemudian menjadi peraturan yang mengikat bagi nasabah maupun pihak perbankan dalam menentukan keputusan berkenaan dengan barang jaminan berupa tanah atau bendaA. P. Parlindungan, Komentar Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Besarta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1996), hlm. 171.58

benda lain yang berkaitan dengan tanah. Dengan demikian, adanya ketetapan hukum ini menjadi peraturan baku terhadap barang jaminan berupa benda-benda yang tercakup dalam peraturan hukum tersebut. Sementara itu, masih dalam undang-undang yang sama, pada Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2): (1) Hutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan dapat berupa hutang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian hutangpiutang atau perjanjian lainyang menimbulkan hubungan hutang piutang yang bersangkutan. (2) Hak tanggungan dapat diberikan untuk suatu hutang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu hutang yang berasal dari beberapa hubungan hukum.59 Pada ayat (1) dijelaskan bahwa Hak Tanggungan tersebut dapat berupa hutang yang sudah ada, atau hutang yang telah diperjanjikan sebelumnya. Dengan adanya jumlah tertentu, baik berdasarkan perjanjian tersebut, atau yang berdasarkan perjanjian lain yang menimbulkan hutang piutang. Dan pada ayat (2) memperjelas bahwa hak tanggungan dapat berasal dari suatu hubungan hukum seperti adanya suatu barang jaminan, ataupun dari satu atau lebih hutang-piutang yang berasal dari beberapa hubungan hukum sebelumnya.60 Demikian seterusnya apabila barang jaminan yang diserahkan merupakan sebidang tanah atau bangunan yang berhubungan dengan tanah, maka

59 60

Ibid, hlm. 41. Ibid

segala sesuatunya secara keseluruhan diatur dalam Undang-Undang no. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah ini. Hingga yang termasuk dalam peraturan ini juga adalah tentang eksekusi barang jaminan tersebut, apabila terbukti bahwa nasabah melakukan wanprestasi. 3.1.3. UndangUndang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia Ketentuan hukum lainnya yang mengatur tentang jaminan pada perbankan adalah UndangUndang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.61 Definisi tetang jaminan fidusia ini secara khusus dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia: Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.62 Kutipan undang-undang di atas, merupakan definisi fidusia dalam konteks hukum positif Indonesia. Melalui ketetapan hukum tersebut, dijelaskan bahwa fidusia merupakan hak jaminan atas benda-benda bergerak, dan dapat berlaku pula pada benda-benda yang tidak bergerak yang bukan merupakan bagian dari UndangUndang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta BendaBenda yang Berkaitan dengan Tanah.Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 12. Universitas Sam Ratulangi, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Diakses pada tanggal 1 Januari 2012 dari situs:http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_42_99.htm62 61

Kemudian, disebutkan pula bahwa barang jaminan fidusia tetap berada dalam penguasaan pemiliknya, meskipun barang tersebut digunakan sebagai agunan untuk pelunasan hutang tertentu, serta penerima barang jaminan fidusia merupakan pihak yang mendapatkan kedudukan utama atas barang tersebut dibandingkan dengan kreditor lainnya. Apabila seorang debitur terikat hutang-piutang, maka kreditur yang menerima jaminan fidusia tersebut adalah kreditur yang harus didahulukan haknya oleh debitur. Selain itu, dijelaskan pula tentang hapusnya jaminan fidusia yang dicantumkan pada Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia: Jaminan fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut: (a) Hapusnya hutang yang dijamin dengan jaminan fidusia. (b) Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia. (c) Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.63 Ketentuan hukum yang tercantum dalam pasal 25 tersebut mengatur tentang hapusnya pemberlakuan jaminan fidusia dengan adanya sebabsebab berikut: 1. Karena berakhirnya hutang yang dijamin dengan jaminan fidusia, sehingga berakhirnya tanggung jawab debitur, maka berakhir pula hak kreditur atas barang jaminan fidusia tersebut. 2. Karena adanya pelepasan hak yang dilakukan oleh penerima fidusia, sehingga barang jaminan fidusia tersebut tidak lagi terikat kepemilikan atau penguasaan dari selain pemilik aslinya.63

Ibid.

3. Karena barang fidusia telah musnah, maka hilanglah peraturan yang mengikat jaminan fidusia tersebut, namun debitur tetap bertanggung jawab dalam pelunasan hutangnya dengan cara-cara yang ditentukan oleh kreditur yang tetap berlandaskan kepada huum positif. Sebagaimana halnya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang mengatur segala peraturan hukum tentang hak tanggungan atas tanah dan bendabenda yang berkaitan dengan tanah, maka segala hal yang berhubungan dengan jaminan fidusia juga diatur dalam UndangUndang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Dengan demikian maasing-masing peraturan hukum tersebut mengatur dengan lengkap objek jaminan berdasarkan jenisnya tersendiri. 3.1.4. Pasal-pasal yang Terdapat dalam KUH Perdata Dalam ketentuan tentang jaminan yang terdapat dalam KUH Perdata, adanya peraturan yang menjelaskan tentang jaminan yang berupa hipotek. Pengertian tentang hipotek tersebut dijelaskan dalam Pasal 1162 KUH Perdata: Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas barang yang tak begerak yang dijadikan jaminan dalam pelunasan suatu perikatan.64 Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa hipotek hanya terdiri dari barang tidak bergerak yang dijadikan sebagai jaminan terhadap suatu pelunasan dalam perjanijian yang melibatkannya.

64

Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005),

hlm. 293.

Sebagaimana hak tanggungan atas tanah dan fidusia, hipotek juga merupakan hak yang bersifat accessoir. Berdasarkan pengertian tersebut ditegaskan bahwa hipotek hanya dapat dibebankan pada benda tidak bergerak, dan peraturan ini diperkuat dengan Pasal 1167 KUH Perdata: Barang bergerak tidak dapat dibebani hipotek.65 Karena pengaturan tentang benda bergerak sendiri merupakan bagian dari jaminan fidusia.66 Namun, dikarenakan telah adanya pembagian antara hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, dan benda tidak bergerak yang diluar peraturan hak tanggungan tersebut masuk ke dalam pengaturan tentang fidusia, maka praktis mengenai penggunaan pranata hipotek sudah tidak ada lagi. Meskipun penggunaan pranata hipotek sudah hampir tidak ada lagi, akan tetapi pranata hipotek masih berlaku dalam hal jaminan kapal laut dan pesawat terbang.67 Menurut sifatnya, hipotek sendiri bersifat individualiteit yaitu azas yang menjelaskan bahwa yang dapat dimiliki sebagai kebendan adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat ditentukan terpisah. Dalam konteks ini berarti hipotek tidak akan hapus hanya karena pembayaran sebagian yang telah dilakukan oleh debitur, melainkan hanya hapus dalam hal terpenuhinya ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 1209 KUH Perdata: Hipotek hapus: 1. Karena hapusnya perikatan65 66

Ibid, hlm. 294.

Kartini Muljadi, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotek, cet. Ke 2 (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), hlm. 201.67

Ibid.

pokok, 2. Karena pelepasan hipoteknya oleh krditur, 3. Karena penetapan tingkat oleh hakim.68 Dengan demikian jelaslah bahwa meskipun hutangnya telah dilunasi sebahagian besar, namun selama belum dilunasi semuanya maka penghapusan hipotek belum dapat dilakukan.69 Selain itu, hapusnya hipotek pada poin dua dan tiga, berdasarkan kerelaan dari kreditur untuk melepaskan hipoteknya, juga hapusnya hipotek juga dapat terjadi berdasarkan putusan hakim. Selain peraturan tentag jaminan hipotek tersebut, pada KUH Perdata juga terdapat pasal-pasal lain yang menjelaskan secara langsung tentang ketentuan jaminan, seperti ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata: Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang aka nada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.70 Maka dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa, semua barang debitur yang sudah ada (artinya telah ada saat perjanjian dibuat), dan semua barang yang akan ada (artinya ketika perjanjian tersebut dibuat, barang tersebut belum ada atau belum menjadi kepunyaan debitur, tetapi akan menjadi milik debitur), baik itu barang bergerak maupun tidak bergerak. Atas semua barang tersebut kreditur boleh mengambil setiap bagiannya untuk

68 69

Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 305. Kartini Muljadi, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotek, hlm. Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 284.

214.70

pelunasan hutang debitur, dan hak tagihan kreditur hanya dijamin dengan harta benda debitur saja, bukan dengan diri debitur tersebut.71 Di samping ketetapan-ketepan hukum tersebut, perbankan syariah

mengangkat surat Al-Baqarah ayat 283 sebagai landasan pembolehan pembebanan barang jaminan secara hukum Islam.72 Adapun bunyi Surat Al-Baqarah ayat 283:

.Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhan-nya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Ayat di atas menjelaskan tentang orang-orang yang sedang dalam perjalanan kemudian mereka melakukan transaksi, dalam ayat ini secara maknawi dapat dilihat bahwa transaksi yang dilakukan adalah transaksi non-tunai, artinya dalam bentuk utang. Apabila dalam kondisi tersebut tidak terdapat seorang penulis yang dapat mencatat transaksi yang terjadi, maka diperbolehkan adanya barang jaminan yang diserahkan oleh si berhutang kepada si pemiutang, dengan maksud bahwa barang jaminan tersebut sebagai pengganti penulisan dan barang tersebut merupakan sesuatu yang dapat dipegang. Sebagaimana yang menjadi pendapat Imam Syafii dan jumhur71

Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, (Yoyakarta: Penerbit ANDI, 2005), Helmi Haris, La_Riba. Jurnal Ekonomi Islam, Vol. I, No. I, Juli 2007, hlm. 124.

hlm. 55.72

ulama. Sebagian ulama Salaf menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa jaminan itu hanya disyariatkan dalam transaksi perjalanan saja.73 Kemudian, potongan ayat yang berbunyi:

...Artinya: Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (hutangnya)... Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dengan isnad jayid, dari Abu Said al-Khuduri, ia telah mengatakan bahwa ayat ini telah dinasakh oleh ayat sebelumnya. Di samping itu Imam asy-Syabi mengatakan: Jika kalian saling mempercayai, maka tidak ada dosa bagi kalian untuk tidak menulis dan tidak mengambil kesaksian.74 Selain itu, dalam ayat tersebut juga menjeaskan bahwa para saksi yang menyaksikan transaksi yang terjadi, tidak boleh menyembunyikan atau memalsukan kesaksiannya apabila sewaktu-waktu kesaksiannya dibutuhkan oleh pihak-pihak yang telah terikat perjanjian tersebut. Ibnu Abbas dan ulama lainnya mengatakan: Kesaksian palsu merupakan salah satu dosa besar yang paling besar, demikian juga menyembunyikannya.75 Dengan adanya ayat ini menjadi bukti bahwa adanya jaminan diperbolehkan dalam hukum Islam untuk menjamin kewajiban-kewajiban para pihak yang terlibatAbdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Syeikh, Lubaabu at- Tafsir Min Ibni Katsiir, hlm. 571.74 75 73

Ibid, hlm. 572. Ibid.

dalam permasalahan hutang. Ayat ini juga menjadi salah satu landasan hukum bagi perbankan syariah dalam menjalankan pembiayaan dengan menghadirkan barang jaminan. Keberadaan jaminan pada perbankan syariah ini juga didukung dengan adanya Fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000 yang menyebutkan Pada prinsipnya dalam pembiayaan (mudl rabah/musy rakah) tidak ada jaminan, namun agar nasabah debitur (mudlarib) tidak melakukan penyimpangan, maka pihak perbankan syariah atau LKS (Lembaga Keuangan Syariah) dapat meminta jaminan dari mudlarib atau pihak ketiga.76 Berdasarkan ketetapan-ketetapan hukum inilah jaminan pada pembiayaan dan kredit di perbankan dijalankan. Dengan merujuk kepada peraturan perundangan yang mencantumkan tentang peraturan jaminan dalam jenisnya masing-masing. Untuk jaminan pada perbankan syariah juga mengacu pada perundang-undangan yang sama, karena belum adanya ketetapan hukum khusus yang dapat mengatur tentang jaminan dalam konteks perbankan syariah. 3.2. Ketetapan Tentang Kebolehan Penggunaan Barang Jamian Milik Pihak Ketiga Dalam Perundang-Undangan Pengambilan pembiayaan pada perbankan syariah, atau kredit pada perbankan konvensional membutuhkan sebuah benda yang dapat dijadikan barang jaminan bagi pelunasan hutang nasabah pada bank. Namun barang jaminan yangDewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN-MUI BI, 2001), hlm. 44.76

diserahkan oleh pihak nasabah debitur tersebut tidak selalu milik pribadi, adakalanya barang jaminan merupakan milik orang lain yang dipinjamkan kepada nasabah debitur. Jaminan pihak ketiga merupakan jaminan perorangan, yaitu jaminan seorang pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajibab si debitur. Jaminan ini dapat dilakukan tanpa sepengetahuan debitur. Menurut Prof. Soebekti, oleh karena tuntutan kreditur terhadap seorang penjamin tidak diberikan suatu kedudukan istimewa dibandingkan atas tuntutan-tuntutan kreditur lainnya, maka jaminan perorangan ini tidak banyak dipraktekkan dalam dunia perbankan.77 Namun sesungguhnya, saat ini jaminan perorangan seperti ini menjadi suatu keadaan yang marak terjadi dalam pengambilan pembiayaan pada perbankan syariah, atau kredit pada perbankan konvensional. Dalam pemberian barang jaminan atas kepemilikan orang lain ini, si pemilik barang disebut penanggung hutang. Mengenai hal ini, undang-undang hukum positif telah mengatur mekanismenya dalam Pasal 1820-1850 KUH Perdata.78 Pengertian penanggungan sendiri tercantum dalam Pasal 1820 KUH Perdata: Penanggungan ialah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi

77 78

Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, hlm. 58. Ibid, hlm. 57.

perikatannya.79 Dari Pasal 1820 tersebut dapat dimengerti bahwa penanggungan merupakan perjanjian yang dilakukan pihak ketiga untuk memenuhi perikatan debitur demi kepentingan kreditur, dalam hal ini debitur tidak mampu memenuhi perikatan yang telah ia buat dengan kreditur. Hak jaminan yang diberikan kepada kreditur tersebut dapat diberikan oleh debitur sendiri maupun oleh pihak ketiga yang disebut juga penjamin atau penanggung. Penanggungan diberikan baik dengan sepengetahuan atau tanpa sepengetahuan debitur yang bersangkutan. Hak jaminan yang diberikan kepada kreditur dimaksudkan untuk keamanan dan kepentingan kreditur, maka diharuskan untuk diadakan suatu perikatan lain, dan perikatan ini bersifat accesoir dari perjanjian kredit atau pengakuan hutang yang diadakan antara debitur dengan kreditur.80 Hak ini meyebabkan penanggungan baru dapat dilakukan ketika adanya suatu perjanjian pokok, yaitu hutang piutang antara kreditur dan debitur, yang kemudian pemenuhan kewajiban debitur dialihkan kepada penanggung. Seseseorang dapat menjadi penanggung berdasarkan permintaan debitur, atau juga dapat dilakukan meski dengan tanpa permintaan debitur itu sendiri. Penjelasan tersebut berdasarkan isi Pasal 1823 KUH Perdata: Orang dapat mengangkat diri sebagai penanggung tanpa diminta oleh orang yang mengikatkan diri untuk suatu utang, bahkan juga dapat tanpa sepengetahuan orang itu. 81

79 80

Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 453. Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, hlm. 57.

Di samping itu, apabila penanggung terdiri dari banyak orang, maka mereka dapat membagi hutang tersebut untuk ditanggung secara bersama-sama. Dalam hal ini kreditur boleh membagi hutang yang harus ditanggung untuk masing-masing penanggung, dan keputusan tersebut tidak dapat ditarik kembali sekalipun kreditur mengetahui bahwa penanggung tersebut tidak mampu menanggung hutang sejak sebelum pembagian dilakukan. Hal ini menjadi konsekuensi hukum bagi penanggung itu sendiri. Penjelasan tersebut berlandaskan pada Pasal 1838 KUH Perdata: Jika kreditur sendiri secara sukarela telah membagi-bagi tuntutannya, maka ia tidak boleh menarik kembali pemisahan hutang itu, biarpun beberapa di antara para penanggung berada dalam keadaaan tidak mampu sebelum ia membagi-bagi hutang itu.82 Meskipun demikian, dalam aplikasi yang tertera pada Pasal 1831 KUH Perdata: Penanggung tidak wajib membayar kepada kreditur kecuali debitur lalai membayar hutangnya, dalam hal itupun barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi hutangnya.83 Pasal ini menjelaskan bahwa meskipun penanggung telah terikat perjanjian dengan kreditur untuk menanggung hutang debitur, namun bagi penanggung terdapat hak istimewa untuk tidak menanggung hutang debitur terlebih dahulu sebelum barang-barang milik debitur disita oleh kreditur. Kemudian disebutkan pada Pasal 1839 KUH Perdata:81 82 83

Niniek Suparni, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hlm. 453. Ibid, hlm. 456. Ibid, hlm. 453.

Penanggung yang telah membayar dapat menuntut apa yang telah dibayarnya itu dari debitur utama, tanpa memperhatikan apakah penanggungan itu diadakan dengan atau tanpa setahu debitur utama itu. Penuntutan kembali ini dapat dilakukan baik mengenai uang pokok maupun mengenai bunga serta biaya-biaya. Mengenai biaya-biaya tersebut, penanggung hanya dapat menuntutnyakembali sekedar dalam waktu yang dianggap patut ia telah menyampaikanpemberitahuan kepada debitur utama tentang tuntutan-tuntutan yang ditujukan kepadanya. Penanggung juga berhak menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga bila alasan untuk itu memang ada.84 Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa penanggung boleh menuntut kepada debitur untuk mengembalikan sejumlah tanggungan yang telah penanggung keluarkan, guna menyelesaikan hutang debitur. Dan hal ini juga menjadi bagian dari hak istimewa yang didapatkan oleh penanggung. Ketika penanggung menuntut dikembalikannya bayaran hutang oleh debitur, maka debitur harus mengembalikan tuntutan tersebut. Dan tuntutan ini menjadi ikatan hutang baru yang tejadi antara debitur dan penanggung. Karena usaha penanggungan ini merupakan suatu perikatan yang bersifat accesoir, maka penanggungan ini pun akan hilang ketika terselesaikannya perikatan pokok. Dalam hal ini, perikatan pokok yang terjadi adalah adanya perikatan hutang piutang antara kreditur dengan debitur. Atau, penanggungan juga akan hapus apabila kreditur menerima suatu barang sebagai bayaran utang pokok, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1849 KUH Perdata: Bila kreditur secara sukarela menerima suatu barang tak bergerak atau barang lain sebagai pembayaran hutang pokok, maka penanggung dibebaskan dari tanggungannya, sekalipun barang itu kemudian harus84

Ibid, hlm. 456.

diserahkan oleh kreditur kepada orang lain berdasarkan putusan hakim untuk kepentingan pembayaran hutang tersebut.85 Dengan demikian, permasalahan penanggungan hutang pada pembiayaan atau perkreditan dalam dunia perbankan merupakan sesuatu yang telah pasti aturan hukumnya. Maka pihak pemilik barang jaminan dalam permasalahan tersebut dapat diumpamakan sebagai penanggung dalam ketetapan hukum positif yang telah ada. Oleh sebab itu, meski dalam perbankan syariah permasalahan jaminan pihak ketiga belum diatur dalam ketetapan hukum tersendiri secara terperinci, maka segala persoalan yang terjadi yang berkaitan dengan jaminan pihak ketiga, kembali mengacu kepada ketetapan hukum positif yang telah ada. Sekalipun ketetapan hukum tersebut mengatur tentang penanggungan pihak ketiga terhadap perkara kredit. 3.3. Analisis Keberadaan Barang Jaminan Milik Pihak Ketiga Pada Pembiayaan Perbankan Syariah Dalam Tinjauan Pertanggungan Konsep Dlam n Pembiayaan pada perbankan syariah merupakan suatu produk yang menjadi cara bagi bank untuk dapat menyalurkan dana kepada masyarakat. Terdapat beragam produk pembiayaan yang ditawarkan oleh perbankan syariah, dan pembiayaanpembiayaan tersebut diakui oleh pihak perbankan syariah telah disesuaikan dengan landasan syariah Islam. Hal ini dapat dilihat dari jenis produk yang mereka tawarkan, seperti mudl rabah, mur bahah, musy rakah, dan lain sebagainya.

85

Ibid, hlm. 458.

Secara teoritis pihak perbankan telah mengakui bahwa produk pembiayaan yang mereka tawarkan telah berazaskan syariah yang sesungguhnya, namun dalam aplikasinya terdapat hal-hal yang dilakukan atau ditetapkan oleh pihak perbankan syariah yang berbeda dari konsep dasar produk-produk tersebut. Jaminan sendiri menjadi bagian tambahan yang tidak terdapat dalam konsep dasar produk-produk tersebut. Misalnya saja pada produk mur bahah, yang merupakan suatu akad jual beli di mana harga penjualan barang yang dijual sebesar harga pokok barang tersebut ditambah dengan keuntungan yang disepakati.86 Pembayaran dalam jual beli mur bahah ini dapat dilakukan baik secara tunai maupun cicilan, dan tidak disyaratkan adanya barang jaminan adalam jual beli ini selama pembeli belum menyelesaikan pembayarannya. Namun dalam aplikasinya pada perbankan syariah, pihak bank menetapkan adanya barang jaminan yang disediakan oleh nasabah untuk kemudian diserahkan kepada bank sebagai jaminan bagi bank selama nasabah belum menyelesaikan pembayarannya. Penggunaan jaminan pada pembiaayan ini dimaksudkan sebagai langkah antisipasi resiko buruk yang mungkin akan dihadapi pihak bank. Bank bisa saja meminta jaminan tambahan sebelum memasuki transaksi mur bahah. Dalam beberapa kasus, subjek yang menjadi garapan mur bahah itu sendiri dapat diterima

86

Adimarwan Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan , hlm. 113.

sebagai jaminan.87 Hal ini berarti barang yang diperjualbelikan dalam mur bahah ini yang dijadikan barang jaminan. Akan tetapi terdapat pula praktik bahwa nasabah memberi jaminan lain berupa barang milik pribadinya maupun milik orang lain. Dalam hal barang jaminan tersebut milik orang lain, maka pemilik barang menjadi terlibat dalam perjanjian yang dilakukan oleh nasabah dan pihak bank, dan secara tidak langsung pemilik barang jaminan menjadi penanggung bagi hutang nasabah terhadap bank. Mengenai hal ini, perbankan syariah menjalankan prosedur berkenaan dengan barang jaminan milik orang lain, berlandaskan kepada hukum positif Indonesia yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Walaupun peraturan perundangan-undangan tersebut belum tentu sesuai dengan ketetapan hukum Islam, namun dikarenakan terbatasnya ketetapan hukum yang mengatur terperinci berkaitan dengan perbankan syariah ini, maka tak ada pilihan lain untuk tak mengacu kepada hukum positif. Sedangkan keputusan DSN (Dewan Syariah Nasional) yang berkaitan dengan permasalahan jaminan pihak ketiga ini belum ditetapkan secara terperinci pula. Hal ini terbukti dari belum ditemukannya kajian yang menyebutkan tentang keputusan DSN yang mengatur permasalahan jaminan pihak ketiga. Permasalahan barang jaminan yang diatur dalam Keputusan Dewan Syariah Nasional (DSN) tercantun dalam butir ke empat Fatwa DSN MUI No. 04/DSNMUI/IV/2000 Tentang Mur bahah:

Zamir Iqbal, & Abbas Mirakhor, Pengantar keuangan Islam: Teori dan Praktik, (Jakarta:Prenada Media Group, 2008), hlm. 291.

87

1. Jaminan dalam mur bahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya. 2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.88 Berdasarkan fatwa DSN tersebut dapat dilihat bahwa DSN membolehkan adanya jaminan dalam pembiayaan mur baah dengan tujuan agar nasabah serius dalam menjalankan kewajibannya terhadap bank, dan pihak perbankan pun dapat meminta jaminan tersebut kepa