kecernaan bahan kering

6

Click here to load reader

Upload: penyabu

Post on 12-Aug-2015

82 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

Page 1: Kecernaan Bahan Kering

Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak, Vol 6 (2) : 2007 ISSN 1411-4577

KECERNAAN BAHAN KERING IN VITRO, PROPORSI MOLAR ASAM LEMAK TERBANG DAN PRODUKSI GAS PADA KULIT KAKAO,

BIJI KAPUK, KULIT MARKISA DAN BIJI MARKISA

The in vitro Dry Matter Digestibility, Molar Proportion of Volatile fatty acid, and gas production of cacao pods, kapuk seed, marquisa pods

and marquisa seeds

A.Mujnisa

Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar – 90245

ABSTRAK

Suatu penelitian telah dilakukan untuk menentukan kecernaan bahan kering, proporsi molar asam lemak terbang dan produksi gas kulit coklat, biji kapuk, kulit markisa dan biji markisa dengan menggunakan metode in vitro CBC. Penelitian dirancang berdasarkan rancangan acak lengkap, dimana perlakuan terdiri dari : S1 = Kulit coklat ;S2 = biji kapuk ;S3 = kulit markisa ; dan S4 = biji markisa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa degradasi dan fermentasi mikroorganisme rumen pada kulit markisa lebih baik dari pada biji kapuk, kulit markisa dan biji markisa. Ini terlihat pada kecernaan bahan kering in vitro kulit markisa yang tinggi dan cenderung naik selama inkubasi meskipun proporsi molar asam lemak terbang tidak berpengaruh nyata. Kata Kunci: Kecernaan Bahan Kering, Asam Lemak Terbang, Produksi Gas, In

Vitro

ABSTRACT

An experiment was conducted to determine in vitro dry matter digestibility, Volatil fatty acids, and gas production of cacao pods, kapuk seed, marquisa pods, marquisa seeds. The invitro CBC method was used in the experiment was arranged according to completely randomised design. The tretments were S1 = cacao pods; S2= kapuk seed; S3= marquisa pods; S4= marquisa seeds. The result of this experiment indicated that rumen microorganism degradation and fermentation on marquisa pods are better compared to cacao pods, kapuk seed, and marquisa seeds. This is shown by the fact that in vitro dry matter digestibility of marquisa pods is affected the highest and than other matterials and tends to increase during the incubation. Nevertheless the increase in the proportions of volatile fatty acids are not significant. Key Words: Dry Matter Digestion, Volatile Fatty Acid, Gas Production, In Vitro ___________________________________________________________________

31

Page 2: Kecernaan Bahan Kering

A.Mujinisa ISSN 1411-4577

PENDAHULUAN

Pemanfaatan limbah hasil perkebunan atau limbah agroindustri mempunyai fungsi ganda selain menanggulangi pencemaran lingkungan juga sebagai sumber makanan berserat bagi ternak ruminansia. Efektif tidaknya pemanfaatan suatu limbah faktor penentu utamanya adalah ketersediaan, harga dan nilai gizinya.

Limbah hasil perkebunan seperti kulit coklat,kulit dan biji markisa, dan biji kapuk pada umumnya potensial dijadikan sebagai pakan ternak ruminansia di sulawesi selatan karena selain tersedia cukup banyak, dilihat dari kandungan zat gizinya cukup baik, untuk biji kapuk mengandung protein kasar 27,3%, kulit markisa mengandung protein kasar 8,2% dan BETN 38,67%, sedangkan biji markisa mengandung zat putih telur 12,7%. Namun limbah ini mempunyai kandungan serat kasar dan lignin yang tinggi yang dapat menurunkan nilai nutrisinya.

Untuk mengetahui sejauh mana limbah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak khususnya ternak ruminansia maka dianggap perlu untuk melakukan penelitian untuk mengetahui kemampuan degradasi dan fermentasi mikroba rumen terhadap limbah tersebut dengan melihat kecernaan bahan keringnya, proporsi molar asam lemak terbang dan produksi gas.

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode in vitro CBC (Consecutive Batch Culture). Dengan menginkubasi sampel pakan dengan cairan rumen selama 6 tahap inkubasi. Cairan rumen diperoleh dari domba fistula.

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (Steel and Torrie, 1990), yang terdiri dari empat perlakuan (sampel pakan) dan empat ulangan. Perlakuan dalam penelitian ini adalah berbagai sampel pakan yang terdiri dari :

S1 = Kulit coklat S2 = biji kapuk S3 = kulit markisa S4 = biji markisa Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah kecernaan bahan kering,

proporsi molar asam lemak terbang dan produksi gas. Analisa kandungan nutrisi sampel pakan dengan menggunakan analisa proksimat (AOAC, 1990) dan analisa van soest (Goering dan Van Soest, 1970), sedangkan metode CBC sesuai yang dikembangkan oleh Gascoyne (1986). Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan pengaruh nyatqa perlakuan diuji lanjut dengan uji BNT (Steel and Torrie, 1990).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisa proksimat, analisa Van Soest dan analisa kandungan tanin kulit coklat, biji kapuk, kulit markisa, dan biji markisa dapat dilihat pada Tabel 1.

32

Page 3: Kecernaan Bahan Kering

Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak, Vol 6 (2) : 2007 ISSN 1411-4577

Tabel 1. Komposisi kimia (%) kulit coklat, biji kapuk, kulit markisa dan biji markisa.

Komponen (S1) (S2) (S3) (S4)

Bahan Kering 87.28 83.4 90.73 92.74

Protein Kasar 13.78 24.77 7.91 12.99 Lemak Kasar 0.98 22.53 2.59 27.35 Serat Kasar 41.45 28.61 37.72 46.87 BETN 30.95 14.55 44.1 11.55 Abu 12.84 9.54 7.68 1.25 Ca 0.74 1.0 0.66 1.49 Phospor 2.74 2.19 0.19 0.73 ADF 50.77 32.44 37.98 46.05 NDF 71.05 55.70 55.95 58.41 Hemiselulosa 20.28 23.24 17.97 12.36 Selulosa 26.33 21.83 18.68 39.98 Lignin 23.65 10.37 28.19 21.65 Tanin 0.84 0.46 1.25 0.62

Keterangan : BETN = bahan ekstrak tanpa N, ADF = acid detergent insoluble fiber. NDF = neutral detergent insoluble fiber.

Variasi komposisi zat makanan diantara sampel pakan dapat menyebabkan

perbedaan kemampuan mikroorganisme rumen untuk mendegradasi pakan tersebut. Kemampuan degradasi mikroba rumen terhadap kelima sampel pakan tersebut diatas dapat dilihat dari rata-rata kecernaan bahan kering in vitro (Tabel 2). Tabel 2. Kecernaan bahan kering in vitro dari perlakuan S1-S4

Perlakuan Inkubasi S1 S2 S3 S4

1 25,8 30.5 42.5 36.2

2 23,1 30.8 38.4 38.7

3 25,1 29.4 39.3 28.3

4 24,1 31.0 46.3 28.7

5 26,8 31.9 49.8 28.6

6 19,4 30.9 49.9 25.7

Rataan 24,05a 30,62b 44.37c 31.03b Keterangan : * Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,01).

33

Page 4: Kecernaan Bahan Kering

A.Mujinisa ISSN 1411-4577

Hasil Uji BNT menunjukkan kecernaan bahan kering in vitro kulit coklat

berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih rendah dibanding kecernaan bahan kering in vitro biji kapuk, kulit markisa, dan biji markisa. Sedangkan kecernaan bahan kering antara biji kapuk dan biji markisa tidak berbeda nyata (P> 0,05). kecernaan bahan kering kulit markiasa berbeda sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya.

Tingginya kecernaan bahan kering in vitro kulit markisa dibanding pakan lainnya (Tabel 2) memberikan indikasi bahwa jenis pakan ini lebih cepat didegradasi dan difermentasi oleh mikroorganisme rumen. Hal ini dimungkinkan karena tingginya kandungan BETN yang merupakan karbohidrat mudah larut yang paling cepat dicerna dan dimetabolisme, dan hampir dapat dimanfaatkan secara sempurna serta merupakan sumber energi yang mudah tersedia bagi mikroorganisme rumen untuk mencerna fraksi serat.

Pada Tabel 2 juga terlihat rata-rata kecernaan bahan kering in vitro kulit coklat selama inkubasi lebih rendah dibanding kecernaan bahan kering in vitro pakan lainnya dan ditandai dengan penurunan kecernaan bahan kering selama tahap inkubasi. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena kulit coklat mengandung serat kasar dan lignin yang tinggi yang dapat menjadi faktor pembatas utama bagi mikroorganisme rumen untuk mencerna pakan tersebut. Lignin dapat membentuk senyawa kompleks dengan selulosa dan hemiselulosa yang sulit ditembus oleh enzim mikroba sehingga menghambat kecernaan dinding sel yang dapat menurunkan kecernaan isi sel (Goering dan Van Soest, 1970).

Meskipun rata-rata kecernaan bahan kering in vitro kulit markisa selama tahap inkubasi tertinggi dibanding pakan lainnya, namun terlihat kecernaan bahan kering cenderung menurun sejalan dengan peningkatan tahap inkubasi, meskipun penurunan ini tidak sebesar yang terjadi pada kecernaan bahan kering in vitro biji markisa. Penurunan ini kemungkinan besar disebabkan tingginya kandungan lignin yang secara perlahan-lahan menghambat aktivitas mikroba rumen dalam mencerna pakan tersebut. Berbeda dengan kulit markisa meskipun mengandung tanin tetapi kecernaan bahan kering in vitro selama tahap inkubasi cenderung meningkat, hal ini mengindikasikan bahwa mikroba rumen mampu beradaptasi terhadap pakan tersebut walaupun mengandung zat antinutrisi tanin.

Kecernaan bahan kering in vitro biji markisa juga cenderung menurun selama tahap inkubasi, hal ini disebabkan kandungan serat kasar yang tinggi disertai kandungan BETN yang sangat rendah dan kandungan lemak yang sangat tinggi. Menurut Palmquist dan Jenkins (1980) kandungan lemak yang tinggi dapat mengurangi pencernaan serat kasar karena lemak dapat menutupi permukaan pakan berserat, beracun bagi sebagian mikroorganisme rumen, mempengaruhi permukaan aktif dari membran mikroba dan ketersediaan kation karena terjadi pembentukan sabun, sehingga mempengaruhi pH rumen yang mempengaruhi kehidupan dan aktivitas mikroorganisme rumen.

Pada Tabel 2 juga terlihat kecernaan bahan kering in vitro biji kapuk cenderung naik selama tahap inkubasi meskipun kenaikannya tidak sebesar kecernaan bahan kering in vitro kulit markisa, hal ini disebabkan karena kandungan lemak yang tinggi pada biji kapuk kandungan serat kasar dan lignin yang rendah serta kandungan protein yang sangat tinggi sehingga mikroorganisme rumen mampu beradaptasi terhadap kondisi tersebut. Menurut Siregar (1994),

34

Page 5: Kecernaan Bahan Kering

Buletin Nutrisi dan Makanan Ternak, Vol 6 (2) : 2007 ISSN 1411-4577

pakan yang mengandung cukup protein mampu meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme rumen yang akhirnya dapat meningkatkan kecernaan pakan.

Hasil pengukuran proporsi molar asam lemak terbang pada supernatan kulit coklat, biji kapuk, kulit markisa, dan biji markisa yang diinkubasi dengan cairan rumen dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Proporsi Molar (%) Asam Lemak terbang pada Supernatan S1-S4 yang

diinkubasi dengan Cairan rumen.

Pakan Asetat Propanat Butirat

Kulit Coklat (S1) 41,5a 34,1b 25,1c

Biji kapuk (S2) 42,8a 32,5b 24,5c

Kulit markisa (S3) 45,5a 35,1b 19,3c

Biji markisa (S4) 46,2a 31,3b 22,2c

Keterangan ; Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05).

Berdasarkan hasil Uji BNT menunjukkan proporsi molar asetat, propionat, dan butirat dari setiap supernatan tidak berbeda nyata (P>0,05), dan rata-rata perbandingan asetat, propionat, dan butirat masing-masing 40 : 30 : 20 untuk setiap pakan.

Disamping pengukuran bahan kering dan asam lemak terbang, sebagai tambahan informasi dilakukan pengukuran produksi gas pada setiap tahap inkubasi.

Tabel 4. Produksi gas (m1/70 mg) S1-S5 yang diinkubasi dengan cairan rumen

PerlakuanInkubasi

SI S2 S3 S4 1 2.05 2.25 3.80 1.80 2 2.02 2.95 4.00 3.07 3 2.85 3.22 3.90 3.25 4 2.97 3.57 4.45 2.50 5 3.25 3.57 5.30 4.15 6 3.25 3.67 5.52 4.25

Rataan 2.79a 3.20a 4.48b 3.17a Keterangan : Huruf yang berbeda pada bans yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata

(P<0,01)

Berdasarkan hasil Uji BNT terlihat produksi gas kulit markisa nyata lebih tinggi (P< 0,01) dibanding produksi gas pakan lainnya, ini menandakan bahwa pakan ini lebih cepat difermentasi oleh mikroorganisme rumen terlihat dengan rata-rata kecernaan bahan kering keduanya lebih tinggi dibanding pakan lainnya (Tabel 2) selama tahap inkubasi.

Namun demikian, bila dilihat dari grafik hubungan antara produksi gas pada tiap tahap inkubasi setiap perlakuan, rata-rata produksi gas bervariasi (Gambar1), hal tersebut dapat disebabkan karena jumlah produksi gas dapat pula dipengaruhi oleh mikroorganisme rumen yang mati atau lisis atau dari material kapsular

35

Page 6: Kecernaan Bahan Kering

A.Mujinisa ISSN 1411-4577

(khususnya karbohidrat) yang akan terfermentasi kembali menghasilkan VFA dan gas.

0

1

2

3

4

5

6

1 2 3 4 5 6

Inkubator

Prod

uksi

Gas

10

ml/7

5 m

g)

S1S2S3S4

Keterangan : S1 = kulit coklat, ,S2= biji kapuk, S3= kulit markisa, S4 = biji markisa.

Gambar 1. Grafik produksi gas S1 – S4 yang diinkubasi dengan cairan rumen.

KESIMPULAN

Degradasi, fermentasi dan adaptasi mikroorganisme rumen pada kulit markisa lebih baik dibanding dengan biji kapuk, kulit coklat dan biji markisa yang ditandai dengan kecernaan bahan kering yang tinggi dan produksi gas yang tinggi meskipun proporsi molar asam lemak terbang tidak berpengaruh nyata.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1990. Official Methods of Analysis. 15th ed. Association of Official Analytical Chemists, Washington, DC., USA.

Goering, H.K., and P.J. Van Soest. 1970. Forage Fibre Analysis (Apparatus, reagents,

procedures, and some application). Agric. handbook 379, ARS., USDA., Washington, DC., USA.

Palmquist, D.L. and T.C.Jenkins. 1980. Effect of Fat acid or Calcium Soap on

Rumen and Total nutrient digestibility of dairy rations, J. Dairy Sci. Siregar. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta Steel, R.G.D. and J.H.Torrie. 1980. Principle and Procedures of Statistic; A

Biometrical Approach. McGraw Hill Book Co., New York.

36