kecamatan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah i
TRANSCRIPT
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah i
KECAMATAN Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah
ii Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Undang-undang No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Pasal 72
1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal
ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling sedikit 1
(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan
atau barang hasil pelangaran hak cipta terkait sebagai
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah iii
KECAMATAN Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah
Penulis:
Dr. Arif Nugroho, M.AP.
PENERBIT:
CV. AA. RIZKY
2020
iv Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
KECAMATAN Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah
© Penerbit CV. AA RIZKY
Penulis:
Dr. Arif Nugroho, M.AP.
Editor:
Dr. Delly Maulana, MPA.
Desain Sampul dan Tata Letak:
Tim Kreasi CV. AA. RIZKY
Cetakan Pertama, September 2020
Penerbit:
CV. AA. RIZKY
Jl. Raya Ciruas Petir, Puri Citra Blok B2 No. 34
Kecamatan Walantaka, Kota Serang - Banten, 42183
Hp. 0819-06050622, Website : www.aarizky.com
E-mail: [email protected]
Anggota IKAPI No. 035/BANTEN/2019
ISBN : 978-623-6506-36-3 xiv + 282 hlm, 23 cm x 15,5 cm
Copyright © 2020 CV. AA. RIZKY
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak buku ini dalam bentuk dan dengan cara
apapun tanpa ijin tertulis dari penulis dan penerbit.
Isi diluar tanggungjawab Penerbit
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah v
KATA PENGANTAR
Pergeseran sistem pemerintahan daerah di Indonesia dari
sentralistik menjadi desentralisasi sebagai bagian dari perjalanan
reformasi pada pertengahan tahun 1998 dengan diberlakukannya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah dan Pemerintahan
Daerah. Dalam perjalanannya, sistem desentralisasi telah terjadi
dua kali perubahan perundang-undangan tentang Pemerintahan
Daerah, yaitu dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan
terakhir dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah bahwa tujuan dari penerapan
kebijakan desentralisasi diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
kualitas pelayanan publik, pemberdayaan, dan mendorong
partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di
pemerintahan daerah, serta peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan kondisi tersebut akan memberikan konsekuensi bagi
pemerintahan daerah dengan berbagai kewenangannya untuk
dapat menjalankan berbagai urusan publik yang tujuan akhirnya
adalah meningkatkan pelayanan publik dan mensejahterakan
masyarakat.
Tentu kondisi tersebut juga memberikan konsekuensi bagi
pemerintah daerah untuk melakukan kembali penataan
kelembagaan Kecamatan sebagai bagian dari integral
pemerintahan daerah di Indonesia. Buku ini menyajikan secara
komprehensif tentang beberapa hal, seperti persoalan penataan
kecamatan sebagai “warung pelayanan publik” dirasa belum
maksimal, karena belum akomodatifnya wewenang yang
dilimpahkan Bupati kepada camat. Selain itu, kurang terpenuhinya
kecukupan kelembagaan secara proporsional disinyalir dapat
mengganggu proses penyelenggaraan pemerintahan, khususnya di
Kecamatan.
vi Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Kemudian, penulis buku ini juga menggambarkan dan
menganalisis secara komprehensif tentang pelimpahan wewenang
Bupati kepada Camat, serta proses penyelenggaraan
kewenangannya, pengaturan batas-batas wewenangnya, termasuk
faktor pendukung dan penghambatnya (aspek politis, ekonomi,
budaya, dan sosial). Penelitian ini dilakukan di Kabupaten
Pandeglang dan menghasilkan beberapa temuan yang dibahas
dalam buku ini, yakni : Pertama, pelimpahan wewenang Bupati
kepada camat harus mempertimbangkan karakteristik, kebutuhan
penguatan pelayanan dan keberadaan program nasional pada
wilayah kecamatan, mewajibkan camat untuk kreatif dan inovatif;
Kedua, diperlukannya kepastian atas terpenuhinya kecukupan
kelembagaan yang didasarkan pada komitmen dari Bupati; dan
Ketiga, perlu adanya intensitas monitoring dan evaluasi kinerja
kewenangan camat secara konsisten. Dengan terpenuhinya aspek-
aspek tersebut, maka kewenangan camat akan terselenggara fungsi
kecamatan sebagai “warungnya peleyanan publik” akan berjalan
secara efektif.
Serang, September 2020
Kaki Gunung Sayar
Editor
Dr. Delly Maulana, MPA.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah vii
PRAKATA
Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan segala rahmatnya atas terbitnya
buku dengan judul Kecamatan Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah. Tujuan yang diharapkan secara teoritis,
bahasan dalam buku ini akan berguna dalam pengembangan teori
ilmu administrasi publik yaitu konsepsi tentang pemerintahan
daerah serta decentralization within cities. Di samping itu juga
secara khususnya teori yang berkaitan dengan pengembangan teori
tentang pelimpahan kewenangan kepada perangkat daerah otonom
maupun perangkat wilayah administrasi yang meliputi batasan
konseptual tentang pengaturan kewenangan serta elemen
kecukupan kelembagaan lainya. Secara praktis, temuan – temuan
yang dituangkan dalam buku ini dapat dipergunakan sebagai
alternatif konsep dan input bagi pengambil kebijakan pengaturan
Kecamatan dan atau kewenangan camat dalam penyelengaraan
pemerintahan daerah.
Penulis menyadari bahwa buku ini bukanlah sebuah karya
yang sempurna. Sehingga masih membutuhkan kritik dan
masukan yang sifatnya membangun dari berbagai pihak yang
berkompeten. Akhirnya, penulis menyampaikan permohonan maaf
atas segala kekurangan yang mungkin ada dalam buku ini, dan
semoga bermanfaat sebagai pembelajaran bagi kita semua,
khususnya bagi penulis sendiri.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu baik
dalam hal penyediaan bahan materi, diskusi, dorongan moril atau
hal - hal lain dalam melahirkan buku ini. Demikian penulis
ucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Ilmu Sosial, Ilmu
Politik dan Ilmu Hukum, Universitas Serang Raya, Bapak Dr.
Delly Maulana, M.PA yang berkenan untuk menjadi Editor serta
Pimpinan dan Karyawan CV. AA Rizky, atas kepercayaan serta
jerih payahnya dalam penerbitan buku ini.
Serang, September 2020
Penulis,
Dr. Arif Nugroho., M.AP.
viii Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................ v
PRAKATA ............................................................................. vii
DAFTAR ISI .......................................................................... viii
DAFTAR TABEL .................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ............................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN .............................................. 1
A. Problematika Kecamatan dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ........ 1
B. Ruang Lingkup ............................................. 17
BAB II DESENTRALISASI ........................................... 23
A. Pengertian Desentralisasi .............................. 23
B. Pendekatan Konsep Desentralisasi ............... 26
C. Tipologi Desentralisasi ................................. 27
D. Elemen dan Model Desentralisasi ................. 29
E. Dekonsentrasi ............................................... 32
BAB III OTONOMI DAERAH ........................................ 37
A. Pengertian Otonomi Daerah ......................... 37
B. Prinsip Otonomi Daerah ............................... 37
C. Tujuan Otonomi Daerah ............................... 39
BAB IV PEMERINTAH DAERAH ................................. 41
A. Pengertian Pemerintah Daerah...................... 41
B. Macam-macam Pemerintah Daerah .............. 44
C. Pola Pemerintahan Daerah ............................ 45
D. Konsepsi Pemerintahan Daerah .................... 46
E. Struktur Organisasi Pemerintah Daerah ........ 49
BAB V DESENTRALISASI DI DALAM
KABUPATEN/KOTA (DECENTRALI-ZATION
WITHIN CITIES) ................................................ 53
BAB VI WEWENANG DAN REFORMASI
ADMINISTRASI ................................................ 61
A. Pendelegasian Wewenang ............................ 61
B. Reformasi Administrasi ................................ 62
BAB VII DISTRICT/SUB-DISTRICT DAN DISTRICT/
SUB-DISTRICT MANAGEMENT ..................... 65
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ix
BAB VIII ANALISIS SETING SOSIAL ............................ 73
A. Kelembagaan Kecamatan pada Masa
Pemerintah Hindia Belanda .......................... 73
B. Kelembagaan Kecamatan Pada Masa
Pendudukan Jepang ...................................... 74
C. Kelembagaan Kecamatan Pada Masa Orde
Lama (Pasca Kemerdekaan) ......................... 74
D. Kelembagaan Kecamatan Pada Masa Orde
Baru .............................................................. 75
E. Kelembagaan Kecamatan di Era Reformasi . 80
F. Ikhtisar Masa Orde Lama Hingga Reformasi 82
G. Kecamatan sebagai Organisasi dan Kontrol
terhadap Sumberdaya ................................... 83
H. Kecamatan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014.................................. 86
BAB IX DATA DAN TEMUAN RISET .......................... 87
A. Pelimpahan Wewenang Bupati Kepada
Camat Serta Penyelenggaraan Kewenangan
Camat ........................................................... 87
B. Pengaturan Batas-Batas Wewenang yang
Dilimpahkan Bupati Kepada Camat dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Berdasarkan Peraturan Perundang-
Undangan yang Berlaku ............................... 198
C. Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat
Pelimpahan Kewenangan Bupati kepada
Camat serta Penyelenggaraan Kewenangan
Camat ........................................................... 250
BAB IX PENUTUP .......................................................... 263
DAFTAR PUSTAKA ............................................................ 266
TENTANG PENULIS ........................................................... 278
x Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbedaan Desentralisasi dan Dekonsentrasi...... 34
Tabel 8.1 Perubahan Kelembagaan Kecamatan dan Pilar
Penopang............................................................ 82
Tabel 8.2 Matriks Peran Kelembagaan Kecamatan
sebagai Organisai dan Kontrol terhadap
Sumberdaya dalam Era Reformasi ..................... 84
Tabel 9.1 Target Capaian dan Realisasi Kegiatan Prioritas
Tahun 2017 ........................................................ 99
Tabel 9.2 Kewenangan Bidang Pendidikan........................ 103
Tabel 9.3 Kewenangan Bidang Pekerjaan Umum .............. 106
Tabel 9.4 Kewenangan Bidang Pariwisata ......................... 110
Tabel 9.5 Standar Pelayanan Permohonan Kartu Keluarga 123
Tabel 9.6 Rumusan Rencana Program dan Kegiatan
Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa Kecamatan Panimbang Tahun 2017 dan
Prakiraan Maju Tahun 2018 ............................... 136
Tabel 9.7 Laporan Pelaksanaan Anggaran Dana Desa TA
2016 ................................................................... 146
Tabel 9.8 Hasil Kegiatan Dana Desa TA 2016 .................. 147
Tabel 9.9 Lembar Kerangka Logis Kegiatan Program
Optimalisasi Peningkatan Pendapatan Daerah ... 164
Tabel 9.10 Kewenangan Bidang Kesatuan Bangsa dan
Politik Dalam Negeri ......................................... 189
Tabel 9.11 Kecamatan dan Kelurahan ................................. 207
Tabel 9.12 Pagu Musrenbang Kecamatan tahun 2019 ......... 220
Tabel 9.13 Skor Urusan Kabupaten Pandeglang .................. 223
Tabel 9.14 Variabel Umum .................................................. 225
Tabel 9.15 Variabel Teknis .................................................. 225
Tabel 9.16 Jumlah Perangkat Daerah ................................... 226
Tabel 9.17 Indikator Kinerja Utama Tahun 2016-2021 ....... 230
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kecamatan Berdasarkan UU No 23 Tahun
2014................................................................. 11
Gambar 1.2 Prasyarat Kecukupan Kelembagaan
Kecamatan dalam Menjalankan Fungsinya ..... 21
Gambar 4.1 The Five Basic Parts of Organizations
Sumber Mintzberg ........................................... 49
Gambar 8.1 Posisi Kecamatan Secara Hierarkhis dalam
Kerangka Sentralistik ...................................... 79
Gambar 8.2 Posisi Kecamatan Dalam Kerangka
Desentralisasi .................................................. 89
Gambar 9.1 Kegiatan Monitoring Pembangunan Jalan
Lingkungan Kampung Pasir Angin, kelurahan
Pagerbatu ......................................................... 108
Gambar 9.2 Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan
Program PISEW .............................................. 109
Gambar 9.3 Kondisi Eksisting Pelimpahan dan
Penyelenggaraan Kewenangan Camat/
Kecamatan ....................................................... 115
Gambar 9.4 Mekanisme Pelayanan Administrasi Terpadu
Kecamatan ....................................................... 122
Gambar 9.5 Alur Pelaksanaan Kebijakan PATEN .............. 127
Gambar 9.6 Kondisi Eksisting Pelaksanaan Kewenangan
IMB dibawah 100 Meter ................................. 129
Gambar 9.7 Landasan Camat/Kecamatan Dalam
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Desa .......................................... 133
Gambar 9.8 Taman Baca Masyarakat ................................. 138
Gambar 9.9 Pembangunan Cor Rabat Beton ....................... 138
Gambar 9.10 Papan Informasi Kegiatan Pemeliharaan Jalan
Desa................................................................. 139
Gambar 9.11 Papan Informasi Kegiatan Pembangunan
Taman Baca Masyarakat ................................. 139
Gambar 9.12 Kekuasaan Kepala Desa Dalam Tata Kelola
Keuangan Desa ................................................ 141
Gambar 9.13 Mekanisme Pengendalian Pengelolaan Dana
Desa................................................................. 142
xii Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Gambar 9.14 Kondisi Eksisting Pembinaan dan
Pengawasan Kecamatan Pada
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di
Kabupaten Pandeglang .................................... 150
Gambar 9.15 Pelaporan Kinerja Penyelenggaraan
Kewenangan Camat/Kecamatan Pada Bupati .. 152
Gambar 9.16 Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan
Kewenangan Camat/ Kecamatan ..................... 153
Gambar 9.17 Ucapan Selamat Datang di Kota Wisata
Pandeglang ...................................................... 158
Gambar 9.18 Kondisi Eksisting Pelaksanaan Pelaporan dan
Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan
Kewenangan Camat/Kecamatan ...................... 173
Gambar 9.19 Arah Kebijakan Pelaksanaan Urusan
Pemerintahan Umum ....................................... 176
Gambar 9.20 Kondisi Eksisting Kebijakan Penyelenggaraan
Pemerintahan Umum ....................................... 184
Gambar 9.21 Razia Penjualan Minuman Keras (Miras)
Sekitar Kawasan Wisata Tanjung Lesung. ...... 187
Gambar 9.22 Pembinaan dan Pembagian Insentif RT RW,
dan LINMAS Kelurahan di Kecamatan
Majasari ........................................................... 190
Gambar 9.23 Unjuk Rasa Tolak Pendirian Perusahaan Air ... 194
Gambar 9.24 Ulama dan Santri Doakan Investasi
Perusahaan Batal ............................................. 194
Gambar 9.25 Acara Tausyiah Kebangsaan di Pondok
Pesantren Nurul Mursyidah ............................. 196
Gambar 9.26 Pola Kelurahan Sebagai Perangkat Kecamatan 210
Gambar 9.27 Kegiatan Musrenbag Kecamatan Pandeglang
2018 ................................................................. 219
Gambar 9.28 Anatomi Urusan Pemerintahan ........................ 221
Gambar 9.29 Bagan Struktur Organisasi Kecamatan ............ 229
Gambar 9.30 Paket Pelayanan Dasar Bagi Masyarakat
Kurang Mampu ............................................... 233
Gambar 9.31 Perluasan Pelayanan Dasar .............................. 238
Gambar 9.32 Pembangunan Pendidikan................................ 239
Gambar 9.33 Pembangunan Kesehatan Penguatan Promotif
dan Preventif “Gerakan Masyarakat Sehat” ..... 240
Gambar 9.34 Pembangunan Peumahan dan Pemukiman ...... 241
Gambar 9.35 Pembangunan Perumahan Dan Pemukiman
Fasilitasi Penyediaan Hunian Baru dan
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah xiii
Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU)
Pendukung ....................................................... 241
Gambar 9.36 Prioritas dan Sasaran Pembangunan Nasional
2017................................................................. 246
xiv Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Problematika Kecamatan dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah
Pengaturan kebijakan di lingkup pemerintah daerah adalah
keniscayaan dan hal itu merupakan proses yang dinamis dalam
rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
efektif. Seiring dengan diberlakukanya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang membawa
pemerintah Provinsi hingga Kabupaten/Kota selain memiliki
kewenangan atas urusan sebagai daerah otonom, juga memiliki
kewenangan atas urusan pemerintah pusat sebagai wilayah
administrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan umum. Dengan
itu secara otomatis berkonsekuensi pada keharusan pemerintah
daerah melakukan pengaturan kembali terhadap perangkat aturan
di daerah seperti Peraturan daerah dan peraturan kepala daerah
(Kepala daerah otonom serta Kepala wilayah) dalam
penyelenggaraan urusan sebagai daerah otonom maupun sebagai
wilayah penyelenggaraan urusan pemerintah pusat, guna
membangun postur kebijakan yang akomodatif terhadap amanat
peraturan perundang undangan yang berlaku. Dalam hal
pengaturan kelembagaan perangkat daerah dan wilayah
administrasi yang meliputi kewenangan, struktur organisasi
dengan pertimbangan faktor eksternalitasnya, dapat dikatakan
urgen untuk dilakukan, ketika dipandang terdapat aspek-aspek
yang perlu diakomodir dan terlebih jika tidak diakomodir akan
berimplikasi pada munculnya inefektifitas penyelenggaraan
organisasi, khususnya pada masa-masa transisi seperti saat ini,
atas pemberlakuan Undang-Undang 23 Tahun 2014, yang mana
sebelumnya pada Undang Undang 32 Tahun 2004 pemerintah
Kabupaten/Kota murni sebagai daerah otonom, maka
perangkatnya adalah perangkat daerah, sedangkan saat ini
perangkat daerah memiliki fungsi ganda yaitu sebagai perangkat
daerah dan perangkat wilayah administrasi, seperti halnya
kecamatan yang secara eksplist telah disebutkan dalam undang-
undang Nomor 23 Tahun 2014. Perlu diketahui bahwa perangkat
daerah adalah pelaksana kebijakan dan sebagai instrument dalam
penyelenggaraanan kewenangan pemerintah daerah. Artinya
2 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
ketika memiliki fungsi ganda maka kecamatan berkonsekuensi
selain sebagai instrument dalam penyelenggaraan urusan yang
menjadi kewenangan daerah otonom juga sebagai instrument
urusan pemerintah pusat yang administrasi kewilayahanya
diselenggarakan oleh Kebupaten/Kota. Terkait dengan itu,
kembali pada urgensi dilakukanya pengaturan kelembagaan,
menengok ke belakang tentang kelembagaan kecamatan di
pemerintah kabupaten pandeglang pada tahun 2013 lalu, saat
penetapan lima kecamatan menjadi pilot project PATEN
(Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan), Peraturan Bupati
Nomor 24 Tahun 2013 kala itu dianggap aturan hukum yang urgen
untuk ditetapkan seiring sejalan dengan pelaksanaan PATEN.
Peraturan Bupati yang mengatur pelimpahan kewenangan
kepada camat Nomor 24 Tahun 2013, kala itu dipandang sebagai
instrumen dan legalitas dalam mencapai keberhasilan pelaksanaan
administrasi pelayanan di tingkat kecamatan, khususnya bagi 5
(lima) Kecamatan yang telah ditetapkan menjadi pilot project
PATEN sesuai dengan Keputusan Bupati Pandeglang Nomor
138/Kep.381-Huk/2013. Seiring berjalanya waktu hingga
diberlakukanya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, belum ada
kajian yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten pandeglang
tentang efektifitas penyelenggaraan kecamatan yang didasarkan
pada implementasi Peraturan Bupati Pandeglang Nomor 24 tahun
2013. Dari hasil pra pembahasan diperoleh data bahwa
kewenangan yang diatur secara generik untuk seluruh kecamatan
meliputi pelayanan perizinan dan non perizinan pada bidang
kewenangan yang ada belum ada satupun yang dicabut dan
ditambahkan. Hal itu dapat diartikan bahwa ketika dalam
Peraturan Bupati Pandeglang Nomor 24 tahun 2013
mengamanatkan hasil evaluasi periodik penyelenggaraan
kewenangan camat berkonsekuensi pada pencabutan dan
penambahan kewenangan, maka dimungkinkan evaluasi kinerja
dan penerapan sanksi tidak dilaksanakan secara efektif.
Selain penjelasan di atas, pada prinsipnya postur Peraturan
Bupati Pandeglang Nomor 24 tahun 2013 sudah tidak adaptif lagi,
baik terhadap perkembangan peraturan perundang undangan yang
berlaku, keberadaan program pemerintah pusat serta karakteristik
kewilayahan. Terkait dengan itu, keberadaan Undang–Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengamanatkan bahwa
Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan pembinaan dan
pengawasan pada desa seperti halnya (1) Memberikan pedoman
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 3
pelaksanaan penugasan dari pemerintah kabupaten/ kota yang
dilaksanakan oleh desa, penyusunan peraturan desa dan peraturan
kepala desa, serta penyusunan perencanaan pembangunan
partisipatif. (2) Melakukan fasilitasi penyelenggaraan pemerin-
tahan desa, serta evaluasi dan pengawasan peraturan desa. (3)
Menetapkan pembiayaan alokasi dana perimbangan untuk desa.
(4) Mengawasi pengelolaan keuangan desa dan pendayagunaan
aset desa. (5) Melakukan pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Pada dasarnya nyaris
dikatakan mustahil jika dalam kaitannya dengan itu bupati tidak
melimpahkan kewenangan kepada camat/kecamatan sebagai ujung
tombak kewilayahan untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan, melihat sebagaimana amanat pasal 224 ayat (1)
Undang undang Nomor 23 Tahun 2014 pada huruf g. bahwa camat
memiliki kewenangan membina dan mengawasi penyelenggaraan
kegiatan desa dan/atau kelurahan.
Lebih lanjut secara spesifik dampak dari belum adanya
petunjuk operasional pada tahun 2015 lalu, menurut berita yang
dikutip dari ransbanten.com, Pandeglang Minggu, 31 Januari
2016, bahwa Pemerintah Kabupaten Pandeglang berencana akan
membuat SE (Surat Edaran) terkait dengan transparansi dana yang
dialokasikan pada desa dan pemerintah kabupaten pandeglang
dalam hal ini akan memperketat pengawasan terkait realisasi
pembangunan baik yang bersumber dari dana desa maupun
anggaran dana desa. Langkah tersebut dilakukan oleh pemerintah
kabupaten pandeglang setelah mencuatnya realisasi pembangunan
di salah satu desa di kecamatan cadasari yang dinilai tidak
transparan karena tidak memasang papan informasi pada realisasi
proyek. Kemudian dalam realisasi pembangunan tersebut dinilai
tidak menjalankan amanat Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun
2015 yang mensyaratkan proyek dengan nilai lebih dari Rp 200
juta, harus melalui mekanisme lelang. Pada prinsipnya pengetatan
pengawasan yang dimasud merupakan kewajiban Pemerintah
kabupaten Pandeglang dan tentunya dalam penyelenggaraanya
diperlukan pengaturan yang lebih operasional lagi, khususnya
mengenai kewenangan camat dalam hal itu.
Terkait dengan itu dalam rapat Pengurus APPSI (Asosiasi
Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia) dengan peserta para
gubernur selaku anggota APPSI, di Hotel Lor In Solo. Gubernur
Jawa Timur Soekarwo menyatakan bahwa pentingnya
memperkuat kewenangan kelembagaan kecamatan, termasuk
4 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kewenangan yang berkaitan dengan urusan pemerintahan
konkuren. Hal tersebut didasarkan pada keberadaan seluruh
program Presiden RI (Republik Indonesia) yang mengharuskan
camat untuk turut terlibat melaksanakan pengawasan terhadap
program-program pedesaan, sementara camat tidak memiliki
kewenangan tersebut. Gubernur Jawa Timur Soekarwo
menambahkan bahwa usulan tersebut sudah disanggupi oleh
Menteri Dalam Negeri, dan penguatan tersebut untuk
direalisasikan pengaturanya melalui peraturan pemerintah. Dari
pengaturan tersebut diharapkan tugas pembantuan dan urusan
konkruen antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota agar
sebagian diberikan di tingkat wilayah.
Menengok permasalahan lain sebagai domain pemerintah
kabupaten pandeglang yang juga relevan jika dimaknai bahwa
kewenangan camat dalam penyelenggaraan kecamatan merupakan
daya dukung dalam mencapai tujuan penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Salah satu tujuan yang dimaksud adalah
mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Diketahui bahwa secara
Nasional IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Indonesia
mengalami peningkatan berdasarkan sumber UNDP (United
Nations Development Programme) tahun 2016, namun fakta yang
terjadi Kabupaten Pandeglang saat ini masih membutuhkan
perhatian, khususnya pada sektor kemiskinan dan pendidikan
dikutip dari poskotanews.com, Rabu, 23 Maret 2016 bahwa
Gubernur Banten Rano Karno menilai dari tingginya kesenjangan
di Kabupaten Pandeglang, maka Kabupaten Pandeglang harus
mendapatkan perhatian yang khusus. Dalam pernyataanya
Gubernur Banten Rano Karno mengatakan, pandeglang harus
khusus, karena masih minimnya industri di sana. Diharapkan
melalui proyek pembangunan nasional seperti halnya jalan tol,
ekonomi kabupaten pandeglang semakin mengalami peningkatan.
Lebih lanjut Bupati Pandeglang, Irna Narulita secara tidak
langsung juga mengakui hal tersebut. Menurutnya, itu akan
menjadi program pada masa pemerintahanya. Sebagai daerah yang
memiliki kawasan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus), Kabupaten
Pandeglang diharapkan akan memiliki potensi yang baik, dimana
masyarakat dapat bersinergi dengan investor.
Lebih lanjut dari hasil pra pembahasan diketahui bahwa
kabupaten pandeglang memiliki ketergantungan yang tinggi pada
pendapatan asli daerah dari sektor PBB (Pajak Bumi dan
Bangunan). PBB tetap mendominasi selain penerimaan daerah
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 5
dari sektor retribusi dan pajak lainya. Adapun data bahwa PAD
(Pendapatan Asli Daerah) Kabupaten Pandeglang kurang lebih
sebesar Rp. 197 miliar pada tahun 2017, sedangkan untuk tahun
2018 PAD Pandeglang ditargetkan meningkat menjadi sekitar Rp.
203 miliar. Menyikapi hal itu pada dasarnya pemerintah kabupaten
pandeglang telah melakukan langkah-langkah terobosan dalam
rangka menggenjot penerimaan daerah, salah satunya dengan
mengundang investor swasta untuk untuk berinvestasi. Namun
dalam pelaksanaanya terbentur dengan resistensi dari masyarakat
karena adanya pertentangan dengan kultur dan nilai-nilai
religiusitas yang telah menjadi primordialisme di kalangan
masyarakat setempat. Hal itu dapat dicontohkan pada Tanggal 11,
November 2015 Ratusan warga kecamatan cadasari kabupaten
pandeglang yang tergabung dalam jamiyatul muslimin menggelar
istigasah di kawasan parkir DPRD Provinsi Banten menolak
rencana didirikanya indusrti air mineral. Penolakan didasarkan
atas sebuah asumsi, jika kabupaten pandeglang menjadi daerah
industri serta destinasi urbanisasi maka potensi kemaksiatan/
pelanggaran terhadap kultur dan nilai nilai religiusitas meningkat
di kabupaten pandeglang. Melihat kendala semacam itu tentunya
dianggap oleh pemerintah daerah khususnya Camat/ kecamatan
sebagai perangkat daerah kewilayahan merupakan dilema yang
tidak sedikit berujung pada pilihan untuk berputus asa.
Berdasarkan penjelasan di atas, berkaitan dengan
kompeleksnya permasalahan tentang pembinaan dan pengawasan
pada pemerintah desa, kultur dan primordialisme masyarakat yang
berimplikasi pada kinerja pembangunan di daerah, Keberadaan
PSN (Program Strategis Nasional) serta amanat peraturan
perundang undangan yang berlaku seperti halnya substansi dalam
Undang-undang Nomor 23, Tahun 2014. perihal kecamatan yang
berwenang menyelenggarakan pemerintahan umum, membawa
pada tuntutan penguatan kelembagaan kecamatan sebagai
perangkat daerah dan wilayah administrasi yang dipastikan
menjadi lembaga yang berdaya dukung terhadap penyelenggaraan
urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah kabupaten
Pandeglang dengan segenap kompleksitas yang ada. Penguatan
dimaksukan pada kewenangan legal yang akomodatif serta
pemenuhan elemen kelembagaan yang lain seperti sumberdaya
manusia, anggaran dan Infrastruktur .Kecamatan yang
membawahi kelurahan juga tidak luput dari penambahan beban
sebagaimana dikutip dari (http://www.rri.co.id pada tanggal 19
6 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Agustus 2016), sejalan dengan penerapan Undang-undang Nomor
23 Tahun 2014 yang berkonsekuensi pada bertambahnya tugas
dan tanggung jawab Kecamatan, bahwa Kelurahan dijadikan
sebagai perangkat Kecamatan, sehingga kelurahan tidak
berwenang lagi dalam mengelola anggaran, hal itu dimaksudkan
untuk mempermudah rentan kendali pengawasan kelurahan oleh
kecamatan sehingga koordinasi dengan pusat diharapkan
kedepannya akan jauh lebih mudah,
Seiring dan sejalan dengan diberlakukanya Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014, pada dasarnya berkaitan dengan
kelembagaan kecamatan, pemerintah kabupaten pandeglang telah
melakukan serangkaian pengaturan yang menghasilkan Peraturan
Daerah Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Organisasi Perangkat
Daerah serta Peraturan Bupati Pandeglang Nomor 66 Tahun 2016
Tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Rincian Tugas dan
Fungsi, Serta Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan di Lingkungan
Pemerintah Kabupaten Pandeglang. Namun pengaturan yang ada
pada kelembagaan kecamatan tidak diiringi dengan pengaturan
kewenangan dan pemenuhan elemen pendukung lainya. Paraturan
Bupati Pandeglang Nomor 24 Tahun 2013 masih dipaksakan
sebagai legalitas, sekalipun posturnya sudah tidak akomodatif
terhadap perubahan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal itu dilakukan dalam rangka menindaklanjuti banyaknya
pengaduan dari masyarakat berkaitan dengan pengalokasian dana
desa yang bersumber dari APBN dan alokasi dana desa dari
APBD, serta kinerja camat di lingkunganya yang selama ini dinilai
kurang mengetahui dan memahami permasalahan di wilayah
kerjanya, seperti halnya permasalah kesehatan, program
pembangunan, dan permasalahan lain yang menjadi ruang lingkup
kewenangan camat. Bupati Irna Narulita menyatakan bahwa
banyak mendapatkan laporan dari masyarakat mengenai kinerja
kecamatan yang dinilai kurang optimal. Pertemuan yang dilakukan
bupati Irna dengan para camat menurutnya, merupakan
momentum untuk membangun sinergitas antar Stakeholders yang
ada. Dengan begitu, para camat bisa mengetahui dan memahami
segenap permasalahan di wilayah kerjanya masing-masing,
sehingga dapat membantu bupati dalam menyelenggarakan
pemerintahan. Dalam kesempatan itu bupati Irna juga
menyampaikan harapanya agar kedepan, seluruh program
perangkat daerah dapat diketahui masyarakat. Kenyataan yang ada
selama ini masyarakat banyak yang tidak mengetahui. Adapun
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 7
aduan yang diterima dari masyarakat terkait kinerja camat
sebagaimana diceritakan oleh bupati Irna, sebagian besar adalah
yang bersentuhan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan,
seperti pembuatan KTP-el (Kartu Tanda Penduduk Elektronik),
realisasi pembangunan infrastruktur, dan pelayanan lain. Camat
juga diharapkan untuk tidak menutup komunikasi, misalnya
mematikan ponsel atau enggan merespon aduan masyarakat.
Menurut bupati Irna camat tidak bisa menutup komunikasi dengan
masyarakat, karena camat merupakan kepanjangan tangan Bupati.
Irna mengancam akan melakukan evaluasi kinerja seluruh aparatur
kecamatan, apabila dalam beberapa hari ke depan tidak
menunjukan perubahan. Hal itu bertujuan agar program
pembangunan di kecamatan bisa tercapai secara optimal. Bupati
Irna mengetahui seluruh aduan dari masyarakat sehingga dapat
melakukan evaluasi program. Misalnya mengenai sampai tidaknya
bantuan hibah, ketepatan sasaran bantuan sosial, dan kesesuaian
spesifikasi dalam pengerjaan proyek jalan.
Lebih lanjut kepala bagian administrasi pemerintahan
kabupaten pandeglang Doni Hermawan, menyatakan bahwa rapat
kerja tersebut merupakan kegiatan rutin dalam rangka mengetahui
kinerja seluruh pegawai di lingkungan pemerintah kabupaten
pandeglang. Dodi mengatakan bahwa memang rapat koordinasi ini
rutin dilaksanakan sebagai evaluasi terhadap kinerja kecamatan.
Kedepan apa yang diharapkan oleh bupati harus dilaksanakan,
khususnya yang langsung berkaitan dengan pelayanan kepada
masyarakat. Doni menjelaskan, dalam menyampaikan program
pembangunan ke tingkat desa, itu merupakan tugas camat. Artinya
dengan begitu, permasalahan yang berkaitan dengan program
sudah selayaknya dapat terselesaikan di tingkat kecamatan. Dodi
juga mengatakan seluruh camat nantinya diminta menyampaikan
gambaran umum program pembangunan di wilayah kerjanya
kepada para kepala desa. Pada intinya setiap permasalahan yang
ada, sebisa mungkin harus selesai di tingkat kecamatan dan camat
harus tinggal di tempat.
Berdasarkan uraian tersebut, selanjutnya dapat diulas bahwa
kemunculan dampak yakni kurang efektifnya kinerja camat,
diakibatkan karena pada masa transisi penerapan Undang-undang
23 Tahun 2014, pemerintah Kabupaten Pandeglang telah
melaksanakan serangkaian pengaturan khususnya struktur
organisasi kecamatan dengan postur yang diamanatkan oleh
Undang-undang 23 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor
8 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
18 Tahun 2016. Namun dalam penyelenggaraan kewenangan
camat tetap menerapkan Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2013
yang secara jelas posturnya berbeda. Kemudian dari permasalahan
yang mencuat, bupati pandeglang kurang menangkap bahwa
permasalahan tersebut sejatinya merupakan pijakan yang dapat
dijadikan dasar dalam pengaturan kebijakan tentang kewenangan
camat serta pemenuhan elemen kecukupan kelembagaan
kecamatan. Dengan kata lain tidak hanya cukup sampai pada
melakukan pembinaaan setiap mencuat permasalahan, namun
harus menganalisa dan mencari hulu penyebab terjadinya suatu
permasalahan, dimana hulu tersebut adalah kewenangan camat
serta pemenuhan elemen kecukupan kelembagaan kecamatan. Dari
hasil pra pembahasan yang dilakukan pada bulan januari 2017
diketahui bahwa dalam penyelenggaraan kewenangan kecamatan
dengan Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2013 saja, besaran
anggaran, dan jumlah Sumberdaya manusia dianggap tidak
sebanding dengan besaran kewenangan yang harus
diselenggarakan oleh kecamatan. Kemudian dari dokumen rencana
strategis pada beberapa kecamatan juga secara tegas menyebutkan
bahwa kendala dalam penyelenggaraan kecamatan adalah
keterbatasan anggaran dan sumberdaya manusia serta rendahnya
jalinan koordinasi dari UPT (Unit Pelaksana Teknis) Perangkat
daerah yang ada di kecamatan. Untuk kendala terbatasnya
anggaran, sebagai contoh berdasarkan sumber dokumen rencana
program dan kegiatan di salah satu kecamatan yang
mengkoordinasikan 6 desa pada Tahun 2017 dan prakiraan maju
Tahun 2018, poin kegiatan pembinaan penyelenggaraan
pemerintahan desa, besaran pagu Rp 25,000,000.,00 untuk tahun
2017 dan Rp 26,250,000.,00 tahun 2018 dari total pagu Rp
676,912,000.,00 tahun 2017 dan Rp 710,757,600.,00 tahun 2018.
Artinya ketika dirata-ratakan dengan jumlah 6 desa yang menjadi
ruang lingkup pembinaan dan pengawasan, anggaran tim yang
tersedia untuk mendanai kegiatan pembinaan, hanya sekitar 4
jutaan per desa setiap tahunya. Di satu sisi dengan keterbatasan-
keterbatasan yang ada, kecamatan masih harus menangani
penagihan piutang PBB (Pajak Bumi dan Banguan) yang notabene
sebagai sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah), sehingga terjadi
kebingungan dalam menentukan proiritas dan alhasil
memunculkan ketidak optimalan penyelenggaraan kewenangan-
kewenangan yang lain.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 9
Berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
khususnya pasal 225 ayat (1) mengatur secara eksplisit tentang
kewenangan yang harus dimiliki camat, yaitu Pertama
menyelenggarakan urusan pemerintahan umum. Penyelenggaraan
pemerintahan umum ini merupakan kewenangan camat/
kecamatan sebagai perangkat wilayah administrasi yang menjadi
pembeda dengan perangkat daerah lain. Namun dalam masa
transisi ini sebagaian besar pemerintah daerah mengalami kendala
dalam menyelenggarakan, karena belum adanya petunjuk
operasional berupa Peraturan Pemerintah yang spesifik mengatur
penyelenggaraan pemerintahan umum. Selain itu keberadaan
peraturan pemerintah tersebut merupakan legalitas pengalokasian
APBN sebagai sumber pendanaan dalam penyelenggaraan
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang. Kedua
mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat, Ketiga
mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban umum, Keempat mengoordinasikan penerapan dan
penegakan Perda dan Perkada, Kelima mengoordinasikan
pemeliharaan prasarana dan sarana pelayanan umum, Keenam
mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan yang
dilakukan oleh Perangkat Daerah di Kecamatan, Ketujuh membina
dan mengawasi penyelenggaraan kegiatan Desa dan/atau
kelurahan, Kedelapan melaksanakan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota yang tidak
dilaksanakan oleh unit kerja Perangkat Daerah kabupaten/kota
yang ada di Kecamatan, Kesembilan melaksanakan tugas lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tugas
lain dimaksudkan adalah aneka macam tugas yang dilimpahkan
pada kabupaten/ kota dengan azaz dekonsentrasi dan tugas
pembantuan pemerintah pusat seperti halnya di kabupaten
Pandeglang, sebagai implementator rencana aksi PSN (Program
Strategi Nasional). Pada ayat 2 hingga 8 merupakan urusan yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah, sehingga dalam
pengaturan dan pelimpahan kewenangan serta aspek pemenuhan
elemen kecukupan kelembagaan kecamatan, pemerintah
kabupaten/kota akan bisa fleksibel, sehingga spirit mewujudkan
efektifitas penyelenggaraan kecamatan pun sangat memungkinkan
dapat dicapai.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan umum, sebagaimana
dijelaskan pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 pasal 225
ayat (1) pada huruf a bahwa camat memiliki kewenangan
10 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
menyelenggarakan pemerintahan umum. Penyelenggaraan
kewenangan pemerintahan umum yang dimiliki oleh kecamatan
pada dasarnya merupakan hasil pelimpahan kewenangan bupati
sebagai kepala wilayah kepada kecamatan sebagai perangkat
wilayah. Adapun penyelenggaraan pemerintahan umum yang
dimaksud diantaranya pembinaan wawasan kebangsaan dan
ketahanan nasional dalam rangka memantapkan pengamalan
Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika. Secara
garis besar ketika mencermati uraian dari penyelenggaraan
pemerintahan umum dapat dikerucutkan pada urusan yang
esensinya sama dengan urusan kesatuan bangsa serta keamanan
dan ketertiban umum yang menjadi kewenangan pemerintah
daerah. Analogi sederhana yang bisa dibangun ketika sejauh ini
pemerintah daerah mampu menyelenggarakan kewenangan atas
urusan kesatuan bangsa serta ketentraman dan ketertiban umum
dengan pendanaan yang bersumber dari APBD, maka dalam masa
transisi dengan segenap kendala yang ada, seyogyanya pemerintah
kabupaten/kota dapat melakukan pengaturan yang sifatnya
membagi kewenangan beserta pendanaan perangkat daerah lain
yang secara spesifik menyelenggarakan kewenangan tersebut pada
camat. Namun fakta yang ada khususnya di kabupaten pandeglang
belum mengambil pilihan itu.
Terwujudnya tata kelola pemerintah daerah yang baik tidak
akan terlepas dari peran Kecamatan sebagai ujung tombak dan
daya dukung pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah guna mewujudkan tujuan pembangunan
kesejahteraan rakyat dalam kerangka desentralisasi dan otonomi
daerah. Berdasarkan perkembanganya, kedudukan kecamatan
banyak mengalami perubahan, pada Undang-Undang Nomor 05
tahun 1974 kecamatan disebutkan merupakan lingkungan
administrasi pemerintahan. Hal itu jauh berbeda dengan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana dijelaskan pada pasal 209 bahwa Kecamatan adalah
perangkat daerah Kabupaten/kota, kemudian sebelumnya pada
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pasal 66 ayat 1 dan 2
disebutkan bahwa Kecamatan merupakan perangkat daerah
kabupaten/kota yang dipimpin oleh kepala kecamatan dan Kepala
kecamatan disebut camat, begitu juga pada Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Kecamatan, pasal 14 ayat 1 dan 2
bahwa “Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten/kota
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 11
sebagai pelaksana teknis kewilayahan yang memiliki wilayah
kerja tertentu dan dipimpin oleh camat”. “Camat berkedudukan di
bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui
sekretaris daerah”. Secara spesifik Undang Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah menggambarkan
perubahan substansi kedudukan pada kecamatan sebagai berikut :
Gambar 1.1
Kecamatan Berdasarkan UU No 23 Tahun 2014
Sumber : Paparan Direktur Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan Dan
Kerjasama (2016)
Terkait dengan gambar di atas bahwa dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 kedudukan Kecamatan dijelaskan
pada pasal 221, bahwa Kecamatan dibentuk dalam rangka
meningkatkan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan artinya
dengan adanya Kecamatan, Camat sebagai pimpinan tertinggi di
Kecamatan harus dapat mengkoordinasikan penyelenggaraan
pemerintahan melalui kewenangan yang dimiliki, kemudian juga
Camat harus memberikan pelayanan publik di Kecamatan dan
pemberdayaan masyarakat Desa/Kelurahan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, dapat
ditafsirkan bahwa Kecamatan merupakan wilayah kerja Camat
sebagai perangkat daerah dan Kecamatan sebagai perangkat
12 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
wilayah administrasi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
umum, yang mewakili Bupati/Walikota di wilayah kerja tertentu.
Istilah kecamatan sebagai perangkat daerah dan sebagai perangkat
wilayah administrasi berbeda dengan perangkat daerah lainnya
seperti dinas, badan dan kantor, karena kecamatan merupakan
perangkat kewilayahan yang berada di wilayah, memimpin
wilayah kerja tertentu yang merupakan bagian dari yuridiksi
kabupaten/kota. Dalam mewujudkan tujuan desentralisasi dan
otonomi daerah kecamatan sebagai daya dukung pencapaiannya
maka dalam menjalankan aktivitas kerja tidak terlepas dari
hubungan dengan organisasi vertikal dan pihak lain termasuk
satuan kerja perangkat daerah. Fungsi koordinasi adalah sebuah
keniscayaan yang harus dilakukan guna mencapai keselarasan.
Wewenang atributif tidak dimiliki oleh camat, melainkan
hanya memiliki kewenangan delegatif. Hal ini secara jelas
dinyatakan pada pasal 226 UU Nomor. 23 Tahun 2014, selain
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 225 ayat
1 camat mendapatkan pelimpahan sebagian kewenangan untuk
melaksanakan sebagian kewenangan bupati/walikota terhadap
urusan Pemerintahan daerah. Pelimpahan kewenangan bupati/
walikota tersebut dilakukan berdasarkan pemetaan pelayanan
publik yang sesuai dengan karakteristik Kecamatan dan/atau
kebutuhan masyarakat pada Kecamatan yang bersangkutan.
Kewenangan yang dilimpahkan dari Bupati/Walikota kepada
Camat misalnya kebersihan di Kecamatan, pemadam kebakaran di
Kecamatan dan pemberian izin mendirikan bangunan untuk luasan
tertentu. Mengenai pendanaan akibat dari pelimpahan wewenang
maka dalam penyelenggaraan kecamatan dibebankan pada
anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota.
Sedangkan penyelenggaraan kecamatan pada kewenangan
pemerintahan umum dibebankan pada anggaran pendapadan dan
belanja negara. Tanpa adanya pelimpahan kewenangan dari
Bupati/Walikota, Camat tidak dapat menyelenggarakan kecamatan
secara sah. Sebagai unsur lini kewilayahan, camat menjalankan
kewenangan sebagai unsur lini, yaitu “to do, to act” artinya
kegiatan camat beserta jajarannya.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
pemerintahan daerah menawarkan perubahan kapasitas pemerintah
daerah yang semula sebagai promotor pembangunan menjadi
fasilitator dan pelayan masyarakat. Perubahan tersebut dengan
sendirinya akan mengubah tata kelola pemerintahan yang
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 13
mengarah pada bentuk, susunan, kedudukan, fungsi kelembagaan
pemerintah daerah baik unsur staf, lini teknis, lembaga teknis
maupun unsur lini kewilayahan yang akhirnya berimplikasi pada
semangat pencapaian pembangunan kesejahteraan rakyat. Dengan
kata lain tidak ada pemerintah pusat dari suatu negara yang besar
yang dapat secara efektif menentukan apa yang harus dilakukan
dalam semua aspek kebijakan publik. Discretionary power atau
perubahan dan keleluasaan kewenangan pada daerah otonomi
yang diberikan oleh pemerintah pusat adalah sebuah refleksi yang
menuntut perlunya menata kembali pemerintahan daerah, guna
terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik.
Rondinelli, Nellis dan Cheema (1983) sebagaimana dikutip
oleh Zaenuddin (2015:38), mendefinisikan dekonsentrasi
(delegasi) adalah penyerahan sejumlah kewenangan dan tanggung
jawab administrasi kepada cabang departemen atau badan
pemerintah yang lebih rendah. Mawhood (1983:4) sebagaimana
dikutip oleh Maksum (2014:3) dekonsentrasi merupakan
pendelegasian kewenangan antar pihak-pihak yang mewakili
aspirasi nasional yang bersifat administratif belaka (Untuk
mengimplementasikan kebijakan) dengan wilayah yang telah
ditentukan yang disebut sebagai local administration. Adapun
cirinya adalah (1) Mewakili kepentingan pusat, (2) Keberadaanya
sangat tergantung dari penguasa pusat (3) Hanya memiliki
kewenangan administrative belaka (4) wewenang administratif
tersebut dilakukan oleh pejabat yang diangkat, bukan dipilih. Hal
senada juga dikatakan Conyers (1983:102) sebagaimana dikutip
oleh Muluk (2009:11) bahwa dekonsentrasi (delegasi) menunjuk
pada kewenangan administratif yang diberikan pada perwakilan
badan-badan pemerintah pusat. Turner (2002: 354) sebagaimana
dikutip oleh Dawoody (2015: 193) mengakui adanya kelebihan
dari dekonsentrasi yang banyak menyentuh aspek manajerial.
Dalam pengalokasian sumber daya lebih efisien merupakan sebuah
manfaat yang dirasakan. Selain itu, delegasi dalam pengambilan
keputusan juga akan membawa 7 (tujuh) keuntungan lainnya,
yakni: meningkatkan aksesibilitas pejabat dalam konsultasi dan
pengaduan, meningkatkan mobilisasi sumber daya lokal,
mempercepat respon pejabat terhadap kebutuhan dan tuntutan
publik, mempertajam alokasi dan perencanaan anggaran,
mendorong motivasi pejabat yang menerima delegasi,
meningkatkan koodinasi antar instansi, serta meringankan beban
instansi pusat terhadap tugas-tugas rutin.Terkait dengan itu Burns,
14 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
et. al. (1994) menjelaskan bahwa pendekatan partisipasi publik
dapat berlangsung dalam beberapa area pengambilan keputusan
yakni pertama, praktek operasional yang menyangkut perilaku dan
kinerja pegawai dalam institusi publik. Isu-isu yang berkaitan
dengan aspek lainnya dalam kualitas pelayanan publik,
keterandalan dan keteraturan pelayanan, fasilitas bagi pengguna
jalan dengan kebutuhan tertentu dan lain sebagainya. Kedua,
keputusan pembelanjaan yang berkaitan dengan anggaran yang
didelegasikan, anggaran yang menyangkut modal besar, sampai
pada anggaran pendapatan menyeluruh yang mencakup gaji
pegawai dan biaya rutin bagi kantor tertentu dan pemeliharaannya,
termasuk peningkatan pendapatan melalui peningkatan pajak
lokal. Ketiga, pembuatan kebijakan yang menyangkut tujuan-
tujuan strategis dalam pelayanan tertentu, rencana strategis bagi
pembangunan kawasan dan fasilitas tertentu, dan prioritas
pembelajaan dan keputusan alokasi sumber daya lainnya.
Alderfer (1964) dan Norton (1994:703-9) sebagaimana
dikutip oleh Muluk (2009) dalam mengalokasikan kekuasaanya ke
bawah pada prinsipnya adalah menyusun unit administrasi atau
field stations dan penetapan unit-unit lokal dengan kekuasaan
tertentu atas bidang tugas tertentu, dengan kata lain melakukan
decentralization in cities (desentralisasi di dalam kota) kepada
unit-unit yang lebih kecil sehingga diharapkan kebutuhan,
tanggung jawab dan pengambilan keputusan lebih dekat lagi
kepada masyarakat. Norton (1994) dan Burns, et al. (1994:81-
189), Decentralization Within cities adalah decentralization
management/desentralisasi yang dekonsentrasi. Desentralisasi
yang dekonsentrasi (delegasi) menciptakan Field Administration.
Leemans: (1970) sebagaimana dikutip oleh Maksum (2014:4)
menjelaskan terdapat dua model dari Field Administration yakni
(1) Fragmented Field Administration yang terlahir dari Functional
Based dimana membenarkan batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi)
dari perangkat departemen di lapangan secara berbeda menurut
pertimbangan fungsi dan organisasi departemen induknya, (2)
Integrated Field Administration yang terlahir dari Territorial
Based dimana mengharuskan terdapatnya keseragaman batas-batas
wilayah kerja (yurisdiksi) dari berbagai instansi vertikal atas
Wilayah Administrasi beserta Wakil Pemerintah. Terkait dengan
unit administrasi atau field stations baik itu territorial based
maupun functional based , Mintzberg (1979) menjelaskan bahwa
pada dasarnya struktur organisasi terdiri dari lima bagian pokok,
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 15
yakni the strategic apex, the middle line, the operating core, the
techno-structure, dan the support staff. The strategic apex.
Diketahui pada pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
2016 ayat disebutkan bahwa (1) Kecamatan dibentuk dalam
rangka meningkatkan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan,
pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat desa atau
sebutan lain dan kelurahan. (2) Kecamatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipimpin oleh camat atau sebutan lain yang
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada
bupati/wali kota melalui sekretaris Daerah kabupaten/kota. Hal
tersebut menegaskan kaitanya dengan Integrated Field
Administration yang terlahir dari Territorial Based, kecamatan
memiliki kedudukan sebagai operating core dan the middle line,
karena selain berwenang memberikan pelayanan pada masyarakat
juga berwenang untuk mengkoordinasikan penyelenggaraan
pemerintahan yang berada di wilayah kerjanya. Menurut
Mintzberg (1979) dijelaskan bahwa operating core kedudukanya
adalah pelaksana tingkat bawah dan memiliki fungsi menjaga
inputs untuk diproduksi oleh organisasi, mentransformasikan
inputs tersebut menjadi outputs, mendistribusikan outputs, dan
menyediakan dukungan langsung pada inputs, transformasi, dan
outputs tersebut.
Dari peraturan perundang undangan tentang pemerintahan
daerah bahwa model pemerintah daerah yang berlaku saat ini
berkonsekuensi pada kedudukan kecamatan yang berfungsi ganda
yaitu sebagai perangkat daerah otonom dan perangkat wilayah
administrasi. Fried (1963) sebagaimana dikutip oleh Maksum
(2014:11) menjelaskan dalam kaitanya dengan desentralisasi
model Integrated Perfectoral System mengharuskan berhimpitnya
antara daerah otonom dan daerah administrasi dan perangkapan
jabatan kepala daerah dan wakil pemerintah pusat. Berkaitan
dengan itu dapat dipahami bahwa pendelegasian kewenangan
kepala daerah kepada camat pun akan berpola pada kewenangan
yang dimiliki atas perangkapan jabatan. Pemahaman dekonsentrasi
merupakan integrasi dari desentralisasi, karena keduanya
merupakan kutub yang tidak saling meniadakan. Dalam hal ini
Work (2001), sebagaimana dikutip oleh Gera (2008:103)
menegaskan bahwa desentralisasi bukan alternatif atau pilihan lain
dari sentralisasi. Buku terbitan FAO (2006:31) menyebutkan
dekonstrasi dan desentralisasi bergerak secara simultan dengan
kadar yang berbeda. Dalam pendikotomianya hubungan antara
16 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
dekosentrasi dan desentralisasi sifatnya alternatif, kemudian
ketika dilihat dalam prinsip kontinum, dekonsentrasi dan
desentralisasi saling melengkapi.
Rondinelli dan Slater yang memiliki perbedaan keyakinan.
Sebagaimana dikutip oleh Muluk (2009:22), dijelaskan bahwa
Rondinelli dengan pendekatan pilihan publiknya dan didukung
oleh pendekatan demokrasi liberal sangat mendukung
desentralisasi. Sementara Slater dengan pendekatan neo-
marxistnya skeptis bahwa desentralisasi mampu membawa
maslahat yang lebih baik bagi umat manusia. Pada dasarnya ketika
mencermati perdebatan tersebut adalah perdebatan sistem
sentralisasi dengan istilah penghalusanya dekonsentrasi dengan
desentralisasi. Namun pelajaran yang dapat dipetik bahwa
desentralisasi adalah cara untuk mencapai kemaslahatan manusia
dan desentralisasi bukanlah tujuan. Oleh karena itu, yang
terpenting adalah tujuan apa yang hendak dicapai lalu cara mana
yang paling memungkinkan untuk dipergunakan. Ketika
kemaslahatan manusia yang menjadi poin nya, Fesler (1955)
sebagaimana dikutip oleh Smith (1985:84) derajat desentralisasi
suatu yang sering kali mendapat perhatian lebih dari sisi
administrasi publik karena secara langsung berkenaan dengan
ruang lingkup pelayanan yang dapat diberikan administrasi publik
kepada masyarakat melalui penjenjangan susunan pemerintahan.
Artinya perpaduan antara cara dan tujuan untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat merupakan nilai yang ditanamkan
dalam desentralisasi.
Berkaitan dengan diskusi di atas adapun kesenjangan antara
spirit dalam konsep desentralisasi dan delegasi pada unit-unit local
/field stations dengan realita dalam implementasianya yang dapat
dilihat dari hasil studi yang dilakukan Nannyonjo and Okot (2013)
Kemmochi et al (2016), Emerick et al (2004), Dharmawan (2008)
dan lainya. Kemudian juga dilihat dari Naskah akademik RUU
(Rancangan Undang-Undang) Pemerintahan Daerah, serta
permasalahan penyelenggaraan kewenangan camat atas
pelimpahan yang dilakukan oleh Bupati Pandeglang sebagaimana
telah diuraikan di atas, sehingga dapat ditarik ke dalam asumsi
bahwa lemahnya struktur dan kapasitas pemerintah daerah dan
kelembagaan yang berada di bawahnya dalam menjalankan
kewenangan yang diberikan, menjadi masalah lain yang juga harus
mendapat perhatian karena berimplikasi pada inefektifitas
penyelenggaraan kewenangan dalam pelayanan publik.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 17
Dari uraian di atas, pembahasan ini membahas tentang
pelimpahan (pendelegasian) kewenangan bupati kepada camat, di
mana di dalamnya juga menyangkut aspek pemenuhan elemen
necessary condition kelembagaan Kecamatan di Kabupaten
Pandeglang dalam menyeleng-garakan kewenanganya sebagai
perangkat daerah otonom dan perangkat wilayah administrasi
penyelenggaraan pemerintahan umum. Dimana fungsi ganda
kecamatan tersebut merupakan kebaruan dan menjadi pembeda
dengan pembahasan-pembahasan sebelumnya, khususnya
pembahasan di berbagai negara tentang pelimpahan
(pendelegasian) kewenangan pada field stations yang kebanyakan
Fragmented Field Administration (berbasis sektoral) bukan
Integrated Field Administration (kewilayahan) seperti halnya
kecamatan di indonesia. Adapun kabupaten pandeglang dipilih,
karena selain terdapat beberapa permasalahan seperti yang telah
diuraikan di atas, kabupaten pandeglang merupakan kabupaten
yang masuk dalam zona program strategi nasional, salah satunya
adalah KEK (Kawasan Ekonomi Khusus), sehingga akan menjadi
menarik untuk diteliti pelimpahan (pendelegasian) kewenangan
bupati kepada camat di mana di dalamnya juga menyangkut aspek
pemenuhan elemen necessary condition kelembagaan Kecamatan.
B. Ruang Lingkup
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, terjadi
perubahan signifikan semenjak era otonomi daerah secara
kelembagaan. Kecamatan bukan lagi sebagai wilayah kerja yang
berasazkan dekonsentrasi seperti di masa lalu. Namun kecamatan
berubah status sebagai perangkat daerah otonom yang dapat
menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan
Kabupaten (Bupati) dan sebagai perangkat wilayah administrasi
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan umum
sebagaimana diamanatkan Undang-Undang 23 Tahun 2014. Hal
itu adalah konsekuensi dari berhimpitnya antara daerah otonom
dengan wilayah administrasi pemerintah pusat yang sering disebut
dengan model Integrated Perfectoral System Fried (1963)
sebagaimana dikutip oleh Maksum (2014:11). Saat ini penetapan
wilayah administrasi hanya sampai pada kabupaten kota saja,
sedangkan kecamatan hanya didudukan sebagai perangkat (bukan
wilayah administrasi). Karena core kecamatan bukanlah sektoral
melainkan kewilayahan (umum) dan kecamatan dalam amanat
undang undang merupakan perangkat kabupaten/kota atas
18 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
perangkapan jabatan kepala daerah dan wilayah yang diemban
bupati/walikota, maka pendelegasian (pelimpahan) kewenangan
atas sebagian kewenangan pemerintahan daerah dan penyeleng-
garaan pemerintahan umum, konsekuensinya adalah dilimpah
terimakan pada camat.
Melalui dikusi tentang hubungan desentralisasi dan
dekonsentrasi yang bergerak secara simultan serta prinsip aternatif
dan saling melengkapi dalam buku terbitan FAO (2006:31
sebagaimana dikutip oleh Pitono (2012:15) . Lebih lanjut Norton
(1994) dan Burns, et al. (1994:81), menyebutkan Decentralization
Within cities adalah decentralization management/desentralisasi
yang dekonsentrasi. Dapat diartikan bahwa dekonsentrasi dapat
dilakukan oleh pemerintah daerah (desentralisasi administrasi
bentukan kabupaten/kota) dengan membentuk unit-unit dan
mendelegasikan kewenangan atas urusan pemerintahan daerah, hal
itu disebut dengan Decentralization Within cities, seperti halnya
unit kewilayahan (kecamatan) merupakan model Integrated Field
Administration yang terlahir dari Territorial Based Leemans:
(1970). Burn et al (1994) menjelaskan decentralization within
cities di USA diwujudkan dalam bentuk pemerintahan
ketetanggaan (neighbourhood government), dan balai kota mini
(mini-city halls). Norton (1994:106) menjelaskan bahwa tujuan
dari konsep decentralization within cities adalah memberikan
kemungkinan lingkungan untuk mengartikulasikan kebutuhan
mereka membawa kekuatan lebih dekat dengan masyarakat. Dari
penjelasan tersebut initinya terdapat pembentukan unit oleh
daerah, adanya pendelegasian kewenangan serta adanya tujuan
atas hal itu.
Setelah clear bahwa decentralization within cities adalah
desentralisasi yang dekonsentrasi, untuk mengetahui arah dari
tujuan yang hendak dicapai maka perlu dipetakan dimensi
dekonsentrasi. Fesler (1968), Robertson Work (2002:5), dan
Falleti (2004) dalam diskusi tentang perbandingan antara
desentralisasi dan dekonsentrasi maka sebagagaimana dikutip dari
Utomo (2012) Jurnal Borneo Administrator, Volume 8, No. 1,
2012 memetakan dimensi dekonsentrasi meliputi (1) Administratif
dan Ekonomi, (2) Efisiensi. Fungsional. (3) Transfer pengambilan
keputusan dan tanggung jawab pengelolaan (program dan
keuangan). (4) Pusat masih memegang tanggungjawab, namun
suatu saat bisa di transfer secara penuh, (5) Field offices atau field
administration or local administrative
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 19
Berkaitan dengan pemetaan dimensi dekonsentrasi yang
didalamnya terkandung arah dari tujuan yang hendak dicapai,
maka terlihat begitu pentingnya melakukan delegasi dalam hal ini
adalah pendelegasian kewenangan. Wasistiono (2009)
menjelaskan bahwa kewenangan dibedakan menjadi dua yaitu
Kewenangan atributif adalah kewenangan yang melekat dan
diberikan kepada suatu institusi atau pejabat yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan kewenangan delegatif adalah
kewenagan yang berasal dari pendelegasian kewenangan dari
institusi atau pejabat yang lebih tinggi tingkatannya. Menurut
Hodge dan Anthony (1998), Pendelegasian kewenangan
(delegation of authority) dapat dilihat melalui 3 aspek, yakni (1)
Tugas, (2) Responsibilitas dan (3) kewenangan. Pendelegasian
kewenangan memiliki kesamaan dengan penyerahan.
Pendelegasian dapat diartikan penyerahan sebagian hak dari
pejabat satu kepada pejabat yang lain, untuk menentukan tidakan
yang dianggap perlu agar tugas dan tanggung jawabnya terlaksana
dengan baik. Osborn dan Geabler, (1992) menjelaskan bahwa
dengan pendelegasian kewenangan, maka akan tercipta birokrasi
yang fleksibel, efektif, inovatif dan tumbuh motivasi kerja.
Dengan hal itu pemberian wewenang yang lebih dari pemimpin
puncak (strategic apex) pada birokrat di tingkatan yang lebih
rendah/pelaksana (operation core) dianggap perlu untuk dilakukan
karena pada tingkatan ini dianggap lebih mengetahui kebutuhan
masyarakat dan berkaitan langsung dengan kepuasan publik atas
pelayanan yang dilakukan. Romzek dan Dubnick (1990),
sebagaimana dikutip oleh Widodo (2001) menjelaskan ada 2
faktor kritis yang harus diperhatikan dalam mengelola harapan
publik (1) kemampuan mendefinisikan serta mengendalikan
harapan publik yang diselenggarakan, dan (2) derajat kontrol yang
dimiliki terhadap harapan-harapan yang telah didefinisikan.
Pelimpahan wewenang bupati kepada camat, pengaturan
batasan wewenang/kejelasan wewenang yang dilimpahkan tidak
serta-merta terlimpahkan begitu saja pada kecamatan, namun
diperlukan berbagai persiapan dan kesiapan diantaranya
sumberdaya manusia, alokasi dana dan sarana/prasarana
pendukung, serta pengaturan standarisasi dan hubungan dengan
perangkat Daerah lainnya merupakan aspek yang tidak dapat
dikesampingkan. Desentralisasi mengisyaratkan partisipasi publik
dapat berlangsung dalam beberapa area pengambilan keputusan
Burns, et al.,(1994: 160) sebagaimana dijelaskan Muluk (2009:84)
20 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
yakni: pertama, praktik operasional yang menyangkut perilaku
dan kinerja pegawai dalam institusi publik, isu-isu yang berkaitan
dengan aspek lainnya dalam kualitas pelayanan publik,
keterandalan dan keteraturan pelayanan, fasilitas bagi pengguna
jasa berani dengan kebutuhan tertentu. dan lain sebagainya,
Kedua, keputusan pembelanjaan yang berkaitan dengan anggaran
yang didelegasikan, Ketiga, pembuatan kebijakan yang
menyangkut tujuan-tujuan strategis dari pelayanan tertentu
rencana strategis bagi pembangunan kawasan dan fasilitas
tertentu, dan prioritas pembelanjaan dan keputusan alokasi
sumberdaya lainnya.
Berkaitan dengan hal tersebut maka apa yang dinamakan
dengan prasyarat kecukupan kelembagaan kecamatan adalah
sebuah keniscayaan suatu hal yang harus dipenuhi. Menengok
kesenjangan antara cita-cita desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah dengan kondisi empiris yang ada, ditijau dari
implementasinya di beberapa Negara sebagaimana telah dipetakan
pada hasil pembahasan terdahulu serta penyelenggaraan
kewenagan camat atas kewenangan yang didelegasikan oleh
kepala daerah baik di beberapa daerah maupun di lokus
pembahasan ini. Asumsi yang dibangun bahwa implikasi yang ada
(inefektifitas penyelenggaraan) diakibatkan oleh lemahnya
kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan pemenuhan
kecukupan kelembagaan pada unit-unit yang berada di bawahnya,
baik unit sektoral maupun kewilayahan seperti halnya kecamatan.
Lebih lanjut Dharmawan (2008:4) menjelaskan bahwa penguatan
kelembagaan kecamatan dimaknai sebagai upaya memperkuat
serta mendorong kecamatan dalam rangka semakin memfokuskan
diri pada : (1) Fungsi pemerintahan dalam hal pelayanan publik
baik perizinan dan non perizinan yang selama ini diselenggarakan,
(2) Fungsi pembangunan, dalam hal menjadi simpul koordinasi
serta fasilitasi bagi unit pelaksana teknis di wilayah kerjanya, (3)
Fungsi kemasyarakatan, dalam hal operasionalisasi kecamatan
sebagai pusat pengaduan dan penyelesaian berbagai persoalan
sosial kemasyarakatan yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah
kerjanya, (4) Fungsi pemberdayaan masyarakat, dalam hal
stimulasi kecamatan pada kegiatan keswadayaan masyarakat di
wilayah kerjanya. Kemudian upaya untuk tetap memelihara
prasyarat dalam mewujudkan spesialisasi fungsi yang khas
(namun tetap berdaya) pada kecamatan harus terus dilakukan,
guna mengantisipasi tuntutan perubahan di masa yang akan
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 21
datang. Disamping itu necessary condition (prasyarat kecukupan)
adalah suatu hal yang perlu diperhatikan bagi kecamatan agar
tetap dapat menjalankan fungsi atas kewenangan yang
dimilikinya.
Dharmawan (2008:5) menjelaskan, adapun empat necessary
condition (prasyarat kecukupan) yang dimaksud yakni: (1)
Kewenangan yang legitimate, (2) Pendanaan (budget) yang cukup
untuk menopang kewenangan, (3) Sumberdaya Manusia (SDM)
yang berkapasitas memadai untuk menjalankan kewenagan yang
dimiliki.(4) Infrastruktur. Adapun necessary condition (prasyarat
kecukupan) yang digambarkan sebagai berikut;
Gambar 1.2
Prasyarat Kecukupan Kelembagaan Kecamatan dalam
Menjalankan Fungsinya
Sumber : Dharmawan (2008:4)
Operasionalisasi kewenangan dan kekuasaan (authority and
power exercise) yang dijalankan kecamatan pada fungsi
pemerintahan dan pelayanan publik, mendukung pembangunan,
kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat berada di Ruang
V. Ruang tersebut merupakan ruang pertemuan keempat elemen
yang menopang institusi kecamatan. Luas dan sempitnya space
yang berada di Ruang V merefleksikan besar dan kecilnya
kapasitas kecamatan dalam menjalankan fungsi yang dijalankanya.
Oleh sebab itu upaya penguatan institusi kecamatan dalam hal ini
adalah mengupayakan perluasan space di Ruang V, sedemikian
rupa sehingga kecamatan memiliki kapasitas yang lebih besar
II
Budget
IV
Infrastr
uktur
III SDM
SD
Kewenangan
I
V
22 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
untuk berperan dalam pemerintahan, pembangunan, kemasyara-
katan dan pemberdayaan masyarakat.
Secara umum permasalahan pada institusi Kecamatan di
indonesia adalah sempitnya space yang dimiliki oleh Kecamatan
pada Ruang V. Faktor yang menyebabkan sempitnya ruang gerak
kecamatan tersebut, selain kewenangan (delegation authority)
yang diperoleh dari Bupati juga karena budget, SDM, dan
infrastruktur yang tidak mendukung. Artinya, penguatan institusi
kecamatan melalui pendekatan pemberian kewenangan hanyalah
sekedar stimulan awal. Namun untuk penguatan kecamatan lebih
lanjut, jika tanpa didukung pendanaan, sumberdaya manusia,
infrastruktur yang mencukupi, maka upaya penguatan kecamatan
melalui pelimpahan kewenangan tidak akan ada artinya.
Berdasarkan uraian di atas, ruang lingkup yang akan
digunakan pada pelimpahan wewenang bupati kepada Camat
dalam penyelengaraan pemerintahan daerah merujuk pada formula
di atas. Dengan kata lain, pembahasan ini akan mengkaji: (a)
pelimpahan wewenang bupati kepada camat serta
penyelenggaraan kewenangan camat di Kabupaten Pandeglang.
(b) pengaturan batas-batas wewenang yang dilimpahkan Bupati
kepada Camat di Kabupaten Pandeglang dalam penyelengaraan
pemerintahan daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. (c) pendukung dan penghambat pelimpahan
wewenang bupati kepada camat serta penyelenggaraan
kewenangan camat di Kabupaten Pandeglang. (d) model
pelimpahan wewenang Bupati kepada Camat guna memberikan
kejelasan batas wewenang yang dimiliki Camat dan terwujudnya
efektifitas penyelenggaraan Kecamatan.
*****
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 23
BAB II
DESENTRALISASI
A. Pengertian Desentralisasi
Van der por berkata sebagaimana dikutip oleh Surianingrat
(1981)
“Sejak dulu dan juga abat ke 19 Hindia Belanda hanya
mengenal pemerintahan yang sentralistis, kebalikan dari
tanah air Belanda. Juga pemenuhan kepentingan lokal yang
ada di daerah yang luas harus dilaksanakan dari Batavia
(Jakarta) dan buitenzorg (Bogor) yaitu menurut aturan-
aturan yang ditetapkan di sana dan peraturan yang disetujui
di sana”
Pada akhir abat orang berpendapat desentralisasi tidak dapat
dihindarkan dan menjadi kebutuhan. Terkait dengan itu Nurcholis
(2016:3) menjelaskan masa digulirkanya Decentralizatie Wet 1903
pada zaman pemerintahan Hindia Belanda hingga saat ini desain
serta struktur pemerintahan daerah di indonesia terus menerus
mengalami perubahan. Hal itu didasarkan atas susunan dalam-luar
sentralisasi dan desentralisasi, kemudian luas sempitnya otonomi
daerah, hubungan pusat dengan daerah, perimbangan keuangan,
model kepegawaian, mekanisme pengisian eksekutif dan dewan
lokal, manajemen pemerintahan daerah, serta partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Lebih lanjut, berkaitan dengan itu maka perlu diulas
pemahaman tentang desentralisasi. Menurut Conyers, (1983:102)
sebagaimana dikutip oleh Muluk, (2009:11) bahwa pemahaman
desentralisasi dapat dipahami dalam dua jenis yang berbeda yaitu
(1) Devolution, jenis ini didasarkan atas legalitas kewenangan
politik yang ditetapkan serta dipilih secara lokal; (2)
Deconcentration didasarkan pada kewenangan administratif yang
diberikan pada perwakilan badan-badan pemerintah pusat.
Selanjutnya terkait dengan permasalahan kewenangan
Conyers, (1986) sebagaimana dikutip oleh Ozmen, (2014:419)
menjelaskan bahwa desentralisasi adalah
“Divert authority in planning, decision making, and
mastery of public functions from a higher level to
individuals, organizations or other organizations at a lower
24 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
level. transferring authority in planning, measuring and
implementing the managerial functions of the public from
organizations that have a higher level to lower level
organizations”.
Sedangkan Mawhood, (1983) sebagaimana dikutip oleh
Sudiran, (2006) menjelaskan bahwa desentralisasi merupakan :
“the creation of bodies separated by law from the center, in
which local representatives are given formal power to
decide on a range of public matters. Their political base is
locality ... Their area of authority is limited, but within that
area their right to make decisions is entrenched by law and
can only be altered by new legislation. They have resources
which, subject to the stated limits, are spent and invested at
their own discretion”.
Kemudian Rondinelli dan Cheema, (1983:18) sebagaimana
dikutip oleh Sarundayang, (2001:47) juga memberikan pengertian
decentralization dengan definisi sebagai berikut:
“Decentralization is the transfer of planning, decisimaking,
or administrative authority from the central government to
its field organization, local administrative units, semi
autonomus and parastatal organizations, local government
organization” desentralisasi adalah transfer atau
perencanaan, pembuatan kebijakan atau wewenang
administrative dari pemerintah pusat kepada organisasi di
wilayahnya, unit/bagian lokal, organisasi semi otonom dan
yang masih tergantung, pemerintah lokal dan organisasi non
pemerintah (NGO).
Conyers (1986:89) sebagaimana dikutip oleh Muluk (2002)
mejelaskan dari pembagian dua jenis desentralisasi tersebut,
nampaknya setiap Negara memiliki dasar dalam penentuanya
dengan memperhitungkan beberapa aspek diantaranya (1)
Aktivitas fungsional dari kewenangan yang ditransfer, (2)
Kewenangan atas individu, organisasi, atau badan yang ditransfer
pada setiap tingkatan, dan (3) Kewenangan ditransfer melalui cara
legal ataukah administratif.
Rondinelli et al. sebagaimana dikutip oleh Muluk, (2005:6)
menjelaskan bahwa penyerahan sejumlah kewenangan atau
tanggung jawab administrasi kepada tingkatan yang lebih rendah
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 25
dalam kementrian atau badan pemerintah meliputi (1) Delegation
yakni perpindahan tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu kepada
organisasi di luar struktur birokrasi regular dan hanya dikontrol
oleh pemerintah pusat secara tidak langsung. (2) Devolution yakni
pembentukan dan penguatan unit-unit pemerintahan subnasional
dengan aktivitas yang substansial berada di luar kontrol
pemerintah pusat, (3) Privatization yakni pemberian tanggung-
jawab atas semua fungsi-fungsi kepada organisasi non pemerintah
atau perusahaan swasta yang independen dari pemerintah.
Cohen dan Peterson, (1999:24) sebagaimana dikutip oleh
Dawoody (2015:193) menjelaskan bahwa dekonsentrasi adalah;
“The transfer of authority over specified decision making,
financial and management functions by administrative
means to different levels under the jurisdictional authority
of the central government”.
Rondinelli, McCullough, dan Johnson, (1989) sebagaimana
dikutip oleh Muluk, (2009:2) mengungkapkan bahwa bentuk
desentralisasi ada lima macam, yakni privatization, deregulation
of private service provision, deuolution to local government,
delegation to public Enterprises or publicly regulated private
enterprises, dan deconcentration of central government
bureaucracy. Pengertian desentralisasi tersebut menyerupai jenis
desentralisasi yang diungkapkan oleh Cohen dan Peterson, (1999)
yang terbagi dalam deconcentration, devolution, dan delegation
yang mencakup privatisasi. Semula privatisasi berdiri sendiri,
namun saat ini justru masuk sebagai bagian dari delegasi.
Pembedaan ini didasarkan pada enam pendekatan, yaitu (1) Asal
mula sejarah, (2) Hierarki dan fungsi, (3) Masalah yang diatasi
dan nilai dari para investigatornya, (4) Pola struktur dan fungsi
administrasi, (5) Pengalaman negara tertenru, serta (6) Berbagai
tujuan politik, spasial dan pasar.
P. King (1982:125) sebagaimana dikutip oleh Smith
(1985:3) menjelaskan bahwa kebutuhan atas desentralisasi
nampaknya bersifat universal, bahkan Negara-Negara kecil
sekalipun yang mempunyai pemerintahan lokal dengan kadar
otonomi tertentu. Premdas (1982) menyebutkan Negara-Negara
yang berpenduduk kecil secara geografis dan etnis memerlukan
desentralisasi seperti kepulauan Solomon yang berpenduduk 180
ribu orang yang tersebar dalam kepulauan dengan luas daratan 29
26 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
ribu kilometer persegi dan luas lautan 803 Kilometer persegi serta
memiliki 74 bahasa yang berbeda.
B. Pendekatan Konsep Desentralisasi
Fesler, (1965) sebagaimana dijelaskan oleh Hidayat,
(2008:2) bahwa secara umum konsep desentralisasi terbagi pada
dua perspektif utama, yakni political decentralisation dan
administrative decentralisation. Definisi beserta tujuan
desentralisasi menjadi pembeda dari kedua perspektif tersebut.
Desentralisasi politik didefinisikan desentralisasi sebagai devolusi
kekuasaan atau devolution of power dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah.
Lebih lanjut Fesler, (1965) sebagaimana dikutip oleh
Centre, (2002:31) menjelaskan pendekatan politik konsep
dentralisasi adalah pendekatan politik di bawah garis karakter
politik dari desentralisasi. Artinya inisiatif untuk mendesen-
tralisasikan dan kesediaan untuk mewariskan kekuasaan dan
fungsi kepada unit-unit yang terdesentralisasi dan untuk
memungkinkan unit-unit ini benar-benar beroperasi dalam
kerangka otonomi, dan ditentukan secara politis. Desentralisasi
dalam bentuk devolusi ke badan pemerintahan lokal menandakan
upaya untuk membentuk pemerintahan otonom di tingkat lokal.
Unit-unit pemerintahan seperti distrik administrasi merupakan
lengan panjang pemerintah pusat. Untuk menciptakan dan
memelihara pemerintahan lokal merupakan komitmen politik yang
besar. Dengan tidak adanya komitmen seperti itu, devolusi ke
pemerintah subnasional, termasuk badan yang mengatur diri
sendiri, akan tetap lebih dalam hukum daripada dalam praktiknya.
Ini mengarah pada apa yang disebut Fesler sebagai "desentralisasi
ilusif".
Sedangkan pendekatan administrasi dalam desentralisasi
Fesler, (1965) juga menjelaskan bahwa;
“This approach is motivated by efficiency criterion. When
field administrative units are setup through a process of
deconcentration the measure is considered appropriate for
field level decision making and prompt problem solving. In
this process, administrative units might come up at many
levels between the locality and central head quarters. With
more and more demand for specialised functions,
multiplicity of functional departments would appear at the
field level. The administrative situation gradually presents a
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 27
picture of polarisation between general area based
administrative demands and specific function centered
claims of particular functional departments. Decentrali-
sation in administrative terms may not therefore always
guarantee clarity of authority and orderliness of operations.
To promote such operational principles, conscious attempts
are needed to readjust from time to time the conflicting
claims of area and functions in decentralised field
administration”.
Prasojo et al. (2006:1) menjelaskan bahwa desentralisasi
memiliki berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut
dapat diklasifikasi ke dalam dua variabel penting yaitu pendekatan
efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan (strucrural
efficiency model) dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam
pemerintahan dan pembangunan (local democracy model). Pada
umumnya setiap Negara memiliki titik berat yang berbeda beda
dalam dalam tujuan desentralisasinya.
Hoessein (1995) sebagaimana dikutip oleh Nurcholis
(2016:9) menjelaskan bahwa dengan adanya kesenjangan antara
cita-cita desentralisasi dengan realita di Indonesia sendiri, maka
berkonsekuensi pada berganti-gantinya model penyerahan urusan
pemerintahan dari ultra vires secara cicilan, ke general
competence, kembali lagi ke ultra vires yang dikombinasikan
dengan concurrent. Penyerahan urusan secara cicilan masa orde
baru mengakibatkan tidak adanya urusan pemerintahan yang
signifikan diselenggarakan oleh kabupaten/kotamadya,
penyerahan secara umum membuat Pusat dan Provinsi gagap, dan
penyerahan dengan ultra vires yang dikombinasikan dengan
concurrent menciptakan tumpang tindihnya kewenangan antar
pemerintahan.
C. Tipologi Desentralisasi
Selanjutnya secara umum tipologi desentralisasi terbagi
menjadi tiga (1) Dekonsentrasi. Dore dan Woodhill, (1999:16)
sebagaimana dikutip oleh Bastian et al, (2014:19) menjelaskan
bahwa dekonsentrasi merupakan proses pemerintahan yang
kaitanya untuk membuat daerah administratif/wilayah
administratif dalam rangka pencapaian tujuan efisiensi manajemen
program dan implementasi dari kekuasaan yang diberikan baik
lebih luas atau sempit dari pemerintah pusat kepada manajer
28 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
regional di daerah wilayah administratif. (2) Delegasi. Schneider,
(2003:12) sebagaimana dikutip oleh Bastian et al, (2014:20)
menjelaskan bahwa delegasi merupakan transfer tanggungjawab
kebijakan kepada pemerintah daerah atau organisasi semiotonom
yang tidak secara langsung dikontrol oleh pemerintah pusat,
namun pada prinsipnya tetap memiliki tanggungjawab pada
pemerintah pusat. Litvack dan Seddon (1998:3) sebagaimana
dikutip oleh Bastian et al, (2014:21) Pemerintah mendelegasikan
kewajiban-kewajiban, dapat dicontohkan seperti halnya ketika
pemerintah menciptakan perusahaan publik, institusi perumahan,
transportasi, pelayanan khusus kecamatan, sekolah semi-otonom,
badan perusahaan daerah, atau unit proyek-proyek khusus. (3)
Devolusi. Litvack dan Seddon, (1998:3) menjelaskan bahwa
devolusi merupakan bentuk yang lebih luas dari desentralisasi. Itu
artinya devolusi memiliki makna penyerahan kewenangan
pengambilan keputusan, keuangan dan manajemen kepada quasi
unit otonom dari pemerintah daerah yang berstatus korporasi.
Smith, sebagaimana dikutip oleh Kirkpatrick, Clarke dan
Polindano, (2002:389), devolusi merupakan bentuk desentralisasi
kewenangan politik dan kekuasaan legislatif pemerintah daerah
dengan berbagai tingkat rekrutmen demokratis dan pengambilan
keputusan.
Sedangkan menurut White, (1959) sebagaimana dikutip
oleh Suradinata, (1998: 46), adalah:
“The process of decentralization denote the transference of
authority, legislative or administrative, from higher level of
government to a lower”
Dapat diartikan bahwa desentralisasi merupakan suatu
proses penyerahan wewenang legislatif atau administratif, dari
tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah.
Secara bebas pengertian dari desentralisasi tersebut adalah
penyerahan atas perencanaan, pengambilan keputusan, atau
kewenangan administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi
bawahannya, untuk organisasi daerah, daerah nusantara dan
organisasi-organisasi bagian dari pemerintah daerah atau
organisasi dan bagian non pemerintah.
Menurut Sarundayang, (2001:62), keuntungan dari
desentralisasi adalah (1) Mengurangi tumpukan pekerjaan pada
pusat pemerintahan, (2) Tidak perlunya menunggu instruksi dari
pemerintah pusat saat pemerintah daerah menghadapi
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 29
permasalahan yang sangat mendesak dan membutuhkan tindakan
yang cepat. (3) Keputusan dapat diambil secara tepat, sehingga
mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk. (4) Dapat lebih
mudah menyesuaikan diri pada kebutuhan/keperluan khusus
daerah, karena dalam sistem desentralisasi dapat dilakukan
pembedaan serta pengkhususan yang berguna bagi kepentingan
tertentu, khususnya desentralisasi teritorial. (5) Dengan
dilakukanya desentralisasi teritorial, daerah otonom dapat menjadi
laboratorium yang berhubungan dengan hal-hal dalam
pemerintahan, sehingga dapat memberikan manfaat bagi seluruh
Negara. (6) Kemungkinan atas kesewenang-wenangan dari
pemerintah pusat dapat dikurangi. (7) Secara psikologis dapat
dapat memberikan kewenangan mengambil keputusan yang lebih
besar bagi daerah. (8) Dengan lebih dekat serta lebih mengenalnya
dengan masyarakat yang dilayani, maka akan memperbaiki
kualitas pelayanan publik.
Dari adanya desentralisasi maka terlahir otonomi daerah
kepada daerah otonom, maka dapat diperoleh beberapa manfaat
dan keuntungan menuju suatu pemerintahan yang lebih demokratis
terutama di daerah. Menurut Smith, sebagaimana dikutip oleh
Muluk, (2005 :14) antara lain: (a) Pendidikan politik, (b) Training
kepemimpinan politik, (c) Stabilitas Politik, (d) Ekuitas Politik, (e)
Akuntabilitas. (f) Respon Pemerintah.
D. Elemen dan Model Desentralisasi
Elemen-elemen dasar yang membentuk pemerintahan
daerah sebagai suatu kesatuan pemerintahan. Smith, (1985)
sebagaimana dikutip oleh Budiyanto (2009) menjelaskan bahwa
desentralisasi dalam arti sempit (devolution) terkait dengan 2 (dua)
hal Pertama, adanya subdivisi wilayah dari suatu negara yang
mempunyai ukuran otonomi. Subdivisi teritori ini memiliki self
governing melalui lembaga politik yang memiliki akar dalam
wilayah sesuai dengan batas yurisdiksinya. Wilayah ini tidak
diadministrasikan oleh agen-agen pemerintah di atasnya, tetapi
diatur oleh lembaga yang dibentuk secara politik di wilayah
tersebut. Kedua, lembaga-lembaga tersebut akan direkrut secara
demokratis. Berbagai keputusan akan diambil berdasarkan
prosedur demokratis.
Lebih lanjut Smith, (1985:8-12) sebagaimana dikutip oleh
Muluk, (2002) menjelaskan bahwa desentralisasi mencakup
beberapa elemen, yaitu desentralisasi memerlukan pembatasan
30 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
area, yang bisa didasarkan pada 3 (tiga) hal, yaitu (1) Kehidupan
sosial dan ekonomi yang menjadi pola spasial, (2) Rasa identitas
politik, dan (3) Pelaksanaan pelayanan publik yang dapat
diefisienkan. Kemudian desentralisasi juga meliputi pendelegasian
kewenangan, baik kewenangan politik maupun kewenangan
birokratis.
Menurut Nurjaman sebagaimana dijelaskan oleh Syahda,
(2000:85) terdapat beberapa alternatif tentang bagaimana
hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dibangun yang pertama adalah highly centralized dimana
hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dibangun
dengan menitikberatkan kekuasaan yang besar kepada pusat.
Kedua adalah highly decentralized dimana hubungan pemerintah
pusat dan daerah dibangun dengan cara confederal system yakni
memberikan kewenangan yang besar kepada daerah. Ketiga
adalah federal system, dimana hubungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah berdasarkan sharing antara pusat dan daerah.
Diketahui Negara Negara besar dengan pluralisme etnik seperti
AS (Amerika Serikat), Kanada, India, dan Australia mengadopsi
sistem ini.
Pendapat lain dari Kavanagh, (1982) membagi 2 (dua)
model hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dari sudut kedudukan pemerintah daerah terhadap pemerintah
pusat. Pertama Agency Model, dalam model ini Pemerintah
Daerah semata-mata dianggap sebagai pelaksana oleh pemerintah
pusat ;
“…Central government has the power to create or abolish
local government bodies and their powers. In this model,
the national framework of a policy is established centrally
and local authorities carry it out, with little scope for
discreation or variation.
Kedua Partnership Model Berbeda dengan model pertama,
maka model kedua ini menekankan pada adanya kebebasan yang
luas kepada pemerintah daerah untuk melakukan Local Choice.
Beberapa ciri pokok model ini adalah:
“Local government has its own political legitimacy, finance
(from rates and service), resources, and even legal powers,
and the balance of power between the center and locality
fluctuates according to the contexs, there is too much
variation in local services to sustain the agency model, even
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 31
though local authorities are clearly subordinate in the
partnership”.
Lebih lanjut Muluk, (2009:63) menjelaskan bahwa,
mengingat sentralisasi dan desentralisasi berada dalam suatu garis
kontinum, maka tidak berarti desentralisasi menanggalkan
sentralisasi. Pada dasarnya desentralisasi dan sentralisasi tidak
saling meniadakan, namun saling melengkapi sebagai suatu
konfigurasi yang bermanfaat dalam pencapaian tujuan-tujuan
pemerintahan. Oleh sebab itu dapat ditarik pada sebuah
pemahaman bahwa, desentralisasi yang diterapkan secara tepat
dalam pengertiannya yang luas akan mampu memenenuhi tujuan
pemerintahan.
Terkait dengan hal tersebut Muluk, (2009:67) menjelaskan
bahwa terdapat dua nilai dasar pemerintahan daerah yang tecermin
dalam local democracy model dan structural efficiency model.
Pada umumnya penggunaan dua model tersebut secara terpisah.
Artinya sebuah negara mengacu pada salah satu model tersebut,
karena keduanya merupakan pilihan bagi sebuah negara dalam
kurun waktu tertentu. Kedua model tersebut juga dapat
dikombinasi baik dalam pendekatan ekuilibrium, dengan asumsi
bahwa kedua model tersebut berada dalam satu garis kontinum,
namun titik ekstremnya berbeda. Pendekatan campuran atau mixed
approath juga dapat dilakukan dalam kombinasi, dimana
menempatkan satu model dalam jenjang pemerintahan tertentu dan
model yang lain dalam pemerintahan lainya.
Lebih lanjut kaitanya dengan desentralisasi, pelayanan
publik dan kesejahteraan masyarakat, Prasojo et al. (2006:22)
dalam prakteknya sering kali desentralisasi diberikan dalam
perspektif supply side/perspektif pemberi desentralisasi. Dalam hal
ini adalah pemerintah pusat. Pemerintah pusat seringkali
memberikan desentralisasi atas kebutuhanya saja, daripada apa
yang seharusnya dimiliki dan menjadi kebutuhan daerah.
Berkaitan dengan hal itu sehingga menyebabkan beberapa
kelemahan antara lain (1) Kesenjangan kapasitas sistem
pemerintahan dan masyarakat di tingkat local, (2) Mengurangi
masyarakat untuk berpartisipasi, (3) Mengurangi tingkat legitimasi
dan akseptansi masyarakat terhadap pemerintahan daerah, (4)
Program desentralisasi berakhir dengan resentralisasi karena
ketidakmampuan daerah dalam melaksanakan kewenanganya.
32 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
E. Dekonsentrasi
Smith (1985) sebagaimana dikutip oleh Suwandi, (2006:13)
menjelaskan bahwa Field Administrasi merupakan sebutan atas
pembentukan unit pemerintahan melalui kebijakan dekonsentrasi.
Dalam pembentukan pemerintahan wilayah ada dua cara yang
dapat dimbil oleh pemerintah pusat yakni (1) Functional Field
Administration. Dimana cara tersebut diambil apabila unit wilayah
pemerintahan hanya diberikan tanggungjawab untuk menyeleng-
garakan satu kewenangan tertentu. (2) Integrated Field
Administration. Dimana cara tersebut diambil apabila unit wilayah
diberikan tanggungjawab menyelenggarakan berbagai
kewenangan pemerintah pusat yang berada di daerah/ multi fungsi.
Berkaitan dengan Integrated Field Administration Fried (1963)
sebagaimana dikutip oleh Maksum (2014:11) menyebutkan cara
tersebut dengan model Integrated Perfectoral System, sehingga
konsekuensi yang didapat adalah berhimpitnya antara daerah
otonom dan daerah administrasi serta adanya rangkap jabatan
kepala daerah yang sekaligus merangkap sebagai wakil
pemerintah pusat
Dalam buku terbitan FAO, (2006:31) disebutkan bahwa:
“Deconcentration and decentralization, far from replacing
each other, have always been considered as complimentary
by political decision makers”.
Artinya perbedaan kadar akan terjadi saat dekosentrasi dan
desentralisasi secara simultan bergerak. Dalam pendikotomianya,
hubungan antara desentralisasi dan dekonsentrasi bersifat
alternatif sedangkan, pada prinsip kontinum, hubungan
desentralisasi dan dekonsentrasi saling melengkapi.
Selanjutnya Cohen dan Peterson (1999) mendefinisikan
dekonsentrasi: Wollman (2007:2) mengemukakan dekonsentrasi
adalah
“An intrinsically administrative concept that captures the
devolution of (administrative) functions from an upper to a
lower level or unit, typically through the establishment of
regional or local”.
Kemudian Rondinelli, (1983:19) sebagaimana dikutip oleh
Pitono, (2012:15) mengurai berbagai macam tipologi dekonsentrasi,
kemudian status dan hubungan fungsional kelembagaan, serta
keluasan kewenangan yang diperoleh dari dekonsentrasi.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 33
Rondinelli, (1983:19) sebagaimana dikutip oleh Pitono, (2012:15)
membagi dua tipoligi dekonsentrasi yakni. (1) Field
administration. Dimana diberinya keleluasaan pejabat lapangan
sebagai pengambil keputusan dalam hal perencanaan, keputusan-
keputusan yang sifatnya rutin, serta penyesuaian kondisi setempat
dalam mengimplementasikan kebijakan pusat. (2) Local
administration. Dimana seluruh pejabat yang berada di setiap
tingkat pemerintahan seperti provinsi, distrik, kotapra dan lain
sebagainya, yang dikepalai oleh seorang pejabat yang diangkat,
merupakan wakil dari pemerintah pusat yang berada di bawah dan
bertanggung jawab pada departemen pusat.
Kemudian pengertian dekosentrasi menurut Walfer yang
dikutip oleh Rahmanurrasyid, (2008) adalah pendelegasian
kewenangan pada pejabat atau kelompok pejabat yang diangkat
oleh pemerintah pusat dalam wilayah administrasi. Terdapat
tujuan yang hendak dicapai dari adanya pendelegasian
kewenangan tersebut. Suwandi, (2004:14) menjelaskan, pada
dasarnya ada tujuan utama yang hendak dicapai oleh pemerintah
dari adanya kebijakan dekonsentrasi, yakni Pertama adalah tujuan
politis. Tujuan politis ini dalam rangka menyerap informasi dan
aspirasi dari daerah, berikutnya juga dalam rangka membangun
dukungan daerah dari kebijakan pemerintah pusat, dimana unit
dekonsentrasi dan pejabatnya diharuskan menghadapi apabila terjadi
resistensi serta tekanan terhadap kebijakan pemerintah pusat. Dengan
hal itu pemerintah pusat tidak perlu secara langsung menghadapi
resistensi dan tekanan tersebut. Kedua tujuan administrasi.
Berkaitan dengan tujuan administrasi unit wilayah sebagai pelaksana
field administration maka pengendalian manajemen, khususnya
tingkat operasional, yang dilimpahkan pada unit wilayah dari
suatu daerah otonom Burns, et. al. (1994:83) menjelaskan;
“Internal decentralisation corresponds to the process where
by management control, particulary the operational level, is
devolved within the firm, leading to the creation of intemat
business units typically engaged in trading with other units
both within and outside the firm. External decentralisation
corresponds to the proess of contracting out production and
the control of horizontally integrated networks of sub
contractors is vital to recognise, however, That the
decentralisation of production is not equivalent to the
decentralisation of strategic command. lf anything,
operational decentralisation has facilitated a much greater
34 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
strategic centralisation multinationals such as Benetton or
Toyota have been able to Exert much greater central
control through the external decentralisation of production.
It follows that decentralisation does not necessarily weaken
the role of the centre Indeed, it can be argued that effective
decentralisation requires a strong and confident centre.”
Berkaitan dengan penjelasan di atas, untuk memberikan
penjelasan dan pemahaman tentang desentralisasi dan
dekonsentrasi perbedaan keduanya tercantum pada tabel sebagai
berikut:
Tabel 2.1
Perbedaan Desentralisasi dan Dekonsentrasi
Desentralisasi Dekonsentrasi
1. Melahirkan daerah
otonom.
2. Memiliki pembatasan
wilayah yurisdiksi daerah
otonom.
3. Penyerahan kewenangan
pemerintahan pada bidang
politik dan administrasi.
4. Hal yang diberikan
penyerahan kewenangan
politik dan administrasi
adalah daerah otonom.
5. Berkonsekuensi pada
otonomi daerah.
6. Daerah otonom secara
hierarki berkedudukan di
luar organisasi Pemerintah
Pusat. Sehingga hubungan
dengan pemerintah pusat
bersifar antar organisasi
publik.
1. Melahirkan perangkat
pemerintah pusat yang berada
di wilayah.
2. Pembatasan yang ada pada
wilayah kerja/wilayah
jabatan/wilayah administrasi.
3. Pelimpahan kewenangan
pemerintahan terbatas pada
bidang administrasi.
4. Hal yang diberikan
pelimpahan kewenangan
adalah perangkat/pejabat
Pusat.
5. Tidak berkonsekuensi pada
otonomi daerah.
6. Wilayah administrasi secara
hierarki berkedudukan di
dalam organisasi Pemerintah
Pusat. Sehingga hubungan
dengan pemerintah pusat
bersifat intra organisasi.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 35
Desentralisasi Dekonsentrasi
7. Kewenangan yang
diserahkan terbatas pada
kewenangan
pemerintahan yakni
kewenangan yang dimiliki
oleh Presiden dan
Menterinya
8. Sumber pembiayaan dari
APBD (Anggaran
Pendapatan dan Belanja
Daerah)
7. Kewenang pemerintahan
yang diserahkan yakni
pemerintahan umum,
koordinasi, pengawasan,
ketentraman dan ketertiban
umum, pembinaan bangsa,
dan bidang pemerintahan
khusus dari Menteri-Menteri
yang membidangi urusan
teknis.
9. Sumber pembiayaan dari
APBN (Anggaran
Pendapatan dan Belanja
Negara)
Sumber: Nurcholis, (2014:14)
*****
36 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 37
BAB III
OTONOMI DAERAH
A. Pengertian Otonomi Daerah
Widjaja, (2001:76) menjelaskan bahwa otonomi adalah
perundangan sendiri atau pemerintahan sendiri atau zehwetgewing.
Tetapi menurut perkembanganya di Indonesia, otonomi selalu
mengikuti arti regeling (perundangan) dan mengandung arti
bestuur (pemerintahan). Beberapa pengertian yang terkandung
dalam otonomi sebagai berikut: (1) Suatu kondisi atau ciri untuk
tidak dikontrol oleh pihak lain atau kekuatan lain, (2) Bentuk
pemerintahan sendiri, yaitu hak untuk memerintah atau
menentukan nasibnya sendiri. (3) Dihormati, diakui sebagai
pemerintah sendiri dan dijamin tidak adanya kontrol dari pihak
lain terhadap fungsi daerah atau terhadap minoritas suatu bangsa,
(4) Memiliki pendapatan yang cukup sebagai pemerintahan
otonomi untuk menentukan nasibnya sendiri, memenuhi
kesejahteraan hidup maupun dalam mencapai tujuan hidup secara
adil, (5) Memiliki supremasi atau dominasi kekuasaan atau hukum
sebagai pemerintahan daerah yang dilaksanakan sepenuhnya oleh
pemegang kekuasaan di daerah, (6) Penyerahan urusan pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam
rangka sistem birokrasi pemerintahan.
Lebih lanjut Widjaja, (2001:76) menjelaskan Otonomi
daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan Widjaja, (2001:76). Sedangkan Muluk,
(2009:62) juga menjelaskan bahwa Otonomi daerah merupakan
kewenangan untuk mengatur urusan pemerintahan yang bersifat
lokalitas menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
setempat. Dengan demikian desentralisasi pada dasarnya
menjelmakan otonomi masyarakat setempat untuk memecahkan
berbagai masalah dan pemberian layanan yang bersifat lokalitas
demi kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan.
B. Prinsip Otonomi Daerah
Assuncao (2014:115) menjelaskan bahwa otonomi daerah
itu tidak bersifar hierarkis, tetapi bersifat mandiri, manunggal
38 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
sehingga mengandung unsur keterpisahan dan menjadi kekuatan
sentrifugal yang di satu sisi menjadi ancaman bagi integrasi
nasional. Dahl (1989) sebagaimana dikutip oleh Assuncao
(2014:115) menjelaskan pada dasarnya kebutuhan akan
desentralisasi atau pembentukan daerah otonom sejak awal tidak
pernah dipertimbangkan pada aspek teknik, namun hasil tarik
menarik atau konflik antara daerah dengan pusat. Terkait dengan
itu Hoessein, (2000) menjelaskan bahwa dalam konsep otonomi
terkandung kebebasan untuk berprakarsa untuk mengambil
keputusan atas dasar aspirasi masyarakat yang memiliki status
demikian tanpa kontrol langsung oleh Pemerintah pusat. Muluk,
(2009:62) menjelaskan juga bahwa desentralisasi dapat pula
disebut otonomisasi. Otonomi daerah diberikan kepada
masyarakat dan bukan kepada Kepala Daerah atau Pemerintah
Daerah. Lebih lanjut Hoessein, (2001b) sebagaimana dikutip oleh
Muluk (2009:5) bahwa local government dan local autonomy
tidak dicerna sebagai daerah atau Pemerintah daerah tetapi
merupakan masyarakat setempat. Urusan dan kepentingan yang
menjadi perhatian keduanya bersifat lokalitas karena basis
politiknya adalah lokalitas tersebut bukan bangsa. Makna lokalitas
ini juga dalam berbagai istilah di berbagai negara yang merujuk
pada maksud yang sama. Commune di Prancis, Gemeinde di
Jerman, di Belanda, dan Municipio di Spanyol yang kemudian
menyerupai Municipality di Amerika Serikat tercermin Getnentee
Norton, (1997:23). Manfaat bagi masyarakat setempat ini adalah
adanya political equality, accountability, dan responsiveness.
Otonomi yang diberikan kepada masyarakat tentunya
berkonsekuensi pada seberapa besar derajat atau ukuran partisipasi
masyarakat yang dimiliki dalam penyelengaraan pemerintahan
daerah. Arnstein sebagaimana dijelaskan oleh Burns, et. al.
(1994:155) mengajukan delapan tingkat partisipasi. Pada tangga
terbawah terdapat dua tingkatan yang digolongkan sebagai bukan
partisipasi, yakni manipulasi dan terapi. Tangga ini bertujuan tidak
untuk mendorong rakyat untuk berpartisipasi dalam perencanaan
atau penyelenggaraan program, melainkan untuk memungkinkan
pemegang kekuasaan dalam mendidik atau 'mengobati' rakyat.
Tangga kedua terdiri dari tiga tingkatan yang melibatkan dialog
dengan publik. Tangga yang tertinggi terdiri dari tiga tingkatan
Pemegang yang memberi warga derajat yang lebih baik dalam
pengambilan keputusan. Dalam tangga ini warga secara langsung
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 39
bekerjasama dalam proses pembuatan kebijakan maupun
penyediaan layanan.
Partisipasi publik dapat berlangsung dalam beberapa area
pengambilan keputusan Burns, et al, (1994:160) sebagaimana
dikutip oleh Muluk (2009:84) yakni: pertama, praktik operasional
yang menyangkut perilaku dan kinerja pegawai dalam institusi
publik, isu-isu yang berkaitan dengan aspek lainnya dalam kualitas
pelayanan publik, keterandalan dan keteraturan pelayanan,
fasilitas bagi pengguna jasa berani dengan kebutuhan tertentu. dan
lain sebagainya, Kedua, keputusan pembelanjaan yang berkaitan
dengan anggaran yang didelegasikan, anggaran Yang menyangkut
modal besar, sampai pada anggaran pendapatan menyeluruh yang
mencakup gaji pegawai dan biaya rutin bagi kantor tertentu dan
pemeliharaannya, termasuk peningkatan pendapatan melalui
peningkatan pajak lokal. Ketiga, pembuatan kebijakan yang
menyangkut tujuan-tujuan strategis dari pelayanan tertentu'
rencana strategis bagi pembangunan kawasan dan fasilitas
tertentu, dan prioritas pembelanjaan dan keputusan alokasi
sumberdaya lainnya.
Berbagai bentuk partisipasi publik dalam arti luas
pemerintahan daerah berdasarkan pengalaman berbagai negara di
dunia Norton, (1994:703-9) sebagaimana dikutip oleh Muluk,
(2009:85) yang berkisar pada : pertama, referenda bagi isu-isu
vital di daerah tersebut, dan penyediaan peluang inisiatif warga
untuk memperluas isu-isu yang terbatas dalam referenda. Kedua,
melakukan decentrdlization in cities (desentralisasi di dalam kota)
kepada unit-unit yang lebih kecil sehingga kebutuhan, tanggung
jawab dan pengambilan keputusan lebih dekat lagi kepada
masyarakat. Ketiga, konsultasi dan kerjasama dengan masyarakat
sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka. Dan yang
keempat adalah partisipasi dalam bentuk sebagai elected member
(anggota yang dipilih).
C. Tujuan Otonomi Daerah
Widjaja, (2001:76) menjelaskan bahwa tujuan dari
pelaksanaan otonomi daerah adalah mencapai efisiensi dan
efektivitas dalam penyelenggaraan urusan ini adalah antara lain:
(1) Menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang, (2)
Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. (2) Menumbuhkan
kemandirian daerah.(3) Meningkatkan daya saing daerah dalam
proses pertumbuhan.
40 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Sedangkan hakekat otonomi daerah menuntut Ibrahim
(2008:49) adalah lebih merupakan kewajiban daripada hak, yaitu
kewajiban daerah otonom yang bersangkutan untuk itu
melancarkan pembangunan nasional (pembangunan daerah adalah
penunjang pembangunan nasional). Sementara menurut Mansyur
(1993:19) hakekat otonomi adalah secara nyata mampu mengurus
rumah tangganya sendiri dan lebih menitikberatkan pada tanggung
jawab melaksanakan pembangunan dan pelayanan masyarakat
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan fisik, ketentraman, dan
ketertiban umum (prosperity and security).
Sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggung jawab, maka pelimpahan beberapa urusan harus
didasarkan pada beberapa kondisi objektif dan kemampuan daerah
untuk menerima dan mengurus pemerintahan yang akan maupun
yang telah dilimpahkan ke daerah. Berkenaan dengan hal itu,
maka perlu adanya tolak ukur dan indikator yang jelas, sejauh
mana kemampuan dan kesiapan untuk melaksanakan otonomi bagi
masing-masing kabupaten maupun kota di seluruh indoensia.
Menurut Widjaja, (1998:39) tolak ukur dan indikator
pelaksanaan otonomi daerah itu meliputi Variabel pokok yang
terdiri dari kemampuan pendapatan asli daerah, kemampuan
aparatur, kemampuan partisipasi masayarakat, kemampuan
ekonomi, Kemampuan demografi, kemampuan organisasi dan
administrasi. Sedangkan Variabel penunjangnya adalah faktor
demografi, faktor sosial budaya. Lalu variabel khusus terdiri dari
Sosial politik Hankam dan penghayatan keagamaan.
Melalui indikator ini karena tiap-tiap daerah dapat melihat,
mengukur sekaligus mempersiapkan secara sesuatu yang berkaitan
dengan variabel-variabel yang menentukan keberhasilan dari
pelaksaan otonomi daerah Kemudian menurut Assuncao
(2014:119) daerah juga perlu memperhatikan aspek diletakkanya
kepala daerah otonom dengan pemerintahan umum, bahkan
semenjak pemerintahan hindia belanda dulu yang memperkuat
asas dekonsentrasi dengan Integrated Perfectoral System dan
dengan itu pemerintah daerah sebagai algemer bestuur.
*****
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 41
BAB IV
PEMERINTAH DAERAH
A. Pengertian Pemerintah Daerah
Fried (1963) sebagaimana dikutip oleh Prasojo et al.
(2006:81) memilah pola pemerintahan daerah yang didasarkan
atas ada atau tidaknya wakil pemerintah pusat di daerah (1) Sistem
perfektoral yang terbagi atas perfektoral yang teritegrasi dengan
yang tak terintegrasi (2) Fungsional. Negara yang menganut
sistem tersebut berbeda-beda. Memahami bagaimana posisi
masyarakat dalam pemerintahan daerah maka perlu dilihat asal-
usul penyebutan istilah Norton, (1994:3) sebagaimana dikutip oleh
Muluk, (2009:42) bahwa nama daerah dalam tradisi Barat dan
ternyata hal tersebut berkaitan dengan posisi masyarakat. Awal
mula sebutan daerah otonom ini berasal dari Yunani Kuno dan
Romawi. Koinotes (community), dan demos (People atau district)
adalah nama dari Pemerintah daerah Yunani saat ini. Municipality
dan variannya berasal dari hukum administrasi Romawi kuno,
municipium. City berasal dari bahasa Romawi civitas yang
merupakan turunan dari kata civis (citizen). Country berasal dari
comitates, turunan dari kata cornes (count) yakni kantor dari
pejabat kekaisaran.
Lebih lanjut Hoessein, (2001b) sebagaimana dikutip oleh
Muluk, (2009:57) bahwa Local government ini merupakan sebuah
konsep yang dapat mengandung tiga arti. Pertama, ia berarti
pemerintah lokal yang kerap kali dipertukarkan dengan local
outhoity yang mengacu pada organ, yakni council dan mayor
dimana rekrutmen pejabatnya didasarkan pada pemilihan.
Smith (1985:18), sebagaimana dikutip oleh Muluk,
(2005:8). Desentralisasi memiliki arti yang berkaitan dengan dua
hal. Pertama, adanya subdivisi teritori dari suatu Negara yang
mempunyai ukuran otonomi. Subdivisi self governing melalui
lembaga politik yang memiliki akar dalam wilayah sesuai dengan
batas yuridiksinya. Wilayah ini tidak diadministrasikan oleh agen-
agen pemerintah di atasnya tetap diatur oleh lembaga yang
dibentuk secara politis di wilayah tersebut. Kedua, lembaga-
lembaga tersebut akan direkrut berdasarkan prosedur demokratis.
Smith (1985:8), begaimana dikutip oleh Muluk (2002), juga
mengungkapkan bahwa desentralisasi mencakup beberapa elemen,
42 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
yaitu (a) Desentralisasi membutuhkan pembatasan area yang bisa
didasarkan pada tiga hal (pola spesial kehidupan sosial dan
ekonomi, rasa indentitas politik, dan efisiensi pelayanan publik
yang bisa dilaksanakan), (b) Desentralisasi yang meliputi pula
pendelegasian wewenang, baik itu kewenangan politik, maupun
kewenangan birokratis.
Sementara itu, Hoessein, (2001c) sebagaimana dikutip
oleh Muluk, (2005:9) mengungkapkan bahwa desentralisasi
mencakup dua elemen pokok, yaitu pembentukan daerah otonom
dan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonom
tersebut. Dari kedua elemen pokok tersebut lahirlah Local
Government yang didefinisikan oleh United Nation dalam
Alderfer, (1965:178) sebagai:
“a political subdivision of a nation or (in federal system)
state which is constituted by law and has substansial
control of loval affairs, including the power to impose tazes
or exactlabor for prescribed purposes. The governing body
of such an entity is eleted or otherwise locally selected.
Selanjutnya Hoessein menjelaskan sebagaimana dikutip
oleh Hanif, (2007:24) bahwa pada dasarnya pemerintahan daerah
adalah terjemahan dari konsep local government yang intinya
terkandung tiga pengertian, yaitu: pertama berarti pemerintah
lokal, kedua berarti pemerintahan lokal, dan ketiga berarti wilayah
lokal.
Pengertian pertama mengenai pemerintahan daerah
hubunganya pada organisasi/badan/lembaga yang memiliki fungsi
menyelenggarakan pemerintahan daerah. Tak lain adalah
organisasi pelaksanaan kegiatan pemerintahan daerah, dalam hal
ini Kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kedua
lembaga ini yang menggerakkan kegiatan pemerintahan daerah
sehari-hari. Oleh karena itu, kedua lembaga ini dimaknai dengan
Pemerintah daerah (local government atau local authority).
Pengertian kedua pemerintah lokal yaitu pada kegiatan
pemerintahan yang dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan melakukan kegiatan-kegiatan
pengaturan. Kegiatan ini merupakan fungsi penting yang
hakikatnya adalah fungsi dalam pembuatan kebijakan pemerintah
daerah sebagai dasar dalam menyelenggarakan pemerintahan
daerah.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 43
Pengertian ketiga Pemerintahan lokal mengarah pada
wilayah pemerintahan atau daerah otonom yang memiliki hak
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang telah
diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah menjadi urusan
rumah tangganya. Hak mengatur ini dimanifestasikan dalam
pembuatan kebijakan daerah yang pada intinya merupakan
kebijakan umum pemerintahan daerah sedang hak mengurus
rumah tangga daerah dimanifestasikan pada implementasi
peraturan daerah yang berkaitan dengan pelaksanaan urusan
pemerintahan, pembangunan, dan pembinaan.
Muttalib dan Khan (1983:19) dijelaskan bahwa dalam
dimensi administrasif Pemerintahan daerah secara operasional
merupakan organisasi administratif yang di dalamnya terjadi
perpaduan antara politik administrasi dan teknologi. Tingkat
perpaduan unsur-unsur tersebut pada pemerintah daerah memiliki
karakteristik yang unik, tidak ditemukan pada jenjang
pemerintahan lainya. Orang mungkin bisa melihat perpaduan dari
pengetahuan dan pengalaman para politisi, administrator dan
teknokrat di berbagai jenjang organisasi. Pada suatu waktu,
seorang tidak dapat memahami ketika proses politik organisasi
dan teknologi mulai dan dan berakhir serta bagaimana mereka
berbaur. Hampir semua jenjang, baik pada pembentukan hukum
(undang-undang) penyusunan perencanaan atau program,
pengawasan atau inspeksi, pelaksanaan maupun evaluasi, dapat
dilihat dari tim kerja, masing masing dari mereka menarik
pelajaran dari pengetahuan dan pengalaman orang lain. Hal ini
berlaku di dalam dewan atau komite di kantor maupun di
lapangan.
Surianingrat (1981b) sebagaimana dikutip oleh Nurcholis
(2017) menjelaskan bahwa di Indonesia yang saat ini dikenal
sebagai daerah otonom kota sejarah awalnya adalah gemeente
(1905) kemudian dalam perjalannya dirubah menjadi
stadsgemeente (1922). Keduanya merupakan wilayah
pemerintahan berkarakteristik perkotaan bergaya Eropa. Wilayah
pemerintahan tersebut dipimpin oleh burgemeester atau sebutan
lainya adalah wali kota yang bermitra dengan stadsgemeenteraad
atau sebutan lainya dewan kota. Di bawah struktur burgemeester
tidak terdapat district-hoofd/wedana dan ondersistrict-
hoofd/asisten wedana hingga RW (Rukun Warga) dan RT (Rukun
Tetangga). Dalam lingkungan stadsgemeente terdapat mesteerwijk
atau sebutan lainya adalah kepala kampung tapi namun tugas dan
44 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
fungsinya berbeda dengan RT. Di bawah struktur burgemeester
terdapat dinas-dinas pelayanan publik.
Kemudian daerah otonom kabupaten yang juga kita kenal
saat ini sebagaimana dikutip dari Nurcholis (2017) bahwa pada
awalnya kabupaten adalah kadipaten, yang merupakan daerah
vasal Kerajaan Mataram Islam, kemudian dimanfaatkan
pemerintah Hindia Belanda sebagai alat untuk memerintah bangsa
Indonesia. Kabupaten atau sebutan lainya regentschap merupakan
model pemerintahan pribumi/inlandse binnenlandse bestuur yang
berbeda dengan stadsgemeente dengan gaya Eropa. Kabupaten
dipimpin oleh bupati atau dengan sebutan lain regent dan
didampingi oleh dewan kabupaten atau dengan sebutan lain
regentschapsraad. Day, (1904), Angelino, (1931) sebagaimana
dikutip oleh Nurcholis (2017) menjelaskan bahwa di bawah
struktur kabupaten dibentuk pemerintah wilayah dengan sebutan
district/ kawedanan dan di bawah kawedanan dibentuk pemerintah
wilayah onderdistrict/Kecamatan.
B. Macam-macam Pemerintah Daerah
Terdapat dua macam Pemerintah daerah sebagaimana
dijelaskan Muluk, (2005) Pertama adalah Local Self Government
yaitu Pemerintah Daerah yang mengatur dan mengurus kegiatan
pemerintahannya sendiri dalam penyelenggaraan azas
desentralisasi adalah daerah otonom. Alasan adanya daerah
otonom adalah penyelenggaraan pemerintah yang baik di tingkat
daerah, penyesuaian pemerintah di tingkat daerah sesuai dengan
kondisi di daerah, untuk memperhatikan perbedaan-perbedaan di
tingkat daerah. Dengan adanya Undang-Undang tentang Otonomi
Daerah dimungkinkan untuk dimekarkan, digabungkan, atau
bahkan dihapuskan. Ciri-ciri Daerah Otonom (a) Segala urusan
yang diselenggarakan merupakan urusan yang sudah menjadi
urusan rumah tangganya sendiri, (b) Segala penanganan atau
pelaksanaan urusan didasarkan pada inisiatif dan kebijakan daerah
itu sendiri, (c) Segala penyelenggaraan urusan pemerintah
dilaksanakan oleh alat perlengkapan, bukan pejabat pusat, tetapi
pejabat atau pegawai daerah (d) Segala pembiayaan
penyelenggaraan urusan-urusan ditanggung dan dibiayai oleh
sumber pembiayaan di daerah, (e) Hubungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah otonom segalanya hanya pengawasan.
Kedua adalah Local State Government, yaitu macam
pemerintah daerah sebagai perwujudan pelaksanaan azas
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 45
dekonsentrasi, yaitu peyelenggaraan unsur pemerintah pusat yang
ada di daerah. Alasan perlu adanya pemerintah wilayah adalah (a)
Mengurangi beban tugas Menteri/Departemen. (b) Urusan dengan
pihak ketiga lebih cepat, (c) Karena ada pemerintah pusat di
daerah maka diharapkan akan lebih mudah dalam pengambilan
keputusan masalah yang sering terjadi (d) Luas wilayah
kewenangan pejabat administrasi sering tidak sesuai dengan
undang-undang, (e) Koordinasi antara pejabat-pejabat Daerah
otonom dan aspek budaya, proses pengambilan keputusan dan
pejabat wilayah cenderung lambat.
Mencermati susunan-luar pemerintahan daerah berdasarkan
UUD 1945. Manan (1994) sebagaimana dikutip oleh Nurcholis
(2016:10) bahwa seluruh daerah merupakan daerah otonom
dengan asas desentralisasi/ otonomi serta tugas pembantuan
(medebewind), bukan wilayah administrasi dengan asas
dekonsentrasi. Berdasarkan hal itu konsekuensinya adalah wilayah
administrasi yang diwariskan oleh pemerintah Hindia Belanda
seperti karesidenan dan kawedanan yang berasaskan dikonsentrasi
dihapuskan pada tahun 1963. Namun dalam rangka
mempersiapkan daerah otonom tingkat III Pemerintahan wilayah
administrasi kecamatan tidak dihapus.
Lebih lanjut Nurcholis (2016:10) menjelaskan pada awal
terbentuknya pemerintahan republik Indonesia, pemerintahan
berasas dekonsentrasi dan dihapuskanya Pemerintahan masyarakat
desa. Namun semenjak rezim pemerintah orde baru dibentuk lagi.
Pada era reformasi pemerintahan yang berasaskan dekonsentrasi
kembali lagi dihapus, namun berselang lima belas tahun kemudian
seiring dengan ditetapkanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 pemerintahan berasaskan dekonsentrasi dihidupkan kembali.
Undang-Undang tersebut menjadikan wilayah administrasi (local
state government) yang berimpit dengan daerah otonorn (local
self-government), disinyalir akan memunculkan ketumpang
tindihan antara kewenangan otonomi dengan kewenangan
sentralisasi serta adanya persaingan antar keduanya di seluruh
satuan pemerintahan.
C. Pola Pemerintahan Daerah
Muthalib dan Khan, (1983:61) menjelaskan bahwa
pemerintahan daerah merupakan sebuah konsep yang relatif
moderen, walaupun beberapa pemerintahan daerah sudah ada
semenjak abad pertengahan. Kemudian pada zaman kuno pun juga
46 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
sudah ada di semua negara, hal itu diakibatkan oleh tuntutan
kebutuhan politik, administrasi, sosial ekonomi, maupun
geografis.
Terdapat empat pola pemerintahan daerah sebagaimana
dijelaskan oleh Muluk, (2005), yaitu (1) Comprehensive Local
Government System, dimana penyelenggaraan pemerintah daerah
yang sebagian besar atau bahkan hampir seluruh urusan
pemerintah di daerah diselenggarakan serta dikelola sepenuhnya
oleh pemerintah daerah. (2) Partnership Local Government
System, dimana penyelenggaraan pemerintah daerah yang
sebagian urusan pemerintahan dilaksanakan oleh pusat melalui
mekanisme pembentukan unit organisasi atau badan pemerintah
pusat yang ada di daerah dan sebagian lagi dilaksanakan oleh
pemerintah daerah. (3) Dual System of Local Government dimana
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sebagian urusan
pemerintahan pusat di daerah dilaksanakan oleh pemerintah pusat
di daerah tanpa membentuk unit organisasi atau badan di daerah
dan sebagian urusan lagi dilaksanakan di daerah. (4) Integrated
System of Local Government dimana penyelenggaraan pemerintah
daerah yang sebagian besar untuk urusan pemerintah di daerah
ditangani oleh pemerintah pusat di daerah.
D. Konsepsi Pemerintahan Daerah
Muthalib dan Khan, (1983:2-18), menjelaskan bahwa
konsep local government harus dipahami secara komprehensif dan
dimaknai secara multidimensi yang meliputi: (1) social dimension;
(2) economic dimension; (3) geografic dimension; (4) legal
dimension; (5) political dimension; dan (6) administrative
dimension.
Lebih lanjut Muthalib dan Khan (1983:29-51) menjelaskan
bahwa kebutuhan terhadap pembangunan desentralisasi
bersinggunngan dengan adanya empat fungsi yang dimilikinya,
yakni (1) meningkatkan partisipasi warga lokal; (2) mempercepat
pembangunan ekonomi lokal; (3) terjadinya transformasi sosial di
tingkat lokal; dan (4) menciptakan pemerataan hasil-hasil
pembangunan.
Sedangkan Smith, (1985:18-45) sebagaimana dikutip oleh
Budiyanto, (2009) mengungkapkan bahwa konsepsi lahirnya
pemerintahan daeran yang diakibatkan oleh desentralisasi, perlu
dilihat melalui perspektif tentang local government. Ada
perspektif ketika melihal desentralisasi, yakni (1) liberal
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 47
democracy, (2) economic interpretation, dan (2) marxist
interpretation. Dalam perspektif demokrasi liberal, local
government memberikan manfaat pokok. Dimana manfaat yang
dimaksud adalah, adanya kontribusi positif bagi perkembangan
demokrasi nasional, karena local government mampu menjadi
sarana pendidikan politik bagi rakyat, dan memberikan pelatihan
bagi kepemimpinan politik, serta mendukung terciptanya stabilitas
politik.
Sedarmayanti et al, (2006:158) menjelaskan, disadari atau
tidak, bentuk pemerintahan yang berlaku adalah salah satu faktor
yang memainkan peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dinamika hubungan pusat dan daerah sangat
bergantung pada tipe pemerintahannya, karena keseimbangan
kekuasaan yang melekat dalam pemerintahan umumnya
mempunyai makna penting dalam filosofi atau bentuk dasar
Negara tersebut. Nugraha (2006:158) menyebutkan, secara
vertikal antara pemerintah pusat dan daerah di Negara Kesatuan,
atau Negara Serikat, antara pemerintah federal dan Negara bagian.
Secara horizontal, adanya pembagian kekuasaan antara eksekutif
legislatif dan yudikatif.
Haligan dan Aulich sebagaimana dikutip oleh Nugraha,
(2006:158-159):
“The local democracy model dan the structural eficiensi
model. The local demofracy model values loval difference
and system diversity because local authority has both the
capacity and the legitimacy for local choice and local voice.
This means that local authority cand and will make choice
that differ from made by other”.
Model ini dibangun didasarkan pada pendekatan-
pendekatan politik yang ingin menerapkan demokrasi di daerah.
Artinya model pemerintahan daerah dibentuk dengan menekankan
pada kepentingan demokrasi yang mungkin secara ekonomis
pendekatan tersebut kurang efisien dan kurang efektif.
“Such model encourages greater central government
intervention to assert control over local government to
ensure that mechanisms area in place to advance efficiency
and economy; usually greater preassured for uniformity
and conformity”.
48 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Model ini dibangun atas dasar pendekatan teori manajemen
yang menekankan pada aspek efektivitas dan efisiensi.
Berdasarkan bentuknya ada enam bentuk atau sistem
pemerintahan daerah menurut Sedarmayanti et al. (2006:159). (a.)
Committee system, adalah bentuk penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang dilakukan oleh komisi-komisi yang dibentuk oleh
lembaga legislatif. Model tersebut dapat ditemui di Inggris. (b).
Council System, adalah perangkapan pimpinan lembaga eksekutif
oleh pimpinan lembaga legislatif. (c). Presidential system, yaitu
mayor or governors (Kepala daerah) dan anggota legislatif dipilih
oleh rakyat melalui pemilihan umum langsung. (d).City manager,
yakni kepala daerah dan legistif mempekerjakan manajer yang
memiliki keahlian dalam bidang pemerintah dengan masa waktu
tertentu sebagai badan. (e). Parlemen system, sistem ini
menempatkan kepala daerah sebagai pelaksana legislatif,
pimpinan eksekutif diangkat dan bertanggung jawab pada
legislatif. (f). Parlemen system, sistem kolegial dan intervensi
pemerintah pusat. Dewan eksekutif dipilih dan bertanggung jawab
kepada lembaga legislatif, tetapi ketua dewan diangkat oleh
pemerintah pusat.
Nurcholis (2017) dalam orasi ilmiahnya menjelaskan bahwa
Indonesia adalah negara kesatuan, bukan negara serikat atau
federal. Sistem federal mensyaratkan pemerintah daerah letaknya
berada di bawah negara bagian, sedangkan dalam sistem Negara
kesatuan pemerintah daerah letaknya di bawah pemerintah pusat.
Sistem pemerintahan daerah dalam negara kesatuan dapat dilihat
dari pola hubungan antara pusat dengan daerah. hubungan pusat
dengan daerah dapat dilihat melalui sistem pengawasannya.
Hume IV (1991) sebagaimana dikutip oleh Nurcholis
(2017) menjelaskan bahwa pengawasan pemerintah pusat pada
daerah dapat dilakukan melalui dua pendekatan: 1) Pengawasan
hirarki. Pengawasan ini merupakan pola pengawasan yang
spektrumnya mulai dari antarorganisasi hingga interorganisasi. 2)
Pengawasan fungsional. Pengawasan fungsional merupakan pola
pengawasan yang spektrumnya mulai apakah pengawasan
dilakukan oleh kementerian fungsional/sektoral atau dilakukan
oleh kementerian umum/seperti halnya kementerian dalam negeri.
Mengingat pemerintahan daerah di Indonesia menganut asas
otonomi dan tugas pembantuan maka model pengawasan yang
tepat adalah model fungsional sebagaimana diterapkan di Inggris,
Amerika Serikat, Kanada, dan India Smith, (1985). Dengan model
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 49
pengawasan fungsional ini maka daerah otonom tidak perlu dalam
saat yang bersamaan dijadikan sebagai wilayah adminsitrasi
sebagaimana di Perancis.
E. Struktur Organisasi Pemerintah Daerah
Leach, Stewart, dan Waish (1994). mendefinisikan struktur
organisasi
“the structure of an organization is the pattern of rules,
positions, and roles that give shape and coherence to its
strategy and process, and is typically described in
organization charts, job descriptions and patterns of
authority”
Struktur dari sebuah organisasi adalah pola aturan, posisi,
dan peran yang memberikan arah dan koherensi pada strategi dan
proses organisasi, dan secara tipikal digambarkan dalam diagram
organisasi, deskripsi pekerjaan dan pola-pola kewenangan.
Sementara itu, menurut definisi Mintzberg (1979) dijelaskan
bahwa struktur organisasi merupakan pembagian kerja ke dalam
berbagai tugas yang harus dilakukan serta koordinasi tugas-tugas
tersebut guna menyelesaikan kegiatan.
Mintzberg, (1979:20) menjelaskan bahwa struktur
organisasi dikelompokan ke dalam lima fungsi awal sebagaimana
digambarkan dalam diagram sebagai berikut;
Gambar 4.1
The Five Basic Parts of Organizations Sumber Mintzberg,
(1979:20)
50 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Pengelompokan struktur organisasi sebagaimana Gambar
4.1 di atas meliputi: Strategic Apec, Middle Line, Technostructure,
Support Staff, dan Operationg Core. (1) Fungsi Strategic Apec
dipegang oleh pengambil kebijakan organisasi. Terdapat unsur
pimpinan yang memiliki tugas dan wewenang merumuskan
kebijakan strategis. (2). Fungsi Middle Line dipegang oleh orang
atau unit yang memiliki tugas menghubungkan antara Strategic
Apec dengan Operating Core dalam bentuk kekuasaan formal
serta berwenang dalam memfasilitasi unsur-unsur lainnya yang
posisi serta kedudukannya berada di tengah-tengah badan satuan
organisasi. (3) Fungsi Technostructure tidak secara langsung
terlibat dalam proses pekerjaan organisasi, namun pekerjaan
Technostructure berpengaruh terhadap bagian yang lain.
Technostructure merupakan organisasi pendukung pembuatan
kebijakan strategis melalui tugasnya yang melaksanakan analisis
dan hasilnya disampaikan pada satuan pimpinan. (4) Fungsi
Support Staff menyerupai Technostructure, diisi oleh orang yang
berada di luar arus proses pekerjaan, namun pekerjaannya sangat
mendukung operasionalisasi kerja bidang-bidang yang ada dalam
organisasi secara menyeluruh. Dalam kaitannya dengan perangkat
daerah, maka fungsi tersebut dijalankan Sekretaris Daerah dan
jajaran di bawahnya. (5) Fungsi Operating Core dilaksanakan oleh
unit atau individu yang berhubungan langsung dengan pengguna
layanan (masyarakat), seperti: Dinas Teknis, Badan Usaha Milik
Daerah, dan sebagainya. Operating Core merupakan unsur
pelaksana kebijakan strategis yang ditetapkan oleh satuan
pimpinan.
Berdasarkan konsepsi pembentukan organisasi perangkat
daerah, dalam pengelompokan organisasi terdiri atas 5 elemen,
yakni Kepala daerah merupakan strategic apex, Sekretaris daerah
merupakan middle line dan dalam hal ini kecamatan juga pada
posisi middle line, Dinas daerah merupakan operating core, Badan
merupakan technostructure, dan staf pendukung merupakan
supporting staff. Dinas daerah merupakan pelaksana fungsi inti
yang berwenang membantu kepala daerah dalam melaksanakan
fungsi mengatur dan mengurus sebagaimana urusan Pemerintahan
yang diserahkan kepada daerah. Badan daerah melaksanakan
fungsi penunjang atau technostructure yang melaksanakan
kewenangan sebagai pembantu kepala daerah dalam fungsi
mengatur serta mengurus dalam rangka menunjang kelancaran
pelaksanaan operating core.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 51
Mengacu dari Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016
tentang Perangkat Daerah, tujuan pembentukan kecamatan
diantaranya: meningkatkan koordinasi penyelenggaraan
pemerintahan, pelayanan publik, dan lain sebagainya. Dalam
menjalankan kewenanganya camat bertanggung jawab kepada
kepala daerah melalui sekretaris Daerah. Hal tersebut menegaskan
bahwa kecamatan selain memiliki kewenangan memberikan
pelayanan pada masyarakat, juga memiliki kewenangan dalam
mengkoordinasikan penyelenggaraan pemerintahan di wilayah
kerjanya. Terkait dengan itu maka dilihat dari pengelompokan
struktur organisasi kecamatan merupakan middle line dan
operating core. Menurut Mintzberg (1979:24) dijelaskan:
“The operating core includes all those employees who
themselves produce the basic products and services of the
organization, or directly support their production”.
Intinya operasi yang mencakup semua karyawan yang
menghasilkan produk dan layanan dasar organisasi, atau secara
langsung mendukung produksi mereka.
Osborne dan Gaebler (1992) sebagaimana dikutip oleh
Pribadi (2015:22) melalui konsep pemerintahan wirausaha
memberikan rekomendasi pada organisasi pemerintahan untuk
merubah model birokratik menjadi Entrepreneurial yang
menekankan orientasinya pada hasil. Organisasi pemerintahan
daerah disusun guna mengadaptasikan organisasi pada ekonomi
pasar. Gifford dan Pinchot (1993) sebagaimana dikutip oleh
Pribadi (2015:22) menyatakan bahwa dalam era post-industrial
seperti saat ini, karakteristik yang melekat pada organisasi
birokrasi sudah sepatutnya dirubah. Prinsip-prinsip spesialisasi
serta organization by function harus dirubah dengan prinsip
multiskilling specialists and intrapreneuring dan organization in
market-mediated networks. Henry C. Lucas JR. (1996)
sebagaimana dikutip oleh Thoha, (2003:164) yang menawarkan
organisasi dengan bentuk T-Form Organization, mengusulkan
bahwa penyusunan struktur organisasi bukan lagi didasarkan pada
division of labor, namun lebih didasarkan pada kebutuhan
pelanggan dan perubahan pasar.
Restrukturisasi organisasi merupakan sebuah keniscayaan,
dalam rangka mengadaptasikan organisasi dengan perkembangan
lingkungan sehinggga organisasi akan tetap dapat survive di
tengah-tengah arus perubahan lingkungan. Desain organisasi
52 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
menurut konsep Galbraith dalam Huse dan Cummings (1985)
sebagaimana dikutip oleh Haning et al. (2016:78) bahwa ada tiga
variabel utama yang dapat dijadikan framework untuk melakukan
desain organisasi. (1), Strategi yang di dalamnya mencakup
domain, objective and goals. (2), Model pengorganisasian di
dalamnya mencakup devision of labor, coordination for
completion of whole task. (3), Integrating individuals yang di
dalamnya mencakup selection and training people, design of
reward system. Demikian juga framework desain organisasi yang
disebut dengan star model oleh Cummings dan Worley (2005)
sebagaimana dikutip oleh Haning et al. (2016:78) terdapat lima
komponen yang saling memiliki keterkaitan dalam star model
tersebut yaitu: teknologi, struktur, sistem pengukuran, sumberdaya
manusia, serta pula kultur organisasi. Teknologi memiliki
keterkaitan dengan karakteristik tugas unit. Kemudian struktur
memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan koordinasi tugas antar
unit. Serta sumber daya manusia dan sistem pengukuran memiliki
keterkaitan dengan sistem reward.
Nurcholis (2017) menyatakan bahwa praktik pemerintahan
daerah di semua negara, di bawah eksekutif lokal tidak terdapat
satuan organisasi yang memiliki wilayah pemerintahan seperti
kecamatan dan kelurahan, namun yang dimiliki hanya dinas-dinas
atau komite-komite pelayanan publik. Beliau mengusulkan agar
organ-organ negara di bawah bupati/wali kota yang memiliki
wilayah pemerintahan seperti kecamatan dan kelurahan/ desa
untuk dihapus karena dianggap bertentangan dengan norma
konstitusi serta teori local government. Alternatif yang ditawarkan
adalah dibentukya dinas-dinas pelayanan publik yang langsung
memberikan pelayanan kepada masyarakat di bawah kabupaten/
kota. Konsep dinas pelayanan publik ini adalah memberikan
pelayanan publik final di tempat. Kantor pemerintah yang hanya
sebagai kantor perantara keperluan masyarakat seperti kelurahan/
desa dan kecamatan saat ini dianggap tidak perlu ada lagi. Kantor
kecamatan dapat dirubah menjadi kantor dinas pelayanan umum
yang mengurus layanan seperti kependudukan, perizinan, dan
administrasi pertanaha. Kemudian di luarnya adalah dinas-dinas
pelayanan publik sektoral seperti pendidikan, kesehatan,
infrastruktur perdesaan/perkotaan, dan lain sebagainya.
*****
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 53
BAB V
DESENTRALISASI DI DALAM
KABUPATEN/KOTA (DECENTRALI-ZATION
WITHIN CITIES)
Diawali dari diskusi tentang Sub-district sebagai unit
pelaksana administrasi atas kewenangan yang dilimpahkan oleh
kepala daerah maka lebih tepatnya hal tersebut disebut sebagai
desentralisasi administrasi, termasuk di dalamya adalah konsep
Norton (1994:703) tentang decentralization in cities ataukah
sebagai dekonsentrasi. Dikutip dari Emerick et al. (2004:231)
dijelaskan sebagai berikut;
“thus far, we have called CDC's (Central District Counsil)
delegation of service delivery to the sub-district
decentralisation, while it shouldmore accurately be defined
as deconsentration . This important because using the term
decentralisation implies that sub-districts have legal
authority, their own source of funding and that their
responsibilities are permanent. In CDC's case, the sub-
districts are not legal entities: nearly 100% of their renenue
is from the central government via serowe, which also
determines their responsibilities”.
Hal tersebut dimaksudkan bahwa sejauh ini CDC’s (Central
District Counsil) disebut sebagai pelayanan pada desentralisasi
Sub-district, sementara itu harus lebih akurat jika didefinisikan
sebagai dekonsentrasi. Hal ini penting, karena menggunakan
istilah desentralisasi seolah-olah menyiratkan bahwa Sub-district
memiliki kewenangan hukum untuk memiliki sumber pendanaan
sendiri dan tanggung jawab yang permanen. Dalam kasus CDC’s
(Central District Counsil), Sub-district merupakan badan yang
tidak legal dan hampir 100% pengembalian mereka dari
pemerintah pusat melalui Serowe, yang juga menentukan
tanggung jawabnya. Terkait dengan itu, mengutip dari Emerick et
al. (2004:231) dijelaskan sebagai berikut;
“In the standing orders of the CDC‟s (Central District
Counsil) (2000) decentralisation is defined as. to move or
transfer power and planing decisions away from the single
administrative center to other places, e.g., loading some
54 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
responsibility from over burdened organisation, bringing
services closer to the people and thus improving efficiency
and responsiveness”.
Sesuai dengan perintah CDC’s (Central District Counsil)
(2000) desentralisasi didefinisikan sebagai pemindahan atau
transfer kekuasaan, perencanaan serta keputusan dari pusat
administrasi tunggal untuk tempat-tempat lain. Misalnya, memuat
beberapa tanggung jawab yang lebih dari beban organisasi, serta
membawa layanan lebih dekat dengan rakyat dan meningkatkan
efisiensi serta responsifitas. Sebaliknya, Mawhood (1993) dan
Tordoff (1994) sebagaimana dikutip oleh Emerick et al.(2004:231)
sempit mendefinisikan;
“Decentralisation as locally based bodies that are legally
separated from the national centre that have limited legal
authority and resources that are spent at their own
discretion”.
Maksudnya adalah desentralisasi sebagai badan berbasis
lokal yang secara hukum dipisahkan dari pusat, yang telah dibatasi
wewenang hukum serta keterbatasan sumber daya pada
kebijaksanaan mereka sendiri. Lebih lanjut Cohen dan Paterson
(1999) sebagaimana dikutip oleh Emerick et al. (2004:231)
mengklasifikasikan bentuk desentralisasi berdasarkan tujuan:
politik, spasial, pasar atau administratif. Menggunakan kriteria
mereka, yang mana CDC’s (Central District Counsil)
dekonsentrasi akan dianggap desentralisasi administrasi dan dalam
hal ini adalah pengalihan wewenang atas pengambilan keputusan
tertentu, keuangan, dan fungsi manajemen dengan cara
administratif untuk tingkat yang berbeda di bawah otoritas
yurisdiksi pemerintah pusat. Selain itu Mawhood (1993)
sebagaimana dikutip oleh Emerick et al. (2004:231) menyatakan
bahwa ;
“Deconsentration implies the sharing of power between
members of the same ruling group having authority
respectively in different areas of the state; political
structures which essentially represent the interests of
central rulers and depend upon their support. functioning in
areas away from the capital city: and units of local
administration in which formal decision making is exercised
by centrally appointed officials”.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 55
Jadi pada dasarnya dekonsentrasi menyiratkan pembagian
kekuasaan antara anggota kelompok penguasa yang mempunyai
wewenang sama di masing-masing wilayah negara; struktur politik
pada dasarnya yang mewakili kepentingan penguasa pusat dan
tergantung pada dukungan mereka, serta difungsikan pada daerah
yang jauh dari ibu kota, dan unit pemerintah daerah di mana
pengambilan keputusan formal dilakukan oleh pejabat pusat yang
ditunjuk.
Dalam kaitanya spirit mendekatkan pelayanan pada
mesyarakat, Turner and Hulme, (1997), menjelaskan bahwa ;
“Decentralized/devolved modes of governance will be
closer to the people and thus more amenable to the checks
and balances that can control the excesses of government
officials and also make them more responsive to the needs
of the people. This in turn would enhance the effectiveness
and efficiency of service delivery and help maintain equity
and social justiceut”
Hal tersebut diartikan bahwa desentralisasi/mode
menyerahkan pemerintahan akan lebih dekat dengan masyarakat,
sehingga checks and balances dapat dilakukan dengan tujuan
dapat mengontrol ekses pejabat pemerintah serta membuat mereka
lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Hal ini pada
gilirannya akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan
pengiriman bantuan dan mempertahankan kesetaraan serta
keadilan sosial.
Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam penyelengaraan
pemerintahan daerah dengan cara partisipatori. Norton (1994:20)
menjelaskan bahwa di seluruh dunia ada empat bentuk partisipasi
masyarakat yang dilakukan dalam praktik penyelenggaraan
pemerintahan daerah. (1) Referenda dalam pengambilan keputusan
pada isu-isu vital di daerah. (2) Konsultasi dan kerjasama dengan
masyarakat sesuai kebutuhan serta aspirasi lokal. (3) Penempatan
pejabat lokal yang didasarkan mekanisme pemilihan sebagai
bentuk pemerintahan perwakilan, sehingga akuntabilitas yang
tinggi pada masyarakat dimiliki oleh pejabat. (4) Melakukan
desentralisasi pada unit-unit pemerintahan di bawahnya di
lingkungan daerah itu sendiri (decentralization within cities).
Secara luas ketika decentralization within cities
diterjemahkan, maka akan meliputi desentralisasi secara politis,
administratif, fungsional maupun ekonomis. Secara ekonomis
56 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
artinya terjadi pembentukan korporasi milik daerah atau transfer
kebada usaha swasta terhadap sebagian fungsi pemerintah daerah.
Secara fungsional berarti membentuk lembaga fungsional guna
menjalankan urusan tertentu dari pemerintah daerah. Di indonesia
decentralization within cities pada kebijakan pemerintah daerah
diterjemahkan secara langsung dalam dua pengertian yaitu
desentralisasi secara administrasi dan desentralisasi secara politik.
Desentralisasi secara administrasi yang dilakukan oleh
pemerintah daerah dimanifestasikan dalam pembentukan lembaga
Kecamatan/kelurahan. Perangkat daerah kecamatan/kelurahan
pada dasarnya dipilih dan dibentuk dalam rangka memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang memiliki corak perkotaan.
Dalam penyelengaraan Kecamatan/ kelurahan nilai dasar yang
hendak dikembangkan adalah efisiensi struktural sehingga
kebutuhan masyarakat urban yang memiliki kecenderungan
bersifat majemuk, dinamis, individualistis lebih terakomodir.
Pejabat kecamatan/kelurahan seluruhnya diisi melalui mekanisme
pengangkatan, sehingga pejabatnya pun adalah pejabat birokrasi
jalur karier dengan status kepegawaian yang sama dengan
perangkat daerah lainya. Karena Kelurahan/kecamatan adalah
bagian yang terintegrasi dengan pemerintahan daerah maka
akuntabilitasnya pun lebih dititik beratkan pada pemerintah daerah
dari pada masyarakat.
Kemudian dalam kaitanya dengan desentralisasi secara
politis yang dilakukan oleh pemerintah daerah yaitu melalui
transfer sebagian urusan dan pendanaan yang ada kepada
pemerintah desa. Pemilihan dan pembentukan pemerintahan
didasarkan atas alasan melestarikan nilai-nilai tradisi yang sudah
menjadi primordialisme dalam corak masyarakat pedesaan.
Partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan nilai
dasar yang hendak dikembangkan dari adanya pemerintahan desa.
Pengisian pejabat dilakukan melalui mekanisme pemilihan.
Dengan mekanisme tersebut, sejak awal masyarakat terlibat
langsung dalam menentukan pejabat pemerintahan desa. Lebih
lanjut pejabat pemerintahan desa yang terpilih disebut sebagai
pamong desa. Pamong desa tidak memiliki jalur karier birokrasi,
maka akuntabilitas pemerintah desa kepada masyarakat jauh lebih
tinggi dibandingkan kecamatan/kelurahan kepada masyarakat.
Konsep desentralisasi di bawah tingkat lokal otoritas
(decentralization within cities) disebut lingkungan desentralisasi,
Burn et al, (1994) dan konsep desentralisasi di Kota Norton,
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 57
(1994:106). Pada dasarnya tujuan dari konsep mereka yang
memungkinkan lingkungan untuk mengartikulasikan kebutuhan
mereka membawa kekuatan lebih dekat dengan masyarakat dan
menggambar lebih luas dari peserta ke dalam sistem politik
(Norton, 1994:106). Melihat posisi kecamatan Norton, (1994:106)
menjelaskan bahwa berbagai wewenang dan urusan yang
seharusnya diserahkan, terlihat mengikuti model decentralizations
within city, terutama polanya dikatakan sebagai working towards a
general pettern of decentralization of functions throughout the
new area on the subsidiarity principle (bekerja mengarah pada
pola umum fungsi desentralisasi melalui prinsip pembentukan
cabang (subsidiarity) yang didasarkan pada area baru. Dengan
merujuk istilah yang dikembangkan oleh Burns, et al. (1994:81),
maka Kecamatan secara spesifik lebih mengarah pada bentuk
decentralized management, atau bentuk decentralization yang
bersifat deconcentration. Desentralisasi yang dekonsentrasi
(delegasi) menciptakan Field Administration. Leemans: (1970)
sebagaimana dikutip oleh Maksum (2014:4) menjelaskan terdapat
dua model dari Field Administration yakni (1) Fragmented Field
Administration yang terlahir dari Functional Based dimana
membenarkan batas-batas wilayah kerja (yurisdiksi) dari
perangkat departemen di lapangan secara berbeda menurut
pertimbangan fungsi dan organisasi departemen induknya, (2)
Integrated Field Administration yang terlahir dari Territorial
Based dimana mengharuskan terdapatnya keseragaman batas-batas
wilayah kerja (yurisdiksi) dari berbagai instansi vertikal atas
Wilayah Administrasi beserta Wakil Pemerintah.Terkait dengan
hal itu lebih lanjut Norton, (1994:184) menjelaskan;
“Administrative decentralisation through local town halls
and other means by which citizen can obtain local acces to
information and service are a common feature in large
communes . Laws provide for separate municipal bodies
with individual legal status and control over their own
budgets for purposes which include control of expenditure
from funds for school meals service, pupil transport,
vacation colonies etc, social welfare bureau certain health
function and housing. In addition local authorities may
delegate the provision of some local services to private
corporations, a power most often used for setting up
cultural and recreational associations”.
58 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Hal tersebut dimaksudkan desentralisasi administratif
bentukan kota/kabupaten setempat merupakan cara agar warga
negara dapat memperoleh akses lokal untuk informasi dan layanan
yang merupakan fitur umum di komunitas besar. Secara hukum
memberikan ruang pada unit kota/kabupaten secara terpisah
dengan status hukum individu serta kontrol atas anggaran mereka
sendiri yang meliputi pengendalian pengeluaran dari dana untuk
layanan makanan sekolah, transportasi murid, koloni liburan,
kesejahteraan sosial tertentu, biro fungsi kesehatan dan
perumahan. Selain itu pemerintah daerah dapat mendelegasikan
penyediaan beberapa layanan lokal pada perusahaan-perusahaan
swasta, kekuatan yang paling sering digunakan untuk menyiapkan
asosiasi budaya dan rekreasi.
Dalam mendorong kedekatan dan kemudahan dalam
pelayanan kepada masyarakat wilayah pinggiran melalui
pengalaman beberapa negara Norton, (1994:106) menjelaskan:
“In accordance with national traditions, initiatives in the
United States and Britain have been more local, varied and
piecemeal. In the 1960s, however, the United States federal
goverment offered as part of its anti-povertmy programme
incentives to encourage participation in decision making by
the inhabitants of disadvantaged city neighbourhoods.
Local administrative centres were established in a number
of cities, notably in New York and Philadelphia, to
encourage constructive initiatives by voluntary groups in
the hope that this might develop into a degree of self-
administration. Successes were limited ($8.12). In Britain
some cities have decentralised administration to local
suburban offices which have been expected to establish
close consultative arrangements with local residents, but
this is not known to have resulted in any significant impact
on policy expect in two or three cases ($7.12)”.
Hal itu dimaksudkan bahwa di Amerika program anti
kemiskinan untuk mendorong partisipasi dalam pengambilan
keputusan oleh penduduk lingkungan di sejumlah kota, terutama
di New York dan Philadelphia sehingga mendorong harapan untuk
berkembang menjadi tingkat self-administrasi. Kemudian di
Inggris beberapa kota telah didesentralisasikan administrasinya
pada kantor pinggiran kota setempat yang diharapkan terbangun
pengaturan konsultatif yang lebih dekat dengan penduduk
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 59
setempat, dan pada akhirnya berdampak signifikan terhadap
kebijakan pada dua atau tiga kasus. Berkaitan dengan istilah
karakteristik kawasan yang disebut pinggiran Smith (1985)
memetakan karakteristik kawasan pedesaan (rural) dan kawasan
perkotaan (urban), pada dasarnya merupakan salah satu contoh
penentuan batas daerah berdasarkan pola spasial kehidupan sosial
dan ekonomi. Kawasan pedesaan dengan karakteristik
gemeinschaft dan karakteristik ekonominya yang didasarkan pada
sektor agraris berbeda dengan kawasan perkotaan yang memiliki
karakteristik sosial bersifat gesselschaft dengan karakter ekonomi
yang dominan di sector jasa.
Begitu juga dengan kawasan perkotaan (urban), selanjutnya
dalam rangka memperbesar skala kota, Kemmochi, et al. (2016:
253) menjelaskan sebagai berikut ;
Decentralization within cities are increasingly introduced
because repeated mergers enlarge the scale of
municipalities. The "decentralization within cities" means
municipal governments entrust its authority to smaller
organizations established in its divided areas. Especially, in
relation to decentralization to local residents, councils for
resident self-governance often become its receiver, and they
are expected to play a central role in consolidating various
opinions of citizens from a stage of city planning.
Desentralisasi dalam kota semakin diperkenalkan karena
dianggap dapat memperbesar skala kota. Desentralisasi di dalam
kota berarti pemerintah kota mempercayakan kewenangannya
untuk dilimpahkan pada organisasi lebih kecil bagian kota yang
didirikan. Terutama, dalam kaitannya dengan desentralisasi untuk
dewan pemerintahan, warga setempat sendiri sering menjadi
penerimanya, dan mereka diharapkan untuk dapat memainkan
peran sentral dalam mengkonsolidasikan berbagai pendapat dari
warga negara dalam tahap perencanaan kota.
*****
60 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 61
BAB VI
WEWENANG DAN REFORMASI
ADMINISTRASI
A. Pendelegasian Wewenang
Pendelegasian wewenang dimaksudkan memberikan
sebagian pekerjaan atau wewenang oleh delegator kepada delegate
guna dikerjakannya pekerjaan atas nama delegator Hasibuan
(2007:68). Lebih lanjut Hasibuan menyebutkan asas pendelegasian
wewenang meliputi (1) Asas kepercayaan (2). Asas delegasi atau
hasil yang diharapkan (3). Asas penentuan fungsi atau asas
kejelasan tugas (4). Asas rantai berkala (5). Asas tingkat
wewenang (6). Asas kesatuan komando (7). Asas keseimbangan
wewenang dan tanggung jawab (8). Asas pembagian kerja (9).
Asas efisiensi (10). Asas kemutlakan tanggung jawab.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014,
dimaksudkan Kecamatan merupakan wilayah kerja Camat sebagai
perangkat daerah dan Kecamatan sebagai perangkat wilayah
administrasi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan umum,
yang mewakili Bupati/Walikota di wilayah kerja tertentu, tentunya
asas pendelegasian wewenang dalam hal ini merupakan sesuatu
yang perlu dielaborasikan dalam praktik pendelegasian wewenang
dan penyelenggaraan kewenangan camat.
Menurut Stoner (2000:434) pendelegasian wewenang
adalah pelimpahan wewenang formal dan tanggung jawab kepada
seorang bawahan untuk menyelesaikan aktivitas tertentu.
Pendelegasian wewenang adalah konsekuensi dari semakin
besarnya organisasi. Bila atasan menghadapi banyak pekerjaan
yang tidak dapat dilaksanakan oleh satu orang, maka ia perlu
melakukan delegasi. Pendelegasian juga dilakukan agar pimpinan
dapat mengembangkan bawahan sehingga lebih memperkuat
organisasi. Davis (2001:72), Pendelegasian Wewenang hanyalah
tahapan dari suatu proses ketika penyerahan wewenang, berfungsi
melepaskan kedudukan dengan melaksanakan pertanggung-
jawaban. Terdapat tiga elemen penting dalam pendelegasian
wewenang yaitu Wewenang (Authority), Tanggung Jawab
(Responsibility) dan Akuntabilitas (Accountability). Delegasi
memiliki keidentikan dengan dekonsentrasi jika dilihat dari
62 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
sifatnya, Fesler (1968), Robertson Work (2002:5), dan Falleti
(2004) sebagaiman dikutip dari Utomo dalam dialog antara konsep
desentralisasi dan dekonsentrasi (delegasi) dipetakan dimensi dari
dekonsentrasi (delegasi) yakni (1) Administratif dan Ekonomi, (2)
Efisiensi. Fungsional. (3) Transfer pengambilan keputusan dan
tanggung jawab pengelolaan (program dan keuangan). (4) Pusat
dalam hal ini (delegator) masih memegang tanggungjawab, namun
suatu saat bisa di transfer secara penuh, (5) Field offices atau field
administration or local administrative.
Adapun dibedakanya kewenangan menjadi dua yakni (1)
atributif dimana kewenangan melekat dan diberikan kepada suatu
institusi atau pejabat yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan, (2) delegatif dimana kewenagan berasal dari
pendelegasian kewenangan dari institusi atau pejabat yang lebih
tinggi tingkatannya Wasistiono (2009). Menurut Hodge dan
Anthony (1998), Untuk melihat delegation of authority dapat
melalui 3 aspek, yakni (1) Tugas, (2) Responsibilitas dan (3)
kewenangan. Delegation of authority identik dengan penyerahan.
Delegation dapat dipahami sebagai penyerahan sebagian hak dari
pejabat satu kepada pejabat yang lain, guna menentukan tidakan
yang dianggap perlu diambil agar tugas dan Responsibilitas dapat
terlaksana dengan baik. Dengan Delegation of authority
diharapkan mampu menciptakan birokrasi yang fleksibel, efektif,
inovatif dan tumbuh motivasi kerja Osborn dan Geabler, (1992).
Dalam pendelegasian wewenang Kepala daerah kepada camat
Dharmawan (2008:4) menjelaskan perlunya mendorong
kecamatan agar fokus terhadap: (1) Fungsi pemerintahan, (2)
Fungsi pembangunan, (3) Fungsi kemasyarakatan, (4) Fungsi
pemberdayaan masyarakat. Kesemuanya itu tentunya melalui
mekanisme kecamatan sebagai simpul koordinasi serta fasilitasi.
B. Reformasi Administrasi
Reformasi administrasi diartikan sebagai “the artificial
inducement of administrative transformation, against resistance”
Caiden (1969) sebagaimana dikutip oleh Zauhar (2007:6). Adapun
konsep yang lahir dari pemahaman tersebut yakni (1) Dari sisi
tujuan moral, merupakan kebutuhan untuk memperbaiki status
quo. (2), Adanya transformasi buatan yang berangkat dari
pengaturan yang ada menuju proses perubahan. (3) Resistensi
administrasi, asumsinya resistensi dianggap ada. Terkait dengan
itu Caiden berpendapat bahwa reformasi administrasi pada
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 63
hakikatnya merupakan proses permanent improvement in
administration Wallis, (1993). Hal itu tidak serta merta ada tanpa
adanya usaha yang dibangun secara sadar. Sedangkan inti
permanent improvement usaha secara berkesinambungan dalam
waktu yang lama untuk mengarah kepada yang lebih baik. Zauhar
(2007:11) secara spesifik menyebutkan bahwa struktur dan
prosedur, serta sikap dan prilaku yang dilakukan secara sadar dan
terencana merupakan arah reformasi administrasi. Pendapat
tersebut memberikan penekanan bahwa reformasi terletak pada
sturuktur, lembaga dan prilaku serta birokrasi sebagai lokusnya.
Berkaitan dengan itu adapun hasil pemetaan kesenjangan antara
spirit dalam konsep desentralisasi dan delegasi pada unit-unit
local/field stations dengan realita dalam implementasianya
sebagaimana hasil riset yang dihasilkan Nannyonjo and Okot
(2013) Kemmochi et al (2016), Emerick et al (2004), Dharmawan
(2008) serta Naskah akademik RUU (Rancangan Undang-
Undang) Pemerintahan Daerah, dimana asumsi yang dihasilkan
bahwa lemahnya struktur dan kapasitas kelembagaan dalam
struktur desentralisasi, maka akan berimplikasi pada inefektifitas
penyelenggaraan dan juga dalam mewujudkan cita-cita besarnya,
yakni mendekatkan pelayanan kepada publik.
Reformasi administrasi menurut Caiden (1991) bertujuan
untuk tidak menimbulkan biaya mahal, lebih efisien, memfasilitasi
program dan menghasilkan pelayanan yang berkualitas, lebih
efektif, meningkatkan etika, akuntabilitas dan transparansi dalam
pemerintahan. Sedangkan tujuan reformasi administrasi menurut
Mosher sebagaimana dikutip oleh Zauhar, (2007:13) meliputi:
perubahan inovatif terhadap kebijakan dan program pelaksanaan,
meningkatkan efektivitas administrasi, meningkatkan kualitas
personel, dan melakukan antisipasi terhadap kemungkinan kritik
dan keluhan dari pihak luar. Caiden sebagaimana dikutip oleh
Zauhar (2007:8) menjelaskan bahwa tujuan reformasi administrasi
adalah untuk memberikan saran tentang suatu cara agar individu,
kelompok, dan institusi, lebih efektif mencapai tujuanya,
ekonomis, dan lebih cepat. Penguatan di level individu, kelompok
dan institusi tersebut pada dasarnya merupakan peningkatan
kapasitas. Terkait dengan pilihan strategi reformasi yang tepat
untuk dilaksanakan, Hahn-Been (1976:118) mengelompokan tiga
katagori yakni: (1) reformasi prosedural yang bertujuan untuk
meningkatkan tatanan kemasyarakatan, (2) reformasi teknis yang
bertujuan untuk meningkatkan metode administrasi, dan (3)
64 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
reformasi terprogram yang bertujuan meningkatkan kinerja
administrasi.
Sedarmayanti (2009:72), mengatakan bahwa reformasi
administrasi (birokrasi) merupakan upaya pemerintah untuk
meningkatkan kinerja melalui berbagai cara dengan tujuan
efektifitas, efisien, dan akuntabilitas. Dimana reformasi biokrasi
itu mencakup beberapa perubahan yaitu a) Perubahan cara berfikir
(pola pikir, pola sikap, dan pola tindak) b) Perubahan penguasa
menjadi pelayan, c) Mendahulukan peranan dari wewenang, d)
Tidak berfikir hasil produksi tapi hasil akhir e) Perubahan
manajemen kinerja. Untuk kelembagaan kecamatan, terdapat
empat necessary condition sebagai penopang efektifnya
penyelenggaraan kewenangan camat/kecamatan Dharmawan
(2008:5) yakni: (1) Kewenangan yang legitimate, (2) Kecukupan
budget, (3) Kapasitas SDM yang memadai. (4) Infrastruktur
(sarana prasarana). Dalam rangka merestrukturisasi kelembagaan
kecamatan guna mewujudkan efektifitas penyelenggaraan
kewenangan camat/Kecamatan, selain pengaturan kewenangan
camat yang berdaya ungkit terhadap penyelesaian permasalahan
publik di wilayah kerjanya, tentunya pemenuhan elemen lain
seperti SDM, budget dan infrastruktur juga perlu diperhatikan.
*****
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 65
BAB VII
DISTRICT/SUB-DISTRICT DAN
DISTRICT/SUB-DISTRICT MANAGEMENT
Dalam buku World Bank and United Cities and Local
Goverments (2008: 32) dijelaskan bahwa ;
“In most parts of Africa, the organization of major
metropolises-particularly capital cities– tends to display
specific features.Such features can be identified in political
capitals such as Rabat (Morocco), Lusaka (Zambia), Dakar
(Senegal), Tswane (South Africa), Yaoundé (Cameroon),
Accra (Ghana) and Algiers (Algeria). Common elements
are also apparent in big cities whose importance is
determined by demographic or economic weight, such as
Johannesburg (South Africa), Douala (Cameroon), Kumasi
and Shama-Ahanta (Ghana). All such major cities are
governed by di stinct legal arrangements that constitute
important organizational and managerial exceptions to the
more common laws of municipalities. Typically, major
African cities are divided into sub-urban administrative
units, which may be separate legal entities”.
Artinya sebagian besar organisasi kota-kota besar di Afrika
memiliki kecenderungan menampilkan fitur tertentu yang dapat
diidentifikasi di ibukota politik seperti; Rabat (Maroko), Lusaka
(Zambia), Dakar (Senegal), Tswane (Afrika Selatan), Yaoundé
(Kamerun), Accra (Ghana) dan Algiers (Aljazair). Elemen umum
dan penting di kota-kota besar nampaknya ditentukan oleh tingkat
demografi atau ekonomi, seperti Johannesburg (Afrika Selatan),
Douala (Kamerun), Kumasi dan Shama-Ahanta (Ghana). Semua
kota-kota besar seperti diatur oleh aturan hukum organisasi serta
manajerial yang berbeda. Seolah lebih bersifat umum daripada
kota. Kota-kota besar di Afrika dibagi menjadi unit administratif
sub-urban, yang berbadan hukum terpisah.
Lebih lanjut dalam buku World Bank and United Cities and
Local Goverments (2008:33) dijelaskan ;
“Many African decentralization systems classify lower tier
local authorities according to their level of development or
urbanization. For example, in decreasing rank of
66 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
urbanization Cameroon has urban communities, urban
communes under a special scheme, urban communes and
rural communes. In South Africa, classification takes the
form of an alphabetical hierarchy with category A, B and C
municipalities. Such differentiation makes it easier to
identify the most disadvantaged authorities and, through a
process sometimes called equalization, to focus on their
development with specific support policies”.
Banyak sistem desentralisasi di Afrika yang
mengklasifikasikan otoritas lokal sesuai dengan tingkat
perkembangan urbanisasi. Misalnya dalam menurunkan peringkat
urbanisasi, Kamerun memiliki masyarakat perkotaan seperti
komune perkotaan khusus di bawah skema komune perkotaan
serta komune pedesaan. Klasifikasi di Afrika Selatan mengambil
bentuk hirarki Kotamadya abjad dengan kategori A, B dan C.
Diferensiasi ini seperti membuat lebih mudah dalam
mengidentifikasi pihak yang paling dirugikan, dan kadang-kadang
disebut melalui proses pemerataan untuk fokus pada
pengembangan mereka dengan dukungan kebijakan khusus.
Sebuah konsep sub-district adalah pembagian dari
kabupaten atau kecamatan di Indonesia. Sebuah kecamatan dibagi
menjadi desa administratif (kelurahan). Di Inggris dan Wales,
kecamatan adalah bagian dari sebuah distrik pendaftaran.
Sedangkan di Cina sub-district adalah salah satu divisi politik
terkecil.
Sedangkan Boonsiri dan Phiriyasamith (2016:64)
menjelaskan Sub-district administrative sebagai berikut:
“Sub-district administrative organization in one of local
government units, very small, but very big in numbers, and
very closed in publics. It is legally regarded as legal person
running administration for public demands de jure (Karn
Boonnsiri, 2558: 498). It is, moreover, regarded as the
local unit,theoretically and practically playing important
roles in administrative development. It is theoretically
regarded as the high potential unit. It also plays important
roles in mobilizing and utilizing natural resources in
political, economic, and social, and community
environmental development (Wiraj Virajniphawan, 2536:
279)”.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 67
Hal tersebut menjelaskan bahwa Sub-district merupakan
organisasi administrasi di salah satu unit pemerintah daerah.
Secara hukum dianggap sebagai badan hukum administrasi yang
berjalan dalam rangka mengakomodir tuntutan publik (Karn
Boonnsiri, 2558:498). Secara teoritis dan praktis dianggap sebagai
unit lokal yang berfungsi memainkan peran penting dalam
pembangunan administrasi. Sub-district juga memainkan peran
penting dalam memobilisasi dan memanfaatkan sumber daya alam
dalam pembangunan lingkungan politik, ekonomi, dan sosial, dan
masyarakat (Wiraj Virajniphawan, 2536:279).
Memahami sub-district adalah manifestasi dari konsep
decentralization within cities serta sifat perubahan manajemen
serta menemukan lingkungan desentralisasi sebagai salah satu
strategi untuk memberikan bentuk tertentu Burn et al, (1994:81)
menjelaskan sebahgai berikut ;
“New ways of understanding the changing nature of
management in local government. First we provide a
context by examining the radically new approaches to the
organisation of the production of goods and services which
have emerged within both the public and private sectors
during the last decade or so. Specifically we seek to
examine some of the components of what has become known
as „the new public management‟ and to locate
neighbourhood decentralisation as one strategy for giving
particular shape to this. We provide a conceptual
framework for neighbourhood decentralisation in which its
four components localisation, flexibility, devolution, and
organisational culture change are envisaged as interlocking
and mutually reinforcing. We explore these four dimensions
of decentralisation in some detail and offer numerous
examples to illustrate how various models have worked in
practice”.
Hal tersebut dimaksudkan untuk memahami sifat perubahan
manajemen pada pemerintah daerah. Pertama menyediakan
konteks dengan memeriksa pendekatan baru yang mengakar untuk
organisasi produksi baik barang dan jasa yang telah muncul dalam
kedua sektor yaitu publik dan swasta selama dekade terakhir atau
lebih. Secara khusus berusaha untuk memeriksa beberapa
komponen dari apa yang telah dikenal sebagai manajemen publik
baru dan untuk menemukan lingkungan desentralisasi sebagai
68 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
salah satu strategi untuk memberikan bentuk tertentu. Untuk itu
dirumuskan kerangka kerja konseptual pada lingkungan
desentralisasi, di mana terdapat empat komponen komponennya
meliputi lokalisasi, fleksibilitas, devolusi, dan perubahan budaya
organisasi yang digambarkan sebagai saling terkait dan saling
menguatkan serta menggambarkan bagaimana berbagai model
telah bekerja dalam praktek. Lebih lanjut Burn et al, (1994:89)
terkait dengan lokalisasi dijelaskan;
“localisation refers the physical relocation of service. it
involves shifting from centrally located offices (often the
hall) to sites within local communities. There are now
over a hundred localization can be evaluated by the
degree to which it is able to meet the objective of (1)
physical accessibility (2) opennes and (3) Comprehen-
siveness”.
Hal itu diartikan bahwa lokalisasi mengacu pada relokasi
fisik pelayanan. Bergeser melibatkan dari kantor pusat untuk situs
dalam masyarakat lokal. Pada saat ini terdapat banyak lokalisasi
yang dapat dievaluasi sejauh mana lokalisasi tersebut mampu
memenuhi tujuan (1) aksesibilitas fisik (2) keterbukaan dan (3)
Kelengkapan. Fleksibilitas merupakan suatu pendekatan yang juga
diperlukan dalam mengelola lingkungan desentralisasi. Burn et al,
(1994:95) menjelaskan ;
“Integration brings service together in a way which enables
corporate decisions to be made locally and enables workers
to provide a service which does not artificially fragment the
problems of local people. for example , it is well known that
housing and social service problems are often highty
related, but although the two services usually liaise, they
rarely work together in joint teams. The development of
more integrated and fleksible approaches is an essential
component of neighbourhood decentralisation as a way of
compensating for the loss of some economies of scale which
localisation inevitably entails”.
Integrasi membawa layanan bersama-sama dengan cara
yang memungkinkan keputusan organisasi harus dibuat secara
lokal dan memungkinkan pekerja untuk memberikan layanan yang
artifisial terhadap masalah masyarakat setempat. Misalnya
diketahui bahwa masalah perumahan dan pelayanan sosial sering
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 69
tidak terkait, tetapi meskipun dua layanan biasanya berhubungan,
mereka jarang bekerja sama dalam tim gabungan. Pengembangan
pendekatan yang lebih terintegrasi dan fleksibel merupakan
komponen penting dari desentralisasi di sekitar sebagai cara
mengkompensasi terhadap hilangnya beberapa skala ekonomi
yang dibutuhkan lokalisasi tersebut. Burn et al, (1994:94)
menjelaskan:
“New forms of management which give managers a greater
degree of autonomy but within a specified and centrally
controlled set of boundaries financial expenditure rules,
service standards, policy guidelines, and so on”.
Bentuk-bentuk baru manajemen yang memberikan
tingkatan otonomi yang lebih besar pada manajer, namun dalam
hal tertentu ditentukan dan dikendalikan oleh pusat, seperti batas
keuangan aturan pengeluaran, standar layanan, pedoman
kebijakan, dan seterusnya. Kontrol yang dilimpahkan dapat
dievaluasi sesuai dengan seberapa baik dalam pencapaian tujuan.
Burn et al, (1994:105) menjelaskan;
“Culture of an organisation is a complex phenomenon. In
common usage culture refers to a society's system of
ideology, values, knowledge art, laws and day to day ritual.
The culture metaphor is used in organisation theory to
suggest that organisations can be viewed as mini societies
with their own distinctive patterns of culture and
subculture”.
Budaya organisasi adalah fenomena yang kompleks.
Bersama budaya penggunaan layanan mengacu pada sistem
ideologi masyarakat, nilai-nilai, seni pengetahuan, hukum dan
ritual dari hari ke hari. Dalam teori organisasi metafora budaya
digunakan untuk menunjukkan bahwa organisasi dapat dilihat
masyarakat sebagai pola mini dengan kekhasan budaya dan
subkultur mereka sendiri.
Lebih lanjut dalam kaitanya dengan model manajemen
efektivitas Butsankom et al. (2016:1797) menjelaskan;
“The factors of effectiveness management model for sub-
district demonstrated that the factors of effectiveness
management model in Input aspect consisted of three
factors: Strategic plan, mission goal and policy; human
resources, equipment and funds; environment”.
70 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Hal itu diartikan bahwa faktor pada model manajemen
efektivitas untuk sub-district menunjukkan bahwa faktor model
manajemen efektivitas pada aspek input terdiri dari tiga faktor:
rencana strategis, tujuan misi dan kebijakan; sumber daya
manusia, peralatan dan dana; lingkungan Hidup.
Selanjutnya Butsankom et al. (2016:1798) menjelaskan
bahwa dalam mewujudkan efektivitas manajemen pada sub-
district/ diperlukan administrator dengan kriteria sebagai berikut ;
Pertama Memiliki visi kepemimpinan kreatif dalam berpikir,
Kedua, dapat beradaptasi dan berkembang terus menerus, Ketiga
mampu memecahkan masalah dengan efektif, Keempat Dapat
menentukan visi, misi dan tujuan operasi yang jelas, Kelima
memiliki dukungan interaksi kelompok melalui kepemimpinan
partisipatif, Keenam Telah merencanakan manajemen operasi
dalam rencana tahunan: rencana pendek dan rencana panjang,
serta menyesuaikan dengan rencana operasi yang sesuai dengan
situasi saat ini.
Berkaitan dengan itu dalam menjalankan tugas dan
fungsinya sub-district/Kecamatan sebagai street level bureaucracy
menurut Lipsky (1980) sebagaimana dikutip oleh Mugito, (2012)
atau sebagai street level public organization sebagaimana dijeskan
oleh McCavitt (2003), yang memiliki posisi sebagai front line
service organization dari pemerintah daerah. Kewenangan tersebut
diselenggarakan oleh administrator sub-district/Camat. Peters
(2001), menyampaikan bahwa untuk penguatan kewenangan
organisasi publik seperti halnya sub-district/Kecamatan,
setidaknya harus dilakukan reformasi strategis meliputi (1)
structural changes, (2) empowerments, (3) process, (4)
deregulations dan (5) marketization.
Mengacu dari pemahaman yang diuraikan oleh Cheema dan
Rondineli (1983), Burns, et al. (1994) sebagaimana dikutip oleh
Mugito, (2012) menjelaskan bahwa ada dua spek dalam melihat
kedudukan kelembagaan kecamatan. Pertama, hubungannya
dengan pemerintah daerah. Kedua, Hubunganya dengan kelurahan
dan pemerintah desa, begitu juga dengan masyarakat. Dengan
keberadaan lembaga kecamatan melalui kewenangan yang
dimiliki oleh camat maka diharapkan mampu menguatkan kedua
hubungan tersebut baik terhadap pemerintah daerah maupun
dengan kelurahan, pemerintahan desa dan masyarakat. Lebih
lanjut Castell, (2001) sebagiamana dikutip oleh Mugito (2012)
menjelaskan bahwa ada tiga cara pandang yang menjadi landasan
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 71
kajiannya. (1) Restrukturisasi posisi kecamatan melalui
pendekatan power-approach, dimana pemberian hak pada
kecamatan untuk memerintah dalam sistem ketata pemerintahan.
(2) Restrukturisasi posisi kecamatan dalam kerangka governance
approach, dimana kerangka tersebut untuk penguatan
kelembagaan dan modal sosial. (3) Penguatan kelembagaan
kecamatan melalui network governance, dimana hal itu didasarkan
atas sebuah asumsi bahwa masyarakat dan birokrasi di masa
mendatang dimungkinkan berkembang menjadi network society
atau masyarakat yang berjejaring.
Menurut Schmid (1972), Sebagaimana dikutip oleh
Hamudy (2009:54) menjelaskan dalam konteks otonomi daerah,
kecamatan dapat dilihat sebagai organisasi yang memiliki suatu
sistem dan fungsi kontrol terhadap sumber daya dimana kinerja
organisasinya ditentukan pola relasi dengan kabupaten sebagai
pendelegasi kewenangan atas urusan pemerintahan daerah, serta
pola relasi dengan pemerintah desa dalam konteks otonomi desa.
Terkait dengan itu maka kecamatan secara kelembagaan memiliki
3 karakteristik dalam menyelenggarakan kewenanganya, yaitu (1)
Adanya batas yurisdiksi; (2) Property rights; dan (3) Rules of
representation. Kim dan Joseph, (2002) Sebagaimana dikutip oleh
Hamudy (2009:54) menjelaskan bahwa ketiga karakteristik utama
tersebut merupakan faktor pengikat kelembagaan kecamatan
dalam menyelenggarakan kewenanganya. Kuat atau lemahnya
penyelenggaraan kewenangan kelembagaan atas pola relasi yang
ada, dipengaruhi sejauh mana karakteristik utama yang dimiliki
oleh kelembagaan kecamatan.
Menengok latar belakang sejarah pembentukan kecamatan
di indonesia surianingrat (1981) menjelaskan di dalam pasal 70
R.R. yang menjadi peraturan pokok dari pemerintahan dalam
negeri di Hindia Belanda, dan baru dikeluarkan pada tahun 1854,
tercantum sebagai berikut, “Kabupaten-kabupaten di Jawa dan
Madura, jika dipandang perlu oleh Gubernur Jenderal dibagi
dalam distrik-distrik. Tiap distrik diperintah oleh seorang kepala
pribumi dengan sebutan jabatan menurut adat kebiasaan pribumi.
Instruksi-instruksi untuk Kepala Distrik dan hubunganya dengan
pejabat-pejabat Eropa ditentukan oleh Gubernur Jenderal. Di
dalam Provinsi penentuan tersebut dalam kalimat di atas dilakukan
oleh Gubernur. Pasal 70 tersebut tidak menyinggung Kecamatan,
tetapi distrik. Oleh karenanya tingkat pemerintahan di daerah pada
waktu itu hanya untuk sampai pada distrik atau kewedanan dan
72 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
bukan kecamatan. Ini berarti bahwa bobot pemerintahan terletak
pada ”district” (Kewedanan), sedangkan “onderdistrict” baru
muncul kemudian setelah keadaan dan masyarakat berkembang
dalam jumlah maupun kebutuhan sehingga Wedana mempunyai
pembantu (Assistent) sekarang disebut camat.
Lebih lanjut Surianingrat (1981) menjelaskan bahwa camat
adalah mata rantai terbawah dari perangakat pemerintah pribumi.
Ada dua macam rangkaian pemerintahan pada zaman penjajahan
Belanda yaitu terdiri dan hanya dapat diisi oleh orang-orang Eropa
saja, tetapi sebenarnya hanya Belanda. Yang pertama disebut
Europees B.B. (B.B.-Binnenlands Bestuut), terdiri dari Gubernur,
Residen, “Assisten Residen, kontrolir dan Aspiran-kontrolir.
Inlands B.B terdiri dari Bupati, Patih, Wedana dan Camat. Betapa
pentingnya kedudukan, wewenang, dan tanggung jawab Camat
adalah jelas dikarenakan sistem pemerintahan yang sentralistis dan
merupakan satu-satunya fondasi pemerintahan di daerah.
Pemerintahan di daerah secara keseluruhan berpusat pada Camat.
Urusan daerah (Otonom) hanya sampai pada tingkat Kabupaten.
Terkait dengan itu adapun penerbitan Reglemen Bumiputera Yang
Dibarui menyebutkan pegawai-pegawai dan penjabat-penjabat
diwajibkan melakukan pekerjaan kepolisian. Dengan tidak
mengurangi tanggung jawab kepada distrik (wedana) tentang hal
melakukan pekerjaan kepolisian dengan baik dan sepatutnya di
seluruh distrik, maka dalam bahagian-bahagian distrik di tempat
mana diadakan kepala-kepala onderdistrik, segala pekerjaan dan
kekuasaan yang diserahkan kepada kepala distrik (wedana)
berdasarkan Reglemen Bumiputera Yang Dibarui dilakukan oleh
kepala Onderdistrik, ia jugalah yang menerima dan mengurus
segala yang berhubungan dengan pekerjaan dan kekuasaan itu,
yang harus dikirimkan kepada kepala distrik (wedana).
Kemudian pada masa pendudukan Jepang Kurasawa
(2015:467) menjelaskan onderdistrict yang dibentuk masa
pemerintahan Hindia belanda nomenklaturnya berubah menjadi
Son dan dipimpin oleh Soncho. Soncho dijadikan instrument
dalam mensosialisasikan perintah dari pemerintah yang berkaitan
dengan implementasi kebijakan-kebijakan baru. Sonco sering
hadir di tengah-tengah masyarakat di bawah yuridiksinya bersama
istri mereka. Seorang Soncho dalam memelihara fungsi-fungsinya
jarang tinggal di kantor. Untuk mendukung pekerjaan Soncho saat
itu diangkat jabatan baru Fuku Soncho (wakil soncho).
*****
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 73
BAB VIII
ANALISIS SETING SOSIAL
A. Kelembagaan Kecamatan pada Masa Pemerintah Hindia
Belanda
Soetardjo K., (1984:93) menjelaskan bahwa embrio
kecamatan sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Islam. Kala
itu ada gabungan empat desa yang disebut (mencopot) dan
gabungan lima desa yang disebut (monco). Gabungan empat atau
lima desa tersebut memiliki pimpinan/kepala yang disebut
penatus, palang, glondong, atau terup, dan lain sebagainya. Kepala
tersebut memiliki fungsi mengkoordinir empat atau lima lurah
yang bergabung dalam rangka penarikan upeti serta pengerahan
tenaga kerja. Beberapa penatus, palang, glondong, atau terup
dikoordinir oleh yang namanya Demang. Namun zaman
pemerintah Hindia Belanda keberadaan kepala yang
mengkoordinir moncopot dan monco tersebut dihapus dan fungsi-
fungsinya digantikan oleh pejabat resmi yang disebut orderdistrict
hoofd (asisten wedana) atau camat. Demang juga dihapus,
fungsinya digantikan oleh pejabat resmi yaitu district hoofd
(wedana).
Pemerintahan daerah merupakan sebuah konsep yang relatif
moderen, walaupun beberapa pemerintahan daerah sudah ada
semenjak abad pertengahan, bahkan pada zaman kuno di semua
negara. Hal itu karena tuntutan kebutuhan politik, administrasi,
sosial ekonomi, maupun geografis Muthalib dan Khan, (1983:61).
Pada masa pemerintah Hindia Belanda, sistem pemerintahan
diatur melalui Regelings Reglement (R.R) 1854, kemudian diubah
Indische Staatsregeling (I.S.) 1925 dimana camat (asisten wedana)
merupakan pejabat pangreh praja pribumi terbawah sebagai mata
rantai hirarki pemerintahan sentralisasi. Pada kala itu terdapat dua
korps pegawai Pertama pegawai pribumi (Inlands Bestuur),
Kedua pegawai Eropa (Europees Bestuur). Korps pegawai Eropa
merupakan ambtenaar (pejabat negara) tingkat tinggi sedangkan
korps pribumi ambtenaar (pejabat negara) tingkat rendah. Korps
pegawai/birokrat Eropa hirarkinya yakni: Gubernur Jenderal,
Gubernur, Residen, dan Burgemeester (walikota). korps
pegawai/birokrat pribumi hirarkinya yakni: Bupati (regent),
wedana (district hoofd), dan camat (onderdistrict hoofd).
74 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Kesemuanya itu merupakan jalur sentralisasi dan camat
(onderdistrict hoofd) adalah pejabat terendah. Di bawah camat
(onderdistrict hoofd) tidak ada pejabat pangreh praja, namun yang
ada yang ada hanyalah pemerintahan haminte pribumi Ter Haar,
(2011) atau pemerintahan indigenous commune Angelino, (1931
403-411). Tugas dan kewenangan camat (onderdistrict hoofd)
adalah memberi perintah dan mengawasi kepala haminte pribumi
atau indigenous commune yang telah diangkat sebagai
tussenpersoon/mediator dalam hal penarikan pajak dan
pengerahan tenaga (heerendiensten); komandan penarikan pajak
desa; dan komandan penciptaan ketertiban dan keamanan (rust en
orde).
B. Kelembagaan Kecamatan Pada Masa Pendudukan Jepang
Kemudian pada masa pendudukan Jepang Kurasawa
(2015:467) menjelaskan onderdistrict yang dibentuk masa
pemerintahan Hindia belanda nomenklaturnya berubah menjadi
Son dan dipimpin oleh Soncho. Melihat perbandingan Son yang
dibentuk di Jawa dan di Jepang. Kurasawa (2015:211)
menjelaskan di Jepang Son adalah unit administrasi terendah yang
dikepalai Soncho yang statusnya pejabat pemerintah yang
mempunyai son gikai (dewan son). Umumnya di masing masing
son terdapat satu sekolah dasar negeri dan pos kepolisian terendah.
Oleh karena itu son di jepang setara dengan kecamatan di jawa.
Ketika dilihat dari fungsinya, di jawa sendiri Son yang
dikepalai Soncho merupakan instrumen Jepang dalam
mensosialisasikan perintah yang berkaitan dengan implementasi
kebijakan-kebijakan baru. Soncho sering hadir bersama istri
mereka di tengah-tengah masyarakat yang berada di bawah
yuridiksinya. Dalam kesempatan itu Soncho juga hadir dalam
rangka mengemban misi Jepang, yakni membangun propaganda
pada masyarakat desa sehingga dapat dimobilisasi dan dipercaya
untuk menjadi mitra dalam lingkungan kemakmuran bersama.
Seorang Soncho dalam memelihara fungsi-fungsinya jarang
tinggal di kantor. Sehingga dalam mendukung pekerjaan Soncho
maka diangkatlah jabatan baru Fuku Soncho (wakil soncho).
C. Kelembagaan Kecamatan Pada Masa Orde Lama (Pasca
Kemerdekaan)
Nurcholis (2016) menjelaskan bahwa pada masa
pemerintahan Soekarno (1945-1965) secara de jure keberadaan
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 75
kecamatan karesidenen dan kawedanan sebagai perangkat
sentralisasi dihapus, karena berdasarkan UUD 1945 Passal 18,
pemerintahan daerah yang dibentuk hanya pemerintahan daerah
otonom (local self goverment /local goverment autonomie), bukan
campuran/himpitan daerah otonom dan wilayah administrasi atau
wilayah administrasi saja (Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1965, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1965. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 kecamatan
akan dipersiapkan menjadi daerah otonom tingkat III. Namun
secara de facto kecamatan sebagai perangkat sentralisasi tetap
eksis.
Nordholt, (1987) sebagaimana dikutip oleh Nasdian
(2008:7) menjelaskan bahwa, kelembagaan kecamatan pada masa
orde lama diwarnai berbagai perselisihan klasik mengenai
kekuasaan dan wewenang camat antara tipe generik dan spesifik.
Perselisihan ini berawal sekitar tahun 20-an pada masa kolonial,
utamanya di pulau Jawa, yakni semenjak munculnya dinas-dinas
khusus yang dianggap menggoyang kedudukan dan kekuasaan
pangreh-praja sebagai wakil dari masyarakat satu-satunya. Dengan
munculnya pejabat-pejabat modern yang memimpin dinas-dinas
khusus dianggap mengancam keberadaan pangreh praja, karena
secara operasional pejabat-pejabat modern juga berhubungan
dengan masyarakat. Kala itu, para spesialis baru sebagian memang
berasal dari struktur sosial lokal yang sama, namun dengan
berbagai alasan, sering memiliki orientasi lain terhadap
masyarakat. Orientasi politik untuk kepentingan nasional
cenderung mendominasi.
D. Kelembagaan Kecamatan Pada Masa Orde Baru
Nasdian (2008:8) menjelaskan pemerintah orde baru
merubah sistem norma dan nilai kelembagaan kecamatan melalui
dua peraturan perundang-undangan yakni Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Paradigma
pemerintahan yang sentralistis merupakan rujukan dari keduanya.
Dinamika yang terjadi pada kelembagaan kecamatan yang memuat
sistem norma, nilai dan pengorganisasian yang dijalankan,
dominan dikendalikan oleh kekuasaan dan kewenangan camat.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, secara eksplisit
disebutkan bahwa camat merupakan kepala (penguasa) wilayah.
76 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Dengan hal itu, koordinasi yang diperankan camat sangat kuat
dalam mengkoordinasikan pekerjaan-pekerjaan dinas
pemerintahan yang berada di ruang lingkup wilayah
kecamatannya. Nyaris sama seperti gubernur dan bupati dalam
tingkat pemerintahannya. Muluk, (2005) Local State Government,
yakni semacam pemerintah daerah sebagai manifestasi
penyelenggaraan azas dekonsentrasi dengan peyelenggaraan unsur
pemerintah pusat yang ada di daerah. Alasanya (a) Mengurangi
beban tugas Menteri/Departemen. (b) Urusan dengan pihak ketiga
lebih cepat, (c) Lebih mudah dalam pengambilan keputusan (d)
Luas wilayah kewenangan pejabat administrasi sering tidak sesuai
dengan undang-undang, (e) Koordinasi antara pejabat-pejabat
Daerah otonom dan aspek budaya, proses pengambilan keputusan
dan pejabat wilayah cenderung lambat.
Selain itu, adapun interpretasi lain dengan posisi yang
dimiliki oleh camat sebagai kepala wilayah, kemudian tuntutan
monoloyalitas terhadap pemerintah pusat, yang secara politis
menempati posisi atau kedudukan yang lain sama sekali.
Keberadaan kepolisian sektor di wilayah kecamatan telah
mengambil alih sebagian tugas kepolisian yang sebelumnya
dimiliki camat, termasuk Matri Polisi Pramong Praja. Pada bidang
kesejahteraan, seperti pendidikan, pertanian, dan kesehatan telah
diploting pejabat dinas-dinas di tingkat kecamatan dengan diiringi
program-program besar dari pemerintah, sehingga dinas tersebut
masing-masing membangun kelembagaan dinas baru beserta
fasilitasnya di wilayah kecamatan. Namun dengan argumentasi
pelaksanaan pembangunan lima tahun dengan perspektif tujuan
trilogi pembangunan yakni stabilitas, pertumbuhan ekonomi, dan
pemerataan menuntut lebih mantapnya koordinasi. Kala itu, fakta
yang terjadi di tingkat kecamatanlah banyak terdapat realisasi
program yang sifatnya top down. Kemudian di kecamatan juga
dituntut realisasi pembangunan harus memiliki bentuk kerjasama
yang erat dengan masyarakat. Hal itu cukup disadari oleh
Pemerintah Pusat, maka dari itu muncullah Unit Daerah Kerja
Pembangunan (UDKP) sebagai pendekatan dengan kepemilikan
batas-batas yang sama dengan kecamatan. Hal ini kala itu
merupakan indikasi adanya suatu upaya melakukan penguatan
kedudukan camat serta kelembagaan kecamatan, baik terhadap
kekuatan dinas-dinas yang bekerja di tingkat kecamatan maupun
terhadap kemungkinan kekuatan-kekuatan yang mengarah untuk
menciptakan otonomi daerah.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 77
Camat dan kelembagaan kecamatan sebagai koordinator
kegiatan-kegiatan pemerintah di tingkat kecamatan merupakan
posisi utama dalam aktifitas UDKP. Posisi kepala wilayah
menempati kedudukan yang berdiri sendiri, yang sedikit banyak
hampir sama seperti gubernur dan bupati ketika itu Rondinelli,
(1983:19) dikutip oleh Pitono, (2012:15) salah satu dari dua tipoligi
dekonsentrasi adalah Local administration, dimana seluruh pejabat
yang berada di setiap tingkat pemerintahan seperti provinsi, distrik, kotapra
dan lain sebagainya, yang dikepalai oleh seorang pejabat yang
diangkat, merupakan wakil dari pemerintah pusat yang berada di bawah
dan bertanggung jawab pada departemen pusat. Tidak saja dalam
kapasitasnya sebagai aparatur pemerintahan tetapi juga sebagai
patron terhadap masyarakat di kecamatannya. Dinamika
kelembagaan kecamatan dan pengorganisasian kecamatan pada
masa orde baru tidak saja dibentuk oleh peraturan-perundangan
yang berlaku pada masa itu, tetapi juga dipengaruhi oleh
perkembangan politik nasional. Pembentukan dan legitimasi
terhadap musyawarah pimpinan kecamatan (Muspika), aparat
militer menjadi camat seperti di daerah perbatasan, pemerintahan
sipil dengan sistem komando, perencanaan ketat dari atas dengan
instruksi, skema waktu dan anggaran, menghasilkan beban
administrasi yang lebih berat bagi staf bawahan. Dengan demikian
hampir tidak ada waktu untuk berdialog dan menangkap aspirasi
masyarakat dalam wilayah kecamatan.
Pada masa diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 (pasal 81), pemerintah desa seratus persen berada di
bawah kendali kecamatan, sehingga seorang kepala desa pun bisa
kehilangan jabatan apabila camat memutuskan atas dasar penialian
yang rasional. Peran mengontrol desa serta kekuasaan kecamatan
di bidang kontrol keamanan, ketentraman dan ketertiban (tramtib)
yang dianggap sebagai fungsi prestisius kecamatan di masa orde
baru, dianggap sebagai salah satu fungsi penting kecamatan yang
menumbuhkan kewibawaan camat dihadapan masyarakat. Pada
masa itu, seluruh gerak dan ektifitas kerja pemerintahan desa
sangat terawasi secara ketat oleh kecamatan/camat.
Pada massa ini, masyarakat dipandang sebagai suatu
komunitas yang masih terlalu sedikit memiliki pengertian akan
kebutuhan pembangunan. Apalagi arus proyek-proyek dari atas
yang disediakan dengan anggaran biaya dari pusat, provinsi, atau
kabupaten/kota semakin memperkuat orientasi ke atas. Selain
orientasi vertikal tersebut, di seluruh kecamatan kasus studio ini di
78 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
masa orde baru diperkuat oleh pemahaman yang dilekatkan pada
pengertian kekuasaan. Oleh karena itu, perubahan kelembagaan
kecamatan dari masa orde lama ke orde baru tidak hanya dengan
kekuatan regulasi, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, tetapi juga
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang menyertai
program-program pembangunan ekonomi. Kekuatan regulasi
sebagai instrumen pembangunan ekonomi (pendanaan
pembangunan yang besar dari pemerintah pusat) yang disertai
dengan kekuatan-kekuatan politik tunggal (berbeda dari masa orde
lama) pemerintah berkuasa ternyata tidak menciptakan bentuk
baru pengorganisasian kecamatan. Perubahan yang terjadi adalah
kekuasaan dan wewenang camat sebagai penguasa wilayah yang
berlandaskan kepada tidak hanya pada regulasi yang ada tetapi
lebih dominan kepada monoloyalitas kepada kekuatan politik
tunggal. Kelembagaan kecamatan semakin kuat tidak hanya
terhadap kelembagaan desa tetapi juga terhadap kelembagaan
sektoral (dinas) di tingkat kecamatan. Dengan kata lain,
kelembagaan dan pengorganisasian kecamatan di masa Orde Baru
tidak berhasil mensinergikan kekuatan-kekuatan, berupa sistem
norma dan nilai lokal serta tindakan-tindakan kolektif yang secara
sosiologis telah mengakar dalam kehidupan masyarakat setempat.
Interpretasi realitas kelembagaan kecamatan pada masa orde
baru tersebut, menurut pilar-pilar penopang kelembagaan
kecamatan, adalah berbeda dengan kelembagaan kecamatan pada
masa orde lama. Artinya, terjadi perubahan pada pilar-pilar
penopang kelembagaan kecamatan dari masa orde lama ke masa
orde baru. Pada masa orde baru kelembagaan kecamatan diubah
dengan implementasi sistem norma dan nilai berupa Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1979. Dengan kedua peraturan perundang-undangan
tersebut basis tatanan kelembagaan kecamatan bersumber dari
aturan-aturan regulatif. Mekanisme koersif diperankan oleh
kelembagaan atas kecamatan, baik dari tingkat kabupaten, maupun
provinsi dan pusat. Indikator-indikator implementasi kelembagaan
dikembangkan berupa aturan, hukum dan sanksi-sanksi, dengan
basis legitimasinya pada aspek legal. Oleh karena itu, dapat
dinyatakan bahwa kelembagaan kecamatan yang dikontruksikan
pada massa orde baru dimulai dengan menciptakan pilar regulative
sebagai salah satu instrumen dalam pembangunan ekonomi.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 79
Akan tetapi dalam pandangan pemerintahan orde baru, pilar
tersebut belum memadai. Berdasarkan pengalaman dari dinamika
kelembagaan kecamatan pada masa orde lama, monoloyalitas
aparat Pemerintah Kecamatan, khususnya Camat, terhadap suatu
partai politik dari argumrntasi nasionalisme dengan aliansi politik
tertentu dari berbagai partai politik perlu diubah menjadi
monoloyalitas terhadap kekuatan politik tunggal pemerintah yang
berkuasa.
Gambar 8.1
Posisi Kecamatan Secara Hierarkhis dalam Kerangka Sentralistik
Sumber : Nasdian (2008:11)
Basis tatanan kelembagaan kecamatan pada massa orde
baru ternyata tidak hanya pada aturan regulasi tetapi juga pada
beragam ekspektasi dari kekuatan politik tunggal dengan alasan
pembangunan. Indikator-indikator yang muncul dalam mengukur
kekuatan kelembagaan kecamatan tidak hanya bersumber dari
aturan, hukum, dan sanksi tetapi juga kepada penilaian atau
akreditasi yang diberikan kekuatan politik tunggal, yakni sampai
sejauh mana dapat memenuhi kepentingan politis penguasa dari
berbagai pola relasi yang dibangun dalam hubungan horizontal
dan vertikal. Akhirnya, basis legitimasi terhadap kelembagaan
kecamatan tidak hanya bersumber dari regulasi yang berlaku
ketika itu, tetapi juga bersumber (bahkan lebih dominan) dari
kemampuan tata-pengaturan pimpinan kecamatan untuk
menciptakan tarik ulur atas kekuatan-kekuatan politik tunggal dan
80 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
obligasi sosial. Dengan demikian pada masa orde baru dapat
diidentifikasi bahwa pilar regulatif berbasis pada aturan, hukum,
dan sanksi diserta dengan tata-pengaturan moral berbasis pada
obligasi sosial dengan alasan pembangunan yang menopang
kelembagaan kecamatan. Pada masa itu, nampak efektif karena
pendanaan pembangunan dari pusat relatif besar dengan
perencanaan top-down terpusat meskipun tanpa memper-
timbangkan aspirasi dan tanpa menciptakan ruang bagi partisipasi
publik.
E. Kelembagaan Kecamatan di Era Reformasi
Nasdian (2008:11) menjelaskan bahwa reformasi tata-
pemerintahan daerah di indonesia ditandai dengan implementasi
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah yang kemudian diamandemen menjadi Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berbeda
dengan undang-undang sebelumnya pada masa orde baru yang
lebih merujuk pada paradigma pembangunan yang sentralistik,
kedua undang-undang tersebut di atas lebih merujuk kepada
paradigma pembangunan yang desentralistik. Implementasi kedua
undang-undang tersebut berdampak pada kelembagaan kecamatan,
yakni pada pranata sosialnya maupun pada pengorganisasian
kecamatan.
Pada saat ini dengan titik berat otonomi daerah di tingkat
kabupaten, terasa bahwa semangat sentralisme telah berpindah ke
kabupaten dan kota. Artinya, Pemerintah Kabupaten dan Kota,
mendapatkan kesempatan besar dalam mengimplementasikan
pemusatan kekuasaan dan kewenangan yang diperoleh dari pusat
kekuasaan di aras kabupaten/kota. Prasojo et al. (2006:1) secara
umum tujuan desentralisasi diklasifikasi ke dalam dua variabel
penting yaitu pendekatan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan
pemerintahan (strucrural efficiency model) dan peningkatan
partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan
(local democracy model). Maknanya, semua pangaturan dan
pengurusan pembangunan, pembinaan sosio kemasyarakatan, dan
pemerintahan secara umum tersentralisasi di kabupaten yang
dimainkan oleh dua kator pemerintahan yaitu bupati dan lembaga
perwakilan rakyat daerah. Hoessein, (2001b) dikutip oleh Muluk,
(2009:57) bahwa Local government ini merupakan sebuah konsep
yang dapat mengandung tiga arti pemerintah lokal yang kerap kali
dipertukarkan dengan local outhoity yang mengacu pada organ,
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 81
yakni council dan mayor. Dalam hal ini, kecamatan merupakan
bagian dari kabupaten/kota yang hanya melaksanakan wewenang
bupati/walikota dan pemerintah kabupaten/kota. Camat dan
kecamatan tidak lagi melaksanakan wewenang pemerintah pusat
dan provinsi di wilayah kecamatannya.
Gambar 8.2
Posisi Kecamatan Dalam Kerangka Desentralisasi
Sumber : Nasdian (2008:12)
Lebih lanjut Nasdian (2008:12) menjelaskan bahwa dengan
diimplementasikannya otonomi desa tidak ada lagi kekuasaan dan
wewenang Camat dan Kecamatan mengendalikan sepenuhnya
desa dan kelembagaan pemerintah desa. Realitas ini tidak dapat
dipungkiri telah menghasilkan dampak kekecewaan dari banyak
kalangan aktor birokrasi Kecamatan di bawah subordinasi Bupati.
Rasa kekecewaan tersebut diekspresikan oleh para camat sebagai
akibat pergeseran status dan kedudukannya. Pergeseran tersebut
adalah dari statusnya sebagai kepala wilayah yang menguasai
publik di daerahnya, kepada status sekedar aparat/fungsionaris
sebuah SKPD yang menguasai wilayah administratif di aras
kecamatan semata. Sebagai “pejabat publik” dalam arti pejabat
yang masih diakui eksistensinya dalam pengaturan dan pembinaan
masyarakat (publik), camat pun mengalami kekecewaan seperti
kekecewaan yang pernah dialami oleh para bupati di massa orde
baru (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974), ketika kekuasaan
pengaturan pembangunan dan kemasyarakatan masih dikuasai dan
dikendalikan oleh Pemerintah Pusat.
82 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
F. Ikhtisar Masa Orde Lama Hingga Reformasi
Dari masa orde lama, kemudian masa orde baru, sampai
dengan di era reformasi kecamatan sebagai suatu kelembagaan
dan organisasi pemerintahan di daerah telah mengalami
perubahan. Perubahan yang berlangsung pada tiga periode tersebut
menunjukkan terjadinya evolusi bersama (co-evolution) pranata
sosial dan pengorganisasian kecamatan. Masa orde baru ke era
reformasi, terjadi perubahan bersama (co-evolution) pranata sosial
kecamatan (implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
yang diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 beserta perangkat peraturan perundangan di bawahnya
seperti peraturan pemerintah, keputusan menteri, sampai kepada
keputusan bupati) dan organisasi (menjadi SKPD) serta
pengorganisasian kecamatan. Burn et al, (1994) dan konsep
decentralization within cities desentralisasi di Kota Norton,
(1994:106). Tujuan dari konsep mereka yang memungkinkan
lingkungan untuk mengartikulasikan kebutuhan mereka membawa
kekuatan lebih dekat dengan masyarakat. Suatu hal yang perlu
dicermati adalah meskipun telah terjadi evolusi bersama dan
kelembagaan kecamatan telah ditopang tidak hanya oleh pilar
regulative dan normative tetapi juga ditopang oleh pilar cultural-
cognitive. Maknanya, telah diciptakan ruang bagi aspirasi
masyarakat lokal dan kelembagaan lokal/adat dalam kiprah
kelembagaan kecamatan. Akan tetapi, sampai sejauh ini
kelembagaan kecamatan berlangsung dengan efektif.
Tabel 8.1
Perubahan Kelembagaan Kecamatan dan Pilar Penopang
Orde Lama Orde Baru Orde Reformasi
Perubahan Kelembagaan
Kecamatan
Evolusi bersama
antara pranata sosial
(UU No. 5/1974 dan
UU No.5/1979) dan
“pengorganisasian”
kecamatan yang
semula berorientasi
monoloyalitas kepada
partai politik tertentu
berlandaskan pada
nasionalisme berubah
menjadi berorientasi
monoloyalitas politik
Evolusi bersamka
antara pranata pranata
sosial (UU No.
22/1999 yang
diamandemen menjadi
UU No.32/2004 dan
“pengorganisasian”
serta organisai
kecamatan berubah
menjadi SKPD
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 83
Orde Lama Orde Baru Orde Reformasi
“tunggal”
berlandaskan
pembangunan
(develop-mentalism)
Peran Camat
dan
Kelembagaan
Kecamatan
“Penguasa Wilayah”
dan “kuat”
Aparat bupati di
wilayah kecamatan
dan “lemah”
Efektivitas
Kelembagaan
Kecamatan
Efektif secara
kuantitatif-ekonomi
tetapi tidak efektif
kualitatif-sosiologis
Tidak Efektif
Sumber : Nasdian (2008:12)
G. Kecamatan sebagai Organisasi dan Kontrol terhadap
Sumberdaya
Berdasarkan fakta-fakta empiris dari studi lapangan yang
dilakukan oleh Nasdiar (2008:20) dijelaskan bahwa disusun
beberapa rumusan rekonstruksi dan reposisi institusi kecamatan
dalam tata pemerintahan daerah di indonesia. Makna reposisi dan
rekonstruksi adalah meletakkan kembali dan memberikan makna
kembali kelembagaan kecamatan dalam tata-pemerintahan daerah
sesuai dengan semangat demokrasi dan otonomi lokal (otonomi
daerah dan otonomi desa). Reposisi dan rekonstruksi tersebut tidak
dimaknai sebagai “membongkar struktur kekuasaan dan
kewenangan” yang ada, namun lebih bermakna pada penajaman,
pembobotan dan reorientasi mekanisme kerja dan kinerja
kelembagaan kecamatan dalam pemrintahan.
“Penguatan” kelembagaan kecamatan seyogyanya dapat
menjawab dan dikembangkan sesuai persoalan-persoalan yang
dihadapi oleh kelembagaan tersebut tanpa memberikan
biaya/dampak eksternalitas berupa resiko yang besar terhadap
kekeliruan sistem pemerintahan di daerah. Seperti diketahui
bersama, kemunduran fungsi dan peran institusi kecamatan dalam
pemerintahan daerah di masa berlakunya Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2014 adalah karena adanya sejumlah faktor struktural.
Faktor-faktor tersebut antara lain: semakin kuatnya otonomi
daerah (kabupaten) dan otonomi desa; pelimpahan sebagian
wewenang bupati kepada camat yang masih setengah hati; dan
tugas dan wewenang yang dilimpahkan tidak disertai pendanaan
84 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
untuk melaksanakan wewenang tersebut. Beberapa kendala
struktural tersebut membatasi gerak kelembagaan kecamatan
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Dalam aktivitas pembangunan masih dirasakan
ketidakmampuan kelembagaan kecamatan mengelola secara
sinergis perencanaan dan kebijakan pembangunan yang selama ini
berlangsung pada tiga jalur: (1) Jalur Dinas Sektoral (top down)
dengan sumber pendanaan APBD; (2) Musrenbang dari tingkat
kecamatan ke kabupaten dengan sumber pendanaan APBD; dan
(3) Jalur PPK dengan block grant (partisipatif dan lebih berhasil).
Sampai sejauh ini kelembagaan kecamatan berperan sebagai
fasilitator. Perencanaan model PPK tidak dapat sepenuhnya
diadopsi dalam perencanaan kecamatan karena penetapan
anggaran dilakukan melalui keputusan politis di DPRD kabupaten
yang berbeda dengan block grant dalam model PPK. Realitasnya,
camat dan kecamatan tidak dapat berbuat banyak dalam hal
perencanaan dan implementasi pembangunan tersebut. Rancangan
ke depan, kelembagaan kecamatan perlu diperkuat dengan
didukung oleh peraturan perundangan yang kuat, yang cenderung
memperkuat kelembagaan kecamatan.
Tabel 8.2
Matriks Peran Kelembagaan Kecamatan sebagai Organisai dan
Kontrol terhadap Sumberdaya dalam Era Reformasi Sentra Enam Jenis
Kegaitan Batas Yuridis Propety Rights
Rules of
Representatiom
1. Pusat pelayanan
ijin terbatas &
kependudukan
Diatur oleh
kabupaten dan
sudah berlangsung
Dimiliki oleh
kelembagaan
pemerintah kabupaten dan
bupati
Kelembagaan
kecamatan sudah
mampu memfasili-tasinya
2. Pusat manajemen
krisis, konservasi,
bencana alam &
sosial.
Masih diatur
oleh
pemerintah
pusat. Akan tetapi apabila
terjadi krisis
camat dan
kelembagaan kecamatan
yang diminta
untuk aksi
Dimiliki oleh
kelembagaan
pemerintah
pusat
Kelembagaan
kecamatan beserta
masyarakat
mampu melaksanakan
apabila dengan
seksama
pendanaan yang jelas dan
mencukupi
3. Pusat
pengendalian
keamana & ketertiban
Diatur oleh
kabupaten dan
sudah berlangsung
Dimiliki oleh
kelembagaan
pemerintah kabupatan
Kelembagaan
kecamatan sudah
mampu memfasilitasinya
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 85
Sentra Enam Jenis
Kegaitan Batas Yuridis Propety Rights
Rules of
Representatiom
4. Kelembagaan
simpul
pembangunan
spasial-kewilayahan
Diatur oleh
kabupaten dan
sudah
berlangsung
Dimiliki oeleh
kelembagaan
pemerintah
kabupaten dan bupati
Kelembagaan
kecamatan belum
mampu
memfasilitasinya karena
keterbatasan
sumberdaya
5. Kelembagaan
simpul jejaring
kerjasama & pemberdayaan
Diatur oleh
kabupaten dan
sudah berlangsung
Dimiliki oleh
kelembagaan
pemerintah kabupaten dan
bupati
Kelembagaan
kecamatan sudah
mampu memfasilitasinya
6. Kelembagaan
penyelaras antar-
desa
Diatur oleh
kabupaten dan
belum
berlangsung
Dimiliki oleh
kelembagaan
pemerintah
kabupaten dan bupati
Kelembagaan
kecamatan sudah
mampu
memfasilitasinya
Kesimpulan Camat dan kelembagaan kecamatan tidak
merepresentasikan atau lemah sebagai suatu sistem
organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya dalam
wilayah kecamatannya.
Kebijakan yang
diperlukan
Bupati dengan jelas dan tegas
perlu
melimpah-
kan
wewenang
sentra enam
kegaitan
kepada camat dan
kelembagaan
kecamatan
Sesuai dengan peraturan
perusdangan
yang berlaku
relevan untuk
melimpahkan
wewenang
kepada camat
sebagai “kepala
wilayah” di
bawah kuasa
dan kontrol
bupati
Kelembagaan kecamatan
diberikan
wewenang
menjadi
fasilitator dalam
mensinerjikan
kekuatan-kekuatan
(multi-pihak) baik secara horizontal
dan vetikal dalam
batas wilayahnya
Sumber : Nasdian (2008:21)
Oleh karena itu, perlu dianalisis bagaimana “sentra enam
jenis kegiatan” kelembagaan kecamatan tersebut memiliki
kejelasan dan kekuatan dalam batas-batas yurisdiksi, hak-hak
penguasaan (property rights), dan aturan-aturan representasi (rules
of representation). Hasil analisis terhadap kelembagaan kecamatan
sebagai suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya,
menunjukkan bahwa camat dan kelembagaan kecamatan tidak
86 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
merepresentasikan atau lemah sebagai suatu sistem organisasi dan
kontrol terhadap sumberdaya dalam wilayah kecamatannya.
Diperkirakan, faktor ini yang menyebabkan di era reformasi ini
kelembagaan kecamatan tidak mampu berperan dengan efektif
ketika menghadapi otonomi desa di bawah kendali pemerintahan
yang memiliki kekuatan otonomi daerah (kabupaten) .
H. Kecamatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014
Nurcholis (2016:10) Berselang lima belas tahun semenjak
reformasi pemerintahan berasaskan dekonsentrasi dimunculkan
kembali, ditandai dengan ditetapkanya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014. Dalam pengaturanya menjadikan wilayah
administrasi (local state government) yang berimpit dengan daerah
otonorn (local self-government). Lebih lanjut Fried (1963) dikutip
oleh Maksum (2014:11) menyebutkan cara tersebut dengan model
Integrated Perfectoral System, konsekuensi yang timbul
berhimpitnya antara daerah otonom dan daerah administrasi, serta
adanya rangkap jabatan kepala daerah yang sekaligus merangkap
sebagai wakil pemerintah pusat. Dengan hal itu dimungkinkan
akan munculkan ketumpang tindihan antara kewenangan otonomi
dengan kewenangan sentralisasi serta adanya persaingan antar
keduanya di seluruh satuan pemerintahan. Di bawah Undang-
undang tersebut sistem binnenlands bestuur zaman kolonial dan
juga zaman Orde Baru benar-benar kembali. Fungsi camat
kembali lagi sebagai organ sentralisasi melalui saluran bupati/
walikota sebagai kepala wilayah administrasi dan gubernur
sebagai kepala wilayah administrasi. Akan tetapi, camat juga
diposisikan sebagai perangkat daerah otonom. Jadi, camat
berstatus ganda sebagaimana bupati/walikota. Meskipun berstatus
ganda, dalam praktik fungsi camat tetap sama dengan fungsinya
pada masa kolonial dan/atau Orde Baru: menciptakan rust en orde
di wilayahnya, komandan penarikan pajak rakyat desa melalui
kepala desa, dan pengerah tenaga/mobilisasi massa desa untuk
kepentingan politik-ekonomi penguasa Pusat. Mobilisasi massa
desa yang paling menonjol saat ini adalah pemanfaatan Dana
Desa, mobilisasi ibu-ibu melalui PKK dan POSYANDU,
mobilisasi petani melalui P3A (Perkumpulan Petani Pengguna
Air), dan mobilisasi modal desa melalui BUMDES. Kecamatan
tetap tidak berubah menjadi organ daerah otonom yang melayani
kepentingan dan kebutuhan rakyat pada tingkat komunitas.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 87
BAB IX
PELIMPAHAN WEWENANG BUPATI KEPADA
CAMAT SERTA PENYELENGGARAAN
KEWENANGAN CAMAT
A. Pelimpahan Wewenang Bupati Kepada Camat Serta
Penyelenggaraan Kewenangan Camat
1. Eksisting Pelimpahan Wewenang Bupati Kepada Camat
Serta Operasionalisasi Kewenangan dan Necessary
Conditions sebagai Perangkat Daerah
a. Pelimpahan Wewenang Bupati Kepada Camat Serta
Operasionalisasi Kewenangan dan Necessary Conditions
sebagai Perangkat Wilayah Administrasi
Pelimpahan wewenang bupati kepada camat pada
dasarnya merupakan sebuah pendekatan yang dilakukan
atas dasar kodrat keberadaan perangkat daerah kecamatan
sebagai simpul pelayanan pada masyarakat, yang mana
dalam kerangka desentralisasi dan otonomi daerah
merupakan salah satu penentu keberhasilan pemerintah
daerah dalam mewujudkan cita-cita nasional yaitu
kesejahteraan masyarakat. Selain itu secara operasioanal
bisa dijabarkan bahwa pelimpahan kewenangan Bupati
kepada Camat bertujuan untuk menyelengarakan pelayanan
masyarakat secara efektif dan efisien, mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat; mendorong tumbuhnya
akuntabilitas kinerja aparatur Kecamatan; dan memperjelas
serta mempertegas penyelenggaraan Kecamatan.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 pasal
221, pembentukan perangkat daerah kecamatan dilakukan
dalam rangka meningkatkan koordinasi penyelenggaraan
pemerintahan, yang artinya adalah dengan keberadaan
Kecamatan, Camat sebagai pimpinan perangkat daerah
kewilayahan harus dapat mengkoordinasikan seluruh
kewenangan pemerintah daerah di wilayah kerja
Kecamatan, kemudian juga Camat harus memberikan
pelayanan publik di Kecamatan dan juga pemberdayaan
masyarakat Desa/Kelurahan.
Selain melaksanakan koordinasi sesuai dengan
kedudukan Kecamatan berdasarkan pasal 226 Undang-
88 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
undang Nomor 23 tahun 2014 juga disebutkan bahwa camat
dimungkinkan mendapatkan pelimpahan sebagian
kewenangan Bupati atas urusan wajib dan urusan pilihan
yang telah didesentralisasikan kepada pemerintah daerah.
Namun hal itu disesuaikan dengan karakteristik pemetaan
pelayanan publik, dan juga dengan mempertimbangkan
dasar atas pengartikulasian kebutuhan masyarakat atas
pelayanan publik. Bupati dapat melimpahkan wewenang
apa saja yang dilimpahkan kepada Camat/Kecamatan
melalui surat keputusan dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu undang-
undang, peraturan pemerintah serta peraturan turunan lainya
yang dianggap relevan.
Semenjak digulirkannya undang-undang Nomor 22
tahun 1999 sebagai momentum awal pelaksanaan otonomi
daerah yang ditandai dengan besarnya porsi urusan yang
didesentralisasikan pada pemerintah daerah hinggga
perubahan atas kebijakan tersebut yaitu undang-undang
nomor 32 tahun 2004 dan undang-undang Nomor 23 tahun
2014 tentang pemerintahan daerah yang berlaku saat ini.
Diketahui bahwa melalui tiga kali perubahan undang-
undang tersebut tingkat pengurangan dan penambahan
urusan yang didesentralisasikan kepada pemerintah daerah
tergolong masih cukup besar. Hal inilah yang
menggambarkan bahwa sesungguhnya otonomi daerah
memang benar-benar dilaksanakan oleh Pemerintah.
Berbeda dengan Peraturan perundang undangan sebelumnya
yaitu undang-undang Nomor 05 Tahun 1974 beserta
Peraturan perundang undangan pendahulunnya, bahwa
otonomi daerah kala itu dirasa hanya sebatas penghalusan
dari sentralisasi serta konsep yang tidak diimbangi dengan
besaran porsi urusan yang diserahkan kepada daerah.
Momentum ditetapkanya Undang-Undang Nomor 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada dasarnya
diharapkan akan membawa perubahan yang lebih baik atas
serangkaian dinamika otonomi daerah yang telah
berlangsung selama lebih dari satu dasawarsa ini. Perubahan
yang lebih baik disini dimaksudkan bahwa dengan adanya
penetapan Undang-Undang pemerintahan daerah yang baru,
Pemerintah daerah yang terdiri dari kepala daerah, serta
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 89
jajarannya dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai
aktor kebijakan mampu melakukan reformasi administrasi
pada tataran proses kebijakannya.
Berkaitan dengan itu, sebagai gambaran awal tentang
pelimpahan wewenang Bupati kepada Camat yang
didasarkan pada perkembangan kebijakan yang ada dalam
penyelengaraan pemerintahan daerah, khususnya perihal
kewenangan bupati atas urusan pemerintahan daerah yang
memungkinkan dilimpahkan kepada kecamatan sebagai-
mana dikatakan oleh Informan 19 dari Direktorat Jenderal
Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian dalam Negeri
sebagai berikut;
“…Nah sekarang yang kita diskusikan adalah posisi
kecamatan ini kan? Kecamatan adalah perangkat daerah,
bicara perangkat daerah berarti bicara melaksanakan tugas
otonomi daerah. Bicara tugas otonomi daerah tadi ada 32
urusan pemerintahan seperti kesehatan, pendidikan dan
sebagainya tadi. Nah sebagai perangkat daerah itu kan
sudah habis dilaksanakan seperti tadi, si camat melaksankan
apa, padahal dia sebagai perangkat daerah di sebut dalam
Undang-Undang. Itu dapat disebut sebagai perangkat
daerah. Maka perlu dlimpahkan kewenangan. Apa yang
dilimpahkan.? ya urusan tadi, urusan yang sudah melekat
pada dinas-dinas tadi dalam skala tertentu dilimpahkan ke
kecamatan. Nah itulah, manakala camat belum
mendapatkan pelimpahan kewenangan berarti fungsi camat
sebagai OPD belum maksimal. Kuncinya sederhananya
begini, bicara Pemda berarti bicara urusan pemerintahan,
ada 32 urusan pemerintahan. Institusi perangkat daerah
berarti melaksanakan urusan pemerintahan, kalau dinas
jelas, nah team kecamatan yang belum jelas karena belum
adanya pelimpahan kewenangan yang di efektifkan lagi dari
dinas yang tidak efektif. Jadi semua urusan pemerintahan
yang ada di dinas tadi bisa secara hukum dilaksanakan di
kecamatan dalam skala tertentu, ada ukurannyalah. Yang
mengukur siapa ? ya pak bupatilah bukan kita, ini otonomi.
Bicara besar kecilnya itu pak Bupati yang tahu. Jadi
misalnya urusan PU pada aspek izin mendirikan bangunan,
itukan urusan PU pada aspek perizinan, Nah itu bisa ga
dilimpahan ke kecamatan? bisa.. seberapa yang dilimpahkan
? nah yang tahu kan bupati. Di Lebak 100 m, mungkn di
90 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Pandeglang 150, mungkin di Jakarta bisa sampai 500, cukup
di kecamatan. Artinya bicara pelimpahan kewenangan ini
kewenangan bupati. Kembali lagi pada fungsi kita, kita
hanya meregulasi sebagai guiden….”(wawancara, Oktober
2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa berdasarkan
amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ada 32
urusan yang diserahkan pada pemerintah daerah yang
selanjutnya menjadi kewenangan Bupati. Karena kedudukan
kecamatan sebagai perangkat daerah, pemerintah daerah
diharapkan mampu membagi kewenangan yang
dilimpahkan antara kecamatan dengan perangkat daerah
teknis lainya secara proporsional sebagai langkah guna
mencapai efektifitas dan efisiensi penyelengaraan
pemerintahan daerah. Efektifitas dan efisiensi yang
dimaksudkan adalah jangkauan pelayanan pada masyarakat
serta penguatan-penguatan kewenangan kecamatan sebagai
perangkat daerah.
Terlihat kewenangan yang dilimpahkan generik
sebagaimana dijelaskan pada Pasal 3 Peraturan Bupati
Pandeglang Nomor 24 tahun 2013 ayat (1) menyebutkan
bahwa Bupati melimpahkan sebagian kewenangan kepada
Camat dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan
daerah. Pada ayat (2) Pelimpahan sebagian kewenangan
Bupati kepada Camat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. Serta pada ayat
(3) Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan
dengan pelayanan dasar (4) Urusan wajib sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) meliputi (a) Pendidikan; (b)
Kesehatan; (c) Lingkungan Hidup, (d) Pekerjaan umum; (e)
Penataan ruang; (f) Perencanaan pembangunan; (g)
Perumahan; (h) Pemuda dan olahraga; (i) Penanaman
modal; (j) Koperasi, usaha kecil dan menengah; (k)
Kependudukan dan catatan sipil; (l) Ketenagakerjaan; (m)
Ketahanan pangan; (n) Pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak; (o) Keluarga berencana dan keluarga
sejahtera; (p) Perhubungan, Komunikasi dan informatika;
(q) Pertanahan; (r) Kesatuan bangsa dan politik dalam
negeri; (s) Otonomi daerah, (t) pemerintahan umum, (u)
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 91
administrasi keuangan daerah, perangkat daerah,
kepegawaian dan persandian; (v) Pemberdayaan masyarakat
dan desa; (w)Sosial; (x) Kebudayaan; (y) Statistik; (z)
Kearsipan; dan Perpustakaan.
Seanjutnya Pasal 4 ayat (1) menjelaskan urusan
pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuai dengan karakteristik Kecamatan,(2) Urusan pilihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi (a) Pertanian;
(b) Kehutanan; (c) Energi dan sumberdaya mineral; (d)
Pariwisata; (e) Kelautan dan perikanan; (f) Perdagangan; (g)
Perindustrian; (h)Transmigrasi.
Terlihat bahwa seluruh urusan yang menjadi
kewenangan daerah sebagaimana disebutkan dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (sebagai dasar
dasar kala itu), keseluruhan poin urusan yang ada
dilimpahkan kepada camat, namun dengan batasan tertentu.
Intinya jika dikaitkan dengan karakteristik yang sebelumnya
telah dipetakan, sudah mencakup. Namun yang selanjutnya
menjadi penekanan adalah kemampuan camat dalam
menyelenggarakan kewenangan tersebut, termasuk
kemampuan camat mengelaborasi kewenangan yang
sifatnya umum tadi terhadap karakteristik yang spesifik.
Terkait dengan penjelasan peraturan bupati tersebut yang
sifatnya generik, peneliti mencoba menggali pendapat dari
sisi emik mengenai isi yang diamanatkan oleh Peraturan
Bupati tersebut sebagaimana dikatakan oleh Informan 1
dari Bagian Pemerintahan berikut;
“Kewenangan yang dilimpahkan kepada camat selama ini
antara kecamatan satu dengan kecamatan lain tidak ada
kekhususan. Semua kecamatan menurut peraturan bupati
yang berlaku sifatnya hanya melaksanakan urusan-urusan
pemerintahan daeran yang telah dilaksanakan oleh
perangkat daerah yang ada, pada fungsi Koordinasi
rekomendasi, fasilitasi, perizinan seperti IMB dibawah 100
Meter persegi, lalu pembinaan dan pengawasan…”
(wawancara, Agustus 2017)
Dari wawancara tersebut dijelaskan bahwa tidak
adanyanya kewenangan khusus yang diberikan pada camat
92 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
yang ada di kabupanten pandeglang. Sejauh ini masih
menerapkan Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2013
sifatnya hanya melaksanakan kewenangan yang
dilimpahkan Bupati atas urusan Pemerintahan daerah
dengan batasan kewenangan pada Koordinasi, rekomendasi,
fasilitasi, perizinan salah satunya seperti IMB dibawah 100
Meter
persegi serta pembinaan dan pengawasan Pada
Kelurahan dan Pemerintahan Desa. Hal senada juga
dikatakan oleh Informan 2 dari Kecamatan Pandeglang
sebagai berikut;
“…Urusan wajib dan urusan pilihan sebagaimana
dilimpahkan oleh bupati Pandeglang kepada kecamatan
pada dasarnya camat hanyalah pada hal memberikan
rekomendasi, koordinasi, fasilitasi namun eksekusi tetap
pada dinas teknis/perangkat daerah yang membidangi.,”
(wawancara, Agustus 2017)
Kecamatan hanya berkutat pada kewenangan dengan
batasan rekomendasi, koordinasi, fasilitas atas kewenangan
Bupati yang dilimpahkan, serta perizinan pada batasan
tertentu. Berkaitan dengan itu sebagai sebuah alasan
Informan 3 dari Kecamatan Karang Tanjung mengatakan
bahwa;
“…karena kecamatan ini bukan teknis spesialis seperti
dinas, saya rasa sudah cukup. Tapi tahun 2017 ini oleh
bupati sudah mulai diujicobakan kita diberikan dana untuk
sedikit mengalihkan kegiatan-kegiatan dinas tentang
masalah Pekerjaan umum, Permukiman. Sifatnya
mengimbangi pembangunan desa agar kelurahan ini
pembangunannya tidak tertinggal juga oleh desa. Kan desa
hampir 1 Miliyar sekarang. Di sini kan keselurahan
kelurahan bukan desa…” (wawancara, Agustus 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa pada
dasarnya Kecamatan adalah perangkat daerah kewilayahan,
bukan teknis spesialis maka kecamatan sampai saat ini
wewenang yang dilimpahkan dirasa sudah cukup pada
koordinasi, fasilitasi, pembinaan dan pengawasan, serta
perizinan dengan batasan tertentu. Adapun sedikit
pengalihan kegiatan dari dinas kepada kecamatan yang
sifatnya bukan penegasan atau penguatan atas kewenangan
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 93
tertentu yang dilimpahkan melalui keputusan bupati.
Namun hanya pada membagi kegiatan anggaran tahunan
dari perangkat daerah teknis yang kebetulan zona kegiatan
tersebut berada di wilayah kerja kecamatan atau dengan
kata lain hal itu disinyalir sebuah penghalusan atas
perubahan status kelurahan yang awalnya adalah SKPD
(Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan kini menjadi
perangkat Kecamatan. Secara otomastis yang semula
kelurahan memiliki anggaran sendiri kini harus terintegrasi
dengan rencana kerja anggaran Kecamatan. Dari situlah
muncul bahasa pengalihan kegiatan dinas teknis yang
spiritnya mengimbangi pembangunan kelurahan dengan
desa.
b. Penyelenggaraan PATEN (Pelayanan Administrasi Terpadu
Kecamatan)
Kembali pada pembahasan tentang pelimpahan
kewenangan bupati atas urusan pemerintahan daerah kepada
camat, Informan 4 dari Kecamatan Majasari mengatakan
sebagai berikut;
“..Kebijakan yang dilimpahkan oleh bupati ya seperti ini
pak, gini saja nih, masalah bupati kan, camat dulu, dari
lurah ke kepala kelurahan, ada pengantarnya baru ke sini,
baru kami layani. Ya paling-paling pelimpahan yang
lainnya mah kegiatan-kegiatan yang sifatnya yang ada di
kecamatan saja, yang bisa dilimpahkan bupati, camat juga
kan kepanjangan tangan bupati, jadi itu dalam rangka
memberikan pelayanan yang maksimal, kualitas pelayanan
itu maksimal tetap mengacu pada peraturan-peraturan
bupati. Kemudian juga model PATEN, memang kecamatan
itu ujung tombak di pelayanan karena langsung berhadapan
dangan masyarakat. Apa sih kebutuhan masyarakat,
kebutuhan masyarakat telah kami evaluasi kemudian ini nih
kebutuhan masyarakat, ada 11 kebutuhan masyarahat yang
ada di kecamatan majasari itu, beda lagi dengan keluarahan
pasti lebih banyak lagi kebutuhan-kebutuhan yang harus
dilayani…. Kami selama ini melakukan koordinasi dengan
forum Perangkat daerah, biasanya dituangkan dalam
MUSRENBANG mulai dari tingkat kelurahan, di situ kita
bisa tau apa keinginan masyarakat misalnya masyarakat
ingin jembatan dan jalan bisa kita koordinasikan lintas
sektoralnya dengan Dinas Perumahan dan Pemukiman,
94 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
masyarakat pengen pemberdayaan masyarakat seperti
pengetahuan dan keterampilan tentang apa ya kita
koordinasikan dengan Dinas Sosial. Itu semua ada beberapa
ratus usulan ya kita masukan dalam skala prioritas. Itu
koordinasi yang kita lakukan untuk memfasilitasinya…”
(wawancara, Agustus 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa
Kewenangan yang dilimpahkan seperti item pelayanan yang
diselenggarakan kecamatan dalam PATEN (Pelayanan
Administrasi Terpadu Kecamatan), selebihnya kewenangan
lain yang dilimpahkan pada camat diwujudkan dengan
koordinasi dengan perangkat daerah teknis atas hasil
fasilitasi masyarakat yang dilakukan kecamatan dalam
forum kegiatan Musrenbang.
Lebih lanjut setelah mengetahui pandangan para
informan terhadap amanat peraturan bupati Nomor 14
Tahun 2013 serta garis besar operasionalisasinya di
kecamatan. Adapun kesenjangan penyelenggaraan salah
satu kewenangan yang diselengarakan kecamatan pada
PATEN yakni perizinan mendirikan bangunan (IMB)
terbatas di bawah 100 M persegi, dimana dalam
penyelenggaraanya di beberapa kecamatan dianggap masih
belum berjalan efektif sebagaimana dikatakan oleh
Informan 5 dari Kecamatan Majasari sebagai berikut ;
“….Kewenangan rekomendasi izin Mendirikan Bangunan
(IMB) dibawah 100 M Persegi dilimpahkan pada
kecamatan, kenyataan yang terjadi yang melakukan
penandatanganan tetap pada Badan Penanaman Modal dan
Pelayanan Perijinan Terpadu, dengan adanya Peraturan
Bupati yg terjadi untuk IMB di bawah 100 Meter Persegi
udah ada pelimpahan kepada camat, cuma pada
kenyataannya pemberiannya setengah hati, sosialisasi dan
arahan sudah dilaksanakan tapi pelimpahan wewenang
belum terealisasi. Padahal itu jelas baik peraturan bupati
atau UU bahwa IMB di bawah 100 kewenanganya pada
camat tapi sampai saat ini belum terealisasi. Jadi masih
setengah hati memberikannya. Itu yang saya tau berkenaan
dengan pelimpahan kewenangan….”(wawancara, Agustus
2017)
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 95
Dari wawancara tersebut menjelaskan bahwa
kewenangan IMB di bawah 100 Meter Persegi, dalam
pelaksanaan di Kecamatan Majasari penandatangananya
tetap dilakukan BPMPTSP (Badan Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu). Asumsinya kewenangan
IMB diberikan masih setengah hati. Hal itu diperkuat
dengan yang dikatakan oleh Informan 9 dari Kecamatan
Labuan yang mengatakan sebagai berikut;
“…penyerahan sebagian wewenang bupati kepada camat
yang ditetapkan yang semacam perizinan IMB di bawah
100 M Persegi, tapi tetep saja diaksanakan oleh dinas
perizinan kabupaten pandeglang, ya mau bagaimana lagi
kenyataanyan kewenangan memberikan Izin IMB belum
berjalan efektif di kecamatan jadi tetap di dinas teknis
pandeglang yang menanganinya.” (wawancara, Agustus
2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwasanya
penyelenggaraan kewenangan camat dalam memberikan
perizinan mendirikan bagungan (IMB) di bawah 100 M
persegi belum bisa berjalan efektif di beberapa kecamatan.
Ketika dibawa pada ruang lingkup nasional, fenomena
semacam itu umum terjadi. Hal itu disebabkan oleh kurang
berlega hatinya perangkat daerah teknis ketika
kewenanganya dibagi dengan kecamatan sebagaimana
dikatakan oleh Informan 23 dari Pusat Telaah dan
Informasi Regional;
“…penyelenggaraan ini mungkin perlu ada semacam
sharing transfer knowlodge dari dinas atau SKPD yang
tadinya menyelenggarakan itu kepada kecamatan.
Orkestrasi itu dalam kontek kewenangan menurut saya
pelimpahan kewenangan ya begitu masing-masing
menyelengarakan, memberikan dukungan. Udah begitu
betul-betul maksimal memberikan dukungan berlega hati
pada saat diambil kewenangannya. Yang terjadi nurut aja
SKPD-SKPD nya, tapi dalam pelaksanaannya dia seperti
menggembosi. Pertama, kalau ada keahlian yang di
kecamatan tidak dilakukan oleh dia. Yang kedua ada cara
lagi misalnya dia sudah dilimpahkan, kalau ada orang
dateng berkonsultasi tidak di kecamatan tapi dilayani oleh
dia sendiri. Akibatnya orang lebih percaya kepada Dinas
96 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
yang dulu menyelenggarakan itu dari pada kecamatan. Hal-
hal yang kayak gini menurut saya memang agak banyak dan
kompleks permasalahanya.” (Wawancara, September 2018)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa, secara
nasional pada Kabupatendan Kota di Indonesia, adanya
kecenderungan perangkat daerah teknis kurang bisa
menerima jika sebagian kewenangan yang dilimpahkan
kepala daerah kepada camat, khususnya yang berkaitan
dengan perizinan. Hal itu terlihat dalam implementasinya
seperti masih dilayaninya masyarakat yang datang pada
perangkat daerah teknis untuk mengurus perizinan yang
seharusnya porsi tersebut menjadi kewenangan camat.
Selain itu, adapun kewenangan penyelenggaraan
kecamatan bidang lain, yang seharusnya diatur oleh bupati
melalui keputusan yang didasarkan pada perbedaan
karakteristik, kebutuhan dan tipologi yang dimiliki
kecamatan tertentu. Namun faktanya bupati belum
mengatur kewenangan khusus. Justru dalam penataan
organisasi perangkat daerah tahun 2016 lalu pemerintah
kabupaten lebih memilih membentuk perangkat daerah
pelaksana administrasi khusus terkait keberadaan Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) yang berada di salah satu
kecamatan, sebagaimana dikatakan oleh informan 6 dari
Kecamatan Panimbang sebagai berikut;
“... tidak ada kewenangan kusus di seluruh kecamatan di
pandeglang ini…Di sini yang berbeda mungkin tentang
kawasan jadi tugas pembantuan camat itu adalah melakukan
koordinasi dengan pihak KEK ya kalau gak salah, disini
sudah ada koordinatornya, tanjung lesung itu ibu Jois, saya
sifatnya koordiasi, tidak ada kewenangan khusus camat
panimbang berkenaan dengan KEK (Kawasan Ekonomi
Khusus) tapi hanya melakukan koordinasi….”(wawancara,
Agustus 2017)
Dari wawancara tersebut rupanya Camat menyadari
dan memiliki harapan bahwasanya melihat karakteristik
kebutuhan dan tipologi di wilayah kerjanya menginginkan
bupati memberikan kewenangan yang berbeda dengan
kecamatan yang lain, namun belum ada langkah dari bupati
untuk mengambil kebijakan tersebut, yang dimungkinkan
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 97
mengingat dan menimbang dengan pertimbangan-
pertimbangan teknis tertentu, sehingga dianggap belum
memungkinkan. Perihal pentingnya pelimpahan
kewenangan pada camat dalam rangka mendukung strategi
nasional sebagaimana dikatakan oleh Informan 23 dari
Pusat Telaah dan Informasi Regional berikut;
“Kecamatan-kecamatan di daerah-daerah yang sebenarnya
kalau saya lihat pentingnya hal itu pembentukan kecamatan
di perbatasan di daerah-daerah yang relatif terpencil, maka
pemerintah berhak membentuk Kecamatan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan strategi nasional pertimbangan
apa namanya keamanan atau apa saya lupa nanti tolong
dicek. Yang saya lihat pertama adalah yang di daerah-
daerah terpencil kan yang termasuk kedalam kepentingan
nasional itu mecakup kecamatan yang terpencil, kawasan
perbatasasn negara, ketiga kepentingan strategis lainnya.
Banyak upaya-upaya ekonomi lokal contohnya mereka
tidak memiliki aspek perizinan usaha di daerah-daerah
terpencil. Ada Peraturan Menteri Perdagangan bahwa
persyaratan untuk mendapatkan tanda daftar perusahaan
dengan SIUP tidak perlu dilakukan oleh pemerintah
kabupaten cukup dikeluarkan oleh camat. Dalam konteks
pengembangan ekonomi di tingkat lokal itu kecamatan bisa
berperan mempercepat proses ekonomi lokal, karena dia
sudah punya legalitas izin usahanya hal kecil. Memang
kalau dilakukan secara agregasi banyak mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional, yang kedua di daerah
daerah perbatasan kecamatan berperan emang gak jadi
masalah, utamanya yang sering terjadi litas batas aspek
keamanan.” (Wawancara, September 2018)
Hal senada juga disampaikan oleh Informan 27 dari
Pemerintah Provinsi Banten (Asosiasi Pemerintah Provinsi)
sebagai berikut;
“Sudah jelas di situ kalau pemerintah Provinsi akan
mendorong kecamatan menjadi garda terdepan dalam
pembangunan dan pelayanan publik. Salah satu yang
ditekankan oleh Pemerintah Provinsi Banten adalah peran
dalam administrasi terpadu kecamatan, kaitanya dengan itu
kita mendorong Bupati/walikota itu membuat peraturan
yang dinamakan pelimpahan wewenang kepada camat,
98 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kewenangan di bidang administrasi kecamata misalkan
dalan hal perizinan IMB, perizinan usaha. Supaya apa,
seperti yang digembar gemborkan oleh pemerintah pusat
jika pelayanan dalam perizinan itu harus cepat, efisien dan
efektif. Jadi pada intinya pemerintah provinsi Banten
mendukung secara penuh pelimpahan kewenangan bupati
kepada camat sebagai perangkat daerah”. (Wawancara,
September 2018)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa dalam
rangka meningkatkan akses publik terhadap pelayanan dan
dukungan terhadap program strategi nasional dianggap
perlu melimpahkan kewenangan khusus atas dasar
karakteristik dan kebutuhan, bahkan jika dipandang perlu
seperti halnya di daerah perbatasan-perbatasan (area rural)
untuk dibentuk kecamatan. Semangat yang dibangun adalah
pelayanan publik apapun menjadi cepat, efektif dan efisien.
Kemudian dalam kaitanya dengan peningkatan akses
pelayanan publik dalam usul penyempurnaan kelembagaan
Kecamatan sebagaimana dikutip dari Naskah Akademik
RUU Pemerintahan daerah (2011) dijelaskan sebagai
berikut;
“Jika dari pertimbangan kewilayahan, aksesibilitas, dan
transportasi keberadaan kecamatan sebagai pusat pelayanan
amat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
publik tertentu maka kecamatan perlu diberdayakan sebagai
pusat pelayanan publik pada skala kecamatan”.
Sejalan dengan hal itu, diketahui saat ini pengelolaan
dana desa tidak dipungkiri menyita perhatian dan energi
pemerintah daerah khususnya kecamatan yang juga
memiliki kewenangan pembinaan dan pengawasan dalam
pelaksanaannya, sebagaimana dikatakan oleh Informan 1
dari Bagian Pemerintahan Kabupaten Pandeglang sebagai
berikut;
“…selain itu mengingat keberadaan Undang undang desa
saat ini Kecamatan selain membina dan mengawasi
penyelenggaraan pemerintahan desa juga bertindak sebagai
Verifikator dana desa..” (wawancara, Agustus 2017)
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 99
Wawancara tersebut menjelaskan memang pada
dasarnya pembinaan dan pengawasan dan kewenangan
verifikator pada pengelolaan dana desa menjadi fokus kerja
yang tidak bisa dikatakan ringan oleh kecamatan. Adapun
Target Capaian dan Realisasi Kegiatan Prioritas Tahun
2017 pembangunan desa sebagai tindak lanjut realisasi
Surat Edaran Nomor 601/1474-DPMPD/2017 sebagai
berikut;
Tabel 9.1
Target Capaian dan Realisasi Kegiatan Prioritas Tahun 2017
No Target
Capaian Vol. Satuan Realisasi Vol Satuan
1 Pembangunan
Taman Pintar
100 Unit Pembangunan
Taman Pintar
100 Unit
2 Pembangunan
Pos Yandu
326 Unit Pembangunan
Pos Yandu
326 Unit
3 Pembangunan
Embung Desa
150 Bangunan Pembangunan
Embung Desa
148 Bangunan
4 Jalan Desa
(Paving Blok)
326 Desa Jalan Desa
(Paving Blok)
326 Desa
5 BUMDes 326 Desa BUMDes 326 Desa
6 Pembuatan
Tempat
Pembuangan
Sampah
150 Unit Pembuatan
Tempat
Pembuangan
Sampah
150 Unit
7 Sarana
Olahraga
150 Unit Sarana
Olahraga
150 Unit
8 1 desa 1
produk
unggulan
326 Produk 1 desa 1
produk
unggulan
326 Produk
9 Perikanan 100 Bagunan Perikanan 100 Bagunan
10 Wisata/sarana
air bersih
120 Bangunan Wisata/sarana
air bersih
120 Bangunan
Sumber: DPMPD Pandeglang 2017
Dari Tabel 9.1 di atas diketahui bahwa 10 item
pembangunan di desa mulai dari pembangunan taman pintar
hingga wisata/sarana air bersih dapat dikatakan mayoritas
terealisasi namun hanya pada 2 pembangunan
pembangunan embung desa saja yang tidak terealisasi
sesuai dengan target. Terlihat bahwa dengan pencapaian
pada 326 desa dari 33 kecamatan yang melakukan
pembinaan pengawasan dan fungsi verifikasi terhadap
pengelolaan dana desa perhatian dan energinya terfokus
pada urusan itu.
100 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Terlihat bahwa kecamatan dituntut untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan pada pemerintah desa. Dengan
hal itu menggiring camat untuk menjadikan pembinaan dan
pengawasan pemerintah desa sebagai prioritas. Berkaitan
dengan itu Informan 22 dari Pemerintah Provinsi Jawa
Timur (Asosiasi Pemerintah Provinsi) mengatahkan;
“Beberapa kali pak gubernur sudah memberikan beberapa
pernyataan dengan adanya undang undang Nomor 6.
Penguatan desa, dengan adanya dana desa itu tidak bisa
dilakukan secara efektif kalau tidak ada pembinaan dan
pengawasan oleh pemerintahan atasannya. Selama ini yang
lebih banyak terkait itu pemerintah kabupaten Kota,
makanya di rasa kurang efektif karena rentang kendali
pemkab kepada desa terlalu jauh, sehingga yang paling
masuk akal adalah melibatkan kecamatan untuk melakukan
binwas. Tetapi dengan melihat kondisi kecamatan sekarang
yang mengalami penerununan dari segi kewenangan karena
dengan adanya Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 dan
Undang Undang Nomor 32 tahun 2004 mengurangi power
yang mereka dapatkan seperti layaknya pelaksanaan undang
undang Nomor 5 tahun 1974. Dengan begitu akhirnya
sekarang pemerintah harus mulai melirik kecamatan sebagai
ujung tombak. Untuk Jawa Timur sendiri sebagai yang
membantu gubernur sudah melakukan langkah
langkah.Langkah-langkahnya seperti meyusun modul
pelatihan camat, yang di dalamnya ada binwas desa tentang
ADD dan DD. Dalam rangka meningkatkan dan juga
sebagai tindak lanjut atas konsep Kemendagri yang
berhubungan dengan peningkatan kapasitas aparatur desa,
dimana kecamatan dijadikan aktor yang bernama pembina
teknis aparatur desa. Tidak hanya itu saja, kami menyadari
bahwa penguatan perancangan itu ditentukan dari delegasi
kewenangan bupati/walikota kepada camat. Kalau itu tidak
terjadi, sangat susah sekali jika mengandalkan atributif,
karena atributif itu hanya mengandalkan
koordinasi.”(Wawancara, September 2018)
Lebih lanjut mencermati penjelasan-penjelasan di
atas, dimungkinkan bupati memiliki pertimbangan tertentu
sehingga kewenangan lain yang telah dilimpahkan seperti
pendidikan, pariwisata, penataan ruang dan lain-lain dalam
amanat Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2013, hingga
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 101
kini belum ada kebijakan dari bupati untuk mengatur ulang
guna memberikan kewenangan khusus yang diperlukan
kecamatan-kecamatan tertentu dengan mempertimbangkan
karakteristik kebutuhan, tipologi kecamatan dan juga
sebuah bentuk dukungan atas rencana aksi program
nasional. Dari hal itu juga memberikan kesan bahwa
kecamatan diharapkan secara proaktif mampu
mengidentifikasi sendiri karakteristik wilayah kerjanya
serta menginisiasi dengan batasan kewenangan yang telah
diamanatkan dalam Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun
2013, sehingga kecamatan dapat memberikan kontribusi
atas terselenggarakanya kewenangan-kewengangan
tersebut. Berkaitan dengan itu Informan 12 dari Komisi I
DPRD Kabupaten Pandeglang mengatakan;
“..tidak ada yang spesial, artinya memang semua yang
seperti anda maksud, itu semua sudah seperti itu ya kalau
masalah operasioanal ya paling tentang peraturan-peraturan
kepala desa ya, tetapi biasanya bupati mau mengeluarkan
peraturannya, dimana peraturan itu memang secara teknis
saja untuk mengarahkan secara teknis saja supaya tidak
terjadi kesalahan dalam proses pembangunan…”
(wawancara, November 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa sebetulnya
terkait kewenangan bupati atas urusan pemerintahan daerah
yang dilimpahkan pada camat tidak ada yang sepesial. Hal
itu diartikan bahwa kecamatan keberadaanya cukup pada
uraian tata kerja yang ada, pelayanan rekomendasi,
fasilitasi, perizinan terbatas sesuai yang ditetapkan pada
item layanan PATEN dan lebih memfokuskan pada
kewenangan pembinaan dan pengawasan serta kewenangan
sebagai verifikator pada pengelolaan dana desa. Hal itu
terlihat bahwasanya memang bupati lebih serius dalam
menetapkan rangkaian peraturan seperti halnya peraturan
bupati, surat keputusan maupun surat edaran yang sifatnya
mengatur operasionalisasi pembinaan dan pengawasan
camat pada pemerintah desa. Adapun contohnya, Peraturan
Bupati Nomor 3 Tahun 2017 tentang kewenangan desa,
Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2017 tentang Pedoman
Pengelolaan dana desa, Surat Keputusan Bupati Nomor 142
/ Kep.49. Huk/ 2016 tentang Penetapan Besaran dan Tata
102 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Cara Pengalokasian Alokasi Dana Desa, Surat Edaran
Nomor 601/1474-DPMPD/2017 dan lain sebagainya.
Berdasarkan wawancara dan penjelasan di atas dalam
hal kewenangan bupati atas urusan pemerintahan daerah
yang dilimpahkan pada camat serta segenap asumsi ketidak-
efektifan pelaksanaan terutama permasalahan perizinan
terbatas pada IMB di bawah 100 M persegi serta tidak
adanya pengaturan kewenangan khusus (kewenangan
kewenangan yang lain) berdasarkan karakteristik kecamatan
selain kewenangan pembinaan dan pengawasan pada
pemerintah desa (sedang menjadi fokus bupati).
Kewenangan yang lain di sini seperti pendidikan,
pariwisata, penataan ruang dan lain sebagainya. Hal itu
dimungkinkan karena bupati lebih memandang Keberadaan
Perangkat daerah teknis serta UPT (Unit Pelaksana Teknis)
tingkat kecamatan sudah dianggap cukup untuk memegang
kendali kewenangan yang sifatnya teknis spesialis di tingkat
kecamatan. Sedangkan camat cukup pada tataran pelengkap
yaitu kewenangan koordinasi, fasilitasi perangkat daerah
teknis. Pelimpahan wewenang bupati kepada camat dalam
Peraturan bupati terlihat bersifat umum tanpa adanya
pengaturan kewenangan khusus berdasarkan karakteristik
kecamatan, disinyalir karena bupati berharap adanya sikap
inisiasi dan menginisiasi dengan batasan kewenangan yang
dimiliki oleh kecamatan selaku perangkat daerah
kewilayahan. Tentunya perbedaan karakter merupakan
bagian dari elemen yang sejatinya harus dielaborasi oleh
Camat agar tujuan utama penyelengaraan pemerintahan
daerah bisa tercapai yaitu menjadi daerah yang maju,
sejahtera dan berdaya saing.
Lebih lanjut adapun realita terkait penyelenggaraan
kewenangan kecamatan di luar penyelenggaraan PATEN
serta pembinaan dan pengawasan pada desa, sebagaimana
dalam lampiran Peraturan Bupati Pandeglang Nomor 24
Tahun 2013 tertanggal 22 Oktober 2013, secara jelas
dijabarkan tentang Kewenangan camat dalam penyeleng-
garaan kewenangan bupati yang telah dilimpahkan atas
urusan pemerintahan daerah meliputi urusan wajib dan
pilihan. Sebagai contoh diantaranya pada bidang pendidikan
berikut;
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 103
Tabel 9.2
Kewenangan Bidang Pendidikan
Sub Bidang Kewenangan Kecamatan
1. Kebijakan Memberikan dukungan sumber daya
terhadap penyelenggaraan
TK/PAUD, SD, SMP, SMA/SMK,
dan pendidikan Non Formal
2. Sarana dan
Prasarana
1. Memberikan dukungan
Terhadap Pemenuhan standar
nasional, sarana prasarana
pendidikan TK/PAUD, SD,
SMP, SMA/SMK, dan
pendidikan Non Formal.
2. Merekomendasikan permohonan
izin operasional sekolah swasta
seluruh jenjang dan jenis
pendidikan di wilayah
kecamatan.
3. Merekomendasikan permohonan
sekolah swasta untuk berubah
status menjadi sekolah negeri
pada seluruh jenjang dan jenis
pendidikan
4. Merekomendasikan tempat
pembangunan unit sekolah baru
(USB) di seluruh jenjang dan
jenis pendidikan
3. Pengendalian
Mutu
Pendidikan
1. Memberikan saran dan
pertimbangan kepala sekolah
dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan;
2. Melaksanakan koordinasi, dan
monitoring terhadap kegiatan
sekolah
Sumber : Lampiran Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2013
Berdasarkan Tabel di atas diuraikan secara
operasional yang menjadi kewenangan camat pada bidang
pendidikan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa dalam
penyelenggaraanya camat memiliki kecenderungan lebih
berkutat pada sub bidang sarana prasarana saja seperti pada
104 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
memberikan rekomendasi izin pendirian. Terkait dengan
memberikan rekomendasi pendirian sekolah dapat
dicontohkan sebagaimana dikatakan oleh Informan 6 dari
kecamatan Panimbang sebagai berikut;
“…saya juga sudah telah memberikan rekomendasi izin
untuk pendirian SMP dan SMA presiden pak, persis yg ada
di Bekasi, itu di atas luas lahan 5 hektar dan sekolah
internasional…. saya hanya rekomendasi izin untuk
pendirian, karena memang itu lahan miliknya, jadi akan
membangun sekolah internasional, dalam rangka itu tentu
kita menyiapkan SDM nya…” (wawancara, Agustus 2017)
Kecenderungan lebih berkutatnya camat pada sub
bidang sarana dan prasarana disinyalir kerena keterbatasan
kompetensi camat dan jajaranya dalam bidang teknis
spesialis seperti pendidikan. Hal itu sebagaimana dikatakan
oleh Informan 3 dari Kecamatan Karang Tanjung ketika
dikonfirmasi sebuah gagasan peneliti tentang pengalihan
stuktur UPT Pendidikan pada struktur kecamatan sebagai
berikut;
“Kembali lagi yang saya sampaikan tadi bahwa kecamatan
ini kan bukan teknis spesialis seperti dinas pendidikan, toh
sudah ada UPT. Kalau struktur UPT pendidikan dialihkan
ke kecamatan tentunya itu bukan spesialisasi kami, ya
seperti pola kenaikan pangkat guru dengan pegawai non
guru juga berbeda. Makanya biar ditangani dengan yang
lebih menguasai teknis spesialis saja. Apa yang akan terjadi
kalau sesuatu tidak ditangani oleh ahlinya” (wawancara,
Agustus 2017)
Lebih lanjut ketika dikaitkan dengan arah kebijakan
yang sebetulnya menjadi harapan dari Kementerian Dalam
Negeri dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah
yang efektif dan efisien sebagaimana dikatakan oleh
Informan 19 dari Direktorat Jenderal Bina Administrasi
Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri sebagai berikut;
“….sekarang dengan adanya kecamatan ini akan nyambung
relevan sekali logis sekali kalau UPTD ga ada. Bahkan kita
di peratuaran PP 18 tahun 2016 tentang OPD itu kita batasi
kebutuhan-kebutuhan UPTD itu, Karena sudah ada
kecamatan. Justru kita arahkan itu berdasarkan kecamatan
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 105
saja. Mulai dari UPT dinas pendidikan kan kita cabut. Kalau
dulu di kecamatan mesti ada UPT dinas pendidikan, nah itu
malah pelan-pelan kita mulai gerus UTP-UPT dinas itu
yang levelnya bisa dilaksanakan oleh camat dalam kerangka
koordinasinya, laksanakan camat saja. Jadi malah lebih
efektif efesien. Efektif jelas sama-sama tercapai tujuannya
kan, camat sebagai perangkatnya Bupati, nah ngapain ada
camat ada UPT-UPT dinas. Karena UPT dinas kerjanya apa
? kan Cuma mengkoordinasikan sekolah-sekolah saja kan?
Kenapa bukan camat? kan camat bisa.” (wawancara,
November 2017)
Wawancara di atas menjelaskan bahwa terdapat
kewenangan pendidikan yang dilimpahkan dan diatur
hingga tataran operasional, namun kendala kompetensi yang
dimiliki oleh camat beserta jajaranya yang menjadikan
kewenangan tersebut belum optimal dalam penyeleng-
garaanya. Belum optimalnya ditandai dengan masih
dilaksanakan secara parsial, khususnya pada sub bidang
yang tidak bersentuhan dengan teknis spesialis seperti pada
sub bidang sarana dan prasarana. Untuk sub bidang
pengendalian mutu pendidikan nyaris tidak dilaksanakan,
terkait dengan hal itu selain diketahui dari penjelasan di atas
peneliti juga mengkomparasikan dengan laporan bulanan
kinerja penyelenggaraan kewenangan dari masing-masing
kecamatan. Bahkan ada kecamatan yang nyaris tidak
menyelenggarakan kewenangan dalam bidang pendidikan
tersebut. Berkaitan dengan itu pada dasarnya kondisi
tersebut dapat disikapi dalam berbagai pandangan
diantaranya adalah kemauan dari kecamatan sendiri untuk
beradaptasi pada kompetensi yang seharusnya dimiliki
dalam penyelenggaraan kewenangan yang dilimpahkan
bupati pada pendidikan, ataukah pengaturan kewenangan
yang dilimpahkan terlalu teknis spesialis sehingga sejalan
dengan beban kerja camat/ kecamatan yang tinggi pada
kewenangan yang lain membuat camat/kecamatan
beranggapan bahwa ada kewenangan tertentu yang tidak
menjadi prioritas untuk diselenggarakan secara optimal
walaupun semangat penguatan kewenangan kecamatan
menjadi agenda pemerintah dalam rangka mewujudkan
efektifitas dan efisiensi penyelenggraan pemerintah daerah.
106 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Seyogyanya hal tersebut menjadikan agenda pengaturan
yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah kabupaten
pandeglang dimana yang menjadi penekanan adalah
memetakan kembali makna kuantitas kewenangan yang
dilimpahkan dengan proporsionalitas kewenangan yang
dilimpahkan dalam rangka penguatan kecamatan menuju
terciptanya efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan
kecamatan.
Selanjutnya pada kewenangan camat/kecamatan yang
berikutnya seperti pekerjaan umum, sebagaimana dijelaskan
kewenangan pekerjaan umum sebagai berikut;
Tabel 9.3
Kewenangan Bidang Pekerjaan Umum
Sub Bidang Kewenangan Kecamatan
1. Sumber Daya
Air
1. Pembentukan wadah koordinasi
sumber daya air tingkat
kecamatan
2. Pembentukan tim pengelola
irigasi di tingkat kecamatan
3. Pemberdayaan para pemilik
kepentingan dalam pengelolaan
sumber daya air
4. Pemberdayaan kelembagaan
sumber daya air tingkat irigasi
tersier dan irigasi desa
5. Pengendalian daya rusak air
pada jaringan irigasi tersier dan
kuarter
6. Pengawasan pengelolaan
jaringan di tingkat tersier dan
kuarter
2. Bina Marga 1. Koordinasi pemanfaatan dan
pengawasan RUMAJA (Ruang
Manfaat Jalan) RUMIJA
(Ruang Milik Jalan),
RUWASJA (Ruang Pengawas
Jalan)
2. Koordinasi pemanfaatan dan
pengawasan utilitas jalan
3. Air Minum 1. Koordinasi dan pengawasan
jaringan air bersih pedesaan
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 107
Sub Bidang Kewenangan Kecamatan
maupun perkotaan
2. Penyelesaian dan koordinasi
masalah non teknis jaringan air
bersih
4. Air Limbah Pengawasan dan koordinasi tangki
septic individu dan komunal
5. Persampahan
Pengawasan dan koordinasi
Program 3 R (reduce, reuse,
recycle) dan sosialisasi
pengelolaan persampahan
6. Drainase Pengawasan dan koordinasi
jaringan drainase pemukiman dan
genangan air
7. Pemukiman 1. Pengawasan perumahan
permukuman
2. Penyelesaian dan koordinasi
masalah non teknis
permukiman
8. Bangunan
Gedung dan
Lingkungan
Koordinasi, pelaporan dan
pengawasan dan kerusakan
bangunan umum
Sumber : Lampiran Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2013
Berkaitan dengan penjelasan tabel di atas diketahui
dari hasil penelitian bahwa belum optimal penyeleng-
garaanya dan cenderung parsial. Lagi-lagi muncul
pernyataan bahwa kecamatan bukan perangkat daerah teknis
spesialis. Dari sub bidang kewenangan yang ada kecamatan
hanya berkutat pada mengkoordinasikan ketika ada aduan
dari masyarakat perihal fasilitas dan sarana prasarana
umum. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh Informan 3
dari Kecamatan Karang Tanjung sebagai berikut;
“Ya kalau pemeliharaan itu kan artinya memelihara jalan
yang sudah ada, memelihara infrastruktur yang sudah ada.
Paling kisaran kebersihan jalan hari selasa, itu kan
pemeliharaan juga, bukan nambal atau seperti apa. Kita di
sini sifatnya jembatan dari masyarakat. Biasanya kalau ada
masalah kan masyarakat lapornya ke kecamatan atau
kelurahan, tergantung bidang apa yang dilaporkan misalnya
108 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
masalah infrastruktur jalan rusak pastinya kita sikapi
sebagai informasi yang selanjutnya kita fasilitasi dan kita
rekomendasikan ke dinas teknis. Mau kita eksekusi kita
juga ngga punya kewenangan.” (wawancara, Agustus 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa
penyelenggaraan kewenangnan tersebut diselenggarakan
dengan sikap yang pasif. Artinya adanya aktifitas kerja
ditentukan oleh ada atau tidaknya laporan dari masyarakat
dan ada atau tidaknya kegiatan pembangunan yang
dilakukan perangkat daerah teknis yang sedang berlangsung
di wilayah kerja camat. Dari situ dapat diketahui jika pada
pengawasan dan pengendalian fasilitas dan sarana prasarana
umum pada sub bidang yang lain yang bersifat rutin
cenderung tidak diselenggarakan.
Kegiatan pembangunan fisik yang sedang
berlangsung di wilayah kerja kecamatan seperti halnya
berikut;
Gambar 9.1
Kegiatan Monitoring Pembangunan Jalan Lingkungan
Kampung Pasir Angin, kelurahan Pagerbatu
Sumber : (Akun Media Sosial Kecamatan Majasari)
Gambar di atas adalah kegiatan monitoring dan
evaluasi pembangunan jalan lingkungan di kampung Pasir
Angin, Kelurahan Pagerbatu yang dilakukan oleh Camat
Majasari bersama Kepala Bagian Pembangunan Sekretariat
daerah. Kemudian adapun berikut;
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 109
Gambar 9.2
Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Program PISEW
Sumber : (Akun Sosial Media Kecamatan)
Gambar di atas kegiatan Monitoring dan Evaluasi
Program PISEW dari Kementerian Pekerjaan Umum
pembangunan jalan yang menghubungkan antara Kampung
Kebon Desa Panimbangjaya dengan Kampung Pamatang
Desa Mekarjaya. Kegiatan-kegiatan tersebut bukanlah
monitoring dan evaluasi dalam pengertian rutin. Lebih
lanjut sikap pasif kecamatan terhadap kegiatan monitoring
dan evaluasi pelaporan dan pengawasan kerusakan
bangunan umum diperkuat sebagaimana dikatakan oleh
Informan 4 dari Kecamatan Majasari sebagai berikut;
“Kalau teknis dengan SKPD nya, kami selama ini
melakukan koordinasi dengan forum Perangkat daerah,
biasanya dituangkan dalam MUSRENBANG mulai dari
tingkat kelurahan, disitu kita bisa tau apa keinginan
masyarakat misalnya masyarakat ingin jembatan dan jalan
bisa kita koordinasikan lintas sektoralnya dengan Dinas
Perumahan dan Pemukiman..” (wawancara, Agustus 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa pada
dasarnya kecenderungan pasifnya pihak kecamatan
diperkuat dari pernyataan salah satu kecamatan yang yang
memanfaatkan forum musrenbang sebagai media
menjembatani aduan masyarakat pada kondisi fasilitas dan
sarana prasarana umum. Artinya akan menjadi semakin
110 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
pasif jika hanya melalui forum musrenbang saja laporan
dari masyarakat baru akan dijembatani.
Kemudian dalam kaitanya hubungan antara
mekanisme penganggaran dengan penyelenggaraan
kewenangan bidang pekerjaan umum sebagaimana
dikatakan Informan 9 dari Kecamatan Labuan berikut;
“Kalau masalah pemeliharaan jalan anggaranya disusunya
di anggaran kecamatan namun pelaksanaanya kita titipkan
pada Dinas Pekerjaan Umum.” (wawancara, Agustus 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa kecamatan
hanya menyusun rencana kerja anggaran saja, namun dalam
pelaksanaan teknis kegiatanya dilaksanakan oleh dinas
pekerjaan umum. Pada dasarnya argumen tersebut dapat
dikaitkan dengan penjelasan sebelumnya bahwa kecamatan
bukan perangkat daerah teknis spesialis. Artinya dimanapun
letak pengelolaan anggaran, kewenangan akan menjadi
tidak terselenggarakan dengan optimal jika kecukupan
kuantitas maupun kompetensi sumberdaya pelaksana dalam
sepesialisasi kewenangan tidak terpenuhi. Sehingga jika
sikap proaktif dalam kordinasi dengan perangkat daerah
teknis tidak dimunculkan dari kecamatan guna mengemban
tanggung jawab atas kewenangan sekalipun dengan
keterbatasan kompetensi sumberdaya, maka kesan pasif dan
tidak bertanggung jawab pada kewenangan yang dimiliki
akan memjadi frame kecamatan.
Kemudian pada kewenangan bidang pariwisata,
diketahui bahwa kewenangan bidang pariwisata merupakan
pelimpahan bupati atas kewenangan yang dimilikinya dari
urusan pilihan yang mana dalam peraturan bupati Nomor 24
Tahun 2013 dijelaskan bahwa kewenangan tersebut dalam
penyelenggaraanya disesuaikan dengan karakteristik
wilayak kerja camat/kecamatan. Adapun kewenangan
bidang pariwisata dijelaskan pada tabel sebagai berikut;
Tabel 9.4
Kewenangan Bidang Pariwisata
Sub Bidang Kewenangan Kecamatan
1. Kebijakan Bidang
Kepariwisataan
Fasilitasi dan koordinasi
pelaksanaan penyusunan
program, pengumpulan data,
monitoring, evaluasi dan
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 111
Sub Bidang Kewenangan Kecamatan
pelaksanaan bidang pariwisata
yang melibatkan partisipasi
masyarakat
2. Pelaksanaan
bidang
kepariwisataan
1. Fasilitasi dan koordinasi
pelaksanaan program aksi
bidang pariwisata yang
melibatkan masyarakat;
2. Fasilitasi dan koordinasi
pelaksanaan pengumpulan
data bidang pariwisata;
3. Fasilitasi dan koordinasi
monitoring dan evaluasi
pengendalian bidang
pariwisata;
4. Fasilitasi dan koordinasi,
monitoring dan evaluasi
pengendalian bidang
pariwisata yang melibatkan
masyarakat;
5. Fasilitasi dan koordinasi
pelaksanaan, monitoring dan
pelaporan terhadap bidang
pariwisata yang ada di
lokasinya.
3. Kebijakan Bidang
Pariwisata
Fasilitasi dan koordinasi
pelaksanaan penyusunan
program, pengumpulan data,
monitoring evaluasi dan
pelaporan tentang pariwisata
Sumber : Lampiran Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2013
Berkaitan dengan tabel di atas dan hasil penelitian
diketahui bahwa kecamatan belum menyelenggarakan
kewenangan tersebut dengan optimal. Hal itu ditandai
dengan hasil penelaahan peneliti pada dokumen pelaporan
penyelenggaraan kewenangan. Dalam menyelenggarakan
kewenangan bidang pariwisata pada dasarnya sub bidang
Fasilitasi dan koordinasi pelaksanaan penyusunan program,
pengumpulan data, monitoring evaluasi dan pelaporan
tentang pariwisata yang seharusnya akan memberikan
112 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kontribusi dalam kebijakan bidang pariwisata tidak
diselenggarakan sama sekali. Adapun aktifitas dari sub
bidang yang diselengarakan oleh camat adalah Fasilitasi dan
koordinasi pelaksanaan program aksi bidang pariwisata
yang melibatkan masyarakat, itupun diselenggarakan oleh
salah satu camat/kecamatan hanya dalam rangka
implementasi rencana aksi program strategi nasional KEK
(Kawasan Ekonomi Khusus) Tanjung Lesung sebagaimana
dikatan oleh Informan 6 dari Kecamatan Panimbang
sebagai berikut;
“Saya menjaga keutuhan kawasan sehingga ada lahan milik
masyarakat yang belum dikuasai oleh BPJ KEK Tanjung
Lesung untuk kami bebaskan sepanjang pihak PT BWJ
(Banten West Java Tourism Development) memberikan
rekomendasi pada kami, ada juga program nasional
Pembangunan yang saya bantu seperti Penataan Desa wisata
dengan nilai dana 27 Milyar, saya membantu bagaimana
proses pengalihan status lahan milik BPJ KEK menjadi
milik Kabupaten Pandeglang, bagaimana saya membantu
menyiapkan.” (wawancara, Agustus 2017)
Lebih lanjut Informan 6 menambahkan ;
“….tadi saja saya habis membuka pelatihan pengelolaan
sampah yang dilakukan oleh pandeglang dari bagian
perekonomian, kemudian yang dilakukan oleh dinas
koperasi itu pelatihan keterampilan memanfaatkan hasil laut
kerang kemudian pelatihan yang dilakukan PMDT
pengolahan ikan, ikan menjadi kerupuk atau yang lainnya.
Jadi kita siapkan wisatawan yang datang ke sana bisa
menikmati hasil di sini. Seminggu yang lalu saya
menyampaikan usulan dan ini disetujui, itu akan dibuat
gerai untuk menyimpan souvenir sebagai oleh-oleh sampai
saat ini souvenir itu tidak ada dan saya sudah melakukan
lobi dan Alhamdulillah mereka berjanji tidak dalam waktu
lama akan dibangun gerai untuk menyimpan souvenir yang
menjadi kehasan Tanjung lesung, jadi sifatnya saya
membantu bagaimana ini Tanjung lesung bisa
mengembangkan usahanya kemudian saya juga menjaga
kondisi bersama Forkopimka supaya aman, sebap tidak
mungkin investasi bisa berjalan kalau tidak aman, sebatas
itu saja pak.” (wawancara, Agustus 2017)
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 113
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa kecen-
derungan penyelenggaraan yang belum optimal dan hanya
memprioritaskan Program strategi nasional dan di luar
aspek yang memberikan dukungan pelaksanaan penyusunan
program, pengumpulan data, monitoring evaluasi yang
secara nyata memberikan kontribusi pada kebijakan
pariwisata di kabupaten pandeglang. Kemudian terkait
dengan itu seperti di kecamatan Labuan dan yang lainya
dalam penelitian kurang bisa menjelaskan secara konkrit
penyelenggaraan kewenangan bidang pariwisata pada
potensi wisata yang ada di wilayah kerjanya. Perlu
diketahui bahwa kecamatan Panimbang dan Labuan dalam
rencana tata ruang kabupaten pandeglang diproyeksikan
menjadi sebagai PKWp (Pusat Kawasan Wilayah Promosi)
artinya kedepan kedepan akan berfungsi sebagai pusat
kegiatan kawasan perdagangan dan jasa, industri, wisata,
perekonomian untuk skala regional, jasa keuangan/bank,
simpul transportasi dan pusat jasa kemasyarakatan. Selain
itu core dalam RPJMD 2016-2021 kabupaten pandeglang
adalah pariwisata.
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa
kewenangan-kewenangan lain yang dilimpahkan pada
camat selain penyelenggaraan PATEN dan Pembinaan,
pengawasan pemerintahan desa seperti bidang kesehatan,
penataan ruang hingga kearsipan kurang lebihnya dapat
dikatakan sama yaitu belum optimal dalam penyeleng-
garaanya. Sebagaimana penjelasan yang telah diuraikan
sebelumnya, rupanya kecamatan sedang lebih memprio-
ritaskan kewenangan yang dianggap lebih inti yaitu pada
penyelenggaraan PATEN, pembinanan dan pengawasan
pada desa serta kewenangan yang spesifik dengan bagian
dari struktur organisasi kecamatan seperti tramtib,
kesejahteraan sosial dimana memang dalam penyeleng-
garaanya terlihat adanya kemauan, upaya dan hasil yang
cukup baik khususnya realisasi dana desa walaupun di
tengah tengan keterbatasan kecukupan kelembagaan. Dalam
penelitian ini selanjurnya akan diuraikan lebih mendalam
lagi tentang penyelenggaraan PATEN serta pembinaan dan
pengawasan pada desa. Namun perihal penyelenggaraan
kewenangan bidang lain yang belum optimal adapun
114 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
pendapat Informan 3 dari Kecamatan Karang Tanjung
mengatakan sebagai berikut;
“….memang iya bener pendapat itu kalau belum seluruh
kewenangan yang dilimpahkan pada kecamatan tersentuh.
Memang karena kewenangan kami sifatnya umum. Kita kan
sebagai perangkat kewilayahan toh sudah ada dinas teknis,
kita ini harus menangani segala hal dan aduan apaun
termasuk masyarakat yang mau curhat, paling-paling yang
kita katakan kalau nanti akan kita sampaikan ke dinas
terkait. Selain itu dalam keterbatasan SDM jika ada
pekerjaan kadang semua seksi terlibat untuk menyelesaikan
pekerjaan.” (wawancara, juli 2018)
Dari wawancara tersebut pada dasarnya membawa
pada intepretasi bahwa amanat Peraturan Bupati Nomor 24
Tahun 2013 dianggap mengatur secara umum dan tidak
spesifik, konsekuensinya ketika kecamatan memiliki
prioritas pada kewenangan yang dianggap lebih inti, serta
dengan segenap keterbatasan kecukupan kelembagaan
kecamatan, maka berkonsekuensi pada belum optimalnya
penyelenggaraan kewenangan-kewenangan lain di luar
kewenangan inti dan prioritas kecamatan.Berkaitan dengan
uraian tentang pelimpahan kewenangan bupati kepada
camat/kecamatan dan penyelenggaraan kewenangan
camat/kecamatan maka digambarkan kondisi eksisting
sebagai berikut;
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 115
Gambar 9.3
Kondisi Eksisting Pelimpahan dan Penyelenggaraan
Kewenangan Camat/Kecamatan
Sumber : Data Diolah
Mengawali dengan potret penyelenggaraan PATEN
secara nasional Informan 23 dari Pusat Telaah dan
Informasi Regional megatakan sebagai berikut;
“…setelah permendagrinya keluar tentang PATEN
…kelemahan utama bukan hanya sekedar uang
gelondongan anggaran, personil sarana dan prasarana. Ada
hal yang jauh lebih penting, dari situ yang mungkin orang
menganggap laaah ya udahlah. Itu adalah namanya SOP
atau Juklak juknis, dihampir semua daerah yang saya lihat
mereka sudah limpahkan kewenangan ada uang, sebagian
ada yang sudah dilimpahkan juga dialokasikan, tapi tidak
ada juklak juknis, tidak ada SOP nya. Cara
menyelenggarakannya menganggap pasti bisa nanti, kasih
pelatihan sekali dua kali. Akibatnya kecamatan, terutama
kasi-kasi dan pegawainya hanya menjalankan tugas
atributifnya saja, yang sudah melekat. Di dianya saja masih
kedodoran belum bisa dilaksanakan dengan optimal,
116 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
ditambah dengan yang delegatif tidak di kasih tau
bagaimana cara melaksanakan, yang terjadi adalah
kecamatan tidak megerti melaksanakan kewenangan yang
sudah dilimpahkan.” (Wawancara, September 2018)
Wawancara di atas menjelaskan bahwa permasalahan
yang muncul di sebagian besar daerah di Indonesia pada
saat awal penerapan PATEN tidak hanya pada pemenuhan
anggaran dan personel saja. Namun yang menyebabkan
kurang optimalnya penyelenggaraan PATEN karena tidak
adanya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, daerah
terlampau menganggap sepele hal itu. Para personel
kecamatan pada umumnya mengalami kebingungan dalam
menyelenggarakan ditambah lagi dengan kewenangan yang
telah dilimpahkan oleh masing-masing kepala daerah. Pada
akhirnya yang terjadi adalah kecamatan hanya menjalankan
tugas atributifnya saja.
Di Kabupaten Pandeglang sendiri seiring dengan
penetapan Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2013 dan
dalam rangka menjalankan amanat Permendagri Nomor 4
Tahun 2010 Tentang pedoman Pelayanan Admministrasi
Terpadu Kecamatan, pada tahun 2013 lalu bupati telah
menetapkan sejumlah 5 kecamatan menjadi pilot project
PATEN melalui Keputusan Bupati Pandeglang Nomor
138/Kep.438-Huk/2013 dan disusul pada tahun 2014
dengan menetapkan seluruh kecamatan sebagai
penyelenggara PATEN dengan Keputusan Bupati
Pandeglang Nomor 138/Kep.796-Huk/2014. Terkait dengan
itu Informan 1 dari Bagian Pemerintahan mengatakan
sebagai berikut ;
“….sebetulnya peraturan pelimpahan wewenang tersebut
ditetapkan pada tahun 2013 saat pertama kali Kabupaten
Pandeglang melaksanakan PATEN….”(wawancara,
Oktober 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa memang
benar jika penetapan pelimpahan wewenang melalui
Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2013, yang menjadi
salah satu pertimbanganya adalah dalam rangka
melaksanakan amanat penyelenggaraan PATEN sehingga
secara operasional juga telah ditetapkan keputusan bupati
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 117
yang mengatur tentang sejumlah kecamatan dan selanjutnya
pada seluruh kecamatan untuk melaksanakan item
pelayanan yang meliputi pelayanan perizinan dan non
perizinan. Dengan penyelenggaraan PATEN tentunya
membawa pada perubahan tatanan penyelenggaraan
pelayanan yang diselenggarakan kecamatan. terkait dengan
itu Informan 3 dari Kecamatan Karang Tanjung
mengatakan bahwa ;
“…. kewenangan yang dilimpahkan ya, kalau dulu KTP
camat bisa tanda tangan, sekarang sejak ada Program KTP
elektronik harus ke Dinas Kependudukan….. Karena
kecamatan ini organisasi kewilayahan, bukan teknis
spesialis maka kecamatan sampai saat ini wewenang yang
dilimpahkan tetap pada koordinasi, fasilitasi, pembinaan
dan pengawasan, serta perizinan dengan batasan tertentu.”
(wawancara, Agustus 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bawa dicontohkan
kewenangan pelayanan yang mengalami perubahan
semenjak ditetapkanya PATEN adalah pada pelayanan
KTP. Memang sudah sejak lama seiring dengan
diberlakukanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 dan
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 perubahan atas
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, urusan KTP/KTP-el menjadi
kewenangan dinas kependudukan dan Catatan Sipil sebagai
perangkat daerah pelaksana administrasi kependudukan dan
catatan sipil. Maka kecamatan sebagai perangkat daerah
kewilayahan saat ini sifatnya hanya membantu dan
memfasilitasi baik pada tataran memberikan rekomendasi
pada pemohon di wilayah kerjanya dan melakukan
perekaman, sedangkan penandatanganan tidak. Terkait
dengan itu adapun permasalahan yang dialami kecamatan
sehingga dianggap efektifitas penyelenggaraanya terganggu
sebagaimana dikatakan oleh informan 9 dari Kecamatan
Labuan berikut;
“…kalau masalah PATEN mungkin kita sadar memaklumi
tentang kondisi belum terpenuhinya sarana prasarananya
mungkin kearsipan, mungkin alat…….. seperti yang dekat-
dekat adalah masalah perekaman KTP saja. Yang sudah-
sudah di kecamatan lain kalau ngga bisa dibiarkan sudah
118 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
begitu saja. Kita juga di sini Cuma bisa ngrekam saja,
selanjutnya proses ada di disdukcapi, kementerian. Jadi
untuk hasil KTP nya kita nunggu dari Disdukcapil…….
kalau bilang masalah pelayanan KTP di Kecamatan zona 4
eks kawedanaan caringin ini kecamatan Labuan saja lah
yang alatnya masih bisa dioperasikan. Jadi tumpuan
pekerjaan kami banyak karena harus melayani perekaman
KTP lintas kecamatan di Zona 4 ini….”(wawancara,
Agustus 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa terdapat
permasalahan dalam pelayanan KTP-el di tingkat
kecamatan khususnya dalam perekaman. Kerusakan alat
perekaman di beberapa kecamatan tersebut pada akhirnya
menjadikan pelayanan perekaman dirubah dengan sistem
lintas kecamatan. Perekaman lintas kecamatan walaupun
dianggap sebagai pemecahan masalah namun kondisi
tersebut menyebabkan ketidak efektifan pelayanan karena
kecamatan yang menerima pengalihan perekaman secara
otomatis menjadi tumpuan pelayanan.
Selain pelayanan perekaman KTP-el dan seklias
permasalahan tentang penyelengaraan pelayananya.
Diketahui Item layanan perizinan dan non perizinan
sebagaimana diatur dalam Keputusan Bupati Pandeglang
Nomor 138/Kep.796-Huk/2014 terdiri dari (1) Pengantar
Kartu Keluarga (KK), (2) Pengantar Kartu Tanda
Penduduk, (3) Pengantar Akte Kelahiran, (4) Pengantar
Surat Pindah, (5) Rekomendasi ijin Mendirikan Bangunan
(IMB) dibawah 100 M persegi, (6) Rekomendasi Ijin
Keramaian, (7) Rekomendasi Ijin Gangguan (HO), (8)
Pengantar Keterangan Catatan kepolisisn (SKCK), (9)
Rekomendasi Dispensasi Nikah di bawah 10 hari, (10)
Rekomendasi Surat Keterangan tidak Mampu (SKTM), (11)
Legalisir Surat kematian, (12) Legalisir KTP/KK, (13)
Pengantar Permohonan SPPT Baru, (14) Pengantar
Permohonan Mutasi/Balik Nama SPPT.
Dari item pelayanan di atas, dalam hal
penyelenggaraan pelayanan perizinan mendirikan bangunan
(IMB) dengan batasan dibawah 100 M persegi. Dari hasil
penelitian diketahui bahwa dari beberapa kecamatan seperti
kecamatan Labuan dan Majasari menyatakan bahwa
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 119
kewenangan kecamatan memberikan izin mendirikan
bangunan (IMB) di bawah 100 M persegi dalam
pelaksanaanya masih dilaksanakan oleh BPMPTSP (Badan
Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu).
Seharusnya penyelenggaraan izin itu ditetapkan/
ditandatangani oleh camat. Dari informan lain di Kecamatan
Majasari yaitu Informan 4 juga senada mengatakan;
“……untuk KTP, KK itu tidak dipungut biaya tapi kalau
misalnya IMB dan yang lainnya itu kan ada aturannya.
Kalau ada perdanya tapi kebanyakan gak ada, kadang-
kadang IMB juga langsung ke BPMPTSP kami hanya
pengantar saja Intinya tidak memungut biaya…”
(wawancara, Agustus 2017)
Terkait dengan penetapan/penandatanganan izin
mendirikan bangunan (IMB) di bawah 100 M persegi yang
seharusnya menjadi kewenangan camat Informan 1 dari
Bagian Pemerintahan mengatakan;
“…penandatanganan yang masih dilakukan BPMPPTSP
hanya pada kecamatan tertentu saja. Tapi saat rapat kita
sudah berulangkali menyampaikan bahwa itu merupakan
kewenangan camat. Coba mas di kecamatan mana itu nanti
coba kita tidak lanjuti…” (wawancara, Oktober 2017).
Wawancara tersebut di atas menjelaskan bahwa pada
dasarnya pelaksanaan kaedah administrasi adalah
kesesuaian dengan sesuatu yang telah dituangkan dan diatur
dalam kebijakan. Permasalahan penandatanganan yang
dilakukan oleh BPMPPTSP, sebagaimana hal tersebut
sebetulnya merupakan kewenangan kecamatan. Namun
menurut hemat peneliti itu semua merupakan kasuistis.
Berbeda dengan kecamatan lain seperti halnya kecamatan
panimbang Informan 6 mengatakan bahwa;
“….awalnya dulu seluruh perijinan ditangani oleh
BPMPPTSP tapi sekarang melalui keputusan bupati Proses
IMB di bawah 100 M persegi yang ditandatangani camat.
Selebihnya tetap ke Badan Penanaman Modal dan
Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu….” (wawancara,
Agustus 2017)
120 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Wawancara tersebut menjelaskan bahwasanya di
kecamatan panimbang tidak ada permasalahan yang dibahas
yang mengarah pada tidak terlaksananya kewenangan
memberikan izin memndirikan bangunan (IMB) di bawah
100 Meter persegi. Begitu juga untuk kecamatan
Pandeglang sebagaimana diketahui camat pandeglang
menerbitkan Surat Keputusan Nomor 100.212-
Kec…/VII/2016 tentang Standar Pelayanan PATEN. Dalam
penyelenggaraan pelayanan IMB di bawah 100 Meter
persegi disebutkan diantaranya kompetensi dan kualifikasi
SDM pelaksana harus memahami peraturan yang terkait
dengan pelayanan IMB, serta dalam sistem, mekanisme dan
prosedur pelayanan ada ketentuan adanya petugas
kecamatan yang melakukan pengecekan ke lokasi. Masing-
masing kecamatan tentunya dihadapkan pada kondisi
kecukupan kompetensi dan kualifikasi SDM yang berbeda-
beda. Dari hal itu dapat dimungkinkan jika pada kecamatan
tertentu yang tidak mampu menyelenggarakan kewenangan
tersebut maka pelaksanaanya diambil alih oleh BPMPPTSP
baik pemrosesan dan penandatangananya. Menyikapi hal itu
Informan 19 dari Direktorat Jenderal Bina Administrasi
Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri mengatakan;
“…bicara pelimpahan kewenangan ya untuk bisa
dilaksanakan, ya SOP dari dinas itu bisa di kasih. Dilimpahi
urusan PU untuk melaksanakan izin IMB, ya SOP nya
mana, ya di kasih. Anggaran untuk melaksanakan, ya di
kasih, Nah personilnya ya ditingkatkan. Itukan setali tiga
uang, semuanya harus seiring sejalan. Yang terjadi,
pelimpahan diberikan tetapi personilnya tidak perhatikan
dan ditingkatkan kapasitasnya tidak, dikasih SOP nya juga
tidak pengangaran tidak bisa dilimpahkan. Nah itu bagian
dari proses tugas kita untuk membina Pemdanya. Kalau
kami ga membina untuk meningkatkan kapasitasnya dan
tugas bupati bagaimana pelimpahan yang benar. Kalau
peningkatkan kapasitas itu urusan bupati tapi untuk
membina agar bupati melimpahkan, itu urusan kita
(kemendagri )…” (wawancara, Oktober 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa dalam
melimpahkan kewenangan pada kecamatan dipandang perlu
untuk memperhatikan kondisi kecukupan kelembagaan
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 121
kecamatan dantaranya dengan menambah anggaran,
meningkatkan kapasitas personel/SDM serta diberikan
operasional prosedur yang jelas dari dinas teknis. Bola
panas dalam pemenuhan itu semua ada di Bupati.
Dalam penyelenggaraan PATEN di Kabupaten
Pandeglang diketahui terdapat dua permasalahan yaitu
terkait perekaman KTP el pada layanan non perizinan dan
IMB di bawah 100 Meter persegi sebagaimana dijelaskan di
atas. Namum untuk item pelayanan yang lainya dapat
dikatakan relatif berjalan sebagaimana mestinya. Lebih
lanjut Informan 12 mengatakan;
“….camat itu sendiri harus punya inisiatif dan melakukan
inovasi quantum-quantum gerakan positif untuk
membangun sebuah daerah. Kalau tidak melakukan
quantum spekulasi misalkan ya susah dan begitu-begitu
saja….” (wawancara, November 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa keberhasilan
penyelenggaraan PATEN salah satu kunci keberhasilanya
terletak pada kemauan/inisiatif camat melakukan inovasi.
Inovasi di sini dimaksudkan adalah inovasi dalam
menyelenggarakan pelayanan. Dari hasil penelitian
diketahui bahwa masing-masing kecamatan di lingkungan
Kabupaten pandeglang melakukan inovasi yang sifatnya
adalah inovasi di tingkat kecamatan. Tentunya inovasi yang
dimaksud adalah dalam rangka meningkatkan baik kuantitas
maupun kualitas sebagaimana yang telah ditetapkan dalam
standar pelayanan minimal PATEN.
Salah satu contoh adalah kecamatan Pandeglang.
Secara teknis/operasional telah mengatur mekanisme
pelayanan melalui Surat Keputusan Camat Nomor 100.212-
Kec…/VII/2016 tentang penyelenggaraan pelayanan
administrasi terpadu kecamatan (PATEN). Dalam surat
keputusan tersebut disebutkan visi dalam pelayananya
adalah “Terwujudnya Pelayanan Prima di Kecamatan
Pandeglang sebagai Daerah Agrobisnis dan Home
Industri“ sedang dalam mewujudkan visi pelayanan maka
misi pelayanannya adalah (1) Meningkatkan Kualitas
Sumberdaya Manusia, (2) Meningkatkan Layanan
Pendidikan dan kesehatan Masyarakat, (3) Meningkatkan
Kualitas pelayanan Publik, (4) Meningkatkan Perekonomian
122 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Masyarakat berbasis Pertanian, Perikanan dan home
Industri.
Kemudian Motonya: Kami Hadir Melayani Anda
Dengan C.E,R.I.A (Cepat, Efisien, Ramah, Ikhlas &
Akurat). Hal itu dimaksudkan bahwa pelayanan yang
diberikan bersifat ONE DAY SERVICE (ODS) dimana
proses pelayanan diselesaikan dalam waktu 1 (satu) hari,
kecuali pelayanan yang memerlukan koordinasi dengan
dinas terkait dan yang memerlukan verifikasi di lapangan
maksimal 1 (satu) minggu.
Untuk pengaturan sarana prasarana ruang Loket
Pelayanan terdiri atas 3 (tiga) loket dan dengan mekanisme
palayanan sebagai berikut :
Gambar 9.4
Mekanisme Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan
(Sumber : Data Diolah Peneliti 2017)
Dari Gambar di atas dijelaskan bahwa pada Loket 1,
melayani pendaftaran dan penerimaan berkas permohonan
bidang perizinan; Loket 2, melayani pendaftaran dan
penerimaan berkas permohonan bidang non perizinan,
Loket 3, untuk menyerahkan dokumen yang telah selesai
diproses dan melayani pembayaran retribusi perizinan.
Setiap loket dilayani oleh 1 (satu) orang petugas terlatih
(Front line officer). Untuk mengawasi kinerja petugas loket,
ditempatkan 1 (satu) orang koordinator sebagai
penanggungjawab harian yang berasal dari pejabat
struktural kecamatan. Untuk meja pelayanan terdiri dari (1)
Meja petugas customer service, melayani pemberian
informasi pelayanan dan penerima/penanganan pengaduan,
(2) Meja petugas pengawas/ penanggungjawab harian.
Data/informasi pelayanan ditampilkan secara jelas,
terbuka dan mudah diakses, meliputi (a) Jenis Pelayanan,
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 123
(b) Persyaratan, (c) Prosedur, (d) Biaya, (e) Waktu
Penyelesaian, (f) Mekanisme Pengaduan, (g) Informasi
Tambahan Lainya sesuai kebutuhan. Kemudian untuk
fasilitas pendukung meliputi (a) Ruang tunggu, (b) Akses
internet gratis, (c) Toilet, (d) Televisi, (e) Bahan Bacaan, (f)
Kotak saran/Pengaduan. Berkaitan dengan itu, dicontohkan
pada Standar Pelayanan Permohonan Kartu Keluarga
sebagai berikut;
Tabel 9.5
Standar Pelayanan Permohonan Kartu Keluarga
No Komponen Uraian
1 2 3
1 Persyaratan
Pelayanan
1. Formulir Pendaftaran KK (FS 01)
untuk Kepala keluarga yang
diketahui oleh kepal desa/Lurah
2. Formulir Biodata (FS 02) anggota
keluarga yang diketahui kepala
desa/lurah
3. Foto Copy Surat Nikah
4. Foto copy Akta Kelahiran
5. Foto Copy Ijazah
6. Surat Pengantar RT/RW
7. Surat Pengantar Kelapa Desa/
Lurah
8. Surat Pindah dari daerah asal bagi
pendatang baru
2 Sistem
Mekanisme
dan Prosedur
Pelayanan
1. Pemohon membawa persyaratan
permohonan KK dan mendaftar
di loket
2. Diberi tanda terima bukti
pengajuan KK dan Nomor urut
pelayanan
3. Pemeriksaan berkas dan paraf
oleh yang berwenang
4. Jika berkas dinyatakan kurang
atau tidak lengkap, dikembalikan
ke pemohon untuk dilengkapi
5. Jika berkas dinyatakan lengkap
maka diproses pengantar KK
6. Penyerahan KK kepada Pemohon
124 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
No Komponen Uraian
1 2 3
7. Penandatanganan surat pengantar
KK
3 Jangka
Waktu
Penyelesaian
10 Menit (Jika berkas telah lengkap
dan kondisi sarpras mendukung/
jarinagn baik)
4 Biaya / Tarif Gratis
5 Produk
Pelayanan
Pengantar/ Rekomendasi Kartu
Keluarga
6 Sarana/
Prasarana
atau Fasilitas
1. Ruang Pelayanan
2. Ruang Tunggu
3. ATK
4. Komputer dan Printer
5. Formulir KK
6. Meja dan Kursi
7 Kompetensi
Pelaksana
1. Minimal Lulusan SLTA sederajat
2. Bisa mengoperasikan Komputer
(IT Adminduk)
3. Memahami peraturan yang terkait
dengan Kartu keluarga
8 Pengawasan
internal
1. Kepala Seksi
2. Sekretaris Kecamatan
3. Camat
9 Penanganan
Pengaduan,
Saran dan
Masukan
1. Datang Langsung / atau melaui
surat ke kantor kecamatan
2. Telepon
3. Email
4. Kontak saran/ Aduan
10 Jumlah
Pelaksana
3 (tiga) orang
11 Jaminan
Pelayanan
Adanya kode etik dan maklumat
pelayanan
12 Jaminan
Keamanan
dan
Keselamatan
Pelayanan
Cap Stempel dan Tanda Tangan
Yang Berwenang
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 125
No Komponen Uraian
1 2 3
13 Evaluasi
Kinerja
Pelaksana
Periodik 1 minggu sekali sesuai
standar pelayanan
Sumber : Data Diolah
Standar pelayanan permohonan kartu keluarga pada
Tabel di atas memuat persyaratan seperti halnya formulir
pendaftaran hingga surat Pengantar Kepala Desa/Lurah dan
Surat Pindah dari daerah asal bagi pendatang baru. Jangka
Waktu Penyelesaian menyebutkan pelayanan dilaksanakan
selama 10 menit sampai pada poin ke 13 tentang evaluasi
kinerja pelaksana yang Periodik dilaksanakan 1 minggu
sekali sesuai standar pelayanan.
Dalam mewujudkan kemudahan pelayanan pada
masyarakat di wilayah kerja Perangkat Daerah Kecamatan,
Personel Pegawai Negeri Sipil dan tenaga kerja pembantu
yang bertugas selain memahami ketentuan tentang standar
pelayanan minimal dan prosedur diharapkan memiliki
komitmen diri untuk melaksanakanya. Sebagaimana
dikatakan oleh Informan 2 dari Kecamatan Pandeglang
sebagai berikut;
“.....untuk mengawal terselengaranya pelayanan
administrasi yang diselenggarakan kecamatan saya selaku
pimpinan di kecamatan melakukan berbagai terobosan salah
satunya adalah saya pasang nomor Kontak saya agar dapat
diketahui masyarakat. Bila mana masyarakat ingin
mengadukan kinerja layanan bisa langsung menghubungi
saya. Sebisa mungkin permasalahan pelayanan yang kurang
baik bisa saya selesaikan di tingkat saya. Di sisi lain saya
juga rutin untuk memotivasi petugas pelaksana dan jajaran
saya untuk terus dan terus berinovasi, meningkatkan
kapasitas diri ya salah satunya hari ini ada pelatihan ....”.
(wawancara, Agustus 2017).
Terkait dengan itu dalam menjaga komitmen diri staf
pelaksana PATEN dikatakan oleh Informan 4 dari
Kecamatan Majasari sebagai berikuit;
126 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
“.......dalam pelayanan PATEN kami di sini tidak
melakukan pemungutan biaya, kecuali memang pelayanan
yang dalam peraturan perundang undangan memang
diharuskan dipungut biaya. Kami menginstruksikan pada
staf pelaksana di sini untuk jangan memungut biaya, apalagi
sekarang lagi gencar-gencarnya pemberantasan pungli...”
(wawancara, Agustus 2017)
Lebih lanjut berkaitan dengan komitmen diri
menjalankan amanat standar PATEN dari pemerintah pusat,
Informan 5 dari kecamatan Majasari mengatakan bahwa;
“…..kita diwajibkan menjalankan SOP sebagaimana
didasarkan dari Peraturan Menteri Dalam Negeri….. standar
operasional prosedur ini sifatnya baku dari pemerintah
pusat. Namun dalam pelaksanaanya diturunkan aturanya
dan disesuaikan dengan kondisi serta kebutuhan
kecamatan…… Untuk standar baku dari pemerintah pusat
kita sedang laksanakan.” (wawancara, Agustus 2017)
Selain itu dalam rangka memimpin,
mengkoordinasikan, dan mengendalikan penyelenggaraan
PATEN; menyiapkan rencana anggaran dan biaya;
menetapkan pelaksana teknis; dan mempertang-
gungjawabkan kinerja PATEN kepada Bupati. Kecamatan
di lingkungan kabupaten Pandeglang telah membentuk Tim
teknis penyelenggaraan pelayanan terpadu Kecamatan.
Sebagai contoh di Surat Keputusan Camat Pandeglang
Nomor 138/kec.165-.../2017. Dengan isi putusan
membentuk tim teknis Penyelengaraan Pelayanan
administrasi Terpadu Kecamatan (PATEN) di kecamatan,
dengan susunan personalia Camat sebagai pembina,
Sekretaris Kecamatan sebagai ketua, Kasi Pemerintahan
sebagai sekretaris dan Kasi Tramtib, Kasi Pembangunan
dan Pemberdayaan Masyarakat, Kasi Pendapatan Asli
Daerah, Kasi Kesejahteraan Sosial, Kasubag umum dan
Kepegawaian, Kasubag Keuangan sebagai anggota.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada
dasarnya salah satu contoh Surat Keputusan Nomor
138/kec.165-.../2017 tentang pembentukan tim teknis
Penyelengaraan Pelayanan administrasi Terpadu Kecamatan
(PATEN) di kecamatan Pandeglang adalah sesuatu yang
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 127
juga dilakukan oleh kecamatan lainya seperti kecamatan
Panimbang, Majasari, Karangtanjung, dan Labuan yang
cukup merepresentasikan untuk dinyatakan bahwa seluruh
kecamatan dilingkungan Kabupaten Pandeglang juga telah
melakukan. Ditambah lagi mengingat Peraturan Bupati
Nomor 24 Tahun 2013, Keputusan Bupati Pandeglang
Nomor 138/Kep.796-Huk/2014 serta amanat permendagri
Nomor 4 tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan
administrasi terpadu kecamatan. Pada pasal 14 Permendagri
menjelaskan bahwa pembentukan tim teknis PATEN
ditetapkan oleh Keputusan Bupati dengan menunjuk Tim
dari unsur Pimpinan perangkat daerah non kecamatan yang
mempunyai tugas mengidentifikasi, mempersiapkan
rancangan kebijakan, petunjuk pelaksanaan dan teknis,
memfasilitasi dan membuat rekomendasi kepada bupati.
Disinilah tergambar pola relasi antara Bupati dengan
kecamatan sebagai wujud kewenangan yang dilimpahkan,
kecamatan sebagai penyelenggara PATEN karena di pasal
15 Permendagri tersebut dijelaskan bahwa Pejabat
penyelenggara PATEN terdiri dari Camat, Sekretaris
Kecamatan, dan Kepala Seksi yang membidangi.
Berkaitan dengan itu peneliti mencoba
menggambarkan bagaimana alur kebijakan PATEN dan
operasionalisasi di pemerintah Kabupaten pandeglang
sebagai berikut;
Gambar 9.5
Alur Pelaksanaan Kebijakan PATEN
Sumber : Data Diolah Peneliti 2017
128 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Berdasarkan Gambar alur pelaksanaan kebijakan
PATEN tersebut di atas diketahui bahwa Permendagri No 4
Tahun 2010 merupahan dasar kebijakan yang digunakan.
Selanjutnya dibentuk tim teknis PATEN tingkat Kabupaten
untuk membuat rekomendasi atau kajian pada Bupati. Hasil
kajian/rekomendasi bersama dengan Peraturan bupati
tentang pelimpahan wewenang serta tata kerja kecamatan
dijadikan acuan oleh Perangkat Daerah Kecamatan untuk
dilaksanakan. Pelaksanaan tersebut dari penetapan Tim
teknis penyelenggara paten di tingkat Kecamatan dan
adanya Standar operasional Prosedur meliputi (1)
Persyaratan Pelayanan, (2) Sistem Mekanisme dan Prosedur
Pelayanan, (3) Jangka Waktu Penyelesaian, (4) Biaya/Tarif,
(5) Produk Pelayanan, (6) Sarana/ Prasarana atau Fasilitasi,
(7) Kompetensi Pelaksana (8) Pengawasan internal, (9)
Penanganan Pengaduan, (10) Saran dan Masukan, (11)
Jumlah Pelaksana, (12) Jaminan Pelayanan, (13) Jaminan
Keamanan dan Keselamatan Pelayanan, (14) Evaluasi
Kinerja Pelaksana.
Lebih lanjut berkaitan dengan itu, menurut peneliti
bahwa pada dasarnya kemauan atau kesungguhan aparatur
perangkat daerah kecamatan mulai dari pimpinan hingga
jajaran dan staf pelaksana untuk melaksanakan PATEN,
merupakan daya dukung pemerintah kabupaten pandeglang
dalam rangka mewujudkan tujuan pelayanan yang efektif
pada masyarakat dalam penyelengaraan pemerintahan
daerah. Namun satu hal yang perlu diperhatikan adalah
kemauan dan konsistensi dari pemerintah kabupaten
pandeglang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan
pada perangkat daerah, khususnya kecamatan. Pembinaan
dan pengawasan yang dimaksudkan tidak hanya pada
tataran meninjau dan menindaklanjuti atas kesenjangan
yang terjadi antara tujuan dan kebijakan pelimpahan
wewenang dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.
Namun menurut hemat peneliti berdasarkan hasil penelitian
melalui observasi, kajian dokumen serta penjaringan opini
dari pihak yang berkompeten. Bahwasanya dalam
pembinaan dan pengawasan harus meninjau dari
keterbatasan yang ada, sebagaimana bupati bisa
memfasilitasinya melalui kewenangan yang dimiliki.
Seperti halnya dengan permasalahan penandatanganan surat
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 129
Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dibawah 100 Meter
persegi pada kecamatan tertentu penandatanganan masih
dilakukan oleh Perangkat daerah teknis yaitu BPMPPTSP
(Badan Penanaman Modal Dan Pelayanan Perizinan
Terpadu Satu Pintu). Berkaitan dengan itu peneliti memiliki
asumsi yang didasarkan dari temuan-temuan yang sudah
disajikan pada halaman sebelumnya. Bahwa penan-
datanganan IMB di bawah 100 Meter persegi pada
kecamatan tertentu yang masih dilasanakan oleh Perangkat
daerah teknis dikarenakan keterbatasan kecukupan
organisasi terutama permasalahan SDM di kecamatan.
Untuk itu peneliti mencoba menggambarkan kondisi
eksisting Permasalahan tersebut pada gambar sebagai
berikut;
Gambar 9.6 Kondisi Eksisting Pelaksanaan Kewenangan IMB dibawah 100 Meter
Sumber : Data Diolah
Gambar di atas merupakan kondisi ketumpang
tindihan penandatanganan IMB dibawah 100 Meter persegi.
Sarana/Prasarana, Kompetensi Pelaksana, Jumlah Pelaksana
sebetulnya menjadi pertimbangan pelayanan itu bisa
diselenggarakan secara penuh atau tidak oleh kecamatan
jika melihat kemampuan Kecamatan memenuhi kecukupan
atas itu. Jika permasalahanya memang terletak pada itu.
Sebetulnya dengan mudah bupati dapat menyelesaikan
130 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
dengan kewenangan yang dimiliki. Jika tidak ada sikap dari
bupati maka muncul kesan pembiaran dari bupati atas
ketidaksesuaian terhadap pelaksanaan ketentuan tersebut.
Ketika dibandingkan dengan daerah lain sebagaimana
dikatakan oleh Informan 24 dari Kabupaten Lamandau
(Asosiasi Kabupaten/Kota) yang menceritakan komitmenya
sebagai kepala daerah dalam penyelenggaraan PATEN
berikut;
“…PATEN langsung dari mendagri hanya dua kecamatan
sebagai contoh tapi kepada kami kebetulan yah itu semua
kecamatan karena akses ke kabupaten jauh dan infrastruktur
juga belum bagus jadi kalau orang mau urus perizinan agak
jauh butuh ongkos disamping perizinan pengadaan barang
dan jasa itu pun kita limpahkan…. kita memberikan
kepercayaan kepada camat membiasakan camat untuk
mengatasi masalah dan menghandle kegiatan kegiatan yang
selama ini terjadi..” (Wawancara, September 2018)
Lebih lanjut Informan 24 juga mengatakan;
“Ditinjau oleh anggaran tahun 2005 itu kecamatan itu hanya
45 juta sampai 100 juta ketika saya sekda itu sudah saya
tingkatkan menjadi 250-300 juta dan terus naik ketika kita
jadi bupati tahun 2008 dana kecamatan itu sudah di atas
1M, sekarang sudah mendekati angaran dinas ada yang 4, 5
M. Tapi sebetulnya anggaran itu bukan anggaran yang
mubajir , jadi kecamatan itu tidak hanya sebagai agen
pemerintahan kabupaten tapi betul betul operasional sebagai
wilayah kecamatan dan dia seperti tugasnya seperti perluar
dari dinas karena semua kesana, tapi tadi fungsinya tidak
ditunjang dengan anggaran tapi sekarang sudah seperti
dinas..” (Wawancara, September 2018)
Wawancara di atas menjelaskan bahwa di daerah lain
terlihat kepala daerah (Bupati) benar-benar memiliki
komitmen yang kuat dalam memberikan dukungan
penyelenggararaan kecamatan. Dukungan tersebut misalnya
melakukan ploting anggaran yang cukup progresif hingga
menyetarakan besaran anggaran kecamatan seperti standar
dinas teknis. Hal itu dilakukan semata-mata dalam rangka
memberikan akses pelayanan publik yang berkualitas dari
penyelenggaraan kecamatan. Dengan terpenuhinya
anggaran sebagai salah satu daya dukung selain Inrastruktur
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 131
dan sumberdaya, maka dimungkinkan kinerja
penyelenggaraan kecamatan termasuk PATEN dapat
berjalan efektif.
Selain permasalahan kewenangan IMB di bawah 100
Meter pada penyelenggaraan PATEN di kabupaten
pandeglang sebagaimana dijelaskan di atas, adapun
permasalahan lain yakni rusaknya alat perekaman KTP el di
beberapa kecamatan, sehingga menjadikan pelayanan
perekaman dirubah dengan sistem lintas kecamatan.
Pengalihan perekaman secara otomatis membuat beban
tertumpu pada kecamatan-kecamatan tertentu. Hal itu juga
diperkuat dari penyampaian hasil reses Komisi I pada
sidang paripurna di DPRD Kabupaten Pandeglang 19
september 2017 tentang banyaknya keluhan dari masyarakat
pada layanan administrasi kependudukan. Mungkin untuk
permasalahan alat perekaman KTP el tidak banyak yang
bisa dilakukan oleh pemerintah kabupaten selain hanya
melaporkan pada kementerian dalam negeri karena pada
dasarnya peralatan perekaman tersebut merupakan asset
kementerian dalam negeri. Namun untuk item layanan
PATEN yang lainya dirasa perlu diperhatikan oleh bupati
melihat keterbatasan sumberdaya yang dimiliki kecamatan
sebagaimana tertulis dalam faktor penghambat pada
dokumen rencana strategis kecamatan, serta besaran pagu
indikatif yang ada dianggap sebagai kendala. Dalam hal
rendahnya pagu indikatif diketahui bahwa kecamatan
Panimbang yang notabene kecamatan yang wilayah
kerjanya terdapat Kawasan Ekonomi khusus serta beberapa
program strategi nasional hanya memiliki pagu indikatif Rp
676,912,000.,00 tahun 2017 dan Rp 710,757,600.,00 pada
tahun 2018 dengan alokasi kurang dari 25% untuk
penyelenggaraan administrasi kecamatan. Namun apakan
keterbatasan tersebut sejatinya akan dibiarkan saja menjadi
sebuah cerita klasik sepanjang masa tentang organisasi
kecamatan. Tentunya itu semua bola panas penyelesaian
masalahnya ada pada bupati sebagai pengguna anggaran,
serta sebagai pejabat Pembina kepegawaian kabupaten
pandeglang untuk melakukan restrukturisasi ketata
kelolaanya.
132 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
c. Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa (Pengelolaan Dana Desa)
Merujuk dari pasal 225 Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014 ayat (1) huruf (g) berbunyi Camat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) mempunyai tugas
membina dan mengawasi penyelenggaraan kegiatan Desa
dan/atau kelurahan. Lebih lanjut pada Peraturan pemerintah
Nomor 12 Tahun 2017 Pasal (19) ayat (2) berbunyi dalam
melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), bupati/walikota dibantu oleh camat
atau sebutan lain dan inspektorat kabupaten/ kota.
Diketahui pada Peraturan Bupati Nomor 24 tahun
2013 memang secara eksplisit tidak mengatur pelimpahan
wewenang atas pembinaan dan pengawasan pada
pemerintah desa. Namun melalui Peraturan Bupati Nomor
66 tahun 2016 tentang Tata kerja Perangkat Kecamatan
Pasal (4) ayat (1) huruf (g) yang berbunyi camat memiliki
tugas membina dan mengawasi penyelenggaraan kegiatan
desa atau sebutan lain dan/atau kelurahan. Kemudian
Kewenangan pembinaan dan pengawasan dipertegas lagi
pada Peraturan Bupati Nomor 3 tahun 2017 tentang
kewenangan camat dijelaskan pada Pasal (19) ayat (1) yang
berbunyi Bupati melakukan pembinaan dan pengawasaan
terhadap pelaksanaan penataan kewenangan Desa. Ayat (2)
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melalui:
(a). fasilitasi dan koordinasi; (b). peningkatan kapasitas
aparatur Pemerintah Desa; (c). monitoring dan evaluasi; dan
(d). dukungan teknis administrasi. Lebih lanjut pada Pasal
(20) berbunyi dalam pembinaan dan pengawasan terhadap
penataan dan pelaksanaan kewenangan Desa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal (19), Bupati dapat melimpahkan
sebagian tugas kepada Camat. Artinya dalam peraturan
bupati tersebut menegaskan bahwa kecamatan memiliki
kewenangan penuh dalam pembinaan dan pengawasan atas
pelimpahan Bupati terhadap segala sesuatu yang berkaitan
dengan kewenangan desa/kepala desa dalam penyeleng-
garaan pemerintahan desa termasuk mengawal penegakan
peraturan daerah, peraturan bupati, keputusan bupati serta
surat edaran lain yang memiliki relevansi dengan
pengaturan penyelenggaraan pemerintahan desa seperti
halnya Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2015 tentang
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 133
pedoman pengelolaan keuangan desa, Peraturan Bupati 42
Tahun 2015 tentang tata cara pengelolaan dana desa
sebagaimana revisi dengan Peraturan Bupati Nomor 6
Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Dana
Desa, Surat Edaran Nomor 601/1474-DPMPD/2017 dan
lain sebagainya. Terkait dengan itu landasan camat/
kecamatan dalam menyelenggarakan kewenangan
pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
desa di kabupaten pandeglang digambarkan sebagai berikut;
Gambar 9.7
Landasan Camat/Kecamatan Dalam Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa
Sumber : Data Diolah
Mencermati landasan serta luasnya ruang lingkup
kewenangan pembinaan dan pengawasan kecamatan pada
desa sebagai penyelenggara pemerintahan otonom, secara
otomatis membawa pada sebuah asumsi bahwa beban kerja
dan kompleksitas kecamatan untuk membina dan
mengawasi pemerintah desa jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan kelurahan yang hanya sebagai wilayah kerja
administrasi. Terkait dengan itu Informan 3 dari
Kecamatan Karang Tanjung mengatakan sebagai berikut;
“.......jadi kalau kecamatan yang membawahi kelurahan jauh
lebih ringan beban kerja dan konsekuensi camatnya, karena
kita tau saat ini kelurahan secara hirarki strukturnya ada
134 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
langsung di bawah Kecamatan, sehingga Pembinaan dan
pengawasan lebih mudah karena camat atasnya langsung.
Nah kalau yang mengkoordinasikan Pemerintahan Desa ini
yang lumayan kompleks, yah kaitanya dengan dana desa,
camat di sini harus melakukan verifikasi dari dana desa,
konsekuensinya hukum kalau ngga berhati hati dan
mencermati ketentuan yang berlaku. Karena Dana desa ini
saya juga dapat informasi dari rekan-rekan di kecamatan
lain yang membawahi desa banyak kepala desa yang
berurusan dengan aparat kejaksaan, itu juga karena kondisi
SDM di desa yang belum mumpuni walaupun tidak semua
desa di daerah lain seperti itu. Jadi camat yang membawai
Pemerintah desa dalam pembinaan dan pengawasan harus
menjalin koordinasi yang baik....” (wawancara, Agustus
2017).
Lebih lanjut menurut Informan 6 dari Kecamatan
Panimbang yang diketahui mengkoordinasikan 6 (enam)
desa di wilayah kerjanya mengatakan sebagai berikut;
“......malah dana desa membuat pusing camat sebetulnya,
pihak kecamatan. Aturan yang langsung ke desa justru
membuat mumet kecamatan. Kenapa? Kita ikut tanggung
jawab sementara uangnya gak liat. Itu juga menjadi
kendala…... Aliran dana kapan datangnya ke desa kapan
diambilnya kita tidak bisa monitor. Ini kesulitannya, satu
sisi bagus, pembangunan ini bisa dilakukan degan baik oleh
desa. Di lain pihak kita kesulitan memonitor penggunaan
uang apalagi uang betul-betul datangnya ke desa, ini
menjadi kendala harusnya camat juga sebagai pengendali,
disini camat tidak bisa pengendali penggunaan uang..... Di
kecamatan itu ada tim verifikasi tapi sayangnya tim
verifikasi tidak ditunjang dengan anggarannya, tapi
mendompleng pada anggaran kecamatan. Tapi secara
khusus dalam pelaksaanaan tugasnya itu mereka tidak dapat
operasional tapi karena tanggung jawab melekat, sebagai
pegawai kecamatan walaupun bagaimanapun juga dia tetap
melaksanakan tugas. Tim verifikasi ini memang sudah 2
kali ke desa-desa melakukan monitoring, jika ada desa yang
lambat maka tim verifikasi langsung membuat surat tertulis
melakukan teguran ke kepala desa. Jadi memang tanggung
jawabnya lebih berat hanya itu tidak kita hanya sebatas
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 135
mengawasi tapi belum bisa mengedalikan karena ruangnya
langsung ke desa……” (wawancara, Agustus 2017).
Terkait dengan itu hal senada juga dikatakan oleh
Informan 19 dari Direktorat Jenderal Bina Administrasi
Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri sebagai berikut;
“…..dana desa, siapa yang bisa memikirkan satu orang
kepala desa lulusan SMP bisa mengurusi dana 1 milyar ?
ternyata bisa kan, karena ada peningkatan kapasitas desa
dan pedampingan . Itu memang kondisi real tetapi jangan
jadikan kondisi real itu jadi alasan untuk menyusun
kebijakan begitu, sehingga orang akan takut duluan. Kita
harus optimis dan biar mampu ditingkatkan kapasitas camat
dan perangkatnya kan begitu. Untuk bisa mengintrupsi ya
anggaran di kasih….” (wawancara, Oktober 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa konsekuensi
camat/kecamatan yang mengkoordinasikan pemerintah desa
dalam menyelenggarakan kewenangan pembinaan serta
pengawasan terlihat lebih berat dari pada yang membawahi
kelurahan. Hal itu sebagai konsekuensi dari diterapkannya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa dan
keberadaan camat yang difungsikan selain sebagai
verifikator juga sebagai simpul pembina dan pengawas
pemerintah kabupaten pandeglang pada pemerintah desa
yang secara eksplisit dijelaskan pada pasal 225 Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2014 ayat (1) huruf (g). Dengan
kata lain kinerja pembinaan dan pengawasan terhadap salah
satu kewenangan tersebut merupakan sebuah tantangan
yang harus dihadapi oleh seorang camat/kecamatan untuk
mewujudkan akuntabilitas dalam kinerja pengelolaan Dana
Desa. Sekalipun dikeluhkan oleh camat bahwasanya
kurangnya dukungan anggaran baik dari pemerintah pusat
maupun dari daerah untuk menunjang operasional pada
kecamatan terkait dengan kewenangan pembinaan,
pengawasan serta verifikator dana desa. Yang terjadi selama
ini mendompleng dari anggaran kecamatan. Sebagai contoh
bersumber dari dokumen Rencana Program dan Kegiatan
Kecamatan Panimbang Tahun 2017 dan Prakiraan Maju
Tahun 2018 pada poin kegiatan Pembinaan Penyeleng-
garaan Pemerintahan Desa besaran pagu indikatif Rp
25,000,000.,00 untuk tahun 2017 dan Rp 26,250,000.,00
136 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
tahun 2018 dari total pagu indikatif kecamatan Rp
676,912,000.,00 tahun 2017 dan Rp 710,757,600.,00 pada
tahun 2018. Ketika jumlah desa di kecamatan panimbang
ada 6 desa. Artinya ketika dirata-ratakan anggaran tim
kecamatan untuk mendanai kegiatan pembinaan dan
pengawasan serta verifikasi per desa hanya sekitar 4 Jutaan
per tahun. Tentunyna angka tersebut bisa dikatakan sangat
kecil apalagi peruntukanya sebagai penunjang operasional
dan kedepanya perlu dijadikan perhatian baik oleh
pemerintah maupun pemerintah kabupaten. Terkait dengan
anggaran kecamatan panimbang dijelaskan pada table
sebagai berikut;
Tabel 9.6
Rumusan Rencana Program dan Kegiatan Pembinaan
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Kecamatan
Panimbang Tahun 2017 dan Prakiraan Maju Tahun 2018
KODE
Urusan/Bida
ng Urusan
Pemerintaha
n Daerah
dan
Program/
Kegiatan
Indikator/
Kinderja
Program/
Kegiatan
Prakiraan Maju Rencana Tahun 2018
Kebutuhan
Dana/Pagu
Indikatif
Sumber
dana
Target
Capaian
Kinerja
Kebutuhan
Dana/Pagu
Indikatif
1 2 3 4 5 6 7
1.20.26.
030.005
Pembinaan
Penyeleng-
garaan
Pemerintahan
Desa/
Kelurahan
25,000,000
-
50,00 %
26,250,000
Jumlah
Monitoring
dan Evaluasi
DAD, Lomba
Desa,
Penyusunan
APBDes,
Monitoring
Raskin
APBD
Sumber: Data diolah kecamatan panimbang 2017
Sekalipun anggaran dianggap kurang bisa
mendukung, Namun kegiatan pembinaan dan pengawasan
kenyataanya tetap dilaksanakan secara kontinu oleh tim
kecamatan. Seperti halnya Pembinaan dan pengawasan
realisasi pembangunan fisik dari anggaran dana desa
sebagaimana dikatakan Informan 7 dari kecamatan
panimbang berikut;
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 137
“......monitoring dan evaluasi terhadap realisasi
pembangunan fisik dilakukan kepada desa yang berada di
wilayah kerja kami sesuai dengan penjadwalan yang ada,
selalu kita pantau pencapaian realisasi sudah sesuai dengan
perencanaan yang sudah dibuat apa belum. Dari ke enam
desa yang kita pantau rata rata melaksanakan pembangunan
fisik dengan baik, namun ada salah satu desa yang sempat
kita berikan teguran di bulan juli lalu akibat mengalami
sedikit keterlambatan dalam pembangunan, namun tadi
siang desa tersebut sudah memberikan laporan
perkembangan realisasi pembangunan fisiknya.....”
(wawancara, Agustus 2017).
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa secara
kontinu kecamatan panimbang menyelenggarakan
pembinaan dan pengawasan pada desa sesuai dengan
penjadwalan yang sudah ditentukan. Dalam hal ini
pembinaan dan pengawasan yang dimaksud salah satunya
adalah kegiatan monitoring dan evaluasi realisasi
pembangunan fisik dana desa tahun anggaran 2017. Tim
kecamatan yang selanjutnya dalam nomenklatur disebut
sebagai tim verifikasi menjalankan kegiatan tersebut atas
dasar penugasan camat melalui Surat tugas Nomor 800/201-
kec.../VII/2017 perihal pelaksanaan monitoring dana desa
tahun 2017 se wilayah kerja kecamatan panimbang. Dari
hasil pelaksanaan diketahui bahwa camat panimbang pernah
melayangkan surat teguran yang didasarkan atas hasil
kegiatan Monitoring dan evaluasi tim Verifikasi tanggal 20
sampai dengan 28 juli 2017, bahwa salah satu desa yaitu
desa Mekar Jaya dinyatakan 95 % pembangunan fisik
belum terealisasi.
Pembangunan fisik yang dimaksud mengacu dari
Surat Edaran Bupati Pandeglang Nomor 601/1474-
PPMPN/2017 tanggal 31 Mei 2017 tentang pedoman umum
pengelolaan dana desa, bahwa ada 10 (sepuluh)
pembangunan yang menjadi prioritas diantaranya
pembangunan taman pintar, posyandu, embung desa, jalan
desa, BUMDesa,Tempat pembuangan sampah, sarana olah
raga, satu desa satu produk, perikanan serta wisata/ sarana
air bersih.
138 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Berikut adalah dokumentasi kegiatan monitoring dan
evaluasi pembangunan fisik dana desa di salah satu desa
mekar jaya kecamatan panimbang;
Gambar 9.8 Taman Baca Masyarakat
Gambar tersebut di atas diambil saat kegiatan Monev
yang dilakukan oleh Tim Kecamatan pada pembangunan
tahap 2 di tahun anggaran 2017. Dari hasil Monev diketahui
realisasi sudah sesuai dengan perencanaan. Yaitu pada
bulan Agustus menurut data yang disampaikan oleh salah
satu tim sudah tercapai dengan besaran 70 % (persen).
Gambar 5.9 Pembangunan Cor Rabat Beton
Gambar tersebut merupakan gambar yang diambil
saat Tim kecamatan melakukan monitoring dan evaluasi
dan pada kesempatan itu peneliti meminta izin untuk ikut
menyaksikan kegiatan monev. Dari informasi yang
diperoleh realisasi cor rabat beton tersebut baru terealisasi
seminggu sebelum tim datang ke lapangan. Sempat ada
teguran dari Tim kecamatan terkait keterlambatan
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 139
realisasinya. Sebagaimana pada hasil monev bulan Juni
realisasi masih 0 %.
Gambar 9.10
Papan Informasi Kegiatan Pemeliharaan Jalan Desa
Gambar di atas merupakan gambar papan informasi
kegiatan sebagaimana prosedur yang memang harus
dilakukan dalam rangka menjalankan prinsip transparansi
dan akuntabilitas publik. Dari gambar papan informasi
tersebut diperoleh informasi nama kegiatan pengadaan,
pembangunan pengembangan jalan desa, Jenis pekerjaan
adalah cor rabat beton, selanjutnya ada keterangan volume,
lokasi, biaya, sumber dana, tahun anggaran dan pelaksana.
Gambar 9.11
Papan Informasi Kegiatan Pembangunan Taman Baca
Masyarakat
Gambar di atas merupakan gambar-gambar yang
sama yaitu papan informasi kegiatan namum pada jenis
140 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kegiatan yang berbeda. Dari gambar papan informasi
tersebut diperoleh informasi nama kegiatan pengadaan,
pembangunan taman baca masyarakat, Jenis pekerjaan
adalah Pembangunan Taman baca masyarakat, selanjutnya
juga sama ada keterangan volume, lokasi, biaya, sumber
dana, tahun anggaran dan pelaksana.
Dikonfirmasi lebih lanjut pada desa Mekar Jaya
kecamatan panimbang terhadap pelaksanaan realisasi
pembangunan fisik Dana desa tahun anggaran 2017 tahap
pertama, berkaitan dengan kendala yang dialami, sehingga
kemungkinan ketidaksesuaian antara target perencanaan
dengan realisasi. Sebagaimana dikatakan oleh Informan 14
mengatakan sebagai berikut;
“....pada tahap pertama kemarin ada kendala yang kita
alami, harusnya bulan agustus terselesaikan, tapi meleset
sedikit, karena masalah pengiriman matrial, musim kemarau
kurang air, tenaga kerja dari unsur masyarakat masih pada
musim panen....” (wawancara, Agustus 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa argumen
yang dinyatakan sebagai kendala dalam realisasi
pembangunan fisik tersebut, menurut hemat peneliti
bukanlah argumen yang dapat ditolerir, karena hal-hal
semacam itu sejatinya sesuatu hal yang sudah harus
diperhitungkan dan dianalisis terlebih dahulu sebelum
realisasi pembangunan fisik dilaksanakan dalam dokumen
perencanaannya oleh PTPKD (Pelaksana Teknis
Pengelolaan Keuangan Desa), karena dalam sistem
pengawasan, atas kinerja anggaran desa, paradigma
kacamata kuda lah yang digunakan. Mudahnya realisasi
fisik tidak sesuai dengan kesepakatan dan perencanaan,
berarti desa dianggap tidak menjalankan dengan baik
realisasinya. Sehingga hal itu membuat kecamatan harus
bekerja keras, untuk selalu mendampingi Pengelolaan dana
dalam hal perencanaan, realisasi fisik serta
pengakuntabilitasan berupa pengadministrasian LPJ
(Laporan Pertanggungjawaban) termasuk memberikan
Pembinaan yang sifatnya mencegah dari berbagai hal yang
dianggap kontraproduktif terhadap kepatuhan atas rambu-
rambu yang diamanatkan dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang dana desa.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 141
Terkait dengan rambu rambu Peraturan perundang
undangan. Diketahui bahwa pada Peraturan Bupati
Pandeglang Nomor. 24 Tahun 2015 secara operasioanal
telah mengatur dan menegaskan kekuasaan yang dimiliki
kepala desa pada pengelolaan keuangan desa serta
kedudukan kepala desa sebagai wakil Pemerintah desa
dalam kepemilikan kekayaan milik desa yang dipisahkan.
Artinya Peraturan Bupati tersebut menjelaskan bahwa
kepala desa berwenang untuk menetapkan kebijakan dalam
pelaksanaan APBDes, menetapkan Pelaksana Teknis
Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD) yang dikoordinatori
oleh sekretaris desa dan beranggotakan perangkat desa
lainnya. Adapun digambarkan sebagai berikut;
Gambar 9.12
Kekuasaan Kepala Desa Dalam Tata Kelola Keuangan Desa
Sumber: Data diolah peneliti 2017
Lebih lanjut dalam rangka pengendalian
implementasi kekuasaan kepala desa pada penatakelolaan
keuangan desa. Secara operasional Peraturan Bupati Nomor
6 tahun 2017 telah mengatur sanksi berupa penundaan
penyaluran dana desa jika kepala desa belum menyerahkan
dokumen peraturan desa tentang APBDes pada Bupati pada
pencairan tahap 1. Sedangkan ketentuan untuk pencairan
tahap 2 laporan realisasi penggunaan anggaran tahap 1 telah
disampaikan oleh kepala desa pada bupati dengan
penggunaan dana tidak kurang dari 50%. Jika hasil
monitoring dan evaluasi terjadi SILPA (Sisa Lebih
142 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Penggunaan Anggaran) di Rekening Kas Desa (RKD) lebih
dari 30% pada tahun anggaran sebelumnya, maka Bupati
dapat memerintahkan inspektorat kabupaten melakukan
pemeriksaan. Jika ditemukan indikasi kesalahan, maka
inspektorat dapat mengusulkan penundaan penyaluran dana
desa tahun anggaran berikutnya
Gambar 9.13
Mekanisme Pengendalian Pengelolaan Dana Desa
Sumber: Data diolah peneliti 2017
Dari hasil olah data diketahui bahwa kendala yang
dihadapi desa bermacam-macam, diantaranya curah hujan
yang tinggi sehingga penyelesaian pekerjaan terhambat,
kemudian kepala desa yang meninggal dunia, pengunduran
diri dan pergantian perangkat desa sehingga informasi
progress pekerjaan terputus. Dari 33 kecamatan yang
wilayah kerjanya terdiri dari desa, pada tahun anggaran
2017 rata-rata terdapat 1 hingga 2 desa mengalami SILPA
(Sisa Lebih Penggunaan Anggaran) lebih dari 30 % pada
tahun anggaran sebelumnya dan penggunaan anggaranya
kurang dari 50 % pada realisasi tahap 1 sebanyak 10 desa
atau 3,1% dari total 326 desa yang ada di kabupaten
Pandeglang.
Terkait dengan yang dijelasakan pada kutipan
wawancara tersebut sebetulnya ketidakcakapan aparat desa
terhadap hal teknis yang mengakibatkan terhambatnya
pencairan dana desa, pada dasarnya tidak sepenuhnya
menjadi tanggung jawab perangkat daerah teknis dalam hal
ini DPMPD (Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintahan Desa). Namun dalam kaitanya kewenangan
membina dan mengawasi hal itu juga merupakan tanggung
jawab kecamatan sebagai perangkat daerah kewilayahan.
Adapun inisiatif yang sebetulnya dapat diambil oleh
kecamatan dalam mengatasi permasalahan semacam itu.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 143
Semisal camat menginisiasi dengan memerintahkan staf
pelaksananya untuk mendalami kemampuan teknis
pengoperasian Siskeudes guna memberikan tutorial secara
privat pada pelaksana di tingkat desa yang dianggap belum
cakap mengoperasikan. Intinya inisiatif-inisiatif semacam
itu sangat mungkin diambil di tingkat kecamatan.
Selain asumsi ketidak cakapan perangkat desa. Pada
penyelenggaraan Verifikasi, pembinaan dan pengawasan
tim kecamatan tidak diimbangi dengan tim di internal yang
berkompeten dalam bidang pembangunan fisik. Mengingat
keterbatasan kompetensi SDM di desa, kecamatan juga
mengeluhkan keberadaan pendamping desa dari
kementerian yang dianggap kurang memiliki kompetensi
dalam menjalankan kapasitasnya mendampingi pengelolaan
serta realisasi dana desa pada pembangunan fisik,
sebagaimana dikatakan oleh Informan 9 dari Kecamatan
Labuan sebagai berikut;
“…..di sini kapasitasnya sebagai tim pembinaan dan
pengawasan pemerintahan desa, seperti pembinaan pada
masalah pajak, ADD dan dana desa, namun dalam
pelaksanaanya saya mengatakan belum maksimal karena
memang keterbatasan SDM di desa jadi kita mau tegas juga
bagaimana SDM di desa belum mumpuni…” (wawancara,
Agustus 2017)
Terkait dengan itu Informan 11 dari Kecamatan
Labuan mengatakan;
“…pelimpahan yang diberikan oleh camat pada para kasi
misalnya dalam Verifikasi dana desa dan ADD kami merasa
baik SDM kami dan desa belum memadai. Seperti contoh
dalam hal verifikasi saja cara kerja kita hampir rata-rata apa
yang sudah disetujui di kabupaten kita di sini tinggal paraf.
Mau memverifikasi bidang teknis bagaimana, baik tim dari
kecamatan maupun pendamping desa dari pusat juga tidak
pernah dibekali kemampuan untuk itu. Kan namanya Tim
teknis harus menguasai bidangnya. Seperti saya ini kalau
harus memverifikasi pembangunan rabat beton, setidaknya
saya harus tau dan faham Tenis bidang itu. Kalau kami ngga
tau apa yang harus diverifikasi…... Ya paling kami hanya
faham sisi administrasinya saja seperti ohh pajaknya belum
dibayarkan, untuk proposal yang akan datang LPJ periode
144 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kemarin harus ada. Paling dari sisi itu saja. Jadi intinya
kerja kami yang penting komunikasi dengan Kabupaten
selesai mau ngga mau kami paraf di sini kalau terkait teknis
pembangunan....” (wawancara, Agustus 2017)
Hal senada juga dikatakan informan 6 dari
kecamatan panimbang sebagai berikut:
“Pendamping desanya saya kira harusnya kalau tidak teknik
sifatnya administratif lah, tapi yang pendamping desa ini
teknis tidak administrasi bukan jadi tidak begitu nyambung
dengan desa.” (wawancara, Agustus 2017)
Wawancara tersebut, menjelaskan bahwa selain tidak
berfungsinya pemdamping desa, minimnya kemampuan
SDM baik di desa maupun tim kecamatan, utamanya dalam
bidang teknik sebetulnya membuat tidak efektifnya
penyelenggaraan pembinaan dan pengawasan pada
pemerintah desa. Tidak adanya tim di kecamatan yang
berkompeten dalam bidang teknik akhirnya menjadikan tim
kecamatan hanya berfokus pada kelengkapan administrasi.
Sedangkan untuk Verifikasi bidang tekniknya kecamatan
memiliki ketergantungan dengan tim kabupaten. Di satu sisi
keberadaan pendamping desa dari kementerian pada
awalnya diharapkan mampu membantu kecamatan untuk
mengawal dan mendampingi desa pada seluruh proses
pengelolaan dana desa. Namun kenyataanya semua itu tidak
berjalan karena asumsinya pendampin desa tidak
berkompeten sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan
fungsi sebagaimana mestinya.
Dari penjelasan di atas semua merupakan sebab
akibat dan kebuntuan komunikasi antar pihak yang
berkepentingan, Kecamatam memiliki argumen tersendiri
tentang pendamping desa, begitu juga sebaliknya dari pihak
pendamping desa pada kecamatan. Argumentasi wawancara
di atas perihal ketidak kompetenan pendamping desa dalam
menjalankan tugas dan fungsinya serasa disikapi sepihak
oleh pemerintah kabupaten. Sehingga melalui dinas
teknisnya melakukan trobosan merekrut konsultan
independen dan mengambangkan keberadaan pendamping
desa yang ada. Alhasil muncul konflik antar kedua belah
pihak yang itu pada akhirnya membawa pada hal yang
kontraproduktif terhadap perwujudan kemajuan,
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 145
kesejahteraan dan kemandirian desa sesuai amanat Undang-
undang Nomor 6 Tahun 2014.
Berkaitan dengan itu Informan 15 dari Pendamping
Desa Kecamatan mengatakan ;
“Dari Kementerian pendamping itu ada Pendamping Lokal
Desa (PLD), Pendamping Desa Pemberdayaan Masyarakat
(PDP), Pendamping Desa Teknik Infrastruktur, Kerja kami
melakukan pendampingan realisasi dana desa dari tahap
awal perencanaan hingga proses akhir yaitu pelaporan
pertanggungjawaban… Permasalahan itu sebetulnya diawali
ketidak sinkronan acuan yang dipakai antara pemerintah
kabupaten dengan kementerian Desa, sehingga kami dengan
acuan dari kementerian dan kabupaten mengacu dari BPKP,
makanya dengan kami tidak memiliki kemampuan sesuai
dengan standar BPKP seperti adanya SIskeudes (Aplikasi
Sisten Keuangan Desa) kami sepertinya dianggap kurang
memiliki peranan dalam proses pendampingan desa.
Dengan kondisi seperti itu sepihak dari pemerintah
kabupaten melakukan perekrutan konsultan independen.
(wawancara, September 2017)
Sedangkan Informan 12 dari Komisi I DPRD
Kabupaten Pandeglang mengatakan;
“Ada, seperti kemarin Pemdes mengeluarkan surat edaran
konsultan pembangunan desa, padahal konsultan
pembangunan desa sudah ada yang di danai oleh Kemendes.
Tetapi Pemdes mengadakan konsultan lagi. Nah kenapa
Pemdes seperti itu ? Pemdes tidak bersinergi dengan
konsultan resmi yang di SK kan oleh Kemendes, jadi
mereka buat konsultan lagi, tetapi motifnya sudah bisa kita
baca, biasalah untuk mengamankan itu pembangunan kira-
kira supaya tidak masuk ke kantong kepala desa sendiri….
Cenderng objektif memang, dan mereka sesuai prosedur
saja, kerjanya lurus. Jadi karena tidak bisa dikendalikan
yang konsultan dari Kemendes itu, mereka tidak
difungsikan dan membentuk konsultan lain . Alhamdulillah
karena kemarin keburu diserang oleh semua pihak, akhirnya
dibatalkan walaupun sudah jalan separuh. Itu salah
satunya.” (wawancara, November 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa terdapat
argumentasi yang berbeda-beda antara perangkat daerah
146 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kecamatan, Pendamping desa dan DPRD. Pada akhirnya
ketika peneliti dapat mempersepsikan hal itu, pada dasarnya
terjadi ketidak saling tahuan atas kebutuhan dari masing-
masing pihak yang sebetulnya jika komunikasi terbangun
dengan baik maka bisa dibawa pada solusi bersama.
Misalnya karena kecamatan mengetahui apa yang
dibutuhkan dan menjadi hambatan pendamping atas ketidak
sinkronan acuan yang dipakai antara desa dengan
pendamping, setidaknya camat bisa memfasilitasi melalui
kewenanganya untuk mengusulkan pelatihan pada dinas
teknis atau kepada bupati, sehingga konflik yang tejadi
akibat terkotaknya pada argumen masing-masing tidak akan
terjadi jika camat mau aktif mendayagunakan kapasitas
yang dimiliki untuk menyelesaikan permasalahan itu.
Realisasi dana desa tahun anggaran 2017 idealnya
harus lebih baik pelaksanaanya dari tahun sebelumnya.
Pelaksanaan yang baik adalah pelaksanaan yang
mengedepankan tercapainya target dan kepatuhan terhadap
peraturan yang berlaku. Maka daripada itu kewenangan
pembinaan pengawasan bahkan pengendalian merupakan
sebuah keniscayaan yang harus ada agar pelaksanaan
pengelolaan dana desa menjadi baik pada setiap tahun
anggaranya. Sebagai pembanding adapun capaian realisasi
pelaksanaan anggaran desa di kabupaten pandeglang pada
tahun 2016, capaian realisasi anggaran dana desa di setiap
tahun anggaran memberikan gambaran baik atau tidaknya
pelaksanaan. Adapun laporan pelaksanaan anggaran dana
desa TA 2016 sebagai berikut;
Tabel 9.7
Laporan Pelaksanaan Anggaran Dana Desa TA 2016
Pagu Anggaran Rp
205,556,472,000
Realisasi :
1. Bidang Pelaksanaan Pembangunan Rp 99,946,867,355
2. Bidang Pembinaan Pemasyarakatan Rp 248,131,400
3. Bidang Pemberdayaan Masyarakat Rp 5,111,426,045
SALDO Rp 250,047,200
Capaian Realisasi Sebesar 99,88%
Sumber : Data diolah Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintahan Desa 2017
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 147
Dari tabel di atas dijelaskan bahwa dalam laporan
pelaksanaan anggaran dana desa TA 2016 pagu anggaran
Rp 205,556,472,000 dengan rincian realisasi (1) Bidang
Pelaksanaan Pembangunan Rp 99,946,867,355, (2) Bidang
Pembinaan Pemasyarakatan Rp 248,131,400 (3) Bidang
Pemberdayaan Masyarakat Rp 5,111,426,045 dan saldo Rp
250,047,200. Sehingga capaian realisasi keuangan sebesar
99,88 %. Selain Laporan Pelaksanaan Anggaran, adapun
hasil kegiatan dana desa TA 2016 sebagai berikut ;
Tabel 9.8
Hasil Kegiatan Dana Desa TA 2016
No Kegiatan Volume Satuan
1 Rehab Posyandu 48 Gedung
2 Pembangunan Pos Yandu 233 Gedung
3 Sarana dan Prasarana Pos
Yandu 12 Unit
4 Pembangunan Jalan Desa
Paving Blok spek T8
872 Lokasi
5 Pembangunan Jalan Desa
Paving Blok spek T6
122 Lokasi
6 Pembangunan Jalan 22 Lokasi
7 Taman Pintar 255 Unit
8 Tempat Pembuangan Sampah 232 Unit
9 Pembangunan Sarana Olah
Raga Meliputi; Lapangan sepak
bola, Lapangan Volly Ball,
Tenis Meja, Lapangan Bulu
Tangkis, Lapangan Futsal,
186 Unit
10 Pembelian Alat Olahraga 100 Unit
12 BUMDes 33 Unit
Sumber : Data diolah Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintahan Desa 2017
Dari Tabel di atas diketahui bahwa hasil kegiatan
dana desa tahun 2016 yang meliputi rehab posyandu
sebanyak 48 gedung, pembangunan pos yandu sebanyak
223 gedung, Sarana dan prasarana pos yandu sebanyak 12
unit, pembangunan jalan desa paving blok spek T8 872
lokasi, pembangunan jalan desa paving blok spek T6 122
lokasi pembangunan jalan sebanyak 22 lokasi, taman pintar
148 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
sebanyak 255 unit, tempat pembuangan sampah 232 unit,
pembangunan sarana olahraga sebanyak 186 unit meliputi;
lapangan sepak bola, lapangan volly ball, tenis meja,
lapangan bulu tangkis, lapangan futsal, pembelian alat
olahraga 100 unit, BUMDes sebanyak 33 unit.
Berdasarkan penjelasan tabel di atas jika
dibandingkan realisasi dana desa tahun 2016 lebih baik
tingkat ketercapaianya dibandingkan pada tahun 2017 hal
tersebut terlihat dari capaian tahun 2016 sebesar 99,88%.
Artinya seluruh seluruh anggaran terserap dan
pembangunan fisik seluruhnya terealisasi. Berbeda dengan
realisasi tahun 2017 sebagaimana sudah dijelaskan pada
Tabel 5.1 pembangunan embung desa yang ditargetkan
dibangun 150 bangunan hanya terealisasi 148 bangunan.
Dari situ bisa terlihat bahwa realisasi tahun 2016 lebih
tinggi pencapaianya dibandingkan tahun 2017.
Terkait dengan anggaran dana desa 2017 serta Surat
Edaran Bupati Pandeglang Nomor 601/1474-PPMPN/2017
tentang 10 program prioritas pembangunan yang harus
dilaksanakan desa. Berdasarkan hasil penelitian diketahui
bahwa awal ditetapkan banyak menuai protes dari desa yang
diwakili oleh APDESI (Asosiasi Perangkat Desa Seluruh
Indonesia) Pandeglang dengan alasan 10 program prioritas
tersebut dinilai kurang merepresentasikan karakteristik dan
kebutuhan desa. Selain itu program prioritas tersebut juga
dinilai bertentangan dengan RKPDes (Rencana Kerja dan
Pembangunan Desa) yang telah ditetapkan oleh masing-
masing desa. Menyikapi itu Informan 12 dari Komisi I
DPRD Pandeglang mengatakan;
“…sementara ada beberapa desa yang tidak relevan begitu.
Kalau desa dipegunungan dan di tengah hutan kan sampah
mereka masih di bakar di depan rumah. Kemudian kalau di
daerah-daerah persawahan kan ga pengaruh jika pakai
konblok, tanahnya kalau musim hujan lembek , kalau
musim kemarau keras. Kalau musim hujan ada mobil
kesana sehebat apapun konblok akan ambles, jadi kan tidak
pengaruh, Berarti solusinya adalah tidak semua
pembangunan digeneralisir oleh kabupaten. Harus bupati
melihat tipologi pembangunan masayarakat desa, atau
tipologi desa lah secara umumnya…. Saya kira memang ga
di kaji lagi, jadi dia terobsesi mungkin dengan keinginannya
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 149
saja, Pandeglang Smart City, Pandeglang Pariwisata,
percepatan pembangunan, latah tanpa sebuah perhitungan
dan kajian yang matang. Jadi memang perlu suara
pemilikan harus siap dan mendengar kritik atau di kritik
oleh seluruh masayarakat. Dan kalau saya lihat juga unsur
itu tidak hanya unsur latah, ada unsur politik yang cukup
tinggi, ada tekanan bayangan tak terlihat. Ya seperti itulah
bayangan yang tidak terlihat begitu, yang kekuatannya bisa
mencengkram itu. Bisa mencengkram kebijakan bupati. Ya
artinya kan kita sebagai politisi wajar kalau berburuk
sangka karena sebagai fungsi penyeimbang untuk hal-hal
yang positif dan benar. Intinya kalau bawahan itu
tergantung atasan, Jadi bawahan tu tergantung patronnya.
Kalau posisi DPRD kan tidak diposisi langsung dengan
pelanggaran, hanya bisa menjelaskan budgeting saja
melaksanakannya kita tidak bisa. Kita tidak teriak-teriak
begitu saja . Kita hanya bisa di forum-forum resmi kita
lakukan misalnya di media, tetapi aktifitasnya kurang begitu
kuat. (wawancara, November 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa seharusnya
tidak semua pembangunan digeneralisir oleh kabupaten.
Bupati harus melihat tipologi pembangunan masayarakat
desa, atau tipologi kecamatan secara umum. Namun
kenyataanya bupati tidak mau menganulir dan menganggap
kebijakan yang diambil dan dituangkan dalam surat edaran
tersebut dianggap sudah tepat dan harus dilaksanakan
dengan alasan menjalankan amanat Permendes Nomor 22
tahun 2016 yang tujuanya agar pembangunan terarah. Pada
akhirnya desa lah yang mengalah dengan meriview isi
RKPDes dan memasukan 10 program prioritas tersebut.
Dalam hal ini beberapa pihak dalam posisi yang dilematis.
Desa tidak mungkin tidak mereview RKPDes nya terancam
akan tidak turunya anggaranya di tahun 2017. Sedangkan
kecamatan juga dalam posisi harus mengawal kebijakan
yang sudah dituangakan dalam Surat Edaran Bupati
Pandeglang Nomor 601/1474-PPMPN/2017 tentang 10
program prioritas pembangunan. Sekalipun muncul sebuah
pertanyaan apakah camat tidak memberikan masukan pada
Bupati saat perumusan surat edaran tersebut ataukah sudah
memberi masukan namun tidak dipertimbangkan oleh
150 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
bupati. Namun pada akhirnya kenyataan yang ada surat
edaran itu tidak dianulir. Maka mau tidak mau dan suka
tidak suka baik pemerintah desa dan kecamatan harus
mampu mengawal pelaksanaanya dengan baik dan
menjadikan surat edaran sebagai acuan dalam pembinaan
dan pengawasan realisasi anggaran dana desa tahun
anggaran 2017.
Berdasarkan uraian di atas dalam kaitanya dengan
kewenangan pembinaan dan pengawasan kecamatan pada
penyelenggaraan pemerintahan desa di kabupaten
pandeglang dengan segenap kompleksitasnya maka
digambarkan kondisi eksisting pembinaan dan pengawasan
kecamatan pada penyelenggaraan pemerintahan desa
sebagai berikut;
Gambar 9.14
Kondisi Eksisting Pembinaan dan Pengawasan Kecamatan Pada
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa di Kabupaten Pandeglang
Sumber : Data Diolah Peneliti 2017
d. Pelaporan dan Evaluasi Penyelenggaraan Kewenangan
Camat/Kecamatan
1) Mekanisme Pelaporan dan Evaluasi
Unsur-Unsur Perangkat daerah/organisasi perangkat
daerah Kabupaten Pandeglang pada dasarnya terbagi atas
dinas selaku penyelenggara kewenangan Bupati atas urusan
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 151
pemerintahan daerah yang terkait dengan bidangnya serta
badan sebagai Techno Structure atau pembantu kepala
daerah, yang mana pembedanya adalah jika dinas
memberikan pelayanan secara langsung kepada masyarakat
sedangkan badan tidak. Maka di sinilah kecamatan sebagai
perangkat daerah kewilayahan dalam menyelenggarakan
kewenangan koordinasi, fasilitasi, pembinaan/pengawasan
serta kewenangan lainya secara administratif tidak akan
terlepas dengan perangkat daerah terkait dalam menyeleng-
garakan kewenangan kecamatan itu sendiri. Pada Peraturan
Bupati Nomor 24 Tahun 2013 Tersebut dijelaskan bahwa
mekanisme Pelaporan dan evaluasi pelaksanaan
kewenangan camat diatur pada pasal 7 ayat (1) yang
berbunyi Kepala Dinas, Kepala Badan, Kepala Kantor yang
membidangi sebagian wewenang yang dilimpahkan kepada
Camat, wajib memberikan pembinaan dan bimbingan teknis
terhadap penyelenggaraan kewenangan yang dilimpahkan
kepada Camat. Pasal (2) Pelaksanaan sebagian kewenangan
yang dilimpahkan kepada Camat harus dilaporkan secara
berkala kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah setiap
triwulan dan akhir tahun. Pasal (3) Pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai bahan
pertimbangan Bupati untuk mengevaluasi penyelenggaraan
kewenangan yang dilimpahkan kepada Camat setiap
tahunnya, dan Pasal (4) Pelaporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi aspek: a. Ketepatan waktu; b.
Penyerapan anggaran; c. Ketepatan sasaran; d. Ketepatan
hasil.
Berdasarkan penjelasan Peraturan Bupati tersebut
peneliti mencoba menggambarkan alur pelaporan sebagai
berikut;
152 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Keterangan ;
1 Hirarki Sempurna :
2. Fungsi Koordinasi :
Gambar 9.15
Pelaporan Kinerja Penyelenggaraan Kewenangan
Camat/Kecamatan Pada Bupati
Sumber : Data Diolah Peneliti 2017
Sedangkan terkait dengan evaluasi pada Pasal 8 ayat
(1) dijelaskan bahwa evaluasi terhadap sebagian
kewenangan yang dilimpahkan kepada Camat akan
dilaksanakan setiap triwulan dan akhir tahun. Evaluasi
dilaksanakan berdasarkan laporan triwulan dan akhir tahun
yang dikirimkan oleh Camat serta hasil monitoring
lapangan. Lebih lanjut pada ayat (3) Monitoring lapangan
dilaksanakan oleh Tim Monitoring yang ditetapkan dengan
Keputusan Bupati.
Adapun tidak lanjut dari hasil evaluasi sebagaimana
dijelaskan pada ayat (4) Apabila dalam hasil evaluasi
triwulan I ada Camat yang menunjukkan perkembangan
tidak baik dalam pelaksanaan sebagian kewenangan yang
dilimpahkan, maka Tim Monitoring melaksanakan
pembinaan kepada Camat dimaksud. Selanjutnya pada ayat
(5) Apabila hasil evaluasi triwulan ll tidak juga
menunjukkan perkembangan yang baik setelah adanya
pembinaan maka Tim Monitoring akan memberikan kajian
kepada Bupati guna mencabut kewenangan yang
dilimpahkan kepada Camat dimaksud untuk kemudian
ditarik kembali kepada Perangkat daerah yang menangani
kewenangan tersebut.
Pada ayat (6), hasil evaluasi dikategorikan tidak baik
apabila (a). tidak adanya ketepatan waktu dalam pencapaian
program/kegiatan di setiap triwulan sampai dengan akhir
tahun. (b) tidak terwujudnya efisiensi dan efektifitas
anggaran dalam pelaksanaan program/kegiatan. (c) tidak
terwujudnya ketepatan sasaran dalam pelaksanaan
progam/kegiatan. (d) tidak terwujudnya ketepatan hasil
dalam pelaksanaan program/ kegiatan. Adapun pelaksanaan
evaluasi digambarkan sebagai berikut;
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 153
Keterangan:
1. Hirarki Sempurna Perintah dan Pelaporan :
2. Fungsi Koordinasi dan Pembinaan :
Gambar 9.16
Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Kewenangan Camat/
Kecamatan
Sumber: Data Diolah Peneliti 2017
2) Pelaporan Kinerja Penyelenggaraan Kewenangan
Camat/Kecamatan
Berdasarkan wawancara yang dilakukan di salah satu
kecamatan, menurut Informan 3 dari kecamatan Karang
Tanjung mengatakan bahwa ;
“Jadi untuk pembinaan dan pengawasan terhadap
kecamatan dari wewenang yang dilimpahkan oleh bupati
secara rutin selalu dilakukan oleh dinas teknis dalam
kegiatan rapat koordinasi, bahkan pelaporan atas
kewenangan yang dilimpahkan kami dan kecamatan yang
154 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
lain tidak per tri wulan melainkan setiap bulan dilaporkan
pada Asisten I bidang pemerintahan. Jadi kita memang
hirarki ya untuk masalah pertanggungjawaban kerja kami
dari kewenangan yang telah dilimpahkan tidak langsung ke
Bupati tapi ada Asisten I Bidang pemerintahan melalui
kepala bagianya, kemudian naik ke atas Sekretaris daerah
hingga Bupati.” (wawancara, Agustus 2017).
Hal senada juga dikatakan Informan 10 dari
kecamatan Labuan sebagai berikut;
“Sekarang mah online setiap bulan. Jadi yang kita laporkan
tiap bulan pak, banyak yang kita laporkan mulai
kependudukan, imunisasi, kebakaran dan masih banyak
lagi.” (wawancara, Agustus 2017).
Lebih lanjut Informan 9 yang juga dari kecamatan
Labuan mengatakan;
“Dari pelaksanaan administrasi kita kita pernah dapat
teguran dan paling paling sekarang terfokusnya pada
masalah pembangunan terutama realisasi pembangunan
Dana desa terkait TLHP (Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan)
yang dilakukan kecamatan maupun pemeriksaan secara
bersama sama antara Tim Kabupaten dengan Kecamatan.”
(wawancara, Agustus 2017).
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa pembinaan
dan pengawasan terhadap kecamatan dari wewenang yang
dilimpahkan oleh bupati secara rutin selalu dilakukan oleh
dinas teknis dalam kegiatan rapat koordinasi. Dalam
pelaksanaanya pembinaan dari pemerintah kabupaten pada
kecamatan saat ini lebih memprioritaskan pada kewenangan
pembinaan dan pengawasan dana desa lalu disusul pada
kewenangan-kewenangan kecamatan yang lainya.
Kemudian untuk pelaporan dokumen kinerja penyelang-
garaan kewenangan camat/kecamatan tidak lagi setiap 3
bulan sekali sebagaimana diamanatkan dalam peraturan
bupati Nomor 24 Tahun 2013. Namun pelaporan kinerja
dilaporkan setiap bulan pada Bupati melalui Asisten I
bidang pemerintahan.
Diketahui dari dokumen pelaporan baik secara online
maupun cetak kinerja kecamatan sebagaimana dicontohkan
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 155
pada Surat Pengantar No : 100/ 213- kec/VII/2017
pelaporan kinerja kecamatan panimbang yang ditujukan
Kepada Bupati Pandeglang Cq Kepala Bagian Tata
Pemerintahan jenis-jenis laporan yang dikirim meliputi (1)
Kegiatan Harian Camat, (2) Daftar Hadir/ Absensi Pegawai,
(3) Rekapitulasi Daftar Hadir Pegawai, (4) Data
kependudukan, (5) Laporan Keadaan Kamtibmas, (6)
Laporan izin keramaian dan hiburan, (7) Daftar Harga
Sembako, (8) Laporan pencapaian KB, (9) Laporan
N.T.C.R, (10) Laporan imunisasi. Item yang dilaporkan
tidak berbeda dengan kecamatan-kecamatan lain seperti
halnya yang dilaporkan oleh kecamatan Karang Tanjung,
Pendeglang, Labuan dan Majasari. Adapun laporan kinerja
pada penyelenggaraan kewenangan pembinaan dan
pengawasan realisasi dana desa pada pembangunan fisik
serta PATEN sebagaimana dicontohkan laporan
penyelenggaraan PATEN kecamatan pandeglang melalui
surat pengantar Nomor 045.4/166-kec.pdg/2017 yang isi
laporanya menjelaskan jumlah transaksi pelayanan yang
sudah dilaksanakan pada masing masing item pelayanan
baik perizinan maupun non perizinan.
Menurut hemat peneliti, dari dokumen dan item
pelaporan yang ada belum merepresentasikan terlaksananya
penyelenggaraan koordinasi dan fasilitasi pada kewenangan
bupati atas urusan pemerintahan daerah yang dilimpahkan
pada camat/kecamatan sebagaimana yang secara eksplisit
diamanatkan dalam Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2013
maupun peraturan yang lainya.
Terkait dengan itu dicontohkan pada keberadaan UPT
(Unit Pelaksana Teknis) sebagai Unit pelaksana
administrasi perangkat daerah dinas/badan di tingkat
Kecamatan, seperti UPT Kesehatan, Pendidikan, BP3AKP,
Pertanian, Pertanian. Kecamatan melaksanakan atau tidak
koordinasi pada kewenangan kewenangan tersebut akan
terlihat terlihat dari dokumentasi laporan kinerjanya.
Namun kenyataanya belum keseluruhan dari kewenangan
yang dimiliki kecamatan didokumentasikan dan dilaporkan.
Lebih lanjut mengacu pada pasal 7 ayat (1) dan ayat (2)
Peraturan bupati Nomor 24 Tahun 2013 tersebut dijelaskan
bahwa Perangkat daerah teknis diharuskan melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap wewenang yang
156 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
dilimpahkan oleh bupati dan pasal (2) kecamatan
diwajibkan memberikan laporan secara periodik kepada
bupati melalui sekretaris daerah. Yang terjadi dokumen
laporan kinerja kecamatan belum menyentuh pada pada
keseluruhan bidang kewenangan, maka artinya tidak seluruh
perangkat daerah teknis melakukan pembinaan dan
pengawasan atas pelaksaanaan kewenangan yang relevan
dengan kewenanganya karena tidak adanya dokumen
pelaporan kinerja dari kecamatan. Contoh diketahui
kecamatan melaporkan Laporan pencapaian KB, Laporan
N.T.C.R, Laporan imunisasi. Berarti kewenangan bidang
kesehatan dilaksanakan oleh kecamatan dan dinas kesehatan
melakukan pembinaan serta terjalin koordinasi dengan UPT
kecamatan hingga kecamatan dapat melaporkan
pelaksanaan kewenangan tersebut. Begitu juga dengan
Perizinan di bawah 100 Meter persegi dilaporkan oleh
kecamatan artinya BPMPPTSP melakukan pembinaan atau
minimalnya koordinasi sehingga kewenangan tersebut
terlaksana. Berbeda dengan kewenangan yang lainya seperti
pariwisata, pendidikan jika tidak ada dokumen pelaporan.
Hal tersebut mengindikasikan jika dinas pendidikan dan
dinas pariwisata belum secara efektif melaksanakan
pembinaan sehingga kewenangan tersebut belum
terselenggarakan oleh kecamatan.
Sebagaimana dijelaskan pada pasal 7 ayat (3)
pelaporan kinerja kewenangan camat sejatinya oleh bupati
difungsikan sebagai bahan pertimbangan untuk
mengevaluasi penyelenggaraan kewenangan camat setiap
tahunya. Berkaitan dengan belum dilaksanakan amanat
peraturan bupati tentang kewenangan bupati atas urusan
pemerintahan daerah yang dilimpahkan pada camat/
kecamatan, serta belum efektifnya pelaksanaan monev/
pembinaan kinerja camat, yang mana dari hasil monitoring
dan evaluasi tersebut bupati dapat mengambil keputusan
mencabut dan menambahkan kewenangan pada camat/
kecamatan. Setelah melakukan konfirmasi pada Informan 1
dari Bagian Pemerintahan mengatakan;
“…sebetulnya peraturan pelimpahan wewenang tersebut
ditetapkan pada tahun 2013 saat pertama kali kabupaten
pandeglang melaksanakan PATEN…untuk pelaporan
kinerja camat memang saat ini camat melaporkanya setiap
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 157
bulan. Namun untuk monitoring dan evaluasi yang
dilakukan oleh Tim sesuai dengan ketentuan peraturan
bupati tidak seintens tahun pertama awal pelaksanaan
PATEN. Saat ini cukup dilaksanakan satu tahun sekali,
karena asumsi kami kecamatan sudah sudah memahami apa
yang harus mereka kerjakan” (wawancara, Oktober 2017).
Berkaitan dengan itu dalam hal pelimpahan
wewenang pada dasarnya merupakan sebuah kewajiban
bagi pemerintah daerah. Tidak hanya pada melimpahkanya
saja namun pada konsistensi menjalankan. Hal itu
sebagaimana dikatakan oleh Informan 19 dari Direktorat
Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian
Dalam Negeri.
“…. RPP kecamatan amanat Undang-undang No 23 tahun
2014, dasarnya kecamatan itu dijadikan sebagai garda
terdepan pembangunan dari wilayah pinggiran. Serta dalam
penguatan kecamatan kedepan di kabupaten / Kota wajib
ada kepastian pelimpahan wewenang pada pelayanan dasar.
Perlu diingat juga bagi daerah bahwa kecamatan itu
Perangkat daerah, maka pelimpahan wewenang harus
didukung APBD layaknya perangkat daerah yang lain…”
(wawancara, Oktober 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwasanya
kepastian atas pelimpahan wewenang menjadi suatu
tuntutan yang wajib dilaksanakan pemerintah daerah.
Kepastian disini merupakan sebuah amanat sebagaimana
ketentuan yang diatur pada RPP tentang Kecamatan.
Dengan itu pelimpahan wewenang tidak hanya wajib
ditetapkan dalam peraruran Bupati saja, namun
berkonsekuensi terhadap kelangsungan implementasinya,
yang meliputi konsistensi pelaksanaan serta dukungan
kecukupan dalam menunjang kewenangan yang
dilimpahkan selain Pendanaan pada pagu indikatif juga
pada kecukupan sumberdaya manusianya dari pemerintah
kabupaten Pandeglang.
Berkaitan dengan itu Informan 22 dari Provinsi Jawa
Timur (Asosiasi Pemerintah Provinsi) mengatakan sebagai
berikut;
158 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
“Banyuwangi itu mendelegasikan kewenangan menangani
izin pariwisata skala kecamatan, katakanlah home stay izin
camat. Dengan bertambahnya jumlah destinasi wisata di
banyuwangi menyebabkan wisatawan semakin banyak,
akhirnya banyak home stay home stay, itu salah satunya izin
pendirian home stay termasuk izin pendirian wisata apa lah
itu, sehingga memberdayakan masyarakat membuat
kelompok-kelompok wisata itu penggiat wisata….”
(Wawancara, September 2018)
Berbicara tentang kemauan / political will dalam
bisang pariwisata, lebih lanjut diketahuhi tentang adanya
ucapan sebagai upaya mengenalkan pengguna jalan bahwa
pandeglang sebagai kota wisata dipampang di jalan raya
saketi pandeglang. Jalan raya tersebut merupakan satu-
satunya akses menuju objek-objek wisata di pandeglang
selatan termasuk KEK Tanjung lesung sebagai berikut;
Gambar 9.17
Ucapan Selamat Datang di Kota Wisata Pandeglang
Dari pernyataan dan gambar tersebut bisa diketahui
bahwa bupati pandeglang pada dasarnya menginginkan
pembangunan di daerahnya mengalami percepatan, sektor
pariwisata salah satunya yang dianggap bupati kedepannya
akan bisa memberikan kontribusi terhadap peningkatan
PAD (Pendapatan Asli Daerah), bahkan dalam pernyataan
tersebut Bupati juga memiliki harapan keterlibatan/
partisipasi penuh dari PNS untuk mengembangkan
pariwisata di kabupaten pandeglang. Dalam hal ini merujuk
dari wewenang yang dilimpahkan kepada Perangkat daerah
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 159
kecamatan salah satunya memfasilitasi dan membantu
bupati untuk mengkoordinasikan kebijakan kepariwisataan.
Menurut hemat peneliti melihat hasil penelaahan terhadap
dukumen laporan kinerja bulanan camat/kecamatan
setidaknya harus memberikan informasi yang berdaya
dukung terhadap wacana-wacana, dan arah kebijakan
Bupati, salah satunya dalam hal kepariwisataan. Itu semua
tentunya menjadi pekerjaan rumah besar dan
berkonsekuensi pada meningkatnya beban kerja pada
wilayah-wilayah kerja perangkat daerah kecamatan yang
memiliki destinasi pariwisata.
Itu baru pada bidang kepariwisataan dan masih bayak
lagi kewenangan-kewenangan yang harus menjadi
konsentrasi perangkat daerah kecamatan untuk
memfasilitasi dari kewenangan yang dimilikinya guna
membantu bupati dan perangkat daerah teknis lainya. Jika
ditinjau dari gambaran umum masing-masing kecamatan
diketahui antara kecamatan satu dengan yang lain memiliki
perbedaan karakteristik misalnya pada jumlah penduduk,
luas wilayah, jumlah sekolah, luas areal pertanian dan
sebagainya, yang mana hal itu berkosekuensi pada
perbedaan pemfokusan kinerja atas kewenangan kecamatan
untuk menetapkan skala prioritas dalam menjalankan
wewenang yang dilimpahkan. Berkaitan dengan itu ditinjau
lebih lanjut, Kabupaten Pandeglang saat ini masih
membutuhkan perhatian khususnya pada sektor kemiskinan.
untuk mendongkrak perekonomian dan pariwisata di
Pandeglang agar segera keluar dari predikat daerah
tertinggal, Presiden Joko Widodo menetapkan Tanjung
Lesung, Kecamatan Panimbang sebagai Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) yang bakal menjadi lokomotif perekonomian
di Provinsi Banten. Lebih lanjut Bupati Pandeglang
menjelaskan ;
”…..KEK Tanjung Lesung akan mempercepat proses
pengentasan kemiskinan di Pandeglang, karena pemerintah
tahun ini akan membangun tol Serang-Panimbang,”
Untuk mendukung proyek strategis nasional yang ada
di Pandeglang, Bupati juga berharap dihidupkan lagi Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes), khususnya di daerah
penyangga Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung
160 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Lesung dan umumnya di setiap desa yang ada di Kabupaten
Pandeglang, sebagaimana dijelaskan berikut;
”….dalam pertemuan saya dengan menteri desa, saya juga
menyampaikan berbagai produk lokal unggulan di
Kabupaten Pandeglang yang saat ini sudah berjalan. Mulai
dari kerajinan tangan, hingga olahan makanan yang dapat
dikemas lebih baik lagi, menjadi produk unggulan di
Pandeglang,”
Dari kutipan masalah tersebut menandakan bahwa
pendekatan pemberdayaan masyarakat masih diperlukan,
koordinasi dalam pemberdayaan masyarakat adalah
kewenangan yang dimiliki oleh kecamatan berdasarkan
pelimpahan kewenangan dari Bupati.
Terkait dengan kompleksitas yang berbeda antara
kecamatan satu dengan kecamatan yang lain di lingkungan
Kabupaten Pandeglang pada khususnya, serta urgensi
permasalahan di kabupaten Pandeglang secara umum
menurut Informan 6 dari wilayah kerja kecamatan
panimbang yang mana notabene di kecamatan tersebut
terdapat banyak Program Nasional , salah satunya adalah
KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) mengatakan bahwa ;
“…tidak ada kewenangan khusus camat panimbang
berkenaan dengan KEK tapi hanya melakukan
koordinasi….saya menjaga keutuhan kawasan sehingga ada
lahan milik masyarakat yang belum dikuasai oleh BPJ KEK
Tanjung Lesung untuk kami bebaskan sepanjang pihak PT
BWJ memberikan rekomendasi pada kami, ada juga
program nasional Pembangunan yang saya bantu …. saya
membantu bagaimana proses pengalihan status lahan milik
BPWJ KEK menjadi milik Kabupaten Pandeglang,
bagaimana saya membantu menyiapkan….Ya saya tadi
habis nengok stadion pak, ada stadion, ada semacam
embung seluas 2 hektar, itu udah jalan 27 M. ini 3
serangkai, saya, kemudian pihak tanjung lengsung
kemudian pihak Kementerian Pekerjaan Umum, yang
rapatnya bertiga, saya mewakili pemerintah membantu
bagaimana proses ini berjalan dengan mulus. Alhamdulillah
sudah turun dan saat sedang melaksanakan pembangunan
stadion mini yang ada di kawasan tanjung jaya kawasan
KEK nya penyangga dan kemudian selanjutnya juga saya
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 161
memfasilitasi pembebasan lahan khususnya yang akan kena
jalan nasional, citerep tanjung jaya itu nanti saat ini kan
hanya 7-9 M sekarang menjadi 12 M, sekarang saya sudah
undang pemilik tanah di 2 desa, itu salah satu bagaimana
upaya camat bagaimana membantu memfasilitasi kawasan
ekonomi khusus supaya cepat terwujud jadi pembangunan
biar ini lah…” (wawancara, Agustus 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa dalam
menyelenggarakan Koordinasi, fasilitasi, perizinan,
rekomendasi bahkan dalam penetapan dan pembinaan serta
pengawasan tidak ada kewenangan khusus yang diberikan
kepada kecamatan tertentu, sekalipun pada kenyataannya
terdapat perangkat daerah kecamatan yang memiliki beban
kerja yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kecamatan
yang lain sebagai konsekuensi perbedaan besaran variabel
antara kecamatan satu dengan yang lain misalnya pada
jumlah penduduk, luas wilayah, jumlah sekolah, luas areal
pertanian, keberadaan program nasional dan sebagainya.
Lebih lanjut, ketika membahas tentang beban kerja
yang berbeda antar kecamatan atas dasar besaran variabel
dan kondisi eksisting dapat dicontohkan salah satu wilayah
kerja kecamatan Panimbang, yang notabene terdapat Proyek
nasional yang sedang dilaksanakan di wilayah kerjanya,
selain KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Tanjung Lesung,
juga Pengembangan konektivitas Nasional yaitu
pembangunan jalan tol Serang-Panimbang sepanjang 83,6
km guna pendukung proyek KEK tersebut, kemudian
proyek pembangunan bandara banten selatan. Peneliti
mengasumsikan bahwa kecamatan tersebut memiliki beban
kerja yang relatif tinggi. Berkakaitan dengan perbedaan
karakteristik kecamatan dan beban kerja kecamatan menurut
Informan 19 dari Direktorat Jenderal Bina Administrasi
Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri menyatakan
bahwa;
“Tujuan penyelenggaraan pemerintahan itu kan mencapai
efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan. Arah kebijakan
pada RPP kecamatan kedepan pelimpahan wewenang
dengan asimetris pelimpahan yaitu menyesuaikan
perbedaan kecamatan. Misalnya Kecamatan A banyak
industry dan Kecamatan B tidak ada industri tapi adanya
162 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
pertanian. Makanya wewenang yang dilimpahkan tidak lagi
dipukul rata. Pelimpahan wewenang kepala daerah pada
camat juga kedepan tidak lagi regeling dengan Peraturan
kepala daerah manun dengan Surat keputusan. Jadi masing-
masing Surat keputusan berlaku untuk satu kecamatan”
(wawancara, Oktober 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa arah
kebijakan ke depan kecamatan tidak dipukul rata lagi
kewenanganya. Dengan kata lain asimetris pelimpahan atau
pelimpahan yang didasarkan pada perbedaan karakteristik
kecamatan. Berkaitan dengan itu diketahui bahwa
Kecamatan Panimbang merupakan salah satu kecamatan
yang memiliki perbedaan karakteristik jika dibandingkan
dengan kecamatan Labuan, Karang Tanjun, Pandeglang dan
Majasari. Misalnya yang paling nyata adalah keberadaan
program strategi nasional, yang mana hal tersebut menuntut
kinerja camat beserta jajaranya guna membantu
mensukseskanya.
Namun kenyataanya, selain tidak adanya pelimpahan
kewenangan khusus adapun Isu-Isu penting yang
menggambarkan kondisi penyelenggaraan kewenangan
Kecamatan Panimbang yang didasarkan pada evaluasi
Pelaksanaan Renja Tahun 2016 sebagai berikut (1)
Kurangnya pemerataan program Pemerintah yamg
dilaksanakan di Kecamatan Panimbang ini disebabkan oleh
pola pikir masyarakat yang masih bersipat apatis. (2) Sarana
dan prasarana insfrastruktur kebutuhan masyarakat yang
masih belum terpenuhi. (3) Kurangnya Sumber Daya
Manusia (SDM) yang sesuai dengan keahliannya, serta
tingkat Pendidikan yang masih rendah. (4) Kurangnya
kemampuan aparatur dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat secara profesional. (5) Masih kurangnya
kesadaran masyarakat akan kewajibannya kepada
Pemerintah dalam hal Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Berkaitan dengan kondisi Isu strategis tersebut
dampak yang dirasakan sebagaimana Informan 6 dari
Kecamatan Panimbang mengatakan;
“...di kecamatan itu tidak ada tersedia SDM yang
diamanatkan Kepres pengadaan barang dan jasa, ini masih
numpuknya ada di kabupaten.....ya malah di panimbang gak
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 163
ada yang punya sertifikat tidak ada, bukan minim lagi. dan
beberapa kecamatan itu banyak yang gak ada daripada
ada.....Masalah penerimaan dari PBB di panimbang ini
kerena banyak pemilik tanah yang bukan orang pribumi,
jadi penagihan PBB kita agak kualahan pak.....”
(wawancara, Agustus 2017).
Lebih lanjut berkaitan dengan masalah belum
maksimalnya penerimaan PBB di kecamatan Panimbang,
Informan 8 mengatakan ;
“.......selain kita harus turun melakukan penagihan PBB ke
masyarakat, kesulitan ada pada sistem perbankan yang
menjadi mitra kabupaten. Saya ngga tau ya, beda ngga
seperti dulu, kalau ada keterlambatan penyetoran ke Bank
BJB sistem sudah ngga bisa menginput, jadi uang masih
kita pegang sehingga terdatanya di bank ya yang bayar PBB
beda sama kenyataan yang kita bukukan manual....”
(wawancara, Agustus 2017).
Hal senada juga dikatakan Informan 2 dari
Kecamatan Pandeglang sebagai berikut;
“…..yang lebih penting untuk menjalankan kecamatan itu
pendukungnya pak, bagaimana SDM nya ….kalau itu
semua terpenuhi ya pastinya bisa berjalan dengan baik. Tapi
kita tetap berupaya pak semaksimal mungkin. Seperti PBB
(Pajak Bumi dan Bangunan), karena PAD (Pendapatan Asli
Daerah) Pandeglang saat ini masih mengandalkan dari PBB,
kami selalu target kalau masih ada piutang PBB kita jemput
bola ke masyarakat pa untuk menyampaikan tagihanya..”
(wawancara, Agustus 2017).
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa isu strategis
sebagaimana dijelaskan pada Renja 2017, misalnya dalam
hal kecukupan SDM yang dianggap masalah klasik, seperti
halnya kecamatan di daerah-daerah lain, yang akhirnya
memunculkan pertanyaan mengapa hanya perangkat daerah
kecamatan saja yang mengalami kekurangan SDM yang
berkompeten. Lalu mengapa perangkat daerah teknis yang
cukup seksi pada trend anggaran tahunannya lah yang tidak
mengalami kekurangan SDM. Selanjutnya berkaitan dengan
itu, diketahui bahwasanya PBB merupakan sektor andalan
164 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
pada PAD (Pendapatan Asli Daerah) kabupaten pandeglang,
dan bagaimanakan jika terdapat kecamatan yang memiliki
kondisi SDM yang rendah baik secara kualitas dan
kuantitas, namun harus tersita energinya untuk menagih
piutang PBB pada masyarakat. Menurut hemat peneliti
sangat tidak tepat ketika penyelengara pemerintahan daerah
masih memiliki meanstream pendikotomian antara
perangkat deerah seksi, perangkat daerah basah dan kering,
sehingga terjadi ketidak merataan dalam pendistribusian dan
penyebaran ASN (Aparatur Sipil Negara), alias terjadi
ketimpangan penyebaran pegawai.
Adapun dicontohkan salah satu kerangka logis
kegiatan dalam penyusunan Renja 2017 Kecamatan
Panimbang, dalam rangka menggenjot penerimaan PBB.
Sedikit yang menarik bahwa terdapat salah satu item
kegiatan yang dimasukkan sebagai suatu pendekatan, yaitu
dengan penumbuhan kesadaran masyarakat membayar
pajak, yang dipaparkan dalam tabel sebagai berikut ;
Tabel 9.9
Lembar Kerangka Logis Kegiatan
Program Optimalisasi Peningkatan Pendapatan Daerah
No Sasaran
Strategis
Indikator
Kinerja
Alat/cara/sumber/
pembuktian/penjel
asan
Asumsi-
Asumsi
Pokok
1
Meningkatny
a kapasitas
fiskal
Hasil (Hasil
(outcome)
Persentase
kenaikan PAD
dan alokasi
anggaran untuk
pembangunan,
Target : 16,67%
Pembinaan
kesadaran
masyarakat
membayar Pajak
- Terjaganya
stabilitas
ekonomi
- Kesadaran membayar
Pajak
meningkat
Meningkatkan
pendapatan asli
daerah, Target
16,67%
Tersusunnya laporan
pembinaan
masyarakat tentang
kewajiban
membayar Pajak
- Tercapainya target PBB
tingkat
Kecamatan
Keluaran
(Output)
Tersedianya
operasional
PAD di
kecamatan:
Target12
Kegiatan
Terlaksananya
verifikasi Pajak
Target PBB
lunas
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 165
No Sasaran
Strategis
Indikator
Kinerja
Alat/cara/sumber/
pembuktian/penjel
asan
Asumsi-
Asumsi
Pokok
Masukan
(Input)
1. Dana
APBD
2. SDM
3. Peralatan :
1. APBD : Rp.
15,000,000,-
2. 18 ORANG
3. ATK, komputer,
printer, Motor
Dana APBD
Sumber : Data diolah peneliti Renja Kecamatan Panimbang
2017
Lebih lanjut berdasarkan hasil formulasi strategis
yang telah dikembangkan di atas maka telah ditetapkan
kebijakan eksternal sebagaimana dikutip dari Renja
Kecamatan panimbang tahun 2017 meliputi (1) Perencanaan
yaitu menyiapkan rencana Pembangunan Daerah yang
partisipasi dan responsif dengan tetap memperhatikan
keserasian dan atau keselarasan antara kepentingan lokal
dengan kepentingan yang lebih luas, (2) Pengendalian: yaitu
penyelenggaraan monitoring dan evaluasi dalam menjaga
konsistensi pelaksanaan rencana guna mendukung
pencapaian sasaran yang telah ditetapkan atau direncanakan
dengan tetap mengedepankan pola koordinasi yang intensif.
Arah kebijakan dan nota kesepahaman antara
Pemerintah Kabupaten Pandeglang, tentang pengembangan
bersama bidang Pertanian dan Perkebunan sebagai wilayah
yang memiliki daerah agri bisnis harus memanfaatkan
posisi dan potensi yang dimiliki guna mendorong kemajuan
dan kesejahteraan masyarakat.
Lingkup kerja Pelayanan di Kecamatan Panimbang
meliputi analisis lingkungan internal dan eksternal dan
analisis lingkungan eksternal yang dapat menghasilkan
kesimpulan analisis berupa daftar prioritas berupa daftar
prioritas Faktor lingkungan, baik internal maupun eksternal,
serta dampaknya terhadap masa depan organisasi yang
selanjutnya akan berpengaruh pada hubungan internal
organisasi pada gilirannya dapat ditentukan faktor kunci
keberhasilan. Analisis tersebut terdiri dari;
166 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Pertama, adalah kekuatan yang meliputi (a) Visi dan
Misi organisasi yang jelas yang bertolak ukur pada Visi
dan Misi Pemerintah Kabupaten, (b) Kekuatan Hukum
tentang tugas pokok dan fungsi Kecamatan, (c) Adanya
alokasi anggaran bagi Kecamatan, (d) Kewenangan
koordinasi Tingkat Kecamatan, (5) Adanya sarana dan
Prasarana.
Kedua, adalah kelemahan yang meliputi (a) Jumlah dan
kualitas SDM yang belum memadai, (b) Lemahnya
pelaksanaan koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten
dan Instansi teknis lainnya, (c) Belum tertib dan
lemahnya sistem administrasi organisasi, (d) Belum
optimalnya penyusunan kebijakan dan perencanaan
lingkungan eksternal.
Ketiga, adalah peluang meliputi (a) RPJMD kabupaten
Pandeglang Tahun 2016-2021, (b) Agenda
Pembangunan Tahunan Kabupaten Pandeglang, (c)
Dukungan dan partisipasi masyarakat luas, (d)
Kehidupan sosial, budaya dan keagamaan masyarakat,
(e) Komitmen Bupati Pandeglang dalam pemberdayaan
masyarakat dan peningkatan kualitas prasarana wilayah
dan pelayanan Publik, (f) Tuntutan kualitas
penyelenggaraan pelayanan publik dan akuntabilitas
Pemerintahan, (g) Visi Misi Bupati dalam Pembangunan
yang berbasis ekonomi pedesaan, (h) Diklat Peningkatan
kualitas aparatur, (i) Kebutuhan akan rasa aman, tertib
dan tentram, (j) Letak wilayah geografis Kecamatan. dan
Keempat, ancaman yang meliputi (a) Prasarana wilayah
yang masih rendah dan kurang memadai, (b) Rendahnya
tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi
Pemerintah, (c) Kecenderungan masyarakat untuk
mengabaikan peraturan dan kewajiban yang mengikat,
(d) Kondisi ekonomi masyarakat yang mengalami
penurunan kualitas, (e) Aturan dan kebijakan terhadap
pelayanan publik yang terasa sulit bagi masyarakat
Berdasarkan pemaparan arah kebijakan eksternal,
serta faktor kunci keberhasilan lingkungan eksternal dalam
Renja 2017 kecamatan Panimbang tersebut di atas diakui
kelemahanya selain masalah SDM yang belum memadai,
pelaksanaan koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten dan
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 167
Instansi teknis lainnya, serta belum tertib dan lemahnya
sistem administrasi organisasi merupakan sesuatu yang
tidak dapat dipandang sederhana. Terutama masalah
koordinasi yang seharusnya sudah tuntas bagi kecamatan
dalam menyeleng-garakan kewenanganya. Berkaitan
dengan lemahnya koordinasi dicontohkan pada keberadaan
perusahaan batching plant sebagainana dikatakan oleh
informan 6 dari Kecamatan Panimbang dikutip dari
(faktapandeglang.co.id Minggu 26 November 2017) sebagai
berikut;
“Saya tidak tahu kalau soal izin dari pihak pemda
pandeglang atau BPMPPTSP karena soal izin dari dinas
tidak ada laporan pada kami… Saya hanya menandatangani
izin lingkungan saja, adapun perizinan dari dinas saya tidak
tahu.”
Terkait dengan itu, pada dasarnya melalui rencana
kerja yang ada saat ini, dan memperhatikan analisa yang
telah dilakukan setidaknya untuk kedepannya kelemahan
serta ancaman yang ada dapat segera tereliminir, sehingga
perangkat daerah kecamatan semakin memiliki eksistensi
dalam mengadaptasikan organisasinya terhadap isu-isu
strategis nasional yang berimplikasi pada tuntutan
peningkatan bobot kecamatan sebagai simpul pelayanan
pada masyarakat, simpul pelaksanaan pembangunan dan
simpul dalam mewujudkan daya saing daerah serta
pencapaian tujuan pembangunan daerah dan nasional.
3) Evaluasi Penyelenggaraan Kewenangan Camat/
Kecamatan
Kinerja dari penyelenggaraan kewenangan perangkat
daerah Kecamatan yang diadministrasikan dalam suatu
pelaporan kepada Bupati Pandeglang akhirnya bermuara
pada proses evaluasi atas kinerja tersebut. Pada Peraturan
Bupati Nomor 24 Tahun 2013 Pasal 8 ayat (1) berbunyi:
Evaluasi terhadap sebagian kewenangan yang dilimpahkan
kepada Camat akan dilaksanakan setiap triwulan dan akhir
tahun. Ayat (2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berdasarkan pada laporan triwulan dan akhir tahun yang
dikirimkan oleh Camat serta hasil monitoring lapangan.
Ayat (3) Monitoring lapangan sebagaimana dimaksud pada
168 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
ayat (2) dilaksanakan oleh Tim Monitoring yang ditetapkan
dengan Keputusan Bupati.
Berkaitan dengan itu menurut Informan 1 dari
Bagian Pemerintahan mengatakan bahwa;
“.....evaluasi kewenangan yang dilimpahkan pada
kecamatan tidak hanya setiap triwulan atau akhir tahun saja,
melainkan rutin setiap bulan, kami selalu mengundang
dalam rapat koordinasi bersama dengan Perangkat daerah
yang lain membahas seputar permasalahan yang ada baik
tindak lanjut dari laporan kinerja kecamatan, pelaksanaan
program tertentu maupun laporan dari masyarakat. Rakor
tersebut kadang dipimpin oleh atasan saya langsung Asisten
Pemerintahan bahkan juga Ibu Bupati langsung....”
(wawancara, Agustus 2017).
Wawancara tersebut menjelaskan bahwasanya Bupati
Pandeglang menentukan standar periode pelaporan atas
kinerja camat dalam melaksanakan pelimpahan wewenang
yang dilimpahkannya lebih cepat dari standar periode yang
ditentukan pada peraturan Bupati. Dalam pasal 2 Perbub
Nomor 24 Tahun 2013 tersebut yang dimaksud dalam hal
monitoring dan evaluasi, di tahun 2013 lalu seiring dengan
dikeluarkanya Perbup pelimpahan wewenang juga telah
ditetapkan Surat Keputusan bupati Nomor 138/Kep.381-
Huk/2013 tentang pembentukan tim Monitoring. Adapun
tim yang dimaksud selain melakukan monitoring terhadap
kinerja camat dalam melaksanakan kewenanganya juga
pada penyelenggaraan PATEN Pelayanan Administrasi
terpadu Kecamatan. Namun berdasarkan wawancara pada
sub bab sebelumnya diketahui bahwa intensitas evaluasi
kinerja penyelenggaraan kewenangan camat/ kecamatan
lebih intens dilakukan pada kesempatan rapat koordinasi
antara bupati dengan para camat saja sedangkan kinerja Tim
Minitoring dan evaluasi yang terikat dengan ketentuan
periode evaluasi tidak lagi intens dilaksanakan.
Berdasarkan hasil penelitian melalui observasi dan
dokumen diketahui bahwa dari evaluasi serta laporan dari
masyarakat/organisasi masyarakat non pemerintah terdapat
beberapa permasalahan misalnya ketidaktahuan seorang
camat terhadap permasalahan yang terjadi di wilayah kerja
kecamatannya, sehingga keluhan masyarakat banyak
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 169
langsung disampaikan kepada kontak Ibu Bupati, sehingga
hal itu membuat bupati pandeglang memanggil para camat
untuk diberikan pembinaan. Selain itu masih di tahun 2016
di salah satu Perangkat daerah kecamatan di lingkungan
Kabupaten Pandeglang dinilai tidak transparan karena tidak
memasang papan informasi saat pelaksanaan proyek
tersebut, pembangunan itu juga dinilai tidak menjalankan
Perpres No 4 Tahun 2015 yang seharusnya menyeleng-
garakan lelang karena nilai projeknya Rp 200 Juta, serta
permasalahan lain terkait penyelenggaraan pembinaan dan
pengawasan/monitoring perangkat daerah Kecamatan pada
realisasi fisik dana desa yang mana masih ada saja desa
yang realisasi fisiknya tidak sesuai dengan perencanaan
baik secara kualitas maupun kuantitas.
Berkaitan dengan itu Informan 1 dari Bagian
Pemerintahan yang bertugas sebagai bina kewilayahan baik
kecamatan maupun desa/kelurahan mengatakan bahwa ;
“....coba bapak turun dan mensampel Kecamatan yang
membawahi desa. tantanganya lebih berat kecamatan itu.
Bahkan menurut hemat saya bobotnya kedepan pelu
ditingkatkan baik kewenangan yang dimiliki, kuantitas dan
kualitas kecukupan organisasinya. Dana Desa pak yang jadi
ruang lingkupnya. Kalau tidak tepat pelaksanaan verifikasi
dan pembinaan ke desanya konsekuensinya hukum......“
(wawancara, Agustus 2017).
Lebih lanjut dalam hal hasil evaluasi kinerja
penyelenggaraan camat/kecamatan pada pembinaan dan
pengawasan pada pemerintah desa Informan 12 dari
Komisi I DPRD Kabupaten Pandeglang mengatakan;
“Kalau saya tidak setuju ya jika camat disalahkan, artinya
posisi camat tadi kan kepanjangan tangan. Namanya
kepanjangan tangan itu kan tergantung siapa yang
memerintah, siapa yang menugaskannya. Posisi kebijakan,
camat saya kira tidak pernah melakukan dan peraturan yang
kontroversi masalah pembangunan desa. Jadi posisinya
selalu mengamankan kebijakan dari atas. Tapi sifatnya
hanya koordinator saja. Kalau inisiatif-inisiatif juga
biasanya mereka tidak terlalu berbenturan dengan keinginan
masyarakat. Paling fenomena dulu saya katakan tidak
menutup matalah kalau memang untuk perbaikan, sebelum
170 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
2016 itu pembuatan SPJ dan proposal. Di pihak kecamatan
melakukan pendampingan, bahkan tidak hanya
pendampingan lah tapi bahasa sininya “membuatkanlah”,
karena masyarakat desa belum mampu, makanya dibuatkan.
Satu sisi tertib administrasi ya, tetapi satu sisi itu
pembodohan. Nah sekarang sudah tidak lagi, karena
masyarakat desa di sini sudah bisa membuat sendiri….”
(wawancara, November 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan dengan
permasalahan yang ada kedepan perangkat daerah
kecamatan bobotnya pelu ditingkatkan baik kewenangan
yang dimiliki, kuantitas dan kualitas kecukupan
organisasinya. Selanjutnya terkait permasalahan kinerja
kecamatan dalam hal pembinaan dan pengawasan dari pihak
DPRD berpandangan bahwa karena camat merupakan
kepanjangan tangan dari pemerintah kabupaten yang
sifatnya hanya koordinator saja, sekalipun melakukan
inisiatif-inisiatif juga tidak terlalu berbenturan dengan
keinginan masyarakat maka permasalahan yang ada terkait
kinerja penyelenggaraan kewenangan kecamatan pada desa
selayanknya disikapi bersama dengan bupati tanpa adanya
penyudutan pada camat.
Diketahui pada pasal 8 Peraturan Bupati Nomor 24
Tahun 2013 ayat (4) berbunyi: Apabila dalam hasil evaluasi
triwulan I ada Camat yang menunjukkan perkembangan
tidak baik dalam pelaksanaan sebagian kewenangan yang
dilimpahkan, maka Tim Monitoring melaksanakan
pembinaan kepada Camat dimaksud, dan ayat (5) Apabila
hasil evaluasi triwulan ll tidak juga menunjukkan
perkembangan yang baik setelah adanya pembinaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), maka tim monitoring
akan memberikan kajian kepada Bupati guna mencabut
kewenangan yang dilimpahkan kepada Camat dimaksud
untuk kemudian ditarik kembali kepada SKPD yang
menangani kewenangan tersebut.
Dari penjelasan pasal 8 di atas memberikan
pemahaman bahwasaya hasil Monitoring yang dilakukan
oleh Tim bisa dijadikan oleh Bupati pandeglang sebagai
hasil kajian untuk mengambil langkah pembinaan kepada
camat/ kecamatan, bahkan sampai tahap pencabutan
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 171
wewenang yang telah dilimpahkan. Namun kenyataan yang
terjadi setelah peneliti melakukan observasi bahwa kita
ketahui jika Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2013
ditetapkan pada tahun 2013, saat itu Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2014 dan Peraturan pemerintah Nomor 18
Tahun 2008 lah aturan tertinggi yang dijadikan sebagai
dasar. Seiring berjalannya waktu hingga saat ini tahun 2017
saat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 diterapkan,
dan saat penataan Organisasi perangkat daerah di akhir
tahun 2016 lalu di Kabupaten Pandeglang, Berdasarkan
hasil pengkajian sehingga ditetapkan Peraturan daerah
Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Organisasi Perangkat daerah,
diketahui semua kecamatan di kabupaten Pandeglang
ditetapkan dala tipe A. Dari serangkaian perubahan yang
ada, keberadaan Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2013
sampai dengan saat ini atau saat peneliti melakukan
observasi di lapangan dinyatakan belum dicabut dan tetap
sebagai legalitas yang sah bagi camat/kecamatan untuk
menyelengarakan kewenangan yang dilimpahkan Bupati
atas urusan pemerintahan daerah, sekalipun di pembahasan
sebelumnya dalam pelaporan kinerja penyelenggaraan
kewenangan camat/kecamatan, tidak semua bidang
kewenangan yang dilimpahkan dalam tataran koordinasi,
rekomendasi, fasilitasi, pembinaan dan pengawasan secara
efektif diselengarakan dan dilaporkan hasil kinerjanya
kepada Bupati. Rupanya pada bulan Mei 2018 Pemerintah
Kabupaten pandeglang memulai merancang peraturan
bupati tentang kewenangan camat, seiring dengan
ditetapkanya Permendagri Nomor 12 Tahun 2017 dan yang
terbaru adalah ditetapkanya Perturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2018 Tentang Kecamatan. Namun kembali lagi
hingga peneliti melakukan pendalaman di lapangan pada
bulan Mei 2018 perumusan rancangan peraturan bupati
tentang kewenangan kecamatan masih dalam proses.
Artinya Peraturan bupati Nomor 24 Tahun 2013 masih
dinyatakan berlaku dan belum dicabut legalitasnya.
Selanjutnya diketahui bahwa keberadaan peraturan
bupati tersebut merupakan peraturan yang bersifat umum/
generik untuk semua perangkat daerah kecamatan, tidak ada
kecamatan yang dikecualikan dengan putusan yang berbeda
terhadap jenis urusan tertentu yang dilimpahkan. Dengan
172 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kata lain jika seperti itu dapat disimpulkan bahwa
pembinaan tetap dilakukan kepada camat atas dasar (1).
adanya ketepatan waktu dalam pencapaian program/
kegiatan di setiap bulan sampai dengan akhir tahun; (2)
terwujudnya efisiensi dan efektifitas anggaran dalam
pelaksanaan program/kegiatan; (3) terwujudnya ketepatan
sasaran dalam pelaksanaan program/kegiatan; (4)
terwujudnya ketepatan hasil dalam pelaksanaan program/
kegiatan, namun selama ini belum pernah ada keputusan
dari bupati untuk mencabut atau menambahkan kewenangan
tertentu kepada kecamatan tertentu atas dasar keberhasilan
ataupun kegagalan kecamatan dalam melaksanakan
wewenang yang dilimpahkan.
Dalam kaitanya dengan penyelenggaraan kecamatan
Pemerintah Provinsi Banten memiliki kebijakan pembinaan
melalui lomba kecamatan. Hal itu dilakukan dalam rangka
memacu kabupaten/kota untuk memperkuat kelembagaan
kecamatan. Informan 27 dari Provinsi Banten (Asosiasi
Pemerintah Provinsi) mengatakan;
“Kita bentuknya adalah pembinaan, lomba kecamatan,
tentunya dalam lomba kecamatan ini item-item di dalamnya
memperkuat kecamatan dan dalam rangka memperkuat
kelembagaan kecamatan dalam hal pelayanan,
pembangunan dan kemasyarakatan.Dengan itu bisa
diketahui apakah kecamatan sudah siap dan dengan lomba
itu akan mendorong bupati/walikota untuk melimpahkan
kewenanganya kepada camat dan menguatkan kelembagaan
kecamatan. Itu bentuk kebijakan kita.” (Wawancara,
September 2018)
Sedangkan Informan 22 dari Provinsi Jawa Timur
(Asosiasi Pemerintah Provinsi) mengatakan;
“…yang kami lakukan adalah mengoptimalkan kewenangan
yang di berikan itu tadi, kami lakukan, kami laporkan secara
periodik dan nanti hasilnya dinilai, kalau mampu di
tambahkan lagi dan kami melakukan evaluasi melalui
sinergitas kecamatan, indikatornya pelayanan dan hasil
evaluasi itu menjadi bentuk pertimbangan mereka apabila
tidak sesuai maka perlu di tarik kembali kewenangan
tersebut. Ini yang tidak pernah dilakukan pemerintah
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 173
kabupaten/kota, jadi mengevaluasi kinerja hanya
formalitas.” (Wawancara, September 2018)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa Pemerintah
Provinsi pada dasarnya memiliki kewajiban melakukan
pembinaan dan pengawasan pada pemerintah kabupaten/
kota begitu juga pada penyelenggaraan kecamatannya.
Banyak pendekatan dijadikan pilihan oleh pemerintah
provinsi dalam rangka melakukan upaya penguatan
kelembagaan kecamatan. Provinsi Banten sendiri
menyelenggarakan lomba kecamatan. Sedangkan Provinsi
Jawa Timur dengan mewajibkan menyerahkan laporan
penyelenggaraan kecamatan. Pada prinsipnya dari
pendekatan yang dijadikan pilihan, memiliki indikator
penilaian yang sama yakni kewenangan legal yang
diberikan oleh kepala daerah, dukungan anggaran, personel
dan sarana prasarana.
Berdasarkan uraian penjelasan di atas tentang
pelaporan dan evaluasi penyelengaraan kewenangan camat/
kecamatan maka digambarkan kondisi eksisting
pelaksanaan pelaporan dan evaluasi kinerja camat/
kecamatan atas kewenangan yang dilimpahkan oleh Bupati
pada gambar sebagai berikut;
Gambar 9.18
Kondisi Eksisting Pelaksanaan Pelaporan dan Evaluasi
Kinerja Penyelenggaraan Kewenangan Camat/Kecamatan
Sumber : Data Diolah
174 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
2. Eksisting Pelimpahan Wewenang Bupati Kepada Camat
Serta Operasionalisasi Kewenangan dan Necessary
Conditions Sebagai Perangkat Wilayah Administrasi
a. Pelimpahan Wewenang Bupati Kepada Camat atas Urusan
Pemerintahan Umum Serta Operasionalisasi Kewenangan
dan Necessary Conditions
Dari hasil penelitian diketahui bahwa belum ada
pengaturan (pelimpahan) yang dilakukan oleh Bupati
Pandeglang sebagai kepala wilayah terhadap
camat/kecamatan sebagai perangkat wilayahnya dalam
penyelenggaraan pemerintahan umum. Adapun hal itu,
karena pada masa transisi penerapan Undang-Undang 23
Tahun 2014 ini, Pemerintah pusat cenderung lamban dalam
melakukan pengaturan-pengaturan seperti Peraturan
Pemerintah dan lain-lain yang dijadikan sebagai landasan
operasional oleh wilayah Provinsi maupun wilayah
Kabupaten kota dalam memnyelenggarakan kewenangan
atas pemerintahan umum. Ketika menelusur latar belakang
dilibatkanya daerah (wilayah) dalam penyeleng-garaan
pemerintahan umum. Informan 25 dari Direktorat Jenderal
Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam
Negeri mengatakan berikut;
“….dulu Pak SBYitu pernah tanya ke mendagri. Ketika ada
konflik sosial kenapa sih yang muncul TNI dan polri kepala
daerah ko gak muncul kemana ini pasti nih gak ada yang
terkordinasi kurang kordinasi kepada kepala daerah. Ibarat
wayang kulit itu kayu yang di tengah nya itu gak ada
sehingga tidak bisa berdiri kokoh, nah ini bahaya kalau
ketika ada konflik sosial hanya di tangani oleh TNI Polri,
kemudian Pemda tidak melakukan apa apa… untuk aspek-
aspek urusan substansi khusus untuk pemerintahan umum
itu mulai dari pucuk pimpinan sampai ke Pemerintahan
Tingkat bawah harus sama persepsinya kerukunan umat
beragama harus 100%, tidak boleh di daerah lain emang gak
usah nggak ada kerukunan yang penting jalan lancar
infrastruktur bagus kesehatan terjamin kan nggak bisa
begitu…”(Wawancara, September 2018)
Terkait dengan itu, adapun anggapan masyarakat di
Indonesia semenjak digulirkanya Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 pemerintahan daerah, bahwa camat masih
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 175
menjadi kepala wilayah sebagaimana dikatakan oleh
Informan 23 dari Pusat Telaah dan Informasi Regional
berikut;
“…kalau dalam perspektif saya, itu sebetulnya sudah
dijalankan oleh kecamatan. Hasil sebagian besar penelitian
yang dijalankan, tidak lama setelah undang-undang No 32
Tahun 2004 dilaksanakan, ada tu penelitian proyek donor
yang didanai oleh pemerintah amerika dikerjakan oleh IPB.
Mereka melihat bahwa meskipun UU No 22 Tahun 1999
dan UU No 32 Th 2004 ditukar dengan kata lain mengubah
gayanya sih. Kecamatan yang tadinya punya wilayah
menjadi hanya perangkat pemerintah daerah kabupaten
kota. Namun dalam persfektif masyarakat mereka masih
menganggap itu kepala wilayah, jadi konflik di tingkat desa
tetap saja harus di selesaikan oleh camat. Kemudian ada
masalah-masalah yang di luar kerangka tugasnya, Camat
karena dulunya perspektifnya masih begitu, perspektifnya
masih tetap saja dan camat tidak bisa mengelak..”
(Wawancara, September 2018)
Wawancara tersebut menjelaskan latar belakang
ditetapkanya seluruh tingkat pemerintahan di Indonesia
untuk ikut terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan
umum. Berkaca dari pengalaman sebelumnya bahwa dalam
penanganan konflik pemerintah daerah cenderung absen dan
penanganan dilakukan oleh TNI dan Polri, di satu sisi dalam
konteks kecamatan, masih melekatnya anggapan sebagian
besar masyarakat di Indonesia bahwa camat adalah kepala
wilayah yang mana tidak bisa mengelak dari tugas-tugas
resolusi konflik. Saat ini seiring dengan diterapkanya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Pemerintah daerah
memiliki kewenangan penyelenggaraan pemerintahan umun
dan kedudukan kecamatan mengalami perubahan selain
sebagai perangkat daerah kewilayahan yang menyeleng-
garakan kewenangan yang dilimpahkan Bupati, Kecamatan
juga sebagai perangkat wilayah administrasi penyelengara
kewenangan pemerintahan umum. Pada Pasal 25 ayat (1)
berbunyi Urusan pemerintahan umum sebagaimana
dimaksud meliputi (a) pembinaan wawasan kebangsaan dan
ketahanan nasional dalam rangka memantapkan
pengamalan Pancasila, pelaksanaan Undang-Undang Dasar
176 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pelestarian
Bhinneka Tunggal Ika serta pemertahanan dan
pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia; (b) pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;
(c) pembinaan kerukunan antarsuku dan intrasuku, umat
beragama, ras, dan golongan lainnya guna mewujudkan
stabilitas kemanan lokal, regional, dan nasional; (d)
penanganan konflik sosial sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. (e) koordinasi pelaksanaan tugas
antar instansi pemerintahan yang ada di wilayah Daerah
provinsi dan Daerah kabupaten/kota untuk menyelesaikan
permasalahan yang timbul dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, hak asasi manusia, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan, potensi serta keanekara-
gaman Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; (f) pengembangan kehidupan
demokrasi berdasarkan Pancasila; dan (g) pelaksanaan
semua Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan
kewenangan Daerah dan tidak dilaksanakanm oleh Instansi
Vertikal.
Berkaitan dengan penjelasan di atas diketahui arah
kebijakan kelembagaan kecamatan dalam kewenangan
penyelengaraan pemerintahan umum digambarkan sebagai
berikut ;
Gambar 9.19
Arah Kebijakan Pelaksanaan Urusan Pemerintahan Umum
Sumber : Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan
Umum. (2015)
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 177
Pada paparan arah kebijakan tersebut dapat diketahui
bahwa kecamatan kedudukanya menjadi perangkat wilayah
administrasi penyelenggara pemerintah umum yang secara
hirarki kerja di bawah Pemerintah Kabupaten Pandeglang
membantu Dirjen Politik dan Pemerintah Umum
Kementerian Dalam Negeri Kabupaten. Dalam hal ini camat
memiliki kewenangan secara atributif sebagai Ketua Forum
Koordinasi Pimpinan di tingkat kecamatan. Konsekuensi
kedudukan kecamatan sebagai perangkat wilayah
administrasi penyelenggara kewenangan pemerintahan
umum sesuai dengan Pasal 225 ayat (2) akan memperoleh
Pendanaan dari sumber APBN dan pelaksanaan tugas lain
dibebankan kepada yang menugasi (Presiden Sebagai
Kepala Pemerintahan).
Berkaitan dengan penjelasan di atas saat
dikonfirmasi kepada Informan 1 dari Bagian Pemerintahan
mengatakan bahwa;
“.....ya urusan pemerintahan umum, itu yang kita tunggu
peraturan turunanya seperti apa, Peraturan Pemerintah dan
Permendagri nya belum turun hingga saat ini. Jadi seperti
apa kita juga belum ada bayangan. Namun intinya kedepan
memang bobot kecamatan memang harus ditingkatkan guna
mewujudkan kecamatan sebagai simpul pelayanan
masyarakat....” (wawancara, Agustus 2017).
Hal senada juga dikatakan oleh Informan 3 dari
Kecamatan Karang Tanjung sebagai berikut;
“…saya kira sampai sekarang masih wite and see, karena
memang kebijakan pemerintah pusat sampai saat ini belum
dilaksanakan, seperti dinas kependudukan, kesbangpol
mengambang ini vertikal atau tidak, karena pembiayaan
masih dari daerah, pengisian pegawai masih dari daerah dan
harus dilaporkan ke Kemendagri…. Kita tunggu saja aturan
lebih lanjut dari pemerintah pusat….” (wawancara, Agustus
2017).
Dari wawancara tersebut pada dasarnya peraturan
perundang undangan turunannya belum ditetapkan oleh
pemerintah, sehingga tidak bisa secara serta merta
pemerintah daerah menyelengarakan, namun setidaknya
pemerintah daerah di Indonesia dan Pemerintah kabupaten
178 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
pandeglang sejak dini sudah harus memasang kuda-kuda
atau melakukan antisipasi melalui kewenangan atas urusan
pemerintahan daerah yang dimilikinya saat ini untuk
mempersiapkan pelaksanaan amanat Undang-Undang
tersebut baik dari aspek kecukupan kelembagaannya
maupun pengkonsentrasian penanganan atas uraian tugas
dari amanat penyelengaraan urusan pemerintahan umum
tersebut terhadap kondisi empiris saat ini yang sekiranya
masih bisa dilaksanakan oleh perangkat daerah terkait
seperti Badan Kesatuan bangsa dan Politik yang selanjutkan
direlasikan dalam proses koordinasi dengan perangkat
daerah kecamatan. Sehingga ketika nantinya sudah
ditetapkan Peraturan Pemerintah turunan untuk
dilaksanakan, perangkat daerah kecamatan sudah bisa
dengan mudah melakukan penyesuaian.
Berkaitan dengan ketika melihat persepsi yang
meliputi kemampuan, kesiapan dan keinginan kecamatan
dalam penyelanggaraan urusan pemerintahan Umum
sebagaimana dikatakan oleh informan 1 dari Bagian
Pemerintahan;
“…kami harus siap, namun intinya butuh dukungan
anggaran dari pusat. Mas coba tau ngga berapa pagu
indikatif di kecamatan… ada yang di bawah 500 juta dan
ada juga yang 500 juta. Belum lagi kondisi pegawai di
kecamatan banyak sekali yang kurang berkompeten. Pada
Intinya dukungan anggaran dari pusat…” (wawancara,
Oktober 2017).
Berkaitan dengan itu Informan 19 dari Direktorat
Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian
Dalam Negeri mengatakan bahwa;
“….saya banyak didatangi camat untuk konsultasi berkaitan
masalah pelimpahan wewenang. Setiap kabupaten kota
permasalahanya berbeda beda, ada yang anggaran
mencukupi namun kondisi Sumber daya manusianya yang
terbatas, bahkan ada yang kedua duanya juga terbatas. Nah
itu semua merupakan masalah klasik……” (wawancara,
Oktober 2017)
Berdasarkan wawancara di atas ketika membahas
masalah persepsi, pada intinya kecamatan, memiliki
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 179
kemauan dan keinginan untuk menyelengarakan
kewenangan pemerintahan umum. Namun lebih lanjut
ketika berbicara tentang kemampuan dan kesiapan ini
merupakan suatu hal yang masih diragukan oleh pemerintah
kabupaten pandeglang, karena pagu indikatif pada
kecamatan selama ini sangatlah minim. Berdasarkan data
Rencana kerja Pagu indikatif Kecamatan Rp
710.757.600,00 pada tahun 2017 dan menurut keterangan
500 juta bahkan di bawah 500 juta pada tahun-tahun
sebelumnya. Ditambah lagi keterbatasan Sumberdaya
manusia, sehingga pesimis penyelengaraan pemerintahan
umum tersebut akan berjalan efektif jika nantinya peraturan
pemerintah dan permendagri ditetapkan namun tidak
mendapatkan alokasi anggaran khusus dari Pemerintah
Pusat. Lebih lanjut ketika melihat Identifikasi permasalahan
sebagaimana dituangkan pada dokumen Renstra (Rencana
Strategis) 2016-2021 menggambarkan kondisi kecukupan
lembaga kecamatan yang dianggap dapat mempengaruhi
pencapaian kinerja atas tugas dan fungsi diantaranya
sebagai berikut (1) Sumber daya manusia yang belum
profesional, (2) Sarana dan prasarana yang belum lengkap
sesuai dengan kebutuhan, (3) Administrasi yang belum
tertib, (4) Sistem dan prosedur kerja belum berjalan optimal,
(5) Kurangnya kesadaran dan peran aktif masyarakat akan
program yang dilaksanakan.
Berkaitan dengan itu mengenai penjelasan belum
ditetapkanya peraturan pemerintah terkait penyelenggaraan
pemerintahan umum serta penjelasan mengenai dukungan
angggaran Informan 17 dari Direktorat Jenderal Politik dan
pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri
mengatakah bahwa ;
“Kalau vertikalisasi sudah exersice bahwa APBN itu akan
kebebanan 10 Triliyun… iyaa, gajinya dan sebagainya kan
harus APBN kota dong, dari mana ? ya sementara APBN
mengeluarkan untuk dana desa saja sudah 70 triliyun setiap
tahun kan, dan itu RKPK kita saja sehingga PP itu tidak
mau ditanda tangani, nah apabila sekarang pak Presiden
tahu tidak kalau dia tidak mau tanda tangan itu berarti dia
melanggar UU. Kalau melanggar UU itu di impeachment,
ada ga orang yang mau memberitahu itu kepada Presiden,
seharusnya tugas Sekneg dong, Sekneg memberitahu itu
180 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
tidak, presiden itu tugasnya sibuk banget kan, seharusnya
orang dong yang memberitahu ke dia, bagaimana dia
bergerak, memantau infrastruktur seluruh Indonesia, belum
dia harus mengahadapi isu-isu politik dan sebagainya begitu
lho pak. Jadi sampai sekarang kami itu bekerja baik dan
utamanya di daerah bingung, kalau pasal 18 122 itu bahwa
Bakesbangkol adalah SKPD artinya ditanggung oleh
APBD, iya kan pak, tetapi disana mereka DPR yang
mungkin kalau Bupatinya yang mengerti akan memberikan
anggaran. Tetapi Bupati yang tidak mengerti itu malah tidak
memberikan pra dana bahkan ada dana yang untuk gaji
doang, berarti tidak ada persiapan, begitu pak
situasinya..”(wawancara, Oktober 2017)
Lebih lanjut menurut Informan 18 dari Direktorat
Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian
Dalam Negeri menambahkan bahwa;
“….di Pasal 25 terkait urusan PUM, terkait Fungsi tugas
ada di pasal 25 ayat 1 (a) sampai (g) , jelas bahwa mereka
menjaga keutuhan NKRI,dari sisi menjaga pancasila, UUD
45, kebhinekaan sampai pemeliharaan keutuhan NKRI. Di
Forkopim memang disebutkan di ayat 4 tentang anggota
forum komunikasi pimpinan kecamatan terdiri atas
pimpinan kepolisian dan pimpinan kewilayahan tentara di
kecamatan. Memang tugasnya itu waktu di RPP itu, karena
camat itu yang memegang wilayah sampai bawah maka
harus dibentuk Forkopimcam untuk membantu kepala
daerah tapi melapor lewat Kesbang. Karena kita harus ada
struktur, mengingat di Kesbangpol itu tugasnya di dalam
penyusunan itu sebagai sekretaris di keanggotaannya.
Waktu disusun ketuanya itu tetap kepala daerah, ada eks
ofisio itu Sekda, Cuma sekretarisnya Kesbang, karena
sebagai penyambung bisa berkoordinasi ke atas dan
koordinasi ke bawah. Cuma Presiden berpendapat lain,
terkait unsur politiknya itu kita tidak tahu, karena waktu itu
kita ratas tanggal 31 Mei 2016 di Sekab, Presiden menunda.
Akhirnya berdampaklah pada urusan Forkopimda, karena
pendanaannya ga jelas. Tapi di awal secara eksplisit di UU
23 ini sebenanya APBN itu bunyinya kalau tidak salah di
Forkorpimda dapat dibiayai dengan APBN. Jadi tidak harus,
karena urusan pemerintah umum memang APBN namun
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 181
Forkorpimda atau Forkorpimcam tidak harus APBN, APBD
pun bisa. Buktinya dapat dilihat di Permendagri 33 tahun
2017 Pedum APBD untuk penganggarannya 2018 itu ada di
lampiranya. Forkompimda dapat didanai dengan APBD..”
(wawancara, Oktober 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa penyeleng-
garaan pemerintahan umum sebagaimana amanat Undang
undang Nomor 23 tahun 2014 dalam tataran pelaksanaanya
selain terjadi kendala di tingkat pemerintahan daerah yang
menitik beratkan pada dukungan anggaran dari pemerintah
pusat, juga di tingkat pemerintah pusat yang menitik
beratkan pada besarnya anggaran untuk mendanai
penyelengaraanya di seluruh kabupaten dan kota di
Indonesia. Namun dalam Pedoman Umum APBD 2018 ada
alternalif lain ketika kabupaten/kota berkehendak memulai
menyelenggarakan urusan pemerintahan umum yaitu
dengan mendanai kegiatan Forkopimda hingga Forkopimka.
Hal tersebut bisa dilakukan agar tidak terjadi kekosongan
penyelenggaraan urusan pemerintahan umum. Pada
prinsipnya kegiatan-kegitan Forkopimda serta Forkopimka
yang berjalan selama ini juga merupakan kegiatan yang
mengarah pada tercapainya tujuan penyelenggaraan
pemerintahan umum, seperti koordinasi kegiatan
pengelolaan kewilayahan dengan tugas dan fungsi yang
dilaksanakan oleh Kapolsek dan Koramil. Pada dasarnya
secara operasional ditetapkanya kecamatan sebagai
penyelengara kewenangan pemerintahan umum
sebagaimana dikatakan Informan 17 dari Direktorat
Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian
Dalam Negeri sebagai berikut ;
“Kemarin kebetulan kita rapat, jadi alangkah baiknya ini
dalam rangka diteksi dini ya, ini kaitannya dengan
Kesbangpol, ada forum-forum di kecamatan yang bisa
melihat kira-kira kan sebelum desa kan mereka dan kalau
kita rujuk-rujuk misalnya ada konflik di mana sih ooh di
desa ini, pas bentuk-bentuknya sangsi ke desa, kalau di kota
ke kelurahan ini , jadi fungsi kecamatan itu melakukan
diteksi dini, sekalipun diteksi dini ini adalah tugas awal
intelijen ya, nah setelah mereka sudah mendapatkan
pemetaan dimana konflik, konflik parah, konflik tidak parah
182 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
atau baru mulai konflik itu di koodinasikan di tingkat
kecamatan dengan lintas stakeholder begitu, dan laporan itu
harus cepat, karena yang namanya konflik itu kadang kita
belum melapor sudah ada konflik yang baru disana, cepat ya
pak , jadi fungsinya di situ ya itu , kalau menurut saya ya ..”
(wawancara,Oktober 2017)
Lebih lanjut berkaitan dengan itu Informan 19 dari
Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan
Kementerian Dalam Negeri juga mengatakan ;
“….polpum tadi, walaupun ada missed hukum lah kenapa
dihubungkan kebijakan politik dengan misalnya mengarah
kesana tapi kita bicara filosofi Undang-Undang 23
penguatan camat, jadi camat dia harus sebagai perangkat
daerah, tapi camat harus melaksanakan fungsi wilayah,
kenapa ? dia punya wilayah jadi harus melaksanakan
pemerintahan umum. Koordinasi dengan teknis vertikal itu
kewenangan camat. Jadi Polsek, Danramil itu adalah di
bawah kendali camat endingnya fungsi trantib dan kesatuan
bangsa. Itulah urusan pemerintahan umum pembinaan
wilayah terhadap desa itu kan bagian dari fungsi negara
sebenarnya bukan fungsi wilayah . itu camat sebagai
perangkat daerah itu secara melekat, secara altributif
undang-undang memerintahkan pak camat melaksanakan
ini. Karena itu adalah esensi tugas pemerintah negara maka
APBN akan masuk ke camat untuk mendanai itu…”
(wawancara,Oktober 2017)
Terkait dengan itu, Informan 23 dari Pusat Telaah
dan Informasi Regional mengatakan;
“….dalam konteks kesatuan trantibum dan perlindungan
masyarakat pasti mereka bersinergi otomatis dengan
kewilayahan. Apa arti bersinergi, otomatis dengan
kewilayahan, wilayah itu adalah kecamatan. Dalam
sepemahan saya jadi belum ada juklak tentang
penyelenggaraan pemerintah umum, tapi praktiknya yang
saya pahami itu tetap dijalankan. Ini akan jauh lebih efektif
kalau sudah keluar. Emang jumlahnya dan otomatis nanti
kan pasti ada dampak anggarannya yang membuat
Kecamatan jadi lebih leluasa. Camat lebih leluasa
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 183
memfasilitasi forkopimka. Mungkin levelnya sudah bukan
reaktif, harusnya proaktif.” (Wawancara, September 2018)
Wawawancara tersebut menjelaskan keberadaan
kecamatan dan terbentuknya forum di kecamatan pada
penyelenggaraan pemerintahan umum dalam rangka deteksi
dini dan pemetaan tingkatan konflik. Setelah melakukan
deteksi dini dan memetakan lalu dikoodinasikan di tingkat
kecamatan dengan lintas stakeholder. Dalam hal ini camat
selaku pimpinan Forkopimka. Kapolsek, Danramil di bawah
kendali camat yang arahnya terkait dengan trantib dan
kesatuan bangsa. Karena pemerintahan umum merupakan
perwujudan dari tujuan penyelenggaraan Negara maka
pendanaanya bersumber dari APBN.
Masih berkaitan dengan itu dan merujuk dari
wawancara-wawancara sebelumnya jika dengan adanya
dukungan dana, kecamatan dimungkinkan akan bisa lebih
leluasa dan pro aktif dalam penyelengaraan pemerintahan
umum. Namun untuk pemerintah kabupaten pandeglang
menurut hemat peneliti belum mampu mengambil langkah
sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 33 Tahun 2017 Tentang Pedoman Umum
APBD tahun 2018 perihal pengalokasian dari APBD untuk
mendanai kegiatan Forkopimka, mengingat keterbatasan
kemampuan APBD serta lebih cenderung memfokuskan
anggaran pada skala prioritas sebagaimana diamanatkan
oleh RPJMD kabupaten Pandeglang yang sedang berjalan.
Berkaitan dengan itu, perihal keterbatasan
kemampuan APBD daerah untuk pendanaan kegiatan
Forkopim baik daerah maupun kecamatan dijelaskan pula
oleh Informan 18 dari Direktorat Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri;
“….banyak juga camat yang konsultasi pada kita, waktu itu
ada konsultasi sama kita ada lima orang ….Kalau saya
paling menanyakan anggaran itu, karena koordinasi antar
Polres sama Koramil kadang mereka itu beranggapan pola
pikir kita itu adalah anggaran dan anggaran dulu, jeleknya
di situ kalau kita bilang. Sebenarnya kalau kita kerja dengan
aturan yang sudah jelas itu pasti anggarannya turun sendiri
kan, karena kita kerja itu kan pakai ongkos ya, istilah jalan
memantau situasi dari daerah ke daerah lain. Akhirnya kita
184 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
jelaskan untuk sementara tidak bisa dianggarkan karena
RPP nya tidak jadi ditandatangani oleh Presiden,
sebutannya ditunda lah sampai batas waktu yang tidak bisa
ditentukan. Cuma ada yang tanya “ ada kebijakan lain ga “
saya bilang tidak ada. Untuk ini tidak ada karena di UU
jelas, kita harus tunggu PP nya, kalau sudah ditandatangi
baru bisa kita bergerak…”(wawancara, Oktober 2017)
Berdasarkan penjelasan beberapa wawancara di atas
maka peneliti mencoba menggambarkan kondisi eksisting
penyelenggaraan pemerintahan umum pada kecamatan serta
persepsi Pemerintah kabupaten pandeglang serta perangkat
daerah kecamatan yang dilihat dari kemampuan, kesiapan
dan keinginan sebagai berikut;
Gambar 9.20
Kondisi Eksisting Kebijakan Penyelenggaraan
Pemerintahan Umum
Sumber Data Diolah Peneliti 2017
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 185
b. Penyelenggaraan Kewenangan Camat Atas Pelimpahan
Wewenang Dari Bupati (Sebagai Perangkat Daerah) Yang
Berkaitan Dengan Amanat Penyelenggaraan Pemerintahan
Umum
Yang dianggap kontraproduktif terhadap pencapaian
tujuan penyelengaraan pemerintahan umum, misalnya pada
tahun 2015 lalu Pemerintah kabupaten lebak yang telah
melarang berbagai aktifitas Organisasi Gerakan Fajar
Nusantara (GAFATAR), namun pencekalan tersebut
dikawatirkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Pandeglang jika seluruh aktifitas organisasi tersebut
berpindah ke pandeglang, alasannya karena letak yang
berdekatan dan kultur yang tidak berbeda jauh (banten Hits,
16 Januari 2016). Selanjutnya sebagaimana dikutip dari
(detakbanten.com 24 Februari 2016) dengan berita yang
berjudul antisipasi konflik sara, Bakesbangpol Pandeglang
Gelar Rakor. Dalam isi berita tersebut bahwa pembentukan
dan keberadaan Forum Pembaruan Kebangsaan (FPK),
dibentuk untuk mengantisipasi terjadinya potensi konflik di
dalam masyarakat yang disebabkan oleh masalah suku,
agama dan ras. FPK telah dibentuk di 8 (delapan)
kecamatan di kabupaten pandeglang yakni di kecamatan
Pandeglang, Majasari, Karangtanjung, Cadasari, Labuan,
Paninmbang, Cikeusik, Sumur. Langkah awal yang akan
dilakkukan oleh FPK adalah melakukan pembinaan secara
konsiten pada 51 orang ex anggota GAFATAR yang telah
dipulangkan ke kampung halamannya di Pandeglang.
Beberapa hal di atas yang terjadi dalam kurun waktu
2015 hingga saat ini menandakan bahwa kondisi empiris
yang terjadi beserta kopleksitasnya membawa pada
tantangan bahkan ancaman atas tercapainya tujuan dari
penyelengaraan pemerintahan umum tersebut yang
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014. Mewujudkan tujuan dari pemerintahan umum
kedepannya memang menjadi tantangan tersendiri bagi
perangkat daerah kecamatan, jika dari sekarang tidak fokus
dan memulai untuk intens melaksanakan koordinasi dengan
unsur-unsur terkait termasuk perangkat daerah yang ada
kapan lagi. Itu semua baru pada permasalahan empiris
tentang SARA (Suku Agama dan Ras) yang memicu
terjadinya Konflik horisontal.
186 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Terkait dengan penjelasan tersebut diketahui bahwa
pada dasarnya pemerintahan umum membawa kecamatan
sebagai perangkat wilayah administrasi yang akan
difokuskan pada kewenangan Ketentraman dan ketertiban
umum serta kesatuan bangsa. Sejauh ini dalam pengaturan
kewenangan camat/kecamatan hal-hal tersebut sudah
diselenggarakan dalam kapasitas kewenangan perangkat
daerah sebagaimana dikatakan Informan 3 dari Kecamatan
Karang Tanjung sebagai berikut;
“….kalau yang kaitanya dengan ketentraman dan ketertiban
umum dari dulu kecamatan selalu intens menjalin
koordinasi dengan polsek, koramil dan tokoh masyarakat.
Jadi selalu kita pantau kaitanya dengan hal hal yang bisa
memicu tidak stabilnya ketentraman dan ketertiban
masyarakat. Baru baru ini di kecamatan karang tanjung ini
ada permasalahan yang memicu konflik yaitu keberadaan
kampung domba dengan masyarakat. Ya intinya di
kampung domba itu keberadaanya dinilai bertentangan
dengan nilai-nilai islam. Kalau aktifitasnya memicu maksiat
kan artinya bertentangan dengan nilai islam. Kecamatan
harus turun itu mengkomunikasikan dan akhirnya sudah
bisa kita tangani. Ada lagi yang sama izin usaha dalam
pelaksanaanya dianggap bertentangan dengan masyarakat
dan ulama kita juga harus turun menyelesaikan. Semua itu
juga selalu kita koordinasikan dengan polsek.” (wawancara,
Juli 2018)
Sejalan dengan itu Informan 6 dari Kecamatan
Panimbang mengatakan;
“…saya membantu bagaimana ini Tanjung lesung bisa
mengembangkan usahanya kemudian saya juga menjaga
kondisi bersama Forkopimka supaya aman, sebap tidak
mungkin investasi bisa berjalan kalau tidak aman, sebatas
itu saja pak.” (wawancara, Agustus 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa dalam
kewenangan ketentraman dan ketertiban umum sendiri
kecamatan memiliki kesungguhan dalam menyelenggarakan
hal itu terlihat dari responsifnya kecamatan kaitanya dengan
aduan atau permasalahan yang bepotensi mengganggu
stabilitas keamanan dan konflik di wilayah kerjanya.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 187
Keberadaan Polsek, Koramil dan tokoh masyarakat
dijadikan mitra dalam mendukung penciptaan stabilitas
keamanan di wilayah kerja Kecamatan. Adapun
dicontohkan kegiatan camat dalam menyelenggarakan
kewenangan ketentraman dan ketertiban umum
sebagaimana gambar berikut;
Gambar 9.21
Razia Penjualan Minuman Keras (Miras) Sekitar Kawasan
Wisata Tanjung Lesung.
Sumber: (Akun Media Sosial LSM Laskar Siliwangi, 2017)
Gambar tersebut adalah razia penjual minuman keras
pada tanggal 22 Maret 2017 yang dipimpin oleh camat
panimbang. Keberadaan penjual minuman keras tersebut
dianggap meresahkan masyarakat, ditambah lagi makin
bermunculanya pengusaha-pengusaha minuman keras yang
berdatangan dari luar kota. Lebih lanjut diketahui bahwa
Ketentraman dan ketertiban sendiri dalam struktur
kecamatan dibidangi oleh seksi Ketentraman dan
Ketertiban. Dari dokumen laporan penyelenggaraan
kewenangan ketentraman dan ketertiban umum sediri dapat
dikatakan cukup efektif diselenggarakan oleh kecamatan.
Dari laporan bulanan dari masing masing kecamatan secara
rutin melaporkan Keadaan Tramtibum, Laporan Eks Tapol
G.30.S/PKI, Keramaian dan Hiburan, Daftar Hadir Piket,
Daftar Jaga Piket.
188 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Efektifnya penyelenggaraan kewenangan kecamatan
pada ketentraman dan ketertiban sebagaimana dikatakan
oleh Informan 4 dari Kecamatan Majasari sebagai berikut:
“Kalu menurut saya masih berfungsi, apalagi kecamatan
yang rawan bencana kan perlu tramtib, sedangkan tramtib
itu kan jalurnya ke Satpol pp, sedangkan pol pp sendiri kan
hansip juga kan sekarang bukan di kesbangpol tapi di pol
pp, sedangkan di kecamatan hansip di desa-desannya itu
harus ada hansip” (wawancara, Agustus 2017)
Hal itu diperkuat dengan salah satu alasan penetapan
struktuktur organisasi kecamatan kabupaten pandeglang
seluruhnya ke dalam Tipe A sebagaimana dikatakan
Informan 16 dari Bagian Organisasi sebagai berikut;
“….kalau ditetapkan dalam beban kerja yang rendah/ Tipe
B pasti dalam melaksanakan tugas dan fungsinya akan
mengalami kualahan, terutama saat pelaksanaan pemilihan
umum atau saat penyaluran bantuan yang ada di desa atau
kelurahan yang dinaunginya. Intinya semakin rendah tipe
jumlah kepala seksinya makin rendah, hanya 3 kepala seksi
pastinya jumlah Pegawainya juga berkurang, makanya
kalau ga dimaksimalkan ke Tipe A kualahan untuk daerah
terpencil.” (wawancara, Agustus 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa pentingnya
kewenangan ketentaman dan ketertiban diselenggarakan
oleh kecamatan hal itu ditandai dengan dimaksimalkanya
Tipe kecamatan di seluruh kabupaten pandeglang dalam
Tipe A dengan komposisi 5 seksi, karena memang selain
efektif guna menjaga stabilitas ketentraman dan ketertiban,
juga dianggap sangat penting untuk wilayah kerja
kecamatan yang dianggap sebagai zona rawan bencana
alam, begitu juga pada kecamatan yang khususnya wilayah
kerjanya terdiri dari desa. Terkait pentingnya penyeleng-
garaan kewenangan ketentraman dan ketertiban bagi desa
dan kelurahan, mengulang petikan wawancara sebelumnya
sebagaimana dikatakan Informan 17 dari Direktorat
Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian
Dalam Negeri sebagai berikut;
“…misalnya ada konflik di mana sih ooh di desa ini, pas
bentuk-bentuknya sangsi ke desa, kalau di kota ke
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 189
kelurahan ini , jadi fungsi kecamatan itu melakukan diteksi
dini, sekalipun diteksi dini ini adalah tugas awal intelijen
ya, nah setelah mereka sudah mendapatkan pemetaan
dimana konflik, konflik parah, konflik tidak parah atau baru
mulai konflik..” (wawancara, Oktober 2017)
Kemudian dalam kaitanya dengan kecamatan yang
masuk zona rawan bencana alam, pada dasarnya camat/
kecamatan sudah mendapatkan pelimpahan kewenangan
dalam bidang kesatuan bangsa dan politik dalam negeri
sebagai berikut;
Tabel 9.10
Kewenangan Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam
Negeri
Sub Bidang Kewenangan Kecamatan
1. Bencana Alam 1. Pemantauan Bencana dan
rawan bencana
2. Tanggap Darurat
3. Perlindungan
Masyarakat
Fasilitasi Rekrutmen Anggota
Linmas
4. Organisasi Merekomendasikan izin
pendaftaran lembaga swadaya
masyarakat yang bergerak dalam
bidang sosial, organisasi sosial,
panti sosial
Sumber: Lampiran Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2013
Berdasarkan penjelasan tabel di atas ketika meninjau
seberapa optimal kewenangan bidang kesatuan bangsa dan
politik dalam negeri dilaksanakan, maka dari hasil
penelitian diketahui bahwa sejauh kewenangan tersebut
memiliki relevansi dengan bagian dari struktur organisasi
kecamatan, kewenangan tersebut terselenggara cukup
optimal. Dalam hal ini terkait Pemantauan Bencana dan
rawan bencana, Tanggap Darurat cukup efektif
diselenggarakan melalui seksi ketentraman dan ketertiban
kecamatan. Namun jika kewenangan bidang Kesatuan
bangsa dan politik, serta kewenangan ketentraman dan
ketertiban umum yang saat ini diselenggarakan oleh
kecamatan dibandingkan dengan amanat Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 seperti pada Pasal 25 ayat (1)
190 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud
meliputi (a) pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan
nasional dalam rangka memantapkan pengamalan Pancasila,
pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pelestarian Bhinneka Tunggal Ika
serta pemertahanan dan pemeliharaan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia; (b) pembinaan persatuan dan
kesatuan bangsa. Tentunya kewenangan yang dimiliki saat
ini belum cukup akomodatif, selain itu perangkat daerah
yang cukup relevan dengan itu adalah Badan Kesatuan
Bangsa dan Politik. Adapun dicontohkan salah satu kegiatan
yang dilakukankan camat sebagai berikut;
Gambar 9.22
Pembinaan dan Pembagian Insentif RT RW, dan LINMAS
Kelurahan di Kecamatan Majasari
Sumber : (Akun Sosial Media Kecamatan Majasari, 2018)
Gambar tersebut adalah kegiatan Pembagian Insentif
RT RW, LINMAS Kelurahan di lingkungan Kecamatan
Majasari oleh camat Majasari pada tanggal 18 September
2018, sekaligus pembinaan pada RT RW, LINMAS
Kelurahan. Berkaitan dengan itu Informan 3 dari
Kecamatan Karang Tanjung mengatakan sebagai berikut;
“Kalau seperti yang diamanatkan sama pemerintahan umum
membina wawasan kebangsaan dan lain sebagainya itu
sekarang kewenanganya ada Bakesbangpol pak. Kecamatan
belum ke situ. Termasuk masalah anggaran yang seperti
bapak maksud kami belum ke arah situ, menyelenggarakan
kegiatan kegiatan yang spesifik seperti itu. Mungkin kita
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 191
hanya memfasilitasi saja jika memang dibutukan oleh
bakesbangpol. Tapi kalau masalah ketentraman ketertiban
umum yang berpotensi pada gangguan stabilitas keamanan
dan ketertiban kami jalankan, ya termasuk yang saya
katakana tadi dengan menjalin koordinasi dengan
forkopimka polsek, koramil itu selalu kita lakukan.
(wawancara, Juli 2018)
Wawancara tersebut menjelaskan dan menegaskan
bahwa kecamatan saat ini hanya berkutat pada mengisi
kekosongan atas amanat penyelenggaraan pemerintahan
umum melalui kewenanganya sebagai perangkat daerah.
Ketika dalam amanat penyelengaraan pemerintahan umum
kecamatan akan difokuskan pada ketentaman, ketertiban
umun serta kesatuan bangsa dan politik, kecamatan yang
memungkinkan dari sisi kewenangan hanya pada
ketentraman dan ketertiban umum. Untuk kesatuan bangsa
dan politik kekosongan itu kewenanganya dilaksanakan
oleh bupati serta Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
Kabupaten Pandeglang.
Pandangan strategis camat diposisikan sebagai
penyelenggara pemerintahan umum Informan 24 dari
Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum
Kementerian Dalam Negeri mengatakan;
“Sebetulnya kesbang itu enggak bisa kerja sendiri…
stakeholder dia kan polisi TNI BIN KUMHAM
kejaksaan…. selama ini untuk pengawasan orang asing
dengan kumham stabilitas dengan TNI informasi dengan
BIN dan lainnya itu mereka dapatkan dari institusi samping
dan pasti formatnya pun format terkait pertahanan
keamanan dengan moneter yang absolut…Camat sebetulnya
satu-satunya perangkat yang bisa diandalkan gak mungkin
dia mencari keseluruh Kecamatan mencari informasi nggak
mungkin harusnya cukup informasi dari camat istilahnya
benang jatuh di jerami pun ketika Camat mengetahui itu
sampaikan dan itu informasikan dengan camat-camat yang
lain yang berjalan di kecamatan.” (Wawancara, September
2018)
Wawancara tersebut menjelaskan, asumsinya jika
penyelenggaraan pemerintahan umum sudah berjalan secara
192 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
efektif (Instansi Vertikal Direktorat Jendral Politik dan
Pemerintahan Umum sudah ada di kabupaten/kota), satu
satunya mitra yang strategis dalam bidang kesatuan bangsa
yang paling strategis adalah Kecamatan. Hal itu karena
kecamatan adalah perangkat kewilayahan. Sharing
informasi dengan kecamatan-kecamatan yang lain pun
relatif mudah dengan format kesatuan bangsa, dibandingkan
dengan pihak TNI dan Polri yang cenderung informasinya
dengan format pertahanan dan keamanan.
Dalam masa transisi, adapun alternatif lain yang
dimungkinkan dapat dilakukan oleh kabupaten/kota agar
kewenangan kesbang bisa dibagi dengan kecamatan.
Informan 26 dari Direktoran Jendral Bina Administrasi
Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri mengatakan;
“Kan kesbang dan camat sama sama perangkat daerah tetapi
kalau kita bicara kesbang itukan ibaratnya kesbang wilayah
kabupaten secara menyeluruh sementara camat kecamatan
bukan mengambil kesbang untuk kecamatan kami akan
berikan ke kecamatan semua kesbang ini mungkin bisa
mensharing bukan mengambil karenakan ibaratnya kalo di
jalankan kesbang ini untuk wilayah kabupaten secara utuh
membagi yaa sepeti perizinan dengan batasan tertentu bisa
di bagi di kecamatan.… Bisa karena di undang undang di
bunyikan selagi itu benar walaupun saya pribadi
menganggap itu bertolak belakang mau tidak mau
pemerintah pusat berapapun dananya satu rupiahpun harus
ada dari APBN.” (Wawancara, September 2018)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa, sebetulnya
sangat memungkinkan jika bupati atau walikota dalam
menjalankan amanat penyelenggaraan pemerintahan umum
khususnya penyelenggaraan di tingkat kecamatan pada
masa transisi ini, mengambil langkah dengan mensharing
kewenangan beserta anggaran dari perangkat daerah Badan
kesatuan Bangsa dan politik kepada kecamatan.
Selanjutnya terkait dengan kesatuan bangsa dan
politik, adapun dinamika mengenai pola keseimbangan
antara pemerintah, Masyarakat/Ulama dengan investor.
Diketahui bahwa masyarakat Kabupaten Pandegalang
memiliki kultur, yang menganggap ulama sebagai patron
dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan penyeleng-
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 193
garaan Pemerintahan daerah. Kondisi seperti itu merupakan
suatu primordialisme yang sama sekali tidak akan bisa
ditiadakan dalam pelaksanaannya. Apakah hal semacam itu
dianggap sebagai sebuah tantangan. Tidak bisa dinafikan
bahwa dimanapun kultur merupakan bagian dari ekologi di
luar sistem birokrasi yang mana keberadaanya bisa menjadi
bumerang apabila tidak dikelola dengan baik dalam
pelaksanaannya. Sesuai dengan konsep tata kelola di sini
pada dasarnya dalam penyelenggaraan pemerintahan unsur
apa saja yang harus dikelola, jawabannya adalah ketiga
unsur antara negara/ pemerintah, swasta dan masyarakat
sipil harus dikelola secara seimbang agar cita-cita
penyelengaraan pemerintah daerah dapat tercapai.
Unsur di sini dicontohkan di kabupaten pandeglang
pada wilayah kerja perangkat daerah kecamatan tertentu
akan ada investor yang menanamkan modal, efek
keberadaan investor kita tau selain memberikan peningkatan
pada PAD (Pendapatan Asli Daerah) juga meningkatkan
PDRB sehinggga muaranya akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi masyarakat kabupaten Pandeglang.
Namun ketika investasi tersebut dirasa sedikit bertentangan
dengan nilai-nilai syariat maka akan ada resistensi dari
masyarakat dan ulama. Lalu di sini dalam prosesnya ada
dua kemungkinan yang akan terjadi, yang pertama investor
itu akan jadi masuk karena Pemerintah daerah mampu
menjembatani dan menemukan jalan tengah dengan
masyarakat dan ulama, sedang kemungkinan kedua
Pemerintah tidak mampu mencarikan jalan tengah sehingga
investor tidak jadi menanamkan modalnya dan berdampak
salah satunya pada pertumbuhan ekonomi yang jalan di
tempat.
Perlu diketahui berdasarkan informasi yang diperoleh
dari Informan 2 dari Kecamatan Pandeglang yang
mengatakan bahwa, kurangnya investor menyebabkan PAD
(Pandapatan Asli Daerah) hanya mengandalkan dari PBB
(Pajak Bumi Dan Bangunan). Petikan wawancara sebagai
berikut ;
“....saya datang di pandeglang ini sebagai pegawai sejak
tahun 1990, saya amati sampai saat ini progres
pembangunan belum terlihat signifikan. Ya selama ini
memang PBB lah yang dijadikan sumber utama PAD.
194 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Kalau masalah investor itu yang susah” (wawancara,
Agustus 2017)
Penolakan Investor oleh masyarakat bisa
sebagaimana dikutip dari (banten hits, Tanggal 11,
November 2015).
“Ratusan warga yang tergabung dalam jamiyatul
muslimin menggelar istigasah di kawasan parkir DPRD
Provinsi Banten, Rabu (11/11/2015). Hadir dalam istigasah
tersebut sejumlah ulama terkemuka seperti Abuya Mutadi,
pimpinan Pondok Pesantren Cidahu, Kecamatan Cadasari,
Kabupaten Pandeglang”.
Gambar 9.23
Unjuk Rasa Tolak Pendirian Perusahaan Air
Sumber : Banten Hits 2015
Gambar 9.24
Ulama dan Santri Doakan Investasi Perusahaan Batal
Sumber : Foto: Liputan Banten/Iqbal Senin 14/3/2016
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 195
Lebih lanjut terkait dengan pembangunan pendeglang
yang belum signifikan hingga saat ini kemudian rendahnya
PAD akibat terbatasnya sektor penerimaan asli daerah serta
tidak mudahnya menumbuhkan investasi di kabupaten
mengingat kultur religiusitas masyarakat pandeglang.
Menyikapi hal itu Informan 21 sebagai Tokoh Masyarakat
memiliki pandangan dengan mengatakan;
“…problemnya iya betul, problem mengkomunikasikan.
Tapi bukan berhenti pada bagaimana mengkomuni-kasikan,
tapi itu harus terus dikomunikasikan. Artinya kalau kita
mengarah pada difusi inovasi misalnya ada proses-proses
pengkomunikasian dan mengkomukasikan sesuatu itu tidak
boleh sekali tapi harus berkelanjutan, makanya saya kira
pemerintah daerah itu harus punya agenda seting yang jelas,
nah persoalanya pemerintah daerah tidak punya agenda
seting, hanya menunggu datang investor, tapi ngga jelas
investornya siapa, nah nggak jelas juga mensosialisasikanya
pada masyarakat, tapi kalau misalnya ada agenda seting
pembangunan yang jelas misalnya dia katakan di RPJMD
dan lain sebagainya, tapi harus fiks betul misalnya oke kita
butuh investor…, investornya katagorinya ini, ini, ini.
Investor yang katagori itu sebelumnya dikomunikasikan
dahulu di semua lapisan masyarakat termasuk ulama,
sehingga ketika investor datang sudah selesai persoalanya.
Yang terjadi saat ini investor datang baru dikomunikasikan
dengan ulama, yai iya ngga jelas. Makanya perencanaan itu
penting melalui jaring aspirasi masyarakat, dijaring lah
aspirasi masyarakat bahwa pandeglang 5 tahun ke depan
akan harus jadi begini begini begini. Untuk jadi seperti itu
butuh investor seperti ini, ada ngga benturan nilai dan lain
sebagainya dengan masyarakat dikomunikasikan terlebih
dahulu dengan ulama. Kalau sudah fiks diputuskan baru
setelah itu investor datang. Jadi bukan datang investor baru
dikomunikasikan dengan ulama ini repot. (wawancara, Mei
2018)
Uraian di atas menjelaskan begitulah potret kultur
masyarakat Kabupaten Pandeglang, yang mana secara bijak
harus dipandang sebagai lokalitas yang arif. Dan
seyogyanya sebagai aktor penyelengara pemerintah daerah
harus selalu dan selalu mencari sisi keseimbangan di dalam
196 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
melaksanakan kegiatan pemerintahan khususnya penyeleng-
garaan di wilayah kerja Kecamatan, salah satunya pada
bagaimana mencari keseimbangan sebagai formula yang
tepat untuk mengawal kebijakan dan kepentingan
pemerintah kabupaten guna mendatangkan investor untuk
meningkatkan perekonomian lokal, namun tetap dalam
kerangka menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta
kerukunan antar suku dan intra suku, umat beragama, ras,
golongan lainnya guna mewujudkan stabilitas kemanan
lokal, regional, dan nasional;
Gambar 9.25
Acara Tausyiah Kebangsaan di Pondok Pesantren Nurul
Mursyidah
Sumber : http://www.kabar-banten.com
Berkaitan dengan itu sebagaimana dikutip dari
(http://www.kabar-banten.com, 16 Agustus 2017) dalam
kesempatan acara Tausyiah Kebangsaan di Pondok
Pesantren Nurul Mursyidah, Karang Tanjung, Bupati
Pandeglang menyatakan bahwa keberadaan ulama dan
pemerintah harus bersinergi untuk bersama-sama
membangun Kabupaten Pandeglang yang maju, berkah dan
berkeadilan. Oleh karenanya, peran ulama sangat penting
untuk membina umat, begitu juga umarah (pemerintah)
akan tetap memegang nasihat dan tausiyah para alim ulama.
Lebih lanjut Bupati Pandeglang irma mengatakan ;
“....Pemkab Pandeglang akan terus melakukan pembinaan
ponpes melalui dana APBD atau dana hibah” katanya.
Acara dalam rangka menyambut HUT ke-72 RI ini
bertemakan “Mensyukuri Anugerah Kemerdekaan
Indonesia....”.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 197
Dari petikan wawancara tersebut menandakan
bahwasanya pemerintah kabupaten pandeglang dalam
penyelengaraan pemerintahannya memiliki kemauan untuk
menempatkan ulama sebagai mitra. Dengan itu diharapkan
terjadi suatu harmoni dan sinergitas dalam menjalankan
roda pemerintahan daerah sesuai dengan kapasitas yang
dimilikinya. Sehingga asumsi-asumsi yang ada perihal
resistensi dari masyarakat/kelompok masyarakat terhadap
kebijakan yang akan ditetapkan dapat dieliminir, dengan
catatan baik pemerintah dan jejaring kemitraan pemerintah
yang ada seperti masyarakat/ulama, dan sektor swasta
menyepakati atas apa-apa yang menjadi rambu-rambu yang
diharapkan masing masing pihak, hingga mencapai titik
keseimbangan. Dalam hal ini keseimbangan bukan berarti
pemerintah kabupaten dalam pelaksanaanya menuntut porsi
yang sama dalam keseimbangan. Namun pemerintah
kabupaten beserta swasta harus memposisikan bahwa porsi
masyarakat/ulama harus lebih besar untuk diakomodir. Pada
akhirnya kesepakatan dalam titik keseimbangan tersebut
kedepannya akan membawa pada tercapainya pemerintah
daerah yang berkemajuan dalam sebuah harmoni. Disinilah
Perangkat daerah kecamatan sebagai simpul antara
pemerintah kabupaten dengan masyarakat/ kepanjang
tanganan bupati serta sebagai Ketua Forkopimka diuji
dalam penerapan prinsip koordinasi, integrasi dan
sinkronisasi dalam menjalankan kapasitasnya, dan juga
sebagai pemanasan awal ketika nanti keberadaannya sudah
diberlakukan secara efektif sebagai perangkat wilayah
administrasi penyelenggaraan pemerintahan umum.
Sejalan dengan itu ketika menengok langkah
antisipatif yang dilakukan oleh daerah lain dan cara
memposisikan kecamatan. Informan 24 dari Kabupaten
Lamandau (Asosiasi Pemerintah Kabupaten/Kota)
mengatakan;
“…pelantikan kepala desa kita serahkan kepada camat
supaya kepala desa bisa berkoordinasi dengan camat
diharapkan dengan begitu camat merasa punya wibawa
…dengan kita memaksimalkan fungsi camat tadi dengan
menebrikan kewenangan dan kepercayaan otomatis dia
harus betul betul bisa bertanggung jawab apa saja yang ada
di areal wilayah itu dia harus menggerakan apetensi tokoh
198 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
baik tokoh agama tokoh adat dan lain lai jadi dia harus bisa
bergaul juga. Jadi berjenjang tadi ada intensitas kadar
masalah jadi bukan hanya camat desa pun harus melakukan
itu masalah ini ada di desa-desa tidak mampu sampai ke
kecamatan apabila kecamatan tidak mampu sampai ke
kabupaten jadi itu suatu keniscayaan bahwa dia harus
mampu beradaptasi harus mampu menciptakan
musyawarah, mufakat dengan para tokoh tidak hanya dalam
kondisi normal tapi juga dalam kondisi ada masalah....”
(Wawancara, September 2018)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa, adapun
langkah yang dilakukan dalam rangka memposisikan camat
sebagai perekat hubungan sosial kemasyarakatan guna
mencegah dan menangani konflik serta diintegrasi. Langkah
tersebut dengan membangun wibawa camat di hadapan
masyarakat dan kepala desa, salah satunya dengan
melimpahkan kewenangan melantik kepala desa sera
mempercayakan penaganan permasalahan sosial kemasya-
rakatan di wilayah kerjanya. Tentunya akan muncul wibawa
camat ketika kepala desa merasa dilantik oleh camat
sehingga kepala desa mau membantu kewenangan-
kewenangan camat, khususnya dalam hal menagani dan
mengantisipasi permasalahan sosial kemasyarakatan yang
berpotensi pada konflik dan disintegrasi. Dengan seperti itu
diharapkan harmoni antara pemerintah daerah dan
masyarakat dapat tercapai dalam penyelengaraan
pemerintahan daerah. Catatan yang paling penting adalah
camat harus mampu beradaptasi dengan masyarakat.
B. Pengaturan Batas-Batas Wewenang Yang Dilimpahkan
Bupati Kepada Camat dalam Penyelengaraan
Pemerintahan Daerah Berdasarkan Peraturan Perundang-
Undangan Yang Berlaku.
1. Olah Kewenangan dan Kekuasaan (authority and power
exercise) Camat/Kecamatan
a. Kedudukan Kecamatan/Camat Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014
Mengingat kembali tentang kewenangan camat/
kecamatan, terkait dengan amanat dari pasal 225 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014, bahwa camat berwenang
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 199
menyelenggarakan pemerintahan umum hingga menyeleng-
garakan kewenangan atas urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota yang tidak
diselenggarakan oleh unit kerja perangkat daerah
kabupaten/kota yang ada di kecamatan; dan menyeleng-
garakan kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang undangan. Lebih lanjut, secara spesifik pada
pasal 226 ayat (1) dijelaskan bahwa Camat mendapatkan
pelimpahan sebagian kewenangan bupati/wali kota untuk
melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah kabupaten/kota. Ayat (2) Pelimpahan
kewenangan bupati/wali kota dilakukan berdasarkan
pemetaan pelayanan publik yang sesuai dengan karakteristik
Kecamatan dan/atau kebutuhan masyarakat pada
Kecamatan yang bersangkutan, kemudian ayat (3)
Pelimpahan kewenangan bupati/wali kota ditetapkan
dengan keputusan bupati/wali kota berpedoman pada
peraturan pemerintah. Terkait dengan kedudukan kecamatan
berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
Informan 19 dari Direktorat Jenderal Bina Administrasi
Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri mengatakan;
“….kecamatan adalah perangkat daerah, selain dari
perangkat daerah dia juga melaksanakan urusan
pemerintahan umum, berarti camat melaksanakan tugasnya
pemerintah pusat yang urusan ke “ Kesbang “ an, urusan
pemerintahan umum. Inti dari urusan kepemerintahan
umum adalah kesatuan bangsa. Itu targetnya pemerintah
pusat. Karena itu bebannya Presiden yang di wilayah
propinsi oleh gubernur, di wilayah kabupaten oleh bupati
dan yang di wilayah kecamatan oleh camat. Nah camat
sebagai satu-satunya perangkat daerah yang melaksanakan
urusan pemerintahan umum. pemerintahan umum walaupun
sekarang belum jelas. Karena PP sebagai payung hukumnya
belum ditanda tangani oleh presiden jadi belum bisa di
eksekusi.... fungsi ke dua camat sebagai perangkat daerah
yaitu sebagai OPD (Organisasi Perangkat Daerah), berarti
camat mirip dengan badan organ yang ada di pemerintahan
daerah. Bedanya kalau dinas sebagai pelaksana urusan itu
sudah afermatif, misalnya dinas kesehatan terbentuk untuk
mengurusi kesehatan, begitu juga dengan dinas pendidikan.
Ada 32 urusan, maka paling tidak di daerah terbentuk dinas
200 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
yang melaksankan urusan itu. Bisa 32, 26 atau 25 urusan,
urusan dinas tergantung besar kecilnya potensi atau
pemetaan urusan itu di kabupaten masing-masing. Dari 32
urusan tadi harus dilaksanakan di daerah melalui dinas.
Maka dalam peraturan-peraturan daerah, dinas sebagai
kekuasaan urusan pemerintahan….”(wawancara, Oktober
2017)
Lebih lanjut dalam kaitanya dengan kedudukan
kecamatan Informan 20 sebagai pakar Ilmu pemerintahan
daerah dari Universitas Terbuka Tangerang juga
mengatakan;
“Kalau kecamatan ini menurut saya menjadi semakin rancu
justru itu menarik untuk diteliti. Kalau UU No 32 Tahun
2004 itu jelas jadi yang double itu provinsi sebagai wilayah
administrasi dan daerah otonom, sedang kab/ kota daerah
otonom sehingga perangkat yang ada di bawahnya adalah
SKPD. Undang-undang 23 tahun 2014 maka kabupaten itu
double fungsi WA (Wilayah Administrasi) dan DAOT
(Daerah Otonom) keliatanya menjadi begini ada OPD
sebagai pengganti SKPD, adalagi ini Kecamatan ini sebagai
organ dekon. Kalau kecamatan ini disebut desentralisasi
maka dia harus memperoleh penyerahan urusan
pemerintahan. Kalau dulu jelas kecamatan itu SKPD kalau
sekarang kecamatan itu disebut OPD kalau OPD itu kan
perangkat daerah padahal kalau fungsinya seperti itu
namanya perangkat wilayah administrasi. Harus
diperhatikan kecamatan ini beda dengan kalau di Amerika
District,town, township, village district ada lagi namanya
school district itu semua bukan kecamatan, ini semua
semacam kabupaten itu menerima desentralisasi menerima
penyerahan urusan pemerintahan dari state / Negara bagian.
Jadi ini bukan organya town atau district ini masing masing
berdiri sendiri. Dulu jaman belanda kecamatan ini kan
disebut onder district tapi permasalahanya Undang Undang
hindia belanda kala itu adalah dekonsentrasi tidak sama
dengan Vilage district yang ada di amerika itu. Memang
kecamatan adalah perangkat dekon, ada lagi di atasnya
kecamatan yaitu kawedanan wilayahnya disebut District
namun pengertian district dalam pemerintahan hindia
belanda adalan pilah prestasi, sehingga dengan kondisi
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 201
undang-undang saat ini diskusinya di situ. (wawancara,
Desember 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa kedudukan
kecamatan saat ini selain sebagai perangkat daerah otonom
juga sebagai perangkat wilayah administrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan umum. Diketahui bahwa
konsekuensi dari itu secara konseptual camat/kecamatan
dituntut mampu mensupport pencapaian tujuan penyelang-
garaan pemerintah daerah dari 32 urusan yang sudah
diserahkan pada pemerintah daerah dan juga tujuan
penyelenggaraan pemerintah dalam penyelengaraan
pemerintahan umum.
Sebagaimana telah dijabarkan pada pembahasan
sebelumnya terkait dinamika yang terjadi pada RPP
penyelenggaraan pemerintahan umum. Diketahui bahwa
dalam penyelenggaraan pemerintahan umum kecamatan
secara hirarki diposisikan sebagai perangkat wilayah
administrasi pemerintah kabupaten dan secara operasional
membantu Dirjen Kesbangpol Kemendagri di tingkat bawah
salah satunya dalam menjaga persatuan dan kesatuan NKRI.
Urgensi terkait penyelenggaraan pemerintahan umum pada
kecamatan tersebut sebagaimana dikatakan Informan 18
dari Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum
Kementerian Dalam Negeri sebagai berikut:
“….terkait dipasal 122 itu supaya Kesbang itu tetap ada,
karena untuk urusan konkuren itu sudah dibagi habis untuk
semua urusan pendidikan, kesehatan, infrastruktur,
keamanan dan ketertiban sudah di ambil sama SKPD yang
lain kan, Cuma urusan terkait penanganan sosial, ormas,
politik dalam negeri, ketahanan ekonomi sosial dan budaya
itu kan punya Kesbang semuanya, jadi cuma Kesbang yang
megang yang lainya tidak ada, sudah dibagi habis, siapa
yang bertanggung jawab. Apalagi di tahun Pilkada serentak
2019 ini. Kalau Kesbang tidak ada siapa lagi yang
bertanggung jawab terhadap keadaan situasi di daerah untuk
menangani kondisi-kondisi kesatuan bangsa dan poltik.
Makanya di ambil diskresi masuk 122, asal tidak
bertentangan dengan hukum di atasnya, akhirnya
diharmonisasi oleh Sekneg Kumham …”(wawancara,
Oktober 2017)
202 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa dengan
belum disahkanya RPP penyelengaraan pemerintahan
umum. Namun di satu sisi penyelengaraan kekesbangan
menjadi suatu hal yang urgen untuk dilaksanakan di daerah
sebagai instrument perwujudan persatuan dan kesatuan
bangsa. Apalagi mengingat dekatnya waktu pelaksanaan
agenda pemerintah seperti pilkada serentak 2019. Jika
penyelenggaraan kekesbangan vakum di daerah maka siapa
lagi yang bertanggung jawab terhadap keadaan situasi di
daerah untuk menangani kondisi-kondisi kesatuan bangsa
dan poltik. Dari itu semua diambilah diskresi kebijakan
untuk mengakomodir kewenangan tersebut dengan
membentuk perangkat daerah kesbangpol. Namun yang
menjadi kendala adalah relevansi kecamatan mensuport
kewenangan tersebut dengan menjadi Pimpinan forum
komunikasi pimpinan kecamatan/menyelenggarakan
pemerintahan umum di tingkat kecamatan terutama dari sisi
pendanaan yang tidak semua kabupaten kota di Indonesia
dapat memenuhinya.
Berkaitan dengan kedudukan kecamatan yang
diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
sebagaimana dijelaskan di atas dan pada uraian sebelumnya
dari hasil penelitian diketahui bahwa pemerintah kabupaten
pandeglang dalam penyelenggaraan pemerintahan umum
serta pendanaan pembentukan Forkopimka mengharapkan
dukungan anggaran dari pemerintah pusat agar
pelaksanaanya dapat betul-betul berjalan efektif. Hal itu
dikarenakan terbatasnya kemampuan kabupaten pandeglang
pada pendanaan perangkat daerah kecamatan. Kemudian
dalam kapasitas kecamatan sebagai perangkat daerah
otonom yang melaksanakan pelimpahan wewenang atas
urusan pemerintahan daerah masih mengacu pada Peraturan
Bupati Nomor 24 tahun 2013. Sederhananya dalam perbub
tersebut terdapat 13 tiga belas pasal. Semangat peraturan
bupati tersebut adalah guna mencapai sebuah tujuan yaitu
terlaksananya fungsi pelayanan masyarakat secara efektif
dan efisien; Mendekatkan pelayanan kepada masyarakat;
Mendorong dan tumbuhnya akuntabilitas kinerja aparatur
Kecamatan; dan Memperjelas dan mempertegas posisi
kecamatan dalam menyelengarakan kewenanganya. Selain
tujuan tersebut, adapun aspek-apek yang menjadi pembatas
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 203
camat dalam menyelenggarakan kewena-nganya atas urusan
pemerintahan daerah yang berkaitan dengan pelayanan yaitu
pada batasan Perizinan; Rekomendasi; Koordinasi;
Pembinaan; Pengawasan; Fasilitasi; Penetapan; Penyeleng-
garaan; dan Kewenangan lain yang dilimpahkan.
Dalam Peraturan bupati tersebut terdapat lampiran
yang menjelaskan penjabaran atas sub bagian/diskripsi
ruang lingkup kewenangan yang telah dilimpahkan oleh
bupati kepada camat, dan dijelaskan pula mekanisme
pelaporan atau pertanggungjawaban seorang camat kepada
bupati selaku pemberi pelimpahan serta bagaimana
mekanisme mengkoor-dinasikan ruang lingkup kewenangan
yang ditanganinya dengan perangkat daerah lain yang
membidangi/ sebagai perangkat daerah pelaksana seperti
Dinas dan Badan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa
dengan kondisi terbatasnya kecukupan kelembagaan. Maka
kewenangan yang telah dilimpahkan melalui peraturan
bupati Nomor 24 Tahun 2013 belum sepenuhnya dapat
diselenggarakan oleh camat. Terkait dengan hal itu ada
pandangan dari Informan 21 sebagai tokoh masyarakat
mengatakan;
“Saya tidak melihat kecamatan itu diberi ruang gerak yang
cukup untuk berinovasi kemudian juga untuk lebih jauh
terlibat dalam pembangunaan ya kan. Kenapa ada ambigu
sekarang saya lihat kecamatan itu hanya administrative
sekarang. Toh pembangunan kebijakan pembangunan itu
kan ada di tingkat kabupaten. Justru saya melihat sekarang
desa yang lebih punya kewenangan/otoritas. Ada ga
sekarang dana kecamatan adanya dana desa, yang punya
kesempatan kontribusi dalam pembangunan itu desa yang
lebih nyata. Camat wewenangnya semakin terpinggirkan,
saya tidak pernah melihat inisiatif-inisiatif apa yang kentara
dari pihak kecamatan termasuk camat. Upaya-upaya yang
dilakukan camat itu saya lihat hanya normatif saja, paling
menyelenggarakan sosialisasi PBB, wajib pajak seperti itu
kan, sistem keamanan lingkungan justru tidak dilakukan
oleh camat malah oleh babinkamtibmas, justru saya melihat
kecil sekali peran camat sama sekali tidak strategis, malah
sekarang lebih strategis desa apalagi sekarang disokong
oleh dana desa gitu kan. Saya tidak tahu di daerah lain tapi
yang saya pahami di kabupaten pandeglang seperti itu.
204 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Mestinya kalau menurut saya jika ada kewenangan sesuai
regulasi camat harus dilibatkan, dilibatkan secara aktif
secara menyeluruh gitu kan, hanya saya gak tau payung
hukumnya seperti apa soal fungsi camat dan kecamatan
ini.” (wawancara, Mei 2018)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa merujuk dari
kedudukan kecamatan sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 yang dikom-
parasikan dengan dengan pendayagunaan perangkat daerah
kecamatan di kabupaten pandeglang dianggap belum
memberikan ruang gerak yang cukup pada camat/kecamatan
untuk berinovansi dan terlibat jauh dalam pembangunan.
Camat/Kecamatan kurang diberikan kesempatan berperan
strategis melalui kewenangan yang dilimpahkan. Hanya
diposisikan pada domain penyelenggara administrasi. Pada
dasarnya jika dikaitkan dengan kondisi real tentang
keterbatasan kecukupan kelembagaan, sebetulnya inisiatif-
inisiatif untuk bertindak strategis yang seharusnya bisa
dimunculkan oleh camat guna memberikan kontribusi pada
pembangunan kabupaten pandeglang, terpinggirkan dengan
sendirinya karena kondisi real kecukupan lembaga baik itu
anggaran maupun SDM.
Lebih lanjut selain menyelenggarakan kewenangan
atas urusan pemerintahan daerah yang dilimpahkan oleh
Bupati serta sebagai perangkat wilayah administrasi
penyelenggaraan pemerintahan umum. Kecamatan juga
diberikan pelimpahan tugas pembantuan dalam bidang
Administrasi kependudukan dari dinas kependudukan dan
catatan sipil. Selain berwenang memberikan pengantar
permohonan KTP (Kartu Tanda Penduduk), kecamatan juga
melaksanakan proses perekaman. Sebagaimana dijelaskan
pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2013 Pasal 83A ayat
(2) dijelaskan bahwa Pejabat struktural pada unit kerja yang
menangani Administrasi Kependudukan di kabupaten/kota
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atas usulan
bupati/walikota melalui gubernur. Pejabat struktural yang
dimaksud di pemerintah kabupaten pandeglang adalah
Kepala dinas kependudukan dan catatan sipil.
Perekaman KTP-el yang diselenggarakan oleh
kecamatan dari hasil penelitian diketahui bahwa banyak
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 205
kecamatan yang mengalami kerusakan alat perekaman
KTP-el. Kemudian pemerintah kabupaten Pandeglang
mengambil kebijakan perekamam lintas kecamatan.
Sehingga dengan kebijakan itu pada akhirnya menjadikan
kecamatan lain sebagai tumpuan. Terkait dengan itu
Informan 11 dari Kecamatan Labuan mengatakan sebagai
berikut;
“...... kita ini sebagai kecamatan yang berada di zona 4
empat malayani perekaman KTP dari beberapa kecamatan
lain, kadang sampai magrib kita masih melayani, di luar jam
kerja......” (wawancara, Agustus 2017) (wawancara,
Agustus 2017)
1) Pola Hubungan Kecamatan dan Kelurahan
Pola hubungan antara Kecamatan dan kelurahan dari
beberapa pergantian undang-undang pemerintahan daerah
telah mengalami beberapa kali perubahan. Saat ini
kelurahan berubah status secara keorganisasian yang
awalnya kelurahan berkedudukan sebagai satuan kerja
perangkat daerah paling bawah yang mandiri. Namun saat
penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
kelurahan hanya merupakan unsur perangkat kecamatan.
Penataan tentang kelurahan tersebut pemerintah kabupaten
pandeglang telah memayungi dengan Peraturan Bupati
Nomor 66 Tahun 2016. Keberadaan kelurahan sebagai
perangkat kecamatan secara tidak langsung membawa
kecamatan lebih dekat dengan ujung tombah kewilayahan
administratif kelurahan. Sehingga Camat/Kecamatan
semakin mudah mengendalikan, membina dan mengawasi
kelurahan dalam hal kecamatan menjalankan kewenangan
kewilayahannya, baik dalam hal pelayanan dari tingkat
dasar pada masyarakat, suprort terhadap kewenangan
tertentu yang dilimpahkan bupati serta terhadap pelaksanaan
progran nasional yang sifatnya tugas pembantuan, dan
menjalankan kewenangan-kewenangan lain kecamatan yang
kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Terkait dengan kondisi eksisting pasca kelurahan menjadi
perangkat kecamatan. Sebagaimana disampaikan oleh
Informan 3 dari Kecamatan Karang Tanjung mengatakan
berikut;
206 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
“.....kelurahan semenjak menjadi perangkat kecamatan
saat ini justru makin memudahkan kita, kareha
hirarkinya dalam struktur organisasi langsung berada di
bawah camat dan camat sangat mudah mengendalikan
seperti bagaimana mengendalikan eselon 4 yang menjadi
bawahanya. Namun untuk Rencana Kerja Anggaranya
tahun ini seharusnya sudah menggunakan sistem baru
yaitu terintegrasi dengan kecamatan, namun yah kita
siasati agar masih terasa seperti lama,...perangkat
kecamatan rasa SKPD....” (wawancara, Agustus 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa dengan
dijadikanya kelurahan sebagai perangkat kecamatan
dianggap lebih memberikan kemudahan pada kecamatan,
terutama dalam hal pengendalian yang dapat dilakukan oleh
kecamatan. Namun dalam pengelolaan anggaran, kecamatan
mensiasati agar kelurahan masih bisa leluasa sebagaimana
saat kelurahan dahulunya menjadi SKPD. Dari hasil
penelitian diketahui bahwa pada anggaran tahun 2017 ada
pengistilahan penambahan anggaran untuk kecamatan yang
sifatnya mengalihkan beberapa kegiatan dari perangkat
daerah ke kecamatan. Namun pada dasarnya hal itu
disinyalir merupakan anggaran perimbangan dari APBD
yang digunakan untuk mendanai kegiatan di kelurahan yang
notabene saat ini anggaran kelurahan terintegrasi dengan
kecamatan.
Berkaitan dengan itu, adapun dinamika yang
dianggap seksi yang selalu bergulir akhir-akhir ini dalam
ketatapemerintahan daerah adalah tentang Desa, dana desa
dan segenap permasalahan yang ada di dalamnya. Di sini
kita mencoba membandingkan jika kelurahan adalah
wilayah kerja lurah sebagai perangkat kecamatan dan
bagian dari pemerintah daerah yang menjadi ujung tombak
pelayanan dan perwujudan tujuan otonomi daerah.
Kelurahan sebagai wilayah kerja lurah perangkat kecamatan
memiliki luas wilayah, jumlah penduduk jenis layanan dan
kesamaan tugas dinas dengan desa. Jika saat ini desa sedang
mendapatkan perhatian besar dalam rangka percepatan
pembangunan desa, tentunya kelurahan yang notabene
secara variabel juga memiliki kesamaan seperti desa, juga
memiliki kebutuhan yang sama layaknya desa, ketika dalam
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 207
kebijakanya tidak ada alokasi dari APBN untuk menggenjot
pembangunan di tingkat kelurahan, tentunya memunculkan
pertanyaan bagaimana dengan kelurahan. Lebih lanjut, saat
peneliti mengikuti acara bedah buku ketatakelolaan
pemerintahan desa di litbag Kementerian dalam Negeri,
menurut salah seorang peserta dari Balitbangda Provinsi
Bali menyampaikan temuan dari penelitianya terkait
persepsi masyarakat kelurahan sebagai berikut ;
“….di Bali bayak sekali kelurahan yang menyampaikan
ingin berubah status saja menjadi desa. Mengingat besaran
anggaran yang digelontorkan melalui dana desa
perbedaanya terlalu jauh. Kelurahan juga butuh membangun
seperti desa….”
Berkaitan dengan wawancara tersebut. Berkaca pada
daerah lain memang kondisi wilayah kelurahan tidak bisa
diapriorikan lebih urban, dan tidak butuh pembangunan
terutama dalam hal infrastruktur layaknya desa. Memang
berkaitan dengan hal tersebut selama ini belum pernah
mencuat di kabupaten Pandeglang. Pada Undang-undang
Nomor 23 tahun 2014 sekalipun kelurahan saat ini
mengalami penurunan status pada kedudukan organisasinya.
Namun masih ada celah perimbangan dari APBD
Kabupaten untuk kelurahan guna pembangunan saranan dan
prasarana lokal kelurahan seperti yang dijelaskan pada
Tabel berikut;
Tabel 9.11
Kecamatan dan Kelurahan
Isu UU 32/2004 UU 23/2014
Pelimpahan
Kewenangan
Bupati/Walikota
kepada Camat
Tidak Diatur 1. Camat
mendapatkan
pelimpahan
sebagian
kewenangan
bupati/wali
kota untuk
melaksanakan
sebagian
Urusan
208 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Isu UU 32/2004 UU 23/2014
Pemerintahan
yang menjadi
kewenangan
Daerah
kabupaten/kota.
2. Pelimpahan
kewenangan
bupati/wali
kota dilakukan
berdasarkan
pemetaan
pelayanan
publik yang
sesuai dengan
karakteristik
Kecamatan
dan/atau
kebutuhan
masyarakat
pada
Kecamatan
yang
bersangkutan.
Alokasi
Anggaran
Kabupaten/kota
untuk
Pembangunan
Sarana dan
Prasarana
Lokal
Kelurahan dan
Pemberdayaan
Masyarakat di
Kelurahan
Tidak Diatur 1. Pemerintah
Daerah
kabupaten/kota
mengalokasika
n anggaran
dalam APBD
kabupaten/kota
untuk
pembangunan
sarana dan
prasarana lokal
kelurahan dan
pemberdayaan
masyarakat di
kelurahan.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 209
Isu UU 32/2004 UU 23/2014
2. Alokasi
dimasukkan ke
dalam
anggaran
Kecamatan
pada bagian
anggaran
kelurahan.
3. Penentuan
kegiatan
pembangunan
sarana dan
prasarana lokal
kelurahan dan
pemberdayaan
masyarakat di
kelurahan
dilakukan
melalui
musyawarah
pembangunan
kelurahan.
4. Untuk Daerah
kota yang tidak
memiliki Desa,
alokasi
anggaran
paling sedikit
5 (lima)
persen dari
APBD setelah
dikurangi
DAK.
Sumber : Paparan Direktur Dekonsentrasi, Tugas
Pembantuan Dan Kerjasama (2016)
Dari Tabel di atas dalam komparasi antara Undang-
undang Nomor 23 tahun 2014 dengan Undang-undang
210 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Nomor 32 tahun 2004 diketahui bahwa Undang-undang
Nomor 23 tahun 2014 dalam hal isu pelimpahan wewenang
bupati kepada camat dan alokasi anggaran pemerintah
daerah kabupaten/ kota untuk pembangunan sarana dan
prasarana lokal kelurahan dan pemberdayaan masyarakat
kelurahan telah diatur dengan jelas, sebagaimana berkaitan
dengan kelurahan itu sendiri di kabupaten Pandeglang telah
diatur dalam Peraturan Bupati Nomor 66 tahun 2016 dalam
pasal 41 yang berbunyi : Segala biaya yang diperlukan
untuk penyelenggaraan Kecamatan dan Kelurahan
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten Pandeglang serta sumber lain yang sah.
Kemudian dalam hal mekanisme kerja dengan kesatuan
perangkat daerah kecamatan sebagai unit kerja induknya
dijelaskan dalam Pasal 43 yang berbunyi dalam
melaksanakan tugasnya, setiap pimpinan unit kerja dalam
satuan kerja Kecamatan dan Kelurahan serta kelompok
jabatan fungsional, wajib menerapkan prinsip koordinasi,
integrasi dan sinkronisasi baik dalam lingkungan unit kerja
masing-masing maupun antar unit kerja dalam lingkungan
Kecamatan/ Kelurahan serta instansi lain sesuai dengan
tugas masing-masing.
Berkaitan dengan dengan itu Pola Kelurahan
berdasarkan peraturan Bupati Nomor 66 Tahun 2016 dan
referensi tentang Kelurahan peneliti mecoba
menggambarkan sebagai berikut;
Gambar 9.26.
Pola Kelurahan Sebagai Perangkat Kecamatan
Sumber : Data Diolah Peneliti 2017
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 211
Berdasarkan Gambar dan penjelasan di atas jika
dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya. Bahwa apriori
tentang adanya ketimpangan perhatian anggaran antara
wilayah kerja Kelurahan dengan Pemerintah Desa yang
berdampak pada pembangunan seperti halnya Infrastruktur
sebetulnya hal tersebut tidak bisa dibenarkan. Karena
diketahui bahwa perbandingan tipologi saja antara desa
sebagai wilayah rural yang identik dengan ketertinggalan
jika dibandingkan dengan kewilayahan urban seperti halnya
kelurahan maka sumberdaya yang dibutuhkan untuk
merealisasikan pembangunan pastinya lebih banyak desa.
Selain itu jika pendanaan pembangunan di wilayah kerja
kelurahan selain bisa dialokasikan dari Rencana Kerja
Anggaran Kecamatan juga dari Perangkat daerah teknis
yang lain seperti pembangunan jalan jalan umum yang
berada di wilayah kelurahan sudah masuk Anggaran Dinas
Pekerjaan Umum. Dari itu menurut hemat peneliti
sebetulnya antara desa dengan kelurahan cukup
proporsional jika orientasinya pada tujuan pembangunan
yang efektif san efisien.
2) Kapasitas Kecamatan dalam Pemerintahan Desa
Menengok daerah lain yang dalam berbagai
pemberitaan dianggap cukup memiliki komitmen dalam
mendorong pemerintah kabupaten/kota utuk melakukan
penguatan kecamatan. Informan 22 dari Pemerintah
Provinsi Jawa Timur (Asosiasi Pemerintah Provinsi)
mengatakan;
“Jadi selama ini di Jawa Timur banyak kasus
penyalahgunaan dana desa yang menyeret beberapa kepala
desa dan itu menjadi problematika sendiri sampai membuat
forum kepedulian desa karena melihat maraknya kasus itu.
Salah salu yang kami buat yaitu forum kepedulian desa,
dimana pola rekomendasi desa yaitu menguatkan
kecamatan. Gubernur melihat ini pun setuju, memang tidak
bisa kecamatan dilepas karena dari sananya kecamatan
berada satu tingkat di atas desa. sehingga kecamatan harus
di perhatikan…” (Wawancara, September 2018)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa, seiring
dengan banyaknya kasus pelahgunaan dana desa yang
212 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
menyeret kepala desa maka dianggap solusi yang paling
tepat adalah penguatan kecamatan untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan pemerintah desa. Karena hal itu
dipandang dari sisi histori perundang undangan yang
sebelumnya pernah berlaku, bahwa kecamatan itu berada
satu tingkat di atas pemerintah desa.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor. 6 Tahun
2014 Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota diakui
dan dihormati dalam Sistem Pemerintahan NKRI. Untuk
menjamin agar penyelenggaraan Pemerintahan Desa
berjalan sesuai rencana dan sesuai peraturan perundang-
undangan, dilakukan oleh aparat pengawasan internal
pemerintah (sesuai dengan bidang kewenangannya). Aparat
pemerintah daerah yang memiliki kewenangan melakukan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa
salah satunya adalah kecamatan sebagai perangkat daerah
kewilayahan yang selanjutnya dijelaskan pada Pasal 225
UU No 23 Tahun 2014 ayat (1) huruf (g) berbunyi Camat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1)
mempunyai kewenangan membina dan mengawasi
penyelenggaraan kegiatan Desa dan/atau kelurahan.
Kemudian baru-baru ini juga telah ditetapkan Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2018 sebagaimana dijelaskan
pada Pasal 10 huruf g bahwa Camat dalam memimpin
Kecamatan bertugas membina dan mengawasi
penyelenggaraan pemerintahan desa sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
desa.
Secara operasional Permendagri Nomor 46 Tahun
2016 menjelaskan bahwa camat diberikan kewenangan
memfasilitasi dan mengkoordinasikan penyusunan laporan
kepala desa di wilayahnya. Merujuk dari peraturan
perundang-undangan yang ada maka dapat dipetakan
kapasitas yang dimiliki camat meliputi (1) Fasilitasi
Penyusunan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa; (2)
Fasilitasi Administrasi Tata Pemerintahan Desa; (3)
Fasilitasi Pengelolaan keuangan desa dan Pendayagunaan
Aset Desa; (4) Fasilitasi Penerapan dan Penegakan
Peraturan Perundang Undangan; (5) Fasilitasi Pelaksanaan
Tugas Kepala Desa dan Perangkat Desa; (6) Fasilitasi
Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa; (7) Fasilitasi
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 213
Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Badan Permusyawaratan
Desa; (8) Rekomendasi Pengangkatan dan Pemberhentian
Perangkat Desa; (9) Fasilitasi Sinkronisasi Perencanaan
Pembangunan Daerah Dengan Pembangunan Desa; (10)
Fasilitasi Penetapan Lokasi Pembangunan Kawasan
Perdesaan; (11) Fasilitasi Penyelenggaraan Ketentraman
dan ketertiban Umum; (12) Fasilitasi pelaksanaan Tugas,
fungsi, dan Kewajiban Lembaga Kemasyarakatan; (13)
Fasilitasi Penyusunan Perencanaan Pembangunan
Partisipatif.
Berdasarkan hasil penelitian dalam kapasitas
kecamatan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa
diketahui pemerintah Kabupaten pandeglang telah memiliki
political will untuk menetapkan peraturan yang secara
operasional menegaskan bahwa camat/kecamatan
berkapasitas dalam pemembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan pemerintah desa diantaranya : (1)
Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2015, (2) Peraturan
Bupati 42 Tahun 2015 sebagaimana diubah dengan
Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2017 tentang Pedoman
Umum Pengelolaan Dana Desa, (3) Peraturan Bupati
Nomor 3 Tahun 2017 tentang Kewenangan Desa (4) Surat
Edaran Nomor 601/1474-DPMPD/2017 dan lain
sebagainya. Keberadaan peraturan-peraturan tersebut
dijadikan sebagai acuan camat/kecamatan secara
operasioanal dalam menyelenggarakanya. Dalam
pelaksanaan kapasitas camat/kecamatan pada pemerintah
desa, kecamatan beranggapan bahwa pada kewenangan
tersebut merupakan pekerjaan yang menguras energi aparat
kecamatan. Salah satu contohnya pada kewenangan
pembinaan dan pengawasan pengelolaan dana desa.
Kecamatan harus mengawal dari proses perencanaan,
pelaksanaan hingga pelaporan. Hal tersebut disebapkan oleh
tidak seimbangnya antara kuantitas SDM kecamatan dengan
luasnya ruang lingkup desa yang dibina dan diawasai serta
masih kurangnya kompetensi yang dimiliki oleh aparat
desa. Diketahui Kecamatan Labuan dan Panimbang
merupakan kecamatan yang terdiri dari desa dengan rincian
sebagai berikut (1) Kecamatan Panimbang secara
administrasi terdiri dari 6 desa, 70 Rukun Warga (RW) dan
230 Rukun Tetangga (RT). Desa Mekarjaya merupakan
214 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
desa terkecil dengan luas 6,06 km2, sedangkan desa
Tanjungjaya merupakan desa terbesar dengan luas 33,0 km2.
(1 km2 = 100 Ha). (2) Kecamatan Labuan secara
administrasi terdiri dari 9 desa, 70 Rukun Warga (RW) dan
224 Rukun Tetangga (RT). Desa Sukamaju merupakan desa
terkecil dengan luas 0,6 km, sedangkan desa Banyubiru
merupakan desa terbesar dengan luas 6,1 km.
Gambaran kondisi penyelenggaraan pemerintah desa
yang mencerminkan kompleksnya permasalahan, dan
menguras energi camat/ kecamatan. Kompleksnya
permasalahan sebagaimana dikatakan Informan 13 dari
desa Mekar Jaya terkait pengelolaan dana desa sebagai
berikut;
“...cuma memang terlalu berat, karena selama ini menurut
saya mendingan tidak di kasih. Padahal kita kan niat
membangun maksimal dari dana desa. Dari dana desa kita
diperiksa oleh inspektorat , ada temuan itu juga. Pernah ada
kendala yaitu ada temuan dana desa dipegang seseorang
yang saya kasih leluasa dan ada masalah tetap saya sebagai
kepala desa yang harus bertanggung jawab. Kurang dan
kelebihan dana bisa menjadi temuan. Ada bahasa swadaya.
Banyaknya swadaya ada di RAPBDes , entah tenaga , tanah
.Nah kalau sekarang yang menjadi kesulitan itu adalah
tanah yang dihibahkan untuk posyandu, taman bacaan.
Kecuali desa itu punya tanah sendiri atau tanah bengkok
kita bisa terpisah….Kalau memamg seperti ini mending
saya tidak di kasih sama sekali, Di beri 700 jt , bahasanya
semilyar. Saya juga mampu membuat jembatan dari
swadaya dengan biaya yang lebih dari 1 milyar mendingan
tidak di beri daripada banyak LSM monitoring. Jadi bisa
jadi desa mandiri ya” (wawancara, Agustus 2017)
Wawancara di atas menjelaskan bahwa seolah-olah
ketika memahami peraturan yang ada, kepala desa lebih
memililih jika dana desa itu dapat ditolak oleh desa, maka
desa akan memilih menolak. Mengingat rumitya mekanisme
yang harus ditempuh dan resiko yang ditanggung.
Menyikapi hal itu pada dasarnya camat/ kecamatan dituntut
mendayagunakan kapasitas/kewenangan yang dimiliki guna
mengurai persepsi dan masalah yang ada sehingga amanat
dari program dapat terlaksana sebagaimana mesitnya.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 215
Terkait dengan rumitnya mekanisme yang harus ditempuh
desa dalam pengelolaan dana desa Informan 6 dari
Kecamatan Panimbang mengatakan;
“….dana desa sebetulnya itu kan langsung ke desa, dengan
apa aturan main sekalipun pak jokowi itu meminta SPJ
keuangan supaya tidak rudek malah kalau bisa selembar dua
lembar cukup, tapi kan tetep sampai saat ini juga mengikuti
pengspjan yang rumit, yang terjadi saat ini kenapa
kesulitan? Di situ bukan pembangunan fisiknya tapi SPJ
nya, kesulitan SPJ nya, dari SDM nih, ni yang dialami.
Sama saja oleh kecamatan lain juga pak tidak jauh beda,
kecamatan dan desa sama, di desa ini sulitnya di SPJ, tidak
cukup seminggu dua minggu ngurusin SPJ, fisik sudah
selesai SPJ yang belum. Walaupun di TV Jokowi bilang
jangan dibikin rudek nih SPJ tapi ya pada pelaksanaannya
ya tetap begitu.” (wawancara, Agustus 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa rumitnya
mekanisme yang ditempuh dalam penyusunan SPJ realisasi
pembangunan fisik. Jika dibandingkan antara realisasi
pembangunan fisik dengan penyusunan SPJ cenderung lebih
rumit proses penyusunan SPJ. Terkadang yang terjadi
pembangunan fisik sudah selesai, namun penyusunan SPJ
belum selesai. Berkaitan dengan itu pada dasarnya seluruh
bagian dari proses merupakan sesuatu yang sama
pentingnya untuk diperhatikan. Dalam hal perencanaan di
tingkat desa juga dinilai riskan terjadi kesalahan-kesalahan.
Sebagai contoh penyusunan RAB pembangunan TPS,
sebagaimana dikatakan Informan 9 dari Kecamatan
Labuan;
“Contoh ya ini masalah TPS (Tempat Pembuangan
Sampah) karena tidak ada orang yang tau teknis di lapangan
saya pernah dari perencanaan yang diajukan desa
perhitunganya salah 5 X 4 X 1,5= 24 juta. Hasil survei
orang kabupaten berbeda. Setelah saya mintakan bantuan
sama pegawai Dinas PU ternyata jatuhnya 15 Juta..”
(wawancara, Agustus 2017)
Lebih lanjut adapun permasalahan lain sebagai
bagian dari kompleksitas permasalahan camat dalam
menjalankan kapasitasnya pada desa. Seperti keberadaan 10
216 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
program prioritas pada anggaran dana desa tahun 2017 yang
dinilai tidak relevan terhadap kebutuhan desa, sehingga
berimplikasi pada persepsi kurang baik masyarakat terhadap
camat/kecamatan dan desa dalam melaksanakan
kapasitasnya. Hal itu sebagaimana dikatakan Informan 12
dari Komisi I DPRD Kabupaten Pandeglang sebagai
berikut;
“Betul, betul ..camat juga termasuk lurah juga dan secara
umum masyarakat cuma taunya camat dan kepala desanya
yang salah. Anggapan masyarakat sebuah pemerintahan
bahwa semua itu adalah kewenangannya, mau hitam mau
putih ya tergantung dia. Nah padahal sebenarnya kalau saja
ada masyarakat yang berani untuk melakukan PTUN Itu
bisa gagal kira-kira… Bisa gagal, bahkan bisa dianulir dan
bisa di proses begitu…... Karena dari kepala desa yang
pernah saya serap aspirasinya, mereka bukan tidak mau dan
tidak bisa melakukan PTUN. Mereka bisalah, karena
banyak kepala desa yang sejalan, yang faham tentang itu.
(wawancara, November 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa terkait
dengan 10 program prioritas dana desa tahun 2017 yang
dinilai bertentangan dengan RPJMDes hingga RKPDes.
Secara hukum sebagai pemerintah desa yang otonom ketika
berkenan melakukan tuntutan pada PTUN tentunya
kemungkinan besar akan dimenangkan dan dapat
menganulir surat edaran bupati tersebut. Namun hal itu
tidak dilakukan karena desa dalam posisi yang dilematis.
Sehingga munculah persepsi-persepsi yang kurang baik dari
masyarakat pada kepala desa, maupun camat/ kecamatan
seperti hanya dianggap tidak menjembatani dan
memperjuangkan masyarakat desa. Lebih lanjut berkaitan
dengan munculnya persepsi yang kurang baik dari
masyarakat pada camat/ kecamatan dan desa Informan 21
sebagai Tokoh Masyarakat berpandangan sebagai berikut;
“…yang saya lihat selama ini memang camat tidak pernah
menjadi manusia yang papuler, karena popularitasnya kalah
dengan bupati atau malah sama kepala desa, camat itu
fungsinya malah lebih administratif. Camat juga perlu
inovasi, ya inovasi apapun ya sesuai dengan bidang
kewenanganya sehingga apa juga bisa memeberikan
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 217
kontribusi yang jauh lebih baik bagi pembangunan,
masyarakat dan lainya…..Artinya apa militan saja tidak
cukup jika dia tidak dibekali dengan kreatifitas dan inovasi,
karena apa kan kewenanganya terbatas. Camat bukan
jabatan politik. Camat itu merupakan pihak yang berdampak
akibat kebijakan yang salah atasanya..” (wawancara, Mei
2018)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa dalam
menyelenggarakan kapasitas/kewenangan yang dimiliki
dalam hal apapun, camat merupakan pihak yang berdampak
dari kebijakan bupati, Hal itu disebapkan oleh terbatasnya
kewenangan yang dimiliki oleh camat. Dalam mejalankan
kapasitas yang dimiliki, khususnya kapasitas pada
penyelenggaraan pemerintah desa. Camat selain memiliki
jiwa militan diharapkan memiliki inovasi dan kreatifitas
sehingga permasalahan-permasalahan yang ada dapat
terselesaikan dengan baik walaupun berkonsekuensi pada
terkurasnya energi camat/ kecamatan sehingga berpotensi
kurang maksimalnya berfokus pada bidang kewenangan
yang lain.
Berkaitan dengan penjelasan di atas diketahui pada
dasarnya dapat dikatakan cukup berat bagi camat/
kecamatan untuk menyelengarakan kewenangan membina
dan mengawasi penyelenggaraan pemerintah desa.
Utamanya memfasilitasi seluruh proses mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan yang
berkorelasi dengan pengelolaan dana desa. Sedangkan
lainya seperti fasilitasi penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban umum, rekomendasi pengangkatan dan
pemberhentian perangkat desa relatif berjalan sebagaimana
mestinya dan cenderung jarang ditemui permasalahanya.
Namun dari hasil penelitian diketahui terdapat sedikit
permasalahan di kecamatan lain yaitu kecamatan Carita
tentang kepala desa yang memecat perangkatnya secara
sepihak tanpa melalui mekanisme yang diatur dalan
peraturan bupati. Salah satunya harus memperoleh
rekomendasi dari camat. Hal itu tidak dilakukan karena
dilatar belakangi atas ketidak tahuan kepala desa.
218 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
3) Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan
Dalam Permendagri Nomor 54 tahun 2010 Pasal 10
Pendekatan perencanaan pembangunan daerah bawah-atas
(bottom-up) dan atas-bawah (top-down) hasilnya
diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan mulai
dari desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan
nasional, sehingga tercipta sinkronisasi dan sinergi
pencapaian sasaran rencana pembangunan nasional dan
rencana pembangunan daerah. Permendagri 54 tahun 2010
Pasal 117 Pelaksanaan Musrenbang RKPD terdiri dari (1)
pelaksanaan musrenbang RKPD provinsi; (2) pelaksanaan
musrenbang RKPD kabupaten/kota; dan (3) pelaksanaan
musrenbang RKPD kabupaten/kota di kecamatan.
Kemudian baru-baru ini ditetapkan Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 2018 pada pasal 17 Ayat (2) dijelaskan
bahwa prencanaan pembangunan Kecamatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari perencanaan
pembangunan kabupaten/kota.
Kaitannya dengan Musrenbang, kedudukan
kecamatan merupakan fasilitator yang berwenang
menjembatani apirasi masyarakat tingkat Desa atau
kelurahan dengan Pemerintah Kabupaten pandeglang dalam
perencanaan pembangunan melalui musyawarah yang
melibatkan kelompok masyarakat. Hasil musyawarah di
tingkat kecamatan berupa Dokumen Rencana Pembangunan
Kecamatan dijadikan sebagai acuan penyelarasan
penyusunan RKPD Kabupaten serta dikoordinasikan
dengan perangkat daerah yang berwenang sebagai masukan
penyusunan rencana kerja. Selanjutnya Musrenbang RKPD
berjenjang ke Provinsi hingga Nasional. RKPD kabupaten
merupakan dasar penyusunan RAPBD (Rancangan
Anggaran Pendapan dan Belanja Daerah) yang selanjutnya
disahkan menjadi APBD. Terkait dengan itu Informan 4
dari Kecamatan Majasari mengatakan sebagai berikut;
“….kami selama ini melakukan koordinasi dengan forum
Perangkat daerah. Biasanya dituangkan dalam
MUSRENBANG mulai dari tingkat kelurahan, dari situ kita
bisa tau apa keinginan masyarakat misalnya masyarakat
ingin jembatan, jalan bisa kita koordinasikan lintas
sektoralnya dengan Dinas Perumahan dan Pemukiman,
masyarakat pengen pemberdayaan masyarakat seperti
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 219
pengetahuan dan keterampilan tentang apa, ya kita
koordinasikan dengan Dinas Sosial. Itu semua ada beberapa
ratus usulan ya kita masukan dalam skala prioritas. Itu
koordinasi yang kita lakukan untuk memfasilitasinya…”
(wawancara, Agustus 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa peran
kecamatan terhadap aspirasi masyarakat desa maupun
kelurahan adalah menindak lanjuti melalui agenda tahunan
Musrenbang Kecamatan. Sederhananya pihak kecamatan
mengatakan bahwa kegiatan Musrenbang tersebut sifatnya
menjaring apa yang diinginkan oleh masyarakat. Dari
keinginan-keinginan masyarakat yang sudah dijaring akan
diusulkan dalam skala prioritas dan dikoordinasikan dengan
Forum Perangkat Daerah.
Adapun dokumentasi penyelenggaraan kegiatan
Musrenbang 2018 pada gambar sebagai berikut;
Gambar 9.27
Kegiatan Musrenbag Kecamatan Pandeglang 2018
Sumber: Foto AMara, BantenTribun.id, 26 Februari 2018
Kemudian terkait dengan penyelenggaraan
Musrenbang kecamatan tahun 2018, diketahui merujuk dari
Lampiran IV Surat Edaran Bupati Pandeglang Nomor
800/404-Bapeda/II/2018 tertanggal 14 Februari 2018, pagu
Indikatif untuk Kecamatan Labuan, Panimbang, Karang
Tanjung, Majasari dan Pandeglang sebagai berikut;
220 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Tabel 9.12
Pagu Musrenbang Kecamatan tahun 2019
No Kecamatan Pagu Indikatif
1 Labuan 1.289.400.000,-
2 Panimbang 1.972.600.000,-
3 Karangtanjung 1.822.300.000,-
4 Majasari 2.075.500.000,-
5 Pandeglang 1.856.300.000,-
Sumber : data diolah peneliti BAPEDA 2018
Lebih lanjut dalam hal pelaksanaan pembangunan
yang terjadi selama ini dianggap cukup berbanding terbalik
dengan usulan-usulan yang ada pada Musrenbang.
Sebagaimana dikatakan oleh Informan 12 dari Komisi I
DPRD Kabupaten Pandeglang sebagai berikut;
“Saya reses saya kawal Musrenbangdes dari Musdus
bahkan sampai kabupaten mentah, turunlah surat edaran,
semuanya berbanding terbalik dengan keinginan desa,
masyarakat ingin A jadinya B, masyarakat ingin C jadinya
D kan begitu. Ada asumsi di masyarakat, “Sudahlah tahun
depan jangan pilih lagi kepala desa itu“, masyarakat marah
karena keinginanya tidak terpenuhi, padahal kepala desa
sendiripun bingung karena dia juga mengamankan itu. Di
sisi itu kasihan kepala desa. Kalau di sisi DPRD agak terlalu
jauh jangkauanya, jadi hanya beban moral saja.”
(wawancara, November 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa
kecenderungan berbanding tebaliknya kegiatan
pembangunan dengan usulan yang pernah diusulkan pada
musrenbang berdampak pada menurunya tingkat
kepercayaan masyarakat pada penyelenggara Musrenbang.
Tidak tercover atau berbanding terbaliknya kegiatan
pembangunan dengan usulan pada dasarnya terdapat aspek-
aspek yang menjadi pertimbangan diantaranya kemampuan
anggaran, skala prioritas serta fokus pada perwujudan
RPJMD Kabupaten pandeglang. Menurunya kepercayaan
masyarakat di satu sisi sah-sah saja. Justru hal tersebut
merupakan tantangan bagi pihak penyelenggara
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 221
Musrenbang seperti kecamatan sebagai jembatan
masyarakat desa/kelurahan dengan kabupaten agar memiliki
kreatifitas berfikir maupun bertindak dalam mengkomuni-
kasikan dengan kelompok masyarakat dan pemangku
kepentingan lainya dalam pembangunan.
b. Penataan Organisasi Perangkat Daerah Kecamatan dan
Penguatan Peran Camat Dalam Pelayanan Dasar
1) Penataan Organisasi Perangkat Daerah Kecamatan
Titik berat perubahan Undang- Undang 23 tahun
2014 adalah pada pembagian urusan pemerintahan daerah.
Adapun anatomi urusan pemerintah daerah digambarkan
sebagai berikut ;
Gambar 9.28 Anatomi Urusan Pemerintahan
Sumber : Paparan Direktur Dekonsentrasi, Tugas
Pembantuan Dan Kerjasama (2016)
Gambar di atas menjelaskan perubahannya Undang-
Undang 23 tahun 2014. urusan wajib terbagi atas urusan
wajib pelayanan dasar dengan bukan pelayanan dasar,
kemudian adanya urusan pemerintahan umum yang menjadi
kewenangan presiden selaku kepala pemerintahan. Dalam
penyelenggaraan urusan wajib dan urusan pilihan yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah. Pemerintah daerah
melimpahkan pada perangkat daerah otonom seperti dinas,
badan, kantor dan Kecamatan. Khusus dalam hal
pemerintahan umum kecamatan merupakan perangkat
wilayah administrasi pemerintah kabupaten dan secara
222 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
operasional membantu instansi vertikal Ditjen Kesbangpol
Kementerian Dalam Negeri Kabupaten. Serangkaian
Perubahan tersebut di atas tentunya berkonsekuensi
terhadap berubahnya Struktur organisasi Perangkat Daerah
sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 2016 Tantang Organisasi Perangkat
Daerah.
Terkait dengan itu pemerintah kabupaten pandeglang
dalam mengawal amanat Undang-undang tersebut
sebagaimana dikatakan oleh Informan 16 dari Bagian
Organisasi Kabupaten Pandeglang sebagai berikut;
“......memang yang namanya amanat Undang-undang harus
kita laksanakan, di kabupaten pandeglang yang kita lakukan
mulai dari penataan organisasi perangkat daerah sebagai
anamat PP Nomor 18 Tahun 2016 sampai dengan penetapan
peraturan bupati tentang Tata kerja Perangkat daerah, untuk
kecamatan misalnya Peraturan Bupati Nomor 66 Tahun
2016....” (wawancara, Agustus 2017)
Lebih lanjut menurut Informan 1 dari Bagian
Pemerintahan mengatakan sebagai berikut ;
“.....akhir 2016 lalu sudah ditetapkan Perda tentang
Organisasi perangkat daerah terbaru. Untuk masalah
kecamatan sementara kita masih mengacu ke peraturan
lama, karena yang lama belum dicabut. Intinya Kecamatan
sebagai simpul pelayanan masyarakat masih pada fungsi
Koordinasi, rekomendasi, fasilitasi, perizinan, lalu
pembinaan dan pengawasan kelurahan/ desa.... dan 2014
lalu semua kecamatan sudah ditetapkan PATEN...”
(wawancara, Agustus 2017)
Berdasarkan uraian wawancara tersebut di atas dapat
diketahui bahwa dalam rangka melaksanakan amanat
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 khususnya
pengaturan pada Urusan wajib dan pilihan yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah baik pada pelayanan dasar
maupun non pelayanan dasar, pemerintah Kabupanten
pandeglang telah melakukan penataan organisasi perangkat
daerah yang didasarkan pada Peraturan pemerintah Nomor
18 tahun 2016. Serangkaian proses penataan organisasi
perangkat daerah pada akhirnya ditetapkan peraturan daerah
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 223
kabupaten pandeglang Nomor 6 Tahun 2016 tentang
organisasi perangkat daerah. Adapun kajian yang dijadikan
dasar penetapan besaran organisasi perangkat daerah yaitu
kajian skor urusan di kabupaten Pandeglang sebagai
berikut;
Tabel 9.13
Skor Urusan Kabupaten Pandeglang
No. Urusan Skor Tipe Besaran
Organisasi
1. Administrasi
Kependudukan dan
Pencatatan Sipil
970 Dinas Tipe A
2. Energi dan Sumber Daya
Mineral
360 Setingkat
Bidang
3. Inspektorat 940 Inspektorat
Tipe A
4. Kearsipan 780 Dinas Tipe B
5. Kebudayaan 620 Dinas Tipe B
6. Kehutanan 460 Dinas Tipe C
7. Kelautan dan Perikanan 630 Dinas Tipe B
8. Kepegawaian,
Pendidikan, dan Pelatihan
700 Badan Tipe B
9. Kepemudaan dan
Olahraga
360 Setingkat
Bidang
10. Kesehatan 800 Dinas Tipe B
11. Ketenteraman dan
Ketertiban Umum serta
Perlindungan Masyarakat
(Sub Kebakaran)
540 Dinas Tipe C
12. Ketenteraman dan
Ketertiban Umum serta
Perlindungan Masyarakat
(Sub Sat Pol PP)
660 Sat Pol PP
Tipe B
13. Keuangan 1000 Badan Tipe A
14. Komunikasi dan
Informatika
708 Dinas Tipe B
15. Koperasi, Usaha Kecil,
dan Menengah
620 Dinas Tipe B
16. Lingkungan Hidup 700 Dinas Tipe B
17. Pangan 1000 Dinas Tipe A
224 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
No. Urusan Skor Tipe Besaran
Organisasi
18. Pariwisata 900 Dinas Tipe A
19. Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang
804 Dinas Tipe A
20. Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa
914 Dinas Tipe A
21. Pemberdayaan
Perempuan dan
Perlindungan Anak
650 Dinas Tipe B
22. Penanaman Modal 1000 Dinas Tipe A
23. Pendidikan 910 Dinas Tipe A
24. Penelitian dan
Pengembangan
600 Badan Tipe C
25. Pengendalian Penduduk
dan KB
720 Dinas Tipe B
26. Perdagangan 380 Setingkat
Bidang
27. Perencanaan 848 Badan Tipe A
28. Perhubungan (Untuk
Wilayah Daratan)
618 Dinas Tipe B
29. Perindustrian 640 Dinas Tipe B
30. Perpustakaan 862 Dinas Tipe A
31. Persandian 392 Setingkat
Bidang
32. Pertanahan 470 Dinas Tipe C
33. Pertanian 826 Dinas Tipe A
34. Perumahan dan Kawasan
Permukiman
398 Dinas Tipe C
35. Sekretariat Daerah 860 Sekretariat
Daerah Tipe A
36. Sekretariat Dewan 1000 Sekretariat
DPRD Tipe A
37 Sosial 916 Dinas Tipe A
38. Statistik 360 Setingkat Sub
Bidang
39. Tenaga Kerja 680 Dinas Tipe B
40. Transmigrasi 310 Setingkat
Bidang)
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 225
Sumber: Kementerian Dalam Negeri melalui:
fasiltasi.otda.kemendagri.go.id (sesuai hasil
validasi data per tanggal 13-14 Juni 2016)
sebagaimana dikutip dari naskah akademik OPD
pandeglang 2016
Untuk penjelasan pencapaian Skor tersebut, sebagai
contoh Urusan Administrasi Kependudukan dan Pencatatan
Sipil dapat kami sampaikan perhitungannya sebagai berikut:
Tabel 9.14
Variabel Umum Indikator Nilai Skala Bobot Skor
Jumlah Penduduk
(jiwa)
1.141.453 1.000 10 100
Luas Wilayah (Km2) 2.747 1.000 5 50
Jumlah APBD 2.622.363.768.507
1.000 5 50
Jumlah skor Variabel Umum 200
Sumber : Kajian Akademik OPD Kabupaten Pandeglang 2016
Berdasarkan tabel variabel umum di atas diketahui
(1) Indikator Jumlah Penduduk (jiwa) dengan Nilai
1.141.453, Skala 1.000, Bobot 10 Skor 100 (2) Indikator
Luas Wilayah (KM2) dengan Nilai 2.747, Skala 1.000,
Bobot 5, Skor 50 dan (3) Jumlah APBD dengan Nilai
2.622.363.768.507, Skala 1.000, Bobot 5, Skor 50.
Sehingga Jumlah skor Variabel Umum 200.
Tabel 9.15
Variabel Teknis Indikator Nilai Skala Bobot Skor
Jumlah Penduduk (jiwa) 1.141.453 1.000 35 350
Jumlah Kecamatan 35 1.000 5 50
Jumlah Desa/ Kelurahan 339 1.000 10 100
Jumlah Rata-rata
mobilitas penduduk per
tahun dan tiga tahun
terakhir
55,055 1.000 15 150
Tingkat kepadatan
Penduduk
415 800 15 120
Jumlah skor Variabel Teknis 770
Sumber : Kajian Akademik OPD Kabupaten Pandeglang 2016
226 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Berdasarkan tabel variabel teknis di atas diketahui (1)
Indikator Jumlah Penduduk (jiwa) dengan Nilai 1.141.453,
Skala 1.000, Bobot 35, Skor 350 (2) Indikator Jumlah
Kecamatan dengan Nilai 35, Skala 1.000, Bobot 5, Skor 50
(3) Indikator Jumlah Desa/Kelurahan dengan Nilai 339,
Skala 1.000, Bobot 10, Skor 100 (4) Jumlah Rata-rata
mobilitas penduduk per tahun dan tiga tahun terakhir
dengan Nilai 55,055, Skala 1.000, Bobot 15, Skor 150 (5)
Tingkat kepadatan Penduduk dengan Nilai 415, Skala 800,
Bobot 15, Skor 120. Sehingga Jumlah skor Variabel Teknis
770.
Urusan Administrasi Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kabupaten Pandeglang mendapat skor 970, hal ini
berarti perangkat daerah yang menangani urusan ini dapat
berdiri sendiri dengan klasifikasi tipe A. Dari hasil
pemetaan urusan pemerintahan tersebut dapat terlihat bahwa
Pemerintah Kabupaten Pandeglang dapat membetuk bentuk
66 perangkat daerah, Tipe A berjumlah 18 (delapan belas)
urusan, Tipe B berjumlah 10 (sepuluh) urusan, Perangkat
Daerah yang dipersyaratkan PP 3 (tiga) urusan dan
Kecamatan35 (tiga puluh lima ).
Sehingga urusan yang dapat dibentuk sebagai
Perangkat Daerah berjumlah 36, hal tersebut dapat
digambarkan pada tabel berikut ini.
Tabel 9.16
Jumlah Perangkat Daerah
No. Satuan Kerja Perangkat
Daerah Jumlah Tipologi
1 Sekretariat Daerah 1 Tipe A
2 Sekretariat DPRD 1 Tipe A
3 Inspektorat 1 Tipe A
4 SKPD berbentuk Badan 2 Tipe A
1 Tipe B
5 SKPD berbentuk Dinas 13 Tipe A
9 Tipe B
6 Badan Kesbangpol 1
7 BPBD 1
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 227
No. Satuan Kerja Perangkat
Daerah Jumlah Tipologi
8 Administrator KEK 1
9 Kecamatan 35 Tipe A
Jumlah 66
Sumber: Kajian Akademik OPD Kabupaten Pandeglang
2016
Dari hasil kajian yang dilakukan seluruh perangkat
daerah kecamatan di kabupaten pandeglang berdasarkan
variabel yang ada seperti jumlah penduduk, luas wilayah
dan jumlah desa / kelurahan ditetapkan ke dalam tipe A.
Adapun beberapa alasan yang diungkapkan oleh Informan
16 dari Bagian Organisasi mengatakan;
“.......semua kecamatan kita tetapkan rata dengan Tipe A
(beban kerja yang tinggi), sebetulnya ada beberapa alasan
sih selain variabel yang ada, pertimbanganya adalah pada
infrastruktur di kecamatan-kecamatan yang ada di daerah
terpencil. Kalau ditetapkan dalam Tipe B (beban kerja yang
rendah) pasti dalam melaksanakan tugas dan fungsinya akan
mengalami kualahan. Terutama saat pelaksanaan pemilihan
umum atau saat penyaluran bantuan yang ada di desa atau
kelurahan yang dinaunginya. Intinya semakin rendah tipe
jumlah kepala seksinya makin rendah, hanya 3 kepala seksi
pastinya jumlah Pegawainya juga berkurang, makanya
kalau ga dimaksimalkan ke Tipe A kualahan untuk daerah
terpencil....” (wawancara, Agustus 2017)
Berkaitan dengan latar belakang penetapan seluruh
kecamatan pada Tipologi A Informan 2 dari Kecamatan
Pandeglang mengatakan;
“Kalau saya cenderung menilai itu agar ngga ada
kecemburuan pak, ya dengan perbedaan tipologi tentunya
berkonsekuensi pada perbedaan besaran Anggaran bahkan
tunjangan sebagai Pejabatnya. Ya kalau saya boleh
mengatakan bahwa kecamatan yang terdiri dari desa itu
kerjanya lebih berat. Mungkin ya itulah kenapa tipologinya
semuanya ditetapkan A. Saya dulu pernah jadi Sekretaris
BPMDES (Badan Pemberdayaan Masyarakat dan
228 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Pemerintahan Desa) ya yang saya ketahui banyak temen-
temen camat yang tugas di kecamatan yang membawahi
desa begitu beratnya apalagi dengan adanya Dana desa saat
ini”. (wawancara, Agustus 2017)
Penetapan ketigapuluh lima kecamatan dengan tipe A
melalui Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2016 tentang
Organisasi Perangkat Daerah merupakan kebijakan yang
harus dijalankan oleh birokrasi. Selain tetap melaksanakan
Peraturan bupati Nomor 24 Tahun 2013 tentang
kewenangan camat/kecamatan. Lebih lanjut dalam
memberikan penjelasan batas-batas wewenang secara lebih
operasional pada kecamatan maka ditetapkan Peraturan
Bupati Pandeglang Nomor 66 Tahun 2016 Tentang
Kedudukan, Susunan Organisasi, Rincian Tugas dan
Fungsi, Serta Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan. Dalam
Perbup tersebut dijelaskan pada Pasal 2 Ayat (1) bahwa
Kecamatan berkedudukan di wilayah Kabupaten yang
dibagi atas kelurahan dan/atau Desa, ayat (2) Kecamatan
merupakan bagian Perangkat Daerah Kabupaten yang selain
melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah kabupaten juga melaksanakan Tugas
Pembantuan dan ayat (3) Kecamatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipimpin oleh seorang
Camat yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab
kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah.
Pasal 3 dijelaskan bahwa susunan organisasi
Kecamatan, terdiri dari Unsur pimpinan adalah Camat dan
unsur pembantu pimpinan adalah sekretariat kecamatan
meliputi (1) Sub Bagian Keuangan, Perencanaan dan
Pelaporan; dan (2) Sub Bagian Umum dan Kepegawaian.
Unsur Pelaksana adalah Seksi, yang terdiri dari (1) Seksi
Kesejahteraan Sosial; (2) Seksi Pembangunan dan
Pemberdayaan Masyarakat; (3) Seksi Pemerintahan; (4)
Seksi Pendapatan Asli Daerah; dan (5) Seksi Ketentraman ,
Ketertiban dan Kebersihan. (6) Kelompok Jabatan
Fungsional.
Bagan Struktur Organisasi Kecamatan digambarkan
sebagai berikut;
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 229
Gambar 9.29
Bagan Struktur Organisasi Kecamatan
Sumber : Data Diolah Peneliti 2017
Sebagaimana dijelaskan pada pasal 4 Camat
mempunyai tugas pokok meningkatkan koordinasi
penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, dan
pemberdayaan masyarakat desa dan atau kelurahan. Dalam
melaksanakan tugas, camat menyelenggarakan fungsi (1)
penyusunan program dan kegiatan Kecamatan; (2)
pengoordinasian penyelenggaraan pemerintahan di wilayah
kecamatan; (3) penyelenggaraan kegiatan pembinaan
ideologi negara dan kesatuan bangsa; (4) pengoordinasian
kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat; (5)
pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan kegiatan bidang
ketentraman, ketertiban dan kebersihan; (6) pelaksaaan
pembinaan penyelenggaraan bidang PAD (Pendapatan Asli
Daerah); (7) pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan
bidang kesejahteraan sosial; (8) pelaksanaan penatausahaan
Kecamatan; (9) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh
Bupati.
Berkaitan dengan itu, sebagai perwujudan RPJMD
2016 -2021 pada misi ke 6 Meningkatkan tata kelola
pemerintahan dan memperkuat sistem inovasi daerah,
Tujuan RPJMD ke 5 Terwujudnya reformasi birokrasi maka
pada tahun 2017 ditetapkan Indikator Kinerja Utama Tahun
2016-2021 perangkat daerah kecamatan sebagai berikut ;
230 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Tabel 9.17
Indikator Kinerja Utama Tahun 2016-2021
No Sasaran
Strategis
Indikator
Kerja Utama
Penjelasan/
Fomulasi
Sumber
data
1
Mening-
katnya
Tata
Kelola
Pemerintah
Desa/
Kelurahan
Tingkat
Capaian Tata
Kelola
Pemerintahan
Desa/
Kelurahan
Jumlah Tata
Kelola
Pemerintahan
Desa/
Kelurahan
Yang Sesuai
SOP dibagi
Jumlah Desa/
Kelurahan
dikali 100 %
Sekmat
dan Kasi
Pemerin-
tahan
Tingkat
Capaian PAD
(Pendapatan
Asli Daerah)
Jumlah Tata
Kelola PAD
Yang Sesuai
SOP dibagi
Jumlah Desa/
Kelurahan
dikali 100%
Sekmat
dan Kasi
PAD
Tingkat
Capaian
Penegakan
Perda
Jumlah Perda
Yang
Disosialisasika
n dibagi
Jumlah Perda
dikali 100 %
Sekmat
dan Kasi
Tramtib
2
Mening-
katnya
Pemberday
aan
Masyaraka
t Dalam
Pembangu
nan
Tingkat
Partisipasi
Masyarakat
Dalam
Pembangunan
di Wilayah
Kecamatan
Jumlah
Penduduk
Yang
Berpartisipasi
Dalam
Pembangunan
dibagi Jumlah
Total
Penduduk
Usia Produktif
dikali 100%
Sekmat
dan Kasi
Pembang
unan
Tingkat
Kesejahteraan
Masyarakat di
Wilayah
Kecamatan
Jumlah
penduduk
yang
Berpendapatan
di Bawah
Kasi
Kesos
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 231
No Sasaran
Strategis
Indikator
Kerja Utama
Penjelasan/
Fomulasi
Sumber
data
Garis
Kemiskinan
dibagi Jumlah
total
Penduduk
dikali 100 %
3
Mening-
katnya
Kualitas
Pelayanan
Adminis-
trasi
Kecamatan
Indeks
kepuasan
Masyarakat
Dalam
Pelayanan
Administrasi
Kecamatan
Total dari
Nilai Persepsi
Per Unsur
dibagi Total
Unsur Yang
Diisi dikali
Nilai
Penimbang
Sekmat
dan Kasi
Pemerint
ahan
Sumber : Data diolah BAPEDA 2018
Spirit penyusunan Indikator Kerja Utama (IKU)
sebagaimnama dijelaskan Tabel di atas. Selain bertujuan
melakukan reformasi birokrasi, secara operasional
merupakan instrument penyusunan rencana kerja dan
anggaran berdasarkan basis kinerja masing-masing
kecamatan serta instrument pengukuran ketercapaian
kinerja program dan kegiatan. Indikator Kerja Utama (IKU)
mulai diterapkan tahun 2018 untuk tahun anggaran
kecamatan 2019.
2. Penguatan Kebijakan Serta Pengaturan Batasan Peran
Camat dalam Pelayanan Dasar
Pentingnya mengatur kewenangan camat yang
memiliki daya ungkit terhadap penyelesaian permasalahan
yang ada di wilayah kerjanya. Informan 23 dari Pusat
Telaah dan Informasi Regional mengatakan;
“Kalau terkait model, model yang memang bisa
menyelesaikan masalah masalah yang jadi prioritas di
kecamatan dan memiliki daya ungkit kepada penyelesaian
masalah di kecamatan tersebut, urai itu aja. Kalau sudah
mampu baru pelimpahan kewenangan itu perbabak pertama
sesuai dengan masalah yang ia punya, yang kedua
menyelesaikan dulu masalah-masalah prioritas yang kalau
232 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kewenangan itu diberikan kepada yang bisa diungkit untuk
meyelesaikan permasalahan. Kalau dia sudah berhasil maka
diberikan kewenangan yang lain. Tidak usah terburu-buru
pengen semua banyak atau pengen diseragamkan biar
gampang. Dan memang ini agak panjang gak bisa keluar SK
kecamatan harus di akses.” (Wawancara September 2018)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa pengaturan
kewenangan camat diharapkan memiliki daya ungkit untuk
menyelesaikan masalah di wilayah kecamatan. Pelimpahan
kewenangan harus per babak. Artinya pertama harus
menyelesaikan dahulu permasalahan yang ada, kemudian
apabila dirasa kecamatan sudah mampu menyelesaikan
permasalahan yang diprioritaskan tersebut, maka
penambahan kewenangan baru dilakukan. Jadi
mekanismenya tidak langsung dengan melimpahkan secara
generik (memukul rata seluruh kecamatan), namun
bertahap.
Setelah sebelumnya diketahui pada Pasal 27 Ayat (2)
dan (3) Rancangan Peraturan Pemerintah tentang susunan
dan kedudukan kecamatan yang menjelaskan tentang
pelimpahan wewenang bupati pada camat. Baru baru ini
RPP tersebut telah ditetapkan menjadi Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 2018 Tentang Kecamatan. Dalam Pasal 11
Ayat (7) dijelaskan bahwa Pelimpahan wewenang Bupati
kepada Camat dilakukan berdasarkan pemetaan pelayanan
publik sesuai dengan karakteristik Kecamatan dan/ atau
kebutuhan masyarakat setempat. Kemudian Ayat (2)
menjelaskan bahwa sebagian urusan pemerintahan yang
dilimpahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdiri atas pelayanan perizinan dan nonperizinan. Dalam
pelimpahan wewenang yang dimaksud Peraturan
Pemerintah tersebut bersifat wajib dengan alasan
mengoptimalkan pelayanan, eksternalitas, efektifitas dan
efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Berkaitan dengan
itu Kementerian Dalam Negeri sebelumnya telah merancang
beberapa terobosan sebagai arah kebijakan seiring dengan
keberadaan RPP Kecamatan, diantaranya paket pelayanan
dasar bagi masyarakat tidak mampu, Perluasan Pelayanan
dasar, Pembangunan pendidikan, Pembangunan perumahan
dan pemukiman, pemerataan dan percepatan penaggulangan
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 233
kemiskinan. Adapun dijelaskan dalam paparan sebagai
berikut ;
Paket Pelayanan Dasar bagi Masyarakat Kurang Mampu
Slide - 11
Gambar 9.30
Paket Pelayanan Dasar Bagi Masyarakat Kurang Mampu
Sumber : Paparan Direktur Dekonsentrasi, Tugas
Pembantuan Dan Kerjasama (2016)
Dari paparan tersebut di atas yang dijabarkan dari
identitas hukum hingga infrastruktur, merupakan sebuah
program pelayanan dasar rutin yang dilaksanakan oleh
pemerintah Kabupaten pandeglang, dalam hal ini perangkat
daerah yang merupakan operating Core lah yang
menjalankan itu. Seperti perangkat daerah kecamatan
melalui Program PATEN (Pelayanan Administrasi Terpadu
Kecamatan), diantaranya Pengantar Kartu Keluarga (KK),
Pengantar KTP (Kartu Tanda Penduduk) hingga pada
Pelayanan Pengantar Permohonan Mutasi/Balik Nama
SPPT. Selama ini kecamatan di lingkungan Kabupaten
Pandeglang, tidak menerapkan pola ekslusif namun lebih
cenderung inklusif dengan mendudukan masyarakat
kecamatan dalam kesetaraan pelayanan. Terkait dengan
pelayanan pada dimensi identitas hukum, Informan 6 dari
Kecamatan Panimbang mengatakan;
“…cuma memang yang saya inginkan khususnya
pelayanan-pelayanan yang menyangkut kebutuhan rakyat
banyak bisa dilaksanakan oleh kecamatan tidak lagi oleh
kabupaten salah satu contoh ini persoalan KTP. Selama ini
kan KTP itu oleh kabupaten, justru sebelum lahir UU ini
KTP ini di bawah, camat yang tanda tangan. Sekarang ini
234 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kan ke Kabupaten. Yang sulitnya dari sini ke kabupaten ini
membutuhkan ongkos yang tinggi, nah itu paling pak.”
(wawancara, Agustus 2017)
Hal senada juga dikatakan oleh Informan 9 dari
Kecamatan Labuan sebagai berikut;
“Prosesnya pelayanan KTP sekarang tidak mudah pa, yang
ngurus KTP dari sini perekaman trus kita berikan pengantar
ke Disdukcapil Pandeglang. Karena Pencetakan KTP nya di
kementerian, Pemohon KTP harus bolak balik ke
Disdukcapil guna mengecek KTP nya sudah selesai apa
belum dan sudah dikirimkan apa belum dari kementerian ke
Disdukcapil. Jadi pemohon KTP capek pak harus bolak
balik. Kalau kecamatan punya kewenangan buat mencetak
sebetulnya itu akan lebih memudahkan.” (wawancara,
Agustus 2017)
Lebih lanjut Informan 5 dari Kecamatan Majasari
juga mengatakan;
“…sebenarnya kita sudah memberikan masukan seperti
untuk memudahkan masyarakat pembuatan KTP kenapa
tidak di sini saja, direkam di sini, dia pulang kesana. Jadi
birokrasinya jangan dipanjang-panjang (menyederhanakan
birokrasi) kasian masyarakat, yang penting syarat-syaratnya
sudah terpenuhi..” (wawancara, Agustus 2017)
Wawancara di atas menjelaskan bahwa, dalam
penyelenggaraan pelayanan KTP kecamatan hanya
berwenang pada memberikan pengantar permohonan KTP
serta melakukan perekaman. Sedangkan proses selanjutnya
hingga tercetaknya KTP pelayanan dilakukan oleh Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil. Rumitnya tahapan yang
harus ditempuh oleh pemohon KTP memunculkan empati
dari pihak kecamatan. Sehingga pihak kecamatan memiliki
pandangan pencetakan KTP lebih efektif jika dilaksanakan
oleh Kecamatan.
Pada dimensi lain misalnya, masalah pendidikan dan
kesehatan termasuk perlindungan sosial di dalamnya.
Merujuk dari Peraturan Bupati Pandeglang Nomor 24 tahun
2013 bidang pendidikan sudah dilimpahkan pada
kecamatan. kewenanangan bidang pendidkan meliputi (1)
Aspek Kebijakan, (2) Sarana prasarana (3) Pengendalian
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 235
Mutu Pendidikan dengan ruang lingkup kewenangan (a)
Pemberian dukungan, (b) Rekomendasi, (c) Koordinasi dan
(d) Memberikan Saran Urusan Keseharan (1) Upaya
Kesehatan (2) Pembiayaan Kesehatan Masyarakat (3) SDM
Kesehatan hingga Manajemen Keseharan. Ruang lingkup
kewenangan meliputi (a) Sosialisasi, (b) Memberikan
dorongan pada masyarakat, (c) Koordinasi (d) Monev.
Masalah pendidikan, kesehatan serta perlindungan sosial
disini merupakan cakupan pelayanan yang dilaksanakan
oleh camat sebagai penerima pelimpahan. Berkaitan
pelaksanaan pelayanan bidang pendidikan dicontohkan
sebagaimana dikatakan Informan 6 dari Kecamatan
Panimbang sebagai berikut;
“....saya juga sudah telah memberikan rekomendasi izin
untuk pendirian SMP dan SMA presiden pak, persis yg ada
di Bekasi, itu di atas luas lahan 5 hektar dan sekolah
internasional..... saya hanya rekomendasi izin untuk
pendirian, karena memang itu lahan miliknya, jadi akan
membangun sekolah internasional, dalam rangka itu tentu
kita menyiapkan SDM nya, diantaranya adalah berbagai
kegiatan yang dilakukan baik dari pemda pandeglang
maupun dari pusat, pelatihan pelatihan” (wawancara,
Agustus 2017)
Lebih lanjut merujuk dari laporan kinerja bulanan
dari kecamatan Panimbang, Labuan, Karangtanjung,
Majasari dan Pandeglang dalam kewenangan bidang
kesehatan terdapat laporan kegiatan imunisasi, pencapaian
KB. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan
kewenangan pada bidang pendidikan dan kesehatan dapat
dikatagorikan terlaksana namun belum efektif. Hal itu
ditandai dengan rendahnya kegiatan-kegiatan sosialisasi
serta monitoring dan evaluasi baik dalam bidang pendidikan
maupun kesehatan yang dilakukan oleh Kecamatan.
Berkaitan dengan kewenangan bidang kesehatan dan
pendidikan, Diketahui dalam rangka penerapan
Permendagri Nomor 12 Tahun 2017 yang mensyaratkan
penghapusan UPTD (Unit Pelaksana Teknis Dinas) bidang
pendidikan dan kesehatan di kecamatan. Secara spesifik,
esensi dari peraturan tersebut adalah merubah yang pada
awalnya terdapat UPTD bidang pendidikan yang
236 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
membawahi penyelenggaraan satuan pendidikan TK dan SD
serta UPTD puskesmas dengan dipimpin oleh pejabat
struktural Eselon Iva. Menurut ketentuan peraturan tersebut,
satuan pendidikan TK dan SD Negeri dijadikan sebagai
UPT satuan pendidikan dengan dijabat oleh tenaga
fungsional. Sedangkan UPTD puskesmas keberadaanya
dengan nomenklatur yang sama namun pengisian pimpinan
sifatnya tenaga fungsional. Pada dasarnya momentum
tersebut dapat dijadikan sebagai kesempatan untuk
merevitalisasi Perangkat daerah kecamatan dengan
menguatkan baik pada struktur maupun kewenangan pada
bidang pendidikan dan kesehatan. Terkait dengan itu
Informan 16 dari Bagian Organisasi mengatakan;
“….kita pastikan tidak akan merubah struktur kecamatan
ya. Karena perubahan struktur tidak mudah harus
melibatkan DPRD. Namun untuk pendidikan sebagai
pengganti UPTD dibentuk Koordinator wilayah di
kecamatan-kecamatan yang dijabat oleh pejabat fungsional,
kalau puskesmas juga sama dijabat oleh fungsional.”
(wawancara, Mei 2018)
Terkait dengan itu, pada dasarnya semangat
ditetapkanya Permendagri Nomor 12 tahun 2017 salah
satunya berimplikasi pada revitalisasi kecamatan khususnya
dalam bidang yang relevan untuk dilimpahkan dan
diperkuat di kecamatan, sebagaimana dikatakan oleh
Informan 19 dari Direktorat Jenderal Bina Administrasi
Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri;
“…yang sifatnya seperti dinas pendidikan, itu kan kerjanya
hanya mengkoordinasikan pelanggaran sekolah di
kecamatannya, hanya sebagai menilai DP3, mengawasi
jalannya sekolah, itu bisa dilakukan oleh camat. Jadi intinya
bentuk lah UPT sesuai dengan kebutuhan, beri pelimpahan
yang relevan pasti kecamatan akan sangat berdaya. Tugas
Kemendagri adalah regulasi dan akan mengoptimalkan
untuk urusan pelimpahan pada kecamatan dan dari urusan
yang sifatnya delegatif saja. Kemendagri akan mencegat
lagi UPT, dan jika dilimpahkan tidak perlu ada lagi UPT..”
(wawancara, Oktober 2017)
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 237
Kemudian pada dimensi infrastruktur dasar seperti
perumahan, pada dasarnya dalam Undang-undang Nomor
23 Tahun 2014, perumahan rakyat telah berubah satatus
menjadi urusan wajib. Perumahan dimaksut merupakan
pelayanan dasar yang bersifat inklusif, karena segmen
masyarakat berpenghasilan rendah saja lah yang menjadi
sasaran layanan tersebut. Pemerintah Kabupaten
Pandeglang telah melaksanakan program tersebut dengan
nomenklatur Bantuan RTLH (Rumah Tidak Layak Huni).
Sebagaimana dikutip dari www.beritasatu.com, minggu 25
september 2016) dijelaskan bahwa sebanyak 539 kepala
keluarga di kabupaten Pandeglang, mendapatkan bantuan
RTLH. Lebih lanjut menurut Informan dari perangkat
daerah yang membidangi urusan tersebut sebagaimana
dikutip dari (www.beritasatu.com, minggu 25 september
2016) mengatakan ;
“....Untuk bantuan dari kabupaten tersebar di 32 Kecamatan,
dan penyaluranya langsung ke penerimanya by name by
addres. Sedangkan dari provinsi akan mesuk ke rekening
pemerima...”
Petikan wawancara di atas menjelaskan bahwa
adanya bantuan yang tersebar pada sejumlah 32 kecamatan
di kabupaten pandeglang, menandakan bahwa sebetulnya
peran camat dalam segala jenis program yang sasarannya
langsung bersentuhan dengan masyarakat tidak lah bisa
ditiadakan. Dalam program yang bersumber dari sharing
APBD Provinsi dan Kabupaten ini, Camat beserta
perangkatnya berwenang sebagai Verifikator. Batasan ambil
bagian kecamatan hanya pada melaksanakan Verifikasi,
memfasilitasi mitra kerja program, serta memberikan
rekomendasi. Terkait dengan pelaksanaan kegiatan tersebut
Informan 6 dari Kecamatan Panimbang mengatakan;
“…Ada juga kegiatan-kegiatan dari pusat tapi melalui kita
salah satunya rumah tidak layak huni (RTLH), itu langsung
pusat yang nangani kemudian ke dinas PU tetap memang
koordinasi dengan camat juga, walaupun mereka dari pusat
kabupaten tapi tetap camat tau, camat bisa melakukan
monitoring terutama sejauh mana pelaksanaan penggunaan
dananya….”(wawancara, Agustus 2017)
238 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Beberapa dimensi pada prioritas nasional yang sudah
dijabarkan di atas perluasan pelayanan dasar bagi
masyarakat kurang mampu, selanjutnya perlu diketahui juga
penjabaran arah kebijakanya melalui perencanaan
terintegrasi, sebagai berikut :
12Dalam RPJMN 2015-2019
Arah Kebijakan :
1) Perluasan peningkatan
pela yanan dasar,
melalui:
2) Peningkatan
ketersediaan
infrastruktur dan
sarana
3) Pengembangan dan
penguatan sistem
terkait penyediaan
layanan dasar
Gambar 9.31 Perluasan Pelayanan Dasar
Sumber : Paparan Direktur Dekonsentrasi, Tugas
Pembantuan Dan Kerjasama (2016)
Berdasarkan Gambar di atas diketahui bahwa
perluasan pelayanan dasar dengan arah kebijakan meliputi
(1) Perluasan peningkatan pelayanan dasar, (2) Peningkatan
ketersediaan infrastruktur dan sarana, (3) Pengembangan
dan penguatan system terkait penyediaan layanan dasar.
Strategi yang ditetapkan melalui pemberian akses pelayanan
dasar pada masyarakat miskin dengan tujuan meningkatnya
persentase masyarakat miskin untuk mendapatkan
pelayanan dasar. Hal itu memerlukan peningkatan tata
kelola, pendampingan masyarakat serta penyediaan layanan
dasar.
Dalam tataran pelaksanaan di daerah untuk
menunjang hal itu perlu dilakunan beberapa hal diantaranya
(1). Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam
penyediaan layanan dasar, (2) Pembinaan masyarakat dalam
mengakses layanan dasar, (3) Pelibatan masyarakat dalam
perbaikan layanan dasar, (4) Penyediaan sarana dan
prasarana, pelayanan dasar yang berkualitas dan inklusif,
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 239
(5) Perluasan jangkauan pelayanan dasar untuk daerah
khusus atau terpencil.
Slide - 13
PEMBANGUNAN PENDIDIKANPerencanaan Terintegrasi
LEVEL 1
Arah Kebijakan
a.l.:
Meningkatkan
akses dan kualitas
layanan pendidikan
dasar, serta
memperluas dan
meningkatkan
pemerataan, akses,
kualitas dan
relevansi
pendidikan
menengah
Gambar 9.32 Pembangunan Pendidikan
Sumber : Paparan Direktur Dekonsentrasi, Tugas
Pembantuan Dan Kerjasama (2016)
Dari gambar di atas terkait pembangunan pendidikan
diketahui bahwa arah kebijakan yang ditetapkan oleh
pemerintah yaitu pada meningkatnya akses dan kualitas
layanan pendidikan dasar, serta memperluas dan
meningkatkan pemerataan, akses, kualitas dan relevansi
pendidikan menengah
Dalam peningkatan akses, kualitas relevansi dan daya
saing pendidikan ditetapkan langkah/ indikator pelaksanaan
yang meliputi (1) Pengembangan pembelajaran yang
berkualitas, (2) Peningkatan pendidikan agama dan
pendidikan karakter, (3) Penyediaan bantuan pendidikan
yang efektif, (4) Peningkatan ketersediaan saranadan
prasarana yang berkualitas, (5) Penguatan kelembagaan
perguruan tinggi, (6) Peningkatan kapasistas iptek, inovasi
dan daya saing pendidikan, (7) Peningkatan relevansi
pendidikan, (7) Penyediaan guru dan dosen dengan
penempatan yang merata, (8) Peningkatan dan pemjaminan
mutu pendidikan.
240 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Gambar 9.33
Pembangunan Kesehatan Penguatan Promotif dan Preventif
“Gerakan Masyarakat Sehat”
Sumber : Paparan Direktur Dekonsentrasi, Tugas
Pembantuan Dan Kerjasama (2016)
Berdasarkan Gambar di atas Pembangunan Kesehatan
Penguatan Promotif dan Preventif “Gerakan Masyarakat
Sehat” dilakukan melalui Peningkatan akses dan mutu
pelayanan kesehatan dengan indikator pelaksanaan meliputi
(1) Penyediaan distribusi dan mutu sediaan alat kesehatan.
(2) Penyediaan persebaran dan kualitas SDM kesehatan, (3)
Fasilitas kesehatan dan rujukan yang berkualitas, (4) JKN,
KIS dan pembiayaan Kesehatan, (5) Sistem Informasi dan
Litbang Kesehatan.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 241
Slide - 15
PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMANPerencanaan Terintegrasi
LEVEL 1
Gambar 9.34 Pembangunan Peumahan dan Pemukiman
Sumber : Paparan Direktur Dekonsentrasi, Tugas
Pembantuan Dan Kerjasama (2016)
Berdasarkan Gambar tersebut diketahui bahwa
kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman
dilakukan dengan pemberian akses Universal MBR
terhadap perumahan, air minum sanitasi yang layak.
Dengan indikator pelaksanaanya meliputi (1) Peningkatan
ketersediaan air baku, (2) Penyediaan akses air minum dan
sanitasi, (3) fasilitasi peningkatan hunian dan penataan
kawasan pemukiman termasuk kawasan kumuh, (4)
Fasilitasi penyediaan hunian layak baru.
Slide - 16
PEMBANGUNAN PERUMAHAN DAN PERMUKIMANFasilitasi Penyediaan Hunian Baru dan Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) Pendukung
LEVEL 2
Gambar 9.35
Pembangunan Perumahan Dan Pemukiman Fasilitasi
Penyediaan Hunian Baru dan Prasarana, Sarana, dan Utilitas
(PSU) Pendukung
Sumber : Paparan Direktur Dekonsentrasi, Tugas
Pembantuan Dan Kerjasama (2016)
242 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Berdasarkan Gambar di atas mengenai penjabaran
arah kebijakan dari Prioritas dan Sasaran Pembangunan
Nasional 2017, merupakan rambu-rambu bagi pemerintah
Kabupaten Pandeglang untuk menyesuaikan konsep
penyelenggaraan pelayanan dasar pada beberapa bidang atas
Urusan wajib dan urusan pilihan pada pelayanan dasar.
Penyesuaian disini dimaksudkan sebagai suatu langkah awal
yang berkelanjutan hingga tahun-tahun pembangunan
berikutnya. Langkah awal tidak hanya pada penyesuaian
konseptual saja namun bagaimana perangkat daerah teknis
beserta perangkat daerah kewilayahan kecamatan mampu
menjalin sinergitas, pengintegrasian atas kapasitas dan
ruang lingkup yang dimiliki.
Dalam hal pendidikan dan kesehatan Informan 23
dari Pusat Telaah dan Informasi Regional mengutarakan
pengalaman keberhasilan Kabupaten Jembrana berikut;
“Pada Tahun 2000 an saya dengan tim pemerintah Aceh ke
Jembrana. Disana memang ada kepala seksi pendidikan dan
kepala seksi kesehatan, seharusnya kan kesos pemerintahan
pemberdayaan masyarakat desa tapi ko bapak kasinya
sektoral jadi kepala seksi yang ada di sana. Jawab
Bupatinya orang yang bertanggung jawab mengurusi
masalah kesehatan di kecamatan ya kasi kesehatan urusanya
bagaimana cara cek kesehatan, bagaimana situasi kesehatan
yang Kepala Puskesmas nggak perlu berangkat sehingga
ambulan tidak perlu menunggu perintah dia. Lebih fokus
pada pelayanan, jadi pelayanan murni sama kepala seksi
pendidikan yakni memastikan bagaimana desa lintas sektor
mendukung apa program-program pendidikan, angka putus
sekolah berkurang, tugasnya adalah memonitor wilayah.
Nanti jam 10.00 kumpul. Berhasil dengan cara itu di
kecamatan negara itu bagus.” (Wawancara, September
2018)
Wawancara tersebut menjelaskan tentang
keberhasilan Kabupaten Jembrana ketika membentuk
kepala seksi pendidikan dan kepala seksi kesehatan di
kecamatan. Jadi pembagian tugasnya kepala seksi
melakukan monitoring, evaluasi dan koordinasi serta
memberikan dukungan dari pelaksanaan program terkait
pendidikan dan kesehatan di desa-desa dan kelurahan,
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 243
kemudian untuk Puskemas lebih difokuskan pada
pelayanan. Dengan seperti itu dinilai cukup berhasil.
Adapun pandangan dari salah seorang camat dari
daerah lain perihal pelimpahan kewenangan bidang
infrastruktur. Informan 28 dari kecamatan Methobi Raya
Kabupaten Lamandau berikut;
“menurut saya dan dari apa yang saya alami, pelimpahan
kewenangan Kepala Daerah kedapa Camat itu tidak bisa
diberlakukan sama untuk setiap kecamatan.... pelimpahan di
bidang infrastruktur belum tentu bisa dilimpahkan kepada
seluruh camat mengingat keluasan wilayah dan rentang
kendali pelayanan. Jadi menurut saya, pemetaan
karakteristik wilayah di setiap kecamatan itu diperlukan
untuk menentukan kewenangan apa saja yang bisa
diserahkan kepada Camat tertentu di Kecamatan tertentu.”
(Wawancara, Oktober 2018)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa selain dalam
pelimpahan kewenangan kepada camat harus
mempertimbangkan aspek karakteristik wilayah kerja
camat. Penekananya adalah, ketika melimpahkan bidang
infrastruktur pada camat harus benar-benar dikaji, karena
tidak semua camat mampu melaksanakan, mengingat
keluasan wilayah dan rentan kendali pelayanan.
Terkait dengan itu diketahui pada awal tahun 2018
sebagai salah satu langkah pemerintah Kabupaten
Pandeglang melakukan penataan ulang kewenangan camat/
Kecamatan guna mengintegrasikan dengan arah kebijakan
nasional penguatan pelayanan dasar. Informan 16 dari
Bagian Organisasi mengatakan;
“Saat ini oleh bagian pemerintahan sedang disusun
peraturan bupati untuk pelimpahan wewenang pada
kecamatan. Kan aturan yang lama masih pake yang UU
Nomor 32 Tahun 2004, yang ini disesuaikan dengan yang
baru. Sekarang prosesnya masih menunggu masukan-
masukan dari dinas kira-kira kewenangan dinas apa saja
yang memungkinkan dibagi dengan kecamatan.”
(wawancara, Mei 2018)
Lebih lanjut Informan 1 dari Bagian Pemerintahan
mengatakan sebagai berikut;
244 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
“Untuk sementara rancangan peraturan bupati tentang
pelimpahan wewenang pada camat masih dalam proses.
Kemarin kita mendapatkan masukan-masukan dari
perangkat daerah yang ada salah satunya yang menjadi poin
penting masalah perizinan. Rekomendasi dari KPK pada
BPMPPTSP untuk perizinan diharapkan cukup satu pintu di
BPMPPTSP saja, karena sistem perizinan kan online. Kalau
kewenangan IMB di kecamatan kan saat ini masih ada.
Kemudian untuk masalah Administrasi kependudukan
memang belum bisa kita perkuat karena memang terbentur
amanat undang-undang harus diselenggarakan oleh Dinas
kependudukan dan catatan sipil. Tapi untuk mengatasi
permasalahan layanan administrasi kependudukan di
kecamatan selama ini Disduk menjadwalkan pelayanan
adminduk melalui mobil keliling ke kecamatan-kecamatan.
Kami sempat mewacanakan juga pembentukan UPTD
Dispenduk. Kaitanya dengan Permendagri Nomor 12 Tahun
2017 untuk sementara kita tetap pada penetapan Korwil
sebagai koordinator UPT satuan pendidikan di kecamatan,
belum ada ke araah merubah struktur kecamatan”
(wawancara, Mei 2018)
Wawancara di atas menjelaskan bahwa saat ini
pemerintah kabupaten pendeglang tengah melakukan
penataan kewenangan camat. Proses dimulai dengan
menghimpun masukan-masukan dari perangkat daerah lain
guna sharing kewenangan yang dianggap relevan dengan
kecamatan. Beberapa poin penting yang seharusnya
pelayanan itu dapat didekatkan dengan masyarakat serta
diperkuat di kecamatan namun terganjal dengan peraturan
perundang undangan. Seperti Administrasi kependudukan,
Undang-undang belum memberikan celah urusan
administrasi kependudukan dilimpahkan pada kecamatan
kecuali pada proses perekaman, dan surat pengantar.
Kemudian pada kewenangan perizinan, rekomendesi dari
KPK bahwa untuk perizinan karena sistem online
diharapkan tetap satu pintu guna mempermudah
pengawasan. Adapun pada kewenangan bidang pendidikan
serta kesehatan sebagaimana momentum ditetapkanya
Permendagri Nomor 12 Tahun 2017 dan juga Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2018 seharunya disikapi
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 245
sebagai momentum untuk merevitalisasi struktur serta
kewenangan Perangkat daerah kecamatan, namun
Pemerintah Kabupaten pandeglang rupanya belum memilih
itu.
3. Relevansi dan Integrasi Kecamatan Pada Program
Nasional
Program Nasional merupakan merupakan manifestasi
atas RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional) dan RPJMN merupakan instrumen, tahapan serta
titik masuk dalam rangka mewujutkan tercapainya tujuan
RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional).
Ketika berbicara tentang negara berati kita berbicara tentang
elemen atau unsur dari negara itu sendiri. Kita ketahui
bahwasanya negara adalah Pemerintah yang berdaulat,
Warga negara/ Masyarakat Sipil, dan wilayah baik secara
georafis maupun wilayah secara antopologis yang menjadi
satu kesatuan wilayah secara Nasional. Pemerintah yang
berdaulat beserta elemen lain yang ada di dalamnya, dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia terbagi atas
jenjang pemerintahan yang terdiri dari pemerintah pusat
Provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Terkait dengan
perwujudan Program Nasional, hakikatnya adalah sinergitas
hajat nasional, dimana seluruh jenjang penyelengara
pemerintahan bersinergi dengan kapasitas yang dimiliki
dalam rangka mewujudkan cita-cita Program Nasional.
Pemerintah daerah kabupaten/ kota dalam penyelenggaraan
pemerintahan otonom dengan azas desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan berkewajiban
mengambil bagian dalam sinergi pembangunan nasional
tersebut, dengan tetap memperhatikan jejaring kemitraan
dengan unsur negara yang lain yang berada dalam wilayah
penyelenggaraan pemerintahanya. Pemerintah Kabupaten
dalam hai ini kabupaten pandeglang melalui uraian
penyelenggaraan pemerintah daerah bersama dengan
birokrasi/Perangkat daerah yang ada, khususnya Kecamatan
sebagai Perangkat Kewilayahan sesuai dengan kapasitasnya
masing-masing wajib memperhatikan prioritas pemba-
ngunan nasional yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Terkait dengan itu diketahui bahwa pada tanggal 8 Mei
tahun 2018 ini telah ditetapkan Peraturan Pemerintah
246 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Nomor 17 Tahun 2018 Tentang Kecamatan. Secara eksplisit
pada pasal 7 dijelaskan bahwa Pembentukan Kecamatan
Dalam Rangka Kepentingan Strategis Nasional. Lebih
lanjut ayat (1) menjelaskan bahwa Untuk kepentingan
strategis nasional, Pemerintah Pusat dapat menugaskan
kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota tertentu melalui
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk membentuk
Kecamatan. Dari penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa
pemerintah menaruh ekspektasi yang besar pada kecamatan
bahwa keberadaanya dijadikan sebagai salah satu
instrument terealisasinya cita-cita Program strategi
Nasional.
Adapun yang menjadi prioritas pembangunan
nasional pada tahun 2017 dijelaskan dalam gambar sebagai
berikut ;
Gambar 9.36
Prioritas dan Sasaran Pembangunan Nasional 2017
Sumber : Paparan Direktur Dekonsentrasi, Tugas
Pembantuan Dan Kerjasama (2016)
Prioiritas pembangunan merupakan rangkaian
terintegral dengan Sasaran pembangunan. Dari data pada
Gambar di atas beberapa diantaranya merupakan program
nasional yang dilaksanakan di kabupaten pandeglang,
Seperti KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Tanjung lesung
Kecamatan Panimbang, Pengembangan konektivitas
Nasional yaitu pembangunan jalan tol Serang-panimbang
Slide - 10
• Revolusi Mental• Pembangunan Pendidikan• Pembangunan Kesehatan• Pembangunan Perumahan dan Permukiman
DIMENSI PEMBANGUNAN
MANUSIA
• Kedaulatan Pangan • Kedaulatan Energi dan Ketenagalistrikan• Kemaritiman dan Kelautan• Pariwisata• Kawasan Industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
DIMENSI PEMBANGUNAN SEKTOR
UNGGULAN
• Pemerataan Antarkelompok Pendapatan• Perbatasan Negara dan Daerah Tertinggal• Pembangunan Perdesaan dan Perkotaan• Pengembangan Konektivitas Nasional
DIMENSI PEMERATAAN DAN KEWILAYAHAN
• Stabilitas Keamanan dan Ketertiban
• Konsolidasi Demokrasi dan Efektivitas Diplomasi
• Kepastian dan Penegakan Hukum
• Reformasi Birokrasi
KONDISI PERLU
Prioritas dan Sasaran PembangunanNasional 2017
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 247
sepanjang 83,6 km guna pendukung proyek KEK tersebut,
kemudian proyek pembangunan bandara banten selatan
yang pada akhirnya dicoret oleh pemerintah pusat karena
suatu anggapan bahwa pemerintah kabupaten Pandeglang
lemah dalam pengawalan PSN (Proyek Strategi Nasional),
Hal tersebut sesuai dengan pendapat salah salah seorang
pengamat kebijakan daerah sebagaimana dikutip dari
(focushflash.co.id 28 Agustus 2017) salah seorang
pengamat kebijakan pembangunan Kabupaten Pandeglang
mengatakan sebagai berikut ;
“.....Kan ada kewajiban rencana aksi yang harus dilakukan
daerah ketika ada proyek strategis dari pusat. Mungkin saja
dinilai ada kelambatan atau kendala-kendala lainya....”
Rencana aksi yang terkendala disini berdasarkan hasil
olah dokumen diketahui bahwa adanya keterlambatan dan
ketidaksiapan pemerintah kabupaten pandeglang membayar
pohon tegak lahan perhutani sobang yang akan dijadikan
lokasi bandara. Lebih lanjut menurut salah seorang Pejabat
Kesekretariatan Provinsi Banten sebagaimana dikutip dari
(Kabar banten.com15 Agustus 2017) terkait dengan
pencoretan tersebut mengatakan bahwa ;
“...Saya kurang tahu, kan progresnya pusat, lahan kan di
perhutani kita engga berhak. Tapi yang terhapus itu bukan
berarti tidak bagus. Pak jokowi ini ingin cepat, Kalau
lambat ya sudah dibelakangin dulu, buat yang baru yang
sudah siap....”
Berkaitan dengan itu adapun ketentuan yang
menyatakan bahwa pemerintah daerah pada dasarnya
berkewajiban memberikan dukungan pada program nasional
sebagaimana Informan 19 dari Direktorat Jenderal Bina
Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri
mengatakan;
“ … sekarang ada Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun
2017 tentang pengawasan pemerintah daerah. Intintiya
begini di peraturan tersebut kalau pemerintah daerah tidak
mendukung program pemerintah pusat atau tidak
mengindahkan aturan yang ditentukan pemerintah pusat,
maka kementerian dalam negeri bisa memberikan
sanksi….”(wawancara, Oktober 2017)
248 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Wawancara dan uraian di atas menjelaskan bahwa
dalam segala jenis proyek nasional yang bertempat di
daerah, khususnya Pemerintah Kabupaten Pandeglang pada
dasarnya pemerintah daerah wajib melaksanakan dan
mendukung ketercapaian keberhasilanya. Ketika mengukur
keberhasilan setidaknya bisa dilihat dari bagaimana
kesungguhan dan ketepatan Pemerintah kabupaten
pandeglang dalam menjalankan rencana aksi yang menjadi
porsinya. Dalam hal kasus pencoretan Program Strategi
Nasional bandara di kabupaten pandeglang, yang
diakibatkan rencana aksi pembebasan lahan, disini siapa
yang menjadi ujung tombak pelaksananya, setidaknya
bukan bupati saja, atau bupati dan sekretariat daerah saja,
namun secara jelas keberadaan perangkat daerah
kewilayahan kecamatan yang dipimpin oleh seorang Camat
sebagai kepanjang tanganan Pemerintah kabupaten
pandegalang, setidaknya harus mampu melaksanakan
kewenangan Koordinasi, fasilitasi serta seni
berkoordinasinya dengan prinsip integrasi dan sinkronisasi
pada stakeholder guna membantu Bupati mewujudkan
ketercapaian rencana aksi.
Lebih lanjut terkait dengan rencana penataan
kewenangan camat yang saat ini dilakukan oleh pemerintah
kabupaten pandeglang yang relevan dengan penguatan
kewenangan camat dalam program strategi nasional
sebagaimana dikatakan oleh Informan 1 dari Bagian
Pemerintahan mengatakan;
“Pada realisasi program nasional sejak dulu memang camat
kita libatkan contohnya pembangunan jalan tol serang-
panimbang. Yang memfasilitasi pembebasan lahan,
sosialisasi-sosialisasi pada masyarakat, mengko-
munikasikan dengan masyarakat tentunya camat sebagai
pemilik wilayah yang lebih berkompeten dalam hal itu,
menjelaskan pada masyarakat untuk pengembangan di
wilayahnya. Kalau masalah bandara di panimbang kemarin
selain masalah tingginya harga yang diminta oleh
masyarakat, terpaut jauh dengan penetapan harga yang
ditentukan oleh tim apraisal dari pemerintah pusat sehingga
itu yang menjadi kendala. Kemudian secara administrasi
Gubernur kita nilai lamban menetapkan SK lokasi bandara
sehingga BPN (Badan Pertanahan Nasional) tidak mau
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 249
kalau hanya SK dari menteri, harus SK Gubernur.”
(wawancara, Mei 2018)
Dicoretnya satu proyek nasional tersebut setidaknya
dijadikan pengalaman oleh pemerintah kabupaten
pandeglang dan mungkin pemerintah daerah yang lain
kedepanya untuk dapat menjalankan rencana aksi sebaik
mungkin, yang mana penekanannya, selain pada ketepatan
target juga pada ketepatan kaedah administrasi yang telah
ditetapkan dalam kebijakan petunjuk pelaksanaan dan
teknisnya. Dalam hal ini mungkin juga sebagai pengalaman
camat/kecamatan ketika menjalankan kewenanganya dalam
rencana aksi Proyek Nasional terhadap seni memfasilitasi
serta koordinasinya dengan pihak terkait/ jejaring kemitraan
yang ada.
Pada dasarnya cita-cita dari keberadaan program
strategi nasional adalah memberikan implikasi pada
meningkatnya daya saing pembangunan perekonomian dan
kesejahteraan Masyarakat pada wilayah wilayah yang
dianggap berdampak. Terkait dengan relevansi kapasitas
yang dimiliki oleh camat sebagaimana dikatakan oleh
Informan 12 dari Komisi DPRD Pandeglang sebagai
berikut;
“Jadi memang ada beberapa kecamatan yang harus disiasati
oleh camat itu sendiri karena sesuai dengan potensi lokalnya
memang sangat mumpuni untuk pertumbuhan ekonomi. Itu
kalau camatnya ga mudeng terhadap pekerjaan, kecamatan
itu ya ga maju-maju. Kayak misal nya Carita sebagai basis
dari pariwisata, kalau camatnya ga mudeng ya ga maju-
maju….Jadi begini, saya lihat secara umum misalnya
sebuah daerah bisa maju tergantung leadernya atau bisa
memajukan daerah bukan karena bukan hanya semangat
tinggi saja artinya memang harus dipenuhi oleh konsep-
konsep yang matang. Semangat mengacu kepusat kita
apresiasi memang kita harus ada terobosan tapi kemudian
perencanaannya harus sesuai dengan kondisi lokal
Pandeglang” (wawancara, November 2017)
Hal senada juga dikatakan oleh Informan 21 sebagai
tokoh masyarakat
250 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
“Ada kreatifitasnya, kreatifitas berfikir dan kreatifitas
bertindak, yang saya lihat selama ini memang camat tidak
pernah menjadi manusia yang papuler, karena
popularitasnya kalah dengan bupati atau malah sama kepala
desa, camat itu fungsinya malah lebih administratif. Camat
juga perlu inovasi, ya inovasi apapun ya sesuai dengan
bidang kewenanganya sehingga apa juga bisa memeberikan
kontribusi yang jauh lebih baik bagi pembangunan,
masyarakat dan lainya… saya senang dengan upaya-upaya
pemerinyah pusat. Upaya pemerintah pusat untuk ada
masuk proyek nasional, percepatan pembangunan
peningkatan kesejahteraan. Cuma problemnya buat saya,
peran aktif pemerintah daerah menurut saya masih kurang
untuk ikut mensosialisasikan, atau untuk ikut mengambil
keuntungan dari itu. Misalnya nanti bakal ada proyek
nasional di mana, trus apa yang hendak dilakukan oleh
pemerintah kabupaten itu kan, sehingga apa pertumbuhan
proyek nasional yang ada seiring sejalan dengan daerah.
Kesan yang saya lihat adalah pemerintah kabupaten
pandeglang itu hanya menunggu saja, menunggu apa yang
hendak dilakukan oleh pemerintah pusat pada derahnya.
Apa, misalnya harus ditumbuhkan ekonomi-ekonomi kreatif
seiring dengan munculnya proyek nasional baik di sektor
pariwisata maupun sektor-sektor yang lain. Tapi saya tidak
melihat itu. Pariwisata ya tetep seperti itu, apa yang
dilakukan, ada ngga ekonomi kreatif, ngga ada sama sekali.
Tapi minimalnya apa yang hendak dikembangkan
pandeglang sekarang ini kalau saya melihat tidak jelas. Apa
sih yang hendak dikembangkan pandeglang, hampir tidak
nampak, tidak terasa.” (wawancara, Mei 2018)
C. Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Pelimpahan
Wewenang Bupati Kepada Camat Serta Penyelenggaraan
Kewenangan Camat
Dalam uraian di bawah ini disajikan tentang faktor
pendukung dan penghambat yang ditemukan peneliti dalam
penelitian lapangan, maupun dari penelusuran dokumen yang ada.
1. Faktor Pendukung
a. Bupati Pandeglang memiliki kemauan untuk melimpahkan
kewenanganya atas urusan pemerintahan daerah pada
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 251
camat/kecamatan, hal itu terlihat dari adanya penetapan dan
pelaksanaan beberapa peraturan bupati sebagai berikut;
1) Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2013 Tentang
Pelimpahan Sebagian Kewenangan Bupati Kepada
Camat
2) Peraturan Bupati Nomor 66 Tahun 2016 tentang
Kedudukan, Susunan Organisasi, Rincian Tugas dan
Fungsi Serta Tata Kerja Kecamatan Dan Kelurahan
b. Perubahan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan
yang telah berlaku saat ini ditandai dengan ditetapkanya
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2016, Peraturan Bupati
Nomor 66 Tahun 2016 telah mengintegrasikan kelurahan
dengan kecamatan dalam satu hirarki struktur organisasi,
dengan itu kecamatan lebih mudah mengendalikan
Kelurahan sebagai ujung tombak pelayanan kepada
masyarakat guna meningkatkan kemudahan penyelengaraan
pelayanan pada masyarakat hingga level dasar.
c. Adanya kemauan dari jajaran perangkat daerah kecamatan
untuk menciptakan pelayanan publik yang lebih fleksibel,
efektif, efisien dan inovatif dengan memotivasi diri jajaran
pelakana di kecamatan untuk memberikan keyakinan serta
membangun penilaian dari masyarakat bahwa pelayanan
yang diselenggarakan kecamatan memiliki standar yang
sama layaknya perangkat daerah teknis, serta lebih unggul,
karena dari aspek jarak relatif lebih dekat dengan
masyarakat dan fleksibel.
Hal tersebut dicontohkan sebagaimana dikatakan oleh
Informan 10 dari Kecamatan Labuan berikut ;
“Kita kalau melakukan pelayanan di sini ngga memandang
jam kerja pak, hari sabtu dan minggu saja ketika masyarakat
membutuhkan layanan pengurusan keterangan seperti
SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) ya kita layani.
Hari itu ada piket pak di sini. Mau gimana lagi masyarakat
ngga mau tau, maunya senin pagi harus sudah ada...”
(wawancara, Agustus 2017)
Terkait dengan contoh fleksibelnya pelayanan, lebih
lanjut Informan 2 dari Kecamatan Pandeglang mengatakan;
“...Karena PAD pandeglang saat ini masih mengandalkan
dari PBB, kami selalu target kalau masih ada piutang PBB
252 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kita jemput bola ke masyarakat pa untuk menyampaikan
tagihanya.....” (wawancara, Agustus 2017)
Wawancara tersebut menjelaskan bahwasanya
tindakan fleksibel efektif dan efisien dilakukan oleh
pelaksana dalam memberikan pelayanan pada masyarakat.
Selain hal itu adapun dalam hal memfasilitasi tugas
pembantuan layanan perekaman KTP-el. Sekalipun ada
kendala yang disebabkan kerusakan alat perekaman di
beberapa Kecamatan, namun adanya kemauan dari
kecamatan-kecamatan untuk memberi solusi dengan
mengambil langkah perekaman lintas kecamatan. Hal itu
menandakan bahwa adanya keinginan yang kuat dari
kecamatan-kecamatan yang ada di pandeglang untuk
melakukan sinergi agar penyelenggaraan pelayanan pada
masyarakat tetap berjalan dan tidak lumpuh karena adanya
hambatan.
d. Adanya kemauan menetapkan prosedur yang jelas dari
masing-masing kecamatan terkait penyelengaraan PATEN
sebagai turunan dari Permendagri Nomor 4 Tahun 2010
serta Surat keputusan Bupati Nomor 138/Kep.381-
Huk/2013 Tentang Pembentukan tim teknis penyelengara
PATEN yang disesuaikan dengan kemampuan dan
kecukupan baik dari aspek anggaran, Jumlah SDM dan
Infrastruktur yang dimiliki Kecamatan, serta
mensosialisasilan kepada masyarakat pengguna layanan,
terlebih lagi adanya komitmen diri dari masing-masing
kecamatan untuk menjalankan ketetapan yang dibuat
kecamatan terutana masalah tidak adanya biaya yang
dipungut. Hal itu sebagaimana disampaikan oleh Informan
4 dari Kecamatan Majasari berikut ;
“..... di kantor kecamatan kita bapak bisa lihat prosedur
seperti masyarakat datang masuk loket 1 loket 2 dan loket 3,
jenis layanan apa saja yang bisa diurus di sini kita pampang
di depan loket pelayanan, dan saya selalu tekankan ke
pelaksana pelayanan untuk jangan sampai memungut uang
dari masyarakat yang ngurus pelayanan di sini, karena
aturanya Gratis...” (wawancara, Agustus 2017)
Dari wawancara tersebut, lebih lanjut jika dikaitkan
dengan dokumen penyelengaraan pelayanan administrasi
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 253
terpadu Kecamatan, pada lampiran keputusan dijelaskan
bahwa dari 14 empat belas item pelayanan menyebutkan
ketentuan bahwa pelayanan tidak dipungut biaya. Bahkan
selain itu juga menjelaskan jangka waktu pelayanan yang
rata-rata hanya 10 menit dan maksimal satu minggu pada
layanan yang sifatnya harus dikoordinasikan terlebih dahulu
dengan dinas teknis seperti IMB (Izin Mendirikan
Bangunan). Kemudian jika masyarakat merasa dilayani
tidak sesuai dengan standar pelayanan yang ada, masyarakat
diperkenankan melaporkan pada kontak aduan pada camat.
e. Adanya kemauan Bupati Pandeglang melalui asisten I
bidang pemerintahan memerintahkan jajaran kecamatan
untuk melaporkan kinerja penyelenggaraan kewenangan
kecamatan setiap bulan. Padahal ketentuan dalam Peraturan
Bupati Nomor 24 tahun 2013 kinerja Kecamatan dilaporkan
per 3 bulan. Artinya bupati menginginkan lebih intens
memantau kinerja kecamatan melalui dokumen laporan.
Diketahui adapun poin yang dilaporkan meliputi Kegiatan
Harian Camat, Daftar Hadir/Absensi Pegawai, data
kependudukan, Keadaan Kamtibmas, izin keramaian dan
hiburan, daftar Harga Sembako, pencapaian KB, N.T.C.R,
imunisasi.
f. Adanya kemauan dari Bupati Pandeglang untuk mengelola
jejaring kemitraan pemerintah kabupaten dengan
memperhatikan lokalitas kehidupan sosial, budaya dan
keagamaan masyarakat, sehingga dengan itu penciptaan
sinergitas dapat terwujud, serta harmoni dalam
penyelengaraan pemerintah daerah dapat terjalin. Terkait
dengan itu pada akhirnya dampak yang dirasakan adalah
cukup rendahnya resistensi dari pihak non pemerintah
dalam merespon kebijakan-kebijakan pembangunan yang
ditetapkan Kabupaten Pandeglang, walaupun tetap saja
terjadi dinamika dalam pelaksanaanya. Lebih lanjut ketika
dikaitkan dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang penyeleng-garaan pemerintahan umum, yang
menyelenggarakan pemerintah umum adalah Pemerintah
Provinsi, Kabupaten kota dan Kecamatan. Dalam hal ini
Kecamatan secara eksplisit ditetapkan sebagai perangkat
wilayah administrasi Pemerintah Pusat. Kendati demikian,
saat ini memang belum ada peraturan turunan yang secara
operasional dapat dijadikan sebagai rujukan untuk
254 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
menyelenggarakan. Namun setidaknya Pemerintah
kabupaten pandeglang sudah cukup terbiasa menjalankan
aktivitas yang relevan penyelenggaraan pemerintahan
umum, khususnya kecamatan. Seperti halnya Camat
menjalankan aktifitas sebagai Ketua Forkopimka yaitu
mengkoordinasikan Babinsa dan babinkamtibmas
kecamatan, Menyelenggrakan Musrenbang RKPD di tingkat
kecamatan yang mana dalam pelaksanaanya mengkomuni-
kasikan dan menjaga harmoni dengan kelompok masyarakat
dan ulama. Terkait dengan itu dalam penyelenggaraan
Musrenbang RKPD menurut Informan 4 dari Kecamatan
Majasari mengatakan;
“....Sebelum ada program pembangunan yang kita jalankan,
atau saat masa perencanaan di sini kita selalu
mengkonsultasikan dengan ulama terlebih dulu, bagaimana
kesesuaianya dengan nilai-nilai islam, bertentangan atau
tidak.....” (wawancara, Agustus 2017)
Wawancara dan penjelasan di atas menjelaskan
bahwa pada tingkat kecamatan kultur kerja yang dibangun
adalah mencari dukungan menjalin harmoni dengan segenap
lapisan masyarakat, seperti halnya mengedepankan fatwa
ulama. Diketahui bahwa masyarakat kabupaten pandeglang
memiliki kecenderungan sebagai entitas masyarakat yang
agamis, sehingga dapat dikatakan bahwa keberhasilan
mengkomuni-kasikan program kerja/program pembangunan
ditentukan seberapa besar tingkat resistensi ulama terhadap
program tersebut.
g. Ditetapkannya, ke 35 perangkat daerah kecamatan ke dalam
tipologi A, hasil penataan kelembagaan tahun 2016 sebagai
tindak lanjut amanat Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
2016. Dengan hal itu menandakan bahwa standar
kecukupan lembaga seluruh kecamatan dibuat merata.
Standar kecukupan lembaga yang dimaksud meliputi jumlah
SDM, besaran anggaran tentunya dimaksimalkan layaknya
kecamatan betipologi A seperti jumlah pagu indikatif
khusus operasional kecamatan sejumlah Rp 710.757.600,00
pada tahun 2017, kemudian jumlah kepala seksi bisa
dimaksimalkan hingga 5 kepala seksi, sehingga akan
berkorelasi pada akumulasi SDM/Staf pelaksana. Perlu
diketahui bahwa masing-masing kecamatan di pandeglang
memiliki Jumlah penduduk, Kondisi infrastruktur Wilayah
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 255
yang berbeda beda. Berkaitan dengan besaran pagu indikatif
yang merata pada seluruh kecamatan di kabupaten
pandeglang pada dasarnya membuat perbedaan tingkat
kecukupan Camat dan jajaranya dalam mengalokasikan
pada penyelengaraan kecamatan. Dicontohkan dalam hal
perbedaan jumlah penduduk usia dewasa, antara kecamatan
yang jumlah penduduk usia dewasanya banyak dengan yang
tidak. Otomatis akan berhubungan dengan seberapa besar
kuantitas pengadaan belanja barang habis pakai dalam
pelayanan kecamatan seperti berapa jumlah formulir
pengurusan layanan yang diadakan, lalu dalam hal
kecamatan yang mengkoordinasikan desa dengan
membawahi kelurahan, pasti berbeda kuantitas camat dan
jajaranya melaksanakan pembinaan dan pengawasan dengan
penerbitan SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas). Belum
lagi kecamatan yang jarak ke Ibukota Kabupaten
pandeglang yang berbeda-beda, ada yang jarak dekat,
menengah dan jauh seperti kecamatan labuan tentunya
besaran biaya perjalanan dinasnya berbeda, dan banyak lagi
kesenjangan-kesenjangan atas perbedaan variabel yang
dimiliki. Namun dengan keadaan itu nampaknya tidak
disikapi sebagai hambatan sebagaimana dikatakan oleh
Informan 6 sebagai berikut ;
“....anggaran kabupaten pandeglang itu tidak besar seperti
kota lain paling kecil PAD nya di sini... Untuk kegiatan saja
kuwalahan mengikuti rapat 2-3 kali ke pandeglang, untuk
ongkos saja kuwalahan. Ke pandeglang kan itu jauh dari
sini. Harusnya dalam anggaran juga tidak bisa disamakan,
daerah yang dekat dengan yang jauh kan beda. Cimanuk ke
pandeglang dengan panimbang ke Pandeglang kan beda.
Sepertinya anggaran itu tidak jauh beda…..kita memaklumi
karena memang anggarannya juga terbatas.” (wawancara,
Agustus 2017)
Wawancara di atas menjelaskan korelasi antara
perbedaan Variabel masing-masing kecamatan dengan
kesamaan besaran anggaran tidaklah sampai dijadikan
masalah oleh perangkat kecamatan dalam menyelengarakan
kewenanganya. Spiritnya adalah menyelesaikan program-
program dan pekerjaan yang sudah ditetapkan sekalipun
dengan kondisi anggaran yang terbatas.
256 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
2. Faktor Penghambat a. Keberadaan Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2013 masih
belum adaptif terhadap perkembangan peraturan perundang-
undangan pemerintahan daerah yang berlaku saat ini. Perlu
diketahui bahwasanya Peraturan Bupati tersebut ditetapkan
dan diundangkan pada saat masih berlakunya Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004. Namun semenjak
Pemerintah Kabupaten Pandeglang melaksanakan Undang
Undang Nomor 23 tahun 2014 beserta turunanya seperti PP
Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Organisasi Perangkat
Daerah, bupati belum menetapkan penyesuaian peraturan
yang mengatur tentang kewenangan camat/kecamatan.
Ditambah lagi Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2013
masih bersifat generik, belum spesifik mengatur perbedaan
karakteristik masing masing kecamatan secara asimetris.
Hal itu dapat dicontohkan seperti perbedaan beban kerja
kecamatan yang hanya membawahi kelurahan, kecamatan
yang membawahi kelurahan dan desa ada serta kecamatan
yang seluruhnya terdiri dari desa. Kemudian adapun salah
satu kecamatan yang masuk dalam zona Program strategi
Nasional seperti Kecamatan Panimbang, tentunya dengan
hal itu berkonsekuensi pada perbedaan beban kerja dalam
menjalankan kewenanganya. Berkaitan dengan bersifat
umumnya peraturan bupati tersebut dikatakan Informan 6
dari Kecamatan Panimbang sebagai berikut:
“......Ini kan sifatnya umum pak tidak ada yg kehususan,
kaya paten ini semua. Tidak ada kewenangan kusus di
seluruh kecamatan di pandeglang ini,,,, klo yang umum-
umum kalau bapak sudah ke pandeglang sama dengan di
sini, yang disini yang berbeda mungkin tentang kawasan
jadi tugas pembantuan camat itu adalah melakukan
koordinasi dengan pihak KEK ya kalau gak salah, disini
sudah ada koordinatornya, tanjung lesung itu ibu Jois, saya
sifatnya koordiasi, tidak ada kewenangan khusus camat
panimbang berkenaan dengan KEK tapi hanya melakukan
koordinasi.” (wawancara, Agustus 2017).
Dari wawancara dan penjelasan tersebut di atas
diketahui bahwa, mengingat sifat kewenangan yang
dilimpahkan generik/umum, camat diharapkan memiliki
inisiatif dan kepekaan untuk membaca dan mengidentifikasi
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 257
karakteristik di wilayah kerjanya dalam melaksanakan
kewenangan yang dimiliki, serta melaporkan hasil
kinerjanya secara periodik pada Bupati. Untuk kecamatan
panimbang sebagai zona Program Strategi Nasional KEK
(Kawasan Ekonomi Khusus) diperlukan koordinasi dengan
perangkat daerah Administrator KEK (Kawasan Ekonomi
Khusus), hal itu dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
ketumpang tindihan.
b. Dari hasil olah data observasi dan dokumen laporan camat/
kecamatan dirasa masih belum cukup merepresentasikan
seluruh kewenangan yang telah dilimpahkan. Diduga terjadi
pendikotomian substansi kewenangan yang wajib dan tidak
untuk disusun pelaporanya. Terkait hal itu dicontohkan
pelaporan bulanan pada bulan Juli 2017 di salah satu
kecamatan, dari uraian yang ada diketahui kecenderungan
aktifitas pasif. Pasif dimaksudkan seperti hanya pada
menghadiri undangan-undangan dari instansi/pihak terkait,
namun tidak lebih pada aktif mendatangi sekalipun tanpa
adanya undangan. Contohnya pada bidang kepariwisataan,
apakan camat memiliki kewenangan yang cukup luas untuk
menyelenggarakan kewenanganya. Diamanatkan dalam
Peraturan Bupati Nomor 24 Tahun 2013 bahwa Camat
berwenang;
1) Fasilitasi dan koordinasi pelaksanaan program aksi
bidang pariwisata yang melibatkan masyarakat;
2) Fasilitasi dan koordinasi pelaksanaan pengumpulan data
bidang pariwisata;
3) Fasilitasi dan koordinasi monitoring dan evaluasi
pengendalian bidang pariwisata;
4) Fasilitasi dan koordinasi, monitoring dan evaluasi
pengendalian bidang pariwisata yang melibatkan
masyarakat
5) Fasilitasi dan koordinasi pelaksanaan, monitoring dan
pelaporan terhadap bidang pariwisata yang ada di
lokasinya
Berdasarkan penjelasan poin a hingga poin e di atas,
sebetulnya operasionalisasi kewenangan pada bidang
pariwisata merupakan suatu hal yang dapat diinisiasi oleh
kecamatan tanpa adanya undangan terlebih dahulu ataupun
bereaksi setelah ada program kerja dinas teknis
kepariwisataan. Pada poin e dijelaskan bahwa camat
258 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
memiliki kewenangan atas pelaporan terhadap bidang
pariwisata yang ada di lokasinya. Namun fakta yang terjadi
hal itu belum dilakukan sekalipun wilayah kerja kecamatan
tersebut banyak terdapat objek-objek wisata strategis, dan
sedang berprogres dalam program strategi nasional. Jika
perspektifnya tidak dirubah dan tetap kurang proaktif dalam
operasionalisasi penyelenggaraan kewenangan. sejatinya hal
itu akan berdampak pada efektifitas keberadaan
camat/kecamatan sebagai daya dukung bupati dalam
mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
berdaya saing.
c. Kurang adanya kemauan melakukan revitalisasi kecamatan.
Diketahui pada awal tahun 2018 hingga peneliti melakukan
pendalaman pada bulan Mei 2018 ini sedang berproses
penataan ulang kewenangan kecamatan. Penataan ulang
dilakukan mengingat perlunya penyesuaian-penyesuaian
dengan Undang-undang Nomor 23 tahun 2014. Dari hasil
penelitian diketahui bahwa (1) Telah ditetapkanya Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2018 Tentang Kecamatan
namun dalam dinamika penyusunan kewenangan camat
perihal perizinan yang direncanakan tidak dilimpahkan lagi
pada kecamatan sebetulnya kurang relevan dengan amanat
PP tersebut (2) Keberadaan Permendagri Nomor 12 Tahun
2016 yang salah satu poinya mengeliminir jabatan struktural
UPTD pendidikan dan kesehatan tidak dimanfaatkan untuk
mengalihkan fungsi pelayanan tersebut guna memperkuat
baik struktur maupun kewenangan kecamatan, (2) Dalam
rancangan penataan kewenangan kecamatan IMB
direncanakan akan dikembalikan kewenanganya pada
BPMPPTSP mengingat rekomendasi dari KPK bahwa
perizinan harus satu pintu. (3). Pelayanan administrasi
kependudukan tidak memungkinkan diperkuat di kecamatan
mengingat Undang-Undang tidak memberikan kemung-
kinan untuk itu. Undang-undang menghendaki pelayanan
administrasi kependudukan tetap dilaksanakan di Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil. (4) Direncanakan
kewenangan yang dilimpahkan masih bersifat generik atau
dengan kata lain tidak dilimpahkan dengan sistem asimetris.
d. Berdasarkan hasil olah data dokumen Rencana Strategis
Tahun 2016 sampai dengan 2021 Kecamatan Panimbang.
Hasil identifikasi isu-isu strategis yang dianggap dapat
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 259
mempengaruhi pencapaian kinerja penyelenggaraan
kewenangan camat/kecamatan meliputi: (1) Sumber daya
manusia yang belum profesional, (2) Sarana dan prasarana
yang belum lengkap sesuai dengan kebutuhan, (3)
Administrasi yang belum tertib, (4) Kurangnya kesadaran
dan peran aktif masyarakat akan program yang
dilaksanakan.
e. Berkaitan dengan kewenangan camat/kecamatan dalam
pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
desa khususnya pada realisasi dana desa di setiap tahun
anggaran. Dalam hal ini dari hasil penelitian diketahui
berkaitan dengan Penetapan Peraturan Bupati Nomor 6
Tahun 2017 tentang pedoman umum pelaksanaan dana desa
yang salah satu substansinya yang dipertegas dengan surat
edaran menetapkan 10 sepuluh pembangunan prioritas
diantaranya Pembangunan taman pintar, posyandu, embung
desa, jalan desa, BUMDes, Tempat pembuangan sampah,
sarana olahraga desa, satu desa satu produk, perikanan serta
wisata/air bersih. Di satu sisi Surat Keputusan Bupati/
Peraturan Bupati merupakan kebijakan serta legitimasi yang
harus dilaksanakan dan dikawal oleh birokrasi atau
tingkatan pemerintahan yang ada di bawahnya seperti
halnya desa. Apalagi spesifik kebijakan tersebut mengatur
tentang substansi penyelanggaraan pemerintahan desa.
Namun dalam konteks negara demokrasi, mengkritisi
sebuah kebijakan bukan suatu hal yang dilarang atau
bertentangan dengan konstitusi. Sekalipun idealnya
pemerintah desa seharusnya menjalankan kebijakan terlebih
dahulu, dan mengkritisi ketika ternyata dalam
pelaksanaanya ternyata banyak bertentangan dengan kondisi
di lapangan. Apa lagi kebutuhan desa di Pandeglang
tersebut berbeda-beda karena kondisi geografis dan
infrastruktur dasar. Lebih lanjut salah satu Informan dari
Majlis dewan mengatakan :
“Terbitnya Perbup tersebut di saat RKPDes (Rencana Kerja
Pembangunan Desa) sudah terbentuk melalui musyawarah
bersama masyarakat Desa, yang secara otomatis akan
menimbulkan kegaduhan dimasyarakat. Karena apa yang
sudah direncanakan dan diusulkan tidak terlaksana lantaran
harus memprioritaskan pembangunan 10 item yang tertera
260 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
dalam SE Bupati sebagai turunan Perbup Nomor 6 Tahun
2017,”
Wawancara tersebut menjelaskan bahwa jika yang
menjadi alasan yang pertama adalah perencanaan di desa
sudah berjalan sehingga dikawatirkan akan menimbulkan
kegaduhan, dan yang kedua karena perbedaan geografis dan
infrastruktur dasar yang dibutuhkan masyarakat. Itu semua
merupakan hambatan serta tantangan camat/kecamatan agar
pengalaman tentang resistensi pra implementasi perbup oleh
internal/desa tidak terjadi lagi, jika memang kelalaianya
terletak pada camat yang tidak menjembatani Bupati dengan
segenap kewenangan yang dimilikinya.
Berkaitan dengan itu pada dasarnya ketika menengok
tentang kelaziman dalam tata pemerintahan desa bahwa RPJMDes
merupakan acuan kegiatan pembangunan di desa selama 6 tahun
atau setara dengan masa jabatan kepala desa terpilih. Tidak
dibayangkan apakah yang akan terjadi ketika pemerintah desa
yang memiliki otonomi harus menjalankan instruksi administrasi
seperti halnya surat edaran atas Peraturan Bupati Nomor 06 Tahun
2017 dari pemerintah kabupaten yang mana substansinya
bertentangan dengan pokok-pokok rencana pembangunan yang
sejak awal telah ditetapkan oleh Kesatuan hukum desa dan
masyarakat di dalamnya. Hal itu sebagaimana dikatakan oleh
Informan 15 dari unsur pendamping desa sebagai berikut ;
“....turunya surat edaran tentang 10 progam prioritas
pembangunan desa yang sempat ada penolakan kemarin itu
selain memang karena ada desa yang dilihat dari
karakteristiknya tidak membutuhkan seperti embung, juga
karena bertentangan dengan RPJMDes serta hasil
Musyawarah perencanaan pembangunan desa, walaupun
bisa juga desa melakukan review untuk menyesuaikan
dengan instruksi dari surat edaran tersebut.....” (wawancara,
Agustus 2017)
Kenyataan yang terjadi pada akhirnya Peraturan Bupati
Nomor 6 Tahun 2017 serta surat edaran dengan 10 sepuluh
prioritas pembangunan yang diamanatkan tetap dilaksanakan oleh
seluruh desa. Dengan segenap permasalahan yang telah
dipaparkan, sebelumnya lebih lanjut ditemukan ketidaksesuaian
pelaksanaan realisasi pembangunan fisik dana desa anggaran 2017
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 261
sehingga ada himbauan yang diberikan oleh pihak inspektorat
sebagaimana dikatakan oleh Informan 13 dari Desa Mekar Jaya
mengatakan;
“.....Dari dana desa kita diperiksa oleh inspektorat , ada
temuan itu juga. Pernah ada kendala yaitu ada temuan dana
desa dipegang seseorang yang saya kasih leluasa dan ada
masalah tetap saya sebagai kepala desa yang harus
bertanggung jawab. Kurang dan kelebihan dana bisa
menjadi temuan. Ada bahasa swadaya. Banyaknya swadaya
ada di RAPBDes, entah tenaga, tanah. Nah kalau sekarang
yang menjadi kesulitan itu adalah tanah yang dihibahkan
untuk posyandu, taman bacaan. Kecuali desa itu punya
tanah sendiri atau tanah bengkok kita bisa terpisah...”
(wawancara, Agustus 2017)
Berkaitan dengan itu menurut Informan 7 dari Kecamatan
Panimbang sebagai pelaksana pembinaan dan pengawasan
pembangunan fisik dana desa mengatakan ;
“.....berkaitan dengan dana desa di kecamatan.... khususnya
10 sepuluh program pembangunan sesuai surat edaran
bupati pandeglang agar mengacu pada prototype gambar
yang ada, agar tercipta keseragaman dan kualitas
bangunan....” (wawancara, Agustus 2017)
Dari wawancara tersebut dapat diketahui bahwa penilaian
ketidak sesuaian dari hasil pemeriksaan inspektorat terhadap
realisasi fisik dana desa di salah satu desa tersebut, setidaknya
dijadikan sebagai pengalaman oleh tim monitoring kecamatan
untuk lebih mengintensifkan pembinaan dan pengawasan sebagai
tindakan prefentif pra realisasi pembangunan fisik dana desa,
khususnya pada desa yang tercatat pernah memperoleh teguran
dari inspektorat. Pra realisasi disini dimaksudkan agar aparat desa
sebagai PTPKD (Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa)
memiliki kesamaan persepsi dengan tim pembina dan pengawas
dari kecamatan terhadap peraturan dan ketatalaksanaanya yang
berlaku.
Jika dikaitkan pendapat dari informan-informan, peristiwa
serta persepsi peneliti terhadap penolakan instruksi dalam surat
edaran atas Perbup 6 Tahun 2017 oleh APDESI dengan dalih
perbedaan karakteristik desa berbeda pula prioritas pembangunan
fisiknya, kemudian asumsi peneliti tentang kapasitas camat untuk
262 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
menjembatani antara pemerintah desa dengan kabupaten melalui
melalui kewenangan yang dimilikinya, sehingga terjadi penolakan
dari APDESI, dan adanya beberapa desa yang pernah ditegur oleh
kecamatan akibat terlambatnya realisasi berdasarkan hasil Monev
yang dimungkinkan akibat kesetengah hatian dalam melaksanakan
realisasi. Maka dari itu semua dapat ditarik sebuah
penyederhanaan bahwa diduga terjadi keberpihakan aktor
pelaksana dalam hal ini adalah camat/kecamatan terhadap
keberadaan 10 program prioritas dari surat edaran turunan
Peraturan Bupati Nomor 6 tahun 2017 tersebut. Terkait dengan hal
itu, isu obyektifitas dan profesionalitas birokrasi dalam
penyelenggaaraan pemerintah daerah menjadi penting untuk
dibangun di kabupaten pandeglang. Hal itu terkait dengan petikan
orasi pada unjuk rasa gabungan LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) Rabu 13 September 2017 terhadap isu
pengesampingan profesionalitas, independensi, dalam proses
lelang sebagai berikut:
“.....Kami menduga kuat bahwa.....diduga melakukan
korporasi dengan pihak-pikah tertentu pada proses lelang,
yakni mengesampingkan profesionalitas kerja dan
obyektifitas dalam proses lelang, sehingga ini adanya
indikasi pada keberpihakan pada pihak-pihak tertentu...”
Pada dasarnya hakikat penyelenggaraan pemerintahan
daerah adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat/masyarakat dan
daya saing daerah. Birokrasi dalam hal ini perangkat daerah
termasuk kecamatan, pemerintah desa dan aktor-aktor
pelaksananya diharapkan memegang teguh nilai-nilai
profesionalitas dalam segala aspek. Dalam konteks perangkat
daerah kecamatan, dituntut memiliki independensi dan
profesionalitas dalam menyelenggarakan kewenanganya sebagai
bagian dari birokrasi penyelengaraan pemerintahan daerah.
Independensi dan profesionalitas salah satunya dapat
dimanifestasikan dengan memberikan koreksi pemberi wewenang
yaitu Bupati, serta kepada pemerintah desa yang dikoodirnasikan
dalam rangka mengartikulasikan kebutuhan masyarakat.
*****
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 263
BAB X
PENUTUP
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada bab
sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
(1) Pelimpahan wewenang bupati (kepala daerah) kepada camat
serta penyelenggaraan kewenangan camat dapat terselenggara
efektif tergantung pada beberapa faktor. Bahwa wewenang
yang dilimpahkan (1) Didasarkan pada adanya integrasi
perangkat daerah dan perangkat wilayah dalam kedudukan
kecamatan, (2) Spesifik terhadap karakteristik, kebutuhan
penguatan pelayanan dan keberadaan program nasional pada
wilayah kecamatan, (3) Mewajibkan camat untuk kreatif dan
inovatif (4) Memiliki kepastian atas terpenuhinya kecukupan
kelembagaan (5) Ada komitmen dari bupati untuk konsisten
melakukan monitoring dan evaluasi kinerja kewenangan camat.
Diketahui di kabupaten pandeglang, wewenang yang
dilimpahkan bupati kepada camat dalam kedudukan kecamatan
sebagai perangkat daerah otonom sifatnya generik, belum
merepresentasikan karakteristik dan kebutuhan wilayah
kecamatan. Wewenang yang diatur dimaksudkan merupakan
peraturan Bupati yang ditetapkan pada tahun 2013 lalu dan
masih diberlakukan hingga saat ini. Dengan kondisi seperti itu,
ditambah dengan tidak didukung kecukupan kelembagaan,
akhirnya berimplikasi pada penyelenggaraan kewenangan
camat yang tidak berjalan efektif, disamping juga camat kurang
kreatif dan inovatif untuk menyelenggarakan kewenangan di
tengah keterbatasan yang ada. Bupati (kepala daerah) juga
kurang konsisten dalam monitoring dan evaluasi kinerja camat.
Kemudian dalam kedudukan kecamatan sebagai perangkat
perangkat wilayah administrasi, memang belum dilimpahkan
oleh bupati, mengingat landasan operasional berupa Peraturan
Pemerintahan belum ditetapkan oleh Presiden, karena di
dalamnya menyangkut operasionalisasi dan kepastian
dukungan APBN. Adapun solusi dari Pemerintah yakni
pendanaan penyelenggaraan pemerintahan umum dengan
APBD. Mengingat terbatasnya kemampuan APBD maka
bupati belum mengambil langkah itu. Selain daerah yang
264 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
seharusnya memiliki inovasi dalam rangka menjalankan
amanat penyelenggaraan pemerintah umum, seperti halnya,
membagi kewenangan serta anggaran Bakespangpol untuk
diselenggarakan kecamatan, namun jika kondisi ketidak pastian
tersebut berkepanjangan, maka akan muncul frame bahwa
pemerintah dalam hal ini Presiden tidak menjalankan amanat
Undang-Undang.
(2) Pelimpahan wewenang bupati (kepala daerah) kepada camat
serta penyelenggaraan kewenangan camat dapat terselenggara
efektif apabila batas-batas wewenang yang diatur akomodatif
terhadap (1) Amanat perubahan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, (2) Karakteristik wilayah dan arah kebijakan
penguatan kecamatan pada pelayanan publik, (3) Relevansi
kecamatan pada orkestrasi program pembangunan nasional.
Diketahui bahwa batas-batas wewenang camat yang diatur
dalam peraturan bupati yang masih berlaku hingga saat ini,
sudah cukup jelas, namun kewenangan yang diatur tidak
akomodatif terhadap perubahan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, baik itu kewenangan atas urusan pemerintahan
daerah, maupun dalam penyelengaraan pemerintahan umum.
Pada masa transisi penerapan undang-undang pemerintahan
daerah seperti saat ini, dimana belum ada kejelasan landasan
operasional penyelengaraan pemerintahan umum yang
ditetapkan pemerintah. Dengan kondisi seperti itu bupati juga
terlihat belum melakukan terobosan apapun. Lebih lanjut
berkaitan dengan karakteristik kewilayahan, arah kebijakan
penguatan kecamatan pada pelayanan publik serta keberadaan
program strategi nasional seperti kawasan ekonomi khusus
(KEK) dan lain-lain, dalam pengaturan yang sudah ada tidak
akomodatif. Selain itu adapun rancangan pengaturan
kewenangan camat yang sedang disusun, diketahui bahwa hal-
hal seperti karakteristik kewilayahan, arah kebijakan penguatan
kecamatan pada pelayanan publik serta keberadaan program
strategi nasional juga terlihat belum dielaborasikan.
(3) Faktor pendukung dan penghambat dalam pelimpahan
wewenang bupati (kepala daerah) kepada camat serta
penyelenggaraan kewenangan camat perlu diperkuat dengan
strategi yang meliputi: Komitmen untuk merestrukturisasi
kelembagaan kecamatan; Menyesuaikan pengaturan wewenang
camat berdasarkan amanat peraturan perundang-undangan
yang berlaku; Melimpahkan wewenang secara spesifik
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 265
berdasarkan karakteristik, kebutuhan pelayanan publik dan
keberadaan program strategi nasional di wilayah kecamatan.
Selain itu mewajibkan camat untuk kreatif dan inovatif; serta
memberikan jaminan (kepastian) pemenuhan kecukupan
kelembagaan secara proporsional.
Diketahui bahwa kewenangan yang dilimpahkan bupati kepada
camat dalam penyelenggaraanya belum efektif. Sebetulnya
walau belum efektif, dengan sudah adanya kewenangan yang
dilimpahkan di tahun 2013 lalu (Peraturan Bupati Nomor 24
Tahun 2013) menggambarkan bahwa bupati (Bupati saat
periode itu) memiliki kemauan untuk melimpahkan, serta
adanya kemauan camat dalam menyelenggarakan (hingga saat
ini). Namun pada masa transisi penerapan Undang-Undang 23
Nomor Tahun 2014 dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, dengan kondisi penyelenggaraan kecamatan yang
tergolong inefektif, Bupati kurang memiliki komitmen untuk
merestrukturisasi kelembagaan kecamatan, seolah tidak ingin
bergegas dari masa transisi. Padahal cukup banyak faktor -
faktor yang melemahkan kelembagaan kecamatan seperti
kewenangan yang generik, kondisi kecukupan kelembagaan
belum terpenuhi secara proporsional, adanya arah kebijakan
penguatan pelayanan publik serta keberadaan program strategi
nasional yang belum terakomodir. Dimana jika faktor-faktor
tersebut tidak diperkuat melalui restrukturisasi kelembagaan,
maka akan semakin memberikan implikasi terhadap
inefektifnya penyelenggaraan kecamatan. Tentunya untuk hal
itu perlu adanya komitmen dari Bupati.
(4) Model ideal Pelimpahan wewenang Bupati (Kepala Daerah)
kepada Camat yang direkomendasikan merupakan rencana aksi
kepala daerah/pemerintah daerah untuk melakukan
restrukturisasi kelembagaan kecamatan guna mewujudkan
efektifitas penyelenggaraan kecamatan sebagai Perangkat
daerah otonom dan perangkat wilayah administrasi
penyelenggaraan pemerintahan umum yang secara efektif
berkontribusi sebagai daya dukung penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
*****
266 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
DAFTAR PUSTAKA
A. De Smet et al, 2016. The delegated authority model misused as
a strategy of disengagement in the case of climate change.
Ethics & Global Politics, Vol. 9, 2016
Abbott, Kenneth W.et al, 2015. Two Logics of Indirect
Governance: Delegation and Orchestration. British
Journal of Political Science / FirstView Article / July
2015, pp 1 – 11 DOI: 10.1017/S0007123414000593,
Published online: 21 July 2015
A.F. Stoner James, 2000. Management, Sixth Edition, Prentice
Hall International, Inc.
Alwasilah, A, Chaedar, 2002. Pokoknya Kualitatif : Dasar-dasar
Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif.
Bandung : PT Dunia Pustaka Jaya dan Pusat Studi Sunda.
Angelino, A.D.A.de Kat, 1931. Colonial policy. Tr.G.J. Renier.
The.Haugue: N.Nijhoff
Assuncao, Simao de, 2014. Pemerintahan Umum dan Kepala
Daerah. Jakarta: Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi 44
Tahun 2014.
Banten prov, 18 Nov 2016, Mayoritas Camat di Pandeglang Tak
Tahu Persoalan di Daerahnya. diperoleh 11 April
2017,dari, https://bantenprov.go.id
Bantenhits, 25 Maret 2017, Pendamping Desa di Pandeglang
Akan Adukan Konsultan Independen. diperoleh,15
September 2017 dari, http://www.tangeranghits.com
_______, 11 November 2015. Ulama, Santri dan Masyarakat
Banten Tolak Investor Air Minum PT Tirta Fresindo Jaya.
diperoleh 18 September 2017 dari, http://www.
tangeranghits.com
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 267
Banten`News, 12 Desember 2017, Dana Desa Pandeglang Tahap II
Siap Ditransfer ke Kas Desa, diperoleh 26 Desember 2017
dari, https://www.bantennews.co.id
Bantenraya, Jumat, 24 Mei 2014. Kecamatan Jadi Simpul
Pelayanan. diperoleh 11 April 2017,dari, http://banten
raya.com
Bantentribun, Senin, 26 Februari 2018. Kecamatan Pandeglang
Gelar Musrenbang Tahun 2018. Diperoleh 2 Mei 2018
dari, http://bantentribun.id
Bastian, Indra, et.al., 2014. Akuntansi Kecamatan dan Desa.
Tangerang Selatan : Universitas Terbuka.
Beritasatu, Minggu, 25 September 2016. 539 KK di Pandeglang
Dapat Dana Bantuan Rumah Salah satu proyek
pembangunan rumah. (investor daily/edorusyanto).
diperoleh 18 September 2017 dari http://www.
beritasatu.com
Bungin, Burhan (ed.), 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif:
Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian
Kontemporer. Jakarta : PT. Radja Grafindo Persada.
Budiyanto, Nur, M, 2009. Reformasi Administrasi Pemerintahan
Lokal dalam Pelayanan Publik di Indonesia. Demokrasi
Vol. VIII No. 1 Th. 2009.
Boonsiri,Karn & Phiritasamith, Sucheep, 2016. Development of
Participative Management of Subdistrict Administrative
Organizations in Songkhla Province. International
Journal of the Computer, the Internet and Management
Vol.24 No.2 (May - August, 2016) pp. 64-68.
Butsankom, et.al, 2016.The Development Effectiveness
Management Modelfor sub-district secondary school.
Academic Journals.Vol 11 (19).
268 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Bogdan, Robert and Steven J Taylor, 1992. Introduction to
Qualitative Research Methods. Surabaya : Alih Bahasa
Arif Furchan. Edisi Kesatu, Usaha Nasional.
Burns, Danny, et.al, 1994. The Politic of Decentralization,
Revitalising Local Democracy. Hongkong : MacMillan.
Caiden, G. E. 1991. Administrative Reform Comes of Age. New
York: Walter de Gruyter.
Centre, Mathai J,2002. Decentralised Planning and Transfer of
Development Functions: A Study of Thrissur District.
Thesis. Department of Economics : University of Calicut.
Cheema, G Shabbir & Rondinelli, Dennis A, 1983.
Decentralization and Development. Sage Publication,
Inc.
Cohen, J.M. & Peterson, S. B. 1999. Administrative
Decentralization : Strategies for Developing Countries
Connecticut : Kumahan Press.
Conyers, D. 1986. Decentralization and Development : a
framework for analisis : Community Development Jurnal,
Vol. 21 number 2, April, 88-100.
Creswell, John W, 1994. Research Design: Qualitative and
Quantitative Approaches. Thousand Oaks : SAGE
Publications.
Davis, Ralph C, 2001. Fundamentals of Top Management.Tokyo:
kokusha Company Ltd.
Dawoody, Alexander R, 2015. Public Administration and Policy
in the Middle East. Marywood University Scranton,
PA,USA.
Denzin, Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (eds.), 2009.
Hanbook of Qualitative Research. Penerjemah Dariyatno.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 269
Dharmawan, Hadi, A, 2008. Reposisis Ketata Pemerintahan
Kecamatan. Bogor : Pusat Studi Pembangunan Pertanian
dan Pedesaan.
Dore, J and J, Woodhill, 1999. Regionalism, Sustainable Regional
Development (Executive Summary of the Final Report),
Greening Australia, p.15 -18.
Dryzek, John S, 1982. Policy Analysis as A Hermeneutic Activity.
In Policy Sciences, 14 (1982).
Dwiyanto, Agus, et,al, 2008. Reformasi Birokrasi Publik di
Indonesia. Yogyakarta: PPSK - UGM.
Emerick, Mayer N, et, al, 2004. Decentralisation Of Service
Delivery As Adopted By The Central District Counsil At
Bostawa. Journal Public Administration & Development;
Aug 2004; 24, 3; ABI/INFORM Collection pg. 225.
Fakta banten, 7 Maret 2017. Apdesi Kabupaten Pandeglang Sebut
Perbup Nomor 6 Tahun 2017 Tidak Relevan. diperoleh 18
September 2017 dari, http://faktabanten.co.id
Faktapandeglang, 26 November 2017. Camat Panimbang Ngaku
Tak Tahu Soal Izin Batching Plant. diperoleh 8 Mei 2018.
http://faktapandeglang.co.id
FAO, 2006. Understand, Analyse and Manage a Decentralization
Process Institutions For Rural Development, Rome.
Faozan, Haris, 2014. Ragam Model Struktur Organisasi
Kecamatan Berbasis Pelayanan Publik, Jurnal
Administrasi Publik PKP2A II LAN Makassar
F.L,Whitney, 1960.The Elements of Resert.Asian Eds. Osaka:
Overseas Book Co.
Goggin, Malcolm L,et, al., 1990. Implementation, Theory and
Practice: Toward a Thid Generation, Scott, Foresmann
and Company, USA.
270 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Gera, Weena JS, 2008. Central Bureaucratic Supervision and
Capacity Development in Decentralization: Rethinking the
Relevance of the Department of Interior and Local
Government of the Philippines, dalam Forum of
International Development Studies No.37, September,
Nagoya University: GSID.
Gifford and Pinchot, Elizabeth, 1993. The End of Bureaucracy
and The Rise of The Intelligent Organization, San
Fransisco : Barret-Koehler Publishers.
Hahn-Been, Lee, 1976. Bureaucratic Models and Administrative
Reform, in The Management of Change in Government. A.
F. Leemans (ed), Martinus Nijhoff. The Hague: Institute
of Social Studies.
Hamudy, Ilham, A, 2009. Peran Camat di Era Otonomi Daerah.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan
Organisasi, Jan-Apr 2009, hlm. 53-58 Volume 16, Nomor
1 ISSN 0854-3844.
Haning, Tahrir, M, et. al, 2016. Desentralisasi Kewenangan
Pelayanan Publik pada Kecamatan di Kabupaten
Pangkep. Jurnal Analisis dan Pelayanan Publik Volume 2,
Nomor 1, Juni 2016 ISSN: 2460-6162 | eISSN : 2527-
6476
Hasibuan, Malayu S.P, 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia,
Jakarta : Bumi Aksara.
_______, 2007, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Bumi
Aksara.
Hatch, M.J, 1997. Organization Theory : Modern, Symbolic, and
Postmodern Perspectivesî, Oxford University Press,
Oxford
Hoessein, Bhenjamin, 1993. Berbagai Faktor yang Mempengaruhi
Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II, Suatu Kajian
Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari Segi Ilmu dan
Administrasi. Jakarta. Disertasi Pascasarjana UI.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 271
_______, B, 1995. Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara
Kesatuan Republik Indonesia: Alan berputar Roda
desentralisasi dari Evisiensi ke Demokrasi. Pidato
Pengukuhan Guru Besar FISIP UI di Jakarta pada tanggal
18 November.
_______, B, 2000. Hubungan Penyelenggaraan Pemerintahan
Pusat dengan Pemerintahan Daerah. Jurnal Bisnis
Birokrasi.No. 1, Vol I, Juli
Hodge, B.J, Anthony, William P, 1998. Organizational Theory,
Allyn and Bacon, Inc. Massachusetts : USA.
Ozmen, Alper, 2014. Notes To The Concept Of Decentralization.
European Scientific Journal April 2014 edition Vol.10,
No.10 ISSN: 1857 – 7881 (Print) e - ISSN 1857- 7431.
Ibrahim, Amin, 2008. Teori dan Konsep Pelayanan Publik serta
Implementasinya. Bandung: Mandar Maju.
Indopos, Senin, 27 Februari 2017, Pandeglang Siap Melepas
Predikat Daerah Tertinggal, diperoleh 15 September 2017
dari http://hutindopos.indopos.co.id
Jones, Thomas, 1994. Human Helping,in Journal of Corporate
Social Performance and Policy. Vol. 8, Connectient : JAI
Press, Greenwich: 29-30.
Kabar banten, 16 Agustus 2017. Ulama dan Pemerintah Sinergi
Bangun Pandeglang. diperoleh 18 September 2017 dari,
http://www.kabar-banten.com
Kabupaten Banyuwangi, Jum'at, 08 September 2017. Terinspirasi
Progress Pariwisatanya, Pemkab Pandeglang Kunjungi
Banyuwangi. diperoleh 15 September 2017 dari,
https://www.banyuwangikab.go.id
Kaho, Riwu, 2001. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik
Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
272 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Kartohadikoesoemo, Soetardjo, 1984. Desa. Yogyakarta: PN Balai
Pustaka.
Kavanagh, Dennis, 1982. Kebudayaan Politik. Cetakan Pertama.
Jakarta : Penerbit PT. Bina Aksara.
Keban, Yeremias T, 2007. Pembangunan Birokrasi di Indonesia:
Agenda Kenegaraan yang Terabaikan, Pidato Pengukuran
Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kemmochi, Mai, et al, 2016. Research Concerning The State Of
Decentralization Within Cities and The Participation In
City Planning . Journal of the City Planning Institute of
Japan, Vol.51 No.3, October, 201
Khairi, Akmal, 2010. Analisis Pemberdayaan Peran dan Fungsi
Camat. Bisnis & Birokrasi. Jurnal Ilmu Administrasi dan
Organisasi, Mei–Agustus 2010, hlm. 160-169
Korten, David C dan Syahrir, 1980. Pembangunan Bedimensi
Kerakyatan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Kurasawa, Aiko, 2015. Kuasa Jepang di Jawa (Perubahan Sosial
di Perdesaan 1942-1945). Diterjemahkan oleh Hermawan
Sulistyo. Depok: Komunitas Bambu.
Kusuma, Riko, Eka, 2014. Pelaksanaan Pendelegasian Wewenang
Bupati Kepada Camat Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah. Jurnal Perspektif Volume XIX No.
2 Tahun 2014 Edisi Mei
Landwehr, Claudia dan Bohm, Katharina, 2011. Delegation and
Institutional Design in Health‐Care Rationing. Journal
Governance, Volume 24, Issue 4, pages 665–688, October
2011
Leemans, A.F, 1970. Changing Patterns of Local Government
.The Hague, IULA. Diakses melalui https://www.
researchgate.net
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 273
Lane, EJ, 1995. The Public Sector: Concepts, Models, and
Approaches, London: Sange Publications.
Leach, S., et al, 1994. The Dimensions of analysis: governance,
markets and community. Dalam Leach, S., et al. (1996)
Enabling or Disabling Local Government, Choices for the
Future: Buckingham-Philadelphia: Open University Press.
Lincoln, Yvonna S., dan Egon G.Guba, 1985. Naturalistic Inquiry.
Beverly Hills, CA: Sage Publications.
Maksum, Irfan Ridwan, 2014. Pemerintahan Umum Berbasis
Dekonsentrasi. Jakarta : Jurnal Ilmu Pemerintahan Edisi
44 Tahun 2014
Maman, Bagir, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah.
Jogyakarta : PPSH, Fakultas Hukum UII
Manmeet Kaur et al., 2012. Decentralization of health services in
India: barriers and facilitating factors. WHO South-East
Asia Journal of Public Health 2012;1(1):94-104
Manullang, 1987. Dasar-Dasar Manajemen. Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Maududy, Irsyan, 2013. Evaluasi Reformasi: Pelaksanaan
Otonomi Daerah. Diakses melalui https://kastratfebui.
wordpress.com.2016.
Meir, Ben, Yossef, 2010, Morocco‟s Regionalization “Roadmap”
and the Western Sahara. Ifrane : Al Akhawayn
University, Journal On World Peace Vol. XXViI NO. 2
June 2010
Menaranews Senin, 22 Mei 2017. Aparatur Desa Tak Cakap
Gunakan Aplikasi, Dana Desa Tak Kunjung Cair.
diperoleh 17 September 2017, dari http://www.
menaranews.com.
274 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Metrotv News, 22 September 2016, Potensi Penyimpangan Dana
Desa, diperoleh 22 April 2016 dari, http://news.
metrotvnews.com
Miles,M.B, Huberman, A.M, dan Saldana,J, 2014. Qualitative
Data Analysis, A Methods Sourcebook Edition 3. USA :
Sage Publications.
Mintzberg, Henry, 1979. The Structure of Organizations. New
York : Prentice Hall.
_______, 1993. Structure in Five, Designing Effective
organization. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice
Hall International.
Mugito, 2012. Usaha – Usaha Penguatan Peran dan Fungsi
Kecamatan di Era Otonomi Daerah. Jurnal Ilmiah
Administrasi Publik Vol. XIII, No. 1, Juni 2012
Muluk, M.R. Khairul, 2005. Desentralisasi dan Pemerintah
Daerah. Malang : Banyumedia Publishing.
_______, 2009, Peta Konsep Desentralisasi dan Pemerintahan
Daerah. Surabaya : ITS Press
_______, 2002, Desentralisasi Teori Cakupan dan Elemen, Jurnal
Administrasi Negara Vol. II No. 02 Maret 2002.
Murthy, Sharmila, L dan Mahin, Maya, J.2015. Constitutional
Impediments to Decentralization in The World‟S Largest
Federal Country. Duke Journal of Comparative &
International Law Vol. 26:79
Muttalib, M.A. & M.A. Ali Khan, 1983. Theory of Local
Government. New Delhi: Stereling Publishers.
Diterjemahkan Masyarakat Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Nannyonjo, Justine dan Okot Nicholas.2013. Decentralization,
Local Government Capacity and Efficiency of Health
Service Delivery in Uganda. Journal of African
Development Spring 2013 | Volume 15 #1
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 275
Nasdian, Tonny, F, 2008. Kelembagaan Dan Tata Pemerintahan
Kecamatan. Bogor. Pusat Studi Pembangunan Pertanian
dan Pedesaan.
Nordholt, Nico Schulte, 1987. Ojo Dumeh: Kepemimpinan Lokal
dalam Pembangunan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Nurcahya, 2015. Kecamatan berdasarkan Undang – Undang
Nomor 23 Tahun 2014. Kulon Progo : www.kulon
progokab.go.id,
Nurcholis, Hanif, 2007. Teori dan Praktik Pemerintahan dan
Otonomi Daerah. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia.
_______, 2014, Administrasi Pemerintahan Daerah. In: Konsep
Dasar Pemerintahan Daerah. Universitas Terbuka,
Jakarta, pp. 1-59. ISBN 9789790114203
_______, 2016. Pemerintahan Daerah Moderen Akan Manpu
Meningkatkan Sumber daya Daerah Di Era Masyarakat
Ekonomi Asean. Pidato Pengukuhan Guru Besar.
Tangerang Selatan: Tidak Diterbitkan
_______, 2017. Moderenisasi Pemerintahan Provinsi,
Kabupaten/Kota, dan Desa Berdasarkan UUD 1945.
Makalah Kuliah Umum. Tangerang Selatan: Tidak
Diterbitkan
Norton, Allan, 1994. International Handbook of Local and
Regional Government, A Comparative Analysis of
Advenced Democracies, Adwarad Elgar, UK.
Osavelyuk, A. Mikhailovich, et al, 2015. Theoretical Base of
Delegation of Some State Authority of Territorial Entities
of the Russian Federation to Local Self-Government
Bodies. Mediterranean Journal of Social Sciences MCSER
Publishing, Rome-Italy Vol 6 No 5 S3 September 2015
276 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Osborne, David. Terjemahan Abdul Rasyid, 1996. Mewira
Usahakan Birokrasi Reiventing Government
Mentransformasikan Semangat Wirausaaha ke Dalam
Sektor Publik :PT Pustaka Binawan Pressindo.
Osborne, David, and Ted Gaebler, 1992. Reinventing
Government: How The Entrepreneur Spirit is
Transforming The Public Service, terjemahan :
Mewirausahakan Birokrasi Mentransformasikan
Semangat Wirausaha ke Dalam Sektor Publik. Alih
Bahasa Abdul Rosyid dan Ramelan. Jakarta : Pustaka
Binaman Pressindo
Osborne, David and Plastrik, Peter, 1997. Banishing Birokrasi:
The Five Strategies for Reinventing Government,
Addison-Wesley Publishing Company, New York.
Peraturan Bupati Pandeglang No. 24 Tahun 2013, Tentang
Pelimpahan Sebagian Kewenangan Bupati Kepada
Camat.
Peraturan Bupati Pandeglang No 66 Tahun 2016, Tentang Tata
kerja Perangkat daerah Kecamatan
Peraturan Bupati Pandeglang No 3 Tahun 2017, Tentang
Kewenangan Desa
Peraturan Bupati Pandeglang No 6 Tahun 2017, Tentang Pedoman
Umum Pengelolaan Dana Desa,
Peraturan Menteri Dalam Negeri No 4 Tahun 2010, Tentang
Pedoman Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016, Tentang Perangkat
Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017, Tentang Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daeah
Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2018, Tentang Kecamatan
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 277
Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2016, Tentang Organisasi
Perangkat Daerah Kabupaten Pandeglang
Peraturan Bupati Pandeglang No 66 Tahun 2016, tentang
Kedudukan, Susunan Organisasi, Rincian Tugas dan
Fungsi, Serta Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan di
Lingkungan Pemerintah Kabupaten Pandeglang.
Pitono, Adi. 2012. Asas Dekonsentrasi dan Asas Tugas
Pembantuan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan.
Jurnal Kebijakan Publik, Volume 3, Nomor 1, Maret
2012, hlm. 1-55.
Prasojo, Eko, el al, 2006. Desentralisasi & Pemerintahan Daerah:
Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural,
Depok: Departemen Ilmu Administrasi UI
Pribadi, Ulung, 2015. Kebijakan Penataan Ulang Kelembagaan
Pelayanan Perizinan Pemda. Yogyakarta: LPPM UMY
Poskota, Rabu, 23 Maret 2016. Rano Karno Soroti Kemiskinan
dan Pendidikan di Pandeglang. diperoleh 11 April 2017,
dari, http://poskotanews.com
Quade, E.S, 1984. Analysis For Public Decisions, New York :
Elsevier Science Publishers.
Radar Banten, 23 Maret 2016, Dana Desa untuk Pandeglang
Bertambah, Jadi Rp118 Miliar, diperoleh 26 Desember
2017 dari, https://www.radarbanten.co.id
Rahmanurrasyid, Amin 2008. Akuntabilitas dan Transparansi
Dalam Pertanggung Jawaban Pemerintahan Daerah
Untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik, thesis
Radiorepublikindonesia, 19 Agustus 2016. Rancangan SOTK
Pemkab Pandeglang Terbaru. diperoleh 11 April 2017,
dari http://www.rri.co.id
278 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Ruttan VW and Hayami, Y, 1984. Toward a theory of induced
institutional innovation. Jurnal of Development Studies.
Vol. 20: 203-33.
Santoso, Purwo, 2010. Satu Dekade Separuh Jalan Proses
Desentralisasi, Jurnal Desentralisasi. Vol 8. No 5, 2010
Sarundayang, SH, 2001. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah.
Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Sedarmayanti, et al, 2006. Desentralisasi dan Tuntutan Penataan
Ulang Kelembagaan Daerah. Bandung : Humaniora
_______, 2009. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas
Kerja.Bandung: CV Mandar Maju.
Smith, Lawrence D., 2001. Reform and Decentralization of
Agricultural Services: A Policy Framework. FAO
Agricultural Policy and Economic Development Series 7,
Rome.
Smith, Brian, C, 1985. Decentralization Teritorial Dimension Of
The State. Masyarakat ilmu Pemerintahan IPDN, 2012
Schneider, A, 2003. Who gets what from whom?” The Impact of
Decentralisation on tax capacity and pro-poor policy,
Institute of development Studies working paper, No.179,
Brighton, Sussex BNI 9RE, England.
Sudiran, Florentinus, 2006. Signifikansi UU Pemerintahan Daerah
Dalam Meningkatkan Partisipasi dan Pelayanan Publik.
Jurnal Borneo Administrator Vol 2, No 1 (2006).
Sugiyono, 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Alfabeta.
Sutarto, 2002. Dasar-Dasar Organisasi. Jogjakarta :Gajah Mada
University Press.
Suradinata, 1998. Manajemen Pemerintahan dan Otonomi
Daerah. Bandung: Ramadan.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 279
Surat Edaran Bupati Pandeglang Nomor 601/1474-DPMPD/2017
Tentang Program Prioritas Pembangunan Desa Tahun
2017
Surat Keputusan Bupati Pandeglang 138/Kep.438-Huk/2014
tentang Pembentukan Tim PATEN (Pelayanan
Administrasi Terpadu Kecamatan
Surianingrat, Bayu, 1981, Desentralisasi dan Dekonsentrasi
Pemerintahan Indonesia, Jilid I, Dewaruci Press, Jakarta,
Surya, 31 Januari 2017. Dalam Rapat Para Gubernur se
Indonesia, Pakde Karwo Usulkan Penguatan Fungsi
Kecamatan. diperoleh 9 April 2017, dari, http://surabaya.
tribunnews.com
Suwandi, Made, 2007. Pokok-pokok Pikiran; Konsepsi Dasar
Otonomi Daerah Indonesia (Dalam Upaya Mewujudkan
Pemerintahan Daerah yang Demokratis dan Efisien).
Jakarta: Ditjen Otda Depdagri
TerHaar, B. et al. 2011. Asas- Asas dan Tatanan Hukum Adat.
Bandung: Mandar Maju
Terry, George R, 2003. Guide to Management. Alih Bahasa J.
Smith D.F.M. Jakarta:Bumi aksara.
Thompson, 1989, The Identifikation of Causes and Prevention Of
Work-Related Uper Limb Musculo-Skeletal Disorders
Contemorary Egronomis Society‟s 1989 Annual
Conference Reading England, 3-7 April 1989 (Ed Megaw)
Inggris Taylor & Francis.
Thoha, Miftah, 1991. Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan
Aplikasinya, Jakarta : Rajawali
_______, 2002. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan
Aplikasinya. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada
280 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Turner, Mark and Hulme David, 1997, Governance,
Administration and Development: Making the State Work.
Macmillan.
Turner, Mark, 2002. Whatever happened to deconcentration:
Recent Initiatives in Cambodia. Public Administration and
Development Journal. Vol 22.
Utomo, Tri Widodo, 2012. Memahami Kembali Konsep Dasar
Desentralisasi dan Dekonsentrasi. Jurnal Borneo
Administrator | Volume 8 | No. 1 | 2012
Undang - Undang Dasar 1945.
Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999, Tentang Pemerintahan
Daerah.
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004,
Tentang Pemerintah Daerah.
Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2008, Tentang Perubahan
kedua atas
Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan
Daerah.
Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014, Tentang Pemerintahan
Daerah.
Smith, Brian C, 1985. Decentralization: The Territorial
Dimension of the State.London : George Allen & Unwin.
Wallis, M, 1993. Bureaucracy: Its Roles In Third World
Development. Hong Kong: Macmillan.
Wardah, Fathiyah, 2015. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia
Alami Kemajuan. Diakses melalui http://www.voa
indonesia.com.2016.
Wasistiono, Sadu, 2002. Kapita Selekta Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah. Jakarta : Fokus Media.
Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 281
Wasistiono, Sadu et al, 2009. Perkembangan Organisasi
Kecamatan Dari Masa ke Masa. Bandung : Fokus Media.
Widodo, Joko, 2001. Good Governance. Jakarta : Insan Cendekia.
Widjaja, H.A.W, 1998. Percontohan Otonomi Daerah di
Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
_______, 2001, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta:
Rineka Cipta.
World Bank, 2008. United Cities and Local Governments.
Washington D.C.
Winardi, J, 2004. Manajemen Perilaku Organisasi. Bandung:
Penerbit Prenada Media.
Wollmann, Hellmut, 2007. Devolution of Public Tasks Between
(Political) Decentralisation and (Administrative)
Deconcentration-in Comparative (European) Perspective,
Social Science Institute of Tokyo University, Fall.
Zauhar, Soesilo. 2007, Reformasi Administrasi: Konsep, Dimensi
dan Strategi. Cetakan Ketiga, Jakarta: Bumi Aksara
Zaenudin, Muhammad, 2015. Isu, Problematika, dan Dinamika
Perekonomian, dan Kebijakan Publik. Yogyakarta: CV
Budi Utama
*****
282 Kecamatan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
TENTANG PENULIS
Dr. Arif Nugroho., M.AP, dilahirkan di
Blitar 09 Januari 1987. Menyelesaikan
pendidikan (S1) pada Universitas Brawijaya,
Jurusan Manajemen dengan konsentrasi
Sumberdaya Manusia (2009). Menyelesaikan
Program Magister (S2) pada Universitas
Brawijaya, Jurusan Administrasi Publik/
Negara (2011). Menyelesaikan Program
Doktor (S3) Pada Universitas Brawijaya,
Jurusan Ilmu Administrasi, Minat Administrasi Publik (2019).
Menjadi Dosen Tetap pada Program Studi Administrasi Publik,
Universitas Serang Raya sejak tahun 2014. Saat ini menjabat
sebagai Gugus Penjamin Mutu pada Badan Penjaminan Mutu
Internal Universitas Serang Raya.
*****