kebutuhan penyuluhan agroforestri untuk … contoh agroforestri untuk rehabilitasi lahan..... 21 4....
TRANSCRIPT
Kebutuhan Penyuluhan Agroforestri untuk Rehabilitasi Lahan di Sumba Timur,
Nusa Tenggara Timur, Indonesia
Endri Martini, James M. Roshetko, Pratiknyo Purnomosidhi, Gerhard Sebastien
Kebutuhan Penyuluhan Agroforestri
untuk Rehabilitasi Lahan di Sumba Timur,
Nusa Tenggara Timur, Indonesia
Endri Martini, James M Roshetko, Pratiknyo Purnomosidhi, Gerhard Sabastian
Working paper no. 231
LIMITED CIRCULATION
Correct citation:
Martini E, Roshetko JM, Purnomosidhi P, Sabastian G. 2016. Kebutuhan Penyuluhan Agroforestri untuk
Rehabilitasi Lahan di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Working Paper no. 231. Bogor,
Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program.
DOI: http://dx.doi.org/10.5716/WP16077.PDF
Titles in the Working Paper Series aim to disseminate interim results on agroforestry research and practices and
stimulate feedback from the scientific community. Other publication series from the World Agroforestry Centre
include: agroforestry perspectives, technical manuals and occasional papers.
Published by the World Agroforestry Centre
ICRAF Southeast Asia Regional Program
JL. CIFOR, Situ Gede, Sindang Barang, Bogor 16680
PO Box 161, Bogor 16001, Indonesia
Tel: +62 251 8625415
Fax: +62 251 8625416
Email: [email protected]
ICRAF Southeast Asia website: http://www.worldagroforestry.org/region/southeast-asia/
© World Agroforestry Centre 2016
Working Paper 231
Photos: World Agroforestry Centre
The views expressed in this publication are those of the author(s) and not necessarily those of the World
Agroforestry Centre.
Articles appearing in this publication may be quoted or reproduced without charge, provided the source is
acknowledged.
All images remain the sole property of their source and may not be used for any purpose without written
permission of the source.
i
Tentang Penulis
Endri Martini saat ini bekerja di World Agroforestry Centre (ICRAF) sebagai peneliti penyuluhan
agroforestri sejak tahun 2011. Beliau bergabung dengan ICRAF sejak tahun 2001 dan bekerja dalam
berbagai topik agroforestri seperti konservasi keanekaragaman hayati dan pemberdayaan masyarakat.
Gelar S1 diperolehnya dari Jurusan Silvikultur di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Gelar
S2 bidang Sumber Daya Alam dan Pengelolaan Lingkungan diperolehnya dari University of Hawaii at
Manoa, Hawaii, USA.
James M Roshetko adalah peneliti di bidang Sistem Agroforestri yang saat ini juga memiliki posisi
sebagai Kepala Unit Trees and Market –World Agroforestry Centre (ICRAF) Asia Tenggara. Beliau
memiliki pengalaman kerja 37 tahun, termasuk 19 tahun di Indonesia dan 28 di Asia Tenggara dan Asia
Selatan. Saat ini beliau adalah Koordinator Proyek IRED-ICRAF: proyek mengimplementasikan
pengetahuan ke aksi. Fokus penelitiannya selama ini adalah sistem pertanian skala kecil yang berbasis
pohon sebagai sebuah sistem pengelolaan pertanian dan sumber daya alam berkelanjutan yang
berkontribusi secara nyata terhadap pengembangan ekonomi lokal sekaligus pelestarian lingkungan
secara global. James menyandang gelar doktor dalam bidang Ilmu Bumi dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam dari University of Copenhagen, Denmark and gelar master dalam bidang Pengelolaan Hutan dan
Agoroforestri dari Michigan State University, USA.
Pratiknyo Purnomosidhi adalah peneliti agroforestri yang bekerja di World Agroforestry Centre
(ICRAF) sejak 1993. Perhatiannya meliputi berbagai hal seperti cadangan karbon di atas dan di bawah
permukaan tanah dan hidrologi agroforestri di Lampung dan Jambi, serta terlibat dalam berbagai
kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan fokus pengelolaan agroforestri di Nanggroe Aceh
Darussalam dan Sulawesi. Beliau memperoleh gelar master dalam bidang Ilmu Pengelolaan Tanah dan
Air dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan gelar Sarjana Ilmu Tanah diperolehnya dari
Universitas Brawijaya, Malang.
Gerhard Sabastian bekerja sebagai peneliti Sistem Agroforestri di World Agroforestry Centre
(ICRAF) dengan pengalaman 20 tahun dalam berbagai proyek penelitian dan pengembangan di
Indonesia. Saat ini Gerhard adalah Manajer Proyek IRED-ICRAF. Obyek penelitiannya terutama terkait
dengan sistem agroforestri petani kecil dengan fokus pengembangan pengelolaan silvikultur pohon dan
jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK) bagi penguatan ekonomi lokal dan penyediaan jasa lingkungan
berkelanjutan. Gerhard mendapatkan gelar doktor bidang Pengelolaan Hutan dari Australian National
University dan master dalam bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dari Institut Pertanian Bogor.
ii
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah menyediakan informasi dasar tentang kebutuhan penyuluhan agroforestri
untuk mendukung tercapainya tujuan-tujuan proyek agroforestri dalam rehabilitasi lahan di Sumba
Timur. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu menerapkan pendekatan agroforestri dalam 2-
3 tahun mendatang, khususnya di Kecamatan Haharu (wilayah dengan kondisi alam paling kritis di
Sumba Timur), dan di Kabupaten Sumba Timur pada umumnya. Penelitian ini menggunakan metode
Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) dengan masyarakat di 3 desa di Kecamatan Haharu (Wunga,
Rambangaru dan Kadahang) dan dengan petugas penyuluh di tingkat kecamatan, untuk mengumpulkan
informasi tentang kebutuhan penyuluhan agroforestri dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam
rehabilitasi lahan di Kecamatan Haharu. Selain itu, wawancara tokoh kunci dilakukan dengan dinas
terkait (Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan dan Dinas Kehutanan) serta lembaga non pemerintah
(Wahana Visi Indonesia, Yayasan Tananua dan Lutheran World Relief), untuk memperoleh masukan
mengenai hambatan-hambatan yang dihadapi dalam upaya rehabilitasi lahan di Kecamatan Haharu dan
potensi jenis-jenis kegiatan penyuluhan agroforestri yang terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
hambatan utama terhadap rehabilitasi lahan adalah kurangnya sumber air, rendahnya kesuburan tanah,
gangguan ternak, bahaya kebakaran, kurangnya pendampingan untuk memastikan keberlanjutan
program penanaman pohon, serta keterbatasan bibit berkualitas. Berdasarkan hambatan-hambatan
tersebut, kebutuhan penyuluhan agroforestri diidentifikasi dan dibahas dalam tulisan ini. Sekolah
lapang agroforestri merupakan pilihan utama pendekatan penyuluhan yang diusulkan petani untuk
meningkatkan pengetahuan dan kapasitas mereka dalam mengelola kebun dan rehabilitasi lahan di
Kecamatan Haharu. Diintegrasikan dengan sekolah lapang agroforestri, demplot (kebun contoh)
agroforestri diharapkan dapat dibangun dan dikembangkan di setiap kampung dalam 2-3 tahun
mendatang sebagai media interaktif untuk belajar tentang praktik agroforestri yang akan bermanfaat
bagi rehabilitasi lahan di Haharu. Jenis sistem agroforestri yang dapat dikembangkan dalam demplot
ditentukan berdasarkan kombinasi jenis tanaman prioritas dan yang diminati petani. Petugas
penyuluhan dan petani harus bekerjasama secara intensif untuk memastikan petani dapat berpartisipasi
dan belajar selama proses perencanaan, pembuatan, dan pengelolaan demplot.
Kata kunci: Demplot, Kebun Contoh, Wunga, Rambangaru, Kadahang, Haharu
iii
Ucapan Terima Kasih
Penelitian ini didukung oleh Indonesian Rural Economic Development (IRED) Sumba Program yang
dilaksanakan oleh Wahana Visi Indonesia (WVI) bekerjasama dengan World Agroforestry Centre
(ICRAF) dan Lutheran World Relief (LWR) melalui skema pendanaan Australian Government
Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT). Kami sampaikan penghargaan atas dukungan dan
kontribusi dari masyarakat yang berpartisipasi, organisasi-organisasi non pemerintah dan dinas terkait
di Kabupaten Sumba Timur, terutama masyarakat dan para petugas penyuluhan di Kecamatan Haharu,
Kabupaten Sumba Timur. Kami juga sampaikan penghargaan atas masukan dan dukungan yang
diberikan Tim WVI di Sumba Timur. Dan ucapan terima kasih pada Aunul Fauzi yang sudah membantu
menerjemahkan working paper ini dari versi Bahasa Inggris ke versi Bahasa Indonesia.
iv
Daftar Isi
1. PENDAHULUAN .............................................................................................................................. 1
2. LOKASI PENELITIAN DAN PENGUMPULAN DATA ................................................................. 2
2.1. Lokasi Penelitian ......................................................................................................................... 2
2.2. Pengumpulan dan Analisis Data .................................................................................................. 5
3. HASIL-HASIL PENELITIAN ........................................................................................................... 7
3.1. Program-program terkini dalam penanaman pohon dan pengelolaan regenerasi alami oleh
petani di Kecamatan Haharu ....................................................................................................... 7
3.1.1. Program-program penanaman pohon................................................................................ 7
3.1.2. Program pengelolaan regenerasi alami oleh petani ........................................................ 13
3.2. Kebutuhan penyuluhan untuk rehabilitasi lahan di Kecamatan Haharu .................................... 14
3.2.1. Berdasarkan pendapat penduduk desa ............................................................................ 14
3.2.2. Berdasarkan pendapat petugas penyuluhan pemerintah ................................................. 17
3.3. Potensi program agroforestri untuk rehabilitasi lahan di Kecamatan Haharu ........................... 18
3.3.1. Jenis tanaman prioritas ................................................................................................... 19
3.3.2. Sekolah lapang agroforestri untuk rehabilitasi lahan ...................................................... 21
3.3.3. Kebun contoh agroforestri untuk rehabilitasi lahan ........................................................ 21
4. KESIMPULAN ................................................................................................................................. 22
Referensi ............................................................................................................................................... 24
v
Daftar Tabel
Tabel 1. Karakteristik desa di Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur ....................................... 4
Tabel 2. Program-program pemerintah dalam penanaman pohon di Kecamatan Haharu ...................... 8
Tabel 3. Program penanaman pohon oleh LSM tahun 2016 di Kecamatan Haharu ............................... 9
Tabel 4. Program penanaman pohon yang diterima masyarakat Wunga, Kadahang dan
Rambangaru di Kecamatan Haharu. ....................................................................................... 10
Tabel 5. Kecenderungan hambatan-hambatan program penanaman pohon menurut pandangan
petani dalam 10-20 tahun terakhir dan 10-20 tahun yang akan datang .................................. 13
Tabel 6. Ketersediaan layanan penyuluhan dari dinas pemerintah dan LSM di Kecamatan Haharu. .. 15
Tabel 7. Kebutuhan layanan penyuluhan dari perspektif petani di Kecamatan Haharu. ...................... 16
Tabel 8. Kebutuhan pelatihan dan penyuluhan bagi penyuluh di Kecamatan Haharu.......................... 18
Tabel 9. Jenis pohon yang banyak dan tumbuh baik di Kecamatan Haharu. ........................................ 19
Tabel 10. Jenis tanaman yang diprioritaskan untuk ditanam oleh petani di Kecamatan Haharu. ......... 20
Tabel 11. Kebun contoh (demplot) yang direkomendasikan petugas penyuluhan................................ 22
Daftar Gambar
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. ........................................... 3
Gambar 2. Curah hujan di Kecamatan Haharu dari tahun 2008 sampai 2014. ....................................... 4
Gambar 3. Total produksi tanaman pertanian di Kecamatan Haharu dari tahun 2009 sampai 2014
menurut Haharu Dalam Angka. ................................................................................................ 5
Gambar 4. Total jumlah hewan ternak di Kecamatan Haharu dari tahun 2009 sampai 2014 menurut
Haharu Dalam Angka. .............................................................................................................. 5
Gambar 5. Pola curah hujan rata-rata tahunan di setiap desa berdasarkan diskusi dengan penduduk
desa di Wunga, Kadahang dan Rambangaru, Kecamatan Haharu. .......................................... 6
Gambar 6. Sketsa Desa Wunga, Kecamatan Haharu, Sumba Timur .................................................... 26
Gambar 7. Sketsa Desa Kadahang, Kecamatan Haharu, Sumba Timur ............................................... 26
Gambar 8. Sketsa Desa Rambangaru, Kecamatan Haharu, Sumba Timur ........................................... 27
vi
Daftar Jenis Tumbuhan
Nama Indonesia Jenis Pohon (English)
Nama Lokal (Sumba)
Nama Botani
Bakau Mangrove tree Bakau Sonneratia spp.
Johar Cassia tree Johar Senna siamea
Kedondong pagar Indian ash tree Kehi Lannea coromandelica
Salam Indonesian bay-leaf Lobung Syzygium polyanthum
Kesambi Lac tree Kosambi Scheilechera oleosa
Lontar Borassus Minggit/Tuak Borassus flabellifer
Kelapa Coconut Kelapa Cocos nucifera
Jati putih Gmelina Jati putih Gmelina arborea
Jati Teak Jati Tectona grandis
Mahoni Mahagony Mahoni Swietenia mahagony
Pinang Betel nut Pinang Areca catechu
Sirih Piper Sirih Piper betle
Mente Cashew Mente Anacardium occidentale
Kedondong Hog plum Kedondong Spondias dulcis
Cendana Sandalwood Cendana Santalum album
Kepuh Java olive tree Kelumpang Sterculia foetida
Sukun Breadfruit Sukun Artocarpus altilis
Nangka Jackfruit Nangka Artocarpus heterophyllus
Injuwatu Pleiogynium timoriense
Marujawa
1
1. PENDAHULUAN
Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah provinsi paling tenggara di Indonesia. NTT, bersama provinsi-
provinsi tetangganya, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Maluku, mengalami kondisi ekologi yang tidak
biasa bila dibandingkan dengan sebagian besar wilayah Indonesia pada umumnya. Provinsi ini terdiri
dari pulau-pulau kecil, memiliki jumlah penduduk terbatas, terisolasi dari daerah lain di Indonesia, dan
mengalami musim kemarau lebih panjang. Ini sangat kontras dengan kondisi tropis dan lembab di
tempat-tempat lain yang lebih dikenal di Indonesia seperti pulau-pulau besar Sumatera, Jawa,
Kalimantan Bali, Sulawesi dan Papua (Roshetko dan Mulawarman, 2002).
Pulau-pulau kecil di Indonesia bagian tenggara menghadapi banyak masalah ekologi dan lingkungan.
Rentan terhadap bencana alam: letusan gunung berapi, gempa bumi, tanah longsor dan badai. Wilayah
pesisirnya jauh lebih luas dibanding wilayah daratan. Jarak dengan laut berpengaruh langsung terhadap
iklim pulau. Daerah Aliran Sungai (DAS)-nya sempit dan memiliki air tanah yang terbatas. Alamnya
tergolong khusus dan memiliki banyak spesies unik. Wilayah daratannya terjal dan memiliki tingkat
erosi tanah yang tinggi. Sistem penggunaan lahan masih asli, disesuaikan dengan kondisi ekologi dan
sosial ekonomi setempat. Ada bahaya degradasi lahan akibat penggunaan lahan secara berlebihan pada
lahan yang miskin (Stubenvoll, 2000; Monk et al. 1997).
Pulau Sumba adalah satu dari empat pulau besar di NTT yang terbagi menjadi Kabupaten Sumba Barat,
Sumba Timur, Sumba Tengah, dan Sumba Barat Daya. Kondisi Kabupaten Sumba Timur sangat kritis
dengan 86% total wilayah tergolong kritis, yaitu 191.454 ha lahan hutan milik negara dan 411.495 ha
bukan hutan (Kementerian Kehutanan Indonesia, 2002). Hutan-hutan dan kebun-kebun dibakar setiap
tahun. Sebagian besar tutupan lahan adalah padang rumput, dipertahankan sebagai tempat merumput
hewan ternak dengan cara dibakar setiap tahun. Penduduk Sumba Timur sangat miskin dengan
pendapatan rumah tangga per tahun sebesar Rp 8.236.127 pada 2013, dan sebanyak 29% rumah tangga
berada di bawah garis kemiskinan (dengan pendapatan bulanan di bawah Rp 260.247) (BPS, 2015).
Ketahanan pangan keluarga tidak dapat dipastikan. Ada keinginan masyarakat dan pemerintah untuk
melakukan rehabilitasi lahan melalui pertanian berbasis pohon sebagai alternatif diversifikasi sistem-
sistem pertanian, memperkuat ketahanan pangan, memperbanyak mata pencaharian, meningkatkan
konservasi tanah dan air, dan meyediakan jasa lingkungan lainnya. Namun, kondisi lingkungan yang
parah mempersulit keberhasilan program-program rehabilitasi lahan di Sumba Timur.
Secara umum terdapat dua pendekatan rehabilitasi lahan, yaitu dengan penanaman pohon dan
pengelolaan regenerasi alami oleh petani. Penanaman pohon adalah pendekatan umum yang dilakukan
banyak lembaga. Walaupun biayanya lebih tinggi dibandingkan dengan regenerasi alami, pembentukan
dan pertumbuhan pohon bisa dipercepat dengan program penanaman. Regenerasi alami memang lebih
murah, tetapi pengalaman membuktikan diperlukan waktu panjang untuk menghasilkan dampak yang
sama. Yang terbaik adalah menggabungkan kedua pendekatan tersebut. Di Sumba Timur, kedua
pendekatan ini telah diterapkan. Namun, perlu kajian dan evaluasi lebih dalam untuk mengetahui kapan
masing-masing pendekatan cocok dan bagaimana keduanya diterapkan secara sinergis. Dalam 30 tahun
terakhir, program penanaman pohon telah dilaksanakan oleh berbagai pihak untuk merehabilitasi lahan
2
kritis di provinsi Nusa Tenggara Timur (termasuk Sumba Timur), namun tingkat keberhasilannya masih
rendah karena berbagai hambatan-hambatan yang ditemui dalam pelaksanaannya (Hutabarat, 2006).
Sistem agroforestri diusulkan sebagai salah satu sistem pemanfaatan lahan yang diharapkan dapat
mendukung keberhasilan program rehabilitasi (Njurumana, 2008; Njurumana dan Prasetyo, 2010),
seperti dalam IRED Program (Indonesia Rural Economic Development) Sumba Program.
IRED Sumba Program dimulai sejak tahun 2015 dibawah koordinasi Wahana Visi Indonesia dengan
dukungan pendanaan dari Australian Government Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT).
World Agroforestry Centre (ICRAF) dan Lutheran World Relief (LWR) turut membantu implementasi
program. Target IRED adalah memberikan manfaat langsung kepada 3.000 petani dan juga secara tidak
langsung kepada lebih dari 10.000 anggota masyarakat NTT. Program ini memanfaatkan agroforestri
untuk memperbaiki lahan penggembalaan seluas 5.000 hektar dan mendorong peningkatan
produktivitas (Gambaran Proyek IRED, 2015). Dalam Proyek IRED, keefektifan penanaman pohon
terhadap peningkatan ketahanan pangan, mata pencaharian, dan jasa lingkungan didorong melalui
pengembangan pembibitan masyarakat dan kebun contoh (demplot). Pendekatan dan kegiatan
penyuluhan agroforestri dilaksanakan untuk mencapai target-target proyek.
Di Sumba Timur, akses petani terhadap teknologi dan pengelolaan lahan pertanian serta pasar sangat
terbatas. Pengetahuan para penyuluh pertanian di tingkat kabupaten tentang sistem pertanian berbasis
pohon dan jasa lingkungan juga terbatas. Maka dari itu, penelitian ini dilakukan untuk memberikan
informasi dasar mengenai kebutuhan-kebutuhan penyuluhan agroforestri dalam mendukung
tercapainya tujuan-tujuan proyek agroforestri untuk rehabilitasi lahan di Sumba Timur. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam 2-3 tahun ke
depan, khususnya di Kecamatan Haharu, dan di Kabupaten Sumba Timur pada umumnya.
2. LOKASI PENELITIAN DAN PENGUMPULAN DATA
2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Haharu yang terletak di bagian utara Kabupaten Sumba Timur,
Provinsi Nusa Tenggara Timur (Gambar 1). Luas wilayah Kecamatan Haharu adalah 88.090 ha, terbagi
menjadi 7 desa dengan jumlah penduduk tahun 2015 sebanyak 6.166 jiwa (10 jiwa/km2) atau 2,5% dari
keseluruhan populasi Kabupaten Sumba Timur. Haharu dikenal sebagai wilayah yang lebih kritis
dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Diukur dengan tipe iklim Schmidt-Ferguson, Haharu bertipe
E atau setengah kering dengan tutupan lahan savana / padang rumput.
3
Sumber: Atlas Ketahanan dan Kerentanan Pangan Nusa Tenggara Timur (2010) dan Haharu Dalam Angka
(2014).
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.
Curah hujan di Kecamatan Haharu dianggap rendah, yaitu sekitar 1000 mm per tahun dengan hanya 4
bulan basah (Desember-Maret) (Gambar 2.). Karakteristik tanah didominasi batu kapur dan dataran
bergelombang dengan ketinggian mulai nol sampai sekitar 320 m di atas permukaan laut. Air tersedia
tak merata di semua desa. Air sangat terbatas, terutama di desa-desa yang terletak dekat laut yaitu
Wunga, Kadahang, Praibakul dan Kalamba. Sementara itu, Rambangaru, Napu, dan Mbatapuhu relatif
punya air cukup.
Kecamatan
Haharu
4
Sumber: Kecamatan Haharu Dalam Angka dari tahun 2008 sampai 2014.
Gambar 2. Curah hujan di Kecamatan Haharu dari tahun 2008 sampai 2014.
Mata pencaharian utama masyarakat Haharu adalah pertanian (83%), diikuti ternak (9%) dan
memancing (8%)(Tabel 1.). Suku Sumba adalah etnis dominan di wilayah ini, dan Bahasa Sumba
digunakan sebagai bahasa utama, diikuti Bahasa Indonesia. Rata-rata tingkat pendidikan di Kecamatan
Haharu adalah sekolah dasar. Hutan di wilayah kecamatan ini terutama terletak di Desa Napu dengan
luas 3.375 ha sebagai hutan produksi dan 14.231 ha sebagai hutan lindung.
Tabel 1. Karakteristik desa di Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur
Desa Luas (Ha)
Ketinggian (m dpl)
Jumlah Mata Air
Total Rumah Tangga (RT)
Persentase dari total RT (%)
Petani Nelayan Peternak Ternak
Rambangaru 6 140 18 4 350 67,9 11,1 15,3
PraiBakul 10 500 79 3 216 91,7 1,6 4,0
Mbatapuhu 21 240 375 4 270 90,3 0,0 8,1
Kadahang 2 350 234 2 173 75,2 13,8 9,9
Wunga 2 240 207 1 219 85,5 2,9 9,4
Napu 14 260 20 4 209 78,4 11,4 8,1
Kalamba 3 420 227 3 88 89,6 0,0 9,0
Sumber: Kecamatan Haharu Dalam Angka, 2014
Menurut Haharu Dalam Angka 2014, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, jagung, beras dan kacang hijau
adalah tanaman pangan jangka pendek yang memberikan kontribusi terhadap kehidupan masyarakat
Haharu (Gambar 3.). Total produksi tanaman pangan 2009-2014 masih dianggap rendah karena luas
daerah yang ditanam masih sedikit, meskipun produktivitasnya dianggap setingkat atau bahkan lebih
tinggi dari rata-rata produktivitas kabupaten, terutama untuk kacang, ubi kayu dan ubi kentang. Total
luas lahan untuk tanaman pangan di Kecamatan Haharu lebih kecil dibandingkan kecamatan lainnya di
Kabupaten Sumba Timur. Ayam, kambing, babi, ternak, kuda dan kerbau adalah hewan ternak yang
umum dipelihara dan berkontribusi terhadap kehidupan masyarakat. Ayam memiliki populasi terbesar
(Gambar 4.).
0
200
400
600
800
1000
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
To
tal
cura
h h
uja
n p
er
bu
lan
(m
m)
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
5
Gambar 3. Total produksi tanaman pertanian di Kecamatan Haharu dari tahun 2009 sampai 2014 menurut
Haharu Dalam Angka.
Gambar 4. Total jumlah hewan ternak di Kecamatan Haharu dari tahun 2009 sampai 2014 menurut Haharu
Dalam Angka.
2.2. Pengumpulan dan Analisis Data
Penelitian dilakukan mulai tanggal 6 hingga 14 April 2016 dengan fokus Kecamatan Haharu tempat
Proyek IRED dilaksanakan. Informasi dikumpulkan mengenai kegiatan penyuluhan pertanian yang
sudah pernah dilakukan sebelumnya dan yang diharapkan untuk diadakan terkait program penanaman
pohon di Kecamatan Haharu. Begitu pula informasi tentang program-program penanaman pohon yang
ada serta hambatan-hambatan yang ditemui di Kabupaten Sumba Timur. Informasi tersebut kemudian
dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif menggunakan statistik deskriptif.
Informasi dikumpulkan melalui:
(i) Tiga Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) dengan masyarakat di tingkat desa dan satu FGD dengan
penyuluh pemerintah di tingkat kecamatan. FGD di tingkat masyarakat dilakukan dengan melibatkan
8-12 peserta (campuran perempuan dan laki-laki) di 3 dari 7 desa Proyek IRED. Desa dipilih
berdasarkan perbedaan akses masyarakat terhadap air (Gambar 5.) yang berperan terhadap keberhasilan
program penanaman pohon, yaitu:
52
5
13
95
19
47
17
73
.9
2 1 2
18
9
10
8 24
6
28
5.6
86
34
.77
16
.84
5
57
.12
29
19
23 96
.1
81
4
82
76 1
68
11
8.2
3
0
500
1000
1500
2000
2500
20
09
20
11
20
12
20
14
20
11
20
12
20
13
20
14
20
11
20
12
20
13
20
14
20
09
20
11
20
12
20
14
20
11
20
12
20
13
20
14
20
09
20
11
20
12
20
13
20
14
Jagung Kacanghijau
Kacangtanah
Padi Ubi jalar Ubi kayu
To
tal
pro
du
ksi
pe
rta
nia
n
(to
n)
02000400060008000
1000012000140001600018000
20
09
20
11
20
12
20
13
20
14
20
09
20
11
20
12
20
13
20
14
20
09
20
11
20
12
20
13
20
14
20
09
20
11
20
12
20
13
20
14
20
09
20
11
20
12
20
13
20
14
20
09
20
11
20
12
20
13
20
14
Kerbau Kuda Sapi Babi Kambing Ayam kampung
To
tal
jum
lah
te
rna
k d
i
Ha
ha
ru
6
Wunga, diklasifikasikan sebagai desa dengan akses air terbatas, yaitu punya 1 mata air.
Kadahang, diklasifikasikan sebagai desa dengan akses air sedang, yaitu punya 2 mata air.
Rambangaru, diklasifikasikan sebagai desa dengan akses air bagus, punya 4 mata air.
FGD dengan penyuluh di tingkat kecamatan dilakukan dengan mengundang seluruh penyuluh yang
bekerja di Kecamatan Haharu (10 orang).
Gambar 5. Pola curah hujan rata-rata tahunan di setiap desa berdasarkan diskusi dengan penduduk desa di
Wunga, Kadahang dan Rambangaru, Kecamatan Haharu.
(ii) Wawancara dengan tokoh kunci melalui metode snowball untuk memahami tantangan dan peluang
penanaman pohon dan regenerasi alami yang dikelola petani di Sumba Timur. Pemangku kepentingan
utama yang dimaksud adalah:
Dinas Pertanian Kabupaten Sumba Timur (mengumpulkan informasi tentang program
penanaman pohon (pohon buah-buahan) yang dikelola oleh Dinas).
Dinas Kehutanan dan Dinas Perkebunan Kabupaten Sumba Timur (mengumpulkan informasi
tentang program Dinas yang terkait dengan penanaman pohon).
Badan Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan Kabupaten (BP3K) Sumba
Timur (mengumpulkan informasi tentang jumlah tenaga penyuluh, program-program
penyuluhan yang dilaksanakan, dan program peningkatan kapasitas tenaga penyuluh terkait
dengan penanaman pohon).
Wahana Visi Indonesia (WVI), Lutheran World Relief (LWR), and Yayasan Tananua
(mengumpulkan informasi tentang implementasi program penanaman pohon dan pengelolaan
regenerasi alami oleh petani, kemajuannya, tantangan yang dihadapi, dan potensi kegiatan yang
dapat dilakukan terkait upaya peningkatan kapasitas).
(iii) Informasi statistik tentang demografi, produksi pertanian, dan sumber daya hutan di Kabupaten
Sumba Timur diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten (BPS).
0
1
2
3
4
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Ka
teg
ori
Cu
rah
Hu
jan
(0
=ta
k a
da
, 1=
sed
ikit
, 2
=se
da
ng
, 3=
leb
at)
Wunga
Kadahang
Rambangaru
7
(iv) Data sekunder tentang jenis tumbuhan prioritas di Kecamatan Haharu diperoleh dari survei yang
dilakukan ICRAF bulan Januari 2016. Sedangkan untuk kebutuhan penyuluhan pertanian pada tingkat
rumah tangga diperoleh dari survei rumah tangga oleh WVI pada 2016.
3. HASIL-HASIL PENELITIAN
3.1. Program-program terkini dalam penanaman pohon dan pengelolaan regenerasi alami oleh petani di Kecamatan Haharu
3.1.1. Program-program penanaman pohon
3.1.1.1. Program-program pemerintah tentang penanaman pohon
Di Kecamatan Haharu terdapat 4 dinas pemerintah tingkat kabupaten yang terlibat dalam pelaksanaan
program penanaman pohon, yaitu Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan dan Badan
Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan. Masing-masing dinas memiliki peran dan
program khusus terkait penanaman pohon (Tabel 2.). Berdasarkan diskusi dengan tokoh-tokoh kunci di
masing-masing dinas, hambatan-hambatan pelaksanaan program penanaman pohon bervariasi antar
instansi. Hambatan-hambatan utama adalah keterbatasan air, gangguan ternak ternak, bahaya api,
terbatasnya ketersediaan bibit kualitas baik, kepemilikan tanah, dan kurangnya pendampingan untuk
memastikan keberlanjutan program penanaman pohon.
Dinas Pertanian tingkat kabupaten saat ini sedang mengembangkan pertanian kebun pekarangan
sebagai bagian dari program rehabilitasi lahan mereka karena cara ini dianggap paling cocok untuk
daerah dengan masalah keterbatasan air dan gangguan ternak. Jika dibandingkan dengan Dinas lainnya,
Dinas Pertanian mengakui keterbatasan bibit berkualitas sebagai salah satu hambatan program
penanaman pohon. Saat ini bibit-bibit buah berkualitas sering didatangkan dari pulau lain seperti jeruk
dari Soe (di Pulau Timor). Tantangan utama pengembangan pusat bibit berkualitas di Sumba Timur
adalah keterbatasan sumber air dan pohon induk yang berkualitas, serta kurangnya prioritas pemerintah
daerah.
Program penanaman pohon yang dikelola Dinas Kehutanan mendorong upaya pembentukan hutan
rakyat di lahan-lahan milik pribadi. Tujuan program hutan rakyat adalah penghijauan atau reboisasi
lahan pribadi. Dinas Kehutanan menyediakan biji, polibek, pipa air, dan penampungan air ukuran kecil.
Para petani hanya perlu membuat kelompok agar dapat mengikuti program ini. Cendana, kayu putih,
sengon adalah jenis pohon utama dalam program ini. Program hutan rakyat juga memiliki tujuan untuk
perlindungan mata air dan sumur.
Program penanaman pohon dari Dinas Perkebunan difokuskan di bagian selatan Sumba Timur, yaitu di
Kecamatan Pinupaharu, Tabundung, dan Ponggaludu yang memiliki kondisi biofisik lebih tepat untuk
pengembangan mente, kelapa, pinang, dan sirih. Mente dianggap memiliki nilai ekonomi yang tinggi
dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya, sehingga setiap tahun ada program untuk ekspansi
8
perkebunan mente dan pelatihan penanganan pascapanen bekerjasama dengan Dinas Perindustrian dan
Perdagangan kabupaten.
Tabel 2. Program-program pemerintah dalam penanaman pohon di Kecamatan Haharu
Dinas Pemerintah
Peran dalam program penanaman pohon
Program penanaman pohon pada tahun 2016
Hambatan terhadap program penanaman
Dinas Pertanian
Kabupaten
Mengembangkan dan
menyelenggarakan
program penanaman
pohon buah dengan tujuan
ketahanan pangan
Program tanan pohon di pekarangan
dengan sistem tumpangsari kacang
tanah dan jagung di bawah pohon
mangga, jeruk dan rambutan.
1. Keterbatasan air
2. Gangguan ternak
3. Kekurangan bibit
tanaman buah dari
pohon induk berkualitas
Dinas Kehutanan
Kabupaten
Mengembangkan dan
menyelenggarakan
program penanaman
pohon untuk rehabilitasi
dan konservasi lahan.
a. Dalam kawasan hutan negara:
penanaman cendana dengan tujuan
meningkatkan populasi cendana
dalam hutan negara;
b. Di luar kawasan hutan negara:
Penanaman cendana dengan skema
Hutan Rakyat; Pembibitan Pohon
Desa (Kebun Bibit Desa / KBD dan
Kebun Bibit Rakyat / KBR) untuk
cendana, mahoni, jati putih, dan
injuwatu.
1. Gangguan ternak
2. Api
3.Keterbatasan air
4. Isu sosial (isu
kepemilikan lahan)
Dinas
Perkebunan
Kabupaten
Mengembangkan dan
menyelenggarakan
program penanaman
tanaman industri berbasis
pohon.
a. Peningkatan produksi mente.
b. Peningkatan produksi kelapa
(untuk dilaksanakan tahun 2017)
1. Kurangnya
pendampingan untuk
memastikan
keberlanjutan program
penanaman pohon
Badan
Penyelenggaraan
Penyuluhan
Kabupaten dan
Kecamatan
Mendukung dan
memfasilitasi program
penanaman pohon yang
diinisiasi oleh Dinas
Pertanian, Dinas
Kehutanan, dan Dinas
Perkebunan.
a. Dinas Pertanian: Program
ketahanan pangan (program
nasional) dan pengembangan kebun
pekarangan (program kabupaten).
b. Dinas Kehutanan: Kebun Bibit
Rakyat (program nasional) dan
Kebun Bibit Desa (program
kabupaten).
c. Dinas Perkebunan: Peningkatan
produksi mente dan kelapa (program
kabupaten dan provinsi).
1. Gangguan ternak
2. Keterbatasan air
Sumber: Wawancara tokoh kunci pada masing-masing dinas pemerintah.
Badan Penyuluhan memiliki peran penting dalam menjamin keberlanjutan kegiatan penanaman pohon
melalui pendampingan intensif dan monitoring. Ada sejumlah tantangan yang dihadapi badan
penyuluhan, seperti keterbatasan jumlah dan kurangnya kapasitas tenaga penyuluhan. Badan
penyuluhan membenarkan perlunya upaya-upaya pelatihan lebih lanjut.
3.1.1.2. Program penanaman pohon yang diinisiasi dan dilaksananan lembaga non pemerintah
(LSM)
Di Sumba Timur, ada sejumlah LSM untuk pengembangan masyarakat dalam bidang ketahanan
pangan, pengentasan kemiskinan, dan isu-isu lingkungan. Yayasan Tananua adalah yang tertua.
9
Yayasan Tananua bermitra dengan berbagai organisasi lain di Sumba Timur, juga di daerah lainnya,
seperti Pelita, KOPPESDA, World Neighbours, Kemitraan Indonesia, Yakersum, Yasalti, FALP
(Forum Anda Lindu Pala dalam hal pemasaran), YSS (Yayasan Sumba Sejahtera), WVI (Wahana Visi
Indonesia), Bumi Lestari, Stimulant, Pahadang Majoru dan instansi pemerintah lainnya. Kolaborasi
dengan instansi pemerintah juga dilakukan oleh Yayasan Tananua terutama untuk memperoleh bibit
bagi program penanaman pohon. LSM penting lainnya yang saat ini beraktifitas di Kecamatan Haharu
adalah Wahana Visi Indonesia (WVI) dengan pengalaman 10 tahun, dan Lutheran World Relief (LWR).
Tabel 3. Program penanaman pohon oleh LSM tahun 2016 di Kecamatan Haharu
LSM Peran dalan program
penanaman pohon
Program penanaman pohon pada
tahun 2016
Hambatan terhadap
program
penanaman
Yayasan
Tananua
Pemberdayaan
masyarakat dan
pelatihan bagi kelompok-
kelompok tani.
a) Kerjasama dengan LWR dalam
Pertanian Cerdas Iklim di Desa Wunga
(Haharu).
b) Kerjasama dengan The Nature
Conservancy (TNC) Indonesia untuk
pemberdayaan masyarakat di Desa
Napu dalam program hutan rakyat.
c. Kerjasama dengan Pelita dan
Koppesda dalam SPARC (Strategic
Planning and Action to Strengthen
Climate Resilience of Rural
Communities) yang bertujuan untuk
memperkuat kemampuan masyarakat
dalam hal ketahanan pangan, sumber
daya air, dan ketahanan penghidupan
dalam menghadapi perubahan iklim.
1. Keterbatasan air
2. Gangguan ternak
Wahana Visi
Indonesia
(WVI)
Pemberdayaan
masyarakat dan
pelatihan bagi kelompok
tani.
Indonesia Rural Economic
Development (IRED) dengan tujuan
membantu petani meregenerasi lahan
pertanian dan hutan yang sudah
kritis,serta meningkatkan hasil dan
kualitas panen, akses pasar dan
pendapatan.
1. Gangguan ternak
2. Api
Lutheran
World Relief
(LWR)
Menyediakan bantuan
pembangunan
penampungan air.
a) Indonesia Rural Economic
Development (IRED)
b) Pertanian Cerdas Iklim - Climate
Smart Agriculture
1. Keterbatasan air
Sumber: Wawancara dengan tokoh kunci pada masing-masing LSM.
3.1.1.2. Program penanamam pohon yang diterima petani dan hambatan-hambatannya
Di tingkat desa, banyak program penanaman pohon yang sudah dilaksanakan dalam 10 tahun terakhir.
Namun, tingkat kelangsungan hidup pohon masih rendah. Berdasarkan diskusi dengan petani,
kelangsungan hidup bibit bervariasi mulai 0% hingga 50% (Tabel 4.). Tidak ada dokumen yang secara
10
sistematis mencatat tingkat kelangsungan hidup bibit-bibit tersebut. Angka-angka yang diberikan petani
hanyalah perkiraan berdasarkan persepsi mereka.
Tabel 4. Program penanaman pohon yang diterima masyarakat Wunga, Kadahang dan Rambangaru di Kecamatan Haharu.
Desa Lembaga Program Penanaman
Pohon Tahun
Jumlah
Pohon
Bertahan
Hidup
Catatan
Wunga
CRS-AUSAID
Program delegasi sosial
untuk mendistribusikan
bibit kemiri, mangga, dan
sukun.
2003 50%
Beberapa pohon kemiri
yang bertahan hidup
kini sudah berbuah.
Dinas
Kehutanan
provinsi
Pembagian bibit
(1keluarga = 5-10 bibit). 2006 50%
Pohon tumbuh dengan
baik.
Pidra
Distribusi bibit mahoni dan
jati putih melalui kelompok
tani.
2007 50%
WVI
Demplot dan FMNR,
penanaman cendana,
sukun, mangga.
2010 50%
Dinas
Perkebunan
Kabupaten
Perkebunan kelapa dan
kapas
2008,
2010 0%
Kelapa dan kapas
bukan prioritas di
Wunga. Tidak ada
pendampingan.
Kadahang
Dana
Pembanguna
n Desa
Rehabilitasi lahan dengan
mahoni dan jati putih 2007 25%
Dinas
Kehutanan
Kabupaten
Program KBD (Kebun Bibit
Desa) dengan mahoni,
dan jati putih, 50.000 bibit
dibagikan kepada para
petani.
2014 30% Bibit sudah dibagikan
dan ditanam.
Pembagian 11.000 bibit
untuk konservasi dan
perlindungan mata air.
2014 4% Ada sekitar 400 pohon
yang bertahan hidup.
Yayasan
Sumba
Sejahtera
(YSS)
Pembagian bibit cendana,
mahoni, dan jati putih. 2011-2014 25%
Pohon cendana masih
ada seluas 1 hektar.
WVI Demplot dan pembagian
bibit. 2008-2016 25%
Pelita Sumba Pembagian bibit mahoni. 2016 Tidak
tersedia
Program ini baru mulai
awal 2016.
Rambangaru
WVI Pembagian bibit mahoni,
jati putih, dan jati. 2013 40%
Dinas
Kehutanan
Kabupaten
KBR yang membagikan
50.000 bibit mahoni, jati
putih, dan sukun.
2014 45%
Sumber: FGD bersama masyarakat di setiap desa.
11
Berdasarkan pengamatan di lapangan dan diskusi dengan masyarakat desa, penanaman pohon akan
berhasil bila berlokasi dekat mata air, sungai, pantai dan di tanah datar yang subur. Jenis pohon yang
berhasil tumbuh besar di dekat sungai dan di tanah datar yang subur adalah jenis yang memiliki nilai
ekonomi (kelapa dan tanaman perkebunan lainnya), sementara yang tumbuh dan bertahan hidup di
sekitar mata air adalah jenis tumbuhan dengan nilai ekonomi yang rendah tetapi bernilai tinggi untuk
melindungi mata air.
Rendahnya tingkat kelangsungan hidup pohon-pohon yang ditanam pada dasarnya terkait dengan
beberapa permasalahan selama dan sesudah program penanaman. Berdasarkan diskusi dengan
penduduk desa, kebakaran merupakan hambatan utama, terutama di Kadahang dan Rambangaru. Yang
kedua adalah gangguan ternak, dan yang ketiga keterbatasan sumber air. Hama dan penyakit tanaman
adalah yang keempat dan kesuburan tanah menjadi hambatan yang kelima. Di Rambangaru, terbatasnya
ketersediaan bibit berkualitas juga merupakan hambatan utama dalam program penanaman pohon. Di
Kadahang, sumber daya manusia juga menjadi hambatan utama, khususnya karena terbatasnya
pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan pemeliharaan ternak dan pengendalian kebakaran. Perlu
dilaksanakan pelatihan untuk meningkatkan pemahaman para petani tentang penggembalaan ternak dan
pengendalian bahaya api.
Kebakaran biasanya terjadi pada musim kemarau. Penyebab utama kebakaran adalah kecerobohan
manusia saat membakar sampah dan membuang puntung rokok. Penyebab lain adalah kebiasaan
penduduk setempat membakar padang rumput kering untuk merangsang pertumbuhan rumput baru
yang menjadi pakan ternak yang digembala. Saat ini tidak ada aturan bagaimana sebaiknya cara
membakar padang gembalaan untuk meremajakan rumput. Namun, dalam beberapa tahun belakangan,
sudah ada upaya pendidikan dan sosialisasi cara mengendalikan api yang terbukti cukup efektif
mengurangi terjadinya kebakaran padang.
Gangguan ternak biasanya terjadi karena ternak dibiarkan berkeliaran bebas mencari rumput. Sementara
itu, pemilik tidak mengawasi kemana dan dimana ternaknya berada. Kebun dibiarkan tidak berpagar.
Juga tidak adanya aturan desa tentang pemisahan wilayah tempat merumput dengan kebun. Di
Kecamatan Haharu, di Desa Kalamba telah mulai dikembangkan peraturan desa untuk membedakan
lahan penggembalaan dan kebun. Gangguan ternak ini terjadi di semua desa di Kecamatan Haharu.
Keterbatasan sumber daya air juga merupakan faktor utama penyebab rendahnya tingkat kelangsungan
hidup pohon yang ditanam. Di beberapa lokasi seperti Wunga, kekurangan air merupakan hal yang
selalu terjadi. Tetapi di daerah lain seperti di Kadahang dan Rambangaru, masalah keterbatasan air
mulai dirasakan dalam 10 tahun terakhir ini. Petani merasa saat ini kekeringan menjadi lebih sering
terjadi di Haharu karena penggundulan hutan akibat penebangan liar dan pembakaran padang
gembalaan yang terjadi setiap tahun.
Sumber air pada masing-masing desa di Kecamatan Haharu beragam. Ada yang mengandalkan air hujan
dan mata air, sungai dan atau sumur. Saat ini di Wunga, masyarakat menerima bantuan dari pemerintah
dan organisasi lain seperti LWR dan Tananua untuk membangun penampungan air kecil dengan ukuran
bervariasi mulai dari 2 x 2 sampai 4 x 4 meter persegi.
12
Musim kemarau di Haharu biasanya terjadi pada bulan Mei hingga Oktober. Pada musim kemarau,
sumber air bagi keperluan rumah tangga biasanya adalah mata air, sumur, atau mengambil air dari desa
lain. Sebagian masyarakat bahkan mungkin membeli air. Di Rambangaru dan Kadahang yang terletak
di dekat sungai, petani menanam sepanjang bantaran sungai ketika kemarau. Sementara itu di Wunga,
petani biasanya menghentikan kegiatan pertanian selama musim kemarau. Selama musim kemarau,
ternak mencari minum di desa-desa sekitar atau di sungai. Kadang, banyak ternak mati karena
kekurangan air dan makanan.
Dalam lima tahun terakhir, serangan hama dan penyakit tanaman dan ternak terus meningkat. Menurut
petani, hal itu terjadi akibat kekeringan yang menyebabkan tanaman dan ternak stres dan menjadi rentan
terhadap hama dan penyakit. Namun, beberapa petani lainnya, seperti di Kadahang, mengatakan tidak
tahu apa yang menyebabkan terjadinya serangan hama dan penyakit. Saat ini jenis tumbuhan yang
paling umum diserang hama adalah jati putih, kelapa, bakau, dan kosambi. Biasanya batang dan daun
kosambi diserang serangga putih pada bulan Mei. Hama ini muncul dalam 5 tahun terakhir. Sementara,
penyakit yang umum terjadi pada ternak adalah demam pada babi, kembung pada kambing, lumpuh
pada sapi, dan flu pada ayam.
Jenis tanah di Haharu bervariasi untuk masing-masing desa, tergantung lokasi. Desa-desa yang terletak
dekat pantai (Wunga, Napu, sebagian Kadahang, dan sebagian Rambangaru), cenderung memiliki tanah
berkapur. Petani tidak tahu bagaimana cara meningkatkan kesuburan tanah kapur sehingga usaha
pertanian di daerah-daerah tersebut rentan gagal pada tahun-tahun kekeringan. Desa-desa yang terletak
di areal yang berbukit seperti Kalamba dan Mbatapuhu cenderung memiliki tanah lebih tebal, berwarna
gelap, dan lebih subur.
Berdasarkan pengalaman selama 10-20 tahun terakhir, sebagian besar petani merasa bahwa 10-20 tahun
berikutnya kondisi akan lebih baik dalam hal ketahanan pangan, kontrol api dan tutupan lahan (Tabel
5.). Namun, mereka merasa masalah sumber daya air dan gangguan ternak tidak akan lebih baik dalam
10-20 tahun ke depan, terutama jika tidak ada bantuan untuk mencari cara mengatasi masalah-masalah
tersebut. Dengan demikian, bantuan atau penyuluhan terkait sumber daya air dan pengelolaan ternak
merupakan komponen penting untuk meningkatkan keberhasilan program penanaman pohon di Haharu.
Menurut petani, mereka belum pernah menerima manfaat ekonomi langsung dari penanaman pohon,
karena pohon-pohon yang mereka tanam dan berhasil tumbuh saat ini masih muda (kurang dari 10
tahun). Namun, mereka berharap mendapatkan keuntungan dalam 20-30 tahun mendatang dalam
bentuk: (i) peningkatan pendapatan keluarga; (ii) tersedianya kayu untuk digunakan sendiri; dan (iii)
penjualan kayu. Selain manfaat ekonomi, mereka juga berharap memperoleh manfaat lingkungan
seperti suhu yang lebih sejuk, lingkungan yang nyaman, dan berkurangnya masalah kekeringan.
13
Tabel 5. Kecenderungan hambatan-hambatan program penanaman pohon menurut pandangan petani dalam 10-20 tahun terakhir dan 10-20 tahun yang akan datang
Masalah Desa
Tren
Catatan 10-20 tahun lalu
Seka-rang
10-20 tahun yang akan datang
Sumber Air
Rambangaru > >
Rambangaru dan Kadahang memiliki
permasalahan air yang sama, yaitu
sumber daya air menurun dan tanpa
adanya tindakan perbaikan seperti
penanaman pohon, sumber daya air
akan terus menurun.
Di Wunga sumber daya air yang ada
sekarang lebih baik dari 10 tahun lalu
karena banyak pohon ditanam tetapi
akan sulit di masa mendatang bila
tidak ada pendampingan atau
bantuan.
Kadahang > >
Wunga < =
Tutupan
lahan berupa
pohon
Rambangaru > < Kecenderungan tutupan lahan 10-20
tahun yang lalu sama dengan
kecenderungan sumber daya air.
Semua warga setuju bahwa tutupan
lahan berbasis pohon akan meningkat
dalam 10-20 tahun mendatang.
Kadahang > <
Wunga < <
Gangguan
ternak
Rambangaru < <
Di Rambangaru, petani pesimis
kondisi akan semakin baik, terutama
karena tidak ada aturan tentang
penjagaan ternak. Warga Wunga dan
Kadahang merasa bahwa di masa
yang akan datang kondisi akan lebih
baik karena gangguan ternak
berkurang dikarenakan adanya
peningkatan kesadaran masyarakat
tentang penjagaan atau pemeliharaan
ternak secara efektif.
Wunga < >
Kadahang < >
Masalah Api
Rambangaru < > Di Wunga and Kadahang, masyarakat
optimis kondisi di masa depan akan
lebih baik. Tetapi tidak demikian
dengan masyarakat Rambangaru.
Wunga = >
Kadahang > >
Ketahanan
Pangan
Rambangaru > < Semua desa setuju bahwa kondisi
akan lebih baik di masa depan karena
adanya peningkatan kesadaran
pemerintah dan lembaga lain terkait
ketahanan pangan.
Wunga < <
Kadahang < <
Sumber: FGD di tingkat desa
3.1.2. Program pengelolaan regenerasi alami oleh petani
Pengelolaan regenarasi alami oleh petani (Farmers Managed Natural Regeneration, FMNR) adalah
teknik restorasi lahan untuk meningkatkan produksi pangan dan kayu, meliputi regenerasi sistematis
dan pengelolaan pohon dan semak-semak tunggul pohon, akar dan biji (Rinaudo, 2012). Di Kecamatan
Haharu, WVI memperkenalkan FMNR melalui program INFOCUS (Increase Food Security within the
Community through Sustainable Livelihood and Natural Resource Management System) yang bertujuan
14
untuk memotivasi petani agar menanam dan memelihara pohon di lahan mereka. Gangguan ternak dan
bahaya kebakaran adalah hambatan dalam pelaksanaan FMNR di Haharu. FMNR juga dikenal sebagai
"palotang" dalam Bahasa Sumba.
Dalam program palotang, petani dilatih mengelola pohon agar tumbuh sehat dengan pemangkasan dan
penjarangan. Petani diminta memangkas pohon setiap bulan. Satu keluarga diminta menjaga 600 pohon.
Petani menentukan lokasi palotang mereka di daerah dengan gangguan ternak atau ancaman kebakaran
sedikit. Pohon yang mereka rawat diberi tanda dengan tali dan dipantau setiap bulan.
Saat ini petani masih memiliki beberapa lokasi palotang dengan pohon-pohon yang sudah dipangkas
dan dijarangkan. Mereka juga masih memantau pertumbuhan pohon di lokasi palotang sebelumnya.
Berdasarkan diskusi dengan petani, pohon yang sudah dipalotang tumbuh dengan baik namun sebagian
besar pohon yang dipangkas merupakan jenis tumbuhan dengan nilai ekonomi rendah, sehingga mereka
belum merasakan manfaat finansial langsung dari program palotang. Mereka hanya memperoleh
manfaat berupa pengetahuan tentang pemeliharaan pohon. Ke depannya, petani akan menerapkan
pengetahuannya yang mereka peroleh melalui kegiatan palotang, di kebunnya sendiri.
3.2. Kebutuhan penyuluhan untuk rehabilitasi lahan di Kecamatan Haharu
3.2.1. Berdasarkan pendapat penduduk desa
Berdasarkan diskusi dengan penduduk desa, berbagai kegiatan penyuluhan sudah dilakukan oleh
banyak lembaga meliputi bidang kehutanan, pertanian, perikanan dan pengelolaan ternak (Tabel 6.).
Pelatihan agroforestri sudah dilakukan WVI di semua desa. Penyuluhan oleh pemerintah hanya
teridentifikasi di Kadahang dan Rambangaru, sementara penyuluhan yang dilakukan oleh pihak swasta
dan LSM menjangkau semua desa di Kecamatan Haharu. Hal ini menunjukkan pentingnya peran
penyuluh lembaga non pemerintah di Kecamatan Haharu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di tingkat rumah tangga oleh WVI pada tahun 2016, topik umum
agroforestri menempati urutan ketiga yang paling diminati oleh petani di Kecamatan Haharu. Topik
pertanian di urutan pertama dan pemeliharaan ternak kedua. Partisipasi petani dalam mengikuti
penyuluhan masih terbatas karena tidak ada informasi yang sampai ke petani, tidak ada undangan, dan
lokasi pelatihan jauh dari domisili petani. Jenis media penyuluhan yang paling banyak diterima petani
adalah leaflet, kemudian booklet dan film.
15
Tabel 6. Ketersediaan layanan penyuluhan dari dinas pemerintah dan LSM di Kecamatan Haharu.
Desa Dinas Pemberi Penyuluhan
Topik penyuluhan Frekuensi kunjungan per tahun
Metode penyuluhan
Media penyuluhan
Tenaga penyuluh pemerintah (BP3K)
Kadahang Penyuluh peternakan
Pemeliharaan / pengelolaan ternak (kambing, sapi, dan babi).
1 Diskusi Tidak ada
Rambangaru, Kadahang
Penyuluih kehutanan
Pertemuan dengan kelompok petani kehutanan; regulasi kehutanan.
Kadang-kadang
Diskusi Nonton film
Rambangaru, Kadahang
Penyuluh perikanan
Konservasi laut dan pantai; penangkapan ikan ramah lingkungan; konservasi terumbu karang; penanaman bakau.
1 Diskusi (sosialisasi)
Leaflet
Rambangaru Penyuluh pertanian
Penanganan hama dan penyakit pada jagung dan kacang.
1 Diskusi Leaflet
Penyuluhan oleh LSM
Rambangaru Bethesda Penanaman pohon. 4 Diskusi Tidak ada
Rambangaru Gereja Rehabilitasi lahan. 4 Diskusi (sosialisasi)
Tidak ada
Rambangaru ICRAF-IRED Pembibitan pohon. 24 Pelatihan dan diskusi
Booklet
Wunga Tananua Pembibitan; Produksi dan penggunaan pupuk organik.
12 Pelatihan Booklet
Wunga LWR dan Tananua
Membangun penampungan air hujan.
12 Diskusi Tidak ada
Kadahang Pelita Sumba Penanaman pohon; konservasi air dan tanah.
48 Diskusi dan pelatihan
Poster
Rambangaru, Wunga, Kadahang
WVI Penanaman pohon; FMNR; demplot; Agroforestri.
12 Diskusi dan pelatihan
Booklet
Sumber: FGD dengan masyarakat
Sebagian besar petani menganggap penyuluhan masih kurang terutama tentang teknologi baru yang
dibutuhkan petani. Identifikasi kebutuhan penyuluhan dilakukan melalui dua pendekatan (Tabel 7.).
Pertama dengan bertanya langsung tentang topik apa yang ingin mereka pelajari. Kedua dengan
mengevaluasi kebutuhan petani berdasarkan analisis terhadap strategi pencaharian mereka selama
musim kemarau. Analisis strategi pencaharian petani selama musim kemarau sangat penting karena
pada saat kekeringan, rawan pangan, dan peluang pendapatan terbatas, banyak kesempatan muncul.
16
Tabel 7. Kebutuhan layanan penyuluhan dari perspektif petani di Kecamatan Haharu.
Pelajaran Desa Topik
Pertanian tanah kering Wunga
Penyiapan lahan
Penggunaan bibit unggul untuk merestorasi lahan kering
Pengendalian hama dan penyakit dalam pengelolaan lahan kering
Perikanan
Rambangaru Regulasi dan sosialisasi teknologi penangkapan ikan
Kadahang
Alat dan teknologi untuk meningkatkan produksi perikanan
Pemasaran ikan (menjual ikan, keterampilan tawar-menawar, akses terhadap informasi harga)
All villages Pemrosesan pascapanen dan pemasaran ikan
Teknologi dan keterampilan penangkapan ikan
Agroforestri
Wunga
Pemasaran produk agroforestri
Persiapan penanaman pohon
Pengaturan jarak tanam dan penanaman
Budidaya mente, mangga, sukun dan kemiri
Wunga, Rambangaru
Pengendalian hama dan penyakit, terutama untuk kelapa dan tanaman perkebunan lainnya.
Rambangaru Pemeliharaan pohon
Identifikasi pohon induk dan produksi bibit unggul
Kadahang
Manajemen bera
Irigasi tetes
Perbanyakan vegetatif
All villages
Identifikasi jenis pohon dengan nilai ekonomi tinggi dan
mencocokkan kondisi biofisik di Haharu.
Manajemen pembibitan (termasuk pemupukan, persemaian benih, dan persiapan bibit untuk ditanam di lahan).
Sosialisasi aturan pemanfaatan hutan untuk menghentikan penebangan pohon ilegal dan pembakaran lahan.
Pertanian
Wunga Memfasilitasi hubungan antara kelompok tani dan pemerintah daerah, khususnya untuk mendorong keterlibatan kelompok tani dalam program pemerintah.
Kadahang Irigasi tetes
Pemanfaatan dan manajemen pupuk kimia dan organik
Kadahang,
Rambangaru
Produksi benih jagung, pengendalian hama dan penyakit
Irigasi sayuran dan jagung selama musim kering
Pengelolaan ternak
Kadahang Manajemen unggas dan ternak
Pemasaran ternak
Kadahang, Wunga, Rambangaru
Penanganan hama dan penyakit ternak (ini terutama sejak adanya peningkatan penyakit demam pada babi, kembung pada kambing, sapi lumpuh, dan flu pada ayam)
Kadahang, Rambangaru
Nutrisi ternak; sanitasi ternak
Sumber: FGD dengan penduduk desa
17
3.2.2. Berdasarkan pendapat petugas penyuluhan pemerintah
Ada 10 orang penyuluh di Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kecamatan Haharu
(BP3K Haharu). Satu orang penyuluh kehutanan, 1 penyuluh perikanan, 1 penyuluh perkebunan, 3
penyuluh pertanian, dan 3 penyuluh peternakan. Rata-rata lama bertugas di Haharu adalah 5 tahun,
bervariasi antara 1 sampai 15 tahun. Tingkat pendidikan tertinggi adalah sarjana (S1).
Diskusi bersama petani adalah metode penyuluhan yang paling umum digunakan oleh penyuluh BP3K
di Haharu. Metode lain seperti kunjungan lapangan, demplot, atau pelatihan jarang digunakan karena
keterbatasan anggaran. Kendala lain yang dihadapi penyuluh adalah keterbatasan pelatihan,
pengalaman, dan kurangnya kesempatan mengikuti kegiatan pengembangan kapasitas. Media
penyuluhan yang paling banyak dibagikan penyuluh kepada para petani adalah leaflet. Kadang-kadang
poster yang dibuat instansi pemerintah terkait.
Peran utama penyuluh dalam program penanaman pohon adalah sebagai fasilitator program yang
diprakarsai oleh lembaga lain seperti dari Dinas Kehutanan atau Dinas Perkebunan di tingkat kabupaten.
Penyuluh bertanggung jawab memantau dan membantu pelaksanaan program-program penanaman
pohon dari instansi pemerintah lainnya. Berdasarkan pengalaman petugas penyuluhan, program yang
banyak berhasil adalah yang diminta oleh petani dan menggunakan jenis tanaman bernilai ekonomi
tinggi, seperti program perkebunan mente dan kelapa dari Dinas Perkebunan.
Dari proses diskusi dengan penyuluh, diketahui bahwa dalam memfasilitasi program penanaman pohon
di Kecamatan Haharu, hambatan paling besar adalah yang bersifat biofisik seperti kondisi tanah, iklim
dan sumber daya air, topografi dan api. Hambatan sosial juga ditemui, khususnya yang berkaitan dengan
pengaturan penggembalaan dan pengendalian kebakaran. Dari semua hambatan di atas, masalah kondisi
tanah dianggap lebih mudah dan lebih cepat diatasi, yaitu dengan menggunakan pupuk organik dan
kompoa untuk memperbaiki kesuburan. Masalah penggembalaan dan bahaya api juga dapat diatasi
dengan mengembangkan dan menerapkan peraturan desa atau kabupaten. Hambatan terkait iklim dan
sumber daya air merupakan yang tersulit dan perlu waktu lebih lama untuk menyelesaikannya. Dengan
demikian, kebutuhan penyuluhan jangka pendek bagi petani adalah penguatan pengetahuan tentang
manipulasi kesuburan tanah menggunakan pupuk organik, dan bagi masyarakat adalah pengembangan
dan penerapan aturan penggembalaan dan penanggulangan bahaya api.
Penyuluh merasa bahwa pengetahuan dan kapasitas mereka perlu ditingkatkan supaya mampu
memberikan penyuluhan yang lebih baik kepada masyarakat. Daftar kebutuhan pelatihan dan
penyuluhan bagi penyuluh di Kecamatan Haharu yang teridentifikasi dalam survei dijabarkan dalam
Tabel 8. Pembibitan pohon dan produksi pupuk organik adalah topik-topik yang terkait langsung
dengan penerapan sistem agroforestri untuk merestorasi lahan.
18
Tabel 8. Kebutuhan pelatihan dan penyuluhan bagi penyuluh di Kecamatan Haharu.
Pelajaran Topik pelatihan atau penyuluhan
Kehutanan
a) Pembibitan pohon hutan
b) Konsep dan aplikasi agroforestri
c) Hutan rakyat, terutama implementasinya terkait dengan masih lemahnya koordinasi antara Dinas Kehutanan dan para penyuluh di tingkat kabupaten maupun kecamatan.
d) Sosialiasi peraturan baru kehutanan terkait kondisi di Kecamatan Haharu.
Pengelolaan
Ternak
a) Reproduksi ternak
b) Penanganan hama dan penyakit ternak
c) Nutrisi ternak
d) Penanganan pascapanen
e) Inseminasi buatan
f) Vaksinasi ternak
g) Produksi pupuk kandang dari kotoran ternak
Pertanian
a) Penanganan hama dan penyakit untuk tanaman pangan dan sayuran
b) Demplot pertanian organik
c) Perkiraan produktivitas pertanian
Perkebunan
a) Pembibitan tanaman perkebunan
b) Agroforestri dan potensi keuntungan ekonominya
c) Penanganan pascapanen mente
Perikanan
a) Pembibitan akuakultur
b) Penanganan hama dan penyakit pada akuakultur
c) Teknologi baru akuakultur atau budidaya ikan
Sumber: FGD dengan petugas penyuluh di BP3K Kecamatan Haharu.
3.3. Potensi program agroforestri untuk rehabilitasi lahan di Kecamatan Haharu
Rata-rata tingkat pendidikan sebagian besar petani di Sumba adalah sekolah dasar. Survei ini
menemukan bahwa pendekatan penyuluhan yang paling tepat untuk para petani adalah mengenalkan
lebih banyak teknologi praktis melalui kebun percobaan dan kunjungan lapangan ke petani-petani
sukses. Kedua pendekatan ini dapat diimplementasikan melalui sekolah lapang agroforestri, seperti
yang pernah dilakukan oleh Martini et al. (2016) di Sulawesi Selatan dan Tenggara dimana tingkat
pendidikan petani pada umumnya adalah sekolah dasar ke bawah. Untuk kasus Sumba Timur, topik
utama sekolah lapang agroforestri perlu difokuskan pada rehabilitasi lahan – penanaman pohon dan
peningkatan pengelolaan sistem agroforestri.
Langkah pertama dalam merencanakan sekolah lapang agroforestri adalah mengidentifikasi jenis
tanaman prioritas di setiap desa – baik jenis pohon maupun jenis tanaman jangka pendek yang bisa
ditumpangsarikan dalam sistem agroforestri. Kapasitas dan pengetahuan petani tentang pohon dan
sistem pengelolaan perlu ditingkatkan melalui sekolah lapang agroforestri. Setelah kapasitas petani
ditingkatkan, langkah berikutnya adalah membangun kebun percobaan agroforestri (demplot). Kebun
19
percobaan harus dibangun melalui pendekatan partisipatif dan sukarela dimana petani juga mengambil
peran dalam merancang dan menjaga demplot.
3.3.1. Jenis tanaman prioritas
Dalam program rehabilitasi lahan, jenis tanaman prioritas dapat diketahui dengan mengamati jenis
tanaman yang banyak ditemukan dan tumbuh baik di wilayah yang bersangkutan, serta bertanya kepada
petani. Menggunakan tanaman yang diprioritaskan petani akan meningkatkan partisipasi dan motivasi
petani dalam memelihara tanaman tersebut. Petani lebih rela menyumbangkan tenaga dan waktu jika
terlibat dalam proses seleksi dan mengetahui potensi manfaat jenis tersebut untuk meningkatkan mata
pencaharian dan pendapatan mereka.
Berdasarkan diskusi dengan petani, pohon yang banyak ditemukan melimpah di Kecamatan Haharu
biasanya memiliki nilai ekonomi rendah, seperti bakau, johar, kehi, lobung (lihat Tabel 9). Namun,
petani mengakui bahwa pohon dengan nilai ekonomi rendah tersebut bermanfaat untuk menciptakan
lingkungan yang baik.
Tabel 9. Jenis pohon yang banyak dan tumbuh baik di Kecamatan Haharu.
No. Jenis Pohon Baru dikenalkan
Nilai ekonomis
Manfaat
1 Bakau/Mangrove tree (Sonneratia sp.)
Tidak Rendah Konservasi pantai
2 Johar (Senna siamea) Tidak Rendah Bahan bangunan
3 Kehi/KayuCina (Lannea coromandelica)
Tidak Rendah Pagar hidup, kayu bakar, dan bahan bangunan
4 Lobung/Salam (Syzygium polyanthum)
Tidak Rendah Konservasi sumber mata air, bahan bangunan, bumbu, dan obat-obatan.
5 Injuwatu (Pleiogynium timoriense)
Tidak Sedang Papan untuk membangun rumah
6 Kosambi (Scheilechera oleosa)
Tidak Sedang Kayu bakar, buah, lak (harga jual USD 1,5 sampai USD 5/kg atau Rp 20.000 hingga Rp 67.500/kg)
7 Minggit/Tuak (Borassus flabellifer)
Tidak Sedang Kerajinan tangan, bagian bunga untuk pembuatan minuman beralkohol tradisional, buah untuk pakan ternak.
8 Kelapa (Cocos nucifera)
Tidak Sedang Untuk keperluan rumah atau dijual dalam bentuk buah segar atau kopra; papan atau kayu untuk bangunan rumah, daun untuk atap, sabut untuk tali, minyak kelapa, dan sapu.
9 Jati putih (Gmelina arborea)
Ya Tinggi Bahan bangunan; dan daun untuk pakan ternak.
10 Jati (Tectona grandis) Ya Tinggi Kayu untuk membangun rumah
11 Mahoni (Swietenia mahagony)
Ya Tinggi Kayu untuk membangun rumah
Sumber: FGD dengan petani di Haharu
20
Injuwatu dan kosambi adalah dua jenis pohon menarik yang terdapat di daerah ini, tumbuh baik dalam
iklim kering di Kecamatan Haharu. Kedua jenis ini memiliki nilai ekonomi; namun, pertumbuhannya
sangat lambat dan perlu waktu lama untuk mencapai ukuran dengan nilai ekonomi yang baik. Sementara
itu, minggit dan kelapa tumbuh lebih cepat, namun nilai ekonominya lebih rendah dari injuwatu dan
kosambi. Karena itu, saat ini petani lebih tertarik dengan jenis tanaman baru yang dapat tumbuh baik
dan cepat dengan kondisi alam Haharu serta memiliki nilai ekonomi lebih baik seperti pohon kayu,
mente, dan sukun. Pohon kayu untuk persiapan pendapatan jangka panjang, sementara mente, pinang
dan sukun diharapkan memberikan pendapatan tahunan pada saat berumur 5-10 tahun setelah
penanaman (Tabel 10). Pendapatan jangka pendek bulanan yang bisa diharapkan adalah dari kacang
hijau, kacang tanah, bawang merah, bawang putih, tomat, dan jagung.
Tabel 10. Jenis tanaman yang diprioritaskan untuk ditanam oleh petani di Kecamatan Haharu.
Desa Prioritas
1 2 3 4 5
Jenis tanaman jangka pendek
Kadahang Kacang hijau Kacang tanah Kacang arab Semangka Tomat
Kalamba Kacang tanah Kacang arab Bawang merah Singkong Terong
Mbatapuhu Bawang merah Terong Pare Kacang arab Kacang hijau
Napu Tomat Cabe Terong Kacang tanah Kacang hijau
Praibakul Bawang putih Bawang merah Sawi putih Tomat Jagung
Rambangaru Jagung Kacang tanah Kacang hijau Tomat Cabe
Wunga Jagung Kacang tanah Pare Padi Terong
Jenis tanaman tahunan
Kadahang Sukun Nangka Mimba Mangga Jeruk
Kalamba Pinang Mente Kopi Sukun Kelapa
Mbatapuhu Sukun Mente Mangga Jeruk Kelapa
Napu Sukun Nangka Johar Kedondong Mangga
Praibakul Sukun Pisang Jeruk Kelapa Mente
Rambangaru Sukun Pepaya Pisang Jeruk Johar
Wunga Sukun Jeruk Kedondong Pisang Mangga
Jenis tanaman untuk jangka panjang
Kadahang Jati Jati putih Cendana Mahoni Injuwatu
Kalamba Cendana Jati Mahoni Injuwatu Tak tersedia
Mbatapuhu Mahoni Jati Cendana Injuwatu Sengon
Napu Jati Kepuh Mahoni Marujawa Injuwatu
Praibakul Cendana Mahoni Jati Injuwatu Jati putih
Rambangaru Jati Injuwatu Cendana Mahoni Tak tersedia
Wunga Cendana Jati Mahoni Kayu putih Injuwatu
Sumber: Data sekunder dari FGD dengan petani di 7 desa Kecamatan Haharu
21
3.3.2. Sekolah lapang agroforestri untuk rehabilitasi lahan
Berdasarkan survei rumah tangga petani di Kecamatan Haharu, 90% petani yang disurvei memilih
sekolah lapang sebagai salah satu metode pelatihan yang akan diterapkan di Haharu. Hasil survei
menunjukkan bahwa sebagian besar responden lebih suka metode penyuluhan yang berisi sesi praktis
dan diskusi tatap muka. Konsep sekolah lapang yang menggunakan teknik pelatihan partisipatif untuk
mencapai tujuan pembelajaran cocok dengan kebutuhan petani. Sekolah lapang agroforestri dapat
menjadi pendekatan penyuluhan yang efektif untuk meningkatkan kapasitas petani dalam mengelola
kebun dengan tujuan peningkatan dan keberlanjutan produktivitas (Martini et al., 2016).
Berdasarkan pengalaman pelaksanaan sekolah lapang agroforestri di Sulawesi Selatan dan Tenggara,
Martini et al. (2016) menunjukkan bahwa 97% peserta merasakan manfaat dari mengikuti sekolah
lapang. Pengetahuan dan informasi baru yang terpercaya merupakan motivasi paling penting bagi petani
untuk menghadiri sekolah lapang. Setelah satu tahun pelaksanaan sekolah lapang, 14% responden
merasakan manfaat berupa pendapatan tunai dengan menerapkan pengetahuan yang diperoleh. Jumlah
uang yang diperoleh tergantung pada jenis pengetahuan yang dicobakan. Pemupukan dan pemangkasan
adalah dua pengetahuan yang dapat menghasilkan manfaat uang tunai bagi petani dalam jangka pendek
(dalam satu tahun). Evaluasi yang dilakukan menyimpulkan bahwa diperlukan sekurangnya
pendampingan 1 tahun setelah selesainya sekolah lapang agar peserta dapat secara efektif menguji dan
mengadaptasi pengetahuan baru yang mereka pelajari.
Untuk di Haharu, fokus sekolah lapang ditentukan berdasarkan kebutuhan penyuluhan agroforestri
menurut para petani dan penyuluh. Sebagaimana dijelaskan di atas, topik pengelolaan jenis tanaman
prioritas dapat dikombinasikan dengan teknologi untuk meningkatkan peran agroforestri dalam
mendukung pengelolaan ternak, pengendalian kebakaran, dan peningkatan jumlah pohon di bentang
alam Haharu.
3.3.3. Kebun contoh agroforestri untuk rehabilitasi lahan
Agroforestri merupakan pilihan cara pemanfaatan lahan yang dapat memberikan manfaat ekonomi
maupun lingkungan bagi petani (de Foresta et al., 2000). Agroforestri dalam petak-petak lahan kecil
dapat memberikan manfaat dari keragaman jenis pohon dan tanaman tahunan yang ada. Dengan
menggabungkan jenis kayu yang memberikan penghasilan tahunan dengan jenis tanaman tahunan yang
memberikan penghasilan jangka pendek, sistem agroforestri diharapkan dapat meningkatkan
pencaharian pemilik lahan. Jika diterapkan untuk lahan yang jauh lebih luas (tingkat bentang alam),
maka sistem agroforestri akan memberikan manfaat lingkungan yang lebih besar, seperti kesuburan
tanah dan perbaikan iklim mikro, dua hal pokok yang mendukung keberhasilan program rehabilitasi
lahan.
Biasanya, masing-masing petani mengembangkan sistem agroforestri mereka sendiri berdasarkan
pengetahuan, pengalaman dan motivasi yang mereka miliki. Radandima (2001) mengindikasikan
bahwa pengetahuan dan pengalaman petani merupakan dasar pengembangan program agroforestri di
Sumba. Akan tetapi pengetahuan dan pengalaman masing-masing petani masih terbatas. Pengetahuan
petani, terutama tentang konsep agroforestri, manajemen dan tumpangsari tanaman, pemilihan jenis
22
tanaman prioritas, pengelolaan kesuburan tanah, dan perbanyakan bibit berkualitas, dapat ditingkatkan.
Pembentukan demplot di setiap dusun akan menjadi wahana yang tepat untuk meningkatkan
pengetahuan petani lewat penyuluhan agroforestri, dan hal ini sudah diterapkan di lokasi proyek ICRAF
di Sulawesi, Indonesia (Martini et al., 2014).
Kebun contoh agroforestri perlu dirancang sesuai dengan kondisi lahan yang ada. Untuk Haharu, dua
kondisi umum lahan dan pendekatan untuk masing-masing dirangkum di sini.
1) Jika lahan kritis dengan kanopi pohon kurang dari 25%, maka pohon yang cocok ditanam adalah
yang cepat tumbuh, toleran terhadap sinar matahari, dan juga memiliki nilai ekonomi seperti kelapa,
nangka dan kemiri. Kehi (Lannea coromandelica) juga bisa ditanam sebagai pagar hidup untuk
memberikan keteduhan dan penghalang ternak. Selain itu, kehi juga tahan api. Tanaman tahunan seperti
kacang hijau, jagung, dan kacang tanah juga bisa ditanam di antara pohon-pohon untuk memberikan
penghasilan jangka pendek bagi petani.
2) Jika kanopi pohon antara 25 hingga 50%, tanaman yang toleran terhadap naungan seperti lada, kakao,
kopi dan pala dapat ditanam di bawah pohon yang ada.
Diskusi dengan penyuluh di BP3K Haharu menghasilkan rekomendasi untuk mengembangkan demplot
seperti yang dijelaskan dalam Tabel 11. Sebagian besar wilayah Haharu memiliki 25% tutupan kanopi
pohon, sehingga opsi kedua dapat diterapkan. Perencanaan, penilaian kondisi plot, dan pelaksanaan
ujicoba harus dilakukan bersama petani yang nantinya merupakan pemanfaat dan pengadopsi teknologi.
Partisipasi petani dalam perencanaan, pembentukan, dan pengelolaan demplot adalah suatu keharusan
untuk memaksimalkan komitmen, pembelajaran, dan inovasi.
Tabel 11. Kebun contoh (demplot) yang direkomendasikan petugas penyuluhan.
Prioritas Lokasi Fokus Demplot
1 Kalamba Tumpangsari turi-gamal-lamtoro-mahoni-kemiri
2 Rambangaru (Dusun Hambuang)
Tumpang sari kelapa-padi sawah;
Akuakultur dalam sistem agroforestri
3 Praibakul
Tumpangsari lamtoro-kelapa- jenis pohon lain;
Pengaturan jarak tanam - uji coba jenis tanaman;
Pengembangan sistem agroforestri mente
4 Mbatapuhu Tumpangsari lamtoro-kelapa-jati putih;
Teknik agroforestri untuk mencegah kebakaran
5 Kadahang (RT Ndara) Tumpangsari mente-kelapa-lamtoro
6 Napu (Dusun Prailangina) Tumpang mahoni-jati putih-mente-lamtoro
7 Wunga (Dusun Wunga Barat) Pengayaan demplot yang ada (dibuat oleh WVI) dengan menanam jenis-jenis pohon tambahan lainnya
Sumber: FGD dengan staf penyuluh di Kecamatan Haharu
4. KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hambatan-hambatan yang ditemui dalam upaya rehabilitasi
lahan adalah keterbatasan sumber daya air, miskinnya kesuburan tanah, gangguan ternak, bahaya
kebakaran, keterbatasan pendampingan untuk menjamin keberlanjutan program, serta terbatasnya
23
persediaan bibit berkualitas. Berdasarkan temuan di atas, kebutuhan penyuluhan jangka pendek untuk
rehabilitasi lahan di Kecamatan Haharu adalah (i) peningkatan pengetahuan petani tentang cara
memperbaiki kesuburan tanah dengan menggunakan pupuk organik, dan (ii) pengembangan dan
penerapan aturan penggembalaan dan pengelolaan kebakaran. Pelatihan dan berbagai upaya
peningkatan kapasitas penyuluh tentang pembibitan pohon dan produksi pupuk organik akan
memungkinkan penyuluh mampu membantu petani dalam merehabilitasi lahan melalui agroforestri.
Sekolah lapang agroforestri adalah pilihan utama pendekatan penyuluhan yang diminta petani
untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mereka dalam mengelola kebun dan rehabilitasi
lahan di Kecamatan Haharu. Dalam pelaksanaan sekolah lapang agroforestri, topik pengelolaan pohon
prioritas dapat dikombinasikan dengan topik teknologi peningkatan peran agroforestri dalam membantu
manajemen ternak, kontrol api, dan peningkatan jumlah pohon di wilayah yang dimaksud.
Terintegrasi dengan sekolah lapang agroforestri, kebun contoh agroforestri diharapkan dapat
dibangun di setiap dusun, berfungsi sebagai media interaktif bagi petani, penyuluh, dan peneliti untuk
belajar dan praktik agroforestri yang dapat membantu upaya rehabilitasi lahan di Kecamatan Haharu.
Penyuluh dan petani perlu bekerja sama dan secara intensif memastikan partisipasi dan pembelajaran
petani dalam proses perencanaan, pembentukan dan pengelolaan kebun contoh atau demplot.
Sistem agroforestri yang dapat dikembangkan dalam demplot adalah kombinasi jenis tanaman
prioritas dan jenis tanaman yang menarik bagi petani. Saat ini, petani lebih tertarik dengan jenis tanaman
baru yang mampu tumbuh subur dalam kondisi Haharu dan juga memberikan keuntungan ekonomi
yang baik seperti kayu-kayuan, mente, dan sukun. Jenis kayu-kayuan ditanam untuk persiapan
pendapatan jangka panjang, sementara mente, pinang dan sukun untuk pendapatan tahunan mulai 5-10
tahun setelah penanaman. Untuk jangka pendek (mingguan atau bulanan) petani memperoleh
pendapatan dari kacang hijau, kacang tanah, bawang merah, bawang putih, tomat, dan jagung.
Secara ringkas, rekomendasi yang diberikan adalah sbb:
1. Peningkatan pengetahuan petani tentang perbaikan kesuburan tanah dengan penggunaan pupuk
organik;
2. Pengembangan dan penerapan aturan penggembalaan dan pengelolaan kebakaran yang tepat;
3. Penyediaan pelatihan dan kegiatan untuk meningkatkan kapasitas penyuluh tentang pengembangan
pembibitan pohon dan produksi pupuk organik;
4. Peningkatan upaya membantu petani melalui pengenalan, pengujian dan adopsi pohon dan jenis
tanaman tahunan yang memberikan manfaat ekonomi;
5. Pemanfaatan pendekatan sekolah lapang agroforestri untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan
dan pengalaman petani; dan
6. Pembuatan kebun contoh / demplot – direncanakan, dibangun, dan dikelola bersama petani atas
dukungan tenaga penyuluh pemerintah – sebagai bagian terpadu dari pendekatan sekolah lapang
agroforestri.
24
Referensi
Badan Pusat Statistik (BPS). 2009. Kecamatan Haharu Dalam Angka tahun 2009. BPS Kecamatan
Haharu.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Kecamatan Haharu Dalam Angka tahun 2010. BPS Kecamatan
Haharu.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2011. Kecamatan Haharu Dalam Angka tahun 2011. BPS Kecamatan
Haharu.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2012. Kecamatan Haharu Dalam Angka tahun 2012. BPS Kecamatan
Haharu.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2013. Kecamatan Haharu Dalam Angka tahun 2013. BPS Kecamatan
Haharu.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Kecamatan Haharu Dalam Angka tahun 2014. BPS Kecamatan
Haharu.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2015. Kabupaten Sumba Timur Dalam Angka tahun 2015. BPS
Kecamatan Haharu.
de Foresta, H., Kusworo A, Michon G, Djatmiko WA. 2000. KetikaKebunBerupaHutan -
Agroforest Khas Indonesia. World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor.
Hutabarat, S. 2006. Model Forest: Alternatif Pengelolaan Hutan di Nusa Tenggara Timur.
Prosiding Sosialisasi Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi
Alam. Bogor.
Martini E, Saad U, Angreiny Y, Roshetko JM. 2014. Kebun Belajar Agroforestri: Konsep dan
Pembelajaran dari Sulawesi Selatan dan Tenggara. Proseding Seminar Nasional Agroforestri
ke-5, 21 Nov 2014, Ambon, Indonesia.
Martini E, Saad U, Angreiny Y, Roshetko JM, Gunawan H, Maulana HT, Suganda G, Dwipayana
G, Erwin LO, Hadedi A. 2016. Agroforestry and Forestry in Sulawesi series: Evaluation of the
Agroforestry Farmer Field Schools on agroforestry management in South and Southeast
Sulawesi, Indonesia. Working paper 220. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre
(ICRAF) Southeast Asia Regional Program. 16p. DOI: 10.5716/WP16002.PDF.
Monk, K.A., Y. de Fretes and G. Reksodiharjo-Lilley. 1997. The ecology of Nusa Tenggara and
Maluku. The ecology of Indonesia series, volume 5. Dalhousie University, Nova Scotia,
Canada.
Njurumana GND. 2008. Rehabilitasi Lahan Kritis Berbasis Agrosylvopastur di Timor dan Sumba,
Nusa Tenggara Timur. Info Hutan Vol V(2): 99-112.
Njurumana, GND, Prasetyo, BD. 2010. Lende Ura, Sebuah Inisiatif Masyarakat dalam Rehabilitasi
Hutan dan Lahan di Sumba Barat Daya. Jurnal Analisis Kebijakan kehutanan Vol 7(2): 97-110.
Radandima, U. 2001. Pengembangan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam melalui
program wanatani: Pengalaman Yayasan Tananua Sumba. In: JM Roshetko, Mulawarman, WJ
Santoso and I.N. Oka. Wanatani di Nusa Tenggara. Prosiding Lokakarya Wanatani Se-Nusa
Tenggara (Agroforestry in Nusa Tenggara, Proceedings of a Workshop), 11-14 November
2001. Denpasar, Bali. International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) and Winrock
International
Rinaudo, T. 2012. Natural Resources Advisor, World Vision Australia and pioneer of Farmer
Managed Natural Regeneration in Niger in 1983. World Vision Australia.
25
Roshetko JM and Mulawarman. 2002. Wanatani di Nusa Tenggara: Ringkasan hasil lokakarya
(Agroforestry for Nusa Tenggara: A Summary of Workshop Outputs). In: JM Roshetko,
Mulawarman, WJ Santoso and I.N. Oka. Wanatani di Nusa Tenggara. Prosiding Lokakarya
Wanatani Se-Nusa Tenggara (Agroforestry in Nusa Tenggara, Proceedings of a Workshop),
11-14 November 2001. Denpasar, Bali. International Centre for Research in Agroforestry
(ICRAF) and Winrock International.
Stubenvoll, S. 2000. Traditional Agroforestry and Ecological, Social, and Economic
Sustaqinability on Small Tropical Islands: A dynamic land-use system and its potential for
community-basd development in Tioor and Rhun, Central Maluku, Indonesia. Doctoral
Dissertation. School of Architecture – Environment – Society, Technical University of Berlin.
26
Lampiran 1. Sketsa Desa Wunga, Kadahang dan Rambangaru
Gambar 6. Sketsa Desa Wunga, Kecamatan Haharu, Sumba Timur
Gambar 7. Sketsa Desa Kadahang, Kecamatan Haharu, Sumba Timur
27
Gambar 8. Sketsa Desa Rambangaru, Kecamatan Haharu, Sumba Timur
WORKING PAPERS WITH DOIs
2005
1. Agroforestry in the drylands of eastern Africa: a call to action
2. Biodiversity conservation through agroforestry: managing tree species diversity within a network of community-based, nongovernmental, governmental and research organizations in western Kenya.
3. Invasion of prosopis juliflora and local livelihoods: Case study from the Lake Baringo area of Kenya
4. Leadership for change in farmers organizations: Training report: Ridar Hotel, Kampala, 29th March to 2nd April 2005.
5. Domestication des espèces agroforestières au Sahel : situation actuelle et perspectives
6. Relevé des données de biodiversité ligneuse: Manuel du projet biodiversité des parcs agroforestiers au Sahel
7. Improved land management in the Lake Victoria Basin: TransVic Project’s draft report.
8. Livelihood capital, strategies and outcomes in the Taita hills of Kenya
9. Les espèces ligneuses et leurs usages: Les préférences des paysans dans le Cercle de Ségou, au Mali
10. La biodiversité des espèces ligneuses: Diversité arborée et unités de gestion du terroir dans le Cercle de Ségou, au Mali
2006
11. Bird diversity and land use on the slopes of Mt. Kilimanjaro and the adjacent plains, Tanzania
12. Water, women and local social organization in the Western Kenya Highlands
13. Highlights of ongoing research of the World Agroforestry Centre in Indonesia
14. Prospects of adoption of tree-based systems in a rural landscape and its likely impacts on carbon stocks and farmers’ welfare: The FALLOW Model Application in Muara Sungkai, Lampung, Sumatra, in a ‘Clean Development Mechanism’ context
15. Equipping integrated natural resource managers for healthy Agroforestry landscapes.
17. Agro-biodiversity and CGIAR tree and forest science: approaches and examples from Sumatra.
18. Improving land management in eastern and southern Africa: A review of policies.
19. Farm and household economic study of Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Indonesia: A socio-economic base line study of Agroforestry innovations and livelihood enhancement.
20. Lessons from eastern Africa’s unsustainable charcoal business.
21. Evolution of RELMA’s approaches to land management: Lessons from two decades of research and development in eastern and southern Africa
22. Participatory watershed management: Lessons from RELMA’s work with farmers in eastern Africa.
23. Strengthening farmers’ organizations: The experience of RELMA and ULAMP.
24. Promoting rainwater harvesting in eastern and southern Africa.
25. The role of livestock in integrated land management.
26. Status of carbon sequestration projects in Africa: Potential benefits and challenges to scaling up.
27. Social and Environmental Trade-Offs in Tree Species Selection: A Methodology for Identifying Niche Incompatibilities in Agroforestry [Appears as AHI Working Paper no. 9]
28. Managing tradeoffs in agroforestry: From conflict to collaboration in natural resource management. [Appears as AHI Working Paper no. 10]
29. Essai d'analyse de la prise en compte des systemes agroforestiers pa les legislations forestieres au Sahel: Cas du Burkina Faso, du Mali, du Niger et du Senegal.
30. Etat de la recherche agroforestière au Rwanda etude bibliographique, période 1987-2003
2007
31. Science and technological innovations for improving soil fertility and management in Africa: A reportfor NEPAD’s Science and Technology Forum.
32. Compensation and rewards for environmental services.
33. Latin American regional workshop report compensation.
34. Asia regional workshop on compensation ecosystem services.
35. Report of African regional workshop on compensation ecosystem services.
36. Exploring the inter-linkages among and between compensation and rewards for ecosystem servicesCRES and human well-being
37. Criteria and indicators for environmental service compensation and reward mechanisms: realistic,voluntary, conditional and pro-poor
38. The conditions for effective mechanisms of compensation and rewards for environmental services.
39. Organization and governance for fostering Pro-Poor Compensation for Environmental Services.
40. How important are different types of compensation and reward mechanisms shaping poverty andecosystem services across Africa, Asia & Latin America over the Next two decades?
41. Risk mitigation in contract farming: The case of poultry, cotton, woodfuel and cereals in East Africa.
42. The RELMA savings and credit experiences: Sowing the seed of sustainability
43. Yatich J., Policy and institutional context for NRM in Kenya: Challenges and opportunities forLandcare.
44. Nina-Nina Adoung Nasional di So! Field test of rapid land tenure assessment (RATA) in the BatangToru Watershed, North Sumatera.
45. Is Hutan Tanaman Rakyat a new paradigm in community based tree planting in Indonesia?
46. Socio-Economic aspects of brackish water aquaculture (Tambak) production in Nanggroe AcehDarrusalam.
47. Farmer livelihoods in the humid forest and moist savannah zones of Cameroon.
48. Domestication, genre et vulnérabilité : Participation des femmes, des Jeunes et des catégories lesplus pauvres à la domestication des arbres agroforestiers au Cameroun.
49. Land tenure and management in the districts around Mt Elgon: An assessment presented to the MtElgon ecosystem conservation programme.
50. The production and marketing of leaf meal from fodder shrubs in Tanga, Tanzania: A pro-poorenterprise for improving livestock productivity.
51. Buyers Perspective on Environmental Services (ES) and Commoditization as an approach to liberateES markets in the Philippines.
52. Towards Towards community-driven conservation in southwest China: Reconciling state and localperceptions.
53. Biofuels in China: An Analysis of the Opportunities and Challenges of Jatropha curcas in SouthwestChina.
54. Jatropha curcas biodiesel production in Kenya: Economics and potential value chain development forsmallholder farmers
55. Livelihoods and Forest Resources in Aceh and Nias for a Sustainable Forest Resource Managementand Economic Progress
56. Agroforestry on the interface of Orangutan Conservation and Sustainable Livelihoods in Batang Toru,North Sumatra.
2008
57. Assessing Hydrological Situation of Kapuas Hulu Basin, Kapuas Hulu Regency, West Kalimantan.
58. Assessing the Hydrological Situation of Talau Watershed, Belu Regency, East Nusa Tenggara.
59. Kajian Kondisi Hidrologis DAS Talau, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
60. Kajian Kondisi Hidrologis DAS Kapuas Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
61. Lessons learned from community capacity building activities to support agroforest as sustainableeconomic alternatives in Batang Toru orang utan habitat conservation program (Martini, Endri et al.)
62. Mainstreaming Climate Change in the Philippines.
63. A Conjoint Analysis of Farmer Preferences for Community Forestry Contracts in the Sumber JayaWatershed, Indonesia.
64. The highlands: a shared water tower in a changing climate and changing Asia
65. Eco-Certification: Can It Deliver Conservation and Development in the Tropics.
66. Designing ecological and biodiversity sampling strategies. Towards mainstreaming climate change ingrassland management.
67. Towards mainstreaming climate change in grassland management policies and practices on theTibetan Plateau
68. An Assessment of the Potential for Carbon Finance in Rangelands
69 ECA Trade-offs Among Ecosystem Services in the Lake Victoria Basin.
69. The last remnants of mega biodiversity in West Java and Banten: an in-depth exploration of RaTA(Rapid Land Tenure Assessment) in Mount Halimun-Salak National Park Indonesia
70. Le business plan d’une petite entreprise rurale de production et de commercialisation des plantsdes arbres locaux. Cas de quatre pépinières rurales au Cameroun.
71. Les unités de transformation des produits forestiers non ligneux alimentaires au Cameroun.Diagnostic technique et stratégie de développement Honoré Tabuna et Ingratia Kayitavu.
72. Les exportateurs camerounais de safou (Dacryodes edulis) sur le marché sous régional etinternational. Profil, fonctionnement et stratégies de développement.
73. Impact of the Southeast Asian Network for Agroforestry Education (SEANAFE) on agroforestryeducation capacity.
74. Setting landscape conservation targets and promoting them through compatible land use in thePhilippines.
75. Review of methods for researching multistrata systems.
76. Study on economical viability of Jatropha curcas L. plantations in Northern Tanzania assessingfarmers’ prospects via cost-benefit analysis
77. Cooperation in Agroforestry between Ministry of Forestry of Indonesia and International Center forResearch in Agroforestry
78. "China's bioenergy future. an analysis through the Lens if Yunnan Province
79. Land tenure and agricultural productivity in Africa: A comparative analysis of the economicsliterature and recent policy strategies and reforms
80. Boundary organizations, objects and agents: linking knowledge with action in Agroforestrywatersheds
81. Reducing emissions from deforestation and forest degradation (REDD) in Indonesia: options andchallenges for fair and efficient payment distribution mechanisms
2009
82. Mainstreaming climate change into agricultural education: challenges and perspectives
83. Challenging conventional mindsets and disconnects in conservation: the emerging role of eco-agriculture in Kenya’s landscape mosaics
84. Lesson learned RATA garut dan bengkunat: suatu upaya membedah kebijakan pelepasan kawasanhutan dan redistribusi tanah bekas kawasan hutan
85. The emergence of forest land redistribution in Indonesia
86. Commercial opportunities for fruit in Malawi
87. Status of fruit production processing and marketing in Malawi
88. Fraud in tree science
89. Trees on farm: analysis of global extent and geographical patterns of agroforestry
90. The springs of Nyando: water, social organization and livelihoods in Western Kenya
91. Building capacity toward region-wide curriculum and teaching materials development in agroforestryeducation in Southeast Asia
92. Overview of biomass energy technology in rural Yunnan (Chinese – English abstract)
93. A pro-growth pathway for reducing net GHG emissions in China
94. Analysis of local livelihoods from past to present in the central Kalimantan Ex-Mega Rice Project area
95. Constraints and options to enhancing production of high quality feeds in dairy production in Kenya,Uganda and Rwanda
2010
96. Agroforestry education in the Philippines: status report from the Southeast Asian Network forAgroforestry Education (SEANAFE)
97. Economic viability of Jatropha curcas L. plantations in Northern Tanzania- assessing farmers’prospects via cost-benefit analysis.
98. Hot spot of emission and confusion: land tenure insecurity, contested policies and competing claimsin the central Kalimantan Ex-Mega Rice Project area
99. Agroforestry competences and human resources needs in the Philippines
100. CES/COS/CIS paradigms for compensation and rewards to enhance environmental Services
101. Case study approach to region-wide curriculum and teaching materials development in agroforestry education in Southeast Asia
102. Stewardship agreement to reduce emissions from deforestation and degradation (REDD): Lubuk Beringin’s Hutan Desa as the first village forest in Indonesia
103. Landscape dynamics over time and space from ecological perspective
104. Komoditisasi atau koinvestasi jasa lingkungan: skema imbal jasa lingkungan program peduli sungai di DAS Way Besai, Lampung, Indonesia
105. Improving smallholders’ rubber quality in Lubuk Beringin, Bungo district, Jambi province, Indonesia: an initial analysis of the financial and social benefits
106. Rapid Carbon Stock Appraisal (RACSA) in Kalahan, Nueva Vizcaya, Philippines
107. Tree domestication by ICRAF and partners in the Peruvian Amazon: lessons learned and future prospects in the domain of the Amazon Initiative eco-regional program
108. Memorias del Taller Nacional: “Iniciativas para Reducir la Deforestación en la region Andino - Amazónica”, 09 de Abril del 2010. Proyecto REALU Peru
109. Percepciones sobre la Equidad y Eficiencia en la cadena de valor de REDD en Perú –Reporte de Talleres en Ucayali, San Martín y Loreto, 2009. Proyecto REALU-Perú.
110. Reducción de emisiones de todos los Usos del Suelo. Reporte del Proyecto REALU Perú Fase 1
111. Programa Alternativas a la Tumba-y-Quema (ASB) en el Perú. Informe Resumen y Síntesis de la Fase II. 2da. versión revisada
112. Estudio de las cadenas de abastecimiento de germoplasma forestal en la amazonía Boliviana
113. Biodiesel in the Amazon
114. Estudio de mercado de semillas forestales en la amazonía Colombiana
115. Estudio de las cadenas de abastecimiento de germoplasma forestal en Ecuador http://dx.doi.org10.5716/WP10340.PDF
116. How can systems thinking, social capital and social network analysis help programs achieve impact at scale?
117. Energy policies, forests and local communities in the Ucayali Region, Peruvian Amazon
118. NTFPs as a Source of Livelihood Diversification for Local Communities in the Batang Toru Orangutan Conservation Program
119. Studi Biodiversitas: Apakah agroforestry mampu mengkonservasi keanekaragaman hayati di DAS Konto?
120. Estimasi Karbon Tersimpan di Lahan-lahan Pertanian di DAS Konto, Jawa Timur
121. Implementasi Kaji Cepat Hidrologi (RHA) di Hulu DAS Brantas, Jawa Timur. http://dx.doi.org/10.5716/WP10338.PDF
122. Kaji Cepat Hidrologi di Daerah Aliran Sungai Krueng Peusangan, NAD,Sumatra http://dx.doi.org/10.5716/WP10337.PDF
123. A Study of Rapid Hydrological Appraisal in the Krueng Peusangan Watershed, NAD, Sumatra. http://dx.doi.org/10.5716/WP10339.PDF
2011
124. An Assessment of farm timber value chains in Mt Kenya area, Kenya
125. A Comparative financial analysis of current land use systems and implications for the adoption of improved agroforestry in the East Usambaras, Tanzania
126. Agricultural monitoring and evaluation systems
127. Challenges and opportunities for collaborative landscape governance in the East Usambara Mountains, Tanzania
128. Transforming Knowledge to Enhance Integrated Natural Resource Management Research, Development and Advocacy in the Highlands of Eastern Africa http://dx.doi.org/10.5716/WP11084.PDF
129. Carbon-forestry projects in the Philippines: potential and challenges The Mt Kitanglad Range forest-carbon development http://dx.doi.org10.5716/WP11054.PDF
130. Carbon forestry projects in the Philippines: potential and challenges. The Arakan Forest Corridor forest-carbon project. http://dx.doi.org10.5716/WP11055.PDF
131. Carbon-forestry projects in the Philippines: potential and challenges. The Laguna Lake Development Authority’s forest-carbon development project. http://dx.doi.org/10.5716/WP11056.PDF
132. Carbon-forestry projects in the Philippines: potential and challenges. The Quirino forest-carbon development project in Sierra Madre Biodiversity Corridor http://dx.doi.org10.5716/WP11057.PDF
133. Carbon-forestry projects in the Philippines: potential and challenges. The Ikalahan Ancestral Domain forest-carbon development http://dx.doi.org10.5716/WP11058.PDF
134. The Importance of Local Traditional Institutions in the Management of Natural Resources in the Highlands of Eastern Africa. http://dx.doi.org/10.5716/WP11085.PDF
135. Socio-economic assessment of irrigation pilot projects in Rwanda. http://dx.doi.org/10.5716/WP11086.PDF
136. Performance of three rambutan varieties (Nephelium lappaceum L.) on various nursery media. http://dx.doi.org/10.5716/WP11232.PDF
137. Climate change adaptation and social protection in agroforestry systems: enhancing adaptive capacity and minimizing risk of drought in Zambia and Honduras http://dx.doi.org/10.5716/WP11269.PDF
138. Does value chain development contribute to rural poverty reduction? Evidence of asset building by smallholder coffee producers in Nicaragua http://dx.doi.org/10.5716/WP11271.PDF
139. Potential for biofuel feedstock in Kenya. http://dx.doi.org/10.5716/WP11272.PDF
140. Impact of fertilizer trees on maize production and food security in six districts of Malawi. http://dx.doi.org/10.5716/WP11281.PDF
2012
141. Fortalecimiento de capacidades para la gestión del Santuario Nacional Pampa Hermosa: Construyendo las bases para un manejo adaptativo para el desarrollo local. Memorias del Proyecto. http://dx.doi.org/10.5716/WP12005.PDF
142. Understanding rural institutional strengthening: A cross-level policy and institutional framework for sustainable development in Kenya http://dx.doi.org/10.5716/WP12012.PDF
143. Climate change vulnerability of agroforestry http://dx.doi.org/10.5716/WP16722.PDF
144. Rapid assesment of the inner Niger delta of Mali http://dx.doi.org/10.5716/WP12021.PDF
145. Designing an incentive program to reduce on-farm deforestationin the East Usambara Mountains, Tanzania http://dx.doi.org/10.5716/WP12048.PDF
146. Extent of adoption of conservation agriculture and agroforestry in Africa: the case of Tanzania, Kenya, Ghana, and Zambia http://dx.doi.org/10.5716/WP12049.PDF
147. Policy incentives for scaling up conservation agriculture with trees in Africa: the case of Tanzania, Kenya, Ghana and Zambia http://dx.doi.org/10.5716/WP12050.PDF
148. Commoditized or co-invested environmental services? Rewards for environmental services scheme: River Care program Way Besai watershed, Lampung, Indonesia. http://dx.doi.org/10.5716/WP12051.PDF
149. Assessment of the headwaters of the Blue Nile in Ethiopia. http://dx.doi.org/10.5716/WP12160.PDF
150. Assessment of the uThukela Watershed, Kwazaulu. http://dx.doi.org/10.5716/WP12161.PDF
151. Assessment of the Oum Zessar Watershed of Tunisia. http://dx.doi.org/10.5716/WP12162.PDF
152. Assessment of the Ruwenzori Mountains in Uganda. http://dx.doi.org/10.5716/WP12163.PDF
153. History of agroforestry research and development in Viet Nam. Analysis of research opportunities and gaps. http://dx.doi.org/10.5716/WP12052.PDF
154. REDD+ in Indonesia: a Historical Perspective. http://dx.doi.org/10.5716/WP12053.PDF
155. Agroforestry and Forestry in Sulawesi series: Livelihood strategies and land use system dynamics in South Sulawesi http://dx.doi.org/10.5716/WP12054.PDF
156. Agroforestry and Forestry in Sulawesi series: Livelihood strategies and land use system dynamics in Southeast Sulawesi. http://dx.doi.org/10.5716/WP12055.PDF
157. Agroforestry and Forestry in Sulawesi series: Profitability and land-use systems in South and Southeast Sulawesi. http://dx.doi.org/10.5716/WP12056.PDF
158. Agroforestry and Forestry in Sulawesi series: Gender, livelihoods and land in South and Southeast Sulawesi http://dx.doi.org/10.5716/WP12057.PDF
159. Agroforestry and Forestry in Sulawesi series: Agroforestry extension needs at the community level in AgFor project sites in South and Southeast Sulawesi, Indonesia. http://dx.doi.org/10.5716/WP12058.PDF
160. Agroforestry and Forestry in Sulawesi series: Rapid market appraisal of agricultural, plantation and forestry commodities in South and Southeast Sulawesi. http://dx.doi.org/10.5716/WP12059.PDF
2013
161. Diagnosis of farming systems in the Agroforestry for Livelihoods of Smallholder farmers in Northwestern Viet Nam project http://dx.doi.org/10.5716/WP13033.PDF
162. Ecosystem vulnerability to climate change: a literature review. http://dx.doi.org/10.5716/WP13034.PDF
163. Local capacity for implementing payments for environmental services schemes: lessons from the RUPES project in northeastern Viet Nam http://dx.doi.org/10.5716/WP13046.PDF
164. Seri Agroforestri dan Kehutanan di Sulawesi: Agroforestry dan Kehutanan di Sulawesi: Strategi mata pencaharian dan dinamika sistem penggunaan lahan di Sulawesi Selatan http://dx.doi.org/10.5716/WP13040.PDF
165. Seri Agroforestri dan Kehutanan di Sulawesi: Mata pencaharian dan dinamika sistem penggunaan lahan di Sulawesi Tenggara http://dx.doi.org/10.5716/WP13041.PDF
166. Seri Agroforestri dan Kehutanan di Sulawesi: Profitabilitas sistem penggunaan lahan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara http://dx.doi.org/10.5716/WP13042.PDF
167. Seri Agroforestri dan Kehutanan di Sulawesi: Gender, mata pencarian dan lahan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara http://dx.doi.org/10.5716/WP13043.PDF
168. Seri Agroforestri dan Kehutanan di Sulawesi: Kebutuhan penyuluhan agroforestri pada tingkat masyarakat di lokasi proyek AgFor di Sulawesi Selatan dan Tenggara, Indonesia. http://dx.doi.org/10.5716/WP13044.PDF
169. Seri Agroforestri dan Kehutanan di Sulawesi: Laporan hasil penilaian cepat untuk komoditas pertanian, perkebunan dan kehutanan di Sulawesi Selatan dan Tenggara http://dx.doi.org/10.5716/WP13045.PDF
170. Agroforestry, food and nutritional security http://dx.doi.org/10.5716/WP13054.PDF
171. Stakeholder Preferences over Rewards for Ecosystem Services: Implications for a REDD+ Benefit Distribution System in Viet Nam http://dx.doi.org/10.5716/WP13057.PDF
172. Payments for ecosystem services schemes: project-level insights on benefits for ecosystems and the rural poor http://dx.doi.org/10.5716/WP13001.PDF
173. Good practices for smallholder teak plantations: keys to success http://dx.doi.org/10.5716/WP13246.PDF
174. Market analysis of selected agroforestry products in the Vision for Change Project intervention Zone, Côte d’Ivoire http://dx.doi.org/10.5716/WP13249.PDF
175. Rattan futures in Katingan: why do smallholders abandon or keep their gardens in Indonesia’s ‘rattan district’? http://dx.doi.org/10.5716/WP13251.PDF
176. Management along a gradient: the case of Southeast Sulawesi’s cacao production landscapes http://dx.doi.org/10.5716/WP13265.PDF
2014
177. Are trees buffering ecosystems and livelihoods in agricultural landscapes of the Lower Mekong Basin? Consequences for climate-change adaptation. http://dx.doi.org/10.5716/WP14047.PDF
178. Agroforestry, livestock, fodder production and climate change adaptation and mitigation in East Africa: issues and options. http://dx.doi.org/10.5716/WP14050.PDF
179. Trees on farms: an update and reanalysis of agroforestry’s global extent and socio-ecological characteristics. http://dx.doi.org/10.5716/WP14064.PDF
180. Beyond reforestation: an assessment of Vietnam’s REDD+ readiness. http://dx.doi.org/10.5716/WP14097.PDF
181. Farmer-to-farmer extension in Kenya: the perspectives of organizations using the approach. http://dx.doi.org/10.5716/WP14380.PDF
182. Farmer-to-farmer extension in Cameroon: a survey of extension organizations. http://dx.doi.org/10.5716/WP14383.PDF
183. Farmer-to-farmer extension approach in Malawi: a survey of organizations: a survey of organizations http://dx.doi.org/10.5716/WP14391.PDF
184. Seri Agroforestri dan Kehutanan di Sulawesi: Kuantifikasi jasa lingkungan air dan karbon pola agroforestri pada hutan rakyat di wilayah sungai Jeneberang
185. Options for Climate-Smart Agriculture at Kaptumo Site in Kenyahttp://dx.doi.org/10.5716/WP14394.PDF
2015
186. Agroforestry for Landscape Restoration and Livelihood Development in Central Asia http://dx.doi.org/10.5716/WP14143.PDF
187. “Projected Climate Change and Impact on Bioclimatic Conditions in the Central and South-Central Asia Region” http://dx.doi.org/10.5716/WP14144.PDF
188. Land Cover Changes, Forest Loss and Degradation in Kutai Barat, Indonesia. http://dx.doi.org/10.5716/WP14145.PDF
189. The Farmer-to-Farmer Extension Approach in Malawi: A Survey of Lead Farmers. http://dx.doi.org/10.5716/WP14152.PDF
190. Evaluating indicators of land degradation and targeting agroforestry interventions in smallholder farming systems in Ethiopia. http://dx.doi.org/10.5716/WP14252.PDF
191. Land health surveillance for identifying land constraints and targeting land management options in smallholder farming systems in Western Cameroon
192. Land health surveillance in four agroecologies in Malawi
193. Cocoa Land Health Surveillance: an evidence-based approach to sustainable management of cocoa landscapes in the Nawa region, South-West Côte d’Ivoire http://dx.doi.org/10.5716/WP14255.PDF
194. Situational analysis report: Xishuangbanna autonomous Dai Prefecture, Yunnan Province, China. http://dx.doi.org/10.5716/WP14255.PDF
195. Farmer-to-farmer extension: a survey of lead farmers in Cameroon. http://dx.doi.org/10.5716/WP15009.PDF
196. From transition fuel to viable energy source Improving sustainability in the sub-Saharan charcoal sector http://dx.doi.org/10.5716/WP15011.PDF
197. Mobilizing Hybrid Knowledge for More Effective Water Governance in the Asian Highlands http://dx.doi.org/10.5716/WP15012.PDF
198. Water Governance in the Asian Highlands http://dx.doi.org/10.5716/WP15013.PDF
199. Assessing the Effectiveness of the Volunteer Farmer Trainer Approach in Dissemination of Livestock Feed Technologies in Kenya vis-à-vis other Information Sources http://dx.doi.org/10.5716/WP15022.PDF
200. The rooted pedon in a dynamic multifunctional landscape: Soil science at the World Agroforestry Centre http://dx.doi.org/10.5716/WP15023.PDF
201. Characterising agro-ecological zones with local knowledge. Case study: Huong Khe district, Ha Tinh, Viet Nam http://dx.doi.org/10.5716/WP15050.PDF
202. Looking back to look ahead: Insight into the effectiveness and efficiency of selected advisory approaches in the dissemination of agricultural technologies indicative of Conservation Agriculture with Trees in Machakos County, Kenya. http://dx.doi.org/10.5716/WP15065.PDF
203. Pro-poor Biocarbon Projects in Eastern Africa Economic and Institutional Lessons. http://dx.doi.org/10.5716/WP15022.PDF
204. Projected climate change impacts on climatic suitability and geographical distribution of banana and coffee plantations in Nepal. http://dx.doi.org/10.5716/WP15294.PDF
205. Agroforestry and Forestry in Sulawesi series: Smallholders’ coffee production and marketing in Indonesia. A case study of two villages in South Sulawesi Province. http://dx.doi.org/10.5716/WP15690.PDF
206. Mobile phone ownership and use of short message service by farmer trainers: a case study of Olkalou and Kaptumo in Kenya http://dx.doi.org/10.5716/WP15691.PDF
207. Associating multivariate climatic descriptors with cereal yields: a case study of Southern Burkina Faso http://dx.doi.org/10.5716/WP15273.PDF
208. Preferences and adoption of livestock feed practices among farmers in dairy management groups in Kenya http://dx.doi.org/10.5716/WP15675.PDF
209. Scaling up climate-smart agriculture: lessons learned from South Asia and pathways for success http://dx.doi.org/10.5716/WP15720.PDF
210. Agroforestry and Forestry in Sulawesi series: Local perceptions of forest ecosystem services and collaborative formulation of reward mechanisms in South and Southeast Sulawesi http://dx.doi.org/10.5716/WP15721.PDF
211. Potential and challenges in implementing the co-investment of ecosystem services scheme in Buol District, Indonesia. http://dx.doi.org/10.5716/WP15722.PDF
212. Tree diversity and its utilization by the local community in Buol District, Indonesia http://dx.doi.org/10.5716/WP15723.PDF
213 Vulnerability of smallholder farmers and their preferences on farming practices in Buol District, Indonesia http://dx.doi.org/10.5716/WP15724.PDF
214. Dynamics of Land Use/Cover Change and Carbon Emission in Buol District, Indonesia http://dx.doi.org/10.5716/WP15725.PDF
215. Gender perspective in smallholder farming practices in Lantapan, Phillippines. http://dx.doi.org/10.5716/WP15726.PDF
216. Vulnerability of smallholder farmers in Lantapan, Bukidnon. http://dx.doi.org/10.5716/WP15727.PDF
217. Vulnerability and adaptive capacity of smallholders in Ho Ho sub-watershed, north-central Viet Nam http://dx.doi.org/10.5716/WP15728.PDF
218. Local knowledge on the role of trees to enhance livelihoods and ecosystem services in Ho Ho Sub-watershed, north-central Viet Nam http://dx.doi.org/10.5716/WP15729.PDF
219. Landuse/cover change in Ho Ho Sub-watershed, north-central Viet Nam. http://dx.doi.org/10.5716/WP15730.PDF
2016
220. Agroforestry and Forestry in Sulawesi series: Evaluation of the Agroforestry Farmer Field Schools on agroforestry management in South and Southeast Sulawesi, Indonesia. http://dx.doi.org/10.5716/WP16002.PDF
221 Farmer-to-farmer extension of livestock feed technologies in Rwanda: A survey of volunteer farmer trainers and organizations. http://dx.doi.org/10.5716/WP16005.PDF
222 Projected Climate Change Impact on Hydrology, Bioclimatic Conditions, and Terrestrial Ecosystems in the Asian Highlands http://dx.doi.org/10.5716/WP16006.PDF
223 Adoption of Agroforestry and its impact on household food security among farmers in Malawi http://dx.doi.org/10.5716/WP16013.PDF
224 Agroforestry and Forestry in Sulawesi series: Information channels for disseminating innovative agroforestry practices to villages in Southern Sulawesi, Indonesia http://dx.doi.org/10.5716/WP16034.PDF
225 Agroforestry and Forestry in Sulawesi series: Unravelling rural migration networks.Land-tenure arrangements among Bugis migrant communities in Southeast Sulawesi. http://dx.doi.org/10.5716/WP16035.PDF
226 Agroforestry and Forestry in Sulawesi series: Women’s participation in agroforestry: more benefit or burden? A gendered analysis of Gorontalo Province. http://dx.doi.org/10.5716/WP16036.PDF
227 Kajian Kelayakan dan Pengembangan Desain Teknis Rehabilitasi Pesisir di Sulawesi Tengah. http://dx.doi.org/10.5716/WP16037.PDF
228. Selection of son tra clones in North West Vietnam. http://dx.doi.org/10.5716/WP16038.PDF
229. Growth and fruit yield of seedlings, cuttings and grafts from selected son tra trees in Northwest Vietnam http://dx.doi.org/10.5716/WP16046.PDF
230. Gender-Focused Analysis of Poverty and Vulnerability in Yunnan, China. http://dx.doi.org/10.5716/WP16071.PDF
231. Kebutuhan Penyuluhan Agroforestri untuk Rehabilitasi Lahan di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.http://dx.doi.org/10.5716/WP16077.PDF
The World Agroforestry Centre is an autonomous, non-profit research
organization whose vision is a rural transformation in the developing
world as smallholder households increase their use of trees in
agricultural landscapes to improve food security, nutrition, income,
health, shelter, social cohesion, energy resources and environmental
sustainability. The Centre generates science-based knowledge
about the diverse roles that trees play in agricultural landscapes,
and uses its research to advance policies and practices, and their
implementation that benefit the poor and the environment. It aims to
ensure that all this is achieved by enhancing the quality of its science
work, increasing operational efficiency, building and maintaining
strong partnerships, accelerating the use and impact of its research,
and promoting greater cohesion, interdependence and alignment
within the organization.
United Nations Avenue, Gigiri • PO Box 30677 • Nairobi, 00100 • Kenya Telephone: +254 20 7224000 or via USA +1 650 833 6645
Fax: +254 20 7224001 or via USA +1 650 833 6646Email: [email protected] • www.worldagroforestry.org
Southeast Asia Regional Program • Sindang Barang • Bogor 16680PO Box 161 • Bogor 16001 • Indonesia
Telephone: +62 251 8625415 • Fax: +62 251 8625416Email: [email protected] • www.worldagroforestry.org/region/southeast-asia