kebudayaan dan kekuasaan: wacana budayapoopuler

13
PRESENTASI 1 KEBUDAYAAN DAN KEKUASAAN 2 Ayub Wahyudi 3 Mengkaji tentang kebudayaan dan kekuasaan adalah mengkaji ranah teori tentang kebudayaan dan kekuasaan itu sendiri. Akan tetapi kedua kajian tersebut adalah wacana yang sangat luas sehingga perlu untuk dibatasi, yaitu pada wacana dengan fokus yang terarah , dan pembatasan ini tidak bertujuan untuk membatasi dengan sah atau menghasilkan asumsi bahwa kita telah mengkhultuskan salah satu teori dari kedua kajian, apalagi dengan menggunakan satu kajian. Kita perlu memahami bersama bahwa melakukan kajian tentang kebudayaan dan kekuasaan adalah hal yang membutuhkan perhatian dan penelitian yang sangat luas dan memakan waktu yang lama. Akan tetapi hal tersebut tidak perlu dilakukan. Kita hanya perlu mencari wacana yang akan kita kaji terkait dengan kebudayaan dan kekuasaan. Dengan begitu, selain alasan sebelumnya, kita bisa menegaskan bahwa kedua wacana teori tidak bersifat pragmatis. Mengkaji wacana kebudayaan saat ini berarti masuk pada ranah kebudayaan kontemporer. Kebudayaan kontemporer – dalam istilah posmodernisme sebagai bentuk penjelasan dominan – adalah sebuah perubahan penting yang sekarang ini sedang terjadi dan salah satu bidang dimana perubahan-perubahan ini terjadi adalah budaya 1 Mata Kuliah: Media, Budaya dan Masyarakat. 2011 2 Referensi utama: Scannell, Paddy. 1994. Culture and Power: a Media, Culture and Society Reader. Sage Publication:London. Hlm: 17-47 3 Mahasiswa kajian media, ilmu komunikasi, Univ. paramadina, 209000012

Upload: ayubwahyudi

Post on 03-Jul-2015

707 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

memahami kebudayaan dan kekuasaan dalam wacana budaya populer.

TRANSCRIPT

Page 1: kebudayaan dan kekuasaan: wacana budayapoopuler

PRESENTASI1

KEBUDAYAAN DAN KEKUASAAN2

Ayub Wahyudi3

Mengkaji tentang kebudayaan dan kekuasaan adalah mengkaji ranah teori tentang kebudayaan

dan kekuasaan itu sendiri. Akan tetapi kedua kajian tersebut adalah wacana yang sangat luas

sehingga perlu untuk dibatasi, yaitu pada wacana dengan fokus yang terarah , dan pembatasan ini

tidak bertujuan untuk membatasi dengan sah atau menghasilkan asumsi bahwa kita telah

mengkhultuskan salah satu teori dari kedua kajian, apalagi dengan menggunakan satu kajian.

Kita perlu memahami bersama bahwa melakukan kajian tentang kebudayaan dan kekuasaan

adalah hal yang membutuhkan perhatian dan penelitian yang sangat luas dan memakan waktu

yang lama. Akan tetapi hal tersebut tidak perlu dilakukan. Kita hanya perlu mencari wacana yang

akan kita kaji terkait dengan kebudayaan dan kekuasaan. Dengan begitu, selain alasan

sebelumnya, kita bisa menegaskan bahwa kedua wacana teori tidak bersifat pragmatis.

Mengkaji wacana kebudayaan saat ini berarti masuk pada ranah kebudayaan kontemporer.

Kebudayaan kontemporer – dalam istilah posmodernisme sebagai bentuk penjelasan dominan –

adalah sebuah perubahan penting yang sekarang ini sedang terjadi dan salah satu bidang dimana

perubahan-perubahan ini terjadi adalah budaya populer (Bignell, 2000: 1). Selain dalam kajian

wacana kebudayaan, budaya populer adalah pusat tema untuk kajian kekuasaan (Scannel, 1994:

17). Budaya populer, yang dulunya dianggap sebagai low culture, sering dihubungkan – sebagai

istilah – dengan hasil dari kendali kesadaran palsu. Pendekatan neo-Marxist – Adorno (dan

Horkheimer), mengatakan bahwa relasi kuasa terhadap ekonomi – barang dan permintaan –

terletak pada kemampuan industri untuk melakukan komodifikasi terhadap budaya atau lebih

dikenal sebagai Industri budaya. Tujuan industri budaya adalah menciptakan kepatuhan kepada

masyarakat terhadap hirarki yang telah ada dengan cara membentuk gaya hidup masyrakat. Hal

ini membutuhkan penyesuaian. Dan menurut Adorno, penyesuaian tersebut dilakukan dengan

cara memberikan sumbangsih berupa kenikmatan sementara agar kesadaran masyarakat menjadi

kurang kritis, atau dengan kata lain masyarakat menikmati realita palsu – kesadaran palsu (Babe,

2009: 26). Budaya populer adalah bidang dimana perubahan-perubahan dalam budaya

1 Mata Kuliah: Media, Budaya dan Masyarakat. 20112 Referensi utama: Scannell, Paddy. 1994. Culture and Power: a Media, Culture and Society Reader. Sage

Publication:London. Hlm: 17-473 Mahasiswa kajian media, ilmu komunikasi, Univ. paramadina, 209000012

Page 2: kebudayaan dan kekuasaan: wacana budayapoopuler

kontemporer yang sedang terjadi akan selalu dipengaruhi oleh relasi kuasa ekonomi –

komodifikasi. Dengan kata lain, kedua wacana – kebudayaan dan kekuasaan – akan mengkaji

budaya populer.

Budaya popular mempunyai hubungan dengan dua krisis modernitas yang membuatnya menjadi

menjadi pusat utama dari kajian kekuasaan (Scannel, 1994: 1). Pertama terkait krisis hegemoni,

yaitu tentang kesulitan yang dihadapi oleh negara untuk mendapatkan pengakuan dan

kesepakatan bersama dari masyarakat kontemporer. Kehadiran gerakan popular ternyata mampu

mengatasi krisis ini dan membentuk pilihan hegemoni baru dan betul-betul bekerja. Kemampuan

industri budaya untuk melakukan penyesuaian merupakan senjata utama. Meskipun terjadi

pemberontakan dari mereka yang sadar bahwa industri budaya hanya selalu berbicara tentang

keuntungan industri. Salah satunya adalah anggapan bahwa budaya popular sebenarnya adalah

cerminan dari masyarakat yang tersiksa. Akan tetapi Industri budaya mampu melakukan

penyesuaian dengan cara menerima “pemberontakan” itu dan memanfaatkannya sebagai

keuntungan. Sekali lagi industri budaya melakukan penyesuaian (Babe, 2009: 27). Penyesuaian

tersebut adalah kehadiran budaya populer yang sesuai dengan “pemberontakan” untuk sekali lagi

membuat manusia patuh, bahkan bertindak kurang kritis, dan menikmati kesadaran palsu. Kedua,

budaya populer terkait pada krisis epistimologis, dasar nilai untuk melihat sebuah pengetahuan.

Krisis tersebut berupa kelelahan paradigma ekonomik karena gagal ditegaskan sebagai dasar

budaya sebuah kekuasaan – relasi kuasa ekonomi – dan terganti oleh kebutuhan atau kepentingan

yang bersifat non – ekonomis dan mampu menggerakkan orang. Dengan kata lain, pemikiran

Marx bahwa segala tindakan manusia akan selalu didasari pada motif ekonomi tidak bisa

digunakan karena kehadiran budaya populer justru memberikan gambaran yang sangat berarti

untuk menentang pemikiran tersebut.

Budaya populer pada akhirnya akan sampai pada kesimpulan sebagai sebuah fenomena dalam

kajian wacana kebudayaan dan kekuasaan. Kehadirannya dianggap sebagai dialektika

pengetahuan khususnya dalam konsep hegemoni budaya – budaya populer adalah bentuk baru

hegemoni – dan epistimologis kajian wacana kekuasaan – relasi kuasa ekonomi – menggunakan

pendekatan ekonomi politik kritis. Untuk pertama kalinya kebudayaan tidak hanya sekedar

menjadi alasan untuk refleksi spekulatif dalam tinjauan secara harafiah, tapi lebih kepada sebuah

tema utama dalam beberapa ilmu pengetahuan sosial dan dijadikan sumber analisa terhadap

Page 3: kebudayaan dan kekuasaan: wacana budayapoopuler

hubungannya dengan perkembangan dan kekuasaan (Scannel, 2009: 18). Sejarah budaya populer

juga bisa membantu proses pengkajian tapi tidak akan dibahas dalam tulisan ini.

Kita akan membahas tantangan budaya populer, sebelum nantinya kita tiba pada pemahamannya.

Amerika Latin adalah negara yang juga mengalami krisis hegemoni dan epistimologi dalam

mengkaji kebudayaan dan kekuasaan, tapi ada satu perbedaan antara Amerika Latin dari negara-

negara lainnya – khususnya negara-negara metropolitan, yaitu sebenarnya tidak ada krisis

karena, pertama, tidak ada paradigma yang cocok dengan pengetahuan tentang masyarakat

mereka dan, kedua, tidak memiliki kelas yang melakukan hegemoni atau negara yang telah

berdiri dalam jangka waktu yang lama (Scannel, 2009: 17). Konsep hegemoni memang

menjelaskan tentang adanya penanaman ideologi dari negara terhadap budaya asli suatu

masyarakat melalui media dengan relasi kuasa ekonomi tapi tidak memberikan penjelasan

tentang budaya dominan yang melakukan hegemoni, budaya digunakan sebagai alat hegemoni

oleh negara. Konsep hegemoni juga menjelaskan tentang proses hegemoni secara struggle,

perlawanan, dalam melakukan hegemoni tapi di Amerika Latin melakukan “hegemoni” dengan

cara yang sangat berlawanan dengan konsep hegemoni: budaya dominan berhasil menghalangi

bodaya yang terdominasi untuk mengembangkan diri atau membentuk budaya baru yang bisa

mengancam budaya dominan. Maka dari itu, sudah tentu, pemahaman seperti ini memerlukan

paradigma baru dengan epistimologi berbeda dari yang sebelumnya – relasi kuasa ekonomi. akan

tetapi, dibalik krisis epistimologi tersebut ada kesempatan ilmu pengetahuan untuk menemukan

pengetahuan tentang masyarakat Amerika Latin dan menciptakan karya dasar yang bisa

dihubungkan dengan pengetahuan tersebut serta dibalik krisis hegemony, kita berhadapan

dengan tugas membentuk negara dan masyarakat dengan tujuan utama demokrasi yang

dibagikan kepada semua orang, dimana perpecahan menjadi keberagaman, dan

ketidaksamarataan kelas, etnis dan wilayah berubah menjadi perbedaan (Scannel, 2009: 19).

Tantangan budaya populer adalah bagaimana bertindak terhadap krisis modernitas yang ada di

Amerika Latin – dengan “krisis” yang berbeda – sebagaimana yang ada di negara-negara lain,

yaitu menciptakan dialektika pengetahuan.

Melihat hubungan budaya populer dan kondisi unik di Amerika Latin dapat membuat kita

memahami dan melakukan uji coba, sejauh mana budaya populer dapat melaksanakan tugasnya

untuk memberikan kajian terhadap krisis modernitas yang tanpa hegemoni dan epistimologi,

Page 4: kebudayaan dan kekuasaan: wacana budayapoopuler

sebagaimana bidang ini memecahkan masalah krisis modernitas dengan adanya hegemoni dan

epistimologi. Media Amerika Latin, pada 1990-an, telah mengalami perubahan. Pada awalnya

kekuasaan budaya dominan dari negara tetangga – Amerika Utara – sangat mempengaruhi semua

unsur media dari segi ekonomi hingga dengan tanpa peringatan media Amerika Latin bangkit

dan menjadi budaya domianan di wilayah mereka sendiri. Media Amerika Latin mampu

memperoleh pasar mereka sendiri, antara lain: film dan surat kabar. Pasar tersebut di bentuk

karakternya oleh dua fenomena penting (McPhail, 2006: 6). Fenomena penting pertama, bahasa

lokal, sisi positif dari dominasi bahasa spanyol. Hampir semua negara di Amerika Latin, kecuali

Brazil – bahasa nasional adalah portugis, menggunakan bahasa spanyol. Hal inilah yang

membuat masyarakat Amerika Latin tidak siap dibanjiri oleh budaya Amerika Utara yang

bedasarkan pada bahasa inggris. Perbedaan bahasa ini membawa fenomena penting kedua pada

media Amerika Latin, setelah terbebas dari dominasi kebijakan militer dan pemerintah. Dengan

kondisi hambatan bahasa, tekanan untuk membuat program yang memenuhi permintaan pasar

serta harus bersaing dengan industri media Amerika Utara – Hollywood dan MTV – yang telah

mendominasi pasar jauh sebelumnya pada akhirnya menghasilkan sebuah budaya populer baru

yang mewakili identitas budaya Amerika Latin hingga sekarang ini. Program tersebut adalah

drama seri opera sabun yang disebut dengan “telenovela”. Program yang sangat terkenal,

menguntungkan dan mampu menciptakan efek global yang sangat luar biasa ini dihasilkan secara

kreatif dengan biaya yang sangat rendah tapi menghasilkan popularitas seperti halnya pemain

bola yang ada di Amerika Latin – brazil dan argentina. Selain industri film, industri media cetak

– surat kabar – juga mengalami perkembangan. Jika dibandingkan dengan surat kabar ditempat

budaya dominan berasal, Amerika Utara, surat kabar Amerika Latin mempunyai distribusi yang

lebih besar dari Amerika Utara. Kondisi tersebut adalah terbentuknya dua jenis pasar – baru dan

lama – yang sedang berkembang ditambah lagi kepemilikan saham yang bersifat individual,

terdiri dari orang yang mendukung terjadinya demokrasi, maka proses demokrasi di Amerika

Latin jalan dengan lancar tanpa adanya gangguan dan kendali lagi dari militer dan pemerintah.

Penjelasan industri “telenovela” sebelumnya memberikan gambaran bahwa posisi budaya

populer, meskipun marxian memasukkannya sebagai budaya rendahan, membantu sebuah

masyarakat untuk membentuk sebuah identitas budaya nasional.

Kemampuan budaya populer menghadapi krisis modernitas, seperti yang jelaskan sebelumnya,

dapat dipahami sebagai “sesuatu” yang melampaui wacana modernitas itu sendiri. Modernitas

Page 5: kebudayaan dan kekuasaan: wacana budayapoopuler

adalah sebuah bentuk waktu sejarah yang menambah nilai “yang baru” sebagai sebuah hasil

dinamika sementara dari penolakan diri secara tetap. Malah bentuk abstrak sementaranyalah

yang tetap membuka perlombaan keragaman artikulasi. Secara khusus, dengan menghasilkan

“yang lama” secara kejam, sekejam dia menghasilkan “yang baru”, dan dalam ukuran yang

seimbang, modernitas mengganggu bentuk tradisionalisme logika sementara yang agak berbeda

dari tradisi yang diterima secara konvensional (Bignell, 2000: 6). Paradoks tentang modernitas

tapi membuat kita lebih mudah untuk memahami Posmodernitas. Dengan menganggap

modernitas sebagai sebuah proses waktu maka keberadaan posmodernitas bisa dijelaskan sebagai

suatu keadaan waktu yang lebih fleksibel dari pada modernitas itu sendiri. Posmodernitas

menegaskan bahwa waktu adalah abstraksi yang hanya bisa dijelaskan secara tidak menyeluruh

dari suatu kejadian dalam hal ini perubahan masyarakat kontemporer dan konsep tersebut bisa

membantu kita memahami kebudayaan dan kekuasaan kontemporer sebagai wacana postmodern,

begitupun dengan budaya populer. Mencoba melihat secara dangkal inti utama dari budaya

populer akan selalu menjelaskan tentang bagaimana industri budaya memberikan makna “baru”

yang dilekatkan kepada sebuah budaya yang sebenarnya telah ada sebelumnya sebagai akibat

dari penyesuaian pergolakan budaya yang ada di masyarakat kontemporer. Ketika ada

pergolakan budaya di masyarakat kapitalis, wacana tersebut menandakan adanya peningkatan

pemikiran kritis, budaya populer hanya perlu muncul sebagai kesenangan sementara dan

pergolakan pun reda serta kendali kesadaran tetap berada di tangan kelompok elit.

Kondisi krisis modernitas yang dihadapi oleh Amerika Latin menjadi kajian utama tentang

pemahaman akan kajian budaya populer itu sendiri. Bentuk pemahaman terhadap budaya populer

bisa dikelompokkan menjaadi dua prinsip strategi teoritis: deduktivisme dan induktivisme

(Scannel, 2000: 20). Para pemikir deduktif mengartikan budaya populer dengan bergerak dari

sesuatu yang umum ke sesuatu yang khusus, menurut ciri-ciri yang mereka bebankan kepada

budaya populer: antara lain model produksi, imperalisme, kelas dominan, apparatus ideologi atau

media massa. Deduktivisme adalah pendekatan konseptual, dimana segala aspek kehidupan

populer muncul dari kekuatan atau kekuasaan sosial makro, yang telah membentuk karakter dari

sosiologi, komunikasi massa dan pendidikan. Dalam bidang sosiologi, untuk melakukan

penguraian terhadap budaya sama seperti menggambarkan pergerakan dari kekuatan dominan.

Teori ketergantungan menyediakan alat kritis terhadap dominasi, menghilangkan proses mistis

dalam paham imperialisme dan manipulasi kesadaran yang menghalangi revolusi massa. Dalam

Page 6: kebudayaan dan kekuasaan: wacana budayapoopuler

bidang komunikasi massa sebagai salah satu bidang yang paling bersemangat akan berbicara

tentang kekuatan komunikatif sebagai atribut sistem monopolis. Keberhasilan sistem ini dilihat

dari, bukan hanya penyebaran pesan dominan secara luas dengan menggunakan media massa,

tapi juga manipulasi ketidaksadaran masyarakat. Untuk menghadirkan tanggapan politis yang

baru, massa tetap butuh pimpinan yang mempunyai pengaruh. Dalam bidang pendidikan

dianggap sebagai wadah reproduksi tatanan kelas dengan alat kualifikasi perbedaan untuk tenaga

buruh. Pandangan deduktif melihat semua aspek makro dalam bentuk khusus – budaya populer.

Pandangan induktivisme sebagai alat kaji budaya populer yang paling memberi perhatian yang

cukup besar, mencoba menjelaskan dengan berawal dari peralatan khusus yang merupakan

bagian dari dalam kelas-kelas subordinate, atau dengan kejeniusan mereka, atau dengan sebuah

kreativitas bahwa sektor lain dari populasi telah hilang, atau dengan kekuatan oposisi sebagai

dasar perlawanan mereka. Salah satunya adalah antropologi dan cerita rakyat. Pandangan relasi

kebudayaan yang lebih sensitive terhadap kelompok dan hubungannya, mengatakan bahwa

kecenderungan sebuah pemikiran untuk membahas tentang perbedaan tanpa menjelaskan ketidak

seimbangan yang mengikuti perbedaan tersebut. Pada dasarnya semua budaya itu sama saja,

bernilai dengan cara mereka sendiri, membentuk sebuah kebanggaan. Populisme juga konsep

induktif yang menjelaskan tentang bagaimana menggunakan kebudayaan untuk membangun

kekuasaan – salah satunya adalah dengan menggunakan gerakan populer. Dengan kata lain

pandangan ini memahami budaya populer sebagai dasar perlawanan yang merupakan hasil

pemikiran dari populasi yang sudah tidak memiliki pegangan politis apapun (Scannel, 2000: 20-

30)

Saya akan mencoba menyebutkan beberapa teori yang terkait dengan budaya populer. Teori-teori

ini antara lain teori hegemoni oleh Gramsci, teori dominasi, teori aparat ideologi oleh Althusser,

teori kekuatan oleh Foucault, teori ketergantungan, teori reifikasi oleh lucac dan pandangan

Marxis-struktural. Konsep hegemony selalu akan berbicara tentang bagaiamana sistematika

sebuah pergolakan budaya. Konsep ideologi akan menjelaskan bahwa ideologi yang dapat

ditanamkan dengan cara melakukan interpelasi bertujuan untuk mengubah subjektifitas manusia

terhadap kerberadaan dari ideologi tersebut. Menurut Foucault, kita tidak perlu mencari kekuatan

di tengah sebuah titik, di sebuah fokus unik dari sebuah kedaulatan yang bentuknya dibuat dan

bergantung untuk menyebar diluar. Beranggapan bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang bisa

didapatkan pada setiap institusi dan aparatnya. Konsep reifikasi akan menjelaskan tentang

Page 7: kebudayaan dan kekuasaan: wacana budayapoopuler

materialisasi atau proses menghasilkan materi dari proses hegemoni yang memang pada

dasarnya selalu menekan pada hal yang abstrak yaitu ideologi. Konsep Marxist-strukturalis akan

menjelaskan tentang bagaimana relasi kuasa ekonomi tapi lebih fokus pada aktor yang berbentuk

struktur misalnya sebuah sistem kecil. Teori-teori tersebut adalah satu dari sekian banyak teori-

teori kebudayaan dan kekuasaan. Dari awal kita sudah membahas bahwa budaya populer adalah

sebuah wacana yang mewakili kedua teori-teori tersebut. Pemahaman ini menjelaskan dengan

pasti bahwa budaya populer adalah wacana yang bisa diaplikasikan untuk menghadapi krisis

modernitas, salah satu yang berhasil adalah pada Amerika Latin, dan menegaskan budaya

populer sebagai bidang yang tidak pragmatis.

Berbicara tentang bagaimana cara “mempopulerkan budaya” akan selalu mencari relevansi

kepada pendekatan ekonomi politik. Salah satunya adalah pembahasan tentang industri budaya

yang dapat dijelaskan dengan komodifikasi, spasialisasi dan massifikasi. Ketiga proses tersebut

dianggap sebagai proses utama yang dilakukan oleh industri budaya. Popularitas sebuah

kebudayaan akan selalu bertentangan dengan nilai estetik, mistis dan moral yang ada pada

budaya. Alasan ini bisa dijadikan asumsi kenapa para pengikut Marxis membedakan menjadi

budaya tinggi, budaya yang masih menjaga nilai yang bersifat laten dan mempunyai nilai guna,

dan budaya rendah, budaya yang tidak mempunyai nilai laten dan lebih menonjolkan nilai tukar.

Pemahaman yang selama ini ada adalah budaya populer sebagai sebuah budaya rendah tidak

mempunyai fungsi kecuali fungsi nilai tukar. Akan tetapi, kasus Amerika Latin menegaskan

bahwa budaya populer mempunyai fungsi yang membantu negara tersebut dalam menghadapi

krisis modernitas. Kemudian ditambah pemahaman bahwa sebagai bidang dimana perubahan

masyarakat terjadi justru terlihat bahwa budaya populerlah yang memungkinkan perubahan

tersebut terjadi.

Amerika Latin adalah sebuah kumpulan dari kelompok liberal yang membentuk sebuah negara,

mereka mengakui telah membentuk budaya nasional, tapi terlihat lebih membangun kebudayaan

elit, meninggakan sejumlah besar populasi pribumi dan petani yang mendaftarkan semua hasil

bumi mereka untuk alat ribuan pemberontakan dan oleh sebuah migrasi yang mengubah kota

menjadi ibukota negara. Orang populis mengakui bahwa merekalah yang menggabungkan sektor

pengeluaran, memperbaiki gerakan populer dan budaya massa (Scannel, 2000: 18). Pengakuan

Page 8: kebudayaan dan kekuasaan: wacana budayapoopuler

ini cukup mendasar melihat bukti dari populisme dan budaya populer yang berhasil membentuk

kebudayaan untuk dijadikan identitas nasional sebuah bangsa.

Kesimpulannya, budaya populer adalah salah satu bidang yang mempertemukan wacana

kebudayaan dan kekuasaan. Meskipun dianggap sebagai budaya rendah, budaya populer tidak

hanya sekedar objek kajian bagi kajian kritis. Budaya populer juga menjadi sebuah subjek kajian.

Kemampuan budaya populer untuk menghadapi krisis modernitas yang terjadi di Amerika Latin

bukan tidak mungkin dapat terjadi dengan negara yang lain. Industri budaya juga membantu

proses kaum populis untuk mengambil pasar yang terbentuk dari revolusi. Paham populis

mengakui bahwa kebudayaan memang bisa digunakan untuk mendapatkan kekuasaan dan

budaya populer adalah bidang yang mampu dijadikan tempat sekaligus sebagai alat untuk

menguraikan hubungan antara kekuasaan dan kebudayaan.

Daftar pustaka

1. Scannell, Paddy, 1994, Culture and Power: a Media, Culture and Society Reader, Sage

Publication:London.

2. Bignell, Jonathan, 2000, Postmodern Media Culture, Edinburgh University Press:

Edinburgh.

3. Babe, Robert T., 2009, Cultural Studies and Political Economy: Toward a New Integration,

Rowman and Littlefield: New York.

4. McPhail, Thomas, 2006, Global Communication: Theories, Stakeholders, and Trends.

Blackwell: Malden.