file · web viewberfokus pada wacana dan teks yang mempromosikan ideologi tertentu,...
TRANSCRIPT
TEORI KRITIS
Disusun oleh :
Yosef Aldi Suryo Hadi 160905860
Dhea Septiana 160905894
Aurelia Melisa Yuliani 160905892
Yehezkiel Marschell 160905899
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
2017
Teori Kritis
Ahli teori kritis mengidentifikasi tiga ciri masyarakat kontemporer:
1. Kontrol bahasa untuk mengabadikan ketidakseimbangan kekuatan.
2. Peran media massa dalam mengurangi sensitivitas terhadap represi.
3. Ketergantungan pada metode ilmiah dan penerimaan temuan empiris yang tidak kritis.
Hubungan antara tradisi kritik dengan komunikasi
1. bagaimana pesan memperkuat penindasan di dalam masyarakat
2. berfokus pada wacana dan teks yang mempromosikan ideologi tertentu, membangun dan
mempertahankan kekuasaan dan menumbangkan minat kelompok dan kelas tertentu.
3. Komunikasi tidak lepas dari keseluruhan sistem kekuatan opresif
Variasi dalam Tradisi Krisis
1. Marxisme
2. Frankfurt School of Critical Theory
3. Postmodernisme - Studi Budaya
4. Poststrukturalisme
5. Postkolonialisme
6. Studi feminis
1. MARXISME
Marxisme merupakan salah satu cabang dari teori kritis. Karl Marx
berpendapat abhwa cara produksi dalam sistem kerja menentukan sifat masyarakat.
Dalam sistem kapitalis, terkadang ada sebuah proses yang pada akhirnya menindas kerja
kelas pekerja. Ketika kelas pekerja melawan kelompok yang lebih dominan, sebuah
produksi dapat berubah. Teori Kritis Marxis berpendapat bahwa bahasa kelas yang
dominan menyulitkan kelompok kelas pekerja untuk memahami situasi mereka
sepenuhnya.
Teori kritis menggunakan penalaran dialektis sebagai metode analisis: metode
dialektis mengidentifikasi kontradiksi. Kontradiksi merupakan dasar dari dialektika.
Dalam masyarakat, terkadang kontradiksi menyebabkan timbulnya masalah, namun dari
kontradiksi tersebut dengan dialektika dapat mengatasi masalah itu. Dapat dikatakan
adanya potensi negatif dan potensi positif pada saat yang bersamaan. Seperti kontradiksi
menurut Marx yaitu :
1. Orang miskin dan orang kaya
2. Kesengsaraan dan kekayaan
3. Produksi dan konsumsi
4. Perusahaan dan industri tunggal
5.Subjek tenaga kerja atau pekerja dan alat produksi atau benda.
Hegel dan Marx menyebut aufhebung atau sublasi yaitu cara untuk mengatasi
ketegangan akibat kontradiksi. Sublasi dapat terjadi pada tingkat masyarakat yang
berbeda, relatif sering untuk memungkinkan dinamika atau jarang terjadi dalam situasi
revolusi saat dominasi dipertanyakan. Dalam teori kritis ini ada tujuannya yaitu
merepresentasikan kepentingan kelompok tertindas dan kelompok yang tereksploitasi dan
penguasaan masyarakat kelas. Pemikiran teoretis berpendapat bahwa dasar-dasar
masyarakat tanpa kelas berkembang dalam kapitalisme, kapitalisme di satu sisi
menghasilkan bentuk kerjasama baru yang berada di sisi lain bentuk dominasi dalam
hubungan kelas.
2. FRANKFRUT SCHOOL
Institut penelitian ini didirikan pada tahun 1923 oleh Herman Weil, yang pada
akhir hayatnya mau mencoba mengurangi penderitaan di dunia termasuk skala mikro
seperti penderitaan sosial dari kerakusan kapitalisme. Sekolah Frankfrut tidak mengikuti
sekolah Marxisme ilmiah, yang mencoba menggunakan metode riset positivistic untuk
menentukan hokum substruktur ekonomi yang telah dihubungkan dengan super struktur
psikologis dan budaya.
Memiliki tanggung jawab besar dalam teori kritis
Terinspirasi dari paham marxisme, kegagalan kelas pekerja menyebabkan banyak
anggota meninggalkan keyakinan mereka terhadap kaum proletar sebagai agen
perubahan dalam mendukung kecerdasan dan alasan.
Mengkritik elitism
POST CRITICAL TRADITION
Marxisme dan Frankfrut School tergolong dalam paradigma modernis
Marxisme- tergantung pada individu sebagai agen perubahan sosial
Frankfrut School – tergantung pada alasan yang didirikan melalui ilmu pengetahuan
Istirahat dengan modernitas –
Postmodernism: ditandai dengan sifat relativitas, tidak ada
standarisasi nilai, menolak pengetahuan yang sudah jadi dan
dianggap sebagai sesuatu yang sakral.
Poststrukturalisme: yakni pandangan yang memandang realitas merupakan sesuatu
yang komplek dan selalu dalam proses sedang menjadi.
Postkolonialisme: mengacu pada semua kultur yang dipengaruhi oleh proses
imperial dari masa penjajahan sampai saat ini.
a. Keberagaman dan kestabilan makna
b. Ketidakpercayaan ilmiah
c. Mempertanyakan narasi besar
3. POSTMODERNISME
Muncul sekitar tahun 1970
Ditandai dengan melanggar modernitas dan proyek pencerahan
Jean – Francois Lyotard
Menolak narasi besar
Jean Baudriland
Pemisahan tanda-tanda dari referen
Lyotard dan Baudriland mempertanyakan gagasan tradisonal mengenai realitas
Lyotard yakin bahwa masyarakat itu disusun bukan melulu berdasarkan teknologi,
namun juga seputar permainan bahasa dan diskursus.
Menurut Lyotard kita memasuki era pascamodern di mana sains, teknologi, dan
sistem administrasi yang njlimet, serta komputer berkembang sedemikian pesat. Ia
beragumen bahwa pengetahuan dan informasi secara mendalam mengubah dalam
dua macam cara yang saling berkaitan.
- Pengetahuan dan informasi diproduksi hanya jika mereka bisa dinilai berdasarkan
efisien dan efektivitas atau dalam terminology khas Lyotard, prinsip
performativitas.
- Pengetahuan dan informasi semakin diperlukan sebagai sebuah komoditas.
Kosekuensi dari dua cara tersebut adalah tampilan kondisi pascamodern yang
mengambil bentuk:
- Jika prinsip performativitas diterapkan, maka informasi/pengetahuan yang tidak
bisa dinilai dalam tema efisiensi dan efektivitas akan dikesampingkan atau
bahkan ditinggalkan.
- Perkembangan pengetahuan lantas bergeser dari universitas atau perguruan tinggi
meuju lembaga-lembaga pemikir independen
- Sebagai kosekuensi definisi dari pendidikan ini, konsep “kebenaran” yang sudah
mapan dirongrong, dan proses modifikasi menggiring kita untuk
mendetifikasikan kebenaran dalam tema kegunaan (praktis)
- Mengubah ide tentang apa artinya menjadi seorang yang terdidik
Perubahan yang digambarkan oleh Lyotard mempunyai baik dimensi kuantitatif
maupun kualitatif .
Akhirnya, seperti dinyatakan oleh John Lechte, kekuatan argument Lyotard
terletak pada kemampuannya dalam menonjolkan ketidakmungkinan menghasilkan
suatu gagasan umum yang identik dengan satu contoh nyata yang tertentu ( yaitu ke
penanda pada suatu frasa kognitif)
CULTURAL STUDIES
Berasal dari pusat Kajian Budaya Kontemporer, Brimingham, 1964
Tertarik pada ideologi dominan dalam budaya
Fokus pada perubahan sosial dari sudut panang budaya itu sendiri (memusatkan pada
perubahan sosial dari tempat yang menguntungkan dari kultur itu sendiri.)
Penekanaan pada konsep yang terpinggirkan seperti gender dan seksualitas, usia, ras
Orientasi berbeda dengan bias intelektual Frankfrut School
Berikut ini adalah karakteristik cultural studies menurut Sardar dan Van Loon:
Cultural studies mengkaji berbagai kebudayaan dan praktek budaya serta
kaitannya dengan kekuasaan. Tujuannya adalah mengungkapkan hubungan
kekuasaan serta mengkaji bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi
berbagai bentuk kebudayaan (sosial-politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, hukum
dan lain-lain).
Cultural studies tidak hanya merupakan studi tentang budaya yang merupakan
entitas tersendiri yang terpisah dari konteks sosial dan politiknya. Tujuannya
adalah memahami budaya dalam segala bentuk kompleksnya dan menganalisis
konteks sosial dan politik tempat budaya tersebut berasal.
Budaya dalam cultural studies menampilkan 2 (dua) fungsi, merupakan objek
studi maupun lokasi tindakan dan kristisme politik. Cultural studies bertujuan
baik sebagai usaha pragmatis maupun ideal.
Cultural studies berupaya untuk mendobrak pengkotak-kotakan pengetahuan
konvensional, berupaya mendamaikan dan mengatasi perpecahan antara bentuk
pengetahuan yang tidak tersirat (pengetahuan intuitif berdasarkan budaya lokal)
dan yang objektif (universal). Cultural studies mengasumsikan suatu identitas
dan kepentingan bersama antara yang mengetahui dengan yang diketahui, antara
pengamat dengan yang diamati.
Cultural studies melibatkan diri dengan evaluasi moral masyarakat modern
dengan garis radikal tindakan politik. Cultural studies bertujuan memahami dan
mengubah struktur dominasi khususnya dalam masyarakat kapitalis industri.
4. POSTSTUKTURALISME
Atribut untuk Jacques Derrida, 1966
Post-strukturalisme sering diasosiasikan dengan karya-karya Jacques Derrida
(1966). Derrida adalah filsuf post-strukturalis asal Perancis yang menggunakan
metode dekonstruksi di seluruh proyek filsafatnya. Bagi post-strukturalisme, makna
selalu berada di dalam proses; apa yang kita sebut sebagai makna, pada dasarnya
adalah sebuah momen sesaat di dalam intepretasi berkelanjutan. Post-strukturalisme
sangat erat terkait dengan hubungan antar-manusia, hubungan dengan “dunia”, dan
perilaku praktis yang menghasilkan makna.
Lingkup post-strukturalisme selalu berkaitan dengan bahasa, pengetahuan,
dan perubahan budaya. Bahasa sering dipahami dan dikembangkan dengan sistem
tanda, termasuk di dalamnya imajinasi dan simbol, keduanya dapat merujuk pada
pengetahuan informasi.
Penolakan makna universal ditentukan oleh kendala strukturalis, kondisi dan simbol
yang tidak stabil
Post-strukturalisme merupakan pasca-strukturalisme atau after structuralism,
yaitu suatu teori atau pemikiran yang mencoba mengembangkan strukturalisme guna
mengantisipasi berbagai fenomena kebahasaan, sosial budaya yang sangat kompeks.
Dasar pada poststrukturalisme adalah struktur teks (lazim muncul kalau kita
melakukan penilitian teks dengan strukturalisme) yang mengalami transformasi dari
sifat intransitif (strukturalisme) ke transitif (postrukturalisme). Pengertian transitif
dimaksudkan untuk melihat (1) bagaimana mengadopsi relasi yang muncul dalam
problem teks dan (2) posisi/reaksi pembaca karena teks.
Menganjurkan pendekatan historis dan sosial terhadap alam dunia dan manusia
Tolak minat modern terhadap kebenaran universal, narasi, metode dan makna untuk
mengenal dunia
Tertarik dengan perbedaan
Makna, sebagaimana dipahami strukturalisme, diperoleh dari hubungan
persamaan (similarity) dan perbedaan (difference). Derrida menggunakan istilah
yang ditemukannya sendiri, differance; yang tidak ditemukan dalam kosa kata
Perancis. Differance dan difference, baik dalam bahasa Perancis maupun Inggris,
sukar dibedakan jika diucapkan secara verbal. Namun, perbedaan akan tampak ketika
dua kata itu dituliskan. Derrida, yang memang memprioritaskan tulisan, tentu sangat
kreatif dalam konteks ini; di mana perbedaan halus itu hanya ditemukan jika
dituliskan. Dalam hal ini, Derrida juga anti fonosentrisme. Difference bukanlah kata
dan bukan juga konsep. Difference digunakan Derrida untuk dua maksud sekaligus:
to differ, dan to defer; membedekan sekaligus menunda. Penanda, sebagai bagian
dari tanda, hanya mengacu pada penanda lain. Hubungan antar-penanda ini
menyingkapkan apa yang hadir sekaligus yang absen; sekaligus mengenai apa yang
bukan. Kondisi teks, di mana penanda hanya terhubung dengan penanda lain,
menyimpan satu konsekuensi yang cukup radikal. Yakni, makna pada akhirnya
bersifat indeterminan; tidak dapat ditentukan atau dipastikan. Makna senantiasa
dalam momen penundaan.
5. POSTKOLONIALISME
Kajian semua budaya yang terkena dampak proses kekaisaran dari kolonisasi sampai
sekarang
Postkolonialisme, dari akar kata post- + kolonial + -isme, secara harfiah
berarti paham mengenai teori yang lahir sesudah zaman kolonial. Dasar semantik
istilah postkolonial tampaknya hanya berkaitan dengan kebudayaan-kebudayaan
nasional setelah runtuhnya kekuasaan imperial. Istilah postkolonial ini tak jarang
juga digunakan untuk membedakan masa sebelum dan sesudah kemerdekaan (masa
kolonial dan postkolonial). Secara umum, meski istilah kolonial telah digunakan
untuk menyebut masa prakemerdekaan, istilah tersebut juga dipakai untuk menyebut
masa setelah kemerdekaan. Menurut Ratna, prefiks post- tidak semata-mata mengacu
pada makna sesudah kolonial atau juga tidak berarti antikolonial. Sesuai dengan
pendapat Keith Foulcher dan Tony Day postkolonial mengacu pada kehidupan
masyarakat pascakolonial tetapi dalam pengertian lebih luas. Sasaran
postkolonialisme adalah masyarakat yang dibayang-bayangi oleh pengalaman
kolonialisme (Ratna 2008: 150).
Mengolonialisasi, menciptakan 'othering' yang bertanggung jawab atas citra stereotip
masyarakat non kulit putih
Bagaimana budaya menciptakan identitas setelah kolonisasi?
Penggunaan dan penyalahgunaan pengetahuan tentang masyarakat terjajah
Cara kreatif orang terjajah merespons penindasan mereka
Teori postkolonial dapat didefinisikan sebagai teori kritis yang mencoba
mengungkapkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kolonialisme (Ratna, 2008:
120). Teori ini dalam menganalisis menelusuri aspek-aspek tersembunyi atau dengan
sengaja disembunyikan sehingga dapat diketahui bagaimana kekuasaan itu bekerja;
selain itu juga membongkar disiplin, lembaga, dan ideologi yang mendasarinya
Banyak peneliti postkolonial fokus pada negara-negara subjek kolonialisasi
Eropa. Fokus kajian kolonial mereka tidak sebatas pada kegiatan kolonisasi harfiah
yang dialami negeri-negeri terjajah, melainkan juga berfokus pada
“neokolonialisme”, yaitu pengaruh kolonial dalam hal kesadaran berpikir, berbahasa,
bersikap, bertindak, dan aktivitas masyarkat dan budaya. Neokolonialisme ada,
misalnya, dalam penggunaan istilah Dunia Pertama (merujuk ke negara-negara
maju) dan Dunia Ketiga (merujuk ke negara-negara berkembang). Konsekuensi
istilah ini, terjadi pemindahan besar-besaran dan “invasi” budaya Amerika Serikat ke
seluruh dunia dan dalam perlakuan ras-ras non-kulit putih sebagai “orang lain” dalam
media Amerika Serikat (Littlejhon, 2011: 486).
6. Studi Feminisme
Dari gerakan untuk menjamin hak perempuan atas usaha untuk mengakhiri segala
bentuk penindasan
Terdapat beberapa definisi feminisme, yaitu menurut Kamla Bhasin Akhmad
dan Night Said Khan menjelaskan bahwa feminisme ialah; adanya suatu kesadaran
akan penindasan dan pemerasaan terhadap perempuan dalam masyarakat di tempat
kerja dan dalam keluarga serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki
untuk mengubah keadaan tersebut. Namun, ada juga kaum perempuan yang menolak
gerakan feminisme tersebut. Ada dua alasan atas penolakan tersebut, yaitu pertama,
tidaklah semua perempuan memahami secara utuh maksud dari feminisme tersebut
atau bahkan keliru memahaminya sehingga feminisme tersebut dianggap sebagai
sebuah perjuangan yang bersifat “anti laki-laki”, menentang kodrat sebagai
perempuan, dan lain-lain. Kedua, penolakan tersebut merupakan bagian dari
manifestasi dari ketakutan akan adanya perubahan.
Dapat disimpulkan bahwa feminisme ialah suatu aliran atau gerakan yang
bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran akan adanya penindasan terhadap kaum
perempuan dalam strata sosial masyarakat, baik yang berdasarkan doktrinitas agama,
serta adanya suatu tindak kesadaran untuk mengubah hal tersebut, yang dilakukan
secara kelompok maupun secara individu, baik dari kaum perempuan maupun laki-
laki.
Ketika berbicara mengenai feminis, maka konstruk pemikiran yang
berkembang ialah adanya upaya untuk mengubah cara pandang, pola pikir seseorang,
khususnya bila dikaitkan dengan studi agama, yang kemudian sering menimbulkan
prasangka, stigma, stereotype yang negatif. Gerakan ini bermula di Eropa dan
Amerika Utara, dan ini terus berkembang yaitu dimulai pada abad ke-18 dan 19, dan
selanjutnya dimulai pada tahun 1960-an. Tokoh dari gerakan ini, antara lain Lady
Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan
perempuan. Gelombang feminisme pertama pada abad ke-18 dan 19 diletakkan
dalam konteks sejarah Revolusi Perancis, Industrialisasi, dan perang kemerdekaan
Amerika Utara yang semuanya telah membawa masalah untuk dan oleh perempuan.
Di Indonesia, muncul pada abad ke-18, yang diprakarsai oleh R.A. Kartini melalui
ide-ide persamaan hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Para
feminis sering disebut dengan istilah “gelombang/wafe” dan tak jarang menimbulkan
kontroversi perdebatan. Mulai dari feminis gelombang pertama pada abad 18 sampai
ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga
atau Post Feminism.
Studi awal berfokus pada pembagian jenis kelamin / gender
Studi saat ini mempertanyakan kategori gender secara bersamaan
Melihat gender sebagai kinerja berkelanjutan pada kesatuan rangkaian dan dinamis
Berusaha untuk memahami cara-cara agar perempuan dan kelompok terpinggirkan
lainnya partisipasi penuh di ranah publik
Istilah feminis baru muncul pada tahun 1880 M, namun sebagai sebuah
bangunan teoritis, sebenarnya sudah ada sejak abad pertengahan. Pada saat itu telah
terjadi debat publik yang cukup serius meski dilakukan oleh kaum laki-laki. Namun,
sebenarnya pada abad ke-15, suara perempuan sudah mulai terdengar. Kemudian, ide
tentang feminisme berlanjut sampai abad ke-17, ditandai dengan gerakan protes
sekuler yang dilancarkan oleh kalangan feminis melalui tulisan-tulisan dengan nama
samaran. Gerakan perempuan pada abad ke-17 ini berbeda dengan sebelumnya,
karena skala keterlebitan perempuan yang cukup tinggi yang tidak pernah terjadi
sebelumnya dan gerakan ini muncul bersamaan dengan perubahan yang sangat cepat
dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik. Dengan demikian, bentuk gerakan feminis
semakin intens berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
1. https://www.academia.edu/19720339/
Poststrukturalisme_Derrida_dan_Pengaruhnya_terhadap_Filsafat
2. https://www.academia.edu/9463603/Kajian_TEORI_postkolonial
3. download.portalgaruda.org/article.php?...KERANGKA%20STUDI%20FEMINISME..
4. wacana.ui.ac.id/index.php/wjhi/article/download/220/209
5. https://www.academia.edu/30923703/PENDEKATAN_FEMINIS.pdf
6. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=117187&val=5336
7. http://www.ridhoa3.com/2016/01/the-critical-tradition-tradisi-kritis.html
8. http://dkv.binus.ac.id/2014/09/21/cultural-studies/