kebijakan publik.pdf

17
1 Dari Administrasi Negara ke Manajemen dan Kebijakan Publik (Redefinisi Wadah Ilmuwan dan Praktisi Administrasi Negara dalam Merespon Perubahan Zaman) Pengantar Ada sebuah ungkapan terkenal yang sering diucapkan oleh mereka yang tidak suka kemapanan: “Tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. Kenyataan yang demikian juga berlaku bagi Ilmu Administrasi Negara. Ilmu Administrasi Negara lahir sebagai sebuah produk kegelisahan akan perlunya perubahan. Kelak di kemudian hari Ilmu Administrasi Negara ternyata tidak dapat membebaskan diri dari perlunya perubahan yang terus menerus untuk memperjelas eksistensinya. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang masih muda, sejak berusaha memisahkan dirinya dari Ilmu Politik, Ilmu Administrasi Negara terus melakukan upaya guna mempertegas identitasnya. Jati diri Ilmu Administrasi Negara tersebut dicoba untuk didefinisikan melalui pencarian tanpa henti terhadap fokus dan lokus kajian Ilmu Administrasi Negara yang lebih sesuai dengan maksud dirumuskannya Ilmu Administrasi Negara itu sendiri. Dalam rentang waktu sejak kelahirannya di penghujung Abad ke-19 tersebut, fokus dan lokus kajian Ilmu Administrasi Negara terus bergeser dari satu titik ke titik yang lain sebagai upaya membangun body of knowledge Ilmu Administrasi Negara agar dapat sejajar dengan ilmu-ilmu sosial yang lain yang telah lahir lebih dahulu. Pergeseran fokus dan lokus Ilmu Administrasi Negara tersebut digambarkan oleh Nicholas Henry (1990) sebagai perkembangan paradigma Ilmu Administrasi Negara.

Upload: dyanaana

Post on 05-Dec-2014

88 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: kebijakan publik.pdf

1

Dari Administrasi Negara

ke Manajemen dan Kebijakan Publik

(Redefinisi Wadah Ilmuwan dan Praktisi Administrasi Negara

dalam Merespon Perubahan Zaman)

Pengantar Ada sebuah ungkapan terkenal yang sering diucapkan oleh mereka yang tidak

suka kemapanan: “Tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu

sendiri”. Kenyataan yang demikian juga berlaku bagi Ilmu Administrasi Negara.

Ilmu Administrasi Negara lahir sebagai sebuah produk kegelisahan akan perlunya

perubahan. Kelak di kemudian hari Ilmu Administrasi Negara ternyata tidak dapat

membebaskan diri dari perlunya perubahan yang terus menerus untuk

memperjelas eksistensinya. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang masih muda, sejak

berusaha memisahkan dirinya dari Ilmu Politik, Ilmu Administrasi Negara terus

melakukan upaya guna mempertegas identitasnya. Jati diri Ilmu Administrasi

Negara tersebut dicoba untuk didefinisikan melalui pencarian tanpa henti terhadap

fokus dan lokus kajian Ilmu Administrasi Negara yang lebih sesuai dengan

maksud dirumuskannya Ilmu Administrasi Negara itu sendiri. Dalam rentang waktu

sejak kelahirannya di penghujung Abad ke-19 tersebut, fokus dan lokus kajian

Ilmu Administrasi Negara terus bergeser dari satu titik ke titik yang lain sebagai

upaya membangun body of knowledge Ilmu Administrasi Negara agar dapat

sejajar dengan ilmu-ilmu sosial yang lain yang telah lahir lebih dahulu. Pergeseran

fokus dan lokus Ilmu Administrasi Negara tersebut digambarkan oleh Nicholas

Henry (1990) sebagai perkembangan paradigma Ilmu Administrasi Negara.

Page 2: kebijakan publik.pdf

2

Perubahan paradigma Ilmu Administrasi Negara yang terus berlangsung

sampai saat ini tentu membawa berbagai konsekuensi bagi Ilmu Administrasi

Negara itu sendiri maupun bagi lembaga akademis yang mengembangkan ilmu

tersebut. Salah satu konsekuensi yang penting untuk didiskusikan adalah: apakah

masih relevan menggunakan nama jurusan yang menaungi ilmuwan yang

mengembangkan ilmu ini dengan nama Jurusan Ilmu Administrasi Negara

manakala fokus dan lokus kajian ilmu ini pada saat ini tidak lagi sama dengan

fokus dan lokus ketika ilmu ini lahir?

Sebagai sebuah entitas akademis yang mempelajari disiplin Ilmu

Administrasi Negara, Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada merasa perlu untuk merumuskan kembali

lokus dan fokus yang lebih tepat guna mewadahi aktivitas akademis dari civitas

akademisnya, baik riset, pengajaran, dan pengabdian kepada masyarakat yang

dari hari ke hari terus berkembang. Perkembangan kegiatan akademis dari warga

Jurusan Ilmu Administrasi Negara saat ini demikian luas variasinya. Hal ini

membuat warga Jurusan Ilmu Administrasi Negara sampai pada sebuah

kesimpulan tentang perlunya menetapkan posisi (standing) yang lebih cocok

dengan dinamika perkembangan tersebut. Paper singkat ini menjelaskan

perjalanan keilmuan ataupun praktik administrasi negara dari awal mula

kelahirannya hingga saat ini, terutama dalam rangka merespon perubahan zaman.

Awal Kemunculan dan Perkembangan Ilmu Administrasi Negara

Ilmu Administrasi Negara lahir sejak Woodrow Wilson (1887), yang kemudian

menjadi presiden Amerika Serikat pada 1913-1921, menulis sebuah artikel yang

berjudul “The Study of Administration” yang dimuat di jurnal Political Science

Quarterly. Kemunculan artikel itu sendiri tidak lepas dari kegelisahan Wilson muda

akan perlunya perubahan terhadap praktik tata pemerintahan yang terjadi di

Amerika Serikat pada waktu itu yang ditandai dengan meluasnya praktik spoil

system (sistem perkoncoan) yang menjurus pada terjadinya inefektivitas dan

inefisiensi dalam pengelolaan negara. Studi Ilmu Politik yang berkembang pada

saat itu ternyata tidak mampu memecahkan persoalan tersebut karena memang

Page 3: kebijakan publik.pdf

3

fokus kajian Ilmu Politik bukan pada bagaimana mengelola pemerintahan dengan

efektif dan efisien, melainkan lebih pada urusan tentang sebuah konstitusi dan

bagaimana keputusan-keputusan politik dirumuskan. Dalam tulisannya tersebut

Wilson (1887: 1) mengatakan:

―No one wrote systematically of administration as a branch of the science of government until the present century had passed it first youth and had begun to put forth its characteristic flower of systematic knowledge. Up to our own day all the political writers whom we now read and though, argued, dogmatized, only about the constitution of governments; about nature of the state, the essence and seat of sovereignty, popular power and kingly prerogative…The central field of controversy was that great field of theory in which monarchy rode tilt against democracy, in which oligarchy would have built for itself strongholds of privilege, and in which tyranny sought opportunity to make good its claim to receive submission from all competitors. The question, how law should be administered with enlightenment, with equity, with speed, and without friction, was put aside as a practical detail which clerks could arrange after doctor had agreed upon principles‖.

Menurut Wilson, Ilmuwan Politik lupa bahwa kenyataannya lebih sulit

mengimplementasikan konstitusi dengan baik dibanding dengan merumuskan

konstitusi itu sendiri. Sayangnya ilmu yang diperlukan untuk itu belum ada. Oleh

karena itu, untuk dapat mengimplementasikan konstitusi dengan baik maka

diperlukan suatu ilmu yang kemudian disebut Wilson sebagai Ilmu Administrasi

tersebut. Ilmu yang oleh Wilson disebut ilmu administrasi tersebut menekankan

dua hal, yaitu perlunya efisiensi dalam mengelola pemerintahan dan perlunya

menerapkan merit system dengan memisahkan urusan politik dari urusan

pelayanan publik. Agar pemerintahan dapat dikelola secara efektif dan efisien,

Wilson juga menganjurkan diadopsinya prinsip-prinsip yang diterapkan oleh

organisasi bisnis ―the field of administration is the field of business‖.

Penjelasan ilmiah terhadap gagasan Wilson tersebut kemudian dilakukan

oleh Frank J. Goodnow yang menulis buku yang berjudul: ―Politics and

Administration‖ pada 1900. Buku Goodnow tersebut seringkali dirujuk oleh para

ilmuwan administrasi negara sebagai „proklamasi‟ secara resmi terhadap lahirnya

Ilmu Administrasi Negara yang memisahkan diri dari induknya, yaitu Ilmu Politik.

Era ini juga sering disebut sebagai era paradigma dikotomi politik-administrasi.

Melalui paradigma ini, Ilmu Administrasi Negara mencoba mendefinisikan

eksistensinya yang berbeda dengan Ilmu Politik dengan ontologi, epistimologi dan

Page 4: kebijakan publik.pdf

4

aksiologi yang berbeda. Beberapa tahun kemudian, sebuah buku yang secara

sistematis menjelaskan apa sebenarnya Ilmu Administrasi Negara lahir dengan

dipublikasikannya buku Leonard D. White yang berjudul ―Introduction to the Study

of Public Administration‖ pada 1926. Buku White yang mencoba merumuskan

sosok Ilmu Administrasi tersebut pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh berbagai

karya ilmuwan sebelumnya yang mencoba menyampaikan gagasan tentang

bagaimana suatu organisasi seharusnya dikelola secara efektif dan efisien, seperti

Frederick Taylor (1912) dengan karyanya yang berjudul ―Scientific Management‖,

Henry Fayol (1916) dengan pemikirannya yang dituangkan dalam monograf yang

berjudul ―General and Industrial Management‖, W.F. Willoughby (1918) dengan

karyanya yang berjudul ―The Movement for Budgetary Reform in the State‖, dan

Max Weber (1946) dengan tulisanya yang berjudul ―Bureaucracy‖.

Era berikutnya merupakan periode di mana para ilmuwan administrasi

negara berusaha membangun body of knowledge ilmu ini dengan terbitnya

berbagai artikel dan buku yang mencoba menggali apa yang mereka sebut

sebagai prinsip-pinsip administrasi yang universal. Tonggak utama dari era ini

tentu saja adalah munculnya artikel L. Gulick (1937) yang berjudul ―Notes on the

Theory of Organization‖ di mana dia merumuskan akronim yang terkenal dengan

sebutan POSDCORDB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Co-ordinating,

Reporting dan Budgeting). Tidak dapat dipungkiri, upaya para ahli administrasi

negara untuk mengembangkan body of knowledge ilmu administrasi negara

sangat dipengaruhi oleh ilmu manajemen. Prinsip-prinsip administrasi

sebagaimana dijelaskan oleh para ilmuwan tersebut pada dasarnya merupakan

prinsip-prinsip administrasi yang diadopsi dari administrasi bisnis yang menurut

mereka dapat juga diterapkan di organisasi pemerintah.

Perkembangan pergulatan pemikiran ilmuwan administrasi negara diwarnai

sebuah era pencarian jati diri Ilmu Administrasi Negara yang tidak pernah selesai.

Kegamangan para ilmuwan administrasi negara dalam meninggalkan induknya,

yaitu Ilmu Politik, untuk membangun eksistensinya secara mandiri bermula dari

kegagalan mereka dalam merumuskan apa yang mereka sebut sebagai prinsip-

prinsip administrasi sebagai pilar pokok Ilmu Administrasi Negara. Keruntuhan

gagasan tentang prinsip-prinsip administrasi ditandai dengan terbitnya tulisan Paul

Page 5: kebijakan publik.pdf

5

Applebey (1945) yang berjudul ―Government is Different‖. Dalam tulisannya

tersebut Applebey berargumen bahwa institusi pemerintah memiliki karakteristik

yang berbeda dengan institusi swasta sehingga prinsip-prinsip administrasi yang

diadopsi dari manajemen swasta tidak serta merta dapat diadopsi dalam institusi

pemerintah. Karya Herbert Simon (1946) yang berjudul ―The Proverbs of

Administration‖ semakin memojokkan gagasan tentang prinsip-prinsip administrasi

yang terbukti lemah dan banyak aksiomanya yang keliru. Kenyataan yang

demikian membuat Ilmu Administrasi Negara mengalami „krisis identitas‟ dan

mencoba menginduk kembali ke Ilmu Politik.

Namun demikian, hal ini tidak berlangsung lama ketika ilmuwan

administrasi negara mencoba menemukan kembali fokus dan lokus studi ini.

Kesadaran bahwa lingkungan pemerintahan dan bisnis cenderung

mengembangkan nilai, tradisi dan kompleksitas yang berbeda mendorong

perlunya merumuskan definisi yang jelas tentang prinsip-prinsip administrasi yang

gagal dikembangkan oleh para ilmuwan terdahulu. Dwiyanto (2007) menjelaskan

bahwa lembaga pemerintah mengembangkan nilai-nilai dan praktik yang berbeda

dengan yang berkembang di swasta (pasar) dan organisasi sukarela. Mekanisme

pasar bekerja karena dorongan untuk mencari profit, sementara lembaga

pemerintah bekerja untuk mengatur, melayani dan melindungi kepentingan publik.

Karena karakteristik antara birokrasi pemerintah dan organisasi swasta sangat

berbeda, maka para ilmuwan dan praktisi administrasi negara menyadari

pentingnya mengembangkan teori dan pendekatan yang berbeda dengan yang

dikembangkan oleh para ilmuwan yang mengembangkan teori-teori administrasi

bisnis. Dengan kesadaran baru tersebut maka identitas Ilmu Administrasi Negara

menjadi semakin jelas, yaitu ilmuwan administrasi negara lebih menempatkan

proses administrasi sebagai pusat perhatian (fokus) dan lembaga pemerintah

sebagai tempat praktik (lokus).

Pada titik ini dapat disimpulkan bahwa kelahiran Ilmu Administrasi Negara

sangat dipengaruhi oleh dua cabang ilmu, yaitu Ilmu Politik dan Ilmu Manajemen.

Kesadaran bahwa Ilmu Administrasi Negara tidak dapat terlepas dari Ilmu Politik,

karena proses administrasi pemerintahan tidak terlepas dari proses politik, dan

realitas bahwa prinsip-prinsip administrasi tidak dapat diterapkan secara general

Page 6: kebijakan publik.pdf

6

pada organisasi pemerintah dan swasta sekaligus semakin mengukuhkan

pemahaman bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Administrasi Negara adalah ilmu

tentang bagaimana proses administrasi pemerintahan dikelola secara baik dengan

menggunakan prinsip-prinsip manajemen yang sesuai dengan tujuan

pembentukan organisasi pemerintah, yaitu untuk mengatur, melayani dan

melindungi kepentingan publik. Dengan pencapaian tersebut, Dwiyanto (2007:

109) menyebut bahwa Ilmu Administrasi Negara tumbuh menjadi sebuah ilmu

yang semakin dewasa dan mampu menyejajarkan dirinya dengan induknya, yaitu

Ilmu Politik dan Ilmu Manajemen.

Dari Administrasi Negara Menjadi Administrasi Publik

Sejarah tentang perubahan Ilmu Administrasi Negara masih terus berulang.

Upaya mendefinisikan diri Ilmu Administrasi Negara sebagai ilmu administrasi

pemerintahan sebagaimana dijelaskan di muka ternyata tidak berlangsung lama.

Dinamika lingkungan administrasi negara yang sangat tinggi kemudian

menimbulkan banyak pertanyaan tentang relevansi keberadaan Ilmu Administrasi

Negara sebagai administrasi pemerintahan. Gugatan tersebut terutama ditujukan

pada lokus Ilmu Administrasi Negara yang dirasa tidak memadai lagi. Menurut

Dwiyanto (2007) lembaga pemerintah dirasa terlalu sempit untuk menjadi lokus

Ilmu Administrasi Negara. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa lembaga

pemerintahan tidak lagi memonopoli peran yang selama ini secara tradisional

menjadi otoritas pemerintah. Saat ini semakin mudah ditemui berbagai lembaga

non-pemerintah yang menjalankan misi dan fungsi yang dulu menjadi monopoli

pemerintah saja. Di sisi yang lain, organisasi birokrasi juga tidak semata-mata

memproduksi barang dan jasa publik, tetapi juga barang dan jasa privat. Pratikno

(2007) juga memberikan konstatasi yang sama. Saat ini negara banyak

menghadapi pesaing-pesaing baru yang siap menjalankan fungsi negara,

terutama pelayanan publik, secara lebih efektif. Selain pelayanan publik, dalam

bidang pembangunan ekonomi dan sosial, negara juga harus menegosiasikan

kepentingannya dengan aktor-aktor yang lain, yaitu pelaku bisnis dan kalangan

civil society. Secara lebih tegas, Thoha (2007) bahkan mengatakan telah terjadi

perubahan paradigma: “[…] dari orientasi manajemen pemerintahan yang serba

Page 7: kebijakan publik.pdf

7

negara menjadi berorientasi ke pasar (market)‖. Menurut Thoha, pasar di sini

secara politik bisa dimaknai sebagai rakyat atau masyarakat (public). Fenomena

menurunnya peran negara ini merupakan arus balik dari apa yang disebut Grindle

(1997: 4) sebagai ―too much state‖, di mana negara pada pertengahan 1980an

terlalu banyak melakukan intervensi yang berujung pada jeratan hutang luar

negeri, krisis fiskal, dan pemerintah yang terlalu sentralistis dan otoriter.

Dwiyanto (2007) menyebut setidaknya ada empat faktor yang menjadi

sebab semakin menurunnya dominasi peran negara, yaitu: (1) dinamika ekonomi,

politik dan budaya yang membuat kemampuan pemerintah semakin terbatas

untuk dapat memenuhi semua tuntutan masyarakat; (2) globalisasi yang

membutuhkan daya saing yang tinggi di berbagai sektor menuntut makin

dikuranginya peran negara melalui debirokratisasi dan deregulasi; (3) tuntutan

demokratisasi mendorong semakin banyak munculnya organisasi kemasyarakatan

yang menuntut untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan dan

implementasinya; dan (4) munculnya fenomena hybrid organization yang

merupakan perpaduan antara pemerintah dan bisnis.

Berbagai fenomena tersebut menimbulkan gugatan di antara para

mahasiswa maupun ilmuwan Ilmu Administrasi Negara: Apakah masih relevan

menjadikan pemerintah sebagai lokus studi Ilmu Administrasi Negara?

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa kata „negara‟ dalam Ilmu Administrasi

Negara menjadi terlalu sempit dan kurang relevan lagi untuk mewadahi dinamika

Ilmu Administrasi Negara di awal abad ke-21 yang semakin kompleks dan

dinamis. Utomo (2007) menyebutkan bahwa dalam perkembangan konsep Ilmu

Administrasi Negara telah terjadi pergeseran titik tekan dari negara yang semula

diposisikan sebagai agen tunggal yang memiliki otoritas untuk

mengimplementasikan berbagai kebijakan publik menjadi hanya sebagai fasilitator

bagi masyarakat. Dengan demikian istilah public administration tidak tepat lagi

untuk diterjemahkan sebagai administrasi negara, melainkan lebih tepat jika

diterjemahkan menjadi administrasi publik. Sebab, makna kata ‟publik‟ di sini jauh

lebih luas daripada kata ‟negara‟ (Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu

Administrasi Negara UGM, 2007: x). Publik di sini menunjukkan keterlibatan

Page 8: kebijakan publik.pdf

8

institusi-institusi non-negara baik di sektor bisnis maupun civil society di dalam

pengadministrasian pemerintahan.

Konsekuensi dari perubahan makna public administration sebagai

administrasi publik di sini adalah terjadinya pergeseran lokus Ilmu Administrasi

Negara dari yang sebelumnya berlokus pada birokrasi pemerintah menjadi

berlokus pada organisasi publik, yaitu birokrasi pemerintah dan juga organisasi-

organisasi non-pemerintah yang terlibat menjalankan fungsi pemerintahan, baik

dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik maupun pembangunan ekonomi,

sosial maupun bidang-bidang pembangunan yang lain.

Ilmu Administrasi Publik Sebagai Ilmu Kebijakan Publik

Dengan adanya pergeseran makna ‟publik‟ sebagaimana dijelaskan di atas, maka

ilmu administrasi publik telah menemukan lokusnya secara lebih jelas. Intinya,

semua aktivitas yang terjadi pada birokrasi pemerintah dan organisasi-organisasi

non-pemerintah yang menjalankan fungsi pemerintah menjadi bidang perhatian

ilmuwan administrasi publik. Apabila lokus ilmu administrasi publik menjadi

semakin jelas, pertanyaan berikutnya adalah apa yang seharusnya menjadi fokus

perhatian ilmuwan administrasi publik. Kegelisahan tersebut kemudian dijawab

dengan munculnya studi kebijakan publik sebagai pokok perhatian ilmuwan

administrasi publik. Hal ini merupakan implikasi yang sangat logis karena

kebijakan publik merupakan output utama dari pemerintah (Dwiyanto, 2007). Bagi

pemerintah, kebijakan merupakan instrumen pokok yang dapat dipakai untuk

mempengaruhi perilaku masyarakat dalam upaya memecahkan berbagai

persoalan publik (public affairs). Upaya tersebut dapat dilakukan dengan

menggunakan kebijakan domestik yang bersifat: distributive policy, protective

regulatory policy, competitive regulatory policy, dan redistributive policy (Ripley,

1985: 60).

Dwiyanto (2007) dengan mengutip pendapat Denhardt mengatakan bahwa

tingginya minat ilmuwan administrasi publik untuk memusatkan perhatian pada

studi kebijakan semakin meningkatkan keyakinan bahwa para administrator

memiliki intensitas yang tinggi dalam proses perumusan kebijakan publik. Hal ini

Page 9: kebijakan publik.pdf

9

juga semakin menguatkan argumen bahwa ilmu administrasi publik memang tidak

dapat dipisahkan dari induknya Ilmu Politik, sebab proses perumusan kebijakan itu

sendiri tidak hanya dilakukan melalui tahapan yang bersifat teknokratis akan tetapi

juga melampaui tahapan yang bersifat politis. Tahapan teknokratis dalam proses

perumusan kebijakan memiliki posisi sentral. Sebab, pada tahapan ini berbagai

solusi cerdas sebagai upaya memecahkan persoalan masyarakat digodok agar

dapat dirumuskan serangkaian alternatif kebijakan yang dapat dipilih oleh para

policy maker melalui proses politik. Pentingnya proses teknokratis dalam

pembuatan kebijakan semakin membuat analisis kebijakan publik menjadi

keahlian yang sangat vital yang dibutuhkan oleh para praktisi administrasi publik.

Berbagai tokoh seperti William N. Dunn (1981), Carl Patton dan David Sawicki

(1983), Arnold J. Meltsner (1986), dan lain-lain telah menghasilkan berbagai buku

penting sebagai acuan para ilmuwan dan praktisi administrasi publik dalam

melakukan kegiatan analisis kebijakan publik. Selain itu, kenyataan bahwa

kebijakan yang telah dirumuskan tidak selalu menjamin implementasinya akan

berjalan mulus juga memicu munculnya studi implementasi kebijakan publik di

dalam ilmu administrasi publik. Para ilmuwan seperti Jeffrey Pressman dan Aaron

Wildavsky (1984), Merilee Grindle (1980), Malcolm Goggin et.al (1990) merupakan

sebagian ilmuwan yang menjadi pelopor pengembangan studi implementasi

dalam disiplin Ilmu Administrasi Publik.

Administrasi Publik Sebagai Manajemen Publik

Dengan adanya perkembangan terakhir tersebut menjadikan Ilmu Administrasi

Publik memiliki lokus dan fokus yang lebih jelas. Lokus studi ini adalah organisasi

publik, sementara fokus perhatiannya adalah persoalan publik (public affairs) dan

bagaimana persoalan tersebut dipecahkan dengan instrumen kebijakan publik.

Akan tetapi seiring berjalannya waktu, kegelisahan ilmuwan administrasi publik

tidak hanya berhenti sampai di sini. Buku Owen E. Hughes (1998) yang berjudul

―Public Management and Administration‖ merupakan pemikiran yang memicu

perlunya perubahan dalam mendefinisikan Ilmu Administrasi Publik.

Page 10: kebijakan publik.pdf

10

Jika di masa-masa sebelumnya yang dipersoalkan adalah makna public

pada public administration yang kemudian bergeser dari administrasi negara

menjadi administrasi publik, Hughes memulai diskusi dengan menganjurkan untuk

menggunakan istilah manajemen publik daripada administrasi publik. Pemikiran

Hughes tersebut memang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan paradigma

Ilmu Administrasi Publik yang terjadi pada era 1990an yang mencoba

memperbarui mekanisme pengelolaan birokrasi publik yang dikenal sangat

hirarkis, lamban, dan tidak efisien dengan mengadopsi prinsip-prinsip yang

diterapkan pada manajemen bisnis. Keluhan tentang tidak relevannya prinsip-

prinsip birokrasi Weberian sudah sering disampaikan. Apa yang disampaikan oleh

Al Gore sebagaimana dikutip oleh Hughes (1998: 3) tentang buruknya sistem

birokrasi yang bekerja atas dasar prinsip Old Public Administration barangkali

mewakili pemimpin negara yang lain: […] in today‘s world of rapid change,

lightning-quick information technologies, tough global competition, and demanding

customers, large, top-down bureaucracies –public or private—don‘t work very

well‖.

Merespon persoalan tersebut, beberapa pemikir kemudian mengajukan

gagasan mereka, seperti: ―managerialism‖ (Pollit, 1993), ―new public

management‖ (Hood, 1991), ―market-based public administration‖ (Lan, Zhioying &

Rosenbloom, 1992), dan ―post-bureaucratic paradigm‖ (Barzelay, 1992). Namun

yang paling fenomenal tentu saja pemikiran Osborne dan Gaebler (1992) tentang

―entrepreneurial government‖ yang ditulis dalam buku mereka yang menjadi best

seller, yaitu ―Reinventing Government‖. Gagasan mereka kemudian diadopsi

secara luas di berbagai negara setelah pemerintahan Clinton-Gore di Amerika

Serikat mengadopsinya secara sukses. Selain di Amerika, gagasan untuk

mengembangkan paradigma public managerialism dalam disiplin Ilmu

Administrasi Publik juga terjadi di Eropa, terutama di Inggris ketika tekanan

terhadap keterbatasan anggaran bagi penyediaan layanan publik telah memaksa

pemerintahan Margaret Thacher untuk menerapkan berbagai upaya guna lebih

mengefisienkan pelayanan publik di Inggris. Rhodes (1991) menyerukan perlunya

diterapkan semboyan “3Es” atau economy, efficiency dan effectiveness agar

pelayanan publik di Inggris menjadi lebih efisien.

Page 11: kebijakan publik.pdf

11

Berbagai realitas sebagaimana digambarkan di atas membawa pada suatu

cakrawala baru di antara para ilmuwan administrasi negara untuk sampai pada

suatu kesimpulan bahwa administrasi publik yang berkonotasi sempit perlu diubah

menjadi manajemen publik yang lebih memiliki jangkauan yang lebih luas

sebagaimana dikatakan oleh Hughes (1998: 4): ―It is argued here that

administration is a narrower and more limited function than management […]‖.

Dalam argumentasinya lebih lanjut, Hughes mengatakan bahwa menurut definisi

kamus, kata „manajemen‟ memiliki makna yang lebih luas dibandingkan

„administrasi‟. Dari berbagai definisi kamus yang ada (Oxford Dictionary, Webster

Dictionary dan Latin Dictionary) dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa administrasi

lebih dimaknai sebagai proses dan prosedur yang harus dipatuhi oleh seorang

administrator dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan pelayanan publik.

Sedangkan manajemen memiliki arti lebih luas, yaitu tidak hanya sekedar

mengikuti prosedur, melainkan berkaitan juga dengan: (1) pencapaian target dan

(2) tanggung jawab bagi manajer untuk mencapai target-target yang telah

ditetapkan.

Selain alasan tersebut, Hughes (1998: 6) juga menyebut semakin

meluasnya penggunaan istilah „manajemen‟ dan „manajer‟ di sektor publik.

Sementara di sisi yang lain, penggunaan istilah ‟administrasi‟ justru mengalami

penurunan. Di Indonesia sendiri, sejak pemerintahan Kolonial Belanda berakhir,

penggunaan istilah ‟administrasi‟ di dalam birokrasi pemerintah semakin jarang

digunakan. Kalaupun digunakan, istilah ‟administrasi‟ telah mengalami

kemerosotan makna sebagai konsep untuk menggambarkan pekerjaan ketik-

mengetik atau sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan prosedur surat-

menyurat (cf. Utomo, 2007: 131). Apa yang terjadi tersebut menunjukkan bahwa

istilah ‟manajemen‟ memiliki makna lebih superior dibandingkan istilah

„administrasi‟. Oleh karena itu Hughes (1998: 6) kemudian mengatakan bahwa:

―As part of the general process ‗public administration‘ has clearly lost favor as a

description of the work carried out; the term ‗manager‘ is more common, where

once ‗administrators‘ was used‖. Dukungan terhadap pendapat Hughes juga

diberikan oleh Pollitt (1993: vii) yang menyebutkan: ―formerly they were called

Page 12: kebijakan publik.pdf

12

‗administrators‘, ‗principal officers‘, ‗finance officers‘ atau ‗assistant directors‘. Now,

they are ‗managers‘‖.

Tentu saja, pentingnya perubahan dari administrasi menjadi manajemen

bukan hanya sekedar sebuah pergantian istilah. Perubahan tersebut akan

berimplikasi pada bangun teoritis yang perlu dikembangkan untuk mendukung

perubahan nama dari administrasi menjadi manajemen, misalnya menyangkut

bagaimana akuntabilitas disampaikan, hubungan eksternal, dan konsepsi tentang

pemerintahan sendiri yang juga akan turut berubah. Hal ini sebagaimana

dikatakan oleh Bozeman dan Straussman (1990: 4) berikut:

―Public management rather than older public administration is used throughout this book […] The term public management is used here for two reasons. First, the concern of this book with strategy, dealing with the external environment, and broad missions and goals of organisations. The term public management seems to have evolved in such a way that it connotes concern broader than those internal administration…. Second, public management need not…occur only within the context of the government agency. The term public administration has come to be associated almost totally with government bureaucracy; the newer term public management is probably more fluid‖.

Konsekuensi dari perubahan nama „administrasi publik‟ ke „manajemen

publik‟ secara epistimologis juga berpengaruh terhadap cara bagaimana ilmuwan

administrasi publik ke depan mengembangkan ilmu ini. Jika selama ini ilmuwan

administrasi publik lebih berkutat pada diskusi yang bersifat filosofis tentang

administrasi, standar etika dan norma bagi manajer publik dalam menjalankan

tugasnya, maka ke depan jika administrasi publik berubah menjadi manajemen

publik, orientasi keilmuan dari disiplin ini juga akan bergeser pada hal-hal yang

lebih empirikal tentang bagaimana mengembangkan keilmuan untuk membantu

manajer publik mencapai tujuan organisasi, bagaimana meningkatkan

kemampuan manajerial mereka dan bagaimana meningkatkan akuntabilitas para

manajer publik tersebut di depan masyarakat. Untuk itu di masa depan ilmuwan

administrasi publik harus memahami: (1) semakin meningkatnya tekanan terhadap

sektor publik untuk melakukan restrukturisasi dan menyerahkan urusan kepada

sektor swasta; (2) bagaimana membuat keputusan yang secara ekonomis

menguntungkan dengan mempelajari public choice theory, principal/agent theory

dan transaction cost theory; (3) perubahan-perubahan lingkungan di sektor swasta

Page 13: kebijakan publik.pdf

13

seperti kompetisi yang semakin meningkat dan globalisasi; dan (4) terjadinya

perubahan teknologi informasi yang dapat membantu manajer publik untuk

menyelesaikan berbagai persoalan mereka sehingga ilmuwan manajemen publik

ke depan harus belajar perkembangan teknologi informasi untuk diadopsi menjadi

e-government (Hughes, 1998: 8-18).

Pemikiran untuk mengubah nama „administrasi‟ menjadi „manajemen‟

sebenarnya bukan sesuatu yang aneh jika kita merujuk kembali pada gagasan

awal yang dikembangkan oleh Wilson (1887: 16) tentang Ilmu Administrasi yang

Ia katakan sebagai berikut: ―This is why there should be a science of

administration which shall seek to straighten the paths of government, to make it

business less unbusinesslike‖. Namun demikian, tentu saja manajemen publik

yang dikembangkan oleh ilmuwan administrasi publik di masa mendatang jelas

akan berbeda dengan manajemen bisnis sebagaimana dikembangkan oleh

ilmuwan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Ott, Hyde dan Shafritz (1991: 3)

mengatakan bahwa secara fundamental antara manajemen publik dan

manajemen bisnis jelas berbeda:

―On the other hand, proponents of public administration (and thus public management) as a field separate and distinct from business administration, point to fundamental differences between the value systems and ideologies that comprise their intelectual and emotional fundations. Business administration is the product of capitalitic ideology: revenues, costs, profits, and return on ivestment. […] Public management‘s distinctive set of values includes: popular soveignty, separation of powers, checks and balances, individual rights, pluralism, the public benefit, collective (or social0 goods, free access to information, representativeness, equality of opportunity, and equity in treatment‖.

Berbagai uraian di atas secara gamblang menunjukkan bahwa kata

„administrasi‟ pada administrasi publik menjadi semakin kurang relevan, baik

karena substansi yang terkandung di dalam makna kata „administrasi‟ itu sendiri

dan juga semakin terdegradasinya kata „administrasi‟ dari sebuah konsep yang

memiliki makna tinggi di masa lalu menjadi sebuah konsep yang berkonotasi

rendah dan kurang bermakna di masa kini. Oleh karena itu, agar administrasi

publik memiliki kandungan substansi dan memperoleh penghargaan yang sejajar

dengan ilmu-ilmu yang lain maka tepat kiranya jika administrasi publik diganti

dengan istilah baru menjadi manajemen publik.

Page 14: kebijakan publik.pdf

14

Penutup: Pentingnya Sebuah Perubahan

Dinamika perkembangan disiplin Ilmu Administrasi Publik sebagaimana diuraikan

di depan merefleksikan pencarian ilmuwan administrasi negara terhadap fokus

dan lokus dari disiplin ilmu ini yang tiada pernah berhenti. Sebagai wadah yang

menjadi naungan para ilmuwan administrasi negara di Universitas Gadjah Mada,

Jurusan Ilmu Administrasi Negara tidak lepas dari dinamika tersebut. Sejak

kelahirannya di Universitas Gadjah Mada pada 1957, dinamika keilmuan para

dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara tercermin dari research interest dan arus

pemikiran mereka.

Kumpulan naskah pidato enam Guru Besar Jurusan Ilmu Administrasi

Negara yang diterbitkan oleh Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi

Negara Universitas Gadjah Mada (2007) secara nyata mencerminkan betapa

pandangan keilmuan dan pemikiran para Guru Besar Jurusan Ilmu Administrasi

Negara secara substansi terus berubah dari waktu ke waktu sebagai upaya

merespon dan mengikuti perkembangan dinamika keilmuan administrasi negara

yang terjadi pada aras internasional1. Sayangnya, dinamika keilmuan yang terjadi

selama lebih dari enam dasawarsa tersebut belum tercermin dari wadahnya, yaitu

nama Jurusan Ilmu Administrasi Negara tempat yang nota bene menjadi tempat

civitas akademis Jurusan bernaung. Nama Jurusan Ilmu Administrasi Negara

tersebut sudah tidak mampu mencerminkan aktivitas akademis warga Jurusan

yang sangat beragam sebagai konsekuensi dinamika perkembangan Ilmu

Administrasi Negara sebagaimana diuraikan secara panjang lebar dalam naskah

ini. Oleh karena itu agar dinamika keilmuan warga Jurusan Ilmu Administrasi

Negara dapat tergambar secara utuh dari wadahnya maka warga Jurusan Ilmu

1 Dua pidato Guru Besar Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisipol UGM yang belum tercakup dalam buku kumpulan naskah pidato Guru Besar (2007), yakni Prof. Dr. Muhadjir Darwin dan Prof. Dr. Yeremias T. Keban, secara jelas juga mencerminkan pandangan keilmuan dan pemikiran yang terus berubah dari waktu ke waktu sebagai respon atas perkembangan dinamika keilmuan Administrasi Negara yang terjadi. Pidato Prof. Dr. Muhadjir Darwin membahas tentang revitalisasi nasionalisme madani dan penguatan negara di era demokrasi, sedangkan Prof. Dr. Yeremias T. Keban mendiskusikan tentang pentingnya pembangunan birokrasi di Indonesia, yang harus mengikuti dinamika perubahan keilmuan dan praktik administrasi negara, mulai dari era OPA (Old Public Administration, NPM (New Public Management) sampai dengan NPS (New Public Service).

Page 15: kebijakan publik.pdf

15

Administrasi Negara telah sepakat untuk mengusulkan perubahan nama Jurusan,

yaitu dari sebelumnya bernama Jurusan Ilmu Administrasi Negara menjadi

Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik. Nama Jurusan yang baru tersebut

secara gamblang mencerminkan lokus dan fokus ilmu ini sebagaimana

dipaparkan dalam naskah ini.

Referensi Applebey, P. 1945. „Government is Different‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C.

(Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.

Barzelay, M. 1992. Breaking Through Bureaucracy: A New Vision for Managing in Government. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.

Bozeman, B. & Straussman, J. 1990. Public Management Strategies, Sanfrancisco: Jossey-Bass.

Darwin, M.M. 2007. „Revitalisasi Nasionalisme Madani dan Penguatan Negara di Era Demokrasi‟, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.

Dunn, W.N. 1981. Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Prentice Hall.

Dwiyanto, A. 2007. „Reorientasi Ilmu Administrasi Publik: dari Government ke Governance‟, dalam Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (Eds.), Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Fayol, H. 1916. General and Industrial Management. London: Pitman and Sons, Ltd.

Goggin, M.L, Bowman, A.O, Lester, J.P, & O‟toole, Jr., L.J. 1990. Implementation Theory and Practice Toward a Third Generation. Glenview, Illinois, etc.: Foresman and Company.

Goodnow, F.J. 1900. „Politics and Administration‟, dalam Shafritz, J.M & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.

Grindle, M.S. 1980. Politic and Policy Implementation in the Third World. Princenton: Princenton University Press.

Grindle, M.S. 1997. „The Good Government Imperative”, dalam Grindle, M.S. (Ed.). Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sectors of Developing Countries. Harvard University Press.

Gullick. L. 1937. „Notes on the Theory of Organization‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.

Henry, N. 1990. Public Administration and Public Affairs. New Jersey: Prentice-Hall International Inc.

Page 16: kebijakan publik.pdf

16

Hood, C. 1991. „A Public Management for All Seasons?‟, Public Administration, 69 (1): 3-19.

Hughes, O. 1994. Public Management and Administration. Great Britain and New York: Macmillan Press LTD and ST.Martin‟s Press. Inc.

Keban, Y.T. 2007. „Pembangunan Birokrasi: Agenda Pembangunan yang Terabaikan‟, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.

Lan, Z. & Rosenbloom, D.H. 1992. „Editorial: Public Administration in Transition?‟, Public Administration Review, 52 (6): 535-7.

Meltsner, A. J. 1986. Policy Analysis in the Bureaucracy. Berkeley: University of California.

Osbone, D. & Gaebles, T. 1992. Reiventing Government: How the Entrepreneurial Sipirit is Transforming the Public Sector. Reading, MA.: Addison Wesley.

Ott, J.S., Hyde, A.C., & Shafritz, J.M. 1991. Public Management: The Essential Reading. Chicago, Illinois: Nelson-Hall.

Patton, C. & Sawicki, D. 1993. Basic Methods of Policy Analysis and Planning. New Jersey: Prentice Hall.

Pollit, C. 1993. Managerialism and the Public Services: Cuts or Cultural Change in the 1990s. Oxford: Basil Blackwell.

Pratikno. 2007. „Governance dan Krisis Teori Organisasi‟, Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, 11 (2): 121-138.

Pressman, J.L. & Wildavsky, A. 1973. Implementation. Berkeley, etc: University California Press.

Rhodes, R.A.W. 1991. „Introduction‟, Public Administration, 69 (1): 1-2. Ripley, R. 1985. Policy Analysis in Political Science. Chicago: Nelson-Hall

Publishers. Simon, H. 1946. „Proverbs of Administration‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C.

(Eds.), 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.

Taylor, F.W. 1912. „Scientific Management‟, dalam Shafritz, J.M & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.

Thoha. M. 2007 „Demokrasi dalam Birokrasi Pemerintah: Peran Kontrol Rakyat dan Netralitas Birokrasi‟, dalam Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (Eds.), Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Utomo, W. 2007. „Administrasi Publik Indonesia di Era Demokrasi Lokal: Bagaimana Semangat Kompatibilitas Menjiwai Budaya Birokrasi‟, dalam Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (Eds.), Dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Weber, M. 1922. „Bureaucracy‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.

White, L.D. 1926. „Introduction to the Study of Public Administration‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.

Page 17: kebijakan publik.pdf

17

Willougby, W. 1918. „The Movement for Budgetary Reform in the States‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.

Wilson, W. 1887. „The Study of Administration‟, dalam Shafritz, J.M. & Hyde, A.C. (Eds.). 1997. Classic of Public Administration. Fort Worth etc.: Harcourt Brace College Publishers.