kebijakan publik berjerih payah di tepi langit natuna · segala perspektif,” papar ridha kepada...

3
12 Bloomberg Businessweek Indonesia Kebijakan Publik Ada suatu teori yang “hidup,” melebihi perputaran uang dan doktrin-doktrin mahabesar pada suatu ruang udara. Teori itu berpadu padan melalui dua kata: ketertiban umum. Sirat-sirat ketertiban terasa pula pada suatu Kamis siang. Di darat kini, dalam balairung nan dingin di Tangerang, Provinsi Banten. Keteraturannya kian khidmat saat Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) Marsekal Muda Tentara Nasional Indonesia (TNI) Imran Baidirus mulai berbicara. “Dengan kepemilikan atas kedaulatan yang utuh, Indonesia berhak mengatur dan mengelola ruang udaranya tanpa intervensi dari negara lain,” papar Imran. “Tak satu pun pesawat asing yang boleh melintasi negara ini tanpa sebelumnya meminta izin.” Kalimat Imran mengisyaratkan tanggapan atas rencana menahun tekait pengambilalihan Flight Information Region (FIR) di atas Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. FIR merupakan sistem pembagian ruang udara antarnegara berdasarkan wilayah-wilayah tertentu. Di atas Natuna, FIR dikendalikan Singapura, bukan Indonesia. FIR Natuna ditetapkan dalam sidang Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau International Civil Aviation Organization (ICAO) di Irlandia pada 1946. Indonesia, yang baru saja memproklamasikan diri sebagai negara merdeka, absen mengikuti sidang. Palu akhirnya diketuk: FIR Natuna diserahkan ke Inggris. Indonesia tak bisa berbuat apa- apa. Modal, belum punya. Kekuatan diplomasi, baru meraba-raba. Kemampuan militer, belum lagi terang navigasinya. FIR Natuna berada di bawah kendali Inggris hingga 19 ta- hun kemudian. Pada 1965, Inggris mendelegasikan pengelolaannya kepada pemerintah Singapura, yang baru saja merdeka dari Britania Raya. Dulu, Indonesia menganggap pengelolaan FIR Natuna sebagai suatu beban berat. Apalagi saat itu belum banyak pesawat yang melintasi Natuna. Kalaupun hendak menyelenggarakan pelayanan navigasi, tentu modalnya akan sangat besar. Profit barangkali tak sebanding dengan jerih payah suatu negara muda. Natuna kini telah berubah. Ruang udaranya beralterasi menjadi kawasan penerbangan yang sibuk. Bahkan menjadi salah satu yang tersibuk sedunia. “Sekarang, rute Jakarta – Singapura menjadi salah satu rute internasional teramai sedunia, melampaui rute gemuk London – Paris,” papar Head of Air and Space Law Studies Universitas Prasetiya Mulya, Ridha Aditya Nugraha. Setiap pesawat yang melewati ruang udara Natuna akan dikenai pungutan. Dalam industri penerbangan komersial, pungutan ini disebut Route Air Navigation Service Charges. Ditetapkan sebagai pungutan (charges) bukannya pajak (taxes), “supaya pemasukan dari charges itu dikembalikan, diputar untuk fungsi yang sama, yaitu pelayanan navigasi ruang udara.” Di Indonesia, pungutan tersebut masuk ke kas negara sebagai pendapatan negara bukan pajak Navigation fee Singapura disetor ke Indonesia. Jumlahnya mencapai US$ 5 juta per tahun “Ada persoalan yang lebih esensial di atas kebutuhan militer dan ekonomi” Berjerih Payah di Tepi Langit Natuna Pesawat Angkatan Udara RI berpartisipasi dalam Singapore Air Show

Upload: buingoc

Post on 21-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kebijakan Publik Berjerih Payah di Tepi Langit Natuna · segala perspektif,” papar Ridha kepada ... dari soal peraturan, organisasi, lisensi, Inplementasi Efektif (%) n Rata-rata

12 Bloomberg Businessweek Indonesia

Kebijakan Publik

Ada suatu teori yang “hidup,” melebihi perputaran uang dan doktrin-doktrin mahabesar pada suatu ruang udara. Teori itu berpadu padan melalui dua kata: ketertiban umum.

Sirat-sirat ketertiban terasa pula pada suatu Kamis siang. Di darat kini, dalam balairung nan dingin di Tangerang, Provinsi Banten. Keteraturannya kian khidmat saat Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) Marsekal Muda Tentara Nasional Indonesia (TNI) Imran Baidirus mulai berbicara.

“Dengan kepemilikan atas ke daulata n yang utuh, Indonesia ber hak mengatur dan mengelola ruang udaranya tanpa intervensi dari negara lain,” papar Imran. “Tak satu pun pe sawat asing yang boleh melintasi nega ra ini tanpa sebelumnya meminta izin.”

Kalimat Imran mengisyaratkan tanggapan atas rencana menahun tekait pengambilalihan Flight Information Region (FIR) di atas Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. FIR merupakan sistem pembagian ruang udara antarnegara berdasarkan wilayah-wilayah tertentu. Di atas Natuna, FIR dikendalikan Singapura, bukan Indonesia.

FIR Natuna ditetapkan dalam sidang Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau International Civil Aviation Organization (ICAO) di Irlandia pada 1946. Indonesia, yang baru saja memproklamasikan diri sebagai negara merdeka, absen mengikuti sidang. Palu akhirnya diketuk: FIR Natuna diserahkan ke Inggris.

Indonesia tak bisa berbuat apa-apa. Modal, belum punya. Kekuatan

diplomasi, baru meraba-raba. Kemampuan militer, belum lagi terang navigasinya. FIR Natuna berada di bawah kendali Inggris hingga 19 ta-hun kemudian. Pada 1965, Inggris mendelegasikan pengelolaannya kepada pemerintah Singapura, yang baru saja merdeka dari Britania Raya.

Dulu, Indonesia menganggap pengelolaan FIR Natuna sebagai suatu beban berat. Apalagi saat itu belum banyak pesawat yang melintasi Natuna. Kalaupun hendak menyelenggarakan pelayanan navigasi, tentu modalnya akan sangat besar. Profit barangkali tak sebanding dengan jerih payah suatu negara muda.

Natuna kini telah berubah. Ruang udaranya beralterasi menjadi kawasan penerbangan yang sibuk. Bahkan menjadi salah satu yang tersibuk sedunia. “Sekarang, rute Jakarta – Singapura menjadi salah satu rute internasional teramai sedunia, melampaui rute gemuk London – Paris,” papar Head of Air and Space Law Studies Universitas Prasetiya Mulya, Ridha Aditya Nugraha.

Setiap pesawat yang melewati ruang udara Natuna akan dikenai pungutan. Dalam industri penerbangan komersial, pungutan ini disebut Route Air Navigation Service Charges. Ditetapkan sebagai pungutan (charges) bukannya pajak (taxes), “supaya pemasukan dari charges itu dikembalikan, diputar untuk fungsi yang sama, yaitu pelayanan navigasi ruang udara.”

Di Indonesia, pungutan tersebut masuk ke kas negara sebagai pendapatan negara bukan pajak

▶▶Navigation fee Singapura disetor ke Indonesia. Jumlahnya mencapai US$ 5 juta per tahun

▶▶“Ada persoalan yang lebih esensial di atas kebutuhan militer dan ekonomi”

Berjerih Payah di Tepi Langit Natuna

Pesawat Angkatan Udara RI berpartisipasi dalam Singapore Air Show

Page 2: Kebijakan Publik Berjerih Payah di Tepi Langit Natuna · segala perspektif,” papar Ridha kepada ... dari soal peraturan, organisasi, lisensi, Inplementasi Efektif (%) n Rata-rata

13

Kebijakan Publik

2 April - 15 April 2018

PH

OT

OG

RA

PH

Y: S

EO

NG

JOO

N C

HO

/BLO

OM

BE

RG

(PNBP). Pungutan serupa lumrah diimplementasikan di pelbagai negara sedunia. “Ya, navigation fee Singapura disetor ke Indonesia,” papar Direktur Operasi Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan (Perum LPPNPI) atau Airnav Indonesia, Moeji Soebagyo. Jumlahnya mencapai US$ 5 juta per tahun. Kini setara dengan Rp 68 miliar.

Pada September 2015, Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar lembaga-lembaga terkait lekas mengambil alih FIR di atas Natuna. Instruksi diatur melalui UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Menurut UU tersebut, pengambilalihan paling lambat terwujud 15 tahun sesudah aturan diterbitkan.

Namun, akhir tahun silam, Presiden Joko Widodo meminta pengambilalihan dipercepat, hingga setidak-tidaknya 2019. Artinya setahun lagi. Dari sisi militer, pengambilalihan ruang udara berkode A, B dan C menjadi penting lantaran terkait kedaulatan negara. “Latihan pesawat militer di skuadron 12 dan 16 sekarang ini terbatas karena FIR Singapura,” kata Imran. “Kalau mau latihan di ruang udara A,B, atau C, mesti lapor dulu ke Singapura.”

Ridha, peneliti Indonesia yang juga anggota German Aviation Research Society, Bonn, Jerman memaparkan, “ada masalah yang lebih esensial di atas kebutuhan militer dan ekonomi.” Pertama, seperti disebutkan pada awal tulisan ini, tentang ketertiban umum. Berikutnya terkait tanggung jawab.

Pada 2002 silam di langit Uberlingen, kota paling selatan di Jerman, sebuah pesawat berpenum-pang Bashkirian Arlines dan jet kargo Boeing 757 bertumbukan. Keseluruhan 69 penumpang dan awak pesawat Bashkirian meninggal. Begitu pula dua awak pesawat kargo Boeing Co.

Kecelakaan terjadi di ruang udara Jerman yang dikelola Swiss melalui Skyguide. Saat itu, papar Ridha yang ikut dalam penelitian lanjutan

Page 3: Kebijakan Publik Berjerih Payah di Tepi Langit Natuna · segala perspektif,” papar Ridha kepada ... dari soal peraturan, organisasi, lisensi, Inplementasi Efektif (%) n Rata-rata

14 Bloomberg Businessweek Indonesia

Kebijakan Publik

pengoperasian, kelayakan terbang, navigasi serta kondisi bandar udara. Nyaris setiap elemen membubuhkan hasil penilaian yang meningkat tajam dibanding titik terendahnya pada 2014. Audit terakhir ICAO dilakukan pada 10 Oktober - 18 Oktober 2017.

Peringkat sudah naik. Infrastruktur telah siap. Kini, kita tak lagi bisa berkelit melalui pernyataan: “Masih ada

waktu sampai 2024.” Karena waktunya, seperti diinstruksikan Presiden Joko Widodo, telah dipercepat. Bahkan dalam putaran yang memelesat. Tersisa setahun lagi. Anastasia Ika

Intinya: Pemerintah terus melakukan segala cara guna mengambil alih FIR Singapura di atas Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Tenggat waktunya tinggal setahun lagi.

selepas insiden itu, pengadilan setempat sampai-sampai menelusuri perjanjian bilateral Jerman – Swiss. Melalui penelusuran, pengadilan nantinya dapat menetapkan keputusan seadil-adilnya atas gugatan yang diajukan keluarga korban.

Lebih lanjut, siapa pihak yang paling bertanggung jawab --apakah negara atau entitas swasta (Skyguide); dan sejauh mana delik pidana dapat dijatuhkan kepada personel ATC. “Ter-bayang jika ini terjadi di Natuna FIR?”

“Wacana tentang pengambilalihan FIR harus 100 persen. Tak boleh setengah-setengah. Mesti dilihat dari segala perspektif,” papar Ridha kepada Bloomberg Businessweek Indonesia. Apalagi kini, daya tawar-menawar Indonesia semakin baik.

Peringkat keselamatan penerbangan Indonesia naik menjadi posisi 55 dari 151 pada 2017, atau penerbitan data terakhir ICAO. Penguatan menyusul audit keselamatan penerbangan Indonesia, yang juga dilakukan ICAO. Secara keseluruhan, Indonesia diganjar nilai 81 persen terkait keselamatan penerbangan.

Penilaian mencakup pelbagai pertanyaan protokol yang mesti dijawab perwakilan Indonesia. Mulai dari soal peraturan, organisasi, lisensi,

Inpl

emen

tasi

Efe

ktif

(%)

n Rata-rata Global n Indonesia

Audit Keselamatan Penerbangan Indonesia

Peraturan Organisasi Lisensi Operasi Kelayakan Keselamatan

Terbang

Investigasi Kecelakaan

Layanan Navigasi

Udara

Bandar Udara

SUMBER: ICAO, 2017

71,46

71,43

67,75

69,23

72,92

75

68,01

87,5

77,32

90,91

55,54

63,73

62,47

84,09

58,53

72,73

PH

OT

OG

RA

PH

Y: S

EO

NG

JOO

N C

HO

/BLO

OM

BE

RG