kebijakan national security strategy 2002...
TRANSCRIPT
KEBIJAKAN NATIONAL SECURITY STRATEGY 2002 TENTANG TERORISME
DI IRAK PADA MASA PRIODE GEORGE W. BUSH TAHUN 2003 – 2009
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial ( S. Sos)
Oleh
Siti Hasanawati
106083003673
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
t:
LEMBAR PERSETUJUAN
Kebijakan National Security Strategy 2002 Tentang Terorisme Di lrak Pada
Masa Priode George W. Bush Tahun 2003 - 2009
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik unhrk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial
Oleh: Siti Hasanawati
NIM. 106083003673
Menyetujui
Asus Nilmada Azmi. M.Si
NrP. 197808M2009121002
PROGRAM STUDI HIJBTINGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
zA14
NrP. 19?80 8042009 t21ffi2
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi Menyatakan bahwa mahasiswa :
Nama : Siti Hasanawati
NIM : 106083003673
Pnogram Studi : Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul
KEBIJAKAN NATIONAL SECURITY STRATEGY DI IRAK TENTANGTERORISME PADA MASA GOERGE W.-BUSH TAHUN 2003-2009.
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji
Jakarta, 7 Desember 2013
Mengetahui,
Ketua/Sekretaris Program Studi
Agus Nilmada Azmi, M.SiNrP. l 97808042009r 2 I 002
Menyetujui,Pembimbing
Agus Nilmada Azmi, iU.SiNIP. I 978080.12009 I 2 I 002
SKRIPSIKEBIJAKAN NATIONAL SECURITY STRATEGY DI IRAK TENTANG
TERORISI\IE PADA I\TASA GEORGE \Y. BUSH TAHUN 2OO3 _ 2OO9
OlehSiti Hasanawati106083003673
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal l0 Januari 2014.Skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos)pada Program Srudi Hubungan Internasional.
Ketua, Sekretaris,
r----
&u)---IvI. Adian Firnas, M. Si. Febri Di rgantara/H asibuan,s. E..lvl. lr{
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kerurusan pada tanggar 10 Janua i 2014.Ketua Prodi Hubungan InternasionalFisip UIN Syarif giyatullah Jakarta
Agus Nilmada Azmi. M.Si.NIP. 1 978080420091 2t002
Penguji I
^-
Kiky Rizky. M.SiNIP. I 9730321200801 1002
Azus Nilmada Azmi. M.Si.NrP. l 97808042009t21002
Penguji II
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul :
KEBIJAKAN NATIONAL SECURITY STRATEGY DI IRAK TENTANG
TERORISME PADA MASA GEORGE W. BUSH TAHUN 2003 - 2009
:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 7 Desember 2013
Siti Hasanawati
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Robill’aalamiin, segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT
serta junjungan kita nabi Muhammad SAW yang telah memberikan rahmat, hidayah
serta kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul
“KEBIJAKAN NATIONAL SECURITY STRATEGY 2002 TENTANG
TERORISME DI IRAK PADA MASA PRIODE GEORGE W. BUSH TAHUN
2003 – 2009”. Selanjutnya, ucapan terima kasih yang tak sanggup penulis gambarkan
kepada kedua orang tua tercinta, bapak H. Slamet Riyadi dan Ibu Hj. Mulyanah.
Terima kasih atas seluruh cinta dan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis.
Terima kasih tak terhingga atas berbagai bentuk dukungan tulus baik moril maupun
materi. Serta, dengan penuh pengertian dan kesabarannya memberikan kepercayaan,
memotivasi dan mendoakan penulis agar tetap sehat dan selalu semangat berjuang
untuk menuju pintu keberhasilan.
Lebih lanjut, penulis sangat menyadari bahwa terwujudnya skripsi ini tidak
lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing penulis,
baik dalam bentuk waktu, tenaga, ide dan pemikiran. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Prof. Dr. Bachtiar Effendy selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
2. Kiky Rizky, M. Si selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah,
Jakarta.
3. Agus Nilmada Azmi, M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta. Serta sebagai dosen pembimbing skripsi penulis yang telah
v
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan, masukan
serta motivasi yang sangat berharga hingga selesainya penulisan skripsi ini.
4. Bapak Nazaruddin Nasution, SH, MA., sebagai Dosen Pembimbing Akademik
penulis.
5. Pak Jajang dan Pak Amali yang sudah sangat banyak membantu dalam proses
administrasi penulis.
6. Seluruh Bapak / Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional (HI), Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mengajarkan
berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas sebagai
mahasiswi HI.
7. Terimakasih kepada Ketua yayasan MIS Al- Alawiyah Pak. Muhtadin S. Pd.,
selaku Kepala Sekolah Bapak Nawawi S. Pd. Pak. Fuad, Pak. Yamin, Pak. Dede,
Pak. Agus dan seluruh dewan guru MIS AL- Alawiyah yang selalu mengerti,
memalumi dan memberi semangat.
8. Keluarga besar penulis yang selalu memberikan semangat kepada penulis.
Terimakasih kepada kakak tersayang yaitu Halimatussadiah, S. Pd. Saebatul
Islamiah, S. Pd. Miftahuddin. SE. dan kepada adik Nurma Sulistia Ningsih yang
selalu mewarnai hari-hari penulis dengan suka dan duka. Terima kasih atas
dukungan semangat, baik secara materil dan do’a kalian selama ini kepada penulis.
9.Sahabat-sahabat terbaik penulis. Desty, Diah, Ochy, Maya, Mawar, Ika, Yeyen,
Alfi, Majid, Nani, Ka Dodo, Bang Jo, Bang Musonif, Rusman, Agus, Ozi, Azi,
Rinan, Sail, Sila, Ida, Dewi, Karima, Rizqi, Maskur, Puroh, Yuyun, Indri dan
Novi, yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi dengan
segala bantuan baik dalam bentuk tukar pikiran, perdebatan maupun pencarian
data. Serta yang selalu memotivasi, menyemangati dan menghibur penulis. Dunia
ini jadi lebih berwarna dengan adanya kalian brosis., hehee… ^_^
vi
10.Teruntuk sahabat penulis yang telah tiada (Alm.) Izzun Nahdliyah. Terimakasih
telah menjadi pendengar yang baik, yang dengan sabar mendengarkan semua
curhatan penulis. Terimakasih atas dukungan semangat, motivasi, do’a, serta
pengertian dan perhatianmu menemani hari-hari penulis dengan canda tawa.
Penulis tidak akan pernah melupakanmu. Kamu salah satu sahabat terbaik penulis.
I really miss U., ^_^
11.Teman-teman seperjuangan HI angkatan 2006 yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu.
12.Semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun
tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih.
Terima kasih atas segala bantuan yang tidak ternilai harganya.Semoga dengan
segala bantuan yang tidak ternilai hargannya ini menandapat imbalan di sisi Allah
SAW sebagai amal ibadah, Amin. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai
pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan kedepannya.
Jakarta, 7 Desember 2013
Siti Hasanawati
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN
KATA PENGANTAR………………………………………………..…………..... iv
DAFTAR ISI…………………………………………………………….……..….. vii
ABSTRAK………………………………..…..……………………………….…....ix
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………….……………... 1
B. Pertanyaan Penelitian …………..………………………..………………. 5
C. Tujuan dan Manfaat ….…………………………………..……………… 6
D. Kerangka Pemikiran .…………………………………….…………….... 6
E. Metode Penelitian …………………………………………………….... 12
F. Sistematika Penulisan …..……………………………………………… 14
BAB II EKSISTENSI AMERIKA SERIKAT DI IRAK……….……………… 16
A. Irak di Bawah Renzim Saddam Hussen…………………. …………..... 16
viii
B. Operasi Pembebasan Amerika Serikat di Irak…..…………………..…. 17
C. Pengaruh Peristiwa 9/11 Terhadap Kebijakan AS……………………... 22
D. Kebijakan Keamanan AS: Pra dan Paska Peristiwa 9/11…………….. 25
1. Kebijakan Keamanan AS sebelum 9/11 …………………………. 25
2. Kebijakan Keamanan Paska 9/11………………………………….. 26
E. Akibat Perang Irak …………………………………………………….. 29
BAB III
A. Pandangan Umum Strategi Internasional Amerika Serikat……….…… 32
B. Sejarah Dibentuknya National Security Strategy…………...………...… 35
C. National Security Strategy…………………...……….. …………......…… 39
D. Pandangan Terhadap National Security Strategy ..…………………….. 40
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN…………………………………........ 42
A. Pandangan George W. Bush Tentang Terorisme dan Invasi Irak….. 42
B. Kebijakan Amerika Serikat dalam Mengatasi Terorisme..……….… 44
C. Kerjasama Amerika Serikat- Irak tentang Terorisme pada tahun 2003 –
2009……………………………….………………………………... 49
D. Kerjasama Amerika Serikat- Irak untuk Melawan Terorisme Sebagai
Kompensansi Pasca Invasi ………………………………………… 52
BAB V KESIMPULAN …………………….…………………………………...... 55
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………... 57
ix
ABTSRAK
Skripsi ini membahas mengenai kebijakan Amerika serikat dalam National
Security Strategy 2002 tentang terorisme di Irak pada masa periode George W Bush
Tahun 2003 – 2009. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memahami kebijakan AS
dalam NSS 2002. Penelitian ini dilaksanakan dengan studi pustaka. Kerangka
pemikiran yang digunakan adalah perspektif realisme dan teori kebijakan luar negeri.
Penulis menyimpulkan bahwa invansi Amerika Serikat ke Irak hanya merupakan
obsesi Amerika untuk membuat tatanan dunia baru dan lebih mengukuhkan Amerika
sebagai Negara “super power”. Dimana agenda penyerangan dan menjatuhkan
pemerintahan Saddam Husein sudah lama menjadi agenda neokonservatif yang
menjadi mimpi Bush untuk menjadikan Irak sebagai negara demokratis yang
mengatasnamakan pembasmian terhadap terror dan terorisme di dunia. Penyerangan
Bush ke Irak tanpa didasari oleh persetujuan PBB dan banyak mendapat kecaman
dari berbagai negara. Bush memakai NSS-2002 doktrin yang tertuang didalamnya
yaitu With Us or Againts Us dan preemptive strike sebagai dasar legitimasi
penyerangan tersebut. Amerika menuduh Irak dengan alasan salah satunya sebagai
Negara pemilik senjata pemusnah masal yang bisa menghancurkan dunia untuk
alasan menyerangnya, walau sampai saat ini tidak terbukti tentang kepemilikan
tersebut. Bush sebagai presiden Amerika tetap berpendapat bahwa invasi Amerika ke
Irak merupakan perang yang dimandatkan oleh Tuhan kepadanya, maka tidak
gampang bagi Bush untuk menyerah dan mengaku kalah. Namun Bush tak menyadari
dampak dari invansi Amerika ke Irak justru membawa Irak ternyata malah memupuk
dan memicu berkembang biaknya terorisme.
Kata kunci: Invasi Amerika ke Irak, Peledakan gedung WTC 9 September 2001,
National Security Strategy (NSS), kebijakan NSS AS di Irak terkait terorisme pada
masa George W. Bush
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
National Security Strategy merupakan sebuah konsep yang menjadi
landasan atas invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak. Selain itu, invasi tersebut juga
dilandasi oleh doktrin preemptive strike. Doktrin inimemberikan legitimasi untuk
menyerang lebih dulu sebelum diserang musuh seperti yang telah diterapkan AS
di Afghanistan dan dilanjutkan pada Irak1.
Di dalam The National Security
Strategy of The United States of Amerika (NSS-2002) mengizinkan AS
menyerang negara manapun yang dianggap berpotensi mengancam keamanannya
tanpa meminta persetujuan PBB dan mendasari AS melakukan invasi ke Irak
tanpa adanya mandat dari PBB2.
Dalam NSS 20023, terdapat beberapa hal yang menjadi orientasi AS dalam
strategi kebijakan luar negeri. Pertama AS dengan tegas menyatakan kesuksesan
nasional hanya dengan cara menerapkan kebebasan, demokrasi, dan kebebasan
dalam mendirikan suatu usaha. Untuk itu, AS akan berusaha keras menyebarkan
nilai-nilai yang dianut ke seluruh pelosok dunia. Pemerintahan Bush berkeinginan
untuk menjadikan AS sebagai negara yang menjadi kiblat ekonomi seluruh
bangsa. Pemerintahan Bush juga menginginkan adanya sebuah era baru bagi
pertumbuhan ekonomi global yang diwujudkan melalui pasar bebas dan
1 Aleksus Jemadu. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional.Graha Ilmu. Yogyakarta.
2007. Hal; 81.
2 Richard M Daulay. Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama. Jakarta. 2009. Hal; 26 – 27.
3 Abdul Halam Mahally. Menjarah Negara Muslim Menguak Agenda Besar AS, dibalik Invasi ke
Irak dan Afganistan. Bekasi, Fima Rodeta,hal: 132- 135.
2
perdagangan bebas. AS juga menyatakan memiliki hak untuk menyingkirkan
ancaman-ancaman bagi keamanan nasionalnya dengan cara menggunakan
kekerasan militer dan menyerang lebih dulu sebelum terjadi suatu serangan dari
pihak musuh, baik ancaman itu benar-benar nyata ataupun belum pasti, secara
multilateral ataupun unilateral. Kemudian AS akan menanggulangi masalah
terorisme dengan cara melalukan pengembangan kekuasaan militer secara besar-
besaran. Pemerintahan Bush merasa perlu meningkatkan kemampuan teknologi
militernya, baik itu dengan cara mengembangkan sistem pertahannan rudal
ataupun melakukan uji coba kapabilitas senjata pemusnah massalnya.
National Security Strategy (NSS-2002) atau yang dapat juga disebut
sebagai Doktrin Bush ini merupakan sebuah kebijakan keamanan Amerika
Serikat, yang muncul paska terjadinya peristiwa 11 September 2001. Doktrin baru
yang menjadi kebijakan resmi AS seolah menyatakan bahwa pemerintahan
presiden Bush akan memerangi terorisme menurut caranya sendiri dengan
mengabaikan hukum internasional4.
Terorisme pada dasarnya bertujuan bukan untuk membunuh sebanyak-
banyaknya manusia. Akan tetapi, menebarkan ketakutan sebesar-besarnya dan
seluas-luasnya tanpa korban yang besar dan perang yang dikobarkan disebut
sebagai perang psikologis5, seperti peristiwa teror yang terjadi di AS pada tanggal
11 September 2001 atau yang dikenal dengan peristiwa 9/11. Peristiwa tersebut
terjadi ketika dua pesawat komersil menabrak gedung WTC dan satu pesaawat
menabrak Pentagon. Hal tersebut mengakibatkan kerusakan parah bahkan
4 Ibid hal: 130.
5 Richard M Daulay. Amerika vs Irak Bahaya Politisi Agama.Jakarta.Libri. 2009. Hal: 88.
3
menyebabkan runtuhnya gedung Pentagon. Selain itu peristiwa tersebut juga
menyebabkan banyak korban jiwa yang diperkirakan jumlah korban 2.992 hingga
3000 jiwa6.
Dari peristiwa 9/11, Bush mengeluarkan kebijakan mengenai perang
melawan teror, dalam pidatonya Bush mengatakan.
“Our war on terror begins with Al-Qaeda, but it does not end there. It will
not end until every terrorist group of global reach has been found, stopped and
defeated….. Every nation in every region now has a decision to make. Either you
are with us or you are with terrorists7”
Pidato Presiden George W. Bush ini disampaikan pada 20 September
2001, paska terjadinya peledakan gedung World Trade Center (WTC). Secara
tidak langsung Bush membagi dunia menjadi dua. Pertama adalah Al-Qaeda
sebagai musuh dan negara- negara yang dianggap memberi dukungan, melindungi
dan mendanai kegiatan teroris. kedua mereka adalah para pendukung dan sekutu
Amerika Serikat .
George W. Bush mampu secara cepat mempengaruhi pihak lain atau
negara-negara lain untuk turut mendukung kampanye melawan teroris. Ia pun
sangat mudah untuk melakukan berbagai kerjasama dan membentuk barisan
dalam melawan pihak-pihak yang dianggap sebagai musuh atau pendukung
tindakan teroris. Pernyataan ini dibuktikan dengan serangan AS ke Afghanistan
pada tahun 2001, Penyerangan ini mendapat dukungan dari masyarakat
6 Ahmad Dumyati Bashori. Osama bin Laden Melawan Amerika.Mizan. Bandung. 2000. Hal; 44
7http://www.whitehouse.gov/news/releases/2001/09/20010920-8.html. Diakses 8 januari 2013.
4
internasional dan masyarakat AS sendiri8. Dukungan tersebut memberikan
legitimasi untuk AS melakukan penyerangan tersebut ke Afghanistan beserta
sekutunya.
Penyerangan yang dilakukan AS ini berlanjut ke Irak pada 2003. Motif
dari penyerangan tersebut ialah terkait dengan peledakan WTC di New York.
Bush menuduh Irak berdiri di balik jaringan Al-Qaeda yang divonisnya sebagai
pihak yang bertanggung jawab atas peledakan WTC dan Pentagon pada 11
September 20019, meskipun pada akhirnya tidak ditemukan bukti atas
penyerangan itu.
Dugaan AS atas keterlibatan Irak dalam serangan 9/11 yang tidak terbukti
membuat AS mencari alasan lain untuk melegitimasi tindakan penyerangan
tersebut. AS menjadikan penyerangan tersebut sebagai bentuk pembebasan rakyat
Irak dari teror rezim Saddam Hussein dan Partai Ba‟ath yang dinilai telah
melakukan tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Selain itu AS juga
menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal (nuklir) yang dapat
membahayakan dan menjadi teror bagi keamanan dunia, meskipun pada akhirnya
AS ternyata tidak dapat membuktikan bahwa Irak memiliki senjata nuklir10
.
Ini dikuatkan dengan peryataan dari United Nations Security Council pada
7 Maret 2003
…”Tidak ada indikasi bahwa Irak berusaha untuk mengimpor tabung
alumunium untuk penggunaan peningkatan mesin pemisah, meskipun Irak 8 Richard M Daulay. Amerika vs Irak Bahaya Politisi Agama.Jakarta.Libri. 2009. Hal: 71.
9 Ibid. Hal: 95
10 Ibid. Hal: 126.
5
merencanakanya.Hal itu akan sulit untuk membuat atau memproduksi mesin
pemisah dari tabung alumuniam”11
.
Berdasarkan atas berbagai macam permasalahan tersebut, penulis tertarik
untuk mengkaji lebih lanjut alasan AS mengeluarkan kebijakan luar negeri untuk
melaksanakan invasi terhadap Irak dan implementasi kebijakan National Security
Strayegy AS tentang terorisme di Irak pada masa George W. Bush periode 2003-
2009. Penulis membatasi penelitian ini pada interval tahun 2003 hingga 2009.
Pada periode waktu tersebut, merupakan masa jabatan Presiden George W. Bush
yang merupakan tokoh pemrakarsa NSS dan War Against Terrorism.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis menentukan sebuah pertanyaan
penelitian sebagai acuan atas permasalahan yang akan diteliti. Pertanyaan
penelitian tersebut yaitu:
“Bagaimana kebijakan National Security Strategy 2002 tentang terorisme di
Irak pada masa George W. Bush priode 2003 – 2009?”
11
Statement to the United National Security Council.
http;//www.iaea.org/newscenter/statement/2003/ebsp2003n006.shtml.
6
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan Penelitian
a. Menentukan orientasi kebijakan Amerika Serikat terhadap Irak pasca
peristiwa 9/11.
b. Menjelaskan langkah-langkah AS dalam memerangi terorisme.
c. Menganalisis kebijakan National Security Strategy Amerika Serikat
di Irak tentang terorisme pada pemerintahan George W. Bush priode
2003 – 2009.
2. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan dalam penelitian yang
berkaitan dengan kebijakan Amerika Serikat terhadap aksi terorisme.
b. Penelitian ini dapat menambah khazanah keilmuan dalam bidang
hubungan internasional
D. Kerangka Pemikiran
Perspektif Realisme
Realisme merupakan paham yang lebih menekankan pada keamanan
negara dan power (kekuatan). Menurut Morgenthau, ketidak sempurnaan
dunia adalah akibat dari adanya paksaan-paksaan yang menjadi sifat manusia.
Ia mengklasifikasikan enam prinsip realisme politik yang secara keseluruhan
7
merumuskan pendekatan teoritisnya terhadap studi hubungan internasional.
Keenam prinsip tersebut antara lain.12
;
1) Politik ditentukan oleh hukum- hukum objektif yang berakar pada
kodrat manusia.
2) Kunci untuk memahami politik internasional adalah mendefinisikan
konsep kepentingan dalam kaitannya dengan kekuasaan.
3) Bentuk dan sifat kekuasaan negara akan bermacam-macam dalam
waktu, tempat dan konteks, tetapi konsep kepentingan masih tetap sama.
4) Prinsip-prinsip moral universal tidak menuntut sikap negara, meski
sikap negara jelas akan memiliki implikasi moral dan etika.
5) Tidak ada serangkaian prinsip- prinsip moral yang disetujui secara
universal.
6) Secara intelektual, bidang politik itu otonom dari bidang perhatian
manusia lainnya, entah bidang-bidang yang lainnya tersebut bersifat legal,
moral atau ekonomi.
Hans J. Morgenthau juga berpendapat bahwa negara-bangsa sebagai
entitas yang menjadi fokus dan aktor-aktor yang lain hanya bersifat sekunder
karena dinamika politik global sepenuhnya dikendalikan oleh negara13
.
Thomas Hobbes beranggapan para pemikir realis mendasari pemikirannya
12
Scott Burchill, Kinklater. Teori Hubungan Internasional. Nusamedi, Bandung. 2009. Hal; 100 -
102
13 Aleksus Jemadu. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional. Graha Ilmu. Yogyakarta.
2007. Hal; 20.
8
bahwa negara diperlukan untuk menjamin ketertiban umum dan
mengemukakan pemikiran tentang bellum omnium contra omnes (semua
melawan semua). Demikian pula Hans J. Morgenthau14
, dimaksudkan bahwa
negara selalu mencari jalan untuk menjaga kedaulatannya yang tidak jarang
menggunakan segala cara termasuk kekuatan militer.
Untuk mendukung analisa ini perspektif realis yang digunakan, ini
juga sesuai dengan pemikiran George W. Bush. Bush menganut pendekatan
realis yang lebih keras dan bersifat unilateral15
, karena pada dasarnya realis
adalah sebuah pendekatan yang berpikir sesuai fakta. Dari pendekatan ini
juga muncul balance of power, yang diartikan sebagai kemampuan untuk
menentukan hasil akhir (outcome) dari suatu proses interaksi. Karena itu
kekuasaan merupakan bentuk penggunaan pengaruh yang bersifat memaksa
individu atau negara lain melakukan suatu tindakan yang tidak
dikehendakinya16
.
Dengan demikian, apabila melihat posisi AS sebagai negara adikuasa,
maka AS akan lebih mudah mengimplementasikan berbagai jenis kebijakan,
baik dalam level bilateral, unilateral, ataupun multilateral. Kebijakan yang
diterapkan oleh AS pun dapat dengan mudah didukung negara lain, yang
merupakan sekutunya, tanpa ingin adanya kekuatan penanding. Oleh sebab
itu, AS mengeluarkan kebijakan membolehkan menyerang terlebih dulu
sebelum diserang.
14
Ibid. Hal; 20
15Richard M Daulay,.Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama, Jakarta. Libri Hal; 69
16Horold D. Lasswell and Abraham Kaplan, Power and Society, A famework for Political Inquiry.
New haven; Yale University Press; Hal; 73
9
Kepentingan Nasional
Kepentingan nasional dalam pendekatan realisme diartikan sebagai
kepentingan negara sebagai unitary actor, yang penekanannya terdapat pada
kepentingan kekuasaan nasional. Kepentingan nasional tersebut ditujukan
untuk mempertahankan keamanan nasional dan merupakan sebuah bentuk
survival dari negara tersebut. Kepentingan nasional lainnya, seperti
pembangunan ekonomi, dikategorikan sebagai elemen dari kekuasaan
nasional17
. Menurut Morgenthau, ”Kepentingan nasional adalah kemampuan
minimum negara untuk melindungi, dan mempertahankan identitas fisik,
politik, dan kultur dari gangguan negara lain. Dari tinjauan ini para pemimpin
negara menurunkan kebijakan spesifik terhadap negara lain yang sifatnya
kerjasama atau konflik”18
.
Selain itu dalam buku Pengantar Studi Hubungan Internasional
karangan Anak Agung Banyu Perwita, realisme menyamakan kepentingan
nasional sebagai upaya negara untuk mengejar power, dimana power adalah
segala sesuatu yang dapat mengembangkan dan memelihara kontrol suatu
negara terhadap negara lain. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini
dapat melalui teknik pemaksaan atau kerjasama. Oleh sebab itu, kekuasaan
dan kepentingan nasional dianggap sebagai sarana dan sekaligus tujuan dari
tindakan suatu negara untuk bertahan hidup19
.
17
Aleksius jemadu, Politik Global dalam teori dan praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta. 2008. Hal; 68
18 H. J. Morgenthau, In Defense of the National Interest: A Critical Examination of American
Foreign Policy. New York: University Press of America. 1951
19 Anak Agung Banyu Perwita, dan Yanyan Mochammad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006, h. 35.
10
Dengan begitu dapat dipahami bahwa dalam kepentingan nasional
setiap negara akan mendahulukan kepentingannya masing-masing meski
terjadi kerjasama antar negara, dan kurang mementingkan kepentingan negara
lain, serta sering berakhir pada terjadinya konflik. Kepentingan nasional
merupakan titik awal terbentuknya sebuah kebijakan luar negeri suatu negara,
sehingga menciptakan hubungan atau kerjasama dalam berbagai bidang,
untuk memenuhi kebutuhan negara tersebut dalam mempertahankan
kedaulatan maupun pembangunan di berbagai bidang.
Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan luar negeri adalah putusan yang di keluarkan suatu negara
atas keberlangsungan hubungan antara negara tersebut dengan negara lain.
Mark R. Amstutz mendefinisikan kebijakan luar negeri sebagai explicit and
implicit action of governmental officials designed to promote national
interests beyond a country’s territorial boundaries20
.
Webber dan Smith mengemukakan pengertian mengenai kebijakan
luar negeri yang terdiri dari tujuan untuk mencari kumpulan nilai-nilai,
membuat keputusan dan aksi yang diambil negara, dan pemerintah bertindak
berdasarkan pada kepentingannya, dalam konteks hubungan luar negeri
warganegaranya21
. Sedangkan menurut James N. Rosenau menguraikan
20
Mark R. Amstutz. International Conflict and Cooperation: An Introduction to World Politicts.
Dubuque; Brown & Benchmark. Hal; 146
21 Mark, Webber, Michael Smith, Foreign Policy in a Transformed World, Essex : Pearson
Education Limited, hal; 2.
11
konsep foreign policy bahwa kebijakan luar negeri dipahami sebagai
seperangkat prinsip atau orientasi umum yang menjadi dasar pelaksanaan
hubungan luar negeri suatu negara, kebijakan luar negeri juga bisa diartikan
sebagai seperangkat rencana dan komitmen yang menjadi pedoman bagi
perilaku pemerintah dalam hubungan dengan aktor – aktor lain di lingkungan
eksternal yang kemudian rencana dan komitmen tersebut diterjemahkan ke
dalam langkah nyata berupa mobilisasi sumberdaya yang diperlukan untuk
menghasilkan suatu efek dalam pencapaian tujuan22
.
Dari berbagai pendapat mengenai konsep kebijakan luar negeri dan
kepentingan nasional dalam pendekatan realisme, dapat dimengerti bahwa
kedua konsep tersebut saling berkaitan satu sama lain. Kebijkan luar negeri
merupakan hasil dari rencana kepentingan nasional suatu negara yang
melampaui batas-batas teritorial suatu negara selama ada keuntungan, dan
kerjasama ini dapat berupa kerjasama ekonomi, politik, sosial budaya dan
militer yang dapat didukung dengan aktor- aktor non-negara.
Kemudian John P. lovell dalam bukunya Foreign Policy in
Perspective Strategy Adaptation Decision Making menuliskan terdapat
beberapa faktor yang melandasi sebuah analisa dalam pembuatan keputusan
kebijakan luar negeri yaitu23
;
Pertama, situasi keadaan dalam negeri dan kemampuan menciptakan
strategi. Situasi diinterpretasikan secara tetap dalam hubungan terhadap
22
James N. Rosenau. The Study of Foreign Policy dalam James N. Rosenau, kanneth Thomson
and Boyd. World Politics: An Introduction. New York: Free Press. Hal; 16
23 John P. lovell Foreign Policy in Perspective Strategy Adaptation Decision Making Hal; 229
12
estimasi kemampuan pemerintah untuk merespon. Kedua, faktor personal,
yakni kebijakan luar negeri juga dipengaruhi oleh kelemahan dan keberanian
manusia, kebodohan dan kejeniusan atau karakteritik seorang aktor untuk
konflik dan kerjasama. Ketiga, kebiasaan politik. Keempat, pemilihan,
rekrutmen meliputi sebuah proses pemilihan dan pemilihan diri sendiri yaitu;
membuat kebijakan menggunakan istilah untuk merujuk terhadap orang
dengan pertanggung jawaban formal atau informal yang ditujukan untuk
pembuatan kebijakan yang merujuk atau ditetapkan terhadap posisi mereka,
akan tetapi mereka juga membuat pilihan dan komitmen pekerjaan yang
membuat mereka mampu untuk pemilihan atau penetapan. Kelima,
sosialisasi. Keenam, birokrasi; konteks stuktur. Ketujuh, pola penguasa,
tingkat keahlian individu dalam posisi pemimpin terhadap persoalan perintah
untuk mematuhi perintah yang ada pada posisi kepemimpinan atau pemilik
otoritas. Yaitu para ahli dan pemilik legitimasi kekuasaan.dan ke delapan,
struktur kekuatan tidak resmi24
.
E. Metode Penelitian
Jenis penelitian skripsi ini adalah jenis deskriftif analisis, yaitu suatu
cara untuk membuat gambaran dan analisis berupa gejala dan situasi yang
menjadi bagian permasalahan yang diteliti25
. Jenis penelitian seperti ini
menggunakan metode analisis kualitatif. Menurut Blaxter, dalam metode
24
Horold D. Lasswell and Abraham Kaplan, Power and Society, A famework for Political
Inquiry.New haven; Yale University Press; hal 133.
25John W. Creswell, Research Design; Qualitative and Quantitative Approach. California: Sage
Publication, 1994, h. 148.
13
penelitian politik, metode analisis kualitatif merupakan penelitian yang
menggunakan banyak data untuk membuat generalisasi dan prediksi, yang
mendasarkan pada penelitian kepustakaan, yang cenderung fokus pada usaha
mengeksplorasi sedetail mungkin26
.
Dalam proses pembuatan skripsi ini menggunakan metode yang
bersifat kualitatif yang mengandalkan data primer. Aspek utama dari riset
kualitatif: apa yang sebenarnya kita cari jawabannya adalah bukan hanya
“apa” yang terjadi, tetapi juga “mengapa” dan “bagaimana”27
terhadap sebuah
fenomena yaitu invasi Amerika Serkat ke Irak dalam rangka menjalankan
kebijakan luar negerinya untuk menghadapi terorisme.
Untuk proses pengumpulan data yang pertama di lakukan penulis
adalah melakukan studi kepustakaan, seperti mendatangi beberapa
perpustakaan, antara lain Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perpustakaan Pusat UI depok, Perpustakaan FISIP UI, Perpustakaan
Kementerian Luar Negeri, (KEMLU) Perpustakaan LIPI, Perpustakaan
Universitas Budi Luhur (BL), dan Perpustakaan Freedom Institute di berbagai
lembaga atau instansi yang berkaitan dengan topik pembahasan skripsi ini. Di
samping itu, untuk melengkapi data peneliti juga mengambil data dari surat
kabar, majalah dan sumber- sumber lainnya, serta dari alamat- alamat web
yang dapat di pertanggung jawabkan, data yang telah di dapat akan di gunakan
sebagai referensi penulisan penelitian ini.
26
Lissa Harrison, Metodologi Penelitian Politik, Jakarta: Kencana, 2007, h. 86
27Ibid hal. 89
14
E. . Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari:
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat
D. Kerangka Pemikiran
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan
BAB II Eksistensi Amerika Serikat di Irak
A. Irak di bawah Rezim Saddam Husein
B. Operasi pembebasan Amerika Serikat di Irak
C. Pengaruh Peristiwa 9/11 terhadap Kebijakan AS
D. Kebijakan Keamanan AS pra dan pasca Peristiwa 9/11
E. Akibat Perang Irak
BAB III Kebijakan National Security Strategy AS Di Irak
A. Pandangan Umum Strategi Internasional Amerika Serikat
B. Sejarah dibentuknya National Security Strategy
C. National Security Strategy 2002
D. Pandangan terhadap National Security Strategy
15
BAB IV Analisis Dan Pembahasan Kebijakan National Security
Strategy Amerika Serikat di Irak terkait terorisme pada masa George
W. Bush tahun 2003 – 2009
A. Pandangan George W. Bush Tentang Terorisme dan Invasi Irak
B. Kebijakan Amerika Serikat Dalam Mengatasi Terorisme
C. Kerjasama Amerika Serikat-Irak tentang Terorisme pada periode
tahun 2003-2009
D. Kerjasama Amerika Serikat-Irak untuk Melawan Terorisme
Sebagai Kompensasi Pasca Invasi
BAB V Kesimpulan
Daftar Pustaka
16
BAB II
EKSISTENSI AMERIKA SERIKAT DI IRAK
A. Irak di bawah Rezim Saddam Husein
Saddam Hussein dilahirkan pada tanggal 28 April 1937 di daerah Al-
Awja, Irak dania meninggal di Kadhimiya, Irak, 30 Desember 2006 pada umur 69
tahun. Ia menyelesaikan studinya di Universitas Kairo pada tingkat sarjana, dan
dilanjutkan dengan mengambil gelar master di Universitas Baghdad pada 1971,
Saddam sempat merasakan buih pahit ketika partai Ba‟ath mengalami kekalahan
pada tahun 196828
.
Saddam Hussein adalah seorang sekuler yang berkuasa di Irak melalui
partai politik Baath, sebelum masa kekuasaannya memimpin Irak Saddam
melakukan kudeta membantu sepupunya Hasan al- Bark dalam menggulingkan
kekuasaan Abdul Rahman Arif, hingga Saddam dipilih menjadi wakil presiden
dan Hasan al- Bark menjadi presidennya, namun pada tahun 1979 Saddam
berhasil menyingkirkan Hasan al- Bark29
.
Saddam menciptakan pemerintahan yang otoriter, ia mempertahankan
kekuasaanya melalui perang Irak-Iran (1980-1989) dan perang teluk (1991).
Kedua perang tersebut menyebabkan dampak buruk yang signifikan terhadap
masyarakat sipil seperti taraf kesejahteraan dan keamaan masyarakat menurun
hingga banyaknya hak-hak asasi manusia yang dilanggar oleh pemerintah. Sadam
banyak menindas dan tak segan-segan untuk membantai gerakan yang dianggap
28
Profil.merdeka.com/mancanegara/s/saddam-hussein/ 8 Januari 2014.
29Richard M. Daulay.Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama.Libri. 2009. Hal; 94 – 98.
17
mengancam stabilitas keamanan negara, khususnya gerakan yang muncul dari
kelompok-kelompok etnis dan keagamaan yang memperjuangkan kemerdekaan
dan menuntut pemerintah yang otonom.30
B. Operasi Pembebasan Amerika Serikat di Irak
Penyerbuan Amerika ke Timur Tengah bukanlah tanpa sejarah yang
panjang. Pada 17 Oktober 1985, Reagan, Presiden Amerika, bertemu dengan
perdana menteri Israel, Shimon Peres di Washington. Peres berkata kepada
Reagen bahwa Israel telah siap mengambil langkah-langkah besar di Timur
Tengah dan memperluas “tangan perdamaian” ke Yordania. Karena hal ini, Peres
disambut hangat oleh media Amerika sebagai tokoh perdamaian, dan memuji
komitmen kukuhnya untuk “lebih baik menanggung biaya perdamaian dari pada
membayar harga peperangan. Sedangkan ucapan-ucapan Reagan tentang
terorisme dilaporkan dan dibahas dengan sangat serius dalam media arus-utama.
Tetapi kadang-kadang, para kritikus menyoroti kemunafikan orang-orang yang
mengutuk keras teorisme internasional sementara mengirim tentara-tentara klien
mereka untuk membunuh, memotong-motong, menyiksa dan menghancurkan
warga sipil sebuah negara yang dituduh sebagai negara yang melindungi
terorisme.31
Isu tentang terorisme dijadikan sebagai legitimasi Amerika untuk
menyerbu Timur Tengah, bermula dengan penyerbuan Afghanistan karena
30
Profil.merdeka.com/mancanegara/s/saddam-hussein/ 8 januari 2014
4 Noam Chomsky, Amerika sang teroris, Mizan, 2001, h : 41
18
dianggap sebagai sarang Al-Qaeda hingga Irak yang dicurigai memiliki senjata
pemusnah masal. Adapun puncak isu terorisme adalah ketika terjadi insiden 11
september 2001. Setelah kejadian tersebut, Amerika melaksanakan invansi besar-
besaran ke Afghanistan yang diduga sebagai pelindung Osama Bin Laden
pimpinan Al-Qaeda karena bertanggung jawab penuh atas peledakan gedung
WTC pada 11 September 2001.
Tidak lama setelah menggempur Afghanistan, pemerintah Amerika Serikat
mengeluarkan secara resmi National Securty Concept atau yang dikenal dengan
NSS – 2002. Bush mengeluarkan dua doktrin yaitu “with us or against us‖ dan
“preemptive strike”. Konsep ini disebut sebagai “doktrin kebijakan keamanan
terbaru AS” atau disebut juga dengan doktrin Bush. Doktrin baru ini menyatakan
kesewenang-wenangan pemerintah presiden Bush yang akan memerangi terorisme
dengan caranya sendiri serta mengabaikan hukum internasional. Isi pidato
presiden Bush menunjukkan bahwa Amerika tidak ingin cita-citanya untuk
menciptakan “The New World Order” (Tata Dunia Baru) -yang seluruhnya
mengandung nilai-nilai Amerika- mendapat tantangan, disamping langkah AS
untuk mengekalkan gelar „The Sole Superpower‟di muka bumi. Dengan kata lain
bisa dikatakan bahwa AS juga merupakan teroris karena mampu menghancurkan
sebuah negara yang dianggapnya mengganggu keamanan nasional tanpa alasan
dan bukti yang nyata32
.
Tidak butuh waktu lama setelah dikeluarkannya NSS, pada tanggal 19
Maret 2003 Amerika memulai melaksanakan operasi pembebasan di Irak. Operasi
32
Abdul Halim Mahally. Menjelajah Negara Muslim Menguak Agenda Besar AS, dibalik invasi
ke Irak dan Afganistan. Fima Rodheta. Hal: 130
19
dilaksanakan untuk menjatuhkan rezim Saddam Hussein yang berkuasa pada saat
itu, karena Saddam memimpin Irak dengan diktaktor dan melakukan banyak
pembunuhan.
Selain menyingkirkan kediktaktoran Saddam Hussein, Amerika memiliki
beberapa alasan lain seperti yang dikutip dari Eric Alterman dan Mark Green
dalam bukunya the book on Bush; How George Bush Misleads America, ia
mencatat sejumlah sinyalemen yang mungkin menjadi motif mengapa Amerika
menyerang Irak, diantaranya adalah:
Pertama, Bush menyerang Irak terkait dengan peledakan WTC di
New York. Bush menuduh Irak berdiri dibalik jaringan Al-Qaeda
yang divonisnya sebagai pihak yang bertanggung jawab atas
peledakan WTC dan Pentagon.
Kedua, adanya isu senjata pemusnah massal.Amerika menyerang
Irak dikarenakan adanya isu bahwa Irak memiliki senjata
pemusnah massal. Yang mana kalau tidak segera diamankan, Irak
dengan senjata massal tersebut akan akan membahayakan stabilitas
keamanan dunia.
Ketiga, minyak.Irak merupakan negara penghasil minyak kedua
setelah Arab Saudi. Oleh karena itu Amerika ingin menguasai
minyak di Irak untuk kebutuhan industri dan militer. Dan satu-
satunya cara untuk menguasai Irak adalah dengan menaklukannya.
Keempat, Untuk membebaskan warga Irak.Selama pemerintahan
Hussein yang notabennya diktator dan represif, banyak rakyat sipil
20
yang tertindas dan kehilangan hak asasinya bahkan nyawanya.
Oleh karena itu, Amerika ingin membebaskan rakyat Irak dari
ketertindasan dan kediktatoran pemerintahnya.
Kelima, demi Israel.Amerika menyerang Irak untuk melemahkan
kekuatan Irak. Sebagai sekutu Amerika di Timur Tengah, Israel
merasa terancam akan kekuatan Irak dan pemerintahan yang tidak
demokratis.
Keenam, Untuk membuka akses yang lebih besar bagi militer
Amerika dalam memperkuat basisnya di Timur Tegah. Timur
Tengah merupakan kawasan strategis yang harus dikendalikan dan
hingga saat ini, kebutuhan minyak Amerika sangat bergantung
pada pasokan minyak dari Timur Tengah.
Ketujuh, Untuk mendemontrasikan kepada dunia dan jaringan
teroris bahwa Amerika memiliki kekuatan yang lebih besar untuk
membalas setiap serangan yang dilakukan teroris maupun negara
yang membangkang terhadap Amerika, kapanpun dan dimanapun.
Kedelapaan, Bush menyerang Irak untuk menutupi kelemahannya
yang tidak sanggup menangkap Osama dalam Perang Afganistan.
Karena sebelum serangannya ke Irak, Bush pernah menjanjikan ke
warga Amerika bahwa dia akan menangkap bin Laden: “Dead or
alive”.
Kesembilan, Untuk menciptakan suasana ketakutan bagi
masyarakat Amerika dalam rangka memenangkan pemilihan
21
presiden 2004. Politik ketakutan (the politics of fear) digunakan
sebagai alat kampanye pemilihan presiden.
Kesepuluh, Bush menyerang Irak untuk melampiaskan dendam
keluarga Bush terhadap Saddam Hussein yang pernah berencana
membunuh George H.W. Bush (ayahnya) ketika keluarga Bush
berkunjung ke Kuwait tahun 1993. Laporan CIA mengungkapkan
bahwa Saddam Hussein berkonspirasi dengan agen-agen Kuwait
untuk membunuh Bush senior bersama istri dan anggota keluarga
yang turut serta. Tentang hubungan antara insiden Kuwait dengan
invasi Irak, Presiden Bush Junior pernah berkata, “The guy who
tried to kill my dad”.
Kesebelas, Bush menyerang Irak karena ingin menata negara-
negara di Timur Tengah agar menjadi negara demokratis, dan tidak
menjadi lahan subur bagi berkembangnya teroris33
.
Alasan – alasan di atas dipakai oleh Bush untuk meratifikasi kebijakan dan
melancarkan invansi ke Irak. Dengan kekuatan retorika yang diperkuat pemakaian
bahasa-bahasa keagamaan dan idealisme Amerika, Bush sanggup memukau
rakyat Amerika, termasuk para politisinya (parlemen dan senat) yang tergabung
dalam kongres.
33
Richard M Daulay.Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama.Libri. 2009. Hal; 94 – 98.
22
C. Pengaruh Peristiwa 9/11 terhadap Kebijakan AS
Satu tahun setelah peristiwa 9/11, AS mengeluarkan National Security
Strategy pertamanya di bulan September 2002 untuk memberantas terorisme yang
semakin merajalela. AS menetapkan jaringan teroris Al-Qaeda yang paling
bertanggung jawab atas peristiwa tersebut, Afghanistan yang dianggap sebagai
sarang Al-Qaeda diserang habis-habisan oleh Amerika. Pada 28 Januari 2003,
Presiden Bush mendeklarasikan bahwa ancaman keamanan terbesar dunia ada
pada Saddam Hussein, karena Hussein memiliki senjata pemusnah massal
(WMD) dan Bush juga menyatakan bahwa Irak „membantu dan melindungi‟
organisasi teroris Al Qaeda, dan bisa saja Irak menyuplai senjata pemusnah
massal kepada Al Qaeda34
. Tepat pada tanggal 15 April 2003, Presiden Bush
mengumumkan bahwa rezim Saddam Hussein sudah habis, dan Saddam Hussein
ditangkap pada 13 Desember 2003 di dekat rumahnya, Tikrit.
AS menganggap perang Irak sebagai sebuah perang pencegahan terhadap
teroris (a preventive war of terorism). Dalam pidatonya pada 7 Oktober 2002 di
Cincinatti, Bush bertanya, “jika kita mengetahui Saddam Hussein memiliki
senjata yang berbahaya hari ini, dan kita juga memiliki, apakah kita harus
menunggu untuk menyerang sampai dia tumbuh lebih kuat dan mengembangkan
senjatanya menjadi lebih berbahaya lagi?”.
34
Text of President Bush‟s speech at West Point,
http:/www.nytimes.com/2002/06/01/international/02PTEX-WEB.html.Hereinafter “Speech at
West Point.”
23
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apa sebenarnya hubungan antara
Al-Qaeda, yang menjadi prioritas utama Amerika, dengan Irak (menurut Bush)?.
Pada akhir September 2002, Bush mengumumkan bahwa “kamu tidak bisa
memisahkan antara Al Qaeda dan Saddam saat kamu berbicara tentang perang
atas terorisme. Mereka berdua sama jahatnya, seperti setan, dan sama-sama
menghancurkan. Bahayanya adalah Al-Qaeda menjadi perpanjangan tangan dari
Saddam Hussein, dengan kebencian dan kapasitany, mereka akan menggunakan
senjata pemusnah massal tanpa memberi aba-aba terlebih dahulu 35
.”
Bukannya sebagai kekuatan pelindung keamanan dunia, AS memiliki
peran yang paradoksal. AS lebih terlihat sebagai sebuah kekuatan yang berbayang
teror daripada pengaman dunia, di satu sisi menciptakan suatu aturan tertentu
namun disisi lainnya terdapat bayang- bayang terror.
Akibat peristiwa 9/11 tersebut, Amerika mengambil langkah cepat dan
tegas dengan mengeluarkan NSS 2002 tersebut, dan itu terlihat jelas saat presiden
Bush memberikan pidatonya di berbagai kesempatan seperti di Cincinnati, West
Point dan lain sebagainya.
Peristiwa 9/11 merupakan „kiamat kecil‟ bagi Amerika. Banyak terjadi
perubahan yang yang disebabkan peristiwa tersebut, dan perubahan tersebut
dibagi menjadi dua wilayah: Konsekuensi secara Politik dan Konsekuensi secara
Sosial. Perubahan secara politik adalah dengan dibentuknya Department of
Homeland Security (DHS). DHS memiliki tugas untuk melindungi wilayah
35
National Security Strategic, p.15
24
Amerika dari serangan terorisme dan bencana alam. Departemen ini memiliki
hampir 184 ribu pegawai dan merupakan kabinet terbesar ketiga di dalam
pemerintahan federal Amerika36
.
Adapun perubahan sosialnya: pertama, kecurigaan yang tinggi, banyak
orang Amerika yang mencurigai aktivitas orang-orang asing, terlebih apabila
orang asing tersebut adalah orang yang terlihat seperti orang Arab37
. Kedua,
diskriminasi, banyak warga muslim Amerika mengalami diskriminasi setelah
peristiwa 9/11 tersebut. Ketiga, keamanan, banyak warga Amerika yang lebih
memilih menggunakan mobil dari pada pesawat karena ketakutan akibat insiden
9/11, dan ini menyebabkan 1,595 kematian di jalan raya di tahun berikutnya38
.
keempat, Penyensoran, setelah insiden 9/11 banyak program-program stasiun
televisi maupun radio yang disensor. Dan yang terakhir, imigrasi, pemerintah
Amerika melakukan operasi besar-besaran terhadap warga imigran. Pada tahun
2001, jumlah orang yang dideportasi adalah dua ratus ribu orang39
.
36
http://www.dhs.gov/blog/2014/01/16/dhs-welcomes-new-director-tribal-affairs 17 januari 2014
37 Poll: Suspicion of Arabs, Arab-Americans deepen". USA Today. September 16, 2001.
38 Gardner, Daniel The Science of Fear: Why We Fear the Things We Shouldn't—and Put
Ourselves in Greater Danger. Dutton Adult. 2008. Hal. 3
39 http://fusion.net/justice/story/ways-immigration-system-changed-911-15422
25
D. Kebijakan Keamanan AS: Pra dan Pasca Peristiwa 9/11
1. Kebijakan Keamanan AS sebelum 9/11
Kebijakan keamanan sebelum 9/11 yang penulis maksud dalam hal ini
adalah hanya pada saat perang dingin terjadi agar pembahasannya tidak terlalu
melebar. Semasa perang dingin, AS dan Soviet memiliki pengaruh yang sangat
besar di dunia. AS ingin melebarkan kekuasannya dengan menanamkan paham
kapitalis dan demokrasinya sementara Soviet dengan paham komunis dan
sosialisnya.
Kemudian AS mengeluarkan kebijakan yang dikenal dengan nama
Containment Policy. Kebijakan ini digagas oleh seorang diplomat AS Joseph
Kennan pada masa kepresidenan Harry Truman, dan Containment Policy ini
tertuang dalam NSC-68 yang dikeluarkan oleh Presiden40
. Berbeda dengan
pembahasan sub bab kebijakan pasca 9/11 yang tertuang pada National Security
Strategy 2002 sebagai rujukan kebijakan keamanan AS pasca 9/11, strategi
keamanan pada NSC-68 ini bersifat rahasia.
Pada tahun 1995, AS menerbitkan A National Security Strategy
Engagement and Enlargement yang memfokuskan pada tiga hal pokok sebagai
tujuan utama strategi keamanan AS41
yakni: pertama, memelihara keamanan AS
dengan kekuatan militer yang selalu siap tempur. Kedua, meningkatkan
40
Peter G. Tinsley, “Grand Strategy for the United State in the 21th Century. U.S. Army War
College. 2005, hal. 11
41 A National Security Strategy Engagement and Enlargement 1995, (The White House) February
1995, Hal. i
26
revitalisasi terhadap kemampuan perekonomian AS. Dan yang terakhir,
mempromosikan demokrasi secara luas.
Kemudian tahun 1998, AS kembali mengeluarkan National Security
Strategy 1998 sebagai upaya untuk mengamankan keamanan negara dari aktor-
aktor non-negara seperti terorisme, pengungsi ilegal, penyelendupan narkoba dan
senjata ilegal yang akan membawa ancaman baik kepada kepentingan nasional AS
ataupun ancaman yang mengarah kepada keselamatan masyarakat AS baik di
wilayah kedaulatan AS sendiri maupun di luar negeri.
2. Kebijakan Keamanan Setelah 9/11
Penyerangan menara kembar WTC dan gedung Pentagon menyadarkan
AS kepada konsep keamanan yang selama ini mereka andalkan untuk menjaga
keamanan wilayahnya. Pentagon memprediksikan bahwa pada tahun 1998 hingga
2015 akan ditandai dengan ketiadaan kekuatan global yang mampu menandingi
Amerika dalam hal kapabilitas militer seperti yang dilakukan Soviet dimasa
perang dingin42
.
Kejadian 9/11 merubah paradigma AS bahwa stabilitas keamanan akan
dapat dihasilkan melalui superioritas di bidang militer. Ancaman kini berbeda dan
mengharuskan AS untuk merespon perubahan ancaman yang dilakukan oleh
terorisme.
42
Robert J. Art, A Grand Strategy for America. New York: Century Foundation Book. 2003. Hal.
13
27
Dalam merespon penyerangan 9/11, pemerintah AS memberikan
maklumat melalui penerbitan Quadrennial Defense Review (QDR) pada tanggal
30 september 2001 dengan tujuan pemahaman kepada publik menyangkut
keterbatasan kekuatan milter yang dimiliki AS terhadap penyerangan yang
dilakukan ke dalam wilayah kedaulatan AS43
.
AS tampak mengalami kesulitan untuk merespon serangan teroris, hal ini
mengingat tidak adanya strategi yang nyata dalam merespon serangan teroris.
Sejumlah instrumen kebijakan diterbitkan untuk menjaga keamanan AS,
diantaranya Patriot Act. Patriot Act yang memberikan wewenang terhadap jaksa
agung untuk melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang disangkakan
terlibat dalam teroris tanpa melalui proses persidangan dan kemudian ditempatkan
di Penjara Guantanamo44
.
Selain menerbitkan Patriot Act, AS juga melakukan tindakan Preemtive
Strike yang bertujuan untuk mencegah semakin berkembangnya terorisme dengan
cara menindak rezim-rezim yang dicurigai memiliki hubungan sebagai pihak yang
mensponsori tindakan terorisme45
.
Kemudian pada tahun 2002, AS mengeluarkan National Security Strategy
yang berbunyi: melakukan tindakan secara langsung serta berkelanjutan untuk
senantiasa menggunakan kekuatan nasional maupun internasional, berupaya
melindungi warga AS beserta kepentingan negara baik di dalam negeri maupun
43
Sam J. Tangredi, Assesing New Mission, dalam Transforming Americas Military, Hans
Binnendijk (Ed). Washington, D.C.: National Defense University Press. 2002. Hal. 4
44 Dora Kostakopoulou, “How to do Things with Security Post 9/11”, Oxford Journal of Legal
Studies, Vol. 28. Hal. 317
45 The National Security Strategy 2002, (The President of United State America), September 2002,
hal. 6.
28
kepentingan yang berada di luar negeri, berupaya meniadakan negara-negara yang
di kemudian hari akan menjadi sponsor terhadap gerakan terorisme46
.
Pada bulan Juli 2002, dua bulan sebelum dikeluarkannya NSS, pemerintah
Bush juga telah mengeluarkan kebijakan strategi keamanan dalam negeri atau
National Strategy for Homeland Security 2002 (NSHS). Dalam naskah NSHS
Bush menyatakan bahwa AS menghadapi perubahan ancaman baru47
.
Dalam NSHS 2002, banyak pembenahan yang dilakukan oleh pemerintah
Bush yakni: mampu mencegah serangan teroris terhadap AS, mengurangi
kerentanan AS terhadap bahaya teroris, dan meminimalisir kehancuran yang
ditimbulkan akibat serangan teroris serta melakukan upaya pemulihan paska
penyerangan tersebut48
.
Saat ini, konflik bersenjata justru dilakukan oleh aktor-aktor non-negara
dengan kekuatan relatif kecil jika dibandingkan dengan kekuataan yang dimiliki
oleh suatu negara. Namun dengan kekuatan yang kecil ini ternyata mampu
menciptakan sebuah kehancuran yang sifatnya besar untuk itu AS selalu
melakukan transformasi agar mampu secara objektif mengantisipasi perang yang
saat ini terjadi49
.
46
The National Security Strategy 2002, (The President of United State America), September 2002
47 George W. Bush, National Strategy for Homeland Security 2002, (Office of Homeland
Security), July 2002.
48 The National Security Strategy 2002, (The President of United State America), September 2002.
Hal. vii
49 Steven Metz and Raymond A Millen, “Future War/Future Battlespace: The Strategic Roleof
American Land Power”, Strategic Studies Institute Monographs. U.S Army War College.
2003. Hal. 3.
29
Perubahan kebijakan keamanan AS setelah 9/11 akhirnya melahirkan
sebuah doktrin yang terkenal yakni NSS 2002 (doktrin Bush). Melalui NSS 2002,
pemerintah Amerika mengambil langkah-langkah progresif yang kemudian
dikenal dengan Preemtive Strike. Afghanistan dan Irak menjadi negara sasaran AS
karena kedua negara ini dianggap mensposori jaringan teroris Al-Qaeda hingga
AS meluluhlantahkan negera-negara tersebut.
E. Akibat Perang Irak
Tujuan perubahan rezim (regime change) di Irak adalah untuk
menciptakan sebuah negara yang stabil, sah dan ramah kepada AS atau menjadi
„Negara boneka AS‟. Namun, bagaimanapun juga, negara yang diinginkan AS
tersebut tidak kunjung menunjukkan hasil malah menunjukkan negara yang gagal
karena banyak terjadi perang saudara. Banyak yang menentang langkah Bush
terhadap langkah pergantian rezim di Irak hingga malah menjadi negara gagal.
Menurut Anthony Cordesman, AS telah membuat “multiple strategic
mistakes”50
. AS merencanakan perang untuk melemahkan tentara Irak, tidak untuk
menyelesaikan pemberontakan yang terus menerus. AS mengharapkan untuk
merebut kontrol tertinggi di Irak, menerapkan ideologinya; demokrasi dan
menjarah minyaknya.
Penyerbuan AS terhadap Irak menyisakan duka yang mendalam dan
kerusakan yang besar -kerusakan rumah sakit, infrastruktur, keamanan, dan
50
Anthony Cordesman, Irak‟s Envolving Insurgence., Washington, D.C.:Center For Strategic
Studies, (23 June 2005)
30
korban yang meninggal sekitar 100 ribu orang di tahun pertama pendudukan AS
di Irak51
. Semenjak pendudukan AS di Irak pengangguran meningkat tinggi,
banyaknya prajurit AS dan kontraktor, korupsi yang merajalela, kekerasan
dimana-mana. Cordesman berpendapat bahwa kesalahan terbesar Irak dalam
melawan pendudukan AS adalah kegagalannya untuk menciptakan sistem
keamanan Irak sebagai sebuah prioritas utama52
.
Sikap ketidak senangan warga Irak terhadap AS tumbuh begitu cepatnya,
hasil poling pada tahun setelah pendudukan Amerika terhadap Irak menunjukkan
bahwa 82% warga Irak menolak pendudukan, 57% ingin agar tentara asing
meninggalkan Irak secepatnya, 5% percaya bahwa AS melakukan pendudukan
untuk membantu warga Irak menghancurkan senjata pemusnah masal atau untuk
membangun demokrasi, sementara 43% menganggap bahwa tujuan pendudukan
AS adalah untuk mengambil minyak. Lebih dari 50% mengatakan untuk
menyerang tentara AS53
.
Tidak hanya Irak yang menanggung kerugian akibat pendudukan. Amerika
juga menanggung kerugian besar pula baik dari segi materi biaya operasional,
biaya persenjataan. maupun imateri psikologi para tentara. Adapun berikut biaya
administrasi yang harus ditanggung Amerika selama tahun pertama
pendudukannya di Irak.
51
The British Medical Journal Lancet, October 2004
52 Anthony Cordesman, Irak’s Envolving Insurgence., Washington, D.C.:Center For
Strategic Studies, (23 June 2005)
53 Washington Post, 13 May 2004, “Agence France Press, 12/1/13, http:/www.middle-
east-online.com
31
Table 2. Perkiraan biaya yang ditanggung Amerika selama tahun pertama
pendudukan (dalam juta dolar)54
.
Kategori Biaya
minimal
Biaya
maksimal
Satu atau dua bulan perang 33.0 59.8
Tentara 19.0 38.8
Rekonstruksi 5.0 10.0
Bantuan untuk musuh 10.0 18.0
Bantuan kemanusiaan 1.2 2.4
Total 67.6 129.0
54
“Irak War Coast Could Soar, Pentagon Says,” Los Angeles Times, February 26, 2003.
32
BAB III
A. Pandangan Umum Strategi Internasional Amerika Serikat
Amerika Serikat (AS) merupakan sebuah negara yang menganut paham
demokrasi55
AS menganggap demokrasi adalah satu-satunya jalan untuk
memperbaiki dunia56
. Dengan berpegang teguh pada prinsip tersebut, AS
mencoba untuk menyebarkan ajaran demokrasi tersebut ke berbagai negara. Hal
tersebut dilakukan AS dengan tujuan untuk mencapai perdamaian dunia dengan
menghormati hak-hak dan kebebasan individu.
Di dalam tatanan pemerintahan, para pembuat kebijakan AS menganut dua
ideologi yang berbeda, yaitu fundamentalisme dan neo-konservatisme.
Fundamentalisme sebagai sebuah konsep atau pemikiran teologis yang lahir dan
berkembang dalam pemikiran rakyat AS sejak awal abad ke-20. Fundamentalis
pada masa itu di AS terkenal di kalangan umat Kristen yang berjuang untuk
mempertahankan ajaran-ajaran dasar Agama Kristen57
. Mereka menjadi sangat
relegius, sehingga tidak jarang gereja menjadi pusat informasi tidak hanya dalam
bidang agama, tetapi ekonomi, politik, kesehatan, budaya dan hal- hal umum
lainnya. Salah satu tokoh fundamentalisme adalah Bob Jones. Sebagai seorang
fundamen, ia menolak teori evolusi Darwin58
. Hal ini disebabkan Darwin
menganggap manusia terlahir dari perkembangan kera yang berlanjut menjadi
55
Dalam bukunya dasar dasar politik, Prof. Miriam Budiarjo di jelaskan bahwa kata demokrasi
berasal dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos (kratein) berarti kekuasaan jadi
demokrasi adalah rakyat berkuasa. Miriam Budiaro. Dasar – dasar logika, gramedia, hal: 50.
56Richard M Daulay. Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama. Jakarta. Libri Hal; 22
57 Ibid. Hal; 33
58 Richard M Daulay. Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama. Jakarta. 2009. Hal; 44
33
manusia, bukan dari azas ketuhanan bahwa tuhan menciptakan manusia pertama
yaitu Adam dan Hawa. Pemahaman ini kemudian menjadi kepercayaan besar
untuk pemimpin AS George W. Bush.
Sejak tragedi 9/11, Bush menjalankan politik fundamentalisme agama,
yaitu politik yang mencampurkan antara agama dan politik, Bush menggunakan
istilah crusade (perang salib) untuk menyebut operasi militer melawan Taliban di
Afghanistan. Artinya, dia cenderung menggunakan istilah yang mencerminkan
simbolisme religius, seperti crusade, infinite justice (keadilan tak terbatas)59
dan
pernyataan tersebut mengundang kekecewaan umat muslim di dalam dan diluar
AS dan juga mengingatkan bangsa Eropa dengan peristiwa traumatis pada perang
salib, yang kemudian Bush meralat perkataan tersebut. Meskipun AS dengan jelas
menyebutkan mereka adalah negara demokrasi tetapi Bush tetap mencampurkan
antara agama dan negara dalam setiap keputusannya60
.
Selain Fundamentalisme, para pembuat kebijakan AS juga memiliki dasar
pemikiran neo-konservatisme atau biasa disebut neocon. Dengan pemikiran
neocon ini AS dibawa kepada kesuksesan, dengan ekonomi, politik dan budaya
yang maju, bahkan menjadi super power.Hal ini di buktikan dengan teknologi
yang canggih yang juga digunakan kedalam sistem persenjataan militer.Bahkan
neo-konservatif beranggapan bahwa untuk menjamin AS dari segala ancaman dari
59
Wawancara Azumardi Azzra,
http://islamlib.com/?site=1&aid=667&cat=content&cid=12&title=bush-sering-pakai-istilah-
istilah-biblikal diakses pada 7 Januari 2014
60 Richard M Daulay. Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama. Jakarta. 2009. Hal: 76
34
luar61
, AS harus menggunakan kekuatan militernya dan mengubah pemerintahan-
pemerintahan di dunia menjadi negara demokrasi.
Dijelaskan di dalam buku Amerika vs Irak bahwa yang paling bertanggung
jawab dalam kebijakan Gedung Putih untuk menginvasi Irak adalah neo-
konservatisme, hingga menyebabkan dampak negatif bagi Irak bahkan AS sendiri.
Dari sini pula terjadinya kolaborasi antara fundamentalisme (ideologi agama) dan
neokonservatif (ideologi politik) yang kemudian mengambil wujudnyata dengan
melahirkan kebijakan politik luar negeri presiden Bush62
. Disisi lain, dari
meningkatnya semangat fundamentalisme AS, neokonservatif mengalami
penguatan. Selain itu, neokon mempengaruhi AS untuk mengambil kebijakan
yang cenderung lebih keras dan agresif. Presiden Bush, secara keagamaan, sangat
fanatik, dan itu tercermin dari beberapa aturan yang dia lakukan, diantaranya
aturan- aturan AS pasca tragedi 9/11.
Dengan demikian, kedua pemikiran yang berkembang di kalangan pejabat
pembuat kebijakan di AS ini sangat mempengaruhi berbagai jenis kebijakan yang
dikeluarkan terkait dengan strategi dan keputusan yang akan dijalankan oleh AS
untuk direalisasikan dalam lingkup domestik atupun internasional.
Faktanya,sistem demokrasi yang dianut oleh AS, melahirkan sebuah kebijakan
national security yang terdapat dalam “The National Security of the United States
of America September 2002 atau NSS-2002”.
61
Ibid. Hal; 8
62 Ibid hal: 11
35
B. Sejarah dibentuknya National Security Strategy
National Security Strategy (Strategi Keamanan Nasional) adalah dokumen
yang disiapkan secara periodik oleh pemerintah Amerika Serikat untuk Kongres.
Isu keamanan nasional yang menjadi fokus AS disebabkan karena kekhawatiran
AS akan adanya serangan dari pihak-pihak yang dikategorikan sebagai musuh.
Dokumen tersebut berlandaskan pada Undang-Undang Goldwater-Nichols atau
Beyond Goldwater-Nichols (BG-N) yang terintegrasi oleh rekomendasi praktis
dan ditindaklanjuti untuk mengatur aparatur pertahanan dan keamanan nasional
AS untuk memenuhi tantangan abad ke-2163
.
Pada 11 September 2001 (9/11) Ameika Serikat digemparkan dengan
peledakan gedung kembar pencakar langit World Trade Center (WTC) di New
York dan gedung Pentagon (Departemen Pertahanan Amerika) di Washington
DC23
. Semua terjadi akibat adanya tiga pesawat sipil American Airlines
berpenumpang 92 orang, yang terbang dari Boston menuju Los Angeles dan
menabrakan pesawat tersebut ke gedung kembar pencakar langit menara utara,
kemudian pesawat United Airlines menabrak menara selatan, pesawat ketiga
menabrak gedung Pentagon.
Setelah peristiwa ini, PBB atas desakan AS melakukan sidang, yang
kemudian dari sidang itu lahirlah resolusi nomor 1372 dan 1390 tentang
terbentuknya lembaga PBB yaitu Counter Terrorism Committee (CTC) yang
kemudian mewajibkan bagi anggota memerangi terorisme global dengan
63
http://csis.org/program/beyond-goldwater-nichols
36
membekukan aliran dana bagi jaringan terorisme di negara manapun24
. Peristiwa
ini membuat seluruh warga AS merasa terancam dan tersakiti serta menyebarkan
ketakutan keseluruh dunia. Teror dan terorisme menjadi kata baru yang
menakutkan, sehingga semua menanti apa yang akan dilakukan Bush sebagai
presiden AS. Pidato presiden Bush yang memproklamirkan perang terhadap
terorisme secara gencar, dimulai dengan penyerangan terhadap Afghanistan, yang
dengan secara singkat AS dapat menjatuhkan kepemimpinan Afghanistan masa
itu, lalu dilakukanlah pemilihan umum baru dengan secara demokrasi.
Peristiwa ini telah menjadi sebuah kunci menakutkan dalam membuka
dunia baru, dunia teror. Sampai akhirnya AS sebagai negara yang memiliki
kekuasaan, dengan mudah membuat kebijakan melawan terorisme, ini dituangkan
dalam sebuah konsep yang disebut dengan National Security Strategy.
Sejak peristiwa 9/11 tersebut,perlawanan terhadap teroris menjadi agenda
besar AS. Segala bentuk tindakan dan hal- hal yang mulai mencurigakan akan
langsung menjadi sorotan. Tidak hanya di Amerika,tetapi di seluruh dunia.
Peristiwa ini sangat mendapat simpati dari dunia internasional. Hal ini di
ungkapkan dengan banyaknya belasungkawa terhadap Amerika diantarannya64
:
PM Kanada Jean Chretien mengatakan bahwa „serangan – serangan
tersebut merupakan sebuah aksi kekacauan yang sangat kejam‖.
24
Richard M Daulay. Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama. Jakarta. 2009. Hal;2
64 Abdul Halim Mahally. Menjarah Negara Menguak Agenda Besar AS, dibalik Invasi ke Irak dan
Afganistan. Bekasi. Fima Rodeta, hal: 9- 16
37
Sekjen NATO Lord Robertson mengatakan “Suatu serangan terhadap
salah satu anggota NATO dinyatakan sebagai serangan terhadap
seluruh anggota NATO‖.
Sekjen PBB Kofi Annan berpendapat bahwa “tidak diragukan lagi
serangan- serangan ini adalah aksi- aksi terrorisme, yang secara
hati- hati direncanakan dan dikoordinir serta saya mengutuknya
secara terang- terangan. Terorisme harus diperangi secara tegas
dimanapun ia berada‖.
PM Inggris Tony Blair ―telah terjadi peristiwa menakutkan sekaligus
menggambarkan di Amerika Serikat.Kami hanya dapat
membayangkan terror dan pembunuhan disana serta banyak warga
tidak berdosa yang kehilangan nyawa. Aksi ini jelas dilakukan oleh
orang – orang berpahan fanatik yang tidak menghargai arti
kehidupan dan kami pemuja demokrasi di dunia ini akan
bergandengan tangan untuk memeranginya dan mengenyahkan
kejahatan ini dari dunia kami‖.
Ratu Elizabeth II (Inggris), “saya menyaksikan perkembangan demi
perkembangan dalam keadaan tidak percaya dan shock total‖.
PM Israel Ariel Sharon “Hati kami bersama anda ( penduduk
Amerika) dan kami siap memberikan bantuan kapan saja diperlukan.
Ini adalah perang antara kebaikan versus kejahatan dan antara
kemanusiaan versus penumpahan darah.
Pemimpin Palestina, Pakistan, dubes Taliban bahkan pemimpin
Hamas turut mengungkapkan bela sungkawanya.
38
Palestina Yasser Arafat “saya mengirimkan ungkapan bela sungkawa
dan bela sungkawa penduduk Palestina kepada Presien Amerika
George W. Bush berikut jajaran pemerintahannya dan kepada
penduduk Amerika atas aksi mengerikan ini. Kami mengutuk keras
operasi serius ini kami benar- benar merasa terguncang, tragedi itu
sangat tidak dapat dipercaya, tidak dapat dipercaya, tidak dapat
dipercaya.‖
Sheikh Ahmed Yassin (tokoh Hamas)” kami tidak melakukan gerakan
untuk mengekspor serangan semacam itu keluar dari wilayah
Palestina. Kami belum siap membuka front- front bersekala
internasional. Akan tetapi, kami juga mengkritik posisi Ameika yang
tidak tegas.
Presiden Pakistan Jendral Prvez Musharraf menyatakan” kejahatan
era modern.
Dubes Taliban untuk Pakistan Mullah Abdul Salam Zaeef “Kami
ingin mengatakan kepada rakyat Amerika bahwa Afghanistan turut
merasakan rasa duka yang mereka alami. Kami berharap para pelaku
terorisme itu segara diringkus dan diadili.― ia juga membantah
keterlibatan Osama Bin laden “Osama hanyalah orang biasa. Ia tidak
memiliki fasilitas- fasilitas yang dapat digunakan untuk melakukan
aktifitas itu‖..
Berbagai macam tanggapan dari berbagai negara, selain simpati ternya ada
sebagian beranggapan berbeda, mereka menganggap bahwa peristiwa ini adalah
akibat dari kebijakan- kebijakan Luar negeri Amerika.
39
C. National Security Strategy 2002
Telah disinggung dalam latar belakang bahwa AS telah menciptakan
kebijakan baru yang tertuang dalam NSS-2002 yang muncul pasca terjadinya
peristiwa 11 September 2001. Dokumen ini salah satunya berisikan tentang
kebijakan keamanan AS, yang akan mempertahankan perdamaian, memerangi
teroris dan tiran serta memperluas perdamaian dengan bekerjasama dengan
negara- negara lain untuk memperkokoh kekuatan. Dan telah disinggung dalam
bab pertama ada tiga poin25
.
Poin kedua dan ketiga ini disebut juga doktrin preemptive Strike, doktrin
ini membolehkan untuk menyerang lebih dulu sebelum diserang. Doktrin ini
mulai direalisasikan pasca peristiwa 11 September 2001 dan target utama doktrin
ini adalah Afghanistan karena dianggap telah menseponsori Osama bin Laden dan
Al-Qaida. Invasi ini tidak berjalan terlalu lama karena Afghanistan merupakan
negara lemah sehinggga rezim Mullah Muhammad Umar tumbang di gantikan
dengan kepimpinan yang lahir dari demokrasi yang di usung AS.
Langkah yang dilakukan oleh AS tidak berhenti sampai disitu, setelah
Afganistan, Irak menjadi tujuan selanjutnya. AS melakukan Invasi ke Irak pada 19
Maret 200365
. Invasi tersebut mendapat kecaman keras dari berbagai pihak. Dari
pihak AS sendiri, yakni kubu Powell (seorang jenderal bintang empat yang sangat
disegani di AS) yang didukung oleh Brent Scowcroft mantan penasihat keamanan
nasional di zaman pemerintahan Gerald Ford dan George H. W. Bush pendapat itu
dimuat di harian The wall Street Journal edisi 15 agustus 2002 yang berjudul 25
lih. Hal: 2.
26 Richard M Daulay. Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama. Jakarta. 2009. Hal;; 6
40
“Don’t Attack Saddam‖66
. Invasi AS ke Irak melahirkan banyak pertannyaan dari
kalangan luas “Mengapa AS menyerang Irak, bagaimana dan disebabkan oleh
apa?
Pada awalnya AS melakukan serangan ke Irak dengan dua alasan67
,
Pertama, menjatuhkan Saddam Hussein dari Irak karena dianggap terlibat pada
peristiwa 11 September atau AS menganggap terjalinnya kerjasama antara Irak
dan Al-Qaeda. Kedua, AS beranggapan bahwa Irak sedang membangun dan
menyimpan senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction).
D. Pandangan terhadap National Security Strategy
Kebijakan National Security Strategy yang dicanangkan oleh AS bukan
berarti tanpa masalah dan perdebatan. Permasalahan tersebut berkisar pada
koherensi antara cara-cara atau langkah-langkah yang dilakukan dengan tujuan
yang hendak dicapai oleh AS68
.
Pasca peristiwa 9/11, AS mengarahkan fokus membangun sebuah
kemitraan dengan negara-negara lain pada masalah perang melawan terorisme. Di
satu sisi, fokus pada perang melawan terorisme merupakan sebuah langkah yang
patut dilaksanakan guna mencapai sebuah keamanan nasional dan internasional.
Akan tetapi, fokus perang melawan terorisme ini menimbulkan perdebatan.
27
Kuncahyono, Trias, Irak Korban Ambisi Kaum Hawkis halt; 110
28Richard M Daulay. Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama. Jakarta. 2009. Hal;: 6
68 Ivo H. Daalder, James M. Lindsay and James B. Steinberg. 2009. The Bush National Security
Strategy: An Evaluation.
Dilihat dari http://www.brookings.edu/research/papers/2002/10/defense-daalder. Diakses pada
16 Januari 2014 pukul 22.55 WIB.
41
Perdebatan ini muncul karena terdapat sebuah inkonsistensi dalam politik luar
negeri AS.
Penilaian terhadap inkonsistensi orientasi politik luar negeri AS dapat
dilihat dari tujuan AS untuk menyebarkan demokrasi yang di dalamnya terdapat
sebuah nilai kebebasan yang terdapat dan mesti dijunjung tinggi di dalam tiap-tiap
individu. Hal ini jelas menjadikan AS berada dalam situasi yang penuh dengan
ketidakpastian. Di satu sisi ingin menyebarkan ajaran tentang demokrasi dan
perdamaian, di lain sisi, AS mencanangkan program untuk melawan terorisme.
Kedua kebijakan yang kontradiktif tersebut telah menjauhkan AS dari
segala cita-cita yang telah lama dicanangkan, yakni penyebaran demokrasi,
kebebasan, dan perdamaian. Cita-cita luhur tersebut telah digeser dengan adanya
kebijakan yang bersifat spontan atas sebuah realita berupa ancaman terorisme
yang AS hadapi.
42
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Kebijakan National Security Strategy Amerika Serikat di Irak terkait
terorisme pada masa George W. Bush tahun 2003 – 2009
A. Pandangan George W. Bush Tentang Terorisme dan Invasi Irak
George Walker Bush merupakan anak dari George Herbert Walker Bush
presiden ke 41 AS. Bush junior pertama kali terlibat di dunia politik pada tahun
1988 dalam kampanye ayahnya sebagai senator di Texas. Kemudian pada tahun
1994 Bush junior mencalonkan diri sebagai gubernur Texas. Langkah awal ini
Bush berhasil bahkan ia menjabat selama dua priode. Kemudian pada tahun 2000
Bush kembali mencalonkan diri namun sebagai presiden dan ia menjadi presiden
ke 43 Amerika Serikat. Pada masa jabatannya Bush mengikrarkan perlawanannya
terhadap terorisme terutama pasca peristiwa 9/1169
.
Di awal kepemimpinannya, Bush membuat sebuah tim kecil yang
dipimpin oleh Condaleezza Rice untuk membantunya dalam memahami masalah-
masalah internasional. Di sisi lain, Bush merupakan seorang pemimpin yang tegas
dalam sikap dan pendirian70
, ia lebih suka membicarakan masalah dengan
langsung pada pokok permasalahan tanpa perlu basa-basi.
Pada 20 September 2001 Bush berpidato
69
Profil.merdeka.com/mancanegara/g/George-welker-bush/
70Amerika vs irak. Hal: 62
43
Peristiwa yang terjadi pada 9 September 2001 menjadi peristiwa besar
bagi AS. Dalam pernyataan George Bush tersebut dapat dicermati lebih dalam,
ada tiga hal penting yang dapat diambil intisarinya; Pertama, AS akan melakukan
penggulingan terhadap pemerintahan-pemerintahan yang dianggap menentang.
Kedua, AS akan menggunakan kekerasan senjata terhadap pemerintahan, jika
pemerintahan tersebut dianggap AS melakukan program proliferasi senjata
pemusnah massal dan memberikan dukungan atau mendalangi kegiatan terorisme,
apapun bentuknya. Ketiga, AS akan melancarkan serangan milier secara unilateral
jika dipandang perlu ataupun menjadi suatu keharusan dengan mengatasnamakan
kepentingan keamanan AS, bahkan mungkin dunia.
Pada awalnya Bush lebih mengutamakan agenda tentang aspirasi
pendukung utamanya, yakni kelompok evangelikal fundamentalisme yang
berjuang untuk memulihkan moralitas warga AS, namun semenjak peristiwa 9/11
agenda tersebut berubah haluan menjadi agenda teroris71
.Perubahan tersebut lebih
didasari oleh adanya kekhawatiran dari AS terhadap rangkaian aksi teror yang
meledakkan gedung WTC dan Pentagon.Semenjak peristiwa 9/11, AS dilanda
ketakutan yang tinggi. Berbagai kebijakan yang dilandasi oleh program perang
terhadap terorisme dikeluarkan sebagai upaya untuk menutupi ketakutan dan
kekhawatiran tersebut,
Menurut Baudllard terdapat dua pandangan tentang terorisme.Pertama,
terorisme merupakan aksi balasan bagi penghinaan yang dilakukan oleh system
dominasi terhadap singularitas terdesak, dan pola kejadiannya pun tidak memiliki
kepastian bentuk.Bagi Baudlard terorisme merupakan sebentuk permainan 71
Amerika vs Irak. Hal; 64
44
kematian dengan kekuasaan yang menyerang kekuasaan.Menurutnya, tujuan
teroris adalah menunjukkan ketidakmampuan kekuasaan, para teroris meraih
kemenangan pada wilayah simbolik.Kedua, terorisme terjadi disebabkan adanya
lahan yang disediakan untuk perluasan efek terornya dan merupakan hegemoni
global.Baginya terorisme merupakan kristalisasi dari ketegangan sistem global.
B. Kebijakan Amerika Serikat Dalam Mengatasi Terorisme
Dalam melindungi kedaulatan negaranya, Amerika Serikat senantiasa
berupaya menciptakan berbagai kebijakan dan konsep yang berkaitan dengan
keamanan nasional. Hal ini dapat dilihat sejak peristiwa 11 September 2001. AS
yang merasa terancam pada akhirnya menciptakan konsep baru yang dinamakan
NSS 2002.Kebijakan ini juga disebut sebagai doktrin Bush yang lebih radikal.
Seperti yang dibahas sebelumnya, bahwa dalam pengambilan keputusan dalam
memerangi teror AS berhak melakukan apapun dan bagi negara- negara di dunia.
Bagi negara lain dalam pandangan AS, jika ingin merasa aman maka mereka
diserukan untuk berpihak kepada AS untuk melawan teroris dan jika tidak
berpihak maka lebih baik diam dan tidak bersikap.
AS sebagai negara berkuasa dengan mudah menunjuk negara- negara yang
dianggap sebagai ancaman, seperti julukan yang diberikan kepada Irak, Iran dan
Korea Utara dengan sebutan negara poros setan (exis of evil), dan Irak
mendapatkan bukti kecurigaan yang tertanam dalam pemikiran Amerika bahwa
Irak memiliki nuklir yang dapat mengancam. Pada sisi lain, AS adalah lambang
dari dominasi kekuasaan, dan kelompok fanatik merupakan lambang dari
45
ketertutupan yang sempit yang juga dipengaruhi oleh hegemoni. Kedua sudut
pandang tersebut sebenarnya merupakan hal yang dapat menghasilkan sebuah
teror itu sendiri72
.
Pada dasarnya jauh sebelum invasi AS ke Irak pada tahun 2003, ini sudah
dipikirkan pada masa Clinton. Awal mula inisiatif tersebut ialah dilayangkan surat
terbuka kepada Clinton yang disampaikan oleh Wolfowitz, Perle, Feith dan
Wurmser diikuti Rumsfeld, Abrams, Kristol, John Bolton sebagai menteri
keamanan internasional. Pada saat itu, Frank Carlucci sebagai menteri
pertahannan Reagen, Richart Armitage Deputi Menteri Luar Negeri saat itu
bersepakat membuat argumen yang menyatakan bahwa kekuasaan Saddam
Husein harus dihentikan.Menurut mereka, Saddam telah banyak menimbulkan
bahaya bagi AS dan dunia dengan adanya kepemilikan senjata pemusnah
massal73
. Baru pada masa kepemimpinan Bush, kekuasaan Saddam Hussein
berhasil dihentikan.
Bush meyakini bahwa dirinya dipanggil Tuhan untuk menyelesaikan suatu
misi khusus untuk melawan terror74
, dan ia benar- benar membuktikan diri
sebagai seorang fundamnetalis yang kuat dalam setiap pandangan yang kemudian
ia tuangkan dalam kebijakannya seperti dalam NSS 2002 mengenai doktrin Bush
(preemptive strake).
Preemptive Strake adalah sebuah doktrin yang tertuang dalam The
National Security Strategy yang kemudian disebut NSS 2002 yang dibentuk pada
72
Silver Ule.Terorisme Global.Ledalero. 2011. Hal; 92
73 Bernd Hamm, the Bush Gang, Ina Publikatama, Jakarta, 2006.Hal: 94
74Richard m. Daulay.Amerika vs Irak.gunung mulia. Jakarta. Hal; 75
46
September 2002, dengan ini Amerika mempersiapkan diri untuk menyerang lebih
dulu sebelum diserang. Dan inilah tersangka utama dalam invasi di Irak pada
tahun 2003.Doktrin ini merupakan strategi terbaru AS.
Pasca 9/11 terjadi perubahan rezim akibat dari kebijakan yang terikat oleh
doktrin dalam NSS. Hal ini bertujuan pada sebuah solusi untuk terciptannya
keamanan nasional dengan menggulingkan pemerintahan dari negara- negara
yang dianggap sulit diatur75
seperti Irak. Dokumen NSS berisikan sembilan bab,
dan setiap bab selalu dibuka dengan kutipan pidato Bush dalam berbagai
kesempatan. Dalam berbagai pidato tersebut ditegaskan bahwa AS adalah sebuah
negara adidaya yang kekuatannya dan pengaruhnya tanpa bandingan.NSS di
keluarkan secara resmi pada 17 September 2002.Doktrin yang tertuang di
dalamnya sangat dipengaruhi oleh pemikiran- pemikiran neocon. Doktrin ini juga
dapat dikatakan fotokopi doktrin Wolfowitz yang disusun pada tahun 1992 atas
perintah Bush senior76
.
Zbigniew Brzezinski dalam bukunya The Grand Chessboard mengatakan
dunia tanpa dominasi AS akan menjadi dunia yang banyak diisi dengan kekacauan
dan kesemrautan serta akan lebih tidak demokratis dan tidak memiliki
pertumbuhan ekonomi yang memuaskan dibandingkan dengan sebuah dunia di
mana Amerika Serikat memiliki pengaruh yang kuat dari negara manapun dalam
menyelesaikan masalah-masalah global. Namun dari seluruh rangkaian kebijakan
dan tanggapan tentang hegemoni AS terdapat berbagai kritik keras yang
75
Bernd Hamm. The Bush Gang.Ina Publikatama, Jakarta, 2006. Hal: 83
76 Richard M, Daulay. Ameika vs Irak.Gunung Mulya; Jakarta. Hal: 77
47
disebabkan efek dari kebijakan AS tersebut juga dianggap banyak menimbulkan
keburukan.
Pasca peristiwa 11 September 2001 selalu di identikan antara terorisme
dan Islam.Hal ini menyebabkan banyak kerugian bagi umat Islam di dunia,
bahkan di AS sendiri. Terjadinya penangkapan besar-besaran bagi imigran
muslim di AS dan bagi warga muslim AS yang dianggap mencurigakan tanpa
alasan yang jelas. Pada masa itu juga Amerika membuat aturan lebih ketat bagi
imigran. Tercatat 14 ribu kasus yang di tangani oleh CAIR ( Council on American
Islamic Relation), yang merupakan sebuah organisasi Islam yang menjembatani
warga AS dengan umat muslim di AS. Namun dibalik itu semua dengan
perjuangan justru Islam berkembang pesat di Amerika77
NSS 2002 membuat Amerika mengeluarkan kebijakan lanjutan yang
merupakan penjabaran dari National Strategy For Combatting Terorism (NSCT),
yang dibuat enam bulan pasca NSS. Didalamnya terdapat langkah-langkah dan
usaha yang akan dilakukan guna memerangi terorisme. Hal ini pulalah yang pada
akhirnya melahirkan Gerakan Koalisi Dunia atau seringkali disebut Global War
Against Terorism oleh AS.
Dua kebijakan ini membuat Amerika melakukan beberapa hal diantaranya,
1. Invansi Amerika ke Irak pada tahun 2003
2. Pada september 2003 AS mengeluarkan beberapa pernyataan dalam
progress report on Global War Terorisme yaitu, AS berhasil
77
Wawancara Ramadhan Pohan dalam islamlib.com/?
48
mempengaruhi 170 negara untuk mendukung perang melawan
terorisme, AS berhasil menangkap terorisme dunia, AS berhasil
mensponsori pertemuan G8 untuk mengambil tindakan melawan
kelompok teroris, AS juga menyediakan dana beasiswa untuk
memberikan pemhaman dalam rangka counter terorisme sebesar $20
pertahun.
3. AS mengeluarkan kebijakan NSCT pada tahun 2006, dimana
didalamnya terdapat 2 pendekatan untuk melawan terorisme
internasional, yaitu jangka panjang dan jangka pendek. Pendekatan
jangka panjangnya adalah penerapan demokratisasi dan HAM.
Sedangkan untuk jangka pendek Amerika menempatkan 4 hal utama
yaitu, mencegah serangan teroris, menghlangkan senjata pemusnah
masal, menghilangkan Negara yang mendukung dan melindungi
teroris, menghilangkan kelompok teroris.
4. Amerika juga melakukan kerjasama bilateral kepada Negara-negara
lain untuk memerangi terorisme yang dilakukan oleh Bush pada masa
pemerintahannya yaitu tahun 2003 – 2009. Diantara Negara-negara
yang menjadi tujuan kerjasama Amerika adalah Arab Saudi, Mesir,
Malasyia, Indonesia, Australia dan lainnya.
49
C. Kerjasama Amerika Serikat-Irak tentang Terorisme pada periode tahun
2003-2009
Serangan yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Irak merupakan salah
satu langkah unilateral yang dilakukan negara adidaya tersebut dalam rangka
implementasi kebijakan perang terhadap terorisme global (War onTerror Policy)
yang digaungkan oleh George Walker Bush.
Para ahli menilai bahwa invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak pada tahun
2003 mengandung misi utama antara lain: menghancurkan senjata pemusnah
massal (Mass Destruction Weapon), memerangi terorisme, dan menyebarkan
paham demokrasi untuk membebaskan rakyat Irak dari rezim diktator Saddam
Hussein.78
Pada dasarnya, Amerika Serikat tengah berada pada kekhawatiran akan
kepentingannya di kawasan Timur Tengah. Sehingga, AS berupaya untuk
melakukan serangan ke Irak. Oleh karena itu, AS memanfaatkan posisi
strategisnya di PBB untuk memuluskan langkahnya menginvasi Irak. AS
berupaya untuk mempengaruhi Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan
resolusi dan akhirnya, PBB mengirimkan Tim Inspeksi Senjata Kimia UNSCOM
(United Nations Special Commision) ke Irak untuk menyelidikan dugaan AS.
Tidak lama setelah itu, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan lagi
Resolusi 1441 mengenai perlucutan senjata destruksi atau pemusnah massal Irak
dan pembentukan Tim Inspeksi yang diberi nama UNMOVIC (United Nations
78
Abdul Halim Mahally. 2003. Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
50
Monitoring, Verification, and Inspection Commision). Menurut resolusi itu, dalam
jangka waktu satu bulan Irak harus menyerahkan laporan mengenai senjata
pemusnah missal dan program pengembangannya. Pada resolusi disebutkan
bahwa jika Irak gagal memenuhi ketentuan resolusi maka serangan militer AS
akan dilancarkan.79
Tim Inspeksi PBB yang diketuai Hans Blix terlebih dahulu melakukan
verifikasi mengenai isu senjata pemusnah masal yang dimiliki Saddam Husein.
Namun, tim tersebut menyatakan tidak menemukan bukti bahwa Irak memiliki
senjata pemusnah masal. Oleh karena itu, banyak kalangan yang melihat bahwa
Amerika Serikat menyebarkan isu tersebut untuk melegalkan serangan AS
terhadap Irak. Bahkan AS juga menuding bahwa Saddam Hussein menjalin relasi
dengan kelompok teroris paling dimusuhi oleh Amerika Serikat, Al-Qaida. Untuk
itulah, Amerika Serikat mengklaim bahwa rakyat Irak harus tebebas dari terorisme
dan rezim diktator yang selama ini diskriminatif terhadap kaum Syi‟ah.80
Menurut Wirawan Sukarwo terdapat dua alasan utama yang
melatarbelakangi serangan AS ke Irak. Pertama, keinginan AS untuk
menghentikan proyek pengembangan senjata pemusnah massal di Irak. Kedua,
menjatuhkan rezim Saddam Hussein yang dianggap memiliki hubungan dengan
Al-Qaeda yang mengancam stabilitas regional. 81
Pada awal tahun 2003, tepatnya pada tanggal 20 Maret Amerika Serikat
melakukan tanpa menghiraukan laporan Tim Inspeksi Senjata PBB, AS
79
Ibid.
80 Budiarto Shambazy (ed). 2003. Obrak-abrik Irak. Jakarta : Kompas.
81 Ibid.
51
mengerahkan kekuatan militernya di perbatasan Irak. Suadron udara dengan
pesawat tempur F-15, F-16, AV-8 Harrier, A-10 Warthog dan pesawat pembom
B-1, B-2, B-523, pesawat tanpa awak F-117, pesawat pemandu AWACS, pesawat
pengintai U-2, serta beberapa kapal induk, dan pasukan marinir dan infanteri
sebanyak 200.000 orang telah disiagakan untuk menunggu komando serangan.82
Sejak hari pertama invasi, National Intelligence Council (NIC) telah
memperingatkan bahwa tindakan AS hanya akan menimbulkan konflik sektarian
dan kemunculan gerakan terorisme yang lebih massif lagi di Irak. Invasi AS ke
Irak ini berakhir pada 9 April 2003 dengan didudukinya kota Baghdad oleh
pasukan AS dan sekutunya.
Dampak positif yang didapat dari invasi ini adalah terbebasnya rakyat Irak
dari Rezim diktator Saddam Hussein. Pada tanggal 15 Desember 2005, Pemilu
demokratis diadakan di Irak dimana kelompok Sunni yang diwakili oleh United
Iraqi Alliance memperolah kursi terbanyak di Parlemen Irak yaitu sebanyak 128
dari total 275 kursi yang ada. Terlihat bahwa dengan adanya Pemilu legislatif di
Irak, seluruh masyarakat Irak bisa menyuarakan aspirasinya secara bebas dan
tanpa tekanan seperti pada masa rezim Saddam Hussein dulu. Kaum Syiah, Sunni,
dan juga Kurdi memiliki representasi yang hampir sesuai dengan populasi mereka
di Irak, dan ini sudah menggambarkan demokratisasi sudah berjalan di Irak dan
memberikan dampak posistif bagi kehidupan politik rakyat Irak.83
82
Mohammad Safari dan Almuzzamil Yusuf. 2003. Perang Irak-AS Hegemoni Baru AS di Timur
Tengah dan Dampak Globalnya. Jakarta : Ceter for Middle East Studies.
83 http://www.tempo.co/read/news/2013/03/20/118468110/Satu-Dekade-Invasi-Amerika-Serikat-
ke-Irak diakses pada 14 Januari 2014 Pukul 21.13.
52
Secara resmi perang Irak dinyatakan berakhir dengan diambilnya
kebijakan untuk menarik pasukan dari Irak oleh Amerika Serikat. Para pengamat
menilai bahwa kebijakan tersebut diambil karena Amerika Serikat mulai
mengalami defisit anggaran untuk membiayai perang. Selainn itu juga, pemerintah
AS mendapat tekanan dari warganya untuk segera menarik pasukan dari Irak
karena tuduhan AS mengenai isu senjata pemusnah masal yang dimilki Irak tidak
terbukti.
Mantan Kepala Angkatan Pertahanan Australia Jenderal Peter Gration
merupakan salah satu yang menentang sikap pemerintahnya yang ikut bergabung
dalam invasi itu. Ia menyebut perang itu "tidak bermoral, ilegal, dan tidak perlu".
Gration mengaku tidak tahu alasan sebenarnya untuk pergi berperang karena tidak
ada senjata pemusnah massal yang ditemukan dan Irak tak terlibat dalam serangan
11 September 2001 ke AS. Hal inilah yang membuat Australia mengambil
kebijakan yang bersebrangan dengan sekutunya itu. 84
D. Kerjasama Amerika Serikat-Irak untuk Melawan Terorisme Sebagai
Kompensasi Pasca Invasi
Pasca tergulingnya Saddam Hussein dan didudukinya Kota Baghdad,
Amerika Serikat praktis menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas segala
korban jiwa dan kerusakan infrastruktur di Irak. Selain itu, paska invasi Amerika
Serikat, kelompok terorisme semakin meningkat di Irak terbukti dengan beberapa
84 Ibid.
53
teror dan bom bunuh diri yang terjadi di beberapa kota di Irak. Oleh karena itu,
Amerika Serikat terus melakukan upaya-upaya kerjasama dengan pemerintah Irak
untuk memperbaiki keadaan Irak setelah invasi. Salah satunya melalui bantuan
politik dan militer baik berupa bantuan persenjataan maupun pelatihan masukan
militer Irak.
Bentuk kerjasama antara Irak dan Amerika Serikat yang bertujuan untuk
memperbaiki kondisi Irak paska invasi dan untuk mengatasi persoalan terorisme
yang semakin marak di negara tersebut, kedua pihak sepakat untuk bekerjasama
dalam mengatasi kedua persoalan tersebut. Gagasan awal kerjasama pada
mulanya diajukan oleh AS sebagai pihak yang bertanggungjawab atas serangan ke
Irak.
Untuk mencegah aksi terorisme paska tergulingnya Saddam Hussein, AS
membantu Irak untuk segera menentukan pemerintahan baru yang demokratis.
Maka pada akhir bulan Mei 2003, AS membentuk Dewan Pemerintah yang
beranggotakan para wakil dari seluruh komponen yang ada di Irak, baik Sunni,
Syi‟ah, Kurdi, maupun Kristen. Dewan Pemerintah yang dipilih oleh AS itu
beranggotakan 25 orang. Dan jumlah anggota masing-masing komponen pun
disesuaikan dengan jumlah mereka secara keseluruhan. Musim Syiah memiliki 13
wakil, Muslim Sunni lima wakil, Kurdi lima wakil, Kristen satu wakil, dan Turki
satu wakil.85
Dewan pemerintah tersebut dibentuk agar semua pihak dapat terlibat
dalam perbaikan Irak sehingga aksi-aksi terorisme dapat diminimalisir.
85
www.aljazeerah.com diakses pada 14 Januari 2014 pukul 21.45.
54
Seiring berjalannya waktu, dimana dari sisi pemerintahan Irak sudah mulai
stabil walaupun masih rapuh dan rawan konflik, kerjasama pemerintahan tetap
dilakukan, namun salah satu anggota parlemen Irak yang berasal dari Partai
Aliansi Irak Bersatu, Sami Al-Askari mengatakan jika Dewan Politik-Keamanan
Nasional Irak mengajukan tiga syarat bagi kerjasama AS-Irak pada masa
mendatang, yakni tidak ada kemudahan dan kekebalan hukum bagi pelaku
kriminal seperti terorisme, Amerika dilarang membangun pangkalan militer tetap
di Irak dan syarat ketiga adalah militer Amerika tidak punya hak untuk
menangkap dan menahan warga Irak tanpa mendapat izin dan konfirmasi dari
pemerintah Baghdad dan atau militer Irak.86
Selain itu, kerjasama yang terjalin antara AS dan Irak meliputi bantuan
militer. Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki berencana untuk mengajukan
permohonan untuk mendapatkan bantuan lebih besar dari Amerika dalam upaya
melawan kekerasan yang meningkat di negaranya. Maliki melanjutkan
pembicaraan di Washington dengan menyampaikan pidato di sebuah acara yang
memusatkan perhatian pada hubungan Amerika-Irak dan tantangan yang dihadapi
Irak pasca perang, dimana konflik antar golongan agama yang meningkat telah
menewaskan lebih 7.500 orang tahun ini.87
86
www.indonesian.irib.ir diakses pada 14 Januari 2014, pukul 21.56.
87 Ibid.
55
BAB V
KESIMPULAN
Peristiwa 11 September 2001 merupakan selasa kelabu bagi setiap warga
negara AS, dan sekaligus menjadi penanda sejarah yang tak terlupakan serta
memberikan sebuah perubahan besar dalam sistem keamanan dunia. Kekuasaan
AS berhadapan dengan tantangan baru yang tidak bisa dianggap remeh; terorisme.
Kekuatan yang tak pernah jelas siapa, dan dimana tempat mereka, membuat AS
hanya bisa waspada dan antisipasi, termasuk menyerang negara yang dianggap
mendukung aksi terorisme. Dalam National Security Strategy 2002 tertera bahwa
AS berhak menyerang lebih dulu sebelum diserang atau preemptive strike.
Melalui doktrin Bush tersebut, AS menjadi negara yang tidak segan-segan
menyerang negara lain yang dianggapnya mengganggu stabilitas keamanan dunia
serta menjadi kekuatan yang dapat menyelesaikan perbedaan.
Kebijakan AS seringkali merupakan hasil dari kumpulan dari beberapa
faktor. Tanpa ancaman nyata, AS menjadikan perang sebagai komunikasi dengan
cara lain. Menurut Baudrillad, AS sebagai lambang dari hegemoni dan kekuasaan
dunia yang bisa melakukan apapun, AS lebih terlihat sebagai sebuah kekuatan
yang berbayang teror daripada pengaman dunia, di satu sisi menciptakan suatu
aturan tertentu namun disisi lainnya terdapat bayang- bayang teror1.
Selain sikap neokonservatif AS yang menggunakan peristiwa 11
September sebagai tameng untuk memulai rencana mereka, hegemoni dunia,
perang dinggap hal yang menguntungkan bagi militer agar mampu mengontrol
56
pihak lain dalam bermacam hal, seperi ekonomi, politik hingga hasil bumi di
suatu negara. Sedangkan bagi warga AS, segala kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintahnya dianggap baik dan untuk kebaikan bersama, karena sejak peristiwa
11 September 2001, yang dilatarbelakangi oleh terorisme, warga AS mengalami
trauma yang sangat berat, sehingga mereka mendukung pemerintahnya untuk
mencegah tindakan terorisme dengan melakukan invasi ke Negara-negara yang
dicurigai sebagai sarang terorisme.
Dengan kebijakan National Security Strategy (NSS), AS berusaha
menghadang dan memerangi terorisme -termasuk Iraq yang dianggap telah
membantu dan melindungi jaringan teroris Al Qaeda. Tentu saja, NSS menjadi
sebuah legitimasi bagi AS untuk menyerang „Negara-negara yang dianggap
mengancam dan membelot‟ dari kebijakan AS. Iraq menjadi „Negara korban‟ NSS
AS. Setelah dilakukannya pendudukan di Iraq, salah satu agenda utama Amerika
adalah melucuti senjata pemusnah (WMD) Saddam Hussein dan menyerang basis-
basis terorisme yang ada di Iraq. Selama masa pendudukan Amerika di Iraq dari
tahun 2003, kekerasan di Iraq mengalami peningkatan yang luar biasa. Bisa
dibilang kalau dampak NSS 2002 AS terhadap Iraq sangatlah tidak
menguntungkan, banyak persoala-persoalan yang muncul setelah pendudukan
Amerika di Iraq diantaranya yaitu meningkatnya aksi terror di Iraq dengan
banyaknya bom bunuh diri, amburadul sistem pemerintahan, perang saudara, dan
lain-lain.
57
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abbas, Muhammad, 2004. Bukan Tapi Perang Terhadap Islam, Solo: Wacana
Ilmiah Press.
Abdurahman, Irman. 2008. Potret Buram Ham Amerika Serikat , Citra.
Adi susilo, Taufik. 2009. Mengenal Amerika Serikat. Jogjakarta: Garasi,
Amstutz, Mark R. 1995. International Conflict and Cooperation: An
Interoduction to World Politicts. Dubuque: Brown & Bencmark.
Banyu Perwita, Anak Agung dan Yanyan Mochammad Yani. 2006. Pengantar
Ilmu Hubungan International. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Burchill, Scott, Andrew Linklater. 2009. Teori- Teori Hubungan Internasional
terjemahan, Bandung: Nusamedia.
Cipto, Bambang, 2003. Politik dan Pemikiran Amerika, Yogyakarta: Lingkaran.
Creswell, John W. 1994. Research Design; Qualitative and Quantitative Approch.
California; Sage Publication.
Chomsky, Noam. 2001. Amerika Sang Teroris. Bandung: Mizan.
Daulay, Richard M. 2009. Amerika vs Irak Bahaya Politisasi Agama, Jakarta:
Libri.
Dumyathi Bashori, Ahmad. 2000. Osama bin Laden Melawan Amerika.
Bandung: Mizan.
Erawan, Ibra. 2007. Perang Irak Kisah Pertempuran Garda Republik Melaan
Agresi Militer Amerika. Yogyakarta: Narasi.
58
Halim Mahally, Abdul. 2006. Menjelang Negara Miuslim Menguak Agenda Besar
AS, dibalik Invasi ke Irak dan Afganistan. Bekasi: Fima Rodeka.
Hamm, Bernd. 2006. The Bush Gang, Jakarta: Ina Publikatama,
Harrison, Lisa. 2007. Metodologi Penelitian Politik., Jakarta: Kencana.
Jemadu. Aleksus. 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kuncahyono, Trias, 2005. Irak Korban Ambisi Kaum Hawkist, Jakarta: Kompas.
Laswell, D, Harold, and Abraham Kaplan. 1950. Power and Society A Framework
For Political Inquiry. New Haven: Yale University press.
Lovell, John P. 1970. Foreign Policy in Perspective Strategy Adaptation Decision
Making. America.
Mas’oed, Mohtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi.
Jakarta: LP3ES.
Morgenthau, H. J. 1951. In Defense of the National Interest: A Critical
Examination of American Foreign Policy. New York: University Press of
America.
Rosenau, James N. 1976. The Study of Foreign Policy dalam James n. Rosenau,
Kanneth Thomson and Boyd.World Politics: An Introduction. New York:
Free Press.
Safari, Mohammad. Almuzzamil Yusuf. 2003. Perang Irak- AS Hegemoni Baru
AS di Timur Tengah dan Dampak Globalnya. Jakarta: Center for Middle
East Studies.
Suhelmi, Ahmad. 2004. Pemikiran Politik Barat, Jakarta. Gramedia.
Ule. Silver. 2011. Terorisme Global. Maumera: Ledaleto.
Weber, Mark. Michael Smith. The Foreign Policy in a Transformed Worlk. Essex:
Pearsen Education
, Pendididkan Kewarganegaraan (civic education), Jakarta, Kencana,
59
Jurnal
Antony Cordesman, Irak’s Envolving Insurgance., Washington, D. C.: Center For
Strategic Studies, (23 June 2005).
Irak War Coast Could Soar, Pentagon Says, Los Angeles Times, February 26,
2003.
The Britisth Medical Journal Lancet, Oktober 2004
Wiryono, S, 2006. Jurnal Duta Indonesia and The World, Constructing Peace,
Deconstructing Terrorism,
Surat Kabar
Kompas.Budiarto Shambazy (ed). 2003. Obrak- abrik Irak. Jakarta.
Internet
www.aljazeerah.com diakses pada 14 Januari 2014. pukul 21. 45.
www.indonesian.irib.ir diakses pada 14 Januari 2014, pukul 21.56
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/09/tgl/12/time/
083948/idnews/673355/idkanal/10
http://www.whitehouse.gov/new/releases/2001/09/20010920-8.html diakses pada
7 Januari 2014
Statement to the United National Security Council. Lihat
http;//www.iaea.org/newscenter/statement/2003/ebsp2003n006.shtml
http://csis.org/program/beyound-goldwater-nichols diakses pada 7 Januari 2014
http://www.tempe.co/read/news/2013/03/20/118468110/Satu-Dekade-Invasi-
Amerika-Serikat-ke-Irak diakses pada 14 Januari 2014
Washington Post, 13 May 2004, Agence France Press, 12/1/13,
http://www.middle-east-online.com
Wawancara Ramadhan Pohan islamlib.com/? diakses pada 7 Januari 2014.
Profil.merdeka.com/mancanegara/g/George-Walker-bush/ diakses pada 8 Januari
20014
LAMPIRAN I
PIDATO BUSH
For Immediate Release
Office of the Press Secretary
September 20, 2001
Address to a Joint Session of Congress and the American People
United States Capitol. Washington, D.C.
9:00 P.M. EDTTHE PRESIDENT: Mr. Speaker, Mr. President Pro Tempore,
members of Congress, and fellow Americans:
In the normal course of events, Presidents come to this chamber to report on the
state of the Union. Tonight, no such report is needed. It has already been delivered
by the American people. We have seen it in the courage of passengers, who
rushed terrorists to save others on the ground -- passengers like an exceptional
man named Todd Beamer. And would you please help me to welcome his wife,
Lisa Beamer, here tonight. We have seen the state of our Union in the endurance
of rescuers, working past exhaustion. We have seen the unfurling of flags, the
lighting of candles, the giving of blood, the saying of prayers -- in English,
Hebrew, and Arabic. We have seen the decency of a loving and giving people
who have made the grief of strangers their own. My fellow citizens, for the last
nine days, the entire world has seen for itself the state of our Union -- and it is
strong. Tonight we are a country awakened to danger and called to defend
freedom. Our grief has turned to anger, and anger to resolution. Whether we bring
our enemies to justice, or bring justice to our enemies, justice will be done. I thank
the Congress for its leadership at such an important time. All of America was
touched on the evening of the tragedy to see Republicans and Democrats joined
together on the steps of this Capitol, singing "God Bless America." And you did
more than sing; you acted, by delivering $40 billion to rebuild our communities
and meet the needs of our military. Speaker Hastert, Minority Leader Gephardt,
Majority Leader Daschle and Senator Lott, I thank you for your friendship, for
your leadership and for your service to our country. And on behalf of the
American people, I thank the world for its outpouring of support. America will
never forget the sounds of our National Anthem playing at Buckingham Palace,
on the streets of Paris, and at Berlin's Brandenburg Gate. We will not forget South
Korean children gathering to pray outside our embassy in Seoul, or the prayers of
sympathy offered at a mosque in Cairo. We will not forget moments of silence
and days of mourning in Australia and Africa and Latin America. Nor will we
forget the citizens of 80 other nations who died with our own: dozens of
Pakistanis; more than 130 Israelis; more than 250 citizens of India; men and
women from El Salvador, Iran, Mexico and Japan; and hundreds of British
citizens. America has no truer friend than Great Britain. Once again, we are joined
together in a great cause -- so honored the British Prime Minister has crossed an
ocean to show his unity of purpose with America. Thank you for coming, friend.
On September the 11th, enemies of freedom committed an act of war against our
country. Americans have known wars -- but for the past 136 years, they have been
wars on foreign soil, except for one Sunday in 1941. Americans have known the
casualties of war -- but not at the center of a great city on a peaceful morning.
Americans have known surprise attacks -- but never before on thousands of
civilians. All of this was brought upon us in a single day -- and night fell on a
different world, a world where freedom itself is under attack. Americans have
many questions tonight. Americans are asking: Who attacked our country? The
evidence we have gathered all points to a collection of loosely affiliated terrorist
organizations known as al Qaeda. They are the same murderers indicted for
bombing American embassies in Tanzania and Kenya, and responsible for
bombing the USS Cole. Al Qaeda is to terror what the mafia is to crime. But its
goal is not making money; its goal is remaking the world -- and imposing its
radical beliefs on people everywhere. The terrorists practice a fringe form of
Islamic extremism that has been rejected by Muslim scholars and the vast
majority of Muslim clerics -- a fringe movement that perverts the peaceful
teachings of Islam. The terrorists' directive commands them to kill Christians and
Jews, to kill all Americans, and make no distinction among military and civilians,
including women and children. This group and its leader -- a person named
Osama bin Laden -- are linked to many other organizations in different countries,
including the Egyptian Islamic Jihad and the Islamic Movement of Uzbekistan.
There are thousands of these terrorists in more than 60 countries. They are
recruited from their own nations and neighborhoods and brought to camps in
places like Afghanistan, where they are trained in the tactics of terror. They are
sent back to their homes or sent to hide in countries around the world to plot evil
and destruction. The leadership of al Qaeda has great influence in Afghanistan and
supports the Taliban regime in controlling most of that country. In Afghanistan,
we see al Qaeda's vision for the world. Afghanistan's people have been brutalized
-- many are starving and many have fled. Women are not allowed to attend
school. You can be jailed for owning a television. Religion can be practiced only
as their leaders dictate. A man can be jailed in Afghanistan if his beard is not long
enough. The United States respects the people of Afghanistan -- after all, we are
currently its largest source of humanitarian aid -- but we condemn the Taliban
regime. (Applause.) It is not only repressing its own people, it is threatening
people everywhere by sponsoring and sheltering and supplying terrorists. By
aiding and abetting murder, the Taliban regime is committing murder. And
tonight, the United States of America makes the following demands on the
Taliban: Deliver to United States authorities all the leaders of al Qaeda who hide
in your land. Release all foreign nationals, including American citizens, you have
unjustly imprisoned. Protect foreign journalists, diplomats and aid workers in your
country. Close immediately and permanently every terrorist training camp in
Afghanistan, and hand over every terrorist, and every person in their support
structure, to appropriate authorities. Give the United States full access to terrorist
training camps, so we can make sure they are no longer operating.These demands
are not open to negotiation or discussion. The Taliban must act, and act
immediately. They will hand over the terrorists, or they will share in their fate. I
also want to speak tonight directly to Muslims throughout the world. We respect
your faith. It's practiced freely by many millions of Americans, and by millions
more in countries that America counts as friends. Its teachings are good and
peaceful, and those who commit evil in the name of Allah blaspheme the name of
Allah. The terrorists are traitors to their own faith, trying, in effect, to hijack Islam
itself. The enemy of America is not our many Muslim friends; it is not our many
Arab friends. Our enemy is a radical network of terrorists, and every government
that supports them. Our war on terror begins with al Qaeda, but it does not end
there. It will not end until every terrorist group of global reach has been found,
stopped and defeated.
Americans are asking, why do they hate us? They hate what we see right here in
this chamber -- a democratically elected government. Their leaders are self-
appointed. They hate our freedoms -- our freedom of religion, our freedom of
speech, our freedom to vote and assemble and disagree with each other. They
want to overthrow existing governments in many Muslim countries, such as
Egypt, Saudi Arabia, and Jordan. They want to drive Israel out of the Middle East.
They want to drive Christians and Jews out of vast regions of Asia and Africa.
These terrorists kill not merely to end lives, but to disrupt and end a way of life.
With every atrocity, they hope that America grows fearful, retreating from the
world and forsaking our friends. They stand against us, because we stand in their
way. We are not deceived by their pretenses to piety. We have seen their kind
before. They are the heirs of all the murderous ideologies of the 20th century. By
sacrificing human life to serve their radical visions -- by abandoning every value
except the will to power -- they follow in the path of fascism, and Nazism, and
totalitarianism. And they will follow that path all the way, to where it ends: in
history's unmarked grave of discarded lies. Americans are asking: How will we
fight and win this war? We will direct every resource at our command -- every
means of diplomacy, every tool of intelligence, every instrument of law
enforcement, every financial influence, and every necessary weapon of war -- to
the disruption and to the defeat of the global terror network. This war will not be
like the war against Iraq a decade ago, with a decisive liberation of territory and a
swift conclusion. It will not look like the air war above Kosovo two years ago,
where no ground troops were used and not a single American was lost in combat.
Our response involves far more than instant retaliation and isolated strikes.
Americans should not expect one battle, but a lengthy campaign, unlike any other
we have ever seen. It may include dramatic strikes, visible on TV, and covert
operations, secret even in success. We will starve terrorists of funding, turn them
one against another, drive them from place to place, until there is no refuge or no
rest. And we will pursue nations that provide aid or safe haven to terrorism. Every
nation, in every region, now has a decision to make. Either you are with us, or you
are with the terrorists. (Applause.) From this day forward, any nation that
continues to harbor or support terrorism will be regarded by the United States as a
hostile regime. Our nation has been put on notice: We are not immune from
attack. We will take defensive measures against terrorism to protect Americans.
Today, dozens of federal departments and agencies, as well as state and local
governments, have responsibilities affecting homeland security. These efforts
must be coordinated at the highest level. So tonight I announce the creation of a
Cabinet-level position reporting directly to me -- the Office of Homeland
Security. And tonight I also announce a distinguished American to lead this effort,
to strengthen American security: a military veteran, an effective governor, a true
patriot, a trusted friend -- Pennsylvania's Tom Ridge. (Applause.) He will lead,
oversee and coordinate a comprehensive national strategy to safeguard our
country against terrorism, and respond to any attacks that may come. These
measures are essential. But the only way to defeat terrorism as a threat to our way
of life is to stop it, eliminate it, and destroy it where it grows. Many will be
involved in this effort, from FBI agents to intelligence operatives to the reservists
we have called to active duty. All deserve our thanks, and all have our prayers.
And tonight, a few miles from the damaged Pentagon, I have a message for our
military: Be ready. I've called the Armed Forces to alert, and there is a reason. The
hour is coming when America will act, and you will make us proud. This is not,
however, just America's fight. And what is at stake is not just America's freedom.
This is the world's fight. This is civilization's fight. This is the fight of all who
believe in progress and pluralism, tolerance and freedom.
We ask every nation to join us. We will ask, and we will need, the help of police
forces, intelligence services, and banking systems around the world. The United
States is grateful that many nations and many international organizations have
already responded -- with sympathy and with support. Nations from Latin
America, to Asia, to Africa, to Europe, to the Islamic world. Perhaps the NATO
Charter reflects best the attitude of the world: An attack on one is an attack on all.
The civilized world is rallying to America's side. They understand that if this
terror goes unpunished, their own cities, their own citizens may be next. Terror,
unanswered, can not only bring down buildings, it can threaten the stability of
legitimate governments. And you know what -- we're not going to allow it.
Americans are asking: What is expected of us? I ask you to live your lives, and
hug your children. I know many citizens have fears tonight, and I ask you to be
calm and resolute, even in the face of a continuing threat. I ask you to uphold the
values of America, and remember why so many have come here. We are in a fight
for our principles, and our first responsibility is to live by them. No one should be
singled out for unfair treatment or unkind words because of their ethnic
background or religious faith. I ask you to continue to support the victims of this
tragedy with your contributions. Those who want to give can go to a central
source of information, libertyunites.org, to find the names of groups providing
direct help in New York, Pennsylvania, and Virginia. The thousands of FBI
agents who are now at work in this investigation may need your cooperation, and I
ask you to give it. I ask for your patience, with the delays and inconveniences that
may accompany tighter security; and for your patience in what will be a long
struggle. I ask your continued participation and confidence in the American
economy. Terrorists attacked a symbol of American prosperity. They did not
touch its source. America is successful because of the hard work, and creativity,
and enterprise of our people. These were the true strengths of our economy before
September 11th, and they are our strengths today. And, finally, please continue
praying for the victims of terror and their families, for those in uniform, and for
our great country. Prayer has comforted us in sorrow, and will help strengthen us
for the journey ahead. Tonight I thank my fellow Americans for what you have
already done and for what you will do. And ladies and gentlemen of the Congress,
I thank you, their representatives, for what you have already done and for what we
will do together. Tonight, we face new and sudden national challenges. We will
come together to improve air safety, to dramatically expand the number of air
marshals on domestic flights, and take new measures to prevent hijacking. We
will come together to promote stability and keep our airlines flying, with direct
assistance during this emergency. We will come together to give law enforcement
the additional tools it needs to track down terror here at home. (Applause.) We
will come together to strengthen our intelligence capabilities to know the plans of
terrorists before they act, and find them before they strike. We will come together
to take active steps that strengthen America's economy, and put our people back to
work. Tonight we welcome two leaders who embody the extraordinary spirit of all
New Yorkers: Governor George Pataki, and Mayor Rudolph Giuliani. (Applause.)
As a symbol of America's resolve, my administration will work with Congress,
and these two leaders, to show the world that we will rebuild New York City.
After all that has just passed -- all the lives taken, and all the possibilities and
hopes that died with them -- it is natural to wonder if America's future is one of
fear. Some speak of an age of terror. I know there are struggles ahead, and
dangers to face. But this country will define our times, not be defined by them. As
long as the United States of America is determined and strong, this will not be an
age of terror; this will be an age of liberty, here and across the world.
Great harm has been done to us. We have suffered great loss. And in our grief and
anger we have found our mission and our moment. Freedom and fear are at war.
The advance of human freedom -- the great achievement of our time, and the great
hope of every time -- now depends on us. Our nation -- this generation -- will lift a
dark threat of violence from our people and our future. We will rally the world to
this cause by our efforts, by our courage. We will not tire, we will not falter, and
we will not fail. It is my hope that in the months and years ahead, life will return
almost to normal. We'll go back to our lives and routines, and that is good. Even
grief recedes with time and grace. But our resolve must not pass. Each of us will
remember what happened that day, and to whom it happened. We'll remember the
moment the news came -- where we were and what we were doing. Some will
remember an image of a fire, or a story of rescue. Some will carry memories of a
face and a voice gone forever. And I will carry this: It is the police shield of a man
named George Howard, who died at the World Trade Center trying to save others.
It was given to me by his mom, Arlene, as a proud memorial to her son. This is
my reminder of lives that ended, and a task that does not end. I will not forget this
wound to our country or those who inflicted it. I will not yield; I will not rest; I
will not relent in waging this struggle for freedom and security for the American
people. The course of this conflict is not known, yet its outcome is certain.
Freedom and fear, justice and cruelty, have always been at war, and we know that
God is not neutral between them. Fellow citizens, we'll meet violence with patient
justice -- assured of the rightness of our cause, and confident of the victories to
come. In all that lies before us, may God grant us wisdom, and may He watch
over the United States of America, Thank you.
END 9:41 P.M. EDT
http://www.whitehouse.gov/news/releases/2001/09/20010920-8.html
LAMPIRAN II
Korban Invasi AS ke Irak
Sumber: http://icasualties.org/Iraq/index.aspx
tahun US UK Other Total
2003 486 52 41 580
2004 849 22 35 906
2005 846 23 28 897
2006 822 29 21 872
2007 904 47 10 961
2008 314 4 4 322
2009 149 1 0 150
2010 60 0 0 60
2011 54 0 0 54
total 4484 179 139 4802
Irak
375.000+pasukan biasa
Pemberontak Sunni
60.000~
Tentara Mahdi
25.000
Organisasi Badr
4.000-10.000
al Qaeda/lainnya
1.300
Koalisi
315.000
sewaktu invasi
162.000
sekarang
Kontraktor
~48.000
Kurdi
50.000
Tentara Baru Irak
129.760
Polisi Irak
79-140.000
Militer Irak tewas:
(era Saddam)
4.895-6.370
LAMPIRAN III
Para Pembajak Pesawat American Airlines Flight 11 dan United Airlines Flight
175 sengaja ditabrakkan ke menara utara dan dan menara selatan WTC 11
September 2001, dan dampak ekonomi bagi Amerika dan pihak terorisme.
American Airlines Penerbangan 11:
Mohamed Atta, berkebangsaan Mesir
Abdulaziz Alomari, berkebangsaan Arab Saudi
Satam M.A. Al Suqami, berkebangsaan Arab Saudi
Wail M. Alshehri, berkebangsaan Arab Saudi
Waleed M. Alshehri, berkebangsaan Arab Saudi
United Arlines Penerbangan 175:
Marwan Al-Shehhi, berkebangsaan Uni Emirat Arab
Fayez Rashid Ahmed Hassan Al Qadi Banihammad, berkebangsaan Arab
Saudi
Ahmed Alghamdi, berkebangsaan Arab Saudi
Hamza Alghamdi, berkebangsaan Arab Saudi
Mohand Alshehri, tidak diketahui kebangsaannya
08:46 ET - American Airlines Flight 11 (rute Boston menuju Los Angeles)
menghantam menara utara World Trade Center di New York City.
09:03 ET - United Airlines Flight 175 (rute Boston menuju Los Angeles)
menghantam menara selatan World Trade Center di New York City.
Dampak Ekonomi:
US$ 500.000 - Perkiraan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh pelaku untuk
merencanakan dan melaksanakan serangan 9/11 itu.
US$ 123 miliar - Estimasi kerugian ekonomi selama 2-4 minggu setelah menara
World Trade Center runtuh di New York City, serta penurunan perjalanan udara
selama beberapa tahun sesudahnya
$ 60 miliar - Perkiraan biaya kerusakan situs WTC, termasuk kerusakan bangunan
sekitarnya, dan infrastruktur kereta bawah tanah
$ 40 miliar - Nilai paket darurat anti -terorisme yang disetujui oleh Kongres AS
pada 14 September 2001.
$ 15 miliar - Paket bantuan yang disahkan oleh Kongres untuk menyelamatkan
perusahaan penerbangan.
$ 9,3 miliar - Klaim asuransi yang timbul akibat serangan 9/11.
http://www.tempo.co/read/news/2013/09/11/116512516/Sejumlah-Fakta-Soal-
Peringatan-Serangan-911 20 januari 2014
LAMPIRAN IV
1
1 http://911research.wtc7.net/planes/evidence/passengers.html 20 Januari 2014