kebijakan konversi lahan pertanian guna meningkatkan ketahanan pangan nasional

17
KEBIJAKAN PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL STUDI KASUS :Pulau Jawa Nana Apriyana NIP:196304131996031001 KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 2011

Upload: abdul-fatah

Post on 11-Aug-2015

234 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

sdbsdfhjgffjgj

TRANSCRIPT

Page 1: kebijakan konversi lahan pertanian guna meningkatkan ketahanan pangan nasional

KEBIJAKAN PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN

DALAM RANGKA

MEMPERTAHANKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

STUDI KASUS :Pulau Jawa

Nana Apriyana NIP:196304131996031001

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

2011

Page 2: kebijakan konversi lahan pertanian guna meningkatkan ketahanan pangan nasional

2

KEBIJAKAN PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN DALAM RANGKA

MEMPERTAHANKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

1. Pendahuluan

Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan menyebutkan bahwa

pangan merupakan hak asasi bagi setiap individu di Indonesia. Oleh karena itu

terpenuhinya kebutuhan pangan di dalam suatu negara merupakan hal yang mutlak

harus dipenuhi. Selain itu pangan juga memegang kebijakan penting dan strategis

di Indonesia berdasar pada pengaruh yang dimilikinya secara sosial, ekonomi, dan

politik. Berdasarkan pada Undang-Undang RI nomor 7 tahun 1996 tentang pangan,

ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana setiap individu dan rumahtangga

memiliki akses secara fisik, ekonomi, dan ketersediaan pangan yang cukup, aman,

serta bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan

yang aktif dan sehat.

Ketahanan pangan ini pada saat ini sedang mengalami banyak ancaman yang

berkaitan dengan posisi sektor pertanian yang belum menjadi sektor unggulan di

tingkat nasional maupun daerah. Selain itu ancaman yang serius terjadi dari

berbagai aspek seperti aspek sosial, aspek ekonomi dan aspek fisik (Lihat Gambar

1). Meningkatnya jumlah penduduk Indonesia menyebabkan tekanan pada

perkembangan sektor pertanian sangat tinggi, berkurangnya aspek budaya

pertanian menyebabkan sektor pertanian kurang diminati oleh penduduk Indonesia.

Sementara itu di sektor ekonomi perkembangan sektor ini kalah bersaing dengan

sektor lain dalam hal menciptakan nilai tambah ekonomi dibandingkan dengan

sektor ekonomi lain seperti Industri dan Jasa. Selanjutnya kebijakan nasional juga

kurang mendukung dalam mengembangkan sektor pertanian sebagai sektor

unggulan dan merupakan lapangan pekerjaan bagi sebagian penduduk Indonesia.

Page 3: kebijakan konversi lahan pertanian guna meningkatkan ketahanan pangan nasional

3

(Gambar 1).

Edward Napitupulu menyebutkan kesemuanya itu karena terbawa arus liberalisasi

atau permainan politik bisnis internasional sehingga Indonesia semakin tergantung

kepada negara-negara maju. Politik ekonomi pertanian seakan telah mati. Ini

tercermin juga dengan diturutinya desakan IMF menurunkan bea masuk beras

hanya 30 – 35 % bahkan sempat 0 % sementara Jepang sebagai negara industri

menerapkan bea masuk beras sebesar 480 % untuk melindungi petaninya.

Demikian pula subsidi pupuk dan pestisida dicabut menyebabkan daya saing

produk dalam negeri semakin melemah. Padahal negara-negara maju sekalipun

hingga saat ini masih mensubsidi pertaniannya dan sangat protektif terhadap

produk pertaniannya sebagai cerminan nasionalisme yang tinggi.

Page 4: kebijakan konversi lahan pertanian guna meningkatkan ketahanan pangan nasional

4

Dari aspek fisik kawasan atau lahan-lahan pertanian ancaman tara lain adalah

berkurangnya lahan-lahan pertanian akibat adanya konversi lahan pertanian

tertutama di lahan-lahan pertanian sekitar kawasan perkotaan. Selain merupakan

lahan-lahan pertanian kelas 1 kawasan tersebut juga sebagian merupakan lahan

pertanian beririgasi teknis yang diairi sepanjang tahun. Konversi umumnya terjadi

dari kawan pertanian ke penggunaan lahan terutama untuk kegiatan komersial dan

perumahan kepadatan tinggi. Konversi ini terus terjadi tanpa bisa dikendalikan,

yang antara lain dipengaruhi faktor penyebabnya seperti:

1. RTRW Kabupaten/Kota sebelumnya belum mendukung perlindungan terhadap

lahan pertanian pangan;

2. Pertumbuhan sektor industri/manufaktur dan sektor non pertanian lainnya;

3. Meningkatnya kebutuhan lahan untuk permukiman seiring dengan meningkatnya

pertumbuhan penduduk;

Ancaman terhadap terganggunya ketahanan pangan akibat dari maraknya konversi

sangat signifikan. Konversi lahan yang menghabiskan 100.000 hektar lahan tiap

tahun (Kompas.com). Jika dalam satu hektar lahan pertanian dapat menghasilkan

produksi sekitar 5,1 ton padi jadi, apabila dikalkulasi maka kehilangan 51 ribu ton

padi dalam setahun. Banyak kota yang sebelumnya merupakan kota swasembada

beras saat ini telah menjadi kota yang mengimpor beras dari daerah-daerah

lainnya. Ancaman terhadap ketahanan pangan ini tidak saja menyebabkan

berkurangnya produksi beras tapi juga akan menganggu terhadap stabilitas

ekonomi, sosial, politik dan perkembangan penduduk secara umum.

2. Tujuan

Tujuan disusunnya policy paper ini adalah:

1. Menemukenali kebijakan-kebijakan yang telah diambil dalam rangka

pengendalian konversi lahan-lahan pertanian terutama di kawasan perkotaan.

2. Melakukan review tentang pengaruh konversi lahan pertanian di kawasan

perkotaan terhadap kemampuan kota tersebut dalam memasok kebutuhan

pangan.

Page 5: kebijakan konversi lahan pertanian guna meningkatkan ketahanan pangan nasional

5

3. Memberikan alternatif solusi kebijakan sebagai tambahan atau review dari

kebijakan yang telah ada untuk memperkuat pelaksanaan kebijakan yang telah

ada.

3. Gambaran Alih Fungsi Lahan Pertanian Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan

Nasional/Bappenas pada tahun 2006 melakukan kajian Strategi Pengendalian Alih

Fungsi Lahan Pertanian yang dalam kajiannya disebutkan bahwa pembahasan dan

penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat mengurangi jumlah

lahan pertanian, terutama lahan sawah, telah berlangsung sejak dasawarsa 90-an.

Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014

mengungkapkan data konversi sawah menjadi lahan non pertanian dari tahun

1999 – 2002 mencapai 563.159 ha atau 187.719,7 ha/tahun. Antara

tahun 1981 – 1999, neraca pertambahan lahan sawah seluas 1,6 juta ha,

namun antara tahun 1999 – 2002 terjadi penciutan luas lahan seluas 0,4 juta

ha atau 141.285 ha/tahun. Data BPS tahun 2004 menunjukkan bahwa besaran

laju alih fungsi lahan pertanian dari lahan sawah ke non sawah sebesar 187.720 ha

per tahun, dengan rincian alih fungsi ke non pertanian sebesar 110.164 ha per

tahun dan alih fungsi ke pertanian lainnya sebesar 77.556 ha per tahun.

Adapun alih fungsi lahan kering pertanian ke non pertanian sebesar 9.152 ha

per tahun. Berdasarkan sintesis data dan informasi dari sejumlah hasil penelitian

dan data yang dipublikasikan oleh sejumlah lembaga terkait, diperkirakan luas

lahan sawah yang terkonversi tidak kurang dari 150.000 hektar/tahun. Namun

demikian, sampai saat ini belum ada data yang akurat tentang besaran alih fungsi

lahan sawah tersebut. Hal ini terkait dengan pemantauan dan pencatatannya yang

belum terlembagakan dengan baik. Konversi lahan pertanian di Jawa malah

semakin menghawatirkan. Berdasarkan hasil sensus lahan yang dilakukan oleh

Kementerian Pertanian (Kementan), lahan sawah pada 2010 susut menjadi 3,5 juta

hektare (ha) dari 4,1 juta ha di 2007. Dalam rentang waktu tiga tahun, konversi

lahan mencapai 600 ribu hektar. Prof. Emil Salim menggambarkan jika

Page 6: kebijakan konversi lahan pertanian guna meningkatkan ketahanan pangan nasional

6

pembangunan terus dilakukan seperti sekarang kondisi lahan pertanian dan

perkembangan kawasan perkotaan di Pulau Jawa seperti berikut:

Page 7: kebijakan konversi lahan pertanian guna meningkatkan ketahanan pangan nasional

7

Dari aspek fisik lahan, konversi dipengaruhi dua hal yaitu aspek kepemilikan lahan

pertanian dan aspek penataan ruang. Aspek kepemilkan terkait dengan hak atas

tanah yang absolut yang dalam prosesnya kemudian menyebabkan kepemilikan

lahan itu terpecah pecah dan menjadi sangat kecil. Pemilikan yang kecil tersebut

menyebabkan rawan untuk terjadinya alih fungsi lahan pertanian karena kesulitan

dalam pengendalian pemanfaatan tata ruangnya. Aspek yang kedua adalah aspek

penataan ruang terutama rencana tata ruang yang merupakan satu-satunya

instrumen pengendalian terhadap pemanfaatan ruang yang ada di daerah. Sesuai

UU No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, tujuan RTRW adalah untuk

menjaga agar pemanfaatan ruang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.

Sementara itu berdasarkan UU Penataan ruang dan turunannya PP No 15 tahun

2010 tentang penyelenggaraan penataan ruang disebutkan bahwa dalam RTRW

diatur kawasan pertanian produktif. untuk mengendalikan laju konversi lahan, dan

Page 8: kebijakan konversi lahan pertanian guna meningkatkan ketahanan pangan nasional

8

akhirnya juga dibuat UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan (PL2B) yang salah satunya adalah kewajiban untuk

menetapkan kawasan pertanian dalam RTRW sehingga diharapkan

keberadaannya dapat berkelanjutan. Beberapa substansi utama yang diatur dalam

UU PL2B meliputi perencanaan dan penetapan; pengembangan; penelitian;

pemanfaatan; pembinaan; pengendalian; pengawasan; sistem informasi;

perlindungan dan pemberdayaan; pembiayaan; dan peran serta masyarakat.

Penetapan dan perlindungan lahan ini merupakan amanat UU Perlindungan Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan, ditetapkan 16 September 2009. Melalui UU ini,

kawasan dan lahan pertanian pangan ditetapkan (jangka panjang, menengah, dan

tahunan) lewat perencanaan kabupaten/kota, provinsi, dan nasional (Pasal 11-17).

Keberadaan kawasan dan lahan dilindungi hanya bisa dikonversi untuk

kepentingan umum. Itu pun dengan syarat mahaberat (Pasal 44-46): didahului

kajian kelayakan dan rencana alih fungsi, pembebasan kepemilikan, dan ada lahan

pengganti 1-3 kali yang dikonversi plus infrastruktur. Siapa yang melakukan alih

fungsi lahan yang dilindungi bisa dipidana 2-7 tahun dan denda Rp 1 miliar-Rp 7

miliar. Pidana ditambah jika pelakunya pejabat (Pasal 72-74).

Berdasarkan studi yang dilakukan Direktorat Pangan dan Pertanian Bappenas

disebutkan bahwa selama ini berbagai kebijaksanaan yang berkaitan dengan

masalah pengendalian konversi lahan sawah sudah banyak dibuat. Setidaknya ada

13 peraturan/perundangan yang berkenaan dengan masalah ini, yaitu:

1. UU No.24/1992 Penyusunan RTRW Harus Mempertimbangkan Budidaya

Pangan/SIT:

2. Kepres No.53/1989 Pembangunan kawasan industri, tidak boleh konversi

SIT/Tanah Pertanian Subur:

3. Kepres No.33/1990 Pelarangan Pemberian Izin Perubahan Fungsi Lahan Basah

dan Pengairan Beririgasi Bagi Pembangunan Kawasan Industri:

4. SE MNA/KBPN 410-1851/1994 Pencegahan Penggunaan Tanah Sawah

Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Non Pertanian Melalui Penyusunan RTR

Page 9: kebijakan konversi lahan pertanian guna meningkatkan ketahanan pangan nasional

9

5. SE MNA/KBPN 410-2261/1994 Izin Lokasi Tidak Boleh Mengkonversi Sawah

Irigasi Teknis (SIT)

6. SE/KBAPPENAS 5334/MK/9/1994 Pelarangan Konversi Lahan Sawah Irigasi

Teknis Untuk Non Pertanian

7. SE MNA/KBPN 5335/MK/1994 Penyusunan RTRW Dati II Melarang Konversi

Lahan Sawah Irigasi Teknis untuk Non Pertanian

8. SE MNA/KBPN 5417/MK/10/1994 Efisiensi Pemanfaatan Lahan Bagi

Pembangunan Perumahan

9. SE MENDAGRI 474/4263/SJ/1994 Mempertahankan Sawah Irigasi Teknis untuk

mendukung Swasembada Pangan.

10. SE MNA/KBPN 4601594/1996 Mencegah Konversi Tanah Sawah dan Irigasi

Teknis Menjadi Tanah Kering:

11. Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur

kawasan pertanian yang produktif.

12. UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

(PL2B) yang salah satunya adalah kewajiban untuk menetapkan kawasan

pertanian dalam RTRW.

13. PP 15 Tahun 2010 Penyelenggaraan Penataan Ruang mengatur masalah lahan

pertanian berkelanjutan.

Berbagai kebijakan telah ditetapkan dalam rangka mengurangi konversi lahan

pertanian seperti tertuang dalam RPJMN 2010-2014 (Buku 1) termasuk ke dalam

prioritas ketahanan pangan dengan substansi inti yaitu Lahan, Pengembangan

Kawasan dan Tata Ruang Pertanian antara lain dengan penataan regulasi untuk

menjamin kepastian hukum atas lahan pertanian, pengembangan areal pertanian

baru seluas 2 juta hektar dan penertiban serta optimalisasi penggunaaan lahan

terlantar. Sementara itu dalam prioritas Bidang (Buku II RPJMN 2010-2014)

termasuk ke dalam Peningkatan Ketahanan Pangan, dan Revitalisasi Pertanian,

Perikanan dan Kehutanan dengan kebijaksan strategisnya adalah Peningkatan

produksi dan produktivitas pangan, pertanian, perikanan, dan kehutanan melalui

mencegah/mengurangi terjadinyan alih fungsi lahan pertanian secara luas ke non

Page 10: kebijakan konversi lahan pertanian guna meningkatkan ketahanan pangan nasional

10

pertanian serta konservasi sumber daya lahan dan air. Namun demikian, studi

Bappenas juga mengidentifikasikan bahwa implementasinya peraturan dan

undang-undang tersebut tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap

proaktif yang memadai. Tiga kendala mendasar yang menjadi alasan peraturan

pengendalian konversi lahan sulit dilaksanakan yaitu: (i) Kebijakan yang

kontradiktif; (ii) Cakupan kebijakan yang terbatas; (iii) Kendala konsistensi

perencanaan (Nasoetion, 2003). Selain itu kendala yng dihadapi adalah sampai

saat ini belum ada data yang akurat tentang besaran alih fungsi lahan sawah

tersebut. Belum adanya data yang memadai menyulitkan dalam pengendalian dan

pemantauan terjadinya konversi lahan-lahan pertanian terutama di kawasan

perkotaan. Kurangnya akurasi data juga akan berpengaruh pada keakuratan

penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan penyusunan neraca

penatagunaan tanah yang dapat menggambarkan ketersediaan lahan-lahan

pertanian serta lahan-lahan potensial yang digunakan untuk pembangunan. Selain

itu data-data disusun oleh berbagai instansi sesuai kebutuhannya dan tidak

terintergasi satu sama lain karena mempunyai kedalaman dan akurasi yang

berbeda-beda.

Kenyataan bahwa dalam sejumlah RTRW tercantum rencana pemanfaatan ruang

bagi kegiatan budi daya yang justru mengkonversi lahan sawah beririgasi teknis

yang ada ke penggunaan nonpertanian. Dalam hal ini kepentingan untuk

mempertahankan keberadaan lahan sawah beririgasi teknis tidak atau belum

menjadi prioritas di kabupaten tersebut. Dengan demikian perlu ada usaha untuk

meninjau kembali RTRW tertentu yang belum mengakomodasikan kepentingan

tersebut serta merevisinya dengan penyesuaian kembali terhadap rencana

pemanfaatan ruang bagi kawasan budi daya ini. Dengan demikian, keberadaan

lahan sawah beririgasi teknis dapat dipertahankan pada masa mendatang sesuai

dengan kurun waktu tertentu. Jika dalam RTRW secara tegas ditetapkan kawasan

pertanian lahan basah, dalam pemanfaatan ruang sebagai implementasinya perlu

dijamin konsistensinya. Karena itu perizinan lokasi kegiatan nonpertanian harus

benar-benar sesuai dengan yang ditetapkan dalam RTRW. Lebih jauh perlu

Page 11: kebijakan konversi lahan pertanian guna meningkatkan ketahanan pangan nasional

11

ditegaskan bahwa tanah-tanah pertanian dan sawah berkualitas tinggi pada

umumnya terkonsentrasi dan beralih fungsi di sekitar kota-kota besar terutama di

pulau Jawa (Talkurputra dan Amien, 1998). Oleh karena itu, kebijaksanaan

pengendalian konversi lahan pertanian terutama sawah beririgasi teknis harus

benar-benar terintegrasi dengan rencana pengembangan ruang kota pada

khususnya dan rencana tata ruang wilayah pada umumnya (Gambar 2).

(Gambar 2)

Berdasarkan hasil review RTRW Kabupaten Mojokerto ,Cianjur dan Tanggerang,

dapat disampaikan sebagai berikut:

Kabupaten Mojokerto

Kabupaten Mojokerto yang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah saat

ini sedang menyusun RTRW kabupatennya, berdasarkan data BPS tahun 2006

Page 12: kebijakan konversi lahan pertanian guna meningkatkan ketahanan pangan nasional

12

luas lahan pertanian basahnya mencapai 44,344 Hektar. Sedangkan alokasi RTRW

berdasarkan draft PERDAnya untuk lahan pertanian berkelanjutan hanya sampai

tahun 2025 mencapai 27832 Ha yang tersebar di seluruh Kecamatan. Dalam perda

tersebut juga disebutkan kebijakan pertaniannya adalah intensifikasi pertanian,

pengembangan teknologi pertanian dan pengembangan agropolitan adalah

pelarangan alih fungsi lahan berkelanjutan dan arahan zonasi pada kawasan

tersebut. Namun demikian alih fungsi lahan pertanian tersebut akhirnya menuju ke

arah pembangunan perkotaan dengan kegiatan jasa dan perdagangan.

Kabupaten Cianjur

Kabupaten Cianjur yang dikenal sebagai lumbung pangan nasional dan juga

terkenal dengan kenikmatan beras Cianjur, berdasarkan data BPS tahun 2009 luas

pertanian lahan basah adalah mencapai 144.024 hektare. Sedangkan alokasi

berdasarkan draft RTRW untuk lahan pertanian basah adalah seluas kurang lebih

18.494 hektar saja pada tahun 2025. Dengan demikian akan terjadi alih fungsi

lahan pertanian basah yang sangat besar ke peggunaan yang lain.Dalam daehan

pemanfaatan ruang disebutkan bahwa pengembangan lahan pertanian basah akan

lebih difokuskan ke pengembangan agrowisata yang dinilai mempunyai dampak

nilai tambah yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengembangan pertanian

lahan basah. Arahan pengembangan seperti itu barangkali dapat dimengerti karena

adanya pengaruh dari pengembangan metropolitan Jabodetabekpunjur yang

sangat pesat terutama kegiatan wisata di sekitar puncak.

Kabupaten Tanggerang

Berdasarkan Data Dinas Pertanian Kabupaten Tangerang menyebutkan, lahan

sawah di Kabupaten Tangerang saat ini seluas 57.813 hektar. RTRW Kabupaten

Tanggerang pertanian lahan basah ini berada di bagian utara Kabupaten

Tangerang, meliputi areal seluas ± 29.295 hektar, dengan rincian ± 27.161 hektar

berupa sawah beririgasi teknis dan ± 2.134 hektar. Sementara itu arahan dan

Page 13: kebijakan konversi lahan pertanian guna meningkatkan ketahanan pangan nasional

13

kebijakan pemanfaatan rencana tata ruang adalah: mempertahankan lahan basah

pertanian yang beririgasi untuk tidak beralih fungsi menjadi lahan non pertanian

dan penetapan lahan pangan berkelanjutan di wilayah Kabupaten Tangerang.

Layaknya kota atau kabupaten yang berdekatan dengan pusat pertumbuhan

Metropolitan Jabodetabekjur perkembangan sektor pertanian kalah bersaing

dengan perkembangan sektor perumahan dan jasa perkotaan.

4. Opsi-opsi Alternantif Kebijakan

Terdapat tiga aspek yang dapat ditempuh dalam pengendalian alih fungsi lahan

sawah yang berkaitan dengan penataan ruang (Gambar 3) yaitu: (1) aspek

kepemilikan lahan, (2) pengendalian dan penegakan hukum, dan (3) peningkatan

kualitas data dan informasi.

(Gambar 3)

Page 14: kebijakan konversi lahan pertanian guna meningkatkan ketahanan pangan nasional

14

Terhadap aspek kepemilikan lahan maka opsi-opsi kebijakannya adalah:

1. Meningkatkan kekuatan negara untuk menetapkan, menjaga, dan mengambilalih

kepemilikan atas lahan-lahan pertanian berkelanjutan sesuai UU No 41 tahun

2009. Termasuk dalam hal ini adalah memperketat terhadap izin pemanfaatan

ruang seperti yang diatur dalam UU No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.

Salah satu hal yang juga dapat mendukung efektifitas dan bersinergi dengan

pelaksanaan UU PLB adalah mempercepat pengesahan UU tentang

pengadaan lahan untuk kepentingan umum.

2. Mengembangkan skema insentif baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah

daerah kepada masyarakat yang dengan sukarela dapat mempertahankan

fungsi kawasan pertanian lahan basahnya dan tidak dilakukan alih fungsi ke

penggunaan lainnya. Transparansi perlu untuk keadilan dan melibatkan pemilik

tanah dalam konversi lahan dengan imbalan layak (jadi shareholder);

Terhadap aspek pengendalian dan penegakan hukum pelaksanaan rencana tata

ruang, maka opsi kebijakan yang dapat diambil adalah:

1. Dalam pendekatan hukum, RTRW perlu disempurnakan lebih lanjut dan segera

ditetapkan zonasi ruang yang lebih rinci terkait dengan pengendalian alih fungsi

lahan sawah. Peraturan perundang-undangan yang telah dibuat dan kondusif

perlu direvitalisasi dan penegakan hukum (law enforcement) harus diperkuat

melalui advokasi publik secara konsisten.

2. Perlu komitmen bersama seperti yang tertuang dalam RPJPN atau RPJMN

tentang pentingnya sektor pertanian, sehingga bisa dipahami seluruh

stakeholder. Hal ini juga bisa menjadi acuan Badan Koordinasi Penataan Ruang

(BKPRN) dimana Bappenas sebagai sekretarisnya dalam menilai kebutuhan

untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian seperti yang tertuang

dalam RTRW.

Page 15: kebijakan konversi lahan pertanian guna meningkatkan ketahanan pangan nasional

15

3. Perlu disusun rencana tata ruang perdesaan sebagai landasan bagi

pengembangan perdesaan sebagai basis pengembangan sektor pertanian di

Indonesia dan mencegah terjadinya urbanisasi yang sangat haus akan tanah.

4. Perlu peningkatan koordinasi berbagai tingkatan pemerintahan dalam

pengendalian pelaksanaan kebijaksanaan dan undang-undang yang telah

ditetapkan dalam arti memperkuat dan lebih mendayagunakan BKPRN.

Terhadap aspek peningkatan kualitas data dan informasi opsi-opsi kebijakan yang

dapat ditempuh adalah:

1. Peningkatan kualitas data dan informasi termasuk peta geografis sebagai basis

perencanaan pembangunan serta sebagai bagian dari transparansi untuk

meningkatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan maupun

pelaksanaan pembangunan.

2. Peningkatan kapasitas dan infrastruktur Pusdatin Bappenas sebagai pusat

informasi perencanaan pembangunan nasional dan daerah dengan

memanfaatan UU SIG yang telah diterbitkan.

5. Kesimpulan

Alih fungsi lahan pertanian basah ke penggunaan lainnya dalam beberapa tahun ini

sangat pesat terjadi dan ini sangat mengancam program ketahanan pangan

nasional. Salah satunya dipercepat dengan ditetapkannya alih fungsi ini secara

formal dan legal dalam dokumen Perda RTRW Kabupaten maupun Kota. Disisi lain

juga data dan informasi mengenali luasan lahan pertanian basah (sawah) sangat

beragam sehingga menyulitkan perencanaan dan pengambilan keputusan. Sebagai

institusi perencanaan, Bappenas dalam mengambil peran antara lain:

Page 16: kebijakan konversi lahan pertanian guna meningkatkan ketahanan pangan nasional

16

1. Dalam BKPRN memberikan arahan tentang program ketahanan pangan yang

perlu dipertahankan yang perlu diwujudkan dalam pencegahan secara agresif

alih fungsi lahan dalam RTRW Kabupaten/kota.

2. Mengembangkan Pusdatin sebagai pusat informasi perencanaan pembangunan

nasional dan daerah dengan memanfaatan UU SIG yang telah diterbitkan.

Page 17: kebijakan konversi lahan pertanian guna meningkatkan ketahanan pangan nasional

17

Daftar Pustaka

Muhammad Iqbal dan Sumaryanto, Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian , Direktorat Pangan Dan

Pertanian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2006 RancanganRencana Strategis Kementerian PertanianTahun 2010-2014,

Kementerian Pertanian ,2009 Lutfi Ibrahim Nasoetion, Konversi Lahan Pertanian: Aspek Hukum Dan Implementasinya, 2007 Emil Salim, Perencanaan Penggunaan Lahan Dalam Tata Ruang, Bahan Seminar Nasional Pengendalian Alih Fungsi Lahan,Bappenas, 2008