kebijakan an teknologi informasi dan

Upload: uma-wifi

Post on 19-Jul-2015

207 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LAPORAN AKHIR KAJIAN (SWAKELOLA)

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DI ERA KONVERGENSI

DIREKTORAT ENERGI, TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KEMENTERIAN NEGARA PPN/BAPPENAS 2009

ii | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

DAFTAR ISI

halaman Daftar Isi ..... Daftar Tabel. Daftar Gambar .. Daftar Istilah I. PENDAHULUAN ... I.1 I.2 I.3 I.4 I.5 I.6 II. II.1 II.2 Latar Belakang . Permasalahan .. Tujuan dan Sasaran Kajian ......................... Ruang Lingkup dan Keluaran Kajian Metodologi Rencana Kerja.. Pemetaan Kondisi Infrastruktur Eksisting Dampak Perubahan Struktur Industri dan Pasar Akibat Konvergensi II.2.1 Permasalahan. II.2.2 Stuktur Industri dan Perizinan.. II.3 Pola Penyediaan Infrastruktur dan Layanan Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam Pemberdayaan Masyarakat ........... II.3.1 Penyediaan Infrastruktur II.3.2 Pemberdayaan Masyarakat.. II.3.3 Tantangan ke Depan. II.4 Pembiayaan.. II.4.1 Biaya Modal. II.4.2 Pergeseran dari Biaya Modal ke Biaya Operasional II.4.3 Perkiraan Keperluan Biaya Investasi.. II.4.4 Sumber Pembiayaan. III. ANALISA HASIL KAJIAN .. ii iv v vi 1 1 2 4 4 5 6 8 8 10 10 11 15 15 15 19 20 20 21 24 26 29

HASIL KAJIAN ..

iii | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

halaman III.1 Analisa Aspek Supply: Penyediaan Infrastruktur Di Era Konvergensi III.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Penyediaan Infrastruktur III.1.2 Implikasi Format Baru Struktur Industri dan Perizinan terhadap Kompetisi di Era Konvergensi .... III.1.3 Trend Global dan Permasalahan Penyediaan Infrastruktur Nasional . III.1.4 Rencana Pembangunan Infrastruktur di Era Konvergensi. III.2 Analisa Aspek Demand: Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pemanfaatan Infrastruktur dan Informasi.. III.2.1 Permasalahan Dalam Pemanfaatan Informasi dan TIK. III.2.2 Rencana Penciptaan Demand................................................................. III.3 Analisa Aspek Pembiayaan .............. III.3.1 Pembiayaan Pemerintah.. III.3.2 Pembiayaan Swasta. III.3.3 Pembiayaan Pembangunan Komunikasi dan Informatika Masa Depan . III.4 Rekomendasi Kebijakan ............................................... III.4.1 III.4.2 III.4.3 IV.1 IV.2 Aspek Infrastruktur . Aspek Pemanfaatan Informasi dan TIK Aspek Pembiayaan . 29 30 34 37 42 44 45 47 48 48 48 49 49 49 52 55 59 59 61 64

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan ... Rekomendasi .

Daftar Pustaka ...

iv | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

DAFTAR TABEL

halaman Tabel 1.1 Arahan Substansi ............... Tabel 1.2 Jadwal Pelaksanaan Kajian Tabel 2.1 Ringkasan Kontribusi Ekonomi Industri Kreatif, 2002-2006 . Tabel 2.2 Distribusi PDB Atas Harga Berlaku ... Tabel 2.3 Asumsi Makro Jangka Menengah . Tabel 2.4 Proyeksi PDB 2010-2014 Tabel 3.1 Perbandingan Persepsi tentang Konvergensi serta Dampaknya Tabel 3.2 Persandingan Kategori dan Jenis Izin . Tabel 3.3 Pelanggan Broadband di Indonesia . Tabel 3.4 Peringkat Kesiapan Teknologi 2008-2009 .. Tabel 3.5 Hasil Pemeringkatan e-Readiness 2008 . Tabel 3.6 Peran Pemerintah dalam Mendorong Pengembangan Infrastruktur Broadband ..... Tabel 3.7 Laju Pertumbuhan PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tabel 3.8 Bentuk Intervensi Pemerintah Untuk Mendorong Pembangunan Komunikasi dan Informatika di Era Konvergensi .. 6 7 18 25 25 26 34 36 38 39 39 44 44 55

v|Kebijakan Pengembangan TIK di Era Konvergensi

DAFTAR GAMBAR

halaman Gambar 1.1 Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 2.8 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Kerangka Pemikiran Kajian .. Model Pembangunan Menuju Masyarakat Informasi Indonesia .......... Penyelenggaraan Telekomunikasi . Infrastruktur NGN .. Struktur Industri Masa Depan .. Konfigurasi dan Para Pelaku NGN (Tahap Awal) Konfigurasi dan Para Pelaku NGN (Tahap Kedua) Perkembangan Ekonomi Kreatif . Jumlah Investasi Industri Telekomunikasi Tingkat Pencapaian RPJMN 2004-2009 .. Perubahan Struktur Industri dari Vertikal Menjadi Horizontal Pemetaan Jenis Penyelenggara (Operator) . 6 10 11 12 13 14 14 17 26 30 33 36

vi | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

DAFTAR ISTILAH3GPP ADSL ASP B2B BWA CASP DSL ETSI FMC FO FTTH FWA HFC IMS IP ISP ITU LTE NFP NGN NSP OECD PSTN TIK TISPAN UMTS USO VSAT WiFi WiMAX : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : 3rd Generation Partnership Project Asynchronous Digital Subscriber Line Application Service Provider Business to Business Broadband Wireless Access Content Application Service Provider Digital Subscriber Line European Telecommunication Standard Institute Fixed Mobile Convergence Fiber Optic Fiber to the Home Fixed Wireless Access Hybrid fibre-coaxial IP Multimedia Subsystems Internet Protocol Internet Service Provider International Telecommunication Union Long Term Evolution Network Facility Provider Next Generation Network Network Service Provider Organization for Economic Co-operation and Development Public Switch Telephony Network Teknologi Informasi dan Komunikasi Telecoms & Internet Converged Services & Protocol for Advance Network Universal Mobile Telecommunications System Universal Service Obligation Very Small Aperture Terminal Wireless Fidelity Worldwide Interoperability for Microwave Access

1|Kebijakan Pengembangan TIK di Era Konvergensi

BAB I PENDAHULUAN

I. 1. LATAR BELAKANG Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 - 2025, masyarakat informasi Indonesia diproyeksikan terwujud pada periode jangka menengah ketiga, yaitu tahun 2015 - 2019. Penetapan sasaran ini didasarkan pada kenyataan bahwa kemampuan untuk mendapatkan, mengolah, dan memanfaatkan informasi mutlak dimiliki oleh suatu bangsa tidak saja untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa tersebut, tetapi juga untuk meningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakatnya. Dengan kata lain, infrastruktur informasi1 harus dimanfaatkan secara optimal, bukan saja sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai alat yang menghasilkan peluang ekonomi. Untuk mencapai sasaran tersebut, persyaratan utama yang harus dipenuhi adalah ketersediaan infrastruktur komunikasi dan informatika yang memadai, baik jumlah akses, kapasitas, kualitas, jangkauan, maupun tarif layanan. Berbeda dengan sektor infrastruktur lainnya, sektor pos dan telematika sangat dipengaruhi oleh kekuatan pasar (market driven). Pola top-down sudah tidak efektif dilaksanakan di sektor yang tingkat efisiensi investasinya sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Di sisi lain, pemerintah sangat berkepentingan untuk memastikan bahwa pembangunan infrastruktur dan penyediaan jasa tersebut memang membawa manfaat untuk masyarakat luas dan memberikan kepastian berusaha bagi para penyelenggaranya. Oleh karena itu, sebagai fasilitator dan katalisator pembangunan, pemerintah perlu menetapkan koridor untuk menjamin hal-hal tersebut yang dituangkan ke dalam kebijakan yang berpandangan ke depan (forward looking), berakar pada permasalahan (tidak reaktif), dan komprehensif (tidak terkotak-kotak). Dalam upaya penyusunan kebijakan tersebut kiranya perlu untuk dibahas tiga isu/tantangan yang secara fundamental mempengaruhi landscape industri, yaitu trend teknologi informasi dan komunikasi (TIK), tingkat pemanfaatan dan pengembangan layanan TIK oleh masyarakat (e-literasi), dan strategi pembiayaan yang masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut. Isu pertama terkait dengan cepatnya perkembangan TIK yang terus menghasilkan teknologi yang lebih matang, efisien, dan murah. Di satu sisi, kemajuan teknologi menawarkan berbagai pilihan dan kemudahan bagi masyarakat dalam berkomunikasi, namun di sisi lain terkadang juga menimbulkan berbagai permasalahan mengingat perubahan teknologi dapat menimbulkan berbagai implikasi, seperti kemungkinan kompensasi yang harus disediakan oleh pemerintah, kepastian iklim usaha

1

Ruang lingkup infrastruktur informasi meliputi pos, telekomunikasi, informatika, dan penyiaran

2|Kebijakan Pengembangan TIK di Era Konvergensi

bagi para operator dan jaminan layanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, perkembangan teknologi harus diantisipasi oleh kebijakan dan regulasi yang tepat. Isu kedua terkait dengan masih terbatasnya penggunaan TIK sebagai alat pencipta peluang ekonomi (produktif). Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat Indonesia mempunyai kapasitas dan kemampuan pemanfaatan TIK (e-literasi) yang terbatas sehingga TIK hanya digunakan sebagai alat komunikasi. Hal ini perlu diwaspadai sejalan dengan semakin tingginya belanja pulsa untuk layanan komunikasi bergerak2. Tanpa disertai kemampuan e-literasi yang baik, masyarakat akan menjadi semakin konsumtif. Isu ketiga terkait dengan terbatasnya pembiayaan pemerintah (APBN). Hal ini menjadi lebih berat mengingat investasi jangka panjang yang menjadi karakteristik dasar pembangunan infrastruktur menjadi kurang menarik akibat cepatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pengalaman juga membuktikan bahwa pemerintah bukanlah pihak yang tepat untuk mengelola risiko perubahan teknologi. Hal ini sejalan dengan semangat reformasi sektor yang melandasi reposisi pemerintah melalui pemisahan fungsi operasi dari fungsi kebijakan dan regulasi. Berkurangnya peran pemerintah dalam fungsi operasi di antaranya terlihat dari besarnya penggunaan dana/investasi di luar pemerintah. Sebagai perbandingan, anggaran pemerintah (APBN) pada periode tahun 2005 hingga 2007 untuk sektor pos dan telematika masing-masing sebesar Rp 837,3 miliar, Rp 2.061,5 miliar, dan Rp 2.458,8 miliar. Adapun belanja modal tiga3 operator besar di sektor telekomunikasi saja mencapai Rp 24.218,9 miliar (2005), Rp 27.606,8 miliar (2006), dan Rp 31.459,1 miliar (2007). Sementara itu penggunaan APBN sektor pos dan telematika tahun 2004-2009 difokuskan kepada empat kegiatan pokok, yaitu (1) perkuatan fungsi pengaturan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pos dan telematika; (2) penyediaan infrastruktur dan layanan pos dan telematika di perdesaan, perbatasan, dan wilayah non-komersial lain sebagai pelaksanaan Kewajiban Pelayanan Universal (Public/Universal Service Obligation); (3) pelaksanaan proyek percontohan TIK khususnya dalam rangka peningkatan e-literasi dan pengembangan e-government; dan (4) fasilitasi pengembangan sumber daya manusia, industri, content, dan aplikasi TIK.

I.2 PERMASALAHAN Sekitar satu dekade lalu, sektor TIK nasional, khususnya telekomunikasi, mengalami reformasi gelombang kedua. Bila pada reformasi gelombang pertama tahun 1989 ditandai dengan meningkatnya peran serta swasta dalam pembangunan telekomunikasi, maka pada reformasi gelombang kedua ditandai dengan dihapuskannya bentuk monopoli dan dimulainya2 3

Sumber: Paparan Direktur Corporate Services PT Indosat tanggal 25 Agustus 2008 PT Telkom, PT Indosat, dan PT Excelkomindo

3|Kebijakan Pengembangan TIK di Era Konvergensi

penyelenggaraan berbasis kompetisi. Reformasi saat itu juga menuntut reposisi pemerintah melalui pemisahan fungsi operasi dari fungsi pembinaan dan regulasi. Sesuai dengan desakan kemajuan teknologi dan trend global, sektor TIK nasional kembali mengalami reformasi yang dipicu oleh konvergensi telekomunikasi, informatika, dan penyiaran. Konvergensi yang dimulai dari konvergensi teknologi ini pada akhirnya akan menyentuh tataran kebijakan, regulasi, kelembagaan regulasi, dan industri/pasar. Salah satu implikasi dari konvergensi adalah adanya perubahan bentuk industri dari yang terintegrasi secara vertikal menjadi terintegrasi secara horizontal. Akibatnya, landscape pengaturan industri juga akan berubah seperti dalam hal perizinan dan penggunaan sumber daya terbatas (spektrum frekuensi dan penomoran). Hal ini perlu diantisipasi oleh kebijakan dan perangkat regulasi yang memadai untuk memastikan proses perubahan yang halus (seamless). Walaupun terjadi perubahan industri secara fundamental, kesediaan, kualitas, dan harga layanan kepada masyarakat tetap harus terjaga, begitu pula dengan kelangsungan bisnis operator sebagai penyedia jasa. Untuk mengurangi risiko atau dampak negatif akibat ketidakpastian dari perubahan, proses perubahan tersebut perlu dipetakan. Langkah ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa perubahan yang terjadi tetap terarah (tidak keluar koridor) dan bertahap dengan menggunakan sumber daya secara efisien. Selain itu, pembagian tugas yang bersinergi antara pemerintah, regulator, dan operator juga diharapkan dapat terjadi. Sementara itu, upaya peningkatan e-literasi masyarakat masih terfokus kepada jalur pendidikan formal. Kemampuan e-literasi memang berkaitan erat dengan tingkat pendidikan masyarakat. Pengguna internet sebagian besar (lebih dari 90 persen) bermukim di pulau Jawa dengan tingkat pendidikan sarjana/pasca sarjana (sekitar 50 persen) dan SMA (40 persen). Namun untuk mempercepat peningkatan e-literasi masyarakat luas, perlu ditempuh upaya yang langsung berkaitan dengan masyarakat. Hal ini perlu mendapat perhatian mengingat pola penyediaan dan pengelolaan layanan TIK pada umumnya masih berorientasi infrastruktur (supply driven), sedangkan pola berbasis pemberdayaan masyarakat (demand driven) masih sangat terbatas. Adapun terkait dengan pembiayaan, pembangunan infrastruktur komunikasi dan informatika saat ini sebagian besar didanai dari investasi asing melalui operator penyelenggara. Untuk mempercepat roll out infrastruktur termasuk di daerah non komersial, diperlukan upaya lain selain memobilisasi dana asing, antara lain melalui optimalisasi sumber dana eksisting dan diversifikasi sumber pembiayaan. Salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan dana eksisting adalah peningkatan pengelolaan APBN melalui pengalokasian secara tepat sasaran (target oritented) dan penggunaannya secara efisien. Konsep penggunaan infrastruktur secara bersama (shared infrastructure) dan penggeseran belanja modal (capital expenditure) menjadi belanja operasional

4|Kebijakan Pengembangan TIK di Era Konvergensi

(operational expenditure) di internal pemerintah sudah disusun namun tampaknya implementasinya masih mengalami kendala. Begitu pula dengan upaya diversifikasi sumber pembiayaan, saat ini masih belum berkembang model/konsep pembiayaan yang berkesinambungan baik melalui kerja sama dengan swasta maupun usaha kecil, menengah dan koperasi.

I.3 TUJUAN DAN SASARAN KAJIAN Sehubungan dengan ketiga isu tersebut di atas, Bappenas perlu melaksanakan kajian yang membahas arah kebijakan pengembangan TIK di era konvergensi. Hal ini sejalan dengan tugas pokok dan fungsi Bappenas untuk menyusun perumusan kebijakan perencanaan pembangunan nasional beserta rencana pendanaannya khususnya di sektor pos dan telematika. Secara umum, kajian yang akan dilaksanakan bertujuan untuk: 1. Memperoleh masukan bagi perkuatan landscape struktur industri TIK sesuai dengan dinamika perubahan teknologi; 2. Memperoleh masukan bagi peningkatan pemanfaatan TIK melalui pengembangan model penyediaan dan pengelolaan layanan TIK berbasis pemberdayaan masyarakat untuk mempercepat peningkatan e-literasi; 3. Memperoleh masukan bagi pengembangan strategi pembiayaan yang berkelanjutan untuk mendukung pembangunan sektor pos dan telematika. Adapun sasaran akhir kajian adalah agar Bappenas khususnya Direktorat Energi, Telekomunikasi dan Informatika mendapatkan masukan bagi penyusunan kebijakan pengembangan TIK di era konvergensi.

I.4 RUANG LINGKUP DAN KELUARAN KAJIAN Dalam melakukan kajian, objek penelitian dibatasi pada sektor TIK yang meliputi industri telekomunikasi, informatika, dan infrastruktur penyiaran. Dalam melakukan kajian, Direktorat Energi, Telekomunikasi dan Informatika didukung oleh Tim Tenaga Ahli. Adapun pembagian tugas antara Tim Bappenas dan Tim Tenaga Ahli adalah sebagai berikut. 1. Tim Tenaga Ahli melakukan (a) pemetaan kondisi eksisting dan identifikasi permasalahan dalam pembangunan, penyediaan, pengelolaan dan pemanfaatan infrastruktur dan layanan TIK; (b) melakukan analisa dampak yang berpotensi timbul akibat adanya perubahan struktur industri dan struktur pasar dari yang terintegrasi secara vertikal menjadi horizontal sebagai akibat konvergensi; (c) melakukan analisa tentang pola penyediaan infrastruktur dan layanan TIK yang berorientasi kepada pemberdayaan masyarakat; (d) melakukan evaluasi atas implementasi

5|Kebijakan Pengembangan TIK di Era Konvergensi

konsep pergeseran belanja modal menjadi belanja operasional; dan (e) melakukan evaluasi atas pelaksanaan kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam penyediaan jasa TIK. 2. Tim Bappenas bertugas (a) memberikan arahan secara keseluruhan selama proses kajian; (b) memeriksa hasil evaluasi dan analisa Tim Tenaga Ahli; (c) melakukan analisa menyeluruh atas pemetaan dan evaluasi yang dilakukan oleh Tim Tenaga Ahli; dan (d) menyusun rekomendasi kebijakan yang diperlukan. Adapun keluaran kajian yang diharapkan adalah rekomendasi kebijakan yang mendukung pengembangan sektor TIK di era konvergensi yang meliputi pengembangan infrastruktur, tingkat pemanfaatan layanan TIK, dan strategi pembiayaan, sebagai landasan bagi terciptanya masyarakat informasi Indonesia 2015 - 2019.

I.5. METODOLOGI Kerangka pemikiran kajian berlatar belakang pada kebutuhan yang mendesak untuk mengembangkan sektor komunikasi dan informatika yang kokoh, kompetitif, dan berkelanjutan. Pengalaman sepuluh tahun terakhir membuktikan bahwa struktur industri dan penyelenggaraan komunikasi dan informatika harus mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi dan trend global. Tantangan terberat dalam lima tahun ke depan adalah menterjemahkan konvergensi ke dalam tataran kebijakan, regulasi, perizinan, dan pengelolaan sumber daya terbatas (penomoran dan spektrum frekuensi radio). Hal ini dikarenakan konvergensi akan mengubah penyelenggaraan komunikasi dan informatika secara fundamental yaitu dengan menghilangkan sekat sektoral. Bila sebelumnya penyediaan dan pengelolaan infrastruktur telekomunikasi terpisah secara jelas dari penyediaan dan pengelolaan infrastruktur informatika dan penyiaran, maka pada era konvergensi sekat tersebut menjadi hilang. Pengalaman juga membuktikan bahwa setiap perubahan struktur industri dan bentuk penyelenggaraan membawa implikasi yang luas, tidak saja kepada penyelenggara karena harus melakukan penyesuaian terhadap rencana dan strategi bisnis, tetapi juga kepada pemerintah karena dimungkinkannya muncul kebutuhan kompensasi, dan masyarakat karena adanya kemungkinan biaya tambahan yang dibebankan sebagai akibat dari perubahan sistem dan perangkat. Oleh karena itu, sektor komunikasi dan informatika nasional harus kokoh, dapat mengantisipasi perubahan teknologi tanpa menimbulkan kekacauan (chaos) terhadap bentuk penyelenggaraan, kompetitif, dan berkelanjutan. Karakteristik tersebut diperlukan untuk memastikan tercapainya sasaran pembangunan nasional, terjaminnya keberlangsungan bisnis penyelenggara, serta terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan akses komunikasi dan informatika yang handal, berkualitas dan terjangkau.

6|Kebijakan Pengembangan TIK di Era Konvergensi

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran Kajian

Kajian ini dilaksanakan melalui (1) pengumpulan dan evaluasi literatur, seperti peraturan perundangundangan, kebijakan sektor, dan konsep terkait lainnya; (2) pengumpulan data, wawancara, diskusi dan pengisian kuesioner; (3) analisa; dan (4) penyusunan konsep/rekomendasi kebijakan.

I.6 RENCANA KERJA Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Tim Bappenas mempunyai tugas untuk (a) memberikan arahan secara keseluruhan selama proses kajian; (b) memeriksa hasil evaluasi dan analisa Tim Tenaga Ahli; (c) melakukan analisa menyeluruh atas pemetaan dan evaluasi yang dilakukan oleh Tim Tenaga Ahli; dan (d) menyusun rekomendasi kebijakan yang diperlukan. Dalam melakukan tugas (a) dan (b), Tim Bappenas melakukan komunikasi berkala dengan Tim Tenaga Ahli. Berikut adalah arahan substansi yang diberikan oleh Tim Bappenas kepada Tim Tenaga Ahli. Tabel 1.1 Arahan SubstansiNo 1. Aspek Yang Diteliti Aspek Penyediaan Infrastruktur (Supply) Substansi Yang Dibahas Pemetaan hasil pembangunan infrastruktur (fixed line, seluler, fixed wireless access, backbone, jaringan berbasis protokol internet, dan sebagainya) Dampak perubahan struktur industri akibat konvergensi: Evaluasi dampak jaringan next generation network (NGN) terhadap konfigurasi penyelenggaraan komunikasi dan informatika masa depan

7|Kebijakan Pengembangan TIK di Era Konvergensi

No Aspek Yang Diteliti Substansi Yang Dibahas Evaluasi perizinan Evaluasi bentuk kompetisi ke depan 2. 3. Aspek Pemanfaatan Informasi dan TIK (Demand) Aspek Pembiayaan Metode pendekatan yang efektif untuk memperkenalkan TIK kepada masyarakat Evaluasi kebutuhan biaya modal Evaluasi pergeseran belanja modal ke belanja operasional Identifikasi potensi sumber pembiayaan selain APBN

Jadwal pelaksanaan kajian dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1.2 Jadwal Pelaksanaan KajianUraian Kegiatan Persiapan dan diskusi awal dengan Tim Tenaga Ahli Pekerjaan Tenaga Ahli Laporan pekerjaan Tenaga Ahli Diskusi / survey Penyusun rancangan rekomendasi Seminar dengan pemangku kepentingan Penyempurnaan rekomendasi Mei Juni Juli Agsts Sept Okt Nov Des

8|Kebijakan Pengembangan TIK di Era Konvergensi

BAB II HASIL KAJIAN

Berikut ini adalah rangkuman hasil pemetaan yang dilakukan oleh Tim Tenaga Ahli dengan arahan dari Tim Bappenas yang terdiri dari aspek (a) penyediaan infrastruktur (supply); (b) pemanfaatan informasi dan TIK (demand); dan (c) pembiayaan.

II.1 PEMETAAN KONDISI INFRASTRUKTUR EKSISTING Kondisi eksisting infrastruktur TIK dapat dirangkum sebagai berikut: 1. Jumlah pelanggan layanan per Juli 2009 terdiri dari: Public Switched Telephone Network (PSTN) sebanyak 8,67 juta (3,7 persen), fixed wireless access (FWA) sebanyak 21,7 juta (9 persen), selular (2G) sebanyak 140,6 juta (59 persen), broadband (asymmetric digital subscriber line atau ADSL dan fiber to the home atau FTTH) sebanyak satu juta, mobile data sebanyak 2,5 juta, universal mobile telecommunication system atau UMTS/3G sebanyak 12 juta), dan internet sebanyak 30 juta. 2. Mayoritas infrastruktur akses berbentuk time division multiplexing (TDM) circuit switch network dan hanya beberapa yang telah menggunakan IP-based networks dengan prosentase sebagai berikut: access network sebesar 3 persen IP, core plane sebesar 24 persen dan control plane sebesar 15 persen. Adapun target perubahan dalam 3 4 tahun ke depan adalah access network mencapai 45 persen IP, core plane mencapai 72 persen IP, dan control plane mencapai 85 persen IP. 3. Walaupun backbone serat optik sudah terbentang dari Sumatera, Jawa, Bali dan sebagian Sulawesi, pembangunan yang bersifat menyebar masih sangat diperlukan. 4. Selain backbone serat optik, juga terdapat backbone terrestrial microwave dan satelit. 5. Backbone internasional (satelit dan kabel laut) berasal dari dua operator besar yaitu PT Indosat dengan total kapasitas 1,73 Gbps dan PT Telkom dengan total kapasitas sebesar 320 Gbps. 6. Terkait TV dan pemancar siaran radio, data hingga tahun 2009 menunjukkan bahwa jangkauan layanan siaran TV, baik yang dimiliki oleh Lembaga Penyiran Publik (LPP) TVRI dan Pembaga Penyiaran Swasta TV (TV swasta) sudah mencapai 88 persen untuk siaran nasional dan regional dengan total keseluruhan 162 stasiun TV. Adapun jangkauan siaran radio sudah mencapai 85 persen, baik yang dimiliki oleh LPP RRI dan LPS radio dengan total keseluruhan 1.186 stasiun. 7. Jumlah komputer (PC) pada tahun 2007 adalah 6,5 juta dengan penjulan sekitar 1,2 juta unit dengan perbandingan antara pengguna PC di kantor dan di rumah adalah 5:1. 8. Data tentang akses internet adalah sebagai berikut: a. Jumlah pengguna internet: 16 juta (2005), 20 juta (2006), 25 juta (2007), 27 juta (2008) dan 30 juta (2009)

9|Kebijakan Pengembangan TIK di Era Konvergensi

9.

10.

11.

12.

b. Jumlah Internet Service Provider (ISP): 232 ISP (2005), 271 (2006), 298 (2007) c. Jumlah Network Access Provider (NAP): 35 (2005), 41 (2006), 44 (2007) d. Jumlah izin penyelenggaraan jasa multimedia sekitar 25 buah Jenis aplikasi internet yang banyak digunakan melalui layanan mobile dan tetap antara lain streaming video, games, dan entertainment. Selain penggunaan google, yahoo, detik.com, aplikasi Web 2.0 seperti facebook, blog, youtube, chatting sangat banyak digunakan. Dalam hal aplikasi Web 2.0 tersebut, Indonesia tergolong sebagai pengguna terbesar di Asia Tenggara. Pembangunan USO (Pembangunan telepon perdesaan program Desa Berdering) a. Dalam rangka pembukaan akses bagi masyarakat di daerah yang belum memiliki fasilitas komunikasi dan informatika, pemerintah melaksanakan program USO di 31.824 desa. Pemilihan penyelenggara secara kompetitif sudah dilakukan dengan menghasilkan dua pemenang yaitu PT Telkomsel dan PT Indonesia Comnets Plus. b. Program Desa Berdering akan dilakukan di 32 provinsi Indonesia dengan distribusi sebagai berikut: Sumatera: Nangroe Aceh Darusalam 3.611 unit, Sumatera Utara 2.809 unit, Sumatera Barat 1.695 unit, Jambi 751 unit, Riau 701 unit, Kepulauan Riau 90 unit, Bangka Belitung 141 unit, Bengkulu 969 unit, Sumatera Selatan 1.752 unit, dan Lampung 793 unit. Jawa dan Bali: Banten 530 unit, Jawa Barat 1.038 unit, Jawa Tengah 1.551 unit, DI Yogyakarta 19 unit, Jawa Timur 1.436 unit, dan Bali 139 unit. Kalimantan: Kalimantan Barat 954 unit, Kalimantan Tengah 1.131 unit, Kalimantan Timur 798 unit, dan Kalimantan Selatan 914 unit. Sulawesi: Sulawesi Utara 474 unit, Gorontalo 184 unit, Sulawesi Tengah 744 unit, Sulawesi Barat 236 unit, Sulawesi Selatan 905 unit, dan Sulawesi Tenggara 929. Nusa Tenggara, Maluku, Papua: Nusa Tenggara Barat 198 unit, Nusa Tenggara Timur 2.031 unit, Maluku 710 unit, Maluku Utara 576 unit, unit Papua 2247 unit, dan Papua Barat 768 unit. Rencana pembangunan broadband wireless access (BWA) Dalam rangka pemerataan akses pita lebar untuk seluruh wilayah Indonesia, pemerintah telah melakukan seleksi penyelenggara pada bulan Juli 2009 dengan menghasilkan delapan pemenang yang akan beroperasi selaku operator BWA. Salah satu kewajiban yang harus dipenuhi pemenang seleksi tersebut adalah tentang Tingkat Kandungan Dalam Negeri. Model pembangunan dan penggunaan infrastruktur TIK menuju Masyarakat Informasi Indonesia (MII).

10 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

Gambar 2.1 Model Pembangunan Menuju Masyarakat Informasi Indonesia

II.2 DAMPAK PERUBAHAN STRUKTUR INDUSTRI DAN PASAR AKIBAT KONVERGENSI II.2.1 Permasalahan Kemajuan teknologi mengakibatkan perubahan struktur industri/struktur pasar yang memerlukan perubahan kebijakan dan pengaturan. Perubahan struktur industri ini mengubah struktur industri dari bentuk vertikal menjadi horizontal. Perubahan ini merupakan dampak dari terjadinya konvergensi baik di sisi jaringan maupun layanan. Oleh karena itu, diperlukan antisipasi pengaturan dan perangkat regulasi yang memadai dan sesuai dengan perubahan struktur industri tersebut di atas. Antisipasi melalui pengaturan kembali dan penyusunan perangkat regulasi sangat diperlukan oleh pelaku bisnis untuk memberikan kepastian iklim usaha. Proses pengaturan kembali perlu dilakukan secara bertahap untuk menjamin perubahan yang halus (seamless). Regulasi yang mendukung perkembangan ini harus memenuhi kriteria berikut: berdasarkan kriteria netral teknologi; berdasarkan prinsip aturan kompetisi (transparasi dan non diskriminasi); regulasi non-economic harus dihindari; bila diperlukan aturan ekonomi, hanya ditujukan untuk menghilangkan bottleneck; mendorong inovasi dan investasi; mendukung kepastian hukum; terfokus pada layanan dan bukan pada teknologi; menghindari terjadinya fragmentasi pasar; dan seimbang antara harmonisasi dan inovasi. Walaupun terjadi perubahan struktur industri secara fundamental, ketersediaan, kualitas dan harga layanan TIK kepada masyarakat harus tetap terjaga, begitu pula dengan kelangsungan bisnis penyediaan jaringan dan penyediaan jasa. Untuk memperkecil dampak negatif dari perubahan

11 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

menuju era konvergensi ini, maka perlu dipetakan proses perubahan tersebut. Proses pemetaan ini dimaksudkan untuk menjaga bahwa proses perubahan yang terjadi tetap pada arah/jalur yang sudah direncanakan, melalui tahapan demi efesiensi sumber daya. Hal lain yang ingin dicapai adalah sinergi peran/fungsi antara pemerintah, regulator dan operator/pelaku bisnis, sehingga secara nasional dicapai hasil yang maksimal. II.2.2 Struktur Industri dan Perizinan Seperti yang telah disampaikan di depan bahwa perkembangan ke arah konvergensi berdampak pada perubahan struktur industri dan struktur pasar, dari yang terintegrasi secara vertikal menjadi terintegrasi secara horizontal, yang mana memerlukan aturan/regulasi berbeda/baru, khususnya regulasi mengenai perizinan/lisensi. Struktur industri dan struktur pasar saat ini mengacu pada UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, KM Perhubungan No. 20 Tahun 2001 beserta perubahannya tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi, dan KM Perhubungan No. 21 Tahun 2001 beserta perubahannya tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi, yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Gambar 2.2 Penyelenggaraan Telekomunikasi

Sumber: UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, diolah

Sesuai perkembangan teknologi, jaringan masa depan yaitu Next Generation Network (NGN), akan berevolusi melalui infrastruktur yang dibangun pada fondasi yang terdiri atas tiga area infrastruktur. Ketiga area tersebut adalah core, access dan penyediaan service/layanan control platform.

12 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

Jaringan operator akan berevolusi melalui tiga area infrastruktur ini. Ketiga infrastruktur NGN dapat digambarkan sebagai berikut. Gambar 2.3 Infrastruktur NGN

APPLICATION

Service ControlTerminal Equpment

Access

Core

Sumber : European Telecommunication Platform

Jaringan core (Next Generation Core) merupakan infrastruktur yang menjadi pusat terjadinya konvergensi jaringan. Next Generation Core mempunyai kemampuan membawa dan menyalurkan suara, data dan video melalui satu jaringan fisik yang sama dengan menggunakan protokol yang sama yaitu protokol internet (IP). Pada jaringan core ini juga terjadi konvergensi antara jaringan tetap (fixed network) dan jaringan bergerak (mobile network). Jaringan akses menghubungkan terminal pengguna dengan operator. Jaringan akses dapat berupa: Jaringan tetap Jaringan bergerak Jaringan kabel TV/broadband TV cable Broadband Wireless Access (BWA) High speed internet access Pada jaringan akses inilah akan terjadi kompetisi ketat. Dalam era NGN, konvergensi secara penuh harus melalui tahap Fixed-Mobile Convergence (FMC). Untuk menuju FMC diperlukan IP Multimedia Subsystems (IMS). IMS diperlukan untuk layanan IP ujung-ke-ujung (end-to-end) yang selanjutnya untuk akses (open access) ke layanan jasa nilai tambah (Value Added Service) layanan aplikasi dan konten. IMS menambah fungsi service control yang menjadikannya mampu memberikan layanan multimedia secara tanpa batas dari berbagai teknologi akses fixed dan mobile, karena itu memungkinkan konvergensi FMC. Perkembangan menuju FMC untuk fixed network agak berbeda dengan mobile network meskipun pada akhirnya menyatu. Perkembangan mobile network berawal dari tiga GPP, badan standar untuk mobile network, dimana IMS semula dikembangkan untuk memberikan layanan multimedia melalui jaringan 3G. Dimulai di 3GPP release 5, yang peruntukannya hanya untuk akses mobil, diteruskan dengan

13 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

release 6 untuk wireless dan release 7 untuk fixed access. Perkembangan pada fixed network diawali oleh European Telecommunication Standard Institute (ETSI) yang menyatukan IMS pada spesifikasi NGN ITU, menjadi standar yang disebut Telecoms and Internet Converged Services and Protocol for advance Network (TISPAN). Selanjutnya ITU membuat rekomendasi terbaru tentang NGN yang berbasis IMS (NGN IMS) seperti ETSI TISPAN. Pada NGN IMS inilah konvergensi secara penuh terjadi, standarisasi IMS masih terus berkembang, untuk mengatur halhal yang lebih rinci/ spesifik. Gambar-gambar berikut memperlihatkan struktur industri/struktur pasar masa depan sebagai dampak dari perkembangan teknologi jaringan. Gambar 2.4 Struktur Industri Masa Depan

Sumber: Tim Tenaga Ahli, 2009

14 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

Gambar 2.5 Konfigurasi dan Para Pelaku NGN (Tahap Awal)

Sumber: Tim Tenaga Ahli, 2009

Gambar 2.6 Konfigurasi dan Para Pelaku NGN (Tahap Kedua)

Sumber: Tim Tenaga Ahli, 2009

15 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

POLA PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DAN LAYANAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT II.3.1 Penyediaan Infrastruktur Infrastruktur telekomunikasi adalah kesatuan sarana dan prasarana telekomunikasi yang berperan menunjang terbangunnya akses telekomunikasi, di antaranya dengan dukungan fasilitas sarana berupa peralatan telepon, facsimile, komputer (internet dan voice over internet protocol atau VoIP), alat monitoring spektrum dan frekuensi dan sebagainya, serta fasilitas prasarana berupa sentral telepon, jaringan telekomunikasi, menara, saluran transmisi berupa serat optik dan gelombang mikro. Pola penyediaan infrastruktur yang dimaksudkan di sini adalah sebatas konten dari perkembangan TIK yang hendak dimanfaatkan oleh masyarakat pengguna. Usaha pemerintah di bidang telekomunikasi sampai dengan tahun 2008 menghasilkan tingkat penetrasi layanan telekomunikasi sambungan bergerak sebesar 61,72 persen, sambungan tetap 11,49 persen dan pengguna internet 11,30 persen. Penyediaan ketiga layanan tersebut masih terpusat di daerah perkotaan dan wilayah barat Indonesia. Bila dilihat dari luas wilayah Indonesia kebutuhan infrastruktur TIK masih sangat kurang belum menjangkau wilayah perdesaan dan daerah terpencil. Program Palapa Ring, USO dan pembangunan menara bersama merupakan langkah untuk menjembatani masalah tersebut sekaligus untuk mempercepat penyediaan infrastruktur di bidang TIK. Langkah ini perlu diambil karena dunia persaingan di pasar domestik maupun global menghendaki percepatan dan ketepatan dalam layanan bisnis. Di sisi lain, masyararakat pengguna yang terdiri dari berbagai lapisan serta mempunyai latar belakang budaya, pendidikan dan kemampuan sosial ekonomi yang berbeda menjadikan pemanfaatan TIK masih belum memadai kalau tidak dapat dikatakan rendah. Penyebabnya adalah kurangnya informasi dan kepedulian masyarakat dalam pemanfaatan kecanggihan TIK untuk kepentingan bisnis masyarakat. Sebagai salah satu contoh adalah rendahnya pemakaian internet yang baru mencapai sekitar sebelas persen. Mitos tentang posisi kaum wanita sebagai kaum yang berada di belakang pria (sebagai isteri, pengasuh anak, mengurusi dapur dan sebagainya) menjadikannya tidak termanfaatkan dengan semestinya dan kurang produktif. Padahal kaum wanita banyak menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk pemberdayaan masyarakat. Kondisi demikian harus segera diatasi dengan berbagai pendidikan, penyuluhan, pelatihan, mengaktifkan kegiatan kelompok masyarakat dan pemberian sarana yang memadai sebagai penunjang. II.3.2 Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam membangun diri dan lingkungannya. Upaya pemberdayaan masyarakat menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tujuannya adalah memberi kesempatan kepada masyarakat agar mampu membuka lapangan kerja dan dapat ikut berperan dalam pengembangan perekonomian nasional. Payung hukum yang diberikan pemerintah berupa UU No.

II.3

16 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM/UKM). Dengan adanya pergeseran paradigma dalam perkonomian dunia yaitu dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi, maka pemanfaatan TIK menjadi sangat penting untuk dapat mengikuti persaingan pasar. Masyarakat dididik untuk meningkatkan kemampuan di bidang TIK dengan menggunakan dukungan transaksi eletronik. Aplikasi dari TIK ini meliputi tiga komponen pelaku yaitu pemerintah, produsen, dan masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang melindungi ketiga komponen tersebut akan menaikan supply dan demand masyarakat. Untuk mengoptimalkan implementasi program TIK, perlu diketahui bahwa setiap masyarakat memiliki karakteristik yang beda. Dengan demikian diperlukan pendekatan tertentu agar program TIK tersebut dapat berjalan efektif dan diterima oleh masyarakat. Langkah yang diambil untuk mendorong pemanfaatan informasi dan TIK di masyarakat adalah: a. Pendidikan kepada masyarakat 1) Tahapan awal adalah mengubah paradigma masyarakat khususnya di perdesaan tentang komputer sebagai barang mewah dan tak terjangkau. Adalah tugas pemerintah untuk mempermudah masyarakat untuk mempunyai daya beli komputer serta kemudahan mengakses infromasi. 2) Tahap berikutnya, memperkenalkan komputer sebagai hal yang sederhana (bukan hal sulit) melalui pelatihan komputer dengan metode yang sederhana dan mudah dimengerti. Dengan demikian, akan terbentuk paradigma baru dalam masyarakat bahwa komputer adalah barang yang terjangkau, mudah digunakan oleh siapapun. 3) Memperkenalkan dengan memberikan wacana kepada masyarakan bahwa internet adalah sesuatu yang mudah untuk digunakan, oleh siapapun dari kalangan apapun, menyenangkan, bermanfaat, dan dapat memberikan informasi yang kita butuhkan. Pada tahapan ini juga perlu dijelaskan mengenai potensi kemampuan internet dalam mengembangkan usaha/bisnis yang ada. b. Budaya sebagai sarana promosi Hal yang juga penting dalam pemberdayaan masyarakat adalah budaya. Karakter bangsa, suku bangsa, orang-perorang tercermin dalam interaksi hubungannya dengan orang lain. Pola perilaku, cara hidup, kebiasaan sehari-hari individual, kelompok, suku bangsa, berbaur satu sama lain menjadi karakter bangsa, akan membentuk suatu kepribadian yang menjadi ciri khas. Tradisi sosial yang demikian kita kenal sebagai budaya sangat berpengaruh pada pengambilan keputusan. Pada kelompok masyarakat tertentu sangat sulit menerima pengaruh dari luar apa apabila bertentangan dengan adat kebiasaan setempat. Oleh karena itu, dalam pemberdayaan masyarakat perlu diperhatikan budaya lokal yang dapat membantu memasarkan produk masyarakat melalui jasa layanan TIK ke luar daerahnya. Pendekatan yang diambil adalah melalui pengenalan budaya lokal kepada pasar domestik maupun internasional. Produk berbasis budaya khas daerah di Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke, didorong untuk segera

17 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

dipatenkan di Ditjen Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) Kementerian Hukum dan HAM agar masyarakat dapat memilih secara tepat produk yang diinginkan Produk berbasis budaya seperti rencong, ulos, songket, tenun ikat, kain tapis, keris, batik, angklung, ukiran Asmat, ukiran Jepara, mandau Kalimantan, dan produk berbasis budaya lainnya, secara resmi harus terdaftar sebagai produk asli dan berasal dari Indonesia. Kini masyarakat, pengusaha maupun pemerintah sebagai regulator cenderung melakukan sesuatu dalam situasi sesaat (reaktif). Kekuatan budaya diabaikan. Hal ini sangat rentan dalam keberlangsungan ekonomi karena investor tidak akan bersedia diajak hidup-mati hanya mengandalkan budaya. Mereka akan meninggalkan usahanya apabila kurang menguntungkan dari segi bisnis. Produk berbasis budaya yang juga merupakan produk ekonomi kreatif diperkirakan akan menjadi produk unggulan ekonomi dunia abad ke-21. Oleh karena itu, untuk diperlukan perlindungan terhadap hak cipta produk. c. Peran Industri Kreatif Industri kreatif dimaksudkan adalah usaha untuk mengembangkan kreativitas yang lebih bersifat khas lokal atau kreativitas yang unik, bukan industri massal. Industri ini sangat sesuai untuk UKM. Peran komunitas dalam masyarakat dan peran UKM menjadikan industri kreatif sebagai basis tumbuhnya ekonomi kreatif yaitu serangkaian kegiatan produksi dan distribusi barang maupun jasa yang dikembangkan melalui penguasaan di bidang informasi, pengetahuan dan kreativitas. Aspek sumberdaya manusia, teknologi, keberagaman budaya, dan pasar, merupakan sebuah ekosistem yang sangat dibutuhkan. Perkembangan ekonomi kreatif seperti tersebut di atas yang meliputi berbagai aspek dapat dilihat pada bagan sebagai berikut. Gambar 2.7 Perkembangan Ekonomi Kreatif

18 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

Melihat perkembangan tersebut, pengembangan UKM perlu dilakukan mengingat industri kreatif merupakan salah satu sumber perkembangan pasar di bidang pemberdayaan masyarakat dan sangat kompetitif dalam pasar global. Sebagian besar hasil industri kerajinan tangan di daerah pedalaman di Papua, Pedalaman Kalimantan, Pulau Nias dan sebagainya belum dipatenkan dan belum memanfaatkan kemajuan TIK untuk memasarkan produksinya. Contoh pemanfaatan kemajuan TIK perorangan dalam indusri kreatif adalah G.M Sudharta, kartunis Om Pasikom sejak puluhan tahun lalu dengan lebih dari 4.000 komik. Dengan dicanangkannya tahun 2009 sebagai tahun industri kreatif Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono, memberikan tantangan tambahan dalam pengelolaan industri telekomunikasi nasional karena industri kreatif merupakan aplikasi telematika yang sangat mengandalkan ketersediaan infrastruktur. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, industri kreatif yang sangat terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, meningkatkan pertumbuhan ekonomi kreatif di atas rata-rata nasional pada tahun 2006 atau mencapai 7,2 persen dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional hanya 4,71 persen. Hal tersebut dapat dilihat pada bagan sebagai berikut. Tabel 2.1 Ringkasan Kontribusi Ekonomi Industri Kreatif, 2002-2006Indikator 2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata Berbasis Produk Domestik Bruto (PDB) Nilai Tambah (miliar Rp) Pertumbuhan Nilai Tambah Nilai Terhadap Total PDB (%) Jumlah Tenaga Kerja (orang) Tingkat Partisipasi Pekerjaan Pertumbuhan Jumlah Tenaga Kerja Produktivitas Tenaga Kerja (ribu/orang) Nilai Ekspor (juta Rp) Pertumbuhan Ekspor Ekspor terhadap Total Ekspor (%) 72.013 4,7% 75.563 4,95% 4,79% 79.892 5,73% 4,82% 81.015 1,41% 4,63% 86.914 7,2% 4,71% 79.079 4,84% 4,75%

Berbasis Ketenagakerjaan 3.331.373 3,6% 3.186.734 3,51% 3.697.082 3,94% 3.813.122 4,02% 4.483.953 4,70% 3.702.447 3,96%

-

-4,34%

16,01%

3,14%

17,59%

8,10%

21.617

23.712

21.610

21.246

19.383

21.514

Berbasis Aktivitas Perusahaan 38.099.672 7,52% 35.805.832 -6,02% 7,06% 44.255.659 23,60% 6,68% 47.108.719 6,45% 5,95% 60.389.352 28,19% 6,77% 45.131.947 13,16% 6,80%

19 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

Indikator Jumlah Perusahaan Pertumbuhan Jumlah Perusahaan Jumlah Perusahaan terhadap Jumlah Total Perusahaan (%) 2002 1.078.024 2003 938.850 2,78% 2004 1.232.286 19,01% 2005 1.216.161 -5,40% 2006 1.520.759 14,41% Rata-rata 1.197.216 7,70%

2,54%

2,27%

2,88%

2,92%

3,60%

7,94%

Sumber : Kementerian Perdagangan, 2006

II.3.3 Tantangan ke Depan Dalam rangka menghadapi tantangan pada tahun-tahun berikutnya dimana persaingan dunia usaha semakin ketat dan pola perdagangan yang lebih banyak berbasis TIK, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan: a. Menciptakan efisiensi di segala bidang yang dapat dilayani hanya dengan satu akses kecanggihan TIK. b. Meningkatkan peran telecenter agar daerah terpencil dapat mengakses informasi untuk kepentingan bisnis daerahnya. c. Meningkatkan kapabilitas layanan bisnis industri kreatif, pengusaha yang bergerak di industri kreatif merasa dipuaskan dengan beragam program dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. d. Meningkatkan pembangunan fasilitas komunikasi perdesaan, dibutuhkan banyak figur kreatif yang berjalan di depan untuk mengeksplorasi kreativitas. e. Meningkatkan kemampuan TIK bagi SDM pemerintah pusat dan daerah. f. Memberikan perlindungan hukum bagi produsen dan konsumen. g. Sinkronisasi atas regulasi pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung pemanfaatan TIK h. Mendorong tercapainya target program USO. Langkah selanjutnya yang juga perlu dilakukan adalah membangun jaringan pengembangan kota kreatif yang menghubungkan beberapa kota seperti Bangkok, Singapura, Kuala Lumpur, Manila, Hanoi, Hong Kong, Taipei, London, Auckland, Istambul, Bogota dan Glasgow. Sampai tiga tahun ke depan, kota Bandung akan menjadi proyek percontohan pengembangan kota kreatif se-Asia Pasifik. Untuk mencapai tujuan dimaksud, kebutuhan TIK harus dipenuhi.

20 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

II.4 PEMBIAYAAN II.4.1 Biaya Modal Melakukan investasi baru yang signifikan untuk upgrading infrastruktur yang ada saat ini adalah merupakan keharusan, kalau para operator telekomunikasi tidak mau ketinggalan dalam kemajuan teknologi. Tanpa mengikuti secara terus menerus kemajuan teknologi akan menurunkan daya saing perusahaan dalam jangka panjang. Seperti kita ketahui, biaya modal pada umumnya menyangkut nominal yang relatif besar dan cara pengembaliannya relatif lama karena harus melalui proses depresiasi. Untuk proyek baru, biaya modal tersebut meliputi biaya pekerjaan sipil, pembelian peralatan dan jasa untuk pelaksanaan proyek tersebut, pembelian tanah, termasuk biaya untuk konsultan, serta gaji insinyur dan staf yang bertanggung jawab atas pembangunan proyek tersebut sejak awal pembangunan hingga beroperasi. Biaya depresiasi yang merupakan salah satu unsur biaya operasi mencapai sekitar 30 persen dari total biaya operasi tahunan untuk dua operator besar di Indonesia, sedang di Singapura mencapai antara 16-18 persen. Dengan demikian, depresiasi mempunyai peranan yang cukup besar dalam penentuan harga jual dari jasa yang ditawarkan. Demikian pula bila biaya depresiasi tersebut dibandingkan dengan laba operasi. Untuk PT Indosat angkanya mencapai hampir 97 persen (2008) dan 107 persen (2009) sampai 31 Maret. Untuk PT Telkom, angkanya masing-masing mencapai 50 persen dan 56 persen pada periode yang sama, sedangkan untuk SingTel (Singapura), angkanya lebih kecil, yaitu 42 persen untuk tahun 2008 dan 39 persen untuk tahun 2009. Dua faktor utama yang menyebabkan tingginya biaya depresiasi adalah jumlah investasi dan metode depresiasi. Jumlah Investasi aktiva tetap untuk tiga operator tersebut di atas per 31 Maret 2009 adalah sebagai berikut: Indosat Rp 67,8 triliun Telkom Rp 71,2 triliun SingTel US$ 9,1 miliar Metode depresiasi yang digunakan oleh ketiga operator tersebut di atas adalah metode straight line dimana harga perolehan dari aktiva tersebut dibagi rata selama umur manfaat aktiva tersebut. Untuk Indosat dan Telkom umur manfaat aktiva tetap ditentukan antara 3 - 20 tahun, sedang untuk Sing Tel, umur manfaat aktiva tetapnya antara 3 - 40 tahun. Untuk aktiva tetap yang dibangun sendiri, nilai dari aktiva adalah penjumlahan dari nilai material yang dipakai, biaya tenaga kerja langsung, biaya bunga yang dikapitalisasi dan sebagian biaya overhead. Dengan demikian, biaya bunga termasuk salah satu faktor yang penting dalam

21 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

perhitungan investasi pada aktiva tetap. Untuk Indonesia, biaya bunga termasuk yang tertinggi di ASEAN baik untuk pinjaman investasi maupun modal kerja. Selain hal itu, keputusan untuk investasi kapital apabila sudah dilaksanakan akan sangat sulit mengubahnya. II.4.2 Pergeseran dari Biaya Modal ke Biaya Operasional Fakta bahwa jumlah biaya modal yang harus dikeluarkan oleh para penyelanggara bisnis telekomunikasi ini relatif besar, mendorong mereka untuk mencari alternatif pembiayaan yang secara ekonomis lebih menguntungkan dan secara risiko usaha bisa dimitigasi kepada para pihak yang tertarik untuk ikut mengambil bagian. Tentu saja hal ini akan mengurangi keuntungan bersih yang akan diperoleh, khususnya dalam jangka pendek, namun secara jangka panjang akan meningkatkan keuntungan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggeser biaya modal (capital expenditure) ke biaya operasional (operation expenditure). Dengan cara ini, operator menawarkan kepada pihak lain untuk melakukan investasi pada peralatan tertentu, terutama peralatan yang terkait dengan infrastruktur yang memungkinkan untuk dapat digunakan secara bersama dengan operator lain. Para operator berdasar perjanjian bisnis yang saling menguntungkan selanjutnya akan menyewa infrastruktur tersebut dari perusahaan yang melakukan investasi untuk infrastruktur tersebut. Dengan pemakaian secara bersama oleh beberapa operator, tingkat utilisasi infrastruktur tersebut lebih tinggi dan dapat menurunkan biaya per unit untuk setiap pemanfaatan infrastruktur tersebut. Dengan cara sharing infrastruktur, penyelenggara telekomunikasi akan memperoleh manfaat lebih dari hasil investasinya, dengan syarat adanya peraturan yang jelas akan memberi insentif ekonomi bagi penyelenggara telekomunikasi yang ingin melakukan sharing. Para penyelenggara telekomunikasi terdorong untuk melakukan sharing infrastruktur karena hal tersebut akan menciptakan iklim kompetisi yang lebih sehat yang pada akhirnya akan mengoptimalkan hasil investasi. Para penyelenggara telekomunikasi akan otomatis memilih infrastruktur sharing apabila hal tersebut secara nyata akan memberikan keuntungan ekonomi yang lebih besar. Hal tersebut akan tercipta apabila ada kebijakan pemerintah yang jelas, pengaturan tarif yang bisa dipertanggungjawabkan secara komersial dan peraturan lain yang akan menciptakan suasana kondusif bagi investor penyelenggara telekomunikasi. Secara umum terdapat empat sifat utama yang diperlukan dari peraturan pemerintah agar pengembangan sektor komunikasi dan informatika, khususnya telekomunikasi, dapat berlangsung cepat dan sukses, yaitu: Transparan: regulator memberikan informasi yang relevan, menggunakan wewenangnya tanpa memihak dan memberikan kesempatan kepada pihak yang tertarik untuk mengembangkan sektor telekomunikasi untuk memberi masukan yang konstruktif. Efisien: membuat tolok ukur yang akan mencegah munculnya peraturan yang tidak perlu dan justru akan membatasi transaksi jasa telekomunikasi, serta adanya kekuatan yang memaksa ditaatinya peraturan yang sudah ditetapkan.

22 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

Independen: membuat peraturan yang menjamin bahwa regulator tidak terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung pada aktivitas bisnis jasa telekomunikasi dan tidak memihak kepada salah satu atau lebih pelaku pasar. Non diskriminasi: membuat catatan yang transparan tentang aktivitas pelaku pasar tanpa memihak. Regulator harus berpikir yang seimbang antara bagaimana menyediakan layanan komunikasi dengan biaya yang terjangkau bagi masyarakat secara luas dengan cara menciptakan iklim kompetisi yang sehat diantara para operator, namun pada saat bersamaan harus menciptakan kondisi yang menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya disektor tersebut. Pengeluaran operator yang jumlahnya relatif besar umumnya digunakan untuk investasi teknologi, dengan tujuan agar tidak ketinggalan teknologi dan peralatan jaringan. Mengingat pengeluaran tersebut adalah untuk aktiva tetap, dengan jumlah yang relatif besar dan umumnya setelah diputuskan sangat sulit untuk diubah, maka pengeluaran tersebut mempunyai risiko sangat tinggi. Salah satu cara untuk mengurangi resiko tersebut adalah dengan sharing infrastruktur. Melalui langkah ini, risiko dapat dibagi di antara operator pengguna infrastruktur tersebut. Untuk menciptakan iklim kompetisi yang sehat dan mendorong adanya pemain baru pada industri telekomunikasi, maka pemerintah atau regulator harus mengeluarkan peraturan yang mewajibkan para operator untuk melakukan sharing infrastruktur tersebut. Operator telekomunikasi diuntungkan dengan adanya sharing infrastruktur tersebut karena adanya cost saving. Pada studi kasus yang dimuat di situs Booz Allen Hamilton (BAH) diterangkan bahwa di India diperlukan 240,000 menara untuk 3 tahun kedepan. Dari hasil analisa, akan terdapat cost saving sebesar US$ 4 miliar apabila untuk masing-masing menara dipakai oleh setidaknya dua operator telekomunikasi. Contoh lain, di salah satu negara di kawasan Timur Tengah, terdapat dua operator yang bersaing. Agar mendapat wilayah jangkauan yang optimal, keduanya harus membuat 350 menara. Kalau kedua operator tersebut melakukan sharing dalam penggunaan menara, maka penghematan belanja modal dapat mencapai sekitar US$ 250 juta. Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa dalam kasus fixed-network sharing, beberapa biaya dapat dihemat dan dioptimalkan. Untuk biaya set-up dapat dihemat sekitar 40 persen dan biaya penggunaan penghematannya bisa mencapai 20 persen. Untuk mengantisipasi kenyataan ini dan risiko investasi yang terkait dengan pemanfaatan infrastruktur sharing, pemerintah dan regulator memilih model yang berbeda untuk infrastruktur sharing agar memenuhi beberapa ketentuan berikut: 1. Mengurangi persyaratan investasi Investasi dibagi di antara para operator yang melakukan sharing infrastruktur, bukan dilakukan oleh mereka secara sendiri-sendiri. Investasi yang optimal akan memberi kontribusi terhadap daya tahan operator telekomunikasi dan dapat dijadikan dasar bagi keputusan investasi jangka

23 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

panjang karena risikonya menjadi relatif lebih kecil. Para penjual perangkat telekomunikasi memperkirakan bahwa sharing untuk infrastruktur akan menghemat sekitar 40 persen dari total biaya. 2. Menawarkan sumber pendapatan baru Di pasar yang terbuka untuk kompetisi, operator incumbent akan mendapatkan penghasilan yang signifikan dari sharing infrastruktur. Dalam beberapa kasus, penghasilan tersebut mencapai lebih dari 15 persen dari total penghasilan operator. Sebagai contoh, berikut data pendapatan interkoneksi dari PT Telkom untuk tahun 2006, 2007 dan 2008. 2006 8,681 51,291 16,92% 2007 9,651 59,440 16,24% 2008 8,791 60,689 14,48%

Pendapatan Interkoneksi (miliar Rupiah) Pendapatan Usaha (miliar Rupiah) Prosentase

3. Modal yang tidak digunakan untuk pembangunan infrastruktur dapat direalokasi untuk investasi yang lebih strategis. Apabila pembangunan jaringan diserahkan pada perusahaan yang terpisah, maka operator dapat berkonsentrasi pada aktivitas peningkatan pelayanan kepada para pelanggannya dan di lain pihak dapat memanfaatkan dana untuk investasi yang lebih strategis. 4. Mengurangi hambatan (barrier to entry) bagi pemain baru untuk masuk pasar Apabila infrastruktur sharing diharuskan kepada setiap operator yang secara operasional memungkinkan, maka pasar menjadi lebih menarik untuk para pemain baru. Mereka dapat meningkatkan kompetisi dan melakukan investasi secara lebih efektif. 5. Pergeseran fokus ke inovasi pelayanan dari yang sebelumnya pendayagunaan jaringan Dengan tidak adanya tekanan untuk memaksimalkan penggunaan jaringan, ditinjau dari segi finansial maupun operasional, maka para operator akan mengalihkan perhatiannya kepada peningkatan inovasi, pelayanan yang lebih baik, dan juga penawaran pelayanan dengan harga yang lebih baik bagi konsumen, serta menciptakan iklim kompetisi yang lebih sehat. 6. Memperluas investasi ke daerah yang penduduknya relatif tidak padat sehingga dapat memenuhi target universal Sharing infrastruktur membantu para operator melakukan perluasan jaringan di daerah perdesaan dengan cara menggunakan dana hasil penghematan investasi di daerah yang lebih padat penduduknya. Hal ini harus juga menjadi dimensi kebijakan karena memberi sumbangan yang tidak sedikit untuk memenuhi target kewajiban universal yang sudah ditentukan. 7. Mengoptimalkan penggunaan sumber daya nasional, yaitu right of way Sharing infrastruktur dalam bentuk yang sederhana akan mendorong penggunaan yang lebih baik dari sumber daya nasional yang terbatas, seperti right of way dan spektrum frekuensi radio. 8. Mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan Dengan semakin sedikitnya pembangunan jaringan, maka makin berkurang dampak negatif terhadap lingkungan.

24 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

Bentuk dari sharing infrastruktur bisa beragam karena para operator memilih untuk share komponen jaringan baik yang bersifat aktif maupun yang bersifat pasif. Saat ini total pengeluaran investasi para operator hampir sama besar antara pengeluaran untuk investasi komponen aktif dan investasi komponen pasif, tetapi kondisi ini akan berubah di masa mendatang karena penurunan harga peralatan telekomunikasi. Sebaliknya, terdapat kenaikan biaya untuk komponen jaringan pasif secara terus menerus termasuk harga tanah dan biaya material untuk pembangunannya. II.4.3 Perkiraan Keperluan Biaya Investasi Untuk lima tahun kedepan, mulai tahun 2010, diperlukan tambahan investasi untuk WiMax sekitar US$ 8 miliar dan Rp 32 triliun untuk memenuhi target penambahan penetrasi sekitar 40 juta pengguna, dengan rincian sebagai berikut: US $ BTS WiMax 40.000

@ US$ 200.000 = US$ 8.000.000.000

Rupiah BPH Frekuensi 2 x 200 Mhz Biaya BPH Frekuensi 2 x 200 Mhz per tahun Rp16 miliar/Mhz Total BPH Frekuensi Rp 6,4 triliun per tahun Biaya 5 tahun Rp 32 triliun Asumsi: setiap satu BTS bisa menjangkau 1000 pengguna. Apabila kita gunakan nilai tukar Rp 10.000 untuk setiap 1 US$, maka total biaya investasi yang diperlukan adalah Rp 112 triliun, atau lebih dari Rp 22 triliun per tahun. Perkiraan jumlah investasi tersebut di atas sangat beralasan apabila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun ke depan. Kiranya perkiraan pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2009 dan pertumbuhan ekonomi pada dua tahun yang lalu dapat digunakan sebagai indikator untuk memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada masa lima tahun yang akan datang. Pada tahun 2008 perekonomian Indonesia tumbuh dengan 6,1 persen, sedikit lebih kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun 2007 yang mencapai 6,3 persen. Namun yang menarik adalah pertumbuhan tersebut secara sektoral didominasi oleh sektor pengangkutan dan telekomunikasi, sektor listrik, gas dan air bersih serta sektor keuangan. Sektor pengangkutan dan telekomunikasi pada tahun 2008 tumbuh sebesar 16,7 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun 2007 sebesar 14,0 persen. Dan subsektor telekomunikasi sendiri tumbuh sebesar 31,3 persen pada tahun 2008, sebagai dampak meningkatnya penggunaan telepon seluler. Mengingat bahwa sektor pengangkutan dan telekomunikasi saat ini masih kecil sumbangannya terhadap PDB, maka ke depan sektor tersebut masih mempunyai potensi untuk tumbuh yang jauh

25 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

lebih besar. Berikut adalah sumbangan masing-masing sektor terhadap GDP sesuai dengan data yang tercantum pada Nota Keuangan APBN 2010. Tabel 2.2 Distribusi PDB atas Harga Berlaku SEKTOR 2007 2008 Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik,Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan,Hotel,Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan Jasa-jasaSumber: BPS, 2008

13,7% 11,2% 27,1% 0,9% 7,7% 14,9% 6,7% 7,7% 10,1%

14,4% 11,0% 27,9% 0,8% 8,5% 14,0% 6,3% 7,4% 9,8%

Dengan melihat perkembangan terakhir paruh pertama tahun 2009, dimana pengeluaran domestik yang terdiri dari konmsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah masih merupakan faktor pendorong utama perekonomian, maka pada tahun 2009 pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 4,3 persen. Pertumbuhan ekonomi untuk lima tahun ke depan beserta asumsi makro jangka menengah yang diperkirakan oleh pemerintah sebagaimana tercantum pada NK APBN 2010 adalah sebagai berikut: Tabel 2.3 Asumsi Makro Jangka Menengah APBN 2010 2011 2012 5,5 5 6 10.000 60 965 5,3 - 6,6 5,0 5,5 6,0 - 6,5 10.000 60 - 70 970 6,2 - 6,8 4,5 - 5,0 5,0 6,0 10.000 60 - 70 990

ITEMS

2013 6,5 - 7,3 4,0 - 4.5 5,0 - 6,0 10.000 60 - 70 1000

2014 6,7 7,5 3,5 - 4,0 5,0 5,5 10.000 60 - 70 1010

Pertumbuhan Ekonomi (%) Inflasi (%) SBI 3 bulan (%) Nilai Tukar Rupiah/US$ (Rp) ICP US$ Produksi Minyak (MBOPD)Sumber: Nota Keuangan APBN 2010

Proyeksi PDB untuk lima tahun ke depan berdasarkan perkiraan pertumbuhan yang disusun oleh pemerintah dengan diambil angka rata-rata pertumbuhan per tahun adalah sebagai berikut.

26 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

Description Pertumbuhan PDB (miliar Rupiah)

Tabel 2.4 Proyeksi PDB 2010-2014 2010 2011 2012 5,5% 6.050.054,5 6,0% 6.410.032,7 6,5% 6.826.684,9

2013 6,9% 7.297.726,1

2014 7,1% 7.815.864,7

Sumber : Nota Keuangan APBN 2010

II.4.4. Sumber pembiayaan Sebagaimana diketahui, sumber investasi dari industri telekomunikasi secara umum meliputi: Sisa lebih dari dana kas hasil operasi perusahaan telekomunikasi yang sudah beroperasi dan menghasilkan keuntungan (cash from operation); Dana dari investor baru yang akan masuk pada industri telekomunikasi; Dana USO; Dana pemerintah melalui program kerjasama dengan swasta. Proyeksi dari total dana investasi tersebut dapat berubah sejalan dengan adanya perubahan teknologi, perubahan pasar dan tingkat pertumbuhan ekonomi secara umum. Secara grafis angka tersebut di atas bisa digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.8 Jumlah Investasi Industri Telekomunikasi

Sumber: Tim Tenaga Ahli, 2009

Dari tabel di atas, terlihat bahwa dalam lima tahun ke depan dana yang disediakan oleh para operator untuk investasi adalah sekitar Rp 210 triliun. Adapun pada uraian terdahulu, untuk pembangunan WIMAX saja dalam lima tahun ke depan Indonesia memerlukan dana sekitar Rp 112 triliun. Dengan demikian, untuk mencapai target penetrasi yang moderate pada 2014 yaitu selular 90 persen, FWA 15 persen, BWA 20 persen, ADSL dan HFC 2 persen dan Internet 25 persen

27 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

diperlukan dana investasi tambahan yang jauh lebih besar lagi. Dana investasi tambahan yang lebih besar ini diharapkan berasal selain dari investor baru yang akan masuk dalam industri sebagai pemain baru, bila secara pasar maupun regulasi masih memungkinkan, juga dari investor portofolio dan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Mengingat keterbatasan dana pemerintah, diperlukan mekanisme atau tata cara penyaluran dana pemerintah yang lebih sederhana dan transparan namun tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada. Dalam rangka peningkatan dan pemerataan penetrasi pemanfaatan TIK secara nasional untuk mendukung pertumbuhan ekonomi seperti yang direncanakan oleh pemerintah, untuk masa lima tahun ke depan diperlukan adanya dana investasi baru dengan jumlah yang relatif besar, baik untuk pembangunan infrastruktur baru maupun untuk biaya pengelolalaan. Data sementara memperlihatkan bahwa dana yang disediakan para operator yang sudah beroperasi saat ini belum bisa mencukupi. Untuk itu perlu dibuat inisiatif baru yang mendorong terciptanya sumber pendanaan baru, baik sumber dana dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam jangka pendek (1 - 2 tahun ke depan) sumber dana dari luar negeri yang umumnya datang dari negara maju (OECD) diperkirakan masih sulit didapat mengingat negara tersebut masih dalam taraf pemulihan ekonomi setelah dilanda krisis keuangan global pada tahun 2008 yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi negatif. Pemulihan tersebut diperkirakan masih terus dilakukan pada tahun 2009. Untuk itu, mobilisasi sumber dana dari dalam negeri adalah satu satunya pilihan, baik dana publik (milik pemerintah) maupun dana swasta. Dana milik pemerintah jumlahnya sangat terbatas bila dikaitkan dengan sangat luasnya tugas dan tanggung jawab keuangan yang harus dilaksanakan. Indikasinya adalah selama tiga tahun terakhir APBN selalu defisit antara 1 - 2 persen dari PDB. Namun demikian, pemerintah masih mempunyai kemampuan untuk menggalang dana dalam negeri misalkan dengan menerbitkan instrumen keuangan seperti SUN atau ORI. Untuk itu perlu ada diversifikasi instrumen keuangan yang ditawarkan oleh pemerintah kepada pemilik dana dari dalam negeri, misalkan dengan imbal hasil yang lebih tinggi ataupun paket lain yang lebih aman dan menarik bagi pemilik dana. Selain itu, pemerintah dapat bekerjasama dengan swasta dalam pembangunan infrastruktur dalam bentuk lain, misalkan pemerintah mengalokasikan sumber daya yang ada dalam penguasaannya seperti spektrum frekuensi, right of way, kepada operator yang menjadi mitra dalam kerjasama tersebut. Pengalokasian sumber daya tersebut diperhitungkan sebagai penyertaan pemerintah. Sumber dana dalam negeri yang lain adalah sumber dana dari perbankan yang berasal dari simpanan masyarakat. Sampai saat ini tingkat bunga yang ditawarkan oleh perbankan kepada dunia usaha masih relatif tinggi bila dibandingkan dengan tingkat bunga simpanan yang diterima penyimpan, karena adanya margin bunga yang tinggi yang dikehendaki oleh perbankan. Hal ini mencerminkan kurang efisiennya operasi perbankan. Agar bank dapat menawarkan bunga pinjaman yang lebih menarik, pemerintah berkewajiban mendorong agar perbankan beroperasi lebih efisien.

28 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

Bila perlu, pemerintah dapat memberi keringanan pajak bagi penyimpan yang bersedia menyimpan uang sampai jangka waktu tertentu. Dengan tingkat bunga yang lebih menarik dan relatif rendah, maka para pengusaha UMKM akan lebih mudah untuk berpartisipasi dalam bisnis TIK sesuai dengan kemampuannya. Untuk pengusaha menengah ke atas diharapkan berpartisipasi pada bisnis TIK yang memerlukan belanja modal relatif besar, namun untuk pengusaha kecil dan mikro dapat mengambil bagian bisnis yang relatif hanya memerlukan belanja operasional.

29 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

BAB III ANALISA HASIL KAJIAN

Memasuki reformasi penyelenggaraan komunikasi dan informatika gelombang ketiga yaitu konvergensi, telah terjadi pergeseran paradigma yang harus diantisipasi khususnya dalam lima tahun ke depan (2010 2014). Arah pergeseran tersebut adalah: 1. Lisensi yang bergeser dari lisensi yang berbeda/terpisah untuk penyelenggaraan telekomunikasi, internet, dan penyiaran menjadi satu macam lisensi gabungan yang dapat dipergunakan untuk bermacam-macam penyelenggaraan. 2. Pemisahan secara vertikal per sektor bergeser menjadi pemisahan secara horizontal antara infrastruktur, layanan dan konten. 3. Ekslusivitas sumber daya dan infrastruktur menjadi pemakaian bersama sumber daya dan infrastruktur. 4. Tarif layanan yang bebasis jarak dan waktu menjadi berbasis volume konten. 5. Arah komunikasi dari satu menjadi banyak arah (jaringan) dan semua elemen masyarakat turut berpartisipasi sebagai penyedia dan pengguna informasi. 6. Konten yang bebas tanpa campur tangan pemerintah menjadi yang aman dan bertanggung jawab melalui pemberdayaan masyarakat dalam pengawasannya. 7. Pasar yang bergeser dari bebas menjadi terlindungi untuk memberi kesempatan pada pemain domestik. 8. Hak warganegara atas informasi yang telah dijamin dalam UUD 1945 serta hak atas informasi publik yang telah dijamin dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Berikut ini adalah analisa dari aspek supply (infrastruktur), demand (pemanfaatan informasi), dan pembiayaan dengan memperhatikan pergeseran paradigma tersebut di atas.

III.1 ANALISA ASPEK SUPPLY: PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR DI ERA KONVERGENSI Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa dalam upaya menciptakan masyarakat informasi Indonesia, ketersediaan sarana, prasarana, dan layanan komunikasi dan informatika yang memadai, baik jumlah akses, kapasitas, kualitas, jangkauan, maupun tarif layanan merupakan persyaratan utama. Hasil evaluasi pelaksanaan pembangunan pos dan telematika periode 2004 - 2009 menunjukkan bahwa tingkat pencapaian terkait penyediaan akses internet dan peningkatan e-literasi adalah yang paling rendah. Adapun pencapaian sasaran penyediaan akses dan layanan telekomunikasi sudah baik namun ketersediaannya belum merata di seluruh Indonesia. Dengan demikian upaya penyediaan infrastruktur/akses komunikasi dan informatika yang merata dan berkualitas masih merupakan isu utama dalam lima tahun ke depan (2010 - 2014).

30 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

Gambar 3.1 Tingkat Pencapaian RPJMN 2004-2009

Sumber: Direktorat Energi, Telekomunikasi, dan Informatika, Bappenas, 2009

III.1.1 Faktor Yang Mempengaruhi Penyediaan Infrastruktur Secara umum, penyediaan infrastruktur komunikasi dan informatika sangat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu teknologi yang berkembang saat itu, kemampuan industri dalam negeri, dan struktur industri. Ketiga faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Perubahan Teknologi Pemanfaatan teknologi digital di awal tahun 1970 terbukti mampu meningkatkan efisiensi dan kualitas infrastruktur dan layanan telekomunikasi, sedangkan teknologi satelit dan sistem komunikasi kabel laut mampu mempercepat perluasan jangkauan penyediaan layanan. Pada tahun 1990-an, teknologi seluler memungkinkan penyediaan layanan suara secara bergerak (mobile). Teknologi nirkabel khususnya seluler dapat dikatakan fenomenal karena pertumbuhannya yang eksponensial sejak diperkenalkan pada awal dekade 1990. Dalam lima tahun pertama pengembangan layanan ini (1992 - 1997), jumlah pelanggan meningkat 25 kali, yaitu dari 35 ribu orang menjadi 900 ribu. Dalam lima tahun kedua (1998 - 2003), jumlah pelanggan melonjak drastis dari satu juta orang menjadi lebih dari 18 juta orang. Selanjutnya pada lima tahun ketiga (2004 - 2008), pertumbuhannya mencapai lebih dari 340 persen. Dalam waktu relatif singkat, tingkat penetrasi layanan seluler sudah mecapai lebih dari 61 persen pada tahun 2008, sedangkan tingkat penetrasi telepon tetap yang sudah dikembangkan selama puluhan tahun (sejak Repelita I) baru sekitar 11,5 persen, itupun 67 persen di antaranya merupakan fixed wireless access yang juga berbasis nirkabel. Dalam lima tahun ke depan, infrastruktur nirkabel diperkirakan masih akan menjadi moda utama dalam penyediaan akses komunikasi dan informatika. Sangat cepat dan dinamisnya perubahan teknologi informasi dan komunikasi menuntut pemerintah dan para penyelenggara untuk memiliki kemampuan adopsi dan adaptasi teknologi

31 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

yang baik. Di satu sisi, pemerintah diharapkan dapat mendukung pengembangan dan pemanfaatan teknologi baru melalui kerangka kebijakan dan regulasi yang ditetapkan. Di sisi lain, penyelenggara diharapkan dapat selalu meningkatkan jangkauan, kapasitas, dan kualitas infrastruktur dan layanan melalui pemanfaatan teknologi yang modern tanpa menimbulkan biaya tinggi. Salah satu bentuk interaksi antara pemerintah dan penyelenggara adalah dalam bentuk perizinan. Melalui perizinan, pemerintah pada dasarnya memberikan/mengalokasikan sumber daya terbatas (penomoran dan spektrum frekuensi radio) agar penyelenggara dapat menyediakan layanan. Di lain pihak, penyelenggara diwajibkan untuk memenuhi kewajiban/komitmen pembangunan seperti jumlah sambungan baru yang dibangun, prosentase wilayah jangkauan, dan prosentase kualitas layanan. Saat ini, Indonesia masih menganut perizinan berbasis teknologi. Kondisi tersebut belum menjadi masalah besar pada masa lima tahun yang lalu, tetapi akan menjadi isu pokok pada lima tahun mendatang. Pengalaman membuktikan bahwa penyusunan regulasi seringkali terlambat dalam mengantisipasi perkembangan teknologi secara tepat atau bahkan justru menjadi penghalang pemanfaatan teknologi secara optimal. Sebagai contoh, pada saat fixed wireless access mulai diperkenalkan pada tahun 2004, penyelenggara layanan tersebut tidak diperbolehkan untuk melakukan jelajah (roaming) walaupun secara teknis dimungkinkan. Hal tersebut terjadi karena perizinan FWA adalah untuk sambungan tetap dengan mobilitas terbatas. Contoh lainnya adalah keterlambatan implementasi layanan televisi berbasis protokol internet (IP-TV) karena tidak adanya peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur layanan ini. Mengingat layanan ini merupakan hasil konvergensi dari tiga sektor, yaitu telekomunikasi (penggunaan jaringan telekomunikasi), informatika (berbasis protokol internet), dan penyiaran (siaran televisi), maka layanan IP-TV saat ini harus memiliki tiga izin sekaligus. Pengalaman tersebut di atas membuktikan bahwa perizinan berbasis teknologi kurang fleksibel dan kurang responsif sehingga justru dapat menghalangi pemanfaatan teknologi itu sendiri secara optimal. 2. Industri Dalam Negeri Perubahan teknologi akan menjadi masalah apabila tidak diikuti oleh peningkatan kemampuan industri dalam negeri untuk adopsi dan adaptasi teknologi. Tanpa adanya kemampuan tersebut, ketergantungan terhadap industri luar negeri dan teknologi proprietary akan selalu tinggi. Sebagai ilustrasi, tingginya ketergantungan terhadap industri luar negeri terlihat dari rendahnya kontribusi/porsi industri dalam negeri dalam belanja modal sarana dan prasarana TIK nasional khususnya telekomunikasi. Dari belanja modal sekitar Rp 40 miliar (2004 - 2005), kontribusi produk lokal hanya sekitar Rp 1,2 miliar hingga Rp 8,4 miliar atau kurang dari 1 persen.

32 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

Keberpihakan pemerintah terhadap industri TIK dalam negeri sudah ada yang antara lain terlihat dari ketentuan penggunaan industri dalam negeri oleh penyelenggara telekomunikasi senilai 30 persen dari total belanja modal dan 50 persen dari belanja operasional, proteksi industri dalam negeri pada implementasi broadband wireless access, serta ketentuan Tingkat Kandungan Dalam Negeri pada set top box TV digital sebesar 30 persen untuk kemudian ditingkatkan menjadi 50 persen pada tahun 2014. Contoh keberpihakan pemerintah lainnya adalah penetapan standar 16.d pada penyelenggaraan broadband wireless access (2009). Kebijakan tersebut ditetapkan dengan memperhatikan kesiapan industri dalam negeri, walaupun saat itu negara lain sudah mempersiapkan implementasi standar 16.e. Pada kasus ini terlihat bahwa tujuan untuk mengimplementasikan teknologi terbaru/modern belum tentu sejalan/sinergis dengan kepentingan untuk mendukung industri dalam negeri. Oleh karena itu, kebijakan untuk memproteksi dan menciptakan demand bagi industri dalam negeri harus dibarengi dengan peningkatan kemampuan industri dalam negeri. 3. Perubahan Struktur Industri Penyediaan infrastruktur komunikasi dan informatika, khususnya telekomunikasi telah mengalami beberapa tahap reformasi. Tahap pertama terjadi pada tahun 1989 yang ditandai dengan diperbolehkannya keterlibatan swasta dalam pembangunan telekomunikasi. Pada saat itu, pemerintah masih memegang fungsi operasi penyelenggaraan yang dilimpahkan kepada PT Telkom dan PT Indosat sebagai BUMN. Pada prinsipnya kedua BUMN tersebut mempunyai hak monopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Dengan demikian, swasta yang ingin terlibat dalam pembangunan telekomunikasi diharuskan untuk bekerjasama dengan salah satu atau kedua BUMN tersebut. Reformasi tahap kedua terjadi sekitar satu dekade lalu yang ditandai dengan dimulainya penyelenggaraan berbasis kompetisi melalui penghapusan bentuk monopoli dalam penyelenggaraan telekomunikasi sambungan tetap, yaitu lokal, Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ), dan Sambungan Langsung Internasional (SLI)4. Reformasi gelombang kedua tersebut menuntut reposisi pemerintah dalam bentuk pemisahan fungsi operasi dari fungsi pembinaan dan regulasi. Pada tahap ini ditekankan bahwa kewajiban untuk bekerjasama dengan BUMN dihilangkan, serta izin penyelenggaraan diberikan kepada badan usaha (BUMN, swasta, dan koperasi) yang dinilai mampu/layak. Dengan demikian semua badan usaha mendapat kesempatan dan perlakuan yang sama (tidak diskriminatif). Struktur industri saat itu memungkinkan setiap penyelenggara untuk membangun infrastruktur masing-masing dan memberikan layanan kepada masyarakat secara kompetitif. Langkah ini4

Kompetisi terbatas pada penyelenggaraan telekomunikasi sambungan diberlakukan pada tahun 2002 (lokal) dan 2003 (SLJJ dan SLI) bersamaan dengan penetapan kebijakan terminasi dini hak eksklusivitas PT Telkom sebagai penyelenggara telekomunikasi sambungan tetap lokal dan SLJJ, serta hak eksklusivitas PT Indosat sebagai penyelenggara telekomunikasi sambungan tetap SLI. Sebelumnya, hak eksklusivitas PT Telkom diberikan hingga tahun 2010 (lokal) dan 2005 (SLJJ), sedangkan hak eksklusivitas PT Indosat diberikan hingga 2004 (SLI).

33 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

terbukti mampu mempercepat penyediaan akses, memperluas jangkauan layanan, serta memberikan pilihan (layanan dan harga) yang beragam kepada masyarakat. Pada penyelenggaraan telekomunikasi seluler, sebagai contoh, tingkat penetrasi layanan sudah mencapai lebih dari 61 persen pada akhir tahun 2008 dengan jangkauan yang mencapai seluruh ibukota kecamatan dan pilihan harga yang sangat kompetitif5. Di sisi lain, jumlah penyelenggara yang hingga mencapai 12 operator menimbulkan tingkat kompetisi yang sangat tinggi, nilai pasar (market value) yang rendah sehingga sulit bagi penyelenggara untuk berkembang atau bahkan sekedar bertahan. Sejalan dengan desakan kemajuan teknologi dan trend global, sektor TIK nasional kembali mengalami reformasi tahap ketiga yang dipicu oleh konvergensi telekomunikasi, informatika, dan penyiaran. Konvergensi yang dimulai dari konvergensi teknologi ini pada akhirnya akan menyentuh tataran kebijakan, regulasi, kelembagaan, dan industri/pasar. Salah satu implikasi dari konvergensi adalah adanya perubahan bentuk industri dari yang terintegrasi secara vertikal menjadi terintegrasi secara horizontal (Gambar 3.2). Akibatnya, landscape pengaturan industri juga akan berubah seperti dalam hal perizinan dan pemanfaatan sumber daya terbatas (penomoran dan spektrum frekuensi radio). Gambar 3.2 Perubahan Struktur Industri dari Vertikal Menjadi HorizontalTelekomunikasi Konten Layanan Infrastruktur Informatika Konten Layanan Infrastruktur Penyiaran Konten Layanan Infrastruktur Konvergensi Konten Layanan Infrastuktur

Sumber: Direktorat Energi, Telekomunikasi, dan Informatika, Bappenas, 2009

Konvergensi sesungguhnya sudah terjadi dalam tiga tahun terakhir. Satu handset saat ini sudah dapat digunakan untuk berkomunikasi, melakukan tukar menukar data termasuk upload dan download, serta untuk mendengarkan musik bahkan menonton acara televisi melalui live streaming. Selain konvergensi perangkat, konvergensi infrastruktur dan layanan juga diperkirakan akan sudah terjadi dalam lima tahun ke depan. Konvergensi infrastruktur memungkinkan berbagai jenis infrastruktur untuk membawa satu jenis layanan, sedangkan konvergensi layanan memungkinkan satu infrastruktur untuk membawa berbagai jenis layanan. Dampak dari kedua konvergensi tersebut adalah teknologi hanya akan menjadi black box. Masyarakat pengguna tidak akan mempermasalahkan jenis teknologi yang digunakan atau5

Dalam kurun waktu tiga tahun (2005-2008), tarif seluler berhasil turun sebesar 90 persen yaitu dari US$ 0,15/menit pada tahun 2005 (termahal di Asia) menjadi US$ 0,015/menit pada tahun 2008 (termurah di Asia). Sumber: Global Market Research, Deutsche Bank, 2008

34 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

infrastruktur yang dilewati, asalkan layanan dapat diakses dengan baik. Kondisi ini sesungguhnya akan memudahkan penyelenggara untuk mengelola sumber daya yang dimiliki, baik infrastruktur maupun sumber daya terbatas seperti spektrum frekuensi radio dan penomoran, secara lebih efisien. Hasilnya, tarif layanan dapat ditekan. Konvergensi juga pada akhirnya akan mendorong terjadinya konsolidasi penyelenggara. Pembangunan infrastruktur yang sejenis oleh penyelenggara yang berbeda hanya akan menimbulkan ketidakefisienan investasi. Sebaliknya, pemanfaatan infrastruktur yang telah dibangun oleh penyelenggara yang berbeda secara bersama-sama akan meningkatkan nilai perusahaan. Reformasi gelombang ketiga ini perlu diantisipasi oleh kebijakan dan perangkat regulasi yang memadai untuk memastikan proses perubahan yang halus (seamless) sehingga walaupun terjadi perubahan industri secara fundamental, kesediaan, kualitas, dan harga layanan kepada masyarakat tetap terjaga, begitu pula dengan kelangsungan bisnis operator sebagai penyedia jasa. III.1.2 Implikasi Format Baru Struktur Industri dan Perizinan terhadap Kompetisi di Era Konvergensi Pengalaman internasional menunjukkan bahwa pada negara yang menerapkan kebijakan konvergensi terdapat peningkatan dampak pemanfaatan TIK terhadap pertumbuhan perekonomian. Hal ini dimungkinkan karena pada dasarnya konvergensi dapat mengurangi tingkat hambatan (barrier to entry) bagi penyelenggara baru, mendukung perkembangan model bisnis, mengurangi biaya bagi penyelenggara yang pada akhirnya juga mengurangi biaya yang dipungut dari pengguna, serta memperluas pilihan teknologi dan jenis layanan yang dapat dikembangkan. Di sisi lain, konvergensi juga dapat berdampak kepada konsolidasi pasar dan mengurangi kompetisi. Untuk banyak negara, konvergensi masih menjadi pro dan kontra. Perbedaan latar belakang, termasuk kondisi dan kesiapan infrastruktur, menjadi pertimbangan utama masing-masing negara dalam mengambil sikap tentang konvergensi. Secara umum sikap tersebut dapat dibagi menjadi tiga kelompok sebagai berikut. Tabel 3.1 Perbandingan Persepsi tentang Konvergensi serta DampaknyaIndikator Persepsi Menolak (Resist) Konvergensi dipercaya dapat memperburuk tujuan sosial budaya, politik, dan ekonomi Dilakukan tindakan preventif untuk menghalangi penyelenggara memasuki konvergensi Tunggu dan Melihat (Wait and See) Peraturan perundangundangan yang ada dinilai sudah memadai untuk menangani konvergensi Tidak ada perubahan kerangka kebijakan dan regulasi. Isu konvergensi ditangani berbasis kasus (case-by-case) Mendorong (Enable) Konvergensi dipercaya dapat mendorong pertumbuhan sektor TIK dan perekonomian Dilakukan pembaharuan kerangka kebijakan dan regulasi yang mendorong terjadinya konvergensi, atau bahkan berinvestasi langsung

Tindakan

35 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i Tunggu dan Melihat (Wait Mendorong (Enable) and See) Pasar berevolusi dengan Keputusan berbasis kasus Dampak Tidak berkembangnya munculnya layanan dan umumnya menimbulkan layanan baru model bisnis baru ketidakkonsistenan Pengguna berpotensi Munculnya berbagai regulasi kehilangan manfaat dari inovasi Adanya ketidakpastian konvergensi dan Masyarakat merasakan regulasi yang justru berkurangnya biaya manfaat dalam bentuk menimbulkan keraguan Pemerintah menghadapi pertambahan akses, investor tekanan untuk pilihan layanan, dan Pemerintah menghadapi menghilangkan hambatan penurunan harga tekanan untuk merevisi kebijakan Sumber: Nothing Endures but Change: Thinking Strategically about ICT Convergence, Rajendra Singh and Siddhartha Raja, 2009 Indikator Menolak (Resist)

Dengan tabel di atas terlihat bahwa pada akhirnya konvergensi tidak dapat dihindari, namun untuk mengimplementasikannya diperlukan persiapan terutama dari sisi kerangka kebijakan dan regulasi, di antaranya terkait struktur industri dan perizinan. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, yaitu UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, jenis penyelenggara telekomunikasi yang dikenal hanya dua, yaitu penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa. Dengan memperhatikan trend konvergensi yang berkembang, diperkirakan akan terdapat empat jenis penyelenggara yang merupakan pengembangan dari dua jenis penyelenggara sebelumnya. Keempat jenis penyelenggara tersebut adalah: 1. Network Facility Provider (NFP) sebagai penyedia infrastruktur penunjang jaringan telekomunikasi seperti saluran (duct), menara, dark fiber, peralatan transmisi radio, dan stasiun bumi; 2. Network Service Provider (NSP) sebagai penyelenggara yang menyediakan konektivitas ujung ke ujung (point-to-point) untuk mendukung berbagai aplikasi. Penyelenggara yang termasuk jenis ini adalah penyelenggara jaringan tetap, jaringan bergerak, TV kabel, dan VSAT; 3. Application Service Provider (ASP) sebagai penyedia layanan seperti suara, data, dan berbasis konten; serta 4. Content Application Service Provider (CASP) yang merupakan penyelenggara konten seperti video, siaran olahraga, permainan (games), ringbacktone, dan lain-lain. Jenis penyelenggara NFP dan NSP merupakan pengembangan dari penyelenggara jaringan, sedangkan penyelenggara ASP dan CASP merupakan pengembangan dari penyelenggara jasa. Pemetaan jenis penyelenggara antara yang diatur dalam UU Telekomunikasi dan rancangan masa depan adalah sebagai berikut.

36 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

Gambar 3.3 Pemetaan Jenis Penyelenggara (Operator)Jenis Operator Menurut UU No. 36 Tahun 1999 Operator menara Operator jaringan tetap Operator jaringan bergerak Operator jasa teleponi dasar Operator jasa nilai tambah Operator jasa multimedia Operator ringbacktone Operator games Jenis Operator Masa Depan

Network Facility Provider (NFP)

Network Service Provider (NSP)

Application Service Provider (ASP) Content Application Service Provider (CASP)

Sebagai konsekuensi struktur industri yang lebih sederhana, perizinan juga harus lebih sederhana. Secara umum perizinan pada era konvergensi dapat dibagi berdasarkan dua atribut, yaitu berdasarkan kategori izin dan jenis izin dengan persandingan sebagai berikut: Tabel 3.2 Persandingan Kategori dan Jenis IzinKategori izin Network Facility Provider (NFP) Network Servie Provider (NSP) Application Servie Provider (ASP) Content Application Service Provider (CASP) Jenis Izin Individual License Class License License Exempt License Exempt

Dari sisi jumlah penyelenggara, kategori izin disusun secara piramida terbalik yang menunjukkan bahwa jumlah penyelenggara konten akan lebih banyak dari jumlah penyelenggara infrastruktur. Hal ini sejalan dengan trend pemakaian infrastruktur secara bersama (infrastructure sharing) yang di antaranya disebabkan oleh besarnya kebutuhan investasi untuk pembangunan infrastruktur. Kondisi ini akan menimbulkan sinergi antara ASP/CASP dan NFP/NSP dimana ASP/CASP merupakan pasar bagi NFP/NSP dan sebaliknya pertumbuhan ASP/CASP sangat tergantung kepada ketersediaan infrastruktur yang dikembangkan NFP/NSP. Dengan demikian tidak akan terjadi dikotomi antara service-based competition yang menjadi basis ASP/CASP dan facility-based competition yang menjadi basis NFP/NSP.

37 | K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n T I K d i E r a K o n v e r g e n s i

Untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan struktur industri khususnya kepastian berusaha, diperlukan fungsi pengawasan penyelenggaraan yang kuat dan profesional untuk memonitor perilaku kompetisi para penyelenggara khususnya untuk: 1. Menjaga dan mengawasi level playing field dengan menjaga transparansi dan sikap tidak diskriminatif penyelenggara; 2. Mengatur open access untuk memastikan bahwa setiap operator ASP dan CASP dapat mengakses infrastruktur yang disediakan NFP dan NSP secara fair; dan 3. Mengatur pemisahan fungsi untuk penyelenggara yang berusaha di lebih dari satu bidang, misalnya suatu penyelenggara selain menjadi NFP juga menjadi NSP, atau bahkan selain sebagai NFP suatu penyelenggara juga menjadi NSP, ASP, sekaligus CASP. Di era konvergensi regulasi diperkirakan lebih banyak diserahkan ke mekanisme pasar melalui pendekatan bisnis ke bisnis (B-B). Oleh karena badan regulasi harus dapat mengawasi dan menjaga kompetisi serta harus dapat bertindak sebagai mediator perselisihan (dispute) sebagai konsekuensi dari diterapkannya pendekatan bisnis ke bisnis. III.1.3 Trend Global dan Permasalahan Penyediaan Infrastruktur Nasional Trend Pada dasarnya konvergensi memungkinkan penyaluran informasi, baik dalam bentuk suara, data, maupun gambar, secara simultan dalam waktu yang singkat. Untuk itu, diperlukan infrastruktur berkapasitas besar/berkecepatan tinggi, yaitu broadband. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa broadband merupakan prasyarat bagi terjadinya konvergensi. Selain itu, sebagaimana yang dilaporkan dalam Asian Pacific Mobile Observatory (2009), broadband juga terbukti berkaitan erat dengan peningkatan perekonomian, yaitu peningkatan 10 persen penetrasi broadband memicu kenaikan PDB sebesar 1,38 persen6. Atas dasar tersebut, banyak negara memasukkan pengembangan broadband dalam paket stimulus ekonomi. Pemerintah Australia mengalokasikan US$ 30 miliar atau sekitar sebelas persen dari total paket stimulus ekonominya untuk pengembangan infrastruktur broad