kebiasaan merokok dan status gizi kurang sebagai …digilib.unila.ac.id/55616/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
KEBIASAAN MEROKOK DAN STATUS GIZI KURANG SEBAGAIFAKTOR RISIKO KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH
KERJA KEMILING BANDARLAMPUNG
(skripsi)
OlehBella Juliana Baladiah
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
ABSTRAK
KEBIASAAN MEROKOK DAN STATUS GIZI KURANG SEBAGAIFAKTOR RISIKO KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH
KERJA KEMILING BANDARLAMPUNG
Oleh
Bella Juliana Baladiah
Latar Belakang: Di Bandar Lampung yaitu 13,1% orang menderita ISPA.Sebanyak 14,4% penderita ISPA pada usia 0 – 5 tahun. Terdapat beberapa faktorrisiko yang dapat menyebabkan ISPA yaitu diantaranya mikrobakteri, statusnutrisi, imunisasi, keadaan lingkungan, dan kebiasaan merokok pada orang tua.Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui besar resikokebiasaan merokok di dalam rumah dan status gizi kurang terhadap kejadian ISPApada anak umur 1-5 tahun di Puskesmas Kemiling.Metode: Penelitian ini menggunakan pendekatan case control. Subjek penelitianini adalah 68 sampel kasus dan 68 sampel kontrol. Data diperoleh langsung darisubjek penelitian melalui data primer dan data sekunder. Analisis yang digunakanchi square untuk mendapatkan nilai P dan OR.Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kebiasaan Merokok (p= 0,001dan OR= 3,36 ; 95% CI= 1,66-6,80), Status gizi (p= 0,006 dan OR= 2,78 ; 95%CI= 1,38-5,57) merupakan Kejadian ISPA pada Balita diwilayah kerja PuskesmasKemiling Bandarlampung.Simpulan: Kebiasaan Merokok, Status gizi merupakan faktor risiko KejadianISPA pada Balita diwilayah kerja Puskesmas Kemiling Bandarlampung
Kata kunci : Kebiasaan Merokok, Status Gizi Kurang, ISPA
ABSTRACT
SMOKING HEALTH AND UNDERNUTRITION IS AS A RISKFACTORS OF ACUTE RESPIRATORY INFECTION IN CHILDREN
UNDER FIVE YEARS IN KEMILING WORKING AREABANDARLAMPUNG
By
Bella Juliana Baladiah
Background: In Bandar Lampung, 13.1% of people suffer from acute respiratoryinfection. As many as 14.4% of patients with acute respiratory infection at the ageof 0 - 5 years. There are several risk factors that can cause acute respiratoryinfection, namely bacterial microbes, undernutrition status, immunization,environmental conditions, and smoking habits in the elderly. The purpose of thisstudy was to study the major problems of home smoking and undernutrition statusin the incidence of ARI in children aged 1-5 years at the Kemiling Health Center.Method: This study uses studying case control. The subjects of this study were 68study samples and 68 control samples. Data is obtained directly from the researchsubject through primary data and secondary data. The analysis used chi square toget P and OR values.Results: The results of this study indicate that there is a relationship betweensmoking inhouse (Pvalue = 0.001; OR = 3.36), nutritional status (Pvalue = 0.006;OR = 2.78) with acute respiratoryinfection events in toddlers in the work area ofBandarlampung Kemiling Health Center.Conclusion: Smoking inhous, undernutrition status is a risk factor for ISPAevents in toddlers in the work area of the Bandarlampung Kemiling Health Center
Keywords: Smoking habits, undernutritional status, acute respiratory infection
KEBIASAAN MEROKOK DAN STATUS GIZI KURANGSEBAGAI FAKTOR RISIKO KEJADIAN ISPA PADA
BALITA DI WILAYAH KERJA KEMILINGBANDARLAMPUNG
Oleh
Bella Juliana Baladiah
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh GelarSARJANA KEDOKTERAN
Pada
Fakultas KedokteranUniversitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Kota Bandarlampung, pada tanggal 5 Juli 1996, sebagai anak
tunggal dari pasangan Bapak Ir. Baldiah Effendi (Alm) dan Ibu Ernalia. S.E.,
M.M.
Penulis mulai menempuh pendidikan Taman Kanak-kanak di TK IKI PTPN VII
PUSAT pada tahun 2000 setelah dua tahun menempuh pendidikan Taman Kanak
Kanak, penulis memasuki jenjang pendidikan dasar di SD Negeri 2 Rawa Laut
selama 6 tahun.
Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 2 Bandarlampung
selama tiga tahun dan pada tahun 2011 penulis meneruskan pendidikan menengah
atas di SMAN 2 Bandarlampung.
Setelah tiga tahun, penulis lulus dan meneruskan pendidikan di Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung melalu jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (SBMPTN).
Kupersembahkan Skripsi Ini
Untuk
Papi dan Mami Tersayang.
SANWANCANA
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat, rahmat, dan
karunia-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.
Skripsi dengan judul “KEBIASAAN MEROKOK DAN STATUS GIZI KURANG
SEBAGAI FAKTOR RISIKO KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH
KERJA BANDARLAMPUNG” ini disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan
pendidikan dan memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Program Studi
Pendidikan Dokter Universitas Lampung.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat masukan, bantuan,
dorongan, saran, bimbingan, dan kritik dari berbagai pihak. Maka dalam
kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas Lampung.
2. Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes., Sp.PA selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung
3. Dr. Dyah Wulan S.R.W, S.KM., M.Kes selaku Pembimbing Utama atas
kesediaannya untuk meluangkan waktu, membimbing dan memberikan
masukan, nasihat serta banyak ilmu selama proses pengerjaan skripsi ini.
4. Minerva Nadia Putri A.T, S.K.M., M.K.M selaku Pembimbing Kedua
yang telah memberikan waktunya, masukan, bimbingan, nasihat serta
motivasi kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Dr. dr. Khairun Nisa, S.Ked., M.Kes., AIFO selaku Pembahas atas
kesediannya untuk meluangkan waktu, memberikan masukan serta
motivasi kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
6. Dr. dr. T.A Larasati, S.Ked., M.Kes selaku Pembimbing Akademik, terima
kasih atas motivasi dan doanya.
7. Seluruh staf pengajar dan karyawan FK Unila atas ilmu yang telah
diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi
landasan bagi masa depan dan cita-cita.
8. Teristimewa untuk kedua orang tuaku tercinta, Papi Ir. Baladiah Effendi
(Alm) dan mami Ernalia, S.E., M.M terimakasih atas semua limpahan
kasih sayang yang luar biasa, doa, segala pelajaran hidup yang telah
diberikan serta menjadi motivasi saya dalam menyelesaikan skripsi ini,
Semoga Allah SWT selalu memberikan perlindungan dan karunia-Nya.
9. Seluruh keluarga besar yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas
motivasi dan doa untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Kepala Puskesmas rawat inap Kemiling kota Bandarlampung beserta staff
dan jajaran telah memberikan izin penelitian serta membantu dalam proses
penelitian.
11. Kepala Ruang Rekam Medik yang telah mengizinkan melakukan
penelitian di Puskesmas rawat inap Kemiling, Bandarlampung serta
membantu selama penelitian sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik.
12. Semua responden penelitian yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang
telah membantu dan memberikan jawaban selama penelitian berlangsung
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
13. Sahabat terbaik Arninda Rahman, Chyntia Saputri, dan Dwi Jayanti T.L.,
Terima kasih telah banyak membantu, menemani, memberikan nasihat,
semangat, dan canda tawa kepada penulis selama proses perkuliahan dan
pengerjaan skripsi ini.
14. Sahabat SMA terbaik Ameliza Indah Mahesa, Alvita Raissa Marza, Nasa
Dwi, Nurul Fajri, dan Sunita Agustina yang walaupun terpisahkan jarak
tetap maenguatkan penulis di masa-masa sulit.
15. Teman-temanku senasib seperjuangan Nopri dan Rena terima kasih atas
kebersamaan selama menjalani perjuangan panjang ini dengan tangis,
canda, dan tawa.
16. Teman-teman kelompok Tutorial dan CSL selama diperkuliahan. Terima
kasih telah mewarnai hari-hari masa perkuliahan.
17. Teman-teman seperjuangan angkatan 2014 “CRAN14L” yang tidak dapat
disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebersamaan, keceriaan,
kekompakkan dan kebahagiaan selama perkuliahan. Semoga kita bisa jadi
dokter-dokter professional dan amanah.
18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dan menyumbangkan pemikirannya dalam pembuatan skripsi
ini.
Akhir kata, semoga semua bantuan dan doa yang telah diberikan kepada penulis
mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan
saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. Penulis
berharap semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
kita semua.
Bandar Lampung, Januari 2018
Penulis
Bella Juliana Baladiah
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................................ i
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
DAFTAR TABEL.................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................1
1.2 Rumusan masalah............................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................4
1.3.1 Tujuan Umum.......................................................................................4
1.3.2 Tujuan Khusus......................................................................................4
1.4 Manfaat Penilitian ...........................................................................................5
1.4.1 Bagi Peneliti .........................................................................................5
1.4.2 Bagi Masyarakat ..................................................................................5
1.4.3 Bagi Institusi ........................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................6
2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)........................................................6
2.1.1 Pengertian ISPA ...................................................................................6
2.1.2 Gejala Klinis ISPA ...............................................................................7
2.1.3 Patogenesis ISPA..................................................................................8
2.1.4 Faktor Resiko ISPA..............................................................................9
2.1.5 Hubungan Asap Rokok dengan ISPA ..................................................14
2.1.6 Hubungan Status Gizi dengan ISPA.....................................................17
2.2 Kerangka Teori..............................................................................................20
2.3 Kerangka Konsep ..........................................................................................21
2.4 Hipotesis........................................................................................................21
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................22
3.1 Desain Penelitian.............................................................................................22
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian .........................................................................22
3.2.1 Tempat .................................................................................................22
3.2.2 Waktu penelitian ..................................................................................22
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian .....................................................................23
3.3.1 Populasi Penelitian ..............................................................................23
3.3.2 Sampel Penelitian ................................................................................23
3.3.3 Teknik Sampling .................................................................................25
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi...........................................................................26
3.4.1 Kriteria inklusi: ......................................................................................26
3.4.2 Kriteria eksklusi: .....................................................................................26
3.5 Variabel Penelitian .........................................................................................26
3.5.1 Variabel Bebas (Independent) .............................................................26
3.5.2 Variabel Terikat (Dependent) ..............................................................26
3.6 Definisi Operasional .......................................................................................27
3.7 Cara Pengumpulan Data..................................................................................27
3.7.1 Alat .......................................................................................................27
3.7.2 Jenis Data ............................................................................................28
3.7.3 Cara Kerja.............................................................................................28
3.8 Analisa Data .................................................................................................30
3.9 Etika Penelitian ............................................................................................30
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN......................................31
4.1 Hasil Penelitian ...............................................................................................31
4.1.1 Karakteristik Responden.......................................................................32
4.1.2 Analisis Univariat .................................................................................33
4.1.3 Analisis Bivariat ...................................................................................36
4.2 Pembahasan ....................................................................................................38
4.2.1 Univariat ...............................................................................................38
4.2.2 Bivariat .................................................................................................40
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ...................................................................................................50
5.2 Saran ..............................................................................................................51
5.2.1 Bagi Tenaga Kesehatan...........................................................................51
5.2.2 Bagi Masyarakat......................................................................................51
5.2.3 Bagi Orang Tua .......................................................................................51
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Teori ............................................................................................................ 20
2. Kerangka Konsep......................................................................................................... 21
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Jumlah Sampel dan proporsinya untuk kebiasaan merokok dan status gizi
kurang sebagai factor risiko kejadian ISPA pada balita..................................24
2. Definisi Operasional........................................................................................27
3. Distrubusi frekuensi karakteristik ibu Berdasarkan Usia, Pendidikan, dan
Pekerjaan di wilayah kerja Kemiling Bandarlampung....................................32
4. Distrubusi frekuensi karakteristik Balita Berdasarkan Usia, dan Jenis
Kelamin di Puskesmas Kemiling Bandarlampung..........................................33
5. Distrubusi frekuensi Kebiasaan Merokok di Puskesmas Kemiling
Bandarlampung ...............................................................................................34
6. Distrubusi frekuensi Status Gizi Balita di Puskesmas Kemiling
Bandarlampung ...............................................................................................35
7. Kebiasaan Merokok di dalam Rumah sebagai faktor risiko Kejadian ISPA
pada Balita diwilayah kerja Puskesmas Kemiling Bandar Lampung .............36
8. Status Gizi sebagai faktor risiko Kejadian ISPA pada Balita diwilayah
kerja Puskesmas Kemiling Bandarlampung....................................................37
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Izin Penelitian
Lampiran 2. Persetujuan Etik
Lampiran 3. Informed Consent
Lampiran 4. Kuesioner Penelitian
Lampiran 5. Hasil SPSS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering
dijumpai dengan manifestasi ringan sampai berat. Infeksi yang mengenai
jaringan paru-paru atau ISPA berat, dapat menjadi pneumonia (Depkes RI,
2009).
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) 2005,
setiap anak diperkirakan mengalami 3 sampai 6 episode penyakit ISPA setiap
tahunnya, berarti setiap seorang balita rata-rata mendapat serangan ISPA 3-6
kali per tahun. Di Indonesia, ISPA berada pada daftar 10 penyakit terbanyak
di rumah sakit (Sudarajad, 2010). ISPA merupakan penyakit yang banyak
diderita oleh masyarakat Provinsi Lampung (18,8%). ISPA paling banyak
ditemukan di Bandar Lampung yaitu 13,1%. Sebanyak 14,4% penderita ISPA
pada usia 0 – 5 tahun (Kemenkes RI, 2013).
Terjadinya ISPA dipengaruhi atau ditimbulkan oleh tiga hal yaitu adanya
mikrobakteri (terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia),
keadaan daya tahan tubuh (status nutrisi, imunisasi) dan keadaan lingkungan
(rumah yang kurang ventilasi, lembab, basah, dan kepadatan penghuni)
2
(Trisnawati & Juwarni, 2012). Berdasarkan peraturan Mentri Kesehatan
tahun 2011, setiap rumah wajib memiliki ventilasi minimum 10% dari luas
rumah untuk memenuhi persyaratan rumah sehat. Selain itu, faktor risiko
yang secara umum dapat menyebabkan terjadinya ISPA adalah keadaan
sosial ekonomi menurun, gizi buruk, pencemaran udara dan asap rokok
(Trisnawati & Juwarni, 2012).
Pada keluarga yang merokok, secara statistik balitanya mempunyai
kemungkinan terkena ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan balita dari
keluarga yang tidak merokok. Selain itu dari penelitian lain didapat bahwa
episode ISPA meningkat 2 kali lipat akibat orang tua merokok (Hidayat,
2009)
Asap rokok menyebabkan berbagai masalah kesehatan pada bayi dan anak-
anak, termasuk serangan lebih sering dan parah asma, infeksi pernapasan,
infeksi telinga, dan sudden infant death syndrome (SIDS) (Centers for
Disease Control and Prevention, 2014). Asap rokok yang dihisap, baik oleh
perokok aktif maupun perokok pasif akan menyebabkan fungsi ciliary
terganggu, volume lendir meningkat, humoral terhadap antigen diubah, serta
kuantitatif dan kualitatif perubahan dalam komponen selular terjadi. Beberapa
perubahan dalam mekanisme pertahanan tidak akan kembali normal sebelum
terbebas dari paparan asap rokok. Sehingga selama penderita ISPA masih
mendapatkan paparan asap rokok, proses pertahanan tubuh terhadap infeksi
tetap akan terganggu dan akan memperlama waktu yang dibutuhkan untuk
penyembuhannya (Marcy TW, 2007).
3
Menurut Yulia Efni pada tahun 2016 status gizi merupakan faktor risiko
kejadian ISPA, balita yang status gizinya kurang 9,1 kali berisiko ISPA
dibandingkan dengan balita yang status gizinya baik. Malnutrisi adalah faktor
risiko yang paling penting untuk terjadinya kasus ISPA pada balita yang
disebabkan oleh asupan yang kurang memadai. Malnutrisi akan menghambat
pembentukan antibodi yang spesifik dan juga akan mengganggu pertahanan
paru.
Nutrisi pada anak menentukan kecenderungan terkena ISPA pada anak-anak.
Nutrisi yang baik akan membentuk daya tahan tubuh yang baik pada anak-
anak terhadap lingkungan. Sebaliknya, anak-anak dengan gizi buruk tidak
mengembangkan daya tahan tubuh yang kuat sehingga anak-anak ini
cenderung memiliki penyakit, terutama infeksi (Elsanita W, 2015)
Pada tahun 2016, di Bandar Lampung ini jumlah kasus pneumonia jika dilihat
berdasarkan wilayah kerja puskesmas, cakupan penemuan kasus Pneumonia
Balita dengan persentase tertinggi ada di Puskesmas Kemiling, Panjang,
Gedong Air, Simpur dan Sukaraja. sementara terendah di Pinang Jaya, Smur
Batu dan Palapa.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis ingin melakukan penelitian
tentang kebiasaan merokok di dalam rumah dan status gizi kurang sebagai
faktor risiko kejadian ISPA pada anak umur 1-5 tahun di Puskesmas
Kemiling, Bandar Lampung.
4
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan kajian latar belakang diatas maka yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini adalah “Apakah kebiasaan merokok di dalam rumah dan
status gizi kurang pada anak umur 1-5 tahun merupakan faktor risiko terhadap
kejadian ISPA pada anak umur 1-5 tahun di Puskesmas Kemiling?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar resiko kebiasaan
merokok di dalam rumah dan status gizi kurang terhadap kejadian ISPA
pada anak umur 1-5 tahun di Puskesmas Kemiling.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui persentase balita yang terpapar rokok di Puskesmas
Kemiling tahun 2017.
b. Mengetahui persentase balita dengan gizi kurang di Puskesmas
Kemiling tahun 2017.
c. Mengetahui besar risiko status gizi kurang terhadap kejadian ISPA
pada balita di Puskesmas Kemiling tahun 2017.
d. Mengetahui besar risiko kebiasaan merokok terhadap kejadian ISPA
pada balita di Puskesmas Kemiling tahun 2017.
5
1.4 Manfaat Penilitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai data dasar bagi penelitian yang
akan datang sehubungan dengan kejadian ISPA pada balita, khususnya
penelitian yang berhubungan dengan kebiasaan merokok kepala
keluarga dan status gizi pada balita.
1.4.2 Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi
masyarakat terutama orang tua dari pasien ISPA tentang kejadian
merokok dan status gizi yang merupakan faktor terjadinya ISPA pada
balita.
1.4.3 Bagi Institusi
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi tenaga
institusi untuk dapat memberikan edukasi kepada orang tua pasien usia
1-5 tahun yang terdiagnosis ISPA agar dapat mengurangi atau berhenti
merokok agar mengurangi paparan asap rokok terhadap balita dan juga
dapat memperbaiki status gizi pada balita agar tidak rentan terkena
infeksi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut
2.1.1 Pengertian ISPA
ISPA didefinisikan sebagai penyakit saluran pernapasan akut yang
disebabkan oleh agen infeksius yang ditularkan dari manusia ke
manusia. Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa
jam sampai beberapa hari (World Health Organization, 2007).
ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14
hari. Yang dimaksud dengan saluran pernapasan adalah organ mulai
dari hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya
seperti : sinus, ruang telinga tengah, dan selaput paru.
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yaitu: Infeksi, Saluran Pernafasan dan
Akut, dengan pengertian sebagai berikut (Depkes RI, 2004) :
1. Infeksi
Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam
tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala
penyakit.
7
2. Saluran Pernafasan
Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli
beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah
dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan
bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan
paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan
ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory
tract).
3. Akut
Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14
hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut
meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam
ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
2.1.2 Gejala Klinis ISPA
Menurut Depkes RI (2010) tanda dan gejala infeksi saluran pernafasan
akut dapat berupa batuk, sulit bernafas , sakit teggorokan, pilek, panas
atau demam, dansakit kepala.
Klasifikasi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) menurut Depkes RI
(2009):
1. ISPA ringan adalah seseorang yang menderita ISPA ringan apabila
ditemukan gejala batuk, pilek dan sesak.
2. ISPA sedang apabila timbul gejala-gejala sesak nafas, suhu tubuh
lebih dari 39 derajat Celcius dan bila bernafas mengeluarkan suara
8
mengorok.
3. ISPA berat apabila kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba,
nafsu makan menurun.
2.1.3 Patogenesis ISPA
Penyakit ISPA disebabkan oleh virus dan bakteri yang disebarkan
melalui saluran pernafasan yang kemudian dihirup dan masuk ke dalam
tubuh, sehingga menyebabkan respon pertahanan bergerak yang
kemudian masuk dan menempel pada saluran pernafasan yang
menyebabkan reaksi imun menurun dan dapat menginfeksi saluran
pernafasan yang mengakibatkan sekresi mucus meningkat dan
mengakibatkan saluran nafas tersumbat dan mengakibatkan sesak nafas
dan batuk produktif.
Ketika saluran pernafasan telah terinfeksi oleh virus dan bakteri yang
kemudian terjadi reaksi inflamasi yang ditandai dengan rubor dan
dolor yang mengakibatkan aliran darah meningkat pada daerah
inflamasi dengan tanda kemerahan pada faring mengakibatkan
hipersensitifitas meningkat dan menyebabkan timbulnya nyeri. Tanda
inflamasi berikutnya adalah kalor, yang mengakibatkan suhu tubuh
meningkat dan menyebabkan hipertermi yang mengakibatkan
peningkatan kebutuhan cairan yang kemudian mengalami dehidrasi.
Tumor, adanya pembesaran pada tonsil yang mengakibatkan kesulitan
dalam menelan yang menyebabkan intake nutrisi dan cairan inadekuat.
Fungsiolesa, adanya kerusakan struktur lapisan dinding saluran
9
pernafasan sehingga meningkatkan kerja kelenjar mucus dan cairan
mucus meningkat yang menyebabkan batuk.
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi
sekunder bakteri. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi
mucus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga
menimbulkan sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif.
Dampak infeksi sekunder bakteri pun bisa menyerang saluran nafas
bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam
saluran pernafasan atas, setelah terjadinya infeksi virus, dapat
menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri
(Sylvia, 2005).
2.1.4 Faktor Resiko ISPA
Menurut Nastiti (2008), Terdapat banyak faktor yang mendasari
perjalanan penyakit ISPA pada anak. Hal ini berhubungan dengan host,
agent penyakit dan environment.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kejadian ISPA antara lain :
1. Usia
ISPA dapat ditemukan pada 50% anak berusia di bawah 5 tahun dan
30% anak berusia 5-12 tahun.
2. Pemberian air susu ibu (ASI)
Air susu ibu memiliki nilai proteksi, terutama 1 bulan pertama.
Lopez mendapatkan bahwa bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih
10
rentan dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI paling lama 1
bulan.
3. Pendidikan orang tua
Tingkat pendidikan ini berhubungan erat dengan keadaan social
ekonomi, dan jug berkaitan dengan pengetahuan orang tua.
Kurangnya pengetahuan menyebabkan sebagian kasus ISPA tidak
diketahui oleh orang tua dan tidak diobati.
4. Status sosial ekonomi
Berpengaruh terhadap pendidikan dan factor-faktor lain seperti
nutrisi, lingkungan, dan penerimaan layanan kesehatan. Anak yang
berasal dari keluarga dengan status social ekonomi rendah
mempunyai risiko lebih besar.
5. Penggunaan fasilitas kesehatan
Angka kematian untuk anak pneumonianya yang tidak diobati
sebesar 10-20%. Penggunaan fasilitas kesehatan di sebagian Negara
berkembang masih rendah.
6. Ventilasi Rumah
Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar dan pengeluaran
udara kotor secara alamiah atau mekanis (Keman, 2004). Ventilasi
disamping berfungsi sebagai lubang pertukaran udara juga dapat
berfungsi sebagai lubang masuknya cahaya alami atau matahari ke
dalam ruangan. Kurangnya udara segar yang masuk ke dalam
ruangan dan kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan
peningkatan resiko kejadian ISPA. Adanya pemasangan ventilasi
11
rumah merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya
penyakit ISPA (Nindya & Sulistyorini, 2005). Ventilasi merupakan
determinan dari kejadian ISPA pada anak balita. Adapun besarnya
risiko untuk terjadinya ISPA pada anak balita yang menempati
rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat sebesar 2,789
kali lebih besar dari pada anak balita yang menempati rumah
dengan ventilasi yang memenuhi syarat (Chandra, 2007).
7. Kepadatan Hunian
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di
dalamnya. Artinya, luas lantai bangunan rumah tersebut harus
disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan
overload . Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabkan
kurangnya oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena
penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga
yang lain. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah
biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang
sangat relatif bergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang
tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang.
Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang.
Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan jarak antara tepi
tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm.
Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali
untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun (Yusuf, 2008).
12
8. Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya yang cukup pada siang hari, diperlukan
luas jendela minimum 20% luas lantai. Cahaya ini sangat penting
karena dapat membunuh bakteri patogen di dalam rumah misanya,
basil TB. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan
masuk cahaya yang cukup. Intensitas pencahayaan minimum yang
diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux. Semua jenis
cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya
proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Cahaya yang sama
apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh
kuman dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan kaca
berwarna (Suryo, 2010).
9. Kebiasaan merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dalam meningkatkan
resiko untuk terkena penyakit kanker paru-paru, jantung koroner
dan bronkitis kronis. Dalam satu batang rokok yang dihisap akan
dikeluarkan sekitar 4.000 bahan kimia berbahaya, di antaranya
yang paling berbahaya adalah Nikotin, Tar, dan Carbon Monoksida
(CO). Asap rokok merupakan zat iritan yang dapat menyebabkan
infeksi pada saluran pernapasan. Asap rokok mengandung ribuan
bahan kimia beracun dan bahan-bahan yang dapat menimbulkan
kanker (karsinogen). Bahkan bahan berbahaya dan racun dalam
rokok tidak hanya mengakibatkan gangguan kesehatan pada orang
yang merokok, namun juga kepada orang-orang di sekitarnya yang
13
tidak merokok yang sebagian besar adalah bayi, anak-anak dan ibu-
ibu yang terpaksa menjadi perokok pasif oleh karena ayah atau
suami mereka merokok di rumah. Kebiasaan merokok di dalam
rumah dapat meningkatkan resiko terjadinya ISPA sebanyak 2,2
kali (Suryo, 2010).
10. Berat badan lahir rendah (BBLR)
Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat
ISPA. Di negara berkembang, kematian akibat pneumonia
berhubungan dengan BBLR. Sebanyak 22% kematian pada
pneumonia di perkirakan terjadi pada BBLR. Meta-analisis
menunjukkan bahwa BBLR mempunyai RR kematian 6,4 pada bayi
yang berusia di bawah 6 bulan, dan 2,9 pada bayi berusia 6-11
bulan.
11. Imunisasi
Campak, pertusis dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan
resiko terkena ISPA dan memperberat ISPA itu sendiri, tetapi
sebetulnya hal ini dapat di cegah. Di india, anak yang baru sembuh
dari campak, selama 6 bulan berikutnya dapat mengalami ISPA
enam kali lebih sering dari pada anak yang tidak terkena campak.
Campak, pertusis, dan difteri bersama-sama dapat menyebabkan 15-
25% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan ISPA. Vaksin
campak cukup efektif dan dapat mencegah kematian hingga 25%
usaha global dalam meningkatkan cakupan imunisasi campak dan
pertusis telah mengurangi angka kematian ISPA akibat kedua
14
penyakit ini. Vaksin pneomokokus dan H. Influenzae type B saat
ini sudah di berikan pada anak anak dengan efektivitas yang cukup
baik.
12. Status gizi
Status gizi anak merupakan faktor resiko penting timbulnya
pneumonia. Gizi buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya
ISPA pada anak. Hal ini di karenakan adanya gangguan respon
imun. Vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi.
Grant melaporkan bahwa anak dengan defisiensi vitamin A yang
ringan mengalami ISPA dua kali lebih banyak daripada anak yang
tidak mengalami defisiensi vitamin A. Oleh karena itu, selain
perbaikan gizi dan perbaikan ASI, harus di lakukan pula perbaikan
terhadap defisiensi vitamin A untuk mencegah ISPA.
2.1.5 Hubungan Asap Rokok dengan ISPA
Terjadinya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dipengaruhi atau
ditimbulkan oleh tiga hal yaitu adanya kuman (terdiri dari lebih dari
300 jenis bakteri, virus, dan riketsia), keadaan daya tahan tubuh (status
nutrisi, imunisasi) dan keadaan lingkungan (rumah yang kurang
ventilasi, lembab, basah, dan kepadatan penghuni) (Trisnawati &
Juwarni, 2012). Berdasarkan peraturan No.
1077/MENKES/PER/V/2011, setiap rumah wajib memiliki ventilasi
minimum 10% dari luas rumah untuk memenuhi persyaratan rumah
sehat (Rahmayatul F, 2013).
15
Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau
bahan lainya yang dihasilkan dari tanamam Nicotiana Tabacum,
Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintesisnya yang
mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.
(Tendra H, 2003)
Menurut data WHO, indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah
perokok terbesar di dunia setelah Cina dan India. Peningkatan konsumsi
rokok berdampak pada makin tingginya beban penyakit akibat rokok
dan bertambahnya angka kematian akibat rokok. (Kementerian
Kesehatan RI, 2013)
Menurut Alamsyah (2007) tipe perokok dapat diklasifikasikan menjadi
3 menurut jumlah rokok yang dihisap, antara lain:
a. Perokok ringan menghisap 1-10 batang setiap hari
b. Perokok sedang menghisap 11-20 batang setiap hari
c. Perokok ringan menghisap lebih dari 20 batang setiap hari
Analisis WHO, menunjukkan bahwa efek buruk asap rokok lebih besar
bagi perokok pasif dibandingkan perokok aktif. Ketika perokok
membakar sebatang rokok dan menghisapnya, asap yang dihisap oleh
perokok tersebut asap utama (mainstream), dan asap yang keluar dari
ujung rokok (bagian yang terbakar) dinamakan sidestream smoke atau
asap samping. Asap samping ini terbukti mengandung lebih banyak
16
hasil pembakaran tembakau dibandingkan asap utama. Asap ini
mengandung karbon monoksida 5 kali lebih besar, tar dan nikotin 3 kali
lipat, amonia 46 kali lipat, nikel 3 kali lipat, nitrosamin sebagai
penyebab kanker kadarnya mencapai 50 kali lebih besar pada asap
sampingan pada kadar asap utama (WHO,2008).
Patogenesis efek merokok pada sistem kekebalan tubuh tidak dipahami
dengan baik. Beberapa peneliti telah menunjukkan peran antigenik zat
dalam merokok, sehingga menghasilkan perkembangan kompleks
antibodi antigen. Kompleks ini mampu menyebabkan perubahan
pulmoner dan perifer dalam respon sistem humoral dan cellmediated.
Hersey et al dan Costabel et al mengemukakan bahwa kompleks
antibodi antigen dapat menginduksi perubahan status kekebalan ludah
dan cairan bronchoalveolar lokal dan predisposisi infeksi saluran
pernafasan.
Merokok, melalui efek nikotin, dapat merangsang pelepasan
katekolamin dan kortikosteroid. Mediator ini dapat meningkatkan
limfosit CD8 + dalam sistem yang dimediasi seluler dan menekan
pertahanan induk terhadap infeksi. Penting untuk diketahui bahwa
banyak kelainan imunologis pada perokok sembuh dalam waktu 6
minggu setelah penghentian merokok, mendukung gagasan bahwa
penghentian merokok efektif dalam waktu yang relatif singkat dalam
pencegahan infeksi (Lidia Arcavi, MD & Neal L. Benowitz, 2013).
17
Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang satu atap dengan
balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang
serius serta akan menambah resiko kesakitan dari han toksik pada anak-
anak. Paparan yang terus-menerus akan menimbulkan gangguan
pernafasan terutama memperberat timbulnya infeksi saluran pernafasan
akut dan gangguan paru-paru pada saat dewasa. Semakin banyak rokok
yang dihisap oleh keluarga semakin besar memberikan resiko terhadap
kejadian ISPA, khususnya apabila merokok dilakukan oleh ibu bayi
(Depkes RI, 2002).
2.1.6 Hubungan Status Gizi dengan ISPA
Berdasarkan model yang telah dikaji UNICEF, bahwa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan anak yaitu penyebab langsung dan
penyebab tidak langsung, yakni penyebab langsung yang
mempengaruhi status gizi individu yaitu faktor makanan dan penyakit
infeksi dan keduanya saling mempengaruhi. Penyakit infeksi seperti
diare dan ISPA (Infeksi Salurat Pernafasan Akut) mengakibatkan
asupan zat gizi tidak dapat diserap tubuh dengan baik. Faktor penyebab
tidak langsung adalah sanitasi dan penyediaan air bersih, kebiasaan cuci
tangan dengan sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok
didalam ruangan. Selanjutnya ketersediaan pangan, pelayanan
kesehatan dan pola asuh dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan
tingkat kesehatan keluarga (Depkes RI, 2011).
18
Zat gizi yang diperoleh dari asupan makanan memiliki efek kuat untuk
reaksi kekebalan tubuh dan resistensi terhadap infeksi. Status gizi yang
kurang, dapat menyebabkan ketahanan tubuh menurun dan virulensi
patogen lebih kuat sehingga menyebabkan keseimbangan yang
terganggu dan akan terjadi infeksi, sedangkan salah satu determinan
utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut adalah status gizi
(Rodriguez, 2011).
Protein merupakan zat gizi yang sangat diperlukan bagi pembentukan
enzim yang berperan dalan metabolisme tubuh, termasuk sitem imun.
Antibodi globulin gamma yang biasanya disebut dengan imunoglobilin
merupakan 20 % dari seluruh energi plasma. Semua immunoglobulin
terdiri dari rantai polipeptida yang mengandung bermacam-macam
asam amino-asam amino yang spesifik. Salah satu asam amino yang
berperan dalam sistem imun adalah asam amino treonin yang memiliki
kemampuan untuk mencegah masuknya virus dan bakteri terutama pada
saluran nafas dan paru-paru. Yakni berupa sekresi lendir yang disebut
glikoprotein dan immunoglobulin A. Pada penderita yang mengalami
kekurangan asam amino treonin akan mengalami kemunduran sistem
kekebalan tubuh. Kekurangan protein yang terjadi dapat menurunkan
sistem imun yang pada akhirnya akan menyebabkan tubuh lebih mudah
terpapar penyakit infeksi. Selain itu, kekurangan protein umumnya
dapat juga berpengaruh terhadap metabolisme vitamin dan mineral yang
berperan sebagai anti oksidan tidak dapat berperan secara maksimal,
akibatnya baik flora normal maupun bakteri dari luar dapat dengan
19
mudah berkembang dan virulensi nya meningkat, sehingga
menyebabkan timbulnya gejala penyakit, termasuk infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) (Andarini et al, 2005).
Menentukan status gizi balita harus ada ukuran baku yang sering
disebut reference. Pengukuran baku antropomentri yang sekarang
digunakan di indonesia adalah WHO-NCHS.
Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan
tinggi badan (TB). Variabel umur, BB dan TB ini disajikan dalam
bentuk tiga indikator antropometri, yaitu : berat badan menurut umur
(BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut
tinggi badan (BB/TB). Berat badan yang rendah dapat disebabkan
karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau
penyakit infeksi lain (masalah gizi akut) (Depkes, 2013).
Menurut Depkes RI (2005) Parameter BB/TB berdasarkan Z-Score
diklasifikasikan menjadi :
a. Gizi buruk (Sangat Kurus) : <-3 SD
b. Gizi kurang (Kurus) : -3 SD sampai <-2 SD
c. Gizi Baik (Normal) : -2 SD sampai + 2 SD
d. Gizi lebih (Gemuk) : >+ 2 SD
20
2.2 Kerangka Teori
Berdasarkan beberapa teori dari hasil-hasil terdahulu. Adapun kerangka
teori dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Keterangan:
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Nastiti N, (2008).
Usia
Jenis kelamin
Status gizi
Pemberian ASI
BBLR
Imunisasi
Pendidikan orangtua
Status sosialekonomi
Penggunaan fasilitaskesehatan
Ventilasi rumah
Kebiasaan merokokkeluarga
ISPA
Daya TahanTubuh
Polusi AsapDalam
Ruangan
Pengetahuan
variabel yang diteliti
21
2.3 Kerangka Konsep
Kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian menggambarkan bahwa status keluarga perokok
dapat mempengaruhi penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada balita.
2.4 Hipotesis
Bedasarkan kerangka konsep diatas maka didapatkan hipotesis sebagai
berikut :
1. Balita yang terpapar asap rokok di dalam rumah berisiko lebih besar
menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang tidak terpapar asap
rokok di dalam rumah di wilayah kerja Puskesmas Kemiling
Bandarlampung;
2. Balita yang memiliki status gizi kurang berisiko lebih besar menderita
ISPA dibandingkan dengan balita status gizi balita baik di wilayah kerja
Puskesmas Kemiling Bandarlampung
Kebiasaan merokokkeluarga
Status gizi
ISPA
BAB III
METODE PENILITIAN
3.1 Desain Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah analaitik rancangan penelitian
berupa case control dengan pendekatan retrospektif. Penelitian case control
atau kasus kontrol merupakan suatu penelitian (survei) analitik yang
menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan
pendekatan retrospektif. Pada studi kasus-kontrol, observasi atau pengukuran
terhadap variabel bebas dan tergantung tidak dilakukan dalam satu waktu,
melainkan variabel tergantug (efek) dilakukan pengukuran terlebih dahulu,
baru meruntut kebelakang untuk mengukur variabel bebas (faktor risiko).
Studi kasus-kontrol sering disebut studi retrospektif karena faktor risiko
diukur dengan melihat kejadian masa lampau untuk mengetahui ada tidaknya
faktor risiko yang dialami (Saryono,2010).
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat
Penelitian dilakukan di Puskesmas Kemiling
3.2.2 Waktu penelitian
Waktu penelitian dimulai bulan Agustus sampai dengan November
2018.
23
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Penelitian
Semua orang tua yang mempunyai anak usia 1-5 tahun dan berada di
wilayah kerja Puskesmas Kemiling pada bulan Agustus sampai dengan
November 2018
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini terdiri dari kasus yaitu balita yang
mengalami ISPA dan kontrol yaitu balita yang tidak mengalami ISPA.
Cara perhitungan besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Odds Ratio (OR) dengan rumus:
= Zα 2PQ + Zβ +( − )×(1 − ) + ( × )Catatan: Q1 = (1 – P1); Q2 = (1 – P2); P = ½ (P1 + P2); Q = ½ (Q1 + Q2
Keterangan:
OR = Odds Ratio penelitian terdahulu (2,76).
P1 = proporsi paparan pada kelompok kasus (Suhandayani I, 2006).
P2 = proporsi paparan pada kelompok control (Suhandayani I, 2006).
n1, n2 = perkiraan besar sampel.
α = tingkat kemaknaan (0,05) .
zα = deviat baku normal untuk α (1,960).
zβ = power penelitian (0,842)
(Sudigdo Sastroasmoro dan Sofyan Ismael, 2002).
24
Tabel 1. Jumlah sampel dan proporsinya untuk kebiasaan merokok dan statusgizi kurang sebagai faktor risiko kejadian ispa pada balita
VariabelIndependen
VariableDependen
P1 P2 Sampel SumberStatusmerokok ISPA 0.55 0.31 68 (SuhandayaniI, 2006)Status gizi ISPA 0.306 0.694 25 (Widya,2014)= Zα 2PQ + Zβ +( − )
P2 = 0,31
OR = 2,76
P1 = OR x P2
(1- P2) + ( OR x P2)
= 2,76 x 0,32
(1 – 0,31) + (2,76 x 0,31)
= 0,861,55
= 0,55
Q1 = 1 – P1 = 0,45
Q2 = 1- P2 = 0,69
P = (P1 + P2) = 0,43
Q = (Q1 + Q2) = 0,57
n1n2 = (zα √PQ + Zβ √P1Q1 + P2Q2 )(P1 – P2 )2
n1n2 = (1,96√2.0,43.0,57 + 0,842√0,55.0,45 + 0,31.0,69)(0,55 – 0,31)2
25
= 3,770,06
= 62
Dengan taraf kepercayaan sebesar 95% ( zα = 1,960), power sebesar 80% (
zβ = 0,842) serta nilai OR dan proporsi paparan pada kelompok kontrol (P2)
dari penelitian terdahulu, maka besar sampel penelitian ini adalah 62 sampel.
Dengan perbandingan 1:1, maka diperoleh:
Sampel kasus: balita pengunjung Puskesmas Kemiling yang menderita ISPA
bulan Agustus sampai dengan November 2018 yang berjumlah 62 balita.
Jumlah sampel ditambah 10% untuk menghindari kesalahan analisis akibat
adanya drop out. sehingga besar sampel minimal adalah 68.
Sampel kontrol: balita pengunjung Puskesmas Kemiling yang tidak
menderita ISPA bulan Agustus sampai dengan November 2018 yang
berjumlah 68 balita.
3.3.3 Teknik Sampling
Teknik Sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Purposive sampling, yaitu pengambilan sampel dengan kriteria yang
dibuat oleh peneliti sendiri yang sebelumnya sudah diketahui
karakteristik dari sampel tersebut, dimaksudkan untuk mempermudah
dalam pengambilan sampel penelitian adapun kriteria yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
26
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.4.1 Kriteria inklusi:1) Anak dengan usia 1-5 tahun (balita) di wilayah kerja Kemiling
2) Balita dengan status gizi kurang
3) Balita yang mendapatkan ASI eksklusif
4) Balita dengan riwayat imunisasi lengkap
5) Pendidikan orang tua minimal SMP
3.4.2 Kriteria eksklusi:
1) Orang tua yang tidak bersedia menjadi responden
3.5 Variabel Penelitian
3.5.1 Variabel Bebas (Independent)
Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu kebiasaan merokok orang tua
dan status gizi pada balita. Untuk kebiasaan merokok orang tua,
pengukurannya dengan menggunakan kuesioner yang diisi orang tua
anak pasien ISPA dan anak non ISPA. Sedangkan untuk status gizi
balita, pengukurannya dengan menggunakan indeks antropometri dan
pengukuran dengan data catatan registrasi MTBS (Manajemen
Terpadu Balita Sakit) di Puskesmas Kemiling Bandar Lampung
3.5.2 Variabel Terikat (Dependent)
Variabel terikat pada penelitian ini yaitu kejadian ISPA di Puskesmas
Kemiling Bandar Lampung.
27
3.6 Definisi Operasional
Tabel 2. Definisi Operasional
No Variabel DefinisiOperasional
Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
1 ISPA ISPA adalahpenyakit infeksisaluranpernapasan yangbersifat akut.
Catatanrekamanmedik(sumber:BukuKesehatanIbu danAnak (KIA)PuskesmasKemiling)
Wawancara 0 = TidakISPA1= ISPA
Nominal
2 Kebiasaanmerokok
Kebiasaanmerokokkeluarga didalam rumah.
Kuisioner Wawancara 0 = Tidak ada1 = Ada
Nominal
3 Status gizibalita
Status giziadalah diukurdengan satuankg.Standar yangdigunakanadalah standarBakuAntropometrimenurut WHO-NCHS sumberDepkes RI 2004.
Catatanrekamanmedik(sumber:PuskesmasKemiling)
Observasi 0 = Gizi baik1 = Gizikurang
Nominal
3.7 Cara Pengumpulan Data
3.7.1 Alat
1. Dokumentasi yaitu alat pengumpul data dengan dokumen untuk
mencatat data yang dibutuhkan dalam penelitian. Data yang diambil
diperoleh dengan alat dokumentasi dalam penelitian ini berupa daftar
anak yang menderita ISPA usia ≥12 bulan – 60 bulan (5 tahun) yang
berobat ke Puskesmas Kemiling 2018.
2. Kuesioner yang diisi oleh orang tua anak pasien ISPA dan anak non
ISPA. Kuesioner sebelumnya dilakukan uji validitas dengan metode
28
expert validity (uji validitas pakar) dan uji reabilitas dengan
menggunakan metode re-test sehingga kuesioner dapat digunakan
sebagai alat ukur yang valid dan reabel.
3. Catatan registrasi MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) di
Puskesmas Kemiling Bandar Lampung
3.7.2 Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang
dimana peneliti mengisi kuesioner berdasarkan hasil wawancara dengan
orang tua anak pasien ISPA dan anak non ISPA. Data sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini adalah catatan medik pasien dan catatan
registrasi MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) di Puskesmas
Kemiling Bandar Lampung.
3.7.3 Cara Kerja
Pengumpulan data diambil dari jumlah seluruh pasien anak penderita
ISPA yang berkunjung dan mendapat perawatan di Puskesmas
Kemiling sebagai kelompok kasus dan anak yang tidak terdiagnosis
ISPA sebagai kelompok kontrol. Pengumpulan data ini dilakukan
dalam periode 2018 sebagaimana pada bagan berikut:.
29
a. Kelompok Kassus
b. Kelompok Kontrol
Rekammedik
Status GiziKebiasaanMerokok
ISPA
InformedConcent
Mengisikuesioner
Rekammedik
Status GiziKebiasaanMerokok
TIDAK ISPA
InformedConcent
Mengisikuesioner
30
3.8 Analisa Data
Data dikumpulkan dan dianalisis serta disajikan dalam tabel distribusi dan
grafik kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan SPSS dan
diinterpretasi:
a. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan dengan tujuan melihat gambaran distribusi
frekuensi dan proporsi dari variabel independent dan variabel dependent.
b. Analisis Bivariat
Analisis Bivariat dilakukkan dengan tujuan untuk melihat kemaknaan dan
besarnya hubungan variabel independent dan variabel dependent.
Metode statistik yang digunakan untuk melihat kemaknaan dan besarnya
hubungan antara variabel tadi maka dilakukan uji Chi Square (X2).
Sedangkan untuk meihat kejelasan tentang dinamika hubungan antara
faktor resiko dan faktor efek dilihat melalui nilai rasio odds (OR). Rasio
Odds (OR) dalam hal ini adalah untuk menunjukan rasio antara banyaknya
kasus yang terpapar dan kasus tidak terpapar.
3.9 Etika Penelitian
Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan etik oleh Komisi Etik Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung dengan
No: 3922/UN26.18/PP.05.02.00/2018.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Hasil penelitian pada kelompok tidak ISPA lebih banyak responden tidak
memiliki kebiasaan merokok di dalam rumah, sedangkan pada kelompok
yang menderita ISPA terdapat lebih banyak responden dengan kebiasaan
merokok di dalam rumah
2. Hasil penelian pada kelompok tidak ISPA lebih banyak balita memiliki
status gizi baik, sedangkan pada kelompok ISPA terdapat lebih banyak
balita memiliki status gizi kurang.
3. Kebiasaan Merokok di dalam Rumah merupakan faktor risiko Kejadian
ISPA pada Balita diwilayah kerja Puskesmas Kemiling Bandarlampung (p
value= 0,001;OR= 3,36)
4. Status gizi kurang merupakan faktor risiko Kejadian ISPA pada Balita
diwilayah kerja Puskesmas Kemiling Bandarlampung (p value= 0,006;
OR= 2,78)
51
5.2 Saran
Berdasarkan pada kesimpulan yang telah diuraikan oleh penulis di atas, saran
yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan dan masukkan adalah sebagai
berikut:
5.2.1 Bagi Tenaga Kesehatan
1. Dapat dijadikan materi bebas asap rokok keluarga pada konseling dan
edukasi pelayanan ISPA oleh tenaga medis.
2. Diharapkan tenaga kesehatan dapat meningkatkan pelayanan,
khususnya pemantauan status gizi anak dan upaya deteksi dini
penyimpangan perkembangan anak secara rutin.
5.2.2 Bagi Masyarakat
1. Agar masyarakat lebih memperhatikan kembali tempat kebiasaan
merokok dengan menggunakan ruang-ruang yang telah disediakan
2. Agar masyarakat lebih meningkatkan pengetahuan tentang status gizi
sehingga cenderung akan memperhatikan status gizi yang ada pada
keluarganya
5.2.3 Bagi Orang Tua
1. Orang tua yang memiliki kebiasaan merokok agar tidak merokok
didalam rumah, agar tidak menjadi penyebab timbulnya ISPA.
2. Diharapkan orang tua dapat menambah wawasan tentang
kebutuhan nutrisi anak dan perkembangan anak, sehingga orang
tua dapat menerapkan pola asuh yang lebih baik, dapat
memberikan stimulasi perkembangan anak secara optimal dan
52
menjamin tubuh kembang anak dapat berlangsung dengan selaras
baik dari segi fisik, mental maupun psikososial.
3. Agar meningkatkan pemberian asupan makanan melalui pemanfaatan
makanan lokal sehingga dapat mencukupi asupan makanan khususnya
bagi balita.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2010. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Alamsyah, R. 2007. Pengaruh kebiasaan merokok terhadap keparahan penyakitperiodental remaja sma di kota medan. Tesis. Program studi pendidikandokter gigi fakultas kedokteran gigi universitas sumatera utara.
Andarini, S., Asmika., dan Noviana A., Hubungan antara status gizi dan tingkatkonsumsi energi, protein, dengan frekuensi kejadian infeksi saluranpernapasan akut (ISPA) pada balita diwilayah kerja puskesmas gondanglegi,kecematan gondang legi kabupaten Malang. Tesis. Program studi pendidikandokter fakultas kedokteran universitas gajah mada.
Antonio, L. 2014. Passive smoking and children's health. Scientific research. (14): 08-14.
Budiman, C. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Penerbit BukuKedokteran EGC.
Centers for Disease Control and Prevention.2014.Health Effects of SecondhandSmoke - Smoking & Tobacco Use.
Depkes RI. 2003. Analisis antropometri balita. Jakarta: Kementerian kesehatanrepublik indonesia.
Depkes RI. 2009. Riset kesehatan dasar provinsi lampung .
Depkes RI. 2013. Profil kesehatan indonesia. Jakarta: Kementerian kesehatanrepublik indonesia.
Egbe, C. O. Petersen, I. & Meyer-weitz, A. 2016. Knowledge of the NegativeEffects of Cigarette Smoking on Health and Well-Being among SouthernNigerian Youth. International Journal of Social Science and Humanity.
Hersey P, Prendergast D, Edwards A. 1983. Effects of cigarette smoking on theimmune system: fol- low-up studies in normal subjects after cessation ofsmoking. Med J Aust.
Hidayat, A. 2008. Ilmu kesehatan anak untuk pendidikan kebidanan. Yogyakarta:Salemba medika.
Keman, S. 2004. Pengaruh Lingkungan Terhadap Kesehatan. Jurnal KesehatanLingkungan.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2013. InfoDATIN : HariTanpa Tembakau Sedunia.
Nastiti, N. 2010. Buku ajar respirologi anak. Edisi 1. Jakarta: Badan penerbitIDAI.
Nindya, TS dan Sulistyorini, L. 2005. Hubungan Sanitasi Rumah denganKejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Anak Balita. JurnalKesehatan Lingkungan.
Rahmayatul, F. 2013. Hubungan lingkungan dalam rumah terhadap ispa. Skripsi.
Rodríguez., L.Cervantes., dan E. Ortiz, R.2011. Malnutrition and Gastrointestinaland Respiratory Infections in Children: A Public Health Problem.International Journal Of Environment Research And Public Health.
Riskesdas. 2013. Riset kesehatan dasar.
Salawati, T. & Amalia, R. 2010. Perilaku Merokok Di Kalangan MahasiswaUniversitas Muhammadiyah Semarang. Prosiding Seminar NasionalUNIMUS.
Suhandayani, I. 2006. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPApada balita di puskesmas pati kabupaten pati. Skripsi. program studikesehatan masyarakat fakultas universita negeri semarang.
Suhardjo. 2003. Berbagai cara pendidikan gizi. Jakarta: Bumi aksara.
Supariasa, B. 2012. Penilaian status gizi. Jakarta: EGC.
Suryo, J. 2010. Herbal Penyembuh Gangguan Sistem Pernafasan. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.
Sylvia, Price A. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis proses – proses Penyakit ;Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
World Health Organization. 2007. Infection prevention and control of epidemic-and pandemic-prone acute respiratory diseases in health care.
Trisnawati, Y. & Juwarni, 2012. Hubungan Perilaku Merokok Orang Tua denganKejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Rembang KabupatenPurbalingga. (Depkes 2002). hal.113.
Yusuf, NA dan Sulistyorini, L. 2008. Hubungan sanitasi rumah secara fisikdengan kejadian ISPA pada anak Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan.