kata pengantar - file · web viewrevoluis hijau adalah sebutan tidak resmi yang...
TRANSCRIPT
Makalah Akhir
Dampak Revolusi Hijau terhadap Petani di Indonesia
Oleh:
Yulanda Chaesfa
I34080125
Mata Kuliah Berpikir dan Menulis Ilmiah
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
2010
ABSTRAK
Green revolution, this program begins known in indonesia around year
1960-an. Green revolution principal aim raises agricultural sector productivity,
especially sub-sector food agriculture, pass modern agriculture technology
package that consist of fertilizer non-organik, plants patron medicines, and high
yield rice seed. Pass this program, in the year 1984, indonesia success be the
biggest country of self sufficiency in food. Actually, green revolution doesn't has
big influence in farmer welfare, especially little farmer. Influence that feeled by
farmer green revolution existence only shaped farmer habit change in will do
agricultural activity. Green revolution poverty beginning impact more increases.
With program existence, farmer is dependence, can not thoroughly get out of three
green revolution principal pillars.
i
KATA PENGANTAR
Makalah ini merupakan sebuah tinjauan dari hasil studi pustaka mengenai
revolusi hijau di Indonesia. Revoluis hijau adalah sebutan tidak resmi yang
dipakai untuk menggambarkan perubahan dalam pemakaian teknologi budidaya
pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara
berkembang, terutama di Asia. Hasil yang nyata adalah tercapainya swasembada
pangan di sejumlah negara yang sebelumnya dilanda kelaparan, seperti India,
Banglades, Thailand, serta Indonesia. Norman Borlaug, penerima penghargaan
Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai bapak gerakan ini.
Dalam makalah ini dijelaskan pengaruh dan dampak yang telah diterima
oleh petani akibat adanya revolusi hijau di Indonesia. Karena pada kenyataannya,
dibalik kesuksesan revolusi hijau petani di Indonesia justru semakin terpuruk
keadaanya. Penulis berupaya semaksimal mungkin untuk menjelaskan masalah
yang dibahas dalam makalah ini dengan sumber dari berbagai bahan rujukan.
Tentu banyak sekali kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, baik
dalam teknik penulisan maupun isi dari makalah. Untuk itu saran dan kritik
membangun sangat diharapkan oleh penulis. Dan untuk kesudiaanya penulis
mengucapkan beribu terima kasih kepada berbagai pihak yang sudah banyak
membantu dalam pembuatan makalah ini.
Bogor, 11 Januari 2010
Penulis
Yulanda Chaesfa
ii
DAFTAR ISI
ABSTRAK................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
DAFTAR TABEL...................................................................................................iv
Tabel 1.................................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................1
1. 1 Latar Belakang..........................................................................................1
1. 2 Perumusan Masalah...................................................................................2
1. 3 Tujuan dan Manfaat...................................................................................2
3.1 Pengaruh Revolusi Hijau terhadap Petani.................................................1
3.2 Kemiskinan merupakan Dampak Revolusi Hijau terhadap Petani...........1
BAB 4. KESIMPULAN...........................................................................................1
4.1 Kesimpulan.....................................................................................................1
4.2 Saran...............................................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................1
iii
DAFTAR TABEL
1. Kemiskinana di sembilan sektor ekonomi di Indonesia
Tabel 1, halaman 6, tabel teks.
Tabel 1
Kemiskinan di Sembilan Sektor Ekonomi di Indonesia,
Februari 1996 dan Februari 1999 (%)
Sektor
Februari 1996 Februari 1999
Poverty
incidence
Kontibusi
terhadap
Kemiskinan
Poverty
incidence
Kontibusi
terhadap
Kemiskinan
Pertanian 26,29 68,54 39,69 58,38
Perdagangan, hotel, dan restotan 7,96 8,10 17,63 11,13
Industri pengolahan 10,69 5,71 22,92 7,71
Jasa-jasa 5,73 5,72 13,13 7,36
Pengangkutan dan komunikasi 8,85 3,32 24,02 5,58
Bangunan 14,04 5,42 28,97 5,52
Pertambangan dan penggalian 15,34 1,01 29,81 1,00
Keuangan, asuransi, dan persewaan 1,24 0,06 5,23 0,23
Listrik, gas, dan air bersih 6,10 0,16 14,48 0,17
iv
BAB I. PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Revolusi hijau merupakan suatu program yang dikhususkan pada
pembangunan sektor pertanian. Program ini mulai dikenal di Indonesia sekitar
tahun 1960-an, yaitu pada masa kepemimpinan Soeharto. Loekman Soetrisno
(2002) menjelaskan bahwa, Tujuan utama revolusi hijau adalah untuk menaikkan
produktifitas sektor pertanian, khususnya sub-sektor pertanian pangan, melalui
paket teknologi pertanian modern. Paket tersebut terdiri atas pupuk non-organik,
obat-obatan pelindung tanaman, dan bibit padi unggul.
Melalui program ini, pada tahun 1984, Indonesia berhasil menjadi negara
swasembada pangan terbesar. Dalam waktu yang cukup lama yaitu sekitar 20
tahun, program revolusi hijau juga telah berhasil mengubah kebiasaan dan sikap
para petani Indonesia yang awalnya memakai sistem bertani secara tradisional
menjadi sistem bertani yang modern dimana para petani mulai menggunakan
teknologi-teknologi pertanian yang ditawarkan oleh program revolusi hijau.
Perubahan sikap tersebut sangat berpengaruh terhadap kenaikan produktifitas sub-
sektor pertanian pangan, sehingga Indonesia mampu mencapai swasembada
pangan. Keberhasilan Indonesia ini adalah akibat dari meningkatnya hasil panen
sebagai akibat berjuta-juta petani di Indonesia, khususnya di Jawa, menggunakan
bibit unggul baru dan pupuk kimia.
Tetapi dibalik itu semua, banyak dampak negatif yang dialami oleh para
petani Indonesia. Salah satunya adalah banyak petani yang malah kehilangan
pekerjaan bertani mereka sehingga tidak sedikit petani yang hidup semakin
miskin. Sikap dan kebiasaan petani pun mulai berubah yang awalnya “anti
teknologi” menjadi ketergantungan terhadap teknologi pertanian yang modern.
Selain itu pemakaian bahan-bahan kimia yang digunakan pada hasil pertaian juga
menyebabkan khususnya para petani mengalami kesusahan dan berpengaruh juga
pada masyarakat luas pada umumnya.
Makalah ini akan membahas secara lebih jelas mengenai pengaruh apa
saja yang diakibatkan oleh revolusi hijau terhadap petani di Indonesia. Dalam
1
makalah ini akan dibahas sedikit banyak mengenai pengaruh dan dampak apa saja
yang telah ditimbulkan oleh adanya revolusi hijau.
1. 2 Perumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain yaitu:
a. Apa saja pengaruh yang telah diakibatkan oleh revolusi hijau terhadap
lingkungan dan petani secara khusus?
b. Bagaimana dampak revolusi hijau terhadap kehidupan para petani di
Indonesia?
1. 3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah:
a. Untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Berpikir dan Menulis Ilmiah
b. Untuk mengetahui pengaruh yang telah diakibatkan oleh revolusi hijau.
c. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari revolusi hijau terhadap
petani.
d. Agar dapat mempelajari kehidupan para petani, sehingga dapat memberi
solusi untuk membantu kehidupan para petani
Dan manfaat dari dibuatnya makalah ini adalah:
1. Bagi masyarakat, untuk memberikan informasi mengenai kehidupan petani
ketika masa revolusi hijau.
2. Bagi kalangan akademis diharapkan makalah ini dapat menjadi sumber
informasi ataupun bahan rujukan.
3. Bagi pemerintah makalah ini dapat digunakan sebagai informasi
tambahan.
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Istilah Revolusi Hijau sebenarnya muncul sejak Norman Borlaugh
mendapat julukan Bapak Revolusi Hijau pada tahun 1944, atas keberhasilannya
meningkatkan pangan di Meksiko. Sejak itu bisnis teknologi pertanian menjadi
marak dan mendunia. Program ini mulai dikenal di Indonesia sekitar tahun 1960-
an, yaitu pada masa kepemimpinan Soeharto. Tujuan utama revolusi hijau adalah
untuk menaikkan produktifitas sektor pertanian, khususnya sub-sektor pertanian
pangan, melalui paket teknologi pertanian modern. Paket tersebut terdiri atas
pupuk non-organik, obat-obatan pelindung tanaman, dan bibit padi unggul.
Melalui program ini, pada tahun 1984, Indonesia berhasil menjadi negara
swasembada pangan terbesar. Dalam waktu yang cukup lama yaitu sekitar 20
tahun, program revolusi hijau juga telah berhasil mengubah kebiasaan dan sikap
para petani Indonesia yang awalnya memakai sistem bertani secara tradisional
menjadi sistem bertani yang modern dimana para petani mulai menggunakan
teknologi-teknologi pertanian yang ditawarkan oleh program revolusi hijau.
Sebenarnya revolusi hijau tidak mempunyai pengaruh yang besar dalam
kesejahteraan petani, khususnya petani kecil. Keuntungan yang didapat dari
meningkatnya produksi padi sehingga pernah berhasil membawa Indonesia
menjadi negara swasembada beras terbesar, tidak ikut dirasakan oleh petani.
Pengaruh yang dirasakan oleh petani akan adanya revolusi hijau hanya berupa
perubahan kebiasaan petani dalam melakukan kegiatan pertanian. Perubahan itu
berupa kegiatan pertanian yang pada awalnya mengandalkan sumber daya alam
dan manusia yang ada berubah menjadi kegiatan mekanisasi pertanian dan
mengandalkan produk-produk kimia.
Revolusi hijau adalah dampak awal kemiskinan yang semakin meningkat.
Dengan adanya program tersebut, petani menjadi ketergantungan, tidak bisa
sepenuhnya lepas dari tiga pilar utama revolusi hijau. Mahalnya sarana dan
prasarana pertanian dan terjeratnya petani dalam sistem kredit menyebabkan
1
petani terpaksa menjual lahan. Akibatnya petani mengalami penurunan
pendapatan rill. Hal ini juga menyebabkan petani menjadi tertinggal dalam
mengikuti teknologi modern yang ada. Selain itu rendahnya tingkat pendidikan
juga menyebabkan petani semakin tertinggal. Oleh karena itu, kemiskinan belum
bisa lepas dari kehidupan petani.
Kebijakan revolusi hijau juga telah mengubah pola pertanian lokal. Sebelum
kebijakan itu diterapkan, petani menggunakan tenaga kerja manusia dan ternak,
bibit, dan pupuk kandang buatan rumah tangga sendiri. Akan tetapi selama
revolusi hijau, selain terjadi mekanisai pertanian, juga telah mendorong perubahan
pola tanam karena paket kredit pupuk dan bibit diperuntukkan bagi para petani
pemilik lahan minimal dengan luas 1 ha. Akibatnya, jumlah pengangguran
meningkat.
Selain itu, lumbung desa yang dikelola oleh masyarakat sebagai kas pangan
saat paceklik atau gagal panen pun diganti pemerintah dengan sistem Koperasi
Unit Desa (KUD) yang kemudian dikuasai oleh para birokrat. Kondisi ini
menyebabkan kedaulatan pangan diambil alih menjadi urusan pemerintah atau
birokrasi. Akhirnya, banyak petani miskin yang tersingkir karena tidak siap
menerima perubahan yang ditimbulkan oleh modernisasi.
2
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Pengaruh Revolusi Hijau terhadap Petani
Istilah Revolusi Hijau sebenarnya muncul sejak Norman Borlaugh
mendapat julukan Bapak Revolusi Hijau pada tahun 1944, atas keberhasilannya
meningkatkan pangan di Meksiko. Sejak itu bisnis teknologi pertanian menjadi
marak dan mendunia. Empat puluh tahun kemudian (1984) Indonesia mencapai
swasembada beras, yang merupakan puncak dari piramida perdagangan benih
unggul, pupuk kimia, dan pestisida di Indonesia (Indra Tata, 2000).
Revolusi hijau mendasarkan diri pada tiga pilar penting: penyediaan air
melalui sistem irigasi, pemakaian pupuk kimia dan penerapan pestisida untuk
menjamin produksi, dan penggunaan varietas unggul sebagai bahan baku
berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan
hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali
dalam setahun untuk padi, suatu hal yang tidak dapat dimungkinkan tanpa tiga
pilar tersebut.1 Melalui tiga pilar inilah Indonesia pernah mengalami masa
kejayaannya dalam sektor pertanian, yaitu berhasil mencapai swasembada beras.
Oleh karenanya, revolusi hijau cukup memiliki pengaruh besar terhadap
petani di Indonesia. Meskipun subsidi pestisida telah dicabut pada tahun 1986,
ketergantungan petani terhadap pestisida tidak mudah lepas begitu saja.
Kerusakan-kerusakan lingkungan pertanian telah hampir merata di sentra-sentra
tanaman padi dan sayuran. Sampai pada krisis berikutnya pada tahun 1997-2000,
yang dibarengi dengan krisis ekonomi, petani masih sangat tergantung pada
pestisida kimia (Indra Tata, 2000).
Penemu pestisida pertama kali di dunia, Paul Muller dari Swiss pada tahun
1948 mendapat Nobel atas karyanya menemukan DDT. DDT dipakai hampir
semua negara di dunia, baik untuk membasmi nyamuk malaria maupun untuk
membasmi hama tanaman. Petani merasakan manfaat DDT bagi tanamannya,
sehingga permintaan pestisida terus meningkat. Dengan munculnya penemuan-
1 Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Hijau.
1
penemuan baru bahan aktif pestisida dan disusul dengan munculnya produsen
pestisida baru, penjualan pestisida dunia terus meningkat. Sasaran penjualan
pestisida terutama ditujukan ke negara-negara Dunia Ketiga (Indra Tata, 2000).
Peningkatan permintaan pestisida juga dialami oleh negara Indonesia sehingga
industri-industri pestisida mulai muncul dan berkembang di Indonesia. Akibatnya,
muncul lah berbagai merek pestisida di pasaran.
Menurut Tata (2000):
“Pada saat munculnya ratusan merek pestisida baru, selain membuat ketergantungan, juga membingungkan petani. Meski petani membelinya dengan harga murah (menurut versi formulator), petani dihadapkan pada banyak pilihan yang harus dibeli karena adanya ketergantungan pada merek tertentu. Ketika pemerintah pada tahun 1988 mulai mengurangi subsidi pestisida dan pada akhirnya subsidi pestisida dicabut total (1989), mengakibatkan harga pestisida meningkat di pasaran.”
Penggunaan pestisida sangat berpengaruh besar kepada petani. Menurut
Indra Tata (2000), pengendalian hama dengan menggunakan pestisida, telah
mengubah pola pikir dan perilaku petani. Bagi petani, menggunakan pestisida
lebih mudah dan cepat membunuh hama dibandingkan menggunakan cara alami
seperti tumpang sari. Oleh sebab itu, petani belum mampu sepenuhnya lepas dari
penggunaan pestisida. Padahal sebenarnya penggunaan pestisida secara terus
menerus dapat membuat hama menjadi kebal akan zat kimia tersebut (residu),
selain itu pestisida tidak hanya akan membunuh hama saja, melainkan juga dapat
membunuh hewan lain yang sebenarnya “teman-teman” petani di lapangan.
Selain penggunaan pestisida, penggunaan pupuk kimia dan varietas unggul
yang jauh lebih terlihat hasilnya juga tidak dapat dipungkiri oleh petani. Dengan
menggunakan pupuk kimia dan varietas unggul yang dirawarkan oleh pemerintah,
petani dapat melakukan panen sebanyak tiga kali dalam setahun. Ini menyebabkan
meningkatnya produksi padi. Indonesia memang mengalami peningkatan produksi
padi pada era reformasi, tetapi hal ini tidak berpengaruh kepada kesejahteraan
petani di Indonesia.
“Suskesnya teknologi revolusi hijau mulai dipertanyakan setelah muncul adanya kerusakan lingkungan pertanian, dan tidak berubahnya
2
kesejahteraan petani meski hasil panen meningkat pesat. Studi-studi tandingan mulai muncul untuk mencari korelasi antara kenaikan produksi pangan dengan peningkatan pendapatan petani kecil. Studi-studi yang didapat menunjukan bahwa teknologi revolusi hijua lebih banyak diserap ileh oetani kaya dibanding petani kecil” (Indra Tata, 2000).
Dari semua pernyataan diatas dapat diketahui bahwa sebenarnya revolusi
hijau tidak mempunyai pengaruh yang besar dalam kesejahteraan petani,
khususnya petani kecil. Keuntungan yang didapat dari meningkatnya produksi
padi sehingga pernah berhasil membawa Indonesia menjadi negara swasembada
beras terbesar, tidak ikut dirasakan oleh petani. Pengaruh yang dirasakan oleh
petani akan adanya revolusi hijua hanya berupa perubahan kebiasaan petani dalam
melakukan kegiatan pertanian. Perubahan itu berupa kegiatan pertanian yang pada
awalnya mengandalkan sumber daya alam dan manusia yang ada berubah menjadi
kegiatan mekanisasi pertanian dan mengandalkan produk-produk kimia.
3.2 Kemiskinan merupakan Dampak Revolusi Hijau terhadap Petani
Revolusi hijau yang digulirkan pada era tahun 1960an dan 1970an di banyak
negara di Asia membawa paket modernisasi pertanian. Bibit unggul, teknologi
pertanian, irigasi yang lebih baik, dan pupuk kimia adalah paket yang ditawarkan.
Sayangnya, paket yang bertujuan untuk meningkatkan panen beras menjadi dua
kali dalam setahun ini tidak memperhatikan status sosial petani. Akibatnya,
kesuksesan yang didapat harus dibayar dengan penderitaan dan tersingkirnya
petani miskin. Dengan kata lain, revolusi hijau menyebabkan petani semakin
miskin.
Indra Tata (2000) menjelaskan bahwa salah satu masalah yang
menyebabkan kemiskinan adalah sistem kredit pertanian. Petani yang terjerat
sistem kredit pertanian yang tidak terbayar, akhirnya menjual lahan pertaniannya
sedikit demi sedikit. Kasus pelepasan tanah oleh petani menunjukkan bahwa hasil
pertanian mereka tidak banyak membantu kesejahteraan keluarga, sehingga
mereka harus mencari mata pencaharian lain yang pilihannya sering kali
perdagangan yang memerlukan modal atau menjadi buruh di kota. Karena itu,
sering terjadi kasusu pelepasan tanah secara bertahap selain digunakan untuk
3
modal bertani seperti membeli pupuk kimia, pestisida dan benih, juga untuk
modal berdagang. Setelah pelepasan tanah, si petani mengolah tanahnya yang
sempit atau sekaligus menjadi penggarap di tanah orang lain. Dengan semakin
banyaknnya petani miskin menyebabkan sektor pertanian menjadi sumber utama
kemiskinan di Indonesia.
Studi-studi yang dilakukan dengan menggunakan data SUSENAS hasilnya
menunjukkan bahwa kontribusi paling besar terhadap kemiskinan di Indonesia
ternyata berasal dari sektor pertanian. Pada tahun 1996 diperkirakan hampir 69%-
nya dari jumlah orang miskin di Indonesia berasal dari sektor tersebut, walaupun
pada tahun 1999 kontribusinya menurun sedikit menjadi 58,4% (Tabel 1).
Didasarkan pada tabel dibawah ini, dapat disimpulkan bahwa sektor pertanian
merupakan sumber terbesar dari pertumbuhan kemiskinan di Indonesia
(Tambunan, 2006).
Tabel 1
Kemiskinan di Sembilan Sektor Ekonomi di Indonesia,
Februari 1996 dan Februari 1999 (%)
Sektor
Februari 1996 Februari 1999
Poverty incidence
Kontibusi terhadap
Kemiskinan
Poverty incidence
Kontibusi terhadap
Kemiskinan
Pertanian 26,29 68,54 39,69 58,38
Perdagangan, hotel, dan restotan 7,96 8,10 17,63 11,13
Industri pengolahan 10,69 5,71 22,92 7,71
Jasa-jasa 5,73 5,72 13,13 7,36
Pengangkutan dan komunikasi 8,85 3,32 24,02 5,58
Bangunan 14,04 5,42 28,97 5,52
Pertambangan dan penggalian 15,34 1,01 29,81 1,00
Keuangan, asuransi, dan persewaan 1,24 0,06 5,23 0,23
Listrik, gas, dan air bersih 6,10 0,16 14,48 0,17
4
Sumber: BPS dalam Tabel 5 di Pradhan dkk (2000)
Tidak sulit menduga sumber penyebab kemiskinan di sektor pertanian.2
Revolusi hijau adalah dampak awal kemiskinan yang semakin meningkat. Dengan
adanya program tersebut, petani menjadi ketergantungan, tidak bisa sepenuhnya
lepas dari tiga pilar utama revolusi hijau. Mahalnya sarana dan prasarana
pertanian dan terjeratnya petani dalam sistem kredit menyebabkan petani terpaksa
menjual lahan. Akibatnya petani mengalami penurunan pendapatan rill. Hal ini
juga menyebabkan petani menjadi tertinggal dalam mengikuti teknologi modern
yang ada. Selain itu rendahnya tingkat pendidikan juga menyebabkan petani
semakin tertinggal. Oleh karena itu, kemiskinan belum bisa lepas dari kehidupan
petani.
Kebijakan revolusi hijau juga telah mengubah pola pertanian lokal. Sebelum
kebijakan itu diterapkan, petani menggunakan tenaga kerja manusia dan ternak,
bibit, dan pupuk kandang buatan rumah tangga sendiri. Akan tetapi selama
revolusi hijau, selain terjadi mekanisai pertanian, juga telah mendorong perubahan
pola tanam karena paket kredit pupuk dan bibit diperuntukkan bagi para petani
pemilik lahan minimal dengan luas 1 ha. Akibatnya, jumlah pengangguran
meningkat. Hal ini bukan saja karena mekanisasi pertanian telah menggantikan
pekerjaan yang semula dikerjakan oleh buruh tani, tetapi juga banyak petani kecil
akhirnya harus menjual tanahnya kerana antara biaya produksi dan hasil yang
diperolehnya tidak sesuia atau merugi.3
Selain itu, lumbung desa yang dikelola oleh masyarakat sebagai kas pangan
saat paceklik atau gagal panen pun diganti pemerintah dengan sistem Koperasi
Unit Desa (KUD) yang kemudian dikuasai oleh para birokrat. Kondisi ini
menyebabkan kedaulatan pangan diambil alih menjadi urusan pemerintah atau
2 Dr. Tulus T. H. Tambuan, Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia: Beberapa Isu Penting (Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 2006), hlm 155.3 Nurul H.A, Revolusi Hijau 60an-70an Miskinkan Perempuan (http://www.langitperempuan.com/2008/12/revolusi-hijau-60an-70an-miskinkan-perempuan/) diakses tanggal 25 Desember 2009.
5
birokrasi. Akhirnya, banyak petani miskin yang tersingkir karena tidak siap
menerima perubahan yang ditimbulkan oleh modernisasi.4
4 Ibid.,
6
BAB 4. KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Revolusi hijau merupakan program yang dikhususkan pada pembangunan di
sektor pertanian. Tujuan utama dari revolusi hijau adalah meningkatkan
produktifitas khususnya sub-sektor pertanian pangan, melalui teknik modernisasi,
yaitu irigasi yang baik, penggunaan varietas unggul, dan pupuk kimia. Melalui
teknik modernisasi ini, Indonesia berhasil menjadi negara swasembada beras
terbesar di Asia pada tahun 1984.
Akan tetapi, revolusi hijau tidak ikut membawa perubahan terhadap
kesejahteraan petani, khususnya petani kecil. Pengaruh yang diraskan oleh petani
hanya berupa perubahan kegiatan pertanian yang pada awalnya mengandalkan
sumber daya alam dan manusia berubah menggunakan teknik modernisasi yang
justru mengakibatkan petani menjadi ketergantungan.
Pada awalnya memang revolusi hijau berhasil membantu petani menaikkan
produksi padinya, tetapi pada akhirnya malah membawa dampak negatif kepada
petani. Kemiskinan makin meningkat dikalangan petani. Mereka yang tidak
sanggup membeli pupuk kimia, pestisida, dan bibit padi serta terjerat sistem kredit
pertanian terpaksa menjual tanahnya. Akhirnya pendapatan rill para petani pun
semakin berkurang. Hal ini merupakan salah satu penyebab meningkatnya taraf
kemiskinan di sektor pertanian.
4.2 Saran
Alam telah menyediakan segalanya. Manusia sudah seharusnya
memanfaatkannya dengan benar. Tetapi dengan memasukkan unsur kimia
kedalam lingkungan pertanian bukanlah pilihan yang tetap. Oleh sebab itu
sebaiknya, petanian organik mulai dicanangkan kembali. Pertanian organik tidak
membutuhkan biaya produksi yang besar, karena semua tersedia dari alam.
Seperti penggunaan pupuk kandang dan kompos serta sistem tumpang sari yang
dapat memberantas hama tanpa menimbulkan kerusakan pada lingkungan. Selain
1
itu hasil produksi pertanian organik dijual mahal di pasaran sehingga dapat ikut
meningkatkan pendapatan petani.
Diharapkan juga pemerintah dapat memberikan perhatian lebih pada
kesejahteraan petani. Seharusnya, pemerintah dan petani saling bekerja sama
dalam meningkatkan produksi pertanian, bukan memaksakan kehendak
pemerintah karena petani sebenarnya juga tahu apa yang terbaik untuk pertanian.
2
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. “Revolusi Hijau”, dalam
http://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Hijau. 25 Desember.
Nurul HA. 2009. “Revolusi Hijau 60an-70an Miskinkan Perempuan”, dalam
http://www.langitperempuan.com/2008/12/revolusi-hijau-60an-70an-
miskinkan-perempuan/. 25 Desember 2009.
Soetrisno, Loekman. 2002. Pembangunan Pertanian: Sebuah Tinjauan
Sosiologis. Kanisius: Yogyakarta.
Tata, Indra. 2000. Menggugat Revolusi Hijau Generasi Pertama. Tirta
Karangsari: Yogyakarta.
Tambuan, Dr. Tulus T. H. 2006. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia:
Beberapa Isu Penting. Ghalia Indonesia: Yogyakarta.
1