kata pengantar - yccp-indonesia.org · kontrasepsi mkjp seperti intra uterine device ( iud) dan...

69

Upload: tranthu

Post on 02-Mar-2019

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga kami berhasil menyelesaikan “Riset Operasional Advokasi Keluarga Berencana untuk Meningkatkan Metode Ragam Kontrasepsi di Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat” yang dilaksanakan dari Bulan April hingga Mei 2013. Laporan ini berisi hasil studi kualitatif di Kabupaten Lumajang yang merupakan satu dari enam laporan studi kualitatif di tingkat kabupaten. Enam laporan tersebut berisi informasi terkait Keluarga Berencana di 3 kabupaten di Provinsi Jawa Timur yakni Kabupaten Kediri, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Tuban; serta 3 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat yakni Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Timur, dan Kabupaten Sumbawa. Pengumpulan data dilaksanakan dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi. Secara garis besar, informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga Berencana, serta pembelajaran yang diperoleh dari desa Metode Kontrasepsi Jangka Panjang tinggi dan rendah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar informasi upaya advokasi dan intervensi untuk meningkatkan ragam kontrasepsi di lokasi penelitian. Berlangsungnya penelitian ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Susan Krenn, Direktur Johns Hopkins University Bloomberg School of Public Health Center for Communication Programs

2. Duff Gillespie dari Bill & Melinda Gates Institute for Population and Reproductive Health 3. J. Douglas Strorey, Sarah V. Harland, Priya Emmart dan Jennifer Kreslake dari John

Hopkins University Bloomberg School of Public Health Center for Communication Programs

4. Fitri Putjuk, Eugenita Garot dan Anggita Florenita dari John Hopkins University Bloomberg School of Public Health Center for Communication Programs Indonesia Office

5. Mayun Pudja, Dini Haryati dan Christiana Tri Desintawati dari Cipta Cara Padu Foundation

6. Sabarinah Prasetyo (Direktur) dan seluruh staff Pusat Penelitian Kesehatan UI 7. Ruth Stella, Anwar Fachmy, Cahyowati, Halimatus Sa’diyah, Menik Aryani,

Rosmilawati,dari Universitas Mataram di Provinsi Nusa Tenggara Barat; sertaWindhu Purnomo, Irma Prasetyowati, Ni’mal Baroya, Annis Catur Adi, Riris Diana Rachmayanti, Nurul Fitriyah, dan Dini Ririn Andrias dari Universitas Airlangga sebagai mitra lokal di Provinsi Jawa Timur

8. Serta semua informan yang bersedia berkontribusi dalam penelitian ini.

Secara khusus, kami memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada semua peneliti yang terlibat, yakni Agus Dwi Setiawan, Christiana R. Titaley, Dadun, Dini Dachlia, Dwi Astuti Yunita Saputri, Ferdinand Siagian, Heru Suparno, dan Yudarini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Donal Husni, Hafizah, Vetty Yulianty, dan Ade W. Prastyani yang telah membantu proses akhir penyelesaian laporan ini. Kami berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk memajukan program keluarga berencana di Indonesia, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Jawa Timur. Depok, 31 Maret 2014 Dr. dra. Rita Damayanti, MSPH Peneliti Utama

ii

RINGKASAN EKSEKUTIF UNTUK KABUPATEN STUDI DI PROVINSI JAWA TIMUR

1. Cakupan KB dan permasalahannya

Pencapaian angka-angka terkait Keluarga Berencana (KB) di Provinsi Jawa Timur lebih tinggi dari rata-rata nasional. Sebagai contoh, peserta KB aktif pada tahun 2010 adalah 59.4%, sementara rata-rata untuk Indonesia 55,8%. Namun demikian, Total Fertility Rate (TFR) masih 2,3 sementara target Millenium Development Goals (MDGs) 2,1, demikian pula dengan unmet need yang masih berkisar pada 6,7% sementara targetnya adalah 5%. Permasalahan yang dihadapi adalah sulitnya menggeser penggunaan metode kontrasepsi jangka pendek (non-MKJP) menjadi Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di masyarakat Jawa Timur.

2. Non-MKJP versus MKJP

Angka kepesertaan KB di Jawa Timur cenderung meningkat namun tidak diikuti dengan penurunan TFR. Hal ini menimbulkan pertanyaan pada para pemegang program KB. Data menunjukkan penggunaan kontrasepsi jenis non-MKJP jauh lebih tinggi dibandingkan MKJP karena masyarakat menggunakan KB untuk menjaga jarak anak dan bukan untuk membatasi anak. Beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap rendahnya cakupan MKJP adalah karakteristik masyarakat, aksesibilitas terkait letak geografis wilayah, jumlah, dan kinerja petugas/penyuluh KB, kondisi sosial ekonomi, kepercayaan masyarakat setempat, dan isu yang beredar. Namun demikian, semua kabupaten merasakan adanya peningkatan MKJP, terbukti dengan sering terjadinya kekurangan stok implan.

• Mengarahkan program momentum KB hanya untuk MKJP, dengan pelayanan yang tidak dilakukan di tempat-tempat darurat seperti pasar atau mobil pelayanan KB (kecuali untuk daerah terpencil). Hal ini untuk menjaga mutu serta mengurangi kesulitan dalam melacak dan menangani komplikasi.

Rekomendasi:

• Meningkatkan jumlah stok implan. • Meningkatkan kualitas pemasangan MKJP melalui pelatihan dan praktek pemasangan alat

kontrasepsi MKJP seperti Intra Uterine Device (IUD) dan implan. • Memperluas akses masyarakat terhadap MKJP melalui Bidan Praktek Swasta (BPS). • Mempertegas kewenangan bidan dalam layanan pemasangan alat kontrasepsi MKJP.

Khususnya alat kontrasepsi IUD dan implan karena adanya kesimpangsiuran interpretasi peraturan kewenangan bidan dalam melakukan pemasangan IUD dan implan.

• Meningkatkan promosi MKJP melalui strategi inovatif seperti melibatkan tokoh agama atau tokoh masyarakat, khususnya untuk menghadapi tantangan terkait rumor negatif tentang ketidaknyamanan saat pemasangan dan efek samping dari masing-masing alat kontrasepsi.

3. Kebijakan dan alokasi anggaran

Dukungan pemerintah kabupaten di Jawa Timur terhadap program KB cukup bervariasi namun relatif baik, misalnya Kabupaten Tuban yang berkomitmen untuk menyediakan alat kontrasepsi gratis bagi seluruh penduduknya. Alokasi anggaran KB juga cukup memadai dan program KB dimasukkan kedalam jaminan kesehatan daerah. Namun ada pula kabupaten yang membuat peraturan daerah tentang tarif jasa dan bahan habis pakai sehingga memberatkan masyarakat.

iii

• Meninjau ulang peraturan daerah yang menghambat keterjangkauan alat kontrasepsi KB bagi seluruh lapisan masyarakat, seperti di Kediri, tentang tentang tarif jasa, dan bahan habis pakai.

Rekomendasi:

Kebijakan desentralisasi menyebabkan ketidaksinambungan program dari pusat ke provinsi dan kabupaten. Program-program yang dicanangkan dari pusat sering kali tidak mendapatkan anggaran dari pemerintah tingkat kabupaten sehingga tidak dapat dilaksanakan. Untuk tingkat kabupaten/kota, telah dibentuk unit yang salah satu tugasnya menangani KB seperti Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB).

• Meningkatkan koordinasi antara tiga instansi di tingkat kabupen/kota, mengingat dengan adanya satu instansi lagi yang menangani KB, sehingga program KB dapat dilaksanakan di tingkat kabupaten/kota.

Rekomendasi:

4. Pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi

Pengadaan alat kontrasepsi dilakukan di tingkat pusat. Kewenangan provinsi dan kabupaten adalah hanya pada pendistribusiannya saja, walau pemerintah daerah kadang memiliki dana untuk melakukan pengadaan untuk menutupi kekurangan alat kontrasepsi dalam jumlah yang tidak banyak. Alat kontrasepsi dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) langsung didistribusikan melalui jalur BKKBN dan unit KB di tingkat kabupaten. Dari Unit KB kabupaten ada dua cara yang dapat digunakan. Pertama, Puskesmas diminta mendistribusikan alat kontrasepsi baik ke bidan didesa maupun BPS. Kedua, Unit Pelaksana Teknis (UPT) KB langsung mendistribusikan alat kontrasepsi ke Puskesmas, bidan di desa dan bidan klinik swasta. Dari kedua cara ini, Dinas Kesehatan tidak dilibatkan dimana hal ini menimbulkan rentang koordinasi yang lemah dengan petugas kesehatan yang melayani KB.

• Melibatkan pihak Dinas Kesehatan dalam pendistribusian alat kontrasepsi mulai dari tingkat provinsi hingga Puskesmas.

Rekomendasi:

5. Pelayanan KB dan biayanya

Ada tiga tingkat pelayanan KB berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan. Tingkat pertama adalah Pondok Bersalin Desa(Polindes) yang hanya menyediakan pelayanan KB sederhana seperti pil dan suntik. Tingkat berikutnya adalah Puskesmas, dimana pada tempat ini pelayanan pemasangan IUD dapat dilakukan. Sementara Rumah Sakit dapat menyediakan pelayanan KB yang kompleks seperti sterilisasi baik pada pria maupun wanita. Sementara unit pelayanan dapat berada di bawah naungan pemerintah maupun non-pemerintah. Keterlibatan dan dukungan klinik non-pemerintah terhadap MKJP cukup baik sehingga dapat menjadi perpanjangan tangan pelayanan KB.

• Meningkatkan keterlibatan pihak swasta dalam pelayanan KB.

Rekomendasi:

• Memperbaiki sistem pelaporan klinik swasta atau BPS. • Melakukan pelatihan Contraceptive Technology Update(CTU) juga pada pihak pelayanan

KB swasta sehingga dapat di update pula pengetahuannya dan ketrampilannya.

iv

Kabupaten Tuban dan Lumajang sudah menerapkan KB gratis bagi seluruh penduduknya, bukan hanya untuk mereka yang miskin saja. Ada dua komponen biaya pelayanan dalam perhitungan pembiayaan: komponen biaya alat kontrasepsi dan bahan habis pakai, dan komponen biaya pelayanan. Untuk non-MKJP seperti pil, pasien hanya membayar biaya pendaftaran, sedangkan alat kontrasepsi sudah dibiayai oleh BKKBN namun tidak termasuk untuk obat jika ada efek samping. Untuk MKJP, pasien membayar biaya registrasi, konsultasi, pelayanan medis dan bahan habis pakai. Jika pasien tidak ingin merek yang disediakan BKKBN, maka pasien harus membayar biaya alat kontrasepsisendiri; kecuali untuk pasien miskin dimana biaya ini di tanggung pemerintah.

• Mendorong masuknya biaya pelayanan medis MKJP dalam skema Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat.

Rekomendasi:

Standar pelayanan bagi peserta KB pertama adalah sebelum memutuskan untuk KB dilakukan konseling oleh petugas kesehatan dan idealnya sudah dimotivasi oleh Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB). Dalam konseling idealnya prinsip kafetaria dilaksanakan, namun pada kenyataannya sulit karena keterbatasan jenis alat kontrasepsi yang tersedia, sementara masyarakat masih sulit untuk membayar sendiri. Dalam konseling banyak keluhan dari akseptor non-MKJP, karena yang digunakan adalah jenis hormonal, sedangkan MKJP masih belum populer di masyarakat.

• Melakukan pelatihan konseling bagi petugas yang belum mendapatkan pelatihan maupun penyegaran bagi yang sudah, untuk menekankan pentingnya edukasi terutama untuk alat kontrasepsi MKJP.

Rekomendasi:

6. Sumber Daya Manusia

Jumlah tenaga bidan untuk pelayanan KB cukup memadai, namun untuk PLKB jumlahnya sudah sangat berkurang sebagai efek dari desentralisasi. Namun demikian, pada tingkat kecamatan dan desa ada sub Petugas Pembantu Keluarga Berencana Desa (PPKBD), walaupun kemampuan para petugas ini masih jauh di bawah PLKB.

• Menambah jumlah tenaga PLKB perlu menjadi perhatian penting bagi BPPKB di berbagai kabupaten, sesuai dengan rasio ideal 1 PLKB bagi 2 desa. Di samping itu, upaya untuk meningkatan kualitas dan kemampuan manajerial tenaga PLKB juga perlu diperhatikan.

Rekomendasi:

• Meningkatkan kapasitas PPKBD dan sub-PPKBD sehingga setara dengan PLKB.

Dana pelatihan untuk peningkatan keterampilan petugas kesehatan (Contraceptive Technology Update) yang melayani MKJP, lebih banyak dianggarkan oleh BKKBN dibanding Dinas Kesehatan.Pelatihan ini dikelola langsung oleh JNPK-KR (Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi) dan P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) untuk tingkat provinsi.Namun, pengelolaan pelatihan tersebut kurang melibatkan Dinas Kesehatan sehingga Dinas Kesehatan kurang dapat memantau pengembangan kapasistas dari tenaga kesehatannya.

v

• Melibatkan Dinas Kesehatan dalam perencanaan pelatihan sehingga pengembangan kapasitas tenaga kesehatan dapat lebih efisien dan tepat sasaran.

Rekomendasi:

Adanya peraturan yang tidak mengizinkan bidan untuk melalukan pelayanan MKJP secara mandiri sehingga kurang mendukung peningkatan akses MKJP. Namun dilain pihak, pil dapat di distribusikan oleh orang awam, mengingat cukup banyak petugas kesehatan yang mendapatkan pasien pengguna kontrasepsi pil yang datang dengan efek samping kesehatan akibat pengabaian sistem penapisan sebelum penggunaan alat kontrasepsi pil.

• Mengkaji ulang peraturan yang tidak mengizinkan bidan melakukan pelayanan MKJP secara mandiri, mengingat sebagaian besar pelayanan KB dilakukan oleh bidan.

Rekomendasi:

• Membuat sanksi bagi orang awam yang ikut memperjualbelikan pil KB karena dapat membahayakan kesehatan masyarakat.

• Mengikutsertakan PLKB dalam pelatihan konseling medis, sehingga PLKB juga dapat memahami persyaratan medis yang dibutuhkan untuk metode kontrasepsi tertentu.

7. Kerjasama antar instansi

Walaupun pembagian tugas telah ditetapkan, dimana BKKBN bekerja pada demand side dan Dinas Kesehatan pada supply side, namun koordinasi antara keduanya kurang berjalan dengan baik.Kurangnya harmonisnya koordinasi antara Dinas kesehatan dan BKKBN bukan hanya ditemui ditingkat provinsi namun juga diantara unit KB Kabupaten (misalnya BPPKB atau Bapemas) dan Dinas Kesehatan kabupaten. Aspek yang muncul dalam diskusi adalah terkait pendataan, pendistribusian alat kontrasepsi, pelatihan, dan koordinasi tenaga kesehatan yang langsung melayani KB.

• Mengembangkan District Working Group (DWG) yang hanya ada di tingkat kabupaten, di tingkat provinsi karena kelompok ini dapat menjadi sarana koordinasi dan kerjasama antar instansi di tingkat provinsi. Karena itu diperlukan dana operasional bagi DWG di tingkat provinsi.

Rekomendasi:

• Menentukanan target bersama perlu dilakukan, sehingga terjadi sinergi antara pihak pemberi pelayanan dan pihak yang menggarap masyarakat. Misalnya dalam hal ini Dinas Kesehatan menganggap bahwa penurunan unmet need bukan menjadi tugas pokok dan fungsi mereka, namun lebih fokus pada penanganan efek samping dan komplikasi.

• Meningkatkan koordinasi yang lebih baik antara unit KB di tingkat kabupaten dan Dinas Kesehatan untuk lebih memaksimalkan peran masing-masing dalam pelaksanaan program KB sesuai dengan tupoksinya sehingga tidak terjadi kesalahan persepsi dalam implementasi program di lapangan.

• Membuat kesepakatan pembagian kerja yang jelas melalui rapat koordinasi di tingkat kecamatan antara PLKB dan bidan Puskesmas terkait pencatatan dan pelaporan.

Kerjasama dengan sektor swasta belum banyak digarap, walaupun di Jawa Timur hal ini sangat potensial untuk dikembangkan karena banyak pabrik yang padat karya.Demikian pula bidan praktek swasta (BPS) juga cukup besar jumlahnya dan banyak pula masyarakat yang mendapatkan pelayanan KB dari BPS.

• Mengembangkan inovasi kerjasama dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) perlu dilakukan. Hal ini dapat dilakukandengan melakukan advokasi pada pemerintah

Rekomendasi:

vi

daerah yang memiliki pabrik padat karya untuk mengajak pihak swasta agar terlibat dalam program KB misalnya melalui Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO).

• Meningkatkan kerjasama dengan pihak swasta yang mendapatkan distribusi alat kontrasepsi gratis untuk juga menerima peserta Jamkesda/Jamkesmas.

8. Menciptakan kebutuhan

Secara umum demand creation atau menciptakan kebutuhan di masyarakat atau lebih kongkritnya promosi KB, lebih banyak dilakukan oleh BKKBN. Walaupun dana promosi tidak besar, namun BKKBN selalu memiliki anggaran untuk promosi KB. Beberapa kegiatan yang dilakukan promosi KB diantaranya promosi melalui TV, pengecetan genteng hingga mendapatkan penghargaan MURI, penggambaran mobil, becak, dll. Sementara Dinas Kesehatan, lebih tepatnya bidang atau seksi promosi kesehatan tidak memiliki dana khusus untuk promosi KB. BKKBN juga mengandalkan momentum KB untuk mendongkrak MKJP. Berbeda dengan BKKBN, Dinas Kesehatan tidak menyukai momentum KB dengan target yang ditetapkan terlalu besar karena tidak sebanding dengan jumlah tenaga kesehatan sehingga kualitas pelayanan yang diberikan dipertanyakan. Dalam momentum ini, PLKB membawa calon akseptor, namun terkadang harus ditolak bidan karena tidak memenuhi persyaratan medis. Hal ini menimbulkan kekecewaan pihak PLKB.

• Melaksanakan kegiatan momentum KB hanya untuk MKJP. Penetapan momentum ini membuat target-target kecil bagi PLKB untuk mengajak masyarakat menggunakan MKJP.

Rekomendasi:

• Melaksanakan kegiatan momentum KB hanya di Puskesmas, klinik atau Rumah Sakit. Dengan kata lain, kegiatan ini tidak perlu dilakukan di pasar, sehingga jika terjadi komplikasi akan lebih mudah menanganinya. Persyaratan tempat untuk melakukan tindakan pun menjadi lebih baik.

• Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan momentum KB dengan tenaga kesehatan dan pihak Dinas Kesehatan karena momentum KB sering mengganggu aktivitas rutin Puskesmas.

Pada umumnya masyarakat menggunakan KB untuk menjarangkan anak dan bukan untuk membatasi anak. Pengetahuan yang masih terbatas tentang MKJP dan banyaknya isu buruk di masyarakat menyebabkan keengganan mereka untuk menggunakan MKJP. Pola kebergantungan pada kelompok masih cukup kental di Jawa Timur sehingga jika ada satu yang menggunakan MKJP dan berhasil maka dapat menarik akseptor lainnya untuk berpindah. Pendekatan agama juga dilakukan oleh BKKBN dengan melatih Penyuluh Agama Islam dengan pengetahuan KB sehingga jika ada pasangan baru yang akan menikah maka garda terdepan sudah melakukan edukasi tentang KB.

• Meningkatkan peran serta tokoh agama dan masyarakat untuk menjadi menjadi akseptor Metode Operasi Pria (MOP)/ Metode Operasi Wanita (MOW) sehingga bisa menjadi stimulus bagi masyarakat luas.

Rekomendasi:

• Menggunakan teknik promosi dari mulut ke mulut, dimana petugas kesehatan menawarkan MKJP dengan memberi contoh teman atau kerabat yang dikenalnya yang menggunakan MKJP dan tidak mengalami masalah.

vii

9. Pencatatan dan pelaporan

Adnya dua sistim pelaporan antara BKKBN dan Dinas Kesehatan menyebabkan angka-angka kepesertaan KB berbeda. Pada umumnya, data angka kepesertaan dari BKKBN lebih tinggi daripada Dinas Kesehatan. Ini terjadi karena terdapat perbedaan definisi operasional dan cara perhitungan akseptor baru di lapangan. Hal ini menjadi masalah dalam penentuan target untuk program BKKBN.

Kedua instansi tersebut juga memiliki fokus pendataan dan kepedulian yang berbeda. BKKBN berfokus kepada kepesertaan KB aktif dan unmet need, sedangkan Dinas Kesehatan lebih kepada penanganan efek samping. Dari wawancara muncul pula Dinas Kesehatan merasakan beban bidan sebagai pelayan kesehatan semakin bertambah dengan adanya kewajiban membuat pelaporan cakupan KB.

• Menetapkan kesepakatan mengenai pendataan peserta KB dan merancang satu sistim pelaporan yang didukung oleh kedua instansi. Sistim pelaporan ini di mulai dari tingkat pusat terlebih dahulu untuk menghindari beban ganda bidan di desa dan menghindari perbedaan cakupan.

Rekomendasi:

• Menetapkan standarisasi definisi operasional dari indikator KB untuk mencegah terjadinya perbedaan angka dalam pencatatan dan pelaporan.

• Menyelenggarakan pelatihan penyegaran untuk pendataan terkait indikator KB.

viii

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................................................................................i

RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................................................................................... ii

UNTUK KABUPATEN STUDI DI PROVINSI JAWA TIMUR ................................................................................ ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................................................................................... viii

DAFTAR TABEL ..................................................................................................................................................................x

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................................................................... xi

1. PENDAHULUAN ....................................................................................................................................................... 1

1.1 Latar belakang.............................................................................................................................................. 1

1.2 Tujuan .............................................................................................................................................................. 2

2. METODOLOGI ........................................................................................................................................................... 3

2.1 Rancangan penelitian ................................................................................................................................ 3

2.2 Lokasi penelitian ......................................................................................................................................... 3

2.3 Metode penelitian ....................................................................................................................................... 4

A. Kerangka sampel ............................................................................................................................... 4

B. Populasi penelitian ........................................................................................................................... 4

C. Pengambilan sampel ........................................................................................................................ 5

D. Metode pengumpulan data ............................................................................................................ 5

E. Kerangka konsep ............................................................................................................................... 8

F. Pedoman diskusi kelompok dan wawancara......................................................................... 8

G. Data Analisis ........................................................................................................................................ 9

H. Etik ........................................................................................................................................................... 9

3. KARAKTERISTIK SOSIAL DEMOGRAFI DAERAH STUDI ..................................................................... 11

3.1 Provinsi Jawa Timur ............................................................................................................................... 11

3.2 Provinsi Nusa Tenggara Barat ............................................................................................................ 13

4. HASIL TEMUAN DI KABUPATEN KEDIRI, PROVINSI JAWA TIMUR ................................................ 16

4.1 Provinsi Jawa Timur ............................................................................................................................... 16

A. Pendahuluan ..................................................................................................................................... 16

B. Manajemen Program Keluarga Berencana .......................................................................... 18

4.2 Kabupaten Lumajang ............................................................................................................................. 24

A. Pendahuluan ..................................................................................................................................... 24

B. Manajemen Program Keluaraga Berencana ........................................................................ 31

C. Pendapat Masyarakat ................................................................................................................... 37

4.3 Diskusi, Kesimpulan dan Saran Provinsi Jawa Timur ............................................................... 50

A. Ringkasan hasil penelitian di tingkat provinsi dan kabupaten ................................... 50

ix

B. Penerimaan masyarakat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi) ........................ 52

C. Kesimpulan dan saran tingkat provinsi ................................................................................ 53

D. Kesimpulan dan saran tingkat kabupaten ........................................................................... 54

REFERENSI ....................................................................................................................................................................... 56

x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daerah penelitian .................................................................................................................................... 4

Tabel 2.2 Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif ..................... 6

Tabel 2.3 Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif ..................... 7

Tabel 2.4 Topik utama pertanyaan dalam studi kualitatif .......................................................................... 8

Tabel 4.1 Indikator pencapaian dan target Provinsi Jawa Timur ........................................................ 16

Tabel 4.2 CPR, unmet need, TFR dan laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Lumajang ........ 25

Tabel 4.3 Cakupan dan jenis kontrasepsi di Kecamatan Candipuro dan Tekung .......................... 26

Tabel 4.4 Cakupan KB berdasarkan jenis di Kabupaten Lumajang ..................................................... 28

Tabel 4.5 Anggapan masyarakat menurut informan tenaga kesehatan tentang alat kontrasepsi MKJP dan non-MKJP di Kabupaten Lumajang .......................................................................... 29

Tabel 4.6 Pendapat dan pengalaman negatif masyarakat Kabupaten Lumajang terhadap masing-masing alat kontrasepsi ..................................................................................................... 30

Tabel 4.7 Harga alat kontrasepsi dan pelayanan beragam jenis KB di Puskesmas dan bidan Kabupaten Lumajang .......................................................................................................................... 34

Tabel 4.8 Instansi yang terlibat dalam layanan KB di Kabupaten Lumajang .................................. 36

Tabel 4.9 Pengetahuan tentang KB diantara PUS dan orang tua di Kabupaten Lumajang ........ 41

Tabel 4.10 Penilaian partisipan di Kabupaten Lumajang terhadap non-MKJP ................................ 44

Tabel 4.11 Penilaian partisipan di Kabupaten Lumajang terhadap MKJP ........................................... 46

Tabel 4.12 Luas dan jumlah penduduk Kecamatan Candipuro dan Kecamatan Tekung .............. 49

Tabel 4.13 Jumlah keluarga sejahtera dan peserta KB Mandiri di Kabupaten Lumajang ............ 50

Tabel 4.14 Ringkasan hasil penelitian kualitatif ............................................................................................ 50

Tabel 4.15 Penerimaan masyarkat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi) ................................ 52

xi

DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Cakupan KB Nasional .......................................................................................................................... 1

Gambar 2.1 Lokasi penelitian ................................................................................................................................... 3

Gambar 2.2 Kerangka sampel studi kualitatif ................................................................................................... 4

Gambar 2.3 Kerangka konsep ................................................................................................................................. 8

Gambar 3.1 Wilayah administratif Provinsi Jawa Timur ........................................................................... 11

Gambar 3.2 Piramida penduduk Provinsi Jawa Timur ............................................................................... 12

Gambar 3.3 Provinsi Nusa Tenggara Barat ...................................................................................................... 13

Gambar 3.4 Piramida penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat ............................................................ 13

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Implementasi program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia dikenal sebagai salah satu yang terbaik di dunia.Walaupun demikian, masih ditemukan berbagai tantangan terkait keragaman penggunaan metode kontrasepsi. Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1987-2012 menunjukkan bahwa presentase pasangan yang menggunakan kontrasepsi jangka pendek (suntik dan pil) di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan jenis kontrasepsi jangka panjang dan permanen (MKJP) seperti IUD, implan, dan metode operasi wanita (MOW)/pria (MOP). Lebih jauh lagi, sebagian besar pasangan yang ingin membatasi kehamilan (tidak ingin punya anak lagi) masih memilih menggunakan kontrasepsi pil dan suntik, yang sebenarnya lebih bertujuan untuk menjarangkan kehamilan. Data SDKI 2007 menunjukkan bahwa sebanyak 78% pasangan pengguna kontrasepsi modern menggunakan kontrasepsi jangka pendek (suntik dan pil) dan hanya 27% yang menggunakan kontrasepsi jangka panjang/permanen (Gambar 1.1). Selain rendahnya keragaman kontrasepsi, data SDKI 2007 juga menunjukkan bahwa angka ketidakberlanjutan metode kontrasepsi pil dan suntik lebih tinggi dibandingkan MKJP. Dalam 12 bulan pertama sejak menggunakan alat kontrasepsi, angka ketidakberlanjutan akseptor pil mencapai hampir 40% dan suntik lebih dari 20%, dibandingkan IUD sebesar 10% dan implan yang hanya 5%.

Gambar 1.1 Cakupan KB Nasional

Penggunaan alat kontrasepsi oleh masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk adanya izin dari pasangan, kualitas pelayanan, keramahan pemberi pelayanan kesehatan, dan pengetahuan wanita tentang.Selain itu, tingkat pendapatan, akses terhadap pelayanan, dan kepercayaan yang dianut juga berpengaruh pada besarnya penggunaan KB di suatu daerah (Okech, et. al, 2011).Di Indonesia sendiri, studi BKKBN menunjukkan umur Pasangan Usia Subur (PUS), lama menikah, tingkat pendidikan, daerah tempat tinggal, tingkatan keluarga sejahtera, tujuan ber-KB, dan sumber pelayanan mempengaruhi penggunaan MKJP di Indonesia. Studi kualitatif BKKBN pada tahun 2011 ini juga mengungkapkan banyaknya rumor yang beredar di masyarakat terkait kegagalan IUD menjadi hambatan dalam upaya peningkatan MKJP (BKKBN, 2011). Untuk mempromosikan KB termasuk MKJP di Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan memperkuat aspek pelayanan dan aspek

42 45 48 51 52 10 10 9 6 6

0

20

40

60

80

100

1994 1997 2002/3 2007 2012

%

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

Non-MKJP MKJP

2

penggerakan program KB (menciptakan kebutuhan/demand creation). Pada aspek pelayanan, pemerintah memperkuat kerjasama dengan mitra pelayanan program KB, memastikan ketersediaan sarana-prasarana dan alat kontrasepsi di semua pelayanan kesehatan, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia penyedia pelayanan kesehatan (Kemenkes RI, 2013). Dari aspek penggerakkan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), merubah kembali moto “Dua Anak Lebih Baik” ke moto sebelumnya yang lebih popular yaitu “Dua Anak Cukup” untuk menumbuhkan pola pikirkeluarga kecil bahagia sejahtera (BKKBN, 2013). Walaupun demikian, terlepas dari berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan program KB di Indonesia, masih sedikitnya penggunaan MKJP di antara pasangan yang ingin membatasi kehamilan atau tidak ingin hamil menunjukkan masih diperlukannya upaya peningkatan penggunaan keragaman metode/alat kontrasepsi sesuai dengan tujuan penggunaan. Menyikapi hal tersebut, Center for Communication Program of Johns Hopkins University (JHU-CCP) bekerja sama dengan Yayasan Cipta Cara Padu, Kementerian Kesehatan RI, dan BKKBN, serta Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (PPK-UI) mengadakan kegiatan Operational Research (OR) yang diharapkan dapat mendemonstrasikan upaya di tingkat kabupaten dalam meningkatkan ketersediaan dan penggunaan pelayanan Keluarga Berencana di daerah. Kegiatan ini dilakukan di enam kabupaten yaitu Kabupaten Kediri, Tuban, Lumajang (Provinsi Jawa Timur), dan Kabupaten Lombok Barat, Lombok Timur dan Sumbawa (Provinsi Nusa Tenggara Barat). Dalam kegiatan OR ini, pengumpulan data dasar dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Laporan ini hanya mendiskusikan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan oleh PPK UI bekerja sama dengan mitra lokal di masing-masing provinsi. Data dasar ini akan dipergunakan oleh Yayasan Cipta Cara Padu untuk melakukan intervensi advokasi di enam kabupaten tersebut. 1.2 Tujuan A. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan, sikap, dan perlaku masyarakat terkait penggunaan alat kontrasepsi Keluarga Berencana.

B. Tujuan khusus

• Untuk mengetahui prevalensi penggunaan kontrasepsi khususnya Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP).

• Untuk menilai pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terkait MKJP. • Untuk mengetahui alasan masyarakat menggunakan atau tidak menggunakan metode

kontrasepsi. • Untuk mengetahui hambatan yang dialami masyarakat dalam mengakses pelayanan

keluarga berencana.

3

2. METODOLOGI

2.1 Rancangan penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah dengan informan dan informan kunci. Penelitian kualitatif ini dilakukan sebelum penelitian kuantitatif.

2.2 Lokasi penelitian Penelitian dilaksanakaan di dua provinsi: Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar 2.1). Di masing-masing provinsi dipilih tiga kabupaten sebagai lokasi penelitian: Kabupaten Tuban, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Lumajang untuk Provinsi Jawa Timur; serta Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Timur, dan Kabupaten Sumbawa untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Gambar 2.2 Lokasi penelitian

Penelitian kualitatif dilaksanakan di dua desa terpilih dari masing-masing kabupaten untuk mewakili gambaran desa dengan tingkat penggunaan MKJP tinggi dan rendah (Tabel 2.1). Data dikumpulkan dari tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa.

Provinsi Jawa Timur

Provinsi Nusa Tenggara Barat

4

Tabel 2.1 Daerah penelitian

Provinsi Jawa Timur Kabupaten Kediri Lumajang Tuban Cakupan MKJP Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Kecamatan Pagu Tarokan Tekung Candipuro Rengel Parengan Desa Semanding Tarokan Wonogriyo Jarit Maibit Sidangrejo Provinsi Nusa Tenggara Barat Kabupaten Lombok Barat Lombok Timur Sumbawa Cakupan MKJP Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Kecamatan Kediri Narmada Jerowaru Selong Rhee Seketeng

Desa Banyumulek, Lelede

Dasan Tereng Paro Mas Kelayu

Utara Sampe Seketeng

2.3 Metode penelitian A. Kerangka sampel

Enam sampai delapan wawancara mendalam dilaksanakan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Selain itu, kurang lebih empat wawancara mendalam dan empat diskusi kelompok diselenggarakan di tingkat desa. Lebih lanjut, kerangka sampel dapat dilihat di Gambar 2.2.

PROVINSI(6 wawancara)

KABUPATEN 1(6 wawancara)

KABUPATEN 2(6 wawancara)

KABUPATEN 3(6 wawancara)

Desa 1(Prevalensi MKJP

rendah)(5 wawancara dan 4

FGDs)

Desa 2(Prevalensi MKJP tinggi)

(5 wawancara dan 4 FGDs)

Kecamatan 1(6 wawancara)

Kecamatan 2(6 wawancara)

Desa 1(Prevalensi MKJP rendah)

(5 wawancara dan 4 FGDs)

Desa 2(Prevalensi MKJP tinggi)

(5 wawancara dan 4 FGDs)

Kecamatan 1(6 wawancara)

Kecamatan 2(6 wawancara)

Desa 1(Prevalensi MKJP rendah)

(5 wawancara dan 4 FGDs)

Desa 2(Prevalensi MKJP tinggi)

(5 wawancara dan 4 FGDs)

Kecamatan 1(6 wawancara)

Kecamatan 2(6 wawancara)

Gambar 2.3 Kerangka sampel studi kualitatif

B. Populasi penelitian

Untuk mengetahui tingkat pengetahan, sikap, dan perilaku terkait penggunaan MKJP, populasi penelitian yang diambil adalah sebagai berikut:

• Wanita menikah (15-49 tahun) bertempat tinggal di lokasi penelitian, memiliki setidaknya satu orang anak, dan yang memenuhi kriteria berikut: a. Menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) b. Menggunakan metode kontrasepsi lain c. Tidak menggunakan metode kontrasepsi jenis apapun (tidak ber-KB)

• Pihak lain yang berperan: a. Suami dari wanita yang menggunakan MKJP

5

b. Suami dari wanita yang menggunakan metode lain c. Suami dari wanita yang tidak ber-KB d. Pria yang menggunakan atau tidak menggunakan alat kontrasepsi (15-49 tahun) e. Ibu atau mertua dari suami atau wanita yang menggunakan MKJP f. Ibu atau mertua dari suami atau wanita yang menggunakan metode lain g. Ibu atau mertua dari suami atau wanita yang tidak ber-KB

• Pembuat kebijakan atau tokoh masyarakat terkait program keluarga berencana, termasuk: a. Tingkat provinsi: pegawai pemerintah daerah, Badan Perencanaan dan

Pembangunan Daerah (Bappeda), BKKBN provinsi, PKK, Ikatan Bidan Nasional (IBI) b. Tingkat kabupaten: wakil bupati, pegawai pemerintah daerah, Bappeda, Badan

Keluarga Berencana (BKB), PKK c. Tingkat kecamatan: kepala kecamatan, BKB, PKK, KUPT-KB d. Tingkat desa: kepala desa dan tokoh masyarakat/agama

• Pemberi layanan kesehatan a. Tingkat provinsi: pegawai dinas kesehatan, pegawai RSUD, pegawai rumah sakit

swasta b. Tingkat kabupaten: pegawai dinas kesehatan, pegawai RSUD, RS swasta c. Tingkat kecamatan: pegawai dinas kesehatan dan bidan koordinator, Bidan Praktek

Swasta (BPS) d. Tingkat desa: petugas lapangan keluarga berencana (PLKB), sub-PPKBD, kader,

bidan desa, BPS.

C. Pengambilan sampel

Pengambilan sampel dari populasi penelitian menggunakan metode non-probabilitas. Pengambilan sampel di tingkat desa dilakukan dengan meminta bantuan dari kader atau bidan desa. Detail informasi terkait informan disajikan di Tabel 2.2 dan 2.3.

D. Metode pengumpulan data

Penelitian kualitatif ini menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terarah (Focus Group Discussion/FGD) untuk mengumpulkan informasi dari masyarakat. Setiap diskusi kelompok melibatkan enam hingga delapan peserta. FGD dilaksanakan secara terpisah untuk pria dan wanita di tingkat desa. Di setiap desa, dilakukan dua FGD untuk kelompok wanita yang terdiri dari satu FGD ibu yang ber-KB dan satu FGD ibu yang tidak ber-KB. Pada FGD ibu ber-KB, baik ibu yang menggunakan MKJP ataupun metode lain dilibatkan sebagai peserta FGD. Hal serupa juga berlaku untuk FGD pria, satu FGD bapak untuk bapak atau pasangannya yang ber-KB dan satu FGD bapak untuk bapak dan pasangannya yang tidak ber-KB. Lebih lanjut, kategori responden dan metode pengumpulan data dapat dilihat di Tabel 2.2 dan Tabel 2.3. Data dikumpulkan dari total 453 informan yang terdiri atas 237 informan di provinsi Jawa Timur dan 216 informan di provinsi Nusa Tenggara Barat. Lebih lanjut, detail jumlah informan untuk masing-masing kabupaten di Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat disajikan di Tabel 2.2 dan Tabel 2.3.

6

Tabel 2.2 Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif

Provinsi Jawa Timur

Kegiatan Jumlah Informan

Provinsi Jawa Timur

WM: Wakil bupati 1 WM: Pemda 1 WM: Dinkes 1 WM: BKKBN 1 WM: RS swasta 1 WM: IBI 1

Kabupaten Kediri Lumajang Tuban

WM: Pemda 1 1 WM: Bappeda 1 1 1 WM: Dinkes 1 1 1 WM: Institusi KB 1 1 1 WM:PKK Digabung dengan inst KB 1 1 WM: RSUD 1 1 WM: RS swasta 1 1 1 Lainnya 1 Kecamatan Pagu Tarokan Candipuro Tekung Parengan Rengel

WM: Bidan coordinator 1 1 1 1 1 1

WM: KUPT-KB 1 1 1 Sama dengan PLKB

WM: PKK 1 1 1 1 1 1

WM: BPS 1 Sama dengan bidan 1 1 1

Desa Semanding Tarokan Jarit Wonogriyo Sidangrejo Maibit

FGD: Ibu KB 6 8 6 8 8 6 FGD: Ibu non-KB 8 6 6 6 7 6 FGD: Bapak KB 6 8 6 6 7 5 FGD: Bapak non-KB 6 6 6 6 6 6 WM: Kades 1 1 1 1 1 1 WM: kader 1 1 1 1 1 1 WM: Toga/toma 1 1 1 1 1 1 WM: Bidan desa 1 1 1 1 1 1 WM: PLKB Sama dengan KUPT KB 1 1 1 1 WM: ibu/mertua dari PUS KB 1 1 1 1 1 1 WM: ibu/mertua dari PUS non KB 1 1 1 1 1 1

Lainnya 1 1 1 1

Total 82 76 79 WM = Wawancara Mendalam FGD = Focus Group Discussion

7

Tabel 2.3 Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif

Provinsi Nusa Tenggara Barat

Kegiatan Jumlah Informan

Provinsi Nusa Tenggara Barat

WM: Pemda 1 WM: Bappeda 1 WM: Dinkes 1 WM: BKKBN 1 WM: PKK 1 WM: RSUD 1 WM: RS swasta 1 WM: IBI 1

District Sumbawa Lombok Timur Lombok Barat

WM: Pemda 1 1 1 WM: Bappeda 1 1 1 WM: Dinkes 1 1 1 WM: Institusi KB 1 1 1 WM:PKK 1 1 1 WM: RSUD 1 1 1 WM: RS swasta 1 Tidak ada RS swasta Lainnya 1 1

Sub-district: Rhee Seketeng Jerowaru Selong Kediri Narmada

WM: Bidan koordinator 1 1 1 1 1 1 WM: KUPT-KB 1 1 1 1 1 1 WM: PKK 1 1 1 1 1 1 WM: BPS 1 1 1 1 1

Village: Sampe Seketeng Paro Mas Kelayu Utara

Banyumulek, Lalede

Dasan Tereng

FGD: Ibu KB 6 6 6 6 7 6 FGD: Ibu non-KB 6 3 6 5 6 6 FGD: Bapak KB 5 5 6 5 7 6 FGD: Bapak non-KB 3 4 6 6 7 7 WM: Kades 1 1 1 1 1 1 WM: kader 1 1 1 1 1 1 WM: Toga/toma 1 1 1 1 1 1 WM: Bidan desa 1 1 1 1 1 1 WM: PLKB 1 1 1 1 1 1 WM: ibu/mertua dari PUS KB 1 1 1 1 1 1 WM: ibu/mertua dari PUS non KB 1 1 1 1 1

Total 64 76 81 WM = Wawancara Mendalam FGD = Focus Group Discussion

8

E. Kerangka konsep

Kerangka konsep yang digunakan pada penelitian ini disesuaikan dari Theory of Diffusion of Innovations (Rogers, 1962) dan Health Belief Model (Rosenstock, 1966) yang telah banyak digunakan untuk memprediksi perilaku kesehatan. Kerangka konsep penelitian ini terlihat di Gambar 2.3

Antecedents Proses

Dampak

Gambar 2.4 Kerangka konsep

F. Pedoman diskusi kelompok dan wawancara

Variabel, indikator, dan metode penilaian pada penelitian ini disajikan di Tabel 2.4. Tabel 2.4 Topik utama pertanyaan dalam studi kualitatif

No Topik Informan

1 Kondisi SES (kuesioner pendek) Perempuan usia subur Suami Ibu atau mertua dari PUS

2 Pengetahuan, pengalaman masyarakat mengenai penggunaan alat kontrasepsi

Perempuan usia subur Suami Ibu atau mertua dari PUS Tenaga kesehatan Tokoh masyarakat/agama

3 Faktor pendorong maupun penghambat penggunaan metode kontrasepsi

Perempuan usia subur Suami Tenaga kesehatan Tokoh masyarakat/agama

4 Pandangan masyarakat mengenai Keluarga Berencana dan alat/cara kontrasepsi

Perempuan usia subur Suami

9

No Topik Informan

Tenaga kesehatan Tokoh masyarakat/agama

5 Ketersediaan, keterjangkauan, dan akses untuk mendapatkan alat kontrasepsi

Perempuan usia subur Suami Tenaga kesehatan Pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya Tokoh masyarakat/agama

6 Kebijakan KB di daerah tersebut, kerja sama lintas institusi dan sektor terkait program KB, ketersediaan dan keterjangkauan metode kontrasepsi, promosi program KB dan MKJP, sumber pendanaan program KB, SDM yang ada, pelatihan bagi SDM yang ada, pemantauan dan evaluasi.

Tenaga kesehatan Pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya Tokoh masyarakat/agama

G. Data Analisis

Semua hasil diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam direkam audio dan kemudian ditranskrip oleh petugas lapangan. Wawancara dan FGD yang dilakukan dalam bahasa daerah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Analisis isi dan tematik dilakukan untuk mengidentifikasi tema yang muncul dari transkrip tersebut. Analisis dilakukan secara terpisah untuk setiap provinsi dan kabupaten. Identifikasi tema mengacu kepada tujuan penelitian yang telah ditetapkan.

Secara umum analisis data yang terkumpul dilakukan dalam beberapa tahapan. Pertama, konseptualisasi informasi yang terkumpul dan identifikasi hasilke dalam beberapa area utama seperti cakupan program KB dan permasalahannya, manajemen program KB, pendapat masyarakat terhadap KB, serta pembelajaran yang diperoleh dari desa MKJP tinggi dan rendah. Proses ini berguna untuk mempermudah analisis selanjutnya ke dalam tema yang teridentifikasi. Kemudian dilakukan penilaian kritis terhadap kondisi program termasuk kekuatan, kelemahan, hambatan, area yang perlu ditingkatkan, dan faktor-faktor yang berhubungan sertaberguna agar dapat diajukan sebagai saran nyata. Selanjutnya, kutipan teks dari transkrip yang relevan diletakkan dibawah tema yang diidentifikasi.

Selain itu, untuk meningkatkan kevalidan data, hasil wawancara mendalam dan FGD dianalisis dengan menggunakan:

1. Triangulasi sumber, yakni membandingkan konsistensi hasil yang diperoleh dari berbagai sumber penelitian.

2. Triangulasi metode, yakni membandingkan konsistensi hasil yang diperoleh dari berbagai metode pengumpulan data.

3. Triangulasi teori, yakni membandingkan hasil yang diperoleh dengan teori yang ada.

H. Etik Perizinan etik untuk penilitian ini diperoleh dari Komite Etik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Izin penelitian juga diperoleh dari Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri, Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat

10

dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten. Perizinan pelaksanaan studi juga diperoleh dari tingkat desa dan kecamatan. Dalam pengambilan data, fasilitator FGD dan pewawancara lebih dahulu menjelaskan protokol penelitian kepada informan/peserta FGD. Selain itu, informan dan peserta FGD yang terlibat juga telah mengerti bahwa informasi yang diberikan dalam penelitian ini bersifat rahasia. Untuk itu, informan dan peserta FGD yang terlibat diminta menandatangi informed consent sebelum wawancara mendalam atau FGD dilaksanakan. Informed consent ini berfungsi sebagai bukti kebersediaan informan dan peserta FGD untuk terlibat dalam peneitian serta kebersediaan informan dan peserta FGD bahwa proses wawancara mendalam atau FGD direkam secara audio.

11

3. KARAKTERISTIK SOSIAL DEMOGRAFI DAERAH STUDI

3.1 Provinsi Jawa Timur A. Provinsi

Provinsi Jawa Timur terletak di bagian timur Pulau Jawa dan berbatasan dengan Pulau Kalimantan, Pulau Bali, perairan terbuka Samudera Indonesia dan Provinsi Jawa Tengah (Gambar 3.1). Provinsi Jawa Timur dari permukaan laut terbagi menjadi tiga bagian dimana sebagian besar (20 kabupaten/kota) terletak di daratan rendah (< 45 meter) dan sisanya tersebar di dataran tinggi dan sedang. Dari sudut kepulauannya, Provinsi Jawa Timur terbagi atas dua bagian besar yaitu Jawa Timur daratan dan Pulau Madura dengan luas wilayah 47.281 km2. Provinsi ini terbagi atas 29 kabupaten dan sembilan kota, dengan 658 kecamatan dan 8.497 desa/kelurahan.

Gambar 3.5 Wilayah administratif Provinsi Jawa Timur

Jumlah penduduk di Jawa Timur sebanyak 37.476.757 jiwa (BPS, 2010) dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,76. Perbandingan urban dan rural adalah 47,6% tinggal di perkotaan dan sisanya di perdesaan. Di bawah ini (Gambar 3.2) adalah gambaran dari piramida penduduk di Jawa Timur, yang menggambarkan jumlah penduduk usia anak-anak masih cukup tinggi. Seks rasio di Jawa Timur adalah 98 yang berarti terdapat 98 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Median umur penduduk Provinsi Jawa Timur tahun 2010 adalah 31,03 tahun atau tergolong dalam kategori tua dengan rasio ketergantungan penduduk: 46,33. Dengan kata lain, setiap 100 orang usia produktif terdapat sekitar 46 orang usia tidak produkif, yang menunjukkan banyaknya beban tanggungan penduduk suatu wilayah.

12

Gambar 3.6 Piramida penduduk Provinsi Jawa Timur

Rata-rata umur kawin pertama penduduk laki-laki di Jawa Timur adalah 26,6 tahun dan perempuan lebih muda empat tahun yakni 22 tahun. Di atas kertas, angka ini sudah menunjukkan tercapainya anjuran Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk menunda perkawinan hingga usia 25 tahun bagi laki-laki dan 20 tahun bagi perempuan. B. Kabupaten Tuban

Pada bulan Agustus 2005, Kabupaten Tuban mengalami pemekaran kecamatan dari 19 menjadi 20. Jumlah penduduk Kabupaten Tuban pada tahun 2011 adalah 1.258.816, dengan komposisi laki-laki 630.576 jiwa dan perempuan berjumlah 628.240 jiwa. Kepadatan penduduk Kabupaten Tuban meningkat dibandingkan tahun lalu. Kepadatan penduduk tahun 2011 adalah 684 jiwa/km2. Kecamatan yang paling padat adalah Kecamatan Tuban dengan kepadatan 4.297 jiwa/km2 (Kabupaten Tuban Dalam Angka Tahun 2011, BPS Kabupaten Tuban). C. Kabupaten Lumajang

Kabupaten Lumajang memiliki 21 kecamatan yang meliputi 197 desa dan tujuh kelurahan.Jumlah total penduduk di Kabupaten Lumajang adalah 1.006.563 jiwa dengan kepadatan penduduk 567 jiwa/km². Jumlah penduduk pria adalah 490.490 jiwadan penduduk wanita berjumlah 516.073 jiwa. D. Kabupaten Kediri

Pada tahun 2011, Kabupaten Kediri memiliki 26 kecamatan, 343 desa, dan satu kelurahan (Sumber: Kabupaten Kediri dalam Angka, 2012). Berdasarkan hasil sensus penduduktahun 2000, Proyeksi Penduduk 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur menyatakan jumlah penduduk Kabupaten Kediri sebesar 1.546.782 jiwa dengan komposisi laki-laki sebanyak 771.675 jiwa dan perempuan sebanyak 775.107 jiwa.

13

3.2 Provinsi Nusa Tenggara Barat

A. Provinsi

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki perbatasan di sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah selatan dengan Samudera Hindia, sebelah timur dengan Selat Sepadan dan sebelah barat dengan Selat Lombok. NTB terdiri dari dua pulau besar yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Secara total NTB memiliki luas wilayah 20.153,15 km2 dengan delapan kabupaten, dua kota, dan 116 kecamatan serta 1.110 desa.

Gambar 3.7 Provinsi Nusa Tenggara Barat

NTB memiliki jumlah penduduk sebesar 4,5 juta jiwa (Profil NTB 2010) dengan tingkat kepadatan penduduk 225 kilometer persegi. Jumlah penduduk usia produktif sebanyak 2,99 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, jumlah angkatan kerja berjumlah 2,03 juta jiwa dan yang bukan angkatan kerja sebanyak 968,64 ribu jiwa.

Gambar 3.8 Piramida penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat

Jumlah penduduk miskin NTB pada tahun 2007 sebanyak 25% yang tersebar merata baik diperkotaan maupun pedesaan. Pada tahun 2010 NTB tercatat sebagai provinsi dengan IPM kedua terendah setelah Papua dengan laju pertumbuhan penduduk (2000-2010) sebesar 1,17. Gambaran piramida penduduk di provinsi NTB yang menggambarkan rata-rata usia penduduk berusia 25,4 tahun dapat dilihat di Gambar 3.4 (Sensus, 2010). Angka ini menunjukkan bahwa

14

penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat termasuk kategori menengah (median antara 20-30 tahun). Rasio ketergantungan penduduk NTB adalah 55,5 atau untuk setiap 100 orang usia produktif (15-64 tahun) terdapat sekitar 56 orang usia tidak produkif (dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun). Hal ini menunjukkan beban tanggungan penduduk suatu wilayah. Sementara rasio ketergantungan di daerah perkotaan adalah 51,5 dibandingkan dengan daerah perdesaan 58,5. Perkiraan rata-rata umur kawin pertama penduduk laki-laki sebesar 248 tahun dan perempuan 22,1 tahun. Di atas kertas tampak bahwa anjuran dari BKKBN untuk usia menikah laki-laki 25 tahun dan perempuan 20 tahun tampaknya telah tercapai. Seks rasio di NTB adalah 94, berarti terdapat 94 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Seks rasio menurut kabupaten/kota yang terendah adalah Kabupaten Lombok Timur sebesar 87 dan tertinggi adalah Kabupaten Sumbawa sebesar 104. B. Kabupaten Lombok Barat

Presentase wanita berstatus kawin usia 15-49 tahun yang menggunakan alat kontrasepsi KB di Indonesia (KB aktif) adalah sebesar 64,2%. Angka ini diatas angka nasional 61,9% (SDKI 2007 dan 2012 dalam Ringkasan Eksekutif Data dan Informasi Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2012). Kabupaten Lombok Barat saat ini memiliki 10 kecamatan, 88 desa, dan 657 dusun. C. Kabupaten Lombok Timur

Kabupaten Lombok Timur terdiri dari 20 kecamatan. Pada tahun 2010, jumlah desa/kelurahan di Kabupaten Lombok Timur tercatat sebanyak 215 desa/kelurahan, sedangkan pada bulan Desember 2011 jumlah desa/kelurahan dimekarkan menjadi 252. Satuan pemerintahan di bawah desa yakni dusun/lingkungan tercatat berjumlah sekitar 1.271 pada akhir tahun. Berdasarkan buku Penduduk Lombok Timur Dalam Angka 2011, jumlah penduduk Kabupaten Lombok Timur tahun 2011 sekitar 1.116.745 jiwa. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sekitar 1,01% jika dibandingkan jumlah penduduk tahun 2010. Apabila dirinci menurut jenis kelamin, penduduk Lombok Timur tahun 2011 terdiri dari 519.898 laki-laki dan 596.847 perempuan. Dengan demikian, rasio jenis kelamin penduduk Lombok Timur sebesar 87,11 artinya terdapat 87 laki-laki setiap 100 penduduk perempuan. Sementara itu perkembangan tingkat kepadatan penduduk juga mengalami perubahan dimana pada tahun 2005 Kabupaten Lombok Timur tercatat memiliki 644 jiwa/km2 dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 689 jiwa/km2. Jumlah ini terus meningkat dimana pada tahun 2011 tingkat kepadatan penduduk tercatat menjadi 696 jiwa/km2. Hal ini menunjukkan ketersediaan ruang bagi penduduk di Kabupaten Lombok Timur semakin terbatas. D. Kabupaten Sumbawa

Penduduk Kabupaten Sumbawa pada tahun 2011 berjumlah sekitar 419.989 jiwa, terdiri dari 214.387 laki-laki dan 205.602 perempuan dengan sex rasio 104. Bila jumlah penduduk dibandingkan dengan luas wilayah Kabupaten Sumbawa yakni 6.643,98 km2, maka setiap km2 dihuni oleh 63 jiwa. Ini memperlihatkan penduduk Kabupaten Sumbawa masih jarang. Jika dilihat keadaan masing-masing kecamatan, maka kecamatan Sumbawa merupakan yang terpadat yaitu sebesar 1.269 jiwa/km2, diikuti Kecamatan Alas dan Unter Iwes dengan masing-masing sebesar 231 dan 223 jiwa/km2.

15

Sumbawa mempunyai beberapa wilayah remote dan pulau-pulau kecil yang didiami oleh beberapa etnis yang berbeda, etnis terbesar adalah suku Sumbawa, dan pendatang dari Lombok, Bali serta Jawa.

Kabupaten Sumbawa cukup berhasil melakukan pengendalian laju pertumbuhan penduduk, hal ini terbukti dengan hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 (SP-2010) yang menunjukkan jumlah penduduk Kabupaten Sumbawa sebanyak 415.789 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 0,94 % (LLP 2000-2010).

16

4. HASIL TEMUAN DI KABUPATEN KEDIRI, PROVINSI JAWA TIMUR 4.1 Provinsi Jawa Timur A. Pendahuluan

A.1. Cakupan program Keluarga Berencana (KB) dan permasalahannya di Provinsi Jawa Timur

Semua dinas terkait di tingkat provinsi menganggap bahwa Keluarga Berencana (KB) adalah sesuatu yang penting untuk ditingkatkan. Dinas Kesehatan (Dinkes) menganggap bahwa KB penting karena sejalan dengan tugas utamanya dalam mencapai Millenium Development Goals (MDGs) yaitu menurunkan angka kematian ibu. Jika tidak ada ibu yang hamil, maka tidak akan ada persalinan, jika tidak ada persalinan maka tidak ada kematian ibu atau bayi. Hal ini didukung oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) yang percaya bahwa untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, Dinkes harus bermain di hulu yaitu KB dan jangan berkutat di hilir saja atau hanya memperhatikan Angka Kematian Ibudan Bayi saja. Peserta KB aktif 59,4% atau berada di atas rata-rata peserta KB aktif di Indonesia (57,9%) Jawa Timur memang menempati ranking ke 14 dari 33 provinsi (Pusat Data dan Informasi, Kementrian Kesehatan RI, 2012) Tabel 4.5 Indikator pencapaian dan target Provinsi Jawa Timur

Indikator

Capaian Jawa Timur Capaian Nasional

Target MDGs

Sensus Penduduk

(2010) SDKI 2012 Susenas

(2010)

Tingkat Pertumbuhan Penduduk 0,76 0,49 1,49

(SP, 2010) 1,1

Total Fertility Rate (TFR) 2,3 2,6 (SDKI, 2012,

hasil sementara)

2,1

Contraception Prevalence Rate (CPR)

62,4% 57,9 (SDKI, 2012,

hasil sementara)

65%

Age Specific Fertility Rate (ASFR) untuk 15-19 tahun

50/1000 (Gabungan

Susenas, 2003-2005)

48/1000 (SDKI, 2012,

hasil sementara)

30/1000 perempuan

Unmet need 6,7% 11,4% (SDKI, 2012,

hasil sementara)

5%

Rata-rata umur pertama menikah

Laki-laki: 26,6

Perempuan: 22,0

Perempuan: 19

Perempuan: 19 tahun

21 tahun

Data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa pencapaian Provinsi Jawa Timur selalu lebih baik dari rata-rata nasional (Tabel 4.1). Dalam data/informasi kesehatan untuk Provinsi Jawa Timur, Pusat Data Kesehatan Kementrian Kesehatan dengan menggunakan data Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010, mengeluarkan angka peserta KB aktif 59,4%, sementara rata-rata untuk Indonesia 55,8% (Pusat Data dan Informasi, Kementrian Kesehatan RI, 2010). Namun demikian, jika dikaitkan dengan target MDGs, maka beberapa indikator perlu diperbaiki seperti

17

misalnyaTotal Fertility Rate (TFR) dan unmet need. Dari wawancara yang dilakukan, ditemukan angka-angka terkait KB berbeda-bedadari sumber yang berbeda misalnya dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan dari Dinkes, maupun dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI). Di lapangan, adanya angka yang berbeda ini membawa kerancuan, mana yang harus dijadikan acuan? Hal ini juga menimbulkan tanda tanya, mengapa angka akseptor KB baru naik terus, namun angka TFR dari 2,1 naik menjadi 2,3. Dari diskusi ditemukan bahwa ternyata terdapat perbedaan definisi operasional dan cara perhitunganakseptor baru di lapangan. Perbedaan definisi operasional di lapangan terjadi karena adanya perbedaan target. Pencapaian akseptor baru bagi BKKBN terkait dengan dana pelayanan dan pembelian kontrasepsi, sedangkan pencapaian akseptorbaru bagi Dinkes tidak terkait dengan hal tersebut. Dengan demikian akseptor baru bagi BKKBN adalah siapa saja yang menggunakan alat kontrasepsi termasuk akseptor yang berganti alat, sementara Dinkestidak menganggap pergantian KB sebagai peserta baru. Dalam hal perhitungan, terdapat perbedaan rumus perhitungan untuk akseptor baru:

• Dinkes: (Jumlah peserta KB baru/jumlah PUS) X 100% • BKKBN: (Jumlah peserta KB baru/Perkiraan Permintaan Masyarakat) X 100%

Kedua hal ini menyebabkan perbedaan angka akseptor baru dari Dinkes maupun dari unit KB di tingkat kabupaten/kota. Menurunkan angka unmet need hingga 7% merupakan salah satu target dari BKKBN di Jawa Timur.Namun dalam kenyataannya, angka ini masih berkisar pada 12,2%, menurun sedikit namun signifikan (12,4% untuk tahun yang lalu). Dengan kata lain, masih ada 900.000 Pasangan Usia Subur (PUS) yang belum menggunakan KB walaupun mereka sudah tidak ingin punya anak lagi atau mereka ingin menunda anak. Menurut Dinkes, sebagian perempuan masih menggunakan KB alamiah karena takut atau tidak diijinkan suami. Fenomena ini banyak terjadi pada kelompok miskin dan kurang berpendidikan. Namun ada kecenderungan saat ini, kelompok berpendidikan juga tidak menggunakan alat KB karena alasan keyakinan agama. BPPKB sebagai bagian dari aparat pemerintah daerah mencobamembuat peraturan daerah untuk menurunkan unmet need, namun belum selesai karena banyaknya kegiatan lain yang lebih diprioritaskan. A.2. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) versus Jangka Pendek (non-MKJP)

Gambaran pemilihan alat kontrasepsi di Jawa Timur juga masih menunjukkan tingginya pemilihan alat kontrasepsi jangka pendek, dimana laporan SDKI 2012 menunjukan bahwa suntik (34,7%) dan pil (14,7%) merupakan yang tertinggi. Suntik menjadi alat kontrasepsi yang paling diminati masyarakat walaupun keluhan efek samping seperti menjadi gemuk, kurus, bercak-bercak, dsb.sering terdengar di masyarakat. Banyaknya efek samping ini sering menimbulkan rumor terkait non-MKJP dimana alat kontrasepsinon-MKJP mengandung hormon yang berkaitan dengan timbulnya efek samping tersebut. Namun demikian, BKKBN mengakui kecenderungan penggunaan MKJP seperti implan, Intra Uterine Device (IUD), Metode Operasi Wanita (MOW) dan Metode Operasi Pria (MOP) dalam tiga tahun terakhir mulai meningkat. Hal ini didorong dengan seringnya diadakan pelayanan serentak, dimana ditargetkan tujuh kali pelayanan serentak diadakan selama seminggu berturut-turut dalam setahun.Prioritas dari pelayanan serentak ini adalah pelayanan MKJP dan memperkuat Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) tentang MKJP.

18

B. Manajemen Program Keluarga Berencana B.1. Kebijakan dan alokasi anggaran

Pemerintah Jawa Timur menganggap KB sebagai hal yang penting mengingat jumlah penduduk di Provinsi Jawa Timur adalah yang terbanyak kedua setelah Provinsi Jawa Barat.Oleh karena itu, pemerintah daerah membentuk satuan kerja perangkat daerah yang baru yaitu BPPKB di tingkat provinsi. Anggaran untuk unit ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Akan tetapi,dana yang dialokasikan memang bukan hanya dipergunakan untuk KB, melainkan untuk pemberdayaan perempuan juga. Tahun ini anggaran yang disediakan sebesar Rp.2 Milyar. Anggaran ini sangatlah kecil jika dibandingkan dengan anggaran BKKBN Provinsi Jawa Timur yang mencapai sekitar Rp.38 Milyar. Karena itu diharapkan BPPKB tidak mengulangi kegiatan yang sudah ada anggaraannya dari BKKBN, namun mengisi kegiatan yang tidak teranggarkan. Anggaran di Dinkes tahun 2012 sebesar Rp.71 Milyar dengan penyerapan 62%. Anggaran Dinkes difokuskan untuk mencapai MDGs, terutama untuk menurunkan angka kematian ibu (sekitar 60%), untuk menangani masalah kesehatan remaja (30%) dan untuk Kesehatan Reproduksi dan KB yang hanya sekitar 10%. Hal ini memang terkait dengan tugas pokok dan fungsi dari Dinkes. Dalam kegiatan KB, Dinkes menangani disisi supply, yakni menyediakan provider pelayanan KB, sementara pengadaan alat kontrasepsi dan jalur distribusinya ditangani oleh BKKBN. Dengan kondisi seperti ini, Dinkes menjadi kesulitan untuk berperan dalam meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan. Dengan kebijakan desentralisasi, program dari pusat yang turun ke provinsi, akan terputus jika tidak ada dana. Hal ini karena belum tentu pemerintah daerah di tingkat kabupaten memprioritaskan program tersebut. Karena itu ketika provinsi mengadakan pelatihan untuk petugas tekait di kabupaten, hal ini tidak diteruskan di tingkat kabupaten karena tidak adanya dana. Selain itu, pola segitiga terbalik, dimana di tingkat pusat dan provinsi tenaganya lebih banyak di bandingkan di tingkat kabupaten, membuat tenaga di tingkat kabupaten yang sama yang mendapatkan pelatihan dari berbagai program terkait. Belum lagi di tingkat lapangan, terutama bidan di desa, mereka terbebani banyak pekerjaan dari berbagai program walaupun pelaksana program-program ini adalah orang-orang yang sama. Mekanisme pengusulan anggaran sama seperti provinsi lainnya dimana anggaran diperjuangkan berdasarkan musyawarah perencanaan dan pembangunan.Satuan Kerja Perangkat Daerah(SKPD) terkait kemudian mengkompilasi dan mengusulkannya rencana dan anggarannya ketingkat provinsi. Untuk menggeser anggaran alat kontrasepsi di tingkat pusat agak sulit karena anggaran disusun berdasarkan permintaan yang banyak di masyarakat sehingga sulit untuk diubah. Pendapat lain mengatakan bahwa permintaan ini adalah provider driven, dengan kata lain, provider kesehatanlah yang mengarahkan masyarakat untuk memiliki jenis alat kontrasepsi tertentu, sehingga sebenarnya permintaan ini dapat digeser. Namun dalam kenyataan di lapangan jika tidak sesuai permintaan maka akan terjadi overstock karena masyarakat tidak menyukainya. B.2. Kebijakan KB dalam asuransi kesehatan

KB akhirnya sudah masuk dalam Jaminan kesehatan daerah (Jamkesda), namun yang ditanggung oleh jaminan kesehatan daerah terbatas pada pelayanannya saja. Permasalahan yang muncul adalah siapa yang menanggung alat kontrasepsi sementara alat kontrasepsi dari BKKBN hanya mencukupi kelompok masyarakat miskin saja. BKKBN hanya menyediakan kurang lebih satu juta kontrasepsi, namun sebenarnya estimasi termasuk peserta KB baru dan

19

akseptor lama diperkirakan berjumlah Rp.4,3 juta. Siapa yang menanggung sisanya? Situasi ini dapat meningkatkan unmet need. Persoalan lain timbul dari kurang baiknya sosialisasi tentang program jaminan kesehatan. Dengan kebijakan satu pintu maka semua dana harus masuk ke kas kabupaten terlebih dahulu, baru kemudian disalurkan ke SKPD setelah adanya klaim dari tingkat Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) tentang pelayanan KB yang diberikan. Berdasarkan klaim inilah kemudian pemerintah mereimburse biaya pelayanan yang telah dikerjakan provider kesehatan. Mekanisme ini tampaknya belum diketahui oleh kepala dinas di tingkat kabupaten, sehingga klaim terlambat dirimkan. Untuk provider pemerintah daerah seperti bidan desa, klaim mereka tidak dapat dibayarkan penuh karena semua obat sudah disediakan di Puskemas. Hal ini menjadikan insentif bagi pelayanan KB menjadi kecil. Sementara, untuk bidan swasta, klaim mereka dapat dibayarkan penuh karena obat-obatan dibeli sendiri, sementara bidan di desa harus dipotong dengan obat-obatan yang sudah disediakan. Namun demikian sekarang Dana Alokasi Khusus (DAK) sudah menanggung obat-obatannya. B.3. Pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi

Sesuai dengan peraturan yang ada, pengadaan alat kontrasepsi dilakukan oleh BKKBN Pusat.BKKBN Provinsi tidak boleh mengadakan pembelian alat kontrasepsi sendiri.

Mekanisme pengadaan dan peruntukan

Alat kontrasepsi jenis pil dan kondom yang diberikan dari pusat dapat didistribusikan untuk semua orang. Namun demikian, alat kontrasepsiimplan, IUD dan suntik hanya diberikan untuk masyarakat yang tergolong miskin yaitu golongan KS I dan pra KS1. Demikian juga bagi pemegang kartu RTSM (Rumah Tangga Sangat Miskin) dan Jamkesmas/Jamkesda gratis untuk semua alat kontrasepsi termasuk jasa pelayanannya.Skema bantuan KB yang dikaitkan dengan persalinan adalah Jampersal (Jaminan Persalinan) KB pasca persalinan. Dalam hal ini, ibu yang baru melahirkan akan mendapatkan pelayanan KB gratis terutama untuk pemasangan IUD atau MOW sampai dengan 42 hari setelah persalinan. Skema ini tampaknya belum optimal digunakan oleh masyarakat karena ditemukan baru sekitar 39% menggunakan skema tersebut.

Secara umum stok alat kontrasepsi terkendali karena ada tim penjamin ketersediaan alat kontrasepsi yang memantau stok alat kontrasepsi untuk jangka waktu ketersediaan tiga bulan ke depan. Namun, tahun lalu pernah terjadi kekurangan alat kontrasepsi karena sistem pelaporan yang kurang akurat.Setelah sistem pelaporan diperbaiki kekurangan alat kontrasepsi tidak pernah terjadi lagi.

Kecukupan alat kontrasepsi

Untuk acara-acara khusus seperti momentum KB seperti hari ulang tahun instansi tertentu atau perayaan lainnya, kabupaten akan mengajukan permohonan tambahan alat kontrasepsi pada BKKBN Provinsi dan mengambil sendiri stok tersebut. Yang kerap terjadi adalah kekurangan stok implan. Alat kontrasepsi implan ternyata mulai diminati masyarakat di Provinsi Jawa Timur. Pelaporan stok alat kontrasepsi

Setiap bulan unit KB tingkat kabupaten mendapatkan informasi dari Puskesmasdesa dan koordinator PLKB tentang stok KB yang ada. Kemudian unit KB tingkat kabupaten mengisi form evaluasi F5 dan melaporkannya ke tingkat provinsi.

20

Dari BKKBN Pusat, alat kontrasepsi langsung didistribusikan ke BKKBN Provinsi. Dalam hal ini DinkesProvinsisama sekali tidak terlibat dalam pendistribusian alat kontrasepsi.Namun pemeriksa keuangan sering kali datang dan menanyakan tentang pengadaan dan pendistribusian alat kontrasepsi. Bagi Dinkes, hal ini tidak begitu nyaman karena yang melayani pemasangan KB adalah petugas kesehatan di bawah kendali Dinkes. Dinkes pernah menyarankan agar alat kontrasepsi dititipkan di gudang obat Dinkes, namun usulan ini ditolak karena dianggap hanya memperlambat pendistribusian alat kontrasepsi

Distribusi alat kontrasepsi

Dari BKKBN Provinsi alat kontrasepsi kemudian didistribusikan ke unit KB tingkat kabupaten yang kemudian mendistribusikannya ke seluruh Puskesmas dan rumah sakit di tingkat kabupatenseperti Rumah Sakit (RS) Bhayangkara, RS/Klinik Polres dsb.Puskesmas lalu mendistribusikan alat kontrasepsi ke bidan di desa dan ke klinik swasta yang berada di wilayahnya.Untuk mendistribusikan ke tingkat desa, Puskesmas sering dibantu oleh PLKB. B.4. Pelayanan KB dan pembiayaanya

Secara umum ada tiga tingkat pelayanan KB. Tingkat yang paling dasar adalah Pondok Bersalin Desa(Polindes), dimana poli ini hanya dapat melayani KB sederhana seperti suntik. Tingkat yang lebih tinggi adalah Puskesmas, dimana klinik ini dapat melayani pemasangan IUD dan implan. Tingkat yang lebih tinggi lagi adalah Rumas Sakit, dimana pelayanan KB yang kompleks seperti MOP dan MOW hanya dapat dilaksanakan di rumah sakit.

Unit Pelayanan KB

Dalam studi ini peneliti mengunjungi salah satu RS swasta.Bulan Maret 2013, RS swasta ini melayani 87 pasien KB dengan rincian 60% suntik, 11% pil dan sisanya memilih MKJP. Rata-rata pasiennya adalah pasangan muda karena pendidikan mereka relatif lebih tinggi. Dengan demikian kesadaran mereka untuk ber-KB lebih baik dibanding dengan angkatan orang tua mereka.

Ada dua komponen biaya untuk pelayanan KB, yaitu biaya alat kontrasepsi dan bahan habis pakai lain serta biaya untuk pelayanan atau tindakan.

Pembiayaan

Untuk alat kontrasepsi jangka pendek seperti pil, pasien hanya membayar biaya pendaftaran karena alat kontrasepsi sudah dibiayai oleh BKKBN. Namun demikian, jika diperlukan obat tertentu untuk mengatasi efek samping maka pasien harus membayar sendiri obat tersebut. Sebagai contoh, di klinik tersebut biaya untuk suntik KB berkisar antara Rp.6.000,- hingga Rp. 16.000,-. Untuk Metode Kontrasepsi Jangka Pendek (non-MKJP), pasien membayar biaya registrasi, konsultasi, pelayanan medis dan bahan habis pakai. Alat kontrasepsinya sendiri ditanggung oleh BKKBN. Namun jika pasien tidak ingin menggunakan alat kontrasepsi yang disediakan BKKBN maka pasien harus membayar sendiri alat kontrasepsi yang diinginkan. Sebagai contoh biaya pemasangan IUD di klinik tersebut berkisar antara Rp.150.000,- hingga Rp.300.000,-. Klinik swasta tidak menerima pasien Jamkesda/Jamkesmas. Klinik tersebut hanya menerima pasien yang kebanyakan bekerja di pabrik dan telah memiliki asuransi dari tempatnya bekerja.

21

B.5. Sumber daya manusia

Dinkes Jawa timur memiliki kurang lebih 5000 bidan yang tersebar di 956 Puskesmas. Dalam kenyataannya memang bidanlah yang lebih banyak memberikan pelayanan KB dari pada dokter. Hanya sepertiga dokter yang tertarik untuk memberikan pelayanan KB.

Jumlah tenaga terkait program KB

Sementara di BKKBN Provinsi, jumlah Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) sangat berkurang setelah kebijakan desentralisasidiberlakukan. Hal ini disebabkan karena pihak kabuptenlah yang harus menanggung tenaga PLKB. Pemerintah pusat hanya menanggung tenaga BKKBN di tingkat provinsi. Saat ini satu PLKB memegang kurang lebih empat desa. Pemerintah tingkat kabupaten sendiri sudah membentuk sub Petugas Pembantu Keluarga Berencana Desa (PPKBD) di setiap dusun, namun supervisi dari PLKB masih dibutuhkan karena kompetensi PPKBD tidak sekuat PLKB. Salah satu unit di tingkat provinsi yang menangani KB adalah Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB).Unit ini baru dibentuk sekitar tahun 2009. Tenaga yang ada hanya 13 orang dan tujuh diantaranya bekerja khusus untuk seksi KB. Namun demikian, unit ini mempunyai perpanjangan tangan di kabupaten.

Untuk pelatihan BKKBN Provinsi memiliki anggaran pelatihan CTU (Contraceptive Technology Update) untuk 5000 bidan dan dokter dengan perbandingan 7:3 karena yang banyak melayani KB adalah bidan. Selain pelatihan CTU, BKKBN juga memiliki anggaran untuk pelatihan bagi penyuluh agama Islam (Penais). Saat ini di setiap kabupaten ada empat orang Penais yang telah dilatih.Sudah ada empat angkatan Penais yang dilatih tentang pengetahuan KB sehingga diharapkan mereka dapat ikut memotivasi masyarakat untuk ber-KB.

Pelatihan

Dinkes sendiri memiliki anggaran untuk 20 kali pelatihan.Dari sekitar 5000 bidan baru, setengahnya telah terlatih untuk melakukan KB pasca nifas.Demikian juga dengan IUD kit dimana baru setengah bidan yang memilikinya. Koordinasi antara BKKBN dan Dinkes dalam hal pelatihan masih lemah karena BKKBN langsung bekerja sama dengan Jaringan Nasional Pelatihan Klinis (JNPK) dan Pusat Pelatihan Klinik Tertier (P2KT) tanpa melibatkan Dinkes sementara bidan yang akan dilatih berada dalam koordinasi Dinkes. Dinkes merasa tidak pernah mendapatkan laporan jumlah bidan/dokter yang sudah dilatih. Ikatan Bidan Indonesia

IBI merupakan kelompok profesi yang menaungi para bidan.IBI melakukan pembinaan di cabang-cabangnya bagi para bidan dan memberikan orientasi pada mahasiswa baru tentang etika bidan. Pelatihan yang dilakukan IBI utamanya bertujuan untuk meningkatkan keterampilan bidan dalam hal manajemen bagi bidan praktek swasta atau disebut sebagai bidan delima. Hal ini untuk menjembatani kurang terlatihnya Bidan Praktek Swasta (BPS), sementara untuk bidan yang bekerja pada pemerintah seperti bidan di desa sering mendapatkan pelatihan-pelatihan.

(IBI)

Setiap bulan IBI mengundang BPS secara bergantian untuk mendapatkan pelatihan. Sebagai tenaga profesional, bidan yang baru lulus harus lolos uji kompetensi yang difasilitasi oleh Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP). Dalam hal ini, soal-soal dibuat oleh IBI dan dikoreksi oleh MTKP. IBI juga turun ke daerah untuk menjelaskan uji kompetensi ini dengan mengumpulkan para calon bidan di institusi-institusi pendidikannya. Siswa yang tidak lulus uji kompetensi dilatih lagi oleh IBI agar dapat mengikuti ujian berikutnya.

22

Walaupun terdapat Keputusan Mentri tentang kewenangan bidan, kewenangan bidan dalam melakukan pelayanan KB di Provinsi Jawa Timur masih beragam antar kabupaten. Bidan praktek di Kabupaten Tuban tidak diperkenankan memberikan pelayanan IUD dan implan. Pelayanan kedua jenis alat kontrasepsi tersebut harus dilakukan di Puskesmas atau RS. Di Kabupaten Lumajang belum jelas kewenangan bidan untuk melakukan praktek pemasangan IUD dan implan di rumah atau di klinik pribadi. Di Kabupaten Kediri pelayanan KB termasuk MKJP masih dilakukan bidan praktek swasta di klinik masing-masing.

Kewenangan untuk memberikan pelayanan KB

B.6. Kerjasama antar instansi

Di tingkat provinsi, ada tiga institusi yang bekerja untuk program KB dengan pembagian tugas masing-masing.

Instansi pemerintah terkait KB

BBKBN Provinsi

BKKBN Provinsi bekerja di sisi permintaan (demand side), yaitu dengan mengkoordinir dan menggerakkan masyarakat. PLKB memotivasi dan menggerakkan masyarakat agar ikut ber-KB. BKKBN juga memiliki anggaran untuk melakukan pelatihan bagi petugas kesehatan yang melayani KB. Dinas Kesehatan (Dinkes)

Dinas Kesehatan (Dinkes) bekerja pada sisi penyediaan (supply side) dalam hal ini menyediakan tenaga untuk melayani KB. Hal yang membuat ganjalan bagi Dinkes adalah sering tidak dilibatkannya Dinkes dalam hal perencanaan dan pelaksanaan pelatihan. Dinkes mengaku bahkan tidak dilibatkan dalam pendistribusian alat kontrasepsi.Namun, yang mengherankan adalah Dinkes diminta untuk menjadi leading sektor dalam penjaminan mutu pelayanan KB. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana

Unit ini didirikan sejak sejak tahun 2009. KB hanya merupakan sebagian dari pekerjaan mereka selain pemberdayaan perempuan. Pembagian kerjanya adalah unit ini mengerjakan aktivitas yang tidak mendapatkan pendanaan dari BKKBN Provinsi. Karena tenaga yang sedikit dan anggaran yang tidak besar, unit ini belum banyak berperan walaupun unit ini memiliki perpanjangan tangan di tingkat kabupaten.

Pembagian antara sektor swasta dan bukan, sering kali menjadi rancu karena sebagian besar bidan di desa atau bidan Puskesmas juga membuka praktek mandiri pada sore hari. Namun bidan-bidan ini juga harus terdaftar jika akan mengklaim Jampersal.

Peran sektor swasta

Klinik swasta juga menerima alat kontrasepsi yang dapat digunakan untuk klien yang memiliki asuransi swasta untuk karyawan pabrik. Hal ini karena kondom dan suntik diperuntukan bagi semua lapisan masyarakat. Klinik yang memperoleh alat kontrasepsi juga harus melaporkan pelayanan yang diberikan ke masyarakat.

B.7. Menciptakan kebutuhan

Menciptakan kebutuhan di masyarakat memerlukan promosi program KB. Dalam hal ini, BKKBN memiliki anggaran untuk promosi KB walaupan jumlahnya tidak besar. Contoh kegiatan

23

yang dilakukan untuk mempromosikan KB adalah acara di TV. Salah satu promosi yang dilakukan karena dana yang terbatas diantaranya pengecetan genteng (gentengisasi) rumah-rumah masyarakat. Banyaknya rumah yang di cat untuk promosi KB membuat BKKBN Provinsi Jawa timur mendapat penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI). Bentuk promosi lain selain gentengisasi adalah penggambaran mobil, becak, bus dan angkot. BKKBN mengandalkan momentum KB untuk meningkatkan minat ber-KB di masyarakat. Hal ini terutama untuk mendongkrak penggunaan MKJP. Momentum ini pernah mendapatkan MURI untuk pemasangan alat kontrasepsi terbanyak, dimana tenaganya dikerahkan dari IBI.

Untuk meningkatkan MKJP terutama untuk Metode Operasi Wanita (MOW) dan Metode Operasi Pria (MOP), disediakan dana pengayoman. Akseptor yang bersedia melakukan operasi KB akan diberi kompensasi untuk hilangnya waktu kerja mereka sebesar Rp.150.000 baik untuk MOW maupun MOP. Untuk Dinkes, dana untuk promosi kesehatan juga sangat terbatas.Dana tersebut dipergunakan untuk Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) seperti mencuci tangan dan lain-lainnya, namun difokuskan untuk KB karena dianggap bahwa program Komunikasi Informasi dan Edukasinya diselenggarakan oleh BKKBN. Namun demikian promosi KB dapat dilakukan dengan menumpang pada kegiatan lain seperti Komda lanjut usia (lansia). Dalam program ini para lansia menjadi Kakek Nenek Asuh yang menjadi pembimbing bagi keluarga muda. Dalam hal ini, pesan KB dapat dititipkan pada mereka untuk disampaikan pada pasangan muda yang diasuhnya. Berbeda dengan BKKBN, Dinkes tidak menyukai momentum KB sebagai cara mempromosikan KB. Hal ini disebabkan target yang ditetapkan untuk momentum KB terlalu besar dan tidak seimbang dengan tenaga yang disediakan sehingga kualitas pelayanannyadipertanyakan. Jika terjadi komplikasi, yang harus bertanggung jawab adalah Dinkes, sementara sulit melacak siapa yang melakukan pelayanan KB sebelumnya. Dalam melakukan momentum KB, BKKBN sering bekerjasama dengan IBI untuk tenaga pelayanannya tanpa memberitahukan Dinkes. Padahal tenaga yang ikut serta dalam momentum KB banyak pula yang berasal dari bidan Puskesmas. Akibatnya, hal ini mengganggu pelayanan di Puskesmas. Hal lain yang sering menjadi masalah di lapangan adalah sering ditolaknya masyarakat yang telah dimotivasi oleh PLKB untuk ikut datang dalam acara momentum KB. Masyarakat ini harus ditolak oleh bidan karena tidak terpenuhinya persyaratan medis. Dengan waktu yang sangat sempit dan jumlah pasien yang banyak, screeningdalam momentum KB ini juga menjadi pertanyaan; apakah masih ada waktu untuk melakukan screening kesehatan sebelum melakukan pelayanan KB. Untuk mempromosikan KB, BPPKB memiliki website sendiri dan membuat buku tentang KB untuk 10 ribu dasa wisma.Dikaitkan dengan tupoksinya, BPPKB juga membuat permainan simulasi KB yang responsif gender.

Salah satu standar mutu yang telah ditetapkan adalah konseling KB. Sebelum memutuskan untuk menjadi akseptor KB, pasien perlu dikonseling oleh bidan untuk mendapatkan penjelasan mengenai metode yang dipilih. Secara prosedur, prinsip cafetaria seharusnya dilaksanakan, dimana pasien setelah mendapatkan penjelasan, dapat memilih metode apa yang paling cocok menurut pasien. Namun hal ini hanya terjadi di atas kertas. Di lapangan hal ini sulit diterapkan karena jenis alat kontrasepsi yang terbatas. Jika alat kontrasepsi yang dipilih tidak tersedia, masyarakat pada umumnya masih banyak yang sulit untuk membayar sendiri.

Konseling KB

24

Konseling juga diperlukan untuk mengantisipasi keluhan yang akan terjadi. Keluhan banyak terjadi jika pasien memilih metode non-MKJPdimana alat kontrasepsi metode ini mengandung hormon, sedangkan MKJP sendiri belum terlalu populer di masyarakat. Walaupun secara prosedur bidan seyogyanya melakukan konseling terutama pada pasien baru, namun petugas kesehatan mengharapkan agar PLKB yang merupakan motivator KB di masyarakat dapat lebih banyak memberikan penjelasan. Kadang-kadang terjadi konflik antara PLKB dan bidan. Beberapa kasus terjadi dimanacalon akseptor baru yang dibawa oleh PLKB ditolak oleh bidan karena tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Untuk mengatasi hal ini,Dinkes mengikutsertakan PLKB dalam pelatihan-pelatihan sehingga PLKB lebih memahami persyaratan kesehatan yang perlu diperhatikan untuk metode kontrasepsi tertentu.

B.8. Pencatatan dan pelaporan

Ada dua sistem pencatataan terkait KB: dari BKKBN dan dari Dinkes. Sistem pencatatan dari BKKBN lebih rinci dibandingkan dari Dinkes.Dinkes melaporkan peserta KB aktif, namun tidak sampai menghitung unmet need. Dinkes lebih memfokuskan pada efek samping dan komplikasi. Sementara BKKBN memiliki pencatatan tentang KB yang lebih rinci karena fokusnya memang hanya pada kependudukan dan KB. Angka peserta KB aktif yang dikeluarkan Dinkes kerap berbeda dengan angka yang dikeluarkan dari BKKBN. Sebab dalam kohort ibu, akseptor baru didefinisikan sebagai yang pertama kali menggunakan KB, sementara sebagian PLKB mempersepsikan, akseptor baru adalah penggunaan alat kontrasepsi yang baru, sehingga pasangan yang mengganti cara juga dihitung sebagai akseptor baru. Hal ini tentu saja menyebabkan adanya dua versi pencatatan dengan angka yang berbeda. Untuk memperbaiki kualitas pencatatan, dua bulan yang lalu BKKBN menyelenggarakan pelatihan bagi bidan di desa untuk mengisi formulir KB yang baru.Target dari pusat dibagi untuk KB pasca persalinan atau pergantian dari non-MKJP ke MKJP. BKKBN akan memberikan insentif bagi bidan untuk pengisian form tersebut. Kurangnya koordinasi dengan Dinkes menyebabkan ketidaknyamanan, belum lagi jika insentif pengisian formulir hanya bersifat insidentil, maka hal ini akan menyulitkan Dinkes Provinsi. Untuk memantau program KB, mekanisme pemantauan yang dilakukan oleh Dinkes dilakukan setiap tiga bulan sekali. Dalam pertemuan yang diadakan tersebut, dilakukan validasi data serta pemberian umpan balik bagi Puskesmas. Untuk mekanisme pemantauan dilakukan umpan balik bulanan dari BPPKB di tingkat kecamatan. Hal ini perlu dilakukan karena kualitas pelaporan dari PLKB masih harus di tingkatkan. 4.2 Kabupaten Lumajang

A. Pendahuluan

A.1. Cakupan program Keluarga Berencana (KB) dan permasalahannya

Data Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Lumajang adalah 1.012.121jiwa dengan peserta KB aktif sebanyak 187.515 akseptor atau sekitar 79,93 %. Angka kelahiran Kabupaten Lumajangsebesar 1.99 dimana angka ini lebih rendah dibanding dengan angka kelahiran Provinsi Jawa Timur (2,30) dan angka kelahiran nasional. Tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Lumajang mencapai 565 jiwa, yang berarti tiap daerah seluas 1 km2 dihuni oleh 565 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Lumajang (0,42) sedikit

Cakupan KB, angka penggunaan kontrasepsi dan unmet need di kabupaten

25

lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Timur (0,76). Lebih lanjut, dapat dilihat di Tabel 4.2 berikut. Tabel 4.6 CPR, unmet need, TFR dan laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Lumajang

Lumajang Jawa Timur Nasional

Total Fertility Rate (TFR) 1,991) 2,303) 2,603) Laju pertumbuhan penduduk 0,421) 0,762) 1,492) Jumlah pasangan usia subur 234,5761) - - Contraception Prevalence Rate (CPR) 79,931) 62,403) 58,003) Unmet need 10,301) 10,103) 11,403) Sumber: 1Sensus Penduduk 2010-BPS, 2BPS (Sensus Penduduk 2010); 3) Survei Demografi Kesehatan Indonesia Cakupan penggunaan alat kontrasepsi di Kabupaten Lumajang (79,93%) lebih tinggi dibanding dengan angka Provinsi Jawa Timur (62,40%) dan Nnsional (58%). Angka unmet need sebesar 10,3%. Angka ini mengindikasikan masih diperlukannya peningkatan upaya promosi dan penjangkauan pelayanan KB dalam meningkatkan penggunaan kontrasepsi. Secara umum alat kontrasepsi yang digunakan di Kabupaten Lumajang adalah non-MKJP (79%). KB Suntik merupakan metode kontrasepsi yang paling umum digunakan masyarakat (69,59%). Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menargetkan penggunaan MKJP sebesar 30% sedangkan pengguna MKJP di Kabupaten Lumajang mencapai 20,97%. Sejak adanya kebijakan bebas biaya layanan, cakupan penggunaan MKJP meningkat terutama pada alat kontrasepsi IUD dan implan. Dilaporkan penggunaan alat kontrasepsi jenis IUD meningkat secara signifikan pada setahun terakhir yakni dari 900 menjadi 2001 akseptor IUD. Alat kontrasepsi implan merupakan alat KB favorit namun logistik saat ini belum mencukupi. Akseptor MOP/WOW juga meningkat namun tidak sebanyak akseptor IUD dan implanwalaupun dengan menyediakan insentif bagi provider yang berhasil memotivasi dan merujuk aseptornya untuk menggunakan alat kontrasepsi tersebut.

Menurut informan dari berbagai intansi terkait, secara umum pelaksanaan program KB di masyarakat cukup lancar. Cakupan penggunaaan alat kontrasepsi di Kabupaten Lumajang sudah cukup tinggi bila dibanding dengan cakupan penggunaan alat kontrasepsi di Provinsi Jawa Timur dan angka nasional. Cakupan tinggi ini bisa mengidentifikasi bahwa penggunaan alat KB sudah menjadi bagian dari kebutuhan masyarakatnya. Menurut informan tingkat kabupaten, pelaksanaan program di Bidang Kesehatan dan KB di Kabupaten Lumajang didukung oleh semua pihak termasuk kelompok kerja Program Kesejahteraan Keluarga(PKK), mulai dari tingkat kabupaten hingga kader di desa. Kelompok Kerja IV dalam susunan struktur PKK menangani kesehatan termasuk KB. Peran PKK di bidang KB membantu pencarian peserta KB melalui kader PKK, KB dan kesehatan. Saat ini PKK memiliki 7-9 kader aktif di setiap desa. Sebanyak 1-2 kader berfungsi ganda sebagai kader KB dan kader kesehatan.

Penerimaan program KB di masyarakat

Program Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) terintegrasi yang populer disebut Posyandu Gerbang Mas (gerakan menuju masyarakat sehat) cukup banyak berkontribusi dalam pembangunan semua bidang termasuk di bidang kesehatan dan KB. Posyandu Gerbang Mas merupakan program kerjasama lintas sektor. Konsep dasar Posyandu Gerbang Mas ini adalah menjadikan Posyandu sebagai titik tolak pembangunan.Dalam perkembangannya, program ini ditambah dengan konsep Desa Siaga yaknidengan menyalurkan bantuan mobil ambulan ke desa-desa untuk mencapai predikat Desa Siaga. Pengadaan mobil ambulan ini berasal dari dana APBD, sedangkan operasional ambulan berasal dari dana ADD (Anggaran Dana Desa).

26

Multi fungsi mobil ambulan salah satunya bertujuan untuk meminimalisir angka kematian ibu dan bayi. Mobil ini dipersiapkan untuk membawa ibu hamil yang akan melahirkan di tempat layanan kesehatan, sehingga tidak ada lagi kematian ibu atau bayi dengan alasan kendala transportasi. Mobil tersebut juga boleh dipergunakan untuk membawa pasien yang meninggal di rumah sakit secara gratis. Dengan demikian keberadaan mobil ini diharapkan dapat meringankan beban keluarga yang sakit atau meninggal. Saat ini, sebanyak 58 mobil ambulans sudah beroperasi di desa. Direncanakan semua desa (205 desa) di Kabupaten Lumajang akan memiliki mobil ambulans desa. Diinformasikan bahwa APBD mencukupi untuk memujudkan program ini. Saat ini pengadaan mobil ambulans diprioritaskan untuk desa terpencil. Hasil wawancara dengan koordinator bidan, koordinator PLKB dan PKK di tingkat Kecamatan Candipuro dan Tekung mengesankan bahwa masyarakat sudah tidak asing lagi dengan program KB. Petikan wawancara di bawah ini menginformasikan bahwa petugas terkait program KB di tingkat kecamatan telah mempunyai persepsi yang sama bahwa KB telah menjadi prioritas program pembangunan daerah dan telah menjadi kebutuhan masyarakat.

“Masyarakat sudah tahu dan menganggap KB sebagai kebutuhan. Tinggal tugas yang perlu dilaksanakan adalah memberikan alat kontrasepsi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.KB sudah menjadi prioritas dalam program kesehatan.” (Koordinator PLKB, Ds. Jarit, Kec. Candipuro, Kab. Lumajang) “Sudah bagus, termasuk pencapaian akseptornya sesuai dengan target. KB sudah menjadi prioritas program KB. Bahkan, KB dimasukkan dalam target Jampersal. “ (BPS,Ds. Jarit, Kec Candipuro, Kab. Lumajang) “ ... Untuk tahun 2012, cakupan telah memenuhi target dengan akseptor baru: 722 orang.” (Bikor, Ds. Jarit, Kec. Candipuro, Kab. Lumajang) “Program KB sudah menjadi prioritas pemerintah. Pencapaian di Kecamatan Tekung: non-MKJP sudah 100%an lebih, untuk MKJP: 75%.” (Koordiantor PLKB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “Program KB sudah lancar. Pemerintah dan lintas sektor mendukung.Masyarakat juga sudah sadar.” (Bikor, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang)

Informasi di atas didukung dengan data cakupan KB di dua kecamatan tersebut. Tidak ada perbedaan persentase yang mencolok pada penggunaan jenis alat kontrasepsi di dua kecamatan yang disurvei seperti yang terlihat di Tabel 4.3. Di Kecamatan Candipuro, mayoritas pengguna kontrasepsi masih menggunakan non-MKJP, terutama kontrasepsi suntik (36,80%). Demikian juga di Kecamatan Tekung, persentase penggunaan alat kontrasepsi adalah suntik (30,00%). Tabel 4.7 Cakupan dan jenis kontrasepsi di Kecamatan Candipuro dan Tekung

Kecamatan Non-MKJP MKJP

Pil Suntik Kondom IUD Implan MOW MOP Candipuro 18,10 36,80 0,50 13,50 24,4 7,40 0,08 Tekung 15,00 30,00 0,60 7,00 10,0 1,70 0,22

Secara umum dilaporkan tidak ada penolakan masyarakat terhadap penggunaan alat kontrasepsi. Sebagian masyarakat mengakui penolakan terhadap penggunaan jenis alat kontrasepsi seperti IUD dan MOP/MOW terjadi karena beberapa alasan. Alasantersebut antara lain terkait norma, repot dalampemasangan, suami tidak rela aurat istrinya dilihat orang lain, tidak nyaman, spotting dan adanya rumor bahwa IUD menyebabkan kanker rahim. MOP/MOW ditolak dengan alasan takut dengan cara pemasangan (takut operasi), rumor terhadap dampak

27

negatif alat kontrasepsi (melemahnya nafsu seks) dan isu penyalahgunaan pemakaian alat kontrasepsi seperti istri kawatir suami tidak ketahuan nyeleweng bila menggunakan MOP (artinya suami lebih leluasa untuk bergaul dengan orang lain sehingga “kebebasan”atau terlalu bebas dan tanpa harus khawatir hamil/punya anak bila “menyeleweng”). Informasi yang hampir sama juga diperoleh dari masyarakat di desa wilayah survei. Sebagian besar masyarakat sudah tidak asing lagi dengan istilah KB. Rumor tentang banyak anak banyak rejeki mulai pudar. Berikut petikan wawancara terhadap kepala desa, peserta KB, petugas KB desa, serta masyarakat desa.

“Kalo memang yang menurut orang sekarang banyak anak banyak rezeki karena menurut jaman dahulu mengikuti kata-kata dahulu kalo sekarang kansudah berbeda yang agak sedikit-sedikit berubah iya karena ada KB itu yaauntuk mengurangi saiki mbobot dapat satu tahun wes meteng lagi (sekarang hamil dapat satu tahun hamil lagi) satu tahunutuh lagi yooo akhire kan anu kasian kan bugh kalo kebanyakan anak kankasian.” (Bapak KB, Ds. Jarit, Kec. Candipuro, Kab. Lumajang)

“Ya kalau saya ya, kalau kemana itu bisa bawa semua. Kan senang. Kalau punya anak banyak... wuuh ndak bahagia. Kalau gini senang sejahtera. Penghasilan sedikit bisa cukup. Nah itu sudah.”(Pasangan KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang)

“Kalau situasi dan kondisi KB khususnya di desa sini saya kira ndak ada permasalahan dan lagi ya biasa2 saja karena apa, disitu kenapa kok ndak ikut kan gitu ya. Kadang2 ya seijin suami ada yang ndak diboleh ada yang disuruh kan gitu ya, jadi jelas ndak ada katakan 100 atau 75% keluarga kita itu di KA ikut KB ndak ada. Jadi ada yang takut atau apa …. Pokoknya sejenis itu ternyata desa kami ini ya katakan berhasil daripada desa-desa lain. Itu lho, makanya kalo dilihat lho, ndak gelem (tidak mau) cuma kalau anu berani gitu lho.Jadi sosialisasi kalau kader-kader saya kira itu sudah cukup, kalau saya nganggep (anggap) ya di desa saya ini, katakan kader-kader saya berhasil.”(Kades, Ds. Jarit, Kec. Candipuro, Kab. Lumajang)

“... akhirnya setelah rapat, masyarakat semua tahu,… ya Alhamdulillah sadar… Kalo sebelumnya ada petugas … dari KB ... Penuh penekanan, banyak yang ngungsi… Waduhh Ya Alloh… Setelah itu dikumpulkan bapak kepala desa bilang, tolong … tulung... tokoh-tokoh masyarakat suruh musyawaroh dengan masyarakat, akhirnya Alhamdulillah saya bicara di masing-masing pengajian kok diterima dengan baik, trus bilang lhoo ngomongo kuwe moso te… moso te sampe bilang gituu. Ya (lho bicaranya kamu masak sampai bilang begitu...) Alhamdulillah untuk Wonogriyo mulai dari bapak kepala desa bapak haji Desuto, bapak Sampeyan, sekarang yang namanya keluarga berencana diterima.” (Kades, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang)

Secara umum, alasan ekonomi merupakan alasan utama pasangan usia subur mengikuti program KB, di samping untuk mencapai kebahagiaan keluarga dan terpenuhinya kebutuhan pendidikan anak.Walaupun demikian, masih ada pasangan usia subur yang belum bersedia menggunakan alat kontrasepsi dengan alasankhawatir (rumor), alasan kesehatan tertentu,atau efek samping kontrasepsi (gemuk). Pengalaman negatif terhadap kasus-kasus akseptor KB perlu menjadi perhatian bagi pengelola program, terutama dalam menangani kasusnya.Bila kasus-kasus ini tidak dikelola dengan baik, hal ini dapat menjadi rumor yang berkembang luas di masyarakat.Terkait hal ini, petugas lapangan dan kader memerlukan pelatihanrefreshing untuk bisa menjelaskan kasus-kasus dari dampak negatif pemakaian alat kontrasepsi ke masyarakat luas.Sebagai contoh di lapangan, bahwa seorang aksepstor mengalami menstruasi terus menerus akibat menggunakan alat kontrasepsi.Pengalaman seperti ini menyebabkan keluargatersebut tidak bersedia menggunakan lagi jenis alat kontrasepsi apapun. Bila seorang petugas lapangan terampil menjelaskan ke apseptor KB yang mengalami masalah, maka akseptor tersebut akan memutuskan untuk beralih yang lain. Seperti salah seorang informan yang menggunakan jenis pil, ia merasa menjadikannya semakin gemuk. Selanjutnya berganti alat kontrasepsi suntik karena merasa cocok dan praktis.

28

A.2. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) versus Jangka Pendek (non-MKJP)

Berdasar jenisnya, pencapaian cakupan penggunaan alat kontrasepsi di kabupaten Lumajang saat ini sebesar 79% untuk non-MKJP dan 21% untuk MKJP. IUD merupakan akseptor terbanyak pada kelompok pengguna MKJP dan suntik pada akseptor non-MKJP.Rincian persentase penggunaan alat kontrasepsi di Kabupaten Lumajang dapat dilihat pada Gambar 4.1 di bawah ini.

Kabupaten

Gambar 4.1 Cakupan KB Berdasarkan jenis kontrasepsi di Kab. Lumajang

Sumber: Lumajang dalam angka, 2012

Berdasarkan data 2011, jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) Kabupaten Lumajang tercatat sebanyak 234.576 dengan peserta KB aktif sebanyak 87.515 atau sekitar 79,93 % (Lumajang Dalam Angka 2012). Penggunaan kontrasepsididominasi oleh penggunaan non-MKJP, terutama suntikan dan pil.Walaupun demikian secara umum persentase penggunaan MKJP di Kabupaten Lumajang lebih tinggi dibandingkan Provinsi Jawa Timurseperti yang disajikan di Tabel 4.4. Tabel 4.8 Cakupan KB berdasarkan jenis di Kabupaten Lumajang

Tipe kontrasepsi Lumajang2) Jawa Timur3) Nasional3)

Non-MKJP1) Suntikan 59,6 34,7 31,9 Pil 45,7 14,7 13,6 Kondom 3,0 1,3 1,8 MKJP1) Implan 37,8 3,1 3,3

IUD 22,3 5,0 3,9 MOW 7,5 3,5 3,2 MOP 8,2 0,3 0,2

Sumber:1Persentase dari jumlah total PUS; 2Lumajang Dalam Angka 2012-, 3Survei Demografi Kesehatan Indonesia Hasil wawancara mendalam dengan pemangkukepentingan di Kabupaten Kediri menunjukkan beberapa faktor dapat melatarbelakangi masyarakat masih memilih non-MKJP, seperti yang dirangkum di Tabel 4.5.

22

8 8

38

70

46

3 0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

IUD Vasektomi Tubektomi Implan Suntik Pil Kondom

%

29

Tabel 4.9 Anggapan masyarakat menurut informan tenaga kesehatan tentang alat kontrasepsi MKJP dan non-MKJP di Kabupaten Lumajang

Faktor Non-MKJP MKJP

Cara pemasangan • Praktis/lebih sederhana dalam pemasangan

• Tidak sakit ketika pemasangan

• Rasa malu terutama untuk pasang IUD dan operator laki-laki

• Sakit ketika dipasang, pendarahan, takut operasi

Efek samping dan kenyamanan

• Tidak mengganggu pekerjaan sehari-hari

• Khawatir mengganggu pekerjaan sehari-hari

Akses dan keterjangkauan

• Murah dan dekat dengan layanan

• Gampang diperoleh, mis. pil

• Repot (karena pemasangan di Puskesmas dan RS)

• Tidak semudah non-MKJP, terutama pil dan suntik

Kepercayaan • Tidak bertentangan dengan norma

• Saat pemasangan alat kontrasepsi (IUD) dilihat orang lain

• Lebih berbahaya – alat kontrasepsi(implan) bisa berpindah tempat di dalam badan

• Mengganggu kenyamanan/ kesehatan

Lain-lain • Sewaktu-waktu susah untuk berganti alat konrasepsi lain bila tidak cocok

• Kondom: repot/tidak nyaman

• Repot pasang dan bongkar bila ingin berganti alat kontrasepsi lain

Hingga saat ini masyarakat masih banyak memilih non-MKJP yang dilatarbelakangi oleh berbagai hal seperti rumor tentang MKJP, pengalaman kurang baik setelah menggunakan MKJP, norma, kenyamanan, kepraktisan dan sewaktu-waktu dapat mengganti alat kontrasepsi tanpa repot datang ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) atau rumah sakit. Pada umumnya masyarakat enggan menggunakan IUD karena suami tidak rela auratnya dilihat oleh orang lain, tidak nyaman, spotting, dipercaya menyebabkan kanker rahim danrepot pemasangannya. Alasan masyarakat enggan menggunakan MOP/MOW diantaranya takut operasi, takut akanberdampak terhadap kesehatan, istri khawatir suami nyeleweng bila menggunakan MOP (“kebebasan”/leluasa untuk nyeleweng atau punya istri lagi). Masalah lainnya adalah masih dijumpai miskonsepsi yang terjadi terkait penggunaan MKJP, termasuk larangan melakukan pekerjaan fisik yang berat (contoh: akseptor implan tidak kuat mengangkat barang berat) atau alat kontrasepsi yang dapat "berjalan-jalan" atau "berpindah tempat" ke bagian tubuh yang lain (contoh: IUD dapat berpindah ke perut). Selain itu, perlunya tindakan yang lebih invasif dalam pemasangan MKJP terlebih masih adanya pandangan segelintir masyarakat yang menyatakan MKJP bertentangan dengan ajaran normaagama. Walaupun sebenarnya dalam jangka panjang penggunaan MKJP akan lebih efisien, namun biaya yang dibutuhkan untuk pemasangan MKJP yang pertama kalilebih besar dibanding non-MKJP. Namun demikian bila beralasan dengan pembiayaan maka masyarakat bisa memanfaatkan layanan bebas biaya di Puskesmas atau rumah sakit yang ditunjuk. Diantara MKJP, implan dianggap paling praktis, tidak perlu buka-bukaan, pemasangannya sebentar dan pemasangannya tidak dikenakan biaya terutama bila ada program implan masal.

30

Hasil Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam dengan masyarakat tentang pendapat masyarakat terhadap alat kontrasepsi dirangkum dalam tabel di bawah. Hasil FGD menunjukkan banyak rumor dan pengalaman yang tidak mengenakkan beredar di masyarakat. Hal demikian menjadikan penghalang seseorang untuk menggunakan alat kontrasepsi. Beberapa rumor tersebut diantaranyapenggunaan suntik membuat orang menjadi gemuk, kondom tidak membuat nyaman atau repot, implan membuat mentruasi tidak teratur, IUD penyebab pendarahan dan orang takut MOW atau MOP karena harus operasi dan menjadi mandul.

Desa

Tabel 4.10 Pendapat dan pengalaman negatif masyarakat Kabupaten Lumajang terhadap masing-masing alat kontrasepsi

Jenis Kontrasepsi Pendapat dan pengalaman terhadap berbagai alat kontrasepsi

Suntik Pendarahan, badan menjadi gemuk, tidak ada tenaga Pil Sering lupa, kebobolan, repot minum setiap hari, bosan, muntah, tambah

subur Kondom Tidak nyaman/ tidak enak digunakan, repot Implan Menstruasi tidak teratur, jantung lemah IUD Dipakai sakit, tidak nyaman, pendarahan, nyeri, tidak diijinkan suami MOP/ MOW Takut operasi, menjadi mandul, lemah fisik

Pengalaman negatif menggunakan alat kontrasepsi

Hasil FGD dan wawancara memperolehberbagai cerita mengenai efek samping penggunaan alat kontrasepsi. Pengalaman-pengalaman pribadi ini menyebar ke masyarakat luas hingga menjadi rumor. Diceritakan bahwa dengan menggunakan kontrasepsi jenis pil, seorang ibu menjadi gemuk. Selanjutnya keluarga ini beralih menggunakan jenis suntik. Sebaliknya ada ibu yang menggunakan suntikmenjadikan menstruasinya tidak teratur. Keluarga lain menginformasikan IUD membuatnya sakit, kencing dan pendarahan terus menerus. Pengalaman-pengalaman seperti ini bila diceritakan terus menerus bisa menjadi rumor di kalangan masyarakat luas.

“Kalau pakai pil itu istri saya tambah gemuk.Perempuan ndak bisa kontrol badan tu mbak, eh bu. Jadi pakai suntik itu.”(Bapak non-KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “...pertama kali memasang itu mens-nya ndak teratur, mungkin masih suntikmenyesuaikan dalam kandungan, seperti suntik itu buk, suntik sampai 6 bulan, sampaidua kali suntik itu mens-nya ndak teratur. Padahal suntikkan kalau 3 bulan katanyakan ndak mens, tapi kalau sekarang udah ndak mens.Itu katanya mungkin masihpenyesuaian dengan kandungan.”(Ibu KB, Desa Jarit, Kec. Candipuro, Kab. Lumajang)

“Ndak, dulu memang saya coba bu. Pertama kali IUD, alasannya ya cukup anu buk.Kencing terus buk. Kata bidane ... wo iki cedek ... cedek apane buk sing cedek ngene [dekat apanya]. Aduh gak usah wes. “ ... Di lepas, Iya langsung di lepas, Saya sampek gilo bu terus umbah-umbah pendarahan terus [saya samppai risih mencuci bekas pendarahan terus].Terus ganti suntik.Itulah alasan saya pakai suntik.” (Ibu non-KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang)

Berhenti menggunakan alat kontrasepsi

Ketidakcocokan dengan jenis alat kontrasepsi tertentu membuat pasangan usia subur berhenti menggunakannya atau berpindahke jenis alat kontrasepsi lain. Keputusan berhenti atau berpindah ke jenis alat kontrasepsi lain biasanya didasari saran bidan atau nasihat dari teman ataupun pasangan. Ditemukan masalah seperti yang dialami salah satu keluarga yang tidak cocok dengan minum pil, yang akhirnya mengganti dengan metode suntik. Keluarga lain merasa tidak cocok dengan alat kontrasepsi yang dipakai akhirnya tidak menggunakan jenis apapun.

31

“Dulu itu pakai KB, ya kata istri saya itu ya tadi ya kadang orang tu pakai pil tu ndak jodo.Ndak jodo ndak cocok.Ndak cocok gitu. Ya yang cocok itu pakai suntik itu.”(Bapak non-KB, Ds. Wonogriyo,Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “Sebenarnya sih ndak ada. Cuman ya itu aja kalau istri aku kan kadang-kadang trauma. Kalau sudah suntik tu mensnya terus. Betul-betul teliti sekarang. Penting sekarang biar ndak jadi beban untuk istri. Pakai kalender ndak masalah.” (Bapak non-KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “... gantian, kan suntik itu mens-nya nggak lancar. Terus saya ngepil, katanya gitu kalaumens-nya ndak lancar harus pindah.” (Ibu KB, Ds. Jarit, Kec.Candipuro, Kab. Lumajang)

Beralih ke metode kontrasepsi tradisional

Cerita kegagalan menggunakan alat kontrasepsi modern mendorong pasangan usia subur justru memilih cara tradisional seperti metode kalender dan metode “jongkok”. Yang dimaksud dengan metode jongkok adalah upaya mengeluarkan kembali sperma yang ada dalam mulut rahim segera setelah berhubungan intim. Harapannya dengan keluarnya sperma dari rahim, pembuahan/kehamilan tidak akan terjadi. Pengalaman informan, metode jongkok sudah dilakukan bertahun-tahun dan terasa nyaman. Umumnya metode ini populer pada pasangan usia subur yang tidak berpengalaman menggunakan alat kontrasepsi modern. Mereka tidak takut gagal dengan metode tersebut. Namun demikian bila gagal hal demikian dianggap sudah menjadi nasib untuk memperoleh “rejeki” melalui kehamilannya, seperti kutipan berikut:

“… mayoritas masyarakat sini … pakai suntik, IUD … banyak yang gagal…”(Bapak non-KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “ ... suntik pendarahan bu...enak jongkok... berhubung ndak cocok...iya sudah jongkok aja ... Pakai IUD sama suami ndak boleh.”(Ibu non-KB, Ds Jarit, Kec. Candipuro, Kab. Lumajang) “Kalau sudah dikasih anak ya sudah rezekinya.” (Ibu non-KB, Ds Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang).

B. Manajemen Program Keluaraga Berencana

B.1. Kebijakan dan alokasi anggaran terkait KB

Secara umum dukungan pemerintah daerah terhadap program KB cukup memadai walaupun masih banyak tantangan yang berasal dari sisi demand. Bidang kesehatan termasuk KB menjadi prioritas program di Kabupaten Lumajang. Kebijakan ini mendukung program nasional. Ketersediaan dana daerah dialokasikan untuk bersinergi dengan kebijakan nasional. Misalnya, bila kebijakan nasional memberikan kendaraan operasional seperti sepeda motor maka kebijakan daerah memberikan bantuan BBM (bahan bakar minyak). Kebijakan daerah lain seperti memberikan insentif bagi petugas lapangan dan membebaskan biaya pelayanan KB di fasilitas kesehatan milik pemerintah.

Kebijakan

Pemerintah daerah memberikan layanan gratis untuk layanan KB bagi penduduk. Tempat layanan yang bisa diakses dengan layanan gratis ini adalah di fasilitas kesehatan pemerintah seperti Puskesmas, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan rumah sakit swasta yang ditunjuk.

32

Yang dimaksud dengan layanan gratis di atas adalah bebas biaya untuk jasa pemasangan dan alat kontrasepsi KB. Meskipun demikian, pemerintah daerah tetap memberlakukan Peraturan Daerah No. 9 dan 10 tahun 2009 tentang pengaturan pendapatan daerah. Peraturan ini mengenakan biaya retribusi di tempat pelayanan termasuk layanan di fasilitas kesehatan dimana hasilnya disetor ke kas pemerintah daerah. Dengan demikian pemakai jasa layanan kesehatan termasuk KB di Puskesmas dan rumah sakit tetap dikenakan retribusi (karcis). Besar retribusi yang harus dibayar adalah Rp.3.000,- di Puskesmas dan Rp.6.000,- di rumah sakit untuk sekali berkunjung di tempat layanan tersebut. Kebijakan lainnya direalisasikan dengan mengalokasisikan dana untuk membangun jejaring dengan mitra kerja seperti PKK dan kader PKK di tingkat kecamatan dan desa, kader KB di setiap dusun, pengadaan ambulan desa, pengadaan peralatan habis pakai di fasilitas layanan, transportasi pendukung layanan dan lain-lain.

Pengajuan anggaran untuk semua program pembangunan daerah termasuk bidang KB diajukan setiap tahun. Mekanisme pengajuan anggaran akan diproses di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bapeda) dan Musrenbang (musyawarah perencanaan dan anggaran). Setiap bulan Oktober, Badan Keluarga Berencana (BKB) telah mengajukan anggaran ke Bappeda. Pengajuan anggaran ini diproses di DPR. Musrenbang menjadi pengawal proses penganggaran tersebut.

Alokasi anggaran

Dana pendukung program kesehatan dan KB berada di dua instansi pemerintah daerah yaitu BKB dan Dinkes. Dana yang diajukan di lingkungan BKB digunakan untuk: a. Kesekretariatan seperti alat tulis kantor, percetakan, listrik, air dan lain-lain b. Bidang KS: pembinaan PKBD, Posyandu padu, pembinaan PKR dan lain-lain c. Bidang KB: pelayanan KB Safari PKK, pelayanan Safari TNI, pelayanan KB keliling dan

pelayanan KB pada momentum tertetu. Dana untuk KB yang diajukan di lingkungan Dinas Kesehatan (Dinkes) diantaranya digunakan untuk pelayanan terkait kegiatan KB yang terpadu dengan program lain seperti Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), gizi, pembinaan rutin secara berkala ke penyedia pelayanan kesehatan, even Safari KB, pembelian alat habis pakai yang dibutuhkan saat pemasangan alat kontrasepsi, seperti betadine, hand soap dan kasa. Alokasi dana lain dari APBD adalah untuk membangun jejaring dan renumerasi kader. Hingga tahun 2013, Kabupaten Lumajang telah mempunyai sebanyak 1.900 kader. Setiap kader di tingkat desa memperoleh insentif sebesar Rp.40.000,- per bulan dan di tingkat RW sebesar Rp.35.000,-. Setiap pemasangan IUD akan diberikan insentif sebesar Rp.40.000,- untuk petugas kesehatan, Rp.25.000,- untuk petugas KB danRp.10.000,- untuk kader. Dengan demikian, di lapangan ada insentif dua macam isentif yaitu insentif tetap bulanan bagi kader dan insentif tambahan bila menemukan calon atau akseptor KB baru. Terkait dengan alokasi dana untuk kesehatan dan KB, sebagian APBD Pemerintah Daerah Lumajang mengalokasikan untuk pengadaan ambulan desa. Untuk operasional ambulan berasal dari ADD (Alokasi Dana Desa). Program ini bertujuan untuk meminimalisir angka kematian ibu dan bayi dari risiko akses atau hambatan jarak persalinan ke tenaga kesehatan (terlambat ke tempat pelayanan kesehatan). Selain itu, ambulans dapat digunakan secara gratis untuk pasien yang meninggal di rumah sakit. Dengan demikian diharapkan upaya ini dapat meringankan beban keluarga.

33

Saat ini sudah terealisasi sebanyak 58 mobil ambulan. Direncanakan akan ada 205 mobil ambulandi semua desa Kabupaten Lumajang. Pengadaan dilakukan secara bertahap dengan memprioritaskan desa di wilayah terpencil. Sejauh ini APBD dapat merealisasikan rencana ini.

Pada prinsipnya, jaminan kesehatan bagi masyarakat mengikuti kebijakan nasional. Jampersal meliputi pembiayaan layanan persalinan dan pasca persalinan. Layanan dengan Jampersal ini mendorong tenaga kesehatan untuk memotivasi klien agar segera menggunakan alat kontrasepsi jangka panjang pasca persalinan. Dengan demikian klien memanfaatkan layanan pasca persalinan sekaligus memasang alat kontrasepsi. Biaya layanan pemasangan oleh pengelola layanan selanjutnya diklaim ke Dinkes.

Jaminan kesehatan

Sebelum adanya kebijakan “gratis untuk semua”, hanya peserta Jamkesmas dan Jampersal yang dibebaskan dari biaya layanan untuk pasca persalinan. Namun saat ini akseptor KB yang bukan peserta Jamkesmas dan Jampersal pun dibebaskan dari biaya layanan di tempat layanan kesehatan pemerintah. Untuk klien yang bukan atau tidak memiliki Jampersal, pemasangan MKJP diklaim ke BKKBN melalui BKB setempat. Kebijakan seperti ini diinformasikan dapat meningkatkan cakupan KB terutama alat kontrasepsi jangka panjang. B.2. Pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi

Mekanisme pengadaan alat kontrasepsi berdasar dan mengikuti kebijakan nasional. Alat kontrasepsi dari BKKBN Pusat dikelola oleh Badan Keluarga Berencana (BKB) Kabupaten. Pengelola alat kontrasepsi di tingkat kabupaten ini kemudian mendistribusikan alat kontrasepsi ke berbagai layanan seperti Puskesmas dan rumah sakit melalui PLKB. Sedangkan alat kontrasepsi pil dan suntik yang diperoleh BPS, klinik dan tempat layanan KB lain berasal dari apotik, toko obat dan sales obat yang diadakan secara mandiri dan dibebankan kepada konsumen.

Mekanisme pengadaan

Berdasarkan pengalaman selama ini, cadangan semua alat kontrasepsi cukup kecuali implan. Dilaporkan bahwa animo terhadap penggunaan implan cukup tinggi namun ketersediaanalat kontrasepsi di BKB daerah dan di tempat layanan di fasilitas kesehatan milik pemerintah sangat terbatas. Sedangkan pemasanganimplan di tempat layanan swasta dinilai cukup mahal yaitu sekitar Rp.600.000,-. Pendistribusian alat kontrasepsi di BKB Kabupaten ke tempat layanan didasarkan pada rata-rata kebutuhan alat kontrasepsi di tempat layanan. Bila terjadi kekurangan di tempat layanan, maka pemberi layanan diperbolehkan “nge-bon” atau ambil langsung ke BKB (bagian logistik). Kebijakan ini dinilai cukup fleksibel untuk kondisi di tempat layanan. Pendistribusian alat kontrasepsi dari BKB Kabupaten untuk tempat layanan seperti rumah sakit, Puskesmas dan Puskesmas pembantu (Pustu) dan layanan lain yang ditunjuk sudah dilakukan sesuai dengan pedomannya. Kebutuhan alat kontrasepsi jenis implan dilaporkan cukup tinggi namun ketersediaan alat kontrasepsi ini terbatas. Stok implan dilaporkan selalu kekurangan diberbagai tingkat layanan. Dilaporkan bahwa bila ada droping dari pusat, alat kontrasepsi ini langsung terdistribusi ke tempat layanan dan disosialisasikan ke masyarakat.

34

Pelayanan pemasangan penggunaan IUD dan implan dilakukan di Puskesmas dan rumah sakit. Pada pespektif klien yang berada di daerah pedesaan, bahwa akses layanan yang dianggap praktis adalah BPS. Oleh karena itu, selain masih ada hambatan terkait dengan rumor, efek samping, norma, ketersediaan alat kontrasepsi khususnya implan, maka hambatan lain adalah akses layanan. Akses layanan yang dianggap praktis oleh masyarakat pedesaan adalah BPS yang berada di sekitar tempat tinggalnya.

Pelayanan KB dan pembiayaannya

Layanan pemasangan KB tanpa biaya untuk semua jenis alat kontrasepsi yang dilayani di fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta yang ditunjuk telah disampaikan. Peserta KB mandiri umumnya datang ke BPS/klinik. Berdasar informasi yang diperoleh di lapangan, BPS hanya memberi layanan suntik dan pil di rumah/kliniknya. Layanan pemasangan atau penggunaan alat kontrasepsi lain seperti IUD dan implan dilakukan di Puskesmas atau rumah sakit dengan pengawasan dokter atau tenaga kesehatan terlatih. Layanan pemasangan alat kontrasepsi jangka panjang seperti IUD dan implan dilakukan di Puskesmas, sedangkan layanan MOP/MOW dilakukan di rumah sakit. Bila ada klien yang datang ke BPS dan meminta pelayanan IUD dan implan, bidan biasanya akan menyarankan pasien untuk datang Puskesmas saja. Kewenangan bidan untuk melakukan praktek pemasangan IUD dan implan di rumah atau di klinik pribadi masih belum jelas. Apakah kebijakan tersebut sebagai pelaksanaan peraturan kementrian kesehatan atau kebijakan lokal. Bila demikian maka akses layanan untuk MKJP relatif menjadi lebih jauh (harus ke Puskesmas dan rumah sakit) dibanding layanan non-MKJP seperti suntik dan pil, yang relatif mudah dijangkau di daerah pedesaan (cukup ke rumah bidan/klinik). Dalam upaya meningkatkan cakupan MKJP, kebijakan pelayanan pemasangan penggunaan IUD dan implan yang hanya diperkenankan dilakukan di Puskesmas dan rumah sakit kiranya perlu dipertimbangkan kembali. Hal ini didasarkan pertimbangan atas perspektif klien terhadap akses layanan.Pelayanan di BPS yang membuka praktek di rumahnya dianggap lebih praktis.Sedangkan BPS yang membuka layanan di rumah/kliniknya hanya diperbolehkan melayani konsultasi atau memberi layanan kontrasepsi jenis pil dan suntik. Untuk itu perlu dipertimbangkan kembali kewenangan bidan dalam layanan pemasangan MKJP, khususnya IUD dan implan, di rumah/klinik tanpa mengabaikan ketentuan dalam standar operasional dan prosedur. Biaya pelayanan KB di BPS maupun klinik swasta bervariasi tergantung jenis alat kontrasepsi. Umumnya biaya pelayanan yang dikenakan untuk menggunakan alat kontrasepsi suntik sebesar Rp.15.000,- dan alat kontrasepsipil sebesar Rp.5.000,-. Sedangkan layanan di Puskesmas atau rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta yang ditunjuk gratis untuk semua jenis alat kontrasepsi.Lebih lanjut, harga alat kontrasepsi di Kabupaten Lumajang disajikan di Tabel 4.7. Tabel 4.11 Harga alat kontrasepsi dan pelayanan beragam jenis KB di Puskesmas dan bidan Kabupaten

Lumajang Jenis alat

kontrasepsi Pelayanan Biaya

Suntik BPS Rp. 15.000,- Pil BPS RP. 5.000,- Semua jenis alat kontrasepsi

Puskesmas/ RS

Gratis di fasilitas pemerintah dan swasta yang ditunjuk

Jasa pemasangan alat kontrasepsi sudah diatur dalam peraturan daerah. Untuk jasa pemasangan IUD, petugas layanan KB di Puskesmas akan mengklaim sebesar Rp.80.000,- ke

35

Dinkes setempat. Uang tersebut dibagi ke dua petugas, yaitu petugas kesehatan sebesar Rp.40.000,- dan petugas lapangan KB sebesar Rp.40.000,-. Demikian pula layanan MOP/MOW yang dilakukan di rumah sakit.Petugas dapat mengklaim jasa pemasangan sebesar Rp.550.000,- ke Dinkes setempat. Besar klaim tersebut diperuntukkan petugas layanan di rumah sakit sebesar Rp.300.000,- dan Rp.100.000,- untuk petugas KB di lapangan. Akseptor MOP/MOW juga memperoleh uang pengganti waktu produksi sebesar Rp.150.000,-. Mekanisme untuk mengklaim jasapelayanan KB juga sudah diatur dalam peraturan daerah. Petugas kesehatan mengklaim jasa pelayanan MKJP ke Dinkes atau ke BKKBN. Jasa untuk pelayanan peserta Jampersaldiklaim ke Dinkes, sedangkan klien non Jampersal diklaim ke BKKBN. Diperkirakan 50% akseptor KB mandiri datang ke BPS/klinik swasta. Umumnya mereka datang ke ke BPS/klinik swasta untuk memperoleh layanan KB suntik. Kemudahan akses dan kepraktisan metode ini berkontribusi besar terhadap cakupan KB jenis ini. B.3. Sumber daya manusia

Jumlah bidan dan dokter dilaporkan cukup memadai dan merata di Kabupaten Lumajang. Namun, jumlah Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) dirasakan belum cukup dan belum merata untuk setiap desa. Saat ini rata–rata satu orang PLKB menangani 2-3 desa wilyah kerjadan bahkan ada yang merangkap sebagai koordinator PLKB. Menurut informan dari BKB, jumlah PLKB yang dianggap ideal adalah satu orang petugas lapangan KB menangani 1-2 desa.

Jumlah tenaga

Belum semua bidan mengikuti pelatihan Contraceptive Technology Update (CTU). Demikian juga belum semua bidan memperoleh pelatihan penggunaan ABPKB (Alat Bantu Pengambilan Keputusan KB). Waktu untuk praktek pemasangan alat kontrasepsi pada pelatihan CTU dilaporkan kurangsehingga peserta diminta melanjutkan praktek di tempat kerja.

Pelatihan

Ada kebutuhan untuk meningkatkan kualitas keterampilan pemasangan MKJP seperti IUD dan implan bagi bidan pada saat pelatihan. Alokasi waktu dalam pelatihan untuk praktek/latihan pemasangan alat kontrasepsi jenis ini dinilai belum cukup. Selama ini untuk menutupi kekurangan waktu praktek tersebut, bidan diminta untuk belajar sendiri di lapangan dengan bimbingan bidan senior atau dokter yang berpengalaman. Terkait koordinasi antar lembaga dipelayanan KB, terdapat kebutuhan untuk mempertegas kewenangan bidan dalam layanan pemasangan MKJP khususnya untuk IUD dan implan.Selain itu, juga terdapat kebutuhan untuk meningkatkan keterampilan kader atau petugas lapangan KB dalam konseling termasuk pengetahuan dan keterampilan mengidentifikasi kebutuhan jenis alat kontrasepsi yang diinginkan dan sesuai dengan kondisi kesehatan calon akseptor. Kebutuhan peningkatan keterampilan ini dilatarbelakangi oleh banyaknya kasus calon akseptor yang dirujuk kader/PLKB gagal dilayani pada saat menjelang pemasangan alat kontrasepsi karena kondisi kesehatan calon akseptor yang diperiksa tidak memenuhi persyaratan. B.4. Kerjasama antar instansi

Layanan KB melibatkan berbagai pihak terkait termasuk melibatkan bidan swasta murni (BPS yang bukan pegawai negeri juga diikutkan dalam pelatihan). Hal ini dapat dinilai sebagai upaya positif untuk meningkatkan layanan dan cakupan peserta KB.

36

Di tingkat kabupaten, dilaporkan bahwa PKK, ABRI/TNI dan pemberdayaan masyarakat cukup aktif berperan membantu dalam meningkatkan cakupan program KB. Biasanya pada momentum tertentu misalnya dalam memperingati hari jadi Bhayangkara, hari jadi kota/kabupaten, mereka cukup aktif membantu memberi layanan termasuk mencari akseptor baru. Pembagian peran petugas layanan KB di masyarakat sudah diatur secara kelembagaan. Di tempat layanan seperti rumah sakit, Puskesmas, klinik, bidan dan dokter praktek swastamemberi layanan pemasangan alat kontrasepsi kepada klien. Di tingkat desa, PLKB, petugas KB desa, sub petugas KB desa merupakan personel yang berperan sebagai promotor, motivator atau penggerak masyarakat dalam bidang KB secara umum. Kerjasama antar lembaga tersebut selama ini dilaporkan berjalan baik namun beberapa informan merasa perlu memperjelas kembali tupoksi antara petugas lapangan KB dan pelayanan KB.Lebih lanjut, instansi yang terlibat dalam layanan KB disajikan di Tabel 4.8. Tabel 4.12 Instansi yang terlibat dalam layanan KB di Kabupaten Lumajang

Tingkat kabupaten Tingkat Layanan BKB, Dinkes, PKK , ABRI / TNI, Dinas Pemberdayaan Masyarakat, semua sektor pada momen tertentu

RS (negeri dan swasta, Puskesmas, klinik swasta, BPS/DPS), PLKB, Petugas KB desa, Sub Petugas KB desa

Pelayanan KB di Kabupaten Lumajang belum banyak melibatkan sektor swasta, seperti perusahaan yang ada di wilayah kabupaten. Kondisi wilayah kabupaten umumnya pertanian. Belum banyak industri atau perusahaan-perusahaan besar sebagaimana daerah lain di bagian utara di Jawa Timur B.5. Menciptakan kebutuhan

Promosi program KB merupakan kegiatan rutin yang dilakukan Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BPPKB)mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan, hingga tingkat desa. Berbagai upaya promosi telah dilakukan dengan berbagai saluran komunikasi seperti media elektronik (audio), media cetak (spanduk, poster), hingga pendekatan personal, seperti penyuluhan secara individual melalui kunjungan rumah atau sakunjungan calon akseptor ke fasilitas kesehata, maupun secara berkelompok pada pertemuan arisan, pengajian dan pertemuan masyarakat.

Promosi program

Di lingkungan BPPKB, promosi KB dilakukan oleh PLKB, PPKBD and sub-PPKBD. Di masyarakat, petugas kesehatan seperti bidan Puskesmas dan bidan desa, juga melakukan promosi. Promosi umumnya dilakukan melalui penyuluhan di Posyandu, pengajian, pertemuan umum di kelurahan/desa. Meskipun masih dengan cara konvensional, saluran komunikasi ini dinilai masih efektif. Program daerah yang lebih spisifik seperti dialog interaktif diradio dilaporkan masih berjalan. Promosi KB berisi informasi umum. Belum ada program promosi khusus untuk promosi MKJP. Promosi dengan pemutaran film diinformasikan juga masih dilakukan terutama di daerah pedesaan. Upaya lain dilakukan melalui kegiatan safari KB atau pelayanan mobile. Kegiatan ini dilakukan bekerja sama dengan petugas kesehatan.PLKB dibantu oleh kader Posyandu dan kader KB yang secara aktif melakukan pendekatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan KB dengan menggunakan MKJP yang diberikan secara gratis.

37

Insentif disediakan bagi PLKB/PPKBD/sub-PPKBD dan petugas kesehatan yang berhasil mendapatkan akseptor baru untuk penggunaan MKJP.Untuk meningkatkan minat masyarakat melakukan MOW dan MOP, disediakan kompensasi waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan pasca operasi (karena tidak bisa bekerja). Potensi untuk meningkatkan cakupan penggunaan MKJP cukup tinggi. Animo masyarakat terhadap penggunaan implan dilaporkan sangat tinggi. Alat kontrasepsi jenis implan sebagai alternatif peningkatan cakupan penggunaan MKJP dalam waktu dekat sangat memungkinkan karena terhindar dari hambatan norma, stigma dan penolakan dari suami. Meskipun secara rutin telah melakukan promosi tetang KB namun promosi penggunaan alat kontrasepsi yang mengarah pada MKJPmasih minim. Promosi yang dilakukan masih bersifat umum baik dilakukan melalui media elektronik, momentum, maupun media konvensional seperti pertemuan, pengajian dan kegiatan sosial lainnya.

Pada umumnya petugas tetap memberikan layanan dengan prinsip kafetaria di tempat pelayanan KB. Klien diberi keleluasaan memilih alat kontrasepsi yang akan digunakan. Namun demikian, akseptor lama umumnya sudah memiliki referensi alat KB yang akan digunakan. Konseling tidak hanya diberikan pada aksepstor baru tetapi juga dilakukan bila kliennya datang ke tempat pelayanan dengan masalah atau keluhan atau berkeinginan mengganti alat kontrasepsi.

Konseling KB

Di tengah masyarakat, konseling KB dilakukan secara personal pada saat kegiatan seperti Posyandu, safari KB, atau kegiatan sosial lain. Bahkan konseling juga dilakukan dengan kunjungan rumah oleh petugas lapangan seperti PLKB,PPKBD dan sub-PPKBD. Untuk memperlancar layanan, para petugas kesehatan berharap bahwa petugas KB desa juga mempunyai keterampilan konseling dan memahami kondisi kesehatan/fisik calon akseptor. Tujuannya supaya pada saat datang ke petugas kesehatan untuk menggunakan alat KB tidak lagi banyak waktu untuk memberikan penjelasan. Harapan tersebut disampaikan karena sering kali para petugas kesehatan yang menerima rujukan calon akseptor (yang biasanya diantar sendiri oleh petugas KB desa) gagal memasang alat kontrasepsi karena berbagai sebab seperti alat kontrasepsi yang diinginkan tidak cocok dengan kondisi klien, atau alasan kesehatan lainnya. Alat peraga untuk melakukan konseling disimpan di tempat layanan para petugas. Penggunaannya tergantung dari kebutuhan. Bagi akseptor lama alat peraga jarang digunakan, namun untuk aksepstor baru atau akseptor lama yang perlu penjelasan maka alat tersebut akan digunakan. Sayangnya belum semua bidan mengikuti pelatihan CTU dan memiliki alat peraga untuk membantu proses konseling.

C. Pendapat Masyarakat C.1. Sikap masyarakat

Masyarakat di daerah studi umumnya bersikap positif untuk mendukung program KB. Mereka merasa terbantu oleh adanya program KB. Bahkan ada yang kurang bersimpati bila melihat keluarga dengan banyak anak. Pada sisi lain merasa kasihan karena keluarga yang banyak anak tersebut termasuk yang kurang mampu ekonominya.

Sikap pasangan usia subur

“Ngomong kalau ada KB itu alhamdulilah. Susah, kalau ndak ada ini susah. Kalau banyak anak kan gak imbang dengan pemasukan rejekinya itu ... Alhamdulilah saya bu. Kalau di masyarakat sini

38

sudah setuju pak ya dengan orang-orang pakai KB.Mayoritas disini, ya semua disini KB. Anggapan masyarakat mengenai orang yang ndak ber-KB, ndak menghina gitu, tahu keadaan keyak gitu kok punya anak. Kasian sebetulnya. Ya sudah terlalu banyak anak, kalau sudah kurang mapan.”(Bapak KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “ Setuju, setuju, malah senang[adanya program KB].” (Ibu non-KB, Ds. Jarit, Kec. Candipuro, Kab. Lumajang)

Memang sebagian besar masyarakat saat ini sudah tidak asing lagi dengan program KB. Namun demikian, pasangan yang baru menikahtidak serta merta langsung bersedia menjadi akseptor KB. Biasanya keluarga dari pasangan yang baru menikah ingin memiliki anak sesegera mungkin. Berbagai alasan antara lain agar tidak dikatakan “mandul”. Mempunyai anak merupakan ikatan bagi kelangsungan pernikahan. Istilah masyarakat setempat menyebutnya sebagai “pegangan”. Ada anggapan bahwa bila langsung pakai alat kontrasepsi dikawatirkan kesulitan memperoleh keturunan. Setelah mempunyai anak kemudian memutuskan untuk menggunakan alat kontrasepsi.

“Kalau awalnya masih anu bu ya, istilahnya ragu. Ragu takut setelah makai ndak anu. Ndak punya keturunan. Setelah anu itu buk. Nyatanya ya ndak sudah bu ya. Katanya kalau memang baru nikah itu katanya ndak boleh pake KB dulu. Tapi istri saya dulu pakai. Terus kok lama sampai 1 tahun. Berhentinya itu sampai 1 tahun kok ndak punya-punya anak gitu terus sampai pakai telur sama apa itu degan kopyor itu. Ya itu yai itu di minum itu. Ya lama-lama itu terus punya anak itu. Jadi dulu waktu denger KB waktu mau menikah ndak boleh pakai KB.”(Bapak KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “Iya. Waktu pernikahan kan masih usia muda buk ya. Tidak diperbolehkan pakai KB. Karena pa karena sampek pakai KB akhirnya kering tadi buk sampai ndak punya anak keturunan kan siapa yang rugi. Kan keluarga sendiri yang rugi jadi ndak diperbolehkan waktu itu. Ndak usah KB wes gitu. Jadi nanti kalau sudah punya anak, baru KB.”(Bapak KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “Pertama itu memang ndak boleh. Ndak boleh pakai KB. Kalau saya sing ndak boleh awal-awalnya. Sampai punya anak dulu. Iya sampai punya keturunan baru kita ndak papa. Punya pegangan kuat.” (Bapak KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang)

Ada yang percaya bahwa alat kontrasepsi dapat menyebabkan orang menjadi mandul. Oleh karena itu ada keluarga yang melarang menggunakan alat kontrasepsi bagi pasangan yang baru menikah.

“Pernah istri saya pertama kan pakai pil. Sudah berapa bulan pakai pil, 6 bulan terus ibu saya itu tepak istri saya ndak ada langsung di buka itu lemari. Kok ada pil. Lho kamu jangan pakai pil dulu kamu belum punya anak. Takut kering apa elase apa, kering nanti ndak punya anak nanti kamu nanti. Coba kamu berhenti ae ndak usah pakai ini. Terus berhenti sampai satu tahun itu baru, baru punya anak.” (Bapak KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang)

Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab terdahulu, program KB sudah memasyarakat di wilayah Kabupaten Lumajang. Sebagian besar masyarakat telah menerima program KB dengan baik. Beberapa keluarga yang saat ini tidak ikut program KB (menggunakan alat kontrasepsi) bukan berarti bersikap antipati terhadap program ini. Biasanya mereka tidak ikut program KB karena sedang menginginkan anak atau tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi karena dirinya merasa mandul, sejak awal nikah belum dikaruniai anak.

“Ya memang bener anjuran dari pemerintah.. ya sekarang itu lebih majulah penuntutan ilmu, lebih majulah suatu keadaan juga ditempuh itu masa depannya lebih, saingan banyak, perlu pengatur perekonomiannya sendiri. Itu kalau anaknya banyak apa bisa bantu anak [yang] urutan ke tiga ke empatnya sekolah lebih tinggi. Kan gitu. Kalau kira-lira cukup 2 anak itu mungkin ekonomi ada sisa untuk di tabung untuk mensekolahkan anak kan. Nanti kalau kebanyakan anak berlebihan.

39

Sekarang kan bahan pokoknya kan tambah mahal.Tapi memang ada kepapak bu ya. Tambah anak tambah rejeki. Aduuuh .... “ (Bapak, Non-KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang)

“Iya. Mulai anak saya umur 4.Sama suami ndak boleh ikut apa-apa.Kepengen punya anak lagi.Sampek sekarang belum di beri-beri.“(Ibu non-KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “Dulu itu saya pakai KB, terus saya kumpul sama istri saya itu yang kepengen punya anak itu memang hampir 4 tahun baru punya anak. Terus setelah ini saya bilang sama istri saya. Ndak usah pake KB aja ndak papa. Gitu saya. Saya memang kepengen punya anak.”(Bapak non-KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang)

“Apa spermanya itu kalau memang ndak subur itu? Kalau ndak ada ya terlalu ngoyok, tapi setelah punya anak ya sudah. Cuma ini kan cerita, tapi memang pembuktiannya kan gini.“ (Bapak non-KBDs. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang)

Sebagian keluarga masih berpendapat banyak anak berkaitan dengan sumber daya untuk membantu ekonomi keluarga. Anak terutama laki-laki bisa menjadi sumber daya keluarga. Harapan keluarga kelak bila anak laki-laki telah berumur 12 tahun bisa membantu bekerja di sawah.

“Sebenarnya itu sebagian ada, mengingat kalau di daerah kota ndak ada. Nah kalau di pedesaaan itu banyak yang pakai kata-kata itu. Masalahnya kalau banyak anak banyak rejeki apalagi punya anak laki-laki. Umur 12-15 bisa mencangkul sudah cukup. Bisa mbantu orang tua bu mbaja di sawah-sawah bisa mbantu orang tua kalau anak laki-laki. Apalagi kalau punya 1 lusin umpama.”(Bapak non-KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “Apalagi saya paling tua ini. Bapak saya dulu atau bahkan nenek saya itu selalu menganjurkan kayak pak harto sebut tadi. Bagimana kalau jaman-jaman sekarang kalau orang orang tua seperti itu apa bagaimana pak?Kalau mertua saya dulunya masih punya prinsip seperti itu. Kalau orang tua saya dulu itu. Tapi semua almarhum sudah. Kita harus punya-punya ide-ide sendiri sekarang.” (Bapak, non-KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang)

Hasil FGD diperoleh informasi bahwa ada kelompok masyarakat yang sampai saat ini masih menolak KB karena menganggap bahwa hamil merupakan ibadah. Hamil diinterprestasikan dengan menunaikan ibadah maka mereka akan memperoleh pahala. Oleh karena itu, kelompok masyarakat tersebut tidak bersedia menggunakan alat kontrasepsi. Kelompok lainnya yang tidak menggunakan alat kontrasepsi karena alasan kesehatan, efek samping, atau percaya dengan metode tradisional yang digunakan.

“Kalau dulu memang iya ada prinsip seperti itu maka sodara saya itu 7. Ndak pernah KB Kban itu ... itu sudah. Apalgi yang berhubungan dengan agama. Orang yang sudah hamil kan mendapat pahala gitu.” (Bapak non-KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “Ndak, dulu memang saya coba bu. Pertama kali IUD, alasannya ya cukup anu buk.Kencing terus buk. Kata bidane..wo iki cedek.. cedek apane buk sing cedek ngene [dekat apanya]. Aduh gak usah wesNdak, dulu memang saya coba bu. Pertama kali IUD, alasannya ya cukup anu buk. Kencing terus buk. Kata bidane... wo iki cedek ... cedek apane buk sing cedek ngene [dekat apanya]. Aduh gak usah wes.” (Ibu Non-KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “Saya sampek gilo bu terus umbah-umbah pendarahan terus [saya samppai risih mencuci bekas pendarahan terus]. Terus ganti suntik ... itulah alasan saya pakai suntik.Sudah mencoba semua.” (Ibu Non-KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “Ndak pake KB. Apa, jamunya gampang, Bu. Cuma kopi itu, sama telur itu, apa itu, kapur gamping itu.“ (Bapak Non-KB, Ds. Jarit, Kec. Candipuro, Kab. Lumajang) “Kalau disini, menurut saya, cuek-cuek aja.Nggak pernah, intinya ada orang pake, Pak Suji, komplen gini, atau gimana, enggak.”(Ibu non-KB, Ds. Jarit, Kec. Candipuro, Kab. Lumajang)

40

“Karena, karena dari keluarga saya nggak pernak pake memang. Tapi kalau dengar-dengar dari temen-temen katanya untuk mengurangi ini, menyusun, susun, apa ya, turunan satu dengan duanya, mungkin gitu. Mungkin. Mungkin.”( Ibu non-KBDs. Jarit, Kec. Candipuro, Kab. Lumajang)

Hasil wawancara dengan ibu dan mertua PUS memberikan kesan bahwa mereka tidak semuanya antipati dengan program KB. Sebagian dari mereka menilai bahwa keluarga kecil lebih membahagiakan. Ibuyang diwawancarai ini umumnya berpikir secara praktis bahwa dengan sedikit anak maka keluarga lebih mampu secara ekonomi sehingga dapat menyekolahkannya sampai ke pendidikan tinggi.

Sikap orang tua/mertua

“... banyak bu, yang anaknya dua atau satu, tapi sepertinya ya ndak sekaya itu, tapi enak, anaknya bisa sekolah sampai tinggi, ini anak saya juga ingin nambah lagi, masih punya satu, dulu pernah ada tapi meninggal.” (Ibu/Mertua PUS KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “Lek akeh anak e kewalahan nggeh, golek pangan e kewalahen, kate nyekolaken anak angel, nggeh ah soale bagi penghasilan kan repot. [Kalau anaknya banyak kewalahan ya, cari makannya kewalahan, mau menyekolahkan sulit, yak an karena bagi penghasilan kan repot].”(Ibu/Mertua PUS KB, Ds. Jarit, Kec. Candipuro, Kab. Lumajang) “... Keluarga sejahtera ... Ya bisa menyekolahkan anaknya sampai tinggi, terus cukup ekonominya, bisa kasih jajan, anak minta bisa terpenuhi, itu wes. ... Ya kerja keras bu, biar bisa dapat uang yang cukup.”(Ibu/Mertua PUS KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang)

Dari orang tua PUS yang diwawancarai ada yang tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi namun demikian mereka memberi keleluasaan pada anak-anaknya untuk menentukan apakah akan menggunakan atau tidak menggunakan alat kontrasepsi.

“Ohh, bar babaran terus di operasi terus mboten tumut KB? [Setelah hamil terus dioperasi terus tidak ikut KB?].”(Ibu/Mertua PUS KB, Ds. Jarit, Kec. Candipuro, Kab. Lumajang) “ ... Lek genduk niku wes sampun operasi seng nomer sekawan niku.Lek seng setunggal mboten gadah yoga.[Kalau genduk sudah operasi yang nomer empat itu.Kalau yang satunya tidak punya anak].”(Ibu/Mertua PUS KB, Ds. Jarit, Kec. Candipuro, Kab. Lumajang)

C.2. Pengetahuan alat kontrasepsi

Hasil FGD dan wawancara mendalam memperlihatkan bahwa ada perbedaan pengetahuan tentang alat kontrasepsi antara PUS dan para orang tuanya. Para orang tua memang sudah mengenal alat kontrasepsi. Namun pengetahuan yang dimiliki terbatas pada alat kontrasepsi tertentu seperti pil dan suntik (non-MKJP). Diterangkan bahwa pil yang dikenal masih ada warna coklatnya. Mereka mengetahui tentang cara berlaku masa penggunaan suntik yaitu tiga bulan dan satu bulan. Tidak semua informan mengetahuiIUD, implan dan MOP/MOW (MKJP). Dari informan yang mengetahui MKJP terkesan kurang paham mengenai cara penggunaannya.

Pengetahuan MKJP pada PUS dan orang tua/mertua

Beberapa ibu dari kelompok orang tua yang diwawancara sebagian bisa menyebut semua alat kontrasepsi jenis pil, suntik, implan dan IUD. Namun demikian, pengetahuan mengenai cara penggunaan alat kontrasepsi tersebut masih terbatas (lihat rangkuman dalam Tabel 4.9). Pengetahuan diantara PUS pada kelompok ibu yang tidak menggunakan alat kontrasepsi dan ibu yang menggunakan alat kontrasepsi juga berbeda. Perbedaan pengetahuan diketahui saat mereka diminta untuk menyebutkan alat kontrasepsi jangka panjang. Para ibu yang

41

menggunakan MKJP tampak lebih lancar menyebut alat kontrasepsi.Ini dikarenakan mereka pengalaman dengan menggunakan MKJP.

Secara umum, baik orang tua maupun PUS bisa menyebut alat kontrasepsi jangka pendek (non-MKJP). Sebagian PUS bisa menyebutkan keuntungan/efek samping dari masing-masing alat KB jenis pil dan suntik, sedangkan para orang tua yang diwawancarai hanya bisa menyebutkan jenis tanpa bisa menjelaskan keuntungan dan efek samping.

Pengetahuan non-MKJP pada PUS dan orang tua/mertua

Pada kelompok ibu PUS, sebagian besar mengenal alat kontrasepsi dengan baik: cara menggunakan, jangka waktu kontrasepsi, bahkan juga menyampaikan efek/kerugian beberapa alat kontrasepsi. Dijelaskan juga bahwa masyarakat di sekitar tempat tinggalnya banyak menggunakan pil dan suntik. Partisipan studi dari kelompok bapak yang tidak ikut ber-KB sebagian bisa menyebutkan jenis alat kontrasepsi: seperti pil, suntik, implan, kondom, IUD. Namun demikian cara penggunaan alat kontrasepsi yang diketahui hanya pil dan suntik. Pil dan suntik lebih populer diantara bapak yang tidak ikut KB. Kondom hampir tidak disebut-sebut pada saat ditanyakan tentang jenis alat kontrasepsi.Lebih lanjut, pengetahuan tentang KB disajikan di Tabel 4.9. Tabel 4.13 Pengetahuan tentang KB diantara PUS dan orang tua di Kabupaten Lumajang

Orang/ mertua PUS Ibu Non KB Mertua Non KB Sebagian besar informan sudah mengetahui jenis alat kontrasepsi, cara menggunakan dan jangka waktu KB, bahkan bisa juga menyampaikan keuntungan/efek dari masing-masing alat KB. Alat kontrasepsi yang diketahui: pil, suntik, kondom. Ada informan yang baru tahu bentuk kondom.Sebagian besar sudah tau cara pakainya, kecuali IUD yang dikira semua tangan dimasukkan kedalam vagina.

Hanya mengetahui pil dan suntik. Dulu menggunakan pil yang ada warna coklatnya. Cara menggunakan suntik ada yang 3 bulan dan 1 bulan. Tidak banyak mengetahui alat kontrasepsi, hanya pil (dulu ada pil yang berwarna coklat) dansuntik. Pil diminum setiap hari dan suntik 3 bulansekali.

Ibu KB Mertua KB Sebagian besar ibu mengenal alat kontrasepsi dengan baik: cara menggunakan, jangka waktu kontrasepsi, bahkan juga menyampaikan efek/kerugian beberapa alat kontrasepsi. Sebagian besar masyarakat banyak menggunakan pil dan suntik, namun yang menjadi informan dalam FGD ini sebagian besar menggunakan IUD, implan dan MOW (1 orang). Alat kontrasepsi yang diketahui: suntik, kondom, pil, steril, IUD, implan. Sebagian besar informan mengetahui cara menggunakan alat kontrasepsi yang ada telah disebutkan: IUD, pil, implan.

Informan menyebut alat kontrasepsi jenis pil, suntik, implan dan IUD. Mengetahui carakerja pil dan suntik. Untuk cara kerja implan dan IUD tidak bisa disebutkan secara jelas. Informan memakai implan, karena cukup bayar 1x untuk masa 5 tahun.

42

Orang/ mertua PUS Bapak, Non KB Rata-rata masyarakat mampu menyebutkan jenis alat kontrasepsi: pil, suntik, implan, kondom, IUD. Cara penggunaan alat kontrasepsi yang diketahui adalah pil dan suntik. Sebagian besar informan tidak mengetahui alat kontrasepsi, cara menggunakan ataupun jangka waktu penggunaan. Hanya bisa menyebutkan pil dan suntik KB. Kondom tidak pernah tahu dan tidak pernah menggunakan. Mereka hanya menyebutkan pil diminum ketika mau tidur/berhubungan, kondom untuk membungkus alat vital laki-laki. Ada informan yang mengatakan adiknya pernah menggunakan implan dan tidak ada keluhan.

Bapak KB Alat kontrasepsi yang diketahui: pil, kondom, suntik dan implan.Sebagian besar informan mengetahui cara pakai alat kontrasepsi, bahkan ada seorang informan yang bertugas mengingatkan istrinya untuk teratur minum pil atau mau berpuasa tidak berhubungan seksual. Alat kontrasepsi yang digunakan: implan, kondom, pil, suntik.

C.3. Penerimaan jenis alat kontrasepsi

Sub bab berikut membahas tentang penerimaan jenis kontrasepsi antara MKJP dan non-MKJP. Masing-masing jenis alat kontrasepsi dibahas berdasar topik bahasan yang mencakup: aspek manfaat, kecocokan, kerumitan, kemungkinan untuk dicoba dan diobservasi.

Keuntungan relatif

Non-Metode Kontrasepsi Jangka Panjang

Pada umumnya partsipan studi menilai bahwa pil dan suntik alat kontrasepsi yang murah dan mudah diperoleh. Hanya dengan mengeluarkan uang sebesar Rp.3.000,- bahkan gratis, mereka sudah mendapatkan pil. Akses untuk memperoleh relatif cukup dekat, yaitu di bidan atau Puskesmas terdekat atau kadang-kadang di Posyandu. Alat KB jenis kondom sangat jarang disebut informan. Bila ada partisipan studi berpendapat bahwa akses untuk memperoleh pil dan suntik KB mudah, dapat dipahami karena memang bidan hampir ada disetiap desa dan umumnya bidan sudah familiar dengan kliennya. Selain itu, bidan tampaknya hanya diberi kewenangan untuk melayani pil KB dan suntik KB di rumahnya, sedangkan IUD dan implan hanya dapat diakses di tempat layanan kesehatan seperti Puskesmas dan rumah sakit.

“ ... sama gampangnya kok bu,kan sekarang di Postu-Postu juga ada, bidan. Kalau suntik kan adanya di bu bidan, Puskesmas. .... Sekarang lho tiap desa banyak bidan.“ (Ibu KB, Ds. Jarit, Kec. Candipuro, Kab. Lumajang)

Kompatibilitas

Pada saat diskusi dan wawancara dengan partsipan studi dari kelompok yang ber-KB maupun yang tidak ber-KB, banyak dilaporkan adanya keluhan atau ketidakcocokan dalam penggunaan

43

kontrasepsi. Ketidakcocokan alat kontrasepsi yang dilaporkan bervariasi. Sebagian ibu-ibu tidak cocok dengan pil, sebagian lain tidak cocok dengan suntik atau IUD. Sebagian besar partisipan studi memberikan penjelasan bahwa mereka telah merasa nyaman dengan suntik. Mereka merasa nyaman karena tidak ada keluhan baik dari dirinya maupun dari suami. Sebagian partsipan studi ada yang tidak cocok dengan pil dan suntik karena membuat badan menjadi gemuk. Beberapa partsipan lain memberi penjelasan bahwa dirinya tidak menggunakan pil karena menyebabkan muntah. Efek samping dari pemakaian suntik dilaporkan menstruasi menjadi tidak lancar. Sebaliknya ada partisipan lain yang justru menyebutkan KB suntik melancarkan menstruasi. Sebagian lainnya menjelaskan suntik menimbulkan pendarahan.

‘’Kalau pil itu mensnya bisa lancar kadang kalau bulan puasa itu kan bisa Ndak (tidak) menskan bisa kalau pil itu. Di habiskan lagi kan bisa diatur.”(Ibu KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “Iya suami tidak di kasih. Suami mengeluh bu, kok mens terus. Ndak [tidak] mari-mari.”(Ibu KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang)

Kepraktisan dan kemudahan penggunaan

Tidak ditemukan laporan khusus tentang kerumitan pemasangan non-MKJP terutama pil, namun mereka hanya mengungkapkan tentang kerepotan bila harus minum pil setiap hari. Partisipan yang menggunakan alat kontrasepsi selain pil umumnya beralasan karena takut lupa, sehingga menjadikan dirinya selalu mengingat-ingat untuk minum pil setiap hari. Demikian pula tidak ditemukan laporan tentang kerumitan tentang pengunakan alat kontrasepsi suntik. Alat KB ini dinilai gampang diperoleh dan murah. Adapun kegagalan KB suntik biasanya disebabkan oleh lupa akan masa berlaku KB suntik. Tanggal berlaku KB suntik yang sudah ditentukan bidan, oleh akseptornya sering dilupakan.

“Kalau lupa kebobolan. Kalau Bu Herlina. Dulunya pakai suntik sekarang pakai IUD itu lebih praktis. “ (Ibu KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang)

Kemungkinan untuk dicoba

Berdasarkan informasi dari berbagai informan dan data sekuder, sebagian besar akseptor menggunaan KB berjenis suntik dan pil. Mereka umumnya sudah merasa nyaman dengan KB suntik atau pil. Akseptor barupun umumnya menggunakan KB pil atau suntik. Penggunaan kedua jenis KB ini bagi akseptor baru dimungkinkan karena selain umum digunakan masyarakat setempat, kedua jenis ini dinilai gampang untuk berganti atau berhenti menggunakan KB bila dirasa tidak cocok dengan kondisi dirinya.

“Lha ini ndak cocok ini ndak cocok. Gitu buk. Apalagi IUD tidak ada yang mau bu.” (Ibu KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang)

Hasil yang nyata

Pada umumnya partisipan mengetahui bahwa alat kontrasepsi berguna untuk mencegah kehamilan (Tabel 4.10). Namun demikian, mereka belum bisa membedakan metode yang efektif sebagaimana yang dimaksud dalam konsep provider. Mereka umumnya menilai bahwa apapun jenis kontrasepsi bila cocok dengan dirinya maka disebut efektif.

44

Menggunakan pil dan suntik dinilai efektif karena gampang, mudah didapatkan dan murah. Bagi mereka yang menggunakan IUD dan implan mereka merasa nyaman karena sudah tidak lagi memikirkan kapan harus minum dan mengingat tanggal kembali suntik. Tabel 4.14 Penilaian partisipan di Kabupaten Lumajang terhadap non-MKJP

Pil Suntik Kondom Keuntungan Mudah didapatkan

(akses mudah) Murah

Akses mudah dan murah Jangka waktu panjang (menurut informan dibanding dengan pil)

-

Kompatibilitas Menjadi gemuk Muntah

Nyaman digunakan Menjadi gemuk Menstruasi menjadi lancar Pendarahan Tidak lancar menstruasi

Tidak alami, tidak enak untuk perempuan

Kepraktisan Takut lupa dan kebobolan Bosan minum (harus diminum tiap hari) Lupa minum menjadi hamil (repot)

Gagal karena lupa suntik -

Kemungkinan untuk dicoba

Sudah cocok dengan pil Nyaman digunakan istri

- -

Hasil yang nyata

Banyak yang gagal karena lupa minum Mendengar bahwa pil dan suntik sering gagal (rumor)

Mendengar bahwa suntik sering gagal

Tidak enak digunakan

Keuntungan relatif

Metoda Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP)

Dari hasil FGD dengan ibu akseptor KB, hanya sedikit diperoleh informasi tentang kentungan secara ekonomi dari penggunaan MKJP. Bagi mereka umumnya belum terpikirkan tentang keuntungan ekonomi maupun kepraktisan penggunaannya. Saat ditanya tentang alat kontrasepsi yang efektif, mereka biasanya menyebutalat KB yang sedang dipakai dan merasa cocok dengan dirinya. Sebagai contoh pengalaman dari seorang ibu yang menggunakan IUD. Beliau menggunakan alat tersebut karena merasa cocok, karena menstruasi menjadi teratur. Berikut hasil percakapan antara fasilitator dengan partisipan pada kelompok ibu yang ber-KB.

“Mensnya telat. Kalau yang pakai IUD ya mensnya teratur.” (Ibu KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang)

Kompatibilitas

Banyak laporan keluhan tetang penggunaan MKJP terutama IUD, seperti tidak nyaman saat berhubugan seks, menstruasi tidak teratur, perdarahan, nyeri dan sebagainya. Bila merasa tidak cocok, akseptor biasanya berhenti atau pindah ke metodelain. Bisa saja mereka ini dari akseptor pil atau suntik pindah ke IUD. Karena merasa tidak cocok mereka kembali ke alat kontrasepsi semula. Pendapat terhadap efek samping dari penggunaan alat kontrasepsiimplan dikaitkan dengan pengaruh kesehatan seperti tidak bisa mengangkat barang berat, badan menjadi kurus dan jantung menjadi lemah. Dimungkinkan alasan ini karena rumor yang beredar di masyarakat

45

sehingga takut untuk menggunakan implan. Namun demikian banyak laporan bahwa diantara MKJP, implan cukup banyak peminatnya.

“Biar ndak terlalu banyak hormon katanya. Jadi sudah, suaminya juga sudah cocok… kan ada yang misalnya pakai IUD trus nyucuk katanya ya, ndak [tidak] ya. Semua sudah cocok ya. Jadi semua sudah pakai kontrasepsi yang jangka panjang ya. Kalau praktis-praktisnya bu dulu waktu kan sudah pernah yg pakai suntik sama sekrang sudah pakai implan kemudian ada yang pakai pil sekarang pakai IUD misalkan. Itu lebih praktis mana? Yang dulu sama yang sekarang.”(Ibu KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang)

Kepraktisan dan kemudahan penggunaan

Penilaian umum partisipan studi terhadap MKJP biasanya dikaitkan dengan norma, larangan dari suami, sakit/nyeri saat dipasang atau saat berhubungan seks dan takut menggunakan karena dianggap bertentangan dengan agama. Selain itu pemasangan MKJP ditakutkan pada proses pemasangannya. Keengganan masyarakat untuk memasang MKJP juga karena tempat layanan seperti Puskesmas atau rumah sakitrelatif jauh. Akumulasi dari masalah ini yang menjadi hambatan untuk menggunakan MKJP. Kemungkinan untuk dicoba

Tidak seperti non-MKJP, masyarakat umumnya takut mencoba IUD atau implan atau MOP/MOW. Ini sangat beralasan karena bila terlanjur dipasang akan dirasakan kerepotannya untuk melepas kembali. Pengalaman dari akseptor yang mengalami kesakitan, pendarahan dan adanya larangan dari suami, cukup mempengaruhi calon akseptor MKJP. Bila ditanya untuk mencoba MKJP, mereka biasanya menolak dengan alasan sudah merasa nyaman dengan alat kontrasepsi lain yang sedang dipakai. Bahkan ada yang menolak dengan metode apapun karena percaya dengan cara tradisional yang diyakininya tidak akan hamil. Metode tradisonal yang dilakukan dengan cara berjongkok setelah melakukan hubungan seks cukup dikenal di wilayah studi.

“... Kalau waktu itu yaa memang di keluarin di dalam yaa tapi setelah selesai langsung di pipisi.Langsung keluar.Langsung duduk.Langsung eeehndhodhog [jongkok]..Langsung masuk ke kamar mandi pipis kan keluar. ... Iyaaa berhasil.” (Ibu non-KB, Ds. Jarit, Kec. Candipuro, Kab. Lumajang)

Hasil yang nyata

Sebagaimana diketahui bahwa keberhasilan pencegahan kehamilan dengan MKJP jauh lebih baik dibandingkan dengan non-MKJP. Namun demikian, masih banyak masyarakat yang belum memahami efektivitas MKJP, baik dari aspek keberhasilan, ekonomi dan kesehatan seperti yang terlihat di Tabel 4.11. Pada umumnya masyarakat pedesaan percaya terhadap efek KB bila hasil langsung dapat dilihat dan dirasakan manfaatnya. Cukup sulit merubah pandangan jika orang telah nyaman dengan apa yang digunakan, misalnya orang sudah nyaman dengan KB suntik maka orang tersebut enggan untuk menggantike KB IUD atau implan bahkan MOW/MOP. Selama orang tersebut belum mengalami kegagalan/efek samping maka akan bertahan dengan apa yang telah digunakannya. Pada umumnya masyarakat enggan mencoba karena tidak mau menanggung risiko karena pemasangan IUD, implan bahkan MOP/MOW.

“ Iyak yak, suntik sekali suntik tetap suntik. Masih pengen punya anak lagi. Kalo MOW Wedi di de edel...[takut dioperasi].”(Ibu non-KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang)

46

Tabel 4.15 Penilaian partisipan di Kabupaten Lumajang terhadap MKJP IUD Implan MOP/ MOW

Keuntungan

Tidak enak bagi laki-laki saat berhubungan

Jangka waktu panjang

Tidak bisa kerja keras, Takut tidak bisa bekerja keras.

Kompatibilitas Kalau dipakai sakit, tidak nyaman Mens tidak teratur Pendarahan, nyeri

Tidak bisa angkat barang berat, badan menjadi kurus Jantung menjadi lemah

-

Kepraktisan Suami rewel Tidal diizinkan suami

Takut pada proses pemasangan

Takut operasi Takut bertentangan dengan agama, Lemas

Kemungkinan untuk dicoba

Tidak berani mencoba yang jangka panjang Sudah yakin dengan metode jongkok

Sudah yakin dengan metode jongkok, Takut karena ada pengalaman tidak cocok/terjadi pendarahan. Tidak diizinkan suami

Tidak berani mencoba yang jangka panjang Sudah yakin dengan metode jongkok

Hasil yang nyata

Sebagian besar sudah cocok dengan pil dan suntik

- -

C.4. Proses pengambilan keputusan

FGD dengan keluarga yang ber-KB mengenai pengambilan keputusan untuk menggunakan alat kontrasepsi memperoleh informasi yang cukup bervariasi. Sebagian besar partisipan menginformasikan keputusan menggunakan alat kontrasepsi ditentukan bersama suami dan istri. Sebagian partisipan lain menyampaikan penentuan menggunakan alat kontrasepsi atas keputusannya sendiri, sebagian lain keputusannya ditentukan setelah berkonsultasi dengan bidan, sebagian lain ditentukan sendiri setelah berkonsultasi dengan teman.

Pengambil keputusan dalam ber-KB

“ ... terserah yang makek buk, saya sendiri [yang memutuskan].” (Bapak KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “Ya keputusan sendiri juga suami.“(Ibu KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “Bilang sama suami, boleh ndak pakai IUD gitu buk. Ternyata sama suami di ijinkan ya boleh bu.” (Ibu KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “Ya suaminya sama istri lah buk yang diajak musyawarah.”(Ibu KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “Iya sama orang tua. Kan itu kan operasi,, ndak sepele [tidak mudah]tapi operasi.”(Ibu KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “Jadi memang di suruh orang tua suruh pakai KB dulu. Iya kadang orang tua yang nyuruh. Kadang-kadang.” (Ibu KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “Biasanya dengan bu bidan.” (Bapak KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang) “…mbak aku nggawe iki kok gak penak, nah coba takon ning bu bidan.”(Ibu KB,Ds. Jarit, Kec. Candipuro, Kab. Lumajang)

47

“... teman sama suami sama bidan[saat menentukan pilihan alat kontrasepsi].”(Ibu KB Ds. Jarit, Kec. Candipuro, Kab. Lumajang)

Berbagai pendapat tentang keberhasilan KB dari berbagai jenis alat kontrasepsi juga bervariasi. Sebagian besar informan mengetahui bahwa bila tidak ber-KB maka kemungkinan besar bisa menjadi hamil. Meskipun sudah ber-KB namun tetap hamil maka kejadian itu tetap diterima sebagai anugerah dan mensyukuri kehamilan sebagai rezeki dari Tuhan. Kepercayaan masyarakat Jawa menganggap menggugurkan kandungan dianggap sebagai pengingkaran terhadap norma dan agama.

Keyakinan terhadap berkurangnya risiko jika ber-KB

Sebagian partsipan berpendapat bahwa IUD, implan dan suntik dapat diandalkan sebagai alat kontrasepsi. Namun ada juga yang berpendapat bahwa IUD lebih riskan gagal dibanding alat kontrasepsi lain. Pendapat ini karena pengalamannya sendiri saat menggunakan alat kontrasepsi IUD, sehingga menjadikan trauma dan tidak lagi berminat menggunakan IUD. Sebagian partisipan percaya dan memilih MKJP karena tidak perlu repot minum pil setiap hari atau datang ke bidan bila habis waktu kerja KB suntik, sehingga dapat meringankan pikiran terhadap kegagalan KB. Dijelaskan bahwa orang sering lupa bila harus minum pil KB setiap hari. Beberapa partisipan dapat memberi contoh tentang akibat banyak anak. Akibat tidak bisa mengatur jarak kehamilan, maka menjadi beban ekonomi bagi keluarga yang mempunyai banyak anak.

“... Kalo memang yang menurut orang sekarang banyak anak banyak rezeki karena menurut jaman dahulu mengikuti kata-kata dahulu, kalo sekarangkansudah berbeda yang agak sedikit-sedikit berubah. Iya karena ada KB itu, yaauntuk mengurangi saiki mbobot dapat satu tahun wes meteng lagi.[Sekarang hamil dapat satu tahun hamil lagi] satu tahunutuh lagi yooo akhire kan anu kasian kan bu kalo kebanyakan anak kankasian.”(Bapak KB, Ds. Jarit, Kec. Candipuro, Kab. Lumajang)

Hambatan dalam proses pengambilan keputusan umumnya terkait dengan kecocokan alat kontrasepsi dengan kondisi dirinya (kenyamanan), norma atau agama dan keluarga khususnya larangan dari suami.

Hambatan dalam pengambil keputusan

Ketidakcocokan alat kontrasepsi dengan kondisi dirinya (kenyamanan)

Sebelum memasang alat kontrasepsi, petugas memeriksa kondisi fisik dan kesehatan kliennya. Bila tidak memenuhi ketentuan, maka tidak akan memaksa permintaan kliennya. Dicontohkan saat memeriksa klien yang hendak memasang IUD, petugas gagal memberikan layanan sebagaimana permintaan klien karena panjang mulut rahim tidak mencukupi. Berbagai keluhan yang disampaikan akseptor mengindikasikan bahwa akseptor memprioritaskan kenyaman dalam memilih alat kontrasepsi. Sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya, bila klien merasa cocok atau nyaman maka akan mempertahan penggunanaan alat kontrasepsi yang sedang dipakainya.Sebaliknya, mereka akan berganti atau bahkan melepas dan tidak menggunakan alat kontrasepsibila merasa mengganggu aktivitas sehari-hari.

“Sebenarnya sih ndak ada. Cuman ya itu aja kalau istri aku kan kadang-kadang trauma. Kalau sudah suntik tu mensnya terus. Betul-betul teliti sekarang. Penting sekarang biar ndak jadi beban untuk istri. Pakai kalender ndak masalah.” (Bapak non-KB, Ds. Wonogriyo, Kec. Tekung, Kab. Lumajang)

48

Hambatan akses

Hambatan akses yang ditemukan dalam pelayanan KB terkait dengan jarak dari rumah ke tempat layanandan ketersediaan alat kontrasepsi. Di daerah pedesaan, bidan pada umumnya cukup dekat dengan masyarakat sekitar. Sebagian besar para ibu memfaatkan layanan kesehatan termasuk KB di rumah bidan. Dari perspektif masyarakat, berobat atau menfaatkan layanan KB dianggap cukup praktis: dekat, murah dan ramah. Namun demikian kewenangan bidan yang praktek di rumahnya terbatas pada layanan pil dan suntik. Animo masyarakat terhadap implan cukup tinggi namun ketersediaan alat kontrasepsi jenis ini dilaporkan sangat terbatas. Akses terhadap alat kontrasepsi mudah diperolah bila ada dropping dari BKKBN dan kegiatan khusus seperti Safari KB. Bila persediaan habis maka layanan pemasangan implan dilayani dengan program KB mandiri yang biayanya relatif mahal, yaitu sekitar Rp. 600.000,-. Tidak ditemukan hambatan terkait dengan ketidakmampuan ekonomi untuk mengakses layanan KB. Seperti diketahui, pemerintah daerah mempunyai kebijakan yang membebaskan semua biaya layanan KB. Bahkan akseptor diberikan insentif bila bersedia menggunakan MKJP terutama IUD dan MOP/MOW. Hambatan norma

Diinformasikan masih ada sebagian kecil masyarakat yang menganggap bahwa agama melarang orang untuk ber-KB. Tindakan memasang KB dianggap menyalahi kaidah agama. Kelompok masyarakat ini berpendapat bahwa melahirkan dan mempunyai anak merupakan salah satu ibadah maka hal itu tidak perlu membatasi jumlah anak. Terkait dengan norma, membuka aurat (dilihat orang lain) dianggap tabu. Hal ini menjadi hambatan bagi ibu yang akan mengenakan alat kontrasepsi jenis IUD. Selain tabu, halangan menggunakan IUD biasanya datang dari para suami dengan alasan mengganggu kenyamanan saat berhubungan seks.

“Kadang-kadang ya seijin suami ada yang ndak dibolehkan, ada yang disuruh kan gitu ya, jadi jelas ndak ada katakan 100 atau 75% keluarga kita itu di KA ikut KB ndak ada.”(Kades, Ds. Jarit, Kec. Candipuro, Kab. Lumajang)

D. Pembelajaran dari Desa MKJP Tinggi dan Rendah D.1 Jumlah, beban kerja dan kinerja PLKB

Berdasar laporan cakupan akseptor KB mengidentifikasikan bahwa Kabupaten Lumajang merupakan salah satu kabupaten yang berhasil dalam bidang kesehatan termasuk KB. Keberhasilan program tersebut tidak terlepas dari kebijakan dan pelaksanaan program KB. Kebijakan yang membebaskan masyarakat dari biaya layanan KB cukup berkontribusi dalam upaya meningkatkan cakupan penggunaan MKJP terutama IUD dan implan. Target MKJP yang dicanangkan sebesar 30% dari total PUS sudah tercapai sekitar 88%. Dari 21 kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Lumajang, hanya empat kecamatan yang MKJP nya belum mencapai target. Peningkatan cakupan terbanyak pada akseptor IUD terlihat sejak sejak Februari 2013 saat diberlakukan kebijakan bebas biaya untuk semua lapisan masyarakat. Untuk mendukung kinerja PLKB, pemerintah nasional memberi bantuan sepeda motor dan pemerintah daerah memberikan bantuan Bahan Bakar Minyak (BBM). Upaya ini menunjukkan bahwa programKB di Kabupaten Lumajang menjadi salah satu program yang diprioritaskan. Selain itu, pemerintah daerah juga mendukung pendanaan untuk berjejaring dengan mitra

49

kerja di lapangan seperti kader. Sampai saat, ini telah terekrut sebanyak 1.900 kader dengan insentif sebesar Rp.35.000,- hingga Rp.40. 0000,- per bulan yang dibiayai oleh APBD. Meskipun dukungan dana relatif tersedia, namun Sumber Daya Manusia (SDM) di jajaran di PPKBD khususnya PLKB dinilai masih belum mencukupi. Menurut pendapat salah satu staf di PPKBD, idealnya seorang PLKB membawahi dua desa.Namun kenyataannya, tiap kecamatan hanya memiliki rata-rata dua orang PLKB. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan untuk mendukung program KB adalah memaksimalkan bantuan dari para kader yang ada di desa. Tidak cukup data yang tersedia untuk membandingkan jumlah, beban kerja dan kinerja petugas lapangan KB di antara wilayah cakupan MKJP tinggi dengan cakupan MKJP rendah. Cakupan MKJP di dua kecamatan yang disurvei memang berbeda meskipun tidak mencolok. Cakupan MKJP di Kecamatan Candipuro lebih tinggi dibanding dengan wilayah Kecamatan Tekung. Sangat sulit untuk menyimpulkan apakah perbedaan ini disebabkan oleh kinerja petugas lapangan KB. Data yang diperoleh memang menunjukan bahwa terdapat perbedaan jumlah PLKB di dua kecamatan tersebut. Di Kematan Tekung, jumlah PLKB dirasakan kurang dibanding dengan jumlah desa yang ada di wilayah tersebut. Saat ini, koordinator merangkap sebagai PLKB (walaupun tugaskoordinator PLKB seharusnya di tingkat kecamatan).Terdapat tiga PLKB yang bertanggung jawab terhadap delapan desa. Sedangkan jumlah PLKB di Kecamatan Candipuro sedikit lebih banyak, yaitu seorang PLKB menangani rata-rata dua desa. D.2. Karakteristik penduduk/masyarakat

Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Kabupaten Lumajang sebanyak 1.012.121 jiwa dan tersebar di 21 kecamatan. Data tentang karakteristik penduduk yang diperoleh sangat terbatas sehingga sulit untuk menyimpulkan apakah ada hubungan antara karakteristik penduduk terhadap cakupan KB. Tabel 4.16 Luas dan jumlah penduduk Kecamatan Candipuro dan Kecamatan Tekung

Kecamatan Candipuro Kecamatan Tekung Luas 144,63 km2 30,33 km2 Jumlah penduduk 69.918 jiwa 33.448 jiwa Jumlah keluarga 19.899 keluarga 10.847 keluarga

Sumber: Lumajang dalam angka, 2012 Berdasarkan data yang tersedia, Kecamatan Candipuro tampak lebih luas tetapi jumlah penduduknya juga lebih banyak. Hampir semua penduduk di kedua kecamatan beragama Islam. Diperoleh informasi bahwa di Kecamatan Tekung lebih banyak penduduk pendatang dari Etnis Madura. Bila cakupan KB terutama MKJP lebih tinggi di Kecamatan Candipuro, dimungkinkan karena penduduk di kecamatan tersebut lebih gampang menerima hal-hal baru termasuk program KB daripada penduduk di Tekung. D.3. Akses

Secara geografis, Kecamatan Tekung lebih dekat dengan Kota Lumajang. Dari ibu kota, kabupaten tersebut berjarak sekitar tujuh km, sedangkan jarak dari Kota Lumajang dengan Ibu Kota Kecamatan Candipuro sekitar 20 km. Kecamatan Candipuro terletak di wilayah pegunungan, Kecamatan Tekung pada umumnya relatif di daratan rendah. Secara umum, jarak geografis tampaknya bukan faktor utama dalam perolehan cakupan KB. Setiap kecamatan telah sama-sama memiliki fasilitas kesehatan berupa Puskesmas dan bidan yang tersebar hampir di setiap desa.

50

D.4. Kinerja tenaga kesehatan

Tenaga kesehatan sangat menentukan keberhasilan program KB. Masyarakat pada umumnya hanya mengetahui bahwa program KB merupakan tugas tenaga kesehatan. Hal ini dapat dimaklumi karena mereka sehari-hari berhadapan langsung dengan petugas kesehatan bila datang untuk memeriksa/memasang atau membutuhkan konsultasi tentang KB. Berdasarkan data, diketahui bahwa cakupan MKJP di Kabupaten Lumajang hampir mendekati target nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa kinerja semua pihak termasuk tenaga kesehatan cukup baik. Data cakupan MKJP di Kecamatan Candipuro lebih tinggi dari pada Kecamatan Tekung. Apakah perbedaan ini ada pengaruhnya dengan kinerja petugas kesehatan? Karena minimnya data pendukung maka tim kesulitan untuk menganalisinya. Pada survei ini, minim data pendukung yang tersedia terkait dengan kinerja tenaga kesehatan. Data yang ada dalam survei menginformasikan bahwa keterampilan bidan telah memadai dan melakukan pelatihan rutin bagi bidan yang dirancang untuk meningkatkan kompetensi. Pada tahun 2011, Dinkes melakukan pelatihan CTU yang diikuti oleh 100 bidan. Hampir semua Polindes dan Puskesmas sudah memiliki IUD kit dan implan kit. D.5. Sosial ekonomi

Data tentang status sosial antar kecamatan juga sangat minim untuk diperoleh dan dianalisis. Bila dilihat dari data tentang peserta KB mandiri dan jumlah keluarga yang termasuk dalam keluarga sejahtera, data tersebut mengindikasikan bahwa rata-rata status sosial penduduk di Kecamatan Candipuro tampak lebih tinggi dibanding penduduk di Kecamatan Tekung. Oleh karena itu, wajar bila mereka sanggup membayar saat memperoleh layanan KB. Perlu diketahui bahwa data ini diterbitkan pada tahun 2012, yang pada waktu itu belum ada kebijakan gratis untuk semua layanan KB. Tabel 4.17 Jumlah keluarga sejahtera dan peserta KB Mandiri di Kabupaten Lumajang

Kecamatan Candipuro Kecamatan Tekung Peserta KB mandiri 6.523 akseptor 4.176 akseptor Keluarga sejahtera 7.484 keluarga 4.705 keluarga

Sumber : Lumajang dalam Angka, 2012 Melihat data yang ada, tampaknya status sosial ekonomi cukup berpengaruh dalam penggunaan dan pilihan alat kontrasepsi.

4.3 Diskusi, Kesimpulan dan Saran Provinsi Jawa Timur A. Ringkasan hasil penelitian di tingkat provinsi dan kabupaten

Selain melakukan wawancara pada pemangku kepentingan ditingkat provinsi, dilakukan pula penelitian kualitatif di tingkat kabupaten. Tiga kabupaten terpilih adalah Kabupaten Tuban, Lumajang dan Kediri. Di bawah ini di tampilkan matriks ringkasan dari hasil penelitian kualitatif, dimana laporan lebih rinci untuk masing-masing kabupaten akan diuraikan pada bagian selanjutnya. Tabel 4.18 Ringkasan hasil penelitian kualitatif

No. Topik bahasan Provinsi Kabupaten

Tuban Lumajang Kediri A. Gambaran Umum Cakupan KB 1. Cakupan KB

dan permasalah

• Akseptor naik tapi TFR juga naik

• Melebihi target tapi TFR tetap naik

• Beda definisi dalam

• Unmet need rendah (< 5%)

• Cakupan > dari

• CPR naik TFR naik • Beda definisi dalam

menghitung

51

No. Topik bahasan Provinsi Kabupaten

Tuban Lumajang Kediri annya

menghitung akseptor baru

100% • Beda definisi

dalam menghitung akseptor baru

akseptor baru

2. Persepsi tentang MKJP versus non-MKJP

• MKJP mulai naik walau non-MKJP masih tinggi

• Rumor efek samping non-MKJP banyak

• MKJP mulai naik walau non-MKJP masih tinggi

• Peran KB laki-laki belum tercapai walau ada kompensasi

• Mispersepsi: pil hanya diminum saat suami pulang saja.

• MKJP mulai naik walau non-MKJP masih tinggi

• Minat masyarakat terhadap implan cukup tinggi

• MKJP mulai naik walau non-MKJP masih tinggi

• Miskonsepsi MKJP masih tinggi

• MKJP dianggap tidak sejalan dengan ajaran agama

B. Manajemen Program KB 1. Kebijakan dan

alokasi anggaran

• Dinkes tidak menargetkan MKJP atau unmet need hanya CPR

• Ada dana pengayoman:Akseptor MOP/MOW diberi kompensasi hilangnya waktu kerja 150 ribu

• Dinkes tidak menarget kan MKJP atau unmet need hanya CPR

• KB total coverage • Budget cukup tinggi • Setiap pasangan

yang akan menikah dibagikan kondom.

• KB gratis untuk semua

• MOP/MOWnya lebih tinggi dari daerah lain (1,17% dan 12,83%, tahun 2012)

• Dinkes tidak menargetkan MKJP atau unmet need hanya CPR

• Alokasi APBD Dinkes menurun dari 6,3% 4,5%

2. Pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi

• Dinkes tidak mengetahui sama sekali tentang pendistribusiannya

• Dinkes tidak mengetahui sama sekali tentang pendistribusiannya

• Bapemas pengadaan alat kontrasepsi melalui lelang di Bappeda

• Stok implan pernah kurang karena banyak peminat

• Dinkes tidak mengetahui sama sekali tentang pendistribusiannya

• Pil KB ada yang dijual bebas tanpa resep oleh pegawai pabrik

3. Pelayanan KB • Walaupun alat

kontrasepsi gratis tapi alat, tenaga dan bahan habis pakai dikenakan biaya

• Prinsip cafetaria sulit diterapkan karena alat kontrasepsi terbatas dan masyarakat masih sulit untuk membayar sendiri

• Klien mengakses BPS 75% pasien mandiri-25% Jamkesmas

• Masih banyak perawat yang melayani KB

• Klinik swasta menyediakan 2 macam sumber alat kontrasepsi: dari BKKBN dan pengadaan sendiri

• Perda (2011) mengatur jasa pelayanan KB dan barang habis pakai di Puskesmas. Implementasi dilakukan secara bertahap.

• Masih ada masyarakat yang tidak dicover asuransi & tidak mampu membayar pelayanan KB terutama MKJP

4. Sumber Daya Manusia

• Tumpuan pelayanan KB ada pada bidan karena hanya sepertiga dokter tertarik melayani KB

• Kurangnya PLKB, 1 untuk +/_ 4 desa

• Bidan swasta tidak punya kewenangan untuk pasang implan dan IUD

• KurangnyaPLKB, 1 untuk 2-4 desa

• Bidan tidak memahami mengapa layanan IUD dan implan harus di Puskesmas

• Pelatihan CTU kurang praktek

• Kurangnya PLKB, 1 untuk 13 desa

• Ketidak jelasan wewenang bidan untuk pemasangan impant dan IUD

• Bidan kurang dilatih ABPK

5. Kerjasama antar institusi

• Ada konflik antara BKKBN dan Dinkes ditambah pemain baru BPPKB

• Bapemas dan Dinkes konflik masalah koordinasi

• CSR belum maksimal padahal potensi sangat besar

• Koordinasi antar instansi pemerintah perlu ditingkatkan

• Kerjasama dengan sektor swasta belum optimal

• Di tingkat kabupaten tidak ada konflik, namun di tingkat kecamatan ada konflik antara PLKB dan bidan Puskesmas yang mengumpulkan data

• Belum ada kerjasama dengan

52

No. Topik bahasan Provinsi Kabupaten

Tuban Lumajang Kediri swasta

6. Menciptakan kebutuhan

• Anggaran promosi KB ada di BKKBN walau kecil, di Dinkes tidak ada khusus untuk KB

• Menjangkau karyawan pabrik-pabrik besar

• Pengecetan genteng: gerbangmas

• Dinkes berharap agar PLKB bukan hanya membawa akseptor baru saja namun juga dibekali dengan screening.

• Pengecetan genteng: dua anak cukup

• Mengandalkan bentuk-bentuk momentum dan pelayanan mobile

• Pengecetan genteng:KB Dua anak cukup

7. Pencatatan dan pelaporan

• Insentif untuk bidan yang mengumpulkan laporan 600 ribu/tahun

• Insentif untuk bidan yang mengumpulkan laporan 600 ribu/tahun

• Pelaporan bulanan sering terlambat

• Pelaporan PUS tahunan sering terlambat sehingga dinkes menggunakan estimasi PUS

B. Penerimaan masyarakat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi) Tabel 4.19 Penerimaan masyarkat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi)

Penilaian masyarakat Alat kontrasepsi

Pil Suntik Kondom IUD Implan MOW MOP

Keuntungan relatif

Murah dalam jangka pendek +++ + ++ +/- +/-- +/--- +/---

Mudah diperoleh +++ ++ + + + +/-- +/--

Kenyamanan dalam penggunaan + - + + ++ ++

Kompatibilitas

Tidak perlu buka aurat +++ + --- ++ --- --- Banyak digunakan di masyarakat/keluarga ++ +++ -- ++ + - -

Tidak dilarang suami/istri ++ + +/-- +/- +/--- +/---

Tidak dilarang agama + + +/-- +/-- +/-- +/--

Kepraktisan dan kemudahan penggunaaan

Tidak perlunya kepatuhan --- -- + + ++ ++

Tidak perlu digunakan tiap hari --- + + + ++ ++ Mudah digunakan (tdk perlu operasi) +++ ++ +++ - -- --- ---

Kemungkinan bisa mencoba

Gampang berganti/berhenti +++ ++ +++ - -- --- ---

Hasil yang nyata

Keberhasilan --- -- + + ++ ++

Tanpa efek samping -- -- +/- +/-- +/-- +/--

Tabel di atas merupakan rangkuman perspektif masyarakat terhadap alat kontrasepsi. Berikut uraian perspektif masyarakat dari sisi keuntungan relatif, kenyamanan, kepraktisan, kemungkinan dicoba dan hasil yang nyata. Semakin banyak perspektif positif yang muncul di

53

masyarakat menunjukkan umumnya alat kontrasepsi tersebut semakin digemari dan digunakan. Berdasarkan perspektif klien, metode kontrasepsi jangka pendek (non-MKJP) seperti pil dan suntik dinilai mudah diperoleh, murah, tidak perlu buka aurat, banyak digunakan masyarakat, mudah digunakan (tidak perlu operasi atau tindakan invasif) dan mudah berganti ke alat kontrasepsi lain bila menginginkannya atau bila ingin hamil lagi. Sedangkan pada Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) seperti IUD, implan dan MOW, ditemukan adanya larangan dari suami. Hal iniberbeda dengan pil dan suntik yang secara umum tidak ditemui adanya larangan tersebut. Berdasarkan kepraktisannya, pil dinilai masih membutuhkan kepatuhan untuk minum setiap hari dan tingkat keberhasilan pil dinilai rendah. Sebagian informan menilai bahwa IUD dan implan cukup murah (bagi akseptor KB pemerintah), namun sebagian lain menyatakan cukup mahal (untuk akseptor KB mandiri). IUD dan implan mudah diperoleh, namun dalam pemasangan membutuhkan tindakan yang invasif oleh karena itu masyarakat cenderung takut untuk menggunakannya. Kedua alat kontrasepsi ini juga diasosiasikandengan berbagai efek samping. Dibandingkan non-MKJP, akseptor IUD dan implan disebutkan akan lebih sulit berganti alat bila suatu saat ingin memiliki anak. Tingkat keberhasilan IUD dan implan dinilai lebih baik dibandingkan non-MKJP. Diantara MKJP, informan yang menggunakan MOW/MOP berpendapat bahwa alat kontrasepsi yang digunakan cukup nyaman, hanya diperlukan sekali tindakan. MOW/MOP tidak memerlukan kepatuhan dan ketelatenan seperti non-MKJP yang harus diminum setiap hari atau disuntik secara rutin. Bagi akseptor KB Mandiri, tarif MOW dan MOP tergolong mahal. Kedua metode kontrasepsi ini disebutkan memiliki tingkat keberhasilan yang paling tinggi, namun hampir tidak dapat berganti atau bila suatu saat akseptor ingin memiliki anak. Ditemukan adanya penilaian sebagian kecil masyarakat bahwa memasang MKJP (IUD, implan dan MOW/MOP) bertentangan dengan norma dan agama. Penilaian ini berkaitan dengan pendapat KB sebagai upaya menghalangi kehamilan sedangkan kehamilan merupakan ibadah dan pendapat terkait memasang IUD memperlihatkan aurat kepada orang lain. Umumnya informan menyadari bahwa dari aspek kepraktisan, MKJP dinilai lebih praktis karena tidak perlu harus mengingat waktu pemakaian.Namun dari aspek cara penggunaannya, pil dan suntik dinilai lebih praktis karena penggunaannyabisa dihentikan kapan saja. Pil dan suntik dinilai gampang untuk dicoba, mudah diperoleh dan murah. Sebaliknya, IUD, implan dan MOW/MOP dinilai cukup repot untuk dipasang. Alat ini tidak untuk dicoba karena akan repot melepasnya kembali bila ada masalah. Namun demikian mereka umumnya mengetahui bahwa MKJP lebih berhasil mencegah kehamilan dibanding non-MKJP. C. Kesimpulan dan saran tingkat provinsi

Dari studi kualitatif ini terlihat bahwa koordinasi antara BKKBN dan Dinas Kesehatan (Dinkes)masih lemah. Pembagian tugas yang telah ditetapkan adalah BKKBN bekerja pada demand side dan Dinkes pada supply side.Namun pada saat terjadi persentuhan kegiatan pelayanan KB, koordinasi antara BKKBN, yang memiliki anggaran untuk KB lebih besar dari pada Dinkes, kurang kuat. Misalnya dalam pelatihan atau ketika BKKBN melalukan kegiatan kegiatan momentum KB. Kerjasama dengan sektor swasta belum optimal walaupun tampak potensial untuk dikembangkan. Terkait pencatatan dan pelaporan, terdapat sistem pelaporan yang berbeda, menyebabkan adanya angka-angka kepesertaan KB yang berbeda.Hal ini disebabkan ketidaksamaan formula dan persepsi dari definisi operasional di lapangan tentang peserta KB baru.

54

Kebijakan desentralisasi menyebabkan ketidaksinambungan program dari pusat ke provinsi dan kabupaten. Program yang dicanangkan dari pusat sering kali tidak mendapatkan anggaran dari pemerintah tingkat kabupaten sehingga tidak dapat dilaksanakan.

• District Working Group(DWG) yang hanya ada di tingkat kabupaten, dapat dikembangkan di tingkat provinsi karena kelompok ini dapat menjadi sarana koordinasi dan kerjasama antar instansi. Karena itu disarankan untuk mencarikan dana operasional bagi DWG di tingkat provinsi.

Disarankan

• Program momentum KB dapat diarahkan hanya untuk MKJP saja dan dilaksanakan di Puskesmas saja namun dengan momentum khusus. Hal ini untuk menjaga mutu serta mengurangi kesulitan dalam melacak dan menangani komplikasi.

• Meningkatkan kerjasama dengan pihak swasta yang mendapatkan distribusi alat kontrasepsi gratis untuk juga menerima peserta Jamkesda/Jamkesmas.

• Mengikutsertakan Dinkes sebagai panitia pelatihan dari BKKBN. Pihak Dinkes dapat mengatur dan mengetahui tingkat ketrampilan dari tenaga kesehatannya.

• Mengikutsertakan PLKB dalam pelatihan konseling medis, sehingga PLKB juga memahami persyaratan medis yang dibutuhkan untuk metode kontrasepsi tertentu.

D. Kesimpulan dan saran tingkat kabupaten

Hasil studi ini menunjukkan bahwa penerimaan masyarakat akan alat kontrasepsi KB di Kabupaten Kediri mengalami perkembangan yang besar, dibandingkan waktu yang lampau. Hal ini dipengaruhi oleh semakin tingginya pemahaman masyarakat akan manfaat KB. Penggunaan alat kontrasepsi masih didominasi oleh penggunaan non-MKJP (suntik dan pil), walaupun jumlah pengguna MKJP sudah mulai meningkat, seiring maraknya kegiatan masal pemasangan MKJP seperti SAFARI KB serta kegiatan mobile untuk MOW dan MOP. Implan merupakan salah satu MKJP yang paling digemari oleh masyarakat. Beberapa faktor yang menghambat penggunaan MKJP diantaranya rumor negatif tentang MKJP, ketakutan perlunya tindakan yang invasif dan penolakan MKJP dari kelompok masyarakat agamis. Untuk jenis non-MKJP, alat kontrasepsi suntik dan pil merupakan alat kontrasepsi yang paling sering digunakan. Namun masalah distribusi pil secara bebas tanpa didahului dengan pemeriksaan oleh petugas kesehatan menimbulkan berbagai masalah efek samping. Untuk kondom, masih ada masyarakat yang belum mengetahui dimana bisa mendapatkan alat kontrasepsi tersebut dengan mudah. Pelayanan pemasangan alat kontrasepsi sebagian besar dilakukan oleh Bidan Praktek Swasta (BPS) dan Puskesmas. Akses ke klinik KB dianggap mudah oleh masyarakat. Untuk masyarakat yang menggunakan Jamkesmas/Jamkesda/Surat Keterangan Tidak Mampu/Keluarga Pra-Sejahtera dan Sejahtera 1, pelayanan KB diberikan tanpa dipungut bayaran. Bagi pengguna Jampersal, layanan pemasangan alat kontrasepsi pasca-salin diberikan secara gratis. Sedangkan untuk masyarakat di luar kelompok ini (KB Mandiri), biaya pelayanan KB bervariasi tergantung tempat pelayanan. Di Puskesmas mulai diberlakukan tarif pelayanan KB yang cukup tinggi berdasarkan Perda Tahun 2011 yang mencakup jasa dan bahan habis pakai. Pemberlakuan tarif ini dilakukan secara bertahap. Jumlah petugas kesehatan yang menyediakan pelayanan KB di Kabupaten Kediri disebutkan cukup memadai dengan adanya satu bidan di setiap desa. Akan tetapi, jumlah PLKB disebutkan masih kurang memadai. Kualitas dan kemampuan manajerial PLKB juga masih menjadi kendala

55

utama. Sebagian besar bidan telah mendapatkan pelatihan CTU sehingga mereka dapat memberikan pelayanan KB secara mandiri. Namun, beberapa pelatihan seperti ABPK dan KB pasca-salin masih belum diikuti oleh sebagian besar bidan. Secara umum dukungan pemerintah daerahterhadap program KB sudah cukup memadai. Pengadaan implan dalam jumlah kecil juga dilakukan untuk mengantisipasi berkurangnya alat kontrasepsi karena animo masyarakat yang tinggi terhadap implan. Sejauh ini tidak dijumpai adanya kekurangan alat kontrasepsi. BKKBN menyediakan alat kontrasepsi kondom dan IUD bagi seluruh anggota masyarakat. Jenis alat kontrasepsi lainnya disediakan secara gratis hanya bagi Keluarga Pra-Sejahtera dan Sejahtera 1. PLKB berperan penting dalam mekanisme permintaan dan distribusi alat kontrasepsi dari dan ke Puskesmas serta rumah sakit. Walaupun kerjasama antara sektor KB dan Dinkes di Kabupaten Kediri dianggap sudah baik, perbedaan definisi operasional terkait beberapa variabel menjadi salah satu masalah yang kerap ditemui. Dinkes tidak memiliki target yang spesifik untuk MKJP dan unmet need, berbeda dengan BPPKB. Distribusi alat kontrasepsi dari BPPB langsung ke klinik KB tanpa memberikan tembusan kepada Dinkes juga menjadi salah satu isu utama. Di tingkat kecamatan, pembagian pekerjaan antara bidan dan PLKB dalam kegiatan pencatatan dan pelaporan masih sering menjadi masalah.

• Mengembangkan strategi KIE yang inovatif untuk mengatasi rumor negatif terkait penggunaan kontrasepsi serta mengurangi penolakan masyarakat akan kontrasepsi MKJP. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam program promosi kesehatan.

Disarankan

• Advokasi untuk melaksanakan program penyediaan alat kontrasepsi BKKBN dengan prinsip "total coverage" terutama untuk MKJP perlu dilaksanakan di Kabupaten Kediri untuk memastikan keterjangkauan alat kontrasepsi KB bagi seluruh lapisan masyarakat. Pemberlakuan Perda 2011 tentang tarif jasa dan bahan habis pakai juga penting untuk ditinjau kembali.

• Memberlakuan peraturan distribusi pil, mengingat cukup banyaknya petugas kesehatan yang mengeluhkan pasien pengguna kontrasepsi pil yang datang dengan efek samping kesehatan akibat pengabaian sistem screening sebelum penggunaan alat kontrasepsi pil.

• Penambahan tenaga PLKB perlu menjadi perhatian penting bagi BPPKB di Kabupaten Kediri sesuai rasio satu PLKB bagi dua desa, di samping upaya peningkatan kualitas dan kemampuan manajerial tenaga PLKB. Kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas PPKBD dan sub-PPKBD juga perlu dilaksanakan. Bagi tenaga bidan, pelatihan CTU bagi tenaga bidan yang baru, ABPK dan KB pasca-salin juga penting dilakukan. Kejelasan kewenangan bidan dalam memberikan pelayanan MKJP juga diperlukan untuk mencegah terjadinya kebingungan tenaga bidan dalam memberikan pelayanan KB.

• Meningkatkan koordinasi antara BPPKB dan Dinkes tentang target terkait program KB. Selain itu, diperlukan upaya untuk melakukan standarisasi definisi operasional dari indikator KB untuk mencegah terjadinya perbedaan angka dalam pencatatan dan pelaporan. Dinkes perlu diinformasikan terkait distribusi konstrasepsi dari BPPKB kepada Puskesmas. Kesepakatan pembagian kerja yang jelas di tingkat kecamatan antara PLKB dan bidan Puskesmas berkenaan dengan pencatatan dan pelaporan perlu dilakukan. Kerjasama dengan sektor swasta juga dapat dan perlu ditingkatkan mengingat keberadaan berbagai perusahaan besar dengan dana CSR yang dapat digunakan.

56

REFERENSI Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (Mei 17 2013). Aktifkan kembali

kampanye "Dua Anak Cukup". http://www.bkkbn.go.id/View Berita.aspx? BeritaID=813.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2012). Petunjuk teknis tata cara pelaksanaan pelayanan kontrasepsi program kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Jakarta: BKKBN.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2011). Analisis lanjut faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan MKJP di enam wilayah Indonesia.Jakarta: BKKBN

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2012). Laporan pendahuluan Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2012. Jakarta: BKKBN

BKKBN NTB. (2009). Selayang pandang program KB nasional, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Lombok Barat. (2013). Laporan bulanan pengendalian lapangan tingkat kabupaten/kota, Sistem Informasi Kependudukan dan Keluarga (Siduga) Bulan Februari 2013. Lombok Barat: BKBPP

Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Kediri. (2013). Rapat kerja daerah (Rakerda) tahun 2013. Kediri: BPPKB

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Kemenkes RI

Badan Pusat Statistik. (2010). Survei Sosial Ekonomi Nasional 2010. http://sirusa.bps.go.id/index.php?r=sd/view&kd=1558&th=2010

Badan Pusat Statistik. (2010). Laporan eksekutif hasil Sensus Penduduk 2010.

Badan Pusat Statistik et.al. (Desember 2012). Laporan pendahuluan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lumajang. (2012). Kabupaten Lumajang dalam angka.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Barat. (2011). Lombok Barat dalam angka.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur. (2011). Lombok Timur dalam angka.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa. (2012). Sumbawa dalam angka

Badan Pusat Statistik KabupatenTuban. (2011). Kabupaten Tuban dalam angka.

Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri. (2011). Profil kesehatan Kabupaten Kediri Tahun 2010.

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Data informasi kesehatan Provinsi JawaTimur

Okech, Timothy C., et.al. (2011). Empirical analysis of determinants of demand for family palnning services in Kenya's city slums. Global Journal of Health Science Vol.3, No.2, October 2011

Pemerintah Dearah Lombok Timur.(2011). Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.(2013). Ringkasan eksekutif data dan informasi kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. (Juni 13, 2013). Program KB Nasional perlu dukungan semua pihak. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/2321-program-kb-nasional-perlu-dukungan-semua-pihak.html

57

Rogers, M. Everett.(1962). Diffusion of innovations. Illinois: Free Press of Glencoe

Rosenstock, IM. (1966). Why people use health services, Milbank Memorial Fund Quarterly 44, 94-124, 1966.

Rosenstock IM. (1974). Historical origins of the health belief model, Health Education Monographs 2:328-335, 1974.

Satriani.(2012). Septi Satriana dalam pergeseranmaknaperkawinanadatdalammasyarakatSasak.http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-lokal/629-amak-bangkol-inak-bangkol-dan-merariq-pergeseran-makna-perkawinan-adat-dalam-masyarakat-sasak.html

United Nations Development Program.(2008). Millennium Development Goals. Jakarta: UNDPhttp://www.undp.or.id/pubs/docs/Let%20Speak%20Out%20for%20MDGs%20-%20ID.pdf