kata pengantar...internal di lembaga-lembaga pelayanan publik, memandang diri dan lembaganya, bisa...
TRANSCRIPT
i
KATA PENGANTAR
Pengawasan Pelayanan Publik oleh Eksternal adalah Keniscayaan
Berkaca pada cermin, memandang diri sendiri merupakan tindakan yang
sangat subjektif. Bagi narsisis, seluruh tampilan di cermin adalah
kesempurnaan, sebaliknya bagi yang rendah diri, semua tampilan di cermin
adalah keburukan. Seperti itulah sebuah cara pandang ketika yang
memandang hanya diri kita sendiri. Seperti itu jugalah fungsi para pengawas
internal di lembaga-lembaga pelayanan publik, memandang diri dan
lembaganya, bisa begitu sempurna, atau bahkan sama sekali tidak. Sayangnya,
berbeda dengan melihat tampilan fisik diri sendiri yang bisa berbeda
tergantung kepribadian si individu, pengawasan internal pelayanan publik
dengan segala problemanya termasuk diantaranya posisi pengawas yang
secara hierakhi lebih rendah daripada yang diawasi atau “keburukan” sendiri
tidak laik ditayangkan keluar. Produk akhir cerminan pengawasan oleh pengawas internal di
lembaga-lembaga pelayanan publik, kerap kali jika bukan seluruhnya diwarnai narsisme,
kesempurnaan pelayanan.
Kacamata luar inilah yang dihadirkan oleh Ombudsman Republik Indonesia dalam proses
pengawasan pelayanan publik di Indonesia. Menampilkan tampilan yang sesungguhnya dari
praktek-praktek pelayanan publik di negara ini. Sempurna atau tidak sempurna, baik atau buruk
diukur dengan pendekatan yang berbasis bukti dan tidak memihak kepada para pihak tapi berpihak
pada terlaksananya pelayanan publik yang baik oleh para penyelenggara pelayanan publik, siapapun
dia, Pemerintah, BUMN, BUMD atau pihak lain selama dia memperoleh pembiayaan dari anggaran negara sebagai anggaran yang dititipkan masyarakat kepada para penyelenggara tersebut agar
melayani mereka sebaik-baiknya.
Dengan segala perangkatnya Ombudsman Republik Indonesia merupakan pengawas terhadap
pelaporan dan penanganannya keluhan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggaranya
dengan mempersingkat proses tanpa harus lagi melewati jalur peradilan, tanpa biaya dan tanpa
campur tangan kekuasaan lainnya. Ombudsman Republik Indonesia merupakan pengawas terhadap
potensi tindakan maladminitrasi guna mencegah dampak dari tindakan maladminitrasi tersebut ke
tindakan yang melanggar hukum seperti tindak pidana korupsi, pungli, penyalahgunaan wewenang,
jabatan dan lainnya.
Seringkali gegap gempita proses penindakan hukum terhadap tindakan koruptif menjadi pemuas
dahaga utama di tengah tingginya kekecewaan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik.
Euforia dan semangat penindakan itu penting, tapi seringkali kita lupa, hal besar selalu berawal dari
hal kecil. Korupsi adalah salah satu produk akhir dari gagalnya kita membangun sistem pencegahan,
pengawasan dan partisipasi publik dalam setiap proses perencanaan, pelaksanaan dan monitoring
pelayanan publik. Proses penindakan tanpa proses pencegahan yang kuat hanya akan melahirkan
deret ukur para pesakitan kasus-kasus korupsi dan kehilangan keuangan negara secara terus
menerus dan berkelanjutan. Dilevel inilah, Ombudsman Republik Indonesia hadir! Pengawas,
pencegah dan lembaga korektif bagi keseluruhan proses pelayanan publik sebagai upaya pencegahan
maladminitrasi menjadi tindak kejahatan.
ii
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jakarta Raya merupakan bagian dari sebuah lembaga
negara independen dengan kewenangan yang mutatis mutandis dengan lembaga induknya. Terlahir
paling bungsu diantara 33 perwakilan Ombudsman RI lainnya. Kami, merupakan lembaga pengawas
pelayanan publik yang menjadi kacamata pembesar bagi kualitas pelayanan publik di wilayah
Provinsi DKI Jakarta, dan daerah penyangganya yaitu: Kota Depok, Kota Bogor, Kabupaten Bogor,
Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi (Jawa Barat) untuk seluruh layanan publik dan tambahan Kota
Tangerang Selatan untuk layanan publik yang dilakukan Polda Metro Jaya.
Sebagai pengawas pelayanan publik, tak pelak, kami juga harus menyampaikan hasil yang telah kami
raih selama ini dan juga yang belum kami raih selama berdirinya Perwakilan ini di Februari 2018
sampai akhir tahun 2018 yang lalu. Karena andalah, para pengguna dan pemberi layanan publik
sesungguhnya penerima manfaat terbesar kami. Untuk itu, kami hadirkan Catatan Akhir Tahun
Kinerja Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jakarta Raya Tahun 2018. Bagi penerima
pelayanan publik, inilah upaya yang telah kami lakukan agar pelayanan publik di wilayah Jakarta
Raya ini menjadi lebih baik bagi anda. Bagi anda intansi terlapor, inilah catatan yang bisa
dimanfaatkan untuk memperbaiki pelayanan publik lembaga anda, sebagai cermin dari perspektif
pihak luar yang memandang anda tanpa bias.
Satu hal yang pasti, sebagai perwakilan yang belum genap berdiri satu tahun, kami belum memiliki
data pembanding dengan tahun sebelumnya. Dan tingginya angka laporan masyarakat tidak serta
merta menunjukan buruknya pelayanan sebuah instansi secara langsung. Faktor kedekatan, jumlah
layanan yang diberikan kepada masyarakat dan interaksi langsung juga turut memengaruhi
tingginya jumlah pelaporan. Namun hal itu menunjukkan bahwa perhatian publik atas perbaikan
pelayanan di instansi yang dimaksud sungguh tinggi.
Akhirulkallam, kami ingin memberikan apresiasi kepada para pelapor yang telah melaporkan
keluhan pelayanan publik di instansi pemberi layanan kepada kami dan tidak hanya memendamnya
dalam hati agar terus terjadi perbaikan dalam pemberian pelayanan publik di wilayah Jakarta Raya.
Tak kurang juga kami sampikan penghargaan kepada para instansi terlapor yang telah bekerjasama
dengan kami dalam melakukan perbaikan sesuai dengan tindak korektif yang kami sampaikan baik
melalui Laporan Hasil Akhir Pemeriksaan (LAHP), Rapid Assesement, dan Systematic Review kami.
Secara khusus kami sampaikan penghargaan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam
penanganan kasus jalan Jati Baru, Kapolda Metro Jaya dalam setiap proses pemeriksaan dugaan
maladministrasi di jajaran Polda, Kapolresta Bekasi yang telah menjalankan hasil saran Rapid
Assesement, bahkan meraih predikat Wilayah Bebas Korupsi (WBK), Lapas Cibinong yang juga telah
menjalankan hasil saran Rapid Assesement dan juga meraih predikat WBK, Kapolresta Depok yang
juga menjalankan hasil saran Rapid Assesement Satuan Administrasi Penyelenggaraan SIM (Satpas),
Kanwil BPN Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat atas kerjasamanya dalam setiap proses pemeriksaan
terkait kasus-kasus pertanahan dan agraria, dan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi DKI
Jakarta dan Jawa Barat dalam proses pemeriksaan dan asistensi Unit Pelaksana Teknis di jajarannya.
Jakarta, Januari 2019
Teguh P Nugroho Kepala Perwakilan
Ombudsman RI Jakarta Raya
iii
Tim Penyusun
Penanggung Jawab Teguh P. Nugroho
Ketua
M. Arief Wibowo
Anggota Ibnu Firdaus Zayyad
Rully Amirulloh Indra Wahyu Bintoro
Cut Silvana Desiana Dewi Hasidin Samada Firsita Ikhtiana
P. Dika Arlita Siska Oktaviani
Mulyadin Akbar Yusuf Ridwanto
Miftah Firdaus Tutut Tarida
Balgis Alia Faridatus Solikha
M. Fauzi Rio Saputro
Anggita Saskhia Novianto
Tessa Khairiah Deni Kurniawan
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jakarta Raya
2019
iv
Daftar Isi
Kata Pengantar ………………………………………………………………………………………………………….. i
Tim Penyusun …………………………………………………………………………………………………………… iii
Daftar Isi …………………………………………………………………………………………………………………… iv
Bagian I Laporan Masyarakat
Jumlah dan Analisa Laporan Masyarakat ……………………………………………………………………. 1
Laporan Masyarakat Atensi Publik Tinggi
Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jalan Jatibaru Raya, Tanah Abang ……. 6
Penyelesaian Gang MHT Kuningan, Jakarta Selatan ……………………………………………………... 9
Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), Sentul City …………………………… 12
Pelayanan Publik Pertanahan di Pulau Pari, Kep. Seribu, DKI Jakarta …………………………… 15
Cara Cepat Penyelesaian Laporan Administrasi Kependudukan …………………………………... 17
Bagian II Investigasi Inisiatif
Pencemaran Sungai Cileungsi …………………………………………………………………………………….. 19
Penghentian Layanan 27 Juli Pemerintah Kota Bekasi …………………………………………………. 22
Meninggalnya Tahanan di Polresta Depok ………………………………………………………………….. 24
Bagian III Pencegahan Maladministrasi (Rapid Assessment, Survei, Kerjasama)
Penyelenggaraan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2018/2019 ………………………… 25
Penyelenggaraan Layanan Surat Izin Mengemudi (SIM) ……………………………………………… 28
Penyelenggaraan Layanan di Lembaga Pemasyarakatan ……………………………………………… 31
Survei Kepatuhan Penyelenggara Layanan Terhadap Pemenuhan Komponen Standar Pelayanan Publik Sesuai UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik ………………….
33
Peran Serta Kelompok Masyarakat dalam Pengawasan Pelayanan Publik ……………………. 37
1 |
Jumlah dan Analisa Laporan Masyarakat
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jakarta Raya dalam Periode Bulan Januari-Desember
2018 menerima Laporan Masyarakat sebanyak 336, walaupun secara Kantor Perwakilan Ombudsman
Jakarta Raya baru terbentuk di bulan Maret 2018. Sebelum bulan Maret merupakan Laporan
Masyarakat yang masuk di Ombudsman RI (Pusat) untuk kemudian setelah Kantor Perwakilan
terbentuk laporan tersebut dilimpahkan karena masuk ke wilayah kerja Ombudsman Jakarta Raya.
Dari sejumlah Laporan
Masyarakat tersebut
lokasi instansi terlapor
masih didominasi di
Kawasan Provinsi DKI
Jakarta dengan
presentase Instansi
Terlapor sebanyak
69,3% atau sebanyak
233 Laporan
Masyarakat. Sisanya
semua tersebar merata
di wilayah kerja
Ombudsman RI
Perwakilan Jakarta Raya,
berurutan lokasi instansi
terlapor setelah Provinsi
DKI Jakarta adalah Kota Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Depok Kabupaten Bekasi, Kota Bogor dan Kota
Tangerang Selatan. Satu catatan untuk Kota yang disebutkan terakhir dikarenakan wilayah Polda
Metro Jaya mencakup Kota Tangerang Selatan, untuk mempermudah koordinasi di jajaran Polda,
maka masuk ke wilayah kerja Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya.
Distribusi sebaran laporan
pada Tahun 2018 memuncak
pada Bulan Oktober 2018
dengan jumlah 53 Laporan
Masyarakat yang diregister
pada bulan tersebut.
Sementara titik terendah ada
pada Bulan Juni dengan
hanya 12 Laporan
Masyarakat yang diregister,
hal ini disebabkan salah
satunya karena pada bulan
Juni masyarakat dihadapi
oleh suasana bulan Ramadhan
2 |
dan Idul Fitri. Sementara rerata jumlah Laporan Masyarakat yang masuk relatif stagnan pada angka
30-40 Laporan Masyarakat per-bulannya.
Cara penyampaian Laporan dari masyarakat
ke Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya
masih didominasi oleh pelapor yang datang
langsung (45,7%) ke Kantor Perwakilan
Ombudsman Jakarta Raya dan melalui surat
(35,8%), walaupun cara penyampaian laporan
sudah dibuka akses yang luas terhadap
masyarakat. Tekhnologi digital (email dan
website) hanya diakses oleh pelapor sebanyak
14,7% atau hanya sebanyak 5 pelapor. Melalui
kewenangan Investigasi atas Inisiatif Sendiri
(Own Motion Investigation), Ombudsman
Jakarta Raya juga menggunakan mekanisme
tersebut untuk menelusuri dugaan ataupun
potensi Maladministrasi yang dilakukan oleh
Penyelenggara Negara.
Kepolisian dan substansi
Agraria/Pertanahan menempati hampir
separuh dari laporan yang ada.
Permasalahan di seputar pelayanan
Kepolisian baik itu yang diselenggarakan
oleh SPKT (Sentra Pelayanan Kepolisian
Terpadu) maupun Satpas (Satuan
Administrasi Pelayanan SIM) menjadi
substansi yang paling sering diadukan
oleh masyarakat. Untuk sektor
Agraria/Pertanahan permasalahan
seputar penandatanganan surat tidak
sengketa ataupun penguasaan secara
fisik, permasalahan sertifikat yang
tumpang tindih maupun permasalahan
sektor pertanahan lainnya juga menjadi
primadona permasalahan di substansi
Agraria/Pertanahan. Sisanya, laporan
beragam substansi dari permasalahan
Administrasi Kependudukan seperti KTP-
el yang belum juga didapati oleh
masyarakat, surat catatan kependudukan
yang tidak kunjung diterbitkan oleh Penyelenggara Layanan
menghiasi laporan di substansi Administrasi Kependudukan.
3 |
Jika melihat infografis sebaran
Laporan Masyarakat yang
masuk didominasi di daerah
Provinsi DKI Jakarta, maka
linear dengan data tersebut
sebaran instansi terlapor
didominasi oleh Pemerintah
Provinsi. Dalam konteks
wilayah kerja Ombudsman RI
Perwakilan Jakarta Raya,
Pemerintah Provinsi yang
masuk kewenangan hanyalah
Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta.
Sebaran yang hampir merata
pada data disamping
mengindikasikan beragamnya
laporan yang masuk pada Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya. Jika melihat lagi data substansi
laporan mengenai Agraria/Pertanahan, maka sebaran instansi terlapornya tidak selalu pada Kantor
Pertanahan, bahkan Kantor Pertanahan sendiri menempati posisi ke-empat (9,9%), sisanya tersebar
pada Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota.
Menengok sedikit tentang definisi tentang Maladministrasi, yaitu perilaku atau perbuatan melawan
hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan
wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan
pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan Pemerintahan yang menimbulkan
kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan. Dan 10 bentuk
Maladministrasi yaitu: Penundaan Berlarut, Tidak Memberikan Pelayanan, Tidak Kompeten,
Penyalahgunaan Wewenang, Penyimpangan Prosedur, Permintaan Imbalan, Tidak Patut, Berpihak,
dan Diskriminasi.
4 |
Dari alur proses laporan masyarakat, semua diregistrasi dan melalui pemeriksaan formil maupun
materiil dari Tim Pemeriksaan dan Verifikasi Laporan, termasuk didalamnya diberikan dugaan
maladministrasi yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dari hasil tersebut, dari 10
bentuk Maladministrasi yang ada, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya hanya mengidentifikasi 7
bentuk Maladministrasi, dengan lebih dari setengah (51,1%) Laporan yang masuk didominasi oleh
Penundaan Berlarut, yaitu merupakan perbuatan mengulur waktu penyelesaian layanan atau
memberikan layanan melebihi baku mutu waktu dari janji layanan.
Setelah melalui proses pemeriksaan dan verifikasi laporan,
dan melalui tahap formil dan materiil, alur laporan
kemudian berlanjut ke Tim Pemeriksaan yang
mengidentifikasi, menginvestigasi dan segala bentuk
kewenangan yang ada di Ombudsman untuk
menyelesaikan setiap laporan masyarakat yang masuk.
Jangka waktu menjadi relatif dikarenakan bentuk laporan
dan responsifitas instansi terlapor dalam menindaklanjuti
temuan dari Ombudsman Jakarta Raya.
Hasilnya, 28,57% Tidak Ditemukan Tindakan
Maladministrasi yang dilakukan oleh Penyelenggara
Pelayanan Publik setelah melalui rangkaian proses
pemeriksaan. 15,45% ditemukan Tindakan
Maladministrasi yang dilakukan oleh penyelenggara
pelayanan publik. Jika ditilik dari sisi prosentse memang kecil, tetapi segala bentuk tindakan
maladministrasi harus segera diganjar tindakan korektif dan wajib dilaksanakan oleh instansi terlapor
tersebut.
Dari tindakan maladministrasi yang
terjadi, Tidak Memberikan Pelayanan
(26,42%) menempati urutan teratas di
wilayah Kerja Perwakilan Jakarta Raya,
berbeda tipis dengan Penundaan
Berlarut (24,53%) yang ada di urutan
kedua. Pada data dugaan
maladministrasi diatas, penundaan
berlarut menempati urutan paling atas
bahkan setengah dari laporan
masyarakat yang masuk, tetapi dalam
proses pemeriksaan sementara (dikarenakan angka proses pemeriksaan masih 55,98%), penundaan
berlarut tidak lagi menjadi dominan. Selebihnya, Permintaan Imbalan (baik berupa Uang, Barang dan
Jasa) berada pada angka 11,32%. Angka yang tidak bisa dipandang kecil, karena masih adanya
pungutan yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik kepada masyarakat, yang merugikan
bukan hanya pada masyarakatnya sendiri, tetapi bisa berimbas kepada ketidakpercayaan masyarakat
kepada penyelenggara pelayanan publik.
5 |
Sebaran terjadinya tindakan maladministrasi paling banyak terjadi pada Kelurahan dan Sekolah
Negeri, dengan masing-masing sebesar 13,33%. Dengan banyaknya tindakan Maladministrasi yang
dimulai pada level struktur yang paling bawah, dan cenderung paling banyak layanan kepada
masyarakat, maka diperlukan adanya perhatian dari level birokrasi diatasnya untuk melakukan
pembinaan terhadap para pelaku tindakan Maladministrasi. Level atas pun tidak terlepas dari adanya
Maladministrasi, ditunjukan dengan adanya tingkat level paling atas (Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Daerah).
6 |
MALADMINISTRASI Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jalan Jatibaru Raya,
Tanah Abang
Tanah Abang merupakan kawasan perdagangan dan tekstil terbesar se-Indonesia bahkan Asia
Tenggara yang terletak di Jakarta Pusat sebagai jantung Megapolitan Jakarta Raya. Sebagai kawasan
perdagangan yang sangat ramai, Tanah Abang mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta sebagai penyelenggara pelayanan publik untuk menghadirkan suasana
perdagangan yang teratur dan tertib.
Pada akhir tahun 2017, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan penataan di kawasan tersebut
dengan menutup akses Jalan Jatibaru Raya untuk digunakan pedagang kaki lima (PKL) berjualan di
tenda-tenda yang telah disediakan.
Namun upaya penataan tersebut ternyata mendapat protes dari para pedagang Pasar Blok G Tanah
Abang yang tergabung dalam Koperasi Pedagang Pasar (Koppas) Kebon Jati. Koppas Kebon Jati
mengeluhkan kebijakan penataan PKL yang berdampak negatif kepada pedagang di Blok G yaitu
berupa penurunan omset/pendapatan secara drastis sampai 60%.
Menindaklanjuti dampak negatif tersebut, Koppas Kebon Jati telah menempuh upaya pengaduan
dengan bersurat kepada Gubernur DKI Jakarta serta melakukan audiensi dengan mendatangi Kantor
DPRD Provinsi DKI Jakarta.
Setelah mengadukan permasalahan mereka kepada Pemerintah Provinsi dan Dewan, Koppas Kebon
Jati akhirnya melaporkan permasalahan tersebut kepada Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya.
Melalui proses pemeriksaan formil dan materiil, laporan dimaksud dinyatakan diterima per-tanggal
13 Februari 2018. Beberapa harapan yang disampaikan oleh Pelapor yaitu agar Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta melakukan pembatalan penataan PKL di jalan, mengembalikan fungsi Jalan Jatibaru Raya
seperti semula, serta agar PKL dipindahkan untuk berjualan di Pasar Blok G.
Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya bergerak cepat menindaklanjuti laporan dari Koppas Kebon
Jati dengan dengan melakukan telaah awal serta melakukan sejumlah pemeriksaan baik pemeriksaan
lapangan maupun secara langsung terhadap stakeholder.
Infografis Rangkaian Pemeriksaan
7 |
Setelah melihat langsung ke lapangan serta mendapatkan data dan keterangan dari berbagai pihak,
Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya melalui Timgab Tanah Abang segera menyusun Laporan
Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) atas Laporan Pelapor. Pada tanggal 26 Maret 2018, bertempat di
Kantor Ombudsman RI, LAHP disampaikan secara langsung kepada pihak terkait diantaranya
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, DPRD Provinsi DKI Jakarta, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah
Kemendagri, Polda Metro Jaya, dan Koordinator Koalisi Pejalan Kaki. Dalam pertemuan tersebut,
Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya memaparkan beberapa temuan maladministrasi,
diantaranya:
1. Tidak Kompeten
a. Gubernur DKI Jakarta bersama Dinas UKM serta Perdagangan belum mengantisipasi dampak
dari penataan PKL di Jalan Jatibaru Raya. Dimana kebijakan tersebut menimbulkan dampak
yang merugikan secara ekonomi terhadap pedagang Pasar Blok G Tanah Abang. Hal ini tidak
selaras dengan tugas Dinas UKM serta Perdagangan dalam melaksanakan pembangunan,
pengembangan, dan pembinaan usaha mikro, kecil, dan menengah serta perdagangan sesuai
Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 266 Tahun 2016;
b. Gubernur DKI Jakarta dalam perencanaan penataan PKL di Jalan Jatibaru Raya tidak mimiliki
perencanaan yang matang, terkesan terburu-buru dan parsial. Hal ini disebabkan karena
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum memiliki Rencana Induk Penataan PKL dan peta jalan
PKL di Provinsi DKI Jakarta.
2. Perbuatan Melawan Hukum
a. Kebijakan Gubernur DKI Jakarta dalam penataan PKL dengan mengalihfungsikan Jalan Jatibaru
Raya Tanah Abang, telah melanggar Ketentuan Peraturan Perundang-undangan, yaitu Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan,
dan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum;
b. Tindakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mengesampingkan hak pejalan kaki atau
pedestrian dalam menggunakan fasilitas trotoar, melanggar Pasal 46 ayat (1) Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi yang menyatakan bahwa Pemerintah Daerah
menyediakan fasilitas pejalan kaki yang aman dan nyaman di setiap ruas Jalan sesuai dengan
Ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
3. Penyimpangan Prosedur
Kebijakan Gubernur DKI Jakarta bersama Dinas Perhubungan DKI Jakarta dalam melakukan
penutupan Jalan Jatibaru Raya Tanah Abang, tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu dari Polda
Metro Jaya c.q. Ditlantas merupakan tindakan penyimpangan prosedur. Mengingat, sesuai
ketentuan Pasal 128 ayat (3) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan bahwa terhadap penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas harus
dengan seizin Polri.
4. Pengabaian Kewajiban Hukum
Kebijakan Gubernur DKI Jakarta berupa diskresi dalam penataan PKL di Jalan Jatibaru Raya dengan
menutup Jalan tersebut, tidak sejalan dengan ketentuan tentang penggunaan diskresi sebagaimana
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan mengabaikan
Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2030
dan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Pengaturan
Zonasi DKI Jakarta 2030.
8 |
Selain menemukan tindakan maladministrasi, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya juga
menyampaikan sejumlah tindakan korektif yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta sebagai solusi perbaikan, sebagai berikut:
1. Melakukan evaluasi secara menyeluruh dan penataan ulang Kawasan Tanah Abang sesuai
peruntukannya agar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan guna menghindari tindakan
maladministrasi yang terjadi pada saat ini meliputi:
a. Membuat rancangan induk atau Grand Design Kawasan Tanah Abang, dengan melibatkan
partisipasi publik seluas-luasnya untuk memberikan masukan guna memperoleh rancangan
yang terbaik;
b. Membuat perencanaan penataan PKL secara komprehensif, mulai dari pendataan, penetapan
lokasi, pemindahan dan penghapusan lokasi, peremajaan dan perencanaan penyediaan ruang,
serta pembinaan dan pendampingan;
c. Menata dan memaksimalkan Pasar Blok G serta melakukan pembinaan dan pemberdayaan para
pedagang untuk meningkatkan aktivitas perdagangan;
d. Mengembalikan fungsi Jalan Jatibaru Raya Tanah Abang sesuai peruntukannya untuk lalu lintas
angkutan jalan dan pedestrian untuk pejalan kaki.
2. Menetapkan masa transisi untuk mengatasi maladministrasi yang telah terjadi saat ini dalam
jangka waktu selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari dengan melibatkan partisipasi semua
pemangku kepentingan sesuai tugas dan fungsinya masing-masing, agar kepada para PKL di Jalan
Jatibaru Raya memiliki kesempatan untuk mendapatkan tempat berjualan yang representatif
untuk peningkatan kesejahteraan tanpa melanggar hukum.
3. Memaksimalkan peran dan fungsi Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan tugas dan
fungsi instansi terkait sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2011
tentang Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
4. Menjadikan penataan Kawasan Tanah Abang sebagai proyek percontohan penataan para pedagang
secara menyeluruh, tertib lalu lintas dan jalan raya, pedestrian yang nyaman bagi pejalan kaki
sebagai wujud pelayanan publik yang baik berkelas dunia, sebagai contoh untuk kota-kota lain di
Indonesia dan khususnya kawasan lain di DKI Jakarta.
5. Pelaksanaan tindakan korektif sebagaimana poin 1, 2, 3 dan 4 di atas merupakan satu kesatuan
yang utuh dan tidak dapat mengesampingkan satu dan yang lain sebagai bagian dari penyelesaian
yang menyeluruh atas tindak lanjut LAHP ini.
Paska penyerahan LAHP, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya terus melakukan upaya monitoring
terhadap pelaksanaan tindakan korektif LAHP Tanah Abang oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
hingga saat ini. Upaya monitoring tersebut diantaranya dengan pemeriksaan lapangan, undangan
pertemuan, maupun kunjungan ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
9 |
MALADMINISTRASI Penyelesaian Gang MHT Kuningan, Jakarta Selatan
Di tengah kepadatan bangunan dan keramaian manusia pada Kawasan Megapolitan Jakarta Raya,
akses transportasi berupa jalan berperan sangat vital. Jalan-jalan yang ada, dari jalan raya utama
sampai jalan kecil (gang) menjadi tulang punggung kelancaran jalannya roda ekonomi dan bisnis bagi
masyarakat. Bagi sebagian pekerja yang tinggal di tengah pemukiman super padat atau memilih
sewa/kos di wilayah tersebut, untuk bisa sampai di tempat kerja, biasanya mereka harus melewati
gang-gang kecil sebagai akses transportasi baik dengan berjalan kaki maupun dengan kendaraan roda
dua sebelum mencapai jalan utama menuju kantor.
Hal yang sama berlaku pada warga RT
017 RW 004 Kelurahan Karet Kuningan,
Setiabudi, Jakarta Selatan. Di wilayah
tersebut, Jalan MHT atau yang biasa
disebut Gernuk merupakan jalan akses
sehari-hari bagi masyarakat untuk
beraktivitas. Namun seiring berjalannya
waktu, jalan tersebut kemudian
diperjualbelikan dan dialihfungsikan
menjadi lahan komersial dengan
beberapa kios dagangan dibangun di
badan jalan. Akibatnya, jalan yang tadinya
merupakan jalan umum yang dapat dilalui
oleh kendaraan roda dua, berubah
menjadi jalan sempit dan tidak dapat
dilalui.
Prihatin dengan kondisi tersebut, DPP LSM GARDA-P3ER sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang
menyoroti isu pembangunan dan perekonomian masyarakat telah beberapa kali melapor dengan
bersurat kepada pihak Kelurahan Karet Kuningan dan Kecamatan Setiabudi, namun dirasa tidak
pernah ada tindakan tegas dari aparat untuk menyelesaikan permasalahan dimaksud.
Kecewa dengan tanggapan aparat terhadap pengaduannya, DPP LSM GARDA-P3ER memutuskan
melaporkan permasalahan tersebut kepada Ombudsman Republik Indonesia, dengan harapan agar
lahan/tanah tersebut dapat kembali berfungsi seperti semula sebagai jalan umum.
Pasca menerima laporan, Ombudsman Republik Indonesia mengambil langkah-langkah pemeriksaan
yaitu: melayangkan surat permintaan klarifikasi secara tertulis, melakukan permintaan keterangan
secara langsung kepada pihak terkait (Kelurahan Karet Kuningan, Kecamatan Setiabudi, Satuan Polisi
Pamong Praja).
Setelah serangkaian pemeriksaan, pada tanggal 15 Januari 2018, bertempat di Kantor Ombudsman RI,
Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya menyerahkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP)
kepada Gubernur DKI Jakarta yang diwakili oleh Inspektur Provinsi DKI Jakarta.
10 |
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan pendapat Ombudsman RI, maka disimpulkan bahwa:
1. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan tindakan maladministrasi berupa penundaan
berlarut dalam penyelesaian permasalan Jalan MHT (Gang Gernuk) yang berada di RT 017 RW
004, Kelurahan Karet Kuningan, Kecamatan Setiabudi, Kota Administrasi Jakarta Selatan.
2. Gubernur DKI Jakarta dan jajaran Walikota Kota Administrasi Jakarta Selatan melakukan
tindakan maladministrasi dengan melalaikan kewajiban atas pengelolaan aset Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta.
11 |
Selain menemukan Maladministrasi, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya juga menyampaikan
sejumlah tindakan korektif yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai solusi
perbaikan, sebagai berikut:
1. Ombudsman RI meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan penertiban atas
bangunan yang berdiri di lahan Jalan MHT (Gang Gernuk), RT 017 RW 04, Kel. Karet Kuningan,
Kec. Setiabudi, Kota Administrasi Jakarta Selatan.
2. Ombudsman RI meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan monitoring terhadap
aset lain yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
3. Ombudsman RI meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengoptimalkan koordinasi
antar instansi terkait pengelolaan aset Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
4. Ombudsman RI meminta kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyampaikan tindak
lanjut penanganan sebagaimana poin 1 s.d. point 3 di atas kepada Ombudsman RI.
Pada tanggal 23 Mei 2018, Ombudsman RI Perwakilan
Jakarta Raya mendapat informasi dari Pelapor bahwa
telah dilakukan pembongkaran di lokasi tersebut. Pada
tanggal 6 Juni 2018, Inspektorat Provinsi DKI Jakarta
mengirimkan surat Nomor: 1546/1922 perihal laporan
tindak lanjut hasil pemeriksaan ditujukan kepada
Gubernur Provinsi DKI Jakarta dan tembusannya
kepada Ombudsman RI bahwa telah dilakukan
pembongkaran terhadap bangunan dimaksud.
12 |
MALADMINISTRASI
Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), Sentul City
Air minum menjadi kebutuhan pokok setiap orang. Maka, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan air minum yang dapat selalu diakses oleh masyarakat kapanpun dan dimanapun. Namun hal sebaliknya terjadi pada warga yang bermukim di Perumahan Sentul City, Kabupaten Bogor. Semuanya bermula ketika pada bulan Mei 2001, PT. Sentul City, Tbk (PT. SC) dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor melakukan dan menandatangani perjanjian kerjasama pasokan air bersih. Perjanjian kerja sama pasokan air bersih kemudian dibuat lagi pada tahun 2005 dan mengalami beberapa addendum hingga addendum terakhir yaitu addendum keenam yang dibuat pada tanggal 9 Maret 2017. Salah satu addendum perjanjian yaitu pada tahun 2005 dilakukan dan ditandatangani tanpa ada persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kab. Bogor.
Warga yang tergabung dalam Komite Warga Sentul City (KWSC) pernah mempertanyakan kepada Bupati Bogor mengenai kewenangan pendistribusian air oleh PT. SC. KWSC bersurat kepada Bupati Bogor terkait kewenangan dan pelanggaran hukum dalam pendistribusian air oleh PT. SC. Dalam hal ini, KWSC merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 85/PUU-XI/2013 tanggal 18 Februari 2015 yang membatasi penguasaan penyelenggaraan SPAM yang dilakukan sepenuhnya oleh badan usaha swasta. Namun kebijakan berbeda justru ditempuh Bupati Bogor, pada tanggal 1 Maret 2017, diterbitkan pula Izin Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) untuk kebutuhan sendiri kepada PT. SC melalui Keputusan Bupati Bogor No. 693/090/00001/DPMPTSP/2017 tentang Pemberian Izin Sistem Penyediaan Air Minum untuk Kebutuhan Sendiri oleh Badan Usaha.
Sebagai pengembang, PT. SC juga membuat kebijakan diantaranya penyatuan tagihan air dengan tagihan Biaya Pengelolaan Lingkungan (BPPL). Tagihan dilakukan oleh PT. Sukaputera Graha Cemerlang (SGC) yang merupakan anak perusahaan PT. SC. Konsekuensi dari penyatuan tagihan tersebut yaitu meskipun warga membayar air namun apabila bermasalah dengan tagihan BPPL (Biaya Pemeliharaan dan Pengelolaan Lingkungan) aliran air warga bisa diputus. Tagihan BPPL sendiri sangat bermasalah baik dari segi penetapan nilai tagihan, dasar tagihan dan kewenangan PT. SC.
Karena kecewa terhadap kebijakan Bupati Bogor dan PT. SC, KWSC akhirnya melaporkan permasalahan ini kepada Ombudsman Republik Indonesia. Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya yang menangani permasalahan ini segera melakukan pemeriksaan.
- Direktorat Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
- Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Kabupaten Bogor.
- Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor.
- Badan Peningkatan Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM).
- Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
- Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri.
- Bupati Bogor.
13 |
Setelahnya, disampaikan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) pada tanggal 27 November 2018 dengan point sebagai berikut:
Temuan Maladministrasi: Pengabaian Kewajiban Hukum
1. Bupati Bogor dan PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor melakukan pengabaian kewajiban hukum dalam pembiaran kerjasama jual-beli air baku PDAM dan penggabungan tagihan air bersih dengan IPPL sebagimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 122 tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum.
2. Bupati Bogor dan PDAM Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor melakukan pengabaian kewajiban hukum dengan membuat Addendum Keenam Perjanjian Kerjasama antara Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor dengan PT. Sentul City Tbk tentang Langganan Pasokan Air Bersih Nomor 690/14-Add.Perjn/PDAM/Huk/III/2017, Nomor: 03/III/Perj/SC-legcorp/III/2017 tanggal 9 Maret 2017 tanpa persetujuan DPRD Kab. Bogor.
3. Bupati Bogor melakukan pengabaian kewajiban hukum dengan tidak melaksanakan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 7 Tahun 2012 tentang Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan dan Pemukiman.
Tindakan Korektif: 4 Aspek
Terkait Perjanjian Jual Beli Air Baku dan Pengelolaan Air Minum Sentul City
1. Bupati Bogor dan Direktur Utama PDAM Tirta Kahuripan agar membatalkan Perjanjian Kerja Sama antara Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Kahuripan Kabupaten Bogor dengan PT. Bukit Sentul Tbk tentang Pasokan Air Bersih Nomor: 690/26-Perjn/Huk/IX/2005, Nomor: 413/DIR/BS/IX/05 tanggal 27 September 2005 beserta adendum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat melakukan perubahan terhadap perjanjian kerja sama dengan menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan;
2. Bupati Bogor menetapkan masa transisi peralihan dari pengelolaan sentul city kepada PDAM paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya LAHP Ombudsman RI Jakarta Raya;
3. Selama masa transisi dimaksud, Bupati Bogor wajib memastikan pelayanan air berish ke seluruh warga Sentul City dan yang diputus saluran airnya untuk disambung kembali, dan memerintahkan PT. Sentul City, Tbk dan PT. SGC untuk memisahkan tagihan retribusi air minum warga dengan Biaya Pemeliharaan dan Pengelolaan Lingkungan;
4. Bupati Bogor memberikan sanksi kepada pihak penyelenggara, jika mengabaikan kewajiban sebagaimana angka 3.
Terkait SPAM oleh PDAM Tirta Kahuripan
1. PDAM Tirta Kahuripan dapat melakukan kerjasama dengan badan usaha pelaksana (Badan Usaha Pelaksana adalah badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas) yang didirikan oleh Badan Usaha pemenang pengadaan atau ditunjuk langsung untuk melakukan Penyelenggaraan SPAM berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 19/PRT/M/2016 tentang Pemberian Dukungan oleh Pemerintah Pusat dan/atau pemerintah daerah dalam kerjasama penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum;
2. Dalam proses kerjasama, PDAM Tirta Kahuripan dimungkinkan untuk bekerjasama dengan PT. Sentul City Tbk dan atau anak perusahaannya dalam bidang pengadaan di unit air baku dan unit produksi air dengan prinsip utama pemberian layanan air sebagai hak warga negara, saling menguntungkan dan memperhitungkan nilai investasi dan penuruanan nilai aset sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara yang baik serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
14 |
3. Pemberian Rekomendasi teknis dan izin SIPPA oleh Dirjen SDA PUPR kepada PT. Sentul City Tbk harus mengacu pada izin operasional dan pengelolaan SPAM yang dimungkinkan oleh PP 122/ 2015 tentang SPAM, dimana Swasta dapat berperan serta dalam SPAM dalam investasi di unit penyediaan air baku dan produksi air minum. Pemberian Rekomtek dan pemberian SIPPA kepada PT. Sentul City Tbk hanya dapat dilakukan sepanjang telah ada perjanjian tertulis dengan PDAM sebagai pemegang SPAM. Bahwa PT. Sentul City Tbk hanya berperan di unit air baku dan unit produksi yang dikelola oleh PDAM Tirta Kahuripan di kawasan Sentul City.
Terkait Izin SPAM oleh Bupati Bogor
1. Bupati Bogor melaksanakan Putusan No. 75/G/2017/PTUN.Bdg jo Putusan No. 463 K/TUN/2018 dengan menerbitkan surat Pembatalan SPAM tersebut;
2. Bupati Bogor tidak menerbitkan Izin SPAM untuk Kebutuhan Sendiri Badan Usaha kepada Badan Usaha Swasta di kawasan Sentul City karena telah terjangkau air minum PDAM Tirta Kahuripan.
Terkait Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU)
1. Bupati Bogor melaksanakan ketentuan Pasal 21 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan dan Permukiman di Daerah yaitu pemerintah daerah membuat berita acara perolehan prasarana, sarana dan utilitas perumahan dan pemukiman karena PSU di kawasan Sentul City termasuk PSU yang ditelantarkan dan belum diserahkan oleh PT. Sentul City, Tbk padahal sudah melewati 1 (satu) tahun setelah masa pemeliharaan. dan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 7 Tahun 2012 tentang Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan dan Pemukiman yang mewajibkan pengembang menyerahkan prasarana, sarana dan utulitas baik yang berada di kawasan site plan maupun kawasan master plan dan memberikan sanksi tegas kepada pengembang yang tidak menyerahkan PSU termasuk Sentul City baik dalam bentuk Sanksi adminitrasi maupun sanksi Pidana;
2. Bupati Bogor agar segera melakukan serah terima prasarana, sarana, utilitas dengan pengembang di kawasan Sentul City. Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor tidak mampu melakukan pengelolaan dapat menggunakan mekanisme swakelola oleh warga atau bekerja sama dengan pengembang, badan usaha swasta dan/atau masyarakat dalam pengelolaan prasarana, sarana dan utilitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tanpa harus menunda melakukan serah terima.
15 |
Maladministrasi Pelayanan Publik Pertanahan di Pulau Pari,
Kep. Seribu, Jakarta Warga Pari menghadapi permasalahan yang serius, yakni kehilangan rumah, tanah dan pengharapan.
Permasalahan ini bermula pada tahun 1974, ketika itu pihak Kelurahan Tidung yang kini berubah
nama menjadi Kelurahan Pari meminta warga untuk menyerahkan satu-satunya bukti petunjuk alas
hak berupa Girik kepada Kelurahan dengan alasan untuk pemutihan. Dengan minimnya pengetahuan
atas hak atas bidang tanah, warga menuruti permintaan Kelurahan.
Beberapa tahun kemudian warga yang telah menyerahkan Girik, mendatangi kantor kelurahan untuk
membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Kemudian dari sini diketahui bahwa tanah yang mereka tempati
bukan atas nama mereka lagi, tetapi atas nama orang lain yang bukan merupakan warga Pari dan tidak
memiliki hubungan darah dengan warga Pari.
Belakangan diketahui sejak tahun 2014 telah terbit SHM dan SHGB atas nama orang lain di atas tanah
yang ditempati oleh warga Pari. Pemegang SHGB tersebut kini memasang plang tanda kepemilikan di kompleks pemukiman warga, bahkan ada warga Pari yang diproses hukum oleh pemegang SHM dan
SHGB karena dugaan memasuki pekarangan tanpa izin (Hasil putusan pengadilan menyatakan bahwa
warga Pari tersebut tidak bersalah). Meskipun demikian, hal ini cukup bagi warga Pari untuk
merasakan kekhawatiran atas hak-hak mereka yang secara tiba-tiba diganggu oleh pihak luar Pulau
Pari.
Warga Pari tidak tinggal diam. Dalam usahanya memperjuangkan hak-haknya, warga Pari mengadu
kepada Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Beberapa waktu, aduan berproses di KSP namun warga Pari
tak kunjung mendapatkan penyelesaian atas permasalahan ini.
Akhirnya, pada tanggal 4 April 2017, warga Pari yang tergabung dalam wadah perjuangan Forum
Peduli Pulau Pari melapor kepada Ombudsman RI terkait dugaan maladministrasi dalam penerbitan
SHM dan SHGB di Pulau Pari, dengan terlapor tunggal Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta
Utara.
Menindaklanjuti laporan ini, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya melakukan serangkaian
pemeriksaan kepada terlapor dan para pihak terkait termasuk kepada Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta. Untuk melakukan pendalaman, dilakukan pengumpulan informasi sebanyak 4 (empat) kali
mengunjungi Pulau Pari untuk melihat kondisi terkini dan bertemu warga.
Berdasarkan serangkaian pemeriksaan, investigasi lapangan, kajian dokumen dan analisa peraturan
perundang-undangan serta pendapat ahli, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya menemukan
maladministrasi dalam penerbitan 62 (enam puluh dua) Sertipikat Hak Milik (SHM) atas nama
perorangan dan 14 (empat belas) Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas nama korporasi di Pulau
Pari.
Berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan fakta terdapat potensi terjadinya monopoli kepemilikan
hak atas tanah di Pulau Pari oleh korporasi swasta atas nama PT. Bumipari Asri dan PT. Bumiraya
Griyanusa, serta kepemilikan hak atas tanah yang melampaui batas dengan motivasi untuk menguasai
pulau.
Hal ini diperkuat dengan fakta-fakta dalam dokumen bahwa Sdr. Pintarso Adijanto Direktur Utama
PT. Bumipari Asri selaku pemegang SHGB, yang bersangkutan juga memiliki beberapa SHM atas nama
perorangan di Pulau Pari. Padahal pada Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
16 |
tentang Penataan Ruang mengatur bahwa penataan ruang berasaskan perlindungan kepentingan
umum. Itu sebabnya, penerbitan SHGB tidak boleh mengabaikan kepentingan umum.
Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara sebelum menerbitkan SHGB, juga tidak
mempertimbangkan keberadaan warga Pulau Pari yang telah secara turun-temurun menghuni pulau,
agar asas perlindungan kepentingan umum dalam pemanfaatan ruang terpenuhi. Hal ini diatur dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengenai prinsip kehati-
hatian dalam penyelenggaraan pemerintahan, agar penyelenggara negara tidak ceroboh dalam
melakukan tindakan yang berefek luas. Undang-Undang dimaksud memberi isyarat bahwa
penggunaan kewenangan tidaklah seperti robot, harus turut mempertimbangkan peraturan-
peraturan lain yang terkait, agar tidak berbenturan dengan peraturan lain dan tidak menimbulkan
kegaduhan dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh Pemerintah.
Terbitnya SHGB atas nama PT. Bumi Pari Asri dan PT. Bumiraya Griyanusa di Pulau Pari justru
menegaskan pengabaian kepentingan umum dalam pemanfaatan ruang. Selanjutnuya, Peraturan
Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030. Dalam
RTRW tersebut diatur dalam Pasal 171 Ayat (1) dan Ayat (2) huruf e bahwa Pulau Pari ditetapkan
sebagai kawasan pemukiman. Berdasarkan fakta dilapangan bahwa PT. Bumi Pari Asri dan PT.
Bumiraya Griyanusa akan membangun resort wisata di Pulau Pari. Hal ini mengancam pemukiman
warga yang berdiri di Pulau Pari sejak tahun 1974. Rencana korporasi tersebut bertentangan dengan
RTRW Provinsi DKI Jakarta. Pada Pasal 172 Ayat (1) bahwa untuk mendukung perwujudan kawasan
permukiman sebagai kawasan wisata nelayan sebagai objek tujuan wisata dapat dibangun wisma
dan/atau penginapan, serta sentra usaha rakyat termasuk pusat pelayanan jasa wisata. Ketentuan ini
menjelaskan bahwa kawasan Pulau Pari dimungkinkan menjadi objek pariwisata tetapi wisata yang
dimaksud harus tetap bertumpu kepada para nelayan setempat bukan korporasi tertentu atau
perseorangan yang bukan warga Pulau Pari.
Dalam proses penerbitan SHM, Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Utara tidak
secara cermat mengikuti prosedur yang diatur dalam ketentuan Pasal 18 Ayat (1), (2), (3) dan (4)
serta Pasal 26 Ayat (1), (2) dan (3) PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pada intinya berdasarkan
ketentuan dimaksud, penerbitan hak atas tanah harus atas sepengetahuan warga sekitar yaitu
tetangga batas bidang tanah yang akan diukur dan hasil pengukuran diumumkan. Dan yang lebih
penting, warga yang berbatasan dengan bidang tanah yang akan diukur mendapatkan undangan
secara tertulis dari Kantor Pertanahan untuk mengetahui dan menyaksikan proses pengukuran
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tentang Pendaftaran
Tanah. Pendafataran tanah harus memenuhi asas kontradiktur delimitasi.
Pada tanggal 9 April 2018 Ombudsman telah menyampaikan LAHP (Laporan Akhir Hasil
Pemeriksaan) kepada terlapor, atasan terlapor dan para pihak terkait, untuk ditindaklanjuti. Status
LAHP tersebut kini masih dalam monitoring.
17 |
Cara Cepat Penyelesaian Laporan Administrasi Kependudukan
Laporan substansi Administrasi Kependudukan yang masuk ke Ombudsman RI Perwakilan Jakarta
Raya dalam kurun waktu Tahun 2018 masuk dalam kategori 10 besar (4,2%). Permasalahan substansi
administrasi kependudukan rata-rata sejalan dengan dugaan maladministrasi penundaan berlarut.
Dengan permasalahan seputar belum diterbitkannya Kartu Tanda Penduduk, Akta Kelahiran, Akta
Kematian dan dokumen kependudukan yang lain.
Dari laporan yang masuk terkait substansi Administrasi Kependudukan, mayoritas (75%) dapat
diselesaikan dengan cara cepat dan informal, di antaranya dengan menggunakan mekanisme aplikasi
chat WhatsApp, telepon dan permintaan klarifikasi ke-1.
Seperti laporan yang masuk mengenai dugaan
maladministrasi penundaan berlarut mengenai
belum diterbitkannya akta kelahiran atas nama anak
pelapor yang dilakukan oleh Satuan Pelaksana
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Satlak PTSP) di salah
satu Kelurahan di Jakarta Selatan, pelapor
mempermasalahkan akta kelahiran yang belum terbit
selama kurang lebih 3 bulan, padahal pelapor
membutuhkan hal tersebut untuk mengurus
dokumen yang lain. Setelah pelapor menempuh upaya
melaporkan permasalahan tersebut ke internal Satlak
PTSP, tetapi jawaban yang didapatkan hanya sebatas
“masih dalam proses” tanpa memperoleh kepastian waktu kapan akan diterbitkan akta kelahiran
tersebut. Atas hal tersebut pelapor mengupayakan solusi lain, yaitu mengadukan permasalahan
tersebut ke Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya.
Setelah melalui proses formil dan materiil,
kemudian Tim Asisten mengupayakan cara
yang cenderung cepat dan informal, yaitu
mencari nomor kontak dari pejabat yang
berkepentingan tersebut. Setelahnya pukul
16.11 WIB dilakukan korespondensi
melalui aplikasi Chat Whatsapp. Pada pukul
16.27 WIB, pihak terlapor sudah
menginformasikan bahwa akta kelahiran
yang dipermasalahkan pelapor sudah terbit
dan dapat diambil di Satlak PTSP Kelurahan
dimana pelapor bermohon.
Contoh lain adalah bagaimana seorang anak
mengurus akta kematian orang tuanya,
selama ini disinyalir ketika mengurus surat
kematian, maka akan ada “embel-embel” mengurus warisan kemudian, sehingga cenderung dipersulit
oleh pihak Kelurahan untuk sekedar meminta “jatah” kepada pemohon. Satu laporan yang menarik
adalah, pelapor sudah mengurus akta kematian orang tuanya selama 2 bulan lamanya dari berkas
masuk, ketika pelapor menanyakan kepada pihak Kelurahan, selalu mendapat jawaban masih
diproses dan belum ditandatangani oleh Kepala Suku Dinas, sekali lagi, tanpa memperoleh kepastian
18 |
yang jelas kapan akta kematian tersebut akan terbit. Tidak puas sampai disitu, pelapor mengupayakan
mengejar ke Suku Dinas Kependudukan untuk menanyakan akta kematian tersebut, dan jawaban Suku
Dinas, Akta Kematian sudah diurus langsung di Kelurahan.
Diantara kebimbangan tersebut, pelapor mengadukan permasalahan tersebut ke Ombudsman RI
Perwakilan Jakarta Raya, setelahnya melalui proses formil dan materiil, Tim Asisten kemudian
kembali mencari daftar kontak pejabat yang bersangkutan. Pukul 12.48 WIB dilakukan
korespondensi melalui aplikasi chat, dan mendapatkan jawaban akan segera ditindaklanjuti laporan
tersebut. Pukul 16.53 WIB, Tim Asisten mendapatkan jawaban kembali bahwa Akta Kematian sudah
diterbitkan dan diantarkan langsungoleh pihak Kelurahan ke rumah pelapor.
Yang sangat menarik dari proses penyelesaian secara informal ini adalah, Tim Asisten hanya butuh
waktu beberapa jam, bahkan menit untuk menyelesaikan permasalahan yang diadukan dan
mendapatkan respon positif dari instansi terlapor, tanpa harus menjalankan semua kewenangan
Ombudsman RI.
19 |
MALADMINISTRASI Pencemaran Sungai Cileungsi
Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya memperoleh informasi awal dari media terkait pencemaran
Sungai Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang berasal dari limbah industri dan tidak ditangani
serius oleh Pemerintah. Pencemaran di Sungai Cileungsi diduga terjadi karena lemahnya pengawasan
Pemerintah Daerah (dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dan Pemerintah Provinsi Jawa
Barat) terhadap izin lingkungan yang diterbitkan untuk perusahan-perusahaan di sekitar Sungai
Cileungsi. Berdasarkan informasi tersebut, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya menindaklanjuti
dugaan Maladministrasi dalam penanganan pencemaran Sungai Cileungsi tersebut melalui laporan
inisiatif.
Ombudsman RI Perwakilan Jakarta
Raya melakukan serangkaian
pemeriksaan kepada sejumlah pihak
diantaranya: Dinas Lingkungan Hidup
(DLH) Kabupaten Bogor, Dinas
Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jawa
Barat, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum dan Direktorat
Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan
(PPKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK). Selain itu, juga dilaksanakan beberapa kali
pemeriksaan lapangan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, disimpulkan bahwa Dinas
Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bogor TIDAK KOMPETEN
dalam melakukan pengawasan terhadap izin lingkungan yang
telah diterbitkan serta dalam menjalankan fungsi pengawasan
lingkungan hidup karena tidak adanya Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup (PPLH). Selain itu, Dinas Lingkungan Hidup
(DLH) Provinsi Jawa Barat serta Direktorat Jenderal Penegakan
Hukum dan Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan
Kerusakan Lingkungan (PPKL), Kementerian Lingkungan Hidup
20 |
dan Kehutanan (KLHK) TIDAK KOMPETEN dalam menjalankan tugas dan fungsinya terkait
pemantauan, penanganan dan pencegahan pencemaran Sungai Cileungsi.
Terhadap hasil temuan tersebut disampaikan opsi perbaikan kepada Bupati Bogor untuk:
1. Melakukan evaluasi terhadap kinerja Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bogor.
2. Memerintahkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kab. Bogor untuk melakukan verifikasi terhadap
seluruh perusahaan yang diduga melakukan pencemaran pada Sungai Cileungsi serta memberikan
sanksi kepada perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.
3. Memerintahkan Kepala Dinas Linkungan Hidup Kab. Bogor guna perbaikan serta penyusunan
Standar Operasional Prosedur Penanganan Pengaduan Lingkungan Hidup dengan mengacu kepada
Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor Nomor 22 Tahun 2017 Tentang Tata Cara
Pengelolaan Pengaduan Dugaan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup dan/atau
Perusakan Hutan.
4. Mengusulkan untuk pengisian Jabatan PPLH yang memadai bagi Dinas Lingkungan Hidup
Kabupaten Bogor.
5. Memberikan pelatihan dan penyegaran keahlian kepada jajaran Dinas Lingkungan Hidup
Kabupaten Bogor guna pelaksanaan tugas pokok pengawasan lingkungan hidup.
Opsi perbaikan juga ditujukan kepada Gubernur Jawa Barat untuk:
1. Melakukan Evaluasi terhadap kinerja Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat dalam
melakukan pemantauan Sungai Cileungsi dan Sungai Bekasi
2. Memerintahkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat untuk mendorong
implementasi Pergub Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2013 tentang Baku Mutu Air Sungai Cimanuk,
Sungai Cimalaya dan Sungai Bekasi (Cileungsi).
Kepada Direktorat Jenderal Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK), disampaikan opsi perbaikan yaitu:
1. Mendorong efektivitas pengawasan lingkungan hidup melalui penegakan hukum bagi pelanggaran
izin lingkungan di sekitaran Sungai Cileungsi
2. Membentuk Tim Gabungan yang dipimpin oleh Pejabat pada Ditjen Penegakan Hukum KLHK yang
beranggotakan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat dan Dinas Lingkungan Hidup
Kabupaten Bogor serta melibatkan aparat penegak hukum guna mendorong percepatan proses
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.
Serta Opsi perbaikan juga ditujukan kepada Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan
Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yaitu:
1. Memerintahkan jajaran guna meningkatkan fungsi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan
pencemaran dan/atau kerusakan salah satunya media air di Sungai Cileungsi
2. Pembentukan Tim Koordinasi Gabungan untuk pembinaan lingkungan hidup, pencegahan dan
penanggulangan pencemaran Sungai Cileungsi yang mengkoordinasikan antar instansi terkait baik
di tingkat Pusat, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bogor.
3. Melakukan pengawasan internal terhadap jajaran yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan
tugas dan fungsi kerja.
21 |
Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya sedang melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan
Laporan Akhir Hasil Pemeriksan (LAHP) tersebut. Selain itu, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya
mendorong Pemerintah Kabupaten Bogor, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) secara bersama-sama melakukan pencegahan dan
memberikan tindakan tegas agar pencemaran air di Sungai Cileungsi segera mendapatkan
penyelesaian serta terjaminnya kualitas air di Sungai Cileungsi.
22 |
MALADMINISTRASI 27 JULI PEMERINTAH KOTA BEKASI
27 Juli 2018, secara serentak seluruh Kantor Pelayanan di tingkat Kecamatan dan Kelurahan se-Kota
Bekasi menghentikan aktivitas pelayanannya dengan menutup kantor layanan dan meminta
pengguna layanan untuk datang ke-esokan harinya. Bukti tersebut terhimpun oleh beberapa pewarta
di Kota Bekasi dengan menunjukan rekaman dan foto.
Buruknya penyelenggaraan pelayanan publik tersebut dengan menghentikan pelayanan bukan hanya
mengkhianati sumpah setia Aparatur Sipil Negara terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga
kembali mencoreng citra Aparatur Sipil Negara yang bebas dari intervensi politik manapun.
Menindaklanjuti laporan tersebut, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya melakukan serangkaian
pemeriksaan terhadap seluruh Camat se-Kota Bekasi, beberapa Kepala Dinas terkait, Sekda Pemrintah
Kota Bekasi, Pj. Wali Kota Bekasi, dan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam
Negeri. Serta melakukan investigasi lapangan baik secara tertutup maupun terbuka di Kecamatan,
Kelurahan se-Kota Bekasi.
Hasil pemeriksaan memberikan petunjuk dan bukti menunjukkan bahwa pada tanggal 27 Juli 2018
telah terjadi penghentian pelayanan publik yang dilakukan oleh seluruh kantor Kecamatan dan
beberapa kantor Kelurahan di Kota Bekasi.
Terhadap temuan dan bukti-bukti tersebut, Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya menyatakan bahwa
Camat dan Lurah beserta jajarannya selaku penyelenggara pelayanan publik di tingkat kecamatan dan
kelurahan di Kota Bekasi telah melakukan pengabaian kewajiban hukum dalam menyelenggarakan
pelayanan publik dengan melakukan penghentian pelayanan publik pada tanggal 27 Juli 2018. Tidak
Rekaman Video,
Gambar dan Suara
• Sejumlah Pewarta Lokal
dan Nasional
• Hasil investigasi
tertutup
Pernyataan
“Penghentian Pelayanan Publik
yang dilakukan rekan ASN di Kecamatan dan Kelurahan dipicu
Statement Pj. Walikota”
Kabag Humas, Pemkot
Bekasi Kepada Pewarta
Pengaduan Call Centre 1500444
• Puluhan Pengaduan Masuk ke Call Centre yang dikelola Diskominfosandi Kota Bekasi
• Tim Ombudsman melakukan re-calling terhadap para pelapor tersebut
Surat Keterangan • Surat keterangan tertanggal 30
Juli 2018 yang dibuat oleh Kasubag TU pada setiap Kecamatan di Kota Bekasi yang menyatakan bahwa benar pelayanan publik di Kecamatan tutup dan offline pada tanggal 27 Juli 2018
• Surat pernyataan tertanggal 02 Agustus 2018 yang dibuat oleh Camat pada setiap Kecamatan di Kota Bekasi yang menyatakan bahwa palayanan publik di Kecamatan mengalami offline pada tanggal 27 Juli 2018*
*Terhadap pernyataan offline yang
disampaikan oleh setiap Camat, hal
tersebut terbantahkan dengan adanya
pernyataan dari Kadiskominfostandi
Kota Bekasi dan Kadisdukcapil Kota
Bekasi yang menyatakan bahwa pada
tanggal 27 Juli 2018 jaringan sistem
terkait pelayanan publik di kota
Bekasi tidak mengalami offline.
23 |
terkecuali pihak-pihak lain diantaranya: Sekda Kota Bekasi sebagai Penanggung Jawab pelayanan
publik telah mengabaikan kewajiban hukum dengan tidak melakukan koordinasi memberikan
laporan kepada Pembina layanan publik dan tidak kompeten dalam mencegah tindakan penghentian
pelayanan publik; Inspektur Kota Bekasi selaku pengawas internal tidak kompeten dalam melakukan
pemeriksaan terkait penghentian pelayanan publik; Kepala BKPPD Kota Bekasi selaku yang memiliki
fungsi pengawasan ASN di Kota Bekasi tidak kompeten dalam menindaklanjuti tindakan penghentian
pelayanan publik dengan membuat kesimpulan tidak terjadi penghentian layanan dengan dasar
presensi pegawai (finger print) saja; dan Kabag Humas Setda Kota Bekasi tidak kompeten dalam
menjalankan tugas dan fungsi untuk mendokumentasikan, meliput dan mempublikasikan kegiatan
yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bekasi terutama memberikan informasi yang tepat kepada
masyarakat terkait dengan penghentian pelayanan publik pada tanggal 27 Juli 2018.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan temuan yang ada, Ombudsman memberikan tindakan korektif
yang disampaikan dalam Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) kepada Pj. Walikota /Walikota
Bekasi untuk memberikan sanksi terhadap pihak-pihak terkait dan melakukan sejumlah upaya
perbaikan. Menindaklanjuti LAHP tersebut, Walikota Bekasi telah menjalankan tindakan korektif dari
Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya sebagaimana penjelasan dalam surat Wali Kota Bekasi Nomor:
180/5555/Setda.Huk tanggal 16 Oktober 2018 perihal tindakan korektif.
24 |
Maladministrasi Polresta Depok
Penegakan hukum wajib dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum dengan cara-cara yang tidak
melanggar hukum. Hal inilah yang masih terjadi serta ditemukan oleh Ombudsman RI Perwakilan
Jakarta Raya. Hingga kini masih marak praktik maladministrasi dalam penegakan hukum, salah satu
contoh terhangat adalah meninggalnya seorang tersangka pelaku kriminal di dalam tahanan Polresta
Depok.
Mendapati kabar tersebut, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya melakukan investigasi inisiatif
untuk mendalami kejadian tersebut dan melakukan serangkaian dan permintaan keterangan kepada
pihak terkait.
Hasil pemeriksaan yang dilakukan pada tanggal 14 November 2018 di Polresta Depok, dalam ruang
tahanan Aparat Penegak Hukum masih belum mematuhi ketentuan yang berlaku di internal.
Tindakan maladministrasi terjadi sejak awal proses penangkapan tersangka Sdr. Y oleh Penyidik
Satuan Reskrim Polresta Depok. Hal itu dibuktikan dengan surat perintah penangkapan dan
penahanan yang baru diterbitkan oleh Penyidik pada tanggal 16 November 2018 atau selang 2 (dua)
hari sejak kematian terhadap tersangka. Tentu hal ini merugikan tersangka dan hak-hak tersangka
(dimana ditahan, upaya pembelaan, dll).
Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya memberikan perhatian terkait kompetensi penyidik dalam
memberikan pemenuhan hak tersangka, karena dalam perkara yang melibatkan Sdr. Y, Pasal yang
digunakan adalah ancaman pidana lebih dari 5 tahun sehingga penyidik wajib menunjuk Penasehat
Hukum. Dan selama Sdr. Y dalam menjalani proses pemeriksaan tidak didampingi Penasihat Hukum,
sehingga hal tersebut merupakan tindakan maladministrasi.
Dalam perkara ini juga Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya menyoroti bagaimana lemahnya
pengawasan penjagaan tahanan oleh Satuan Tahanan dan Barang Bukti (Sat Tahti) Polresta Depok,
karena hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa meninggalnya Sdr. Y disebabkan adanya bentuk
kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh sesama tahanan. Tindakan tersebut merupakan
salah satu bentuk maladministrasi karena Kasat Tahti Polresta Depok beserta jajarannya dinilai tidak
kompeten dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam penyelenggaraan perawatan tahanan di
Polresta Depok, dibuktikan dengan adanya pelanggaran SOP dan ketentuan yang berlaku di internal.
Tindakan korektif yang disampaikan dalam Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP), Ombudsman RI
Perwakilan Jakarta Raya meminta kepada Kapolda Metro Jaya untuk melakukan sejumlah upaya
perbaikan termasuk untuk Bid Propam Polda Metro Jaya agar melakukan pemeriksaan dan
pendalaman terkait pelanggaran kode etik atau disiplin yang dilakukan oleh Penyidik pada Sat
Reskrim Polresta Depok dan Sat Tahti Polresta Depok. Tindakan korektif diberikan untuk memastikan
supaya kasus serupa tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
25 |
MALADMINISTRASI PENYELENGGARAAN PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU (PPDB)
2018/2019
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) merupakan pintu awal dimulainya proses pendidikan sebagai
salah satu bentuk pelayanan publik di bidang pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Pada
Tahun 2018, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14
Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah
Dasar,Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, Atau Bentuk
Lain yang Sederajat yang menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan proses
PPDB.
Sebagai lembaga pengawas pelayanan publik, Ombudsman terus melakukan pemantauan dan aktif
memberi saran perbaikan kepada Pemerintah agar proses PPDB dapat berjalan secara objektif,
akuntabel, transparan, dan tanpa diskriminasi sehingga mendorong peningkatan akses dan kualitas
layanan pendidikan. Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya melakukan Pemantauan Proses
Penerimaan Siswa Baru (PPDB) Tahun Ajaran 2018/2019 di wilayah kerja Ombudsman RI Perwakilan
Jakarta Raya.
Kebijakan atau regulasi yang memayungi pelaksanaan PPDB Tahun Ajaran 2018/2019,
Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018, dinilai memiliki kelemahan yang mendasar, yaitu tenggat
waktu terbitnya peraturan menteri yang terlalu dekat dengan pelaksanaan PPDB di Wilayah Provinsi
DKI Jakarta dan Jawa Barat. Hal ini menyebabkan Pemerintah Daerah mengalami kesulitan untuk
menyesuaikan dengan aturan Permendikbud tersebut dalam hal pengaturan waktu sosialisasi dan
persiapan teknis lainnya sehingga mempengaruhi kualitas pelaksanaan PPDB.
Selama proses pemantauan, ditemukan 4
(empat) tindakan Maladministrasi yang
terjadi dalam proses PPDB, 2 (dua) di
Provinsi DKI Jakarta, 2 (dua) di Provinsi
Jawa Barat (Kota Depok, Kota Bekasi,
Kabupaten Bekasi, Kota Bogor dan
Kabupaten Bogor). Untuk Provinsi DKI
Jakarta, Maladministrasi yang ditemukan
adalah perbuatan pengabaian kewajiban
hukum dan penyimpangan prosedur
sedangkan untuk Jawa Barat ada
penyalahgunaan wewenang dan tidak
kompeten.
Maladministrasi pada
penyelenggaraan PPDB Provinsi DKI Jakarta
1. Perbuatan Pengabaian Kewajiban Hukum
a. Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta tidak menerbitkan Peraturan Gubernur tentang PPDB
terbaru sejak Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 133 Tahun
2015 diterbitkan, sementara Peraturan Menteri Pendidikan yang menjadi payung hukum
diatasnya yakni Permendikbud No 14 Tahun 2018 diterbitkan pada 2 Mei 2018.
26 |
b. Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta menetapkan kuota untuk Keluarga Ekonomi Tidak
Mampu hanya 5% yang mana bertentangan dengan Pasal 19 Permendikbud Nomor 14 Tahun
2018 tentang PPDB.
2. Penyimpangan Prosedur
Dinas Pendidikan Provinsi DKI
Jakarta menerbitkan perubahan
ketiga Juknis PPDB Tahun Pelajaran
2018/2019 melalui Keputusan
Kadisdik Provinsi DKI Jakarta No.
638 Tahun 2018 tentang Perubahan
Ketiga Atas Keputusan Kepala Dinas
Pendidikan Nomor 441 Tahun 2018
Tentang Petunjuk Teknis
Penerimaan Peserta Didik Baru
Tahun Pelajaran 2018/2019 yang
terbit pada tanggal 29 Juni 2018
setelah berakhirnya proses pendaftaran
Jalur Lokal pada tanggal 27 Juni 2018. Hal tersebut membuat sebagian masyarakat khususnya
Calon Peserta Didik (CPD) yang dirugikan atas keterlambatan dan tidak adanya sosialisasi atas
perubahan ketentuan tersebut. Juknis PPDB terbaru tersebut juga tidak di-update di website PPDB
Provinsi DKI Jakarta.
Maladministrasi pada penyelenggaraan PPDB Provinsi Jawa Barat
1. Penyalahgunaan Wewenang
a. Kepala Sekolah SMA/SMK sederajat di wilayah Bodebek masih menerima titipan CPD yang
berasal dari pejabat atau pihak-pihak yang merasa memiliki kekuasaan dan pengaruh di
daerah dimaksud. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat juga tidak berupaya memberikan
perlindungan ketika pihak sekolah mendapat titipan CPD dari Pejabat daerah tersebut.
b. Pungutan liar yang terjadi di sekolah-sekolah wilayah Bodebek setelah CPD dinyatakan
diterima, juga terklasifikasi sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang oleh pihak sekolah.
Sebab, pihak sekolah memanfaatkan siswa baru untuk mendapatkan keuntungan melakukan
pungutan uang pembangunan sekolah dan seragam yang jumlahnya dari ratusan hingga jutaan
rupiah per-siswa.
2. Tidak Kompeten
a. Timbulnya masalah terkait server PPDB online Provinsi Jawa Barat yang sulit diakses (server
down) menandakan Panitia PPDB tidak memiliki perencanaan yang matang dalam
mengantisipasi hal tersebut.
b. Penentuan Zonasi dengan menggunakan titik koordinat yang cenderung tidak akurat serta
adanya kesempatan yang diberikan oleh Panitia PPDB Provinsi kepada pihak operator sekolah
dalam memanipulasi data CPD;
c. Selain itu tidak lengkapnya data CPD yang ditampilkan di website ppdb.jabarprov.go.id juga
menimbulkan kecurigaan masyarakat maupun pihak lain terhadap data yang tidak transparan
dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.
27 |
d. rendahnya validitas data CPD yang masuk melalui jalur KETM sebab tidak semua sekolah
melakukan survei lapangan untuk melakukan pengecekan. Hal ini seharusnya dapat
diantisipasi oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat saat tahap awal perencanaan PPDB
Tahun Ajaran 2018/2019.
Berdasarkan temuan maladministrasi diatas, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya meminta
beberapa tindakan korektif untuk perbaikan pada penyelenggaraan PPDB di tahun depan
diantaranya:
Tindakan korektif untuk Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta:
1. Memberikan perhatian khusus terhadap temuan berulang pemantauan PPDB yang dilakukan
Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya yakni melakukan Revisi Pergub No. 133 Tahun 2015
yang sudah tidak relevan dengan Permendikbud No.14 Tahun 2018 namun terus dijadikan acuan
dalam Juknis PPDB di Provinsi DKI Jakarta selama 3 (tiga) tahun terakhir; 2. Tidak menerbitkan Juknis terkait PPDB beserta perubahannya secara sewenang-wenang tanpa
memperhatikan prosedur yang ada ketika proses pelaksanaan PPDB yang sedang berjalan;
3. Melakukan sosialisasi baik ke sekolah maupun masyarakat luas melalui media online dan offline
setelah melakukan perubahan Juknis PPDB;
4. Membuat regulasi terkait dengan sanksi bagi yang melakukan pelanggaran dan memberikan
penghargaan bagi sekolah yang menyelenggarakan PPDB dengan baik.
Sementara tindakan korektif untuk Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat:
1. Membuat regulasi terkait pemberlakuan sanksi bagi yang melakukan pelanggaran dalam proses
PPDB, seperti melakukan praktik pungutan liar atau menerima CPD titipan dari Pejabat;
2. Menindak tegas praktik titipan CPD yang dilakukan oleh pihak tertentu melalui kerjasama dengan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Inspektorat, serta pihak Kepolisian;
3. Melakukan perbaikan sistem PPDB online melalui kerjasama dengan provider yang lebih
berkompeten untuk mengantisipasi gangguan dalam mengakses website PPDB secara online.
Rangkaian pengawasan dan pemeriksaan dilakukan oleh Tim Ombudsman bidang Pendidikan sejak
tanggal 6 Juni-28 Juli 2018. Bentuk pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan meliputi: investigasi
terbuka, investigasi tertutup, survei lapangan, pembukaan posko pengaduan PPDB hingga pertemuan
dengan Dinas Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat.
28 |
POTENSI MALADMINISTRASI SATUAN ADMINISTRASI PENYELENGGARAAN SIM
Pengawasan terhadap Satuan Administrasi Penyelenggaraan SIM (Satpas) menjadi perhatian semua
pihak, mulai dari Presiden hingga Kapolri. Perhatian tersebut muncul karena pelayanan Surat Izin
Mengemudi (SIM) dikeluhkan oleh masyarakat terkait praktik percaloan dan pungli. Dalam beberapa
kesempatan, banyak pembahasan dan penekanan terkait pentingnya pengawasan dalam pelayanan
SIM. Maladministrasi dengan memberikan kemudahan dan mengesampingkan prosedur serta
kemampuan, membuat SIM dapat dimiliki oleh siapa saja. Hal tersebut dapat berdampak pada
seseorang yang mempunyai SIM, belum tentu memiliki kemampuan mengemudi yang baik sesuai
syarat dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, sehingga akan berdampak kepada angka
kecelakaan lalu lintas.
Mudahnya mendapatkan SIM, membuat siapa saja dapat memilikinya tanpa harus memiliki
kemampuan dan tanpa harus mengikuti prosedur sebagaimana disyaratkan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kepemilikan SIM menjadi bukti kompetensi seseorang dalam
mengendarai kendaraan bermotor, sehingga apabila didapatkan melalui proses yang tidak sesuai
prosedur maka terdapat potensi inkompetensi seorang pengendara kendaraan bermotor. Di Eropa,
kecelakaan fatal dan kepemilikan SIM memang bisa dikaitkan. Sebab, untuk mendapatkan SIM,
pengendara harus melalui serangkaian tes yang cukup berat. Diyakini, pengendara yang sudah terlatih
lewat beberapa tes dan pengalaman jauh lebih kecil kemungkinan celaka. Tentu, korelasi ini akan
sangat sulit jika diterapkan di Indonesia, karena masih banyak pemilik SIM sekali pun yang tak paham
teknik berkendara, atau bahkan etika dan sopan-santun di jalan1.
Kajian ini bertemakan tentang “Peran Pengawas
Internal dalam Mencegah Praktik Percaloan dan
Pungutan Liar pada Satpas di Wilayah Hukum
Polda Metro Jaya”. Sesuai ketentuan Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2012 tentang Surat Izin
Mengemudi, memuat prosedur dan syarat yang
harus dilalui untuk mendapatkan SIM. Disamping
itu terdapat peran pengawas internal untuk
menjamin kompetensi pengemudi wajib
dilakukan pengendalian dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan penerbitan SIM. Objek
kajian ini adalah langkah perbaikan dalam
menghilangkan praktik percaloan dan pungutan
liar yang dilakukan oleh masyarakat sebagai
pengaju SIM, masyarakat sekitar Satpas yang
memanfaatkan kesempatan sebagai calo dan
oknum petugas yang melakukan tindakan maladministrasi.
Potensi terjadinya maladministrasi percaloan dan pungutan liar di Satpas masih dirasakan
masyarakat. Ombudsman RI Jakarta Raya berpendapat urgensi perbaikan pelayanan publik pada
1 https://ekonomi.kompas.com/read/2017/05/28/031600030/kecelakaan.lalu.lintas.sepeda.motor.dan.sim
Metode Pengumpulan
Data
Investigasi Tertutup
Kajian Peraturan
Perundangan
Focus Group Discussion
(FGD)
29 |
Satpas dengan melakukan Rapid Assessment terkait Peran Pengawas Internal dalam Mencegah Praktik
Percaloan dan Pungutan Liar pada Satpas di Wilayah Hukum Polda Metro Jaya.
Atas hasil Rapid Assessment tersebut, ditemukan beberapa hasil sebagai berikut:
1. Satpas Polres Metro Jakarta Utara
Satpas SIM Jakarta Utara hanya melayani perpanjangan SIM, perpanjangan SIM dapat dilakukan
dengan menyerahkan SIM lama dan fotocopy KTP pemohon. Untuk pembuatan SIM baru, Tim
Ombudsman menemukan Calo mengarahkan Pemohon SIM untuk membuat SIM baru di Satpas
Daan Mogot dengan difasilitasi pengantaran dan proses pembuatannya oleh Calo, di Satpas SIM
Daan Mogot Pemohon SIM hanya perlu difoto saja tanpa melalui tes uji kompetensi mengendarai
kendaraan bermotor.
2. Satpas Polres Metro Bekasi Kota
Ditemukan calo yang menawarkan jasa pembuatan SIM baru dan perpanjangan tanpa melalui tes
uji kompetensi mengendarai kendaraan bermotor. Calo mengarahkan dan menawarkan kepada
Pemohon untuk pembuatan SIM baru dan perpanjangan dilakukan di Satpas SIM Depok, Satpas SIM
Polres Metro Bekasi Kabupaten (Cikarang) atau Satpas SIM lain yang terdekat karena Satpas SIM
Polres Metro Bekasi Kota sedang diberlakukan sterilisasi dari Praktik Jasa Pembuatan SIM melalui
Calo.
3. Satpas Polres Metro Tangerang Kota
Ditemukan Calo yang menawarkan jasa pembuatan SIM baru dan perpanjangan tanpa melalui tes
uji kompetensi mengendarai kendaraan bermotor. Selain itu, Calo menginformasikan kepada
Pemohon jika ada yang terkena penilangan di daerah Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang dan di Tol,
maka dapat meminta bantuan kepada Calo untuk menyelesaikan proses tilang tersebut.
4. Satpas Polres Metro Depok (Pasar Segar)
Ketika petugas yang berada di depan Ruang Pelayanan ditanya mengenai persyaratan pembuatan
SIM baru, kemudian didekat petugas datang Calo yang menawarkan pembuatan SIM baru dan/atau
perpanjangan melalui Calo tersebut. Ketika dikonfirmasikan kepada Petugas terkait kebenaran
Biaya Pembuatan SIM C: Rp. 850.000 Biaya Pembuatan SIM A: Rp. 850.000
Biaya Pembuatan SIM C: Rp. 850.000 Biaya Pembuatan SIM A: Rp. 850.000
Biaya Pembuatan SIM C: Rp. 550.000 Biaya Pembuatan SIM A: Rp. 650.000 Biaya Pembuatan Paket SIM C+ A: Rp. 1.100.000
30 |
dapat membuat SIM di Calo, Petugas mengarahkan kepada Calo tersebut. Calo menawarkan
pembuatan SIM baru dan/atau perpanjangan dengan melalui tes dan/atau tanpa melalui tes uji
kompetensi mengendarai kendaraan bermotor.
Atas temuan tersebut, tanggal 04 September 2018, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya
menyampaikan saran perbaikan berupa penguatan peran pengawas internal melalui program
pengawasan yang berkelanjutan serta diketahui secara terbuka oleh publik sehingga mampu
mendorong efek jera serta meningkatkan integritas pelaksana dan penyelenggara pelayanan.
Ombudsman RI Jakarta Raya meminta pihak kepolisian melakukan review terhadap sistem pelayanan
yang berpotensi maladministrasi, khususnya terkait dengan penyelenggaraan uji SIM serta penentuan
kelulusan peserta uji SIM serta melakukan sterilisasi pada area pelayanan dan luar area pelayanan
Saptas dengan melibatkan Pengawas Internal serta Fungsi Propam Polri. Serta meminta pihak
kepolisian mendorong implementasi standar pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik serta melakukan pengawasan secara terbuka
dengan melibatkan pengawas eksternal seperti Ombudsman RI dan Kompolnas.
Biaya Pembuatan SIM C: Rp. 700.000 (tanpa teori/ujian praktek, tinggal foto saja) Biaya Pembuatan SIM A: Rp. 750.000–Rp.850.000 (tanpa teori/ujian praktek, tinggal foto saja) Biaya Pembuatan SIM C: Rp. 600.000 (formalitas dengan teori/ujian praktek)
Biaya Pembuatan SIM A: Rp. 650.000
31 |
MALADMINISTRASI Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai lembaga yang memberikan pelayanan terhadap warga
binaan dan masyarakat lainnya mendapat kesan sebagai sebuah lembaga tertutup yang dapat lepas
dari pengawasan publik bahkan oleh pengawas eksternal. Padahal pengawasan ini diperlukan untuk
mencegah praktek kesewenang-wenangan dan tindakan lain yang dapat merugikan masyarakat serta
dapat merusak citra penyelenggaraan negara khususnya aparatur Lapas.
Permasalahan di Lapas yang sering diadukan misalnya pada permintaan sejumlah uang, kurangnya
perlindungan terhadap hak asasi manusia warga binaan, tindakan diskriminasi, penyalahgunaan
wewenang dan tindakan sewenang-wenang. Pada tindakan maladministrasi tersebut, terdapat
kecenderungan yang terjadi antara lain rendahnya pengawasan yang dilakukan secara berjenjang di
internal Lapas, tingkat integritas aparatur serta masyarakat yang juga mendorong praktek terjadinya
maladministrasi semisal turut serta memberikan suap serta melanggar ketentuan yang ada di
lingkungan Lapas.
Pada Lapas Kelas II A Cibinong, Kabupaten Bogor.
Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya menemukan
pola maladministrasi yang diduga kuat terjadi
berulang dan telah menjadi rahasia umum di
lingkungan Lapas. Terdapat kelemahan dalam
implementasi peraturan di internal yang dijalankan
oleh aparatur yang berada di lapangan. Selain itu,
mekanisme pengawasan berjenjang juga masih
lemah karena budaya inspeksi mendadak dan
pengawasan melekat tidak berjalan efektif.
Praktek membiarkan pelanggaran terjadi merupakan hal
yang semestinya dapat dicegah dengan melakukan pengawasan
dan pendekatan secara manusiawi kepada warga binaan dan masyarakat yang berkunjung di Lapas
serta meningkatan integritas aparatur yang masih relatif rendah. Terjadinya maladministrasi juga
didorong oleh perilaku masyarakat yang masih permisif untuk melakukan tindakan maladministrasi.
Penegakan terhadap ketentuan akan mendorong tingkat kesadaran hukum masyarakat serta akan
membawa perubahan perilaku untuk menjunjung tinggi hukum serta turut untuk menciptakan
aparatur negara yang bersih.
Terhadap hasil temuan, disampaikan opsi
perbaikan kepada Lapas Kelas II A Cibinong
agar:
1. Melakukan perbaikan sistem administrasi pelayanan publik dengan memastikan ketersediaan serta efektivitas standar pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan publik
2. Melakukan reviu terhadap keberadaan SOP serta implementasinya, sehingga didapatkan hasil evaluasi yang dapat menjadi bahan perbaikan pelayanan publik
32 |
3. Mendorong integritas aparatur dengan mengaktifkan sidak serta optimalisasi fungsi pengawasan berjenjang serta pemahaman terhadap peraturan serta SOP yang berlaku
4. Mendorong sinergitas dengan lembaga eksternal yang memiliki perhatian terhadap perbaikan pelayanan publik dan penindakan korupsi seperti Ombudsman RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi serta terhadap anak dan perempuan dengan pelibatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Komnas Perempuan.
Dengan mendorong perbaikan pelayanan publik di Lapas Cibinong, Ombudsman RI Perwakilan
Jakarta Raya akan terus melakukan pemantauan, pengawasan Maladministrasi hingga terjadi
perbaikan pelayanan yang signifikan.
33 |
Kepatuhan Penyelenggara Layanan Terhadap Pemenuhan Komponen Standar
Pelayanan Publik Sesuai UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 mengamanatkan kepada Ombudsman Republik Indonesia untuk berperan sebagai Lembaga pengawas eksternal pelayanan publik baik yang dilakukan oleh Pemerintah termasuk BUMN, BUMD dan BHMN serta badan swasta atau perorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang seluruhnya atau sebagian dananya berasal dari APBN atau APBD. Berdasarkan wewenang, tugas, fungsi, dan perannya, maka Ombudsman RI berkomitmen untuk bekerja secara maksimal mendorong Pemerintah agar selalu hadir dalam membangun tata kelola Pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya, memperkuat dan membangun transparansi dan akuntabiltas kinerja Pemerintah, serta pengawasan terhadap aksesibilitas dan kualitas pelayanan publik yang diberikan sebagai hak yang harus dipenuhi kepada masyarakat.
Dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan tersebut, sejak 2013 Ombudsman RI melaksanakan penilaian dan pemeriksaan tingkat kepatuhan di Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah terhadap standar pelayanan publik. Hal ini sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015, yang menuntut Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk mematuhi UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Selain itu, kegiatan penilaian dan pemeriksaan tingkat kepatuhan ini bertujuan untuk proses penyempurnaan dan peningkatan kualitas Reformasi Birokrasi Nasional (RBN). Peraturan Presiden tersebut salah satunya menempatkan kepatuhan terhadap standar pelayanan publik sebagai salah satu target capaian RPJMN.
Fokus pemeriksaan tersebut dipilih karena standar pelayanan publik menjadi ukuran baku yang wajib disediakan oleh penyelenggara pelayanan sebagai bentuk pemenuhan asas-asas transparansi dan
Foto: Salah satu bentuk Sistem, Mekanisme dan Prosedur Pelayanan Perizinan
34 |
akuntabilitas. Bahkan terdengar sanksi yang tercantum dalam Pasal 54 UU Pelayanan Publik, mulai dari sanksi pembebasan dari jabatan, sampai dengan sanksi pembebasan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri bagi pelaksana, dan penyelenggara pelayanan publik yang tidak memenuhi kewajiban menyediakan standar pelayanan publik yang layak.
Pengabaian terhadap standar pelayanan publik berpotensi memburuknya kualitas pelayanan. Hal ini dapat kita perhatikan melalui indikator-indikator kasat mata misalnya, dengan tidak terdapat maklumat pelayanan yang dipampang, maka potensi ketidakpastian hukum terhadap pelayanan publik akan sangat besar. Untuk standar biaya yang tidak dipampang, maka praktek pungli, calo, dan suap menjadi lumrah di kantor tersebut.
Pengabaian terhadap standar pelayanan publik juga akan mendorong terjadinya potensi perilaku maladministrasi yang tidak hanya dilakukan oleh Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur Pemerintah secara individu, namun juga secara sistematis melembaga terjadi dalam instansi pelayanan publik karena pengabaian yang dilakukan oleh pimpinan instansi pelayanan publik terhadap ketentuan standar pelayanan publik. Dalam jangka panjang, pengabaian terhadap standar pelayanan publik berpotensi mengakibatkan penurunan kredibilitas peranan Pemerintah sebagai fasilitator, regulator, dan katalisator pembangunan pelayanan publik.
Penilaian terhadap pemenuhan standar pelayanan publik yang Ombudsman RI lakukan berpedoman kepada Pasal 8 UU No 37 Tahun 2008. Dalam penelitian kepatuhan, Ombudsman RI memposisikan diri sebagai masyarakat pengguna layanan yang ingin mengetahui hak-haknya dalam pelayanan publik. Misalnya, ada atau tidak persyaratan pelayanan, kepastian waktu dan biaya, prosedur dan alur pelayanan, sarana pengaduan, pelayanan yang ramah dan nyaman, dan lain-lain. Ombudsman RI tidak menilai bagaimana ketentuan terkait standar pelayanan itu disusun dan ditetapkan, sebagaimana telah dilakukan oleh Lembaga lain. Survei Kepatuhan ini berfokus pada atribut standar layanan yang wajib disediakan pada setiap unit pelayanan publik. Atribut standar pelayanan yang disediakan oleh setiap unit layanan beragam bentuknya, seperti standing banner, brosur, booklet, pamflet, media elektronik, dan sebagainya. Penilaian Ombudsman RI hanya berfokus pada atribut-atribut standar pelayanan yang sudah terpasang dan terlihat di ruang pelayanan, hal ini memudahkan masyarakat luas untuk mengakses dan mendapatkan standar pelayanan.
Penilaian kepatuhan ini bertujuan mengingatkan kewajiban penyelenggara negara agar memberikan layanan terbaik kepada masyarakat berbasis fakta (evidence based policy) dan metodologi pengumpulan data yang kredibel (public service). Dokumen ini memaparkan hasil-hasil penilaian dan pemeriksaan terhadap tingkat kepatuhan Pemerintah Daerah yang menjadi wilayah kerja Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya pada tahun 2017. Penilaian menggunakan variabel dan indikator berbasis pada kewajiban pejabat pelayanan publik dalam memenuhi komponen standar pelayanan publik sesuai Pasal 15 dan Bab V UU Pelayanan Publik. Hasil penilaian diklasifikasikan dengan menggunakan traffic light system (zona merah, zona kuning dan zona hijau). Namun, penilaian Ombudsman RI tersebut pada dasarnya baik di tingkat Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah dengan mengambil sampel produk layanan yang Foto: Contoh Pemenuhan Produk Layanan, Jangka Waktu
Penyelesaian dan Biaya
35 |
berbeda-beda jumlahnya. Dengan demikian, hasil penilaian kepatuhan yang diberikan Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya kepada Pemerintah Daerah tidak dapat saling dibandingkan satu sama lain, baik yang mendapatkan predikat rendah (zona merah), sedang (zona kuning) maupun tinggi (zona hijau).
Penilaian Kepatuhan pada tahun 2018 menggunakan skema non-pengulangan zona hijau, yang artinya Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota yang sudah masuk hijau pada tahun sebelumnya (2016-2017) tidak lagi dinilai pada Tahun 2018.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Kota Bekasi, Pemerintah Kota Depok sudah masuk dalam zona hijau, untuk itu di Tahun 2018 tidak lagi dijadikan sampling penilaian, sementara Pemerintah Kota Bogor, Pemerintah Kabupaten Bogor dan Pemerintah Kabupaten Bekasi belum masuk zona hijau sehingga di tahun 2018 kembali dijadikan objek penilaian.
Pada Tahun 2018, hanya Pemerintah Kota Bogor yang masuk dalam Zona Hijau (Kepatuhan Tinggi) terhadap pemenuhan komponen standar layanan pada unit pelayanan publiknya. Sisanya, Pemerintah Kabupaten Bogor masuk dalam Zona Kuning (Kepatuhan Sedang) dan Pemerintah Kabupaten Bekasi masuk dalam zona merah (Kepatuhan Rendah).
Dengan skema yang sama pada Tahun 2017, maka Pemerintah Kabupaten Bekasi dan Pemerintah Kabupaten Bogor akan kembali dinilai pemenuhan komponen standar pelayanan publiknya pada Tahun 2019 nanti.
Zona Hijau
Zona Kuning
Zona
Merah
36 |
PARTISIPASI Organisasi Advokat dalam Pengawasan Pelayanan Publik Ombudsman merupakan lembaga negara yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pelayanan
publik. Ruang lingkup pengawasan Ombudsman terbilang sangat luas yang mencakup berbagai bidang
dari level teratas sampai terbawah yaitu mulai dari pelayanan publik tingkat nasional yang
diselenggarakan oleh kementerian negara sampai pelayanan tingkat desa atau kelurahan. Bidang
layanan yang diawasi tak kalah kompleks, mulai dari layanan dasar seperti kependudukan, catatan
sipil, kesehatan, dan pendidikan sampai layanan lanjutan diantaranya di bidang peradilan, kepolisian,
pertanahan, perizinan, ketenagakerjaan, sumber daya alam, transportasi, lingkungan hidup, dan lain-
lain. Dengan demikian kompleksnya bidang dan level pelayanan publik, Ombudsman tidak dapat
melakukan pengawasan sendirian. Oleh karena itu, diperlukan peran serta masyarakat untuk ikut
mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik dan melaporkan kepada instansi terkait maupun
Ombudsman jika menemukan adanya dugaan maladministrasi.
Peran masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik bersifat melengkapi pengawasan oleh
Ombudsman. Untuk menunjang terwujudnya fungsi, tugas, dan kewenangan Ombudsman sebagai
lembaga pengawas, partisipasi masyarakat (Parmas) menjadi unsur penting. Dalam hal ini,
Ombudsman tentu memerlukan adanya pengaduan/pelaporan yang disampaikan mengenai dugaan
maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagai dasar menjalankan roda bisnis
organisasi. Selain itu, program kerja Parmas oleh Ombudsman dilaksanakan untuk membangun
kualitas pengaduan/pelaporan itu sendiri sehingga laporan/pengaduan yang disampaikan oleh
masyarakat tidak berakhir dengan penolakan karena tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam ketentuan perundang-undangan. Melalui Parmas, diharapkan adanya peningkatan baik
kesadaran masyarakat untuk melapor maupun dalam pemahaman tata cara melapor di Ombudsman
serta dapat menciptakan masyarakat yang memiliki inisiatif untuk melakukan pengawasan
penyelenggaraan pelayanan publik secara eksternal.
Ombudsman RI Perwakilan
Jakarta Raya sebagai perwakilan
Ombudsman yang baru berdiri
pada awal tahun 2018
memandang perlu menginisiasi
peningkatan Parmas di Jakarta
untuk melakukan pengawasan
penyelenggaraan pelayanan
publik. Dari banyaknya pilihan
berbagai komunitas dan
organisasi masyarakat yang ada
di Jakarta, Ombudsman RI
Perwakilan Jakarta Raya memilih Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) untuk menjadi
sasaran/peserta dalam kegiatan Parmas tahun 2018. Pemilihan Peradi dalam kegiatan Parmas tidak
terlepas dari banyaknya laporan masyarakat pada Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya yang tidak
secara langsung disampaikan oleh korban namun melalui kuasa hukum. Pemilihan Peradi sebagai
organisasi yang menjadi kumpulan advokat atau kuasa hukum menjadi sangat relevan untuk
mendorong para anggotanya aktif dalam pengawasan pelayanan publik dengan menyerap aspirasi
dari masyarakat yang menjadi kliennya.
37 |
Kegiatan Parmas dilaksanakan pada tanggal 24 September 2018 bertempat di Hotel Oria, Menteng,
Jakarta Pusat yang dihadiri oleh 27 peserta yang berasal dari dari 5 (lima) DPC (Dewan Pimpinan
Cabang) Peradi yang ada di DKI Jakarta yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta
Barat, dan Jakarta Timur. Kegiatan diawali dengan pembukaan oleh Kepala Ombudsman RI
Perwakilan Jakarta Raya, Teguh P. Nugroho serta pengantar oleh Ketua DPN (Dewan Pimpinan
Nasional) Peradi, Luhut
Pangaribuan. Dalam pengantarnya,
Luhut Pangaribuan
menyampaikan bahwa masih
banyak advokat yang belum
mengetahui mengenai tugas,
fungsi, dan kewenangan
Ombudsman dan kedepannya
perlu diadakan kerjasama antara
kedua belah pihak.
Secara umum, penyelenggaraan
Parmas dengan melibatkan Peradi
kali ini terbilang cukup sukses yang
terlihat dari antusiasme para peserta dalam sesi diskusi. Untuk selanjutnya, diharapkan kepada Peradi
baik sebagai organisasi advokat maupun para advokat yang menjadi anggotanya dapat berperan dan
mengambil bagian lebih besar dalam pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik. Selain itu,
kerjasama lebih lanjut antara Peradi dengan Ombudsman juga diperlukan guna melakukan koordinasi
dalam melakukan pengawasan bersama.