kata pengantar -...
TRANSCRIPT
i
KATA PENGANTAR
Program Upsus Siwab Tahun 2018 merupakan kelanjutan dari program
Upsus Tahun 2017 dalam upaya percepatan peningkatan populasi ternak sapi
dan kerbau yang sustainable dan menguntungkan bagi para Peternak. Upsus
Siwab merupakan program yang terintegrasi antara struktur pendukung
dalam aspek manajemen produksi ternak dengan mengoptimalkan penerapan
teknologi Inseminasi Buatan. Pelaksanaan program Upsus Siwab tahun 2018
ditargetkan mencapai 3 juta akseptor IB diharapkan menghasilkan
kebuntingan 2,1 juta ekor. Untuk pemantauan pelaksanaan Upsus Siwab
secara cepat dan real time harian dalam pelaksanaan IB, pelaporan
kebuntingan dan kelahiran serta kegiatan teknis pendukung lainnya,
dilaporkan melalui sistem aplikasi iSIKHNAS yang dapat dipantau setiap saat.
Diharapkan apa yang menjadi tujuan dari program Upsus Siwab Tahun
2018, dapat diwujudkan dengan baik sesuai dengan target yang sudah
ditetapkan. Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan program Upsus Siwab
tersebut, maka dibuatlah Pedoman Pelaksanaan Upsus Siwab tahun 2018,
agar menjadi dasar acuan bagi seluruh pihak yang terkait di pusat dan daerah
dalam melaksanakan seluruh kegiatan yang mendukung program Upsus
Siwab. Akhir kata semoga semua pihak yang terlibat dalam melaksanakan
Upsus Siwab dapat menjalankan program ini dengan baik dan lancar.
Jakarta, 2 Januari 2018
DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN
DAN KESEHATAN HEWAN,
I KETUT DIARMITA
NIP. 19621231 198903 1 006
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I. OPERASIONALISASI UPAYA KHUSUS PERCEPATAN PENINGKATAN
POPULASI SAPI DAN KERBAU BUNTING ....................................................... 1
A. Pendahuluan. .................................................................................... ……..1
B.Gambaran Umum dan Target ............................................................. ....... 6
BAB II. PELAKSANAAN KEGIATAN INSMINASI BUATAN ................................ 7
A. Pelaksanaan Pelayanan IB ....................................................................... 7
B. Petugas Teknis Reproduksi ...................................................................... 8
C. Pelatihan dan Bimbingan Teknis .............................................................. 9
D. Penggunaan Alokasi Dana ...................................................................... 10
E. Koordinasi, Pendampingan dan Pengawasan .......................................... 11
BAB III. PENYEDIAAN DAN DISTRIBUSI SEMEN BEKU,
NITROGEN (N2) CAIR DAN KONTAINER ...................................................... 12
A. Semen Beku .......................................................................................... 12
B. Nitrogen (N2) Cair ................................................................................... 14
C. Kontainer ............................................................................................... 15
D. Permohonan Kebutuhan Kontainer ........................................................ 16
E. Pengadaandan Distribusi Kontainer ....................................................... 16
F. Pealaksanaan ......................................................................................... 16
G. Monitoring dan Evaaluasi ...................................................................... 18
BAB IV. PEMENUHAN HIJAUAN PAKAN TERNAK ....................................... 20
A. Prinsip Pelaksanaan ............................................................................... 20
B. Pelaksana Kegiatan ................................................................................ 21
C. Kriteria Kelompok Penerima Kegiatan .................................................... 21
D. Lokasi Kegiatan ..................................................................................... 22
E. Pemanfaatan Anggaran APBN 2018 ........................................................ 22
iii
F. Tahap Pelaksanaan Kegiatan ................................................................. 24
G. Pendampingan ....................................................................................... 27
BAB V. PENANGGULANGAN GANGGUAN REPRODUKSI ............................. 28
A. Mekanisme Kerja ................................................................................... 28
B. Penanggulangan Gangguan Reproduksi ................................................. 29
C. Tim Pelaksana Gangrep ......................................................................... 30
D. Manajemen Operasional ......................................................................... 30
E. Operasional Kegiatan ............................................................................. 31
BAB VI. PENGENDALIAN PEMOTONGAN BETINA PRODUKTIF .................... 32
A. Mekanisme Kegiatan Pengendalian Betina Produktif .............................. 32
B. Lokasi Kegiatan ..................................................................................... 32
C. Pelaksanaan Kegiatan ............................................................................ 32
BAB VII. TATA CARA PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN ...................... 36
A. Ketentuan Pembayaran Biaya Operasional ............................................. 36
B. Syarat-syarat Pertanggungjawaban ........................................................ 36
C. Mekanisme Pembayaran ........................................................................ 37
D. Kewajiban Pajak ..................................................................................... 39
E. Pakta Integritas ...................................................................................... 40
F. Pencairan Dana ..................................................................................... 40
BAB VIII. PENGENDALIAN INTERNAL, MONITORING,
EVALUASI DAN PELAPORAN ....................................................................... 41
A. Pengendalian Internal ............................................................................ 41
B. Monitoring dan Evaluasi ........................................................................ 42
C. Pelaporan UPSUS SIWAB ....................................................................... 42
BAB IX. PENUTUP………………………………………………………………………… 44
- 1 -
1
LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR
JENDERAL PETERNAKAN DAN
KESEHATAN HEWAN
NOMOR :
TANGGAL : 2 Januari 2018
PEDOMAN PELAKSANAAN UPAYA KHUSUS
PERCEPATAN PENINGKATAN POPULASI SAPI DAN KERBAU BUNTING
TAHUN ANGGARAN 2018
BAB I
OPERASIONALISASI UPAYA KHUSUS
PERCEPATAN PENINGKATAN POPULASI SAPI DAN KERBAU BUNTING
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama manusia yang
pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi setiap rakyat Indonesia.
Pangan senantiasa harus tersedia secara cukup, aman, bermutu, bergizi,
dan beragam dengan harga yang terjangkau daya beli masyarakat, serta
tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.
Bila ditinjau dari sumber asalnya, bahan pangan terdiri atas pangan
nabati (asal tumbuhan) dan pangan hewani (asal ternak dan ikan). Bahan
pangan hewani yang berasal dari ternak adalah daging, telur dan susu
yang berfungsi sebagai sumber zat gizi, utamanya protein dan lemak.
Berdasarkan data tahun 2009-2014, konsumsi daging ruminansia
meningkat sebesar 18,2% dari 4,4 gram/kap/hari pada tahun 2009
menjadi 5,2 gram/kap/hari pada tahun 2014. Dilain pihak dalam kurun
waktu yang sama penyediaan daging sapi lokal rata-rata baru memenuhi-
315/Kpts/PK.210/F/01/2018
- 2 -
2
65,24% kebutuhan total nasional. Sehingga kekurangannya masih
dipenuhi dari impor, baik berupa sapi bakalan maupun daging beku.
Menghadapi tantangan tersebut, Pemerintah perlu menyusun program
peningkatan produksi daging sapi/kerbau dalam negeri, menggunakan
pendekatan yang lebih banyak mengikutsertakan peran aktif masyarakat.
Sejak Tahun 2017 Pemerintah telah menetapkan UPSUS SIWAB (Upaya
Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting).
Dengan demikian Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi
dan Kerbau Bunting ini perlu keberlanjutan di Tahun 2018 agar
memastikan sapi/kerbau betina produktif milik peternak dikawinkan baik
melalui inseminasi buatan maupun kawin alam sehingga Peningkatan
Populasi Sapi dan Kerbau berjalan optimal.
2. Maksud dan Tujuan
Pedoman Pelaksanaan ini dimaksudkan sebagai dasar hukum
pelaksanaan kegiatan Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi
Sapi dan Kerbau Bunting Tahun 2018, yang meliputi :
a. Menyediakan semen beku;
b. Meningkatkan jumlah dan kompetensi Sumber Daya Manusia petugas
teknis reproduksi ternak;
c. Meningkatkan pelayanan IB;
d. Menjamin ketersediaan dan distribusi semen beku, N2 cair dan
kontainer:
1) Menjamin ketersediaan semen beku, N2 cair, dan kontainer di lokasi
distribusi (Provinsi/Kabupaten/Kota).
2) Menjamin pendistribusian semen beku, N2 cair dan kontainer dari
produsen semen beku atau N2 cair dan distributor kontainer ke
lokasi distribusi (Provinsi/Kabupaten/Kota).
e. Meningkatkan produksi hijauan pakan ternak;
f. Melaksanakan identifikasi dan penanggulangan gangguan reproduksi;
g. Menyelamatkan akseptor (betina produktif) dari pemotongan di RPH
dalam rangka mendukung UPSUS SIWAB;
- 3 -
3
h. Menyediakan standar prosedur baku pelaporan kegiatan teknis UPSUS
SIWAB Tahun 2018; dan
i. Mengukur capaian kinerja pelaksanaan kegiatan UPSUS SIWAB Tahun
2018 secara periodik dan berjenjang.
3. Sasaran
Sasaran pengguna Pedoman Pelaksanaan ini adalah Pemerintah, UPT
Pusat, Pemerintah Daerah yang melaksanakan fungsi peternakan dan
kesehatan hewan di provinsi dan kabupaten/kota, Instansi lainnya di
seluruh Indonesia, dan petugas lapangan.
4. Keluaran
a. Terlayaninya perkawinan sapi/kerbau betina sebanyak 3 juta ekor
akseptor;
b. Tingkat kebuntingan sapi/kerbau sebesar 70 % dari akseptor yang di
IB;
c. Tingkat kelahiran sapi/kerbau sebesar 80 % dari akseptor yang
bunting;
d. Bertambahnya hijauan pakan seluas 1.138,5 hektar di 15 provinsi;
e. Penurunan pemotongan betina produktif di 41 kabupaten/kota di 17
provinsi;
f. Terdistribusikannya semen beku, N2 cair dan kontainer sesuai dengan
peta kebutuhan semen beku di 34 provinsi;
g. Tertanggulanginya kasus gangguan reproduksi;
h. Terselenggaranya manajemen pelaporan kinerja Upsus Siwab sebanyak
35 laporan.
5. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Pedoman ini meliputi:
a. Operasionalisasi UPSUS SIWAB;
b. Pelaksanaan Kegiatan IB;
c. Penyediaan dan Distribusi Semen Beku, Nitrogen (N2) Cair Dan
Kontainer;
d. Pemenuhan Hijauan Pakan;
- 4 -
4
e. Penanggulangan Gangguan Reproduksi;
f. Pengendalian Pemotongan Betina Produktif ;
g. Tata Cara Pertanggungjawaban Keuangan;
h. Pengendali Internal Sistem Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan.
6. Pengertian
Dalam Pedoman ini yang dimaksud dengan:
1. Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau
Bunting yang selanjutnya disebut UPSUS SIWAB adalah kegiatan
yang terintegrasi untuk percepatan peningkatan populasi sapi dan
kerbau secara berkelanjutan.
2. Inseminasi Buatan yang selanjutnya disebut IB adalah teknik
memasukkan mani atau semen ke dalam alat reproduksi ternak
betina sehat untuk dapat membuahi sel telur dengan menggunakan
alat inseminasi.
3. Dokter Hewan adalah orang yang memiliki profesi di bidang
kedokteran Hewan dan kewenangan Medik Veteriner dalam
melaksanakan pelayanan Kesehatan Hewan.
4. Inseminator adalah petugas yang berwenang melaksanakan IB serta
telah memiliki SIM-I dan/atau surat tugas.
5. Petugas Pemeriksa Kebuntingan yang selanjutnya disebut PKb adalah
petugas yang berwenang melaksanakan IB dan PKb serta telah
memiliki SIM-A2 dan/atau Surat Tugas.
6. Data recorder adalah koordinator iSIKHNAS dan petugas yang
ditunjuk yang mempunyai tugas mengelola data Upsus Siwab di
provinsi dan kabupaten/kota.
7. Akseptor adalah ternak sapi atau kerbau betina produktif yang
dimanfaatkan untuk inseminasi buatan dan kawin alam untuk
menjadi bunting.
8. Akseptor IB adalah ternak sapi/kerbau betina produktif atau indukan
yang dimanfaatkan untuk IB.
- 5 -
5
9. Inseminasi Buatan Reguler yang selanjutnya disebut IB Reguler
adalah Pelaksanaan IB yang dilakukan pada ternak dengan sistem
pemeliharaannya dilakukan secara intensif atau semi intensif.
10. Inseminasi Buatan Introduksi yang selanjutnya disebut IB Introduksi
adalah pelaksanaan IB yang dilakukan pada ternak dengan sistem
pemeliharaannya dilakukan secara semi intensif dan/atau ekstensif
serta adanya perlakuan sinkronisasi (penyerentakan berahi).
11. Sinkronisasi estrus (penyerentakan berahi) adalah upaya
menimbulkan estrus menggunakan sediaan hormon agar terjadi
ovulasi yang fertil pada sekelompok ternak yang memenuhi
persyaratan tertentu.
12. Semen Beku Sapi/Kerbau adalah semen yang berasal dari pejantan
sapi/kerbau terpilih yang diencerkan sesuai prosedur proses produksi
sehingga menjadi semen beku dan di simpan di dalam rendaman
nitrogen cair pada suhu -196ºC pada kontainer.
13. Betina produktif yaitu ternak betina yang memiliki saluran reproduksi
normal, dapat memperlihatkan gejala estrus, bunting, melahirkan dan
membesarkan anak.
14. Gangguan Reproduksi yang selanjutnya disebut Gangrep adalah
perubahan fungsi normal reproduksi betina.
15. Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang
diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan
untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang biak.
16. Tanaman Pakan Ternak (TPT) adalah tanaman penghasil hijauan
pakan yang sengaja dibudidayakan dari family rerumputan
(Gramineae) dan kacang-kacangan (Leguminoseae).
17. Hijauan Pakan Ternak yang selanjutnya disebut HPT adalah bagian
vegetatif Tanaman Pakan Ternak (TPT) yang berwarna hijau yang
dapat digunakan sebagai bahan pakan.
18. Kelompok Kerja Pusat yang selanjutnya disebut Pokja Pusat adalah
kelompok kerja yang terdiri dari unsur Sekretariat dan Direktorat
Teknis lingkup Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
- 6 -
6
19. Dinas Provinsi adalah perangkat daerah provinsi yang melaksanakan
fungsi peternakan dan kesehatan hewan.
20. Dinas Kabupaten/Kota adalah perangkat daerah kabupaten/kota
yang melaksanakan fungsi peternakan dan kesehatan hewan.
21. Kelompok Kerja Provinsi yang selanjutnya disebut Pokja Provinsi
adalah kelompok kerja yang terdiri dari unsur Dinas Provinsi.
22. Kelompok Kerja Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Pokja
Kabupaten/Kota adalah kelompok kerja yang terdiri dari unsur Dinas
Kabupaten/Kota.
23. Bimbingan Teknis Petugas Teknis Reproduksi adalah proses belajar
untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan di bidang teknis
reproduksi.
24. Kompetensi Kerja adalah spesifikasi dari setiap sikap, pengetahuan,
ketrampilan dan/atau keahlian serta penerapannya secara efektif
dalam pekerjaan sesuai dengan standar kinerja yang dipersyaratkan.
25. Standar Kompetensi Kerja adalah jenis-jenis kompetensi kerja yang
harus dikuasai oleh seorang pejabat atau petugas yang menduduki
jabatan atau melaksanakan pekerjaan tertentu agar dapat berprestasi
baik dalam menduduki jabatan atau melaksanakan pekerjaan
tertentu.
26. Pengendalian Pemotongan Betina Produktif adalah upaya pencegahan
pemotongan betina produktif melalui pengawasan dan penolakan
pemotongan betina produktif.
27. Petugas Pengawas Kesehatan Masyarakat Veteriner yang selanjutnya
disebut Petugas Kesmavet adalah Pegawai Negeri Sipil berpendidikan
Dokter Hewan yang telah mengikuti pelatihan sebagai Pengawas
Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) atau petugas lainnya
dibawah penyeliaan dokter hewan yang memiliki keterampilan khusus
dalam melaksanakan pengawasan hulu dan hilir dengan dilengkapi
dengan surat penugasan dari Kepala Satuan Kerja (Satker).
28. Pemeriksaan Ante Mortem dan Post Mortem (AM-PM) adalah
pemeriksaan status kesehatan hewan dan pemeriksaan pasca
penyembelihan.
- 7 -
7
7. Pelaksanaan
Untuk kelancaran pelaksanaan Upaya Khusus Percepatan Peningkatan
Populasi Sapi dan Kerbau Bunting Tahun 2018, dibentuk:
a. Pokja Pusat yang ditetapkan oleh Menteri;
b. Pokja Provinsi yang ditetapkan oleh gubernur;
c. Pokja Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh bupati/wali kota.
Penetapan Pokja Provinsi dan Pokja Kabupaten dalam pelaksanaannya
ditetapkan oleh Kepala Dinas yang melaksanakan fungsi peternakan dan
kesehatan hewan sesuai dengan kewenangannya.
B. Gambaran Umum dan Target
1. Gambaran Umum
Perhitungan populasi dan jumlah akseptor sapi/kerbau tahun 2018
digunakan basis data hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (ST 2013).
Secara nasional perkiraan total populasi sapi/kerbau betina dewasa
(umur 2-8 tahun) pada tahun 2018 sebesar 6,28 juta ekor. Struktur
Populasi Sapi dan Kerbau Tahun 2017 sebagaimana tercantum pada
Tabel Format 1. Upsus Siwab sebagai upaya percepatan peningkatan
populasi sapi/kerbau dilakukan sejak tahun 2017, yang merupakan
fasilitasi dan optimalisasi pelaksanaan kegiatan reproduksi secara
terintegrasi dan berkelanjutan sebagaimana digambarkan pada
Format 2.
2. Target UPSUS SIWAB Tahun 2018
Dari jumlah potensi akseptor 2018, yang menjadi akseptor sebanyak 3
juta akseptor yang terdiri dari 2,7 juta akseptor dari IB regular dan
300.000 akseptor dari IB Introduksi, dengan target kebuntingan 70 %
dari jumlah ternak yang di IB (2,1 juta ekor) dan target kelahiran sebesar
80 % dari jumlah ternak yang bunting. Sasaran target aseptor IB,
sasaran kebuntingan dan kelahiran di masing-masing provinsi
sebagaimana tercantum pada Format 3, Format 4 dan Format 5.
- 8 -
8
BAB II
PELAKSANAAN KEGIATAN INSEMINASI BUATAN (IB)
A. Pelaksanaan Pelayanan IB
1. Akseptor IB
Akseptor IB adalah induk ternak yang sudah didaftarkan maupun yang
belum didaftarkan di iSIKHNAS. Ternak yang sudah didaftarkan tidak
perlu didaftarkan kembali dan tetap menggunakan identitas ternak/daftar
hewan (DH) yang sudah terdaftar di iSIKHNAS.
2. Pelaksanaan IB Reguler
Pelaksanaan IB reguler dilakukan pada ternak yang sistem
pemeliharaannya dilakukan secara intensif atau semi intensif. Ternak yang
terdeteksi berahi langsung dilakukan IB sesuai dengan Standar
Operasional Prosedur (SOP) IB, dan dilakukan pencatatan dan pelaporan
melalui iSIKHNAS. Ternak yang sudah 3 (tiga) kali di IB namun tidak
menunjukkan adanya kebuntingan dilaporkan kepada petugas ATR/Medik
di wilayah tersebut selanjutnya dilakukan pemeriksaan status reproduksi
dan jika dari hasil pemeriksaan menunjukan gangguan reproduksi maka
dilakukan penanganan.
3. Pelaksanaan IB Introduksi
Pelaksanaan IB introduksi dilakukan pada ternak yang sistem
pemeliharaannya dilakukan secara semi intensif dan/atau ekstensif serta
adanya perlakuan sinkronisasi (penyerentakan berahi). Pada pelaksanaan
IB introduksi terlebih dahulu ternak dikumpulkan dan dilakukan
pemeriksaan reproduksi secara palpasi per rektal. Ternak yang tidak
bunting dengan reproduksi normal dilakukan tindakan sinkronisasi
(penyerentakan berahi), selanjutnya selama 2-3 hari diamati gejala berahi
untuk dilakukan IB.
Kegiatan IB introduksi dilakukan secara sinergi antara UPT Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (BVet/BBVet) dengan Dinas
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Untuk kelancaran pelaksanaan IB
- 9 -
9
introduksi dilengkapi dengan: kandang jepit, pengumpulan ternak,
vitamin, obat-obatan dan pelayanan sinkronisasi.
4. Pemeriksaan Kebuntingan
Pemeriksaan Kebuntingan (PKb) dilakukan melalui palpasi rectal dan/atau
dapat menggunakan alat ultrasonografi (USG). Pemeriksaan kebuntingan
melalui palpasi rectal dilakukan pada akseptor IB dan kawin alam. Untuk
pemeriksaan kebuntingan akseptor IB, dilakukan paling cepat 2 (dua)
bulan setelah pelayanan IB. Untuk pemeriksaan kebuntingan pada kawin
alam, dilakukan pada saat pengumpulan ternak. Pelaksana pemeriksaan
kebuntingan adalah dokter hewan atau petugas PKb yang sudah
ditetapkan.
5. Pelaporan Kelahiran
Pelaporan kelahiran merupakan laporan kelahiran ternak tahun 2018
maupun tahun 2017 (yang belum dilaporkan) baik hasil IB dan hasil kawin
alam dilakukan oleh petugas teknis reproduksi yang ditetapkan oleh
Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang melaksanakan fungsi peternakan dan
kesehatan hewan melalui sistem iSHIKNAS.
B. Petugas Teknis Reproduksi Ternak
Dalam mendukung keberhasilan UPSUS SIWAB, sumber daya manusia yang
berperan langsung adalah petugas teknis reproduksi ternak. Petugas teknis
reproduksi ternak sesuai dengan keterampilan teknis yang dimiliki meliputi
Inseminator, Petugas Pemeriksa Kebuntingan, dan Dokter hewan.
Syarat menjadi petugas teknis IB dalam UPSUS SIWAB sebagai berikut:
1. Inseminator:
a) Memiliki SIM-I
b) Bagi yang tidak memiliki SIM-I, harus memiliki sertifikat pelatihan
IB dan surat tugas dari Kepala Dinas Provinsi atau
Kabupaten/Kota.
2. Petugas Pemeriksa Kebuntingan (PKb):
a) Memiliki SIM-A2
- 10 -
10
b) Bagi yang tidak memiliki SIM-A2, harus memiliki sertifikat
pelatihan Pemeriksaan Kebuntingan dan surat tugas dari Kepala
Dinas Provinsi atau Kabupaten/Kota.
3. Petugas ATR
a) Memiliki SIM-A1
b) Bagi yang tidak memiliki SIM-A1, harus memiliki sertifikat
pelatihan ATR dan surat tugas dari Kepala Dinas Provinsi atau
Kabupaten/Kota.
4. Dokter Hewan
a) Memiliki SIP-DRH;
b) Bagi yang tidak memiliki SIP-DRH, harus memiliki surat tugas dari
Kepala Dinas Provinsi atau Kabupaten/Kota.
C. Pelatihan/Bimbingan Teknis
1. Jenis Pelatihan/Bimbingan Teknis
Pelatihan/bimbingan teknis yang dialokasikan dalam rangka mendukung
UPSUS SIWAB 2018 dikelompokkan menjadi pelatihan untuk petugas
baru, penyegaran petugas dan sertifikasi kompetensi.
a. Pelatihan Petugas Baru.
Penyelenggaraan pelatihan dilaksanakan oleh UPT Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) bekerjasama dengan
UPT Badan Pengembangan dan Penyuluhan Sumberdaya Manusia
Pertanian (BPPSDMP) di bidang pelatihan peternakan.
b. Penyegaran Petugas Teknis
Penyegaran Petugas Teknis dilakukan melalui Bimtek bagi petugas
Inseminasi Buatan, Pemeriksaan Kebuntingan, Asistensi Teknik
Reproduksi, Rekorder, Petugas Handling Semen Beku atau petugas
iSIKHNAS dalam rangka meningkatkan kapasitas kemampuan.
Metode bimtek penyegaran petugas dilakukan dalam bentuk teori
(clasical) maksimal 30% dan praktek lapangan minimal 70%. Kegiatan
penyegaran petugas selain oleh Dinas, dapat dilakukan oleh UPT
- 11 -
11
c. Sertifikasi Kompetensi
Dalam rangka mewujudkan pengembangan sumberdaya manusia
berbasis kompetensi, Ditjen PKH berkoordinasi dengan BPPSDMP
untuk melakukan bimtek sertifikasi kompetensi petugas teknis
reproduksi.
2. Syarat Peserta Pelatihan
Peserta pelatihan secara umum harus memenuhi persyaratan antara lain:
a. Sehat jasmani dan rohani;
b. Pendidikan minimal SMK bidang peternakan atau sederajat dibidang
IPA;
c. Rekomendasi Dinas yang melaksanakan fungsi peternakan dan
kesehatan hewan kabupaten/kota setempat.
3. Materi Pelatihan/Bimbingan Teknis
Materi Pelatihan/Bimbingan Teknis Petugas Teknis Reproduksi Ternak
mengacu pada kurikulum yang telah ditetapkan.
4. Permohonan Pelatihan/Bimbingan Teknis
Permohonan pelatihan/bimbingan teknis sebagai berikut:
a. Permohonan pelatihan dari Dinas Provinsi ditujukan kepada Direktur
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan cq. Direktur Perbibitan
dan Produksi Ternak, dengan melampirkan daftar peserta dan
kelengkapan persyaratan.
b. Permohonan pelatihan dari Dinas Kabupaten/Kota ditujukan kepada
Provinsi dengan melampirkan daftar peserta dan kelengkapan
persyaratan, selanjutnya diteruskan kepada Direktur Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan.
5. Optimalisasi Petugas Paska Pelatihan
Kegiatan pelaksanaan pelatihan dan bimbingan teknis petugas teknis
reproduksi ternak yang diselenggarakan oleh UPT Ditjen PKH, UPT
BPPSDMP dan Provinsi akan dilakukan supervisi dan monitoring oleh
petugas yang ditunjuk oleh Tim Supervisi lingkup Direktorat Jenderal-
- 12 -
12
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Supervisi dilakukan dalam rangka
memastikan bahwa petugas teknis reproduksi ternak yang baru lulus
pelatihan benar-benar dimanfaatkan oleh dinas kabupaten/kota di bawah
supervisi petugas yang berpengalaman.
D. Penggunaan Alokasi Dana
Pendanaan kegiatan Penyediaan Semen Beku, dan Operasional Pelaksanaan
IB Tahun 2018 dialokasikan untuk:
1. Penyediaan Sarana dan Bahan IB.
Penyediaan dana sarana dan bahan IB dialokasikan antara lain untuk
plastic sheeth, glove, kontainer lapangan, kontainer depo dan N2 cair,
serta semen beku. Sarana dan prasarana untuk pelaksanaan IB tahun
2018 dapat menggunakan stok yang ada.
2. Biaya Operasional
a. Operasional IB Reguler
b. Operasional IB Introduksi
c. Operasional Pemeriksaan Kebuntingan
d. Operasional Pelaporan Kelahiran
e. Honor Pelaporan (data recorder)
C. Koordinasi, Pendampingan dan Pengawalan.
Dalam rangka mendukung keberhasilan pelaksanaan UPSUS SIWAB 2018 di
lapangan, diperlukan koordinasi, pendampingan, pengawalan dan pelaporan
yang dilakukan secara terpadu oleh Tim Supervisi Pusat, Provinsi,
Kabupaten/Kota, UPT Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
dan Dinas Provinsi, Kabupaten/Kota sesuai dengan tugas dan fungsinya
masing-masing dalam rangka untuk meningkatkan efektivitas dan
akuntabilitas. Ketentuan lebih lanjut dan bersifat spesifik terkait koordinasi,
pendampingan, pengawalan dan pelaporan daerah dituangkan dalam
Petunjuk Pelaksanaan atau Petunjuk Teknis yang disusun oleh
Provinsi/Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam diktum Keempat
Keputusan ini.
- 13 -
13
BAB III
PENYEDIAAN DAN DISTRIBUSI SEMEN BEKU,
NITROGEN (N2) CAIR DAN KONTAINER
A. Semen Beku
1. Penyediaan Semen Beku
Semen beku yang digunakan dalam rangka mendukung UPSUS SIWAB:
a. Memenuhi persyaratan SNI, dan/atau lulus dari uji laboratorium yang
terakreditasi.
b. Semen beku yang berasal dari luar negeri harus memenuhi persyaratan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Dapat menggunakan stok semen beku tahun sebelumnya dan produksi
Tahun 2018.
d. Sebelum didistribusikan, produsen meregistrasi semen beku di-
iSIKHNAS.
Penyediaan semen beku dapat berasal dari produsen dalam negeri
(B/BIB/D) ataupun impor. Penyedia semen beku dalam negeri adalah
institusi/lembaga yang memenuhi persyaratan:
a. Penyedia yang telah mendapat sertifikat SNI dari Lembaga Sertifikasi
Produk (LSPro) benih dan bibit ternak yang terakreditasi atau ditunjuk
oleh Menteri Pertanian; atau
b. Penyedia belum tersertifikasi tetapi telah menerapkan Sistem
manajemen mutu dan produknya sesuai SNI yang dibuktikan dengan
hasil uji dari laboratorium yang terakreditasi;
c. Bila penyedia memiliki Laboratorium uji yang terakreditasi, pernyataan
produk yang dihasilkan sesuai SNI dibuktikan dengan hasil uji dari
laboratorium lain yang terakreditasi bukan dari milik sendiri.
2. Kebutuhan Semen Beku
- 14 -
14
Kebutuhan semen beku per jenis dan per rumpun di
provinsi/kabupaten/kota untuk program UPSUS SIWAB dengan
memperhitungkan jumlah akseptor yang ada di masing-masing
provinsi/kabupaten/kota.
3. Permohonan Kebutuhan Semen Beku
a. Permohonan kebutuhan semen beku masing-masing Kabupaten/Kota
untuk program UPSUS SIWAB ditujukan kepada Kepala Dinas yang
melaksanakan fungsi peternakan di Provinsi.
b. Permohonan kebutuhan semen beku dari masing-masing provinsi
kepada BBIB/BIB Nasional ditujukan kepada Direktur Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan cq. Direktur Perbibitan dan Produksi
Ternak, selanjutnya Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak
menginstruksikan BBIB/BIB Nasional untuk menyediakan semen beku.
Sedangkan kebutuhan semen beku dari BIB daerah dikoordinasikan
dengan penanggung jawab IB pada masing-masing provinsi.
c. Permohonan kebutuhan semen beku per jenis per rumpun dari masing-
masing provinsi dan kabupaten/kota memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan tentang wilayah sumber bibit di
wilayahnya.
4. Pengadaan dan Distribusi Semen Beku
a. Pengadaan Semen Beku.
Dilaksanakan melalui e-katalog dan/atau pelelangan umum. Dilakukan
pada awal tahun untuk menjamin pelaksanaan IB berjalan lancar
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pengadaan barang/jasa Pemerintah.
b. Distribusi
Distribusi semen beku dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal
sebagai berikut :
1. Semen beku didistribusikan dalam kontainer yang baik dan dikemas
secara baik.
- 15 -
15
2. Penyedia semen beku mendistribusikan semen beku sampai ke
kabupaten/kota. Dalam hal permintaan distribusi semen beku
sampai ke provinsi, distribusi ke kabupaten/kota menjadi tanggung
jawab Provinsi.
3. Untuk menghindari terjadinya kawin sedarah (Inbreeding) BIB
Nasional/Daerah mengatur pola distribusi semen beku ke daerah
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Wilayah sumber bibit menggunakan semen beku sesuai dengan
rumpun yang telah ditetapkan untuk wilayah tersebut.
5. Wilayah yang memiliki sumber daya genetik ternak lokal
mengutamakan penggunaan semen beku dari ternak lokal atau asli
dominan setempat.
6. Penanganan semen beku selama pengiriman memperhatikan
penanganan/handling semen yang baik termasuk pemantauan level
N2 cair dalam kontainer oleh petugas yang berkompeten.
B. Nitrogen (N2) Cair
1. Penyediaan N2 Cair
Nitrogen cair yang digunakan dalam rangka mendukung UPSUS SIWAB
Tahun 2018:
a. Stok nitrogen cair tahun-tahun sebelumnya;
b. Pengadaan N2 cair tahun 2018.
2. Kebutuhan N2 Cair
Kebutuhan N2 cair memperhitungkan jumlah ketersediaan semen beku
yang ada di masing-masing provinsi/kabupaten/kota dan pembagian zona
ketersediaan N2 cair. Pembagian zona meliputi:
a. Zona 1 : terdapat produsen N2 cair dan lokasi terjangkau.
Provinsi yang masuk zona 1 adalah Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Bali, Lampung, Sumatera
Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Timur.
b. Zona 2 : terdapat depot (filling station) N2 cair, topografi daratan dan
waktu tempuh pengiriman N2 cair lebih dari 8 jam.
- 16 -
16
Provinsi yang termasuk zona 2 adalah Provinsi Kalimantan Tengah,
Bengkulu, Jambi, Riau, Aceh, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan NTB.
c. Zona 3 : tidak terdapat produsen dan depot (filling station) N2 cair, akses
sulit, dan topografi kepulauan.
Provinsi yang termasuk zona 3 adalah Provinsi Maluku Utara, Maluku,
Papua, Papua Barat, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan
Utara, Kalimantan Barat, dan NTT.
3. Standar ketersediaan N2 cair dengan kriteria sebagai berikut:
a. Ketersediaan aman, apabila ketersediaan N2 cair ≥ 75 persen dari total
kebutuhan N2 cair perbulan (hijau).
b. Ketersediaan waspada atau hati-hati, untuk itu perlu dilakukan
pengadaan kembali, apabila ketersediaan N2 cair 50-74 persen dari total
kebutuhan N2 cair perbulan (kuning).
c. Ketersediaan darurat atau kritis, apabila ketersediaan N2 cair < 50
persen dari dari total kebutuhan N2 cair perbulan (merah muda).
d. Ketersediaan habis, apabila tidak ada N2 cair nol persen (coklat).
4. Permohonan Kebutuhan N2 Cair
Permohonan kebutuhan N2 cair dari masing-masing kabupaten/kota
ditujukan kepada Kepala Dinas yang melaksanakan fungsi peternakan di
provinsi.
5. Pengadaan dan Distribusi N2 Cair
a. Pengadaan N2 Cair
1). Dilaksanakan melalui e-katalog sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pengadaan barang/jasa
Pemerintah.
2). Diutamakan dilakukan pada awal tahun sesuai dengan
ketersediaan N2 cair dan semen beku.
b. Distribusi
Distribusi N2 cair dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal
sebagai berikut :
- 17 -
17
1. N2 cair didistribusikan dalam kontainer yang berkualitas dan
dikemas secara baik.
2. Distribusi N2 cair diutamakan sampai kepada kabupaten/kota.
3. Satker provinsi atau kabupaten/kota memastikan bahwa N2 cair
selalu tersedia dan cukup di tingkat inseminator.
4. Penanganan N2 cair (handling) harus dilakukan secara baik oleh
petugas yang ditunjuk oleh Dinas Provinsi dan/atau Dinas
Kabupaten/Kota yang melaksanakan fungsi peternakan dan
kesehatan hewan.
C. Kontainer
1. Ketersediaan Kontainer
[[ Penyediaan kontainer berasal dari:
a. Kontainer yang masih layak dari tahun sebelumnya; dan
b. Pengadaan kontainer tahun 2018.
2. Kebutuhan dan Jenis Kontainer
a. Kebutuhan kontainer mempertimbangkan kondisi kelayakan dan
ketersediaan kontainer, topografi wilayah distribusi, dan jumlah semen
beku di provinsi/kabupaten/kota.
b. Kebutuhan minimal kontainer di tingkat kabupaten/kota, yaitu 2 unit
kontainer depo semen beku, 2 unit kontainer depo N2 cair.
c. Kebutuhan minimal kontainer di tingkat inseminator sebanyak 1 unit
kontainer lapangan untuk setiap inseminator.
D. Permohonan Kebutuhan Kontainer
Permohonan kebutuhan kontainer masing-masing Kabupaten/Kota
ditujukan kepada Kepala Dinas yang melaksanakan fungsi peternakan
Provinsi.
E. Pengadaan dan Distribusi Kontainer
a. Pengadaan Kontainer
- 18 -
18
1). Dilaksanakan melalui e-katalog. Untuk kontainer yang belum terdaftar
dalam e-katalog pengadaan dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dibidang pengadaan barang/jasa
Pemerintah.
2). Diutamakan dilakukan pada awal tahun untuk menjamin kelancaraan
distribusi semen beku dan N2 cair.
b. Distribusi
Distribusi kontainer dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal
sebagai berikut:
1) Kontainer yang didistribusikan harus berkualitas dan dikemas secara
baik.
2) Distribusi kontainer sampai ke Provinsi.
3) Satker provinsi atau kabupaten/kota memastikan bahwa kontainer
selalu tersedia dan cukup di tingkat inseminator.
4) Penanganan kontainer (handling) harus dilakukan secara baik oleh
petugas yang ditunjuk.
5) Untuk memastikan kualitas kontainer dalam kondisi baik dan layak
harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu oleh Petugas BIB atau
petugas yang ditetapkan di lokasi distribusi. Skema penerimaan
kontainer seperti pada Format 6.
F. Pelaksanaan
Dalam pelaksanaan distribusi dan ketersediaan semen beku, N2 cair, dan
kontainer melibatkan para pihak terkait, yaitu:
1. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan
a. Melakukan koordinasi dan pemantauan pelaksanaan pendistribusian
semen beku dari BIB Nasional/Daerah ke provinsi/kabupaten/kota
sesuai permohonan kebutuhan semen beku oleh provinsi dan
ditetapkan oleh Direktorat Perbibitan dan Produksi Ternak.
b. Melakukan pemantauan kecukupan semen beku (jumlah dan
rumpun), N2 cair dan kontainer di dinas provinsi/kab/kota.
- 19 -
19
c. Melakukan rekapitulasi data distribusi semen beku, N2 cair, dan
kontainer dari seluruh provinsi.
d. Melaksanakan evaluasi distribusi dan ketersediaan semen beku, N2
cair, dan kontainer.
e. Membuat pelaporan pelaksanaan kegiatan.
2. Dinas yang melaksanakan fungsi peternakan dan kesehatan hewan
Provinsi
a. Menetapkan petugas teknis yang berkompeten ditingkat Provinsi, yang
bertugas untuk:
1) Melakukan pemeriksaan fisik kontainer dan kelengkapan
administrasi.
2) Melakukan pemeriksaan kualitas semen beku pada setiap
penerimaan maksimal 2 x 24 jam untuk selanjutnya dilaporkan
kepada produsen semen beku dengan tembusan kepada Direktorat
Perbibitan dan Produksi Ternak.
3) Melakukan pemeriksaan ketersediaan N2 cair di dalam kontainer
dan mengisinya kembali sesuai volume yang diperlukan, jika
volume N2 cair berkurang.
4) Melakukan pencatatan dan melaporkan penerimaan semen beku
(rumpun, nama dan nomor pejantan, batch produksi, dan nama
produsen semen beku) sesuai dengan Format iSIKHNAS.
b. Melakukan pengadaan N2 cair dan kontainer dengan jumlah sesuai
kebutuhan kabupaten/kota.
c. Mendistribusikan N2 cair dan kontainer ke wilayah kabupaten/kota.
d. Mengusulkan anggaran APBD untuk penyediaan N2 cair dan kontainer
dalam rangka pelaksanaan pendampingan kepada Dinas Provinsi.
e. Melaporkan ketersediaan (stok) dan memantau penggunaan semen
beku, N2 cair dan kontainer di setiap kabupaten/kota wilayah
Provinsinya melalui iSIKHNAS.
3. Dinas yang menangani fungsi peternakan dan kesehatan hewan
Kabupaten/Kota
a. Menyampaikan kebutuhan semen beku, N2 cair dan kontainer ke
Dinas Provinsi
- 20 -
20
b. Menetapkan petugas teknis yang berkompeten ditingkat
Kabupaten/Kota, yang bertugas untuk:
1) Melakukan pemeriksaan fisik luar kontainer dan kelengkapan
administrasi.
2) Melakukan pemeriksaan kualitas semen beku pada setiap
penerimaan maksimal 2 x 24 jam untuk selanjutnya dilaporkan
kepada Dinas Provinsi.
3) Melakukan pemeriksaan ketersediaan N2 cair di dalam kontainer
dan mengisinya kembali sesuai volume yang diperlukan, jika
volume N2 cair berkurang.
4) Melakukan pencatatan penerimaan dan penggunaan semen beku,
(rumpun, nama dan nomor pejantan, batch produksi, dan nama
produsen semen beku), sesuai dengan Format iSIKHNAS untuk
kemudian dilaporkan ke Dinas Provinsi.
c. Mendistribusikan semen beku, N2 cair, dan kontainer ke lokasi
distribusi akhir (Puskeswan/ULIB/Pos IB/UPTD).
d. Melaporkan ketidakwajaran keadaan kontainer dan kualitas semen
beku ke Dinas Provinsi.
e. Melakukan pemusnahan semen beku yang rusak atau tidak sesuai
SNI, dengan dilengkapi Berita Acara dan dilaporkan ke Dinas
Provinsi dan/atau Produsen.
f. Mengusulkan anggaran APBD untuk penyediaan N2 cair dan
kontainer dalam rangka pelaksanaan pendampingan kepada Dinas
Kabupaten/Kota.
g. Melaporkan ketersediaan (stok) dan penggunaan semen beku, N2 cair
dan kontainer di setiap lokasi distribusi akhir melalui iSIKHNAS.
G. Monitoring dan Evaluasi
a. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan distribusi dan
ketersediaan semen beku, N2 cair, dan kontainer di lokasi distribusi akhir
(Puskeswan/ULIB/Pos IB/UPTD) pada tahun berjalan dilaksanakan
secara terkoordinasi antara Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil
Peternakan dengan Dinas Provinsi/Kab/Kota sesuai kewenangannya.
- 21 -
21
b. Pengawasan langsung maupun tidak langsung harus dilakukan oleh
Dinas yang menangani fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan di
daerah.
c. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan akan
melakukan evaluasi pada akhir pelaksanaan kegiatan distribusi dan
ketersediaan semen beku, N2 cair, dan kontainer. Hasil evaluasi akan
dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan
sistem/mekanisme pendistribusian semen beku, N2 cair, dan kontainer
berikutnya.
d. Monitoring penyediaan semen beku dilakukan secara berjenjang, yaitu:
1) Balai Inseminasi Buatan Nasional/Daerah melakukan monitoring
dan evaluasi ketersediaan semen beku di setiap provinsi terkait
jumlah straw, per jenis, per rumpun, kualitas dan stok semen yang
sudah digunakan.
2) Dinas provinsi melakukan monitoring dan evaluasi terhadap
kebutuhan di masing-masing kabupaten/kota terkait lokasi kegiatan
program UPSUS SIWAB, jumlah straw yang diterima
kabupaten/kota, jenis dan rumpun, stock semen beku, dan hasil
pelaksanaan IB.
3) Dinas Kabupaten/Kota melakukan monitoring dan evaluasi terhadap
inseminator terkait jumlah straw yang diterima, jenis dan rumpun,
jumlah penggunaan straw, hasil pelaksanaan IB, stok semen beku.
Tabel terkait distribusi N2 Cair, semen beku dan container tercantum
dalam iSIKHNAS, sebagai berikut:
1. Laporan Distribusi N2 Cair Root 349
2. Laporan Stok N2 Cair Root 132
3. Laporan Stok Straw Root 348
4. Laporan Stok Kontainer Root 131
5. Laporan Distribusi Straw Root 347
- 22 -
22
BAB IV
PEMENUHAN HIJAUAN PAKAN
A. Prinsip Pelaksanaan
1. Kegiatan penguatan pakan tahun 2018 diarahkan untuk penanaman dan
penyediaan HPT berkualitas dalam rangka meningkatkan ketersediaan
HPT bagi ternak sapi potong/sapi perah/kerbau.
2. Penyediaan hijauan pakan berkualitas dilaksanakan melalui 3 kegiatan
yaitu:
a. Penanaman dan pengembangan HPT berkualitas (gerbangpatas).
b. Pengembangan padang penggembalaan baru.
c. Pemeliharaan padang penggembalaan dalam rangka mengoptimalkan
padang penggembalaan yang sudah ada.
3. Pengadaan alat mesin pencacah rumput (chopper) dan mesin pengolah
daun/pelepah sawit (shredder) dilakukan melalui e-catalog.
4. Penyediaan bibit/benih HPT terdiri dari rumput atau leguminosa, dapat
berupa benih (biji), pols, stek atau pohon.
5. Pendistribusian bibit HPT kepada kelompok agar memperhatikan perkiraan
musim hujan dari BMKG atau dinas yang menangani iklim di daerah.
6. Lokasi penanaman HPT dalam kegiatan gerbangpatas berupa kebun HPT
sebagai kebun rumput potong dan/atau dijadikan pohon induk penghasil
benih, dan apabila memungkinkan agar diupayakan dalam satu hamparan
atau dalam beberapa luasan lahan yang jaraknya saling berdekatan untuk
memudahkan proses pemanenan dan pemeliharaan.
7. Areal padang penggembalaan baru, status lahan harus clean and clear,
paling sedikit dengan Surat Penetapan dari Kepala Daerah (SK Bupati).
8. Padang penggembalaan baru, sebelum pelaksanaan kegiatan harus
dilengkapi dengan dokumen SID (Survey Identification and Design).
9. Operasional penanaman HPT atau kegiatan lain yang memungkinkan agar
diupayakan dapat dilakukan secara padat karya dan melibatkan kelompok
penerima kegiatan.
10. Bibit/benih HPT dapat diakses dari lokasi sumber bibit HPT.
- 23 -
23
11. Tatacara budidaya HPT sebagaimana tercantum pada Format 7.
12. Tata cara pengembangan dan pemeliharaan padang pengembalaan
sebagaimana tercantum pada Format 8.
B. Pelaksana Kegiatan
Pelaksanaan kegiatan penguatan pakan Tahun 2018 pada masing-masing
daerah dikoordinasikan oleh Pokja Upsus Siwab di provinsi/ kabupaten/kota.
Pelaksanaan kegiatan penanaman HPT ataupun padang penggembalaan
mengacu pada Format 7 dan Format 8.
C. Kriteria Kelompok Penerima Kegiatan
1. Kriteria kelompok penerima kegiatan gerbangpatas:
a. Kelompok sapi potong/perah/kerbau yang mempunyai ternak induk
produktif dan/atau bunting.
b. Mempunyai aksesibilitas terhadap lahan, lebih diutamakan lahan milik
sendiri atau lahan milik kelompok atau bekerjasama dengan pemilik
lahan lainnya.
c. Sanggup menanam, memelihara, dan memanfaatkan HPT secara
berkelanjutan.
d. Tidak mengalih fungsikan lahan yang sudah ditanami dan ditetapkan
sebagai lahan kebun HPT menjadi peruntukan komoditas tanaman
lainnya.
e. Ditetapkan oleh Kepala Dinas Daerah Provinsi yang melaksanakan
fungsi peternakan dan kesehatan hewan yang dibuktikan dengan
Keputusan Penerima Kegiatan Gerbangpatas.
2. Kriteria kelompok penerima kegiatan pengembangan padang
Penggembalaan baru:
a. Penerima terdiri dari satu atau lebih dari satu kelompok yang berlokasi
di sekitar padang penggembalaan dan terbiasa menggembalakan ternak
di lahan yang akan diperbaiki tersebut.
b. Sanggup menanam, memelihara, dan memanfaatkan HPT secara
berkelanjutan.
- 24 -
24
c. Tidak mengalihfungsikan lahan yang sudah ditetapkan sebagai padang
penggembalaan menjadi peruntukan lain.
d. Ditetapkan oleh Kepala Dinas Daerah Provinsi yang melaksanakan
fungsi peternakan dan kesehatan hewan yang dibuktikan dengan
Keputusan Penerima Kegiatan Pengembangan Padang Penggembalaan.
D. Lokasi Kegiatan
Lokasi kegiatan Kegiatan Hijauan Pakan sebagaimana tercantum pada tabel
Format 9.
E. Pemanfaatan Anggaran APBN 2018
Anggaran penguatan pakan untuk mendukung program UPSUS SIWAB Tahun
2018 dialokasikan untuk 4 kegiatan sesuai dengan DIPA masing-masing
Satker, yaitu:
1. Penanaman dan Pengembangan Pakan Berkualitas (Gerbangpatas)
Anggaran dapat dimanfaatkan untuk beberapa alternatif kegiatan
disesuaikan dengan kebutuhan dan ketersediaan anggaran:
a. Pengadaan bibit/benih HPT yang terdiri dari rumput dan/atau
leguminosa. Pemilihan jenis HPT disesuaikan dengan ketersediaan
bibit/benih, kondisi lahan, iklim dan ketersediaan air di lokasi
kelompok.
b. Pengadaan sarana penanaman (misalnya pupuk dan/atau polybag serta
sarana lain sesuai kebutuhan).
c. Pembuatan sumber air dan tata kelolanya.
d. Operasional pengolahan lahan.
e. Operasional penanaman.
f. Operasional pemeliharaan kebun HPT.
g. Operasional pemanenan HPT.
2. Pengembangan Padang Penggembalaan Baru
Anggaran dapat dimanfaatkan untuk pengadaan, pembangunan atau
kegiatan sebagaimana di bawah ini dan harus disesuaikan dengan
dokumen SID:
- 25 -
25
a. Rapat koordinasi antara pusat dengan daerah Provinsi, Kabupaten dan
kelompok, dilaksanakan 2-3 kali sesuai ketersediaan dana. Tujuan
rakor adalah untuk memastikan kegiatan berjalan sesuai dengan
rencana dan jadwal yang disepakati.
b. Peningkatan kapasitas peternak dalam pengelolaan padang
penggembalaan melalui pelatihan atau magang di BPTU–HPT Padang
Mangatas Sumatera Barat atau BPTU-HPT Sembawa Sumatera Selatan.
c. Pembangunan gedung Unit Pengelola Kawasan (UPK) pada lokasi yang
disepakati oleh kelompok yang nantinya akan dikelola oleh manajemen
pengelola kawasan.
d. Pengadaan bibit/benih HPT dan pupuk (organik dan/atau kimia).
e. Pengadaan pakan suplemen (terutama sebagai sumber mineral
mikro/UMMB).
f. Pembangunan gudang pakan dan/atau gudang peralatan.
g. Pembuatan sumber air (embung, sumur dalam) dan tata kelola air.
h. Pengadaan sarana untuk pengolahan lahan, pemeliharaan padang
penggembalaan dan kebun HPT.
i. Pembuatan pagar luar dan pagar dalam antar paddock.
j. Pembuatan shelter/naungan.
k. Pembangunan handling yard, gangway dan/atau dipping.
l. Operasional pemupukan, penanaman rumput/leguminosa dan
pemeliharaan padang penggembalaan dan kebun HPT.
3. Pemeliharaan Padang Penggembalaan
Anggaran dapat dimanfaatkan untuk:
a. Pengadaan bibit/benih HPT (rumput/leguminosa) untuk penyisipan/
penyulaman padang penggembalaan. Jenis HPT disesuaikan dengan
situasi kondisi lokasi kelompok (lahan, iklim, ketersediaan air) dan
lokasi penyedia (sumber) bibit HPT.
b. Bibit pohon leguminosa untuk penguatan pagar luar/pagar dalam yang
juga berfungsi sebagai sumber hijauan pakan.
c. Pengadaan pupuk (organik dan/atau kimia), kapur dan dolomite
d. Pengadaan herbisida untuk pemberantasan gulma
- 26 -
26
e. Perbaikan pagar luar dan/atau perbaikan pagar dalam.
f. Perbaikan sarana tata kelola air.
g. Perbaikan gedung UPK dan bangunan lain yang terkait.
h. Peningkatan kapasitas SDM kelompok (pelatihan, magang)
i. Operasional kegiatan penyisipan/penyulaman, pemeliharaan dan
perbaikan HPT di area padang penggembalaan.
j. Operasional pemberantasan gulma.
k. Operasional kelompok untuk memperkuat kelembagaan.
4. Alat dan Mesin Pencacah Hijauan Pakan Ternak
Anggaran dimanfaatkan untuk pengadaan alsin pencacah rumput
(chopper) atau pencacah pelepah kelapa sawit (shredder) di 5 (lima) provinsi
yaitu:
a. Jawa Tengah;
b. Kalimantan Tengah;
c. Nusa Tenggara Barat;
d. Sulawesi Tenggara; dan
e. Gorontalo.
5. Operasional Kegiatan Pakan
a. Sosialisasi kegiatan;
b. Pendampingan dan pemantauan kegiatan; dan
c. Pelaporan.
F. Tahap Pelaksanaan Kegiatan
1. Persiapan kegiatan penguatan pakan:
a. Perencanaan anggaran APBN Tahun 2018.
b. Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Penguatan Pakan Tahun 2018.
c. Sosialisasi kebijakan, program, dan kegiatan.
2. Pelaksanaan Kegiatan
a. Penanaman dan Pengembangan Pakan Berkualitas (Gerbangpatas)
1) Penetapan lokasi dan kelompok penerima kegiatan diupayakan
telah dilakukan pada awal Tahun 2018.
- 27 -
27
2) Proses pengadaan barang dan jasa dilakukan sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.
3) Tim Provinsi berkoordinasi dengan PPK untuk proses pengadaan
bibit HPT dan agroinput pakan lainnya.
4) Pelaksanaan kegiatan di lapangan (pengolahan lahan,
penanaman) harus bekerjasama dengan kelompok penerima
(padat karya).
5) Pendistribusian bibit HPT dan agroinput pakan lainnya diatur
dalam Juklak/Juknis.
6) Penanaman HPT sesuai dengan tatacara budidaya HPT
sebagaimana tercantum pada Format 7.
7) Pendampingan dan pemantauan kegiatan oleh Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota.
8) Pemeliharaan berkelanjutan melalui dukungan APBD/swadaya
kelompok.
b. Pengembangan Padang Penggembalaan Baru
1) Sebelum pelaksanaan kegiatan dan proses pengadaan barang dan
jasa, maka lokasi lahan harus sudah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah atau Surat Keputusan Bupati/Walikota dan
sudah tersedia dokumen hasil Survey Identification and Design
(SID). Apabila kedua prasyarat belum tersedia, maka wajib
dipenuhi terlebih dahulu.
2) Penetapan kelompok penerima kegiatan Pengembangan Padang
Penggembalaan diupayakan dilakukan pada awal Tahun 2018.
3) Tim Provinsi berkoordinasi dengan PPK untuk proses pengadaan
sarana dan prasarana serta agroinput pakan lainnya. Pengadaan
dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Pengadaan dapat dilaksanakan melalui e-catalog jika telah
tersedia.
4) Pelaksanaan Rakor-1 pada awal Tahun 2018 (Januari/Februari)
bertempat di Provinsi dengan peserta dari Direktorat Pakan, Ahli
Pakan, Dinas Provinsi, Dinas Kabupaten, kelompok penerima
- 28 -
28
kegiatan dan pihak terkait lainnya. Sebelum Rakor-1
dilaksanakan, harus dipastikan bahwa rancangan kegiatan dalam
dokumen SID dan ketersediaan anggaran dalam DIPA sudah
sesuai, apabila belum sesuai maka harus dilakukan harmonisasi
terlebih dahulu.
Tujuan Rakor-1:
a) Mensosialisasikan kebijakan, program dan kegiatan
pengembangan padang penggembalaan tahun 2018.
b) Pemaparan hasil SID dan harmonisasi dengan ketersediaan
anggaran sesuai DIPA.
c) Membuat jadwal pelaksanaan kegiatan (persiapan, penetapan
kelompok, jadwal pelaksanaan Rakor, pengadaan barang jasa,
pembangunan fisik, pendampingan dan pemantauan).
5) Pelaksanaan pekerjaan fisik di lokasi padang penggembalaan
yang disesuaikan dengan hasil SID dan Detail Engienering Design
(DED), misalnya pembuatan pagar luar, pembuatan pagar dalam,
pembangunan shelter, pembuatan tatakelola air dan sumber air,
pembangunan kebun HPT, perbaikan kualitas padang
penggembalaan (pembersihan lahan, pengolahan lahan,
pemupukan, penanaman HPT, pemeliharaan secara rutin),
pembangunan unit pengelola kawasan (UPK), pembangunan
gudang pakan dan/atau gudang peralatan, pembuatan sarana
biosecurity/deeping, pintu masuk, dll.
6) Pendampingan dan pemantauan kegiatan oleh Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota dilakukan secara rutin dan terkoordinasi.
7) Rakor-2 diharapkan dapat dilaksanakan pada bulan
Agustus/September 2018 setelah ada kegiatan fisik di lapangan.
Rakor-2 dilaksanakan di Kabupaten lokasi padang
penggembalaan dengan peserta dari Direktorat Pakan, Ahli
Pakan, Dinas Provinsi, Kabupaten serta melibatkan kelompok
penerima.
Tujuan Rakor-2:
- 29 -
29
a) Melakukan pengecekan kegiatan operasional di lokasi dan
melihat kendala yang ada, baik dalam proses pengadaan
barang dan jasa yang masih berlangsung atau kendala fisik
dalam pelaksanaan di lapangan.
b) Ekspose hasil kegiatan yang sudah dilaksanakan sampai saat
Rakor-2 dilakukan, kepada seluruh pihak terkait oleh Satker
Provinsi.
c) Mendiskusikan hasil pengecekan lapang dan mencari solusi
untuk percepatan kegiatan.
8) Pendampingan dan pemantauan terus dilakukan sampai akhir
tahun, untuk memastikan bahwa kegiatan pembangunan sarana
fisik dan penanaman HPT sudah selesai dilaksanakan dengan
baik.
9) Tim Teknis Provinsi berkewajiban membuat laporan
perkembangan kegiatan.
c. Pemeliharaan Padang Penggembalaan
1) Tim Provinsi memastikan kegiatan perbaikan apa saja yang
dibutuhkan untuk pemeliharaan dan perawatan padang
penggembalaan yang telah dibangun pada tahun sebelumnya dan
kemudian melakukan penyesuaian anggaran dalam RKAKL.
Anggaran dapat dimanfaatkan sebagaimana telah disebutkan di
atas.
2) Tim Provinsi berkoordinasi dengan PPK untuk proses pengadaan
sarana dan prasarana dan agroinput pakan lainnya. Pengadaan
dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Pengadaan dilaksanakan melalui e-catalog jika telah tersedia.
3) Pelaksanaan pekerjaan fisik perbaikan atau pemeliharaan di
lokasi padang penggembalaan, misalnya perbaikan (pagar luar,
pagar dalam, shelter, tatakelola air), pemeliharaan kebun HPT
(pembersihan gulma, pemupukan, penanaman ulang HPT,
pemeliharaan secara rutin).
- 30 -
30
4) Pendampingan dan pemantauan kegiatan oleh Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota
5) Pemeliharaan berkelanjutan agar dapat terus dilakukan secara
swadaya oleh kelompok atau masyarakat lain yang turut
memanfaatkan keberadaan padang penggembalaan, agar daya
dukung lahan tetap dapat dipertahankan dan ditingkatkan.
6) Tim Teknis Provinsi berkewajiban membuat laporan
perkembangan kegiatan.
G. Pendampingan
1. Pendampingan pada tahun berjalan dilaksanakan secara terkoordinasi
antar instansi oleh tim pusat dan tim daerah terhadap pelaksanaan
kegiatan sesuai indikator yang telah ditetapkan.
2. Pengawasan langsung maupun tidak langsung harus dilakukan oleh Dinas
Peternakan yang melaksanakan fungsi peternakan di daerah.
3. Hasil pencapaian indikator kegiatan agar dianalisa dan dievaluasi
menggunakan indikator yang telah ditetapkan dan dilaporkan
sebagaimana Format 10.
4. Evaluasi pada akhir pelaksanaan program dijadikan sebagai bahan
pertimbangan untuk penentuan program selanjutnya.
Tabel terkait Pemenuhan Hijauan Pakan Ternak Tercantum dalam iSIKHNAS,
sebagai berikut:
1. Laporan Hijauan Pakan Ternak Root 137
2. Laporan Produksi Hijauan Pakan Ternak Root 390
3. Laporan Stok Bibit Hijauan Per Propinsi Root 441
- 31 -
31
BAB V
PENANGGULANGAN GANGGUAN REPRODUKSI
A. Mekanisme Kerja
1. Identifikasi Status Reproduksi Akseptor
Identifikasi ternak yang mengalami gangguan reproduksi (gangrep)
dilakukan melalui 2 (dua) cara berdasarkan:
a. Surveillans aktif gangguan reproduksi
Surveillans aktif dilakukan terhadap sapi betina produktif yang
memperlihatkan kriteria gangguan reproduksi. Pemeriksaan
bertujuan untuk menentukan status reproduksinya dan status
kesehatan ternak khususnya terhadap ada tidaknya infeksi penyakit
terutama Brucellosis.
Pemeriksaan status reproduksi dilakukan dengan cara:
a) Inspeksi melalui Body Condition Score dan Status praesens
(Present status);
b) Palpasi per rektum dan per vagina;
c) Sonologi dengan menggunakan alat ultrasonografi (bila tersedia);
d) Laboratoris dengan pengambilan dan pemeriksaan sampel darah,
feses; dan
e) Lendir vagina (discharge vagina).
Penentuan diagnosa dilakukan oleh Dokter Hewan sesuai dengan
hasil pemeriksaan fungsi organ reproduksi.
b. Surveillans Pasif
a) Gejala Klinis berdasarkan anamnese peternak atau inseminator
Kegiatan surveillans ini dilaksanakan sebagai seleksi awal atau
sebagai dasar untuk penanggulangan gangguan reproduksi yang
diperoleh berdasarkan pengumpulan informasi dari peternak atau
inseminator. Kriteria ternak yang akan dijadikan sebagai target
penanggulangan gangguan reproduksi adalah:
1) Setelah 14 hari melahirkan
2) Ada discharge abnormal
- 32 -
32
3) Ada siklus estrus abnormal
4) Estrus tidak teramati setelah 50 hari melahirkan
5) Dikawinkan 3 kali tidak bunting
6) Sapi yang bunting lebih dari 280 hari
7) Sapi yang mengalami abortus, prematur atau lahir mati
b) Laporan daftar akseptor yang telah 2 atau 3 (dua atau tiga) kali di
IB dan tidak bunting berdasarkan data iSIKHNAS. Kegiatan ini
dilaksanakan oleh Tim penanggulangan gangguan reproduksi
Balai Veteriner (BBVet/BVet) dengan melakukan pengelolaan data
(identifikasi dan analisa) serta berkoordinasi dengan wilayah
kerjanya. Seperti tergambar pada skema oprasional tim kerja
gangguan reproduksi serta tahapan pelaksanaannya pada Format
11 dan Format 12.
2. Pemeriksaan dan Penetapan status reproduksi.
Pemeriksaan dalam rangka penetapan status reproduksi ternak sapi
dan kerbau dilakukan dengan cara palpasi rectal dan/atau
menggunakan alat ultrasonografi yang dilakukan oleh Petugas ATR
dan/atau Dokter Hewan. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut,
status reproduksi sapi atau kerbau akan dilakukan penetapan status
reproduksi, yaitu:
a. Bunting;
b. Tidak bunting dengan status reproduksi normal;
c. Tidak bunting dengan status mengalami gangrep;
d. Tidak bunting dengan status mengalami gangrep permanen.
B. Penanggulangan Gangguan Reproduksi
1. Terapi
Ternak yang telah ditetapkan status reproduksinya dan mengalami
gangguan reproduksi akan diterapi dengan perlakuan dan pengobatan,
proses kesembuhan bervariasi tergantung permasalahan reproduksinya
sehingga memerlukan terapi 2-3 kali tergantung ketersediaan anggaran.
- 33 -
33
Selanjutnya sapi yang telah dilakukan tindakan perbaikan atau terapi
dan dinyatakan sembuh dijadikan sebagai akseptor IB.
2. Pemeriksaan Ulang Gangguan Reproduksi
Sapi yang tidak sembuh pada terapi pertama dilakukan pemeriksaan dan
terapi kedua.
Sapi yang dinyatakan sembuh melalui pemeriksaan kedua tersebut
dijadikan sebagai akseptor IB. Sementara Sapi yang tidak sembuh pada
terapi kedua, selanjutnya dpat dilakukan pemeriksaan dan terapi ketiga
tergantung kepada ketersediaan anggaran di masing-masing satker. Sapi
yang dinyatakan sembuh melalui pemeriksaan ketiga tersebut dijadikan
sebagai akseptor IB. Sementara sapi yang tidak sembuh dinyatakan
sebagai sapi tidak produktif atau mengalamai gangguan reproduksi
permanen.
3. Tindak lanjut terhadap sapi yang dinyatakan sembuh
Sapi yang telah dinyatakan sembuh dan siap menjadi akseptor dilaporkan
kepada petugas yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan IB.
Petugas penanggulangan gangguan reproduksi yang bertanggung jawab di
lokasi tersebut memonitor tentang realisasi pelaksanaan IB.
Tindakan penanggulangan gangguan reproduksi dijadikan sebagai dasar dalam
penentuan ternak yang dapat disembuhkan (fausta) atau tidak dapat
disembuhkan (infausta). Keberhasilan penanggulangan gangguan reproduksi
dinyatakan berhasil apabila kondisi ternak menunjukkan gejala estrus.
Setiap sapi/kerbau yang diberikan penanggulangan gangguan reproduksi dan
belum memiliki Nomor Kartu Ternak yang dikeluarkan iSIKHNAS, harus
diberikan:
1) ear tag atau neck tag;
2) Nomor Kartu Ternak yang didaftarkan melalui iSIKHNAS;
C. Tim Pelaksana Gangrep
1. Penetapan Tim Terpadu Pelaksana Penanggulangan gangguan reproduksi.
- 34 -
34
Tim terpadu pelaksana penanggulangan gangguan reproduksi dilakukan
dengan mengoptimalkan petugas dari BBVet/BVet, Pusat Kesehatan
Hewan (Puskeswan) dan Tenaga Harian Lepas (THL) Dokter Hewan dan
Paramedik Veteriner. Penetapan tim berdasarkan pemetaan SDM,
mobilisasi sumberdaya kesehatan hewan dan kompetensi petugas
BBVet/BVet dan puskeswan.
2. Kompetensi petugas Puskeswan.
Keberhasilan penanganan gangrep tidak terlepas dari kompetensi dan
komitmen para petugas pelaksana lapangan. Peningkatan kompetensi
petugas puskeswan dilakukan melalui bimbingan teknis atau refresher
penanganan Gangrep.
D. Manajemen Operasional
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan dibentuk Tim Terpadu di
masing-masing Satker yang meliputi unsur sebagai berikut :
1. Administratif.
2. Operasional Teknis.
3. Penyediaan bahan, peralatan dan obat-obatan.
4. Biaya operasional.
E. Operasional Kegiatan
Kegiatan Penanggulangan gangguan reproduksi Ternak Sapi dan Kerbau
dilaksanakan melalui 2 (dua) tahapan yaitu persiapan dan pelaksanaan,
yaitu:
1. Tahap Persiapan
a. Sosialisasi Kegiatan.
b. Pembentukan Tim Terpadu.
c. Penentuan wilayah sasaran.
d. Menentukan jadwal pelaksanaan kegiatan.
e. Pengadaan Barang.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Penentuan diagnosa status reproduksi ternak.
- 35 -
35
b. Penentuan diagnosa status reproduksi ternak dilakukan oleh tim
terpadu.
c. Analisis hasil pemeriksaan
d. Apabila ditemukan adanya gangguan reproduksi pada ternak, petugas
medik reproduksi memeriksa jenis gangguan reproduksi yang dialami
oleh ternak tersebut. Klasifikasi gangguan reproduksi sebagaimana
tercantum dalam Format.36
e. Perlakuan/Treatment
Ternak dengan diagnosa gangguan reproduksi non permanen
dilakukan penanggulangan gangguan reproduksi 2-3 kali penanganan
sesuai dengan ketersediaan anggaran.
f. Pendataan Hasil
Data hasil kegiatan penanggulangan gangguan reproduksi selain
sebagai dasar pengukuran kinerja juga sebagai dasar perencanaan
dan pengambilan kebijakan selanjutnya.
Tabel terkait Penanggulangan Gangguan Reproduksi sebagaimana tercantum
dalam iSIKHNAS, sebagai berikut:
Laporan riwayat Gangguan Reproduksi Root 450
- 36 -
36
BAB VI
PENGENDALIAN PEMOTONGAN BETINA PRODUKTIF
A. Mekanisme kegiatan pengendalian betina produktif
Mekanisme kegiatan pengendalian betina produktif berupa kegiatan
pembinaan, pengawasan dan penindakan dilaksanakan oleh Tim Terpadu
yang terdiri dari berbagai unsur. Mekanisme pelaksanaan pengendalian
pemotongan betina produktif seperti tercantum pada Format 13.
1. Pembinaan
Kegiatan pembinaan berupa sosialisasi yang dilakukan melalui
pertemuan dan pendampingan/sambang di RPH, pasar hewan, check
point, kelompok peternak, dan pengumpul ternak (Jagal).
2. Pengawasan dan Penindakan
Kegiatan pengawasan dan penindakan pelanggaran pemotongan betina
produktif dilakukan di RPH.
B. Lokasi Kegiatan
Pelaksanaan kegiatan pengendalian betina produktif tahun 2018
dilaksanakan di 17 provinsi dengan target (41 kabupaten/kota). Lokasi target
merupakan provinsi yang sama dengan tahun 2017 dan ditambah 1 lokasi
(kab/kota) baru dengan pemotongan betina produktif tinggi, sebagaimana
tercantum pada Format 14. Sedangkan untuk lokasi non target kegiatan
dilaksanakan di 16 provinsi.
C. Pelaksanaan Kegiatan
1. Sosialisasi Pengendalian Pemotongan Betina Produktif
Sosialisasi pengendalian pemotongan betina produktif ditujukan bagi
provinsi/kabupaten/kota lokasi target. Kegiatan ini terdiri dari:
a. Sosialisasi Pengendalian Betina Produktif Tingkat Pusat
- 37 -
37
Sosialisasi pengendalian betina produktif tingkat pusat dilaksanakan
dalam bentuk pertemuan dengan mengundang 33 provinsi.
Tujuan kegiatan ini untuk sosialisasi kegiatan pengendalian
pemotongan betina produktif tahun 2018 dan menyamakan persepsi
untuk pelaksanaan kegiatan pengendalian pemotongan betina
produkif. Peserta antara lain terdiri dari Sekretariat dan Direktorat
lingkup Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Baharkam Polri, Dinas yang melaksanakan fungsi Kesmavet di
Provinsi, dan Direktorat Pembinaan Masyarakat Polda.Narasumber
berasal dari Baharkam Polri dan Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan.Kegiatan sosialisasi dilaksanakan pada awal tahun
2018.
b. Sosialisasi Pengendalian Betina Produktif di Provinsi Non Target
Kegiatan ini dilaksanakan di 16 provinsi yang bukan merupakan
lokasi target pengendalian betina produktif. Hal ini dilakukan dalam
rangka mensosialisasikan kegiatan pengendalian betina produktif di
provinsi/kabupaten/kota non target. Kegiatan dilaksanakan dalam
bentuk pertemuan yang melibatkan Dinas Provinsi/kabupaten/kota
yang melaksanakan fungsi kesehatan masyarakat veteriner, Rumah
Potong Hewan Ruminansia (RPH-R), unsur Kepolisian (Polda, Polres),
asosiasi jagal/pelaku usaha, dan masyarakat. Narasumber berasal
dari Baharkam Polri dan Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan. Provinsi non target terdiri dari Banten, Banda
Aceh, Bangka Belitung, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Lampung,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara,
Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Timur,
Papua, dan Papua Barat. Periode pelaksanaan kegiatan ini pada awal
tahun 2018.
c. Sosialisasi dan Advokasi Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota
Lokasi Target.
- 38 -
38
Kegiatan sosialisasi dan advokasi dilaksanakan di provinsi dan
kabupaten/kota lokasi target. Kegiatan berupa pertemuan dengan
melibatkan stakeholders. Tujuan dari kegiatan ini untuk
mensosialisasikan aturan dan kebijakan pelaksanaan pengendalian
betina produktif tahun 2018 serta perkembangan kegiatan
pengendalian betina produktif ditiap provinsi/kabupaten/ kota
lokasi target. Kegiatan sosialisasi juga dapat dilakukan di
kabupaten/kota penyangga yang disesuaikan dengan ketersediaan
anggaran. Dalam kegiatan ini pihak provinsi bersama
kabupaten/kota membuat rencana kerja pelaksanaan pengendalian
betina produktif.
1) Sosialisasi dan Advokasi di tingkat Provinsi
Peserta : Dinas yang melaksanakan fungsi Kesmavet di
Kabupaten/Kota, Unsur Kepolisian (Polda,
Polres), DPRD, Bappeda, Satpol PP, Dinas
Pendapatan Daerah, Tokoh Agama/
Masyarakat, RPH di Kabupaten/Kota, Asosiasi
Jagal/pelaku usaha, dan stakeholders lainnya.
Narasumber : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan dan Baharkam Polri
Waktu : Awal tahun 2018
2) Sosialisasi dan Advokasi di tingkat Kabupaten/Kota
Peserta : Dinas kabupaten/kota, DPRD, Bappeda,
Satpol PP, Dinas Pendapatan Daerah, RPH,
unsur kepolisian (Polres, Polsek,
Bhabinkamtibmas), jagal, tokoh
agama/masyarakat, asosiasi jagal, dan
pelaku usaha lainnya.
Narasumber : Dinas Provinsi yang melaksanakan fungsi
Kesmavet dan Polda.
- 39 -
39
Waktu : Awal tahun 2018
2. Pengawasan Pemotongan Betina Produktif
Kegiatan pengawasan pemotongan betina produktif di RPH oleh
petugas Antemortem-Postmortem (AM-PM) meliputi: (i) pemeriksaan
dokumen, (ii) pemeriksaan AM (termasuk status reproduksi) dan PM.
Bila ditemukan betina produktif maka diterbitkan berita Acara
penolakan pemotongan terhadap ternak betina produktif tersebut
sebagaimana tercantum pada Format 15 dan untuk dokumen
pemeriksaan AM-PM dan status reproduksi pada Format 16.
Mekanisme Pengawasan Pemotongan Betina Produktif meliputi :
a. Pendampingan/Sambang
b. Pengawasan dan Penindakan
Terhadap pelanggaran pemotongan betina produktif akan dilakukan
penindakan berupa pemberian sanksi dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dengan tujuan memberikan efek
jera terhadap pelaku. Proses penindakan melalui tahapan: (i) teguran
lisan; (ii) peringatan tertulis; (iii) penghentian sementara ijin
pemotongan; (iv) pencabutan ijin usaha pemotongan; (v) pengenaan
denda; dan (vi) sanksi pidana.
3. Evaluasi Pengendalian Betina Produktif
Kegiatan evaluasi dengan melibatkan kabupaten/kota yang menjadi
lokasi target dan kabupaten/kota setempat. Evaluasi dimaksudkan
dalam rangka meningkatkan kinerja pengendalian betina produktif
sebagai salah satu rangkaian kegiatan upsus siwab.
4. Pelaporan
Pelaporan pengendalian pemotongan betina produktif dilakukan melalui
sistim iSIKHNAS sesuai Format yang tersedia.
Tabel terkait Pengendalian Pemotongan Betina Produktif sebagaimana tercantum
dalam iSIKHNAS, sebagai berikut:
Laporan Pemotongan Ternak Root 379
- 40 -
40
BAB VII
TATA CARA PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN
A. Ketentuan Pembayaran Biaya Operasional
Besaran biaya operasional untuk kegiatan:
1. Inseminasi Buatan sebesar Rp. 50.000,- per pelayanan dan maksimal 3
kali IB dengan memperhatikan ketersediaan anggaran sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Pemeriksaan Kebuntingan (PKb) sebesar Rp. 30.000,- per pelayanan
dengan memperhatikan ketersediaan anggaran sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
3. Pelaporan kelahiran sebesar Rp. 5.000,- per kelahiran dengan
memperhatikan ketersediaan anggaran sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
4. Honor data recorder adalah Rp. 400.000,- per bulan diberikan kepada
petugas data reorder yang ditunjuk di Kabupaten/Kota dan Provinsi.
5. Penanggulangan Gangguan Reproduksi pada ternak yang sama
dilakukan 2 – 3 kali dengan besaran biaya disesuaikan dengan
ketersediaan anggaran.
Untuk daerah yang menyediakan biaya operasional melalui Anggaran APBD
Provinsi/Kabupaten/Kota agar dapat mensinergikan dengan biaya
operasional yang telah tersedia sebagai komponen subsidi operasional
pelaksanaan kegiatan yang dituangkan dalam Petunjuk Pelaksanaan
(Juklak) atau Petunjuk Teknis (Juknis).
B. Syarat-syarat Pertanggungjawaban
1. Kegiatan Inseminasi Buatan (IB)
Syarat pembayaran operasional adalah:
a. Rincian laporan pelaksanaan IB yang merupakan hasil print out dari
iSIKHNAS ditandatangani oleh petugas bersangkutan, verifikator dan
Pejabat Dinas Kabupaten/Kota sesuai Format 17.
b. Rekap pelaksanaan kegiatan IB pada huruf a ditandatangani oleh
Bendahara Pembantu Pengeluaran (BPP) atau Petugas yang ditunjuk,
- 41 -
41
Pejabat Dinas Kabupaten/Kota dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Provinsi sesuai Format 18.
c. Kuitansi sebagaimana tercantum pada Format 19.
2. Pemeriksaan Kebuntingan (PKb)
Syarat pembayaran operasional adalah:
a. Rincian laporan pelaksanaan PKb yang merupakan hasil print out
dari iSIKHNAS ditandatangani oleh petugas bersangkutan, verifikator
dan Pejabat Dinas Kabupaten/Kota sesuai Format 20.
b. Rekap pelaksanaan kegiatan PKb pada huruf a ditandatangani oleh
Bendahara Pembantu Pengeluaran (BPP) atau Petugas yang ditunjuk,
Pejabat Dinas Kabupaten/Kota dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Provinsi. Tercantum pada Format 21.
c. Kuitansi sebagaimana tercantum pada Format 22.
3. Pelaporan Kelahiran Ternak
Syarat pembayaran operasional adalah:
a. Rincian laporan kelahiran yang merupakan hasil print out dari
iSIKHNAS ditandatangani oleh petugas bersangkutan, verifikator dan
Pejabat Dinas Kabupaten/Kota sesuai Format 23
b. Rekap laporan kelahiran pada huruf a ditandatangani oleh
Bendahara Pembantu Pengeluaran (BPP) atau Petugas yang ditunjuk,
Pejabat Dinas Kabupaten/Kota dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Provinsi sesuai Format 24.
c. Kuitansi sebagaimana tercantum pada Format 25.
4. Penanggulangan Gangguan Reproduksi
Untuk pelaksanaan Gangguan Reproduksi akan dituangkan lebih lanjut
dalam Petunjuk Teknis yang diterbitkan oleh Unit Kerja Pelaksana
kegiatan.
Syarat pembayaran operasional adalah:
a. Laporan pelaksanaan kegiatan pada iSIKHNAS.
- 42 -
42
Data tersebut ditandatangani oleh petugas gangrep Dinas
Kabupaten/Kota setempat dan diketahui oleh koordinator gangrep.
b. Rekap pelaksanaan kegiatan
c. Kuitansi
C. Mekanisme Pembayaran
1. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dapat membentuk:
a. Kelompok Kerja (Pokja) Upsus Siwab Kabupaten/Kota dengan
Penanggungjawab Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
Tugas Pokja terkait dengan mekanisme pembayaran biaya
operasional adalah melakukan verifikasi data IB, PKB, dan ATR yang
telah dilaporkan ke iSIKHNAS dengan petugas lapangan sebelum
dicetak untuk diajukan pembayaraan.
b. Bendahara Pembantu Pengeluaran/petugas yang ditunjuk.
Bendahara Pembantu Pengeluaran/Petugas yang ditunjuk oleh
Kepala Dinas Kabupaten/kota bertugas antara lain:
1). Membuat rekap usulan pembayaran operasional IB, PKb, dan
pelaporan kelahiran yang diusulkan masing masing petugas,
selanjutnya ditandatangani dan diusulkan kepada Pejabat
Pembuat Komitmen Provinsi.
2). Membuat kuitansi pembayaran sejumlah anggaran pada masing-
masing rekap, untuk selanjutnya disampaikan ke Pejabat
Pembuat Komitmen Provinsi.
3). Menerima biaya operasional dari bendahara pengeluaran dan
membayarkan kepada petugas melalui transfer bank (non tunai)
atau tunai.
4). Menatausahakan dan mendokumentasikan arsip dokumen
pertanggungjawaban pembayaran biaya operasional.
5). Dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab kepada
Bendahara Pengeluaran, PPK dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
2. Proses pengajuan pembayaran:
- 43 -
43
a. Petugas melaporkan pelaksanaan kegiatan UPSUS SIWAB ke
iSIKHNAS
b. Rekonsiliasi data iSIKHNAS antara Petugas dengan Pokja
Kabupaten/Kota.
c. Pembuatan laporan pelaksanaan kegiatan dalam kurun waktu
tertentu, ditandatangani petugas, Pokja Kabupaten/Kota, dan Kepala
Dinas.
d. BPP/petugas yang ditunjuk membuat rekapitulasi pembayaran
operasional dan kuitansi pembayaran, ditandatangani oleh
BPP/petugas yang ditunjuk, Pokja Kab/Kota, selanjutnya diusulkan
ke PPK Provinsi.
e. PPK dan Bendahara Pengeluaran melakukan koreksi aritmatik
terhadap rekap usulan BPP/petugas yang ditunjuk, dan
menandatanganinya setelah dinyatakan benar.
f. PPK menyiapkan dokumen pendukung yang lengkap dan benar, serta
menandatangani, selanjutnya:
1). Menyampaikan Surat Perintah Pembayaran (SPP) kepada Pejabat
Penandatangan Surat Perintah Membayar (PP-SPM) untuk
pengajuan pembayaran Langsung (LS) ke Kantor pelayanan
Perbendaharaan Negara (KPPN) melalui rekening bendahara
pengeluaran dan diteruskan kepada BPP/petugas yang ditunjuk
untuk diserahkan kepada penerima; atau
2). Memerintahkan bendahara pengeluaran untuk melakukan
pembayaran melalui UP/TUP kepada BPP/petugas yang ditunjuk
untuk diserahkan kepada penerima. Selanjutnya PPK
menyampaikan SPP kepada PP-SPM untuk pengajuan SPM Nihil
ke KPPN.
g. BPP/petugas yang ditunjuk melaporkan bukti pembayaran BOP IB,
PKb, dan pelaporan kelahiran kepada Bendahara Pengeluaran.
- 44 -
44
3. Untuk menunjang kelancaran pelaksanaan kegiatan Pokja Kab/Kota
disediakan operasional yang meliputi koordinasi, pembinaan,
administrasi kegiatan, dan perjalanan dinas.
D. Kewajiban Pajak
1. Biaya operasional IB, PKb, dan pelaporan kelahiran merupakan biaya
operasional atas prestasi kerja untuk melaksanakan pelayanan IB, PKb,
dan pelaporan kelahiran dengan menggunakan akun Belanja Barang Non
Operasional Lainnya (521219) dikenakan PPh sebesar 15% untuk PNS
golongan IV, 5 % untuk PNS golongan III dan 0% untuk PNS golongan I
dan II. Untuk petugas Non PNS dikenakan tarif PPh sebesar 5% untuk
yang memiliki NPWP dan 6% untuk yang tidak memiliki NPWP sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Bendahara pengeluaran berkewajiban untuk memotong pajak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
E. Pakta Integritas
Dalam rangka efektifitas dan ketertiban pelaksanaan UPSUS SIWAB
dilakukan penandatanganan pakta Integritas oleh Kepala Dinas Provinsi,
PPK, Bendahara, Kepala Dinas Kabupaten/Kota dan Petugas Teknis
Reproduksi yang ditetapkan menandatangani pakta integritas sekali dalam
setahun.
F. Pencairan Dana
Prosedur pencairan dana untuk pembayaran honor dalam kegiatan
operasional UPSUS SIWAB ini dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu
pembayaran melalui uang persediaan (UP), tambahan uang persediaan (TUP)
dan pembayaran langsung (LS).
1. Pembayaran melalui UP
- 45 -
45
Uang Persediaan atau UP adalah uang muka kerja dalam jumlah
tertentu yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk
membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satker atau membiayai
pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan
melalui mekanisme pembayaran langsung.
2. Pembayaran melalui TUP
Tambahan Uang Persediaan atau TUP adalah uang muka yang
diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk kebutuhan yang
sangat mendesak dalam 1 (satu) bulan melebihi pagu UP yang telah
ditetapkan.
3. Pembayaran melalui LS
Pembayaran Langsung atau Pembayaran LS adalah pembayaran yang
dilakukan langsung kepada Bendahara Pengeluaran/penerima hak
lainnya atas dasar perjanjian kerja, surat keputusan, surat tugas atau
surat perintah kerja lainnya melalui penerbitan Surat Perintah
Membayar Langsung. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan bahwa pembayaran biaya operasional mengikuti tahun
anggaran yang berlaku dan tidak bisa dibayarkan menggunakan
anggaran akan datang maka seyogyanya penyusunan SPJ pembayaran
biaya operasional tersebut jangan sampai melampaui tahun anggaran
yang berlaku.
BAB VIII
PENGENDALIAN INTERNAL, MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN
A. Pengendalian Internal
Upsus Siwab merupakan kegiatan strategis yang harus berjalan efisien,
efektif dan tertib. Untuk mencapai hal tersebut perlu disusun dokumen
sistem pengendalian internal (SPI) Upsus Siwab yang memuat identifikasi
resiko, analisa resiko, rencana pengendalian resiko, informasi dan
komunikasi serta rencana pemantauan pengendalian resiko.
- 46 -
46
Sasaran dari penerapan pengendalian internal pada kegiatan Upsus Siwab
adalah untuk memberikan keyakinan memadai bagi tercapainya : target dan
sasaran kegiatan Upsus Siwab, pelaporan keuangan Upsus Siwab yang
handal, penata laksanaan aset kegiatan Upsus Siwab yang tertib, ketaatan
pelaksanaan Upsus Siwab sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pimpinan Satuan Kerja sebagai penanggungjawab kegiatan beserta seluruh
jajaran harus menyusun dokumen pengendalian intern terhadap setiap
tahapan kegiatan Upsus Siwab agar dapat berjalan dengan lancar dan
mencapai tujuan.
Hasil identifikasi resiko kegiatan UPSUS SIWAB sebagai berikut :
1. Pelaksanaan kegiatan IB sebagaimana tercantum pada Format 26.
2. Penyediaan dan Distribusi Semen Beku, N2 Cair dan Kontainer.
Tabel Penyediaan dan Distribusi Semen Beku, N2 Cair dan kontainer
sebagaimana tercantum pada Format 27.
3. Pakan
a. Tabel Identifikasi risiko kegiatan Gerbang Patas sebagaimana tercantum
pada Format 28.
b. Tabel Identifikasi risiko kegiatan pengembangan Padang pengembalaan
sebagaimana tercantum pada Format 29.
c. Tabel Identifikasi risiko kegiatan pemeliharaan padang pengembalaan
sebagaimana tercantum pada Format 30.
4. Penanggulangan gangguan reproduksi
Tabel Identifikasi Risiko Penanggulangan gangguan reproduksi
sebagaimana tercantum pada Format 31.
5. Pengendalian Pemotongan Betina Produktif
Tabel Identifikasi Risiko Pemotongan Betina Produktif sebagaimana
tercantum pada Format 32.
B. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan Upsus Siwab
dilakukan secara reguler oleh tim pelaksana administrasi.
- 47 -
47
Monitoring dan evaluasi secara periodik dan/atau sewaktu-waktu sesuai
dengan perkembangan pelaksanaan di lapangan dilakukan oleh tim
pelaksana operasional teknis, sehingga perkembangan kegiatan akan terus
termonitor.
Evaluasi pelaksanaan kegiatan dimaksudkan untuk mengetahui secara
akurat realisasi kegiatan serta mengetahui kendala yang dihadapi dalam
pelaksanaan kegiatan. Hasil evaluasi diformulasikan dalam bentuk laporan,
merupakan data dan informasi untuk bahan koreksi pelaksanaan kegiatan,
dan untuk perbaikan kegiatan di masa yang akan datang.
C. Pelaporan UPSUS SIWAB
Pelaporan semua kegiatan UPSUS SIWAB melalui iSIKHNAS dengan
menggunakan Format SMS atau aplikasi yang telah disiapkan. Untuk
pelaporan pada lokasi yang memiliki keterbatasan jaringan, pelaporan dapat
dilakukan secara manual dengan Format excel (spreadsheet) selanjutnya
diinput dalam iSIKHNAS oleh koordinator pelaporan (data recorder). Prinsip
dalam pelaporan kinerja UPSUS SIWAB harus mampu; (1) memantau
perkembangan pelaksanaan UPSUS SIWAB secara berjenjang dan tepat
waktu; (2) memberikan informasi bagi para penanggung jawab disetiap
jenjang; dan (3) memberikan input umpan balik bagi penyempurnaan
pelaksanaan kegiatan selanjutnya. Modul aplikasi system aplikasi iSIKHNAS
dapat dilihat pada http://www.wiki.iSIKHNAS.com
Tugas Petugas Pelaporan (data recorder):
a. Petugas Pelaporan (data recorder) provinsi:
1. Menyiapkan dan menyusun laporan perkembangan kinerja kegiatan
UPSUS SIWAB setiap bulan, serta membantu analisis data dalam
mengevaluasi perkembangan kinerja kegiatan UPSUS SIWAB bersama-
sama dengan Tim Pokja setempat.
- 48 -
48
2. Melakukan pemantauan dan supervisi kelancaran arus data pelaporan
dari petugas teknis dan data recorder Kabupaten/Kota.
3. Mengoptimalkan penggunaan situs web iSIKHNAS sebagai sarana
sumber data informasi perkembangan kegiatan UPSUS SIWAB.
b. Petugas Pelaporan (data recorder) Kabupaten/Kota:
1. Melakukan pemantauan kelancaran arus data pelaporan dari petugas
teknis dan menginput semua data perkembangan pelaksanaan kegiatan
teknis ke sistem iSIKHNAS.
2. Melakukan pendampingan dan bimbingan tatacara pelaporan melalui
sistem iSIKHNAS kepada para petugas di wilayah kerja.
3. Menghimpun dan memasukkan data yang tertunda ke dalam sistem
iSIKHNAS.
4. Membantu penyiapan data administrasi dan keuangan.
c. Ruang lingkup pelaporan UPSUS SIWAB meliputi 2 (dua) jenis pelaporan
yaitu :
1. Laporan Harian yang merupakan gambaran keberhasilan program
UPSUS SIWAB yang meliputi: (1) jumlah sapi/kerbau yang di IB; (2)
jumlah sapi/kerbau yang telah bunting; dan (3) jumlah sapi/kerbau
yang lahir.
2. Laporan Bulanan yang merupakan perkembangan capaian kinerja
kegiatan operasional UPSUS SIWAB sesuai dengan Format 33.
d. Alur dan Mekanisme Pelaporan
Alur dan mekanisme pelaporan UPSUS SIWAB sesuai dengan Format 34
dan Format 35.
- 49 -
49
BAB IX
PENUTUP
Demikian Pedoman Pelaksanaan UPSUS SIWAB ini disusun untuk dijadikan
acuan oleh pelaksana kegiatan baik di tingkat pusat maupun daerah dalam
rangka mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan di lapangan. Dalam rangka
pelaksanaan UPSUS SIWAB Tahun 2018 juga diperlukan adanya dukungan
APBD Provinsi/Kabupaten/Kota.
Dengan adanya Pedoman Pelaksanaan ini, diharapkan semua pelaksana
kegiatan di pusat, provinsi, kabupaten/kota, kelompok pelaksana serta
stakeholder terkait dapat melaksanakan seluruh tahapan kegiatan secara baik
dan benar menuju tercapainya sasaran yang telah ditetapkan dengan mengacu
pada ketentuan yang berlaku.
DIREKTUR JENDERAL PETERNAKAN
DAN KESEHATAN HEWAN,
I KETUT DIARMITA
NIP. 19621231 198903 1 006
Format 1.Struktur Populasi Sapi dan Kerbau Tahun 2017
No Jenis Total Populasi
(ekor)
Populasi Betina
Dewasa 2-8 th (ekor)
1 Sapi Potong
14.411.979
5.959.789
2 Sapi Perah 503.000
315.532
3 Kerbau 1.142.000
458,647
Jumlah (1+2+3)
16.056.979 6.275.321
Format 2. Langkah Operasional UPSUS SIWABTA.2018
No ProvinsiTarget
IBJan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des
1 Aceh 35.900 2.154 2.154 2.513 2.513 2.872 2.154 3.590 3.590 4.667 4.308 2.872 2.513
2 Sumatera Utara 103.800 6.228 6.228 7.266 7.266 8.304 6.228 10.380 10.380 13.494 12.456 8.304 7.266
3 Sumatera Barat 80.500 4.830 4.830 5.635 5.635 6.440 4.830 8.050 8.050 10.465 9.660 6.440 5.635
4 Riau 26.500 1.590 1.590 1.855 1.855 2.120 1.590 2.650 2.650 3.445 3.180 2.120 1.855
5 Jambi 15.750 945 945 1.103 1.103 1.260 945 1.575 1.575 2.048 1.890 1.260 1.103
6 Sumatera Selatan 37.500 2.250 2.250 2.625 2.625 3.000 2.250 3.750 3.750 4.875 4.500 3.000 2.625
7 Bengkulu 6.000 360 360 420 420 480 360 600 600 780 720 480 420
8 Lampung 162.000 9.720 9.720 11.340 11.340 12.960 9.720 16.200 16.200 21.060 19.440 12.960 11.340
9 Kep. Bangka Belitung 1.050 63 63 74 74 84 63 105 105 137 126 84 74
10 Kepulauan Riau 1.875 113 113 131 131 150 113 188 188 244 225 150 131
11 DKI Jakarta 1.000 60 60 70 70 80 60 100 100 130 120 80 70
12 Jawa Barat 133.500 8.010 8.010 9.345 9.345 10.680 8.010 13.350 13.350 17.355 16.020 10.680 9.345
13 Jawa Tengah 600.000 36.000 36.000 42.000 42.000 48.000 36.000 60.000 60.000 78.000 72.000 48.000 42.000
14 DIY 100.800 6.048 6.048 7.056 7.056 8.064 6.048 10.080 10.080 13.104 12.096 8.064 7.056
15 Jawa Timur 1.295.600 77.736 77.736 90.692 90.692 103.648 77.736 129.560 129.560 168.428 155.472 103.648 90.692
16 Banten 3.800 228 228 266 266 304 228 380 380 494 456 304 266
17 Bali 76.300 4.578 4.578 5.341 5.341 6.104 4.578 7.630 7.630 9.919 9.156 6.104 5.341
18 NTB 85.000 5.100 5.100 5.950 5.950 6.800 5.100 8.500 8.500 11.050 10.200 6.800 5.950
19 NTT 25.500 1.530 1.530 1.785 1.785 2.040 1.530 2.550 2.550 3.315 3.060 2.040 1.785
20 Kalimantan Barat 17.500 1.050 1.050 1.225 1.225 1.400 1.050 1.750 1.750 2.275 2.100 1.400 1.225
21 Kalimantan Tengah 6.000 360 360 420 420 480 360 600 600 780 720 480 420
22 Kalimantan Selatan 27.000 1.620 1.620 1.890 1.890 2.160 1.620 2.700 2.700 3.510 3.240 2.160 1.890
23 Kalimantan Timur 7.050 423 423 494 494 564 423 705 705 917 846 564 494
24 Kalimantan Utara 2.500 150 150 175 175 200 150 250 250 325 300 200 175
25 Sulawesi Utara 6.000 360 360 420 420 480 360 600 600 780 720 480 420
26 Sulawesi Selatan 75.000 4.500 4.500 5.250 5.250 6.000 4.500 7.500 7.500 9.750 9.000 6.000 5.250
27 Sulawesi Tengah 20.000 1.200 1.200 1.400 1.400 1.600 1.200 2.000 2.000 2.600 2.400 1.600 1.400
28 Sulawesi Tenggara 15.500 930 930 1.085 1.085 1.240 930 1.550 1.550 2.015 1.860 1.240 1.085
29 Gorontalo 12.750 765 765 893 893 1.020 765 1.275 1.275 1.658 1.530 1.020 893
30 Sulawesi Barat 8.700 522 522 609 609 696 522 870 870 1.131 1.044 696 609
31 Maluku 3.250 195 195 228 228 260 195 325 325 423 390 260 228
32 Maluku Utara 1.225 74 74 86 86 98 74 123 123 159 147 98 86
33 Papua 3.350 201 201 235 235 268 201 335 335 436 402 268 235
34 Papua Barat 1.800 108 108 126 126 144 108 180 180 234 216 144 126
3.000.000 180.000 180.000 210.000 210.000 240.000 180.000 300.000 300.000 390.000 360.000 240.000 210.000 TOTAL
Format 3. Target Akseptor UPSUS SIWAB TA.2018
Format 4. Target Kebuntingan UPSUS SIWAB TA.2018
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des
1 ACEH 25.130 1.885 1.885 1.508 1.508 1.759 1.759 2.010 1.508 2.513 2.513 3.267 3.016
2 SUMATERA UTARA 72.660 5.449 5.450 4.360 4.360 5.086 5.086 5.813 4.360 7.266 7.266 9.446 8.719
3 SUMATERA BARAT 56.351 4.226 4.226 3.381 3.382 3.945 3.945 4.508 3.381 5.635 5.635 7.326 6.762
4 RIAU 18.550 1.391 1.391 1.113 1.113 1.299 1.299 1.484 1.113 1.855 1.855 2.412 2.226
5 JAMBI 11.025 827 827 662 662 772 772 882 662 1.103 1.103 1.433 1.323
6 SUMATERA SELATAN 26.251 1.968 1.969 1.575 1.575 1.838 1.839 2.100 1.575 2.625 2.625 3.413 3.150
7 BENGKULU 4.200 315 315 252 252 294 294 336 252 420 420 546 504
8 LAMPUNG 113.400 8.505 8.505 6.804 6.804 7.938 7.938 9.072 6.804 11.340 11.340 14.742 13.608
9 BANGKA BELITUNG 735 55 55 44 44 51 51 59 44 74 74 96 88
10 KEPULAUAN RIAU 1.313 98 99 79 79 92 92 105 79 131 131 171 158
11 DKI JAKARTA 700 52 53 42 42 49 49 56 42 70 70 91 84
12 JAWA BARAT 93.450 7.008 7.009 5.607 5.607 6.542 6.542 7.476 5.607 9.345 9.345 12.149 11.214
13 JAWA TENGAH 420.000 31.500 31.500 25.200 25.200 29.400 29.400 33.600 25.200 42.000 42.000 54.600 50.400
14 DI YOGYAKARTA 70.560 5.292 5.292 4.234 4.234 4.939 4.939 5.645 4.234 7.056 7.056 9.173 8.467
15 JAWA TIMUR 906.920 68.019 68.019 54.415 54.415 63.484 63.484 72.554 54.415 90.692 90.692 117.900 108.830
16 BANTEN 2.660 199 200 160 160 186 186 213 160 266 266 346 319
17 BALI 53.410 4.006 4.006 3.205 3.205 3.739 3.739 4.273 3.205 5.341 5.341 6.943 6.409
18 NUSA TENGGARA BARAT 59.500 4.462 4.463 3.570 3.570 4.165 4.165 4.760 3.570 5.950 5.950 7.735 7.140
19 NUSA TENGGARA TIMUR 17.850 1.338 1.339 1.071 1.071 1.250 1.250 1.428 1.071 1.785 1.785 2.321 2.142
20 KALIMANTAN BARAT 12.250 918 919 735 735 858 858 980 735 1.225 1.225 1.593 1.470
21 KALIMANTAN TENGAH 4.200 315 315 252 252 294 294 336 252 420 420 546 504
22 KALIMANTAN SELATAN 18.900 1.417 1.418 1.134 1.134 1.323 1.323 1.512 1.134 1.890 1.890 2.457 2.268
23 KALIMANTAN TIMUR 4.935 370 370 296 296 345 345 395 296 494 494 642 592
24 KALIMANTAN UTARA 1.750 131 131 105 105 123 123 140 105 175 175 228 210
25 SULAWESI UTARA 4.200 315 315 252 252 294 294 336 252 420 420 546 504
26 SULAWESI TENGAH 14.000 1.050 1.050 840 840 980 980 1.120 840 1.400 1.400 1.820 1.680
27 SULAWESI SELATAN 52.500 3.937 3.938 3.150 3.150 3.675 3.675 4.200 3.150 5.250 5.250 6.825 6.300
28 SULAWESI TENGGARA 10.850 813 814 651 651 760 760 868 651 1.085 1.085 1.411 1.302
29 GORONTALO 8.925 669 670 536 536 625 625 714 536 893 893 1.160 1.071
30 SULAWESI BARAT 6.090 456 457 365 365 426 426 487 365 609 609 792 731
31 MALUKU 2.275 170 171 137 137 159 159 182 137 228 228 296 273
32 MALUKU UTARA 858 64 65 51 51 60 60 69 51 86 86 111 103
33 PAPUA BARAT 2.345 176 176 141 141 164 164 188 141 235 235 305 281
34 PAPUA 1.260 94 95 76 76 88 88 101 76 126 126 164 151
2.100.000 157.490 157.507 126.000 126.001 147.000 147.001 168.000 126.000 210.000 210.000 273.002 252.000
Keterangan
1. Target kebuntingan tahun 2018 termasuk target kebuntingan tahun 2017 (November dan Desember)
2. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan paling cepat 2 bulan setelah pelaksanaan IB
3. Angka kebuntingan adalah sebesar 70% dari jumlah pelaksanaan IB
JUMLAH
TARGET AKSEPTOR (Bunting) UPSUS SIWAB TA. 2018
NO PROVINSI2018
Target Bunting
No Provinsi Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des Total
1 Aceh 2.022 1.993 1.434 2.914 2.791 3.468 4.957 8.024 6.579 1.508 1.508 1.206 38.403
2 Sumatera Utara 5.921 6.587 4.917 6.097 7.688 7.600 7.862 10.366 6.576 4.359 4.360 3.488 75.823
3 Sumatera Barat 4.314 4.216 3.372 459 4.917 4.641 7.441 5.115 4.158 3.381 3.381 2.705 48.099
4 Riau 1.355 1.275 1.023 1.634 1.616 1.940 2.001 1.924 1.513 1.113 1.113 890 17.397
5 Jambi 794 536 309 718 1.060 1.243 1.394 1.191 900 662 662 529 9.996
6 Sumatera Selatan 1.675 2.033 2.034 2.290 2.735 3.201 3.282 2.926 2.210 1.574 1.575 1.260 26.796
7 Bengkulu 368 30 235 306 484 514 674 698 612 252 252 202 4.626
8 Lampung 5.291 6.460 918 12.948 15.156 16.178 19.431 18.600 10.927 4.233 5.168 734 116.044
9 Kep. Bangka Belitung 70 52 35 31 51 53 49 31 32 44 44 35 528
10 Kepulauan Riau 57 122 95 207 179 93 120 156 80 45 98 76 1.327
11 DKI Jakarta 54 49 44 45 54 38 95 97 65 42 42 34 659
12 Jawa Barat 7.060 8.016 6.621 7.314 8.878 8.534 8.747 8.183 6.657 5.606 5.607 4.486 85.710
13 Jawa Tengah 37.954 38.863 33.994 41.430 42.065 40.553 42.507 37.780 34.405 28.800 28.800 33.600 440.751
14 DIY 4.472 5.015 5.111 5.502 6.208 6.063 6.308 5.316 3.608 4.234 4.234 3.387 59.456
15 Jawa Timur 75.196 79.024 69.622 76.573 81.887 77.253 94.853 114.316 73.482 62.189 62.189 72.554 939.136
16 Banten 284 312 153 183 325 330 354 426 309 159 160 128 3.122
17 Bali 2.485 3.545 4.419 4.505 6.242 6.663 6.229 5.667 4.022 3.205 3.205 2.564 52.752
18 NTB 4.669 4.757 4.139 5.112 6.702 7.676 7.706 7.430 5.466 3.570 3.570 2.856 63.653
19 NTT 899 2.254 2.706 2.936 3.806 3.266 2.062 1.157 544 1.070 1.071 857 22.628
20 Kalimantan Barat 928 962 705 913 1.095 694 1.081 772 774 840 840 980 10.585
21 Kalimantan Tengah 262 281 176 227 359 421 737 412 950 288 288 336 4.736
22 Kalimantan Selatan 1.684 1.219 1.368 1.613 1.919 1.850 2.015 1.707 1.262 1.296 1.296 1.512 18.740
23 Kalimantan Timur 620 384 212 278 344 378 523 509 344 296 296 237 4.421
24 Kalimantan Utara 162 174 105 114 124 134 118 97 49 105 105 84 1.370
25 Sulawesi Utara 195 462 420 451 367 482 329 249 181 252 252 202 3.843
26 Sulawesi Tengah 1.052 867 432 850 1.239 920 1.638 1.668 1.739 840 840 672 12.758
27 Sulawesi Selatan 3.319 2.818 2.393 3.045 4.303 5.067 6.682 6.042 4.307 3.150 3.150 2.520 46.798
28 Sulawesi Tenggara 852 863 583 554 949 1.299 1.921 1.332 1.187 650 651 521 11.363
29 Gorontalo 746 576 416 519 739 897 1.090 2.061 338 535 536 428 8.880
30 Sulawesi Barat 438 397 391 452 510 702 1.103 991 715 365 366 292 6.722
31 Maluku 202 174 176 139 264 571 891 778 515 161 139 141 4.149
32 Maluku Utara 50 15 3 20 13 353 399 276 460 51 52 41 1.734
33 Papua 86 83 158 240 328 475 1.052 472 519 141 141 113 3.808
34 Papua Barat 10 5 7 15 138 102 255 438 55 75 76 60 1.236
TOTAL 165.547 174.418 148.724 180.635 205.533 203.652 235.906 247.208 175.542 135.090 136.065 139.728 2.148.048
Keterangan
1. Target kelahiran tahun 2018 merupakan hasil kebuntingan tahun 2017 (bulan April s/d Desember)
2. Lama kebuntingan sampai dengan lahir kurang lebih 9 bulan 10 hari
3. Angka kelahiran adalah sebesar 80% dari angka kebuntingan dan dihitung pada bulan ke - 10
TARGET AKSEPTOR (Lahir) UPSUS SIWAB TA. 2018
Format 5. Target Kelahiran UPSUS SIWAB TA.2018
Format 6. Skema Penerimaan Kontainer oleh BIB
SKEMA PENERIMAAN KONTAINER
Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota
Kontainer di terima oleh BIB
Petugas mencatatat identifikasi asal kontainer, kelengkapan
kontainer dan mengisi nitrogen cair kemudian didiamkan selama 24
jam
Pengiriman kontainer kosong
cek kondisi Kontaineroleh Petugas BIB disaksikan ekpedisi
(kondisi fisik, kelengkapan canister dan goblet)
Kondisi kontainer rusak/bocor Kondisi kontainer bagus
Disiapkan untuk pengiriman semen
beku
Format 7. Tata Cara budidaya HPT
Langkah-langkah yang harus diperhatikan agar budidaya rumput yang dikelola
dapat menghasilkan produksi hijauan yang optimal adalah :
A. PEMILIHAN LOKASI
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan lokasi penanaman
rumput unggul adalah:
1. Kesuburan tanah dan topografi
Tanah dengan kualifikasi bagus lebih diprioritaskan untuk tanaman pangan
guna mencukupi kebutuhan hidup pokok manusia, sedangkanlahan yang
tersisa digunakan untuk menanam selain tanaman pangan antara lain untuk
penanaman HPT yang membutuhkan perbaikan tanah dan pemupukan.
Sedangkan topografi berpengaruh terhadap cara pengolahan tanah dan pola
penanaman HPT.
2. Sumber air
Air diperlukan sebagai perantara tanaman mengambil unsur hara dari tanah
dan mendistribusikannya ke seluruh jaringan tanaman sebagai bahan baku
dalam proses fotosintesa untuk kelangsungan produksi HPT.
3. Sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi
Kelancaran sarana dan prasarana dari lokasi penanaman ke pemasaran dan
tempat pembelian bahan dan alat penanaman akan menentukan efisiensi
usaha budidaya HPT.
B. PEMILIHAN BIBIT HPT DAN BAHAN PENANAMAN
Penggunaan bibit HPT yang bermutu akan menghasilkan efisiensi waktu,
tenaga, biaya dan kelangsungan pertumbuhan dari rumput. Hal yang perlu
diperhatikan adalah:
1. Pemilihanbibit yang akan ditanam harus disesuaikan dengan kondisi iklim
dan lingkungan setempat
2. Mudah dibudidayakan dan dikembangkan
3. Menghasilkan produksi yang tinggi
Bahan penanaman yang biasa digunakan adalah stek, stolon dan/atau pols :
1. Stek adalah batang rumput yang cukup umur, dipotong-potong sepanjang 20-
30 cm dan terdiri 2-3 buku, dapat lebih tahan lama bila disimpan di tempat
sejuk.
2. Stolon adalah potongan batang rumput yang menjalar dipermukaan tanah dan
membentuk tunas/anakan.
3. Pols adalah sobekan rumput yang terdiri dari 2–3 anakan
C. PENGOLAHAN TANAH DAN PENANAMAN
Awal pertumbuhan rumput yang baik sangat tergantung pada pengaruh dari
luar, waktu penanaman dan pengolahan tanah. Pada tanah tanpa irigasi
dilakukan maka pengolahan tanah dan penanaman sebaiknya dilakukan pada
musim hujan. Diperhitungkan juga jarak waktu antara pengolahan dan
penanaman rumput.Pengolahan tanahbertujuan untuk mempersiapkan media
tumbuh yang optimum bagi suatu tanaman.
Tahapan pengolahan tanah dilakukan sebagai berikut :
1. Pembersihan lahan terhadap pohon, semak belukar atau tanaman lainnya.
2. Pencangkulan/pembajakan untuk memecah lapisan tanah menjadi
bongkahan untuk mempermudah penggemburan selanjutnya. Dengan
membalik lapisan tanah tersebut dan membiarkan beberapa saat, diharapkan
mineralisasi bahan organik berlangsung lebih cepat karena aktifitas
mikroorganisme dipergiat, sehingga tanah menjadi masak.
3. Penggemburan/penggaruan bertujuan untuk menghancurkan bongkahan
besar menjadi struktur yang lemah dan sekaligus membebaskan tanah dari
sisa perakaran tumbuh-tumbuhan liar. Pada tanah yang miring,
penggemburan dilakukan menurut kontur tanahnya, hal ini untuk
memperkecil kemungkinan erosi.
4. Pemupukan dasar dapat dilakukan dengan pupuk N, P dan K.
Metode penanaman dapat dilakukan dengan stek, stolon dan pols (anakan).
D. PEMELIHARAAN
Pemeliharaan rumput dilakukan melalui pendangiran, pemupukan dan
pengairan yang dalam pelaksanaannya tergantung dengan kondisi lahan dan
jenis tanaman.
E. PEMANENAN
Panen pertama setelah tanam tergantung dari jenis HPT dan dilakukan
pemotongan untuk jenis rumput-rumputansebaiknya ditinggalkan ± 10 cm dari
permukaan tanah untuk pertunasan berikutnya.
F. PEREMAJAAN
Peremajaan rumput dapat dilakukan setelah tanaman mencapai umur 3–4
tahun atau setinggi-tingginya 4,5 tahun. Hal ini tergantung situasi dan kondisi
lokasi tempat penanaman. Pelaksanaan peremajaan rumput dapat dilakukan
secara bertahap, yaitu diantara rumpun lama ditanam stek atau pols baru.
Setelah tanaman tersebut mulai tumbuh dengan baik, maka rumpun lama
dibongkar. Begitu seterusnya sehingga kebutuhan runput potongan tetap
tersedia.
Format 8. Tata Cara Pengembangan dan Pemeliharaan Padang Penggembalaan
Tujuan utama pembuatan padang penggembalaan adalah untuk menyediakan
hijauan pakan ternak (HPT) yang mempunyai nilai gizi tinggi, efisien dan kontinyu
sapanjang tahun.
Terdapat 4 (empat) cara pembuatan padang penggembalaan, yaitu :
1. Cara Intensif (Kultivasi Total)
Melakukan penggantian keseluruhan vegetasi yang telah ada dengan
introduksi jenis-jenis HPT unggul sesuai dengan keadaan tanah/lahan
setempat. Sarana prasarana yang dibutuhkan serta kegiatan yang dapat
dilakukan antara lain adalah: pemagaran, pemotongan HPT secara bergiliran,
dan pengawetan hijauan pakan.
2. Semi intensif (Kultivasi Parsial)
Padang penggembalaan dapat dibuat secara semi intensif atau kultivasi
parsial. Hal ini umumnya diterapkan pada padang rumput alam (asli),
penggantian vegetasi rumput asli ditujukan untuk memperbaiki kondisi yang
telah rusak saja, dengan cara menyisipkan jenis-jenis legum unggul yang
sesuai.
3. Ekstensif (Zero Cultivation)
Cara ini merupakan cara yang paling murah dan sudah biasa dilakukan pada
kondisi padang rumput alam di Indonesia. Tujuan utamanya yaitu untuk
menjaga agar kondisi padang rumput yang telah ada tidak mengalami
penurunan produksi pakan ternak dengan jalan mengatur rotasi
penggembalaan ternak sebaik-baiknya. Cara ini cukup efektif bila diterapkan
pada kondisi padang rumput asli yang masih baik.
4. Gabungan
Merupakan kombinasi dari ketiga cara tersebut di atas. Pada umumnya cara
kombinasi ini diterapkan pada usaha peternakan dua pola atau lebih.
Misalnya usaha pembesaran, pembibitan dan penggemukan sapi yang
dilakukan sekaligus. Untuk pembesaran, penggemukan dan induk-induk
yang menyusui secara khusus dibuatkan padang penggembalaan
intensif/pasture kultivasi total atau kultivasi sebagian agar keperluan hijauan
pakan ternak yang bergizi cukup terjamin. Sedangkan untuk ternak
pembibitan digembalakan pada padang rumput asli dengan jalan mengatur
penggembalaan sebaik-baiknya (zero cultivation).
TAHAPAN PEMBUATAN PADANG PENGGEMBALAAN
1) PEMILIHAN LOKASI
Lokasi padang penggembalaan harus dipilih dan ditetapkan dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
a. Status lahan
Menghindari adanya kasus sengketa lahan, klaim kepemilikan atau
penghentian pemanfaatan oleh pemilik tanah.Status ditetapkan oleh Kepala
Daerah setempat (Bupati/Walikota) melalui Perda atau SK Penetapan/SK
Peruntukan.
b. Ketersediaan sumber air
c. Kesuburan tanah
d. Topografi lahan
e. Kemudahan komunikasi
2) PENETAPAN LUAS DAN PENTAHAPAN KERJA
Penetapan luas padang penggembalaan agar disesuaikan dengan target
pemeliharaan ternak dari tahun ke tahun berikutnya. Juga dapat ditentukan
keperluan sarana dan jumlah ternak yang dapat dipelihara tiap tahun sehingga
tercapai kapasitas tampungnya. Satuan ternak yang dapat ditampung (stocking
rate) dalam sebuah padang penggembalaan berkisar antara 0,25 - 1,3 ST.Luas
lahan perlu diperhatikan karena jika terlalu luas agar gulma tidak tumbuh dan
berkembangnya; dan tidak sering dilakukan penggembalaan karena akan
mengganggu pertumbuhan tanaman.
3) PEMILIHAN JENIS ATAU KULTIVAR
Jenis HPT yang dipilih untuk ditanam adalah jenis yang sesuai dengan dengan
kondisi alam setempat. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam
penanaman HPT, yaitu :
a. Curah hujan
Curah hujan merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan
produksi HPT.
b. Ketinggian lokasi
c. Jenis tanah
Jenis tanah menentukan kesesuaian jenis HPT yang dapat ditanam di
lokasi padang penggembalaan setempat.
d. Benih/bibit HPT
Untuk pengembangbiakan rumput dan legum dapat menggunakan biji,
pols (sobekan rumpun) dan stek (potongan batang).
Tanaman legum lebih banyak menggunakan biji untuk penanam kembali,
sedangkan jenis rumput banyak dikembangbiakan dengan pols dan stek
batang.
e. Waktu pengolahan tanah dan penanaman
Pertumbuhan awal tanaman sangat peka terhadap pengaruh luar seperti
keadaan air dan suhu lingkungan. Penanaman yang baik dilakukan pada
awal musim hujan, sehingga waktu pengolahan tanah dapat dilakukan
sebaiknya pada akhir musim kemarau.
f. Pengolahan tanah dan penanaman
1) Pembersihan/land clearing
2) Pembajakan
3) Penggemburan/penggaruan
g. Penanaman
Kegiatan penanaman sebaiknya dimulai setelah musim hujan. Jenis
tanaman dipilih sesuai persyaratan tumbuh yang sesuai dengan kondisi
alam setempat.
h. Penggembalaan
Penggembalaan dapat mulai dilakukan jika rumput dan legum telah
tumbuh menutupi dengan baik seluruh areal, sudah tahan diinjak yaitu
sekitar 5-6 bulan setelah tanaman tumbuh.
Jumlah ternak yang digembalakan harus sesuai dengan daya
tampung/kapasitas padang gembala tersebut (stocking rate). Ada 4 (empat)
model penggembalaan, yaitu :
1) Penggembalaan menetap
Ternak digembalaakan pada satu tempat terus-menerus dalam waktu
yang lama.
2) Penggembalaan bergilir
Cara penggembalaan ternak di dalam petakan (paddock), bergilir dari
petak satu ke petak lainnya. Tiap petak dirumput ternak selama 3-7
hari tergantung jumlah ternak dan pertumbuhan tanaman hijauan,
3) Penggembalaan jalur
Penggembalaan ternak dengan menggunakan pagar-pagar yang
dipindah-pindahkan 1-2 kali sehari. Biasa diterapkan pada jenis
padang penggembalaan yang bergizi tinggi.
4) Penggembalaan menyingkir
Yaitu beberapa petakan tertentu disisakan untuk memberikan
kesempatan untuk pertumbuhan tanaman lebih lanjut, cara ini
menolong persediaan pakan ternak pada saat terjadi puncak musim
kering, terutama saat padang penggembalaan hampir gundul.
i. Pemeliharaan padang penggembalaan yang diistirahatkan
Masa istirahat diberikan dengan tujuan memberi kesempatan kepada
tanaman untuk tumbuh kembali dan menjadi cukup kuat untuk
digembalai ternak. Dalam masa ini dilakukan pencangkulan ringan,
menanami lagi, menyirami dan memberi pupuk jika diperlukan.
j. Renovasi padang penggembalaan
Tanaman lama dibongkar, lahan dikerjakan kembali seperti kegiatan awal
dan penanaman benih/bibit baru. Padang penggembalaan permanen
maka renovasi dilakukan per 3 tahun. Sedangkan pada padang
penggembalaan bergilir jangka panjang (>9 tahun) maka renovasi dapat
dilakukan 2-3 kali.
Format 9.Lokasi Kegiatan Hijauan Pakan Ternak
No Provinsi Gerbangpatas Pengembangan
Padang
Gembala
Pemeliharaan Padang
Gembala
Alsin Pakan
1 Aceh V
2 Kep. Riau V
3 Lampung V
4 Sumatera Selatan
V
5 Jawa Barat V
6 Jawa Tengah
V V V
7 DIY V
8 Jawa Timur V
9 Bali V
10 NTB V V
11 Kalimantan Selatan
V
12 Kalimantan Tengah
V
13 Sulawesi Selatan
V
14 Sulawesi
Tenggara
V V V
15 Sulawesi
Tengah
V V
16 Gorontalo V
17 Papua Barat V
Jumlah
Provinsi
11 2 5 5
Format10. Laporan Perkembangan Kegiatan Tim Provinsi Untuk Kegiatan Pakan
FORMAT LAPORAN
PENGUATAN HIJAUAN PAKAN TERNAKTA. 2018 TRIWULAN : I / II / III / IV
Provinsi : ......................................................
Alokasi anggaran pakan (total)
:
Rp. .............................................................
Anggaran Gerbang Patas (HPT)
:
Rp. .............................................................
Anggaran lain (APBD, dll) : Rp.
.............................................................
Jumlah kelompok penerima bantuan pakan (total)
: ......................... kelompok
Kelompok Gerbang Patas : ......................... kelompok
PERKEMBANGAN KEGIATAN PAKAN
No
Nama Kelompok Penerima Bantuan
Pakan
Jumlah Bantuan Realisasi
Pelaksanaan
Kegiatan (%)
Stek/Pols/Stolon Ha Fisik Keuangan
1.
2.
3.
Format 11. Skema Operasional Tim Kerja Gangguan Reproduksi
Format 12. Tahapan pemeriksaan status reproduksi
Ternak Betina Masuk RPH
Pemeriksaan Dokumen dan
Pemeriksaan AM/PM dan Status
Reproduksi
Potong
TOLAK
(Disertai Berita Acara) PRODUKTIF
Tidak Produktif
Format 13.Mekanisme Pengendalian Pemotongan Betina Produktif
Format 14. Lokasi Pengendalian Betina Produktif
Lokasi Pengendalian Betina Produktif Tahun 2018
No Provinsi Jumlah Kab/Kota
1 Jawa Timur 6
2 Jawa Tengah 4
3 Jawa Barat 2
4 Bali 2
5 DI Yogyakarta 2
6 Jambi 3
7 Bengkulu 1
8 Kalimantan Timur 2
9 Nusa Tenggara Timur 1
10 Sulawesi Selatan 4
11 Sumatera Barat 3
12 Sumatera Selatan 1
13 Riau 3
14 Kalimantan Barat 1
15 Nusa Tenggara Barat 4
16 Sulawesi Tenggara 1
17 Sulawesi Utara 1
Total 41
Format 15. Format Berita Acara Penolakan
KOP SURAT
BERITA ACARA PENOLAKAN
PEMOTONGAN BETINA PRODUKTIF
Pada hari..............................tanggal................ bulan ............... tahundua ribu
delapan belas, yang bertanda tangan dibawah ini: 1. Nama : ………………………………………………….
Jabatan : Penanggung Jawab RPHR …………………………………………..………… Alamat : …………………………………………………………………………………………
Selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA
2. Nama Pemilik : ………………………………………………. Alamat :………………………………………………………
Selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA PIHAK PERTAMA menyatakan telah menolak dilakukan pemotongan terhadap
Sapi/Kerbau Betina Produktif milik PIHAK KEDUA dan Pihak KEDUA menyatakan
telah menerima penolakan pemotongan terhadap ternak tersebut dengan
keterangan sebagai berikut:
1. Jenis Hewan : …………………………………………………………………. 2. Bangsa Hewan : ………………………………………………………………….
3. No. Identitas Ternak
: …………………………………………………………………..
4. Umur : ………………………………………………………………….
5. Nama Pemilik : …………………………………………………………………. 6. Alamat : ………………………………………………………………….
7. Alasan Penolakan : …………………………………………………………………. ………………………………………………………………….
Demikian Berita Acara Penolakan ini dibuat untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya.
.............,..........................
PIHAK KEDUA PIHAK PERTAMA
Pemilik Ternak Penanggung Jawab RPH
Nama Lengkap Nama Lengkap
Format 16. Formulir Pemeriksaan Dokumen, Ante-Mortem/Post-Mortem, dan Status Reproduksi
Nomor:...............................
NAMA RPH-R
Alamat RPH-R (Jalan, Kelurahan,Kecamatan, Kabupaten/Kota/Provinsi)
Penanggung Jawab RPH : ……………………………………………….
Tanggal Pemeriksaan/Pengawasan :
(cetak form sesuai keterangan RPH) (diisi oleh petugas registrasi)
Kelengkapan Dokumen
Surat Jalan : Ada Tidak Ada
Sertifikat Veteriner SKKH : Ada Tidak Ada
Catatan:
.................................................................................................................................
Keterangan Ternak
1. Asal Ternak : Kab/Kota: ……………… Provinsi: ………………
2. Nama pemilik/pejagal :
3. Alamat pemilik/pejagal :
4. Telepon/HP pemilik/pejagal :
5. Jumlah ternak : ......... Ekor
Pemeriksaan Status Reproduksi
Hasil Pemeriksaan Jumlah ternak (ekor)
Betina Produktif
a. Bunting
b. Tidak bunting
Betina Tidak Produktif
Logo dinas
instansi
asal
petugas
Pemeriksaan Ante Mortem
Hasil Pemeriksaan Keputusan Jumlah ternak
(ekor)
Hewan normal/sehat Diijinkan untuk dipotong
Hewan Sakit
(pilih keputusan
yang sesuai)
Harus segera dipotong
Dipotong dengan
pengawasan Dokter Hewan
hewan
Ditunda pemotongannya
Dilarang dipotong
Catatan:
............................................................................................................................
Pemeriksaan Post Mortem
Hasil
Pemeriksaan
Keputusan Jumlah
ternak (ekor)
Keterangan
(Diagnosa
penyakit)
Daging berasal
dari ternak yang
sehat
Baik untuk konsumsi
manusia
Daging berasal
dari ternak yang
sakit
Ditolak untuk konsumsi
manusia
Dapat dikonsumsi
manusia setelah bagian
yang tidak layak
dikonsumsi dibuang
Dapat dikonsumsi
manusia setelah mendapat
perlakuan pemanasan
sebelum diedarkan
Catatan:
.............................................................................................................................
Mengetahui,
…………, tgl/bln/thn
Penanggung Jawab RPH-R Petugas Pemeriksa AMPM
Cap & TTD Cap & TTD
Format 17. Format laporan Pelaksanaan IB
LAPORAN PELAKSANAAN INSEMINASI BUATAN
Nama Petugas: Inseminator Pelaksana
Periode:
ID Tanggal IB Lokasi
Nama Peternak
ID Peternak
ID Hewan IB 1 IB 2 IB 3 IB 4 dst ID Pejantan
ID Pembuatan
Bangsa Pejantan Produsen Inseminator
JUMLAH 0 0 0 0
TOTAL IBI 1, 2, 3 0
BIAYA OPERASONAL 0 x
30.000
-
Pejabat Dinas Kab/Kota Verifikator
Petugas
Nama
Nama
Nama
Format 18. Rekapitulasi Pelaksanaan Kegiatan IB
REKAPITULASI PEMBAYARAN OPERASIONAL PETUGAS IB
No Nama
Petugas GOL (PNS)
Jumlah IB
Biaya Operasional
Jumlah Pajak
Jumlah Yang diterima Tanda Tangan % NILAI
JUMLAH 0 -
-
-
-
Tempat, Tanggal
Pejabat Pembuat
Komitmen Pejabat Dinas Kabupaten
Bendahara Pembantu
Pengeluaran/Pejabat yang ditunjuk
Nama....
Nama....
Nama....
Format 19. Kuitansi Palaksanaan IB
DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
PROVINSI ….
Beban MAK : ..........................
Bukti Kas No. : ..........................
Tahun Anggaran : ..........................
Tanggal : ..........................
KUITANSI
Nomor: .................................
Sudah terima dari : Kuasa Pengguna Anggaran / Pejabat Pembuat Komitmen Dinas ...
Uang sebesar : Rp.
Terbilang
===………. rupiah===
Untuk Pembayaran : Pembayaran Operaisonal Inseminasi Buatan, sebagaimana bukti terlampir
SETUJU DIBAYAR
LUNAS DIBAYAR ....., ..., .........2018
Pejabat Pembuat Komitmen
Bendahara
Pengeluaran
Bendahara Pembantu Pengeluaran/
Petugas yang ditunjuk
…….
....... …….....
NIP.
NIP.
Format 20. Format laporan Pelaksanaan PKb
LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN
PEMERIKSAAN KEBUNTINGAN (PKb)
Kabupaten/Kota ….. Provinsi ……
PERIODE ..... Sd .....
NO
TANGGAL PKB
LOOKASI NAMA
PETERNAK ID
PETERNAK ID
HEWAN BANGSA INDUK
JUMLAH UMUR
KEBUNTINGAN PEMERIKSA
KEBUNTINGAN
1
2
3
JUMLAH PEMERIKSAAN KEBUNTINGAN
Kepala Dinas Kab/Kota
Mengetahui Kepala Bidang/Seksi
Pemeriksa Kebuntingan
Nama
Nama
Nama
Format 21. Rekapitulasi Pelaksanaan Kegiatan PKb
REKAPITULASI PEMBAYARAN OPERASIONAL PETUGAS IB
No Nama
Petugas
GOL
(PNS)
Jumlah
PKB
Biaya
Operasional Jumlah
Pajak Jumlah Yang
diterima
Tanda
Tangan % NILAI
1
2
3
JUMLAH -
-
-
-
…………, 2018
Pejabat Pembuat
Komitmen Pejabat Dinas Kabupaten
Bendahara Pembantu
Pengeluaran
Nama
Nama
Nama
Format 22. Kuitansi Pelaksanaan PKb
DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
PROVINSI ……
Beban MAK : ..........................
Bukti Kas No. : ..........................
Tahun Anggaran : ..........................
Tanggal : ..........................
KUITANSI
Nomor: .................................
Sudah terima dari : Kuasa Pengguna Anggaran / Pejabat Pembuat Komitmen Dinas ...
Uang sebesar : Rp.
Terbilang === ……. rupiah ===
Untuk Pembayaran : Pembayaran Operaisonal Inseminasi Buatan, sebagaimana bukti
terlampir
SETUJU DIBAYAR
LUNAS DIBAYAR ....., ..., .........2018
Pejabat Pembuat
Komitmen
Bendahara Pengeluaran Bendahara Pembantu Pengeluaran
Drs.
……………………………….... ……………………......
NIP.
NIP.
Format 23. Format laporan Pelaksanaan Pelaporan Kelahiran Ternak
LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN
PELAPORAN KELAHIRAN TERNAK
Periode
-- pilih tanggal
awal--- sd -- pilih tanggal akhir---
NO TANGGAL
LAHIR LOKASI
NAMA PETERNAK
ID PETERNAK
ID HEWAN BANGSA INDUK
JUMLAH
JENIS
KELAMIN ANAK
PELAPOR KELAHIRAN
1
2
3 JUMLAH IB
0
Kepala Dinas Kab/Kota
Mengetahui Kepala
Bidang/Seksi
Petugas
Pelapor
Nama
Nama
Nama
Format 24. Rekapitulasi Pelaksanaan Kegiatan Kelahiran Ternak
No Nama
Petugas
GOL
(PNS)
Jumlah
Kelahiran
Biaya
Operasional Jumlah
Pajak
Jumlah Yang
diterima
Tanda
Tangan % NILAI
1
2
3
JUMLAH
…………, 2018
Pejabat Pembuat
Komitmen Pejabat Dinas Kabupaten
Bendahara Pembantu
Pengeluaran
Nama
Nama
Nama
Format 25. Kuitansi Palaksanaan Pelaporan Kelahiran Ternak
DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
PROVINSI ……
Beban MAK : ..........................
Bukti Kas No. : ..........................
Tahun Anggaran : ..........................
Tanggal : ..........................
KUITANSI
Nomor: .................................
Sudah terima dari : Kuasa Pengguna Anggaran / Pejabat Pembuat Komitmen Dinas ...
Uang sebesar : Rp.
Terbilang === ……. rupiah ===
Untuk Pembayaran : Pembayaran Operaisonal Inseminasi Buatan, sebagaimana bukti
terlampir
SETUJU DIBAYAR
LUNAS DIBAYAR ....., ..., .........2018
Pejabat Pembuat
Komitmen
Bendahara Pengeluaran Bendahara Pembantu Pengeluaran
Drs.
……………………………..... ………………….....
NIP.
NIP.
Format 26. Pelaksanaan IB, PKb dan Sinkronisasi
No Proses Bisnis
Pernyataan Resiko
Penyebab Resiko
Aktivitas Pengendalian
Pelaksanaan K/SOP
I.1. Pelaksanaan Pelayanan IB
Pelaksanaan IB tidak mencapai
target
Penetapan target akseptor IB
kurang cermat
Inventarisasi data akseptor IB
Data Base Populasi Sapi/Kerbau
Masih adanya IB berulang
Refreshing Petugas dan bimbingan
pengenalan birahi pada
peternak
Bimbingan dan Pembinaan
SOP pelaksanaan
IB
Pelaksanaan Pemeriksaan
Kebuntingan (PKb)
Target Kebuntingan
tidak tercapai
Petugas tidak tertib
melakukan pemeriksaa
n dan pelaporan
Refreshing Petugas dan
penyediaan operasional
Pembinaan dan
Bimbingan SOP
Pelaksanaan PKb
Masih terbatasnya Petugas PKb
Pelatihan Petugas Baru dan Detasering
Petugas dari UPT
Iventarisasi Kebutuhan Petugas
Pemberntukan Tim Terpadu
Pelaksanaan Sinkronisasi
Pelaksanaan IB Introduksi kurang
maksimal
Kurang terkoordinasi dalam
pelaksaan
Pembentukan Tim Terpadu dan
Penjadwalan Pelaksanaan
SOP Sinkronisasi Peningkatan
Koordinasi
Pemahaman peternak terhadap
tahapan kegiataan
masih rendah
Peningkatan pemahaman SOP
Sinkronisasi pada peternak
SOP Sinkronisasi Sosialisasi dan
Pembinaan
Pelaporan IB, PKb dan Kelahiran
Kinerja Upsus tidak Optimal
Ketaatan Petugas dalam
melaporkan masih rendah
Evaluasi Pelaporan per petugas
Pembinaan dan Bimbingan
Teknis Pelaporan SOP Pelaporan
Penyediaan BOP
Masih adanya
gangguan sistem Pelaporan
Pemantauan terus menerus
terhadap arus masuk data
Pemeliharaan sistem dan
jaringan iSIKHNAS
Format 27. Identifikasi risiko kegiatan Penyediaan dan Distribusi Semen Beku, N2 Cair dan Kontainer
No Proses Bisnis Pernyataan
Risiko Penyebab
Resiko Aktivitas
Pengendalian Pelaksanaan
K/SOP
1. Penyediaan Semen Beku, N2 Cair dan
Kontainer
Tidak tersedianya semen beku,
N2 cair dan kontainer sesuai dengan
peta kebutuhan
Data kebutuhan dari lokasi,
kabupaten dan provinsi yang tidak
akurat.
Pemasukan data dari lokasi,
kabupaten dan provinsi secara
konsisten dan berjenjang.
SOP data kebutuhan semen beku, N2
cair dan kontainer
Pengiriman data
terlambat
Pengiriman data tempat
waktu untuk penentuan rencana
anggaran dan pengadaan barang
SOP data kebutuhan
semen beku, N2 cair dan kontainer yang
dilengkapi batas waktu
Produsen N2 cair
hanya berada pada lokasi
tertentu
Penyesuaian jadwal
distribusi dengan lokasi produsen N2
cair
Kelengkapa
n dokumen perencanaa
n yang diperlukan belum
tersedia dengan lengkap
Penyesuaian
jadwal distribusi
anggaran dan jumlah kebutuhan
dengan ketersediaan bahan
produksi
Jadwal
palang dan lokasi
pendistribusian smen beku belum
final
Persiapan
pengadaan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan dan peraturan
yang berlaku
2. Distribusi
Semen Beku, N2 Cair dan Kontainer
Tidak
terdistribusinya semen beku, N2 cair dan
kontainer dengan tepat
jumlah, waktu dan kualitas
Perencanaa
n cara distribusi oleh
produsen barang yang
tidak sesuai dengan kondisi di
lokasi.
Adanya
dukungan dari pemerintah untuk
membantu kelancaran
distribusi barang
No Proses Bisnis Pernyataan
Risiko Penyebab
Resiko Aktivitas
Pengendalian Pelaksanaan
K/SOP
Pelaksanaan tidak
sesuai dengan prosedur
Penanganan kontainer
yang sesuai dengan SOP
SOP penanganan
semen beku dan N2 cair
Penyampaian laporan
dan tindakan terhadap
laporan tersebut
yang tidak segera dilaksanaka
n
Penggunaan kontainer
yang berisi N2 cair sesuai dengan
ketentuan dan distribusi
barang tepat waktu
SOP penanganan
semen beku dan N2 cair
Handling
semen pada saat memindahk
an semen beku ke
container lapangan yang tidak
efisien dan sesuai SOP
Penanganan
semen beku sesuai dengan ketentuan dan
SOP
SOP
penanganan semen beku dan N2 cair
Format 28. Identifikasi risiko kegiatan Gerbang Patas
No Proses Bisnis
Risiko Penyebab Risiko Aktivitas
Pengendalian Kendali
SOP/Kebijakan 1. Seleksi,
Penetapan lokasi dan kelompok
Keterlambatan seleksi dan penetapan kelompok
Tidak ada jadwal palang pelaksanaan kegiatan termasuk jadwal seleksi penetapan kelompok
Menyusun jadwal palang pelaksanaan kegiatan
Pedlak Juklak Juknis
TOR/Juker
Tidak adanya kelompok yang memenuhi kriteria
Ketidaksanggupan kelompok menyediakan lahan untuk penanaman HPT Kurangnya kompetensi tim seleksi kelompok
Tim teknis memastikan kelompok yang ditetapkan sesuai dengan kriteria
2. Pengadaan barang dan jasa
Keterlambatan pengadaan barang dan Jasa
Kegagalan proses pengadaan secara lelang
Mempersiapkan proses lelang lebih awal (T-1)
Mengawal proses pengadaan di ULP setempat
Pedlak Juklak Juknis
TOR/Juker
3. Distribusi sarana kegiatan (benih/bibit HPT)
Distribusi dilakukan pada musim kering dan tidak tersedia sumber air
Informasi kurang jelas disampaikan kepada pemenang pengadaan barang jasa
Tim Teknis membuat SOP
Meminta PPK menuliskan dalam kontrak bahw distribusi HPT disesuaikan dengan kondisi ketersediaan air di lokasi penanaman
Pedlak Juklak Juknis TOR/Juker
4. Pelaksanan Penanaman HPT dan / atau pemeliharaan
Target penanaman HPT tidak tercapai optimal
Terbatasnya jumlah penyedia yang mampu melaksanakan kegiatan
Terbatasnya sumber penyedia bibit HPT komersial
Waktu (jadwal) penanaman yang harus disesuaikan dengan ketersediaan air.
Mendorong Satker segera merealisasikan kegiatan HPT
Membuat surat edaran agar sumber bibit HPT lebih meningkatkan produktivitasnya
Memanfaatkan data BMKG
Pedlak Juklak Juknis TOR
Format 29. Identifikasi risiko kegiatan Pengembangan Padang Penggembalaan
No Proses Bisnis Risiko Penyebab Risiko Aktivitas Pengendalian
Kendali SOP/Kebijakan
1. Seleksi, Penetapan lokasi dan kelompok
Keterlambatan seleksi
dan penetapan kelompok
Tidak ada jadwal pelaksanaan
kegiatan termasuk jadwal
seleksi dan penetapan klp
Menyusun jadwal palang pelaksanaan
kegiatan
Pedlak Juklak Juknis
TOR/Juker
Tidak adanya
kelompok yang
memenuhi kriteria
Ketidaksanggupan kelompok menyediakan lahan untuk penanaman HPT
Kurangnya kompetensi tim seleksi kelompok
Tim teknis memastikan
kelompok yang
ditetapkan sesuai dengan
kriteria
2. Pengadaan Barang dan
Jasa
Keterlambatan
pengadaan barang dan
Jasa
Kegagalan proses pengadaan
secara lelang
Mempersiapkan proses lelang lebih awal (T-1)
Mengawal proses pengadaan di ULP setempat
Pedlak Juklak Juknis
TOR/Juker
3. Distribusi sarana
kegiatan (benih/bibit
HPT)
Distribusi dilakukan
pada musim
kering dan tidak
tersedia sumber air
Informasi kurang jelas
disampaikan kepada
pemenang pengadaan barang jasa
Tim Teknis membuat SOP
Meminta PPK menuliskan dalam kontrak bahw distribusi HPT disesuaikan dengan kondisi ketersediaan air di lokasi penanaman
Pedlak Juklak Juknis
TOR/Juker
4. Pelaksanan Penanaman HPT dan /
atau pemeliharaan
Target penanaman HPT tidak tercapai optimal
Terbatasnya jumlah penyedia yang mampu melaksanakan kegiatan
Terbatasnya sumber penyedia bibit HPT komersial
Waktu (jadwal) penanaman yang harus disesuaikan dengan ketersediaan air.
Mendorong Satker segera merealisasikan kegiatan HPT
Membuat surat edaran agar sumber bibit HPT lebih meningkatkan produktivitasnya
Memanfaatkan data BMKG
Pedlak Juklak Juknis TOR
Format 30. Identifikasi risiko kegiatan Pemeliharaan Padang Penggembalaan
No Proses Bisnis Risiko Penyebab
Risiko
Aktivitas
Pengendalian
Kendali
SOP/Kebijakan
1. Seleksi dan
Penetapan
lokasi dan
kelompok
Tingkat kematia
n ternak
tinggi
Padang tidak
terawat
Manajemen
pengelolaan Padang
tidak berjalan dengan
baik. Dinamika
kelompok
tidak berjalan
dinamis.
Menyusun jadwal
pembagian tugas
Pedlak
Juklak
Juknis
TOR/Juker
2. Pelaksanan
Penanaman
HPT dan /
atau
pemeliharaan
Target
penanama
n HPT
tidak
tercapai
optimal
Terbatasn
ya jumlah penyedia yang
mampu melaksanakan
kegiatan Terbatasn
ya sumber penyedia bibit HPT
komersial
Waktu (jadwal)
penanaman yang harus disesuaikan
dengan ketersediaan air.
Mendorong Satker segera
merealisasikan kegiatan HPT
Membuat surat
edaran agar sumber bibit
HPT lebih meningkatkan produktivitasny
a Memanfaatkan
data BMKG
Pedlak
Juklak
Juknis
TOR
Format 31. Identifikasi Risiko Penanganan Gangguan Reproduksi
Proses
Bisnis
Uraian
Risiko
Aktivitas
Pengendalian KEBIJAKAN SOP
Penanganan Gangguan
Reproduksi
Pengadaan obat-obatan
dan hormon tidak sesuai
dengan jumlah dan kasus yang
ada.
Invetarisasi jumlah dan jenis
kasus serta obat-obatan
tahun sebelumnya
Surat Edaran ke Dinas yang
membidangi Fungsi PKH
untuk melakukan inventariasi
jumlah dan jenis kasus serta obat-obatan
tahun sebelumnya
Kurangnya kompetensi
petugas teknis dalam penentuan
status reproduksi
Refresher (peningkatan
kompetensi) ATR dan dokter hewan tentang
pemeriksaan status reproduksi
Pedoman Pelaksanaan
dan Petunjuk Pelaksanaan
SOP pemeriksaan
dan penanganan gangguan
reproduksi
Keterbatasan jumlah
petugas teknis
(dokter hewan dan ATR) atau
tidak merata
Optimalisasi Puskeswan dan
THL Medik dan Paramedik
Veteriner
Surat Edaran
Tidak ada
laporan gangrep dari inseminator
ke dokter hewan/ATR
Teguran/sanksi
dari atasan langsung/kepala dinas yang
membidangi fungsi PKH
Surat
teguran/sanksi
SOP
Pelaporan kasus gangrep
Kebiasaan peternak terhadap
sapi yang di IB 2 kali
tidak bunting dianggap
majir dan dijual
Sosialisasi kepada peternak tentang
penanganan gangguan
reproduksi
Pedoman Pelaksanaan dan Petunjuk
Pelaksanaan
Format 32. Identifikasi Risiko Pengendalian Pemotongan Betina Produktif
No Kegiatan Titik Kritis Pengendalian
1 Penyusunan Pedoman Pedoman terlambat
disusun
Finalisasi Pedoman
pelaksanaan paling lambat awal bulan
Januari 2018
2 Sosialisasi dan
Advokasi Pengendalian Pemotongan Betina Produktif
Kegiatan sosialisasi
dan advokasi tidak tepat Sasaran
Penentuan kriteria
peserta di surat undangan
3 Pengawasan Pemotongan Betina
Produktif
1. Keterbatasan petugas
2. Pengawasan tidak sesuai dengan sasaran
Peningkatan jumlah dan kompetensi
petugas Identifikasi lokasi dan
penjadwalan kegiatan
pengawasan
4 Penindakan Pelanggaran
Pemotongan Betina Produktif
Kurangnya keberanian Tim
Terpadu dalam melakukan
penindakan
Penyusunan pedoman pelaksanakan yang jelas
5 Monitoring, Evaluasi,
dan Pelaporan
Keterlambatan
pelaporan
Menyusun jadwal
pelaporan dan mengkomunikasikan setiap masuk waktu
pelaporan.
Format 33. Outline Laporan Kinerja Upsus Siwab
OUTLINE
LAPORAN PERKEMBANGAN KINERJA UPSUS SIWAB
KABUPATEN / KOTA .......
PROVINSI ......
BULAN : .......
PENDAHULUAN
Berisikan tentang gambaran potensi wilayah daerah dan target yang telah
ditetapkan.
PELAKSANAAN UPSUS SIWAB
Secara umum digambarkan capaian kinerja program tentang jumlah yang di IB,
jumlah yang bunting dan jumlah ternak yang lahir. Disamping itu juga
digambarkan capaian kinerja pelaksanaan kegiatan teknis yang meliputi :
1. Penyediaan Semen Beku, SDM IB, Sarana-prasarana IB, dan Pelaksanaan IB
dan KA;
2. Perkembangan Distribusi dan Ketersediaan Semen Beku, N2 Cair dan
Kontainer;
3. Perkembangan pelaksanaan Penanganan Gangguan Reproduksi;
4. Pemenuhan Hijauan Pakan;
5. Pengendalian Pemotongan Betina Produktif;
6. Perkembangan Pelaporan Sistem iSIKHNAS.
PERMASALAHAN
Uraian masalah dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan yang menjadi
penghambat tidak tercapainya target bulanan.
UPAYA PENYELESAIAN MASALAH
Langkah-langkah yang telah ditempuh dalam mengatasi masalah dan kendala yang
ada.
REKOMENDASI / SARAN
Masukan dan saran perbaikan untuk pelaksanaan selanjutnya
LAMPIRAN - LAMPIRAN
Data dukung yang perlu untuk lebih menunjang laporan
Format 34. Alur Pelaporan Program UPSUS SIWAB
DIREKTUR JENDERAL PKH
22
ALUR PELAPORAN KINERJA KEGIATAN UPSUS SIWAB
PROVINSI
SEKRETARIAT POKJA UPSUS
SIWAB Pokja Upsus Siwab Provinsi
Laporan kinerja: (1) Pelaksanaan Kegiatan IB;
(2)Penyediaan dan Distribusi Semen Beku, Nitrogen
(N2) Cair Dan Kontainer; (3) Sumber Daya Manusia;
(4) Pemenuhan Hijauan Pakan; (5) Penanggulangan
Gangguan Reproduksi; dan (6)Pengendalian
Pemotongan Sapi/Kerbau Betina Produktif di RPH.
Format35. Alur Pelaporan Kinerja Kegiatan UPSUS SIWAB
Format 36. Klasifikasi Gangguan Reproduksi
A. Klasifikasi Gangguan Reproduksi
1. Gangguan reproduksi berdasarkan sifat
Gangguan reproduksi berdasarkan sifat yaitu gangguan reproduksi non
permanen (infertilitas) dan permanen (sterilitas). Gangguan reproduksi yang
bersifat non permanen ditandai dengan keterlambatan produksi anak setiap
siklus reproduksinya. Contoh gangguan reproduksi yang bersifat infertilitas
antara lain:
a. Hypofungsi ovari (ovarium in-aktif temporer)
Kasus hypofungsi ovari pada umumnya terjadi pada kondisi BCS
dibawah 2,0. Pada kasus ini ovarium akan teraba halus yang ditandai
tidak adanya pertumbuhan folikel dan corpus luteum serta uterus
teraba lembek.
Penanganan: Tingkatkan kualitas dan jumlah pakan, massage
(perbaikan sirkulasi darah di ovarium), pemberian vitamin ADE,
hormon perangsang pertumbuhan folikel atau pembebas hormone
gonadotropin, dan deworming.
b. Corpus Luteum Persisten
Kasus kejadian Corpus Luteum Persisten/CLP merupakan kasus
infeksi pada uterus, seperti pyometra, metritis dan mumifikasi fetus.
Pada ovarium ditemukan corpus luteum yang menetap yang disebabkan
oleh tertahannya luteolitic factor (PGF2α) dari uterus. Kondisi tersebut
diakibatkan oleh peradangan atau sebab lain sehngga kadar
progesteron tinggi dan menekan pengeluaran FSH dan LH dari hypofisa
anterior. Selanjutnya folikel tidak berkembang yang berakibat tidak
dihasilkannya estrogen.
Penanganan: Lisiskan corpus luteum secara hormonal, dan
menghilangkan penyebab utama dengan pemberian antibiotika atau
preparat lainnya secara intra uterin (infusi intrauterina).
c. Endometritis
Pada umumnya endometritis terjadi setelah kelahiran abnormal, seperti
abortus, retensio plasenta, distokia, dsb atau sebagai kelanjutan radang
bagian luar (vulva, vagina,dan cervix). Tanda klinis ditunjukkan dengan
keluarnya lendir kotor saat estrus dan atau keluar lendir mukopurulen
secara kontinyu. Pada kasus endometritis subklinis tidak menunjukkan
gejala yang bisa dipalpasi per rektum.
Penanganan: Perbaiki sirkulasi darah di uterus (hati-hati dapat
menimbulkan kerusakan uterus) dan menghilangkan kuman dengan
antibiotika, sulfa atau antiseptik secara intra uterin.
d. Pyometra
Kejadian endometritis disertai dengan akumulasi pus dalam uterus,
biasanya bilateral, cervix biasanya dalam keadaan konstriksi, sehingga
leleran pus dari vulva tidak selalu terlihat. Peradangan uterus ini
selalu diikuti dengan terbentuknya corpus luteum. Penderita akan
mengalami anestrus akibat terbebasnya progesteron dari korpus
luteum.
Penanganan: obati dengan antibiotika secara infusi intrauterin,
pemberian sulfa atau antiseptika.
e. Kista Ovaria
Kista ovaria disebabkan oleh defisiensi LH yang mengakibatkan folikel
tidak mengalami ovulasi, namun dapat menjadi kista persisten dengan
diameter lebih dari 20 mm. Kista dapat dibagi menjadi 2 kelompok,
yaitu:
1. kista folikel (follicular cysts) disebabkan defisiensi LH berat, bersifat
multipel, bilateral, gejala umumnya nimfomania.
2. kista lutea (luteal cyst) disebabkan defisiensi LH ringan, tunggal,
gejala umumnya anestrus.
Penanganan: Berikan hormon yang kerjanya seperti LH (hati-hati
sangat antigenik) atau pembebas hormon gonadotrofin. [
Sedangkan gangguan reproduksi yang bersifat lengkap adalah sterilitas
atau disebut juga kemajiran. Contoh gangguan reproduksi yang
bersifat Sterilitas antara lain:
a. Atrofi ovari
b. Defek kongenital, seperti freemartin, hipoplasia ovaria, aplasia
ovaria
c. Fibrosis (indurasi) cervix et uteri.
2. Gangguan reproduksi berdasarkan gejala
Gangguan reproduksi berdasarkan gejala dibedakan menjadi empat
kelompok yaitu:
a. Tidak menunjukkan gejala estrus (anestrus). Gejala anestrus
ditemukan pada kasus kista luteal, hypofungsi ovari, atrofi,
mumifikasi fetus, maserasi fetus, pyometra, metritis, dan kelainan
kongenital lainnya.
b. Estrus yang lemah (subestrus, silent heat). Gejala subestrus terjadi
pada sapi yang bersiklus normal namun menunjukkan gejala
berahinya tidak jelas, sedangkan silent heat terjadi pada sapi yang
bersiklus namun tidak menunjukkan gejala berahinya, kecuali
kerbau pada umumnya secara normal menunjukkan silent heat.
c. Estrus terus-menerus (nymfomania). Gejala estrus terus-menerus
(nymfomania) terjadi pada sapi yang berahi terus menerus tanpa
disertai ovulasi, ditemukan pada kasus kista folikuler (follicular cyst)
dalam ovarium.
d. Estrus berulang. Gejala estrus berulang terjadi pada gangguan
reproduksi akibat kegagalan fertilisasi (fertilization failure) dan
kematian embrio (embryonic death) yang menyebabkan terjadinya
kawin berulang. Pada sapi akseptor IB di Indonesia banyak dijumpai
endometritis subklinis yang berakibat 80% repeat breeding.
3. Gangguan reproduksi berdasarkan penyebab
Gangguan reproduksi berdasarkan penyebab, dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu:
a. Gangguan reproduksi yang disebabkan oleh infeksi agen penyakit yang
menyerang organ reproduksi.
1) Secara spesifik (Brucellosis, vibriosis, leptospirosis, tuberkulosis, dll)
2) Secara non spesifik (Collibacilosis, staphylococosis, streptococosis,
corynebacteriosis, aspergillosis, candidiasis)
b. Gangguan reproduksi yang disebabkan non infeksi
1) Kongenital
2) Nutrisi