kasus pengobatan yang tidak rasional

7
TUGAS FARMASI FORENSIK KASUS PENGOBATAN YANG TIDAK RASIONAL Pemberian Cytotec yang Tidak Rasional Dalam Menginduksi Persalinan Oleh : Khatija Taher Ali 0808505014 JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA BUKIT JIMBARAN 2010

Upload: nurhalifah-ibrahim

Post on 25-Sep-2015

27 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

pengobatan tidak rasional adalah

TRANSCRIPT

  • TUGAS FARMASI FORENSIK

    KASUS PENGOBATAN YANG TIDAK RASIONAL

    Pemberian Cytotec yang Tidak Rasional

    Dalam Menginduksi Persalinan

    Oleh :

    Khatija Taher Ali

    0808505014

    JURUSAN FARMASI

    FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

    UNIVERSITAS UDAYANA

    BUKIT JIMBARAN

    2010

  • KASUS PENGOBATAN YANG TIDAK RASIONAL

    Pemberian Cytotec yang Tidak Rasional

    Dalam Menginduksi Persalinan

    Setelah menjalani masa kehamilan yang normal dan tanpa masalah, seorang

    wanita berinisial LP dirawat di rumah sakit untuk induksi persalinan. Obat yang

    digunakan dalam menginduksi persalinan adalah Cytotec. Cytotec mengandung

    misoprostol. Obat diaplikasikan pada vagina dekat cervix. Obat ini memiliki waktu

    kerja yang panjang sehingga efektif untuk digunakan dalam menginduksi kontraksi.

    Dalam dosis tinggi, Cytotec digunakan untuk menggugurkan kadungan pada trimester

    pertama. Belum ada persetujuan FDA mengenai penggunaan Cytotec untuk

    menginduksi persalinan, namun penggunaan off label dari Cytotec banyak dilakukan

    karena efektivitasnya dalam menginduksi kontraksi uterin (Wade, 2008).

    Cytotec sebenarnya diindikasikan untuk mengurangi risiko ulkus lambung yang

    diinduksi oleh NSAID. Cytotec dikontraindikasikan untuk wanita hamil dan untuk

    pasien yang alergi terhadap prostaglandin. FDA menetapkan Cytotec sebagai obat

    dengan kategori kehamilan X. Cytotec dapat menginduksi dan meningkatkan kontraksi

    uterin. Penggunaan Cytotec pada vagina, di luar indikasi yang disetujui FDA, sering

    digunakan untuk menginduksi persalinan. Reaksi samping yang paling sering terjadi

    pada penggunaan Cytotec dalam menginduksi kontraksi uterin adalah hiperstimulasi

    uterus yang dapat menyebabkan tetani uterin diikuti kerusakan aliran darah

    uteroplacental, ruptur uterin, atau emboli cairan amnion. Dilaporkan juga efek lain,

    seperti rasa sakit pada pelvic, placenta tertahan, perdarahan genital yang parah, shock,

    bradikardi fetal, dan kematian ibu atau fetus. Penggunaan Cytotec dengan dosis tinggi

    untuk menginduksi persalinan dapat meningkatkan risiko ruptur uterin, tachysystole

    pada uterin, dan meningkatan risiko perlu dilakukannya operasi Cesar (Anonim, 2009).

    Salah satu risiko dari penggunaan Cytotec dalam menginduksi persalinan adalah

    hiperstimulasi atau kontraksi yang terlalu sering dengan interval waktu yang

    berdekatan, serta kurangnya waktu istirahat antar tiap kontraksi. Hal tersebut, dalam

    banyak kasus dapat menimbulkan hipoksia. Pada kasus ini, LP maupun suaminya tidak

    diinformasikan oleh pihak rumah sakit mengenai risiko penggunaan Cytotec. Mereka

    juga tidak dimintai persetujuan untuk penggunaan Cytotec dalam menginduksi

  • persalinan LP, mengingat penggunaan Cytotec sebagai penginduksi kontraksi uterin

    adalah off-label (Wade, 2008).

    Dosis yang direkomendasikan untuk tujuan induksi kontraksi adalah 25 mcg

    yang diberikan berulang setiap 4 hingga 6 jam sampai kontraksi mulai terjadi. Dalam

    beberapa kondisi, dimana persalinan yang cepat sangat diperlukan, maka

    direkomendasikan penggunan Cytotec dengan dosis 50 mcg setiap 6 jam. Risiko

    hiperstimulasi tentunya akan meningkat pada penggunaan dosis tersebut (Wade, 2008).

    Dalam kasus induksi persalinan yang dilakukan terhadap LP, dokter (dr. R)

    memberikan dosis awal Cytotec sebesar 25 mcg pada jam 08.40 pagi. Pada jam 12.50,

    dokter memutuskan untuk memberikan lagi Cytotec kepada LP dengan dosis sebesar 50

    mcg. Tidak dilaporkan adanya persetujuan dari pihak pasien mengenai pemberian dosis

    tersebut. Pada jam 16.15, terjadi perusakan membran (ruptur), kontraksi kuat yang

    terjadi setiap 1 1,5 menit yang berlangsung selama 40 60 detik, diikuti dengan

    relaksasi uterin yang tidak sempurna dari jam 17.30 hingga waktu persalinan, yaitu jam

    21.47. Perawat di rumah sakit gagal mengenali pola kontraksi uterin yang abnormal

    tersebut, karenanya perawat tidak menghubungi dokter ataupun memberikan obat

    kepada LP. Dalam keadaan terjadi kontraksi yang berlebihan, seharusnya diberikan

    obat Terbutalin untuk mengurangi frekuensi dan interval kontraksi. Dokter juga gagal

    mengidentifikasi pola kontraksi uterin yang abnormal dari LP (Wade, 2008).

    Pada jam 20.25, dokter dipanggil ketika LP sudah mendekati waktu persalinan.

    Pada jam 21.15, dokter menyadari terjadinya penurunan denyut jantung fetal dan

    berpikir bahwa hal ini akan mempengaruhi proses persalinan. Dokter tersebut tidak

    memiliki wewenang untuk melakukan operasi cesar dan pada saat tersebut tim operasi

    tidak siap di tempat. Akhirnya, dokter menggunakan alat bantu persalinan berupa

    vacuum sebanyak 5 kali. Ia tidak dapat mengeluarkan bayi dan memint perawat untuk

    memanggilkan koleganya yang lebih senior yang memiliki wewenang melakukan

    operasi cesar untuk datang membantunya. Dokter senior datang dan mencoba

    mengeluarkan bayi dengan bantuan forcep, namun gagal. Forcep diabaikan dan mereka

    kembali menggunakan vacuum extractor sebanyak 2 kali yang akhirnya dapat

    mengeluarkan bayi. Bayi yang lahir berada dalam keadaan kaku (flacid), biru, dan

    pernapasannya lambat serta tidak beraturan (Wade, 2008).

  • Ekstraksi vakum merupakam tindakan obstetrik yang bertujuan untuk

    mempercepat waktu pengeluaran bayi dengan sinergi tenaga mengedan ibu dan

    ekstraksi pada bayi. Oleh karena itu, kerjasama dan kemampuan ibu untuk

    mengekspresikan bayinya, merupakan faktor yang sangat penting dalam menghasilkan

    akumulasi tenaga dorongan dengan tarikan ke arah yang sama. Tarikan pada kulit

    kepala bayi, dilakukan dengan membuat cengkraman yang dihasilkan dari aplikasi

    tekanan negatif (vakum). Mangkuk logam atau silastik akan memegang kulit kepala

    yang akibat tekanan vakum, menjadi kaput artifisial. Mangkuk dihubungkan dengan

    tuas penarik (yang dipegang oleh penolong persalinan), melalui seutas rantai. Ada 3

    gaya yang bekerja pada prosedur ini, yaitu tekanan interauterin (oleh kontraksi) tekanan

    ekspresi eksternal (tenaga mengedan) dan gaya tarik (ekstraksi vakum). Indikasi

    penggunaan vacuum extractor untuk membantu persalinan adalah pada ibu yang

    menderita penyakit jantung atau paru, janin dalam keadaan gawat, dan pada persalinan

    yang lama. Penggunaan vacuum extractor dikontraindikasikan pada kondisi dimana

    dokter tidak memiliki kompetensi untuk melakukan tindakan ekstraksi vakum, aplikasi

    cawan penghisap secara tepat tidak dapat dilakukan, keadaan dimana indikasi tindakan

    ekstraksi vakum tidak jelas, posisi dan penurunan kepala janin tidak dapat ditentukan

    dengan jelas, dugaan gangguan imbang sepalopelvik, kelainan letak, dan dugaan adanya

    gangguan fisiologi pembekuan darah pada janin (Anonim, tt). Pada persalinan dengan

    menggunaan vacuum extractor, terdapat kemungkinan terjadi komplikasi, baik pada ibu

    maupunkinan terjadi komplikasi, baik pada ibu maupun pada janin. Komplikasi yang

    dapat terjadi pada ibu adalah laserasi vagina, perineum, rectum atau kandung kemih;

    hemoragi akibat laserasi; hematoma pelvis; retensi urin; dan infeksi saluran kemih.

    Komplikasi yang terjadi pada janin antara lain, asfiksia; cedera pleksus brakialis,

    sefalohematoma; hiperbilirubinemia; hemoragi intracranial dan retina; serta perdarahan

    subgaeal (Haws, 2004).

    Forsep berupa alat logam menyerupai sendok. Bedanya dengan vakum, ektraksi

    forsep bisa dilakukan tanpa tergantung tenaga ibu, jadi bisa dilakukan meskipun ibu

    tidak mengedan (misalnya saat terjadi keracunan kehamilan, asma atau penyakit

    jantung). Persalinan denga forsep relatif lebih berisiko dan lebih sulit dilakukan, namun

    kadang terpaksa dilakukan juga apalagi jika kondisi ibu dan anak sangat tidak baik.

    Asalkan dapat dilakukan dengan aman, forcep diindikasi pada semua keadaan yang

  • mengancam ibu atau janin yang besar kemungkinannya teratasi oleh lahirnya janin.

    Indikasi ibu antara lain adalah penyakit jantung, cedera atau gangguan paru, infeksi

    intrapartum, beberapa penyakit neurologis, kelelahan, atau persalinan kala dua lama

    (berkepanjangan). Indikasi janin antara lain adalah prolapsus tali pusar, pemisahan

    premature plasenta, dan pola denyut jantung janin yang meragukan (William, 2003).

    Seperti halnya persalinan dengan vacuum extractor, penggunaan forcep juga dapat

    menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang ditimbulkan pada ibu sama seperti yang

    terjadi pada penggunaan vacuum extractor. Komplikasi yang dapat terjadi pada janin

    adalah asfiksia dan kematian; cedera pleksus brakialis; sefalohematoma; paralisis dan

    laserasi fasial; serta fraktur tengkorak dan hemoragi intracranial (Haws, 2004).

    Penggunaan alat bantu persalinan vacuum secara berulang jika dikombinasikan

    dengan penggunaan forceps diketahui dapat meningkatkan risiko luka traumatic,

    khususnya perdarahan di luar tulang kepala yang dikenal dengan perdarahan subgaleal.

    perdarahan subgaleal adalah perdarahan ke dalam kompartemen subgaleal.

    Kompartemen subgaleal adalah ruang potensial yang berisi jaringan ikat tersusun

    longgar, terletak di bawah galea aponerosis, suatu selubung tendon yang

    menghubungkan otot frontal dan oksipital dan membentuk permukaan dalam kulit

    kepala. Cedera terjadi karena gaya yang menekan, kemudian menarik kepala melalui

    pelvic outlet (Wong, dkk., 2001). Luka yang terjadi dapat berkisar dari ringan hingga

    sedang dan dapat menyebabkan penurunan tekanan darah, penurunan perfusi ke otak,

    hingga efek berbahaya yang mengakibatkan fetal exsanguinations. Perdarahan yang

    terjadi biasanya bersifat progresif selama beberapa jam setelah persalinan (Wade, 2008).

    Bayi yang telah lahir tersebut, awalnya diberikan masker ventilasi selama 90

    detik. Bayi tersebut dibawa ke ruang perawatan bayi. Para ahli berpendapat bahwa perlu

    dilakukan monitoring dan perawatan terhadap bayi tersebut. Namun, nyatanya bayi

    tersebut diberi perlakuan seperti pada bayi normal. Tekanan darah tidak dicatat

    walaupun terdapat risiko perdarahan subgaleal. Walaupun bayi tersebut telah diberikan

    kepada ibunya (LP) untuk disusui, bayi tersebut tidak mau makan. Keesokan paginya,

    pada jam 07.30, seorang perawat melihat bahwa bayi tersebut biru dan tidak bernapas.

    Sesaat setelah itu, bayi tersebut terkena serangan jantung diikuti dengan apnea dan

    bradikardia. Mendekat jam 10.00, kadar glukosa ditentukan dan diperoleh bahwa bayi

    mengalami hipoglikemia yang diyakini memperburuk luka hipoksik menurut pediatric

  • neurologist and neonatologist. Pada jam 10.30, fasilitas pelayanan tersier dihubungi dan

    bayi dipindahkan ke rumah sakit dengan perawatan khusus. Dilakukan CT scan

    terhadap bayi berumur 17 jam ini dan dilaporkan bahwa terjadi pembengkakan otak dan

    perdarahan subgaleal. Berdasarkan pendapat saksi ahli dari pihak penuntut, penurunan

    tekanan darah pada bayi ini merupakan akibat dari perdarahan tersebut yang

    menurunkan perfusi darah ke otak, sehingga memperburuk luka pada otaknya. Bayi

    tersebut menjalani perawatan di rumah sakit selama 12 hari. Diperkirakan bahwa

    kemunginan besar saat berumur 3 bulan, bayi ini akan mengalami kerusakan otak. Saat

    berusia 6,5 tahun, bayi ini diperkirakan tidak dapat bicara, mengeluarkan air liur terus

    menerus, mengalami kerusakan motorik pada kedua sisi (kerusakan lebih besar pada

    bagian kanan), dan akan mengalami kesulitan dalam makan. Anak ini tidak akan dapat

    hidup mandiri. Pencernaan dan kandung kemihnya tidak normal (Wade, 2008).

    Kasus ini merupakan kasus pengobatan yang tidak rasional, dimana dokter yang

    menangani persalinan salah memberikan dosis. Dosis yang diberikan oleh dokter

    tersebut melebihi dosis yang direkomendasikan. Dokter juga gagal mengenali kontraksi

    yang tidak normal akibat pemberian obat Cytotec dengan dosis berlebih yang ia berikan.

    Seharusnya, pada keadaan terjadi kontraksi berlebih, maka dokter harus cepat bertindak

    dengan memberikan obat yang dapat mengurangi kontraksi, misalnya terbutalin.

    Pihak keluarga korban menuntut rumah sakit, dokter, dan perawat yang

    menangani persalinan LP serta yang menangani bayi yang dilahirkan. Kasus ini berakhir

    dengan kemenangan pihak LP. Pihak rumah sakit, dokter, serta perawat dikenai denda

    sebesar US$ 9.566.500 (setara dengan Rp 86.098.500.000). Pihak rumah sakit dikenai

    denda sebesar 30 %, sedangkan dokter dan perawat dikenai 70 % dari nominal tersebut

    (Wade, 2008).

  • DAFTAR PUSTAKA

    Anonim. tt. Ekstraksi Vakum. Mataram : RSU MATARAM FK UNRAM

    Anonim. 2009.Cytotec Misoprostol Tablets.

    Available at : http://www.pfizer.com/

    Last Opened : December 20, 2010

    Haws, Paulette S. 2004. Asuhan Neonatus Rujukan Cepat. Jakarta : EGC.

    Wade, Terry L. 2008. Medical Malpractice Case Report: $9.566 Million verdict for Inappropriate Use of Drug Cytotec to Induce Labor and Failure to Diagnose Hyperstimulation.

    Available at : http://www.firmnews.com/

    Last Opened : December 20, 2010

    William, dkk. 2003. Obstetri William. Jakarta : EGC

    Wong, Dona L., dkk. 2001. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC