makalah antibiotik rasional
DESCRIPTION
ANTIBIOTIK RASIONALTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANGBagi para ibu hamil, penggunaan obat-obatan memang sangat tidak
dianjurkan. Mengapa? Karena ini dikhawatirkan dapat berdampak buruk pada
janin selain juga berisiko menimbulkan kecacatan pada bayi.
Pemakaian obat-obatan saat hamil dapat menimbulkan masalah, bukan
saja akibat reaksi obat yang tak diharapkan pada ibu. Tetapi, janin pun perlu
dipertimbangkan sebagai target potensial. Obat dapat memberi dampak pada
sistem saraf pusat janin yang sedang berkembang. Salah satu dampak yang
penting adalah efek teratogenik yang menimbulkan kecacatan.
Menurut Guru Besar Farmakologi Universitas Gajah Mada (UGM) Prof
Iwan Prahasto, sejumlah studi klinis mengindikasikan memang tak semua obat
berbahaya bagi ibu hamil. Pasalnya, obat-obat itu tidak pernah diujikan pada ibu
hamil dan hanya diujikan kepada binatang saja.
Menurut Beliau, pada ibu hamil, hari pertama sampai ke-70 konsepsi
adalah masa paling rawan terjadinya malformasi (janin kacau). "Bentuknya bisa
ada cacat kalau obat-obat tertentu dikonsumsi pada the first seventy of
pregnancy," tambahnya.
Meski begitu, bukan berarti setelah 70 hari seorang ibu hamil dapat
dengan bebas mengonsumsi obat-obatan. Ada beberapa obat yang berbahaya
kalau diberikan pada trimester dua atau tiga. Lalu, bagaimana jika ada seorang
ibu hamil terkena penyakit dan mengharuskannya mengonsumsi obat?
Dalam kasus ini, biasanya seorang dokter akan melihat, lebih banyak
risiko apa keuntungan yang akan didapat sang ibu dengan mengonsumsi obat.
"Misalnya dalam kasus yang menyangkut nyawa sang ibu, jika tidak
dikasih obat ibu itu meninggal, maka in anyway ini benefit. Kita ambil
benefitnya. Tetapi kalau ada obat lain yang lebih aman, atau dengan tidak minum
obat tidak mencelakakan si ibu, maka kita ambil risikonya," papar Iwan.
Sekalipun beberapa obat ada yang aman dikonsumsi bagi ibu hamil, jika
bisa tanpa obat sebaiknya pilih untuk tidak meminum obat. Untuk menjaga
1
kondisi ibu hamil tetap terjaga, bisa dilakukan dengan istirahat yang cukup,
minum air putih yang banyak, serta konsumsi buah dan sayuran.
Salah satu obat yang sering digunakan di masyarakat adalah antibiotik.
Obat-obatan antibiotik itu termasuk obat keras yang mana membantu tubuh untuk
membunuh kuman ataupun bakteri yang masuk, yang tidak bisa dilawan dengan
sistem kekebalan tubuh. Karena obat-obatan ini bekerja dengan sistem
penghancuran total, maka tidak hanya bakteri saja, sel tubuh kita yang terinfeksi
dan disekitarnya akan ikut terkena imbas...untuk menghilangkan kesempatan
masih ada sisa-sisa koloni bakteri yang mungkin "bersembunyi". Makanya
pemberian obat antibiotik harus tuntas, sampai seluruh koloni bakteri benar-benar
habis terbunuh, jika tidak maka bisa dipastikan bakteri itu bisa "bersiap diri"
untuk menyerang kembali, atau bahkan bisa juga bakteri-bakteri itu bisa jadi
kebal dengan obat tersebut dan kalau sudah begitu diperlukan antibiotik generasi
lebih tinggi untuk membunuh kuman.
Oleh karena efek membunuh yang kuat, jika seorang pasien diberi obat
antibiotik, harus dipastikan sistem kekebalan tubuh pasien itu juga kuat, karena
untuk melawan efek dari antibiotik itu sendiri dan untuk sistem self-recovery
mengganti sel-sel tubuh yang telah rusak.
Untuk keadaan hamil, apalagi masih dalam trimester ketiga, pemberian
antibiotik bisa sangat membahayakan janin, karena hampir semua antibiotik
memberikan efek samping mual, muntah, pusing dan gangguan sistem
pencernaan. Efek-efek samping yang ditimbulkan juga akan menekan kehamilan.
Bahkan ada antibiotik yang bisa menembus sampai ke sistem kelenjar / cairan,
seperti liur, kelenjar getah bening, cairan otak dan ASI. Jika pada masa menyusui
minum antibiotik, maka obat akan merembes di ASI dan bayi akan minum ASI
bercampur obat, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi.
Namun bukan berarti ibu hamil dan menyusui tidak boleh minum obat
antibiotik, harus hati-hati dan perhatikan petunjuk dokter tentang cara
pemakaiannya. Seorang dokter pasti lebih tahu bagaimana sebaiknya meminum
antibiotik untuk ibu hamil atau menyusui.
2
B. TUJUANTujuan utama pembuatan makalah ini adalah agar kita mengetahui
antibiotik yang aman dan yang tidak boleh diberikan saat ibu hamil.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENDAHULUAN
Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik,
yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di
dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan
antibiotika khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun
dalam bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi
terhadap mutan atau transforman. Antibiotika bekerja seperti pestisida dengan
menekan atau memutus satu mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya
adalah bakteri. Antibiotika berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya.
Desifektan membunuh kuman dengan menciptakan lingkungan yang tidak wajar
bagi kuman untuk hidup.
Antibiotika banyak digunakan secara luas pada kehamilan. Karena
adanya efek samping yang potensial bagi ibu maupun janinnya, penggunaan
antibiotika seharusnya digunakan jika terdapat indikasi yang jelas. Prinsip utama
pengobatan wanita hamil dengan penyakit adalah dengan memikirkan
pengobatan apakah yang tepat jika wanita tersebut tidak dalam keadaan hamil.
Biasanya terdapat berbagai macam pilihan, dan untuk alasan inilah prinsip yang
kedua adalah mengevaluasi keamanan obat bagi ibu dan janinnya.
Antimikroba adalah obat yang digunakan untuk memberantas infeksi
mikroba pada manusia. Sedang antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan
oleh mikroorganisme (khususnya dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan secara
sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan bakteri dan
organisme lain.
Infeksi merupakan penyebab utama kematian prematur pada bayi.
Meskipun terapi profilaksis antibiotik belum terbukti bermanfaat, pemberian
obat-obat antibiotik kepada ibu hamil dengan ketuban pecah dini dapat
memperlambat kelahiran dan menurunkan insidens infeksi (Lamont dkk, 2001).
4
Kehamilan akan mempengaruhi pemilihan antibiotik. Umumnya penisilin
dan sefalosporin dianggap sebagai preparat pilihan pertama pada kehamilan,
karena pemberian sebagian besar antibiotik lainnya berkaitan dengan
peningkatan risiko malformasi pada janin. Bagi beberapa obat antibiotik, seperti
eritromisin, risiko tersebut rendah dan kadang-kadang setiap risiko pada janin
harus dipertimbangkan terhadap keseriusan infeksi pada ibu.
Beberapa jenis antibiotika dapat menyebabkan kelainan pada janin. Hal
ini terjadi karena antibiotika yang diberikan kepada wanita hamil dapat
mempengaruhi janin yang dikandungnya melalui plasenta. Antibiotika yang
demikian itu disebut teratogen. Definisi teratogen adalah suatu obat atau zat
yang menyebabkan pertumbuhan janin yang abnormal.
Kata teratogen berasal dari bahasa Yunani teras, yang berarti monster,
dan genesis yang berarti asal. Jadi teratogenesis didefinisikan sebagai asal
terjadinya monster atau proses gangguan proses pertumbuhan yang menghasilkan
monster.
Besarnya reaksi toksik atau kelainan yang ditimbulkan oleh antibiotika
dipengaruhi oleh besarnya dosis yang diberikan, lama dan saat pemberian serta
sifat genetik ibu dan janin. Pada manusia, periode terjadinya teratogenesis adalah
mulai hari ke 17 sampai hari ke 54 post konsepsi. Perlu diingat bahwa hanya
sekitar 2%-3% kejadian teratogenik berhubungan dengan pajanan obat-obatan,
sekitar 70% lainnya tidak diketahui. Sisanya kemungkinan berhubungan dengan
kelainan genetik atau pajanan lainnya.
Besarnya reaksi toksik atau kelainan yang ditimbulkan oleh antibiotika
dipengaruhi oleh besarnya dosis yang diberikan, lama dan saat pemberian serta
sifat genetik ibu dan janin.
B. RIWAYAT PENEMUAN ANTIBIOTIK
Penemuan antibiotika terjadi secara 'tidak sengaja' ketika Alexander
Fleming, pada tahun 1928, lupa membersihkan sediaan bakteri pada cawan petri
dan meninggalkannya di rak cuci sepanjang akhir pekan. Pada hari Senin, ketika
5
cawan petri tersebut akan dibersihkan, ia melihat sebagian kapang telah tumbuh
di media dan bagian di sekitar kapang 'bersih' dari bakteri yang sebelumnya
memenuhi media. Karena tertarik dengan kenyataan ini, ia melakukan penelitian
lebih lanjut terhadap kapang tersebut, yang ternyata adalah Penicillium
chrysogenum syn. P. notatum (kapang berwarna biru muda ini mudah ditemukan
pada roti yang dibiarkan lembap beberapa hari). Ia lalu mendapat hasil positif
dalam pengujian pengaruh ekstrak kapang itu terhadap bakteri koleksinya. Dari
ekstrak itu ia diakui menemukan antibiotik alami pertama: penicillin G.
Penemuan efek antibakteri dari Penicillium sebelumnya sudah diketahui
oleh peneliti-peneliti dari Institut Pasteur di Perancis pada akhir abad ke-19
namun hasilnya tidak diakui oleh lembaganya sendiri dan tidak dipublikasi.
C. MACAM-MACAM ANTIBIOTIK
Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan sasaran kerja senyawa
tersebut dan susunan kimiawinya. Ada enam kelompok antibiotika dilihat dari
target atau sasaran kerjanya(nama contoh diberikan menurut ejaan Inggris karena
belum semua nama diindonesiakan atau diragukan pengindonesiaannya):
Inhibitor sintesis dinding sel bakteri, mencakup golongan Penicillin,
Polypeptide dan Cephalosporin, misalnya ampicillin, penicillin G;
Inhibitor transkripsi dan replikasi, mencakup golongan Quinolone,
misalnya rifampicin, actinomycin D, nalidixic acid;
Inhibitor sintesis protein, mencakup banyak jenis antibiotik, terutama
dari golongan Macrolida, Aminoglycoside, dan Tetracycline, misalnya
gentamycin, chloramphenicol, kanamycin, streptomycin, tetracycline,
oxytetracycline;
Inhibitor fungsi membran sel, misalnya ionomycin, valinomycin;
Inhibitor fungsi sel lainnya, seperti golongan sulfa atau sulfonamida,
misalnya oligomycin, tunicamycin; dan
Antimetabolit, misalnya azaserine.
6
D. FARMAKOKINETIKA ANTIBIOTIKAgar suatu obat efektif untuk pengobatan, maka obat itu harus
mencapai tempat aktifitasnya di dalam tubuh dengan kecepatan dan jumlah yang
cukup untuk menghasilkan konsentrasi efektif.
Faktor-faktor yang penting dan berperan dalam farmakokinetika obat
adalah absorpsi, distribusi, biotransformasi, eliminasi, faktor genetik dan
interaksi obat. Antibiotika yang akan mengalami transportasi tergantung dengan
daya ikatnya terhadap protein plasma. Bentuk yang tidak terikat dengan protein
itulah yang secara farmakologis aktif, yaitu punya kemampuan sebagai
antimikroba. Transport antibiotika ditentukan oleh proses difusinya, luas daerah
transfer, kelarutan dalam lemak, berat molekul, derajat ionisasi, koefisien partisi
dan perbedaan konsentrasi meternofetal.
Perubahan fisiologis pada ibu yang terjadi selama kehamilan bisa
mempengaruhi konsentrasi antibiotika dalam serum, sehingga bisa
mempengaruhi efek obat. Perubahan-perubahan itu adalah :
1. Kehamilan bisa merubah absorpsi obat yang diberikan peroral
2. Kehamilan bisa merubah distribusi obat yang disebabkan karena
peningkatan distribusi volume (intravaskuler, interstisial dan di dalam
tubuh janin) serta peningkatan cardiac output
3. Kehamilan merubah interaksi obat-reseptor karena timbul dan
tumbuhnya reseptor obat yang baru di plasenta dan janin
4. Kehamilan dapat merubah ekskresi obat melalui peningkatan aliran
darah ginjal dan filtrasi glomerulus
E. EFEK TERATOGENIKTeratologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perkembangan
abnormal dan malformasi kongenital. Termasuk disini mempelajari klasifikasi,
frekuensi, penyebab dan mekanisme perkembangan janin dan embrio yang
mengalami penyimpangan.Teratogenisitas didefinisikan sebagai kemampuan
suatu zat eksogen (disebut teratogen) untuk menimbulkan malformasi kongenital
yang tampak jelas saat lahir bila diberikan selama kehamilan. Efek teratogen
yang terjadi tergantung dari :
1. Kepekaan genetis janin
7
2. Masa gestasi
3. Dosis obat yang diberikan
4. Kondisi ibu seperti umur, nutrisi, patologi
Pada tahun 1980, Food and Drug Administration memperkenalkan 5
kategori untuk obat-obat yang diberikan selama kehamilan. Lima kategori itu
adalah :
1. Kategori A :
Obat-obat yang menurut studi terkontrol tidak menimbulkan resiko pada
janin.
2. Kategori B :
Untuk obat-obat yang berdasarkan studi pada binatang dan manusia tidak
menunjukkan resiko yang bermakna. Termasuk disini adalah :
a. Dari studi pada binatang tidak menunjukkan resiko, tetapi belum ada studi
pada manusia mengenai hal tersebut.
b. Dari studi pada binatang menunjukkan adanya resiko, tetapi dari hasil studi
yang terkontrol baik pada manusia menunjukkan tidak adanya resiko.
3. Kategori C :
Untuk obat-obat yang belum didukung studi adekuat, baik pada binatang
maupun pada manusia atau obat-obat yang menunjukkan efek yang
merugikan pada studi binatang tetapi belum ada studi pada manusia.
4. Kategori D :
Untuk obat-obat yang ada bukti resikonya pada janin tetapi manfaatnya jauh
lebih besar.
5. Kategori X :
Untuk obat-obat yang terbukti mempunyai resiko terhadap janin dan resiko
itu lebih berat daripada manfaatnya.
Antibiotika tidak ada yang termasuk kategori X. Umumnya masuk kategori
B, kecuali beberapa yang masuk kategori C atau D. Telah disebut sebelumnya bahwa
antibiotika yang bebas yang mempunyai efek farmakologis dan mampu ditransfer
melalui plasenta untuk selanjutnya terdistribusi dalam tubuh janin. Obat yang berada
di dalam tubuh janin inilah yang bisa mempengaruhi pertumbuhan dan
8
perkembangan janin. Menurut Eriksson dkk, ada 4 prinsip teratogenik yang
menyebabkan suatu antibiotika bisa menimbulkan efek teratogenik yaitu :
1. Sifat antibiotika dan kemampuannya untuk memasuki tubuh janin
2. Saat obat bekerja
3. Kadar dan lama pemberian (dosis)
4. Kesempurnaan genetik janin
F. ANTIBIOTIK RASIONAL DALAM KEHAMILAN
1. Antibiotik yang aman dalam kehamilan
a. PenisilinPenisilin adalah antibiotika yang termasuk paling banyak dan paling
luas dipakai. Obat ini merupakan senyawa asam organik, terdiri dari satu inti
siklik dengan satu rantai samping. Inti sikliknya terdiri dari cincin tiazolidin
dan cincin betalaktam. Rantai samping merupakan gugus amino bebas yang
dapat mengikat berbagai jenis radikal.
Mekanisme kerjanya dengan menghambat pembentukan dinding sel
mikroba yaitu dengan menghambat pembentukan mukopeptida yang
diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba.
Mikroba yang memproduksi enzim betalaktamase resisten terhadap
beberapa penisilin karena enzim tersebut akan merusak cincin betalaktam dan
akhirnya obat menjadi tidak aktif.
Setelah pemberian parenteral, absorpsi penisilin terjadi cepat dan
komplit. Pada pemberian peroral hanya sebagian obat yang diabsorpsi
tergantung dengan stabilitas asam, ikatan dengan makanan dan adanya buffer.
Untuk mengatasi hal itu pemberian peroral sebaiknya dilakukan 1 jam
sebelum makan.
Penisilin mempunyai batas keamanan yang lebar. Pemberian obat ini
selama masa kehamilan tidak menimbulkan reaksi toksik baik pada ibu
maupun janin, kecuali reaksi alergi.
Kadar penisilin di dalam serum wanita hamil lebih rendah daripada
wanita yang tidak hamil, sedang clearancenya lewat ginjal lebih tinggi selama
masa kehamilan.
9
Pemberian pada wanita hamil untuk golongan penisilin dengan ikatan
protein yang tinggi, misal oksasilin, kloksasilin, dikloksasilin dan nafsilin
akan menghasilkan kadar obat di dalam cairan amnion dan jaringan di dalam
tubuh janin yang lebih rendah dibandingkan bila yang diberikan adalah
golongan penisilin dengan ikatan protein yang rendah seperti ampisilin dan
metisilin.
b. SefalosporinStruktur sefalosporin mirip dengan penisilin, yaitu adanya cincin
betalaktam yang pada sefalosporin berikatan dengan cincin dihidrotiazin.
Modifikasi R1 pada posisi 7 cincin betalaktam dihubungkan dengan aktivitas
antimikrobanya, sedangkan subtitusi R2 pada posisi 3 cincin dihidritiazin
mempengaruhi metabolisme dan farmakokinetiknya.
Penggunaan sefalosporin dalam obstetrik makin meluas. Obat ini
digunakan sebagai profilaksis dalam seksio sesarea dan dalam pengobatan
abortus septik, pielonefritis dan amnionitis. Dan sampai saat ini efek
teratogenik dalam penggunaan obat ini belum ditemukan. Transfer
transplasental dari sefalosporin cepat dan konsentrasi bakterisidnya adekuat,
baik pada jaringan janin maupun cairan amnion. Pemberian dosis tinggi
secara bolus yang berulang menunjukkan hasil kadar di dalam serum janin
dan cairan amnion yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian secara
infus dalam jumlah obat yang sama besarnya.
c. EritromisinEritromisin termasuk antibiotika golongan makrolid yang sama-sama
mempunyai cincin lakton yang besar dalam rimus molekulnya. Antibiotika
ini tidak stabil dalam suasana asam, kurang stabil pada suhu kamar, tetapi
cukup stabil pada suhu rendah. Aktivitas invitro paling besar dalam suasana
alkalis. Eritromisin merupakan alternatif pilihan setelah penisilin dalam
pengobatan terhadap gonore dan sifilis dalam kehamilan. Diantara berbagai
bentuk eritromisin yang diberikan peroral, bentuk estolat diabsorpsi paling
baik, tetapi sediaan ini sekarang tidak lagi beredar di Indonesia karena
hepatotoksik.
10
d. KlindamisinKlindamisin merupakan derivat linkomisin, tetapi mempunyai sifat
yang lebih baik. Klindamisin lebih aktif, lebih sedikit efek sampingnya serta
pada pemberian peroral tidak terlalu dihambat oleh adanya makanan dalam
lambung Obat ini umumnya digunakan pada infeksi postpartum, tidak biasa
digunakan alam kehamilan. Walaupun obat ini melintas plasenta dengan
cepat dan mencapai kadar terapeutik yang adekuat pada janin, tetapi tidak
dilaporkan adanya efek teratogenik yang terjadi.
2. Antibiotik yang merugikan / berefek samping
a. TetrasiklinGolongan tetrasiklin termasuk antibiotik yang terutama bersifat
bakteriostatik dan bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein
kuman. Dikatakan juga bahwa tetrasiklin mampu bertindak sebagai
chelator logam berat, khususnya kalsium. Tetrasiklin tidak
direkomendasikan untuk penggunaan dalam kehamilan. Obat ini melintas
plasenta dengan cepat dan terikat pada tulang dan gigi yang.
sedang tumbuh. Karena dapat menyebabkan reaksi toksik yang
berat baik pada janin maupun pada ibu, maka penggunaan obat ini dalam
kehamilan harus dihindarkan. Pemberian obat ini dalam terimester
pertama kehamilan dapat menyebabkan kelainan pada janin berupa
mikromelia dan keabnormalan tulang rangka ; pada kehamilan trimester
kedua dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan tulang dan
pembentukan desiduous gigi. Jika diberikan pada trimester ketiga obat ini
akan disimpan dalam tulang dan desiduous gigi. Tetrasiklin juga dapat
menyebabkan efek toksik pada ibu yaitu terjadinya “acute fatty necrosis”
hati, pankreatitis dan kerusakan ginjal. Kerusakan yang. terjadi pada hati
berhubungan dengan dosis yang diberikan, dan ini bisa berakibat fatal.
b. AminoglikosidAminoglikosid bersifat bakterisid yang terutama tertuju pada basil
gram negatif (–) yang aerobik. Sedang aktifitas terhadap mikroorganisme
anaerobik atau bakteri fakultatif dalam kondisi anaerobik rendah sekali.
11
Termasuk golongan obat ini ialah : streptomisin, neomisin, kanamisin,
amikasin, gentamisin, tobramisin, netilmisin dan sebagainya.
Pengaruhnya menghambat sintesis protein sel mikroba dengan jalan
menghambat fungsi ribosom. Pada umumnya obat golongan ini
mempunyai reaksi toksik berupa ototoksik dan nefrotoksik. Ototoksik
ditunjukkan dengan hilangnya pendengaran (kerusakan koklear) dan
kerusakan vestibular (vertigo, ataksia dan gangguan keseimbangan).
Nefrotoksik yang terjadi bisa diketahui dengan adanya peningkatan kadar
kreatinin serum dan penurunan clearance kreatinin.
Walaupun baru streptomisin yang dilaporkan menimbulkan
gangguan pada janin akibat pemberian pada ibu selama kehamilan dalam
jangka waktu yang lama, tetapi karena obat yang lain potensial ototoksik
maka sebaiknya pemakaian obat golongan aminoglikosid ini dihindarkan
selama masa kehamilan.
c. SulfonamidSulfonamid adalah antimikroba yang digunakan secara sistemik
maupun topikal untuk mengobati dan mencegah beberapa penyakit
infeksi. Sebelum ditemukan antibiotik, sulfonamid merupakan
kemoterapeutik yang utama. Kemudian penggunaannya terdesak oleh
antibiotik. Dengan ditemukannya preparat kombinasi trimetoprim
sulfametoksazol meningkatkan kembali penggunaan sulfonamid untuk
pengobatan penyakit infeksi tertentu. Nama sulfonamid adalah nama
generik derivat paraamino benzen sulfonamid (sulfanilamide).
Sulfonamid memperlihatkan spektrum antibakteri yang luas terhadap
bakteri gram + maupun gram -, meskipun kurang kuat dibandingkan
dengan antibiotik lainnya. Umumnya hanya bersifat bakteriostatik
kecuali pada kadar yang tinggi dalam urin, sulfonamid bersifat bakterisid.
Obat ini menghambat pertumbuhan bakteri dengan mencegah penggunaan
PABA (para amino benzoic acid) oleh bekteri untuk mensintesis PGA
(pteroylglutamic acid). Trimetoprim-sulfametoksazol menghambat reaksi
enzimatis pada dua tahap yang berturutan pada mikroba, sehingga
kombinasi kedua obat memberikan efek sinergis. Sulfonamid belum
12
diketahui menyebabkan kerusakan pada janin, tetapi jika diberikan selama
kehamilan bisa menimbulkan gangguan pada neonatus. Sulfonamid
berkompetisi dengan bilirubin pada tempat ikatan di albumin sehingga
meningkatkan bilirubin bebas dalam serum. Akibatnya resiko terjadinya
kern-ikterus meningkat. Atas dasar alasan ini obat golongan sulfonamid
jangan diberikan pada trimester akhir kehamilan.
d. KloramfenikolSejak ditemukan pertama kali dan diketahui bahwa daya
antimikrobanya kuat, maka penggunaan obat ini meluas dengan cepat
sampai tahun 1950 ketika diketahui bahwa obat ini dapat menimbulkan
anemia aplastik yang fatal. Kloramfenikol umumnya bersifat
bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kadang-kadang bersifat bakterisid
terhadap kuman-kuman tertentu. Kerjanya dengan jalan menghambat
sintesis protein kuman.
Obat ini dipakai dalam pengobatan infeksi-infeksi anaerob dan
dikatakan bahwa kloramfenikol berhubungan dengan terjadinya “drug-
induced aplastic anemia” serta dengan terjadinya “gray baby syndrome”
jika digunakan untuk
neonatus. Adanya resiko terjadinya “gray baby syndrome” ini
menyebabkan kloramfenikol tidak direkomendasikan untuk pemakaian
pada trimester tiga kehamilan.
e. MetronidazolObat ini digunakan dalam obstetrik untuk trikomoniasis vagina dan
endometritis postpartum. Di dalam studi pada binatang obat ini dikatakan
dapat menyebabkan timbulnya adenomatosis paru, tumor mamae dan
karsinoma hepar sehingga dikatakan obat ini berifat karsinogenik. Tetapi
tidak ada studi yang mendukung terjadinya akibat itu pada manusia. Oleh
karena adanya potensi karsinogenik maka obat ini sebaiknya tidak
digunakan dalam kehamilan kecuali betul-betul mutlak diperlukan untuk
pengobatan.
13
f. IsozianidObat ini termasuk obat tuberkulosis yang dikatahui menghambat
pembelahan kuman tuberkulosis. Isoniazid merupakan obat dengan
potensi hepatotoksik yang toksisitasnya dapat meningkat jika diberikan
selama kehamilan. Untuk wanita hamil yang telah terinfeksi TBC tetapi
tidak aktif maka wanita ini tidak perlu profilaksis dengan INH sampai
setelah melahirkan. Tetapi jika telah ada tuberkulosis aktif pengobatan
dengan INH diperbolehkan.
g. NitrofurantoinNitrofurantoin adalah antiseptik saluran kemih derivat furan. Obat
ini biasa digunakan untuk infeksi saluran kemih baik pada wanita hamil
ataupun tidak hamil. Nitrofurantoin bisa menyebabkan hemolisis, anemia
dan hiperbilirubinemia pada bayi yang menderita defisiensi enzim G6PD
yang dilahirkan dari ibu yang mendapat terapi obat ini. Selain potensi
tersebut tidak ada efek teratogenik lain yang dilaporkan.
14
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULANTelah dibicarakan aspek-aspek pemakaian antibiotika dalam kehamilan.
Dari pembahasan tersebut diketahui bahwa tidak semua antibiotika aman
digunakan dalam kehamilan. Semua antibiotika yang beredar dalam darah
wanita hamil dapat melintasi plasenta untuk kemudian beredar di dalam darah
janin. Kecepatan melintasi plasenta dan kadar obat di dalam tubuh janin
tergantung pada sifat fisiko-kimia obat dan keadaan fisiologis ibu dan janin.
Pengaruh antibiotik pada wanita yang sedang hamil tidak berbeda jauh dengan
wanita yang tidak hamil. Tetapi penggunaan antibiotika pada wanita hamil
harus memperhitungkan pengaruhnya pada janin yang dikandungnya. Dari
semua antibiotika, hanya tetrasiklin yang terbukti punya efek merugikan pada
janin bila dipakai sepanjang masa kehamilan. Adapun antibiotika yang
mempunyai efek atau potensi merugikan pada janin ialah : Tetrasiklin,
aminoglikosid (khususnya streptomisin), sulfonamid, kloramfenikol, isoniazid,
metronidazol, nitrofurantoin.
15