kasus efusi pleura ganas dan gagal jantung
TRANSCRIPT
Presentasi Kasus
Tanggal :
Efusi Pleura Maligna dan Gagal Jantung Kongestif
Oleh
Nofriyanda
Pembimbing
Dr.Yerizal Karani,SpPD, SpJP(K)
Stase Kardiologi
Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas / RS.DR.M.Djamil
Padang 2012
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Gagal jantung menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama pada beberapa
negara industri maju dan negara berkembang seperti Indonesia. Penyebab umum dari gagal
jantung adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dan kardiomiopati. Peningkatan insiden
penyakit jantung koroner berkaitan dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang turut
berperan dalam meningkatkan faktor risiko penyakit ini seperti kadar kolesterol tinggi,
rendahnya HDL, perokok aktif dan hipertensi(1,2)
Gagal jantung merupakan suatu sindroma klinis kompleks dengan gejala tipikal
( misal sesak nafas, fatique ) yang dapat timbul saat istirahat atau aktifitas. Gagal jantung
memiliki karakteristik berupa bukti objektif adanya abnormalitas struktur atau disfungsi
jantung yang mengurangi kemampuan ventrikel untuk memompakan darah ( terutama
selama aktifitas fisik )(1)
Penegakkan diagnosis yang baik sangat penting untuk penatalaksanaan gagal jantung
baik akut maupun kronik. Diagnosis gagal jantung meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang terdiri dari foto thoraks, elektrokardiografi,
laboratorium, echocardiografi dan biomarker. Penatalaksanaan pada gagal jantung
tergantung penyebab gagal jantung yang terjadi dan fasilitas yang tersedia. Penatalaksanaan
gagal jantung meliputi penatalaksanaan secara umum/non farmakologi, farmakologi dan
penatalaksanaan intervensi. Dengan penatalaksanaan yang baik diharapkan akan terwujud
pengurangan angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan gagal jantung(1,2,3,4)
Efusi pleura dapat terjadi pada penyakit keganasan pada intratoraks, organ
ekstratoraks maupun keganasan sistemik. Penyakit keganasan yang banyak menimbulkan
efusi pleura adalah kanker paru, kanker mammae dan limfoma. Penderita efusi pleura
maligna dianggap mempunyai prognosis yang buruk terutama bila ditemukan sel – sel tumor
ganas dalam cairan pleura karena keadaan ini menunjukkan stadium tumor sudah lanjut.
Karsinoma mammae merupakan penyebab kedua terbanyak dari efusi pleura maligna dimana
dari beberapa penelitian didapatkan bahwa pada pasien dengan karsinoma mammae sekitar
46 – 48 % terdapat efusi pleura maligna. Penyebaran sel kanker ke pleura dapat terjadi
secara invasi langsung sel kanker dari bagian – bagian yang berdekatan dengan pleura yaitu
paru, dinding dada seperti mammae, diafragma dan mediastinum. Pada kanker mammae efusi
pleura maligna ipsilateral terjadi ketika metastasis melalui saluran limfe dinding dada (5,6,7)
.
Efusi pleura maligna sering menimbulkan masalah dibidang diagnostik maupun
penatalaksanaan sehingga membutuhkan kerja sama multidisipliner. Masalah yang perlu
ditanggulangi adalah mencari dan mengobati tumor primer serta mengatasi gangguan
pernafasan akibat akumulasi cairan pleura yang mungkin dapat mengancam hidup penderita.
Angka survival yang rendah, tingkat kekambuhan efusi pleura maligna yang tinggi dan
sangat cepat terjadi merupakan masalah lain yang semakin mempersulit manajemen efusi
pleura maligna.(5,6,7)
Penatalaksanaan efusi pleura maligna pada prinsipnya adalah paliatif dimana tujuan
utama penatalaksanaan efusi pleura maligna adalah untuk mengurangi gejala dan
meningkatkan kualitas hidup Beberapa tindakan yang dapat dilakukan meliputi
torakosintesis, pleurodesis, chest tube dan pembuatan shunt pleuroperitoneal. Intervensi ini
ditujukan untuk pengeluaran cairan pleura dan apabila memungkinkan dilakukan pleurodesis
atau membuat suatu sistem drainase jangka panjang untuk mencegah reakumulasi dari cairan
pleura.(6,7)
I.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan adalah melaporkan kasus pasien gagal jantung dan efusi pleura
maligna.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gagal Jantung
2.1.1. Definisi
Gagal jantung merupakan suatu sindroma klinis kompleks dengan gejala tipikal
( misal sesak nafas, fatique ) yang dapat timbul saat istirahat atau aktifitas. Gagal jantung
memiliki karakteristik berupa bukti objektif adanya abnormalitas struktur atau disfungsi
jantung yang mengurangi kemampuan ventrikel untuk memompakan darah (terutama selama
aktifitas fisik)(1)
2.1.2. Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi fungsi jantung sehingga terjadi
penurunan fungsi jantung yaitu(1,2)
;
- Penyakit arteri koroner
- Hipertensi
- Kardiomiopati
- Obat – obatan
- Toksin
- Nutrisi dan lainnya
2.1.3 Klasifikasi
New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi gagal jantung yang
berdasarkan pada derajat keterbatasan fungsional. Pembagian fungsional NYHA ini sering
digunakan untuk menentukan progresifitas gagal jantung. Sistem ini membagi pasien atas 4
kelas fungsional yang bergantung pada gejala yang muncul, yaitu asimptomatis (kelas I),
gejala muncul pada saat aktifitas ringan (kelas II), gejala muncul pada saat aktifitas berat
(kelas III) dan gejala muncul pada saat istirahat (kelas IV). Kelas fungsional pada penderita
gagal jantung cenderung berubah-ubah. Bahkan perubahan ini dapat terjadi walaupun tanpa
perubahan pengobatan dan tanpa perubahan pada fungsi ventrikel yang dapat diukur(1,2)
.
ACC/AHA membagi klasifikasi untuk perkembangan dan progresifitas gagal jantung
atas 4 stadium yaitu stadium A adalah beresiko tinggi untuk menjadi gagal jantung tanpa
ditemukan adanya disfungsi jantung, stadium B adalah adanya disfungsi jantung tanpa gejala,
stadium C adalah adanya disfungsi jantung dengan gejala, stadium D adalah adanya gejala
yang berat dan refrakter terhadap terapi maksimal. Pembagian ini mengutamakan pada
keberadaan faktor resiko dan abnormalitas struktural jantung, pengenalan progresifitasnya,
dan strategi pengobatan pada upaya preventif(1,2)
Tabel 1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan NYHA(dikutip dari 2)
Tabel 2. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan ACC / AHA(dikutip dari 2)
2.1.4. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda gagal jantung merupakan kunci untuk deteksi karena hal tersebut
yang membuat pasien mencari pertolongan. Manifestasi klinis yang timbul menunjukkan
adanya tanda-tanda kegagalan jantung kongestif dan retensi cairan(1,3,8)
.
Gejala yang terdapat pada pasien dengan gagal jantung meliputi(1,2,8,9)
:
- Sesak nafas saat aktivitas merupakan keluhan yang tersering pada kebanyakan pasien.
Awalnya sesak nafas timbul dengan latihan yang berat namun lama kelamaan menjadi
progresif dimana sesak saat latihan ringan bahkan saat istirahat
- Sesak nafas saat berbaring dimana hal ini berhubungan dengan gagal jantung pada
stadium lanjut
- Paroksismal nocturnal dyspnea
- Batuk kering terutama malam hari
- Fatique dan kelemahan
- Serangan palpitasi yang mengindikasikan suatu aritmia
Gejala lain yang berhubungan dengan retensi cairan dapat terjadi pada pasien gagal
jantung lebih lanjut seperti distensi abdomen, asites dan oedem perifer.
Pemeriksaan fisik yang teliti merupakan hal penting untuk menegakkan diagnosis. Namun hal
yang penting bahwa pasien gagal jantung stadium awal dapat tidak terdeteksi dengan
pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan pada pasien dengan gagal
jantung meliputi oedem perifer, peningkatan tekanan vena jugular, oedem paru,
hepatomegali, ascites, takikardi, bunyi jantung tambahan, murmur, ronkhi di kedua lapangan
paru dan efusi pleura(1,2,3,4,8)
2.1.5. Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan rutin yang digunakan untuk mendiagnosis gagal
jantung. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan meliputi;(1,2,8,9,10)
a. Elektrokardiogram
Pemeriksaan Elektrokardiogram ( EKG ) harus dilakukan pada semua pasien dengan
suspek gagal jantung. Perobahan gambaran EKG pada pasien dengan gagal jantung
dapat berupa sinus takikardi, sinus bradikardi, atrial takikardi/fibrilasi, ventrikel
aritmia, iskemik/infark, hipertrofi ventrikel kiri dan adanya blok atrioventrikular.
b. Radiologi toraks
Pemeriksaan radiologi toraks merupakan komponen penting untuk diagnostik gagal
jantung. Gambaran radiologi toraks berguna untuk mendeteksi kardiomegali,
bendungan paru, efusi pleura dan adanya penyakit paru atau infeksi yang
memperberat gejala sesak.
c. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin berupa darah rutin (hemoglobin, leukosit, trombosit),
elektrolit, kreatinin serum, glukosa, fungsi hepar dan urinalisis. Pemeriksaan sebagai
biomarker diagnosis gagal jantung adalah natriuretic peptides berupa Brain natriuretic
peptides dan N-terminal pro-BNP dimana peningkatannya merupakan respon terhadap
peningkatan stres pada dinding otot jantung. Pemeriksaan lainnya seperti Troponin I
atau T diperiksa pada suspek gagal jantung yang memiliki klinis sindrom koroner akut
dimana peningkatan troponin disebabkan oleh nekrosis miosit.
d. Echocardiography
Pemeriksaan echocardiography dapat memberikan informasi tentang kelainan struktur
dan fungsi jantung. Dengan echocardigraphy dapat menilai ukuran, volume dan
ketebalan ventrikel dan atrium. Selain itu dapat juga memberikan informasi tentang
fungsi sistolik dan diastolik, fungsi dan struktur katup, tekanan sistolik pulmonal dan
penyakit perikardium.
2.1.6. Diagnosis
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal
jantung yaitu dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor(2,3,8)
Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:
• Kriteria Mayor :
- Paroksismal nocturnal dispnu atau ortopnoe
- Distensi vena leher
- Ronki paru
- Kardiomegali
- Edema paru akut
- Gallop S3
- Central venous pressure > 12 mmHg
- LVH pada EKG
-Penurunan BB ≥ 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan
• Kriteria Minor :
- Oedem ekstremitas
- Batuk malam hari
- Dispnea d’effort
- Hepatomegali
- Efusi pleura
- Takikardia (>120 x/menit)
2.1.7. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan gagal jantung adalah untuk mencegah bertambah
progresifnya penyakit, mengurangi gejala / keluhan, mengurangi masa rawatan dan mencegah
kematian.
Penatalaksanaan terhadap gagal jantung meliputi(1,2,4,9,10)
:
- Membatasi aktifitas fisik untuk mengurangi kerja jantung
- mengurangi pre load pada jantung dengan membatasi cairan dan garam, penggunaan
vasodilator untuk dilatasi vena dan penggunaan diuretik untuk mengurangi volume
cairan.
- Mengurangi after load dengan penggunaan vasodilator arteri atau menghambat
angiotensin II dengan pemakaian Angiotensin Converting Enzyme ( ACE ) inhibitors
- Meningkatkan kontraktilitas jantung dengan pemberian inotropik positif
- Mengurangi efek adrenergik dengan antagonis reseptor β
Beberapa terapi yang digunakan dalam gagal jantung :
a. Diuretik
Pada pasien gagal jantung dengan adanya overload maka harus diberikan diuretiks
dimana pemberian lebih awal berhubungan dengan hasil yang lebih baik. Pada pasien ini
tujuan pemberian diuretik adalah mencapai peningkatan output urin dan penurunan berat
badan 0,5 – 1 kg/hari sampai tercapai euvolemia secara klinis. Pada kasus adanya resistensi
diuretik maka pemberian diuretik dapat berupa kombinasi beberapa macam obat lebih efektif
dan memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan pemberian satu jenis obat dengan
dosis yang lebih tinggi. Pada pasien yang mendapat diuretik harus dimonitor berat badan,
keseimbangan cairan masuk dan keluar, kadar elektrolit dan fungsi ginjal. Golongan loop
diuretiks ( furosemid ) merupakan diuretik kuat yang menghambat transpor sodium keluar
pada loop ascending Henle sehingga menyebabkan meningkatnya pengeluaran cairan dan
sodium. Golongan tiazid bekerja pada tubulus distal ginjal dengan mengurangi reabsorbsi
sodium dan meningkatkan eksresi cairan. Pemberian diuretik dapat berupa kombinasi thiazid
dengan loop diuretik untuk edema yang resisten, namun harus diperhatikan secara cermat
kemungkinan dehidrasi, hipovolemia, hiponatremia, atau hipokalemia.(1,4,6)
b. Vasodilator
Pemberian vasodilator seperti nitrogliserin diberikan pada pasien yang kurang respon
dengan hanya pemberian diuretik. Tujuan pemberian vasodilator akan mengurangi preload
dan mempercepat pengurangan bendungan paru. Golongan nitrat ( nitrogliserin ) mendilatasi
arteri perifer dan vena dengan merelaksasikan otot polos vaskuler yang menyebabkan
pengurangan preload dan afterload. Pemberian nitrat ( sublingual/IV ) mengurangi preload
dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak
sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri
termasuk arteri koroner. Oleh karena itu dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi
keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Sodium
nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan pada gagal jantung
refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian
nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati.(1,2,4,6)
c. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
Oleh karena pentingnya aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron dalam
progresifnya gagal jantung maka blokade sistem ini menjadi salah satu dasar keberhasilan
terapi. Golongan ACE inhibitor bekerja dengan memblok pembentukan angiotensin II dan
aldosteron yang menyebabkan penurunan resistensi vaskuler dan mengurangi retensi
sodium/cairan. Pasien dengan tidak ada kontra indikasi maupun pasien yang masih toleran
terhadap ACE Inhibitor (ACEI), ACEI harus digunakan pada semua pasien dengan gagal
jantung yang simtomatik dan LVEF <40% dimana dengan ACE inhibitor akan memperbaiki
fungsi ventrikel. Beberapa contoh obat golongan ACE inhibitor adalah captopril, enalapril,
lisinopril, ramipril dan trandolapril.
d. Inotropik
Pasien dengan low output dan adanya tanda – tanda hipoperfusi atau bendungan
dipertimbangkan untuk pemberian obat inotropik seperti dopamin, dobutamin, milrinone,
enoximone dan levosimendan. Obat – obatan ini akan memperbaiki gejala yang berhubungan
dengan perfusi yang buruk dan mempertahankan fungsi end organ pada pasien dengan
disfungsi sistolik berat. Obat inotropik memberikan hasil yang bagus pada pasien dengan
hipotensi relatif dan intoleran atau tidak respon dengan vasodilator dan diuretiks. Dobutamin
dan dopamin bekerja dengan merangsang reseptor B adrenergik sehingga meningkatkan
kontraktilitas miokard dan cardiac output.
e. Glikosida
Digoksin diberikan pada pasien gagal jantung dan atrial fibrilasi dimana digoksin
digunakan untuk mengurangi frekuensi jantung. Digoksin bekerja dengan menghambat kerja
sodium – potassium ATPase. Blokade terhadap enzim ini berhubungan dengan:(1)
- Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi ventrikel
kiri.
- Menstimulasi baroreseptor jantung
- Mengurangi sekresi renin dari ginjal.
- Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan aktifitas
vagal.
Pemberian digoksin pada pasien dewasa dengan gagal jantung dan fungsi ginjal
normal dengan dosis 0,25 mg. Pada pasien tua dan adanya gangguan ginjal dosis dikurangi
menjadi 0,0625 mg sampai 0,125 mg. Efek samping obat ini dapat berupa blok sinoatrial dan
AV, aritmia serta tanda – tanda toksisitas seperti mual, anoreksia, pusing dan gangguan
penglihatan warna.
f. Beta Blocker
Beta bloker menghambat efek sistemik saraf simpatis yang dimediasi melalui reseptor
beta-1, beta-2 dan alpha-1 pada otot jantung.
Manfaat dari pemberian B-bloker adalah :
- Mengurangi frekuensi jantung dimana memperlambat pengisian diastolik sehingga
memperbaiki perfusi miokard
- Meningkatkan LVEF
Carvedilol bekerja dengan menghambat reseptor beta-1, beta-2 dan alpha-1. Sementara itu
bisoprolol, nebivolol dan metaprolol merupakan antagonis selektif beta-1.
2.2 Efusi Pleura
2.2.1. Anatomi dan Fisiologi Pleura
Pleura merupakan suatu membran tipis yang menutupi parenkim paru, mediastinum
dan diafragma. Jaringan pleura terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura viseral dan pleura parietal
dimana pleura viseral menutupi seluruh parenkim paru sedangkan pleura parietal menutupi
bagian dalam rongga thorak. Ruangan antara jaringan pleura parietal dan pleura viseral
disebut rongga pleura(5,6,11)
Dalam keadaan normal rongga pleura berisi sedikit cairan sekitar 10 – 20 ml yang
berfungsi sebagai pelicin agar paru dapat bergerak secara leluasa saat bernafas. Cairan pleura
diproduksi terutama oleh jaringan pleura parietal yang berasal dari sirkulasi sistemik secara
konstan 0,01 ml/kg/jam. Proses reabsorbsi cairan pleura terjadi pada drainase limfatik melalui
stoma pada jaringan pleura parietal. Kapasitas penyerapan oleh pleura parietal sebesar 0,20
ml/kg/jam(5,6,11,12)
Gambar 1. Skema aliran cairan pleura dalam keadaan normal(dikutip dari 6)
2.2.2. Etiologi efusi pleura
Akumulasi cairan pleura terjadi ketika jumlah rata – rata pembentukan cairan pleura
melebihi jumlah rata – rata absorbsi cairan pleura. Akumulasi cairan pleura melebihi normal
dapat disebabkan oleh beberapa kelainan antara lain infeksi dan keganasan di paru maupun
organ luar paru(5,6,7,11)
Secara umum penyebab efusi pleura meliputi(5,6,13,14)
:
A. Meningkatnya pembentukan cairan pleura
a. Meningkatnya cairan interstitial pada paru ; gagal jantung kiri, pneumonia
b. Meningkatnya tekanan intravaskular pada pleura; gagal jantung kiri, sindroma
vena cava superior
c. Meningkatnya permeabilitas kapiler pada pleura; inflammasi pada pleura,
meningkatnya kadar vascular endothelial growth factor
d. Meningkatnya kadar protein cairan pleura
e. Menurunnya tekanan rongga pleura ; atelektasis paru
f. Meningkatnya cairan pada rongga peritoneal ; asites
g. Gangguan duktus thorasikus
B. Menurunnya penyerapan cairan pleura
a. Obstruksi drainase limfatik pleura parietal
b. Meningkatnya tekanan pembuluh darah sistemik ; sindroma vena cava superior
Penyebab efusi pleura dapat disebabkan oleh proses keganasan baik oleh keganasan
pada paru maupun keganasan dari organ luar paru. Efusi pleura yang disebabkan oleh suatu
proses keganasan baik keganasan primer dipleura maupun diluar pleura disebut efusi pleura
maligna. Beberapa keganasan yang tersering menyebabkan efusi pleura maligna ini adalah
karsinoma paru, karsinoma mammae dan limfoma(5,6,7)
2.2.3. Analisis Cairan Pleura
Cairan efusi pleura secara klasik dibagi menjadi 2 jenis yaitu eksudat dan transudat.
Efusi pleura transudat timbul bila ada peningkatan tekanan kapiler, sirkulasi sistemik atau
penurunan tekanan onkotik plasma. Efusi pleura jenis transudat mengandung protein yang
rendah. Efusi pleura eksudat terbentuk saat terjadi perobahan pada pleura atau kapiler
disekitarnya sehingga terbentuk cairan. Cairan eksudat disebabkan oleh karena adanya
kerusakan pada kapiler di pleura dan jaringan sekitarnya dimana terjadi peningkatan
permeabilitas sehingga protein dapat masuk kedalam rongga pleura. Efusi pleura eksudat
biasanya didapatkan pada kasus keganasan, infeksi atau inflammasi(5)
Untuk membedakan suatu cairan efusi pleura eksudat atau transudat dipakai kriteria
Light dimana cairan efusi pleura eksudat bila memenuhi minimal satu kriteria dibawah ini :
1. Rasio protein cairan pleura dengan protein serum > 0,5
2. Rasio lactat dehydrogenase ( LDH ) cairan pleura dengan LDH serum > 0,6
3. Kadar LDH cairan pleura > 2/3 kadar tertinggi LDH serum
Tabel 3. Diagnosis banding berdasarkan jenis efusi pleura transudat dan eksudat(dikutip dari)
Gambaran kasar cairan efusi pleura sering berguna memberikan informasi yang
penting untuk diagnostik seperti warna, kekeruhan dan bau. Cairan pleura biasanya jernih,
kekuningan, tidak kental dan tidak berbau. Warna kemerahan mengindikasikan terdapatnya
sel eritrosit. Cairan pleura yang keruh dapat terjadi karena jumlah sel yang meningkat atau
meningkatnya kadar lipid. Cairan pleura yang berbau busuk menunjukkan terdapatnya infeksi
bakteri terutama anaerob, sedangkan bila berbau urin menunjukkan suatu urinotoraks.
Jumlah sel leukosit membantu untuk membedakan efusi pleura eksudat atau transudat
dimana efusi pleura transudat biasanya memiliki jumlah sel leukosit dibawah 1.000/mm3,
sedangkan pada eksudat jumlah sel leukosit diatas 1.000/mm3. Pada efusi pleura eksudat,
hitung jenis sel dapat memberikan petunjuk tentang etiologi efusi pleura. Kadar netrofil yang
predominan menunjukkan suatu proses akut seperti parapneumonia efusi. Cairan pleura
dengan PMN yang dominan mengarahkan ke kelainan yang akut seperti infeksi virus,
pleuritis TB akut. Sementara itu pada cairan dengan sel MN yang dominan menunjukan
proses yang kronik seperti malignan dan TB.
Kadar protein cairan pleura biasanya lebih tinggi pada efusi pleura eksudat disbanding
transudat. Peningkatan protein pada efusi pleura kadarnya sangat bervariasi tapi tidak dapat
digunakan sebagai pedoman diagnostic penyebabnya. Namun apabila kadar proteinnya
melebihi 5 gr% kemungkinan penyebabnya TB.
Kadar glukosa cairan pleura berguna untuk diagnosis banding pada efusi pleura
eksudat karena kadar glukosa yang rendah ( < 60 gr/dl ) mengindikasikan pasien menderita
parapneumonia, rheumatoid disease atau pleuritis TB. Pasien dengan parapneumonia efusi
atau pleuritis TB memiliki gejala yang akut seperti demam, batuk dan nyeri pleuritik disertai
kadar glukosa yang rendah. Sementara itu pada pasien dengan gejala yang subakut atau
kronik dan memiliki kadar glukosa yang rendah menunjukkan kemungkinan suatu keganasan,
reumatoid, TB atau infeksi bakteri kronik.
Lactat Dehydrogenase ( LDH ) cairan pleura menggambarkan permeabilitas membran
yang bisa dipakai sebagai pedoman untuk melihat tingkat inflammasi dari membran tersebut.
Dengan kata lain LDH bisa dipakai sebagai sarana evaluasi aktifitas penyakitnya, namun
LDH tidak dapat digunakan sebagai pedoman untuk diagnostik penyebabnya. Jika pada
torakosintesis berulang didapatkan peningkatan kadar LDH menandakan derajat inflammasi
pada pleura menjadi progresif jelek dan sebaliknya.
2.3. Efusi Pleura Maligna
2.3.1. Definisi
Efusi pleura maligna adalah efusi pleura yang secara sitopatologi ditemukan sel ganas
dalam cairan pleura atau secara histopatologi pada jaringan pleura. Bila tidak ditemukan sel
ganas pada cairan pleura atau jaringan pleura baik secara biopsi pleura maupun torakoskopi
maka keadaan ini dikenal dengan efusi pleura paramaligna(5,7,13,15,16)
2.3.2. Patogenesis
Efusi pleura maligna terbanyak disebabkan oleh karsinoma paru, karsinoma mammae
dan limfoma yang berkisar 75 % dari keseluruhan efusi pleura maligna dimana karsinoma
paru menjadi penyebab terbanyak dari efusi pleura maligna. Karsinoma mammae merupakan
penyebab kedua terbanyak dari efusi pleura maligna dimana dari beberapa penelitian
didapatkan bahwa pada pasien dengan karsinoma mammae sekitar 46 – 48 % terdapat efusi
pleura maligna. Rentang waktu antara berkembangnya tumor primer karsinoma mammae dan
timbulnya efusi pleura berkisar antara 2 – 20 tahun. Efusi pleura biasanya terjadi pada
ipsilateral dari posisi tumor (50%) tapi dapat juga kontralateral (40%) dan bilateral
(10%)(5,6,13)
Penyebaran sel kanker ke pleura dapat terjadi secara invasi langsung sel kanker dari
bagian – bagian yang berdekatan dengan pleura yaitu paru, dinding dada seperti mammae,
diafragma dan mediastinum. Pada kanker mammae efusi pleura maligna ipsilateral terjadi
ketika metastasis melalui saluran limfe dinding dada. Selain itu penyebaran sel – sel tumor
dapat melalui proses embolisasi(6,7,16,17)
Terdapat beberapa mekanisme yang bertanggung jawab untuk timbulnya efusi pleura
pada pasien dengan keganasan baik secara langsung maupun tidak langsung(5,6,7,14,16,17)
1. Secara langsung
a. Metastasis pada pleura dengan peningkatan permeabilitas
b. Metastasis pada pleura dengan obstruksi pembuluh limfatik pada pleura
c. Keterlibatan kelenjar limfe mediastinum dengan menurunkan drainase
d. Gangguan duktus thorasikus
e. Obstruksi bronkus
2. Secara tidak langsung
a. Hipoproteinemia
b. Emboli paru
c. Post terapi radiasi
2.3.3 Gejala Klinis
Sesak nafas merupakan keluhan tersering pada kasus efusi pleura maligna pada lebih
50 % pasien terutama pada saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat. Mekanisme sesak
disebabkan terjadinya penurunan daya kembang paru, penurunan volume paru ipsilateral,
pendorongan mediastinum ke arah kontralateral efusi dan penekanan diafragma ipsilateral.
Keluhan lain adalah nyeri dada, dada terasa penuh, batuk kering dan batuk darah yang
mengindikasikan keganasan intrabronkial. Gejala tambahan juga dapat terjadi berupa
penurunan berat badan, malaise dan anoreksia. Anamnesis untuk mencari asal tumor, riwayat
kanker dan pembedahan sebelumnya untuk meyakinkan apakah tumor primer berasal dari
intrathoraks atau ekstrathoraks(7,14,15,16)
Pada pemeriksaan klinis tergantung pada jumlah cairan yang terbentuk. Kelainan pada
pemeriksaan jasmani dapat ditemukan pada efusi pleura yang mencapai volume 300 ml.
Kelainan yang dapat ditemukan meliputi rongga thoraks yang sakit lebih cembung,
pergerakan pada bagian yang sakit berkurang dibandingkan yang sehat, penurunan fremitus,
perkusi redup hingga pekak dan suara nafas yang melemah hingga menghilang pada paru
ipsilateral(7,15)
2.3.4 Gambaran radiologis
Ukuran efusi pleura maligna dapat bervariasi, mulai dari yang sedikit berupa beberapa
milimeter dimana hanya menampakkan sudut kostofrenikus tumpul hingga ukuran yang luas
mengisi seluruh hemithoraks. Gambaran perselubungan homogen dengan bagian lateral lebih
tinggi dibandingkan bagian medial disertai pendorongan trakea dan mediastinum ke arah
kontralateral merupakan gambaran khas efusi pleura secara radiologis . Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi cairan dengan volume sekitar 150 – 200 ml atau lebih. Apabila jumlah cairan
kurang dari 300 ml maka posisi lateral dekubitus akan membantu memastikan keberadaan
cairan. Pemeriksaan ultrasonografi thoraks lebih sensitif dibandingkin foto thoraks karena
mampu mendeteksi cairan yang lebih sedikit ( 5 – 50 ml ). Pemeriksaan lain seperti CT scan
dan MRI dapat digunakan untuk menilai efusi pleura sekaligus menilai kelainan pada
parenkim paru, mediastinum dan dinding dada. Selain itu CT scan dan MRI juga berperan
dalam menentukan staging dari penyakit keganasan(5,6,7)
Gambar 2. Gambaran efusi pleura dengan bagian lateral lebih tinggi dibanding bagian
medial(dikutip dari 7)
2.3.5 Analisis cairan efusi pleura maligna
Gambaran cairan pleura maligna dapat berwarna serous, serohemoragik atau
hemoragik. Adanya cairan pleura yang hemoragik dengan hitung eritrosit > 100.000/mm3
menunjukkan suatu penyakit pleura karena keganasan. Hanya sekitar 30 – 50 % efusi pleura
keganasan yang memiliki cairan tidak kemerahan dan hitung eritrosit yang kurang dari
10.000/mm3.
Timbulnya cairan efusi pleura yang hemoragik disebabkan oleh invasi langsung
sel tumor ke pembuluh darah, bendungan pada vena, angiogenesis yang diinduksi oleh tumor
dan meningkatnya permeabilitas kapiler. Cairan efusi pleura maligna hampir selalu eksudat,
namun efusi pleura maligna juga dapat berupa transudat sekitar < 5 %. Timbulnya efusi
pleura transudat berhubungan dengan atelektasis atau obstruksi limfatik pada stadium
awal(5,6,7,13,16)
Hitung leukosit cairan pleura pada efusi pleura maligna bervariasi dimana jumlah
leukosit biasanya antara 1.000 dan 10.000/mm3.
Sel yang predominan pada hitung jenis sel
efusi pleura maligna adalah sel – sel mononuclear sekitar 85 % dengan jumlah sel limfosit
sekitar 45 %, sedangkan sel - sel polimononuclear sekitar 15 %. (5)
Kadar glukosa cairan pleura biasanya kurang dari 60 mg/dl atau rasio glukosa pada
cairan pleura dibanding glukosa serum < 0,5. Hal ini karena gangguan transfer glukosa dari
darah ke cairan pleura dan meningkatnya penggunaan glukosa oleh tumor. Rendahnya kadar
glukosa pada cairan pleura berhubungan dengan luasnya penyebaran tumor pada rongga
pleura. Penyebaran tumor yang luas sehingga pada pemeriksaan sitologi cairan pleura dan
biopsi pleura memiliki angka kepositifan yang lebih tinggi. Oleh karena penyebaran tumor
yang luas, pasien dengan kadar glukosa cairan pleura yang rendah memiliki prognosis yang
jelek.
Sekitar sepertiga pasien dengan efusi pleura maligna memiliki pH cairan pleura
dibawah 7,3 dimana berkisar antara 6,95 – 7,29. Penyebab rendahnya kadar pH pada efusi
pleura maligna berhubungan dengan kombinasi produksi asam oleh cairan pleura dan blokade
pergerakan CO2 keluar dari rongga pleura. Pasien dengan pH cairan pleura yang rendah
memiliki tingkat kepositifan sitologi cairan pleura dan biopsi pleura yang lebih tinggi dan
harapan hidup yang lebih pendek dibanding pasien efusi pleura maligna dengan pH cairan
pleura > 7,3(5,6,7)
Terjadi peningkatan konsentrasi amilase dalam cairan efusi pleura pada 10 % pasien
dengan efusi pleura maligna. Biasanya tumor primer pada pasien – pasien ini bukan pada
pankreas. Dari suatu penelitian didapatkan bahwa kadar amilase yang sangat tinggi pada
pasien dengan efusi pleura maligna (>600IU/L) dapat berperan sebagai faktor prognostik
yang jelek(6,12,14,16)
2.3.6 Diagnosis
Diagnosis efusi pleura maligna ditegakkan dengan pemeriksaan sitologi cairan pleura
dimana ditemukannya sel – sel ganas atau pemeriksaan biopsi jaringan pleura. Secara umum
tingkat kepositifan pemeriksaan sitologi cairan pleura lebih tinggi dibandingkan biopsi
jaringan pleura dalam mendiagnosis efusi pleura maligna karena metastasis di pleura
cenderung bersifat fokal. Tingkat kepositifan pemeriksaan sitologi cairan pleura berkisar 40 –
87 %, sedangkan biopsi jaringan pleura 39 – 75 %. Pemeriksaan torakoskopi medik atau
Video-assisted Thoracic Surgery (VATS) yang merupakan pemeriksaan invasif, memiliki
tingkat kesensitifan yang lebih tinggi walaupun stadium metastasis masih awal. Pemeriksaan
penunjang lainnya seperti uji immunohistokimia dan tumor marker pada cairan pleura.
Pemeriksaan uji immunohistokimia dan tumor marker berguna untuk membedakan suatu
efusi pleura ganas atau tidak(5,7,13,15,16,18)
2.3.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan efusi pleura maligna adalah untuk mengurangi gejala
dan meningkatkan kualitas hidup. Langkah awal adalah menentukan lokasi dari lesi primer,
namun tersering lokasi lesi primer sudah diketahui saat suatu efusi pleura terdeteksi. Hal ini
alasannya untuk menentukan pemberian kemoterapi karena kemoterapi merupakan terapi
definitif berdasarkan kanker primer sebagai penyebab efusi pleura maligna. Beberapa efusi
pleura maligna respon terhadap pemberian kemoterapi sistemik, tetapi banyak juga pasien
yang memerlukan tindakan intervensi lokal untuk menghilangkan gejala seperti
torakosintesis, pleurodesis, shunt peritoneal dan pleurektomi. Jika proses keganasan sensitif
dengan kemoterapi seperti karsinoma sel kecil dan limfoma, pengobatan kemoterapi akan
dapat mengontrol efusi pleura (5,7,19,20)
Penatalaksanaan pada efusi pleura maligna meliputi(5,7,15,18,20,21,22)
:
A. Observasi
Pada pasien dengan efusi pleura maligna yang sedikit dan tanpa gejala maka tidak
diperlukan tindakan, cukup dilakukan observasi saja. Namun bila dalam masa
observasi terjadi pertambahan cairan sehingga menimbulkan keluhan maka
dibutuhkan tindakan untuk mengeluarkan cairan.
B. Torakosintesis
Tindakan torakosintesis dilakukan untuk mengurangi keluhan sesak secara cepat
dimana tindakan ini dapat dilakukan secara berulang. Namun jika terjadi rekurensi
yang cepat maka dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan pleurodesis. Pada kasus
– kasus dengan kondisi pasien secara umum jelek maka tindakan torakosintesis
berulang menjadi pilihan.
C. Chest tube drainase
Pemasangan chest tube berguna untuk drainase cairan sehingga mengurangi keluhan
sesak nafas. Selain itu chest tube juga diperlukan untuk tindakan pleurodesis
D. Indwelling pleural catheter
Kateter indwelling dipasang pada pasien dengan efusi pleura maligna yang berulang
dan tidak perlu berulang datang ke rumah sakit karena drainase dapat dilakukan
sendiri oleh pasien. Pemasangan kateter indwelling ini direkomendasikan untuk
pasien yang memiliki produksi cairan efusi pleura lebih dari 1000 ml per minggu.
E. Pleurodesis
Pleurodesis merupakan suatu tindakan untuk melengketkan pleura visceral dan pleura
parietal dengan membuat peradangan steril sehingga membentuk jaringan fibrotik
dengan menggunakan bahan sclerosing. Berbagai bahan dapat digunakan untuk
tindakan pleurodesis seperti talc, tetrasiklin, doksisiklin dan bleomisin. Penggunaan
bleomisin untuk pleurodesis pada efusi pleura maligna secara signifikan lebih baik
dibanding tetrasiklin dan talc karena bleomisin juga berfungsi sebagai anti neoplastik.
Selain bleomisin, bahan antineoplastik lain yang dapat digunakan sebagai bahan
pleurodesis seperti nitrogen mustard dan mitoxantrone(5,7)
Tindakan memasukkan
bahan untuk pleurodesis dapat melalui chest tube atau torakoskopi, namun melalui
VATS lebih efektif dan aman. Berdasarkan review terhadap beberapa penelitian
disimpulkan bahwa pleurodesis merupakan pilihan terapi yang optimal untuk efusi
pleura maligna dengan angka keberhasilan tinggi dan angka mortality rendah(19)
F. Pleuroperitonial Shunt
Pleuroperitonial shunt merupakan tindakan pilihan pada pasien dengan gagal
pleurodesis, namun tindakan ini terutama untuk pasien dengan efusi khilous.
Meskipun tindakan ini lebih invasif dimana cairan khilous dari rongga pleura
dialirkan ke dalam rongga abdomen supaya cairan dapat diserap sehingga kehilangan
protein dapat diminimalkan.
G. Pleurektomi
Pleurektomi merupakan tindakan membuang pleura parietal dimana tindakan ini dapat
digunakan untuk mengontrol efusi pleura maligna.
Pleurektomi dilakukan pada 2 keadaan yaitu : Pasien yang sedang menjalani
torakotomi diagnostic dimana jika ditemukan keganasan maka pleurektomi parietal
berguna untuk mencegah efusi berulang. Selain itu juga dilakukan pada pasien dengan
efusi pleura persisten dan paru ipsi lateral mengalami “trapped lung” dimana paru
tidak kembang sehingga pleurodesis dikontraindikasikan.
H. Simptomatis
Dua keluhan utama yang berhubungan dengan efusi pleura maligna yaitu sesak nafas
dan nyeri dada. Terapi simptomatis untuk sesak nafas dapat diberikan oksigen,
sedangkan nyeri dada dapat diberikan analgetik.
2.3.8 Prognosis
Prognosis pasien dengan efusi pleura maligna biasanya tidak bagus. Faktor paling
penting yang mempengaruhi perkiraan harapan hidup pada pasien dengan efusi pleura
maligna adalah sumber dari tumor. Faktor lain yang berhubungan dengan prognosis yang
jelek adalah kadar pH cairan pleura yang kurang dari 7,20, kadar glukosa cairan pleura < 60
mg/dl atau LDH cairan pleura lebih dari 2 kali nilai normal LDH serum. Semua faktor
prognosis jelek ini mencerminkan penyebaran tumor yang lebih luas pada rongga pleura(5,7)
Laporan Kasus
Seorang pasien wanita umur 42 tahun masuk melalui Instalasi Gawat Darurat dengan
Keluhan utama
Sesak nafas meningkat sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
- Sesak nafas tidak menciut, tidak dipengaruhi cuaca, emosi atau makanan. Sesak
dirasakan saat melakukan aktivitas ringan – sedang. Sesak saat tidur telentang
sehingga pasien tidur dengan posisi duduk. Riwayat terbangun malam hari karena
sesak ada. Riwayat sesak nafas sudah mulai dirasakan sejak 1 tahun yang lalu.
- Batuk – batuk meningkat sejak 1 minggu yang lalu, dahak berwarna putih encer.
Riwayat batuk - batuk lama sejak 1 tahun yang lalu, hilang timbul, dahak putih encer.
- Batuk darah tidak ada
- Nyeri dada tidak ada
- Demam tidak ada
- Riwayat bengkak pada kaki ada.
- Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi sejak 4 tahun yang lalu, tidak dikontrol
teratur.
- Pasien post mastektomi sinistra atas indikasi karsinoma mammae 2 tahun yang lalu
dan telah menjalani kemoterapi sebanyak 12 kali dengan sindaxel 30 mg dan sisplatin
60 mg. Sekarang pasien sedang minum tamoflex 1 x 20 mg
- Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dan tidak memiliki kebiasaan merokok.
Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang,
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Tekanan darah : 130 / 100 mmHg
Frekuensi nadi : 130 x/menit
Frekuensi nafas : 30 x/menit
Suhu : Afebris.
Mata : Konjungtiva tidak anemis dan sclera tidak ikterik.
Jugular venous pressure : 5 + 0.
Jantung
Inspeksi : Ictus tidak tampak
Palpasi : Ictus teraba 1 jari lateral LMCS RIC V
Perkusi : Batas atas RIC II, kanan LSD, kiri 1 jari lateral LMCS RIC V
Auskultasi : Bunyi jantung S1 S2 reguler, cepat, gallop (-), mur mur sulit dinilai.
Paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus dada kanan melemah dibanding kiri
Perkusi : Kanan redup hingga pekak dari regio intercostal VII kebawah
Kiri redup hingga pekak dari regio intercostal VII kebawah.
Auskultasi : Suara nafas kanan melemah hingga menghilang dari
RIC VII kebawah, Suara nafas kiri melemah hingga menghilang dari
regio intercostal VIII kebawah. ronki dan wheezing tidak ada.
Abdomen : Hepar dan lien tidak teraba dan tidak ditemukan adanya asites.
Ekstremitas : Teraba hangat dan adanya pitting oedem di kedua tungkai.
Hasil Laboratorium
Hb 11,9 gr%, Gula darah random 122 gr%, Leukosit 13.800 /mm3, Na /K /Cl 139 / 3,9 /
101, Hematokrit 36,3 % dan Trombosit 349.000
Hasil Elektrokardiografi
Sinus Takikardi, QRS rate 130 x/menit, Axis normal, P wave normal, PR interval 0,16 QRS
duration 0,04 ST-T change (-), LVH (+), RVH (-)
Rontgen Thoraks
Hasil Echocardiograpy tanggal 13-12-2010
- Dimensi ruang jantung : Normal
- Kontraktilitas LV : Normal EF 80 %
- Normokinetik
- Katup – katup struktur dan fungsi : Normal
- Doppler E/A : < 1
Kesan : Normal
Hasil Echocardiograpy tanggal 18-07-2011
- Dimensi ruang jantung : LV sedikit dilatasi
- Kontraktilitas LV : Menurun EF 47 %
- Normokinetik : Hipokinetik septo apical
- Katup – katup struktur dan fungsi : TR Mild
- Doppler E/A : < 1
Kesan : * LV sedikit dilatasi
Disfungsi sistolik dan diastolik
TR Mild
Hasil CT scan Thorak tanggal 06-12-2010
- Tampak multipel nodul di parahiler dextra dan parakardial bilateral
- Trakea dan bronkus primer dextra maupun sinistra tidak tampak penyempitan maupun
deviasi
- Jantung tidak membesar
- Tampak pembesaran kelenjar getah bening bronkopulmonary bilateral
- Tidak tampak efusi pleura
Kesan : Pulmonary metastasis + lymphadenopathy
Diagnosis
CHF fungsional klas III ec HHD + Efusi pleura dextra ec susp metastasis keganasan
+ Post kemoterapi ec Ca mammae
Terapi
- Digoxin 1 x 0,25 mg
- Valsartan 1 x 80 mg
- Alganax 1 x 0,5 mg
- Lasix 2 x 1 ampul
Pada tanggal 26 Juli 2011 dilakukan torakosintesis cairan pleura dextra dimana
didapatkan cairan ± 5 ml cairan serohemoragik. Tindakan torakosintesis dihentikan karena
tidak didapatkan lagi cairan yang keluar. Cairan efusi pleura yang didapatkan dikirimkan
untuk pemeriksaan analisis cairan pleura dan sitologi cairan pleura.
Pada tanggal 30 Juli 2011 keluhan sesak berkurang, berdebar – debar dan adanya
mual tanpa muntah. Pada pemeriksaan fisik tekanan darah 104/64 mmHg, frekuensi nadi 108
x/menit dan frekuensi nafas 20 x/menit. Pada pemeriksaan JVP 5+0, suara jantung S1 S2
reguler cepat, murmur (-) dan gallop (-). Input cairan 1200 ml, output 2000 ml dan balance
cairan -800 ml. Terapi Digoxin diturunkan jadi 1 x 0,125 mg dan ditambahkan domperidon 2
x 1 tablet karena adanya keluhan mual.
Hasil analisis cairan pleura didapatkan ; secara makroskopik berwarna kuning
kemerahan, kekeruhan (+). Jumlah sel 13.350, Gula darah 105, LDH 1804, Protein 5,1,
Rivalta (+), sel PMN 13 % dan sel MN 87 %. Hasil analisis cairan pleura ini menunjukkan
cairan efusi pleura eksudat. Selain sel PMN dan MN juga ditemukan sel yang menyerupai
blast sehingga dianjurkan untuk pemeriksaan sitologi cairan pleura. Hasil konsul dengan
konsulen paru dianjurkan tunggu hasil sitologi cairan pleura sambil observasi. Untuk efusi
pleura sinistra tidak dianjurkan untuk tapping karena cairan sedikit. Anjuran CT scan thoraks
untuk menentukan adanya gambaran metastasis, staging dan cairan efusi.
Hasil pemeriksaan darah lengkap Hb 12,0 gr%, Leukosit 10.900, Hematokrit 38%,
Trombosit 398.000, Gula darah puasa 86 gr/dl, Gula darah 2 jam post prondial 168 gr/dl,
Total kolesterol 179, HDL 36, LDL 122, Trigliserida 104, Ureum 26, Kreatinin 0.7, Kalsium
9.2, Natrium 140, Kalium 3.8, Clorida 99, Total protein 7.5, Albumin 4.0, Globulin 3.5,
Bilirubin total 0.6, SGOT 26, SGPT 30,
Pada tanggal 2 Agustus 2011 keluhan sesak nafas sudah berkurang, tekanan darah
110/72 mmHg, frekuensi nadi 96 x/menit, frekuensi nafas 24 x/menit dan suara jantung S1 S2
reguler, murmur (-) dan gallop (-). Pada JVP sudah berkurang jadi 5-0 cmH2O dan oedem
tungkai sudah tidak ada.
Pada tanggal 4 Agustus 2011 keluhan sesak nafas sudah berkurang, tekanan darah
115/83 mmHg, frekuensi nadi 96 x/menit, frekuensi nafas 24 x/menit dan suara jantung S1 S2
reguler, murmur (-) dan gallop (-). Pada pemeriksaan JVP 5-0 cmH2O dan oedem tungkai
tidak ada. Terapi lasik injeksi diturunkan jadi 1 x 1 ampul.
Pada observasi tanggal 5 Agustus 2011 keluhan sesak nafas sudah berkurang,
tekanan darah 114/75 mmHg, frekuensi nadi 104 x/menit, frekuensi nafas 20 x/menit dan
suara jantung S1 S2 reguler, murmur (-) dan gallop (-). Pada pemeriksaan JVP 5-0 cmH2O
dan oedem tungkai tidak ada. Terapi lasik injeksi distop dan diberikan lasik tablet 1 x 40 mg.
Selanjutnya pasien direncanakan untuk mobilisasi dulu tapi pasien minta pulang.
Hasil sitologi cairan pleura didapatkan pada sediaan apus cairan pleura tampak
sebaran mesotel, sel – sel limfosit, eritrosit, beberapa kelompokan polimorf yang tersusun
seperti kelenjar dengan inti sebagian vesikuler. Hasil ini memberi kesan suatu metastasis
adenokarsinoma.
ANALISIS KASUS
Seorang pasien perempuan umur 42 tahun dirawat dengan diagnosis Congestive Heart
Failure fungsional klas III ec Hipertensi Heart Disease + Efusi pleura bilateral ec metastasis
keganasan + Post kemoterapi a.i Carcinoma mammae.
Pasien didiagnosis sebagai Congestive Heart Failure fungsional klass III et causa
Hipertensi Heart Disease. Dari anamnesis didapatkan keluhan berupa paroxysmal nocturnal
dyspnea, orthopnoe, batuk dan riwayat bengkak pada kedua tungkai. Pasien memiliki riwayat
penyakit hipertensi yang tidak terkontrol sejak 4 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan adanya hipertensi, frekuensi nadi dan nafas yang meningkat, peningkatan jugular
venous pressure dan oedem pada kedua ekstremitas bawah. Hasil pemeriksaan
electrocardiography ditemukan gambaran sinus takikardi dan adanya suatu hipertrofi
ventrikel kiri. Sementara dari hasil pemeriksaan echocardiography menunjukkan adanya
dilatasi ventrikel kiri, disfungsi sistolik dan diastolik dan adanya tricuspid regurgitasi yang
ringan.
Berdasarkan kriteria Framingham tentang kriteria diagnosis congestive heart failure
dimana terdapat kriteria mayor dan kriteria minor. Kriteria mayor meliputi; peningkatan
jugular venous pressure, orthopnoe atau paroksismal nocturnal dyspnea, ronkhi yang
melebihi 10 cm dari basal paru, kardiomegali, gallop S3, central venous pressure > 12
mmHg, disfungsi ventrikel kiri, respon pengobatan berupa penurunan berat badan > 4,5 kg
dan adanya oedem paru akut. Sementara itu kriteria minor berupa oedem tungkai bilateral,
batuk malam hari, sesak saat aktifitas, hepatomegali, efusi pleura dan takikardi > 120
kali/menit) Pada pasien ini ditemukan adanya kriteria mayor yang meliputi; ortopnoe atau
paroxysmal nocturnal dyspnea, kardiomegali dan disfungsi ventrikel kiri. Sementara itu dari
kriteria minor ditemukan adanya oedem kedua tungkai, batuk malam hari, sesak nafas dengan
aktivitas dan frekuensi nadi yang lebih dari 120 kali/menit. Diagnosis congestive heart
disease ditegakkan dengan apabila ditemukan 2 kriteria dari kriteria mayor atau 1 kriteria
mayor ditambah 2 kriteria minor. Oleh karena itu berdasarkan data di atas maka diambil
kesimpulan bahwa pada pasien ini di diagnosis sebagai suatu congestive heart failure.
Derajat klinis pada pasien dengan congestive heart failure ditentukan dengan
klasifikasi dari New York Heart Association ( NYHA ) berdasarkan keterbatasan pasien
terhadap aktivitas.
Klasifikasi NYHA dibagi menjadi 4 klas yaitu :
- Klas 1 bila tidak ada keluhan saat aktivitas biasa
- Klas II bila ada keluhan saat aktifitas ringan
- Klas III bila ada keluhan timbul dengan aktifitas apapun
- Klas IV bila sesak ada walaupun saat istirahat sehingga pasien hanya terbatas
ditempat tidur.
Pada pasien ini keluhan sesak yang timbul pada setiap aktivitas sehingganya
berdasarkan klasifikasi NYHA pasien ini termasuk dalam klas III
Penyebab gagal jantung pada pasien ini disebabkan oleh penyakit hipertensi. Hal ini
didukung oleh hasil EKG dan echocardigraphy yang menunjukkan adanya LVH dan adanya
disfungsi sistolik dan diastolik. Hipertensi yang tidak terkontrol dan berkepanjangan dapat
menyebabkan berbagai perubahan dalam struktur miokard, pembuluh darah koroner, dan
sistem konduksi jantung. Perubahan ini pada gilirannya dapat menyebabkan perkembangan
hipertrofi ventrikel kiri (LVH), penyakit arteri koroner (CAD), berbagai penyakit sistem
konduksi, serta disfungsi sistolik dan diastolik dari miokardium, yang bermanifestasi klinis
sebagai angina atau infark miokard, aritmia jantung ( terutama fibrilasi atrium), dan gagal
jantung(23)
Penatalaksanaan pada pasien ini dengan Digoxin tablet 1 x 0,25 mg, Valsartan tablet 1
x 80 mg dan Lasix injeksi 2 x 1 ampul. Digoksin dapat memberikan efek inotropik positif
yang menghasilkan perbaikan fungsi ventrikel kiri dan mengurangi frekuensi jantung.
Pemberian digoksin pada pasien dewasa dengan gagal jantung dan fungsi ginjal normal
diberikan dengan dosis 0,25 mg. Dalam masa rawatan keluhan sesak pasien sudah berkurang,
frekuensi nadi mulai turun dan adanya keluhan mual. Oleh karena itu maka dosis digoxin
diturunkan menjadi 0,125 mg. Pemberian diuretik pada pasien ini dengan lasik injeksi yang
merupakan loop diuretik. Pemberian diuretik ini memberikan hasil dengan berkurangnya
oedem tungkai dan turunnya tekanan vena jugular. Selanjutnya dalam masa rawatan terapi
lasik injeksi selanjutnya diturunkan menjadi 1 x 1 ampul karena oedem tungkai tidak ada lagi
dan JVP 5-0 cmH2O dan terapi lasik injeksi distop karena pasien semakin membaik dan
diganti dengan lasik tablet. Valsartan berguna untuk manangani masalah hipertensi pada
pasien ini.
Pasien didiagnosis tambahan suatu efusi pleura bilateral ec metastasis keganasan.
Hasil anamnesis mendapatkan adanya riwayat mastektomi sinistra atas indikasi carcinoma
mammae. Setelah tindakan mastektomi 2 tahun yang lalu pasien menjalani tindakan
kemoterapi dengan menggunakan paclitaxel 30 mg dan sisplatin sebanyak 12 kali. Setelah
lengkap maka selanjutnya pasien diberikan tamoxifen 1 x 20 mg. Dari gambaran radiologis
tampak gambaran seperti efusi pleura pada kedua kedua paru tapi dengan jumlah yang
sedikit. Dilakukan torakosintesis pada pleura dekstra dan didapatkan cairan sebanyak 5 ml
yang berwarna serohemoragik. Gambaran cairan pleura yang berwarna serohemoragik atau
hemoragik menunjukkan ke arah suatu efusi pleura karena keganasan baik primer di paru
maupun suatu metastasis. Hanya sekitar 30 – 50 % efusi pleura keganasan yang memiliki
cairan tidak berwarna kemerahan.. Timbulnya cairan efusi pleura yang hemoragik disebabkan
oleh invasi langsung sel tumor ke pembuluh darah, bendungan pada vena, angiogenesis yang
diinduksi oleh tumor dan meningkatnya permeabilitas kapiler.
Hasil analisis cairan pleura pada pasien ini menunjukkan suatu cairan yang eksudat
berdasarkan pada kriteria Light(1).
Pada kriteria Light disebutkan bahwa kriteria suatu cairan
eksudat meliputi salah satu dari ;
a. Rasio protein cairan pleura dan protein serum > 0,5
b. Rasio LDH cairan pleura dan LDH serum > 0,6
c. Kadar LDH cairan pleura melebihi 2/3 kadar normal tertinggi LDH serum.
Pada pasien ini analisis cairan pleura didapatkan rasio protein cairan pleura dan
protein serum > 0,5 dan kadar LDH cairan pleura yang tinggi melebihi 2/3 kadar normal
tertinggi LDH serum, sehingganya cairan efusi pleura pada pasien ini merupakan eksudat.
Pada proses keganasan didapatkan cairan efusi pleura yang bersifat eksudat, hanya sekitar 5
% cairan pleura maligna yang bersifat transudat. Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga memudahkan perpindahan protein ke rongga
pleura. Terjadinya peningkatan permeabilitas ini terbukti dengan tingginya kadar LDH cairan
pleura.
Hasil dari sitologi cairan pleura menunjukkan efusi pleura pada pasien ini suatu
proses metastasis keganasan dimana pada pasien ini berasal dari carcinoma mammae. Hal ini
membuktikan bahwa cairan efusi pleura yang terbentuk merupakan suatu efusi pleura
maligna. Hasil ini didukung dengan hasil CT scan thorak sebelumnya dimana didapatkan
adanya gambaran pulmonary metastasis berupa multiple nodul dikedua lapangan paru. Dari
semua hasil pemeriksaan ini didapatkan kesimpulan bahwa sudah terjadi metastasis dari
carcinoma mammae pada kedua paru berupa gambaran multipel nodul dan efusi pleura.
Penatalaksanaan terhadap efusi pleura tergantung pada ukuran efusi yang terbentuk.
Pada efusi pleura yang sedikit hanya dilakukan observasi, namun apabila cairan efusi pleura
masif maka harus dilakukan drainase untuk mengurangi keluhan pasien. Tindakan drainase
yang dilakukan dapat berupa torakosintesis, chest tube atau kateter indwelling. Pada pasien
ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah observasi. Hal ini disebabkan oleh jumlah cairan
efusi pleura pada pasien ini sedikit dan tidak memiliki keluhan akibat cairan efusi pleura.
Namun bila dalam masa observasi terjadi pertambahan cairan sehingga menimbulkan keluhan
maka dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan untuk drainase cairan. Apabila cairan efusi
pleura yang timbul bersifat masif dan berulang maka dapat dilakukan tindakan pleurodesis.
Tindakan pleurodesis ini dilakukan dengan memasukkan zat sklerosan ke dalam rongga
pleura melalui chest tube atau torakoskopi. Pilihan zat sklerosan pada kasus ini adalah
bleomisin karena juga bersifat anti neoplastik. Prognosis pada pasien ini adalah jelek karena
sudah terbukti terdapatnya metastasis sel – sel kanker mammae ke paru dan pleura.
DAFTAR PUSTAKA
1. Heart Foundation. Guidelines for the prevention, detection and management of chronic
heart failure in Australia, update october 2011. National Heart Foundation of Australia
2011;p.1-86
2. Dickstein K, Solal AC, Filippatos G, Murray JJ, Ponikowski P, Wilson PAP, et al. ESC
Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008.
European heart journal (2008);29:2388-2442
3. Figueroa MS, Peters JI. Congestive heart failure : diagnosis, pathophysiology, theraphy
and implications for respiratory care. Respir care 2006;51(4);p.403-412
4. Jessup M, Abraham WT, Casey DE, Feldman AM, Francis GS, Goniats TG.
ACCF/AHA; Guidelines for the diagnosis and management of heart failure in adults
2009;Circulation 2009;119:p.1977-2016
5. Light RW. Pleural diseases 5th edition. Lippincott williams & wilkins, Tennesse 2007
6. Broaddus VC, Robinson BW. Tumors of pleura. In Maser RJ, Broaddus VC, Martin TR
ed.Textbook of respiratory medicine. Elsevier, Philadelphia 2010
7. Sahn SA. Malignant pleural effusion. In Fishman AP, Elias JA, Fishman JA et al. Ed
Fishman’s pulmonary diseases and disorders. The McGraw-Hill companies, Philadelphia
2008 p.1505-1515
8. Zdanowicz MM. Congestive heart failure. American journal of pharmaceutical education
vol 66;2002:p.180-185
9. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of chronic heart failure. NHS
2007;p.1-54
10. National Institute for Health and Clinical Excellence. Chronic heart failure; management
of chronic heart failure in adults in primary and secondary care. NICE;2010:p.1-12
11. Rahman NM, Wang NS. Anatomy of the pleura. In Light RW, Lee YC. Ed Textbook of
pleural diseases second edition. Hadder & Stoughton ltd, London 2008 p.13-23
12. Hood Alsagaff, Abdul Mukty. Dasar – dasar ilmu penyakit paru.Airlangga university
press surabaya 2008,p.143-54
13. Light RW. The Undiagnosed pleural effusion. Clin chest med, 27(2006) p.309-319
14. Slamet hariadi. Efusi pleura. Dalam Jusuf wibisono, Winariani, Slamet hariadi. Editor
Buku ajar ilmu penyakit paru 2010. Departemen ilmu penyakit paru FK Unair
RS.Dr.Soetomo 2010, p.111-21
15. Temmasung R Pakki. Efusi pleura ganas. Dalam Alvin kosasih, Agus dwisusanto,
Temmasung R pakki, Tintin martini. Editor Diagnosis dan tatalaksana kegawatdaruratan
paru. PDPI cabang Banten 2008, p 55-63
16. Sahn SA. Pleural disease. In ACCP pulmonary medicine board review 25th edition.
Northbrook 2009, p.513-46
17. Ngurah rai. Efusi pleura maligna: Diagnosis dan penatalaksanaan terkini. J Peny dalam.
2009;10:208-17
18. Aydin, Turkyilmaz A, Intepe YS, Eroglu A. Malignant pleural effusion : Appropriate
treatment approaches. EAJM;41(2009) p.186-93
19. Zahid I, Routledge T, Bille A, Scarch M. What is the best treatment for malignant pleural
effusion ? Interactive cardiovascular and thoracic surgery 12(2011) p.818-23
20. Uzbeck MH, Almeida FA, Sarkiss MG et al. Management of malignant pleural effusion.
Adv Ther (2010) 27(5) p.1-14
21. Gasparri R, Leo F, Veronesi G et al. Video-assisted management of malignant pleural
effusion in breast carcinoma. American cancer society vol 106 (2006), p 271-6
22. Bishay A, Raoof S, Esan A et al. Update on pleural diseases 2007. Annals of thoracic
medicine 2007;2:p.128-42
23. Diamond JA, Phillips RA. Hipertensive heart disease. Hypertens res vol 28; 2005:p.191-
202