kasus efusi pleura ganas dan gagal jantung

31
Presentasi Kasus Tanggal : Efusi Pleura Maligna dan Gagal Jantung Kongestif Oleh Nofriyanda Pembimbing Dr.Yerizal Karani,SpPD, SpJP(K) Stase Kardiologi Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas / RS.DR.M.Djamil Padang 2012

Upload: yandaoke

Post on 26-Jul-2015

498 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

Presentasi Kasus

Tanggal :

Efusi Pleura Maligna dan Gagal Jantung Kongestif

Oleh

Nofriyanda

Pembimbing

Dr.Yerizal Karani,SpPD, SpJP(K)

Stase Kardiologi

Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas / RS.DR.M.Djamil

Padang 2012

Page 2: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Gagal jantung menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama pada beberapa

negara industri maju dan negara berkembang seperti Indonesia. Penyebab umum dari gagal

jantung adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dan kardiomiopati. Peningkatan insiden

penyakit jantung koroner berkaitan dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang turut

berperan dalam meningkatkan faktor risiko penyakit ini seperti kadar kolesterol tinggi,

rendahnya HDL, perokok aktif dan hipertensi(1,2)

Gagal jantung merupakan suatu sindroma klinis kompleks dengan gejala tipikal

( misal sesak nafas, fatique ) yang dapat timbul saat istirahat atau aktifitas. Gagal jantung

memiliki karakteristik berupa bukti objektif adanya abnormalitas struktur atau disfungsi

jantung yang mengurangi kemampuan ventrikel untuk memompakan darah ( terutama

selama aktifitas fisik )(1)

Penegakkan diagnosis yang baik sangat penting untuk penatalaksanaan gagal jantung

baik akut maupun kronik. Diagnosis gagal jantung meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang terdiri dari foto thoraks, elektrokardiografi,

laboratorium, echocardiografi dan biomarker. Penatalaksanaan pada gagal jantung

tergantung penyebab gagal jantung yang terjadi dan fasilitas yang tersedia. Penatalaksanaan

gagal jantung meliputi penatalaksanaan secara umum/non farmakologi, farmakologi dan

penatalaksanaan intervensi. Dengan penatalaksanaan yang baik diharapkan akan terwujud

pengurangan angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan gagal jantung(1,2,3,4)

Efusi pleura dapat terjadi pada penyakit keganasan pada intratoraks, organ

ekstratoraks maupun keganasan sistemik. Penyakit keganasan yang banyak menimbulkan

efusi pleura adalah kanker paru, kanker mammae dan limfoma. Penderita efusi pleura

maligna dianggap mempunyai prognosis yang buruk terutama bila ditemukan sel – sel tumor

ganas dalam cairan pleura karena keadaan ini menunjukkan stadium tumor sudah lanjut.

Karsinoma mammae merupakan penyebab kedua terbanyak dari efusi pleura maligna dimana

dari beberapa penelitian didapatkan bahwa pada pasien dengan karsinoma mammae sekitar

46 – 48 % terdapat efusi pleura maligna. Penyebaran sel kanker ke pleura dapat terjadi

secara invasi langsung sel kanker dari bagian – bagian yang berdekatan dengan pleura yaitu

Page 3: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

paru, dinding dada seperti mammae, diafragma dan mediastinum. Pada kanker mammae efusi

pleura maligna ipsilateral terjadi ketika metastasis melalui saluran limfe dinding dada (5,6,7)

.

Efusi pleura maligna sering menimbulkan masalah dibidang diagnostik maupun

penatalaksanaan sehingga membutuhkan kerja sama multidisipliner. Masalah yang perlu

ditanggulangi adalah mencari dan mengobati tumor primer serta mengatasi gangguan

pernafasan akibat akumulasi cairan pleura yang mungkin dapat mengancam hidup penderita.

Angka survival yang rendah, tingkat kekambuhan efusi pleura maligna yang tinggi dan

sangat cepat terjadi merupakan masalah lain yang semakin mempersulit manajemen efusi

pleura maligna.(5,6,7)

Penatalaksanaan efusi pleura maligna pada prinsipnya adalah paliatif dimana tujuan

utama penatalaksanaan efusi pleura maligna adalah untuk mengurangi gejala dan

meningkatkan kualitas hidup Beberapa tindakan yang dapat dilakukan meliputi

torakosintesis, pleurodesis, chest tube dan pembuatan shunt pleuroperitoneal. Intervensi ini

ditujukan untuk pengeluaran cairan pleura dan apabila memungkinkan dilakukan pleurodesis

atau membuat suatu sistem drainase jangka panjang untuk mencegah reakumulasi dari cairan

pleura.(6,7)

I.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan adalah melaporkan kasus pasien gagal jantung dan efusi pleura

maligna.

Page 4: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Jantung

2.1.1. Definisi

Gagal jantung merupakan suatu sindroma klinis kompleks dengan gejala tipikal

( misal sesak nafas, fatique ) yang dapat timbul saat istirahat atau aktifitas. Gagal jantung

memiliki karakteristik berupa bukti objektif adanya abnormalitas struktur atau disfungsi

jantung yang mengurangi kemampuan ventrikel untuk memompakan darah (terutama selama

aktifitas fisik)(1)

2.1.2. Etiologi

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi fungsi jantung sehingga terjadi

penurunan fungsi jantung yaitu(1,2)

;

- Penyakit arteri koroner

- Hipertensi

- Kardiomiopati

- Obat – obatan

- Toksin

- Nutrisi dan lainnya

2.1.3 Klasifikasi

New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi gagal jantung yang

berdasarkan pada derajat keterbatasan fungsional. Pembagian fungsional NYHA ini sering

digunakan untuk menentukan progresifitas gagal jantung. Sistem ini membagi pasien atas 4

kelas fungsional yang bergantung pada gejala yang muncul, yaitu asimptomatis (kelas I),

gejala muncul pada saat aktifitas ringan (kelas II), gejala muncul pada saat aktifitas berat

(kelas III) dan gejala muncul pada saat istirahat (kelas IV). Kelas fungsional pada penderita

gagal jantung cenderung berubah-ubah. Bahkan perubahan ini dapat terjadi walaupun tanpa

perubahan pengobatan dan tanpa perubahan pada fungsi ventrikel yang dapat diukur(1,2)

.

ACC/AHA membagi klasifikasi untuk perkembangan dan progresifitas gagal jantung

atas 4 stadium yaitu stadium A adalah beresiko tinggi untuk menjadi gagal jantung tanpa

ditemukan adanya disfungsi jantung, stadium B adalah adanya disfungsi jantung tanpa gejala,

stadium C adalah adanya disfungsi jantung dengan gejala, stadium D adalah adanya gejala

yang berat dan refrakter terhadap terapi maksimal. Pembagian ini mengutamakan pada

Page 5: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

keberadaan faktor resiko dan abnormalitas struktural jantung, pengenalan progresifitasnya,

dan strategi pengobatan pada upaya preventif(1,2)

Tabel 1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan NYHA(dikutip dari 2)

Tabel 2. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan ACC / AHA(dikutip dari 2)

2.1.4. Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda gagal jantung merupakan kunci untuk deteksi karena hal tersebut

yang membuat pasien mencari pertolongan. Manifestasi klinis yang timbul menunjukkan

adanya tanda-tanda kegagalan jantung kongestif dan retensi cairan(1,3,8)

.

Gejala yang terdapat pada pasien dengan gagal jantung meliputi(1,2,8,9)

:

- Sesak nafas saat aktivitas merupakan keluhan yang tersering pada kebanyakan pasien.

Awalnya sesak nafas timbul dengan latihan yang berat namun lama kelamaan menjadi

progresif dimana sesak saat latihan ringan bahkan saat istirahat

Page 6: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

- Sesak nafas saat berbaring dimana hal ini berhubungan dengan gagal jantung pada

stadium lanjut

- Paroksismal nocturnal dyspnea

- Batuk kering terutama malam hari

- Fatique dan kelemahan

- Serangan palpitasi yang mengindikasikan suatu aritmia

Gejala lain yang berhubungan dengan retensi cairan dapat terjadi pada pasien gagal

jantung lebih lanjut seperti distensi abdomen, asites dan oedem perifer.

Pemeriksaan fisik yang teliti merupakan hal penting untuk menegakkan diagnosis. Namun hal

yang penting bahwa pasien gagal jantung stadium awal dapat tidak terdeteksi dengan

pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan pada pasien dengan gagal

jantung meliputi oedem perifer, peningkatan tekanan vena jugular, oedem paru,

hepatomegali, ascites, takikardi, bunyi jantung tambahan, murmur, ronkhi di kedua lapangan

paru dan efusi pleura(1,2,3,4,8)

2.1.5. Pemeriksaan Penunjang

Terdapat beberapa pemeriksaan rutin yang digunakan untuk mendiagnosis gagal

jantung. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan meliputi;(1,2,8,9,10)

a. Elektrokardiogram

Pemeriksaan Elektrokardiogram ( EKG ) harus dilakukan pada semua pasien dengan

suspek gagal jantung. Perobahan gambaran EKG pada pasien dengan gagal jantung

dapat berupa sinus takikardi, sinus bradikardi, atrial takikardi/fibrilasi, ventrikel

aritmia, iskemik/infark, hipertrofi ventrikel kiri dan adanya blok atrioventrikular.

b. Radiologi toraks

Pemeriksaan radiologi toraks merupakan komponen penting untuk diagnostik gagal

jantung. Gambaran radiologi toraks berguna untuk mendeteksi kardiomegali,

bendungan paru, efusi pleura dan adanya penyakit paru atau infeksi yang

memperberat gejala sesak.

c. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin berupa darah rutin (hemoglobin, leukosit, trombosit),

elektrolit, kreatinin serum, glukosa, fungsi hepar dan urinalisis. Pemeriksaan sebagai

biomarker diagnosis gagal jantung adalah natriuretic peptides berupa Brain natriuretic

peptides dan N-terminal pro-BNP dimana peningkatannya merupakan respon terhadap

peningkatan stres pada dinding otot jantung. Pemeriksaan lainnya seperti Troponin I

Page 7: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

atau T diperiksa pada suspek gagal jantung yang memiliki klinis sindrom koroner akut

dimana peningkatan troponin disebabkan oleh nekrosis miosit.

d. Echocardiography

Pemeriksaan echocardiography dapat memberikan informasi tentang kelainan struktur

dan fungsi jantung. Dengan echocardigraphy dapat menilai ukuran, volume dan

ketebalan ventrikel dan atrium. Selain itu dapat juga memberikan informasi tentang

fungsi sistolik dan diastolik, fungsi dan struktur katup, tekanan sistolik pulmonal dan

penyakit perikardium.

2.1.6. Diagnosis

Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal

jantung yaitu dengan terpenuhinya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria

minor(2,3,8)

Adapun kriteria Framingham sebagai berikut:

• Kriteria Mayor :

- Paroksismal nocturnal dispnu atau ortopnoe

- Distensi vena leher

- Ronki paru

- Kardiomegali

- Edema paru akut

- Gallop S3

- Central venous pressure > 12 mmHg

- LVH pada EKG

-Penurunan BB ≥ 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan

• Kriteria Minor :

- Oedem ekstremitas

- Batuk malam hari

- Dispnea d’effort

- Hepatomegali

- Efusi pleura

- Takikardia (>120 x/menit)

Page 8: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

2.1.7. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan gagal jantung adalah untuk mencegah bertambah

progresifnya penyakit, mengurangi gejala / keluhan, mengurangi masa rawatan dan mencegah

kematian.

Penatalaksanaan terhadap gagal jantung meliputi(1,2,4,9,10)

:

- Membatasi aktifitas fisik untuk mengurangi kerja jantung

- mengurangi pre load pada jantung dengan membatasi cairan dan garam, penggunaan

vasodilator untuk dilatasi vena dan penggunaan diuretik untuk mengurangi volume

cairan.

- Mengurangi after load dengan penggunaan vasodilator arteri atau menghambat

angiotensin II dengan pemakaian Angiotensin Converting Enzyme ( ACE ) inhibitors

- Meningkatkan kontraktilitas jantung dengan pemberian inotropik positif

- Mengurangi efek adrenergik dengan antagonis reseptor β

Beberapa terapi yang digunakan dalam gagal jantung :

a. Diuretik

Pada pasien gagal jantung dengan adanya overload maka harus diberikan diuretiks

dimana pemberian lebih awal berhubungan dengan hasil yang lebih baik. Pada pasien ini

tujuan pemberian diuretik adalah mencapai peningkatan output urin dan penurunan berat

badan 0,5 – 1 kg/hari sampai tercapai euvolemia secara klinis. Pada kasus adanya resistensi

diuretik maka pemberian diuretik dapat berupa kombinasi beberapa macam obat lebih efektif

dan memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan pemberian satu jenis obat dengan

dosis yang lebih tinggi. Pada pasien yang mendapat diuretik harus dimonitor berat badan,

keseimbangan cairan masuk dan keluar, kadar elektrolit dan fungsi ginjal. Golongan loop

diuretiks ( furosemid ) merupakan diuretik kuat yang menghambat transpor sodium keluar

pada loop ascending Henle sehingga menyebabkan meningkatnya pengeluaran cairan dan

sodium. Golongan tiazid bekerja pada tubulus distal ginjal dengan mengurangi reabsorbsi

sodium dan meningkatkan eksresi cairan. Pemberian diuretik dapat berupa kombinasi thiazid

dengan loop diuretik untuk edema yang resisten, namun harus diperhatikan secara cermat

kemungkinan dehidrasi, hipovolemia, hiponatremia, atau hipokalemia.(1,4,6)

b. Vasodilator

Pemberian vasodilator seperti nitrogliserin diberikan pada pasien yang kurang respon

dengan hanya pemberian diuretik. Tujuan pemberian vasodilator akan mengurangi preload

dan mempercepat pengurangan bendungan paru. Golongan nitrat ( nitrogliserin ) mendilatasi

Page 9: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

arteri perifer dan vena dengan merelaksasikan otot polos vaskuler yang menyebabkan

pengurangan preload dan afterload. Pemberian nitrat ( sublingual/IV ) mengurangi preload

dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak

sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri

termasuk arteri koroner. Oleh karena itu dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi

keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Sodium

nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan pada gagal jantung

refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian

nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati.(1,2,4,6)

c. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor

Oleh karena pentingnya aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron dalam

progresifnya gagal jantung maka blokade sistem ini menjadi salah satu dasar keberhasilan

terapi. Golongan ACE inhibitor bekerja dengan memblok pembentukan angiotensin II dan

aldosteron yang menyebabkan penurunan resistensi vaskuler dan mengurangi retensi

sodium/cairan. Pasien dengan tidak ada kontra indikasi maupun pasien yang masih toleran

terhadap ACE Inhibitor (ACEI), ACEI harus digunakan pada semua pasien dengan gagal

jantung yang simtomatik dan LVEF <40% dimana dengan ACE inhibitor akan memperbaiki

fungsi ventrikel. Beberapa contoh obat golongan ACE inhibitor adalah captopril, enalapril,

lisinopril, ramipril dan trandolapril.

d. Inotropik

Pasien dengan low output dan adanya tanda – tanda hipoperfusi atau bendungan

dipertimbangkan untuk pemberian obat inotropik seperti dopamin, dobutamin, milrinone,

enoximone dan levosimendan. Obat – obatan ini akan memperbaiki gejala yang berhubungan

dengan perfusi yang buruk dan mempertahankan fungsi end organ pada pasien dengan

disfungsi sistolik berat. Obat inotropik memberikan hasil yang bagus pada pasien dengan

hipotensi relatif dan intoleran atau tidak respon dengan vasodilator dan diuretiks. Dobutamin

dan dopamin bekerja dengan merangsang reseptor B adrenergik sehingga meningkatkan

kontraktilitas miokard dan cardiac output.

Page 10: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

e. Glikosida

Digoksin diberikan pada pasien gagal jantung dan atrial fibrilasi dimana digoksin

digunakan untuk mengurangi frekuensi jantung. Digoksin bekerja dengan menghambat kerja

sodium – potassium ATPase. Blokade terhadap enzim ini berhubungan dengan:(1)

- Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi ventrikel

kiri.

- Menstimulasi baroreseptor jantung

- Mengurangi sekresi renin dari ginjal.

- Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan aktifitas

vagal.

Pemberian digoksin pada pasien dewasa dengan gagal jantung dan fungsi ginjal

normal dengan dosis 0,25 mg. Pada pasien tua dan adanya gangguan ginjal dosis dikurangi

menjadi 0,0625 mg sampai 0,125 mg. Efek samping obat ini dapat berupa blok sinoatrial dan

AV, aritmia serta tanda – tanda toksisitas seperti mual, anoreksia, pusing dan gangguan

penglihatan warna.

f. Beta Blocker

Beta bloker menghambat efek sistemik saraf simpatis yang dimediasi melalui reseptor

beta-1, beta-2 dan alpha-1 pada otot jantung.

Manfaat dari pemberian B-bloker adalah :

- Mengurangi frekuensi jantung dimana memperlambat pengisian diastolik sehingga

memperbaiki perfusi miokard

- Meningkatkan LVEF

Carvedilol bekerja dengan menghambat reseptor beta-1, beta-2 dan alpha-1. Sementara itu

bisoprolol, nebivolol dan metaprolol merupakan antagonis selektif beta-1.

2.2 Efusi Pleura

2.2.1. Anatomi dan Fisiologi Pleura

Pleura merupakan suatu membran tipis yang menutupi parenkim paru, mediastinum

dan diafragma. Jaringan pleura terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura viseral dan pleura parietal

dimana pleura viseral menutupi seluruh parenkim paru sedangkan pleura parietal menutupi

bagian dalam rongga thorak. Ruangan antara jaringan pleura parietal dan pleura viseral

disebut rongga pleura(5,6,11)

Page 11: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

Dalam keadaan normal rongga pleura berisi sedikit cairan sekitar 10 – 20 ml yang

berfungsi sebagai pelicin agar paru dapat bergerak secara leluasa saat bernafas. Cairan pleura

diproduksi terutama oleh jaringan pleura parietal yang berasal dari sirkulasi sistemik secara

konstan 0,01 ml/kg/jam. Proses reabsorbsi cairan pleura terjadi pada drainase limfatik melalui

stoma pada jaringan pleura parietal. Kapasitas penyerapan oleh pleura parietal sebesar 0,20

ml/kg/jam(5,6,11,12)

Gambar 1. Skema aliran cairan pleura dalam keadaan normal(dikutip dari 6)

2.2.2. Etiologi efusi pleura

Akumulasi cairan pleura terjadi ketika jumlah rata – rata pembentukan cairan pleura

melebihi jumlah rata – rata absorbsi cairan pleura. Akumulasi cairan pleura melebihi normal

dapat disebabkan oleh beberapa kelainan antara lain infeksi dan keganasan di paru maupun

organ luar paru(5,6,7,11)

Secara umum penyebab efusi pleura meliputi(5,6,13,14)

:

A. Meningkatnya pembentukan cairan pleura

a. Meningkatnya cairan interstitial pada paru ; gagal jantung kiri, pneumonia

b. Meningkatnya tekanan intravaskular pada pleura; gagal jantung kiri, sindroma

vena cava superior

c. Meningkatnya permeabilitas kapiler pada pleura; inflammasi pada pleura,

meningkatnya kadar vascular endothelial growth factor

d. Meningkatnya kadar protein cairan pleura

e. Menurunnya tekanan rongga pleura ; atelektasis paru

f. Meningkatnya cairan pada rongga peritoneal ; asites

g. Gangguan duktus thorasikus

Page 12: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

B. Menurunnya penyerapan cairan pleura

a. Obstruksi drainase limfatik pleura parietal

b. Meningkatnya tekanan pembuluh darah sistemik ; sindroma vena cava superior

Penyebab efusi pleura dapat disebabkan oleh proses keganasan baik oleh keganasan

pada paru maupun keganasan dari organ luar paru. Efusi pleura yang disebabkan oleh suatu

proses keganasan baik keganasan primer dipleura maupun diluar pleura disebut efusi pleura

maligna. Beberapa keganasan yang tersering menyebabkan efusi pleura maligna ini adalah

karsinoma paru, karsinoma mammae dan limfoma(5,6,7)

2.2.3. Analisis Cairan Pleura

Cairan efusi pleura secara klasik dibagi menjadi 2 jenis yaitu eksudat dan transudat.

Efusi pleura transudat timbul bila ada peningkatan tekanan kapiler, sirkulasi sistemik atau

penurunan tekanan onkotik plasma. Efusi pleura jenis transudat mengandung protein yang

rendah. Efusi pleura eksudat terbentuk saat terjadi perobahan pada pleura atau kapiler

disekitarnya sehingga terbentuk cairan. Cairan eksudat disebabkan oleh karena adanya

kerusakan pada kapiler di pleura dan jaringan sekitarnya dimana terjadi peningkatan

permeabilitas sehingga protein dapat masuk kedalam rongga pleura. Efusi pleura eksudat

biasanya didapatkan pada kasus keganasan, infeksi atau inflammasi(5)

Untuk membedakan suatu cairan efusi pleura eksudat atau transudat dipakai kriteria

Light dimana cairan efusi pleura eksudat bila memenuhi minimal satu kriteria dibawah ini :

1. Rasio protein cairan pleura dengan protein serum > 0,5

2. Rasio lactat dehydrogenase ( LDH ) cairan pleura dengan LDH serum > 0,6

3. Kadar LDH cairan pleura > 2/3 kadar tertinggi LDH serum

Tabel 3. Diagnosis banding berdasarkan jenis efusi pleura transudat dan eksudat(dikutip dari)

Page 13: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

Gambaran kasar cairan efusi pleura sering berguna memberikan informasi yang

penting untuk diagnostik seperti warna, kekeruhan dan bau. Cairan pleura biasanya jernih,

kekuningan, tidak kental dan tidak berbau. Warna kemerahan mengindikasikan terdapatnya

sel eritrosit. Cairan pleura yang keruh dapat terjadi karena jumlah sel yang meningkat atau

meningkatnya kadar lipid. Cairan pleura yang berbau busuk menunjukkan terdapatnya infeksi

bakteri terutama anaerob, sedangkan bila berbau urin menunjukkan suatu urinotoraks.

Jumlah sel leukosit membantu untuk membedakan efusi pleura eksudat atau transudat

dimana efusi pleura transudat biasanya memiliki jumlah sel leukosit dibawah 1.000/mm3,

sedangkan pada eksudat jumlah sel leukosit diatas 1.000/mm3. Pada efusi pleura eksudat,

hitung jenis sel dapat memberikan petunjuk tentang etiologi efusi pleura. Kadar netrofil yang

predominan menunjukkan suatu proses akut seperti parapneumonia efusi. Cairan pleura

dengan PMN yang dominan mengarahkan ke kelainan yang akut seperti infeksi virus,

pleuritis TB akut. Sementara itu pada cairan dengan sel MN yang dominan menunjukan

proses yang kronik seperti malignan dan TB.

Kadar protein cairan pleura biasanya lebih tinggi pada efusi pleura eksudat disbanding

transudat. Peningkatan protein pada efusi pleura kadarnya sangat bervariasi tapi tidak dapat

Page 14: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

digunakan sebagai pedoman diagnostic penyebabnya. Namun apabila kadar proteinnya

melebihi 5 gr% kemungkinan penyebabnya TB.

Kadar glukosa cairan pleura berguna untuk diagnosis banding pada efusi pleura

eksudat karena kadar glukosa yang rendah ( < 60 gr/dl ) mengindikasikan pasien menderita

parapneumonia, rheumatoid disease atau pleuritis TB. Pasien dengan parapneumonia efusi

atau pleuritis TB memiliki gejala yang akut seperti demam, batuk dan nyeri pleuritik disertai

kadar glukosa yang rendah. Sementara itu pada pasien dengan gejala yang subakut atau

kronik dan memiliki kadar glukosa yang rendah menunjukkan kemungkinan suatu keganasan,

reumatoid, TB atau infeksi bakteri kronik.

Lactat Dehydrogenase ( LDH ) cairan pleura menggambarkan permeabilitas membran

yang bisa dipakai sebagai pedoman untuk melihat tingkat inflammasi dari membran tersebut.

Dengan kata lain LDH bisa dipakai sebagai sarana evaluasi aktifitas penyakitnya, namun

LDH tidak dapat digunakan sebagai pedoman untuk diagnostik penyebabnya. Jika pada

torakosintesis berulang didapatkan peningkatan kadar LDH menandakan derajat inflammasi

pada pleura menjadi progresif jelek dan sebaliknya.

2.3. Efusi Pleura Maligna

2.3.1. Definisi

Efusi pleura maligna adalah efusi pleura yang secara sitopatologi ditemukan sel ganas

dalam cairan pleura atau secara histopatologi pada jaringan pleura. Bila tidak ditemukan sel

ganas pada cairan pleura atau jaringan pleura baik secara biopsi pleura maupun torakoskopi

maka keadaan ini dikenal dengan efusi pleura paramaligna(5,7,13,15,16)

2.3.2. Patogenesis

Efusi pleura maligna terbanyak disebabkan oleh karsinoma paru, karsinoma mammae

dan limfoma yang berkisar 75 % dari keseluruhan efusi pleura maligna dimana karsinoma

paru menjadi penyebab terbanyak dari efusi pleura maligna. Karsinoma mammae merupakan

penyebab kedua terbanyak dari efusi pleura maligna dimana dari beberapa penelitian

didapatkan bahwa pada pasien dengan karsinoma mammae sekitar 46 – 48 % terdapat efusi

pleura maligna. Rentang waktu antara berkembangnya tumor primer karsinoma mammae dan

timbulnya efusi pleura berkisar antara 2 – 20 tahun. Efusi pleura biasanya terjadi pada

ipsilateral dari posisi tumor (50%) tapi dapat juga kontralateral (40%) dan bilateral

(10%)(5,6,13)

Page 15: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

Penyebaran sel kanker ke pleura dapat terjadi secara invasi langsung sel kanker dari

bagian – bagian yang berdekatan dengan pleura yaitu paru, dinding dada seperti mammae,

diafragma dan mediastinum. Pada kanker mammae efusi pleura maligna ipsilateral terjadi

ketika metastasis melalui saluran limfe dinding dada. Selain itu penyebaran sel – sel tumor

dapat melalui proses embolisasi(6,7,16,17)

Terdapat beberapa mekanisme yang bertanggung jawab untuk timbulnya efusi pleura

pada pasien dengan keganasan baik secara langsung maupun tidak langsung(5,6,7,14,16,17)

1. Secara langsung

a. Metastasis pada pleura dengan peningkatan permeabilitas

b. Metastasis pada pleura dengan obstruksi pembuluh limfatik pada pleura

c. Keterlibatan kelenjar limfe mediastinum dengan menurunkan drainase

d. Gangguan duktus thorasikus

e. Obstruksi bronkus

2. Secara tidak langsung

a. Hipoproteinemia

b. Emboli paru

c. Post terapi radiasi

2.3.3 Gejala Klinis

Sesak nafas merupakan keluhan tersering pada kasus efusi pleura maligna pada lebih

50 % pasien terutama pada saat beraktivitas dan berkurang saat istirahat. Mekanisme sesak

disebabkan terjadinya penurunan daya kembang paru, penurunan volume paru ipsilateral,

pendorongan mediastinum ke arah kontralateral efusi dan penekanan diafragma ipsilateral.

Keluhan lain adalah nyeri dada, dada terasa penuh, batuk kering dan batuk darah yang

mengindikasikan keganasan intrabronkial. Gejala tambahan juga dapat terjadi berupa

penurunan berat badan, malaise dan anoreksia. Anamnesis untuk mencari asal tumor, riwayat

kanker dan pembedahan sebelumnya untuk meyakinkan apakah tumor primer berasal dari

intrathoraks atau ekstrathoraks(7,14,15,16)

Pada pemeriksaan klinis tergantung pada jumlah cairan yang terbentuk. Kelainan pada

pemeriksaan jasmani dapat ditemukan pada efusi pleura yang mencapai volume 300 ml.

Kelainan yang dapat ditemukan meliputi rongga thoraks yang sakit lebih cembung,

pergerakan pada bagian yang sakit berkurang dibandingkan yang sehat, penurunan fremitus,

perkusi redup hingga pekak dan suara nafas yang melemah hingga menghilang pada paru

ipsilateral(7,15)

Page 16: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

2.3.4 Gambaran radiologis

Ukuran efusi pleura maligna dapat bervariasi, mulai dari yang sedikit berupa beberapa

milimeter dimana hanya menampakkan sudut kostofrenikus tumpul hingga ukuran yang luas

mengisi seluruh hemithoraks. Gambaran perselubungan homogen dengan bagian lateral lebih

tinggi dibandingkan bagian medial disertai pendorongan trakea dan mediastinum ke arah

kontralateral merupakan gambaran khas efusi pleura secara radiologis . Pemeriksaan ini dapat

mendeteksi cairan dengan volume sekitar 150 – 200 ml atau lebih. Apabila jumlah cairan

kurang dari 300 ml maka posisi lateral dekubitus akan membantu memastikan keberadaan

cairan. Pemeriksaan ultrasonografi thoraks lebih sensitif dibandingkin foto thoraks karena

mampu mendeteksi cairan yang lebih sedikit ( 5 – 50 ml ). Pemeriksaan lain seperti CT scan

dan MRI dapat digunakan untuk menilai efusi pleura sekaligus menilai kelainan pada

parenkim paru, mediastinum dan dinding dada. Selain itu CT scan dan MRI juga berperan

dalam menentukan staging dari penyakit keganasan(5,6,7)

Gambar 2. Gambaran efusi pleura dengan bagian lateral lebih tinggi dibanding bagian

medial(dikutip dari 7)

2.3.5 Analisis cairan efusi pleura maligna

Gambaran cairan pleura maligna dapat berwarna serous, serohemoragik atau

hemoragik. Adanya cairan pleura yang hemoragik dengan hitung eritrosit > 100.000/mm3

menunjukkan suatu penyakit pleura karena keganasan. Hanya sekitar 30 – 50 % efusi pleura

keganasan yang memiliki cairan tidak kemerahan dan hitung eritrosit yang kurang dari

10.000/mm3.

Timbulnya cairan efusi pleura yang hemoragik disebabkan oleh invasi langsung

sel tumor ke pembuluh darah, bendungan pada vena, angiogenesis yang diinduksi oleh tumor

dan meningkatnya permeabilitas kapiler. Cairan efusi pleura maligna hampir selalu eksudat,

namun efusi pleura maligna juga dapat berupa transudat sekitar < 5 %. Timbulnya efusi

Page 17: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

pleura transudat berhubungan dengan atelektasis atau obstruksi limfatik pada stadium

awal(5,6,7,13,16)

Hitung leukosit cairan pleura pada efusi pleura maligna bervariasi dimana jumlah

leukosit biasanya antara 1.000 dan 10.000/mm3.

Sel yang predominan pada hitung jenis sel

efusi pleura maligna adalah sel – sel mononuclear sekitar 85 % dengan jumlah sel limfosit

sekitar 45 %, sedangkan sel - sel polimononuclear sekitar 15 %. (5)

Kadar glukosa cairan pleura biasanya kurang dari 60 mg/dl atau rasio glukosa pada

cairan pleura dibanding glukosa serum < 0,5. Hal ini karena gangguan transfer glukosa dari

darah ke cairan pleura dan meningkatnya penggunaan glukosa oleh tumor. Rendahnya kadar

glukosa pada cairan pleura berhubungan dengan luasnya penyebaran tumor pada rongga

pleura. Penyebaran tumor yang luas sehingga pada pemeriksaan sitologi cairan pleura dan

biopsi pleura memiliki angka kepositifan yang lebih tinggi. Oleh karena penyebaran tumor

yang luas, pasien dengan kadar glukosa cairan pleura yang rendah memiliki prognosis yang

jelek.

Sekitar sepertiga pasien dengan efusi pleura maligna memiliki pH cairan pleura

dibawah 7,3 dimana berkisar antara 6,95 – 7,29. Penyebab rendahnya kadar pH pada efusi

pleura maligna berhubungan dengan kombinasi produksi asam oleh cairan pleura dan blokade

pergerakan CO2 keluar dari rongga pleura. Pasien dengan pH cairan pleura yang rendah

memiliki tingkat kepositifan sitologi cairan pleura dan biopsi pleura yang lebih tinggi dan

harapan hidup yang lebih pendek dibanding pasien efusi pleura maligna dengan pH cairan

pleura > 7,3(5,6,7)

Terjadi peningkatan konsentrasi amilase dalam cairan efusi pleura pada 10 % pasien

dengan efusi pleura maligna. Biasanya tumor primer pada pasien – pasien ini bukan pada

pankreas. Dari suatu penelitian didapatkan bahwa kadar amilase yang sangat tinggi pada

pasien dengan efusi pleura maligna (>600IU/L) dapat berperan sebagai faktor prognostik

yang jelek(6,12,14,16)

2.3.6 Diagnosis

Diagnosis efusi pleura maligna ditegakkan dengan pemeriksaan sitologi cairan pleura

dimana ditemukannya sel – sel ganas atau pemeriksaan biopsi jaringan pleura. Secara umum

tingkat kepositifan pemeriksaan sitologi cairan pleura lebih tinggi dibandingkan biopsi

jaringan pleura dalam mendiagnosis efusi pleura maligna karena metastasis di pleura

cenderung bersifat fokal. Tingkat kepositifan pemeriksaan sitologi cairan pleura berkisar 40 –

Page 18: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

87 %, sedangkan biopsi jaringan pleura 39 – 75 %. Pemeriksaan torakoskopi medik atau

Video-assisted Thoracic Surgery (VATS) yang merupakan pemeriksaan invasif, memiliki

tingkat kesensitifan yang lebih tinggi walaupun stadium metastasis masih awal. Pemeriksaan

penunjang lainnya seperti uji immunohistokimia dan tumor marker pada cairan pleura.

Pemeriksaan uji immunohistokimia dan tumor marker berguna untuk membedakan suatu

efusi pleura ganas atau tidak(5,7,13,15,16,18)

2.3.7 Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan efusi pleura maligna adalah untuk mengurangi gejala

dan meningkatkan kualitas hidup. Langkah awal adalah menentukan lokasi dari lesi primer,

namun tersering lokasi lesi primer sudah diketahui saat suatu efusi pleura terdeteksi. Hal ini

alasannya untuk menentukan pemberian kemoterapi karena kemoterapi merupakan terapi

definitif berdasarkan kanker primer sebagai penyebab efusi pleura maligna. Beberapa efusi

pleura maligna respon terhadap pemberian kemoterapi sistemik, tetapi banyak juga pasien

yang memerlukan tindakan intervensi lokal untuk menghilangkan gejala seperti

torakosintesis, pleurodesis, shunt peritoneal dan pleurektomi. Jika proses keganasan sensitif

dengan kemoterapi seperti karsinoma sel kecil dan limfoma, pengobatan kemoterapi akan

dapat mengontrol efusi pleura (5,7,19,20)

Penatalaksanaan pada efusi pleura maligna meliputi(5,7,15,18,20,21,22)

:

A. Observasi

Pada pasien dengan efusi pleura maligna yang sedikit dan tanpa gejala maka tidak

diperlukan tindakan, cukup dilakukan observasi saja. Namun bila dalam masa

observasi terjadi pertambahan cairan sehingga menimbulkan keluhan maka

dibutuhkan tindakan untuk mengeluarkan cairan.

B. Torakosintesis

Tindakan torakosintesis dilakukan untuk mengurangi keluhan sesak secara cepat

dimana tindakan ini dapat dilakukan secara berulang. Namun jika terjadi rekurensi

yang cepat maka dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan pleurodesis. Pada kasus

– kasus dengan kondisi pasien secara umum jelek maka tindakan torakosintesis

berulang menjadi pilihan.

C. Chest tube drainase

Pemasangan chest tube berguna untuk drainase cairan sehingga mengurangi keluhan

sesak nafas. Selain itu chest tube juga diperlukan untuk tindakan pleurodesis

Page 19: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

D. Indwelling pleural catheter

Kateter indwelling dipasang pada pasien dengan efusi pleura maligna yang berulang

dan tidak perlu berulang datang ke rumah sakit karena drainase dapat dilakukan

sendiri oleh pasien. Pemasangan kateter indwelling ini direkomendasikan untuk

pasien yang memiliki produksi cairan efusi pleura lebih dari 1000 ml per minggu.

E. Pleurodesis

Pleurodesis merupakan suatu tindakan untuk melengketkan pleura visceral dan pleura

parietal dengan membuat peradangan steril sehingga membentuk jaringan fibrotik

dengan menggunakan bahan sclerosing. Berbagai bahan dapat digunakan untuk

tindakan pleurodesis seperti talc, tetrasiklin, doksisiklin dan bleomisin. Penggunaan

bleomisin untuk pleurodesis pada efusi pleura maligna secara signifikan lebih baik

dibanding tetrasiklin dan talc karena bleomisin juga berfungsi sebagai anti neoplastik.

Selain bleomisin, bahan antineoplastik lain yang dapat digunakan sebagai bahan

pleurodesis seperti nitrogen mustard dan mitoxantrone(5,7)

Tindakan memasukkan

bahan untuk pleurodesis dapat melalui chest tube atau torakoskopi, namun melalui

VATS lebih efektif dan aman. Berdasarkan review terhadap beberapa penelitian

disimpulkan bahwa pleurodesis merupakan pilihan terapi yang optimal untuk efusi

pleura maligna dengan angka keberhasilan tinggi dan angka mortality rendah(19)

F. Pleuroperitonial Shunt

Pleuroperitonial shunt merupakan tindakan pilihan pada pasien dengan gagal

pleurodesis, namun tindakan ini terutama untuk pasien dengan efusi khilous.

Meskipun tindakan ini lebih invasif dimana cairan khilous dari rongga pleura

dialirkan ke dalam rongga abdomen supaya cairan dapat diserap sehingga kehilangan

protein dapat diminimalkan.

G. Pleurektomi

Pleurektomi merupakan tindakan membuang pleura parietal dimana tindakan ini dapat

digunakan untuk mengontrol efusi pleura maligna.

Pleurektomi dilakukan pada 2 keadaan yaitu : Pasien yang sedang menjalani

torakotomi diagnostic dimana jika ditemukan keganasan maka pleurektomi parietal

berguna untuk mencegah efusi berulang. Selain itu juga dilakukan pada pasien dengan

efusi pleura persisten dan paru ipsi lateral mengalami “trapped lung” dimana paru

tidak kembang sehingga pleurodesis dikontraindikasikan.

Page 20: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

H. Simptomatis

Dua keluhan utama yang berhubungan dengan efusi pleura maligna yaitu sesak nafas

dan nyeri dada. Terapi simptomatis untuk sesak nafas dapat diberikan oksigen,

sedangkan nyeri dada dapat diberikan analgetik.

2.3.8 Prognosis

Prognosis pasien dengan efusi pleura maligna biasanya tidak bagus. Faktor paling

penting yang mempengaruhi perkiraan harapan hidup pada pasien dengan efusi pleura

maligna adalah sumber dari tumor. Faktor lain yang berhubungan dengan prognosis yang

jelek adalah kadar pH cairan pleura yang kurang dari 7,20, kadar glukosa cairan pleura < 60

mg/dl atau LDH cairan pleura lebih dari 2 kali nilai normal LDH serum. Semua faktor

prognosis jelek ini mencerminkan penyebaran tumor yang lebih luas pada rongga pleura(5,7)

Page 21: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

Laporan Kasus

Seorang pasien wanita umur 42 tahun masuk melalui Instalasi Gawat Darurat dengan

Keluhan utama

Sesak nafas meningkat sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang

- Sesak nafas tidak menciut, tidak dipengaruhi cuaca, emosi atau makanan. Sesak

dirasakan saat melakukan aktivitas ringan – sedang. Sesak saat tidur telentang

sehingga pasien tidur dengan posisi duduk. Riwayat terbangun malam hari karena

sesak ada. Riwayat sesak nafas sudah mulai dirasakan sejak 1 tahun yang lalu.

- Batuk – batuk meningkat sejak 1 minggu yang lalu, dahak berwarna putih encer.

Riwayat batuk - batuk lama sejak 1 tahun yang lalu, hilang timbul, dahak putih encer.

- Batuk darah tidak ada

- Nyeri dada tidak ada

- Demam tidak ada

- Riwayat bengkak pada kaki ada.

- Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi sejak 4 tahun yang lalu, tidak dikontrol

teratur.

- Pasien post mastektomi sinistra atas indikasi karsinoma mammae 2 tahun yang lalu

dan telah menjalani kemoterapi sebanyak 12 kali dengan sindaxel 30 mg dan sisplatin

60 mg. Sekarang pasien sedang minum tamoflex 1 x 20 mg

- Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dan tidak memiliki kebiasaan merokok.

Pemeriksaan Fisik

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang,

Kesadaran : Komposmentis kooperatif

Tekanan darah : 130 / 100 mmHg

Frekuensi nadi : 130 x/menit

Frekuensi nafas : 30 x/menit

Suhu : Afebris.

Mata : Konjungtiva tidak anemis dan sclera tidak ikterik.

Jugular venous pressure : 5 + 0.

Jantung

Inspeksi : Ictus tidak tampak

Palpasi : Ictus teraba 1 jari lateral LMCS RIC V

Page 22: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

Perkusi : Batas atas RIC II, kanan LSD, kiri 1 jari lateral LMCS RIC V

Auskultasi : Bunyi jantung S1 S2 reguler, cepat, gallop (-), mur mur sulit dinilai.

Paru

Inspeksi : Simetris kiri dan kanan

Palpasi : Fremitus dada kanan melemah dibanding kiri

Perkusi : Kanan redup hingga pekak dari regio intercostal VII kebawah

Kiri redup hingga pekak dari regio intercostal VII kebawah.

Auskultasi : Suara nafas kanan melemah hingga menghilang dari

RIC VII kebawah, Suara nafas kiri melemah hingga menghilang dari

regio intercostal VIII kebawah. ronki dan wheezing tidak ada.

Abdomen : Hepar dan lien tidak teraba dan tidak ditemukan adanya asites.

Ekstremitas : Teraba hangat dan adanya pitting oedem di kedua tungkai.

Hasil Laboratorium

Hb 11,9 gr%, Gula darah random 122 gr%, Leukosit 13.800 /mm3, Na /K /Cl 139 / 3,9 /

101, Hematokrit 36,3 % dan Trombosit 349.000

Hasil Elektrokardiografi

Sinus Takikardi, QRS rate 130 x/menit, Axis normal, P wave normal, PR interval 0,16 QRS

duration 0,04 ST-T change (-), LVH (+), RVH (-)

Page 23: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

Rontgen Thoraks

Hasil Echocardiograpy tanggal 13-12-2010

- Dimensi ruang jantung : Normal

- Kontraktilitas LV : Normal EF 80 %

- Normokinetik

- Katup – katup struktur dan fungsi : Normal

- Doppler E/A : < 1

Kesan : Normal

Hasil Echocardiograpy tanggal 18-07-2011

- Dimensi ruang jantung : LV sedikit dilatasi

- Kontraktilitas LV : Menurun EF 47 %

Page 24: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

- Normokinetik : Hipokinetik septo apical

- Katup – katup struktur dan fungsi : TR Mild

- Doppler E/A : < 1

Kesan : * LV sedikit dilatasi

Disfungsi sistolik dan diastolik

TR Mild

Hasil CT scan Thorak tanggal 06-12-2010

- Tampak multipel nodul di parahiler dextra dan parakardial bilateral

- Trakea dan bronkus primer dextra maupun sinistra tidak tampak penyempitan maupun

deviasi

- Jantung tidak membesar

- Tampak pembesaran kelenjar getah bening bronkopulmonary bilateral

- Tidak tampak efusi pleura

Kesan : Pulmonary metastasis + lymphadenopathy

Diagnosis

CHF fungsional klas III ec HHD + Efusi pleura dextra ec susp metastasis keganasan

+ Post kemoterapi ec Ca mammae

Terapi

- Digoxin 1 x 0,25 mg

- Valsartan 1 x 80 mg

- Alganax 1 x 0,5 mg

- Lasix 2 x 1 ampul

Pada tanggal 26 Juli 2011 dilakukan torakosintesis cairan pleura dextra dimana

didapatkan cairan ± 5 ml cairan serohemoragik. Tindakan torakosintesis dihentikan karena

tidak didapatkan lagi cairan yang keluar. Cairan efusi pleura yang didapatkan dikirimkan

untuk pemeriksaan analisis cairan pleura dan sitologi cairan pleura.

Pada tanggal 30 Juli 2011 keluhan sesak berkurang, berdebar – debar dan adanya

mual tanpa muntah. Pada pemeriksaan fisik tekanan darah 104/64 mmHg, frekuensi nadi 108

x/menit dan frekuensi nafas 20 x/menit. Pada pemeriksaan JVP 5+0, suara jantung S1 S2

reguler cepat, murmur (-) dan gallop (-). Input cairan 1200 ml, output 2000 ml dan balance

Page 25: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

cairan -800 ml. Terapi Digoxin diturunkan jadi 1 x 0,125 mg dan ditambahkan domperidon 2

x 1 tablet karena adanya keluhan mual.

Hasil analisis cairan pleura didapatkan ; secara makroskopik berwarna kuning

kemerahan, kekeruhan (+). Jumlah sel 13.350, Gula darah 105, LDH 1804, Protein 5,1,

Rivalta (+), sel PMN 13 % dan sel MN 87 %. Hasil analisis cairan pleura ini menunjukkan

cairan efusi pleura eksudat. Selain sel PMN dan MN juga ditemukan sel yang menyerupai

blast sehingga dianjurkan untuk pemeriksaan sitologi cairan pleura. Hasil konsul dengan

konsulen paru dianjurkan tunggu hasil sitologi cairan pleura sambil observasi. Untuk efusi

pleura sinistra tidak dianjurkan untuk tapping karena cairan sedikit. Anjuran CT scan thoraks

untuk menentukan adanya gambaran metastasis, staging dan cairan efusi.

Hasil pemeriksaan darah lengkap Hb 12,0 gr%, Leukosit 10.900, Hematokrit 38%,

Trombosit 398.000, Gula darah puasa 86 gr/dl, Gula darah 2 jam post prondial 168 gr/dl,

Total kolesterol 179, HDL 36, LDL 122, Trigliserida 104, Ureum 26, Kreatinin 0.7, Kalsium

9.2, Natrium 140, Kalium 3.8, Clorida 99, Total protein 7.5, Albumin 4.0, Globulin 3.5,

Bilirubin total 0.6, SGOT 26, SGPT 30,

Pada tanggal 2 Agustus 2011 keluhan sesak nafas sudah berkurang, tekanan darah

110/72 mmHg, frekuensi nadi 96 x/menit, frekuensi nafas 24 x/menit dan suara jantung S1 S2

reguler, murmur (-) dan gallop (-). Pada JVP sudah berkurang jadi 5-0 cmH2O dan oedem

tungkai sudah tidak ada.

Pada tanggal 4 Agustus 2011 keluhan sesak nafas sudah berkurang, tekanan darah

115/83 mmHg, frekuensi nadi 96 x/menit, frekuensi nafas 24 x/menit dan suara jantung S1 S2

reguler, murmur (-) dan gallop (-). Pada pemeriksaan JVP 5-0 cmH2O dan oedem tungkai

tidak ada. Terapi lasik injeksi diturunkan jadi 1 x 1 ampul.

Pada observasi tanggal 5 Agustus 2011 keluhan sesak nafas sudah berkurang,

tekanan darah 114/75 mmHg, frekuensi nadi 104 x/menit, frekuensi nafas 20 x/menit dan

suara jantung S1 S2 reguler, murmur (-) dan gallop (-). Pada pemeriksaan JVP 5-0 cmH2O

dan oedem tungkai tidak ada. Terapi lasik injeksi distop dan diberikan lasik tablet 1 x 40 mg.

Selanjutnya pasien direncanakan untuk mobilisasi dulu tapi pasien minta pulang.

Hasil sitologi cairan pleura didapatkan pada sediaan apus cairan pleura tampak

sebaran mesotel, sel – sel limfosit, eritrosit, beberapa kelompokan polimorf yang tersusun

seperti kelenjar dengan inti sebagian vesikuler. Hasil ini memberi kesan suatu metastasis

adenokarsinoma.

Page 26: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

ANALISIS KASUS

Seorang pasien perempuan umur 42 tahun dirawat dengan diagnosis Congestive Heart

Failure fungsional klas III ec Hipertensi Heart Disease + Efusi pleura bilateral ec metastasis

keganasan + Post kemoterapi a.i Carcinoma mammae.

Pasien didiagnosis sebagai Congestive Heart Failure fungsional klass III et causa

Hipertensi Heart Disease. Dari anamnesis didapatkan keluhan berupa paroxysmal nocturnal

dyspnea, orthopnoe, batuk dan riwayat bengkak pada kedua tungkai. Pasien memiliki riwayat

penyakit hipertensi yang tidak terkontrol sejak 4 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan adanya hipertensi, frekuensi nadi dan nafas yang meningkat, peningkatan jugular

venous pressure dan oedem pada kedua ekstremitas bawah. Hasil pemeriksaan

electrocardiography ditemukan gambaran sinus takikardi dan adanya suatu hipertrofi

ventrikel kiri. Sementara dari hasil pemeriksaan echocardiography menunjukkan adanya

dilatasi ventrikel kiri, disfungsi sistolik dan diastolik dan adanya tricuspid regurgitasi yang

ringan.

Berdasarkan kriteria Framingham tentang kriteria diagnosis congestive heart failure

dimana terdapat kriteria mayor dan kriteria minor. Kriteria mayor meliputi; peningkatan

jugular venous pressure, orthopnoe atau paroksismal nocturnal dyspnea, ronkhi yang

melebihi 10 cm dari basal paru, kardiomegali, gallop S3, central venous pressure > 12

mmHg, disfungsi ventrikel kiri, respon pengobatan berupa penurunan berat badan > 4,5 kg

dan adanya oedem paru akut. Sementara itu kriteria minor berupa oedem tungkai bilateral,

batuk malam hari, sesak saat aktifitas, hepatomegali, efusi pleura dan takikardi > 120

kali/menit) Pada pasien ini ditemukan adanya kriteria mayor yang meliputi; ortopnoe atau

paroxysmal nocturnal dyspnea, kardiomegali dan disfungsi ventrikel kiri. Sementara itu dari

kriteria minor ditemukan adanya oedem kedua tungkai, batuk malam hari, sesak nafas dengan

aktivitas dan frekuensi nadi yang lebih dari 120 kali/menit. Diagnosis congestive heart

disease ditegakkan dengan apabila ditemukan 2 kriteria dari kriteria mayor atau 1 kriteria

mayor ditambah 2 kriteria minor. Oleh karena itu berdasarkan data di atas maka diambil

kesimpulan bahwa pada pasien ini di diagnosis sebagai suatu congestive heart failure.

Derajat klinis pada pasien dengan congestive heart failure ditentukan dengan

klasifikasi dari New York Heart Association ( NYHA ) berdasarkan keterbatasan pasien

terhadap aktivitas.

Page 27: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

Klasifikasi NYHA dibagi menjadi 4 klas yaitu :

- Klas 1 bila tidak ada keluhan saat aktivitas biasa

- Klas II bila ada keluhan saat aktifitas ringan

- Klas III bila ada keluhan timbul dengan aktifitas apapun

- Klas IV bila sesak ada walaupun saat istirahat sehingga pasien hanya terbatas

ditempat tidur.

Pada pasien ini keluhan sesak yang timbul pada setiap aktivitas sehingganya

berdasarkan klasifikasi NYHA pasien ini termasuk dalam klas III

Penyebab gagal jantung pada pasien ini disebabkan oleh penyakit hipertensi. Hal ini

didukung oleh hasil EKG dan echocardigraphy yang menunjukkan adanya LVH dan adanya

disfungsi sistolik dan diastolik. Hipertensi yang tidak terkontrol dan berkepanjangan dapat

menyebabkan berbagai perubahan dalam struktur miokard, pembuluh darah koroner, dan

sistem konduksi jantung. Perubahan ini pada gilirannya dapat menyebabkan perkembangan

hipertrofi ventrikel kiri (LVH), penyakit arteri koroner (CAD), berbagai penyakit sistem

konduksi, serta disfungsi sistolik dan diastolik dari miokardium, yang bermanifestasi klinis

sebagai angina atau infark miokard, aritmia jantung ( terutama fibrilasi atrium), dan gagal

jantung(23)

Penatalaksanaan pada pasien ini dengan Digoxin tablet 1 x 0,25 mg, Valsartan tablet 1

x 80 mg dan Lasix injeksi 2 x 1 ampul. Digoksin dapat memberikan efek inotropik positif

yang menghasilkan perbaikan fungsi ventrikel kiri dan mengurangi frekuensi jantung.

Pemberian digoksin pada pasien dewasa dengan gagal jantung dan fungsi ginjal normal

diberikan dengan dosis 0,25 mg. Dalam masa rawatan keluhan sesak pasien sudah berkurang,

frekuensi nadi mulai turun dan adanya keluhan mual. Oleh karena itu maka dosis digoxin

diturunkan menjadi 0,125 mg. Pemberian diuretik pada pasien ini dengan lasik injeksi yang

merupakan loop diuretik. Pemberian diuretik ini memberikan hasil dengan berkurangnya

oedem tungkai dan turunnya tekanan vena jugular. Selanjutnya dalam masa rawatan terapi

lasik injeksi selanjutnya diturunkan menjadi 1 x 1 ampul karena oedem tungkai tidak ada lagi

dan JVP 5-0 cmH2O dan terapi lasik injeksi distop karena pasien semakin membaik dan

diganti dengan lasik tablet. Valsartan berguna untuk manangani masalah hipertensi pada

pasien ini.

Pasien didiagnosis tambahan suatu efusi pleura bilateral ec metastasis keganasan.

Hasil anamnesis mendapatkan adanya riwayat mastektomi sinistra atas indikasi carcinoma

Page 28: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

mammae. Setelah tindakan mastektomi 2 tahun yang lalu pasien menjalani tindakan

kemoterapi dengan menggunakan paclitaxel 30 mg dan sisplatin sebanyak 12 kali. Setelah

lengkap maka selanjutnya pasien diberikan tamoxifen 1 x 20 mg. Dari gambaran radiologis

tampak gambaran seperti efusi pleura pada kedua kedua paru tapi dengan jumlah yang

sedikit. Dilakukan torakosintesis pada pleura dekstra dan didapatkan cairan sebanyak 5 ml

yang berwarna serohemoragik. Gambaran cairan pleura yang berwarna serohemoragik atau

hemoragik menunjukkan ke arah suatu efusi pleura karena keganasan baik primer di paru

maupun suatu metastasis. Hanya sekitar 30 – 50 % efusi pleura keganasan yang memiliki

cairan tidak berwarna kemerahan.. Timbulnya cairan efusi pleura yang hemoragik disebabkan

oleh invasi langsung sel tumor ke pembuluh darah, bendungan pada vena, angiogenesis yang

diinduksi oleh tumor dan meningkatnya permeabilitas kapiler.

Hasil analisis cairan pleura pada pasien ini menunjukkan suatu cairan yang eksudat

berdasarkan pada kriteria Light(1).

Pada kriteria Light disebutkan bahwa kriteria suatu cairan

eksudat meliputi salah satu dari ;

a. Rasio protein cairan pleura dan protein serum > 0,5

b. Rasio LDH cairan pleura dan LDH serum > 0,6

c. Kadar LDH cairan pleura melebihi 2/3 kadar normal tertinggi LDH serum.

Pada pasien ini analisis cairan pleura didapatkan rasio protein cairan pleura dan

protein serum > 0,5 dan kadar LDH cairan pleura yang tinggi melebihi 2/3 kadar normal

tertinggi LDH serum, sehingganya cairan efusi pleura pada pasien ini merupakan eksudat.

Pada proses keganasan didapatkan cairan efusi pleura yang bersifat eksudat, hanya sekitar 5

% cairan pleura maligna yang bersifat transudat. Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya

peningkatan permeabilitas kapiler sehingga memudahkan perpindahan protein ke rongga

pleura. Terjadinya peningkatan permeabilitas ini terbukti dengan tingginya kadar LDH cairan

pleura.

Hasil dari sitologi cairan pleura menunjukkan efusi pleura pada pasien ini suatu

proses metastasis keganasan dimana pada pasien ini berasal dari carcinoma mammae. Hal ini

membuktikan bahwa cairan efusi pleura yang terbentuk merupakan suatu efusi pleura

maligna. Hasil ini didukung dengan hasil CT scan thorak sebelumnya dimana didapatkan

adanya gambaran pulmonary metastasis berupa multiple nodul dikedua lapangan paru. Dari

semua hasil pemeriksaan ini didapatkan kesimpulan bahwa sudah terjadi metastasis dari

carcinoma mammae pada kedua paru berupa gambaran multipel nodul dan efusi pleura.

Page 29: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

Penatalaksanaan terhadap efusi pleura tergantung pada ukuran efusi yang terbentuk.

Pada efusi pleura yang sedikit hanya dilakukan observasi, namun apabila cairan efusi pleura

masif maka harus dilakukan drainase untuk mengurangi keluhan pasien. Tindakan drainase

yang dilakukan dapat berupa torakosintesis, chest tube atau kateter indwelling. Pada pasien

ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah observasi. Hal ini disebabkan oleh jumlah cairan

efusi pleura pada pasien ini sedikit dan tidak memiliki keluhan akibat cairan efusi pleura.

Namun bila dalam masa observasi terjadi pertambahan cairan sehingga menimbulkan keluhan

maka dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan untuk drainase cairan. Apabila cairan efusi

pleura yang timbul bersifat masif dan berulang maka dapat dilakukan tindakan pleurodesis.

Tindakan pleurodesis ini dilakukan dengan memasukkan zat sklerosan ke dalam rongga

pleura melalui chest tube atau torakoskopi. Pilihan zat sklerosan pada kasus ini adalah

bleomisin karena juga bersifat anti neoplastik. Prognosis pada pasien ini adalah jelek karena

sudah terbukti terdapatnya metastasis sel – sel kanker mammae ke paru dan pleura.

Page 30: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

DAFTAR PUSTAKA

1. Heart Foundation. Guidelines for the prevention, detection and management of chronic

heart failure in Australia, update october 2011. National Heart Foundation of Australia

2011;p.1-86

2. Dickstein K, Solal AC, Filippatos G, Murray JJ, Ponikowski P, Wilson PAP, et al. ESC

Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008.

European heart journal (2008);29:2388-2442

3. Figueroa MS, Peters JI. Congestive heart failure : diagnosis, pathophysiology, theraphy

and implications for respiratory care. Respir care 2006;51(4);p.403-412

4. Jessup M, Abraham WT, Casey DE, Feldman AM, Francis GS, Goniats TG.

ACCF/AHA; Guidelines for the diagnosis and management of heart failure in adults

2009;Circulation 2009;119:p.1977-2016

5. Light RW. Pleural diseases 5th edition. Lippincott williams & wilkins, Tennesse 2007

6. Broaddus VC, Robinson BW. Tumors of pleura. In Maser RJ, Broaddus VC, Martin TR

ed.Textbook of respiratory medicine. Elsevier, Philadelphia 2010

7. Sahn SA. Malignant pleural effusion. In Fishman AP, Elias JA, Fishman JA et al. Ed

Fishman’s pulmonary diseases and disorders. The McGraw-Hill companies, Philadelphia

2008 p.1505-1515

8. Zdanowicz MM. Congestive heart failure. American journal of pharmaceutical education

vol 66;2002:p.180-185

9. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of chronic heart failure. NHS

2007;p.1-54

10. National Institute for Health and Clinical Excellence. Chronic heart failure; management

of chronic heart failure in adults in primary and secondary care. NICE;2010:p.1-12

11. Rahman NM, Wang NS. Anatomy of the pleura. In Light RW, Lee YC. Ed Textbook of

pleural diseases second edition. Hadder & Stoughton ltd, London 2008 p.13-23

12. Hood Alsagaff, Abdul Mukty. Dasar – dasar ilmu penyakit paru.Airlangga university

press surabaya 2008,p.143-54

13. Light RW. The Undiagnosed pleural effusion. Clin chest med, 27(2006) p.309-319

14. Slamet hariadi. Efusi pleura. Dalam Jusuf wibisono, Winariani, Slamet hariadi. Editor

Buku ajar ilmu penyakit paru 2010. Departemen ilmu penyakit paru FK Unair

RS.Dr.Soetomo 2010, p.111-21

15. Temmasung R Pakki. Efusi pleura ganas. Dalam Alvin kosasih, Agus dwisusanto,

Temmasung R pakki, Tintin martini. Editor Diagnosis dan tatalaksana kegawatdaruratan

paru. PDPI cabang Banten 2008, p 55-63

Page 31: KASUS EFUSI PLEURA GANAS DAN GAGAL JANTUNG

16. Sahn SA. Pleural disease. In ACCP pulmonary medicine board review 25th edition.

Northbrook 2009, p.513-46

17. Ngurah rai. Efusi pleura maligna: Diagnosis dan penatalaksanaan terkini. J Peny dalam.

2009;10:208-17

18. Aydin, Turkyilmaz A, Intepe YS, Eroglu A. Malignant pleural effusion : Appropriate

treatment approaches. EAJM;41(2009) p.186-93

19. Zahid I, Routledge T, Bille A, Scarch M. What is the best treatment for malignant pleural

effusion ? Interactive cardiovascular and thoracic surgery 12(2011) p.818-23

20. Uzbeck MH, Almeida FA, Sarkiss MG et al. Management of malignant pleural effusion.

Adv Ther (2010) 27(5) p.1-14

21. Gasparri R, Leo F, Veronesi G et al. Video-assisted management of malignant pleural

effusion in breast carcinoma. American cancer society vol 106 (2006), p 271-6

22. Bishay A, Raoof S, Esan A et al. Update on pleural diseases 2007. Annals of thoracic

medicine 2007;2:p.128-42

23. Diamond JA, Phillips RA. Hipertensive heart disease. Hypertens res vol 28; 2005:p.191-

202