kasus anemia aplastik
DESCRIPTION
laporan kasusTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia aplastik bukan penyakit tunggal, tetapi suatu kelompok penyakit yang
berhubungan dengan kegagalan sumsum tulang untuk menghasilkan ketiga tipe sel darah
yaitu : sel darah merah, sel darah putih dan platelet. 1
Pengurangan jumlah sel darah merah menyebabkan rendahnya kadar Hb dalam
darah tepi, sel darah putih yang berkurang jumlahnya menyebabkan pasien mudah
terkena infeksi, pengurangan pembentukan platelet menyebabkan darah sukar membeku.2
Anemia aplastik adalah sindrom kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan
pansitopenia dan hipoplasia sumsum tulang. Aplasia yang hanya mengenai sistem
eritropoetik disebut eritroblastopenia (anemia hipoplastik); yang hanya mengenai sistem
granulopoetik saja disebut agranulositosis (penyakit Schultz) sedangkan yang hanya
mengenai sistem trombopoetik disebut amegakariositik trombositopenik purpura (ATP),
anemia aplastik mengenai ketiga sistem ini.3,4
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar
antara 2 sampai 6 juta kasus persejuta penduduk pertahun. Penelitian The International
Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study di awal tahun 1980-an menemukan frekuensi
di Eropa dan Israel didapatkan dua kasus persejuta penduduk. Perjalanan penyakit pada
pria juga lebih berat daripada wanita.5
Pemeriksaan penunjang pada anemia aplastik berupa pemeriksaan darah rutin,
pemeriksaan darah tepi (blood smear) dan pemeriksaan BMA (Bone Marrow
Aspiration).6
Terapi anemia aplastik dapat dibagi menjadi terapi primer dan terapi suportif.
Terapi primer secara umum terdiri dari transplantasi sumsum tulang dan terapi
imunosupresif. Terapi suportif berupa transfusi sesuai dengan sel hemopoetik yang
dibutuhkan.7
Pada tulisan ini dikemukakan sebuah kasus yang mengarah kepada diagnosa
Anemia Aplastik berikut dengan penjelasannya, yang diharapkan dapat menambah
wawasan bagi para klinisi dalam deteksi dan penanganan kasus tersebut. Semoga
bermanfaat.
BAB II
KASUS
Seorang pasien, An. F, perempuan berusia 7 tahun dengan nomor rekam medik
154535, bertempat tinggal di Bandar Agung. Pasien mulai dirawat di bangsal anak pada
tanggal 22 September 2014 dengan diagnosa Anemia Aplastik.
Dari alloanamnesis dengan Ibu kandung pasien pada tanggal 23 September 2014
didapatkan keterangan bahwa dua minggu sebelum masuk RS, pasien tampak pucat dan
lemas. Ibu pasien khawatir melihat keadaan pasien yang pucat dan jelas terlihat di daerah
bibir, telapak tangan dan kaki. Keterangan lain yang didapatkan dari Ibu pasien adalah
pasien sering timbul biru-biru lebam pada kulit, terutama saat anak sedang lelah. Namun,
tidak ada tanda perdarahan lain, seperti mimisan, gusi berdarah maupun BAB berdarah.
Keadaan seperti itu muncul sejak 2 bulan sebelum masuk RS. Ibu pasien menyangkal
adanya riwayat terpaparnya pasien dengan insektisida, maupun konsumsi obat-obatan
dalam jangka panjang. Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini,
dan tidak pernah transfusi darah sebelumnya.
Selama mengandung pasien, Ibu pasien rajin periksa kehamilan ke Puskesmas
dan selama kehamilan ibu penderita tidak pernah sakit, tidak pernah minum obat-obatan
tertentu, makan dan minum seperti biasa dan tidak pernah terkena radiasi atau bahan
kimia. Pasien lahir spontan ditolong oleh dukun beranak, berat badan lahir 3,5 Kg, pasien
lahir langsung menangis dengan gerakan aktif dan warna seluruh badan kemerahan.
Menurut Ibu pasien pertumbuhan dan perkembangan pasien dari bayi hingga saat
ini, sama seperti anak pada seusianya, walaupun Ibu pasien lupa kapan pasien dapat
tiarap, merangkak, duduk dan berdiri. Pasien sudah dapat berjalan sejak umur 11 bulan.
Ibu pasien juga rajin membawa pasien untuk imunisasi, sehingga pasien mendapatkan
imunisasi dasar lengkap sesuai jadwalnya. Pasien mendapatkan ASI sejak lahir sampai
2,5 tahun. PASI sejak usia 3 bulan berupa susu kadang diselingi dengan buah-buahan dan
bubur nasi. Penderita tidak pernah mengalami gangguan dalam pola makan, saat ini
penderita tidak mengalami perubahan nafsu makan. Frekuensi makan 3 kali sehari
dengan menu nasi, sayur dan ikan.
Tidak ada di keluarga yang menderita penyakit seperti pasien, serta tidak ada
riwayat penyakit keganasan di keluarga pasien.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien lemah, kesadaran
compos mentis. Tinggi badan 128cm, berat badan 26Kg. Tanda vital menunjukkan
denyut nadi: 112 kali/menit, suhu tubuh: 37°C, dan pernapasan 24 kali/menit. Pada
pemeriksaan kepala didapatkan konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik. Leher tidak
didapatkan kelainan. Pemeriksaan dada menunjukkan paru normal dengan perkusi sonor,
vesikuler normal, dan tidak ditemukan wheezing maupun ronkhi. Suara jantung murni
tanpa adanya bising maupun suara jantung tambahan. Pemeriksaan abdomen didapatkan
hepar dan lien tidak teraba membesar. Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan pucat
pada telapak tangan dan kaki.
Pada pemeriksaaan laboratorium didapatkan kadar hemoglobin (Hb) 3,6g/dL ;
Leukosit 4,8 ribu/mmk ; Eritrosit 1,3 juta ; Basofil 0% ; Eosinofil 0% ; Batang 1% ;
Segmen 20% ; Limfosit 70% ; Monosit 9% ; Trombosit 28 ribu/mmk ; Clotting time 5’
30” ; Bleeding Time 4’ ; Golongan darah O; Malaria negatif.
Dari hasil pemeriksaan di atas ditegakkan diagnosis Anemia. Pasien diberikan
terapi infus D5 ½NS 15 tetes/menit, injeksi taxegram 2x500mg, dan transfusi whole
blood 250cc/hari.
Pada perawatan hari kedua, pasien terlihat aktif, tidak lemas seperti awal masuk
RS, namun masih tampak pucat. Dan dilakukan pemeriksaan darah untuk memeriksa
hemoglobin pasien dan didapatkan hasil Hb 6,4g/dL setelah diberikan darah sebanyak 2
kantong whole blood.
Pada perawatan hari ketiga, pasien terlihat aktif, pasien sudah menerima transfusi
darah sebanyak 3 kantong whole blood. Dan dilakukan pemeriksaan darah untuk
memeriksa hemoglobin pasien dan didapatkan hasil Hb 8,8g/dL. Pasien pun diizinkan
pulang.
BAB III
PEMBAHASAN
Anemia aplastik merupakan keadaan yang disebabkan berkurangnya sel darah dalam
darah tepi, sebagai akibat terhentinya pembentukan sel hemopoetik dalam sumsum tulang.
Sistem yang mengalami aplasia meliputi sistem eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik.
Sebenarnya sistem limfopoetik dan RES juga mengalami aplasia, tetapi relatif lebih ringan
dibandingkan dengan ketiga sistem hemopoetik lainnya.4,8
Anemia aplastik termasuk penyakit yang jarang ditemukan. Di Amerika Serikat memiliki
angka kejadian 2 : 1.000.000 penduduk. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Asia, angka
kejadian di Bangkok adalah 4 : 1.000.000 penduduk, angka kejadian di Thailand adalah 6 :
1.000.000 penduduk dan angka kejadian di Jepang 14 : 1.000.000 penduduk. Angka yang lebih
tinggi di Asia berkaitan dengan lebih banyaknya paparan terhadap bahan kimia yang terjadi.1,7,9
Anemia aplastik dapat terjadi pada segala umur. Kecuali jenis kongenital, anemia aplastik
biasanya terdapat pada anak besar berumur lebih dari 6 tahun. Depresi sumsum tulang oleh obat
atau bahan kimia, meskipun dengan dosis rendah tetapi berlangsung sejak usia muda secara
terus-menerus, baru akan terlihat pengaruhnya setelah beberapa tahun kemudian. Misalnya
pemberian kloramfenikol yang terlampau sering pada bayi (sejak umur 2-3 bulan), baru akan
menyebabkan gejala anemia aplastik setelah ia berumur lebih dari 6 tahun. Di samping itu pada
beberapa kasus gejala sudah timbul hanya beberapa saat setelah ia kontak dengan agen
penyebabnya.1,4,7
Sekitar 50-75% etiologi anemia aplastik merupakan idiopatik. Sekitar 5% etiologi
berhubungan dengan infeksi virus terutama hepatitis. Sekitar 10-15% berhubungan dengan obat-
obatan. 6,9
Etiologi dari anemia aplastik dapat dibagi menjadi:4
a. Faktor kongenital
Sindrom Fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti mikrosefali,
strabismus, anomali jari, kelainan ginjal dan sebagainya.
b. Faktor didapat
1. Bahan kimia : benzene, insektisida, senyawa As, Au, Pb, Sulfur.
2. Obat : kloramfenikol, mesantoin (antikonvulsan), piribenzamin (antihistamin),
santonin-kalomel, obat sitostatika (myleran, methotrexate, TEM, vincristine,
rubidomycine dan sebagainya)
3. Radiasi : sinar rontgen, radioaktif
4. Faktor individu : alergi terhadap obat, bahan kimia dan lain-lain
5. Infeksi : tuberkulosis milier, hepatitis dan sebagainya
6. Idiopatik merupakan penyebab yang paling sering
Pada kasus ini, anemia aplastik yang terjadi bersifat idiopatik dan terjadi setelah anak
berumur 7 tahun. Hal ini berdasarkan riwayat penyakit penderita dan riwayat penyakit keluarga.
Anak tidak pernah menderita sakit sebelumnya. Anak tinggal bersama orang tua yang
bergolongan ekonomi menengah ke atas. Lingkungan jauh dari daerah pertanian dan tidak
pernah terpapar insektisida atau bahan sejenisnya. Keluarga pasien juga tidak ada yang
menderita penyakit yang serupa, karena penyebab yang tidak jelas ini maka etiologinya
digolongkan idiopatik. Namun riwayat pemberian obat Kloramfenikol saat pasien masih kecil
masih dipertanyakan, walaupun Ibu pasien mengatakan bahwa pasien jarang sakit, namun
pemberian obat-obatan Kloramfenikol sering kali diberikan pada anak saat ini.
Manifestasi klinis pada prinsipnya berdasarkan pada gambaran sumsum tulang yang
berupa aplasia sistem eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik, serta aktifitas relatif sistem
limfopoetik dan RES. Gejala anemia dapat berupa pucat, sakit kepala, palpitasi dan mudah lelah.
Pada anemia yang sangat berat dapat terjadi dispneu, edema pretibial dan gejala lain yang
disebabkan kegagalan jantung. Trombositopenia mengakibatkan perdarahan pada mukosa dan
gusi atau timbulnya ptekie dan purpura pada kulit. Granulositopenia sangat memudahkan
timbulnya infeksi sekunder dan berulang, hal ini biasanya ditandai dengan demam yang kronik
atau tanda infeksi yang lain sesuai agen penyebabnya. Pada anemia aplastik tidak terjadi
pembesaran organ (hepatosplenomegali, limfadenopati).1,2,3,4
Pada pasien ini, manifestasi klinis yang berat dari anemia seperti dispneu, edema pretibial
akibat kegagalan jantung tidak didapatkan baik dari anamnesa maupun pemeriksaan fisik. Dari
riwayat tidak didapatkan adanya infeksi sekunder yang dapat memperberat kondisi pasien saat
ini.
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis berupa pucat, munculnya ruam-ruam merah
dan tanpa organomegali. Gambaran darah tepi menunjukkan pansitopenia dan limfositosis relatif.
Diagnosis pasti ditentukan dari pemeriksaan sumsum tulang (bone marrow aspiration) yaitu
gambaran sel sangat kurang, banyak jaringan penyokong dan jaringan lemak; aplasia sistem
eritropoetik, granulopoetik dan trombopoetik. Diantara sel sumsum tulang yang sedikit ini
banyak ditemukan limfosit, sel RES (sel plasma, fibrosit, osteoklas, sel endotel).4
Manifestasi klinis yang muncul pada pasien ini berupa gejala anemia yaitu penderita
tampak pucat, konjungtiva anemis dan gejala trombositopenia ditandai dengan adanya biru-biru
lebam yang muncul pada tubuh terutama saat pasien sedang lelah. Pada pasien ini tidak
didapatkan adanya organomegali.
Diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan adanya bisitopenia atau pansitopenia tanpa
adanya keganasan, infiltrasi, dan supresi pada sumsum tulang. Kriteria diagnosis pada anemia
aplastik menurut International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study Group (IAASG)
antara lain : (1) satu dari tiga (a) hemoglobin kurang dari 10 g/dl, atau hematokrit kurang dari
30%, (b) trombosit kurang dari 50x109/L (50.000/uL), (c) leukosit kurang dari 3,5x109/L atau
netrofil kurang dari 1,5x109/L (2) dengan retikulosit kurang dari 30x109/L (30.000/uL) atau
(<1%), dan (3) dengan gambaran sumsum tulang tampak hipoplasia dengan penggantian jaringan
lemak. 11,14
Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya gejala dan tanda anemia dan
trombositopenia tanpa adanya organomegali. Hal ini diperkuat dengan pemeriksaan penunjang
yang mendukung dimana semua sel darah mengalami penurunan jumlah (pansitopenia). Untuk
dapat memastikan diagnosa ini memang diperlukan pemeriksaan jumlah retikulosit dan
pemeriksaan bone marrow aspiration.
Diagnosis banding yaitu ITP dikarenakan adanya trombositopenia dan adanya biru-biru
lebam pada kulit yang sering muncul pada tubuh pasien. Namun diagnosa ini dapat disingkirkan
karena pemeriksaan darah rutin pada ITP hanya akan terjadi trombositopenia
Secara umum penatalaksanaan anemia aplastik adalah terapi primer dan terapi suportif.
Terapi primer dapat berupa transplantasi sumsum tulang terutama pada pasien yang berusia
muda. Transplantasi sumsum tulang ini memiliki angka kesembuhan yang tinggi yaitu sekitar
70% dengan efek jangka panjang yang baik yaitu 67%. Jika transplantasi tidak dapat dilakukan
karena adanya reaksi penolakan maka dapat diberikan terapi imunosupresif dengan antilimfosit
globulin dan siklosporin dengan angka keberhasilan jangka panjang 36,6%. Terapi suportif
adalah pemberian transfusi sesuai dengan kebutuhan penderita6,7.
Terapi utama adalah hindari pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab. Tetapi
sering sulit untuk mengetahui penyebab karena etiologinya yang tidak jelas atau idiopatik. 12
Terapi suportif diberikan sesuai gejala yang dapat dijelaskan sebagai berikut : 12
1. Pada Anemia
Pada anemia berikan tranfusi packed red cell jika hemoglobin kurang dari 7g/dl, berikan
sampai hb 9-10 g/dl. Pada pasien yang lebih muda mempunyai toleransi kadar
hemogoblin sampai 7-8g/dl; untuk pasien yang lebih tua kadar hemoglobin dijaga diatas
8g/dl.
2. Pada Neutropenia
Pada neutropenia jauhi buah-buahan segar dan sayur, fokus dalam menjaga perawatan
higienis mulut dan gigi, cuci tangan yang sering. Jika terjadi infeksi maka identifikasi
sumbernya, serta berikan antibiotik spektrum luas sebelum mendapatkan kultur untuk
mengetahui bakteri gram positif atau negatif. Tranfusi granulosit diberikan pada keadaan
sepsis berat kuman gram negatif, dengan neutropenia berat yang tidak memberikan
respon terhadap pemberian antibiotik
3. Pada Trombositopenia
Pada trombositopenia berikan tranfusi trombosit jika terdapat pendarahan aktif atau
trombosit kurang dari <20.000/mm3
Terapi jangka panjang terdiri dari : (1) terapi imunosupresif , dan (2) terapi transplantasi
sumsum tulang. Terapi transplantasi sumsum tulang lebih direkomendasikan sebagai terapi
pertama, dengan donor keluarga yang sesuai. Maka karena itu, terapi imunosupresif
direkomendasikan pada pasien : (a) lebih tua dari 40 tahun, walaupun rekomendasi berdasarkan
dokter dan faktor pasiennya, (b) tidak mampu mentoleransi transplantasi sumsum tulang karena
masalah penyakit atau usia tua, (c) tidak mempunyai donor yang sesuai, (d) akan diterapi
tranplantasi sumsum tulang, tetapi sedang menunggu untuk donor yang sesuai, dan (e) memilih
terapi imunosupresif setelah menimbang faktor resiko dan manfaat dari semua pilihan terapi.
Terapi imunosupresif adalah dengan pemberian anti lymphocyte globuline (ALG) atau anti
thymocyteglobulin (ATG), kortikosteroid, siklosporin yang bertujuan untuk menekan proses
imunologik. ALG dapat bekerja meningkatkan pelepasan haemopoetic growth factor. Sekitar
40%-70% dari kasus memberi respon terhadap pemberian ALG. Terapi ATG dapat
menyebabkan reaksi alergi, dengan pasien mengalami demam, athralgia, dan skin rash sehingga
sering diberikan bersamaan dengan kortikosteroid. Siklosporin menghambat produksi
interleukin-2 oleh sel-T serta menghambat ploriferasi sel-T dari respon oleh interleukin-2. Pasien
yang diterapi dengan siklosporin membutuhkan perawatan khusus karena obat dapat
menyebabkan disfungsi ginjal dan hipertensi serta perlu diawasi hubungan interaksi dengan obat
lainnya. Terapi imunosupresif merupakan pilihan utama untuk pasien diatas 40 tahun. Pada 227
pasien dengan anemia aplastik berat yang diterapi imunosupresif selama 23 tahun (1978 sampai
1991), 78 pasien merespon penuh pengobatan, 23 pasien merespon kecil, 122 pasien tidak
merespon, dan 4 pasien tidak teruji. Dari 122 yang tidak merespon meninggal dalam waktu 3
bulan setelah dimulainya terapi. 11,12,13
Terapi transplantasi sumsum tulang merupakan terapi yang memberikan harapan
kesembuhan, tetapi biayanya sangat mahal, dan mempunyai efek samping yang mengancam
jiwa. Human Leukocyte Antigen (HLA) harus segera dicocokkan antara pasien dan donor ketika
terapi transplantasi tulang dipilih. Transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan menurut :
(a) donor yang terbaik biasanya berasal dari keluarga, (b) transplantasi sumsum tulang dengan
pencocokan HLA keluarga merupakan pilihan untuk pasien dengan umur dibawah 60 tahun (c)
jika tidak ada HLA yang cocok dari keluarga, pasien dengan umur di bawah 40 tahun dapat
melakukan transplantasi sumsum tulang dengan donor bukan keluarga. Jika pasien berumur lebih
dari 40 tahun maka diberikan terapi imunosupresif, (d) adanya resiko graft rejection atau graft
failure (ketika sumsum tulang yang ditransplantasi tidak tumbuh dan membuat sel darah untuk
tubuh). Menerima banyak tranfusi meningkatkan resiko graft rejection karena kekebalan tubuh
pasien membuat antibodi untuk melawan sel sumsum tulang yang ditransplantasi. Dokter harus
meminimalisasi pemberian tranfusi darah, (e) Diberikan siklosporin A1 atau dosis tinggi
cyclophosphamide4 untuk mengatasi adanya GvHD (Graft versus Host Disease). Pemberian
obat-obatan tersebut meningkatkan resiko timbulnya infeksi, (f) Memberikan kesembuhan 70%
90% dari kasus, dan (g) Anak-anak mempunyai angka kesembuhan yang lebih tinggi
dibandingkan orang dewasa. 11,12,13
Imunosupresan glukokortikoid yaitu prednisolon dan prednison. Terhadap respon imun
humoral, efek glukokortikoid belum dapat disimpulkan secara tuntas yang jelas terlihat ialah
pengurangan jumlah immunoglobulin. Terhadap respon imun selular, glukortikoid menghambat
efek MIF (faktor penghambat makrofag) sehingga makrofag dibebaskan dari jeratan disekitar
tempat pembebasan MIF dan jaringan setempat terhindar dari kerusakan akibat penghancuran
oleh makrofag. Dalam hal ini, efek glukokortikoid sebenarnya terjadi berdasarkan mekanisme
antiinflamasi.10
Bila ada gangguan hepar digunakan prednisolon karena prednisone dimetabolisme di
hepar menjadi prednisolon. Pada penderita dengan hipertensi, gangguan cor, atau keadaan lain
yang retensi garam merupakan masalah, maka dipilih kortikosteroid yang efek
mineralokortikoidnya sedikit atau tidak ada, terlebih-lebih bila diperlukan dosis kortikosteroid
yang tinggi. 11
Pada kasus ini penanganan yang diberikan cairan infus D5 ½NS 15 tetes/menit,
pemberian terapi suportif berupa transfusi darah karena pada pemeriksaan awal didapatkan kadar
Hb pasien 3,6 g/dL, dengan kadar Hb yang rendah seperti itulah yang menyebabkan pasien
menjadi lemas dan terlihat pucat, seperti keluhan utama pasien saat masuk RS. Dan diberikan
injeksi antibiotik taxegram 2x500mg untuk mencegah pasien dari infeksi. Penatalaksanaan lebih
lanjut yang diperlukan adalah pemeriksaan bone marrow aspiration untuk dapat mengetahui
pasti permasalahan pasien dan dapat diberikan terapi yang tepat sasaran. Bila diagnosa pasti telah
ditegakkan maka penatalaksanaan terbaik adalah dilakukan transplantasi sumsum tulang karena
umur penderita masih muda dengan efek jangka panjang yang baik. Pilihan terapi yang lain yaitu
terapi imunosupresif. Program terapi ini hanya dapat kita lakukan apabila didapatkan kepastian
diagnosa dari bone marrow aspiration.
Prognosis bergantung pada gambaran sumsum tulang (hiposeluler atau seluler) sehingga
parameter yang paling baik dalam menentukan prognosis adalah hasil pemeriksaan bone marrow
aspiration. Selain itu, jika kadar Hb F lebih dari 200 mg%, jumlah granulosit lebih dari
2.000/mm3 dan infeksi sekunder dapat dikendalikan maka prognosis akan lebih baik.4
Penyebab kematian terbanyak pada anemia aplastik adalah infeksi sekunder seperti
bronkopneumonia atau sepsis atau terjadi perdarahan otak dan abdomen. Penyebab kematian
pada anak ini diduga adalah terjadinya perdarahan spontan pada otak dan abdomen. Penyebab
terjadinya perdarahan spontan pada anak adalah adanya trombositopenia. Selain itu produksi
semua komponen darah yang tertekan mempercepat terjadinya proses kegagalan kompensasi
tubuh dalam perfusi organ-organ vital sehingga kematian terjadi.4
BAB IV
KESIMPULAN
Demikian telah dilaporkan suatu laporan kasus yang mengarah pada diagnose anemia
aplastik pada seorang anak perempuan berumur 7 tahun yang dirawat di bangsal anak RSUD
dr.H.Bob Bazar, SKM. Diagnosa ditegakkan berdasarkan adanya gejala anemia, granulositopenia
serta pansitopenia pada pemeriksaan darah rutin. Diagnosa pasti ditegakkan dengan BMA.
Etiologi diduga adalah idiopatik. Selama dirawat diberikan terapi suportif berupa transfusi darah
dan pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi. Selama dirawat tiga hari di RSUD dr.H.Bob
Bazar,SKM dan mendapatkan terapi suportif berupa pemberian antibiotik injeksi dan transfusi
tiga kantong whole blood keadaan anak membaik dan dapat dipulangkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. Aplastic Anemia (Severe). Dalam : Medical Center, 2004. Dari URL: http://www.medical center.com/
2. Anonim. Blood Disease Aplastic Anemia. Dalam : Universitas of Maryland, 2004. Dari URL: http://www.UMMC.com/
3. Bakhsi S. Aplastic Anemia. Dalam : Emedicine Article, 2004. Dari URL: http://www.emedicine.com/
4. Salonder, H. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga, 2001; Jakarta.
5. Small BM. Bone Marrow Failure. Dalam : SMBS Education Fact Sheet, 2004. Dari URL: http://www.smbs.buffallo.edu/
6. American Cancer Society. Aplastic Anemia. Dalam : ACS Information and Guide, 2005. Dari URL: http://www.cancer.org/
7. Young NS. Acquired Aplastic Anemia. Dalam : Annals of Internal Medicine, 2002. Vol 136 No 7 Dari URL: http://www.annals.org/
8. Lee D. Bone Marrow Failure. Dari URL: http://www.medsqueensu.ca/
9. Tirza D dan Handoko T Imunosupresan. Dalam : Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Editor : Sulistia G. Ganiswara. 1995: FKUI, Jakarta hal709-710.
10. Djuanda A Pengobatan dengan Kortikosteroid Sistemik dalam Bidang Dermato-venerologi. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 3. Editor : Adhi Djuanda. 2001: FKUI, Jakarta hal 316
11. Bakta IM : Hematologi Klinik Ringkas. Penerbit Buku Kedokteran EGC Jakarta. 2003; P, 98-109.
12. Nabiel A, Solveig GE : Aplastic Anemia: Review of Etiology and Treatment. Hospital physician. 1999; 1:46-52.
13. Blood Journal : Incidence of Aplastic Anemia: The Relevance of Diagnostic Criteria. By the international agranulocytosis and aplastic anemia study. Blood Journal. 1987; 70:1718-21.
14. Lemaistre CF, Paul S, Anthony S: Aplastic Anemia (severe). National Marrow Donor Program 2010. Available from http://www.marrow.org/PATIENT/U ndrstnd_Disease_Treat/Lrn_about_Disease/Aplastic_Anemia/index.html.