kasus aktual masalah kehidupan keagamaan di indonesia bagian barat

Upload: rizki-fribina-firmandanu

Post on 10-Oct-2015

12 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

free

TRANSCRIPT

KASUS AKTUAL MASALAH KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI INDONESIA BAGIAN BARAT(Studi Pencegahan Dini Konflik Umat Beragama)PENDAHULUANLatar Belakang MasalahDalam satu dasawarsa terkahir, beberapa tragedi kemanusiaan yang memilukan sekaligus mengkhawatirkan berlangsung silih berganti di Indonesia. Serentetan peristiwa kerusuhan sosial (riots) itu telah membelalakkan mata semua orang tentang apa yang sedang terjadi di negara yang dulunya dikenal damai dan adem ayemini. Konflik sosial yang sejatinya merupakan bagian daria dinamic chancedan karenanya bersifat positif sulit diprediksi kapan berakhirnya. Tidak hanya eskalasi konflik yang kian bertambah, sifat konflik pun berkembang tidak hanya horizontal tetapi juga vertikal.Banyak orang susah mencari penyebab dari semua ini. Kerumitan mengurai penyebab konflik yang mendadak sontak merebak di hampir semua tempat di tanah air berbuntut pada ketidakmampuan menemukan formula jitu bagi sebuah resolusi konflik yang manjur. Sesuai dengan bentuk, jenis dan eskalasi konflik yang memang beragam, beragam pula faktor penyebabnya. Penyebab konflik dapat berupa faktor politik, kesenjangan ekonomi, kesenjangan budaya, sentimen etnis dan agama. Hanya saja, faktor ekonomi dan politik sering ditunjuk berperan paling dominan dibanding dua faktor yang disebut terakhir. Kendati acap terlihat di lapangan bahwa konflik yang ada kerap menggunakan simbol-simbol agama misalnya pembakaran dan perusakan tempat-tempat ibadah, penyerangan dan pembunuhan terhadap penganut agama tertentu, namun pertentangan agama dan etnis ternyata hanyalah faktor ikutan saja dari penyebab konflik yang lebih kompleks dengan latar belakang sosial, ekonomi dan politik yang pekat.Konflik dan pertikaian yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, baik konflik horisontal maupun konflik vertikal, menunjukkan antara lain kurangnya kemampuan pemerintah dalam mengatasi penyebab terjadinya konflik sosial antar masyarakat. Konflik muncul dengan menggunakan simbol-simbol etnis, agama, dan ras. Hal ini kemungkinan terjadi akibat adanya akumulasi "tekanan" secara mental, spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat.Konflik biasanya dipahami sebagai benturan antara gagasan-gagasan yang berbeda, antara sikap-sikap yang berbeda serta tindakan yang berbeda tujuan dan kepentingan. Dalam suatu masyarakat, berbagai jenis konflik diatas adalah suatu yang lumrah dan tidak bisa dihindari, bahkan kadang-kadang perlu. Seperti lumrah dan perlunya garam dalam makanan. Dan seperti halnya makanan, garam tersebut harus terkendali, tidak perlu banyak. Bila terlalu banyak, maka rasa makanan itu tidak akan enak, bahkan pahit. Demikian juga dengan porsi konflik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.Oleh karena itu, sudah menjadi tugas negara dan pemerintah dalam mengendalikan dan mengontrol konflik yang ada, sehingga mencapai proporsi yang pas serta membangun. Dan untuk mengontrol konflik ini, diperlukan penanganan khusus yang harus disesuaikan dengan berbagai dimensi, termasuk aktor, lokasi struktur dan kondisi kulturalnya.Untuk itu diperlukan pencegahan dini agar penanganan konflik dapat berlangsung cepat dan tepat. Agar pencegahan dini dapat berhasil dengan baik, maka diperlukan analisa sumber potensi konflik yang didukung oleh teori konflik yang komprehensif. Analisis ini dilakukan berdasarkan pada hasil pneleitian. Oleh karena itu penelitian dengan fokus studi tersebut penting dilakukan.Tujuan, Manfaat dan Signifikansi PenelitianTujuan yang akan dicapai dengan penelitian ini yaitu: Mengetahui potret kasus konflik social keagamaan yang pernah terjadi Mengetahui upaya pemerintah dan atau elemen masyarakat dalam pencegahan (siaga) dini potensi dan kasus konflik tersebut Mengetahui mekanisme kerja pencegahan (siaga dini) tersebut Mengetahui regulasi yang telah dibuat dan diberlakukan? Mengetahui program kegiatan kerukunan yang telah disusun dan dilaksanakan?Sasaran akhir kegiatan yang ingin dicapai yaitu tersusunnyapolicy paperuntuk kerangka kebijakan keagamaan di Indonesia dalam rangka membangun negara yang majemuk dan demokratis.Manfaat dan SignifikansiBelakangan, Indonesia kerap diterpa masalah konflik sosial Atas latar belakang itu, muncul usulan pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Konflik Sosial. Rencananya, beleid ini akan digunakan untuk mengatur penanganan konflik sosial yang terjadi, khususnya di daerah-daerah.Isi dari beleid ini nantinya akan mengatur mengenai penanganan konflik sosial, seperti bagaimana cara menangani konflik serta siapa saja yang berwenang menanganinya. Tidak hanya itu, dalam beleid tersebut juga akan dijelaskan bagaimana peran daerah dalam menghadapi konflik. Jika di provinsi, maka gubernur yang berwenang. Jika di kabupaten, maka itu menjadi tugas bupati.[1]Penelitian ini tentu memiliki relevansi terhadap pembentukan RUU Penanganan Konflik Sosial tersebut. RUU ini sekarang sudah masuk di DPR dan sedang dikaji secara mendalam. Rencananya, dalam waktu dekat akan ada pertemuan antara para tokoh agama dari lima agama, pengamat, pemerintah, dan DPR untuk melihat pandangan mereka.Penelitian ini sangat relevan dengan arah kebijakan Renstra Kemenag 2010-2014, berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas kerukunan umat beragama yang merupakan salah satu fokus pembangunan bidang agama.Metode PenelitianPenelitian dilakukan di Bandung Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Mengapa wilayah-wilayah tersebut dipilih? Dalam survey tentang Pola Konflik Sosial Kegamaan 2004-2007 di Indonesia bagian barat yang dilakukan oleh Balai Litbang Jakarat dapat diketahui ranking zona/wilayah damai dan konflik. Jabar dan Banten merupakan provinsi yang memiliki insiden konflik keagamaan yang disertai dengan kekerasan keagamaan pada tingkat yang paling tinggi. DKI Jakarta dan Sumatera Barat merupakan zona/wilayah yang memiliki tingkat insiden sosial keagamaan menengah. Sumsel dan Sumatera Utara merupakan wilayah yang memiliki tingkat insiden sosial keagamaan disertai kekerasan paling rendah bahkan nol/zero. Oleh karena itu diharapkan 6 wilayah sasaran ini bisa merepresentasi 4 kategorisasi tersebut.Penelitian ini berfokus pada kasus konflik yang terjadi dalam 4 tahun terakhir atau konflik yang terjadi secara secara manifes (terbuka). Penelitian ini bersifat kasuistik, sehingga pendekatan yang digunakan adalah kualitatif. Data digali dengan metode wawancara, studi dokumen danfocus group discussion.Temuan PenelitianPotensi konflik dapat bersumber dari banyak hal. Potensi tersebut dapat berkembang dalam eskalasi lebih luas dan menyertakan kekerasan jika tidak mendapat penanganan secepatnya.Pada 6 wilayah sasaran, konflik dapat diredam dengan penanganan (siaga) dini dari pihak-pihak terkait. Hal ini dimungkinkan karena adanya mekanisme penyelesaian konflik yang baik. Pada riset ini, upaya, mekanisme, regulasi dan program kerukunan untuk siaga dini konflik adalah sebagai berikut: :1. Bilamana telah terjadi konflik, penyelesaian melibatkan institusi resmi, baik institusi agama maupun smi resmi, seperti Sinode, MUI, FKUB. Inilah yang disebut dengan penanganan secara pendekatan doctrinal. Penanganan lain dilakukan dengan pendekatan jalur hukum. Hal ini dilakukan dengan melibatkan kepolisian. Hanya saja, wilayah yang ditangani kepolisian berbeda dengan pihak sinode. Kepolisian hanya menangani aspek hokum dan permasalahan pidana dan kriminalitas.2. Pendekatan budaya, yakni melakukan revitalisasi pranata social yang sudah ada atau merekacipta pranata baru, seperti Jagabaya di Bandung, di Sumsel (Kominda, Forum Pembauran Kebangsaan dan FOKUS). Selain itu juga melalui pemberdayaan lembaga masyarakat di tingkat akar rumput (RT dan RW) serta aparat kelurahan/desa/nagari sebagai alat control terhadap semua gejala yang ada di lingkungannya. Pendekatan budaya ini bias digunakan untuk mencegah terjadinya konflik atau meredam konflik yang sudah terjadi agar tidak meluas dan menyertakan kekerasan.3. Sosialisasi regulasi kerukunan sampai akar rumput, seperti PBM no 9 dan 8 tahun 20064. Pendekatan pendidikan, melalui program pendidikan perdamaian dan deliberasi. Melalui pendekatan deliberasi akan menumbuhkan kesadaran dan komitmen masyarakata terhadap nilai-nilai damai dan nilai-nilai kewargaan lainnya, seperti kepedulian, toleransi, saling menghargai, dan kerja sama. Selain itu, program pendidkan perdamaian ini membekali peserta dengan ketrampilan nir-kekerasan untuk mencari penyelesaian atas problem publik yang dihadapi, khususnya masalah kekerasan yang melibatkan remaja.Rekomendasi1. Penelitian ini signifikan terhadap pembahasan RUU Penanganan Konflik. Hasil penelitian menemukan bahwa keterlibatan lembaga-lembaga local termasuk lembaga agama dan tokoh masyarakat dalam penanganan konflik, akan memperkecil eskalasi konflik, sembari dapat menumbuhkan semangat perdamaian. Oleh karena itu, pembahasan tentang RUU tersebut perlu melibatkan elemen di atas. Elemen di atas kiranya perlu juga untuk mengisi keanggotaan dewan yang akan menangani konflik sebagaiman diatur dalam salah satu pasal RUU tersebut.2. RUU Penanganan Konflik sangat diperlukan. Oleh karena itu, harus menjadi agenda prioritas prolegnas.3. Perlu sosialisasi regulasi kerukunan yang ada, seperti PBM no 9 dan 8 tahun 2006 secara berkelanjutan, tidak hanya ditujukan pada aparatur pemerintah saja, tetapi juga tokoh agama dan tokoh masyarakat.4. Perlu pemberdayaan aparatur pemerintah pada level terendah, RT dan RW serta kelurahan/desa/nagari perlu menjadi prioritas sebagai alat deteksi terhadap gejala yang ada di wilayah nya.5. Kementerian Agama maupun Pemerintah Daerah, perlu mempertimbangkan untuk mengadopsi program pendidikan alternative di masyaarakat dengan pendekatan deliberasi bagi upaya pengembangan kerukunan umat beragama, pada khususnya, serta bagi upaya pencegahan kekerasan dan pendidikan damai, pada umumnya. Dalam program ini perlu perlu pelibatan tokoh-tokoh agama lokus keagamaan seperti masjid dan musalla. Program serupa dapat diperluas dengan digulirkan untuk komunitas lain, seperti sekolah, yang melibatkan tenaga kependidikan, siswa dan orang tua.Metode dan Wilayah PenelitianData yang digunakan untuk penelitian ini akan diperoleh dari sumber primer maupun sekunder, yang melibatkan teknikdesk-reviewmaupun konsultasi dengan para informan yang mewakili aktor-aktor kunci lembaga pemerintahan di tingkat provinsi. Sumber primer data akan diperoleh dari berbagai dokumen kebijakan dan strategi pemeliharaan kerukunan umat beragama, baik berbentuk Peraturan Gubernur, Instruksi Gubernur, Surat Edaran dan sebagainya. Hal itu ditambah dengan data statistik, baik yang tersedia di Pemerintah Provinsi, Kanwil Depag maupun Kepolisian Daerah, yang merekam berbagai insiden konflik keagamaan. Selain itu, sumber primer juga akan diperoleh dari hasil wawancara dengan aktor-aktor kunci lembaga pemerintahan tingkat provinsi, yaitu Kantor Gubernur, Kanwil Departemen Agama dan Kepolisian Daerah. Sedangkan, data sekunder akan diperoleh melalui kajian terhadap berbagai kepustakaan yang relevan.Penelitian akan dilakukan di 7 provinsi yang dipilih berdasarkan database insiden konflik keagamaan yang telah dikembangkan Balai Litbang Agama Jakarta pada tahun 2008. Wilayah dipilih berdasarkan kategori tingkat insiden kekerasan: rendah, menengah dan tinggi. Berdasarkan kriteria ini, maka wilayah yang dipilih adalah Jawa Barat atau Banten (mewakili tingkat insiden yang tinggi), Sumatera Barat (tingkat insiden menengah) dan Sumatera Utara dan Sumatera Selatan (tingkat insiden rendah).TEMUAN PENELITIAN1. Pada tingkat nasional, upaya memperkuat kerukunan termasuk kerukunan umat beragama menjadi salah satu prioritas pembangunan, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (2004-2009), yang salah satu visinya adalah terwujudnya masyarakat, bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun dan damai (http://www.bappenas.go.id). RPJM menetapkan tiga sasaran kebijakan: (i) pengurangan ketegangan sosial dan risiko konflik di wilayah-wilayah yang cenderung dilanda konflik; (ii) pemeliharaan keamanan dan perdamaian; dan (iii) peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan penyelesaian masalah-masalah sosial.2.Adapun arah kebijakan untuk pencapaian sasaran tersebut adalah: (i) memperkuat kapasitas organisasi-organisasi kemasyarakatan, sosial-keagamaan dan non-pemerintah untuk mencegah dan mengubah ketidakadilan, diskriminasi dan ketimpangan sosial sebagai bagian penting penciptaan masyarakat sipil (civil society) yang kuat; (ii) mempromosikan secara konsisten proses rekonsiliasi nasional yang berkelanjutan; (iii) memantapkan peran pemerintah sebagai fasilitator dan/atau mediator yang adil dan kredibel dalam memelihara keamanan, perdamaian dan kerukunan dalam masyarakat; dan (iv) menerapkan kebijakan komunikasi dan informasi nasional yang didasarkan atas keterbukaan dan akses setara terhadap informasi.3. Di tingkat daerah, sejumlah provinsi yang menjadi sasaran penelitian juga telah mengembangkan RPJM tingkat provinsi yang memberi prioritas pada upaya mempromosikan kerukunan sosial, kemakmuran dan perdamaian. Kebijakan Pemda dalam pemeliharaan kerukunan terwujud dalam berbagai peraturan gubernur.4. Peraturan Gubernur tersebut keseluruhannya tentang pendirian Forum Kerukunan Umat Beragama (KUB) sebagai wadah komunikasi para tokoh agama dalam rangka memelihara kerukunan umat masing-masing. Dalam forum ini mensyaratkan unsur dari berbagai elemen agama dengan posisi seimbang.5. Dalam rangka memberdayakan FKUB, diciptakan mekansime kelembgaan yang melibatkan unsur perangkat daerah. Unsur perangkat daerah di lingkungan Pemda ini bekerjasama dengan Kanwil Depag Agama melaksanakan dialog dengan pemuka agama, fasilitasi pemberdayaan aspirasi ormas keagamaan, menyusun rekomendasi yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama sebagai bahan kebijakan Gubernur, serta melaksanakan sosialisasi PBM nomor 9 dan 8 tahun 2006